BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Intensitas Pemeriksaan Pajak (Tax

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Intensitas Pemeriksaan Pajak (Tax Audit)
1. Pengertian Pemeriksaan Pajak
Beberapa pengertian dan definisi yang perlu diketahui yang
berkaitan dengan pemeriksaan pajak (Hidayat, 2013 : 1) adalah sebagai
berikut :
a. Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah
data, keterangan, dan/bukti audit yang dilaksanakan secara objektif dan
profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji
kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan
lain dalam rangka melaksanakan ketentuan Peraturan PerundangUndangan.
b. Pemeriksaan lapangan adalah pemeriksaan yang dilakukan ditempat
kedudukan, tempat kegiatan usaha atau pekerja bebas, tempat tinggal
Wajib Pajak, atau tempat lain yang ditentukan oleh Direktur Jendral
Pajak.
c. Pemeriksaan kantor adalah pemeriksaan yang dilakukan di Kantor
Direktorat Jenderal Pajak.
d. Pemeriksa pajak adalah Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Direktorat
Jenderal Pajak atau tenaga ahli yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal
Universitas Sumatera Utara
Pajak, yang diberi tugas, wewenang, dan tanggung jawab untuk
melaksanakan pemeriksaan.
Intensitas pemeriksaan pajak merupakan sesuatu yang sangat
penting untuk dilakukan untuk menilai kepatuhan Wajib Pajak. Hal ini
dapat dilihat dari segi kejujuran, kemauan untuk membayar pajak, dan
bahkan menjadikan bahan pertimbangan apa yang menyebabkan Wajib
Pajak tidak mau melakukan pembayaran pajak. Berbagai penelitian telah
dilakukan untuk memahami apa yang menyebabkan Wajib Pajak sangat
sulit untuk mematuhi Undang-Undang Perpajakan. Beberapa ahli telah
meneliti dampak pada pelaporan SPT pada tahun setelah dilakukan
pemeriksaan dengan menggunakan sumber data pemeriksaan internal
Revenue Service di Amerika Serikat atas Wajib Pajak pada suatu tahun
yang selanjutnya akan menjadi obyek pemeriksaan selanjutnya di tahun
kedua.
Hasil
penelitian
menunjukkan
adanya
proporsi
perbaikan
kepatuhan yang substansial dibandingkan hasil pemeriksaan pajak
sebelumnya. Sayangnya, sangatlah sulit menentukan keefektifan ukuran
kinerja pemeriksaan. Pada tataran konsep, pengukuran hasil pemeriksaan
yang paling bernilai dan tajam adalah manakala pemeriksaan pajak
menghasilkan kewajiban pajak yang benar-benar harus dibayar dan juga
mampu mempengaruhi Wajib Pajak agar secara suka rela mematuhi dan
memenuhi kewajiban perpajakannya di masa mendatang. Tidak ada cara
empiris untuk memastikan apa yang telah dibayar Wajib Pajak sesuai
Universitas Sumatera Utara
dengan seharusnya, sekaligus merupakan kemustahilan untuk mengetahui
apakah setelah diperiksa akan mempengaruhi kepatuhan Wajib Pajak
dimasa selanjutnya.
Berhubungan dengan etika penggelapan pajak, maka intensitas
pemeriksaan pajak memiliki hubungan yang sangat erat. Dimana,
dianalogikan ketika pemeriksaan pajak dapat dilakukan dengan sistem dan
disiplin yang baik, maka Wajib Pajak akan takut ataupun enggan untuk
melakukan penggelapan pajak. Hal ini dapat di pahami, karena Wajib
Pajak akan merasa lebih di kontrol, takut terhadap sanksi yang akan
diberikan jika mereka tidak mematuhi Undang-Undang Perpajakan, dan
bahkan mereka cenderung melaksanakan kewajibannya untuk membayar
pajak karena segala strategi yang mereka lakukan untuk menggelapkan
pajak, akan dapat diketahui dan diselidiki oleh pihak fiskus.
2. Pemeriksaan Pajak Yang Telah Di Terapkan
Penelitian mengenai kepatuhan Wajib Pajak sudah sangat sering
sekali dilakukan diantaranya adalah Penelitian dilakukan dengan memilih
Wajib Pajak yang telah mengalami pemeriksaan pajak oleh Karikpa
Mataram sebanyak tiga kali sejak tahun 1993 hingga 2005 baik WP Badan
maupun WP OP dan terkumpul sebanyak 52 Wajib Pajak. Kepatuhan
Wajib Pajak per jenis pajaknya diukur dari proporsi jumlah koreksi pajak
dengan jumlah pajak yang telah dibayar oleh Wajib Pajak. Uji t digunakan
untuk mengetahui apakah hasil dari dua frekuensi pemeriksaan pajak yang
berbeda menunjukkan perbedaan yang signifikan. Uji F digunakan untuk
Universitas Sumatera Utara
melihat perbedaan secara serentak pada ketiga frekuensi pemeriksaan yang
berbeda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk jenis PPh Badan/Op,
PPh Pasal 21, PPh Pasal 23 hanya sedikit sekali yang menunjukan
peningkatan kepatuhan setelah tiga kali dilakukan pemeriksaan pajak.
Demikian juga ternyata hubungan/korelasi antara hasil dari ketiga
frekuensi pemeriksaan juga lemah. Kondisi yang lebih baik ditunjukkan
dari hasil pemeriksaan atas PPN. Banyak hal yang dapat diasumsikan
mengenai pemeriksaan pajak ini, karena mungkin saja sistem perpajakan
yang diterapkan di Indonesia juga sangat lemah. Kesimpulan yang dapat
diambil adalah ternyata sangat sedikit sekali jumlah Wajib Pajak yang
menunjukan
peningkatan
kepatuhan
sekalipun
diiringi
dengan
perbandingan frekuensi pemeriksaan pajak. Seluruh kepatuhan Wajib
Pajak pada berbagai perbandingan frekuensi yang berbeda, baik secara
berpasangan maupun serentak, atas seluruh jenis pajak tidak menunjukkan
perbedaan hasil yang signifikan. Keeratan korelasi antara berbagai
kepatuhan Wajib Pajak pada berbagai jenis pajak dalam setiap
perbandingan frekuensi pemeriksaan menunjukkan hasil yang lemah dan
tidak bermakna.
Disarankan karena tujuan dilakukannya pemeriksaan adalah untuk
menguji kepatuhan Wajib Pajak sehingga semakin meningkat maka perlu
dilakukan langkah-langkah perbaikan dalam proses pemeriksaan agar
tujuan tersebut tercapai. Perbaikan secara lebih menyeluruh terhadap
administasi sistem perpajakan akan meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak.
Universitas Sumatera Utara
Perlunya menentukan indikator atau ukuran lain dalam menilai hasil
pemeriksaan, tidak hanya memandang dari segi besar kecilnya koreksi.
3. Dasar Hukum Pemeriksaan Pajak
Beberapa dasar hukum yang berkaitan dengan pemeriksaan pajak
adalah sebagai berikut :
a. Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terahir dengan UU No. 16
Tahun 2009.
b. Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara
Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Perpajakan Berdasarkan undangUndang Nomor 6 Tahun 1993 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan Sebagaimana Telah Diubah Terakhir dengan UndangUndang Nomor 16 Tahun 2009.
c. Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tanggal 28 Desember 2007 tentang
Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Perpajakan Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan Sebagaimana Telah Diubah Terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007.
d. Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-130/PMK.03/2009 Tanggal
18 Agustus 2009 tentang Tata Cara Penghentian Penyidikan Tindak
Pidana di Bidang Perpajakan untuk Kepentingan Penerimaan Negara.
e. Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-201/PMK.03/2007 tanggal
28 Pihak-Pihak yang Terikat atas Kewajiban Merahasiakan.
Universitas Sumatera Utara
f. Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-199/PMK.03/2007 Tanggal
28 Desember 2007 tentang Tata Cara Pemeriksaan Pajak.
g. Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-198/PMK.03/2007 Tanggal
28 Desember 2007 tentang Tata Cara Penyegelan Dalam Rangka
Pemeriksaan di Bidang Perpajakan.
h. Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-202/PMK.03/2007 Tanggal
28 Desember 2007 tentang Tata Cara Pemeriksaan Bukti Permulaan
Tindak Pidana di Bidang Perpajakan.
i. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-09/PJ/2010 Tanggal 01
Maret 2010 tentang Standar Pemeriksaan untuk Menguji Kepatuhan
Pemenuhan Kewajiban Perpajakan.
4. Kebijakan Umum Pemeriksaan Pajak
Menurut Hidayat (2013 : 11), pedoman pelaksanaan pemeriksaan
pajak, Direktorat Jenderal Pajak telah menetapkan beberapa kebijakan
umum yang dapat diuraikan sebagai berikut :
a. Setiap wajib pajak mempunyai peluang yang sama untuk diperiksa.
b. Setiap pemeriksaan yang dilaksanakan harus dilengkapi dengan surat
perintah pemeriksaan pajak yang mencantumkan tahun pajak yang
diperiksa.
c. Pemeriksaan dapat dilaksanakan oleh kantor pusat Direktorat Jenderal
Pajak, kantor wilayah Direktorat Jenderal Pajak, kantor pemeriksaan
dan penyidikan pajak atau kantor pelayanan pajak.
Universitas Sumatera Utara
d. Pemeriksaan ulang terhadap jenis dan tahun pajak yang sama, tidak
diperkenankan, kecuali dalam hal seperti berikut :
1. Terdapat indikasi bahwa Wajib Pajak diduga telah atau sedang
melakukan tindak pidana di bidang perpajkan;
2. Terdapat data baru dan atau data semula belum terungkap,
mengakibatkan
penambahan
jumlah
pajak
terutang
atau
mengurangi kerugian yang dapat dikompensasikan.
e. Buku-buku, catatan-catatan dan dokumen lain yang akan dipinjam dari
Wajib Pajak dalam pelaksanaan pemeriksaan tidak harus yang asli,
dapat juga misalnya fotokopi yang sesuai dengan aslinya.
f. Pemeriksaan dapat dilakukan di kantor pemeriksaan (yaitu untuk
pemeriksaan sederhana kantor) atau di tempat Wajib Pajak (untuk
pemeriksaan sederhana lapangan atau pemeriksaan lengkap).
g. Jangka waktu pemeriksaan terbatas.
h. Dapat dilakukan perluasan pemeriksaan, baik untuk tahun-tahun
sebelumnya maupun tahun sesudahnya, yaitu dalam hal:
1. SPT tahunan, wajib pajak orang pribadi atau badan menyatakan
adanya kompensasi kerugian dari tahun-tahun sebelumnya yang
belum dilakukan pemeriksaan.
2. Sebab-sebab lain berdasarkan instruksi direktur pemeriksaan,
penyidikan, dan penagihan pajak.
i. Setiap hasil pemeriksaan harus diberitahukan kepada Wajib Pajak
secara tertulis, yaitu mengenai hal-hal yang berbeda antara surat
Universitas Sumatera Utara
pemberitahuan (SPT) Wajib Pajak dan hasil pemeriksaan, dan
selanjutnya untuk ditanggapi oleh Wajib Pajak.
B. Keadilan
1. Keadilan Pajak (Tax Fairness)
Menurut Anondo (2013), syarat keadilan adalah “pemungutan
pajak dilaksanakan secara adil baik dalam peraturan maupun realisasi
pelaksanaannya”.
Keadilan dalam perpajakan merupakan faktor utama yang akan
mendasari setiap Wajib Pajak mau mematuhi peraturan perpajakan.
Penelitian yang telah dilakukan oleh Suryani pada tahun 2013 lalu,
menghasilkan sebuah kesimpulan bahwa keadilan memiliki hubungan
yang positif terhadap etika penggelapan pajak. Hal ini relevan dengan
hipotesis yang telah ia nyatakan, dan bahkan relevan dengan penelitian
yang dilakukan oleh McGee (2008), Nickerson, et al (2009), Suminarsasi
(2011). Hasil penelitian menyatakan bahwa keadilan mempunyai pengaruh
positif dan signifikan terhadap penggelapan pajak.
Penelitian ini didasarkan atas asumsi bahwa setiap Wajib Pajak
akan mematuhi dan melaksanakan kewajibannya untuk melakukan
pembayaran pajak, ketika mereka mampu memperoleh keadilan yang
sebaik-baiknya. Keadilan dalam hal ini adalah keadilan dalam penerapan
Undang-Undang Perpajakan, tidak membeda-bedakan setiap Wajib Pajak.
Lebih dari itu keadilan yang dimaksud adalah bagaimana pihak pemungut
pajak dalam hal ini pemerintah mampu merealisasikan dana perpajakan
Universitas Sumatera Utara
tersebut untuk kepentingan rakyat. Setiap Wajib Pajak berhak untuk
memperoleh dan diperlakukan secara adil dalam hal pemungutan pajak.
Penggelapan pajak dapat dianggap sebagai sesuatu hal yang etis ketika
keadilan di dalam perpajakan sangat abstrak untuk diterapkan. Keadilan
ini memiliki cakupan yang cukup luas bahkan sangat mendalam karena
diasumsikan sebagai umpan balik dari kontribusi Wajib Pajak yang mau
mematuhi peraturan pajak dan melaksanakan kewajibannya sebagai Wajib
Pajak.
Asas keadilan dalam prinsip Perundang-Undangan Perpajakan
maupun dalam hal pelaksanaannya harus dipegang teguh, walaupun
keadilan itu sangat relatif. Menurut Richard dan Peggy dalam buku Public
Finance in Theory and Practice terdapat dua macam asas keadilan
pemungutan pajak, adalah sebagai berikut :
1. Benefit Principle
Dalam sistem perpajakan yang adil, setiap Wajib Pajak harus
membayar pajak sejalan dengan manfaat yang dinikmatinya dari
pemerintah. Pendakatan ini disebut revenue and expenditure approach.
2. Ability Principle
Dalam pendekatan ini menyatakan agar pajak dibebankan kepada
Wajib Pajak atas dasar kemampuan membayar.
Masalah keadilan dalam pemungutan pajak, dibebankan antara lain
sebagai berikut :
Universitas Sumatera Utara
1. Keadilan horizontal
Pemungutan pajak adil secara horizontal apabila beban pajaknya sama
atas semua Wajib Pajak yang memperoleh penghasilan yang sama
dengan jumlah tanggungan yang sama, tanpa membedakan jenis
penghasilan atau sumber penghasilan.
2. Keadilan vertikal
Keadilan
dapat
dirumuskan
(horizontal
dan
vertikal)
bahwa
pemungutan pajak adil, apabila orang yang dalam kondisi ekonomis
yang sama dikenakan pajak yang sama, demikian sebaliknya.
Seperti yang dikemukakan Mansury, Pajak Penghasilan hendaknya
dipungut sesuai dengan asas keadilan, maka diperlukan syarat keadilan
sebagai berikut :
1. Syarat keadilan horizontal, antara lain sebagai berikut :
a. Definisi Penghasilan
Memuat semua tambahan kemampuan ekonomis termasuk ke
dalam pengertian definisi penghasilan.
b. Globality
Seluruh tambahan kemampuan ekonomis merupakan ukuran dari
keseluruhan kemampuan membayar (the global ability to pay).
Oleh karena itu, penghasilan dijumlahkan menjadi satu sebagai
objek pajak.
Universitas Sumatera Utara
c. Net Income
Ability to pay yaitu jumlah neto setelah dikurangi semua biaya
yang tergolong dalam biaya untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan.
d. Personal exemption
Pengurangan yang diberikan kepada Wajib Pajak Orang Pribadi
berupa Penghasilan Tidak kena Pajak (PTKP).
e. Equal treatment for the equals
Pengenaan pajak dengan perlakuan yang sama diartikan bahwa
seluruh penghasilan dikenakan pajak dengan tarif yang sama tanpa
membedakan jenis atau sumber penghasilan.
2. Syarat keadilan vertikal, antara lain sebagai berikut :
a. Unequal treatment for the unequals
Besarnya tarif dibedakan oleh jumlah seluruh penghasilan atau
jumlah seluruh tambahan kemampuan ekonomis (bukan perbedaan
jenis atau sumber penghasilan).
b. Progression
Wajib Pajak yang penghasilannya besar, harus membayar pajak
yang besar dengan persentase tarif yang besar.
Dengan demikian, dari paparan mengenai keadilan pajak diatas
dapat dipahami bahwa setiap Wajib Pajak akan memperoleh keadilan yang
sama dalam perlakukan pengenaan pajak, baik dari segi tarif, pelayanan,
cara pemungutan dan penerapan Undang-Undang Perpajakan. Maka dari
Universitas Sumatera Utara
itu, setiap Wajib Pajak juga berhak untuk memperoleh berbagai fasilitas
dan pemanfaatan infrastruktur negara secara adil sebagai bentuk apresiasi
dari partisipasi dan kontribusi mereka yang telah melakukan kewajiban
mereka untuk membayar pajak.
2. Parameter Penerapan Keadilan Dalam Perpajakan
Tidak hanya mensyaratkan adanya pemerataan dan persamaan
perlakuan, keadilan dalam pemungutan pajak dalam paham yang modern
menurut Marie Muhammad (Harian Bisnis Indonesia, tanggal 17 Oktober
2005) juga berarti bahwa petugas pajak tidak boleh berlaku sewenangwenang terhadap pembayar pajak yang telah menyetorkan sebagian
penghasilannya kepada Pemerintah. Penaatan terhadap asas keadilan ini
bertujuan pragmatis karena lebih menjamin kesinambungan penerimaan
negara melalui jalur pajak. Eickstein (dalam Gusman 2010) menyebutkan
bahwa salah satu alasan mengapa tingkat tax conciuosness (kesadaran
membayar pajak) di negara-negara maju relatif lebih tinggi adalah karena
mereka yakin bahwa pajak yang dipungut oleh pemerintah sudah adil.
Gusman (2010) menyebutkan bahwa salah satu alasan mengapa tingkat tax
conciuosness (kesadaran membayar pajak) di negara-negara maju relatif
lebih tinggi adalah karena mereka yakin bahwa pajak yang dipungut oleh
pemerintah sudah adil.
Sebaliknya menurut Rosdiana dan Tarigan (2011 : 120), kesadaran
dan kepatuhan membayar pajak dari para Wajib Pajak sangat sulit tercipta
jika di dalam praktik terlihat dengan jelas bahwa masyarakat yang kaya
Universitas Sumatera Utara
membayar pajak atau bahkan justru lebih menikmati fasilitas perpajakan.
Secara ekstrim, pengabaian keadilan sebagai salah satu landasan
pemungutan pajak, akan memicu keadaan yang kontra produktif yang
terlihat pada saat terjadinya Revolusi Perancis. Adanya perlakuan
istimewa terhadap kaum atau golongan tertentu di dalam negara Perancis
telah berdampak pada revolusi yang berujung pada ditetapkannya
pemungutan pajak harus diselenggarakan secara umum dan merata.
Lantas yang menjadi parameter terakomodasinya prinsip keadilan
di dalam pemungutan pajak adalah Menurut Soemitro dan Sugiharti (2004
: 41), “akomodasi asas atau prinsip keadilan dalam pemungutan pajak
terlihat pada saat dimulainya penyusunan Undang-Undang pajak”.
C. Kepatuhan Wajib Pajak (Tax Compliance)
1. Pengertian Kepatuhan Perpajakan
Kepatuhan Wajib Pajak dikemukakan oleh Nowak (dalam Zain :
2004) sebagai “Suatu iklim kepatuhan dan kesadaran pemenuhan
kewajiban perpajakan, tercermin dalam situasi dimana:
 Wajib Pajak paham atau berusaha untuk memahami semua ketentuan
Peraturan Perundang-Undangan Perpajakan,
 Mengisi formulir pajak dengan lengkap dan jelas,
 Menghitung jumlah pajak yang terutang dengan benar,
 Membayar pajak yang terutang tepat pada waktunya.
Menurut Keputusan Menteri Keuangan No.544/KMK.04/2000,
bahwa kriteria kepatuhan Wajib Pajak adalah :
Universitas Sumatera Utara
 Tepat waktu dalam menyampaikan SPT untuk semua jenis pajak dalam
2 tahun terakhir.
 Tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak, kecuali
telah memperoleh izin untuk mengangsur atau menunda pembayaran
pajak.
 Tidak pernah dijatuhi hukuman karena melakukan tindak pidana di
bidang perpajakan dalam jangka waktu 10 tahun terakhir.
 Dalam 2 tahun terakhir menyelenggarakan pembukuan dan dalam hal
terhadap Wajib Pajak pernah dilakukan pemeriksaan, koreksi pada
pemeriksaan yang terakhir untuk masing-masing jenis pajak yang
terutang paling banyak 5%.
 Wajib Pajak yang laporan keuangannya untuk 2 tahun terakhir diaudit
oleh Akuntan Publik dengan pendapat wajar tanpa pengecualian, atau
pendapat dengan pengecualian sepanjang tidak mempengaruhi laba
rugi fiskal.
2. Kepatuhan Wajib Pajak Meningkatkan Penerimaan Pajak
Setiap negara mengharapkan bahwa setiap Wajib Pajak yang
terdaftar akan memiliki tingkat kepatuhan yang tinggi. Kepatuhan Wajib
Pajak tidak terlepas dari bagaimana setiap Wajib Pajak mampu
memperoleh ataupun menikmati berbagai fasilitas milik negara yang
merupakan hasil dari pengelolaan dana perpajakan. Maka dari itu setiap
Wajib Pajak akan mematuhi Undang-Undang Perpajakan dan taat untuk
Universitas Sumatera Utara
melakukan pembayaran pajak jika mereka mampu memahami bahwa
pajak yang dipungut oleh pemerintah memiliki tujuan yang sangat baik.
Kepatuhan Wajib Pajak yang tinggi akan mampu meningkatkan
penerimaan negara di bidang perpajakan. Hal ini selaras dengan sebuah
penelitian yang telah di lakukan bahwa kepatuhan Wajib Pajak akan
meminimalisir etika penggelapan pajak. Tetapi harus dipahami bahwa
setiap Wajib Pajak yang memiliki tingkat kepatuhan yang tinggi tentunya
juga memiliki pengetahuan yang tinggi pula mengenai perpajakan.
Penelitian sebelumnya, yang dilakukan oleh Suryani (2013), tidak
menggunakan variabel kepatuhan Wajib Pajak sebagai alat ukur untuk
menilai tindakan etika penggelapan pajak. Tetapi dapat dianalogikan
bahwa setiap Wajib Pajak yang patuh, maka tidak akan melakukan
penggelapan pajak dan tentunya mereka sangat berperan aktif di dalam
meningkatkan penerimaan negara di sektor perpajakan.
3. Pentingnya Kepatuhan Wajib Pajak
Masalah kepatuhan Wajib Pajak adalah masalah penting di seluruh
dunia, baik bagi negara maju maupun di negara sedang berkembang.
Karena jika Wajib Pajak tidak patuh maka akan menimbulkan keinginan
untuk melakukan tindakan penghindaran, pengelakan, penyelundupan dan
pelalaian pajak. Pada akhirnya tindakan tersebut akan menyebabkan
penerimaan pajak negara akan berkurang. Setiap Wajib Pajak diharapkan
memiliki tingkat kepatuhan yang tinggi untuk melakukan pembayaran
Universitas Sumatera Utara
pajak. Hal ini dikarenakan negara sangat membutuhkan pembayaran pajak
yang dilakukan oleh Wajib Pajak sebagai penerimaan bagi negara.
Dari pernyataan diatas maka dapat disimpulkan bahwa sebuah
negara yang memiliki rakyat yang mampu melakukan pembayaran pajak
secara teratur, maka penerimaan negaranya dari sektor perpajakan akan
sangat meningkat. Namun demikian, pemerintah juga harus mampu
menarik kepercayaan masyarakat ataupun Wajib Pajak bahwa setiap pajak
yang
mereka
setorkan
akan
dimanfaatkan
sebaik-baiknya
untuk
kepentingan bersama dalam rangka meningkatkan kesejahteraan bersama.
Jadi, hal yang paling diharapkan oleh Wajib Pajak adalah dana perpajakan
tersebut dapat terealisasi dengan baik sesuai dengan tujuan pemerintah
untuk memakmurkan rakyat.
D. Pengetahuan Wajib Pajak (Tax Knowledge)
1. Pengertian Pengetahuan Wajib Pajak
Pengetahuan Wajib Pajak mengenai perpajakan secara keseluruhan
merupakan sesuatu yang sangat diharapkan. Palil (2005) dalam Witono
(2008) menemukan bahwa pengetahuan Wajib Pajak tentang pajak yang
baik akan dapat memperkecil adanya tax evasion. Hal senada juga
ditemukan oleh Kassipillai, ia mengatakan pengetahuan tentang pajak
merupakan hal yang sangat penting bagi berjalannya SAS. Pengetahuan
tentang peraturan pajak akan mempengaruhi sikap Wajib Pajak terhadap
kewajiban pajak. Hal serupa juga dinyatakan Vogel (1974), Spicer dan
Universitas Sumatera Utara
Lounstedh (1976), Song dan Yarbourgh (1978), Laurin (1976), Kinsey dan
Grasmick (1993).
Mereka menemukan bahwa pengetahuan pajak akan bertambah
dengan panjangnya masa pendidikan yang dilakukan dan kursus, walaupun
secara tidak langsung tidak ditemukan adanya kaitan dengan sikap Wajib
Pajak (dalam Palil 2005), Song dan Yarbrough, 1978 dikemukakan hasil
penelitian bahwa semakin tinggi pengetahuan akan peraturan pajak,
semakin tinggi pula nilai etika terhadap pajak. Robert et al (1991)
menyatakan
bahwa
pengetahuan
tentang
peraturan
pajak
akan
mempengaruhi tax fairness (Palil, 2004). Christensen et al (1994) dan
Wartick (1994) bahwa pengetahuan yang semakin baik dari preparer
maupun individu akan memiliki persepsi yang baik terhadap sistem pajak.
Menurut Rahayu dan Fallan (2010 : 141) menyatakan bahwa :
Pentingnya aspek perpajakan bagi Wajib Pajak sangat
mempengaruhi sikap Wajib Pajak terhadap sistem perpajakan yang
adil. Dengan kualitas pengetahuan yang semakin baik akan
memberikan sikap memenuhi kewajiban dengan benar melalui
adanya sistem perpajakan suatu negara yang dianggap adil.
Kesadaran Wajib Pajak akan meningkat bilamana dalam
masyarakat muncul persepsi positif terhadap pajak. Dengan
meningkatnya pengetahuan perpajakan masyarakat melalui
pendidikan perpajakan baik formal maupun non formal akan
berdampak positif terhadap pemahaman dan kesadaran Wajib
Pajak dalam membayar pajak. Dengan penyuluhan perpajakan
secara intensif dan kontinyu akan meningkatkan pemahaman Wajib
Pajak tentang kewajiban membayar pajak sebagai wujud gotong
royong nasional dalam menghimpun dana untuk kepentingan
pembiayaan pemerintahan dan pembangunan nasional.
Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa pengetahuan
setiap Wajib Pajak mengenai perpajakan, mulai dari sistem perpajakan
Universitas Sumatera Utara
sampai dengan Undang-Undang Perpajakan, akan memberikan motivasi
untuk menjadi seorang Wajib Pajak yang patuh dalam membayar pajak.
Maka dari itu, setiap Wajib Pajak berhak memperoleh pemahaman yang
sama dan mendalam mengenai sistem perpajakan di Indonesia. Hal ini
menjadi kewajiban juga bagi Pemerintah untuk memberikan pemahaman
kepada Wajib Pajak, mulai dari melakukan berbagai penyuluhan,
sosialisasi dan penataran lainnya. Setiap Wajib Pajak yang mampu
memahami perpajakan secara mutlak, maka akan memahami pula bahwa
penggelapan pajak itu tidak boleh dilakukan. Dengan demikian,
pemahaman mengenai perpajakan ini akan memperkecil pelaksanaan tax
evasion dan tax fraud juga akan di minimalisir.
2. Pengetahuan Wajib Pajak Sebagai Ukuran Kepatuhan
Berbagai
sosialisasi
mengenai
perpajakan
akan
mampu
meningkatkan pengetahuan Wajib Pajak di bidang perpajakan. Tidak dapat
dipungkiri bahwa setiap Wajib Pajak yang mampu memahami secara
mutlak mulai dari penerapan Undang-Undang Perpajakan, tujuan
pemungutan pajak, dan pengalokasian dana perpajakan akan memiliki
pengetahuan yang lebih baik dan meningkatkan kepatuhannya untuk
membayar pajak. Menurut Franzoni (1999),
Kepatuhan Wajib Pajak dapat dilihat dari berbagai perspektif dan
dipengaruhi oleh beberapa faktor: kecende-rungan mereka terhadap
institusi publik (dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak); keadilan
yang dirasakan oleh Wajib Pajak dari sistem yang ada; dan
kesempatan atas kemungkinan suatu pelanggaran terdeteksi dan
dihukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada.
Universitas Sumatera Utara
Sebuah penelitian telah dilakukan oleh Banu Witono dimana ia
melakukan pengukurang mengenai “Peran Pengetahuan Pajak Pada
Kepatuhan Pajak”, peneliti ini menyimpulkan bahwa kepatuhan pajak akan
meningkat secara signifikan ketika setiap Wajib Pajak memperoleh
keadilan dari pemerintah terkait segala hal dalam bidang perpajakan.
Dalam penelitian Rahayu (2010) pengetahuan pajak dan keadilan
mempengaruhi tingkat kepatuhan Wajib Pajak secara signifikan yang
dilakukan pada 107 Wajib Pajak pribadi dan badan pada KPP Surakarta.
Peneliti ingin mengetahui apakah konsultan benar-benar mewakili sikap
dari Wajib Pajak orang pribadi? Dan dengan adanya konsultan reaksi
Wajib Pajak semakin patuh ataukah tidak? Selain itu peneliti juga ingin
membuktikan model penelitian yang diungkapkan oleh Cristensen et al.
(1994) bahwa Wajib Pajak yang memiliki pengetahuan yang baik, akan
memiliki persepsi keadilan yang positif terhadap sistem pajak yang
berakibat tingkat kepatuhan pajak lebih tinggi.
Penelitian-penelitian terdahulu tersebut telah dilakukan silih
berganti dengan populasi dan sampel yang berbeda-beda pula. Dapat
ditarik sebuah pemikiran sederhana bahwa ketika Wajib Pajak memiliki
pengetahuan tentang pajak dengan baik, maka etika penggelapan pajak
akan semakin rendah dan enggan untuk dilaksanakan. Tetapi, pada
kenyataannya pengetahuan pajak ini bukanlah sesuatu hal yang merata
untuk dapat diberikan kepada seluruh Wajib Pajak. Maka dari itu,
Universitas Sumatera Utara
sosialisasi perpajakan seharusnya menjadi agenda yang wajib bagi para
pegawai di Kantor Pelayanan Pajak (KPP).
E. Sistem Perpajakan (Tax System)
1. Sistem Perpajakan Berkontribusi Terhadap Penerimaan Pajak
Sebuah sistem perpajakan akan mempengaruhi Wajib Pajak untuk
melakukan pembayaran pajak. Sistem perpajakan yang cenderung rumit,
akan membuat Wajib Pajak enggan melakukan pembayaran pajak. Suryani
(2013) telah melakukan sebuah penelitian untuk mengukur apakah sistem
perpajakan memiliki hubungan yang erat dengan etika penggelapan pajak.
Hasilnya adalah sistem perpajakan memiliki hubungan yang negatif
dengan penggelapan pajak. Hasil penelitian ini konsisten dengan penelitian
yang dilakukan oleh McGee (2008), Nickerson, et al (2009), Suminarsasi
(2011) menyatakan bahwa sistem perpajakan memiliki korelasi negatif
signifikan terhadap penggelapan pajak.
Semakin baik, mudah dan terkendali prosedur sistem perpajakan
yang diterapkan, maka tindak penggelapan pajak dianggap suatu yang
tidak etis bahkan mampu meminimalisir perilaku tindak penggelapan
pajak. Hal ini dapat dianalogikan bahwa setiap Wajib Pajak merupakan
pihak yang akan menyetorkan uang mereka maka dari itu pihak
pemerintah selaku pemungut pajak, harus membuat sebuah sistem
perpajakan yang cenderung praktis namun efektif dan efisien. Sistem
perpajakan memiliki kontribusi terhadap penerimaan pajak, dimana jika
sistem perpajakan yang diterapkan baik maka Wajib Pajak akan
Universitas Sumatera Utara
melaksanakan kewajibannya untuk membayar pajak. Jika sistem
perpajakannya cenderung rumit, maka Wajib Pajak malas untuk
membayarkan pajak dan penerimaan pajak akan menurun karena tingginya
tingkat penggelapan pajak yang dilakukan.
2. Asas-Asas Pemungutan Pajak
Asas-asas pemungutan pajak sebagaimana dikemukakan oleh
Adam Smith dalam buku An Inquiri into the Nature and Cause of the
Wealth of Nations menyatakan bahwa pemungutan pajak hendaknya
didasarkan pada asas-asas berikut :
a. Equality
Pemungutan pajak harus bersifat adil dan merata, yaitu pajak
dikenakan kepada orang pribadi yang harus sebanding dengan
kemampuan membayar pajak (ability to pay) dan sesuai dengan
manfaat yang diterima. Adil dimaksudkan bahwa setiap Wajib Pajak
menyumbangkan uang untuk pengeluaran pemerintah sebanding
dengan kepentingannya dan manfaat yang diminta.
b. Certainty
Penetapan pajak itu tidak ditentukan sewenang-wenang. Oleh karena
itu, Wajib Pajak harus mengetahui secara jelas dan pasti besarnya
pajak yang terutang, kapan harus dibayar, serta batas waktu
pembayaran.
Universitas Sumatera Utara
c. Convenience
Kapan wajib pajak itu harus membayar pajak sebaiknya sesuai dengan
asas-asas yang tidak menyulitkan Wajib Pajak. Sebagai contoh: pada
saat Wajib Pajak memperoleh penghasilan. Sistem pemungutan ini
disebut pay as you earn.
d. Economy
Secara ekonomi biaya pemungutan dan biaya pemenuhan kewajiban
pajak bagi Wajib Pajak diharapkan seminimum mungkin, demikian
pula beban yang ditanggung Wajib Pajak.
3. Sistem Pemungutan Pajak
Menurut Purwono (2011 : 12), hingga saat ini ada 3 sistem yang
diaplikasikan dalam pemungutan pajak, diantaranya adalah sebagai
berikut:
a. Official Assesment System
Melalui sistem ini banyak pajak ditentukan oleh fiskus dengan
mengeluarkan Surat Ketetapan Pajak (SKP Rampung). Jadi, dapat
dikatakan bahwa Wajib Pajak bersifat pasif. Tahapan-tahapan dalam
menghitung dan memperhitungkan pajak yang terutang ditetapkan oleh
fiskus yang terutang dalam SKP. Selanjutnya Wajib Pajak baru aktif
ketika melakukan penyetoran pajak terutang berdasarkan ketetapan
SKP tersebut. Indonesia pernah menggunakan sistem ini pada kurun
waktu
awal
kemerdekaan
dengan
mengadopsi
atau
tetap
memberlakukan beberapa peraturan perpajakan buatan Belanda hingga
Universitas Sumatera Utara
tahun 1997, ketika diperkenalkan sitem Menghitung Pajak Sendiri
(MPS) dan Menghitung Pajak Orang lain (MPO) yang oleh sebahagian
ahli disebut dengan Semi Self Assesment System.
b. Self Assesment System
Sistem ini mulai diaplikasikan bersamaan dengan reformasi perpajakan
tahun 1983 setelah terbitnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang mulai
berlaku sejak tanggal 1 Januari 1984.
Dalam memori penjelasan Undang-Undang tersebut bahwa anggota
masyarakat Wajib Pajak diberi kepercayaan untuk melaksanakan
kegotongroyongan melalui sistem menghitung, memperhitungkan, dan
membayar sendiri pajak yang terutang (self assesment), sehingga
melalui
sistem
ini
administrasi
perpajakan
diharapkan
dapat
dilaksanakan dengan lebih rapi, terkendali, sederhana, dan mudah
dipahami oleh anggota masyarakat Wajib Pajak.
Selain itu, Wajib Pajak juga diwajibkan untuk melaporkan secara
teratur jumlah pajak yang terutang dan yang telah dibayar sebagaimana
yang ditentukan dalam Peraturan Perundang-Undangan Perpajakan.
Pemerintah, dalam hal ini aparat perpajakan, sesuai dengan fungsinya
berkewajiban melakukan pembinaan, penelitian, dan pengawasan
terhadap pelaksanaan kewajiban perpajakan Wajib Pajak berdasarkan
ketentuan yang digariskan dalam Peraturan Perundang-Undangan
Perpajakan.
Universitas Sumatera Utara
c. Withholding Tax System
Dengan sistem ini pemungutan dan pemotongan pajak dilakukan
melalui pihak ketiga. Untuk waktu sekarang, sistem ini tercermin pada
pelaksanaan pengenaan Pajak penghasilan dan Pajak Pertambahan
Nilai. Contohnya adalah pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan
Pajak Penghasilan Pasal 23 oleh pihak lain, atau pemungutan Pajak
Penghasilan Pasal 22 dan Pajak Pertambahan Nilai.
Apabila dicermati dengan seksama, ketiga sistem ini digunakan
secara terintegrasi pada pemungutan sistem pemungutan pajak di
Indonesia.
Self
Assesment
System
berlaku
ketika
Wajib
Pajak
melaksanakan administrasi perpajakan yang menjadi kewajibannya
(menghitung, memperhitungkan, dan menyetor pajak terutang). Pada saat
yang bersamaan, jika posisi Wajib Pajak adalah pemungut atau pemotong
karena berkedudukan sebagai pemberi kerja atau pihak yang berwenang
memungut pajak, maka Withholding Tax System juga digunakan.
Sedangkan Official Assesment System berlaku ketika fiskus melakukan
pemeriksaan dan menerbitkan surat ketetapan pajak (SKP) atas laporan
Wajib Pajak. Namun demikian, hingga saat ini Indonesia menerapkan Self
Assesment System dalam pemungutan pajak.
F. Diskriminasi (Discrimination)
1. Pengertian Diskriminasi
Menurut
Wikipedia
(2010),
diskriminasi
merujuk
kepada
pelayanan yang tidak adil terhadap individu tertentu, di mana layanan ini
Universitas Sumatera Utara
dibuat berdasarkan karakteristik yang diwakili oleh individu tersebut.
Diskriminasi merupakan suatu kejadian yang biasa dijumpai dalam
masyarakat manusia, ini disebabkan karena kecenderungan manusia untuk
membeda-bedakan yang lain.
Ketika
seseorang
diperlakukan
secara
tidak
adil
karena
karakteristik suku, antargolongan, kelamin, ras, agama dan kepercayaan,
aliran politik, kondisi fisik atau karateristik lain yang diduga merupakan
dasar dari tindakan diskriminasi. Diskriminasi langsung, terjadi saat
hukum, peraturan atau kebijakan jelas-jelas menyebutkan karakteristik
tertentu, seperti jenis kelamin, ras, dan sebagainya, dan menghambat
adanya peluang yang sama. Diskriminasi tidak langsung, terjadi saat
peraturan yang bersifat netral menjadi diskriminatif saat diterapkan di
lapangan.
2. Diskriminasi Dalam Bidang Perpajakan
Diskriminasi dalam bidang perpajakan adalah adanya suatu
perlakuan tidak adil yang dilakukan oleh pihak fiskus kepada Wajib Pajak.
Diskriminasi dapat dilakukan karena adanya suatu bentuk hubungan
istimewa ataupun karena sesuatu hal lainnya. Diskriminasi dalam bidang
perpajakan dapat menimbulkan ketidakadilan antara satu pihak dengan
pihak lainnya. Misalnya, penerapan tarif yang dilakukan berbeda-beda
dapat menyebabkan ketidakadilan selain itu adanya penerapan sistem yang
memberikan pelayanan yang berbeda-beda tergantung dari besarnya pajak
yang dibayarkan. Hal ini merupakan sebuah pelanggaran besar yang
Universitas Sumatera Utara
seharusnya tidak dilakukan. Apabila masalah diskriminasi dapat
diselesaikan di bidang perpajakan, maka penerimaan pajak juga akan
meningkat. Setiap Wajib Pajak berhak memperoleh perlakuan yang sama.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Suryani (2013),
diskriminasi memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap etika
penggelapan pajak. Hal ini dibuktikan dengan penyebaran kuesioner yang
telah dilakukan oleh peneliti, kemudian dilakukan pengujian terhadap
kuesioner tersebut dan ternyata diskriminasi di bidang perpajakan
berbanding lurus dengan etika penggelapan pajak. Analoginya adalah
ketika Wajib Pajak merasa bahwa terdapat diskriminasi di dalam bidang
perpajakan tentunya mereka enggan untuk melakukan pembayaran pajak.
Diskriminasi menyebabkan Wajib Pajak merasa diperlakukan secara tidak
adil, selain itu adanya penerapan sistem yang memihak dan bahkan
berbagai Peraturan Perpajakan di terapkan secara tidak baik. Tentunya,
Wajib Pajak akan berpikir untuk apa taat membayar pajak, jikalau mereka
tidak memperoleh perlakuan yang baik. Dengan demikian, ketika
diskriminasi di bidang perpajakan meningkat maka tingkat penggelapan
pajak juga akan meningkat secara signifikan.
G. Kemungkinan Terdeteksinya Kecurangan (Fiscal Fraud)
1. Kecurangan Dalam Bidang Perpajakan
Berikut ini adalah beberapa pengertian kecurangan menurut para ahli:
Menurut Albrecht dan Chad Fraud (dalam Karyono, 2013) adalah :
Fraud adalah suatu pengertian umum dan mencakup beragam cara
yang dapat digunakan dengan cara kekerasan oleh seorang untuk
Universitas Sumatera Utara
mendapatkan keuntungan dari orang lain melalui perbuatan yang
tidak benar. Tidak terdapat definisi ataupun aturan yang dapat
digunakan sebagai suatu pengertian umum dalam mengartikan
fraud yang meliputi cara yang mengandung sifat mendadak,
menipu, cerdik dan tidak jujur yang digunakan untuk mengelabuhi
seseorang. Satu-satunya batasan untuk mengetahui pengertian
diatas adalah yang membatasi sifat ketidakjujuran manusia.
Menurut Association of Certified Fraud Examiner (ACFE) dalam Fraud
Examiners Manual 2006 (dalam Karyono, 2013) adalah : “fraud is an
international untruth or dishonest scheme used to take deliberate and
unfair advantage of another person or group of person it included any
mean, such cheats another”.
Dengan
demikian,
dapat
disimpulkan
bahwa
kecurangan
merupakan suatu kesalahan yang disengaja, dilakukan oleh seseorang
untuk mendapatkan suatu manfaat keuangan secara tidak jujur sehingga
mengakibatkan suatu kerugian materil bagi korban.
Kecurangan dalam bidang perpajakan dapat dilakukan dengan cara
penggelapan pajak, transfer pricing, tidak memiliki NPWP, tidak
melakukan penyetoran SPT, memanipulasi laba, memperbesar beban,
malakukan mark up terhadap aset, memindah bukukan beban, dan lain
sebagainya. Sangat banyak cara yang dilakukan untuk menerapkan
penggelapan pajak. Bahkan pihak Ditjen pajak terlalu sering kecolongan
untuk mengatasi penggelapan pajak yang sering dilakukan oleh Wajib
Pajak. Dengan demikian, kemungkinan terdeteksinya penggelapan pajak
dapat dilakukan dengan menerapkan pemeriksaan pajak, tidak adanya
Universitas Sumatera Utara
diskriminasi, menerapkan keadilan dan senantiasa memupuk pengetahuan
Wajib Pajak mengenai perpajakan.
Kecurangan dalam bidang perpajakan sebenarnya sangat mudah
dilakukan, dan setiap Wajib Pajak Badan terutama yang memiliki
kewajiban untuk membayar pajak dalam jumlah yang besar, sering
melakukan manipulasi dalam bisang perpajakan. Hal ini dikarenakan
selalu ada celah antara bidang perpajakan dengan penerapan pencatatan
ataupun pengakuan pendapatan dan beban yang diterapkan oleh bidang
akuntansi. Maka dari itu, Undang-Undang Perpajakan juga dapat menjadi
celah dalam penerapan manipulasi perpajakan ini.
2. Kemungkinan
Terdeteksinya
Kecurangan
Akan
Mengurangi
Penggelapan Pajak
Penelitian
terdahulu
telah
membuktikan
bahwa
ketika
kemungkinan terdeteksinya kecurangan di dalam bidang perpajakan
semakin baik, maka penggelapan pajak akan semakin berkurang.
Penelitian ini dilakukan oleh seorang Mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta pada tahun 2013 lalu. Dia melakukan sebuah penelitian di
beberapa KPP di Jakarta, dimana terdapat perbandingan yang bersifat
negatif di dalam hasil penelitiannya mengenai kemungkinan terdeteksinya
kecurangan terhadap persepsi Wajib Pajak mengenai etika penggelapan
pajak. Penelitian, tersebut menjelaskan bahwa kemungkinan terdeteksinya
kecurangan akan menyebabkan Wajib Pajak semakin patuh untuk
membayar pajak. Dimana, kemungkinan terdeteksinya kecurangan
Universitas Sumatera Utara
tersebut sangat erat kaitannya dengan pemeriksaan pajak yang dilakukan
oleh pihak Ditjen pajak, kontrol yang tinggi, dan bahkan penerapan sanksi
yang membuat Wajib Pajak akan takut jika mereka melakukan
penggelapan pajak. Dengan demikian, mereka akan lebih mematuhi dan
lebih taat untuk membayar pajak, jika kemungkinan terdeteksinya
kecurangan tersebut semakin tinggi. Maka dari itu, hasil penelitiannya
menyatakan bahwa hubungan keduanya adalah berbanding negatif.
Hal ini relevan dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Triyani
(2013) Jika Wajib Pajak terbiasa melakukan penggelapan pajak, itu sama
saja membiasakan untuk selalu melanggar Undang-Undang. Jika Wajib
Pajak menggelapkan pajak, maka Wajib Pajak mendapatkan keuntungan
bersih yang lebih besar. Jika perbuatannya melangggar Undang-Undang
tidak diketahui oleh fiskus, maka dia akan senang karena tidak terkena
sangsi dan menimbulkan keinginan untuk mengulangi perbuatannya itu
lagi pada tahun-tahun berikutnya dan diperluas lagi tidak hanya pada
pelanggaran Undang-Undang Pajak, tetapi juga Undang-Undang yang
lainnya.
H. Etika
1. Pengertian Etika
Istilah Etika berasal dari bahasa Yunani kuno. Bentuk tunggal kata
“etika” yaitu ethos sedangkan bentuk jamaknya yaitu ta etha. Ethos
mempunyai banyak arti yaitu: tempat tinggal yang biasa, padang rumput,
kandang, kebiasaan/adat, akhlak, watak, perasaan, sikap, cara berpikir.
Universitas Sumatera Utara
Sedangkan arti ta etha yaitu adat kebiasaan. Arti dari bentuk jamak inilah
yang melatarbelakangi terbentuknya istilah Etika yang oleh Aristoteles
dipakai untuk menunjukkan filsafat moral. Jadi, secara etimologis (asal
usul kata), etika mempunyai arti yaitu ilmu tentang apa yang biasa
dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan (K.Bertens, 2000).
2. Jenis-jenis Etika
Untuk menganalisis arti etika, menurut Bertens etika dibedakan menjadi
dua, yaitu (Syopiansyah, 2009 : 4):
a. Etika Sebagai Praktis
1. Nilai - nilai dan norma-norma moral sejauh yang dipraktekkan atau
justru tidak diparktekkan walaupun seharusnya dipraktekkan.
2. Apa yang dilakukan sejauh sesuai atau tidak sesuai dengan nilai
dan norma moral.
b. Etika Sebagai Refleksi
1. Pemikiran moral berpikir tentang apa yang dilakukan dan
khususnya tentang apa yang harus dilakukan atau tidak boleh
dilakukan.
2. Berbicara tentang etika sebagai praktis atau mengambil praktis etik
sebagai objeknya.
3. Menyoroti dan menilai baik buruknya perilaku seseorang.
Selain itu, kita menggunakan istilah akuntansi ketika mengacu
pada seperangkat aturan yang mengatur tindakan professional akuntan.
Untuk makna yang kedua, etika adalah “kajian moralitas” Hal ini berarti
Universitas Sumatera Utara
etika berkaitan dengan moralitas. Meskipun berkaitan, etika tidak sama
persis dengan moralitas. Etika adalah semacam penelaahan (baik aktivitas
penelaahan maupun hasil-hasil penelaahan itu sendiri), sedangkan
moralitas merupakan pedoman yang dimiliki individu atau kelompok
mengenai
apa
itu
benar
dan
salah,
atau
baik
dan
jahat
(Suminarsasi,2011:4).
Setelah mengaitkan dengan moralitas, Velasquez mengembangkan
pengertian etika “sebagai ilmu yang mendalami standar moral perorangan
dan standar moral masyarakat”. Merujuk pada uraian di atas dapat diambil
pengertian bahwa etika pajak adalah peraturan dalam lingkup dimana
orang per orang atau kelompok orang yang menjalani kehidupan dalam
lingkup
perpajakan,
perpajakannya,
bagaimana
apakah
sudah
mereka
benar,
melaksanakan
salah,
baik
kewajiban
ataukah
jahat
(Suminarsasi, 2011 : 4).
I. Penggelapan Pajak (Tax Evasion)
1. Pengertian Penggelapan Pajak (Tax Evasion)
Masri (2012 : 5), menjelaskan pembahasan mengenai penggelapan
pajak (tax evasion) adalah sebagai berikut: “Usaha-usaha memperkecil
jumlah pajak dengan melanggar ketentuan-ketentuan pajak yang berlaku”.
Menurut Trihastuti (2009) penggelapan pajak (tax evasion) adalah
Penghindaran pajak dengan cara illegal adalah penggelapan pajak.
Hal ini perbuatan kriminal, karena menyalahi aturan yang berlaku.
Penggelapan pajak (tax evasion) secara umum bersifat melawan
hukum (illegal) dan mencakup perbuatan sengaja tidak melaporkan
secara lengkap dan benar objek pajak atau perbuatan melanggar
hukum (fraud) lainnya. Penggelapan pajak terjadi sebelum SKP
Universitas Sumatera Utara
dikeluarkan. Hal ini merupakan pelanggaran terhadap undangundang dengan maksud melepaskan diri dari pajak/mengurangi
dasar penetapan pajak dengan cara menyembunyikan sebagian dari
penghasilannya.
Penggelapan pajak, cenderung dilakukan oleh Wajib Pajak yang
memiliki penghasilan dalam jumlah yang tidak besar dan umumnya adalah
Wajib Pajak orang pribadi. Hal ini dilakukan karena :
a. Tidak punya kemampuan untuk mencari celah Undang-Undang Pajak.
b. Apabila
dokter/profesional
bebas
menyembunyikan
sebahagian
pendapatannya, kecil kemungkinan diketahui oleh fiskus kerena
pencatatan penghasilannya dilakukan oleh pihak Wajib Pajak itu
sendiri.
c. Penghasilan para profesional bebas sulit dilacak oleh fiskus karena
biaya yang dibayar oleh pasien kepada dokter tidak mengurangi
penghasilan kena pajak seseorang. Biaya tersebut dianggap sebagai
konsumsi.
Menurut Wallschutzki beberapa alasan yang menjadi pertimbangan
Wajib Pajak untuk melakukan penghindaran pajak (Nurmantu dalam
Suryani, 2013 : 52), adalah sebagai berikut:
a. Ada peluang untuk melakukan penghindaran pajak karena ketentuan
perpajakan yang ada belum mengatur secara jelas mengenai ketentuanketentuan tertentu
b. Kemungkinan perbuatannya diketahui relatif kecil
c. Manfaat yang diperoleh relatif besar daripada resikonya
d. Sanksi perpajakan yang tidak terlalu berat
Universitas Sumatera Utara
e. Ketentuan perpajakan tidak berlaku sama terhadap seluruh Wajib
Pajak
f. Pelaksanaan penegakan hukum yang bervariasi
2. Dampak Melakukan Penggelapan Pajak
a. Dalam Bidang Keuangan
Pengelakan pajak merupakan pos kerugian bagi kas negara karena
dapat
menyebabkan
ketidakseimbangan
antara
anggaran
dan
konsekuensi-konsekuensi lain yang berhubungan dengan itu. Seperti
kenaikan tarif pajak, keadaan inflasi, dan lain-lain.
b. Dalam bidang ekonomi
Penggelapan pajak sangat mempengaruhi persaingan sehat diantara
para pengusaha, maksudnya pengusaha yang melakukan penggelapan
pajak dengan cara menekan biayanya secara tidak wajar. Sehingga
perusahaan yang mengelakkan pajak memperoleh keuntungan yang
lebih besar dibandingkan pengusaha yang jujur. Walaupun dengan
usaha dan produktifitas yang sama, si pengelak pajak mendapat
keuntungan yang lebih besar dibandingkan dengan pengusaha yang
jujur.
Pengelakan
pajak
menyebabkan
stagnasi
(macetnya)
pertumbuhan ekonomi atau perputaran roda ekonomi. Jika mereka
terbiasa melakukan pengelakan pajak atau penggelapan pajak, maka
mereka tidak akan mampu meningkatkan produktivitas mereka. Untuk
memperoleh laba yang lebih besar, mereka akan melakukan
pengelakan pajak. Langkanya modal karena Wajib Pajak berusaha
Universitas Sumatera Utara
menyembunyikan penghasilan agar tidak diketahui fiskus. Sehingga
mereka tidak berani menawarkan uang hasil pengelakan pajak tersebut
ke pasar modal.
c. Dalam bidang psikologi
Jika Wajib Pajak terbiasa melakukan penggelapan pajak, itu sama saja
membiasakan untuk selalu melanggar Undang-Undang. Jika Wajib
Pajak menggelapkan
pajak, maka
Wajib Pajak mendapatkan
keuntungan bersih yang lebih besar. Jika perbuatannya melanggar
Undang-Undang tidak diketahui oleh fiskus, maka dia akan senang
karena tidak dikenakan sanksi dan menimbulkan keinginan untuk
mengulangi perbuatannya itu lagi pada tahun-tahun berikutnya dan
diperluas lagi tidak hanya pada pelanggaran Undang-Undang pajak,
tetapi juga Undang-Undang yang lainnya.
Dari berbagai dampak penggelapan pajak yang telah dijelaskan
diatas, maka dapat dipahmi bahwa penggelapan pajak pada dasarnya
merupakan suatu aktivitas yang sangat berbahaya dilakukan. Analoginya,
setiap Wajib Pajak merasa bahwa mereka ingin memperoleh penghasilan
yang penuh tanpa menyelesaikan kewajiban mereka sebagai Wajib Pajak.
Universitas Sumatera Utara
J. Penelitian Terdahulu
Table 2.1
Penelitian Terdahulu
Penelitian
(Tahun)
Irma
Suryani
Rahman
(2013)
Judul
Penelitian
Pengaruh
keadilan, sistem
perpajakan,
diskriminasi,
dan
kemungkinan
terdeteksinya
kecurangan
terhadap
persepsi Wajib
Pajak Mengenai
Etika
Penggelapan
Pajak (Tax
Evasion).
1.
2.
3.
4.
5.
Variabel
Penelitian
Keadilan (X1)
Sistem
Perpajakan
(X2)
Diskriminasi
(X3)
Kemungkinan
Terdeteksinya
Kecurangan
(X4)
Etika
Penggelapan
Pajak (Y)
Metode Penelitian
Persamaan
Perbedaan
1. Variabel
1. Ruang lingkup
independen yang
pengambilan
sama yaitu
sampel dalam
Keadilan, Sistem
penelitian ini pada
Perpajakan,
KPP di Jakarta dan
Diskriminasi dan
lebih dari satu KPP.
2. Variabel
Kemungkinan
Independen lebih
Terdeteksinya
kompleks jika
Kecurangan.
dibandingkan
2. Proses
dengan penelitian
pengambilan
terdahulu.
sampel dengan
metode
convenience
nonprobability
sampling.
3. Menggunakan
skala likert untuk
pengukuran
variable.
Hasil Penelitian
Penggelapan pajak merupakan sesuatu yang
seharusnya dapat diatasi. Variabel
independen dari penelitian ini berpengaruh
terhadap persepsi Wajib Pajak mengenai
etika penggelapan pajak, terkecuali sistem
perpajakan dan kemungkinan terdeteksinya
kecurangan memiliki pengaruh negatif.
Penelitian ini memberikan banyak
pertimbangan untuk mengatasi berbagai
penggelapan pajak.
Universitas Sumatera Utara
Fadjar O.P.
Siahaan
Expert
Staff in
Indonesian
Supreme
Audit
Institution
Airlangga
University
Surabaya
Indonesia
(2012)
Suminarsas
i dan
Supriyadi
(2011)
The Influence
Variabel
of Tax Fairness Independen :
1. Tax Fairness
and
Communication 2. Communication
3. Trust
on Voluntary
Compliance:
Variabel
Trust as an
Dependen:
1. Tax Compliance
Intervening
Variable
Pengaruh
Keadilan,
Sistem
Perpajakan, dan
Diskriminasi
terhadap
Persepsi Wajib
Pajak Mengenai
Etika
Penggelapan
Pajak.
1. Keadilan (X1)
2. Sistem
Perpajakan (X2)
3. Diskriminasi
(X3)
4. Etika
Penggelapan
Pajak (Y)
Terdapat variabel
independen yang
sama yaitu Tax
Fairness.
1.
2.
3.
1. Variabel
independen yang
sama yaitu
Sistem
Perpajakan dan
Diskriminasi.
2. Proses
pengambilan
sampel dengan
metode
convenience
nonprobability
sampling.
3. Menggunakan
skala likert untuk
Terdapat variabel
independen yang
berbeda yaitu
Communication
and Trust.
Lokasi penelitian
berbeda.
Adanya variabel
Communication
and Trust.
1. Ruang lingkup
pengambilan
sampel dalam
penelitian ini pada
KPP di Jakarta.
2. Variable
independen yaitu
Kecenderungan
Personal.
Hasil dari penelitian ini adalah terdapat
pengaruh yang langsung dan signifikan yang
tampak pada variabel independen Tax
fairness terhadap kepatuhan Wajib Pajak
(Tax Compliance), dan tidak terdapat
pengaruh langsung dan signifikan yang
tampak pada variabel independen
Communication terhadap Kepatuhan Wajib
Pajak.
Penggelapan pajak dipandang sebagai suatu
hal yang etis dan juga tidak etis, hasil dari
penelitian ini hanya mendukung dua dimensi
saja, yaitu sistem perpajakan dan
diskriminasi, sehingga variable keadilan
belum bisa dibuktikan.
Universitas Sumatera Utara
pengukuran
variabel.
Ayu dan
Hastuti
(2009)
Persepsi Wajib
Pajak: Dampak
Pertentangan
Diametral Pada
Tax Evasion
Wajib Pajak
Dalam Aspek
Kemungkinan
Terdeteksinya
Kecurangan,
Keadilan,
Ketepatan
Pengalokasian,
Teknologi
Sistem
Perpajakan dan
Kecenderungan
Personal
(Studi
Wajib Pajak
Orang Pribadi).
Ayu (2011) Persepsi
Efektivitas
Pemeriksaan
Variabel
Independen:
Kecurangan,
Keadilan,
Ketepatan
Pengalokasian,
dan Teknologi
Informasi Sistem
Perpajakan
Variabel
Dependen:
Penggelapan
Pajak (Tax
Evasion)
1. Variabel
Independen yaitu
Kemungkinan
Terdeteksi
Kecurangan.
2. Variabel
Dependen
Penggelapan
Pajak (Tax
Evasion).
3. Data dianalisis
dengan Analisis
Regresi Linier
Berganda.
1. Ruang lingkup
penelitian ini
dilakukan Pada
Wajib Pajak di
Kantor Pelayanan
Pajak se Jogjakarta.
Berdasarkan pengujian yang dilakukan
dengan regresi liner ditemukan bahwa
kemungkinan terdeteksinya kecurangan
terhadap tax evasion mempunyai
koefisien negatif (-0.501 ) yang signifikan
(.00), Hasil pengujian juga menunjukan
bahwa pengaruh ketepatan pemanfaatan
hasil pajak berpengaruh secara negatif (0.28
6) dan signifikan (.003) terhadap tax evasion.
Sedangkan persepsi terhadap keadilan,
penggunaan teknologi dan kecenderungan
tax evasion seseorang ternyata tidak
berpengaruh secara signifikan pada tingkat
tax evasion.
Variabel
Independen:
Wajib Pajak,
1. Variabel
independen
Pemeriksaan
1. Ruang lingkup
penelitian ini
dilakukan di Wajib
Hasil pengujian dengan menggunakan
regresi linear sederhana menunjukan hasil
bahwa persepsi terhadap kemungkinan
Universitas Sumatera Utara
Pajak Terhadap
Kecenderungan
Melakukan
Perlawanan
Pajak.
Fiskus dan
Pemeriksaan
Pajak
Variabel
Dependen:
Penggelapan
Pajak
pajak.
2. Variabel
Dependen
Penggelapan
Pajak.
Pajak Orang Pribadi
yang mempunyai
usaha, yang
berlokasi di
Semarang.
2. Metode penentuan
sample dalam
penelitian ini adalah
quota sampling.
3. Anlisis data dengan
regresi linier
sederhana.
terdeteksinya kecurangan berpengaruh
negatif terhadap tax evasion. Persentase
kemungkinan suatu pemeriksaan pajak
dilakukan sesuai dengan aturan perpajakan
dapat mendeteksi kecurangan yang
dilakukan Wajib Pajak sehingga
berpengaruh pada Tax Evasion.
Nickerson,
Barry
University,
Larry
Pleshko,
Kuwait
University,
(2010)
Presenting The
Dimensionality
of An Ethics
Scale Pertaining
to Tax Evasion
Variabel
Independen:
Fairness, Tax
System, and
Discrimination
Variabel
Dependen:
Tax Evasion
1. Variabel
Independen Tax
System and
Discrimination.
2. Variabel
Dependen Tax
Evasion.
1. Ruang lingkup
penelitian ini
dilakukan di enam
Negara, yaitu
Argentina,
Guatemala, Poland,
Romania, United
Kingdom dan USA.
Hasil penelitian menunjukkan tingkat
penilaian di masing-masing Negara berbedabeda. UK memiliki nilai rata-rata terendah
sebesar 4.15 yang mengindikasikan
rendahnya perlawanan terhadap tindak
penggelapan pajak, USA memiliki skor ratarata tertinggi sebesar 5.62.
Mcgee,
Simon S.M
Ho, and
Annie
(2008)
A Comparative
Study on
Perceived,
Ethics of Tax
Evasion:
Hongkong Vs
Variabel
Independen:
Ethics, Tax,
Hongkong, The
US, Cultural
differecnes
1. Variabel
Independen
Ethics.
2. Variabel
Dependen Tax
Evasion.
1. Ruang lingkup
penelitian ini
dilakukan
Hongkong dan US.
2. Populasi dalam
penelitian adalah 90
Hasil penelitian menunjukkan penelitian di
dua Negara tersebut bahwa penggelapan
pajak adalah etis atau tidak etis, tergantung
dari beberapa keadaan dimana pemerintah
yang korup, performa pemerintahan yang
buruk, adanya ketidakadilan, lemahnya
Universitas Sumatera Utara
Inge
Nickerson,
Barry
University
Larry
Pleshko,
Kuwait
University
Robert W.
McGee,
Florid
a
Internation
al
University
(2009)
the United
States
Variabel
Dependen:
Tax
Evasion
Presenting The
Dimensionality
Of An Ethics
Scale Pertaining
To Tax
Evasion.
Variabel
Independen :
1. Fairness
2. Tax System
3. Discrimination
Variabel
Dependen :
1. Tax Evasion
Terdapat variabel
Independen yang
sama dengan
penelitian-penelitian
sebelumnya, yaitu
Fairness, Tax
System, dan
Discrimination.
mahasiswa bisnis di
Universitas Baptist
di Hongkong dan
273 mahasiswa
bisnis di US.
3. Teknik
pengumpulan data
melalui survey.
hukum, perbedaan kebudayaan dan motif
keegoisan.
Pengambilan sampel
yang dilakukan hingga
120 individu, dan dari
6 negara yang
berbeda. Penelitian ini
juga dilakukan dengan
kegiatan analisis,
diskusi dan studi
pustaka.
Hasil penelitian ini adalah fairness memiliki
hubungan ataupun pengaruh positif terhadap
tax evasion, sedangkan discrimination
memiliki hubungan negatif dan Tax system
juga memiliki hubungan negatif dalam
mempengaruhi etika penggelapan pajak.
Universitas Sumatera Utara
K. Keterkaitan Antar Variabel Dengan Hipotesis
1. Intensitas Pemeriksaan Pajak Dengan Etika Penggelapan Pajak
Intensitas pemeriksaan pajak merupakan suatu hal yang sering
dianggap sebagai momok bagi setiap Wajib Pajak, terutama WP Badan.
Dimana pemeriksaan pajak menurut Ditjen Pajak adalah “serangkaian
kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang
dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar
pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kebutuhan perpajakan
dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan”.
Adanya korelasi antara intensitas pemeriksaan pajak dengan
penggelapan pajak adalah bahwa ketika pemeriksaan pajak dilakukan
secara intensif ataupun dalam suatu periode yang teratur, maka
penggelapan pajak akan semakin kecil. Penggelapan pajak banyak
dilakukan oleh Wajib Pajak karena kurangnya pengawasan yang dilakukan
oleh Ditjen pajak, maka dari itu perlu adanya intensitas pemeriksaan pajak
yang lebih intensif. Pemeriksaan pajak dapat dilakukan sebagai alat
evaluasi penerapan berbagai Peraturan Perundang-Undangan Perpajakan
yang seharusnya dapat diaplikasikan dengan baik. Untuk menghindari
terjadinya penggelapan pajak, maka para Wajib Pajak harus lebih di
kontrol untuk mengukur tingkat kepatuhannya. Maka semakin tinggi
tingkat intensitas pemeriksaan pajak yang dilakukan oleh Ditjen pajak,
Universitas Sumatera Utara
maka akan semakin rendah tingkat penggelapan pajak yang dilakukan.
Hipotesis pertama adalah sebagai berikut :
Ha1 : Intensitas pemeriksaan pajak berpengaruh negatif terhadap etika
penggelapan pajak.
2. Keadilan Dengan Etika Penggelapan Pajak
Teori keadilan dalam penelitian ini berperan sebagai teori yang
melihat apakah sistem perpajakan yang ada di dalam suatu negara sudah
berjalan sesuai dengan hukum dan standar yang sudah memenuhi kriteria
adil atau belum. Dalam konteks perpajakan, keadilan mengacu pada
pertukaran antara pembayar pajak dengan pemerintah, yaitu apa yang
Wajib Pajak terima dari pemerintah atas sejumlah pajak yang telah di
bayar (Spicer & Lundstedt, 1976).
Ada dua premis dasar mengenai teori keadilan, yaitu salah satunya
adalah bahwa penilaian keadilan diasumsikan berdasarkan proksi atas
kepercayaan antar pribadi untuk berprilaku dengan cara yang kooperatif
dalam lembaga-lembaga sosial. Kedua adalah banyak orang diasumsikan
menggunakan jalan pintas kognitif untuk memastikan apakah mereka
memiliki penilaian mengenai keadilan yang tersedia ketika mereka perlu
untuk membuat keputusan tentang keterlibatan dalam perilaku yang
kooperatif (Greenberg, 2003). Melalui hal tersebut dapat dilihat, bahwa
persepsi adil bagi seseorang akan sangat mempengaruhi perilaku mereka
ketika ingin terlibat dalam suatu kegiatan yang berhubungan dengan
Universitas Sumatera Utara
pemerintah dan juga secara tidak langsung mempengaruhi perilaku dari
setiap orang yang terlibat secara bersamaan.
Sama halnya dengan bidang perpajakan, maka dapat diketahui
bahwa korelasi antara keadilan dengan etika penggelapan pajak adalah
sangat erat. Hal ini dapat dianalogikan dengan keadilan yang akan
diberikan oleh pemerintah dalam hal ini adalah Ditjen Pajak ataupun
fiskus dalam bentuk pelayanan, tarif, kesamaan penerapan sistem
perpajakan dan lain sebagainya. Maka dari itu, harus terdapat keadilan
baik dalam hal perlakukan yang sama terhadap setiap Wajib Pajak dan
juga bentuk realisasi dari kontribusi Wajib Pajak yang telah melakukan
pembayaran pajak secara teratur.
Hasil penelitian Suryani (2013 : 110) menyatakan bahwa, “variabel
Keadilan mempunyai tingkat signifikasi sebesar 0,001 dan nilai t sebesar
3,310. Hal ini berarti Ha1 diterima sehingga dapat dikatakan bahwa
keadilan berpengaruh positif dan signifikan terhadap penggelapan pajak
karena tingkat signifikasi yang dimiliki variabel keadilan < 0,05 (0,001 <
0,05) dan nilai thitung> 1,97 (3,310 > 1,97)”. Perlakuan yang tidak adil
dapat menyebabkan Wajib Pajak melakukan penggelapan pajak, malas
membayar pajak, dan tidak perduli dengan peraturan perpajakan. Mereka
akan merasa rugi telah membayar pajak apabila tidak memperoleh umpan
balik yang baik. Dengan demikian, perlakuan yang adil akan berpartisipasi
untuk meminimalisir penggelapan pajak. Hipotesis kedua adalah :
Ha2 : Keadilan berpengaruh positif terhadap etika penggelapan pajak.
Universitas Sumatera Utara
3. Kepatuhan Wajib Pajak Dengan Etika Penggelapan Pajak
Definisi kepatuhan perpajakan menurut James yang dikutip oleh
Gunadi (dalam Anggraeni 2013 : 5) menyatakan bahwa:
Kepatuhan pajak (Tax Compliance) Berarti bahwa Wajib Pajak
mempunyai kesediaan untuk memenuhi kewajiban pajaknya sesuai
dengan aturan yang berlaku tanpa perlu diadakannya pemeriksaan.
Investigasi sesama (obtrusive investigasi), peringatan ataupun
ancaman dan penerapan sanksi baik hukum maupun administrasi.
Menurut Nurmantu (dalam Anggraeni 2013 : 86), terdapat dua
macam kepatuhan yaitu kepatuhan materil dan kepatuhan formal.
Kepatuhan materil adalah suatu keadaan dimana Wajib Pajak secara
substantif memenuhi semua ketentuan materil perpajakan, yakni sesuai isi
dan jiwa Undang-Undang Perpajakan. Sedangkan yang dimaksudkan
kepatuhan formal adalah suatu keadaan dimana Wajib Pajak memenuhi
kewajiban perpajakan secara formal sesuai dengan ketentuan Peraturan
Perundang-Undangan Perpajakan. Kewajiban perpajakan formal diatur
dalam Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum
dan Tata Cara Perpajakan.
Korelasi antara kepatuhan Wajib Pajak dengan etika penggelapan
pajak adalah setiap Wajib Pajak yang memiliki tingkat kepatuhan yang
tinggi tidak akan melakukan penggelapan pajak. Kepatuhan Wajib Pajak
yang baik akan dapat dilihat dari keteraturannya untuk menyetorkan pajak.
Kepatuhan Wajib Pajak di dasarkan pada adanya kesadaran secara mutlak
untuk turut serta dalam pelaksanaan pembangunan nasional. Dengan
Universitas Sumatera Utara
demikian kepatuhan Wajib Pajak sangat erat hubungannya dengan etika
penggelapan pajak. Hipotesis ketiga adalah :
Ha3 : Kepatuhan Wajib Pajak berpengaruh negatif terhadap etika
penggelapan pajak.
4. Pengetahuan Wajib Pajak Dengan Etika Penggelapan Pajak
Dalam penelitian Rahayu (2006) pengetahuan pajak dan keadilan
mempengaruhi tingkat kepatuhan Wajib Pajak secara signifikan yang
dilakukan pada 107 Wajib Pajak pribadi dan badan pada KPP Surakarta.
Penelitian yang diungkapkan oleh Cristensen et al. (1994) bahwa Wajib
Pajak yang memiliki pengetahuan yang baik, akan memiliki persepsi
keadilan yang positif terhadap sistem perpajakan yang berakibat tingkat
kepatuhan pajak lebih tinggi.
Setiap Wajib Pajak diharapkan mampu memperoleh pengetahuan
mengenai perpajakan secara baik. Menurut Hidayat (2013 : 358), untuk
meningkatkan pengetahuan Wajib Pajak maka harus dilakukan sosialisasi
secara luas, yang diharapkan dapat dijangkau oleh seluruh WP, sehingga
WP tahu hak dan kewajibannya. Dimana, analoginya sebenarnya
Direktorat Jenderal Pajak mebutuhkan Wajib Pajak untuk taat pajak,
bukan Wajib Pajak yang butuh membayar pajak. Dengan demikian,
melalui sosialisasi perpajakan maka Wajib Pajak akan memiliki
pengetahuan yang lebih baik, mereka juga akan memiliki kesadaran yang
lebih tinggi untuk membayar pajak.
Universitas Sumatera Utara
Korelasi
antara
pengetahuan
Wajib
Pajak
dengan
etika
penggelapan pajak adalah setiap Wajib Pajak yang memiliki pengetahuan
pajak yang sempurna dia akan menyadari posisinya sebagai seorang Wajib
Pajak. Maka, Wajib Pajak tersebut akan melakukan pembayaran pajak
dengan baik, dia tidak akan merasa dirugikan dengan melakukan
pembayaran pajak tersebut. Pengetahuan Wajib Pajak yang baik, akan
meminimalisir terjadinya penggelapan pajak. Hal ini dikarenakan setiap
Wajib Pajak akan melaksanakan kewajibannya sebagaimana mestinya,
setiap Wajib Pajak yang merupakan para akademisi, ataupun praktisi akan
lebih mampu memahami kewajibannya tanpa harus memungkiri dengan
cara melakukan penggelapan pajak. Hipotesis keempat adalah :
Ha4 : Pengetahuan Wajib Pajak berpengaruh negatif terhadap etika
penggelapan pajak.
5. Sistem Perpajakan Dengan Etika Penggelapan Pajak
Sistem perpajakan di Indonesia menerapkan Self Assesment System
yaitu suatu sistem pemungutan yang Wajib Pajaknya boleh menghitung,
membayar, dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang harus disetor.
Dalam sistem ini, Wajib Pajak bersifat aktif, sedangkan fiskus
(pemerintah) hanya mengawasi. Oleh karena itu, Wajib Pajak harus
mengetahui kapan mulainya suatu kewajiban pajak dan kapan berakhirnya
kewajiban-kewajiban yang menyertainya.
Dalam penelitian Suryani (2013 : 96) menunjukkan sistem
perpajakan mempunyai tingkat pengaruh signifikasi sebesar 0,036 dan
Universitas Sumatera Utara
nilai t sebesar - 2,115. Hal ini berarti Ha2 diterima sehingga dapat
dikatakan bahwa sistem perpajakan berpengaruh negatif dan signifikan
terhadap penggelapan pajak karena tingkat signifikasi yang dimiliki
variabel sistem perpajakan < 0,05 (0,036 < 0,05) dan nilai t hitung> 1,97 (2,115 > 1,97). Hasil penelitian ini konsisten dengan penelitian yang
dilakukan oleh McGee (2008), Nickerson, et al (2009), Suminarsasi (2011)
menyatakan bahwa sistem perpajakan memiliki korelasi negatif signifikan
terhadap penggelapan pajak.
Pengaplikasian sistem perpajakan menjadi sesuatu yang sangat
penting. Hal ini berarti para Wajib Pajak menganggap bahwa semakin
bagus sistem perpajakannya maka perilaku penggelapan pajak dianggap
sebagai perilaku yang tidak etis. Akan tetapi apabila sistem perpajakannya
semakin tidak bagus, maka perilaku penggelapan pajak dianggap sebagai
perilaku yang cenderung etis. Sangat jelasa bahwa sistem perpajakan yang
diterapkan sebuah negara merupakan motivasi bagi masyarakat untuk
membayar pajak.
Penelitian ini mendukung penelitian yang dilakukan oleh
Nickerson, et al (2009) yang menemukan dimensi skala etis dalam
penggelapan pajak, salah satunya adalah dimensi sistem perpajakan.
Peneliti berargumen bahwa pengelolaan uang pajak yang dapat
dipertanggungjawabkan, petugas pajak yang kompeten dan tidak korup,
dan juga prosedur perpajakan yang tidak berbelit-belit akan membuat
Wajib Pajak enggan untuk menggelapkan pajak. Akan tetapi, apabila
Universitas Sumatera Utara
pengelolaan uang pajak tidak jelas, ditambah lagi petugas pajaknya justru
mengkorupsi uang pajak, maka para Wajib Pajak enggan untuk
melaporkan kewajibannya dengan jujur, mereka akan cenderung untuk
menggelapkan pajak. Hipotesis kelima adalah :
Ha5 : Sistem Perpajakan berpengaruh negatif terhadap etika penggelapan
pajak.
6. Diskriminasi Dengan Etika Penggelapan Pajak
Diskriminasi adalah merujuk pada pelayanan yang tidak adil
terhadap individu tertentu, dimana pelayanan ini dibuat berdasarkan
karakteristik yang diwakili individu tersebut. Sama halnya dengan
diskriminasi di bidang perpajakan yaitu suatu keadaan dimana menurut
Danandjaja (2003) diskriminasi adalah perlakuan yang tidak seimbang
terhadap perorangan atau kelompok, berdasarkan sesuatu, biasanya
bersifat kategorikal, atau atribut-atribut khas, seperti berdasarkan ras,
kesuku bangsaan, agama, atau keanggotaan kelas-kelas sosial.
Hasil penelitian Suryani (2013 : 114), variabel diskriminasi
mempunyai tingkat signifikasi sebesar 0,000 dan nilai t sebesar 7,350. Hal
ini berarti Ha3 diterima sehingga dapat dikatakan bahwa diskriminasi
berpengaruh positif dan signifikan terhadap penggelapan pajak karena
tingkat signifikasi yang dimiliki variabel diskriminasi < 0,05 (0,000 <
0,05) dan nilai thitung> 1,97 (7,350 > 1,97).
Di dalam bidang perpajakan, diskriminasi merupakan suatu kondisi
dimana pihak Ditjen Pajak membeda-bedakan perlakuan terhadap setiap
Universitas Sumatera Utara
Wajib Pajak. Diskriminasi ini akan meningkatkan penggelapan pajak yang
akan dilakukan oleh Wajib Pajak, dimana kondisi ini disebabkan oleh
pihak Ditjen Pajak sendiri yang tidak mampu berlaku adil. Diskriminasi
ini, tercipta karena suatu keadaan-keadaan tertentu, misalnya adanya
hubungan istimewa diantara pihak Ditjen pajak dengan Wajib Pajak. Hal
ini menyebabkan mereka akan melakukan kecurangan misalnya saja
melakukan transfer pricing, kerja sama untuk memperkecil pajak,
kemudian akan memberikan imbalan kepada pihak Ditjen Pajak. Hal ini
akan meningkatkan terjadinya penggelapan pajak. Hipotesis keenam
adalah :
Ha6 : Diskriminasi berpengaruh positif terhadap etika penggelapan pajak.
7. Kemungkinan Terdeteksi Kecurangan Dengan Etika Penggelapan
Pajak
Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh
Suryani (2013 : 133), dapat dinyatakan bahwa “variabel kemungkinan
terdeteksinya kecurangan memiliki pengaruh negatif terhadap etika
penggelapan pajak”. Hal ini dapat dibuktikan dengan hasil penelitian
variabel
kemungkinan
terdeteksi
kecurangan
mempunyai
tingkat
signifikasi sebesar 0,000 dan nilai t sebasar -4,490. Hal ini berarti Ha4
diterima sehingga dapat dikatakan bahwa kemungkinan terdeteksi
kecurangan berpengaruh negatif dan signifikan terhadap penggelapan
pajak karena tingkat signifikasi yang dimiliki variabel kemungkinan
Universitas Sumatera Utara
terjadinya kecurangan < 0,05 (0,000 < 0,05) dan nilai thitung> 1,97 (4,490 > 1,97).
Ketika Wajib Pajak menganggap bahwa persentase terhadap
kemungkinan terdeteksinya kecurangan adalah tinggi yaitu dengan
dilakukannya pemeriksaan pajak. Hal ini berarti bahwa adanya rasa
khawatir yang dimiliki Wajib Pajak bahwa kemungkinan terdeteksinya
kecurangan akan menyebabkan mereka lebih mematuhi peraturan
perpajakan dan bahkan penggelapan pajak akan menjadi lebih rendah.
Analoginya, Wajib Pajak akan sangat takut terjerat hukum, jika mereka
melakukan penggelapan pajak yang nantinya mereka akan memperoleh
sanksi atau bahkan denda yang lebih besar. Hal ini tentunya akan
meminimalisir penggelapan pajak yang mungkin terjadi. Hipotesis ketujuh
dan kedelapan adalah :
Ha7 : Kemungkinan terdeteksinya kecurangan berpengaruh negatif
terhadap etika penggelapan pajak.
Ha8 : Intensitas pemeriksaan pajak (tax audit), keadilan (tax fairness),
kepatuhan Wajib Pajak (tax compliance), pengetahuan Wajib
Pajak
(tax
knowledge),
sistem
perpajakan
(tax
system),
diskriminasi (discrimination), dan kemungkinan terdeteksinya
kecurangan (fiscal fraud) berpengaruh secara simultan terhadap
persepsi Wajib Pajak mengenai etika penggelapan pajak (Tax
Evasion).
Universitas Sumatera Utara
L. Kerangka Konseptual
Kerangka konseptual ini memaparkan keterkaitan antara variabelvariabel independen terhadap variabel dependen.
Gambar 2.1
Kerangka Konseptual
Intensitas Pemeriksaan Pajak
(tax audit)
(X1)
Ha1
Keadilan (tax fairness)
(X2)
Ha2
Kepatuhan Wajib Pajak (tax
compliance)
(X3)
Pengetahuan Wajib Pajak (tax
knowledge)
(X4)
Ha3
Persepsi Wajib Pajak
Mengenai Etika
Penggelapan Pajak (Tax
Evasion)
(Y)
Ha4
Ha5
Sistem Perpajakan (tax system)
(X5)
Diskriminasi (discrimination)
(X6)
Ha6
Ha7
Kemungkinan Terdeteksinya
Kecurangan (fiscal fraud)
(X7)
Ha8
Universitas Sumatera Utara
M. Kerangka Operasional Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah dan tujuan penelitian, maka
secara skematis dapat dipaparkan kerangka pemikiran sebagai berikut:
Gambar 2.2
Kerangka Pemikiran Penelitian
Kantor Pelayanan Pajak
(KPP) Pratama MedanPolonia
Persepsi Etika Penggelapan
Pajak (Y)
Intensitas
Pemeriksaan
Pajak (X1)
Sistem
Perpajakan
(X5)
Keadilan
(X2)
Kepatuhan Wajib
Pajak
(X3)
Diskriminasi
(X6)
Pengetahuan
Wajib Pajak
(X4)
Kemungkinan
Terdeteksi Kecurangan
(X7)
Statistik Deskriptif
Uji Kualitas Data :
1. Uji Validitas Data
2. Uji Reliabilitas
Universitas Sumatera Utara
Lanjutan Gambar 2.2
Kerangka Pemikiran Penelitian
Uji Asumsi Klasik :
1. Normalitas
2. Multikolonieritas
3. Heteroskedastisitas
Uji Regresi Berganda
Uji Hipotesis Penelitian
Adjusted R2
Uji F
Uji t
Analisis dan Pembahasan
Universitas Sumatera Utara
Download