kebijakan uni eropa dalam menghentikan

advertisement
KEBIJAKAN UNI EROPA DALAM MENGHENTIKAN
PROLIFERASI NUKLIR IRAN
TAHUN 2009-2013
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh
Estri Hardianti
NIM: 1111113000057
PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1436 H/2015M
KEBIJAKAN UNI EROPA DALAM MENGHENTIKAN
PROLIFERASI NUKLIR IRAN
TAHUN 2009-2013
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh
Estri Hardianti
NIM: 1111113000057
PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1436 H/2015M
i
PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME
Skripsi yang berjudul:
KEBIJAKAN UNI EROPA DALAM MENGHENTIKAN PROLIFERASI
NUKLIR IRAN TAHUN 2009-2013
1.
Merupakan karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu
persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2.
Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3.
Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya saya ini bukan hasil karya asli
saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya besedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 24 Juni 2015
Estri Hardianti
NIM. 1111113000057
ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI
Dengan ini, Pembimbing Skripsi menyatakan bahwa mahasiswa:
Nama
:
Estri Hardianti
NIM
:
1111113000057
Program Studi :
Hubungan Internasional
Telah menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul:
KEBIJAKAN UNI EROPA DALAM MENGHENTIKAN PROLIFERASI
NUKLIR IRAN TAHUN 2009-2013
dan telah memenuhi syarat untuk diuji.
Jakarta, 13 Juni 2015
Mengetahui,
Menyetujui,
Ketua Program Studi
Pembimbing
Debbie Affianty, M.Si.
Andar Nubowo, DEA.
NIP.
NIP.
iii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI
SKRIPSI
KEBIJAKAN UNI EROPA DALAM MENGHENTIKAN PROLIFERASI
NUKLIR IRAN TAHUN 2009-2013
oleh:
Estri Hardianti
1111113000057
Telah dipertahankan dalam sidang ujian skripsi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal
24 Juni 2015. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh
gelar Sarjana Sosial (S.Sos) pada Program Studi Hubungan Internasional.
Ketua Sidang,
Debbie Affianty, M.A
NIP.
Penguji I,
Penguji II,
Eva Mushoffa, M,A.
Ahmad Alfajri, M.A.
NIP.
NIP.
Diterima dan dinyatakan memenuhi syarat kelulusan pada tanggal 24 Juni 2015.
Ketua Program Studi
FISIP UIN Jakarta
Debbie Affianty, M.A
NIP.
iv
ABSTRAKSI
Penelitian ini menjelaskan kebijakan Uni Eropa dalam menghentikan
proliferasi nuklir Iran pada periode tahun 2009-2013. Penelitian ini menggunakan
metode kualitatif, dengan menggunakan teknik pengumpulan data melalui studi
pustaka. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh adanya kekhawatiran dunia
internasional terhadap sifat nuklir Iran. Pemerintah Iran secara resmi selalu
menyatakan bahwa program nuklir Iran bertujuan damai. Walaupun Iran terikat
dengan Non-Proliferation Treaty, hingga saat ini, belum ada satu pun pihak yang
mampu mengkonfirmasi bahwa nuklir Iran bersifat damai dan tidak ada keinginan
Iran untuk membangun senjata nuklir.
Di tengah ketidakpastian keamanan internasional karena proliferasi nuklir
Iran, Uni Eropa secara aktif hadir sebagai negosiator utama dalam masalah nuklir
Iran. Proliferasi senjata pemusnah masal diidentifikasikan sebagai ancaman paling
berbahaya dalam European Security Strategy, hingga Uni Eropa membentuk
strategi untuk melawan proliferasi senjata pemusnah masal. Upaya Uni Eropa
menghadapi beberapa tantangan dan hambatan internal, maupun eksternal.
Namun, ditengah tantangan tersebut, Uni Eropa harus mempunyai sikap dan
mampu menjalankan komitmennya yang sejalan dengan kerangka keamanan Uni
Eropa dalam bidang proliferasi. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk
menganalisa kebijakan yang digunakan Uni Eropa untuk menghentikan proliferasi
nuklir Iran.
Kerangka pemikiran yang digunakan dalam penelitian ini adalah
diplomasi, sanksi, multilateralism, common interest, dan liberalisme
institusionalis sebagai paradigma utamanya. Liberalisme institusionalis digunakan
untuk memberi gambaran umum bahwa institusi internasional seperti Uni Eropa
penting dalam hubungan internasional. Dalam konteks ini, kehadiran Uni Eropa
dianggap penting dan mampu untuk menyelesaikan masalah proliferasi nuklir
Iran. Common interest atau kepentingan bersama digunakan untuk memberikan
latar belakang kesediaan Uni Eropa untuk ikut terlibat dalam masalah nuklir Iran.
Dalam hasil penelitian, kebijakan yang digunakan Uni Eropa untuk menghentikan
proliferasi nuklir Iran adalah melalui diplomasi dan penjatuhan sanksi ke Iran.
Diplomasi dan sanksi termasuk dalam strategi effective multilateralism Uni Eropa.
Selain karena Uni Eropa memiliki sumber daya akan soft power, Uni Eropa juga
memiliki pandangan bahwa soft power akan lebih efektif daripada hard power
untuk mengatasi masalah proliferasi nuklir Iran.
Kata Kunci: Nuklir, Iran, Uni Eropa, Proliferasi, Diplomasi, Sanksi, European
Security Strategy.
v
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, shalawat dan salam
selalu tercurahkan kepada Rasulullah SAW beserta para sahabat dan keluarganya.
Atas segala rahmat dan karunia-Nya, serta segala petunjuk dan kemudahan-Nya,
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik dan tepat waktu guna
memenuhi
syarat
memperoleh
gelar
S.Sos,
Program
Studi
Hubungan
Internasional, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Skripsi yang berjudul “Strategi Uni Eropa dalam Menghentikan
Proliferasi Nuklir Iran Tahun 2009-2013” tidak akan terselesaikan dengan baik
tanpa dukungan, bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak. Maka, pada
kesempatan kali ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada:
1. Kedua orang tua, adik, dan keluarga besar penulis yang telah memberikan
dukungan kepada penulis. Terutama ibu yang selalu memberikan doa,
semangat dan motivasi untuk menyelesaikan skripsi ini dengan baik dan
tepat waktu.
2. Ibu Debbie Affianty, M.A., selaku Ketua Program Studi Hubungan
Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak Andar Nubowo, DEA., selaku Dosen Pembimbing Skripsi, yang
telah meluangkan waktunya untuk memberikan arahan dan bimbingan
yang penuh ilmu dan manfaat bagi penulis dalam penulisan skripsi ini.
vi
4. Bapak Ahmad Alfajri, M.A selaku penguji I dan Ibu Eva Mushoffa, M.A
selaku penguji II, yang telah menguji kelayakan skripsi ini dan
memberikan kritik serta saran untuk perbaikan skripsi ini.
5. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen Program Studi Hubungan Internasional,
Universitas Negeri Islam Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah
mengajarkan berbagai mata kuliah yang menarik, dan memberikan ilmu
yang sangat bermanfaat bagi penulis, baik secara akademik maupun nonakademik.
6. Sahabat-sahabat terbaik penulis, Yahya Hidayat, Reza Tri Satria, Naeli
Fitria, Mawaddah, Fitra Laela, Asriyani Yudhar, Andi Cintana Nurmilad,
Sevira Arta, atas dukungan, kebersamaan dan kegembiraan selama
menjalani studi.
7. Teman-teman HIVEN B, terima kasih untuk keseruan, keceriaan dan
kebersamaan selama masa perkuliahan. Serta terima kasih untuk seluruh
teman-teman Program Studi Hubungan Internasional angkatan 2011.
Semoga segala bantuan dan dukungan yang diberikan kepada penulis akan
memperoleh imbalan dari Allah SWT. Penulis menyadari bahwa skripsi ini
belum sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari
semua pihak. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi literatur studi hubungan
internasional.
Jakarta, 24 Juni 2015
Estri Hardianti
vii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL……………………………..………………………………i
PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME…..…..……………………………ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI…..…………… ………………..iii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI…..…………………………….iv
ABSTRAKSI……….………………………..………………………………..…v
KATA PENGANTAR…………………………….………………..………..…vi
DAFTAR ISI………………………………………………………..………….viii
DAFTAR TABEL…………………………………………………...……….…xii
DAFTAR GAMBAR………………………………………………..…………xiii
DAFTAR GRAFIK……………………………………………………………xiv
DAFTAR SINGKATAN…………………………………………….….……..xv
BAB I
PENDAHULUAN……………………………………………….1
I.1. Pernyataan Masalah…………………..………………………1
I.2. Pertanyaan Penelitian…………………..……….………..….10
I.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian…………………...…………10
I.4. Tinjauan Pustaka………………………...……….………….10
I.5. Kerangka Pemikiran………………………...…….…………12
I.5.1. Common Interest………………………..………..15
viii
I.5.2. Multilateralism………………………….……….17
I.5.3. Diplomasi……………………………….……….18
I.5.4. Sanksi……………………………………..……..20
I.6. Metode Penelitian……………………………...…………....22
I.7. Sistematika Penulisan……………………...………………...23
BAB II
PROLIFERASI NUKLIR IRAN……………………………..25
II.1. Latar Belakang Pengembangan Nuklir Iran………………..25
II.2. Hak Sah Iran Sebagai Penandatangan NPT.…………..…...34
II.3. Keinginan Iran dengan Program Nuklirnya…….…….........38
II.4. Politik Domestik Iran dalam Program Nuklir……………...43
II.5. Kebijakan Nuklir Iran di Era Pemerintahan Ahmadinejad...48
BAB III
PERSPEKTIF
UNI
EROPA
DALAM
PROLIFERASI
NUKLIR…………………………………………………………54
III.1. Kerangka Kebijakan Keamanan Uni Eropa………………..54
III.1.1. Common Foreign and Security Policy……….…..57
III.1.2. European Security Strategy………………………61
III.2. Kebijakan Non Proliferasi Uni Eropa……………………..64
III.2.1. Strategi Melawan Proliferasi Senjata Pemusnah
Masal (The Strategy against Proliferation of
Weapons of Mass Destruction)…………………..68
ix
III.2.2. Komitmen Uni Eropa dalam Menciptakan Zona
Bebas Senjata Pemusnah Masal di Kawasan Timur
Tengah……………………………………………73
BAB IV
STRATEGI
UNI
EROPA
DALAM
MENGHENTIKAN
PROLIFERASI NUKLIR IRAN TAHUN 2009-2013……..…79
IV.1. Keterlibatan Uni Eropa dalam Proliferasi
Nuklir Iran............................................................................79
IV.2. Kepentingan Uni Eropa………………………....................82
IV.3. Upaya Diplomasi Uni Eropa Terhadap Iran……………….89
IV.3.1. Dialog dan Negosiasi Uni Eropa-Iran…………..92
IV.3.2. Diplomasi Koersif……………….…………….....93
IV.4. Penerapan Sanksi Uni Eropa ke Iran…….………..…….…96
IV.4.1. Embargo……………………….………......……101
IV.4.2. Sanksi Finansial…………………………...........104
BAB V
Kesimpulan…………………………………………………….106
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………..101
x
DAFTAR TABEL
BAB II
Tabel 2.1
Tahapan Program Nuklir Iran……………………..……………26
xi
DAFTAR GAMBAR
BAB II
Gambar 2.2
Lokasi Penting Fasilitas Nuklir Iran………………………..34
Gambar 2.3
Poling Opini Publik Iran……………………………………41
xii
DAFTAR GRAFIK
BAB I
Grafik 1.1
Ekspor Minyak Iran…………………………………………….4
Grafik 1.2
Mitra Dagang Iran………………….…………………………..6
xiii
DAFTAR SINGKATAN
IAEA
:
International Atomic Energy Agency
PDA
:
Political Dialogue Agreement
NCRI
:
National Council of Resistance of Iran
NPT
:
Non Proliferation Treaty
CFSP
:
Common Foreign and Security Policy
ESS
:
European Security Strategy
WMD
:
Weapon of Mass Destruction
TRR
:
Tehran Research Reactor
HEU
:
Highly Enriched Uranium
LEU
:
Low Enriched Uranium
AEOI
:
Atomic Energy Organization of Iran
WMDFZ
:
Weapon of Mass Destruction Free Zone
xiv
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Pernyataan Masalah
Sejak tahun 1998, Iran dan Uni Eropa telah berupaya untuk
memformalkan dan meningkatkan hubungan mereka dalam kerjasama ekonomi,
politik dan isu-isu lainnya.1 Uni Eropa secara bertahap berupaya untuk
mempererat
hubungannya
dengan
Iran,
dan
bertujuan
untuk
tetap
mengembangkan hubungan yang bersifat tahan lama (durable) serta positif
dengan Iran untuk mengembangkan potensi kemitraan yang konstruktif, dimana
kedua belah pihak bisa mendapat keuntungan.
Sebelumnya, Uni Eropa dan Iran berencana untuk membuat sebuah
perjanjian untuk membuka jalan bagi kerjasama yang lebih dekat antara Uni
Eropa-Iran di berbagai sektor serta isu lain yang menjadi kepentingan bersama.
Uni Eropa dan Iran juga mulai menegosiasikan Political Dialogue Agreement
(PDA).2 Namun, fase ini mulai terhambat, ketika Iran diduga memiliki kegiatan
nuklir rahasia dan menolak untuk bekerja sama dengan International Atomic
Energy Agency (IAEA). Sejak tahun 2005, kontroversi nuklir Iran telah
melampaui isu strategis lainnya antara Uni Eropa-Iran.
Masalah proliferasi nuklir Iran dimulai ketika pada tahun 2002 kelompok
oposisi National Council of Resistance of Iran (NCRI), mengungkapkan adanya
1
European Union Center of North Carolina, Europe’s Iran Diplomacy, EU Briefings,
(Maret 2008), 1.
2
Council of the European Union, EU-Iran Basic Facts, (April 2009), 1.
1
1
2
program nuklir rahasia, termasuk pembangunan pabrik pengayaan uranium di
Natanz dan reaktor air berat di Arak.3 Pengayaan uranium dapat digunakan untuk
membuat senjata nuklir, dan bahan bakar bekas dari reaktor air berat yang berisi
plutonium dapat digunakan untuk membuat bom. Iran diduga tidak mematuhi
NPT Safeguards Agreement, sehingga kecurigaan mengarah pada adanya upaya
Iran untuk melangkah lebih jauh dan mengaya uranium ke tingkat yang lebih
tinggi, sehingga dapat digunakan untuk membuat senjata nuklir.4
Iran telah menandatangani NPT (Non Proliferation Treaty) pada tahun
1968 sebagai negara nonsenjata nuklir dan meratifikasinya pada tahun 1970.5 Hal
tersebut berarti bahwa semua kegiatan nuklir harus dilakukan dengan cara yang
transparan kepada masyarakat internasional, dan berada di bawah kontrol penuh
dari International Atomic Energy Agency (IAEA). Namun sebaliknya, Iran terus
menolak untuk melakukan kewajiban internasionalnya dan enggan bersikap
kooperatif dengan IAEA. 6
Selama ini, pemerintah Iran menyatakan bahwa instalasi nuklirnya
dibangun sepenuhnya untuk tujuan damai dan tidak pernah berusaha untuk
mengembangkan senjata nuklir. Namun, ketika IAEA melakukan inspeksi
terhadap Iran, IAEA tidak dapat mengkonfirmasi pernyataan Iran tersebut. Sejauh
3
International Institute for Strategic Studies, Iran's Strategic Weapons Programmes: A
Net Assessment, (London: Routledge, 2005), 16.
4
Euro Move Publications, EU Action on Iran, (April 2012)
http://www.euromove.org.uk/index.php?id=19016 diakses pada 22 April 2014.
5
Nuclear Threat Initiative, Iran: Nuclear, (terakhir diperbarui pada tahun 2015)
http://www.nti.org/country-profiles/iran/nuclear/ diakses pada 21 Februari 2015
6
Paul K. Kerr, Iran’s Nuclear Program: Tehran’s Compliance with International
Obligations, Congressional Research Service, (2015), 2.
3
ini, belum ada satu pihakpun yang mampu mengkonfirmasi bahwa nuklir Iran
benar-benar bersifat damai.
Kekhawatiran serius atas proliferasi nuklir Iran telah mendominasi
hubungan Uni Eropa-Iran, dan terus membayang-bayangi hubungan tersebut.
Proliferasi nuklir Iran telah memicu Uni Eropa untuk turut serta dalam menekan
Iran untuk menghentikan pengayaan uraniumnya. Uni Eropa memang
berkomitmen untuk memberikan perhatian besar terhadap standar tertinggi terkait
keamanan nuklir di Eropa dan di luar perbatasannya.7 Selain itu, Uni Eropa sangat
mendukung Non-Proliferation Treaty (NPT). Uni Eropa juga mempromosikan
confidence building dan mendukung proses yang bertujuan untuk mambangun
zona bebas senjata pemusnah masal di Timur Tengah.8
Uni Eropa terus mendesak Iran untuk menghentikan proyek nuklirnya dan
meminta Iran agar terlibat secara konstruktif dalam negosiasi untuk mengatasi
masalah nuklir ini. Namun di sisi lain, Uni Eropa tetap ingin menghormati hak sah
Iran sebagai negara penandatangan NTP, untuk penggunaan energi nuklir secara
damai di bawah Non Proliferation Treaty (NPT).
Setiap tindakan yang dilakukan Uni Eropa akan berdampak pada
hubungan Uni Eropa-Iran sehingga Uni Eropa harus memperhatikan posisi Iran.
Secara kolektif, Uni Eropa merupakan importir minyak Iran terbesar kedua,
setelah Tiongkok. Uni Eropa masih merupakan mitra dagang yang cukup penting
bagi Iran, dimana Uni Eropa mengimpor barang senilai 14,5 miliar Euro dari Iran,
7
European Union External Action, Instrument for Nuclear Safety Co-operation,
http://eeas.europa.eu/nuclear_safety/index_en.htm diakses pada 22 April 2014.
8
Clara Portela, The Role of the EU in the Non-Proliferation of Nuclear Weapons: The
Way to Thessaloniki and Beyond, Peace Research Institute Frankfurt, PRIF Report No. 65, 3.
4
dan mengekspor 11,3 miliar Euro (data tahun 2010). Sedangkan sekitar 90%
impor Uni Eropa dari Iran adalah minyak dan produk sejenisnya.9
Grafik 1.1
Ekspor Minyak Iran10
Uni Eropa secara kolektif merupakan
importir minyak Iran terbesar kedua
Importir terbanyak
*dalam ribu barel per hari
Impor Uni Eropa
*dalam ribu barel per hari
Iran juga berada dalam posisi yang kuat, karena harga minyak yang tinggi
telah menjadikan Iran salah satu kekuatan besar pada ekonomi dunia.11 Iran
merupakan negara yang penting bagi Eropa dan Amerika Serikat. Sejumlah besar
perusahaan Eropa memiliki hubungan ekspor yang kuat dengan Iran, sejumlah
9
European Union External Action, The European Union and Iran.
Institute of International Trade, 25 Mei 2012, Oil price falls as Iran allows nuclear
probe,
http://www.iitrade.ac.in/kmarticle.php?topic=Oil%20price%20falls%20as%20Iran%20allows
%20nuclear%20probe diakses pada 23 November 2014.
11
European Union Center of North Carolina, Europe’s Iran Diplomacy, 3.
10
5
negara anggota Uni Eropa bergantung pada pasokan minyak Iran (Italia dan
Spanyol merupakan importir terbesar), dan Iran merupakan jalur utama untuk
pengungsi Afghanistan ke Uni Eropa.12
Uni Eropa memiliki sebuah kebijakan bersama, yaitu Common Foreign
and Security Policy, dan framework untuk kepentingan keamanan Uni Eropa yang
dikenal dengan European Security Strategy. Namun, masing-masing negara
anggota Uni Eropa memiliki hubungan yang berbeda dengan Iran. Seperti Inggris
dan Perancis yang bersikap tegas dan vokal, sementara Jerman dan Italia
cenderung lebih moderat dikarenakan keduanya merupakan mitra dagang terbesar
Iran di Uni Eropa,13 Menteri Luar Negeri Jerman pernah mengatakan bahwa Iran
merupakan pasar terpenting bagi Jerman di Timur Tengah.14
12
European Union Center of North Carolina, EU Briefings: The EU and Iran, (2012), 6.
Leo Cendrowicz, How Should Europe Respond to Iran?, TIME 2 Juli 2009,
http://content.time.com/time/world/article/0,8599,1908446,00.html diakses pada 22 April 2014.
14
Nicoleta Lasan, European Union’s Approach Towards The Iranian Nuclear Crisis: An
Interest-Driven Strategy Combined With The “Approoriate” Means, (Hungary: Central European
University, 2007), 29.
13
6
Grafik 1.2
Mitra Dagang Iran15
Perdagangan Jerman dengan Iran tumbuh di tengah
ketegangan internasional dengan Iran
Ekspor Jerman/Iran
*dalam milyar Euro
Ekspor Jerman ke Iran
Ekspor Iran ke Jerman
Eksportir utama ke Iran tahun
2008
*dalam milyar Euro
Sedangkan Uni Eropa harus bertindak sebagai sebuah institusi
internasional dan bertindak melalui tindakan bersama atau collective action.
Sementara itu, proses pengambilan keputusan di Uni Eropa seringkali bersifat
rumit dan kompleks.
15
Wall Street Journal, 3 Oktober 2009, German Firms Feel Pressure Over Tehran Trade,
http://online.wsj.com/articles/SB125453243290661095 diakses pada 2 November 2014.
7
Di sisi lain, Uni Eropa mendapat tekanan-tekanan dari Kongres Amerika
Serikat agar Uni Eropa mempertegas upayanya. Sebelumnya, antara tahun 20062010 EU-3 dan Amerika Serikat telah berhasil mendorong Dewan Keamanan
PBB untuk mengeluarkan resolusi terkait pengenaan sanksi ke Iran melalui
Resolusi 1737, 1747, 1803 dan 1929.16 Resolusi tersebut secara umum
memberlakukan sanksi ekonomi, embargo, dan perdagangan serta larangan atas
transaksi komoditas yang berhubungan dengan teknologi nuklir terhadap Iran.
Sedangkan Uni Eropa cenderung lebih suka melakukan hubungan dengan
Iran dalam format dialog.17 Kebijakan Uni Eropa terhadap Iran sangat berbeda
dari kebijakan Amerika Serikat yang cenderung mengisolasi Iran. 18 Uni Eropa
tidak ingin menggunakan doktrin pre-emptive strike Amerika Serikat yang
digunakan saat AS menyerang Irak pada tahun 2003. Uni Eropa juga memiliki
kepentingan ekonomi dan strategis tersendiri di wilayah tersebut.
Namun di sisi lain, Eropa adalah sekutu Amerika Serikat dan mempunyai
hubungan kerja sama Transatlantik. Uni Eropa juga mendukung posisi Amerika
Serikat terhadap Iran.19 Nuklir Iran ini menjadi kasus uji diplomatik penting bagi
Uni Eropa pasca invasi Amerika Serikat ke Irak tahun 2003. Uni Eropa telah
dibayangi oleh kekuatan militer dan hak Amerika Serikat untuk bertindak secara
sepihak di bawah konsep pre-emption.20
16
Derek E. Mix, The United States and Europe: Current Issues, CRS Report for
Congress, (2013), 6.
17
Walter Posch, Iran and the European Union, United States Instutites of Peace: The Iran
Primer.
18
Posch, Iran and the European Union.
19
European Union Center of North Carolina, EU and Iran, 4.
20
Gerrard Quille, “The European Security Strategy: A Framework for EU Security
Interests?”, International Peacekeeping, Vol.11, No.3, (2004), 10.
8
Beberapa masyarakat Eropa sendiri berpendapat bahwa Uni Eropa harus
unjuk gigi, terkait krisis nuklir Iran, untuk mempertahankan kredibilitasnya.21
Namun, Uni Eropa juga harus menghadapi sikap keras dan frontal Iran, dimana
pada periode 2009-2013 Iran dipimpin oleh Mahmoud Ahmadinejad pada periode
kedua. Sebelumnya pada masa pemerintahan Khatami yang moderat, aktivitas
pengayaan nuklir Iran sempat dihentikan sementara. Namun,
di bawah
pemerintahan Ahmadinejad, Iran kembali melakukan pengayaan uranium.
Ia dikenal sebagai sosok presiden Iran yang keras dan vokal, bahkan
beberapa pihak menyebutnya dengan hard-liner leader atau pemimpin garis keras.
Ahmadinejad menjadi faktor penting dalam pecahna upaya Uni Eropa untuk
menghentikan proliferasi nuklir Iran. Kelompok garis keras sendiri menyatakan
bahwa program nuklir adalah kunci untuk kemajuan teknologi Iran serta simbol
kedaulatan dan posisi di dunia internasional.
Namun, Uni Eropa terus menekan dan mendesak Iran untuk segera
menghentikan program nuklir Iran, sementara kepemilikan nuklir Israel tidak
dipertanyakan ataupun diusik. Hal ini membuat Ahmadinejad geram, sehingga ia
memperingatkan Uni Eropa bahwa negaranya akan membuat Uni Eropa
menyesal. Ia juga mengatakan bahwa siapapun yang mengadopsi langkah-langkah
bermusuhan dengan Iran, harus tahu bahwa Iran akan bereaksi dengan cepat.22
Disini terlihat bahwa Uni Eropa menghadapi tantangan tersendiri dan
dilema-dilema dalam upayanya untuk menghentikan proyek nuklir Iran. Seperti,
kebijakan apa yang harus diambil atau bagaimana langkah-langkah maupun
21
European Union Center of North Carolina, The EU and Iran, (2012), 5.
BBC News, 26 Juli 2010, EU Tightens Sanctions Over Iran Nuclear Programme,
http://www.bbc.co.uk/news/world-europe-10758328 diakses pada 23 April 2013.
22
9
respon yang seharusnya diberikan Uni Eropa kepada Iran sesuai dengan
framework Uni Eropa, tanpa mengesampingkan segala konsekuensinya. Kasus
Iran menjadi menarik karena berfungsi sebagai uji kasus atau test-case bagi peran
eksternal Uni Eropa.
Kontroversi program nuklir Iran merupakan ujian awal dan penting bagi
pendekatan Uni Eropa yang bersifat khas, yaitu effective multilateralism, dalam
mengatasi kekhawatiran tentang dugaan dunia internasional bahwa Iran berencana
untuk mengembangkan senjata pemusnah masal. Apalagi pendekatan Uni Eropa
yang bersifat soft power ini dihadapkan dengan hard security, yaitu nuklir Iran.
Berdasarkan latar belakang diatas, maka menarik untuk meneliti
bagaimana strategi Uni Eropa di tengah dilema dan tantangan tersebut untuk
menghentikan pengembangan nuklir Iran di bawah pemerintahan periode kedua
Ahmadinejad (2009-2013), namun tetap berada dalam kerangka kebijakan dan
doktrin keamanannya sendiri.
Penelitian
ini
berasumsi
bahwa
keterlibatan
Uni
Eropa
dalam
menghentikan proliferasi nuklir Iran didorong oleh kepentingan bersama Uni
Eropa sebagai sebuah organisasi. Sehingga, Uni Eropa mengeluarkan beberapa
strategi yang strategis dan selaras dengan doktrin keamanan Uni Eropa untuk
menghentikan proliferasi nuklir Iran, yaitu melalui diplomasi dan sanksi. Uni
Eropa ingin menciptakan kawasan bebas nuklir di Timur Tengah, lebih jauhnya
Uni Eropa ingin menciptakan dunia yang lebih aman dari ancaman nuklir. Selain
itu, Uni Eropa ingin memainkan peran yang besar sebagai aktor internasional.
Sehingga Uni Eropa turut mengintervensi program proliferasi nuklir Iran.
10
I.2.
Pertanyaan Penelitian
Bagaimana kebijakan Uni Eropa dalam menghentikan proliferasi nuklir
Iran pada tahun 2009-2013?
I.3.
Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kerangka keamanan Uni
Eropa, kebijakan Uni Eropa tentang proliferasi nuklir, dan menganalisa kebijakan
Uni Eropa dalam menghentikan proliferasi nuklir Iran pada periode 2009-2013
dengan menggunakan teori dan konsep yang relevan.
Penelitian ini diharapkan dapat mengisi kekosongan literatur, memperkaya
hasil penelitian yang telah ada, dan memberikan gambaran secara objektif
mengenai strategi Uni Eropa dalam menghentikan proliferasi nuklir Iran pada
tahun 2009-2013. Penelitian ini juga diharapkan bermanfaat bagi pengembangan
studi Kawasan Eropa dan Keamanan Internasional.
I.4.
Tinjauan Pustaka
Dina Esfandiary dalam Non-Proliferation Papers No.34 Desember 2013,
menulis “Assessing The European Union’s Sanction Policy: Iran As A Case
Study”.23 Artikel tersebut memaparkan peningkatan penggunakan sanksi oleh Uni
Eropa terhadap Iran atas krisis nuklirnya, dimana sanksi tersebut sering digunakan
sebagai alat untuk mengubah perilaku negara, dalam konteks ini yaitu Iran.
23
Dina Esfandiary, “Assessing The European Union‟s Sanction Policy: Iran As A Case
Study”, Non-Proliferation Papers, No.34 (2013).
11
Artikel ini juga mengkaji efektivitas sanksi yang digunakan sebagai alat
kebijakan oleh Uni Eropa dan meneliti langkah-langkah koersif Uni Eropa
terhadap Iran. Kemudian, artikel ini membahas sanksi apa yang digunakan Uni
Eropa, disertai dasar hukum dan teori penggunaannya. Kemudian artikel ini
memberi saran dalam hal perbaikan kebijakan sanksi Uni Eropa saat ini.
Aylin Unver Noi dalam jurnal Perceptions edisi musim semi tahun 2005,
menulis artikel berjudul “Iran's Nuclear Programme: The EU Approach to Iran in
Comparison to the US’ Approach”.24 Artikel tersebut memaparkan perspektif Uni
Eropa-Iran dan hubungan antara Amerika Serikat dan Iran pasca Revolusi Islam
Iran tahun 1979. Artikel tersebut juga mengkaji perbedaan kebijakan antara Uni
Eropa dan Amerika Serikat terhadap Iran, terutama dalam masalah nuklir.
Dampak dari dua kebijakan yang berbeda juga dipaparkan disertai dengan
alasan-alasan yang membentuk pendekatan yang berbeda dari dua kekuatan besar
tersebut. Artikel tersebut memaparkan instrumen luar negeri menggunakan konsep
stick and carrot, dengan asumsi Uni Eropa dengan carrot, dan Amerika Serikat
dengan stick, dalam hubungannya terhadap Iran.
Nicoleta Laşan dalam Romanian Journal Of European Affairs Vol. 14,
No. 1, Maret 2014 menulis artikel berjudul “European Union Intervention in the
Iranian Crisis - A Sociological Institutionalist Perspective”.25 Artikel ini
menganalisis melaui perspektif institusionalisme sosiologis, kemudian mengkaji
sejauh mana internalisasi nilai-nilai dan norma-norma dalam identitas
24
Aylin Unver Noi,“Iran's Nuclear Programme: The EU Approach to Iran in Comparison
to the US‟ Approach”, Perceptions Journal of International Affairs, SAM Center for Strategic
Research, (Spring 2005).
25
Nicoleta Laşan, “European Union Intervention in the Iranian Crisis - A Sociological
Institutionalist Perspective”, Romanian Journal Of European Affairs Vol. 14, No. 1, (2014).
12
internasional Uni Eropa. Kemudian proses-proses seperti mobilisasi sosial dan
mobilisasi aktor non-negara yang mampu mempengaruhi pendekatan Uni Eropa
terhadap krisis nuklir Iran.
Sedangkan penelitian ini berusaha untuk mengkaji strategi yang digunakan
Uni Eropa ditengah dilemma dan tantangan yang dihadapinya untuk
menghentikan program nuklir Iran di bawah pemerintahan periode kedua
Ahmadinejad 2009-2013. Penelitian ini mencoba mengkaji upaya Uni Eropa
tersebut dalam kerangka European Security Strategy, Common Foreign and
Security Policy, dan teori-teori yang relevan, serta bagaimana manajemen konflik
yang dilakukan Uni Eropa terhadap Iran.
I.5.
Kerangka Pemikiran
Paradigma yang akan digunakan adalah liberal institusional karena
penelitian ini ingin menganalisa strategi negara-negara Eropa yang bertindak
melalui institusi, yaitu Uni Eropa untuk menghentikan program nuklir Iran.
Liberal
institusional
menekankan
pentingnya
institusi
untuk
membantu
mengurangi ketidakpercayaan dan ketakutan antarnegara yang dianggap sebagai
masalah tradisional. Liberal institusional tidak menafikan bahwa dunia adalah
anarki, namun ditengah ke-anarki-annya, sangat dimungkinkan terjadinya
kerjasama dalam hubungan antarnegara, sehingga anarki sejatinya dapat diatur
sedemikian rupa agar menjadi situasi yang kooperatif.26
26
Robert O. Keohane dan Lisa L. Martin, “The Promise of Institusionalist Theory”,
International Security, Vol. 20, N0. 1, (1995), 42.
13
Menurut Timothy Dunne, liberal institusional identik dengan liberal
fungsional, yang memandang bahwa institusi-institusi internasional menjalankan
sejumlah fungsi terbatas, lalu lama-lama berkembang. Contoh kasusnya adalah
proses terbentuknya Uni Eropa, yang semula hanya dimulai dari kerjasama
perdagangan batu bara antarbeberapa negara di Eropa.
Sedangkan
Georg
Sorensen
menulis,
kaum
liberal
institusional
menyatakan bahwa institusi internasional menolong memajukan kerjasama di
antara
negara-negara.
institusionalisasi
Liberal
kerjasama
institusional
global.27
juga
Kemudian,
memfokuskan
liberalisme
pada
institusional
memandang bahwa institusi internasional membantu memajukan kerja sama
antara negara-negara dan membantu mengurangi ketidakpercayaan antarnegara
yang menjadi masalah klasik dikaitkan dengan anarki internasional.
Sorensen
juga
mengutip
Nye,
bahwa
institusi
akan
membantu
menciptakan iklim harapan berkembangnya perdamaian yang stabil.28 Liberal
institusional berpendapat bahwa dalam rangka menciptakan perdamaian dalam
percaturan internasional, negara harus bekerja bersama-sama dan memberikan
sebagian kedaulatan mereka untuk menciptakan “masyarakat yang terintegrasi”
untuk mempromosikan pertumbuhan ekonomi, dan menghadapi isu-isu keamanan
regional dan internasional.29
27
Georg Sorensen, Liberalism of Restraint and Liberalism of Imposition: Liberal Values
World Order in the New Millennium, International Relations, (2006), 51.
28
Sorensen, Liberalism of Restraint, 55.
29
J. Caporaso dan J. Jupille, “Institutionalism and the European Union: Beyond
International Relations and Comparative Politics”, Annual Review of Political Science, Vol.2,
(1999), 432.
14
Liberalisme institutional menekankan pada peran organisasi international
dan masyarakat internasional dalam hubungan internasional. Institusi-institusi
dapat menyediakan aliran informasi dan forum negoisasi, dan juga membantu
meyakinkan bahwa komitmen-komitmen akan dihormati. Dengan mengurangi
potensi
kurangnya
kepercayaan
antarnegara,
institusi
akan
membantu
menciptakan iklim yang membangun harapan terbentuknya perdamaian yang
stabil.30
Dalam kasus proliferasi nuklir Iran, Uni Eropa sebagai organisasi
internasional yang dianggap sudah lebih mapan daripada organisasi lainnya,
dianggap penting untuk dapat memainkan peran konstruktif dalam masalah
tradisional yang mengancam keamanan bersama, yaitu proliferasi nuklir Iran.
Kerja sama perlu dilakukan oleh negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa
untuk memutuskan strategi bersama dalam menghadapi Iran. Institusi akan lebih
efektif untuk menekan Iran dibandingkan tindakan individu negara. Liberalisme
institusional tidak mengedepankan cara-cara militeristik, ini sesuai dengan prinsip
dasar Uni Eropa.
Masalah nuklir Iran tidak dapat diselesaikan dengan menggunakan caracara tradisional, seperti penggunaan kekuatan bersenjata atau militer. Sementara
Uni Eropa memberi penekanan besar pada penggunaan soft power dan kerjasama
melalui prosedur hukum internasional dan cara-cara diplomasi. Upaya
penghentian
proliferasi
nuklir
Iran
yang
mengkhawatirkan
masyarakat
internasional akan lebih efektif jika dilakukan secara kolektif melalui Uni Eropa
30
Sorensen, Liberalism of Restraint, 53.
15
sebagai institusi, dimana Uni Eropa merupakan sebuah wadah untuk menjalankan
collective action. Oleh karena itu, Uni Eropa sebagai institusi dianggap penting
untuk menyelesaikan kasus nuklir Iran.
I.5.1. Common Interest (Kepentingan Bersama)
Konsep common interest menjelaskan perilaku luar negeri sekelompok
negara dalam satu wadah politik internasional yang bersifat liberal, dimana
menekankan pada kerja sama dan berorientasi kelompok.31 Common interest juga
bertujuan mengejar kekuasaan, yaitu apa saja yang bisa membentuk dan
mempertahankan pengendalian sekelompok negara yang berada dalam suatu
wadah atas negara lain. Hubungan kekuasaan atau pengendalian ini bisa
diciptakan melalui teknik-teknik paksaan maupun kerja sama. Atas dasar itu
kepentingan bersama dapat memunculkan kebijakan spesifik terhadap negara lain,
baik yang bersifat kerja sama maupun konflik.32
Hedley Bull berpendapat bahwa, negara memiliki kepentingan bersama
yang mengarah pada pengembangan seperangkat aturan tertentu.33 Bull
mendefinisikan masyarakat internasional terbentuk ketika sekelompok negara
tidak hanya membentuk sebuah sistem, namun juga telah dibentuk oleh adanya
dialog dan menyetujui aturan bersama, pembentukan institusi untuk menjalankan
31
T.A. Couloumbis dan J.H. Wolff, Introduction to International Relations, (New Jersey:
Prentice-Hall, 1986), 113-116.
32
Couloumbis dan Wolff, Introduction to International Relations, 113-116.
33
Hedley Bull, The Anarchical Society: A Study of Order in World Politics, (London:
Macmillan, 1977), 37.
16
hubungan mereka, serta mencatat kepentingan bersama mereka dalam menjaga
kesepakatan tersebut.34
Dalam hal ini Uni Eropa memiliki common goals atau tujuan bersama,
yaitu Uni Eropa berkomitmen untuk mempromosikan confidence building dan
mendukung proses yang bertujuan untuk membangun zona bebas Weapon of Mass
Destruction
(senjata
pemusnah
masal)
di
Timur
Tengah.
Uni
Eropa
mengidentifikasi proliferasi senjata pemusnah masal sebagai ancaman bagi
negara-negara anggota Uni Eropa. Sejak tahun 2003, Uni Eropa memberika
perhatian besar pada isu proliferasi senjata pemusnah masal. Uni Eropa
mempunyai sebuah visi bersama, yaitu “A secure Europe in a better world”.35
Uni Eropa memiliki kesatuan pandangan yang akhirnya membuat
kebijakan nonproliferasi Uni Eropa dibentuk oleh dua hal penting, yaitu bahwa
senjata pemusnah masal tidak boleh jatuh ke tangan teroris dan ancaman senjata
pemusnah masal harus ditangani berdasarkan hukum internasional dan sebaiknya
tanpa metode yang menggunakan kekerasan.36 Penelitian ini akan mengkaji
strategi Uni Eropa sebagai institusi internasional dalam menghentikan proliferasi
nuklir Iran, oleh karena itu strategi dan tindakan yang dilakukan Uni Eropa akan
didasarkan pada common interest.
34
Bull, The Anarchical Society, 38.
Christer Ahlstrom, “The EU Strategy against Proliferation of Weapons of Mass
Destruction”, Europe and Iran Perspectives on Non-proliferation, Stockholm International Peace
Research Institute Research Report No.21, (Oxford University Press, 2005), 30.
36
Tomas Valasek, “The European Union‟s Role in Nonproliferation”, U.S-European
Nonproliferation Perspectives, Center for Strategic and International Studies, (2009), 44.
35
17
I.5.2. Multilateralism
Robert Keohane mendefinisikan multilateralism sebagai praktik dalam
mengkordinasikan kebijakan nasional dalam kelompok yang terdiri dari beberapa
negara dalam bentuk aliansi atau institusi internasional.37 Dalam istilah regional
multilateralism, masalah-masalah yang berkembang akan lebih baik jika dapat
diselesaikan pada tingkat regional daripada tingkat bilateral maupun global.38
Dalam hal ini, dapat dikatakan bahwa Uni Eropa dipandang akan lebih efektif
dibandingkan upaya penyelesaian dengan secara bilateral, seperti Iran dengan
Amerika Serikat, ataupun secara global, seperti melalui PBB.
Uni Eropa sendiri mempunyai pendekatan yang unik terkait proliferasi
nuklir, yaitu effective multilateralism. Uni Eropa melihat tindakan unilateralism
ala Presiden Bush tidak efektif dan salah, sehingga akhirnya Uni Eropa secara
kolektif
merasa
terdorong
untuk
merumuskan
alternatif
lain,
effective
multilateralism.39
Pendekatan ini didasari oleh prinsip bahwa tidak ada satu negara pun yang
dapat mengatasi tantangan keamanan baru, oleh karena itu dibutuhkan kerja sama
antarnegara dan penguatan institus internasional.40 Prinsip dasar pendekatan ini
adalah mengatasi akar penyebab proliferasi, mengurangi masalah keamanan yang
mendorong negara-negara untuk mengembangkan senjata pemusnah masal.
Memperkuat perjanjian multilateral seperti NPT, memperkuat kontrol ekspor,
melakukan dialog regional, dan menyusun perjanjian baru. Jika langkah-langkah
37
Keohane, The Promise of Institusionalist Theory, 13.
Harris Mylonas dan Emirhan Yorulmazlar, Regional multilateralism: The next
paradigm in global affairs, CNN 12 Januari 2012.
39
Portela, The Role of the EU in the Non-Proliferation, 24.
40
Valasek, The European Union’s Role, 43.
38
18
politik gagal, maka Uni Eropa akan menggunakan tindakan koersif seperti sanksi
atau penggunaan kekuatan melalui PBB.41
Dalam kasus ini, Uni Eropa memiliki komitmen multilateral dan Uni
Eropa bekerja dalam kerangka European Security Strategy dan EU Strategy
against
Proliferation
yang
menjelaskan
prinsip-prinsip
dasar
effective
multilateralism. Maka, strategi Uni Eropa atas upaya penghentian proliferasi
nuklir Iran akan didasarkan pada pendekatan effective multilateralism.
I.5.3. Diplomasi
Diplomasi
adalah
instrumen
utama
negara-negara
untuk
saling
berinteraksi. Bahkan ketika sebuah negara sedang berkonflik dengan negara lain
dan konflik tersebut terlihat tidak mungkin untuk diselesaikan, dalam banyak
kasus, konflik tersebut akan berakhir dengan kompromi atau negosiasi karena
pada dasarnya setiap negara mempunyai “common interest” atau kepentingan
bersama.
Diplomasi
merupakan
penggunaan
cara-cara
damai
untuk
menyelesaikan konflik.
Menurut Sumaryo Suryokusumo, diplomasi adalah kegiatan politik dan
merupakan bagian dari kegiatan internasional yang saling berpengaruh dan
kompleks, dengan melibatkan pemerintah dan organisasi internasional untuk
mencapai tujuan-tujuannya, melalui perwakilan diplomatik atau organ-organ
lainnya.42 Sumaryo Suryokusumo mengatakan bahwa diplomasi merupakan suatu
cara komunikasi yang dilakukan antara berbagai pihak, termasuk negosiasi antara
41
Valasek, The European Union’s Role, 45.
Sumaryo Kusomo, Hukum Diplomatik: Teori dan Kasus; Syahmin, Ak, Hukum
Diplomatik: Dalam Kerangka Studi Analisis, (Jakarta: Rajawali Pers, 2008), 6.
42
19
wakil-wakil yang sudah diakui. Praktik-praktik negara yang semacam itulah yang
sudah melembaga sejak dahulu dan kemudian menjelma sebagai aturan-aturan
hukum internasional.43
Dalam upaya menghentikan proliferasi nuklir Iran, selain melalui
negosiasi dan dialog, Uni Eropa menggunakan diplomasi koersif. Diplomasi
koersif mempunyai tiga elemen, yaitu permintaan, ancaman dan tekanan waktu.44
Pertama, permintaan yang spesifik harus dirumuskan langsung dengan lawan.
Tujuan dari permintaan ini adalah untuk menghentikan atau membalikkan
tindakan yang telah dimulai oleh lawan. Permintaan harus dipahami sebagai suatu
kebutuhan. Alexander George membedakan tiga jenis permintaan dalam
diplomasi koersif, yaitu membujuk target untuk menghentikan tujuannya, untuk
membatalkan tindakan, dan untuk membuat perubahan dalam pemerintahan.45
Kedua, permintaan tersebut harus didukung dengan ancaman, seperti,
“Jika anda tidak setuju dengan permintaan ini saya akan menghukum anda dengan
melakukan X atau Y”. Ancaman yang diberikan harus bersifat kredibel dan
mampu membujuk target untuk memenuhi permintaan. Pemberian ancaman
bertujuan supaya target mengikis motivasinya untuk melanjutkan apa yang dia
lakukan.46
Ketiga, tidak cukup hanya dengan permintaan yang dikombinasikan
dengan ancaman, namun memerlukan tekanan waktu. Diplomasi koersif juga
43
Sumaryo Suryokusumo, Hukum Diplomatik: Teori dan Kasus, (Bandung: PT Alumni,
2008), 4-5.
44
Alexander George, Forceful Persuasion Coercive Diplomacy as an Alternative to War,
(Washington DC: US Institute of Peace, 1997), 7.
45
Alexander George, “Coercive Diplomacy: Definition and Characteristics”; A.L. George
& W.E. Simons (eds.), The Limits of Coercive Diplomacy, (Westview Press, 1994), 9
46
George, Forceful Persuasion, 11.
20
memberikan tenggat waktu untuk memenuhi permintaan tersebut. Ada empat
kategori tekanan waktu menurut Alexander George, yaitu ultimatum eksplisit
yang menetapkan tenggat waktu, ultimatum diam-diam yang menekan rasa
urgensi, pendekatan “gradual turning-on-the-screws” dan pendekatan “try-andsee” yang tidak menyebutkan kemungkinan eskalasi.47
I.5.4. Sanksi
Penggunaan sanksi merupakan kebijakan yang lebih murah daripada
penggunaan kekuatan militer, dan dapat diterapkan dengan cara yang lebih
fleksibel. Menurut John Galtung, sanksi adalah tindakan-tindakan yang
diprakarsai oleh satu atau lebih aktor internasional („the senders’ atau yang
menjatuhi sanksi) terhadap satu atau lebih pihak lain („the receivers’ atau yang
dijatuhi sanksi) dengan satu atau keduanya dari dua tujuan, yaitu untuk
menghukum „the receivers‟ dengan mencabut mereka dari beberapa nilai dan/atau
untuk membuat „the receivers‟ mematuhi norma-norma tertentu yang dianggap
penting oleh „the senders’.48
Umumnya kebijakan pemberian sanksi digunakan bersama dengan
kebijakan lain. Sanksi dianggap sebagai titik tengah antara diplomasi dan
kekuatan militer. Sanksi bekerja dengan cara memaksa (coercing), membatasi
(constraining) dan memberi isyarat (signalling) kepada target.49
47
George, Forceful Persuasion, 7-9.
John Galtung, “On the Effects of International Economic Sanctions,with Examples
from the Case of Rhodesia”, World Politics, Vol. 19, Issue 03, (1967), 378-416.
49
Francesco Giumelli, Coercing, Constraining and Signaling: Explaining UN and EU
Sanctions after the Cold War, (ECPR Press: Colchester, 2011), 67.
48
21
Tujuan dari pemaksaan adalah untuk mengubah kalkulasi cost and benefit
target dalam mengejar kebijakan tertentu, sementara membatasi bertujuan untuk
menghambat kapabilitas target untuk bertindak. Kedua tujuan tersebut
dimaksudkan agar target mengubah arah kebijakannya atau terjadi perubahan
perilaku (behavior). Perubahan perilaku dapat mencakup berhentinya suatu
kebijakan tertentu atau membawa target ke meja perundingan.50 Sanksi juga
bertujuan untuk mencegah pelaku lain melanggar norma-norma internasional.
Seperti dalam kasus Iran, sanksi menjadi alat pemaksa yang penting bagi
Uni Eropa. Sanksi yang diberikan oleh Uni Eropa juga dimaksudkan sebagai
isyarat bagi Iran dan seluruh masyarakat internasional bahwa Uni Eropa tidak bisa
tetap pasif dalam menghadapi sebuah tindakan atau kebijakan yang tidak dapat
diterima, yaitu proliferasi nuklir Iran dan untuk menunjukkan kepada negaranegara lain bahwa Uni Eropa adalah aktor internasional yang kuat dan
berpengaruh.
I.6.
Metode Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif. menurut Patton Michael
Quinn penelitian kualitatif adalah penelitian yang menggunakan kata-kata sebagai
penjabaran dari objek yang diteliti.51 Sedangkan Bogdan dan Taylor
mendefinisikan
50
metodologi
kualitatif
sebagai
prosedur
penelitian
yang
Esfandiary, Assessing The European Union’s Sanction Policy, 5.
Patton Michael Quinn, A Guide To Using Qualitative Research Methodology.
Medecins Sans Frontieres, (1990), 2.
51
22
menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang
dan perilaku yang diamati.52
Penelitian ini menggunakan data primer dan sekunder, kemudian teknik
pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi pustaka. Data
primer diperoleh dari dokumen-dokumen resmi pemerintah Iran, Uni Eropa dan
organisasi internasional lain yang terkait. Sedangkan data sekunder dari penelitian
ini diperoleh melalui studi pustaka dari berbagai literatur yang sudah ada, seperti
buku, jurnal, artikel, skripsi mahasiswa, media online dan surat kabar. Adapun
perpustakaan yang akan dikunjungi untuk mendapatkan referensi terkait,
diantaranya, Perpustakaan FISIP UIN, Perpustakaan Utama, Perpustakaan UI dan
Perpustakaan Ali Alatas Kementrian Luar Negeri.
Teknik analisa yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif
analitis. Data yang diperoleh dari hasil analisis dokumen, catatan lapangan, dan
studi pustaka akan dituangkan dalam bentuk kata dan digunakan untuk
menjelaskan dan menganalisa masalah yang ada pada pertanyaan penelitian.
Penelitian ini akan menganalisis data secara induktif. Dalam penelitian ini, nuklir
Iran akan diletakkan sebagai variabel X, dan Uni Eropa akan diletakkan sebagai
variabel Y. Landasan teori dan konsep yang relevan akan digunakan untuk
mengkaji permasalahan dan sebagai pisau dalam menganalisa hubungan X dan Y.
52
1991), 3.
Lexy J. moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Risdakarya,
23
I.7.
Sistematika Penulisan
Bab 1 dalam penelitian ini berisi tentang pendahuluan. Pada bab ini akan
dijelaskan latar belakang masalah yang mendasari signifikansi penelitian, yang
diuraikan dalam pernyataan masalah, disertai dengan rumusan masalah, tujuan
dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, kerangka pemikiran, metode penelitian
dan sistematika penulisan.
Kemudian, bab II berisi tentang proliferasi nuklir Iran. Pada bab ini akan
dijelaskan proliferasi nuklir Iran sebagai variabel X dalam penelitian ini, yaitu
variabel bebas atau variabel yang mempengaruhi. Bab ini akan dimulai dengan
menguraikan latar belakang pengembangan nuklir iran yang didorong oleh
motivasi iran, kapabilitas iran, dan hak sah iran sebagai penandatangan NPT.
Kemudian, bab ini akan menganalisa keinginan Iran dengan program nuklirnya,
bagaimana politik domestik iran dalam program nuklir, kebijakan iran dalam
nuklir era pemerintahan yang disertai dengan faktor pembentuk kebijakan nuklir
iran, serta puncak krisis nuklir iran di era pemerintahan Ahmadinejad.
Selanjutnya, bab III berisi tentang perspektif Uni Eropa dalam proliferasi
nuklir. Pada bab ini akan dijelaskan perspektif Uni Eropa dalam proliferasi nuklir
sebagai variabel Y dalam penelitian ini, yaitu variabel terikat atau variabel yang
dipengaruhi. Bab ini akan dimulai dengan menguraikan kerangka kebijakan
keamanan Uni Eropa yang terdiri dari Common Foreign and Security Policy dan
European Security Strategy, kemudian kebijakan nonproliferasi Uni Eropa yang
terdiri dari The Strategy against Proliferation of Weapons of Mass Destruction
24
dan Komitmen Uni Eropa dalam Menciptakan Zona Bebas Senjata Pemusnah
Masal di Kawasan Timur Tengah.
Setelah itu, bab IV berisi tentang strategi Uni Eropa dalam menghentikan
proliferasi Nuklir Iran tahun 2009-2013 Bab ini akan menganalisa hubungan
variabel X dan variabel Y untuk menjawab pertanyaan penelitian. Maka, bab ini
akan menjelaskan strategi yang digunakan Uni Eropa untuk
menghentikan
proliferasi nuklir Iran selama tahun 2009-2013. Bab ini akan dimulai dengan
menguraikan hubungan Uni Eropa dan Iran yang kemudian akan melibatkan Uni
Eropa dalam Krisis Nuklir Iran dan memunculkan kepentingan Uni Eropa, hingga
pendekatan strategis Uni Eropa yaitu Effective Multilateralism. Bab ini juga
menjelaskan upaya diplomasi Uni Eropa terhadap Iran melalui negosiasi. dialog
politik, hingga penggunaan diplomasi koersif. Kemudian, penerapan sanksi Uni
Eropa ke Iran yang berupa embargo dan sanksi finansial.
Pada bab terakhir, bab V, berisi tentang kesimpulan. Bab ini akan
menjelaskan kesimpulan yang didapat dari keseluruhan penelitian yang ditelah
dilakukan.
BAB II
PROLIFERASI NUKLIR IRAN
Sifat proliferasi nuklir Iran yang tidak pasti, telah memicu perdebatan
internasional. Bab ini akan menjelaskan proliferasi nuklir Iran sebagai variabel X
dalam penelitian ini, yaitu variabel bebas atau variabel yang mempengaruhi. Bab
ini akan dimulai dengan menguraikan latar belakang pengembangan nuklir iran,
kapabilitas iran, dan hak sah iran sebagai penandatangan NPT. Kemudian, bab ini
akan menganalisa keinginan Iran dengan program nuklirnya, bagaimana politik
domestik iran dalam program nuklir, kebijakan iran dalam nuklir era
pemerintahan, serta puncak krisis nuklir iran di era pemerintahan Ahmadinejad.
II.1. Latar Belakang Pengembangan Nuklir Iran
Para pemimpin Iran telah berupaya untuk mengejar teknologi energi nuklir
sejak tahun 1950-an, yang didorong oleh diadakannya perjanjian kerjasama nuklir
di bawah program Atom for Peace tahun 1957.49 Upaya pertama Iran dalam
memiliki program nuklir terjadi di pemeritahan Syah Reza Pahlevi, dan negara
pertama yang membantu Iran dalam mengembangkan program nuklirnya adalah
Amerika Serikat.50
Secara umum, evolusi program nuklir Iran dapat diidentifikasi melalui tiga
tahap. Pertama, tahap ketergantungan Iran pada Barat ketika Iran masih menjadi
49
Greg Bruno, Iran's Nuclear Program, Council on Foreign Relations, (2010).
Gawdat Bahgat, “Iranian Nuclear Proliferation: The Trans-Atlantic Division”, Seton
Hall Journal of Diplomacy and International Relation, (2004), 143.
50
25
26
sekutu Barat pada masa pemerintahan Syah Pahlevi. Pada tahap awal membangun
program nuklirnya, Iran bergantung pada Amerika Serikat dan negara-negara
Barat lainnya.
Kedua, tahap ketika Iran berbalik arah dari negara-negara Barat. Pasca
Revolusi Islam Iran tahun 1979, program nuklir Iran sempat terhenti dan negaranegara Barat menghentikan bantuannya terhadap program nuklir Iran hingga
akhirnya Iran memutuskan untuk bekerja sama dengan Rusia, Pakistan dan Cina.
Ketiga, tahap dimana Iran sudah lebih mapan dan mandiri untuk menjalankan
program nuklirnya tanpa bergantung dengan negara lain.
Tabel 2.1
Tahapan Program Nuklir Iran51
Tahap Pertama
Tahun 1957-1979:
Ketergantungan Iran
terhadap Barat
Tahap Kedua
Tahun 1981-1998:
Berpaling dari Bantuan
Barat
Pembelian reaktor riset dan
HEU dari AS
Aktivitas nuklir dilanjutkan
kembali setelah Revolusi
Islam Iran
Iran memulai kontruksi reaktor
air berat di Arak
Peminjaman uang ke Perancis
untuk pembelian saham di
pabrik pengayaan
Membeli uranium yang
diperkaya dari Argentina
Iran menyelesaikan proyek
Uranium Conversion Facility
di Isfahan
Perjanjian dengan Jerman
Barat untuk pembelian 6
reaktor
Perjanjian dengan Rusia untuk
menyelesaikan pembangkit
listrik di Bushehr
Iran membangun fasilitas
pengayaan di Natanz dan
Fordow
Dimulainya konstruksi
pembangkit listrik di Bushehr
Perjanjian dengan Cina, dan
kemudian melepaskan diri dari
tekanan di bawah AS
Iran memperkaya uranium
hingga tingkat 19,75%
Perjanjian dengan Perancis
untuk pembelian 2 reaktor, dan
merencanakan 6 reaktor
lainnya
51
Tahap Ketiga
Sejak tahun 1999:
Kemandirian Iran
Rusia menyelesaikan
konstruksi pembangkit listrik
di Bushehr
Diolah dari Nuclear Energy, http://nuclearenergy.ir/history/ diakses pada 6 Maret 2015.
27
AS menawarkan untuk
fasilitas pengolahan dan
pembangkit listrik
Rencanan Iran untuk
membangun pembangkit listrik
(tenaga nuklir) secara mandiri
Upaya untuk mengamankan
uranium di Iran dan di luar
negeri
Pada tahun 1953, Amerika Serikat memainkan peran penting dalam kudeta
menggulingkan Mohammed Mossadeq, yang kemudian membawa Syah Pahlevi
berkuasa di Iran.52 Saat itu, Amerika Serikat yakin bahwa Iran di bawah
kepemimpinan Mohammed Mossadeq akan jatuh ke tangan komunis, sehingga
Presiden Eisenhower mendorong pasukan pro Amerika untuk menggulingkan
Mohammed Mossadeq.
Sebagai efek dari Perang Dingin, bahkan sejak sebelum Syah berkuasa,
Amerika Serikat di bawah pemerintahan Presiden Truman sudah merangkulnya
sebagai mitra penting dalam aliansi informal anti-Soviet di Timur Tengah.53
Amerika Serikat dan Uni Soviet tidak hanya berebut pengaruh, namun juga ladang
minyak di Iran. Amerika Serikat sendiri pernah memberikan ancaman nuklir
terselubung untuk Uni Soviet.54
Bantuan Amerika Serikat terhadap program nuklir Iran merupakan salah
satu bentuk aliansi AS-Iran untuk membantu menyeimbangkan pengaruh Uni
Soviet di kawasan Timur Tengah. Amerika Serikat membantu program nuklir Iran
untuk menopang aliansi militer dengan Iran dan mempengaruhi kebijakan Iran
pada harga minyak. Eksportir nuklir (negara-negara Barat) berharap bahwa
52
The Robert S. Strauss Center. Early US-Iran Relation,
https://strausscenter.org/hormuz/u-s-iran-relations.html diakses pada 17 Maret 2015.
53
Doughlas Little, Frenemies: Iran and America Since 1900, Vol. 4, Issue 8, (Mei 2011).
54
Little, Frenemies: Iran and America Since 1900.
28
mereka pun dapat menuai keuntungan politik dan ekonomi dari bantuan nuklir
yang diberikannya.55
Di bawah pemerintahan Syah Pahlevi, Iran merupakan sekutu Amerika
Serikat dan negara Barat lainnya, serta sangat bergantung pada bantuan dan
persenjataan Amerika Serikat. Pada saat itu, Amerika Serikat melihat Iran bukan
sebagai ancaman sehingga Amerika Serikat bersedia membantu program nuklir
Iran dengan menandatangani perjanjian kerjasama nuklir di bawah program Atom
for Peace tahun 1957 pada masa pemerintahan Presiden Dwight Eisenhower, dan
kemudian memberikan lima megawatt-thermal Tehran Research Reactor.56
Pada akhir tahun 1960-an, Atomic Center of Tehran University dan sebuah
reaktor riset didirikan. Bahan bakar yang telah diperkaya dipasok oleh sebuah
perusahaan Amerika bernama AMF.57 Pemerintah Syah kemudian mengumumkan
rencana untuk membangun lebih dari 20 reaktor nuklir untuk menghasilkan
listrik.58
Sampai pada tahun 1979, Amerika Serikat tidak sendirian dalam
memberikan bantuan, negara lain seperti Perancis dan Jerman juga berkontribusi
dalam program nuklir Iran. Pada tahun 1974, Iran dan Perancis menandatangani
perjanjian kerjasama 10 tahun untuk pembangunan lima reaktor nuklir dan total
biaya dari perjanjian ini sekitar US$ 4 miliar.59 Kemudian, pada tahun 1976 Iran
55
Matthew Fuhrmann, America's Role in Helping Iran Develop its Nuclear Program,
(2012), 2.
56
Fuhrmann, America's Role,5.
International Atomic Energy Agency, Communication dated 12 September 2005 from
the Permanent Mission of the Islamic Republic of Iran to the Agency, 4. Tersedia di www.iaea.org.
58
International Institute for Strategic Studies (IISS), Iran’s Nuclear, Chemical, and
Biological Capabilities: A Net Assessment, (2011).
59
Uluslararasi Politika Akademisi, Nuclear Program of The Islamic Republic of Iran: A
Comparison on Khomeini and Ahmadinejad Terms, (2012), http://politikaakademisi.org/nuclear57
29
membeli 10% saham di sebuah pabrik pengayaan uranium yang bernama Tricastin
di Paris dan 15% saham di tambang uranium RTZ di Rossing, Namibia.60
Syah Pahlevi mendorong keras pengembangan dalam negeri terkait
pengolahan penuh bahan bakar nuklir, khususnya kemampuan untuk memproses
ulang bahan bakar bekas.61 Oleh karena itu, sebagai bagian dari rencana untuk
memodernisasi Iran, Syah bertekad untuk memulai dan memperluas program
nuklir dengan ambisius.62
Di samping perjanjian dengan negara-negara Barat, Iran membeli kue
kuning (yellow cake) dari Afrika Selatan dan membiayai sebuah pabrik pengayaan
disana. Pada tahun 1974, Atomic Energy Organization of Iran (AEOI) didirikan
dan insinyur nuklir Iran dikirim ke luar negeri untuk melakukan pelatihan.63
Meskipun ada pernyataan bahwa program nuklir Iran di bawah Syah hanya
untuk tujuan damai, beberapa sumber menyatakan bahwa Syah bermaksud untuk
membangun senjata nuklir.64 Terlepas dari spekulasi tentang niat Syah dalam
program-of-the-islamic-republic-of-iran-a-comparison-on-khomeini-and-ahmadinejad-terms/
diakses pada 2 Maret 2015.
60
Oliver Meier, Iran and Foreign Enrichment: A Troubled Model, The Arms Control
Association, (February 2006), 56.
61
Bahan bakar nuklir adalah bahan yang dapat menghasilkan proses transformasi inti
berantai (www.batan.go.id); Proses pengolahan ulang bahan bakar bekas bertujuan untuk
mengambil sisa bahan bakar fisi yang belum terbakar dan bahan bakar baru yang terbentuk selama
proses pembakaran bahan bakar nuklir (www.batan.go.id); Abbas Milani, The Shah’s Atomic
Dreams, Foreign Policy 29 Desember 2010, http://foreignpolicy.com/2010/12/29/the-shahsatomic-dreams/ diakses pada 20 Februari 2015.
62
Meier, Iran and Foreign Enrichment, 47.
63
Kue kuning atau yellowcake adalah sebutan untuk semacam bubuk uranium konsentrat
yang diperoleh dari proses penghancuran bijih uranium secara mekanik, dan kemudian uranium
dipisahkan dari mineral lainnya melalui proses kimia menggunakan asam sulfat. Hasil akhir dari
proses ini berupa konsentrat uranium oksida (U3O8) yang sering disebut kue kuning atau “Yellow
Cake”. (United States Nuclear Regulatory Commission, Yellowcake, http://www.nrc.gov/readingrm/basic-ref/glossary/yellowcake.html); Muhammad Sahimi, Iran’s Nuclear Program, Payvand,
Iran News, (2003).
64
Bahgat, Iranian Nuclear Proliferation, 300.
30
program nuklir, ketika AEOI dibentuk pada tahun 1974, Syah menyerukan untuk
membuat seluruh kawasan Timur Tengah sebagai zona kawasan bebas senjata
nuklir. Seruan ini menjadi tema yang mendasari kebijakan nuklir Iran di bawah
rezim Islam.65
Namun, Revolusi Islam Iran tahun 1979 merupakan titik balik dalam
program nuklir Iran. Program nuklir Iran sempat terhenti tak lama setelah
Revolusi 1979. Banyak ilmuwan nuklir Iran meninggalkan negara tersebut setelah
jatuhnya rezim Syah Pahlevi. Selain itu, pemimpin tertinggi Iran (Supreme
Leader) pada saat itu, Ayatollah Ruhollah Khomeini, percaya bahwa senjata
nuklir bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar Islam.66
Setelah kematian Khomeini pada tahun 1989, pemimpin tertinggi Iran
yang baru, Ayatollah Ali Khamenei, memperluas kegiatan nuklir Iran. 67 Pada
pertengahan tahun 1980an, pemimpin Iran memutuskan untuk memulai kembali
program nuklirnya. Tidak seperti pendahulunya, Ayatollah Ali Khamenei
mempunyai pandangan yang lebih baik tentang energi nuklir dan teknologi
militer, sehingga ia bertujuan untuk membangun kembali Program Teheran.68
Namun, Iran tidak dapat menggandeng kembali negara-negara Barat untuk
membantu program nuklirnya. Hal ini disebabkan adanya tekanan dari Amerika
Serikat. Pasca Revolusi Islam Iran, hubungan Iran dan negara-negara Barat,
khususnya Amerika Serikat, memburuk. Negara-negara Barat pun kemudian
65
Bahgat, Iranian Nuclear Proliferation, 309.
Bahgat, Iranian Nuclear Proliferation, 311.
67
Milani, The Shah’s Atomic Dreams.
68
Bruno, Iran's Nuclear Program.
66
31
membekukan perjanjian dengan Iran, serta menarik dukungan mereka untuk
program nuklir Iran.
Siemens/Kraftwerk Union menghentikan pekerjaannya di Bushehr juga
karena tekanan Amerika Serikat. Amerika Serikat sendiri memutuskan untuk
menghentikan pasokan uranium weapon-grade69 yang digunakan sebagai bahan
bakar untuk Tehran Research Reactor (TRR). Perancis juga mengubah sikapnya
terhadap energi nuklir Iran.70 Sebagian besar perusahaan Barat menghentikan
kerjasama dengan Iran terutama karena upaya politik oleh Presiden Amerika
Serikat saat itu, Ronald Regan, untuk memaksakan embargo internasional tentang
kerja sama nuklir dengan Iran.71
Hingga akhirnya Iran berkeinginan untuk bekerja sama dengan Rusia,
Pakistan dan Cina yang kemudian menandatangani perjanjian-perjanjian.72 Iran
menandatangani perjanjian kerjasama nuklir jangka panjang dengan Pakistan dan
Cina masing-masing pada tahun 1987 dan 1990.73 Iran juga menandatangani
perjanjian dengan Rusia pada tahun 1992.
Menarik untuk melihat hubungan Iran dengan Rusia. Sebelumnya Iran dan
Rusia memiliki sejarah konflik yang panjang. Namun, kini Rusia menyambut Iran
dengan membantu program nuklir Iran. Iran dan Rusia sama-sama menganggap
69
Uranium weapon-grade adalah uranium dengan pengayaan diatas 90%. Fisi uranium di
senjata nuklir primer biasanya berisi 85% atau lebih 235U sehingga uranium weapon-grade dapat
digunakan untuk membuat senjata nuklir. (www.batan.go.id)
70
Nuclear Energy, History: Post-Revolution Endeavors, http://nuclearenergy.ir/history/
diakses pada 5 Maret 2015.
71
The International Institute for Strategic Studies (IISS), IISS Dossier: Iran’s Strategic
Weapons Programmes-a net assessment, Routledge Taylor and Francis Group, (New York, 2005),
12.
72
Nicoleta Lasan, European Union’s Approach Towards The Iranian Nuclear Crisis: An
Interest-Driven Strategy Combined With The “Appropriate” Means, (Hungary: Central European
University, 2007), 7.
73
Nuclear Threat Initiative, Iran: Nuclear.
32
Amerika Serikat sebagai saingan yang signifikan dan ancaman bagi keamanan
jangka panjang mereka. Maka, Rusia memutuskan untuk terlibat dalam strategi
menyeimbangkan (balancing strategy).74 Rusia telah membantu pembangunan
pembangkit listrik tenaga nuklir di Bushehr senilai US$ 800 juta dan membantu
para ilmuan Iran untuk memperoleh pengetahuan nuklir.75
Pasca Revolusi Islam Iran, Rusia melihat bahwa mustahil untuk
membawa pengaruh komunisme di Iran, terutama karena adanya faktor relijius
yang kuat di dalam masyarakat Iran. Rusia melihat resiko yang besar untuk
melemahkan pemerintah Iran, di samping ada bahaya potensial jika Amerika
Serikat menginvasi Iran.76
Namun, Rusia merasa bahwa Iran dapat mengancam keamanan dan
kepentingannya dengan mempengaruhi masyarakat Muslim di kawasan Asia
Tengah dan Kausasus. Akhirnya, Rusia memutuskan untuk membawa Iran ke arah
kerjasama dan berharap bahwa hal tersebut akan menyebabkan Iran bergantung
pada Rusia dalam jangka panjang, yaitu dengan membantu program nuklir Iran. 77
Sementara Iran dan Cina sama-sama merasa bahwa mereka adalah dua
peradaban besar yang telah menjadi korban imperialisme Barat.78 Sebelum tahun
1997, Cina telah menjadi mitra penting Iran dalam membantu
Iran
mengembangkan kemampuan nuklirnya. Kerjasama Iran dengan Cina dimulai
pada tahun 1987 dan berlanjut selama sekitar 10 tahun. Kerjasama ini membantu
74
Ariel Cohen, The Russian Handicap to U.S. Iran Policy, Jerusalem Issue Briefs,
(2009), 35.
75
Global Security. Bushehr –Background,
http://www.globalsecurity.org/wmd/world/iran/bushehr-intro.htm diakses pada 12 Maret 2015.
76
Mahdi Ahouie, Iran’s relationship with China, India and Russia, (2015).
77
Cohen, The Russian Handica, 30.
78
Lake, Iran’s nuclear program helped by China.
33
kapabilitas pertambangan uranium Iran dengan menyediakan para pakar dan
rancangan fasilitas pembangkit uranium hexaflourida.79
Banyak bagian dari program Iran, termasuk desain fasilitas uranium
hexaflourida dan fasilitas reaktor air berat di Arak yang digunakan untuk
memproduksi plutonium, dapat ditelusuri melalui adanya kerjasama dengan Cina
dan Rusia pada tahun 1990an.80
Aliansi informal dari antara Iran dengan Rusia dan Cina hadir sebagai
reaksi terhadap unilateralisme dan upaya aspirasi hegemoni global Amerika
Serikat. Cina dan Rusia yang sama-sama memiliki hak veto dalam Dewan
Keamanan PBB, memiliki konsistensi untuk menghambat upaya PBB dalam
menghentikan program nuklir Iran.81
Kekhawatiran internasional atas kegiatan nuklir Iran semakin intensif pada
tahun 2002 ketika kelompok oposisi Iran yang berbasis di Irak, National Council
of Resistance in Iran (NCRI), mengungkap adanya dua fasilitas nuklir yang
dirahasiakan, fasilitas pengayaan uranium di Natanz dan pabrik produksi air berat
di Arak. Hingga akhirnya di bawah tekanan dunia internasional, Iran kemudian
menandatangani protokol tambahan, yang memberikan izin inspeksi kepada IAEA
untuk memverifikasi bahwa Iran tidak membangun senjata nuklir.82
79
Eli Lake, Iran’s nuclear program helped by China, Russia, The Washington Times, 5
Juli 2011, http://www.washingtontimes.com/news/2011/jul/5/irans-nuclear-program-helped-bychina-russia/?page=all diakses pada 13 Maret 2015.
80
Lake, Iran’s nuclear program helped by China, Russia.
81
Cohen, The Russian Handicap, 37.
82
Bruno, Iran's Nuclear Program.
34
Gambar 2.2
Lokasi Penting Fasilitas Nuklir Iran83
II.2. Hak Sah Iran Sebagai Penandatangan NPT
Non Proliferation Treaty (NPT) atau Traktat Non-Proliferasi Nuklir adalah
perjanjian multilateral yang ditandatangani pada tahun 1968 dan mulai berlaku
efektif pada tahun 1970. NPT merupakan bentuk utama dari upaya dunia
internasional untuk membatasi proliferasi nuklir. Ide dasar perjanjian ini adalah
bahwa setiap negara harus memiliki kesempatan untuk menggunakan energi
83
Deutsche Welle, Defying West, Iran opens nuclear power plant with Russian help,
http://www.dw.de/defying-west-iran-opens-nuclear-power-plant-with-russian-help/a-5928999
diakses pada 3 Maret 2015.
35
nuklir untuk tujuan sipil, namun penggunaan nuklir untuk kepentingan militer
harus dilarang dan hanya diperbolehkan eksklusif untuk lima negara, yaitu
Amerika Serikat, Rusia, Inggris, Cina dan Perancis.84
Perjanjian ini membatasi penggunaan nuklir dan melarang transfer
teknologi senjata nuklir ke negara yang tidak memiliki senjata nuklir (non-nuclear
weapon states). Namun, perjanjian ini tidak melarang penggunaan nuklir untuk
tujuan damai, melainkan mendorong transfer teknologi nuklir untuk tujuan damai.
Perjanjian ini juga mengharuskan negara-negara pemilik senjata nuklir untuk
melakukan pengawasan senjata (arms control).85
Tiga tujuan utama NPT yaitu, pertama, menjamin pelucutan senjata nuklir
oleh negara bersenjata nuklir yang telah menandatanagi NPT, yaitu Cina, Rusia,
Inggris, Perancis dan Amerika Serikat. Kedua, mencegah penyebaran senjata
nuklir dan teknologi yang berkaitan dengan senjata nuklir. Ketiga, menjamin
kerjasama dalam penggunaan energi nuklir untuk tujuan damai.86
Iran menandatangani NPT pada tahun 1968 sebagai negara non senjata
nuklir dan meratifikasinya pada tahun 1970.87 Pasal III dari NPT mengharuskan
negara non nuklir untuk menerima safeguard (upaya pengamanan) komprehensif
dari International Atomic Energy Agency (IAEA). Iran telah menandatangani
84
Oliver Schmidt, Understanding & Analyzing Iran’s Nuclear Intentionn - Testing Scott
Sagan’s Argument of “Why do States build Nuclear Weapons”, Lancaster University, (2008), 5.
85
Wolfson, Richard, Nuclear Choices; A Citizen's Guide to Nuclear Technology,
(Massachusetts: McGraw-Hill Publishing Company, 1991), 21.
86
Seyed Hossein Mousavian, The Iran Nuclear Dilemma: The Peaceful Use of Nuclear
Energy and NPT’s Main Objectives. EU Non-Proliferation Consortium, (2012), 3.
87
Nuclear Threat Initiative. Iran: Nuclear.
36
safeguards agreement (perjanjian pengamanan) yang komprehensif dengan IAEA
pada tahun 1974.88
Dalam kasus program nuklir Iran, Iran selalu menyatakan bahwa kegiatan
pengayaan uraniumnya bertujuan untuk menghasilkan bahan bakar pembangkit
listrik tenaga nuklir untuk memenuhi kebutuhan domestik dan warga sipilnya
dengan tujuan damai.89 Iran menyatakan bahwa membangun senjata nuklir
bertentangan dengan nilai-nilai Islam, sehingga Iran pun bersikeras bahwa ia tidak
sedang membangun senjata nuklir.90
Dengan pernyataan tersebut dan sebagai negara penadatangan NPT, maka
pada prinsipnya Iran memiliki hak yang sah untuk mengembangkan nuklir untuk
tujuan damai. Iran sendiri juga mengklaim bahwa ia memiliki hak mutlak untuk
mengaya uranium sebagaimana diatur dalam NPT, dan bahwa satu-satunya
batasan dalam program nuklir adalah pemproduksian senjata, sedangkan Iran
tidak sedang membangun senjata nuklir.91
NPT menegaskan untuk melindungi hak seluruh negara penandatangan
untuk mengembangkan teknologi nuklir untuk tujuan damai. Hal ini diatur dalam
pasal IV, yang pada intinya menyatakan bahwa tidak ada poin dalam perjanjian
tersebut yang melarang pihak penandatangan untuk mengembangkan penelitian,
produksi
88
dan
penggunaan
energi
nuklir
untuk
tujuan
damai.
Negara
Paul K. Kerr, Iran’s Nuclear Program: Tehran’s Compliance with International
Obligations, Congressional Research Service, (2014), 1.
89
Aylin Ünver Noi, Iran's Nuclear Programme: The EU Approach to Iran in Comparison
to the US’ Approach, Center for Strategic Research, (2005), 89.
90
Conn Hallinan, The Question of Enrichment.
91
Conn Hallinan, The Question of Enrichment.
37
penandatangan memiliki hak untuk mengembangkan nuklir untuk tujuan damai
tanpa diskriminasi sebagaimana diatur dalam pasal I dan II dari perjanjian ini.92
Namun, bunyi pasal IV ini memiliki ambiguitas yang menyebabkan
adanya kontroversi tentang apa yang dimaksud dengan “hak mutlak” yang
disebutkan dalam pasal IV.93 Hal ini terjadi karena masing-masing pihak (negara)
memiliki interpretasi dan pendapat yang berbeda atas pasal ini, seperti Amerika
Serikat yang menentang dengan keras upaya pengayaan uranium Iran. Amerika
Serikat menolak untuk mengakui hak Iran.94 Beberapa negara pun melihat pasal
IV memiliki inkonsistensi antara frasa “inalienable right (hak mutlak)” dan “in
conformity with Articles I and II (sesuai dengan pasal I dan II)”.
Ambiguitas ini tentu semakin menyulitkan untuk membangun pemahaman
bersama antara pihak-pihak yang bernegosiasi. Namun, dalam NPT Review
Conference tahun 2000, konferensi ini menegaskan untuk menghormati pilihan
dan keputusan masing-masing negara dalam bidang penggunaan damai energi
nuklir dengan tanpa melanggar kebijakan atau kerjasama internasional yang
terkait.95 Dewan Keamanan PBB sendiri pun tidak pernah menyatakan bahwa Iran
telah melanggar NPT.96
92
William O. Beeman, Does Iran Have the Right to Enrich Uranium? The Answer Is Yes,
Huffington Post 31 Oktober 2013 http://www.huffingtonpost.com/william-o-beeman/does-iranhave-the-right-_b_4181347.html diakses pada 20 februari 2015.
93
Nathan Donohue, Understanding Iran’s Right to Enrichment, CSIS, (2012), 3.
94
Muhammad Sahimi, Iran Has a Right to Enrich- And America Already Recognized It,
(2013),
http://nationalinterest.org/commentary/iran-has-right-enrich%E2%80%94-americaalready-recognized-it-9425 diakses pada 20 Februari 2015.
95
Sahimi, Iran Has a Right to Enrich.
96
Paul K. Kerr, Iran’s Nuclear Program: Tehran’s Compliance with International
Obligations, 11.
38
II.3. Keinginan Iran dengan Program Nuklirnya
Sejauh ini, belum ada sumber resmi dari pemerintah Iran yang mengakui
bahwa Iran sedang membangun senjata nuklir. Sebaliknya, selama ini pemerintah
Iran dengan resmi selalu menyatakan bahwa program nuklir Iran adalah untuk
tujuan sipil. Namun, menarik untuk menganalisa kasus nuklir Iran melalui
kerangka teori yang ditulis oleh Scot Sagan dalam Why Do States Build Nuclear
Weapon?: Three Models in Search of a Bomb.97
Ada tiga model untuk menganalisa motif negara-negara ingin membangun
senjata nuklir, yaitu Security Model, Domestic Politics Model dan Norms Model.
Model pertama adalah Security Model, menurut model ini negara membangun
senjata nuklir untuk meningkatkan keamanan nasional dari ancaman luar,
terutama ancaman nuklir.98
Model ini berkaitan dengan konsep-konsep dasar teori neo-realis. Menurut
neo-realis, sistem internasional adalah anarki, yang berarti tidak institusi
internasional yang dapat memberikan sanksi terhadap perilaku negara.99 Dalam
kondisi yang anarki, sifat alamiah negara adalah berperang, seperti yang
diungkapkan Thomas Hobbes.100 Oleh karena itu negara harus bergantung pada
diri sendiri (self-help) untuk melindungi kedaulatan dan keamanan nasionalnya
(survival). Maka negara harus memaksimalkan keamanan (security).101
97
Scott D. Sagan, Why do States Build Nuclear Weapons?: Three Models in Search of a
Bomb, International Security, Vol. 21, No. 3, (Winter, 1996-1997), 55.
98
Sagan, Why do States Build Nuclear Weapons, 55.
99
John J. Mearsheimer, The Tragedy of Great Power Politics, W.W. Norton & Company,
(New York, 2001), 30.
100
Kenneth Waltz, Theory of International Politics, McGraw-Hill Higher Education,
Mass, (1979), 102.
101
Why do States Build Nuclear Weapons, 58.
39
Kemudian, kepemilikan senjata nuklir juga berkaitan dengan konsep
deterent (Concept of Deterrence). Deterent dapat diartikan sebagai cara untuk
mempengaruhi aksi pihak lain untuk menahan pihak tersebut melakukan sesuatu
yang merugikan dengan memberikan kemungkinan bahwa pihak lainnya akan
merespon dengan sesuatu yang sama-sama merugikan. Singkatnya, menggunakan
ancaman dan hukuman jika diperlukan untuk mengubah perilaku negara lain.102
Domestic Politics Model, dimana senjata nuklir digunakan sebagai alat
politik dan pertarungan kepentingan di dalam birokrasi. Menurut Scot Sagan, ada
tiga aktor domestik utama yang berkaitan dengan keputusan negara untuk
mengembangkan nuklir: pertama, pembangunan energi nuklir suatu negara,
termasuk lembaga-lembaga ilmiah dan perusahaan; kedua, militer sebagai aktor
birokrasi dalam negeri; dan ketiga adalah politisi yang ingin menggunakan isu
senjata nuklir untuk partai politik atau kedudukan pribadinya mengenai opini
publik dan dukungan publik.103
Norms Model, dimana keputusan membangun senjata nuklir dibuat karena
dapat memberikan simbol normatif yang penting, seperti kemodernan dan
identitas negara. Kepemilikan senjata nuklir dapat membentuk dan merefleksikan
identitas negara. Menurut model ini, perilaku negara tidak ditentukan oleh
kalkulasi pemimpin negara tentang kepentingan keamanan nasional atau
102
Klaus-Dieter Schwarz, The Future of Deterrence, German Institute for International
and Security Affairs, Stiftung Wissenschaft und Politik (SWP), SWP Research Paper, (Juni 2005),
5.
103
Sagan. Why do States Build Nuclear Weapons, 63.
40
kepentingan birokrasi, melainkan ditentukan oleh norma dan keyakinan bersama
tentang perilaku apa yang sah dan sesuai dalam hubungan internasional.104
Berdasarkan ketiga model tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa ada
kemungkinan Iran berniat untuk membangun senjata nuklir. Pertama, selaras
dengan security model, Iran sedang menghadapi ancaman keamanan sehingga Iran
mungkin bermaksud untuk mengembangkan senjata nuklir sebagai alat deterent
karena ketakutannya atas invasi atau serangan udara Amerika Serikat atau Israel.
Apalagi pasca revolusi Iran, hubungan Iran-Amerika Serikat didominasi dengan
sentimen negatif, gesekan, provokasi dan beberapa konflik militer.105
Puncaknya, mulai pada tahun 2001 Iran melihat Amerika Serikat sebagai
ancaman utama.106 Iran menyadari bahwa intervensi Amerika Serikat tidak dapat
dihalangi dengan cara konvensional. Selain itu, Amerika Serikat mampu
menggulingkan rezim Saddam Hussein hanya dalam dua puluh satu hari. Oleh
karena itu, Iran berkalkulasi bahwa deterent nuklir adalah satu-satunya cara yang
dapat menjamin kedaulatan dan keamanannya.107
Dalam tingkat regional, penting untuk melihat kondisi geopolitik Iran
bahwa Iran dikelilingi oleh negara-negara pemilik senjata nuklir, termasuk Rusia,
Pakistan, India, Israel dan pasukan Amerika Serikat di wilayah tersebut.108
Menyeimbangkan (balancing) kemampuan nuklir tersebut dapat menjadi salah
104
Sagan, Why do States Build Nuclear Weapons, 73.
105
106
Ali M. Ansari, Confronting Iran – The Failure of American Foreign Policy and the
next Great Crisis in the Middle East, Basic Books, (New York, 2006), 186.
107
James A. Russel, Proliferation of Weapons of Mass Destruction in the Middle East:
Directions and Policy Options in the New Century, ( New York: Palgrave, 2006), 55.
108
Cirincione, Joseph, Jon B. Wolfsthal dan Miriam Rajkumar, Deadly Arsenals –
Tracking Weapons of Mass Destruction, (Washington D.C, 2002), 256.
41
satu dorongan bagi Iran untuk mengembangkan senjata nuklir. Persepsi ancaman
regional Iran dimulai ketika perang Iran-Irak tahun 1980-1988. Iran juga
menggunakan nuklir guna memenuhi ambisinya untuk mendominasi wilayah
regionalnya.109
Kedua, sesuai dengan domestic politics model, dukungan publik rakyat
Iran terhadap pemerintahnya untuk program pengembangan nuklir Iran sangat
tinggi, sehingga hal ini merupakan sebuah pemicu dan dorongan untuk tetap
melanjutkan upaya pengembangan senjata nuklir.
Gambar 2.3
Poling Opini Publik Iran110
Berdasarkan grafik poling oponi publik di atas, survey yang dilakukan
oleh ISPA pada bulan Februari 2006, WPO dan TFT pada bulan Agustus 2008,
Rand pada bulan Desember 2009, Gallup pada bulan Januari 2012, Marylan pada
109
Rajkumar, Deadly Arsenals, 300.
Nuclear Energy, Iranian public attitudes towards their country’s nuclear energy
program, http://nuclearenergy.ir/public-opinion/ diakses pada 5 Maret 2015.
110
42
bulan Oktober 2012, Gallup pada Januari 2013 dan kemudian bulan Mei 2013,
secara konsisten menunjukkan bahwa dukungan publik Iran terhadap program
nuklir Iran berada diatas angka 50%. Maka dapat disimpulkan bahwa di tengah
sanksi yang dijatuhkan kepada Iran, dukungan rakyat Iran terhadap program
nuklirnya tetap besar.
Sagan berargumen bahwa, aktor yang pro dengan senjata nuklir akan
memperoleh keuntungan jika senjata nuklir merupakan simbol positif dalam
perdebatan domestik.111 Selama ini kelompok konservatif yang mendukung
program nuklir selalu berada di posisi-posisi penting dalam pemerintahan
sehingga mereka memiliki pengaruh kuat dalam proses pembuatan kebijakan.
Dengan adanya respon positif dari publik Iran, kelompok konservatif semakin
menguatkan posisinya di dalam pemerintahan Iran.112
Ketiga, sesuai dengan norms model, karena persepsi senjata nuklir sebagai
simbol kedaualtan dan kemodernan, Iran mengembangkan senjata nuklir untuk
mendapatkan prestise internasional. Bagi Iran, progres dalam program nuklirnya
merupakan satu kebanggaan nasional yang utama, bersamaan dengan kemajuan
teknologi Iran lainnya seperti peluncuran satelit ke luar angkasa pada tahun 2009
lalu dan pengembangan rudal yang mampu menyerang Israel. 113 Ahmadinejad dan
111
Sagan. Why do States Build Nuclear Weapons, 60.
Noi, Iran's Nuclear Programme, 78.
113
Brian Murphy, Iran Nuclear Program: Ahmadinejad Promises Country Will Not
Retreat, Huffington Post 9 November 2011. http://www.huffingtonpost.com/2011/11/09/irannuclear-program-ahmadinejad_n_1083398.html diakses pada 28 Februari 2015.
112
43
fraksi garis keras menyoroti pentingnya program nuklir untuk memperkuat status
regional dan internasional Iran.114
Sesuai dengan Konstitusi Republik Islam Iran tahun 1979, dimana salah
satu aspek utama dari kebijakan luar negerinya adalah penolakan dari setiap
hegemoni atau dominasi asing. Oleh karena itu, kepemilikan senjata nuklir bisa
menjadi simbol bagi kemandirian Iran dan penolakan intervensi asing dalam
urusan domestik dan regional Iran.115
Dengan ketiga alasan tersebut, logis bagi Iran untuk membangun senjata
nuklir. Rekam jejak Iran dalam program nuklirnya, seperti adanya fasilitas
pengayaan rahasia, keengganan untuk mematuhi IAEA Safeguards Agreement,
keraguan Iran untuk dilakukan inspeksi terhadap kegiatan pengembangan
nuklirnya, perselisihan antara Iran dengan PBB dan IAEA, semakin memberikan
petunjuk tambahan bahwa Iran memang berniat untuk membangun senjata nuklir.
II.4. Politik Domestik Iran dalam Program Nuklir
Dalam konteks hubungan Iran dengan dunia luar, ada dua tipe pembuat
kebijakan di Iran, yaitu mereka yang sedikit percaya dengan dunia luar, khususnya
Barat dan mereka yang sama sekali tidak percaya dengan dunia luar. Namun, para
analis yang mempelajari Iran setuju bahwa negara ini harus dilihat sebagai aktor
114
Mehran Kamrav, Iranian National Security Debates – Factionalism and lost
Opportunities, Middle East Policy, Vol. XIV, No. 2, (2007), 95.
115
Schmidt, Understanding & Analyzing Iran’s Nuclear Intention, 64.
44
rasional, dimana para elitnya membuat keputusan dengan mempertimbangkan
resiko dan kesempatan atau cost and benefit.116
Pemimpin Iran menyadari bahwa program nuklir merupakan sebuah aset
strategis penting sekaligus batu sandungan utama dalam hubungan antara Iran
dengan dunia internasional. Berbeda dengan kelompok garis keras, kaum reformis
bersikeras bahwa Iran perlu berintegrasi ke dalam tatanan internasional dan
ekonomi global sehingga Iran harus menerima pembatasan program nuklir.117
Sejak revolusi tahun 1979, politik domestik Iran sendiri dalam program
nuklir ini terpecah. Senjata nuklir lebih dari sekedar alat keamanan nasional,
senjata nuklir adalah objek politik penting yang sering diperdebatkan dalam ranah
domestik dan pertarungan kepentingan birokrasi dalam negeri. Shahram Chubin
berpendapat bahwa upaya Iran untuk mengembangkan nuklir lebih merupakan
produk dari politik dalam negeri dan tuntutan legitimasi revolusioner daripada
sebuah keharusan strategis.118
Selama periode 2002-2005, program nuklir menjadi perhatian besar para
elit politik Iran. Beberapa pejabat Iran khawatir bahwa pengungkapan fasilitas
nuklir oleh National Council of Resistance in Iran (NCRI) akan menyebabkan
peningkatan sanksi atau tindakan militer terhadap Iran, terutama mengingat
116
Reuven Pedatzur, “The Iranian Nuclear Threats and the Israeli Options”,
Contemporary Security Policy, Vol 28, No 3, (2007), 514.
117
Ray Takeyh, Iranian reformers oppose government's nuclear ambitions, Los Angeles
Times 7 Januari 2015, http://www.latimes.com/opinion/op-ed/la-oe-takeyh-iranian-left-20150108story.html diakses pada 4 Maret 2015.
118
Shahram Chubin, Iran: Domestic Politics and Nuclear Choices, Strategic Asia.
(2007), 301.
45
pasukan militer Amerika Serikat di wilayah tersebut pada waktu itu akan
menginvasi Irak.119
Secara umum, ada tiga kelompok yang berbeda pandangan tentang
program nuklir Iran. Pertama adalah kelompok pendukung nuklir, yaitu mereka
yang berpendapat bahwa Iran memiliki hak untuk mengembangkan senjata nuklir
sebagai deterent terhadap ancaman eksternal yang dirasakan. Mereka berada di
sayap konservatif. Menurut pandangan kelompok ini, Barat memaksakan
kehendaknya terhadap Iran melalui hukum dan lembaga-lembaga internasional. 120
Oleh karena itu, Iran akan berada di posisi terkuatnya ketika memiliki
kemampuan untuk mencegah ancaman eksternal yang melalui penggunaan
kekuatan, dan mereka percaya bahwa instrumen deterent yang kredibel adalah
kepemilikan nuklir, yang juga diperlukan untuk memastikan keamanan dan status
politik Iran. Pendukung nuklir berulang kali mengkritik perundingan nuklir
dengan Barat karena dinilai gagal mempertahankan hak untuk mengaya uranium
dan kepentingan nasional Iran.121
Kedua adalah kelompok pengkritik nuklir, yaitu mereka yang mendukung
untuk menghentikan program nuklir Iran demi mengejar kepentingan nasional
lainnya. Mereka mengklaim bahwa konflik berkepanjangan atas program nuklir
Iran akan menyebabkan peningkatan isolasi dan jatuhnya ekonomi negara. Sanksi
119
Nima Gerami, Leadership Divided? The Domestic Politic of Iran’s Nuclear Debate.
Washington: The Washington Institute for Near East Policy, (2014), 32.
120
Gerami, Leadership Divided?, 20.
121
Gerami, Leadership Divided?, 22.
46
internasional yang keras adalah akibat langsung dari keengganan Iran untuk
mencapai kesepakatan nuklir dengan Barat.122
Bagi mereka, program nuklir tidak mengedepankan kepentingan keamanan
nasional Iran, justru sebaliknya, membuat Iran menjadi kurang aman dengan
adanya banyak tekanan asing. Kelompok pengkritik semakin menyuarakan
kritikannya terhadap program nuklir Iran selama dua tahun terakhir pemerintahan
Ahmadinejad. Yaitu, ketika kekhawatiran tentang keselamatan nuklir dan
memburuknya perekonomian Iran yang menyebabkan kemungkinan adanya
koalisi antara kelompok konservatif Ahmadinejad dan kelompok penentang
reformis.123
Ketiga adalah kelompok tengah, yaitu mereka yang bersedia menerima
hambatan sementara pada pengayaan uranium Iran dan kegiatan lain yang
berhubungan dengan pemrosesan kembali, untuk mengakhiri isolasi internasional
yang dihadapi oleh Iran. Mereka menggarisbawahi adanya kebutuhan untuk
memecahkan masalah nuklir Iran dengan Barat melalui diplomasi, sambil
meningkatkan kemampuan Iran untuk menghadapi ancaman melalui deterent.124
Dengan demikian, Iran dapat memanfaatkan perjanjian dan kesepakatan
internasional untuk mengubah ancaman menjadi peluang.
Kelompok tengah mengklaim bahwa mereka dapat mengurangi sanksi
sambil terus melanjutkan kemampuan pengolahan bahan bakar nuklir. Para
perwakilan atau negotiator nuklir Iran umumnya berasal dari kelompok ini.
122
Gerami, Leadership Divided?, 23.
Gerami, Leadership Divided?, 34.
124
Gerami, Leadership Divided?, 25.
123
47
mereka berusaha meyakinkan dunia internasional bahwa program nuklir Iran
adalah bertujuan damai.125
Periode pertama Ahmadinejad menjadi presiden Iran (2005-2009),
merupakan fase terdalam perpecahan internal Iran dalam program nuklir.126 Jika
diamati lebih dekat, politik nuklir Iran menggambarkan bahwa perpecahan elit
pada masalah nuklir terkait erat dengan adanya perbedaan persepsi ancaman,
kalkulasi politik dalam negeri, dan perdebatan tentang evolusi Republik Islam dan
tempatnya di dunia internasional. Pada dasarnya, para pejabat Iran memiliki
pandangan berbeda tentang definisi kepentingan keamanan nasional Iran, tujuan
akhir yang diinginkan negara untuk program nuklir, dan cara terbaik untuk
mengejar tujuan strategis negara.127
Keputusan anti-nuklir akan ditetapkan ketika lobi anti nuklir yang kuat
dapat mempengaruhi proses pengambilan keputusan atau dukungan publik. Itu
berarti, keputusan pro-nuklir ditetapkan jika kelompok aktor politik yang kuat
dapat mempengaruhi perdebatan politik dan mendapatkan dukungan pemerintah
dalam hal keputusan pro-nuklir.128 Namun, pada tahun 2005 ketika Ahmadinejad
terpilih menjadi presiden, cabang eksekutif maupun parlemen didominasi oleh
kelompok garis keras dan konservatif.
Kelompok pengkritik nuklir berada diposisi terpinggirkan dari posisi
kekuasaan sehingga memiliki pengaruh yang kecil, sementara kelompok
pendukung dan kelompok tengah berada di posisi paling berpengaruh dalam
125
Chubin, The Politics of Iran's Nuclear Program, 16.
Shahram Chubin, The Politics of Iran's Nuclear Program, The Iran Primer
http://iranprimer.usip.org/resource/politics-irans-nuclear-program diakses pada 2 Maret 2015.
127
Chubin, The Politics of Iran's Nuclear Program, 19.
128
Schmidt, Understanding & Analyzing Iran’s, 57.
126
48
membentuk kebijakan nuklir Iran. Meskipun demikian, kelompok pendukung dan
kelompok tengah sendiri memiliki tujuan akhir yang berbeda dan perbedaan
pemikiran tentang bagaimana cara untuk mencapai tujuan tersebut.
Kelompok pendukung berusaha untuk mengembangkan nuklir sebagai
instrumen deterent berdasarkan keyakinan mereka, bahwa kekuatan militer akan
memastikan status Iran di wilayah Timur Tengah. Sedangkan kelompok tengah
berusaha untuk menyeimbangkan antara tuntutan ekonomi dan politik Iran dengan
kebutuhan untuk mempertahankan kemampuan nuklir.129
Kurangnya konsensus diantara para elit Iran tentang isu nuklir
mengakibatkan Iran harus selalu menilai kembali strategi nuklirnya secara
berkala. Pergeseran kebijakan ini juga mempengaruhi kesediaan Iran untuk
terlibat dalam negosiasi nuklir dengan Barat.
Pada akhirnya Pemimpin Tertinggi (Supreme Leader) Iran yang
memegang keputusan akhir pada semua isu-isu kebijakan dalam dan luar negeri.
Namun, ia memerintah dengan konsensus, bukan dengan dekrit, melalui
konsultasi dengan sejumlah penasehat.130 Sementara, Khamenei sendiri cenderung
berada di antara dua kelompok ini, tergantung pada tekanan domestik dan keadaan
geopolitik.131
II.5. Kebijakan Nuklir Iran di Era Pemerintahan Ahmadinejad
Iran mengumumkan untuk memulai kembali konversi nuklir di Isfahan
dan menekankan bahwa program nuklir mereka untuk kepentingan damai
129
Schmidt, Understanding & Analyzing Iran’s, 40.
Gerami, Leadership Divided?, 19.
131
Schmidt, Understanding & Analyzing Iran’s Nuclear Intention, 40.
130
49
bersamaan dengan naiknya Ahmadinejad sebagai presiden Iran tahun 2005.
Komunitas internasional seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa menuntut Iran
untuk menghentikan pengayaan nuklirnya, namun Iran menolak untuk
menghentikan program nuklirnya. Iran tetap melanjutkan program nuklirnya
setelah pemberian sanksi-sanksi. Usaha-usaha dunia internasional untuk
menghentikan program nuklir Iran dianggap telah melanggar hak sah Iran sebagai
penandatangan NPT.
Kebijakan nuklir di era pemerintahan Ahmadinejad dinilai berbeda dengan
kebijakan di era pemerintahan Khatami. Pemerintahan Khatami pada dasarnya
menggunakan strategi kooperatif, dimana banyak negosiasi dan diplomasi
internasional yang dilakukan Iran dengan pihak-pihak terkait, khususnya IAEA
dan Uni Eropa. Khatami cenderung ingin menormalisasi hubungan dan
menggunakan konsep soft balancing dalam menghadapi Amerika Serikat dan
negara Barat terkait program nuklir Iran.132
Terjadi pergeseran kebijakan luar negeri dan keamanan selama masa
pemerintahan Ahmadinejad. Dari sudut pandang Ahmadinejad, kebijakan
Khatami tidak tegas untuk mencegah intervensi negara asing, terutama yang
berkaitan dengan kebijakan nuklir.133 Oleh karena itu, Ahmadinejad berusaha
menghindari kepasifan Iran dalam mengehadapi negara asing dengan mengadopsi
kebijakan luar negeri yang konfrontatif.
132
Gerami, Leadership Divided?, 26.
Amir M. Haji-Yousefi, Iran's Foreign Policy during Ahmadinejad: From
Confrontation to Accommodation, Presented to the Annual Conference of the Canadian Political
Science Association, 2-3 Juni 2010, Concordia University, Montreal, Canada, 8.
133
50
Ahmadinejad menyajikan program nuklir sebagai persoalan kedaulatan
nasional, kebanggaan dan martabat Iran, sembari menekankan urgensi tantangan
keamanan eksternal yang ditimbulkan oleh Amerika Serikat dan Israel.134
Kebijakan ini dianggap sebagai strategi Ahmadinejad untuk mengamankan
pengaruh dan kekuatan kelompok konservatif, fraksi garis keras di sistem politik
Iran.
Pemerintahan Ahmadinejad cenderung menggunakan strategi konfrontatif
dan retorika yang lebih agresif, khususnya terhadap Israel dan Barat.
Ahmadinejad menilai bahwa negosiasi dengan Barat adalah upaya yang sia-sia
dan satu-satunya pendekatan yang berguna adalah konfrontasi. 135 Setelah
Ahmadinejad berkuasa, para pejabat Iran diyakinkan bahwa tujuan utama
Amerika Serikat dan Eropa tidak hanya menangguhkan program nuklir Iran,
namun juga mengakhiri program nuklir Iran, sehingga pemerintahnya perlu
mengubah orientasi kebijakan luar negeri.136
Melalui pidato, pernyataan dan kebijakan, Ahmadinejad membangun aksi
yang berupa konsistensi terkait program nuklir Iran. Ahmadinejad menggunakan
pidato ofensif untuk mengumpulkan dukungan dan menyatukan penduduk Iran.
Ahmadinejad dan fraksi garis keras menekankan pentingnya program nuklir untuk
meningkatkan status regional dan internasional Iran.137
134
Mehran Kamrava, “Iranian National Security Debates – Factionalism and lost
Opportunities”, Middle East Policy, Vol XIV, No. 2, (2007), 95.
135
Ali M. Anshari, Supremasi Iran: Poros Setan atau Superpower Baru, (Jakarta: Zahra
Publishing, 2008), 225.
136
Yousefi, Iran's Foreign Policy during Ahmadinejad, 9.
137
Kamrava, Iranian National Security Debates, 95.
51
Ahmadinejad sering menyerukan hak-hak nuklir Iran. Iran sendiri telah
menyatakan di bawah NPT, landasan hukum internasional tentang non proliferasi
nuklir, bahwa Iran mempunyai hak untuk mengembangkan program nuklir sipil.
Pejabat Iran seringkali menyatakan bahwa senjata nuklir tidak penting bagi
doktrin pertahanan Iran.138 Jika Iran sedang mengembangkan senjata nuklir, ini
hanya karena kebutuhan untuk mengamankan pasokan energi untuk generasi masa
depan.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kebijakan luar negeri
Ahmadinejad, khususnya kebijakan nuklir, yaitu faktor psikologi, faktor sosial,
faktor politik, faktor sejarah dan faktor internasional.139
Pertama,
faktor
psikologi
berfokus
pada
kepribadian
(leadership personality), terutama sistem keyakinannya
(belief
pemimpin
system).
Nampaknya Ahmadinejad mirip dengan Ayatollah Khomeini. Sebagai seorang
revolusioner yang dipengaruhi oleh pengalaman perang Iran-Irak, Ahmadinejad
percaya bahwa Iran tidak dapat mengandalkan dan bergantung pada negara-negara
asing, terutama negara Barat termasuk Amerika Serikat.140
Di sisi lain, Ahmadinejad nampaknya sangat percaya bahwa musuh-musuh
Iran, terutama Amerika Serikat dan Israel sedang berada dalam posisi yang lemah,
dimana kekuatan Amerika Serikat menurun dan pemerintah Israel melemah. Hal
seperti ini telah meningkatkan rasa percaya diri Ahmadinejad dalam kebijakan
luar negerinya dan bergerak menuju kebijakan menjadi lebih tegas.
138
Wyn Q. Bowen dan Joanna Kidd, The Iranian Nuclear Challenge, International
Affairs 80, No. 2, (2004), 258.
139
Yousefi. Iran's Foreign Policy during Ahmadinejad, 16.
140
Trita Parsi, Treacherous Alliance: The Secret Dealings of Israel, Iran and the United
States, (Princeton: Yale University Press, 2007), 6.
52
Gaya kepemimpinan (leadership style) dan pengambilan keputusan
(decision-making style) serta kualitas manajemen informasi adalah varian faktor
psikologi lain yang mempengaruhi kebijakan luar negeri Iran.141 Ahmadinejad dan
kelompoknya percaya bahwa mereka harus membuka jalan bagi munculnya
Mahdi (pahlawan agama Syiah yang akan datang kembali di hari akhir) dan
membangun utopia di Iran dan dunia. Atas dasar ini, mereka mencari keadilan dan
sistem internasional yang adil serta mencoba untuk mengubah status quo. Dalam
hal ini, salah satu taktik utama Ahmadinejad adalah menggunakan diplomasi
publik untuk membangun komunikasi dengan opini publik dunia.142
Kedua adalah faktor sosial, yang menggarisbawahi status sosial para
pendukung utama Ahmadinejad. Berbeda dengan presiden sebelumnya, yakni
Hashemi dan Khatami, yang didukung oleh kelas menengah, khususnya kaum
intelektual dan pengusaha, Ahmadinejad didukung oleh orang-orang dari kelas
rendah. Dalam propaganda pemilihannya, Ahmadinjad mengatakan bahwa ia
adalah seorang dosen universitas dan tidak berkomitmen pada partai politik atau
kelompok. Bahkan, dia populer di kalangan orang-orang tertindas, relijius dan
revolusioner.143 Orang-orang seperti itu umunya tidak mempercayai negara Barat,
terutama Amerika Serikat. Hal ini telah mempengaruhi kebijakan luar negeri
Ahmadinejad.
Ketiga adalah faktor politik, yang memfasilitasi ketegasan kebijakan
Ahmadinejad. Ahmadinejad ingin tampil berbeda dengan pemerintahan
141
Jalal Dehghani, Discourse of Justice-oriented Fundamentalism in Ahmadinejad’s
Foreign Policy, Journal of Political Knowledge, No. 5, Spring and Summer, (2007), 70.
142
Yousefi. Iran's Foreign Policy during Ahmadinejad, 17.
143
Hamid Molana dan M. Mohammadi, Foreign Policy of the Islamic Republic of Iran
During Ahmadinejad, (Tehran: Dadgostar, 2008), 133.
53
sebelumya, yaitu pemernitahan Hashemi Khatami. Ahmadinejad percaya akan
terjadinya revolusi ketiga pada masa kekuasaannya. Selain itu, permusuhan sayap
konservatif Iran terhadap Barat juga mempengaruhi kebijakan luar negeri
Ahmadinejad. Ahmadinejad dan para pendukungnya sebagian besar merupakan
veteran Perang Iran-Irak yang melihat bahawa Barat telah mengkhianati Iran.
Mereka percaya bahwa kebijakan pembangunan di pemerintah Hashemi
adalah rencana Amerika Serikat yang berusaha untuk mengembalikan dominasi
Amerika Serikat dalam budaya, politik dan ekonomi Iran. Mereka juga melihat
bahwa kelompok reformis, yaitu Khatami dan kelompoknya, merupakan boneka
politik Amerika Serikat.144
Keempat adalah faktor sejarah, yang berkaitan dengan sikap Iran yang
secara tradisional telah pesimis terhadap Barat. Masalah ini yang memiliki akar
sejarah yang mendalam, khususnya setelah Revolusi Islam Iran pada tahun 1979.
Memori sejarah Iran penuh dengan pengaruh negara asing dan kerusakan yang
disebabkannya bagi negara.145 Oleh karena itu faktor sejarah mempengaruhi
persepsi Iran tentang membangun hubungan dengan negara adidaya, terutama
Amerika Serikat yang memiliki pengaruh besar dalam politik Iran pada masa
pemerintahan Syah Pahlevi. Dan yang kelima adalah faktor internasional, yaitu
bagaimana negara-negara Barat memandang dan memposisikan Iran, dimana Iran
ditempatkan sebagai “Axis of Evil” oleh Amerika Serikat. Cara negara Barat
memandang Iran tersebut, membuat Ahmadinejad semakin mempertegas sikapnya
atas kebijakan nuklir Iran.
144
145
Yousefi, Iran's Foreign Policy during Ahmadinejad, 17-18.
Yousefi, Iran's Foreign Policy during Ahmadinejad, 17-18.
BAB III
PERSPEKTIF UNI EROPA DALAM
PROLIFERASI NUKLIR
Proliferasi nuklir merupakan isu keamanan yang penting bagi Uni Eropa.
Bab ini akan menjelaskan perspektif Uni Eropa dalam proliferasi nuklir sebagai
variabel Y dalam penelitian ini, yaitu variabel terikat atau variabel yang
dipengaruhi. Bab ini akan dimulai dengan menguraikan kerangka kebijakan
keamanan Uni Eropa yang terdiri dari Common Foreign and Security Policy dan
European Security Strategy, kemudian kebijakan nonproliferasi Uni Eropa yang
terdiri dari The Strategy against Proliferation of Weapons of Mass Destruction
dan Komitmen Uni Eropa dalam Menciptakan Zona Bebas Senjata Pemusnah
Masal di Kawasan Timur Tengah.
III.1. Kerangka Kebijakan Keamanan Uni Eropa
Pasca Perang Dingin, Eropa menghadapi ancaman dan tantangan yang
semakin kompleks. Konflik di Timur Tengah dan wilayah lain di dunia masih
belum terpecahkan, konflik juga bergejolak di lingkungan Eropa. Negara gagal
mempengaruhi keamanan Eropa dengan adanya kriminalitas, imigran ilegal, dan
pembajakan. Terorisme dan kejahatan terorganisir telah berevolusi sebagai
ancaman baru.137 Sementara, program nuklir Iran terus berkembang secara
137
Council of the European Union, European Security Strategy: A Secure Europe In A
Better World, (Belgia: European Communities, 2009), 1.
54
55
signifikan, sehingga memberikan peringatan bagi stabilitas di kawasan dan
seluruh sistem nonproliferasi.
Uni Eropa semakin mengembangkan kapasitasnya sebagai aktor keamanan
global. Selama dua dekade terakhir, institusi-institusi dalam Uni Eropa diberi
kekuasaan lebih dalam area isu keamanan untuk mempertahankan kepentingan
Eropa dan untuk membentuk identitas global Uni Eropa.138 Uni Eropa mungkin
adalah sebuah benua yang damai, namun ia terletak di lautan yang tidak stabil.
Oleh karena itu, Uni Eropa membutuhkan beberapa kebijakan untuk
mempertahankan kepentingannya, baik di dalam maupun di luar wilayah Eropa.
Strategi atau kerangka kebijakan adalah alat pembuatan kebijakan yang
menguraikan keseluruhan tujuan jangka panjang yang ingin dicapai dan instrumen
dasar yang akan diterapkan untuk mencapai tujuan atau kepentingan tersebut.139
Strategi berfungsi sebagai kerangka acuan untuk pembuatan kebijakan. Kebijakan
keamanan dalam konteks Uni Eropa dapat didefinisikan sebagai suatu kebijakan
yang bertujuan untuk menjaga obyek-objek Uni Eropa tetap aman, yaitu nilai-nilai
dan kepentingan Uni Eropa.140
Pendekatan keamanan Uni Eropa yang bersifat khas muncul dengan
ditandai oleh adanya gagasan keamanan yang luas, bersifat multidimensional dan
komprehensif.141 Gagasan keamanan Uni Eropa ini muncul dari adanya sifat
138
Thomas Renard, The European Union: A New Security Actor?, Robert Schuman
Centre for Advanced Studies, EUI Working Paper RSCAS 2014/45, (Italia: European University
Institute, 2014), 1.
139
Sven Biscop, “The European Security Strategy: Implementing a Distinctive Approach
to Security”, Sécurité & Stratégie, Paper No. 82, Maret 2004 (Brussels: Royal Defence College,
2004), 3.
140
Biscop, The European Security Strategy, 3.
141
Biscop, The European Security Strategy, 4.
56
saling ketergantungan antara semua dimensi keamanan, yaitu politik, sosialekonomi, ekologis, budaya dan militer, tidak hanya berfokus pada elemen militer
saja. Pendekatan keamanan Uni Eropa ditandai dengan kebijakan keamanan Uni
Eropa dengan memperhatikan dan menghormati negara-negara tetangganya di
bawah Neighbourhood Policy.142
Doktrin keamanan Uni Eropa menggarisbawahi pentingnya penggunaan
diplomasi dan organisasi multilateral seperti PBB untuk menghadapi ancaman
baru.143 Maka, pendekatan keamanan Uni Eropa memberikan fokus pada
penggunaan soft power, seperti pelaksanaan dialog, kerja sama dan kemitraan,
atau kerja sama keamanan. Keterlibatan Uni Eropa dalam isu keamanan global
tidak pernah bersifat unilateral.144
Uni Eropa hanya akan menggunakan instrumen militer sebagai cara
terakhir, dan harus sesuai dengan piagam PBB. Doktrin keamanan Uni Eropa
menyoroti bahwa tidak semua ancaman baru bersifat militeristik atau memerlukan
penggunaan kekutan militer.145 Sehingga, gabungan dari beberapa instrumen
seperti pemberian bantuan, kontrol ekspor, tekanan diplomatik dan pemberian
sanksi dinilai lebih efektif daripada penggunaan kekuatan militer semata.
Spektrum luas keterlibatan Uni Eropa dalam keamanan dapat dilihat dalam
berbagai tindakan yang diambil Uni Eropa, seperti Confidence Building Measures,
dialog politik dan penggunaan sanksi.146 Pada tingkat operasional, Uni Eropa
142
Biscop, The European Security Strategy, 5.
Shada Islam, The EU's First-Ever Security Doctrine, Yale Global, (4 Juli 2003).
144
Cesare Onestini, The European Union and global security: is the EU becoming the
indispensable partner? , EUC Background Brief No. 11, (April 2014), 6.
145
Islam, The EU's First-Ever.
146
Onestini, The European Union and global security, 5.
143
57
mengggunakan jargon “comprehensive approach“ yang dicirikan dengan
penggabungan instrumen sipil, seperti penegakkan hukum dan diplomasi, dan
instrumen militer.147 Ini merupakan cara Uni Eropa untuk menegaskan
kemampuannya untuk melakukan operasi sipil dan militer, seiring dengan
meningkatnya peran Uni Eropa sebagai aktor keamanan.
III.1.1. Common Foreign and Security Policy
Sejalan dengan kekuatan ekonomi dan politiknya yang terus berkembang,
Uni Eropa telah menciptakan kebijakan luar negeri dan keamanannya sendiri yang
memungkinkan Uni Eropa untuk berbicara dan bertindak sebagai sebuah institusi
di panggung dunia. Relevansi Eropa dalam urusan dunia semakin tergantung pada
kemampuannya untuk berbicara dan bertindak sebagai kesatuan institusi.
Sebelumnya, gagasan tentang Common Foreign and Security Policy
(CFSP) tidak disebutkan dalam Perjanjian Roma. Uni Eropa (sebelumnya
European Community) tidak memiliki dimensi kebijakan luar negeri dan
pertahanan.148 Padahal faktor keamanan merupakan faktor pendorong utama
dalam pembentukan European Community. European Coal and Steel Community
(ECSC) yang dibentuk pada tahun 1950, dirancang untuk menjamin perdamaian
abadi antara Perancis-Jerman dengan menciptakan kondisi saling ketergantungan
melalui perdagangan.149
147
Renard, The European Union.
Center for European Studies, European Union -Common Foreign and Security Policy,
http://www.unc.edu/depts/europe/conferences/eu/Cfsp/cfsp1.html, diakses pada 1 April 2015.
149
Center for European Studies, European Union -Common Foreign.
148
58
Ide tentang CFSP digagas pada Traktat Maastricht, dan kemudian
diperkuat oleh Traktat Amsterdam pada tahun 1999 dan Traktat Nice pada tahun
2001.150 Kemudian, pada akhirnya Traktat Lisbon yang ditandatangani pada tahun
2007, semakin memberikan banyak inovasi penting dalam CFSP.151 Traktat
Lisbon adalah langkah terakhir Uni Eropa dalam upaya mereformasi institusiinstitusi di dalam Uni Eropa.
CFSP dibentuk untuk menggantikan European Political Cooperation
(EPC) yang dinilai gagal. EPC gagal karena para anggotanya tidak mampu
mengkoordinasikan respon Eropa secara efektif terhadap kenaikan harga minyak
OPEC pada tahun 1973.152 Dalam masalah Falklands (1982), Perang Teluk (19901991) dan krisis Yugoslavia (1990-1998) respon Eropa sering bertentangan
dengan satu sama lain, tidak terkoordinasi, lambat dan sering tampak kacau.153
Oleh karena itu, Uni Eropa membutuhkan sebuah kebijakan atau
instrumen
untuk
mengkoordinasikann
kebijakan
luar
negerinya
dan
memungkinkannya bertindak sebagai sebuah kesatuan institusi. Maka, CFSP ini
merupakan sebuah produk kesadaran masyarakat Eropa bahwa „mesin kebijakan‟
sebelumnya tidak mampu memfasilitasi Uni Eropa untuk berperan dan
menentukan posisi pada isu-isu internasional.
Sejak peluncuran CFSP di tahun 1993, Uni Eropa telah mengambil
langkah besar dalam mengembangkan pendekatan yang lebih efektif dan koheren
150
Politics.co.uk, Common Foreign and Security Policy,
http://www.politics.co.uk/reference/common-foreign-and-security-policy diakses pada 3 April
2015.
151
Gerrard Quille, The Lisbon Treaty and its implications for CFSP/ESDP, European
Parliament, (Brussels, 4 February 2008), 3.
152
Center for European Studies, European Union -Common Foreign.
153
Center for European Studies, European Union -Common Foreign.
59
untuk hubungan eksternalnya. CFSP menyediakan struktur formal yang
memungkinkan negara-negara anggota Uni Eropa untuk mengkoordinasikan
kebijakan yang konsisten dan menegaskan identitas politik yang melekat pada Uni
Eropa.154
Setelah berlakunya Traktat Lisbon pada bulan Desember 2009, Uni Eropa
memiliki kesempatan untuk menggabungkan kebijakan dan alat-alatnya di bawah
otoritas tunggal Duta Besar atau High Representative (HR) for Foreign Affairs
and Security Policy, yang menggantikan Presiden Uni Eropa sebagai aktor
pemimpin kebijakan luar negeri, keamanan dan pertahanan.155
CFSP menyediakan prosedur-prosedur kebijakan dan institusi untuk
menganalisa, baik perkembangan global maupun regional, merumuskan opsi-opsi
strategis, serta melaksanakan dan mengatur operasi Uni Eropa. CFSP merupakan
sebuah mekanisme untuk mengadopsi prinsip-prinsip dan pedoman bersama
tentang isu-isu politik dan keamanan, melakukan pendekatan diplomatik bersama,
dan melakukan aksi bersama.156
Tujuan utama dari CFSP diuraikan dalam Perjanjian Maastricht, yaitu
pertama, untuk menjaga nilai-nilai bersama, kepentingan mendasar dan
kemandirian Uni Eropa. Kedua, untuk memperkuat keamanan Uni Eropa dan
negara-negara anggotanya. Ketiga, untuk menjaga perdamaian dan memperkuat
keamanan internasional sesuai dengan ketentuan Piagam PBB dan Helsinki Act.
154
Common Foreign and Security Policy, http://www.euintheus.org/what-we-do/policyareas/foreign-affairs-and-defense/common-foreign-and-security-policy/ diakses pada 3 April 2015.
155
Peter van Ham, The European Union’s WMD Strategy and the CFSP: A Critical
Analysis, EU Non-Proliferation Consortium, Non-Proliferation Papers No. 2, (September 2011), 1.
156
Derek E. Mix, The European Union: Foreign and Security Policy, Congressional
Research Service, (8 April 2013), 5.
60
Keempat, untuk mempromosikan kerjasama internasional. Kelima, untuk
mengembangkan dan mengkonsolidasikan demokrasi dan supremasi hukum, serta
penghormatan terhadap hak asasi manusia dan kebebasan dasar.157
Setelah Traktat Lisbon, masing-masing institusi dalam Uni Eropa semakin
memiliki peran penting dalam CFSP. Komisi Eropa berperan sebagai penasihat
dalam proses pembuatan keputusan. Parlemen Eropa dapat mengajukan
pertanyaan, memberi rekomendasi kepada Dewan, dan mengadakan debat tahunan
untuk meninjau kebijakan yang sudah diterapkan.158 CFSP dikembangkan dan
dilaksanakan oleh Dewan Eropa, yang terdiri dari kepala negara dan kepala
pemerintahan negara-negara anggota Uni Eropa, dan Dewan Uni Eropa. Karena
sifat CFSP yang intergovernmental, badan pengambil keputusan utama adalah
Dewan Eropa dan Dewan Uni Eropa.159
Proses pengambilan keputusan dalam area CFSP membutuhkan suara
bulat (unanimity). Namun, negara anggota melalui Dewan Eropa dapat mengambil
keputusan constructive abstention, yaitu abstain yang tidak menghalangi
pengadopsian keputusan. Negara yang memilih abstain diwajibkan membuat
pernyataan resmi.160 Jika negara memenuhi syarat abstainnya dengan pernyataan
resmi, maka negara tersebut tidak diwajibkan untuk menerapkan keputusan yang
akan diadopsi. Tetapi, negara tersebut harus menerima bahwa keputusan yang
157
Hermann-Josef Blanke dan Stelio Mangiameli, “Identification of the Union‟s Interests
and Objectives in CFSP”, The Treaty on European Union, (Springer Berlin Heidelberg, 2013), 21.
158
Center for European Studies, European Union -Common Foreign and Security.
159
EPLO Briefing Paper 1/2012, Common Foreign and Security Policy structures and
instruments after the entry into force of the Lisbon Treaty, (April 2012), 2.
160
Europa, Common Foreign and Security Policy,
http://europa.eu/legislation_summaries/institutional_affairs/treaties/amsterdam_treaty/a19000_en.
htm diakses pada 1 April 2015.
61
diambil mewakili Uni Eropa secara keseluruhan, dan tidak terlibat dalam tindakan
yang diambil Uni Eropa di bawah keputusan tersebut.161
Namun, mekanisme ini tidak berlaku jika negara yang abstain mewakili
sekurang-kurangnya sepertiga negara anggota, yang terdiri dari sekurangkurangnya sepertiga populasi penduduk Uni Eropa. Maka, keputusan tersebut
tidak dapat diadopsi.162 Dalam kondisi seperti ini, Dewan Uni Eropa dapat
bertindak dengan qualified majority voting, yaitu negara dengan populasi
penduduk yang lebih besar akan mendapatkan hak suara yang lebih besar.163
III.1.2. European Security Strategy
European Security Strategy (ESS) merupakan hal penting untuk
memahami filosofi dasar kebijakan luar negeri Uni Eropa. Berbeda dengan
kebijakan keamanan Amerika Serikat, US National Security Strategy, yang
menekankan doktrin pre-emption dan unilateralism khususnya selama masa
pemeirntahan Presiden George W. Bush, kebijakan keamanan Uni Eropa
menekankan untuk menggunakan pendekatan multilateral untuk menghadapi
tantangan keamanan, yang terkandung dalam hukum internasional dan Piagam
PBB.164
ESS didasarkan pada pendekatan komprehensif yang menyatakan bahwa
Uni Eropa dan negara anggotanya akan bekerja sama untuk mengatasi tantangan
161
Europa, Common Foreign and Security Policy.
EPLO Briefing Paper 1/2012, Common Foreign and Security Policy.
163
European Union, Council of the European Union,
http://europa.eu/about-eu/institutions-bodies/council-eu/index_en.htm diakses pada 2 April 2015.
164
Gerrard Quille, “The European Security Strategy: A Framework for EU Security
Interests?”, International Peacekeeping, Vol.11, No.3, (Autumn 2004), 422.
162
62
keamanan mereka melalui sebuah framework yang menekankan pada lembaga
multilateral, terutama PBB dan organisasi regional, dan supremasi hukum, yaitu
menjunjung tinggi prinsip penggunaan kekuatan militer sebagai jalan terakhir.165
Dengan kata lain, dalam menghadapi tantangan keamanan, Uni Eropa
harus mengatasinya dengan mendukung sistem PBB, memperkuat respon nasional
melalui sinergi Uni Eropa, dan mengatasi akar penyebab masalah, seperti
kemiskinan dan pemerintahan yang lemah, melalui instrumen masyarakat dan
dialog regional.166 ESS mencoba untuk mengubah konsep strategi, keamanan, dan
kekuatan, untuk menjauh dari penggunaan kekuatan, seperti keterlibatan militer
langsung. Sebaliknya, penggunaan kekuatan militer harus diganti melalui
pengguaan alat-alat sipil dan manajemen krisis.167
ESS menetapkan tiga tujuan strategis bagi para pembuat kebijakan Uni
Eropa.168 Pertama, Uni Eropa harus segera mengambil tindakan yang diperlukan
untuk mengatasi tantangan global dan ancaman keamanan. Kedua, Uni Eropa
harus fokus terutama dalam membangun keamanan regional di kawasan tetangga,
yaitu Balkan, Kaukasus, wilayah Mediterania, dan Timur Tengah. Ketiga, dalam
jangka panjang, Uni Eropa harus mengupayakan tatanan dunia multilateral
dimana hukum internasional, perdamaian, dan keamanan dijamin oleh institusi
regional dan global yang kuat.169
165
Quille, The European Security Strategy, 422.
Quille, The European Security Strategy, 422.
167
Adrian Hyde-Price, European Security In The Twenty-First Century: The Challenge of
Multipolarity, (London and New York: Routledge, 2007), 30.
168
Mix, The European Union, 4.
169
Mix, The European Union, 4.
166
63
ESS mengidentifikasi berbagai macam jenis ancaman baru, yaitu
terorisme, proliferasi senjata pemusnah masal, konflik kegional, negara gagal dan
kejahatan terorganisir.170 Ancaman tersebut saling berhubungan dan saling
memicu. Misalnya, konflik regional dapat menyebabkan negara gagal, dimana
kejahatan terorganisir akan berkembang. Kemudian, kejahatan terorganisir dapat
meningkat menjadi terorisme, dan ancaman terbesar bagi masyarakat dunia saat
ini adalah teroris yang menggunakna senjata pemusnah masal.171
ESS menggarisbawahi pentingnya stabilitas dan keamanan di wilayah Asia
Selatan, Timur Tengah, dan Korea Utara. Kemungkinan jatuhnya senjata
pemusnah masal ke tangan teroris disebutkan dalam ESS sebagai skenario yang
paling menakutkan (the most frightening scenario).172 Dalam ESS disebutkan
bahwa proliferasi senjata pemusnah masal adalah ancaman potensial terbesar bagi
keamanan Uni Eropa. Uni Eropa kemudian membentuk "effective multilateralism"
sebagai pendekatan strategis untuk membimbing Uni Eropa dalam masalah
nonproliferasi.173
ESS mendeskripsikan struktur dunia sebagai multipolar, dan meyakini
bahwa multipolarisme dapat menjaga dunia tetap stabil. Namun, hanya dengan
melalui pendekatan tertentu kepada lingkungan keamanan yang baru. ESS lagilagi mengacu pada effective multilateralism sebagai solusinya.174 Uni Eropa
170
The European Union Institute for Security Studies, A Secure Europe in a Better World,
Brussels, 12 Desember 2003, (Paris: The European Union Institute for Security Studies, 2003), 6.
171
The European Union Institute for Security Studies, A Secure Europe in A Better
World, 8.
172
Council of the European Union (note 1), 2; European Council (note 13), 4.
173
Tomas Valasek, “The European Union‟s Role in Nonproliferation”, U.S-European
Nonproliferation Perspectives, Center for Strategic and International Studies, (2009), 44.
174
European Council, A Secure Europe in a Better World.
64
menyadari bahwa ancaman dan tantangan tersebut tidak dapat ditangani oleh
kekuatan militer semata, tetapi membutuhkan gabungan dari elemen militer,
politik, dan ekonomi.
Effective multilateralism berarti bahwa masalah keamanan global yang
diidentifikasi dalama ESS harus ditangani melalui seperangkat tindakan dan
kebijakan oleh sekelompok negara. Effective multilateralism menyerukan
pembentukan koalisi yang luas, tidak hanya dengan Amerika Serikat, namun juga
dengan negara lain seperti India, Rusia dan Cina.175 Peran organisasi internasional
juga menjadi bagian dari effective multilateralism. Misalnya, upaya Uni Eropa
untuk melegitimasi peran keamanannya melalui bantuan DK PBB dan sesuai
dengan piagam PBB.176
III.2. Kebijakan Non-Proliferasi Uni Eropa
Proliferasi nuklir, yang termasuk dalam senjata pemusnah masal, telah
menjadi perhatian Uni Eropa. Dalam kebijakan proliferasi, Uni Eropa menganut
prinsip nonproliferasi. Kepentingan Uni Eropa dalam nonproliferasi telah dimulai
dengan terbentuknya Uni Eropa sendiri, yang awalnya hanya difokuskan pada
kawasan Eropa saja, yaitu dengan dibentuknya European Atomic Energy
Community (EURATOM) untuk memberikan jaminan bahwa negara-negara
175
Mario Telo, “The EU: A Civilian Power's Diplomatic. Action after the Lisbon Treaty.
Bridging Internal Complexity and. International Convergence”, dalam The EU’s Foreign Policy.
What Kind of Power and Diplomatic Action? (Ashgate, 2013), 47.
176
Mario Telo, The EU: A Civilian Power's Diplomatic, 47.
65
anggota akan menggunakan energi atom hanya untuk tujuan damai.177 Tujuannya
adalah untuk mengurangi risiko konflik di benua Eropa pada tahun 1950an dan
mengurangi bahaya perlombaan senjata nuklir antara negara-negara Eropa.178
Beberapa langkah awal menuju kebijakan nonproliferasi eksternal telah
dilakukan Uni Eropa pada awal tahun 1980an.179 Pada tahun 1981, sebuah komite
nonproliferasi dibentuk dalam kerangka European Political Cooporation (EPC).
Ini adalah pertama kalinya isu keamanan dibahas diantara negara anggota Uni
Eropa dalam sebuah institusi.180 Deklarasi Dublin tahun 1990 adalah dokumen
tingkat tinggi pertama tentang nonproliferasi nuklir, yang ditandatangani oleh 12
kepala negara dan kepala pemerintahan European Community.181 Sejarah kecil ini
menunjukkan bahwa Uni Eropa ingin menjadi pemain dalam dunia internasional
tentang masalah proliferasi nuklir.
Dari langkah awal yang sederhana pada tahun 1980an tersebut, kebijakan
nonproliferasi Uni Eropa telah berkembang menjadi sebuah framework yang stabil
tiga dekade kemudian. Ada dua faktor yang membuat Uni Eropa melakukan
intensifikasi dan konsolidasi pada masalah ini.
Pertama, berakhirnya Perang Dingin telah mengubah peta keamanan dunia
dan menciptakan lingkungan strategis yang baru. Kondisi tersebut dan adanya
tantangan keamanan baru, menyebabkan negara-negara perlu mengembangkan
177
Harald Muller, European Nuclear Nonproliferation after the NPT Extension:
Achievements, Shortcomings and Needs, Europe and the Challenge of Proliferation, Chaillot
Paper, No. 24 (Paris: EU Institute for Security Studies, 1996), 6.
178
Muller, European Nuclear Nonproliferation, 6.
179
Peter van Ham, The European Union’s Strategy on Weapon of Mass Destruction:
From Ambition to Disappointment (Hague: Netherlands Institute of International Relations
„Clingendael‟, 2011), 3.
180
van Ham, The European Union’s Strategy, 3.
181
van Ham, The European Union’s WMD Strategy and the CFSP, 1.
66
inisiatif dan kebijakan baru untuk menghadapi hal tersebut.182 Perang Teluk tahun
1990-1991 mengungkapkan bahwa Irak sedang mengembangkan program nuklir
rahasia. Hal ini memperingatkan masyarakat internasional bahwa keberadaan
perjanjian dan rezim nonproliferasi nuklir tidak efektif dan lemah. Kedua,
terbentukknya CFSP secara sah melalui Perjanjian Maastricht di tahun 1993,
memberikan framework yang kuat dan matang untuk kerjasama di bidang
keamanan dan luar negeri, termasuk non-proliferasi.183
Namun, sampai pada tahun 2003, dua negara pemilik senjata nuklir di
Eropa, Perancis dan Inggris, relatif berusaha untuk membatasi keterlibatan Uni
Eropa dalam hal senjata pemusnah masal.184 Hingga pada akhirnya, ada dua
kejadian penting yang mengubah perspektif masyarakat Eropa terhadap senjata
pemusnah masal.
Pertama adalah serangan 11 September, kejadian ini menjadi pusat
perhatian Eropa. Masyarakat Eropa menyadari adanya risiko bahwa kelompokkelompok teror mungkin suatu hari akan menggunakan senjata pemusnah masal
untuk menyerang benua Eropa.185 Oleh karena itu, menjaga senjata tersebut,
khususnya senjata nuklir, dari tangan teroris telah menjadi prioritas bagi banyak
pemerintah Uni Eropa.
Kedua adalah perang Irak, yang memecah suara Uni Eropa. Meskipun
beberapa negara Eropa mendukung perang Irak, Uni Eropa sangat khawatir akan
konsekuensi penggunaan kekuatan militer sepihak oleh Amerika Serikat terhadap
182
van Ham, The European Union’s Strategy, 4.
van Ham, The European Union’s Strategy, 4.
184
Valasek, The European Union’s, 44.
185
Valasek, The European Union’s, 44.
183
67
ancaman senjata pemusnah masal.186 Amerika Serikat dalam perang Irak
tampaknya telah membahayakan prinsip perang yang adil (Just War) dan rezim
nonproliferasi nuklir (NPT).
Sejak itu, kebijakan non-proliferasi Uni Eropa dibentuk oleh dua
prerogative. Pertama, senjata pemusnah masal tidak boleh jatuh ke tangan teroris.
Kedua, ancaman senjata pemusnah masal harus ditangani berdasarkan hukum
internasional, dan sebaiknya tanpa kekerasan.
Pada bulan November 2003, Uni Eropa mengadopsi kebijakan “Fight
against the proliferation of weapons of mass destruction: mainstreaming nonproliferation policies into the EU’s wider relations with third countries” yang
memperinci kebijakan baru Uni Eropa dalam nonproliferasi di bawah Common
Foreign and Security Policy (CFSP).187
Sebagai bentuk komitmen Uni Eropa terhadap nonproliferasi, Uni Eropa
juga mendukung resolusi 1540 yang diadopsi oleh Dewan Keamanan PBB pada
28 April 2004. Resolusi tersebut menyatakan bahwa proliferasi senjata pemusnah
massal adalah ancaman bagi seluruh dunia sehingga dibutuhkan kerja sama
dengan semua negara untuk mencegah senjata pemusnah masal jatuh ke tangan
teroris. Untuk melawan ancaman ini, semua pihak perlu menerapkan standar yang
sama, oleh karena itu dibutuhkan perjanjian multilateral dan institusi.188 Uni
Eropa juga mendukung International Atomic Energy Agency (IAEA), baik secara
186
Valasek, The European Union’s, 44.
Council of the European Union, Fight against the proliferation of weapons of mass
destruction–mainstreaming non-proliferation policies into the EU’s wider relations with third
countries’, 14997/03, 19 November 2003, 4.
188
Council of the European Union, The European Union Strategy against the
Proliferation of Weapons of Mass Destruction, (Belgia: European Communities, November
2008), 14.
187
68
politik maupun secara finansial, untuk mempromosikan keamanan nuklir di
seluruh dunia.189
III.2.1. Strategi Melawan Proliferasi Senjata Pemusnah Masal
(The Strategy against Proliferation of Weapons of Mass Destruction)
Terminologi senjata pemusnah masal pertama kali muncul pada bulan
Desember tahun 1937. Istilah tersebut diberikan oleh Uskup Agung Canterbury,
William Cosmo Gordon Lang.190 Frase senjata pemusnah masal pertama kali
muncul dalam lingkup PBB pada resolusi pertama yang dikeluarkan oleh Majelis
Umum PBB pada tahun 1946, yaitu “weapons capable of mass destruction”.191
Kemudian, di tahun 1948, terminologi “weapon of mass destruction” lebih umum
digunakan dan diterima secara resmi pada tahun 1977.192
Menurut komite PBB, senjata pemusnah masal adalah senjata peledak
atom (bom nuklir), senjata berbahan radio aktif, senjata kimia dan biologi yang
mematikan, dan senjata yang dikembangkan di masa depan yang memiliki
karakteristik menghancurkan seperti bom atom atau serupa dengan senjata-senjata
yang disebutkan di atas.193
189
European Commission and European External Action Service staff, EU efforts to
strengthen nuclear security, (2012), 21.
190
W. Seth Carus, Defining “Weapons of Mass Destruction”, National Defense
University, Center for the Study of Weapons of Mass Destruction, January 2012.
191
United Nations (UN) General Assembly Resolution 1(I), “Establishment of a
Commission to Deal with the Problem Raised by the Discovery of Atomic Energy,” January 24,
1946. <www.un.org/documents/resga.htm>.
192
Nikos Aggelis, The Weapons of Mass Destruction as a threat to European Security,
Institute of International Relations, Division for Euro-Atlantic Studies (D.E.A.S.): “NATO and
European Union” Working Group, 1.
193
Commission on Conventional Armaments (CCA), UN document S/C.3/32/Rev.1,
Agustus 1948, Office of Public Information, The United Nations and Disarmament, 1945–1965,
UN Publication 67.I.8, 28.
69
Pada bulan Desember 2003, Dewan Uni Eropa mengadopsi “EU’s
Strategy against Proliferation of Weapon of Mass Destruction” dengan tujuan
untuk mencegah, menghambat, menghentikan dan, jika mungkin, menghapuskan
program proliferasi di seluruh dunia.194 Strategi ini lebih dikenal dengan “EU
WMD Strategy”.
Institusionalisasi kebijakan nonproliferasi senjata pemusnah masal Uni
Eropa semakin dipicu oleh serangan teroris ke Amerika Serikat pada 9 September
2001.195 Selain itu, latar belakang munculnya strategi tersebut adalah karena
adanya kebutuhan mendesak untuk menentukan posisi Uni Eropa secara
keseluruhan. Sementara, tingkat terorisme internasional semakin meningkat dan
kemungkinan serangan ke Eropa juga meningkat.
Pada tahun 2003, Amerika Serikat memimpin invasi ke Irak yang telah
menyebabkan perpecahan antara berbagai negara anggota Uni Eropa. 196 Beberapa
negara anggota Uni Eropa mendukung upaya perang yang dilancarkan oleh
Amerika Serikat, sementara beberapa negara lain secara terbuka mengambil sikap
tidak setuju secara terbuka. Perbedaan mengenai perang di Afghanistan dan Irak
mengakibatkan perpecahan intra Eropa dan hubungan transatlantik.197 Perpecahan
mendalam dalam tersebut merupakan alarm peringatan bagi para pemimpin politik
Eropa.
194
Council of the European Union, EU Strategy against Proliferation of Weapon of
Mass Destruction, 15708/03, Brussels, 10 December 2003.
195
Van Ham, The European Union’s WMD Strategy And The CFSP, 3.
196
The European Committee, Preventing Proliferation of Weapons of Mass Destruction:
The EU Contribution, 13th Report of Session 2004-2005, (London : The Stationery Office Limited,
2005), 10.
197
Van Ham, The European Union’s WMD Strategy And The CFSP, 3.
70
Uni Eropa menyadari bahwa perpecahan tersebut merusak kohesi Uni
Eropa dan melemahkan aspirasinya untuk menjadi aktor global yang signifikan.
Uni Eropa ingin menunjukkan visi positif Uni Eropa berdasarkan kekuatan
sendiri, bukan visi atas dasar bayang-bayang dan tekanan Amerika Serikat semata.
Mereka menyadari perlunya untuk membentuk konsensus tentang isu-isu
keamanan utama, khususnya dalam mencegah proliferasi senjata pemusnah masal,
jika ingin Uni Eropa tampil sebagai aktor kredibel dalam keamanan
internasional.198
Oleh karena itu, pada bulan Mei 2003, Dewan memberikan mandat kepada
Duta Besar (High Representative) Javier Solana untuk membuat “European
strategy concept”. Dengan adanya fakta bahwa proliferasi senjata pemusnah
masal telah mendominasi agenda keamanan internasional pada tahun 2003, Javier
Solana memilih untuk menghasilkan dua dokumen, dokumen pertama bernama “A
Secure Europe in a Better World” dan dokumen kedua memfokuskan secara
khusus pada isu senjata pemusnah masal.199
Dewan mendukung kedua dokumen tersebut, dan mengadopsi sebuah
rencana aksi untuk implementasi prinsip dasar Uni Eropa terhadap senjata
pemusnah masal atau “Action Plan for the Implementation of the Basic Principles
for an EU Strategy against Proliferation of Weapons of Mass Destruction”.
198
Benjamin Kienzle, “A European contribution to non-proliferation? The EU WMD
Strategy at Ten”, International Affairs 89:5 (UK: The Royal Institute of International Affairs,
2013), 44.
199
The European Committee, Preventing Proliferation, 10.
71
Berdasarkan kedua dokumen tersebut, Dewan kemudian mengadopsi “European
Security Strategy” dan “WMD Strategy”.200
Penguatan norma nonproliferasi senjata pemusnah masal secara global
merupakan tantangan besar. Uni Eropa secara aktif telah terlibat dalam
mendorong universalisasi norma ini, dan membantu memperkuat organisasiorganisasi yang relevan untuk melakukan universalisasi tersebut.201 Strategi
WMD Uni Eropa adalah bagian dari strategi keamanan pertama Uni Eropa dan
berfungsi sebagai simbol kebangkitan Uni Eropa sebagai aktor keamanan global.
Traktat Lisbon yang mereformasi institusi Uni Eropa, juga berpengaruh penting
bagi kebijakan nonproliferasi senjata pemusnah masal Uni Eropa dan
implementasinya.
Strategi WMD Uni Eropa menawarkan pendekatan multilayered
berdasarkan „effective multilateralism’, mempromosikan lingkungan regional dan
internasional yang stabil, kerjasama yang erat dengan negara lain, serta
memperkuat struktur Uni Eropa sendiri.202 Strategi WMD Uni Eropa didasarkan
pada tiga prinsip dasar, yaitu effective multilateralism, pencegahan (prevention),
dan kerjasama (cooperation).203
Effective multilateralism didasarkan karena proliferasi adalah ancaman
bagi seluruh keamanan internasional, sehingga tidak ada negara yang dapat
bertindak sendiri. Pada dasarnya, semua negara terikat oleh aturan yang sama.
Oleh karena itu, Uni Eropa mendukung perjanjian dan konvensi multilateral,
200
The European Committee, Preventing Proliferation, 10.
Van Ham, The European Union’s WMD Strategyand the CFSP, 1.
202
Van Ham, The European Union’s WMD Strategyand the CFSP,3.
203
Council of the European Union, The European Union Strategy, 10.
201
72
forum-forum multilateral, dan berkontribusi dalam setiap kegiatannya. Pendekatan
multilateral Uni Eropa termasuk mengupayakan universalisasi dan memperkuat
traktat dan perjanjian nonproliferasi yang ada, serta memberikan dukungan
politik, bantuan finansial dan bantuan teknis untuk rezim nonproliferasi.204
Dalam prinsip pencegahan, Uni Eropa berupaya untuk mencegah
penyebaran bahan-bahan nuklir dan teknologi nuklir dengan cara universalisasi
kewajiban nonproliferasi, meningkatkan kontrol ekspor, berkontribusi terhadap
pelucutan senjata pemusnah masal, memberikan pengarahan pada para ilmuan
nuklir, mendorong keamanan regional, dan pengawasan senjata.205 Namun,
strategi WMD Uni Eropa mengakui bahwa jika langkah-langkah preventive
tersebut gagal, maka cara-cara koersif, termasuk penggunaan kekuatan militer,
dapat menjadi pilihan untuk Uni Eropa. Tetapi, tetap menjadikan Dewan
Keamanan PBB sebagai penentu akhir (final arbiter).206
Uni Eropa juga menekankan kerjasama internasional yang erat dengan
negara
maupun
organisasi
untuk
meningkatkan
efektivitas
kebijakan
nonproliferasi. Uni Eropa fokus bekerja sama dengan aktor-aktor kunci, seperti
Kanada, Jepang, Rusia, dan PBB, untuk berkontribusi baik secara politik maupun
finansial.207 Uni Eropa telah melakukan komitmen untuk bekerja sama dalam
perjanjian formal (WMD clausa) dengan lebih dari 100 negara.208 Uni Eropa
merupakan mitra dari Global Partnership Against the Spread of Weapons and
204
Van Ham, The European Union’s WMD Strategy and the CFSP, 3.
Council of the European Union, The European Union Strategy, 10-11.
206
Adrian Hyde-Price, “European Security, Strategic Culture, and the Use of Force”,
European Security, Vol. 13, No. 4, (2004), 67.
207
Van Ham, The European Union’s WMD Strategyand the CFSP, 4.
208
Council of the European Union, The European Union Strategy, 10-11.
205
73
Materials of Mass Destruction yang dibentuk pada KTT G8 di Kananaskis tahun
2002. Uni Eropa juga menjadi pengamat (observer) dalam Global Initiative to
Combat Nuclear Terrorism (GICNT).209
III.2.2. Komitmen Uni Eropa dalam Menciptakan Zona Bebas Senjata
Pemusnah Masal (WMDFZ) di Kawasan Timur Tengah
Ketika senjata nuklir digunakan dalam Perang Dunia II oleh Amerika
Serikat untuk menyerang kota Hiroshima dan Nagasaki di Jepang, dunia
internasional sadar akan efek destruktif luar biasa yang ditimbulkan dari senjata
nuklir. Sebelumnya, penggunaan senjata biologi dan senjata kimia telah dilarang
melalui Protokol Jenewa tahun 1925.210
Senjata pemusnah masal memiliki kapasitas merusak tanpa pandang bulu,
menimbulkan kematian dan kehancuran dalam skala besar. Selain memberikan
dampak yang tidak manusiawi, senjata pemusnah masal juga memiliki dampak
berkelanjutan. Upaya dunia internasional untuk mengendalikan penyebaran dan
penggunaan senjata pemusnah masal telah dilakukan melalui perjanjian-perjanjian
internasional seperti Nuclear Non-proliferation Treaty tahun 1968, Biological
Weapons Convention tahun 1972, dan Chemical Weapons Convention tahun
1993.211
209
Ian Anthony, The Role of the European Union in Strengthening Nuclear Security, EU
Non-Proliferation Consortium, Non-Proliferation Papers No. 32 (November 2013), 10.
210
Protocol for the Prohibition of the Use in War of Asphyxiating, Poisonous or Other
Gases, and of
Bacteriological Methods of Warfare (1925 Geneva Protocol),
<http://www.diplomatie.gouv.fr/traites/affichetraite.do?accord=TRA19250001>
211
Encyclopædia Britannica, Weapon of mass destruction (WMD), 8 November 2014,
http://www.britannica.com/EBchecked/topic/917314/weapon-of-mass-destruction-WMD diakses
pada 1 April 2015.
74
Berdasarkan dampak yang ditimbulkan dan wacana politik yang ada, maka
logis untuk memikirkan gagasan tentang kawasan bebas senjata pemusnah masal
(WMD-free zones) sebagai sebuah konsep yang masuk akal dan penting. Beberapa
kawasan bebas senjata nuklir (nuclear weapon-free zones) telah dibentuk melalui
perjanjian bersama dari negara-negara di masing-masing wilayah.212 Pada awal
tahun 1950an, kawasan bebas senjata nuklir dikonsep sebagai pendekatan
nonproliferasi regional. Tujuannya adalah untuk mencegah lebih banyak negara
memiliki senjata nuklir.213
Sementara itu, dalam kenyataannya kawasan bebas senjata pemusnah
masal (WMDFZ) tidak pernah ada. Namun, satu-satunya kawasan dimana konsep
WMDFZ seringkali diusulkan dan dibahas adalah wilayah Timur Tengah. Timur
Tengah merupakan salah satu wilayah yang paling mudah bergejolak di dunia,
namun kaya akan sumber daya alam (minyak). Kombinasi anatara rasa tidak aman
(insecurity) dan potensi kekayaan tersebut, telah mendorong negara-negara di
Timur Tengah untuk memperoleh, menyebarkan dan menggunakan persenjataan
canggih untuk mencegah agresor potensial dan mencapai kepentingan mereka. 214
Dalam konteks kasus Timur Tengah, hal ini sering diterjemahkan ke dalam
akuisisi atau keinginan untuk memperoleh senjata pemusnah masal. Wilayah ini
memiliki sejarah panjang senjata pemunah masal, yang terakhir adalah program
nuklir Iran ini, dan telah menjadi saksi penggunaan nyata senjata kimia, baik di
212
Harald Müller, Aviv Melamud dan Anna Péczeli, From Nuclear Weapons to Wmd:
The Development and Added Value of the WMD-Free Zone Concept, EU Non-Proliferation
Consortium, Non-Proliferation Papers No.31 (September 2013), 2.
213
Joe Goldblatt, “Nuclear Weapon Free Zones: A History and Assessment”,
Nonproliferation Review, vol. 4, no. 3 (1997), 18.
214
Sinan Ülgen dan F. Doruk Ergun, Establishing a WMD Free Zone in the Middle East,
EDAM Discussion Paper Series 2012/4, (November 2012), 5.
75
konflik domestik maupun internasional.215 Gagasan WMDFZ di Timur Tengah
bermula dari ide yang digagas oleh Iran dan Mesir untuk membentuk sebuah
kawasan bebas senjata nuklir di Timur Tengah, yang kemudian gagasan ini
diterima oleh Majelis Umum PBB pada tahun 1974 dengan mengeluarkan
resolusi.216
Sebuah kawasan bebas senjata senjata pemusnah masal berarti melarang
negara-negara di kawasan tersebut untuk memiliki, memperoleh, menguji,
memproduksi atau menggunakan nuklir, senjata kimia dan senjata biologi
sebagaimana diatur dalam resolusi NPT Review Conference Middle East tahun
1995.217
Dalam beberapa tahun terakhir, perkembangan di Timur Tengah semakin
memberikan urgensi untuk menerapkan WMDFZ di kawasan tersebut. Pertama,
adanya konfrontasi atas program nuklir Iran. Pertanyaan apakah Iran bermaksud
untuk membangun senjata nuklir atau tidak, telah menimbulkan ketidakpastian
strategis.218 Namun, jelas bahwa Iran telah membuat kemajuan substansial dalam
pengayaan uranium dan pengembangan teknologi infrastruktur. Beberapa analis
berpendapat bahwa jika Iran memiliki kemapuan senjata nuklir, hal tersebut akan
mempromosikan proliferasi di Timur Tengah. Negara-megara seperti Arab Saudi,
Mesir dan Turki merupakan contoh potensial yang paling mungkin.219
215
Ülgen dan Ergun, Establishing a WMD Free Zone, 5.
Arms Control Association, WMD-Free Middle East Proposal at a Glance,
https://www.armscontrol.org/factsheets/mewmdfz diakses pada 1 April 2015.
217
The 1995 NPT Conference Resolution on the Middle East, dokumen tersedia di
http://www.un.org/disarmament/WMD/Nuclear/1995-NPT/pdf/Resolution_MiddleEast.
218
Gawdat Bahgat, “A WMD-Free Zone in the Middle East?”, Journal Essay Middle
East Policy Council, Vol. 20, No. 1, (2013).
219
Kenneth N. Waltz, "Why Iran Should Get the Bomb", Foreign Affairs 91, No.4
(July/August 2012), 4-12.
216
76
Kedua, pertempuran yang terus berlanjut di Suriah antara rezim Assad dan
kelompok pemberontak yang menimbulkan keprihatinan serius atas stabilitas
regional.220 Kondisi ini juga berakaitan erat dengan senjata kimia yang ada di
negara tersebut dan mencegah senjata kimia tersebut jatuh ke tangan yang salah.
Berdasarkan laporan dari Organisation for the Prohibition of Chemical Weapons
(OPCW), ada senjata kimia yang digunakan dalam perang di Suriah.221
Penggunaan senjata kimia dalam perang sipil di Suriah juga telah dikonfirmasi
oleh PBB.222
Ketiga, dalam beberapa tahun terakhir, Turki dan beberapa negara Arab
(terutama Uni Emirat Arab), telah menyatakan niatnya untuk mengembangkan
senjata nuklir sipil.223 Proyek proliferasi ini menyoroti apa yang disebut dual-use
tenaga nuklir, dimana material yang sama dapat digunakan untuk menghasilkan
tenaga nuklir sipil dan untuk membuat senjata nuklir. Israel yang diyakini
memiliki senjata nuklir dan memonopolinya, telah mendorong kekuatan-kekuatan
regional lainnya untuk mengejar kemampuan yang sama.224
Kondisi tersebut dapat menganggu stabilitas Timur Tengah, baik secara
ekonomi, politik dan keamanan. Instabilitas tersebut lebih jauhnya akan
mempengaruhi, bahkan mengancam kepentingan Eropa di wilayah Timur Tengah.
Melihat kondisi-kondisi tersebut, dan selaras dengan kebijakan keamanan Uni
220
Bahgat, A WMD-Free Zone.
Al Jazeera 07 Januari 2015, Report reaffirms Syria chemical weapons use,
http://www.aljazeera.com/news/middleeast/2015/01/report-reaffirms-syria-chemical-weapon-use201516223545804947.html diakses pada 2 April 2015.
222
Statement: Secretary-General's remarks to the Security Council on the report of the
United Nations Missions to Investigate Allegations of the Use of Chemical Weapons on the
incident that occurred on 21 August 2013 in the Ghouta area of Damascus
http://www.un.org/sg/statements/index.asp?nid=7083 diakses pada 2 April 2015.
223
Bahgat, A WMD-Free Zone.
224
Bahgat, A WMD-Free Zone.
221
77
Eropa, Duta Besar Uni Eropa, Catherine Ashton, melalui pernyataanpernyataannya kembali menegaskan komitmen Uni Eropa dalam membentuk
WMDFZ di Timur Tengah.225
Sebelumnya, Deklarasi Barcelona yang diadakan oleh Uni Eropa pada
tahun tahun 1995, mencakup tujuan untuk mempromosikan pembentukan
WMDFZ di Timur Tengah. Hal tersebut juga ditegaskan dalam strategi Uni Eropa
melawan proliferasi senjata pemusnah masal tahun 2003.226 Terinspirasi oleh
Deklarasi Barcelona227 tersebut, dan sebagai lanjutan dari keberhasilan Uni Eropa
dalam seminar bertajuk “Middle East Security, WMD Non-proliferation and
Disarmament” di Paris pada bulan Juni 2008, pada bulan Desember 2010 Dewan
Uni Eropa memutuskan untuk menyediakan sarana dan memberikan bantuan bagi
pembentukan WMDFZ di Timur Tengah.228
Dewan Uni Eropa mengadopsi keputusan 2010/799/CFSP pada tanggal 13
Desember 2010, untuk mendukung proses confidence building yang mengarah
pada pembentukan kawasan bebas senjata pemusnah masal dan cara
menerapkannya di Timur Tengah guna mendukung implementasi kebijakan Uni
225
Karafillis Giannoulis, EU wants the establishment of a Middle East WMD Free Zone,
New Europe 2 Juli 2013, http://www.neurope.eu/article/eu-wants-establishment-middle-east-wmdfree-zone diakses pada 1 April 2015.
226
Gobbi, Is a nuclear-weapon-free, 4.
227
Deklarasi Barcelona diadopsi pada Konferensi Euro-Mediterania, untuk membangun
kerjasama multilateral antara negara-negara anggota Uni Eropa dan 12 negara-negara non-anggota
Mediterania (Algeria, Cyprus, Mesir, Israel, Yordania, Lebanon, Malta, Maroko, Otoritas
Palestina, Suriah, Tunisia, Turki). (www.eeas.europa.eu/euromed/docs/bd_en.pdf)
228
A WMD Free Zone in the Middle East (March 2014), Overview of the latest EU
official documents and publications of the Consortium regarding the European Union support for a
WMD Free Zone in The Middle East,
http://www.nonproliferation.eu/activities/focus/archives/2014/2014-03.php diakses pada 1 April
2015.
78
Eropa dalam melawan proliferasi senjata pemusnah masal (EU Strategy against
Proliferation of Weapons of Mass Destruction).229.
Sebagai tindak lanjut dari seminar yang sebelumnya diselenggarakan di
Paris pada tahun 2008, Uni Eropa telah menawarkan diri untuk menjadi tuan
rumah seminar berikutnya, untuk membahas langkah-langkah yang akan
memfasilitasi upaya dalam membangun WMDFZ.230 Seminar nonproliferasi
dengan tajuk Timur Tengah pertama kali diadakan di Brussel pada tanggal 6-7
Juli 2011 melalui EU Non-Proliferation Consortium. Seminar tersebut sukses
besar dan semakin mendorong Uni Eropa untuk terus terlibat dalam proses
pembentukan WMDFZ di Timur Tengah.231
Dewan Uni Eropa kemudian memutuskan untuk kembali mensponsori
seminar nonproliferasi kedua yang diadakan di Brussel pada tanggal 5-6
November 2012, dengan tema “to Promote Confidence Building and in Support of
a Process Aimed at Establishing a Zone Free of Weapons of Mass Destruction
(WMD) and Means of delivery in the Middle East”.232 Kedua kegiatan tersebut
dipromosikan dalam berbagai forum internasional, yaitu Komite Pertama Majelis
Umum PBB dan Komiter Persiapan NPT Review Conference tahun 2015.233
229
Dokumen dipublikasi oleh Council of the European Union dalam “the L series of the
Official Journal of the European Union”.
230
Catherine Ashton, memberikan keterangan tentang kesiapan Uni Eropa untuk menjadi
tuan rumah seminar melalui sebuah surat kepada Dirjen IAEA pada bulan Juli 2010. Dokumen
tersedia di www.iaea.org.
231
A WMD Free Zone in the Middle East.
232
EU Official Documents and Publications, A WMD Free Zone in the Middle East.
233
EU Official Documents and Publications, A WMD Free Zone in the Middle East.
BAB IV
KEBIJAKAN UNI EROPA DALAM MENGHENTIKAN
PROLIFERASI NUKLIR IRAN TAHUN 2009-2013
Proliferasi nuklir Iran telah membawa Uni Eropa untuk mengintervensi
menggunakan cara-cara damai. Bab ini akan menjelaskan kebijakan Uni Eropa
dalam menghentikan proliferasi nuklir Iran selama tahun 2009-2013. Bab ini akan
menganalisa hubungan variabel X dan variabel Y untuk menjawab pertanyaan
penelitian. Bab ini akan dimulai dengan keterlibatan Uni Eropa dalam masalah
proliferasi nuklir Iran dan kepentingan Uni Eropa. Bab ini juga menjelaskan
upaya diplomasi Uni Eropa terhadap Iran melalui negosiasi. dialog politik, hingga
penggunaan diplomasi koersif. Kemudian, penerapan sanksi Uni Eropa ke Iran
yang berupa embargo dan sanksi finansial.
IV.1. Keterlibatan Uni Eropa dalam Proliferasi Nuklir Iran
Program nuklir Iran merupakan salah satu isu yang bertahan di panggung
berita utama dunia setidaknya selama satu dekade. Masalah ini telah disekuritisasi
oleh banyak aktor, seperti Israel dan Amerika Serikat. Ketika sebuah masalah
disekuritisasi oleh negara adidaya global, tentu masalah tersebut akan menarik
perhatian banyak kekuatan besar lainnya, seperti Uni Eropa.
Negara-negara Eropa perlu bekerja sama melalui sebuah institusi, yaitu
Uni Eropa, untuk mencapai tujuan mereka terhadap Iran. Dapat dikatakan bahwa
Uni Eropa telah menciptakan seperangkat aturan yang memungkinkan negara-
79
80
negara secara kolektif dapat mencapai kepentingan yang tidak dapat dicapai
dengan bertindak sendiri. Liberal institusionalis menekankan pada peran
organisasi
internasional
dan
masyarakat
internasional
dalam
hubungan
internasional.
Dalam merespon kekhawatiran internasional terhadap nuklir Iran, Uni
Eropa mengambil langkah untuk turut terlibat aktif dalam upaya menghentikan
proliferasi nuklir Iran.
Sesuai dengan asumsi liberalis institusionalis, bahwa
kekuatan militer adalah instumen kebijakan yang tidak efektif.234 Sebaliknya,
liberalis institusionalis menekankan pada soft power. Uni Eropa dinilai cukup
mampu untuk mengatasi masalah proliferasi nuklir melalui instumen soft power.
Upaya menemukan solusi diplomatik dalam krisis nuklir Iran adalah tindakan Uni
Eropa yang paling high-profile dalam bidang nonproliferasi hingga saat ini. Uni
Eropa telah mempelopori upaya untuk mendapatkan solusi dari kebuntuan yang
dihadapi masyarakat internasional dengan Iran dalam program nuklirnya.
Dalam krisis nuklir Iran, taruhannya sangat tinggi. Iran dengan senjata
nuklir akan memiliki implikasi serius bagi keamanan regional dan keamanan
global, serta mengganggu upaya global untuk mencegah penyebaran lebih lanjut
dari senjata nuklir. Kasus nuklir Iran dapat menjadi sarana bagi Uni Eropa untuk
mendemonstrasikan perannya sebagai aktor kebijakan luar negeri penting yang
mampu memimpin dalam menyelesaikan krisis global dengan cara-cara damai.
Pembicaraan nuklir dengan Iran adalah salah satu masalah keamanan
internasional di luar kawasan Eropa, dimana Uni Eropa telah memainkan peran
234
Baylis, J dan Smith, S ed., The Globalization of World Politics: An introduction to
International Relations, (Oxford: Oxford University Press, 2005), 97.
81
penting. Program nuklir Iran menjadi sengketa pertama sejak akhir Perang Dingin,
dimana
negara-negara
Eropa
secara
bersama-sama
memainkan
peran
kepemimpinan politik dan diplomatik dalam isu keamanan yang mempunyai
implikasi potensial ke seluruh dunia.235
Eropa adalah pihak yang pertama kali terlibat dengan Iran melalui E+3
(Inggris, Perancis, Jerman), yang kemudian merancang pendekatan dual-track
dengan menggabungkan tawaran pemberian insentif yang disertai dengan
ancaman sanksi. Uni Eropa juga memfasilitasi pembentukan P5+1 untuk
menyelesaikan sengketa nuklir Iran, yang terdiri dari Tiongkok, Perancis, Rusia,
Amerika Serikat, Inggris, dan ditambah Jerman.236
Keterlibatan Uni Eropa dalam menyelesaikan masalah proliferasi nuklir
Iran dimulai sejak tahun 2003. Jika reaksi Uni Eropa di masa lampau dalam kasus
seperti ini biasanya hanya dengan mengeluarkan dokumen deklaratif atau dengan
tidak bersuara karena adanya perpecahan internal dalam tubuh Uni Eropa, kali ini
negara-negara Uni Eropa bersedia untuk segera bertindak dalam kesatuan.
Ada beberapa skenario kebijakan yang mungkin dapat diambil oleh Uni
Eropa. Di bawah CFSP, Uni Eropa mempunyai beberapa pilihan kebijakan dan
instrumen yang tersedia dalam upaya memenuhi tujuan strategis terhadap Iran.
Pertama, negara-negara anggota Uni Eropa dapat menggunakan kekuatan militer,
atau memulai intervensi militer melalui kebijakan pertahanan dan keamanan
235
Marco Overhaus, European Diplomacy and the Conflict over Iran's Nuclear Program,
(2007), 1.
236
Oliver Meier, “European Efforts to Solve The Conflict Over Iran‟s Nuclear
Programme: How Has The European Union Performed?”, Non-Proliferation Papers, No. 27,
(February 2013), 1.
82
Eropa (European Security and Defence Policy) atau mendukung penggunaan
kekuatan militer oleh pihak ketiga.
Kedua,
Uni
Eropa
dapat
mengadopsi
kebijakan
pembendungan
(containment) dan pencegahan (deterrence) menggunakan instrumen politik dan
ekonomi, seperti penggunaan sanksi dan pengerahan strategis aset militer di
wilayah tersebut. Ketiga, Uni Eropa dapat menerapkan keterlibatan diplomatik
melalui negosiasi yang memanfaatkan soft power Uni Eropa pada bidang
perdagangan, bantuan, energi, imigrasi, dan kerjasama budaya serta pendidikan.
Atau, terakhir, Uni Eropa bisa menarik diri dari keterlibatannya sebagai
aktor kebijakan luar negeri utama pada masalah nuklir Iran dan memfokuskan diri
pada isu-isu internal. Namun, Uni Eropa kelihatannya cenderung lebih menyukai
opsi kedua dan ketiga, yaitu penggunaan sanksi, diplomasi, atau penggunaan soft
power.
IV.2. Kepentingan Uni Eropa
Kepentingan bersama dapat memunculkan kebijakan spesifik terhadap
negara lain, baik yang bersifat kerja sama maupun konflik. Keterlibatan Uni Eropa
dalam upaya menghentikan proliferasi nuklir Iran didorong oleh adanya tujuan
bersama (common goal) dan nilai bersama (common values) yang mengarah
kepada kepentingan bersama (common interest).
Negara-negara secara rasional menyadari bahwa mereka memiliki
beberapa kepentingan yang sama, dan oleh sebab itu dimungkinkan terjadinya
kerja sama. Maka, dengan adanya kepentingan bersama tersebut, negara-negara
83
Eropa melakukan kerja sama melalui sebuah institusi bersama, yaitu Uni Eropa,
untuk mencapai tujuan yang selaras dengan kepentingan bersama tersebut.
Menarik untuk mengamati keterlibatan Uni Eropa dalam kasus nuklir Iran.
Sejak tahun 2003 hingga saat ini, Uni Eropa berperan aktif dalam upaya
menghentikan proliferasi nuklir Iran. Uni Eropa menjadi negosiator utama.
Namun, dalam kasus proliferasi nuklir India, Pakistan, dan Korea Utara, Uni
Eropa cenderung tidak terlalu terlibat secara aktif dan tidak memainkan peran
yang terlalu progresif. Perbedaan sikap ini tentu didorong oleh seberapa besar
kepentingan Uni Eropa terhadap sebuah negara target.
Jika tidak semua negara anggota Uni Eropa memiliki kepentingan dalam
mengintervensi proliferasi nuklir Iran, maka sejak awal masalah ini hanya akan
diselesaikan oleh E+3. Namun, sejak tahun 2004, seluruh anggota Uni Eropa
mulai terlibat dalam isu ini melalui Javier Solana selaku Duta Besar untuk CFSP,
yang memainkan peran menjadi jembatan antara E+3 dan negara anggota Uni
Eropa lainnya.
Pertama adalah kepentingan keamanan. Senjata nuklir adalah senjata yang
paling berbahaya dalam sejarah. Senjata nuklir didefinisikan sebagai perangkat
yang dirancang untuk melepaskan energi secara eksplosif sebagai akibat dari fisi
nuklir, fusi nuklir, atau kombinasi kedua proses tersebut. Senjata fisi umumnya
disebut sebagai bom atom, dan senjata fusi disebut sebagai bom termonuklir, atau
lebih umumnya, bom hidrogen.237
237
Aggelis, The Weapons of Mass Destruction, 1.
84
Berdasarkan dua strategi Uni Eropa, European Security Strategy dan EU’s
Strategy against Proliferation of WMD, terlihat bahwa ancaman proliferasi senjata
pemusnah masal, termasuk nuklir, merupakan ancaman yang serius. ESS
menetapkan proliferasi senjata pemusnah masal sebagai salah satu ancaman utama
bagi Eropa, sementara EU WMD Strategy melihatnya sebagai ancaman yang terus
tumbuh dan berkembang, yang beresiko terhadap keamanan negara-negara Eropa,
rakyat Eropa dan kepentingan Eropa di seluruh dunia.
Rusia, Israel, dan Iran adalah negara dengan senjata nuklir yang memiliki
kedekatan geografis dengan wilayah Eropa. Namun, hanya Iran yang menjadi
ancaman potensial bagi keamanan Eropa. Rusia dan Israel tidak memiliki tujuan
untuk mengancam Eropa.238 Israel dekat dengan Barat, dan telah menjadi bagian
dari dunia Barat, serta memiliki kepentingan yang sama terhadap keamanan dan
keseimbangan global. Sementara, Rusia tidak memiliki kecenderungan agresif
terhadap negara-negara Eropa, dan Eropa pun tidak menganggap Rusia sebagai
ancaman. Rusia sendiri telah membangun hubungan baik kerja sama di bidang
ekonomi dengan negara-negara Eropa, dan khususnya dengan Uni Eropa.239
Eropa khawatir dengan perkembangan situasi di Iran. Secara geografis,
nuklir Iran diperkirakan berpotensi menjangkau wilayah Eropa. Jangkauan nuklir
Iran juga dapat memicu terjadinya ketegangan dan konfrontasi di wilayah yang
sudah stabil.240 Jika Iran berhasil mencapai upayanya untuk mendapatkan senjata
nuklir dan mengembangkan kemampuan rudal balistiknya, itu bisa menjadi
238
Aggelis, The Weapons of Mass Destruction, 9.
Aggelis, The Weapons of Mass Destruction, 9.
240
Renard, Partnering for a Nuclear-Safe World, 8.
239
85
kekuatan nuklir yang dengan mudah dapat menargetkan sejumlah besar negaranegara Eropa.
Selain itu, nuklir Iran dapat menyebabkan perlombaan senjata nuklir di
Timur Tengah. Seperti yang pernah terjadi pada tahun 1960an, ketika Israel
diyakini telah membangun senjata nuklir dan menjadi satu-satunya negara
bersenjata nuklir di Timur Tengah. Akibatnya, untuk mengatasi asimestris militer
ini, negara-negara Arab juga berupaya untuk memiliki senjata nuklir. Walalupun,
pada akhirnya usaha itu gagal, negara-negara Arab telah menimbun senjata kimia
dan senjata biologi.241
Jika perlombaan senjata terjadi kembali, maka hal tersebut selanjutnya
akan mengguncang wilayah Timur Tengah dan wilayah sekitar Eropa. Guncangan
tersebut akan mengganggu stabilitas ekonomi, politik dan keamanan, yang pada
akhirnya akan mengancam kepentingan Eropa. Hal ini juga akan semakin
melemahkan NPT.242 Sementara, kekuatan diplomatik Eropa semakin diuji,
sebagaimana Iran yang semakin dekat untuk menyelesaikan program nuklirnya.
Kedua, Uni Eropa ingin menjadi pemain utama dalam isu nonproliferasi
nuklir. Beberapa tahun lalu, gagasan bahwa Uni Eropa dapat menjadi aktor
penting dalam rezim nonproliferasi ditanggapi secara skeptis.243 Namun, hari ini
dunia melihat bahwa Uni Eropa sedang membangun dirinya sebagai aktor besar
dalam bidang nonproliferasi nuklir dan senjata pemusnah masal, bahkan Uni
Eropa mengembangkan strateginya sendiri untuk menuntunnya menjadi aktor
241
Bahgat, A WMD-Free Zone.
Renard, Partnering for a Nuclear-Safe World, 8.
243
Clara Portela, "The Role of the EU in the Non-Proliferation of Nuclear Weapons",
PRIF Report No.65, (Frankfurt, 2003).
242
86
global. Sesuai dengan EU WMD Strategy, Uni Eropa harus menggunakan semua
instrumennya untuk mencegah, menghalangi, menghentikan, dan jika mungkin,
menghapuskan program proliferasi yang mengakibatkan kehawatiran dalam
konteks global.
Uni Eropa menempatkan isu proliferasi nuklir Iran dalam prioritas utama,
dibandingkan dengan isu HAM dan demokrasi di Iran. Dengan membuat isu
nuklir menjadi prioritas utama, Uni Eropa sedang menunjukkan kepada
masyarakat internasional bahwa Uni Eropa benar-benar memerangi proliferasi
senjata nuklir global. Dengan terlibat dalam krisis nuklir Iran Uni Eropa sedang
membuktikan kualitas perannya dalam isu yang berkaitan dengan nonproliferasi
nuklir.
Dalam konteks saat itu, intervensi Uni Eropa dalam konflik atas program
nuklir Iran dilatarbelakangi oleh dua krisis nuklir lainnya. Pertama, pada tanggal
11 Januari 2003, Korea Utara telah mengumumkan pengunduran dirinya dari Non
Proliferation Treaty tahun 1968.244 Kedua, pada tahun yang sama, aksi militer
terhadap Irak, dijustifikasi oleh dugaan kepemilikan senjata pemusnah masal
(meskipun akhirnya tidak terbukti). Melihat Korea Utara yang menarik diri dari
NPT, Uni Eropa khawatir jika Iran akan melakukan hal serupa. Jika hal ini terjadi,
tentunya akan melemahkan dan mengurangi kredibilitas rezim proliferasi dunia
tersebut. Uni Eropa melihat Iran sebagai negara yang menjadi ujian bagi
kelangsungan rezim nonproliferasi. Sebuah rezim penjaga proliferasi yang selalu
diperjuangkan oleh Uni Eropa.
244
Arms Control Associations, Chronology of U.S.-North Korean Nuclear and Missile
Diplomacy, http://www.armscontrol.org/factsheets/dprkchron diakses pada 1 Mei 2015.
87
Ketiga, Uni Eropa ingin memainkan peran strategis di Timur Tengah dan
mengamankan
kepentingan
ekonominya
di
Timur
Tengah.
Mengingat
pengaruhnya di Timur Tengah, Asia Tengah dan Teluk Persia, Iran selalu menjadi
subjek perhatian bagi kekuatan besar, termasuk Uni Eropa. Sejak pidato “axis of
evil” dari Presiden Bush, Uni Eropa semakin menjadi skeptis atas rencana
Amerika Serikat untuk mentrasformasi Timur Tengah.245 Jika Uni Eropa ingin
menjaga status quo-nya di Timur Tengah, maka Iran adalah sebuah kesempatan
untuk bertidak.
Pada saat yang sama, memecahkan krisis regional dan membangun
perdamaian serta stabilitas di Timur Tengah, yang bisa dicapai melalui Iran
sebagai kekuatan regional, dan menjadikan Iran sebagai mitra strategis Eropa.
Proses perdamaian di Timur Tengah dapat terganggu oleh Iran yang bersenjata
nuklir. Uni Eropa ingin menjaga stabilitas regional di Timur Tengah dan
memanfaatkan kesempatan untuk membangun hubungan yang lebih konstruktif
dengan Iran di masa depan.
Dalam segi ekonomi, sebagai negara industri dan ekonominya yang
berorientasi ekspor, Eropa membutuhkan Iran sebagai pemasok minyak dan gas,
serta pasar domestik. Hubungan ekonomi, khususnya keamanan energi Eropa,
akan selalu menjadi kepentingan utama Uni Eropa di Iran. Ketergantungan energi
telah disebutkan dalam European Security Strategy sebagai perhatian Uni
Eropa.246
245
Steven Everts, Engaging Iran: A Test Case fot EU Foreign Policy, Centre for
European Reform, Working Paper, (Maret 2004), 16.
246
Asle Toje, “The 2003 European Union Security Strategy: A Critical Appraisal”,
European Foreign Affairs Review 10, (2005), 126.
88
Keempat, nuklir Iran sebagai test-case bagi CFSP. Pasca perpecahan Uni
Eropa dalam Perang Irak tahun 2003, menyelesaikan isu nuklir Iran menjadi ujian
serius bagi kesatuan Eropa dan test-case bagi European Security Strategy dan EU
Strategy against the Proliferation of Weapons of Mass Destruction, yang
keduanya diadopsi pada tahun 2003. Uni Eropa memiliki persepsi bahwa masalah
nuklir Iran merupakan kesempatan yang bagus bagi Uni Eropa untuk
menghidupkan CFSP kembali, pasca perpecahan di Perang Irak.247
Uni Eropa dan Amerika Serikat sepakat bahwa Iran tidak perlu menjadi
power state. Namun, Uni Eropa khawatir Amerika Serikat mungkin akan
menggunakan kekuatan militernya lagi. Maka, Uni Eropa memutuskan untuk
terlibat dalam negosiasi dengan Iran untuk mencegah tindakan unilateral Amerika
Serikat, seperti pada Perank Irak tahun 2003.
Perang Irak menunjukkan bahwa Uni Eropa perlu memberikan
kesempatan bagi Jerman, Inggris dan Perancis untuk berbicara dalam satu suara
dalam isu keamanan yang penting, dan untuk membuat suara Uni Eropa terdengan
kencang dan jelas bagi Amerika Serikat. Perang Irak juga telah memberi pelajaran
bagi Uni Eropa, bahwa ketika Uni Eropa terpecah, Amerika Serikat yang
menguasai dunia. Uni Eropa mempunyai bebrapa alasan yang membuatnya
percaya bahwa CFSP akan berhasil di Iran, yaitu situasi internal Uni Eropa,
strategi Uni Eropa yang lebih bersahabat dibandingkan Amerika Serikat, dan
konteks domestik Iran pada saat itu.248
247
248
Everts, Engaging Iran, 20.
Nicoleta Lasan, European Union’s Approach, 40.
89
Dari perspektif sejarah, koherensi negara-negara anggota Uni Eropa dalam
perlucutan senjata nuklir dan isu nonproliferasi ternyata cukup sulit.249 Khususnya
yang berkaitan dengan perlucutan senjata, ada perpecahan di antara negara-negara
anggota Uni Eropa, seperti antara Perancis dan Inggris, yang memiliki senjata
nuklir, dan negara-negara anggota Uni Eropa yang memiliki teknologi dan
pengetahuan untuk memproduksi senjata nuklir, tetapi telah berkomitmen di
bawah NPT untuk menahan diri tidak memproduksinya. Maka, masalah nuklir
Iran akan menjadi ujian serius bagi kesatuan suara dan tindakan Uni Eropa. Kasus
nuklir Iran memberikan kesempatan E+3 untuk membuktikan kualitas
kepemimpinannya, dan bahwa Uni Eropa mampu bertindak dan melakukan
“intervensi bersama” dalam situasi krisis seperti itu.
IV.3. Upaya Diplomasi Uni Eropa Terhadap Iran
Dalam sepanjang sejarah, diplomasi telah menjadi elemen penting dalam
upaya menjaga perdamaian, menghindari konflik, dan menciptakan perubahan
positif. Menurut Harold Nicolson, diplomasi adalah pengelolaan hubungan
internasional melalui negosiasi, metode yang akan digunakan dalam hubungan ini
akan disesuaikan dan dikelola oleh Duta Besar dan utusan.250 Sedangkan menurut
Sir Ernest Satow, diplomasi adalah penerapan keterampilan dan taktik dalam
melakukan hubungan resmi antara negara-negara melalui cara-cara damai.251
Perbedaan kekuatan militer dan diplomasi adalah, jika kekuatan militer adalah
249
S. Pullinger & G. Quille, “The European Union: Seeking Common Ground for
Tackling Weapons of Mass Destruction”, Disarmament Diplomacy, No. 74, (Desember 2003), 87.
250
Harold Nicolson, Diplomacy, (London: Oxford University Press, 1960), 15.
251
Ernest Satow, A Guide to Diplomatic Practice, (London: Longman Greesn & Co),
Edisi Keempat, 1.
90
mengambil (paksa) apa yang diinginkan, maka diplomasi adalah meyakinkan
pihak lain untuk memberikan apa yang diinginkan.
Diplomasi merupakan instrumen kebijakan luar negeri Uni Eropa terhadap
Iran. Dalam kebijakan proliferasi, Uni Eropa menganut prinsip nonproliferasi. Uni
Eropa tidak memiliki prinsip perang atau invasi militer dalam kebijakan luar
negerinya. Sebaliknya, Uni Eropa mengutamakan diplomasi. Oleh karena itu, Uni
Eropa memimpin berbagai perundingan yang bertujuan untuk mendorong Iran
mengurangi program nuklirnya, bahkan jika memungkinkan, menghentikan
proliferasi nuklir Iran.
Diplomasi termasuk ke dalam soft power. Soft power adalah kemampuan
untuk mempengaruhi orang lain untuk mendapatkan hasil yang inginkan melalui
daya tarik dan persuasi daripada penggunaan kekuatan atau uang. 252 Menurut
Joseph Nye, soft power adalah nilai-nilai politik, budaya dan kebijakan.253
Diplomasi adalah instrumen soft power yang dapat mencakup dan mengelaborasi
semua elemen tersebut. Esensi dari diplomasi adalah perundingan. Maka,
diplomasi memiliki unsur penting, yaitu negosiasi dan adanya perwakilan untuk
melakukan perundingan tersebut. Setelah adanya hukum internasional, prosedur
diplomasi didasari oleh hukum interasional.
Diplomasi memiliki empat fungsi utama. Fungsi pertama, meliputi
mewakili kepentingan negara dan melakukan negosiasi atau diskusi yang
dirancang untuk mengindentifikasi kepentingan bersama, maupun bidang
ketidaksepakatan antara pihak-pihak yang terlibat, yang bertujuan untuk mencapai
252
253
Joseph S. Nye, Public Diplomacy and Soft Power, (Harvard University, 2008), 1.
Nye, Public diplomacy, 4.
91
tujuan negara dan menghindari konflik. Fungsi kedua, meliputi mengumpulkan
informasi, dan selanjutnya mengidentifikasi dan mengevaluasi tujuan kebijakan
luar negeri negara pengirim. Fungsi ketiga, meliputi ekspansi hubungan politik,
ekonomi, dan kebudayaan antara dua negara. Fungsi keempat, diplomasi sebagai
fasilitator atau alat penegak hukum internasional.254
Dalam kasus nuklir Iran, diplomasi yang dilakukan oleh Uni Eropa
berkaitan dengan fungsi pertama dan keempat. Dalam fungsi pertama, Uni Eropa
berupaya menemukan win-win solution bagi Iran dan Uni Eropa, dan lebih
luasnya masyarakat internasional, melalui negoasiasi yang dilakukan oleh E+3
sebagai perwakilan Uni Eropa. Sementara dalam fungsi keempat, diplomasi
digunakan sebagai alat persuasi agar Iran bersedia mematuhi safeguard agreement
dan memenuhi kewajibannya terhadap IAEA, seperti melaporkan semua kegiatan
program nuklirnya dan memberikan semua informasi yang diperlukan IAEA
terkait program nuklir Iran.
Hasil akhir dari negosiasi biasanya diresmikan dalam bentuk komunike
tertulis atau perjanjian, yang menyebutkan kesepakatan dan tanggung jawab
masing-masing pihak. Bentuk yang umum adalah traktat, yaitu sebuah perjanjian
tertulis formal antara negara-negara berdaulat, atau antara negara dengan
organisasi internasional.255
254
G.R. Berridge, Diplomatic Theory From Machievelli to Kissinger, (New York:
Palgrave, 2001), 31-35.
255
Berridge, Diplomatic Theory, 35.
92
IV.3.1. Dialog dan Negosiasi Uni Eropa-Iran
Upaya diplomasi Uni Eropa dimulai dengan pembentukan E+3 yang
terdiri dari Inggris, Perancis dan Jerman. E+3 kemudian bergabung dengan Duta
Besar CFSP, Javier Solana, dan akhirnya bergabung dengan Amerika Serikat,
Rusia dan Tiongkok (anggota tetap Dewan Keamanan PBB) dalam format P5+1
atau E3+3. Selama upaya penghentian proliferasi nuklir Iran, Uni Eropa dan Iran
tidak pernah membicarakan upaya agresi. Sebaliknya, kedua belah pihak selalu
menegaskan komitmennya untuk mencari resolusi diplomatik. Inisiatif diplomatik
untuk menyelesaikan masalah nuklir Iran telah menghasilkan beberapa proposal
untuk dinegosiasikan dan untuk membangun kepercayaan antara Iran dan
masyarakat internasional.
Karena program nuklir Iran yang semakin berkembang dan maju, maka
fokus kegiatan diplomatik bergeser dari mempromosikan tujuan “zero
enrichment”, menjadi mencegah Iran melakukan pengayaan ke tingkat yang lebih
tinggi. Ini adalah refleksi dari kemajuan program nuklir Iran, dimana pada awal
tahun 2009, Iran telah menghasilkan sekitar 1000 kilogram LEU, lebih dari 3000
sentrifugal di Natanz dan fasilitas yang terus diperluas.256
Pembicaraan di Istanbul, Turki, pada tahun 2011 tidak berhasil mencapai
kesepakatan bersama. Menindaki kegagalan tersebut, pada bulan Oktober 2011,
Duta Besar Uni Eropa, Catherine Ashton, mengirim surat untuk negosiator nuklir
Iran, Saeed Jalili, yang mendesak diadakannya diskusi dan dialog untuk
256
International Atomic Energy Agency, Board of Governors, Implementation of the NPT
Safeguards Agreement and relevant provisions of Security Council resolutions 1737 (2006), 1747
(2007), 1803 (2008) and 1835 (2008) in the Islamic Republic of Iran, GOV/2009/8, (19 Februari
2009).
93
membangun kepercayaan masyarakat internasional untuk mengatasi kekhawatiran
atas program nuklir Iran.257
Untuk merespon surat Catherine Asthon, pada bulan Februari 2012, Saeed
Jalili menawarkan “inisiatif baru” untuk menghidupkan kembali pembicataan
nuklir yang sempat terhenti.258 Kemudian, pada bulan April 2012, kembali
diadakan diplomasi di Istanbul, Turki, dan disepakatinya framework negosiasi
dengan tindakan timbal balik dan proses step-by-step.
IV.3.2. Diplomasi Koersif
Selain melalui upaya dialog internasional dan pencapaian perjanjian, Uni
Eropa menggunakan strategi diplomatik yang disebut diplomasi koersif, yang
mempunyai tiga elemen, yaitu permintaan, ancaman dan tekanan waktu.259
Permintaan yang spesifik harus dirumuskan langsung dengan negara target,
kemudian didukung oleh pemberian ancaman hukuman dan tenggat waktu untuk
memenuhi permintaan tersebut. Diplomasi koersif dapat dilihat sebagai strategi
diplomatik yang melibatkan beberapa jenis paksaan yang berusaha untuk
menghasilkan perubahan perilaku target.260 Ini adalah sebuah bentuk "crisis
bargaining".261
257
Foreign Policy Initiative, Timeline on Diplomacy and Pressure on Iran's Nuclear
Program, http://www.foreignpolicyi.org/content/timeline-diplomacy-and-pressure-irans-nuclearprogram diakses pada 1 Mei 2015.
258
Foreign Policy Initiative, Timeline on Diplomacy and Pressure.
259
George, Forceful Persuasion, 7.
260
P. Bratton, “When Is Coercion Successful ?”, Naval War College Review, Vol. 58, No.
3, (2005), 101.
261
George, Forceful Persuasion, 68.
94
Penggunaan ancaman berfungsi untuk meyakinkan target bahwa kerugian
yang didapatkan jika tidak mematuhi permintaan akan lebih tinggi daripada
manfaat yang didapatkan jika tetap melanjutkan tindakannya.262 Dengan
demikian, diplomasi koersif bertujuan mempengaruhi perhitungan untung rugi
aktor rasional, mencoba membujuknya untuk menghentikan tindakan target
daripada harus menjatuhi hukuman untuk menghentikan tindakannya.263
Secara umum, ada tiga jenis ancaman yang dapat dibedakan. Pertama,
ancaman politik dan atau ancaman diplomatik, yang merupakan bentuk ancaman
paling ringan. Kedua, ancaman ekonomi, yang dianggap sebagai bentuk ancaman
yang kuat. Ketiga, ancaman kekuatan militer yang merupakan ancaman paling
kuat dan paling ekstrim.264
Melalui E+3, Uni Eropa secara spesifik menuntut Iran untuk
menangguhkan semua kegiatan daur ulang bahan bakar nuklir yang dapat
memungkinkan Iran untuk memperoleh pengetahuan dan kemampuan yang
diperlukan untuk membangun senjata nuklir, termasuk pengayaan uranium,
konversi dan pemisahan plutonium.265 Namun, ketika tampak jelas bahwa Iran
telah melanjutkan aktivitas nuklirnya dan mampu mengatasi kesulitan teknologi
tertentu, fokus permintaan Uni Eropa bergeser. Uni Eropa meminta Iran untuk
menangguhkan aktivitas pengayaan uranium.266 Karena kapabilitas nuklir Iran
262
George, Forceful Persuasion, 11.
George, Forceful Persuasion, 5.
264
George, Forceful Persuasion, 27.
265
International Crisis Group (ICG), “Iran: Is There a Way out of the Nuclear Impasse?”,
Middle East Report, No. 51, (2006), 11.
266
Tom Sauer, Coercive Diplomacy Revisited: The Iranian Nuclear Weapons Crisis,
Chicago, 48th Annual Convention of the International Studies Association (ISA), (Chicago, 28
Februari-4 Maret 2007), 16.
263
95
yang bersifat dual-use, maka permintaan Uni Eropa dapat dinilai sudah cukup
komprehensif.
Dibandingkan dengan permintaan Uni Eropa, ancaman yang digunakan
relatif kecil. Uni Eropa mengancam untuk mendukung resolusi IAEA yang akan
segera merujuk kasus Iran ke Dewan Keamanan PBB.267 Walaupun secara khusus
Presiden Perancis Sarkozy dan Menteri Luar Negeri Perancis pernah
mengindikasikan untuk mempertimbangkan kemungkinan serangan militer ke
Iran, Uni Eropa selalu menggarisbawahi bahwa fokus mereka adalah melalui
solusi diplomatik.
Uni Eropa kemudian meningkatkan tekanan ancamannya dengan
mengeluarkan ancaman selanjutnya, yaitu menjatuhkan sanksi ekonomi dalam
kerangka resolusi Dewan Keamanan PBB berdasarkan Pasal 41 dari Bab VII
Piagam PBB.268 Sektor ekonomi yang akan dikenakan sanksi terutama adalah
industri minyak dan gas Iran. Uni Eropa melalui format P5+1 telah memberikan
Iran banyak batas waktu bagi Iran untuk memenuhi permintaan tersebut. Ketika
tenggat waktu tersebut menghadapi kebuntuan, Uni Eropa memperpanjang batas
waktu yang diberikan.
Diplomasi koersif bertujuan mempengaruhi perhitungan untung rugi aktor
rasional, maka, konsep carrot and stick juga dapat diterapkan dalam diplomasi
koersif. Carrot berlaku sebagai imbalan (reward) dan stick sebagai hukuman
(punishment).
267
Selain
ancaman
pemberian
hukuman,
Uni
Eropa
perlu
Monica Tocha, The EU and Iran’s Nuclear Programme: Testing the Limits of
Coercive Diplomacy, EU Diplomacy Papers No. 1, Department of EU International Relations and
Diplomacy Studies, (2009), 20.
268
Aldo Zammit Borda, Iran and the EU3 Negotiations, UACES European Studies OnLine Essays, (2005), 14.
96
mengkombinasikannya dengan keuntungan positif jika Iran mematuhi permintaan.
Uni Eropa sendiri telah menawarkan berbagai macam insentif atau imbalan jika
Iran bersedia menangguhkan pengayaan uraniumnya.
Dalam kerja sama ekonomi, Uni Eropa menawarkan untuk member
dukungan aktif bagi Iran untuk menjadi anggota World Trade Organization
dengan cara mendorong negosiasi aksesi Iran dan memulai kembali negosiasi
Trade and Cooperation Agreement.269 Dalam bidang politik dan keamanan, Uni
Eropa menawarkan Iran untuk bekerja sama dalam memberantas terorisme dan
perdagangan narkoba, menciptakan kawasan bebas senjata pemusnah masal di
Timur Tengah dan berkomitmen pada Iran tentang masalah keamanan.270
IV.4. Penerapan Sanksi Uni Eropa ke Iran
Hubungan antarnegara diatur dengan hukum internasional. Berkaitan
dengan aturan, penting untuk melihat bahwa setelah aturan diberlakukan, maka
sebuah sanksi harus ditetapkan. Dalam konteks ini, sanksi mengacu pada
hukuman yang dikenakan kepada pihak pelanggar aturan tersebut. Dengan
demikian, dalam hukum internasional, sanksi merupakan berbagai reaksi yang
diadopsi baik secara sepihak maupun secara kolektif oleh negara terhadap pihak
pelanggar aturan, dalam rangka menjamin penghormatan dan pelaksanaan hak
atau kewajiban.271
Dalam literatur, para ahli membedakan dua jenis sanksi yang digunakan
dalam hubungan internasional, yaitu sanksi positif dan sanksi negatif. Sanksi
269
Martin, Good Cop/Bad Cop, 72.
Martin, Good Cop/Bad Cop, 72.
271
Golliard, Economic Sanctions: Embargo on Stage, 14.
270
97
positif berupa pemberian imbalan, seperti bantuan kemanusiaan, penurunan atau
penghapusan tarif. Sedangkan sanksi negatif berupa penggunaan hukuman atau
ancaman hukuman.272
Sanksi dapat bersifat langsung maupun tidak langsung. Dalam kasus
pertama, tujuan sanksi adalah untuk meyakinkan negara target bahwa isu yang
dipertaruhkan tidak sebanding dengan sanksi yang dijatuhkan. Dalam artian,
kerugian yang didapatkan akibat sanksi akan lebih besar ketimbang keuntungan
yang didapat dari isu yang dipertaruhkan. Dalam kasus kedua, sanksi ditujukan
untuk menekan pemerintah yang pada akhirnya akan memicu pergolakkan yang
berujung pada penggulingan pemerintahan, dan kemudian akan mengakibatkan
pembentukan pemerintahan baru.273
Sanksi dibedakan ke dalam tiga kategori. Pertama, pembatasan ekspor dan
impor, seperti pada senjata, minyak, dan gas. Tindakan ini dimaksudkan untuk
mencegah negara target mengakses teknologi tertentu, barang dan jasa yang
diperlukan untuk kebijakan tertentu. Kedua, sanksi finansial, yaitu untuk
membatasi kegiatan yang berhubungan dengan perdagangan, seperti mencegah
pembayaran, pembekuan aset, larangan atas transaksi keuangan lainnya. Ketiga,
sanksi dengan target yang lebih sempit, yang disebut dengan “smart sanction”,
misalnya larangan transportasi dan komunikasi.274 Seperti larangan perjalanan
yang menolak hak individu untuk masuk ke Eropa atau transit melalui negaranegara Eropa.
272
David A. Baldwin, Economic Statecraft, (Princeton: Princeton University Press,
1985), 20.
273
Golliard, Economic Sanctions: Embargo on Stage, 23.
William H. Kaempfer dan Anton D. Lowenberg, “The Political Economy of Economic
Sanctions”, Handbook of Defense Economics, Vol. 2, (2007), 869.
274
98
Uni Eropa menerapkan ketiga jenis sanksi tersebut kepada Iran. Uni Eropa
melakukan embargo minyak dan gas, termasuk pembatasan ekspor bahan-bahan
yeng berkaitan dengan program nuklir ke Iran. Untuk menambah efektivitas
sanksi, Uni Eropa juga menjatuhkan sanksi finansial berupa pembekuan aset
bank-bank sentral Iran di Eropa, dan entitas-entitas yang mendanai program nuklir
Iran. Langkah terakhir, Uni Eropa memberlakukan larangan visa bagi individuindividu tertentu. Sampai pada bulan Desember 2012, tercatat ada sejumlah 490
entitas dan 150 individu yang terkena sanksi Uni Eropa.275
Dalam
Uni
Eropa,
European
External
Action
Service
(EEAS)
menggunakan istilah „sanksi‟ dan „tindakan pembatasan‟ sebagai upaya yang
bertujuan untuk mengubah aktivitas atau kebijakan yang melanggar hukum
internasional atau Hak Asasi Manusia, atau kebijakan yang tidak menghormati
aturan hukum atau prinsip-prinsip demokrasi.276 Dewan Uni Eropa menyoroti
bahwa tujuan sanksi adalah untuk mempertahankan dan mengembalikan
perdamaian dan keamanan internasional. Maka, negara-negara anggota Uni Eropa
akan berusaha untuk semaksimal mungkin mengurangi efek yang dapat
merugikan kemanusiaan, atau konsekuensi yang tidak diinginkan bagi orangorang (penduduk sipil) yang tidak ditargetkan atau negara-negara tetangga.277
275
Barbara Lewis, Tougher EU Sanctions against Iran Come into Force, Reuters, 22
Desember 2012,
http://www.reuters.com/article/2012/12/22/us-eu-iran-sanctions-idUSBRE8BL04L20121222
diakses pada 1 Mei 2015.
276
European External Action Service, Sanctions or Restrictive Measures,
http://eeas.europa.eu/cfsp/sanctions/index_en.htm diakses pada 28 Aprilo 2015.
277
Council of the European Union, Basic Principles on the Use of Restrictive Measures
(Sanctions), 10198/1/04 Rev 1, (Brussels, 7 JunI 2004), 6.
99
Sanksi sendiri merupakan bagian dari dualisme kebijakan Uni Eropa, yaitu
keterlibatan (engagement) dan tekanan (pressure).278 Dasar hukum bagi sanksi
Uni Eropa berasal dai dua sumber, yaitu piagam PBB dan pasal 30 dan 31 dari
Treaty on European Union.279 Negara-negara anggota Uni Eropa masing-masing
secara hukum terikat untuk mengikuti aturan yang ditetapkan dalam Piagam PBB.
Pengenaan sanksi berada di bawah domain CFSP dengan proses yang
diatur pada pasal 30 dan 31 dalam Traktat Uni Eropa (Treaty on European
Union).280 Hak untuk melakukan inisiatif berada pada negara anggota dan Duta
Besar Uni Eropa untuk urusan luar negeri dan kebijakan keamanan (High
Representative of the Union for Foreign Affairs and Security Policy), yang juga
dapat bertindak dengan dukungan Komisi Eropa. Proposal sanksi akan dibahas
secara lebih rinci oleh Political and Security Committee dan diteliti oleh
kelompok kerja yang kompeten dari Dewan, dimana para perwakilan negara
anggota melakukan negosiasi dan kemudian memutuskan dengan konsensus.281
Langkah terakhir sebelum persetujuan melalui Committee of Permanent
Representatives II (COREPER II) dan Dewan, para perwakilan negara anggota
Uni Eropa menegosiasikan persyaratan yang spesifik dan konkrit untuk setiap
sanksi yang akan dikenakan melalui Foreign Relations Counsellors Working
Group (RELEX).282 Kemudian, Eropa Eksternal Action Service akan semua
prosedur ini dengan memberikan saran tentang sanksi apa yang digunakan, siapa
278
European Union External Action, The European Union and Iran, 2.
Esfandiary, Assessing the European Union, 3.
280
Francesco Giumelli, How EU Sanction Work: A New Narrative, Institute for Security
Studies, ISSUE Chaillot Paper No. 129, (Mei 2013), 10.
281
Giumelli, How EU Sanction Work, 11.
282
Giumelli, How EU Sanction Work, 11.
279
100
yang harus ditargetkan, dan menyajikan rancangan dasar hukum baru yang akan
dinegosiasikan secara rinci dalam RELEX.283 Dewan adalah aktor penting dalam
pembuatan keputusan.
Sanksi diadopsi dan harus diimplementasikan sesuai dengan hukum
internasional, serta dengan menghormati Hak Asasi Manusia serta kebebasan
dasar, sanksi Uni Eropa menargetkan individu dan entitas, seperti perusahaan,
yang mendukung dan mendanai program nuklir, serta pendapatan pemerintah Iran
yang digunakan untuk mendanai program nuklir tersebut.
Dalam kasus Iran, jenis sanksi yang diberikan adalah sanksi negatif dan
bersifat sanksi langsung. Hal ini dikarenakan Iran melanggar peraturan dengan
tidak memenuhi kewajibannya pada IAEA. Uni Eropa berupaya meyakinkan Iran,
bahwa kerugian yang didapatkan Iran akibat sanksi akan lebih besar ketimbang
keuntungan yang didapat jika Iran tetap menjalankan proliferasi nuklir. Sanksi
Uni Eropa tidak sedang menekan pemerintah yang pada akhirnya akan memicu
pergolakkan di dalam Iran.
Berkaitan dengan jumlah negara yang terlibat, sanksi unilateral yang
terorganisir, yang mirip seperti sanksi multilateral, yang diterapkan oleh
organisasi internasional, seperti Uni Eropa, akan lebih efektif dan signifikan
daripada sanksi unilateral. Sanksi ekonomi dimaksudkan bekerja dengan
memberikan kerugian dalam sektor ekonomi pada negara target. Maka, sanksi
perdagangan, khususnya embargo, harus mampu mengurangi keuntungan yang
didapat oleh negara target dari perdagangan dan memicu tingkat kesejaterahan
283
Giumelli, How EU Sanction Work, 11.
101
sosial ekonomi yang lebih rendah. Hal ini berarti, ketika Uni Eropa yang secara
kolekif merupakan mitra dagang besar Iran menjatuhi sanksi, ekonomi Iran akan
terganggu dan Iran akan semakin mengalami kerugian.
Jenis perubahan perilaku dapat mencakup menghentikan kebijakan tertentu
dari negara target atau membawa target ke meja perundingan. Secara umum,
sanksi yang diterapkan Uni Eropa tidak mencapai tujuan strategisnya, yaitu
mengubah pemikiran kepemimpinan Iran mengenai program nuklirnya dan
menghentikan program nuklirnya. Namun, sanksi Uni Eropa telah berhasil
membawa Iran ke meja perundingan, menghambat akses Iran ke komponenkomponen yang diperlukan untuk pengembangan rudal dan nuklirnya, dan
membatasi kemampuan Iran untuk merakit senjata nuklir.
IV.4.1. Embargo
Embargo adalah sebuah pernyataan atau perintah resmi dari negara untuk
melarang atau membatasi kegiatan perdagangan dan atau finansial dengan negara
tertentu.284 Embargo umumnya merupakan hasil dari keadaan politik maupun
ekonomi yang tidak menguntungkan. Pembatasan tersebut bertujuan untuk
mengisolasi negara target dan menciptakan kesulitan bagi pemerintah negara
tersebut, dan memaksa negara target untuk bertindak berdasarkan masalah yang
disepakati. Dalam kasus Iran, embargo yang dilakukan Uni Eropa bertujuan
utamanya untuk membatasi akses Iran terhadap bahan-bahan yang dapat
284
Definition of Embargo, http://www.investopedia.com/terms/e/embargo.asp diakses
pada 5 Mei 2015.
102
berkontribusi terhadap program nuklir Iran, dan menekan Iran untuk
menangguhkan program nuklirnya.
Pada tanggal 23 Januari 2012, Uni Eropa menerapkan seperangkan sanksi
terhadap Iran. Sanksi ini memberlakukan embargo atas impor, pembelian dan
pengangkutan minyak Iran285, dan embargo produk petrokimia Iran oleh negaranegara Uni Eropa. Diikuti dengan larangan pembiayaan, asuransi dan
pengangkutan produk minyak dan petrokimia Iran, serta larangan ekspor
peralatan-peralatan kunci dan teknologi untuk sektor petrokimia Iran. Langkahlangkah juga termasuk larangan perdagangan emas dan logam berharga lainnya,
serta berlian dengan pemerintah Iran.286
Mengingat bahwa Uni Eropa telah menjadi pembeli sebesar 18% dari total
ekspor minyak mentah Iran, embargo minyak Uni Eropa diharapkan memiliki
pengaruh yang besar terhadap perekonomian Iran. Sanksi tersebut ditujukan untuk
mengurangi sumber pendapatan rezim Iran dan Garda Revolusi Iran (Iran's
Revolutionary Guard), yang dianggap sebagai operator utama industri minyak dan
kekuatan pendorong program nuklir Iran.287
Iran masih tergantung pada para pemasok asing untuk pengembangan
program nuklirnya. Oleh karena itu, akses Iran ke material dan komponen yang
berkaitan dengan program nuklirnya perlu dibatasi. Sanksi telah membatasi akses
Iran ke bahan-bahan yang diperlukan untuk meningkakan kualitas sentrifugalnya
yang dipasok Iran dari luar negeri. Meskipun Iran telah mengembangkan
285
Namun, tetap mengizinkan pengiriman minyak di bawah kontrak yang sudah
ditandatangai sampai dengan 1 Juli 2012.
286
Ruairi Patterson, “EU Sanctions on Iran: The European Political Context”, Middle
East Policy Council, Journal Essay, Vol. XX, No. 1, (2013).
287
Portela, Impact of Sanctions and Isolation, 45.
103
pemahaman untuk membuat komponen untuk sentrifugal gas, Iran masih
bergantung pada pemasok eksternal untuk beberapa peralatan dan bahan dual-use,
seperti maraging baja, serat karbon, pompa vakum dan alat-alat ukur.288
Pada 15 Oktober 2012, Uni Eropa kembali menjatuhkan sanksi. Sanksi ini
berupa pelarangan ekspor ke Iran dari bahan-bahan yang berhubungan dengan
program nuklir dan balistik Iran atau ekspor ke industri yang dikendalikan oleh
Iranian Revolutionary Guard Corps.289 Bahan-bahan ini khususnya berkaitan
dengan grafit, logam mentah atau setengah jadi, seperti aluminium dan baja, serta
perangkat lunak untuk mengintegrasikan proses industri. Kemudian, larangan
impor atau pengangkutan gas alam Iran. Namun, larangan impor gas ini lebih
bersifat simbolis, mengingat bahwa Uni Eropa sebelumnya tidak mengimpor gas
dari Iran dan tidak ada infrastruktur untuk impor tersebut.290
Langkah-langkah juga termasuk larangan pengadaan perangkat lunak
untuk mengintegrasikan proses industri, larangan pengadaan peralatan angkatan
laut kunci dan teknologi untuk pembangunan kapal, pemeliharaan atau
mereparasi, larangan pembangunan kapal tanker minyak untuk Iran, pemberian
tanda dan klasifikasi layanan untuk kapal tanker minyak Iran dan kapal kargo, dan
pembatasan pada ekspor barang-barang dual-use ke Iran.291
288
IISS, Iran‟s Nuclear, Chemical and Biological Capabilities: A Net Assessment,
International Institute for Strategic Studies (IISS) Strategic Dossier (IISS: London, 3 Februari
2011).
289
Official Journal of the European Union, Council Decision 2012/635/CFSP of 15
October 2012, amending Decision 2010/413/CFSP concerning restrictive measures against Iran.
290
Patterson, EU Sanctions on Iran.
291
Official Journal of the European Union, Council Decision 2012/635/CFSP of 15
October 201.
104
IV.3.2. Sanksi Finansial
Meningkatnya kekhawatiran atas sifat program nuklir Iran, telah
mendorong perluasan sanksi Uni Eropa. Maka, sanksi embargo pun disertai
dengan sanksi finansial. Berdasarkan keputusan Dewan pada tanggal 26 Juli 2010,
yang diikuti setelah berlakunya Resolusi DK PBB 1929 pada tanggal 9 Juni 2010,
Uni Eropa menjatuhkan sanksi terhadap Iran. Elemen utama sanksi tersebut
adalah larangan investasi Eropa di sektor minyak dan gas Iran dan penyediaan
peralatan kunci, teknologi, pembiayaan dan bantuan untuk digunakan dalam
pemurnian, gas alam cair, eksplorasi dan produksi.292
Paket sanksi tersebut juga termasuk langkah-langkah seperti larangan bagi
bank Iran untuk membuka cabang dan membuat usaha bersama di Uni Eropa.
Lembaga keuangan Uni Eropa juga tidak dapat membuka cabang atau rekening
bank di Iran.293 Larangan penjualan, pembelian atau broker surat-surat obligasi
terhadap pemerintah Iran dan bank Iran, dan pemberian persyaratan bahwa semua
transaksi dengan Iran di atas € 40.000 harus menerima izin terlebih dahulu.294
Larangan transfer keuangan dengan bank-bank Iran, kecuali jika terkait
dengan bahan makanan, kesehatan, peralatan medis, keperluan pertanian atau
kemanusiaan, pengiriman uang pribadi, kontrak perdagangan tertentu, misi
diplomatik atau konsuler atau organisasi internasional karena memiliki kekebalan
diplomatik.295
292
Council of the European Union, Press Release 3029th Council meeting, Foreign
Affairs, 12560/10, (Brussels, 26 Juli 2010), 10.
293
European Union External Action, The European Union and Iran, 5.
294
Patterson, EU Sanctions on Iran.
295
European Union External Action, The European Union and Iran, 5.
105
Uni Eropa selanjutnya menjatuhkan sanksi yang diumumkan pada tanggal
23 Januari 2012, berupa pembekuan aset Bank Sentral Iran di Uni Eropa. Uni
Eropa kemudian menguatkan sanksi ke Iran yang diterapkan pada tanggal 15
Oktober 2012.296 Dewan mengambil langkah-langkah lebih lanjut untuk
memastikan bahwa lembaga-lembaga keuangan Uni Eropa tidak memproses danadana yang dapat berkontribusi terhadap program nuklir Iran atau pengembangan
rudal balistik. Oleh karena itu, Uni Eropa melarang semua transaksi antara bankbank Eropa dan Iran, kecuali transaksi yang telah disahkan secara eksplisit
terlebih dahulu oleh otoritas nasional di bawah persyaratan yang ketat. Dengan
kondisi tersebut, perdagangan yang telah mendapat izin tetap dapat berjalan.297
Selain itu, Dewan telah memutuskan untuk memperkuat tindakan
pembatasan terhadap Bank Sentral Iran. Langkah-langkah tersebut diikuti dengan
larangan asuransi dan pembiayaan kegiatan impor atau pengangkutan gas alam
Iran. Termasuk larangan penuh (dengan pengecualian kemanusiaan) pada bantuan
keuangan dari sektor swasta baru untuk perdagangan dengan Iran.298
296
EIFEC, The European Union (EU) strengthens Sanction on Iran,
http://www.exportcompliance.eu/index.php/en/99-latest-news/200-european-union-strengthenssanctions-regulations-for-iran-latest-regulations diakses pada 1 Mei 2014.
297
EIFEC, The European Union (EU) strengthens Sanction on Ira.
298
Patterson, EU Sanctions on Iran.
BAB V
KESIMPULAN
Negara-negara Barat selama bertahun-tahun telah mencurigai bahwa Iran
ingin memiliki senjata nuklir. Kecurigaan dunia Barat terhadap Iran seolah
mendapat dukungan ketika pada bulan Agustus 2002, kelompok oposisi Iran
National Council of Resistance of Iran (NCRI), mengadakan konferensi pers,
dimana kelompok tersebut mengungkapkan kepada dunia tentang program nuklir
rahasia Iran. NCRI merilis rincian dari dua fasilitas nuklir rahasia, yaitu pabrik
produksi bahan bakar nuklir dan laboratorium penelitian di Natanz dan sebuah
reaktor air berat di Arak.
Di satu sisi, pemerintah Iran secara resmi telah menyampaikan pesan
dengan konsisten, bahwa Iran tidak sedang berusaha mengembangkan senjata
nuklir, melainkan hanya menginginkan kesempatan untuk menghasilkan energi
nuklir sipil. Iran ingin diperlakukan secara setara dengan semua anggota NPT
lainnya, yang berhak untuk mengembangkan siklus bahan bakar nuklir penuh.
Memang, sebagai negara yang terikat dengan NPT, Iran memiliki hak sah untuk
mengembangkan energi nuklir untuk tujuan damai.
Namun, Laporan IAEA telah berulang kali menunjukkan kurangnya
transparensi dan kemauan Iran untuk bekerja sama dengan IAEA secara penuh.
IAEA mengindikasikan adanya upaya Iran untuk menutupi program pengayaan
nuklirnya. Iran secara konstan juga mengingkari perjanjian dengan EU+3
(Perancis, Jerman, Inggris) dan melanjutkan aktivitas pengayaan nuklir. Sikap
106
107
Iran menimbulkan pertanyaan tersendiri, jika Iran memang ingin mengembangkan
nuklir untuk tujuan damai, mengapa Iran menyembunyikan program nuklirnya
selama dua puluh tahun. Hal tersebut memicu perdebatan dan kekhawatiran dari
masyarakat internasional.
Perdebatan tentang Iran juga dibentuk oleh pandangan bahwa masyarakat
internasional tidak merasa keberatan dan tidak bersikap keras terhadap
pengembangan tenaga nuklir dan akuisisi senjata nuklir oleh India, Israel dan
Pakistan. India, Israel dan Pakistan tidak terikat dengan NPT, karena negaranegara
tersebut
tidak
menandatangani
NPT.
Sementara,
Iran
menjadi
penandatangan NPT dan memiliki hak sah untuk mengembangkan energi nuklir
damai. Jadi, mengingat bahwa kepemilikan nuklir India, Israel, dan Pakistan tidak
memprovokasi kecaman internasional yang sama seperti Iran, menimbulkan
pertanyaan tentang apakah Iran adalah korban 'standar ganda' yang diterapkan
oleh dunia internasional.
Namun, mengingat kondisi di Timur Tengah, Iran tentu merasakan
tekanan. Invasi militer oleh Amerika Serikat dan Israel ke Irak dan Afghanistan,
ditambah dengan kehadiran pasukan Amerika Serikat di perbatasan Iran dan di
Teluk Persia, membuat Iran berada dalam posisi yang tidak nyaman. Iran yang
merasa terancam dan berada di bawah pengawasan ketat, semakin menambah rasa
ketidakamanannya. Apalagi, sejak terbentuknya Republik Islam Iran sebagai
akibat dari Revolusi Islam Iran tahun 1979, hubungan Iran dengan negara
tetangganya dan negara Barat penuh dengan gejolak.
108
Dihadapkan dengan kapabilitas Irak pada saat itu, wilayah yang tidak
stabil, dan kurangnya dukungan internasional terhadap Iran, membuat Iran merasa
terisolasi, tidak aman, dan terancam. Namun, bertahun-tahun kemudian, rezim
Saddam Hussein berhasil digulingkan oleh Amerika Serikat. Sejak itu, Iran
semakin berambisi untuk menjadi kekuatan regional di kawasan Timur tengah.
Hal-hal di atas merupakan faktor-faktor yang mungkin mendorong Iran untuk
mengembangkan program nuklirnya.
Ketegangan dan ketidakpastian atas program nuklir Iran, telah membawa
Uni Eropa sebagai aktor yang terlibat dalam upaya dunia internasional untuk
mengentikan proliferasi nuklir Iran. Sesuai dengan European Security Strategy
yang menyerukan Uni Eropa supaya lebih aktif dalam mengejar tujuan
strategisnya, Uni Eropa hadir sebagai negosiator utama dalam krisis nuklir Iran
sejak tahun 2003. Uni Eropa membuat pernyataan kuat, baik secara internal
dengan memberikat sinyal kepada publik domestik bahwa Uni Eropa akan
bertindak ketika sebuah hukum internasional dilanggar, maupun secara eksternal
dengan menunjukkan kepada negara lain bahwa Uni Eropa adalah aktor
internasional yang kuat.
Uni Eropa tidak menolak hak Iran di bawah pasal IV dalam NPT untuk
menjalankan aktivitas daur ulang bahan bakar, termasuk pengayaan uranium,
untuk tujuan damai. Uni Eropa menghormati hak sah Iran sebagai negara
penandatangan NPT. Namun, Uni Eropa berpendapat bahwa ada aktivitasaktivitas tidak “normal” karena Iran tidak bersedia untuk mematuhi kewajibannya
109
di bawah Safeguard Agreement.299 Sementara, European Security Strategy dan
EU WMD Strategy yang diluncurkan pada tahun 2003, menyatakan bahwa
proliferasi senjata pemusnah masal berpotensi menjadi ancaman terbesar bagi
keamanan Eropa.
Tujuan Uni Eropa adalah membujuk Iran untuk meninggalkan bagian dari
program nuklirnya yang memicu kekhawatiran masyarakat internasional, yaitu
fasilitas pengayaan uranium dan reaktor air berat. Karena kedua fasilitas ini
bersifat dual-use, yang berarti selain dapat digunakan untuk kepentingan energi
nuklir sipil, juga dapat digunakan untuk tujuan membangun senjata nuklir.
Perdebatan program nuklir Iran semakin meruncing ketika lanskap politik Iran
berubah drastis.
Ketika kelompok konservatif menguasasi parlemen, dan sejak menjabat
presiden pada bulan Agustus 2005, Ahmadinejad telah menjadi faktor penting
dalam pecahnya upaya dialog nuklir yang dilakukan oleh dunia internasional,
khususnya Uni Eropa. Terpilihnya Ahmadinejad merupakan kejutan bagi
masyaraka internasional, dan sejak saat itu, pembicaraan nuklir antara Iran dan
Uni Eropa mencapai fase yang sulit.
Pentingnya Iran sebagai pemain strategis di Timur Tengah, Iran sebagai
penyedia sumber daya energi bagi Uni Eropa, dan masalah keamanan global,
merupakan faktor krusial dalam kasus ini. Upaya Uni Eropa untuk menghentikan
proliferasi nuklir Iran didorong oleh kepentingan bersama. Uni Eropa tidak hanya
bergantung pada minyak dan gas Iran, Uni Eropa juga mempunyai kepentingan
299
Harnisch, Sebastian dan Ruth Linden, “Iran and Nuclear Proliferation – Europe’s
Slow-Burning Diplomatic Crisis”, Foreign Policy in Dialogue, Vol. 6, No. 17, (2005), 45.
110
korporasi yang besar di Iran. Iran juga dapat menjadi mitra dagang dan pasar bagi
Uni Eropa. Ditambah dengan adanya kerusuhan sipil di negara tetangga, Irak dan
Afghanistan, Uni Eropa menyadari pentingnya membawa Iran kembali ke area
diplomatik dan politik internasional.
Uni Eropa menolak untuk mengikuti strategi Amerika Serikat yang
mengisolasi Iran. ketika Amerika Serikat memainkan peran sebagai “bad cop”,
Uni Eropa memainkan peran “good cop”. Negara-negara Eropa memilih
menggunakan strategi keterlibatan bersyarat (conditional engagement), yang
memang sudah lama diterapkan dalam hubungan Eropa terhadap Iran. Conditional
engagement melibatkan hubungan perdagangan dan hubungan ekonomi lainnya
sebagai ganti untuk kerjasama dengan Iran dalam masalah nonproliferasi. Uni
Eropa juga memiliki pendekatan effective multilateralism, yang didasarkan pada
masyarakat internasional yang lebih kuat, institusi-institusi internasional dan
tatanan internasional yang berbasis aturan.
Karena keterbatasan institusional Uni Eropa dalam penggunaan kekuatan
militer dan kecenderungan ideologis Uni Eropa untuk melakukan keterlibatan
konstruktif melalui kerja sama atau kemitraan, maka kebijakan luar negeri Uni
Eropa didasarkan pada penggunaan soft power. Penggunaan kekuatan militer
bukanlah sebuah pilihan bagi Uni Eropa. Selama keterlibatannya dalam kasus
nuklir Iran, sejak tahun 2003, Uni Eropa secara konsisten menghindari
penggunaan cara-cara militer dan unilateral.
Dalam menghadapi Iran, Uni Eropa menggunakan dua sumber daya dan
instrumen terbaiknya, yaitu kekuatan ekonomi dan kekuatan politik. Oleh karena
111
itu, Uni Eropa menggunakan diplomasi politik dan sanksi ekonomi sebagai
strateginya dalam menghentikan proliferasi nuklir Iran. Sanksi juga disebut
sebagai “restrictive measures” dalam jargon Uni Eropa. Tindakan pemberian
sanksi dianggap sebagai kebijakan luar negeri yang kuat. Uni Eropa telah
mendapat peran penting dalam panggung global selama dua dekade terakhir, dan
kebijakan sanksi adalah salah satu elemen yang telah berkontribusi untuk peran
Uni Eropa tersebut.
Serangan militer yang ditujukan untuk mencegah atau menghambat
program nuklir Iran justru dapat mengakibatkan eskalasi ketegangan regional dan
menimbulkan konflik militer yang lebih luas. Maka, Uni Eropa secara konsisten
berpendapat bahwa cara terbaik untuk memecahkan kebuntuan program nuklir
Iran adalah melalui negosiasi yang konstruktif. Uni Eropa berkomitmen untuk
mencapai penyelesaian jangka panjang yang komprehensif dan yang akan
membangun kepercayaan internasional dalam program nuklir Iran yang bersifat
damai, sambil menghormati hak-hak sah Iran untuk penggunaan damai energi
nuklir sesuai dengan NPT. Ketika negosiasi gagal, maka sanksi dapat menjadi
langkah terakhir yang dapat digunakan untuk melemahkan Iran.
Tujuan utama negosasi antara Uni Eropa dan Iran adalah untuk membuat
Iran bersedia meninggalkan bagian dari program nuklirnya yang bersifat dual-use,
dimana elemen tersebut tidak hanya dapat digunakan untuk tujuan sipil tetapi juga
membangun
senjata
nuklir.
Penghapusan
elemen-elemen
tersebut
akan
memberikan jaminan pada Uni bahwa program tersebut memang benar hanya
memiliki tujuan sipil. Sementara, sanksi yang diberikan Uni Eropa dimaksudkan
112
untuk membujuk Iran agar mematuhi kewajiban internasionalnya, dan membatasi
perkembangan teknologi sensitif Iran dalam program nuklir dan rudal-rudalnya.
Uni Eropa berhasil menyelaraskan strateginya terhadap nuklir Iran dengan
doktrin keamanan dan kerangka kebijakannya. Kebijakan luar negeri Uni Eropa
terhadap proliferasi nuklir Iran memberikan alternatif penggunaan soft power
melalui instrumen diplomasi dan sanksi, daripada doktrin kebijakan Amerika
Serikat yang cenderung menggunakan kekuatan militer (military preemption).
Pasca invasi ke Irak tahun 2003, penggunaan kekuatan militer nampaknya
menjadi pilihan yang tidak lagi diinginkan dan dianggap sulit dilakukan, serta
tidak efisien. Krisis nuklir Iran pun tidak dapat diseselaikan melalui cara-cara
militer.
Walaupun strategi Uni Eropa tidak mampu menghentikan program nuklir
Iran sepenuhnya, diplomasi Uni Eropa telah berhasil membawa Iran ke meja
perundingan. Sementara sanksi-sanksi Uni Eropa telah berhasil menghambat
akses Iran ke komponen-komponen yang diperlukan untuk pengembangan rudal
dan nuklirnya. Strategi Uni Eropa tersebut telah membatasi kemampuan Iran
untuk merakit senjata nuklir.
DAFTAR PUSTAKA
Sumber Buku, Jurnal, Penelitian dan Artikel Ilmiah
Aggelis, Nikos, The Weapons of Mass Destruction as a threat to European
Security, Institute of International Relations, Division for Euro-Atlantic
Studies (D.E.A.S.): “NATO and European Union” Working Group.
Ahlstrom, Christer, “The EU Strategy against Proliferation of Weapons of Mass
Destruction”, Europe and Iran Perspectives on Non-proliferation, Stockholm
International Peace Research Institute Research Report No.21, (Oxford
University Press, 2005).
Ansari, Ali M., Confronting Iran – The Failure of American Foreign Policy and
the next Great Crisis in the Middle East, Basic Books, (New York, 2006).
Anshari, Ali M., Supremasi Iran: Poros Setan atau Superpower Baru, (Jakarta:
Zahra Publishing, 2008).
Anthony, Ian, The Role of the European Union in Strengthening Nuclear Security,
EU Non-Proliferation Consortium, Non-Proliferation Papers No. 32
(November 2013).
Bahgat, Gawdat, “A WMD-Free Zone in the Middle East?”, Journal Essay
Middle East Policy Council, Vol. 20, No. 1, (2013).
Bahgat, Gawdat, “Iranian Nuclear Proliferation: The Trans-Atlantic Division”,
Seton Hall Journal of Diplomacy and International Relation, (2004).
Baldwin, David A., Economic Statecraft, (Princeton: Princeton University Press,
1985).
Baylis, J. dan Smith, S ed., The Globalization of World Politics: An introduction
to International Relations, (Oxford: Oxford University Press, 2005).
Berridge, G.R., Diplomatic Theory From Machievelli to Kissinger, (New York:
Palgrave, 2001).
Biscop, Sven, “The European Security Strategy: Implementing a Distinctive
Approach to Security”, Sécurité & Stratégie, Paper No. 82, Maret 2004
(Brussels: Royal Defence College, 2004).
cxv
Borda, Aldo Zammit, Iran and the EU3 Negotiations, UACES European Studies
On-Line Essays, (2005).
Bowen, Wyn Q. dan Joanna Kidd, The Iranian Nuclear Challenge, International
Affairs 80, No. 2, (2004).
Bull, Hedley, The Anarchical Society: A Study of Order in World Politics,
(London: Macmillan, 1977).
Byman, Daniel, Deadly Connections: States that Sponsor Terrorism (New York:
Cambridge University Press, 2005).
Chubin, Shahram dan Robert S. Litwak, Debating Iran’s Nuclear Aspirations,
Washington Quarterly 26, (2003).
Chubin, Shahram, Iran: Domestic Politics and Nuclear Choices, Strategic Asia.
(2007).
Cirincione, Joseph, Jon B. Wolfsthal dan Miriam Rajkumar, Deadly Arsenals –
Tracking Weapons of Mass Destruction, (Washington D.C, 2002).
Cohen, Ariel, The Russian Handicap to U.S. Iran Policy, Jerusalem Issue Briefs,
(2009).
Commission on Conventional Armaments (CCA), UN document S/C.3/32/Rev.1,
Agustus 1948, Office of Public Information, The United Nations and
Disarmament, 1945–1965, UN Publication 67.I.8, 28.
Couloumbis, T.A. dan J.H. Wolff, Introduction to International Relations, (New
Jersey: Prentice-Hall, 1986).
Council of the European Union, Basic Principles on the Use of Restrictive
Measures (Sanctions), 10198/1/04 Rev 1, (Brussels, 7 JunI 2004), 6.
Council of the European Union, EU Strategy against Proliferation of Weapon of
Mass Destruction, 15708/03, Brussels, 10 December 2003.
Council of the European Union, EU-Iran Basic Facts, (April 2009).
Council of the European Union, European Security Strategy: A Secure Europe In
A Better World, (Belgia: European Communities, 2009).
Council of the European Union, Fight against the proliferation of weapons of
mass destruction–mainstreaming non-proliferation policies into the EU’s
wider relations with third countries’, 14997/03, 19 November 2003.
cxvi
Council of the European Union, Press Release 3029th Council meeting, Foreign
Affairs, 12560/10, (Brussels, 26 Juli 2010), 10.
Council of the European Union, The European Union Strategy against the
Proliferation of Weapons of Mass Destruction, (Belgia: European
Communities, November 2008).
Dadandish, Parvin, “Iran-Europe Relations: A Diagnostic Analysis”, Iranian
Review of Foreign Affairs, Vol. 3, No. 1, (Spring 2012).
Dehghani,
Jalal,
“Discourse
of
Justice-oriented
Fundamentalism
in
Ahmadinejad‟s Foreign Policy”, Journal of Political Knowledge, No. 5,
Spring and Summer, (2007).
Eisenstadt, Michael, Iranian Military Power, (Washington DC: The Washington
Institute for Near East Policy, 1996).
EPLO Briefing Paper 1/2012, Common Foreign and Security Policy structures
and instruments after the entry into force of the Lisbon Treaty, (April 2012).
Esfandiary, Dina, “Assessing The European Union‟s Sanction Policy: Iran As A
Case Study”, Non-Proliferation Papers, No.34 (2013).
European Commission and European External Action Service staff, EU efforts to
strengthen nuclear security, (2012).
European Union Center of North Carolina, EU Briefings: The EU and Iran,
(2012).
European Union Center of North Carolina, EU and Iran, (2012).
European Union Center of North Carolina, Europe’s Iran Diplomacy, EU
Briefings, (Maret 2008).
European Union External Action, The European Union and Iran, (Bussel,
November 2013).
Everts, Steven, Engaging Iran: A Test Case fot EU Foreign Policy, Centre for
European Reform Working Paper, (Maret 2004).
Frey, Karsten, Nuclear Weapons as Symbols – The Role of Norms in Nuclear
Policy Making, The Institute Barcelona d‟Estudies Internationales (IBEI)
Working Paper, (2006).
cxvii
Galtung, John, “On the Effects of International Economic Sanctions,with
Examples from the Case of Rhodesia”, World Politics, Vol. 19, Issue 03,
(1967).
George, Alexander, “Coercive Diplomacy: Definition and Characteristics”; A.L.
George & W.E. Simons (eds.), The Limits of Coercive Diplomacy, (Westview
Press, 1994).
George, Alexander, Forceful Persuasion Coercive Diplomacy as an Alternative to
War, (Washington DC: US Institute of Peace, 1997).
Gerami, Nima, Leadership Divided? The Domestic Politic of Iran’s Nuclear
Debate, (Washington: The Washington Institute for Near East Policy, 2014).
Giumelli, Francesco, Coercing, Constraining and Signaling: Explaining UN and
EU Sanctions after the Cold War, (ECPR Press: Colchester, 2011).
Giumelli, Francesco, How EU Sanction Work: A New Narrative, Institute for
Security Studies, ISSUE Chaillot Paper No. 129, (Mei 2013).
Gobbi, Francesco, Is a nuclear-weapon-free Middle East possible?, Library of
the European Parliament, (Juli 2013).
Goldblatt, Joe, “Nuclear Weapon Free Zones: A History and Assessment”,
Nonproliferation Review, vol. 4, no. 3 (1997).
Golliard, Mélanie Marilyne, Economic Sanctions: Embargo on Stage, Theory and
Empirical Evidence, University of Tampere, (Fribourg, 2013).
Haji-Yousefi, Amir M., Iran's Foreign Policy during Ahmadinejad: From
Confrontation to Accommodation, dipresentasikan dalam Annual Conference
of the Canadian Political Science Association, 2-3 Juni 2010, Concordia
University, Montreal, Canada.
Harnisch, Sebastian dan Ruth Linden, “Iran and Nuclear Proliferation – Europe‟s
Slow-Burning Diplomatic Crisis”, Foreign Policy in Dialogue, Vol. 6, No.
17, (2005).
Hyde-Price, Adrian, “European Security, Strategic Culture, and the Use of Force”,
European Security, Vol. 13, No. 4, (2004).
Hyde-Price, Adrian, European Security In The Twenty-First Century: The
Challenge of Multipolarity, (London and New York: Routledge, 2007).
cxviii
IISS, Iran‟s Nuclear, Chemical and Biological Capabilities: A Net Assessment,
International Institute for Strategic Studies (IISS) Strategic Dossier (IISS:
London, 3 Februari 2011).
International Atomic Energy Agency, Board of Governors, Implementation of the
NPT Safeguards Agreement and relevant provisions of Security Council
resolutions 1737 (2006), 1747 (2007), 1803 (2008) and 1835 (2008) in the
Islamic Republic of Iran, GOV/2009/8, (19 Februari 2009).
International Crisis Group (ICG), “Iran: Is There a Way out of the Nuclear
Impasse?”, Middle East Report, No. 51, (2006).
International Institute for Strategic Studies,
Iran's Strategic Weapons
Programmes: A Net Assessment, (London: Routledge, 2005).
Islam, Shada, The EU's First-Ever Security Doctrine, Yale Global, (Juli 2003).
Josef Blanke, Hermann dan Stelio Mangiameli, “Identification of the Union‟s
Interests and Objectives in CFSP”, The Treaty on European Union, (Springer
Berlin Heidelberg, 2013).
Kaempfer, William H. dan Anton D. Lowenberg, “The Political Economy of
Economic Sanctions”, Handbook of Defense Economics, Vol. 2, (2007).
Kamrav, Mehran, “Iranian National Security Debates – Factionalism and lost
Opportunities”, Middle East Policy, Vol. XIV, No. 2, (2007)..
Keohane, Robert O. dan Lisa L. Martin, “The Promise of Institusionalist Theory”,
International Security, Vol. 20, N0. 1, (1995).
Kerr, Paul K., Iran’s Nuclear Program: Tehran’s Compliance with International
Obligations, Congressional Research Service, (2014).
Kienzle, Benjamin, “A European contribution to non-proliferation? The EU
WMD Strategy at Ten”, International Affairs 89:5 (UK: The Royal Institute
of International Affairs, 2013).
Kutchesfahani, Sara, “Iran‟s Nuclear Challenge and European Diplomacy”, EPC
Issue Paper No.46, (Maret 2006).
Larssen, Mowatt, Al Qaeda Weapons of Mass Destruction Threat: hype or
reality? (Cambridge: Belfer Center for Science and International Affairs,
2010).
cxix
Lasan, Nicoleta,
European Union’s Approach Towards The Iranian Nuclear
Crisis: An Interest-Driven Strategy Combined With The “Appropriate”
Means, (Hungary: Central European University, 2007).
Laşan, Nicoleta, “European Union Intervention in the Iranian Crisis - A
Sociological Institutionalist Perspective”, Romanian Journal Of European
Affairs Vol. 14, No. 1, (2014).
Levitt, Matthew, Iran’s Support for Terrorism in the Middle East, Washington
Institute for Near East Policy, Testimony before the U.S. Senate, Committee
on Foreign Relations, Subcommittee on Near Eastern and Central Asian
Affairs, (25 Juli 2012).
Little, Doughlas, Frenemies: Iran and America Since 1900, Vol. 4, Issue 8, (Mei
2011).
Martin, Curtis H., “„Good Cop/Bad Cop‟ as a Model for Nonproliferation
Diplomacy toward North Korea and Iran”, The Nonproliferation Review, Vol.
14, No. 1, 2007.
Mearsheimer, John J., The Tragedy of Great Power Politics, (New York: W.W.
Norton & Company, 2001).
Meier, Oliver, “European Efforts to Solve The Conflict Over Iran‟s Nuclear
Programme: How Has The European Union Performed?”, Non-Proliferation
Papers, No. 27, (February 2013).
Mix, Derek E., The European Union: Foreign and Security Policy, Congressional
Research Service, (8 April 2013).
Mix, Derek E., The United States and Europe: Current Issues, CRS Report for
Congress, (2013).
Molana, Hamid dan M. Mohammadi, Foreign Policy of the Islamic Republic of
Iran During Ahmadinejad, (Tehran: Dadgostar, 2008).
Moleong, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif,
(Bandung: Remaja
Risdakarya, 1991).
Morgenthau, H.J., Politics Among Nations: The Struggle for Power and Peace,
(New York: A Knopf Inc, 1978).
cxx
Mousavian, Seyed Hossein, The Iran Nuclear Dilemma: The Peaceful Use of
Nuclear Energy and NPT’s Main Objectives, EU Non-Proliferation
Consortium, (2012).
Müller, Harald, Aviv Melamud dan Anna Péczeli, “From Nuclear Weapons to
WMD: The Development and Added Value of the WMD-Free Zone Concept,
EU Non-Proliferation Consortium,” Non-Proliferation Papers No.31
(September 2013).
Muller, Harald, “European Nuclear Nonproliferation after the NPT Extension:
Achievements, Shortcomings and Needs,
Europe and the Challenge of
Proliferation”, Chaillot Paper, No. 24 (Paris: EU Institute for Security
Studies, 1996).
Mylonas, Harris dan Emirhan Yorulmazlar, Regional multilateralism: The next
paradigm in global affairs, CNN 12 Januari 2012.
Nicolson, Harold, Diplomacy, (London: Oxford University Press, 1960).
Noi, Aylin Unver,“Iran's Nuclear Programme: The EU Approach to Iran in
Comparison to the US‟ Approach”, Perceptions Journal of International
Affairs, SAM Center for Strategic Research, (Spring 2005).
Nye, Joseph S., Public Diplomacy and Soft Power, (Harvard University, 2008).
Official Journal of the European Union, Council Decision 2012/635/CFSP of 15
October 2012, amending Decision 2010/413/CFSP concerning restrictive
measures against Iran.
Onestini, Cesare, The European Union and global security: is the EU becoming
the indispensable partner?, EUC Background Brief No. 11, (April 2014).
Overhaus, Marco, European Diplomacy and the Conflict over Iran's Nuclear
Program, (2007).
P. Bratton, “When Is Coercion Successful ?”, Naval War College Review, Vol. 58,
No. 3, (2005).
Parsi, Trita, Treacherous Alliance: The Secret Dealings of Israel, Iran and the
United States, (Princeton: Yale University Press, 2007).
Patterson, Ruairi, “EU Sanctions on Iran: The European Political Context”,
Middle East Policy Council, Journal Essay, Vol. XX, No. 1, (2013).
cxxi
Pedatzur, Reuven, “The Iranian Nuclear Threats and the Israeli Options”,
Contemporary Security Policy. Vol 28, No 3, (2007).
Perthes, Volker, “Ambition and Fear: Iran‟s Foreign Policy and Nuclear
Programme”, Survival Journal, Vol. 52 No. 3, (2010).
Portela, Clara, "The Role of the EU in the Non-Proliferation of Nuclear
Weapons", PRIF Report No.65, (Frankfurt, 2003).
Portela, Clara, Impact of Sanctions and Isolation Measures with North Korea,
Burma/Myanmar, Iran and Zimbabwe as Case Studies, (European
Parliament: Brussels, Mei 2011).
Portela, Clara, The Role of the EU in the Non-Proliferation of Nuclear Weapons:
The Way to Thessaloniki and Beyond, Peace Research Institute Frankfurt,
PRIF Report No. 65.
Pullinger, S. dan Gerrard Quille, “The European Union: Seeking Common
Ground for Tackling Weapons of Mass Destruction”, Disarmament
Diplomacy, No. 74, (Desember 2003).
Quille, Gerrard, “The European Security Strategy: A Framework for EU Security
Interests?”, International Peacekeeping, Vol.11, No.3, (Autumn 2004).
Quille, Gerrard, The Lisbon Treaty and its implications for CFSP/ESDP,
European Parliament, (Brussels, 4 February 2008).
Quinn, Patton Michael, A Guide To Using Qualitative Research Methodology.
Medecins Sans Frontieres, (1990).
Renard, Thomas, Partnering for a Nuclear-Safe World: the EU, its Strategic
Partners and Nuclear Non-proliferation, European Strategic Partnerships
Observatory, Working Paper 3, (Oktober 2013).
Renard, Thomas, The European Union: A New Security Actor?, Robert Schuman
Centre for Advanced Studies, EUI Working Paper RSCAS 2014/45, (Italia:
European University Institute, 2014).
Russel, James A., Proliferation of Weapons of Mass Destruction in the Middle
East: Directions and Policy Options in the New Century, ( New York:
Palgrave, 2006).
cxxii
Sagan, Scott D., “Why do States Build Nuclear Weapons?: Three Models in
Search of a Bomb”, International Security, Vol. 21, No. 3. (Winter, 19961997).
Satow, Ernest, A Guide to Diplomatic Practice, (London: Longman Greesn &
Co), Edisi Keempat.
Sauer, Tom, Coercive Diplomacy Revisited: The Iranian Nuclear Weapons Crisis,
Chicago, 48th Annual Convention of the International Studies Association
(ISA), (Chicago, 28 Februari-4 Maret 2007).
Schmidt, Oliver, Understanding & Analyzing Iran’s Nuclear Intentionn - Testing
Scott Sagan’s Argument of
“Why do States build Nuclear Weapons”,
Lancaster University, (2008).
Schwarz, Klaus-Dieter, The Future of
Deterrence. German Institute for
International and Security Affairs, Stiftung Wissenschaft und Politik (SWP),
SWP Research Paper, (Juni 2005).
Seth Carus, W., Defining “Weapons of Mass Destruction”, National Defense
University, Center for the Study of Weapons of Mass Destruction, January
2012.
Smeland, Sean P., “Countering Iranian Nukes: A European Strategy”, The Nonproliferation Review 11, No. 1, (2004).
Sorensen, Georg, Liberalism of Restraint and Liberalism of Imposition: Liberal
Values World Order in the New Millennium, International Relations, (2006).
Suryokusumo, Sumaryo, Hukum Diplomatik: Teori dan Kasus, (Bandung: PT
Alumni, 2008).
Tarock, Adam, “Iran‟s Nuclear Programme and the West”, Third World Quaterly
27. No. 4. (2006).
Tarzi, Amin, “The Role of WMD in Iranian Security Calculation: Danger to
Europe”, Middle East Review of International Affairs 8, No. 3. (2004).
Telo, Mario, “The EU: A Civilian Power's Diplomatic. Action after the Lisbon
Treaty. Bridging Internal Complexity and. International Convergence”, The
EU’s Foreign Policy, What Kind of Power and Diplomatic Action? (Ashgate,
2013).
cxxiii
The European Committee, Preventing Proliferation of Weapons of Mass
Destruction: The EU Contribution, 13th Report of Session 2004-2005,
(London : The Stationery Office Limited, 2005).
The European Union Institute for Security Studies, A Secure Europe in a Better
World, Brussels, 12 Desember 2003, (Paris: The European Union Institute for
Security Studies, 2003).
The International Institute for Strategic Studies (IISS), IISS Dossier: Iran’s
Strategic Weapons Programmes – a net assessment, Routledge Taylor and
Francis Group, (New York, 2005).
Tocha, Monica, “The EU and Iran‟s Nuclear Programme: Testing the Limits of
Coercive Diplomacy”, EU Diplomacy Papers No. 1, Department of EU
International Relations and Diplomacy Studies, (2009).
Toje, Asle, “The 2003 European Union Security Strategy: A Critical Appraisal”,
European Foreign Affairs Review 10, (2005).
U.S. Department of Defense, Unclassified Report on Military Power of Iran,
(2012).
Ülgen, Sinan dan F. Doruk Ergun, “Establishing a WMD Free Zone in the Middle
East”, EDAM Discussion Paper Series 2012/4, (November 2012).
United Nations (UN) General Assembly Resolution 1(I), “Establishment of a
Commission to Deal with the Problem Raised by the Discovery of Atomic
Energy,” January 24, 1946.
Valasek Tomas, “The European Union‟s Role in Nonproliferation”, U.S-European
Nonproliferation Perspectives, Center for Strategic and International Studies,
(2009).
van Ham, Peter, The European Union’s Strategy on Weapon of Mass Destruction:
From Ambition to Disappointment, (Hague: Netherlands Institute of
International Relations „Clingendael‟, 2011).
van Ham, Peter, “The European Union‟s WMD Strategy and the CFSP: A Critical
Analysis, EU Non-Proliferation Consortium”, Non-Proliferation Papers No.
2, (September 2011).
cxxiv
Wagner, Alex, Bush Labels North Korea, Iran, Iraq an Axis of Evil, Arms Control
Association, (2002).
Waltz, Kenneth N., "Why Iran Should Get the Bomb", Foreign Affairs 91, No.4
(July/August 2012).
Waltz, Kenneth N.,
Theory of International Politics, (McGraw-Hill Higher
Education, 1979).
Wolfson, Richard, Nuclear Choices; A Citizen's Guide to Nuclear Technology,
(Massachusetts: McGraw-Hill Publishing Company, 1991).
Sumber Internet
A WMD Free Zone in the Middle East (March 2014), Overview of the latest EU
official documents and publications of the Consortium regarding the
European Union support for a WMD Free Zone in The Middle East,
(http://www.nonproliferation.eu/activities/focus/archives/2014/2014-03.php)
diakses pada 1 April 2015.
Ahouie, Mahdi, Iran’s relationship with China, India and Russia, (2015),
(http://www.exploringgeopolitics.org/interview_ahouie_mahdi_iran_relations
hip_china_india_russia /) diakses pada 12 Maret 2015.
Al Jazeera, 07 Januari 2015, Report Reaffirms Syria Chemical Weapons Use,
(http://www.aljazeera.com/news/middleeast/2015/01/report-reaffirms-syriachemical-weapon-use-201516223545804947.html) diakses pada 2 April
2015.
Allison, Graham, Iran Already Has Nuclear Weapons Capability, Foreign Policy,
3 Maret 2015, (http://foreignpolicy.com/2015/03/03/iran-already-has-nuclearweapons-capability/) diakses pada 4 Maret 2015.
Arms Control Association, Background and Status of Iran’s Nuclear Program,
2014,
(http://www.armscontrol.org/reports/Solving-the-Iranian-Nuclear-
Puzzel/2014/06/Section_one) diakses pada 20 Februari 2015.
cxxv
Arms Control Association, History of Official Proposals on the Iranian Nuclear
Issue,
(http://www.armscontrol.org/factsheets/Iran_Nuclear_Proposals)
diakses pada 1 Mei 2015.
Arms Control Association, WMD-Free Middle East Proposal at a Glance,
(https://www.armscontrol.org/factsheets/mewmdfz) diakses pada 1 April
2015.
Arms Control Associations, Chronology of U.S.-North Korean Nuclear and
Missile
Diplomacy,
(http://www.armscontrol.org/factsheets/dprkchron)
diakses pada 1 Mei 2015.
BBC, 25 November 2014, Iran nuclear crisis: Can talks succeed?,
(http://www.bbc.com/news/world-middle-east-11709428) diakses pada 22
Februari 2014.
BBC, 26 Juli 2010, EU Tightens Sanctions Over Iran Nuclear Programme,
(http://www.bbc.co.uk/news/world-europe-10758328) diakses pada 23 April
2013.
Beeman, William O., Does Iran Have the Right to Enrich Uranium? The Answer
Is Yes, Huffington Post 31 Oktober 2013
(http://www.huffingtonpost.com/william-o-beeman/does-iran-have-the-right_b_4181347.html) diakses pada 20 februari 2015.
Bruno, Greg, Iran's Nuclear Program, Council on Foreign Relations, (2010),
(http://www.cfr.org/iran/irans-nuclear-program/p16811) diakses pada 19
Februari 2015.
Carneggie Endowment for International Peace, Executive Summary: The Iranian
Nuclear Crisis, (2012), (http://carnegieendowment.org/2012/06/05/executivesummary-iranian-nuclear-crisis-memoir) diakses pada 26 Februari 2015.
Catherine Ashton, the EU Foreign Police Chief, reiterated European readiness to
host the seminar in a letter to the IAEA Director General in July of 2010,
(http://www.iaea.org/About/Policy/GC/GC54/GC54Documents/English/gc54
-14_en.)
cxxvi
Cendrowicz, Leo, How Should Europe Respond to Iran?, TIME 2 Juli 2009,
(http://content.time.com/time/world/article/0,8599,1908446,00.html) diakses
pada 22 April 2014.
Center for European Studies, European Union -Common Foreign and Security
Policy,
(http://www.unc.edu/depts/europe/conferences/eu/Cfsp/cfsp1.html),
diakses pada 1 April 2015.
Chubin, Shahram, The Politics of Iran's Nuclear Program, The Iran Primer
(http://iranprimer.usip.org/resource/politics-irans-nuclear-program)
diakses
pada 2 Maret 2015.
CNN,
7
November
2013,
Iran's
Nuclear
Capabilities
Fast
Facts,
(http://edition.cnn.com/2013/11/07/world/meast/irans-nuclear-capabilitiesfast-facts/) diakses pada 25 Februari 2015.
Common Foreign and Security Policy, (http://www.euintheus.org/what-wedo/policy-areas/foreign-affairs-and-defense/common-foreign-and-securitypolicy/) diakses pada 3 April 2015.
Deutsche Welle, Defying West: Iran Opens Nuclear Power Plant With Russian
Help, (http://www.dw.de/defying-west-iran-opens-nuclear-power-plant-withrussian-help/a-5928999) diakses pada 3 Maret 2015.
Dokumen dipublikasi oleh Council of the European Union in the L series of the
Official Journal of the European Union (http://eur-lex.europa.eu/legalcontent/EN/TXT/PDF/?uri=uriserv:OJ.L_.2010.341.01.0027.01.ENG)
Donohue, Nathan, Understanding Iran’s Right to Enrichment, CSIS, (2012),
(http://csis.org/blog/understanding-irans-right-enrichment) diakses pada 20
Februari 2015.
EIFEC,
The
European
Union
(EU)
strengthens
Sanction
on
Iran,
(http://www.exportcompliance.eu/index.php/en/99-latest-news/200-europeanunion-strengthens-sanctions-regulations-for-iran-latest-regulations)
diakses
pada 1 Mei 2014.
Elson, Sara Beth dan Alireza Nader, What Do Iranians Think? A Survey of
Attitudes on the United States, the Nuclear Program, and the Economy,
cxxvii
(2011),
(http://www.rand.org/pubs/technical_reports/TR910.html)
diakses
pada 3 Maret 2015.
Encyclopedia Britannica, Weapon of mass destruction (WMD), 8 November 2014,
(http://www.britannica.com/EBchecked/topic/917314/weapon-of-massdestruction-WMD) diakses pada 1 April 2015.
Euro
Move
Publications,
EU
Action
on
Iran,
(April
2012)
(http://www.euromove.org.uk/index.php?id=19016) diakses pada 22 April
2014.
Europa, Common Foreign and Security Policy,
(http://europa.eu/legislation_summaries/institutional_affairs/treaties/amsterda
m_treaty/a19000_en.htm) diakses pada 1 April 2015.
European Commission, Iran – EU Bilateral Trade and Trade with the World,
tersedia di
(http://trade.ec.europa.eu/doclib/docs/2006/september/tradoc_113392.pdf.)
European External Action Service, Sanctions or Restrictive Measures,
(http://eeas.europa.eu/cfsp/sanctions/index_en.htm) diakses pada 28 Aprilo
2015.
European Union External Action, Instrument for Nuclear Safety Co-operation,
(http://eeas.europa.eu/nuclear_safety/index_en.htm) diakses pada 22 April
2014.
European
Union
External
Action,
The
European
Union
and
Iran,
(http://eeas.europa.eu/iran/index_en.htm) diakses pada 24 April 2014.
European Union, Council of the European Union, (http://europa.eu/abouteu/institutions-bodies/council-eu/index_en.htm) diakses pada 2 April 2015.
Fathi, Nazila, Iran's Leader Stands by Nuclear Plans; Military to Hold Exercises,
The New York Times 22 Januari 2007,
(http://www.nytimes.com/2007/01/22/world/middleeast/22iran.html?pagewan
ted=print) diakses pada 17 Februari 2015.
Fisher, Max, The Real Reasons Iran is so Committed to its Nuclear Program, Vox
25 Februari 2015, (http://www.vox.com/2015/2/25/8101383/iran-nuclearreasons) diakses pada 28 Februari 2015.
cxxviii
Foreign Policy Initiative, Timeline on Diplomacy and Pressure on Iran's Nuclear
Program,
(http://www.foreignpolicyi.org/content/timeline-diplomacy-and-
pressure-irans-nuclear-program) diakses pada 1 Mei 2015.
Fuhrmann, Matthew,
America's Role in Helping Iran Develop its Nuclear
Program, (2012),
(http://www.theatlantic.com/international/archive/2012/07/americas-role-inhelping-iran-develop-its-nuclear-program/260334/) diakses pada 12 Maret
2015.
Giannoulis, Karafillis, EU wants the establishment of a Middle East WMD Free
Zone, New Europe 2 Juli 2013, (http://www.neurope.eu/article/eu-wantsestablishment-middle-east-wmd-free-zone) diakses pada 1 April 2015.
Global Security, Bushehr – Background,
(http://www.globalsecurity.org/wmd/world/iran/bushehr-intro.htm)
diakses
pada 12 Maret 2015.
Hallinan, Conn, The Question of Enrichment: Iran and the Non-Proliferation
Treaty, (2013), (http://www.counterpunch.org/2013/12/05/iran-and-the-nonproliferation-treaty/) diakses pada 20 februari 2015.
International Atomic Energy Agency, Communication dated 12 September 2005
from the Permanent Mission of the Islamic Republic of Iran to the Agency,
(www.iaea.org).
International Institute for Strategic Studies (IISS), Iran’s Nuclear, Chemical, and
Biological
Capabilities:
A
Net
Assessment,
(2011),
(https://www.iiss.org/en/publications/strategic%20dossiers/issues/iran--39-snuclear--chemical-and-biological-capabilities--a-net-assessment-44f8)
diakses pada 19 Februari 2015.
Iranian Student News Agency, Iran to Declare Good News on Centrifuges to be
Used in New Site: AEOI, (2010),
(http://dsrc.ir/En/news/view.aspx?nid=3673) diakses pada 17 Februari 2015.
Lake, Eli, Iran’s nuclear program helped by China, Russia, The Washington
Times, 5 Juli 2011, (http://www.washingtontimes.com/news/2011/jul/5/irans-
cxxix
nuclear-program-helped-by-china-russia/?page=all) diakses pada 13 Maret
2015.
Lewis, Barbara, Tougher EU Sanctions against Iran Come into Force, Reuters, 22
Desember
2012,
(http://www.reuters.com/article/2012/12/22/us-eu-iran-
sanctions-idUSBRE8BL04L20121222) diakses pada 1 Mei 2015.
Milani, Abbas, The Shah’s Atomic Dreams, Foreign Policy 29 Desember 2010,
(http://foreignpolicy.com/2010/12/29/the-shahs-atomic-dreams/) diakses pada
20 Februari 2015.
Mohebali, Pupak dan Tyler Cullis, Support for Nuclear Talks Strong Among
Iranians, But Concerns Linger, National Iranian American Council, (2014),
(http://www.niacouncil.org/support-nuclear-talks-strong-among-iraniansconcerns-linger/) diakses pada 3 Maret 2015.
Murphy, Brian, Iran Nuclear Program: Ahmadinejad Promises Country Will Not
Retreat, Huffington Post 9 November 2011,
(http://www.huffingtonpost.com/2011/11/09/iran-nuclear-programahmadinejad_n_1083398.html) diakses pada 28 Februari 2015.
Nuclear Energy, History: Post-Revolution Endeavors,
(http://nuclearenergy.ir/history/) diakses pada 5 Maret 2015.
Nuclear Threat Initiative, Iran: Nuclear, terakhir diperbarui pada tahun 2015,
(http://www.nti.org/country-profiles/iran/nuclear/) diakses pada 21 Februari
2015
Politics.co.uk, Common Foreign and Security Policy,
(http://www.politics.co.uk/reference/common-foreign-and-security-policy)
diakses pada 3 April 2015.
Posch, Walter, Iran and the European Union, United States Instutites of Peace:
The
Iran
Primer,
(http://iranprimer.usip.org/resource/iran-and-european-
union) diakses pada 23 April 2014.
Protocol for the Prohibition of the Use in War of Asphyxiating, Poisonous or
Other Gases, and of
Bacteriological Methods of Warfare (1925 Geneva
Protocol),
cxxx
(http://www.diplomatie.gouv.fr/traites/affichetraite.do?accord=TRA1925000
1)
Sahimi,
Muhammad,
Iran’s
Nuclear
Program,
Iran
News,
(2003),
(www.payvand.com) diakses pada 25 Februari 2015.
Sahimi, Muhammad, Iran Has a Right to Enrich- And America Already
Recognized It, 2013, (http://nationalinterest.org/commentary/iran-has-rightenrich%E2%80%94-america-already-recognized-it-9425) diakses pada 20
Februari 2015.
Sanger, David E. dan William J. Broad, A Defiant Iran Vows to Build Nuclear
Plants, New York Times, 30 November 2009,
(http://www.nytimes.com/2009/12/01/world/middleeast/01iran.html?pagewan
ted=all&_r=0) diakses pada 21 Februari 2015
Statement: Secretary-General's remarks to the Security Council on the report of
the United Nations Missions to Investigate Allegations of the Use of
Chemical Weapons on the incident that occurred on 21 August 2013 in the
Ghouta area of Damascus
(http://www.un.org/sg/statements/index.asp?nid=7083) diakses pada 2 April
2015.
Takeyh, Ray, Iranian reformers oppose government's nuclear ambitions, Los
Angeles Times, 7 Januari 2015, (http://www.latimes.com/opinion/op-ed/laoe-takeyh-iranian-left-20150108-story.html) diakses pada 4 Maret 2015.
Tehran
Times,
27
November
2008,
Iran
Is
A
Regional
Power,
(http://www.tehrantimes.com/index_View.asp?code=183457) diakses pada
27 Februari 2015.
The
1995
NPT
Conference
Resolution
on
the
Middle
East,
(http://www.un.org/disarmament/WMD/Nuclear/1995NPT/pdf/Resolution_MiddleEast.)
The European Council, Qualified majority: A new rule from 1 November 2014,
(http://www.consilium.europa.eu/en/council-eu/voting-system/qualifiedmajority/) diakses pada 2 April 2015
cxxxi
The Guardian, 10 Februari 2013, Mahmoud Ahmadinejad says Iran ready for
nuclear talks with US,
(http://www.theguardian.com/world/2013/feb/10/mahmoud-ahmadinejadiran-nuclear-talks-us) diakses pada 27 Februari 2015.
The Robert S. Strauss Center, Early US-Iran Relation,
(https://strausscenter.org/hormuz/u-s-iran-relations.html) diakses pada 17
Maret 2015.
U.S. Energy Information Administration, Iran,
(http://www.eia.gov/countries/country-data.cfm?fips=IR) diakses pada 28
April 2015.
U.S. Energy Information Administration, Sanctions Reduced Iran’s OilEexports
and Revenues in 2012,
(http://www.eia.gov/todayinenergy/detail.cfm?id=11011) diakses pada 28
Apil 2015.
Uluslararasi Politika Akademisi, Nuclear Program of The Islamic Republic of
Iran: A Comparison on Khomeini and Ahmadinejad Terms, (2012),
(http://politikaakademisi.org/nuclear-program-of-the-islamic-republic-of-irana-comparison-on-khomeini-and-ahmadinejad-terms/) diakses pada 2 Maret
2015.
Wall Street Journal, 3 Oktober 2009, German Firms Feel Pressure Over Tehran
Trade, (http://online.wsj.com/articles/SB125453243290661095) diakses pada
2 November 2014.
cxxxii
Download