BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penderita gangguan jiwa di dunia pada tahun 2001 adalah 450 juta jiwa, menurut World Health Organization (WHO, 2005). Berdasarkan data Kementerian (Depkes, 2008), Kesehatan jumlah penderita gangguan jiwa berat seperti gangguan bipolar (bipolar disorder), schizophrenia, dan schizoaffective disorder di Indonesia diperkirakan mencapai sekitar satu juta jiwa lebih atau sekitar 0,46%. Selain itu, diperkirakan sebanyak 19 juta jiwa atau sekitar 11,6% dari total penduduk Indonesia mengalami gangguan mental emosional, termasuk depresi. Diperkirakan dari sekitar 220 juta penduduk Indonesia, ada sekitar 50 juta atau 22 persennya, mengidap gangguan kejiwaan (Hawari, 2009). Dengan mengacu data tersebut, berarti saat ini jumlah tersebut diatas diperkirakan sudah meningkat. Di Indonesia hanya terdapat 48 Rumah Sakit Jiwa dengan kapasitas 7.700 tempat tidur. Padahal sesuai standar yang dianjurkan World Health Organization (WHO) Indonesia membutuhkan setidaknya 80.000 tempat tidur untuk penderita gangguan jiwa berat (Riset Kesehatan Dasar, 2007). Di Kota yogyakarta Kepala Sub Bidang Fasilitasi Pelayanan Medik Rumah Sakit Jiwa Grhasia, Joep Djojodibroto (Tempo.co, 2013) menyatakan sebanyak 31.168 warga Kota Yogyakarta mengalami gangguan jiwa. Dari jumlah itu, 568 orang merupakan penderita gangguan jiwa berat, sedangkan 30.600 orang tergolong penderita gangguan jiwa ringan. “Jumlah orang yang mengalami gangguan jiwa di Yogyakarta cukup tinggi. Angka perkiraannya adalah 0,5% dari total jumlah penduduk di kota,” demikian Kepala Sub Bidang Fasilitasi Pelayanan Medik Rumah Sakit Jiwa Grhasia, Joep Djojodibroto, Selasa, 26 Februari 2013. Sedangkan jumlah kapasitas rawat inap yang tersedia di Rumah Sakit Grhasia sebanyak 200 tempat tidur. Rekapitulasi kunjungan penderita penyakit jiwa dari seluruh puskesmas kota Yogyakarta tahun 2012 sebanyak 7.793 orang. Tingginya angka prevalensi gangguan jiwa di Yogyakarta, yang tidak diimbangi dengan tersedianya fasilitas pelayanan kesehatan jiwa menggambarkan bahwa masalah kesehatan mental di Indonesia dan khususnya Yogyakarta cukup memprihatinkan. Prevalensi penderita gangguan jiwa yang tinggi, yang tidak diimbangi dengan kapasitas layanan kesehatan jiwa yang memadai, mengindikasikan masalah kesehatan jiwa yang belum dapat diatasi dengan baik. Salah satu strategi untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah dengan memasukkan layanan kesehatan jiwa ke pelayanan primer, yang di Indonesia dikenal dengan sebutan Pusat Kesehatan Masyarakat (puskesmas) . Puskesmas adalah unit pelaksana teknis Dinas Kesehatan Kabupaten atau Kota yang bertanggung jawab menyelenggarakan pembangunan kesehatan disuatu wilayah kerja (Depkes, 2004). Keberadaan puskesmas di tengah masyarakat sangatlah penting karena uskesmas merupakan ujung tombak pelayanan kesehatan yang diberikan oleh pemerintah daerah. Pelayanan kesehatan jiwa yang baik yang mampu diberikan oleh penyelenggara pemerintahan secara tidak langsung akan meringankan beban pemerintah dan mengatasi masalah kesehatan jiwa di masyarakat. President’s New Freedom Commission on Mental Health (2003), menyatakan Pengetahuan kesehatan jiwa merupakan modal dasar bagi petugas kesehatan jiwa di masyarakat. Petugas kesehatan di puskesmas harus dipersiapkan untuk dapat memberikan layanan kesehatan jiwa. Salah satunya adalah dengan memberikan pelatihan kesehatan jiwa kepada seluruh petugas kesehatan di puskesmas. Dengan adanya pelatihan singkat, tenaga kesehatan pada pelayanan kesehatan primer dapat meningkatkan kemampuan mereka dalam mendiagnostik dan menerapi ((Chinnayya (1990), Hall (1987), Ignacio (1989), De Jong (1996), Murthy (1983)). 2 Gangguan jiwa menurut ilmu kedokteran pada intinya hampir tidak pernah disebabkan oleh satu kausa atau penyebab yang tunggal; akan tetapi selalu disebabkan oleh satu rentetan kompleks faktor penyebab yang saling mempengaruhi dan terjalin satu sama lain. Penyebab gangguan kejiwaan pada seseorang tersebut bersifat multifaktor, yaitu disebabkan oleh tiga faktor utama yaitu faktor organik atau somatik, faktor psikis dan struktur kepribadian dan faktor lingkungan sosial dan budaya. Ketiga faktor tersebut bekerja dan beroperasi secara stimultan bersamaan. Penyebab penyakit jiwa atau gangguan psikis bersifat multifaktor, maka penanganannya pun harus melewati diagnostik yang multikasual (Sadock & Sadock, 2007). Saat ini ada perubahan paradigma dalam pelayanan kesehatan jiwa masyarakat. Penanganan gangguan mental, berdasar paradigma lama, lebih memfokuskan pada pendekatan medis-biologis, sedangkan paradigma baru menekankan pada pendekatan biopsikososial (Winefield dan Hansen, 2004). Pasien umumnya dan gangguan jiwa khususnya saat ini memiliki kebutuhan kesehatan yang kompleks sehingga membutuhkan lebih dari satu disiplin ilmu untuk mengatasi isu-isu mengenai status kesehatan jiwa mereka (Lumague, 2008). Pada tahun 2001 rekomendasi dari Institute of Medicine pada Komite Kualitas Kesehatan di Amerika menyarankan agar para profesional kesehatan yang bekerja dalam tim interprofessional dapat berkomunikasi dan mengatasi kebutuhan yang kompleks dan menantang dalam pelayanan kesehatan masyarakat umumnya termasuk jiwa ((Lumague, 2008; Institute of Medicine Committee on Quality of Health Care in America (IMCQ-HCA, 2001)). Oleh karena itu peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang pengaruh pelatihan kesehatan jiwa pada tenaga kesehatan terhadap kolaborasi pelayanan kesehatan jiwa di puskesmas. 3 B. Perumusan Masalah Permasalahan dalam penelitian ini adalah pengaruh intervensi pelatihan gangguan jiwa pada tenaga kesehatan: 1. Apakah ada peningkatan pengetahuan pada tenaga kesehatan karena pengaruh pelatihan kesehatan jiwa di puskesmas Kota Yogyakarta? 2. Apakah ada Kolaborasi pelayanan kesehatan jiwa di puskesmas pada tenaga kesehatan karena pengaruh pelatihan kesehatan jiwa di puskesmas Kota Yogyakarta ? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan uraian tentang latar belakang dan perumusan masalah tersebut di atas maka penelitian ini bertujuan untuk mengukur pengaruh pelatihan kesehatan jiwa pada tenaga kesehatan terhadap pengetahuan dan kolaborasi pelayanan kesehatan jiwa di puskesmas Kota Yogyakarta. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat untuk pembangunan negara Hasil penelitian ini diharapakan dapat memberikan masukan bagi penyusun kebijakan kesehatan jiwa, penyelenggara layanan kesehatan jiwa baik formal ataupun informal, dalam hal kolaborasi pelayanan kesehatan jiwa. 2. Manfaat bagi pengembangan ilmu Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah kajian pengetahuan dan manfaat dalam pengembangan ilmu kedokteran jiwa masyarakat umumnya dan petugas kesehatan khususnya pada aspek promosi dan edukasi kesehatan mental. 4 3. Manfaat bagi masyarakat Diharapkan hasil penelitian ini dapat bermanfaat khususnya bagi penderita gangguan jiwa dan masyarakat umumnya terutama dalam peningkatan pengetahuan tentang gangguan atau kesehatan jiwa dan dampak dari kolaborasi pelayanan kesehatan jiwa. Sehingga diharapkan pelayanan kesehatan jiwa menjadi lebih efektif dan efisien khususnya di puskesmas. 4. Manfaat bagi penyedia pelayanan kesehatan mental Pelatihan gangguan jiwa pada petugas kesehatan termasuk dalam salah satu upaya promotif dan preventif dalam penatalaksanaan gangguan mental. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi upaya alternatif dalam meningkatkan pengetahuan petugas kesehatan dan meningkatkan kolaborasi pelayanan kesehatan jiwa sehingga dapat membangun sistem pendukung terhadap pelayanan kesehatan jiwa. E. Keaslian Penelitian Sepanjang pengetahuan penulis, penelitian terkait yang hampir sama dan pernah dilakukan antara lain: 1. Steiner et al, (2008) dalam penelitiannya Teaching an Interdisciplinary Approach to the Treatment of Chronic Mental Illness: Challenges and Rewards. Tujuan penelitian mempromosikan pelayanan kesehatan jiwa interdisipliner. Menjelaskan pelaksanaan pelatihan interprofessional dengan tujuan ganda yaitu untuk memberikan dasar pengetahuan untuk menerapi pasien dengan gangguan jiwa berat dan untuk mengajarkan bagaimana bekerja sama dengan disiplin ilmu lainnya. Metode uji t, untuk menguji perbedaan yang signifikan antara sebelum dan setelah pelatihan. Hasil peserta pelatihan yang meliputi 24 siswa terdiri dari residen psikiatri, keperawatan, pekerja sosial, dan psikologi dengan berbagai pengalaman, data sebelum pelatihan dan sesudah pelatihan yang diisi lengkap diperoleh dari 14 peserta. Walaupun peserta menghargai pengalaman 5 pelatihan, namun mereka melaporkan bahwa praktek interdisipliner yang sebenarnya dengan pasien gangguan mental berat pada kenyataannya kurang memuaskan dari yang diharapkan. Mereka menggambarkan beberapa keuntungan dan tantangan dari kolaborasi yang berorientasi pada pemberian layanan dan belajar bersama. 2. Perkins et al, (2010) mereka melakukan penelitian tentang pengaruh pelatihan terhadap pengetahuan klinis jiwa dan kolaborasi pelayanan kesehatan jiwa di pelayanan kesehatan primer, penelitian ini menilai pengetahuan klinis dan kolaborasi pelayanan kesehatan jiwa di pelayanan primer, subyeknya adalah dokter umum di pelayanan primer. Hasil penelitian ini dokter umum mengalami peningkatan pengetahuan klinis dan mempunyai fleksibilitas yang tinggi terhadap praktek kolaborasi dalam pelayanan kesehatan jiwa di pelayanan primer. Tempat penelitian di Victoria, Australia. 3. Bruner et al, (2011). Dalam penelitian yang berjudul Providers’ perspectives on collaboration, tujuan penelitian ini melihat perubahan model pelayanan kesehatan yang semakin beragam sesuai dengan kebutuhan pasien, agar semua kebutuhan pasien terlayani. Kolaborasi antara penyedia layanan kesehatan adalah salah satu cara untuk memenuhi kebutuhan pasien yang beragam itu, pelayanan yang komprehensif dan berkesinambungan dalam organisasi kesehatan. Penelitian ini menggunakan metodologi kuantitatif dan kualitatif, melihat pandangan kolaborasi antara sampel personil yang beragam (perawat klinis, pekerja sosial, penyedia layanan gigi, penyedia layanan kesehatan mental, staf administrasi, asisten medis, staf kesehatan masyarakat, dan administrator ) dalam penyediaan pelayanan kesehatan yang berkualitas yang dikelola oleh pusat perawatan kesehatan di Amerika Serikat. Hasil skala kolaborasi dan kepuasan keputusan pada perawatan kesehatan, secara signifikan dan positif berubah setelah focus group discussion (p = 0,046). 6 4. Lee et al, (2012) melakukan penelitian tentang manfaat pelatihan kesehatan jiwa terhadap interprofessional collaboration pada petugas pelayanan jiwa di Canada. Hasil sebelum pelatihan menunjukkan tidak ada komunikasi pada saat menangani pasien yang sama. Setelah pelatihan mereka mulai berkomunikasi dan berdiskusi tentang kasus pasien yang mereka tangani bersama. Perbedaan penelitian ini adalah subyek yang mengikuti pelatihan ini adalah psikiater dan psikolog klinis, tempatnya di Canada. Para peserta tersebar di seluruh Canada dan Prancis. 5. Rousseau et al, (2012) dalam penelitiannya yang berjudul Measuring the quality of interprofessional collaboration in child mental health collaborative care. Tujuan penelitian ini meneliti persepsi interprofessional collaboration dan pengambilan keputusan bersama dalam mengevaluasi kualitas kemitraan pada kolaborasi pelayanan kesehatan jiwa anak. Metode responden yang berjumlah 96 profesional perawatan primer yang bekerja menangani anak-anak dan remaja, mengisi survei melalui internet dengan mengisi instrumen Perception of Interprofessional Collaboration Model scale (PINCOM-Q) dalam versi yang disesuaikan tentang skala pengambilan keputusan bersama (Echelle de Confort Décisionnel, Partenaire/ECD-P). Persepsi mereka tentang interprofessional collaboration pada pelayanan kesehatan mental anak dibandingkan dengan orang-orang profesional lainnya yang bekerja dengan anak-anak. Hasil PINCOM-Q dan penilaian ECD-P memiliki konsistensi internal yang sangat baik dan mereka cukup berkorelasi. Skor kolaborasi interprofessional pada profesional kesehatan mental anak secara individu (PINCOM-Q) lebih baik daripada profesional anak lainnya. Kesimpulan skala ini bisa menjadi alat yang valid dan reliabel untuk mengukur kualitas kolaborasi kemitraan dalam pengaturan perawatan kesehatan mental anak. Secara garis besar perbedaan penelitian ini dengan penelitian-penelitian terdahulu adalah dalam hal rancangan penelitian yaitu quasi eksperimental, jumlah subyek sebanyak 28 7 responden, profesi subyek terdiri dari dokter, psikolog, perawat dan bidan, lama penelitian kurang lebih enam bulan dan variabel-variabel yang diteliti yaitu data demografi, pelatihan kesehatan jiwa, pengetahuan dan kolaborasi. 8