ARTIKEL EVALUASI KETEPATAN PENGGUNAAN ANTIHIPERTENSI PADA PASIEN GAGAL GINJAL KRONIK DI INSTALASI RAWAT INAP RSI SULTAN AGUNG SEMARANG PADA TAHUN 2016 OLEH: TETI YUNINGSIH NIM. 050113a058 PROGRAM STUDI FARMASI FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS NGUDI WALUYO 2017 EVALUASI KETEPATAN PENGGUNAAN ANTIHIPERTENSI PADA PASIEN GAGAL GINJAL KRONIK DI INSTALASI RAWAT INAP RSI SULTAN AGUNG SEMARANG PADA TAHUN 2016 Richa Yuswantina1), Sikni Retno K2), Teti Yuningsih3) 123) Program Studi Farmasi Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Ngudi Waluyo Ungaran Email : [email protected] INTISARI Latar belakang : Gagal ginjal kronik adalah penyakit yang terjadi setelah berbagai macam penyakit yang merusak massa nefron ginjal sehingga keduanya tidak mampu untuk menjalankan fungsi regulatorik dan estetoriknya untuk mempertahankan homestasis. Gagal ginjal konik secara progresif kehilangan fungsi ginjal nefronnya satu persatu yang secara bertahap menurunkan keseluruhan fungsi ginjal (Naga, 2012). Penyakit gagal ginjal kronik dapat menyebabkan terjadinya hipertensi begitupun sebaliknya pada hipertensi kronik dapat menyebabkan terjadinya gagal ginjal. 10% hipertensi yang terdapat pada GGK berhubungan dengan aktivitas sistem renin-angiotensin-aldosteron (Sukandar, 2008). Tujuan : Mengetahui ketepatan penggunaan obat antihipertensi pada pasien gagal ginjal kronik di instalasi rawat inap RSI Sultan Agung Semarang tahun 2016 Metode : Penelitian ini bersifat non eksperimental (observasional) menggunakan pendekatan retrospektif dan dianalisis secara deskriftif. Diperoleh 70 subyek penelitian yang diambil secara purposive sampling. Data yang diperoleh disajikan dalam bentuk tabel gambar berdasarkan karakteristik subyek dan evaluasi ketepataan penggunaan antihipertensi tunggal dan kombinasi pada pasien gagal ginjal kronik. Hasil : Hasil penelitian menunjukkan obat antihipertensi yang paling sering digunakan pada kelompok terapi tunggal yaitu golongan angiotensin reseptor blocker yaitu valsartan dengan persentase (70,83%). Kontraindikasi valsartan adalah hiperkalemia, hipotensi dan hiperaldosteron.Pada hasil penelitian ini valsartan diberikan pada pasien dengan kondisi yang baik dan tidak memberikan kontraindikasi dan mampu menurunkan tekanan darah. Golongan angiotensin converting enzym inhibitor (ACE-I) (6,3%), jenis obat ini juga menurunkan proteinuria menurunkan tekanan intraglomerulus dan menghambat perkembangan gagal ginjal kronis. Obat antihipertensi yang sering digunakan pada terapi kombinasi yaitu kombinasi ARB dan CCB (95,45%), golongan ACE-I dan CCB (4,55%) Obat-Obat golongan ACE inhibitor (Angiotensin-Converting Enzyme) dan ARB (Angiotensin ll reseptor blocker) atau kombinasi keduanya juga dapat menurunkan tekanan darah dan mengurangi tekanan intraglomerular. Simpulan: Antihipertensi pada pasien gagal ginjal kronik terapi tunggal dan kombinasi yang digunakan di RSI Sultan Agung Semarang tahun 2016 sudah tepat 100%. Kata Kunci : Gagal Ginjal Kronik, Obat Antihipertensi, Terapi Tunggal, Terapi Kombinasi. ABSTRACT Background: Chronic renal failure is a disease that occurs after various diseases that damage the renal nephron mass so that both are unable to perform their regulatory and esthetic functions to maintain homestasis. Chronic renal failure can lead to hypertension and vice versa, chronic hypertension can lead to kidney failure.10% of hypertensive patients present in chronic kidney disease are associated with renin-angiotensinaldosterone system activity. Purpose: This study aimd to determine the accuracy of using antihypertensive drugs in patients with chronic renal failure at inpatient installation at Sultan Agung Islamic Hospital Semarang in 2016. Methods: This study was non experimental (observational) using retrospective approach and analyzed descriptively. It obtained 70 research subjects taken by purposive sampling. The data obtained owere presented in the form of an image table based on the characteristics of the subjects and the evaluation of the use of single and combination antihypertensive agents in patients with chronic renal failure Results: The results showed that the most common antihypertensive drugs used in the single-therapy group were angiotensin receptor blockers, valsartan with percentage (70.83%). Valsartan contraindications are hyperkalemia, hypotension and hyperaldosterone. In the results of this study valsartan given to patients with good conditions and do not provide contraindications and can lower blood pressure. Group of angiotensin converting enzyme inhibitors (ACE-I) (6.3%), this type of drug also decreases proteinuria lowers intraglomerular pressure and inhibits the development of chronic renal failure. The most common antihypertensive drugs used in combination therapy are ARB and CCB (95.45%), ACE-I and CCB (4.55%) ACE inhibitors (ARI) and Angiotensin II receptor Blocker) or a combination of both can also lower blood pressure and reduce intraglomerular pressure. Conclusion: Antihypertensive patients with chronic renal failure using single therapy and the combination in Sultan Agung Islam Hospital Semarang in 2016 is 100% correct. Keywords : Chronic Renal Failure, Combination Therapy. Antihypertensive Drugs, Single Therapy, A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Gagal ginjal kronik adalah penyakit yang terjadi setelah berbagai macam penyakit yang merusak massa nefron ginjal sampai keduanya tidak mampu untuk menjalankan fungsi regulatorik dan estetoriknya untuk mempertahankan homestasis. Gagal ginjal konik secara progresif kehilangan fungsi ginjal nefronnya satu persatu yang secara bertahap menurunkan keseluruhan fungsi ginjal (Naga, 2012). Gagal Ginjal Kronik (GGK) merupakan gangguan fungsi ginjal yang progresif dan tidak dapat pulih kembali, dimana tubuh tidak mampu memelihara metabolisme dan gagal memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit yang berakibat pada peningkatan ureum. Pada pasiengagal ginjal kronis mempunyai karakteristik bersifat menetap, tidak bisa disembuhkan dan memerlukan pengobatan berupa, transplantasi ginjal, dialisis peritoneal, hemodialisis dan rawat jalan dalam jangka waktu yang lama (Black, 2014). Penyakit gagal ginjal kronik dapat menyebabkan terjadinya hipertensi begitupun sebaliknya pada hipertensi kronik dapat menyebabkan terjadinya gagal ginjal. Kira-kira 10% hipertensi yang terdapat pada GGK berhubungan dengan aktivitas sistem renin-angiotensin-aldosteron (Sukandar, 2008). Angka kejadian GGK terus meningkat seiring perjalanan waktu. Di amerika serikat, pada tahun 2008, 0,5% dari penduduk berumur 20-60 tahun didiagnosis menderita GGK (National Kidney and Urologic Disease Information Clearinghouse, 2012).Di indonesia, berdasarkan riset kesehatan Kementrian Kesehatan 2013, prevalensi gagal ginjal kronik berdasarkan diagnosis dokter di Indonesia sebesar 0,2%. Prevalensi tertinggi di Sulawesi Tengah sebesar 0,5%, diikuti Aceh, Gorontalo, dan Sulawesi Utara masing-masing 0,4%. Sementara Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, dan Jawa Timur masing-masing 0,3% (Riskesdas, 2013). Tekanan darah tinggi atau hipertensi adalah suatu keadaan dimana tekanan sistolik dan diastolik mengalami kenaikan yang melebihi batas normal (tekanan sistolik diatas 140 mmHg, dan tekanan diastolik di atas 90 mmHg) (Murwani,2008). Penggunaan obat yang rasional mengharuskan pasien menerima pengobatan sesuai dengan kebutuhan klinis, dalam dosis yang diperlukan tiap individu dalam kurun waktu tertentu dengan biaya paling rendah ( WHO, 2012). Penggunaan obat yang tidak efektif dapat mengakibatkan kegagalan terapi. Tingginya angka kejadian ketidak tepatan pemilihan obat menuntut adanya berbagai upaya untuk meningkatkan pelayanan kesehatan. Evaluasi ketepatan pemilihan obat perlu dilakukan agarter capai tujuan terapi yaitu menurunkan morbiditas dan mortalitas kardiovaskular (Gunawan dkk., 2008). Berdasarkan hal tersebut, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang evaluasi ketepatan penggunaan obat antihipertensi pada pasien gagal ginjal kronik di instalasi rawat inap RSI Sultan Agung Semarang. 2. Tujuan Penelitian a. Tujuan Umum Untuk mengetahui ketepatan penggunaan obat antihipertensi pada pasien gagal ginjal kronik. b. Tujuan Khusus Mengetahui persentase ketepatan penggunaan obat antihipertensi pada pasien gagal ginjal kronik di instalasi rawat inap RSI Sultan Agung Semarang tahun 2016 berdasarkan JNC 8 tahun 2014. B. METODE PENELITIAN Penelitian ini termasuk dalam penelitian jenis non-eksperimental dan merupakan penelitian deskriptif. Dalam penelitian deskriptif, kegiatannya dimulai dengan pengumpulan data, pengolahan data, penyajian data, dan analisis sederhana seperti mencari nilai tengah, variasi, rata-rata, rasio atau proporsi dan persentase (Notoatmodjo, 2012). Penelitian ini bersifat deskriptif, dengan pengambilan data secara retrospektif. Data diambil melalui rekam medik pasien rawat inap di RSI Sultan Agung Semarang pada tahun 2016. Populasi merupakan keseluruhan objek penelitian atau obyek yang diteliti (Notoatmodjo, 2012). Populasi dalam penelitian ini adalah semua subyek usia 26-65 tahun rawat inap di RSI Sultan Agung Tahun 2016 yaitu 238 subyek yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi yaitu sebanyak 70 subyek. Berikut kriteria inklusi dan eksklusi : Kriteria Inklusi 1. Pasien dengan diagnosa utama gagal ginjal kronik. 2. Pasien gagal ginjal kronik dengan penyakit penyerta hipertensi yang menggunakan obat antihipertesi. 3. Pasien gagal ginjal kronik usia lebih dari sama dengan 26-65 tahun (Depkes, 2009). Kriteria Eksklusi merupakan keadaan subjek tidak dapat diikutsertakan dalam penelitian. Yang termasuk kriteria eksklusi adalah : 1. Pasien yang meninggal. 2. Pasien yang pulang paksa. 3. Pasien yang dirujuk ke rumah sakit lain. Dalam penelitian ini, cara pengambilan sampel adalah purposive sampling yaitu teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu (Sugiono, 2012). Dalam hal ini peneliti menelusuri rekam medik pasien ayang berusia 26-65 tahun yang menderita gagal ginjal kronik dengan penyerta hipertensi di instalasi rawat inap RSI Sultan Agung Semarang pada tahun 2016,kemudian diambil data rekam medik yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei 2017 di RSI Sultan Agung Semarang.Instrumen yang digunakan dalam pengumpulan data adalah Lembar Pengumpul Data (LPD). Analisis data penelitian ini yaitu analisis univariat tentang evaluasi penggunaan antihipertensi pada pasien gagal ginjal kronik di instalasi rawat inap RSI Sultan agung semarang pada tahun 2016 dengan distribusi frekuensi dan persentase dari tiap variabel. C. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Pasien Tabel 1 Karakteristik Jenis kelamin pasien Gagal Ginjal Kronik di RSI Sultang Agung Semarang tahun 2016 Jenis Kelamin Perempuan Laki-laki Total Jumlah 24 46 70 Persentase (%) 34,29 65,71 100 Berdasarkan tabel 1 angka di Instalasi Rawat Inap RSI Sultan Agung Semarang 2016 lebih banyak dialami oleh pasien dengan jenis kelamin laki-laki yaitu 46 pasien (65,71%). Tabel 2 Karakteristik umur pasien Gagal Ginjal Kronik di RSI Sultan Agung Semarang tahun 2016 (Depkes RI 2009) Rentang umur 26-45 46-65 Total Jumlah pasien 17 53 70 Persentase (%) 24,29 75,71 100 Berdasarkan tabel 2 didapatkan distribusi persentase usia adalah 26-45 tahun sebesar 24,29% , jumlah pasien gagal ginjal kronik dengan usia 46-65 tahun lebih banyak yaitu 53 pasien (75,71%). Tabel 3 Karakteristik derajat penyakit Gagal Ginjal Kronik di RSI Sultan Agung Semarang tahun 2016 Gagal Ginjal Kronik Derajat I Derajat II Derajat III Derajat IV Derajat V Total Jumlah Pasien 0 2 12 33 23 70 Persentase (%) 0 2,86 17,14 47,14 32,86 100 Berdasarkan Tabel 4.3 didapatkan distribusi persentase pasien Gagal Ginjal Kronik dengan penyakit penyerta Hipertensi di RSI Sultan Agung Semarang didapatkan hasil terbanyak pada penderita Gagal Ginjal Kronik derajat IV sebanyak 33 pasien (47,14%). Penggunaan Obat Antihipertensi Pada Pasien Gagal Ginjal Kronik Tabel 4 Penggunaan Obat Antihipertensi Tunggal Pada Pasien Gagal Ginjal Kronik dengan Penyerta Hipertensi. Golongan ACEI (6,3%) ARB (93,75%) Nama Obat Captopril Lisinopril Valsartan Irbesartan Candesartan Jumlah 2 1 34 5 6 48 Total Keterangan: ACEI: Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor ARB: Angiotensin Reseptor Blocker Persentase (%) 4,2 2,1 70,83 10,42 12,5 100 Berdasarkan penggunaan obat antihipertensi pada pasien Gagal Ginjal Kronik dengan penyerta Hipertensi pada kelompok terapi tunggal, golongan antihipertensi terbanyak yang digunakan adalah golongan ARB yaitu valsartan sebanyak 34 pasien (70.83%). Tabel 5 Persentase Penggunaan Obat Antihipertensi Pada Pasien Gagal Ginjal Kronik dengan Penyerta Hipertensi Berdasarkan Kelompok Terapi Kombinasi Golongan ARB + CCB (95,45%) Nama Obat Candesartan Amlodipin Valsartan Amlodipin Irbesartan Amlodipin Captopril Amlodipin ACEI+CCB (4,55%) Total + Jumlah 6 Persentase (%) 27,27 + 13 59,09 + 2 9,09 + 1 4,55 22 100 Keterangan: ARB: Angiotensin Reseptor Blocker ACEI: Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor Pada kelompok terapi kombinasi, golongan antihipertensi yang sering digunakan yaitu kombinasi antara Valsartan dan Amlodipin sebanyak 9 pasien (59,09%). Berdasarkan Tabel 6 setelah dilakukan Evaluasi dengan menggunakan JNC 8 tahun 2014 dapat diketahui bahwa dalam pengobatan hipertensi pada pasien Gagal Ginjal Kronik di Instalasi Rawat Inap RSI Sultan Agung Semarang sudah tepat. Ketepatan Penggunaan Antihipertensi Pada Pasien Gagal Ginjal Kronik Tabel 6 Ketepatan Penggunaan Obat Antihipertensi Pada Pasien Gagal Ginjal Kronik Anti hipertensi Tunggal n=48 Kombinasi n=22 Total Jumlah Tepat Tidak tepat Tepat Tidak tepat 48 0 22 0 70 Persentase (%) 100 0 100 0 100 Berdasarkan Tabel 6 dapat diketahui bahwa dalam pemberian obat antihipertensi pada terapi tunggal dan kombinasi tidak ada yang pemberiannya tidak tepat hal ini menunjukkan bahwa pemberian terapi tunggal dan kombinasi pada pasien Gagal Ginjal Kronik di Instalasi Rawat Inap Sultan Agung Sudah Tepat (100%). Berdasarkan Hasil penelitian di RSI Sultan Agung Semarang pada 70 pasien gagal ginjal kronik dengan penyerta hipertensi di instalasi rawat inap RSI Sultan Agung Semarang terdapat 24 pasien perempuan (34,29%) dan 46 pasien (65,71%) laki-laki. Berdasarkan tabel 4.1 dapat dilihat bahwa ternyata pasien laki-laki lebih dari 50% menderita gagal ginjal kronik.Menurut hasil riset kesehatan dasar pada tahun 2013, prevalensi penyakit gagal ginjal pada pasien dengan jenis kelamin laki-laki yaitu sebesar 0,3%. Angka ini lebih tinggi dari pada prevalensi pada pasien perempuan yaitu 0,2% (Kementrian Kesehatan RI, 2013). Menurut penelitian Aghighi (2009), dari total 35.859 orang, jumlah penderita yang terdaftar di seluruh Rumah Sakit di Iran dari tahun 1997 sampai dengan 2006, terdapat penderita laki-laki sebesar 20.633 orang dan perempuan sebesar 15.226 orang. Pada tabel 2 didapatkan data distribusi frekuensi berdasarkan kelompok umur di RSI Sultan Agung Semarang pada tahun 2016 adalah kelompok terbanyak umur 46-65 tahun 53 pasien (75,71%) dan kelompok 26-45 tahun 17 pasien (24,29%) Semakin meningkatnya umur dan ditambah dengan penyakitkronis seperti tekanan darah tinggi (hipertensi) maka ginjal cenderung akan menjadi rusak dikarenakan tekanan darah yang meningkat akan menyebabkan tekanan dalam ginjal juga meningkat, sehingga terjadi kerusakan pada nefron (peningkatan interglomerular pressure ) yang dapat menyebabkan proteinuria (adanya protein dalam urin). Hal ini menunjukkan bahwa semakin bertambah usia, semakin berkurang fungsi ginjal karena disebabkan terjadinya penurunan kecepatan ekskresi glomerulus dan penurunan fungsi tubulus pada ginjal. Pada usia lanjut, fungsi ginjal dan aliran darah ke ginjal berkurang sehingga terjadi penurunaan kecepatan filtrasi glomerulus sekitar 30% dibandingkan pada orang yang lebih muda. Fungsi tubulus juga memburuk akibat bertambahnya usia sehingga obat seperti penicilin dan litium yang secara aktif disekresi oleh tubulus ginjal tidak dapat diseksresikan secara maksimal karena mengalami penurunan faal glomerulus dan tubulus (Supadmi, 2011). Penelitian yang dilakukan oleh Supadmi (2011) penderita laki-laki sebanyak 28 pasien (52,8%) dan penderita perempuan sebanyak 25 pasien (47,2%) Salah satu perilaku yang memilliki resiko serius terhadap kesehatan adalah merokok, menyatakan bahwa perilaku merokok menyebabkan seseorang beresiko menderita gagal ginjal kronik 2 kali lebih tinggi dibandingkan individu yang tidak merokok.Laki-laki banyak mempunyai kebiasaan yang dapat mempengaruhi kesehatan seperti merokok, minum kopi, alkohol, dan minuman suplemen yang dapat memicu terjadinya penyakit sistemikyang dapat menyebabkan penurunan fungsi ginjal dan berdampak terhadap kualitas hidupnya (Septiwi, 2011). Pada tabel 4.3 didapatkan distribusi frekuensi berdasarkan derajat penyakit gagal ginjal kronik. Sebagian besar pasien di instalasi rawat inap RSI Sultan Agung Semarang tahun 2016 mengalami diagnosa medis gagal ginjal kronik pada derajat IV, yang berjumlah 33 pasien (47,14%). Pada derajat IV ini kerusakan ginjal dengan GFR berat dengan nilai 15-29 ml/menit/1,73m². Sedangkan jumlah pasien yang mengalami kejadian derajat II sebanyak 2 pasien (2,86%) derajat III sebanyak 12 pasien (17,14%) dan derajat V sebanyak 23 pasien (32,86%). Gagal ginjal kronik derajat V adalah tahap akhir gagal ginjal atau akhir insufisiensi ginjal kronik (NKC, 2011). Pada derajat V terjadi penurunan GFR <15 ml/menit/1,73m².Pada GFR dibawah 15% akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih serius, pada pasien ini memerlukan terapi pengganti ginjal (Faradilla, 2009). Menurut penelitian (Supadmi, 2011) angka kejadian gagal ginjal kronik terbanyak terjadi pada derajat V dengan jumlah pasien 26 (49,1%). Pengobatan antihipertensi 1. Penggunaan obat hipertensi tunggal pada gagal ginjal kronik Hasil penelitian yang telah dilakukan di RSI Sultan Agung Semarang pada 70 pasien gagal ginjal kronik dengan penyakit penyerta hipertensi yang menggunakan antihipertensi menunjukkan bahwa pada penggunaan obat tunggal antihipertensi lebih banyak digunakan dari pada yang diberikan secara kombinasi. Dari penelitian ini juga dapat diketahui bahwa golongan obat hipertensi yang paling banyak digunakan adalah golongan ARB (Angiotensin Reseptor Blocker) terutama valsartan (41,67%).Terapi tunggal untuk obat golongan ARB memiliki mekanisme kerja dengan cara menghambat secara langsung reseptor angiotensin II tipe 1 (AT1) yang memediasi efek angiotensin II yang sudah diketahui pada manusia meliputi, vasokontriksi, pelepasan aldosteron, aktivasi simpatetik, pelepasan hormon antidiuretik dan konstriksi arteriol efferen dari glomerulus. ARB tidak memblok reseptor angiotensin tipe II (AT2) sehingga efek yang menguntungkan dari stimulasi AT2 seperti vasodilatasi, perbaikan jaringan, dan penghambatan pertumbuhan sel tetap utuh dengan penggunaan ARB (Angiotensin Reseptor Blocker) (Muchid, 2008). Obat antihipertensi mempunyai jalur eliminasi melalui ginjal Pada kondisi gagal ginjal, obat antihipertensi dapat menyebabkan penumpukan pada ginjal sehingga bisa memperburuk fungsi ginjal. Oleh karena itu diperlukan perhatian dan penanganan yang khusus terutama pemilihan obat antihipertensi yang aman bagi ginjal. Obat-Obat golongan ACE inhibitor (Angiotensin-Converting Enzyme) dan ARB (Angiotensin ll reseptor blocker) atau kombinasi keduanya yang dapat menurunkan tekanan darah dan mengurangi tekanan intraglomerular (Dipiro, 2008). Obat antihipertensi yang banyak digunakan setelah ARB (Angiotensin Reseptor Blocker) adalah irbesartan sebanyak 5 pasien dengan persentase 10,42%, candesartan 6 pasien dengan persentase 12,5% yang merupakan samasama golongan ARB (Angiotensin Reseptor Blocker). Golongan ACE-I ( Angiotensin Converting Enzyme Inhiboitor) hanya digunakan 3 pasien dengan persentase 6,24%, dimana jenis obat yang digunakan adalah captopril sebanyak 4,16% dan Lisinopril sebanyak 2,08%. ACE-I (Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor) juga memblok degradasi bradikinin dan merangsang sintesa zat-zat yang menyebabkan vasodilatasi, termasuk prostaglandin E2 dan prostasiklin (Muchid., 2008). Hipertensi sendiri dapat bertindak sebagai faktor resiko yang dominan pada pasien dengan CKD dan sebagian besar pasien CKD akan mengalami hipertensi. Mekanisme yang mendasari dan dianggap paling penting dalam peningkatan tekanan darah adalah terkait dengan retensi natrium dan stimulasi sistem reninangiotensin. Aktivasi simpatik dan pelepasan katekolamin juga meningkat pada CKD (Alani dkk, 2014).Hipertensi merupakan masalah serius yang diderita oleh jutaan orang di belahan dunia karena dapat menyebabkan komplikasi pada organorgan penting didalam tubuh. Hipertensi merupakan faktor yang berkontribusi terhadap banyak penyakit lainnya termasuk gagal ginjal dan merupakan penyebab utama kematian (Martin, 2008). Penatalaksanaan terapi hipertensi pada pasien penyakit gagal ginjal kronik yang tepat dan efektif merupakan hal penting dalam upaya menurunkan mortalitas dan morbiditas, serta mencegah biaya yang lebih tinggi. Terapi hipertensi yang dilakukan diharapkan dapat menurunkan risiko perkembangan tahap penyakit ginjal menjadi stadium akhir penyakit ginjal atau End Stage Renal Disease (KDIGO, 2013). Menurut KDIGO tahun 2012 Angiotensin converting enzyme inhibitor (ACEI) dan angiotensin receptor blockers (ARB) merupakan antihipertensi pilihan utama pada GGK (KDIGO, 2012). Berdasarkan hasil yang diperoleh dalam penggunaan obat antihipertensi, pemberian obat tunggal pada penyakit gagal ginjal kronik dengan penyakit penyerta hipertensi di Instalasi Rawat Inap RSI Sultan Agung Semarang tahun 2016 sudah sesuai dengan jurnal KDIGO tahun 2016, yaitu memberikan ACEI dan ARB sebagai first line pengobatan. 2. Penggunaan antihipertensi kombinasi pada gagal ginjal kronik Dari tabel 3.5 dan 3.6 dapat dilihat bahwa di RSI Sultan Agung Semarang rata-rata pengobatan hipertensi menggunakan terapi tunggal sebanyak 48 pasien (68,57%). Sedangkan terapi kombinasi di RSI Sultan Agung Semarang ini lebih sedikit memberikan terapi secara kombinasi karena dengan penggunaan antihipertensi tunggal sudah mampu menurunkan tekanan darah. Untuk penggunaan kombinasi yaitu sebanyak 22 pasien (31,42%). Pada tabel 3.6 dapat dilihat bahwa pemberian obat kombinasi yang digunakan berasal dari golongan obat yang berbeda. Hal ini dikarenakan Penggunaan kombinasi obat dari golongan yang sama akan lebih meningkatkan efek yang tidak diinginkan dari obat tersebut sehingga tidak tercapai efek terapetik yang diharapkan (Tierney, 2009). Penggunaan kombinasi obat bertujuan untuk mempertahankan tekanan darah menggunakan dua antihipertensi yang memiliki tempat aksi dan golongan yang berbeda dan untuk meningkatkan kepatuhan pasien dengan menggunakan satu tablet yang diminum dua atau tiga kali sehari. Terapi kombinasi juga merupakan pilihan bagi pasien yang sulit mencapai tekanan darah atau pada pasien dengan banyak indikasi yang membutuhkan beberapa antihipertensi yang berbeda (Anonim 2008). Ketepataan Penggunaan Antihipertensi Pada Pasien Gagal Ginjal Kronik berdasarkan JNC 8 Tahun 2014. Tepat pemilihan obat adalah kesesuaian obat yang diberikan pada pasien gagal ginjal kronik selama di rawat inap berdasarkan JNC 8 tahun2014. Berdasarkan hasil penelitian pemberian antihipertensi pada pasien gagal ginjal kronik dengan penyerta hipertensi baik dengan terapi tunggal maupun terapi kombinasi sudah mampu menurunkan tekanan darah dan setelah di evaluasi berdasarkan JNC 8 Tahun 2014 pemberian secara tunggal maupun kombinasi sudah tepat. Dimana pada terapi tunggal obat yang paling banyak digunakan yaitu valsartan yang merupakan golongan ARB (Angiotensin Reseptor Blocker). Berdasarkan penelitian yang dilakukan Supadmi (2011) Valsartan adalah salah satu obat yang direkomendasikan untuk terapi hipertensi pada pasien gagal ginjal kronik karena mekanisme kerja valsartan yang memblok reseptor angiotensin. Kontraindikasi valsartan adalah hiperkalemia, hipotensi dan hiperaldosteron.Pada hasil penelitian ini valsartandiberikan pada pasien dengan kondisiyang baik dan tidak memberikan kontraindikasi dan mampu menurunkan tekanan darah.Golongan ini memiliki efek menyerupai golongan penghambat enzim pengubah angiotensin. Penelitian menunjukkan adanya keuntungan penggunaan golongan ini pada populasi pasien ginjal kronis. Golongan obat tunggal yang digunakan yaitu ACEI (Angiotensin Converting Anzyme Inhibitor). Menurut Price dan Wilson Tahun 2012 bahwa Untuk penggunaan obat golongan ACE-I, jenis obat penghambat ACE-I juga menurunkan proteinuria, obat-obatan penghambat ACE-I menurunkan tekanan intraglomerulus dan menghambat perkembangan gagal ginjal kronis. ACEI dan ARB mempunyai efek melindungi ginjal (renoprotektif) dalam penyakit ginjal diabetes dan non-diabetes. Salah satu dari kedua obat ini harus digunakan sebagai terapi lini pertama untuk mengontrol tekanan darah dan memelihara fungsi ginjal pada pasien-pasien dengan penyakit ginjal kronis (Depkes, 2009). Sedangkan pada kelompok terapi kombinasi golongan yang digunakan golongan ARB (Angiotensin Reseptor Blocker) + CCB (Calcium Channel Blocker) dan ACEI (Angiotensin Converting Anzyme Inhibitor) + CCB (Angiotensin Reseptor Blocker )Obat antihipertensi mempunyai jalur eliminasi melalui ginjal. Pada kondisi gagal ginjal, obat antihipertensi dapat menyebabkan penumpukan pada ginjal sehingga bisa memperburuk fungsi ginjal. Oleh karena itu diperlukan perhatian dan penanganan yang khusus terutama pemilihan obat antihipertensi yang aman bagi ginjal. ObatObat golongan ACE inhibitor (Angiotensin-Converting Enzyme) dan ARB (Angiotensin ll reseptor blocker) atau kombinasi keduanya yang dapat menurunkan tekanan darah dan mengurangi tekanan intraglomerular (Dipiro, 2008).Berdasarkan JNC 8 Tahun 2014 lini pertama pengobatan antihipertensi pada pasien gagal ginjal kronik Pada populasi berusia ≥18 tahun dengan penyakit GGK, terapi antihipertensi awal atau tambahan sebaiknya mencakup ACEI atau ARB untuk meningkatkan outcome ginjal. Hal ini berlaku untuk semua pasien penyakit GGK dengan hipertensi terlepas dari ras atau status diabetes untuk menurunkan target tekanan darah ( JNC 8, 2014). D. KESIMPULAN dan SARAN Berdasarkan hasil penelitian evaluasi ketepatan penggunaan obat antihipertensi pada pasien gagal ginjal kronik di instalasi rawat inap RSI Sultan Agung Semarang Pada Tahun 2016 dapat diambil kesimpulan bahwa ketepataan pemilihan obat baik dengan terapi tunggal maupun terapi kombinasi sudah tepat (100%). Diharapkan adanya penelitian lebih lanjut mengenai evaluasi ketepataan penggunaan antihipertensi pada pasien gagal ginjal kronik di rumah sakit lain untuk mengetahui ketepataan pemilihan obat tersebut. E. UCAPAN TERIMA KASIH Seluruh civitas akademika UNIVERSITAS Ngudi Waluyo Ungaran, Ketua Program Studi Farmasi STIKES Ngudi Waluyo Ungaran Richa Yuswantina S. Farm., Apt., M. Si., Dosen Pembimbing I Richa Yuswantina S. Farm., Apt., M. Si., Dosen Pembimbing II Sikni Retno K, S.Farm.,M.Sc.,Apt RSI Sultan Agung Semarang serta seluruh karyawan RSI Sultan Agung Semarang, Bapak Ibu saya tercinta serta kakak-kakak saya. F. DAFTAR PUSTAKA 1. Aghighi, M. 2009. Changing Epidemiology of End-Stage Renal Disease in Last 10 Years in Iran. http://www.ijkd.org/index.php/ijkd/article/viewFile/ 106/12 4. 2. Anonim, (2008). Terapi Kombinasi. www.sribd.com/doc/46147651/17/Terapi kombinasi. diakses tanggal 28 Juni 2016. 3. Alani, H., Tamimi, A., Tamimi, N. 2014. Cardiovascular Co-morbidity in Chronic Kidney Disease: Current Knowledge and Future Research Needs. World Journal Nephrology; 3(4): 156-168. 4. Black, M. Joyce dan Hawks J. H. (2014). Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8. Jakarta : PT.Salemba Patria. 5. Depkes RI. (2009). Pedoman Teknis Penemuan dan Tatalaksana Penyakit Hipertensi. Jakarta. 6. Dipiro, 2008. Pharmacotherapy Patophysologic Approach (Seventh Edition), United State: McGraw-Hill Companies, Inc. 7. Faradilla, N. 2009. Gagal Ginjal Kronik . Retrieved Maret 10, 2012, from http://yayanakhyar.files.wordpress.com/2009/06/ggk_files_of_drsm_ed_fkur.pdf 8. Gunawan, Sulistia, Gan, Setiabudy, Nafriadi. 2007. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta: Universitas Indonesia. 9. KDIGO, 2012, KDIGO Clinical Practice Guideline for the Management of Blood Pressure in Chronic Kidney Disease, Official Journal of the International Society of Nephrology, Vol. 2: Issue 5. 10. KDIGO, 2013, KDIGO Clinical Practice Guideline for the Evaluation and Management of Chronic Kidney Disease, Official Journal of the International Society of Nephrology, Vol. 3: Issue 1. 11. Kementerian Kesehatan RI 1.2013. Kurikulum Penelitian Penggunaan Obat Rasional (POR). Kemenkes RI. Jakarta. 12. Martin, J., 2008, Hypertension Guidelines: Revisiting the JNC7 Recommendations, The Journal of Lancaster General Hospital. Vol. 3 – No. 3. 13. Muchid, 2008, Pharmaceutical Care untuk Pasien Penyakit Jantung Koroner : Fokus Sindrom Koroner Akut, Penerbit Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, Departemen Kesehatan, Jakarta. 14. Muwarni Arita. (2008). Perawatan Pasien Penyakit Dalam. Jogjakarta: Mitra Cendika. 15. Naga, S. Sholeh. (2012). Buku Panduan Lengkap Ilmu Penyakit Dalam. Jogjakarta: Diva Press. 16. Notoatmodjo, Soekidjo. 2012. Promosi Kesehatan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka cipta. 17. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas). 2013. Pedoman Pewawancara Petugas Pengumpul Data. Jakarta: Badan Litbangkes, Depkes RI. 18. Septiwi, cahyu. 2011. HUBUNGAN Antara Adekuasi Hemodialisis Dengan Kualitas Hidup Pasien Hemodialisis Di Unit Hemodialisis RS PROF. Dr. Margono Soekarjo Purwekerto. Universitas Indonesia. 19. Sugiyono, 2007. Statistika Untuk Penelitian.Alfabeta :Bandung. Storla, 2009 20. Sukandar, Enday. (2008). Gagal Ginjal dan panduan terapi dialisis.Bandung: FK UNPAD. 21. Supadmi, woro. 2011. Evaluasi Penggunaan Obat Antihipertensi pada Pasien Gagal Ginjal Kronik yang menjalani hemodialisis. Journal Ilmiah kefarmasian, Vol. 1, No. 1. 2011: 67-80. 22. Tierney, L., 2009. Diagnosis dan Terapi Kedokteran Penyakit Dalam Salemba Medika, Jakarta. 23. Price SA, Wilson LM. 2012. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit edisi ke-6. Jakarta: EGC. 24. Who (2012).Health education: conecept, effective strategic and core competence.EstearnMediteranian.