Pura Tanah Lot 'Tanah Lot' adalah sebuah objek wisata di Bali, Indonesia. Di sini ada dua pura yang terletak di atas batu besar. Satu terletak di atas bongkahan batu dan satunya terletak di atas tebing mirip dengan Pura Uluwatu. Pura Tanah Lot ini merupakan bagian dari pura Dang Kahyangan. Pura Tanah Lot merupakan pura laut tempat pemujaan dewa-dewa penjaga laut. Legenda Menurut legenda, pura ini dibangun oleh seorang brahmana yang mengembara dari Jawa. Ia adalah Danghyang Nirartha yang berhasil menguatkan kepercayaan penduduk Bali akan ajaran Hindu dan membangun Sad Kahyangan tersebut pada abad ke-16. Pada saat itu penguasa Tanah Lot, Bendesa Beraben, iri terhadap beliau karena para pengikutnya mulai meninggalkannya dan mengikuti Danghyang Nirartha. Bendesa Beraben menyuruh Danghyang Nirartha untuk meninggalkan Tanah Lot. Ia menyanggupi dan sebelum meninggalkan Tanah Lot beliau dengan kekuatannya memindahkan Bongkahan Batu ke tengah pantai (bukan ke tengah laut) dan membangun pura disana. Ia juga mengubah selendangnya menjadi ular penjaga pura. Ular ini masih ada sampai sekarang dan secara ilmiah ular ini termasuk jenis ular laut yang mempunyai ciri-ciri berekor pipih seperti ikan, warna hitam berbelang kuning dan mempunyai racun 3 kali lebih kuat dari ular cobra. Akhir dari legenda menyebutkan bahwa Bendesa Beraben 'akhirnya' menjadi pengikut Danghyang Nirartha. Lokasi Obyek wisata tanah lot terletak di Desa Beraban Kecamatan Kediri Kabupaten Tabanan, sekitar 13 km barat Tabanan. Disebelah utara Pura Tanah Lot terdapat sebuah pura yang terletak di atas tebing yang menjorok ke laut. Tebing ini menghubungkan pura dengan daratan dan berbentuk seperti jembatan (melengkung). Tanah Lot terkenal sebagai tempat yang indah untuk melihat matahari terbenam (sunset), turis-turis biasanya ramai pada sore hari untuk melihat keindahan sunset di sini. Fasilitas Dari tempat parkir menuju ke area pura banyak dijumpai art shop dan warung makan atau sekedar kedai minuman. Juga tersedia toilet bersih yang harga sewanya cukup murah untuk kantong wisatawan domestik sekalipun. Hari Raya Odalan atau hari raya di Pura ini diperingati setiap 210 hari sekali, sama seperti pura-pura yang lain. Jatuhnya dekat dengan perayaan Galungan dan Kuningan yaitu tepatnya pada Hari Suci Buda Cemeng Langkir. Saat itu, orang yang sembahyang akan ramai bersembahyang di Pura Ini Pura Luhur Batukaru Berdasarkan Lontar Kusuma Dewa, Pura Luhur Batukaru tergolong ke dalam Pura Sad Kahyangan yang dibangun sekitar abad ke-11 Masehi. Pura ini pun dapat dikatakan sezaman dengan Pura Besakih, Pura Lempuyang Luhur, Pura Gowa Lawah, Pura Luhur Uluwatu, dan Pura Pusering Jagat. Pura Luhur Batukaru sendiri terletak di desa Wongaya Gede, Kecamatan Penebel Bali. Pura Luhur Batukaru berdiri di kaki Gunung Batukaru yang dikelilingi ribuan jenis pepohonan. Tentu saja jika dilihat dari letak geografisnya, pura ini berada di daerah yang berhawa sejuk dan segar, sehingga tidak berlebihan jika, pura ini dikatakan memiliki kekuatan relaksasi yang cukup besar. Memasuki areal pura dari sisi selatan, beraneka ragam patung kuno akan menghantarkan langkah kita menuju halaman utama pura. Ditempat ini terdapat beberapa pelinggih (tempat pemujaan) diantaranya meru dan tiga buah candi yang konon menurut Jro Mangku Luhur Batukaru Kebayan Lingsir, bangunan candi ini mirip candi-candi yang terdapat di Pulau Jawa dan kini menjadi ciri utama Pura Luhur Batukaru. Sementara itu disisi timur Pura Luhur Batukaru terdapat danau kecil yang memiliki pelinggih tepat ditengah-tengahnya. Masyarakat setempat mempercai bahwa danau ini masih memiliki hubungan tertentu dengan beberapa danau yang ada di Bali. Pura Luhur Batukaru yang dalam konsepsi Hindu dianggap sebagai tempat berstananya Dewa Maheswara ini banyak dikunjungi umat Hindu untuk menggelar persembahyangan yang jatuh saat piodalan pura hari Umanis Galungan (sehari setelah perayaan hari raya Galungan). (gi) Pura Besakih Pura Besakih Pura Besakih adalah sebuah komplek pura yang terletak di Desa Besakih, Kecamatan Rendang Kabupaten Karangasem, Bali, Indonesia. Komplek Pura Besakih terdiri dari 1 Pura Pusat (Pura Penataran Agung Besakih) dan 18 Pura Pendamping (1 Pura Basukian dan 17 Pura Lainnya). Di Pura Basukian, di areal inilah pertama kalinya tempat diterimanya wahyu Tuhan oleh Hyang Rsi Markendya, cikal bakal Agama Hindu Dharma sekarang di Bali, sebagai pusatnya. Pura Besakih merupakan pusat kegiatan dari seluruh Pura yang ada di Bali. Di antara semua pura-pura yang termasuk dalam kompleks Pura Besakih, Pura Penataran Agung adalah pura yang terbesar, terbanyak bangunan-bangunan pelinggihnya, terbanyak jenis upakaranya dan merupakan pusat dan semua pura yang ada di komplek Pura Besakih. Di Pura Penataran Agung terdapat 3 arca atau candi utama simbol stana dari sifat Tuhan Tri Murti, yaitu Dewa Brahma, Dewa Wisnu dan Dewa Siwa yang merupakan perlambang Dewa Pencipta, Dewa Pemelihara dan Dewa Pelebur/Reinkarnasi. Keberadaan fisik bangunan Pura Besakih, tidak sekedar menjadi tempat bersemayamnya Tuhan, menurut kepercayaan Agama Hindu Dharma, yang terbesar di pulau Bali, namun di dalamnya memiliki keterkaitan latar belakang dengan makna Gunung Agung. Sebuah gunung tertinggi di pulau Bali yang dipercaya sebagai pusat Pemerintahan Alam Arwah, Alam Para Dewata, yang menjadi utusan Tuhan untuk wilayah pulau Bali dan sekitar. Sehingga tepatlah kalau di lereng Barat Daya Gunung Agung dibuat bangunan untuk kesucian umat manusia, Pura Besakih yang bermakna filosofis. Makna filosofis yang terkadung di Pura Besakih dalam perkembangannya mengandung unsurunsur kebudayaan yang meliputi: 1. Sistem pengetahuan, 2. Peralatan hidup dan teknologi, 3. Organisasi sosial kemasyarakatan, 4. Mata pencaharian hidup, 5. Sistem bahasa, 6. Religi dan upacara, dan 7. Kesenian. Ketujuh unsur kebudayaan itu diwujudkan dalam wujud budaya ide, wujud budaya aktivitas, dan wujud budaya material. Hal ini sudah muncul baik pada masa pra-Hindu maupun masa Hindu yang sudah mengalami perkembangan melalui tahap mitis, tahap ontologi dan tahap fungsional. Objek penelitian Pura Besakih sebagai objek penelitian berkaitan dengan kehidupan sosial budaya masyarakat yang berada di Kabupaten Karangasem Provinsi Bali. Berdasar sebuah penelitian, bangunan fisik Pura Besakih telah mengalami perkembangan dari kebudayaan pra-hindu dengan bukti peninggalan menhir, pundenberundak-undak, arca, yang berkembang menjadi bangunan berupa meru, pelinggih, gedong, maupun padmasana sebagai hasil kebudayaan masa Hindu. Latar belakang keberadaan bangunan fisik Pura Besakih di lereng Gunung Agung adalah sebagai tempat ibadah untuk menyembah Dewa yang dikonsepsikan gunung tersebut sebagai istana Dewa tertinggi. Pada tahapan fungsional manusia Bali menemukan jati dirinya sebagai manusia homo religius dan mempunyai budaya yang bersifat sosial religius, bahwa kebudayaan yang menyangkut aktivitas kegiatan selalu dihubungkan dengan ajaran Agama Hindu. Dalam budaya masyarakat Hindu Bali, ternyata makna Pura Besakih diidentifikasi sebagai bagian dari perkembangan budaya sosial masyarakat Bali dari mulai pra-Hindu yang banyak dipengaruhi oleh perubahan unsur-unsur budaya yang berkembang, sehingga mempengaruhi perubahan wujud budaya ide, wujud budaya aktivitas, dan wujud budaya material. Perubahan tersebut berkaitan dengan ajaran Tattwa yang menyangkut tentang konsep ketuhanan, ajaran Tata-susila yang mengatur bagaimana umat Hindu dalam bertingka laku, dan ajaran Upacara merupakan pengaturan dalam melakukan aktivitas ritual persembahan dari umat kepada TuhanNya, sehingga ketiga ajaran tersebut merupakan satu kesatuan dalam ajaran Agama Hindu Dharma di Bali. Sekilas tentang Agama Hindu Dharma Agama adalah ajaran tentang Ketuhanan. Semua agama adalah benar adanya. Marilah kita sebagai manusia, mengayomi agama-agama yang ada, di seluruh dunia. Agama Hindu lahir dari peradaban di sekitar sungai Shindu, berawal dari India, sekitar tahun 5500 sebelum masehi. Agama Hindu di Bali mendapat tempat di hati masyarakat, karena dianggap ssuai dengan kebudayaan berkembang saat itu. Uluwatu Pura Luhur Uluwatu adalah salah satu pura di Bali dengan lokasinya yang sangat indah. Daya tarik utama bagi para wisatawan dari pura ini adalah panoramanya yang spektakuler. Terletak di bagian barat laut, pura ini seperti bertengger di ujung tebing batu yang sangat tinggi dan curam, dengan pemandangan lautnya dibawah berwarna biru bersih dan hantaman ombak yang menghasilkan buih-buih putih yang sangat cantik. Menurut sejarah, seorang pendeta Hindu yang berasal dari Jawa bernama Empu Kuturan adalah orang yang pertama kali membangun pura di tempat ini. Kemudian diteruskan oleh sejawatnya yang kemudian juga membangun pura Tanah Lot yang juga terkenal dengan pemandangan matahari terbenam (sunset) yang sangat indah. Untuk bisa masuk kedalam pura ini pengunjung harus mengenakan sarung dan selempang yang bisa disewa ditempat itu. Waktu terbaik untuk mengunjungi pura Uluwatu adalah sore hari pada saat matahari terbenam sehingga bisa menyaksikan pemandangan spektakulernya. Tembahan informasi, disekitar komplek pura terdapat segerombolan monyet. Para monyet ini biasanya suka usil dengan mengambil berbagai macam barang yang dibawa pengunjung. Barang yang sering menjadi incaran mereka adalah kacamata, tas, dompetatau apa saja yang gampang direbut. Jadi hati-hati dengan mereka apabila sedang berkunjung di komplek pura Uluwatu Bali. Pura Penataran Beratan Adnyana under Pura di Tabanan Pura Penataran Beratan– Keindahan Alam dan Manisnya Madu Spiritual Pura Dangkahyangan Penataran Beratan atau disingkat Pura Penataran Beratan adalah sebuah tempat suci yang terletak di tepi Danau Beratan, Desa Candikuning, Kecamatan Baturiti, Tabanan. Keindahan alam yang terdiri atas air danau yang tenang dan sejuk serta hijau pepohonan di sekitarnya menjadi ciri khas dari pura ini. Dari Kota Denpasar, untuk mencapai pura ini harus menempuh jarak sekitar 51 km. Udara pegunungan yang dinginakan menyapa setiap pengunjung yang memasuki kawasan Candikuning. Pura yang terletak pada ketinggian 1.200 meter dari permukaan laut ini memang terkenal memiliki suhu yang sangat nyaman yakni berada pada kisaran 18-22 derajat Celsius. Sangat berbeda dengan suhu udara di tempat lainnya yang ratarata lebih tinggi. Selain itu kabut tipis yang menyelimuti daerah pegunungan ini menjadi pesona tersendiri. Daerah Bedugul, Baturiti memang terkenal dengan pesona alamnya, terutama berasal dari pemandangan Danau Beratan. Daerah ini sangat subur dan sentra penanaman sayur dan tanaman hias. Jika pemedek memasuki areal pura ini, pesona indahnya alam dan getaran spiritual sangat terasa. Di samping karena hawanya yang sangat sejuk, air Danau Beratan yang tenang dan sejuk seolah mengingatkan manusia pada keagungan spiritual. Bagi para pemedek Pura Penataran Beratan menjadi salah satu tujuan tirtayatra yang sangat bermakna. Sedangkan bagi para pelancong, areal pura yang tergabung dalam objek wisata Danau Beratan ini mampu memberikan rasa terang, senang dan damai dengan pelukan pesona keindahan alamnya. Di pura yang diperkirakan dibangun pada zaman kerajaan di Bali ini, ada sesuatu keindahan yang sukar untuk diterjemahkan ke dalam kata-kata. Banyak pengunjung yang menyatakan sebagai suatu keindahan yang menyentuh rasa terdalam, semacam nektar (madu) spiritual. Sejauh mata memandang, hijau pegunungan dan jernihnya air lautakan menggugah perasaan terdalam manusia, yang mengingatkan pada keagungan ciptaan Tuhan yang harus dirawat dan dijaga oleh manusia. Bisa menikmati alam yang indah ini merupakan satu kesempatan yang indah yang mungkinakan terus terbayang sepanjang perjalanan hidup. Pura pertama yang ditemui ketika memasuki areal ini adalah Pelinggih Pande. Di sini dapat ditemui peninggalan prasejarah yang berupa sarkopagus, alat-alat rumah tangga dan benda-benda peninggalan kuno lainnya. Benda-benda ini dibuatkan pelinggih sederhana di areal pura yang sempit itu. Pura ini bersebelahan dengan pohon beringin besar yang telah berusia lebih dari seratus tahun. Setiap hari tertentu, para pasemetonan Pande sering melakukan pemujaan di tempat ini. Selain itu persis di depan Pura Penataran terdapat Pura Dalem Purwa. Pura Penataran Beratan merupakan pura utama yang terdiri atas beberapa pelinggih dan meru. Areal utama mandala dari pura ini juga merupakan daerah yang terluas dari beberapa pura yang ada. Selain pintu utama, pemedek dapat memasuki pura melalui dua pintu bagian depan dan satu pintu yang tembus persis di tepi danau. Aturan di pura ini sangat ketat, di utama mandala hanya dapat dimasuki oleh mereka yang melakukan persembahyangan saja dan berpakaian adat. Suasana di dalam pura terasa sangat berbeda dengan di luar. Di situ lebih tenang dan lebih khidmat, tanpa ada wisatawan yang lalu-lalang, apalagi ditambah dengan bau dupa yang semerbak. Umat yang masuk ke dalam pura ini benar-benar bermaksud untuk menghubungkan diri dengan Tuhan Yang Maha Esa. Sayang sekali, kondisi pura ini memprihatinkan karena banyak bangunan yang mulai lapuk serta keropos. Sementara itu, selain Pura Penataran, pura yang terletak pada danau yakni pura dengan meru tumpang 11 dan meru tumpang 3 menjadi sorotan lensa para pengunjung. Pura dengan meru tumpang 11 merupakan penghayatan terhadap Batara Pucak Mangu dan tumpang 3 merupakan pemujaan Dewi Danu. Dua pura yang terletak di danau terutama saat air danau penuh menjadi pemandangan tersendiri. Pura Dewi Danu merupakan penghayatan akan kesejahteraan bumi, di mana air merupakan sumber kemakmuran dan kesejahteraan jagat. Dengan melakukan pemujaan terhadap Dewi Danu, diharapkan kesejahteraan masyarakat Bali semakin meningkat dan kesadaran manusia untuk memelihara sumber-sumber alam semakin meningkat. Sebab, mata air merupakan sumber kehidupan bagi manusia. Keunikan lain dari areal pura ini adalah adanya sejenis pagoda yang terdapat arca Buddha. Banyak pengunjung yang mengira bahwa tempat ini khusus dibangun untuk memuja Sang Buddha, tetapi konon bangunan ini justru dibangun oleh umat Hindu. Akan tetapi hingga kini masyarakat Hindu jarang melakukan pemujaan di tempat ini, hanya ada beberapa umat Buddha yang melakukan sembah bakti. Hampir setiap hari banyak pemedek dari berbagai daerah berdatangan untuk tujuan tertentu di antaranya upacara yang berhubungan dengan pitra yadnya maupun dewa yadnya. Selain itu, pura ini diyakini sebagai tempat untuk memohon kemakmuran dan rezeki. 10 Pengider Terdapat 10 pura pengider pada Pura Penataran Beratan. Masing-masing dewa yang distanakan pada pura pengider ini berbeda. Kesepuluh pura pengider itu adalah Pura Pucak Mangu, Pura Manik Umawang (Ulun Danu), Pura Rejeng Besi, Pura Pucak Resi Sangkur, Pura Pucak Candi Mas, Pura Teratai Bang, terletak di lokasi Kebun Raya. Pura Batu Meringgit terletak di lokasi Kebun Raya, Pura Pucak Pungangan, Pura Pucak Sari, dan Pura Kayu Sugih. Pada saat piodalan yang jatuh pada Anggarkasih Julungwangi ini, kesepuluh Batara yang berstana di masing-masing pura pengider distanakan dan dipuja selama piodalan berlangsung. Namun, dalam keseharian Tri Murti yakni Brahma, Wisnu dan Siwa merupakan fokus pemujaan di pura ini. Menurut beberapa sumber pemujaan Tri Murti di pura ini merupakan suatu bentuk pencarian spiritual yang seimbang dan selaras atau sesuai dengan masyarakat Bali. Pura ini di-empon oleh empat satakan, yang merupakan pengempon secara turun-temurun. Satakan Candikuning sebagai pekandel dari pura ini yang terdiri atas lima desa pakraman, Satakan Bangah, Satakan Baturiti dan Satakan Antapan. Keempat satakan ini bekerja bahu-membahu dalam pelaksanaan piodalan maupun perawatan dari pura ini. Sementara Puri Marga merupakan penganceng, sedangkan Puri Mengwi, Belayu dan Perean sebagai pengabeh. Ketua Badan Pengelola Objek Wisata Penataran Beratan IGN Budana Arta menyatakan sejak 30 tahun terakhir Pura Penataran ini tidak pernah direhab, sehingga kondisinya banyak yang sudah lapuk. Menurutnya, sebagai suatu tempat pemujaan, kelayakan pura ini patut dipertimbangkan. Sedangkan sebagai tempat wisata keunikan berupa kekunoan sering dianggap alami merupakan satu daya tarik tersendiri. Akan tetapi sebagai tempat pemujaan dianggap sangat layak untuk dilakukan rehab. Artha menyatakan sejak Maret lalu telah dilakukan rehab tahap I yang terdiri atas tujuh pelinggih yang sudah keropos. Dana yang dibutuhkan untuk hal ini sebesar Rp 600 juta. Sedangkan untuk tahap II nanti, pihaknya merencanakan akan melakukan rehab pagar, candi dan bangunan lainnya yang diperkirakan menelan dana sebesar Rp 2 milyar. Kesepuluh pura pengider ini sangat terkenal di kalangan masyarakat Baturiti, bahkan Pura Pucak Sangkur sering dikaitkan dengan tempat memohon bagi para pejabat di lingkungan Propinsi Bali. Pada saat bulan purnama banyak pemedek yang tangkil baik dengan tujuan peningkatan spiritual maupun keinginan duniawi. Alamnya yang teduh dan tenang di pura ini sering dijadikan sebagai tempat meditasi banyak penekun spiritual. Suatu kekeliruan yang telah meluas terjadi bahwa Pura Penataran ini sering disebut Pura Ulun Danu. Menurut Artha, setelah dilakukan rembuk antartokoh-tokoh ternyata yang benar merupakan Pura Penataran. Sedangkan yang dinyatakan sebagai Pura Ulun Danu adalah Pura Manik Umawang yang letaknya memang di daerah hulu dari danau. Nama Ulun Danu terus melekat dengan belum digantinya pelang nama objek wisata Ulun Danu di pintu masuk areal ini. untuk hal tersebut, Artha mengaku akan segera mengganti papan nama tersebut dengan nama pura yang sebenarnya. Selain itu, sejarah pembangunan pura yang belum tercatat akan diupayakan untuk dikumpulkan sumbersumbernya yang selanjutnya akan dibukukan. Selain melakukan rehab terhadap pura yang ada di areal objek wisata Beratan, menurut Artha, tugas berat lainnya yang harus dilakukannya bersama seluruh komponen masyarakat Bali adalah menjaga kelestarian tempat tersebut. Seluruh masyarakat Bali hendaknya menjaga sumber alam ini dengan bijak. Sebab, jika terjadi penyusutan volume air yang diakibatkan oleh perilaku manusia, kesuburan Pura Ulun Danu Batur Bertepatan dengan Paing Dungulan adalah Purnama Kedasa, sebagaimana biasa saat itu berlangsung upacara besar di Pura Ulun Danu Batur. Desa Batur, Kintamani, Bangli. Pura Ulun Danur Batur sebagai kahyangan jagat umat Hindu di Bali, dimulialan sebagai stana Bhatara Wisnu. Sedangkan Bhatara Siwa di Besakih dan Brahma di Lempuyang Luhur, Karangasem. SEBAGAI stana Bhatara Wisnu, yang dalam konsep masyarakat Batur terkenal dengan sebutan Bhatari Dewi Danuh, Pura Ulun Danu memiliki historis yang sangat menarik, baik berkembang secara turun-temurun sebagai cerita rakyat yang hidup di Batur serta masyarakat pemuja di sekitarnya, maupun sebagaimana termuat dalam beberapa babad. Paling tidak, sejarah Pura Ulun Danu Batur termuat dalam Babad Pasek yang ditulis oleh Jro Mangku Gede Ketut Soebandi, Babad Pasek yang ditulis oleh I Gusti Bagus Sugriwa, serta Babad Kayu Selem yang disalin oleh Drs. Putu Budiastra, dkk. Bahkan sejarah pura ini juga termuat dalam Raja Purana Pura Ulun Danu Batur I dan II yang disusun oleh Drs. I Putu Budiastra, dkk. Sejarah dan terjadinya Gunung Batur serta Pura Ulun Danu Batur dapat diuraikan sebagai berikut. Zaman Bahari Dalam versi Babad Pasek dan Babad Kayu Selem, semula Pulau Bali dan Selaparang masih menyatu dan terombang-ambing dihanyutkan arus samudera. Waktu itu, Ida Bhatara Hyang Pasupati yang berstana di Puncak Gunung Prabulingga (Gunung Semeru) merasa kasihan melihat kedua pulau tersebut terombang-ambing. Beliau lantas mengutus tiga putranya yakni Bhatara Hyang Geni Jaya, Bhatara Hyang Mahadewa, dan Bhatari Dewi Danu agar menyusup ke Pulau Bali. Nanda bertiga, Geni Jaya, Putra Jaya (Mahadewa) dan Dwi Danuh hendaknya nanda bertiga datang ke Pulau Bali agar pulau tersebut tidak terombang-ambing, demikian sabda Hyang Pasupati. Mohon maaf, nanda ayahanda, nanda masih sangat muda dan belum berpengalaman, jawab ketiga putranya. Nanda jangan khawatir, tandas Hyang Pasupati. Begitulah, akhirnya Hyang Pasupati memasukkan ketiga putranya ke dalam kelapa gading, dan dihanyutkan lewat dasar laut. Secara gaib ketiganya tiba di Gunung Agung, dan Beliau sepakat mencari tempat bersemayam. Bhatara Hyang Geni Jaya memutuskan berstana di Gunung Lempuyang, Bhatara Putra Jaya (Mahadewa) berstana di Gunung Agung dengan Pura Besakih, dan Bhatari Dewi Danu memilih sebuah kubangan besar yakni Danau Batur dengan Gunung Batur sebagai puncaknya. Setelah itu, Hyang Pasupati mengirim empat putra lainnya, seterusnya berstana di Andakasa, Gunung Beratan (Pucak Mangu), Gunung Batukaru, dan Pejeng. Sehingga bila dirunut secara historis, khususnya dari kajian babad, seharusnya di Bali ada sapta kahyangan bukannya sad kahyangan. Pura Bukit Dharma Masuknya Budaya Hindu ke Bali Pada waktu Raja Udayana memerintah di Bali sekitar abad X Masehi, masuknya budaya Hindu ke Bali mulai agak deras sampai pada zaman Majapahit sebagai puncaknya. Pura Bukit Dharma di Kutri, Desa Buruan, Blahbatuh ini sebagai salah satu buktinya. Pura Bukit Dharma hasil budaya Hindu purbakala ini dapat dijadikan salah satu sumber untuk menelusuri proses pengaruh Hindu dari Jawa ke Bali. Seperti apakah sejarah Pura Bukit Dharma di Kutri itu? Gunapriya Dharma Patni yang roh sucinya (Dewa Pitara) distanakan di pura ini berasal dari Jawa Timur. Permaisuri Raja Udayana ini sangat besar pengaruhnya pada sang Raja sehingga namanya selalu disebutkan di depan nama Raja Udayana. Pelinggih utama pura ini juga disebut Gedong Pajenengan, tempat distanakan arca Durga Mahisasura Mardini. Upacara piodalan di pura ini setiap purnama sasih Kasa bersamaan dengan pujawali di Pura Semeru Agung di Lumajang, Jawa Timur. Pura ini letaknya di puncak Bukit Kutri, Desa Buruan. Di areal bawah pura ini terdapat dua buah pura lagi. Pura yang paling bawah di pinggir jalan menuju kota Gianyar adalah Pura Puseh Desa Adat Buruan. Di atasnya Pura Pedharman. Naik dari Pura Padharman inilah letak Pura Bukit Dharma atau Pura Durga Kutri. Yang menarik dari keberadaan pura ini adalah distanakannya permaisuri Raja sebagai Dewi Durga. Sejak Raja berpermaisurikan putri dari Jawa Timur ini pengaruh kebudayaan Hindu dari Jawa sangat kuat masuk ke Bali. Tanpa proses tersebut mungkin kebudayaan Hindu di Bali tidak semarak dan kaya dengan nilai-nilai kehidupan yang adiluhung seperti sekarang ini. Fakta sejarah menyatakan bahwa budaya agama Hindu masuk ke Jawa dari India telah berhasil menjadikan Jawa sebagai Jawa yang ada nilai plusnya. Dari Jawa budaya agama Hindu masuk ke Bali menyebabkan Bali menjadi Bali yang plus. Agama Hindu telah berhasil menjiwai budaya setempat. Dengan demikian agama Hindu dapat menghasilkan kebudayaan Bali yang adiluhung. Hal itu dimulai dari masuknya bahasa Jawa Kuno ke Bali. Dengan demikian bahasa dan kesusastraan Jawa Kuno sangat kuat pengaruhnya membentuk kebudayaan Bali seperti sekarang ini. Ramayana, Mahabharata dan berbagai cerita dan tutur-tutur dalam bahasa Jawa Kuno masuk dengan kuat dan halus ke Bali. Derasnya bahasa Jawa Kuno masuk ke Bali nampaknya disebabkan kesusastraan Jawa Kuno itu muatannya adalah ajaran agama Hindu. Di lain pihak masyarakat Bali saat itu sudah memeluk agama Hindu yang saat itu disebut agama Tirtha atau agama Siwa Budha. Agama Tirtha tersebut sumber ajarannya adalah kitab suci Weda dan kitab-kitab susastranya. Seni budaya Hindu yang berbahasa Jawa Kuno demikian digemari oleh masyarakat Bali. Sampai saat ini orang awam akan menganggap kesusastraan Jawa Kuno itu sudah kesusastraan Bali. Sejak itulah Bali mengenal adanya seni sastra dari Jawa Kuno seperti Sekar Alit, Sekar Madya dan Sekar Agung. Andaikata Raja Udayana saat itu bersikap kaku tidak membolehkan budaya luar masuk Bali, keadaan Bali dapat dibayangkan. Mungkin orang Bali tidak kenal geguritan, kidung maupun kekawin. Geguritan memang berbahasa Bali pada umumnya, tetapi tembang-tembang seperti Semarandhana, Dhurma, Sinom, Ginanti, Megatruh dll. itu semuanya berasal dari kesusastraan Jawa Kuno atau sering disebut bahasa Kawi. Apalagi kekawin sepenuhnya adalah berbahasa Jawa Kuno. Lewat seni sastra Jawa Kuno inilah menjadi media untuk menanamkan ajaran agama Hindu melalui seni budaya. Dengan seni budaya itu umat Hindu di Bali dapat menyerap ajaran agama Hindu secara halus. Derasnya pengaruh Hindu Jawa ke Bali sangat menonjol sejak zaman Raja Udayana memerintah Bali sampai zaman Kerajaan Majapahit berkuasa di Jawa sampai ke Bali. Keberadaan Gunapriya Dharma Patni itu dinyatakan dalam Prasasti Bebetin sbb: Aji Anak Wungsu nira kalih Bhatari lumahing Burwan Bhatara lumahing banyu weka. Yang dimaksud Bhatari Lumahing Burwan tiada lain adalah ibunya Anak Wungsu yaitu Gunapriya Dharma Patni yang wafat dan distanakan roh sucinya di Burwan yaitu di Bukit Kutri, Desa Buruan. Prasasti ini berbahasa Jawa Kuno diperkirakan berada pada abad X Masehi. Seandainya Raja saat itu tidak berpikir luas dan melakukan proteksi pada kebudayaan asli Bali yang berlaku pada saat itu, mungkin di Bali kita tidak mengenal adanya Pesantian yang demikian marak sampai pada saat ini. Keberadaan Arca Durga Mahisasura Mardini ini sangat erat kaitannya dengan ceritacerita Purana dari India. Cerita ini memang sangat populer di kalangan umat Hindu di India dan di Bali. Diceritakan Dewi Parwati atau Dewi Uma berperang melawan raksasa. Raksasa itu sangatlah sakti dan sulit ditaklukkan. Karena itulah disebut Durga. Artinya sulit dicapai, karena raksasa itu sampai bisa bersembunyi di dalam tubuh seekor lembu atau Mahisa. Karena ada raksasa atau Asura di dalam tubuh lembu itu, maka ia disebut Mahisasura. Dewi Parwati adalah Saktinya Dewa Siwa juga sangat sakti. Raksasa yang sulit ditaklukkan (Durga) itu karena kesaktian Dewi Parwati akhirnya dapat juga menaklukkan raksasa tersebut dengan pedangnya. Sejak dapat ditaklukannya Asura yang bersembunyi di tubuh Mahisa atau lembu itulah Dewi Parwati disebut Dewi Durga. Kemenangan Dewi Durga ini dirayakan setiap hari raya Dasara atau Wijaya Dasami sebagai hari raya Durgha Puja. Durgha Puja ini lebih menonjol di India Selatan. Hari suci Wijaya Dasami umumnya dirayakan pada bulan April dan Oktober di India. Hari raya Wijaya Dasami juga merayakan kemenangan Sri Rama melawan Rahwana. Wijaya Dasami ini diperingati selama sepuluh hari. Seperti Galungan di Bali. Tiga hari melakukan Durga Puja, tiga hari berikutnya memuja Dewi Saraswati dan tiga harinya lagi memuja Laksmi. Pada hari kesepuluh barulah dirayakan dengan perayaan yang meriah. Pada hari kesepuluh ini dipuja Dewa Ganesia dan Dewi Laksmi. Ini melambangkan bahwa kemenangan itu adalah terwujudnya rasa aman dan sejahtera. Dewa Ganesia lambang pemujaan Tuhan untuk mencapai rasa aman. Sedangkan pemujaan Dewi Laksmi lambang kesejahteraan. Senjata-senjata yang dipegang oleh tangan Arca Durga Kutri itu adalah lambang senjata spiritual. Bukan lambang senjata untuk membunuh badan jasmaniah secara kejam dalam perang duniawi. Senjata itu adalah lambang senjata spiritual untuk membasmi kegelapan hati nurani membangun kesadaran rohani menuju kehidupan yang cerah. Pura Gunung Payung dan Danghyang Dwijendra PADA zaman dahulu perjalanan suci seorang pandita ke tengah-tengah umat untuk melakukan swadharma-nya sebagai orang suci. Salah satu swadharrna pandita adalah melakukan perjalanan untuk menyebarkan pendidikan kerohanian kepada umat. Dalam Sarasamuscaya 40 dinyatakan: panadahari upadesa. Artinya menyebarkan pendidikan kerohanian. Karena hakikat hidup adalah rohani sebagai pengendali kehidupan jasmani. Seperti dinyatakan dalam Katha Upanishad bahwa badan jasmani jul diumpamakan sebagai badannya kereta, indria diumpamakan bagaikan kuda kereta. Pikiran bagaikan tali kekang kereta, kesadaran Bud hi bagaikan kusir kereta. Sedangkan Atman diumpamakan bagaikan pemilik kereta. Tm artinya yang menentukan ke mana gerak kereta diarahkan adalah atas kehendak pemilik kereta. Selanjutnya kusir kereta dengan tali kekangnya yang mengarahkan Indria dan badan kereta. Pikiran Budhi dan Atman adalah unsur-unsur rohani dan pada manusia. Unsurunsur roham inilah yang wajib dikuatkan eksistensinya dengan berguru pada pandita. Karena itu pandita disebut Adi Guru Loka. Artinya guru yang utama atau guru yang terkemuka. Sebagai Adi Guru Loka pandita itu tidaklah mereka yang hanya diupacarai sebagai pandita dan berbusana pandita melalui proses diksa. Mereka yang dinyatakan sebagai pandita hendaknya mereka yang sudah memiliki ciri-ciri seperti yang dinyatakan dalam Kekawin Nitisastra 1.6 yang seperti kutipan di atas. Umat yang terpanggil untuk menjadi pandita seyogianya melalui proses pendidikan dan latihan keagamaan Hindu yang ketat. Pendidikan dan latihan itu dapat dilakukan dalam bentuk pendidikan dan latihan yang bersifat tradisional maupun dalam bentuk pendidikan modern. Setelah adanya berbagai kemajuan di mana telah dapat diwujudkan sifat dan sikap hidup seperti apa yang dinyatakan dalam Nitisastra 1.6 tersebut barulah upacara diksa dan busana pandita dikenakan. Dengan demikian empat fungsi pandita seperti dinyatakan dalam Sarasamuscaya 40 akan lebih mudah dilakukan. Empat fungsi panthta tersebut adalah Sang Satyawadi artinya beliau yang senantiasa berbicara berdasarkan kebenaran Veda. Sang Apta artinya beliau yang dapat dipercaya oleh umat. Sang Patirthan artinya beliau yang dijadikan tempat mohon penyucian din oleh umat dan sang Panadahan Upadesa. Nampaknya Danghyang Dwijendra Sebagai pandita telah mengamalkan petunjukpetunjuk sastra agama Hindu tersebut sehingga beliau disebutkan Pedanda Sakti Wawu Rauh. Kata Sakti menurut Wrehaspati Tattwa 14 adalah memiliki banyak ilmu dan banyak kerja berdasarkan ilmu tersebut. Tidaklah seperti pemahamanku di mana sakti itu dipahami mereka yang memiliki magic power yang berkonotasi negatif. Ilmu yang dimiliki itu adalah ilmu yang disebut Para Widya dan Apara Widya. Para Widya itu adalah ilmu tentang kerohanian. Sedangkan Apara Widya adalah ilmu tentang keberadaan dan pengelola dunia jul dengan baik dan benar. Dna ilmu itulah yang dibutuhkan oleh kehidupan umat manusia di dunia ini. Demikianlah per)alanan suci Danghyang Dwijendra di Bali mendatangi umat dan memberikan kesejukan pada umat. Saat beliau datang di daerah Kuta Selatan untuk niengakhiri keberadaan beiau di dunia sekala menuju dunia niskala beliau sempat datang ke Desa Kutuh di Kuta Selatan di suatu bukit dekat pantai selatan Bali. Di tempat itu beliau menjadi sang Patirthan artinya beliau memberi prayascita atau penyucian pada umat yang datang memohon penyucian diri pada sang Pandita. Di samping itu beliau juga melakukan pena4ahan Upadesa, artinya memberi pendidikan kerokhanian kepada umat. Karena kesaktian beliau itu tangkai payung yang beliau tancapkan di tanah perbukitan yang kering itu dapat menimbulkan sumur dengan air yang tiada pernah kering sampai saat ini. Di tempat inilah umat mendirikan pura yang kini disebut Pura Gunung Payung. Itu artinya di pura un atas kedatangan Danghyang Dwijendra terdapat vibrasi kesucian yang wajib dipelihara oleh generasi selanjutnya. Danghyang Dwijendra thyakini mencapai dunia niskala dengan moksha di Pura Luhur Uluwatu di Desa Pecatu yang tidak jauh dan Pura Gunung Payung. Pura Luhur Uluwatu adalah satu dan Pura Kahyangan Jagat sebagai pemujaan Tuhan dalam manivestasinya sebagai Dewa Rudra. Pura Luhur Uluwatu didirikan atas anjuran Mpu Kuturan pada abad ke-II Masehi. Pendirian Pura Luhur Uluwatu dinyatakan dalam Lontar Kusuma Dewa dengan landasan konsepsi Sad Winayaka. Pura Luhur Uluwatu mi memiliki banyak pura prasanak atau pura jajar kemiri. Tm artinya di areal perbukitan Kuta Selatan ini sejak zaman dahulu sudah terpatri vibrasi kesucian yang dipelihara dengan adanya banyak Pura Prasanak dari Pura Luhur Uluwatu. Di antaranya adalah Pura Gunung Payung jul. Karena itu sebagai generasi penerus seyogianya dalam menata kawasan di areal Pura Luhur Uluwatu termasuk di areal Pura Gunung Payung seyogianya memperhatikan nilai-nilai spiritual yang sudah terbukti memberikan vibrasi kesucian pada areal tersebut bersinergi dengan areal suci lainnya di seluruh Bali Untuk memelihara vibrasi kesucian dikawasan bukit Kuta Selatan ini semua pihak hendaknya bertimbang cermat dan seimbang dengan konsep Tri Semaya. Konsep Tri Semaya itu adalah Atita, Nagata dan Wartamana. Apapun yang dilakukan saat ini (Wartamana) hendaknya terlebih dahulu menelaah dengan cermat di masa lalu (Atita) dan dengan berpikir panjang apa yang ingin dicapai di masa yang akan datang. Dengan demikian kita tidak meninggalkan begitu saja nilai-nilai luhur di masa lalu yang susah payah dikerjakan oleh para pendahulu kita. Demikian juga hendaknya kita berusaha melihat ke depan agar jangan sampai kita meninggalkan persoalan-persoalan yang membuat generasi mendatang penuh beban derita karena kesalahan kita saat ini. Dengan konsep Atita, Nagata dan Wartamana inilah kita akan bisa hidup Sejahtera dengan berkelanjutan dan generasi ke generasi selanjutnya sepanjang masa. Pura Barong-Barongan Pura Barong-Barongan namanya. Unik memang, tetapi beginilah adanya. Pura BarongBarongan merupakan salah satu jejak perjalanan DangHyang Nirartha yang berada di wilayah Badung Selatan, tepatnya di atas bukit Ungasan. Mengapa Pura ini disebut dengan Pura Barong-Barongan? SUARA angin menderu ditepi pantai menggambarkan betapa tenangnya suasana disekitar Pura Barong-Barongan ini. Perubahan cuaca yang begitu drastis dikawasan bukit ini memang membuat suasana menjadi lain di sekitar pura. Dimana letak Pura ini? Kalau kita berjalan menuju Banjar Sawangan, Desa Adat Peminge, Kelurahan Benoa, Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung. Tepatnya di Selatan areal Hotel Nikko Bali, atau keselatan dari hotel tersebut kita bakal menjumpai jalan kapur menuju pantai. Diareal inilah lokasi pura yang mempunyai sejarah panjang di Bali, dan tidak mungkin dilupakan oleh umat Hindu di daerah ini. Sebenarnya dulu, katanya sebuah sumber kepada MBA yang sempat metirtayatra ke pura ini. Pura Barong-Barongan bernama Pura Dalem Karang Boma. Mengapa diberikan nama Pura Dalem Karang Boma? Konon menurut lontar Dwijendra Tattwa, pura tersebut merupakan salah satu bagian dari napak tilas Danghyang Dwijendra di Bali. Ketika tiba di lokasi perbukitan yang menjorok ke laut, Danghyang Dwijendra kemudian menganugrahkan pasupati kepada anak didiknya. Lantaran lokasi tersebut merupakan tempat memberikan pasupati, banyak sekali keajaiban yang dimiliki tempat itu. Sehingga mulailah terbangun sebuah pura. Pura tersebut awalnya bernama Pura Dalem Karang Mua. Karena pasupatinya itu bisa diistilahkan dengan segala sesuatu yang bermuka seram. Sehingga pura tersebut dikatakan sebagai Pura Karang Mua. Lama kelamaan pura ini akhirnya berubah nama menjadi Karang Boma. Selain itu ada beberapa hal yang mengakibatkan pura ini disebut Pura Barong-Barongan. Yang memberikan nama Pura Barong-Barongan adalah para nelayan. Ceritera yang berkembang di masyarakat adalah ketika para nelayan berangkat menangkap ikan di laut, mereka melihat bahwa daratan yang menjorok ke laut dilihatnya menyerupai barong. Untuk itu nelayan akhirnya menandai tempat itu agar tidak tersesat dilaut. Batas daratan itulah yang dipakai tandanya. Saat itulah sebagian besar nelayan melihat bahwa ada pura yang dipakai tanda ketika turun kelaut. Dan karena pura tersebut bentuknya seperti barong, maka diberilah nama Barong-Barongan. Sederhana sekali. Pura Barong-Barongan terdiri atas dua palebahan yaitu jaba sisi dan jaba tengah. Pura ini disungsung oleh berbagai komponen masyarakat. Selain itu ada beberapa tempat yang memohon pasupati ketapaknya masing-masing di pura Barong-Barongan. Misalnya Tapakan Barong dari Krama Sesetan Banjar Lantang Bejuh, Suci- Badung, Sidakarya, Pedungan, Bualu, Pagan, Kelandis dan sebagainya. Yang mamedek di Pura ini dapat dibedakan menjadi tiga yaitu sebagai Pengemong, Pengempon dan Pemaksan. Sebagai pengemongnya adalah keluarga Jro Mangku Regig. Sementara iru sebagai pengemponnya adalah Pasek Gaduh, Pasek Kebayan serta Pasek Gelgel dan Pasek Denpasar. Sedangkan yang terakhir Pemaksan. Pemaksan ini adalah sejenis sekaa yang mempunyai tugas yang sama juga dengan yang lainnya, yakni menyelenggarakan upacara yadnya. Jumlah pemaksan di Pura Barong-Barongan tersebut adalah empat puluh empat orang. Piodalan Pura BarongBarongan ini adalah pada Tumpek Landep. Bersamaan dengan piodalan pusaka. *ambara DIJAGA MONYET DAN KERIS EMAS LUK TELU SEORANG krama Kecos yang berprofesi sebagai nelayan, saat ditemui MBA mengungkapkan Pura Barong-Barongan ini sangat angker. Dahulu, ketika Kecos masih senang ke laut, tiap malam hari banyak sekali krama nelayan kawehan. Ia melihat seolah-olah ada barong yang begitu saja muncul di Pura, melesat keatas dan menarinari. Karena kejadian itu sering terjadi, akhirnya masyarakat nelayan setempat menyebut pura ini dengan nama Pura Barong-Barongan. Kemudian bagi peminat spiritual, keanehan apapun yang terjadi di pura ini berasal dari kekuatan magis. Melihat situasi sekelilingnya, maka ada beberapa getaran yang mengakibatkan getaran wilayah tersebut menjadi sangat kuat. Selain berada ditepi tebing, Pura ini memang mempunyai daya tarik tersendiri. Sayangnya jalan menuju lokasi Pura ini kondisinya sangat memprihatinkan, padahal disebelahnya terdapat hotel berbintang yakni Hotel Nikko. Ketika tiba di lokasi Pura ternyata MBA merasakan getaran gaib yang luar biasa. Pada saat ditanyakan kepada Jro Mangku, ternyata getaran gaib itu berasal dari hasil pasupati yang sering dilihat oleh peminat spiritual seperti Keris Emas yang mempunyai luk tiga. “Memang wilayah ini dulunya sangat angker. Akan tetapi saat ini keangkerannya itu hanya bisa dirasakan oleh orang tertentu saja. Hal itu diakibatkan kepercayaan masingmasing,” katanya. Suatu ketika ada beberapa orang penganut spiritual melakukan semadi di Pura ini. Pada saat semadi tubuhnya bergetar ia bisa melihat bahwa ada pusaka emas di depan matanya. Dengan penuh rasa bakti orang yang melakukan semadi tersebut langsung memohon keselamatan serta tidak akan melakukan hal yang negatif. Selain itu ada juga hewan yang sering menunggui areal Pura seperti kera. Kera tersebut memang sangat banyak disekliling pura. Akan tetapi tidak berani untuk mengganggu segala sesuatu yang ada disekitar pura. *ambara TEMPAT PASUPATI PUSAKA DAN NUNAS PAICA MUNGKIN hanya sebagian kecil krama yang mengetahui fungsi Pura tersebut. Menurut Jro Mangku Regig fungsi Pura Barong-Barongan itu sudah jelas adalah untuk nunas pasupati. “Ida Bhatara di Pura Barong-Barongan ini sangat sueca. Apapun yang diminta masyarakat sebagian besar diberikan. Ida Bhatara yang melinggih di Pura BarongBarongan ini adalah sebagai pengelingsir Ida Bhatara Ratu Ayu Manik Maketel. Sedangkan yang bertugas menjadi bendesa serta menguasai wilayah sekitarnya adalah Ida Bhatara di tempat ini adalah seorang wanita berpakaian putih. Karena telah putus (suci) maka segala sesuatu yang dibawanya itu selalu berkenaan dengan unsur kesucian. Dengan rambutnya yang panjang, Ida Bhatara selalu memberikan peanugrahan kepada krama yang memerlukan. Seperti yang dikatakan di atas, Pura ini juga mempunyai fungsi untuk nunas paica sebagai balian. Sudah banyak krama yang ada di luar maupun sekitar tempat Pura berada nunas. Semua pinunas memang terkabul. Baik memohon agar bisa ngiwa, nengen (kanan) ataupun yang lainnya. jadi intinya adalah apabila ingin memohon keselamatan yang berkenaan dengan pasupati, baik nunas agar bisa ngiwa, agar bisa mengobati maupun yang lainnya, bisa memohon di pura ini. Sampai saat ini sudah banyak sekali balian yang sukses serta permohonannya dikabulkan. Pada saat piodalan berlangsung banyak sekali tapakan barong yang datang untuk menghadiri piodalan tersebut. *ambara Jro Mangku Regig NGIRING PEKAYUNAN SEIRING dengan tugasnya sebagai pemangku di Pura Dalam Karang Boma (Pura Barong-Barongan), Jro Mangku mempunyai kiat tersendiri. Bagi pemangku yang mempunyai penampilan kalem dan tenang ini merasa bersyukur karena sampai saat ini ia sekeluarga selalu diberikan kebahagiaan. “Tiang bersyukur karena apa yang menjadi harapan keluarga tetap terpenuhi.” katanya. Disisi lain meskipun banyak sekali hambatan yang ditemuinya, ia mengatakan dirinya berusaha semaksimal mungkin untuk ngiring pekayunan. Jro Mangku yang telah mengabdi selama 5 tahun ini telah merasakan berbagai hal yang berkenaan dengan tugasnya sebagai pemangku. “sampai saat ini saya belum menemui hambatan berarti. Karena apapun yang tiang lakukan adalah pengabdian sebagai manusia,” akunya. Ketika ditanya ia mengaku teringat kembali pada masa upacara padudusan tahun 1994, dimana saat itu untuk pertama kalinya dia diangkat sebagai pemangku. “Keluarga tiang memang keturunan mangku di pura ini. Akan tetapi kesan yang mendalam memang tiang dapatkan ketika diangkat menjadi pemangku,” katanya. Ia merasakan bahwa ketika diangkat menjadi pemangku ada beberapa penyesuaian yang harus dilakukannya. Penyesuaian tersebut baginya memang gampang-gampang susah. Pemangku yang berasal dari Banjar Sawangan ini sangat tabah dan tekun melakukan aktivitas tapa brata dan semadi. Akhirnya dengan usaha yang dilakukannya dengan tekun, iapun berhasil menghadapi berbagai ujian dan cobaan. Sampai saat ini Jro Mangku merasa aktivitas kesehariannya tidak terganggu oleh tugasnya sebagai pemangku. Selain mendapat cobaan yang berat dalam menyesuaikan diri, ia juga merasa bangga karena senantiasa bisa mendekatkan diri dengan Ida Bhatara. “Yang paling pokok adalah bagaimana tiang bisa membantu umat dalam menyampaikan keinginannya di pura itu,” katanya. Disisi lain, Jro Mangku juga merasa berkewajiban untuk membantu masyarakat yang menemui kesulitan yang berarti bagi kehidupannya. *ambara Pura Tambangan Badung Bali TV - Pura tambangan badung terletak di pusat kota denpasar, tepatnya di banjar pemedilan kerandan, desa pemecutan denpasar. Lokasi pura ini sangat strategis dan sangat mudah dijangkau, tepatnya di sebelah barat pasar pasah pemedilan, yang terletak di jalan gunung batur denpasar.Mungkin banyak masyarakat yang mengetahui keberadaan pura ini, namun tak banyak yang mengatahui apa dan bagaimana sejarah dari pura yang satu ini. Pada episode kali, ini ista dewata akan mengajak anda untuk bertirtayatra ke pura tambangan badung, yang merupakan salah saru pura yang memupunyai rentang sejarah yang panjang dan menarik.Pura tambangan badung merupakan salah satu jajaran pura tua yang ada di bali. Pura ini sudah berdiri sebelum anglurah pemecutan pertama berkuasa.Kemudian dalam peralanannya, pura tambangan badung diperluas dan dipugar oleh bhatara sakti raja badung, kemudian diempon oleh puri agung pemecutan. setelah diperluas oleh raja badung, Pura tambangan badung beberapa kali mengali proses perehaban diantaranya adalah pada tahun 1928 dan tahun 1990. Di dalam tutur babad karana, diceritakan pura tambangan badung dulunya bernama pura taman, kemudian berubah menjadi pura ayu penestaran panembahan badung, sebelum menjadi pura tambangan badung. tutur babad karana juga menceritakan tentang keadaan pura di lingkungan soring jagat badung, yang erat kaitannya dengan puri dan pura panembahan badung dan bebanjaran di lingkungan pemecutan .Dengan luas keseluruhan areal pura berkisar dua hektar, Pura tambangan badung dibagi menjadi tiga mandala dengan komposisi pelinggih lebih banyak terletak di utama mandala. Di mandala pertama yang terletak tepat di depan pasar, terdapat dua buah meriam yang menghiasi candi bentar yang dusebut dengan gora dan gori. Di mandala kedua, terdapat sebuah bangunan terbuka yang berfungsi sebagai wantilan pura. Lepas dari madya mandala, kita akan memasuki utama mandala dengan melewati sebuah candi kurung unik, dihiasi dengan dua buah arca di kanan kirinya yang disebut dengan arca jaksa dan jaksi.Utama mandala, merupakan areal yang paling luas dan dipenuhi dengan pelinggih pelinggih, termasuk pelinggih pokok pura. Bila dilihat , utama mandala pura tambangan badung sekilas tampak mirip dengan suasana di sebuah kerajaan. Salah satu keunikan dari pura ini, adalah adanya dua pemedalan yaitu pemedalan siwa dalem tambangan badung di sisi timur, dan pemedalan ida bhatari durga di sisi barat.Jajaran pelinggih yang menghiasi utama mandala tersusun apik sesuai fungsi dan kedudukannya masing masing. Ada beberapa pelinggih yang sangat unik, diantaranya adalah pelinggih hyang ibu candi yang struktur bangunannya berbentuk candi, yang didalamnya terdapat dua buah lingga. Konon di bawah candi inilah dipendam prasasti prasasti penting yang mengisahkan tentang pura dan kerajaan bali.Pelinggih pokok pura, adalah pelinggih luhur kaler atau yang juga disebut dengan anglayang, linggih ida bhatara siwa ring gunung agung, batur, gunung jati. Bentuk pelinggih ini layaknya padmasana yang dilengkapi dengan bedawang nala dan naga sebagai hiasannya. Di sebelah pelinggih pokok, berdiri pelinggih gedong dalem tambangan badung yang merupakan stana dari siwa dalem dan ratu ngurah ratu agung kiwa tengen.Selain pelinggih pokok, utama mandala juga dilengkapi dengan pesanggrahan agung yang terdiri dari beberapa pengayatan ke pura sad kahyangan seperti pengayatan ke pura sakenan, pura uluwatu,pura batukaru, pura besakih, dan pura batur. Pelinggih lain yang berada di areal utama adalah jajaran pelinggih hyang ibu, diantaranya adalah hyang ibu agung, ibu meranggi, ibu ngurah, ibu jembrana, ibu bongani, ibu rurung, ibu tameng, ibu pupuan, ibu bandem, ibu taruna, ibu tojan, ibu mekel bukit, ibu klating, ibu tinggi, ibu janggal, ibu prani gata , ibu pasek agung dan ibu sari. Selain beberapa pelinggih, pura tambangan badung juga dilengkapi dengan beberapa buah bale pelengkap, seperti bale semanggen, bale prasanak, bale penganten genah bhatara manik galih, bale gajah, bale pemiodan peranda sinuhun, bale ban, bale pererepan ratu ayu, pewaregan dan lumbung. Di sisi utara pura, terdapat sebuah palebahan pura yang merupakan linggih ratu ayu saren taman. pelinggih ini merupakan stana ratu ayu mas meketel, ratu mas mereronce, bhatari gayatri dan bhatari gangga.Ada beberapa tradisi unik yang dilaksanakan di pura tambangan badung, diantaranya adalah tradisi tari baris tangklong yang di pentaskan pada waktu penampahan galungan, dan tradisi unik siyat sampian yang dilaksanakan pada waktu manis kuningan . Tujuan dari tradisi unik ini adalah untuk pembersihan mala dan menanamkan jiwa ksatria. Piodalan di pura tambangan badung didasarkan atas perhitungan pancawara, saptawara dan pawukon, sehingga piodalan akan berulang setiap 210 hari sekali, tepatnya pada wraspati wuku sungsang yang bertepatan dengan sugian jawa. Sedangkan piodalan yang dilaksanakan satu tahun sekali adalah purnamaning kapat yang disebut ngapat dan purnaming kedase bulan april.Berdasarkan lintas sejarah dan kenyataan yang berkembang, pura tambangan badung merupakan pura yang berstatus sebagai pura kahyangan tiga yaitu pura siwa dan pura kerajaan.