Widya Cipta,Vol. VIII, No.1 Maret 2016 ANALISIS KEBIJAKAN PENGENDALIAN INFLASI DI INDONESIA Sri Harjunawati Program Studi Komputerisasi Akuntansi AMIK BSI Jakarta [email protected] ABSTRACT It should be recognized that inflation is directly or indirectly contributing to the economic conditions in a country. In the visible inflation adds to the economic burden of the public because of a decline in the purchasing power of money against goods, but inflation at a certain level to be able to spur the business sector is not impossible that even a positive impact on the increase in national income. The absence of inflation that does not mean people live without the burden, but in fact its absence affects the economic downturn due to the decline in business activity. The reverse is also not allowed to happen. Inflation that is too large to make the business sector helpless. Society can not afford to buy the products produced as a result of a decrease in purchasing power of money against goods. If not also found a market share of new Yag then gradually they will be weak even might take steps as an alternative terakhirnya.Inflasi liquidation related to a lot of things that are essentially related to the amount of money in circulation and the number of products available in the community. Inflation main problems is how to make a controlled inflation and may create a situation conductive to the business sector. Here the Government was instrumental in lucuran policies that really wise and in favor of the interests of the people. Government policy is like a drug. The dose required for the welfare of the people that fit the proper diagnosis. Keywords: Controlling, Inflation, Policy I. PENDAHULUAN Kemakmuran suatu bangsa dapat dilihat dari seberapa besar kebutuhan masyarakatnya terpenuhi. Kebutuhan hanya dapat terpenuhi dangan alat pemuas kebutuhan yang dimilikinya dimana alat pemuas kebutuhan tersebut dapat dibeli dengan menggunakan uang sebagai penukarnya. Secara umum, inflasi dapat diartikan sebagai suatu proses suatu peristiwa dimana terjadi kecenderungan kenaikan harga-harga secara umum dan terus menerus. Tingkat harga yang dianggap tinggi belum tentu menunjukkan inflasi. Inflasi dianggap terjadi jika proses kenaikan harga berlangsung terus -menerus dan saling mempengaruhi. Bank Indonesia menyatakan bahwa inflasi dapat diartikan sebagai suatu keadaan di mana terjadi kenaikan harga secara terus menerus (www.bi.go.id). Kenaikan harga ini disebabkan karena terjadi kelebihan permintaan terhadap barang-barang dalam perekonomian, secara keseluruhan dan terus menerus. Kelebihan permintaan tersebut dapat diartikan ganda, yaitu pengeluaran yang diharapkan terlalu banyak dibandingkan dengan barang yang tersedia, atau barang yang tersedia terlalu sedikit bila dibandingkan dengan tingkat pengeluaran yang diharapkan. 64 Inflasi yang terlalu besar akan berdampak buruk terhadap perekonomian suatu negara. Lemahnya daya beli uang terhadap barang dapat diartikan lemahnya daya beli masyarakat. Masyarakat di sini adalah pasar, tempat dimana barang dan jasa yang dihasilkan produsen akan dijual. Jika daya beli masyarakat lemah maka mereka tidak akan mampu melakukan pembelian, bahkan mungkin untuk barang dan jasa yang dibutuhkan. Dampak dari keadaan tersebut adalah suatu penurunan penjualan barang dan jasa. Penurunan penjualan ini akan menyebabkan produsen tidak akan memproduksi barang dan jasa seperti semula. Mereka akan menurunkan tingkat produksinya kecuali apabila produsen berhasil menemukan dan menembus pangsa pasar baru sebagai perluasan atau alternatif pasar sebelumnya. Apabila produsen tidak melakukan atau tidak mampu hal tersebut di atas maka produsen tetap sepenuhnya akan tergantung dengan kebijakan pemerintah. Dalam beberapa kurun waktu Indonesia mengalami begitu banyak gejolak ekonomi. Secara historis, tingkat dan volatilitas inflasi Indonesia lebih tinggi dibanding negara-negara berkembang lain. Indonesia memiliki rata-rata tingkat inflasi tahunan sekitar 8,5% sementara negara-negara berkembang lain mengalami tingkat inflasi antara 3% sampai 5% pada Widya Cipta,Vol. VIII, No.1 Maret 2016 periode 2005-2014. Puncak-puncak inflasi Indonesia berkorelasi dengan penyesuaian harga-harga yang ditetapkan. Harga-harga energi (bahan bakar dan listrik) ditetapkan oleh Pemerintah sehingga tidak bergerak sesuai dengan kondisi pasar. Hal ini berarti defisit yang dihasilkan harus diserap oleh Pemerintah atau Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Pertamina dan Perusahaan Listrik Negara (PLN). Program yang berumur memberikan tekanan yang cukup serius pada neraca Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan membatasi belanja publik untuk proyek-proyek berjangka panjang dan produktif, seperti pembangunan infrastruktur atau pembangunan sosial. Beberapa institusi internasional seperti International Monetary Fund (IMF) dan Bank Dunia mengkritik Pemerintah Indonesia karena menyediakan bahan bakar dan listrik murah untuk para penduduknya. Menurut mereka kebijakan ini menimbulkan kelemahan finansial Indonesia. Hal tersebut terlihat jelas karena Indonesia telah berubah menjadi importir minyak netto di tahun 2000-an. Indonesia harus membatasi investasi Pemerintah untuk sektor-sektor yang lebih produktif. Bahan bakar yang murah mendukung penjualan mobil dan kendaraan bermotor di negara Indonesia. Peningkatan penjualan ini tidak diimbangi dengan peningkatan infrastrukturnya. Ketimpangan ini meningkatkan kemacetan lalu lintas di kotakota besar Indonesia, termasuk Ibu Kota. Melakukan dendistorsi perekonomian dengan menjaga harga lebih rendah tidak mendukung kekuatan ekonomi golongan rendah. Golongan ekonomi menengah ke atas yang paling diuntungkan dari rendahnya harga bahan bakar, bukan segmen penduduk miskin dalam masyarakat Indonesia yang sebenarnya menjadi sasaran subsidi pemerintah akan harga bahan bakar. Masyarakat Indonesia menjadi terbiasa dengan subsidi Pemerintah, terutama bahan bakar yang murah. Usaha-usaha untuk mengatur kembali subsidi energi dilakukan pemerintah yang berkuasa, namun usaha menata kembali subsidi energi bereriko politik untuk elit yang berkuasa. Kegelisahan politik berupa demonstrasi muncul sebagai akibat dari kegelisahan masyarakat akibat tekanan inflasi yang meningkat. Faktor yang tidak boleh dilupakan berkaitan dengan karakteristik Indonesia berupa besarnya penduduk yang termasuk dalam kelompok yang hidup sedikit di atas garis kemiskinan. Suatu kejutan inflasi yang relatif kecil bisa mendorong mereka ke bawah garis kemiskinan. Ketika harga minyak internasional malambung tinggi, pemerintah dibawah kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2014) memutuskan untuk mengurangi subsidi bahan bakar secara besar-besaran di akhir 2005 dengan menaikan harga bahan bakar bersubsidi lebih dari dua kali lipatnya. Kebijakan ini menyebabkan tingkat inflasi mencapai dua digit berkisar antara 14% sampai 19% (yearon-year) sampai Oktober 2006. Lebih lanjut lagi, inflasi inti Indonesia untuk barang-barang yang rentan terhadap volatilitas harga sementara, telah menjadi tidak stabil karena efek lanjut inflasi sebagai penyesuaian harga energi yang berlanjut ke perekonomian yang lebih luas. Sebagai contoh kenaikan biaya transportasi mendorong terjadinya kenaikan harga di sektor lain. Bank Indonesia menyatakan bahwa kestabilan inflasi merupakan prasyarat bagi pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan yang pada akhirnya memberikan manfaat bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pentingnya pengendalian inflasi didasarkan pada pertimbangan bahwa inflasi yang tinggi dan tidak stabil memberikan dampak negatif kepada kondisi sosial ekonomi masyarakat. Mengacu pada besarnya pengaruh inflasi di Indonesia kita perlu mendiskusikan bagaimana tingkat inflasi Indonesia, dan kebijakankebijakan apa yang dapat diambil untuk meredam inflasi sehingga Indonesia tetap merupakan negara dengan ekonomi terbesar di Asia Tenggara. II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Inflasi Badan Pusat Statistik Indonesia (2016) mendefinisikan inflasi sebagai kenaikan harga barang dan jasa secara umum dimana barang dan jasa tersebut merupakan kebutuhan pokok masyarakat atau turunnya daya jual mata uang suatu negara.Bank Indonesia sendiri mengartikan inflasi sebagai meningkatnya harga-harga secara umum dan terus menerus. Kenaikan harga dari satu atau dua barang saja tidak dapat disebut inflasi kecuali bila kenaikan itu meluas (atau mengakibatkan kenaikan harga) pada barang lainnya. Kebalikan dari inflasi disebut deflasi. Pengertian inflasi (Sobel, 2009:265) adalah peningkatan tingkat umum harga barang dan jasa. Inflasi sendiri bukan merupakan suatu gejala dimana terjadi kenaikan harga pada jangka waktu yang pendek, melainkan bahwa inflasi menunjukkan peningkatan harga yang berlangsung pada jangka waktu yang relatif panjang (Boyes dan Richard Malvin, 2008: 172). 65 Widya Cipta,Vol. VIII, No.1 Maret 2016 Dalam hampir seluruh kasus inflasi besar atau terus-menerus, pelakunya adalah pertumbuhan jumlah uang. Ketika pemerintah menciptakan uang dengan jumlah besar, maka nilai uang akan jatuh. Bank Indonesia secara sederhana mengartikan inflasi sebagai meningkatnya harga-harga secara umum dan terus menerus. Kenaikan harga dari satu atau dua barang saja tidak dapat disebut inflasi kecuali bila kenaikan itu meluas (atau mengakibatkan kenaikan harga) pada barang lainnya. Kebalikan dari inflasi disebut deflasi. Menurut BPS (2016), indikator yang sering digunakan untuk mengukur tingkat inflasi adalah Indeks Harga Konsumen (IHK). Inflasi yang diukur dengan IHK di Indonesia dikelompokan ke dalam tujuh kelompok pengeluaran (berdasarkan the Classification of individual consumption by purpose COICOP), yaitu: (1) kelompok bahan makanan; (2) kelompok makanan jadi, minuman, dan tembakau; (3) kelompok perumahan; (4) kelompok sandang; (5) kelompok kesehatan; (6) kelompok pendidikan dan olah raga; (7) kelompok transportasi dan komunikasi. Disamping pengelompokan berdasarkan COICOP tersebut, BPS saat ini juga mempublikasikan inflasi berdasarkan pengelompokan yang lainnya yang dinamakan disagregasi inflasi. Disagregasi inflasi tersebut dilakukan untuk menghasilkan suatu indikator inflasi yang lebih menggambarkan pengaruh dari faktor yang bersifat fundamental. BPS (2016) mengelompokkan disagegasi inflasi IHK tersebut menjadi: (1) inflasi inti, yaitu komponen inflasi yang cenderung menetap atau persisten (persistent component) di dalam pergerakan inflasi dan dipengaruhi oleh faktor fundamental, seperti: interaksi permintaan-penawaran, lingkungan eksternal: nilai tukar, harga komoditi internasional, inflasi mitra dagang, ekspektasi Inflasi dari pedagang dan konsumen; (2) inflasi non inti, yaitu komponen inflasi yang cenderung tinggi volatilitasnya karena dipengaruhi oleh selain faktor fundamental. Komponen inflasi non inti terdiri dari: inflasi komponen bergejolak (volatile food) yaitu inflasi yang dominan dipengaruhi oleh shocks (kejutan) dalam kelompok bahan makanan seperti panen, gangguan alam, atau faktor perkembangan harga komoditas pangan domestik maupun perkembangan harga komoditas pangan internasional, dan inflasi komponen harga yang diatur pemerintah (administered prices) yaitu inflasi yang dominan dipengaruhi oleh shocks (kejutan) berupa kebijakan harga Pemerintah, seperti harga BBM bersubsidi, tarif listrik, tarif angkutan, dan lain-lain.. Sumber: BPS (2016) Gambar 1. Proses Inflasi Menurut Bank Indonesia 66 Widya Cipta,Vol. VIII, No.1 Maret 2016 2.2. Teori Inflasi Teori tentang inflasi (Sukirno, 2012:243-270) dinyatakan dalam beberapa aspek-aspek tertentu dari proses inflasi. Pertama, teori kuantitas disebut sebagai model kaum moneteris (monetaris models) karena telah disempurnakan oleh para ahli ekonomi Universitas Chicago. Bagi negara-negara yang sedang berkembang teori ini sangat berguna untuk menerangkan proses inflasi. Teori ini menekankan peranan jumlah uang beredar dan harapan masyarakat tentang kenaikan harga terhadap timbulnya inflasi. Berikut ini adalah rumus yang dikemukakan teori kuantitas. P.T = M.V ……. (1) Dimana : P = Tingkat Harga T = Volume Transaksi M = Jumlah Uang Yang Beredar (Penawaran Uang) V = Kecepatan Perputaran Uang Asumsi dari teori ini adalah seluruh transaksi penjualan sama dengan nilai seluruh pembelian. Transaksi penjualan adalah Harga (P) dikalikan dengan nilai transaksi (T). Transaksi pembelian sama dengan jumlah uang yang beredar (M) dikalikan dengan kecepatan rata-rata perputaran uang (V). Dengan asumsi bahwa besarnya Nilai Transaksi (T) dan besarnya Kecepatan Perputaran Uang (V) adalah tetap maka jika Jumlah Uang Yang Beredar (M) naik maka Harga (P) akan naik, sehingga terjadilah inflasi. Kedua, teori keynes dimana Kynes berpendapat bahwa campur tangan pemerintah sangat diperlukan dalam mengatasi masalah perekonomian. Pada tingkat makro, pemerintah harus aktif dalam mengendalikan perekonomian ke arah posisi full employment. Keadaan ini hanya bisa dicapai dengan tindakan yang terencana (Sukirno, 2012:243270). Selanjutnya teori ini mengatakan bahwa bahwa inflasi terjadi karena suatu masyarakat ingin hidup di luar batas kemampuan ekonomi mereka. Hal ini berarti permintaan total masyarakat terhadap barang-barang melebihi kemampuan berproduksi masyarakatnya sehingga terjadi kenaikan harga secara umum yang disebut dengan inflationary gap. Kuantitas uang yang beredar tidak berpengaruh terhadap tingkat permintaan total. Jika uang yang beredar bertambah maka harga akan naik. Dengan naiknya harga, permintaan uang untuk transaksi juga akan ikut bertambah sehingga suku bunga juga ikut naik. Hal ini akan mencegah pertambahan permintaan untuk investasi dan akan melunakkan tekanan inflasi. Analisa Keynes tentang inflasi permintaan yang dirumuskan berdasarkan konsep inflationary gap: inflasi permintaan adalah yang ditimbulkan oleh pengeluaran pemerintah, prograaam investasi yang besarbesaran dalam capital sosial. Jika dirumuskan menjadi: Inflasi = f (M, G, i, I) ……. (2) Dimana: M = Jumlah Uang Beredar G = Pengeluaran Pemerintah i = Tingkat Suku bunga I = Investasi Ketiga, teori strukturalis yaitu teori yang mengatakan mengatakan bahwa inflasi bukan merupakan fenomena moneter, tetapi merupakan fenomena struktural atau cost push inflation. Fenomena yang dimaksud adalah fenomena struktural yang disebabkan oleh kesenjangan atau kendala structural dalam perekonomian di negara berkembang (Adwin,1999:54-67). Kendala ini sering disebut dengan structural bottlenecks. Structural bottleneck terjadi dalam tiga hal, yaitu: (1) Supply dari sektor pertanian (pangan) tidak elastis, keadaan ini dikarenakan pengelolaan dan pengerjaan di sektor pertanian masih menggunakan metode dan teknologi yang sederhana, sehingga sektor pertanian domestik tidak mampu mengimbangi pertumbuhan permintaan sehingga timbul inflasi; (2) Cadangan valuta asing yang terbatas akibat dari pendapatan ekspor yang lebih kecil daripada pembiayaan impor; (3) keterbatasan ini menyebabkan kemampuan untuk mengimpor barang bahan baku maupun barang modal juga terbatas padahal bahan baku maupun barang modal sangat diperlukan untuk pembangunan sektor industry . Akibat selanjutnya adalah terjadi keterbatasan produksi sementara permintaan terus mengalami pertumbuhan, tidak diimbangi dengan pertumbuhan penawaran maka terjadilah inflasi; (4) Pengeluaran pemerintah terbatas, pengeluaran pemerintah tergantung dari besarnya peneriman rutin. Penerimaan rutin yang terbatas memaksa pemerintah untuk membatasi pengeluarannya sehingga anggaran yang tersedia tidak cukup untuk membiayai pembangunan, termasuk pembangunan infrastruktur yang mendukung sektor industri. Dampak selanjutnya dapat ditebak bahwa supply tidak mampu memenuhi permintaan sehingga terjadi inflasi. Kaum strukturalis berpendapat, bahwa selain harga komoditi pangan, penyebab utama terjadinya inflasi di Negara-negara berkembang adalah akibat inflasi dari luar negeri. Hal ini disebabkan antara lain oleh harga barang67 Widya Cipta,Vol. VIII, No.1 Maret 2016 barang import yang meningkat di daerah asalnya. Keempat, menurut Adwin (1999:54-67) dasar pemikiran model teori ini adalah bahwa harga ditentukan oleh dua kompenen, yaitu cost of production dan profit margin, yang dapat dirumuskan sebagai berikut: Price = Cost + Profit Margin……. (3) Besarnya profit margin biasanya telah ditentukan sebagai suatu persentase tertentu dari jumlah cost of production. Rumus tersebut dapat dijabarkan menjadi: Price = cost + (α% x Cost ), apabila terjadi kenaikan cost of production dan atau kenaikan pada profit margin akan menyebabkan terjadinya kenaikan harga pada harga jual komiditi di pasar sehingga terjadilah inflasi. 2.3. Penyebab Inflasi dan Jenis-jenis Inflasi Menurut Bank Indonesia (2016) Inflasi dapat disebabkan karena adanya tekanan dari sisi supply, dari sisi permintaan dan dari ekspektasi inflasi. Tekanan dari sisi supply disebut dengan cost push inflation, yaitu inflasi yang disebabkan oleh kenaikan ongkos produksi. Hal ini dapat disebabkan oleh depresiasi nilai tukar, dampak inflasi luar negeri terutama negara-negara partner dagang, peningkatan harga-harga komoditi yang diatur pemerintah dan terjadi guncangan pasokan negatif akibat bencana alam dan terganggunya distribusi. Tekanan dari sisi permintaan sering disebut dengan deman pull inflation adalah tingginya permintaan barang dan jasa relatif terhadap ketersediaannya. Secara makro kondisi ini digambarkan oleh permintaan total lebih besar dari pada kapasitas perekonomian sehingga terjadi inflasi. Yang terakhir faktor ekspektasi inflasi. Ekspktasi inflasi dipengaruhi oleh perilaku masyarakat dan pelaku ekonomi yang lebih cenderung bersifat adaptif atau forward looking. Hal ini tercermin dari perilaku pembentukan harga di tingkat produsen dan pedagang terutama pada saat menjelang harihari besar keagamaan dan penentuan upah minimum regional (UMR). Berdasarkan asalnya jenis-jenis Inflasi dapat dibagi dalam 2 (dua) jenis yaitu: (1) inflasi yang berasal dari dalam negeri, inflasi akibat defisit anggaran belanja yang dibiayai dengan cara mencetak uang baru dan gagalnya pasar yang berakibat harga bahan makanan menjadi mahal; (2) inflasi dari luar negeri, inflasi yang terjadi akibat kenikan harga barang impor, baik karena kenaikan biaya produksi barang di luar negeri maupun karena kenaikan tarif impor barang. 68 Berdasarkan besarnya cakupan pengaruh terhadap harga inflasi dapat dibedakan menjadi 3 sebagai berikut: (1) inflasi tertutup, apabila kenaikan harga yang terjadi hanya berkaitan dengan satu atau dua barang tertentu saja; (2) inflasi terbuka, apabila kenaikan harga terjadi pada semua barang secara umum; (3) inflasi tidak terkendali, apabila inflasi terjadi sedemikian hebatnya, sehingga setiap saat harga-harga terus berubah dan meningkat hingga orang tidak dapat menahn uang lebih lama disebabkan nilai uang terus merosot. Berdasarkan tingkat keparahannya inflasi dibedakan menjadi empat, yaitu: (1) inflasi ringan terjadi apabila kenaikan harga berada di bawah angka 10% setahun; (2) inflasi sedang terjadi kenaikan harga 10% - 30% setahun; (3) inflasi berat terjadi kenaikan harga 30% - 100% setahun; (4) hiperinflasi atau Inflasi tidak terkendali terjadi apabila kenaikan harga berada di atas 100% setahun. Menurut Sukirno (2012:333), berdasarkan penyebab Inflasi, inflasi dapat dibedakan menjadi 2 (dua) jenis sebagai berikut: (1) demand inflation (inflasi permintaan), yang disebabkan oleh permintaan masyarakat akan berbagai macam barang terlalu kuat; (2) cost inflation (inflasi penawaran), yang disebabkan oleh kenaikan biaya produksi atau berkurangnya penawaran agregatif. 2.4. Kebijakan Pengendali Inflasi Inflasi dalam hitungan satu digit, yaitu inflasi ringan masih dapat memacu kegiatan usaha, tetapi apabila inflasi sudah mencapai lebih dari itu akan menimbulkan berbagai konflik sebagai dampaknya. Keadaan ini akan merambat ke berbagai sektor bahkan akan dapat menggangu stabilitas nasional. Untuk meredamnya, peran pemerintah mendominasi faktor keberhasilan ekonomi. Kebijakan yang dapat diambil antara lain melalui kebijakan moneter maupun kebijakan fiskal. Kebijakan Moneter Menurut Bank Indonesia, Operasi Moneter adalah pelaksanaan kebijakan moneter oleh Bank Indonesia dalam rangka pengendalian moneter. Instrumen yang digunakan oleh Bank Indonesia adalah Operasi Pasar Terbuka dan Standing Facilities. Operasi Pasar Terbuka (OPT) merupakan kegiatan transaksi di pasar uang yang dilakukan atas inisiatif Bank Indonesia dalam rangka mengurangi (smoothing) volatilitas suku bunga PUAB o/n. Sementara instrumen Standing Facilities merupakan penyediaan dana rupiah Widya Cipta,Vol. VIII, No.1 Maret 2016 (lending facility) dari Bank Indonesia kepada Bank dan penempatan dana rupiah (deposit facility) oleh Bank di Bank Indonesia dalam rangka membentuk koridor suku bunga di PUAB o/n. OPT dilakukan atas inisiatif Bank Indonesia, sementara Standing Facilities dilakukan atas inisiatif bank. Berikut ini kerangka yang ditetapkan Bank Indonesia sebagai Instrumen Operasi Moneter Sumber: Bank Indonesia (2016) Gambar 2. Instrumen Operasi Moneter Operasi Pasar Terbuka (OPT) adalah kegiatan transaksi di pasar uang dalam rangka Operasi Moneter yang dilakukan oleh Bank Indonesia dengan Peserta Operasi Moneter. Operasi Pasar Terbuka dilakukan untuk mencapai target suku bunga PUAB O/N sebagai sasaran operasional kebijakan moneter. OPT terdiri dari dua jenis, yaitu: (1) OPT Absorpsi, dilakukan apabila dari perkiraan perhitungan likuiditas maupun dari indikator suku bunga di PUAB diperkirakan mengalami kelebihan likuiditas, yang diantaranya diindikasikan melalui penurunan suku bunga PUAB secara tajam. Instrumen yang digunakan dalam OPT absorpsi ini adalah: penerbitan SBI dan SBIS, penerbitan SDBI, transaksi Reverse Repo SBN, transaksi penjualan SBN secara outright, penempatan berjangka (term deposit) dalam rupiah di Bank Indonesia dan jual valuta asing terhadap rupiah (dalam bentuk spot, forward atau swap). Peserta pada OPT Absorpsi adalah bank dan/atau lembaga perantara yang melakukan transaksi untuk kepentingan bank; (2) OPT Injeksi, dilakukan apabila dari perkiraan perhitungan likuiditas maupun dari indikator suku bunga di PUAB diperkirakan mengalami kekurangan likuiditas, yang diantaranya diindikasikan melalui peningkatan suku bunga PUAB secara tajam. Instrumen yang digunakan dalam OPT injeksi ini adalah: transaksi repo, transaksi pembelian SBN secara outright dan beli valuta asing terhadap rupiah (dalam bentuk spot, forward atau swap). Peserta pada OPT Injeksi adalah bank dan/atau lembaga perantara yang melakukan transaksi untuk kepentingan bank. Standing Facilities (SF) atau sering disebut dengan Koridor Suku Bunga adalah kegiatan penyediaan dana rupiah (lending facility) dari Bank Indonesia kepada Bank dan penempatan dana rupiah (deposit acility) oleh Bank di Bank Indonesia dalam rangka Operasi Moneter. Penyediaan Standing Facilities berfungsi untuk membatasi volatilitas suku bunga PUAB O/N. Standing facilities terdiri dari dua jenis, yaitu: (1) Absorbsi Likuiditas, dimaksudkan untuk mengurangi jumlah uang yang beredar. Terdapat dua cara dalam absorbsi likuiditas, yaitu: penempatan dana rupiah oleh Bank di Bank Indonesia (deposit facility), yaitu fasilitas bagi bank yang memiliki kelebihan likuiditas dengan cara menempatkan dana yang dimilikinya kepada Bank Indonesia, FASBIS (Fasilitas Simpanan Bank Indonesia Syariah), fasilitas ini termasuk out standing deposit, penempatan dana syariah bank Syariah di Bank Indonesia untuk Bank Syariah yang memiliki kelebihan likuiditas; (2) Injeksi Likuiditas, 69 Widya Cipta,Vol. VIII, No.1 Maret 2016 dimaksudkan untuk menambah uang uang beredar di masyarakat. Kebijakan yang dapat diambil untuk injeksi likuiditas berkaitan dengan standing facility sebagai beriut: penyediaan dana rupiah dari Bank Indonesia kepada Bank (lending facility) yaitu fasilitas bagi bank yang mengalami kesulitan likuiditas dengan cara merepokan SBI/SDBI/SBN yang dimilikinya kepada Bank Indonesia; dan Financing Facility yaitu fasilitas pembiayaan yang diberikan kepada Bank yang sedang mengalami kesulitan likuiditas untuk membiayai operasionalnya. Kebijakan Fiskal Kebijakan fiskal menyangkut pengaturan pengeluaran pemerintah dan perpajakan. Kebijakan fiskal dapat ditempuh melalui tiga cara, yaitu sebagai berikut. 1. Meningkatkan/menurunkan penerimaan pajak. Meningkatkan penerimaan pajak pajak dapat dilakukan dengan memberlakukan tingkat pajak yang tinggi atau dengan mengenakan jenis-jenis pajak baru. Sebaliknya menurunkan penerimaan pajak dapat dilakukan dengan memberlakukan tingkat pajak yang rendah atau dengan menghapuskan pajak tertentu. 2. Mengurangi/menambah pengeluaran pemerintah. Mengurangi pengeluaran pemerintah dapat dilakukan dengan jalan menunda atau menghapuskan pengeluaran yang bukan prioritas. Menambah pengeluaran pemerintah dapat dilakukan dengan menambah anggaran untu keperluan yang bersifat prioritas. 3. Mengadakan/meniadakan pinjaman pemerintah. Mengadakan pinjaman pemerintah antara lain dilakukan dengan mengurangi pembayaran pada masyarakat dan mengembalikannya di kemudian hari, misalnya dalam bentuk pensiun. Meniadakan pinjaman pemerintah dapat dilakukan dengan meniadakan pembayaran dikemudian hari dan menggantikannya dengan bentuk lain yang dibayar dengan segera, misalnya dengan merubah pensiun dengan pemberian pesangon. Kebijakan Riil Kebijakan riil adalah kebijakan pemerintah di sektor riil yang mencakup halhal antara lain: 1. Kebijakan peningkatan produksi dan barang di pasaran, dapat dilakukan antara lain dengan menetapkan Politik Anggaran sebagai berikut: (a) Anggaran Defisit (Defisit Budget) adalah kebijakan pemerintah untuk membuat pengeluaran 70 lebih besar dari pemasukan negara guna memberi stimulus pada perekonomian. Umumnya sangat baik digunakan jika keaadaan ekonomi sedang resesif, (b) Anggaran Surplus (Surplus Budget) adalah kebijakan pemerintah untuk membuat pemasukannya lebih besar daripada pengeluarannya. Baiknya politik anggaran surplus dilaksanakan ketika perekonomian pada kondisi yang ekspansi yang mulai memanas (overheating) untuk menurunkan tekanan permintaan, (c) Anggaran Berimbang (Balanced Budget) terjadi ketika pemerintah menetapkan pengeluaran sama besar dengan pemasukan. Tujuan politik anggaran berimbang yakni terjadinya kepastian anggaran serta meningkatkan disiplin. 2. Menaikkan upah riil; dapat dilakukan dengan meningkatkan upah minimum regional untuk menyesuaikan kemampuan hidup masyarakat. 3. Mengendalikan dan mengawasi harga, Kebijakan mengendalikan dan mengawasi harga dapat dilakukan dengan menetapkan harga untuk barang yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak, misalnya harga Bahan Bakar Minyak, beras barang kebutuhan pokok lainnya. III. METODE PENELITIAN Metode penelitian yang dipakai untuk penulisan ini adalah teknik analisis deskriptif kualitatif, dimana data-data yang dihasilkan disajikan dalam bentuk deskriptif yang akan memberikan gambaran tentang hasil dari penelitian. Objek penelitian dipilih adalah Inflasi Indonesia beberapa tahun terakhir serta kebijakan yang dapat digunakan untuk meredam Inflasi agar tidak melambung tinggi. Teknik pengumpulan data didasarkan pada data sekunder yang diambil berdasarkan fakta-fakta telah dikumpulkan oleh instsnsi terkait yang dipercaya, antara lain Bank Indonesia dan Badan Pusat Statistik dan menekankan analisisnya pada data-data kepustakaan. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Inflasi di Indonesia Saat harga minyak mentah internasional meningkat tajam, Indonesia menjerit karena tahun 2000 Indonesia telah menjadi importir netto dan harga bahan bakar masih ditopang dengan subsidi APBN. Ini adalah awal dari permasalahan inflasi. Karena adanya keharusan subsidi bahan bakar maka Pemerintah harus membatasi pengeluarannya termasuk Widya Cipta,Vol. VIII, No.1 Maret 2016 pengeluaran untuk memperbaiki infrastruktur yang mendukung perkembangan investasi di sektor usaha untuk meningkatkan produktifitas. Pemerintah terpaksa mengambil tindakan pencabutan subsidi bahan bakar secara bertahap kendati terjadi protes sosial. Diawali oleh tindakan berani pemerintah dengan mengurangi subsidi bahan bakar secara besar-besaran di akhir 2005 serta dengan menaikan harga bahan bakar bersubsidi lebih dari dua kali lipatnya. Tidak dapat dihindarkan lagi, inflasi tiba-tiba naik hingga berkisar antara 14% sampai 19% (year-on-year) sampai Oktober 2006. Pengurangan subsidi energi Indonesia tetap menjadi prioritas utama agenda Pemerintah Pusat. Beberapa kebijakan pun diambil pemerintah untuk meredam inflasi. Pada awal 2012, Pemerintah mengajukan kenaikan harga bahan bakar namun kegelisahan sosial dan oposisi politik di parlemen tidak mendukung peningkatan harga tersebut. APBN masih terasa berat untuk membiayai pengeluaran pemetintah saat itu. Akhirnya, pada Juni 2013, premium dinaikkan 44% menjadi Rp 6.500 dan solar sebesar 22% menjadi Rp 5.500 per liter karena subsidi bahan bakar yang besar mengancam untuk mendorong defisit APBN melewati level 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB) sedangkan hukum Indonesia melarang defisit APBN untuk melewati 3% dari PDB. Dalam rangka mendukung segmen masyarakat miskin, Pemerintah melaksanakan program-program Bantuan Langsung Tunai (BLT). Kendati begitu, inflasi meningkat menjadi 8,4% pada basis year-on-year (y/y) pada akhir tahun. Meskipun ada kenaikan harga di 2013, porsi yang signifikan dari harga bahan bakar Indonesia ada pada disubsidi. Oleh karena itu kenaikan harga bahan bakar menuntut penghapusan subsidi yang memberatkan APBN. Bank Dunia, IMF dan Kantor Dagang & Industri Indonesia (Kadin) terus menekankan pentingnya menghentikan program subsidi ini meskipun hanya untuk faktor yang signifikan saja. Setelah pemerintahan presiden Susilo Bambang Yudhoyono berakhir masa jabatannya, Joko Widodo yang berpola pikir pembaharuan (reform-minded) memenangkan pemilihan presiden dan dilantik sebagai presiden ke-7 Indonesia pada Oktober 2014. Salah satu tindakan pertamanya adalah menaikan harga bahan bakar bersubsidi. Premium dinaikkan dari Rp 6.500 menjadi Rp 8.500 per liter, sementara diesel dinaikkan dari Rp 5.500 menjadi Rp 7.500 per liter. Ini berarti bahwa laju inflasi negara ini, yang telah mulai melambat menuju level target Bank Indonesia pada 4,5%, tidak memiliki waktu untuk pulih dan berakselerasi kembali menjadi 8,4% (y/y) pada akhir tahun 2014. Pada awal tahun 2015, Presiden Joko Widodo memiliki keuntungan karena harga minyak mentah global telah turun drastis sejak pertengahan 2014 karena lambatnya permintaan global sedangkan suply kuat karena angka-angka produksi minyak yang terusmenerus tinggi di negara-negara OPEC dan revolusi gas shale AS. Dalam situasi ini pemerintah melakukan tindakan yang berani dengan menghapus subsidi premium dan menetapkan subsidi tetap sebesar Rp 1.000 per liter untuk diesel. Pemerintah Indonesia tetap menentukan harga bensin dan diesel (disesuaikan setiap kuartalnya) namun harga akan berfluktuasi sejalan dengan harga internasional. Meskipun begitu, karena harga minyak mentah dunia agak pulih di pertengahan pertama tahun 2015, inflasi Indonesia tetap tinggi di pertengahan 2015 dan hanya mulai menurun di akhir 2015. Berikut ini adalah data inflasi tahun 2008-2015. Tabel 2.1. Inflasi di Indonesia 2008-2015 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 Inflasi (perubahan % tahunan) 9.8 4.8 5.1 5.4 4.3 8.4 8.4 - Target BI (perubahan % tahunan) 5.0 4.5 5.0 5.0 4.5 4.5 4.5 4.0 Sumber: Bank Dunia dan Bank Indonesia (2016) Berikut ini data inflasi Indonesia per bulan 71 Widya Cipta,Vol. VIII, No.1 Maret 2016 Bulan Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Augustus September Oktober November Desember Total Sumber : BPS (2016) Tabel 2.2. Inflasi di Indonesia Monthly Monthly Growth 2013 Growth 2014 1.03% 1.07% 0.75% 0.26% 0.63% 0.08% -0.10% -0.02% -0.03% 0.16% 1.03% 0.43% 3.29% 0.93% 1.12% 0.47% -0.35% 0.27% 0.09% 0.47% 0.12% 1.50% 0.55% 2.46% 8.38% 8.36% Dari data tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa tingkat inflasi di Indonesia tidak stabil. Hal ini menyebabkan deviasi yang lebih besar dari proyeksi inflasi tahunan oleh Bank Indonesia. Akibat dari ketidakjelasan inflasi semacam ini adalah terciptanya biayabiaya ekonomi, seperti biaya peminjaman baik domestik maupun internasional di negara ini menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara berkembang lainnya. Penilaian yang baik mengenai mencapai target inflasi tahunan baru saja terbentuk, kredibilitas kebijakan moneter pun mengikutinya. Namun, semua itu dapat kandas oleh ketidakstabilan inflasi. Dampak yang mungkin timbul adalah akan terjadi lebih sedikit deviasi antara target awal dan realisasi inflasi ke depan. Seperti kita ketahui bahwa keterbatasan pengeluaran pemerintah mengakibatkan Indonesia mengalami kekurangan kuantitas dan kualitas infrastruktur sehingga biaya-biaya ekonomi yang tinggi, termasuk biaya transportasi untuk jasa dan produk. Biaya logistik yang tinggi membuat iklim investasi negara Indonesia menjadi kurang menarik. Gangguan distribusi karena isu-isu yang berkaitan dengan infrastruktur sering dilaporkan dan membuat Pemerintah menyadari pentingnya berinvestasi untuk infrastruktur negara ini. Infrastruktur telah dipandang sebagai prioritas utama Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), sebuah rencana pembangunan jangka panjang Pemerintah yang luar biasa tetapi masih belum membuahkan hasil. Sehubungan dengan harga-harga bahan pangan, cuaca yang terkadang tidak bersahabat dan beberapa bencana alam mengganggu produktivitas pangan Indonesia dan meletakkan 72 Monthly Growth 2015 -0.24% -0.36% 0.17% 0.36% 0.50% 0.54% 0.93% 0.39% -0.05% -0.08% 0.21% 2.37% beban yang besar kepada rumah tangga-rumah tangga yang berada di bawah atau sedikit di atas garis kemiskinan. Rumah tangga-rumah tangga ini menghabiskan lebih dari setengah dari pendapatan yang bisa dibelanjakan mereka untuk makanan, terutama beras. Oleh karena itu, harga-harga makanan menjadi lebih tinggi sehingga menyebabkan inflasi. Kondisi ini meningkatkan persentase penduduk miskin. Puncak inflasi rutin di Indonesia ada dua. Yang pertama terjadi pada periode Desember-Januari. Selain perayaan natal dan tahun baru, banjir yang sering terjadi di bulan Januari saat musim hujan tiba. Banjir mengganggu jalur-jalur distribusi di beberapa daerah dan kota menyebabkan biaya logistik yang lebih tinggi. Puncak inflasi kedua terjadi di periode Juli-Agustus. Tekanan-tekanan inflasi di kedua bulan ini terjadi sebagai dampak dari masa liburan, bulan suci puasa umat Muslim (Ramadan), perayaan-perayaan Idul Fitri dan awal tahun ajaran baru. Peningkatan yang signifikan bisa dideteksi dalam belanja makanan dan barang-barang konsumen lain (seperti baju, tas dan sepatu), diikuti dengan tindakan para retailer yang menaikkan harga. Inflasi, yang biasanya diukur dengan indeks harga konsumen (Consumer Price Index) atau sering disingkat dengan CPI dan Indeks Harga Produsen (Producer Price Index), atau sering disebut dengan GDP Deflator mempunyai beberapa golongan. Tabel Inflasi Indonesia menunjukkan bahwa inflasi di Indonesia terjadi selalu lebuh besar dari target inflasi Bank Indonesia. Tahun 2008 inflasi Indonesi mencapai 9.8%. Infalsi ini terjadi setelah pemerintah yang berkuasa pada saat itu, yaitu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono merasa tidak ada pilihan lain selain mencabut subsidi Listrik dan Bahan Bakar Widya Cipta,Vol. VIII, No.1 Maret 2016 Minyak yang memberatkan APBN sehingga terjadi kenaikan harga Listrik dan Bahan Bakar Minyak. Akibatnya adalah terjadi kenaikan ongkos produksi dan biaya angkut yang merambat ke arah kenaikan harga barang lain secara umum sehingga mengakibatkan cost inflation. Disagegasi inflasi inti terjadi karena beberapa hal. Interaksi penawaran dan permintaan terjadi karena turunnya penawaran agregat sebagai akibat dari kenaikan ongkos produksi. Kurva penawaran akan bergeser ke kiri sehingga harga akan naik dalam kondisi kurva permintaan yang tetap. Lingkungan eksternal juga ikut serta berpartisipasi mendorong inflasi. Turunnya nilai tukar rupiah terhadap dolar meningkatkan harga beberapa barang yang inputnya berasal dari manca negara. Selain itu ekspektasi inflasi dari pedagang dan konsumen beranggapan bahwa kenaikan harga akan berlangsung terus untuk kedepannya memicu kenaikan harga. Beberapa hal tersebut mendorong terjadinya inflasi di Indonesia. Selain inflasi inti, inflasi non inti juga terjadi di Indonesia beberapa kurun waktu terakhir Inflasi Komponen Bergejolak (Volatile Food) terjadi akibat beberapa bencana yang melanda beberapa daerah di Indonesia, seperti banjir, kebakaran hutan, tanah longsor dan bencana lain mengganggu hasil produksi pertanian Indonesia sehingga hargapun beranjak naik. Kenaikan harga dari kebijakan pemerintah, yaitu kenaikan harga BBM, tarif listrik, tarif angkutan, dll. termasuk dalam Inflasi Komponen Harga yang diatur Pemerintah (Administered Prices) Teori Kuantitas mengatakan bahwa jika Kuantitas Uang Yang Beredar (M) meningkat sedangkan Volume transaksi (T) dan Kecepatan Uang Beredar (V) tetap maka Harga (P) akan meningkat juga.Meningkatnya kegiatan perekonomian suatu negara selalu diikuti oleh meningkatkan kuantitas uang yang dibutuhkan untuk memenuhi transaksi tersebut. Jadi secara tidak langsung Kuantitas Uang Yang Beredar (M) meningkat seiring dengan perkembangan ekonomi. Dengan demikian inflasipun terjadi. Hal demikianpun tidak dapat dielakkan oleh pemerintan Indonesia karena Indonesia selalu mengalami perkembangan termasuk perkembangan perekonomian. Teori Keynes mengatakan bahwa inflasi merupakan fungsi dari Jumlah Uang Beredar (M), Pengeluaran Pemerintah (G), Tingkat Suku bunga (i), dan Investasi (I). Jumlah Uang Yang beredar di Indonesia meningkat seiring dengan meningkatnya tingkat kegiatan ekonomi. Dengan keputusan Pemerintah Indonesia berkenaan dengan penghapusan subsidi untuk Listrik dan BBM maka anggaran dialihkan untuk membiayai pembangunan infrastruktur yang lebih produktif yang berarti terjadi peningkatan pengeluaran pemerintah. Tingkat suku bunga (i), khususnya suku bunga tabungan di Indonesia terhitung kecil membuat masyarakat enggan menabung sehingga Kuantitas Uang Yang Beredar besar. Ini memicu timbulnya inflasi. Berkaitan dengan investasi, pemerintah selalu berusaha mendukung bahkan berusaha mengundang investor dari manca negara untuk berinvestasi di Indonesia dengan harapan akan terjadi multiplier yang dapat melipat gandakan pendapatan nasional sampai mencapai titik keseimbangan berikutnya. Secara tidak langsung peningkatan investasi akan diiringi oleh peningkatan kegiatan perekonomian yang memerlukan Kuantitas Uang Yang Beredar. Lebih banyak, baik uang kartal maupun uang giral. Teori strukturalis mengemukakan adanya structural bottlenecks terutama untuk negara sedan berkembang. Demikian pula dengan Indonesia. Supply dari sektor pertanian (pangan) tidak elastis karena pengelolaan dan pengerjaan di sektor pertanian masih menggunakan metode dan teknologi yang sederhana, Sektor pertanian domestik tidak mampu mengimbangi pertumbuhan permintaan sehingga timbul inflasi. Devisit Neraca Pembayaran dimana nilai Ekspor lebih kecil dari nilai impor membuat cadangan valuta asing yang terbatas dan menghambat impor barang bahan baku maupun barang modal juga terbatas padahal bahan baku maupun barang modal sangat diperlukan untuk pembangunan sektor industry . Akibat selanjutnya adalah terjadi keterbatasan produksi sementara permintaan terus mengalami pertumbuhan, tidak diimbangi dengan pertumbuhan penawaran maka terjadilah inflasi. Keterbatasan pengeluaran pemerintah menjadikan anggaran tidak cukup membiayai pembangunan infrastruktur yang mendukung sektor industri sehingga supply tidak mampu memenuhi permintaan dan terjadilah inflasi. Mark-up Modle mengatakan bahwa kenaikan harga akan terjadi apabila cost naik dalam keadaan margin yang tetap atau tidak diturunkan. Kebijakan pemerintah Indonesia dengan mencabut subsidi Listrik dan BBM membuat ongkos produksi meningkat yang menimbulkan inflasi. Berdasarkan asalnya, inflasi di Indonesia pada dasarnya termasuk keduanya. Inflasi dari dalam negri terjadi akibat dari devisit anggaran belanja. Inflasi dari luar negeri terjadi akibat dari turunnya nilai 73 Widya Cipta,Vol. VIII, No.1 Maret 2016 rupiah terhadap dolar sehingga terjadi kenaikan harga impor yang berakibat kenaikan harga produksi. Inflasi di Indonesia terjadi akibat banyak hal dan pada akhirnya terjadilah inflasi terbuka meski besarnya inflasi sudah turun dan termasuk inflasi ringan di bawah 10% setahun. Inflasi ini terjadi akibat dari kenaikan ongkos produksi. 4.2. Kebijakan Untuk Mengatasi Inflasi di Indonesia Seperti telah dibahas di atas bahwa inflasi tidak dapat dihindari oleh suatu negara yang berkembang, nemun inflasi yang terlalu besar berdampak negatif pada perekonomian negara tersebut. Untuk itulah inflasi perlu diredam melalui kebijakan moneter dan kebijakan fiskal. Kedua kebijakan ini dapat diambil bersama-sama oleh pemerintah yang berkuasa. Berikut ini akan dibahas beberapa kebijakan yang dapat diambil dalam usaha mengendalikan inflasi di Indonesia. Kebijakan Moneter Teori kuantitas berlaku di Indonesia dimana inflasi terjadi akibat kuantitas uang yang beredar M terlalu besar. Dengan kata lain Inflasi di Indonesia terjadi sebagai akibat dari Likuiditas terlalu besar sebagai indikasi dari penurunan suku bunga. Kebijakan dapat diambil melalui Operasi Pasar Terbuka (OPT) dan Standing Facilities. Dalam keadaan inflasi, kebijakan yang harus diambil oleh pemerintah adalah berusaha mengurangi Kuantitas Uang Yang Beredar (M) dengan melakukan Operasi Pasar Terbuka (OPT) Absorpsi. Instrumen yang digunakan dalam OPT absorpsi ini sebagai berikut: 1. Penerbitan SBI dan SBIS, penerbitan ini dimaksudkan untuk menarik Kuantitas Uang Yang Beredar di masyarakat Indonesia. Penjualan dari SBI dan SBIS akan menarik uang yang beredar sehingga inflasi dapat diredam dan dapat dikendalikan dengan baik. 2. Penerbitan SDBI, seperti halya dengan penerbitan SBI dan SBIS, penerbitan SDBI juga dimaksudkan untuk menarik uang dalam peredaran sehingan inflasi dapat diredam dan terkendali. 3. Transaksi Reverse Repo SBN, transaksi ini akan menahan uang di Bank Indonesia sehingga Bank Umum hanya mempunyai keterbatasan dalam mengeluarkan kredit ke masyarakat. Kebijakan ini akan mengurangi Kuantitas Uang yang beredar dan cukup membatu mengurangi inflasi dan mengendalikannya. 4. Transaksi Penjualan SBN secara outright, pada intinya penjualan surat berharga yang 74 dimiliki oleh pemerintah termasuk SBN akan dapat menarik uang dalam peredaran sehingga inflasi dapat dikendalikan. 5. Penempatan berjangka (Term Deposit) dalam rupiah di Bank Indonesia, term deposit yang berada di Bank Indonesia menahan peredaran uang untuk tidak beredar di masyarakat. Hal ini akan mengurangi jumlah uang yang beredar untuk mengurangi inflasi yang terlalu besar. 6. Penjualan Valuta Asing terhadap Rupiah (dalam bentuk spot, forward atau swap), penjualan Valuta Asing terhadap rupiah mengurangi jumlah rupiah yang beredar di masyarakat Indonesia dan pada akhirnya dapat mengurangi inflasi di Indonesia. Peserta pada OPT Absorpsi adalah bank dan/atau lembaga perantara yang melakukan transaksi untuk kepentingan bank. Teori Kynes sampai saat ini masih berlaku dimana dalam keadaan inflasi jumlah uang yang beredar di masyarakat harus berkurang. Berkaitan dengan standing facility, Bank Indonesia sebagai Bank Central akan mengambil kebijakan Absorbsi Likuiditas unutk mengurangi jumlah uang yang beredar dengan cara sebagai berikut: Deposit facility, yaitu Penempatan dana rupiah oleh Bank di Bank Indonesia. 1. Bank Umum yang memiliki kelebihan likuiditas dapat menempatkan dana yang dimilikinya kepada Bank Indonesia. Kelebihan Likuiditas merupakan kapasitas yang mengannggur. Bagi Bank Umum ini merupakan pemborosan karena turn over yang terlalu kecil. Seharusnya uang yang berada di tangan Bank Umum terus berputar hingga menghasilkan laba yang besar. Untuk bank Umum yang mengalami kondisi tersebut Bank Indonesia menerima kelebihan tersebut sehingga Bank Umum dapat beroperasi dalam kondisi efisiensi tetap terjaga. Bagi bank Indonesia sendiri fasilitas ini merupakan instrumen untuk mengurangi inflasi. Dengan menerima kelebihan likuiditas dari Bank Umum diharapkan uang yang beredar di masyarakat akan berkurang sehingga mengurangi inflasi. 2. FASBIS (Fasilitas Simpanan Bank Indonesia Syariah). Fasilitas ini termasuk out standing deposit, penempatan dana syariah bank Syariah di Bank Indonesia untuk Bank Syariah yang memiliki kelebihan likuiditas. Pada dasarnya fasilitas ini sama dengan deposit facility. Deposit facility untuk Bank Umum Konvensional, sedangkan FASBIS ditujukan untuk Bank Umum Syariah. Widya Cipta,Vol. VIII, No.1 Maret 2016 Kelebihan likuiditas Bank Umum Syariah akan ditampung oleh Bank Indonesia untuk menjaga efisiensi Bank Umum Syariah sekaligus untuk mengurangi inflasi. Dalam hubungannya dengan kedua kebijakan tersebut di atas, peperintah mengharuskan Bank Umum untuk tetap selalu efisien dan mempunyai kinerja yang baik menurut penilaian Bank Indonesia. Bank Umum yang masuk kategori kurang efisien dan mempunyai kinerja yang kurang baik menurut penilaian Bank Indonesia akan dibekukan operasionalnya, dilikuidasi atau diambil alih oleh pemerintah sehingga pada tanggal 21 Agustus 1998 pemerintah membekukan operasional Bank Umum Nasional, Bank Modern, dan Bank Dagang Nasional Indonesia. Kemudian di awal tahun selanjutnya kembali pemerintah melikuidasi 38 bank swasta, 7 bank diambil-alih pemerintah dan 9 bank mengikuti program rekapitulasi. Bank Umum yang terkena kebijakan pemerintah tidak dapat melakukan operasional sehingga uang di Bank Umum tersebut akan tertahan di Bank maupun di Bank Indonesia dan mengurangi jumlah uang yang beredar yang berarti mengurangi inflasi. Kebijakan Fiskal Dalam usaha mengurangi inflasi, kebijakan fiskal yang dapat diambil berkenaan dengan pengaturan pengeluaran pemerintah dan perpajakan adalah sebagai berikut. 1. Meningkatkan penerimaan pajak. Untuk mengurangi inflasi yang terjadi Pemerintah dapat peningkatkan tarif pajak. Pajak yang tertarik akan mengurangi jumlh uang yang beredar dalam masyarakat sehingga inflasi akan turun seperti yang diharapkan samapi mencapai tingkat inflasi yang ditargetkan. Kebijakan yang dilakukan pemerintah antara lain dengan memberlakukan Tarif Pajak Berganda dan Tarif tinggi untuk PpnBM. Tarif Pajak Berganda diberlakukan untuk wajib pajak yang memiliki kendaraan bermotor baik sepeda motor maupun mobil lebih dari 1. PpnBM diberlakukan atas transaksi penjualan barang kena pajak yang tergolong mewah. Untuk transaksi barang kena pajak yang tergolong mewah, selain dikenakan Pajak Pertambahan Nilai dikenakan Pajak pertambahan Nilai Barang Mewah. Kedua macam jenis kebijakan pajak ini akan menarik jumlah uang yag beredar di masyarakat lebih banyak sehingga dapat mengurangi Selain untuk mengurangi inflasi, kebijakan ini juga dapat digunakan unutk mengurangi kesenjangan sosial masyarakat sehingga dapat meredam gejolak negatif yang timbul akibat inflasi itu sendiri. Peningkatan tarif pajak juga dapat dilakukan untuk pajak lainnya, misalnya pajak retribusi, misalkan tarif parkir kendaraan yang telah dinaikkan khususnya oleh Pemerintah Daerah DKI Jakarta. 2. Mengurangi pengeluaran pemerintah. Mengurangi pengeluaran pemerintah dapat dapat mengurangi jumlah uang yang beredar di masyarakat apabila pengeluaran pemerintah yang dikurangi adalah pengeluaran untuk pembelanjaan dalam negeri. Apabila pengeluaran pembelanjaan Pemerintah di dalam negeri berkurang maka jumlah uang yang beredar di masyarakat juga akan berkurang. Keadaan ini dapat mengurangi inflasi. Subsidi BBM dinilai tidak tepat sasaran. Untuk itu secara bertahap subsidi tersebut dihapuskan. Meski ini akan menimbulkan inflasi tetapi anggaran yang seharusnya ditujukan untuk subsidi BBM dialihkan untuk pemberian dana yang lebih berdampak positif terhadap kepentingan masyarakat Indonesia pada umumnya. Hal yang telah dilakukan pemerintah adalah penataan pembali APBN Indonesia, termasuk penataan pos-pos pengeluaran dalam APBN. Seperti diketahui bahwa salah satu penyebab dari pembengkakan pengeluaran pemerintah adalah faktor kebocoran dan mark up yang dilakukan oleh beberapa pihak yang tidak bertanggung jawab. Untuk mengatasinya pemerintah membentuk Komite Pemberantasan Korupsi. Pemberantasan korupsi dan penegakan hukum, mencatat sejumlah prestasi. Anggaran pengeluaran pemerintah yang bertujuan untuk menekan inflasi melalui peningkatan produktivitas masyarakat adalah peningkatan potensi untu desa tertinggal. Pemerintah telah melakukan program ‘Program Inpres Desa Tertinggal’ atau IDT yang secara langsung akan mampu menekan laju inflasi disamping untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang bersangkutan. Selain hal tersebut di atas terdapat beberapa kebijakan pemerintah untuk tujuan yang sama, diantaranya Program Kawasan Terpadu (PKT), Program Gerakan Orang Tua Asuh (GN-OTA), Raskin, Bantuan Langsung Tunai (BLT), serta program-program lainnya. Program tersebut dalam jangka panjang diharapkan akan dapat menunjang kestabilan perekonomian Indonesia. 3. Mengadakan pinjaman pemerintah. 75 Widya Cipta,Vol. VIII, No.1 Maret 2016 Pinjaman pemerintah yang dimaksudkan di sini adalah dalam bentuk pembayaran pada masyarakat dan mengembalikannya di kemudian hari, misalnya dalam bentuk pensiun. Dalam keadaan inflasi yang harus ditekan maka Pemerintah harus mengadakan pinjaman pemerintah dimana pembayarannya pada masyarakat dilakukan di kemudian hari. Dengan pinjaman ini pembayaran kepada masyarakat akan tertahan sampai jangka waktu tertentu. Jumlah uang yang beredar di masyarakat akan tertahan juga sehingga inflasi akan turun secara otomatis. Peraturan pemerintah berkenaan dengan BPJS terhadap perusahaan misalnya akan membantu penarikan uang dari peredaran dan ini dapat menekan laju inflasi. Selain itu faktor peningkatan produktivitas sangat mendukung untuk memperkuat nilai uang terhadap barang., pemberian kredit untuk para petani dan pengasuh kecil berupa ‘Kredit Usaha Kecil’ atau KUK, Kredit Modal Kerja Permanen (KMKP). Kredit tersebut akan meningkatkan produktivitas masyarakat yang berarti peningkatan hasil produksi barang dan jasa yang dihasilkan masyarakat untuk mengimbangi kelebihan jumlah uang yang beredar. Kebijakan Riil Untuk mengurangi tingkat inflasi yang terlalu tinggi salah satu cara yang dapat ditempuh adalah meningkatkan produksi dan barang di pasaran. Cara ini dapat meningkatkan daya beli uang terhadap barang. Sesuai dengan hukum penawaran, apabila jumlah barang yang ditawarkan meningkat maka dalam keadaan permintaan tetap maka kurva penawaran akan bergeser ke kanan. Dngan demikian harga ekuilibrium akan turun dan inflasipun akan turun sampai tingkat yang ditargetkan. Dalam usaha peningkatan produksi dan barang di pasaran pemerintah dapat menggunakan cara sebagai berikut: 1. Anggaran Defisit (Defisit Budget)/ Kebijakan Fiskal Ekspansif Pemerintah terkadang perlu mengambil kebijakan Anggaran Belanja Defisit, dimana pengeluaran lebih besar dari pemasukan negara. Hal ini digunakan untuk memberi stimulus pada perekonomian sehingga sektor usaha dapat meningkat yang berdampak pada peningkatan produksi. Peningkatan produksi ini akan meningkatkan daya beli uang terhadap barang sehingga inflasipun dapat diatasi dengan sangat baik. 76 2. Anggaran Surplus (Surplus Budget)/ Kebijakan Fiskal Kontraktif Anggaran surplus dapat dilakukan pemerintah ketika perekonomian pada kondisi yang ekspansi yang mulai memanas (overheating) untuk menurunkan tekanan permintaan. Jika tingkat permintaan turun maka daya beli masyarakatpun akan turun. Namun hal ini akan sulit dilakukan untuk kebutuhan pokok karena kurva permintaan bersifat inelastis sempurna. Jika perekonomian sudah mambeik maka untuk barang-barang bukan kebutuhan pokok dapat dapat dibatasi untuk menurunkan tingkat permintaan. Jika kurva permintaan turun dan bergeser ke kiri maka dalam keadaan kurva penawaran yang tetap maka harga ekuilibrium akan turun dan diharapkan dapat menekan inflasi. 3. Anggaran Berimbang (Balanced Budget) Anggaran berimbang dapat merupakan alternatif pilihan pemerintah untuk mengurangi inflasi dengan mengatur mana yang harus dinaikkan/diturunkan degan tepat. Dalam keadaan inflasi misalnya, pemerintah dapat meningingkatkan penerimaan pajak dan meningkatkan pengeluaran pemerintah sekaligus. Peningkatan penerimaan pajak jelas dapat mengurangi jumlah uang yang beredar dalam masyarakat sehingga dapat menurunkan inflasi. Peningkatan pengeluaran pemerintah dapat juga menurunkan inflasi apabila pengeluaran pemerintah tersebut digunakan untuk usaha yang mendorong peningkatan produktivitas. Apabila produktivitas meningkat maka jumlah barang yang tersedia akan meningkat sehingga kurva penawaran bergeser ke kanan. Dalam keadaan kurva permintaan yang tetap makan harga ekuilibriumpun akan turun sehingga menurunkan inflasi Kebijakan menaikkan upah riil dengan meningkatkan upah minimum regional hanya dapat diakukan jika peningkatan upah riil disertai dengan peningkatan produktivitas yang lebih besar dari peningkatan upah riil. Dengan kata lain inflasi dapat diturunkan dengan peningkatan upah riil hanya jika peningkatan produktivitas akibat peningkatan upah riil lebih besar dari peningkatan upah riil yang dilakukan. Jika ini terjadi makan jumlah barang yang tersedia akan meningkat sehingga kurva penawaran bergeser ke kanan. Dalam keadaan kurva permintaan tetap maka harga ekuilibrium akan turun dan inflasi juga akan turun seperti yang diharapkan. Kebijakan ini pernah dilakukan pada era kekuasaan pemerintah Widya Cipta,Vol. VIII, No.1 Maret 2016 Gusdur dimana gaji pegawai negeri dinaikkan, sementara pajak juga dinaikkan. Selain hal tersebut di atas, pemerintah telah menetapkan program Gerakan Sektor Riil, dimana dilakukan reorientasi kebijakan dan program ekonomi dengan fokus peningkatan pemberdayaan sektor riil yang mampu menyerap banyak tenaga kerja (padat karya) seperti pada sektor pertanian dan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Disamping itu, pemerintah harus mampu meningkatkan aktivitas sektor-sektor produktif yang terkait langsung dengan kesejahteraan rakyat serta mengendalikan sektor finansial yang cenderung spekulatif dan kurang berkontribusi dalam mengurangi tingkat pengangguran dan kemiskinan. Sektor finansial harus diarahkan untuk mendukung pertumbuhan sektor riil sehingga tidak terjadi fenomena decoupling dalam ekonomi nasional. Pemerintah juga harus dapat memberikan perlindungan kepada industri dalam negeri melalui kebijakan perdagangan dan investasi yang beorientasi kepada kepentingan ekonomi nasional, bukan kebijakan perdagangan dan investasi yang liberal dan ugal-ugalan. Selain itu, diperlukan stabilisasi harga kebutuhan pokok melalui peningkatan produksi dan pasokan dalam negeri, memfungsikan kembali peranan lembaga pemerintah untuk stabilisasi pangan, membentuk bank pertanian, dan mengendalikan impor bahan pangan. Diperlukan juga penguatan ekonomi lokal dengan mensinergikan kebijakan ekonomi pusat dan daerah serta mendorong upaya kerjasama perdagangan antara daerah supaya terjadi penguatan ekonomi lokal yang berkelanjutan. Bukan itu saja, pemerintah diharapkan lebih fokus pada upaya peningkatan kesejahteraan petani melalui kebijakankebijakan pro petani seperti reformasi agraria, peningkatan produksi dan produktifitas komoditi pertanian, pembangunan infrastruktur pertanian dan perdesaan, dan penyediaan input pertanian dengan harga yang terjangkau. LSM itu menilai, peningkatkan kegiatan produktif masyarakat kelas menengah bawah melalui pengembangan industrialisasi perdesaan dengan menggunakan sumberdaya lokal dan pembangunan besar-besaran pasarpasar tradisional, dan memperbaiki infrastruktur wilayah perdesaan juga sangat diperlukan. Kebijakan terbaru pemerintah adalah kebijakan yang diambil oleh presiden JokowiJK. Mereka menyikapi ekonomi dunia yang berdampak pada perkenomian banyak negara termasuk indonesia, pemerintah bersama otoritas moneter, Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan, telah melakukan langkahlangkah dalam upaya menciptakan kondsisi ekonomi makro yang kondusif. Tujuan dari kebijakan ini tidak saja berupa stimulus bagi dunia usaha, tetapi juga dapat langsung dirasakan manfaatnya oleh rakyat banyak terutama yang berpenghasilan rendah. Selama ini pemerintah telah melakukan upaya stabilisasi fiskal dan moneter, termasuk di dalamnya pengendalian inflasi. Selain itu, pemerintah juga telah melakukan langkahlangkah untuk melindungi masyarakat, seperti pemberdayaan usaha mikro dan penyaluran kredit dengan suku bunga rendah. Pemerintah Jokowi-JK merasa bahwa langkah-langkah itu belum cukup dan meluncurkan paket kebijakan ekonomi tahap pertama pada September 2015. Paket-paket tersebut adalah: 1. Mendorong daya saing industri nasional melalui deregulasi dan debirokrasi. 2. Mempercepat proyek strategis nasional, termasuk penyediaan lahan dan penyederhanaan izin, serta pembangunan infrastruktur. 3. Meningkatkan investasi di bidang properti dengan mendorong pembangunan rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah. Diharapkan kebijakan ini akanmembuka peluang investasi yang lebih besar di sektor properti. Paket kebijakan tahap ini akan memperkuat industri nasional. Pengembangan usaha mikro, kecil, menengah dan koperasi, akan memperlancar perdagangan antar daerah, akan membuat pariwisata semakin bergairah, akan menyejahterakan nelayan. Semua kebujakan ini akan meningkatkan produksi dalam negeri untuk mengimbangi laju inflasi yang terjadi bahkan akan dapat menekan laju inflasi di Indonesia. V. PENUTUP Berdasarkan hasil pembahasan tentang upaya pemerintah dalam mengendalikan laju inflasi di Indonesia, terdapat beberapa kesimpulan diantaranya: 1. Inflasi adalah suatu keadaan dimana tingkat harga umum naik secara terus menerus. Inflasi yang terlalu besar akan berdampak negatif bagi masyarakat sehingga perlu dilakukan berbagai kebijakan yang dapat menurunkan inflasi. 2. Kebijakan pemerintah untuk menurunkan inflasi terdiri dari kebijakan moneter, kebijakan fiskal dan kebijakan riil. 3. Kebijakan moneter Operasi Pasar Terbuka (OPT) untuk menurunkan inflasi dilakukan dengan Operasi Pasar Terbuka (OPT) 77 Widya Cipta,Vol. VIII, No.1 Maret 2016 4. 5. 6. 7. 8. - 78 Absorpsi antara lain: dengan Penerbitan SBI dan SBIS, Penerbitan SDBI, Transaksi Reverse Repo SBN, Transaksi Penjualan SBN secara outright, dan Penempatan berjangka (Term Deposit) dalam rupiah di Bank Indonesia serta Penjualan Valuta Asing terhadap Rupiah (dalam bentuk spot, forward atau swap). Peserta pada OPT Absorpsi adalah bank dan/atau lembaga perantara yang melakukan transaksi untuk kepentingan bank. Standing Facilities dapat dilakukan dengan : Deposit facility dan FASBIS Kebijakan Fiskal untuk menurunkan inflasi antara lain dengan meningkatkan penerimaan pajak dan mengurangi pengeluaran pemerintah serta mengadakan pinjaman pemerintah. Kebijakan Riil untuk mengurangi inflasi antara lain dilakukan dengan menggunakan Anggaran Defisit, Anggaran Surplus, dan Anggaran Berimbang tergantung kondisi perekonomian yang sedang terjadi dimana kebijakan yang diambilpun harus sesuai dengan kondisi yang terjadi saat itu. Kebijakan menaikkan upah riil untuk menurunkan inflasi hanya dapat diakukan jika peningkatan upah riil disertai dengan peningkatan produktivitas yang lebih besar dari peningkatan upah riil. 9. Kebijakan mengendalikan dan mengawasi harga yang dilakukan hanya bersifat sesaat tidak akan mampu menurunkan inflasi. DAFTAR PUSTAKA Adwin S. Admadja, Inflasi di Indonesia: Sumber, Penyebab dan Pengendaliannya, Jurnal Akuntansi dan Keuangan Indonesia Vol 1. No. 1, Mei 1999: 54-67 Boyes, William dan Richard Malvin, 2008, Macroeconomics, Boston, Houghton Mifflin Company Sobel, Russel S. 2009, Macroeconomics Private and Public Choice, 13th edition, Canada, Cencage Learning, Sukirno, Sadono, 2012, Makro Ekonomi Teori Pengantar, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada (Rajawali perss) http://www.bi.go.id, (akses tahun 2016) http://www.bps, 2016 (akses tahun 2016)