BAB1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sebuah entitas organisasi dibentuk bukan untuk mencapai tujuan pribadi individuindividu tetapi untuk mencapai tujuan bersama yang telah disepakati dan menjadi tujuan organisasi tersebut. Pada dasarnya, entitas organisasi yang memiliki tujuan tersebut dibentuk untuk mencapai salah satu dari dua jenis tujuan. Dua jenis tujuan tersebut adalah tujuan untuk mencari keuntungan dan tujuan yang sematamata bersifat sosial. Organisasi di Indonesia yang diakui sebagai badan hukum yang berorientasi mencari keuntungan atau laba seperti Perseroan Terbatas (PT). Selain itu juga dikenal bentuk-bentuk organisasi lain yang mencari keuntungan atau laba tetapi tidak berbentuk badan hukum, misalnya persekutuan komanditer (CV). Kedua entitas ini dikenal sebagai entitas bisnis. Di sisi lain, terdapat beberapa bentuk organisasi badan hukum yang orientasinya bukan untuk mencari keuntungan. Organisasi tersebut dikenal sebagai organisasi atau entitas nirlaba. Jusup, sebagaimana dikutip Kaomaneng (2013:34), menunjukan bahwa organisasi nirlaba sebagai sebuah organisasi yang tidak bertujuan mencari laba misalnya organisasi keagamaan atau lembaga pendidikan. Organisasi tersebut juga membutuhkan informasi akuntansi seperti halnya organisasi yang bertujuan mencari laba. Walaupun organisasi semacam ini tidak mencari laba, namun mereka tetap berurusan dengan keuangan karena mereka harus mempunyai 1 2 anggaran, membayar tenaga kerja, membayar biaya utilitas seperti listrik, telepon, air serta urusan-urusan keuangan lainnya. Semua hal tersebut berkaitan dengan akuntansi. Yayasan dan perkumpulan merupakan salah dua dari contoh bentuk entitas nirlaba. Sekolah, perguruan tinggi, maupun lembaga swadaya masyarakat di Indonesia pada umumnya menggunakan bentuk Yayasan. Sedangkan bentuk perkumpulan banyak digunakan untuk organisasi sosial keagamaan. Hal ini menunjukkan bahwa entitas nirlaba merupakan entitas yang populer dalam keseharian masyarakat Indonesia. Walaupun entitas nirlaba populer dalam kehidupan sehari-hari namun tidak banyak yang mengetahui bagaimana seharusnya pelaporan keuangan sebuah entitas nirlaba. Mamesah (2013:1718) menunjukkan bahwa selama ini tidak banyak yang mengetahui bentuk laporan keuangan entitas nirlaba seperti gereja ataupun organisasi nonprofit lainnya. Seringkali muncul anggapan bahwa laporan keuangan di setiap organisasi, baik entitas bisnis maupun nirlaba tidak memiliki perbedaan. Padahal laporan keuangan organisasi nirlaba yang berisi tentang dana atau sumbangan dari berbagai pihak harus dipertanggungjawabkan oleh manajemen kepada pihak internal dan pihak eksternal. Adapun menurut Mahsun (2011:187) terdapat tiga karakteristik laporan keuangan entitas nirlaba. Karakteristik pertama terkait dengan penyumbang. Sumber daya dalam laporan keuangan entitas nirlaba berasal dari penyumbang yang tidak mengharapkan pembayaran kembali. Karakteristik kedua, dalam entitas nirlaba tidak dihasilkan barang/jasa yang bertujuan memupuk laba. 3 Kalaupun terdapat laba, laba tersebut tidak dibagikan kepada pendiri atau pemilik. Karakteristik ketiga berkaitan dengan kepemilikan. Entitas nirlaba tidak mengenal kepemilikan seperti lazimnya pada entitas bisnis. Terkait dengan perbedaan prinsip usaha entitas bisnis dan nirlaba maupun praktik transaksi entitas nirlaba yang seringkali berbeda dengan entitas bisnis maka dibutuhkan sebuah pedoman yang mengatur pelaporan keuangan entitas nirlaba. Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan Nomor 45 tentang Pelaporan Keuangan Entitas Nirlaba (PSAK 45) telah mengatur laporan keuangan bagi organisasi nirlaba. Melalui PSAK 45 diharapkan laporan keuangan entitas nirlaba dapat lebih mudah dipahami, memiliki relevansi, dan memiliki daya banding yang tinggi (IAI, 2011: 45.2). Setiap entitas nirlaba diharapkan menyajikan pelaporan keuangan yang terdiri dari empat komponen tersebut. Namun pada praktiknya, masih terdapat kemungkinan adanya entitas nirlaba yang menyajikan pelaporan keuangan tidak sesuai dengan PSAK 45. Oleh karena itu, perlu adanya analisis terhadap pelaporan keuangan pada entitas nirlaba dengan mengacu pada PSAK 45. Analisis secara kuantitatif pada laporan keuangan organisasi nirlaba akan memberikan gambaran sesuai tidaknya laporan keuangan tersebut dengan PSAK 45. Namun analisis kuantitatif tersebut tidak dapat menjawab permasalahan jika organisasi tersebut tidak menggunakan PSAK 45 sebagai pedoman. Hal ini disebabkan analisis kuantitatif bebas dari konteks sehingga tidak dapat menganalisis hubungan antara objek yang diteliti dengan konteks. Padahal sesuai tidaknya laporan keuangan organisasi nirlaba dengan PSAK 45 tidak dapat 4 dilepaskan dari perilaku sumber daya manusia di organisasi tersebut dan perilaku tersebut saling terkait dengan konteks di organisasi tersebut. Selain itu, menurut Rudnik (2002:2), akuntansi merupakan praktik sosial dan budaya sehingga akuntansi dalam praktiknya tidak dapat dilepaskan dari konteks sosial budaya di sekitarnya. Kajian dalam akuntansi dengan demikian juga memerlukan pendekatan kualitatif untuk menganalisis konteks yang membentuk pemahaman dan perilaku sumber daya manusia dalam organisasi nirlaba tersebut. Entitas nirlaba yang akan dianalisis pelaporan keuangannya dalam penelitian ini adalah Gereja Katolik Paroki Kristus Raja Surabaya. Sebagai sebuah organisasi nirlaba, idealnya gereja tersebut menggunakan PSAK 45 sebagai pedoman dalam menyusun laporan keuangan. Namun gereja tersebut tidak dapat lepas dari konteks paroki masingmasing. Selain itu sebagai organisasi keagamaan, paroki terse but juga tidak dapat dilepaskan dari faktor teologis yang mungkin mempengaruhi perilaku individuindividu untuk berperilaku. Dalam konteks penelitian ini adalah perilaku bendahara paroki yang bertanggungjawab untuk menyusun laporan keuangan paroki mengenai akuntabilitas keuangannya. Hasil penelitian dari Fransiskus Randa (2011) menunjukkan bahwa praktik akuntabilitas dalam suatu organisasi tidak terlepas dari sejarah organisasi. Gereja sebagai salah satu organisasi tertua telah menjalani sejarah yang panjang dengan suka dan duka membangun organisasinya sehingga saat ini masih tetap eksis. Hasil pemaknaan dari praktik akuntabilitas dalam organisasi Gereja dapat dibedakan dalam tiga dimensi utama yaitu akuntabilitas spiritual, kepemimpinan 5 dan keuangan. Ketiga kategori ini muncul dalam setiap jenjang organisasi pada stasi, paroki maupun keuskupan. Tata kelola keuangan Gereja sebenarnya memenuhi nasihat Kitab Hukum Kanonik (KHK kan 1273-1289) dengan mengembangkan prinsip-prinsip dasar dan sikap terhadap harta benda gerejawi. Dalam ketentuan tersebut jelas diatur bahwa kepemilikan dan pengelolaan harta benda gerejawi dimaksudkan untuk tujuan yang khas, yaitu: kepentingan pelayanan ibadat ilahi, kehidupan pelayanan, karya kerasulan suci dan amal kasih serta perhatian terhadap mereka yang berkekurangan (bdk. KHK kan. 1254-2). Karena itu pengelolaan harta benda gerejawi tidak boleh memberi kesan seakan-akan Gereja meninggalkan semangat Kristus Pendiri Gereja. Dahulu, tanggungjawab pengelolaan keuangan gereja dipegang oleh para imam, yang tidak memiliki kompetensi khusus di bidang itu (PTKAP, 2008). Mengingat kompleksitas persoalan ekonomi, keuangan dan manajemen dewasa ini, para imam mau tidak mau harus dibantu oleh sekelompok umat yang memiliki kualitas dan kompetensi di bidang administrasi harta benda, sehingga dengan nasihat mereka yang bijaksana dan ke:tja sama yang berharga, harta benda gerejawi bisa dikelola dengan baik, tepat, rasional dan modem. Sementara Gereja memberikan prinsip-prinsip moral, religius dan hukum mengenai pengelolaan harta benda gerejawi. Dalam praktiknya, penyusunan laporan keuangan bagi organisasi nirlaba di beberapa paroki tidak menggunakan PSAK 45 sebagai pedoman. Hal ini disebabkan tidak semua paroki memiliki sumber daya manusia yang memahami 6 standar akuntansi keuangan, khususnya yang terkait dengan organisasi nirlaba. Namun paroki dengan kapasitas sumber daya manusia yang mumpuni juga tidak dapat dipastikan menggunakan PSAK 45 sebagai pedoman dalam penyusunan laporan keuangan. Dalam hal ini peneliti perlu mengkaji akuntabilitas dalam laporan keuangan untuk mendapatkan pemahaman secara kualitatif terkait pandangan gereja terhadap PSAK 45. Pandangan gereja yang dimaksud dalam hal ini adalah pandangan akuntabilitas yang dipengaruhi nilai-nilai teologis yang mempengaruhi perilaku gereja sebagai sebuah organisasi. Analisis terhadap pengaruh nilai-nilai tersebut tidak dapat dikaji dengan pendekatan kuantitatif yang selama ini lebih banyak digunakan dalam riset-riset akuntansi. Analisis tersebut hams meminjam pendekatan-pendekatan lainnya sehingga analisis tersebut bersifat interdisipliner. Dalam konteks penelitian ini, analisis tersebut menggunakan pendekatan etnografi. Pendekatan etnografi digunakan untuk melihat dan memahami interaksi yang terbentuk dalam Dewan Keuangan Gereja yang dipengaruhi oleh nilai-nilai gereja Katolik. Metode etnografi menganalisis bagaimana nilai-nilai tersebut membentuk persepsi Dewan Keuangan Gereja terhadap cara penyajian laporan keuangan yang selama ini digunakan. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah serta uraian di atas, maka yang menjadi masalah penelitian ini adalah: 7 1. Bagaimana bentuk laporan keuangan yang disusun Gereja Katolik Paroki Kristus Raja? 2. Bagaimana pengaruh budaya dalam Gereja Katolik terhadap penyusunan laporan keuangan Gereja Katolik Paroki Kristus Raja? 1.3 Tujuan Penelitian Berkaitan dengan permasalahan yang telah dikemukakan maka tujuan penelitian ini adalah: 1. Menganalisis bentuk laporan keuangan yang disusun Gereja Katolik Paroki Kristus Raja. 2. Menganalisis pengaruh budaya dalam Gereja Katolik terhadap penyusunan laporan keuangan Gereja Katolik Paroki Kristus Raja. 1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk memahami konteks organisasi nirlaba yang dapat mempengaruhi perilaku dalam penyajian laporan keuangan sesuai dengan PSAK 45. 1.4.2 Manfaat Praktis Hasil penelitian ini dapat menjadi bahan masukan dan menambah wawasan mengenai PSAK 45 tentang pelaporan keuangan organisasi nirlaba. 8 1.5 Ruang Lingkup Penelitian Secara spesifik pelaporan keuangan organisasi nirlaba diatur dalam PSAK No. 45 sebagai peraturan untuk pelaporan laporan keuangan organisasi nirlaba, dalam hal ini yaitu organisasi keagamaan. Topik pembahasan dari penelitian ini yaitu dengan melakukan analisis etnografi dengan melihat pandangan Dewan Keuangan Gereja Katolik terhadap akuntabilitas dan standar pelaporan keuangan tersebut pada laporan keuangan organisasi nirlaba, khususnya di Gereja Katolik Paroki Kristus Raja Surabaya. Analisis dilakukan secara kualitatif. Analisis secara kualitatif terse but untuk memperoleh pemahaman terhadap budaya dan pandangan Dewan Keuangan gereja tersebut terhadap penyajian laporan keuangan atas organisasi nirlaba dengan berpedoman pada PSAK 45. Untuk dapat membuat pembahasan lebih spesifik dan rinci maka pembatasan yang dilakukan adalah terkait dengan jenis dari organisasi nirlaba.