8 Bab II Tinjauan Pustaka II.1 Erosi Menurut Brooks dkk (1991) erosi adalah proses hilangnya atau terangkutnya tanah di permukaan. Erosi merupakan kejadian alami yang berlangsung sejak bumi ini terbentuk adapun penyebab utama erosi adalah air dan angin. Erosi dapat terjadi pada kondisi alami, yaitu pada lahan yang tertutup oleh vegetasi asli tanpa campur tangan manusia disebut erosi geologi atau normal. Sedangkan apabila manusia melakukan kegiatannya dan terjadi erosi, dinamakan erosi yang dipercepat. Erosi yang melampaui kecepatan normal, akibat ulah manusia sehingga merusak karena menghilangkan lapisan atas tanah, prosesnya disebut erosi tanah. Erosi oleh air dapat dibagi kedalam empat tipe, yaitu erosi percikan, erosi lembar, erosi alur, dan erosi lembah. Erosi percikan adalah pemindahan tanah akibat percikan butir-butir hujan. Erosi lembar adalah hilangnya tanah secara merata dalam lapisan tipis dari permukaan lahan. Erosi lembar umumnya tidak terjadi sendiri, karena permukaan lahan tidak pernah ada yang benar-benar rata. Permukaan lahan yang dikatakan rata masih terdapat cekungan – cekungan kecil yang memungkinkan air terakumulasi. Apabila cekungan penuh maka akan terjadi aliran air dalam alur – alur kecil ke lereng di bagian bawah. Penghanyutan tanah melalui proses ini disebut erosi alur. Erosi menjadi permasalahan di lahan pertanian kelerengan curam. Seperti yang diteliti oleh Suryani dkk, kendala utama penanaman kentang dan wortel di daerah penelitiannya adalah bahaya erosi karena ditanam di lereng curam dan jumlah tanah yang hilang melebihi jumlah yang dapat diabaikan. Jumlah tanah hilang akibat penggunaan lahan untuk tanaman kentang mencapai 17,2 – 8280 ton/ha/th, sedangkan penggunaan lahan untuk tanaman wortel mencapai 5,2 – 138,0 ton/ha/th. Tetapi penanaman tanaman di lereng curam tidak selalu menghasilkan erosi yang tinggi. Beberapa hasil penelitian pada lahan usaha tani berbasis kopi menunjukkan hal tersebut. Hasil penelitian Ginting, 1982 seperti yang dikutip Dariah dkk, 2002, 9 pada lahan pertanaman kopi umur 16 tahun dengan lereng 46 – 49 % menghasilkan aliran permukaan 3,4 % dan 6,3 % dari jumlah curah hujan dan erosinya selama 6 bulan berturut – turut sebesar 1,6 dan 1,3 ton/ha. Penelitian Pujianto, 2001 di jember Jawa Timur pada lahan dengan lereng 31 % dan curah hujan 2.768 mm/th memperlihatkan bahwa erosi yang cukup tinggi sebesar 26 ton untuk tahun pertama dan kedua, pada tahun ketiga dan seterusnya erosi jauh menurun, yakni lebih kecil dari 1 ton/ha. Penelitian Dariah rata – rata erosi pada lahan usaha kopi berumur 3 tahun adalah lebih kecil dari 2 ton/ha/th, dengan rata – rata aliran permukaan hanya berkisar antara 2,1 – 2,5 % dari jumlah curah hujan efektif, rata – rata total hujan 2700 mm/th (Dariah dkk, 2002). Tabel II.1 No. 1 Objek pengamatan Kelas kemiringan Perbandingan Karakteristik Perlakuan Talun Plot 3 Plot 4 (talun (talun bambu campuran muda) muda) 27% 26% 30% 30% 85-90% 80-95% 85-90% 50-85% 0-50% Plot 1 Plot 2 (talun (talun campuran) bambu) 26.5% Plot 5 (talun kebun) Luas penutupan 2 Tajuk (awalakhir penelitian) 3 Stratifikasi 3 strata 1 strata 1 strata 2 strata 1 strata 4 Seresah Sedang Sedang Banyak Sedikit Tidak ada Semak, Bambu tua, Tanaman bambu tanaman keras, muda kayu semak Tanaman kayu, 5 Vegetasi tanaman dominan buah buahan, Tanaman semusim semak Sumber: Ramdhani, 2005. Ramdhani (2005) melakukan penelitian erosi dan limpasan permukaan pada beberapa tipe talun atau sistem kebun yang ditanam bersamaan dengan pohon di lokasi dengan kemiringan curam. Tabel II.1 menuliskan perbandingan karakteristik masing – masing talun. 10 Laju limpasan air permukaan suatu DAS dipengaruhi oleh penyebaran dan intensitas curah hujan di DAS yang bersangkutan. Pengaruh vegetasi dan cara bercocok tanam terhadap limpasan air permukaan dapat diterangkan bahwa vegetasi dapat memperlambat jalannya limpasan air permukaan dan memperbesar jumlah air yang tertahan diatas permukaan tanah (surface detention), dan dengan demikian, menurunkan laju air larian. Ditinjau dari nilai koefisisen korelasi masing-masing perlakuan, bahwa hubungan curah hujan dengan air limpasan positif dan nyata. Besarnya kerapatan tumbuhan bawah dan seresah juga berpengaruh terhadap besar limpasan air permukaan pada talun campuran, talun bambu dan talun transisi, perlakuan-perlakuan tersebut menghasilkan limpasan air permukaan yang kecil. Erosi pada Sistem-Kebun Talun Hasil analisis memperlihatkan pada kebun talun yang memiliki tingkat kerapatan tajuk yang rendah, limpasan air permukaan dan erosi akan meningkat. Sebaliknya pada talun campuran yang memiliki tajuk yang rapat dan berlapis, limpasan air permukaan dan erosi menurun. Besarnya air lolos tergantung pada besar kecilnya intersepsi. Pada hujan kecil intersepsi menjadi besar, dan dengan demikian air lolos menjadi kecil. Sebaliknya pada curah hujan besar kapasitas intersepsi terlampaui dan air lolos menjadi besar (Rose,1988; Mutchler et al., 1988 dalam Asdak, 1991). Semakin besar air lolos, makin besar tanah yang terpercik. pada proses selanjutnya partikel tanah yang terpercik tersebut mengalir bersama dorongan limpasan air permukaan dari daerah yang lebih atas akan terangkut ke daerah yang lebih rendah dan dikenal dengan proses erosi. Akibat langsung dari erosi adalah hilangnya lapisan atas atau lapisan olah tanah, sedikit demi sedikit, hingga sampai pada lapisan sub soil, yang umumnya memiliki sifat fisik yang lebih buruk dari lapisan permukaan. Berkurangnya unsur hara dalam tanah akibat terangkut pada waktu panen, pencucian dan terangkut pada waktu peristiwa erosi. Apabila erosi berjalan terus-menerus mengikis lapisan 11 permukaan tanah, maka dengan sendirinya akan terangkut kompleks liat dan humus serta partikel tanah lainnya yang kaya akan unsur hara tanaman (Suripin, 2001). II.2 Mekanisme terjadinya erosi Menurut Suripin (2001) erosi tanah terjadi melalui tiga tahap, yaitu pelepasan partikel tunggal dari massa tanah dan tahap pengangkutan oleh media yang erosif seperti aliran air dan angin. Pada kondisi dimana energi yang tersedia tidak lagi cukup untuk mengangkut partikel, maka akan terjadi tahap yang ketiga yaitu pengendapan. Percikan air hujan merupakan media utama pelepasan partikel tanah. Pada saat butiran air hujan mengenai permukaan tanah yang gundul, partikel tanah dapat terlepas dan terlempar sampai beberapa centimeter ke udara. Pada lahan datar partikel-partikel tanah tersebar lebih kurang merata ke segala arah, tapi untuk lahan miring terjadi dominasi kearah bawah searah lereng. Partikel – partikel tanah ini akan menyumbat pori – pori tanah sehingga akan menurunkan kapasitas dan laju infiltrasi. Pada kondisi dimana intensitas hujan melebihi laju infiltrasi, maka akan terjadi genangan air di permukaan tanah, yang kemudian akan menjadi aliran permukaan. Aliran permukaan ini menyediakan energi untuk mengangkut partikel – partikel yang terlepas baik oleh percikan air hujan maupun oleh adanya aliran permukaan itu sendiri. Pada saat energi atau aliran permukaan menurun dan tidak mampu lagi mengangkut partikel tanah yang terlepas, maka partikel tanah tersebut akan diendapkan (Suripin, 2001). Lahan terbuka yang terhantam hujan deras terus – menerus menyebabkan tanah menjadi lemah. Tanah juga mengalami penghancuran oleh proses pelapukan, baik secara mekanis, maupun biokimia. Disamping itu, tanah juga mengalami gangguan oleh pengolahan lahan, dan injakan kaki manusia maupun binatang. Lebih lanjut, aliran air dan angin juga berperan terhadap pelepasan partikel tanah. Semua proses tersebut menyebabkan tanah menjadi gembur sehingga mudah terangkut oleh media pengangkut (Suripin, 2001). 12 Erosi air merupakan kegiatan dispersi dan pengangkutan tanah yang mengalir di permukaan. Aliran air dipermukaan ini disebut runoff atau aliran permukaan, yang merupakan bagian dari hujan yang tidak dapat diserap oleh tanah. Dalam proses erosi air terdapat dua tahap utama yaitu pelepasan butir-butir tanah dan pengangkutan butiran tanah yang telah terdispersi. Kekuatan dispersi dan kemampuan pengangkutan tanah oleh air ditentukan oleh kekuatan dispersi dari pukulan butir-butir hujan, jumlah dan kecepatan aliran permukaan, dan ketahanan tanah terhadap dispersi. Jumlah dan kecepatan aliran permukaan tergantung pada sifat hujan, lereng dan luas areal, serta kemampuan tanah menyerap air ke dalam profil tanah. II.3 Faktor penyebab erosi Secara keseluruhan terdapat lima faktor yang menyebabkan dan mempengaruhi besarnya laju erosi, yaitu iklim, tanah dan topografi atau bentuk wilayah, vegetasi penutup tanah dan kegiatan manusia. Faktor iklim yang paling menentukan dalam hal ini adalah hujan yang dinyatakan dalam nilai indeks erosivitas hujan. Besar kecilnya laju erosi banyak tergantung juga kepada sifat – sifat tanah yang dinyatakan sebagai erodibilitas tanah, yaitu kepekaan tanah terhadap erosi atau mudah tidaknya tanah tersebut tererosi. Tanah yang memiliki nilai erodibilitas tinggi, berarti tanah tersebut peka atau mudah tererosi, sebaliknya bagi tanah dengan erodibilitas rendah, berarti tanah tersebut resisten atau tahan terhadap erosi. Erosi potensial dihitung dengan memperhitungkan besarnya erosi dengan melihat dua faktor erosivitas dan erodibilitas tanah, sedangkan faktor lain dianggap satu. Gabriel (1974) dalam Suripin (2001), menyimpulkan : E (tanah yang hilang atau erosi) = f (erosivitas ∗ Erodibilitas)............(II.1) II.3.1 Iklim Kehilangan tanah berhubungan dengan hujan melalui kekuatan pelepasan dari tumbukan hujan ke permukaan tanah dan sebagian melalui kontribusi hujan terhadap limpasan. Hal ini menunjukkan bahwa erosi dapat oleh limpasan dan parit yang mana intensitas hujan merupakan karakteristik hujan yang sangat penting. Penelitian Fournier 1972 yang mengambil sebanyak 183 kejadian hujan 13 dalam Morgan, 1986, menunjukkan bahwa rata-rata kehilangan tanah per kejadian hujan meningkat seiring dengan meningkatnya intensitas hujan (Morgan,1986) Tabel II.2 Hubungan antara intensitas hujan dan kehilangan tanah. Maksimum Jumlah Rata-rata erosi per intensitas hujan 5 menit kejadian kejadian hujan (mm/jam) hujan (kg/m2) 0 – 25.4 40 0.37 25.5 – 50.8 61 0.60 50.9 – 76.2 40 1.18 76.3- 101.6 19 1.14 101.7 – 127.0 13 3.42 127.1- 152.4 4 3.63 152.5 – 177.8 5 3.87 177.9 – 254.0 1 4.79 Sumber : Morgan, 1986. Peran intensitas hujan terhadap kehilangan tanah tidak selalu jelas, seperti yang ditunjukkan oleh penelitian Morgan pada 1977. mengambil data dari sepuluh kejadian hujan paling erosif, menghasilkan kesimpulan bahwa kejadian hujan dengan intensitas hujan lebih besar dari 10 mm/jam, dengan tinggi hujan 17.7 mm menghasilkan erosi, begitu juga pada durasi yang panjang dan intensitas rendah dengan tinggi hujan 2.3 mm. Hal tersebut menggambarkan bahwa erosi berhubungan dengan dua tipe kejadian hujan yaitu intensitas hujan dengan durasi pendek dimana kapasitas infiltrasi dari tanah telah melebihi sehingga air melimpasa dan hujan dengan durasi panjang dan intensitas rendah yang dapat menjenuhkan tanah dengan air. Untuk beberapa hal sangat sulit untuk memisahkan efek kedua tipe kejadian hujan terhadap kehilangan tanah (Morgan,1986). Respon dari hasil penelitian Fournier 1972 dari tanah yang berhubungan dengan kehilangan tanah kepada penerimaan hujan dapat ditentukan oleh kondisi meteorologi sebelumnya. Pada awal terjadi hujan yang jatuh pada tanah kering dan dalam jumlah yang kecil menghasilkan limpasan yang kecil pula. Sebagian 14 besar dapat disebabkan karena air meresap kedalam tanah. Pada hujan kedua hampir 66 persen hujan menjadi limpasan air permukaan dan kehilangan tanah terjadi hingga tiga kali lipat. Pada kasus ini seberapa dekat kejenuhan tanah dimana tergantung pada berapa banyak hujan jatuh pada hari-hari sebelumnya. Pola kehilangan tanah yang rendah pada awal hujan dan kehilangan tanah yang tinggi pada kejadian hujan kedua merupakan kebalikan. Bagaimanapun antara hujan erosif, hancuran akibat iklim dan hujan ringan dapat menghilangkan permukaan tanah. Sebagian besar material hilang pada limpasan pertama kalinya sedikit terjadi untuk erosi pada kejadian berikutnya (Morgan,1986). Erosivitas hujan merupakan fungsi dari intensitas dan durasi hujan, massa, diameter dan kecepatan air hujan. Untuk menghitung erosivitas diperlukan analisis dari distribusi ukuran butiran hujan. Laws dan Parsons (1943) berdasarkan penelitian di timur Amerika serikat menunjukkan bahwa ukuran butir hujan bervariasi seiring denga intensitas hujan. Penelitian Hudson (1963) di daerah tropis menggambarkan bahwa hubungan ini berlaku bila intensitas hujan lebih dari 100 milimeter perjam. Pada intensitas yang lebih besar ukuran nilai tengah butiran hujan meningkat seiring dengan meningkatnya intensitas, ini mungkin diakibatkan karena turbulensi yang lebih besar membuat ukuran butiran yang lebih besar menjadi tidak stabil. Karena kesulitan dalam penentuan variasi tersebut, maka dimungkinkan untuk menggunakan hubungan umum antara energi kinetik hujan dan intensitas hujan. Berdasarkan pada penelitian Laws dan Parson (1943), Wischmeier dan Smith (1958) menggunakan persamaan : KE = 11.87 + 8.73 log10I.......................................................................(II.2) Dimana I adalah intensitas hujan (mm jam -1) dan KE adalah energi kinetik hujan (J m- 2 mm-1 ). Untuk daerah tropis , Hudson (1965) memberikan persamaan : KE = 29.8 - 127.5 ..................................................................................(II.3) I 15 Penghitungan energi kinetik dilakukan dengan mencatat hujan dari alat ukur hujan otomatis yang dianalisis dan kemudian hujan dibagi menjadi rentang waktu yang pendek dan memiliki intensitas yang seragam. Pada tiap periode waktu, dengan mengetahui intensitas hujan, energi kinetik hujan dapat diperkirakan dari persamaan di atas dan kemudian dikalikan dengan jumlah hujan yang didapat, memberikan energi kinetik pada periode waktu tersebut. Jumlah dari nilai energi kinetik dari seluruh periode waktu memberikan total energi kinetik dari hujan (Morgan,1986). Untuk memberikan nilai yang sah sebagai indeks erosi potensial, indeks erosivitas harus secara penting dikorelasikan dengan kehilangan tanah. Wischmeier dan Smith (1958) menemukan bahwa kehilangan tanah oleh percikan, limpasan air permukaan dan erosi parit memiliki hubungan gabungan antara indeks energi kinetik dan intensitas hujan maksimal 30 menit (I30). Indeks ini dikenal sebagai EI30 terbuka untuk dikritik. Pertama, dengan mendasarkan pada energi kinetik 30 menit, menjadikan itu pendugaan untuk hujan tropis pada intensitas yang tinggi. Kedua, kejadian erosi diasumsikan terjadi pada intensitas hujan yang ringan, dimana Hudson menunjukkan bahwa sebagian besar erosi terjadi disebabkan oleh hujan yang jatuh pada intensitas yang lebih besar dari 25 milimeter perjam. Pernyataan yang memasukkan nilai dari I30 dalam indeks merupakan usaha untuk memperbaiki nilai intensitas hujan ringan yang melebihi penaksiran, tetapi secara keseluruhan tidak berhasil karena perbandingan intensitas hujan erosif dengan hujan non erosif tidak terkorelasi secara baik dengan I30. Pada kenyataannya tak ada alasan yang jelas kenapa intensitas 30 menit merupakan parameter yang cocok untuk dipilih. Menurut Stocking dan Ewell (1973) disarankan penggunaannya untuk kondisi tanah yang kosong. Dengan kondisi lahan yang jarang dan padat pelindung tanaman mereka memberikan korelasi yang lebih baik dengan kehilangan tanah menggunakan maksimum intensitas hujan 15 dan 5 menit. Pada modifikasi EI30, yang didesain untuk mengurangi perkiraan yang berlebih untuk hujan tropis, Wischmeier dan Smith, menentukan nilai maksimum intensitas hujan sebesar 76.2 mm perjam untuk perhitungan energi kinetik per unit hujan dan 63.5 m perjam untuk I30. sebagai alternatif indeks erosivitas, Hudson (1965) 16 menggunakan KE > 25, untuk menghitung hujan tunggal, kemudian menjumlahkan energi kinetik pada penambahan waktu tersebut ketika intensitas hujan sama dengan 25 mm perjam atau lebih besar. Ketika diaplikasikan pada data dari Zimbabwe, korelasi yang lebih baik antara kehilangan tanah dan EI30. Stocking dan Ewell (1973) menghitung kembali data Hudson dan memberikan informasi terbaru, bahwa EI30 merupakan indeks terbaik dari semua. Karena mereka menggunakan menghitung EI30 untuk hujan berjumlah 12.5 mm dan dengan intensitas hujan maksimum 5 menit lebih besar dari 25 mm perjam. Mereka telah menghilangkan keraguan pada indeks EI30 yang orisinal, bagaimanapun menghasilkan indeks yang secara filosofis mendekati KE > 25. Indeks Hudson memiliki kelebihan untuk kemudahan dan dalam persyaratan data yang dibutuhkan (Morgan,1986). Menurut Suripin 2001, faktor iklim yang besar pengaruhnya terhadap erosi tanah adalah hujan, temperatur dan suhu. Sejauh ini hujan merupakan faktor yang paling penting. Terdapat dua penyebab utama pada tahap pertama dan kedua dari proses terjadinya erosi, yaitu tetesan butiran – butiran hujan dan aliran permukaan. Tetesan butiran – butiran hujan yang jatuh ke atas tanah mengakibatkan pecahnya agregat – agregat tanah, diakibatkan oleh tetesan butiran hujan memiliki energi kinetik yang cukup besar. Intensitas hujan yang lebih besar dapat membentuk butiran – butiran tetesan hujan yang lebih besar lagi dan mengakibatkan aliran air di permukaan yang lebih banyak. Karakteristik hujan yang mempunyai pengaruh terhadap erosi tanah meliputi jumlah atau kedalaman hujan, intensitas hujan dan lamanya hujan. Jumlah hujan yang besar tidak selalu menyebabkan erosi berat jika intensitasnya rendah, dan sebaliknya hujan lebat dalam waktu singkat mungkin juga hanya menyebabkan sedikit erosi karena jumlah hujan hanya sedikit. Jika jumlah dan intensitas hujan keduanya tinggi, maka erosi tanah yang terjadi cenderung tinggi. Energi hujan terdiri dari energi kinetik dan potensial. Oleh Morgan fenomena erosi tanah, energi potensial dikonversi menjadi energi kinteik. Sehingga kekuatan erosif hujan hanya dinyatakan dalam energi kinetik saja. Menurut Asdak (1991) besarnya energi kinetik (KE) adalah : KE = ½ mv 2. ........................................................................................(II.4) 17 Dimana m = massa air dan v = kecepatan air jatuh. Hasil penelitian Williamson 1981 dalam Asdak (1991), menunjukkan bahwa ada hubungan yang erat antara lebar ujung penetes daun dan volume air tetesan. Yaitu semakin lebar ujung penetes semakin besar volume tetesan airnya. Hasil yang sama juga diperoleh Astuti (1987) dalam penelitiannya di hutan tanaman di Jatiluhur. Jenis hutan yang diteliti adalah jenis pohon yang banyak digunakan untuk reboisasi dan penghijauan, yaitu mahoni, akasia dan sonokeling. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa erosivitas air lolos tidak dipengaruhi oleh intensitas hujan, karena besar tetesan air lolos rata – rata adalah konstan. Sebaliknya, erosivitas air hujan dipengaruhi oleh intensitas hujan melalui persamaan (Lee, 1980) KE = 210,1+ 89 (log i) .........................................................................(II.5) Dimana KE = energi kinetik (joules/m2); i = intensitas hujan (cm/jam) II.3.2 Tanah Secara fisik tanah terdiri dari partikel mineral dan organik dengan berbagai ukuran. Partikel – partikel tersebut tersusun dalam bentuk matriks yang pori – porinya kurang lebih 50%, sebagian terisi oleh air dan sebagian lagi terisi lagi oleh udara. Dalam kaitannya dengan konservasi tanah dan air, sifat fisik tanah yang berpengaruh meliputi : tekstur, struktur, infiltrasi dan kandungan bahan organik (Suripin, 2001). Menurut Morgan (1986), erodibilitas tanah merupakan ketahanan tanah terhadap pelepasan dan pengangkutan. Erodibilitas bervariasi dengan tekstur tanah, stabilitas agregat, kapasitas infiltrasi dan organik dan kandungan kimia tanah. Peran tekstur tanah pada partikel tanah yang besar menunjukkan sifat yang tahan terhadap transport karena membutuhkan tenaga yang besar untuk membawanya dan partikel yang lebih halus memiliki sifat yang tahan terhadap pelepasan karena sifat kohesifnya. Partikel yang kurang tahan adalah silt dan pasir halus. Tanah dengan kandungan debu tinggi merupakan tanah yang erodible, mudah tererosi. 18 Penggunaan kandungan liat sebagai indikator erodibilitas secara teori lebih memuaskan karena partikel liat menggabungkan dengan bahan organik untuk membentuk agregat tanah atau gumpalan dan itu adalah stabilitas yang ditentukan oleh ketahanan tanah. Tanah dengan kandungan mineral dasar yang tinggi secara umum lebih stabil karena berkontribusi pada ikatan kimia dari agregat. Menurut Asdak (1991), tekstur tanah berkaitan dengan ukuran dan porsi partikel – partikel tanah dan akan membentuk tipe tanah tertentu. Tiga unsur utama tanah adalah pasir atau sand, debu atau silt dan liat atau clay. Tanah dengan dominasi liat memiliki ikatan antar partikel – partikel tanah yang kuat, sehingga tidak mudah tererosi. Demikian juga untuk tanah dengan dominasi pasir, kemungkinan untuk terjadinya erois pada jenis tanah ini adalah rendah karena laju infiltrasi di tempat ini besar dengan demikian menurunkan laju air larian. Pada tanah dengan unsur utama debu dan pasir lembut serta sedikit unsur organik, memberikan kenungkinan yang lebih besar untuk terjadinya erosi. Hal ini sesuai dengan pendapat Suripin, 2001, tekstur tanah turut menentukan tata air dalam tanah, yaitu berupa kecepatan infiltrasi, penetrasi dan kemampuan pengikatan air oleh tanah. Terjadi tidaknya aliran permukaan, tergantung kepada dua sifat yang dipunyai tanah tersebut, yaitu kapasitas infiltrasi atau kemampuan tanah untuk meresapkan air, diukur dalam satuan milimeter persatuan waktu, permebilitas tanah dari lapisan tanah yang berlainan atau kemampuan tanah untuk meluluskan air atau udara ke lapisan bawah profil tanah. Bilamana kapasitas infiltasi dan permeabilitas besar seperti pada tanah berpasir yang mempunyai kedalaman lapisan kedap yang dalam, walaupun dengan curah hujan yang lebat kemungkinan untuk terjadi aliran permukaan kecil sekali. Sedangkan tanah – tanah bertekstur halus akan menyerap air sangat lambat, sehingga curah huajn yang cukup rendah akan menimbulkan aliran permukaan. Struktur tanah adalah susunan partikel – pertikel tanah yang membentuk agregat. Struktur tanah mempengaruhi kemampuan tanah dalam menyerap air tanah. Misalnya pada stuktur tanah granuler dan lepas mempunyai kemampuan besar 19 dalam meloloskan air larian, dengan demikian menurunkan laju limpasan air permukaan dan memacu pertumbuhan tanaman.Asdak (1991) Stuktur tanah yang dikehendaki dalam bidang pertanian umumnya struktur remah, yang mempunyai perbandingan antara bahan padat dengan ruang pori – pori relatif seimbang. Keseimbangan perbandingan volume tersebut menyebabkan kandungan air dan udara mencukupi bagi pertumbuhan, dan bahan padanyanya menyebabkan akar dapat cukup kuat bertahan. Tanah yang berstruktru remah memiliki pori – pori diantara agregat yang lebih banyak dari pada yang berstuktur gumpal, sehingga perembesan airnya lebih cepat. Karena itu terjadinya aliran permukaan diperkecil. Shear strength atau tahanan geser dari tanah diukur dari kohesifnya dan ketahanan terhadap gaya geser oleh gravitasi, cairan yang bergerak dan beban mekanis. Tahanan ini diturunkan dari tahanan friksi yang bertemu dengan unsur pokok partikel ketika mereka dipaksa bergerak satu dengan yang lainnya atau bergerak dari sambungan posisinya. Untuk tujuan aplikasi shear strength ditunjukan persamaan empiris berikut : τ = c + σ tan φ .......................................................................................(II.6) Dimana τ adalah tahanan geser, c adalah pengukuran kohesi, σ tegangan normal pada lahan geser dan φ sudut gesekan dalam. Peningkatan pada kandungan air dari tanah, menurunkan tahanan geser dan membuat perubahan sifat. Pada kandungan air yang rendah tanah bersifat sebagai padatan dan mudah patah karena tegangan tetapi meningkatnya kandungan air menjadikannya plastis dan tidak mudah patah oleh aliran air. Dengan pembasahan lebih lanjut, tanah akan mencapai batas cair hingga akan mengalir karena beratnya sendiri. Pada tanah yang jenuh, apabila terdapat saluran untuk mengurangi kejenuhan, maka tanah akan berada di bawah batas plastis dan memiliki tahanan geser yang kuat. Sedangkan bila tidak terjadi pengeringan tanah akan mengalami tekanan, beban padat ini tidak dapat didukung dan tanah menjadi rusak bentuknya (Morgan,1986). 20 Berdasarkan kapasitas infiltrasinya dapat dikatakan bahwa kemungkingan terjadinya aliran permukaan pada tanah – tanah yang berat lebih besar dibandingkan pada tanah yang berstuktru ringan. Hal ini sesuai dengan Bermanakusumah (1976), bahwa kapasitas infiltrasi tanah ikut menentukan banyaknya air yang mengalir di atas permukaan tanah, sebagai aliran permukaan. Jadi semakin besar kapasitas infiltrasi, maka aliran permukaan yang terjadi akan semakin kecil (Suripin, 2001). Kapasitas infiltrasi, maksimum tingkat dimana tanah dapat menyerap air, dipengaruhi oleh ukuran pori, stabilitas pori, dan bentuk dari profil tanah. Tanah dengan agregat yang stabil mempertahankan ruang porinya lebih baik ketika dengan liat mengembang atau mineral – mineral yang tidak stabil didalam air menjadikannya mengurangi kapasitas infiltasi tanah. Walaupun kapasitas infiltrasi dapat diukur dengan menggunakan infiltrometer, akan tetapi terkadang kapasitas infiltrasi pada saat hujan lebih rendah daripada uji lapangan (Morgan,1986). Unsur organik terdiri dari sisa tanaman dan hewan sebagai hasil proses dekomposisi. Unsur organik cenderung memperbaiki struktur tanah dan bersifat meningkatkan permeabilitas tanah, kapasitas tampung air tanah dan kesuburan tanah. Kumpulan unsur organik di permukaan tanah dapat menghambat kecepatan air larian, dengan demikian menurunkan potensi terjadinya erosi Asdak (1991). Dalam kaitannya dengan erosi tanah Bennet (1955) dalam Suripin (2001) menyatakan bahwa fungsi bahan organik dalam pencegahan erosi antara lain dapat memperbaiki aerasi tanah dan mempertinggi kapasitas air tanah serta memperbaiki daerah perakaran. Sedangkan Tjwan (1968) menyatakan bahwa peranan bahan organik terhadap sifat fisik tanah adalah menaikkan kemantapan agregat tanah, memperbaiki struktur tanah dan menaikkan daya tahan air tanah. Selanjutnya Darmawidjaya (1961) menyatakan bahwa peranan bahan organik dalam pengendalian tata air antara lain, memperbaiki peresapan air ke dalam tanah, mengurangi aliran permukaan, mengurangi perbedaan kandungan air dalam tanah dan sungai antara musim hujan dan musim kemarau. 21 Menurut Morgan (1986) bahan organik dan kandungan kimia tanah sangat penting karena pengaruhnya terhadap stabilitas agregat. Tanah dengan kurang dari 2 persen organik karbon, sebanding dengan 3.5 persen kandungan organik, dapat dianggap erodible, mudah tererosi. Mayoritas tanah mengandung kurang dari 15 persen kandungan organik dan banyak dari pasari dan lempung berpasir sandy loams memiliki kurang dari 2 persen. Voroney, van Veen dan Paul (1981) menganggap bahwa erodibilitas tanah menurun secara linear dengan meningkatknya kandungan organik pada kisaran 0 hingga 10 persen. Hubungan ini tidak dapat di ekstrapolasi, bagaimanapun karena beberapa jenis tanah dengan kandungan organik yang sangat tinggi, terutama gambut, memiliki nilai yang sangat mudah terodibilitas baik oleh air maupun angin. Juga beberapa jenis tanah dengan kandungan organik rendah menjadi sangat keras dan memiliki kekuatan yang lebih pada keadaan kering (Morgan,1986). Permeabilitas tanah menunjukkan kemampuan tanah dalam meloloskan air. Struktur dan tekstur tanah serta unsur organik lainnya ikut ambil bagian dalam menentukan permeabilitas tanah. Tanah dengan pemeabilitas tanah tinggi menaikkan laju infiltrasi dengan demikian menurunkan laju air larian. Banyak usaha untuk menilai secara sederhana indeks erodibilitas yang berdasarkan properti dari tanah yang ditentukan baik dari laboratorium maupun dari lapangan, atau berdasarkan respon tanah terhadap hujan dan angin. Cara yang paling umum digunakan adalah nilai K yang mewakili kehilangan tanah per unit EI30, sebagai pengukuran di lapangan pada plot tanah kosong, 22 m panjang, dan kemiringan 5 o. Menurut Wischmeier, Johnson dan Cross (1971) perkiraan dari nilai K dapat dibuat dari distribusi ukuran, kandungan organik, struktur dan permeabilitas dari tanah yang diketahui (Morgan,1986). Kepekaan tanah terhadap erosi atau erodibilitas tanah diukur salah satunya dengan metoda Bouyoucos atau disebut juga metoda clay ratio. Besarnya erodibilitas menurut metoda ini dinyatakan dalam persamaan dibawah ini. 22 E= % pasir + % debu ...........................................................................(II.7) % liat Dari persamaan tersebut terlihat bahwa masing – masing fraksi ikut berperan terhadap besar – kecilnya nilai erodibilitas tanah yang bersangkutan. Menurut Kuron dan Jung (1957) dalam Bermanakusumah (1978) penentuan besarnya nilai erodibilitas suatu jenis tanah dapat dinyatakan oleh: E= B ...................................................................................................(II.8) St Dimana B adalah transfortabilitas dan St adalah stabilitas. Transfortabilitas suatu jenis tanah ditentukan oleh tekstur tanah, sedangkan stabilitas ditentukan oleh tekstur dan bahan organik tanah. Untuk menentukan nilai Tranfortabilitas dan nilai Stabilitas, Bermanakusumah (1978) mengemukakan rumus dibawah ini: B= 1 (U + FS) ......................................................................................(II.9) k St = (T + H + Gs + As ) ........................................................................(II.10) dimana : k = parameter untuk kandungan batu U = debu (%) Fs = pasir halus (%) T = Liat (%) H = Humus (%) Gs = Pasir kasar (%) As = stabilitas agregat (%) Parameter k ditentukan berdasarkan persentase kandungan batu pada permukaan tanah. Caranya ialah dengan menentukan kandungan batu pada setiap meter persegi permukaan tanah. Daftar nilai k tercantum pada tabel II.3 berikut. 23 Tabel II.3 Nilai kandungan batu pada permukaan tanah. Kandungan batu (%) Nilai k 1-5 1 6 – 15 2 16 – 40 3 >40 4 Sumber: Bermanakusumah, 1976. Tabel II.4 Besarnya nilai erodibilitas dari beberapa macam tanah. No. Macam tanah Transfortabilitas (B) Stabilitas (St) Erodibilitas (E) 1. Tanah loam 51.50 105.34 0.49 2. Tanah pasir 35.3 103.78 0.34 3. Tanah kapur 31.8 114.43 0.28 4. Tanah lempung 20.1 110.32 0.18 Sumber: Bermanakusumah, 1976. Atas dasar rumus – rumus diatas maka erodibilitas tanah dapat ditentukan. Penentuan erodibilitas beberapa macam tanah tercantum pada tabel II.4 diatas. Dari tabel diatas dapat disimpulkan bahwa tanah – tanah yang banyak mengandung liat paling mudah tererosi. Hal ini disebabkan karena debu dengan ukuran 0.002 – 0.05 mm sangat mudah dihanyutkan oleh air, cepat penuruan kapasitas infiltrasinya, dan rendah kemantapan strukturnya. Sedangkan tanah pasir akan lebih tahan tererosi, karena tanah pasir kaya akan pori – pori yang besar. Tapi tanah pasir mempunyai kemantapan struktur yang rendah. Diantara ketiga jenis tanah yang paling tahan terhadap erosi adalah tanah – tanah liat. Hal ini disebabkan karena tanah liat mempunyai kemantapan struktur yang tinggi, dan kapasitas penampungan air yang tinggi pula. Erodibilitas tanah secara memuaskan dideskripksikan dengan nilai K untuk bermacam tanah pertanian di Amerika serikat oleh Wischmeier dan Smith (1978). Ketika nilai K ditentukan dari pengukuran erosi di lapangan, hal ini sah. Kesulitan sulit ketika diusahakan memprediksi nilai dari nomograph, yang mana ini diaplikasikan pada tanah dengan karakteristik sama di Amerika serikat. Korelasi yang mendekati ditemukan oleh Ambar dan Wiersum (1980) pada tanah 24 di Jawa Barat, Indonesia. Prediksi yang buruk dapat dihasilkan bila secara mudah mengekstrapolasi nilai dari nomograph. Menurut De Meester dan Jungerius (1978) penaksiran erodibilitas dari tanah liat berdasarkan kerusakan agregat sebagai contoh uji air jatuh, menunjukkan korelasi yang kecil dengan nilai K yang diestimasi dari nomograph. Lindsay dan Gumbs (1982) menemukan nilai K lebih besar pada penaksiran erodibilitas liat dan tanah clay loam di Trinidad (Morgan,1986). Gambar II.1 Nomograph erosi tanah. ( Novotny, 1981) II.3.3 Topografi Kemiringan dan panjang lereng adalah dua faktor yang menentukan karakteristik topografi suatu daerah aliran sungai. Kedua faktor tersebut menentukan besarnya kecepatan dan volume air larian. Kecepatan limpasan air permukaan yang besar umumnya ditentukan oleh kemiringan lereng yang tidak terputus dan panjang serta terkonsentrasi pada saluran – saluran sempit yang mempunyai potensi besar untuk terjadinya erosi alur dan erosi parit (Asdak, 1991). Menurut Suripin (2001) secara umum erosi akan meningkat dengan meningkatnya kemiringan dan panjang lereng. Pada lahan datar, percikan butir air hujan melemparkan partikel tanah ke udara ke segala arah secara acak, pada lahan 25 miring, partikel tanah lebih banyak yang terlempar ke arah bawah daripada ke atas, dengan proporsi yang makin besar dengan meningkatnya kemiringan lereng. Selanjutnya, makin panjang lereng cenderung makin banyak air permukaan yang terakumulasi, sehingga aliran permukaan menjadi lebih tinggi kedalan maupun kecepatannya. Kombinasi kedua variabel lereng ini menyebabkan laju erosi tanah tidak sekedar proporsional dengan kemiringan lereng tetapi meningkat secara drastis dengan meningkatnya panjang lereng. Secara normal kemiringan lahan dan panjang lereng akan meningkatkan kehilangan tanah. Lebih lanjut pada permukaan yang datar, tumbukan hujan akan memercik dan memindahkan butiran tanah secara acak ke sekitarnya, sedangkan pada lahan dengan kemiringan lebih banyak tanah akan dilemparkan ke bawah lereng dibandikan ke atas lereng. Proporsi perbandingan meningkat sebanding dengan meningkatnya kemiringan (Morgan,1986). Hubungan antara erosi dan kemiringan dapat diuraikan sebagai : Q s = tan m è L n ..................................................................................(II.11) Dengan Qs menggambarkan per unit area θ gradien sudut dan L panjang lereng. Transport tanah oleh hujan, persentase total tanah yang terpercik dan pindah kebawah lereng sebanding dengan persen slope ditambah 50, menurut Ellisen 1944 dalam Morgan, pada kemiringan 10 persen bahwa 75 persen tanah yang terpercik pindah kebawah lereng dan 25 persen keatas lereng (Morgan,1986). Yogama (2007) melakukan penelitian laboratorium dengan hujan buatan dan contoh tanah yang tidak terganggu kemudian disimpan dalam alat catching tray yang berfungsi untuk mengukur erosi percik. Adapun kemiringan dan curah hujan divariasikan sedemikian rupa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan jumlah curah hujan mengakibatkan jumlah tanah yang terpercik semakin besar dan semakin besar kemiringan dan curah hujan, maka jumlah tanah yang terpercik akan semakin besar. 26 Pada kemiringan 30 persen adalah sebesar 12. 878 pada curah hujan pertama. Selanjutnya pada curah hujan kedua, ketiga, keempat dan kelima, masing masing 15.7, 24.013, 29.891 dan 34.639 dengan rata-rata peningkatan sebesar 5.295 gram. Peningkatan kemiringan juga jelas terlihat mengakibatkan jumlah tanah terpecik semakin besar. Pada curah hujan 168.15/jam adalah sebesar 2.267 gram. Selanjutnya pada kemiringan 10,20, 30 persen masing masing sebesar 5.117, 8.522, 12.878 gram dengan rata-rata peningkatan sebesar 3.537 gram. Semakin besar kemiringan dan curah hujan, maka jumlah tanah yang terpercik akan semakin besar (Yogama, 2007). II.3.4 Vegetasi Pengaruh vegetasi pengaruh penutup tanah terhadap erosimenurut Suripin (2001) adalah sebagai berikut: Vegetasi mampu menangkap atau intersepsi butir air hujan sehingga energi kinetiknya terserap oleh tanaman dan tidak menghantam langsung pada tanah. Pengaruh intersepsi air hujan oleh tumbuhan penutup pada erosi melalui dua cara yaitu memotong butir air hujan sehingga tidak jatuh ke bumi dan memberikan kesempatan terjadinya penguapan langsung dari dedaunan dan dahan, selain iut menangkap butir hujan dan meminimalkan pengaruh negatif terhadap struktur tanah. Tanaman penutup mengurangi energi aliran, meningkatkan kekasaran sehingga mengurangi kecepatan aliran permukaan, dan selanjutnya memotong kemampuan aliran permukaan untuk melepas dan mengangkut partikel sedimen. Perakaran tanaman meningkatkan stabilitas tanah dengan meningkatkan kekuatan tanah, granularitas dan porositas. Aktivitas biologi yang berkaitan dengan pertumbuhan tanaman memberikan dampak positif pada porositas tanah. Tanaman mendorong transpirasi air, sehingga lapisan tanah atas menjadi kering dan memadatkan lapisan di bawahnya. Dalam meninjau pengaruh vegetasi terhadap mudah tidaknya tanah tererosi, harus dilihat apakah vegetasi penutup tanah tersebut mempunyai struktur tajuk yang berlapis sehingga dapat menurunkan kecepatan terminal air hujan dan memperkecil diameter tetesan air hujan. Tumbuhan bawah lebih berperan dalam menurunkan besarnya erosi karena merupakan stratum vegetasi terakhir yang akan menentukan besar – kecilnya erosi percikan. Oleh karena itu, dalam melaksanakan 27 program konservasi tanah dan air melalui cara vegetatif, sistem pertanaman ( tanaman pertanian) diusahakan agar tercipta struktur pelapisan tajuk yang serapat mungkin (Asdak, 1991). Pelindung tanaman mengurangi erosi diteliti oleh Henderson Research Station di Zimbabwe dimana pada periode 1953-1956 rata-rata kehilangan tanah tahunan sekitar 4.63 kg/m2 dibandingkan dengan 0.04 kg/m2 pada tanah dengan penutup tebal Digitaria. Peran utama dari vegetasi adalah pada intersepsi dari tetesan hujan sehingga energi kinetik dihilangkan oleh tanaman dibandingkan bila langsung ke tanah (Morgan,1986). Efektifitas pelindung tanaman dalam mengurangi erosi bergantung pada ketinggian dan kontinuitas dari kanopi, kerapatan dari pelindung dipermukaan tanah dan kerapatan akar. Ketinggian kanopi sangat penting karena air jatuh dari ketinggian 7 meter dapat melebihi 90 persen dari kecepatan terminal. Lebih lanjut, tetesan hujan yang terintersepsi oleh kanopi dapat bergabung pada daun membentuk tetesan yang lebih besar yang mana lebih erosif. Efek ini diteliti terutama dalam hubungan dengan kanopi hutan, Chapman 1948 dibawah hutan pinus di Amerika serikat, Budiriyanto dan Romdhoni1979 dibawah tegakan hutan Acacia di Indonesia dan Mosley 1982 dibawah hutan di New Zealand, semua menunjukkan bahwa kadang intersepsi oleh kanopi mengurangi volume air hujan yang mencapai permukaan tanah , tetapi tidak secara nyata mengurangi energi kinetik yang mana kadang meningkat bila dibandingkan dengan energi kinetik yang jatuh di tanah terbuka. Hal ini dapat disebabkan karena jumlah yang besar pada hujan sebagai hasil dari bergabungnya tetesan hujan pada daun-daun (Morgan,1986). Penelitian pada kanopi yang tumbuh lebih rendah lebih sedikit dilakukan. McGregor dan Mutchler 1978 menemukan bahwa kapas mengurangi volume hujan mencapai permukaan tanah tetapi meningkatkan nilai tengah volume ukuran jatuhan dengan tetesan yang lebih besar terekam sebagai tetesan daun dari batas luar tanaman. Jadi ketika energi kinetik dari hujan mengurangi 95 persen dibawah 28 kanopi dan 75 persen di keseluruhan, secara lokal meningkatkan antara barisan dimana tetesan-tetesan hujan meningkat. Finney 1984 menunjukkan di penelitian laboratorium bahwa tunas Brussel (dari Family Cabbage), bit gula dan kentang mengurangi volume dari hujan pada permukaan tanah dan energi hujan baik dibawah kanopi maupun dari tetesan-tetesan daun. Tetesan – tetesan hujan jatuh secara terus menerus pada tanah yang jenuh di satu titik, dapat menghasilkan lebih banyak pelepasan per unit energi hujan dibanding hujan pada tanah terbuka. Meningkatnya laju pelepasan per unit energi dengan meningkatnya pelindung kanopi dicatat oleh Noble dan Morgan 1983 pada penelitan laboratorium lainnya dibawah tegakan tunas Brussels dimana rata-rata pelepasan tanah pada pelindung kanopi antara 10 hingga 25 persen ternyata sama dengan tanah terbuka.Quin dan Laflen 1983 melaporkan bahwa jagung mengurangi energi hujan pada permukaan tanah sekitar 50 persen dibanding di tanah terbuka dan tetesan daun terhitung dapat mencapai 31 persen dibanding energi total yang jatuh. Morgan 1985 menemukan bahwa pelepasan dibawah tegakan jagung dengan 88 persen pelindung kanopi 14 kali lebih besar dibandingkan pada tanah terbuka dengan 100 m/jam dan 2.4 kali lebih besar dengan intensitas 50 mm/jam. Penelitian serupa dibawah tegakan kacang kedelai menunjukkan pengurangan laju pelepasan tanah seiring meningkatnya kanopi, sehingga pada 90 persen pelindung menjadi 0.2 kali pada lahan terbuka dengan intensitas hujan 100m/jam dan 0.6 kali untuk intensitas 50 mm/jam (Morgan,1986). Pelindung tanaman dapat menjadi peran yang penting dalam mengurangi erosi asal saja bagiannya sesuai dengan permukaan tanah. Secara keseluruhan hutan merupakan yang paling efektif tetapi pertumbuhan rumput yang padat dapat sangat efisien. Tanaman pertanian bervariasi sesuai dengan tahap pertumbuhan dan jumlah tanah terbuka terhadap erosi pada masa dewasa. Menurut Fournier 1972, Elwel dan Stocking 1976, untuk perlindungan yang cocok, sekitar 70 persen dari permukaan tanah harus terlindungi, tetapi menurut Shaxon 1981, perlindungan yang memungkinkan dapat dicapai pada perlindungan sekitar 40 persen. Sebagaimana yang disebutkan di depan bahwa pada kondisi tertentu 29 perlindung tanaman dapat memperuncing erosi. Ketika menggunakan tanaman sebagai pelindung sebagai pengendalian erosi sangat penting kondisi-kondisi ini secara jelas dimengerti (Morgan,1986). Pengukuran erosi percikan dibawah pohon akasia dan jabon (Anthocephalus Sinensis ) di Jatiluhur (Lembaga ekologi, 1980) dan di talun serta pekarangan (Ambar,1986; Soemarwoto 1984 ) menunjukkan erosi percikan dibawah pohon lebih besar daripada erosi percikan air hujan. Kenaikan erosi disebabkan oleh lebih besarnya volume air lolosan yang mempunyai dua efek yaitu massa air lolosan naik dan kecepatan terminal yang didapatkan oleh tetesan tersebut juga besar, dengan demikian energi kinetik pun makin besar. Percobaan dihutan dengan perlakuan membuang tumbuhan bawah dan seresah menunjukkan bahwa erosi yang terjadi meningkat sebesar 2 hingga 2.5 kali apabila tumbuhan bawah dierosi dan meningkat 40 hingga 140 kali jika tumbuhan bawah dan seresah dibuang. Hal ini menunjukkan dengan jelas peranan perlindungan terhadap erosi terutama dilakukan oleh seresah dan oleh tumbuhan bawah. Tabel II.5 Pengaruh seresah dan tumbuhan penutup tanah terhadap erosi Hutan Akasia Hutan Campuran kg/petak * kg/m2/th ** Seresah dan penutup tanah 14.95 0.03 2 Hanya seresah tanpa penutup tanah 38.65 0.06 3 Tanpa seresah tanpa penutup tanah 586.65 4.39 No. Macam penutup tanah 1 Sumber : * Lembaga Ekologi, 78/79, ** Coster, 1938, dalam Soemarwotto (1991) Menurut Soemarwotto (1991) erosi itu disebabkan oleh kombinasi tekanan penduduk yang besar dan cara bercocok tanam yang kurang baik. Penghijauan dengan pohon-pohon yang tidak membentuk tajuk yang berlapis dan seresah serta tanpa adanya tumbuhan penutup tanah tidak akan efektif dalam melindungi tanah terhadap erosi bahkan memperbesar. Sistem sawah sangat efektif untuk mencegah erosi, karena dengan dibentuknya petak-petak sawah akan mendorong dibuatnya 30 sengkedan untuk sawah. Sistem pekarangan dan talun efektif juga dalam mengurangi erosi. Pekarangan terdapat didalam daerah pemukiman sedangkan talun terdapat di luar pemukiman. II.4 Erosi yang Diijinkan Erosi merupakan proses alamiah yang tidak bisa dihilangkan, khususnya lahanlahan yang diusahakan untuk pertanian. Tindakan yang dapat dilakukan adalah mengusahakan supaya erosi yang terjadi masih dibawah ambang batas yang maksimum, yaitu besarnya erosi yang tidak melebihi laju pembentukan tanah. Hal ini penting dilakukan pada lahan – lahan pertanian untuk membatasi tanah yang hilang, sehingga produktivitas lahan dapat dipertahankan. Laju kehilangan tanah dapat diukur sedangkan laju pembentukan tanah yang berlangsung sangat lambat tidak mudah ditentukan. Menurut Buol, Hole dan McCracken 1973 dalam Suripin (2001) laju pembentukan tanah di seluruh muka bumi berkisar antara 0,01 sampai 7,7 mm/tahun. Laju yang sangat cepat merupakan perkecualian, karena rata-rata laju pembentukannya adalah 0,2 mm/tahun. Laju pembentukan tanah sebesar 0,1 mm/tahun setara dengan 0.12 kg/m2/tahun atau 1.2 ton /ha/tahun. Dalam kaitannya dengan laju erosi, Hudson 1976 menyarankan besarnya erosi maksimum yang masih dibiarkan berkisar antara 2.5 – 12.5 ton/ha/tahun terutama untuk tanah-tanah di Amerika Serikat. Tanah – tanah di Afrika tengah besarnya erosi maksimum yang masih dapat dibiarkan untuk tanah berpasir sebesar 10 ton/ha/tahun, dan untuk tanah liat sebesar 12.5 ton/ha/tahun. 31 Tabel II.6 Batas maksimum laju erosi yang dapat diterima untuk berbagai macam kondisi tanah. Kondisi tanah Skala makro (misal DAS) Laju erosi ( kg/m2/th) Sumber 0.2 Morgan (1980) 0.6 – 1.1 Wischemeier & Smith 1978 Skala meso (misal lahan pertanian) Tanah berlempung tebal dna subur (MidWest,USA) Tanah dangkal yang mudah tererosi Tanah berlempung tebal, yang berasal dari endapan vulkanik 0.2 – 0.5 1.3 – 1.5 Hudson (1971) Smith & Stamey (1965) Hudson (1971) Tanah yang mempunyai kedalaman : 0 – 25 cm 0.2 25 – 50 cm 0.2 – 0.5 50 – 100 cm 0.5 – 0.7 100 – 150 cm 0.7 – 0.9 > 150 cm 1.1 Arnoldus (1977) Tanah tropika yang sangat mudah tererosi 2.5 Morgan (1980) Skala Mikro (misal DAS terbangun) 2.5 Morgan (1980) Tanah dangkal diatas batuan 0.112 Tanah dalam diatas batuan 0.224 Tanah lapisan dalam padat diatas batuan lunak Tanah dengan permeabilitas lambat diatas batuan lunak Tanah yang permeabel diatas batuan lunak 0.448 Homson (1957) 1.121 Suwardjo, dkk 1975 1.341 Sumber : Suripin, 2001. II.5 Prediksi Erosi Sejumlah metode prediksi erosi lahan dan sedimen yield telah banyak dikembangkan. Metode USLE (Universal Soil Loss Equation) dikembangkan oleh Wischeimer dan Smith (1978) merupakan metode yang digunakan untuk memprediksi erosi dari plot penelitian, metode AGNPS (Agricultural Non Point Source Pollution Model) oleh Young (1989) metode WEPP (Water Erosion Prediction Project) oleh Lane dan Nearing (1989), Metode MMF (Morgan- 32 Morgan-Finney) oleh R.P.C. Morgan, D.D.V. Morgan dan Finney (1982). Metode – metode yang telah dikembangkan merupakan model empiris (parametrik) yang dikembangkan berdasarkan proses hidrologi dan fisis yang terjadi selama peristiwa erosi dan pengangkutannya dari DAS ke titik yang ditinjau (Suripin, 2001). Wischeimer dan Smith (Foth, 1995) membuat rumus dugaan besarnya erosi sebagai berikut : A = R × K × L × S × C × P.................................................................(II.12) Dimana A adalah besarnya dugaan erosi dihitung per unit area (ton/are), R adalah faktor curah hujan merupakan jumlah unit indeks erosi pada hujan tahunan normal. Indeks erosi adalah suatu ukuran dari gaya mengikis curah hujan tertentu, K adalah faktor erodibilitas tanah yaitu laju erosi per unit indek erosi untuk tanah tertentu dengan pengolahan tanah yang dibajak dan dengan kemiringan 9 persen. L adalah faktor panjang lereng merupakan rasio hilangnya tanah dari panjang lereng lapang terhadap hal yang sama pada 72,6 feet pada tipe dan kemiringan tanah yang sama, S adalah faktor kemiringan lereng yaitu adalah rasio hilangnya tanah pada kemiringan lapang terhadap kemiringan 9 persen dan P adalah faktor tindakan konservasi tanah. II.5.1 Indeks erosivitas hujan (R) Faktor curah hujan merupakan ukuran gaya mengikis curah hujan tertentu. Gaya mengikis yang tersedia dihubungkan dengan kuantitas maupun intensitas curah hujan. Curah hujan atau faktor R adalah jumlah energi kinetik dilipatkan dengan intesitas maksimum dalam waktu 30 menit untuk setiap hujan lebat selama tahun yang bersangkutan. R dihitung dengan rumus : R= (EI30 ) 100 dan E = 210 + 89 log I ................................................(II.13) 33 Dimana : R = indeks erosivitas hujan; E = energi kinetis hujan (ton m.ha-1cm hujan-1); I = intensitas hujan (cm/jam), dan I30 = intensitas tertinggi selam 30 menit (cm.jam-1). Bols menggunakan data curah hujan bulanan di 47 stasiun penakar hujan di pulau jawa yang dikumpulkan selama 38 tahun untuk menghitung erosivitas hujan tahunan dalam hubungannya dengan erosi alur dalam jangka lama dari lahan berlereng antara 3-20%, menggunakan rumus : EI30 = 6,119 (R)1,21 (H) −0, 47 (R m ) 0,53 .....................................................(II.14) Dimana : EI30 = indeks erosivitas hujan bulanan rata-rata; R = curah hujan ratarata bulanan (cm); H = jumlah hari hujan rata-rata bulanan (hari); Rm = curah hujan maksimum 24 jam bulanan (cm). Asdak (2001) mengungkapkan rumus yang digunakan oleh Lenvain (1989) untuk menentukan faktor R atau indeks erosivitas yang didasarkan pada kajian erosivitas hujan dengan menggunakan data curah hujan dari beberapa tempat di pulau jawa. R = 2,21 P1,36 ....................................................................................(II.15) Abdurachman (1989) menggunakan data hujan dan data erosi dari sembilan stasiun selama 3 sampai 8 tahun pengamatan menemukan indeks erosivitas hujan yang dihitung dengan rumus : (Q RE = 0 , 678 ) × Pm .........................................................................(II.16) 40,056 × D0,349 ( 2,263 ) Dimana : RE = rata – rata indeks erosivitas hujan (unit /bulan); Q = rata – rata jumlah hujan bulanan (cm/bulan); Pm = rata – rata curah hujan maksimum per hari (cm ) D = rata – rata jumlah hari hujan per bulan. Pada tempat – tempat tertentu di pulau Jawa untuk mendapatkan nilai R dapat diperoleh dari Peta Erosivitas hujan. Peta tersebut umumnya telah dibuat untuk 34 DAS –DAS utama di pulau Jawa, antara lain, DAS Cimanuk, DAS Citarum, DAS Brantas (Asdak, 2001). Faktor energi erosifitas atau Rr merupakan jumlah erosi akibat hujan untuk semua hujan selama perioda prediksi. Untuk hujan tunggal Novotny (1981) mendefinisikan sebagai : Rr = ∑ [(2.29 + 1.15 log Xi ) Di] I ........................................................(II.17) Dimana : i= Hyterograph hujan per interval waktu Di = Hujan selama waktu interval (cm) I = Intensitas hujan 30 menit maksimal dari hujan. Xi = Intensitas hujan (cm/hr) Baik erosifitas hujan maupun penghancuran partikel tanah oleh limpasan air permukaan berkontribusi pada kehilangan tanah. Oleh karena itu faktor hujan R harus memasukkan efek dari limpasan air permukaan. R = a Rr + b c Q q 1/3 ...........................................................................(II.18) Dimana : a dan b = parameter pemberat, weighting parameter (a+b = 1) c = Koefisien persamaan Q = Volume runoff (cm) q = Maksimum runoff rate (cm/hr) Faktor parameter pemberat merupakan perbandingan antara jumlah erosi yang disebabkan hujan dan runoff dalam kondisi satuan. Disarankan bahwa pelepasan partikel tanah oleh runoff dan energi erosivitas hujan dibagi sama (a = b = 0.5). Koefisien persamaan c dalam Satuan Internasional sekitar 15.0. Dengan mensubtitusi nilai untuk a, b, c kedalam persamaan USLE, maka faktor hujan R menjadi : 35 R = 0.5 Rr + 7.5 Q q 1/3 ........................................................................(II.19) II.5.2 Erodibilitas tanah (K) Faktor erodibilitas tanah menunjukkan resistensi partikel tanah terhadap pengelupasan dan transportasi partikel – partikel tanah oleh adanya energi kinetik air hujan. Faktor-faktor tanah yang mempengaruhi erodibilitas adalah yang mempengaruhi tingkat infiltrasi, permeabilitas dan total kapasitas air; dan yang menahan penghamburan, percikan, kikisan dan gaya mengangkut curah hujan dan aliran permukaan. Percobaan untuk menentukan faktor erodibilitas dilakukan pada tahun 1930 pada 23 petak tanah utama dengan petak 72,6 feet pada kemiringan 9 persen dipertahankan dengan pemberaan, dengan pengolahan seluruhnya menurut panjang lereng, ditentukan dan dibagi menurut faktor curah hujan. Wischmeier (1971) dalam Asdak (2001) mengembangkan persamaan matematis yang menghubungkan karakteristik tanah dengan tingkat erodibilitas tanah seperti disebut dibawah ini: 2,5 (P - 3) ⎫ ⎧ K = ⎨2,71 × 10- 4 (12 − OM ) M1,14 + 3,25 (S - 2) + ⎬ ...............(II.20) 100 ⎭ ⎩ K = erodibilitas tanah ; OM = persen unsur organik ; S = kode klasifikasi struktur tanah (granular, platy, massive dan lain – lain ) ; P = permeabilitas tanah, dan M = persentase ukuran partikel (% debu + pasir sangat halus) × (100 - % liat). Tabel II.7 berikut menunjukkan nilai M untuk beberapa kelas tekstur tanah yang telah ditentukan. Nilai erodibilitas tanah dapat diperoleh dengan menggunakan Nomograf dan rumus – rumus tertentu. Nomograf erosi tanah ditunjukkan pada Gambar II.1, digunakan untuk menentukan nilai faktor erodibilitas tanah dengan menggunakan 5 parameter tanah. Parameter itu adalah persen lanau + persen pasir halus, yang memiliki fraksi 0.05 hingga 0.1 mm, persen pasir > 0.1 mm, persen bahan 36 organik, kelas tekstur dan permeabilitas. Besarnya erodibilitas tanah secara umum ditunjukkan dalam tabel II.8. Tabel II.7 Nilai M untuk beberapa kelas tekstur tanah. Kelas tekstur tanah Nilai M Kelas tekstur tanah Nilai M Lempung berat 210 Pasir geluhan 1245 Lempung sedang 750 Geluh lempungan 3770 Lempung pasiran 1213 Geluh pasiran 4005 Lempung ringan 1685 Geluh 4390 Geluh lempung 2160 Geluh debuan 6330 Pasir lempung debuan 2830 Debu 8245 Campuran merata 4000 Pasir 3035 Sumber : RLKT DAS Citarum (1987) dalam Asdak (2001) Menurut Wischmeier et.al (1971) dalam Abdurachman erodibilitas tanah merupakan fungsi dari kadar debu, pasir, dan bahan organik tanah, serta struktur dan permeabilitas tanah. Abdurachman mendapatkan rumus perhitungan nilai erodibilitas K melalui percobaan laboratorium menggunakan “Rainfall simulator” , sebagai berikut : K = 3,075 + 3,23 × 10 - 4 X 1 − 0,024 X 2 − 2,418 X 3 + 0,068 (I2 − X 4 ) − 0,07 (X 5 − 3) − 0,135 (X 6 − 2) .....................(II.21) Dimana : K = erodibilitas tanah X1 = parameter M (% debu + pasir sangat halus) × (100 - % liat) ; X2 = stabilitas tanah (indeks stabilitas tanah × % agregat > 2 mm) ; X3 = kerapatan lindak (BD, g/cc) ; X4 = kandungan bahan organik tanah (%) ; X5 = kelas permeabilitas profil tanah; X6 = kode struktur tanah. Selain dapat diperoleh dengan menggunakan nomograf besarnya faktor K untuk beberapa tempat di Indonesia telah ditentukan oleh Pusat Penelitian Tanah, Bogor. Tabel II.8 berikut adalah beberapa angka erodibilitas tanah menurut jenis tanah. 37 Tabel II.8 Kelas Tekstur Faktor erodibilitas tanah K K untuk kandungan bahan organik % < 0.5 2 4 Sand Pasir 0.05 0.03 0.02 Fine sand Pasir halus 0.16 0.14 0.10 Very fine sand Pasir sangat halus 0.42 0.36 0.28 Loamy sand Pasir berlempung 0.12 0.1 0.08 Pasir halus 0.24 0.2 0.16 sand berlempung Loamy very fine Pasir sangat halus 0.44 0.38 0.3 sand berlempung Sandy loam Lempung berpasir 0.27 0.24 0.19 Fine sandy loam Lempung halus 0.35 0.3 0.24 sangat 0.47 0.41 0.33 Loamy fine berpasirr Very fine sandy Lempung loam halus berlempung Loam Lempung 0.38 0.34 0.29 Silt loam Lempung berlanau 0.48 0.42 0.33 Silt Lanau 0.6 0.52 0.42 Sandy clay loam Liat 0.27 0.25 0.21 lempung berpasir Clay loam Liat berlempung 0.28 0.25 0.21 Silty clay loam Liat 0.37 0.32 0.26 lempung berlanau Sandy clay Liat berpasir 0.14 0.13 0.12 Silty clay Liat berlanau 0.25 0.23 0.19 Clay Liat Sumber: Novotny (1981). 0.13 – 0.2 38 Tabel II.9 Prakiraan besarnya nilai K untuk jenis tanah di daerah tangkapan air Jatiluhur, Jawa Barat. Jenis klasifikasi tanah Nilai K rata – rata (metrik) Latosol merah 0,12 Latosol merah kuning 0,26 Latosol coklat 0,23 Latosol 0,31 Regosol 0,12 – 0,16 Regosol 0,29 Regosol 0,31 Gley humic 0,13 Gley humic 0,26 Gley humic 0,20 Lithosol 0,16 Lithosol 0,29 Grumosol 0,21 Hydromorf abu – abu 0,20 Sumber : Lembaga ekologi dalam Asdak (2001). II.5.3 Panjang Lereng (L) dan Kemiringan Lereng (S) Panjang lereng dibatasi sebagai jarak dari titik puncak diatas lahan menuju ke titik lainnya dimana lereng menurun sampai luasan dimana pengendapan terjadi, atau titik dimana aliran permukaan memasuki saluran dengan batas yang jelas. Aliran permukaan di lereng bagian atas akan meningkatkan aliran air pada lereng dibagian bawahnya. Selama kemiringan atau persen kemiringan meningkat, kecepatan aliran permukaan meningkat, yang meningkatkan kekuatan mengikis tanah. Erosi karena percikan, percikan partikel-partikel tanah kedalam udara oleh pukulan butir-butir air hujan menyebabkan gerakan murni tanah ke arah bawah lereng. Kombinasi panjang lereng dan faktor-faktor kemiringan (LS) yang digunakan dalam persamaan untuk menduga hilangnya tanah diberikan pada Gambar II.2. 39 Gambar II.2 Peta pengaruh kemiringan pada faktor topografik LS Sumber : Foth, 1995 Faktor panjang dan kemiringan lereng (L dan S) disatukan menjadi faktor LS dan dihitung menjadi: ( ) LS = L 1/2 × 0,00138s + 0.00965 S + 0,0138 .......................................(II.22) Dimana : L = Panjang lereng (m) S = Kemiringan lereng (%) Rumus diatas diperoleh dari percobaan dengan menggunakan plot erosi pada lereng 3 – 18 %, sehingga tidak memadai untuk lereng yang terjal. Untuk lahan berlereng terjal disarankan menggunakan rumus berikut (Asdak, 2001): LS = ( [ ] l m ) × C ( cosα )1,50 × 0,5 (sin α )1,25 + (sin α ) 2,25 ...................(II.23) 22 Dimana : m = 0,5 untuk lereng 5 % atau lebih 0,4 untuk lereng 3,5 – 4,9 % 0,3 untuk lereng 3,5 % C = 34,71; α = sudut lereng; l = panjang lereng 40 II.5.4 Pengelolaan Tanaman (C) dan faktor Konservasi (P) Vegetasi penutup tanah, dapat mengabsorbsi energi kinetik butir-butir air hujan yang jatuh dan mengurangi potensi mengikis dari hujan. Vegetasi sendiri menahan sejumlah air dan memperlambat aliran air permukaan. Faktor C mengukur kombinasi pengaruh semua hubungan variabel penutup dan variabel pengelolaan, termasuk tipe pengolahan tanah, sisa akibat pengelolaan, waktu perlindungan tanah dengan vegetasi dan seterusnya. Besarnya angka C tidak selalu sama dalam kurun waktu satu tahun. Tabel II.10 menunjukkan beberapa angka C yang diperoleh dari hasil penelitian Pusat Penelitian Tanah, Bogor di beberapa daerah di Jawa. Faktor P adalah nisbah antara tanah tererosi rata – rata dari lahan yang mendapat perlakuan konservasi tertentu terhadap tanah tererosi rata – rata dari lahan yang diolah tanpa tindakan konservasi, dengan catatan faktor – faktor penyebab erosi yang lain diasumsikan tidak berubah. Besarnya faktor P yang telah berhasil ditentukan berdasarkan penelitian di Pulau Jawa adalah seperti tersebut pada Tabel II.11. Sedangkan Faktor P untuk pertanaman menurut kontur dan tanaman dalam teras ditunjukkan pada Tabel II.12. Nilai faktor pengelolaan tanaman didapat dengan membandingkan jumlah tanah tererosi dari petak pertanaman yang dilakukan dengan jumlah tanah tererosi dari petak kontrol dalam waktu yang sama. A ...........................................................................(II.24) (R × K × LS × P ) C= Nilai faktor tindakan konservasi adalah jumlah erosi yang terjadi pada lahan yang telah dilakukan tindakan konservasi dibandingkan dengan erosi yang terjadi pada lahan tanpa tanaman tanpa tindakan konservasi tanah atau dapat dihitung dengan persamaan : P= A ..............................................................................(II.25) (R × K × LS × C) 41 Tabel II.10 Nilai C untuk berbagai jenis tanaman dan pengolahan tanaman Jenis Tanaman / Tataguna Lahan Tanaman rumput (Brachiaria sp.) Jenis Tanaman / Tataguna Nilai C Lahan 0,290 Pola tanam berurutan Nilai C 0,398 Pola tanaman tumpang gilir + Tanaman kacang jogo 0,161 mulsa sisa tanaman 0,357 Tanaman gandum 0,242 Kebun campuran 0,2 Tanaman ubi kayu 0,363 Ladang berpindah 0,4 Tanaman kedelai 0,399 Tanah kosong diolah 1,0 Tanaman serai wangi 0,434 Tanah kosong tidak diolah 0,950 Tanaman padi lahan kering 0,560 Hutan tidak terganggu 0,001 Tanaman padi lahan basah 0,010 Semak tidak terganggu 0,010 Tanaman jagung 0,637 Alang - alang permanen 0,020 Tanaman jahe, cabe 0,900 Alang - alang dibakar 0,700 Sengon disertai semak 0,012 Tanaman kentang ditanam searah lereng 1 Tanaman kentang ditanam searah kontur Sengon tidak disertai semak 0,350 tanpa seresah 1,000 0,079 Pohon tanpa semak 0,320 Pola tanam tumpang gilir + mulsa jerami (6 ton /ha/th) Pola tanam berurutan + mulsa sisa tanaman 0,347 Sumber : Abdurachman dkk, 1984 dalam Asdak 2001. 42 Tabel II.11 Nilai faktor P pada berbagai aktivitas konservasi tanah di Jawa Teknik Konservasi Tanah Nilai P Teknik Konservasi Tanah Nilai P Tanaman dalam jalur - jalur : jagung - kacang tanah + mulsa Teras bangku 0,05 a. baik 0,20 Mulsa limbah jerami b jelek 0,35 a. 6 ton/ha/tahun 0,30 Teras bangku : jagun-ubi kayu/ kedelai 0,06 b. 3 ton/ha/tahun 0,50 Teras bangku : sorghum - sorghum 0,02 c. 1 ton/ha/tahun 0,80 Teras tradisional 0,40 Tanaman perkebunan Teras gulud : padi - jagung 0,01 a. disertai penutup tanah rapat 0,10 Teras gulud : ketela pohon 0,06 b. disertai penutup tanah sedang 0,50 sisa tanaman 0,01 Padang rumput Teras gulud : kacang kedelai 0,11 a. baik 0,04 b. jelek 0,40 Teras gulud : jagung - kacang + mulsa Tanaman dalam kontur a. kemiringan 0 - 8 % 0,50 b. kemiringan 9 - 20 % 0,75 c. kemiringan >20 % 0,90 Sumber : Abdurachman dkk, 1984 dalam Asdak 2001. Tabel II.12 Faktor P untuk pertanaman menurut kontur dan tanaman dalam teras. Nilai P Kemiringan lereng (%) Kontur Tanaman jalur Teras dlm kontur a b 2-7% 0,50 0,25 0,50 0,10 8 - 12 % 0,60 0,30 0,60 0,12 13 - 18 % 0,80 0,40 0,80 0,16 19 - 24 % 0,90 0,45 0,90 0,18 Sumber : Soil Conservation Service, 1972 dalam Asdak 2001. Menurut Asdak 2001, Penilaian faktor P di lapangan lebih mudah bila digabungkan dengan faktor C karena dalam kenyataannya, kedua faktor tersebut berkaitan erat. Beberapa penelitian dilakukan di pulau Jawa untuk mendapatkan nilai CP, Tabel II.13 menunjukkan perkiraan Nilai CP. 43 Tabel II.13 Perkiraan nilai faktor CP berbagai jenis penggunaan lahan di Jawa. Konservasi dan pengelolaan Tanaman Nilai CP Hutan : a. tak terganggu 0,01 b. tanpa tumbuhan bawah, disertai serasah 0,05 c. tanpa tumbuhan bawah, tanpa serasah 0,50 Semak : a. tak terganggu 0,01 b. sebagian berumput 0,10 Kebun : a. kebun - talun 0,02 b. kebun - pekarangan 0,20 Perkebunan : a. penutupan tanah sempurna 0,01 b. penutupan tanah sebagian 0,07 Perumputan : a. penutupan tanah sempurna 0,01 b. penutupan tanah sebagian ; ditumbuhi alang - alang 0,02 c. alang - alang : pembakaran sekali setahun 0,06 d. serai wangi 0,65 Tanaman pertanian a. umbi-umbian 0,51 b. biji - bijian 0,51 c. kacang - kacangan 0,36 d. campuran 0,43 e. padi irigasi 0,02 Perladangan : a. 1 tahun tanam - 1 tahun bero 0,28 b. 1 tahun tanam - 2 tahun bero 0,19 Pertanian dengan konservasi : a. mulsa 0,14 b. teras bangku 0,04 c. contour cropping 0,14 Sumber : Abdurachman dkk, 1984 ; Ambar dan Syafrudin, 1979 dalam Asdak 2001. 44 II.6 Presipitasi 1. Jumlah presipitasi Presipitasi adalah nama umum dari uap yang terkondensasi dan jatuh ke tanah dalam rangkaian proses siklus hidrologi. Jumlah presipitasi dinyatakan dengan dalamnya presipitasi dengan satuan dalam milimeter. 2. Intensitas curah hujan Derajat curah hujan biasanya dinyatakan oleh jumlah curah hujan dalam suatu satuan waktu dan disebut intensitas curah hujan. Satuan yang digunakan adalah mm/jam. Maka intensitas hujan adalah jumlah curah hujan dalam waktu relatif singkat, biasanya dalam waktu 2 jam. Derajat curah hujan dan intensitas curah hujan dapat dilihat pada tabel II.14. Sedangkan keadaan curah hujan pada tabel II.15. Tabel II.14 Derajat hujan Derajat curah hujan dan intensitas curah hujan Intensitas curah hujan (mm/min) Hujan sangat lemah < 0,02 Hujan lemah 0,02-0,05 Hujan normal 0,05-0,25 Kondisi Tanah agak basah atau dibasahi sedikit Tanah menjadi basah semuanya, tetapi sulit membuat pudel Dapat dibuat pudel dan bunyi curah hujan kedengaran Air tergenang di seluruh permukaan Hujan deras 0,25-1 tanah dan bunyi keras hujan kedengaran dari genangan Hujan sangat deras >1 Hujan seperti ditumpahkan, saluran dan drainase meluap Sumber : Foth, 1995 3. Pengamatan curah hujan Pengamatan curah hujan dilakukan oleh alat ukur curah hujan. Ada 2 jenis alat yang digunakan untuk pengamatan, yakni jenis biasa dan jenis otomatis. Alat ukur ini ditempatkan di tempat terbuka dan tidak dipengaruhi oleh pohon-pohon dan gedung-gedung. 45 Tabel II.15 Keadaan curah hujan terhadap intensitas curah hujan Keadaan curah hujan Intensitas curah hujan (mm) 1 jam 24 jam Hujan sangat ringan >1 <5 Hujan ringan 1-5 5-20 Hujan normal 5-20 20-50 Hujan lebat 10-20 50-100 >20 >100 Hujan sangat lebat Sumber : Foth, 1995 II.7 Limpasan Air Permukaan Limpasan Air Permukaan adalah bagian dari curah hujan yang mengalir di atas permukaan tanah menuju sungai danau dan lautan. Air hujan yang jatuh ke permukaan tanah ada yang masuk kedalam tanah atau air infiltrasi, sebagian tidak sempat masuk ke dalam tanah dan mengalir di atas permukaan tanah ke tempat yang lebih rendah. Pada tanah yang hampir atau telah jenuh, air tersebut keluar ke permukaan tanah dan lalu mengalir ke bagian yang lebih rendah. Kedua fenomena aliran air permukaan yang disebut terakhir tersebut disebut aliran permukaan. Sebelum air mengalir di atas permukaan tanah, curah hujan terlebih dahulu harus memenuhi keperluan air untuk evaporasi, intersepsi, infiltrasi dan berbagai bentuk cekungan tanah dan bentuk penampung air lainnya (Asdak, 1991). Limpasan air permukaan berlangsung ketika jumlah curah hujan melampaui laju infiltrasi ari ke dalam tanah. Setelah laju infiltrasi terpenuhi, air mulai mengisi cekungan-cekungan pada permukaan tanah. Setelah pengisian air pada cekungan tersebut selesai, air kemudian dapat mengalir di atas permukaan tanah dengan bebas. Ada bagian yang berlangsung agak cepat untuk selanjutnya membentuk aliran debit. Bagian limpasan air permukaanlain, karena melewati cekungancekungan permukaan tanah sehingga memerlukan waktu beberapa hari atau bahkan beberapa minggu sebelum akhirnya menjadi aliran debit (Asdak, 1991). Faktor – faktor yang mempengaruhi limpasan air permukaan dapat dikelompokkan menjadi faktor – faktor yang berhubungan dengan iklim, terutama curah hujan dan yang berhubungan dengan karakteristik daerah aliran sungai. 46 Lama waktu hujan, intensitas dan penyebaran hujan mempengaruhi laju dan volume air larian. Limpasan air permukaan total untuk suatu hujan secara langsung berhubungan dengan lama hujan untuk intensitas hujan tertentu. Infiltrasi akan berkurang pada tingkat awal suatu kejadian hujan. Oleh karenanya, hujan dengan waktu yang singkat tidak banyak menghasilkan air larian. Pada hujan dengan intensitas yang sama dan dengan waktu yang lebih lama, akan menghasilkan limpasan air permukaan yang lebih besar (Asdak, 1991). Intensitas hujan akan mempengaruhi laju dan volume air larian. Pada hujan dengan intensitas tinggi, kapasitas infiltrasi akan terlampaui dengan beda yang cukup besar dibandingkan dengan hujan yang kurang intensif. Dengan demikian, total volume limpasan air permukaan akan lebih besar pada hujan intensif dibandingkan dengan hujan yang kurang intensif meskipun curah hujan total untuk kedua hujan tersebut sama besarnya. Namun demikian, hujan dengan intensitas tinggi dapat menurunkan infiltrasi akibat kerusakan struktur permukaan tanah yang ditimbulkan oleh tenaga kinetis hujan dan limpasan air permukaan yang dihasilkan. Pengaruh daerah aliran sungai terhadap limpasan air permukaan adalah melalui bentuk dan ukuran daerah aliran sungai (Asdak, 1991). II.8 Model limpasan air permukaan Estiworo (2003) menggunakan Model ISTFM (Integrated System Tropical Flow Model) yaitu model komputer untuk memprediksi debit air limpasan dari curah hujan pada daerah tangkapan waduk yang dibuat berdasar prinsip keseimbangan air dalam segmen. Penggunaan model ini dilakukan untuk mendapatkan data debit air limpasan yang kemudian dilanjutkan dengan model yang sesuai dengan penelitiannya yaitu mengenai prediksi Nitrogen pada waduk yaitu model TREM sebagai perhitungan massa air dalam waduk dan perpindahannya yang dibuat berdasarkan persamaan komunitas. Model perkiraan limpasan dilakukan pada daerah tangkapan yang telah tersegmentasi. Konsep runoff diubah secara ideal pada segmen kecil, berdasar pada prinsip keseimbangan air. Model ini mengkombinasikan karakteristik area 47 tangkapan dan data curah hujan untuk memproduksi aliran air. Karakteristik fisik area meliputi konduktivitas hidrolik, porositas tanah, gradient permukaan, dan data curah hujan yang terdiri dari data intensitas hujan pada interval waktu tertentu. Formulasi matematika yang telah dikembangkan ini berdasarkan pada asumsi bahwa kecepatan aliran air dan aliran limpasan adalah konstan selama terjadi hujan, dan untuk menyederhanakan persamaan ini gradient hidraulik di lapisan permeable yang sangat tipis diasumsikan sama dengan kemiringan permukaan tanah. Sebagai tambahan, waktu perlambatan atau lag time antara pusat dari curah hujan dan runoff yang diproduksi adalah konskuensi dari waktu untuk mengalir dari titik hasil perhitungan hidrograf dan waktu dimulainya aliran permukaan (Sudjono, 1995). Adapun model yang perkiraan limpasan ini memiliki dasar teori dari Horton (1933) mengenai teori inflitrasi pada limpasan air permukaan atau runoff. Horton memiliki asumsi bahwa kelebihan intensitas hujan melewati kapasitas infiltrasi merupakan sumber utama limpasan air permukaan menghasilkan puncak hidrograph sungai dan semua infiltrasi akan menjadi air tanah dan merupakan sumber utama dari bagian aliran dasar atau baseflow dari hidrograph. Horton mengasumsikan bahwa pada semua variabel slope hidrologi, kapasitas infiltrasi dari permukaan tanah merupakan cara yang paling mudah dalam keakuratan pengukuran, dan untuk itu, dengan bantuan data intensitas hujan, baik limpasan air permukaan maupun infiltrasi total kedalam air tanah dapat ditentukan (Kirby,1978). Dalam bentuk yang sederhana, teori infiltrasi sebagai prediksi limpasan air permukaan yang memperpanjang hujan turun di kemiringan lereng pada drainase basin, memiliki kapasitas infiltrasi awal yang seragam, bila intensitas lebih besar daripada batas bawah kapasitas infiltrasi, pada akhirnya menghasilkan limpasan air permukaan (Hortonian) melebihi atau kurang secara bersamaan di seluruh basin setelah pemisahan awal yang berhubungan dengan penyimpanan permukaan. Limpasan air permukaan ini ditentukan sebagai sumber utama penyumbang puncak hidrograph sungai limpasan air permukaan akibat hujan dan 48 bertambah secara seragam dari seluruh bagian daerah aliran sungai, khususnya setelah melalui waktu yang cukup untuk aliran sungai basin mencapai kondisi steady yang diakibatkan hujan yang berlebih. Pada saat tersebut, limpasan air permukaan Horton yang steady terjadi di seluruh kemiringan lereng, yang dikaitkan dengan peningkatan sederhana dari keluaran downslope yang mana kedalaman aliran dihubungkan terhadap jarak (Kirby,1978). Gambar II.3 Profil Hillslope, proses limpasan air permukaan dan erosi sesuai dengan model klasik Horton, Xc Jarak downslope kritis. Sumber: Kirby (1978). Ketika hujan berkurang dan intensitas turun dibawah batas kapasitas infiltrasi, limpasan akibat kelebihan hujan hilang, juga oleh infiltrasi dan limpasan air permukaan, awalnya pada puncak dari lereng dan diikuti makin kebawah, biasanya hingga satu atau dua jam untuk lereng yang panjang. Horton mencurahkan perhatian pada hidrolika dari postulat lapisan tipis (thin film) atau lembar dari laminar atau laminar campuran dan limpasan air permukaan yang turbulen, yang mana dipercaya terjadi dimana – mana pada saat limpasan akibat 49 hujan berlebih, dan yang mana dia percaya secara umum terlihat karena efek dari infiltrasi dan kekasaran permukaan, dan menambahkan teorinya untuk memasukkan mekanisme dari erosi permukaan sebagaimana limpasan air permukaan. Pada cara yang sama limpasan air permukaan Hortonian merupakan penanggung jawab utama dari hidrograph sungai akibat hujan, maka juga diasumsikan sebagai penyebab utama dari erosi akibat aliran permukaan. Pada keadaan steady-state, dan secara karakterisktik, dengan mengabaikan variasi yang mungkin berhubungan dengan intensitas hujan besar yang jarang terjadi, Horton mengajukan bahwa downslope dengan jarak kritis (Xc) dimana kedalaman dari lembar limpasan air permukaan cukup untuk menciptakan tegangan geser yang berkompeten untuk membawa partikel permukaan tanah, erosion akan terjadi, awalnya berbentuk parit yang berikutnya dapat menjadi bentuk saluran baru. Limpasan air permukaan Hortonian merupakan penyedia utama dari pembentukan puncak hidrograph sebagai dasar dari aliran sungai dan sebagai penggerak dari erosi permukaan (Kirby,1978). II.9 Sifat Fisik Tanah II.9.1 Tekstur dan Struktur Tekstur tanah ialah perbandingan relatif (%) fraksi – fraksi pasir debu dan liat. Tanah mengandung partikel-partikel yang beraneka ragam ukurannya ada yang berukuran koloid, sangat halus, kasar dan sangat kasar. Partikel-partikel ini dibagi dalam kelompok – kelompok atas dasar ukuran diameter tanpa memandang komposisi kimia, warna, berat, atau sifat lainnya. Analisa laboratorium yang mana partikel-partikel tersebut dipisahkan dinamakan analisa mekanis. Dalam analisa ini ditetapkan distribusi menurut ukuran-ukuran partikel tanah.Dari hasil analisa tersebut akan diperoleh susunan berat relatif dari fraksi –fraksi tanah baik pasir, debu maupun liat. Setelah diperoleh susunan berat relatif dari fraksi-fraksi tanah tersebut maka dengan menggunakan segitiga tekstur dapat dicari kelas tekstur tanah tersebut. 50 Pemisahan tanah dilakukan dengan menjadi kelompok ukuran partikel-partikel mineral dengan diameter kurang dari 2 milimeter atau kelompok dengan ukuran lebih kecil dari kerikil. Diameter jumlah dan luas permukaan per gram tercantum pada tabel II.16. Tabel II.16 Beberapa ciri-ciri karakteristik pemisahan tanah. Diameter (mm ) Diameter (mm) Jumlah partikel USDA SI Soil Science Society /gram Pasir sangat kasar 2,00 – 1,00 - 90 Pasir kasar 1,00-0,50 2,00-0,20 720 Pasir sedang 0,50-0,25 - 5700 Pasir halus 0,25-0,10 0,20-0,02 46000 Pasir sangat halus 0,10-0,05 - 722000 Debu 0,05-0,002 0,02-0,002 5776000 Liat Dibawah 0,002 Dibawah 0,002 90250853000 Jenis Sumber : Foth, 1995. Struktur tanah adalah penyusunan partikel-partikel tanah primer seperti pasir, debu, dan liat membentuk agregat-agregat, dimana antara satu agregat dengan agregat lainnya dibatasi oleh bidang belah alami yang lemah.(Hakim dkk, 1986) Menurut Foth 1995, struktur menunjukkan kombinasi atau susunan partikelpartikel tanah primer (pasir, debu, liat) sampai pada partikel-partikel sekunder atau (ped) disebut juga agregat. Unit ini dipisahkan dari unit gabungan atau karena kelemahan permukaan. Struktur suatu horison yang berbeda satu profil tanah merupakan satu ciri penting tanah, seperti warna, tekstur atau komposisi kimia. Berdasarkan tipe dan kedudukan agregat, struktur mikro dapat dibedakan menjadi 3 kelompok (Suripin,2001), yaitu : 1. Remah – lepas: keadaan tanah tampak lepas, mudah dipindahkan atau didorong ke tempat lain. 2. Remah – sedang : tanah cenderung agak bergumpalan, hal ini tampak lebih jelas dari profil tanahnya, susunan lapisan-lapisan tanahnya tampak adanya agregasi dan terdapat pula lubang-lubang atau menggerongong, 51 menyebabkan air mudah menerobos ke lapisan bawah. Hal ini memudahkan tanah untuk pertanian, atau pekerjaan pemindahan tanah 3. Lekat – lengket : tanahnya biasanya sangat kompak jika dalam kondisi gumpalan, bila dilakukan penggalian sangat berat, dan sangat susah pula untuk diolah. Dalam keadaan kering gumpalan-gunpalan sangat keras, sedangkan pada kondisi basah sangat lengket. II.9.2 Permeabilitas dan Konduktivitas Hidrolik Permeabilitas merupakan kemudahan cairan, gas dan akar menembus tanah. Permeabilitas tanah untuk air merupakan konduktivitas hidrolik. Konduktivitas hidrolik tanah tergantung pada banyak faktor, yaitu temperatur, ukuran partikel tanah, porositas tanah, ukuran pori dan permeabilitas tanah. Konduktivitas hidrolik tanah terdiri atas dua macam yaitu konduktivitas hidrolik tanah jenuh dan tidak jenuh. Penentuan nilai permeabilitas tanah di laboratorium dapat dilakukan dengan menggunakan metode uji tinggi-konstan (constant-head) ataupun uji tinggi tinggi-jatuh (falling-head). Konduktivitas hidraulik umumnya diukur tiap kedalaman 10 cm hingga kedalaman dengan nilai konduktivitas hidraulik sangat kecil, yang menunjukkan bahwa lapisan impermeabel telah tercapai. Pada daerah tangkapan, konduktivitas hidrauliknya diukur tiap 10 cm hingga kedalaman 30. Pengukuran konduktivitas hidraulik menggunakan sebuah alat pengukur permeabilitas lapisan tanah, constant head permeameter. Permeabilitas air dalam tanah banyak tergantung pada tekstur dan struktur tanah. Tabel II.17 berikut adalah kelas permeabilitas berdasarkan kelas yang disusun oleh “United States Soil Survey”. 52 Tabel II.17 Keterangan Kelas Permeabilitas Kecepatan permeabilitas Simbol Inchi / jam Cm / jam angka Sangat lambat <0,05 <0,13 1 Lambat 0,05 – 0,20 0,13 – 2,00 2 Agak lambat 0,20 – 0,80 0,51 – 2,00 3 Sedang 0,80 – 2,50 2,00 – 6,35 4 Agak cepat 2,50 – 5,00 6,35 – 12,70 5 Cepat 5,00 – 10,00 12,70 – 25,40 6 Sangat cepat > 10,00 > 25,40 7 Sumber : Foth, 1995 II.9.3 Porositas Ruang pori total adalah volume dari tanah yang ditempati oleh udara dan air. Persentase volume ruang pori total disebut porositas. Porositas dapat dihitung dengan cara menempatkan cores tanah pada tempat berisi air sehingga jenuh dan kemudian cores ditimbang. Perbedaan berat antara keadaan jenuh dan cores yang kering setelah dioven merupakan volume ruang pori untuk tanah (Foth, 1995). Kepadatan partikel tanah adalah massa tanah kering persatuan volume tanah bebas udara. Kepadatan partikel tanah untuk tanah mineral pada umumnya mempunyai nilai sebesar 2,65 gram/cm3. Nilai dari bobot isi dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu pengolahan tanah, bahan organik, pemadatan oleh alat-alat pertanian, tekstur, struktur, kandungan air tanah dan lain-lain.