peringatan - Perpustakaan UNISBA

advertisement
PERINGATAN !!!
Bismillaahirrahmaanirraahiim
Assalamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh
1. Skripsi digital ini hanya digunakan sebagai bahan
referensi
2. Cantumkanlah sumber referensi secara lengkap bila
Anda mengutip dari Dokumen ini
3. Plagiarisme dalam bentuk apapun merupakan
pelanggaran keras terhadap etika moral penyusunan
karya ilmiah
4. Patuhilah etika penulisan karya ilmiah
Selamat membaca !!!
Wassalamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh
UPT PERPUSTAKAAN UNISBA
Komunikasi Ekspresif Tari Ronggeng Bugis Cirebon
Penelitian Kualitatif Dengan Pendekatan Etnografi Komunikasi mengenai
komunikasi ekspresif
dalam Tari Ronggeng Bugis Cirebon
Skripsi
Disusun Oleh :
Hanna Wisudawaty 10080005239
BIDANG KAJIAN JURNALISTIK
`
FALKULTAS ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
2009
2
3
Jika Allah memerintahkan untuk bersyukur dan bersabar,
karena itulah jiwa dari kehidupan. Tapi syukur dan sabar baru
bermakna bila dilandasi keikhlasan karena Allah dan tawakal
(Ust. Syakir Jamaluddin, MA)
KU persembahkan Tulisan ini:
Kepada orang yang selalu mendukung
dalam pengerjaan tulisan ini terutama
untuk Keluarga dan sahabat terima
kasih buat semangat dan cinta kalian
membuat ku berwarna
Thanks for all…
4
ABSTRAKSI
Skripsi ini berjudul Komunikasi Ekspresif Ronggeng Bugis Cirebon merupakan
penelitian kualitatif dengan metode etnografi komunikasi. Seni Tari sebagai ekspresi
manusia bersifat estetis, kehadirannya tidak bersifat independen. Dilihat secara
tekstual, tari dapat dipahami secara aspek bentuk dan teknik yang berkaitan dengan
komposisinya (analisis bentuk atau penataan kreografinya), teknik penarinya (analisis
cara melakukan atau keterampilan). Seni merupakan kebutuhan manusia, walaupun
bukan kebutuhan pokok. Bukan saja dalam bentuk hal-hal yang indah, tetapi lebihlebih lagi dalam konsep-konsep seni yang sekarang. Kita bisa bayangkan bila dalam
kehidupan tidak ada seni, alangkah sepinya dan monotonnya kehidupan kita tanpa
kehadiran dunia seni. Misalnya tidak ada suara musik dan gamelan degung yang
merdu begitu enak didengar, tidak ada tari Merak yang enak dipandang, dan lain
sebagainya. Sementara dapat dilihat secara kontekstual yang berhubungan dengan
ilmu sosial antara lain, Sosiologi maupun Antropologi, yaitu tari sebagai bagian
imanen dan integral sosial kultural.
Aspek komunikasi ekspresif pada Tari Ronggeng terlihat pada ekspresi yang
sejalan dengan gerakan dan membuat suatu persepsi yang hendak disampaikan para
penari menampilkan kewaspadaan. Jika merujuk pada salah satu Fungsi Komunikasi
dalam dimensi konseptual yaitu ekspresif menyampaikan pesan atau emosi secara
nonverbal. Metode Etnografi komunikasi ini penulis menggunakan teori dari Dell
Hymes yaitu bagaimana situasi ekspresif dalam tari Ronggeng Bugis Cirebon,
Peristiwa ekspresif dalam tari Ronggeng Bugis Cirebon, dan Tindak ekspresif tari
Ronggeng Bugis Cirebon. Terdapat beberapa pola yang mempengaruhi situasi
ekspresif, peristiwa ekspresif, dan tindak ekspresif yakni dari segi musik, pakaian,
tarian dan tempat.
i
5
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala kekuatan
yang diberikan di dalam menyelesaikan skripsi ini. Seklaipun bukan pada waktu yang
ideal penulis dapat menyelesaikannya, namun tetap saja skripsi ini memiliki nilai
yang sangat berarti sebagai bagian dari sejarah hidup penulis yang cukup penting dan
strategis. Sungguh suatu kebanggaan tersendiri dapat menyelesaikan tugas skripsi ini
di tengah rutinitas kegiatan dan kesibukan yang rasanya tidak pernah putus.
Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Ilmu
Komunikasi di Universitas Islam Bandung (UNISBA). Namun di samping tujuan
tersebut penulis berharap apa yang penulis susun ini menjadi suatu yang dapat
diambil manfaatnya dalam kehidupan berkomunikasi . adapun judul yang diangkat
yaitu “ Komunikasi Ekspresif Ronggeng Bugis Cirebon”.
Selama menyelesaikan skripsi ini penulis telah mendapatkan banyak bantuan dan
dukungan, namun hanya ucapan terima kasih dan penghargaaan yang setinggitingginya yang dapat penulis sampaikan kepada:
1. Ucapan Syukur ke hadirat Illahi Robbi atas segala rahmat dan karuniannya
yang telah dilimpahkan kepada penulis;
2. Ibunda dan ayahanda tercinta yangselalu ikhlas dengan do’anya, terutama
buat ibunda yang selalu memberikan motivasi sehingga skripsi ini dapat
selesai;
6
3. Ibu Kiki Zakiah selaku Dosen Pembimbing yang telah banyak meluangkan
waktu dengan kesibukan yang ibu punya saya jadi banyak belajar juga dari
Ibu bukan hanya cara mengerjakan skripsi tapi sikap tidak menyerah ibu
ajarkan;
4. Bu Ema Khotimah, Dra., S.pd., M.si. selaku Ketua Jurusan Jurnalistik yang
memberikan dorongan moril yang sangat berkesan.
5. Buat semua dosen Jurnalistik Bu santi, Pa Septi, Bu Yenni, Bu atie, dan
seluruh Dosen Jurnalistik telah memberikan ilmu dan motivasi selagi kuliah
tidak hanya ilmu yang di dapat tapi makna yang semua kita kerjakan tugas
walaupun dibarengi dengan mengeluh tapi banyak memberikan makna buat
saya;
6. Bu Ida Farida selaku dosen STSI yang meneliti objek yang sama walaupun
meneliti yang beda tapi banyak memberikan masukan lalu Pa Anggi Ketua
Jurusan Seni Rupa STSI yang mau mendengarkan curhatan soal skripsi bapak
pernah bilang “jangan ngeliat susahnya sekarang tapi hasilnya buat masa
depan” nasehat yang bikin saya semangat pak,hehe…..
7. Buat Ririn, Dwi, Elyse dan Anum (makasih soul waktu itu dah nawarin ngetik
karena tangan tangan aku agak terganggu,hehe makasiiii dari awal masuk kita
bareng terus neh wisuda juga bareng pkoknya silaturahmi kita jangan keputus
walaupun dah jarang ketemu!!!) walaupun kita beda jurusan tetep bareng terus
maennya.
7
8. Buat teman-teman dikampus Erna, Irma, Wida, Wita,(pokoknya anak-anak
lebai yang ikut ke dufan tea, yuu…lagi…yu seru banget,,hehe). Trus buat
Rian yang setia menjadi teman ku dari awal masuk kuliah ga nyangka ya kita
terus sekelas jadi terus bersama katanya rumahnya mau pindah deket aku yaa,,
makin deket aja neh kita, makasih dah sabar denger keluhan aku, kadang aku
yang banyak ngeluh tapi kamu sabar, the best lah buat kamu tak lupa ceceu
kin sang pengkritik mujarab ko kritikannya temen gossip juga kalo gosip ma
kamu berapi-api seru uy…..!!! ( hehe…. ) pokoknya buat kalian love u
forever!!! Terus buat anum..makasi buat semangat dan share buat skripsinya
jadi kita bisa saling tuker informasi,hehe.
9. Buat pengalaman di Cirebon saat-saat mau melakukan wawancara bikin
berkesan musibah yang memang tak terduga disaat saya semangat untuk
mengerjakan skripsi, tapi saya mendapat banyak hikmah yaitu begitu
berartinya waktu tiap harinya,hehehe…..
10. Teman dirumah anak-anak Komplek Panyileukan Deva, hanny, Ririn dan Via
kalian adalah teman yang dari kecil hingga sekarang tak pernah putus untuk
memberikan support, walaupun kita punya kesibukan masing-masing tapi kita
selalu saling memberikan support;
11. Temen-temen di Bandung TV makasih kang Erwin (makasi ya kang suka
denger curhtan aku yang ga penting,hehe kapan atuh maen lagi), kang Maul
(kang sukses ya ma tunangannya ditunggu kapan nikahnya,hehe) , the
8
Neneng, The Diana (The kalo liputan masih suka nelepon pacar ga,hehehe),
Bu Yayu (makasih dah nganter tea, aku baliknya kemaleman,hehe) dkk.
Thank u so much banyak ngasi masukan buat skripsi, kangeun ikh masa-masa
bersama kalian seru…seru bodor-bodor……(hehehe…..)
12. Bapak Handoyo selaku pemilik sanggar Pringgading Cirebon terima kasih
buat waktunya;
13. Mas willy selaku salah satu Penari Ronggeng Bugis luangkan waktu untuk
wawancara, tapi mas ketika wawancara tangan kanan saya di perban waktu
wawancara masih merasa sakit, penuh perjuangan memang untuk melakukan
wawancara itu sebelum waktunya saya mendapat musibah kecelakaan;
14. Ali Hasan Kakak ku yang tercinta yang di Cirebon sudah memberikan
dukungan materi dan moril dan Bibi ketika disana banyak memberikan
dukungan moril dan membantu data-data yang dibutuhkan.
15. Buat keponakan ku aji kalo ngetik diganggu pengen pake lagu tapi ga apa deh
nambah menantang ajah skripsinya,hehe…
9
16. Buat temen-temen dikampus dan diluar yang kenal maaf ga bisa disebutin
satu-satu pkoknya terima kasih doa dan support kalian sangat berarti buat aku;
Wassalamu’alaikum wr.wb
Bandung, 08 Desember 2009
Hanna Wisudawaty
Penulis
10
DAFTAR ISI
Halaman
LEMBAR PENGESAHAN
LEMBAR MOTO
ABSTRAKSI………………………………………………………………………i
KATA PENGANTAR…………………………………………………….....……ii
DAFTAR ISI…………………………………………………………………..…...vi
DAFTAR GAMBAR………………………………………………………………ix
BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar belakang.................................................................................................
1
1.2.
Rumusan Masalah………………………………………………………… 6
1.3.
Identifikasi Masalah……………………………………………………….. 6
1.4.
Pembatasan Masalah……………………………………………………….. 6
1.5.
Tujuan Penelitian……………………………………………………............7
1.6.
Kegunaan Penelitian………………………………………………………...7
1.6.1. Kegunaan Teoritis…………………………………………………….
7
1.6.2. Kegunaan Praktis…………………………………………………......
8
1.7. Pengertian Istilah…………………………………………………………...
8
1.8. Alasan Pemilihan Masalah………………………………………………....
10
1.9. Kerangka Pemikiran……………………………………………………......
10
1.10. Metodologi Penelitian………………………………………………….....
14
1.10.1. Metodologi Penelitian………………………………………... .......
14
1.10.2. Teknik Pengumpulan Data……………………………………......
18
1.11. Langkah-langkah Penelitian………………………………………….......
20
11
1.12. Organisasi Karangan……………………………………………………
20
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tinjauan Pustaka…………………………………………………………
23
2.1.1. Pengertian Komunikasi……………………………………………
23
2.1.2. Pengertian Komunikasi Verbal……………………………………
24
2.1.3. Komunikasi Nonverbal……………………………………………
26
2.1.4. Komunikasi Ekspresif……………………………………………..
29
2.1.5. Komunikasi dan Budaya……………………………………………
32
2.2. Tari Sebagai Sarana Komunikasi………………………………………….
32
2.3. Definisi Tari………………………………………………………………..
35
BAB III METODOLOGI DAN OBJEK PENELITIAN
3.1. Metodologi Penelitian……………………………………………………..
58
3.1.1. Metode penelitian Kualitatif………………………………………..
58
3.1.2. Ciri-ciri Metode Kualitatif …………………………………………..
62
3.1.3 Karakteristik Penelitian Kualitatif…………………………………….
63
3.2. Etnografi dan Etnografi Komunikasi ……………………………………..
65
3.2.1. Etnografi dan Etnografi Komunikasi………………………………..
65
3.2.2. Tahapan Penelitian Dalam Etnografi Komunikasi……………………. 72
3.2.3. Penelitian Etnografi Komunikasi……………………………………... 75
3.2.4.
Proses Pengumpulan Data…………………………………………….. 90
12
3.2.5. Teknik Pengumpulan Data…………………………………………….. 91
3.3. Objek Penelitian………………………………………………………………. 92
3.4. Profil Cirebon………………………………………………………………… 93
3.5. Masyarakat dan Budaya Cirebon……………………………………………. 95
BAB IV ETNOGRAFI PERTUNJUKAN TARI RONGGENG
BUGIS CIREBON
4.1. Asal-usul Ronggeng………………………………………...……………….. 100
4.1.1. Ronggeng di Jawa Barat………………………………………………. 100
4.1.2. Ronggeng Bugis Cirebon……………………………………………... 101
4.1.3. Pertumbuhan dan Perkembangan Ronggeng Bugis…………………
105
4.1.4. Media Pertunjukan Ronggeng Bugis………………………………..
117
4.1.5. Musik Pengiring Tari Ronggeng Bugis……………………..
125
4.1.6. Tahap Introduksi……………………………………………
127
4.1.7. Pelaku Ronggeng Bugia……………………………………
128
4.1.8. Sejarah Singkat Sanggar Pringgading………………………
130
4.2. Pesan Komunikasi yang Terkandung dalam Pertunjukan Ronggeng Bugis
Cirebon…………………………………………………………….
132
4.2.1. Deskripsi Hasil Pengamatan…………………………………
132
4.2.2. Pembahasan Hasil Pengamatan……………………………....
133
BAB V KOMUNIKASI EKSPRESIF RONGGENG BUGIS
DALAM KAJIAN ETNOGRAFI KOMUNIKASI
13
5.1. Situasi ekspresif dalam Tari Ronggeng Bugis Cirebon………………...
135
5.2. Peristiwa Ekspresif Dalam Ronggeng Bugis…………………………….
141
5.2.1. Tipe Peristiwa………………………………………………..........
147
5.2.2. Topik………………………………………………………………
148
5.2.3. Fungsi dan Tujuan…………………………………………………
148
5.2.4. Setting……..…………………………………………………..........
149
5.2.5. Partisipan…………………………………………………………. ..
150
5.2.6. Ends………………………………………………………………..
150
5.2.7. Bentuk Pesan……………………………………………………...
154
5.2.8. Isyarat yang digunakan dalam bentuk percakapan………………..
156
5.2.9. Act Sequence (Isi Pesan atau urutan Tindak)……………………...
157
5.2.10. Kaidah Interaksi………………………………………………….
158
5.2.11. Norma Interpretasi……………………………………………….
159
5.3. Tindakan Ekspresif dalam Ronggeng Bugis Cirebon……………………..
159
5.3.1. Bentuk Ekspresi…………………………………………………….
159
5.3.2. Karakteristik Gerakan………………………………………………
160
5.3.3 Isyarat gerak…………………………………………………………
161
BAB VI KESIMPULAN
6.1. Rangkuman………………………………………………………………...162
6.2. Kesimpulan…………………………………………………………………164
6.3. Saran………………………………………………………………………..165
14
6.3.1. Saran Praktis…………………………………………………………..
166
6.3.2 Sarana Bagi Pengembangan Ilmu…………………………………….
167
DAFTAR PUSTAKA
15
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Masalah
Dalam kehidupan kita sehari-hari komunikasi memegang peranan yang
sangat penting. Kita tidak bisa tidak berkomunikasi, tidak ada aktifitas yang
dilakukan tanpa komunikasi, dikarenakan kita dapat membuat beberapa
perbedaan yang esensial manakala kita berkomunikasi dengan orang lain.
Demikian pula sebaliknya, orang lain akan berkomunikasi dengan kita, baik
dalam jangka pendek ataupun jangka panjang. Cara kita berhubungan satu
dengan lainnya, bagaimana cara kita memberikan kontribusi sebagai anggota
keluarga kelompok, komunitas, organisasi dan masyarakat secara luas
membutuhkan suatu komunikasi. Sehingga menjadikan komunikasi tersebut
menjadi hal yang sangat fundamental dalam kehidupan kita.
Tari pun menjadi salah satu media komunikasi. Tari Ronggeng Bugis Cirebon
salah satu yang memilki sejarah dan pesan dari setiap gerakan yang membentuk
suatu tarian yang ingin disampaikan kepada penonton. Ronggeng telah ada pada
jaman kolonial Belanda, di Jawa Barat sendiri lahirnya Ronggeng adalah karena
pada jaman kolonial susahnya mendapatkan penghasilkan menjadikan wanita
rela untuk menjadi ronggeng, ronggeng pada masa itu merupakan profesi yang
menuntut banyak keterampilan, selain menari dan menyanyi, juga masih melayani
16
para laki-laki mencari hiburan. Boomgaard, dalam tulisannya hasil riset dari
berbagai referensi di masa kolonialis menuturkan, bahwa perempuan-perempuan
yang tergabung dalam ‘kelompok ronggeng’, diantaranya, para pelacur , gadisgadis desa , serta buruh perempuan yang ingin mencari penghasilan tambahan
dengan menari dan menyanyi di tempat hajatan selamatan para penari dan kaum
ningrat (Boomgaard , 2004 : 282 – 283 ).
Di dalam komunikasi lisan, ada dua cara dasar di dalam berkomunikasi ,
yaitu: komunikasi verbal dan nonverbal. Di dalam komunikasi
verbal,
kita
menyampaikan pesan menggunakan kata-kata (bahasa). Sedangkan di dalam
komunikasi non-verbal kita mengirimkan pesan menggunakan tanda-tanda, symbol,
sikap tubuh (gesture), ekspresi wajah, nada bicara dan tekanan kalimat.
Komunikasi sedikitnya melibatkan empat komponen, yaitu :
1. Komunikator, Sumber komunikasi atau pengirim pesan, yakni seseorang atau
sekelompok orang atau suatu organisasi
yang mengambil inisiatif
mengirimkan pesan.
2. Pesan, berupa lambang atau tanda, seperti kata-kata (dalam bentuk tertulis
atau lisan) gesture dan lain-lain.
3. Media atau saluran komunikasi, yakni sesuatu yang dipakai sebagai alat
pengiriman pesan (misalnya telepon, radio, surat, suratkabar, email, SMS ,
TV atau gelombang udara).
17
4. Komunikan atau penerima pesan, yakni seseorang atau sekelompok orang
yang menjadi sasaran penerima pesan.
Secara sederhana, proses komunikasi dapat digambarkan sebagai berikut :
pertama-tama, proses komunikasi selalu ditimbulkan oleh inisiatif seseorang yang
ingin menyampaikan sebuah pesan kepada orang lain atau sekelompok orang. Orang
yang memprakasai komunikasi ini disebut sebagai komunikator. Jika anda berbicara
kepada teman anda , isi perkataan anda itulah yang disebut dengan pesan . Supaya
bisa menyampaikan pesan , komunikator itu membutuhkan media atau saluran.
Umpan balik adalah informasi yang diberikan oleh komunikan kepada
komunikator, yang menandakan bahwa pesan tersebut telah diterima dan dipahami.
Melalui umpan balik ini, komunikator dapat memeriksa dan memastikan apakah
penerima pesan atau komunikan sudah menerima pesan, sesuai dengan keinginannya
atau tidak. Ada kemungkinan, pesan yang dipahami oleh komunikan itu berbeda
dengan yang di kehendaki. Hal ini bisa terjadi karena pesan tersebut mengalami
ganggguan selama pengiriman. Akibatnya, pesan tersebut tidak dapat diterima
dengan utuh. Sama hal nya dengan tari Ronggeng Bugis Cirebon yang menjadi
suatu media komunikasi dalam menyampaikan pesan terhadap komunikan. Tari
Ronggeng Bugis Cirebon adalah nama tarian yang berasal dari daerah Cirebon.
Lahirnya tari Ronggeng Bugis Cirebon, menurut penuturan nara sumber dari
kalangan keraton Kasepuhan ada keterkaitan dengan sejarah awal berdirinya kerajaan
Islam di Cirebon. Kata ronggeng dalam kaitannya dengan “ ronggeng bugis “
18
merupakan suatu pengecualian karena penarinya bukan seperti dalam pengertian
ronggeng pada umumnya . Nama tarian ini terdiri dari kata ronggeng dan bugis. Kata
ronggeng yang sekarang berkembang di masyarakat Cirebon artinya adalah penari
wanita atau tandak
primadona sebagai pelayan kehormatan (dalam
hal teman
menari) dalam beberapa pertunjukan jenis tari, misalnya tari Tayub, tari Ketuktilu
dan sebagainya. Kata Ronggeng dalam kesenian ronggeng bugis, adalah penari pria
yang berbusana wanita, sedangkan pengertian kata bugis disini adalah salah satu
suku/ras bangsa di wilayah Indonesia, yang mendiami pulau Sulawesi Selatan dan
sekitarnya. Kekecualian tersebut dapat dipahami karena ronggeng yang dimaksud
berbusana wanita tiada lain adalah wadam/banci. Konon, di daerah bugis, banci-banci
itu adalah seorang bissu. Jadi ronggeng ini sebenarnya adalah bissu yang menyamar
menjadi telik sandi.
Seni merupakan kebutuhan manusia, walaupun bukan kebutuhan pokok. Bukan
saja dalam bentuk hal-hal yang indah, tetapi lebih-lebih lagi dalam konsep-konsep
seni yang sekarang. Kita bisa bayangkan bila dalam kehidupan tidak ada seni,
alangkah sepinya dan monotonnya kehidupan kita tanpa kehadiran dunia seni.
Misalnya tidak ada suara musik dan gamelan degung yang merdu begitu enak
didengar, tidak ada tari Merak yang enak dipandang, dan lain sebagainya.
Dalam perjalanan sejarah yang panjang kita dapat menyaksikan bahwa seni telah
dimanfaatkan oleh manusia penciptanya untuk bermacam-macam tujuan dan
kegunaannya, untuk pendidikan, hiburan, sarana pemujaan, media dakwah, dan untuk
19
menopang kehidupan mereka dan masyarakat, patung-patung Budha dan Siwa
merupakan perlengkapan yang teramat penting dalam upacara-upacara agama, guci,
pas bunga, kursi berukir merupakan alat-alat rumah tangga yang banyak di antaranya
memiliki juga nilai seni.
Aspek komunikasi ekspresif pada Tari Ronggeng terlihat pada ekspresi yang
sejalan dengan gerakan dan membuat suatu persepsi yang hendak disampaikan para
penari menampilkan kewaspadaan. Jika merujuk pada salah satu Fungsi Komunikasi
dalam dimensi konseptual yaitu ekspresif menyampaikan pesan atau emosi secara
nonverbal.
Ketertarikan penulis meneliti dengan fokus penelitian Komunikasi Ekspresi Tari
Ronggeng Bugis Cirebon, selain keunikan para penarinya laki-laki yang berbusana
wanita yang mengekspresikan pesan kepatriotan seorang prajurit yang menyamar
juga sebagai seni tontonan yang mengandung tuntunan bagi penontonnya terkandung
dalam tarian tersebut. Berdasarkan fenomena sekarang yang menarik terdapat di
Kabupaten Cirebon keberadaan fungsi tari Ronggeng Bugis Cirebon diawali sarana
media politik sebagai penyamaran berubah menjadi hiburan atau tontonan yang saling
berkaitan dalam kehidupan masyarakat.
20
1.2.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka penulis memberikan sebuah rumusan
terhadap permasalahan yang dibahas, yaitu : Bagaimanakah ekspresi dari tari
Ronggeng Bugis Cirebon.
1.3. Identifikasi Masalah
Melihat perumusan masalah di atas, maka dalam penelitian ini, penulis meneliti
dan mencatat beberapa identifikasi masalah, sebagai berikut:
1. Bagaimana Situasi Ekspresif Ronggeng Bugis Cirebon?
2. Bagaimana Peristiwa Ekspresif Ronggeng Bugis Cirebon?
3. Bagaimana Tindak Ekspresif RonggengBugis Cirebon?
1.4 . Pembatasan Masalah
Berdasarkan penjabaran dari latar belakang di atas maka masalah dibatasi
sebagai berikut:
1. Tema Utama : Komunikasi Ekspresif Tari Ronggeng Bugis Cirebon
2. Objek Penelitian atau Unit Analisis adalah Tari Ronggeng Bugis Cirebon di
Kota Cirebon.
3. Fokus penelitian adalah mengenai komunikasi ekspresif yang dilakukan oleh
penari Ronggeng Bugis versi Handoyo dengan cara mereka menyampaikan
pesan hingga terjadi komunikasi efektif.
21
1.5. Tujuan Penelitian
Adapun Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.5.1 Untuk mengetahui bagaimana situasi komunikasi ekspresif tari Ronggeng
Bugis Cirebon.
1.5.2 Untuk mengetahui bagaimana peristiwa komunikasi ekspresif tari
Ronggeng Bugis Cirebon.
1.5.3 Untuk mengetahui bagaimana tindak komunikasi ekspresif tari Ronggeng
Bugis Cirebon .
1.6. Kegunaan Penelitian
1.6.1. Kegunaan Teoritis
1. Secara teoritis maupun metodologis, penelitian ini diharapkan dapat
memberikan sumbangan terhadap perkembangan ilmu komunikasi dan ilmu
etnografi komunikasi pada khususnya terutama kajian komunikasi ekspresif
dalam kajian tari.
2. Memberikan informasi mengenai komunikasi ekspresif yang ada pada tarian
Ronggeng Bugis Cirebon yang menjelaskan tentang penyamaran yang
dilakukan orang Bugis dalam merebut kekuasaan dari Kerajaan Padjadjaran.
22
1.6.2 Kegunaan Praktis
1. Secara praktik, peneliti mengharapkan adanya pengetahuan terhadap pembaca
atau kepada pecinta budaya seni tentang tarian Ronggeng Bugis Cirebon.
2. Memberi motivasi terhadap masyarakat agar terus mengenal budaya Seni
Indonesia dan melestarikan budaya Indonesia.
1.7. Pengertian Istilah
1. Ronggeng merupakan profesi yang menuntut banyak keterampilan, selain
menari dan menyanyi, juga masih melayani para laki-laki yang mencari
hiburan.
2. Tari adalahGerakan badan (tangan dan sebagainya) yang berirama dan
biasanya diiringi bunyi- bunyian (musik:gamelan)
3. Komunikasi ekspresif adalah Komunikasi ekspresif menyampaikan pesan atau
emosi secara nonverbal. Misalnya, seorang ibu menunjukkan kasih sayang
terhadap anaknya dengan membelai kepala anaknya. Seseorang dapat
menyalurkan kemarahannya dengan berkacak pinggang, mengepalkan
tangan, atau memelototkan matanya. Di samping itu, emosi juga dapat
tersalurkan melalui bentuk-bentuk seni seperti puisi, novel, lukisan atau tarian
(mademoiselle
Hastuti:
wulanningrum.blogspot.com/2)
Kuliah
1
komunikasi/
hastuti-
23
4. Etnografi adalah pekerjaan mendeskripsikan suatu kebudayaan dan upaya
untuk memperhatikan makna-makna tindakan dari kejadian yang menimpa
orang yang ingin dipahami (Spradley, 2006:3)
5. Etnografi Komunikasi adalah Recurrent Events, dalam etnografi komunikasi
adalah peristiwa-peristiwa komunikasi yang signifikan, dan menjadi ciri khas
dari perilaku komunikasi suatu kelompok masyarakat. Yang kedua, peristiwa
komunikasi menurut etnografi komunikasi adalah keseluruhan perangkat
komponen yang utuh, yang dimulai dengan tujuan utama komunikasi, topik
umum yang sama, dan melibatkan partisipan yang secara umum
menggunakan varietas bahasa yang sama, mempertahankan tone yang sama
dan kaidah-kaidah yang sama untuk berinteraksi, dan dalam setting yang
sama. Sebuah peristiwa berakhir bila ada perubahan dalam batasanbatasannya, misalnya ketika terdapat keheningan, atau perubahan posisi
tubuh partisipan komunikasi. Yang ketiga, komponen komunikasi menurut
etnografi komunikasi adalah unit-unit komunikasi yang menunjang
terjadinya
satu
peristiwa
komunikasi.
Berbeda
dengan
prespektif
behaviorisme, komponen komunikasi pada etnografi komunikasi terdiri dari
tipe peristiwa, topik, tujuan, setting , partisipan, bentuk pesan, isi pesan,
urutan tindakan, kaidah interaksi, dan norma interaksi. Yang keempat,
hubungan antarkomponen yang dimaksud adalah bagaimana setiap
24
komponen komunikasi saling bekerja sama untuk menciptakan perilaku
komunikasi yang khas dari kelompok masyarakat tersebut.
1.8.
Alasan Pemilihan masalah
Adapun alasan pemilihan masalah dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
Masalah yang dipilih dalam penelitian ini, karena ketertarikan penulis untuk
mengupas lebih jauh mengenai tindak, peristiwa, situasi dalam tarian RonggengBugis Cirebon. Selain itu, keunikan pesan dalam tarian Ronggeng-Bugis Cirebon,
merupakan daya tarik bagi penulis untuk menelusuri lebih jauh lagi.
1.9. Kerangka Pemikiran
Manusia adalah makhluk sosial, yaitu mahluk yang tidak bisa hidup sendiri,
manusia harus berhubungan dengan orang lain, dengan lingkungan pada umumnya.
Begitu juga dengan suku anak dan suku-suku lainnya yang ada di dunia. Mereka
selalu memiliki perbedaan antara suku bangsa yang satu dengan bangsa lain.
Sebagai pegangan dasar untuk mengetahui pesan yang disampaikan tari
Ronggeng Bugis Cirebon dan mengetahui hubungan teks dan konteksnya, perlu
disampaikan beberapa pandangan para ahli mengenai komunikasi, semiotika, serta
tari Ronggeng Bugis Cirebon itu sendiri, pada dasarnya adalah sesuatu yang
dikomunikasikan lewat tanda-tanda dan simbol-simbol.
25
Adapun fungsi dari tarian Ronggeng Bugis Cirebon ditengah masyarakat adalah
sebagai tuntunan untuk penonton Ronggeng Bugis/ Telik Sandi mempunyai pitutur
sinandi terkandung suatu ajaran luhur bahwa kita hendaknya hidup sederhana,
panarima, berkarya, ulet dan waspada. Tari Ronggeng Bugis yang dikembangkan di
Cirebon, bersifat Islami, memiliki keperwiraan. Tari ini bukan untuk menonjolkan
identitas yang tidak jelas secara kelamin/ gender yaitu antara laki-laki dengan
perempuan atau banci, akan tetapi heroisme keperwiraan yang penuh dengan resiko
yang dikemas dengan cerdas dalam bentuk telik sandi/ spionase. Menurut sebagian
pendapat lisan, konon pasukan Telik Sandi ini dipimpin oleh panglima wanita yang
cantik, cerdas dan gagah perkasa, yaitu Nyi Mas Gandasari yang berasal dari kerajaan
Aceh, murid Ki Sela Pandan, pendiri Cirebon.
Komunikasi ialah “ketika suatu sumber menyampaikan suatu proses kepada
penerima dengan niat yang disadari untuk mempengaruhi perilaku penerima” (Miller,
2002:62). Komunikasi dengan manusia lain tidak akan terlepas dari prasangka baik
atau buruk. Hal ini tentunya berkaitan dengan persepsi yang timbul dan melekat
dalam pikiran seseorang. Seperti yang diungkapkan oleh Deddy Mulyana dalam
bukunya yang berjudul Ilmu Komunikasi Suatu Penganar mengenai komunikasi
verbal dan nonverbal sebagai berikut:
26
Kita mempresepsi manusia tidak hanya lewat bahasa verbalnya misalnya
bagaimana bahasanya (halus, kasar, intelektual, mamppu berbahasa asing dan
sebagainya) namun juga melalui perilaku nonverbalnya. Pentingnya pesan nonverbal
ini misalnya dilukiskan frase, “bukan apa yang ia katakan, melainkan bagaimana ia
mengatakannya”. Lewat pesan nonverbal seseorang, kita dapat mengetahui suasana
emosional seseorang, apakah ia sedang bahagia, bingung atau
sedih. Secara sederhana, pesan nonverbal semua isyarat yang bukan kata-kata
(Mulyana, 2005:308)
Pesan-pesan nonverbal sangat berpengaruh dalam komunikasi. Sebagaimana
pesan verbal atau kata-kata,kebanyakan isyarat nonverbal juga tidak universal,
melainkan terikat oleh budaya. Pesan nonverbal membantu kita menafsirkan seluruh
makna pengalaman komunikasi. Istilah nonverbal biasanya digunakan untuk
melukiskan semua peristiwa komunikasi di luar kata-kata terucap dan tertulis.
Komunikasi nonverbal adalah komunikasi tanpa kata-kata (karena tidak berkata-kata)
(Liliweri, 1994:89). Pada saat yang sama kita harus menyadari bahwa banyak
peristiwa dan perilaku nonverbal ini ditafsirkan melalui simbol-simbol verbal.
Tingkah laku lebih berbicara dari pada sekedar kata-kata, dan itu berlaku bukan
hanya dalam pencintaan, namun juga dalam bidang-bidang kehidupan lainnya.
Menurut Jurgen Ruesch mengenai isyarat pesan nonverbal sebagai berikut:
Isyarat pesan nonverbal dapat diklasifikasikan menjadi tiga bagian yaitu, pertama
bahasa tanda (sign language), misalnya bahasa isyarat mengancungkan jempol tanda
setuju. Kedua, bahasa tindakan (action language) yaitu semua gerakan tubuh yang
tidak digunakan secara eksklusif untuk memberikan sinyal, misalnya berjalan. Ketiga,
bahasa objek (object language) yaitu pertunjukan benda, pakaian, dan lambang
27
bersifat publik lainnya, baik sengaja ataupun tidak (Mulyana, 2005:317). Isyarat
pesan nonverbal di atas dapat digunakan dalam komunikasi ekspresif, karena
komunikasi ekspresif adalah salah satu fungsi yang digunakan dalam berkomunikasi.
Komunikasi ekspresif dilakukan ketika seseorang ingin menyampaikan perasaan atau
emosi mereka.
Ketika mereka ingin menyampaikan pesan mereka baik itu melalui verbal dan
nonverbal mereka harus berhubungan dan menyampaikan pesan tersebut kepada
orang lain. Intinya, ketika ingin mewujudkan keinginan atau maksud maka, pertamatama hal yang harus dilakukan adalah berhubungan dengan orang lain, baik melalui
pesan verbal dan nonverbal. Hal ini juga berarti bahwa seseorang melakukan
komunikasi agar seseorang lain suka, percaya dan berbuat sesuatu untuk orang
tersebut.
Sistem komunikasi verbal dan nonverbal berbeda dari satu budaya dengan
budaya lainnya. Kajian etnografi yang berhubungan dengan budaya-budaya juga
bervariasi dalam konteks dimana sistem-sistem verbal dan nonverbal digunakan.
Orang-orang dalam budaya yang berbeda mengharapkan perilaku-perilaku yang
berbeda dari satu sama lainnya dalam suatu hubungan.
Komunikasi ekspresif memang tidak akan pernah terlepas dari kehidupan
manusia yang berhubungan dengan penyampaian pesan mengenai perasaan-perasaan
atau emosi yang bergejolak dalam diri seseorang.Selain pesan disampaikan melalui
pesan nonverbal, pesan juga bisa disampaikan melalui verbal. Seperti yang
28
diungkapkan oleh Deddy Mulyana dalam bukunya yang berjudul Ilmu Komunikasi
Suatu Pengantar yaitu “Emosi kita juga dapat disalurkan lewat bentuk-bentuk seni
seperti puisi, novel, musik, tarian, atau lukisan” Mulyana (Mulyana, 2005:22).
Filosofi dari Tari Ronggeng itu sendiri adalah terkandung suatu ajaran luhur
bahwa kita hendaknya hidup sederhana, panarima, berkarya, ulet dan waspada. Tari
Ronggeng Bugis Cirebon yang dikembangkan di Cirebon, bersifat Islami, memiliki
keperwiraan. Tari ini bukan untuk menonjolkan identitas yang tidak jelas secara
kelamin/gender yaitu antara laki-laki dengan perempuan atau banci, akan tetapi
heroisme keperwiraan yang penuh dengan resiko namun dikemas dengan cerdas
dalam bentuk telik sandi/spionase.
1.10. Metodologi Penelitian
1.10.1. Metodologi Penelitian
Dalam suatu penelitian, tidak terlepas dari pemilihan pendekatan yang
hendak digunakan dalam penelitian tersebut. Penelitian ini menggunakan metode
kualitatif karena metode kualitatif dapat digunakan untuk mengungkap dan
memahami sesuatu di balik fenomena yang sedikit pun belum diketahui. Metode ini
juga dapat digunakan untuk menndapatkan wawasan tentang sesuatu yang baru
sedikit ketahui.
Penelitian kualitatif bukanlah mencari “kebenaran” mutlak, namun mengakui
adanya dunia diluar dirinya. Akan tetapi dunia tersebut tidak dapat dikenal
29
sepenuhnya secara mutlak. Mau tak mau melihat dunia dari segi pandangnya, atau
biasanya dari segi pandang responden, dan pandang responden antara satu dengan
lainnya sudah pasti akan berbeda. Pandangan tersebut tidak semata-mata subjektif
dan relativisik. “kebenaran” menurut penelitian kualitatif bergantung pada dunia
realitas empirik dan konsensus dalam masyarakat ilmuan.
Penelitian kualilatif lebih menekankan kepada subjektifitas dalam melakukan
interpretasi terhadap suatu masalah yang akan dikaji. Namun, berbeda dengan
penelitian kualitatif, penelitian kuantitatif lebih bersifat objektif. Menurut pandangan
subjektif, perilaku manusia itu bersifat kontekstual. Salah satu implikasinya adalah
bahwa bila manusia tidak hanya sekedar merespon rangsangan dari luar, maka kita
akan sulit menggeneralisasikanya (Mulyana, 2003:34-35)
Penelitian kualitatif disebut juga sebagai penelitian naturalistik. Disebut
kualitatif karena sifat data yang dikumpulkan yang bercorak kualitatif, bukan
kuantitatif karena tidak menggunakan alat-alat pengukur. Sedangkan disebut
naturalistik, karena situasi lapangan bersifat natural atau wajar, sebagaimana adanya,
tanpa dimanipulasi, diatur dengan eksperimen atau tes.
Penelitian naturalistik mengakui adanya dunia luar. Akan tetapi apa sebenarnya
dunia itu tidak dapat diketahui secara mutlak. Dalam penelitian kuantitatif
dikarenakan penelitiannya berpegang pada teori tertentu maka bersifat hipotetikodeduktif. Sedangkan penelitian naturalistik bersifat induktif, dimana justru mencoba
mencari dan menemukan suatu teori berdasarkan data yang dikumpulkan. Maka
30
metode naturalistik terbuka bagi penemuan baru. Dalam penelitian naturalistik, mulamula dikumpulkan data empiris, dari data tersebut ditemukan pola atau thema (jadi
ada penemuan atau discovery) dan kelak dikembangkan menjadi teori. Jalannya ialah
dari yang spesifik kepada yang umum. Namun setelah ditemukan suatu pola, maka
pola tersebut masih perlu diuji dengan menguji kebenarannya pada data baru yang
spesifik.
Dalam penelitian kualitatif tidak digunakan istilah “realibilitas”. Yang dipakai
ialah istilah kesesuaian, kecocokan (fit), yakni kesesuaian antara data yang
dikumpulkan dengan apa yang sesungguhnya terjadi.
Sedangkan
pendekatan
yang
digunakan
oleh
penulis
adalah
dengan
menggunakan pendekatan etnografi komunikasi.
Etnografi berasal dari kata ethos dan graphien. Ethos berarti bangsa atau suku
bangsa, sedangkan graphien adalah tulisan atau uraian.
Etnografi adalah kegiatan penelitian untuk memahami cara orang-orang
berinteraksi dan bekerjasama melalui fenomena teramati kehidupan sehari-hari. Jadi
etnografi bertujuan menguraikan budaya secara menyeluruh, yakni semua aspek
budaya baik yang bersifat material maupun bersifat abstrak.
Ciri khas dari metode penelitian etnografi adalah analisis data yang dilakukan
secara holistic, bukan parsial. Etnografi lazimnya bertujuan untuk menguraikan
budaya tertentu secara holistic, yaitu aspek budaya baik spiritual maupun material.
31
Inti dari etnografi, peneliti dituntut untuk mencoba memahami makna perbuatan
dan kejadian bagi orang atau objek yang bersangkutan menurut kebudayaan dan
pandangan mereka. Kebudayaaan,antara lain kelakuan dan artifak atau benda-benda
yang dibuat hanya merupakan semacam permukaan telaga dalam yang dalam yang
mengandung aspek pengetahuan kultural yang luas.
Penelitian yang penulis susun ini, mengenai suatu budaya dengan melihat sisi
komunikasinya. Etnografi tidak hanya secara mutlak mendeskripsikan sebuah
kebudayaan dari sisi antropologinya saja, tetapi dapat juga dilihat dari sudut pandang
komunikasi. Dikarenakan dalam sebuah budaya diciptakan oleh masyarakat
budaya,terdapat unsur interaksi sosial didalamnya. Seperti yang dikemukakan oleh
Birowo dalam Metode Penelitian Komunikasi, apabila metode etnografi ini dapat
disebut sebagai etnografi komunikasi (Birowo,2004:111).
Salah satu penelitian etnografi komunikasi adalah mendeskripsikan dan
menganalisis komunikasi dengan menggunakan unit-unit analisis yang memiliki
batasan-batasan. Ada tiga unit analisis yang dikemukakan oleh Hymes, yaitu situasi,
peristiwa dan tindak (Ibrahim, 1994:35). Situasi komunikatif merupakan konteks
terjadinya komunikasi. Dalam hal ini situasi bisa saja tetap sama walaupun lokasinya
berubah. Sebagai contoh, sebuah pertunjukan tari Ronggeng Bugis yang disajikan
dipegelaran keraton Kasepuhan yang ramai dihadiri oleh masyarakatnya khusus
sebagai undangan pada siang hari tidak akan memberikan konteks yang sama seperti
pertunjukan tari Ronggeng Bugis disajikan di arena yang hiruk pikuk oleh karamaian
32
masyarakatnya sebagai peserta arak-arakan atau penonton. Jadi, situasi komunikatif
dapat berubah dalam lokasi yang sama apabila aktivitas-aktivitas yang berbeda
berlangsung di tempat itu pada saat yang berbeda.
Untuk menganalisis bahasan komunikasi dalam kajian etnografi komunikasi,
dibutuhkan juga suatu pembahasan dari perilaku komunikatif didalam suatu
masyarakat tutur dengan satuan-satuan interaksinya. Dell Heymes mengemukakan
unit-unit analisis, yaitu situasi komunikatif, peristiwa komunikatif, dan tindak
komunikatif. Dan pernyataan Dell Heymes di atas yang digunakan oleh penulis di
dalam penelitian ini.
1.10. 2. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian merupakan satu unsur yang
sangat penting.
1. Observasi
Peneliti memanfaatkan teknik pengumpulan data melalui observasi atau
pengamatan karena pertama, teknik observasi ini didasarkan atas pengalaman
secara langsung. Kedua, teknik observasi juga memungkinkan melihat dan
mengamati sendiri, kemudian mencatat perilaku dan kejadian sebenarnya.
Ketiga, teknik observasi memungkinkan peneliti ampu memahami situasisituasi yang rumit. Terakhir, karena dalam kasus tertentu ketika teknik
33
komunikasi lainnya tidak memungkinkan, observasi atau pengamatan dapat
menjadi alat yang sangat bermanfaat.
2. Wawancara
Dalam penelitian mengenai Tari Ronggeng-bugis ini peneliti juga
menggunakan wawancara untuk mengumpulkan data. Yaitu melakukan
interview dengan penari Ronggeng Bugis Cirebon Handoyo.
3. Catatan Lapangan
Peneliti pada waktu di lapangan akan membuat “catatan”, setelah pulang
ke rumah atau tempat tinggal kemudian penulis mulai menyusun “catatan
lapangan”. Peneliti juga menggunakan teknik ini karena ketika melakukan
pengamatan, catatan yang dibuat di lapangan dengan catatan selain itu
membuat peneliti lebih mudah untuk mengingat kejadian atau peristiwa yang
terjadi di lapangan.
Catatan ini berupa coretan seperlunya yang sangat dipersingkat. Misalnya,
berisi kata-kata inti, frase, pokok-pokok inti pembicaraan serta pengamatan
dan lain-lain. Catatan ini dapat membantu peneliti ketika melakukan
pengamatan mengenai bagaimana ekspresif Tari Ronggeng Bugis Cirebon.
4. Dokumentasi
Dokumentasi adalah salah satu teknik pengumpulan data yang digunakan
oleh peneliti yang dapat membantu penelti dalam melakukan penelitian.
34
Dokumentasi digunakan dalam bentuk gambar atau foto baik itu yang diambil
langsung oleh peneliti maupun dari pihak-pihak lembaga sosial masyarakat
setempat yang bekerja sama dengan peneliti.
1.11. Langkah-langkah Penelitian
Adapun tahapan yang digunakan untuk memperoleh data dan informasi,
adalah:
1. Studi kepustakaan, dengan mempelajari buku-buku, makalah, dan dokumen yang
berkaitan dengan obyek penelitian.
2. Studi lapangan dilakukan langsung dengan cara wawancara, yaitu mengajukan
pertanyaan-pertanyaan lisan secara tatap muka dengan nara sumber untuk
mendukung data-data yang telah didapat dari buku-buku, makalah dan
dokumentasi Tari Ronggeng Bugis itu sendiri.
3. Merumuskan masalah
4. Menentukan sampel penelitian
5. Melakukan proses penelitian
1.12. Organisasi Karangan
Bab I
Pendahuluan
Bab ini memuat tentang latar belakang masalah, rumusan
masalah, identifikasi masalah, pembatasan masalah, tujuan
35
penulisan, kegunaan penelitian, pengerian istilah, anggapan
dasar, metodologi penelitian, langkah-langkah penelitian, serta
organisasi karangan.
Bab II
Tinjauan Pustaka
Tinjauan atas konsep-konsep yang mendasari permasalahan.
Penulis akan fokus pada tinjauan tentang Ronggeng. Teori Seni
Tari. Kemudian tentang Tari sebagai sarana Komunikasi, pada
hakekatnya semua seni termasuk tari bermaksud untuk
dikomunikasikan.
Bab III
Metodologi Dan Objek Penelitian
Bab ini memaparkan secara umum penelitian kualitatif,
pendekatan etnografi komunikasi, teknik pengumpulan data,
objek penelitian, serta tahapan penelitian.
Bab IV
Tinjauan Tentang Tari Ronggeng Bugis Cirebon
Berisi tentang pembahasan tinjauan tari Ronggeng Bugis
Cirebon secara umum juga pembahasan tentang kelompok Seni
Pertunjukan Ronggeng Bugis.
36
Bab V
Analisis Komunikasi Ekspresif Ronggeng Bugis Cirebon
Berisi tentang pembahasan komunikasi ekspresif pada tari
Ronggeng Bugis Cirebon, analisis perilaku ekspresif yang
terdiri dari analisis situasi komunikasi ekspresif , analisis
peristiwa komunikasi ekspresif tari Ronggeng Bugis Cirebon,
dan analisis tindak komunikasi ekspresif tari Ronggeng Bugis
Cirebon.
BAB VI
Penutup
Merupakan Bab terakhir, yang meliputi kesimpulan dari hasil
Penelitian serta saran-saran yang terdiri dari saran secara
umum, dan saran secara khusus untuk pihak-pihak yang
terkait.
37
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.Tinjauan Pustaka
2.1.1. Pengertian Komunikasi
Manusia adalah makhluk sosial dalam artian manusia tidak dapat hidup sendiri
komunikasi adalah kebutuhan yang diperlukan manusia komunikasi bisa melalui
verbal maupun nonverbal. Beberapa pengertian komunikasi adalah sebagai berikut:
Saundra Hybels dan Richard L. Weafer II, bahwa komunikasi merupakan
setiap proses pertukaran informasi, gagasan, dan perasaan. Proses itu meliputi
informasi yang disampaikan tidak hanya secara lisan dan tulisan, tetapi juga
dengan bahasa tubuh , gaya maupun menampilan diri, atau menggunakan alat
bantu di sekeliling kita untuk memperkaya sebuah pesan.
Billie J. Walhstrom mengungkapkan komunikasi adalah (1) pernyataan diri
yang efektif; (2) pertukaran pesan-pesan yang tertulis, pesan-pesan dalam
percakakapan, bahwa melalui imajinasi; (3) pertukaran informasi atau hiburan
dengan kata-kata melalui percakapan atau dengan metode lain; (4) pengalihan
informasi dari seseorang kepada orang lain; (5) pertukaran makna antarpribadi
dengan sistem simbol; (6) proses pengalihan pesan melalui saluran tertentu
kepada orang lain dengan efek tertentu.
Komunikasi harus dipahami sebagai interaksi antarpribadi yang menggunakan
sistem simbol linguistik, misalnya meliputi verbal (kata-kata), paraverbal, dan
nonverbal. Sistem itu dpat disosialisasikan secara langsung/ tatap muka atau
melalui media lain (tulisan, lisan, dan visual) (Karlfried Knapp, 1998)
Definisi komunikasi di antaranya dikutip oleh Effendi sebagai berikut, Carl I.
Hovland dalam Effendi (1986: 63) mendefinisikan komunikasi sebagai “Suatu proses
di mana seseorang (komunikator) menyampaikan perangsang-perangsang, biasanya
lambang-lambang dalam bentuk kata-kata untuk merubah tingkah laku orang lain
(komunikan)”. Jadi, hakikat komunikasi merupakan proses pernyataan antar manusia.
38
Yang berhubungan dengan pikiran, atau perasaan seseorang kepada orang lain
dengan menggunakan bahasa sebagai alat penyalurnya.
Sedangkan menurut Onong U. Effendy (2002: 3-4) komunikasi dalam
pengertian umum dapat dilihat dari dua segi:
a) Pengertian komunikasi secara etimologis. Istilah komunikasi berasal dari
bahasa latin ‘communicati’. Perkataan ini bersumber pada kata ‘communis’
yang artinya ‘sama’. Jadi, komunikasi berlangsung apabila antara orang-orang
yang terlibat terdapat kesamaan makna mengenai suatu hal yang
dikomunikasikan.
b) Pengertian komunikasi secara terminologis. Secara terminologis komunikasi
berarti proses penyampaian suatu pernyataan oleh seseorang kepada orang
lain.
Menurut Effendi (2002: 6) agar proses komunikasi dapat berlangsung, maka
diperlukan komponen-komponen yang merupakan bagian dari sistem komunikasi,
berupa:
1. Komunikator, yaitu orang yang menyampaikan pesan
2. Pesan, yaitu pernyataan yang didukung oleh lambang
3. Komunikan, yaitu orang yang menerima pesan
4. Media, yaitu sarana atau saluran yang mendukung pesan bila komunikan jauh
tempatnya atau banyak jumlahnya
5. Efek, yaitu dampak sebagai pengaruh dari pesan
Berdasarkan kelima komponen tersebut, dapat disimpulkan bahwa pengertian
komunikasi adalah proses penyampaian pesan dari komunikator kepada komunikan
melalui media tertentu guna menghasilkan efek yang diharapkan oleh komunikator
terhadap komunikan.
2.1.2. Pengertian Komunikasi Verbal
Seseorang dapat melakukan penyampaian pesan baik melalui pesan verbal
maupun pesan nonverbal. Dalam melakukan atau mempraktekkan komunikasi verbal
maupun pesan nonverbal. Dalam melakukan atau mempraktekkan komunikasi verbal
39
dan komunikasi nonverbal dalam kehidupan sehari-hari dan bermasyarakat masingmasing memiliki kerumitan yang harus dihadapi. Dalam komunikasi verbal, “ pesanpesan verbal berpusat pada kata yang penggunaannya secara tepat berada dalam tata
bahasa. Komunikasi disebut lisan kalau menggunakan medium pengucapan kata-kata
terhadap orang lain dan disebut tertulis jika menggunakan penulisan kata-kata.
(Liliweri, 1997:7)
Simbol atau pesan verbal adalah semua jenis simbol yang menggunakan satu
kata atau lebih termasuk bahasa yang juga dianggap sebagai suatu sistem kode verbal
(Mulyana, 2002:237). Bahasa dapat didefinisikan sebagai seperangkat simbol, dengan
aturan untuk mengkombinasikan simbol-simbol tersebut, yang digunakan dan
dipahami suatu komunitas. Bahasa verbal adalah sarana utama untuk menyatakan
pikiran, perasaan dan maksud kepada orang yang dituju. Kemampuan manusia
menggunakan lambang verbal memungkinkan perkembangan bahasa dan menangani
hubungan antara manusia dan objek (baik nyata maupun abstrak) tanpa kehadiran
manusia dan objek tersebut.
Komunikasi dalam bahasa yang sama saja dapat menimbulkan salah pengertian
atau berbeda persepsi dalam mengartikannya, apalagi bila seseorang tidak menguasai
atau memahami bahasa lawan bicaranya. Tentunya hal tersebut akan menimbulkan
suatu pertentangan bahkan pertikaian yang dapat menghancurkan suatu hubungan
yang harmonis. Oleh karena itu, untuk melakukan komunikasi yang efektif dan tidak
40
mengalami kesalahan pengertian maka seseorang harus mengetahui dan menguasai
bahasa yang digunakan lawan bicaranya.
2.1.3. Komunikasi Nonverbal
Komunikasi nonverbal merupakan tindakan dan atribusi yang dilakukan
seseorang kepada orang lain untuk bertukar makna, yang selalu dikirimkan dan
diterima secara sadar oleh dan untuk mencapai umpan balik atau tujuan tertentu
(Burgoon and Saine, 1978).
Komunikasi nonverbal meliputi ekspresi wajah, nada suara, gerakan anggota
tubuh, kontak mata, rancangan ruang, pola-pola perabaan, gerakan ekspresif,
perbedaan budaya, dan tindakan-tindakan nonverbal lain yang tidak menggunakan
kata-kata. Komunikasi nonverbal merujuk pada variasi bentuk-bentuk komunikasi
yang meliputi bahasa. Bagaimana seseorang itu berpakaian; melindungi dirinya;
menampilkan ekspresi wajah, gerakan tubuh, suara nada dan kontak mata (Eugene
Matusov, 1996). Ia meliputi semua stimulus nonverbal yang dalam setting
komunikatif digeneralisasikan oleh individu dan lingkungan individu yang
memakainya, dan pesan nonverbal yang bertujuan atau yang tidak bertujuan tertentu.
Mempelajari pesan nonverbal cukup penting, karena:
a. Kita selalu berkomunikasi, dan komunikasi itu tidak cukup hanya
dengan mengirimkan pesan verbal.
b. Kita tidak dapat menghindari bahasa isyarat baik melalui gerakangerakan tangan maupun tampilan wajah.
41
c. Pelbagai penelitian menunjukkan bahwa 55% dari komunikasi
manusia memakai nonverbal, 38% dengan nada suara, dan 7% dengan
kata-kata.
d. Komunikasi itu tidak terletak semata-mata pada maksud, tetapi pada
persepsi, para partisipan komunikasi selalu mengecek persepsi
terhadap maksud.
e. Komunikasi itu kompleks sehingga kemampuan berkomunikasi harus
diperbaharui terus-menerus
f. Komunikasi meliputi dua hal sekaligus, yakni sikap dan keterampilan.
Keterampilan mendengarkan harus dipelajari sejak masa muda.
(Liliweri, 2003:181).
Kehidupan manusia ditandai oleh dinamika komunikasi. Seluruh umat
manusia di dunia benar-benar menyadari bahwa semua kebutuhan hidupnya hanya
dapat dipenuhi jika dia berkomunikasi dengan orang lain. karena itu jika dia berhasil
berkomunikasi secara efektif maka seluruh kebutuhannya dapat dia capai. Setiap hari,
anda dan saya berkomunikasi. Anak-anak bercengkrama dengan bapak dan ibu di
rumah, mereka saling bertukar informasi dan pengalaman. Seperti halnya pada tarian
Ronggeng Bugis Cirebon menyampaikan di dalam komunikasi lisan, ada dua cara
dasar di dalam berkomunikasi, yaitu: komunikasi verbal dan nonverbal. Di dalam
komunikasi verbal, kita menyampaikan pesan menggunakan kata-kata (bahasa).
Sedangkan di dalam komunikasi non-verbal kita mengirimkan pesan menggunakan
42
tanda-tanda, simbol, sikap tubuh (gesture), ekspresi wajah, nada bicara dan tekanan
kalimat.
Komunikasi sedikitnya melibatkan empat komponen, yaitu :
1. Komunikator, Sumber komunikasi atau pengirim pesan, yakni seseorang atau
sekelompok orang atau suatu organisasi
yang mengambil inisiatif
mengirimkan pesan.
2. Pesan, berupa lambang atau tanda, seperti kata-kata (dalam bentuk tertulis
atau lisan) gesture dll.
3. Media atau saluran komunikasi, yakni sesuatu yang dipakai sebagai alat
pengiriman pesan (misalnya telepon, radio, surat, suratkabar, email, SMS, TV
atau gelombang udara.
4. Komunikan atau penerima pesan, yakni seseorang atau sekelompok orang
yang menjadi sasaran penerima pesan.
Di samping keempat elemen tersebut, masih ada tiga elemen atau faktor lain yang
juga penting dalam proses komunikasi, yakni: Dampak/ Akibat/Hasil yang terjadi
pada pihak penerima/komunikan.
1. Umpan balik (feedback) yakni reaksi atau tanggapan balik dari pihak
Penerima/komunikan atas pesan yang diterimanya.
2. Gangguan (noise) yakni faktor-faktor eksternal maupun internal (psikologis)
yang dapat mengganggu atau menghambat kelancaran proses komunikasi.
43
Secara sederhana, proses komunikasi dapat digambarkan sebagai berikut:
pertama-tama, proses komunikasi selalu ditimbulkan oleh inisiatif seseorang yang
ingin menyampaikan sebuah pesan kepada orang lain atau sekelompok orang. Orang
yang memprakasai komunikasi ini disebut sebagai komunikator. Jika anda berbicara
kepada teman anda, isi perkataan anda itulah yang disebut dengan pesan. Supaya bisa
menyampaikan pesan, komunikator itu membutuhkan media atau saluran. Umpan
balik adalah informasi yang diberikan oleh komunikan kepada komunikator, yang
menandakan bahwa pesan tersebut telah diterima dan dipahami. Melalui umpan balik
ini, komunikator dapat memeriksa dan memastikan apakah penerima pesan atau
komunikan sudah menerima pesan, sesuai dengan keinginannya atau tidak. Ada
kemungkinan, pesan yang dipahami oleh komunikan itu berbeda dengan yang di
kehendaki. Hal ini bisa terjadi karena pesan tersebut mengalami ganggguan selama
pengiriman. Akibatnya, pesan tersebut tidak dapat
diterima dengan utuh.
(www.sabdaspace.Ogr%2Fmemahami proses komunikasi)
2.1.4. Komunikasi Ekspresif
Komunikasi ekspresif menyampaikan pesan atau emosi secara nonverbal.
Misalnya, seorang ibu menunjukkan kasih sayang terhadap anaknya dengan
membelai kepala anaknya. Seseorang dapat menyalurkan kemarahannya dengan
berkacak pinggang, mengepalkan tangan, atau memelototkan matanya. Di samping
itu, emosi juga dapat tersalurkan melalui bentuk-bentuk seni seperti puisi, novel,
44
lukisan atau tarian. (mademoiselle Hastuti: Kuliah 1 komunikasi/ hastutiwulanningrum.blogspot.com/2).
Erat kaitannya dengan komunikasi sosial adalah komunikasi kelompok yang
dapat dilakukan baik sendirian ataupun dalam kelompok. Prasangka baik atau buruk
tidak terlepas dari persepsi yang timbul dan melekat dalam pikiran seseorang. Dalam
mempresepsikan, manusia tidak hanya lewat bahasa verbalnya misalnya bagaimana
bahasanya, halus atau kasar, tetapi juga melalui perilaku nonverbalnya.
Dalam hal menyampaikan perasaan melalui nonverbal seseorang tidak bisa
berbohong serta sulit untuk dimanipulasi. Lebih lanjut Deddy mulyana mengatakan
bahwa:
“komunikasi verbal lebih banyak menggunakan otak sebelah kiri kita,
persoalannya otak kiri itu berkaitan dengan aspek-aspek rasa atau perasaan.
Untuk menyampaikan perasaan tidak selalu dapat diungkapkan dengan katakata karena meyampaikan atau mengungkapkan dengan kata-kata itu
merupakan suatu keterampilan misalnya bicara yang lebih banyak ke masalah
rasa. Oleh karena itu, keterampilan mengungkapkan kata-kata itu harus dilatih
dan tidak semua orang mendapatkan pelatihan dan tidak semua orang
mendapatkan pelatihan dan tidak semua orang cukup sensitif. Jadi, yang
terampil mengolah rasa atau yang memiliki bakat itu terpendam dan bisa
dibangkitkan”.
Penjelasan di atas yang menegaskan bahwa komunikasi ekspresif lebih
ditekankan perwujudannya melalui komunikasi nonverbal karena dalam prakteknya
manusia itu tidak sama ada yang terampil berkata-kata tetapi ada juga yang hanya
bisa diungkapkan atau diwujudkan melalui perilaku. Oleh karena itu, sebenarnya
manusia bisa memilih bagaimana berkomunikasi sesuai dengan kemampuan dan
45
keterampilannya. Jika menganggap kurang memiliki kemampuan atau keterampilan
di verbal maka bisa melalui nonverbal atau perilaku.
Masing-masing
orang
memiliki
perbedaan
dalam
mengartikan
atau
mempresepsikan sesuatu hal baik itu masalah pesan yang diungkapkan melalui verbal
ataupun nonverbal. Hal ini juga tentunya berkaitan dengan budaya seperti yang
dijelaskan oleh Deddy Mulyana. Maka, disinilah diperlukan jalan tengah untuk
mempertemukan dua prinsip yang sangat jauh berbeda ini. Komunikasi dua arah tidak
akan dapat terbentuk, apabila kedua pihak tidak berusaha untuk melihat persepsipersepsi tersebut dari sudut yang berbeda. Untuk mempertemukan dua prinsip yang
sangat mendasar ini, diperlukan keberanian untuk melihat prinsip yang dimiliki oleh
pihak lain dari budaya mereka.
Dalam pertunjukan tari Ronggeng Bugis sejatinya, seni pertunjukan telah
digariskan sebagai bentuk komunikasi yang memiliki fungsi komunikasi ekspresif
(Mulyana, 2007) dan sangat efektif dalam suatu komunitas sosial budaya. ia
merupakan ekspresi hidup ekspresi hidup masyarakatnya, sebagaimana Cassirer
(1956: 183) mengatakan bahwa “proses ekspresi yang mewakili komunikasi oleh
seorang aktor (Penari) diatas panggung, yang bertingkah laku sesuai dengan tema
cerita dan pesan cerita bukanlah imitasi realitas, melainkan penemuan realitas.
46
2.1.5 Komunikasi dan Budaya
Budaya yang didalamnya terkandung ukuran, pedoman, dan petunjuk bagi
kehidupan manusia, yaitu norma dan nilai yang menjadi standar berinteraksi,
dibangun oleh manusia dari generasi ke generasi melalui proses komunikasi yang
panjang. Nilai dan norma terlembagakan dalam kehidupan masyarakat, dipupuk dan
dihargai sebagai pedoman atau kaidah bertingkah laku. Seperangkat nilai dan norma
tersebut merupakan landasan fundamental bagi seseorang untuk menentukan
sikapnya terhadap dunia luar.
Sebenarnya, seluruh perbendaharaan perilaku kita sangat bergantung pada
budaya tempat kita dibesarkan. Konsekuensinya, budaya merupakan landasan
komunikasi. Bila budaya beraneka ragam, maka beraneka ragam pula praktik-praktik
komunikasi ( Jurnal Komunikasi, 183; 2005)
2.2 Tari Sebagai Sarana Komunikasi
Seni Tari sebagai ekspresi manusia bersifat estetis, kehadirannya tidak bersifat
independen. Dilihat secara tekstual, tari dapat dipahami secara aspek bentuk dan
teknik yang berkaitan dengan komposisinya (analisis bentuk atau penataan
kreografinya), teknik penarinya (analisis cara melakukan atau keterampilan).
Sementara dapat dilihat secara kontekstual yang berhubungan dengan ilmu sosial
antara lain, Sosiologi maupun Antropologi, yaitu tari sebagai bagian imanen dan
integral sosial kultural.
47
Bersangkut paut dengan penciptaan seni tari, banyak orang mengatakan bahwa
tahap awal bahwa seni itu adalah satu berbagai cara untuk melukiskan dan
mengkomunikasikan barang sesuatu. Pada hakekatnya semua seni termasuk tari
bermaksud untuk dikomunikasikan. Oleh karena itu hasil dari pengungkapan nilai
maupun hasil ekspresi perasaan manusia, terdapat dua faktor manusiawi yang perlu
diperhatikan disatu pihak faktor si pencipta atau seniman yang bersangkutan dengan
masalah-masalah pengalaman, dorongan apa yang menyebabkan menciptakan karya
tari, barangkali hal ini lebih merupakan masalah kejiwaan. Apakah seorang penata
tari berusaha melukiskan atau mengkomunikasikan sesuatu? Jika memang demikian
apakah yang hendak dikomunikasikan? Dan apakah tari merupakan bahasa
komunikasi tertentu?. Sementara dilain pihak,sementara terdapat manusia yang
merenungkan atau mengamati karya tari, dalam hal ini agar mereka dapat
berkomunikasi atau menangkap karya tari, diperlukan pengalaman estetis atau
indrawi yang khas. Dari dua faktor manusiawi itu menegaskan bahwa keistimewaan
seni termasuk tari sebagai ekspresi manusia, akan memperhalus dan memperluas
komunikasi menjadi persentuhan rasa yang akan akrab, dengan menyampaikan kesan
dan pengalaman subjektif, yakni pesan dan pengalaman si pencipta dan penata tari
kepada penonton atau orang lain. Komunikasi yang disampaikan sebuah tarian adalah
pengalaman yang berharga, yang bermula dari imajinasi kreatif. Sebuah tarian baru
bermakna atau dapat diresapkan, apabila dalam tarian itu terkandung kekuatan pesan
yang komunikatif. Tinggi mutu dan estetis ditentukan pada tahap yang paling awal
48
oleh kemampuan komunikatif, oleh sebab itu pula, seni sering berfungsi sebagai
“Perangkul Makna Umum Masyarakat” (Taufik Abdullah, “Di Sekitar Komunikasi
Ilmu dan Seni”, dalam Analisis Kebudayaan. Vol 2:8-12).
Dengan pemahaman tersebut diatas maka kebebasan, keunikan, keliaran, dan
apapun hasrat kemerdekaan dan penciptaan seni tidaklah bisa terlepas secara total
dari tradisi yang akan memungkinkannya meneruskan pasangan yang komunikatif
ini. Nilai estetika yang tak ternikmati, atau yang tidak komunikatif, sama sekali tidak
dapat keindahan seni. Dalam proses komunikasi tingkat hubungan antara makna
“Pribadi” yang dipacarkan oleh seniman pada hasil karyanya, dengan makna umum,
adalah hal yang paling menentukan. Ditegaskan bahwa dari berbagai macam unsur
seni, unsur komunikasi menjadi pertimbangan yang sangat penting.
Sehubungan dengan itu barangkali memahami atau menangkap hasil karya tari
tidak sederhana seperti memahami barang sesuatu walaupun tahap yang paling awal
sesungguhnya setiap bentuk tari perkembangan tari cara-cara yang biasa dipakai
sehari-hari, yaitu gerakan ritmis, sehingga dengan pengertian ini sebenarnya tari
merupakan bentuk komunitas umum yang intens. Tetapi karena hasil karya tari
adalah ekspresi manusia yang diwujudkan dalam bentuk symbol, yang semata-mata
bukan hanya melambangkan sesuatu saja tetapi merupakan perwujudan ekspresi
keseluruhan imajinasi kreatif seniman. Ekspresi seni seperti itu bukanlah bentuk
kenyataan atau ekspresi wantah atau mentah, tetapi adalah ekspresi yang sudah
dimasak baik secara instan maupun tradisional (Soedarso, “Seni dan Keindahan”,
49
dalam Pidato ilmiah. Pengukuhan Guru Besar Falkultas Seni Rupa ISI Yogyakarta:
30 Mei 1998). Dengan begitu, masalah perbedaan mutu harus diliat dari hasil ekspresi
symbol yang sudah diolah dimasak secara efektif itu dapat berkomunikasi, sehingga
dalam konteks sosio- cultural masyarakat penikmat seni termasuk tari mengatakan
bernilai atau bermakna tinggi.
2.3. Definisi Tari
Batasan “seni tari” yang pernah dikemukakan oleh pakar, pada hakikatnya
mengatakan bahwa “tari adalah ekspresi perasaan manusia yang diungkapkan lewat
gerak ritmis dan indah, yang telah mengalami stilisasi maupun distorsi (Soedarsono,
(ed)., Pengantar Apresiasi Seni. Jakarta: Balai Pustaka, 1992,pp 81-86). Tari Sebagai
Bentuk Seni:
1. Gerak Tari
2. Desain Lantai
3. Desain Atas
4. Musik
5. Desain dramatik
6. Dinamika
7. Komposisi kelompok
8. Tema
9. Perlengkapan-perlengkapan
50
Gerak Tari
Tari merupakan komposisi gerak yang telah mengalami penggarapan.
Penggarapan gerak tari lazim disebut stilisasi atau distorsi. Berdasarkan
bentuk geraknya, secara garis besar ada dua jenis tari, yaitu tari yang
representasional
dan
tari
yang
non
representasional.
Tari
yang
representasional ialah tari yang menggambarkan sesuatu secara jelas.
Sedangkan tari non representasional adalah tari yang tidak menggambarkan
sesuatu. Baik tari-tarian representasional maupun yang non representasional
dalam garapan geraknya terkandung dua jenis gerak, yaitu gerak-gerak
maknawi atau gesture dan gerak-gerak murni atau pure movement. Yang
dimaksud dengan gerak maknawi ialah gerak yang mengandung arti yang
jelas, misalnya gerak nuding atau menunjuk pada tari Bali yang berarti
marah, gerak menghadapkan telapak tangan pada penari lain yang berarti
menolak, gerak menempelkan telapak tangan pada penari lain yang berarti
menolak, gerak menempelkan telapak tangan pada dada yang berarti susah,
gerak menirukan bersisir, berbedak, dan sebagainya. Sudah barang tentu
gerak-gerak maknawi semacam ini baru bernilai sebagai gerak tari, apabila
telah mengalami stilisasi atau distorsi.
Adapun gerak murni ialah gerak yang digarap sekedar untuk
mendapatkan
bentuk
yang
artistik
dan
tidak
dimaksudkan
untuk
51
menggambarkan sesuatu. Gerak-gerak murni ini banyak digunakan dalam
garapan-garapan tari non-representasional. Sedangkan garapan-garapan tari
representasional
banyak
memerlukan
gerak-gerak
maknawi.
Namun
demikian dalam garapan tari representasional diperlukan pula banyak gerakgerak murni, karena apabila garapan tersebut dipenuhi oleh gerak-gerak
maknawi, garapan itu akan lebih mengarah ke bentuk pantomime.
Desain Lantai
Yang dimaksud dengan desain lantai atau floor design ialah garis-garis di
lantai yang dilalui oleh seorang penari atau garis-garis di lantai yang dibuat
oleh formasi penari kelompok secara garis besar ada dua pola garis dasar
pada lantai, yaitu garis lurus dan garis lengkung.
Garis lurus dapat dibuat ke depan, ke belakang, ke samping, atau serong.
Selain itu garis lurus dapat dibuat menjadi desain V dan kebalikannya, segi
tiga, segi empat, huruf T dan kebaikannya dan juga dapat dibuat menjadi
desain zig-zag. Garis lengkung dapat dibuat lengkung ke depan, ke belakang,
ke samping dan serong. Dari dasar lengkung ini dapat pula dibuat desain
lengkung ular, lingkaran, angka delapan, dan juga spiral.
Garis lurus memberikan kesan sederhana tetapi kuat, sedangkan garis
lengkung memberikan kesan lembut, tetapi juga lemah. Garis lurus banyak
digunakan dalam tari-tarian klasik Jawa dan juga tari Hula kuno dari Hawaii.
52
Garis lingkaran banyak digunakan pada tari-tarian primitive dan juga pada
tari-tarian komunal yang kebanyakan berciri sebagai tari bergembira.
Desain Atas
Desain atas atau air desaign adalah desain yang berada di atas lantai yang
dilihat oleh penonton, yang tampak terlukis pada ruang yang berada di atas
lantai. Untuk memudahkan penjelasan desain ini dilihat dari satu arah
penonton saja yaitu dari depan ada 19 desain atas yang masing-masing
memiliki sentuhan emosionil tertentu terhadap penonton. Memang, dalam
garapan tari desain yang satu dipadukan dengan desain yang lain hingga
perpaduan tersebut selain menimbulkan kesan artistic yang menyenangkan
juga memberikan sentuhan emosionil yang khas.
a. Datar. Desain datar adalah desain yang apabila dilihat dari arah
penonton, badan penari tampak dalam postur tanpa perspektif. Semua
anggota badan dalam postur mengarah ke samping. Desain datar
semacam ini memberikan kesan konstruktif ketenangan, kejujuran, juga
kedangkalan.
b. Dalam. Desain dalam adalah desain yang apabila dilihat dari arah
penonton, badan penari tampak memiliki perspektif dalam. Anggota
badan seperti kaki dan lengan di arahkan ke belakang, ke depan atau
serong. Desain ini memberikan kesan perasaan yang dalam.
53
c. Vertikal. Desain vertical adalah desain yang menggunakan anggota badan
pokok yaitu tungkai dan lengan menjulur ke atas atau ke bawah. Desain
ini memberikan kesan egosentris, dan juga menyerah.
d. Horisontal. Desain horizontal adalah desain yang menggunakan sebagian
besar dari anggota badan mengarah ke garis horizontal. Desain ini
memberikan kesan tercurah.
e. Kontras. Desain kontras adalah desain yang menggunakan garis-garis
silang dari anggota-anggota badan atau garis-garis yang akan bertemu
bila dilanjutkan. Desain ini menimbulkan kesan penuh enersi, kuat, tetapi
juga kesan kebingungan.
f. Murni. Desain murni adalah desain yang ditimbulkan oleh postur penari
yang sama sekali tidak menggunakan garis kontras. Desain ini dapat
menimbulkan kesan tenang, halus dan lembut.
g. Statis. Yang dimaksud dengan desain statis adalah desain yang
menggunakan pose-pose yang sama dari anggota badan walaupun bagian
badan yang lain bergerak. Misalnya penari menggunakan desain lengan
horizontal terus menerus, sedangkan kaki bergerak ke sana ke mari.
Desain ini memberikan kesan teratur.
h. Lurus. Yang dimaksud dengan desain lurus adalah desain yang
menggunakan garis-garis lurus pada anggota-anggota badan seperti
tungkai, torso, dan lengan. Desain ini dapat memberikan kesan
54
kesederhanaan, kokokh, tetapi kalau terlalu banyak dipergunakan menjadi
kurang menarik.
i. Lengkung. Desain lengkung adalah desain dari badan dan anggotaanggota badan lainnya yang menggunakan garis-garis lengkung. Desain
ini sangat menarik dan menimbulkan kesan halus dan lembut, tetapi kalau
kurang hati-hati mempergunakannya sering menimbulkan kesan lemah.
j. Bersudut. Yang dimaksud dengan desain bersudut adalah desain yang
banyak menggunakan tekukan-tekukan tajam pada sendi-sendi seperti
pada lutut, pergelangan kaki, siku dan pergelangan tangan. Desain ini
dapat menimbulkan kesan penuh kekuatan.
k. Spiral. Desain spiral adalah desain yang menggunakan lebih dari satu
garis lingkaran yang searah pada badan dan anggota badan. Desain ini
memiliki kekuatan untuk menarik perhatian penonton ke garis-garis
lingkaran itu.
l. Tinggi. Desain tinggi ialah desain yang dibuat pada bagian dari dada
penari ke atas. Bagian ini memiliki sentuhan intelektual dan spiritual yang
kuat. Sebagai contoh tari-tarian pemujaan banyak menggunakan gerakgerak yang berkisar pada bagian dada ke atas.
m. Medium. Desain medium atau tengah adalaha desain yang dipusatkan
pada daerah sekitar dada ke bawah sampai pinggang penari. Desain ini
memberikan kesan penuh emosi.
55
n. Rendah. Desain rendah adalah desain yang dipusatkan pada daerah yang
berkisar anatara pinggang penari sampai pinggang penari. Desain ini
memberikan kesan penuh emosi.
o. Terlukis. Desain terlukis adalah desain bergerak yang dihasilkan oleh
salah satu atau beberapa anggota badan atau prop tari yang bergerak
untuk melukiskan sesuatu. Desain ini sangat baik untuk memberikan
gambaran sesuatu. Misalnya untuk menggambarkan laut cukup dengan
tangan yang digerakkan dari kiri ke kanan dengan membuat garis
lengkung berganda.
p. Lanjutan. Desain lanjutan adalah desain yang berupa garis lanjutan yang
seolah-olah ada yang ditimbulkan oleh salah satu anggota badan.
Misalnya seorang penari menoleh cepat ke kanan dengan pandangan mata
yang kuat ditujukan ke satu titik atau benda. Dari gerak ini akan
menimbulkan kesan adanya garis lanjutan dari mata penari ke titik atau
benda yang dilihat. Ini berarti ada kontak antara penari dengan benda itu,
yang dihubungkan oleh garis lanjutan yang tidak tampak tersebut. Contoh
lain misalnya orang yang menyuruh pergi cukup dengan menggerakkan
lengan dan mengacungkan jari menunjuk pintu samping. Desain yang
berupa garis lanjutan ini memberikan kesan pengarahan.
q. Tertunda. Desain tertunda adalah desain yang terlukis di udara
ditimbulkan oleh rambut panjang, rok panjang dan lebar, selendang
56
panjang dan sebagainya. Desain ini disebut desain tertunda karena
terjadinya garis-garis desain ini setelah bagaian badan tertentu yang
menjadi pusat penggerak selesai digerakkan. Desain ini menimbulkan
daya tarik yang sangat besar.
r. Simetris. Desain simetris adalah desain yang dibuat dengan menempatkan
garis-garis anggota badan yang kanan dan yang kiri berlawanan arah
tetapi sama. Kalau lengan kanan mengarah ke samping kanan lurus,
lengan kiri mengarah ke samping kiri lurus dan sebagainya. Desain ini
memberikan kesan sederhana, kokoh, tenang, tetapi kalau terlalu banyak
digunakan menjadi menjemukan.
s. Asimetris. Desain asimetris adalah desain yang dibuat dengan
menempatkan garis-garis anggota badan yang kiri berlainan dengan yang
kanan. Misalnya, bila lengan kanan diangkat ke atas lurus, lengan kiri
bertolak pinggang dan sebagainya. Desain ini menarik dan dinamis, tetapi
agak kurang kokoh. Dalam menggarap sebuah tarian desain asimetris ini
sangat menguntungkan untuk menarik perhatian penonton.
Musik
Apabila elemen dasar dari tari adalah gerak dan ritme, maka elemen
dasar dari musik adalah nada, ritme dan melodi. Sejak dari zaman Prasejarah
sampai sekarang dapat dikatakan di mana ada tari di sana ada musik. Musik
dalam tari bukan hanya sekedar irinan, tetapi music adalah partner tari yang
57
tidak boleh ditinggalkan. Memang, ada jenis-jenis tarian yang tidak diiringi
oleh musik dalam arti yang sesungguhnya, tetapi ia pasti diiringi oleh salah
satu elemen dari musik. Mungkin sebuah tarian hanya diiringi oleh tepuk
tangan. Tetapi perlu diingat bahwa tepuk tangan itu sendiri sudah
mengandung ritme yang merupakan salah satu elemen dasar dari musik.
Bahkan pada jaman modern ini ada pula tari yang sama sekali tidak diiringi
oleh musik. Tetapi sesungguhnya si penari itu sendiri selain menari juga
memainkan musik sekaligus, baik itu dilakukan dengan sadar atau tidak
sadar. Gerak tarinya dipimpin oleh ritme yang tidak terdengar oleh telinga,
tetapi dapat dirasakan dengan melihat gerak tarinya. Jadi ritme yang
merupakan elemen dasar dari music terdapat pula dalam sebuah tarian
walaupun tari itu tidak diiringi oleh music dalam arti yang sesungguhnya.
Ritme adalah degupan dari musik, umumnya dengan aksen yang diulangulang secara teratur. Jenis tarian yang dalam penggarapannya lebih menitik
beratkan pada ritme, adalah tari komunal atau tari bergembira yang dalam
dunia tari juga lazim disebut sebagai tari sosial. Tari yang digarap atas dasar
garis ritme dari musik, akan memberikan kesan teratur. Melodi atau lagu
yang didasari oleh tinggi dan rendahnya nada serta kuat lembutnya alunan
nada, lebih memberikan kesan emosionil.
Karena musik adalah partner dari tari, maka musik yang akan
dipergunakan untuk mengiringi sebuah tari harus digarap betul-betul sesuai
58
dengan garapan tarinya. Di Barat karena musik berkembang sebagai seni
yang mantap lebih dahulu dari tari, banyak tari-tarian di Barat yang digarap
atas dasar musik yang sudah ada. Di Indonesia garapan semacam ini juga
pernah ada. Misalnya saja di Jawa, tari Srimpi yang merupakan tari Istana
banyak yang diberi nama dengan nama dari musik yang mengiringi. Srimpi
Pandelori adalah tari Srimpi yang music pokoknya adalah gendhing
Pandelori. Srimpi Mucar adalah tari Srimpi yang music pokoknya adalah
gendhing Muncar dan sebagainya. Di Sumatera Selatan ada pula sebuah tari
yang diberi nama dengan nama dari musik pengiringnya yaitu gendhing
Sriwijaya. Sekarang setelah tari juga mengalami perkembangan sebagai seni
yang mantap, banyak komposisi tari yang diiringi oleh musik yang disusun
atau dicipta khusus untuk tari tersebut, misalnya tari Tenun dari Bali yang
musiknya khusus disusun untuk mengiringinya.
Desain Dramatik
Dalam menggarap sebuah tari, baik yang berbentuk tari solo atau
dramatik, untuk mendapatkan keutuhan garapan harus diperhatikan desain
dramatik. Satu garapan tari yang utuh ibarat. Sebuah ceritera yang memiliki
pembuka, klimaks dan penutup. Dari pembuka ke klimaks mengalami
perkembangan dan dari klimaks ke penutup terdapat penurunan.
Ada dua jenis desain dramatik, yaitu yang berbentuk kerucut berganda.
Desain yang berbentuk kerucut tunggal semula dipakai drama dan teori
59
kerucut tunggal ini disebut teori Bliss-Perry. Teori ini mengajarkan, bahwa
sebuah drama yang berhasil haruslah digarap dengan desain kerucut tunggal.
Untuk lebih jelasnya, desain ini bisa diibaratkan seorang yang sedang
mendaki gunung. Dari titik dasar ia berangkat mendaki. Pada pendakian ini ia
memerlukan kekuatan untuk menanjak. Sudah barang tentu karena naik,
perjalanan menjadi agak lambat dalam melakukannya dan makin menanjak
makin diperlukan enersi yang lebih kuat dan banyak. Akhirnya pada suatu
saat, dengan enersi penuh ia akan sampai ke puncak gunung itu yang
merupakan klimaks dari perjalanan menanjak. Setelah puncak atau klimaks
tercapai, ia turun dengan enersi yang sudah mengendor. Pada waktu turun ini
perjalanan menjadi cepat sekali untuk mencapai titik dasar lagi. Dengan
sampainya ke titik dasar pendakian berarti perjalanan penurunan gunung
sudah selesai.
Satu hal yang harus diperhatikan, bahwa waktu yang diperlukan untuk
naik ke puncak atau klimaks jauh lebih lama dari yang diperlukan untuk
turun ke dasar lagi. Dalam menggarap drama atau tari yang menggunakan
teori Bliss-Perry atau desain kerucut tunggal dapat diibaratkan orang yang
naik gunung. Klimaks harus tercapai setelah mengalami penanjakan yang
cukup lama dan penuh esensi. Dan setelah klimaks tercapai, ia harus cepatcepat menyelesaikan garapan. Bila penurunan memakan waktu yang lama,
maka klimaks yang telah tercapai akan dilupakan penonton.
60
D
C
B_
E
_F
A
A= permulaan
B= kekuatan yang merangsang
C= perkembangan
D= klimaks
E= penurunan
F= penahanan akhir
G= Akhir
G
Desain kerucut tunggal
Desain dramatik yang berupa kerucut berganda sangat baik dipergunakan
untuk koreografi tari solo. Prinsip desain kerucut berganda sebenarnya sama dengan
krucut tunggal, hanya saja penanjakan itu dilakukan dalam beberapa tahap lalu
kendor, menanjak lebih tinggi lagi lalu kendor lagi dan seterusnya sampai ke puncak
yang paling tinggi
dan kemudian turun dengan cepat. Jadi dalam perjalanan
menanjak, kerucut yang akan dijangkau harus memiliki puncak atau klimaks yang
lebih tinggi dari yang telah dilaluinya. Selain itu, pada waktu pengendoran dari
rangkaian kerucut yang lebih tinggi jangan sampai terlalu banyak, agar tidak kembali
ke dasar dari kerucut yang telah dilalui. Jelasnya perhatikan gambar dibawah ini.
Desain Kerucut Berganda
61
Dinamika
Dinamika adalah kekuatan dalam yang menyebabkan gerak menjadi
hidup dan menarik. Dengan perkataan lain, dinamika dapat diibaratkan
sebagai jiwa emosionil dari gerak. Dari elemen-elemen tari yang paling
nyamana dirasakan adalah dinamika.
Kekuatan dalam tari gerak lebih banyak terdapat pada badan bagian atas.
Maka dari itu pada tari-tarian Timur dinamika lebih bisa lekas tercapai dari
pada tari-tarian Barat yang lebih mengutamakan
gerak pada tungkai.
Delsarte setelah mengadakan penelitian yang cukup lama tentang ekspresi
dari fisik manusia berkesimpulan, bahwa semua gerak spiritual dan
intelektuil berkisar pada bagian atas dari badan. Dan sebagai contoh dari
tarian Timur yang menegaskan bahwa memang betul badan bagian atas
sangat ekspresif adalah tari India. Bharata Muni dalam bukunya Natya Sastra
sangat jelas menempatkan semua gerak ekspresif pada lengan, tangan,
kepala, mata, dan torso bagian atas. Hal ini sekali lagi berlaku pula bagi
semua tarian-tarian Timur. Tetapi ini tidak berarti bahwa tarian yang banyak
menggunakan kaki tidak bisa menggarap dinamika. Misalnya saja depakan
kaki di atas lantai, lemparan tungkai ke samping dengan cepat serta tekanan
yang kuat mengandung dinamika pula. Hanya saja memang betul bahwa
kemungkinan-kemungkinan untuk melahirkan dinamika lebih banyak, bisa
62
tercapai melalui badan bagian atas. Contoh yang baik sekali dari dinamika
yang dihasilkan dari kaki ialah tari Spanyol.
Dinamika bisa diwujudkan dengan bermacam-macam teknik. Pergantian
level yang diatur sedemikian rupa dari tinggi, rendah, dan seterusnya dapat
melahirkan dinamika. Pergantian tempo dari lambat ke cepat dan sebaliknya
dapat menimbulkan dinamika. Pergantian tekanan gerak dari lemah ke yang
kuat dan sebaliknya dapat melahirkan dinamika. Gerak mata yang penuh
kekuatan dapat menimbulkan dinamika. Bahkan pose diam yang dilakukan
dengan ekspresif memiliki dinamika pula.
Untuk dinamika ini sering dipinjam istilah-istilah music untuk
memudahkan pengertian. Accelerando adalah dinamika atau lebih tepat
teknik dinamika yang dicapai dengan mempercepat tempo. Ritardando
adalah teknik dinamika dengan memperlambat tempo. Crescendo adalah
teknik dinamika yang dapat dicapai dengan memperkeras atau memperkuat
gerak. Discrescendo adalah teknik dinamika yang dicapai dengan darapan
yang gerak-geraknya mengalir. Forte adalah teknik dinamika yang dicapai
dengan garapan gerak-gerak yang menggunakan tekanan-tekanan. Staccato
adalah teknik dinamika yang dicapai dengan garapan yang gerak-geraknya
patah-patah. Legato adalah teknik dinamika yang dicapai dengan garapan
yang gerak-geraknya mengalun. Sudah barang tentu dalam mengerjakan
koreografi dinamika, digarap bukan hanya dengan satu atau dua elemen
63
dinamika saja, tetapi perpaduan antara yang satu dengan yang lain akan lebih
menimbulkan daya tarik bagi yang menonton.
Komposisi Kelompok
Komposisi tari solo atau duet, lain sekali cara penggarapannya dengan
komposisi tari kelompok. Apabila dalam arti solo elemen-elemen koreografi
seperti desain lantai, desain atas, desain musik, desain dramatik, dinamika
merupakan elemen-elemen yang harus ada, maka untuk koreografi kelompok
masih memerlukan satu desain lagi yaitu desain kelompok. Desain kelompok
ini bisa digarap dengan menggunakan desain lantai, desain atas atau desain
musik sebagai dasarnya, atau dapat pula didasari oleh ketiga-tiganya. Desain
lantai digunakan sebagai dasar dari desain kelompok dapat merupakan desain
lantai yang tidak bergerak dan dapat lupa yang bergerak.
Ada lima bentuk desain kelompok, yaitu unison atau serempak, balanced
atau berimbang, broken atau terpecah, alternate atau selang-seling dan canon
atau bergantian. Sudah barang tentu perpaduan antara bentuk yang satu
dengan bentuk yang lain akan lebih memaniskan koreografi. Selain itu
bentuk-bentuk desain kelompok tersebut masing-masing memiliki kekuatan
menyentuh perasaan penonton yang khas.
Secara singkat desain unison akan memberikan kesan teratur. Ini masih
bisa menimbulkan kesan-kesan yang lebih banyak, sesuai dengan
penggarapan desain lantai, desain atas dan desain musiknya. Misalnya, dalam
64
desain unison yang menempatkan penari pada posisi garis lurus melintang
panggung atau stage akan memberikan kesan teratur, formil tetapi juga kesan
arkais. Terbalik memberikan kesan intelektuil dan manis. Sedangkan yang
spiritual. Maka dari itu tari-tarian primitive atau tari-tarian upacara agama
dan adat, banyak sekali yang menggunakan desain lantai lingkaran pada
garapan kelompok yang berbentuk unison.
Desain lantai yang lurus, huruf V atau lingkaran dengan jarak antara
penari yang satu dengan yang lain sama, ditambah dengan desain atas yang
sama, serta menggunakan ritme yang sama antara penari yang satu dengan
yang lain akan memperkuat keserempakan dari komposisi kelompok tersebut.
Kesannya menjadi teratur sekali. Lihat saja orang yang berbaris dengan
komposisi empat orang tiap baris dengan menggunakan ayunan langkah,
ayunan lengan dan derap kaki yang kuat akan menimbulkan kesan teratur
sekali. Namun denikian, kesan-kesan lain bisa dicapai dengan membuat
perpaduan misalnya desain lantainya berupa garis lurus melintang stage,
tetapi desain atasnya yang digunakan oleh penari dalam hitungan ganjil ialah
desain atas yang berbeda dengan desain atas pada penari-penari dalam
hitungan genap. Komposisi dengan garis lantai lurus tetapi desain atasnya
alternate atau selang-seling, akan menimbulkan kesan perpaduan antara
teratur dan menarik.
65
Yang dimaksud dengan desain balanced atau berimbang pada
koreografi kelompok ialah desain yang membagi sejumlah penari menjadi
dua kelompok yang sama, masing-masing kelompok ditempatkan pada dua
desain lantai yang sama di atas stage`bagian kanan dan bagian kiri. Desain ini
member kesan teratur dan juga kesan isolasi pada masing-masing kelompok.
Kesan teratur ini tercapai bila masing-masing selain menggunakan desain
lantai yang sama, juga menggunakan desain atas dan desain musik yang
sama. Tetapi juka yang sama hanya desain lantainnya sedangkan desain atas
atau desain musiknya berlainan, maka kesan isolasi masing-masing kelompok
akan lebih kuat.
Pada desain broken atau terpecah, setiap penari memiliki desain lantai
dan desain atas sendiri. Desain broken ini memberikan kesan isolasi dari tiaptiap penari. Desain broken menurut kecermatan dari koreografer terhadap
masing-masing penari, sebab komposisi ini mirip dengan komposisi dari
beberapa komposisi solo. Bila kurang cermat akan dapat membingungkan.
Desain broken akan lebih jelas terpecahnya atau isolasinya apabila selain
masing-masing penari memiliki desain lantai sendiri juga mereka masingmasing memiliki desain atas, desain music, bahkan mungkin juga kostum
yang berlainan.
Desain alternate atau selang-seling adalah desain yang menggunakan
pola selang-seling pada desain lantai, desain atas atau desain music. Setiap
66
desain lantai, baik yang lurus, lengkung, lingkaran maupun zig-zag, dapat
digarap menjadi desain kelompok alternate dengan membuat selang-seling
pada desain atasnya, misalnya penari dalam hitungan ganjil menggerakan
lengan ke atas, penari dalam hitungan genap menggerakan lengan ke bawah
atau jongkok. Penari dalam hitungan ganjil mengangkat kaki kanan
serongkanan, penari dalam hitungan genap menekuk lutut ke depan dan
sebagainya. Desain ini juga bisa digarap lain, misalnya penari hitungan 1 dan
2,5 dan 6, serta 9 dan 10 bergerak dengan desain tertentu, sedangkan penaripenari dalam hitungan 3 dan 4,7 dan 8, serta 11 dan 12, bergerak dengan
desain yang lain. desain ini bisa menimbulkan kesan yang aneh, yaitu kesan
antara kesatuan dan terpecah.
Desain canon atau bergantian setiap penari menari bergantian dengan
yang lain secara susul-menyusul. Misalnya penari pertama bergerak sat frace
empat hitungan allu berhenti, kemudian penari yang kedua bergerak dengan
frace yang sama empat hitungan juga lalu berhenti dan untuk penari ketiga
menyusul bergerak seperti sebelumnya dan seterusnya. Desain ini
memberikan kesan isolasi pada masing-masing penari, tetapi juga
memberikan kesan teratur. Untuk koreografi kelompok desain canon ini
sangat baik dipergunakan untuk masuk dan keluar stage.
67
Thema
Dalam menggarap tari apa saja dapat menjadi tema. Dari kejadian seharihari, pengalaman hidup yang sangat sederhana perangai binatang, ceritera
rakyat, ceritera kepahlawanan legenda, upacara, agama dan lain-lain dapat
menjadi sumber tema.
Namun demikian, tema haruslah merupakan sesuatu yang lazim bagi
semua orang, karena tujuan dari seni adalah komunikasi anatara karya seni
dengan masyarakat penikmatnya. Pada tari komunikasi antara koreografer
lewat penari dengan penontonnya. Di samping itu, walaupun apa saja dapat
menjadi tema dari garapan tari, tetapi harus ada seleksi.
Tema yang bernilai adalah tema yang orsinil. Perkataan orisinil di sini
harus diartikan sumber pertama. Misalnya, apabila seorang koreografer dari
Jawa Tengah hendak membuat koreografi tari merak, ia harus menggunakan
sumber orisinil yaitu burung merak. Apabila ia menggunakan sumber tari
Merak yang sudah ada di Jawa Barat, sumber atau tema itu sudah bukan
orisinil lagi. Apabila seorang koreografer telah menemukan tema yang
orisinil, ia boleh maju selangkah lagi untuk melakukan test yang kedua, yaitu
apakah tema itu dapat diartikan.
68
Perlengkapanperlengkapan
Kostum untuk tari-tarian tradisionil memang harus dipertahankan. Namun
demikian, apabila ada bagian-bagiannya yang kurang menguntungkan dari
segi pertunjukan, harus ada pemikiran lebih lanjut. Pada prinsipnya kostum
harus enak dipakai dan sedap dilihat oleh penonton. Pada kostum tari-tarian
tradisionil yang harus dipertahankan adalah desainnya dan warna
simbolisnya. Secara umum hanya warna-warna tertentu saja yang bersifat
teatrikal dan mempunyai sentuhan emosionil tertentu pula. Merah adalah
menarik. Di Indonesia pada umumnya merah memiliki arti simbolis berani,
agresif atau aktif. Warna ini pada drama tari tradisionil cocok untuk dipakai
oleh peranan-peranan raja yang sombong, ksatria yang agresif, putri yang
aktif dan dinamis. Biru memiliki kesan teatrikal tenteram. Di Indonesia
warna ini dalam drama tari memiliki arti simbolis kesetiaan dan cocok untuk
peranan ksatria-ksatria dan puteri-puteri yang setia kepada Negara, penuh
pengabdian. Hitam member kesan kebijaksanaan dan pada drama tari, baik
untuk raja-raja ksatria-ksatria, puteri, serta pendeta yang bijaksana. Warna
teatrikal lainnya adalah kuning yang memiliki kesan penuh kegembiraan dan
putih memiliki kesan muda atau suci.
Tari-tarian tradisionil di Indonesia juga memiliki rias muka tradisionil.
Sekali lagi desain rias tradisionil tentunya harus dipertahankan. Hanya saja
69
pertimbangan teatrikal harus diperhatikan. Rias untuk pertunjukan karena
dilihat dari jarak jauh garis-garis rias muka harus ditebalkan, misalnya mata,
alis dan garis mulut. Pemakaian rouge yang tepat dapat merubah wajah
penari menjadi lebih muda.
Tempat pertunjukan juga bermacam-macam. Di Bali tempat pertunjukan
tradisionil adalah halaman pura, sedangkan di Jawa Tengah pendapa yang
berupa bangunan luas kira-kira berukuran 25 meter panjang dan 25 meter
lebar tanpa dinding. Di Irian Jaya, Kalimantan, Sumatera Utara dan lain-lain
daerah ada jenis tari-tarian yang dipertunjukkan di atas lapangan terbuka dan
sebagainya.
Pada jaman modern sekarang ini banyak pula tempat-tempat pertunjukan
modern yang berbentuk teater proscenium. Masih ada lagi jenis lain yaitu
teater terbuka yang berbentuk tapal kuda dan teater arena. Walaupun tempat
pertunjukan tradisionil seperti pendapa dan teater tapal kuda penonnton dapat
menikmati pertunjukan dari tiga arah yaitu dari depan, dari samping kiri dan
samping kanan, tetapi penonton utama adalah yang dari depan. Dengan
demikian koreografi tari pada tempat-tempat semacam ini harus dipusatkan
untuk penonton utama. Sudah barang tentu penonton-penonton yang dari
samping jangan terlalu diabaikan. Sedangkan teater arena yang jarang untuk
pertunjukan tari memiliki tempat penonton dari segala penjuru.
70
Pada teater yang memiliki penonton dari satu arah, penggarapan lantai
tari dan desain atas agak mudah. Daerah lantai tari yang paling kuat adalah
yang di tengah-tengah. Daerah di depan, di belakang dan di samping lebih
lemah. Maka dari itu apabila mengaharapkan adanya sentuhan emosionil
tertentu, penenmpatan penari-penari di atas lantai tari harus betul-betul
diperhatikan. Namun demikian karakter dari daerah-daerah lantai tari ini bisa
pula menjadi berubah karena permainan lampu. Karena lampu yang khusus,
daerah yang lemah pun dapat menjadi paling kuat.
Yang dimaksud dengan prop atau dance prop adalah perlengkapan yang
tidak termasuk kostum, tidak termasuk pula perlengkapan panggung, tetapi
merupakan perlengkapan yang ikut ditarikan oleh penari. Misalnya kipas,
pedang, tombak, panah, selendang atau saputangan dan sebagainya. Karena
prop tari boleh dikatakan merupakan perlengkapan yang seolah-olah menjadi
satu dengan badan penari, maka desain-desain atasnya harus diperhatikan
sekali. Di samping itu agar prop tersebut secara teatrikal menguntungkan,
sering ukurannya dibuat lebih besar dari yang sesungguhnya.
Mengenai lighting atau tata lampu juga harus diperhatikan bahwa lighting
di sini adalah lighting untuk pentas, bukan hanay sekedar untuk penerang.
Lampu-lampu khusus yang disebut spot light adalah yang paling ideal. Di
samping itu sering dipakai warna-warna khusus atau lazim disebut colour
medium yang akan bisa memberikan suasana-suasana tertentu. Tetapi ingat,
71
bahwa kostum yang sudah berwarna-warni harus sangat berhati-hati dalam
menggunakan colour medium, contohnya, colour medium merah akan
menghapus warna merah pada kostum dan rias muka. Bahkan bila sama-sama
kuat, kostum merah itu akan menjadi putih. Colour medium kuning muda
akan mempertajam warna-warna kostum, sedangkan biru dapat member
suasana sayu.
72
BAB III
METODOLOGI DAN OBJEK PENELITIAN
3.1. Metodologi Penelitian
3.1.1. Metode Penelitian Kualitatif
Metodologi adalah pengertian atau proses, prinsip, dan prosedur yang kita
gunakan untuk mendekati problem dan mencari jawaban. Dengan ungkapan lain,
metodologi adalah suatu pendekatan umum untuk mengkaji topik peneliti (Mulyana,
2003:145). Seperti yang telah penulis jelaskan pada bab terdahulu, dalam penelitian
ini penulis menggunakan metode penelitian kualitatif. Yang mana memaparkan
beberapa pendekatan etnografi komunikasi, teknik pengumpulan data, objek
penelitian, serta tahapan penelitian.
Penelitian kualitatif pada hakekatnya ialah mengamati orang dalam lingkungan
hidupnya, berinteraksi dengan mereka, berusaha memahami bahasa dan tafsiran
mereka tentang dunia sekitarnya. Untuk itu peneliti harus turun langsung kelapangan
dan berada di sana serta mendalaminya dalam waktu yang cukup lama. Peneliti
diharapkan selalu memusatkan perhatian pada kenyataan atau kejadian yang ada
dilapangan. Setiap kejadian merupakan sesuatu yang unik dan berbeda dengan yang
lain karena ada perbedaan konteks.
Kirk dan Miller (1986:9, dalam Moleong 2002:3) mendefinisikan bahwa
penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara
fundamental bergantung pada pengamatan pada manusia dalam kawasannya sendiri
73
dan berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam bahasannya dan dalam
peristilahannya.
Jadi dalam penelitian kualitatif, seseorang peneliti memasuki tatanan alamiah dari
orang yang ditelitinya. Peneliti dalam penelitian kualitatif terjun sendiri ke lapangan
untuk mengumpulkan datanya. Data-data yang diperoleh berupa data kualitatif, bukan
kuantitatif karena data yang diperoleh tidak memerlukan pengukuran. Oleh sebab itu
dalam penelitian kualitatif tidak ada satu kebenaran yang mutlak. “Peneliti kualitatif
bukanlah mencari kebenaran mutlak” (Nasution, 1996:6).
Dari beberapa definisi yang telah dirumuskan oleh para ahli, penelitian kualitatif
dari sisi definisi lainnya dikemukakan bahwa hal itu merupakan penelitian yang
memanfaatkan wawancara terbuka untuk menelaah dan memahami sikap, pandangan,
perasaan, dan perilaku individu atau sekelompok orang.
Lain halnya dengan Bogdan dan Taylor (1992) yang menyatakan penelitian
Kualitati adalah salah satu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif
berupa ucapan atau tulisan dan perilaku orang – orang yang diamati. Hal ini
ditunjukkan melalui pengaruh timbal balik antara peneliti dan responden penelitian
Caranya dengan adanya interaksi di antara keduanya yang akan menentukan relevansi
sebuah penelitian. Penelitian kualitatif dapat digunakan untuk meneliti kehidupan
masyarakat, sejarah, tingkah laku, fungsionalisasi organisasi, pergesekan pergesekan
74
sosial, atau hubungan kekerabatan (Strauss and Corbin, 1997 : 1 dalam Sadikin,
2002:1).
Berbicara mengenai penelitian kualitatif maka perlu diketahui kriteria – kriteria
yang mendukung efektifnya penelitian tersebut. Penelitian kualitatif harus dilakukan
pada tempat subyek berada dalam lingkungan yang sebenarnya. Selain itu manusia
menjadi instrumen utama dalam pelaksanaan penelitian. Ia haruslah emic, artinya
naluri dan intuisi menjadi peran yang penting dalam penelitian. Yang penting lainnya,
karena sebuah penelitian dikatakan sebagai sebuah penelitian kualitatif, maka
penelitian tersebut harus menggunakan metode kualitatif. Berbeda dengan penelitian
kuantitatif yang memiliki metode penyebaran sampel baik acak maupun terurut, maka
penelitian kualitatif tidak menggunakan pemilihan sampel secara acak. Penelitian
kualitatif juga menggunakan metode induktif dan penggunaan teori yang membumi
(grounded theory). Maka hasil penelitian biasanya disusun dalam laporan yang
bersifat narasi. Karena menurut Bogdan dan Taylor, penelitian kualitatif adalah
prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata – kata tertulis atau
tulisan dari orang – orang dan perilaku yang diamati.
Berikut tabel yang menunjukkan perbedaan kualitatif dan kuantitatif menurut
Suwardi (2006:83).
75
Perbedaan Kualitatif dan Kuantitatif
No.
1.
Prinsip Pengenal
Sifat Realitas
Penelitian
Penelitian
Kuantitatif
Kualitatif
Tunggal, konkrit,
General, holistik,
dan teramati
hasil kontruksi dari
pemahaman
2.
Hubungan peneliti dengan yang
Independen
diteliti
3.
Kemungkinan
Interaktif, tidak
dapat dipisahkan
Cenderung
Transferabilitas
membuat
(hanya dalam ikatan
generalisasi
ruang dan waktu
tertentu)
4.
Peranan Nilai
Bebas Nilai
Terikat nilai
Sumber: Suwardi. 2006. Metode, Teori, Teknik; Penelitian Kebudayaan. Pustaka
Widayatama
Dari tabel tersebut dapat dilihat, penelitian kuantitatif meneropong suatu
permasalahan lebih sempit dibanding dengan penelitian kualitatif. Penelitian
kualitatif memberi kebebasan peneliti untuk mencari hubungan antar konsep. Dapat
dikatakan penelitian kualitatif lebih fleksibel dalam proses penelitiannya yang
76
menghasilkan tiadanya penetapan generalisasi yang berimbas pada harga matinya
atas jawaban sebuah penelitian.
Hal tersebut terkait dengan penelitian budaya yang memang lekat dengan penelitian
kualitatif. Karena dalam melakukan penelitian kebudayaan, pendekatan kuantitatif
sulit diterapkan. Hal itu disebabkan sifat – sifat kebudayaan sendiri dimaknai dengan
nilai – nilai, adat istiadat, norma – norma, ide – ide dan simbol – simbol yang berlaku
dalam suatu masyarakat.
3.1.2. Ciri – ciri Metode Kualitatif
Metode Kualitatif memiliki ciri – ciri sebagai berikut:
1. Sumber data berada dalam situasi yang wajar (natural setting), tidak
dimanipulasi oleh angket dan tidak dibuat – buat sebagai kelompok
eksperimen.
2. Laporannya sangat deskriptif
3. Menggunakan proses dan produk
4. Peneliti sebagai instrumen penelitian
5. Mencari makna, dipandang dari pikiran dan perasaan responden
6. Mementingkan data langsung (tangan pertama) oleh sebab itu
pengumpulan datanya mengutamakan observasi partisipasi, wawancara
dan dokumentasi
77
7. Menggunakan triangulasi, yaitu memeriksakan kebenaran data yang
diperooleh kepada pihak lain.
8. Menonjolkan rincian yang kontekstual, yaitu menguraikan sesuatu
secara rinci tidak terkotak – kotak.
9. Subjek yang diteliti dianggap berkedudukan yang sama dengan peneliti,
peneliti bahkan belajar dari respondennya.
10. Mengutamakan perspektif emic, yaitu pendapat responden dari pada
pendapat peneliti sendiri (etic).
11. Sampel dipilih secara purposive
12. Menggunakan audit trail yaitu memeriksa data mentah, analisis, dan
analisis kepada pihak lain, biasanya pembimbing.
13. Partisipasi peneliti tidak mengganggu (natural setting)
14. Analisis data dilakukan sejak awal sampai penelitian akhir.
(Usman dan Setiady, 2001:90)
3.1.3. Karakteristik Penelitian Kualitatif
1. Realitas manusia tidak dapat dipisahkan dari konteksnya, tidak pula
dapat dipisahkan agar bagian – bagiannya dapat dipelajari.
Keseluruhan lebih daripada sekedar bagian – bagian.
2. Penggunaan pengetahuan tersembunyi (tacit knowledge) adalah abash.
Intuisi dan perasaan sebuah pengetahuan yang dinyatakan dalam
78
bahasa karena hal – hal tersebut juga mengekspresikan nuansa –
nuansa realitas ganda; karena interaksi antar manusia juga bersifat
demikian.
3. Hasil (penelitian) yang dinegosiasikan adalah penting. Makna yang
dinegosiasikan dan interpretasi antara peneliti dan manusia (subjek
penelitian) perlu karena konstruksi realitas pihak kedualah yang ingin
direkonstruksi pihak pertama.
4. Penafsiran atas data (termasuk penarikan kesimpulan) bersifat
ideografis atau berlaku khusus, bukan bersifat nomotetis atau mencari
generalisasi karena penafsiran yang berbeda lebih bermakna bagi
realitas yang berbeda pula, dank arena penafsiran bergantung pada
nilai – nilai kontekstual, termasuk hubungan peneliti – responden
(objek) yang bersifat khusus.
5. Temuan (penelitian) bersifat tentatif. Hasil penelitian naturalistic
bersifat ragu untuk membuat generalisasi yang luas karena temuan
bergantung pada interaksi antara peneliti dan responden dan mungkin
tidak dapat ditiru karena melibatkan nilai – nilai, lingkungan,
pengalaman, dan orang – orang khusus.
Tucker et al. mengemukakan pula, bahwa penelitian kualitatif
atau yang data juga dikenal sebagai penelitian naturalistik mencakup
berbagai metode penelitian, yang lazim merujuk pada tiga hal.
79
Pertama, penelitian naturalistic kadang – kadang disamakan dengan
penelitian eksplanatori, yakni sebagai metode menurunkan hipotesis
alih – alih mengujinya; kedua. Penelitian naturalistik kadang – kadang
disamakan dengan penelitian lapangan (field research), yaki metode
mempelajari fenomena dalam lingkungannya yang alamiah; dan
ketiga, penelitian naturalistik kadang – kadang dipandang sebagai
sarana
mempelajari
berbagai
fenomena
yang
eksis
karena
didefinisikan secara riil. Misal, definisi situasi, makna yang
dikonstruksi secara sosial, atau interpretasi atas kejadian atau lembaga
sosial.
3.2. Etnografi dan Etnografi komunikasi
3.2.1. Etnografi dan Etnografi Komunikasi
Etnografi pada dasarnya merupakan suatu bangunan pengetahuan yang
meliputi teknik penelitian, teori etnografi, dan berbagai macam deskripsi kebudayaan.
Etnografi bermakna membangun suatu pengertian yang sistematik mengenai semua
kebudayaan manusia dan perspektif orang telah mempelajari kebudayaan itu.
Menurut Margaret Mead dan Seville-Troike etnografi merupakan inti dari
antropologi, sejalan dengan pendapat ahli antropologi yang lain, seperti Clifford
Geertz, Adamson Hobel, dan Anthony F.C. Wallace. Terakhir adalah Spradley yang
meletakkan dasar-dasar antropologi modern, yang menyatakan bahawa kajian
80
lapangan khas etnografi adalah tonggak antropologi budaya. Oleh karena itu
mempelajari etnografi berarti belajar jantungnya antropologi, khususnya antropologi
sosial.
Pada perkembangannya ditemukan pemahaman pemikiran antropologi kognituif.
Antropologi kognitif percaya bahwa perilaku manusia sebagai anggota suatu
masyarakat, terbentuk dari sekumpulan aturan dan simbol yang kompleks, dan tugas
etnografi-lah untuk menemukan aturan dan simbol yang berlaku tersebut. Sehingga
secara tidak langsung etnografi membantu memahami bagaimana berperilaku dalam
suatu masyarakat tertentu.
Etnografi menjadi bagian dari metode modern antropologi sosial, setelah
diperkenalkan oleh Malinowski dengan metodenya yang terkenal yaitu penelitian
lapangan dan observasi partisipan. Sebetulnya sudah banyak ahli antropologi yang
menggunakan
metode
ini,
tetapi
Malinowski
lah
yang
pertama
mensistematisasikannya. Apa yang dilakukan Malinowski ini menjadi polemik
dikalangan ilmu antropologi, karena sebelum Malinowski mempublikasikan
penelitiannya yang pertama (Argonauts of the Western Pacific, 1992), penelitian
antropologi dilakukan tidak di lapangan (armchair theorising). Setelah itu barulah
pemikiran beberapa ahli antropologi yang beranggapan, bahwa penelitian manusia
haruslah dilakukan dalam lingkungan alamiahnya, mulai diterima sebagai metode
penelitian modern dalam antropologi.
81
Penggunaan metode observasi partisipan dan penelitian lapangan dalam
etnografi, berasal dari aliran Chicago. Aliran ini yang menjadi dasar para ahli
sosiologi dalam mengembangkan pandangan kehidupan sosial manusia sebagai
laboratorium alamiah. Aliran ini juga yang pertama kali menggunakan metode ini
untuk memahami objek kajiannya. Sehingga Malinowski dapat dikatakan telah
mengawinkan konsep antropologi dan sosiologi dalam etnografi.
Ciri khas penelitian lapangan etnografi adalah sifat holistik, integrative, thick
description, dan analisis kualitatif untuk mendapatkan native’s point of view.
Sehingga teknik pengumpulan data yang utama adalah observasi-partisipasi dan
wawancara terbuka serta mendalam, dalam jangka waktu yang relative lama dan akan
sangat berbeda dengan penelitian survei.
Etnografer (orang yang melakukan penelitian etnografi) akan berbulan-bulan,
bahkan bertahun-tahun tinggal bersama masyarakat yang diteliti, sehingga metode
penelitian etnografi sangat berguna untuk mempelajari bagaimana individu
mengkategorikan pengalamannya. Kemudian akan pula dipahami konsep dan makna
yang dimiliki oleh suatu masyarakat, sehingga memberikan pengertian yang dalam
mengenai pandangan hidup yang dimilikinya, termasuk kebudayaan yang dianutnya.
Sehingga faktor utama yang penting dalam penelitian etnografi adalah soal waktu.
Etnografer perlu mempertimbangkan berapa lama waktu yang dibutuhkan, dari mulai
persiapan sampai penulisan laporan.
82
Banyak ahli yang menganggap etnografi sebagai teori grounded, karena etnografi
memberikan deskripsi yang dapat mengungkapkan berbagai model penjelasan yang
dapat diciptakan oleh manusia. Etnografi dapat berperan sebagai penunjuk yang
mendeskripsikan secara detil teori-teori penduduk asli yang telah diuji dalam situasi
kehidupan actual selama beberapa generasi. Sehingga etnografi menawarkan suatu
strategi yang baik sekali untuk menemukan teori grounded.
Bulan-bulan pertama dilapangan akan dihabiskan etnografer untuk mempelajari
bahasa penduduk asli. Utamanya untuk mempelajari bagaimana etnografer
berkomunikasi dengan penduduk asli. Namun para etnografer kemudian menyadari
sesuatu yang mempunyai signifikasi yang lebih besar dari sekedar mempelajari
kemampuan berkomunikasi. Dengan mempelajari bahasa asli, para etnografer
menjadi paham bagaimana penduduk asli mengategorikan pengalamannya, dan
menggunakan kategori-kategori itu dalam pemikiran biasa. Sehingga mereka dengan
mudah dapat mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang dipahami oleh penduduk asli
dan sekaligus menemukan permasalahan-permasalahan yang ada di balik aktivitas
sehari-hari.
Creswell memasukan etnografi sebagai salah satu tradisi penelitian kualitatif
secara lengkap, Creswell mengelompokkan penelitian kualitatif ke dalam lima tradisi,
yaitu penelitian biografi, fenomenologi, teori grounded, etnografi dan studi kasus.
Lebih khusus lagi, Creswell menyebutkan pendekatan etnografi merupakan gabungan
antara pendekatan antropologi (khususnya Wollcott dan Fetterman) dan sosiologi
83
(Hammersley dan Atkinson). Masih menurut Creswell, berikut adalah elemen-elemen
inti dalam penelitian etnografi.
1. Menggunakan penjelasan yang detil.
2. Gaya laporannya seperti bercerita (story telling)
3. Menggali tema-tema kultural, terutama tema-tema yang berhubungan dengan
peran (roles) dan perilaku dalam masyarakat tertentu.
4. Menjelaskan “everyday life of persons” , bukan peristiwa-peristiwa khusus
yang sudah menjadi pusat perhatian.
5. Format laporan keseluruhannya merupakan gabungan antara deskriptif,
analitis, dan interpretative.
6. Hasil penjelasannya bukan pada apa yang menjadi agen perubahan, tetapi
bagaimana sesuatu itu menjadi pelopor untuk berubah karena sifatnya yang
memaksa.
Pada hakikatnya penelitian etnografi berusaha untuk menjelaskan secara
mendalam tema-tema kebudayaan yang diaplikasikan ke dalam perilaku, dan
hidup dalam suatu kelompok masyarakat. Wollcot menjelaskan ada tiga tema
kultural besar yang menjadi fokus perhatian etnografi, yaitu:
1. Prinsip-prinsip peran dan pengetahuan individu tentang peran itu.
2. Perasaan individu akan peran dalam kebudayaannya, dan
3. Varietas (rentang jenis) perilaku yang kemudian Nampak.
84
Etnografi memulai penelitiannya dengan melihat interaksi antarindividu dalam
setting alamiahnya, kemudian mengakhirinya dengan menjelaskan pola-pola perilaku
yang khas, atau dengan penjelasan perilaku berdasarkan tema kebudayaan yang hidup
dalam masyarakat tersebut. Oleh karena itu sangat penting bagi seorang etnografer
untuk dapat mengenali perilaku alamiah atau sehari-hari dari objek penelitiannya.
Spradley menjelaskan focus perhatian etnografi adalah pada apa yang individu dalam
suatu masyarakat lakukan (perilaku), kemudian apa yang mereka bicarakan (bahasa),
dan terakhir apakah ada hubungan antara perilaku dengan apa yang seharusnya
dilakukan dalam masyarakat tersebut, sebaik apa yang mereka buat atau mereka pakai
sehari-hari (artifak). Kesimpulannya, focus penelitian etnografi adalah keseluruhan
perilaku dalam tema kebudayaan tertentu.
Berdasarkan fokus penelitian etnografi di atas, dapat ditarik prinsip dasar yang
membedakan antara etnografi dengan etnografi komunikasi. Pada etnografi
komunikasi, yang menjadi focus perhatian adalah perilaku komunikasi dengan tema
kebudayaan tertentu, jadi bukan keseluruhan perilaku seperti dalam etnografi.
Adapun yang dimaksud dengan perilaku komunikasi menurut ilmu komunikasi
adalah tindakan atau kegiatan seseorang, kelompok, atau khalayak, ketika terlibat
dalam proses komunikasi.
Tetapi Etnografi komunikasi, sebagai suatu kajian telah dikenal sejak penerbitan
salah
satu
edisi
communication
American
(http://
Antrhopologist
www.
dengan
judul
ethnography
Dea.unibo.it/narduzo/ssup/ethno2.pdf.).
of
Dalam
85
perkembangannya, etnografi komunikasi digambarkan dengan jelas mengenai
perhatian masyarakat dengan analisis interaksional dan identitas peran dalam
mengombinasikan berbagai minat dan orientasi teoritis. Etnografi komunikasi telah
menjadi suatu disiplin ilmu yang menunjukan suatu pengolahan informasi dalam
strukturisasi perilaku komunikatif, dan perannya dalam kehidupan masyarakat
(Saville-Troike, http://www.dea.unibo.it/narduzo/sssup/ethno2.pdf.). Lebih lanjut
Saville-Troike menjelaskan:
Etnografi komunikasi mengambil bahasa sebagai bentuk kebudayaan dalam situasi
sosial yang pertama dan paling penting, sementara juga menyadari perlunya
menganalisis kode itu sendiri dan proses kognitif penutur dan pendengarnya.
Menerima ruang lingkup yang lebih kecil untuk deskripsi linguistik itu, dan menolak
adanya kemungkinan memahami bagaimana bahasa hidup dalam pikiran dan pada
lidah para pemakainya (Saville-Troike, 1982:3-4, dalam Ibrahim, 194:305).
Etnografi komunikasi menjadi controversial sejak semula. Salah satu kontroversi
adalah tentang hubungannya dengan bidang linguistik sebagai suatu keseluruhan.
Dell Hymes sebagai pencetus teori etnografi komunikasi, memberikan batasan tegas
antara linguistik dan komunikasi. Kajian etnografi komunikasi bukanlah kajian
linguistik namun merpakan kajian etnografi, serta bukan pula mengenai bahasa, tetapi
mengenai bahasa, tetapi mengenai komunikasi. “... it is not linguistics, but
ethnography, not language, but communication, which must provide the frame of
reference within which the place of language inculture and society is to be assessed”
86
(...ini bukan linguistik, tapi etnografi, bukan bahasa, tapi komunikasi, yang harus
melengkapi kerangka piker secara mendalam tempat bahasa dalam kebudayaan dan
masyarakat ditetapkan) (Hymes, 1971:4, dalam Alwasilah, 2003:61)
Untuk lebih jelasnya, akan digambarkan letak focus penelitian dalam penelitian
etnografi dan etnografi komunikasi.
3.2.2. Tahapan Penelitian Dalam Etnografi Komunikasi
Secara spesifik, etnografi komunikasi akan menghasilkan hipotesis mengenai
berbagai
cara,
bagaimana
fenomena
sosiokultural
dalam
masyarakat
itu
berhubungan dengan pola-pola komunikasi atau cara-cara berbicara. Adapun focus
kajian dari etnografi komunikasi adalah perilaku-perilaku komunikatif suatu
masyarakat, yang pada kenyataannya banyak dipengaruhi oleh aspek-aspek
sosiokultural, seperti kaidah-kaidah interaksi dan kebudayaan.
Oleh karena perilaku komunikasi itu khas, maka perilaku komunikasi juga
hanya terdapat dalam peristiwa-peristiwa komunikatif yang khas. Menurut ilmu
komunikasi, yang dimaksud dengan peristiwa komunikasi adalah keberlangsungan
komunikasi yang nyata dilakukan seseorang dengan orang lain dengan sengaja dan
dengan tujuan tertentu.
Seperti halnya etnografi, etnografi komunikasi juga memulai penyelidikannya
dengan mengenali perilaku-perilaku komunikasi yang khas, dan kemudian
87
mengakirinya dengan penjelasan pola-pola komunikasi, tentu saja dalam konteks
sosiokultural.
Hymes mengemukakan tahapan-tahapan untuk melakukan penelitian etnografi
komunikasi dalam suatu masyarakat tutur, melalui penjelasan berikut ini:
Sebagai langkah awal untuk mendeskripsikan dan menganalisis pola
komunikasi yang ada dalam suatu masyarakat, adalah dengan
mengidentifikasikan peristiwa-peristiwa komunikasi yang terjadi secara
berulang. Langkah selanjutnya mengiventarisasi komponen yang membangun
peristiwa komunikasi, kemudian menemukan hubungan antar komponen
tersebut.
Jadi, yang dimaksud tahapan penelitian dalam etnografi komunikasi adalah
seperti berikut ini:
1. Identifikasi peristiwa-peristiwa komunikasi yang terjadi secara berulang
(recurrent events).
2. Inventaris komponen komunikasi yang membangun peristiwa komunikasi yang
berulang tersebut.
3. Temukan hubungan antarkomponen komunikasi yang membangun peristia
komunikasi, yang akan dikenal kemudian sebagai pemolaan komunikasi
(communication patterning).
Definisi istilah dalam etnografi komunikasi seperti dijelaskan sebelumnya
adalah:
a. Recurrent Events dalam etnografi komunikasi adalah peristiwa-peristiwa
komunikasi yang signifikan, dan menjadi cirri khas dari perilaku komunikasi
suatu kelompok masyarakat.
88
b. Peristiwa komunikasi menurut etnografi komunikasi adalah keseluruhan
perangkat komponen yang utuh, yang dimulai dengan tujuan utama
komunikasi, topic umum yang sama, dan melibatkan partisipan yang secara
umum menggunakan varietas bahasa yang sama, mempertahankan tone yang
sama dan kaidah-kaidah yang sama untuk berinteraksi, dan dalam setting
yang sama. Sebuah peristiwa berakhir bila ada perubahan dalam batasbatasannya, misalnya ketika terdapat keheningan, atau perubahan posisi
tubuh partisipan komunikasi.
c. Komponen komunikasi menurut etnografi komunikasi adalah unit-unit
komunikasi yang menunjang terjadinya satu peristiwa komunikasi. Berbeda
dengan perspektif behaviorisme, komponen komunikasi pada etnografi
komunikasi terdiri dari tipe peristiwa, topik, tujuan, setting, partisipan,
bentuk pesan, isi pesan, urutan tindakan, kaidah interaksi, dan norma
interaksi.
d. Hubungan antar komponen yang dimaksud adalah bagaimana setiap
komponen komunikasi saling bekerja sama untuk menciptakan perilaku
komunikasi yang khas dari kelompok masyarakat tersebut.
Setelah data mengenai komponen komunikasi suatu peristiwa komunikasi diketahui,
barulah dapat dipahami mengenai hubungan antara komponen tersebut hubungan
antar- komponen inilah yang disebut dengan pemolaan komunikasi (Communication
pattering).
89
Hasil akhir dari sebuah penelitian etnografi komunikasi adalah penjelasan
pemolaan komunikasi melalui kategori-kategori ujaran. Kategori ujaran adalah
pengelompokkan peristiwa dan tindak komunikatif ke dalam setting tertentu, atau
hubungan antara komponen-komponen komunikasi dalam setting komunikasi
tertentu. Akan lebih jelas dalam bagian obyek penelitian dalam etnografi komunikasi
pada bagian selanjutnya. Bagian ini hanya menjelaskan tahapan penelitian etnografi
komunikasi saja.
3.2.3. Penelitian Etnografi Komunikasi
Meskipun menggabungkan bahasa, komunikasi, dan kebudayaan dalam
kajiannya, istilah-istilah yang digunakan dalam studi atau penelitian etnografi
komunikasi tidaklah sama dengan istilah yang digunakan dalam bahasa, komunikasi
atau bahkan antropologi. Istilah-istilah ini pada akhirnya akan mengacu pada apa
yang menjadi obyek penelitian etnografi komunikasi. Berikut ini akan diuraikan
beberapa istilah yang menjadi dasar pijakan dalam melakukan penelitian etnografi
komunikasi.
1. Masyarakat Tutur (Speech Community)
Seperti halnya etnografi, etnografi komunikasi juga memiliki pengaruh
sosiokultural yang sangat besar. Sehingga keduanya memiliki batasan yang sama
dalam melakukan penelitian, yaitu dalam konteks kebudayaan tertentu.
90
Kebudayaan, seperti yang telah dibahas sebelumnya, merupakan sesuatu yang
memiliki bersama oleh sekelompok orang, sehingga kebudayaan adalah hasil
dari interaksi antar-individu. Pakar antropologi Rosalie Wax mendefinisikan
kebudayaan sebagai satu kenyataan dari “pengertian yang dialami bersama”
(shared meaning), jadi bukanlah empati yang misterius. Oleh karena itu,
membicarakan kebudayaan berarti membicarakan tentang sekelompok orang,
atau minimalnya dua orang, karena ada sesuatu yang dibagi dan dimilki bersama.
Sosiologi seperti dikatakan Peter L.Berger adalah masyarakat sebagai suatu
keseluruhan kompleks hubungan manusia yang luas sifatnya. Creswell
menyebutkan kelompok sosial atau masyarakat ini sebagai committee, yaitu
sekelompok
orang
yang membangun
dan
berbagi
kebudayaan,
nilai,
kepercayaan, dan asumsi-asumsi secara bersama-sama. Seperti telah dijelaskan
sebelumnya, masyarakat dalam etnografi komunikasi adalah masyarakat
komunikatif tertentu. Etnografi komunikasi percaya bahwa kaidah-kaidah untuk
berbicara dapat berbeda antara satu kelompok sosial dengan kelompok sosial
yang lain, maka diperlukan definisi yang tepat mengenai kelompok sosial yang
dimaksud, khususnya dalam pembahasan etnografi komunikasi.
Kelompok sosial dalam etnografi komunikasi tidaklah sama dengan suatu
suku bangsa, walaupun mereka berbicara dengan bahasa yang sama. Karena
apabila batasan ini yang dimaksud maka, Inggris, Australia, dan Amerika paling
sedikitnya akan termasuk ke dalam kelompok sosial yang sama. Pada
91
kenyataannya, terdapat banyak perbedaan mendasar antara bahasa InggrisInggris dengan bahasa Inggris-Amerika, dan begitu juga dengan bahasa InggrisAustralia. Oleh karena itulah etnografer komunikasi perlu mengembangkan
konsep speech community yang merupakan kelompok sasaran berlakunya
deskripsi etnografi tertentu.
Banyak ahli yang telah mencoba untuk mendefinisikan apa yang dimaksud
dengan speech community, atau masyarakat tutur ini. Di antara sekian banyak
batasan, dapat dikemukakan dua batasan yang dapat digunakan untuk menunjang
pada penelitian etnografi komunikasi. Yang pertama menurut Hymes, yang
menekankan bahwa semua anggota masyarakat tutur tidak saja sama-sama
memiliki kaidah untuk berbicara, tetapi juga satu variasi linguistik. Sedangkan
kedua, Seville-Troike membicarakan level analisis di mana masyarakat tutur
tidak harus memiliki satu bahasa, tetapi memiliki kaidah yang sama dalam
berbicara.
Jadi, batasan utama yang membedakan masyarakat tutur yang satu dengan
yang lain adalah kaidah-kaidah untuk berbicara. Sehingga suatu suku bangsa
atau kebudayaan bisa saja memiliki dua atau lebih masyarakat tutur. Misalnya
suku bangsa Jawa, terbagi ke dalam masyarakat tutur Jawa-Solo, Jawa-Surabaya,
dan Jawa Madura, dan masih banyak lagi. Oleh karena itu seseorang bisa saja
termasuk ke dalam dua atau lebih masyarakat tutur. Sebagai contoh Asep
Sutresna termasuk ke dalam masyarakat tutur Sunda, tetapi ia juga anggota dari
92
masyarakat tutur Indonesia, dan Inggris, karena ia juga fasih berbicara dan
memahami kedua bahasa tersebut.
Pada kenyataannya, satu masyarakat tutur pun dapat terbagi-bagi lagi ke
dalam sub-sub masyarakat tutur. Misalnya masyarakat tutur Sunda, bisa terbagi
lagi menjadi masyarakat tutur Sunda-Halus, Sunda-Kasar atau Sunda-Preman,
dan lain sebagainya. Jadi, dalam suatu masyarakat tutur pun, bisa saja terdiri dari
masyarakat tutur-masyarakat tutur yang lebih kecil. Hal ini dikarenakan manusia
sebagai makhluk sosial sudah terlebih dahulu member label pada masing-masing
tindakannya. Pemberian label ini berimplikasi pada terbentuknya struktur sosial,
selanjutnya setiap struktur sosial membutuhkan peran dan simbol yang berbedabeda antara struktur sosial yang satu dengan struktur sosial yang lain, walaupun
berbicara dengan bahasa yang sama.
2. Aktivitas Komunikasi
Setelah
mengidentifikasikan
masyarakat
tutur
berikutnya
adalah
menemukan aktivitas komunikasi. Dalam etnografi komunikasi, menemukan
aktivitas komunikasi sama artinya dengan mengidentifikasikan peristiwa
komunikasi dan atau proses komunikasi. Bagi Hymes, tindak tutur atau tindak
komunikatif mendapatkan statusnya dari konteks sosial, bentuk gramatika dan
intonasinya. Sehingga level tindak tutur berada diantara level gramatika biasa
dan peristiwa komunikatif atau situasi komunikatif dalam pengertian bahwa
tindak tutur mempunyai implikasi bentuk linguistic dan norma-norma sosial.
93
Sehingga proses atau peristiwa komunikasi yang dibahas dalam etnografi
komunikasi adalah khas yang dapat dibedakan dengan proses komunikasi yang
dibahas pada konteks komunikasi yang lain. Apakah itu perspektif interaksi
simbolik, mekanisme matematika, komunikasi kelompok, atau komunikasi
dalam perspektif psikologi, dan sebagainya. Karena etnografi komunikasi
memandang komunikasi sebagai proses yang sirkuler dan dipengaruhi oleh
sosiokultural lingkungan tempat komunikasi tersebut berlangsung, sehingga
proses komunikasi dalam etnografi komunikasi melibatkan aspek-aspek sosial
dan kultural dari partisipan komunikasinya.
Untuk mendeskripsikan dan menganalisis aktivitas komunikasi dalam
etnografi komunikasi, diperlukan pemahaman mengenai unit-unit diskrit
aktivitas komunikasi yang dikemukakan oleh Hymes. Unit-unit diskrit aktivitas
komunikasi tersebut adalah:
a. Situasi komunikatif atau konteks terjadinya komunikasi.
b. Peristiwa komunikatif atau keseluruhan perangkat komponen yang utuh yang
dimulai dengan tujuan umum komunikasi, topik umum yang sama, dan
melibatkan partisipan yang secara umum menggunakan varietas bahasa yang
sama, mempertahankan tone yang sama, dan kaidah-kaidah yang sama untuk
interaksi, dalam setting yang sama. Sebuah peristiwa komunikatif dinyatakan
berakhir, ketika terjadi perubahan partisipan, adanya periode hening, atau
perubahan posisi tubuh.
94
c. Tindak komunikatif, yaitu fungsi interaksi tunggal, seperti pernyataan,
permohonan, perintah, ataupun perilaku verbal
Jadi aktivitas komunikasi menurut etnografi komunikasi tidak bergantung
pada adanya pesan, komunikator, komunikati, media, efek, dan sebagainya.
Sebaliknya yang dinamakan aktivitas komunikasi adalah aktivitas khas yang
kompleks, yang didalamnya terdapat peristiwa-peristiwa yang khas dan berulang.
Kekhasan di sini tiada lain karena mendapat pengaruh dari aspek sosio-kultural
partisipan komunikasi.
Peristiwa komunikasi itu sendiri pada akhirnya akan membawa penelitian
kepada pemolaan komunikasi, karena akan ditemukan hubungan-hubungan khas
antar komponen pembentuk satu peristiwa komunikasi.
3. Komponen Komunikasi
Komponen komunikasi mendapat tempat yang paling penting dalam etnografi
komunikasi. Selain itu, melalui komponen komunikasilah sebuah peristiwa
komunikasi dapat diidentifikasi. Pada akhirnya melalui etnografi komunikasi
dapat ditemukan pola komunikasi sebagai hasil hubungan antarkomponen
komunikasi itu. Sehingga secara tidak langsung komponen komunikasi juga akan
menuntun peneliti etnografi komunikasi ketika di lapangan.
Komponen komunikasi menurut perspektif etnografi komunikasi adalah:
a. Genre atau tipe peristiwa komunikatif, misalnya lelucon, salam, perkenalan,
dongeng, gossip, dan sebagainya.
95
b. Topik peristiwa komunikatif.
c. Tujuan dan fungsi peristiwa secara umum dan juga fungsi dan tujuan
partisipan secara individual.
d. Setting termasuk lokasi, waktu, musim, dan aspek fisik situasi yang lain
(misalnya besarnya ruangan tata letak perabotan, dan sebagainya).
e. Partisipan, termasuk usianya, jenis kelamin, etnik, status sosial, atau kategori
lain yang relevan, dan hubungannya satu sama lain.
f. Bentuk pesan, termasuk saluran verbal non verbal non vokal, non verbal dan
hakikat kode yang digunakan, misalnya bahasa mana dan varietas yang sama.
g. Isi pesan, mencakup apa yang dikomunikasikan, termasuk level konotatif dan
referensi denotative.
h. Urutan tindakan, atau urutan tindak komunikatif atau tindak tutur termasuk
alih giliran atau fenomena percakapan.
i. Kaidah Interaksi
j. Norma-norma
interpretasi,
termasuk
pengetahuan
umum,
kebiasaan,
kebudayaan, nilai, dan norma yang dianut, tabu-tabu yang harus dihindari,
dan sebagainya
4. Aktivitas Komunikasi
Setelah
mengidentifikasikan
masyarakat
tutur
berikutnya
adalah
menemukan aktivitas komunikasi. Dalam etnografi komunikasi, menemukan
aktivitas komunikasi sama artinya dengan mengidentifikasikan peristiwa
96
komunikasi dan atau proses komunikasi. Bagi Hymes, tindak tutur atau tindak
komunikatif mendapatkan statusnya dari konteks sosial, bentuk gramatika dan
intonasinya. Sehingga level tindak tutur berada diantara level gramatika biasa
dan peristiwa komunikatif atau situasi komunikatif dalam pengertian bahwa
tindak tutur mempunyai implikasi bentuk linguistik dan norma-norma sosial.
Sehingga proses atau peristiwa komunikasi yang dibahas dalam etnografi
komunikasi adalah khas yang dapat dibedakan dengan proses komunikasi yang
dibahas pada konteks komunikasi yang lain. Apakah itu perspektif interaksi
simbolik, mekanisme matematika, komunikasi kelompok, atau komunikasi
dalam perspektif psikologi, dan sebagainya. Karena etnografi komunikasi
memandang komunikasi sebagai proses yang sirkuler dan dipengaruhi oleh
sosiokultural lingkungan tempat komunikasi tersebut berlangsung, sehingga
proses komunikasi dalam etnografi komunikasi melibatkan aspek-aspek sosial
dan kultural dari partisipan komunikasinya.
Untuk mendeskripsikan dan menganalisis aktivitas komunikasi dalam
etnografi komunikasi, diperlukan pemahaman mengenai unit-unit diskrit
aktivitas komunikasi yang dikemukakan oleh Hymes dalam buku ( Engkus
Kuswarno, 2008: 41). Unit-unit diskrit aktivitas komunikasi tersebut adalah:
d. Situasi komunikatif atau konteks terjadinya komunikasi.
e. Peristiwa komunikatif atau keseluruhan perangkat komponen yang utuh yang
dimulai dengan tujuan umum komunikasi, topik umum yang sama, dan
97
melibatkan partisipan yang secara umum menggunakan varietas bahasa yang
sama, mempertahankan tone yang sama, dan kaidah-kaidah yang sama untuk
interaksi, dalam setting yang sama. Sebuah peristiwa komunikatif dinyatakan
berakhir, ketika terjadi perubahan partisipan, adanya periode hening, atau
perubahan posisi tubuh.
f. Tindak komunikatif, yaitu fungsi interaksi tunggal, seperti pernyataan,
permohonan, perintah, ataupun perilaku non verbal
Jadi aktivitas komunikasi menurut etnografi komunikasi tidak bergantung
pada adanya pesan, komunikator, komunikati, media, efek, dan sebagainya.
Sebaliknya yang dinamakan aktivitas komunikasi adalah aktivitas khas yang
kompleks, yang didalamnya terdapat peristiwa-peristiwa yang khas dan berulang.
Kekhasan di sini tiada lain karena mendapat pengaruh dari aspek sosio-kultural
partisipan komunikasi.
Peristiwa komunikasi itu sendiri pada akhirnya akan membawa penelitian
kepada pemolaan komunikasi, karena akan ditemukan hubungan-hubungan khas
antar komponen pembentuk satu peristiwa komunikasi
5. Komponen Komunikasi
Komponen komunikasi mendapat tempat yang paling penting dalam etnografi
komunikasi. Selain itu, melalui komponen komunikasilah sebuah peristiwa
komunikasi dapat diidentifikasi. Pada akhirnya melalui etnografi komunikasi
dapat ditemukan pola komunikasi sebagai hasil hubungan antarkomponen
98
komunikasi itu. Sehingga secara tidak langsung komponen komunikasi juga akan
menuntun peneliti etnografi komunikasi ketika di lapangan.
Komponen komunikasi menurut perspektif etnografi komunikasi adalah:
k. Genre atau tipe peristiwa komunikatif, misalnya lelucon, salam, perkenalan,
dongeng, gossip, dan sebagainya.
l. Topik peristiwa komunikatif.
m. Tujuan dan fungsi peristiwa secara umum dan juga fungsi dan tujuan
partisipan secara individual.
n. Setting termasuk lokasi, waktu, musim, dan aspek fisik situasi yang lain
(misalnya besarnya ruangan tata letak perabotan, dan sebagainya).
o. Partisipan, termasuk usianya, jenis kelamin, etnik, status sosial, atau kategori
lain yang relevan, dan hubungannya satu sama lain.
p. Bentuk pesan, termasuk saluran verbal non verbal non vokal, non verbal dan
hakikat kode yang digunakan, misalnya bahasa mana dan varietas yang sama.
q. Isi pesan, mencakup apa yang dikomunikasikan, termasuk level konotatif dan
referensi denotative.
r. Urutan tindakan, atau urutan tindak komunikatif atau tindak tutur termasuk
alih giliran atau fenomena percakapan.
s. Kaidah Interaksi
99
t. Norma-norma
interpretasi,
termasuk
pengetahuan
umum,
kebiasaan,
kebudayaan, nilai, dan norma yang dianut, tabu-tabu yang harus dihindari,
dan sebagainya.
6. Kompetensi Komunikasi
Tindak komunikatif individu sebagai bagian dari suatu masyarakat tutur, dalam
perspektif etnografi komunikasi lahir dari integrasi tiga keterampilan, yaitu
keterampilan linguistik, keterampilan interaksi, dan keterampilan kebudayaan.
Kemampuan atau ketidakmampuan dalam menguasai satu jenis keterampilan
(kompetensi atau inkompetensi komunikasi), akan mengakibatkan tidak tepatnya
perilaku komunikasi yang ditampilkan. Kompetensi ini akan sangat membantu
penutur ketika mereka menggunakan atau menginterpretasikan bentuk-bentuk
linguistik.
Kompetensi komunikasi akan menjangkau:
1. Pengetahuan dan harapan tentang siapa yang bisa atau tidak bisa berbicara
dalam setting tertentu?
2. Kapan mengatakannya?
3. Bilamana harus diam?
4. Siapa yang bisa diajak bicara?
5. Bagaimana berbicara kepada orang-orang tertentu yang peran dan status
sosialnya berbeda?
6. Apa perialku non verbal yang pantas?
100
7. Rutin yang bagaimana yang terjadi dalam alih giliran percakapan?
8. Bagaimana menawarkan bantuan?
9. Bagaimana cara meminta informasi dan sebagainya?
Singkatnya kompetensi komunikasi akan melibatkan segala sesuatu yang
berhubungan dengan penggunaan bahasa dan dimensi komunikatif dalam setting
sosial tertentu.
Komunikasi lintas budaya sangat perlu untuk memperhatikan kompetensi
komunikasi ini, karena apabila tidak, culture shock dan miscommunication akan
sangat mungkin terjadi. Seperti penelitian yang diungkapkan oleh Abrahams
(1973), dalam masyarakat kulit hitam, percakapan bisa mellibatkan beberapa
orang yang berbicara pada saat yang sama, suatu praktek percakapan yang akan
melanggar kaidah interaksi kelas menengah wrga kulit putih. Terlihat seperti hal
yang sangat sepele, tetapi bila tidak memperhatikan dengan benar, bukan tidak
mungkin perang akan terjadi lagi di berbagai belahan dunia ini.
Karena kompetensi komunikasi melibatkan aspek budaya dan sosial,
maka kompetensi komunikasi mengacu pada pengetahuan dan keterampilan
komunikatif yang sama-sama dimiliki oleh satu kelompok sosial atau
masyarakat. Namun kompetensi komunikasi ini dapat bervariasi pada tingkat
individu, mengingat individu adalah makhluk yang memiliki motif dan tujuan
berbeda-beda. Sehingga kompetensi komunikasi tidak dapat berlaku seterusnya,
melainkan
dinamis
mengikuti
perubahan
individu-individu
yang
101
menggunakannya. Sebagai contoh, dalam kebudayaan Indonesia, memberikan
sesuatu dengan tangan kiri merupakan contoh pelanggaran terhadap kompetensi
komunikasi, tetapi seiring perkembangan jaman, khususnya di kalangan anak
muda, memberikan sesuatu dengan tangan kiri menjadi hal yang lumrah dan
dapat diterima, walaupun itu terbatas pada orang-orang tertentu saja. artinya
terjadi perubahan harapan terhadap interprestasi budaya di kalangan anak muda.
Walaupun demikian, setiap kebudayaan dapat memiliki kompetensi
komunikasi secara global, dan berlaku secara berkelanjutan. Berikut adalah
komponen-komponen kompetensi komunikasi yang dapat ditemukan pada sautu
masyarakat tutur:
1. Pengetahuan Linguistik (linguistic knowledge)
(a) Elemen-elemen verbal
(b) Elemen-elemen non verbal
(c) Pola elemen-elemen dalam peristiwa tutur tertentu
(d) Rentang
varian
yang
mungkin
(dalam
semua
elemen
dan
pengorganisasian elemen-elemen itu)
(e) Makna varian-varian dalam situasi tertentu
2. Keterampilan interaksi (interaction skills)
(a) Persepsi cirri-ciri penting dalam situasi komunikatif
(b) Seleksi dan interpretasi bentuk-bentuk yang tepat untuk situasi, peran,
dan hubungan tertentu (kaidah untuk penggunakan ujaran).
102
(c) Norma-norma interaksi dan interpretasi
(d) Strategi untuk mencapai tujuan.\
3. Pengetahuan kebudayaan (cultural knowledge)
(a) Struktur sosial
(b) Nilai dan sikap
(c) Peta atau skema kognitif
(d) Proses enkulturasi (transmisi pengetahuan dan keterampilan)
7. Varietas Bahasa
Pemolaan komunikasi (communication patterning) akan lebih jelas bila
diuraikan dalam konteks varietas bahasa. Hymes menjelaskan bahwa dalam
setiap masyarakat terdapat varietas kode bahasa (language code) dan cara-cara
berbicara yang bisa dipakai oleh anggota masyarakat atau sebagai repertoire
komunikatif masyarakat tutur.
Variasi ini akan mencakup semua varietas dialek atau tipe yang digunakan
dalam
populasi
sosial
tertentu,
dan
faktor-faktor
sosio-kultural
yang
mengarahkan pada seleksi dari salah satu variasi bahasa yang ada. Sehingga
pilihan varietas yang dipakai akan menggambarkan hubungan yang dinamis
antara komponen-komponen komunikatif dari suatu masyarakat tutur, atau yang
dikenal sebagai pemolaan komunikasi (communication patterning).
Setiap individu memiliki banyak pilihan bahasa dan tipe bahasa, bergantung
kapan, di mana dan dengan siapa ia berkomunikasi. Pilihan bahasa dan tipe
103
bahasa ini juga hanya dipahami oleh masyarakat tutur yang menggunakannya,
sehingga tidak mungkin seseorang menggunakan semua jenis varietas bahasa ini.
Kaidah-kaidah unntuk pilihan bahasa ini seringkali diterapkan dan digunakan
secara tidak sadar sebagai akibat dari proses sosialisasi dan enkulturasi
kebudayaan. Tugas etnografi komunikasi-lah untuk dapat menemukan kaidah
ini.
Hal ini ternyata bukanlah pekerjaan yang mudah, apalagi bila etnografer
merupakan anggota masyarakat tutur yang ditelitinya. Menemukan dan
menyatakan sesuatu yang sudah lumrah dalam kehidupan sehari-hari. Seperti
misalnya merumuskan perbedaan antara kalimat “silahkan diminum teh nya!”
dengan “habiskan minuman mu!”. Sekilas terlihat mudah, tetapi sebenarnya
situasi yang melatarbelakangi kedua kalimat itu akan sangat jauh berbeda.
Situasi itu akan jauh lebih kompleks dalam kebudayaan yang berbeda. Di Negara
Jepang misalnya, sebagai negara
yang sangat menghargai minuman teh,
menawarkan teh kepada orang tua akan sangat berbeda dengan menawarkan the
kepada atasannya di kantor. Orang Jepang akan menggunakan kalimat “Ocha
igaka desuka?” bila menawarkan teh kepada orang tua, dan akan menggunakan
kalimat “ocha wa igaka desho ka?” kepada atasannya di kantor. Hal ini akan
berbeda lagi bila digunakan di masyarakat tutur Italia misalnya, di mana teh
bukan merupakan minuman yang sangat berharga. Di Italia, orang mungkin
104
menggunakan varietas bahasa yang banyak sekali untuk satu kata “kopi”
dibandingkan dengan masyarakat selain di Italia.
Pemolaan komunikasi dan varietas bahasa inilah yang kemudian akan
menjadi tujuan utama penelitian etnografi komunikasi. Mengenai bagaimana unit
komunikatif yang berlaku pada satu masyarakat tutur, dan hubungan yang terjadi
di antara komponen-komponen komunikatifnya. Karena penjelasan varietas
bahasa dengan sendirinya menjelaskan pola komunikasi yang digunakannya.
3.2.4. Proses Pengumpulan Data
Penelitian kualitatif berbeda dengan penelitian kuantitatif, termasuk pada cara
pengumpulan data. Jika peneliti kuantitatif akan berkutat pada angka-angka yang ia
peroleh dari angket yang sudah ia sebar, peneliti kualitatif harus lebih berkonsentrasi
pada subyek penelitian yang dihadapi sacara langsung. Seorang informan (nara
sumber) mempunyai peranan penting dalam penelitian kualitatif. Informan dapat
membawa peneliti masuk ke dalam objek penelitian dan memberikan gambaran serta
informasi yang dibutuhkan untuk data-data penelitian.
Teknik pemilihan informan pada penelitian menurut Patton menggunakan
purposive sampling, dimana peneliti cenderung memilih informan yang dianggap
tahu dan dapat dipercaya untuk menjadi sumber data yang mantap dan mengetahui
masalah secara mendalam. Namun demikian informan dapat berkembang sesuai
105
dengan kebutuhan dan kemantapan penelitian untuk memperoleh data (Hamidi,
2007).
Kemudian penelitian di lapangan atau observasi. Observasi merupakan alat
pengumpul data, yakni dengan melihat dan mendengarkan. Dan hal yang harus
diperhatikan, informasi (apa yang terjadi), dan konteks (hal-hal yang bertalian).
Informasi lepas dari konteks akan kehilangan makna.
3.2.5. Teknik Pengumpulan data
Dalam pendekatan kualitatif dikenal berbagai macam teknik pengumpulan
data. Secara singkat, teknik-teknik pengumpulan data itu adalah sebagai berikut:
Gather observational notes by conducting as a participant.
Gather observational notes by conducting an observation as an
observer.
Conduct an unstructured, open-ended interview, audiotape to
interview, and transcribe the interview.
Keep a journal during research study.
Have an informant keep a journal during research study.
Collect personal letters from informants.
Analyze public documents (e.g., official memos, minutes, archival
material).
Examine physical trace evidence (e.g., footprints in the snow).
106
Videotape a social situation or an individual/ group.
Examine photographs or videotapes.
Have informants`take photographs or videotapes.
Collect sounds (e.g., musical sounds, a child ’s laughter,
can horns honking).
(Creswell, 1994:149)
3.3. Objek Penelitian
Tari adalah salah satu aset bangsa yang musti kita pelihara. Indonesia kaya akan
tari banyak macam tari-tarian yang kita miliki salah satunya adalah Ronggeng yang
berasal dari Jawa Barat namun, keberadaannya sudah sangat jarang.
Ronggeng Bugis adalah satu jenis kesenian tradisional Cirebon merupakan
seni pertunjukan tradisional Keraton untuk menghibur penonton dengan tarian dan
ekspresi penuh dengan kejenakaan, mengundang tawa bagi yang menyaksikannya.
Ronggeng Bugis dikenal juga dengan nama Tari Telik Sandi. Secara harfiah nama
kesenian ini terdiri dari dua kata yaitu Ronggeng dan Bugis. Secara umum
pengertian ronggeng adalah penari wanita yang menuntut banyak keterampilan, selain
menari dan menyanyi, juga masih melayani laki-laki.
Jika menelaah makna dari Tari Ronggeng tersebut sungguh berbeda pada Tari
Ronggeng Bugis ini hal ini tidak terlepas dari Sejarah yang pada masa itu Sunan
Gunung Djati ingin melepaskan dari kekuasaan kerajaan Padjadjaran, dalam merebut
107
kekuasaan dari kerajaan Padjdjaran, Suanan Gunung Djati mengirimkan mata-mata
yaitu yang disebut telik sandi yakni penari laki-laki yang menyamar berbusana wanita
yang terlihat lucu bukan cantik. Warna merah merupakan warna dominan pada
pakaian Ronggeng Bugis Cirebon yang mencerminkan daerah pantura identik dengan
warna cerah selain itu terdapat symbol keberanian. Kita mengetahui bahwa Cirebon
adalah Kota pelabuhan bermacam-macam suku menetap disitu termasuk orang Bugis
yang memang dipercaya untuk melakukan penyamaran tersebut. Sehinggg tarian itu
di sebut Tari Ronggeng Bugis Cirebon, yang memang sudah di hak paten kan sebagai
kesenian asli Cirebon.
3.4. Profil Cirebon
Asal kota Cirebon ialah ada abad ke 14 di pantai utara Jawa Barat ada desa
nelayan kecil yang bernama Muara Jati yang terletak di lereng bukit Amparan Jati.
Muara Jati adalah pelabuhan nelayan kecil. penguasa kerajaan Galuh yang
ibukotanya Rajagaluh menempatkan seorang sebagai pengurus pelabuhan atau
syahbandar Ki Gedeng Tapa. Pelabuhan Muara Jati banyak disinggahi kapal – kapal
dagang dari luar di antaranya kapal Cina yang datang untuk berniaga dengan
penduduk setempat, yang diperdagangkannya adalah garam, hasil pertanian dan
terasi.
Kemudian Ki Gedeng Alang – Alang mendirikan sebuah pemukiman di
Lemahwungkuk yang letaknya kurang lebih 5 km ke arah selatan dari muara Jati.
Karena banyak saudagar dan pedagang asing juga dari daerah – daerah lain yang
108
bermukim dan menetap maka daerah itu dinamakan Caruban yang berarti campuran
yang kemudian berganti Cerbon kemudian menjadi Cirebon hingga sekarang.
Raja Pjajaran Prabu Siliwangi mengangkat Ki Gede Alang – aLng sebagai
kepala pemukiman baru ini dengan gelar Kuwu Cerbon, yang ada di bawah
pengawasan Kuwu itu dibatasi oleh Kali Cipamali di sebelah timur, Cigugur
(Kuningan) di sebelah Selatan, epgunungan Kromong di sebelah barat dan Junti
(Indramayu) di sebelah utara.
Setelah Ki Gedeng Alang – Alang wafat kemudian digantikan oleh menantunya
yang
bernama
Walangsungsang
putra
parbu
Siliwangi
dari
Pajajaran.
Walangsusngsang ditunjuk dan diangkat sebagai Adipati Carbon dengan gelar
Cakrabumi. Kewajibannya adalah membawa upeti kepada raja di ibukota Rajagaluh
yang berbentuk hasil bumi, akan tetapi setelah merasa kuat meniadakan pengiriman
upeti,
akibatnya
Raja
mengirim
bala
tentara,
tetapi
Cakrabumi
berhasil
mempertahankannya.
Kemudian Cakrabumi memproklamasikan kemerdekaannya dan mendirikan
kerajaan Cirebon dengan memakai gelar Cakrabuana. Karena Cakrabuana telah
memeluk agama Islam dan pemerintahannya telah menandai mulainya kerajaan –
kerajaan Islam Cirebon, tetapi masih tetap ada hubungannya dengan kerajaan Hindu
Pajajaran.
Semenjak itu pelabuhan kecil Muara Jati menjadi besar, karena bertambahnya
lalu lintas dari dan ke arah pedalaman, menjual hasil setempat sejauh daerah
pedalaman Asia Tenggara. Dari sinilah awal berangkat nama Cirebon hingga menjadi
kota besar sampai sekarang ini.
Pangeran Cakrabuana kemudian membangun Keraton Pakungwati sekitar tahun
1430M, yang letaknya sekarang di dalam Komplek Keraton Kesepuhan Cirebon.
(Mengenal Kasultanan Kasepuhan Cirebon West – Java, Kasultanan Kasepuhan
Cirebon dan Kasultanan Keraton Kasepuhan, diterbitkan Yayasan Keraton
Kasepuhan bekerjasama dengan Bank Jabar. 2002).
109
3.5.
Masyarakat dan Budaya Cirebon
Wilayah Cirebon yang dahulu
masih kecil dikenal juga dengan nama
Caruban, karena masyarakatnya yang sangat beragam (caruban = campuran). Daerah
yang awalnya merupakan pemukiman kecil berkembang menjadi desa yang ramai
dikunjungi banyak orang dari berbagai bangsa, agama, bahasa, adat istiadat dan
kemampuan hidup (Abdurachaman, 1982:32)
Paparan di atas dikaitkan
dalam sebuah wawancara di ceriterakan tentang
sejarah Cirebon yang dituturkan oleh Kartani , bahwa :
“ Pada masa ki Gedeng Alang-alang menjadi ketua wilayah pedukuhan
Cirebon datanglah beberapa orang asing yang berlabuh di pantai Muara Jati
........Pada tahun 1415 telah berlabuh di pantai Muara Jati, armada Cina yang
dipimpin oleh Laksamana Te Ho dan Kun Wei Ping beserta para awak
kapalnya. Pada tahun 1418 datang seorang ulama, Hasanudin bin Yusuf Sidik
bersama perahu dagang dari negeri campa. Kemudian sekitar tahun 1420
datang pula rombongan orang asing lainnya yaitu ulama Arab dari Bagdad
berjumlah dua belas orang yang dipimpin langsung oleh Syeh Datuk Kahfi “.
(wawancara, dengan Kartani budayawan Cirebon, , 15 januari 2005).
Dari keterangan awal terbentuknya daerah Cirebon di atas menunjukkan
bahwa daerah Cirebon memiliki komunitas masyarakat yang heterogen. Beragamnya
masyarakat Cirebon dewasa ini sangat mungkin diakibatkan dari latar belakang
historis yang dimiliki daerah Cirebon. Masyarakat Cirebon terdiri dari suku bangsa
Arab, Cina, India, Bugis, Jawa, Sunda dan bahkan dewasa ini banyak berdatangan
dari luar Jawa. Akan dapat kita lihat warna keragaman masyarakat Cirebon saat ini di
pusat-pusat kota, baik kecamatan maupun kabupaten, di pusat-pusat keramaian atau
pusat perbelanjaan. Umumnya mereka sebagai wiraswasta, pedagang dan pengusaha,
110
sementara masyarakat Cirebon yang tinggal di pedesaan yang memiliki profesi
sebagai petani atau pengrajin serta pedagang kecil. Bahkan dewasa ini di daerah
Cirebon banyak tumbuh dan berkembang industri-industri yang menjadi kehidupan
baru budaya sangat beragam dan semakin kompleks. Kompleksitas kehidupan sosial
budaya akibat pembauran antara masyarakat pedesaan dan perkotaan dan juga dengan
masyarakat pendatang lainnya merupakan suatu kelebihan masyarakat Cirebon
sekaligus memunculkan aspek-aspek yang bisa saja mengarah pada hilangnya
kesatuan budaya komunal masyarakatnya.
Secara kultural, daerah Cirebon didasarkan pada budaya masyarakatnya dipilah
dapat menjadi tiga bagian wilayah budaya, diantaranya meliputi wilayah bagian
Utara, Tengah dan Selatan. Pembagian ini berdasarkan pada jalur transportasi utama
dan letak wilayah kantung-kantung budaya. Alasan lain dari pembagian wilayah
budaya masyarakat tersebut juga
realita dalam komunikasi sehari-harinya
masyarakat dalam menggunakan bahasa; wilayah utara wilayah perkotaan (Kota
Kecamatan, Kabupaten dan Kotamadya) yang terdiri adalah wilayah masyarakat
yang berbasis bahasa daerah Jawa Cirebon, wilayah Tengah dari masyarakat
campuran dengan basis bahasa Jawa-Sunda Cirebon (campuran), dan wilayah Selatan
adalah masyarakat yang memiliki basis bahasa Sunda.
Wilayah Utara adalah wilayah yang masyarakatnya cukup banyak menyimpan
sumber kultural. Wilayah ini merupakan lingkungan masyarakat yang masih banyak
menaruh minat terhadap seni budaya sebagai media ekspresi dalam kehidupan sosial-
111
budaya.tidak sedikit dari wilayah ini bermunculan kelompok-kelompok seni
pertunjukan sebagai salah satu bagian dari unsur kebudayaan, misalnya Gegesik,
Palimanan,
Bojong, Cangkring, Kapetakan dan Gebang. Sementara di wilayah
bagian tengah adalah wilayah yang masyarakatnya terdiri atas kalangan menengah
dan beberapa kalangan atas yang beberapa bagian wilayahnya sudah dipengaruhi
kehidupan kota. Masyarakat wilayah ini memiliki selera yang berbeda akan seni
budaya sebagai produk kebudayaan juga dalam kehidupan sosialnya. Sekalipun
masyarakatnya masih banyak menaruh minat terhadap seni budaya tradisi sebagai
media ekspresi dan reaksasi, namun untuk memenuhi selera mereka lebih suka
mengangkat seni budaya yang tergolong modern. Namun demikian buka berarti pada
kelompok ini tidak memiliki kelompok seni budaya tradisi. Dan yang ketiga. Wilayah
Selatan adalah wilayah masyarakat yang memiliki komunitas seni budaya tersendiri
yang lebih dominan . Wilayah ini merupakan wilayah yang masyarakatnya dalam
segi bahasa seharian menggunakan bahasa Sunda dan biasa disebut daerah Pakidulan,
masyarakat wilayah bagian Selatan ini umumnya bermata pencaharian sebagai petani
dan hanya beberapa dari mereka menjadi pegawai, buruh atau karyawan
(Jaeni,2007:70, dan Bappeda Kabupaten Cirebon 2006)
Heterogenitas masyarakat Cirebon salah satunya
juga tercermin
dalam
penggunaan dalam bahasa karena keragaman masyarakatnya. Sebagai ilustrasi,
hampir di setiap daerah di wilayah Cirebon masyarakatnya memiliki logat bahasa
Cirebon yang berbeda, sementara itu beberapa kecamatan pun kadang-kadang
112
berbeda pula bahasanya, misalnya Jawa Cirebon dan Sunda seperti halnya
masyarakat Kecamatan Plumbon, Palimanan, Babakan Ciledug, Gebang, Ciwaringin
dan seterusnya. Di Kecamatan Plumbon masyarakatnya menggunakan bahasa Sunda
dengan logat Cirebon, dan yang lebih kompleks lagi penggunaan bahasa adalah di
masyarakat kota atau di pusat kota Cirebon, mereka dari berbagai suku bangsa
berbaur, ada yang menggunakan bahasa asli sukunya (Arab, Cina, Batak, Padang,
Bugis, Bali, Jawa dsbnya), ada pula yang berbahasa Cirebon namun dicampurcampur dengan bahasa asli mereka, serta bahasa nasional sebagai bahasa
kesehariannya.
Senada dengan uraian di atas, Ayatrohaedi (2003) menjelaskan bahwa, sebagai
daerah yang secara geografis terbagi menjadi daerah pantai di utara dan
penggunungan di selatan, maka wilayah keresidenan Cirebon memiliki bentuk-bentuk
kebudayaan yang sedikit banyak berbeda. Di bagian utara berkembang kebudayaan
dengan karakteristik masyarakat pantai, sementara selatan berkembang pula
kebudayaan masyarakat pegunungan. Lebih jauh Ayatrohedi menyatakan, bahwa
dalam hal ini tidak dapat disalahkan dan sama sekali tidak ada maksud merendahkan,
jika penduduk daerah dataran rendah menyebut orang Sunda sebagai wong gunung.
Juga tidak dimaksudkan untuk menghina jika orang Sunda menyebut saudaranya di
dataran rendah itu sebagai jawa koek atau jawa reyang. Walaupun orang yang disebut
Jawa itu sebenarnya enggan disebut demikian karena merasa bahwa mereka bukan
orang Jawa, melainkan orang Cirebon atau orang Indramayu.
113
Strafikasi membagi dua karakter seperti di atas memang tidaklah sesederhana
itu. Persilangan kebudayaan yang berkembang antarbudaya kemudian menjadi suatu
kesatuan yang khas menjadi budaya miliknya. Beberapa unsur kebudayaan yang
berkembang di Cirebon misalnya bahasa, juga menunjukan adanya pengaruh kuat
dari bahasa Sunda. Sebaliknya beberapa ekspresi sekarang berkembang di tataran
Sunda pun banyak yang menyerap anasir kebudayaan dan kesenian Cirebonan.
Menurut Saini KM (2003) dan Narawati (2003) bahwa kesenian topeng Cirebon
ternyata banyak memberi pengaruh kepada bentuk-bentuk tari keurseus yang
berkembang di Sunda. Kesenian Degung yang ada di Keraton Kesepuhan Cirebon.
Wayang golek mulai digemari penduduk dataran rendah sejak kemerdekaan,
sementara lagu Cirebonan dan tari masuk kedalam khazanah kesenian Sunda
(Ayatrohedi, 2003, dan Casta , 2007:14)
114
BAB IV
Tinjauan Umum Pertunjukan Tari Ronggeng Bugis
4.1 Asal-usul Ronggeng
4.1.1 Ronggeng di Jawa Barat
Tidak jelas kapan tepatnya pertama kali ronggeng muncul di Indonesia,
beberapa catatan menyebutkan, menurut berita dari yang dimuat pada naskah Tantu,
Siksakanda ng Karesian, dan kidung Sunda dimuat sekaligus tiga kata yang
berhubungan dengan jenis pertunjukan yaitu kata-kata igel, patepalan, dan sebagai
berikut: “Ring sawu lan pitung dina, titiwanira nrpati, acri kang sarwa tinonton,
sawoten ing Majapahit, menmen igel abecik bebarisan pitung bayu, makadi baris
deklang, ronggeng solahe angrawit, pawayangan acri lawan patapelan”, Maman
Surjaatmadja R, Atja “Pengantar Dramatan Ramayana Nasional (Yogyakarta: Panitia
Festifal Dramatari Ramayana Nasional, 1970). Hal ini merujuk bahwa ronggeng pada
abad 14 yang tertulis pada naskah kesusastraan kuno di atas menunjukkan bahwa
ronggeng telah ada di Indonesia khususnya di Jawa dan Tatar Sunda, yang sekaligus
ronggeng mengindikasikan ronggeng sejak lama. Yang diperoleh adanya ronggeng
tentang adanya ronggeng dengan demikian dimungkinkan bahwa tarian yang
dibawakan ronggeng adalah tokoh perempuan. Ronggeng di Indonesia sudah ada
sejak zaman kolonial sudah ada lahirnya tari Ronggeng ini tidak lepas dari suatu
keterpaksaan untuk menjadi Ronggeng, pada zaman kolonial ini selain menuntut
115
banyak keterampilan, selain menari dan menyanyi, juga masih melayani para lakilaki. Bagaimanapun perkebunan di daerah Jawa Barat pada masa lalu tidak dapat
dipisahkan dengan adanya pesta ronggeng. Untuk sarana hiburan di areal perkebunan
didatangkan perempuan-perempuan yang dikenal dengan sebutan ronggeng-cokek
dan doger dari pantai utara Pamanukan dan Semarang, serta seni hiburan lainnya
untuk menghibur para kuli kontrak yang ditampung dalam ‘rumah khusus’ yang
difungsikan pula sebagai perempuan penghibur, yang pada saat itu dikenal dengan
sebutan Ronggeng. Kebengisan kapitalisme kolonial, bahkan dengan perlakuan yang
tidak senonoh terhadap perempuan Jawa, mengganggu perempuan di jalan, mengintip
ketika mandi disungai, serta memperkosa di dalam rumah mereka (M.C. Ricklefs,
1981:79) kondisi tersebut bukannya membuat para buruh perempuan merasa jera,
tertindas atau menderita, bahkan sebaliknya menjadikan perempuan buruh
perkebunan yang memilih profesi ronggeng yang juga ‘berperan ganda’ karena begitu
mudah untuk mendapatkan uang.
4.1.2. Ronggeng Bugis Cirebon
Munculnya kesenian
ronggeng bugis, ketika Cirebon berada di bawah
pemerintahan Sunan Jati Syekh Maulana Syarif Hidayatullah tahun 1482 Masehi,
ada keterkaitan sejarah dengan awal berdirinya kerajaan Islam di Cirebon. Demikian
menurut sumber dari Keraton Kasepuhan Cirebon. Berdasarkan dari berbagai sumber,
baik wawancara dengan tokoh seniman Cirebon , buku-buku maupun hasil penelitian,
secara ringkas riwayat ronggeng bugis di Kabupaten Cirebon adalah sebagai berikut :
116
Pada Titi Dwadasi Suklapaca Certamasa Saharsa Patargatus Papat Ikang,
sakakala (1482 Masehi), Cirebon di bawah pemerintahan Sunan Gunung Jati Syekh
Maulana Syarif Hidayatullah, yang menyatakan bahwa Cirebon berdiri sebagai
negara Islam yang berdaulat penuh lepas dari segala ikatan dan kewajiban dengan
Pakwan Pajajaran.
Untuk membaca situasi gerak-gerik Pakwa Pajajaran sebagai reaksi dari
Proklamasi agar Cirebon menyiasati secara dini, maka diputuskan harus mengirim
atau menyusupkan telik sandi ke Pakwan Pajajaran, konon untuk menentukan siapa
dan bagaimana seharusnya.telik sandi, agak mengalami kesulitan, dibutuhkan orang
yang berani, bermental kuat serta pandai menyamar.
Konon maka tampillah seorang ksatria dari Bugis (n.n) . ia dengan beberapa
kawannya sanggup mengemban tugas tersebut. Diceriterakan bahwa perantau Bugis
minta bantuannya kepada kerajaan Islam Cirebon sebelum Cirebon melepaskan diri
dari Pakuan Pajajaran. Akhirnya dengan suara bulat dalam suatu persewakan agung
diputuskan serta disetujui bahwa pengemban telik sandi dipercayakan kepada orang
Bugis tersebut.
Maka dalam upaya penyamarannya mereka membentuk semacam tari untuk
ngamen,. Selanjutnya sepanjang jalan yang dilaluinya, rombongan bergerak sambil
menabuh tetabuhan dan menari serta mengamati, terlihat dari gerak-gerik tarinya.
Ternyata cara ini sangat efektif dan berhasil, rombongan ngamen ini tidak dicurigai
117
sedikit pun, baik oleh masyarakat maupun pejabat Pakuan Pajajaran, malah bisa
dengan leluasan masuk ke Keraton Pajajaran karena diminta oleh raja.
Dengan demikian mereka bisa menyadap segala informasi dari gerak-gerik serta
situasi di Pakwan Pajajaran, sehubungan dengan lepasnya Cirebon. Atas jasajasanya, Sunan Gunung Jati merestui untuk membakukan kesenian ini sebagai
salah satu seni tradisional keraton Cirebon, selanjutnya kesenian ini dikenal
dengan nama ronggeng bugis (Parsenbud Kabupaten Cirebon , 2001: 190)
Menyimak pernyataan tersebut di atas, apabila mencermati pelembagaan tari
Ronggeng Bugis secara legalitas (resmi) mendapat pengakuan sebagai tari
masyarakat istana lembaga atau institutions keraton Cirebon, tari Ronggeng Bugis
sebagai seni tari dengan patronage Sunan Gunung Jati yang mampu mewujudkan
nilai-nilai yang luhur terkandung didalamnya simbol dan makna sebagai tari tradisi
yang memiliki nilai adiluhung, arti lain tari tradisional yang hidup di lingkungan
keraton Cirebon dengan perlindungan kekuasaan Sunan. Tari Ronggeng merupakan
simbol seorang rakyat biasa yang telah berjasa ke Sunan, sementara Sunan Gunung
Jati memberi penghargaan sebagai norma atas “ kesetian” mengabdi kepada Sunan
Gunung Jati, Ronggeng Bugis sebagai tari tradisional khas Cirebon.
Dalam perkembangan selanjutnya ronggeng bugis muncul di luar tembok
Keraton yaitu di wilayah Kabupaten Cirebon sebagai seni pertunjukan khas keraton
Cirebon. Tarian ini dikenal dikalangan masyarakat Cirebon dengan sebutan tari
babancian, karena ditarikan oleh kaum pria yang menirukan gerak penari
perempuan. Kini tinggal beberapa
Desa saja di wilayah Cirebon yang masih
mempertahankan keberadaan kesenian ronggeng bugis, yakni Desa Bojong Wetan
118
Kecamatan Klangenan, Desa Buyut Kecamatan Utara, Desa Pangkalan Kecamatan
Weru, dan di Sanggar Tari Pring Gading Kecamatan Plumbon (ibid : 205). Berkat
atas dedikasi dan kepiawainya Handoyo Moh Yuli, seorang koreografer tari
kacirebonan. Telah mengangkat kembali kesenian Ronggeng Bugis, dikemas sebagai
seni pertunjukan yang menarik dan diminati oleh masyarakat, yang indentik sebagai
tari tradisional khas Cirebon. Kini taris Ronggeng Bugis hadir pertunjukan
diberbagai peristiwa budaya di masyarakat Cirebon maupun di masyarakat Jawa
Barat.
Sebagaimana telah diuraikan di atas, bahwa kesenian Ronggeng Bugis, para
pelakunya yaitu penari adalah orang Bugis yang diutus oleh Syekh Sunan Gunung
Jati dijadikan sebagai telik sandi yang menyamar menjadi penari perempuan atau
ronggeng. Hal ini dikaitkan adanya benang merah adat istiadat di Makasar atau
Bugis, konon seorang wadam atau banci kedudukannya terhormat, karena seorang
banci atau wadam di masyarakat Bugis adalah seorang bissu yang mempunyai
peranan penting pada waktu kerajaan-kerajaan tempo dulu, mereka dianggap orang
suci. Sehingga mitos tersebut melekat pada orang bugis yang menyamar menjadi
banci atau wadam, bahwa peran mereka sebagai penari perempuan diartikan
merupakan wujud orang yang mempunyai itikad suci untuk membela kepentingan
masyarakat luas demi terwujudnya perdamaian di Kerajaan Cirebon. Untuk
menopang pernyataan tersebut di atas diperkuat dengan artikel majalah Tempo yang
memaparkan tentang kehidupan bissu di Makasar , sebagai berikut :
119
“ Semua bissu sudah pasti banci, atau calabai dalam bahasa Bugis, atau
kawe-kawe dalam bahasa Makasar. Tapi tak semua calabai bisa menjadi bissu,
tokoh spritual leluhur masyarakat Bugis- Makasar itu. Tergantung pada puan
matowa yang mereka pilih sebagai tempat magang. Dalam tradisi kerajaankerajaan Bugis, bissu dan puan matowa menempatkan posisi posisi yang sangat
penting. Menurut Djamaludin Azia ….. selain memegang kendali upacaraupacara di kerajaan, [ara bissu adalah penasehat spritual. Jika raja hendak
berperang, misalnya ia perlu mendapatkan restu para bissu lehih dahulu, melalui
upacara penyucian pusaka-pusaka kerajaan. Bahkan seorang raja tak bisa
dilantik tanpa upacara yang dipimpin oleh para bissu (Djamaludin Azis,
1993:45)..
Menyimak uraian di atas, dapat ditarik asumsi adanya suatu pengaruh yang
secara tidak langsung mengimbas pada kesenian Ronggeng Bugis, yang dibawakan
oleh seorang banci (bissu), yakni terhadap gerak-gerak tari Ronggeng Bugis,
sehingga tampak jelas pada penyajian tari Ronggeng Bugis terdapat gerak-gerak
feminisme kebancian ( Farida, 2009: 102) .
4.1.3. Pertumbuhan dan Perkembangan Ronggeng Bugis
Ronggeng Bugis sebelumnya kurang dikenal oleh masyarakat. Pada awal
dekade tahun 1990 setelah Ronggeng Bugis diajarkan di Keraton kacirebonan oleh
Bapak Handoyo dengan dukungan pangeran Yusuf Dendabrata, maka Ronggeng
Bugis mulai lebih dikenal oleh masyarakat. Ronggeng Bugis dikembangkan
tertutama pada Festival Keraton Nusantara I, tahun 1994 di Yogyakarta. Pada even
festival keraton nusantara berikutnya tarian ini juga selalu diikutsertakan. Tarian ini
digunakan beberapa upacara yaitu:
120
a.
Untuk Upacara Perkawinan
Pada
saat ini kehidupan masyarakat Jawa Barat pada umumnya dan
masyarakat Cirebon khususnya telah banyak dipengaruhi oleh sentuhan-sentuhan
teknologi modern. Namun demikian kebiasaan-kebiasaan atau adat yang merupakan
tradisi turun-temurun tetap juga dipelihara dan dilaksanakan. sebagai contoh dalam
proses upacara adat perkawinan mempunyai urut-urutan yang sudah baku sejak
dahulu hingga sekarang.
Di lingkungan masyarakat Cirebon , adat yang perlu dijungjung tinggi dalam
peristiwa perkawinan adalah norma-norma bahwa manusia yang normal, yaitu lakilaki dengan perempuan, jika ingin bercampur harus menikah terlebih dahulu. Orangorang Cirebon biasanya akan menghindari hidup bersama tanpa nikah (zinah), apalagi
sampai memiliki anak, karena jika mereka melakukannya berarti melakukan “ aib”
yang tidak bisa dimaafkan. Status bujang dengan perawan biasanya menjadi
pemikiran orang tuanya., dan seorang duda atau janda pun tidak akan disebut “ orang
baik” kalau bercampur tanpa nikah. Menurut adat yang berlaku di masyarakat
Cirebon yang kental akan religiusnya, sebagai julukan kota santri dan kota para wali
sebagai pusat penyebaran agama Islam di Jawa bagian Barat, mayoritas penduduknya
beragama Islam, dan mereka taat menjalankan ajaran agama Islam yang sudah
berlangsung sekitar permulaan abad XVI (H.J. Graaf dan Th Pigeaud, 1974:212)
Meskipun demikian, mereka pun kiranya tidak dapat mengabaikan tradisi yang telah
berakar sebelum kedatangan Islam. Berbagai unsur budaya yang telah dikenal
121
terakumulasi secara selektif. Satu dan lainnya berpadu, bertumpang tindih, dan
adakalanya berdampingan dengan unsur-unsur sesudahnya seperti dikatakan Claire
Holt dalam bukunya yang berjudul Art Indonesia.
Peristiwa perkawinan di masyarakat Cirebon perlu diberitahukan secara meluas
kepada masyarakat, bila peristiwa tidak disembar luaskan akan menimbulkan praduga
yang tidak baik di masyarakat. Maka tak heran bila pesta perkawinan akan
melibatkan orang banyak dan semeriah mungkin dilakukan sesuai dengan
kemampuannya.
Bila yang berkecukupan adakalanya menambah acara di luar tradisi upacara adat
yang baku, seperti misalnya acara meminang atau melamar , kadang-kadang
ditambah dengan tukar cincin yang disebut dengan tunangan.. Begitu pula acara adat
menjelang akad nikah, selain upacara ngeuyeuk seureuh (melipat sirih) , kerap
ditambah dengan acara siraman (memandikan calon pengantin) . Acara yang paling
meriah adalah ketika akad nikah,; pada penyambutan kehadiran calon pengantin pria
beserta keluarganya sengaja membuat acara khusus yang lazim disebut prosesi
penyambutan pengantin. Masuknya acara-acara tambahan sebagai peniruan dari
budaya etnik diluar Cirebon pada umumnya dilakukan dalam rangka memeriahkan
pernikahan keluarga kerabat keraton, keluarga berkecukupan, termasuk keluarga
pejabat pemerintahan. Karena banyak orang kaya atau pejabat yang terhormat yang
melakukannya, lama – kelamaan ditiru oleh yang lainnya termasuk masyarakat yang
golongan ekonominya pas-pasan.. apakah acara-acara tambahan sebagai hasil
122
peniruan atau kreasi dari para kreator seniman Cirebon kelak akan dimasukkan
sebagai upacara adat Cirebonan ? belum bisa dpastikan jawabannya pada saat ini,
karena harus diuji dahulu melalui perjalanan waktu. Namun berdasarkan pengamatan,
tampaknya acara prosesi penyambutan pengantin ini telah dimasukkan dalam upacara
adat perkawinan Cirebon., dan Handoyo MY seorang kreator seniman Cirebon
dalam kegiatan ini menyajikan tari Ronggeng Bugis.
Tari Ronggeng Bugis berfungsi untuk upacara perkawinan, disajikan pada prosesi
upacara penyambutan calon pengantin, adalah model prosesi produk sanggar tari
Pringgading dengan peñata tarinya Handoyo MY. Prosesi upacara adat penyambutan
pengantin kreasi baru Handoyo MY dengan menambah materi tari Ronggeng Bugis,
ternyata laku dipasaran terutama dalam hajatan perkawinan masyarakat yang
berkecukupan dan para pejabat pemerintahan serta kerabat keraton kacirebonan.,
dengan menghadirkan prosesi penyambutan pengantin produksi Handoyo bagi si
penanggapnya merupakan sebuah prestige, menjaga martabat dan menjaga harga diri
sekaligus menjaga status sosial mereka.. Karena sanggar tari Pringgading pimpinan
Handoyo MY merupakan sanggar tari yang ternama dan terkenal di Kabupaten
Cirebon, sering tampil diundang atau ditanggap oleh para pejabat di kalangan
pemerintahan dari setingkat menteri , gubernur, bupati hingga kepala dinas yang
empu hajat. Begitu bagi masyarakat yang kaya berkecukupan sering mengundang
dalam hajatannya. Mereka mempercayakan untuk upacara prosesi pernikahan putraputrinya kepada Handoyo MY.
123
Cara penyajian tari Ronggeng Bugis dalam upacara penyambutan pengantin,
diawali bunyi tabuhan gambelan yang menandakan atau memberi isyarat calon
pengantin pria dan keluarga hadir di tempat upacara. Keluar seorang penari
Ronggeng Bugis yang diutus untuk mengamati dan melihat rombongan pengantin
pria dan keluarga, setelah meyakani rombongan pengatin datang maka penari itu
kembali ke rombongan pelaku penyambutan dengan bahasa isyarat menyatakan tamu
yang ditunggu telah hadir ayo kita sambut dengan prosesi penyambutan. Kemudian
menari sekitar 5-7 menitan, kembali ke tempat rombongan tari lainnya menunggu
giliran yaitu para penari Panyenggaraha Agung yang disajikan khusus sebagai tari
Selamat Datang. Busana yang dipakai oleh penari putri Panyenggraha Agung
berjumlah enam orang , jumlah penari mengandung makna enam mengandung arti
Rukun Iman, jumlah enam penari merupakan manifestasi jumlah Rukun Imam dalam
ajaran agama Islam. Tarian ini merupakan pengembangan dari tari Bedaya Rimbey
dari Keraton Kanoman berfungsi sebagai tarian penyambutan tamu agung yang
datang ke keraton Kanoman.
mengandung
dari
tari
Handoyo MY terinspiransi dan ensensi tariannya
Bedaya
Rimbey
Kanoman
dikemas
kedalam
tari
Panyenggrama Agung yang difungsikan sebagai tari penyambutan pengantin.
Pemusik lengkap diiringi dengan musik gambelan berlaras pelog, dengan iringan
lagu Ungkut untuk tari Ronggeng Bugis dan lagu Kesturu yang diaransemen oleh
Handoyo MY
yang ditabuh volume atau intentitas rendah- sedang-tinggi sebenar
penuh dinamikan, kalau tari Bedaya Rimbey alunan suara gambelan yang mengiringi
124
dengan lagu Kesturun dengan volume atau intentasnya rendah mononton penuh
dinamika.
Busana tari Ronggeng Bugis yang dikenakan dalam upacara perkawinan
adalah sebagai berikut; baju kebaya dengan berwarna bercorak bunga-bunga, celana
sontog, kain batik corak batik cirebonan warna hitam atau coklat, iket pinggang
darikulit warna kuning emas, boro, omyok, dan tutup rasa warna kuning dengan
ornamen dirubey-rumbey , hiasan rambut dikucrit (diikat keatas) dihiasi dengan
bunga terbuat dari kertas atau plastik, memakai anting-anting mainan dan memakai
properti sampur atau selendang dan kipas.
Busana penari Panyenggraha Agung memakai baju kemben atau apok yang pada
bagian bawahnya terbelih menjadi dua bagian kiri-kanan yang masing-masing
ujungnya berbentuk lancip, dan bagian pinggir kainnya diberi rumbey-rumbey dari
mute warna kuning, sedang warna dasar baju hitam terbuat dari bahan wool
dilengkapi dengan selendang warna hijau kekuning-kuningan yang dipasang
menyilang dari kanan atas ke sebelah kiri bawah. Dibagian pinggang dikenakan
sabuk klit berwarna kuning emas, dengan dasr kain warna hitam yang dilengkapi
selendang atau soder yang diselipkan di sisi kanan-kiri pinggan berwarna gading.
Kemudian bagian bawah dipakai kain yang disebut batik keraton dengan warna dasar
terang motif batik yang dipakai yaitu kain liris atau liris udang. Property yang
dipakai tarian ini adalah bokor berbentuk perahu yang disebut panginangan yang
125
terbuat dari kayu rotan sebagai tempat menyimpan bunga melati yang akan
ditaburkan kepada calon penganten dan kerabatnya.
b. Untuk Media Pendidikan
Tari Ronggeng Bugis ini berfungsi untuk pendidikan dengan dijadikan materi
pembelajaran dalam seni tari di Cirebon, di SLTA dan SMKI Cirebon dan sanggarsanggar tari di wilayah Kabupaten Cirebon . Hal ini dilakukan oleh Handoyo MY
sebagai koreografer dan guru tari di salah satu SLTA dan SMK Cirebon sebagai
wujud pelestarian, inovatif dan trasnformasi tari tradisional khas keraton Cirebon.
Sebagai upaya pengembangan tari Ronggeng Bugis dan peningkat mutu seni tari
di Cirebon maka kehadiran Sekolah Menengah Kejuruan seni Karawitan dan Tari di
Cirebon yang didirikan oleh pemerintah daerah kabupaten Cirebon dan Dinas
Pendidikan Kejuruaan sangat membantu proses belajar mengajar. Begitu pendidikan
non formal di sanggar-sanggart tari yang tersebar di Kabupaten Cirebon dan Kota
Cirebon sangat bermanfaat dalam subangsihnya ke dalam dunia pendidikan dengan
dimasukkan sebagai salah materi tari Cirebon disamping tari Tayub dan Topeng.
Perlu jelaskan pula Handoyo MY dan sanggar tari Pringgading sering dijadikan
obyek penelitian bagi penelitian mahasiswa atau dosen Perguruan Tinggi Seni
maupun Perguruang Tinggi Pendidikan.
c. Untuk Ritual Memayu dan Ganti Sirap
Ritual Memayu dilaksanakan menjelang datangnya musim hujan. Pada daerah
lain ritual ini identik dengan upacara sedekah bumi. Acara intinya adalah mengganti
126
atap welit (atap dari daun bamboo atau alang-alang) bangunan-bangunan yang ada di
kompleks situs buyut Trusmi. Filosofis acara ini menurut Juri Kunci Turyani, bahwa
manusia itu harus selalu mamayu hayuning diri lan mamayu hayuning bawana (selalu
memperbaiki diri dan selalu berbuat baik ketika di dunia).
Acara ini pun marak dikunjungi pengunjung, tidak saja dari sekitar masyarakat
Cirebon saja, namun juga dari luar daerah
lain seperti; Indramayu, Subang,
Kerawang, Kuningan dan sebagainya. Para ‘ tamu’ itu kemudian berebut bekas atap
welit untuk dijadikan oleh-oleh karena diyakini memilki tuah. Acara itu semakin
ramai terlebih sejak aktivitas batik di Trusmi begitu makmurnya. Pengurus Koperasi
Batik Budi Tresna kemudian mengadakan arak-arakan yang bermula dari masjid
bergerak ke arah barat menuju desa Weru, ke Panembahan, dan akhirnya kembali ke
alun-alun Trusmi. Arak-arakan itu kini begitu panjangnya karena pesertanya tidak
saja dari masyarakat Desa Trusmi, namun juga dari desa lain yang terdekat ikut arakarakan. Arak-arakan dilaksanakan pada hari Minggu pagi. Keesokan harinya hari
Senin pagi dimulai penggantian atap welit bangun tertentu yang dilaksanakan pada
malam Senin setelah siangnya arak-arakan bertempat di sebelah timur kompleks situs
Buyut Trusmi
Arak-arakan hadir pula kesenian tradisional Cirebon, antara lain; Buroq
merupakan jenis kesenian helaran untuk anak khitanan, anak khitanan di naikan ke
Buroq yang berbentuk binatang yang diiringi dengan musik tarling, kesenian tarling
(gitar dan suling), jaran lumping, genjring akrobat, tari Baksa, dan tari Ronggeng
127
Bugis. Tari Ronggeng Bugis disimpan di barisan paling depan rombongan arakarakan atau kadang-kadang disimpan barisan paling belakang. Tari Baksa dan tari
Ronggeng sebagai peserta arak-arakan beralasan bahwa para pelaku prajurit keraton
yang menyamar sebagai ronggeng atau penari perempuan dari etnis Bugis dan
keturunananya banyak bermukin di kampung Buyut dan Trusmi.
Penyajian tari Ronggeng Bugis dalam kegiatan ritual memayu dang anti sirap
merupakan kegiatan yang rutin dilaksanakan sebagai acara ritual desa Trusmi,
merupakan manifestasi eksisitensi tari Ronggeng Bugis sebagai seni pertunjukan khas
tradisional keraton Cirebon yang hadir dalam berbagai peristiwa budaya di
masyarakat Cirebon.
Pada malam harinya, bahkan sejak malam Minggu hingga malam Selasa di
tempat-tempat tertentu di Trusmi berlangsung pertunjukan kesenian tradisional
Cirebon, seperti; Masres (sandiwara rakyat) dan wayang kulit. Namun dalam
perkembangannya kini kecenderungan memasukkan acara pengajian umum yang
dilaksanakan pada malam Senin setelah siangnya arak-arakan bertempat di sebelah
timur balai Desa Trusmi Wetan. Para penduduk banyak yang bersedekah makanan
(terutama ketupat dengan sambal garing atau bumbu empal) dan juga minyak kelapa
yang dipusatkan di masjid untuk orang-orang yang terlibat dalam berbagai kegiatan
tersebut.
Pada momen yang bersamaan, setiap lima tahun sekali diadakan ganti sirap
cungkub makan ki Buyut Trusmi. Sirap adalah atap sejenis genteng terbuat dari
128
papan jati. Acara memayu yang berbarengan dengan ganti sirap jelas memiliki pesona
tersendiri bagi masyarakat Cirebon dan para tamu yang datang berziarah. Acara
memayu
yang
berbarengan
dengan
sirap
ini
biasanya
lebih
menyedot
pengunjung,sehingga di alun-alun dan sekitar kompleks masjid banyak pula pedagang
yang menyerupai pasar malam.
d. Untuk Upacara Ritual Ngunjung Buyut
Tari Ronggeng Bugis merupakan seni pertunjukan telah menjadi kebutuhan dalam
menjaga keseimbangan kosmos sakral masyarakat Cirebon.
Rasa aman mereka
dibangun dengan tidak melanggar janji yang telah diniatkan sebelumnya untuk
menyertakan seni pertunjukan dengan keadaan suka cita atau sukses yang telah
diraihnya. Aktualisasi diri dalam momen tersebut melakukan upacara ngunjung buyut
merupakan ungkapan hormat kepada leluhur yang dikeramatkan melakukan ziarah ke
makam leluhur, yang diyakini mempunyai jasa besar dalam memperjuangkan
tegaknya agama Islam di Cirebon kedaulatan wilayah Cirebon sebagai pusat
pemerintahan.
Oleh karenanya, bentuk penghormatan yang paling tepat dari masyarakat adalah
dalam bentuk ziarah kuburan untuk mendoakan agar mereka memperoleh tempat
yang layak disisi Allah SWT .
Hakikat dari upacara Ngunjung bagi masyarakat Cirebon ;
1. Mensyukuri Nikmat Keagungan Allah.
129
Keindahan alam dengan segala isinya, adalah karunia Allah, yang telah
menciptakannya untuk kesejahteraan umat manusia penghuni alam. Orang
yang beriman akan selalu mensyukuri nikmat keindahan alam itu dengan cara
memelihara kebersihan lingkungan sekitarnya, agaer tidak terlihat kumuh
merusak pemandangan, dan melestarikan kebudayaan sebagai peninggaln
sejarah.
Orang beriman akan mengucapkan “ subhana Allah “ (Mahasuci Gusti
Allah)n yang telah mencioptakan keindahaan. Lusa dan besarnya alam raya,
membuktikan betapa Allah yang telah menciptakan tentu Mahaluas dan
Mahaagung.
2. Memelihara dan Melestarikan Keindahan
Keindahaan alam yang sengaja Allah sediakan untuk mahluknya di muka
bumi ini, harus tetap dipelihara dan dilestarikan . jangan kita rusak
lingkungan sekitar dengan tangan jahil, mencorat-coret batu, tembok atau
pagar dinding pekuburan yang membuat pemandangan menjadi kotor.
Apabila jika corat-coret 9tu tidak sama sekali member makna bagi yang
membacanya.
Melestarikan berarti member keindahan alam itu tetap dipelihara serta manrik
perhatian para ziarah untuk datangmengunjungi. Jangan sampai kita
tergolong orang yang disindir Allah, berkenaan dengan terjadinya merusak
130
lingkungan alam di daratan, di laut akibat tangan-tangan manusia yang tidak
bertanggung jawab.
Ziarah disunnah oleh Nabi, bahkan dianjurkan untuk umat Islam
mengunjungi (ziarah) ke kubur orang tua, atau keluarga yang sudah lebih dahulu
meninggalkan kita.
Handoyo MY sebagai human creator tari Cirebonan, khususnya tari Ronggeng
Bugis yang peduli dengan konsesistensi kesenian tradisi daerahnya. Konsistensi
tersebut yang dilakukan Handoyo diaplikasikan dengan memelihara kesenian
daerahnya sebagai suatu media pertunjukan yang dibangun oleh rakyat untuk
kepentingan masyarakat dalam melakukan amanat-amanat tradisi
Masyarakat
Cirebon masih menginginkan seni pertunjukan miliknya dipergunakan untuk
melengkapi kegiatan-kegiatan tradisinya. Misalnya Tari Ronggeng Bugis dalam
upacara ngunjung.
Tari Ronggeng Bugis yang disajikan dalam dalam upacara ngunjung yang
berlokasi di area pekuburan, selain tari Ronggeng Bugis disajikan pula tari Topeng.
Tari Ronggeng Bugis biasanya disajikan dalam bentuk arak-arakan , bersama-sama
rombongan yang ziarah . Arak-arakan mengelilingi area pekuburan, dan masuk area
kuburan telah disiapkan kesenian tari Topeng disajikan di area pekuburan jadi tidak
mengikuti upacara arak-arakan.
Untuk tata cara ziarah telah diatur oleh para juru kunci, juri kunci menyambut
para tamu ziarah dengan hormat, hal ini dilakukan bagi mereka sebagai abdi dalem
131
kesultanan yang ditugaskan untuk (1).menjadi tuan rumah yang baik, melayani tamu
sebagai pembimbing /guide atau petunjuk jalan untuk menuju ke tempat ziarah yang
diperlukan. (2) menjaga keamanan dan kenyaman para peziarah , agar tidak
terganggu oleh tangan-tangan jahil dan terhindar dari perilaku yang menyinggung
perasaan. (3) mengingat penziarah agar tidak terjebak dengan perilaku syirik,
meminta-minta kepada sselain Allah, atau melakukan tidakan yang menyimpang dari
ajaran agama Islam.
Struktur penyajian tari Ronggeng Bugis tidak berbeda, dari segi koreografi, musik
dan busana. Seperti biasa pertunjukan arak-arakan dalam upacara ritual ganti welit
maupun ganti sirap. (Farida, 2009, 145)
4.1.4. Media Pertunjukan Ronggeng Bugis
Sebagaimana pertunjukan Seni Tari pada umumnya, tari Ronggeng Bugis
Cirebon didukung oleh sejumlah media pertunjukan yang terdiri atas beberapa
komponen. Komponen-komponen pertunjukan ini dapat diklasifikasikkan menjadi
beberapa kelompok sebagai berikut:
a.
Koreografi Tari Ronggeng Bugis
Pelaku penari ini dkalsifikasikan dalam kategori tarian kelompok.
Pengertian koreografi kelmpok adalah komposisi yang ditarikan lebih dari satu penari
atau lebih ( Y. Sumandiyo Hadi; 1996: 2) Untuk menentukan berapa jumlah penari
komposisi kelompok kecil maupun kelompok besar sifatnya relatif. Misalnya
132
komposisi kelompok dengan jumlah empat penari, dapat dibagi menjadi dua
kelompok kecil, masing-masing terdiri dari dua penari maka dengan pengertian itu,
komposisi kelompok dengan jumlah empat penari menjadi komposisi besar. Dalam
tari Ronggeng Bugis di Sanggar tari Pringgading Handoyo Jumlah penarinya adalah 9
atau 8 terdiri dari satu orang penari yang berperan sebagai panglima pasukan dan
yang lainnya penari berperan sebagai prajurit, begitu pula tari Ronggeng Bugis yang
dipertunjukan oleh sanggar tari Kebun Kangkung dan sanggar Sekar Pandan tarian ini
dibawakan dalam bentuk kolosal, jumlah mencapai 40-50 orang yang dipertunjukan
di Lampung Selatan tarian ini yang dibawakan oleh duta budaya Pramuka STAIN
Cirebon (H.R. Bambang Irianto:2009:4).
b. Gerak tari Ronggeng Bugis Cirebon
Penggunaan geraknya merupakan ekspresi perilaku manusia seharihari dengan menggunakan gerak-gerak gesture atau murni misalnya gerakan jalan
kaki kemudian berbisik dan sebagainya. Semua gerakan dilakukan secara bersamasama atau rampak. Meskipun tarian ini belum dibakukan rangkaian gesture atau
ragam gerak tari, namun ada beberapa
gerakan yang telah mempunyai nama
tersendiri, yang lazim digunakan di antara penari. Nama-nama ragam gerak tersebut
antara lain sebagai berikut:
1. Abar merupakan ungkapan gerak awal dari tarian, yakni sebagai pembuka.
Tempo irama gerakan tarinya cepat dan dinamis. Abar mempunyai mula-mula
atau pertama. Jadi gerakannya merupakan ungkapan sajian gerakan awal atau
133
pembuka yang disertai dengan gerakan kecil berupa anggukan kepala yang
dilakukan secara berulang-ulang. Lebih dari itu, gerak tari dalam Abar
mengandung pengertian aksi tarung atau bertarung.jadi gerakan-gerakan yang
ditampilkan adalah berupa ancang-ancang akan bertarung.
2. Longok adalah ungkapan gerak kelanjutan dari abar, merupakan urutan sajian
gerak yang kedua dengan tempo irama sedang serta tersendat-sendat atau bisa
pula tertahan-tahan, namun tidak terputus. Gerak ini disertai tengokan dalam
gerakan kepala saling bergantian secara berulang-ulang, dan dilakukan oleh dua
penari kadang-kadang sambil jalan berputar melingkar. Gerak longok
mempunyai arti menengok atau melihat, secara langsung yang mempunyai
peranan di sini adalah bagian torso atas, bagian leher dan kepala. Istilah longok
berarti mengintip sebagai gambaran dari pengintaian.
3.
Besik adalah suatu gerak anggukan kepala dilakukan sambil berjalan
terpincang-pincang dengan istilah ragam gerak jalak pengkor yang dilakukan
secara berulang-ulang dalam tempo agak cepat. Ungkapan gerak sajian ingin
menggambarkan adanya perundingan atau komunikasi di antara penari, sesuai
dengan istilah kata besik yang berarti berbicara perlahan-lahan. Namun
demikian, gerak besik bukan menggunakan mulut sebagai peran penting.
Gerakan dominan masih tetap torso atas, yakni bagian kepala dan leher.
4. Jorong merupakan gerak akhir pertunjukan, ronggeng bugis, sementara sajian
geraknya hampir sama seperti gerakan abar. Kata jorong di sini berarti lurus,
134
ragam gerak ini masih dominan torso atas, yang memegang peranan penting
yaitu bagian leher dan kepala.Stuktur penyajian tari Ronggeng Bugis dipilah
menjadi 3 tahap:
1. Tahap awal
Merupakan introduksi awal penyajian dalam ragam gerak abar
yang mempunyai arti bahwa tari Ronggeng Bugis mengawali
tarian`yang akan disajikan melalui gerakan murni dengan gerak
keseharian
yang
diperagakan
dengan
gerak
suit.
Gerak
improvisasi juga diperagakan oleh penari ketika ada respon dari
penonton.
Irama
musik
iringannya
menghentak
yang
mengekspresikan gelora semangat bagi yang mendengarkannya.
2. Tahap Isi
Merupakan penyajian dalam ragam gerak longok dan besik
mengekspresikan inti atau isi dari tarian Ronggeng Bugis Cirebon
yang memperagakan gerak-gerik perilaku seorang telik sandi.
Disini penari bisa saja memperagakan gerakannya diulang-ulang
dengan komposisi yang berbeda. Hal ini dilakukan, agar
kelihatannya tidak monoton karena gerakannya sama.
3. Tahap akhir
Merupakan akhir dari penyajian yang diekspesikan dalam ragam
gerak jorong gerakannya hampir sama dengan abar yang
135
membedakan ekspresi penarinya. Ritme musik pengiringnya lebih
mendayu-dayu.
c. Desain Lantai / pola lantai
Pola lantai atau floor design merupakan garis-garis yang dilalui oleh penari di
lantai pentas atau garis-garis dilantai pentas yang dibentuk formasi kelompok (Y.
Sumandiyo hadi, 1996:110) adapun desain lantai yang dipergunakan pada tari
Ronggeng Bugis, secara umum semuanya mempergunakan tiga desain lantai yaitu
garis lurus (berjajar dua kebelakang) desain lantai segi empat, dan desain lantai yang
berbentuk lengkungan arah hadap penari ke depan searah dengan arah hadap pemusik
artinya kedudukan pemusik dibelakang atau dipinggir penari.
Penggunaan level penari dalam tari Ronggeng Bugis yaitu memakai level tinggi
dan sedang. Level adalah tingkatan tinggi rendah kedudukan diatas lantai penari (Y.
Sumandiyo hadi.196:28) pandangan penari tertuju ke arah depan. Ada peralihan
tempat penari, penari dinamis tidak di satu tempat. Gerakan kaki penari selalu
bergerak bergeser ditempat menyesuaikan dengan gerakan tangan dan tubuh misalnya
penari melingkar berlawanan dengan arah jarum jam, penari berhadapan dan bertukar
tempat. Adanya kontak fisik antara penari. Para penari menggunakan metode
pembebasan rasa dengan jalan kosentrasi dan melemaskan tubuh fisiknya. Ekspresi
muka penari berhati-hati, gembira, semangat.
136
c. Desain Atas
Desain atas
dalam tari Ronggeng Bugis ada beberapa penggunaan desain
diantaranya desain datar, desain dalam, desain vertikal, desain horizontal, kontras,
murni, lurus, spiral, tinggi, medium, simetris, dan asimetris. Penggunaan desain atas
ini disesuaikan situasi dan kondisi arena pertunjukan.
d. Tata rias dan busana tari Ronggeng Bugis
Aspek lain yang menunjang pertunjukan tari Ronggeng Bugis adalah tata
Busanadan Rias . Tata Busana atau kostum dan atribut yang lazim dipergunakan oleh
penari, yaitu : celana sontog (celana santrian), kain batik, kestagen, cinde/soder,
kutang (BH tradisional) yang disebut antrok, kebaya wanita lengan pendek, anting
maianan, kembang goyang, cundrik (tusuk gelung yang digunakan untuk membela
diri). Kostum wiyaga atau penabuh musik ronggeng bugis terdiri dari : celana sontog,
baju rompi dan kain batik didodot, kestagen, dan iket kepala.
Penataan busana pertunjukan adalah yang khusus dirancang dan dikenakan
bertujuan untuk tuntutan artistik tertentu, seperti halnya tari Ronggeng Bugis tujuan
busana yang dikenakan bertujuan artistik,
artinya kehadirannya busana untuk
menggambarkan dan menyempurnakan identitas tarian.
Penggunaan warna busana penari Ronggeng Bugis yakni kebaya yang pada
dasarnya tidak mengikat, namun pada umumnya menggunakan warna terang yang
norak, misalnya hijau muda, oranye, dan merah. Celana sontog yang biasa
dipergunakan warna gelap hitam dan coklat. Kain batik dipakai sebagai penutup
badan bagian bawah dengan cara berkain panjang sehingga ujung kain berakahir di
137
tengah dan terbuka ke sebelah kana tanpa lepe (berupa lipatan-lipatan dengan lebar
kira-kira lima centimeter).
Pemilihan corak yang cocok telah ditentukan berdasarkan gaya corak batik dan
perwatakan dari tari Ronggeng Bugis. Corak batik yang dipergunakan adalah khas
Cirebon yang disebut megamendung yang bergaya dinamis berwarna merah, coklat,
kuning, pink, oranye dan hijau. Cara memakainya kain ujung kedua kain dirapatkan
jadi seperti sarung, kedua pinggir kain diwiron (ditarik) disatukan jadi kerutan di
pinggir kiri-kanan, dan memakai kestagen yang berwarna hitam adalah belit pinggang
yang panjang untuk mengikat kain batik.
Busana wiyaga tari Ronggeng Bugis, pada umumnya mengenakan celana sontog
atau komprang, memakai rompi warna gelap, menyandang kestagen warna hitam
sebagai pembelit pinggang untuk mengikat kain dodot, dan memakai iket sebagai
ikat kepala dengan corak batik cirebonan.
Perhiasan –perhiasan yang dipergunakan penari Ronggeng Bugis adalah anting
mainan, kembang goyang dan cundrik (tusuk gelung yang bisa digunakan untuk
membela diri).
Tata rias merupakan unsur yang memegang peranan penting dalam penampilan
pertunjukan Ronggeng Bugis. Seorang penari Ronggeng Bugis harus nampak wajah
perempuan yang lucu, misalnya memakai bedak yang tebal tanpa memakai dasar
bedak, kemudian kedua pipi memakai pemerah pipi yang menyolok dibentuk dengan
bulat-bulat seperti bulatan tomat, memakai lipstik yang berwarna merah yang keluar
dari garis bibir, mata terbelak dengan rias alisnya tingginya tidak sama. Yang
138
menonjol riasnya kocak dan lucu, menggelitik akan mengundang tawa bagi yang
melihatnya. Tata rias wajah tari Ronggeng Bugis dikategorikan tata rias jenis, karena
wajahnya merupakan penyamaran dari pria menjadi perempuan.
Tata rambut dikucrit (rambut yang diikat di atas kepala) dipasang kembang
goyang berjumlah tiga buah dan cundrik berupa badik kecil fungsinya sebagai tusuk
konde yang mempunyai peran ganda sebagai senjata untuk membela diri, bila musuh
menyerang.
Properti atau perlengkapan yang dipergunakan dalam setiap pertunjukan pada
umumnya cinde/ soder/ selendang, kipas, namun untuk properti kipas ada juga yang
menggantikan dengan hihid yaitu kipas tradisional yang terbuat dari anyaman bambu
bentuk persegi empat atau bulat.
Kipas merupakan piranti yang selalu dibawa dan dimainkan baik dalam keadaan
tertutup atau terbuka. Kipas berfungsi sebagai penunjang estetik gerak yang
menciptakan nuansa feminim yang terpadu dengan kain dan selendang. Kipas
merupakan property khas dalam tarian putri di Bugis Makasar misalnya dalam tari
Pakarena.
Penggunaan cinde ada dua macam yaitu, cinde digunakan dengan melalui
tekuknya dililitkan sehingga kedua ujungnya menjuntai ke bawah dan yang
menggunakan cinde dengan dililitkan di pinggang. Corak batik cinde merupakan
batik lokcan yang biasa dipakai mongkrong dalam tari topeng Cirebon, pemakaian
139
cinde mutlak bagi penari Ronggeng Bugis walapun dalam penyajiannya cinde
tersebut tidak pernah digunakan sebagai properti tari.
Penari Ronggeng Bugis memakai cinde di pinggir kanan, tangan kanan penari
memegang kipas, selama pertunjukan berlangsung kipas atau hihid digunakan dengan
mengkipas-kipaskan ke arah badan atau dipakai untuk menutupi muka dan dibuka
dengan peringai memperagakan suasana lucu dan kocak.
4.1.5.
Musik Pengiring tari Ronggeng Bugis Cirebon
Iringan musik tari Ronggeng Bugis merupakan hal yang penting dalam
setiap pertunjukan. Iringan ini mempunyai pola-pola tertentu yang harus diketahui
oleh seluruh pendukung, baik pemusik maupun penarinya dan musik iringan berperan
penting untuk mempertegas gerak-gerak tari sesuai dengan ekspresi jiwa yang
diungkapkan penari. Keseluruhan iringan ditentukan dan dikendalikan oleh penabuh
ketipung yang bertindak sebagai pemimpin pertunjukan, yang mengatur dan
mengendalikan irama tabuhan yang disajikan di awal maupun diakhir pertunjukan.
Selain itu pula mempunyai peranan sebagai mitra untuk menata ritme atau
memperkuat gerak yang ditampilkan penari. Ritme ketipung juga dapat menghantar
ke dalam suasana yang riang, gembira, ceria dan kocak. Gerakan penari tidak akan
enak dinikmati apabila tidak selaras dengan tepak ketipung. Peranan ansembel
kenong ketuk dan gong sabet adalah memain ritme, dalam garis besarnya ketuk dan
gong sabet merupakan tonggak-tonggak irama yang dibawakan dengan irama cepat
140
atau irama lambat dan memberi aksen kepada gerakan tari., dan kecrek memberi
variasi yang diberikan oleh ketuk kenong.
Musik tari ronggeng bugis terdiri dari tabuhan instrumen-instrumen seperti satu
buah gendang kecil yang disebut ketipung, satu buah gong sabet, dua buah ketuk
kenong dan satu buah kecrek. Lagu yang mengiringi tari ronggeng bugis yaitu lagu
ungkut.
Adapun jenis yang dipergunakan terdiri dari ketipung, kenong ketuk, gong sabet
dan kecrek. Ketipung atau gendang kecil terbuat dari kayu kedua lubangnya ditutupi
oleh kulit dan dirarawat oleh tali yang terbuat dari kulit., teknik menabuhnya dipukul
dengan menggunkan pemukul yang terbuat dari kayu dan yang dipukul hanya
dibagian
bawah saja. Hentakan-hentakan pukulan ketipung
dalam iringan tari
ronggeng bugis sangat dominan, karena ketipung berfungsi sebagai pengendali irama
atau pengantur embat sehingga dalam sajiannya gerakan diisi oleh tabuh ketipung
(gendang) atau ritmis gendang. Kenong ketuk disebut juga kromong yang terbuat
dari logam besi atau perunggu bentuknya sama dengan klenang namun bentuknya
lebih besar dari klenang. Teknik menabuhnya dipukul dan waditra kromong selalu
mengikuti ketukan yang dimainkan oleh klenang, sehingga bila ditabuh saling
bersanghutan dan tidak jatuh pada tekanan (arsis) Kenong ketuk berperan sebagai
penjaga irama, agar tempo lagu yang disajikan tetap.Gong sabet bentuknya sama
gong
dalam gambelan, gong sabet
disebut juga kebluk
biasa mengiringi tari
Ronggeng Bugis terbuat dari logam besi atau perunggu berbentuk bulat ditengahnya
141
ada penclon, teknik menabuhnya dipukul memakai alat pukul bulat, gong berperan
sebagai pemuas rasa diakhir lagu. Kecrek bentuknya bulat, terbuat dari lempengan
besi tiga lembar yang dialasi dengan kayu, teknik menabuhnya dipukul oleh pemukul
yang terbuat dari kayu. Peran kecrek untuk mempertegas tari atau memberi ornamen
pada ritme-ritme yang digarap oleh penabuh ketipung.
Lagu atau gending pengiring tari Ronggeng Bugis hanya satu lagu yakni lagu
Ungkut, gending Ungkut tersebut dalam sajiannya dibagi empat motif tabuh kendang
untuk mengiringi gerak, abar, longok, besik, dan jorong.
Bentuk gending dalam tari Ronggeng Bugis merupakan bentuk ritmis atau
gurudugan, artinya setiap akhir matra itu selalu ditandai dengan gong.
4.1.6 . Introduksi Penyajian tari Ronggeng Bugis
Tahap Introduksi berlangsung ketika seorang penari masuk terlebih dahulu lalu,
memanggil teman-temannya dengan tanda (bersuit), lalu para penari yang lain datang
dengan gerakan disertai jongkok. Kemudian tahap isi dari tari Ronggeng Bugis yakni
menyajikan tarian dengan gerakan penyamaran bagaimana gerak-gerik seorang telik
sandi ketika mengawasi situasi yang menjadi fokus penyelidikan, setelah
mendapatkan informasi melalui pengamatan lalu berkumpul masing-masing penari
yang menyamar sebagai teli sandi menyampaikan infomasinya, tahap terakhir mereka
membawa berita yang akan disampaikan kepada Sunan Gunung Jati yang diakhir
dengan gerakan jalan atau minced dengan posisi beriringan.
142
4.1.7. Pelaku tari Ronggeng Bugis
Penari Ronggeng Bugis adalah pria yang belum atau sudah beristri. Yang
menarik disini persepsi gambaran cross-gender yang dilakukan dalam kesenian
Ronggeng Bugis Cirebon, yang kemudian perwujudan tokoh feminim dilakukan
tokoh penari pria. Subtansi eksistensi dari kedua gender yang saling melengkapi ini
adalah untuk kepentingan pertunjukan Ronggeng Bugis dengan latar belakang
kelahirannya yang merupakan penyamaran sebagai telik sandi. Oleh karena itu,
alasan utama adalah cross-gender yang terjadi dalam pertunjukan Ronggeng Bugis
adalah berkaitan dengan suasana politik pada masa itu. Perkembangan selanjutnya
dari tari Ronggeng Bugis dalam konteks seni pertunjukan adalah penampilannya
cenderung dalam upaya “ mengubah diri “ dalam tampilan gender yang lain.
Penampilan mengubah diri inilah yang menjadi ciri atau gaya tari Ronggeng Bugis
yang pada gilirannya merupakan daya tarik yang dapat mengundang rangsangan
tawa, lucu, kocak karena gerak perilaku ini menampilkan kekonyolan dan gerakan
kekakuan seorang pria yang memerankan perempuan serta berbagai hal yang bersifat
hiburan kepada penikmat atau penontonnya. Begitu pula fenomena cross-gender
tampak dalam genre tari di keraton Cirebon beda dengan keraton Yogyakarta,
misalnya tari topeng Cirebon, tak ada ketentuan khusus dalam menetapkan kaum
perempuan boleh menarikan peran pria atau sebaliknya. Contohnya tari topeng Panji
atau topeng Klana kepenariannya tidak jadi masalah apakah dilakukan oleh pria atau
perempuan, yang penting karakter tarian tersebut dapat ditarikan oleh sang penari.
143
Kita pernah melihat bagaimana sosok Rasinah sang maestro tari topeng begitu gagah
menari topeng Klana di atas panggung, siapa sangka dibalik topeng Klana itu dalam
kehidupan sehari-harinya sebenarnya sosok perempuan tua yang usianya telah renta.
Begitu fenomena silang peran gender dalam Ronggeng Bugis terjadi dalam
kehidupan seni pertunjukan, karena adanya subtansi eksistensial dari kedua gender
yang saling melengkapi satu dengan yang lainnya, seperti halnya seperti para pelaku
tari Ronggeng Bugis ini, sehingga tak terasa kesempurnaan atau relasi selaras antar
keduanya berkaitan dengan aspek komplematari satu dengan yang lain, memang
kemudian terguncang. Keterguncangan ini, banyak kasus, bisa “kebangblasan’
dengan laku pribadi pelakunya yang kemudian menjadi bagian dari perilaku
keseharian, namun .dalam tari Ronggeng Bugis yang diamati dalam kehidupan
sehari-hari para penari Ronggeng Bugis tetap sebagai seorang pria. Mengamati realita
kehidupan penari Ronggeng Bugis di Sanggar Tari Pring Gading Pumbon Kabupaten
Cirebon, Handoyo, MY, Tono, dan Yono, mereka adalah kaum pria dari Desa
sebagai kepala rumah tangga mereka bersahaja perilaku seperti orang Desa tidak
banyak tingkah yang aneh-aneh, namun ketika telah mengenakan busana perempuan
menari tari Ronggeng Bugis, muncul perilaku fenismisme yang bertolak belakang
dengan perilaku sehariannya sebagai kaum maskulin hilang wujud asli, muncul
wujud perempuan yang tingkah laku kenes dan genit yang mewarnai penyajian tari
Ronggeng Bugis, begitu pula pada tari Topeng Rumyang dan Topeng Pamindo,
diluar cukup konvesional, yaitu Topeng Panji dan Topeng Klana. Mesti kemudian
144
secara normative tokoh campuran mitilogi Panji Mahabrata dan Ramayana, muncul
dalam genre ini (Panji, Samba, Ruwana), tokoh ketetapan baku untuk eksekusi
kepenariannya tidak pernah ada . Panji bisa ditarikan oleh Sujana sama baiknya kala
ditarikan oleh Rasinah. Yang membedakan mungkin interprestasi kreatif yang
melekat dalam diri masing-masing penarinya, tentunya juga dengan gaya masingmasing wilayah komunitas budaya sang penari berasal dan dibesarkan. Kehebatan
Rasinah tidak
kalah hebatnya Sujana bila sudah mengenakan topeng Klana.
Memang, sebelum mengenakan topeng seorang Rasinah dan Sujana adalah sosok
seorang yang tampak bersahaja, seperti layaknya orang-orang Desa kebanyakan.
Namun begitu topeng melekat di mukanya, orang tidak akan melihat umur,
keseharian, dan watak asli dari kedua orang di atas. Bahkan citra feminisme yang
melekat dalam diri Rasinah , langsung berbalik seratus delapan puluh derajat. Citra
personal hilang seakan-akan “ kebaharuan” dari presentasi tari yang dari itu ke itu
terus saja bermunculan. Fenomena cross-gender yang ada tidak memunculkan
permasalahan yang berarti pada tatanan kepenarian dari para empu dan penari di atas.
Dengan demikian secara kontekstual tidak ada permasalahan.
4.1.8. Sejarah Singkat Sanggar Pringgading
Berdirinya Sanggar Tari Pringgading adalah berawal dari rasa cinta Handoyo
M.Y. terhadap kesenian daerahnya. Rasa cinta tersebut menjadi motivasi
keinginannya yang kuat untuk untuk mengembangkan serta melestarikan kebudayaan
145
khususnya yang berakar dari daerah Cirebon. Keinginan yang besar dan kuat tersebut
sangat didukung oleh wawasan, kemampuan, dan keterampilannya dalam menguasai
budaya setempat yang dikuasai sejak kecil.
Atas peran serta, dorongan serta do’a restu ayahandanya tercinta yaitu Bapak
Muhamad Yuli maka tepat pada tanggal 5 Juli Tahun 1974, Handoyo M.Y. berhasil
mewujudkan keinginannya yaitu mendirikan sebuah grup/sanggar tari. Adapun
sanggar tari yang telah lahir tersebut diberi nama “Sanggar Tari Pringgading”. Perlu
disampaikan disini bahwa pada waktu itu Handoyo M.Y. pernah kuliah di Akademi
Seni Tari Indonesia (ASTI)
Bandung sekarang Sekolah Tinggi Seni Indonesia
(STSI) Bandung hingga smester akhir di jurusan Tari, namun belum menempuh
sidang komprehensif, karena Handoyo diangkat asisten oleh Bagong Kusdiardjo di
Yogyakarta untuk mengajar tari Sunda di Padepokan Bagong.
Perlu disampaikan pula disini bahwa dalam menangani karya-karya garapannya,
Handoyo M.Y. tidak lepas dari akar pijaknya yaitu budaya setempat antara lain
dengan selalu mengambil ceritera dari Babad Cirebon. Sanggat Tari Pringgading
telah terdaftar di Depdikbud dengan SK. No. 0968/102.18/J/1994, Tanggal 11 Mei
1994.
146
4.2. Pesan Komunikasi yang Terkandung dalam Pertunjukan Tari Ronggeng
Bugis Cirebon.
Pengamatan melalui terjun langsung ke lapangan pertunjukan tari Ronggeng
Bugis Cirebon pimpinan Handoyo M.Y. rekaman dilakukan oleh peneliti dilakukan di
Taman Budaya Bandung tanggal bulan April 2009 dan pada 18 Juni 2009 di Keraton
Kasepuhan Cirebon.
4.2.1. Deskripsi Hasil Pengamatan
Bagian pertama pertunjukan dibuka dengan tarian yang dinamakan Abar
merupakan ungkapan gerak awal dari tarian, yakni sebagai pembuka. Tempo irama
gerakan tarinya cepat dan dinamis. Abar mempunyai mula-mula atau pertama. Jadi
gerakannya merupakan ungkapan sajian gerakan awal atau pembuka yang disertai
dengan gerakan kecil berupa anggukan kepala yang dilakukan secara berulang-ulang.
Lebih dari itu, gerak tari dalam Abar mengandung pengertian aksi tarung atau
bertarung.jadi gerakan-gerakan yang ditampilkan adalah berupa ancang-ancang akan
bertarung.
Bagian kedua, dengan gerakan Longok adalah ungkapan gerak kelanjutan dari
abar, merupakan urutan sajian gerak yang kedua dengan tempo irama sedang serta
tersendat-sendat atau bisa pula tertahan-tahan, namun tidak terputus. Gerak ini
disertai tengokan dalam gerakan kepala saling bergantian secara berulang-ulang, dan
dilakukan oleh dua penari kadang-kadang sambil jalan berputar melingkar. Gerak
147
longok mempunyai arti menengok atau melihat, secara langsung yang mempunyai
peranan di sini adalah bagian torso atas, bagian leher dan kepala. Istilah longok
berarti mengintip sebagai gambaran dari pengintaian.
Bagian ketiga, Besik adalah suatu gerak anggukan kepala dilakukan sambil
berjalan terpincang-pincang dengan istilah ragam gerak jalak pengkor yang dilakukan
secara berulang-ulang dalam tempo agak cepat. Ungkapan gerak sajian ingin
menggambarkan adanya perundingan atau komunikasi di antara penari, sesuai dengan
istilah kata besik yang berarti berbicara perlahan-lahan. Namun demikian, gerak besik
bukan menggunakan mulut sebagai peran penting. Gerakan dominan masih tetap
torso atas, yakni bagian kepala dan leher.
Bagian keempat, Jorong merupakan gerak akhir pertunjukan, ronggeng bugis,
sementara sajian geraknya hampir sama seperti gerakan abar. Kata jorong di sini
berarti lurus, ragam gerak ini masih dominan torso atas, yang memegang peranan
penting yaitu bagian leher dan kepala.
4.2.2. Pembahasan Hasil Pengamatan
Pesan atau message dalam sebuah pertunjukan seni merupakan bagian
penting yang menjadi alasan penonton untuk menikmati pertunjukan seni.
Keberhasilan penyampaian pesan ini sangat ditentukan oleh pelaku seni atau
penari dan koreografer dalam melontarkan pesan tersebut sehingga tidak
berlangsung seperti sebuah pidato atau ceramah.
148
Pertunjukan Tari Ronggeng Bugis Cirebon pesan yang dikomunikasikan
berupa pesan berupa ekspresi yang berhubungan dengan sikap kehati-hatian.
Pesan yang ingin disampaikan dengan tarian Ronggeng Bugis ini nampak
dipahami oleh penonton. Penonton merespon gerakan mereka dengan gelak
tawa, tersenyum dan tepuk tangan.
149
BAB V
Komunikasi Ekspresif Ronggeng Bugis Cirebon Dalam Kajian
Etnografi Komunikasi
Di dalam bab metode penelitian, telah dipaparkan bahwa dalam penelitian ini
penulis menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan etnografi komunikasi
yang dikemukakan oleh Dell Hymes. Analisis ini berdasarkan unit analisis tentang
perilaku komunikatif yang terdiri dari situasi komunikatif, peristiwa komunikatif, dan
tindak komunikatif. Pengkajian analisis tersebut berupa pengkajian komunikasi
ekspresif dalam tarian Ronggeng Bugis Cirebon. Alasan penulis menggunakan
metode dan pendekatan ini adalah untuk lebih mengetahui aspek komunikasi
nonverbal yang terlihat dari objek penelitian serta memperoleh penjelasan yang
banyak dan bermanfaat sesuai dengan tujuan penelitian, yaitu mengenai elemenelemen komunikasi ekspresif pada tarian Ronggeng Bugis Cirebon.
Berdasarkan tujuan penelitian ini, maka elemen-elemen komunikasi ekspresif
tersebut akan dianalisis dengan menggunakan teori etnografi komunikasi Dell Hymes
dan kemudian didukung oleh teori-teori komunikasi ekspresif. Dalam pengumpulan
data, penulis menggunakan studi pustaka dan wawancara ahli yang memiliki
hubungan dengan objek penelitian sebagai sumber data sekunder untuk data
pendukung juga pembanding. Sedangkan data primer atau data utama yang dijadikan
150
bahan untuk dianalisis diperoleh dari wawancara dengan informan selama
pengamatan berperan serta berlangsung.
Untuk menghasilkan data lapangan yang dibutuhkan dalam penelitian ini, penulis
mendapat pengalaman bahwa sikap yang kaku dan curiga dapat dipatahkan melalui
penggunaan aksen bahasa yang sama, serta kesamaan latar belakang antara penulis
dengan informan, yaitu sama-sama merasa memiliki dan mencintai adat istiadat atau
tradisi yang masih alami dan ingin mempertahankan adat istiadat atau tradisi yang
belum bercampur dengan pengaruh budaya luar.
Selain dari pada itu juga ikatan emosional juga harus ditimbulkan dan dijaga
ketika berinteraksi dengan penari Ronggeng Bugis Cirebon. Informan menjadi lebih
terbuka dan berkata apa adanya ketika didekati secara emosional dan dilibatkannya
perasaan simpati serta empati dari penulis. Sifat curiga yang sangat besar ini dapat
hilang perlahan-lahan, sehingga memudahkan penulis untuk mendapatkan data-data
primer penelitian ini.
Dalam melakukan wawancara ini penulis menyampaikan pertanyaan-pertanyaan
yang sifatnya tidak berstruktur, dalam pengertian pertanyaan-pertanyaan tidak
dipersiapkan secara berurutan dan baku, namun disesuaikan dengan keadaan
informan, walaupun pertanyaan tetap dijawab terbuka oleh informan. Wawancara
tersebut direkam dengan tape recorder. Hasil wawancara kemudian ditranskripkan ke
dalam bentuk tulisan, maksudnya adalah untuk mempermudah pekerjaan penulis
dalam langkah selanjutnya.
151
Setelah mendapatkan data yang dibutuhkan dari para informan dan hasil observasi
di lapangan yang digunakan untuk mendukung dan menjawab penelitian ini
kemudian, analisis selanjutnya adalah analisis penulis, di mana penulis akan
menganalisis bagaimana komunikasi ekspresif pada tarian Ronggeng Bugis Cirebon .
3.3. Situasi ekspresif dalam Tari Ronggeng Bugis Cirebon
Ritme adalah degupan dari musik, umumnya dengan aksen yang diulang-ulang
secara teratur. Jenis tarian yang dalam penggarapannya lebih menitik beratkan pada
ritme, adalah tari disebut sebagai tari sosial. Tari yang digarap atas dasar garis ritme
dari musik.
Situasi komunikasi ekspresif Ronggeng Bugis Cirebon tidak terlepas dari bunyi
musik yang mengiringi yakni ketipung yang bertindak sebagai pemimpin
pertunjukan, yang mengatur dan mengendalikan irama tabuhan yang disajikan di
awal maupun diakhir pertunjukan. Selain itu pula mempunyai peranan sebagai mitra
untuk menata ritme atau memperkuat gerak yang ditampilkan penari. Ritme ketipung
juga dapat menghantar ke dalam suasana yang riang, gembira, semangat dan ceria.
Gerakan penari tidak akan enak dinikmati apabila tidak selaras dengan tepak
ketipung. Peranan alat musik kenong ketuk dan gong sabet adalah memain ritme,
dalam garis besarnya ketuk dan gong sabet merupakan tonggak-tonggak irama yang
dibawakan dengan irama cepat atau irama lambat dan memberi aksen kepada gerakan
tari., dan kecrek memberi variasi yang diberikan oleh ketuk kenong. Pada awal
152
pertunjukan situasi pada pertunjukan ketika penari memasuki ruang Pertunjukan
komandan dengan memanggil rekannya suit pertanda bahwa aman lalu rekannya
datang dengan tarian level sedang yaitu setengah berdiri.
Analisis Ritme Tari Ronggeng Bugis Cirebon
no
Nama Gerak
1.
Improvisasi
Ritme Gerak
Deskriptif
Bunyi musik jreng..jreng
Pada awal tarian masuklah
lalu di ikuti dengan suit
seorang pemimpin yang siap
salah satu penari
memanggil temannya dengan
suiitt. Lalu penari pun datang
menghampiri dengan gerakan
setengah berdiri.
2.
Abar
Bunyi musik tuk (3X) ritme
nya monoton. Iramanya
sedang lalu musiknya
menjadi bunyinya perlahan.
Gerak ini disertai tengokan
dalam gerakan kepala saling
bergantian secara berulangulang, dan dilakukan oleh
dua penari kadang-kadang
sambil
jalan
berputar
melingkar. Gerak longok
mempunyai arti menengok
atau melihat, secara langsung
yang mempunyai peranan di
sini adalah bagian torso atas,
bagian leher dan kepala.
Istilah
longok
berarti
153
mengintip sebagai gambaran
dari pengintaian.
3.
Longok
Irama nya cepat
4.
Abar
Iramanya perlahan
adalah suatu gerak anggukan
kepala dilakukan sambil
berjalan terpincang-pincang
dengan istilah ragam gerak
jalak pengkor yang dilakukan
secara berulang-ulang dalam
tempo agak cepat. Ungkapan
gerak
sajian
ingin
menggambarkan
adanya
perundingan atau komunikasi
di antara penari, sesuai
dengan istilah kata besik
yang
berarti
berbicara
perlahan-lahan.
Namun
demikian, gerak besik bukan
menggunakan mulut sebagai
peran
penting.
Gerakan
dominan masih tetap torso
atas, yakni bagian kepala dan
leher.
Mengulang gerak
kemudian ada hentakan.
Musiknya monoton
5.
Besik
Bunyi musik Jreng (2X)
pada awal lalu musi pelan
namun tipis pergantian
music menjadi sunyi lalu
adalah suatu gerak anggukan
kepala dilakukan sambil
berjalan terpincang-pincang
dengan istilah ragam gerak
jalak pengkor yang dilakukan
secara berulang-ulang dalam
tempo agak cepat. Ungkapan
gerak
sajian
ingin
154
6.
Jorong dan Besik
menjadi keras.
menggambarkan
adanya
perundingan atau komunikasi
di antara penari, sesuai
dengan istilah kata besik
yang
berarti
berbicara
perlahan-lahan.
Namun
demikian, gerak besik bukan
menggunakan mulut sebagai
peran
penting.
Gerakan
dominan masih tetap torso
atas, yakni bagian kepala dan
leher.
Musiknya terhenti yang
merupakan
gerak
akhir
pertunjukan, ronggeng bugis,
sementara sajian geraknya
hampir sama seperti gerakan
abar. Kata jorong di sini
berarti lurus, ragam gerak ini
masih dominan torso atas,
yang memegang peranan
penting yaitu bagian leher
dan kepala.
terdengar hanya bunyi
tuk..tuk.
7.
Improvisasi
Musik cepat dan monoton.
Tincak galeng, menari sambil
Irama music cepat ada
duduk. pimpinannya menari
bunyi kendang. Musik
sendiri ditinggalkan oleh
perlahan ada aksen
hentakan lalu musik terhenti
kemudian musik menjadi
cepat
yang lain
155
Bunyi tabuhan musik iringan ikut mewarnai dan menegaskan situasi komunikasi
dengan hentakan musik yang dapat menggugah emosi penari maupun penonton yang
menghantarkan makna dari tarian Ronggeng Bugis, bunyi tabuhan yang menghentak
dapat membangkit jiwa heroisme bagi penarinya.
5.2.
Peristiwa Ekspresif dalam Tari Ronggeng Bugis Cirebon
Peristiwa komunikatif atau keseluruhan perangkat komponen yang utuh dimulai
dengan tujuan umum komunikasi, topik umum yang sama, dan melibatkan partisipan
yang secara umum komunikasi, topik umum yang sama, dan melibatkan partisipan
yang secara umum menggunakan varietas bahasa yang sama, mempertahankan tone
yang sama, dan kaidah-kaidah yang sama untuk interaksi, dalam setting yang sama.
Sebuah peristiwa komunikatif dinyatakan berakhir, ketika terjadi perubahan
partisipan, adanya periode hening, atau perubahan posisi tubuh (Engkus Kuswarno,
2008:41). Begitu juga dengan tari Ronggeng Bugis Cirebon yang memiliki kaidahkaidah tersebut di atas terjadi peristiwa ekspresi yang dituangkan dalam bahasa
tubuh, ekspresi muka dan tekanan tone yang dipertegas ritme musik yang mengiringi
dalam kesatuan yang utuh tari Ronggeng Bugis dapat mengekspresikan peristiwa.
Menilik struktur penyajian tari Ronggeng Bugis yang telah ditata antara motif
gerak dengan motif gerak telah ditetapkan sebagai bentuk penyajian yang utuh,
dengan iringan musik. Bunyi tetabuh sebagai musik pengiring telah mampu menjadi
mitra, menata ritme bahkan memperkuat gerak yang ditampilkan. Musik yang hadir
156
tertentu diperkuat oleh gerak, pada saat yang lain gerak yang tampil dipertegas oleh
suara iringanya yang dibunyikan. Hal ini tampak bunyi musik yang diperindah oleh
ayunan tangan yang menabuh ketipung atau instrumen perkusi lainnya. Sebaliknya,
ayunan tubuh dan langkah kaki menjadi lebih semangat dengan melodi yang
dibawakan. Melodi yang diulang-ulang yang menumbuhkan kesan monoton bukan
menjadi halangan, untuk mengatakan bahwa tari sebagai design waktu dalam
sajiannya tidak pernah lepas dari musik pengiringnya, karena dalam hal ini antara
tari dan musik erat berhubungan. Pendapat ini selaras yang diungkapan oleh La
Meri, bahwa seorang koreografer harus menyatukan atau memadukan desain waktu
dalam musik pengiringnya. Musik tari sebagai iringan tari dapat dipahami; pertama,
sebagai iringan gerak tarinya; kedua, sebagai ilustrasi pendukung suasana tarinya,
dan ketiga, dapat terjadi kombinasi keduanya secara harmonis. Ketiga cara ini dapat
disejajarkan seperti musik Barat yang biasanya disusun atas tiga elemen dasar yaitu
ritme, melodi dan harmoni (La Meri, 1965: 40). Begitu pula halnya musik tari
ronggeng bugis, musik pengiring dikategorikan sebagai ilustrasi banyak digunakan
untuk koreografi kelompok dalam bentuk sajian yang bersifat bersifat literal, baik
tipe dramatik maupun dramatari. Laku atau desain dramatik gerak tari dari awal,
berkembang menuju klimaks, sampai penyelesaiannya, sangat membutuhkan
suasana-suasana musik pengiringnya, misalnya dalam tari Ronggeng Bugis
membutuhkan suasana sepi
peperangan dan sebagainya.
atau sunyi, suasana ramai, gembira dan suasana
157
Unsur dramatik dalam penyajian tari Ronggeng Bugis, telah dibakukan yang
diungkapkan dalam motif gerak, penyajian gerak abar merupakan awal dari tarian,
dan motif gerak longok dan besik merupakan isi dari tarian Ronggeng Bugis dan
gerak klimak atau akhir diungkapkan dalam motif gerak jorong. Kedua motif gerak
longok dan besik sebagai isi dari tarian ronggeng bugis motif gerak ini diulang-ulang
penyajian sesuai dengan kebutuhan ruang waktu pertunjukan, sebagai gerak peralihan
atau jembatan antara motif gerak ke motif gerak lainnya dengan gerak melingkar ke
kiri.
Identifikasi gerak pokok tari Ronggeng Bugis Cirebon.
1) Gerak dasar abar :
(a) Gerak dasar kepala
: kendet cangreud
(b) Gerak dasar lengan atas
: ke bawah
- Gerak dasar lengan bawah
: ke samping-membengok
- Gerak dasar tangan
: ke bawah, ke samping luar
- Gerak dasar jari tangan
: membuka, tekukan
- Gerak tangan dan lengan
: ayun
(c) Gerak dasar badan :
- Gerak dasar bahu
: ke atas, ke bawah (reundeuk)
- Gerak dasar dada
: ditarik sedikit ke samping kanan
(d) Gerak dasar kaki
- Gerak dasar telapak kaki
: ke kanan, ke bawah
158
- Gerak dasar kaki ditempat
: rengkuh
2) Gerak dasar longok :
(a) Gerak dasar kepala
: reret kiri kanan
(b) Gerak dasar lengan atas
: ke bawah
- Gerak dasar lengan bawah
: ke samping-membengkok
- Gerak dasar tangan
: ke bawah, ke samping luar
- Gerak dasar jari tangan
: membuka, tekukan
- Gerak dasar tangan-lengan
: ayun
(c) Gerak dasar badan
- Gerak dasar bahu
: ke atas, ke bawah, (reundeuk)
- Gerak dasr kaki ditempat
: ditarik sedikit ke samping kanan
(d) Gerak dasar kaki
- Gerak dasar telapak kaki
: tekanan ke atas
- Gerak dasar kaki ditempat
: jengket satu
(3) Gerak dasar besik
(a) Gerak dasar kepala
: lele nenggak
(b) Gerak dasar lengan atas
: lurus ke bawah
- Gerak dasar lengan bawah
: lurus ke bawah
- Gerak dasar tangan
: ke samping, ke bawah
- Gerak dasar jari tangan
: menutup
- Gerak dasar tangan-lengan
: ayun
159
(c) Gerak dasar badan
- Gerak dasar telapak kaki
: tekanan ke bawah
- Gerak dasar kaki ditempat
: rengkuh-ajeg
(4) Gerak dasar jorong
(a) Gerak dasar kepala
: kedet cangreud
(b) Gerak dasar lengan atas
: ke bawah
- Gerak dasar lengan bawah
: membengkok ke samping
- Gerak dasar tangan
: ke bawah, ke samping luar
- Gerak dasar tangan
: ke bawah, ke samping luar
- gerak dasar tangan-lengan
: ayun
(c) Gerak dasar badan
- Gerak dasar telapak kaki
: tekanan ke bawah
- Gerak dasar kaki ditempat
: ditarik sedikit ke samping kanan
(d) Gerak dasar kaki
- Gerak dasar telapak kaki
: tekanan ke bawah
- Gerak dasar kaki ditempat
: rengkuh
Selanjutnya dibawah ini adalah Deskripsi gerak tari Ronggeng Bugis Cirebon versi
Handoyo, ada beberapa improvisasi pada tarian Ronggeng Bugis versi Handoyo.
160
no
1.
Nama Gerak
Improvisasi
Uraian
Pada
awal
tarian
masuklah
seorang
pemimpin yang siap memanggil temannya
dengan suiitt. Lalu penari pun datang
menghampiri
dengan
gerakan
setengah
berdiri.
2.
Abar
Gerak ini disertai tengokan dalam gerakan
kepala saling bergantian secara berulangulang, dan dilakukan oleh dua penari kadangkadang sambil jalan berputar melingkar.
Gerak longok mempunyai arti menengok
atau melihat, secara langsung yang
mempunyai peranan di sini adalah bagian
torso atas, bagian leher dan kepala. Istilah
longok berarti mengintip sebagai gambaran
dari pengintaian.
3.
Longok
adalah suatu gerak anggukan kepala
dilakukan sambil berjalan terpincangpincang dengan istilah ragam gerak jalak
pengkor yang dilakukan secara berulangulang dalam tempo agak cepat. Ungkapan
gerak sajian ingin menggambarkan adanya
perundingan atau komunikasi di antara
penari, sesuai dengan istilah kata besik yang
berarti berbicara perlahan-lahan. Namun
demikian, gerak besik bukan menggunakan
mulut sebagai peran penting. Gerakan
dominan masih tetap torso atas, yakni bagian
kepala dan leher.
4.
Abar
Mengulang gerak
161
5.
Besik
adalah suatu gerak anggukan kepala
dilakukan sambil berjalan terpincangpincang dengan istilah ragam gerak jalak
pengkor yang dilakukan secara berulangulang dalam tempo agak cepat. Ungkapan
gerak sajian ingin menggambarkan adanya
perundingan atau komunikasi di antara
penari, sesuai dengan istilah kata besik yang
berarti berbicara perlahan-lahan. Namun
demikian, gerak besik bukan menggunakan
mulut sebagai peran penting. Gerakan
dominan masih tetap torso atas, yakni bagian
kepala dan leher.
6.
Jorong dan Besik
merupakan
gerak akhir
pertunjukan,
ronggeng bugis, sementara sajian geraknya
hampir sama seperti gerakan abar. Kata
jorong di sini berarti lurus, ragam gerak ini
masih dominan torso atas, yang memegang
peranan penting yaitu bagian leher dan
kepala.
7.
Improvisasi
Tincak
galeng,
menari
sambil
duduk.
pimpinannya menari sendiri ditinggalkan
oleh yang lain
5.2.1. Genre ( Tipe Peristiwa )
Tari Ronggeng Bugis Cirebon menyajikan pada masa kini fungsinya sebagai
seni pertunjukan hiburan untuk hajatan, untuk menyambut tamu, serta sejumlah
162
peristiwa budaya lainnya. Kegiatan-kegiatan pementasan ini pada umumnya banyak
mengundang minat masyarakat sebagai sarana untuk menyampaikan kebaikankebaikan kepada masyarakat, karena terkandung konsep tontonan sebagai sebuah
tuntunan yakni suatu ajaran luhur bahwa kita hendaknya hidup sederhana, panarima,
berkarya, ulet dan waspada.
5.2.2. Topik
Topik yang diangkat dalam seni pertujukan tari Ronggeng Bugis Cirebon
masalah politik dalam hal terbentuknya pasukan telik sandi atau penyamaran prajurit
Cirebon.
5.2.3
Fungsi dan Tujuan
Seni pertunjukan tari Ronggeng Bugis Cirebon merupakan tari khas dari
Cirebon penari tersebut merupakan asli Cirebon. Fungsi tari Ronggeng Bugis Cirebon
selain sebagai seni pertunjukan yang bersifat menghibur juga didalamnya terdapat
pesan agar hendaknya hidup sederhana, panarima, berkarya, ulet dan waspada.
Sementara itu, tujuan pertunjukan tari Ronggeng Bugis Cirebon adalah kegiatan
melestarikan kebudayaan bangsa di tengah perkembangan globalisasi serta
melestarikan budaya leluhur agar tetap terpelihara dari generasi ke generasi.
163
5.2.4. Setting
Setting merupakan penataan tempat khusus yang dilakukan oleh pelaku
budaya berikut dengan perlengkapan dan ukuran ruang. Dalam hal ini, setting
meliputi waktu, lokasi, dan ruangan atau aspek fisik dari ruangan tersebut. Letak
sebuah peristiwa komunikatif berlangsung disebut lokasi. Waktu sangat menentukan
terjadinya peristiwa. Ruangan merupakan acuan dimana sebuah peristiwa
komunikatif terjadi yang dilakukan oleh pelaku budaya.
Lokasi pertunjukan Ronggeng Bugis Cirebon yaitu di Keraton Kasepuhan
Cirebon, yakni di tempat pertunjukan yang diberi nama balai Pagelaran tempat
khusus pertunjukan untuk menghormati atau menerima tamu dan
di panggung
terbuka Taman Budaya Bandung.
Di Keraton Kasepuhan pertunjukan tari Ronggeng Bugis Cirebon di area balai
pagelaran dengan luas 10 meter persegi ditempati para penabuh sebanyak 7 orang
dengan iringan gamelan sebagai background penari, arena penari lebar 5 meter,
panjang 10 meter . jarak penonton dengan penari hamper tidak ada hal ini,
mengakibatkan penonton dan penari bersatu sehingga penonton tidak bisa
menyaksikan tarian seutuhnya secara estetika.
Pertunjukan tari Ronggeng Bugis dipanggung Taman Budaya Bandung dengan
panggung pertunjukan yang berbentuk arena presenium penari dan penabuh ada
diatas panggung dan penabuh menghadap ke penonton sebagai backround penari
dan penari muncul dibelakang penonton. Dengan konsep tersebut diatas ada jarak
164
penonton dan penari menghadirkan rasa apresiasi yang utuh untuk menikmati tarian
secara estetis.
5.2.5. Partisipan
Pertunjukan kesenian tari Ronggeng Bugis Cirebon jumlah penari yang
mendukung dalam pertunjukan adalah 7,8, 9 hingga 40 penari tergantung kegiatan
budaya yang diusungnya. Jika pertunjukan massal bisa mencapai 40 orang. Hal ini
mengacu pula pada latar belakang kehadiran tari Ronggeng Bugis sebagai pasukan
telik sandi prajurit Cirebon, bahwa tarian Ronggeng Bugis disajikan dalam bentuk
tari kelompok.
5.2.6. Ends
Merupakan tujuan mengenai peristiwa secara umum dalam bentuk tujuan
interaksi partisipan secara individual. Secara konvensional dikenal juga sebagai
fungsi, dan diharapkan sebagai hasil akhir dari peristiwa yang terjadi; pertunjukan tari
merupakan jagat kecil sebagai sebuah representasi jagat besar (kehidupan dunia
sebenarnya) melalui asumsi ini maka proses pada konteks-konteks komunikasi hadir
dalam seni pertunjukan tari karena komunikasi bersifat omnipresent (hadir dimanamana). Berkaitan dengan asumsi tersebut maka dalam seni pertunjukan tari terdapat
konteks-konteks dalam tari komunikasi interpersonal, komunikasi publik, komunikasi
budaya.
165
Komunikasi intrapersonal, merupakan bentuk komunikasi yang difokuskan kepada
kognisi simbol dan intensi individu. Komunikasi ini menekankan pada peran dari
proses komunikasi dalam diri. Beberapa pakar komunikasi menyetujui bahwa
komunikasi interpersonal merupakan jatung dari aktivitas komunikasi (West and
Turner, 2007:34). Menurut Mulyana (2002:72) bahwa komunikasi interpersonal atau
intra-pribadi sebagai komunikasi dengan diri sendiri baik disadari ataupun tidak.
Berkaitan dengan arti komunikasi intrapersonal di atas, maka dalam seni
pertunjukan tari terdapat proses komunikasi tersebut, terutama dilakukan oleh pelaku
atau penari dan publik seni itu sendiri. Ketika pertunjukan berlangsung antara penari
dan publik seni sama-sama mengandalkan perasaan dan pengalamannya, seraya
berdialog dengan dirinya. Perasaan dan pengalaman begitu penting kedudukannya
bagi komunikasi interpersonal dalam seni pertunjukan tari dan merupakan fasilitas
alamiah dalam diri seseorang. Peranan perasaan dan pengalaman itu banyak terjadi
pada peristiwa seni pertunjukan.
Ketika pertunjukan berlangsung konteks komunikasi ini berjalan, pelaku seni atau
penari berfikir atau bertindak untuk menggerakan tubuhnya, dalam tubuhnya
berkecamuk perasaan-perasaaan bagaimana cara berbuat untuk seni atau bergerak
membentuk sebuah tarian. Telinga mereka merasakan musik yang ada sementara
anggota tubuh mereka mengikuti irama musik dalam memainkan peran, maka ia
berfikir bagaimana ia mewujudkan peran itu. Seluruh anggota tubuhnya akan
dimaksimalkan untuk membentuk peran itu termasuk juga pikirannya, perasaannya
166
dan pengalamannya mereka proses itu semua merupakan proses komunikasi
interpersonal.
Demikian halnya dengan publik pertunjukan yang juga melakukan proses
komunikasi intrapersonal dalam dirinya. Mereka (para penonton) akan menikmati
sajian cerita, gerak-gerak tubuh para penari, musik, dan unsur-unsur rupa yang hadir
dalam pertunjukan itu. Publik merasakan kegembiraan dalam hatinya atas
pertunjukan yang diapresiasinya sesuai dengan pengalaman dan perasaan. Publik juga
merasakan kesedihan dan kelucuan jika dalam cerita atau gerak dan irama yang
sesuai dengan perasaan dan pengalamannya. Dari peristiwa itu, perasaan dan
pengalaman sangat memainkan peran dalam komunikasi intrapersonal publiknya.
Komunikasi Interpersonal, lebih disarankan dalam arti yang paling luas untuk
mencakup semua interaksi di mana terdapat hubungan di antara semua partisipan
(Devito, 1997:232). Untuk hal itu definisi komunikasi interpersonal sedemikian
“cair” sebagai komunikasi antarpribadi, antara orang-orang secara tatap muka, yang
memungkinkan setiap pesertanya menangkap reaksi orang lain secara langsung, baik
secara verbal maupun nonverbal (Mulyana, 2002:73).
Momen peristiwa intrapersonal dalam seni pertunjukan lebih banyak terdapat di
belakang panggung atau dalam proses kerja kreatif antar seniman sebelum
pertunjukan itu dipentaskan. Momen-momen itu terdapat pula ketika pertunjukan
berlangsung yang ditunjukkan oleh dialog antara seorang pelaku dengan penontonnya
dalam sesi improvisasi; dialog nonverbal antara seorang penari dengan penontonnya;
167
pertukaran pesan antara penari dengan salah satu penonton; atau interaksi non verbal
antara penari dan penontonnya.
Komunikasi Publik, sering dianalogikan dengan komunikasi di depan umum
(Devito, 1997:359). Menurut West dan Turner (2007:34), komunikasi publik
biasanya berupa komunikasi dari seseorang ke banyak orang, yang pesannya bersifat
persuasif dengan memperhatikan beberapa hal yaitu analisis khalayak, kredibilitas
pembicara, dan proses penyampaian pesan yang membujuk. Sementara meminjam
catatan Mulyana (2007:82) dinyatakan bahwa komunikasi publik merupakan
komunikasi antara seorang pembicara dengan sejumlah besar orang (khalayak), yang
tidak dikenali satu per satu. Namun terdapat benang merah antara seni pertunjukan
dengan konteks komunikasi publik dengan ciri-ciri komunikasi yang meliputi: 1)
terjadi di tempat umum (publik); 2) merupakan peristiwa yang telah direncanakan; 3)
terdapat agenda; 4) beberapa orang ditunjuk untuk menjalankan fungsi-fungsi khusus.
Mengingat komunikasi seni pertunjukan terkait dengan komunikasi publik, maka
definisi publik dapat dipahami melalui istilah yang dinyatakan oleh Denton dan
Woodward (1990:14) sebagai istilah yang digunakan untuk menggantikan istilah
“masyarakat umum” atau “rakyat”. Sementara Sastropoetro (1987:35), lebih spesifik
mendefinisikan istilah publik sebagai sejumlah orang yang memiliki minat,
kepentingan, atau kegemaran yang sama. Komunikasi publik jelas terlihat pada seni
pertunjukan sebagai seni yang segmentatif, yang dalam kata lain memiliki publiknya
sendiri.
168
Dalam skala publik seni, adakalanya seni pertunjukan pada satu wilayah yang
sama atau daerah atau satu kecamatan sekalipun, tidak bisa dipaksakan untuk
diapresiasi oleh seluruh isi masyarakat yang ada dalam wilayah tersebut. Disini kita
dapat menarik garis sambung, bahwa seni pertunjukan akan selalu ditonton,
diapresiasi atau akan dapat berkomunikasi dengan publik seni itu sendiri yang
memiliki minat, kepentingan, atau kegemaran yang sama.
5.2.6. Instrumentalities (Bentuk Pesan)
Pada peristiwa komunikatif, pesan dibawa dalam bentuk non verbal. Bentukbentuk tersebut sudah berlaku universal bagi masyarakatnya yang menyebabkan
pemberian nilai dan makna masing-masing menurut individu atau kelompok
masyarakat yang bersangkutan.
Bahasa mempunyai peranan dalam menyatukan para penuturnya sebagai
anggota sebuah masyarakat tutur atau sebuah kelompok budaya. Bahasa
merupakan media untuk menyampaikan suatu pesan kepada orang lain agar orang
tersebut mengerti sehingga tujuan dapat tercapai. Bahasa merupakan bagian dari
suatu kebudayaan. Kita dapat mengenal atau mengetahui seseorang berasal dari
daerah mana melalui bahasa yang ia pakai dan dialeknya.
Mayoritas penari Ronggeng Bugis Cirebon, baik pemain atau penonton
mayoritas adalah orang Cirebon asli.
169
Komunikasi Budaya, begitu pula pada seni pertunjukan sebagai salah satu
produk kebudayaan. Komunikasi budaya memiliki banyak ragam, sekalipun ia
memiliki keterbatasan-keterbatasan yang dikarenakan oleh keragaman budaya
setiap kelompok manusia. Keragaman itu menjadikan konteks-konteks komunikasi
budaya dalam seni pertunjukan mengalami perkembangan, dari komunikasi
intrabudaya menuju komunikasi antarbudaya, dan hingga komunikasi lintas
budaya. Beberapa varian komunikasi itu menunjukkan bahwa komunikasi sangat
erat kaitannya dengan budaya, bahkan komunikasi sangat erat kaitannya dengan
budaya, bahkan Edward T.Halal (1981) mengatakan bahwa kebudayaan adalah
komunikasi dan komunikasi adalah kebudayaan (Liliweri,2002:9).
Dalam konteks komunikasi budaya , seni pertunjukan merupakan bagian dari
perengkat model pengetahuan atau sistem makna yang terjalin secara menyeluruh
dalam simbol-simbol yang ditranmisikan lewat seni pertunjukan. Untuk hal itu,
seni pertunjukan sesungguhnya menyajikan model pengetahuan atau sisitem
makna yang digunakan secara selektif oleh anggota masyarakat pendukungnya
untuk berkomunikasi dalam menghadapi lingkungannya, guna memenuhi berbagai
kebutuhan.
Komunikasi budaya dalam seni pertunjukan menjadi unsur pengikat yang
mempersatukan pedoman-pedoman bertindak yang berbeda hingga menjadi suatu
desain yang utuh, menyeluruh , oprasional dan dapat diterima sebagai hal yang
bernilai oleh masyarakat pendukungnya.konteks komunikasi budaya dalam seni
170
pertunjukan merupakan wadah komunikasi masyarakat yang berupaya mencapai
tujuannya
dalam
mengubah
sikap,
mengubah
opini/pendapat/pandangan,
mengubah perilaku serta mengubah budaya masyarakat itu sendiri. Peristiwa
pertunjukan bukan semata-mata fenomena, melainkan noumena. Seni pertunjukan
disajikan tidak hanya untuk pancaindera, tetapi juga untuk mata hati yang secara
kultural menjadi sangat simbolik.
Hubungan komunikasi transedental dengan seni pertunjukan cukup beralasan
jika melihat jenis kesenian rakyat di Jawa Barat. Ketika seni pertunjukan
ditampilkan dalam upacara selametan, maka di situ bentuk komunikasi
transedental
muncul
antara
pelaku
seni
pertunjukan,
pertunjukan,
dan
masyarakatnya. Dalam pertunjukan yana demikian, dipercayai oleh masyarakatnya
ada kehadiran Sang Maha Kuasa di dunia manusia. Konteksnya pertunjukan yang
demikian menjadi bagian dari proses komunikasi transeden yang menghadirkan
keramat (karomah) dan berkah (barokah).
5.2.8 .Isyarat yang digunakan dalam bentuk percakapan
Isyarat merupakan bentuk saluran komunikasi yang digunakan komunikator
pada komunikan. Isyarat ini bisa berupa gerak tubuh, gerakan kepala, ekspresi wajah,
atau mimik muka. Penggunaan isyarat didukung dengan penggunaan bahasa lisan
yang dimaksudkan untuk memperjelas suatu makna yang ingin disampaikan. Isyarat
biasanya muncul dalam percakapan tanpa disadari. Isyarat tersebut digunakan dalam
171
interaksi ditengah tarian. Semua itu menjadi penjelasan dalam proses penyampaian
pesan.
5.2.9. Act Sequence (Isi pesan atau Urutan Tindak)
Di dalam pertunjukan Ronggeng Bugis Cirebon, baik sebelum maupun pada
saat dipertontonkan kepada masyarakat oleh seorang penari, dilakukan suatu tarian
sebagai media dalam menyampaikan pesan.
Pesan yang terkandung dalam pertunjukan tari Ronggeng Bugis Cirebon
tersebut dikemas dan disampaikan melalui media gerak yang simbolis. Namun
pula ada menganggap bahwa pesan simbolis tersebut dipandang dari aspek hiburan
yang menimbulkan rasa senang atau lucu yang layak sebagai sebuah tontonan yang
menghibur. Tari Ronggeng Bugis yang sarat dengan simbol yang juga memberi
makna serta nilai-nilai kepatriotan seorang prajurit yang berperan sebagai
teliksandi baik dalam bentuk verbal maupun non verbal.
Disisi lain bahwa tari Ronggeng Bugis disimboliskan sebagai proses media
perdamaian dan obyek penyampaian ajaran keagamaan yang dimaknai selaku umat
manusia beragama Islam harus memelihara perdamaian antar umat dan
menghindari peperangan secara fisik yang akan menghacurkan berbagai aspek
kehidupan umat manusia di muka bumi ini. Hal lain dapat dikatakan juga bahwa
pertunjukan tari Ronggeng Bugis merupakan wadah berlangsungnya interaksi
sosial yang melibat proses komunikasi.
172
Keys, mengacu pada cara atau spirit pelaksanaan tindak tutur, dan hal tersebut
merupakan fokus referensi.
5.2.10. Kaidah Interaksi
Manusia merupakan makhluk sosial yang selalu membutuhkan orang lain.
agar dapat berhubungan dengan orang lain, manusia haruslah berinteraksi dan
berkomunikasi dengan orang lain, manusia haruslah berinteraksi, maka proses
komunikasi dan keinginan seseorang tidak akan tercapai. Manusia saling
berhubungan untuk mencapai suatu tujuan dalam hidupnya sendiri maupun dalam
kelompoknya. Kelompok manusia yang disebut masyarakat akan berkembang
seiring dengan kebudayaan.
Interaksi yang terjadi pada seni pertunjukan Ronggeng Bugis Cirebon terjadi
antara penari dengan penari, penari dengan pemusik, penari dengan penonton, dan
penonton dengan penonton. Interaksi antara penari dengan penari berlangsung
pada gerakan ketika berbisik-bisik. Interaksi dengan penonton berlangsung secara
spontan disertai dengan menarik penonton untuk ikut menari. Sementara itu,
interaksi antara sesama penonton terjadi baik verbal maupun non verbal.
173
5.2.11. Norma Interpretasi
Tari Ronggeng Bugis lahir ketika merebut kekuasaan untuk menjadi kerajaan
Islam. Namun, kini tarian tersebut menjadi tari pertunjukan dalam tarian tersebut
terkandung sikap hidup sederhana, panarima, berkarya, ulet dan waspada, yang
berangkat dari strategi perang kini menjadi ciri khas masyarakat Cirebon yang
tetap dipertahankan hingga saat ini. Nilai filosofis ini sesungguhnya merupakan
nilai-nilai universal yang diwujudkan dalam bentuk
pesan sosial dan ajaran
moralitas.
5.3. Tindak ekspresif dalam Ronggeng Bugis Cirebon
Berdasarkan pernyataan Hymes, tentang pemahaman mengenai unit-unit diskrit
aktivitas komunikasi dalam menganalisis aktivitas komunikasi dalam entnografi
komunikasi,
maka penulis mencoba menganalisis komponen-komponen tindak
ekspresif pada seni pertunjukan seni tari Ronggeng Bugis Cirebon, Berlangsungnya
peristiwa komunikatif dari pertunjukan yang sarat dengan pesan dalam bahasa tubuh.
seperti: bentuk ekspresi, karateristik gerakan, dan isyarat yang digunakan.
5.3.1. Bentuk Ekspresi
Ekspresi adalah wujud emosi yang nampak. Bentuk ekspresi yang sering
digunakan orang pada umumnya adalah senang, sedih, bingung dan lain-lain. Pada
seni pertunjukan tari Ronggeng Bugis Cirebon terdapat juga ekspresi. Ekspresi
174
tersebut digunakan sebagai awal dari proses komunikasi atau pada dahulu dijadikan
penyamaran dalam merebut kekuasaan.
Dalam tarian Ronggeng Bugis Cirebon tidak hanya disajikan untuk ditonton
oleh para penonton namun, dalam bentuk pelestarian dari nilai sejarah serta nilai
moral terkandung pada tarian Ronggeng Bugis Cirebon.
5.3.2. Karakteristik Gerakan
Gerakan merupakan aspek budaya yang digunakan untuk komunikasi.
Penggunaan gerak biasa digunakan oleh orang-orang untuk melengkapi bahasa
verbal. Pengaruh tersebut akan terlihat dari cara berbicara disertai gerakan yang
sesuai dengan yang disampaikan penari yang bersangkutan maupun sistem
kepercayaan dan sistem nilai yang berlaku diwilayah setempat.
Mengingat lahirnya tarian tersebut sejak dahulu di tarikan oleh orang Bugis,
yang mempunyai karakteristik pemberani dan mau melakukan apapun. Cirebon
merupakan Kota Pelabuhan hal yang memungkinkan banyak pendatang dari berbagai
suku berdomisili di Cirebon, namn tarian ini di tarikaun oleh orang Cirebon asli sikap
pemberani dalam tarian ini tidak berubah ketika semangat dulu.
175
5.3.3. Isyarat Gerak
Isyarat merupakan bentuk saluran komunikasi yang digunakan komunikator
pada komunikan. Isyarat ini bisa berupa gerak tubuh, gerakan kepala, ekspresi wajah,
wajah mimik muka. Begitu halnya pada tarian Ronggeng Bugis prioritas gerakan dan
mimik muka merupakan isyarat yang mempertegas.
Berdasarkan pembahasan dalam Bab IV, diketahui bahwa di dalam
pertunjukan seni tari Ronggeng Bugis Cirebon terkandung isyarat yang tertuang
dalam unsur-unsur simbol yang sarat dengan makna.
176
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
3.3. Rangkuman
Indonesia merupakan Negara yang memiliki beraneka ragam budaya
seperti: adat-istiadat, suku bangsa, kepercayaan, tradisi, bahasa, kesenian, dan
sebagainya. Kebudayaan memiliki eksistensi yang berkesinambungan dan
juga menjadi warisan sosial. Budaya juga tidak lepas dari pengaruh
komunikasi, dengan adanya kontak-kontak atau interaksi sosial antar manusia
atau melalui difusi. Proses interaksi sosial pada dasarnya adalah sebuah proses
komunikasi. Yakni proses penyampaian pikiran atau perasaan seseorang atau
komunikator kepada orang lain atau komunikan dalam wujud simbol.
Tari Ronggeng Bugis merupakan sebuah budaya yang berwujud seni
pertunjukan tari, yang lahir dari proses penyamaran yang dahulu dilakukan
oleh orang Bugis atas perintah Sunan Gunung Djati dari Cirebon dalam
merebut kekuasaan dari tangan Kerajaan Padjadjaran.
Di dalam seni tari Ronggeng Bugis Cirebon terkandung suatu ajaran luhur
bahwa kita hendaknya hidup sederhana, panarima, berkarya, ulet dan
waspada. Yang berangkat sebagai media politik pada awal kehadirannya tari
Ronggeng Bugis Cirebon menjadi ciri khas masyarakat Cirebon yang tetap
dipertahankan hingga saat ini. Nilai filosofis ini sesungguhnya merupakan
177
nilai-nilai universal yang diwujudkan dalam bentuk pesan sosial dan ajaran
moral.
Tari Ronggeng Bugis sarat dengan ekspresi dan simbol, juga memberikan
banyak memberikan makna serta nilai-nilai melalui perilaku non verbal.
Disinggung lebih lanjut, tari Ronggeng Bugis Cirebon disimboliskan
sebagai sebuah tarian yang sarat dengan jiwa kepatriotan sosok seorang
prajurit untuk membela kerajaan Cirebon ingin berdaulat atau mederka lepas
dari kekuasaan kerajaan Padjadjaran. Sehingga dapat dinyatakan bahwa
pertunjukan seni tari
Ronggeng Bugis Cirebon merupakan wadah
berlangsungnya interaksi sosial yang mana melibatkan proses komunikasi.
Pesan yang terkandung dalam pertunjukan seni Ronggeng Bugis Cirebon
dikemas
dan
disampaikan
melalui
media
gerakan
atau
tari
yang
disimboliskan.
Dengan demikian, dalam struktural interaksi sosial dan proses pertukaran
secara simbolik, kedua hal tersebut dapat didekduktifkan menjadi dua hal
utama, yaitu komunikasi dan budaya. Manusia perlu menjalankan fungsi
sosialnya perlu melakukan interaksi dengan manusia lainnya. Komunikasi
menjembatani budaya beserta perangkatnya melalui interaksi dengan proses
komunikasi, karena budaya merupakan landasan komunikasi.
178
3.4. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan penulis, terdapat tiga unit
analisis yang dirangkum sebagai berikut:
1. Situasi komunikasi ekspresif dalam tari Ronggeng Bugis Cirebon,
Situasi komunikasi ekspresif Ronggeng Bugis Cirebon tidak terlepas dari
bunyi musik yang mengiringi yakni ketipung yang bertindak sebagai
pemimpin pertunjukan, yang mengatur dan mengendalikan irama tabuhan
yang disajikan di awal maupun diakhir pertunjukan.
2. Peristiwa Komunikasi ekspresif dalam tari Ronggeng Bugis Cirebon
menyangkut tipe peristiwa, topik, fungsi atau tujuan, setting, partisipan,
bentuk pesan seperti bahasa yang digunakan, isi pesan dan urutan tindak,
serta kaidah interaksi dan norma interprestasi. Tari Ronggeng Bugis
merupakan tipe peristiwa disajikan dalam bentuk hiburan-hiburan untuk
menyambut tamu, hajatan dan kegiatan budaya lainnya.Topik yang
diangkat dalam seni pertunjukan tari Ronggeng Bugis Cirebon masalah
politik dalam hal terbentuknya pasukan telik sandi atau penyamaran
seorang prajurit Cirebon. Fungsi dari tari Ronggeng Bugis selain sebagai
seni pertunjukan yang bersifat menghibur juga di dalamnya terkandung
suatu ajaran luhur bahwa kita hendaknya hidup sederhana, panarima,
berkarya, ulet dan waspada selain itu juga memiliki sikap keperwiraan
atau heroisme. Bahasa yang digunakan pada pertunjukan seni tari
179
Ronggeng Bugis adalah bahasa non verbal yaitu yaitu berupa gerakan
ekspresif dari penari Ronggeng Bugis Cirebon.
3.
Berdasarkan pernyataan Hymes, tentang pemahaman mengenai unit-unit
diskrit aktivitas komunikasi dalam menganalisis aktivitas komunikasi
dalam entnografi komunikasi,
maka
penulis mencoba menganalisis
komponen-komponen tindak ekspresif pada seni pertunjukan seni tari
Ronggeng Bugis Cirebon, Berlangsungnya peristiwa komunikatif dari
pertunjukan yang sarat dengan pesan dalam bahasa tubuh. seperti: bentuk
ekspresi, karateristik gerakan, dan isyarat yang digunakan.
3.4. Saran
Berdasarkan hasil analisis pada tarian Ronggeng Bugis Cirebon maka penulis
dapat memberikan saran serta masukan-masukan, yakni sebagai berikut:
1. Etnografi Komunikasi adalah metode untuk membedah objek pada tari
Ronggeng Bugis Cirebon, namun referensi etnografi komunikasi yang
lahir dari ilmu Antropologi harus dikembangkan dan diajarkan dan
dikenal kan oleh para pengajar metode ini sangat menarik agar kita lebih
mengerti dan mendalami suatu budaya yang memang di Indonesia
memiliki budaya yang banyak dan metode ini adalah salah satu untuk
mengetahui atau mengenal lebih jauh tentang budaya dari konteks
komunikasi.
180
2. Tari adalah salah satu media komunikasi melalui tarian representasi
kehidupan disampaikan begitu banyak makna dalam tari. Namun, minat
generasi muda terhadap tari di rasa kurang alangkah baiknya sosialisasi
untuk seni dan budaya ditingkatkan.
3. Tari Ronggeng Bugis Cirebon merupakan salah satu aset bangsa yang
harus dikembangkan dan dilestarikan keberadaaannya mengingat
keberadaan tarian Ronggeng Bugis Cirebon sudah jarang peran
masyarakat dan pemerintah sangat dibutuhkaan untuk kemajuan seni
rakyat ini. Peran Dinas pariwisata Cirebon kurang memberi kesempatan
kepada kesenian ronggeng Bugis Cirebon ini padahal tarian tersebut sarat
dengan sejarah Cirebon yang bisa menampilkan keunikan dalam
penampilan tari Ronggeng Bugis Cirebon.
3.4.2. Saran Praktis
1. Tari Ronggeng Bugis Cirebon merupakan salah satu tari asal Jawa
Barat namun, diperankan oleh laki-laki yang berangkat dari sejarah
yang dahulu tarian tersebut yang digunakan untuk berperang. Tari
Ronggeng Bugis Cirebon mempunyai pitutur sinandi.
2. Untuk kelestarian seni pertunjukan Ronggeng Bugis Cirebon perlu
dikembangkan lagi berbagai usaha dalam hal promosi.
181
3.4.3. Saran Bagi Pengembangan Ilmu
1. Penulis menyarankan agar buku-buku tentang etnografi terutama
entografi
komunikasi
lebih
diperbanyak
lagi
sehingga
akan
memperkaya referensi bagi para peneliti etnografi komunikasi.
2. Hendaknya ada penelitian lain yang tertarik untuk meneliti seni
pertunjukan Ronggeng Bugis Cirebon dalam aspek yang lebih
mendalam, seperti usaha-usaha promosi dan sosialisasi untuk menjaga
kelestarian seni pertunjukan tersebut.
182
DAFTAR PUSTAKA
Azis, Abdul. 1994. Tari Ronggeng Bugis Di Kabupaten Cirebon. Bandung:
Putlitmas
ASTI Bandung
Caturwati,Endang dkk.2003. Lokalitas, Gender dan Seni Pertunjukan di Jawa
Barat.
Yogyakarta: Aksara Indonesia
Caturwati, Endang.2008. Tari di Tatar Sunda. Bandung: STSI press Bandung
Denton, R.E., G.C. Woodward. 1990. politic
Farida, 2009. “Perkembangan Fungsi Tari Ronggeng Bugis Cirebon.” Tesis
Pascasarjana Pengkajian Seni Pertunjukan Institut Seni Indonesia (ISI)
Yogyakarta
Hadi, Sumandiyo H.2003. “Mencipta Lewat Tari”. Yogyakarta : Manthili
Yogyakarta.
Irianto , Bambang. 2009. “ Tari Ronggeng Bugis : Sebuah Karya Seni Unik
yang
Multikultur “ Makalah Work Shop dan Festival Kesenian tradisional
Cirebon 18 Juni
2009. Depbudpar Diirjen Nilai Budaya , Seni dan Film Balai Pelestarian
Sejarah dan
Nilai Tradisional Jawa Barat
Jaeni, 2009. “Komunikasi Estetik dan Tindakan Simbolik Dalam Pertunjukan
Teater
Rakyat”, Usulan Penelitian Disertasi Program Pascasarjana
Universitas Padjadjaran (UNPAD) Bandung
Jaeni, 2009. “Seni Pertunjukan dalam perspektif komunikasi di era
informasi”. Orasi ilmiah wisuda XIII STSI Bandung. 12 Desember, 2009.
Kuswarno, Engkus.2008. Etnografi Komunikasi, Penerbit: Widya Padjadjaran
Liliweri, Alo.2003. Makna Budaya Dalam Komunikasi Antarbudaya.
Yogyakarta: LKIS
Mademoiselle Hastuti:Kuliah 1 Komunikasi- Definisi&konsep hastutiwulanningrum.blogspot.com
183
Mulyana, Deddy.2006. Metode Penelitian Kualtitatif. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
___________________.2004. Komunikasi Efektif: Suatu Pendekatan Lintas
Budaya.
Bandung: Remaja Rosdakarya.
____________________. 2005. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung:
PT Remaja
Rosdakarya.
Royce, Anya Peterson.2007. Antropologi Seni. Terjemah F.X. Widaryanto
Bandung:
STSI press Bandung
Sastropoetro, R.A. Santoso. 1987. Pendapat Publik, Pendapat Umum, dan
Pendapat
Khalayak dalam Komunikasi Sosial. Bandung: CV.
Remadja Karya.
Spradley, James P. 2007. Metode Etnografi. Yogyakarta: Tiara Kencana
Syam, Nina Winangsih, 2006. Komunikasi Transendental. Bandung: Yayasan
Arena Komunikasi
www.coremap.or.id/downloads/mengapakitaberkomunikasi
Suhaenah, Euis.1999. “Profil Handoyo dan karyanya”, Putlimas STSI
Bandung
Sumandiyo Hadi, Y.2002. Sosiologi Seni. Yogyakarta: Manthili Yogyakart
Sudarsono, tp. Tari-tarian Indonesia I, Jakarta: Proyek Pengembangan Media
Budaya Dirjen Depdikbud Jakarta
Zakiah ,Kiki, 2008. “ Penelitian Etnografi Komunikasi: Tipe dan Metode”,
dalam
184
Mediator Jurnal Komunikasi Vol.9 Nomor 1 2008.
Narasumber Lisan
1. Wilyanto Sebagai penari Ronggeng Bugis Cirebon
185
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 : Ketika wawancara dengan salah satu penari Ronggeng Bugis Cirebon
186
Gambar 2 : ketika penari sudah pentas
Gambar 3 : Ibu Atie Pemilik sanggar yang didirikanBersama Pa Handoyo
187
Gambar 4 : Para Penari Ronggeng Bugis
188
DRAFT WAWANCARA DENGAN PENARI RONGGENG BUGIS
Hari/Tanggal: Rabu,07 oktober 2009
Tempat: Plumbon, Cirebon
Penari yang bernama Wilyanto ini sudah menggeluti Tari Ronggeng pada tahun 1999,
willy menceritakan awalnya dia menjadi penari ronggeng bugis, ajakan dari Pak
Handoyo menjadikan gerbang menjalani profesi sebagai penari. Sehari-hari willy
begitu panggilan akrabnya menjalani usaha percetakan. Salah satu alasan willy untuk
tetap menjalani. Tari Ronggeng Bugis ini memang berbeda dengan tari Ronggeng
biasa ditarikan oleh seorang perempuan, Ronggeng ada ketika zaman penjajahan dan
arti nama Ronggeng itu sendiri penghibur. Namun, Ronggeng Bugis menyajikan hal
yang berbeda, tentu ini tidak lepas dari Sejarah. Pertanyaan seperti Mengapa harus
laki-laki? Apakah ini tarian banci? Mas Willy membantah bahwa tarian yang ia
bawakan bukan tarian banci dan menegaskan bahwa penarinya bukan banci.
Segi pakaian dan make up pun jauh seperti definisi ronggeng adalah penari
wanita yang menghibur wanita, jika merujuk pada definisi Ronggeng itu sendiri
Ronggeng Bugis jauh dari kesan itu. Dukungan kostum dan Tata Rias wajah penari di
rias secara jenaka, memakai gelungan kecil dan bunga. Kostum terdiri dari kebaya
berwarna menyala, terkadang memakai rompi dan kain batik dodot yang diikat
dengan stagen. Atau menggunakan variasi lain dengan penampilan yang mencolok
yang mengundang gelak tawa. Menurut Willy untuk make up memakai sendiri dan
dibebaskan untuk berekspresi namun, tidak asal dalam artian tetap pada konsep yaitu
make up yang lucu.
189
Jumlah Penari paling banyak adalah 16 orang, kadang 8 orang tergantung dari
pertunjukkannya, jika pertunjukan besar memungkinkan penarinya hingga 40. Tarian
ini pun bukan hanya untuk kepentingan pertunjukan besar dalam hajatan pun tari
ronggeng Bugis kerap ditampilkan. Gelak tawa dari penonton pun menjadikan tari
ronggeng ini dinilai jenaka, gerakan yang unik dan kadang dibumbui penonton tak
heran jika tarian ini ada disuatu pertunjukkan selalu ditunggu-tunggu oleh penonton.
Rasanya pesan yang kita sampaikan kepada penonton melalui tarian Ronggeng Bugis
dimengerti oleh penonton, tutur penari kelahiran 10 Februari 1978 ini. Berikut
petikan wawancaranya:
1. Dalam Tari Ronggeng Bugis ada berapa orang?
Jawab:
Jumlah Penari paling banyak adalah 16 orang, kadang 8 orang tergantung dari
pertunjukkannya, jika pertunjukan besar memungkinkan penarinya hingga 40
2.
Bagaimana anda tertarik dengan Tari Ronggeng Bugis Cirebon?
Jawab:
Penari yang bernama Wilyanto ini sudah menggeluti Tari Ronggeng pada
tahun 1999, willy menceritakan awalnya dia menjadi penari ronggeng bugis,
ajakan dari Pak Handoyo menjadikan gerbang menjalani profesi sebagai
penari Tarian ini pun bukan hanya untuk kepentingan pertunjukan besar
dalam hajatan pun tari ronggeng Bugis kerap ditampilkan.
3. Anda tahu asal usul dari tari Ronggeng Bugis Cirebon?
190
Jawab : Penyamaran atau Telik sandi yang ingin merebut kekuasaan dari
kerajaan padjadjaran.
4. Dalam setiap manggung adakah reaksi yang diperlihatkan penonton ketika
Anda menari?
Jawab:
Gelak tawa dari penonton pun menjadikan tari ronggeng ini dinilai jenaka,
gerakan yang unik dan kadang dibumbui penonton tak heran jika tarian ini ada
disuatu pertunjukkan selalu ditunggu-tunggu oleh penonton
5. Apakah Pesan yang ingin disampaikan kepada penonton sesuai anda yang
ingin disampaikan?
Jawab:
Rasanya pesan yang kita sampaikan kepada penonton melalui tarian
Ronggeng Bugis dimengerti oleh penonton, tutur penari kelahiran 10
Februari 1978 ini.
6. Jika masalah make up siapa yang mendandani?
Jawab:
Dukungan kostum dan Tata Rias wajah penari di rias secara jenaka, memakai
gelungan kecil dan bunga. Kostum terdiri dari kebaya berwarna menyala,
terkadang memakai rompi dan kain batik dodot yang diikat dengan stagen.
Atau menggunakan variasi lain dengan penampilan yang mencolok yang
mengundang gelak tawa. Menurut Willy untuk make up memakai sendiri dan
191
dibebaskan untuk berekspresi namun, tidak asal dalam artian tetap pada konsep
yaitu make up yang lucu.
7. Apakah Anda setuju bahwa tari itu dinilai tari banci?
Jawab :
Mas Willy membantah bahwa tarian yang ia bawakan bukan tarian banci dan
menegaskan bahwa penarinya bukan banci. Semua penari Ronggeng Bugis
Cirebon tidak ada yang banci.
Download