BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Beberapa

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Beberapa tahun terakhir kondisi ekonomi seperti globalisasi
ekonomi, perdagangan barang selain produk seperti perdagangan jasa
secara signifikan meningkat dengan pesat, khususnya ketika ekonomi
menitik beratkan pada bidang jasa menimbulkan kendala non tarif terhadap
perdagangan bebas dan sebagai hasilnya harmonisasi sistem Hak Kekayaan
Intelektual (HKI),5 secara internasional menjadi hal yang sangat menarik
perhatian.
Hak kekayaan intelektual tidak hanya dipandang sebagai suatu hak
personal yang bersifat yuridis semata, tetapi juga memiliki prospek
ekonomis dan industrialis. Berdasarkan hal tersebut, dapat ditarik suatu
gambaran umum tentang aspek yuridis dan ekonomis dari HKI. 6
Saat ini perlindungan HKI tidak lagi menjadi urusan satu negara
saja, tetapi sudah menjadi masalah internasional. Terlebih sejak telah
ditandatanganinya
Agreement
of
Establishing
the
World
Trade
Organization (WTO), perlindungan hak kekayaan intelektual semakin
ketat secara global dan jika timbul sengketa dapat dilaksanakan melalui
5
Hak Kekayaan Intelektual disingkat HKI. Singkatan itu juga digunakan untuk
menyebutkan Hukum Kekayaan Intelektual. Dalam bahasa Inggris singkatan yang
digunakan adalah IRP untuk Intellectual Property Rights dan IP Laws untuk Intellectual
Property Laws.
6
Elyta Ras Ginting, 2012, Hukum Hak Cipta Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti), h..9.
1
suatu badan yang bernaung di dalam sistem WTO yang disebut Badan
Penyelesaian Sengketa (Dispute Settlement Body).7
Karya-karya intelektual sebagai hasil pemikiran dan kecerdasan
manusia sudah saatnya mendapat perhatian serius dan perlindungan dari
negara-negara karena telah di perdagangkan secara internasional yang
kemudian membutuhkan perlindungan hukum yang efektif dari segala
pelanggaran, dengan adanya desakan tersebut dalam WTO tercakup
Agreement On Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights
(TRIPs), kesepakatan inilah yang menjadi cikal bakal perlindungan Hak
Kekayaan Intelektual.8
Pada awalnya pembentukan aturan main perdagangan global
ditandai dengan terbentuknya General Agreement on Tariffs and Trade
(GATT)
yang mengatur perdagangan barang dalam lalu
lintas
perdagangan internasional, namun pada perkembangannya GATT dirasa
belum cukup mengakomodir kebutuhan para pelaku perdagangan
internasional. Kebutuhan para pelaku perdagangan internasional dapat
terpenuhi setelah masyarakat internasional membentuk WTO, merupakan
hasil Uruguay Round yang diadakan sejak tahun 1986-1994. Salah satu
hasil Uruguay Round dibidang ekonomi adalah pengaturan mengenai
hak kekayaan intelektual yang tertuang dalam Trade-Related Aspects of
Intellectual Property Rights (TRIPs).9
7
Ibid.
http://www.pn-medankota.go.id/index.php/Artikel-penyelesaian-sengketa-hakkekayaan-intelektual /html. (Diakses pada 10 Oktober 2015).
9
Abdul Bari Azed, 2005, Kompilasi Konvensi Internasional HKI Yang
8
2
Indonesia merupakan salah satu Negara yang turut serta
menandatangani persetujuan pembentukan WTO dan termasuk di
dalamnya perjanjian mengenai aspek-aspek perdagangan yang terkait
dengan Hak Kekayaan Intelektual.10 Perjanjian internasional tersebut
diratifikasi oleh Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994
tentang Pengesahan Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan
Dunia (Agreement Establishing The World Trade Organization).
Perkembangan tersebut mempengaruhi perkembangan hukum
nasional, antara lain terjadinya internasionalisasi bidang hukum,
terciptanya arena transnasional bagi praktek hukum yang diciptakan
dan kekuatan-kekuatan dan logika yang bekerja dalam bidang ekonomi,
negara dan tatanan internasional berdampak di bidang hukum.11
Implikasi globalisasi ekonomi itu terhadap hukum tidak dapat
dihindarkan. Sebab globalisasi hukum mengikuti globalisasi ekonomi
tersebut, dalam arti substansi berbagai undang-undang dan perjanjianperjanjian menyebar melewati batas-batas negara (cross border).
Dipahami bahwa globalisasi ekonomi dan perdagangan bebas telah
menimbulkan akibat yang besar sekali pada bidang hukum. Negara-negara
di dunia yang terlibat dengan globalisasi ekonomi dan perdagangan
bebas itu, baik negara maju maupun negara sedang berkembang bahkan
Diratifikasi Indonesia (Jakarta: Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Departemen
Hukum dan Hak Asasi Manusia bekerja sama dengan Badan Penerbit Fakultas Hukum
Universitas Indonesia), h.. 1-2.
10
Huala Adolf, 1998, Hukum Ekonomi Internasional Suatu Pengantar, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta, h. 94-100.
11
Ibid.
3
negara yang terbelakang harus membuat standarisasi hukum dalam
kegiatan ekonominya.12
Dalam rangka mewujudkan perlindungan hak kekayaan intelektual
yang efisien, efektif, dan menguntungkan sesama anggota WTO,
Indonesia memerlukan kerjasama dengan negara-negara lain anggota
WTO baik bersifat regional maupun internasional. Sebagai contoh di
negara-negara ASEAN telah dibentuk suatu forum
masalah
perlindungan
yang
membahas
HKI,13 demikian pula dengan kawasan Asia
Pasifik sudah membentuk forum yang terdiri dari para ahli di bidang HKI
untuk meningkatkan perlindungan HKI agar sesuai dengan standar
perlindungan yang ditetapkan oleh Persetujuan TRIPs.14
Persetujuan TRIPs memuat ketentuan mengenai penegakan hukum
yang ketat disertai dengan mekanisme penyelesaian perselisihan sengketa
yang diikuti dengan hak bagi negara yang dirugikan untuk mengambil
tindakan balasan di bidang perdagangan secara silang (cross retaliatory
measures). Persetujuan TRIPs merupakan kesepakatan internasional yang
paling komprehensif dalam bidang Hak Kekayaan Intelektual yang juga
merupakan perpaduan dari prinsip-prinsip dasar GATT dengan ketentuanketentuan substantif dari kesepakatan-kesepakatan internasional untuk
perlindungan Hak Kekayaan Intelektual dalam suatu kerangka aturan
12
Bismar Nasution, 2003, Pengaruh Globalisasi Ekonomi Pada Hukum Indonesia,
Majalah Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU), Volume 8 Nomor 1,
Medan.
h. 6.
13
Dwi Rezki Sri Astarini, 2009, Penghapusan Merek Terdaftar, Bandung: Alumni,
14
Ibid.
4
multilateral.15
Pada tanggal 1 Januari 1995 mulai diberlakukan, Persetujuan
TRIPs merupakan perjanjian internasional yang paling komprehensif
dalam bidang HKI. Ciri-ciri pokok Persetujuan TRIPs ini berpola pada
tiga hal, yaitu:
1. Persetujuan TRIPs lebih berpola pada norma-norma dan
standar-standar yang berbeda dari persetujuan-persetujuan
internasional lain, terutama perjanjian di bidang perdagangan
barang (trade in goods), yang lebih banyak berpola pada aspekaspek yang konkrit seperti akses ke pasar dan tarif;
2. Sebagai persyaratan minimal, Persetujuan TRIPs menetapkan
sebagai salah satu cirinya, yaitu full compliance terhadap
beberapa perjanjian internasional di bidang HKI;
3. Persetujuan TRIPs memuat ketentuan-ketentuan mengenai
penegakan hukum yang ketat berikut mekanisme penyelesaian
sengketa yang diberi sarana berupa hak bagi negara yang
dirugikan untuk mengambil tindakan-tindakan balasan di
bidang perdagangan secara silang (cross-retaliation).
Indonesia sebagai negara anggota yang tergabung dengan WTO
juga turut meratifikasi Persetujuan TRIPs melalui Undang-Undang No.7
tahun 1994. Dengan turut meratifikasi Persetujuan TRIPs, maka Indonesia
wajib untuk menyesuaikan undang-undang yang ada dengan ketentuan yang
15
Ibid.
5
diatur dalam perjanjian internasional tersebut.16
Keikutsertaan Indonesia dalam Persetujuan TRIPs mewajibkan
Indonesia untuk melakukan penyesuaian legislasi nasional yang mengatur
mengenai
HKI.
Berbagai
norma-norma
standar
pengaturan
dan
perlindungan HKI yang termuat dalam Persetujuan TRIPs sesegera
mungkin wajib dinasionalisasikan kedalam perundang-undangan HKI
Indonesia sehingga tercipta harmonisasi pengaturan dan perlindungan HKI
di Indonesia dengan yang berlaku di negara lain.17
Pasca ratifikasi tersebut, sistem perlindungan hukum Hak
Kekayaan Intelektual khususnya di bidang merek di Indonesia mengalami
beberapa perubahan dari aspek paradigma maupun substansinya. Implikasi
perubahan tersebut adalah hasil dari konvensi-konvensi internasional yang
memiliki relevansi dengan persoalan Hak Kekayaan Intelektual.18
Beberapa
diantaranya
yaitu
perubahan
ketentuan
perihal
perlindungan bagi merek terkenal, kemudian terkait dengan pemakaian
merek yang merupakan Indikasi Geografis dan adanya larangan impor
atau ketentuan lain yang mengatur persyaratan terhadap barang atau jasa
yang dianggap sebagai penyebab yang sah tidak dipakainya merek,
beberapa ketentuan tersebut belum diatur pada Undang-Undang Merek.19
16
Yuslisar Ningsih, 2003, Perlindungan dan Penegakan Hukum Merek di
Indonesia Menurut UU No.15 Tahun 2001 Tentang Merek, Makalah disampaikan
padaPenataran Hak Kekayaan Intelektual (HKI), Mataram, h.26
17
Agus Sardjono, 2009, Membumikan HKI di Indonesia, (Bandung: Nuansa
Aulia), h. 31.
18
Suyud Margono, 2000, Alternative Dispute Resolution (ADR) dan Arbitrase,
Pelembagaan dan Aspek Hukum, (Jakarta : PT. Ghalia Indonesia) h. 107.
19
Ibid.
6
Perlindungan merek semakin dibutuhkan dengan mulai maraknya
kasus gugatan pembatalan merek, salah satunya adalah kasus gugatan
pembatalan merek larutan penyegar Cap Kaki Tiga yang merupakan
merek dagang milik perusahaan Wen Ken Drug Co. Pte. Ltd, berasal dari
Singapura, dengan salah seorang warga Negara Isle of Man yang
bernama Russel Vince yang merasa keberatan karena lambang negaranya
didaftarkan sebagai logo merek dagang oleh perusahaan Wen Ken Drug
Co. Pte. Ltd.20
Bagan 1.
Gambar Obyek Sengketa
Keterangan: Dari kiri ke kanan Larutan Cap kaki Tiga –
Bendera negara Isle of Man.
Dalam Penjelasan Pasal 68 ayat (1) Undang-undang Merek No. 15
Tahun 2001, pendaftaran merek hanya bisa dimintakan pembatalannya
oleh pihak yang berkepentingan yaitu antara lain jaksa, yayasan, Lembaga
bidang konsumen, dan lembaga majelis keagamaan.21 Suatu merek yang
telah dilakukan pendaftaran di Direktorat Jendral Hak Kekayaan
Intelektual dapat dibatalkan karena adanya pengajuan gugatan keberatan
20
Hukumonline, “Lambang Negara Tak Bisa Dipakai Sembarangan”
http://www.hukumonline.com, Diakses tanggal 03 April 2015.
21
Insan Budi Maulana, 1997, Sukses Bisnis Melalui Merek, Paten dan Hak
Cipta, (Citra Aditya Bakti, Bandung), h. 60.
7
oleh pihak lain selain pemilik merek,22 pihak yang dapat mengajukan
pembatalan merek terdaftar adalah pihak yang berkepentingan.23
Pihak yang seharusnya memiliki kepentingan dalam perkara ini
adalah pemerintah Inggris, mengingat Russel Vince dalam hal ini sama
sekali tidak memiliki surat kuasa dari pemerintah Inggris sehingga
menjadi suatu persoalan hukum yang penting untuk diteliti. Karena itu
penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian lanjutan berkenaan hal
tersebut yang berjudul “Implikasi Persetujuan TRIPs terhadap regulasi
hukum dan sengketa Merek di Indonesia (Studi Kasus Pembatalan Merek
Cap Kaki Tiga)”.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, ditemukan dua
perumusan masalah, yaitu:
1. Apakah implikasi Persetujuan TRIPs terhadap perlindungan hukum
atas regulasi merek di Indonesia?
2. Apakah putusan pembatalan merek Cap Kaki Tiga telah sesuai
dengan prinsip persetujuan TRIPs dan regulasi merek di
Indonesia?
22
Abdulkadir Muhammad, 2001, Kajian Ekonomi Hak Kekayaan Intelektual,
(Bandung: Cipta Aditya Bakti, 2001), h. 68.
23
Ibid., h 69.
8
C. Tujuan Penelitian
Berkenaan dengan masalah-masalah yang dikemukakan diatas, maka
penelitian ini mempunyai tujuan untuk menyelesaikan dan memperoleh
jawaban atas permasalahan hukum tersebut dengan upaya-upaya sebagai
berikut :
1. Untuk
menganalisis
implikasi
Persetujuan
TRIPs
terhadap
perlindungan hukum atas regulasi merek di Indonesia.
2. Untuk menganalisis kesesuaian putusan pembatalan merek Cap Kaki
Tiga dengan prinsip persetujuan TRIPs dan regulasi merek di
Indonesia
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang dapat diambil dalam melakukan penelitian tersebut
adalah :
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini secara teoritis bermanfaat bagi pengembangan
ilmu pengetahuan, terutama dalam pandangan Ilmu Hukum yang
berkaitan erat dengan HKI yang berkaitan erat dengan merek.
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini secara praktis agar dapat lebih memahami suatu
pemahaman mengenai sengketa pembatalan merek.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan penelusuran terhadap judul penelitian tesis yang ada
pada Program Magister Hukum Bisnis Pascasarjana Universitas Gadjah
9
Mada ditemukan sedikitnya 3 (dua) judul tesis terkait tentang hak merek
dan ratifikasi Persetujuan TRIPs, yakni:
1) Tesis berjudul : Penerapan Itikad Tidak Baik Sebagai Alasan
Pembatalan Merek Menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun
2001 Tentang Merek. (Pramodana Kumara KA / 2004).
Perumusan Masalah
a) Bagaimanakah penerapan dari persamaan pada pokoknya
dan itikad tidak baik di dalam suatu gugatan pembatalan
merek?
b) Bagaimanakah
penggunaan
alasan
berdasarkan
persamaan pada pokoknya dan itikad tidak baik di dalam
suatu gugatan pembatalan terhadap merek ?
c) Apakah hal-hal yang dibuktikan pada persamaan pada
pokoknya sama dengan yang dibuktikan pada itikad tidak
baik dalam suatu gugatan pembatalan terhadap merek ?
2) Tesis berjudul : Gugatan Penghapusan Merek Terhadap Merek
Terdaftar Yang Didaftarkan Atas Dasar Itikad Buruk. (Sarjiman /
2005).
Perumusan Masalah
a) Bagaimana prosedur tuntutan penghapusan terhadap
merek terdaftar yang didaftarkan bukan atas dasar itikad
baik ?
b) Hambatan
apa
yang
ditemui
dalam
pelaksanaan
10
penghapusan merek terdaftar yang didaftarkan bukan atas
dasar itikad baik?
3) Tesis berjudul : Implementasi Pasal 6bis Konvensi Paris dan
Pasal 16 Ayat (2) Perjanjian TRIPs Di Indonesia (Studi Terhadap
Perlindungan Hukum Merek Terkenal Tidak Terdaftar Dalam
Industri Fashion).
(Rizki Nursanti Ahmad / 2015).
Perumusan Masalah
a) Bagaimana perlindungan hukum merek terkenal tidak
terdaftar di Indonesia ditinjau dari Konvensi Paris dan
Perjanjian TRIPs?
b) Bagaimana implementasi Pasal 6bis Konvensi Paris dan
Pasal 16 ayat (2) Perjanjian TRIPs di Indonesia terkait
perlindungan hukum merek terkenal tidak terdaftar dalam
industri fashion?
Tesis penulis ini berbeda dengan tiga tesis diatas, karena pembahasan
tesis ini dibatasi hanya pada implikasi Persetujuan TRIPs yang berkaitan
dengan regulasi pembatalan merek di Indonesia. Keaslian tesis ini dapat
dipertanggungjawabkan dan sesuai dengan asas-asas keilmuan yang harus
dijunjung tinggi yaitu kejujuran, rasional, objektif serta terbuka. Hal ini
merupakan implikasi etis dari proses menemukan kebenaran ilmiah
sehingga dengan demikian penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan
kebenarannya secara ilmiah, keilmuan dan terbuka untuk kritisi yang
sifatnya konstruktif.
11
Download