Diabetes mellitus (DM)

advertisement
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Konsep Diabetes Mellitus
2.1.1 Definisi
Menurut Price dan Wilson (2006), Diabetes mellitus (DM) adalah
gangguan metabolisme yang secara genetis dan klinis termasuk heterogen dengan
manifestasi berupa hilangnya toleransi karbohidrat. Jika telah berkembang penuh
secara klinis, maka Diabetes mellitus ditandai dengan hiperglikemia puasa dan
postprandial, aterosklerotik dan penyakit vascular mikroangiopati, dan neuropati. (
Price & Wilson, 2006). Pendapat lain tentang Diabetes melitus yaitu Diabetes
Mellitus (DM) adalah keadaan hiperalikemia kronik disertai berbagai kelainan
metabolik akibat gangguan hormonal yang menyebabkan berbagai komplikasi
kronik pada mata ginjal, saraf, dan pembuluh darah disertai lesi pada membran
basalis dalam pemeriksaan dengan mikroskop electron (Mansjoer, 2001).
2.1.2 Etiologi
Menurut Price & Wilson (2006) penyakit diabetes melitus dapat
disebabkan oleh beberapa hal, antara lain:
a.
Pola makan
Makan secara berlebihan dan melebihi jumlah kadar kalori yang
dibutuhkan oleh tubuh dapat memicu timbulnya Diabetes Melitus. Hal
ini pankreas mempunyai kapasitas β disebabkan jumlah/kadar insulin
oleh sel maksimum untuk disekresikan. Oleh karena itu, mengonsumsi
2
makanan secara berlebihan dan tidak diimbangi oleh sekresi insulin
dalam jumlah memadai dapat menyebabkan kadar gula dalam darah
meningkat dan menyebabkan Diabetes melitus.
b.
Faktor genetik
Seorang anak dapat diwarisi gen penyebab Diabetes mellitus orang
tua.
Biasanya,
seseorang
yang
menderita
Diabetes
mellitus
mempunyai anggota keluarga yang juga terkena penyakit tersebut.
Jika kedua orang tua menderita Diabetes, insiders Diabetes pada anakanaknya meningkat, tergantung pada umur berapa orang tua menderita
Diabetes. Resiko terbesar bagi kedua orang tua mengalami penyakit
ini sebelum berumur empat puluh tahun. Riwayat keluarga pada kakek
dan nenek kurang berpengaruh secara signifikan terhadap cucu.
2.1.3 Klasifikasi
Menurut
Robbins
(2007),
Diabetes
mellitus
secara
tradisional
diklasifikasikan menjadi dua kategori utama yaitu:
a.
Diabetes Mellitus primer, yang merupakan bentuk tersering berasal
dari defek pada produksi dan/atau kerja insulin.
b.
Diabetes Mellitus sekunder, timbul akibat semua penyakit yang
menyebabkan kerusakan luas islet pankreas, seperti pankreatitis,
tumor,
obat
tertentu,
kelebihan
zat
besi
(hemokromatosis),
pengangkatan substansi pankreas secara bedah, atau endokrinopati
genetik atau didapat berupa antagonisasi kerja insulin.
3
Menurut Smeltzer & Brenda (2001), ada beberapa tipe diabetes mellitus
yang berbeda. Klasifikasi penyakit Diabetes ini dibedakan berdasarkan penyebab,
perjalanan klinik dan terapinya. Antara lain:
a.
Tipe I: Diabetes mellitus tergantung insulin, Insulin Dependent
Diabetes Mellitus (IDDM). Diabetes mellitus tipe I adalah penyakit
hiperglikemia akibat ketiadaan absolute insulin. Pengidap penyakit
ini hares mendapat insulin pengganti. Diabetes tipe I biasanya
dijumpai pada orang yang tidak gemuk berusia kurang dari 30 tahun,
dengan perbandingan laki - laki sedikit lebih banyak dari pada wanita.
Karena insiders Diabetes tipe I memuncak pada usia remaja dim,
maka dahulu bentuk ini disebut sebagai Diabetes juvenilia. Namur,
Diabetes tipe I dapat timbul pada segala usia.
b.
Tipe II: Diabetes Mellitus tidak tergantung insulin, Non-Insulin
Dependent Diabetes Mellitus (NIDDN). DiabetesMellitus tipe II
adalah penyakit hiperglikemia akibat insensitivitas sel terhadap
insulin. Kadar insulin mungkin sedikit menurun atau berada dalam
rentang normal. Karena insulin tetap dihasilkan oleh sel — sel beta
pankreas. Diabetes Mellitus tipe II biasanya pada orang yang berusia
lebih dari 30 tahun, dan dahulu disebut sebagai Diabetes awitan
dewasa. Pasien wanita lebih banyak daripada pria.
c.
Diabetes Mellitus Gestasional (gestasional Diabetes Mellitus [GDM])
terjadi pada wanita hamil yang sebelumnya tidak mengidap Diabetes.
Sekitar 50% wanita mengidap kelainan ini akan kembali ke status non
4
diabetes setelah kehamilan beralchir. Namun, resiko mengalami
diabetas tipe II pada waktu mendatang lebih besar dari pada normal.
2.1.4 Patofisiologi Diabetes Melitus
Pankreas adalah kelenjar penghasil insulin yang terletak dibelakang
lambung. Pankreas merupakan kumpulan sel yang berbentuk -seperti pulau pada,
peta karena itu disebut pulau-pulau langerhans. Pulau-pulau langerhans
merupakan kumpulan sel-sel yang mengeluarkan insulin yang sangat berperan
dalam mengatur kadar glukosa darah. Insulin yang duhasilkan oleh sel β pancreas
dapat diibaratkan sebagai anak kunci yang dapat membuka pintu masuk glukosa
ke dalam sel, kemudian di dalam sel glukosa tersebut dimetabolisasikan menjadi
tenaga. Jika insulin tidak ada atau jumlahnya sedikit, maka glukosa tidak dapat
masuk ke dalam sel sehingga kadarnya di dalam darah tinggi atau meningkat (
Price& Wilson, 2006)
2.1.5 Gambaran Klinis
Menurut Menurut Smeltzer & Brenda (2001), tanda dan gejala atau
manisfestasi klinik yang muncul pada penderita DiabetesMellitus diantaranya
adalah:
a.
Poliuria (penigkatan pengeluaran urin) dikarenakan air tidak- dapat
diserap oleh tubulus ginjal menyebabkan kegiatan osmotik dari
glukosa. Jika kadar gula darah sampai diatas 160-180 mg/dL, maka
glukosa akan sampai ke air kemih. Jika kadarnya lebih tingi lagi,
ginjal akan membuang air tambahan untuk mengencerkan sejumlah
5
besar glukosa yang hilang. Karena ginjal menghasilkan air kemih
dalam Jumlah yang berlebihan, maka penderita sering berkemih dalam
jumlah yang banyak. Ini menyebabkan kehilangan air, glukosa, dan
elektrolit pada tubuh, gejala ini lebih sering terlihat pada DM tipe I
dibandingkan tipe II.
b.
Polidipsia (peningkatan rasa haus) akibat volume urin yang sangat
besar dan keluarnya air yang menyebabkan dehidrasi eksternal
akibatnya timbul rasa haus dan ingin minum terus.
c.
Rasa lelah dan kelemahan otot akibat katabolisme protein di otot dan
ketidakmampuan sebagian besar sel untuk menggunakan glukosa
sebagai energi. Gangguan aliran darah yang dijumpai pada pasien
Diabetes lama juga berperan menimbulkan kelelahan.
d.
Polifagia (peningkatan rasa lapar) akibat keadaan pasca absorptif yang
kromk, katabolisme protein dan lemak, dan kelaparan relatif sel —
sel. Glukosa yang tidak masuk ke dalam sel menyebabkan timbulnya
rangsangan ke otak untuk mengirim pesan rasa lapar. Sering terjadi
penurunan berat badan.
e.
Peningkatan angka infeksi akibat peningkatan konsentrasi glukosa di
sekresi mukus, gangguan fungsi imun, dan penurunan aliran darah
pada penderita Diabetes kronik.
f.
Kesemutan, kebas, kelemahan pada otot.
g.
Rabas vagina, kesulitan orgasme pada wanita dan masalah impoten
pada pria.
6
h.
Berat badan turun (penurunan volume plasma menyebabkan hipotensi
postural), kehilangan potasium dan pemecahan protein menyebabkan
kelemahan. Gejala awalnya adalah berat badan menurun drastis,
sering lelah, lesu dan tidak bergairah. Hal itu disebabkan LIuk-osa
merupakan sumber energi, dan tenaga tubuh. tidak dapat masuk ke
dalam sel. Sumber energi akan diambil dan hati berkurang akibatnya
badan semakin kurus dan berat badan menurun.
i.
Penglihatan kabur mungkin akibat perubahan dalam lensa atau akibat
retinopati.
j.
Luka yang tidak sembuh – sembuh.Jika terjadi luka pada penderita
Diabetes akan sangat sulit sembuh karena sistem kekebalan yang
cenderung menurun.
k.
Ketonuria (terdapatnya zat keton dalam jumlah yang berlebihan dalam
urin) hat ini dikarenakan glukosa tidak dapat digunakan sebagai energi
pada sel yang tergantung oleh insulin, sehingga lemak digunakan
sebagai sumber energi dengan proses lemak dipecah menjadi badan
keton dalam darah dan dikeluarkan oleh ginjal.
l.
Pruritus, infeksi pada kulit terjadi karma infeksi yang diakibatkan oleh
bakteri dan jamur sering terlihat secara umum.
Gejala Klinis saja tidak cukup untuk menetapkan klien mempunyai
penyakit diabetes mellitus, perlu pemastian dengan pemeriksaan kadar gula darah
vena. Perkeni (2011) menetapkan kriteria diagnostik yang menyatakan diabetes
mellitus adalah:
7
a.
Kadar gula darah sewaktu (plasma vena.) 200 mg/dl
b.
Kadar glukosa darah puasa (plasma vena) 126 mg/dl
c. Kadar plasma 200 mg/dl pada 2 jam sesudah beban glukosa 75 gram,-.
2.1.6 Komplikasi Diabetes Mellitus
Diabetes melitus merupakan penyakit yang memiliki komplikasi
(menyebabkan terjadinya penyakit lain) yang paling banyak. Hal ini berkaitan
dengan kadar gula darah yang tinggi terus menerus, sehingga berakibat rusaknya
pembuluh darah, saraf dan struktur internal lainnya.
Zat kompleks yang terdiri dari gula di dalam Binding pembuluh darah
menyebabkan pembuluh darah menebal dan mengalami kebocoran. Akibat
penebalan ini maka aliran darah akan berkurang, terutama yang menuju ke kulit
dan saraf.
Kadar gula darah yang tidak terkontrol juga cenderung menyebabkan
kadar zat berlemak dalam darah meningkat, sehingga mempercepat terjadinya
aterosklerosis (penimbunan plak lemak di dalam pembuluh darah). Aterosklerosis.
ini 2-6 kali lebih sering terjadi pada penderita Diabetes.
Sirkulasi darah yang buruk ini melalui pembuluh darah besar (makro) bisa
melukai otak, jantung, dan pembuluh darah kaki (makroangiopati),. sedangkan
pembuluh darah kecil (mikro) bisa melukai mata, ginjal, saraf dan kulit serta
memperlambat penyembuhan luka.
Penderita Diabetes bisa mengalami berbagai koinplikasi jangka panjang
jika Diabetesnya tidak dikelola dengan. baik. Komplikasi yang lebih sering
terjadi dan mematikan adalah serangan jantung dan stroke.
8
Kerusakan pada pembuluh darah mata bisa menyebabkan gangguan
penglihatan akibat kerusakan pada retina mata (retinopati diabetikum). Kelainan
fungsi bisa menyebabkan gagal ginjal sehingga penderita harus menjalani cuci
darah (dialisa).
Gangguan pada saraf dapat bermanifestasi dalam beberapa bentuk. Jika
satu saraf mengalami kelainan fungsi (mononeuropati), maka sebuah lengan atau
tungkai biasa secara tiba-tiba menjadi lemah.
Jika saraf yang menuju ke tangan, tungkai dan kaki mengalami kerusakan
(polineuropati diabetikum), maka pada lengan dan tungkai bisa dirasakan
kesemutan atau nyeri seperti terbakar dan kelemahan.
Kerusakan pada saraf menyebabkan kulit lebih sering mengalami cedera
karena penderita tidak dapat meredakan perubahan tekanan maupun suhu.
Berkurangnya aliran darah ke kulit juga bisa menyebabkan ulkus (borok) dan
semua penyembuhan luka berjalan lambat. Ulkus di kaki bisa sangat dalam dan
mengalami infeksi serta masa penyembuhannya lama sehingga sebagian tungkai
harus diamputasi (www.medicastore.com/Diabetes diakses pada tanggal 5
Oktober 2013).
2.1.7 Pencegahan
Menurut Perkeni (2011) dan Hembing (2008), terdapat tiga, upaya
pencegahan Diabetes Melitus yaitu
a.
Pencegahan primer
Pencegahan primer adalah upaya yang ditujukan pada orang-orang
yan termasuk kelompok resiko tinggi, yakni mereka yang belum.
9
menderita tetapi berpotensi untuk menderita Diabetes Melitus. Tentu
saja untuk pencegahan primer ini harus dikenal faktor-faktor yang
berpengaruh terhadap timbulnya Diabetes Melitus dan upaya yang
perlu dilakukan untuk menghilangkan faktor-faktor tersebut. Berikut
hal-hal yang harus dilakukan dalam pencegahan primer:
1) Pola makan sehari-sehari harus seimbang dan tidak berlebihan
2) Olahraga secara teratur dan banyak beraktivitas
3) Usahakan berat badan dalam betas nomial
4) Hindari obat-obatan yang dapat menimbulkan Diabetes melllitus
(diabetogenik).
b.
Pencegahan sekunder
Maksudnya pencegahan sekunder adalah upaya mencegah atau
menghambat timbulnya komplikasi dengan tindakan deteksi dini dan
memberikan pengobatan sejak awal timbulnya penyakit. Sejak awal
harus diwaspadai dan sedapat mungkin dicegah kemungkinan
terjadinya komplikasi menahun. Berikut hal-hal yang harus dilakukaii
dalam pencegahan sekunder.
1) Diet sehari-hari harus seimbang dan sehat
2) Menjaga berat badan dalam batas normal
3) Usaha pengendalian gula darah agar tidak terjadi komplikasi
4) Olahraga tester sesuai kemampuan fisik dan umur
c.
Pencegahan tersier
10
Apabila komplikasi menahun terjadi juga, maka pengelola harus
berusaha mencegah terjadinya kecacatan lebih lanjut dan merehabilitasi
pasien sedini mungkin, sebelum kecacatan tersebut lebih parah. Berikut
pencegahan yang di maksud :
1) Mencegah terjadinya kebutaan jika menyerang pembuluh darah
mata
2) Mencegah gagal ginjal kronik jika menyerang pembuluh darah
ginjal
3) Mencegah stroke jika menyerang pembuluh, darah otak
4) Mencegah terjadinya gangren jika terjadi luka. Oleh karena itu,
diperlukan pemeriksaan secara rutin dan berkala terhadap bagian
organ tubuh yang rentan terhadap komplikasi dan kecacatan
(http://gizisolusisehat.wordpress.com/ diakses tanggal 13 April
2013).
2.1.8 Penatalaksanaan Diet DM
Tujuan penatalaksanaan diet secara umum pada penderita DM Diabetes
mellitus adalah mencapai dan mempertahankan kadar glukosa darah mendekati
kadar normal, mencapai dan mempertahankan lemak mendekati kadar yang
optimal, mencegah komplikasi akut/kronik dan meningkatkan kualitas hidup
(Waspadji,2000).
Menurut Joslin (1952) dalam Waspadji (2000), dalam penatalaksanaan diet
DiabetesMellitus ada 3 (tiga) J yang harus diketahui dan dilaksanakan oleh
11
penderita DM, yaitu jumlah makanan, jenis makanan dan jadwal makanan.
Berikut ini uraian mengenai ketiga hal tersebut:
1.
Jumlah Makanan
Jumlah makanan yang diberikan disesuaikan dengan status gizi
penderita DM,bukan berdasarkan tinggi rendahnya gula darah. Jumlah
kalori yang disarankan berkisar antara 1100-2900 KKal.
Sebelum menghitung berapa kalori yang dibutuhkan seorang pasien
Diabetes, terlebih dahulu harus diketahui berapa berat badan ideal
(idaman) seseorang.Yang paling mudah adalah dengan rumus Brocca :
Berat Badan Idaman : 90% X (tinggi badan dalam cm = 100) X 1 kg.
Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan
seorang pasien Diabetes :
a.
Menghitung kebutuhan basal dahulu dengan cara mengalikan
berat badan idaman dengan sejumlah kalori :
- Berat badan idaman dalam kg x 30 Kkal untuk laki-laki
- Berat badan idaman dalam kg x 25 Kkal untuk perempuan
Kemudian ditambah dengan jumlah kalori yang diperlukan untuk
kegiatan sehari-hari (lihat Tabel 1). Tampak pada tabel itu ada
tiga jenis kegiatan, dari yang ringan sampai yang berat.
- Kerja ringan : tambah 10 % dari kalori basal
- Kerja sedang : tambah 20 % dari kalori basal
- Kerja berat : tambah 40-100% dari kalori basal
- Tambahkan kalori sekitar 20-30% pada keadaan sbb:
12
1) Pasien kurus
2) Pasien masih tumbuh kembang
3) Ada stres misalnya infeksi, hamil atau menyusui
- Kurangi kalori bila gemuk sekitar 20-30% tergantung tingkat
kegemukannya.
b.
Untuk gampangnya, secara kasar dapat dibuat suatu pegangan
sbb:
- Pasien kurus : 2300-2500 Kkal
- Pasien berat normal : 1700-2100 Kkal
- Pasien gemuk : 1300-1500 Kkal
Perkumpulan
Endokrinologi
Indonesia
(PARKENI)
telah
menetapkan standar jumlah gizi pada diet Diabetes mellitus,
dimana telah ditetapkan proporsi yang ideal untuk zat makanan
seperti karbohidrat, protein, lemak, kolesterol, serat, garam dan
pemanis dalam satu porsi makanan utama. Menurut Moehyi
(1996) ketentuan mengenai pengaturan jumlah zat makanan yang
harus dikonsumsi oleh penderita Diabetes mellitus adalah sebagai
berikut:
a.
Karbohidrat
Sampai saat ini sebagian orang berpendapat bahwa pasien
Diabetes
mellitus
harus
mengkonsumsi
makanan
rendah
karbohidrat. Namun belakangan banyak dilakukan penelitian dan
ditemukan bahwa justru diet tinggi karbohidrat dan rendah lemak
13
lebih unggul daripada diet rendah karbohidrat. Didapatkan pula
bahwa diet tinggi karbohidrat menimbulkan perbaikan glukosa
terutama pada pasien Diabetes mellitus yang tidak terlalu berat,
apalagi pada pasien yang gemuk. Tetapi harus diingat, walaupun
pasien dianjurkan diet tinggi karbohidrat, pasien tersebut harus
menghindari karbohidrat yang mudah diserap tubuh seperti sirup,
gula, sari buah dan makanan lain yang manis atau mengandung
gula. Selain itu penderita DM harus mengetahui bahwa jumlah
karbohidrat dalam makanan untuk setiap kali makan harus diatur
sedemikian rupa sehingga dapat memenuhi kebutuhan tubuh akan
hidrat arang sepanjang hari.
b.
Protein
Protein
merupakan
bahan
dasar
untuk
zat
pembangun,
pertumbuhan, hormone dan antibodi. Pada penderita Diabetes
mellitus, kebutuhan protein akan meningkat akibat digunakannya
protein sebagai energi. Sedangkan karbohidrat sendiri tidak dapat
diserap oleh tubuh sehingga penderita merasa lemas. Berdasarkan
hal tersebut, maka seorang penderita DM Diabetes mellitus
memerlukan
protein
sebanyak
10-15%
untuk
memenuhi
kebutuhan tubuhnya.
c.
Lemak
Pada penderita Diabetes mellitus penggunaan lemak dibatasi,
terutama lemak jenuh yang secara tidak langsung dengan
14
mekanisme tertentu dapat mempengaruhi kenaikan kadar gula
darah. Makanan yang mengandung lemak jenuh antara lain
minyak kelapa, margarin, santan, keju dan lemak hewan.
Sedangkan lemak tidak jenuh efeknya jauh lebih kecil terhadap
kadar gula darah daripada lemak jenuh.
d.
Kolesterol
Kadar kolesterol yang tinggi dalam tubuh dapat menimbulkan
hiperkolesterolemia
yang
berkaitan
dengan
terjadinya
aterosklerosis. Pada penderita Diabetes mellitus, kadar kolesterol
yang tinggi dapat memperberat penyakitnya. Oleh karena itu
konsumsi makanan yang berkolesterol harus dibatasi, dengan
perkiraan jumlah yang dibutuhkan <300 mg per hari.
e.
Serat
Serat yang dikonsumsi sebanyak 25 gram per hari akan
mempercepat pergerakan makanan di saluran pencernaan dan
pembentuk massa sehingga absorbs glukosa dan lemak di usus
akan berkurang.
f.
Garam
Penggunaan
garam
yang
tinggi
dalam
makanan
dapat
meningkatkan kerja jantung. Oleh karena itu pada penderita
Diabetes mellitus dengan hipertensi,pemakaian garam dibatasi.
15
g.
Pemanis
Selama ini pemanis yang ada di pasaran adalah sukrosa, fruktosa,
sorbitol, manitol, xylol, sakkarin, siklamat dan aspartam. Pemanis
yang mengandung kalori adalah sukrosa dan fruktosa. Berikut ini
tabel perbandingan jumlah total zat makanan yang terdapat dalam
satu porsi makanan utama penderita DM.
2.
Jenis Makanan
Penderita Diabetes mellitus harus mengetahui dan memahami jenis
makanan apa yang boleh dimakan secara bebas, makanan yang mana
harus dibatasi dan makanan apa yang harus dibatasi secara ketat.
Makanan yang mengandung karbohidrat mudah diserap seperti sirup,
gula, sari buah harus dihindari. Sayuran dengan kandungan
karbohidrat tinggi seperti buncis, kacang panjang, wortel, kacang
kapri, daun singkong, bit dan bayam harus dibatasi. Buah-buahan
berkalori tinggi seperti pisang, pepaya, mangga, sawo, rambutan, apel,
duku, durian, jeruk dan nanas juga dibatasi. Sayuran yang boleh
dikonsumsi adalah sayuran dengan kandungan kalori rendah seperti
oyong, ketimun, kol, labu air, labu siam, lobak, sawi, rebung, selada,
toge, terong dan tomat (Waspadji, 2000).
Cukup banyak pasien DM mengeluh karena makanan yang tercantum
dalam daftar menu diet kurang bervariasi sehingga sering terasa
membosankan. Untuk itu agar ada variasi dan tidak menimbulkan
kebosanan, dapat diganti dengan makanan penukar lain. Perlu diingat
16
dalam penggunaan makanan penukar, kandungan zat gizinya harus
sama dengan makanan yang digantikannya (Suyono, 2002).
3.
Jadwal Makan
Penderita Diabetes mellitus harus membiasakan diri untuk makan
tepat padawaktu yang telah ditentukan. Penderita Diabetes mellitus
makan sesuai jadwal, yaitu 3 kali makan utama, 3 kali makan selingan
dengan interval waktu 3 jam. Ini dimaksudkan agar terjadi perubahan
pada kandungan glukosa darah penderita DM, sehingga diharapkan
dengan perbandingan jumlah makanan dan jadwal yang tepat maka
kadar glukosa darah akan tetap stabil dan penderita DM tidak merasa
lemas akibat kekurangan zat gizi. Jadwal makan standar yang
digunakan oleh penderita DM Diabetes mellitus (Waspadji, 2000)
disajikan dalam Tabel 1.
Tabel 1. Jadwal Makan Penderita DM
Waktu
Jadwal
Total Kalori
Pukul 07.00
Makan pagi
20%
Pukul 10.00
Selingan
10%
Pukul 13.00
Makan siang
30%
Pukul 16.00
Selingan
10%
Pukul 19.00
Makan malam
20%
Pukul 21.00
Selingan
10%
Sumber: Waspadji, 2000
Peneliti gizi asal Universitas Airlangga, Surabaya, Prof Dr. Dr. H.
Askandar Tjokroprawiro, menggolongkan diet atas dua bagian yaitu:
17
a.
Diet A
Diet A yang terdiri atas 40 - 50% karbohidrat, 30 35% lemak dan
20 - 25% protein.
b.
Diet B
Diet B dengan komposisi 68% karbohidrat, 20% lemak, dan 12%
protein, lebih cocok boat orang Indonesia dibandingkan dengan
diet A. Diet B selain karbohidrat lumayan, tingi juga kaya serat
dan rendah tinggi, kolesterol. Berdasarkan penelitian, diet tinggi
karbohidrat kompleks dalam dosis terbagi, dapat memperbaiki
kepekaan sel beta pankreas.
2.2
Konsep Ketaatan Penatalaksanaan Diet
2.2.1
Pengertian ketaatan penatalaksanaan diet
Ketaatan merupakan sejauh mana prilaku pasien sesuai dengan ketentuan
yang diberikan oleh professional kesehatan (Sackett, 1976 dalam Niven, 2002).
Kepatuhan merupakan prilaku pasien yang tertuju terhadap instruksi atau petunjuk
yang diberikan dalam bentuk terapi apapun yang ditentukan. Bagi pasien Diabetes
Melitus, kepatuhan didefinisikan sebagai keaktifan, kesukarelaan, keterlibatan
pasien dalam pengelolaan penyakitnya dengan mengikuti perawatan khusus yang
telah disepakati bersama (antara pasien dengan penyedia/petugas layanan
kesehatan). Perawatan khusus dalam hal ini meliputi penatalaksanaan diet. Pada
pasien Diabetes Melitus perlu ditekankan pentingya keteraturan makan dalam hal
jenis
makan,
jadwal
makan,
dan
jumlah
makanan
(Perkeni,
2011).
18
Penatalaksanaan diet telah terbukti dapat mengendalikan kadar gula darah,
mengurangi komplikasi dan meningkatkan kualitas hidup (Depkes RI, 2003). Jadi
dapat disimpulkan kepatuhan pasien dalam penatalaksanaan diet adalah sejauh
mana prilaku pasien Diabetes Melitus dalam menjalankan Diet yang telah
dianjurkan meliputi jenis, jadwal, dan jumlah makanan sesuai dengan
rekomendasi dari petugas kesehatan yang telah disepakati bersama.
2.2.2 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Ketaatan
a. Faktor Internal
1) Pendidikan dan Pengetahuan
Pendidikan pasien
dapat
meningkatkan ketaatan sepanjang
pendidikan tersebut bersifat aktif (Niven, 2002). Pengetahuan
merupakan hasil keingintahuan dan ini terjadi setelah orang
melakukan
pengindraan
terhadap
suatu
objek
tertentu,
dari
pengalaman dan penelitian terbukti bahwa perilaku yang didasari oleh
pengetahuan akan lebih bertahan lama dari pada perilaku yang tidak
didasari oleh pengetahuan (Notoatmodjo, 2007). Menurut fungsinya
pengetahuan merupakan dorongan dasar untuk ingin tahu, untuk
mencari penalaran, dan untuk mengorganisasikan pengalamannya.
Adanya unsur pengalaman yang semula tidak konsisten dengan apa
yang diketahui oleh individu akan disusun, ditata kembali atau diubah
sedemikian rupa, sehingga tercapai suatu konsistensi. Pengetahuan
seseorang akan sangat menentukan apakah seseorang akan Taat atau
tidak terhadap pelaksanaan diet, karena dengan penerimaan informasi
19
yang efektif mengetahui apa akibat dari penatalaksanaan diet
membuat seseorang mempunyai keyakinan untuk mematuhinya
(Bidari, 2010).
2) Keyakinan dan Sikap Positif
Suatu syarat untuk menumbuhkan Ketaatan adalah mengembangkan
tujuan Ketaatan dimana seseorang akan Taat apabila memiliki
keyakinan dan sikap positif dari dalam diri sendiri terhadap diet. Sikap
pengontrolan diri membutuhkan pemantauan terhadap diri sendiri,
evaluasi diri, dan penghargaan terhadap diri sendiri sehingga
menumbuhkan prilaku sehat yang dipengaruhi oleh kebiasaan (Niven,
2002). Kepuasan dan ketaatan dapat ditingkatkan dengan memastikan
bahwa anjuran dan komunikasi pendidikan kesehatan berhubungan
langsung dengan keyakinan yang mendasari suatu prilaku sehat dan
sakit (Bidari, 2010).
3) Kepribadian
Berbagai penelitian telah dilakukan untuk mengetahui hubungan
antara pengukuran-pengukuran kepribadian dengan Ketaatan. Orangorang yang tidak Taat adalah orang-orang yang cenderung depresi,
ansietas dan memiliki kekuatan ego yang lemah. Akomodasi
merupakan suatu usaha yang dilakukan seseorang memahami ciri-ciri
kepribadian seseorang yang dapat mempengaruhi Ketaatan. Pasien
yang lebih mandiri dari dilibatkan secara aktif sementara pasien yang
cenderung
ansietas
harus
diyakinkan
terlebih
dahulu
untuk
20
meningkatkan motivasi untuk meningkatkan Ketaatan (Feurstein et al.
1936 dalam Niven, 2002).
b. Faktor Eksternal
1) Interaksi Profesional Kesehatan dengan Pasien
Pasien memerlukan penjelasan tentang kondisi saat ini baik penyebab
maupun hal yang dapat dilakukan dalam kondisi tersebut. Hal ini
merupakan suatu hal yang penting untuk memberikan umpan balik
kepada pasien setelah memperoleh informasi diagnosis. Kualitas
interaksi antara profesional kesehatan dengan pasien merupakan hal
yang penting dalam menentukan derajat Ketaatan (Niven, 2002).
2) Dukungan Keluarga
Keluarga dapat menjadi faktor yang sangat berpengaruh dalam
menentukan keyakinan serta nilai kesehatan individu. Kelompok
penduduk dapat membantu Ketaatan terhadap program-program
pengobatan (Niven, 2002). Dukungan keluarga merupakan salah satu
faktor yang tidak dapat diabaikan begitu saja, karena dukungan
keluarga merupakan salah satu faktor yang memiliki kontribusi yang
cukup berarti dan sebagai faktor yang membuat pasien Diabetes
Melitus menjalankan aturan yang ditetapkan.
c.
Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan yang mempengaruhi Ketaatan adalah sistem
lingkungan dan situasi dengan risiko tinggi. Sistem lingkungan yang
mempengaruhi antara lain lingkungan rumah, lingkungan kerja, dan
21
lingkungan masyarakat. Situasi risiko tinggi seperti lingkungan yang
cenderung dapat membuat pasien melanggar aturan diet adalah pada
saat liburan, makan di luar rumah, adanya kegiatan pesta tetapi tidak
terlalu mempunyai pengaruh yang besar (Rafani, 2012).
2.2.3 Kategori Tingkat Ketaatan Penatalaksanaan Diet
Penilaian Ketaatan diet menggunakan kuesioner dengan pernyataan yang
diberikan mencakup jumlah, jenis dan jadwal makan sesuai yang dianjurkan.
Menurut Depkes RI kriteria atau tingkat Ketaatan dibagi menjadi tiga
bagian yaitu :
a.
Taat
Taat merupakan suatu tindakan yang taat baik terhadap perintah
maupun aturan dan semua perintah maupun aturan tersebut dilakukan
dan semuanya benar.
b.
Kurang Taat
Kurang Taat merupakan suatu tindakan yang melaksanakan perintah
dan aturan hanya sebagian dari yang ditetapkan atau dengan
sepenuhnya namun tidak sempurna.
c.
Tidak Taat
Tidak Taat merupakan suatu tindakan mengabaikan atau tidak
melaksanakan perintah dan aturan.
Pengkategorian tingkat Ketaatan pasien dalam penatalaksanaan diet
disusun berdasarkan tiga kategori nilai Ketaatan menurut Spiritia
(2006), yaitu :
22
Dengan menggunakan rumus total skor, yaitu :
Nilai (%) =
(1) Taat
skor yangdidapat
x 100%
skor maksimal
: 75-100%
(2) Kurang Taat : 50-74%
(3) Tidak Taat : < 50%
2.3
Koping Keluarga
Koping terdiri atas pemecahan upaya pemecahan masalah yang sangat
relevan dengan kesejahteraan, tetapi membebani sumber seseorang. Koping
didefinisikan sebagai respon (kognitifperilaku atau persepsi) terhadap ketegangan
hidup eksternal yang berfungsi untuk mencegah, menghindari, mengandalkan
distress emosional. Koping adalah sebuah istilah yang terbatas pada perilaku atau
kognisi aktual yang ditampilkan seseorang, bukan pada sumber yang mungkin
mereka gunakan. Koping keluarga menunjukkan tingkat analisa kelompok
keluarga (atau sebuah tingkat analisis interaksional). Koping keluarga
didefinisikan sebagai proses aktif saat keluarga memamfaatkan sumber yang ada
dan mengembangkan perilaku serta sumber baru yang akan memperkuat unit
keluarga dan mengurangi dampak peristiwa hidup penuh stress. Krisis keluarga
adalah kondisi kekacauan, tidak teratur, atau ketidakmampuan dalam system
keluarga yang berlangsung terus menerus. Krisis terjadi ketika sumber dan strategi
adaptif keluarga tidak efektif dalam mengatasi stressor. Stressor keluarga dapat
23
berupa peristiwa atau pengalaman interpersonal (didalam atau diluar keluarga),
lingkungan, ekonomi atau sosial budaya.
Adaptasi keluarga adalah suatu proses saat keluarga terlibat dalam respon
langsung terhadap tuntutan stressor yang ekstensif, dan menyadari bahwa
perubahan sistemik dibutuhkan dalam unit keluarga, untuk memperbaiki stabilitas
fungsional dan memperbaiki kepuasaan dan kesejahteraan keluarga. Proses
adaptasi dalam sistem keluarga disebut resilience keluarga. Pendekatan resilience
keluarga guna bekerja dengan keluarga dibentuk atas kompetensi dan kekuatan
anggota keluarga yang memungkinkan penyediaan layanan kesehatan bergeser
dari model potogenik ke model berbasis kekuatan yaitu kita melihat keluarga
“ditantang”, bukan hancur, karena kemalangan.
Koping keluarga didefinisikan sebagai respon yang positif, sesuai dengan
masalah, afektif, persepsi, dan respons perilaku yang digunakan keluarga dan
subsistemnya untuk memecahkansuatu masalah atau mengurangi stress yang di
akibatkan oleh masalah atau peristiwa. Dengan mengubah dari tingkat koping
individu menjadi koping keluarga, koping menjadi lebih kompleks. Responrespons atau perilaku koping keluarga merupakan tindakan- tindakan pengenalan
yang digunakan keluarga sedangkan pola- pola dan strategi koping adalah
respons- respons sama yang membentuk set homogeny. Strategi koping keluarga
berkembang dan berubah dari waktu ke waktu, sebagai respons terhadap tuntutantuntutan atau stressor yang dialami (Friedman, 2003)
24
2.4
Strategi Koping Keluarga
2.4.1
Strategi koping keluarga internal
Menurut Friedman (2003) dalam Lukman (2007) strategi koping keluarga
internal memiliki tiga jenis strategi, yaitu strategi hubungan, kognitif dan
komunikasi.
a.
Strategi hubungan
1) Mengandalkan kelompok keluarga
Keluarga tertentu saat mengalami tekanan mengatasi dengan menjadi
lebih bergantung pada sumber mereka sendiri. Bersatu adalah satu dari
proses penting dalam badai kehidupan keluarga. Keluarga berhasil
melalui masalah dengan menciptakan struktur dan organisasi yang
lebih besar dirumah dan keluarga. Ketika keluarga menetapkan
struktur yang lebih besar, hal ini merupakan upaya untuk memiliki
pengendalian yang lebih besar terhadap keluarga mereka. Upaya ini
biasanya melibatkan penjadwalan waktu anggota yang lebih ketat,
lebih banyak tugas per anggota keluarga, organisasi ikatan yang lebih
ketat, dan rutinitas ynag lebih kuku dan terprogram. Bersamaan
dengan lebih ketatnya batasan keluarga, menimbulkan kebutuhan
pengaturan
dan pengendalian anggota keluarga yang lebih besar,
disertai harapan bahwa anggota lebih disiplin dan menyesuaikan diri.
Jika berhasil, keluarga menerapkan pengendalian yang lebih besar dan
mencapai integrasi dan kohesivitas yang lebih besar.
25
2) Kebersamaan yang lebih besar
Salah satu membuat keluarga semakin erat dan memelihara sreta
mengelola tingkat stress dan moral yang dibutuhkan keluarga adalah
dengan berbagi perasaan dan pemikiran serta terlibat dalam
pengalaman aktivitas keluarga. Kebersamaan yang lebih besar
menghasilkan kohesi keluarga yang lebih tinggi, atribut keluarga yang
mendapatkan perhatian yang luas sebagai atribut keluarga inti.
Hubungan yang paling penting membutuhkan kohesivitas dan saling
berbagi dalam system keluarga.kohesivitas keluarga yang tinggi
khususnya membantu saat keluarga pernah trauma, karena anggota
sangat memerlukan dukungan. Aktivitas anggota keluarga diwaktu
luang merupakan sumber koping yang sangat penting guna
memperbaiki kohesi, moral, dan kepuasaan kelurga.
3) Fleksibitas peran
Perubahan yang cepat dan pervasif dalam masyarakat serta dalam
keluarga, khususnya pada pasangan, merupakan tipe strategi keluarga
yang sangat kuat. Fleksibitas peran adalah satu dari dimensi utama
adaptasi keluarga. Keluarga harus mampu beradaptasi terhadap
perubahanperkembangan dan lingkungan. Ketika keluarga berhasil
mengatasi, keluarga mampu memelihara suatu keseimbangan dinamik
antara perubahan dan stabilitas. Fleksibitas peran memungkinkan
kesimbangan ini berlanjut.
26
b. Strategi kognitif
1) Normalisasi
Strategi koping keluarga fungsional lainnya adalah kecenderunagan
bagi keluarga untuk normalisasi suesuatu sebanyak mungkin saat
mereka
mengatasi
stressor
jangka
panjang
yang
cenderung
mengganggu kehidupan keluarga dan aktivitas rumah tangga.
Normalisasi adalah proses terus menerus yang melibatkan pengakuan
pentakit kronik tetapi menegaskan kehidupan keluarga sebagai
kehidupan keluarga yang normal, menegaskan efek sosial memiliki
anggota yang memiliki atau menderita penyakit kronik sebagi suatu
yang minimal, dan terlibat dalam perilaku yang menunjukkan kepada
orang lain bahwa keluarga tersebut adalah normal. Keluarga
menormalkan dengan memenuhi ritual dan rutinitas. Hal ini
membantu keluarga mengatasi stress dan meningkatkan rasa keutuhan
sepanjang waktu, sangat penting guna menormalisasi situasi keluarga.
2) Pengendalian makna masalah dengan membingkai ulang dan penilaian
pasif
Keluarga yang menggunakan strategi koping ini cenderung melihat
aspek positif dari peristiwa hidup penuh stress dan membuat peristiwa
penuh stress menjadi tidak terlalu penting dalam hierarki nilai
keluarga. Hal ini ditandai dengan naggota keluarga yang memiliki rasa
percaya dalam mengatasi kekganjilan denga mempertahankan
27
pandangan optimistic terhadap peritiwa, terus memiliki harapan dan
berfokus pada kekuatan dan potensi.
Pembingkaian ulang adalah cara persepsi koping individu dan sering
kali dipengaruhi oleh keyakinan keluarga. Keluarga memiliki persepsi
bersama, dan proses pembingkaian ulang akan dipengaruhi oleh
persepsi ini. Cara kedua keluarga mengendalikan makna stressor
adalah dengan penilaian pasif, kadang disebut sebagai penerimaan
pasif. Pada cara kedua ini, keluarga menggunakan strategi koping
kognitif kolektif dalam memandang stressor atau kebutuhan yang
menimbulkan stres sebagai sesuatu yang akan selesai dengan
sendirinya sepanjang waktu dan tentang hal tersebut tidak ada atau
sedikit yang dapat dilakukan. Seperti yang ditekankan, penilaian pasif
dapat menjadi strategi penurun stress yang efektif dalam jangka waktu
pendek, khususnya dalam kasus saat tidak ada satu pun yang dapat
dilakukan. Akan tetapai jika strategi ini digunakan secara konsisten
dan sepnjang waktu, penggunaannya menghambat pemecahan
masalah yang aktif da perubahan dalam keluarga serta dapat
menggangu adaptasi keluarga.
3) Pemecahan masalah bersama
Pemecahan masalah bersama diantara anggota keluarga adalah strategi
konitif dan komunikasi keluarga yang telah diteliti secara ekstensif
melalui metode penelitian laboratorium oleh kelompok peneliti
28
keluarga dan dalam lingkungan alami. Pemecahan masalah keluarga
yang efektif meliputitujuh langkah spesifik :
a)
Mengidentifikasi masalah
b) Mengkomunikasikan tentang masalah
c)
Menghasilkan solusi yang mungkin
d) Memutuskan satu dari solusi
e)
Melakukan tindakan
f)
Memantau atau memastikan bahwa tindakan dilakukan
g) Mengevaluasi seluruh proses pemecahan masalah
Dengan memasukkan strategi pemecahan masalah ini dalam
kehidupan keluarga, keluarga dipercaya dapat berfungsi secar efektif.
Keluarga yang menggunakan proses pemecahan masalah yang efektif
sebagai keluarga yang peka terhadap lingkungan. Tipe keluarga ini
seperti melihat sifat masalah sebagi sesuatu yang eksternal dan tidak
mencoba membuat masalah menjadi internal.
4) Mendapatkan informasi dan pengetahuan
Keluarga yang berbasis kognitif merespon terhadap stress dengan
mencari pengetahuan informasi berkenaan dengan stressor dan
kemungkinan stressor. Hal ini khususnya terbukti dalam kasus
masalah kesehatan berat atau yang mengancam hidup. Dengan
mendapatkan informasi yang bermanfaat, dapat meningkatkan
perasaan memiliki beberapa pengendalian terhadap situasi dan
mengurangi rasa takut keluarga terhadap sesuatu yang tidak diketahui
29
serta membantu keluarga menilai stressor (maknanya) lebih akurat dan
mengambil tindakan yang diperlukan.
c.
Strategi komunikasi
1) Terbuka dan jujur
Anggota keluarga yang menunjukkan keterbukaan, kejujuran, pesan
yang jelas dan perasaan serta afeksi yang lebih besar dibutuhkan pada
masa ini. Satir mengamati bahwa komunikasi keluarga yang
fungsional adalah langsung, terbuka,jujur dan jelas. Keterbukaan
adalah komunikatif dalam berbagai ide dan perasaan. Pemecahan
masalah kolaboratif, yang dibahas sebagai strategi koping kognitif,
juga merupakan strategi koping kognitif, juga merupakan strategi
komunikasi, yang memfasilitasi koping dan adaptasi keluarga.
2) Menggunakan humor dan tawa
Studi mengenai resilience menekankan bahwa humor tidak terhingga
nilainya dalam mengatasi penderitaan. Humor tidak hanya dapat
menyokong semangat, humor juga dapat menyokong sistem imun
seseorang dalam mendorong penyembuhan. Demikian juga bagi
keluarga, rasa humor adalah sebuah aspek yang penting. Humor dapat
dapat memperbaiki sikap keluarga terhadap masalah dan perawatan
kesehatan serta mengurangi kecemasan dan ketegangan. Humor dan
tawa dapat dipandang sebagai alat perawatan diri untuk mengatasi
stress karena kemampuan tertawa dapat memberikan seseorang
perasaan memiliki kekuatan terhadap situasi. Humor dan tawa dapat
30
menyokong sikap positif dan harapan bukan perasaan tidak berdaya
atau depresi dalam situasi penuh stress.
2.5.2
Strategi koping keluarga eksternal
a.
Strategi komunitas
Kategori ini merujuk pada upaya koping keluarga yang terus menerus,
jangka panjang, dan umum bukan upaya seseorang menyesuaikan
untuk mengurangi stressor khusus siapapun. Pada kasus ini, anggota
keluarga ini adalah peserta aktif (sebagai anggota aktif atau posisi
pimpinan) dalam klub, organisasi dan kelompok komunitas.
Hubungan komunitas yang kreatif dapat dibuat untuk memnuhi
kebutuhan anggota keluarga seperti meminta anggota keluarga lansia
yang kurang memiliki kontak keluarga memberiakan bantuan disentra
perawatan anak yang kekurangan staf.
b.
Memanfaatkan sistem dukungan sosial
1) Dukungan sosial keluarga
Dukungan sosial keluarga merujuk pada dukungan sosial yang
dirasakan oleh anggota keluarga ada atau dapat diakses (dukungan
social dapat atau tidak digunakan, tetapi anggota keluarga dapat
menerima bahwa orang pendukung siap memberikan bantuan dan
pertolongan jika dibutuhkan). Dukungan sosial keluarga dapat dating
dari dalam dukungan socsial keluarga seperti dukungan pasangan atau
dukungan subling atau dari luar dukungan sosial keluarga
yaitu
31
dukungan sosial berada diluar keluarga nuklir (dalam jaringan social
keluarga).
2) Sumber dukungan keluarga
Terdapat tiga sumber dukungan social umum. Sumber ini terdiri atas
jaringan informalyang spontan. Dukungan terorganisasi yang tidak
diarahkan oleh petugas kesehatan professional dan upaya terorganisasi
oleh professional kesehatan. Dari semua ini jaringan informal
(diidentifikasi diatas kelompok yang memberikan jumlah bantuan
terbanyak selama masa yang dibutuhkan. Keluarga memiliki fungsi
pendukung meliputi:
a)
Dukungan sosial (keluarga berfungsi sebagi pencari dan penyebar
informasi mengenai dunia).
b) Dukungan
penilaian
pembimbingumpan
(keluarga
balik,
bertindaksebagai
membimbing
dan
sistem
merantarai
pemecahan masalahdan merupakan sumber sera validator
identitas anggota).
c)
Dukungan tambahan (keluarga adalah sunber bantuan praktis dan
konkret).
d) Dukungan emosional (keluarga berfungsi sebagai pelabuhan
istirahat dan pemulihan serta membantu penguasaan emosional).
e)
Meningkatkan moral keluarga.
32
c.
Dukungan spiritual
Berbagai
studi
menunjukkan
hubungan
yang
jelas
antara
kesejahteraan spiritual dan peningkatan kemampuan individu atau
keluarga untuk mengatasi stress dan penyakit. Agama adalah
dorongan yang kuat dan pervasif dalam membentuk keluarga. Cara
koping yang berbasis spiritual bervariasi secara signifikan lintas
budaya. Penelitian mengenai koping keluarga dan individu serta
resilience secara konsisten menunjukkan bahwa dukungan spiritual
adalah penting dalam mendukung kepercayaan keluarga sehingga
mereka dapat mengatasi penderitaan.
Selain dua tipe seperti yang dikemukakan diatas, kemudian dikembangkan
lagi strategi koping keluarga dari Cubbin dan Thompson (1987) dalam Friedman
(2003) yang khusus untuk menginventarisir tindakan penangulangan masalahmasalah kesehatan bagi orang tua yakni Coping Health Inventory For Parent
(CHIP) yang di kembangkan untuk menggambarkan bagaimana keluarga
beradaptasi dengan situasti di bawah tekanan kronis. Hal tersebut mencakup
penanggulangan oleh keluarga sebagai proses aktif yang meliputi pemanfaatan
sumber daya dan pengembangan prilaku untuk membantu memperkuat unit
keluarga dalam mengurangi dampak peristiwa penuh tekanan. Friedman (2003)
dalam Sudiharto (2007) menyatakan bahwa mekanisme koping di golongkan
menjadi dua yaitu koping adaptif (positif) dan koping maladaptive (negatif).
Menurut Tam (2001) metode untuk menentukan derajat kebutuhan criteria
penilaian dengan cara mengumpulkan penilaian responden, kemudian di rata-
33
ratakan untuk tiap elemen. Seluruh criteria diurutkan dari nilai tertinggi ke nilai
terendah kemudian di cari nilai cut off point dengan rumus :
𝑁𝑎𝑡𝑢𝑟𝑎𝑙 cut off point =
(Maximum score + Minimum score)
2
Kemudian nilai cut off point dijadikan nilai tengah untuk membagi kategori
koping keluarga positif dan negatif
2.4.3
Faktor- Faktor Yang Mempengaruhi Koping Keluarga
Cara individu menangani situasi yang mengandung tekanan ditentukan
oleh sumber daya yang meliputi kesehatan fisik/ energy, keyakinan, atau
pandangan positif, keterampilan memecahkan masalah, keterampilan social dan
dukungan social, serta materi.
1.
Kesehatan fisik
Kesehatan merupakan hal yang penting, karena selama dalam usaha
mengatasi stress individu dituntut untuk mengerahkan tenaga yang cukup
besar
2.
Keyakinan atau pandangan positif
Keyakinan menjadi sumber daya psikologis yang sangat penting, seperti
keyakinan akan nasib (external locus of control) yang mengerahkan
individu pada penilaian ketidakberdayaan (helplessness) yang akan
menurunkan kemampuan strategi koping
3.
Keterampilan memecahkan masalah
Keterampilan ini meliputi kemampuan untuk mencari informasi,
menganalisa situasi, mengidentifikasi masalah dengan tujuan untuk
34
menghasilkan
alternative
tindakan,
kemudian
mempertimbangkan
alternative tersebut sehubungan degan hasil yang ingin dicapai.
4.
Keterampilan sosial
Keterampilan ini meliputi kemampuan untuk berkomonikasi dan
bertingkah laku dengan cara- cara yang sesuai dengan nilai social yang
berlaku di masyarakat
5.
Dukungan sosial
Dukungan ini meliputi dukungan pemenuhan kebutuhan informasi dan
emosional pada diri individu yang diberikan oleh orang tua, anggota
keluarga lain, saudara, teman, dan lingkungan sekitar
6.
Materi
Materi ini meliputi sumber daya berupa uang, barang- barang, atau
layanan yang biasanya dapat dibeli
2.5
Hubungan Koping Keluarga Dengan Ketaatan Diet Pasien Diabetes
Mellitus
Friedman (2003) dalam Sudiharto (2007), menyatakan bahwa fungsi dasar
keluarga antara lain adalah fungsi efektif, yaitu fungsi internal keluarga untuk
pemenuhan kebutuhan psikososial, saling mengasuh dan memberikan cinta kasih,
serta saling menerima dan mendukung. Koping keluarga didefinisikan sebagai
respons yang positif, sesuai dengan masalah, afektif, persepsi, dan respons
perilaku yang digunakan keluarga dan subsistemnya untuk memecahkan masalah
atau mengurangi stress yang diakibatka oleh suatu peristiwa (Ahyar, 2010). Yang
35
dimaksud stress adalah respon tubuh yang sifatnya non spesifik terhadap setiap
tuntutan beban, sumber stress terdiri atas 3 aspek yaitu diri sendiri, keluarga,
masyarakat dan lingkungan. Salah satu sumber stress disini yaitu adanya penyakit
diabetes mellitus yang menuntut pasien untuk mengikuti perubahan jangka
panjang yang kemungkinan menimbulkan respon negatif. Selain penyebab stress
yang timbul dari diri sendiri, stress yang bersumber dari masalah keluarga, adanya
tujuan berbeda diantara keluarga, serta kurangnya hubungan interpersonal serta
kurang adanya pengakuan di masyarakat yang merupakan penyebab stress dari
lingkungan dan masyarakat (Hidayat,2008). Dengan adanya perubahan perubahan
baru maka seseorang perlu melakukan adaptasi yang merupakan suatu proses
perubahan yang menyertai individu dalam berespon terhadap stressor yang ada di
lingkungan sekitar dan dapat mempengaruhi kebutuhan baik secara fisiologis
maupun psikologis yang akan menghasilkan perilaku adaptif (Hidayat, 2008)
Bagi pasien Diabetes Melitus, kepatuhan didefinisikan sebagai keaktifan,
kesukarelaan, keterlibatan pasien dalam pengelolaan penyakitnya dengan
mengikuti perawatan khusus yang telah disepakati bersama (antara pasien dengan
penyedia/petugas layanan kesehatan). Perawatan khusus dalam hal ini meliputi
penatalaksanaan diet. Pada pasien Diabetes Melitus perlu ditekankan pentingya
keteraturan makan dalam hal jenis makan, jadwal makan, dan jumlah makanan
(Perkeni, 2011). Pasien DM harus dapat beradaptasi terhadap perubahanperubahan baru seperti aturan diet, oleh karena itu koping keluarga yang positif
dapat membantu pasien menerima stressor baru tanpa memberi dampak negatif.
Download