II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA

advertisement
8
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1.
Tinjauan Pustaka
2.1.1. Definisi Inflasi
Pada tahun awal Perang Dunia II Lerner mengutarakan definisi inflasi.
Menurut Lerner, inflasi adalah keadaan dimana terjadi kelebihan permintaan
(excess
demand)
terhadap
barang-barang
dalam
perekonomian
secara
keseluruhan. Kelebihan permintaan akan barang-barang ini dapat diartikan
sebagai berlebihnya tingkat pengeluaran untuk komoditi akhir dibandingkan
dengan tingkat output maksimum yang dapat dicapai dalam jangka panjang
dengan sumber-sumber produksi tertentu (Susanto, 2005).
Friedman menyatakan bahwa inflasi selalu dan dimana pun merupakan
fenomena moneter. Ia menganggap bahwa sumber semua episode inflasi adalah
tingkat pertumbuhan uang beredar yang tinggi. Hanya dengan mengurangi tingkat
pertumbuhan uang beredar hingga tingkat yang rendah, inflasi dapat dihindari
(Mishkin, 2008).
Menurut Ackley, inflasi adalah suatu kenaikan harga yang terus menerus
dari barang-barang dan jasa secara umum. Kenaikan barang ini bukan hanya
terjadi pada satu barang saja, namun dapat berdampak pada kenaikan harga
barang lain (Sasana, 2004). Oleh karena itu untuk mengukur tingkat harga ratarata, para ekonom menyusun suatu indeks harga yang merata-rata harga komoditi
yang berbeda-beda menurut seberapa penting komoditi tersebut. Indeks tersebut
dikenal sebagai Consumer Price Index (CPI) atau Indeks Harga Konsumen (IHK).
9
2.1.2. Teori Inflasi
2.1.2.1. Teori Kuantitas Uang
Kaum Monetaris berpendapat bahwa inflasi merupakan fenomena moneter
yang terjadi karena adanya peningkatan jumlah uang beredar, sehingga
menyebabkan kenaikan dalam pertumbuhan uang beredar dan dipercaya menjadi
pemicu utama dari terjadinya inflasi. Tingkat harga yang berlaku (P) akan berubah
secara proposional dengan perubahan uang yang beredar, dimana kecepatan
transaksi (V) dan volume transaksi (T) akan dianggap konstan (Mankiw, 2007).
Hubungan diantara transaksi dan uang ditunjukkan dalam persamaan berikut yang
disebut persamaan kuantititas (quantity equation):
Uang x Perputaran = Harga x Transaksi
M
x
V
= P
x T
(2.1)
2.1.2.2. Teori Keynes
Menurut Keynes, inflasi terjadi karena masyarakat menginginkan barang
dan jasa yang lebih besar daripada yang mampu disediakan oleh masyarakat itu
sendiri. Hal ini menimbulkan inflationary gap karena permintaan total melebihi
jumlah barang yang tersedia.
P
AS
E1
P1
Inflationary gap
P0
E0
AD1
AD0
Yf
Ya
Gambar 2.1. Inflationary Gap
Sumber: Mankiw, 2007
Y
10
Inflationary gap ini diawali dari adanya peningkatan pengeluaran total
yang menyebabkan peningkatan agregat demand sehingga kurva AD bergeser ke
kanan. Pengeluaran total dapat berasal dari pengeluaran konsumsi masyarakat,
konsumsi pemerintah dan pengeluaran investasi sektor swasta. Keadaan ini
menggeser permintaan agregat bergerak naik melebihi keadaan output full
employment. Akibat terjadi kelebihan permintaan pada pasar barang dan jasa
sehingga harga meningkat. Kenaikan permintaan terhadap barang dan jasa akan
menyebabkan terjadinya kenaikan permintaan terhadap faktor produksi, sehingga
kuantitas permintaannya makin meningkat. Kenaikan harga barang dan jasa serta
faktor produksi inilah yang menyebabkan terjadi inflasi dalam perekonomian
(Nopirin, 2000). Bagi kalangan monetaris yang lebih menekankan terjadinya
kenaikan permintaan agregat sebagai akibat dari kenaikan ekspansi jumlah uang
yang beredar, tidak disangkal oleh Keynes. Namun, ditambahkan bahwa kenaikan
permintaan agregat bisa juga terjadi karena peningkatan pengeluaran konsumsi,
investasi, pengeluaran pemerintah serta ekspor netto.
2.1.2.3. Teori Strukturalis
Dasar pemikiran dari teori strukturalis adalah inflasi terjadi akibat adanya
kendala struktural dalam perekonomian. Kaum strukturalis berpendapat bahwa
penyebab inflasi di negara-negara berkembang adalah peningkatan harga komoditi
pangan dan inflasi dari luar negeri. Inflasi di negara berkembang umumnya
ditimbulkan oleh tekanan-tekanan, sebagai akibat dari pertumbuhan ekonomi
terhadap struktur sosial dan ekonomi yang masih terbelakang. Pada sektor
pertanian, dikemukakan bahwa terlambatnya pertumbuhan produktivitas atau
faktor iklim menyebabkan penurunan produksi atau faktor iklim menyebabkan
11
penurunan produksi dan peningkatan harga pangan. Di sektor perdagangan luar
negeri penurunan nilai mata uang (depresiasi) menyebabkan harga barang-barang
impor menjadi semakin tinggi.
2.1.2.4. Teori Mark-up Model
Menurut Cavanese, dasar pemikiran teori ini adalah bahwa harga output
dipengaruhi oleh dua komponen, yaitu cost of production dan profit margin.
Dengan demikian, apabila terjadi kenaikan harga pada komponen-komponen yang
menyusun cost of production dan atau kenaikan pada profit margin akan
menyebabkan terjadinya kenaikan pada harga jual komoditi di pasar (Tambunan,
1996).
2.1.2.5. Teori Ekspektasi Rasional
Kurva Phillips dalam bentuk modernnya menyatakan bahwa tingkat inflasi
tergantung pada tiga kekuatan utama yaitu ekspektasi inflasi, pengangguran siklis
dan guncangan penawaran (Mankiw, 2007).
π =πe −β(u − u n ) + v
Dimana:
π
πe
(u − u n )
v
=
=
=
=
(2.2)
inflasi
ekpektasi inflasi
pengangguran siklis
guncangan penawaran
Persamaan (2.2) mencerminkan hubungan berlawanan antara inflasi dan
pengangguran.
Ketika
tingkat
pengangguran
lebih
tinggi
dari
tingkat
pengangguran alamiah, maka inflasi akan menurun. Sebaliknya ketika tingkat
pengangguran lebih rendah dari tingkat pengangguran alamiah, maka inflasi akan
meningkat. Sehingga menurut kurva Phillips, para pembuat kebijakan yang
12
mengendalikan permintaan agregat akan menghadapi tradeoff
jangka pendek
antara inflasi dan pengangguran
Teori ekspektasi rasional hadir sebagai pendekatan alternatif yang
mengasumsikan bahwa orang-orang memiliki ekspektasi rasional. Teori
ekspektasi
rasional
menggunakan
mengasumsikan
seluruh
informasi,
bahwa
termasuk
orang-orang
informasi
secara
tentang
optimal
kebijakan
pemerintah sekarang, untuk meramalkan masa depan. Menurut teori ekspektasi
rasional, perubahan kebijakan moneter dan fiskal dapat mengubah ekspektasi
masyarakat. Jika masyarakat membentuk ekspektasi mereka secara rasional, maka
inflasi memiliki inersia yang lebih kecil daripada pertama kali muncul. Sehingga,
jika para pembuat kebijakan bersungguh-sungguh ingin menurunkan inflasi, maka
orang-orang yang rasional akan memahami komitmen tersebut dan dapat
menurunkan ekspektasi inflasi mereka. Jadi, inflasi dapat turun tanpa kenaikan
pengangguran dan penurunan output.
Ada dua syarat dalam teori ekspektasi rasional ini. Pertama, rencana
menurunkan inflasi harus diumumkan sebelum para pekerja dan perusahaan yang
menetapkan upah serta harga membentuk ekspektasi mereka. Kedua, para pekerja
dan perusahaan harus percaya pada pengumuman itu. Jika tidak, mereka tidak
akan menurunkan ekspektasi inflasi. Jika kedua persyaratan itu dipenuhi,
pengumuman itu dengan cepat akan menggeser tradeoff jangka pendek antara
inflasi dan pengangguran ke bawah, yang membiarkan tingkat inflasi yang lebih
rendah tanpa pengangguran yang lebih tinggi.
13
2.1.3. Identifikasi Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Inflasi
2.1.3.1. Hubungan Inflasi dan Nilai Tukar
Menurut Zainusyukur (2005) perubahan nilai tukar rupiah berpengaruh
nyata dan menjadi determinan penting terhadap laju inflasi di Indonesia. Hal ini
disebabkan karena penurunan nilai tukar atau depresiasi akan meningkatkan biaya
impor untuk barang-barang impor. Kenaikan harga untuk impor barang modal dan
bahan baku akan memengaruhi kenaikan biaya produksi didalam negeri. Sehingga
ketika nilai tukar terdepresiasi, maka akan meningkatkan laju inflasi.
2.1.3.2. Hubungan Inflasi dan Harga Minyak Dunia
Menurut Blanchard dalam Purwanti (2011), mekanisme transmisi dampak
oil price shock terhadap harga dan inflasi dapat dijelaskan melalui model markup. Ketika terjadi kenaikan harga minyak dunia maka perusahaan akan merespon
dengan menaikan markup sehingga harga akan naik, karena hubungan antara
keduanya berbanding lurus. Dengan asumsi upah tetap, peningkatan harga minyak
akan menyebabkan peningkatan biaya produksi dan mendorong perusahaan untuk
meningkatan harga.
2.1.3.3. Hubungan Inflasi dan Harga Pangan Dunia
Menurut Braun (2008) kenaikan pada harga pangan dapat meningkatkan
inflasi dan ketidakseimbangan makroekonomi. Pada sebagian negara, pola
kenaikan harga pangan dunia diikuti oleh kenaikan harga pangan domestik. Pada
negara berkembang, kenaikan harga pada pangan dapat meningkatkan inflasi. Hal
ini dapat terjadi karena rata-rata konsumsi pangan menempati porsi terbesar dari
tingkat konsumsi masyarakat. Jadi, kenaikan harga pangan dunia dapat
memengaruhi kenaikan inflasi.
14
2.1.3.4. Hubungan Inflasi dan Uang Beredar
Bagi kalangan monetaris, meningkatnya jumlah uang beredar secara terus
menerus akan meyebabkan terjadinya inflasi. Hubungan kedua variabel ini
ditunjukkan pada Gambar 2.2 (Mishkin, 2008).
AS4
P
AS3
P4
AS2
4
P3
31
AS1
21
AD4
11
AD3
3
P2
2
P1
1
AD2
AD1
Ye
Gambar 2.2. Dampak Kenaikan Uang Beredar
Sumber: Mishkin, 2008
Y
Awalnya perekonomian berada pada titik 1 dengan output natural dan
tingkat harga P1 (perpotongan kuva AD 1 dan kurva AS 1 ). Jika jumlah uang
beredar meningkat, kurva permintaan agregat bergeser ke kanan AD 2 sehingga
perekonomian berpindah ke titik 11 dan output meningkat diatas tingkat alamiah.
Hal ini menyebabkan terjadinya penurunan pengangguran dibawah tingkat awal
yang mengakibatkan kenaikan upah. Kurva penawaran agregat akan bergeser ke
kiri dan akan berhenti pada titik AS 2 . Pada waktu perekonomian meningkat
kembali di tingkat output awal dengan kurva penawaran agregat jangka panjang,
terjadi keseimbangan baru di titik 2 sehingga harga meningkat dari P 1 ke P 2 .
Apabila jumlah uang beredar meningkat pada tahun berikutnya, kurva AD
akan bergeser ke kanan menjadi AD 3 dan kurva AS akan bergeser dar AS 2 ke
15
AS 3 . Perekonomian kemudian akan bergerak dari titik 21 ke 3 dan tingkat harga
meningkat ke P 3 . Jika jumlah uang beredar terus tumbuh, perekonomian akan
terus bergerak pada tingkat harga yang lebih tinggi. Selama jumlah uang yang
beredar meningkat dalam proses terus menerus, inflasi akan timbul.
2.1.3.5. Hubungan Inflasi dan PDB
Dari sisi permintaan, meningkatnya PDB dapat meningkatkan permintaan
agregat sehingga dapat meningkatkan harga. Berdasarkan Gambar 2.3
menjelaskan hubungan antara GDP dengan inflasi. Titik E 0 merupakan awal
keseimbangan AD dan AS. Jika GDP mengalami ekspansi akibat adanya
peningkatan pengeluaran konsumsi, investasi, pengeluaran pemerintah, ataupun
ekspor netto maka akan menggeser kurva AD ke kanan atas (AD 0 ke AD 1 ).
Peningkatan kurva AD tersebut menyebabkan bergesernya keadaan ekuilibrium
dari E 0 ke E 1 pada tingkat harga yang lebih tinggi (P 1 ) (Mankiw, 2007).
AS
P
E1
P1
P0
E0
AD1
AD0
Yf
Y
Gambar 2.3. GDP dan Inflasi
Sumber: Mankiw, 2007
2.1.3.6. Hubungan Inflasi dan Suku Bunga
Kebijakan moneter yang kontraktif (LM 0 ke LM 1 ) meningkatkan suku
bunga dari r 0 ke r 1 . Suku bunga merupakan harga uang di masa depan. Ketika
suku bunga meningkat, masyarakat cenderung akan menyimpan uangnya dalam
16
bentuk tabungan atau obligasi. Hal ini dapat mengurangi jumlah uang beredar
sehingga dapat mengurangi kegiatan konsumsi atau investasi. Hal ini dapat
mengurangi permintaan agregat (AD 0 ke AD 1 ).
r
LM1
r1
LM0
r0
IS
Ya
Yf
P
A
P0
P1
Y
LRAS
SRAS0
B
SRAS1
C
AD0
AD1
Ya
Yf
Y
Gambar 2.4. Suku Bunga dan Inflasi
Sumber: Mankiw, 2007
Dalam jangka pendek, harga adalah kaku, sehingga perekonomian
bergerak dari titik A ke titik B. Output dan kesempatan kerja turun dibawah
tingkat alamiah, yang berarti perekonomian mengalami resesi. Selama itu, dalam
menanggapi permintaan yang rendah, upah dan harga turun. Penurunan tingkat
harga yang berangsur-angsur ini menggerakkan perekonomian ke bawah
sepanjang kurva permintaan agregat ke titik C, yang merupakan ekuilibrium
jangka panjang yang baru. Pada ekuilibrium jangka panjang yang baru (titik C),
output dan kesempatan kerja kembali ke tingkat alamiah, tetapi tingkat harga
menjadi lebih rendah.
17
2.1.3.7. Hubungan Inflasi dan Pengeluaran Pemerintah
Inflasi dapat disebabkan dari kebijakan fiskal seperti peningkatan
pengeluaran pemerintah (Mishkin, 2008). Hal tersebut dapat dijelaskan melalui
Gambar 2.5. Pada awalnya, keseimbangan berada pada titik 1, dimana output
berada pada pada tingkat alamiah dan tingkat harga P 1 . Kenaikan pengeluaran
pemerintah menggeser kurva permintaan agregat ke AD 2 , sehingga titik
keseimbangan berubah menjadi di titik 11 dimana output berada diatas tingkat
alamiah Y1. Oleh karena itu, kurva penawaran jangka pendek akan mulai bergeser
ke kiri, secara perlahan mencapai AS 2 , dimana kurva tersebut berpotongan
dengan kurva permintaan agregat AD 2 sehingga output kembali pada
keseimbangan alamiah dan tingkat harga meningkat menjadi P 2 .
P
AS
AS2
P2
2
AS1
11
P1
1
AD2
AD1
Yf
Ya
Y
Gambar 2.5. Pengeluaran Pemerintah dan Inflasi
Sumber : Mishkin, 2008
2.1.4. Sumber Inflasi
Penyebab timbulnya inflasi berasal dari sisi permintaan (Demand Pull
Inflation) dan sisi penawaran (Cost Push Inflation).
18
1. Demand Pull Inflation
Inflasi ini bermula dari adanya kenaikan permintaan total (agregate
demand), sedangkan produksi telah berada pada keadaan kesempatan kerja
penuh atau hampir mendekati kesempatan kerja penuh. Apabila
kesempatan kerja penuh (full-employment) telah tercapai, penambahan
permintaan selanjutnya hanyalah akan menaikkan harga saja.
2. Cost Push Inflation
Inflasi ini ditandai dengan kenaikan harga serta turunnya produksi. Jadi,
inflasi yang dibarengi dengan resesi. Keadaan ini timbul dimulai dengan
adanya penurunan dalam penawaran total (agregate supply) sebagai akibat
kenaikan biaya produksi. Kenaikan biaya produksi akan menaikkan harga
dan turunnya produksi.
2.1.5. Jenis-Jenis Inflasi
Jenis-jenis inflasi dapat dikelompokkan berdasarkan sudut pandang
sebagai berikut:
1. Asal Inflasi
Berdasarkan asal terjadinya, inflasi dibagi menjadi dua, yaitu:
a. Domestic Inflation
Domestic Inflation adalah inflasi yang berasal dari dalam negeri, sebagai
akibat adanya kenikan harga dari dalam negeri, baik karena perilaku masyarakat
maupun perilaku pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang dapat
memengaruhi inflasi.
19
b. Imported Inflation
Imported Inflation adalah inflasi yang terjadi didalam negeri karena
adanya pengaruh kenaikan harga dari luar negeri. Kenaikan harga didalam negeri
terjadi karena dipengaruhi oleh kenaikan harga diluar negeri terutama harga
barang impor atau kenaikan harga bahan baku yang masih belum dapat diproduksi
didalam negeri.
2. Bobot Inflasi
Berdasarkan bobotnya, inflasi dibagi menjadi empat macam, yaitu inflasi
ringan, sedang, berat dan sangat berat. Inflasi ringan (creeping inflation) adalah
inflasi dengan laju pertumbuhan secara perlahan dan berada pada posisi satu digit
atau dibawah 10 persen per tahun. Inflasi sedang (moderat) adalah inflasi dengan
tingkat pertumbuhan berada diantara 10-30 persen per tahun atau melebihi dua
digit dan sangat mengancam strukutur dan pertumbuhan ekonomi suatu negara.
Inflasi berat adalah inflasi dengan laju pertumbuhan berada diantara 30-100
persen. Pada kondisi demikian, sektor-sektor produksi hampir lumpuh total
kecuali yang dikuasai negara. Inflasi sangat berat (Hyperinflation) adalah inflasi
dengan laju pertumbuhan melampaui 100 persen per tahun, sebagaimana yang
terjadi dimasa perang dunia ke II (1979-1945). Untuk keperluan perang terpaksa
harus dibiayai dengan cara mencetak uang secara berlebihan.
2.1.6. Pengukuran Tingkat Inflasi
Pertumbuhan tingkat inflasi dapat diukur dengan menggunakan indikator
penghitungan, seperti Indeks Harga Konsumen (IHK), Indeks Harga Perdagangan
20
Besar (IHPB), dan Angka Deflator. Berikut ini akan dibahas mengenai indikator
perhitungan inflasi.
2.1.6.1. Indeks Harga Konsumen (IHK)
Untuk melihat dan mengamati bagaimana perubahan harga barang/jasa
yang menjadi kebutuhan masyarakat diperlukan data statistik di tingkat konsumen
yaitu Indeks Harga Konsumen (IHK). IHK menggambarkan rata-rata perubahan
harga antar periode waktu tertentu dari satu kelompok barang/jasa. Atas dasar
penghitungan IHK maka akan diperoleh angka inflasi sebagai gambaran
meningkatnya harga barang/jasa kebutuhan masyarakat yang dihitung berdasarkan
bobot nilai konsumsi yang berlaku di suatu wilayah. IHK merupakan indikator
penghitungan inflasi yang umum digunakan. Perhitungannya menggunakan rumus
sebagai berikut :
𝐼𝐻𝐾𝑑 −𝐼𝐻𝐾𝑑−1
LI t
=
LI t
IHK t
IHK t-1
= Laju Inflasi pada tahun atau periode t
= Indeks Harga Konsumen pada tahun atau periode t
= Indeks Harga Konsumen pada tahun atau periode t-1
𝐼𝐻𝐾𝑑−1
x 100 %
(2.3)
2.1.6.2. Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB)
IHPB adalah angka indeks yang menggambarkan besarnya perubahan
harga pada tingkat grosir atau perdagangan besar dari komoditas-komoditas yang
diperdagangkan disuatu daerah/negara. Komoditas tersebut merupakan produksi
dalam negeri yang dipasarkan didalam negeri ataupun diekspor dan komoditas
yang
diimpor.
Perhitungannya
menggunakan
formula
Lasfayres
yang
dikembangkan sebagai berikut:
In
=
𝑃𝑛
𝑃𝑛−1
∑
π‘₯ 𝑃𝑛−1 𝑄0
∑ 𝑃0 𝑄0
x 100 %
(2.4)
21
In
Pn
P n-1
P n-1 Q 0
P0Q0
= Indeks bulan n
= Harga pada bulan ke n
= Harga pada bulan ke n-1
= Nilai timbangan bulan n-1
= Nilai timbangan tahun dasar
2.1.6.3. Angka Deflator PDB
Deflator PDB menggambarkan pengukuran level harga barang akhir dan
jasa yang diproduksi di dalam suatu ekonomi. Untuk menghitung deflator PDB
dapat dilakukan dengan cara membagi PDB nominal dangan PDB riil
(berdasarkan harga konstan). Rumus yang digunakan adalah :
Deflator PDB
=
𝑃𝐷𝐡 π‘›π‘œπ‘šπ‘–π‘›π‘Žπ‘™
𝑃𝐷𝐡 π‘Ÿπ‘–π‘–π‘™
x 100%
(2.5)
Pada penelitian ini, metode yang digunakan untuk menghitung inflasi
adalah indikator penghitungan Indeks Harga Konsumen. IHK merupakan sebuah
indikator yang menggambarkan berbagai sumber kenaikan harga dari beberapa
jenis barang dan jasa yang dikonsumsi oleh masyarakat dalam jangka waktu
tertentu. Berdasarkan perubahannya, inflasi dibagi menjadi tiga jenis, yaitu:
1.
Inflasi Bulanan, yakni inflasi yang terjadi selama satu bulan tertentu.
Dengan kata lain, inflasi bulanan merupakan persentase perubahan IHK
bulan tertentu terhadap IHK bulan sebelumnya. Contoh: IHK Umum bulan
Juni 2011 sebesar 126,50; dan IHK bulan Juli 2011 sebesar 127,35 maka
inflasi bulan Juli 2011 adalah 0,67 persen. Yakni, persentase perubahan
IHK bulan bulan Juli 2011 terhadap IHK bulan Juni 2011 yang
diformulasikan
ke
dalam
rumus
126,50)/126,50 x 100% = 0,67 persen
matematik
adalah
=
(127,35-
22
2.
Kumulatif / Tahun Kalender, yakni inflasi yang terjadi selama bulan
Januari sampai dengan bulan tertentu. Misalkan inflasi kumulatif pada
bulan Juli 2011 berarti inflasi Januari 2011 hingga Juli 2011. Dengan kata
lain inflasi, tahun kalender merupakan persentase perubahan IHK bulan
tertentu terhadap IHK bulan Desember tahun sebelumnya. Contoh : IHK
bulan Juli 2011 sebesar 127,35; IHK Desember 2010 sebesar 125,17 maka
inflasi kumulatif bulan Juli 2011 adalah = (127,35-125,17)/125,17 x 100%
= 1,74 persen.
3.
Year on Year (YoY) yakni inflasi yang terjadi selama setahun terakhir dari
bulan tertentu tahun sebelumnya sampai dengan bulan yang sama tahun
sekarang. Misalkan inflasi year on year pada bulan Juli berarti inflasi
bulan Juli 2011 terhadap Juli 2010. Dengan kata lain, inflasi YoY
merupakan persentase perubahan IHK bulan tertentu tahun sekarang
terhadap IHK bulan yang sama tahun sebelumnya. Contoh : IHK bulan Juli
2011 sebesar 127,35; sedangkan IHK Juli 2010 sebesar 121,74 maka
inflasi year on year bulan Juli 2011 adalah = (127,35-121,74)/121,74 ×
100% = 4,61 persen.
2.2.
Penelitian Terdahulu
Dengan latar belakang yang relatif sama yaitu pentingnya pengendalian
inflasi di Indonesia, sehingga peneliti – peneliti terdahulu seperti Ramakhrisnan
dan Vamvakidis (2002), Susanto (2005), Ekamaryasa (2005), Endri (2008),
Wahyuni (2011) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi inflasi di
23
Indonesia. Namun, Purwanti (2011) lebih spesifik lagi menganalisis pengaruh
guncangan harga minyak dunia terhadap inflasi di Indonesia.
Untuk menganalisis permasalahan yang ada Susanto (2005) dan
Ekamaryasa (2005) menggunakan metode analisis regresi linear berganda,
sedangkan Ramakhrisnan dan Vamvakidis (2002), Endri (2008) dan Wahyuni
(2011) menggunakan metode VECM. Selain itu, digunakan metode FD-GMM
(First Difference Generalized Method of Moments) oleh Purwanti (2011).
Pada penelitian sebelumnya, seluruhnya menggunakan data sekunder.
Sebagian besar data yang digunakan berupa data time series. Sedangkan Purwanti
(2011) menambahkan data cross section. Data diperoleh dari berbagai macam
sumber publikasi seperti Bank Indonesia, Badan Pusat Statistik, IFS
(International Financial Statistic), IMF (International Monetary Fund), ADB
(Asian Development Bank), EIA (Energy Information Administration), dan FAO
(Food Agricultural Organization).
Secara garis besar, pada penelitian terdahulu menunjukan bahwa pada
periode tertentu ada beberapa variabel makroekonomi, baik yang berasal dari
dalam negeri maupun luar negeri yang memengaruhi inflasi di Indonesia. Seperti
penelitian yang dilakukan oleh Ramakhrisnan dan Vamvakidis (2002) yang
menunjukan bahwa variabel inflasi luar negeri dan nilai tukar berpengaruh positif
dan menjadi kontributor utama pada inflasi di Indonesia. Susanto (2005),
Ekamaryasa
(2005),
dan
Endri
(2008),
menunjukkan
bahwa
variabel
makroekonomi seperti nilai tukar, uang beredar, suku bunga dan PDB
berpengaruh pada inflasi. Wahyuni (2011) juga menunjukkan bahwa harga
24
minyak dunia dan harga pangan dunia berkontribusi pada inflasi di Indonesia.
Secara ringkas, penelitian-penelitian di atas dapat dilihat pada Tabel 2.1.
Adapun perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya yaitu
perbedaan pada variabel yang digunakan, jenis data yang digunakan, periode
analisis dan metode yang digunakan. Pada penelitian ini, variabel yang digunakan
yaitu inflasi, nilai tukar, harga minyak dunia, harga pangan dunia, jumlah uang
beredar, suku bunga, PDB, pengeluaran pemerintah dan ekspektasi inflasi. Jenis
data yang digunakan adalah data sekunder berupa data bulanan. Periode yang
dianalisis dalam penelitian ini yaitu dari Januari 2000 hingga Desember 2011.
Selain itu, metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode VECM
(Vector Error Correction Model).
25
Tabel 2.1. Ringkasan Penelitian Terdahulu
Judul dan peneliti
Latar Belakang
Metode Analisis
Analisis FaktorFaktor yang
Mempengaruhi
Inflasi di
Indonesia” oleh
Endri (2008)
Adanya perubahan rezim
nilai tukar, menjadi
floating exchange rate
dan bertumpu pada UU
No.23 Tahun 1999
dimana Bank Indonesia
berfokus pada
pencapaian kestabilan
inflasi sehingga perlu
dianalisis faktor-faktor
yang memengaruhi
inflasi di Indonesia yang
terdiri dari variabelvariabel domestik dan
eksternal.
VECM
Analisis FaktorFaktor yang
Mempengaruhi
Inflasi di
Indonesia dari Sisi
Penawaran” oleh
Dwi Wahyuni
(2011)
Guncangan penawaran
yang bersifat negatif
dapat meningkatkan
biaya produksi dan dapat
meningkatkan inflasi
VECM
Analisis
Determinan
Inflasi di
Indonesia” oleh
Hery Susanto
(2005)
Kecenderungan Bank
Sentral di dunia untuk
memfokuskan pada
kestabilan harga sebagai
sasaran akhir, sehingga
perlu diidentifikasi
faktor-faktor yang
memengaruhi inflasi di
Indonesia.
Regresi Linear
Berganda
Forecasting
Inflation in
Indonesia” oleh
Uma
Ramakhrisnan dan
Athanasius
Vamvakidis
(2002)
Ketika Bank Indonesia
menetapkan target inflasi
yang kredibel dan akurat,
Bank Indonesia perlu
menganalisis leading
indicator dari inflasi dan
pemahaman yang
penting bagi
keberhasilan kebijakan
moneter.
VECM
Hasil
Variabel suku bunga,
output gap dan nilai
tukar mempunyai
pengaruh yang signifikan
terhadap inflasi dalam
jangka panjang. Nilai
tukar memiliki kecepatan
penyesuaian yang cukup
besar dan signifikan
untuk kembali ke
keseimbangan jangka
panjangnya. Suku bunga
merupakan kontributor
terbesar dalam
memengaruhi inflasi di
Indonesia.
Variabel nilai tukar
signifikan memengaruhi
inflasi di Indonesia.
Shock (guncangan)
variabel endogen yang
berkontribusi pada inflasi
jangka panjang yaitu
ekspektasi inflasi (42,77
persen), nilai tukar
(23,34 persen), harga
minyak dunia (9,29
persen), harga pangan
dunia (6 persen) dan
upah buruh (1,34
persen).
Uang beredar dan
dummy krisis 1997
berpengaruh positif dan
tidak signifikan. Nilai
tukar, suku bunga dan
PDB berpengaruh positif
dan signifikan.
Kontribusi terbesar
adalah ekspektasi inflasi
dimana variabel ini
berpengaruh positif dan
signifikan.
Nilai tukar dan inflasi
luar negeri merupakan
kontributor utama
terhadap inflasi di
Indonesia dengan suatu
kekuatan prediksi yang
besar. Pertumbuhan uang
beredar secara statistik
signifikan dengan
dampak yang kecil.
26
Analisis FaktorFaktor Yang
Memengaruhi
Inflasi Jangka
Pendek” oleh I
Putu Ekamaryasa
(2005)
Pengendalian inflasi
dapat dilakukan melalui
kebijakan moneter dan
kebijakan fiskal,
sehingga perlu dikaji
pengaruh dari uang
beredar dan pengeluaran
pemerintah terhadap
inflasi di Indonesia
Dampak
Guncangan Harga
Minyak Dunia
Terhadap Inflasi
dan Pertumbuhan
Ekonomi di
Negara-Negara
ASEAN +3” oleh
Dewi Purwanti
(2011)
Pentingnya minyak bumi
sebagai input produksi
menyebabkan fluktuasi
harga minyak bumi
sangat sensitif terhadap
kondisi perekonomian di
setiap negara.
Guncangan harga
minyak dunia
memberikan kontribusi
terhadap resesi global
dalam tiga puluh tahun
terakhir.
2.3.
Regresi Linear
Berganda
Variabel jumlah uang
primer (G_M0)
menunjukkan pengaruh
negatif dan tidak
signifikan terhadap
inflasi. Variabel uang
beredar dalam arti sempit
(G_M1) berpengaruh
positif dan signifikan
terhadap inflasi di
Indonesia. Variabel
pengeluaran pemerintah
(G_P_PEMER) dengan
menggunakan G_M0
memberikan pengaruh
yang positif dan tidak
signifikan terhadap
inflasi. Sedangkan
variabel pengeluaran
pemerintah
(G_P_PEMER) dengan
menggunakan G_M1
memberikan pengaruh
negatif dan tidak
signifikan terhadap
inflasi di Indonesia.
Data Panel
Dinamis FDGMM (First
Difference
Generalized
Method of
Moments)
Selama tahun 1999-2008
peningkatan harga
minyak dunia umumnya
diikuti oleh peningkatan
inflasi di masing-masing
Negara ASEAN+3
kecuali di Indonesia. Hal
ini disebabkan oleh
penerapan subsidi harga
bahan bakar minyak
yang sangat tinggi di
Indonesia.
Kerangka Pemikiran
Salah satu indikator makroekonomi yang menjadi tujuan utama (single
objective) bagi perekonomian Indonesia adalah inflasi. Menurut Endri (2008)
inflasi disebabkan dari faktor eksternal dan internal. Pengaruh faktor eksternal
tidak terlepas dari karakteristik Indonesia sebagai negara small open economy.
Perekonomian Indonesia diproyeksikan sebagai negara yang berkarakteristik
27
small open economy dimana konsekuensi yang ditimbulkan yaitu stabilitas
perekonomian domestik akan rawan terhadap guncangan yang ditimbulkan oleh
perekonomian dunia. Adapun small open economy merupakan karakteristik suatu
negara yang termasuk dalam bagian kecil dari pasar dunia yang memiliki
pengaruh kecil pada perekonomian dunia. Inflasi juga dipengaruhi oleh faktor
internal yaitu faktor-faktor yang berasal dari dalam negeri, seperti perubahan
kebijakan moneter, kebijakan fiskal dan kebijakan dibidang harga.
Berdasarkan uraian teori di atas dan hasil penelitian terdahulu, sehingga
yang menjadi variabel eksternal dalam penelitian ini adalah variabel nilai tukar,
harga minyak dunia, dan harga pangan dunia. Sedangkan, variabel internal dalam
penelitian ini adalah ekspektasi inflasi, uang beredar, PDB, suku bunga, dan
pengeluaran pemerintah.
Faktor Eksternal
Faktor Internal
• Nilai Tukar
• Harga Minyak Dunia
• Harga Pangan Dunia
•
•
•
•
•
Ekspektasi Inflasi
Uang Beredar
Suku Bunga
PDB
Pengeluaran Pemerintah
Pengaruh Guncangan dan
Kontribusi Faktor
Eksternal dan Internal
terhadap Inflasi di
Indonesia
Implikasi Kebijakan
Gambar 2.6. Kerangka Pemikiran Teoritis
Download