PERINGATAN !!! Bismillaahirrahmaanirraahiim Assalamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh 1. Skripsi digital ini hanya digunakan sebagai bahan referensi 2. Cantumkanlah sumber referensi secara lengkap bila Anda mengutip dari Dokumen ini 3. Plagiarisme dalam bentuk apapun merupakan pelanggaran keras terhadap etika moral penyusunan karya ilmiah 4. Patuhilah etika penulisan karya ilmiah Selamat membaca !!! Wassalamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh UPT PERPUSTAKAAN UNISBA Komunikasi Ekspresif Tari Ronggeng Bugis Cirebon Penelitian Kualitatif Dengan Pendekatan Etnografi Komunikasi mengenai komunikasi ekspresif dalam Tari Ronggeng Bugis Cirebon Skripsi Disusun Oleh : Hanna Wisudawaty 10080005239 BIDANG KAJIAN JURNALISTIK ` FALKULTAS ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG 2009 2 3 Jika Allah memerintahkan untuk bersyukur dan bersabar, karena itulah jiwa dari kehidupan. Tapi syukur dan sabar baru bermakna bila dilandasi keikhlasan karena Allah dan tawakal (Ust. Syakir Jamaluddin, MA) KU persembahkan Tulisan ini: Kepada orang yang selalu mendukung dalam pengerjaan tulisan ini terutama untuk Keluarga dan sahabat terima kasih buat semangat dan cinta kalian membuat ku berwarna Thanks for all… 4 ABSTRAKSI Skripsi ini berjudul Komunikasi Ekspresif Ronggeng Bugis Cirebon merupakan penelitian kualitatif dengan metode etnografi komunikasi. Seni Tari sebagai ekspresi manusia bersifat estetis, kehadirannya tidak bersifat independen. Dilihat secara tekstual, tari dapat dipahami secara aspek bentuk dan teknik yang berkaitan dengan komposisinya (analisis bentuk atau penataan kreografinya), teknik penarinya (analisis cara melakukan atau keterampilan). Seni merupakan kebutuhan manusia, walaupun bukan kebutuhan pokok. Bukan saja dalam bentuk hal-hal yang indah, tetapi lebihlebih lagi dalam konsep-konsep seni yang sekarang. Kita bisa bayangkan bila dalam kehidupan tidak ada seni, alangkah sepinya dan monotonnya kehidupan kita tanpa kehadiran dunia seni. Misalnya tidak ada suara musik dan gamelan degung yang merdu begitu enak didengar, tidak ada tari Merak yang enak dipandang, dan lain sebagainya. Sementara dapat dilihat secara kontekstual yang berhubungan dengan ilmu sosial antara lain, Sosiologi maupun Antropologi, yaitu tari sebagai bagian imanen dan integral sosial kultural. Aspek komunikasi ekspresif pada Tari Ronggeng terlihat pada ekspresi yang sejalan dengan gerakan dan membuat suatu persepsi yang hendak disampaikan para penari menampilkan kewaspadaan. Jika merujuk pada salah satu Fungsi Komunikasi dalam dimensi konseptual yaitu ekspresif menyampaikan pesan atau emosi secara nonverbal. Metode Etnografi komunikasi ini penulis menggunakan teori dari Dell Hymes yaitu bagaimana situasi ekspresif dalam tari Ronggeng Bugis Cirebon, Peristiwa ekspresif dalam tari Ronggeng Bugis Cirebon, dan Tindak ekspresif tari Ronggeng Bugis Cirebon. Terdapat beberapa pola yang mempengaruhi situasi ekspresif, peristiwa ekspresif, dan tindak ekspresif yakni dari segi musik, pakaian, tarian dan tempat. i 5 KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala kekuatan yang diberikan di dalam menyelesaikan skripsi ini. Seklaipun bukan pada waktu yang ideal penulis dapat menyelesaikannya, namun tetap saja skripsi ini memiliki nilai yang sangat berarti sebagai bagian dari sejarah hidup penulis yang cukup penting dan strategis. Sungguh suatu kebanggaan tersendiri dapat menyelesaikan tugas skripsi ini di tengah rutinitas kegiatan dan kesibukan yang rasanya tidak pernah putus. Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Ilmu Komunikasi di Universitas Islam Bandung (UNISBA). Namun di samping tujuan tersebut penulis berharap apa yang penulis susun ini menjadi suatu yang dapat diambil manfaatnya dalam kehidupan berkomunikasi . adapun judul yang diangkat yaitu “ Komunikasi Ekspresif Ronggeng Bugis Cirebon”. Selama menyelesaikan skripsi ini penulis telah mendapatkan banyak bantuan dan dukungan, namun hanya ucapan terima kasih dan penghargaaan yang setinggitingginya yang dapat penulis sampaikan kepada: 1. Ucapan Syukur ke hadirat Illahi Robbi atas segala rahmat dan karuniannya yang telah dilimpahkan kepada penulis; 2. Ibunda dan ayahanda tercinta yangselalu ikhlas dengan do’anya, terutama buat ibunda yang selalu memberikan motivasi sehingga skripsi ini dapat selesai; 6 3. Ibu Kiki Zakiah selaku Dosen Pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu dengan kesibukan yang ibu punya saya jadi banyak belajar juga dari Ibu bukan hanya cara mengerjakan skripsi tapi sikap tidak menyerah ibu ajarkan; 4. Bu Ema Khotimah, Dra., S.pd., M.si. selaku Ketua Jurusan Jurnalistik yang memberikan dorongan moril yang sangat berkesan. 5. Buat semua dosen Jurnalistik Bu santi, Pa Septi, Bu Yenni, Bu atie, dan seluruh Dosen Jurnalistik telah memberikan ilmu dan motivasi selagi kuliah tidak hanya ilmu yang di dapat tapi makna yang semua kita kerjakan tugas walaupun dibarengi dengan mengeluh tapi banyak memberikan makna buat saya; 6. Bu Ida Farida selaku dosen STSI yang meneliti objek yang sama walaupun meneliti yang beda tapi banyak memberikan masukan lalu Pa Anggi Ketua Jurusan Seni Rupa STSI yang mau mendengarkan curhatan soal skripsi bapak pernah bilang “jangan ngeliat susahnya sekarang tapi hasilnya buat masa depan” nasehat yang bikin saya semangat pak,hehe….. 7. Buat Ririn, Dwi, Elyse dan Anum (makasih soul waktu itu dah nawarin ngetik karena tangan tangan aku agak terganggu,hehe makasiiii dari awal masuk kita bareng terus neh wisuda juga bareng pkoknya silaturahmi kita jangan keputus walaupun dah jarang ketemu!!!) walaupun kita beda jurusan tetep bareng terus maennya. 7 8. Buat teman-teman dikampus Erna, Irma, Wida, Wita,(pokoknya anak-anak lebai yang ikut ke dufan tea, yuu…lagi…yu seru banget,,hehe). Trus buat Rian yang setia menjadi teman ku dari awal masuk kuliah ga nyangka ya kita terus sekelas jadi terus bersama katanya rumahnya mau pindah deket aku yaa,, makin deket aja neh kita, makasih dah sabar denger keluhan aku, kadang aku yang banyak ngeluh tapi kamu sabar, the best lah buat kamu tak lupa ceceu kin sang pengkritik mujarab ko kritikannya temen gossip juga kalo gosip ma kamu berapi-api seru uy…..!!! ( hehe…. ) pokoknya buat kalian love u forever!!! Terus buat anum..makasi buat semangat dan share buat skripsinya jadi kita bisa saling tuker informasi,hehe. 9. Buat pengalaman di Cirebon saat-saat mau melakukan wawancara bikin berkesan musibah yang memang tak terduga disaat saya semangat untuk mengerjakan skripsi, tapi saya mendapat banyak hikmah yaitu begitu berartinya waktu tiap harinya,hehehe….. 10. Teman dirumah anak-anak Komplek Panyileukan Deva, hanny, Ririn dan Via kalian adalah teman yang dari kecil hingga sekarang tak pernah putus untuk memberikan support, walaupun kita punya kesibukan masing-masing tapi kita selalu saling memberikan support; 11. Temen-temen di Bandung TV makasih kang Erwin (makasi ya kang suka denger curhtan aku yang ga penting,hehe kapan atuh maen lagi), kang Maul (kang sukses ya ma tunangannya ditunggu kapan nikahnya,hehe) , the 8 Neneng, The Diana (The kalo liputan masih suka nelepon pacar ga,hehehe), Bu Yayu (makasih dah nganter tea, aku baliknya kemaleman,hehe) dkk. Thank u so much banyak ngasi masukan buat skripsi, kangeun ikh masa-masa bersama kalian seru…seru bodor-bodor……(hehehe…..) 12. Bapak Handoyo selaku pemilik sanggar Pringgading Cirebon terima kasih buat waktunya; 13. Mas willy selaku salah satu Penari Ronggeng Bugis luangkan waktu untuk wawancara, tapi mas ketika wawancara tangan kanan saya di perban waktu wawancara masih merasa sakit, penuh perjuangan memang untuk melakukan wawancara itu sebelum waktunya saya mendapat musibah kecelakaan; 14. Ali Hasan Kakak ku yang tercinta yang di Cirebon sudah memberikan dukungan materi dan moril dan Bibi ketika disana banyak memberikan dukungan moril dan membantu data-data yang dibutuhkan. 15. Buat keponakan ku aji kalo ngetik diganggu pengen pake lagu tapi ga apa deh nambah menantang ajah skripsinya,hehe… 9 16. Buat temen-temen dikampus dan diluar yang kenal maaf ga bisa disebutin satu-satu pkoknya terima kasih doa dan support kalian sangat berarti buat aku; Wassalamu’alaikum wr.wb Bandung, 08 Desember 2009 Hanna Wisudawaty Penulis 10 DAFTAR ISI Halaman LEMBAR PENGESAHAN LEMBAR MOTO ABSTRAKSI………………………………………………………………………i KATA PENGANTAR…………………………………………………….....……ii DAFTAR ISI…………………………………………………………………..…...vi DAFTAR GAMBAR………………………………………………………………ix BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang................................................................................................. 1 1.2. Rumusan Masalah………………………………………………………… 6 1.3. Identifikasi Masalah……………………………………………………….. 6 1.4. Pembatasan Masalah……………………………………………………….. 6 1.5. Tujuan Penelitian……………………………………………………............7 1.6. Kegunaan Penelitian………………………………………………………...7 1.6.1. Kegunaan Teoritis……………………………………………………. 7 1.6.2. Kegunaan Praktis…………………………………………………...... 8 1.7. Pengertian Istilah…………………………………………………………... 8 1.8. Alasan Pemilihan Masalah……………………………………………….... 10 1.9. Kerangka Pemikiran……………………………………………………...... 10 1.10. Metodologi Penelitian…………………………………………………..... 14 1.10.1. Metodologi Penelitian………………………………………... ....... 14 1.10.2. Teknik Pengumpulan Data……………………………………...... 18 1.11. Langkah-langkah Penelitian…………………………………………....... 20 11 1.12. Organisasi Karangan…………………………………………………… 20 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Pustaka………………………………………………………… 23 2.1.1. Pengertian Komunikasi…………………………………………… 23 2.1.2. Pengertian Komunikasi Verbal…………………………………… 24 2.1.3. Komunikasi Nonverbal…………………………………………… 26 2.1.4. Komunikasi Ekspresif…………………………………………….. 29 2.1.5. Komunikasi dan Budaya…………………………………………… 32 2.2. Tari Sebagai Sarana Komunikasi…………………………………………. 32 2.3. Definisi Tari……………………………………………………………….. 35 BAB III METODOLOGI DAN OBJEK PENELITIAN 3.1. Metodologi Penelitian…………………………………………………….. 58 3.1.1. Metode penelitian Kualitatif……………………………………….. 58 3.1.2. Ciri-ciri Metode Kualitatif ………………………………………….. 62 3.1.3 Karakteristik Penelitian Kualitatif……………………………………. 63 3.2. Etnografi dan Etnografi Komunikasi …………………………………….. 65 3.2.1. Etnografi dan Etnografi Komunikasi……………………………….. 65 3.2.2. Tahapan Penelitian Dalam Etnografi Komunikasi……………………. 72 3.2.3. Penelitian Etnografi Komunikasi……………………………………... 75 3.2.4. Proses Pengumpulan Data…………………………………………….. 90 12 3.2.5. Teknik Pengumpulan Data…………………………………………….. 91 3.3. Objek Penelitian………………………………………………………………. 92 3.4. Profil Cirebon………………………………………………………………… 93 3.5. Masyarakat dan Budaya Cirebon……………………………………………. 95 BAB IV ETNOGRAFI PERTUNJUKAN TARI RONGGENG BUGIS CIREBON 4.1. Asal-usul Ronggeng………………………………………...……………….. 100 4.1.1. Ronggeng di Jawa Barat………………………………………………. 100 4.1.2. Ronggeng Bugis Cirebon……………………………………………... 101 4.1.3. Pertumbuhan dan Perkembangan Ronggeng Bugis………………… 105 4.1.4. Media Pertunjukan Ronggeng Bugis……………………………….. 117 4.1.5. Musik Pengiring Tari Ronggeng Bugis…………………….. 125 4.1.6. Tahap Introduksi…………………………………………… 127 4.1.7. Pelaku Ronggeng Bugia…………………………………… 128 4.1.8. Sejarah Singkat Sanggar Pringgading……………………… 130 4.2. Pesan Komunikasi yang Terkandung dalam Pertunjukan Ronggeng Bugis Cirebon……………………………………………………………. 132 4.2.1. Deskripsi Hasil Pengamatan………………………………… 132 4.2.2. Pembahasan Hasil Pengamatan…………………………….... 133 BAB V KOMUNIKASI EKSPRESIF RONGGENG BUGIS DALAM KAJIAN ETNOGRAFI KOMUNIKASI 13 5.1. Situasi ekspresif dalam Tari Ronggeng Bugis Cirebon………………... 135 5.2. Peristiwa Ekspresif Dalam Ronggeng Bugis……………………………. 141 5.2.1. Tipe Peristiwa……………………………………………….......... 147 5.2.2. Topik……………………………………………………………… 148 5.2.3. Fungsi dan Tujuan………………………………………………… 148 5.2.4. Setting……..………………………………………………….......... 149 5.2.5. Partisipan…………………………………………………………. .. 150 5.2.6. Ends……………………………………………………………….. 150 5.2.7. Bentuk Pesan……………………………………………………... 154 5.2.8. Isyarat yang digunakan dalam bentuk percakapan……………….. 156 5.2.9. Act Sequence (Isi Pesan atau urutan Tindak)……………………... 157 5.2.10. Kaidah Interaksi…………………………………………………. 158 5.2.11. Norma Interpretasi………………………………………………. 159 5.3. Tindakan Ekspresif dalam Ronggeng Bugis Cirebon…………………….. 159 5.3.1. Bentuk Ekspresi……………………………………………………. 159 5.3.2. Karakteristik Gerakan……………………………………………… 160 5.3.3 Isyarat gerak………………………………………………………… 161 BAB VI KESIMPULAN 6.1. Rangkuman………………………………………………………………...162 6.2. Kesimpulan…………………………………………………………………164 6.3. Saran………………………………………………………………………..165 14 6.3.1. Saran Praktis………………………………………………………….. 166 6.3.2 Sarana Bagi Pengembangan Ilmu……………………………………. 167 DAFTAR PUSTAKA 15 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan kita sehari-hari komunikasi memegang peranan yang sangat penting. Kita tidak bisa tidak berkomunikasi, tidak ada aktifitas yang dilakukan tanpa komunikasi, dikarenakan kita dapat membuat beberapa perbedaan yang esensial manakala kita berkomunikasi dengan orang lain. Demikian pula sebaliknya, orang lain akan berkomunikasi dengan kita, baik dalam jangka pendek ataupun jangka panjang. Cara kita berhubungan satu dengan lainnya, bagaimana cara kita memberikan kontribusi sebagai anggota keluarga kelompok, komunitas, organisasi dan masyarakat secara luas membutuhkan suatu komunikasi. Sehingga menjadikan komunikasi tersebut menjadi hal yang sangat fundamental dalam kehidupan kita. Tari pun menjadi salah satu media komunikasi. Tari Ronggeng Bugis Cirebon salah satu yang memilki sejarah dan pesan dari setiap gerakan yang membentuk suatu tarian yang ingin disampaikan kepada penonton. Ronggeng telah ada pada jaman kolonial Belanda, di Jawa Barat sendiri lahirnya Ronggeng adalah karena pada jaman kolonial susahnya mendapatkan penghasilkan menjadikan wanita rela untuk menjadi ronggeng, ronggeng pada masa itu merupakan profesi yang menuntut banyak keterampilan, selain menari dan menyanyi, juga masih melayani 16 para laki-laki mencari hiburan. Boomgaard, dalam tulisannya hasil riset dari berbagai referensi di masa kolonialis menuturkan, bahwa perempuan-perempuan yang tergabung dalam ‘kelompok ronggeng’, diantaranya, para pelacur , gadisgadis desa , serta buruh perempuan yang ingin mencari penghasilan tambahan dengan menari dan menyanyi di tempat hajatan selamatan para penari dan kaum ningrat (Boomgaard , 2004 : 282 – 283 ). Di dalam komunikasi lisan, ada dua cara dasar di dalam berkomunikasi , yaitu: komunikasi verbal dan nonverbal. Di dalam komunikasi verbal, kita menyampaikan pesan menggunakan kata-kata (bahasa). Sedangkan di dalam komunikasi non-verbal kita mengirimkan pesan menggunakan tanda-tanda, symbol, sikap tubuh (gesture), ekspresi wajah, nada bicara dan tekanan kalimat. Komunikasi sedikitnya melibatkan empat komponen, yaitu : 1. Komunikator, Sumber komunikasi atau pengirim pesan, yakni seseorang atau sekelompok orang atau suatu organisasi yang mengambil inisiatif mengirimkan pesan. 2. Pesan, berupa lambang atau tanda, seperti kata-kata (dalam bentuk tertulis atau lisan) gesture dan lain-lain. 3. Media atau saluran komunikasi, yakni sesuatu yang dipakai sebagai alat pengiriman pesan (misalnya telepon, radio, surat, suratkabar, email, SMS , TV atau gelombang udara). 17 4. Komunikan atau penerima pesan, yakni seseorang atau sekelompok orang yang menjadi sasaran penerima pesan. Secara sederhana, proses komunikasi dapat digambarkan sebagai berikut : pertama-tama, proses komunikasi selalu ditimbulkan oleh inisiatif seseorang yang ingin menyampaikan sebuah pesan kepada orang lain atau sekelompok orang. Orang yang memprakasai komunikasi ini disebut sebagai komunikator. Jika anda berbicara kepada teman anda , isi perkataan anda itulah yang disebut dengan pesan . Supaya bisa menyampaikan pesan , komunikator itu membutuhkan media atau saluran. Umpan balik adalah informasi yang diberikan oleh komunikan kepada komunikator, yang menandakan bahwa pesan tersebut telah diterima dan dipahami. Melalui umpan balik ini, komunikator dapat memeriksa dan memastikan apakah penerima pesan atau komunikan sudah menerima pesan, sesuai dengan keinginannya atau tidak. Ada kemungkinan, pesan yang dipahami oleh komunikan itu berbeda dengan yang di kehendaki. Hal ini bisa terjadi karena pesan tersebut mengalami ganggguan selama pengiriman. Akibatnya, pesan tersebut tidak dapat diterima dengan utuh. Sama hal nya dengan tari Ronggeng Bugis Cirebon yang menjadi suatu media komunikasi dalam menyampaikan pesan terhadap komunikan. Tari Ronggeng Bugis Cirebon adalah nama tarian yang berasal dari daerah Cirebon. Lahirnya tari Ronggeng Bugis Cirebon, menurut penuturan nara sumber dari kalangan keraton Kasepuhan ada keterkaitan dengan sejarah awal berdirinya kerajaan Islam di Cirebon. Kata ronggeng dalam kaitannya dengan “ ronggeng bugis “ 18 merupakan suatu pengecualian karena penarinya bukan seperti dalam pengertian ronggeng pada umumnya . Nama tarian ini terdiri dari kata ronggeng dan bugis. Kata ronggeng yang sekarang berkembang di masyarakat Cirebon artinya adalah penari wanita atau tandak primadona sebagai pelayan kehormatan (dalam hal teman menari) dalam beberapa pertunjukan jenis tari, misalnya tari Tayub, tari Ketuktilu dan sebagainya. Kata Ronggeng dalam kesenian ronggeng bugis, adalah penari pria yang berbusana wanita, sedangkan pengertian kata bugis disini adalah salah satu suku/ras bangsa di wilayah Indonesia, yang mendiami pulau Sulawesi Selatan dan sekitarnya. Kekecualian tersebut dapat dipahami karena ronggeng yang dimaksud berbusana wanita tiada lain adalah wadam/banci. Konon, di daerah bugis, banci-banci itu adalah seorang bissu. Jadi ronggeng ini sebenarnya adalah bissu yang menyamar menjadi telik sandi. Seni merupakan kebutuhan manusia, walaupun bukan kebutuhan pokok. Bukan saja dalam bentuk hal-hal yang indah, tetapi lebih-lebih lagi dalam konsep-konsep seni yang sekarang. Kita bisa bayangkan bila dalam kehidupan tidak ada seni, alangkah sepinya dan monotonnya kehidupan kita tanpa kehadiran dunia seni. Misalnya tidak ada suara musik dan gamelan degung yang merdu begitu enak didengar, tidak ada tari Merak yang enak dipandang, dan lain sebagainya. Dalam perjalanan sejarah yang panjang kita dapat menyaksikan bahwa seni telah dimanfaatkan oleh manusia penciptanya untuk bermacam-macam tujuan dan kegunaannya, untuk pendidikan, hiburan, sarana pemujaan, media dakwah, dan untuk 19 menopang kehidupan mereka dan masyarakat, patung-patung Budha dan Siwa merupakan perlengkapan yang teramat penting dalam upacara-upacara agama, guci, pas bunga, kursi berukir merupakan alat-alat rumah tangga yang banyak di antaranya memiliki juga nilai seni. Aspek komunikasi ekspresif pada Tari Ronggeng terlihat pada ekspresi yang sejalan dengan gerakan dan membuat suatu persepsi yang hendak disampaikan para penari menampilkan kewaspadaan. Jika merujuk pada salah satu Fungsi Komunikasi dalam dimensi konseptual yaitu ekspresif menyampaikan pesan atau emosi secara nonverbal. Ketertarikan penulis meneliti dengan fokus penelitian Komunikasi Ekspresi Tari Ronggeng Bugis Cirebon, selain keunikan para penarinya laki-laki yang berbusana wanita yang mengekspresikan pesan kepatriotan seorang prajurit yang menyamar juga sebagai seni tontonan yang mengandung tuntunan bagi penontonnya terkandung dalam tarian tersebut. Berdasarkan fenomena sekarang yang menarik terdapat di Kabupaten Cirebon keberadaan fungsi tari Ronggeng Bugis Cirebon diawali sarana media politik sebagai penyamaran berubah menjadi hiburan atau tontonan yang saling berkaitan dalam kehidupan masyarakat. 20 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas maka penulis memberikan sebuah rumusan terhadap permasalahan yang dibahas, yaitu : Bagaimanakah ekspresi dari tari Ronggeng Bugis Cirebon. 1.3. Identifikasi Masalah Melihat perumusan masalah di atas, maka dalam penelitian ini, penulis meneliti dan mencatat beberapa identifikasi masalah, sebagai berikut: 1. Bagaimana Situasi Ekspresif Ronggeng Bugis Cirebon? 2. Bagaimana Peristiwa Ekspresif Ronggeng Bugis Cirebon? 3. Bagaimana Tindak Ekspresif RonggengBugis Cirebon? 1.4 . Pembatasan Masalah Berdasarkan penjabaran dari latar belakang di atas maka masalah dibatasi sebagai berikut: 1. Tema Utama : Komunikasi Ekspresif Tari Ronggeng Bugis Cirebon 2. Objek Penelitian atau Unit Analisis adalah Tari Ronggeng Bugis Cirebon di Kota Cirebon. 3. Fokus penelitian adalah mengenai komunikasi ekspresif yang dilakukan oleh penari Ronggeng Bugis versi Handoyo dengan cara mereka menyampaikan pesan hingga terjadi komunikasi efektif. 21 1.5. Tujuan Penelitian Adapun Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.5.1 Untuk mengetahui bagaimana situasi komunikasi ekspresif tari Ronggeng Bugis Cirebon. 1.5.2 Untuk mengetahui bagaimana peristiwa komunikasi ekspresif tari Ronggeng Bugis Cirebon. 1.5.3 Untuk mengetahui bagaimana tindak komunikasi ekspresif tari Ronggeng Bugis Cirebon . 1.6. Kegunaan Penelitian 1.6.1. Kegunaan Teoritis 1. Secara teoritis maupun metodologis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan terhadap perkembangan ilmu komunikasi dan ilmu etnografi komunikasi pada khususnya terutama kajian komunikasi ekspresif dalam kajian tari. 2. Memberikan informasi mengenai komunikasi ekspresif yang ada pada tarian Ronggeng Bugis Cirebon yang menjelaskan tentang penyamaran yang dilakukan orang Bugis dalam merebut kekuasaan dari Kerajaan Padjadjaran. 22 1.6.2 Kegunaan Praktis 1. Secara praktik, peneliti mengharapkan adanya pengetahuan terhadap pembaca atau kepada pecinta budaya seni tentang tarian Ronggeng Bugis Cirebon. 2. Memberi motivasi terhadap masyarakat agar terus mengenal budaya Seni Indonesia dan melestarikan budaya Indonesia. 1.7. Pengertian Istilah 1. Ronggeng merupakan profesi yang menuntut banyak keterampilan, selain menari dan menyanyi, juga masih melayani para laki-laki yang mencari hiburan. 2. Tari adalahGerakan badan (tangan dan sebagainya) yang berirama dan biasanya diiringi bunyi- bunyian (musik:gamelan) 3. Komunikasi ekspresif adalah Komunikasi ekspresif menyampaikan pesan atau emosi secara nonverbal. Misalnya, seorang ibu menunjukkan kasih sayang terhadap anaknya dengan membelai kepala anaknya. Seseorang dapat menyalurkan kemarahannya dengan berkacak pinggang, mengepalkan tangan, atau memelototkan matanya. Di samping itu, emosi juga dapat tersalurkan melalui bentuk-bentuk seni seperti puisi, novel, lukisan atau tarian (mademoiselle Hastuti: wulanningrum.blogspot.com/2) Kuliah 1 komunikasi/ hastuti- 23 4. Etnografi adalah pekerjaan mendeskripsikan suatu kebudayaan dan upaya untuk memperhatikan makna-makna tindakan dari kejadian yang menimpa orang yang ingin dipahami (Spradley, 2006:3) 5. Etnografi Komunikasi adalah Recurrent Events, dalam etnografi komunikasi adalah peristiwa-peristiwa komunikasi yang signifikan, dan menjadi ciri khas dari perilaku komunikasi suatu kelompok masyarakat. Yang kedua, peristiwa komunikasi menurut etnografi komunikasi adalah keseluruhan perangkat komponen yang utuh, yang dimulai dengan tujuan utama komunikasi, topik umum yang sama, dan melibatkan partisipan yang secara umum menggunakan varietas bahasa yang sama, mempertahankan tone yang sama dan kaidah-kaidah yang sama untuk berinteraksi, dan dalam setting yang sama. Sebuah peristiwa berakhir bila ada perubahan dalam batasanbatasannya, misalnya ketika terdapat keheningan, atau perubahan posisi tubuh partisipan komunikasi. Yang ketiga, komponen komunikasi menurut etnografi komunikasi adalah unit-unit komunikasi yang menunjang terjadinya satu peristiwa komunikasi. Berbeda dengan prespektif behaviorisme, komponen komunikasi pada etnografi komunikasi terdiri dari tipe peristiwa, topik, tujuan, setting , partisipan, bentuk pesan, isi pesan, urutan tindakan, kaidah interaksi, dan norma interaksi. Yang keempat, hubungan antarkomponen yang dimaksud adalah bagaimana setiap 24 komponen komunikasi saling bekerja sama untuk menciptakan perilaku komunikasi yang khas dari kelompok masyarakat tersebut. 1.8. Alasan Pemilihan masalah Adapun alasan pemilihan masalah dari penelitian ini adalah sebagai berikut : Masalah yang dipilih dalam penelitian ini, karena ketertarikan penulis untuk mengupas lebih jauh mengenai tindak, peristiwa, situasi dalam tarian RonggengBugis Cirebon. Selain itu, keunikan pesan dalam tarian Ronggeng-Bugis Cirebon, merupakan daya tarik bagi penulis untuk menelusuri lebih jauh lagi. 1.9. Kerangka Pemikiran Manusia adalah makhluk sosial, yaitu mahluk yang tidak bisa hidup sendiri, manusia harus berhubungan dengan orang lain, dengan lingkungan pada umumnya. Begitu juga dengan suku anak dan suku-suku lainnya yang ada di dunia. Mereka selalu memiliki perbedaan antara suku bangsa yang satu dengan bangsa lain. Sebagai pegangan dasar untuk mengetahui pesan yang disampaikan tari Ronggeng Bugis Cirebon dan mengetahui hubungan teks dan konteksnya, perlu disampaikan beberapa pandangan para ahli mengenai komunikasi, semiotika, serta tari Ronggeng Bugis Cirebon itu sendiri, pada dasarnya adalah sesuatu yang dikomunikasikan lewat tanda-tanda dan simbol-simbol. 25 Adapun fungsi dari tarian Ronggeng Bugis Cirebon ditengah masyarakat adalah sebagai tuntunan untuk penonton Ronggeng Bugis/ Telik Sandi mempunyai pitutur sinandi terkandung suatu ajaran luhur bahwa kita hendaknya hidup sederhana, panarima, berkarya, ulet dan waspada. Tari Ronggeng Bugis yang dikembangkan di Cirebon, bersifat Islami, memiliki keperwiraan. Tari ini bukan untuk menonjolkan identitas yang tidak jelas secara kelamin/ gender yaitu antara laki-laki dengan perempuan atau banci, akan tetapi heroisme keperwiraan yang penuh dengan resiko yang dikemas dengan cerdas dalam bentuk telik sandi/ spionase. Menurut sebagian pendapat lisan, konon pasukan Telik Sandi ini dipimpin oleh panglima wanita yang cantik, cerdas dan gagah perkasa, yaitu Nyi Mas Gandasari yang berasal dari kerajaan Aceh, murid Ki Sela Pandan, pendiri Cirebon. Komunikasi ialah “ketika suatu sumber menyampaikan suatu proses kepada penerima dengan niat yang disadari untuk mempengaruhi perilaku penerima” (Miller, 2002:62). Komunikasi dengan manusia lain tidak akan terlepas dari prasangka baik atau buruk. Hal ini tentunya berkaitan dengan persepsi yang timbul dan melekat dalam pikiran seseorang. Seperti yang diungkapkan oleh Deddy Mulyana dalam bukunya yang berjudul Ilmu Komunikasi Suatu Penganar mengenai komunikasi verbal dan nonverbal sebagai berikut: 26 Kita mempresepsi manusia tidak hanya lewat bahasa verbalnya misalnya bagaimana bahasanya (halus, kasar, intelektual, mamppu berbahasa asing dan sebagainya) namun juga melalui perilaku nonverbalnya. Pentingnya pesan nonverbal ini misalnya dilukiskan frase, “bukan apa yang ia katakan, melainkan bagaimana ia mengatakannya”. Lewat pesan nonverbal seseorang, kita dapat mengetahui suasana emosional seseorang, apakah ia sedang bahagia, bingung atau sedih. Secara sederhana, pesan nonverbal semua isyarat yang bukan kata-kata (Mulyana, 2005:308) Pesan-pesan nonverbal sangat berpengaruh dalam komunikasi. Sebagaimana pesan verbal atau kata-kata,kebanyakan isyarat nonverbal juga tidak universal, melainkan terikat oleh budaya. Pesan nonverbal membantu kita menafsirkan seluruh makna pengalaman komunikasi. Istilah nonverbal biasanya digunakan untuk melukiskan semua peristiwa komunikasi di luar kata-kata terucap dan tertulis. Komunikasi nonverbal adalah komunikasi tanpa kata-kata (karena tidak berkata-kata) (Liliweri, 1994:89). Pada saat yang sama kita harus menyadari bahwa banyak peristiwa dan perilaku nonverbal ini ditafsirkan melalui simbol-simbol verbal. Tingkah laku lebih berbicara dari pada sekedar kata-kata, dan itu berlaku bukan hanya dalam pencintaan, namun juga dalam bidang-bidang kehidupan lainnya. Menurut Jurgen Ruesch mengenai isyarat pesan nonverbal sebagai berikut: Isyarat pesan nonverbal dapat diklasifikasikan menjadi tiga bagian yaitu, pertama bahasa tanda (sign language), misalnya bahasa isyarat mengancungkan jempol tanda setuju. Kedua, bahasa tindakan (action language) yaitu semua gerakan tubuh yang tidak digunakan secara eksklusif untuk memberikan sinyal, misalnya berjalan. Ketiga, bahasa objek (object language) yaitu pertunjukan benda, pakaian, dan lambang 27 bersifat publik lainnya, baik sengaja ataupun tidak (Mulyana, 2005:317). Isyarat pesan nonverbal di atas dapat digunakan dalam komunikasi ekspresif, karena komunikasi ekspresif adalah salah satu fungsi yang digunakan dalam berkomunikasi. Komunikasi ekspresif dilakukan ketika seseorang ingin menyampaikan perasaan atau emosi mereka. Ketika mereka ingin menyampaikan pesan mereka baik itu melalui verbal dan nonverbal mereka harus berhubungan dan menyampaikan pesan tersebut kepada orang lain. Intinya, ketika ingin mewujudkan keinginan atau maksud maka, pertamatama hal yang harus dilakukan adalah berhubungan dengan orang lain, baik melalui pesan verbal dan nonverbal. Hal ini juga berarti bahwa seseorang melakukan komunikasi agar seseorang lain suka, percaya dan berbuat sesuatu untuk orang tersebut. Sistem komunikasi verbal dan nonverbal berbeda dari satu budaya dengan budaya lainnya. Kajian etnografi yang berhubungan dengan budaya-budaya juga bervariasi dalam konteks dimana sistem-sistem verbal dan nonverbal digunakan. Orang-orang dalam budaya yang berbeda mengharapkan perilaku-perilaku yang berbeda dari satu sama lainnya dalam suatu hubungan. Komunikasi ekspresif memang tidak akan pernah terlepas dari kehidupan manusia yang berhubungan dengan penyampaian pesan mengenai perasaan-perasaan atau emosi yang bergejolak dalam diri seseorang.Selain pesan disampaikan melalui pesan nonverbal, pesan juga bisa disampaikan melalui verbal. Seperti yang 28 diungkapkan oleh Deddy Mulyana dalam bukunya yang berjudul Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar yaitu “Emosi kita juga dapat disalurkan lewat bentuk-bentuk seni seperti puisi, novel, musik, tarian, atau lukisan” Mulyana (Mulyana, 2005:22). Filosofi dari Tari Ronggeng itu sendiri adalah terkandung suatu ajaran luhur bahwa kita hendaknya hidup sederhana, panarima, berkarya, ulet dan waspada. Tari Ronggeng Bugis Cirebon yang dikembangkan di Cirebon, bersifat Islami, memiliki keperwiraan. Tari ini bukan untuk menonjolkan identitas yang tidak jelas secara kelamin/gender yaitu antara laki-laki dengan perempuan atau banci, akan tetapi heroisme keperwiraan yang penuh dengan resiko namun dikemas dengan cerdas dalam bentuk telik sandi/spionase. 1.10. Metodologi Penelitian 1.10.1. Metodologi Penelitian Dalam suatu penelitian, tidak terlepas dari pemilihan pendekatan yang hendak digunakan dalam penelitian tersebut. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif karena metode kualitatif dapat digunakan untuk mengungkap dan memahami sesuatu di balik fenomena yang sedikit pun belum diketahui. Metode ini juga dapat digunakan untuk menndapatkan wawasan tentang sesuatu yang baru sedikit ketahui. Penelitian kualitatif bukanlah mencari “kebenaran” mutlak, namun mengakui adanya dunia diluar dirinya. Akan tetapi dunia tersebut tidak dapat dikenal 29 sepenuhnya secara mutlak. Mau tak mau melihat dunia dari segi pandangnya, atau biasanya dari segi pandang responden, dan pandang responden antara satu dengan lainnya sudah pasti akan berbeda. Pandangan tersebut tidak semata-mata subjektif dan relativisik. “kebenaran” menurut penelitian kualitatif bergantung pada dunia realitas empirik dan konsensus dalam masyarakat ilmuan. Penelitian kualilatif lebih menekankan kepada subjektifitas dalam melakukan interpretasi terhadap suatu masalah yang akan dikaji. Namun, berbeda dengan penelitian kualitatif, penelitian kuantitatif lebih bersifat objektif. Menurut pandangan subjektif, perilaku manusia itu bersifat kontekstual. Salah satu implikasinya adalah bahwa bila manusia tidak hanya sekedar merespon rangsangan dari luar, maka kita akan sulit menggeneralisasikanya (Mulyana, 2003:34-35) Penelitian kualitatif disebut juga sebagai penelitian naturalistik. Disebut kualitatif karena sifat data yang dikumpulkan yang bercorak kualitatif, bukan kuantitatif karena tidak menggunakan alat-alat pengukur. Sedangkan disebut naturalistik, karena situasi lapangan bersifat natural atau wajar, sebagaimana adanya, tanpa dimanipulasi, diatur dengan eksperimen atau tes. Penelitian naturalistik mengakui adanya dunia luar. Akan tetapi apa sebenarnya dunia itu tidak dapat diketahui secara mutlak. Dalam penelitian kuantitatif dikarenakan penelitiannya berpegang pada teori tertentu maka bersifat hipotetikodeduktif. Sedangkan penelitian naturalistik bersifat induktif, dimana justru mencoba mencari dan menemukan suatu teori berdasarkan data yang dikumpulkan. Maka 30 metode naturalistik terbuka bagi penemuan baru. Dalam penelitian naturalistik, mulamula dikumpulkan data empiris, dari data tersebut ditemukan pola atau thema (jadi ada penemuan atau discovery) dan kelak dikembangkan menjadi teori. Jalannya ialah dari yang spesifik kepada yang umum. Namun setelah ditemukan suatu pola, maka pola tersebut masih perlu diuji dengan menguji kebenarannya pada data baru yang spesifik. Dalam penelitian kualitatif tidak digunakan istilah “realibilitas”. Yang dipakai ialah istilah kesesuaian, kecocokan (fit), yakni kesesuaian antara data yang dikumpulkan dengan apa yang sesungguhnya terjadi. Sedangkan pendekatan yang digunakan oleh penulis adalah dengan menggunakan pendekatan etnografi komunikasi. Etnografi berasal dari kata ethos dan graphien. Ethos berarti bangsa atau suku bangsa, sedangkan graphien adalah tulisan atau uraian. Etnografi adalah kegiatan penelitian untuk memahami cara orang-orang berinteraksi dan bekerjasama melalui fenomena teramati kehidupan sehari-hari. Jadi etnografi bertujuan menguraikan budaya secara menyeluruh, yakni semua aspek budaya baik yang bersifat material maupun bersifat abstrak. Ciri khas dari metode penelitian etnografi adalah analisis data yang dilakukan secara holistic, bukan parsial. Etnografi lazimnya bertujuan untuk menguraikan budaya tertentu secara holistic, yaitu aspek budaya baik spiritual maupun material. 31 Inti dari etnografi, peneliti dituntut untuk mencoba memahami makna perbuatan dan kejadian bagi orang atau objek yang bersangkutan menurut kebudayaan dan pandangan mereka. Kebudayaaan,antara lain kelakuan dan artifak atau benda-benda yang dibuat hanya merupakan semacam permukaan telaga dalam yang dalam yang mengandung aspek pengetahuan kultural yang luas. Penelitian yang penulis susun ini, mengenai suatu budaya dengan melihat sisi komunikasinya. Etnografi tidak hanya secara mutlak mendeskripsikan sebuah kebudayaan dari sisi antropologinya saja, tetapi dapat juga dilihat dari sudut pandang komunikasi. Dikarenakan dalam sebuah budaya diciptakan oleh masyarakat budaya,terdapat unsur interaksi sosial didalamnya. Seperti yang dikemukakan oleh Birowo dalam Metode Penelitian Komunikasi, apabila metode etnografi ini dapat disebut sebagai etnografi komunikasi (Birowo,2004:111). Salah satu penelitian etnografi komunikasi adalah mendeskripsikan dan menganalisis komunikasi dengan menggunakan unit-unit analisis yang memiliki batasan-batasan. Ada tiga unit analisis yang dikemukakan oleh Hymes, yaitu situasi, peristiwa dan tindak (Ibrahim, 1994:35). Situasi komunikatif merupakan konteks terjadinya komunikasi. Dalam hal ini situasi bisa saja tetap sama walaupun lokasinya berubah. Sebagai contoh, sebuah pertunjukan tari Ronggeng Bugis yang disajikan dipegelaran keraton Kasepuhan yang ramai dihadiri oleh masyarakatnya khusus sebagai undangan pada siang hari tidak akan memberikan konteks yang sama seperti pertunjukan tari Ronggeng Bugis disajikan di arena yang hiruk pikuk oleh karamaian 32 masyarakatnya sebagai peserta arak-arakan atau penonton. Jadi, situasi komunikatif dapat berubah dalam lokasi yang sama apabila aktivitas-aktivitas yang berbeda berlangsung di tempat itu pada saat yang berbeda. Untuk menganalisis bahasan komunikasi dalam kajian etnografi komunikasi, dibutuhkan juga suatu pembahasan dari perilaku komunikatif didalam suatu masyarakat tutur dengan satuan-satuan interaksinya. Dell Heymes mengemukakan unit-unit analisis, yaitu situasi komunikatif, peristiwa komunikatif, dan tindak komunikatif. Dan pernyataan Dell Heymes di atas yang digunakan oleh penulis di dalam penelitian ini. 1.10. 2. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dalam penelitian merupakan satu unsur yang sangat penting. 1. Observasi Peneliti memanfaatkan teknik pengumpulan data melalui observasi atau pengamatan karena pertama, teknik observasi ini didasarkan atas pengalaman secara langsung. Kedua, teknik observasi juga memungkinkan melihat dan mengamati sendiri, kemudian mencatat perilaku dan kejadian sebenarnya. Ketiga, teknik observasi memungkinkan peneliti ampu memahami situasisituasi yang rumit. Terakhir, karena dalam kasus tertentu ketika teknik 33 komunikasi lainnya tidak memungkinkan, observasi atau pengamatan dapat menjadi alat yang sangat bermanfaat. 2. Wawancara Dalam penelitian mengenai Tari Ronggeng-bugis ini peneliti juga menggunakan wawancara untuk mengumpulkan data. Yaitu melakukan interview dengan penari Ronggeng Bugis Cirebon Handoyo. 3. Catatan Lapangan Peneliti pada waktu di lapangan akan membuat “catatan”, setelah pulang ke rumah atau tempat tinggal kemudian penulis mulai menyusun “catatan lapangan”. Peneliti juga menggunakan teknik ini karena ketika melakukan pengamatan, catatan yang dibuat di lapangan dengan catatan selain itu membuat peneliti lebih mudah untuk mengingat kejadian atau peristiwa yang terjadi di lapangan. Catatan ini berupa coretan seperlunya yang sangat dipersingkat. Misalnya, berisi kata-kata inti, frase, pokok-pokok inti pembicaraan serta pengamatan dan lain-lain. Catatan ini dapat membantu peneliti ketika melakukan pengamatan mengenai bagaimana ekspresif Tari Ronggeng Bugis Cirebon. 4. Dokumentasi Dokumentasi adalah salah satu teknik pengumpulan data yang digunakan oleh peneliti yang dapat membantu penelti dalam melakukan penelitian. 34 Dokumentasi digunakan dalam bentuk gambar atau foto baik itu yang diambil langsung oleh peneliti maupun dari pihak-pihak lembaga sosial masyarakat setempat yang bekerja sama dengan peneliti. 1.11. Langkah-langkah Penelitian Adapun tahapan yang digunakan untuk memperoleh data dan informasi, adalah: 1. Studi kepustakaan, dengan mempelajari buku-buku, makalah, dan dokumen yang berkaitan dengan obyek penelitian. 2. Studi lapangan dilakukan langsung dengan cara wawancara, yaitu mengajukan pertanyaan-pertanyaan lisan secara tatap muka dengan nara sumber untuk mendukung data-data yang telah didapat dari buku-buku, makalah dan dokumentasi Tari Ronggeng Bugis itu sendiri. 3. Merumuskan masalah 4. Menentukan sampel penelitian 5. Melakukan proses penelitian 1.12. Organisasi Karangan Bab I Pendahuluan Bab ini memuat tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, identifikasi masalah, pembatasan masalah, tujuan 35 penulisan, kegunaan penelitian, pengerian istilah, anggapan dasar, metodologi penelitian, langkah-langkah penelitian, serta organisasi karangan. Bab II Tinjauan Pustaka Tinjauan atas konsep-konsep yang mendasari permasalahan. Penulis akan fokus pada tinjauan tentang Ronggeng. Teori Seni Tari. Kemudian tentang Tari sebagai sarana Komunikasi, pada hakekatnya semua seni termasuk tari bermaksud untuk dikomunikasikan. Bab III Metodologi Dan Objek Penelitian Bab ini memaparkan secara umum penelitian kualitatif, pendekatan etnografi komunikasi, teknik pengumpulan data, objek penelitian, serta tahapan penelitian. Bab IV Tinjauan Tentang Tari Ronggeng Bugis Cirebon Berisi tentang pembahasan tinjauan tari Ronggeng Bugis Cirebon secara umum juga pembahasan tentang kelompok Seni Pertunjukan Ronggeng Bugis. 36 Bab V Analisis Komunikasi Ekspresif Ronggeng Bugis Cirebon Berisi tentang pembahasan komunikasi ekspresif pada tari Ronggeng Bugis Cirebon, analisis perilaku ekspresif yang terdiri dari analisis situasi komunikasi ekspresif , analisis peristiwa komunikasi ekspresif tari Ronggeng Bugis Cirebon, dan analisis tindak komunikasi ekspresif tari Ronggeng Bugis Cirebon. BAB VI Penutup Merupakan Bab terakhir, yang meliputi kesimpulan dari hasil Penelitian serta saran-saran yang terdiri dari saran secara umum, dan saran secara khusus untuk pihak-pihak yang terkait. 37 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Tinjauan Pustaka 2.1.1. Pengertian Komunikasi Manusia adalah makhluk sosial dalam artian manusia tidak dapat hidup sendiri komunikasi adalah kebutuhan yang diperlukan manusia komunikasi bisa melalui verbal maupun nonverbal. Beberapa pengertian komunikasi adalah sebagai berikut: Saundra Hybels dan Richard L. Weafer II, bahwa komunikasi merupakan setiap proses pertukaran informasi, gagasan, dan perasaan. Proses itu meliputi informasi yang disampaikan tidak hanya secara lisan dan tulisan, tetapi juga dengan bahasa tubuh , gaya maupun menampilan diri, atau menggunakan alat bantu di sekeliling kita untuk memperkaya sebuah pesan. Billie J. Walhstrom mengungkapkan komunikasi adalah (1) pernyataan diri yang efektif; (2) pertukaran pesan-pesan yang tertulis, pesan-pesan dalam percakakapan, bahwa melalui imajinasi; (3) pertukaran informasi atau hiburan dengan kata-kata melalui percakapan atau dengan metode lain; (4) pengalihan informasi dari seseorang kepada orang lain; (5) pertukaran makna antarpribadi dengan sistem simbol; (6) proses pengalihan pesan melalui saluran tertentu kepada orang lain dengan efek tertentu. Komunikasi harus dipahami sebagai interaksi antarpribadi yang menggunakan sistem simbol linguistik, misalnya meliputi verbal (kata-kata), paraverbal, dan nonverbal. Sistem itu dpat disosialisasikan secara langsung/ tatap muka atau melalui media lain (tulisan, lisan, dan visual) (Karlfried Knapp, 1998) Definisi komunikasi di antaranya dikutip oleh Effendi sebagai berikut, Carl I. Hovland dalam Effendi (1986: 63) mendefinisikan komunikasi sebagai “Suatu proses di mana seseorang (komunikator) menyampaikan perangsang-perangsang, biasanya lambang-lambang dalam bentuk kata-kata untuk merubah tingkah laku orang lain (komunikan)”. Jadi, hakikat komunikasi merupakan proses pernyataan antar manusia. 38 Yang berhubungan dengan pikiran, atau perasaan seseorang kepada orang lain dengan menggunakan bahasa sebagai alat penyalurnya. Sedangkan menurut Onong U. Effendy (2002: 3-4) komunikasi dalam pengertian umum dapat dilihat dari dua segi: a) Pengertian komunikasi secara etimologis. Istilah komunikasi berasal dari bahasa latin ‘communicati’. Perkataan ini bersumber pada kata ‘communis’ yang artinya ‘sama’. Jadi, komunikasi berlangsung apabila antara orang-orang yang terlibat terdapat kesamaan makna mengenai suatu hal yang dikomunikasikan. b) Pengertian komunikasi secara terminologis. Secara terminologis komunikasi berarti proses penyampaian suatu pernyataan oleh seseorang kepada orang lain. Menurut Effendi (2002: 6) agar proses komunikasi dapat berlangsung, maka diperlukan komponen-komponen yang merupakan bagian dari sistem komunikasi, berupa: 1. Komunikator, yaitu orang yang menyampaikan pesan 2. Pesan, yaitu pernyataan yang didukung oleh lambang 3. Komunikan, yaitu orang yang menerima pesan 4. Media, yaitu sarana atau saluran yang mendukung pesan bila komunikan jauh tempatnya atau banyak jumlahnya 5. Efek, yaitu dampak sebagai pengaruh dari pesan Berdasarkan kelima komponen tersebut, dapat disimpulkan bahwa pengertian komunikasi adalah proses penyampaian pesan dari komunikator kepada komunikan melalui media tertentu guna menghasilkan efek yang diharapkan oleh komunikator terhadap komunikan. 2.1.2. Pengertian Komunikasi Verbal Seseorang dapat melakukan penyampaian pesan baik melalui pesan verbal maupun pesan nonverbal. Dalam melakukan atau mempraktekkan komunikasi verbal maupun pesan nonverbal. Dalam melakukan atau mempraktekkan komunikasi verbal 39 dan komunikasi nonverbal dalam kehidupan sehari-hari dan bermasyarakat masingmasing memiliki kerumitan yang harus dihadapi. Dalam komunikasi verbal, “ pesanpesan verbal berpusat pada kata yang penggunaannya secara tepat berada dalam tata bahasa. Komunikasi disebut lisan kalau menggunakan medium pengucapan kata-kata terhadap orang lain dan disebut tertulis jika menggunakan penulisan kata-kata. (Liliweri, 1997:7) Simbol atau pesan verbal adalah semua jenis simbol yang menggunakan satu kata atau lebih termasuk bahasa yang juga dianggap sebagai suatu sistem kode verbal (Mulyana, 2002:237). Bahasa dapat didefinisikan sebagai seperangkat simbol, dengan aturan untuk mengkombinasikan simbol-simbol tersebut, yang digunakan dan dipahami suatu komunitas. Bahasa verbal adalah sarana utama untuk menyatakan pikiran, perasaan dan maksud kepada orang yang dituju. Kemampuan manusia menggunakan lambang verbal memungkinkan perkembangan bahasa dan menangani hubungan antara manusia dan objek (baik nyata maupun abstrak) tanpa kehadiran manusia dan objek tersebut. Komunikasi dalam bahasa yang sama saja dapat menimbulkan salah pengertian atau berbeda persepsi dalam mengartikannya, apalagi bila seseorang tidak menguasai atau memahami bahasa lawan bicaranya. Tentunya hal tersebut akan menimbulkan suatu pertentangan bahkan pertikaian yang dapat menghancurkan suatu hubungan yang harmonis. Oleh karena itu, untuk melakukan komunikasi yang efektif dan tidak 40 mengalami kesalahan pengertian maka seseorang harus mengetahui dan menguasai bahasa yang digunakan lawan bicaranya. 2.1.3. Komunikasi Nonverbal Komunikasi nonverbal merupakan tindakan dan atribusi yang dilakukan seseorang kepada orang lain untuk bertukar makna, yang selalu dikirimkan dan diterima secara sadar oleh dan untuk mencapai umpan balik atau tujuan tertentu (Burgoon and Saine, 1978). Komunikasi nonverbal meliputi ekspresi wajah, nada suara, gerakan anggota tubuh, kontak mata, rancangan ruang, pola-pola perabaan, gerakan ekspresif, perbedaan budaya, dan tindakan-tindakan nonverbal lain yang tidak menggunakan kata-kata. Komunikasi nonverbal merujuk pada variasi bentuk-bentuk komunikasi yang meliputi bahasa. Bagaimana seseorang itu berpakaian; melindungi dirinya; menampilkan ekspresi wajah, gerakan tubuh, suara nada dan kontak mata (Eugene Matusov, 1996). Ia meliputi semua stimulus nonverbal yang dalam setting komunikatif digeneralisasikan oleh individu dan lingkungan individu yang memakainya, dan pesan nonverbal yang bertujuan atau yang tidak bertujuan tertentu. Mempelajari pesan nonverbal cukup penting, karena: a. Kita selalu berkomunikasi, dan komunikasi itu tidak cukup hanya dengan mengirimkan pesan verbal. b. Kita tidak dapat menghindari bahasa isyarat baik melalui gerakangerakan tangan maupun tampilan wajah. 41 c. Pelbagai penelitian menunjukkan bahwa 55% dari komunikasi manusia memakai nonverbal, 38% dengan nada suara, dan 7% dengan kata-kata. d. Komunikasi itu tidak terletak semata-mata pada maksud, tetapi pada persepsi, para partisipan komunikasi selalu mengecek persepsi terhadap maksud. e. Komunikasi itu kompleks sehingga kemampuan berkomunikasi harus diperbaharui terus-menerus f. Komunikasi meliputi dua hal sekaligus, yakni sikap dan keterampilan. Keterampilan mendengarkan harus dipelajari sejak masa muda. (Liliweri, 2003:181). Kehidupan manusia ditandai oleh dinamika komunikasi. Seluruh umat manusia di dunia benar-benar menyadari bahwa semua kebutuhan hidupnya hanya dapat dipenuhi jika dia berkomunikasi dengan orang lain. karena itu jika dia berhasil berkomunikasi secara efektif maka seluruh kebutuhannya dapat dia capai. Setiap hari, anda dan saya berkomunikasi. Anak-anak bercengkrama dengan bapak dan ibu di rumah, mereka saling bertukar informasi dan pengalaman. Seperti halnya pada tarian Ronggeng Bugis Cirebon menyampaikan di dalam komunikasi lisan, ada dua cara dasar di dalam berkomunikasi, yaitu: komunikasi verbal dan nonverbal. Di dalam komunikasi verbal, kita menyampaikan pesan menggunakan kata-kata (bahasa). Sedangkan di dalam komunikasi non-verbal kita mengirimkan pesan menggunakan 42 tanda-tanda, simbol, sikap tubuh (gesture), ekspresi wajah, nada bicara dan tekanan kalimat. Komunikasi sedikitnya melibatkan empat komponen, yaitu : 1. Komunikator, Sumber komunikasi atau pengirim pesan, yakni seseorang atau sekelompok orang atau suatu organisasi yang mengambil inisiatif mengirimkan pesan. 2. Pesan, berupa lambang atau tanda, seperti kata-kata (dalam bentuk tertulis atau lisan) gesture dll. 3. Media atau saluran komunikasi, yakni sesuatu yang dipakai sebagai alat pengiriman pesan (misalnya telepon, radio, surat, suratkabar, email, SMS, TV atau gelombang udara. 4. Komunikan atau penerima pesan, yakni seseorang atau sekelompok orang yang menjadi sasaran penerima pesan. Di samping keempat elemen tersebut, masih ada tiga elemen atau faktor lain yang juga penting dalam proses komunikasi, yakni: Dampak/ Akibat/Hasil yang terjadi pada pihak penerima/komunikan. 1. Umpan balik (feedback) yakni reaksi atau tanggapan balik dari pihak Penerima/komunikan atas pesan yang diterimanya. 2. Gangguan (noise) yakni faktor-faktor eksternal maupun internal (psikologis) yang dapat mengganggu atau menghambat kelancaran proses komunikasi. 43 Secara sederhana, proses komunikasi dapat digambarkan sebagai berikut: pertama-tama, proses komunikasi selalu ditimbulkan oleh inisiatif seseorang yang ingin menyampaikan sebuah pesan kepada orang lain atau sekelompok orang. Orang yang memprakasai komunikasi ini disebut sebagai komunikator. Jika anda berbicara kepada teman anda, isi perkataan anda itulah yang disebut dengan pesan. Supaya bisa menyampaikan pesan, komunikator itu membutuhkan media atau saluran. Umpan balik adalah informasi yang diberikan oleh komunikan kepada komunikator, yang menandakan bahwa pesan tersebut telah diterima dan dipahami. Melalui umpan balik ini, komunikator dapat memeriksa dan memastikan apakah penerima pesan atau komunikan sudah menerima pesan, sesuai dengan keinginannya atau tidak. Ada kemungkinan, pesan yang dipahami oleh komunikan itu berbeda dengan yang di kehendaki. Hal ini bisa terjadi karena pesan tersebut mengalami ganggguan selama pengiriman. Akibatnya, pesan tersebut tidak dapat diterima dengan utuh. (www.sabdaspace.Ogr%2Fmemahami proses komunikasi) 2.1.4. Komunikasi Ekspresif Komunikasi ekspresif menyampaikan pesan atau emosi secara nonverbal. Misalnya, seorang ibu menunjukkan kasih sayang terhadap anaknya dengan membelai kepala anaknya. Seseorang dapat menyalurkan kemarahannya dengan berkacak pinggang, mengepalkan tangan, atau memelototkan matanya. Di samping itu, emosi juga dapat tersalurkan melalui bentuk-bentuk seni seperti puisi, novel, 44 lukisan atau tarian. (mademoiselle Hastuti: Kuliah 1 komunikasi/ hastutiwulanningrum.blogspot.com/2). Erat kaitannya dengan komunikasi sosial adalah komunikasi kelompok yang dapat dilakukan baik sendirian ataupun dalam kelompok. Prasangka baik atau buruk tidak terlepas dari persepsi yang timbul dan melekat dalam pikiran seseorang. Dalam mempresepsikan, manusia tidak hanya lewat bahasa verbalnya misalnya bagaimana bahasanya, halus atau kasar, tetapi juga melalui perilaku nonverbalnya. Dalam hal menyampaikan perasaan melalui nonverbal seseorang tidak bisa berbohong serta sulit untuk dimanipulasi. Lebih lanjut Deddy mulyana mengatakan bahwa: “komunikasi verbal lebih banyak menggunakan otak sebelah kiri kita, persoalannya otak kiri itu berkaitan dengan aspek-aspek rasa atau perasaan. Untuk menyampaikan perasaan tidak selalu dapat diungkapkan dengan katakata karena meyampaikan atau mengungkapkan dengan kata-kata itu merupakan suatu keterampilan misalnya bicara yang lebih banyak ke masalah rasa. Oleh karena itu, keterampilan mengungkapkan kata-kata itu harus dilatih dan tidak semua orang mendapatkan pelatihan dan tidak semua orang mendapatkan pelatihan dan tidak semua orang cukup sensitif. Jadi, yang terampil mengolah rasa atau yang memiliki bakat itu terpendam dan bisa dibangkitkan”. Penjelasan di atas yang menegaskan bahwa komunikasi ekspresif lebih ditekankan perwujudannya melalui komunikasi nonverbal karena dalam prakteknya manusia itu tidak sama ada yang terampil berkata-kata tetapi ada juga yang hanya bisa diungkapkan atau diwujudkan melalui perilaku. Oleh karena itu, sebenarnya manusia bisa memilih bagaimana berkomunikasi sesuai dengan kemampuan dan 45 keterampilannya. Jika menganggap kurang memiliki kemampuan atau keterampilan di verbal maka bisa melalui nonverbal atau perilaku. Masing-masing orang memiliki perbedaan dalam mengartikan atau mempresepsikan sesuatu hal baik itu masalah pesan yang diungkapkan melalui verbal ataupun nonverbal. Hal ini juga tentunya berkaitan dengan budaya seperti yang dijelaskan oleh Deddy Mulyana. Maka, disinilah diperlukan jalan tengah untuk mempertemukan dua prinsip yang sangat jauh berbeda ini. Komunikasi dua arah tidak akan dapat terbentuk, apabila kedua pihak tidak berusaha untuk melihat persepsipersepsi tersebut dari sudut yang berbeda. Untuk mempertemukan dua prinsip yang sangat mendasar ini, diperlukan keberanian untuk melihat prinsip yang dimiliki oleh pihak lain dari budaya mereka. Dalam pertunjukan tari Ronggeng Bugis sejatinya, seni pertunjukan telah digariskan sebagai bentuk komunikasi yang memiliki fungsi komunikasi ekspresif (Mulyana, 2007) dan sangat efektif dalam suatu komunitas sosial budaya. ia merupakan ekspresi hidup ekspresi hidup masyarakatnya, sebagaimana Cassirer (1956: 183) mengatakan bahwa “proses ekspresi yang mewakili komunikasi oleh seorang aktor (Penari) diatas panggung, yang bertingkah laku sesuai dengan tema cerita dan pesan cerita bukanlah imitasi realitas, melainkan penemuan realitas. 46 2.1.5 Komunikasi dan Budaya Budaya yang didalamnya terkandung ukuran, pedoman, dan petunjuk bagi kehidupan manusia, yaitu norma dan nilai yang menjadi standar berinteraksi, dibangun oleh manusia dari generasi ke generasi melalui proses komunikasi yang panjang. Nilai dan norma terlembagakan dalam kehidupan masyarakat, dipupuk dan dihargai sebagai pedoman atau kaidah bertingkah laku. Seperangkat nilai dan norma tersebut merupakan landasan fundamental bagi seseorang untuk menentukan sikapnya terhadap dunia luar. Sebenarnya, seluruh perbendaharaan perilaku kita sangat bergantung pada budaya tempat kita dibesarkan. Konsekuensinya, budaya merupakan landasan komunikasi. Bila budaya beraneka ragam, maka beraneka ragam pula praktik-praktik komunikasi ( Jurnal Komunikasi, 183; 2005) 2.2 Tari Sebagai Sarana Komunikasi Seni Tari sebagai ekspresi manusia bersifat estetis, kehadirannya tidak bersifat independen. Dilihat secara tekstual, tari dapat dipahami secara aspek bentuk dan teknik yang berkaitan dengan komposisinya (analisis bentuk atau penataan kreografinya), teknik penarinya (analisis cara melakukan atau keterampilan). Sementara dapat dilihat secara kontekstual yang berhubungan dengan ilmu sosial antara lain, Sosiologi maupun Antropologi, yaitu tari sebagai bagian imanen dan integral sosial kultural. 47 Bersangkut paut dengan penciptaan seni tari, banyak orang mengatakan bahwa tahap awal bahwa seni itu adalah satu berbagai cara untuk melukiskan dan mengkomunikasikan barang sesuatu. Pada hakekatnya semua seni termasuk tari bermaksud untuk dikomunikasikan. Oleh karena itu hasil dari pengungkapan nilai maupun hasil ekspresi perasaan manusia, terdapat dua faktor manusiawi yang perlu diperhatikan disatu pihak faktor si pencipta atau seniman yang bersangkutan dengan masalah-masalah pengalaman, dorongan apa yang menyebabkan menciptakan karya tari, barangkali hal ini lebih merupakan masalah kejiwaan. Apakah seorang penata tari berusaha melukiskan atau mengkomunikasikan sesuatu? Jika memang demikian apakah yang hendak dikomunikasikan? Dan apakah tari merupakan bahasa komunikasi tertentu?. Sementara dilain pihak,sementara terdapat manusia yang merenungkan atau mengamati karya tari, dalam hal ini agar mereka dapat berkomunikasi atau menangkap karya tari, diperlukan pengalaman estetis atau indrawi yang khas. Dari dua faktor manusiawi itu menegaskan bahwa keistimewaan seni termasuk tari sebagai ekspresi manusia, akan memperhalus dan memperluas komunikasi menjadi persentuhan rasa yang akan akrab, dengan menyampaikan kesan dan pengalaman subjektif, yakni pesan dan pengalaman si pencipta dan penata tari kepada penonton atau orang lain. Komunikasi yang disampaikan sebuah tarian adalah pengalaman yang berharga, yang bermula dari imajinasi kreatif. Sebuah tarian baru bermakna atau dapat diresapkan, apabila dalam tarian itu terkandung kekuatan pesan yang komunikatif. Tinggi mutu dan estetis ditentukan pada tahap yang paling awal 48 oleh kemampuan komunikatif, oleh sebab itu pula, seni sering berfungsi sebagai “Perangkul Makna Umum Masyarakat” (Taufik Abdullah, “Di Sekitar Komunikasi Ilmu dan Seni”, dalam Analisis Kebudayaan. Vol 2:8-12). Dengan pemahaman tersebut diatas maka kebebasan, keunikan, keliaran, dan apapun hasrat kemerdekaan dan penciptaan seni tidaklah bisa terlepas secara total dari tradisi yang akan memungkinkannya meneruskan pasangan yang komunikatif ini. Nilai estetika yang tak ternikmati, atau yang tidak komunikatif, sama sekali tidak dapat keindahan seni. Dalam proses komunikasi tingkat hubungan antara makna “Pribadi” yang dipacarkan oleh seniman pada hasil karyanya, dengan makna umum, adalah hal yang paling menentukan. Ditegaskan bahwa dari berbagai macam unsur seni, unsur komunikasi menjadi pertimbangan yang sangat penting. Sehubungan dengan itu barangkali memahami atau menangkap hasil karya tari tidak sederhana seperti memahami barang sesuatu walaupun tahap yang paling awal sesungguhnya setiap bentuk tari perkembangan tari cara-cara yang biasa dipakai sehari-hari, yaitu gerakan ritmis, sehingga dengan pengertian ini sebenarnya tari merupakan bentuk komunitas umum yang intens. Tetapi karena hasil karya tari adalah ekspresi manusia yang diwujudkan dalam bentuk symbol, yang semata-mata bukan hanya melambangkan sesuatu saja tetapi merupakan perwujudan ekspresi keseluruhan imajinasi kreatif seniman. Ekspresi seni seperti itu bukanlah bentuk kenyataan atau ekspresi wantah atau mentah, tetapi adalah ekspresi yang sudah dimasak baik secara instan maupun tradisional (Soedarso, “Seni dan Keindahan”, 49 dalam Pidato ilmiah. Pengukuhan Guru Besar Falkultas Seni Rupa ISI Yogyakarta: 30 Mei 1998). Dengan begitu, masalah perbedaan mutu harus diliat dari hasil ekspresi symbol yang sudah diolah dimasak secara efektif itu dapat berkomunikasi, sehingga dalam konteks sosio- cultural masyarakat penikmat seni termasuk tari mengatakan bernilai atau bermakna tinggi. 2.3. Definisi Tari Batasan “seni tari” yang pernah dikemukakan oleh pakar, pada hakikatnya mengatakan bahwa “tari adalah ekspresi perasaan manusia yang diungkapkan lewat gerak ritmis dan indah, yang telah mengalami stilisasi maupun distorsi (Soedarsono, (ed)., Pengantar Apresiasi Seni. Jakarta: Balai Pustaka, 1992,pp 81-86). Tari Sebagai Bentuk Seni: 1. Gerak Tari 2. Desain Lantai 3. Desain Atas 4. Musik 5. Desain dramatik 6. Dinamika 7. Komposisi kelompok 8. Tema 9. Perlengkapan-perlengkapan 50 Gerak Tari Tari merupakan komposisi gerak yang telah mengalami penggarapan. Penggarapan gerak tari lazim disebut stilisasi atau distorsi. Berdasarkan bentuk geraknya, secara garis besar ada dua jenis tari, yaitu tari yang representasional dan tari yang non representasional. Tari yang representasional ialah tari yang menggambarkan sesuatu secara jelas. Sedangkan tari non representasional adalah tari yang tidak menggambarkan sesuatu. Baik tari-tarian representasional maupun yang non representasional dalam garapan geraknya terkandung dua jenis gerak, yaitu gerak-gerak maknawi atau gesture dan gerak-gerak murni atau pure movement. Yang dimaksud dengan gerak maknawi ialah gerak yang mengandung arti yang jelas, misalnya gerak nuding atau menunjuk pada tari Bali yang berarti marah, gerak menghadapkan telapak tangan pada penari lain yang berarti menolak, gerak menempelkan telapak tangan pada penari lain yang berarti menolak, gerak menempelkan telapak tangan pada dada yang berarti susah, gerak menirukan bersisir, berbedak, dan sebagainya. Sudah barang tentu gerak-gerak maknawi semacam ini baru bernilai sebagai gerak tari, apabila telah mengalami stilisasi atau distorsi. Adapun gerak murni ialah gerak yang digarap sekedar untuk mendapatkan bentuk yang artistik dan tidak dimaksudkan untuk 51 menggambarkan sesuatu. Gerak-gerak murni ini banyak digunakan dalam garapan-garapan tari non-representasional. Sedangkan garapan-garapan tari representasional banyak memerlukan gerak-gerak maknawi. Namun demikian dalam garapan tari representasional diperlukan pula banyak gerakgerak murni, karena apabila garapan tersebut dipenuhi oleh gerak-gerak maknawi, garapan itu akan lebih mengarah ke bentuk pantomime. Desain Lantai Yang dimaksud dengan desain lantai atau floor design ialah garis-garis di lantai yang dilalui oleh seorang penari atau garis-garis di lantai yang dibuat oleh formasi penari kelompok secara garis besar ada dua pola garis dasar pada lantai, yaitu garis lurus dan garis lengkung. Garis lurus dapat dibuat ke depan, ke belakang, ke samping, atau serong. Selain itu garis lurus dapat dibuat menjadi desain V dan kebalikannya, segi tiga, segi empat, huruf T dan kebaikannya dan juga dapat dibuat menjadi desain zig-zag. Garis lengkung dapat dibuat lengkung ke depan, ke belakang, ke samping dan serong. Dari dasar lengkung ini dapat pula dibuat desain lengkung ular, lingkaran, angka delapan, dan juga spiral. Garis lurus memberikan kesan sederhana tetapi kuat, sedangkan garis lengkung memberikan kesan lembut, tetapi juga lemah. Garis lurus banyak digunakan dalam tari-tarian klasik Jawa dan juga tari Hula kuno dari Hawaii. 52 Garis lingkaran banyak digunakan pada tari-tarian primitive dan juga pada tari-tarian komunal yang kebanyakan berciri sebagai tari bergembira. Desain Atas Desain atas atau air desaign adalah desain yang berada di atas lantai yang dilihat oleh penonton, yang tampak terlukis pada ruang yang berada di atas lantai. Untuk memudahkan penjelasan desain ini dilihat dari satu arah penonton saja yaitu dari depan ada 19 desain atas yang masing-masing memiliki sentuhan emosionil tertentu terhadap penonton. Memang, dalam garapan tari desain yang satu dipadukan dengan desain yang lain hingga perpaduan tersebut selain menimbulkan kesan artistic yang menyenangkan juga memberikan sentuhan emosionil yang khas. a. Datar. Desain datar adalah desain yang apabila dilihat dari arah penonton, badan penari tampak dalam postur tanpa perspektif. Semua anggota badan dalam postur mengarah ke samping. Desain datar semacam ini memberikan kesan konstruktif ketenangan, kejujuran, juga kedangkalan. b. Dalam. Desain dalam adalah desain yang apabila dilihat dari arah penonton, badan penari tampak memiliki perspektif dalam. Anggota badan seperti kaki dan lengan di arahkan ke belakang, ke depan atau serong. Desain ini memberikan kesan perasaan yang dalam. 53 c. Vertikal. Desain vertical adalah desain yang menggunakan anggota badan pokok yaitu tungkai dan lengan menjulur ke atas atau ke bawah. Desain ini memberikan kesan egosentris, dan juga menyerah. d. Horisontal. Desain horizontal adalah desain yang menggunakan sebagian besar dari anggota badan mengarah ke garis horizontal. Desain ini memberikan kesan tercurah. e. Kontras. Desain kontras adalah desain yang menggunakan garis-garis silang dari anggota-anggota badan atau garis-garis yang akan bertemu bila dilanjutkan. Desain ini menimbulkan kesan penuh enersi, kuat, tetapi juga kesan kebingungan. f. Murni. Desain murni adalah desain yang ditimbulkan oleh postur penari yang sama sekali tidak menggunakan garis kontras. Desain ini dapat menimbulkan kesan tenang, halus dan lembut. g. Statis. Yang dimaksud dengan desain statis adalah desain yang menggunakan pose-pose yang sama dari anggota badan walaupun bagian badan yang lain bergerak. Misalnya penari menggunakan desain lengan horizontal terus menerus, sedangkan kaki bergerak ke sana ke mari. Desain ini memberikan kesan teratur. h. Lurus. Yang dimaksud dengan desain lurus adalah desain yang menggunakan garis-garis lurus pada anggota-anggota badan seperti tungkai, torso, dan lengan. Desain ini dapat memberikan kesan 54 kesederhanaan, kokokh, tetapi kalau terlalu banyak dipergunakan menjadi kurang menarik. i. Lengkung. Desain lengkung adalah desain dari badan dan anggotaanggota badan lainnya yang menggunakan garis-garis lengkung. Desain ini sangat menarik dan menimbulkan kesan halus dan lembut, tetapi kalau kurang hati-hati mempergunakannya sering menimbulkan kesan lemah. j. Bersudut. Yang dimaksud dengan desain bersudut adalah desain yang banyak menggunakan tekukan-tekukan tajam pada sendi-sendi seperti pada lutut, pergelangan kaki, siku dan pergelangan tangan. Desain ini dapat menimbulkan kesan penuh kekuatan. k. Spiral. Desain spiral adalah desain yang menggunakan lebih dari satu garis lingkaran yang searah pada badan dan anggota badan. Desain ini memiliki kekuatan untuk menarik perhatian penonton ke garis-garis lingkaran itu. l. Tinggi. Desain tinggi ialah desain yang dibuat pada bagian dari dada penari ke atas. Bagian ini memiliki sentuhan intelektual dan spiritual yang kuat. Sebagai contoh tari-tarian pemujaan banyak menggunakan gerakgerak yang berkisar pada bagian dada ke atas. m. Medium. Desain medium atau tengah adalaha desain yang dipusatkan pada daerah sekitar dada ke bawah sampai pinggang penari. Desain ini memberikan kesan penuh emosi. 55 n. Rendah. Desain rendah adalah desain yang dipusatkan pada daerah yang berkisar anatara pinggang penari sampai pinggang penari. Desain ini memberikan kesan penuh emosi. o. Terlukis. Desain terlukis adalah desain bergerak yang dihasilkan oleh salah satu atau beberapa anggota badan atau prop tari yang bergerak untuk melukiskan sesuatu. Desain ini sangat baik untuk memberikan gambaran sesuatu. Misalnya untuk menggambarkan laut cukup dengan tangan yang digerakkan dari kiri ke kanan dengan membuat garis lengkung berganda. p. Lanjutan. Desain lanjutan adalah desain yang berupa garis lanjutan yang seolah-olah ada yang ditimbulkan oleh salah satu anggota badan. Misalnya seorang penari menoleh cepat ke kanan dengan pandangan mata yang kuat ditujukan ke satu titik atau benda. Dari gerak ini akan menimbulkan kesan adanya garis lanjutan dari mata penari ke titik atau benda yang dilihat. Ini berarti ada kontak antara penari dengan benda itu, yang dihubungkan oleh garis lanjutan yang tidak tampak tersebut. Contoh lain misalnya orang yang menyuruh pergi cukup dengan menggerakkan lengan dan mengacungkan jari menunjuk pintu samping. Desain yang berupa garis lanjutan ini memberikan kesan pengarahan. q. Tertunda. Desain tertunda adalah desain yang terlukis di udara ditimbulkan oleh rambut panjang, rok panjang dan lebar, selendang 56 panjang dan sebagainya. Desain ini disebut desain tertunda karena terjadinya garis-garis desain ini setelah bagaian badan tertentu yang menjadi pusat penggerak selesai digerakkan. Desain ini menimbulkan daya tarik yang sangat besar. r. Simetris. Desain simetris adalah desain yang dibuat dengan menempatkan garis-garis anggota badan yang kanan dan yang kiri berlawanan arah tetapi sama. Kalau lengan kanan mengarah ke samping kanan lurus, lengan kiri mengarah ke samping kiri lurus dan sebagainya. Desain ini memberikan kesan sederhana, kokoh, tenang, tetapi kalau terlalu banyak digunakan menjadi menjemukan. s. Asimetris. Desain asimetris adalah desain yang dibuat dengan menempatkan garis-garis anggota badan yang kiri berlainan dengan yang kanan. Misalnya, bila lengan kanan diangkat ke atas lurus, lengan kiri bertolak pinggang dan sebagainya. Desain ini menarik dan dinamis, tetapi agak kurang kokoh. Dalam menggarap sebuah tarian desain asimetris ini sangat menguntungkan untuk menarik perhatian penonton. Musik Apabila elemen dasar dari tari adalah gerak dan ritme, maka elemen dasar dari musik adalah nada, ritme dan melodi. Sejak dari zaman Prasejarah sampai sekarang dapat dikatakan di mana ada tari di sana ada musik. Musik dalam tari bukan hanya sekedar irinan, tetapi music adalah partner tari yang 57 tidak boleh ditinggalkan. Memang, ada jenis-jenis tarian yang tidak diiringi oleh musik dalam arti yang sesungguhnya, tetapi ia pasti diiringi oleh salah satu elemen dari musik. Mungkin sebuah tarian hanya diiringi oleh tepuk tangan. Tetapi perlu diingat bahwa tepuk tangan itu sendiri sudah mengandung ritme yang merupakan salah satu elemen dasar dari musik. Bahkan pada jaman modern ini ada pula tari yang sama sekali tidak diiringi oleh musik. Tetapi sesungguhnya si penari itu sendiri selain menari juga memainkan musik sekaligus, baik itu dilakukan dengan sadar atau tidak sadar. Gerak tarinya dipimpin oleh ritme yang tidak terdengar oleh telinga, tetapi dapat dirasakan dengan melihat gerak tarinya. Jadi ritme yang merupakan elemen dasar dari music terdapat pula dalam sebuah tarian walaupun tari itu tidak diiringi oleh music dalam arti yang sesungguhnya. Ritme adalah degupan dari musik, umumnya dengan aksen yang diulangulang secara teratur. Jenis tarian yang dalam penggarapannya lebih menitik beratkan pada ritme, adalah tari komunal atau tari bergembira yang dalam dunia tari juga lazim disebut sebagai tari sosial. Tari yang digarap atas dasar garis ritme dari musik, akan memberikan kesan teratur. Melodi atau lagu yang didasari oleh tinggi dan rendahnya nada serta kuat lembutnya alunan nada, lebih memberikan kesan emosionil. Karena musik adalah partner dari tari, maka musik yang akan dipergunakan untuk mengiringi sebuah tari harus digarap betul-betul sesuai 58 dengan garapan tarinya. Di Barat karena musik berkembang sebagai seni yang mantap lebih dahulu dari tari, banyak tari-tarian di Barat yang digarap atas dasar musik yang sudah ada. Di Indonesia garapan semacam ini juga pernah ada. Misalnya saja di Jawa, tari Srimpi yang merupakan tari Istana banyak yang diberi nama dengan nama dari musik yang mengiringi. Srimpi Pandelori adalah tari Srimpi yang music pokoknya adalah gendhing Pandelori. Srimpi Mucar adalah tari Srimpi yang music pokoknya adalah gendhing Muncar dan sebagainya. Di Sumatera Selatan ada pula sebuah tari yang diberi nama dengan nama dari musik pengiringnya yaitu gendhing Sriwijaya. Sekarang setelah tari juga mengalami perkembangan sebagai seni yang mantap, banyak komposisi tari yang diiringi oleh musik yang disusun atau dicipta khusus untuk tari tersebut, misalnya tari Tenun dari Bali yang musiknya khusus disusun untuk mengiringinya. Desain Dramatik Dalam menggarap sebuah tari, baik yang berbentuk tari solo atau dramatik, untuk mendapatkan keutuhan garapan harus diperhatikan desain dramatik. Satu garapan tari yang utuh ibarat. Sebuah ceritera yang memiliki pembuka, klimaks dan penutup. Dari pembuka ke klimaks mengalami perkembangan dan dari klimaks ke penutup terdapat penurunan. Ada dua jenis desain dramatik, yaitu yang berbentuk kerucut berganda. Desain yang berbentuk kerucut tunggal semula dipakai drama dan teori 59 kerucut tunggal ini disebut teori Bliss-Perry. Teori ini mengajarkan, bahwa sebuah drama yang berhasil haruslah digarap dengan desain kerucut tunggal. Untuk lebih jelasnya, desain ini bisa diibaratkan seorang yang sedang mendaki gunung. Dari titik dasar ia berangkat mendaki. Pada pendakian ini ia memerlukan kekuatan untuk menanjak. Sudah barang tentu karena naik, perjalanan menjadi agak lambat dalam melakukannya dan makin menanjak makin diperlukan enersi yang lebih kuat dan banyak. Akhirnya pada suatu saat, dengan enersi penuh ia akan sampai ke puncak gunung itu yang merupakan klimaks dari perjalanan menanjak. Setelah puncak atau klimaks tercapai, ia turun dengan enersi yang sudah mengendor. Pada waktu turun ini perjalanan menjadi cepat sekali untuk mencapai titik dasar lagi. Dengan sampainya ke titik dasar pendakian berarti perjalanan penurunan gunung sudah selesai. Satu hal yang harus diperhatikan, bahwa waktu yang diperlukan untuk naik ke puncak atau klimaks jauh lebih lama dari yang diperlukan untuk turun ke dasar lagi. Dalam menggarap drama atau tari yang menggunakan teori Bliss-Perry atau desain kerucut tunggal dapat diibaratkan orang yang naik gunung. Klimaks harus tercapai setelah mengalami penanjakan yang cukup lama dan penuh esensi. Dan setelah klimaks tercapai, ia harus cepatcepat menyelesaikan garapan. Bila penurunan memakan waktu yang lama, maka klimaks yang telah tercapai akan dilupakan penonton. 60 D C B_ E _F A A= permulaan B= kekuatan yang merangsang C= perkembangan D= klimaks E= penurunan F= penahanan akhir G= Akhir G Desain kerucut tunggal Desain dramatik yang berupa kerucut berganda sangat baik dipergunakan untuk koreografi tari solo. Prinsip desain kerucut berganda sebenarnya sama dengan krucut tunggal, hanya saja penanjakan itu dilakukan dalam beberapa tahap lalu kendor, menanjak lebih tinggi lagi lalu kendor lagi dan seterusnya sampai ke puncak yang paling tinggi dan kemudian turun dengan cepat. Jadi dalam perjalanan menanjak, kerucut yang akan dijangkau harus memiliki puncak atau klimaks yang lebih tinggi dari yang telah dilaluinya. Selain itu, pada waktu pengendoran dari rangkaian kerucut yang lebih tinggi jangan sampai terlalu banyak, agar tidak kembali ke dasar dari kerucut yang telah dilalui. Jelasnya perhatikan gambar dibawah ini. Desain Kerucut Berganda 61 Dinamika Dinamika adalah kekuatan dalam yang menyebabkan gerak menjadi hidup dan menarik. Dengan perkataan lain, dinamika dapat diibaratkan sebagai jiwa emosionil dari gerak. Dari elemen-elemen tari yang paling nyamana dirasakan adalah dinamika. Kekuatan dalam tari gerak lebih banyak terdapat pada badan bagian atas. Maka dari itu pada tari-tarian Timur dinamika lebih bisa lekas tercapai dari pada tari-tarian Barat yang lebih mengutamakan gerak pada tungkai. Delsarte setelah mengadakan penelitian yang cukup lama tentang ekspresi dari fisik manusia berkesimpulan, bahwa semua gerak spiritual dan intelektuil berkisar pada bagian atas dari badan. Dan sebagai contoh dari tarian Timur yang menegaskan bahwa memang betul badan bagian atas sangat ekspresif adalah tari India. Bharata Muni dalam bukunya Natya Sastra sangat jelas menempatkan semua gerak ekspresif pada lengan, tangan, kepala, mata, dan torso bagian atas. Hal ini sekali lagi berlaku pula bagi semua tarian-tarian Timur. Tetapi ini tidak berarti bahwa tarian yang banyak menggunakan kaki tidak bisa menggarap dinamika. Misalnya saja depakan kaki di atas lantai, lemparan tungkai ke samping dengan cepat serta tekanan yang kuat mengandung dinamika pula. Hanya saja memang betul bahwa kemungkinan-kemungkinan untuk melahirkan dinamika lebih banyak, bisa 62 tercapai melalui badan bagian atas. Contoh yang baik sekali dari dinamika yang dihasilkan dari kaki ialah tari Spanyol. Dinamika bisa diwujudkan dengan bermacam-macam teknik. Pergantian level yang diatur sedemikian rupa dari tinggi, rendah, dan seterusnya dapat melahirkan dinamika. Pergantian tempo dari lambat ke cepat dan sebaliknya dapat menimbulkan dinamika. Pergantian tekanan gerak dari lemah ke yang kuat dan sebaliknya dapat melahirkan dinamika. Gerak mata yang penuh kekuatan dapat menimbulkan dinamika. Bahkan pose diam yang dilakukan dengan ekspresif memiliki dinamika pula. Untuk dinamika ini sering dipinjam istilah-istilah music untuk memudahkan pengertian. Accelerando adalah dinamika atau lebih tepat teknik dinamika yang dicapai dengan mempercepat tempo. Ritardando adalah teknik dinamika dengan memperlambat tempo. Crescendo adalah teknik dinamika yang dapat dicapai dengan memperkeras atau memperkuat gerak. Discrescendo adalah teknik dinamika yang dicapai dengan darapan yang gerak-geraknya mengalir. Forte adalah teknik dinamika yang dicapai dengan garapan gerak-gerak yang menggunakan tekanan-tekanan. Staccato adalah teknik dinamika yang dicapai dengan garapan yang gerak-geraknya patah-patah. Legato adalah teknik dinamika yang dicapai dengan garapan yang gerak-geraknya mengalun. Sudah barang tentu dalam mengerjakan koreografi dinamika, digarap bukan hanya dengan satu atau dua elemen 63 dinamika saja, tetapi perpaduan antara yang satu dengan yang lain akan lebih menimbulkan daya tarik bagi yang menonton. Komposisi Kelompok Komposisi tari solo atau duet, lain sekali cara penggarapannya dengan komposisi tari kelompok. Apabila dalam arti solo elemen-elemen koreografi seperti desain lantai, desain atas, desain musik, desain dramatik, dinamika merupakan elemen-elemen yang harus ada, maka untuk koreografi kelompok masih memerlukan satu desain lagi yaitu desain kelompok. Desain kelompok ini bisa digarap dengan menggunakan desain lantai, desain atas atau desain musik sebagai dasarnya, atau dapat pula didasari oleh ketiga-tiganya. Desain lantai digunakan sebagai dasar dari desain kelompok dapat merupakan desain lantai yang tidak bergerak dan dapat lupa yang bergerak. Ada lima bentuk desain kelompok, yaitu unison atau serempak, balanced atau berimbang, broken atau terpecah, alternate atau selang-seling dan canon atau bergantian. Sudah barang tentu perpaduan antara bentuk yang satu dengan bentuk yang lain akan lebih memaniskan koreografi. Selain itu bentuk-bentuk desain kelompok tersebut masing-masing memiliki kekuatan menyentuh perasaan penonton yang khas. Secara singkat desain unison akan memberikan kesan teratur. Ini masih bisa menimbulkan kesan-kesan yang lebih banyak, sesuai dengan penggarapan desain lantai, desain atas dan desain musiknya. Misalnya, dalam 64 desain unison yang menempatkan penari pada posisi garis lurus melintang panggung atau stage akan memberikan kesan teratur, formil tetapi juga kesan arkais. Terbalik memberikan kesan intelektuil dan manis. Sedangkan yang spiritual. Maka dari itu tari-tarian primitive atau tari-tarian upacara agama dan adat, banyak sekali yang menggunakan desain lantai lingkaran pada garapan kelompok yang berbentuk unison. Desain lantai yang lurus, huruf V atau lingkaran dengan jarak antara penari yang satu dengan yang lain sama, ditambah dengan desain atas yang sama, serta menggunakan ritme yang sama antara penari yang satu dengan yang lain akan memperkuat keserempakan dari komposisi kelompok tersebut. Kesannya menjadi teratur sekali. Lihat saja orang yang berbaris dengan komposisi empat orang tiap baris dengan menggunakan ayunan langkah, ayunan lengan dan derap kaki yang kuat akan menimbulkan kesan teratur sekali. Namun denikian, kesan-kesan lain bisa dicapai dengan membuat perpaduan misalnya desain lantainya berupa garis lurus melintang stage, tetapi desain atasnya yang digunakan oleh penari dalam hitungan ganjil ialah desain atas yang berbeda dengan desain atas pada penari-penari dalam hitungan genap. Komposisi dengan garis lantai lurus tetapi desain atasnya alternate atau selang-seling, akan menimbulkan kesan perpaduan antara teratur dan menarik. 65 Yang dimaksud dengan desain balanced atau berimbang pada koreografi kelompok ialah desain yang membagi sejumlah penari menjadi dua kelompok yang sama, masing-masing kelompok ditempatkan pada dua desain lantai yang sama di atas stage`bagian kanan dan bagian kiri. Desain ini member kesan teratur dan juga kesan isolasi pada masing-masing kelompok. Kesan teratur ini tercapai bila masing-masing selain menggunakan desain lantai yang sama, juga menggunakan desain atas dan desain musik yang sama. Tetapi juka yang sama hanya desain lantainnya sedangkan desain atas atau desain musiknya berlainan, maka kesan isolasi masing-masing kelompok akan lebih kuat. Pada desain broken atau terpecah, setiap penari memiliki desain lantai dan desain atas sendiri. Desain broken ini memberikan kesan isolasi dari tiaptiap penari. Desain broken menurut kecermatan dari koreografer terhadap masing-masing penari, sebab komposisi ini mirip dengan komposisi dari beberapa komposisi solo. Bila kurang cermat akan dapat membingungkan. Desain broken akan lebih jelas terpecahnya atau isolasinya apabila selain masing-masing penari memiliki desain lantai sendiri juga mereka masingmasing memiliki desain atas, desain music, bahkan mungkin juga kostum yang berlainan. Desain alternate atau selang-seling adalah desain yang menggunakan pola selang-seling pada desain lantai, desain atas atau desain music. Setiap 66 desain lantai, baik yang lurus, lengkung, lingkaran maupun zig-zag, dapat digarap menjadi desain kelompok alternate dengan membuat selang-seling pada desain atasnya, misalnya penari dalam hitungan ganjil menggerakan lengan ke atas, penari dalam hitungan genap menggerakan lengan ke bawah atau jongkok. Penari dalam hitungan ganjil mengangkat kaki kanan serongkanan, penari dalam hitungan genap menekuk lutut ke depan dan sebagainya. Desain ini juga bisa digarap lain, misalnya penari hitungan 1 dan 2,5 dan 6, serta 9 dan 10 bergerak dengan desain tertentu, sedangkan penaripenari dalam hitungan 3 dan 4,7 dan 8, serta 11 dan 12, bergerak dengan desain yang lain. desain ini bisa menimbulkan kesan yang aneh, yaitu kesan antara kesatuan dan terpecah. Desain canon atau bergantian setiap penari menari bergantian dengan yang lain secara susul-menyusul. Misalnya penari pertama bergerak sat frace empat hitungan allu berhenti, kemudian penari yang kedua bergerak dengan frace yang sama empat hitungan juga lalu berhenti dan untuk penari ketiga menyusul bergerak seperti sebelumnya dan seterusnya. Desain ini memberikan kesan isolasi pada masing-masing penari, tetapi juga memberikan kesan teratur. Untuk koreografi kelompok desain canon ini sangat baik dipergunakan untuk masuk dan keluar stage. 67 Thema Dalam menggarap tari apa saja dapat menjadi tema. Dari kejadian seharihari, pengalaman hidup yang sangat sederhana perangai binatang, ceritera rakyat, ceritera kepahlawanan legenda, upacara, agama dan lain-lain dapat menjadi sumber tema. Namun demikian, tema haruslah merupakan sesuatu yang lazim bagi semua orang, karena tujuan dari seni adalah komunikasi anatara karya seni dengan masyarakat penikmatnya. Pada tari komunikasi antara koreografer lewat penari dengan penontonnya. Di samping itu, walaupun apa saja dapat menjadi tema dari garapan tari, tetapi harus ada seleksi. Tema yang bernilai adalah tema yang orsinil. Perkataan orisinil di sini harus diartikan sumber pertama. Misalnya, apabila seorang koreografer dari Jawa Tengah hendak membuat koreografi tari merak, ia harus menggunakan sumber orisinil yaitu burung merak. Apabila ia menggunakan sumber tari Merak yang sudah ada di Jawa Barat, sumber atau tema itu sudah bukan orisinil lagi. Apabila seorang koreografer telah menemukan tema yang orisinil, ia boleh maju selangkah lagi untuk melakukan test yang kedua, yaitu apakah tema itu dapat diartikan. 68 Perlengkapanperlengkapan Kostum untuk tari-tarian tradisionil memang harus dipertahankan. Namun demikian, apabila ada bagian-bagiannya yang kurang menguntungkan dari segi pertunjukan, harus ada pemikiran lebih lanjut. Pada prinsipnya kostum harus enak dipakai dan sedap dilihat oleh penonton. Pada kostum tari-tarian tradisionil yang harus dipertahankan adalah desainnya dan warna simbolisnya. Secara umum hanya warna-warna tertentu saja yang bersifat teatrikal dan mempunyai sentuhan emosionil tertentu pula. Merah adalah menarik. Di Indonesia pada umumnya merah memiliki arti simbolis berani, agresif atau aktif. Warna ini pada drama tari tradisionil cocok untuk dipakai oleh peranan-peranan raja yang sombong, ksatria yang agresif, putri yang aktif dan dinamis. Biru memiliki kesan teatrikal tenteram. Di Indonesia warna ini dalam drama tari memiliki arti simbolis kesetiaan dan cocok untuk peranan ksatria-ksatria dan puteri-puteri yang setia kepada Negara, penuh pengabdian. Hitam member kesan kebijaksanaan dan pada drama tari, baik untuk raja-raja ksatria-ksatria, puteri, serta pendeta yang bijaksana. Warna teatrikal lainnya adalah kuning yang memiliki kesan penuh kegembiraan dan putih memiliki kesan muda atau suci. Tari-tarian tradisionil di Indonesia juga memiliki rias muka tradisionil. Sekali lagi desain rias tradisionil tentunya harus dipertahankan. Hanya saja 69 pertimbangan teatrikal harus diperhatikan. Rias untuk pertunjukan karena dilihat dari jarak jauh garis-garis rias muka harus ditebalkan, misalnya mata, alis dan garis mulut. Pemakaian rouge yang tepat dapat merubah wajah penari menjadi lebih muda. Tempat pertunjukan juga bermacam-macam. Di Bali tempat pertunjukan tradisionil adalah halaman pura, sedangkan di Jawa Tengah pendapa yang berupa bangunan luas kira-kira berukuran 25 meter panjang dan 25 meter lebar tanpa dinding. Di Irian Jaya, Kalimantan, Sumatera Utara dan lain-lain daerah ada jenis tari-tarian yang dipertunjukkan di atas lapangan terbuka dan sebagainya. Pada jaman modern sekarang ini banyak pula tempat-tempat pertunjukan modern yang berbentuk teater proscenium. Masih ada lagi jenis lain yaitu teater terbuka yang berbentuk tapal kuda dan teater arena. Walaupun tempat pertunjukan tradisionil seperti pendapa dan teater tapal kuda penonnton dapat menikmati pertunjukan dari tiga arah yaitu dari depan, dari samping kiri dan samping kanan, tetapi penonton utama adalah yang dari depan. Dengan demikian koreografi tari pada tempat-tempat semacam ini harus dipusatkan untuk penonton utama. Sudah barang tentu penonton-penonton yang dari samping jangan terlalu diabaikan. Sedangkan teater arena yang jarang untuk pertunjukan tari memiliki tempat penonton dari segala penjuru. 70 Pada teater yang memiliki penonton dari satu arah, penggarapan lantai tari dan desain atas agak mudah. Daerah lantai tari yang paling kuat adalah yang di tengah-tengah. Daerah di depan, di belakang dan di samping lebih lemah. Maka dari itu apabila mengaharapkan adanya sentuhan emosionil tertentu, penenmpatan penari-penari di atas lantai tari harus betul-betul diperhatikan. Namun demikian karakter dari daerah-daerah lantai tari ini bisa pula menjadi berubah karena permainan lampu. Karena lampu yang khusus, daerah yang lemah pun dapat menjadi paling kuat. Yang dimaksud dengan prop atau dance prop adalah perlengkapan yang tidak termasuk kostum, tidak termasuk pula perlengkapan panggung, tetapi merupakan perlengkapan yang ikut ditarikan oleh penari. Misalnya kipas, pedang, tombak, panah, selendang atau saputangan dan sebagainya. Karena prop tari boleh dikatakan merupakan perlengkapan yang seolah-olah menjadi satu dengan badan penari, maka desain-desain atasnya harus diperhatikan sekali. Di samping itu agar prop tersebut secara teatrikal menguntungkan, sering ukurannya dibuat lebih besar dari yang sesungguhnya. Mengenai lighting atau tata lampu juga harus diperhatikan bahwa lighting di sini adalah lighting untuk pentas, bukan hanay sekedar untuk penerang. Lampu-lampu khusus yang disebut spot light adalah yang paling ideal. Di samping itu sering dipakai warna-warna khusus atau lazim disebut colour medium yang akan bisa memberikan suasana-suasana tertentu. Tetapi ingat, 71 bahwa kostum yang sudah berwarna-warni harus sangat berhati-hati dalam menggunakan colour medium, contohnya, colour medium merah akan menghapus warna merah pada kostum dan rias muka. Bahkan bila sama-sama kuat, kostum merah itu akan menjadi putih. Colour medium kuning muda akan mempertajam warna-warna kostum, sedangkan biru dapat member suasana sayu. 72 BAB III METODOLOGI DAN OBJEK PENELITIAN 3.1. Metodologi Penelitian 3.1.1. Metode Penelitian Kualitatif Metodologi adalah pengertian atau proses, prinsip, dan prosedur yang kita gunakan untuk mendekati problem dan mencari jawaban. Dengan ungkapan lain, metodologi adalah suatu pendekatan umum untuk mengkaji topik peneliti (Mulyana, 2003:145). Seperti yang telah penulis jelaskan pada bab terdahulu, dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian kualitatif. Yang mana memaparkan beberapa pendekatan etnografi komunikasi, teknik pengumpulan data, objek penelitian, serta tahapan penelitian. Penelitian kualitatif pada hakekatnya ialah mengamati orang dalam lingkungan hidupnya, berinteraksi dengan mereka, berusaha memahami bahasa dan tafsiran mereka tentang dunia sekitarnya. Untuk itu peneliti harus turun langsung kelapangan dan berada di sana serta mendalaminya dalam waktu yang cukup lama. Peneliti diharapkan selalu memusatkan perhatian pada kenyataan atau kejadian yang ada dilapangan. Setiap kejadian merupakan sesuatu yang unik dan berbeda dengan yang lain karena ada perbedaan konteks. Kirk dan Miller (1986:9, dalam Moleong 2002:3) mendefinisikan bahwa penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan pada manusia dalam kawasannya sendiri 73 dan berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam bahasannya dan dalam peristilahannya. Jadi dalam penelitian kualitatif, seseorang peneliti memasuki tatanan alamiah dari orang yang ditelitinya. Peneliti dalam penelitian kualitatif terjun sendiri ke lapangan untuk mengumpulkan datanya. Data-data yang diperoleh berupa data kualitatif, bukan kuantitatif karena data yang diperoleh tidak memerlukan pengukuran. Oleh sebab itu dalam penelitian kualitatif tidak ada satu kebenaran yang mutlak. “Peneliti kualitatif bukanlah mencari kebenaran mutlak” (Nasution, 1996:6). Dari beberapa definisi yang telah dirumuskan oleh para ahli, penelitian kualitatif dari sisi definisi lainnya dikemukakan bahwa hal itu merupakan penelitian yang memanfaatkan wawancara terbuka untuk menelaah dan memahami sikap, pandangan, perasaan, dan perilaku individu atau sekelompok orang. Lain halnya dengan Bogdan dan Taylor (1992) yang menyatakan penelitian Kualitati adalah salah satu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa ucapan atau tulisan dan perilaku orang – orang yang diamati. Hal ini ditunjukkan melalui pengaruh timbal balik antara peneliti dan responden penelitian Caranya dengan adanya interaksi di antara keduanya yang akan menentukan relevansi sebuah penelitian. Penelitian kualitatif dapat digunakan untuk meneliti kehidupan masyarakat, sejarah, tingkah laku, fungsionalisasi organisasi, pergesekan pergesekan 74 sosial, atau hubungan kekerabatan (Strauss and Corbin, 1997 : 1 dalam Sadikin, 2002:1). Berbicara mengenai penelitian kualitatif maka perlu diketahui kriteria – kriteria yang mendukung efektifnya penelitian tersebut. Penelitian kualitatif harus dilakukan pada tempat subyek berada dalam lingkungan yang sebenarnya. Selain itu manusia menjadi instrumen utama dalam pelaksanaan penelitian. Ia haruslah emic, artinya naluri dan intuisi menjadi peran yang penting dalam penelitian. Yang penting lainnya, karena sebuah penelitian dikatakan sebagai sebuah penelitian kualitatif, maka penelitian tersebut harus menggunakan metode kualitatif. Berbeda dengan penelitian kuantitatif yang memiliki metode penyebaran sampel baik acak maupun terurut, maka penelitian kualitatif tidak menggunakan pemilihan sampel secara acak. Penelitian kualitatif juga menggunakan metode induktif dan penggunaan teori yang membumi (grounded theory). Maka hasil penelitian biasanya disusun dalam laporan yang bersifat narasi. Karena menurut Bogdan dan Taylor, penelitian kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata – kata tertulis atau tulisan dari orang – orang dan perilaku yang diamati. Berikut tabel yang menunjukkan perbedaan kualitatif dan kuantitatif menurut Suwardi (2006:83). 75 Perbedaan Kualitatif dan Kuantitatif No. 1. Prinsip Pengenal Sifat Realitas Penelitian Penelitian Kuantitatif Kualitatif Tunggal, konkrit, General, holistik, dan teramati hasil kontruksi dari pemahaman 2. Hubungan peneliti dengan yang Independen diteliti 3. Kemungkinan Interaktif, tidak dapat dipisahkan Cenderung Transferabilitas membuat (hanya dalam ikatan generalisasi ruang dan waktu tertentu) 4. Peranan Nilai Bebas Nilai Terikat nilai Sumber: Suwardi. 2006. Metode, Teori, Teknik; Penelitian Kebudayaan. Pustaka Widayatama Dari tabel tersebut dapat dilihat, penelitian kuantitatif meneropong suatu permasalahan lebih sempit dibanding dengan penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif memberi kebebasan peneliti untuk mencari hubungan antar konsep. Dapat dikatakan penelitian kualitatif lebih fleksibel dalam proses penelitiannya yang 76 menghasilkan tiadanya penetapan generalisasi yang berimbas pada harga matinya atas jawaban sebuah penelitian. Hal tersebut terkait dengan penelitian budaya yang memang lekat dengan penelitian kualitatif. Karena dalam melakukan penelitian kebudayaan, pendekatan kuantitatif sulit diterapkan. Hal itu disebabkan sifat – sifat kebudayaan sendiri dimaknai dengan nilai – nilai, adat istiadat, norma – norma, ide – ide dan simbol – simbol yang berlaku dalam suatu masyarakat. 3.1.2. Ciri – ciri Metode Kualitatif Metode Kualitatif memiliki ciri – ciri sebagai berikut: 1. Sumber data berada dalam situasi yang wajar (natural setting), tidak dimanipulasi oleh angket dan tidak dibuat – buat sebagai kelompok eksperimen. 2. Laporannya sangat deskriptif 3. Menggunakan proses dan produk 4. Peneliti sebagai instrumen penelitian 5. Mencari makna, dipandang dari pikiran dan perasaan responden 6. Mementingkan data langsung (tangan pertama) oleh sebab itu pengumpulan datanya mengutamakan observasi partisipasi, wawancara dan dokumentasi 77 7. Menggunakan triangulasi, yaitu memeriksakan kebenaran data yang diperooleh kepada pihak lain. 8. Menonjolkan rincian yang kontekstual, yaitu menguraikan sesuatu secara rinci tidak terkotak – kotak. 9. Subjek yang diteliti dianggap berkedudukan yang sama dengan peneliti, peneliti bahkan belajar dari respondennya. 10. Mengutamakan perspektif emic, yaitu pendapat responden dari pada pendapat peneliti sendiri (etic). 11. Sampel dipilih secara purposive 12. Menggunakan audit trail yaitu memeriksa data mentah, analisis, dan analisis kepada pihak lain, biasanya pembimbing. 13. Partisipasi peneliti tidak mengganggu (natural setting) 14. Analisis data dilakukan sejak awal sampai penelitian akhir. (Usman dan Setiady, 2001:90) 3.1.3. Karakteristik Penelitian Kualitatif 1. Realitas manusia tidak dapat dipisahkan dari konteksnya, tidak pula dapat dipisahkan agar bagian – bagiannya dapat dipelajari. Keseluruhan lebih daripada sekedar bagian – bagian. 2. Penggunaan pengetahuan tersembunyi (tacit knowledge) adalah abash. Intuisi dan perasaan sebuah pengetahuan yang dinyatakan dalam 78 bahasa karena hal – hal tersebut juga mengekspresikan nuansa – nuansa realitas ganda; karena interaksi antar manusia juga bersifat demikian. 3. Hasil (penelitian) yang dinegosiasikan adalah penting. Makna yang dinegosiasikan dan interpretasi antara peneliti dan manusia (subjek penelitian) perlu karena konstruksi realitas pihak kedualah yang ingin direkonstruksi pihak pertama. 4. Penafsiran atas data (termasuk penarikan kesimpulan) bersifat ideografis atau berlaku khusus, bukan bersifat nomotetis atau mencari generalisasi karena penafsiran yang berbeda lebih bermakna bagi realitas yang berbeda pula, dank arena penafsiran bergantung pada nilai – nilai kontekstual, termasuk hubungan peneliti – responden (objek) yang bersifat khusus. 5. Temuan (penelitian) bersifat tentatif. Hasil penelitian naturalistic bersifat ragu untuk membuat generalisasi yang luas karena temuan bergantung pada interaksi antara peneliti dan responden dan mungkin tidak dapat ditiru karena melibatkan nilai – nilai, lingkungan, pengalaman, dan orang – orang khusus. Tucker et al. mengemukakan pula, bahwa penelitian kualitatif atau yang data juga dikenal sebagai penelitian naturalistik mencakup berbagai metode penelitian, yang lazim merujuk pada tiga hal. 79 Pertama, penelitian naturalistic kadang – kadang disamakan dengan penelitian eksplanatori, yakni sebagai metode menurunkan hipotesis alih – alih mengujinya; kedua. Penelitian naturalistik kadang – kadang disamakan dengan penelitian lapangan (field research), yaki metode mempelajari fenomena dalam lingkungannya yang alamiah; dan ketiga, penelitian naturalistik kadang – kadang dipandang sebagai sarana mempelajari berbagai fenomena yang eksis karena didefinisikan secara riil. Misal, definisi situasi, makna yang dikonstruksi secara sosial, atau interpretasi atas kejadian atau lembaga sosial. 3.2. Etnografi dan Etnografi komunikasi 3.2.1. Etnografi dan Etnografi Komunikasi Etnografi pada dasarnya merupakan suatu bangunan pengetahuan yang meliputi teknik penelitian, teori etnografi, dan berbagai macam deskripsi kebudayaan. Etnografi bermakna membangun suatu pengertian yang sistematik mengenai semua kebudayaan manusia dan perspektif orang telah mempelajari kebudayaan itu. Menurut Margaret Mead dan Seville-Troike etnografi merupakan inti dari antropologi, sejalan dengan pendapat ahli antropologi yang lain, seperti Clifford Geertz, Adamson Hobel, dan Anthony F.C. Wallace. Terakhir adalah Spradley yang meletakkan dasar-dasar antropologi modern, yang menyatakan bahawa kajian 80 lapangan khas etnografi adalah tonggak antropologi budaya. Oleh karena itu mempelajari etnografi berarti belajar jantungnya antropologi, khususnya antropologi sosial. Pada perkembangannya ditemukan pemahaman pemikiran antropologi kognituif. Antropologi kognitif percaya bahwa perilaku manusia sebagai anggota suatu masyarakat, terbentuk dari sekumpulan aturan dan simbol yang kompleks, dan tugas etnografi-lah untuk menemukan aturan dan simbol yang berlaku tersebut. Sehingga secara tidak langsung etnografi membantu memahami bagaimana berperilaku dalam suatu masyarakat tertentu. Etnografi menjadi bagian dari metode modern antropologi sosial, setelah diperkenalkan oleh Malinowski dengan metodenya yang terkenal yaitu penelitian lapangan dan observasi partisipan. Sebetulnya sudah banyak ahli antropologi yang menggunakan metode ini, tetapi Malinowski lah yang pertama mensistematisasikannya. Apa yang dilakukan Malinowski ini menjadi polemik dikalangan ilmu antropologi, karena sebelum Malinowski mempublikasikan penelitiannya yang pertama (Argonauts of the Western Pacific, 1992), penelitian antropologi dilakukan tidak di lapangan (armchair theorising). Setelah itu barulah pemikiran beberapa ahli antropologi yang beranggapan, bahwa penelitian manusia haruslah dilakukan dalam lingkungan alamiahnya, mulai diterima sebagai metode penelitian modern dalam antropologi. 81 Penggunaan metode observasi partisipan dan penelitian lapangan dalam etnografi, berasal dari aliran Chicago. Aliran ini yang menjadi dasar para ahli sosiologi dalam mengembangkan pandangan kehidupan sosial manusia sebagai laboratorium alamiah. Aliran ini juga yang pertama kali menggunakan metode ini untuk memahami objek kajiannya. Sehingga Malinowski dapat dikatakan telah mengawinkan konsep antropologi dan sosiologi dalam etnografi. Ciri khas penelitian lapangan etnografi adalah sifat holistik, integrative, thick description, dan analisis kualitatif untuk mendapatkan native’s point of view. Sehingga teknik pengumpulan data yang utama adalah observasi-partisipasi dan wawancara terbuka serta mendalam, dalam jangka waktu yang relative lama dan akan sangat berbeda dengan penelitian survei. Etnografer (orang yang melakukan penelitian etnografi) akan berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun tinggal bersama masyarakat yang diteliti, sehingga metode penelitian etnografi sangat berguna untuk mempelajari bagaimana individu mengkategorikan pengalamannya. Kemudian akan pula dipahami konsep dan makna yang dimiliki oleh suatu masyarakat, sehingga memberikan pengertian yang dalam mengenai pandangan hidup yang dimilikinya, termasuk kebudayaan yang dianutnya. Sehingga faktor utama yang penting dalam penelitian etnografi adalah soal waktu. Etnografer perlu mempertimbangkan berapa lama waktu yang dibutuhkan, dari mulai persiapan sampai penulisan laporan. 82 Banyak ahli yang menganggap etnografi sebagai teori grounded, karena etnografi memberikan deskripsi yang dapat mengungkapkan berbagai model penjelasan yang dapat diciptakan oleh manusia. Etnografi dapat berperan sebagai penunjuk yang mendeskripsikan secara detil teori-teori penduduk asli yang telah diuji dalam situasi kehidupan actual selama beberapa generasi. Sehingga etnografi menawarkan suatu strategi yang baik sekali untuk menemukan teori grounded. Bulan-bulan pertama dilapangan akan dihabiskan etnografer untuk mempelajari bahasa penduduk asli. Utamanya untuk mempelajari bagaimana etnografer berkomunikasi dengan penduduk asli. Namun para etnografer kemudian menyadari sesuatu yang mempunyai signifikasi yang lebih besar dari sekedar mempelajari kemampuan berkomunikasi. Dengan mempelajari bahasa asli, para etnografer menjadi paham bagaimana penduduk asli mengategorikan pengalamannya, dan menggunakan kategori-kategori itu dalam pemikiran biasa. Sehingga mereka dengan mudah dapat mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang dipahami oleh penduduk asli dan sekaligus menemukan permasalahan-permasalahan yang ada di balik aktivitas sehari-hari. Creswell memasukan etnografi sebagai salah satu tradisi penelitian kualitatif secara lengkap, Creswell mengelompokkan penelitian kualitatif ke dalam lima tradisi, yaitu penelitian biografi, fenomenologi, teori grounded, etnografi dan studi kasus. Lebih khusus lagi, Creswell menyebutkan pendekatan etnografi merupakan gabungan antara pendekatan antropologi (khususnya Wollcott dan Fetterman) dan sosiologi 83 (Hammersley dan Atkinson). Masih menurut Creswell, berikut adalah elemen-elemen inti dalam penelitian etnografi. 1. Menggunakan penjelasan yang detil. 2. Gaya laporannya seperti bercerita (story telling) 3. Menggali tema-tema kultural, terutama tema-tema yang berhubungan dengan peran (roles) dan perilaku dalam masyarakat tertentu. 4. Menjelaskan “everyday life of persons” , bukan peristiwa-peristiwa khusus yang sudah menjadi pusat perhatian. 5. Format laporan keseluruhannya merupakan gabungan antara deskriptif, analitis, dan interpretative. 6. Hasil penjelasannya bukan pada apa yang menjadi agen perubahan, tetapi bagaimana sesuatu itu menjadi pelopor untuk berubah karena sifatnya yang memaksa. Pada hakikatnya penelitian etnografi berusaha untuk menjelaskan secara mendalam tema-tema kebudayaan yang diaplikasikan ke dalam perilaku, dan hidup dalam suatu kelompok masyarakat. Wollcot menjelaskan ada tiga tema kultural besar yang menjadi fokus perhatian etnografi, yaitu: 1. Prinsip-prinsip peran dan pengetahuan individu tentang peran itu. 2. Perasaan individu akan peran dalam kebudayaannya, dan 3. Varietas (rentang jenis) perilaku yang kemudian Nampak. 84 Etnografi memulai penelitiannya dengan melihat interaksi antarindividu dalam setting alamiahnya, kemudian mengakhirinya dengan menjelaskan pola-pola perilaku yang khas, atau dengan penjelasan perilaku berdasarkan tema kebudayaan yang hidup dalam masyarakat tersebut. Oleh karena itu sangat penting bagi seorang etnografer untuk dapat mengenali perilaku alamiah atau sehari-hari dari objek penelitiannya. Spradley menjelaskan focus perhatian etnografi adalah pada apa yang individu dalam suatu masyarakat lakukan (perilaku), kemudian apa yang mereka bicarakan (bahasa), dan terakhir apakah ada hubungan antara perilaku dengan apa yang seharusnya dilakukan dalam masyarakat tersebut, sebaik apa yang mereka buat atau mereka pakai sehari-hari (artifak). Kesimpulannya, focus penelitian etnografi adalah keseluruhan perilaku dalam tema kebudayaan tertentu. Berdasarkan fokus penelitian etnografi di atas, dapat ditarik prinsip dasar yang membedakan antara etnografi dengan etnografi komunikasi. Pada etnografi komunikasi, yang menjadi focus perhatian adalah perilaku komunikasi dengan tema kebudayaan tertentu, jadi bukan keseluruhan perilaku seperti dalam etnografi. Adapun yang dimaksud dengan perilaku komunikasi menurut ilmu komunikasi adalah tindakan atau kegiatan seseorang, kelompok, atau khalayak, ketika terlibat dalam proses komunikasi. Tetapi Etnografi komunikasi, sebagai suatu kajian telah dikenal sejak penerbitan salah satu edisi communication American (http:// Antrhopologist www. dengan judul ethnography Dea.unibo.it/narduzo/ssup/ethno2.pdf.). of Dalam 85 perkembangannya, etnografi komunikasi digambarkan dengan jelas mengenai perhatian masyarakat dengan analisis interaksional dan identitas peran dalam mengombinasikan berbagai minat dan orientasi teoritis. Etnografi komunikasi telah menjadi suatu disiplin ilmu yang menunjukan suatu pengolahan informasi dalam strukturisasi perilaku komunikatif, dan perannya dalam kehidupan masyarakat (Saville-Troike, http://www.dea.unibo.it/narduzo/sssup/ethno2.pdf.). Lebih lanjut Saville-Troike menjelaskan: Etnografi komunikasi mengambil bahasa sebagai bentuk kebudayaan dalam situasi sosial yang pertama dan paling penting, sementara juga menyadari perlunya menganalisis kode itu sendiri dan proses kognitif penutur dan pendengarnya. Menerima ruang lingkup yang lebih kecil untuk deskripsi linguistik itu, dan menolak adanya kemungkinan memahami bagaimana bahasa hidup dalam pikiran dan pada lidah para pemakainya (Saville-Troike, 1982:3-4, dalam Ibrahim, 194:305). Etnografi komunikasi menjadi controversial sejak semula. Salah satu kontroversi adalah tentang hubungannya dengan bidang linguistik sebagai suatu keseluruhan. Dell Hymes sebagai pencetus teori etnografi komunikasi, memberikan batasan tegas antara linguistik dan komunikasi. Kajian etnografi komunikasi bukanlah kajian linguistik namun merpakan kajian etnografi, serta bukan pula mengenai bahasa, tetapi mengenai bahasa, tetapi mengenai komunikasi. “... it is not linguistics, but ethnography, not language, but communication, which must provide the frame of reference within which the place of language inculture and society is to be assessed” 86 (...ini bukan linguistik, tapi etnografi, bukan bahasa, tapi komunikasi, yang harus melengkapi kerangka piker secara mendalam tempat bahasa dalam kebudayaan dan masyarakat ditetapkan) (Hymes, 1971:4, dalam Alwasilah, 2003:61) Untuk lebih jelasnya, akan digambarkan letak focus penelitian dalam penelitian etnografi dan etnografi komunikasi. 3.2.2. Tahapan Penelitian Dalam Etnografi Komunikasi Secara spesifik, etnografi komunikasi akan menghasilkan hipotesis mengenai berbagai cara, bagaimana fenomena sosiokultural dalam masyarakat itu berhubungan dengan pola-pola komunikasi atau cara-cara berbicara. Adapun focus kajian dari etnografi komunikasi adalah perilaku-perilaku komunikatif suatu masyarakat, yang pada kenyataannya banyak dipengaruhi oleh aspek-aspek sosiokultural, seperti kaidah-kaidah interaksi dan kebudayaan. Oleh karena perilaku komunikasi itu khas, maka perilaku komunikasi juga hanya terdapat dalam peristiwa-peristiwa komunikatif yang khas. Menurut ilmu komunikasi, yang dimaksud dengan peristiwa komunikasi adalah keberlangsungan komunikasi yang nyata dilakukan seseorang dengan orang lain dengan sengaja dan dengan tujuan tertentu. Seperti halnya etnografi, etnografi komunikasi juga memulai penyelidikannya dengan mengenali perilaku-perilaku komunikasi yang khas, dan kemudian 87 mengakirinya dengan penjelasan pola-pola komunikasi, tentu saja dalam konteks sosiokultural. Hymes mengemukakan tahapan-tahapan untuk melakukan penelitian etnografi komunikasi dalam suatu masyarakat tutur, melalui penjelasan berikut ini: Sebagai langkah awal untuk mendeskripsikan dan menganalisis pola komunikasi yang ada dalam suatu masyarakat, adalah dengan mengidentifikasikan peristiwa-peristiwa komunikasi yang terjadi secara berulang. Langkah selanjutnya mengiventarisasi komponen yang membangun peristiwa komunikasi, kemudian menemukan hubungan antar komponen tersebut. Jadi, yang dimaksud tahapan penelitian dalam etnografi komunikasi adalah seperti berikut ini: 1. Identifikasi peristiwa-peristiwa komunikasi yang terjadi secara berulang (recurrent events). 2. Inventaris komponen komunikasi yang membangun peristiwa komunikasi yang berulang tersebut. 3. Temukan hubungan antarkomponen komunikasi yang membangun peristia komunikasi, yang akan dikenal kemudian sebagai pemolaan komunikasi (communication patterning). Definisi istilah dalam etnografi komunikasi seperti dijelaskan sebelumnya adalah: a. Recurrent Events dalam etnografi komunikasi adalah peristiwa-peristiwa komunikasi yang signifikan, dan menjadi cirri khas dari perilaku komunikasi suatu kelompok masyarakat. 88 b. Peristiwa komunikasi menurut etnografi komunikasi adalah keseluruhan perangkat komponen yang utuh, yang dimulai dengan tujuan utama komunikasi, topic umum yang sama, dan melibatkan partisipan yang secara umum menggunakan varietas bahasa yang sama, mempertahankan tone yang sama dan kaidah-kaidah yang sama untuk berinteraksi, dan dalam setting yang sama. Sebuah peristiwa berakhir bila ada perubahan dalam batasbatasannya, misalnya ketika terdapat keheningan, atau perubahan posisi tubuh partisipan komunikasi. c. Komponen komunikasi menurut etnografi komunikasi adalah unit-unit komunikasi yang menunjang terjadinya satu peristiwa komunikasi. Berbeda dengan perspektif behaviorisme, komponen komunikasi pada etnografi komunikasi terdiri dari tipe peristiwa, topik, tujuan, setting, partisipan, bentuk pesan, isi pesan, urutan tindakan, kaidah interaksi, dan norma interaksi. d. Hubungan antar komponen yang dimaksud adalah bagaimana setiap komponen komunikasi saling bekerja sama untuk menciptakan perilaku komunikasi yang khas dari kelompok masyarakat tersebut. Setelah data mengenai komponen komunikasi suatu peristiwa komunikasi diketahui, barulah dapat dipahami mengenai hubungan antara komponen tersebut hubungan antar- komponen inilah yang disebut dengan pemolaan komunikasi (Communication pattering). 89 Hasil akhir dari sebuah penelitian etnografi komunikasi adalah penjelasan pemolaan komunikasi melalui kategori-kategori ujaran. Kategori ujaran adalah pengelompokkan peristiwa dan tindak komunikatif ke dalam setting tertentu, atau hubungan antara komponen-komponen komunikasi dalam setting komunikasi tertentu. Akan lebih jelas dalam bagian obyek penelitian dalam etnografi komunikasi pada bagian selanjutnya. Bagian ini hanya menjelaskan tahapan penelitian etnografi komunikasi saja. 3.2.3. Penelitian Etnografi Komunikasi Meskipun menggabungkan bahasa, komunikasi, dan kebudayaan dalam kajiannya, istilah-istilah yang digunakan dalam studi atau penelitian etnografi komunikasi tidaklah sama dengan istilah yang digunakan dalam bahasa, komunikasi atau bahkan antropologi. Istilah-istilah ini pada akhirnya akan mengacu pada apa yang menjadi obyek penelitian etnografi komunikasi. Berikut ini akan diuraikan beberapa istilah yang menjadi dasar pijakan dalam melakukan penelitian etnografi komunikasi. 1. Masyarakat Tutur (Speech Community) Seperti halnya etnografi, etnografi komunikasi juga memiliki pengaruh sosiokultural yang sangat besar. Sehingga keduanya memiliki batasan yang sama dalam melakukan penelitian, yaitu dalam konteks kebudayaan tertentu. 90 Kebudayaan, seperti yang telah dibahas sebelumnya, merupakan sesuatu yang memiliki bersama oleh sekelompok orang, sehingga kebudayaan adalah hasil dari interaksi antar-individu. Pakar antropologi Rosalie Wax mendefinisikan kebudayaan sebagai satu kenyataan dari “pengertian yang dialami bersama” (shared meaning), jadi bukanlah empati yang misterius. Oleh karena itu, membicarakan kebudayaan berarti membicarakan tentang sekelompok orang, atau minimalnya dua orang, karena ada sesuatu yang dibagi dan dimilki bersama. Sosiologi seperti dikatakan Peter L.Berger adalah masyarakat sebagai suatu keseluruhan kompleks hubungan manusia yang luas sifatnya. Creswell menyebutkan kelompok sosial atau masyarakat ini sebagai committee, yaitu sekelompok orang yang membangun dan berbagi kebudayaan, nilai, kepercayaan, dan asumsi-asumsi secara bersama-sama. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, masyarakat dalam etnografi komunikasi adalah masyarakat komunikatif tertentu. Etnografi komunikasi percaya bahwa kaidah-kaidah untuk berbicara dapat berbeda antara satu kelompok sosial dengan kelompok sosial yang lain, maka diperlukan definisi yang tepat mengenai kelompok sosial yang dimaksud, khususnya dalam pembahasan etnografi komunikasi. Kelompok sosial dalam etnografi komunikasi tidaklah sama dengan suatu suku bangsa, walaupun mereka berbicara dengan bahasa yang sama. Karena apabila batasan ini yang dimaksud maka, Inggris, Australia, dan Amerika paling sedikitnya akan termasuk ke dalam kelompok sosial yang sama. Pada 91 kenyataannya, terdapat banyak perbedaan mendasar antara bahasa InggrisInggris dengan bahasa Inggris-Amerika, dan begitu juga dengan bahasa InggrisAustralia. Oleh karena itulah etnografer komunikasi perlu mengembangkan konsep speech community yang merupakan kelompok sasaran berlakunya deskripsi etnografi tertentu. Banyak ahli yang telah mencoba untuk mendefinisikan apa yang dimaksud dengan speech community, atau masyarakat tutur ini. Di antara sekian banyak batasan, dapat dikemukakan dua batasan yang dapat digunakan untuk menunjang pada penelitian etnografi komunikasi. Yang pertama menurut Hymes, yang menekankan bahwa semua anggota masyarakat tutur tidak saja sama-sama memiliki kaidah untuk berbicara, tetapi juga satu variasi linguistik. Sedangkan kedua, Seville-Troike membicarakan level analisis di mana masyarakat tutur tidak harus memiliki satu bahasa, tetapi memiliki kaidah yang sama dalam berbicara. Jadi, batasan utama yang membedakan masyarakat tutur yang satu dengan yang lain adalah kaidah-kaidah untuk berbicara. Sehingga suatu suku bangsa atau kebudayaan bisa saja memiliki dua atau lebih masyarakat tutur. Misalnya suku bangsa Jawa, terbagi ke dalam masyarakat tutur Jawa-Solo, Jawa-Surabaya, dan Jawa Madura, dan masih banyak lagi. Oleh karena itu seseorang bisa saja termasuk ke dalam dua atau lebih masyarakat tutur. Sebagai contoh Asep Sutresna termasuk ke dalam masyarakat tutur Sunda, tetapi ia juga anggota dari 92 masyarakat tutur Indonesia, dan Inggris, karena ia juga fasih berbicara dan memahami kedua bahasa tersebut. Pada kenyataannya, satu masyarakat tutur pun dapat terbagi-bagi lagi ke dalam sub-sub masyarakat tutur. Misalnya masyarakat tutur Sunda, bisa terbagi lagi menjadi masyarakat tutur Sunda-Halus, Sunda-Kasar atau Sunda-Preman, dan lain sebagainya. Jadi, dalam suatu masyarakat tutur pun, bisa saja terdiri dari masyarakat tutur-masyarakat tutur yang lebih kecil. Hal ini dikarenakan manusia sebagai makhluk sosial sudah terlebih dahulu member label pada masing-masing tindakannya. Pemberian label ini berimplikasi pada terbentuknya struktur sosial, selanjutnya setiap struktur sosial membutuhkan peran dan simbol yang berbedabeda antara struktur sosial yang satu dengan struktur sosial yang lain, walaupun berbicara dengan bahasa yang sama. 2. Aktivitas Komunikasi Setelah mengidentifikasikan masyarakat tutur berikutnya adalah menemukan aktivitas komunikasi. Dalam etnografi komunikasi, menemukan aktivitas komunikasi sama artinya dengan mengidentifikasikan peristiwa komunikasi dan atau proses komunikasi. Bagi Hymes, tindak tutur atau tindak komunikatif mendapatkan statusnya dari konteks sosial, bentuk gramatika dan intonasinya. Sehingga level tindak tutur berada diantara level gramatika biasa dan peristiwa komunikatif atau situasi komunikatif dalam pengertian bahwa tindak tutur mempunyai implikasi bentuk linguistic dan norma-norma sosial. 93 Sehingga proses atau peristiwa komunikasi yang dibahas dalam etnografi komunikasi adalah khas yang dapat dibedakan dengan proses komunikasi yang dibahas pada konteks komunikasi yang lain. Apakah itu perspektif interaksi simbolik, mekanisme matematika, komunikasi kelompok, atau komunikasi dalam perspektif psikologi, dan sebagainya. Karena etnografi komunikasi memandang komunikasi sebagai proses yang sirkuler dan dipengaruhi oleh sosiokultural lingkungan tempat komunikasi tersebut berlangsung, sehingga proses komunikasi dalam etnografi komunikasi melibatkan aspek-aspek sosial dan kultural dari partisipan komunikasinya. Untuk mendeskripsikan dan menganalisis aktivitas komunikasi dalam etnografi komunikasi, diperlukan pemahaman mengenai unit-unit diskrit aktivitas komunikasi yang dikemukakan oleh Hymes. Unit-unit diskrit aktivitas komunikasi tersebut adalah: a. Situasi komunikatif atau konteks terjadinya komunikasi. b. Peristiwa komunikatif atau keseluruhan perangkat komponen yang utuh yang dimulai dengan tujuan umum komunikasi, topik umum yang sama, dan melibatkan partisipan yang secara umum menggunakan varietas bahasa yang sama, mempertahankan tone yang sama, dan kaidah-kaidah yang sama untuk interaksi, dalam setting yang sama. Sebuah peristiwa komunikatif dinyatakan berakhir, ketika terjadi perubahan partisipan, adanya periode hening, atau perubahan posisi tubuh. 94 c. Tindak komunikatif, yaitu fungsi interaksi tunggal, seperti pernyataan, permohonan, perintah, ataupun perilaku verbal Jadi aktivitas komunikasi menurut etnografi komunikasi tidak bergantung pada adanya pesan, komunikator, komunikati, media, efek, dan sebagainya. Sebaliknya yang dinamakan aktivitas komunikasi adalah aktivitas khas yang kompleks, yang didalamnya terdapat peristiwa-peristiwa yang khas dan berulang. Kekhasan di sini tiada lain karena mendapat pengaruh dari aspek sosio-kultural partisipan komunikasi. Peristiwa komunikasi itu sendiri pada akhirnya akan membawa penelitian kepada pemolaan komunikasi, karena akan ditemukan hubungan-hubungan khas antar komponen pembentuk satu peristiwa komunikasi. 3. Komponen Komunikasi Komponen komunikasi mendapat tempat yang paling penting dalam etnografi komunikasi. Selain itu, melalui komponen komunikasilah sebuah peristiwa komunikasi dapat diidentifikasi. Pada akhirnya melalui etnografi komunikasi dapat ditemukan pola komunikasi sebagai hasil hubungan antarkomponen komunikasi itu. Sehingga secara tidak langsung komponen komunikasi juga akan menuntun peneliti etnografi komunikasi ketika di lapangan. Komponen komunikasi menurut perspektif etnografi komunikasi adalah: a. Genre atau tipe peristiwa komunikatif, misalnya lelucon, salam, perkenalan, dongeng, gossip, dan sebagainya. 95 b. Topik peristiwa komunikatif. c. Tujuan dan fungsi peristiwa secara umum dan juga fungsi dan tujuan partisipan secara individual. d. Setting termasuk lokasi, waktu, musim, dan aspek fisik situasi yang lain (misalnya besarnya ruangan tata letak perabotan, dan sebagainya). e. Partisipan, termasuk usianya, jenis kelamin, etnik, status sosial, atau kategori lain yang relevan, dan hubungannya satu sama lain. f. Bentuk pesan, termasuk saluran verbal non verbal non vokal, non verbal dan hakikat kode yang digunakan, misalnya bahasa mana dan varietas yang sama. g. Isi pesan, mencakup apa yang dikomunikasikan, termasuk level konotatif dan referensi denotative. h. Urutan tindakan, atau urutan tindak komunikatif atau tindak tutur termasuk alih giliran atau fenomena percakapan. i. Kaidah Interaksi j. Norma-norma interpretasi, termasuk pengetahuan umum, kebiasaan, kebudayaan, nilai, dan norma yang dianut, tabu-tabu yang harus dihindari, dan sebagainya 4. Aktivitas Komunikasi Setelah mengidentifikasikan masyarakat tutur berikutnya adalah menemukan aktivitas komunikasi. Dalam etnografi komunikasi, menemukan aktivitas komunikasi sama artinya dengan mengidentifikasikan peristiwa 96 komunikasi dan atau proses komunikasi. Bagi Hymes, tindak tutur atau tindak komunikatif mendapatkan statusnya dari konteks sosial, bentuk gramatika dan intonasinya. Sehingga level tindak tutur berada diantara level gramatika biasa dan peristiwa komunikatif atau situasi komunikatif dalam pengertian bahwa tindak tutur mempunyai implikasi bentuk linguistik dan norma-norma sosial. Sehingga proses atau peristiwa komunikasi yang dibahas dalam etnografi komunikasi adalah khas yang dapat dibedakan dengan proses komunikasi yang dibahas pada konteks komunikasi yang lain. Apakah itu perspektif interaksi simbolik, mekanisme matematika, komunikasi kelompok, atau komunikasi dalam perspektif psikologi, dan sebagainya. Karena etnografi komunikasi memandang komunikasi sebagai proses yang sirkuler dan dipengaruhi oleh sosiokultural lingkungan tempat komunikasi tersebut berlangsung, sehingga proses komunikasi dalam etnografi komunikasi melibatkan aspek-aspek sosial dan kultural dari partisipan komunikasinya. Untuk mendeskripsikan dan menganalisis aktivitas komunikasi dalam etnografi komunikasi, diperlukan pemahaman mengenai unit-unit diskrit aktivitas komunikasi yang dikemukakan oleh Hymes dalam buku ( Engkus Kuswarno, 2008: 41). Unit-unit diskrit aktivitas komunikasi tersebut adalah: d. Situasi komunikatif atau konteks terjadinya komunikasi. e. Peristiwa komunikatif atau keseluruhan perangkat komponen yang utuh yang dimulai dengan tujuan umum komunikasi, topik umum yang sama, dan 97 melibatkan partisipan yang secara umum menggunakan varietas bahasa yang sama, mempertahankan tone yang sama, dan kaidah-kaidah yang sama untuk interaksi, dalam setting yang sama. Sebuah peristiwa komunikatif dinyatakan berakhir, ketika terjadi perubahan partisipan, adanya periode hening, atau perubahan posisi tubuh. f. Tindak komunikatif, yaitu fungsi interaksi tunggal, seperti pernyataan, permohonan, perintah, ataupun perilaku non verbal Jadi aktivitas komunikasi menurut etnografi komunikasi tidak bergantung pada adanya pesan, komunikator, komunikati, media, efek, dan sebagainya. Sebaliknya yang dinamakan aktivitas komunikasi adalah aktivitas khas yang kompleks, yang didalamnya terdapat peristiwa-peristiwa yang khas dan berulang. Kekhasan di sini tiada lain karena mendapat pengaruh dari aspek sosio-kultural partisipan komunikasi. Peristiwa komunikasi itu sendiri pada akhirnya akan membawa penelitian kepada pemolaan komunikasi, karena akan ditemukan hubungan-hubungan khas antar komponen pembentuk satu peristiwa komunikasi 5. Komponen Komunikasi Komponen komunikasi mendapat tempat yang paling penting dalam etnografi komunikasi. Selain itu, melalui komponen komunikasilah sebuah peristiwa komunikasi dapat diidentifikasi. Pada akhirnya melalui etnografi komunikasi dapat ditemukan pola komunikasi sebagai hasil hubungan antarkomponen 98 komunikasi itu. Sehingga secara tidak langsung komponen komunikasi juga akan menuntun peneliti etnografi komunikasi ketika di lapangan. Komponen komunikasi menurut perspektif etnografi komunikasi adalah: k. Genre atau tipe peristiwa komunikatif, misalnya lelucon, salam, perkenalan, dongeng, gossip, dan sebagainya. l. Topik peristiwa komunikatif. m. Tujuan dan fungsi peristiwa secara umum dan juga fungsi dan tujuan partisipan secara individual. n. Setting termasuk lokasi, waktu, musim, dan aspek fisik situasi yang lain (misalnya besarnya ruangan tata letak perabotan, dan sebagainya). o. Partisipan, termasuk usianya, jenis kelamin, etnik, status sosial, atau kategori lain yang relevan, dan hubungannya satu sama lain. p. Bentuk pesan, termasuk saluran verbal non verbal non vokal, non verbal dan hakikat kode yang digunakan, misalnya bahasa mana dan varietas yang sama. q. Isi pesan, mencakup apa yang dikomunikasikan, termasuk level konotatif dan referensi denotative. r. Urutan tindakan, atau urutan tindak komunikatif atau tindak tutur termasuk alih giliran atau fenomena percakapan. s. Kaidah Interaksi 99 t. Norma-norma interpretasi, termasuk pengetahuan umum, kebiasaan, kebudayaan, nilai, dan norma yang dianut, tabu-tabu yang harus dihindari, dan sebagainya. 6. Kompetensi Komunikasi Tindak komunikatif individu sebagai bagian dari suatu masyarakat tutur, dalam perspektif etnografi komunikasi lahir dari integrasi tiga keterampilan, yaitu keterampilan linguistik, keterampilan interaksi, dan keterampilan kebudayaan. Kemampuan atau ketidakmampuan dalam menguasai satu jenis keterampilan (kompetensi atau inkompetensi komunikasi), akan mengakibatkan tidak tepatnya perilaku komunikasi yang ditampilkan. Kompetensi ini akan sangat membantu penutur ketika mereka menggunakan atau menginterpretasikan bentuk-bentuk linguistik. Kompetensi komunikasi akan menjangkau: 1. Pengetahuan dan harapan tentang siapa yang bisa atau tidak bisa berbicara dalam setting tertentu? 2. Kapan mengatakannya? 3. Bilamana harus diam? 4. Siapa yang bisa diajak bicara? 5. Bagaimana berbicara kepada orang-orang tertentu yang peran dan status sosialnya berbeda? 6. Apa perialku non verbal yang pantas? 100 7. Rutin yang bagaimana yang terjadi dalam alih giliran percakapan? 8. Bagaimana menawarkan bantuan? 9. Bagaimana cara meminta informasi dan sebagainya? Singkatnya kompetensi komunikasi akan melibatkan segala sesuatu yang berhubungan dengan penggunaan bahasa dan dimensi komunikatif dalam setting sosial tertentu. Komunikasi lintas budaya sangat perlu untuk memperhatikan kompetensi komunikasi ini, karena apabila tidak, culture shock dan miscommunication akan sangat mungkin terjadi. Seperti penelitian yang diungkapkan oleh Abrahams (1973), dalam masyarakat kulit hitam, percakapan bisa mellibatkan beberapa orang yang berbicara pada saat yang sama, suatu praktek percakapan yang akan melanggar kaidah interaksi kelas menengah wrga kulit putih. Terlihat seperti hal yang sangat sepele, tetapi bila tidak memperhatikan dengan benar, bukan tidak mungkin perang akan terjadi lagi di berbagai belahan dunia ini. Karena kompetensi komunikasi melibatkan aspek budaya dan sosial, maka kompetensi komunikasi mengacu pada pengetahuan dan keterampilan komunikatif yang sama-sama dimiliki oleh satu kelompok sosial atau masyarakat. Namun kompetensi komunikasi ini dapat bervariasi pada tingkat individu, mengingat individu adalah makhluk yang memiliki motif dan tujuan berbeda-beda. Sehingga kompetensi komunikasi tidak dapat berlaku seterusnya, melainkan dinamis mengikuti perubahan individu-individu yang 101 menggunakannya. Sebagai contoh, dalam kebudayaan Indonesia, memberikan sesuatu dengan tangan kiri merupakan contoh pelanggaran terhadap kompetensi komunikasi, tetapi seiring perkembangan jaman, khususnya di kalangan anak muda, memberikan sesuatu dengan tangan kiri menjadi hal yang lumrah dan dapat diterima, walaupun itu terbatas pada orang-orang tertentu saja. artinya terjadi perubahan harapan terhadap interprestasi budaya di kalangan anak muda. Walaupun demikian, setiap kebudayaan dapat memiliki kompetensi komunikasi secara global, dan berlaku secara berkelanjutan. Berikut adalah komponen-komponen kompetensi komunikasi yang dapat ditemukan pada sautu masyarakat tutur: 1. Pengetahuan Linguistik (linguistic knowledge) (a) Elemen-elemen verbal (b) Elemen-elemen non verbal (c) Pola elemen-elemen dalam peristiwa tutur tertentu (d) Rentang varian yang mungkin (dalam semua elemen dan pengorganisasian elemen-elemen itu) (e) Makna varian-varian dalam situasi tertentu 2. Keterampilan interaksi (interaction skills) (a) Persepsi cirri-ciri penting dalam situasi komunikatif (b) Seleksi dan interpretasi bentuk-bentuk yang tepat untuk situasi, peran, dan hubungan tertentu (kaidah untuk penggunakan ujaran). 102 (c) Norma-norma interaksi dan interpretasi (d) Strategi untuk mencapai tujuan.\ 3. Pengetahuan kebudayaan (cultural knowledge) (a) Struktur sosial (b) Nilai dan sikap (c) Peta atau skema kognitif (d) Proses enkulturasi (transmisi pengetahuan dan keterampilan) 7. Varietas Bahasa Pemolaan komunikasi (communication patterning) akan lebih jelas bila diuraikan dalam konteks varietas bahasa. Hymes menjelaskan bahwa dalam setiap masyarakat terdapat varietas kode bahasa (language code) dan cara-cara berbicara yang bisa dipakai oleh anggota masyarakat atau sebagai repertoire komunikatif masyarakat tutur. Variasi ini akan mencakup semua varietas dialek atau tipe yang digunakan dalam populasi sosial tertentu, dan faktor-faktor sosio-kultural yang mengarahkan pada seleksi dari salah satu variasi bahasa yang ada. Sehingga pilihan varietas yang dipakai akan menggambarkan hubungan yang dinamis antara komponen-komponen komunikatif dari suatu masyarakat tutur, atau yang dikenal sebagai pemolaan komunikasi (communication patterning). Setiap individu memiliki banyak pilihan bahasa dan tipe bahasa, bergantung kapan, di mana dan dengan siapa ia berkomunikasi. Pilihan bahasa dan tipe 103 bahasa ini juga hanya dipahami oleh masyarakat tutur yang menggunakannya, sehingga tidak mungkin seseorang menggunakan semua jenis varietas bahasa ini. Kaidah-kaidah unntuk pilihan bahasa ini seringkali diterapkan dan digunakan secara tidak sadar sebagai akibat dari proses sosialisasi dan enkulturasi kebudayaan. Tugas etnografi komunikasi-lah untuk dapat menemukan kaidah ini. Hal ini ternyata bukanlah pekerjaan yang mudah, apalagi bila etnografer merupakan anggota masyarakat tutur yang ditelitinya. Menemukan dan menyatakan sesuatu yang sudah lumrah dalam kehidupan sehari-hari. Seperti misalnya merumuskan perbedaan antara kalimat “silahkan diminum teh nya!” dengan “habiskan minuman mu!”. Sekilas terlihat mudah, tetapi sebenarnya situasi yang melatarbelakangi kedua kalimat itu akan sangat jauh berbeda. Situasi itu akan jauh lebih kompleks dalam kebudayaan yang berbeda. Di Negara Jepang misalnya, sebagai negara yang sangat menghargai minuman teh, menawarkan teh kepada orang tua akan sangat berbeda dengan menawarkan the kepada atasannya di kantor. Orang Jepang akan menggunakan kalimat “Ocha igaka desuka?” bila menawarkan teh kepada orang tua, dan akan menggunakan kalimat “ocha wa igaka desho ka?” kepada atasannya di kantor. Hal ini akan berbeda lagi bila digunakan di masyarakat tutur Italia misalnya, di mana teh bukan merupakan minuman yang sangat berharga. Di Italia, orang mungkin 104 menggunakan varietas bahasa yang banyak sekali untuk satu kata “kopi” dibandingkan dengan masyarakat selain di Italia. Pemolaan komunikasi dan varietas bahasa inilah yang kemudian akan menjadi tujuan utama penelitian etnografi komunikasi. Mengenai bagaimana unit komunikatif yang berlaku pada satu masyarakat tutur, dan hubungan yang terjadi di antara komponen-komponen komunikatifnya. Karena penjelasan varietas bahasa dengan sendirinya menjelaskan pola komunikasi yang digunakannya. 3.2.4. Proses Pengumpulan Data Penelitian kualitatif berbeda dengan penelitian kuantitatif, termasuk pada cara pengumpulan data. Jika peneliti kuantitatif akan berkutat pada angka-angka yang ia peroleh dari angket yang sudah ia sebar, peneliti kualitatif harus lebih berkonsentrasi pada subyek penelitian yang dihadapi sacara langsung. Seorang informan (nara sumber) mempunyai peranan penting dalam penelitian kualitatif. Informan dapat membawa peneliti masuk ke dalam objek penelitian dan memberikan gambaran serta informasi yang dibutuhkan untuk data-data penelitian. Teknik pemilihan informan pada penelitian menurut Patton menggunakan purposive sampling, dimana peneliti cenderung memilih informan yang dianggap tahu dan dapat dipercaya untuk menjadi sumber data yang mantap dan mengetahui masalah secara mendalam. Namun demikian informan dapat berkembang sesuai 105 dengan kebutuhan dan kemantapan penelitian untuk memperoleh data (Hamidi, 2007). Kemudian penelitian di lapangan atau observasi. Observasi merupakan alat pengumpul data, yakni dengan melihat dan mendengarkan. Dan hal yang harus diperhatikan, informasi (apa yang terjadi), dan konteks (hal-hal yang bertalian). Informasi lepas dari konteks akan kehilangan makna. 3.2.5. Teknik Pengumpulan data Dalam pendekatan kualitatif dikenal berbagai macam teknik pengumpulan data. Secara singkat, teknik-teknik pengumpulan data itu adalah sebagai berikut: Gather observational notes by conducting as a participant. Gather observational notes by conducting an observation as an observer. Conduct an unstructured, open-ended interview, audiotape to interview, and transcribe the interview. Keep a journal during research study. Have an informant keep a journal during research study. Collect personal letters from informants. Analyze public documents (e.g., official memos, minutes, archival material). Examine physical trace evidence (e.g., footprints in the snow). 106 Videotape a social situation or an individual/ group. Examine photographs or videotapes. Have informants`take photographs or videotapes. Collect sounds (e.g., musical sounds, a child ’s laughter, can horns honking). (Creswell, 1994:149) 3.3. Objek Penelitian Tari adalah salah satu aset bangsa yang musti kita pelihara. Indonesia kaya akan tari banyak macam tari-tarian yang kita miliki salah satunya adalah Ronggeng yang berasal dari Jawa Barat namun, keberadaannya sudah sangat jarang. Ronggeng Bugis adalah satu jenis kesenian tradisional Cirebon merupakan seni pertunjukan tradisional Keraton untuk menghibur penonton dengan tarian dan ekspresi penuh dengan kejenakaan, mengundang tawa bagi yang menyaksikannya. Ronggeng Bugis dikenal juga dengan nama Tari Telik Sandi. Secara harfiah nama kesenian ini terdiri dari dua kata yaitu Ronggeng dan Bugis. Secara umum pengertian ronggeng adalah penari wanita yang menuntut banyak keterampilan, selain menari dan menyanyi, juga masih melayani laki-laki. Jika menelaah makna dari Tari Ronggeng tersebut sungguh berbeda pada Tari Ronggeng Bugis ini hal ini tidak terlepas dari Sejarah yang pada masa itu Sunan Gunung Djati ingin melepaskan dari kekuasaan kerajaan Padjadjaran, dalam merebut 107 kekuasaan dari kerajaan Padjdjaran, Suanan Gunung Djati mengirimkan mata-mata yaitu yang disebut telik sandi yakni penari laki-laki yang menyamar berbusana wanita yang terlihat lucu bukan cantik. Warna merah merupakan warna dominan pada pakaian Ronggeng Bugis Cirebon yang mencerminkan daerah pantura identik dengan warna cerah selain itu terdapat symbol keberanian. Kita mengetahui bahwa Cirebon adalah Kota pelabuhan bermacam-macam suku menetap disitu termasuk orang Bugis yang memang dipercaya untuk melakukan penyamaran tersebut. Sehinggg tarian itu di sebut Tari Ronggeng Bugis Cirebon, yang memang sudah di hak paten kan sebagai kesenian asli Cirebon. 3.4. Profil Cirebon Asal kota Cirebon ialah ada abad ke 14 di pantai utara Jawa Barat ada desa nelayan kecil yang bernama Muara Jati yang terletak di lereng bukit Amparan Jati. Muara Jati adalah pelabuhan nelayan kecil. penguasa kerajaan Galuh yang ibukotanya Rajagaluh menempatkan seorang sebagai pengurus pelabuhan atau syahbandar Ki Gedeng Tapa. Pelabuhan Muara Jati banyak disinggahi kapal – kapal dagang dari luar di antaranya kapal Cina yang datang untuk berniaga dengan penduduk setempat, yang diperdagangkannya adalah garam, hasil pertanian dan terasi. Kemudian Ki Gedeng Alang – Alang mendirikan sebuah pemukiman di Lemahwungkuk yang letaknya kurang lebih 5 km ke arah selatan dari muara Jati. Karena banyak saudagar dan pedagang asing juga dari daerah – daerah lain yang 108 bermukim dan menetap maka daerah itu dinamakan Caruban yang berarti campuran yang kemudian berganti Cerbon kemudian menjadi Cirebon hingga sekarang. Raja Pjajaran Prabu Siliwangi mengangkat Ki Gede Alang – aLng sebagai kepala pemukiman baru ini dengan gelar Kuwu Cerbon, yang ada di bawah pengawasan Kuwu itu dibatasi oleh Kali Cipamali di sebelah timur, Cigugur (Kuningan) di sebelah Selatan, epgunungan Kromong di sebelah barat dan Junti (Indramayu) di sebelah utara. Setelah Ki Gedeng Alang – Alang wafat kemudian digantikan oleh menantunya yang bernama Walangsungsang putra parbu Siliwangi dari Pajajaran. Walangsusngsang ditunjuk dan diangkat sebagai Adipati Carbon dengan gelar Cakrabumi. Kewajibannya adalah membawa upeti kepada raja di ibukota Rajagaluh yang berbentuk hasil bumi, akan tetapi setelah merasa kuat meniadakan pengiriman upeti, akibatnya Raja mengirim bala tentara, tetapi Cakrabumi berhasil mempertahankannya. Kemudian Cakrabumi memproklamasikan kemerdekaannya dan mendirikan kerajaan Cirebon dengan memakai gelar Cakrabuana. Karena Cakrabuana telah memeluk agama Islam dan pemerintahannya telah menandai mulainya kerajaan – kerajaan Islam Cirebon, tetapi masih tetap ada hubungannya dengan kerajaan Hindu Pajajaran. Semenjak itu pelabuhan kecil Muara Jati menjadi besar, karena bertambahnya lalu lintas dari dan ke arah pedalaman, menjual hasil setempat sejauh daerah pedalaman Asia Tenggara. Dari sinilah awal berangkat nama Cirebon hingga menjadi kota besar sampai sekarang ini. Pangeran Cakrabuana kemudian membangun Keraton Pakungwati sekitar tahun 1430M, yang letaknya sekarang di dalam Komplek Keraton Kesepuhan Cirebon. (Mengenal Kasultanan Kasepuhan Cirebon West – Java, Kasultanan Kasepuhan Cirebon dan Kasultanan Keraton Kasepuhan, diterbitkan Yayasan Keraton Kasepuhan bekerjasama dengan Bank Jabar. 2002). 109 3.5. Masyarakat dan Budaya Cirebon Wilayah Cirebon yang dahulu masih kecil dikenal juga dengan nama Caruban, karena masyarakatnya yang sangat beragam (caruban = campuran). Daerah yang awalnya merupakan pemukiman kecil berkembang menjadi desa yang ramai dikunjungi banyak orang dari berbagai bangsa, agama, bahasa, adat istiadat dan kemampuan hidup (Abdurachaman, 1982:32) Paparan di atas dikaitkan dalam sebuah wawancara di ceriterakan tentang sejarah Cirebon yang dituturkan oleh Kartani , bahwa : “ Pada masa ki Gedeng Alang-alang menjadi ketua wilayah pedukuhan Cirebon datanglah beberapa orang asing yang berlabuh di pantai Muara Jati ........Pada tahun 1415 telah berlabuh di pantai Muara Jati, armada Cina yang dipimpin oleh Laksamana Te Ho dan Kun Wei Ping beserta para awak kapalnya. Pada tahun 1418 datang seorang ulama, Hasanudin bin Yusuf Sidik bersama perahu dagang dari negeri campa. Kemudian sekitar tahun 1420 datang pula rombongan orang asing lainnya yaitu ulama Arab dari Bagdad berjumlah dua belas orang yang dipimpin langsung oleh Syeh Datuk Kahfi “. (wawancara, dengan Kartani budayawan Cirebon, , 15 januari 2005). Dari keterangan awal terbentuknya daerah Cirebon di atas menunjukkan bahwa daerah Cirebon memiliki komunitas masyarakat yang heterogen. Beragamnya masyarakat Cirebon dewasa ini sangat mungkin diakibatkan dari latar belakang historis yang dimiliki daerah Cirebon. Masyarakat Cirebon terdiri dari suku bangsa Arab, Cina, India, Bugis, Jawa, Sunda dan bahkan dewasa ini banyak berdatangan dari luar Jawa. Akan dapat kita lihat warna keragaman masyarakat Cirebon saat ini di pusat-pusat kota, baik kecamatan maupun kabupaten, di pusat-pusat keramaian atau pusat perbelanjaan. Umumnya mereka sebagai wiraswasta, pedagang dan pengusaha, 110 sementara masyarakat Cirebon yang tinggal di pedesaan yang memiliki profesi sebagai petani atau pengrajin serta pedagang kecil. Bahkan dewasa ini di daerah Cirebon banyak tumbuh dan berkembang industri-industri yang menjadi kehidupan baru budaya sangat beragam dan semakin kompleks. Kompleksitas kehidupan sosial budaya akibat pembauran antara masyarakat pedesaan dan perkotaan dan juga dengan masyarakat pendatang lainnya merupakan suatu kelebihan masyarakat Cirebon sekaligus memunculkan aspek-aspek yang bisa saja mengarah pada hilangnya kesatuan budaya komunal masyarakatnya. Secara kultural, daerah Cirebon didasarkan pada budaya masyarakatnya dipilah dapat menjadi tiga bagian wilayah budaya, diantaranya meliputi wilayah bagian Utara, Tengah dan Selatan. Pembagian ini berdasarkan pada jalur transportasi utama dan letak wilayah kantung-kantung budaya. Alasan lain dari pembagian wilayah budaya masyarakat tersebut juga realita dalam komunikasi sehari-harinya masyarakat dalam menggunakan bahasa; wilayah utara wilayah perkotaan (Kota Kecamatan, Kabupaten dan Kotamadya) yang terdiri adalah wilayah masyarakat yang berbasis bahasa daerah Jawa Cirebon, wilayah Tengah dari masyarakat campuran dengan basis bahasa Jawa-Sunda Cirebon (campuran), dan wilayah Selatan adalah masyarakat yang memiliki basis bahasa Sunda. Wilayah Utara adalah wilayah yang masyarakatnya cukup banyak menyimpan sumber kultural. Wilayah ini merupakan lingkungan masyarakat yang masih banyak menaruh minat terhadap seni budaya sebagai media ekspresi dalam kehidupan sosial- 111 budaya.tidak sedikit dari wilayah ini bermunculan kelompok-kelompok seni pertunjukan sebagai salah satu bagian dari unsur kebudayaan, misalnya Gegesik, Palimanan, Bojong, Cangkring, Kapetakan dan Gebang. Sementara di wilayah bagian tengah adalah wilayah yang masyarakatnya terdiri atas kalangan menengah dan beberapa kalangan atas yang beberapa bagian wilayahnya sudah dipengaruhi kehidupan kota. Masyarakat wilayah ini memiliki selera yang berbeda akan seni budaya sebagai produk kebudayaan juga dalam kehidupan sosialnya. Sekalipun masyarakatnya masih banyak menaruh minat terhadap seni budaya tradisi sebagai media ekspresi dan reaksasi, namun untuk memenuhi selera mereka lebih suka mengangkat seni budaya yang tergolong modern. Namun demikian buka berarti pada kelompok ini tidak memiliki kelompok seni budaya tradisi. Dan yang ketiga. Wilayah Selatan adalah wilayah masyarakat yang memiliki komunitas seni budaya tersendiri yang lebih dominan . Wilayah ini merupakan wilayah yang masyarakatnya dalam segi bahasa seharian menggunakan bahasa Sunda dan biasa disebut daerah Pakidulan, masyarakat wilayah bagian Selatan ini umumnya bermata pencaharian sebagai petani dan hanya beberapa dari mereka menjadi pegawai, buruh atau karyawan (Jaeni,2007:70, dan Bappeda Kabupaten Cirebon 2006) Heterogenitas masyarakat Cirebon salah satunya juga tercermin dalam penggunaan dalam bahasa karena keragaman masyarakatnya. Sebagai ilustrasi, hampir di setiap daerah di wilayah Cirebon masyarakatnya memiliki logat bahasa Cirebon yang berbeda, sementara itu beberapa kecamatan pun kadang-kadang 112 berbeda pula bahasanya, misalnya Jawa Cirebon dan Sunda seperti halnya masyarakat Kecamatan Plumbon, Palimanan, Babakan Ciledug, Gebang, Ciwaringin dan seterusnya. Di Kecamatan Plumbon masyarakatnya menggunakan bahasa Sunda dengan logat Cirebon, dan yang lebih kompleks lagi penggunaan bahasa adalah di masyarakat kota atau di pusat kota Cirebon, mereka dari berbagai suku bangsa berbaur, ada yang menggunakan bahasa asli sukunya (Arab, Cina, Batak, Padang, Bugis, Bali, Jawa dsbnya), ada pula yang berbahasa Cirebon namun dicampurcampur dengan bahasa asli mereka, serta bahasa nasional sebagai bahasa kesehariannya. Senada dengan uraian di atas, Ayatrohaedi (2003) menjelaskan bahwa, sebagai daerah yang secara geografis terbagi menjadi daerah pantai di utara dan penggunungan di selatan, maka wilayah keresidenan Cirebon memiliki bentuk-bentuk kebudayaan yang sedikit banyak berbeda. Di bagian utara berkembang kebudayaan dengan karakteristik masyarakat pantai, sementara selatan berkembang pula kebudayaan masyarakat pegunungan. Lebih jauh Ayatrohedi menyatakan, bahwa dalam hal ini tidak dapat disalahkan dan sama sekali tidak ada maksud merendahkan, jika penduduk daerah dataran rendah menyebut orang Sunda sebagai wong gunung. Juga tidak dimaksudkan untuk menghina jika orang Sunda menyebut saudaranya di dataran rendah itu sebagai jawa koek atau jawa reyang. Walaupun orang yang disebut Jawa itu sebenarnya enggan disebut demikian karena merasa bahwa mereka bukan orang Jawa, melainkan orang Cirebon atau orang Indramayu. 113 Strafikasi membagi dua karakter seperti di atas memang tidaklah sesederhana itu. Persilangan kebudayaan yang berkembang antarbudaya kemudian menjadi suatu kesatuan yang khas menjadi budaya miliknya. Beberapa unsur kebudayaan yang berkembang di Cirebon misalnya bahasa, juga menunjukan adanya pengaruh kuat dari bahasa Sunda. Sebaliknya beberapa ekspresi sekarang berkembang di tataran Sunda pun banyak yang menyerap anasir kebudayaan dan kesenian Cirebonan. Menurut Saini KM (2003) dan Narawati (2003) bahwa kesenian topeng Cirebon ternyata banyak memberi pengaruh kepada bentuk-bentuk tari keurseus yang berkembang di Sunda. Kesenian Degung yang ada di Keraton Kesepuhan Cirebon. Wayang golek mulai digemari penduduk dataran rendah sejak kemerdekaan, sementara lagu Cirebonan dan tari masuk kedalam khazanah kesenian Sunda (Ayatrohedi, 2003, dan Casta , 2007:14) 114 BAB IV Tinjauan Umum Pertunjukan Tari Ronggeng Bugis 4.1 Asal-usul Ronggeng 4.1.1 Ronggeng di Jawa Barat Tidak jelas kapan tepatnya pertama kali ronggeng muncul di Indonesia, beberapa catatan menyebutkan, menurut berita dari yang dimuat pada naskah Tantu, Siksakanda ng Karesian, dan kidung Sunda dimuat sekaligus tiga kata yang berhubungan dengan jenis pertunjukan yaitu kata-kata igel, patepalan, dan sebagai berikut: “Ring sawu lan pitung dina, titiwanira nrpati, acri kang sarwa tinonton, sawoten ing Majapahit, menmen igel abecik bebarisan pitung bayu, makadi baris deklang, ronggeng solahe angrawit, pawayangan acri lawan patapelan”, Maman Surjaatmadja R, Atja “Pengantar Dramatan Ramayana Nasional (Yogyakarta: Panitia Festifal Dramatari Ramayana Nasional, 1970). Hal ini merujuk bahwa ronggeng pada abad 14 yang tertulis pada naskah kesusastraan kuno di atas menunjukkan bahwa ronggeng telah ada di Indonesia khususnya di Jawa dan Tatar Sunda, yang sekaligus ronggeng mengindikasikan ronggeng sejak lama. Yang diperoleh adanya ronggeng tentang adanya ronggeng dengan demikian dimungkinkan bahwa tarian yang dibawakan ronggeng adalah tokoh perempuan. Ronggeng di Indonesia sudah ada sejak zaman kolonial sudah ada lahirnya tari Ronggeng ini tidak lepas dari suatu keterpaksaan untuk menjadi Ronggeng, pada zaman kolonial ini selain menuntut 115 banyak keterampilan, selain menari dan menyanyi, juga masih melayani para lakilaki. Bagaimanapun perkebunan di daerah Jawa Barat pada masa lalu tidak dapat dipisahkan dengan adanya pesta ronggeng. Untuk sarana hiburan di areal perkebunan didatangkan perempuan-perempuan yang dikenal dengan sebutan ronggeng-cokek dan doger dari pantai utara Pamanukan dan Semarang, serta seni hiburan lainnya untuk menghibur para kuli kontrak yang ditampung dalam ‘rumah khusus’ yang difungsikan pula sebagai perempuan penghibur, yang pada saat itu dikenal dengan sebutan Ronggeng. Kebengisan kapitalisme kolonial, bahkan dengan perlakuan yang tidak senonoh terhadap perempuan Jawa, mengganggu perempuan di jalan, mengintip ketika mandi disungai, serta memperkosa di dalam rumah mereka (M.C. Ricklefs, 1981:79) kondisi tersebut bukannya membuat para buruh perempuan merasa jera, tertindas atau menderita, bahkan sebaliknya menjadikan perempuan buruh perkebunan yang memilih profesi ronggeng yang juga ‘berperan ganda’ karena begitu mudah untuk mendapatkan uang. 4.1.2. Ronggeng Bugis Cirebon Munculnya kesenian ronggeng bugis, ketika Cirebon berada di bawah pemerintahan Sunan Jati Syekh Maulana Syarif Hidayatullah tahun 1482 Masehi, ada keterkaitan sejarah dengan awal berdirinya kerajaan Islam di Cirebon. Demikian menurut sumber dari Keraton Kasepuhan Cirebon. Berdasarkan dari berbagai sumber, baik wawancara dengan tokoh seniman Cirebon , buku-buku maupun hasil penelitian, secara ringkas riwayat ronggeng bugis di Kabupaten Cirebon adalah sebagai berikut : 116 Pada Titi Dwadasi Suklapaca Certamasa Saharsa Patargatus Papat Ikang, sakakala (1482 Masehi), Cirebon di bawah pemerintahan Sunan Gunung Jati Syekh Maulana Syarif Hidayatullah, yang menyatakan bahwa Cirebon berdiri sebagai negara Islam yang berdaulat penuh lepas dari segala ikatan dan kewajiban dengan Pakwan Pajajaran. Untuk membaca situasi gerak-gerik Pakwa Pajajaran sebagai reaksi dari Proklamasi agar Cirebon menyiasati secara dini, maka diputuskan harus mengirim atau menyusupkan telik sandi ke Pakwan Pajajaran, konon untuk menentukan siapa dan bagaimana seharusnya.telik sandi, agak mengalami kesulitan, dibutuhkan orang yang berani, bermental kuat serta pandai menyamar. Konon maka tampillah seorang ksatria dari Bugis (n.n) . ia dengan beberapa kawannya sanggup mengemban tugas tersebut. Diceriterakan bahwa perantau Bugis minta bantuannya kepada kerajaan Islam Cirebon sebelum Cirebon melepaskan diri dari Pakuan Pajajaran. Akhirnya dengan suara bulat dalam suatu persewakan agung diputuskan serta disetujui bahwa pengemban telik sandi dipercayakan kepada orang Bugis tersebut. Maka dalam upaya penyamarannya mereka membentuk semacam tari untuk ngamen,. Selanjutnya sepanjang jalan yang dilaluinya, rombongan bergerak sambil menabuh tetabuhan dan menari serta mengamati, terlihat dari gerak-gerik tarinya. Ternyata cara ini sangat efektif dan berhasil, rombongan ngamen ini tidak dicurigai 117 sedikit pun, baik oleh masyarakat maupun pejabat Pakuan Pajajaran, malah bisa dengan leluasan masuk ke Keraton Pajajaran karena diminta oleh raja. Dengan demikian mereka bisa menyadap segala informasi dari gerak-gerik serta situasi di Pakwan Pajajaran, sehubungan dengan lepasnya Cirebon. Atas jasajasanya, Sunan Gunung Jati merestui untuk membakukan kesenian ini sebagai salah satu seni tradisional keraton Cirebon, selanjutnya kesenian ini dikenal dengan nama ronggeng bugis (Parsenbud Kabupaten Cirebon , 2001: 190) Menyimak pernyataan tersebut di atas, apabila mencermati pelembagaan tari Ronggeng Bugis secara legalitas (resmi) mendapat pengakuan sebagai tari masyarakat istana lembaga atau institutions keraton Cirebon, tari Ronggeng Bugis sebagai seni tari dengan patronage Sunan Gunung Jati yang mampu mewujudkan nilai-nilai yang luhur terkandung didalamnya simbol dan makna sebagai tari tradisi yang memiliki nilai adiluhung, arti lain tari tradisional yang hidup di lingkungan keraton Cirebon dengan perlindungan kekuasaan Sunan. Tari Ronggeng merupakan simbol seorang rakyat biasa yang telah berjasa ke Sunan, sementara Sunan Gunung Jati memberi penghargaan sebagai norma atas “ kesetian” mengabdi kepada Sunan Gunung Jati, Ronggeng Bugis sebagai tari tradisional khas Cirebon. Dalam perkembangan selanjutnya ronggeng bugis muncul di luar tembok Keraton yaitu di wilayah Kabupaten Cirebon sebagai seni pertunjukan khas keraton Cirebon. Tarian ini dikenal dikalangan masyarakat Cirebon dengan sebutan tari babancian, karena ditarikan oleh kaum pria yang menirukan gerak penari perempuan. Kini tinggal beberapa Desa saja di wilayah Cirebon yang masih mempertahankan keberadaan kesenian ronggeng bugis, yakni Desa Bojong Wetan 118 Kecamatan Klangenan, Desa Buyut Kecamatan Utara, Desa Pangkalan Kecamatan Weru, dan di Sanggar Tari Pring Gading Kecamatan Plumbon (ibid : 205). Berkat atas dedikasi dan kepiawainya Handoyo Moh Yuli, seorang koreografer tari kacirebonan. Telah mengangkat kembali kesenian Ronggeng Bugis, dikemas sebagai seni pertunjukan yang menarik dan diminati oleh masyarakat, yang indentik sebagai tari tradisional khas Cirebon. Kini taris Ronggeng Bugis hadir pertunjukan diberbagai peristiwa budaya di masyarakat Cirebon maupun di masyarakat Jawa Barat. Sebagaimana telah diuraikan di atas, bahwa kesenian Ronggeng Bugis, para pelakunya yaitu penari adalah orang Bugis yang diutus oleh Syekh Sunan Gunung Jati dijadikan sebagai telik sandi yang menyamar menjadi penari perempuan atau ronggeng. Hal ini dikaitkan adanya benang merah adat istiadat di Makasar atau Bugis, konon seorang wadam atau banci kedudukannya terhormat, karena seorang banci atau wadam di masyarakat Bugis adalah seorang bissu yang mempunyai peranan penting pada waktu kerajaan-kerajaan tempo dulu, mereka dianggap orang suci. Sehingga mitos tersebut melekat pada orang bugis yang menyamar menjadi banci atau wadam, bahwa peran mereka sebagai penari perempuan diartikan merupakan wujud orang yang mempunyai itikad suci untuk membela kepentingan masyarakat luas demi terwujudnya perdamaian di Kerajaan Cirebon. Untuk menopang pernyataan tersebut di atas diperkuat dengan artikel majalah Tempo yang memaparkan tentang kehidupan bissu di Makasar , sebagai berikut : 119 “ Semua bissu sudah pasti banci, atau calabai dalam bahasa Bugis, atau kawe-kawe dalam bahasa Makasar. Tapi tak semua calabai bisa menjadi bissu, tokoh spritual leluhur masyarakat Bugis- Makasar itu. Tergantung pada puan matowa yang mereka pilih sebagai tempat magang. Dalam tradisi kerajaankerajaan Bugis, bissu dan puan matowa menempatkan posisi posisi yang sangat penting. Menurut Djamaludin Azia ….. selain memegang kendali upacaraupacara di kerajaan, [ara bissu adalah penasehat spritual. Jika raja hendak berperang, misalnya ia perlu mendapatkan restu para bissu lehih dahulu, melalui upacara penyucian pusaka-pusaka kerajaan. Bahkan seorang raja tak bisa dilantik tanpa upacara yang dipimpin oleh para bissu (Djamaludin Azis, 1993:45).. Menyimak uraian di atas, dapat ditarik asumsi adanya suatu pengaruh yang secara tidak langsung mengimbas pada kesenian Ronggeng Bugis, yang dibawakan oleh seorang banci (bissu), yakni terhadap gerak-gerak tari Ronggeng Bugis, sehingga tampak jelas pada penyajian tari Ronggeng Bugis terdapat gerak-gerak feminisme kebancian ( Farida, 2009: 102) . 4.1.3. Pertumbuhan dan Perkembangan Ronggeng Bugis Ronggeng Bugis sebelumnya kurang dikenal oleh masyarakat. Pada awal dekade tahun 1990 setelah Ronggeng Bugis diajarkan di Keraton kacirebonan oleh Bapak Handoyo dengan dukungan pangeran Yusuf Dendabrata, maka Ronggeng Bugis mulai lebih dikenal oleh masyarakat. Ronggeng Bugis dikembangkan tertutama pada Festival Keraton Nusantara I, tahun 1994 di Yogyakarta. Pada even festival keraton nusantara berikutnya tarian ini juga selalu diikutsertakan. Tarian ini digunakan beberapa upacara yaitu: 120 a. Untuk Upacara Perkawinan Pada saat ini kehidupan masyarakat Jawa Barat pada umumnya dan masyarakat Cirebon khususnya telah banyak dipengaruhi oleh sentuhan-sentuhan teknologi modern. Namun demikian kebiasaan-kebiasaan atau adat yang merupakan tradisi turun-temurun tetap juga dipelihara dan dilaksanakan. sebagai contoh dalam proses upacara adat perkawinan mempunyai urut-urutan yang sudah baku sejak dahulu hingga sekarang. Di lingkungan masyarakat Cirebon , adat yang perlu dijungjung tinggi dalam peristiwa perkawinan adalah norma-norma bahwa manusia yang normal, yaitu lakilaki dengan perempuan, jika ingin bercampur harus menikah terlebih dahulu. Orangorang Cirebon biasanya akan menghindari hidup bersama tanpa nikah (zinah), apalagi sampai memiliki anak, karena jika mereka melakukannya berarti melakukan “ aib” yang tidak bisa dimaafkan. Status bujang dengan perawan biasanya menjadi pemikiran orang tuanya., dan seorang duda atau janda pun tidak akan disebut “ orang baik” kalau bercampur tanpa nikah. Menurut adat yang berlaku di masyarakat Cirebon yang kental akan religiusnya, sebagai julukan kota santri dan kota para wali sebagai pusat penyebaran agama Islam di Jawa bagian Barat, mayoritas penduduknya beragama Islam, dan mereka taat menjalankan ajaran agama Islam yang sudah berlangsung sekitar permulaan abad XVI (H.J. Graaf dan Th Pigeaud, 1974:212) Meskipun demikian, mereka pun kiranya tidak dapat mengabaikan tradisi yang telah berakar sebelum kedatangan Islam. Berbagai unsur budaya yang telah dikenal 121 terakumulasi secara selektif. Satu dan lainnya berpadu, bertumpang tindih, dan adakalanya berdampingan dengan unsur-unsur sesudahnya seperti dikatakan Claire Holt dalam bukunya yang berjudul Art Indonesia. Peristiwa perkawinan di masyarakat Cirebon perlu diberitahukan secara meluas kepada masyarakat, bila peristiwa tidak disembar luaskan akan menimbulkan praduga yang tidak baik di masyarakat. Maka tak heran bila pesta perkawinan akan melibatkan orang banyak dan semeriah mungkin dilakukan sesuai dengan kemampuannya. Bila yang berkecukupan adakalanya menambah acara di luar tradisi upacara adat yang baku, seperti misalnya acara meminang atau melamar , kadang-kadang ditambah dengan tukar cincin yang disebut dengan tunangan.. Begitu pula acara adat menjelang akad nikah, selain upacara ngeuyeuk seureuh (melipat sirih) , kerap ditambah dengan acara siraman (memandikan calon pengantin) . Acara yang paling meriah adalah ketika akad nikah,; pada penyambutan kehadiran calon pengantin pria beserta keluarganya sengaja membuat acara khusus yang lazim disebut prosesi penyambutan pengantin. Masuknya acara-acara tambahan sebagai peniruan dari budaya etnik diluar Cirebon pada umumnya dilakukan dalam rangka memeriahkan pernikahan keluarga kerabat keraton, keluarga berkecukupan, termasuk keluarga pejabat pemerintahan. Karena banyak orang kaya atau pejabat yang terhormat yang melakukannya, lama – kelamaan ditiru oleh yang lainnya termasuk masyarakat yang golongan ekonominya pas-pasan.. apakah acara-acara tambahan sebagai hasil 122 peniruan atau kreasi dari para kreator seniman Cirebon kelak akan dimasukkan sebagai upacara adat Cirebonan ? belum bisa dpastikan jawabannya pada saat ini, karena harus diuji dahulu melalui perjalanan waktu. Namun berdasarkan pengamatan, tampaknya acara prosesi penyambutan pengantin ini telah dimasukkan dalam upacara adat perkawinan Cirebon., dan Handoyo MY seorang kreator seniman Cirebon dalam kegiatan ini menyajikan tari Ronggeng Bugis. Tari Ronggeng Bugis berfungsi untuk upacara perkawinan, disajikan pada prosesi upacara penyambutan calon pengantin, adalah model prosesi produk sanggar tari Pringgading dengan peñata tarinya Handoyo MY. Prosesi upacara adat penyambutan pengantin kreasi baru Handoyo MY dengan menambah materi tari Ronggeng Bugis, ternyata laku dipasaran terutama dalam hajatan perkawinan masyarakat yang berkecukupan dan para pejabat pemerintahan serta kerabat keraton kacirebonan., dengan menghadirkan prosesi penyambutan pengantin produksi Handoyo bagi si penanggapnya merupakan sebuah prestige, menjaga martabat dan menjaga harga diri sekaligus menjaga status sosial mereka.. Karena sanggar tari Pringgading pimpinan Handoyo MY merupakan sanggar tari yang ternama dan terkenal di Kabupaten Cirebon, sering tampil diundang atau ditanggap oleh para pejabat di kalangan pemerintahan dari setingkat menteri , gubernur, bupati hingga kepala dinas yang empu hajat. Begitu bagi masyarakat yang kaya berkecukupan sering mengundang dalam hajatannya. Mereka mempercayakan untuk upacara prosesi pernikahan putraputrinya kepada Handoyo MY. 123 Cara penyajian tari Ronggeng Bugis dalam upacara penyambutan pengantin, diawali bunyi tabuhan gambelan yang menandakan atau memberi isyarat calon pengantin pria dan keluarga hadir di tempat upacara. Keluar seorang penari Ronggeng Bugis yang diutus untuk mengamati dan melihat rombongan pengantin pria dan keluarga, setelah meyakani rombongan pengatin datang maka penari itu kembali ke rombongan pelaku penyambutan dengan bahasa isyarat menyatakan tamu yang ditunggu telah hadir ayo kita sambut dengan prosesi penyambutan. Kemudian menari sekitar 5-7 menitan, kembali ke tempat rombongan tari lainnya menunggu giliran yaitu para penari Panyenggaraha Agung yang disajikan khusus sebagai tari Selamat Datang. Busana yang dipakai oleh penari putri Panyenggraha Agung berjumlah enam orang , jumlah penari mengandung makna enam mengandung arti Rukun Iman, jumlah enam penari merupakan manifestasi jumlah Rukun Imam dalam ajaran agama Islam. Tarian ini merupakan pengembangan dari tari Bedaya Rimbey dari Keraton Kanoman berfungsi sebagai tarian penyambutan tamu agung yang datang ke keraton Kanoman. mengandung dari tari Handoyo MY terinspiransi dan ensensi tariannya Bedaya Rimbey Kanoman dikemas kedalam tari Panyenggrama Agung yang difungsikan sebagai tari penyambutan pengantin. Pemusik lengkap diiringi dengan musik gambelan berlaras pelog, dengan iringan lagu Ungkut untuk tari Ronggeng Bugis dan lagu Kesturu yang diaransemen oleh Handoyo MY yang ditabuh volume atau intentitas rendah- sedang-tinggi sebenar penuh dinamikan, kalau tari Bedaya Rimbey alunan suara gambelan yang mengiringi 124 dengan lagu Kesturun dengan volume atau intentasnya rendah mononton penuh dinamika. Busana tari Ronggeng Bugis yang dikenakan dalam upacara perkawinan adalah sebagai berikut; baju kebaya dengan berwarna bercorak bunga-bunga, celana sontog, kain batik corak batik cirebonan warna hitam atau coklat, iket pinggang darikulit warna kuning emas, boro, omyok, dan tutup rasa warna kuning dengan ornamen dirubey-rumbey , hiasan rambut dikucrit (diikat keatas) dihiasi dengan bunga terbuat dari kertas atau plastik, memakai anting-anting mainan dan memakai properti sampur atau selendang dan kipas. Busana penari Panyenggraha Agung memakai baju kemben atau apok yang pada bagian bawahnya terbelih menjadi dua bagian kiri-kanan yang masing-masing ujungnya berbentuk lancip, dan bagian pinggir kainnya diberi rumbey-rumbey dari mute warna kuning, sedang warna dasar baju hitam terbuat dari bahan wool dilengkapi dengan selendang warna hijau kekuning-kuningan yang dipasang menyilang dari kanan atas ke sebelah kiri bawah. Dibagian pinggang dikenakan sabuk klit berwarna kuning emas, dengan dasr kain warna hitam yang dilengkapi selendang atau soder yang diselipkan di sisi kanan-kiri pinggan berwarna gading. Kemudian bagian bawah dipakai kain yang disebut batik keraton dengan warna dasar terang motif batik yang dipakai yaitu kain liris atau liris udang. Property yang dipakai tarian ini adalah bokor berbentuk perahu yang disebut panginangan yang 125 terbuat dari kayu rotan sebagai tempat menyimpan bunga melati yang akan ditaburkan kepada calon penganten dan kerabatnya. b. Untuk Media Pendidikan Tari Ronggeng Bugis ini berfungsi untuk pendidikan dengan dijadikan materi pembelajaran dalam seni tari di Cirebon, di SLTA dan SMKI Cirebon dan sanggarsanggar tari di wilayah Kabupaten Cirebon . Hal ini dilakukan oleh Handoyo MY sebagai koreografer dan guru tari di salah satu SLTA dan SMK Cirebon sebagai wujud pelestarian, inovatif dan trasnformasi tari tradisional khas keraton Cirebon. Sebagai upaya pengembangan tari Ronggeng Bugis dan peningkat mutu seni tari di Cirebon maka kehadiran Sekolah Menengah Kejuruan seni Karawitan dan Tari di Cirebon yang didirikan oleh pemerintah daerah kabupaten Cirebon dan Dinas Pendidikan Kejuruaan sangat membantu proses belajar mengajar. Begitu pendidikan non formal di sanggar-sanggart tari yang tersebar di Kabupaten Cirebon dan Kota Cirebon sangat bermanfaat dalam subangsihnya ke dalam dunia pendidikan dengan dimasukkan sebagai salah materi tari Cirebon disamping tari Tayub dan Topeng. Perlu jelaskan pula Handoyo MY dan sanggar tari Pringgading sering dijadikan obyek penelitian bagi penelitian mahasiswa atau dosen Perguruan Tinggi Seni maupun Perguruang Tinggi Pendidikan. c. Untuk Ritual Memayu dan Ganti Sirap Ritual Memayu dilaksanakan menjelang datangnya musim hujan. Pada daerah lain ritual ini identik dengan upacara sedekah bumi. Acara intinya adalah mengganti 126 atap welit (atap dari daun bamboo atau alang-alang) bangunan-bangunan yang ada di kompleks situs buyut Trusmi. Filosofis acara ini menurut Juri Kunci Turyani, bahwa manusia itu harus selalu mamayu hayuning diri lan mamayu hayuning bawana (selalu memperbaiki diri dan selalu berbuat baik ketika di dunia). Acara ini pun marak dikunjungi pengunjung, tidak saja dari sekitar masyarakat Cirebon saja, namun juga dari luar daerah lain seperti; Indramayu, Subang, Kerawang, Kuningan dan sebagainya. Para ‘ tamu’ itu kemudian berebut bekas atap welit untuk dijadikan oleh-oleh karena diyakini memilki tuah. Acara itu semakin ramai terlebih sejak aktivitas batik di Trusmi begitu makmurnya. Pengurus Koperasi Batik Budi Tresna kemudian mengadakan arak-arakan yang bermula dari masjid bergerak ke arah barat menuju desa Weru, ke Panembahan, dan akhirnya kembali ke alun-alun Trusmi. Arak-arakan itu kini begitu panjangnya karena pesertanya tidak saja dari masyarakat Desa Trusmi, namun juga dari desa lain yang terdekat ikut arakarakan. Arak-arakan dilaksanakan pada hari Minggu pagi. Keesokan harinya hari Senin pagi dimulai penggantian atap welit bangun tertentu yang dilaksanakan pada malam Senin setelah siangnya arak-arakan bertempat di sebelah timur kompleks situs Buyut Trusmi Arak-arakan hadir pula kesenian tradisional Cirebon, antara lain; Buroq merupakan jenis kesenian helaran untuk anak khitanan, anak khitanan di naikan ke Buroq yang berbentuk binatang yang diiringi dengan musik tarling, kesenian tarling (gitar dan suling), jaran lumping, genjring akrobat, tari Baksa, dan tari Ronggeng 127 Bugis. Tari Ronggeng Bugis disimpan di barisan paling depan rombongan arakarakan atau kadang-kadang disimpan barisan paling belakang. Tari Baksa dan tari Ronggeng sebagai peserta arak-arakan beralasan bahwa para pelaku prajurit keraton yang menyamar sebagai ronggeng atau penari perempuan dari etnis Bugis dan keturunananya banyak bermukin di kampung Buyut dan Trusmi. Penyajian tari Ronggeng Bugis dalam kegiatan ritual memayu dang anti sirap merupakan kegiatan yang rutin dilaksanakan sebagai acara ritual desa Trusmi, merupakan manifestasi eksisitensi tari Ronggeng Bugis sebagai seni pertunjukan khas tradisional keraton Cirebon yang hadir dalam berbagai peristiwa budaya di masyarakat Cirebon. Pada malam harinya, bahkan sejak malam Minggu hingga malam Selasa di tempat-tempat tertentu di Trusmi berlangsung pertunjukan kesenian tradisional Cirebon, seperti; Masres (sandiwara rakyat) dan wayang kulit. Namun dalam perkembangannya kini kecenderungan memasukkan acara pengajian umum yang dilaksanakan pada malam Senin setelah siangnya arak-arakan bertempat di sebelah timur balai Desa Trusmi Wetan. Para penduduk banyak yang bersedekah makanan (terutama ketupat dengan sambal garing atau bumbu empal) dan juga minyak kelapa yang dipusatkan di masjid untuk orang-orang yang terlibat dalam berbagai kegiatan tersebut. Pada momen yang bersamaan, setiap lima tahun sekali diadakan ganti sirap cungkub makan ki Buyut Trusmi. Sirap adalah atap sejenis genteng terbuat dari 128 papan jati. Acara memayu yang berbarengan dengan ganti sirap jelas memiliki pesona tersendiri bagi masyarakat Cirebon dan para tamu yang datang berziarah. Acara memayu yang berbarengan dengan sirap ini biasanya lebih menyedot pengunjung,sehingga di alun-alun dan sekitar kompleks masjid banyak pula pedagang yang menyerupai pasar malam. d. Untuk Upacara Ritual Ngunjung Buyut Tari Ronggeng Bugis merupakan seni pertunjukan telah menjadi kebutuhan dalam menjaga keseimbangan kosmos sakral masyarakat Cirebon. Rasa aman mereka dibangun dengan tidak melanggar janji yang telah diniatkan sebelumnya untuk menyertakan seni pertunjukan dengan keadaan suka cita atau sukses yang telah diraihnya. Aktualisasi diri dalam momen tersebut melakukan upacara ngunjung buyut merupakan ungkapan hormat kepada leluhur yang dikeramatkan melakukan ziarah ke makam leluhur, yang diyakini mempunyai jasa besar dalam memperjuangkan tegaknya agama Islam di Cirebon kedaulatan wilayah Cirebon sebagai pusat pemerintahan. Oleh karenanya, bentuk penghormatan yang paling tepat dari masyarakat adalah dalam bentuk ziarah kuburan untuk mendoakan agar mereka memperoleh tempat yang layak disisi Allah SWT . Hakikat dari upacara Ngunjung bagi masyarakat Cirebon ; 1. Mensyukuri Nikmat Keagungan Allah. 129 Keindahan alam dengan segala isinya, adalah karunia Allah, yang telah menciptakannya untuk kesejahteraan umat manusia penghuni alam. Orang yang beriman akan selalu mensyukuri nikmat keindahan alam itu dengan cara memelihara kebersihan lingkungan sekitarnya, agaer tidak terlihat kumuh merusak pemandangan, dan melestarikan kebudayaan sebagai peninggaln sejarah. Orang beriman akan mengucapkan “ subhana Allah “ (Mahasuci Gusti Allah)n yang telah mencioptakan keindahaan. Lusa dan besarnya alam raya, membuktikan betapa Allah yang telah menciptakan tentu Mahaluas dan Mahaagung. 2. Memelihara dan Melestarikan Keindahan Keindahaan alam yang sengaja Allah sediakan untuk mahluknya di muka bumi ini, harus tetap dipelihara dan dilestarikan . jangan kita rusak lingkungan sekitar dengan tangan jahil, mencorat-coret batu, tembok atau pagar dinding pekuburan yang membuat pemandangan menjadi kotor. Apabila jika corat-coret 9tu tidak sama sekali member makna bagi yang membacanya. Melestarikan berarti member keindahan alam itu tetap dipelihara serta manrik perhatian para ziarah untuk datangmengunjungi. Jangan sampai kita tergolong orang yang disindir Allah, berkenaan dengan terjadinya merusak 130 lingkungan alam di daratan, di laut akibat tangan-tangan manusia yang tidak bertanggung jawab. Ziarah disunnah oleh Nabi, bahkan dianjurkan untuk umat Islam mengunjungi (ziarah) ke kubur orang tua, atau keluarga yang sudah lebih dahulu meninggalkan kita. Handoyo MY sebagai human creator tari Cirebonan, khususnya tari Ronggeng Bugis yang peduli dengan konsesistensi kesenian tradisi daerahnya. Konsistensi tersebut yang dilakukan Handoyo diaplikasikan dengan memelihara kesenian daerahnya sebagai suatu media pertunjukan yang dibangun oleh rakyat untuk kepentingan masyarakat dalam melakukan amanat-amanat tradisi Masyarakat Cirebon masih menginginkan seni pertunjukan miliknya dipergunakan untuk melengkapi kegiatan-kegiatan tradisinya. Misalnya Tari Ronggeng Bugis dalam upacara ngunjung. Tari Ronggeng Bugis yang disajikan dalam dalam upacara ngunjung yang berlokasi di area pekuburan, selain tari Ronggeng Bugis disajikan pula tari Topeng. Tari Ronggeng Bugis biasanya disajikan dalam bentuk arak-arakan , bersama-sama rombongan yang ziarah . Arak-arakan mengelilingi area pekuburan, dan masuk area kuburan telah disiapkan kesenian tari Topeng disajikan di area pekuburan jadi tidak mengikuti upacara arak-arakan. Untuk tata cara ziarah telah diatur oleh para juru kunci, juri kunci menyambut para tamu ziarah dengan hormat, hal ini dilakukan bagi mereka sebagai abdi dalem 131 kesultanan yang ditugaskan untuk (1).menjadi tuan rumah yang baik, melayani tamu sebagai pembimbing /guide atau petunjuk jalan untuk menuju ke tempat ziarah yang diperlukan. (2) menjaga keamanan dan kenyaman para peziarah , agar tidak terganggu oleh tangan-tangan jahil dan terhindar dari perilaku yang menyinggung perasaan. (3) mengingat penziarah agar tidak terjebak dengan perilaku syirik, meminta-minta kepada sselain Allah, atau melakukan tidakan yang menyimpang dari ajaran agama Islam. Struktur penyajian tari Ronggeng Bugis tidak berbeda, dari segi koreografi, musik dan busana. Seperti biasa pertunjukan arak-arakan dalam upacara ritual ganti welit maupun ganti sirap. (Farida, 2009, 145) 4.1.4. Media Pertunjukan Ronggeng Bugis Sebagaimana pertunjukan Seni Tari pada umumnya, tari Ronggeng Bugis Cirebon didukung oleh sejumlah media pertunjukan yang terdiri atas beberapa komponen. Komponen-komponen pertunjukan ini dapat diklasifikasikkan menjadi beberapa kelompok sebagai berikut: a. Koreografi Tari Ronggeng Bugis Pelaku penari ini dkalsifikasikan dalam kategori tarian kelompok. Pengertian koreografi kelmpok adalah komposisi yang ditarikan lebih dari satu penari atau lebih ( Y. Sumandiyo Hadi; 1996: 2) Untuk menentukan berapa jumlah penari komposisi kelompok kecil maupun kelompok besar sifatnya relatif. Misalnya 132 komposisi kelompok dengan jumlah empat penari, dapat dibagi menjadi dua kelompok kecil, masing-masing terdiri dari dua penari maka dengan pengertian itu, komposisi kelompok dengan jumlah empat penari menjadi komposisi besar. Dalam tari Ronggeng Bugis di Sanggar tari Pringgading Handoyo Jumlah penarinya adalah 9 atau 8 terdiri dari satu orang penari yang berperan sebagai panglima pasukan dan yang lainnya penari berperan sebagai prajurit, begitu pula tari Ronggeng Bugis yang dipertunjukan oleh sanggar tari Kebun Kangkung dan sanggar Sekar Pandan tarian ini dibawakan dalam bentuk kolosal, jumlah mencapai 40-50 orang yang dipertunjukan di Lampung Selatan tarian ini yang dibawakan oleh duta budaya Pramuka STAIN Cirebon (H.R. Bambang Irianto:2009:4). b. Gerak tari Ronggeng Bugis Cirebon Penggunaan geraknya merupakan ekspresi perilaku manusia seharihari dengan menggunakan gerak-gerak gesture atau murni misalnya gerakan jalan kaki kemudian berbisik dan sebagainya. Semua gerakan dilakukan secara bersamasama atau rampak. Meskipun tarian ini belum dibakukan rangkaian gesture atau ragam gerak tari, namun ada beberapa gerakan yang telah mempunyai nama tersendiri, yang lazim digunakan di antara penari. Nama-nama ragam gerak tersebut antara lain sebagai berikut: 1. Abar merupakan ungkapan gerak awal dari tarian, yakni sebagai pembuka. Tempo irama gerakan tarinya cepat dan dinamis. Abar mempunyai mula-mula atau pertama. Jadi gerakannya merupakan ungkapan sajian gerakan awal atau 133 pembuka yang disertai dengan gerakan kecil berupa anggukan kepala yang dilakukan secara berulang-ulang. Lebih dari itu, gerak tari dalam Abar mengandung pengertian aksi tarung atau bertarung.jadi gerakan-gerakan yang ditampilkan adalah berupa ancang-ancang akan bertarung. 2. Longok adalah ungkapan gerak kelanjutan dari abar, merupakan urutan sajian gerak yang kedua dengan tempo irama sedang serta tersendat-sendat atau bisa pula tertahan-tahan, namun tidak terputus. Gerak ini disertai tengokan dalam gerakan kepala saling bergantian secara berulang-ulang, dan dilakukan oleh dua penari kadang-kadang sambil jalan berputar melingkar. Gerak longok mempunyai arti menengok atau melihat, secara langsung yang mempunyai peranan di sini adalah bagian torso atas, bagian leher dan kepala. Istilah longok berarti mengintip sebagai gambaran dari pengintaian. 3. Besik adalah suatu gerak anggukan kepala dilakukan sambil berjalan terpincang-pincang dengan istilah ragam gerak jalak pengkor yang dilakukan secara berulang-ulang dalam tempo agak cepat. Ungkapan gerak sajian ingin menggambarkan adanya perundingan atau komunikasi di antara penari, sesuai dengan istilah kata besik yang berarti berbicara perlahan-lahan. Namun demikian, gerak besik bukan menggunakan mulut sebagai peran penting. Gerakan dominan masih tetap torso atas, yakni bagian kepala dan leher. 4. Jorong merupakan gerak akhir pertunjukan, ronggeng bugis, sementara sajian geraknya hampir sama seperti gerakan abar. Kata jorong di sini berarti lurus, 134 ragam gerak ini masih dominan torso atas, yang memegang peranan penting yaitu bagian leher dan kepala.Stuktur penyajian tari Ronggeng Bugis dipilah menjadi 3 tahap: 1. Tahap awal Merupakan introduksi awal penyajian dalam ragam gerak abar yang mempunyai arti bahwa tari Ronggeng Bugis mengawali tarian`yang akan disajikan melalui gerakan murni dengan gerak keseharian yang diperagakan dengan gerak suit. Gerak improvisasi juga diperagakan oleh penari ketika ada respon dari penonton. Irama musik iringannya menghentak yang mengekspresikan gelora semangat bagi yang mendengarkannya. 2. Tahap Isi Merupakan penyajian dalam ragam gerak longok dan besik mengekspresikan inti atau isi dari tarian Ronggeng Bugis Cirebon yang memperagakan gerak-gerik perilaku seorang telik sandi. Disini penari bisa saja memperagakan gerakannya diulang-ulang dengan komposisi yang berbeda. Hal ini dilakukan, agar kelihatannya tidak monoton karena gerakannya sama. 3. Tahap akhir Merupakan akhir dari penyajian yang diekspesikan dalam ragam gerak jorong gerakannya hampir sama dengan abar yang 135 membedakan ekspresi penarinya. Ritme musik pengiringnya lebih mendayu-dayu. c. Desain Lantai / pola lantai Pola lantai atau floor design merupakan garis-garis yang dilalui oleh penari di lantai pentas atau garis-garis dilantai pentas yang dibentuk formasi kelompok (Y. Sumandiyo hadi, 1996:110) adapun desain lantai yang dipergunakan pada tari Ronggeng Bugis, secara umum semuanya mempergunakan tiga desain lantai yaitu garis lurus (berjajar dua kebelakang) desain lantai segi empat, dan desain lantai yang berbentuk lengkungan arah hadap penari ke depan searah dengan arah hadap pemusik artinya kedudukan pemusik dibelakang atau dipinggir penari. Penggunaan level penari dalam tari Ronggeng Bugis yaitu memakai level tinggi dan sedang. Level adalah tingkatan tinggi rendah kedudukan diatas lantai penari (Y. Sumandiyo hadi.196:28) pandangan penari tertuju ke arah depan. Ada peralihan tempat penari, penari dinamis tidak di satu tempat. Gerakan kaki penari selalu bergerak bergeser ditempat menyesuaikan dengan gerakan tangan dan tubuh misalnya penari melingkar berlawanan dengan arah jarum jam, penari berhadapan dan bertukar tempat. Adanya kontak fisik antara penari. Para penari menggunakan metode pembebasan rasa dengan jalan kosentrasi dan melemaskan tubuh fisiknya. Ekspresi muka penari berhati-hati, gembira, semangat. 136 c. Desain Atas Desain atas dalam tari Ronggeng Bugis ada beberapa penggunaan desain diantaranya desain datar, desain dalam, desain vertikal, desain horizontal, kontras, murni, lurus, spiral, tinggi, medium, simetris, dan asimetris. Penggunaan desain atas ini disesuaikan situasi dan kondisi arena pertunjukan. d. Tata rias dan busana tari Ronggeng Bugis Aspek lain yang menunjang pertunjukan tari Ronggeng Bugis adalah tata Busanadan Rias . Tata Busana atau kostum dan atribut yang lazim dipergunakan oleh penari, yaitu : celana sontog (celana santrian), kain batik, kestagen, cinde/soder, kutang (BH tradisional) yang disebut antrok, kebaya wanita lengan pendek, anting maianan, kembang goyang, cundrik (tusuk gelung yang digunakan untuk membela diri). Kostum wiyaga atau penabuh musik ronggeng bugis terdiri dari : celana sontog, baju rompi dan kain batik didodot, kestagen, dan iket kepala. Penataan busana pertunjukan adalah yang khusus dirancang dan dikenakan bertujuan untuk tuntutan artistik tertentu, seperti halnya tari Ronggeng Bugis tujuan busana yang dikenakan bertujuan artistik, artinya kehadirannya busana untuk menggambarkan dan menyempurnakan identitas tarian. Penggunaan warna busana penari Ronggeng Bugis yakni kebaya yang pada dasarnya tidak mengikat, namun pada umumnya menggunakan warna terang yang norak, misalnya hijau muda, oranye, dan merah. Celana sontog yang biasa dipergunakan warna gelap hitam dan coklat. Kain batik dipakai sebagai penutup badan bagian bawah dengan cara berkain panjang sehingga ujung kain berakahir di 137 tengah dan terbuka ke sebelah kana tanpa lepe (berupa lipatan-lipatan dengan lebar kira-kira lima centimeter). Pemilihan corak yang cocok telah ditentukan berdasarkan gaya corak batik dan perwatakan dari tari Ronggeng Bugis. Corak batik yang dipergunakan adalah khas Cirebon yang disebut megamendung yang bergaya dinamis berwarna merah, coklat, kuning, pink, oranye dan hijau. Cara memakainya kain ujung kedua kain dirapatkan jadi seperti sarung, kedua pinggir kain diwiron (ditarik) disatukan jadi kerutan di pinggir kiri-kanan, dan memakai kestagen yang berwarna hitam adalah belit pinggang yang panjang untuk mengikat kain batik. Busana wiyaga tari Ronggeng Bugis, pada umumnya mengenakan celana sontog atau komprang, memakai rompi warna gelap, menyandang kestagen warna hitam sebagai pembelit pinggang untuk mengikat kain dodot, dan memakai iket sebagai ikat kepala dengan corak batik cirebonan. Perhiasan –perhiasan yang dipergunakan penari Ronggeng Bugis adalah anting mainan, kembang goyang dan cundrik (tusuk gelung yang bisa digunakan untuk membela diri). Tata rias merupakan unsur yang memegang peranan penting dalam penampilan pertunjukan Ronggeng Bugis. Seorang penari Ronggeng Bugis harus nampak wajah perempuan yang lucu, misalnya memakai bedak yang tebal tanpa memakai dasar bedak, kemudian kedua pipi memakai pemerah pipi yang menyolok dibentuk dengan bulat-bulat seperti bulatan tomat, memakai lipstik yang berwarna merah yang keluar dari garis bibir, mata terbelak dengan rias alisnya tingginya tidak sama. Yang 138 menonjol riasnya kocak dan lucu, menggelitik akan mengundang tawa bagi yang melihatnya. Tata rias wajah tari Ronggeng Bugis dikategorikan tata rias jenis, karena wajahnya merupakan penyamaran dari pria menjadi perempuan. Tata rambut dikucrit (rambut yang diikat di atas kepala) dipasang kembang goyang berjumlah tiga buah dan cundrik berupa badik kecil fungsinya sebagai tusuk konde yang mempunyai peran ganda sebagai senjata untuk membela diri, bila musuh menyerang. Properti atau perlengkapan yang dipergunakan dalam setiap pertunjukan pada umumnya cinde/ soder/ selendang, kipas, namun untuk properti kipas ada juga yang menggantikan dengan hihid yaitu kipas tradisional yang terbuat dari anyaman bambu bentuk persegi empat atau bulat. Kipas merupakan piranti yang selalu dibawa dan dimainkan baik dalam keadaan tertutup atau terbuka. Kipas berfungsi sebagai penunjang estetik gerak yang menciptakan nuansa feminim yang terpadu dengan kain dan selendang. Kipas merupakan property khas dalam tarian putri di Bugis Makasar misalnya dalam tari Pakarena. Penggunaan cinde ada dua macam yaitu, cinde digunakan dengan melalui tekuknya dililitkan sehingga kedua ujungnya menjuntai ke bawah dan yang menggunakan cinde dengan dililitkan di pinggang. Corak batik cinde merupakan batik lokcan yang biasa dipakai mongkrong dalam tari topeng Cirebon, pemakaian 139 cinde mutlak bagi penari Ronggeng Bugis walapun dalam penyajiannya cinde tersebut tidak pernah digunakan sebagai properti tari. Penari Ronggeng Bugis memakai cinde di pinggir kanan, tangan kanan penari memegang kipas, selama pertunjukan berlangsung kipas atau hihid digunakan dengan mengkipas-kipaskan ke arah badan atau dipakai untuk menutupi muka dan dibuka dengan peringai memperagakan suasana lucu dan kocak. 4.1.5. Musik Pengiring tari Ronggeng Bugis Cirebon Iringan musik tari Ronggeng Bugis merupakan hal yang penting dalam setiap pertunjukan. Iringan ini mempunyai pola-pola tertentu yang harus diketahui oleh seluruh pendukung, baik pemusik maupun penarinya dan musik iringan berperan penting untuk mempertegas gerak-gerak tari sesuai dengan ekspresi jiwa yang diungkapkan penari. Keseluruhan iringan ditentukan dan dikendalikan oleh penabuh ketipung yang bertindak sebagai pemimpin pertunjukan, yang mengatur dan mengendalikan irama tabuhan yang disajikan di awal maupun diakhir pertunjukan. Selain itu pula mempunyai peranan sebagai mitra untuk menata ritme atau memperkuat gerak yang ditampilkan penari. Ritme ketipung juga dapat menghantar ke dalam suasana yang riang, gembira, ceria dan kocak. Gerakan penari tidak akan enak dinikmati apabila tidak selaras dengan tepak ketipung. Peranan ansembel kenong ketuk dan gong sabet adalah memain ritme, dalam garis besarnya ketuk dan gong sabet merupakan tonggak-tonggak irama yang dibawakan dengan irama cepat 140 atau irama lambat dan memberi aksen kepada gerakan tari., dan kecrek memberi variasi yang diberikan oleh ketuk kenong. Musik tari ronggeng bugis terdiri dari tabuhan instrumen-instrumen seperti satu buah gendang kecil yang disebut ketipung, satu buah gong sabet, dua buah ketuk kenong dan satu buah kecrek. Lagu yang mengiringi tari ronggeng bugis yaitu lagu ungkut. Adapun jenis yang dipergunakan terdiri dari ketipung, kenong ketuk, gong sabet dan kecrek. Ketipung atau gendang kecil terbuat dari kayu kedua lubangnya ditutupi oleh kulit dan dirarawat oleh tali yang terbuat dari kulit., teknik menabuhnya dipukul dengan menggunkan pemukul yang terbuat dari kayu dan yang dipukul hanya dibagian bawah saja. Hentakan-hentakan pukulan ketipung dalam iringan tari ronggeng bugis sangat dominan, karena ketipung berfungsi sebagai pengendali irama atau pengantur embat sehingga dalam sajiannya gerakan diisi oleh tabuh ketipung (gendang) atau ritmis gendang. Kenong ketuk disebut juga kromong yang terbuat dari logam besi atau perunggu bentuknya sama dengan klenang namun bentuknya lebih besar dari klenang. Teknik menabuhnya dipukul dan waditra kromong selalu mengikuti ketukan yang dimainkan oleh klenang, sehingga bila ditabuh saling bersanghutan dan tidak jatuh pada tekanan (arsis) Kenong ketuk berperan sebagai penjaga irama, agar tempo lagu yang disajikan tetap.Gong sabet bentuknya sama gong dalam gambelan, gong sabet disebut juga kebluk biasa mengiringi tari Ronggeng Bugis terbuat dari logam besi atau perunggu berbentuk bulat ditengahnya 141 ada penclon, teknik menabuhnya dipukul memakai alat pukul bulat, gong berperan sebagai pemuas rasa diakhir lagu. Kecrek bentuknya bulat, terbuat dari lempengan besi tiga lembar yang dialasi dengan kayu, teknik menabuhnya dipukul oleh pemukul yang terbuat dari kayu. Peran kecrek untuk mempertegas tari atau memberi ornamen pada ritme-ritme yang digarap oleh penabuh ketipung. Lagu atau gending pengiring tari Ronggeng Bugis hanya satu lagu yakni lagu Ungkut, gending Ungkut tersebut dalam sajiannya dibagi empat motif tabuh kendang untuk mengiringi gerak, abar, longok, besik, dan jorong. Bentuk gending dalam tari Ronggeng Bugis merupakan bentuk ritmis atau gurudugan, artinya setiap akhir matra itu selalu ditandai dengan gong. 4.1.6 . Introduksi Penyajian tari Ronggeng Bugis Tahap Introduksi berlangsung ketika seorang penari masuk terlebih dahulu lalu, memanggil teman-temannya dengan tanda (bersuit), lalu para penari yang lain datang dengan gerakan disertai jongkok. Kemudian tahap isi dari tari Ronggeng Bugis yakni menyajikan tarian dengan gerakan penyamaran bagaimana gerak-gerik seorang telik sandi ketika mengawasi situasi yang menjadi fokus penyelidikan, setelah mendapatkan informasi melalui pengamatan lalu berkumpul masing-masing penari yang menyamar sebagai teli sandi menyampaikan infomasinya, tahap terakhir mereka membawa berita yang akan disampaikan kepada Sunan Gunung Jati yang diakhir dengan gerakan jalan atau minced dengan posisi beriringan. 142 4.1.7. Pelaku tari Ronggeng Bugis Penari Ronggeng Bugis adalah pria yang belum atau sudah beristri. Yang menarik disini persepsi gambaran cross-gender yang dilakukan dalam kesenian Ronggeng Bugis Cirebon, yang kemudian perwujudan tokoh feminim dilakukan tokoh penari pria. Subtansi eksistensi dari kedua gender yang saling melengkapi ini adalah untuk kepentingan pertunjukan Ronggeng Bugis dengan latar belakang kelahirannya yang merupakan penyamaran sebagai telik sandi. Oleh karena itu, alasan utama adalah cross-gender yang terjadi dalam pertunjukan Ronggeng Bugis adalah berkaitan dengan suasana politik pada masa itu. Perkembangan selanjutnya dari tari Ronggeng Bugis dalam konteks seni pertunjukan adalah penampilannya cenderung dalam upaya “ mengubah diri “ dalam tampilan gender yang lain. Penampilan mengubah diri inilah yang menjadi ciri atau gaya tari Ronggeng Bugis yang pada gilirannya merupakan daya tarik yang dapat mengundang rangsangan tawa, lucu, kocak karena gerak perilaku ini menampilkan kekonyolan dan gerakan kekakuan seorang pria yang memerankan perempuan serta berbagai hal yang bersifat hiburan kepada penikmat atau penontonnya. Begitu pula fenomena cross-gender tampak dalam genre tari di keraton Cirebon beda dengan keraton Yogyakarta, misalnya tari topeng Cirebon, tak ada ketentuan khusus dalam menetapkan kaum perempuan boleh menarikan peran pria atau sebaliknya. Contohnya tari topeng Panji atau topeng Klana kepenariannya tidak jadi masalah apakah dilakukan oleh pria atau perempuan, yang penting karakter tarian tersebut dapat ditarikan oleh sang penari. 143 Kita pernah melihat bagaimana sosok Rasinah sang maestro tari topeng begitu gagah menari topeng Klana di atas panggung, siapa sangka dibalik topeng Klana itu dalam kehidupan sehari-harinya sebenarnya sosok perempuan tua yang usianya telah renta. Begitu fenomena silang peran gender dalam Ronggeng Bugis terjadi dalam kehidupan seni pertunjukan, karena adanya subtansi eksistensial dari kedua gender yang saling melengkapi satu dengan yang lainnya, seperti halnya seperti para pelaku tari Ronggeng Bugis ini, sehingga tak terasa kesempurnaan atau relasi selaras antar keduanya berkaitan dengan aspek komplematari satu dengan yang lain, memang kemudian terguncang. Keterguncangan ini, banyak kasus, bisa “kebangblasan’ dengan laku pribadi pelakunya yang kemudian menjadi bagian dari perilaku keseharian, namun .dalam tari Ronggeng Bugis yang diamati dalam kehidupan sehari-hari para penari Ronggeng Bugis tetap sebagai seorang pria. Mengamati realita kehidupan penari Ronggeng Bugis di Sanggar Tari Pring Gading Pumbon Kabupaten Cirebon, Handoyo, MY, Tono, dan Yono, mereka adalah kaum pria dari Desa sebagai kepala rumah tangga mereka bersahaja perilaku seperti orang Desa tidak banyak tingkah yang aneh-aneh, namun ketika telah mengenakan busana perempuan menari tari Ronggeng Bugis, muncul perilaku fenismisme yang bertolak belakang dengan perilaku sehariannya sebagai kaum maskulin hilang wujud asli, muncul wujud perempuan yang tingkah laku kenes dan genit yang mewarnai penyajian tari Ronggeng Bugis, begitu pula pada tari Topeng Rumyang dan Topeng Pamindo, diluar cukup konvesional, yaitu Topeng Panji dan Topeng Klana. Mesti kemudian 144 secara normative tokoh campuran mitilogi Panji Mahabrata dan Ramayana, muncul dalam genre ini (Panji, Samba, Ruwana), tokoh ketetapan baku untuk eksekusi kepenariannya tidak pernah ada . Panji bisa ditarikan oleh Sujana sama baiknya kala ditarikan oleh Rasinah. Yang membedakan mungkin interprestasi kreatif yang melekat dalam diri masing-masing penarinya, tentunya juga dengan gaya masingmasing wilayah komunitas budaya sang penari berasal dan dibesarkan. Kehebatan Rasinah tidak kalah hebatnya Sujana bila sudah mengenakan topeng Klana. Memang, sebelum mengenakan topeng seorang Rasinah dan Sujana adalah sosok seorang yang tampak bersahaja, seperti layaknya orang-orang Desa kebanyakan. Namun begitu topeng melekat di mukanya, orang tidak akan melihat umur, keseharian, dan watak asli dari kedua orang di atas. Bahkan citra feminisme yang melekat dalam diri Rasinah , langsung berbalik seratus delapan puluh derajat. Citra personal hilang seakan-akan “ kebaharuan” dari presentasi tari yang dari itu ke itu terus saja bermunculan. Fenomena cross-gender yang ada tidak memunculkan permasalahan yang berarti pada tatanan kepenarian dari para empu dan penari di atas. Dengan demikian secara kontekstual tidak ada permasalahan. 4.1.8. Sejarah Singkat Sanggar Pringgading Berdirinya Sanggar Tari Pringgading adalah berawal dari rasa cinta Handoyo M.Y. terhadap kesenian daerahnya. Rasa cinta tersebut menjadi motivasi keinginannya yang kuat untuk untuk mengembangkan serta melestarikan kebudayaan 145 khususnya yang berakar dari daerah Cirebon. Keinginan yang besar dan kuat tersebut sangat didukung oleh wawasan, kemampuan, dan keterampilannya dalam menguasai budaya setempat yang dikuasai sejak kecil. Atas peran serta, dorongan serta do’a restu ayahandanya tercinta yaitu Bapak Muhamad Yuli maka tepat pada tanggal 5 Juli Tahun 1974, Handoyo M.Y. berhasil mewujudkan keinginannya yaitu mendirikan sebuah grup/sanggar tari. Adapun sanggar tari yang telah lahir tersebut diberi nama “Sanggar Tari Pringgading”. Perlu disampaikan disini bahwa pada waktu itu Handoyo M.Y. pernah kuliah di Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI) Bandung sekarang Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung hingga smester akhir di jurusan Tari, namun belum menempuh sidang komprehensif, karena Handoyo diangkat asisten oleh Bagong Kusdiardjo di Yogyakarta untuk mengajar tari Sunda di Padepokan Bagong. Perlu disampaikan pula disini bahwa dalam menangani karya-karya garapannya, Handoyo M.Y. tidak lepas dari akar pijaknya yaitu budaya setempat antara lain dengan selalu mengambil ceritera dari Babad Cirebon. Sanggat Tari Pringgading telah terdaftar di Depdikbud dengan SK. No. 0968/102.18/J/1994, Tanggal 11 Mei 1994. 146 4.2. Pesan Komunikasi yang Terkandung dalam Pertunjukan Tari Ronggeng Bugis Cirebon. Pengamatan melalui terjun langsung ke lapangan pertunjukan tari Ronggeng Bugis Cirebon pimpinan Handoyo M.Y. rekaman dilakukan oleh peneliti dilakukan di Taman Budaya Bandung tanggal bulan April 2009 dan pada 18 Juni 2009 di Keraton Kasepuhan Cirebon. 4.2.1. Deskripsi Hasil Pengamatan Bagian pertama pertunjukan dibuka dengan tarian yang dinamakan Abar merupakan ungkapan gerak awal dari tarian, yakni sebagai pembuka. Tempo irama gerakan tarinya cepat dan dinamis. Abar mempunyai mula-mula atau pertama. Jadi gerakannya merupakan ungkapan sajian gerakan awal atau pembuka yang disertai dengan gerakan kecil berupa anggukan kepala yang dilakukan secara berulang-ulang. Lebih dari itu, gerak tari dalam Abar mengandung pengertian aksi tarung atau bertarung.jadi gerakan-gerakan yang ditampilkan adalah berupa ancang-ancang akan bertarung. Bagian kedua, dengan gerakan Longok adalah ungkapan gerak kelanjutan dari abar, merupakan urutan sajian gerak yang kedua dengan tempo irama sedang serta tersendat-sendat atau bisa pula tertahan-tahan, namun tidak terputus. Gerak ini disertai tengokan dalam gerakan kepala saling bergantian secara berulang-ulang, dan dilakukan oleh dua penari kadang-kadang sambil jalan berputar melingkar. Gerak 147 longok mempunyai arti menengok atau melihat, secara langsung yang mempunyai peranan di sini adalah bagian torso atas, bagian leher dan kepala. Istilah longok berarti mengintip sebagai gambaran dari pengintaian. Bagian ketiga, Besik adalah suatu gerak anggukan kepala dilakukan sambil berjalan terpincang-pincang dengan istilah ragam gerak jalak pengkor yang dilakukan secara berulang-ulang dalam tempo agak cepat. Ungkapan gerak sajian ingin menggambarkan adanya perundingan atau komunikasi di antara penari, sesuai dengan istilah kata besik yang berarti berbicara perlahan-lahan. Namun demikian, gerak besik bukan menggunakan mulut sebagai peran penting. Gerakan dominan masih tetap torso atas, yakni bagian kepala dan leher. Bagian keempat, Jorong merupakan gerak akhir pertunjukan, ronggeng bugis, sementara sajian geraknya hampir sama seperti gerakan abar. Kata jorong di sini berarti lurus, ragam gerak ini masih dominan torso atas, yang memegang peranan penting yaitu bagian leher dan kepala. 4.2.2. Pembahasan Hasil Pengamatan Pesan atau message dalam sebuah pertunjukan seni merupakan bagian penting yang menjadi alasan penonton untuk menikmati pertunjukan seni. Keberhasilan penyampaian pesan ini sangat ditentukan oleh pelaku seni atau penari dan koreografer dalam melontarkan pesan tersebut sehingga tidak berlangsung seperti sebuah pidato atau ceramah. 148 Pertunjukan Tari Ronggeng Bugis Cirebon pesan yang dikomunikasikan berupa pesan berupa ekspresi yang berhubungan dengan sikap kehati-hatian. Pesan yang ingin disampaikan dengan tarian Ronggeng Bugis ini nampak dipahami oleh penonton. Penonton merespon gerakan mereka dengan gelak tawa, tersenyum dan tepuk tangan. 149 BAB V Komunikasi Ekspresif Ronggeng Bugis Cirebon Dalam Kajian Etnografi Komunikasi Di dalam bab metode penelitian, telah dipaparkan bahwa dalam penelitian ini penulis menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan etnografi komunikasi yang dikemukakan oleh Dell Hymes. Analisis ini berdasarkan unit analisis tentang perilaku komunikatif yang terdiri dari situasi komunikatif, peristiwa komunikatif, dan tindak komunikatif. Pengkajian analisis tersebut berupa pengkajian komunikasi ekspresif dalam tarian Ronggeng Bugis Cirebon. Alasan penulis menggunakan metode dan pendekatan ini adalah untuk lebih mengetahui aspek komunikasi nonverbal yang terlihat dari objek penelitian serta memperoleh penjelasan yang banyak dan bermanfaat sesuai dengan tujuan penelitian, yaitu mengenai elemenelemen komunikasi ekspresif pada tarian Ronggeng Bugis Cirebon. Berdasarkan tujuan penelitian ini, maka elemen-elemen komunikasi ekspresif tersebut akan dianalisis dengan menggunakan teori etnografi komunikasi Dell Hymes dan kemudian didukung oleh teori-teori komunikasi ekspresif. Dalam pengumpulan data, penulis menggunakan studi pustaka dan wawancara ahli yang memiliki hubungan dengan objek penelitian sebagai sumber data sekunder untuk data pendukung juga pembanding. Sedangkan data primer atau data utama yang dijadikan 150 bahan untuk dianalisis diperoleh dari wawancara dengan informan selama pengamatan berperan serta berlangsung. Untuk menghasilkan data lapangan yang dibutuhkan dalam penelitian ini, penulis mendapat pengalaman bahwa sikap yang kaku dan curiga dapat dipatahkan melalui penggunaan aksen bahasa yang sama, serta kesamaan latar belakang antara penulis dengan informan, yaitu sama-sama merasa memiliki dan mencintai adat istiadat atau tradisi yang masih alami dan ingin mempertahankan adat istiadat atau tradisi yang belum bercampur dengan pengaruh budaya luar. Selain dari pada itu juga ikatan emosional juga harus ditimbulkan dan dijaga ketika berinteraksi dengan penari Ronggeng Bugis Cirebon. Informan menjadi lebih terbuka dan berkata apa adanya ketika didekati secara emosional dan dilibatkannya perasaan simpati serta empati dari penulis. Sifat curiga yang sangat besar ini dapat hilang perlahan-lahan, sehingga memudahkan penulis untuk mendapatkan data-data primer penelitian ini. Dalam melakukan wawancara ini penulis menyampaikan pertanyaan-pertanyaan yang sifatnya tidak berstruktur, dalam pengertian pertanyaan-pertanyaan tidak dipersiapkan secara berurutan dan baku, namun disesuaikan dengan keadaan informan, walaupun pertanyaan tetap dijawab terbuka oleh informan. Wawancara tersebut direkam dengan tape recorder. Hasil wawancara kemudian ditranskripkan ke dalam bentuk tulisan, maksudnya adalah untuk mempermudah pekerjaan penulis dalam langkah selanjutnya. 151 Setelah mendapatkan data yang dibutuhkan dari para informan dan hasil observasi di lapangan yang digunakan untuk mendukung dan menjawab penelitian ini kemudian, analisis selanjutnya adalah analisis penulis, di mana penulis akan menganalisis bagaimana komunikasi ekspresif pada tarian Ronggeng Bugis Cirebon . 3.3. Situasi ekspresif dalam Tari Ronggeng Bugis Cirebon Ritme adalah degupan dari musik, umumnya dengan aksen yang diulang-ulang secara teratur. Jenis tarian yang dalam penggarapannya lebih menitik beratkan pada ritme, adalah tari disebut sebagai tari sosial. Tari yang digarap atas dasar garis ritme dari musik. Situasi komunikasi ekspresif Ronggeng Bugis Cirebon tidak terlepas dari bunyi musik yang mengiringi yakni ketipung yang bertindak sebagai pemimpin pertunjukan, yang mengatur dan mengendalikan irama tabuhan yang disajikan di awal maupun diakhir pertunjukan. Selain itu pula mempunyai peranan sebagai mitra untuk menata ritme atau memperkuat gerak yang ditampilkan penari. Ritme ketipung juga dapat menghantar ke dalam suasana yang riang, gembira, semangat dan ceria. Gerakan penari tidak akan enak dinikmati apabila tidak selaras dengan tepak ketipung. Peranan alat musik kenong ketuk dan gong sabet adalah memain ritme, dalam garis besarnya ketuk dan gong sabet merupakan tonggak-tonggak irama yang dibawakan dengan irama cepat atau irama lambat dan memberi aksen kepada gerakan tari., dan kecrek memberi variasi yang diberikan oleh ketuk kenong. Pada awal 152 pertunjukan situasi pada pertunjukan ketika penari memasuki ruang Pertunjukan komandan dengan memanggil rekannya suit pertanda bahwa aman lalu rekannya datang dengan tarian level sedang yaitu setengah berdiri. Analisis Ritme Tari Ronggeng Bugis Cirebon no Nama Gerak 1. Improvisasi Ritme Gerak Deskriptif Bunyi musik jreng..jreng Pada awal tarian masuklah lalu di ikuti dengan suit seorang pemimpin yang siap salah satu penari memanggil temannya dengan suiitt. Lalu penari pun datang menghampiri dengan gerakan setengah berdiri. 2. Abar Bunyi musik tuk (3X) ritme nya monoton. Iramanya sedang lalu musiknya menjadi bunyinya perlahan. Gerak ini disertai tengokan dalam gerakan kepala saling bergantian secara berulangulang, dan dilakukan oleh dua penari kadang-kadang sambil jalan berputar melingkar. Gerak longok mempunyai arti menengok atau melihat, secara langsung yang mempunyai peranan di sini adalah bagian torso atas, bagian leher dan kepala. Istilah longok berarti 153 mengintip sebagai gambaran dari pengintaian. 3. Longok Irama nya cepat 4. Abar Iramanya perlahan adalah suatu gerak anggukan kepala dilakukan sambil berjalan terpincang-pincang dengan istilah ragam gerak jalak pengkor yang dilakukan secara berulang-ulang dalam tempo agak cepat. Ungkapan gerak sajian ingin menggambarkan adanya perundingan atau komunikasi di antara penari, sesuai dengan istilah kata besik yang berarti berbicara perlahan-lahan. Namun demikian, gerak besik bukan menggunakan mulut sebagai peran penting. Gerakan dominan masih tetap torso atas, yakni bagian kepala dan leher. Mengulang gerak kemudian ada hentakan. Musiknya monoton 5. Besik Bunyi musik Jreng (2X) pada awal lalu musi pelan namun tipis pergantian music menjadi sunyi lalu adalah suatu gerak anggukan kepala dilakukan sambil berjalan terpincang-pincang dengan istilah ragam gerak jalak pengkor yang dilakukan secara berulang-ulang dalam tempo agak cepat. Ungkapan gerak sajian ingin 154 6. Jorong dan Besik menjadi keras. menggambarkan adanya perundingan atau komunikasi di antara penari, sesuai dengan istilah kata besik yang berarti berbicara perlahan-lahan. Namun demikian, gerak besik bukan menggunakan mulut sebagai peran penting. Gerakan dominan masih tetap torso atas, yakni bagian kepala dan leher. Musiknya terhenti yang merupakan gerak akhir pertunjukan, ronggeng bugis, sementara sajian geraknya hampir sama seperti gerakan abar. Kata jorong di sini berarti lurus, ragam gerak ini masih dominan torso atas, yang memegang peranan penting yaitu bagian leher dan kepala. terdengar hanya bunyi tuk..tuk. 7. Improvisasi Musik cepat dan monoton. Tincak galeng, menari sambil Irama music cepat ada duduk. pimpinannya menari bunyi kendang. Musik sendiri ditinggalkan oleh perlahan ada aksen hentakan lalu musik terhenti kemudian musik menjadi cepat yang lain 155 Bunyi tabuhan musik iringan ikut mewarnai dan menegaskan situasi komunikasi dengan hentakan musik yang dapat menggugah emosi penari maupun penonton yang menghantarkan makna dari tarian Ronggeng Bugis, bunyi tabuhan yang menghentak dapat membangkit jiwa heroisme bagi penarinya. 5.2. Peristiwa Ekspresif dalam Tari Ronggeng Bugis Cirebon Peristiwa komunikatif atau keseluruhan perangkat komponen yang utuh dimulai dengan tujuan umum komunikasi, topik umum yang sama, dan melibatkan partisipan yang secara umum komunikasi, topik umum yang sama, dan melibatkan partisipan yang secara umum menggunakan varietas bahasa yang sama, mempertahankan tone yang sama, dan kaidah-kaidah yang sama untuk interaksi, dalam setting yang sama. Sebuah peristiwa komunikatif dinyatakan berakhir, ketika terjadi perubahan partisipan, adanya periode hening, atau perubahan posisi tubuh (Engkus Kuswarno, 2008:41). Begitu juga dengan tari Ronggeng Bugis Cirebon yang memiliki kaidahkaidah tersebut di atas terjadi peristiwa ekspresi yang dituangkan dalam bahasa tubuh, ekspresi muka dan tekanan tone yang dipertegas ritme musik yang mengiringi dalam kesatuan yang utuh tari Ronggeng Bugis dapat mengekspresikan peristiwa. Menilik struktur penyajian tari Ronggeng Bugis yang telah ditata antara motif gerak dengan motif gerak telah ditetapkan sebagai bentuk penyajian yang utuh, dengan iringan musik. Bunyi tetabuh sebagai musik pengiring telah mampu menjadi mitra, menata ritme bahkan memperkuat gerak yang ditampilkan. Musik yang hadir 156 tertentu diperkuat oleh gerak, pada saat yang lain gerak yang tampil dipertegas oleh suara iringanya yang dibunyikan. Hal ini tampak bunyi musik yang diperindah oleh ayunan tangan yang menabuh ketipung atau instrumen perkusi lainnya. Sebaliknya, ayunan tubuh dan langkah kaki menjadi lebih semangat dengan melodi yang dibawakan. Melodi yang diulang-ulang yang menumbuhkan kesan monoton bukan menjadi halangan, untuk mengatakan bahwa tari sebagai design waktu dalam sajiannya tidak pernah lepas dari musik pengiringnya, karena dalam hal ini antara tari dan musik erat berhubungan. Pendapat ini selaras yang diungkapan oleh La Meri, bahwa seorang koreografer harus menyatukan atau memadukan desain waktu dalam musik pengiringnya. Musik tari sebagai iringan tari dapat dipahami; pertama, sebagai iringan gerak tarinya; kedua, sebagai ilustrasi pendukung suasana tarinya, dan ketiga, dapat terjadi kombinasi keduanya secara harmonis. Ketiga cara ini dapat disejajarkan seperti musik Barat yang biasanya disusun atas tiga elemen dasar yaitu ritme, melodi dan harmoni (La Meri, 1965: 40). Begitu pula halnya musik tari ronggeng bugis, musik pengiring dikategorikan sebagai ilustrasi banyak digunakan untuk koreografi kelompok dalam bentuk sajian yang bersifat bersifat literal, baik tipe dramatik maupun dramatari. Laku atau desain dramatik gerak tari dari awal, berkembang menuju klimaks, sampai penyelesaiannya, sangat membutuhkan suasana-suasana musik pengiringnya, misalnya dalam tari Ronggeng Bugis membutuhkan suasana sepi peperangan dan sebagainya. atau sunyi, suasana ramai, gembira dan suasana 157 Unsur dramatik dalam penyajian tari Ronggeng Bugis, telah dibakukan yang diungkapkan dalam motif gerak, penyajian gerak abar merupakan awal dari tarian, dan motif gerak longok dan besik merupakan isi dari tarian Ronggeng Bugis dan gerak klimak atau akhir diungkapkan dalam motif gerak jorong. Kedua motif gerak longok dan besik sebagai isi dari tarian ronggeng bugis motif gerak ini diulang-ulang penyajian sesuai dengan kebutuhan ruang waktu pertunjukan, sebagai gerak peralihan atau jembatan antara motif gerak ke motif gerak lainnya dengan gerak melingkar ke kiri. Identifikasi gerak pokok tari Ronggeng Bugis Cirebon. 1) Gerak dasar abar : (a) Gerak dasar kepala : kendet cangreud (b) Gerak dasar lengan atas : ke bawah - Gerak dasar lengan bawah : ke samping-membengok - Gerak dasar tangan : ke bawah, ke samping luar - Gerak dasar jari tangan : membuka, tekukan - Gerak tangan dan lengan : ayun (c) Gerak dasar badan : - Gerak dasar bahu : ke atas, ke bawah (reundeuk) - Gerak dasar dada : ditarik sedikit ke samping kanan (d) Gerak dasar kaki - Gerak dasar telapak kaki : ke kanan, ke bawah 158 - Gerak dasar kaki ditempat : rengkuh 2) Gerak dasar longok : (a) Gerak dasar kepala : reret kiri kanan (b) Gerak dasar lengan atas : ke bawah - Gerak dasar lengan bawah : ke samping-membengkok - Gerak dasar tangan : ke bawah, ke samping luar - Gerak dasar jari tangan : membuka, tekukan - Gerak dasar tangan-lengan : ayun (c) Gerak dasar badan - Gerak dasar bahu : ke atas, ke bawah, (reundeuk) - Gerak dasr kaki ditempat : ditarik sedikit ke samping kanan (d) Gerak dasar kaki - Gerak dasar telapak kaki : tekanan ke atas - Gerak dasar kaki ditempat : jengket satu (3) Gerak dasar besik (a) Gerak dasar kepala : lele nenggak (b) Gerak dasar lengan atas : lurus ke bawah - Gerak dasar lengan bawah : lurus ke bawah - Gerak dasar tangan : ke samping, ke bawah - Gerak dasar jari tangan : menutup - Gerak dasar tangan-lengan : ayun 159 (c) Gerak dasar badan - Gerak dasar telapak kaki : tekanan ke bawah - Gerak dasar kaki ditempat : rengkuh-ajeg (4) Gerak dasar jorong (a) Gerak dasar kepala : kedet cangreud (b) Gerak dasar lengan atas : ke bawah - Gerak dasar lengan bawah : membengkok ke samping - Gerak dasar tangan : ke bawah, ke samping luar - Gerak dasar tangan : ke bawah, ke samping luar - gerak dasar tangan-lengan : ayun (c) Gerak dasar badan - Gerak dasar telapak kaki : tekanan ke bawah - Gerak dasar kaki ditempat : ditarik sedikit ke samping kanan (d) Gerak dasar kaki - Gerak dasar telapak kaki : tekanan ke bawah - Gerak dasar kaki ditempat : rengkuh Selanjutnya dibawah ini adalah Deskripsi gerak tari Ronggeng Bugis Cirebon versi Handoyo, ada beberapa improvisasi pada tarian Ronggeng Bugis versi Handoyo. 160 no 1. Nama Gerak Improvisasi Uraian Pada awal tarian masuklah seorang pemimpin yang siap memanggil temannya dengan suiitt. Lalu penari pun datang menghampiri dengan gerakan setengah berdiri. 2. Abar Gerak ini disertai tengokan dalam gerakan kepala saling bergantian secara berulangulang, dan dilakukan oleh dua penari kadangkadang sambil jalan berputar melingkar. Gerak longok mempunyai arti menengok atau melihat, secara langsung yang mempunyai peranan di sini adalah bagian torso atas, bagian leher dan kepala. Istilah longok berarti mengintip sebagai gambaran dari pengintaian. 3. Longok adalah suatu gerak anggukan kepala dilakukan sambil berjalan terpincangpincang dengan istilah ragam gerak jalak pengkor yang dilakukan secara berulangulang dalam tempo agak cepat. Ungkapan gerak sajian ingin menggambarkan adanya perundingan atau komunikasi di antara penari, sesuai dengan istilah kata besik yang berarti berbicara perlahan-lahan. Namun demikian, gerak besik bukan menggunakan mulut sebagai peran penting. Gerakan dominan masih tetap torso atas, yakni bagian kepala dan leher. 4. Abar Mengulang gerak 161 5. Besik adalah suatu gerak anggukan kepala dilakukan sambil berjalan terpincangpincang dengan istilah ragam gerak jalak pengkor yang dilakukan secara berulangulang dalam tempo agak cepat. Ungkapan gerak sajian ingin menggambarkan adanya perundingan atau komunikasi di antara penari, sesuai dengan istilah kata besik yang berarti berbicara perlahan-lahan. Namun demikian, gerak besik bukan menggunakan mulut sebagai peran penting. Gerakan dominan masih tetap torso atas, yakni bagian kepala dan leher. 6. Jorong dan Besik merupakan gerak akhir pertunjukan, ronggeng bugis, sementara sajian geraknya hampir sama seperti gerakan abar. Kata jorong di sini berarti lurus, ragam gerak ini masih dominan torso atas, yang memegang peranan penting yaitu bagian leher dan kepala. 7. Improvisasi Tincak galeng, menari sambil duduk. pimpinannya menari sendiri ditinggalkan oleh yang lain 5.2.1. Genre ( Tipe Peristiwa ) Tari Ronggeng Bugis Cirebon menyajikan pada masa kini fungsinya sebagai seni pertunjukan hiburan untuk hajatan, untuk menyambut tamu, serta sejumlah 162 peristiwa budaya lainnya. Kegiatan-kegiatan pementasan ini pada umumnya banyak mengundang minat masyarakat sebagai sarana untuk menyampaikan kebaikankebaikan kepada masyarakat, karena terkandung konsep tontonan sebagai sebuah tuntunan yakni suatu ajaran luhur bahwa kita hendaknya hidup sederhana, panarima, berkarya, ulet dan waspada. 5.2.2. Topik Topik yang diangkat dalam seni pertujukan tari Ronggeng Bugis Cirebon masalah politik dalam hal terbentuknya pasukan telik sandi atau penyamaran prajurit Cirebon. 5.2.3 Fungsi dan Tujuan Seni pertunjukan tari Ronggeng Bugis Cirebon merupakan tari khas dari Cirebon penari tersebut merupakan asli Cirebon. Fungsi tari Ronggeng Bugis Cirebon selain sebagai seni pertunjukan yang bersifat menghibur juga didalamnya terdapat pesan agar hendaknya hidup sederhana, panarima, berkarya, ulet dan waspada. Sementara itu, tujuan pertunjukan tari Ronggeng Bugis Cirebon adalah kegiatan melestarikan kebudayaan bangsa di tengah perkembangan globalisasi serta melestarikan budaya leluhur agar tetap terpelihara dari generasi ke generasi. 163 5.2.4. Setting Setting merupakan penataan tempat khusus yang dilakukan oleh pelaku budaya berikut dengan perlengkapan dan ukuran ruang. Dalam hal ini, setting meliputi waktu, lokasi, dan ruangan atau aspek fisik dari ruangan tersebut. Letak sebuah peristiwa komunikatif berlangsung disebut lokasi. Waktu sangat menentukan terjadinya peristiwa. Ruangan merupakan acuan dimana sebuah peristiwa komunikatif terjadi yang dilakukan oleh pelaku budaya. Lokasi pertunjukan Ronggeng Bugis Cirebon yaitu di Keraton Kasepuhan Cirebon, yakni di tempat pertunjukan yang diberi nama balai Pagelaran tempat khusus pertunjukan untuk menghormati atau menerima tamu dan di panggung terbuka Taman Budaya Bandung. Di Keraton Kasepuhan pertunjukan tari Ronggeng Bugis Cirebon di area balai pagelaran dengan luas 10 meter persegi ditempati para penabuh sebanyak 7 orang dengan iringan gamelan sebagai background penari, arena penari lebar 5 meter, panjang 10 meter . jarak penonton dengan penari hamper tidak ada hal ini, mengakibatkan penonton dan penari bersatu sehingga penonton tidak bisa menyaksikan tarian seutuhnya secara estetika. Pertunjukan tari Ronggeng Bugis dipanggung Taman Budaya Bandung dengan panggung pertunjukan yang berbentuk arena presenium penari dan penabuh ada diatas panggung dan penabuh menghadap ke penonton sebagai backround penari dan penari muncul dibelakang penonton. Dengan konsep tersebut diatas ada jarak 164 penonton dan penari menghadirkan rasa apresiasi yang utuh untuk menikmati tarian secara estetis. 5.2.5. Partisipan Pertunjukan kesenian tari Ronggeng Bugis Cirebon jumlah penari yang mendukung dalam pertunjukan adalah 7,8, 9 hingga 40 penari tergantung kegiatan budaya yang diusungnya. Jika pertunjukan massal bisa mencapai 40 orang. Hal ini mengacu pula pada latar belakang kehadiran tari Ronggeng Bugis sebagai pasukan telik sandi prajurit Cirebon, bahwa tarian Ronggeng Bugis disajikan dalam bentuk tari kelompok. 5.2.6. Ends Merupakan tujuan mengenai peristiwa secara umum dalam bentuk tujuan interaksi partisipan secara individual. Secara konvensional dikenal juga sebagai fungsi, dan diharapkan sebagai hasil akhir dari peristiwa yang terjadi; pertunjukan tari merupakan jagat kecil sebagai sebuah representasi jagat besar (kehidupan dunia sebenarnya) melalui asumsi ini maka proses pada konteks-konteks komunikasi hadir dalam seni pertunjukan tari karena komunikasi bersifat omnipresent (hadir dimanamana). Berkaitan dengan asumsi tersebut maka dalam seni pertunjukan tari terdapat konteks-konteks dalam tari komunikasi interpersonal, komunikasi publik, komunikasi budaya. 165 Komunikasi intrapersonal, merupakan bentuk komunikasi yang difokuskan kepada kognisi simbol dan intensi individu. Komunikasi ini menekankan pada peran dari proses komunikasi dalam diri. Beberapa pakar komunikasi menyetujui bahwa komunikasi interpersonal merupakan jatung dari aktivitas komunikasi (West and Turner, 2007:34). Menurut Mulyana (2002:72) bahwa komunikasi interpersonal atau intra-pribadi sebagai komunikasi dengan diri sendiri baik disadari ataupun tidak. Berkaitan dengan arti komunikasi intrapersonal di atas, maka dalam seni pertunjukan tari terdapat proses komunikasi tersebut, terutama dilakukan oleh pelaku atau penari dan publik seni itu sendiri. Ketika pertunjukan berlangsung antara penari dan publik seni sama-sama mengandalkan perasaan dan pengalamannya, seraya berdialog dengan dirinya. Perasaan dan pengalaman begitu penting kedudukannya bagi komunikasi interpersonal dalam seni pertunjukan tari dan merupakan fasilitas alamiah dalam diri seseorang. Peranan perasaan dan pengalaman itu banyak terjadi pada peristiwa seni pertunjukan. Ketika pertunjukan berlangsung konteks komunikasi ini berjalan, pelaku seni atau penari berfikir atau bertindak untuk menggerakan tubuhnya, dalam tubuhnya berkecamuk perasaan-perasaaan bagaimana cara berbuat untuk seni atau bergerak membentuk sebuah tarian. Telinga mereka merasakan musik yang ada sementara anggota tubuh mereka mengikuti irama musik dalam memainkan peran, maka ia berfikir bagaimana ia mewujudkan peran itu. Seluruh anggota tubuhnya akan dimaksimalkan untuk membentuk peran itu termasuk juga pikirannya, perasaannya 166 dan pengalamannya mereka proses itu semua merupakan proses komunikasi interpersonal. Demikian halnya dengan publik pertunjukan yang juga melakukan proses komunikasi intrapersonal dalam dirinya. Mereka (para penonton) akan menikmati sajian cerita, gerak-gerak tubuh para penari, musik, dan unsur-unsur rupa yang hadir dalam pertunjukan itu. Publik merasakan kegembiraan dalam hatinya atas pertunjukan yang diapresiasinya sesuai dengan pengalaman dan perasaan. Publik juga merasakan kesedihan dan kelucuan jika dalam cerita atau gerak dan irama yang sesuai dengan perasaan dan pengalamannya. Dari peristiwa itu, perasaan dan pengalaman sangat memainkan peran dalam komunikasi intrapersonal publiknya. Komunikasi Interpersonal, lebih disarankan dalam arti yang paling luas untuk mencakup semua interaksi di mana terdapat hubungan di antara semua partisipan (Devito, 1997:232). Untuk hal itu definisi komunikasi interpersonal sedemikian “cair” sebagai komunikasi antarpribadi, antara orang-orang secara tatap muka, yang memungkinkan setiap pesertanya menangkap reaksi orang lain secara langsung, baik secara verbal maupun nonverbal (Mulyana, 2002:73). Momen peristiwa intrapersonal dalam seni pertunjukan lebih banyak terdapat di belakang panggung atau dalam proses kerja kreatif antar seniman sebelum pertunjukan itu dipentaskan. Momen-momen itu terdapat pula ketika pertunjukan berlangsung yang ditunjukkan oleh dialog antara seorang pelaku dengan penontonnya dalam sesi improvisasi; dialog nonverbal antara seorang penari dengan penontonnya; 167 pertukaran pesan antara penari dengan salah satu penonton; atau interaksi non verbal antara penari dan penontonnya. Komunikasi Publik, sering dianalogikan dengan komunikasi di depan umum (Devito, 1997:359). Menurut West dan Turner (2007:34), komunikasi publik biasanya berupa komunikasi dari seseorang ke banyak orang, yang pesannya bersifat persuasif dengan memperhatikan beberapa hal yaitu analisis khalayak, kredibilitas pembicara, dan proses penyampaian pesan yang membujuk. Sementara meminjam catatan Mulyana (2007:82) dinyatakan bahwa komunikasi publik merupakan komunikasi antara seorang pembicara dengan sejumlah besar orang (khalayak), yang tidak dikenali satu per satu. Namun terdapat benang merah antara seni pertunjukan dengan konteks komunikasi publik dengan ciri-ciri komunikasi yang meliputi: 1) terjadi di tempat umum (publik); 2) merupakan peristiwa yang telah direncanakan; 3) terdapat agenda; 4) beberapa orang ditunjuk untuk menjalankan fungsi-fungsi khusus. Mengingat komunikasi seni pertunjukan terkait dengan komunikasi publik, maka definisi publik dapat dipahami melalui istilah yang dinyatakan oleh Denton dan Woodward (1990:14) sebagai istilah yang digunakan untuk menggantikan istilah “masyarakat umum” atau “rakyat”. Sementara Sastropoetro (1987:35), lebih spesifik mendefinisikan istilah publik sebagai sejumlah orang yang memiliki minat, kepentingan, atau kegemaran yang sama. Komunikasi publik jelas terlihat pada seni pertunjukan sebagai seni yang segmentatif, yang dalam kata lain memiliki publiknya sendiri. 168 Dalam skala publik seni, adakalanya seni pertunjukan pada satu wilayah yang sama atau daerah atau satu kecamatan sekalipun, tidak bisa dipaksakan untuk diapresiasi oleh seluruh isi masyarakat yang ada dalam wilayah tersebut. Disini kita dapat menarik garis sambung, bahwa seni pertunjukan akan selalu ditonton, diapresiasi atau akan dapat berkomunikasi dengan publik seni itu sendiri yang memiliki minat, kepentingan, atau kegemaran yang sama. 5.2.6. Instrumentalities (Bentuk Pesan) Pada peristiwa komunikatif, pesan dibawa dalam bentuk non verbal. Bentukbentuk tersebut sudah berlaku universal bagi masyarakatnya yang menyebabkan pemberian nilai dan makna masing-masing menurut individu atau kelompok masyarakat yang bersangkutan. Bahasa mempunyai peranan dalam menyatukan para penuturnya sebagai anggota sebuah masyarakat tutur atau sebuah kelompok budaya. Bahasa merupakan media untuk menyampaikan suatu pesan kepada orang lain agar orang tersebut mengerti sehingga tujuan dapat tercapai. Bahasa merupakan bagian dari suatu kebudayaan. Kita dapat mengenal atau mengetahui seseorang berasal dari daerah mana melalui bahasa yang ia pakai dan dialeknya. Mayoritas penari Ronggeng Bugis Cirebon, baik pemain atau penonton mayoritas adalah orang Cirebon asli. 169 Komunikasi Budaya, begitu pula pada seni pertunjukan sebagai salah satu produk kebudayaan. Komunikasi budaya memiliki banyak ragam, sekalipun ia memiliki keterbatasan-keterbatasan yang dikarenakan oleh keragaman budaya setiap kelompok manusia. Keragaman itu menjadikan konteks-konteks komunikasi budaya dalam seni pertunjukan mengalami perkembangan, dari komunikasi intrabudaya menuju komunikasi antarbudaya, dan hingga komunikasi lintas budaya. Beberapa varian komunikasi itu menunjukkan bahwa komunikasi sangat erat kaitannya dengan budaya, bahkan komunikasi sangat erat kaitannya dengan budaya, bahkan Edward T.Halal (1981) mengatakan bahwa kebudayaan adalah komunikasi dan komunikasi adalah kebudayaan (Liliweri,2002:9). Dalam konteks komunikasi budaya , seni pertunjukan merupakan bagian dari perengkat model pengetahuan atau sistem makna yang terjalin secara menyeluruh dalam simbol-simbol yang ditranmisikan lewat seni pertunjukan. Untuk hal itu, seni pertunjukan sesungguhnya menyajikan model pengetahuan atau sisitem makna yang digunakan secara selektif oleh anggota masyarakat pendukungnya untuk berkomunikasi dalam menghadapi lingkungannya, guna memenuhi berbagai kebutuhan. Komunikasi budaya dalam seni pertunjukan menjadi unsur pengikat yang mempersatukan pedoman-pedoman bertindak yang berbeda hingga menjadi suatu desain yang utuh, menyeluruh , oprasional dan dapat diterima sebagai hal yang bernilai oleh masyarakat pendukungnya.konteks komunikasi budaya dalam seni 170 pertunjukan merupakan wadah komunikasi masyarakat yang berupaya mencapai tujuannya dalam mengubah sikap, mengubah opini/pendapat/pandangan, mengubah perilaku serta mengubah budaya masyarakat itu sendiri. Peristiwa pertunjukan bukan semata-mata fenomena, melainkan noumena. Seni pertunjukan disajikan tidak hanya untuk pancaindera, tetapi juga untuk mata hati yang secara kultural menjadi sangat simbolik. Hubungan komunikasi transedental dengan seni pertunjukan cukup beralasan jika melihat jenis kesenian rakyat di Jawa Barat. Ketika seni pertunjukan ditampilkan dalam upacara selametan, maka di situ bentuk komunikasi transedental muncul antara pelaku seni pertunjukan, pertunjukan, dan masyarakatnya. Dalam pertunjukan yana demikian, dipercayai oleh masyarakatnya ada kehadiran Sang Maha Kuasa di dunia manusia. Konteksnya pertunjukan yang demikian menjadi bagian dari proses komunikasi transeden yang menghadirkan keramat (karomah) dan berkah (barokah). 5.2.8 .Isyarat yang digunakan dalam bentuk percakapan Isyarat merupakan bentuk saluran komunikasi yang digunakan komunikator pada komunikan. Isyarat ini bisa berupa gerak tubuh, gerakan kepala, ekspresi wajah, atau mimik muka. Penggunaan isyarat didukung dengan penggunaan bahasa lisan yang dimaksudkan untuk memperjelas suatu makna yang ingin disampaikan. Isyarat biasanya muncul dalam percakapan tanpa disadari. Isyarat tersebut digunakan dalam 171 interaksi ditengah tarian. Semua itu menjadi penjelasan dalam proses penyampaian pesan. 5.2.9. Act Sequence (Isi pesan atau Urutan Tindak) Di dalam pertunjukan Ronggeng Bugis Cirebon, baik sebelum maupun pada saat dipertontonkan kepada masyarakat oleh seorang penari, dilakukan suatu tarian sebagai media dalam menyampaikan pesan. Pesan yang terkandung dalam pertunjukan tari Ronggeng Bugis Cirebon tersebut dikemas dan disampaikan melalui media gerak yang simbolis. Namun pula ada menganggap bahwa pesan simbolis tersebut dipandang dari aspek hiburan yang menimbulkan rasa senang atau lucu yang layak sebagai sebuah tontonan yang menghibur. Tari Ronggeng Bugis yang sarat dengan simbol yang juga memberi makna serta nilai-nilai kepatriotan seorang prajurit yang berperan sebagai teliksandi baik dalam bentuk verbal maupun non verbal. Disisi lain bahwa tari Ronggeng Bugis disimboliskan sebagai proses media perdamaian dan obyek penyampaian ajaran keagamaan yang dimaknai selaku umat manusia beragama Islam harus memelihara perdamaian antar umat dan menghindari peperangan secara fisik yang akan menghacurkan berbagai aspek kehidupan umat manusia di muka bumi ini. Hal lain dapat dikatakan juga bahwa pertunjukan tari Ronggeng Bugis merupakan wadah berlangsungnya interaksi sosial yang melibat proses komunikasi. 172 Keys, mengacu pada cara atau spirit pelaksanaan tindak tutur, dan hal tersebut merupakan fokus referensi. 5.2.10. Kaidah Interaksi Manusia merupakan makhluk sosial yang selalu membutuhkan orang lain. agar dapat berhubungan dengan orang lain, manusia haruslah berinteraksi dan berkomunikasi dengan orang lain, manusia haruslah berinteraksi, maka proses komunikasi dan keinginan seseorang tidak akan tercapai. Manusia saling berhubungan untuk mencapai suatu tujuan dalam hidupnya sendiri maupun dalam kelompoknya. Kelompok manusia yang disebut masyarakat akan berkembang seiring dengan kebudayaan. Interaksi yang terjadi pada seni pertunjukan Ronggeng Bugis Cirebon terjadi antara penari dengan penari, penari dengan pemusik, penari dengan penonton, dan penonton dengan penonton. Interaksi antara penari dengan penari berlangsung pada gerakan ketika berbisik-bisik. Interaksi dengan penonton berlangsung secara spontan disertai dengan menarik penonton untuk ikut menari. Sementara itu, interaksi antara sesama penonton terjadi baik verbal maupun non verbal. 173 5.2.11. Norma Interpretasi Tari Ronggeng Bugis lahir ketika merebut kekuasaan untuk menjadi kerajaan Islam. Namun, kini tarian tersebut menjadi tari pertunjukan dalam tarian tersebut terkandung sikap hidup sederhana, panarima, berkarya, ulet dan waspada, yang berangkat dari strategi perang kini menjadi ciri khas masyarakat Cirebon yang tetap dipertahankan hingga saat ini. Nilai filosofis ini sesungguhnya merupakan nilai-nilai universal yang diwujudkan dalam bentuk pesan sosial dan ajaran moralitas. 5.3. Tindak ekspresif dalam Ronggeng Bugis Cirebon Berdasarkan pernyataan Hymes, tentang pemahaman mengenai unit-unit diskrit aktivitas komunikasi dalam menganalisis aktivitas komunikasi dalam entnografi komunikasi, maka penulis mencoba menganalisis komponen-komponen tindak ekspresif pada seni pertunjukan seni tari Ronggeng Bugis Cirebon, Berlangsungnya peristiwa komunikatif dari pertunjukan yang sarat dengan pesan dalam bahasa tubuh. seperti: bentuk ekspresi, karateristik gerakan, dan isyarat yang digunakan. 5.3.1. Bentuk Ekspresi Ekspresi adalah wujud emosi yang nampak. Bentuk ekspresi yang sering digunakan orang pada umumnya adalah senang, sedih, bingung dan lain-lain. Pada seni pertunjukan tari Ronggeng Bugis Cirebon terdapat juga ekspresi. Ekspresi 174 tersebut digunakan sebagai awal dari proses komunikasi atau pada dahulu dijadikan penyamaran dalam merebut kekuasaan. Dalam tarian Ronggeng Bugis Cirebon tidak hanya disajikan untuk ditonton oleh para penonton namun, dalam bentuk pelestarian dari nilai sejarah serta nilai moral terkandung pada tarian Ronggeng Bugis Cirebon. 5.3.2. Karakteristik Gerakan Gerakan merupakan aspek budaya yang digunakan untuk komunikasi. Penggunaan gerak biasa digunakan oleh orang-orang untuk melengkapi bahasa verbal. Pengaruh tersebut akan terlihat dari cara berbicara disertai gerakan yang sesuai dengan yang disampaikan penari yang bersangkutan maupun sistem kepercayaan dan sistem nilai yang berlaku diwilayah setempat. Mengingat lahirnya tarian tersebut sejak dahulu di tarikan oleh orang Bugis, yang mempunyai karakteristik pemberani dan mau melakukan apapun. Cirebon merupakan Kota Pelabuhan hal yang memungkinkan banyak pendatang dari berbagai suku berdomisili di Cirebon, namn tarian ini di tarikaun oleh orang Cirebon asli sikap pemberani dalam tarian ini tidak berubah ketika semangat dulu. 175 5.3.3. Isyarat Gerak Isyarat merupakan bentuk saluran komunikasi yang digunakan komunikator pada komunikan. Isyarat ini bisa berupa gerak tubuh, gerakan kepala, ekspresi wajah, wajah mimik muka. Begitu halnya pada tarian Ronggeng Bugis prioritas gerakan dan mimik muka merupakan isyarat yang mempertegas. Berdasarkan pembahasan dalam Bab IV, diketahui bahwa di dalam pertunjukan seni tari Ronggeng Bugis Cirebon terkandung isyarat yang tertuang dalam unsur-unsur simbol yang sarat dengan makna. 176 BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 3.3. Rangkuman Indonesia merupakan Negara yang memiliki beraneka ragam budaya seperti: adat-istiadat, suku bangsa, kepercayaan, tradisi, bahasa, kesenian, dan sebagainya. Kebudayaan memiliki eksistensi yang berkesinambungan dan juga menjadi warisan sosial. Budaya juga tidak lepas dari pengaruh komunikasi, dengan adanya kontak-kontak atau interaksi sosial antar manusia atau melalui difusi. Proses interaksi sosial pada dasarnya adalah sebuah proses komunikasi. Yakni proses penyampaian pikiran atau perasaan seseorang atau komunikator kepada orang lain atau komunikan dalam wujud simbol. Tari Ronggeng Bugis merupakan sebuah budaya yang berwujud seni pertunjukan tari, yang lahir dari proses penyamaran yang dahulu dilakukan oleh orang Bugis atas perintah Sunan Gunung Djati dari Cirebon dalam merebut kekuasaan dari tangan Kerajaan Padjadjaran. Di dalam seni tari Ronggeng Bugis Cirebon terkandung suatu ajaran luhur bahwa kita hendaknya hidup sederhana, panarima, berkarya, ulet dan waspada. Yang berangkat sebagai media politik pada awal kehadirannya tari Ronggeng Bugis Cirebon menjadi ciri khas masyarakat Cirebon yang tetap dipertahankan hingga saat ini. Nilai filosofis ini sesungguhnya merupakan 177 nilai-nilai universal yang diwujudkan dalam bentuk pesan sosial dan ajaran moral. Tari Ronggeng Bugis sarat dengan ekspresi dan simbol, juga memberikan banyak memberikan makna serta nilai-nilai melalui perilaku non verbal. Disinggung lebih lanjut, tari Ronggeng Bugis Cirebon disimboliskan sebagai sebuah tarian yang sarat dengan jiwa kepatriotan sosok seorang prajurit untuk membela kerajaan Cirebon ingin berdaulat atau mederka lepas dari kekuasaan kerajaan Padjadjaran. Sehingga dapat dinyatakan bahwa pertunjukan seni tari Ronggeng Bugis Cirebon merupakan wadah berlangsungnya interaksi sosial yang mana melibatkan proses komunikasi. Pesan yang terkandung dalam pertunjukan seni Ronggeng Bugis Cirebon dikemas dan disampaikan melalui media gerakan atau tari yang disimboliskan. Dengan demikian, dalam struktural interaksi sosial dan proses pertukaran secara simbolik, kedua hal tersebut dapat didekduktifkan menjadi dua hal utama, yaitu komunikasi dan budaya. Manusia perlu menjalankan fungsi sosialnya perlu melakukan interaksi dengan manusia lainnya. Komunikasi menjembatani budaya beserta perangkatnya melalui interaksi dengan proses komunikasi, karena budaya merupakan landasan komunikasi. 178 3.4. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan penulis, terdapat tiga unit analisis yang dirangkum sebagai berikut: 1. Situasi komunikasi ekspresif dalam tari Ronggeng Bugis Cirebon, Situasi komunikasi ekspresif Ronggeng Bugis Cirebon tidak terlepas dari bunyi musik yang mengiringi yakni ketipung yang bertindak sebagai pemimpin pertunjukan, yang mengatur dan mengendalikan irama tabuhan yang disajikan di awal maupun diakhir pertunjukan. 2. Peristiwa Komunikasi ekspresif dalam tari Ronggeng Bugis Cirebon menyangkut tipe peristiwa, topik, fungsi atau tujuan, setting, partisipan, bentuk pesan seperti bahasa yang digunakan, isi pesan dan urutan tindak, serta kaidah interaksi dan norma interprestasi. Tari Ronggeng Bugis merupakan tipe peristiwa disajikan dalam bentuk hiburan-hiburan untuk menyambut tamu, hajatan dan kegiatan budaya lainnya.Topik yang diangkat dalam seni pertunjukan tari Ronggeng Bugis Cirebon masalah politik dalam hal terbentuknya pasukan telik sandi atau penyamaran seorang prajurit Cirebon. Fungsi dari tari Ronggeng Bugis selain sebagai seni pertunjukan yang bersifat menghibur juga di dalamnya terkandung suatu ajaran luhur bahwa kita hendaknya hidup sederhana, panarima, berkarya, ulet dan waspada selain itu juga memiliki sikap keperwiraan atau heroisme. Bahasa yang digunakan pada pertunjukan seni tari 179 Ronggeng Bugis adalah bahasa non verbal yaitu yaitu berupa gerakan ekspresif dari penari Ronggeng Bugis Cirebon. 3. Berdasarkan pernyataan Hymes, tentang pemahaman mengenai unit-unit diskrit aktivitas komunikasi dalam menganalisis aktivitas komunikasi dalam entnografi komunikasi, maka penulis mencoba menganalisis komponen-komponen tindak ekspresif pada seni pertunjukan seni tari Ronggeng Bugis Cirebon, Berlangsungnya peristiwa komunikatif dari pertunjukan yang sarat dengan pesan dalam bahasa tubuh. seperti: bentuk ekspresi, karateristik gerakan, dan isyarat yang digunakan. 3.4. Saran Berdasarkan hasil analisis pada tarian Ronggeng Bugis Cirebon maka penulis dapat memberikan saran serta masukan-masukan, yakni sebagai berikut: 1. Etnografi Komunikasi adalah metode untuk membedah objek pada tari Ronggeng Bugis Cirebon, namun referensi etnografi komunikasi yang lahir dari ilmu Antropologi harus dikembangkan dan diajarkan dan dikenal kan oleh para pengajar metode ini sangat menarik agar kita lebih mengerti dan mendalami suatu budaya yang memang di Indonesia memiliki budaya yang banyak dan metode ini adalah salah satu untuk mengetahui atau mengenal lebih jauh tentang budaya dari konteks komunikasi. 180 2. Tari adalah salah satu media komunikasi melalui tarian representasi kehidupan disampaikan begitu banyak makna dalam tari. Namun, minat generasi muda terhadap tari di rasa kurang alangkah baiknya sosialisasi untuk seni dan budaya ditingkatkan. 3. Tari Ronggeng Bugis Cirebon merupakan salah satu aset bangsa yang harus dikembangkan dan dilestarikan keberadaaannya mengingat keberadaan tarian Ronggeng Bugis Cirebon sudah jarang peran masyarakat dan pemerintah sangat dibutuhkaan untuk kemajuan seni rakyat ini. Peran Dinas pariwisata Cirebon kurang memberi kesempatan kepada kesenian ronggeng Bugis Cirebon ini padahal tarian tersebut sarat dengan sejarah Cirebon yang bisa menampilkan keunikan dalam penampilan tari Ronggeng Bugis Cirebon. 3.4.2. Saran Praktis 1. Tari Ronggeng Bugis Cirebon merupakan salah satu tari asal Jawa Barat namun, diperankan oleh laki-laki yang berangkat dari sejarah yang dahulu tarian tersebut yang digunakan untuk berperang. Tari Ronggeng Bugis Cirebon mempunyai pitutur sinandi. 2. Untuk kelestarian seni pertunjukan Ronggeng Bugis Cirebon perlu dikembangkan lagi berbagai usaha dalam hal promosi. 181 3.4.3. Saran Bagi Pengembangan Ilmu 1. Penulis menyarankan agar buku-buku tentang etnografi terutama entografi komunikasi lebih diperbanyak lagi sehingga akan memperkaya referensi bagi para peneliti etnografi komunikasi. 2. Hendaknya ada penelitian lain yang tertarik untuk meneliti seni pertunjukan Ronggeng Bugis Cirebon dalam aspek yang lebih mendalam, seperti usaha-usaha promosi dan sosialisasi untuk menjaga kelestarian seni pertunjukan tersebut. 182 DAFTAR PUSTAKA Azis, Abdul. 1994. Tari Ronggeng Bugis Di Kabupaten Cirebon. Bandung: Putlitmas ASTI Bandung Caturwati,Endang dkk.2003. Lokalitas, Gender dan Seni Pertunjukan di Jawa Barat. Yogyakarta: Aksara Indonesia Caturwati, Endang.2008. Tari di Tatar Sunda. Bandung: STSI press Bandung Denton, R.E., G.C. Woodward. 1990. politic Farida, 2009. “Perkembangan Fungsi Tari Ronggeng Bugis Cirebon.” Tesis Pascasarjana Pengkajian Seni Pertunjukan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta Hadi, Sumandiyo H.2003. “Mencipta Lewat Tari”. Yogyakarta : Manthili Yogyakarta. Irianto , Bambang. 2009. “ Tari Ronggeng Bugis : Sebuah Karya Seni Unik yang Multikultur “ Makalah Work Shop dan Festival Kesenian tradisional Cirebon 18 Juni 2009. Depbudpar Diirjen Nilai Budaya , Seni dan Film Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Jawa Barat Jaeni, 2009. “Komunikasi Estetik dan Tindakan Simbolik Dalam Pertunjukan Teater Rakyat”, Usulan Penelitian Disertasi Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran (UNPAD) Bandung Jaeni, 2009. “Seni Pertunjukan dalam perspektif komunikasi di era informasi”. Orasi ilmiah wisuda XIII STSI Bandung. 12 Desember, 2009. Kuswarno, Engkus.2008. Etnografi Komunikasi, Penerbit: Widya Padjadjaran Liliweri, Alo.2003. Makna Budaya Dalam Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: LKIS Mademoiselle Hastuti:Kuliah 1 Komunikasi- Definisi&konsep hastutiwulanningrum.blogspot.com 183 Mulyana, Deddy.2006. Metode Penelitian Kualtitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. ___________________.2004. Komunikasi Efektif: Suatu Pendekatan Lintas Budaya. Bandung: Remaja Rosdakarya. ____________________. 2005. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Royce, Anya Peterson.2007. Antropologi Seni. Terjemah F.X. Widaryanto Bandung: STSI press Bandung Sastropoetro, R.A. Santoso. 1987. Pendapat Publik, Pendapat Umum, dan Pendapat Khalayak dalam Komunikasi Sosial. Bandung: CV. Remadja Karya. Spradley, James P. 2007. Metode Etnografi. Yogyakarta: Tiara Kencana Syam, Nina Winangsih, 2006. Komunikasi Transendental. Bandung: Yayasan Arena Komunikasi www.coremap.or.id/downloads/mengapakitaberkomunikasi Suhaenah, Euis.1999. “Profil Handoyo dan karyanya”, Putlimas STSI Bandung Sumandiyo Hadi, Y.2002. Sosiologi Seni. Yogyakarta: Manthili Yogyakart Sudarsono, tp. Tari-tarian Indonesia I, Jakarta: Proyek Pengembangan Media Budaya Dirjen Depdikbud Jakarta Zakiah ,Kiki, 2008. “ Penelitian Etnografi Komunikasi: Tipe dan Metode”, dalam 184 Mediator Jurnal Komunikasi Vol.9 Nomor 1 2008. Narasumber Lisan 1. Wilyanto Sebagai penari Ronggeng Bugis Cirebon 185 DAFTAR GAMBAR Gambar 1 : Ketika wawancara dengan salah satu penari Ronggeng Bugis Cirebon 186 Gambar 2 : ketika penari sudah pentas Gambar 3 : Ibu Atie Pemilik sanggar yang didirikanBersama Pa Handoyo 187 Gambar 4 : Para Penari Ronggeng Bugis 188 DRAFT WAWANCARA DENGAN PENARI RONGGENG BUGIS Hari/Tanggal: Rabu,07 oktober 2009 Tempat: Plumbon, Cirebon Penari yang bernama Wilyanto ini sudah menggeluti Tari Ronggeng pada tahun 1999, willy menceritakan awalnya dia menjadi penari ronggeng bugis, ajakan dari Pak Handoyo menjadikan gerbang menjalani profesi sebagai penari. Sehari-hari willy begitu panggilan akrabnya menjalani usaha percetakan. Salah satu alasan willy untuk tetap menjalani. Tari Ronggeng Bugis ini memang berbeda dengan tari Ronggeng biasa ditarikan oleh seorang perempuan, Ronggeng ada ketika zaman penjajahan dan arti nama Ronggeng itu sendiri penghibur. Namun, Ronggeng Bugis menyajikan hal yang berbeda, tentu ini tidak lepas dari Sejarah. Pertanyaan seperti Mengapa harus laki-laki? Apakah ini tarian banci? Mas Willy membantah bahwa tarian yang ia bawakan bukan tarian banci dan menegaskan bahwa penarinya bukan banci. Segi pakaian dan make up pun jauh seperti definisi ronggeng adalah penari wanita yang menghibur wanita, jika merujuk pada definisi Ronggeng itu sendiri Ronggeng Bugis jauh dari kesan itu. Dukungan kostum dan Tata Rias wajah penari di rias secara jenaka, memakai gelungan kecil dan bunga. Kostum terdiri dari kebaya berwarna menyala, terkadang memakai rompi dan kain batik dodot yang diikat dengan stagen. Atau menggunakan variasi lain dengan penampilan yang mencolok yang mengundang gelak tawa. Menurut Willy untuk make up memakai sendiri dan dibebaskan untuk berekspresi namun, tidak asal dalam artian tetap pada konsep yaitu make up yang lucu. 189 Jumlah Penari paling banyak adalah 16 orang, kadang 8 orang tergantung dari pertunjukkannya, jika pertunjukan besar memungkinkan penarinya hingga 40. Tarian ini pun bukan hanya untuk kepentingan pertunjukan besar dalam hajatan pun tari ronggeng Bugis kerap ditampilkan. Gelak tawa dari penonton pun menjadikan tari ronggeng ini dinilai jenaka, gerakan yang unik dan kadang dibumbui penonton tak heran jika tarian ini ada disuatu pertunjukkan selalu ditunggu-tunggu oleh penonton. Rasanya pesan yang kita sampaikan kepada penonton melalui tarian Ronggeng Bugis dimengerti oleh penonton, tutur penari kelahiran 10 Februari 1978 ini. Berikut petikan wawancaranya: 1. Dalam Tari Ronggeng Bugis ada berapa orang? Jawab: Jumlah Penari paling banyak adalah 16 orang, kadang 8 orang tergantung dari pertunjukkannya, jika pertunjukan besar memungkinkan penarinya hingga 40 2. Bagaimana anda tertarik dengan Tari Ronggeng Bugis Cirebon? Jawab: Penari yang bernama Wilyanto ini sudah menggeluti Tari Ronggeng pada tahun 1999, willy menceritakan awalnya dia menjadi penari ronggeng bugis, ajakan dari Pak Handoyo menjadikan gerbang menjalani profesi sebagai penari Tarian ini pun bukan hanya untuk kepentingan pertunjukan besar dalam hajatan pun tari ronggeng Bugis kerap ditampilkan. 3. Anda tahu asal usul dari tari Ronggeng Bugis Cirebon? 190 Jawab : Penyamaran atau Telik sandi yang ingin merebut kekuasaan dari kerajaan padjadjaran. 4. Dalam setiap manggung adakah reaksi yang diperlihatkan penonton ketika Anda menari? Jawab: Gelak tawa dari penonton pun menjadikan tari ronggeng ini dinilai jenaka, gerakan yang unik dan kadang dibumbui penonton tak heran jika tarian ini ada disuatu pertunjukkan selalu ditunggu-tunggu oleh penonton 5. Apakah Pesan yang ingin disampaikan kepada penonton sesuai anda yang ingin disampaikan? Jawab: Rasanya pesan yang kita sampaikan kepada penonton melalui tarian Ronggeng Bugis dimengerti oleh penonton, tutur penari kelahiran 10 Februari 1978 ini. 6. Jika masalah make up siapa yang mendandani? Jawab: Dukungan kostum dan Tata Rias wajah penari di rias secara jenaka, memakai gelungan kecil dan bunga. Kostum terdiri dari kebaya berwarna menyala, terkadang memakai rompi dan kain batik dodot yang diikat dengan stagen. Atau menggunakan variasi lain dengan penampilan yang mencolok yang mengundang gelak tawa. Menurut Willy untuk make up memakai sendiri dan 191 dibebaskan untuk berekspresi namun, tidak asal dalam artian tetap pada konsep yaitu make up yang lucu. 7. Apakah Anda setuju bahwa tari itu dinilai tari banci? Jawab : Mas Willy membantah bahwa tarian yang ia bawakan bukan tarian banci dan menegaskan bahwa penarinya bukan banci. Semua penari Ronggeng Bugis Cirebon tidak ada yang banci.