BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Intensitas Pemeriksaan Pajak (Tax Audit) 1. Pengertian Pemeriksaan Pajak Beberapa pengertian dan definisi yang perlu diketahui yang berkaitan dengan pemeriksaan pajak (Hidayat, 2013 : 1) adalah sebagai berikut : a. Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/bukti audit yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan Peraturan PerundangUndangan. b. Pemeriksaan lapangan adalah pemeriksaan yang dilakukan ditempat kedudukan, tempat kegiatan usaha atau pekerja bebas, tempat tinggal Wajib Pajak, atau tempat lain yang ditentukan oleh Direktur Jendral Pajak. c. Pemeriksaan kantor adalah pemeriksaan yang dilakukan di Kantor Direktorat Jenderal Pajak. d. Pemeriksa pajak adalah Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak atau tenaga ahli yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Universitas Sumatera Utara Pajak, yang diberi tugas, wewenang, dan tanggung jawab untuk melaksanakan pemeriksaan. Intensitas pemeriksaan pajak merupakan sesuatu yang sangat penting untuk dilakukan untuk menilai kepatuhan Wajib Pajak. Hal ini dapat dilihat dari segi kejujuran, kemauan untuk membayar pajak, dan bahkan menjadikan bahan pertimbangan apa yang menyebabkan Wajib Pajak tidak mau melakukan pembayaran pajak. Berbagai penelitian telah dilakukan untuk memahami apa yang menyebabkan Wajib Pajak sangat sulit untuk mematuhi Undang-Undang Perpajakan. Beberapa ahli telah meneliti dampak pada pelaporan SPT pada tahun setelah dilakukan pemeriksaan dengan menggunakan sumber data pemeriksaan internal Revenue Service di Amerika Serikat atas Wajib Pajak pada suatu tahun yang selanjutnya akan menjadi obyek pemeriksaan selanjutnya di tahun kedua. Hasil penelitian menunjukkan adanya proporsi perbaikan kepatuhan yang substansial dibandingkan hasil pemeriksaan pajak sebelumnya. Sayangnya, sangatlah sulit menentukan keefektifan ukuran kinerja pemeriksaan. Pada tataran konsep, pengukuran hasil pemeriksaan yang paling bernilai dan tajam adalah manakala pemeriksaan pajak menghasilkan kewajiban pajak yang benar-benar harus dibayar dan juga mampu mempengaruhi Wajib Pajak agar secara suka rela mematuhi dan memenuhi kewajiban perpajakannya di masa mendatang. Tidak ada cara empiris untuk memastikan apa yang telah dibayar Wajib Pajak sesuai Universitas Sumatera Utara dengan seharusnya, sekaligus merupakan kemustahilan untuk mengetahui apakah setelah diperiksa akan mempengaruhi kepatuhan Wajib Pajak dimasa selanjutnya. Berhubungan dengan etika penggelapan pajak, maka intensitas pemeriksaan pajak memiliki hubungan yang sangat erat. Dimana, dianalogikan ketika pemeriksaan pajak dapat dilakukan dengan sistem dan disiplin yang baik, maka Wajib Pajak akan takut ataupun enggan untuk melakukan penggelapan pajak. Hal ini dapat di pahami, karena Wajib Pajak akan merasa lebih di kontrol, takut terhadap sanksi yang akan diberikan jika mereka tidak mematuhi Undang-Undang Perpajakan, dan bahkan mereka cenderung melaksanakan kewajibannya untuk membayar pajak karena segala strategi yang mereka lakukan untuk menggelapkan pajak, akan dapat diketahui dan diselidiki oleh pihak fiskus. 2. Pemeriksaan Pajak Yang Telah Di Terapkan Penelitian mengenai kepatuhan Wajib Pajak sudah sangat sering sekali dilakukan diantaranya adalah Penelitian dilakukan dengan memilih Wajib Pajak yang telah mengalami pemeriksaan pajak oleh Karikpa Mataram sebanyak tiga kali sejak tahun 1993 hingga 2005 baik WP Badan maupun WP OP dan terkumpul sebanyak 52 Wajib Pajak. Kepatuhan Wajib Pajak per jenis pajaknya diukur dari proporsi jumlah koreksi pajak dengan jumlah pajak yang telah dibayar oleh Wajib Pajak. Uji t digunakan untuk mengetahui apakah hasil dari dua frekuensi pemeriksaan pajak yang berbeda menunjukkan perbedaan yang signifikan. Uji F digunakan untuk Universitas Sumatera Utara melihat perbedaan secara serentak pada ketiga frekuensi pemeriksaan yang berbeda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk jenis PPh Badan/Op, PPh Pasal 21, PPh Pasal 23 hanya sedikit sekali yang menunjukan peningkatan kepatuhan setelah tiga kali dilakukan pemeriksaan pajak. Demikian juga ternyata hubungan/korelasi antara hasil dari ketiga frekuensi pemeriksaan juga lemah. Kondisi yang lebih baik ditunjukkan dari hasil pemeriksaan atas PPN. Banyak hal yang dapat diasumsikan mengenai pemeriksaan pajak ini, karena mungkin saja sistem perpajakan yang diterapkan di Indonesia juga sangat lemah. Kesimpulan yang dapat diambil adalah ternyata sangat sedikit sekali jumlah Wajib Pajak yang menunjukan peningkatan kepatuhan sekalipun diiringi dengan perbandingan frekuensi pemeriksaan pajak. Seluruh kepatuhan Wajib Pajak pada berbagai perbandingan frekuensi yang berbeda, baik secara berpasangan maupun serentak, atas seluruh jenis pajak tidak menunjukkan perbedaan hasil yang signifikan. Keeratan korelasi antara berbagai kepatuhan Wajib Pajak pada berbagai jenis pajak dalam setiap perbandingan frekuensi pemeriksaan menunjukkan hasil yang lemah dan tidak bermakna. Disarankan karena tujuan dilakukannya pemeriksaan adalah untuk menguji kepatuhan Wajib Pajak sehingga semakin meningkat maka perlu dilakukan langkah-langkah perbaikan dalam proses pemeriksaan agar tujuan tersebut tercapai. Perbaikan secara lebih menyeluruh terhadap administasi sistem perpajakan akan meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak. Universitas Sumatera Utara Perlunya menentukan indikator atau ukuran lain dalam menilai hasil pemeriksaan, tidak hanya memandang dari segi besar kecilnya koreksi. 3. Dasar Hukum Pemeriksaan Pajak Beberapa dasar hukum yang berkaitan dengan pemeriksaan pajak adalah sebagai berikut : a. Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terahir dengan UU No. 16 Tahun 2009. b. Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Perpajakan Berdasarkan undangUndang Nomor 6 Tahun 1993 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Sebagaimana Telah Diubah Terakhir dengan UndangUndang Nomor 16 Tahun 2009. c. Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tanggal 28 Desember 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Perpajakan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Sebagaimana Telah Diubah Terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007. d. Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-130/PMK.03/2009 Tanggal 18 Agustus 2009 tentang Tata Cara Penghentian Penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan untuk Kepentingan Penerimaan Negara. e. Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-201/PMK.03/2007 tanggal 28 Pihak-Pihak yang Terikat atas Kewajiban Merahasiakan. Universitas Sumatera Utara f. Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-199/PMK.03/2007 Tanggal 28 Desember 2007 tentang Tata Cara Pemeriksaan Pajak. g. Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-198/PMK.03/2007 Tanggal 28 Desember 2007 tentang Tata Cara Penyegelan Dalam Rangka Pemeriksaan di Bidang Perpajakan. h. Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-202/PMK.03/2007 Tanggal 28 Desember 2007 tentang Tata Cara Pemeriksaan Bukti Permulaan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan. i. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-09/PJ/2010 Tanggal 01 Maret 2010 tentang Standar Pemeriksaan untuk Menguji Kepatuhan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan. 4. Kebijakan Umum Pemeriksaan Pajak Menurut Hidayat (2013 : 11), pedoman pelaksanaan pemeriksaan pajak, Direktorat Jenderal Pajak telah menetapkan beberapa kebijakan umum yang dapat diuraikan sebagai berikut : a. Setiap wajib pajak mempunyai peluang yang sama untuk diperiksa. b. Setiap pemeriksaan yang dilaksanakan harus dilengkapi dengan surat perintah pemeriksaan pajak yang mencantumkan tahun pajak yang diperiksa. c. Pemeriksaan dapat dilaksanakan oleh kantor pusat Direktorat Jenderal Pajak, kantor wilayah Direktorat Jenderal Pajak, kantor pemeriksaan dan penyidikan pajak atau kantor pelayanan pajak. Universitas Sumatera Utara d. Pemeriksaan ulang terhadap jenis dan tahun pajak yang sama, tidak diperkenankan, kecuali dalam hal seperti berikut : 1. Terdapat indikasi bahwa Wajib Pajak diduga telah atau sedang melakukan tindak pidana di bidang perpajkan; 2. Terdapat data baru dan atau data semula belum terungkap, mengakibatkan penambahan jumlah pajak terutang atau mengurangi kerugian yang dapat dikompensasikan. e. Buku-buku, catatan-catatan dan dokumen lain yang akan dipinjam dari Wajib Pajak dalam pelaksanaan pemeriksaan tidak harus yang asli, dapat juga misalnya fotokopi yang sesuai dengan aslinya. f. Pemeriksaan dapat dilakukan di kantor pemeriksaan (yaitu untuk pemeriksaan sederhana kantor) atau di tempat Wajib Pajak (untuk pemeriksaan sederhana lapangan atau pemeriksaan lengkap). g. Jangka waktu pemeriksaan terbatas. h. Dapat dilakukan perluasan pemeriksaan, baik untuk tahun-tahun sebelumnya maupun tahun sesudahnya, yaitu dalam hal: 1. SPT tahunan, wajib pajak orang pribadi atau badan menyatakan adanya kompensasi kerugian dari tahun-tahun sebelumnya yang belum dilakukan pemeriksaan. 2. Sebab-sebab lain berdasarkan instruksi direktur pemeriksaan, penyidikan, dan penagihan pajak. i. Setiap hasil pemeriksaan harus diberitahukan kepada Wajib Pajak secara tertulis, yaitu mengenai hal-hal yang berbeda antara surat Universitas Sumatera Utara pemberitahuan (SPT) Wajib Pajak dan hasil pemeriksaan, dan selanjutnya untuk ditanggapi oleh Wajib Pajak. B. Keadilan 1. Keadilan Pajak (Tax Fairness) Menurut Anondo (2013), syarat keadilan adalah “pemungutan pajak dilaksanakan secara adil baik dalam peraturan maupun realisasi pelaksanaannya”. Keadilan dalam perpajakan merupakan faktor utama yang akan mendasari setiap Wajib Pajak mau mematuhi peraturan perpajakan. Penelitian yang telah dilakukan oleh Suryani pada tahun 2013 lalu, menghasilkan sebuah kesimpulan bahwa keadilan memiliki hubungan yang positif terhadap etika penggelapan pajak. Hal ini relevan dengan hipotesis yang telah ia nyatakan, dan bahkan relevan dengan penelitian yang dilakukan oleh McGee (2008), Nickerson, et al (2009), Suminarsasi (2011). Hasil penelitian menyatakan bahwa keadilan mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap penggelapan pajak. Penelitian ini didasarkan atas asumsi bahwa setiap Wajib Pajak akan mematuhi dan melaksanakan kewajibannya untuk melakukan pembayaran pajak, ketika mereka mampu memperoleh keadilan yang sebaik-baiknya. Keadilan dalam hal ini adalah keadilan dalam penerapan Undang-Undang Perpajakan, tidak membeda-bedakan setiap Wajib Pajak. Lebih dari itu keadilan yang dimaksud adalah bagaimana pihak pemungut pajak dalam hal ini pemerintah mampu merealisasikan dana perpajakan Universitas Sumatera Utara tersebut untuk kepentingan rakyat. Setiap Wajib Pajak berhak untuk memperoleh dan diperlakukan secara adil dalam hal pemungutan pajak. Penggelapan pajak dapat dianggap sebagai sesuatu hal yang etis ketika keadilan di dalam perpajakan sangat abstrak untuk diterapkan. Keadilan ini memiliki cakupan yang cukup luas bahkan sangat mendalam karena diasumsikan sebagai umpan balik dari kontribusi Wajib Pajak yang mau mematuhi peraturan pajak dan melaksanakan kewajibannya sebagai Wajib Pajak. Asas keadilan dalam prinsip Perundang-Undangan Perpajakan maupun dalam hal pelaksanaannya harus dipegang teguh, walaupun keadilan itu sangat relatif. Menurut Richard dan Peggy dalam buku Public Finance in Theory and Practice terdapat dua macam asas keadilan pemungutan pajak, adalah sebagai berikut : 1. Benefit Principle Dalam sistem perpajakan yang adil, setiap Wajib Pajak harus membayar pajak sejalan dengan manfaat yang dinikmatinya dari pemerintah. Pendakatan ini disebut revenue and expenditure approach. 2. Ability Principle Dalam pendekatan ini menyatakan agar pajak dibebankan kepada Wajib Pajak atas dasar kemampuan membayar. Masalah keadilan dalam pemungutan pajak, dibebankan antara lain sebagai berikut : Universitas Sumatera Utara 1. Keadilan horizontal Pemungutan pajak adil secara horizontal apabila beban pajaknya sama atas semua Wajib Pajak yang memperoleh penghasilan yang sama dengan jumlah tanggungan yang sama, tanpa membedakan jenis penghasilan atau sumber penghasilan. 2. Keadilan vertikal Keadilan dapat dirumuskan (horizontal dan vertikal) bahwa pemungutan pajak adil, apabila orang yang dalam kondisi ekonomis yang sama dikenakan pajak yang sama, demikian sebaliknya. Seperti yang dikemukakan Mansury, Pajak Penghasilan hendaknya dipungut sesuai dengan asas keadilan, maka diperlukan syarat keadilan sebagai berikut : 1. Syarat keadilan horizontal, antara lain sebagai berikut : a. Definisi Penghasilan Memuat semua tambahan kemampuan ekonomis termasuk ke dalam pengertian definisi penghasilan. b. Globality Seluruh tambahan kemampuan ekonomis merupakan ukuran dari keseluruhan kemampuan membayar (the global ability to pay). Oleh karena itu, penghasilan dijumlahkan menjadi satu sebagai objek pajak. Universitas Sumatera Utara c. Net Income Ability to pay yaitu jumlah neto setelah dikurangi semua biaya yang tergolong dalam biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan. d. Personal exemption Pengurangan yang diberikan kepada Wajib Pajak Orang Pribadi berupa Penghasilan Tidak kena Pajak (PTKP). e. Equal treatment for the equals Pengenaan pajak dengan perlakuan yang sama diartikan bahwa seluruh penghasilan dikenakan pajak dengan tarif yang sama tanpa membedakan jenis atau sumber penghasilan. 2. Syarat keadilan vertikal, antara lain sebagai berikut : a. Unequal treatment for the unequals Besarnya tarif dibedakan oleh jumlah seluruh penghasilan atau jumlah seluruh tambahan kemampuan ekonomis (bukan perbedaan jenis atau sumber penghasilan). b. Progression Wajib Pajak yang penghasilannya besar, harus membayar pajak yang besar dengan persentase tarif yang besar. Dengan demikian, dari paparan mengenai keadilan pajak diatas dapat dipahami bahwa setiap Wajib Pajak akan memperoleh keadilan yang sama dalam perlakukan pengenaan pajak, baik dari segi tarif, pelayanan, cara pemungutan dan penerapan Undang-Undang Perpajakan. Maka dari Universitas Sumatera Utara itu, setiap Wajib Pajak juga berhak untuk memperoleh berbagai fasilitas dan pemanfaatan infrastruktur negara secara adil sebagai bentuk apresiasi dari partisipasi dan kontribusi mereka yang telah melakukan kewajiban mereka untuk membayar pajak. 2. Parameter Penerapan Keadilan Dalam Perpajakan Tidak hanya mensyaratkan adanya pemerataan dan persamaan perlakuan, keadilan dalam pemungutan pajak dalam paham yang modern menurut Marie Muhammad (Harian Bisnis Indonesia, tanggal 17 Oktober 2005) juga berarti bahwa petugas pajak tidak boleh berlaku sewenangwenang terhadap pembayar pajak yang telah menyetorkan sebagian penghasilannya kepada Pemerintah. Penaatan terhadap asas keadilan ini bertujuan pragmatis karena lebih menjamin kesinambungan penerimaan negara melalui jalur pajak. Eickstein (dalam Gusman 2010) menyebutkan bahwa salah satu alasan mengapa tingkat tax conciuosness (kesadaran membayar pajak) di negara-negara maju relatif lebih tinggi adalah karena mereka yakin bahwa pajak yang dipungut oleh pemerintah sudah adil. Gusman (2010) menyebutkan bahwa salah satu alasan mengapa tingkat tax conciuosness (kesadaran membayar pajak) di negara-negara maju relatif lebih tinggi adalah karena mereka yakin bahwa pajak yang dipungut oleh pemerintah sudah adil. Sebaliknya menurut Rosdiana dan Tarigan (2011 : 120), kesadaran dan kepatuhan membayar pajak dari para Wajib Pajak sangat sulit tercipta jika di dalam praktik terlihat dengan jelas bahwa masyarakat yang kaya Universitas Sumatera Utara membayar pajak atau bahkan justru lebih menikmati fasilitas perpajakan. Secara ekstrim, pengabaian keadilan sebagai salah satu landasan pemungutan pajak, akan memicu keadaan yang kontra produktif yang terlihat pada saat terjadinya Revolusi Perancis. Adanya perlakuan istimewa terhadap kaum atau golongan tertentu di dalam negara Perancis telah berdampak pada revolusi yang berujung pada ditetapkannya pemungutan pajak harus diselenggarakan secara umum dan merata. Lantas yang menjadi parameter terakomodasinya prinsip keadilan di dalam pemungutan pajak adalah Menurut Soemitro dan Sugiharti (2004 : 41), “akomodasi asas atau prinsip keadilan dalam pemungutan pajak terlihat pada saat dimulainya penyusunan Undang-Undang pajak”. C. Kepatuhan Wajib Pajak (Tax Compliance) 1. Pengertian Kepatuhan Perpajakan Kepatuhan Wajib Pajak dikemukakan oleh Nowak (dalam Zain : 2004) sebagai “Suatu iklim kepatuhan dan kesadaran pemenuhan kewajiban perpajakan, tercermin dalam situasi dimana: Wajib Pajak paham atau berusaha untuk memahami semua ketentuan Peraturan Perundang-Undangan Perpajakan, Mengisi formulir pajak dengan lengkap dan jelas, Menghitung jumlah pajak yang terutang dengan benar, Membayar pajak yang terutang tepat pada waktunya. Menurut Keputusan Menteri Keuangan No.544/KMK.04/2000, bahwa kriteria kepatuhan Wajib Pajak adalah : Universitas Sumatera Utara Tepat waktu dalam menyampaikan SPT untuk semua jenis pajak dalam 2 tahun terakhir. Tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak, kecuali telah memperoleh izin untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak. Tidak pernah dijatuhi hukuman karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan dalam jangka waktu 10 tahun terakhir. Dalam 2 tahun terakhir menyelenggarakan pembukuan dan dalam hal terhadap Wajib Pajak pernah dilakukan pemeriksaan, koreksi pada pemeriksaan yang terakhir untuk masing-masing jenis pajak yang terutang paling banyak 5%. Wajib Pajak yang laporan keuangannya untuk 2 tahun terakhir diaudit oleh Akuntan Publik dengan pendapat wajar tanpa pengecualian, atau pendapat dengan pengecualian sepanjang tidak mempengaruhi laba rugi fiskal. 2. Kepatuhan Wajib Pajak Meningkatkan Penerimaan Pajak Setiap negara mengharapkan bahwa setiap Wajib Pajak yang terdaftar akan memiliki tingkat kepatuhan yang tinggi. Kepatuhan Wajib Pajak tidak terlepas dari bagaimana setiap Wajib Pajak mampu memperoleh ataupun menikmati berbagai fasilitas milik negara yang merupakan hasil dari pengelolaan dana perpajakan. Maka dari itu setiap Wajib Pajak akan mematuhi Undang-Undang Perpajakan dan taat untuk Universitas Sumatera Utara melakukan pembayaran pajak jika mereka mampu memahami bahwa pajak yang dipungut oleh pemerintah memiliki tujuan yang sangat baik. Kepatuhan Wajib Pajak yang tinggi akan mampu meningkatkan penerimaan negara di bidang perpajakan. Hal ini selaras dengan sebuah penelitian yang telah di lakukan bahwa kepatuhan Wajib Pajak akan meminimalisir etika penggelapan pajak. Tetapi harus dipahami bahwa setiap Wajib Pajak yang memiliki tingkat kepatuhan yang tinggi tentunya juga memiliki pengetahuan yang tinggi pula mengenai perpajakan. Penelitian sebelumnya, yang dilakukan oleh Suryani (2013), tidak menggunakan variabel kepatuhan Wajib Pajak sebagai alat ukur untuk menilai tindakan etika penggelapan pajak. Tetapi dapat dianalogikan bahwa setiap Wajib Pajak yang patuh, maka tidak akan melakukan penggelapan pajak dan tentunya mereka sangat berperan aktif di dalam meningkatkan penerimaan negara di sektor perpajakan. 3. Pentingnya Kepatuhan Wajib Pajak Masalah kepatuhan Wajib Pajak adalah masalah penting di seluruh dunia, baik bagi negara maju maupun di negara sedang berkembang. Karena jika Wajib Pajak tidak patuh maka akan menimbulkan keinginan untuk melakukan tindakan penghindaran, pengelakan, penyelundupan dan pelalaian pajak. Pada akhirnya tindakan tersebut akan menyebabkan penerimaan pajak negara akan berkurang. Setiap Wajib Pajak diharapkan memiliki tingkat kepatuhan yang tinggi untuk melakukan pembayaran Universitas Sumatera Utara pajak. Hal ini dikarenakan negara sangat membutuhkan pembayaran pajak yang dilakukan oleh Wajib Pajak sebagai penerimaan bagi negara. Dari pernyataan diatas maka dapat disimpulkan bahwa sebuah negara yang memiliki rakyat yang mampu melakukan pembayaran pajak secara teratur, maka penerimaan negaranya dari sektor perpajakan akan sangat meningkat. Namun demikian, pemerintah juga harus mampu menarik kepercayaan masyarakat ataupun Wajib Pajak bahwa setiap pajak yang mereka setorkan akan dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk kepentingan bersama dalam rangka meningkatkan kesejahteraan bersama. Jadi, hal yang paling diharapkan oleh Wajib Pajak adalah dana perpajakan tersebut dapat terealisasi dengan baik sesuai dengan tujuan pemerintah untuk memakmurkan rakyat. D. Pengetahuan Wajib Pajak (Tax Knowledge) 1. Pengertian Pengetahuan Wajib Pajak Pengetahuan Wajib Pajak mengenai perpajakan secara keseluruhan merupakan sesuatu yang sangat diharapkan. Palil (2005) dalam Witono (2008) menemukan bahwa pengetahuan Wajib Pajak tentang pajak yang baik akan dapat memperkecil adanya tax evasion. Hal senada juga ditemukan oleh Kassipillai, ia mengatakan pengetahuan tentang pajak merupakan hal yang sangat penting bagi berjalannya SAS. Pengetahuan tentang peraturan pajak akan mempengaruhi sikap Wajib Pajak terhadap kewajiban pajak. Hal serupa juga dinyatakan Vogel (1974), Spicer dan Universitas Sumatera Utara Lounstedh (1976), Song dan Yarbourgh (1978), Laurin (1976), Kinsey dan Grasmick (1993). Mereka menemukan bahwa pengetahuan pajak akan bertambah dengan panjangnya masa pendidikan yang dilakukan dan kursus, walaupun secara tidak langsung tidak ditemukan adanya kaitan dengan sikap Wajib Pajak (dalam Palil 2005), Song dan Yarbrough, 1978 dikemukakan hasil penelitian bahwa semakin tinggi pengetahuan akan peraturan pajak, semakin tinggi pula nilai etika terhadap pajak. Robert et al (1991) menyatakan bahwa pengetahuan tentang peraturan pajak akan mempengaruhi tax fairness (Palil, 2004). Christensen et al (1994) dan Wartick (1994) bahwa pengetahuan yang semakin baik dari preparer maupun individu akan memiliki persepsi yang baik terhadap sistem pajak. Menurut Rahayu dan Fallan (2010 : 141) menyatakan bahwa : Pentingnya aspek perpajakan bagi Wajib Pajak sangat mempengaruhi sikap Wajib Pajak terhadap sistem perpajakan yang adil. Dengan kualitas pengetahuan yang semakin baik akan memberikan sikap memenuhi kewajiban dengan benar melalui adanya sistem perpajakan suatu negara yang dianggap adil. Kesadaran Wajib Pajak akan meningkat bilamana dalam masyarakat muncul persepsi positif terhadap pajak. Dengan meningkatnya pengetahuan perpajakan masyarakat melalui pendidikan perpajakan baik formal maupun non formal akan berdampak positif terhadap pemahaman dan kesadaran Wajib Pajak dalam membayar pajak. Dengan penyuluhan perpajakan secara intensif dan kontinyu akan meningkatkan pemahaman Wajib Pajak tentang kewajiban membayar pajak sebagai wujud gotong royong nasional dalam menghimpun dana untuk kepentingan pembiayaan pemerintahan dan pembangunan nasional. Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa pengetahuan setiap Wajib Pajak mengenai perpajakan, mulai dari sistem perpajakan Universitas Sumatera Utara sampai dengan Undang-Undang Perpajakan, akan memberikan motivasi untuk menjadi seorang Wajib Pajak yang patuh dalam membayar pajak. Maka dari itu, setiap Wajib Pajak berhak memperoleh pemahaman yang sama dan mendalam mengenai sistem perpajakan di Indonesia. Hal ini menjadi kewajiban juga bagi Pemerintah untuk memberikan pemahaman kepada Wajib Pajak, mulai dari melakukan berbagai penyuluhan, sosialisasi dan penataran lainnya. Setiap Wajib Pajak yang mampu memahami perpajakan secara mutlak, maka akan memahami pula bahwa penggelapan pajak itu tidak boleh dilakukan. Dengan demikian, pemahaman mengenai perpajakan ini akan memperkecil pelaksanaan tax evasion dan tax fraud juga akan di minimalisir. 2. Pengetahuan Wajib Pajak Sebagai Ukuran Kepatuhan Berbagai sosialisasi mengenai perpajakan akan mampu meningkatkan pengetahuan Wajib Pajak di bidang perpajakan. Tidak dapat dipungkiri bahwa setiap Wajib Pajak yang mampu memahami secara mutlak mulai dari penerapan Undang-Undang Perpajakan, tujuan pemungutan pajak, dan pengalokasian dana perpajakan akan memiliki pengetahuan yang lebih baik dan meningkatkan kepatuhannya untuk membayar pajak. Menurut Franzoni (1999), Kepatuhan Wajib Pajak dapat dilihat dari berbagai perspektif dan dipengaruhi oleh beberapa faktor: kecende-rungan mereka terhadap institusi publik (dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak); keadilan yang dirasakan oleh Wajib Pajak dari sistem yang ada; dan kesempatan atas kemungkinan suatu pelanggaran terdeteksi dan dihukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada. Universitas Sumatera Utara Sebuah penelitian telah dilakukan oleh Banu Witono dimana ia melakukan pengukurang mengenai “Peran Pengetahuan Pajak Pada Kepatuhan Pajak”, peneliti ini menyimpulkan bahwa kepatuhan pajak akan meningkat secara signifikan ketika setiap Wajib Pajak memperoleh keadilan dari pemerintah terkait segala hal dalam bidang perpajakan. Dalam penelitian Rahayu (2010) pengetahuan pajak dan keadilan mempengaruhi tingkat kepatuhan Wajib Pajak secara signifikan yang dilakukan pada 107 Wajib Pajak pribadi dan badan pada KPP Surakarta. Peneliti ingin mengetahui apakah konsultan benar-benar mewakili sikap dari Wajib Pajak orang pribadi? Dan dengan adanya konsultan reaksi Wajib Pajak semakin patuh ataukah tidak? Selain itu peneliti juga ingin membuktikan model penelitian yang diungkapkan oleh Cristensen et al. (1994) bahwa Wajib Pajak yang memiliki pengetahuan yang baik, akan memiliki persepsi keadilan yang positif terhadap sistem pajak yang berakibat tingkat kepatuhan pajak lebih tinggi. Penelitian-penelitian terdahulu tersebut telah dilakukan silih berganti dengan populasi dan sampel yang berbeda-beda pula. Dapat ditarik sebuah pemikiran sederhana bahwa ketika Wajib Pajak memiliki pengetahuan tentang pajak dengan baik, maka etika penggelapan pajak akan semakin rendah dan enggan untuk dilaksanakan. Tetapi, pada kenyataannya pengetahuan pajak ini bukanlah sesuatu hal yang merata untuk dapat diberikan kepada seluruh Wajib Pajak. Maka dari itu, Universitas Sumatera Utara sosialisasi perpajakan seharusnya menjadi agenda yang wajib bagi para pegawai di Kantor Pelayanan Pajak (KPP). E. Sistem Perpajakan (Tax System) 1. Sistem Perpajakan Berkontribusi Terhadap Penerimaan Pajak Sebuah sistem perpajakan akan mempengaruhi Wajib Pajak untuk melakukan pembayaran pajak. Sistem perpajakan yang cenderung rumit, akan membuat Wajib Pajak enggan melakukan pembayaran pajak. Suryani (2013) telah melakukan sebuah penelitian untuk mengukur apakah sistem perpajakan memiliki hubungan yang erat dengan etika penggelapan pajak. Hasilnya adalah sistem perpajakan memiliki hubungan yang negatif dengan penggelapan pajak. Hasil penelitian ini konsisten dengan penelitian yang dilakukan oleh McGee (2008), Nickerson, et al (2009), Suminarsasi (2011) menyatakan bahwa sistem perpajakan memiliki korelasi negatif signifikan terhadap penggelapan pajak. Semakin baik, mudah dan terkendali prosedur sistem perpajakan yang diterapkan, maka tindak penggelapan pajak dianggap suatu yang tidak etis bahkan mampu meminimalisir perilaku tindak penggelapan pajak. Hal ini dapat dianalogikan bahwa setiap Wajib Pajak merupakan pihak yang akan menyetorkan uang mereka maka dari itu pihak pemerintah selaku pemungut pajak, harus membuat sebuah sistem perpajakan yang cenderung praktis namun efektif dan efisien. Sistem perpajakan memiliki kontribusi terhadap penerimaan pajak, dimana jika sistem perpajakan yang diterapkan baik maka Wajib Pajak akan Universitas Sumatera Utara melaksanakan kewajibannya untuk membayar pajak. Jika sistem perpajakannya cenderung rumit, maka Wajib Pajak malas untuk membayarkan pajak dan penerimaan pajak akan menurun karena tingginya tingkat penggelapan pajak yang dilakukan. 2. Asas-Asas Pemungutan Pajak Asas-asas pemungutan pajak sebagaimana dikemukakan oleh Adam Smith dalam buku An Inquiri into the Nature and Cause of the Wealth of Nations menyatakan bahwa pemungutan pajak hendaknya didasarkan pada asas-asas berikut : a. Equality Pemungutan pajak harus bersifat adil dan merata, yaitu pajak dikenakan kepada orang pribadi yang harus sebanding dengan kemampuan membayar pajak (ability to pay) dan sesuai dengan manfaat yang diterima. Adil dimaksudkan bahwa setiap Wajib Pajak menyumbangkan uang untuk pengeluaran pemerintah sebanding dengan kepentingannya dan manfaat yang diminta. b. Certainty Penetapan pajak itu tidak ditentukan sewenang-wenang. Oleh karena itu, Wajib Pajak harus mengetahui secara jelas dan pasti besarnya pajak yang terutang, kapan harus dibayar, serta batas waktu pembayaran. Universitas Sumatera Utara c. Convenience Kapan wajib pajak itu harus membayar pajak sebaiknya sesuai dengan asas-asas yang tidak menyulitkan Wajib Pajak. Sebagai contoh: pada saat Wajib Pajak memperoleh penghasilan. Sistem pemungutan ini disebut pay as you earn. d. Economy Secara ekonomi biaya pemungutan dan biaya pemenuhan kewajiban pajak bagi Wajib Pajak diharapkan seminimum mungkin, demikian pula beban yang ditanggung Wajib Pajak. 3. Sistem Pemungutan Pajak Menurut Purwono (2011 : 12), hingga saat ini ada 3 sistem yang diaplikasikan dalam pemungutan pajak, diantaranya adalah sebagai berikut: a. Official Assesment System Melalui sistem ini banyak pajak ditentukan oleh fiskus dengan mengeluarkan Surat Ketetapan Pajak (SKP Rampung). Jadi, dapat dikatakan bahwa Wajib Pajak bersifat pasif. Tahapan-tahapan dalam menghitung dan memperhitungkan pajak yang terutang ditetapkan oleh fiskus yang terutang dalam SKP. Selanjutnya Wajib Pajak baru aktif ketika melakukan penyetoran pajak terutang berdasarkan ketetapan SKP tersebut. Indonesia pernah menggunakan sistem ini pada kurun waktu awal kemerdekaan dengan mengadopsi atau tetap memberlakukan beberapa peraturan perpajakan buatan Belanda hingga Universitas Sumatera Utara tahun 1997, ketika diperkenalkan sitem Menghitung Pajak Sendiri (MPS) dan Menghitung Pajak Orang lain (MPO) yang oleh sebahagian ahli disebut dengan Semi Self Assesment System. b. Self Assesment System Sistem ini mulai diaplikasikan bersamaan dengan reformasi perpajakan tahun 1983 setelah terbitnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 1984. Dalam memori penjelasan Undang-Undang tersebut bahwa anggota masyarakat Wajib Pajak diberi kepercayaan untuk melaksanakan kegotongroyongan melalui sistem menghitung, memperhitungkan, dan membayar sendiri pajak yang terutang (self assesment), sehingga melalui sistem ini administrasi perpajakan diharapkan dapat dilaksanakan dengan lebih rapi, terkendali, sederhana, dan mudah dipahami oleh anggota masyarakat Wajib Pajak. Selain itu, Wajib Pajak juga diwajibkan untuk melaporkan secara teratur jumlah pajak yang terutang dan yang telah dibayar sebagaimana yang ditentukan dalam Peraturan Perundang-Undangan Perpajakan. Pemerintah, dalam hal ini aparat perpajakan, sesuai dengan fungsinya berkewajiban melakukan pembinaan, penelitian, dan pengawasan terhadap pelaksanaan kewajiban perpajakan Wajib Pajak berdasarkan ketentuan yang digariskan dalam Peraturan Perundang-Undangan Perpajakan. Universitas Sumatera Utara c. Withholding Tax System Dengan sistem ini pemungutan dan pemotongan pajak dilakukan melalui pihak ketiga. Untuk waktu sekarang, sistem ini tercermin pada pelaksanaan pengenaan Pajak penghasilan dan Pajak Pertambahan Nilai. Contohnya adalah pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan Pajak Penghasilan Pasal 23 oleh pihak lain, atau pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 dan Pajak Pertambahan Nilai. Apabila dicermati dengan seksama, ketiga sistem ini digunakan secara terintegrasi pada pemungutan sistem pemungutan pajak di Indonesia. Self Assesment System berlaku ketika Wajib Pajak melaksanakan administrasi perpajakan yang menjadi kewajibannya (menghitung, memperhitungkan, dan menyetor pajak terutang). Pada saat yang bersamaan, jika posisi Wajib Pajak adalah pemungut atau pemotong karena berkedudukan sebagai pemberi kerja atau pihak yang berwenang memungut pajak, maka Withholding Tax System juga digunakan. Sedangkan Official Assesment System berlaku ketika fiskus melakukan pemeriksaan dan menerbitkan surat ketetapan pajak (SKP) atas laporan Wajib Pajak. Namun demikian, hingga saat ini Indonesia menerapkan Self Assesment System dalam pemungutan pajak. F. Diskriminasi (Discrimination) 1. Pengertian Diskriminasi Menurut Wikipedia (2010), diskriminasi merujuk kepada pelayanan yang tidak adil terhadap individu tertentu, di mana layanan ini Universitas Sumatera Utara dibuat berdasarkan karakteristik yang diwakili oleh individu tersebut. Diskriminasi merupakan suatu kejadian yang biasa dijumpai dalam masyarakat manusia, ini disebabkan karena kecenderungan manusia untuk membeda-bedakan yang lain. Ketika seseorang diperlakukan secara tidak adil karena karakteristik suku, antargolongan, kelamin, ras, agama dan kepercayaan, aliran politik, kondisi fisik atau karateristik lain yang diduga merupakan dasar dari tindakan diskriminasi. Diskriminasi langsung, terjadi saat hukum, peraturan atau kebijakan jelas-jelas menyebutkan karakteristik tertentu, seperti jenis kelamin, ras, dan sebagainya, dan menghambat adanya peluang yang sama. Diskriminasi tidak langsung, terjadi saat peraturan yang bersifat netral menjadi diskriminatif saat diterapkan di lapangan. 2. Diskriminasi Dalam Bidang Perpajakan Diskriminasi dalam bidang perpajakan adalah adanya suatu perlakuan tidak adil yang dilakukan oleh pihak fiskus kepada Wajib Pajak. Diskriminasi dapat dilakukan karena adanya suatu bentuk hubungan istimewa ataupun karena sesuatu hal lainnya. Diskriminasi dalam bidang perpajakan dapat menimbulkan ketidakadilan antara satu pihak dengan pihak lainnya. Misalnya, penerapan tarif yang dilakukan berbeda-beda dapat menyebabkan ketidakadilan selain itu adanya penerapan sistem yang memberikan pelayanan yang berbeda-beda tergantung dari besarnya pajak yang dibayarkan. Hal ini merupakan sebuah pelanggaran besar yang Universitas Sumatera Utara seharusnya tidak dilakukan. Apabila masalah diskriminasi dapat diselesaikan di bidang perpajakan, maka penerimaan pajak juga akan meningkat. Setiap Wajib Pajak berhak memperoleh perlakuan yang sama. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Suryani (2013), diskriminasi memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap etika penggelapan pajak. Hal ini dibuktikan dengan penyebaran kuesioner yang telah dilakukan oleh peneliti, kemudian dilakukan pengujian terhadap kuesioner tersebut dan ternyata diskriminasi di bidang perpajakan berbanding lurus dengan etika penggelapan pajak. Analoginya adalah ketika Wajib Pajak merasa bahwa terdapat diskriminasi di dalam bidang perpajakan tentunya mereka enggan untuk melakukan pembayaran pajak. Diskriminasi menyebabkan Wajib Pajak merasa diperlakukan secara tidak adil, selain itu adanya penerapan sistem yang memihak dan bahkan berbagai Peraturan Perpajakan di terapkan secara tidak baik. Tentunya, Wajib Pajak akan berpikir untuk apa taat membayar pajak, jikalau mereka tidak memperoleh perlakuan yang baik. Dengan demikian, ketika diskriminasi di bidang perpajakan meningkat maka tingkat penggelapan pajak juga akan meningkat secara signifikan. G. Kemungkinan Terdeteksinya Kecurangan (Fiscal Fraud) 1. Kecurangan Dalam Bidang Perpajakan Berikut ini adalah beberapa pengertian kecurangan menurut para ahli: Menurut Albrecht dan Chad Fraud (dalam Karyono, 2013) adalah : Fraud adalah suatu pengertian umum dan mencakup beragam cara yang dapat digunakan dengan cara kekerasan oleh seorang untuk Universitas Sumatera Utara mendapatkan keuntungan dari orang lain melalui perbuatan yang tidak benar. Tidak terdapat definisi ataupun aturan yang dapat digunakan sebagai suatu pengertian umum dalam mengartikan fraud yang meliputi cara yang mengandung sifat mendadak, menipu, cerdik dan tidak jujur yang digunakan untuk mengelabuhi seseorang. Satu-satunya batasan untuk mengetahui pengertian diatas adalah yang membatasi sifat ketidakjujuran manusia. Menurut Association of Certified Fraud Examiner (ACFE) dalam Fraud Examiners Manual 2006 (dalam Karyono, 2013) adalah : “fraud is an international untruth or dishonest scheme used to take deliberate and unfair advantage of another person or group of person it included any mean, such cheats another”. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kecurangan merupakan suatu kesalahan yang disengaja, dilakukan oleh seseorang untuk mendapatkan suatu manfaat keuangan secara tidak jujur sehingga mengakibatkan suatu kerugian materil bagi korban. Kecurangan dalam bidang perpajakan dapat dilakukan dengan cara penggelapan pajak, transfer pricing, tidak memiliki NPWP, tidak melakukan penyetoran SPT, memanipulasi laba, memperbesar beban, malakukan mark up terhadap aset, memindah bukukan beban, dan lain sebagainya. Sangat banyak cara yang dilakukan untuk menerapkan penggelapan pajak. Bahkan pihak Ditjen pajak terlalu sering kecolongan untuk mengatasi penggelapan pajak yang sering dilakukan oleh Wajib Pajak. Dengan demikian, kemungkinan terdeteksinya penggelapan pajak dapat dilakukan dengan menerapkan pemeriksaan pajak, tidak adanya Universitas Sumatera Utara diskriminasi, menerapkan keadilan dan senantiasa memupuk pengetahuan Wajib Pajak mengenai perpajakan. Kecurangan dalam bidang perpajakan sebenarnya sangat mudah dilakukan, dan setiap Wajib Pajak Badan terutama yang memiliki kewajiban untuk membayar pajak dalam jumlah yang besar, sering melakukan manipulasi dalam bisang perpajakan. Hal ini dikarenakan selalu ada celah antara bidang perpajakan dengan penerapan pencatatan ataupun pengakuan pendapatan dan beban yang diterapkan oleh bidang akuntansi. Maka dari itu, Undang-Undang Perpajakan juga dapat menjadi celah dalam penerapan manipulasi perpajakan ini. 2. Kemungkinan Terdeteksinya Kecurangan Akan Mengurangi Penggelapan Pajak Penelitian terdahulu telah membuktikan bahwa ketika kemungkinan terdeteksinya kecurangan di dalam bidang perpajakan semakin baik, maka penggelapan pajak akan semakin berkurang. Penelitian ini dilakukan oleh seorang Mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 2013 lalu. Dia melakukan sebuah penelitian di beberapa KPP di Jakarta, dimana terdapat perbandingan yang bersifat negatif di dalam hasil penelitiannya mengenai kemungkinan terdeteksinya kecurangan terhadap persepsi Wajib Pajak mengenai etika penggelapan pajak. Penelitian, tersebut menjelaskan bahwa kemungkinan terdeteksinya kecurangan akan menyebabkan Wajib Pajak semakin patuh untuk membayar pajak. Dimana, kemungkinan terdeteksinya kecurangan Universitas Sumatera Utara tersebut sangat erat kaitannya dengan pemeriksaan pajak yang dilakukan oleh pihak Ditjen pajak, kontrol yang tinggi, dan bahkan penerapan sanksi yang membuat Wajib Pajak akan takut jika mereka melakukan penggelapan pajak. Dengan demikian, mereka akan lebih mematuhi dan lebih taat untuk membayar pajak, jika kemungkinan terdeteksinya kecurangan tersebut semakin tinggi. Maka dari itu, hasil penelitiannya menyatakan bahwa hubungan keduanya adalah berbanding negatif. Hal ini relevan dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Triyani (2013) Jika Wajib Pajak terbiasa melakukan penggelapan pajak, itu sama saja membiasakan untuk selalu melanggar Undang-Undang. Jika Wajib Pajak menggelapkan pajak, maka Wajib Pajak mendapatkan keuntungan bersih yang lebih besar. Jika perbuatannya melangggar Undang-Undang tidak diketahui oleh fiskus, maka dia akan senang karena tidak terkena sangsi dan menimbulkan keinginan untuk mengulangi perbuatannya itu lagi pada tahun-tahun berikutnya dan diperluas lagi tidak hanya pada pelanggaran Undang-Undang Pajak, tetapi juga Undang-Undang yang lainnya. H. Etika 1. Pengertian Etika Istilah Etika berasal dari bahasa Yunani kuno. Bentuk tunggal kata “etika” yaitu ethos sedangkan bentuk jamaknya yaitu ta etha. Ethos mempunyai banyak arti yaitu: tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kandang, kebiasaan/adat, akhlak, watak, perasaan, sikap, cara berpikir. Universitas Sumatera Utara Sedangkan arti ta etha yaitu adat kebiasaan. Arti dari bentuk jamak inilah yang melatarbelakangi terbentuknya istilah Etika yang oleh Aristoteles dipakai untuk menunjukkan filsafat moral. Jadi, secara etimologis (asal usul kata), etika mempunyai arti yaitu ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan (K.Bertens, 2000). 2. Jenis-jenis Etika Untuk menganalisis arti etika, menurut Bertens etika dibedakan menjadi dua, yaitu (Syopiansyah, 2009 : 4): a. Etika Sebagai Praktis 1. Nilai - nilai dan norma-norma moral sejauh yang dipraktekkan atau justru tidak diparktekkan walaupun seharusnya dipraktekkan. 2. Apa yang dilakukan sejauh sesuai atau tidak sesuai dengan nilai dan norma moral. b. Etika Sebagai Refleksi 1. Pemikiran moral berpikir tentang apa yang dilakukan dan khususnya tentang apa yang harus dilakukan atau tidak boleh dilakukan. 2. Berbicara tentang etika sebagai praktis atau mengambil praktis etik sebagai objeknya. 3. Menyoroti dan menilai baik buruknya perilaku seseorang. Selain itu, kita menggunakan istilah akuntansi ketika mengacu pada seperangkat aturan yang mengatur tindakan professional akuntan. Untuk makna yang kedua, etika adalah “kajian moralitas” Hal ini berarti Universitas Sumatera Utara etika berkaitan dengan moralitas. Meskipun berkaitan, etika tidak sama persis dengan moralitas. Etika adalah semacam penelaahan (baik aktivitas penelaahan maupun hasil-hasil penelaahan itu sendiri), sedangkan moralitas merupakan pedoman yang dimiliki individu atau kelompok mengenai apa itu benar dan salah, atau baik dan jahat (Suminarsasi,2011:4). Setelah mengaitkan dengan moralitas, Velasquez mengembangkan pengertian etika “sebagai ilmu yang mendalami standar moral perorangan dan standar moral masyarakat”. Merujuk pada uraian di atas dapat diambil pengertian bahwa etika pajak adalah peraturan dalam lingkup dimana orang per orang atau kelompok orang yang menjalani kehidupan dalam lingkup perpajakan, perpajakannya, bagaimana apakah sudah mereka benar, melaksanakan salah, baik kewajiban ataukah jahat (Suminarsasi, 2011 : 4). I. Penggelapan Pajak (Tax Evasion) 1. Pengertian Penggelapan Pajak (Tax Evasion) Masri (2012 : 5), menjelaskan pembahasan mengenai penggelapan pajak (tax evasion) adalah sebagai berikut: “Usaha-usaha memperkecil jumlah pajak dengan melanggar ketentuan-ketentuan pajak yang berlaku”. Menurut Trihastuti (2009) penggelapan pajak (tax evasion) adalah Penghindaran pajak dengan cara illegal adalah penggelapan pajak. Hal ini perbuatan kriminal, karena menyalahi aturan yang berlaku. Penggelapan pajak (tax evasion) secara umum bersifat melawan hukum (illegal) dan mencakup perbuatan sengaja tidak melaporkan secara lengkap dan benar objek pajak atau perbuatan melanggar hukum (fraud) lainnya. Penggelapan pajak terjadi sebelum SKP Universitas Sumatera Utara dikeluarkan. Hal ini merupakan pelanggaran terhadap undangundang dengan maksud melepaskan diri dari pajak/mengurangi dasar penetapan pajak dengan cara menyembunyikan sebagian dari penghasilannya. Penggelapan pajak, cenderung dilakukan oleh Wajib Pajak yang memiliki penghasilan dalam jumlah yang tidak besar dan umumnya adalah Wajib Pajak orang pribadi. Hal ini dilakukan karena : a. Tidak punya kemampuan untuk mencari celah Undang-Undang Pajak. b. Apabila dokter/profesional bebas menyembunyikan sebahagian pendapatannya, kecil kemungkinan diketahui oleh fiskus kerena pencatatan penghasilannya dilakukan oleh pihak Wajib Pajak itu sendiri. c. Penghasilan para profesional bebas sulit dilacak oleh fiskus karena biaya yang dibayar oleh pasien kepada dokter tidak mengurangi penghasilan kena pajak seseorang. Biaya tersebut dianggap sebagai konsumsi. Menurut Wallschutzki beberapa alasan yang menjadi pertimbangan Wajib Pajak untuk melakukan penghindaran pajak (Nurmantu dalam Suryani, 2013 : 52), adalah sebagai berikut: a. Ada peluang untuk melakukan penghindaran pajak karena ketentuan perpajakan yang ada belum mengatur secara jelas mengenai ketentuanketentuan tertentu b. Kemungkinan perbuatannya diketahui relatif kecil c. Manfaat yang diperoleh relatif besar daripada resikonya d. Sanksi perpajakan yang tidak terlalu berat Universitas Sumatera Utara e. Ketentuan perpajakan tidak berlaku sama terhadap seluruh Wajib Pajak f. Pelaksanaan penegakan hukum yang bervariasi 2. Dampak Melakukan Penggelapan Pajak a. Dalam Bidang Keuangan Pengelakan pajak merupakan pos kerugian bagi kas negara karena dapat menyebabkan ketidakseimbangan antara anggaran dan konsekuensi-konsekuensi lain yang berhubungan dengan itu. Seperti kenaikan tarif pajak, keadaan inflasi, dan lain-lain. b. Dalam bidang ekonomi Penggelapan pajak sangat mempengaruhi persaingan sehat diantara para pengusaha, maksudnya pengusaha yang melakukan penggelapan pajak dengan cara menekan biayanya secara tidak wajar. Sehingga perusahaan yang mengelakkan pajak memperoleh keuntungan yang lebih besar dibandingkan pengusaha yang jujur. Walaupun dengan usaha dan produktifitas yang sama, si pengelak pajak mendapat keuntungan yang lebih besar dibandingkan dengan pengusaha yang jujur. Pengelakan pajak menyebabkan stagnasi (macetnya) pertumbuhan ekonomi atau perputaran roda ekonomi. Jika mereka terbiasa melakukan pengelakan pajak atau penggelapan pajak, maka mereka tidak akan mampu meningkatkan produktivitas mereka. Untuk memperoleh laba yang lebih besar, mereka akan melakukan pengelakan pajak. Langkanya modal karena Wajib Pajak berusaha Universitas Sumatera Utara menyembunyikan penghasilan agar tidak diketahui fiskus. Sehingga mereka tidak berani menawarkan uang hasil pengelakan pajak tersebut ke pasar modal. c. Dalam bidang psikologi Jika Wajib Pajak terbiasa melakukan penggelapan pajak, itu sama saja membiasakan untuk selalu melanggar Undang-Undang. Jika Wajib Pajak menggelapkan pajak, maka Wajib Pajak mendapatkan keuntungan bersih yang lebih besar. Jika perbuatannya melanggar Undang-Undang tidak diketahui oleh fiskus, maka dia akan senang karena tidak dikenakan sanksi dan menimbulkan keinginan untuk mengulangi perbuatannya itu lagi pada tahun-tahun berikutnya dan diperluas lagi tidak hanya pada pelanggaran Undang-Undang pajak, tetapi juga Undang-Undang yang lainnya. Dari berbagai dampak penggelapan pajak yang telah dijelaskan diatas, maka dapat dipahmi bahwa penggelapan pajak pada dasarnya merupakan suatu aktivitas yang sangat berbahaya dilakukan. Analoginya, setiap Wajib Pajak merasa bahwa mereka ingin memperoleh penghasilan yang penuh tanpa menyelesaikan kewajiban mereka sebagai Wajib Pajak. Universitas Sumatera Utara J. Penelitian Terdahulu Table 2.1 Penelitian Terdahulu Penelitian (Tahun) Irma Suryani Rahman (2013) Judul Penelitian Pengaruh keadilan, sistem perpajakan, diskriminasi, dan kemungkinan terdeteksinya kecurangan terhadap persepsi Wajib Pajak Mengenai Etika Penggelapan Pajak (Tax Evasion). 1. 2. 3. 4. 5. Variabel Penelitian Keadilan (X1) Sistem Perpajakan (X2) Diskriminasi (X3) Kemungkinan Terdeteksinya Kecurangan (X4) Etika Penggelapan Pajak (Y) Metode Penelitian Persamaan Perbedaan 1. Variabel 1. Ruang lingkup independen yang pengambilan sama yaitu sampel dalam Keadilan, Sistem penelitian ini pada Perpajakan, KPP di Jakarta dan Diskriminasi dan lebih dari satu KPP. 2. Variabel Kemungkinan Independen lebih Terdeteksinya kompleks jika Kecurangan. dibandingkan 2. Proses dengan penelitian pengambilan terdahulu. sampel dengan metode convenience nonprobability sampling. 3. Menggunakan skala likert untuk pengukuran variable. Hasil Penelitian Penggelapan pajak merupakan sesuatu yang seharusnya dapat diatasi. Variabel independen dari penelitian ini berpengaruh terhadap persepsi Wajib Pajak mengenai etika penggelapan pajak, terkecuali sistem perpajakan dan kemungkinan terdeteksinya kecurangan memiliki pengaruh negatif. Penelitian ini memberikan banyak pertimbangan untuk mengatasi berbagai penggelapan pajak. Universitas Sumatera Utara Fadjar O.P. Siahaan Expert Staff in Indonesian Supreme Audit Institution Airlangga University Surabaya Indonesia (2012) Suminarsas i dan Supriyadi (2011) The Influence Variabel of Tax Fairness Independen : 1. Tax Fairness and Communication 2. Communication 3. Trust on Voluntary Compliance: Variabel Trust as an Dependen: 1. Tax Compliance Intervening Variable Pengaruh Keadilan, Sistem Perpajakan, dan Diskriminasi terhadap Persepsi Wajib Pajak Mengenai Etika Penggelapan Pajak. 1. Keadilan (X1) 2. Sistem Perpajakan (X2) 3. Diskriminasi (X3) 4. Etika Penggelapan Pajak (Y) Terdapat variabel independen yang sama yaitu Tax Fairness. 1. 2. 3. 1. Variabel independen yang sama yaitu Sistem Perpajakan dan Diskriminasi. 2. Proses pengambilan sampel dengan metode convenience nonprobability sampling. 3. Menggunakan skala likert untuk Terdapat variabel independen yang berbeda yaitu Communication and Trust. Lokasi penelitian berbeda. Adanya variabel Communication and Trust. 1. Ruang lingkup pengambilan sampel dalam penelitian ini pada KPP di Jakarta. 2. Variable independen yaitu Kecenderungan Personal. Hasil dari penelitian ini adalah terdapat pengaruh yang langsung dan signifikan yang tampak pada variabel independen Tax fairness terhadap kepatuhan Wajib Pajak (Tax Compliance), dan tidak terdapat pengaruh langsung dan signifikan yang tampak pada variabel independen Communication terhadap Kepatuhan Wajib Pajak. Penggelapan pajak dipandang sebagai suatu hal yang etis dan juga tidak etis, hasil dari penelitian ini hanya mendukung dua dimensi saja, yaitu sistem perpajakan dan diskriminasi, sehingga variable keadilan belum bisa dibuktikan. Universitas Sumatera Utara pengukuran variabel. Ayu dan Hastuti (2009) Persepsi Wajib Pajak: Dampak Pertentangan Diametral Pada Tax Evasion Wajib Pajak Dalam Aspek Kemungkinan Terdeteksinya Kecurangan, Keadilan, Ketepatan Pengalokasian, Teknologi Sistem Perpajakan dan Kecenderungan Personal (Studi Wajib Pajak Orang Pribadi). Ayu (2011) Persepsi Efektivitas Pemeriksaan Variabel Independen: Kecurangan, Keadilan, Ketepatan Pengalokasian, dan Teknologi Informasi Sistem Perpajakan Variabel Dependen: Penggelapan Pajak (Tax Evasion) 1. Variabel Independen yaitu Kemungkinan Terdeteksi Kecurangan. 2. Variabel Dependen Penggelapan Pajak (Tax Evasion). 3. Data dianalisis dengan Analisis Regresi Linier Berganda. 1. Ruang lingkup penelitian ini dilakukan Pada Wajib Pajak di Kantor Pelayanan Pajak se Jogjakarta. Berdasarkan pengujian yang dilakukan dengan regresi liner ditemukan bahwa kemungkinan terdeteksinya kecurangan terhadap tax evasion mempunyai koefisien negatif (-0.501 ) yang signifikan (.00), Hasil pengujian juga menunjukan bahwa pengaruh ketepatan pemanfaatan hasil pajak berpengaruh secara negatif (0.28 6) dan signifikan (.003) terhadap tax evasion. Sedangkan persepsi terhadap keadilan, penggunaan teknologi dan kecenderungan tax evasion seseorang ternyata tidak berpengaruh secara signifikan pada tingkat tax evasion. Variabel Independen: Wajib Pajak, 1. Variabel independen Pemeriksaan 1. Ruang lingkup penelitian ini dilakukan di Wajib Hasil pengujian dengan menggunakan regresi linear sederhana menunjukan hasil bahwa persepsi terhadap kemungkinan Universitas Sumatera Utara Pajak Terhadap Kecenderungan Melakukan Perlawanan Pajak. Fiskus dan Pemeriksaan Pajak Variabel Dependen: Penggelapan Pajak pajak. 2. Variabel Dependen Penggelapan Pajak. Pajak Orang Pribadi yang mempunyai usaha, yang berlokasi di Semarang. 2. Metode penentuan sample dalam penelitian ini adalah quota sampling. 3. Anlisis data dengan regresi linier sederhana. terdeteksinya kecurangan berpengaruh negatif terhadap tax evasion. Persentase kemungkinan suatu pemeriksaan pajak dilakukan sesuai dengan aturan perpajakan dapat mendeteksi kecurangan yang dilakukan Wajib Pajak sehingga berpengaruh pada Tax Evasion. Nickerson, Barry University, Larry Pleshko, Kuwait University, (2010) Presenting The Dimensionality of An Ethics Scale Pertaining to Tax Evasion Variabel Independen: Fairness, Tax System, and Discrimination Variabel Dependen: Tax Evasion 1. Variabel Independen Tax System and Discrimination. 2. Variabel Dependen Tax Evasion. 1. Ruang lingkup penelitian ini dilakukan di enam Negara, yaitu Argentina, Guatemala, Poland, Romania, United Kingdom dan USA. Hasil penelitian menunjukkan tingkat penilaian di masing-masing Negara berbedabeda. UK memiliki nilai rata-rata terendah sebesar 4.15 yang mengindikasikan rendahnya perlawanan terhadap tindak penggelapan pajak, USA memiliki skor ratarata tertinggi sebesar 5.62. Mcgee, Simon S.M Ho, and Annie (2008) A Comparative Study on Perceived, Ethics of Tax Evasion: Hongkong Vs Variabel Independen: Ethics, Tax, Hongkong, The US, Cultural differecnes 1. Variabel Independen Ethics. 2. Variabel Dependen Tax Evasion. 1. Ruang lingkup penelitian ini dilakukan Hongkong dan US. 2. Populasi dalam penelitian adalah 90 Hasil penelitian menunjukkan penelitian di dua Negara tersebut bahwa penggelapan pajak adalah etis atau tidak etis, tergantung dari beberapa keadaan dimana pemerintah yang korup, performa pemerintahan yang buruk, adanya ketidakadilan, lemahnya Universitas Sumatera Utara Inge Nickerson, Barry University Larry Pleshko, Kuwait University Robert W. McGee, Florid a Internation al University (2009) the United States Variabel Dependen: Tax Evasion Presenting The Dimensionality Of An Ethics Scale Pertaining To Tax Evasion. Variabel Independen : 1. Fairness 2. Tax System 3. Discrimination Variabel Dependen : 1. Tax Evasion Terdapat variabel Independen yang sama dengan penelitian-penelitian sebelumnya, yaitu Fairness, Tax System, dan Discrimination. mahasiswa bisnis di Universitas Baptist di Hongkong dan 273 mahasiswa bisnis di US. 3. Teknik pengumpulan data melalui survey. hukum, perbedaan kebudayaan dan motif keegoisan. Pengambilan sampel yang dilakukan hingga 120 individu, dan dari 6 negara yang berbeda. Penelitian ini juga dilakukan dengan kegiatan analisis, diskusi dan studi pustaka. Hasil penelitian ini adalah fairness memiliki hubungan ataupun pengaruh positif terhadap tax evasion, sedangkan discrimination memiliki hubungan negatif dan Tax system juga memiliki hubungan negatif dalam mempengaruhi etika penggelapan pajak. Universitas Sumatera Utara K. Keterkaitan Antar Variabel Dengan Hipotesis 1. Intensitas Pemeriksaan Pajak Dengan Etika Penggelapan Pajak Intensitas pemeriksaan pajak merupakan suatu hal yang sering dianggap sebagai momok bagi setiap Wajib Pajak, terutama WP Badan. Dimana pemeriksaan pajak menurut Ditjen Pajak adalah “serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kebutuhan perpajakan dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan”. Adanya korelasi antara intensitas pemeriksaan pajak dengan penggelapan pajak adalah bahwa ketika pemeriksaan pajak dilakukan secara intensif ataupun dalam suatu periode yang teratur, maka penggelapan pajak akan semakin kecil. Penggelapan pajak banyak dilakukan oleh Wajib Pajak karena kurangnya pengawasan yang dilakukan oleh Ditjen pajak, maka dari itu perlu adanya intensitas pemeriksaan pajak yang lebih intensif. Pemeriksaan pajak dapat dilakukan sebagai alat evaluasi penerapan berbagai Peraturan Perundang-Undangan Perpajakan yang seharusnya dapat diaplikasikan dengan baik. Untuk menghindari terjadinya penggelapan pajak, maka para Wajib Pajak harus lebih di kontrol untuk mengukur tingkat kepatuhannya. Maka semakin tinggi tingkat intensitas pemeriksaan pajak yang dilakukan oleh Ditjen pajak, Universitas Sumatera Utara maka akan semakin rendah tingkat penggelapan pajak yang dilakukan. Hipotesis pertama adalah sebagai berikut : Ha1 : Intensitas pemeriksaan pajak berpengaruh negatif terhadap etika penggelapan pajak. 2. Keadilan Dengan Etika Penggelapan Pajak Teori keadilan dalam penelitian ini berperan sebagai teori yang melihat apakah sistem perpajakan yang ada di dalam suatu negara sudah berjalan sesuai dengan hukum dan standar yang sudah memenuhi kriteria adil atau belum. Dalam konteks perpajakan, keadilan mengacu pada pertukaran antara pembayar pajak dengan pemerintah, yaitu apa yang Wajib Pajak terima dari pemerintah atas sejumlah pajak yang telah di bayar (Spicer & Lundstedt, 1976). Ada dua premis dasar mengenai teori keadilan, yaitu salah satunya adalah bahwa penilaian keadilan diasumsikan berdasarkan proksi atas kepercayaan antar pribadi untuk berprilaku dengan cara yang kooperatif dalam lembaga-lembaga sosial. Kedua adalah banyak orang diasumsikan menggunakan jalan pintas kognitif untuk memastikan apakah mereka memiliki penilaian mengenai keadilan yang tersedia ketika mereka perlu untuk membuat keputusan tentang keterlibatan dalam perilaku yang kooperatif (Greenberg, 2003). Melalui hal tersebut dapat dilihat, bahwa persepsi adil bagi seseorang akan sangat mempengaruhi perilaku mereka ketika ingin terlibat dalam suatu kegiatan yang berhubungan dengan Universitas Sumatera Utara pemerintah dan juga secara tidak langsung mempengaruhi perilaku dari setiap orang yang terlibat secara bersamaan. Sama halnya dengan bidang perpajakan, maka dapat diketahui bahwa korelasi antara keadilan dengan etika penggelapan pajak adalah sangat erat. Hal ini dapat dianalogikan dengan keadilan yang akan diberikan oleh pemerintah dalam hal ini adalah Ditjen Pajak ataupun fiskus dalam bentuk pelayanan, tarif, kesamaan penerapan sistem perpajakan dan lain sebagainya. Maka dari itu, harus terdapat keadilan baik dalam hal perlakukan yang sama terhadap setiap Wajib Pajak dan juga bentuk realisasi dari kontribusi Wajib Pajak yang telah melakukan pembayaran pajak secara teratur. Hasil penelitian Suryani (2013 : 110) menyatakan bahwa, “variabel Keadilan mempunyai tingkat signifikasi sebesar 0,001 dan nilai t sebesar 3,310. Hal ini berarti Ha1 diterima sehingga dapat dikatakan bahwa keadilan berpengaruh positif dan signifikan terhadap penggelapan pajak karena tingkat signifikasi yang dimiliki variabel keadilan < 0,05 (0,001 < 0,05) dan nilai thitung> 1,97 (3,310 > 1,97)”. Perlakuan yang tidak adil dapat menyebabkan Wajib Pajak melakukan penggelapan pajak, malas membayar pajak, dan tidak perduli dengan peraturan perpajakan. Mereka akan merasa rugi telah membayar pajak apabila tidak memperoleh umpan balik yang baik. Dengan demikian, perlakuan yang adil akan berpartisipasi untuk meminimalisir penggelapan pajak. Hipotesis kedua adalah : Ha2 : Keadilan berpengaruh positif terhadap etika penggelapan pajak. Universitas Sumatera Utara 3. Kepatuhan Wajib Pajak Dengan Etika Penggelapan Pajak Definisi kepatuhan perpajakan menurut James yang dikutip oleh Gunadi (dalam Anggraeni 2013 : 5) menyatakan bahwa: Kepatuhan pajak (Tax Compliance) Berarti bahwa Wajib Pajak mempunyai kesediaan untuk memenuhi kewajiban pajaknya sesuai dengan aturan yang berlaku tanpa perlu diadakannya pemeriksaan. Investigasi sesama (obtrusive investigasi), peringatan ataupun ancaman dan penerapan sanksi baik hukum maupun administrasi. Menurut Nurmantu (dalam Anggraeni 2013 : 86), terdapat dua macam kepatuhan yaitu kepatuhan materil dan kepatuhan formal. Kepatuhan materil adalah suatu keadaan dimana Wajib Pajak secara substantif memenuhi semua ketentuan materil perpajakan, yakni sesuai isi dan jiwa Undang-Undang Perpajakan. Sedangkan yang dimaksudkan kepatuhan formal adalah suatu keadaan dimana Wajib Pajak memenuhi kewajiban perpajakan secara formal sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan Perpajakan. Kewajiban perpajakan formal diatur dalam Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Korelasi antara kepatuhan Wajib Pajak dengan etika penggelapan pajak adalah setiap Wajib Pajak yang memiliki tingkat kepatuhan yang tinggi tidak akan melakukan penggelapan pajak. Kepatuhan Wajib Pajak yang baik akan dapat dilihat dari keteraturannya untuk menyetorkan pajak. Kepatuhan Wajib Pajak di dasarkan pada adanya kesadaran secara mutlak untuk turut serta dalam pelaksanaan pembangunan nasional. Dengan Universitas Sumatera Utara demikian kepatuhan Wajib Pajak sangat erat hubungannya dengan etika penggelapan pajak. Hipotesis ketiga adalah : Ha3 : Kepatuhan Wajib Pajak berpengaruh negatif terhadap etika penggelapan pajak. 4. Pengetahuan Wajib Pajak Dengan Etika Penggelapan Pajak Dalam penelitian Rahayu (2006) pengetahuan pajak dan keadilan mempengaruhi tingkat kepatuhan Wajib Pajak secara signifikan yang dilakukan pada 107 Wajib Pajak pribadi dan badan pada KPP Surakarta. Penelitian yang diungkapkan oleh Cristensen et al. (1994) bahwa Wajib Pajak yang memiliki pengetahuan yang baik, akan memiliki persepsi keadilan yang positif terhadap sistem perpajakan yang berakibat tingkat kepatuhan pajak lebih tinggi. Setiap Wajib Pajak diharapkan mampu memperoleh pengetahuan mengenai perpajakan secara baik. Menurut Hidayat (2013 : 358), untuk meningkatkan pengetahuan Wajib Pajak maka harus dilakukan sosialisasi secara luas, yang diharapkan dapat dijangkau oleh seluruh WP, sehingga WP tahu hak dan kewajibannya. Dimana, analoginya sebenarnya Direktorat Jenderal Pajak mebutuhkan Wajib Pajak untuk taat pajak, bukan Wajib Pajak yang butuh membayar pajak. Dengan demikian, melalui sosialisasi perpajakan maka Wajib Pajak akan memiliki pengetahuan yang lebih baik, mereka juga akan memiliki kesadaran yang lebih tinggi untuk membayar pajak. Universitas Sumatera Utara Korelasi antara pengetahuan Wajib Pajak dengan etika penggelapan pajak adalah setiap Wajib Pajak yang memiliki pengetahuan pajak yang sempurna dia akan menyadari posisinya sebagai seorang Wajib Pajak. Maka, Wajib Pajak tersebut akan melakukan pembayaran pajak dengan baik, dia tidak akan merasa dirugikan dengan melakukan pembayaran pajak tersebut. Pengetahuan Wajib Pajak yang baik, akan meminimalisir terjadinya penggelapan pajak. Hal ini dikarenakan setiap Wajib Pajak akan melaksanakan kewajibannya sebagaimana mestinya, setiap Wajib Pajak yang merupakan para akademisi, ataupun praktisi akan lebih mampu memahami kewajibannya tanpa harus memungkiri dengan cara melakukan penggelapan pajak. Hipotesis keempat adalah : Ha4 : Pengetahuan Wajib Pajak berpengaruh negatif terhadap etika penggelapan pajak. 5. Sistem Perpajakan Dengan Etika Penggelapan Pajak Sistem perpajakan di Indonesia menerapkan Self Assesment System yaitu suatu sistem pemungutan yang Wajib Pajaknya boleh menghitung, membayar, dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang harus disetor. Dalam sistem ini, Wajib Pajak bersifat aktif, sedangkan fiskus (pemerintah) hanya mengawasi. Oleh karena itu, Wajib Pajak harus mengetahui kapan mulainya suatu kewajiban pajak dan kapan berakhirnya kewajiban-kewajiban yang menyertainya. Dalam penelitian Suryani (2013 : 96) menunjukkan sistem perpajakan mempunyai tingkat pengaruh signifikasi sebesar 0,036 dan Universitas Sumatera Utara nilai t sebesar - 2,115. Hal ini berarti Ha2 diterima sehingga dapat dikatakan bahwa sistem perpajakan berpengaruh negatif dan signifikan terhadap penggelapan pajak karena tingkat signifikasi yang dimiliki variabel sistem perpajakan < 0,05 (0,036 < 0,05) dan nilai t hitung> 1,97 (2,115 > 1,97). Hasil penelitian ini konsisten dengan penelitian yang dilakukan oleh McGee (2008), Nickerson, et al (2009), Suminarsasi (2011) menyatakan bahwa sistem perpajakan memiliki korelasi negatif signifikan terhadap penggelapan pajak. Pengaplikasian sistem perpajakan menjadi sesuatu yang sangat penting. Hal ini berarti para Wajib Pajak menganggap bahwa semakin bagus sistem perpajakannya maka perilaku penggelapan pajak dianggap sebagai perilaku yang tidak etis. Akan tetapi apabila sistem perpajakannya semakin tidak bagus, maka perilaku penggelapan pajak dianggap sebagai perilaku yang cenderung etis. Sangat jelasa bahwa sistem perpajakan yang diterapkan sebuah negara merupakan motivasi bagi masyarakat untuk membayar pajak. Penelitian ini mendukung penelitian yang dilakukan oleh Nickerson, et al (2009) yang menemukan dimensi skala etis dalam penggelapan pajak, salah satunya adalah dimensi sistem perpajakan. Peneliti berargumen bahwa pengelolaan uang pajak yang dapat dipertanggungjawabkan, petugas pajak yang kompeten dan tidak korup, dan juga prosedur perpajakan yang tidak berbelit-belit akan membuat Wajib Pajak enggan untuk menggelapkan pajak. Akan tetapi, apabila Universitas Sumatera Utara pengelolaan uang pajak tidak jelas, ditambah lagi petugas pajaknya justru mengkorupsi uang pajak, maka para Wajib Pajak enggan untuk melaporkan kewajibannya dengan jujur, mereka akan cenderung untuk menggelapkan pajak. Hipotesis kelima adalah : Ha5 : Sistem Perpajakan berpengaruh negatif terhadap etika penggelapan pajak. 6. Diskriminasi Dengan Etika Penggelapan Pajak Diskriminasi adalah merujuk pada pelayanan yang tidak adil terhadap individu tertentu, dimana pelayanan ini dibuat berdasarkan karakteristik yang diwakili individu tersebut. Sama halnya dengan diskriminasi di bidang perpajakan yaitu suatu keadaan dimana menurut Danandjaja (2003) diskriminasi adalah perlakuan yang tidak seimbang terhadap perorangan atau kelompok, berdasarkan sesuatu, biasanya bersifat kategorikal, atau atribut-atribut khas, seperti berdasarkan ras, kesuku bangsaan, agama, atau keanggotaan kelas-kelas sosial. Hasil penelitian Suryani (2013 : 114), variabel diskriminasi mempunyai tingkat signifikasi sebesar 0,000 dan nilai t sebesar 7,350. Hal ini berarti Ha3 diterima sehingga dapat dikatakan bahwa diskriminasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap penggelapan pajak karena tingkat signifikasi yang dimiliki variabel diskriminasi < 0,05 (0,000 < 0,05) dan nilai thitung> 1,97 (7,350 > 1,97). Di dalam bidang perpajakan, diskriminasi merupakan suatu kondisi dimana pihak Ditjen Pajak membeda-bedakan perlakuan terhadap setiap Universitas Sumatera Utara Wajib Pajak. Diskriminasi ini akan meningkatkan penggelapan pajak yang akan dilakukan oleh Wajib Pajak, dimana kondisi ini disebabkan oleh pihak Ditjen Pajak sendiri yang tidak mampu berlaku adil. Diskriminasi ini, tercipta karena suatu keadaan-keadaan tertentu, misalnya adanya hubungan istimewa diantara pihak Ditjen pajak dengan Wajib Pajak. Hal ini menyebabkan mereka akan melakukan kecurangan misalnya saja melakukan transfer pricing, kerja sama untuk memperkecil pajak, kemudian akan memberikan imbalan kepada pihak Ditjen Pajak. Hal ini akan meningkatkan terjadinya penggelapan pajak. Hipotesis keenam adalah : Ha6 : Diskriminasi berpengaruh positif terhadap etika penggelapan pajak. 7. Kemungkinan Terdeteksi Kecurangan Dengan Etika Penggelapan Pajak Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Suryani (2013 : 133), dapat dinyatakan bahwa “variabel kemungkinan terdeteksinya kecurangan memiliki pengaruh negatif terhadap etika penggelapan pajak”. Hal ini dapat dibuktikan dengan hasil penelitian variabel kemungkinan terdeteksi kecurangan mempunyai tingkat signifikasi sebesar 0,000 dan nilai t sebasar -4,490. Hal ini berarti Ha4 diterima sehingga dapat dikatakan bahwa kemungkinan terdeteksi kecurangan berpengaruh negatif dan signifikan terhadap penggelapan pajak karena tingkat signifikasi yang dimiliki variabel kemungkinan Universitas Sumatera Utara terjadinya kecurangan < 0,05 (0,000 < 0,05) dan nilai thitung> 1,97 (4,490 > 1,97). Ketika Wajib Pajak menganggap bahwa persentase terhadap kemungkinan terdeteksinya kecurangan adalah tinggi yaitu dengan dilakukannya pemeriksaan pajak. Hal ini berarti bahwa adanya rasa khawatir yang dimiliki Wajib Pajak bahwa kemungkinan terdeteksinya kecurangan akan menyebabkan mereka lebih mematuhi peraturan perpajakan dan bahkan penggelapan pajak akan menjadi lebih rendah. Analoginya, Wajib Pajak akan sangat takut terjerat hukum, jika mereka melakukan penggelapan pajak yang nantinya mereka akan memperoleh sanksi atau bahkan denda yang lebih besar. Hal ini tentunya akan meminimalisir penggelapan pajak yang mungkin terjadi. Hipotesis ketujuh dan kedelapan adalah : Ha7 : Kemungkinan terdeteksinya kecurangan berpengaruh negatif terhadap etika penggelapan pajak. Ha8 : Intensitas pemeriksaan pajak (tax audit), keadilan (tax fairness), kepatuhan Wajib Pajak (tax compliance), pengetahuan Wajib Pajak (tax knowledge), sistem perpajakan (tax system), diskriminasi (discrimination), dan kemungkinan terdeteksinya kecurangan (fiscal fraud) berpengaruh secara simultan terhadap persepsi Wajib Pajak mengenai etika penggelapan pajak (Tax Evasion). Universitas Sumatera Utara L. Kerangka Konseptual Kerangka konseptual ini memaparkan keterkaitan antara variabelvariabel independen terhadap variabel dependen. Gambar 2.1 Kerangka Konseptual Intensitas Pemeriksaan Pajak (tax audit) (X1) Ha1 Keadilan (tax fairness) (X2) Ha2 Kepatuhan Wajib Pajak (tax compliance) (X3) Pengetahuan Wajib Pajak (tax knowledge) (X4) Ha3 Persepsi Wajib Pajak Mengenai Etika Penggelapan Pajak (Tax Evasion) (Y) Ha4 Ha5 Sistem Perpajakan (tax system) (X5) Diskriminasi (discrimination) (X6) Ha6 Ha7 Kemungkinan Terdeteksinya Kecurangan (fiscal fraud) (X7) Ha8 Universitas Sumatera Utara M. Kerangka Operasional Penelitian Berdasarkan perumusan masalah dan tujuan penelitian, maka secara skematis dapat dipaparkan kerangka pemikiran sebagai berikut: Gambar 2.2 Kerangka Pemikiran Penelitian Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama MedanPolonia Persepsi Etika Penggelapan Pajak (Y) Intensitas Pemeriksaan Pajak (X1) Sistem Perpajakan (X5) Keadilan (X2) Kepatuhan Wajib Pajak (X3) Diskriminasi (X6) Pengetahuan Wajib Pajak (X4) Kemungkinan Terdeteksi Kecurangan (X7) Statistik Deskriptif Uji Kualitas Data : 1. Uji Validitas Data 2. Uji Reliabilitas Universitas Sumatera Utara Lanjutan Gambar 2.2 Kerangka Pemikiran Penelitian Uji Asumsi Klasik : 1. Normalitas 2. Multikolonieritas 3. Heteroskedastisitas Uji Regresi Berganda Uji Hipotesis Penelitian Adjusted R2 Uji F Uji t Analisis dan Pembahasan Universitas Sumatera Utara