BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Harga Diri 1. Pengertian Harga Diri

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Harga Diri
1. Pengertian Harga Diri
Keliat (1994) menyebutkan bahwa harga diri merupakan penilaian pribadi
terhadap hasil yang dicapai dengan menganalisa seberapa jauh perilaku memenuhi
ideal diri. Frekuensi pencapaian tujuan akan menentukan harga diri seseorang
menjadi rendah atau tinggi. Jika individu selalu sukses maka cenderung harga
dirinya menjadi tinggi dan jika individu sering gagal maka cenderung harga
dirinya rendah. Harga diri akan rendah jika kehilangan kasih sayang dan
penghargaan dari orang lain dan hal ini berhubungan dengan hubungan
interpersonal yang buruk dengan orang lain dan hal ini paling menonjol terjadi
pada klien skizofrenia dan depresi (Stuart dan Sundeen, 1995).
Seorang lansia dengan harga diri rendah merasa dirinya tidak punya
kemampuan, tidak nyaman dan tidak berharga. Semua ini dimanifestasikan dalam
bentuk antara lain, kehilangan berat badan, kehilangan nafsu makan, konstipasi
atau diare, gangguan tidur, tubuh tidak terawat, menarik diri dari aktivitasnya,
sulit memulai aktivitas baru, penurunan libido, sedih dan cemas, perasaan
terisolasi, lebih suka sebagai pendengar daripada berpartisipasi aktif, sensitif
terhadap kritikan orang lain, mengeluh nyeri dan pusing, merasa tidak dapat
melakukan hal-hal yang berarti, merasa selalu salah dan gagal (Stuart dan
Sundeen, 1995).
12
13
Santrock (1998) menjelaskan harga diri merupakan evaluasi individu
terhadap dirinya sendiri secara rendah atau tinggi. Penilaian tersebut terlihat dari
penghargaan mereka terhadap keberadaan dan keberartian dirinya. Dalam harga
diri tercakup evaluasi, penghargaan diri dan menghasilkan penilaian tinggi atau
rendah terhadap dirinya sendiri. Penilaian tinggi terhadap diri sendiri adalah
penilaian terhadap kondisi diri, menghargai kelebihan dan potensi diri serta
menerima kekurangan yang ada. Sedangkan yang dimaksud dengan penilaian
rendah terhadap diri sendiri adalah penilaian tidak suka atau tidak puas dengan
kondisi diri sendiri, tidak menghargai kelebihan diri dengan melihatnya sebagai
sesuatu yang selalu kurang. Coopersmith (dalam Burn, 1998) mendefinisikan
harga diri sebagai evaluasi yang dibuat individu dan kebiasaan memandang
dirinya terutama sikap menerima, menolak dan indikasi besarnya kepercayaan
individu terhadap kemampuan, keberartian, kesuksesan dan keberhargaan.
Penilaian terhadap diri sendiri yang berasal dari interaksi individu dengan orangorang yang berada di sekitarnya serta dari penghargaan, penerimaan dan
perlakuan orang lain yang diterima individu.
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa harga diri merupakan penilaian
individu terhadap dirinya sendiri secara positif atau negatif yang dipengaruhi oleh
hasil interaksinya dengan orang-orang di lingkungan sekitarnya serta dari sikap,
penerimaan, penghargaan dan perlakuan orang lain terhadap dirinya.
14
2. Aspek-aspek Harga Diri
Adapun aspek-aspek yang berhubungan dengan self-esteem atau biasa
disebut dengan harga diri menurut Brown (dalam Santrock, 2003) terdapat 3
aspek, yakni :
1. Global self-esteem merupakan variabel keseluruhan dalam diri individu secara
keseluruhan dan relatif menetap dalam berbagai waktu dan situasi.
2. Self-evaluation merupakan cara seseorang dalam mengevaluasi variabel dan
atribusi yang terdapat pada diri mereka. Misalnya, ada seseorang yang kurang
yakin dengan kemampuannya di sekolah, maka bisa dikatakan bahwa ia
memiliki self-esteem yang rendah dalam bidang akademis. Sedangkan
seseorang yang berpikir bahwa dia terkenal dan cukup disukai oleh orang lain,
maka bisa dikatakan ia memiliki self-esteem sosial yang tinggi.
3. Emotion adalah keadaan emosi sesaat terutama sesuatu yang muncul sebagai
konsekuensi positif dan negatif. Hal ini terlihat ketika seseorang menyatakan
bahwa pengalaman yang terjadi pada dirinya meningkatkan self-esteem yang
tinggi karena mendapat promosi jabatan, atau seseorang memiliki self-esteem
yang rendah setelah perceraian.
Sedangkan menurut Maslow (dalam Schultz, 1991) ada dua aspek utama
yang mempengaruhi harga diri individu, yaitu :
1.
Penghargaan dari diri sendiri
Penghargaan dari diri sendiri adalah berupa keyakinan bahwa individu merasa
aman
dengan
keadaan
dirinya,
merasa
berharga
dan
adekuat.
Ketidakmampuan merasakan diri berharga membuat individu merasa rendah
15
diri, kecil hati, tidak berdaya dalam menghadapi kehidupan, perasan berharga
terhadap diri dapat ditumbuhkan melalui pengetahuan yang baik tentang diri
serta
mampu
menilai
secara
obyektif
kelebihan-kelebihan
maupun
kelemahan-kelemahan yang dimiliki. Jadi, individu dapat menghargai dirinya
bila individu mengetahui siapa dirinya.
2.
Penghargaan dari orang lain
Keberartian ini dikaitkan dengan penerimaan, perhatian dan afeksi yang
ditunjukkan oleh lingkungan. Bila lingkungan memandang individu memiliki
arti, nilai serta dapat menerima individu apa adanya, maka hal itu
memungkinkan individu untuk dapat menerima dirinya sendiri yang pada
akhirnya mendorong individu memiliki harga diri tinggi atai positif.
Sebaliknya, jika lingkungan menolak dan memandang individu tidak berarti
maka individu akan mengembangkan penolakan dan mengisolasi diri. Sulit
untuk mengetahui orang lain sebenarnya menghargai atau tidak. Oleh karena
itu, individu perlu merasa yakin bahwa orang lain menghargai dirinya baik
melalui reputasi, status sosial, popularitas, prestasi atau keberhasilan lainnya
dalam lingkungan masyarakat, kerja, maupun sekolah.
Dari penjelasan di atas mengenai aspek-aspek harga diri, dapat
disimpulkan bahwa aspek utama dari harga diri mencakup penghargaan dari diri
sendiri dan penghargaan dari orang lain.
16
3. Karakteristik Harga Diri
Menurut Stuart dan Sundeen (1995) karakteristik harga diri rendah dan
tinggi adalah sebagai berikut :
a.
Harga diri rendah
Mengkritik diri sendiri dan atau orang lain, penurunan produktivitas,
destruktif yang diarahkan pada orang lain, gangguan dalam berhubungan, rasa diri
penting yang berlebihan, perasaan tidak mampu, rasa bersalah, mudah tersinggung
atau marah yang berlebihan, perasaan negatif mengenai tubuhnya sendiri,
ketegangan peran yang dirasakan, pandangan hidup yang bertentangan, penolakan
terhadap kemampuan personal, destruktif kepada diri sendiri, pengurungan diri,
menarik diri secara sosial, menarik diri dari realitas, khawatir.
b.
Harga diri tinggi
Rendah hati, optimis, memberikan anjuran, memikirkan masa depan,
membangun kualitas pribadi, mendahulukan kepentingan orang banyak, tidak
mengumpat,
bertanggung
jawab,
cepat
minta
maaf
walaupun
benar,
menyegerakan pekerjaan.
Coopersmith (dalam Burn, 1998), mengemukakan bahwa harga diri dibedakan
menjadi tiga jenis jika dilihat dari karkteristik individu, antara lain :
a.
Individu dengan harga diri tinggi (high self-esteem)
1) Aktif dan dapat mengekspresikan diri dengan baik
2) Berhasil dalam bidang akademik dan menjalin hubungan sosial
3) Dapat menerima kritik dengan baik
4) Percaya pada persepsi dan reaksinya sendiri
17
5) Tidak terpaku pada dirinya sendiri atau hanya memikirkan kesulitannya
sendiri
6) Memiliki keyakinan diri, tidak berdasarkan atas fantasi, karena mempunyai
kemampuan, kecakapan dan kualitas diri yang tinggi
7) Tidak terpengaruh oleh penilaian orang lain tentang kepribadiannya
8) Lebih mudah menyesuaikan diri dengan suasana yang menyenangkan
sehingga tingkat kecemasannya rendah dan memiliki ketahanan diri yang
seimbang.
b.
Individu dengan harga diri sedang (medium self-esteem)
Karakteristik individu dengan harga diri yang sedang hampir sama dengan
karakteristik individiu yang memiliki harga diri tinggi, terutama dalam kualitas,
perilaku dan sikap. Penyataan diri mereka memang positif. Namun, cenderung
kurang moderat atau kurang menghindari sikap atau tindakan yang ekstrem.
c.
Individu dengan harga diri yang rendah (low self-esteem)
1) Memiliki perasaan inferior
2) Takut gagal dalam membina hubungan sosial
3) Telihat sebagai orang yang putus asa dan depresi
4) Merasa diasingkan dan tidak diperhatikan
5) Kurang dapat mengekspresikan diri
6) Sangat tergantung pada lingkungan
7) Tidak konsisten
8) Secara pasif mengikuti lingkungan
9) Menggunakan banyak taktik mempertahankan diri (defense mechanism)
18
10) Mudah mengakui kesalahan
Sedangkan menurut H. J Eysenck (2001) mengemukakan bahwa seseorang
yang memiliki harga diri tinggi cenderung percaya diri, percaya pada kemampuan
diri sendiri, merasa berguna, merasa berharga dan percaya kalau mereka disukai
orang lain, sedangkan mereka yang mempunyai pendapat yang rendah tentang
dirinya cenderung merasa rendah diri, merasa gagal dan tidak menarik.
Dari beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa karakteristik
seseorang yang mempunyai harga diri tinggi meliputi percaya diri, merasa
berharga, aktif dan mampu mengekspresikan diri dengan baik, dapat menerima
kritik dengan baik, tidak terpengaruh pada penilaian orang lain, mudah
menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru, percaya pada kemampuan diri,
merasa berguna, merasa diri mampu, disukai orang lain, bertindak mandiri,
menerima sesuatu dengan tanggung jawab, menyukai tantangan baru dengan
penuh antusias. Karakteristik seseorang dengan harga diri sedang hampir sama
dengan karakteristik harga diri tinggi terutama dalam kualitas, perilaku dan sikap.
Sedangkan karakteristik seseorang dengan harga diri rendah meliputi sikap
inferior, canggung, lemah, rendah diri dalam bergaul, pasif, menghindari situasi
yang menimbulkan kecemasan, merasa tidak mampu dan tidak berharga, merasa
gagal, merasa tidak menarik, mudah frustasi, kurang dapat mengekspresikan diri,
menggunakan banyak taktik pertahanan diri dan mudah dipengaruhi orang lain.
4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Harga Diri
Monks (2004) menyebutkan bahwa terdapat empat faktor yang
mempengaruhi harga diri seseorang. Keempat faktor tersebut yaitu :
19
a. Lingkungan Keluarga
Lingkungan keluarga merupakan tempat sosialisasi pertama bagi anak.
Perlakuan adil, pemberian kesempatan untuk aktif dan pendidikan yang
demokratis didapat pada anak yang memiliki harga diri yang tinggi.
b. Lingkungan Sosial
Lingkungan sosial tempat individu mempengaruhi bagi pembentukan
harga diri. Individu mulai menyadari bahwa dirinya berharga sebagai
individu dengan lingkungannya. Kehilangan kasih sayang, penghinaan dan
dijauhi teman sebaya
pengalaman,
akan menurunkan harga diri. Sebaliknya
keberhasilan,
persahabatan
dan
kemahsyuran
akan
meningkatkan harga diri.
c. Faktor Psikologis
Penerimaan diri akan mengarahkan individu mampu menentukan arah
dirinya pada saat mulai memasuki hidup bermasyarakat sebagai anggota
masyarakat yang sudah dewasa
d. Jenis Kelamin
Perbedaan jenis kelamin mengakibatkan terjadinya perbedann dalam pola
pikir, cara berpikir dan bertindak antara laki-laki dan perempuan.
Menurut Coopersmith (dalam Ghufron & Risnawati, 2010) menyatakan
ada beberapa faktor yang mempengaruhi harga diri, yaitu :
1.
Jenis Kelamin
Wanita selalu merasa harga dirinya lebih rendah daripada pria seperti
perasaan kurang mampu, kurang kepercayaan diri atau merasa harus dilindungi.
20
2.
Inteligensi
Inteligensi sebagai gambaran lengkap kapasitas fungsional individu sangat
erat berkaitan dengan prestsi karena pengukuran inteligensi selalu berdasarkan
kemampuan akademis. Individu dengan harga diri yang tinggi akan mencapai
prestasi akademik yang tinggi daripada individu dengan harga diri yang rendah.
Selanjutnya, dikatakan individu dengan harga diri yang tinggi memiliki skor
inteligensi yang lebih baik dan selalu berusaha keras.
3.
Kondisi Fisik
Coopersmith (dalam Ghufron & Risnawati, 2010) menemukan adanya
hubungan yang konsisten antara daya tarik fisik dan tinggi badan dengan harga
diri. Individu dengan kondisi fisik yang menarik cenderung memiliki harga diri
yang lebih baik dibandingkan dengan kondisi fisik yang kurang menarik.
4.
Ideal Diri
Menurut Stuart dan Sundeen (dalam Keliat, 1994), ideal diri merupakan
persepsi individu tentang bagaimana seharusnya berperilaku berdasarkan standar,
aspirasi, tujuan/nilai personal tertentu. Cita-cita yang terlalu tinggi dan tidak
realistis, yang pada kenyataanya tidak dapat dicapai membuat individu
menghukum diri sendiri dan akhirnya kehilangan kepercayaan dirinya.
5.
Identitas
Menurut Stuart dan Sundeen (dalam Keliat, 1994), identitas diri merupakan
perilaku individu tentang dirinya sebagai suatu kesatuan yang utuh. Hal ini
mencakup konsistensi individu sepanjang waktu dan dalam berbagai keadaan
serta menyirat perbedaan/keunikan dibandingkan orang lain.
21
6.
Peran
Mencakup serangkaian pola perilaku yang diharapkan oleh lingkungan sosial
berhubungan dengan fungsi individu di berbagai kelompok sosial (Stuart dan
Sundeen dalam Keliat, 1994). Keberartian peran individu dapat mempengaruhi
harga diri seseorang.
7.
Lingkungan Keluarga
Peran keluarga sangat menentukan bagi perkembangan harga diri anak.
Dalam keluarga, seorang anak untuk pertama kalinya mengenal orangtua yang
mendidik dan membesarkannya serta sebagai dasar untuk bersosialisasi dalam
lingkungan yang lebih besar. Keluarga harus menemukan suatu kondisi dasar
untuk mencapai perkembangan harga diri anak. Coopersmith (dalam Ghufron &
Risnawati, 2010) berpendapat bahwa perlakuan adil, pemberian kesempatan untuk
aktif dan mendidik yang demokratis akan membuat anak mendapat harga diri
yang tinggi.
8.
Lingkungan Sosial
Menurut Coopersmith (dalam Ghufron & Risnawati, 2010) ada beberapa
ubahan dalam harga diri yang dapat diijelaskan melalui konsep kesuksesan, nilai,
aspirasi dan mekanisme pertahanan diri. Kesuksesan tersebut dapat timbul melalui
pengalaman dalam lingkungan, kesuksesan dalam bidang tertentu, kompetisi dan
nilai-nilai kebaikan
9.
Kondisi Kesehatan (Sakit)
Menurut Coopersmith (dalam Ghufron & Risnawati, 2010) gangguan kondisi
kesehatan pada individu dapat membuat individu dan keluarga merasa rendah diri.
22
B. Dukungan Sosial
1. Pengertian Dukungan Sosial
Manusia sebagai makhluk sosial membutuhkan kehadiran manusia lain
untuk berinteraksi. Kehadiran orang lain dalam kehidupan pribadi seseorang
begitu diperlukan. Hal ini terjadi karena seseorang tidak mungkin memenuhi
kebutuhan fisik maupun psikologisnya sendirian. Individu membutuhkan
dukungan sosial baik yang berasal dari keluarga maupun teman. Orford (1992)
menyatakan bahwa dukungan sosial adalah kenyamanan, perhatian dan
penghargaan yang diandalkan pada saat individu mengalami kesulitan. Dukungan
sosial ini lebih mengarah pada variabel tingkat individual, merupakan sesuatu
yang dimiliki tiap orang dan dapat diukur dengan pernyataan tertentu. Tingkat
dukungan sosial ini tergantung pada kebiasaan seseorang atau kemampuan sosial
seseorang. Konstruk ini dapat diukur dengan mengetahui aspek dukungan sosial
yang diterima dari orang lain, sehingga akhirnya muncul beberapa asumsi.
Asumsi pertama menyatakan bahwa dukungan sosial mengukur aspek eksternal
dari komunitas seseorang. Asumsi kedua menganggap dukungan sosial sebagai
karakteristik dari jaringan komunitas dan tidak bersifat individual.
Sementara dukungan sosial didefinisikan oleh Gottlieb (dalam Kuntjoro,
2002) sebagai informasi verbal atau nonverbal, bantuan yang nyata atau tingkah
laku yang diberikan oleh orang-orang yang akrab dengan subjek di dalam
lingkungan sosialnya atau yang berupa kehadiran dan hal-hal yang dapat
memberikan keuntungan emosional atau berpengaruh pada tingkah laku
23
penerimanya. Dalam hal ini, orang yang merasa memperoleh dukungan sosial
secara emosional merasa lega karena diperhatikan, mendapat saran atau kesan
yang menyenangkan pada dirinya.
Baron dan Byrne (2004) mendefinisikan dukungan sosial sebagai
kenyamanan fisik dan psikologis yang diberikan oleh teman-teman dan keluarga
tersebut. Taylor, Peplau dan Sears (1997) juga menambahkan dukungan sosial
sebagai informasi yang diterima dari orang lain bahwa individu tersebut dicintai,
diperhatikan, dihargai dan bernilai dan merupakan bagian dari jaringan
komunikasi dan saling dibutuhkan yang didapat dari orangtua, suami atau orang
yang dicintai, anak keluarga, teman hubungan sosial dan komunitas.
Sarafino (1998) menyebutkan bahwa dukungan atau bantuan yang
dibutuhkan oleh lanjut usia bisa didapatkan dari berbagai sumber seperti keluarga,
teman dekat, dokter atau profesional dan organisasi kemasyarakatan. Dukungan
sosial didefinisikan sebagai keberadaan orang lain yang dapat diandalkan untuk
memberi bantuan, semangat, penerimaan dan perhatian sehingga dapat
meningkatkan kesejahteraan hidup bagi individu yang bersangkutan. Cobb (dalam
Sarafino, 1998) mengemukakan bahwa dukungan sosial mengacu pada persepsi
akan kenyamanan, kepedulian, penghargaan atau bantuan yang diterima individu
dari orang lain atau kelompok masyarakat. Hal tersebut menunjukkan bahwa
dukungan sosial adalah bantuan yang didapat individu dari orang lain atau
kelompok, baik yang berupa bantuan materi maupun non materi yang dapat
menimbulkan perasaan nyaman secara fisik dan psikologis bagi individu yang
bersangkutan.
24
Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa
dukungan sosial adalah suatu dorongan atau bantuan nyata seperti kenyamanan,
perhatian, penghargaan serta hal-hal yang dapat memberikan keuntungan dari
orang-orang di sekitar individu baik itu berasal dari pasangan, teman dekat,
tetangga, saudara, anak, keluarga dan masyarakat sekitar kepada individu yang
sedang mengalami kesulitan, agar individu tersebut merasa dicintai, diperhatikan,
dihargai dan bernilai.
2. Aspek-aspek Dukungan Sosial
Menurut Sarafino (1994) aspek-aspek dukungan sosial meliputi :
a.
Dukungan Emosional
Dukungan emosional meliputi ekspresi empati, kepedulian, dan perhatian
pada individu, memberikan individu perasaan nyaman, tentram, dimiliki dan
merasa dicintai. Selain itu dukungan ini melibatkan perhatian, rasa percaya dan
empati sehingga individu merasa berharga. Dukungan ini sangat penting dalam
menghadapi keadaan yang dianggap penuh stres.
b.
Dukungan Penghargaan
Dukungan penghargaan terlihat dari ekspresi seseorang ketika memberikan
penghargaan yang positif, dorongan atau persetujuan terhadap ide atau perasaan
individu dan perbandingan positif antara individu yang satu dengan yang lain.
c.
Dukungan Instrumental
Dukungan instrumental merupakan pemberian sesuatu berupa bantuan secara
(tangible aid ) atau dukungan alat (instrumental aid). Dukungan ini meliputi
banyak aktivitas seperti menyediakan bantuan dalam pekerjaan rumah tangga,
25
menjaga anak-anak, meminjamkan atau mendermakan uang, menyampaikan
pesan,
menyediakan
transportasi,
membantu
menyelesaikan
tugas-tugas,
menyediakan benda-benda seperti perabot, alat-alat kerja dan buku-buku.
Dukungan ini sangat diperlukan dalam menghadapi keadaan yang dianggap penuh
stres.
d.
Dukungan Informasional
Dukungan informasional diberikan dengan cara menyediakan informasi,
memberian nasihat, petunjuk, saran secara langsung atau umpan balik tentang
kondisi individu dan hal-hal yang harus ia kerjakan. Dukungan ini dapat
membantu individu mengenali masalah yang sebenarnya.
e.
Dukungan Jaringan Sosial
Dukungan jaringan sosial mencakup perasaan keanggotaan dalam kelompok,
saling berbagi kesenangan dan aktivitas sosial.
Neergard (dalam Rahardjo dkk., 2008) membagi dukungan sosial sebagai
berikut :
a.
Emotional Support
Dukungan ini berkaitan dengan pengalaman hidup. Tipe dukungan emosional
dapat membantu seseorang merasa diterima, perilaku yang mencerminkan
penghargaan, afeksi, kepercayaan dan perhatian termasuk dalam dukungan
emosional.
b.
Companionship Support
Dukungan ini berfungsi untuk mengalihkan perhatian seseorang dari masalah
yang sedang dihadapi atau untuk membangkitkan suasana hati yang positif.
26
Aktivitas seperti berkumpul dan mengobrol diwaktu senggang serta rekreasi
termasuk dalam kategori ini. Sumber dukungan tipe ini biasanya berasal dari
teman dekat dan tetangga.
c.
Tangible (or material) Support
Dukungan ini meliputi bantuan keuangan, barang dan semua kebutuhan
konkret yang diperlukan.
d.
Informational Support
Bantuan berupa penyediaan informasi atau pengetahuan yang dapat
membantu seseorang untuk meningkatkan efisiensi dalam menyelesaikan suatu
masalah. Hal ini dapat menambah kepercayaan diri seseorang mengenai
kemampuan yang dimiliki dalam menghadapi tantangan. Perilaku yang dapat
ditampilkan berupa memberi saran, balikan dan pengarahan.
Berdasarkan aspek-aspek dukungan sosial yang telah disampaikan oleh
beberapa ahli di atas, maka yang akan digunakan dalam pengukuran dukungan
sosial adalah bentuk dukungan sosial menurut Sarafino (1994). Aspek dukungan
sosial tersebut mencakup semua aspek dukungan sosial dari tokoh-tokoh yang
lain, yaitu: dukungan emosional, dukungan penghargaan, dukungan instrumental,
dukungan informatif dan dukungan jaringan sosial.
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Dukungan Sosial
Sarafino (1994) menguraikan beberapa faktor yang mempengaruhi
perolehan dukungan sosial dari orang lain, yaitu :
1.
Penerimaan Dukungan (Recipients)
27
Seseorang tidak akan memperoleh dukungan bila mereka tidak ramah, tidak
mau menolong orang lain dan tidak membiarkan orang lain mengetahui
bahwa mereka membutuhkan pertolongan. Ada yang kurang asertif untuk
meminta bantuan atau mereka berpikir bahwa mereka seharusnya tidak
tergantung dan membebani orang lain, merasa tidak enak mempercayakan
sesuatu pada orang lain atau tidak tahu seseorang yang dapat diminta
bantuannya.
2.
Penyedia Dukungan
Individu tidak akan memperoleh dukungan jika penyedia tidak memiliki
sumber-sumber yang dibutuhkan oleh individu, penyedia dukungan sedang
dalam keadaan stres dan sedang membutuhkan bantuan atau mungkin juga
mereka tidak cukup sensitif dengan kebutuhan orang lain.
3.
Komposisi dan Struktur Jaringan Sosial (Hubungan individu dengan keluarga
dan masyarakat)
Hubungan ini bervariasi dalam hal ukuran, yaitu jumlah orang yang bisa
dihubungi; frekuensi hubungan, yaitu seberapa sering individu bertemu
dengan orang tersebut; komposisi, yaitu melihat orang tersebut adalah
keluarga, teman rekan kerja atau yang lainnya; dan keintiman, yaitu
kedekatan
hubungan
individu
dan
adanya
keinginan
untuk
saling
mempercayai.
Sedangkan faktor yang mempengaruhi dukungan sosial menurut Cohen
dan Syme (dalam Setiadi, 2008) :
a.
Pemberian dukungan.
28
Pemberi dukungan adalah orang-orang yang memiliki arti penting dalam
pencapaian hidup sehari-hari.
b.
Jenis Dukungan
Jenis dukungan yang akan diterima memiliki arti bila dukungan itu
bermanfaat dan seusai dengan situasi yang ada
c.
Penerimaan Dukungan
Penerima dukungan seperti kepribadian, kebiasaan dan peran sosial yang
akan menentukan keefektifan dukungan
d.
Permasalahan yang Dihadapi
Dukungan sosial yang tepat dipengaruhi oleh kesesuaian antara jenis
dukungan yang diberikan dan masalah yang ada
e.
Waktu Pemberian Dukungan
Dukungan sosial akan optimal di satu situasi tetapi akan tidak optimal dalam
situasi lain.
C. Regulasi Emosi
1. Pengertian Regulasi Emosi
Regulasi emosi adalah kapasitas untuk mengontrol dan menyesuaikan
emosi yang timbul pada tingkat intensitas yang tepat untuk mencapai suatu tujuan.
Regulasi emosi yang tepat meliputi kemampuan untuk mengatur perasaan, reaksi,
fisiologis, kognisi yang berhubungan dengan emosi dan reaksi yang berhubungan
dengan emosi (Shaffer, 2005).
Sementara itu Gross (2007) menyatakan bahwa regulasi emosi ialah
strategi yang dilakukan secara sadar ataupun tidak sadar untuk mempertahankan,
29
memperkuat atau mengurangi satu atau lebih aspek dari respon emosi yaitu
pengalaman emosi dan perilaku. Seseorang yang memiliki regulasi emosi dapat
mempertahankan atau meningkatkan emosi yang dirasakannya baik positif
maupun negatif. Selain itu, seseorang dapat mengurangi emosinya baik positif
maupun negatif.
Sedangkan menurut Thompson (dalam Snyder dan Lopez, 2003) regulasi
emosi dapat diartikan sebagai seluruh proses ekstrinsik dan intrinsik yang
bertanggung jawab untuk memonitor, mengevaluasi dan memodifikasi reaksi
emosi untuk mencapai tujuan tertentu. Proses intrinsik adalah cara seseorang
mengelola emosi yang muncul dari dalam dirinya sedangkan proses ekstrinsik
adalah cara seseorang dalam mempengaruhi emosi yang datang dari luar.
Hay & Diehl (2011) menyebutkan bahwa peningkatan regulasi emosi
berkaitan dengan usia. Orang dewasa cenderung dapat bergerak dengan cepat dari
kondisi emosi negatif tinggi menuju kondisi emosi negatif yang lebih rendah.
Urry & Gross (2010) menambahkan bahwa peningkatan regulasi emosi pada
orang dewasa nantinya akan secara konsisten dengan meningkatnya emosi positif
dan menurunnya emosi negatif. Pernyataan tersebut diperkuat oleh Cartensen &
Charles (1998) yang menyatakan bahwa dibandingkan dengan dewasa awal, orang
dewasa yang lebih lanjut akan memiliki kontrol emosi yang lebih baik, stabilitas
suasana hati dan adanya kemampuan untuk mengendalikan ekspresi internal dari
emosi yang dimiliki.
Aspek penting dalam regulasi emosi ialah kapasitas untuk memulihkan
kembali keseimbangan emosi meskipun pada awalnya seseorang kehilangan
30
kontrol atas emosi yang dirasakan. Selain itu, seseorang hanya dalam waktu
singkat merasakan emosi yang berlebihan dan dengan cepat menetralkan kembali
pikiran, tingkah laku, respon fisiologis dan dapat menghindari efek negatif akibat
emosi yang berlebihan (Sukholdolsky, Goulb & Cromwell dalam Gratz dan
Roemer, 2004).
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa regulasi emosi
ialah suatu proses intrinsik dan ekstrinsik yang dapat mengontrol serta
menyesuaikan emosi yang muncul pada tingkat yang tepat untuk mencapai suatu
tujuan yang meliputi kemampuan mengatur perasaan, reaksi fisiologis, cara
berpikir seseorang dan respon emosi (ekspresi wajah, tingkah laku dan nada
suara) serta dapat dengan cepat menenangkan diri setelah kehilangan kontrol atas
emosi yang dirasakan.
2. Aspek-aspek Regulasi Emosi
Menurut Gross (2007) ada empat aspek yang digunakan untuk
menentukan kemampuan regulasi emosi seseorang yaitu :
a.
Strategies to emotion regulation (strategies) ialah keyakinan individu untuk
dapat mengatasi suatu masalah, memiliki kemampuan untuk menemukan suatu
cara yang dapat mengurangi emosi negatif dan dapat dengan cepat menenangkan
diri kembali setelah merasakan emosi yang berlebihan.
b.
Engaging in goal directed behavior (goals) ialah kemampuan individu untuk
tidak terpengaruh oleh emosi negatif yang dirasakannya sehingga dapat tetap
berpikir dan melakukan sesuatu dengan baik.
31
c.
Control emotional responses (impulse) ialah kemampuan individu untuk
dapat mengontrol emosi yang dirasakannya dan respon emosi yang ditampilkan
(respon fisiologis, tingkah laku dan nada suara) sehingga individu tidak akan
merasakan emosi yang berlebihan dan menunjukkan respon emosi yang tepat.
d.
Acceptence of emotional response (acceptance) ialah kemampuan individu
untuk menerima suatu peristiwa yang menimbulkan emosi negatif dan tidak
merasa malu merasakan emosi tersebut.
Thompson (1994) memandang regulasi emosi dalam suatu dinammika
yang nantinya dapat terbagi menjadi beberapa aspek mulai dari permulaan adanya
kesadaran tentang emosi hingga usaha untuk mengubah emosi. Aspek regulalsi
emosi menurut Thompson (1994) tersebut yaitu :
a.
Emotion Monitoring
Emotion monitoring adalah kemampuan individu untuk menyadari dan
memahami keseluruhan proses yang terjadi di dalam diri, seperti perasaan,
pikiran, dan latar belakang dari tindakan. Aspek ini merupakan dasar dari seluruh
aspek regulasi emosi yang lain. Hal ini dapat dimaknai bahwa adanya kesadaran
diri akan membantu tercapainya aspek-aspek yang lain. Dengan emotion
monitoring maka akan membantu individu untuk mampu menamakan setiap
emosi yang muncul.
b.
Emotion Evaluating
Emotion evaluating yaitu kemampuan individu untuk mengelola dan
menyeimbangkan emosi-emosi yang dialami khususnya emosi negatif seperti
kemarahan, kesedihan, kecewa, dendam dan benci akan membuat individu tidak
32
terbawa dan terpengaruh secara mendalam. Hal ini mengakibatkan individu tidak
mampu lagi berpikir rasional. Sebagai contoh ketika individu mengalami perasaan
kecewa dan benci, kemudian perasaan tersebut apa adanya, tidak berusaha
menolak dan berusaha menyeimbangkan emosi tersebut.
c.
Emotion Modification
Emotion modification yaitu kemampuan individu untuk mengubah emosi
sedemikian rupa sehingga mampu memotivasi diri terutama ketika individu
berada dalam keadaan putus asa, cemas dan marah. Kemampuan ini membuat
individu mampu bertahan dalam masalah yang membebani, mampu terus berjuang
ketika menghadapi hambatan dan tidak mudah putus asa serta kehilangan harapan.
Sementara itu Gratz dan Roemer (2004) juga mengungkapkan beberapa
aspek dalam regulasi emosi. Berbeda dengan Thompson (1994) yang memandang
regulasi emosi dari dinamika proses, Gratz dan Roemer (2004) lebih memandang
regulasi emosi dari detail kemampuan individu dalam mengatur emosi. Aspekaspek yang dikemukakan oleh Gratz dan Roemer (2004) terbagi menjadi enam
aspek, yaitu :
a.
Awareness of emotion
Awareness of emotion merupakan kemampuan individu untuk menyadari
adanya emosi yang hadir pada diri individu. Individu dalam kemampuan ini
mampu memberikan perhatian pada emosi yang dirasakan dan mengakui emosi
yang sedang dirasakan.
b.
Emotional clarity
33
Emotional clarity merupakan kemampuan individu untuk mengetahui secara
jelas tentang emosi yang dialami. Individu mampu memahami dengan pasti
perasaannya dan tidak mengalami kebingungan dalam memahami emosi yang
sedang dialami.
c.
Acceptance of emotional response
Acceptance of emotional response merupakan kemampuan individu untuk
menerima suatu peristiwa yang menimbulkan emosi negatif dan tidak merasa
malu merasakan emosi tersebut.
d.
Control emotional responses
Control emotional responses merupakan kemampuan untuk mengontrol
perilaku impulsif dan berperilaku sesuai dengan tujuan yang diinginkan bila
individu mengalami emosi negatif. Kemampuan tersebut untuk dapat mengontrol
emosi yang dirasakannya dan respon emosi yang ditampilkan (respon fisiologis,
tingkah laku dan nada suara) sehingga individu tidak akan merasakan emosi yang
berlebihan dan menunjukkan respon emosi yang tepat.
e.
Engaging in goal directed behavior
Engaging in goal directed behavior merupakan kemampuan individu untuk
tidak terpengaruh oleh emosi negatif yang dirasakan sehingga dapat tetap berpikir
dan melakukan sesuatu dengan baik
f.
Strategies to emotion regulation
Strategies of emotion regulation merupakan keyakinan individu untuk dapat
mengatasi suatu masalah, memiliki kemampuan untuk menemukan suatu cara
34
yang dapat mengurangi emosi negatif dan dapat dengan cepat menenangkan diri
kembali setelah merasakan emosi yang berlebihan.
Dari uraian di atas, peneliti menggunakan aspek yang dikemukakan oleh
Thompson (1994) yang meliputi :emotion monitoring, emotion evaluating,
emotion modification.
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Regulasi Emosi
Faktor-faktor yang mempengaruhi regulasi emosi menurut beberapa ahli
antara lain :
a.
Hubungan antara Orangtua dan Anak
Hubungan
antara
orangtua
dan
anak
sangat
penting
pada
masa
perkembangannya. Anak menginginkan pengertian yang bersifat simpatis, telinga
yang peka dan orangtua yang dapat merasakan anak-anaknya memiliki sesuatu
untuk dibicarakan (Rice, 1999). Menurut Rice, affect yang berhubungan dengan
emosi atau perasaan yang ada di antara anggota keluarga bisa bersifat positif
ataupun negatif. Affect yang positif antara anggota keluarga menunjuk pada
hubungan yang digolongkan pada emosi seperti kehangatan, kasih sayang, cinta
dan sensitivitas (Felcon dan Zielinski dalam Rice, 1999). Dalam hal ini anggota
menunjukkan bahwa masing-masing dari mereka mau mendengarkan perasaan
dan mengerti kebutuhan satu sama lain. Sedangkan affect yang negatif
digolongkan pada emosi yang dingin, penolakan dan permusuhan. Sikap yang
terjadi antara anggota keluarga adalah mereka saling tidak menyukai bahkan tidak
mencintai (Rice, 1999).
35
b.
Usia dan Jenis Kelamin
Bertambahnya usia seseorang dihubungkan dengan adanya peningkatan
kemampuan regulasi emosi. Semakin tinggi usia seseorang semakin baik
kemampuan regulasi emosinya. Sehingga dengan bertambahnya usia seseorang
menyebabkan ekspresi emosi semakin terkontrol (Maider dalam Coon, 2005).
c.
Religiusitas
Setiap agama mengajarkan seseorang untuk dapat mengontrol emosinya.
Seseorang yang tinggi tingkat religiusitasnya akan berusaha untuk menampilkan
emosi yang tidak berlebihan bila dibandingkan dengan orang yang tingkat
religiusitasnya rendah (Krause dalam Coon, 2005).
d.
Kepribadian
Orang yang memiliki kepribadian neuroticism dengan ciri-ciri sensitif,
moody, suka gelisah, sering merasa cemas, panik, harga diri rendah, kurang dapat
mengontrol diri dan tidak memiliki kemampuan coping yang efektif terhadap stres
akan menunjukkan tingkat regulasi emosi yang rendah (Cohen dan Armeli dalam
Coon, 2005)
e.
Pola Asuh
Beberapa cara yang dilakukan orangtua dalam mengasuh anak dapat
membentuk kemampuan anak untuk meregulasi emosinya. Parke (dalam Mayer&
Salovey, 1997) mengemukakan beberapa cara orangtua mensosialisasikan emosi
kepada anaknya diantaranya melalui pendekatan tidak langsung dalam interaksi
keluarga (antara anak dengan orangtua), teknik teaching dan coaching dan
mencocokkan kesempatan dalam lingkungan.
36
f.
Budaya
Norma atau belief yang terdapat dalam kelompok masyarakat tertentu dapat
mempengaruhi cara individu menerima, menilai suatu pengalaman emosi dan
menampilkan suatu respon emosi. Dalam hal regulasi emosi yang dianggap sesuai
atau culturally permissible dapat mempengaruhi cara seseorang dapat merespon
dalam interaksi dengan orang lain dan dalam cara ia meregulasi emosi (Gross,
1999).
g.
Tujuan Dilakukannya Regulasi Emosi
Merupakan apa yang diyakini individu dapat mempengaruhi pengalaman,
ekspresi emosi dan respon fisiologis yang sesuai dengan situasi yang dialami
(Gross, 1999).
h.
Frekuensi Individu Melakukan Regulasi Emosi (Strategies)
Merupakan seberapa sering individu melakukan regulasi emosi dengan
berbagai cara yang berbeda untuk mencapai suatu tujuan (Gross, 1999).
i.
Kemampuan Individu dalam Melakukan Regulasi Emosi (Capabilities)
Trait kepribadian yang dimiliki seseorang mengacu pada apa yang individu
dapat lakukan dalam meregulasi emosinya (Gross, 1999).
D. LANJUT USIA
1. Pengertian Lansia
Menua atau menjadi tua adalah suatu keadaan yang terjadi di dalam
kehidupan manusia. Proses menua merupakan proses sepanjang hidup, tidak
hanya dimulai dari suatu waktu tertentu, tetapi dimulai sejak permulaan
37
kehidupan. Menjadi tua merupakan proses alami yang berarti seseorang telah
melalui tiga tahap kehidupan yaitu anak, dewasa, dan tua. Tiga tahap ini berbeda,
baik secara biologi maupun psikologi. Memasuki usia tua berarti mengalami
kemunduran, contohnya kemunduran fisik yang ditandai dengan kulit yang
mengendur, rambut memutih, gigi mulai ompong, pendengaran kurang jelas,
penglihatan semakin memburuk, gerakan melambat dan figur tubuh yang tidak
proporsional (Nugroho, 2008).
Lanjut usia dibedakan menjadi tiga jenis yaitu usia kronologis yang
dihitung berdasarkan tahun kalender, usia biologis yang diterapkan berdasarkan
pematangan jaringan dan usia psikologis yang dikaitkan dengan kemampuan
seseorang untuk mengadakan penyesuaian terhadap setiap situasi yang
dihadapinya (Noorkasiani, 2009). Menurut pasal 1 ayat (2) (3) (4), UU No. 13
Tahun 1998 tetang Kesehatan dikatakan bahwa usia lanjut adalah seseorang yang
telah mencapai usia lebih dari 60 tahun (Maryam dkk, 2008).
Menurut Santrock (2002) ada dua pandangan tentang definisi orang lanjut
usia, yaitu menurut pandangan orang barat dan orang Indonesia. Pandangan orang
barat yang tergolong orang lanjut usia adalah orang yang sudah berumur 65 tahun
ke atas dimana usia ini akan membedakan seseorang masih dewasa atau sudah
lanjut. Sedangkan pandangan orang Indonesia, lansia adalah orang yang berumur
lebih dari 60 tahun. Lebih dari 60 tahun karena pada umumnya di Indonesia
dipakai sebagai usia maksimal kerja dan mulai tampaknya ciri-ciri ketuaan.
Disebutkan pula bahwa masa dewasa akhir atau lanjut usia adalah periode
perkembangan yang bermula pada usia 60 tahun yang berakhir dengan kematian.
38
Masa ini adalah masa penyesuaian diri atas berkurangnya kekuatan dan kesehatan,
menatap kembali kehidupan, masa pensiun dan penyesuaian diri dengan peranperan sosial.
Berdasarkan penjelasan-penjelasa dari para ahli di atas, dapat disimpulkan
bahwa individu yang dikategorikan sebagai lansia adalah individu yang telah
mencapai 60 tahun ke atas. Selain itu, lansia juga diklasifikasikan menjadi lima
kategori menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia (dalam Maryam
dkk, 2003), yaitu :
a. Pralansia, yaitu seseorang yang berusia antara 45-59 tahun
b. Lansia, yaitu seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih
c. Lansia resiko tinggi, yaitu seseorang yang berusia 70 tahun atau lebih atau
seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih dengan masalah kesehatan.
d. Lansia potensial, lansia yang mampu melakukan pekerjaan dan kegiatan yang
dapat menghasilkan barang dan jasa
e. Lansia tidak potensial, lansia yang tidak berdaya mencari nafkah, sehingga
hidupnya bergantung pada bantuan orang lain.
2. Ciri-ciri Lansia
Sama seperti periode sebelumnya dalam rentang kehidupan seseorang,
usia lanjut ditandai dengan perubahan fisik dan psikologis tertentu. Efek-efek
tersebut menentukan sampai sejauh tertentu apakah ia pria atau wanita lanjut usia
akan melakukan penyesuaian diri secara baik atau buruk (Hurlock, 2000).
Menurut Hurlock (2002) terdapat beberapa ciri orang lanjut usia, yaitu :
39
a. Usia lanjut merupakan periode kemunduran
Kemunduran yang dialami individu lanjut usia berupa kemunduran fisik.
Kemunduran pada lansia sebagian datang dari faktor fisik dan psikologis.
Penyebab kemunduran fisik ini merupakan suatu kemunduran pada sel-sel tubuh,
bukan karena penyakit khusus tapi karena proses menua. Kemunduran dapat
berdampak pada psikologis lansia. Motivasi memiliki peran yang penting dalam
kemunduran pada lansia. Kemunduran pada lansia semakin cepat apabila
memiliki motivasi yang rendah, sebaliknya jika memiliki motivasi yang kuat
maka kemunduran itu akan lama terjadi.
b. Perbedaan individual pada efek menua
Individu menjadi tua secara berbeda karena mereka mempunyai sifat bawaan
yang berbeda, sosial ekonomi dan latar pendidikan yang berbeda dan pola
hidup yang juga berbeda. Perbedaan terlihat diantara individu-individu yang
mempunyai jenis kelamin yang sama, semakin nyata bila pria dibandingkan
dengan wanita karena menua terjadi dengan laju yang berbeda pada masingmasing jenis kelamin. Bila perbedaan-perbedaan tersebut bertambah sesuai
dengan uisa, perbedan-perbedaan tersebut akan membuat individu bereaksi
secara berbeda terhadap situasi yang sama.
c. Usia dini dinilai dengan karakteristik yang berbeda
Arti usia tua itu sendiri kabur dan tidak dapat dibatasi pada anak muda, maka
individu cenderung menilai tua itu dalam hal penampilan dan ekgiatan fisik.
Bagi usia tua, anak-anak adalah lebih kecil dibandingkan dengan orang
dewasa dan harus dirawat. Sedangkan orang dewasa adalah sudah besar dan
40
dapat merawata diri sendiri. Orangtua mempunyai rambut putih dan tidak
lama lagi berhenti dari pekerjaan sehari-hari. Banyak individu berusia lanjt
melakukan segala apa yang dapat disembunyikan atau disamarkan yang
menyangkut tanda-tanda penuaan fisik dengan memakai pakaian yang biasa
dipakai orang muda dan berpura-pura mempunyai tenaga muda. Inilah cara
lansia untuk menutupi diri dan membuat ilusi bahwa lansia belum berusia
lanjut.
d. Berbagai stereotipe orang lanjut usia
Banyak stereotipe dan kepercayaan tradisional tentang kemampuan fisik dan
mental. Stereotipe dan kepercayaan tradisional ini timbul dari berbagai
sumber. Ada yang melukiskan bahwa usia lanjut sebagai usia yang tidak
menyenangkan, diberi tanda sebagai orang tidak menyenangkan. Pendapat
klise yang telah dikenal masyarakat tentang usia lanjut adalah pria dan wanita
yang keadaan fisik dan mentalnya loyo, usang, sering pikun, jalan
membungkuk dan sulit hidup bersama dengan siapa pun, karena hari-harinya
yang penuh manfaat sudah lewat sehingga perlu dijauhkan dari orang-orang
yang lebih muda.
e. Orang lanjut usia memiliki status kelompok minoritas
Terdapat fakta bahwa jumlah orang usia lanjut dewasa ini bertambah banyak
tetapi status mereka dalam kelompok minoritas, yaitu suatu status yang dalam
beberapa hal mengecualikan lansia untuk tidak berinteraksi dengan kelompok
lainnya, dan memberi sedikit kekuasaan atau bahkan tidak memperoleh
kekuasaan apapun. Status kelompok minoritas ini terutama terjadi sebagai
41
akibat dari sikap sosial yang tidak menyenangkan terhadap individu usia lanjut
yang diperkuat oleh pendapat klise yang tidak menyenangkan tentang mereka.
Seperti anggapan klise bahwa lansia lebih senang mempertahankan
pendapatnya daripada mendengarkan pendapat orang lain.
f. Menua membutuhkan perubahan peran
Sama seperti individu berusia madya harus belajar untuk memainkan peranan
baru demikian juga bagi yang berusia lanjut. Pengaruh kebudayaan dewasa ini
dimana efisiensi, kekuatan, kecepatan dan kemenarikan bentuk fisik sangat
dihargai mengakibatkan orang berusia lanjut sering dianggap tidak ada
gunanya lagi. Lansia sulit bersaing dengan orang-orang yang lebih muda
dalam berbagai bidang tertentu, dan sikap sosial terhadap lansia tidak
menyenangkan. Perubahan peran tersebut dilakukan karena lansia mulai
mengalami kemunduran dalam segala hal. Perubahan peran pada lansia
sebaiknya dilakukan atas dasar keinginan sendiri bukan atas dasat tekanan dari
lingkungan.
g. Penyesuaian yang buruk pada lansia
Sikap sosial yang tidak menyenangkan bagi lansia nampak dalam cara orang
memperlakukan
lansia,
maka
tidak
heran
kalau
banyak
lansia
mengembangkan konsep diri yang tidak menyenangkan. Hal ini cenderung
untuk semakin jahat ketimbang mereka yang dalam menyesuaikan diri pada
masa lalunya mudah dan menyenangkan.
h. Keinginan menjadi muda kembali sangat kuat pada lanjut usia
42
Status kelompok minoritas yang dikenakan pada individu berusia lanjut secara
alami telah membangkitkan keinginan untuk tetap muda selama mungkin dan
ingin dipermuda apabila tanda-tanda menua tampak.
3. Perkembangan Masa Lansia
Menurut Hutapea (2005) individu memasuki masa lanjut usia mengalami
perubahan-perubahan sebagai berikut :
a. Perubahan Fisik
perubahan fisik yang terjadi sewaktu memasuki usia tua antara lain :
1) Perubahan pada sistem kekebalan atau immunologi, dimana tubuh
menjadi rentan terhadap penyakit dan alergi.
2) Konsumsi energik turun secara nyata diikuti edngan menurunnya
jumlah energi yang dikeluarkan tubuh
3) Air dalam tubuh turun secara signifikan karena bertambahnya sel-sel
mati yang diganti oleh lemak maupun jaringan konektif
4) Sistem pencernaan mulai terganggu, gigi mulai tanggal, kemampuan
mencerna makanan serta penyerapannya menjadi lamban dan kurang efisien,
gerakan peristaltik usus menurun sehingga sering konstipasi (susah ke
belakang)
5) Perubahan pada sistem metaboli, yang menyebabkan gangguan
metabolisme glukosa karena sekresi insulin yang menurun karena timbulnya
lemak.
6) Sistem saraf menurun yang menyebabkan munculnya rabun jauh dekat,
kepekaan bau dan rasa berkurang, kepekaan sentuhan berkurang, pendengaran
43
berkurang, reaksi menjadi lambat, fungsi mental menurun dan ingatan visual
berkurang.
7) Perubahan pada sistem pernafasan ditandai dengan menurunnya
elastisitas
paru-paru
yang
mempersulit
pernafasan
sehingga
dapat
mengakibatkan munculnya rasa sesak dan tekanan darah meningkat.
8) Kehilangan elastisitas dan fleksibelitas persendian, tulang mulai
keropos.
b. Perubahan Psikososial
Perubahan psikososial menyebabkan rasa tidak aman, takut, merasa
penyakit selalu mengancam, sering bingung, panik dan depresif. Hal itu
disebabkan antara lain karena ketergantungan fisik dan sosioekonomi.
Ketergantungan sosial finansial pada waktu pensiun membawa serta
kehilangan rasa bangga, hubungan sosial dan kewibawaan.
Rasa kesepian bisa muncul karena semua anak telah meninggalkan rumah
dan makin sedikitnya teman akrab yang sebaya. Kecemasan dan mudah marah
merupakan gejala yang umum dapat menyebabkan keluhan susah tidur atau
tidur tidak tenang.
c. Perubahan Emosi dan Kepribadian
setiap ada kesempatan, lansia selalu mengadakan introspeksi diri. Terjadi
proses pematangan dan bahkan tidak jarang terjadi pemeranan gender yang
terbalik. Para wanita lansia bisa menjadi lebih tegar dibandingkan lansia pria,
apalagi dalam memperjuangkan hak mereka. Sebaliknya, pada saat lansia pria
yang tidak sega-segan memerankan peran yang sering distereotipekan sebagai
44
pekerjaan wanita seperti mengasuh cucu, menyiapkan sarapan, membersihkan
ruamh dan pekerjaan rumah tangga lainnya. Persepsi tentang kondisi
kesehatan berpengaruh pada kehidupan psikososial, dalam hal memilih bidang
kegiatan yang sesuai dan cara menghadapi persoalan hidup.
Menurut Mubin dan Cahyadi (2006), fase lanjut usia ditandai dengan
perubahan-perubahan sebagai berikut :
a. Perubahan yang bersifat fisik
1) Kekuatan fisik dan motorik yang sangat kurang, terkadang ada sebagian
fungsi organ tubuhnya tidak dapat dipertahankan lagi
2) Kesehatan sangat menurun sehingga sering sakit-sakitan
b. Perubahan yang bersifat psikis
1) Muncul rasa kesepian yang mungkin disebabkan karena anak-anak yang
beranjak dewasa dan berkeluarga sehingga tidak tinggal serumah lagi. Lansia
biasanya suka memelihara cucu-cucu untuk mengatasi rasa kesepian tersebut.
2) Berkurangnya kontak sosial dan tugas-tugas sosial akibat kondisi fisik
yang menurun
3) Lekas merasa jenuh dan kadang-kadang menjadi cerewet
4) Mengalami penurunan dalam hal ingatan, penglihatan atau pendengaran
dan kadang-kadang menjadi pikun
5) suka bercerita atau bernostalgia tentang kehebatannya dimasa lampau
6) Kehidupan keagamaan sangat baik, terutama dalam hal beribadah dan
beramal, karena dari segi usia rata-rata lansia sudah mendekati kematian yang
pasti datang menjemputnya.
45
4. Tugas Perkembangan Lansia
Sebagaimana individu yang memiliki tugas perkembangan yang berbedabeda pada setiap tahapan perkembangannya, lanjut usia memiliki tugas yang
berbeda dengan tahapan perkembangan sebelumnya. Potter & Perry (2009)
manyebutkan bahwa tugas perkembangan pada lansia antara lain beradaptasi
terhadap penurunan kesehatan dan kekuatan fisik, beradaptasi terhadap masa
pensiun dan penuruanan pendapatan, beradaptasi terhadap kematian pasangan,
menerima diri sebagai individu yang menua, mempertahankan kehidupan yang
memuaskan, menetapkan kembali hubungan dengan anak yang telah dewasa, serta
menemukan cara mempertahankan kualitas hidup.
Menurut Erickson, menguraikan tugas perkembangan di lanjut usia adalah
tercapainya integritas seseorang, yang bermakna bahwa individu tersebut berhasil
memenuhi komitmen dalam hubungannya sendiri dengan orang lain (Prawitasari,
1994). Erickson juga menambahkan bahwa kesiapan lansia untuk beradaptasi atau
menyesuaikan diri terhadap tugas perkembangan usia lanjut dipengaruhi oleh
proses tumbuh kembang pada tahap sebelumnya. Apabila seseorang pada tahap
tumbuh kembang sebelumnya melakukan kegiatan sehari-hari dengan teratur dan
baik serta membina hubungan yang serasi dengan orang-orang di sekitarnya,
maka pada usia lanjut ia akan tetap melakukan kegiatan yang biasa ia lakukan
pada tahap perkembangan sebelumnya seperti olahraga, mengembangkan hobi
bercocok tanam dan lain-lain (dalam Maryam dkk, 2003).
Adapun tugas perkembangan lansia menurut Erickson (dalam Maryam
dkk, 2003) adalah sebagai berikut :
46
a. Mempersiapkan diri untuk kondisi yang menurun
b. Mempersiapkan diri untuk pensiun
c. Membentuk hubungan baik dengan orang seusianya
d. Mempersiapkan kehidupan baru
e. Melakukan penyesuaian terhadap kehidupan sosial atau masyarakat
secara santai
f. Mempersiapkan diri untuk kematiannya dan kematian pasangan.
Sedangkan menurut Hurlock (2004) tugas perkembangan usia lanjut
adalah menyesuaikan diri dengan menurunnya kekuatan fisik dan kesehatan,
menyesuaikan diri dengan masa pensiun dan berkurangnya penghasilan (income)
keluarga, menyesuaikan diri dengan kematian pasangan hidup, membentuk
hubungan dengan orang-orang seusia, membentuk pengaturan kehidupan fisik
yang memuaskan dan menyesuaikan diri dengan peran sosial secara luwes.
E. Harga Diri Ditinjau dari Dukungan Sosial dan Regulasi Emosi pada
Wanita Lansia yang Bekerja Wiraswasta
1. Harga Diri Ditinjau dari Dukungan Sosial pada Wanita Lansia yang Bekerja
Wiraswasta
Usia lanjut pasti dialami oleh setiap manusia sebagai bagian dari proses
biologis. Proses penuaan yang diikuti dengan menurunnya kemampuan fisik
dan pikiran adalah gambaran umum yang terjadi pada setiap lansia. Banyak
dari lansia yang mulai kehilangan berat badan, kehilangan nafsu makan,
konstipasi maupun diare, gangguan tidur, tubuh tidak terawat, menarik diri
47
dari aktivitasnya, sulit memulai aktivitas baru, penurunan libido, sedih dan
cemas, perasaan terisolasi, lebih suka sebagai pendengar daripada
berpartisipasi aktif, sensitif terhadap kritikan orang lain, mengeluh nyeri dan
pusing, merasa tidak dapat melakukan hal-hal yang berarti, merasa selalu
salah dan gagal. Stuart dan Sundeen (1995) menyebutkan hal-hal di atas
merupakan manifestasi dari seorang lansia dengan harga diri rendah.
Lansia dengan harga diri rendah akan merasa dirinya tidak punya
kemampuan, tidak nyaman, merasa tidak berharga,merasa segala yang
dilakukannya sia-sia, mudah cemas, marah dan mudah kecewa.Hal ini dapat
berdampak buruk terutama bagi kesehatan mental lansia terutama lansia yang
bekerja. Lansia yang bekerja membutuhkan harga diri tinggi, harga diri tinggi
membuat lansia memiliki kemampuan untuk lebih produktif dalam bekerja.
Lansia juga membutuhkan dukungan sosial yang tinggi dari lingkungan
tempat lansia berada agar dapat mengelola permasalahannya dengan baik
serta membangun rasa percaya diri yang baik untuk tetap memiliki harga diri
yang tinggi. Berpikiran positif dapat membawa dampak positif pula pada
pekerjaan lansia.
Thoits (dalam Emmons dan Colby, 1995) menyatakan bahwa dukungan
sosial secara umum mengacu pada bantuan yang diberikan pada seseorang
oleh orang-orang yang berarti baginya seperti keluarga dan teman-teman.
Dukungan sosial itu sendiri menurut Sarafino (1990) merupakan bentuk
keberadaan dari orang-orang yang memperhatikan, menghargai dan
mencintai. Dukungan sosial merupakan hal yang penting dalam cara individu
48
mengatasi masalah yang dihadapi. Dukungan sosial dapat diperoleh dari
pasangan hidup, orangtua, saudara, tetangga, atasan, bawahan atau pun teman
sejawat.
Dukungan sosial adalah keberadaan, kesediaan, kepedulian dari orangorang yang dapat diandalkan, menghargai dan menyayangi. Seperti halnya
yang dikatakan oleh Cobb (dalam Kuntjoro, 2002) bahwa dukungan sosial
sebagai adanya kenyamanan, perhatian, penghargaan, menolong orang
dengan sikap menerima kondisinya. Weiss (dalam Khera, 2002) mengatakan
bahwa fungsi dari dukungan sosial juga sangat berpengaruh untuk
meningkatkan harga diri individu.
Dukungan sosial yang diterima oleh lansia yang bekerja sama dapat
berupa beberapa bentuk dukungan antara lain: dukungan emosional,
dukungan instrumental, dukungan penghargaan, dukungan informasi dan
dukungan jaringan sosial. Dengan adanya dukungan yang didapatkan oleh
individu, maka individu akan dapat meningkatkan rasa percaya dirinya dan
memotivasi diri menjadi lebih baik. Individu yang memiliki dukungan sosial
tinggi cenderung lebih menghayati pengalaman hidupnya yang positif,
memiliki rasa percaya diri tinggi dan lebih memandang kehidupannya secara
optimis. Lansia bekerja yang lebih optimis memandang hidup dapat
meningkatkan produktivitas kerjanya.
49
2. Harga Diri Ditinjau dari Regulasi Emosi Wanita Lansia yang Bekerja
Wiraswasta
Kemajuan
dalam
bidang
pendidikan
dan
teknologi
yang
pesat
memudahkan masyarakat memperoleh wawasan yang semakin luas.
Wawasan yang semakin luas ini membuat masyarakat terutama wanita dapat
menunjukkan kemampuannya. Wanita yang identik dengan pekerjaan rumah
tangga, mengasuh dan membesarkan anak sementara suami bekerja. Kini,
tidak hanya suami yang bekerja dalam keluarga tetapi wanita pun banyak
yang bekerja. Jumlah wanita bekerja di Indonesia semakin meningkat dari
tahun ke tahun. Wanita lanjut usia seiring dengan perkembangan jaman yang
semakin modern pun terbiasa untuk tetap bekerja.
Wanita lanjut usia yang bekerja di Indonesia sering kali harus menghadapi
mitos-mitos yang salah dari masyarakat mengenai lanjut usia. Mitos-mitos
yang salah tersebut contohnya lanjut usia dianggap berbeda dengan orang
lain, sukar memahami informasi baru, tidak produktif, dan menjadi beban
masyarakat. Hal ini dapat mempengaruhi harga diri yang dimiliki oleh lansia.
Mereka yang dulunya dapat aktif beraktivitas, produktif dan mandiri
dikarenakan keterbatasan fisik dan mitos-mitos tersebut menjadikan lansia
merasa tidak berharga.
Harga diri adalah evaluasi terhadap dirinya sendiri secara positif atau
negatif (Dariyo dan Ling, 2002). Harga diri ini berpengaruh terhadap kualitas
dan kebahagiaan hidup lansia. Lansia yang memiliki harga diri tinggi akan
merasa tenang, mantap, optimis dan lebih mampu mengendalikan situasi
50
dirinya (Dariuszky, 2004). Sebaliknya harga diri yang rendah akan membawa
lansia pada perilaku kurang baik bagi lansia. Lansia dengan harga diri rendah
biasanya bersikap bergantung, kurang percaya diri dan pesimistis (Widodo,
2004). Hal ini dapat menyebabkan lansia dengan harga diri rendah menjadi
kurang produktif dalam bekerja.
Wanita lansia yang bekerja membutuhkan regulasi emosi agar lansia
merasa lebih berharga sehingga mampu menghadapi kemunduran fisik
sekalipun tetap bekerja sesuai dengan tuntutan perkembangan jaman.
Regulasi emosi menurut Denham (dalam Coon, 2005) adalah kemampuan
secara fleksibel untuk mengendalikan emosi yang dirasakan dan ditampilkan
sesuai dengan tuntutan lingkungan. Regulasi emosi merupakan kemampuan
untuk tetap tenang di bawah tekanan (Reivich dan Shatte, 2002) lansia
bekerja yang memiliki meregulasi emosi dapat mengendalikan dirinya apabila
sedang kesal dan dapat mengatasi rasa cemas, sedih dan marah sehingga
mempercepat pemecahan suatu masalah. Regulasi emosi juga dapat membuat
individu berpikir jernih, bersikap lebih tenang serta bijaksana dalam
bertindak.
3. Harga Diri Ditinjau dari Dukungan Sosial dan Regulasi Emosi Wanita Lansia
yang Bekerja Wiraswasta
Jumlah wanita bekerja di Indonesia semakin meningkat dari tahun ke
tahun sesusai data Badan Pusat Statistik.Wanita lanjut usia seiring dengan
perkembangan jaman yang semakin modern pun terbiasa untuk bekerja
karena tidak ingin membebani anak-anaknya yang telah berumah tangga
51
berdasarkan wawancara yang telah dilakukan pada tanggal 17 Mei 2014
kepada Mbah No, salah seorang lansia yang tetap bekerja pada usia senjanya.
Lanjut usia tetap bekerja meskipun mengalami proses penuaan. Proses
menua (aging) adalah proses alami yang disertai adanya penurunan kondisi
fisik, psikologis, maupun sosial yang saling berinteraksi satu sama lain.
Keadaan itu cenderung berpotensi menimbulkan masalah kesehatan secara
umum maupun kesehatan jiwa secara khusus pada lansia (Darmojo, 2000).
Kondisi fisik seseorang yang sudah memasuki masa lansia mengalami
penurunan secara berlipat ganda. Dalam tubuh lansia timbul kondisi
penurunan jumlah sel-sel otak disertai penurunan fungsi indera pendengaran,
penglihatan, pembauan yang sering menimbulkan keterasingan bagi lansia
saat proses menua mulai berlangsung. Kemunduran fisik dapat memicu
timbulnya stres pada lanjut usia. Mereka yang dulunya dapat beraktifitas
secara aktif mulai merasakan keterbatasan disebabkan adanya kemunduran
fisik tersebut.
Lansia dengan harga diri rendah akan merasa dirinya semakin tidak punya
kemampuan, tidak nyaman, merasa tidak berharga, merasa segala yang
dilakukannya sia-sia, mudah cemas, marah dan mudah kecewa. Hal ini dapat
berdampak buruk terutama bagi yang bekerja. Lansia yang bekerja
membutuhkan harga diri tinggi, harga diri tinggi membuat lansia memiliki
kemampuan untuk lebih produktif dalam bekerja. Lansia juga membutuhkan
dukungan sosial yang tinggi dari lingkungan tempat lansia berada agar dapat
52
mengelola permasalahannya dengan baik serta membangun rasa percaya diri
yang baik untuk tetap memiliki harga diri yang tinggi.
Lansia yang di masa lalu mampu secara aktif menjalankan aktivitasnya,
produktif dan mandiri bisa menjadi merasa tidak berharga juga dikarenakan
adanya mitos-mitos negatif yang berkembang di kalangan lanjut usia.
Kuntjoro (2002) menyatakan bahwa dalam masyarakat Indonesia sering
dijumpai pengertian dan mitos yang salah mengenai lanjut usia, sehingga
banyak merugikan lanjut usia. Contohnya lanjut usia dianggap berbeda
dengan orang lain, sukar memahami informasi baru, tidak produktif dan
menjadi beban masyarakat, lemah, jompo, sakit-sakitan, pikun, dan lain-lain.
Pandangan ini juga dapat menurunkan harga diri yang dimiliki lansia. Faktor
psikologis dalam hal ini regulasi emosi memegang peranan penting dalam
pembentukan harga diri lansia untuk mengahadapi tekanan mitos ini.
Regulasi emosi ialah kemampuan secara fleksibel untuk mengendalikan
emosi yang dirasakan dan ditampilkan sesuai dengan tuntutan lingkungan
(Denham dalam Coon, 2005). Regulasi emosi merupakan kemampuan untuk
tetap tenang di bawah tekanan (Reivich dan Shatte, 2002) lansia bekerja yang
memiliki meregulasi emosi dapat mengendalikan dirinya apabila sedang kesal
dan dapat mengatasi rasa cemas, sedih dan marah sehingga mempercepat
pemecahan suatu masalah. Regulasi emosi juga dapat membuat individu
berpikir jernih, bersikap lebih tenang serta bijaksana dalam bertindak.
53
F. Kerangka Pikir
Berdasarkan penjelasan yang telah diuraikan di atas dapat disimpulkan
bahwa terdapat hubungan antara dukungan sosial dan regulasi emosi dengan harga
diri pada wanita lansia yang bekerja.
Dukungan Sosial
Harga Diri
Regulasi Emosi
Bagan 1.
Kerangka Pikir
G. Hipotesis
a. Mengetahui adanya hubungan harga diri ditinjau dari dukungan sosial wanita
lansia yang bekerja wiraswasta di Kecamatan Jebres Kota Surakarta.
b. Mengetahui adanya hubungan harga diri ditinjau dari regulasi emosi wanita
lansia yang bekerja wiraswasta di Kecamatan Jebres Kota Surakarta.
c. Mengetahui adanya hubungan harga diri ditinjau dari dukungan sosial dan
regulasi emosi wanita lansia yang bekerja wiraswasta di Kecamatan Jebres
Kota Surakarta.
Download