analisis kebijakan pengendalian inflasi di indonesia - E

advertisement
Widya Cipta,Vol. VIII, No.1 Maret 2016
ANALISIS KEBIJAKAN PENGENDALIAN INFLASI DI INDONESIA
Sri Harjunawati
Program Studi Komputerisasi Akuntansi
AMIK BSI Jakarta
[email protected]
ABSTRACT
It should be recognized that inflation is directly or indirectly contributing to the economic
conditions in a country. In the visible inflation adds to the economic burden of the public because
of a decline in the purchasing power of money against goods, but inflation at a certain level to be
able to spur the business sector is not impossible that even a positive impact on the increase in
national income. The absence of inflation that does not mean people live without the burden, but in
fact its absence affects the economic downturn due to the decline in business activity. The reverse
is also not allowed to happen. Inflation that is too large to make the business sector helpless.
Society can not afford to buy the products produced as a result of a decrease in purchasing power
of money against goods. If not also found a market share of new Yag then gradually they will be
weak even might take steps as an alternative terakhirnya.Inflasi liquidation related to a lot of
things that are essentially related to the amount of money in circulation and the number of
products available in the community. Inflation main problems is how to make a controlled
inflation and may create a situation conductive to the business sector. Here the Government was
instrumental in lucuran policies that really wise and in favor of the interests of the people.
Government policy is like a drug. The dose required for the welfare of the people that fit the
proper diagnosis.
Keywords: Controlling, Inflation, Policy
I. PENDAHULUAN
Kemakmuran suatu bangsa dapat dilihat
dari seberapa besar kebutuhan masyarakatnya
terpenuhi. Kebutuhan hanya dapat terpenuhi
dangan alat pemuas kebutuhan yang
dimilikinya dimana alat pemuas kebutuhan
tersebut dapat dibeli dengan menggunakan
uang sebagai penukarnya. Secara umum, inflasi
dapat diartikan sebagai suatu proses suatu
peristiwa dimana terjadi kecenderungan
kenaikan harga-harga secara umum dan terus
menerus. Tingkat harga yang dianggap tinggi
belum tentu menunjukkan inflasi. Inflasi
dianggap terjadi jika proses kenaikan harga
berlangsung terus -menerus dan saling
mempengaruhi.
Bank Indonesia menyatakan bahwa
inflasi dapat diartikan sebagai suatu keadaan di
mana terjadi kenaikan harga secara terus
menerus (www.bi.go.id). Kenaikan harga ini
disebabkan karena terjadi kelebihan permintaan
terhadap barang-barang dalam perekonomian,
secara keseluruhan dan terus menerus.
Kelebihan permintaan tersebut dapat diartikan
ganda, yaitu pengeluaran yang diharapkan
terlalu banyak dibandingkan dengan barang
yang tersedia, atau barang yang tersedia terlalu
sedikit bila dibandingkan dengan tingkat
pengeluaran yang diharapkan.
64
Inflasi yang terlalu besar akan
berdampak buruk terhadap perekonomian suatu
negara. Lemahnya daya beli uang terhadap
barang dapat diartikan lemahnya daya beli
masyarakat. Masyarakat di sini adalah pasar,
tempat dimana barang dan jasa yang dihasilkan
produsen akan dijual. Jika daya beli masyarakat
lemah maka mereka tidak akan mampu
melakukan pembelian, bahkan mungkin untuk
barang dan jasa yang dibutuhkan. Dampak dari
keadaan tersebut adalah suatu penurunan
penjualan barang dan jasa. Penurunan
penjualan ini akan menyebabkan produsen
tidak akan memproduksi barang dan jasa
seperti semula. Mereka akan menurunkan
tingkat produksinya kecuali apabila produsen
berhasil menemukan dan menembus pangsa
pasar baru sebagai perluasan atau alternatif
pasar sebelumnya. Apabila produsen tidak
melakukan atau tidak mampu hal tersebut di
atas maka produsen tetap sepenuhnya akan
tergantung dengan kebijakan pemerintah.
Dalam beberapa kurun waktu Indonesia
mengalami begitu banyak gejolak ekonomi.
Secara historis, tingkat dan volatilitas inflasi
Indonesia lebih tinggi dibanding negara-negara
berkembang lain. Indonesia memiliki rata-rata
tingkat inflasi tahunan sekitar 8,5% sementara
negara-negara berkembang lain mengalami
tingkat inflasi antara 3% sampai 5% pada
Widya Cipta,Vol. VIII, No.1 Maret 2016
periode 2005-2014. Puncak-puncak inflasi
Indonesia berkorelasi dengan penyesuaian
harga-harga yang ditetapkan. Harga-harga
energi (bahan bakar dan listrik) ditetapkan oleh
Pemerintah sehingga tidak bergerak sesuai
dengan kondisi pasar. Hal ini berarti defisit
yang dihasilkan harus diserap oleh Pemerintah
atau Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
Pertamina dan Perusahaan Listrik Negara
(PLN). Program yang berumur memberikan
tekanan yang cukup serius pada neraca
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN) dan membatasi belanja publik untuk
proyek-proyek
berjangka
panjang
dan
produktif, seperti pembangunan infrastruktur
atau pembangunan sosial.
Beberapa institusi internasional seperti
International Monetary Fund (IMF) dan Bank
Dunia mengkritik Pemerintah Indonesia karena
menyediakan bahan bakar dan listrik murah
untuk para penduduknya. Menurut mereka
kebijakan ini menimbulkan kelemahan
finansial Indonesia. Hal tersebut terlihat jelas
karena Indonesia telah berubah menjadi
importir minyak netto di tahun 2000-an.
Indonesia
harus
membatasi
investasi
Pemerintah untuk sektor-sektor yang lebih
produktif. Bahan bakar yang murah
mendukung penjualan mobil dan kendaraan
bermotor di negara Indonesia. Peningkatan
penjualan ini tidak diimbangi dengan
peningkatan infrastrukturnya. Ketimpangan ini
meningkatkan kemacetan lalu lintas di kotakota besar Indonesia, termasuk Ibu Kota.
Melakukan dendistorsi perekonomian dengan
menjaga harga lebih rendah tidak mendukung
kekuatan ekonomi golongan rendah. Golongan
ekonomi menengah ke atas yang paling
diuntungkan dari rendahnya harga bahan bakar,
bukan segmen penduduk miskin dalam
masyarakat Indonesia yang sebenarnya menjadi
sasaran subsidi pemerintah akan harga bahan
bakar. Masyarakat Indonesia menjadi terbiasa
dengan subsidi Pemerintah, terutama bahan
bakar yang murah.
Usaha-usaha untuk mengatur kembali
subsidi energi dilakukan pemerintah yang
berkuasa, namun usaha menata kembali subsidi
energi bereriko politik untuk elit yang
berkuasa.
Kegelisahan
politik
berupa
demonstrasi muncul sebagai akibat dari
kegelisahan masyarakat akibat tekanan inflasi
yang meningkat. Faktor yang tidak boleh
dilupakan berkaitan dengan karakteristik
Indonesia berupa besarnya penduduk yang
termasuk dalam kelompok yang hidup sedikit
di atas garis kemiskinan. Suatu kejutan inflasi
yang relatif kecil bisa mendorong mereka ke
bawah garis kemiskinan. Ketika harga minyak
internasional malambung tinggi, pemerintah
dibawah kepemimpinan Presiden Susilo
Bambang
Yudhoyono
(2004-2014)
memutuskan untuk mengurangi subsidi bahan
bakar secara besar-besaran di akhir 2005
dengan menaikan harga bahan bakar bersubsidi
lebih dari dua kali lipatnya. Kebijakan ini
menyebabkan tingkat inflasi mencapai dua
digit berkisar antara 14% sampai 19% (yearon-year) sampai Oktober 2006. Lebih lanjut
lagi, inflasi inti Indonesia untuk barang-barang
yang rentan terhadap volatilitas harga
sementara, telah menjadi tidak stabil karena
efek lanjut inflasi sebagai penyesuaian harga
energi yang berlanjut ke perekonomian yang
lebih luas. Sebagai contoh kenaikan biaya
transportasi mendorong terjadinya kenaikan
harga di sektor lain.
Bank Indonesia menyatakan bahwa
kestabilan inflasi merupakan prasyarat bagi
pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan
yang pada akhirnya memberikan manfaat bagi
peningkatan
kesejahteraan
masyarakat.
Pentingnya pengendalian inflasi didasarkan
pada pertimbangan bahwa inflasi yang tinggi
dan tidak stabil memberikan dampak negatif
kepada kondisi sosial ekonomi masyarakat.
Mengacu pada besarnya pengaruh inflasi di
Indonesia kita perlu mendiskusikan bagaimana
tingkat inflasi Indonesia, dan kebijakankebijakan apa yang dapat diambil untuk
meredam inflasi sehingga Indonesia tetap
merupakan negara dengan ekonomi terbesar di
Asia Tenggara.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian Inflasi
Badan Pusat Statistik Indonesia (2016)
mendefinisikan inflasi sebagai kenaikan harga
barang dan jasa secara umum dimana barang
dan jasa tersebut merupakan kebutuhan pokok
masyarakat atau turunnya daya jual mata uang
suatu
negara.Bank
Indonesia
sendiri
mengartikan inflasi sebagai meningkatnya
harga-harga secara umum dan terus menerus.
Kenaikan harga dari satu atau dua barang saja
tidak dapat disebut inflasi kecuali bila kenaikan
itu meluas (atau mengakibatkan kenaikan
harga) pada barang lainnya. Kebalikan dari
inflasi disebut deflasi. Pengertian inflasi
(Sobel, 2009:265) adalah peningkatan tingkat
umum harga barang dan jasa. Inflasi sendiri
bukan merupakan suatu gejala dimana terjadi
kenaikan harga pada jangka waktu yang
pendek, melainkan bahwa inflasi menunjukkan
peningkatan harga yang berlangsung pada
jangka waktu yang relatif panjang (Boyes dan
Richard Malvin, 2008: 172).
65
Widya Cipta,Vol. VIII, No.1 Maret 2016
Dalam hampir seluruh kasus inflasi
besar atau terus-menerus, pelakunya adalah
pertumbuhan jumlah uang. Ketika pemerintah
menciptakan uang dengan jumlah besar, maka
nilai uang akan jatuh.
Bank Indonesia secara sederhana mengartikan
inflasi sebagai meningkatnya harga-harga
secara umum dan terus menerus. Kenaikan
harga dari satu atau dua barang saja tidak dapat
disebut inflasi kecuali bila kenaikan itu meluas
(atau mengakibatkan kenaikan harga) pada
barang lainnya. Kebalikan dari inflasi disebut
deflasi.
Menurut BPS (2016), indikator yang
sering digunakan untuk mengukur tingkat
inflasi adalah Indeks Harga Konsumen (IHK).
Inflasi yang diukur dengan IHK di Indonesia
dikelompokan ke dalam tujuh kelompok
pengeluaran (berdasarkan the Classification of
individual
consumption
by
purpose COICOP), yaitu: (1) kelompok bahan
makanan; (2) kelompok makanan jadi,
minuman, dan tembakau; (3) kelompok
perumahan; (4) kelompok sandang; (5)
kelompok kesehatan; (6) kelompok pendidikan
dan olah raga; (7) kelompok transportasi dan
komunikasi.
Disamping pengelompokan berdasarkan
COICOP tersebut, BPS saat ini juga
mempublikasikan
inflasi
berdasarkan
pengelompokan yang lainnya yang dinamakan
disagregasi inflasi. Disagregasi inflasi tersebut
dilakukan untuk menghasilkan suatu indikator
inflasi yang lebih menggambarkan pengaruh
dari faktor yang bersifat fundamental.
BPS
(2016)
mengelompokkan
disagegasi inflasi IHK tersebut menjadi: (1)
inflasi inti, yaitu komponen inflasi yang
cenderung menetap atau persisten (persistent
component) di dalam pergerakan inflasi dan
dipengaruhi oleh faktor fundamental, seperti:
interaksi permintaan-penawaran, lingkungan
eksternal: nilai tukar, harga komoditi
internasional, inflasi mitra dagang, ekspektasi
Inflasi dari pedagang dan konsumen; (2) inflasi
non inti, yaitu komponen inflasi yang
cenderung
tinggi
volatilitasnya
karena
dipengaruhi oleh selain faktor fundamental.
Komponen inflasi non inti terdiri dari: inflasi
komponen bergejolak (volatile food) yaitu
inflasi
yang
dominan
dipengaruhi
oleh shocks (kejutan) dalam kelompok bahan
makanan seperti panen, gangguan alam, atau
faktor perkembangan harga komoditas pangan
domestik maupun perkembangan harga
komoditas pangan internasional, dan inflasi
komponen harga yang
diatur
pemerintah (administered prices) yaitu inflasi
yang
dominan
dipengaruhi
oleh shocks (kejutan) berupa kebijakan harga
Pemerintah, seperti harga BBM bersubsidi,
tarif listrik, tarif angkutan, dan lain-lain..
Sumber: BPS (2016)
Gambar 1. Proses Inflasi Menurut Bank Indonesia
66
Widya Cipta,Vol. VIII, No.1 Maret 2016
2.2. Teori Inflasi
Teori
tentang
inflasi
(Sukirno,
2012:243-270) dinyatakan dalam beberapa
aspek-aspek tertentu dari proses inflasi.
Pertama, teori kuantitas disebut sebagai model
kaum moneteris (monetaris models) karena
telah disempurnakan oleh para ahli ekonomi
Universitas Chicago. Bagi negara-negara yang
sedang berkembang teori ini sangat berguna
untuk menerangkan proses inflasi. Teori ini
menekankan peranan jumlah uang beredar dan
harapan masyarakat tentang kenaikan harga
terhadap timbulnya inflasi. Berikut ini adalah
rumus yang dikemukakan teori kuantitas.
P.T = M.V ……. (1)
Dimana :
P
= Tingkat Harga
T
= Volume Transaksi
M = Jumlah Uang Yang Beredar (Penawaran
Uang)
V = Kecepatan Perputaran Uang
Asumsi dari teori ini adalah seluruh
transaksi penjualan sama dengan nilai seluruh
pembelian. Transaksi penjualan adalah Harga
(P) dikalikan dengan nilai transaksi (T).
Transaksi pembelian sama dengan jumlah uang
yang beredar (M) dikalikan dengan kecepatan
rata-rata perputaran uang (V). Dengan asumsi
bahwa besarnya Nilai Transaksi (T) dan
besarnya Kecepatan Perputaran Uang (V)
adalah tetap maka jika Jumlah Uang Yang
Beredar (M) naik maka Harga (P) akan naik,
sehingga terjadilah inflasi.
Kedua, teori keynes dimana Kynes
berpendapat bahwa campur tangan pemerintah
sangat diperlukan dalam mengatasi masalah
perekonomian. Pada tingkat makro, pemerintah
harus
aktif
dalam
mengendalikan
perekonomian ke arah posisi full employment.
Keadaan ini hanya bisa dicapai dengan
tindakan yang terencana (Sukirno, 2012:243270).
Selanjutnya teori ini mengatakan bahwa
bahwa inflasi terjadi karena suatu masyarakat
ingin hidup di luar batas kemampuan ekonomi
mereka. Hal ini berarti permintaan total
masyarakat terhadap barang-barang melebihi
kemampuan
berproduksi
masyarakatnya
sehingga terjadi kenaikan harga secara umum
yang disebut dengan inflationary gap.
Kuantitas uang yang beredar tidak berpengaruh
terhadap tingkat permintaan total. Jika uang
yang beredar bertambah maka harga akan naik.
Dengan naiknya harga, permintaan uang untuk
transaksi juga akan ikut bertambah sehingga
suku bunga juga ikut naik. Hal ini akan
mencegah pertambahan permintaan untuk
investasi dan akan melunakkan tekanan inflasi.
Analisa
Keynes
tentang
inflasi
permintaan yang dirumuskan berdasarkan
konsep inflationary gap: inflasi permintaan
adalah yang ditimbulkan oleh pengeluaran
pemerintah, prograaam investasi yang besarbesaran dalam capital sosial. Jika dirumuskan
menjadi:
Inflasi = f (M, G, i, I) ……. (2)
Dimana:
M
= Jumlah Uang Beredar
G
= Pengeluaran Pemerintah
i
= Tingkat Suku bunga
I
= Investasi
Ketiga, teori strukturalis yaitu teori yang
mengatakan mengatakan bahwa inflasi bukan
merupakan
fenomena
moneter,
tetapi
merupakan fenomena struktural atau cost push
inflation. Fenomena yang dimaksud adalah
fenomena struktural yang disebabkan oleh
kesenjangan atau kendala structural dalam
perekonomian
di
negara
berkembang
(Adwin,1999:54-67). Kendala ini sering
disebut
dengan
structural
bottlenecks.
Structural bottleneck terjadi dalam tiga hal,
yaitu: (1) Supply dari sektor pertanian (pangan)
tidak elastis, keadaan ini dikarenakan
pengelolaan dan pengerjaan di sektor pertanian
masih menggunakan metode dan teknologi
yang sederhana, sehingga sektor pertanian
domestik
tidak
mampu
mengimbangi
pertumbuhan permintaan sehingga timbul
inflasi; (2) Cadangan valuta asing yang terbatas
akibat dari pendapatan ekspor yang lebih kecil
daripada pembiayaan impor; (3) keterbatasan
ini
menyebabkan
kemampuan
untuk
mengimpor barang bahan baku maupun barang
modal juga terbatas padahal bahan baku
maupun barang modal sangat diperlukan untuk
pembangunan
sektor
industry .
Akibat
selanjutnya adalah terjadi keterbatasan
produksi
sementara
permintaan
terus
mengalami pertumbuhan, tidak diimbangi
dengan pertumbuhan penawaran
maka
terjadilah inflasi; (4) Pengeluaran pemerintah
terbatas, pengeluaran pemerintah tergantung
dari besarnya peneriman rutin. Penerimaan
rutin yang terbatas memaksa pemerintah untuk
membatasi pengeluarannya sehingga anggaran
yang tersedia tidak cukup untuk membiayai
pembangunan,
termasuk
pembangunan
infrastruktur yang mendukung sektor industri.
Dampak selanjutnya dapat ditebak bahwa
supply tidak mampu memenuhi permintaan
sehingga terjadi inflasi.
Kaum strukturalis berpendapat, bahwa
selain harga komoditi pangan, penyebab utama
terjadinya inflasi di Negara-negara berkembang
adalah akibat inflasi dari luar negeri. Hal ini
disebabkan antara lain oleh harga barang67
Widya Cipta,Vol. VIII, No.1 Maret 2016
barang import yang meningkat di daerah
asalnya.
Keempat, menurut Adwin (1999:54-67)
dasar pemikiran model teori ini adalah bahwa
harga ditentukan oleh dua kompenen, yaitu cost
of production dan profit margin, yang dapat
dirumuskan sebagai berikut:
Price = Cost + Profit Margin……. (3)
Besarnya profit margin biasanya telah
ditentukan sebagai suatu persentase tertentu
dari jumlah cost of production. Rumus tersebut
dapat dijabarkan menjadi: Price = cost + (α% x
Cost ), apabila terjadi kenaikan cost of
production dan atau kenaikan pada profit
margin akan menyebabkan terjadinya kenaikan
harga pada harga jual komiditi di pasar
sehingga terjadilah inflasi.
2.3. Penyebab Inflasi dan Jenis-jenis Inflasi
Menurut Bank Indonesia (2016)
Inflasi dapat disebabkan karena adanya tekanan
dari sisi supply, dari sisi permintaan dan dari
ekspektasi inflasi. Tekanan dari sisi supply
disebut dengan cost push inflation, yaitu inflasi
yang disebabkan oleh kenaikan ongkos
produksi. Hal ini dapat disebabkan oleh
depresiasi nilai tukar, dampak inflasi luar
negeri terutama negara-negara partner dagang,
peningkatan harga-harga komoditi yang diatur
pemerintah dan terjadi guncangan pasokan
negatif akibat bencana alam dan terganggunya
distribusi.
Tekanan dari sisi permintaan sering
disebut dengan deman pull inflation adalah
tingginya permintaan barang dan jasa relatif
terhadap ketersediaannya.
Secara makro
kondisi ini digambarkan oleh permintaan total
lebih besar dari pada kapasitas perekonomian
sehingga terjadi inflasi. Yang terakhir faktor
ekspektasi inflasi. Ekspktasi inflasi dipengaruhi
oleh perilaku masyarakat dan pelaku ekonomi
yang lebih cenderung bersifat adaptif atau
forward looking. Hal ini tercermin dari perilaku
pembentukan harga di tingkat produsen dan
pedagang terutama pada saat menjelang harihari besar keagamaan dan penentuan upah
minimum regional (UMR).
Berdasarkan asalnya jenis-jenis Inflasi
dapat dibagi dalam 2 (dua) jenis yaitu: (1)
inflasi yang berasal dari dalam negeri, inflasi
akibat defisit anggaran belanja yang dibiayai
dengan cara mencetak uang baru dan gagalnya
pasar yang berakibat harga bahan makanan
menjadi mahal; (2) inflasi dari luar negeri,
inflasi yang terjadi akibat kenikan harga barang
impor, baik karena kenaikan biaya produksi
barang di luar negeri maupun karena kenaikan
tarif impor barang.
68
Berdasarkan
besarnya
cakupan
pengaruh
terhadap harga inflasi dapat
dibedakan menjadi 3 sebagai berikut: (1) inflasi
tertutup, apabila kenaikan harga yang terjadi
hanya berkaitan dengan satu atau dua barang
tertentu saja; (2) inflasi terbuka, apabila
kenaikan harga terjadi pada semua barang
secara umum; (3) inflasi tidak terkendali,
apabila inflasi terjadi sedemikian hebatnya,
sehingga setiap saat harga-harga terus berubah
dan meningkat hingga orang tidak dapat
menahn uang lebih lama disebabkan nilai uang
terus merosot.
Berdasarkan tingkat
keparahannya
inflasi dibedakan menjadi empat, yaitu: (1)
inflasi ringan terjadi apabila kenaikan harga
berada di bawah angka 10% setahun; (2) inflasi
sedang terjadi kenaikan harga 10% - 30%
setahun; (3) inflasi berat terjadi kenaikan harga
30% - 100% setahun; (4) hiperinflasi atau
Inflasi tidak terkendali terjadi apabila kenaikan
harga berada di atas 100% setahun.
Menurut
Sukirno
(2012:333),
berdasarkan penyebab Inflasi, inflasi dapat
dibedakan menjadi 2 (dua) jenis sebagai
berikut:
(1)
demand
inflation (inflasi
permintaan), yang disebabkan oleh permintaan
masyarakat akan berbagai macam barang
terlalu kuat; (2) cost inflation (inflasi
penawaran), yang disebabkan oleh kenaikan
biaya produksi atau berkurangnya penawaran
agregatif.
2.4. Kebijakan Pengendali Inflasi
Inflasi dalam hitungan satu digit, yaitu
inflasi ringan masih dapat memacu kegiatan
usaha, tetapi apabila inflasi sudah mencapai
lebih dari itu akan menimbulkan berbagai
konflik sebagai dampaknya. Keadaan ini akan
merambat ke berbagai sektor bahkan akan
dapat menggangu stabilitas nasional. Untuk
meredamnya, peran pemerintah mendominasi
faktor keberhasilan ekonomi. Kebijakan yang
dapat diambil antara lain melalui kebijakan
moneter maupun kebijakan fiskal.
Kebijakan Moneter
Menurut Bank Indonesia, Operasi
Moneter adalah pelaksanaan kebijakan moneter
oleh
Bank
Indonesia
dalam
rangka
pengendalian moneter. Instrumen yang
digunakan oleh Bank Indonesia adalah Operasi
Pasar Terbuka dan Standing Facilities. Operasi
Pasar Terbuka (OPT) merupakan kegiatan
transaksi di pasar uang yang dilakukan atas
inisiatif Bank Indonesia dalam rangka
mengurangi (smoothing) volatilitas suku bunga
PUAB o/n. Sementara instrumen Standing
Facilities merupakan penyediaan dana rupiah
Widya Cipta,Vol. VIII, No.1 Maret 2016
(lending facility) dari Bank Indonesia kepada
Bank dan penempatan dana rupiah (deposit
facility) oleh Bank di Bank Indonesia dalam
rangka membentuk koridor suku bunga di
PUAB o/n. OPT dilakukan atas inisiatif Bank
Indonesia, sementara Standing Facilities
dilakukan atas inisiatif bank. Berikut ini
kerangka yang ditetapkan Bank Indonesia
sebagai Instrumen Operasi Moneter
Sumber: Bank Indonesia (2016)
Gambar 2. Instrumen Operasi Moneter
Operasi Pasar Terbuka (OPT) adalah
kegiatan transaksi di pasar uang dalam rangka
Operasi Moneter yang dilakukan oleh Bank
Indonesia dengan Peserta Operasi Moneter.
Operasi Pasar Terbuka dilakukan untuk
mencapai target suku bunga PUAB O/N
sebagai sasaran operasional kebijakan moneter.
OPT terdiri dari dua jenis, yaitu: (1) OPT
Absorpsi, dilakukan apabila dari perkiraan
perhitungan likuiditas maupun dari indikator
suku bunga di PUAB diperkirakan mengalami
kelebihan
likuiditas,
yang
diantaranya
diindikasikan melalui penurunan suku bunga
PUAB secara tajam. Instrumen yang digunakan
dalam OPT absorpsi ini adalah: penerbitan SBI
dan SBIS, penerbitan SDBI, transaksi Reverse
Repo SBN, transaksi penjualan SBN secara
outright, penempatan berjangka (term deposit)
dalam rupiah di Bank Indonesia dan jual valuta
asing terhadap rupiah (dalam bentuk spot,
forward
atau swap). Peserta pada OPT
Absorpsi adalah bank dan/atau lembaga
perantara yang melakukan transaksi untuk
kepentingan bank; (2) OPT Injeksi, dilakukan
apabila dari perkiraan perhitungan likuiditas
maupun dari indikator suku bunga di PUAB
diperkirakan mengalami kekurangan likuiditas,
yang diantaranya diindikasikan melalui
peningkatan suku bunga PUAB secara tajam.
Instrumen yang digunakan dalam OPT injeksi
ini adalah: transaksi repo, transaksi pembelian
SBN secara outright dan beli valuta asing
terhadap rupiah (dalam bentuk spot, forward
atau swap). Peserta pada OPT Injeksi adalah
bank dan/atau lembaga perantara yang
melakukan transaksi untuk kepentingan bank.
Standing Facilities (SF) atau sering
disebut dengan Koridor Suku Bunga adalah
kegiatan penyediaan dana rupiah (lending
facility) dari Bank Indonesia kepada Bank dan
penempatan dana rupiah (deposit acility) oleh
Bank di Bank Indonesia dalam rangka Operasi
Moneter. Penyediaan Standing Facilities
berfungsi untuk membatasi volatilitas suku
bunga PUAB O/N. Standing facilities terdiri
dari dua jenis, yaitu: (1) Absorbsi Likuiditas,
dimaksudkan untuk mengurangi jumlah uang
yang beredar. Terdapat dua cara dalam absorbsi
likuiditas, yaitu: penempatan dana rupiah oleh
Bank di Bank Indonesia (deposit facility), yaitu
fasilitas bagi bank yang memiliki kelebihan
likuiditas dengan cara menempatkan dana yang
dimilikinya kepada Bank Indonesia, FASBIS
(Fasilitas Simpanan Bank Indonesia Syariah),
fasilitas ini termasuk out standing deposit,
penempatan dana syariah bank Syariah di Bank
Indonesia untuk Bank Syariah yang memiliki
kelebihan likuiditas; (2) Injeksi Likuiditas,
69
Widya Cipta,Vol. VIII, No.1 Maret 2016
dimaksudkan untuk menambah uang uang
beredar di masyarakat. Kebijakan yang dapat
diambil untuk injeksi likuiditas berkaitan
dengan standing facility sebagai beriut:
penyediaan dana rupiah dari Bank Indonesia
kepada Bank (lending facility)
yaitu fasilitas bagi bank yang mengalami
kesulitan likuiditas dengan cara merepokan
SBI/SDBI/SBN yang dimilikinya kepada Bank
Indonesia; dan Financing Facility yaitu
fasilitas pembiayaan yang diberikan kepada
Bank yang sedang mengalami kesulitan
likuiditas untuk membiayai operasionalnya.
Kebijakan Fiskal
Kebijakan
fiskal
menyangkut
pengaturan pengeluaran pemerintah dan
perpajakan. Kebijakan fiskal dapat ditempuh
melalui tiga cara, yaitu sebagai berikut.
1. Meningkatkan/menurunkan
penerimaan
pajak. Meningkatkan penerimaan pajak
pajak
dapat
dilakukan
dengan
memberlakukan tingkat pajak yang tinggi
atau dengan mengenakan jenis-jenis pajak
baru. Sebaliknya menurunkan penerimaan
pajak
dapat
dilakukan
dengan
memberlakukan tingkat pajak yang rendah
atau dengan menghapuskan pajak tertentu.
2. Mengurangi/menambah
pengeluaran
pemerintah.
Mengurangi
pengeluaran
pemerintah dapat dilakukan dengan jalan
menunda atau menghapuskan pengeluaran
yang
bukan
prioritas.
Menambah
pengeluaran pemerintah dapat dilakukan
dengan menambah anggaran untu keperluan
yang bersifat prioritas.
3. Mengadakan/meniadakan
pinjaman
pemerintah.
Mengadakan
pinjaman
pemerintah antara lain dilakukan dengan
mengurangi pembayaran pada masyarakat
dan mengembalikannya di kemudian hari,
misalnya
dalam
bentuk
pensiun.
Meniadakan pinjaman pemerintah dapat
dilakukan dengan meniadakan pembayaran
dikemudian hari dan menggantikannya
dengan bentuk lain yang dibayar dengan
segera, misalnya dengan merubah pensiun
dengan pemberian pesangon.
Kebijakan Riil
Kebijakan
riil
adalah
kebijakan
pemerintah di sektor riil yang mencakup halhal antara lain:
1. Kebijakan peningkatan produksi dan barang
di pasaran, dapat dilakukan antara lain
dengan menetapkan Politik Anggaran
sebagai berikut: (a) Anggaran Defisit
(Defisit
Budget)
adalah
kebijakan
pemerintah untuk membuat pengeluaran
70
lebih besar dari pemasukan negara guna
memberi stimulus pada perekonomian.
Umumnya sangat baik digunakan jika
keaadaan ekonomi sedang resesif, (b)
Anggaran Surplus (Surplus Budget) adalah
kebijakan pemerintah untuk membuat
pemasukannya lebih besar daripada
pengeluarannya. Baiknya politik anggaran
surplus dilaksanakan ketika perekonomian
pada kondisi yang ekspansi yang mulai
memanas (overheating) untuk menurunkan
tekanan
permintaan,
(c)
Anggaran
Berimbang (Balanced Budget) terjadi ketika
pemerintah menetapkan pengeluaran sama
besar dengan pemasukan. Tujuan politik
anggaran berimbang yakni terjadinya
kepastian anggaran serta meningkatkan
disiplin.
2. Menaikkan upah riil; dapat dilakukan
dengan meningkatkan upah minimum
regional untuk menyesuaikan kemampuan
hidup masyarakat.
3. Mengendalikan dan mengawasi harga,
Kebijakan mengendalikan dan mengawasi
harga dapat dilakukan dengan menetapkan
harga untuk barang yang berkaitan dengan
hajat hidup orang banyak, misalnya harga
Bahan Bakar Minyak, beras barang
kebutuhan pokok lainnya.
III. METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang dipakai untuk
penulisan ini adalah teknik analisis deskriptif
kualitatif, dimana data-data yang dihasilkan
disajikan dalam bentuk deskriptif yang akan
memberikan gambaran tentang hasil dari
penelitian.
Objek penelitian dipilih adalah Inflasi
Indonesia beberapa tahun terakhir serta
kebijakan yang dapat digunakan untuk
meredam Inflasi agar tidak melambung tinggi.
Teknik pengumpulan data didasarkan
pada data sekunder yang diambil berdasarkan
fakta-fakta telah dikumpulkan oleh instsnsi
terkait yang dipercaya, antara lain Bank
Indonesia dan Badan Pusat Statistik dan
menekankan analisisnya pada data-data
kepustakaan.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Inflasi di Indonesia
Saat harga minyak mentah internasional
meningkat tajam, Indonesia menjerit karena
tahun 2000 Indonesia telah menjadi importir
netto dan harga bahan bakar masih ditopang
dengan subsidi APBN. Ini adalah awal dari
permasalahan inflasi. Karena adanya keharusan
subsidi bahan bakar maka Pemerintah harus
membatasi
pengeluarannya
termasuk
Widya Cipta,Vol. VIII, No.1 Maret 2016
pengeluaran untuk memperbaiki infrastruktur
yang mendukung perkembangan investasi di
sektor usaha untuk meningkatkan produktifitas.
Pemerintah
terpaksa
mengambil
tindakan pencabutan subsidi bahan bakar
secara bertahap kendati terjadi protes sosial.
Diawali oleh tindakan berani pemerintah
dengan mengurangi subsidi bahan bakar secara
besar-besaran di akhir 2005 serta dengan
menaikan harga bahan bakar bersubsidi lebih
dari dua kali lipatnya. Tidak dapat dihindarkan
lagi, inflasi tiba-tiba naik hingga berkisar
antara 14% sampai 19% (year-on-year) sampai
Oktober 2006. Pengurangan subsidi energi
Indonesia tetap menjadi prioritas utama agenda
Pemerintah Pusat. Beberapa kebijakan pun
diambil pemerintah untuk meredam inflasi.
Pada
awal
2012,
Pemerintah
mengajukan kenaikan harga bahan bakar
namun kegelisahan sosial dan oposisi politik di
parlemen tidak mendukung peningkatan harga
tersebut. APBN masih terasa berat untuk
membiayai pengeluaran pemetintah saat itu.
Akhirnya, pada Juni 2013, premium dinaikkan
44% menjadi Rp 6.500 dan solar sebesar 22%
menjadi Rp 5.500 per liter karena subsidi
bahan bakar yang besar mengancam untuk
mendorong defisit APBN melewati level 3%
dari Produk Domestik Bruto (PDB) sedangkan
hukum Indonesia melarang defisit APBN untuk
melewati 3% dari PDB. Dalam rangka
mendukung segmen masyarakat miskin,
Pemerintah melaksanakan program-program
Bantuan Langsung Tunai (BLT). Kendati
begitu, inflasi meningkat menjadi 8,4% pada
basis year-on-year (y/y) pada akhir tahun.
Meskipun ada kenaikan harga di 2013,
porsi yang signifikan dari harga bahan bakar
Indonesia ada pada disubsidi. Oleh karena itu
kenaikan harga bahan bakar menuntut
penghapusan subsidi yang memberatkan
APBN. Bank Dunia, IMF dan Kantor Dagang
& Industri Indonesia (Kadin) terus menekankan
pentingnya menghentikan program subsidi ini
meskipun hanya untuk faktor yang signifikan
saja. Setelah pemerintahan presiden Susilo
Bambang
Yudhoyono
berakhir
masa
jabatannya, Joko Widodo yang berpola pikir
pembaharuan (reform-minded) memenangkan
pemilihan presiden dan dilantik sebagai
presiden ke-7 Indonesia pada Oktober 2014.
Salah satu tindakan pertamanya adalah
menaikan harga bahan bakar bersubsidi.
Premium dinaikkan dari Rp 6.500 menjadi Rp
8.500 per liter, sementara diesel dinaikkan dari
Rp 5.500 menjadi Rp 7.500 per liter. Ini berarti
bahwa laju inflasi negara ini, yang telah mulai
melambat menuju level target Bank Indonesia
pada 4,5%, tidak memiliki waktu untuk pulih
dan berakselerasi kembali menjadi 8,4% (y/y)
pada akhir tahun 2014.
Pada awal tahun 2015, Presiden Joko
Widodo memiliki keuntungan karena harga
minyak mentah global telah turun drastis sejak
pertengahan
2014
karena
lambatnya
permintaan global sedangkan suply kuat karena
angka-angka produksi minyak yang terusmenerus tinggi di negara-negara OPEC dan
revolusi gas shale AS. Dalam situasi ini
pemerintah melakukan tindakan yang berani
dengan
menghapus subsidi premium dan
menetapkan subsidi tetap sebesar Rp 1.000 per
liter untuk diesel. Pemerintah Indonesia tetap
menentukan harga bensin dan diesel
(disesuaikan setiap kuartalnya) namun harga
akan berfluktuasi sejalan dengan harga
internasional. Meskipun begitu, karena harga
minyak mentah dunia agak pulih di
pertengahan pertama tahun 2015, inflasi
Indonesia tetap tinggi di pertengahan 2015 dan
hanya mulai menurun di akhir 2015. Berikut ini
adalah data inflasi tahun 2008-2015.
Tabel 2.1. Inflasi di Indonesia 2008-2015
2008 2009 2010 2011 2012 2013
2014
2015
Inflasi
(perubahan % tahunan)
9.8
4.8
5.1
5.4
4.3
8.4
8.4
-
Target BI
(perubahan % tahunan)
5.0
4.5
5.0
5.0
4.5
4.5
4.5
4.0
Sumber: Bank Dunia dan Bank Indonesia (2016)
Berikut ini data inflasi Indonesia per bulan
71
Widya Cipta,Vol. VIII, No.1 Maret 2016
Bulan
Januari
Februari
Maret
April
Mei
Juni
Juli
Augustus
September
Oktober
November
Desember
Total
Sumber : BPS (2016)
Tabel 2.2. Inflasi di Indonesia
Monthly
Monthly
Growth 2013
Growth 2014
1.03%
1.07%
0.75%
0.26%
0.63%
0.08%
-0.10%
-0.02%
-0.03%
0.16%
1.03%
0.43%
3.29%
0.93%
1.12%
0.47%
-0.35%
0.27%
0.09%
0.47%
0.12%
1.50%
0.55%
2.46%
8.38%
8.36%
Dari data tersebut di atas dapat
disimpulkan bahwa tingkat inflasi di Indonesia
tidak stabil. Hal ini menyebabkan deviasi yang
lebih besar dari proyeksi inflasi tahunan oleh
Bank Indonesia. Akibat dari ketidakjelasan
inflasi semacam ini adalah terciptanya biayabiaya ekonomi, seperti biaya peminjaman baik
domestik maupun internasional di negara ini
menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan
negara-negara berkembang lainnya. Penilaian
yang baik mengenai mencapai target inflasi
tahunan baru saja terbentuk, kredibilitas
kebijakan moneter pun mengikutinya. Namun,
semua itu dapat kandas oleh ketidakstabilan
inflasi. Dampak yang mungkin timbul adalah
akan terjadi lebih sedikit deviasi antara target
awal dan realisasi inflasi ke depan.
Seperti kita ketahui bahwa keterbatasan
pengeluaran
pemerintah
mengakibatkan
Indonesia mengalami kekurangan kuantitas dan
kualitas infrastruktur sehingga biaya-biaya
ekonomi yang tinggi, termasuk biaya
transportasi untuk jasa dan produk. Biaya
logistik yang tinggi membuat iklim investasi
negara Indonesia menjadi kurang menarik.
Gangguan distribusi karena isu-isu yang
berkaitan
dengan
infrastruktur
sering
dilaporkan
dan
membuat
Pemerintah
menyadari pentingnya berinvestasi untuk
infrastruktur negara ini. Infrastruktur telah
dipandang sebagai prioritas utama Masterplan
Percepatan dan Perluasan Pembangunan
Ekonomi Indonesia (MP3EI), sebuah rencana
pembangunan jangka panjang Pemerintah yang
luar biasa tetapi masih belum membuahkan
hasil.
Sehubungan dengan harga-harga bahan pangan,
cuaca yang terkadang tidak bersahabat dan
beberapa
bencana
alam
mengganggu
produktivitas pangan Indonesia dan meletakkan
72
Monthly
Growth 2015
-0.24%
-0.36%
0.17%
0.36%
0.50%
0.54%
0.93%
0.39%
-0.05%
-0.08%
0.21%
2.37%
beban yang besar kepada rumah tangga-rumah
tangga yang berada di bawah atau sedikit di
atas garis kemiskinan. Rumah tangga-rumah
tangga ini menghabiskan lebih dari setengah
dari pendapatan yang bisa dibelanjakan mereka
untuk makanan, terutama beras. Oleh karena
itu, harga-harga makanan menjadi lebih tinggi
sehingga menyebabkan inflasi. Kondisi ini
meningkatkan persentase penduduk miskin.
Puncak inflasi rutin di Indonesia ada
dua. Yang pertama terjadi pada periode
Desember-Januari. Selain perayaan natal dan
tahun baru, banjir yang sering terjadi di bulan
Januari saat musim hujan tiba. Banjir
mengganggu jalur-jalur distribusi di beberapa
daerah dan kota menyebabkan biaya logistik
yang lebih tinggi. Puncak inflasi kedua terjadi
di periode Juli-Agustus. Tekanan-tekanan
inflasi di kedua bulan ini terjadi sebagai
dampak dari masa liburan, bulan suci puasa
umat Muslim (Ramadan), perayaan-perayaan
Idul Fitri dan awal tahun ajaran baru.
Peningkatan yang signifikan bisa dideteksi
dalam belanja makanan dan barang-barang
konsumen lain (seperti baju, tas dan sepatu),
diikuti dengan tindakan para retailer yang
menaikkan harga. Inflasi, yang biasanya diukur
dengan indeks harga konsumen (Consumer
Price Index) atau sering disingkat dengan CPI
dan Indeks Harga Produsen (Producer Price
Index), atau sering disebut dengan GDP
Deflator mempunyai beberapa golongan.
Tabel Inflasi Indonesia menunjukkan
bahwa inflasi di Indonesia terjadi selalu lebuh
besar dari target inflasi Bank Indonesia. Tahun
2008 inflasi Indonesi mencapai 9.8%. Infalsi
ini terjadi setelah pemerintah yang berkuasa
pada saat itu, yaitu Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono merasa tidak ada pilihan lain selain
mencabut subsidi Listrik dan Bahan Bakar
Widya Cipta,Vol. VIII, No.1 Maret 2016
Minyak yang memberatkan APBN sehingga
terjadi kenaikan harga Listrik dan Bahan Bakar
Minyak. Akibatnya adalah terjadi kenaikan
ongkos produksi dan biaya angkut yang
merambat ke arah kenaikan harga barang lain
secara umum sehingga mengakibatkan cost
inflation.
Disagegasi inflasi inti terjadi karena
beberapa hal. Interaksi penawaran dan
permintaan terjadi karena turunnya penawaran
agregat sebagai akibat dari kenaikan ongkos
produksi. Kurva penawaran akan bergeser ke
kiri sehingga harga akan naik dalam kondisi
kurva permintaan yang tetap. Lingkungan
eksternal juga ikut serta berpartisipasi
mendorong inflasi. Turunnya nilai tukar rupiah
terhadap dolar meningkatkan harga beberapa
barang yang inputnya berasal dari manca
negara. Selain itu ekspektasi inflasi dari
pedagang dan konsumen beranggapan bahwa
kenaikan harga akan berlangsung terus untuk
kedepannya memicu kenaikan harga. Beberapa
hal tersebut mendorong terjadinya inflasi di
Indonesia.
Selain inflasi inti, inflasi non inti juga
terjadi di Indonesia beberapa kurun waktu
terakhir Inflasi Komponen Bergejolak (Volatile
Food) terjadi akibat beberapa bencana yang
melanda beberapa daerah di Indonesia, seperti
banjir, kebakaran hutan, tanah longsor dan
bencana lain mengganggu hasil produksi
pertanian Indonesia sehingga hargapun
beranjak naik. Kenaikan harga dari kebijakan
pemerintah, yaitu kenaikan harga BBM, tarif
listrik, tarif angkutan, dll. termasuk dalam
Inflasi Komponen Harga yang diatur
Pemerintah (Administered Prices)
Teori Kuantitas mengatakan bahwa jika
Kuantitas Uang Yang Beredar (M) meningkat
sedangkan Volume transaksi (T) dan
Kecepatan Uang Beredar (V) tetap maka Harga
(P) akan meningkat juga.Meningkatnya
kegiatan perekonomian suatu negara selalu
diikuti oleh meningkatkan kuantitas uang yang
dibutuhkan untuk memenuhi transaksi tersebut.
Jadi secara tidak langsung Kuantitas Uang
Yang Beredar (M) meningkat seiring dengan
perkembangan ekonomi. Dengan demikian
inflasipun terjadi. Hal demikianpun tidak dapat
dielakkan oleh pemerintan Indonesia karena
Indonesia selalu mengalami perkembangan
termasuk perkembangan perekonomian.
Teori Keynes mengatakan bahwa inflasi
merupakan fungsi dari Jumlah Uang Beredar
(M), Pengeluaran Pemerintah (G), Tingkat
Suku bunga (i), dan Investasi (I). Jumlah Uang
Yang beredar di Indonesia meningkat seiring
dengan meningkatnya tingkat kegiatan
ekonomi. Dengan keputusan Pemerintah
Indonesia berkenaan dengan penghapusan
subsidi untuk Listrik dan BBM maka anggaran
dialihkan untuk membiayai pembangunan
infrastruktur yang lebih produktif yang berarti
terjadi peningkatan pengeluaran pemerintah.
Tingkat suku bunga (i), khususnya suku bunga
tabungan di Indonesia terhitung kecil membuat
masyarakat enggan menabung sehingga
Kuantitas Uang Yang Beredar besar. Ini
memicu timbulnya inflasi. Berkaitan dengan
investasi,
pemerintah
selalu
berusaha
mendukung bahkan berusaha mengundang
investor dari manca negara untuk berinvestasi
di Indonesia dengan harapan akan terjadi
multiplier yang dapat melipat gandakan
pendapatan nasional sampai mencapai titik
keseimbangan berikutnya. Secara tidak
langsung peningkatan investasi akan diiringi
oleh peningkatan kegiatan perekonomian yang
memerlukan Kuantitas Uang Yang Beredar.
Lebih banyak, baik uang kartal maupun uang
giral.
Teori
strukturalis
mengemukakan
adanya structural bottlenecks terutama untuk
negara sedan berkembang. Demikian pula
dengan Indonesia. Supply dari sektor pertanian
(pangan) tidak elastis karena pengelolaan dan
pengerjaan di sektor pertanian masih
menggunakan metode dan teknologi yang
sederhana, Sektor pertanian domestik tidak
mampu mengimbangi pertumbuhan permintaan
sehingga timbul inflasi. Devisit Neraca
Pembayaran dimana nilai Ekspor lebih kecil
dari nilai impor membuat cadangan valuta
asing yang terbatas dan menghambat impor
barang bahan baku maupun barang modal juga
terbatas padahal bahan baku maupun barang
modal sangat diperlukan untuk pembangunan
sektor industry . Akibat selanjutnya adalah
terjadi keterbatasan produksi sementara
permintaan terus mengalami pertumbuhan,
tidak
diimbangi
dengan
pertumbuhan
penawaran
maka
terjadilah
inflasi.
Keterbatasan
pengeluaran
pemerintah
menjadikan anggaran tidak cukup membiayai
pembangunan infrastruktur yang mendukung
sektor industri sehingga supply tidak mampu
memenuhi permintaan dan terjadilah inflasi.
Mark-up Modle mengatakan bahwa
kenaikan harga akan terjadi apabila cost naik
dalam keadaan margin yang tetap atau tidak
diturunkan. Kebijakan pemerintah Indonesia
dengan mencabut subsidi Listrik dan BBM
membuat ongkos produksi meningkat yang
menimbulkan inflasi. Berdasarkan asalnya,
inflasi di Indonesia pada dasarnya termasuk
keduanya. Inflasi dari dalam negri terjadi
akibat dari devisit anggaran belanja. Inflasi dari
luar negeri terjadi akibat dari turunnya nilai
73
Widya Cipta,Vol. VIII, No.1 Maret 2016
rupiah terhadap dolar sehingga terjadi kenaikan
harga impor yang berakibat kenaikan harga
produksi. Inflasi di Indonesia terjadi akibat
banyak hal dan pada akhirnya terjadilah inflasi
terbuka meski besarnya inflasi sudah turun dan
termasuk inflasi ringan di bawah 10% setahun.
Inflasi ini terjadi akibat dari kenaikan ongkos
produksi.
4.2. Kebijakan Untuk Mengatasi Inflasi di
Indonesia
Seperti telah dibahas di atas bahwa
inflasi tidak dapat dihindari oleh suatu negara
yang berkembang, nemun inflasi yang terlalu
besar berdampak negatif pada perekonomian
negara tersebut. Untuk itulah inflasi perlu
diredam melalui kebijakan moneter dan
kebijakan fiskal. Kedua kebijakan ini dapat
diambil bersama-sama oleh pemerintah yang
berkuasa. Berikut ini akan dibahas beberapa
kebijakan yang dapat diambil dalam usaha
mengendalikan inflasi di Indonesia.
Kebijakan Moneter
Teori kuantitas berlaku di Indonesia
dimana inflasi terjadi akibat kuantitas uang
yang beredar M terlalu besar. Dengan kata lain
Inflasi di Indonesia terjadi sebagai akibat dari
Likuiditas terlalu besar sebagai indikasi dari
penurunan suku bunga. Kebijakan dapat
diambil melalui Operasi Pasar Terbuka (OPT)
dan Standing Facilities.
Dalam keadaan inflasi, kebijakan yang
harus diambil oleh pemerintah adalah berusaha
mengurangi Kuantitas Uang Yang Beredar (M)
dengan melakukan Operasi Pasar Terbuka
(OPT) Absorpsi. Instrumen yang digunakan
dalam OPT absorpsi ini sebagai berikut:
1. Penerbitan SBI dan SBIS, penerbitan ini
dimaksudkan untuk menarik Kuantitas
Uang Yang Beredar
di masyarakat
Indonesia. Penjualan dari SBI dan SBIS
akan menarik uang yang beredar sehingga
inflasi
dapat
diredam
dan
dapat
dikendalikan dengan baik.
2. Penerbitan SDBI, seperti halya dengan
penerbitan SBI dan SBIS, penerbitan SDBI
juga dimaksudkan untuk menarik uang
dalam peredaran sehingan inflasi dapat
diredam dan terkendali.
3. Transaksi Reverse Repo SBN, transaksi ini
akan menahan uang di Bank Indonesia
sehingga Bank Umum hanya mempunyai
keterbatasan dalam mengeluarkan kredit ke
masyarakat. Kebijakan ini akan mengurangi
Kuantitas Uang yang beredar dan cukup
membatu
mengurangi
inflasi
dan
mengendalikannya.
4. Transaksi Penjualan SBN secara outright,
pada intinya penjualan surat berharga yang
74
dimiliki oleh pemerintah termasuk SBN
akan dapat menarik uang dalam peredaran
sehingga inflasi dapat dikendalikan.
5. Penempatan berjangka (Term Deposit)
dalam rupiah di Bank Indonesia, term
deposit yang berada di Bank Indonesia
menahan peredaran uang untuk tidak
beredar di masyarakat. Hal ini akan
mengurangi jumlah uang yang beredar
untuk mengurangi inflasi yang terlalu besar.
6. Penjualan Valuta Asing terhadap Rupiah
(dalam bentuk spot, forward atau swap),
penjualan Valuta Asing terhadap rupiah
mengurangi jumlah rupiah yang beredar di
masyarakat Indonesia dan pada akhirnya
dapat mengurangi inflasi di Indonesia.
Peserta pada OPT Absorpsi adalah bank
dan/atau lembaga perantara yang melakukan
transaksi untuk kepentingan bank. Teori Kynes
sampai saat ini masih berlaku dimana dalam
keadaan inflasi jumlah uang yang beredar di
masyarakat harus berkurang. Berkaitan dengan
standing facility, Bank Indonesia sebagai Bank
Central akan mengambil kebijakan Absorbsi
Likuiditas unutk mengurangi jumlah uang yang
beredar dengan cara sebagai berikut:
Deposit facility, yaitu Penempatan
dana rupiah oleh Bank di Bank
Indonesia.
1. Bank Umum yang memiliki kelebihan
likuiditas dapat menempatkan dana yang
dimilikinya kepada Bank Indonesia.
Kelebihan Likuiditas merupakan kapasitas
yang mengannggur. Bagi Bank Umum ini
merupakan pemborosan karena turn over
yang terlalu kecil. Seharusnya uang yang
berada di tangan Bank Umum terus
berputar hingga menghasilkan laba yang
besar. Untuk bank Umum yang mengalami
kondisi tersebut Bank Indonesia menerima
kelebihan tersebut sehingga Bank Umum
dapat beroperasi dalam kondisi efisiensi
tetap terjaga. Bagi bank Indonesia sendiri
fasilitas ini merupakan instrumen untuk
mengurangi inflasi. Dengan menerima
kelebihan likuiditas dari Bank Umum
diharapkan uang yang beredar di
masyarakat akan berkurang sehingga
mengurangi inflasi.
2. FASBIS
(Fasilitas
Simpanan
Bank
Indonesia Syariah).
Fasilitas ini termasuk out standing deposit,
penempatan dana syariah bank Syariah di
Bank Indonesia untuk Bank Syariah yang
memiliki kelebihan likuiditas. Pada
dasarnya fasilitas ini sama dengan deposit
facility. Deposit facility untuk Bank Umum
Konvensional,
sedangkan
FASBIS
ditujukan untuk Bank Umum Syariah.
Widya Cipta,Vol. VIII, No.1 Maret 2016
Kelebihan likuiditas Bank Umum Syariah
akan ditampung oleh Bank Indonesia untuk
menjaga efisiensi Bank Umum Syariah
sekaligus untuk mengurangi inflasi.
Dalam hubungannya dengan kedua
kebijakan tersebut di atas, peperintah
mengharuskan Bank Umum untuk tetap selalu
efisien dan mempunyai kinerja yang baik
menurut penilaian Bank Indonesia. Bank
Umum yang masuk kategori kurang efisien dan
mempunyai kinerja yang kurang baik menurut
penilaian Bank Indonesia akan dibekukan
operasionalnya, dilikuidasi atau diambil alih
oleh pemerintah sehingga pada tanggal 21
Agustus 1998 pemerintah membekukan
operasional Bank Umum Nasional, Bank
Modern, dan Bank Dagang Nasional Indonesia.
Kemudian di awal tahun selanjutnya kembali
pemerintah melikuidasi 38 bank swasta, 7 bank
diambil-alih pemerintah dan 9 bank mengikuti
program rekapitulasi. Bank Umum yang
terkena kebijakan pemerintah tidak dapat
melakukan operasional sehingga uang di Bank
Umum tersebut akan tertahan di Bank maupun
di Bank Indonesia dan mengurangi jumlah
uang yang beredar yang berarti mengurangi
inflasi.
Kebijakan Fiskal
Dalam usaha mengurangi inflasi,
kebijakan fiskal yang dapat diambil berkenaan
dengan pengaturan pengeluaran pemerintah
dan perpajakan adalah sebagai berikut.
1. Meningkatkan penerimaan pajak.
Untuk mengurangi inflasi yang terjadi
Pemerintah dapat peningkatkan tarif pajak.
Pajak yang tertarik akan mengurangi jumlh
uang yang beredar dalam masyarakat
sehingga inflasi akan turun seperti yang
diharapkan samapi mencapai tingkat inflasi
yang ditargetkan. Kebijakan yang dilakukan
pemerintah
antara
lain
dengan
memberlakukan Tarif Pajak Berganda dan
Tarif tinggi untuk PpnBM. Tarif Pajak
Berganda diberlakukan untuk wajib pajak
yang memiliki kendaraan bermotor baik
sepeda motor maupun mobil lebih dari 1.
PpnBM diberlakukan atas transaksi
penjualan barang kena pajak yang tergolong
mewah. Untuk transaksi barang kena pajak
yang tergolong mewah, selain dikenakan
Pajak Pertambahan Nilai dikenakan Pajak
pertambahan Nilai Barang Mewah. Kedua
macam jenis kebijakan pajak ini akan
menarik jumlah uang yag beredar di
masyarakat lebih banyak sehingga dapat
mengurangi Selain untuk mengurangi
inflasi, kebijakan ini juga dapat digunakan
unutk mengurangi kesenjangan sosial
masyarakat sehingga dapat meredam
gejolak negatif yang timbul akibat inflasi
itu sendiri. Peningkatan tarif pajak juga
dapat dilakukan untuk pajak lainnya,
misalnya pajak retribusi, misalkan tarif
parkir kendaraan yang telah dinaikkan
khususnya oleh Pemerintah Daerah DKI
Jakarta.
2. Mengurangi pengeluaran pemerintah.
Mengurangi pengeluaran pemerintah dapat
dapat mengurangi jumlah uang yang
beredar di masyarakat apabila pengeluaran
pemerintah
yang
dikurangi
adalah
pengeluaran untuk pembelanjaan dalam
negeri. Apabila pengeluaran pembelanjaan
Pemerintah di dalam negeri berkurang
maka jumlah uang yang beredar di
masyarakat juga akan berkurang. Keadaan
ini dapat mengurangi inflasi. Subsidi BBM
dinilai tidak tepat sasaran. Untuk itu secara
bertahap subsidi tersebut dihapuskan.
Meski ini akan menimbulkan inflasi tetapi
anggaran yang seharusnya ditujukan untuk
subsidi BBM dialihkan untuk pemberian
dana yang lebih berdampak positif terhadap
kepentingan masyarakat Indonesia pada
umumnya. Hal yang telah dilakukan
pemerintah adalah penataan pembali APBN
Indonesia, termasuk penataan pos-pos
pengeluaran
dalam
APBN.
Seperti
diketahui bahwa salah satu penyebab dari
pembengkakan pengeluaran pemerintah
adalah faktor kebocoran dan mark up yang
dilakukan oleh beberapa pihak yang tidak
bertanggung jawab. Untuk mengatasinya
pemerintah
membentuk
Komite
Pemberantasan Korupsi. Pemberantasan
korupsi dan penegakan hukum, mencatat
sejumlah prestasi. Anggaran pengeluaran
pemerintah yang bertujuan untuk menekan
inflasi melalui peningkatan produktivitas
masyarakat adalah peningkatan potensi untu
desa tertinggal.
Pemerintah telah
melakukan program ‘Program Inpres Desa
Tertinggal’ atau IDT yang secara langsung
akan mampu menekan laju inflasi
disamping
untuk
meningkatkan
kesejahteraan
masyarakat
yang
bersangkutan. Selain hal tersebut di atas
terdapat beberapa kebijakan pemerintah
untuk tujuan yang sama, diantaranya
Program Kawasan Terpadu (PKT), Program
Gerakan Orang Tua Asuh (GN-OTA),
Raskin, Bantuan Langsung Tunai (BLT),
serta program-program lainnya. Program
tersebut dalam jangka panjang diharapkan
akan
dapat
menunjang
kestabilan
perekonomian Indonesia.
3. Mengadakan pinjaman pemerintah.
75
Widya Cipta,Vol. VIII, No.1 Maret 2016
Pinjaman pemerintah yang dimaksudkan di
sini adalah dalam bentuk pembayaran pada
masyarakat dan mengembalikannya di
kemudian hari, misalnya dalam bentuk
pensiun. Dalam keadaan inflasi yang harus
ditekan
maka
Pemerintah
harus
mengadakan pinjaman pemerintah dimana
pembayarannya pada masyarakat dilakukan
di kemudian hari. Dengan pinjaman ini
pembayaran kepada masyarakat akan
tertahan sampai jangka waktu tertentu.
Jumlah uang yang beredar di masyarakat
akan tertahan juga sehingga inflasi akan
turun secara otomatis.
Peraturan
pemerintah berkenaan dengan BPJS
terhadap perusahaan misalnya akan
membantu penarikan uang dari peredaran
dan ini dapat menekan laju inflasi. Selain
itu faktor peningkatan produktivitas sangat
mendukung untuk memperkuat nilai uang
terhadap barang., pemberian kredit untuk
para petani dan pengasuh kecil berupa
‘Kredit Usaha Kecil’ atau KUK, Kredit
Modal Kerja Permanen (KMKP). Kredit
tersebut akan meningkatkan produktivitas
masyarakat yang berarti peningkatan hasil
produksi barang dan jasa yang dihasilkan
masyarakat untuk mengimbangi kelebihan
jumlah uang yang beredar.
Kebijakan Riil
Untuk mengurangi tingkat inflasi yang
terlalu tinggi salah satu cara yang dapat
ditempuh adalah meningkatkan produksi dan
barang di pasaran. Cara ini dapat meningkatkan
daya beli uang terhadap barang. Sesuai dengan
hukum penawaran, apabila jumlah barang yang
ditawarkan meningkat maka dalam keadaan
permintaan tetap maka kurva penawaran akan
bergeser ke kanan. Dngan demikian harga
ekuilibrium akan turun dan inflasipun akan
turun sampai tingkat yang ditargetkan. Dalam
usaha peningkatan produksi dan barang di
pasaran pemerintah dapat menggunakan cara
sebagai berikut:
1. Anggaran
Defisit
(Defisit
Budget)/
Kebijakan Fiskal Ekspansif
Pemerintah terkadang perlu mengambil
kebijakan Anggaran Belanja Defisit,
dimana pengeluaran lebih besar dari
pemasukan negara. Hal ini digunakan untuk
memberi stimulus pada perekonomian
sehingga sektor usaha dapat meningkat
yang
berdampak
pada
peningkatan
produksi. Peningkatan produksi ini akan
meningkatkan daya beli uang terhadap
barang sehingga inflasipun dapat diatasi
dengan sangat baik.
76
2. Anggaran Surplus (Surplus Budget)/
Kebijakan Fiskal Kontraktif
Anggaran
surplus
dapat
dilakukan
pemerintah ketika perekonomian pada
kondisi yang ekspansi yang mulai memanas
(overheating) untuk menurunkan tekanan
permintaan. Jika tingkat permintaan turun
maka daya beli masyarakatpun akan turun.
Namun hal ini akan sulit dilakukan untuk
kebutuhan pokok karena kurva permintaan
bersifat
inelastis
sempurna.
Jika
perekonomian sudah mambeik maka untuk
barang-barang bukan kebutuhan pokok
dapat dapat dibatasi untuk menurunkan
tingkat permintaan. Jika kurva permintaan
turun dan bergeser ke kiri maka dalam
keadaan kurva penawaran yang tetap maka
harga ekuilibrium akan turun dan
diharapkan dapat menekan inflasi.
3. Anggaran Berimbang (Balanced Budget)
Anggaran berimbang dapat merupakan
alternatif
pilihan
pemerintah
untuk
mengurangi inflasi dengan mengatur mana
yang harus dinaikkan/diturunkan degan
tepat. Dalam keadaan inflasi misalnya,
pemerintah
dapat
meningingkatkan
penerimaan pajak dan meningkatkan
pengeluaran
pemerintah
sekaligus.
Peningkatan penerimaan pajak jelas dapat
mengurangi jumlah uang yang beredar
dalam
masyarakat
sehingga
dapat
menurunkan
inflasi.
Peningkatan
pengeluaran pemerintah dapat juga
menurunkan inflasi apabila pengeluaran
pemerintah tersebut digunakan untuk usaha
yang mendorong peningkatan produktivitas.
Apabila produktivitas meningkat maka
jumlah barang yang tersedia akan
meningkat sehingga kurva penawaran
bergeser ke kanan. Dalam keadaan kurva
permintaan yang tetap makan harga
ekuilibriumpun akan turun sehingga
menurunkan inflasi
Kebijakan menaikkan upah riil dengan
meningkatkan upah minimum regional hanya
dapat diakukan jika peningkatan upah riil
disertai dengan peningkatan produktivitas yang
lebih besar dari peningkatan upah riil. Dengan
kata lain inflasi dapat diturunkan dengan
peningkatan upah riil hanya jika peningkatan
produktivitas akibat peningkatan upah riil lebih
besar dari peningkatan upah riil yang
dilakukan. Jika ini terjadi makan jumlah barang
yang tersedia akan meningkat sehingga kurva
penawaran bergeser ke kanan. Dalam keadaan
kurva permintaan tetap maka harga ekuilibrium
akan turun dan inflasi juga akan turun seperti
yang diharapkan. Kebijakan ini pernah
dilakukan pada era kekuasaan pemerintah
Widya Cipta,Vol. VIII, No.1 Maret 2016
Gusdur dimana gaji pegawai negeri dinaikkan,
sementara pajak juga dinaikkan.
Selain hal tersebut di atas, pemerintah
telah menetapkan program Gerakan Sektor
Riil, dimana dilakukan reorientasi kebijakan
dan program ekonomi dengan fokus
peningkatan pemberdayaan sektor riil yang
mampu menyerap banyak tenaga kerja (padat
karya) seperti pada sektor pertanian dan Usaha
Mikro Kecil dan Menengah (UMKM).
Disamping itu, pemerintah harus
mampu meningkatkan aktivitas sektor-sektor
produktif yang terkait langsung dengan
kesejahteraan rakyat serta mengendalikan
sektor finansial yang cenderung spekulatif dan
kurang berkontribusi dalam mengurangi tingkat
pengangguran dan kemiskinan. Sektor finansial
harus
diarahkan
untuk
mendukung
pertumbuhan sektor riil sehingga tidak terjadi
fenomena decoupling dalam ekonomi nasional.
Pemerintah
juga
harus
dapat
memberikan perlindungan kepada industri
dalam negeri melalui kebijakan perdagangan
dan investasi yang beorientasi kepada
kepentingan
ekonomi
nasional,
bukan
kebijakan perdagangan dan investasi yang
liberal dan ugal-ugalan. Selain itu, diperlukan
stabilisasi harga kebutuhan pokok melalui
peningkatan produksi dan pasokan dalam
negeri, memfungsikan kembali peranan
lembaga pemerintah untuk stabilisasi pangan,
membentuk
bank
pertanian,
dan
mengendalikan impor bahan pangan.
Diperlukan juga penguatan ekonomi
lokal dengan mensinergikan
kebijakan
ekonomi pusat dan daerah serta mendorong
upaya kerjasama perdagangan antara daerah
supaya terjadi penguatan ekonomi lokal yang
berkelanjutan. Bukan itu saja, pemerintah
diharapkan lebih fokus pada upaya peningkatan
kesejahteraan petani melalui kebijakankebijakan pro petani seperti reformasi agraria,
peningkatan produksi dan produktifitas
komoditi pertanian, pembangunan infrastruktur
pertanian dan perdesaan, dan penyediaan input
pertanian dengan harga yang terjangkau.
LSM itu menilai, peningkatkan kegiatan
produktif masyarakat kelas menengah bawah
melalui
pengembangan
industrialisasi
perdesaan dengan menggunakan sumberdaya
lokal dan pembangunan besar-besaran pasarpasar
tradisional,
dan
memperbaiki
infrastruktur wilayah perdesaan juga sangat
diperlukan.
Kebijakan terbaru pemerintah adalah
kebijakan yang diambil oleh presiden JokowiJK. Mereka menyikapi ekonomi dunia yang
berdampak pada perkenomian banyak negara
termasuk indonesia, pemerintah bersama
otoritas moneter, Bank Indonesia dan Otoritas
Jasa Keuangan, telah melakukan langkahlangkah dalam upaya menciptakan kondsisi
ekonomi makro yang kondusif. Tujuan dari
kebijakan ini tidak saja berupa stimulus bagi
dunia usaha, tetapi juga dapat langsung
dirasakan manfaatnya oleh rakyat banyak
terutama yang berpenghasilan rendah. Selama
ini pemerintah telah melakukan upaya
stabilisasi fiskal dan moneter, termasuk di
dalamnya pengendalian inflasi. Selain itu,
pemerintah juga telah melakukan langkahlangkah untuk melindungi masyarakat, seperti
pemberdayaan usaha mikro dan penyaluran
kredit dengan suku bunga rendah. Pemerintah
Jokowi-JK merasa bahwa langkah-langkah itu
belum cukup dan meluncurkan paket kebijakan
ekonomi tahap pertama pada September 2015.
Paket-paket tersebut adalah:
1. Mendorong daya saing industri nasional
melalui deregulasi dan debirokrasi.
2. Mempercepat proyek strategis nasional,
termasuk
penyediaan
lahan
dan
penyederhanaan izin, serta pembangunan
infrastruktur.
3. Meningkatkan
investasi
di
bidang
properti dengan mendorong pembangunan
rumah untuk masyarakat berpenghasilan
rendah.
Diharapkan
kebijakan
ini
akanmembuka peluang investasi yang lebih
besar di sektor properti.
Paket kebijakan tahap ini akan
memperkuat industri nasional. Pengembangan
usaha mikro, kecil, menengah dan koperasi,
akan memperlancar perdagangan antar daerah,
akan membuat pariwisata semakin bergairah,
akan menyejahterakan nelayan. Semua
kebujakan ini akan meningkatkan produksi
dalam negeri untuk mengimbangi laju inflasi
yang terjadi bahkan akan dapat menekan laju
inflasi di Indonesia.
V. PENUTUP
Berdasarkan hasil pembahasan tentang
upaya pemerintah dalam mengendalikan laju
inflasi di Indonesia, terdapat beberapa
kesimpulan diantaranya:
1. Inflasi adalah suatu keadaan dimana tingkat
harga umum naik secara terus menerus.
Inflasi yang terlalu besar akan berdampak
negatif bagi masyarakat sehingga perlu
dilakukan berbagai kebijakan yang dapat
menurunkan inflasi.
2. Kebijakan pemerintah untuk menurunkan
inflasi terdiri dari kebijakan moneter,
kebijakan fiskal dan kebijakan riil.
3. Kebijakan moneter Operasi Pasar Terbuka
(OPT) untuk menurunkan inflasi dilakukan
dengan Operasi Pasar Terbuka (OPT)
77
Widya Cipta,Vol. VIII, No.1 Maret 2016
4.
5.
6.
7.
8.
-
78
Absorpsi antara lain: dengan Penerbitan
SBI dan SBIS, Penerbitan SDBI, Transaksi
Reverse Repo SBN, Transaksi Penjualan
SBN secara outright, dan Penempatan
berjangka (Term Deposit) dalam rupiah di
Bank Indonesia serta Penjualan Valuta
Asing terhadap Rupiah (dalam bentuk spot,
forward atau swap).
Peserta pada OPT Absorpsi adalah bank
dan/atau
lembaga
perantara
yang
melakukan transaksi untuk kepentingan
bank.
Standing Facilities dapat dilakukan dengan
: Deposit facility dan FASBIS
Kebijakan Fiskal untuk menurunkan inflasi
antara
lain
dengan
meningkatkan
penerimaan
pajak
dan
mengurangi
pengeluaran pemerintah serta mengadakan
pinjaman pemerintah.
Kebijakan Riil untuk mengurangi inflasi
antara lain dilakukan dengan menggunakan
Anggaran Defisit, Anggaran Surplus, dan
Anggaran Berimbang tergantung kondisi
perekonomian yang sedang terjadi dimana
kebijakan yang diambilpun harus sesuai
dengan kondisi yang terjadi saat itu.
Kebijakan menaikkan upah riil untuk
menurunkan inflasi hanya dapat diakukan
jika peningkatan upah riil disertai dengan
peningkatan produktivitas yang lebih besar
dari peningkatan upah riil.
9. Kebijakan mengendalikan dan mengawasi
harga yang dilakukan hanya bersifat sesaat
tidak akan mampu menurunkan inflasi.
DAFTAR PUSTAKA
Adwin S. Admadja, Inflasi di Indonesia:
Sumber,
Penyebab
dan
Pengendaliannya, Jurnal Akuntansi dan
Keuangan Indonesia Vol 1. No. 1, Mei
1999: 54-67
Boyes, William dan Richard Malvin, 2008,
Macroeconomics, Boston, Houghton
Mifflin Company
Sobel, Russel S. 2009, Macroeconomics
Private and Public Choice, 13th edition,
Canada, Cencage Learning,
Sukirno, Sadono, 2012, Makro Ekonomi Teori
Pengantar, Jakarta, PT. Raja Grafindo
Persada (Rajawali perss)
http://www.bi.go.id, (akses tahun 2016)
http://www.bps, 2016 (akses tahun 2016)
Download