1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Diabetes Mellitus 2.1.1 Definisi Menurut Price dan Wilson (2006), Diabetes mellitus (DM) adalah gangguan metabolisme yang secara genetis dan klinis termasuk heterogen dengan manifestasi berupa hilangnya toleransi karbohidrat. Jika telah berkembang penuh secara klinis, maka Diabetes mellitus ditandai dengan hiperglikemia puasa dan postprandial, aterosklerotik dan penyakit vascular mikroangiopati, dan neuropati. ( Price & Wilson, 2006). Pendapat lain tentang Diabetes melitus yaitu Diabetes Mellitus (DM) adalah keadaan hiperalikemia kronik disertai berbagai kelainan metabolik akibat gangguan hormonal yang menyebabkan berbagai komplikasi kronik pada mata ginjal, saraf, dan pembuluh darah disertai lesi pada membran basalis dalam pemeriksaan dengan mikroskop electron (Mansjoer, 2001). 2.1.2 Etiologi Menurut Price & Wilson (2006) penyakit diabetes melitus dapat disebabkan oleh beberapa hal, antara lain: a. Pola makan Makan secara berlebihan dan melebihi jumlah kadar kalori yang dibutuhkan oleh tubuh dapat memicu timbulnya Diabetes Melitus. Hal ini pankreas mempunyai kapasitas β disebabkan jumlah/kadar insulin oleh sel maksimum untuk disekresikan. Oleh karena itu, mengonsumsi 2 makanan secara berlebihan dan tidak diimbangi oleh sekresi insulin dalam jumlah memadai dapat menyebabkan kadar gula dalam darah meningkat dan menyebabkan Diabetes melitus. b. Faktor genetik Seorang anak dapat diwarisi gen penyebab Diabetes mellitus orang tua. Biasanya, seseorang yang menderita Diabetes mellitus mempunyai anggota keluarga yang juga terkena penyakit tersebut. Jika kedua orang tua menderita Diabetes, insiders Diabetes pada anakanaknya meningkat, tergantung pada umur berapa orang tua menderita Diabetes. Resiko terbesar bagi kedua orang tua mengalami penyakit ini sebelum berumur empat puluh tahun. Riwayat keluarga pada kakek dan nenek kurang berpengaruh secara signifikan terhadap cucu. 2.1.3 Klasifikasi Menurut Robbins (2007), Diabetes mellitus secara tradisional diklasifikasikan menjadi dua kategori utama yaitu: a. Diabetes Mellitus primer, yang merupakan bentuk tersering berasal dari defek pada produksi dan/atau kerja insulin. b. Diabetes Mellitus sekunder, timbul akibat semua penyakit yang menyebabkan kerusakan luas islet pankreas, seperti pankreatitis, tumor, obat tertentu, kelebihan zat besi (hemokromatosis), pengangkatan substansi pankreas secara bedah, atau endokrinopati genetik atau didapat berupa antagonisasi kerja insulin. 3 Menurut Smeltzer & Brenda (2001), ada beberapa tipe diabetes mellitus yang berbeda. Klasifikasi penyakit Diabetes ini dibedakan berdasarkan penyebab, perjalanan klinik dan terapinya. Antara lain: a. Tipe I: Diabetes mellitus tergantung insulin, Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM). Diabetes mellitus tipe I adalah penyakit hiperglikemia akibat ketiadaan absolute insulin. Pengidap penyakit ini hares mendapat insulin pengganti. Diabetes tipe I biasanya dijumpai pada orang yang tidak gemuk berusia kurang dari 30 tahun, dengan perbandingan laki - laki sedikit lebih banyak dari pada wanita. Karena insiders Diabetes tipe I memuncak pada usia remaja dim, maka dahulu bentuk ini disebut sebagai Diabetes juvenilia. Namur, Diabetes tipe I dapat timbul pada segala usia. b. Tipe II: Diabetes Mellitus tidak tergantung insulin, Non-Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDN). DiabetesMellitus tipe II adalah penyakit hiperglikemia akibat insensitivitas sel terhadap insulin. Kadar insulin mungkin sedikit menurun atau berada dalam rentang normal. Karena insulin tetap dihasilkan oleh sel — sel beta pankreas. Diabetes Mellitus tipe II biasanya pada orang yang berusia lebih dari 30 tahun, dan dahulu disebut sebagai Diabetes awitan dewasa. Pasien wanita lebih banyak daripada pria. c. Diabetes Mellitus Gestasional (gestasional Diabetes Mellitus [GDM]) terjadi pada wanita hamil yang sebelumnya tidak mengidap Diabetes. Sekitar 50% wanita mengidap kelainan ini akan kembali ke status non 4 diabetes setelah kehamilan beralchir. Namun, resiko mengalami diabetas tipe II pada waktu mendatang lebih besar dari pada normal. 2.1.4 Patofisiologi Diabetes Melitus Pankreas adalah kelenjar penghasil insulin yang terletak dibelakang lambung. Pankreas merupakan kumpulan sel yang berbentuk -seperti pulau pada, peta karena itu disebut pulau-pulau langerhans. Pulau-pulau langerhans merupakan kumpulan sel-sel yang mengeluarkan insulin yang sangat berperan dalam mengatur kadar glukosa darah. Insulin yang duhasilkan oleh sel β pancreas dapat diibaratkan sebagai anak kunci yang dapat membuka pintu masuk glukosa ke dalam sel, kemudian di dalam sel glukosa tersebut dimetabolisasikan menjadi tenaga. Jika insulin tidak ada atau jumlahnya sedikit, maka glukosa tidak dapat masuk ke dalam sel sehingga kadarnya di dalam darah tinggi atau meningkat ( Price& Wilson, 2006) 2.1.5 Gambaran Klinis Menurut Menurut Smeltzer & Brenda (2001), tanda dan gejala atau manisfestasi klinik yang muncul pada penderita DiabetesMellitus diantaranya adalah: a. Poliuria (penigkatan pengeluaran urin) dikarenakan air tidak- dapat diserap oleh tubulus ginjal menyebabkan kegiatan osmotik dari glukosa. Jika kadar gula darah sampai diatas 160-180 mg/dL, maka glukosa akan sampai ke air kemih. Jika kadarnya lebih tingi lagi, ginjal akan membuang air tambahan untuk mengencerkan sejumlah 5 besar glukosa yang hilang. Karena ginjal menghasilkan air kemih dalam Jumlah yang berlebihan, maka penderita sering berkemih dalam jumlah yang banyak. Ini menyebabkan kehilangan air, glukosa, dan elektrolit pada tubuh, gejala ini lebih sering terlihat pada DM tipe I dibandingkan tipe II. b. Polidipsia (peningkatan rasa haus) akibat volume urin yang sangat besar dan keluarnya air yang menyebabkan dehidrasi eksternal akibatnya timbul rasa haus dan ingin minum terus. c. Rasa lelah dan kelemahan otot akibat katabolisme protein di otot dan ketidakmampuan sebagian besar sel untuk menggunakan glukosa sebagai energi. Gangguan aliran darah yang dijumpai pada pasien Diabetes lama juga berperan menimbulkan kelelahan. d. Polifagia (peningkatan rasa lapar) akibat keadaan pasca absorptif yang kromk, katabolisme protein dan lemak, dan kelaparan relatif sel — sel. Glukosa yang tidak masuk ke dalam sel menyebabkan timbulnya rangsangan ke otak untuk mengirim pesan rasa lapar. Sering terjadi penurunan berat badan. e. Peningkatan angka infeksi akibat peningkatan konsentrasi glukosa di sekresi mukus, gangguan fungsi imun, dan penurunan aliran darah pada penderita Diabetes kronik. f. Kesemutan, kebas, kelemahan pada otot. g. Rabas vagina, kesulitan orgasme pada wanita dan masalah impoten pada pria. 6 h. Berat badan turun (penurunan volume plasma menyebabkan hipotensi postural), kehilangan potasium dan pemecahan protein menyebabkan kelemahan. Gejala awalnya adalah berat badan menurun drastis, sering lelah, lesu dan tidak bergairah. Hal itu disebabkan LIuk-osa merupakan sumber energi, dan tenaga tubuh. tidak dapat masuk ke dalam sel. Sumber energi akan diambil dan hati berkurang akibatnya badan semakin kurus dan berat badan menurun. i. Penglihatan kabur mungkin akibat perubahan dalam lensa atau akibat retinopati. j. Luka yang tidak sembuh – sembuh.Jika terjadi luka pada penderita Diabetes akan sangat sulit sembuh karena sistem kekebalan yang cenderung menurun. k. Ketonuria (terdapatnya zat keton dalam jumlah yang berlebihan dalam urin) hat ini dikarenakan glukosa tidak dapat digunakan sebagai energi pada sel yang tergantung oleh insulin, sehingga lemak digunakan sebagai sumber energi dengan proses lemak dipecah menjadi badan keton dalam darah dan dikeluarkan oleh ginjal. l. Pruritus, infeksi pada kulit terjadi karma infeksi yang diakibatkan oleh bakteri dan jamur sering terlihat secara umum. Gejala Klinis saja tidak cukup untuk menetapkan klien mempunyai penyakit diabetes mellitus, perlu pemastian dengan pemeriksaan kadar gula darah vena. Perkeni (2011) menetapkan kriteria diagnostik yang menyatakan diabetes mellitus adalah: 7 a. Kadar gula darah sewaktu (plasma vena.) 200 mg/dl b. Kadar glukosa darah puasa (plasma vena) 126 mg/dl c. Kadar plasma 200 mg/dl pada 2 jam sesudah beban glukosa 75 gram,-. 2.1.6 Komplikasi Diabetes Mellitus Diabetes melitus merupakan penyakit yang memiliki komplikasi (menyebabkan terjadinya penyakit lain) yang paling banyak. Hal ini berkaitan dengan kadar gula darah yang tinggi terus menerus, sehingga berakibat rusaknya pembuluh darah, saraf dan struktur internal lainnya. Zat kompleks yang terdiri dari gula di dalam Binding pembuluh darah menyebabkan pembuluh darah menebal dan mengalami kebocoran. Akibat penebalan ini maka aliran darah akan berkurang, terutama yang menuju ke kulit dan saraf. Kadar gula darah yang tidak terkontrol juga cenderung menyebabkan kadar zat berlemak dalam darah meningkat, sehingga mempercepat terjadinya aterosklerosis (penimbunan plak lemak di dalam pembuluh darah). Aterosklerosis. ini 2-6 kali lebih sering terjadi pada penderita Diabetes. Sirkulasi darah yang buruk ini melalui pembuluh darah besar (makro) bisa melukai otak, jantung, dan pembuluh darah kaki (makroangiopati),. sedangkan pembuluh darah kecil (mikro) bisa melukai mata, ginjal, saraf dan kulit serta memperlambat penyembuhan luka. Penderita Diabetes bisa mengalami berbagai koinplikasi jangka panjang jika Diabetesnya tidak dikelola dengan. baik. Komplikasi yang lebih sering terjadi dan mematikan adalah serangan jantung dan stroke. 8 Kerusakan pada pembuluh darah mata bisa menyebabkan gangguan penglihatan akibat kerusakan pada retina mata (retinopati diabetikum). Kelainan fungsi bisa menyebabkan gagal ginjal sehingga penderita harus menjalani cuci darah (dialisa). Gangguan pada saraf dapat bermanifestasi dalam beberapa bentuk. Jika satu saraf mengalami kelainan fungsi (mononeuropati), maka sebuah lengan atau tungkai biasa secara tiba-tiba menjadi lemah. Jika saraf yang menuju ke tangan, tungkai dan kaki mengalami kerusakan (polineuropati diabetikum), maka pada lengan dan tungkai bisa dirasakan kesemutan atau nyeri seperti terbakar dan kelemahan. Kerusakan pada saraf menyebabkan kulit lebih sering mengalami cedera karena penderita tidak dapat meredakan perubahan tekanan maupun suhu. Berkurangnya aliran darah ke kulit juga bisa menyebabkan ulkus (borok) dan semua penyembuhan luka berjalan lambat. Ulkus di kaki bisa sangat dalam dan mengalami infeksi serta masa penyembuhannya lama sehingga sebagian tungkai harus diamputasi (www.medicastore.com/Diabetes diakses pada tanggal 5 Oktober 2013). 2.1.7 Pencegahan Menurut Perkeni (2011) dan Hembing (2008), terdapat tiga, upaya pencegahan Diabetes Melitus yaitu a. Pencegahan primer Pencegahan primer adalah upaya yang ditujukan pada orang-orang yan termasuk kelompok resiko tinggi, yakni mereka yang belum. 9 menderita tetapi berpotensi untuk menderita Diabetes Melitus. Tentu saja untuk pencegahan primer ini harus dikenal faktor-faktor yang berpengaruh terhadap timbulnya Diabetes Melitus dan upaya yang perlu dilakukan untuk menghilangkan faktor-faktor tersebut. Berikut hal-hal yang harus dilakukan dalam pencegahan primer: 1) Pola makan sehari-sehari harus seimbang dan tidak berlebihan 2) Olahraga secara teratur dan banyak beraktivitas 3) Usahakan berat badan dalam betas nomial 4) Hindari obat-obatan yang dapat menimbulkan Diabetes melllitus (diabetogenik). b. Pencegahan sekunder Maksudnya pencegahan sekunder adalah upaya mencegah atau menghambat timbulnya komplikasi dengan tindakan deteksi dini dan memberikan pengobatan sejak awal timbulnya penyakit. Sejak awal harus diwaspadai dan sedapat mungkin dicegah kemungkinan terjadinya komplikasi menahun. Berikut hal-hal yang harus dilakukaii dalam pencegahan sekunder. 1) Diet sehari-hari harus seimbang dan sehat 2) Menjaga berat badan dalam batas normal 3) Usaha pengendalian gula darah agar tidak terjadi komplikasi 4) Olahraga tester sesuai kemampuan fisik dan umur c. Pencegahan tersier 10 Apabila komplikasi menahun terjadi juga, maka pengelola harus berusaha mencegah terjadinya kecacatan lebih lanjut dan merehabilitasi pasien sedini mungkin, sebelum kecacatan tersebut lebih parah. Berikut pencegahan yang di maksud : 1) Mencegah terjadinya kebutaan jika menyerang pembuluh darah mata 2) Mencegah gagal ginjal kronik jika menyerang pembuluh darah ginjal 3) Mencegah stroke jika menyerang pembuluh, darah otak 4) Mencegah terjadinya gangren jika terjadi luka. Oleh karena itu, diperlukan pemeriksaan secara rutin dan berkala terhadap bagian organ tubuh yang rentan terhadap komplikasi dan kecacatan (http://gizisolusisehat.wordpress.com/ diakses tanggal 13 April 2013). 2.1.8 Penatalaksanaan Diet DM Tujuan penatalaksanaan diet secara umum pada penderita DM Diabetes mellitus adalah mencapai dan mempertahankan kadar glukosa darah mendekati kadar normal, mencapai dan mempertahankan lemak mendekati kadar yang optimal, mencegah komplikasi akut/kronik dan meningkatkan kualitas hidup (Waspadji,2000). Menurut Joslin (1952) dalam Waspadji (2000), dalam penatalaksanaan diet DiabetesMellitus ada 3 (tiga) J yang harus diketahui dan dilaksanakan oleh 11 penderita DM, yaitu jumlah makanan, jenis makanan dan jadwal makanan. Berikut ini uraian mengenai ketiga hal tersebut: 1. Jumlah Makanan Jumlah makanan yang diberikan disesuaikan dengan status gizi penderita DM,bukan berdasarkan tinggi rendahnya gula darah. Jumlah kalori yang disarankan berkisar antara 1100-2900 KKal. Sebelum menghitung berapa kalori yang dibutuhkan seorang pasien Diabetes, terlebih dahulu harus diketahui berapa berat badan ideal (idaman) seseorang.Yang paling mudah adalah dengan rumus Brocca : Berat Badan Idaman : 90% X (tinggi badan dalam cm = 100) X 1 kg. Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan seorang pasien Diabetes : a. Menghitung kebutuhan basal dahulu dengan cara mengalikan berat badan idaman dengan sejumlah kalori : - Berat badan idaman dalam kg x 30 Kkal untuk laki-laki - Berat badan idaman dalam kg x 25 Kkal untuk perempuan Kemudian ditambah dengan jumlah kalori yang diperlukan untuk kegiatan sehari-hari (lihat Tabel 1). Tampak pada tabel itu ada tiga jenis kegiatan, dari yang ringan sampai yang berat. - Kerja ringan : tambah 10 % dari kalori basal - Kerja sedang : tambah 20 % dari kalori basal - Kerja berat : tambah 40-100% dari kalori basal - Tambahkan kalori sekitar 20-30% pada keadaan sbb: 12 1) Pasien kurus 2) Pasien masih tumbuh kembang 3) Ada stres misalnya infeksi, hamil atau menyusui - Kurangi kalori bila gemuk sekitar 20-30% tergantung tingkat kegemukannya. b. Untuk gampangnya, secara kasar dapat dibuat suatu pegangan sbb: - Pasien kurus : 2300-2500 Kkal - Pasien berat normal : 1700-2100 Kkal - Pasien gemuk : 1300-1500 Kkal Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PARKENI) telah menetapkan standar jumlah gizi pada diet Diabetes mellitus, dimana telah ditetapkan proporsi yang ideal untuk zat makanan seperti karbohidrat, protein, lemak, kolesterol, serat, garam dan pemanis dalam satu porsi makanan utama. Menurut Moehyi (1996) ketentuan mengenai pengaturan jumlah zat makanan yang harus dikonsumsi oleh penderita Diabetes mellitus adalah sebagai berikut: a. Karbohidrat Sampai saat ini sebagian orang berpendapat bahwa pasien Diabetes mellitus harus mengkonsumsi makanan rendah karbohidrat. Namun belakangan banyak dilakukan penelitian dan ditemukan bahwa justru diet tinggi karbohidrat dan rendah lemak 13 lebih unggul daripada diet rendah karbohidrat. Didapatkan pula bahwa diet tinggi karbohidrat menimbulkan perbaikan glukosa terutama pada pasien Diabetes mellitus yang tidak terlalu berat, apalagi pada pasien yang gemuk. Tetapi harus diingat, walaupun pasien dianjurkan diet tinggi karbohidrat, pasien tersebut harus menghindari karbohidrat yang mudah diserap tubuh seperti sirup, gula, sari buah dan makanan lain yang manis atau mengandung gula. Selain itu penderita DM harus mengetahui bahwa jumlah karbohidrat dalam makanan untuk setiap kali makan harus diatur sedemikian rupa sehingga dapat memenuhi kebutuhan tubuh akan hidrat arang sepanjang hari. b. Protein Protein merupakan bahan dasar untuk zat pembangun, pertumbuhan, hormone dan antibodi. Pada penderita Diabetes mellitus, kebutuhan protein akan meningkat akibat digunakannya protein sebagai energi. Sedangkan karbohidrat sendiri tidak dapat diserap oleh tubuh sehingga penderita merasa lemas. Berdasarkan hal tersebut, maka seorang penderita DM Diabetes mellitus memerlukan protein sebanyak 10-15% untuk memenuhi kebutuhan tubuhnya. c. Lemak Pada penderita Diabetes mellitus penggunaan lemak dibatasi, terutama lemak jenuh yang secara tidak langsung dengan 14 mekanisme tertentu dapat mempengaruhi kenaikan kadar gula darah. Makanan yang mengandung lemak jenuh antara lain minyak kelapa, margarin, santan, keju dan lemak hewan. Sedangkan lemak tidak jenuh efeknya jauh lebih kecil terhadap kadar gula darah daripada lemak jenuh. d. Kolesterol Kadar kolesterol yang tinggi dalam tubuh dapat menimbulkan hiperkolesterolemia yang berkaitan dengan terjadinya aterosklerosis. Pada penderita Diabetes mellitus, kadar kolesterol yang tinggi dapat memperberat penyakitnya. Oleh karena itu konsumsi makanan yang berkolesterol harus dibatasi, dengan perkiraan jumlah yang dibutuhkan <300 mg per hari. e. Serat Serat yang dikonsumsi sebanyak 25 gram per hari akan mempercepat pergerakan makanan di saluran pencernaan dan pembentuk massa sehingga absorbs glukosa dan lemak di usus akan berkurang. f. Garam Penggunaan garam yang tinggi dalam makanan dapat meningkatkan kerja jantung. Oleh karena itu pada penderita Diabetes mellitus dengan hipertensi,pemakaian garam dibatasi. 15 g. Pemanis Selama ini pemanis yang ada di pasaran adalah sukrosa, fruktosa, sorbitol, manitol, xylol, sakkarin, siklamat dan aspartam. Pemanis yang mengandung kalori adalah sukrosa dan fruktosa. Berikut ini tabel perbandingan jumlah total zat makanan yang terdapat dalam satu porsi makanan utama penderita DM. 2. Jenis Makanan Penderita Diabetes mellitus harus mengetahui dan memahami jenis makanan apa yang boleh dimakan secara bebas, makanan yang mana harus dibatasi dan makanan apa yang harus dibatasi secara ketat. Makanan yang mengandung karbohidrat mudah diserap seperti sirup, gula, sari buah harus dihindari. Sayuran dengan kandungan karbohidrat tinggi seperti buncis, kacang panjang, wortel, kacang kapri, daun singkong, bit dan bayam harus dibatasi. Buah-buahan berkalori tinggi seperti pisang, pepaya, mangga, sawo, rambutan, apel, duku, durian, jeruk dan nanas juga dibatasi. Sayuran yang boleh dikonsumsi adalah sayuran dengan kandungan kalori rendah seperti oyong, ketimun, kol, labu air, labu siam, lobak, sawi, rebung, selada, toge, terong dan tomat (Waspadji, 2000). Cukup banyak pasien DM mengeluh karena makanan yang tercantum dalam daftar menu diet kurang bervariasi sehingga sering terasa membosankan. Untuk itu agar ada variasi dan tidak menimbulkan kebosanan, dapat diganti dengan makanan penukar lain. Perlu diingat 16 dalam penggunaan makanan penukar, kandungan zat gizinya harus sama dengan makanan yang digantikannya (Suyono, 2002). 3. Jadwal Makan Penderita Diabetes mellitus harus membiasakan diri untuk makan tepat padawaktu yang telah ditentukan. Penderita Diabetes mellitus makan sesuai jadwal, yaitu 3 kali makan utama, 3 kali makan selingan dengan interval waktu 3 jam. Ini dimaksudkan agar terjadi perubahan pada kandungan glukosa darah penderita DM, sehingga diharapkan dengan perbandingan jumlah makanan dan jadwal yang tepat maka kadar glukosa darah akan tetap stabil dan penderita DM tidak merasa lemas akibat kekurangan zat gizi. Jadwal makan standar yang digunakan oleh penderita DM Diabetes mellitus (Waspadji, 2000) disajikan dalam Tabel 1. Tabel 1. Jadwal Makan Penderita DM Waktu Jadwal Total Kalori Pukul 07.00 Makan pagi 20% Pukul 10.00 Selingan 10% Pukul 13.00 Makan siang 30% Pukul 16.00 Selingan 10% Pukul 19.00 Makan malam 20% Pukul 21.00 Selingan 10% Sumber: Waspadji, 2000 Peneliti gizi asal Universitas Airlangga, Surabaya, Prof Dr. Dr. H. Askandar Tjokroprawiro, menggolongkan diet atas dua bagian yaitu: 17 a. Diet A Diet A yang terdiri atas 40 - 50% karbohidrat, 30 35% lemak dan 20 - 25% protein. b. Diet B Diet B dengan komposisi 68% karbohidrat, 20% lemak, dan 12% protein, lebih cocok boat orang Indonesia dibandingkan dengan diet A. Diet B selain karbohidrat lumayan, tingi juga kaya serat dan rendah tinggi, kolesterol. Berdasarkan penelitian, diet tinggi karbohidrat kompleks dalam dosis terbagi, dapat memperbaiki kepekaan sel beta pankreas. 2.2 Konsep Ketaatan Penatalaksanaan Diet 2.2.1 Pengertian ketaatan penatalaksanaan diet Ketaatan merupakan sejauh mana prilaku pasien sesuai dengan ketentuan yang diberikan oleh professional kesehatan (Sackett, 1976 dalam Niven, 2002). Kepatuhan merupakan prilaku pasien yang tertuju terhadap instruksi atau petunjuk yang diberikan dalam bentuk terapi apapun yang ditentukan. Bagi pasien Diabetes Melitus, kepatuhan didefinisikan sebagai keaktifan, kesukarelaan, keterlibatan pasien dalam pengelolaan penyakitnya dengan mengikuti perawatan khusus yang telah disepakati bersama (antara pasien dengan penyedia/petugas layanan kesehatan). Perawatan khusus dalam hal ini meliputi penatalaksanaan diet. Pada pasien Diabetes Melitus perlu ditekankan pentingya keteraturan makan dalam hal jenis makan, jadwal makan, dan jumlah makanan (Perkeni, 2011). 18 Penatalaksanaan diet telah terbukti dapat mengendalikan kadar gula darah, mengurangi komplikasi dan meningkatkan kualitas hidup (Depkes RI, 2003). Jadi dapat disimpulkan kepatuhan pasien dalam penatalaksanaan diet adalah sejauh mana prilaku pasien Diabetes Melitus dalam menjalankan Diet yang telah dianjurkan meliputi jenis, jadwal, dan jumlah makanan sesuai dengan rekomendasi dari petugas kesehatan yang telah disepakati bersama. 2.2.2 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Ketaatan a. Faktor Internal 1) Pendidikan dan Pengetahuan Pendidikan pasien dapat meningkatkan ketaatan sepanjang pendidikan tersebut bersifat aktif (Niven, 2002). Pengetahuan merupakan hasil keingintahuan dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu, dari pengalaman dan penelitian terbukti bahwa perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih bertahan lama dari pada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan (Notoatmodjo, 2007). Menurut fungsinya pengetahuan merupakan dorongan dasar untuk ingin tahu, untuk mencari penalaran, dan untuk mengorganisasikan pengalamannya. Adanya unsur pengalaman yang semula tidak konsisten dengan apa yang diketahui oleh individu akan disusun, ditata kembali atau diubah sedemikian rupa, sehingga tercapai suatu konsistensi. Pengetahuan seseorang akan sangat menentukan apakah seseorang akan Taat atau tidak terhadap pelaksanaan diet, karena dengan penerimaan informasi 19 yang efektif mengetahui apa akibat dari penatalaksanaan diet membuat seseorang mempunyai keyakinan untuk mematuhinya (Bidari, 2010). 2) Keyakinan dan Sikap Positif Suatu syarat untuk menumbuhkan Ketaatan adalah mengembangkan tujuan Ketaatan dimana seseorang akan Taat apabila memiliki keyakinan dan sikap positif dari dalam diri sendiri terhadap diet. Sikap pengontrolan diri membutuhkan pemantauan terhadap diri sendiri, evaluasi diri, dan penghargaan terhadap diri sendiri sehingga menumbuhkan prilaku sehat yang dipengaruhi oleh kebiasaan (Niven, 2002). Kepuasan dan ketaatan dapat ditingkatkan dengan memastikan bahwa anjuran dan komunikasi pendidikan kesehatan berhubungan langsung dengan keyakinan yang mendasari suatu prilaku sehat dan sakit (Bidari, 2010). 3) Kepribadian Berbagai penelitian telah dilakukan untuk mengetahui hubungan antara pengukuran-pengukuran kepribadian dengan Ketaatan. Orangorang yang tidak Taat adalah orang-orang yang cenderung depresi, ansietas dan memiliki kekuatan ego yang lemah. Akomodasi merupakan suatu usaha yang dilakukan seseorang memahami ciri-ciri kepribadian seseorang yang dapat mempengaruhi Ketaatan. Pasien yang lebih mandiri dari dilibatkan secara aktif sementara pasien yang cenderung ansietas harus diyakinkan terlebih dahulu untuk 20 meningkatkan motivasi untuk meningkatkan Ketaatan (Feurstein et al. 1936 dalam Niven, 2002). b. Faktor Eksternal 1) Interaksi Profesional Kesehatan dengan Pasien Pasien memerlukan penjelasan tentang kondisi saat ini baik penyebab maupun hal yang dapat dilakukan dalam kondisi tersebut. Hal ini merupakan suatu hal yang penting untuk memberikan umpan balik kepada pasien setelah memperoleh informasi diagnosis. Kualitas interaksi antara profesional kesehatan dengan pasien merupakan hal yang penting dalam menentukan derajat Ketaatan (Niven, 2002). 2) Dukungan Keluarga Keluarga dapat menjadi faktor yang sangat berpengaruh dalam menentukan keyakinan serta nilai kesehatan individu. Kelompok penduduk dapat membantu Ketaatan terhadap program-program pengobatan (Niven, 2002). Dukungan keluarga merupakan salah satu faktor yang tidak dapat diabaikan begitu saja, karena dukungan keluarga merupakan salah satu faktor yang memiliki kontribusi yang cukup berarti dan sebagai faktor yang membuat pasien Diabetes Melitus menjalankan aturan yang ditetapkan. c. Faktor Lingkungan Faktor lingkungan yang mempengaruhi Ketaatan adalah sistem lingkungan dan situasi dengan risiko tinggi. Sistem lingkungan yang mempengaruhi antara lain lingkungan rumah, lingkungan kerja, dan 21 lingkungan masyarakat. Situasi risiko tinggi seperti lingkungan yang cenderung dapat membuat pasien melanggar aturan diet adalah pada saat liburan, makan di luar rumah, adanya kegiatan pesta tetapi tidak terlalu mempunyai pengaruh yang besar (Rafani, 2012). 2.2.3 Kategori Tingkat Ketaatan Penatalaksanaan Diet Penilaian Ketaatan diet menggunakan kuesioner dengan pernyataan yang diberikan mencakup jumlah, jenis dan jadwal makan sesuai yang dianjurkan. Menurut Depkes RI kriteria atau tingkat Ketaatan dibagi menjadi tiga bagian yaitu : a. Taat Taat merupakan suatu tindakan yang taat baik terhadap perintah maupun aturan dan semua perintah maupun aturan tersebut dilakukan dan semuanya benar. b. Kurang Taat Kurang Taat merupakan suatu tindakan yang melaksanakan perintah dan aturan hanya sebagian dari yang ditetapkan atau dengan sepenuhnya namun tidak sempurna. c. Tidak Taat Tidak Taat merupakan suatu tindakan mengabaikan atau tidak melaksanakan perintah dan aturan. Pengkategorian tingkat Ketaatan pasien dalam penatalaksanaan diet disusun berdasarkan tiga kategori nilai Ketaatan menurut Spiritia (2006), yaitu : 22 Dengan menggunakan rumus total skor, yaitu : Nilai (%) = (1) Taat skor yangdidapat x 100% skor maksimal : 75-100% (2) Kurang Taat : 50-74% (3) Tidak Taat : < 50% 2.3 Koping Keluarga Koping terdiri atas pemecahan upaya pemecahan masalah yang sangat relevan dengan kesejahteraan, tetapi membebani sumber seseorang. Koping didefinisikan sebagai respon (kognitifperilaku atau persepsi) terhadap ketegangan hidup eksternal yang berfungsi untuk mencegah, menghindari, mengandalkan distress emosional. Koping adalah sebuah istilah yang terbatas pada perilaku atau kognisi aktual yang ditampilkan seseorang, bukan pada sumber yang mungkin mereka gunakan. Koping keluarga menunjukkan tingkat analisa kelompok keluarga (atau sebuah tingkat analisis interaksional). Koping keluarga didefinisikan sebagai proses aktif saat keluarga memamfaatkan sumber yang ada dan mengembangkan perilaku serta sumber baru yang akan memperkuat unit keluarga dan mengurangi dampak peristiwa hidup penuh stress. Krisis keluarga adalah kondisi kekacauan, tidak teratur, atau ketidakmampuan dalam system keluarga yang berlangsung terus menerus. Krisis terjadi ketika sumber dan strategi adaptif keluarga tidak efektif dalam mengatasi stressor. Stressor keluarga dapat 23 berupa peristiwa atau pengalaman interpersonal (didalam atau diluar keluarga), lingkungan, ekonomi atau sosial budaya. Adaptasi keluarga adalah suatu proses saat keluarga terlibat dalam respon langsung terhadap tuntutan stressor yang ekstensif, dan menyadari bahwa perubahan sistemik dibutuhkan dalam unit keluarga, untuk memperbaiki stabilitas fungsional dan memperbaiki kepuasaan dan kesejahteraan keluarga. Proses adaptasi dalam sistem keluarga disebut resilience keluarga. Pendekatan resilience keluarga guna bekerja dengan keluarga dibentuk atas kompetensi dan kekuatan anggota keluarga yang memungkinkan penyediaan layanan kesehatan bergeser dari model potogenik ke model berbasis kekuatan yaitu kita melihat keluarga “ditantang”, bukan hancur, karena kemalangan. Koping keluarga didefinisikan sebagai respon yang positif, sesuai dengan masalah, afektif, persepsi, dan respons perilaku yang digunakan keluarga dan subsistemnya untuk memecahkansuatu masalah atau mengurangi stress yang di akibatkan oleh masalah atau peristiwa. Dengan mengubah dari tingkat koping individu menjadi koping keluarga, koping menjadi lebih kompleks. Responrespons atau perilaku koping keluarga merupakan tindakan- tindakan pengenalan yang digunakan keluarga sedangkan pola- pola dan strategi koping adalah respons- respons sama yang membentuk set homogeny. Strategi koping keluarga berkembang dan berubah dari waktu ke waktu, sebagai respons terhadap tuntutantuntutan atau stressor yang dialami (Friedman, 2003) 24 2.4 Strategi Koping Keluarga 2.4.1 Strategi koping keluarga internal Menurut Friedman (2003) dalam Lukman (2007) strategi koping keluarga internal memiliki tiga jenis strategi, yaitu strategi hubungan, kognitif dan komunikasi. a. Strategi hubungan 1) Mengandalkan kelompok keluarga Keluarga tertentu saat mengalami tekanan mengatasi dengan menjadi lebih bergantung pada sumber mereka sendiri. Bersatu adalah satu dari proses penting dalam badai kehidupan keluarga. Keluarga berhasil melalui masalah dengan menciptakan struktur dan organisasi yang lebih besar dirumah dan keluarga. Ketika keluarga menetapkan struktur yang lebih besar, hal ini merupakan upaya untuk memiliki pengendalian yang lebih besar terhadap keluarga mereka. Upaya ini biasanya melibatkan penjadwalan waktu anggota yang lebih ketat, lebih banyak tugas per anggota keluarga, organisasi ikatan yang lebih ketat, dan rutinitas ynag lebih kuku dan terprogram. Bersamaan dengan lebih ketatnya batasan keluarga, menimbulkan kebutuhan pengaturan dan pengendalian anggota keluarga yang lebih besar, disertai harapan bahwa anggota lebih disiplin dan menyesuaikan diri. Jika berhasil, keluarga menerapkan pengendalian yang lebih besar dan mencapai integrasi dan kohesivitas yang lebih besar. 25 2) Kebersamaan yang lebih besar Salah satu membuat keluarga semakin erat dan memelihara sreta mengelola tingkat stress dan moral yang dibutuhkan keluarga adalah dengan berbagi perasaan dan pemikiran serta terlibat dalam pengalaman aktivitas keluarga. Kebersamaan yang lebih besar menghasilkan kohesi keluarga yang lebih tinggi, atribut keluarga yang mendapatkan perhatian yang luas sebagai atribut keluarga inti. Hubungan yang paling penting membutuhkan kohesivitas dan saling berbagi dalam system keluarga.kohesivitas keluarga yang tinggi khususnya membantu saat keluarga pernah trauma, karena anggota sangat memerlukan dukungan. Aktivitas anggota keluarga diwaktu luang merupakan sumber koping yang sangat penting guna memperbaiki kohesi, moral, dan kepuasaan kelurga. 3) Fleksibitas peran Perubahan yang cepat dan pervasif dalam masyarakat serta dalam keluarga, khususnya pada pasangan, merupakan tipe strategi keluarga yang sangat kuat. Fleksibitas peran adalah satu dari dimensi utama adaptasi keluarga. Keluarga harus mampu beradaptasi terhadap perubahanperkembangan dan lingkungan. Ketika keluarga berhasil mengatasi, keluarga mampu memelihara suatu keseimbangan dinamik antara perubahan dan stabilitas. Fleksibitas peran memungkinkan kesimbangan ini berlanjut. 26 b. Strategi kognitif 1) Normalisasi Strategi koping keluarga fungsional lainnya adalah kecenderunagan bagi keluarga untuk normalisasi suesuatu sebanyak mungkin saat mereka mengatasi stressor jangka panjang yang cenderung mengganggu kehidupan keluarga dan aktivitas rumah tangga. Normalisasi adalah proses terus menerus yang melibatkan pengakuan pentakit kronik tetapi menegaskan kehidupan keluarga sebagai kehidupan keluarga yang normal, menegaskan efek sosial memiliki anggota yang memiliki atau menderita penyakit kronik sebagi suatu yang minimal, dan terlibat dalam perilaku yang menunjukkan kepada orang lain bahwa keluarga tersebut adalah normal. Keluarga menormalkan dengan memenuhi ritual dan rutinitas. Hal ini membantu keluarga mengatasi stress dan meningkatkan rasa keutuhan sepanjang waktu, sangat penting guna menormalisasi situasi keluarga. 2) Pengendalian makna masalah dengan membingkai ulang dan penilaian pasif Keluarga yang menggunakan strategi koping ini cenderung melihat aspek positif dari peristiwa hidup penuh stress dan membuat peristiwa penuh stress menjadi tidak terlalu penting dalam hierarki nilai keluarga. Hal ini ditandai dengan naggota keluarga yang memiliki rasa percaya dalam mengatasi kekganjilan denga mempertahankan 27 pandangan optimistic terhadap peritiwa, terus memiliki harapan dan berfokus pada kekuatan dan potensi. Pembingkaian ulang adalah cara persepsi koping individu dan sering kali dipengaruhi oleh keyakinan keluarga. Keluarga memiliki persepsi bersama, dan proses pembingkaian ulang akan dipengaruhi oleh persepsi ini. Cara kedua keluarga mengendalikan makna stressor adalah dengan penilaian pasif, kadang disebut sebagai penerimaan pasif. Pada cara kedua ini, keluarga menggunakan strategi koping kognitif kolektif dalam memandang stressor atau kebutuhan yang menimbulkan stres sebagai sesuatu yang akan selesai dengan sendirinya sepanjang waktu dan tentang hal tersebut tidak ada atau sedikit yang dapat dilakukan. Seperti yang ditekankan, penilaian pasif dapat menjadi strategi penurun stress yang efektif dalam jangka waktu pendek, khususnya dalam kasus saat tidak ada satu pun yang dapat dilakukan. Akan tetapai jika strategi ini digunakan secara konsisten dan sepnjang waktu, penggunaannya menghambat pemecahan masalah yang aktif da perubahan dalam keluarga serta dapat menggangu adaptasi keluarga. 3) Pemecahan masalah bersama Pemecahan masalah bersama diantara anggota keluarga adalah strategi konitif dan komunikasi keluarga yang telah diteliti secara ekstensif melalui metode penelitian laboratorium oleh kelompok peneliti 28 keluarga dan dalam lingkungan alami. Pemecahan masalah keluarga yang efektif meliputitujuh langkah spesifik : a) Mengidentifikasi masalah b) Mengkomunikasikan tentang masalah c) Menghasilkan solusi yang mungkin d) Memutuskan satu dari solusi e) Melakukan tindakan f) Memantau atau memastikan bahwa tindakan dilakukan g) Mengevaluasi seluruh proses pemecahan masalah Dengan memasukkan strategi pemecahan masalah ini dalam kehidupan keluarga, keluarga dipercaya dapat berfungsi secar efektif. Keluarga yang menggunakan proses pemecahan masalah yang efektif sebagai keluarga yang peka terhadap lingkungan. Tipe keluarga ini seperti melihat sifat masalah sebagi sesuatu yang eksternal dan tidak mencoba membuat masalah menjadi internal. 4) Mendapatkan informasi dan pengetahuan Keluarga yang berbasis kognitif merespon terhadap stress dengan mencari pengetahuan informasi berkenaan dengan stressor dan kemungkinan stressor. Hal ini khususnya terbukti dalam kasus masalah kesehatan berat atau yang mengancam hidup. Dengan mendapatkan informasi yang bermanfaat, dapat meningkatkan perasaan memiliki beberapa pengendalian terhadap situasi dan mengurangi rasa takut keluarga terhadap sesuatu yang tidak diketahui 29 serta membantu keluarga menilai stressor (maknanya) lebih akurat dan mengambil tindakan yang diperlukan. c. Strategi komunikasi 1) Terbuka dan jujur Anggota keluarga yang menunjukkan keterbukaan, kejujuran, pesan yang jelas dan perasaan serta afeksi yang lebih besar dibutuhkan pada masa ini. Satir mengamati bahwa komunikasi keluarga yang fungsional adalah langsung, terbuka,jujur dan jelas. Keterbukaan adalah komunikatif dalam berbagai ide dan perasaan. Pemecahan masalah kolaboratif, yang dibahas sebagai strategi koping kognitif, juga merupakan strategi koping kognitif, juga merupakan strategi komunikasi, yang memfasilitasi koping dan adaptasi keluarga. 2) Menggunakan humor dan tawa Studi mengenai resilience menekankan bahwa humor tidak terhingga nilainya dalam mengatasi penderitaan. Humor tidak hanya dapat menyokong semangat, humor juga dapat menyokong sistem imun seseorang dalam mendorong penyembuhan. Demikian juga bagi keluarga, rasa humor adalah sebuah aspek yang penting. Humor dapat dapat memperbaiki sikap keluarga terhadap masalah dan perawatan kesehatan serta mengurangi kecemasan dan ketegangan. Humor dan tawa dapat dipandang sebagai alat perawatan diri untuk mengatasi stress karena kemampuan tertawa dapat memberikan seseorang perasaan memiliki kekuatan terhadap situasi. Humor dan tawa dapat 30 menyokong sikap positif dan harapan bukan perasaan tidak berdaya atau depresi dalam situasi penuh stress. 2.5.2 Strategi koping keluarga eksternal a. Strategi komunitas Kategori ini merujuk pada upaya koping keluarga yang terus menerus, jangka panjang, dan umum bukan upaya seseorang menyesuaikan untuk mengurangi stressor khusus siapapun. Pada kasus ini, anggota keluarga ini adalah peserta aktif (sebagai anggota aktif atau posisi pimpinan) dalam klub, organisasi dan kelompok komunitas. Hubungan komunitas yang kreatif dapat dibuat untuk memnuhi kebutuhan anggota keluarga seperti meminta anggota keluarga lansia yang kurang memiliki kontak keluarga memberiakan bantuan disentra perawatan anak yang kekurangan staf. b. Memanfaatkan sistem dukungan sosial 1) Dukungan sosial keluarga Dukungan sosial keluarga merujuk pada dukungan sosial yang dirasakan oleh anggota keluarga ada atau dapat diakses (dukungan social dapat atau tidak digunakan, tetapi anggota keluarga dapat menerima bahwa orang pendukung siap memberikan bantuan dan pertolongan jika dibutuhkan). Dukungan sosial keluarga dapat dating dari dalam dukungan socsial keluarga seperti dukungan pasangan atau dukungan subling atau dari luar dukungan sosial keluarga yaitu 31 dukungan sosial berada diluar keluarga nuklir (dalam jaringan social keluarga). 2) Sumber dukungan keluarga Terdapat tiga sumber dukungan social umum. Sumber ini terdiri atas jaringan informalyang spontan. Dukungan terorganisasi yang tidak diarahkan oleh petugas kesehatan professional dan upaya terorganisasi oleh professional kesehatan. Dari semua ini jaringan informal (diidentifikasi diatas kelompok yang memberikan jumlah bantuan terbanyak selama masa yang dibutuhkan. Keluarga memiliki fungsi pendukung meliputi: a) Dukungan sosial (keluarga berfungsi sebagi pencari dan penyebar informasi mengenai dunia). b) Dukungan penilaian pembimbingumpan (keluarga balik, bertindaksebagai membimbing dan sistem merantarai pemecahan masalahdan merupakan sumber sera validator identitas anggota). c) Dukungan tambahan (keluarga adalah sunber bantuan praktis dan konkret). d) Dukungan emosional (keluarga berfungsi sebagai pelabuhan istirahat dan pemulihan serta membantu penguasaan emosional). e) Meningkatkan moral keluarga. 32 c. Dukungan spiritual Berbagai studi menunjukkan hubungan yang jelas antara kesejahteraan spiritual dan peningkatan kemampuan individu atau keluarga untuk mengatasi stress dan penyakit. Agama adalah dorongan yang kuat dan pervasif dalam membentuk keluarga. Cara koping yang berbasis spiritual bervariasi secara signifikan lintas budaya. Penelitian mengenai koping keluarga dan individu serta resilience secara konsisten menunjukkan bahwa dukungan spiritual adalah penting dalam mendukung kepercayaan keluarga sehingga mereka dapat mengatasi penderitaan. Selain dua tipe seperti yang dikemukakan diatas, kemudian dikembangkan lagi strategi koping keluarga dari Cubbin dan Thompson (1987) dalam Friedman (2003) yang khusus untuk menginventarisir tindakan penangulangan masalahmasalah kesehatan bagi orang tua yakni Coping Health Inventory For Parent (CHIP) yang di kembangkan untuk menggambarkan bagaimana keluarga beradaptasi dengan situasti di bawah tekanan kronis. Hal tersebut mencakup penanggulangan oleh keluarga sebagai proses aktif yang meliputi pemanfaatan sumber daya dan pengembangan prilaku untuk membantu memperkuat unit keluarga dalam mengurangi dampak peristiwa penuh tekanan. Friedman (2003) dalam Sudiharto (2007) menyatakan bahwa mekanisme koping di golongkan menjadi dua yaitu koping adaptif (positif) dan koping maladaptive (negatif). Menurut Tam (2001) metode untuk menentukan derajat kebutuhan criteria penilaian dengan cara mengumpulkan penilaian responden, kemudian di rata- 33 ratakan untuk tiap elemen. Seluruh criteria diurutkan dari nilai tertinggi ke nilai terendah kemudian di cari nilai cut off point dengan rumus : 𝑁𝑎𝑡𝑢𝑟𝑎𝑙 cut off point = (Maximum score + Minimum score) 2 Kemudian nilai cut off point dijadikan nilai tengah untuk membagi kategori koping keluarga positif dan negatif 2.4.3 Faktor- Faktor Yang Mempengaruhi Koping Keluarga Cara individu menangani situasi yang mengandung tekanan ditentukan oleh sumber daya yang meliputi kesehatan fisik/ energy, keyakinan, atau pandangan positif, keterampilan memecahkan masalah, keterampilan social dan dukungan social, serta materi. 1. Kesehatan fisik Kesehatan merupakan hal yang penting, karena selama dalam usaha mengatasi stress individu dituntut untuk mengerahkan tenaga yang cukup besar 2. Keyakinan atau pandangan positif Keyakinan menjadi sumber daya psikologis yang sangat penting, seperti keyakinan akan nasib (external locus of control) yang mengerahkan individu pada penilaian ketidakberdayaan (helplessness) yang akan menurunkan kemampuan strategi koping 3. Keterampilan memecahkan masalah Keterampilan ini meliputi kemampuan untuk mencari informasi, menganalisa situasi, mengidentifikasi masalah dengan tujuan untuk 34 menghasilkan alternative tindakan, kemudian mempertimbangkan alternative tersebut sehubungan degan hasil yang ingin dicapai. 4. Keterampilan sosial Keterampilan ini meliputi kemampuan untuk berkomonikasi dan bertingkah laku dengan cara- cara yang sesuai dengan nilai social yang berlaku di masyarakat 5. Dukungan sosial Dukungan ini meliputi dukungan pemenuhan kebutuhan informasi dan emosional pada diri individu yang diberikan oleh orang tua, anggota keluarga lain, saudara, teman, dan lingkungan sekitar 6. Materi Materi ini meliputi sumber daya berupa uang, barang- barang, atau layanan yang biasanya dapat dibeli 2.5 Hubungan Koping Keluarga Dengan Ketaatan Diet Pasien Diabetes Mellitus Friedman (2003) dalam Sudiharto (2007), menyatakan bahwa fungsi dasar keluarga antara lain adalah fungsi efektif, yaitu fungsi internal keluarga untuk pemenuhan kebutuhan psikososial, saling mengasuh dan memberikan cinta kasih, serta saling menerima dan mendukung. Koping keluarga didefinisikan sebagai respons yang positif, sesuai dengan masalah, afektif, persepsi, dan respons perilaku yang digunakan keluarga dan subsistemnya untuk memecahkan masalah atau mengurangi stress yang diakibatka oleh suatu peristiwa (Ahyar, 2010). Yang 35 dimaksud stress adalah respon tubuh yang sifatnya non spesifik terhadap setiap tuntutan beban, sumber stress terdiri atas 3 aspek yaitu diri sendiri, keluarga, masyarakat dan lingkungan. Salah satu sumber stress disini yaitu adanya penyakit diabetes mellitus yang menuntut pasien untuk mengikuti perubahan jangka panjang yang kemungkinan menimbulkan respon negatif. Selain penyebab stress yang timbul dari diri sendiri, stress yang bersumber dari masalah keluarga, adanya tujuan berbeda diantara keluarga, serta kurangnya hubungan interpersonal serta kurang adanya pengakuan di masyarakat yang merupakan penyebab stress dari lingkungan dan masyarakat (Hidayat,2008). Dengan adanya perubahan perubahan baru maka seseorang perlu melakukan adaptasi yang merupakan suatu proses perubahan yang menyertai individu dalam berespon terhadap stressor yang ada di lingkungan sekitar dan dapat mempengaruhi kebutuhan baik secara fisiologis maupun psikologis yang akan menghasilkan perilaku adaptif (Hidayat, 2008) Bagi pasien Diabetes Melitus, kepatuhan didefinisikan sebagai keaktifan, kesukarelaan, keterlibatan pasien dalam pengelolaan penyakitnya dengan mengikuti perawatan khusus yang telah disepakati bersama (antara pasien dengan penyedia/petugas layanan kesehatan). Perawatan khusus dalam hal ini meliputi penatalaksanaan diet. Pada pasien Diabetes Melitus perlu ditekankan pentingya keteraturan makan dalam hal jenis makan, jadwal makan, dan jumlah makanan (Perkeni, 2011). Pasien DM harus dapat beradaptasi terhadap perubahanperubahan baru seperti aturan diet, oleh karena itu koping keluarga yang positif dapat membantu pasien menerima stressor baru tanpa memberi dampak negatif.