i KEBIJAKAN ORDE BARU TERHADAP ETNIS TIONGHOA SKRIPSI

advertisement
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
KEBIJAKAN ORDE BARU
TERHADAP ETNIS TIONGHOA
SKRIPSI
DiajukanuntukMemenuhi Salah SatuSyarat
MemperolehGelarSarjanaPendidikan
Program StudiPendidikanSejarah
Oleh:
DAUD ADE NURCAHYO
NIM : 111314013
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH
JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2016
i
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
HALAMAN PERSEMBAHAN
Sebagaiungkapankasih, skripsiinisayapersembahkankepada:
1. Kedua
orang
tuasaya,
AyahandaZachiusPaidiNotoHadidanIbunda
Anastasia DasilahS.Pd.
2. Ketigasaudarasaya, Yohanes Ari Wibowo, Veronica RiaMerdekaS.Pddan
Lea PuriDaniatiS.Pd.
3. Sahabat- sahabatsaya,
iv
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
MOTTO
Kedisiplinan, hargadiri, dankepedulianmerupakanawaldarikeberhasilan (George
Washington)
Sayamemangberpendidikan di Barat, tapisayatetaplah orang Jawa
(Sri Sultan HB IX)
Sabarituilmutingkattinggi, belajarnyatiaphari, latihanyatiapsaat,
ujiannyamendadak, sekolahnyaseumurhidup, hadiahnyakebahagiaan
(Daud Ade Nurcahyo)
v
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ABSTRAK
KEBIJAKANORDE BARU
TERHADAP ETNIS TIONGHOA
Oleh:
Daud Ade Nurcahyo
Universitas Sanata Dharma
2016
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis tiga
permasalahan pokok yaitu (1) Latar belakang munculnya kebijakan Orde Baru
terhadap etnis Tionghoa; (2) Pelaksanaan kebijakan Orde Baru terhadap etnis
Tionghoa; (3) Dampak dari kebijakan Orde Baru terhadap etnis Tionghoa.
Metode penelitian yang digunakan yaitu historis faktual dengan tahapan:
pemilihan topik, heuristik (pengumpulan sumber), verifikasi (kritik sumber),
interpretasi dan historiografi (penulisan sejarah). Pendekatan yang digunakan
adalah pendekatan sosiologi dan pendekatan politik dengan model penulisan yang
bersifat deskriptif analisis.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa (1) latar belakang munculnya
kebijakan Orde Baru terhadap etnis Tionghoa dapat dirunut dari masa kolonial
hingga meletusnya peristiwa 1965, (2) Pelaksanaan kebijakan yang dikeluarkan
pemerintah Orde Baru yaitu mencangkup beberapa bidang, di antaranya dalam
bidang sosial budaya, bidang ekonomi dan bidang politik yang sangat menyandera
etnis Tionghoa, (3) dampak kebijakan yang dikeluarkanOrde Baru dalam bidang
sosial budaya adalah masyarakat Tionghoa umumnya kehilangan identitasnya,
dampak dalam bidang ekonomi menjadikan etnis Tionghoa sebagai komunitas
yang ekslusif karena mempunyai kemampuan ekonomi yang bagus dan dampak
dalam bidang politik masyarakat Tionghoa menjadi apolitis sehingga ketika
reformasi muncul menjadilkan babak baru peran perpolitikan etnis Tionghoa.
viii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ABSTRACT
NEW ORDER POLICY
AGAINST CHINESE ETHNIC
By:
Daud Ade Nurcahyo
Sanata Dharma University
2016
This study aims to describe and analyze three key issues, namely (1) The
background of theemergence of the New Order policies against the Chinese ethnic
a group in Indonesia; (2) The implementation of the New Order policies against
theChinese; (3) The impact of the New Order policies against the Chinese.
The research method used was factual historic usius steps as follows:
selection of topics, heuristics (the collection of sources), verification (the source
criticism), interpretation and historiography (the history writing). The approaches
used wasa sociological approach and political approach. Model was used to report
the study descriptive analysis writing.
The results of this study indicated that (1) the background of New Order
policies of the Chinese ethnic could be traced from the colonial period up to the
outbreak of the 1965events, (2) the implementation of the policies issued by the
New Order government covered several fields, including the social and cultural
fields, economic field and political field which highly disaduantagedChinese, (3)
the impact of the policies issued by the New Order in the socio-cultural field was
making the Chinese societylose their identity; the impact in the economy made
Chinese ethnic economically exclusive. As a resuet the Chinese community
becomeapolitical. Therefore with the reformation, the Chinese ethnicgroup appean
to gain new political role.
ix
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
rahmat dan anugerah, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
“Kebijakan Pemerintah Orde Baru Terhadap Etnis Tionghoa”. Skripsi ini disusun
untuk memenuhi salah satu syarat meraih gelar Sarjana Pendidikan di Universitas
Sanata Dharma, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Jurusan Ilmu
Pendidikan Sosial, Program Studi Pendidikan Sejarah.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini tidak terlepas dari
bimbingan, dukungan dan peran serta pihak-pihak yang telah memberi bantuan
langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima
kasih kepada:
1. Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
2. Ketua Program Studi Pendidikan Sejarah Universitas Sanata Dharma
yang memberikan kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan
skripsi ini.
3. Dr. Anton Haryono, M.Hum selaku dosen pembimbing I yang telah
sabar membimbing, membantu, dan memberikan banyak pengarahan,
saran serta masukan selama penyusunan skripsi.
4. HendraKurniawanM.Pd. selaku dosen pendampingyang telah sabar
mendampingi, membantu, dan memberikan banyak pengarahan, saran
serta masukan selama penyusunan skripsi.
5. Drs.B. Musidi.M.Pd. selaku dosen Pembimbing Akademik yang telah
membimbing, membantu, dan memberikan banyak pengarahan kepada
penulis selama proses studi.
x
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
6. Seluruh dosen dan sekretariat program studi pendidikan sejarah yang
telah
memberikan
dukungan
dan
bantuan
selama
penulis
menyelesaikan studi di Universitas Sanata Dharma.
7. Kedua Orang tua penulisan, AyahandaZachiusPaidiNotoHadidan
Ibunda Anastasia DhasilahS.Pd yang telah banyak memberikan
dorongan spiritual dan material sehingga penulis dapat meyelesaikan
studi di Universitas Sanata Dharma.
8. Ketiga kakak penulis Yohanes Ari Wibowo, Veronica Ria Merdeka,
S.Pd. dan Lea Puri Daniati, S.Pd. yang telah memberikan dukungan
selama menyelesaikan skripsi.
9. Teman – teman seperjuangan di Pendidikan Sejarah angkatan 2011
yang telah memberikan dukungan, bantuan, serta inspirasi dalam
menyelesaikan skripsi
10. Kekasih saya, Chatarina Adventi Rose Susanta yang telah memberikan
dukungan dan semangat dalam penyusunan dan menyelesaikan skripsi
ini.
11. Temanteman brotherhood, Esti, Bayu, Ardi,IndraPoku, dan Inayang
telah memberikan dukungan dan semangat dalam menyelesaikan
skripsi ini.
12. Teman- teman geng TIPIS, Tea, Dimas, Wawan, Galang, dan Bernad
yang telah memberikan dukungan dan semangat dalam menyelesaikan
skripsi ini.
xi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .........................................................................................
i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .............................................
ii
HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ....................................................................... iv
HALAMAN MOTTO .......................................................................................
v
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ......................................... vi
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ........................................... vii
ABSTRAK ......................................................................................................... viii
ABSTRACT ....................................................................................................... ix
KATA PENGANTAR .......................................................................................
x
DAFTAR ISI ...................................................................................................... xii
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................
1
A. Latar Belakang ..................................................................................
1
B. Rumusan Masalah .............................................................................
5
C. Tujuan Penulisan ...............................................................................
5
D. Manfaat Penulisan .............................................................................
6
E. Tinjauan Kepustakaan .......................................................................
6
F. Landasan Teori ..................................................................................
9
G. Metodologi Penelitian Dan Pendekatan ............................................ 18
H. Sistematika Penulisan ....................................................................... 22
BAB II LATAR BELAKANG MUNCULNYA KEBIJAKANORDE BARU
TERHADAP ETNIS TIONGHOA .................................................... 23
A. Perlakuan Etnis Tionghoa Sebelum Orde Baru ................................ 23
B. Etnis Tionghoa Pasca Peristiwa 1965 ............................................... 25
C. Sikap Orde Baru Terhadap Etnis Tionghoa ...................................... 32
xiii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
D. Pembatalan Perjanjian Dwi Kewarganegaraan ................................. 34
BAB III PELAKSANAAN KEBIJAKANORDE BARU TERHADAP ETNIS
TIONGHOA ...................................................................................... 39
A. Dikeluarkannya Instruksi Presiden Tahun 1967-1998 ...................... 39
B. Bidang Sosial dan Budaya ................................................................ 42
1. Instruksi Presiden No. 14/1967 .................................................. 42
2. Surat Edaran Menteri Kehakiman No.JHB 3/31/3 Tahun 1978 . 46
3. Peraturan Menteri Perumahan No.55.2-360/1988 ...................... 49
C. Bidang Ekonomi ............................................................................... 50
D. Bidang Politik ................................................................................... 53
BAB IV DAMPAK DARI KEBIJAKAN ORDE BARU TERHADAPETNIS
TIONGHOA ........................................................................................ 56
A. Bidang Sosial dan Budaya ................................................................ 56
1. Masalah SBKRI .......................................................................... 56
2. Diskriminasi Agama Konghucu .................................................. 58
3. Masalah Kelenteng ...................................................................... 60
B. Bidang Ekonomi ............................................................................... 64
C. Bidang Politik ................................................................................... 68
BAB V KESIMPULAN .................................................................................... 73
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 76
LAMPIRAN-LAMPIRAN ............................................................................... 79
xiv
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pada masa Orde Baru, keberadaan etnis Tionghoa merupakan masalah yang
krusial. Masalah tersebut begitu kompleks bukan saja mengenai identitas
kebangsaannya, tetapi juga masalah politik, ekonomi dan kebudayaannya yang
berkembang di Indonesia. Citra Etnis Tionghoa akhirnya dinilai negatif di
kalangan pemerintahan Orde Baru yang terlihat dalam kebijakan-kebijakannya.1
Sewaktu Orde Baru berjaya, selama itu pula Etnis Tionghoa banyak
mengalami diskriminasi. Hal itu bisa dibuktikan dengan adanya beberapa
peraturan yang mengatur eksistensi Etnis Tionghoa di Indonesia, antara lain :
1. Instruksi Presiden No. 14/1976 yang berisi larangan kegiatan
keagamaan,kepercayaan, dan adat Tionghoa di Indonesia.
2. Surat Edaran No. 06/Preskab/6/1967 yang isinya menyatakan
masyarakat Tionghoa harus mengubah namanya menjadi nama yang
berbau Indonesia
3. SK Menteri Perdagangan dan Koperasi No. 286/1978 tentang
pelarangan Impor, penjualan, dan Penggunaan bahasa Cina.
4. Surat edaran SE.02/SE/Ditjen/PPG/K/1988, yang melarang
penerbitan dan percetakan tulisan/iklan beraksara dan berbahasa
Cina di depan umum.
5. Peraturan Menteri Perumahan No. 455.2-360/1988, yang melarang
penggunaan lahan untuk mendirikan, memperluas,atau memperbarui
Kelenteng.
6. Keputusan Presiden No. 56/1996 bertanggal 9 juli 1996. Isinya,
semua peraturan yang mensyaratkan SBKRI dihapus.2
1
Leo Suryadinata, Dilema Minoritas Tionghoa, Jakarta: Temprint,1988. hlm.63
Majalah Tempo, Etnis Tionghoa di Zaman yang Berubah, Jakarta: edisi 16-22 Agustus
2004.hlm.16
2
1
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2
Orde Baru memberikan perlakuan diskriminatif dan membatasi golongan
etnis Tionghoa. Sejalan dengan hal tersebut, pemerintah Orde Baru melanjutkan
kebijakan pembaharuannya dan memunculkan konsep SARA (Suku, Agama, Ras,
Antar golongan) yang ditunjukkan kepada media agar tidak memberikan hal-hal
yang menyangkut dengan konsep tersebut. Dalam kenyataannya, proses
pembaruan yang diimplementasikan oleh pemerintah tidak menuju kerukunan
hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, khususnya yang berkaitan dengan
etnis Tionghoa. Malahan yang
terjadi sebaliknya, selama Orde Baru terjadi
sentimen anti Tionghoa yang menimbulkan kekerasan seperti yang terjadi pada
akhir kekuasaan Soeharto sekitar bulan Mei 1998.3
Sikap anti Tionghoa sering dipertanyakan dengan asumsi bahwa sikap anti
Tionghoa merupakan produk dari proses interaksi sosial dengan etnis lainnya
dalam kehidupan bermasyarakat yang berlangsung secara alami. Dalam
masyarakat sentimen anti Tionghoa didorong oleh faktor kesenjangan ekonomi.
Latar belakang sejarah di bidang ekonomi warga etnis Tionghoa telah melahirkan
mitos kekuatan ekonomi mereka. Terdapat pemukul ratataan bahwa WNI etnis
Tionghoa adalah kaya dan memperoleh akses pada kekuasaan tertinggi dalam
pemerintahan nasional sebagaimana dahulu mereka mendapatkan perlindungan
dan keistimewaaan dari pemerintah kolonial.4 Pandangan yang lain justru
membawa sikap anti Tionghoa yang dihasilkan atau direkayasa melalui kebijakan
negara sebagai alat peredam yang dipakai oleh penguasa untuk mempertahankan
kekuasaannya. Prasangka anti Tionghoa begitu mendalam dibandingkan terhadap
3
Mely G Tan, Golongan Etnis Tionghoa di Indonesia,Suatu Masalah Pembinaan Kesatuan
Bangsa, Jakarta: Gramedia, 1979. hlm. 206
4
Ririn Darini, Kebijakan Negara dan Sentimen Anti Cina Perspektif Historis, Jurnal,hlm 9
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
3
pendatang asing lainnya. Hal ini disebabkan banyak hal, diantaranya berasal dari
sudut pandang ekonomi.
Kebijakan ekonomi yang diterapkan pada masa pemerintahan Orde Baru
mengakibatkan kesengsaraan bagi etnis Tionghoa sendiri. Kesempatan etnis
Tionghoa untuk berwirausaha dibebaskan dalam kebijakan ekonomi Orde Baru.
Hal tersebut memicu ketidakpuasan kaum pribumi terhadap pencapaian ekonomi
etnis Tionghoa yang mengakibatkan timbulnya kesenjangan sosial. Kondisi ini
dimanfaatkan
oleh
masa
untuk
melakukan
kerusuhan
dengan
bentuk
pengerusakan. Bila dirunut jauh ke masa lalu sentimen yang menimpa etnis
Tionghoa berpangkal pada politik devide et impera atau politik pecah belah yang
pernah dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda. Pemerintah kolonial tidak
menginginkan etnis-etnis non-pribumi yang ada di negeri jajahannya, termasuk
etnis Tionghoa berbaur dengan pribumi. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah
segala kemungkinan yang dapat menimbulkan pemberontakan. Atas dasar warisan
kolonial tersebut terciptalah ketidaksengajaan di kalangan pribumi terhadap etnis
Tionghoa.
Sudah sejak zaman pemerintahan Hindia Belanda politik “Pecah belah”
golongan antar etnis telah diberlakukan. Sikap kebangsaan etnis Tionghoa di
Indonesia semakin dikebiri oleh negara, bahkan oleh masyarakat pribumi. Etnis
Tionghoa sangat dibatasi untuk menunjukkan sikap mereka dalam memaknai ke
Indonesiaannya. Kebudayaan serta kebiasaan yang mereka miliki „terpangkas‟
dengan adanya aturan-aturan dan pembatasan-pembatasan yang dilakukan oleh
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
4
negara. Stereotip5 yang tumbuh dan berkembang terlebih sejak masa Orde Baru,
semakin menguatkan kelemahan etnis Tionghoa yang kemudian berlabelkan
„minoritas‟, bahkan di Indonesia sendiri ketika mereka telah berasimilasi dan
berakulturasi menjadi warga negara Indonesia.
Sebenarnya apakah yang salah dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia
sehingga mitos-mitos dan prasangka terhadap Etnis Tionghoa tertanam lekat
dalam benak kita sampai sekarang. Berkembangnya sentimen anti “Tionghoa”
tidak terlepas dari kebijakan negara. Negara dalam hal ini pemerintah, merupakan
suatu institusi yang selalu membuat isu-isu rasial demi mempertahankan status
quo. Sejak zaman penjajahan Belanda, penguasa telah menerapkan kebijakan
segregasi6 sosial terhadap Etnis Tionghoa. Langsung atau tidak langsung negara
memelihara
prasangka
dan
memanipulasinya
untuk
mempertahankan
kekuasaannya.
5
Stereotip adalah penilaian terhadap seseorang hanya berdasarkan persepsi terhadap kelompok
dimana orang tersebut dapat dikategorikan atau dapat juga berupa prasangka positif dan juga
negative, dan kadang-kadang dijadikan alasan untuk melakukan tindakan diskriminatif.
6
Segregasi adalah pemisahan kelompok rasa atau etnis secara paksa. Segregasi merupakan bentuk
pelembagaan diskriminasi yang diterapkan dalam struktur sosial. .
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
5
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan dari latar belakang di atas, dapat ditarik beberapa permasalahan
sebagai berikut:
1. Bagaimana latar belakang munculnya kebijakan Orde Baru terhadap etnis
Tionghoa?
2. Bagaimana pelaksanaan kebijakan Orde Baru terhadap etnis Tionghoa?
3. Bagaimana dampak dari kebijakan Orde Baru terhadap etnis Tionghoa?
C. Tujuan Penulisan
Penulisan ini secara umum diarahkan pada upaya menjawab berbagai
masalah yang berkaitan dengan kebijakan pemerintahan Orde Baru terhadap etnis
Tionghoa. Maka penulisan ini memiliki tujuan sebagai berikut:
1. Menjelaskan latar belakang munculnya kebijakan Orde Baru terhadap
etnis Tionghoa.
2. Mendeskripsikan pelaksanaan kebijakan Orde Baru terhadap etnis
Tionghoa.
3. Menjelaskan dampak dari kebijakan Orde Baru terhadap etnis Tionghoa.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
6
D. Manfaat Penulisan
Manfaat dari penulisan ini sebagai berikut :
1. Bagi Universitas Sanata Dharma
Selain untuk melaksanakan salah satu Tri Dharma Perguruan Tinggi
khususnya bidang penelitian yaitu ilmu pengetahuan sosial, skripsi ini
diharapkan dapat memberikan kekayaan khasanah yang berguna bagi
pembaca dan pemerhati sejarah.
2. Bagi Penulis
Untuk menambah pengalaman dan pengetahuan dalam menulis karya
ilmiah khususnya tentang kebijakan Orde Baru terhadap etnis Tionghoa.
3. Bagi Pembaca
Skripsi ini diharapkan mampu menarik minat pembaca untuk mempelajari
tentang sejarah Indonesia kontemporer, khususnya mengenai kebijakan
Orde Baru terhadap etnis Tionghoa.
E. Tinjauan Pustaka
Dikarenakan Keterbatasan sumber primer, maka skripsi ini lebih banyak
menggunakan sumber-sumber Sekunder. Beberapa sumber pustaka yang utama
antara lain:
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
7
1. Dilema Minoritas Tionghoa7
Buku karangan Leo Suryadinata tentang Minoritas Etnis Tionghoa ini
menjelaskan tiga hal pokok. Pertama, peresepsi tentang bangsa Indonesia dan
minoritas Tionghoa. Bagian kedua, memberikan uraian singkat tentang posisi
ekonomi orang Tionghoa serta analisis sosiohistoris terbatas mengenai masyarakat
Tionghoa Indonesia. Bagian ketiga, menjelaskan tentang kebijakan pemerintah
Indonesia, dan persepsi orang Indonesia terhadap pengambilan kebijakan
Misalnya, peresepsi kaum nasionalis sekuler mengenai etnis Tionghoa pada masa
Liberal dan Demokrasi Terpimpin, sedangkan persepsi kaum militer dominan
setelah kudeta tahun 1965.
Persepsi-persepsi ini berkembang sesuai dengan keadaan ekonomi dan
politik pada waktu itu, terwujud dalam kebijakan pemerintah Indonesia terhadap
Tionghoa lokal dari tahun 1949 sampai 1975, serta dampaknya bagi kebijakan
Indonesia terhadap RRC.
2. Etnis Tionghoa dan Pembangunan Bangsa8
Buku karangan Leo Suryadinata ini berisi tentang persoalan-persoalan etnis
Tionghoa melalui kajian studi komparatif di Asia Tenggara yakni di Indonesia dan
Malaysia. Buku ini menjelaskan kebijakan pemerintah dan integrasi nasional di
Indonesia. Pemerintah Indonesia baru menerapkan kebijakan integrasi nasional
yang plural. Integrasi Nasional didefinisikan dalam pengertiannya menciptakan
identitas nasional. Ini mencakup integrasi politik dan integrasi teritorial.
Kebijakan
7
8
terhadap
kelompok
“minoritas
asing”
berbeda.
Leo Suryadinata, Dilema Minoritas Tionghoa, Jakarta: Temprint 1988
Leo Suryadinata, Etnis Tionghoa dan Pembangunan Bangsa, Jakarta: LP3ES.1999
Pemerintah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
8
menggunakan model asimilasi yang mengharuskan etnis Tionghoa meninggalkan
identitas Cina mereka dan mengubahnya menjadi identitas „pribumi‟ Indonesia.
Dengan kata lain, kecinaan dianggap „asing‟ dan „berbahaya‟ bagi pembentukan
kebudayaan Indonesia. Tujuan kebijakan Indonesia terhadap etnis Tionghoa masih
merupakan perubahan total. Kebijakan asimilasi dapat dilihat dalam berbagai
bidang seperti pendidikan, status bahasa Cina, undang-undang kewarganegaraan,
dan peraturan pergantian nama.
3. Tionghoa Indonesia Dalam Krisis9
Buku karangan Charles A. Coppel ini berisi tentang latar belakang sejarah
keberadaan etnis Tionghoa di Indonesia, timbulnya anti Tionghoa, kebijakan
pemerintah mengatur etnis Tionghoa, dan keterlibatan etnis Tionghoa dalam
pemerintahan. Selain itu kehidupan etnis Tionghoa pada masa Orde Lama dan
Orde Baru, juga memaparkan kebijakan pemerintahan yang mempengaruhi
pergantian agama dan pergantian nama masyarakat etnis Tionghoa pada masa
Orde Baru. Hal ini terjadi karena pemerintah ingin melaksanakan pembaruan dan
asimilasi secara konsekwen.
4. Tionghoa Dalam Cengkraman SBKR10
Buku karangan Wahyu Efendi ini berisi tentang permasalahan surat bukti
kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI). SBKRI, sebagai sebuah dokumen
tidaklah istimewa, hanya berbentuk buku saku hampir menyerupai paspor.
Persoalannya tidaklah sederhana dan terbatas sebagai dokumen yang “diharuskan”
untuk dimiliki ketika seorang anak dari orang tua warga Negara Indonesia etnis
9
10
Charles A.Coppel, Tionghoa Indonesia Dalam Krisis, Jakarta: Sinar Harapan, 1993
Wahyu Efendi, Tionghoa dalam cengkraman SBKRI, Jakarta: Transmedia Pustaka, 2008
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
9
Tionghoa beranjak 18 tahun atau sudah menikah, biarpun orang tua atau kakek
nenek buyutnya sudah menjadi warga Negara Indonesia dan mempunyai bukti
kewarganaegaran Indonesia. Layaknya sebuah “ritual generasi” ketika anak sudah
menjadi orangtua, dia pun harus mengurus SBKRI anaknya, begitu seterusnya
terjadi dari generasi ke generasi.
5. Setelah Air Mata Kering “Masyarakat Tionghoa Pasca –Peristiwa Mei
1998”11
Buku ini merupakan hasil seminar “Setelah Air Mata Kering” Sebagaimana
jelas dari judul tersebut, sesudah Tragedi Mei berlalu 10 tahun, dan sesudah air
mata banyak orang disiksa. Sumbangan gagasan dalam buku ini dapat menambah
sedikit pemikiran tentang kelompok etnis Tionghoa di Indonesi, yang selama 10
tahun terakhir telah ikut mengalami “reformasi”. Dari buku ini tampak bahwa
kelompok etnis Tionghoa tidak tinggal diam, tetapi telah berpikir dan berbuat
banyak.
F. Landasan Teori
Skripsi ini berjudul Kebijakan Orde Baru terhadap Etnis Tionghoa. Untuk
menjelaskan permasalahan dan ruang lingkup skripsi dibutuhkan beberapa teori
konsep sebagai berikut:
11
Wibowo I dan Thung Ju Lan, Setelah Air Mata Kering:Masyarakat Tionghoa Pasca-Peristiwa
Mei 1998, Jakarta: Kompas, 2010
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
10
1. Kebijakan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kebijakan berasal dari
kata dasar bijak, yang berarti pandai, mahir, selalu menggunakan akal budi. Kata
dasar bijak ini diberi imbuhan ke – an menjadi kebijakan yang berarti kepandaian,
kemahiran.12
Kebijakan dalam arti sempit dapat diartikan sebagai keputusan atau tindakan
dari suatu organisasi atau institusi. Kebijakan juga dapat diartikan sebagai suatu
arah tindakan yang diusulkan pada seseorang, golongan atau pemerintah dan
kesempatan yang diharapkan dapat mengatasi halangan tersebut dalam rangka
mencapai sebuah cita-cita atau mewujudkan suatu kehendak serta tujuan
tertentu.13
Kebijakan di sini adalah arah tindakan yang direncanakan untuk
mencapai suatu sasaran.14 Kebijakan dapat juga dikatakan sebagai suatu kumpulan
keputusan yang diambil oleh seorang pelaku atau oleh kelompok politik dalam
usaha memilih tujuan-tujuan dan cara-cara untuk mecapai tujuan-tujuan itu. Pada
prinsipnya pihak yang membuat kebijakan mempunyai kekuasaan untuk
melaksanakannya.15 Selanjutnya kebijakan selalu menyangkut keputusan dan
tindakan , dengan pengertian bahwa keputusan adalah unsur yang lebih penting.
Tindakan untuk mencapai sasaran dapat dihasilkan dari kebijakan, apabila
keputusan menunjukkan dengan jelas apa yang terkandung dari pikiran pembuat
kebijakan baik sebagai sasaran ataupun sebagai prosedur.16
12
Sutan Mohammad Zain, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,1994,
hlm 131.
13
Soenarko, Public Policy,Surabaya, Ailangga University Pres: 2000, hlm 32
14
Dhlan Nasution, Politik Internasional : Konsep dan Teori, Jakarta: Erlangga, 1989, hlm 9.
15
Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia, 1982, hlm 12.
16
Ibid,hlm 10.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
11
2. Orde Baru
Orde Baru adalah bangunan sistem politik kekuasaan yang tidak terlepas
dari sosok Soeharto yang berperan sebagai arsitek. Sepanjang sejarahnya Orde
Baru memiliki dua pola
kekuasaan. Pola pertama terbentuk pada masa
konsolidasi awal Orde Baru. Pada masa ini Presiden belum muncul sebagai
kekuatan politik mandiri dan masih terkolektifikasi di dalam kekuatan Angkatan
Darat atau militer. Pola kedua segera terbentuk setelah Golongan Karya (Golkar)
memenangkan dua kali pemilu, sehingga penguasa Orde Baru memiliki legitimasi
politik yang konkrit dan kokoh. Pada pola kedua, Presiden perlahan namun pasti
mencuat sebagai kekuatan politik yang mandiri, dan akhirnya menjadi sentral
kekuasaan.17
Pada awal perjalanannya pemerintahan Orde Baru menunjukkan langgam
libertarian yang sebenarnya adalah langgam transisi sambil mencari format baru
bagi konfigurasi politik. Program pembangunan yang menitikberatkan pada
bidang ekonomi harus diamankan dengan “stabilitas nasional” yang dianggap
sebagai prasyarat yang realisasinya ternyata menuntut langgam otoritarian. Sejak
penemuan format baru politik Indonesia pada tahun 1969/1971, Indonesia mulai
menampilkan politik otoriter birokratis yang diperlukan untuk mengamankan
jalannya pembangunan.18
Pada pertengahan 1970-an, Soeharto telah menjadi dalang nasional,
menggunakan para perwira militer yang setia untuk menghancurkan musuhmusuhnya. Orde Baru sangat berhasil dalam membuat dan menyebarkan cerita
17
Saefulah Fatah, Penghianatan Demokrasi Ala Orde Baru:Masalah dan Masa Demokrasi
Terpimpin Konstitusional, Bandung: Rosdakarya, 2000. hlm 46.
18
Moh Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta: LP3ES, 2006, hlm 196.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
12
versi mereka bagi sebagian besar orang Indonesia tentang “kudeta” 30 September
dengan mengalamatkan semua kesalahan pada Partai Komunis. Para wartawan,
cendikiawan, seniman, dan pejabat yang dipekerjakan oleh rezim diarahkan untuk
menghasilkan laporan dan kisah tentang kudeta sesuai dengan versi Soeharto.
Publikasi-publikasi yang ada membuktikan bahwa peristiwa itu adalah “Kudeta
PKI‟. 19
Intinya pada masa pemerintahan Orde Baru, Soeharto berupaya menjaga
stabilitas politik dan sosial yang dilakukan secara keras sehingga dirasakan
sebagai pemerintahan yang posesif dan represif. Siapa yang berani mengkritik
Orde Baru dianggap musuh Panscasila atau pro-komunis dan G-30S, sehingga
harus disingkirkan dari kehidupan umum. Pada waktu itu, Soeharto sebagai
presiden berhasil menguasai semua lembaga pengawasan, termasuk MPR, DPR,
ABRI, Bepeka, BPKP, pengadilan, Pres, dan media masa lainnya. Pengawasan
hanya diperbolehkan terhadap pihak-pihak yang di luar lingkaran kekuasaan
Presiden termasuk yang bertentangan dengan kepentingannya. Semua itu terbuka
waktu negara Indonesia pada pertengahan tahun 1997 diserang oleh krisis moneter
dan krisis ekonomi yang menggetarkan seluruh masyarakat.20
Dari paparan di atas dapatlah ditegaskan, bagaimana politik atau kebijakankebijakan pada masa pemerintahan Soeharto yang mengatasnamakan Orde Baru
dijalankan. Pada dasarnya politik yang dilakukan Soeharto tampak untuk
melanggengkan kekuasaanya. Dengan dalih untuk stabilitas nasional dan agar
masyarakat dapat mengamalkan Pancasila secara murni dan konsekuen, maka
19
20
Ibid., hlm 262.
Selo Soemarjan, Pengawasan Sosial Orde Baru dan Reformasi, Jakarta: Obor, 2011, hlm 639.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
13
siapa pun yang menentang kebijakan Soeharto, termasuk organisasi manapun,
dianggap sebagai pembangkang negara dan berbahaya bagi negara. Di sini tampak
tidak ada satu pun kekuatan yang dapat mengontrol kebijakan Soeharto. Untuk itu
dapat dianggap bahwa dalam menjalankan pemerintahannya, Soeharto layaknya
raja yang diktator.
3. Etnis Tionghoa
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah etnis berarti kelompok sosial
dalam sistem sosial
atau kebudayaan yang mempunyai arti atau kedudukan
tertentu karena keturunan adat, agama, bahasa dan sebagainya. Narrol,
menyatakan bahwa yang disebut dengan etnis/kelompok etnis adalah sebagai
berikut:
1. Secara biologis mampu berkembang biak dan bertahan.
2. Mempunyai nilai-nilai budaya yang sama dan sadar akan rasa
kebersamaan dalam suatu bentuk budaya.
3. Membentuk jaringan komunikasi dan interaksi sendiri.
4. Menentukan ciri kelompoknya sendiri yang diterima oleh kelompok lain
dan dapat diterima oleh kelompok lain, dan dapat dibedakan dari kelomok
populasi lain.
Lain halnya dengan Narrol, Barth memberikan
definisi etnis, yang
menujukkan pada suatu kelompok tertentu dimana karena kesamaan ras, agama,
asal usul bangsa ataupun kombinasi dari kategori tersebut terikat pada sistem nilai
budayannya.21 Barker juga memberikan definisi etnis sebagai sebuah konsep
21
Barth, Kelompok Etnis dan Batasannya, Jakarta: UI Press, 1988, hlm 9-20.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
14
budaya yang terpusat pada kesamaan norma, nilai, kepercayaan, simbol dan
praktek budaya. Terbentuknya “suku bangsa” bersandar pada penanda budaya
yang dimiliki secara bersama yang telah berkembang dalam konteks historis,
sosial dan politis tertentu yang mendorong rasa memiliki, yang paling tidak
sebagaian didasarkan pada nenek moyang mitologis yang sama.22 Sedangkan
dalam penelitian ini etnis merupakan sebuah komunitas atau kelompok yang
memiliki kesamaan asal, yang kemudian terpusat pada kesamaan norma, nilai,
kepercayaan, simbol, dan praktek budaya.
Sebelum membahas mengenai kata Tionghoa, haruslah membahas dahulu
kata Cina yang merupakan sumber dari Tionghoa. Cina adalah sebuah negara
yang terletak di sebelah barat Korea, sebelah utara Vietnam dan sebelah selatan
Rusia. Asal mula penggunaan kata Cina diperkirakan terjadi pada Dinasti Chin ,
dimana kaisar pada saat itu adalah Chin Si Ong, seorang kaisar yang berhasil
membangun tembok besar. Pada masa itu, orang di daratan China seringkali
mengganti istilah kebangsaan mereka, ketika Dinasti Tang berkuasa, mereka
menyebut diri mereka orang Tang (Tang-jin), ketika Dinasti Han berkuasa,
mereka menyebut diri mereka orang Han (Han-jin). Demikian pula ketika bangsa
Chin berkuasa mereka menyebut diri mereka bangsa Chin. Dalam dialek Hokkian, ucapan Chin seringkali ada ujungnya, dan biasanya diucapkan dengan
akhiran “a” atau”ah”, yang oleh orang-orang ini kemudian dihafalkan menjadi
“Chin-ah” dan akhirnya lama-lama menjadi kata Cina.23
22
Baker, Cultural Studies,Yogyakarta: Kresai Wacana, 2005, hlm 201.
Mahar,Chellen,dkk,”Posisi Teoritis Dasar Dalam :Richard Harker Cheleen Mahar dan Cris
Wilkes,Yogyakarta: Jalansutra, 2009, hlm 32
23
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
15
Kata Tionghoa atau tionghwa itu sendiri sebenarnya merupakan istilah
yang dibuat oleh orang keturunan China di Indonesia, yang berasal dari kata
Zhonghua dalam Bahasa Mandarin. Zhonghua berasal dari kata Zhonggua dan
sudah ditemukan pada naskah sejarah klasik dari abad 6 SM, penyebutan untuk
kekaisaran Dinasti Zhou. Pada masa itu, Dinasti Zhou merasa sebagai pusat
kebudayaan, dibandingkan dengan daerah sekelilingnya. Kadang istilah Zhongguo
dipakai juga untuk menamai ibu kota pusat kekaisaran yang membedakannya
dengan penamaan kota di bawah kekuasaan pangeran yang berinduk pada kaisar.
Kemudian istilah Zhongguo juga dipakai sebagai singkatan penamaan dari
republik yang didirikan Dr. Sun Yat Sen pada tahun 1911, yakni Zhonghua
Minguo. Selanjutnya hal yang sama juga terjadi pada tahun 1949, ketika
diproklamirkannya Zhonghua Renmin Gongheguo.
Istilah ini kemudian menjadi populer setelah Dr. Sun Yat Sen pada tahun
1911 memproklamirkan berdirinya republik setelah menumbangkan kekaisaran
Manchu (Ching) Da Qing Di Guo. Negara baru tersebut kemudian diberi nama
Chung Hwa Ming Guo (Zhonghua Minguo) yang memiliki arti harfiah Negara
rakyat Chungwa atau Republik Chunghwa, yang kemudian disingkat menjadi
Chung Guo dalam dialek Hokkian. Sedangkan warga masyarakatnya disebut
Chunghwa atau dalam dialek Hokkian dilafalkan sebagai Tionghoa.
Sebutan Chungguo dan Chunghwa menjadi popular sebab revolusi
perubahan dari kekaisaran menjadi negara demokratis memberikan sebuah
harapan baru adanya perbaikan pada masyarakat umum. Tersirat juga di sana
persaingan primordial bahwa etnis Han terlepas dari dominasi etnis Manchu. Hal
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
16
ini sangat jelas terlihat ketika mereka yang merasa memiliki orientasi baru segera
memotong rambut panjang, suatu adat yang dipaksakan oleh pemerintah Manchu
ketika mereka pada periode awal berhasil menguasai kekaisaran Tiongkok.
Dengan adanya istilah baru ini tersirat semangat membangun kembali harga diri
bangsa dan negara yang telah lama terpuruk.24
Wacana Cung Hwa atau Tionghoa pertama kalinya dikemukakan di muka
umum pada Tahun 1900-an di Indonesia, dengan didirikannya THHK(Tiong Hoa
Hwee Koan/”Tjung Hwa Hwei Kwan”/Zhonghua Huiguan). Pada masa itu,etnis
Tionghoa di Indonesia (Hindia Belanda) disebut dengan “Orang Tjin” oleh
masyarakat.
Istilah Tionghoa dan kemudian Tiongkok mulai popoler dengan bangkitnya
nasionalisme kalangan Tionghoa di Hindia Belanda pada dekade ke dua abad ke 20. Penggunaan istilah Tionghoa sangat erat kemudian dengan penggunaan istilah
Zhonghua di daratan Tiongkok, di mana Zhonghua dalam dialek Hokkian
dilafalkan sebagai Tionghoa di Hindia Belanda. Melalui THHK dan sekolahsekolahnya dan juga pres, istilah Tionghoa kemudian disebarluaskan ke seluruh
lapisan masyarakat. Hal ini kemudian menjadikan masyarakat mulai mengenal
istilah Tionghoa. Istilah lama Tjina (Cina) mulai dianggap sebagai istilah yang
berkaitan dengan status rendah dan menjadi target gerakan nasionalis Tionghoa.
Dalam konteks tersebut, orang Tionghoa di Hindia Belanda akan merasa dihina
apabila dipanggil dengan sebutan Tjina dan mereka ingin disebut dengan
Tionghoa saja.
24
Kusteja,2011:http://web.budaya-Tionghoa.net/home/625-istilah-tiongoa-Tionghoa-chinachinesedan-cina)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
17
Pada tahun 1928, Anggaran Dasar THHK juga mengalami amandemen,
dimana istilah Tjina diganti dengan istilah Tionghoa. Tahun yang sama Gubernur
Jendral Hindia Belanda juga memakai istilah Tionghoa sebagai istilah resmi.
Istilah Tionghoa dan Tiongkok juga mulai masuk pada pres pribumi. Pres
peranakan Tionghoa juga memakai istilah “Indonesier” tidak lagi memakai
sebutan “Boemiputra” untuk menyebut orang pribumi, sebutan “Hindia Belanda”
dan “Hindia Oland” diganti dengan sebutan Indonesia. Sebutan Indonesia mulai
dipergunakan pres peranakan pada tahun 1927 tepatnya 3 Febuari 1927 pada
Koran Sin Po, akan tetapi istilah ini baru popular pada tahun 1930-an.
Pada perkembangan berikutnya, zaman penjajahan Jepang hingga Indonesia
merdeka, istilah Tionghoa kemudian menjadi sebutan baku yang dipergunakan
tidak saja bagi kalangan Tionghoa sendiri tetapi juga kalangan pres.25
Jadi yang dimaksud dengan etnis Tionghoa adalah kelompok sosial dalam
sistem sosial yang terpusat pada kesamaan norma, nilai, kepercayaan, simbol dan
praktek budaya yang berasal dari Cina yang telah lama terintegrasi ke dalam
bangsa Indonesia, dan telah menjadi bagian integral dari negara Indonesia.
25
Leo Suryadinata, Negara dan Etnis Tionghoa, Jakarta: LP3ES, 2002, hlm 100-106.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
18
G. Metodologi Penelitian dan Pendekatan
1. Metode Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode penelitian sejarah
melalui tahap-tahap berikut:
a. Pengumpulan Sumber (Heuristik)
Heuristik atau mengumpulkan sumber sejarah adalah tahap lanjutan setelah
tema dipilih. Sumber sejarah adalah bahan penulisan sejarah yang mengandung
bukti baik lisan maupun tertulis. Menulis sejarah tidak mungkin dapat dilakukan
tanpa tersedianya sumber sejarah.26 Dalam pengumpulan sumber ini dilakukan
beberapa teknik pengumpulan sumber, yaitu:
1. Studi Pustaka
Studi pustaka merupakan kegiatan untuk memperoleh data dengan cara
mencari dan membaca buku- buku dan literatur yang relevan dengan tema
penelitian.
2. Wawancara
Wawancara adalah usaha mengumpulkan keterangan dan informasi tentang
kehidupan manusia dalam suatu masyarakat. Wawancara dilakukan terhadap
informan, agar yang akan diwawancari mau menjawab dengan lancar
pertanyaan- pertanyaan yang diajukan maka harus dikembangkan suasana
yang harmonis kekeluargaan. Adapun pelaksanaan dari wawancara ini
menggunakan teknik wawancara bebas terpimpin yang dimaksud disini adalah
bentuk pertanyaan yang diajukan kepada informan bersifat terbuka dan
26
Suhartono W. Pranoto, Teori dan Metodologi Sejarah, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010,hlm. 30
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
19
terarah. Sebelum wawancara dilakukan terlebih dahulu menentukan informan
yang akan diwawancarai. Hal ini dilakukan dengan maksud supaya penulis
dapat menggali dan memperoleh informasi yang sesungguhnya dan informasi
yang semu. Dalam penelitian ini yang dijadikan informan adalah tokoh tokoh
etnis Tionghoa yang hidup pada era Orde Baru
b. Kritik sumber (Verifikasi)
Kritik sumber adalah upaya mendapatkan otentitas dan kredibilitas sumber.
Yang dimaksud dengan kritik adalah kerja intelektual dan rasional yang mengikuti
metodologi sejarah untuk mendapatkan objektivitas suatu kejadian.27
Dalam usaha mencari kebenaran, sejarawan dihadapkan dengan kebutuhan
untuk membedakan apa yang benar, apa yang tidak benar atau palsu, apa yang
mungkin dan apa yang meragukan atau mustahil. Supaya memperoleh sumber
yang benar, sejarawan harus menggabungkan antara pengetahuan, sikap ragu
(skeptis), percaya begitu saja, menggunakan akal sehat, dan melakukan tebakan
inteligen. Jadi, fungsi dari kritik sumber adalah supaya karya sejarah merupakan
produk dari suatu proses ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan, bukan hasil
dari suatu fantasi, manipulasi atau fabrikasi sejarawan.28
Umumnya kritik sumber dilakukan terhadap sumber-sumber pertama. Kritik
ini meliputi verifikasi sumber, yaitu pengujian mengenai kebenaran atau ketepatan
(akurasi) dari sumber itu. Dalam metode sejarah ada dua jenis kritik sumber, yaitu
kritik eksternal (otentitas dan integritas) dan kritik internal.
27
28
Ibid., hlm 35
Helius Sjamsuddin, Metodologi Sejarah, Yogyakarta: Ombak, 2012, hlm103.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
20
c. Interprestasi
Fakta yang sudah dikumpulkan harus diinterprestasikan untuk menghasilkan
cerita sejarah. Sebenarnya interprestasi atau tafsir sangat individual, artinya siapa
saja dapat menafsirkan. Walapun datanya sama, tetapi interprestasinya bisa
berbeda antara satu orang dengan orang yang lain. Perbedaan interprestasi terjadi
karena perbedaan latar belakang, pengaruh, motivasi, pola pikir, Jadi interpretasi
sangat subjektif, tergantung masing-masing pribadi.29
Dalam melakukan interpretasi, sejarawan tetap berada di bawah bimbingan
metodologi sejarah, sehingga subjektivitas dapat dieliminasi. Metodologi
mengharuskan sejarawan mencantumkan sumber datanya supaya pembaca dapat
mengecek kebenaran data dan konsisten dengan interpretasinya.
Interpretasi dapat dilakukan dengan analisis dan sintesis menganalisis sama
dengan menguraikan. Dari data yang bervariasi dapat dianalisis setelah ditarik
secara induktif sehingga dapat disimpulkan. Sedangkan sintesis berlawanan
dengan analisis. Sintesis sama dengan penyatuan. Data-data yang dikelompokkan
menjadi satu kemudian disimpulkan.30
d. Penulisan (Historiografi)
Tahap penulisan mencangkup interprestasi sejarah, eksplanasi sejarah,
sampai presentasi atau pemeparan sejarah sebenarnya. Ketika sejarawan
memasuki tahap menulis, ia harus menggunakan pikiran-pikiran kritis dan
analisisnya karena ia harus menghasilkan suatu sintesis dari seluruh hasil
29
30
Suhartono W. Pranoto, Teori dan Metodologi Sejarah, Yogyakarta: Graha Ilmu,2010, hlm 55.
Ibid., hlm 56.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
21
penelitiannya atau penemuannya itu dalam suatu penulisan utuh yang disebut
historiografi (penulisan sejarah).31
1. Pendekatan Penelitian
Sejarah sebagai ilmu sosial tidak bisa berdiri tanpa bantuan ilmu sosial yang
lain. Maka dari itu sejarah meminjam ilmu sosial yang lain maka penelitian
sejarah akan lebih jelas. Pendekatan menjadi sangat penting, sebab dari
pendekatan yang mengambil sudut pandang tertentu akan menghasilkan kejadian
tertentu. Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan dua pendekatan,yaitu
pendekatan sosial dan pendekatan politik.
a. Pendekatan sosial
Pendekatan sosial merupakan pendekatan yang berorientasi pada peristiwa
sosial dengan segala implikasinya. Pendekatan sosial ini digunakan untuk
melihat teori- teori sosial yang sesuai dengan konsep kebijakan Orde Baru
terhadap etnis Tionghoa. Pendekatan sosial ini juga digunakan untuk
melihat masalah- masalah sosial yang melatarbelakangi timbulnya kebijakan
Orde baru terhadap etnis Tionghoa
b. Pendekatan politik
Dalam sejarah kebijakan pemerintah yang berdampak ke etnis Tionghoa,
pendekatan politik disini artinya suatu pendekatan yang muncul berupa
kebijakan politik untuk mempertahankan kekuasaan Orde Baru.
31
Helius Sjamsuddin,op.cit.,hlm 103-104
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
22
H. Sistematika Penulisan
Penulisan Skripsi yang berjudul “Kebijakan Orde Baru terhadap Etnis
Tionghoa”, mempunyai sistematika penulisan sebagai berikut:
Bab I.
Berupa
pendahuluan
yang
memuat
latar
belakang
masalah,
permasalahan, tujuan penulisan, manfaat penulisan, tinjauan pustaka,
landasan teori, metodologi penelitian dan pendekatan, serta sistematika
penulisan.
Bab II
Menyajikan uraian tentang latar belakang kebijakan Orde Baru terhadap
Etnis Tionghoa
Bab III Menyajikan uraian tentang pelaksanan dari kebijakan Orde Baru terhadap
Etnis Tionghoa.
Bab IV Menyajikan uraian tentang dampak dari kebijakan Orde Baru terhadap
Etnis Tionghoa
Bab V Menyajikan
kesimpulan
yang
berisi
tentang
permasalah yang ada dalam bab II, III, dan IV
jawaban-jawaban
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB II
LATAR BELAKANG MUNCULNYA KEBIJAKAN ORDE BARU
TERHADAP ETNIS TIONGHOA
A. Perlakuan Etnis Tionghoa Sebelum Orde Baru
Pemerintah Indonesia yang dibentuk setelah penyerahan kedaulatan pada
tahun 1950 pada dasarnya mewarisi kebijakan yang ditinggalkan oleh pemerintah
kolonial. Pemerintah membiarkan warga Tionghoa terus aktif di bidang ekonomi
sambil membatasi keberadaan mereka sebagai pejabat di bidang birokrasi. Namun
warga Tionghoa dibolehkan dalam bidang politik sehingga terdapat sebagian
warga Tionghoa yang menduduki jabatan sebagai menteri, misalnya Lie Kiat
Teng sebagai Menteri Kesehatan dan Oey Tjoe Tat sebagai menteri pada Kabinet
100 menteri.
Pemerintah Soekarno juga membolehkan etnis Tionghoa mengekspresikan
kebudayaan mereka dan menjalankan agama atau keyakinan mereka. Namun
demikian segregasi tetap terjadi karena dalam kenyataannya tidak ada interaksi
yang efektif antara warga etnis Tionghoa dengan warga etnis lainnya. Akibatnya
beberapa konflik serius terjadi. Masalah utama adalah kesenjangan kemakmuran
Beberapa tokoh nasionalis di bawah Mr. Asaat pernah memperkenalkan
sebuah program ekonomi yang disebut program Benteng, yang intinya ingin
23
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
24
meningkatkan partisipasi ekonomi warga pribumi dalam ekonomi nasional.32
Sistem ini diberlakukan untuk melindungi para importir nasional agar dapat
bersaing dengan orang asing yang masih beroperasi di Indonesia. Tujuan dari
sistem Benteng adalah agar terbentuk kelompok wiraswasta Indonesia yang
mampu menggerakkan perekonomian nasional. Program ini memberikan hak
kepada pengusaha pribumi untuk mendapatkan lisensi dan kredit impor.
Sebenarnya pemerintahan Soekarno ini ingin meminimalisir kebijakan ekonomi
politik sebagai pemicu segregasi sosial yang akan mengarah pada munculnya
sentimen anti Tionghoa. Tetapi target ini tidak tercapai dan hanya dimanfaatkan
oleh sekelompok elit politik untuk menumpuk kekayaan pribadi atau menghimpun
dana-dana politik, bahkan memelihara sebuah kerja sama Ali-Baba”. Dalam
kerjasama model ini pihak Indonesia asli yang tidak berpengalaman menjual izin
dan lisensi kepada pedagang warga etnis Tionghoa. Dengan cara ini orang
Tionghoa tetap mampu melanjutkan usahanya dan mendapatkan keuntungan,
sementara mitra Indonesia asli hampir tidak mendapatkan pengalaman bisnis yang
diperlukan bagi pengembangan ekonomi nasional.
Pada masa demokrasi terpimpin, pemerintah juga mengeluarkan peraturan
yang dianggap diskriminatif di bidang ekonomi yaitu PP No.10/1959 yang isinya
melarang orang-orang Tionghoa berdagang di wilayah pedesaan yang melahirkan
sejumlah insiden. Peraturan ini membatasi secara tegas peran dan hak ekonomi
etnis Tionghoa. Mereka hanya diperbolehkan berdagang sampai tingkat kabupaten
dan tidak boleh berdagang di tingkat kecamatan apalagi di desa-desa.
32
Justian Suhandinata, WNI Keturunan Cina dalam Stabilitas Ekonomi dan politik Indonesia,
Jakarta: Gramedia, 2009, hlm.312.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
25
Implikasinya, orang - orang
di berbagai daerah dilarang dan dipaksa untuk
meninggalkan permukimannya di pedesaaan. Sekalipun larangan ditunjukkan
kepada WNA Cina, dalam praktiknya pembedaan dengan mereka yang peranakan
tidak secara jelas diberlakukan. Selama tahun 1959-1960 kampanye pengusiran
berlangsung dengan dukungan pihak TNI-AD. Sebanyak 136.000 orang Tionghoa
meninggalkan Indonesia, sementara 100.000 orang di antaranya pulang ke tanah
leluhur Tiongkok.33
Kerusuhan anti Tionghoa tahun 1966 terjadi di berbagai daerah terutama di
Jawa Barat yaitu di Cirebon, Bandung, Sumedang, Bogor, Cipayung,
Tasikmalaya, Garut, dan Sukabumi. Selain itu kerusuhan juga terjadi di Solo,
Surabaya,
Malang,
dan
Medan.
Kerusuhan
terjadi
akibat
kesenjangan
kemakmuran, etnis Tionghoa terkena imbas dari situasi politik-ekonomi saat itu,
yaitu inflasi yang melonjak tinggi, kelangkaan barang-barang kebutuhan pokok,
frustasi terhadap kebijakan ekonomi pemerintahan Soekarno yang berantakan.
Rasa frustasi dengan mudah dapat diarahkan dengan mencari target kemarahan
yang termanifestasikan dalam kerusuhan anti Tionghoa, dan ini adalah bagian dari
pertarungan memperebutkan kekuasaan politik antara kekuatan kiri dengan
kanan.34
B. Etnis Tionghoa Pasca Peristiwa 1965
Setelah peristiwa 30 September 1965, banyak timbul konflik-konflik politik
dan sosial di Indonesia. Konflik yang timbul merupakan usaha yang dilakukan
33
J.A.C.Mackie,”Anti Chinese Outbreak in Indonesia1959-1968”,dalam The Chinese in
Indonesia:Five Essays, Melbourne: Thomas Nelson, 1976, hlm.82-85.
34
Ririn Darini, “ Kebijakan Negara Dan Sentimen Anti Cina Perspektif Historis”, Jurnal hlm 5
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
26
oleh TNI AD untuk terus menekan kepemimpinan Soekarno, setelah peristiwa 30
September 1965. TNI AD menggunakan kelompok mahasiswa untuk melakukan
hal tersebut, dengan mengizinkan demonstrasi-demontrasi yang mengakibatkan
semakin panasnya suhu perpolitikan Indonesia. Dengan kondisi perpolitikan yang
semakin memanas dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap kepemimpinan
Soekarno, terhitung semenjak tanggal 22 Febuari 1967, Soekarno mengumumkan
pengunduran dirinya sebagai Presiden.35
Selain konflik politik yang meliputi peralihan kekuasaan, setelah peristiwa
30 September 1965, konflik sosial juga bermunculan di tengah masyarakat.
Pembunuhan masal yang timbul setelah kudeta berdarah, lebih ditujukan kepada
masyarakat pribumi anggota PKI dan simpatisannya, meskipun dalam peristiwaperistiwa tersebut etnis Tionghoa juga turut menjadi korban. Pembunuhan orang
Tionghoa lebih bersifat sporadis dan kurang sistematis, karena hanya sebagai
bagian dari pembunuhan besar-besaran pada umumnya, yang menimpa orangorang Indonesia yang dianggap mendukung PKI. Pada umumnya kekerasan yang
menimpa etnis Tionghoa setelah kudeta lebih banyak berupa pengrusakan harta
milik, seperti perampokan, pembakaran toko, sekolah, rumah, dan mobil.36
Setelah peristiwa 30 September 1965, demonstrasi anti-Tionghoa pertama
kali terjadi di Makassar, pada tanggal 10 November 1965. Dalam aksi ini
mahasiswa dan pemuda anggota HMI dan Ansor berdemonstrasi di konsulat
Republik Rakyat Cina (RRC), kemudian aksi berlanjut ke pertokoan dan
pemukinan etnis Tionghoa. Para demonstran membakar mobil dan menjarah
35
Tim Penulis, Sketsa Perjalanan Bangsa Berdemokrasi, Jakarta: Departemen Komunikasi dan
informatika, 2005, hlm,139.
36
Charles A.Coppel, Tionghoa Indonesia Dalam Krisis, Jakarta: Sinar Harapan, 1993, hlm.124.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
27
pertokoan serta rumah milik orang Tionghoa. Demonstrasi anti-Tionghoa
berikutnya terjadi di Medan, pada 10 Desember 1965. Dibandingkan dengan
peristiwa yang terjadi di Makasar, peristiwa yang terjadi di Medan lebih brutal
dan menyebabkan korban jiwa di kalangan etnis Tionghoa. Hal ini disebabkan
tembakan yang ditujukan kepada para demonstran di Konsulat RRC, yang
mengakibatkan masa marah dan menikam orang-oang Tionghoa yang mereka
temui di jalan. 37
Munculnya prasangka di kalangan pribumi terhadap etnis Tionghoa
bukanlah tanpa sebab. Ada beberapa faktor yang menyebabkan timbulnya
prasangka ini seperti aktivitas Baperki38 suatu organisasi etnis Tionghoa yang
ideologinya condong ke arah komunis. Hal tersebut menyebabkan meningkatnya
kegiatan anti Tionghoa, karena tuduhan-tuduhan yang berkembang di masyarakat
bahwa Baperki merupakan antek PKI dan Republik Rakyat Cina (RRC). Baperki
sendiri dianggap sebagai organisasi yang mewakili kepentingan Tionghoa di
Indonesia. Selain itu, dalam susunan Dewan Revolusi terdapat nama Siauw Giok
Tjhan. Oleh sebab itu, masyarakat Indonesia beranggapan bahwa etnis Tionghoa
yang diwakili oleh Baperki dalam kegiatan politiknya, merupakan pendukung
paham komunis dan peristiwa 30 September 1965.
Anggapan tersebut muncul karena tindakan - tindakan yang dilakukan
Baperki pasca peristiwa 30 September 1965, yang mengutuk gerakan tersebut
37
Ibid,hlm.128
Pada tahun 1954 organisasi yang dinamakan Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan
Indonesia (Baperki) didirikan oleh beberapa tokoh peranakan Tionghoa. Masalah yang dihadapi
para tokoh Baperki yang dipimpin oleh Siauw Giok Tjhan pada masa itu bukan lagi identitas keTionghoa-an yang mereka hadapi adalah diskriminasi rasial di berbagai bidang. Baperki
berkembang sebagai sebuah organisasi massa yang mengutamakan perjuangan politik dalam
mencapai tujuan ekonomi, sosial, kebudayaan dan pendidikan.
38
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
28
atapun mengeluarkan pernyataan duka cita atas meninggalnya para Jendral.
Anggapan ini diperkuat dengan dugaan yang belum terbukti, bahwa baperki
merupakan penyandang dana bagi PKI. Selain itu, ketidaksukaan masyarakat
terhadap etnis Tionghoa semakin besar karena adanya provokasi yang dilakukan
oleh RRC melalui siaran radio Peking, terhadap revolusi Indonesia dan sikap
mendukung gerakan 30 September yang ditunjukkan.
Kondisi ini dimanfaatkan oleh Amerika dan Inggris, untuk mengalihkan
perhatian masyarakat Indonesia dari kegiatan anti Imperialisme Amerika Inggris.
Kedua negara tersebut melaksanakan propaganda agar masyarakat Indonesia tidak
lagi mengarah kepada RRC yang dianggap sebagai musuh rakyat Indonesia yang
sebenarnya. Oleh sebab itu bisa dikatakan masa-masa setelah Peristiwa 30
September 1965/PKI, merupakan masa genting bagi etnis Tionghoa Indonesia,
akibat prasangka-prasangka masyarakat terhadap etnis ini.
Pada 15 April 1966, sebanyak 15.000 Tionghoa Indonesia berkumpul di
Lapangan Banteng, Jakarta, untuk mendengar sambutan pidato-pidato dan
sambutan tertulis Menteri Luar Negeri Adam Malik, yang menyerukan kepada
etnis Tionghoa di Indonesia untuk membuktikan kesetiaan mereka kepada
Indonesia. Senada dengan aksi demonstrasi di Medan, dalam rapat umum ini juga
mengutuk tindakan RRC yang mencampuri urusan dalam negeri Indonesia dan
menuntut kepada pemerintahan untuk memutuskan hubungan diplomatik dengan
RRC. Para demonstran juga menuntut untuk memulangkan orang Tionghoa asing
kembali ke Tiongkok, selain menuntut ditutupnya sekolah-sekolah Cina. Selain
itu 50.000 Tionghoa yang berkumpul di Lapangan Banteng, juga menyatakan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
29
kesetiannya kepada Negara Republik Indonesia.39 Dalam aksi ini, demonstran
juga bergerak ke arah kedutaan besar Cina, merusak pintu gerbang,
menghancurkan peralatan kantor, dan melukai beberapa orang staf.
Menanggapi aksi demonstran yang dilakukan oleh orang Tionghoa
Indonesia yang menghasilkan pernyataan kesetiaan kepada Indonesia, pers
Indonesia menanggapinya dengan positif. Akan tetapi, menurut pers Indonesia,
kesetiaan tersebut akan menjadi tidak ada artinya jika mereka masih
mempertahankan keeksklusifan mereka dalam kehidupan sehari-hari. Oleh sebab
itu diharapkan orang Tionghoa Indonesia, merubah cara hidup mereka yang
cenderung eksklusif untuk menghilangkan prasangka yang berkembang di
masyarakat.40
Aksi-aksi anti Tionghoa terus berlanjut, dan mengarah kepada masyarakat
pribumi untuk mengusir orang Tionghoa berkewarganegaraan Cina. Tuntutan
tersebut merupakan reaksi dari perdebatan antara pemerintah Indonesia dan
pemerintah Cina. Perdebatan berisi tuntutan pemerintah RRC kepada pemerintah
RI untuk menyediaan kapal bagi Tionghoa yang ingin kembali ke Cina. Hal ini
dikarenakan pemerintah Indonesia dinilai gagal menjaga kepentingan orang
Tionghoa asing di Indonesia. Jawaban terhadap tuntutan ini ialah pada prinsipnya
orang-orang Tionghoa asing bebas untuk pergi ke Tiongkok. Pemerintah RI juga
menolak untuk menanggung seluruh biaya pemulangan orang Tionghoa asing
39
40
Setiono Benny G, Tionghoa Dalam Pusaran Politik, Jakarta: Elkasa, 2005, hlm.958.
Coppel, op., cit.,hlm.17
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
30
kembali ke negaranya.41 Akhirnya permasalahan terpecahkan dengan pengiriman
kapal Kuang Hua oleh pemerintah RRC, pada akhir September 1966.
Di Aceh, Iskandar Muda Brigjen Iskah Djuarsa mengumumkan ke seluruh
orang Tionghoa berkewarganegaraan asing untuk segera meninggalkan Aceh,
sebelum tanggal 17 Agustus 1966. Pengumuman tersebut disampaikan pada 8 Mei
1966. Hal tersebut mengakibatkan 15. 000 orang Tionghoa meninggalkan tempat
tinggalnya, menuju ke Medan. Tuntutan untuk memulangkan orang Tionghoa
berkewarganegaraan Cina, terus berkembang hingga daerah-daerah lainnya di
Indonesia. Di Yogyakarta, KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia)
menuntut kepada kepala daerah istimewa Yogyakarta, Sri Paku Alam, untuk
mengusir orang Tionghoa asing. Di Banjarmasin pemerintah telah memutuskan
untuk segera mengambil langkah-langkah dalam pemulangan orang Tionghoa
asing. Pemerintah daerah juga
mengambil tindakan pengawasan terhadap
kegiatan mereka, sebelum kembali ke negeri asalnya.
Pada tanggal 25-31 Agustus 1966, Angkatan Darat RI menyelenggarakan
suatu seminar bertempat di Bandung. Tujuan seminar adalah merumuskan
kembali doktrin Angkatan Darat dengan mengingat perubahan-perubahan politik
dan program Angkatan Darat karena perubahan politik yang terjadi semenjak
diadakannya Seminar Angkatan Darat I, Pada April 1965.42 Meskipun bertemakan
41
Ibid.,hlm.139.
Coppel,op. cit.,hlm. 171. Dalam seminar tersebut hadir pula para ekonom UI seperti Dr.Widjaja
Nitisastro, Emil Salim, Subroto, dan Sadli Sarbini, yang membahas permasalahan ekonom di
Indonesia dan memberikan solusinya. Selain itu,hadir pula K.Sindhunata dan dr.Lie Tek Tjeng,
membahas mengenai permasalahan Tionghoa. Dalam pembahasan mengenai permasalah
Tionghoa Indonesia,Dr.Lie Tek Tjeng berpendapat harus ditarik garis jelas untuk memisahkan
antara etnis Tionghoa Indonesia dengan etnis Tionghoa asing. Hal ini dikarenakan kesulitan untuk
membedakan keduanya, menyebabkan peraturan pemerintah yang ditunjukkan kepada warga
negara asing, terkadang berimbas kepada warga negara Indoneisa keturunan Tionghoa dalam
42
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
31
perumusan kembali dokrin Angkatan Darat, seminar tersebut justru menghasilkan
keputusan yang berbeda jauh dengan tema yang diangkat. Dalam seminar
tersebut, diputuskan untuk mempergunakan kembali kata Cina untuk Republik
Rakyat Cina dan warga negaranya. Keputusan mengenai hasil seminar ini sebagai
berikut:
“Untuk mengembalikan sebutan umum kepada pemakaian Tjina telah
lazim terdapat di mana - mana, baik di dalam negeri, maupun di luar
negeri, dan dalam berbagai bahasa, sebagai sebutan bagi Negara dan
Warga Negara. Maka patut pula kami laporkan bahwa Seminar telah
memutuskan untuk kembali memakai penyebutan bagi Republik
Rakyat Tiongkok dan warga negara, dirubah menjadi Republik rakyat
Tjina dan warga negara Tjina. Hal ini dapat dipertanggungjawabkan
secara historis dan sosiologis”
Hasil dari seminar tersebut, sebenarnya ditunjukkan kepada warga
negara Cina beserta negaranya, yang dianggap sebagai pendukung PKI serta
Gerakan 30 September, serta sikap bermusuhan yang ditunjukkan kepada
pemerintah
Indonesia,
terutama
kepada
AD.43
Akan
tetapi,
pada
perkembangannya sebutan ini juga dipergunakan untuk menyebut WNI keturunan
Tionghoa. Konotasi yang terkandung dalam penyebutan Cina kepada etnis
Tionghoa Indonesia, memiliki makna menghina dan merendahkan, suatu hal yang
tidak pernah diakui secara eksplisit selama ini.44 Hal ini pun diakui oleh Muchtar
Lubis seorang penulis terkenal dan mantan pemimpin redaksi Indonesia Raya,
melakukan aktiitasnya di Indonesia. Hal ini dikarenakan meskipun mereka sudah
berkewarganegaraan Indonesia,statusnya masih disamakan dengan warga negara asing.
43
Suryadinata, Leo, Negara dan Etnis Tionghoa Kasus Indonesia, Jakarta: LP3ES, 2002, hlm 34.
44
Tan,op cit. hlm 198. Penggunaan kata Cina kepada Tionghoa memiliki konotasi yang sama
dengan penyebutan inlander kepada masyarakat pribum, pada masa Hindia belanda. Inlander
memiliki arti anak pribumi setempat, dimana penyebutannya tidak memiliki konotasi negative,jika
digunakan untuk menyebut orang Belanda di Netherland. Akan tetapi, kata tersebut menjadi
negative saat pemerintah Hindia Belanda mempergunakannya untuk menyebut orang Indonesia
pada masa itu.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
32
yang mengatakan bahwa pemakaian istilah Cina mungkin sesuai untuk
menunjukkan kemarahan bangsa Indonesia kepada Peking.
Lebih lanjut ia mengatakan bahwa penggunaan istilah ini tidak dapat
dibatasi pada warga negara RRT saja, akan tetapi juga akan berdampak pada
warga negara Indonesia keturunan Tionghoa.45 Menurut Dr. Lie Tek Tjeng,
penggunaan kata Cina untuk menyebut orang Tionghoa berwarganegaraan Cina,
tidak tepat sasaran. Hal ini dikarenakan penyebutan kata Cina juga akan ditujukan
kepada WNI keturunan Tionghoa. Hal tersebut menurutnya akan membahayakan
stabilitas ekonomi/politik Kabinet Ampera, yang merupakan syarat dari suksesnya
pembangunan Orde Baru.
C. Sikap Orde Baru Terhadap Etnis Tionghoa
Pada era pemerintahan Soeharto, insiden anti Tionghoa terjadi di berbagai
tempat meskipun tidak meluas secara serempak di banyak tempat. Kebijakan
rezim Orde Baru terhadap warga Tionghoa lebih sistematis dibandingkan
kebijakan negara sebelumnya. Rezim ini membungkam keanekaragaman
kelompok etnis, salah satunya etnis Tionghoa. Pembungkaman dilakukan karena
kelompok etnis dianggap sebagai ancaman politik yang dapat mengguncang
kekuasaan. Jika ada kelompok etnis yang menentang kekuasaan akan segera
ditindas. Meski berada dalam kontrol kekuasaan, kebijakan politik Orde Baru
terhadap satu kelompok etnis dengan lainnya tidak seragam, diperlukan berbedabeda sesuai dengan kepentingan kekuasaan.
45
Leo Suryadinata,Negara dan…,op.cit.,hlm.109
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
33
Pada awal masa pemerintahannya Orde Baru menjalin hubungan dengan
orang Tionghoa untuk kepentingan ekonomi. Bersama dengan konsolidasi
kekuasaan Orde Baru orang Tionghoa, terutama kalangan pemilik modal, merapat
ke kekuasaan dan memperoleh keuntungan ekonomi. Proteksi politik ini membuat
pengusaha Tionghoa memonopoli sektor ekonomi sampai akhirnya dapat
membangun imperium bisnis di Indonesia. Dari sinilah muncul Cukong, taipan,
dan konglomerat. Bukan rahasia lagi, dalam menjalankan bisnisnya cukong,
taipan, dan konglomerat bekerjasama dengan petinggi- petinggi militer yang saat
itu menjadi aktor politik yang sangat berpengaruh.
Akibatnya orang Tionghoa mendominasi sektor ekonomi yang luar biasa
besar. Orang Tionghoa menjadi masyarakat apolitis dan menjauhkan diri dari
kehidupan sosial politik. Pada saat yang sama penguasa Orde Baru selalu
menempatkan orang Tionghoa menjadi kambing hitam dari setiap persoalan
politik. Dengan demikian jika terjadi gejolak politik, apalagi yang berkaitan
dengan masalah ekonomi, orang Tionghoa selalu menjadi target kemarahan
kalangan pribumi. Meskipun ditempatkan dalam posisi sosial sedemikian rupa,
orang Tionghoa menganggap kekuasaan tetap melindungi mereka.
Agar kekuasaan Orde Baru bertahan lama Soeharto memelihara konflik
yang ditujukan kepada etnis Tionghoa dengan pribumi yang menyangkut SARA.
Konflik sering terjadi di bidang ekonomi, etnis Tionghoa yang berada dalam
lingkup daerah memiliki andil dalam perdagangan. Perdagangan yang dilakukan
oleh etnis Tionghoa berupa perdagangan besar maupun kecil, grosir maupun
eceran. Kegiatan perdagangan tersebut antara lain, membuka toko mebel, toko
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
34
barang kebutuhan pokok, toko bahan bangunan dan jenis toko lainnya. Sikap anti
politik etnis Tionghoa yang dibentuk oleh rezim Orde Baru membuat etnis
Tionghoa menjadi semakin giat meningkatkan usaha di bidang ekonomi. Hal
inilah yang membuat kecemburuan bagi masyarakat pribumi, karena etnis
Tionghoa dianggap „lebih kaya‟ dibandingkan masyarakat pribumi. Interaksi yang
pada awalnya dilandasi kerja sama antara penjual yakni etnis Tionghoa dengan
masyarakat pribumi sebagai pembeli menjadi sebuah rasa curiga dan benci
terhadap etnis Tionghoa dan begitu sebaliknya.
D. Pembatalan Perjanjian Dwi Kewarganegaraan
Pada masa kolonial pemerintah Hindia Belanda, mengklaim bahwa seluruh
orang Tionghoa yang lahir di Hindia Belanda merupakan warga negaranya. Selain
itu, Undang-undang Kebangsaan Ching tahun 1909, menyebutkan bahwa seluruh
orang Tionghoa, di mana pun mereka dilahirkan merupakan warga negara Cina.
Oleh
karena
itu,
etnis
Tionghoa
pada
masa
tersebut
memiliki
dua
kewarganegaraan.
Saat Indonesia merdeka, pemerintah memberlakukan Undang-undang
Kewarganegaraan, 1946, yang menyatakan bahwa etnis Tionghoa yang lahir di
Indonesia merupakan warga negara Indonesia. Undang-undang Kewarganegaraan
tahun 1946, menerapkan Jus Soli (berdasarkan daerah kelahiran) dan sistem pasif.
Dalam undang-undang tersebut disebutkan bahwa warga negara Indonesia terdiri
dari orang asli yang lahir dan telah menetap di Indonesia selama 5 tahun berturutturut, serta mereka yang telah berumur 2 tahun. Kemudian orang-orang asing,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
35
dalam hal ini adalah etnis Tionghoa, dapat menjadi warga negara Indonesia, jika
mereka tidak menolak kewarganegaran Indonesia.46 Akan tetapi ,warga Indonesia
keturunan Tionghoa juga terikat dengan Undang-undang Kebangsaan Ching tahun
1909, yang menyebabkan mereka masih memiliki dua kewarganegaraan, yaitu
kewarganegaraan Cina dan Indonesia.
Perjanjian Dwi Kewarganegraan lahir karena kekhawatiran Indonesia
terhadap paham komunis di Cina yang dapat disalurkan melalui warga negara
Indonesia keturunan Tionghoa, setelah orang – orang komunis merebut kekuasaan
di Cina daratan. Cina sendiri menyambut baik pendekatan yang dilakukan oleh
pemerintah Indonesia, karena setelah orang-orang komunis memegang kekuasaan
di Cina, mereka menginginkan untuk memegang peran dalam percaturan politik
regional dengan cara membangun hubungan baik dengan negara-negara tetangga
yang mencurigainya. Selain itu, perjanjian dwi kewarganegaraan juga lahir karena
presepsi orang Indonesia tentang Tionghoa lokal, yang dianggap tidak dapat
berasimilasi.
Pada tanggal 22 April 1955, Perjanjian Dwi Kewarganegaraan atau yang
dikenal dengan Perjanjian Sunario-Chou En Lai, ditandatangani. Perjanjian ini
kemudian dijadikan Undang-Undang No.2 Tahun 1958, pada tanggal 27 Januari
1958.47 Undang –Undang No. 2 Tahun 1958 mensyaratkan bahwa penolakan
kewarganegaraan Cina harus dilakukan di Pengadilan Negeri di Indonesia, atau di
kedutan-kedutan atau di konsulat-konsulat Indonesia untuk orang Tionghoa yang
ada di luar negeri, untuk mempertahankan kewarganegaraan Indonesia. Setiap
46
Leo Suryadinata, Dilema Minoritas Tionghoa, Jakarta: PT Temprint, hlm.116
Titi Sumbung,”Perjanjian RI-RRT Mengenai Masalah Dwikewarganegaraan”,Sinar
Harapan,26 Febuari,1969,hlm.5.
47
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
36
orang yang memiliki kewarganegaraan ganda sebelum tanggal 20 Januari 1960,
harus menolak kewarganegaraan Cina atau Indonesia dalam jangka waktu yang
telah ditentukan, yaitu 20 Januari 1960-20 Januari 1962.48
Diberlakukannya Perjanjian Dwi Kewarganegaraan menimbulkan pro dan
kontra di kalangan partai - partai politik. PNI dan PKI yang mendukung
diberlakukannya undang-undang tersebut menilai, bahwa Perjanjian Dwi
Kewarganegaraan merupakan cara yang cepat dalam menyelesaikan permasalahan
kewarganegaraan ganda masyarakat Tionghoa. Partai oposisi yang menentang
berpendapat bahwa dengan berlakunya perjanjian tersebut, maka dikhawatirkan
akan semakin banyak orang asing yang menetap di Indonesia.
Sutan Mangkuto, salah satu anggota parlemen dari Masyumi berpendapat
bahwa, Tionghoa Indonesia mempunyai kecenderungan untuk melakukan
kegiatan yang ilegal. Oleh sebab itu, pengakuan etnis Tionghoa sebagai warga
negara Indonesia, dapat membahayakan bangsa Indonesia. Undang-undang
mengenai kewarganegaraan ini baru bisa dijalankan pada tanggal 20 Januari 1960,
setelah Soekarno menguasai keadaan pada waktu itu.49
Kondisi hubungan diplomasi yang semakin kritis dan adanya tuntutan dari
pemuda dan mahasiwa, maka melalui sidang
9 oktober 1967, pemerintah
Indonsia memutuskan untuk membekukan hubungan diplomatik dengan RRC.50
48
Isi dari Perjanjian Dwi Kewarganegaran: 1. Orang Tionghoa asing yang telah memilih
kewarganegaran Cina,sebelum ditandatanganinya perjanjian tersebut, tidak mempunyai hak untuk
memilih lagi; 2. Orang Tiongoa yang memiliki kewarganegaraan ganda,akan diberi waktu 2 tahun
untuk memilih. Jika ia bertindak pasif,maka ia menjadi warga negara RRC; 3. Anak-anak yang
akan memilih kewarganegaraan saat berusia 18 tahun, untuk sementara akan dianggap
berkewarganegaraan seperti ayahnya. Suryadinata,Dilema Minoritas…,op.cit,hlm.125
49
Leo Suryadinata, Dilema Minoritas….,op.cit.,hlm.124-125.
50
Setiono,op.cit.,hlm 981
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
37
Hal ini kemudian menyebabkan pemerintah Indonesia memutuskan Perjanjian
Dwi Kewarganegaraan secara sepihak. Pemerintahan Soeharto memiliki
pandangan yang sama dengan partai oposisi di jaman Soekarno, saat mereka
menolak untuk pemberlakuan Perjanjian Dwi Kewarganegaraan.
Pemerintah
Soeharto
menilai
diberlakukannya
Perjanjian
Dwi
Kewarganegaraan memberikan kesempatan kepada anak-anak yang orang tuanya
memiliki kewarganegaraan Cina untuk menjadi warga negara Indonesia, sampai
anak-anak tersebut mencapai umur 18 tahun, tanpa penyaringan secara ketat dari
pemerintah. Selain itu pemerintah juga berpendapat diberlakukannya perjanjian
tersebut memberikan suatu perlakuan khusus kepada golongan tertentu dari
penduduk Indonesia yang tidak dinikmati oleh golongan lainnya. Hal tersebut
sudah tentu menyimpang dari asas kesamaan kedudukan di muka hukum.51
Pencabutan secara sepihak Perjanjian Dwi Kewarganegaraan menimbulkan
permasalahan baru. Dalam artikel yang ditulis oleh Titi Sumbung secara
bersambung, pada tanggal 26 dan 27 Febuari 1969 di Koran Sinar Harapan,
dinyatakan bahwa dicabutnya Perjanjian Dwi Kewarganegaran menyebabkan
status kewarganegaran yang kabur. Hal ini dikarenakan bagi anak-anak dari
orang tua yang telah memilih kewarganegaraan Cina, diharuskan untuk memilih
kewarganegaraan apa yang ia pilih saat ia telah mencapai usia umur 18 tahun.
‟‟….kalau ia memilih kewarganegaraan RI ia harus melepaskan RRT,
demikian juga sebaliknya. Dengan dibekukannya hubungan
diplomatik antar RI-RRT, melepaskan kewarganegaraan RRT sudah
tidak mempunyai arti lagi, sedangkan bagi mereka yang mau memilih
51
Leo Suryadinata, Dilema Minoritas….,op.cit.,hlm.129.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
38
kewarganegaraan RRT, praktis sudah tidak ada yang menampung
lagi”52
Dengan dihapuskannya Perjanjian Dwi Kewarganegaraan, maka setiap
anak
dari
orang
tua
yang
berkewarganegaraan
Cina,
jika
memilih
kewarganegaraan Indonesia harus melalui proses naturalisasi, berdasarkan
Undang – Undang Kewarganegaraan No. 62 Tahun 1958. Undang-undang
tersebut juga menyebutkan bagi anak-anak yang orang tuanya telah memilih
kewarganegaran Indonesia, atau salah satu orang tuannya merupakan warga
negara Indonesia, maka anak-anak mereka tetap menjadi warga negara
Indonesia.53
52
53
Sumbung ,loc.cit
Leo Suryadinata, Dilema Minoritas…,op.cit.,hlm.129.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB III
PELAKSANAAN KEBIJAKAN ORDE BARU
TERHADAP ETNIS TIONGHOA
A. Dikeluarkannya Instruksi Presiden Tahun 1967-1998
Orde Baru memulai kekuasaannya setelah Soeharto menjadi presiden . Saat
itu dimulailah penerapan kebijakan yang melarang segala hal yang berbau
Tionghoa. Sebuah rezim pro-Barat yang kemudian membawa Indonesia menjadi
negara yang sangat diskriminatif pada etnis Tionghoa.54
Sejak peristiwa 30 september 1965, ada trauma yang mendalam di kalangan
warga Tionghoa yang menyebabkan mereka selalu menghindari keterlibatan
bidang politik. Mereka bahkan enggan berbicara tentang hal-hal yang terjadi pada
waktu itu. Orang - orang keturunan Tionghoa distigmatisasikan sebagai kelompok
yang berkiblat (komunis) ke Tiongkok selama Orde Baru.55 Sejak awal berdirinya
rezim Soeharto, ada keyakinan umum bahwa keturunan Tionghoa tidak memiliki
sentimen
kebangsaan.
Orang-orang
keturunan
Tionghoa
dicurigai
telah
mendukung politik kaum kiri karena RRT adalah negara komunis. Terjadi
identifikasi yang esensialis dan umum antara etnis Tionghoa dan komunisme.
Stigma sebagai Tionghoa dan keadaan sebagai Tionghoa karena telah terlibat
dalam kudeta komunis 1965 dianggap menular dan menurun ke generasi
selanjutnya.
54
Nurani soyomukti,”Soekarno & cina”,Yogyakarta: Garasi,2002.hlm.304.
Chang - Yau hoon,Inentitas Tionghoa Pasca Soeharto: Budaya,Politik dan media, Jakarta:
Yayasan Nabil dan LP3ES, 2012, hlm.176.
55
39
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
40
Pengakuan terhadap identitas kultural sebagai hak yang perlu dimiliki oleh
setiap kelompok etnis juga dirasakan oleh orang-orang keturunan Tionghoa di
Indonesia. Keberadaan mereka hingga sekarang masih menjadi persoalan. Orangorang keturunan Tionghoa belum diterima secara penuh sebagai bagian dari
anggota bangsa Indonesia. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya istilah baku bagi
orang-orang keturunan Tionghoa yang telah menanggalkan akar-akar kultur
mereka dari negeri asal.56
Pengakuan terhadap identitas kultur (keturunan Tionghoa) merupakan salah
satu bagian dari „masalah Tionghoa‟ yang belum terselesaikan. Pada masyarakat
pribumi berkembang pandangan yang tidak menguntungkan terhadap keberadaan
orang-orang keturunan Tionghoa yang cenderung eksklusif dan mempertahankan
hubungan „kekerabatan‟ dengan negeri leluhurnya. Selain masih berkembangnya
stereotip negatif di kalangan pribumi terhadap orang-orang keturunan Tionghoa,
kebijakan pemerintah yang tidak jelas dalam menangani persoalan berbasis kultur,
merupakan wujud nyata dari “masalah Tionghoa” yang belum terselesaikan.
Masalah Tionghoa di Indonesia sangat berkaitan dengan sikap dan
kebijakan pemerintah yang tidak cukup tegas dalam persoalan kewarganegaran
orang-orang keturunan Tionghoa. Kebijakan asimilasi yang diterapkan menjadi
salah arah, karena muncul pandangan bahwa loyalitas orang-orang keturunan
Tionghoa hanya dapat dicapai melalui pengingkaran terhadap cirri - ciri kultur
mereka. Dalam kenyataannya, keragaman adalah sebuah fakta kehidupan, dan
56
Turnomo Rahardja, Kebijakan Pemerintah Tentang Etnis Cina, dalam Dialogue, JIAKP: l2,
No.2, Mei 2005, hlm.784
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
41
kesatuan
dalam
keberagaman
dapat
dicapai
tanpa
harus
melakukan
penyeragaman.
Orde Baru di bawah pimpinan Soeharto menaruh curiga atas hubungan –
hubungan yang dijalin oleh etnis Tionghoa dengan Republik Rakyat Tiongkok.
Pemerintah Indonesia begitu bersemangat untuk menciptakan sebuah “bangsa
yang homogen” sehingga pemeritah mengambil kebijakan asimilasi terhadap
kelompok etnis Tionghoa. Penting untuk dicatat bahwa yang disebut “bangsa
homogen” disini ditegakkan atas model pribumi. Kelompok etnis Tionghoa
dipandang sebagai “nonpribumi” dan karena itu harus menanggalkan identitas
ketionghoaan mereka jika mereka ingin menjadi “orang Indonesia tulen”. Namun,
identitas pribumi Indonesia yang harus diikuti oleh kelompok etnis Tionghoa itu
tidak didefinisikan dengan jelas.
Kebijakan asimilasi yang diterapkan pada masa Orde Baru didasarkan pada
semboyan Bhineka Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Mangrwa. Indonesia
mempunyai masyarakat yang beraneka ragam, bergabung bersama sebagai
kesatuan Indonesia seperti yang digambarkan dalam lambang “Binneka Tunggal
Ika, Tan Hana Dharma Mangrwa”. Makna semboyan Bhineka Tunggal Ika berarti
berbeda-beda tetapi pada hakekatnya satu, sebab meskipun secara keseluruhannya
memiliki perbedaan tetapi pada hakekatnya satu, satu bangsa dan negara Republik
Indonesia. Semantara semboyan Tan Hana Dharma Mangrwa57 memiliki makna
57
Semboyan Tan Hana Dharma Mangrwa ini dianut dan dipercaya oleh Presiden Soeharto pada
waktu itu karena Presiden Soeharto sendiri adalah seorang militer. Semboyan Tan Hana dharma
Mangrwa juga diterapkan di biang militer, sesuai dengan maknanya yaitu tidak ada keragu-raguan,
tidak ada kebenaran yang bermuka dua serta senantiasa berpegang dan berlandasan pada
kebenaran yang satu, karena di dalam militer sendiri kesetiaan dan kepercayaan hanya ada satu
yaitu kepercayaan kepada pemimpin. Semboyan Tan Hana Dharma Mangrwa ini diterapkan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
42
yaitu tidak ada kebenaran yang bermuka dua, sesungguhnya memiliki pengertian
agar hendaknya setiap insan manusia senantiasa berpegang dan berlandasan pada
kebenaran satu.58
Orang-orang keturunan Tionghoa diharapkan meleburkan kebudayaannya,
adat istiadat serta ciri-ciri lainnya ke dalam kebinekaan masyarakat Indonesia.
Semboyan Bhinneka Tunggal Ika menghendaki kesatuan bangsa, termasuk juga
kesatuan antara minoritas dan mayoritas. Golongan minoritas tidak bisa hanya
menuju ke suatu masyarakat yang adil dan makmur, tetapi harus juga memenuhi
dan melaksanakan cita-cita negara Indonesia yaitu arah kesatuan. Menuju ke arah
kesatuan ini hanya dapat dicapai dengan jalan asimilasi, sehingga ekslusiisme dari
minoritas hancur, sehingga hubungan –hubungan antara minoritas dan mayoritas
dipererat dan menambah perkawinan –perkawinan campuran. Dengan demikian
dapat tercapailah asimilasi ekonomi, sosial, politik dan lain-lain.
B. Bidang Sosial dan Budaya
1. Instruksi Presiden No.14/1967
Salah satu peraturan berkaitan dengan asimilasi, yang pertama dikeluarkan
pada masa pemerintahan Orde Baru yaitu Instruksi Prsiden
No.14/1967. Isi
Intruksi tersebut adalah:
“Tanpa mengurangi jaminan keleluasaan memeluk agama dan
menunaikan ibadatnya, tata cara ibadat Tionghoa yang memiliki aspek
kepada orang-orang keturunan Tionghoa karena mereka memiliki kesetiaan yang mendua yaitu
kesetiaanya kepada Indonesia, dan juga kepada negerinya Tiongkok. Dengan diterapkannya
semboyan ini, maka diharapkan orang-orang keturunan Tionghoa hanya mempunyai kesetiaan
yang satu yaitu kesetiaan kepada negara Republik Indonesia.
58
Brigaspad,‟Bineka Tunggal Ika‟……
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
43
afinitas kultur pada negeri leluhur, pelaksanaannya harus dilakukan
secara intern dalam hubungan keluarga atau perorangan.”
Pada tanggal 6 Desember 1967 Presiden Soeharto mengeluarkan
Instruksi Presiden Nomer 14 tahun 1967 tentang agama, kepercayaan dan adat
istiadat Tionghoa. Dalam instruksi tersebut ditetapkan bahwa semua upacara
agama, kepercayaan, dan adat istiadat Tionghoa hanya boleh dirayakan di
lingkungan keluarga dan dalam ruangan tertutup. Instruksi Presiden ini bertujuan
melikuidasi pengaruh seluruh kebudayaan Tionghoa. Termasuk kepercayaan,
tradisi, adat istiadat, dan agamanya, dan mendorong terjadinya asimilasi secara
total.
Keluarnya Instruksi tersebut yang menyatakan adat istiadat orang Tionghoa
dilarang dipertontonkan di depan umum, membuat keturunan Tionghoa tidak
bebas melestarikan budaya leluhurnya di Indonesia. Tidak hanya itu, pelestarian
budaya leluhur orang-orang keturunan Tionghoa dikhawatirkan oleh pemerintah
akan menggangu proses program asimilasi yang direncanakan. Kebijakan
asimilasi mengakibatkan pengikisan bahasa serta kebudayaan Tionghoa.
Organisasi dibubarkan dan sekolah Tionghoa ditutup. Hal itu sejalan dengan
kebijakan asimilasi ini. Kebijakan asimilasi di Indonesia merupakan kebijakan
yang paling radikal, sebab kebijakan tersebut telah menghilangkan tiga pilar yang
menyangga keberadaan masyarakat dan identitas kultur orang – orang keturunan
Tionghoa, yaitu sekolah, media masa, dan asosiasi-asosiasi orang keturunan
Tionghoa.59
59
Rahardja T, Menghargai Perbedaan Kultur: Mindfulness Dalam Komunikasi antara etnis,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.2005.hlm.787
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
44
Selama 11 tahun sesudah Soeharto memegang kekuasaan, rezim yang baru
menyambut baik
agama Konghucu. Pemimpin - pemimpin mereka menjalin
hubungan erat dengan militer. Mereka juga didukung oleh partai pemerintah
Golkar, pada pemilihan 1977. Tak lama kemudian, rezim Soeharto merasa cukup
kokoh sehingga tidak memerlukan dukungan kelompok penganut agama
Konghucu. Lagi pula para jendral merasa bahwa agama Konghucu adalah
penghambat bagi asimilasi warga negara Indonesia keturunan Tionghoa. Sejak
tahun 1978, pemerintah mulai menjaga jarak terhadap agama Konghucu. Pada
awal tahun 1979 pemerintah Orde Baru juga menerbitkan sebuah surat keputusan
yang mengatakan bahwa agama Konghucu bukan agama. Berikut ini adalah
diskriminasi akibat dikeluarkannya Instruksi Presiden dalam masalah agama
Konghucu:
a. Diskriminasi Beribadah
Umat Konghucu hanya dapat beribadah secara sembunyi- sembunyi di
litang maupun di kelenteng. Akan tetapi ketika ingin mengadakan upacaraupacara besar/Tahun baru Imlek dibatasi, bahkan kelenteng-kelenteng
disuruh ditutup.
b. Diskriminasi Pendidikan.
Umat Konghucu dipaksa untuk mengambil salah satu mata pelajaran
agama dari kelima agama yang ada. Hal tersebut dikarenakan tidak ada
guru yang mengampu pendidikan agama Konghucu. Rata-rata umat
Konghucu pada zaman dahulu mengambil mata pelajaran pendidikan
agama Katolik, Kristen atau Buddha. Ada pula yang akhirnya mengambil
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
45
mata pelajaran pendidikan agama Islam. Dikarenakan siswa yang
keyakinan agama Konghucu di sekolah tidak mendapatkan hak
memperoleh pelajaran agama Konghucu, maka banyak masyarakat
Konghucu yang berpindah agama.
c. Diskriminasi Perkawinan.
Tidak jauh berbeda dengan pendidikan, dalam perkawinan umat Konghucu
juga harus memilih perkawinan satu diantara lima agama yaitu Islam,
Katolik, Hindu, Buddha, dan Kristen. Menyikapi pemaksaan ini ada tiga
jalan : pertama, jalan seperti Budi dan Lani (Pasangan penganut agama
Konghucu) yang menggugat ke catatan sipil walaupun prosesnya panjang
sampai Mahkamah Agung. Kedua, jalan yang paling banyak ditempuh
oleh umat Konghucu mencatatkan dirinya secara agama lain missal agama
Katolik atau Buddha walaupun diberkati di litang/kelenteng agar
perkawinan diakui oleh negara.
d. Diskriminasi Kartu Tanda Penduduk (KTP)
Karena dalam kolom agama tidak ada pilihan agama Konghucu sehingga
umat Konghucu dipaksa untuk memilih kelima agama yang ada.
e. Diskriminasi Aksara
Aksara kitab-kitab Konghucu tidak ditulis dalam bahasa mandarin
sehingga diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia murni dengan tidak
menampilkan aksara kitabnya. Dahulu tidak diperbolehkan, karena jika
ditampilkan dalam bahasa mandarin bisa ditangkap, disita dan
diintimidasi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
46
Diskriminasi juga dialami dalam administrasi kependudukan seperti Kartu
Tanda Penduduk (KTP) dan akta kelahiran. Kebanyakan dari penganut Konghucu
akhirnya mencatatkan agama lain di akta kelahiran maupun KTP, jika tidak
memilih satu di antara agama yang ada, sama saja dia tidak mendapatkan hakhaknya sebagai warga negara. Seperti kesulitan dalam pencatatan perkawinan di
catatan sipil, kesulitan mendapatkan akta kelahiran anak dan memperoleh hak
pendidikan bagi si anak. Akan tetapi jika umat Konghucu tersebut mencatatkan
agamanya di kolom KTP tidak sesuai dengan keyakinannya sama saja dengan
membohongi Tuhannya. Pada akhirnya kebanyakan umat Konghucu menulis
agama di KTP terserah dan tidak mempermasalahkan, yang penting keyakinan
mereka kepada Tuhan.
Kebijakan asimilasi terhadap orang Tionghoa didefinisikan dari sudut upaya
untuk menghapus komponen Tionghoa dari ”kebudayan Indonesia”, maka tidak
mengherankan apabila tidak lama sesudah agama Konghucu tidak diakui sebagai
agama, pemerintah mulai membina agama Buddha. Menurut pandangan rezim
Orde Baru agama Buddha lebih berciri Indonesia dibandingkan dengan agama
Konghucu. Indonesia memang pernah menjadi tempat tumbuhnya dua kerajaan
Buddhis yang besar, yaitu Syailendra dan Sriwijaya.60
2. Surat Edaran Menteri Kehakiman No.JHB 3/31/3 Tahun 1978
Salah satu bentuk politik diskriminasi nyata yang dilakukan secara
institusional di Indonesia adalah penerapan ketentuan SBKRI yang terutama
60
Wibowo I dan Tung Ju Lan, Setelah Air Mata Kering:Masyarakat Tionghoa Pasca-Peristiwa
Mei 1998, Jakarta: Kompas, hlm.85.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
47
ditunjukan kepada kelompok etnis Tionghoa warga negara Indonesia beserta
keturunan- keturunannya. SBKRI adalah tanda pengenal yang menyatakan bahwa
pemiliknya adalah warga negara Republik Indonesia. Walaupun peruntukan ini
bersifat legalitas, SBKRI terutama diberikan kepada keturunan Tionghoa. Pada
dasarnya, pengamalan SBKRI sama artinya dengan usaha menempatkan warga
negara keturunan Tionghoa pada status yang “masih dipertanyakan“ di sisi
undang- undang kewarganegaran Indonesia. Akibatnya seorang WNI Tionghoa
yang meskipun sudah beberapa generasi lahir “hingga menutup mata” di tanah
Indonesia, setiap waktu harus membuktikan dirinya sebagai warga negara
Indonesia. Dalam berbagai proses administratif publik, dari pembuatan kartu
tanda penduduk (KTP), memasuki dunia pendidikan, menyatakan hak politik,
membuat surat perjalanan ke luar negeri, sampai menikah dan meninggal dunia
pun harus membuktikan dirinya warga negara Indonesia melalui SBKRI.
Permasalahan pembuktian kewarganegaraan RI dan SBKRI, diatur dalam
Peraturan Pemerintah No. 5 Tahun 1947 yang merupakan peraturan pelaksanaan
UU No. Tahun 1946 tentang penduduk dan warga negara didalamnya ditegaskan
secara eksplisit bahwa dalam sistem undang-undang warganegara Indonesia
suatu bukti kewarga negara Indonesia Tidak Diperlukan untuk orang-orang yang
tentu dan diharapkan tentu menjadi warganegara Indonesia : yaitu untuk orang
Indonesia asli dan untuk orang peranakan. Artinya penduduk etnis Tionghoa
yang sudah menjadi WNI sejak kelahirannya tidak lagi membutuhkan pembuktian
atas kewarganegaraan RI-nya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
48
Dalam perkembangannya setelah terjadi penyerahan kedaulatan dalam
Konferensi Meja Bundar (KMB) pada tahun 1949, permasalahan pembuktian
kewarganegaraan RI muncul, klim politik pemerintahan Mao Tse Tung bahwa
semua orang Cina di seluruh dunia, termasuk Indonesia adalah warga negara
Republik Rakyat Tiongkok karena asas keturunan darah, yang kemudian
ditindaklanjuti dengan perjanjian dwi kewarganegaraan RI-RRT antara Perdana
Menteri RRT Chou En Lai, dan Menteri luar negeri RI Mr.Soenario pada tahun
1955.
Peraturan tersebut ditindaklanjuti dengan Surat Edaran Menteri Kehakiman
No. JHB 3/31/3 Tahun 1978 kepada semua pengadilan negeri dan semua kepala
perwakilan RI di luar negeri, bahwa SBKRI ditujukan kepada semua kaum
peranakan, misalnya golongan Tionghoa, Arab, dan India. Akan tetapi, dalam
prakteknya di birokrasi, kebijakan SBKRI hanya diterapkan kepada peranakan
Tionghoa, sedangkan peranakan lainnya tidak. Fenomena “rasial” inilah kemudian
menjadi awal dari segala kebijakan diskriminatif yang tidak berkesudahan hingga
saat ini.
Dalam perkembangannya SBKRI sendiri secara eksplisit sudah dihapuskan
penerapannya kepadaWNI Tionghoa dengan Keputusan Presiden (Keppres) No.
56 Tahun 1996 tentang Surat Bukti Kewarganegaran Republik Indonesia. Dalam
Keppres tersebut pasal 5 menyebutkan:
“Dengan berlakunya keputusan presiden ini, maka segala peraturan
perundang-undangan untuk kepentingan tertentu mempersyaratkan
SBKRI dinyatakan tidak diberlakukan lagi”
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
49
Kebijakan diskriminatif tersebut tetap saja diimplementasikan di berbagai
instasi pemerintahan. Pihak-pihak yang berwenang atas kebijakan ini menyatakan
berbagai alasan pemberlakuan SBKRI bagi WNI Tionghoa ini. Kenyataannya,
SBKRI selalu saja menjadi salah satu syarat yang diminta oleh instasi-instasi
terkait, seperti jajaran Departeman Dalam negeri ketika mengurus akta kelahiran,
perkawinan, bahkan surat kematian, serta di beberapa daerah juga dilakukan oleh
jajaran Departeman Kehakiman dan Ham.
3. Peraturan Menteri Perumahan No. 55.2-360/1988
Menilik berbagai fungsinya, tidaklah disangkal bila kelenteng menjadi salah
satu pusat kegiatan masyarakat Tionghoa di Indonesia. Akan tetapi, pemerintahan
Orde Baru membawa perubahan besar terhadap kelenteng - kelenteng di Indonesia
melalui peraturan Menteri Perumahan No.455.2-360/1988, yang isinya melarang
penggunaan lahan untuk mendirikan, memperluas, atau memperbahurui
kelenteng.61 Istilah kelenteng yang menunjukkan tempat ibadah orang Tionghoa
tidak lagi digunakan dan diganti dengan Wihara (tempat ibadah umat Buddha).
Selama Orde Baru berjaya mendirikan sebuah perhimpunan tempat ibadah Tri
Dharma yang mencakup tiga agama sekaligus yaitu agama Konghucu, Tao, dan
Buddha. Perhimpunan tempat Ibadah Tri Dharma kemudia berkembang menjadi
perhimpunan tempat Ibadah Tri Dharma se-Indonesia. Rezim Soeharto berusaha
mengubah kelenteng menjadi Wihara yang lebih mengacu sebagai tempat ibadat
agama Buddha sedangkan ajaran Taoisme dan Konghucu dianggap sebagai
sampingan saja dan harus berlindung di balik agama Buddha. Akibatnya, di
61
Majalah Tempo, Etnis Tionghoa di Zaman yang Berubah, Jakarta: Edisi 16-22 Agustus 2004,
hlm.37
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
50
beberapa kelenteng, arca tokoh dari ajaran Buddha yang dulunya sebagai arca
tambahan ditempatkan di altar utama. Bahkan di beberapa kelenteng yang
sebelumnya tidak menganut ajaran Buddha, mencari keselamatan dengan men-Tri
Dharmakan diri dengan memasukkan arca dari ajaran Buddha. Fisik bangunan
kelenteng pun menjadi korban. Masyarakat Tionghoa pun dilarang membangun
atau memperluas bangunan, memperbaiki kerusakan pun tidak berani dilakukan,
Kalaupun dilakukan, pasti dengan sembunyi-sembunyi. Akibatnya, sampai tahun
1998 banyak sekali bangunan kelenteng dalam kondisi mengenaskan.62
C. Bidang Ekonomi
Berakhirnya Demokrasi Terpimpin pada tahun 1967 mewariskan keadaan
ekonomi yang sangat buruk bagi periode pemerintahan Orde Baru di Indonesia.
Pada tahun 1965, harga-harga umumnya naik lebih dari 500%. Keadaan paling
parah terjadi pada bulan Januari, Febuari, dan Maret 1966.63 Menghadapi
kenyataan tersebut, pemerintah Orde Baru mengambil berbagai kebijakan untuk
mengatasi perekonomian negara
yang semakin memburuk. Salah satu
kebijakannya adalah menggunakan etnis Tionghoa. Berdasarkan kecenderungan
tersebut pemerintah mengambil keputusan yang dipandang penting dalam upaya
menstabilkan dan membangun perekonomian serta menarik para kreditor dan
investor asing. Berdasarkan hal tersebut, maka pemerintah memberlakukan
62
Herwiranto M, Kelenteng:Benteng terakhir dan titik awal perkembangan kebudayaan Tionghoa
di Indonesia, hlm 83
63
Muhaimin Yahya A, Bisnis dan Politik:Kebijakan Ekonomi Indonesia 1950-1980, Jakarta:
LP3ES, 1990. hlm.51
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
51
Undangan-Undang Penanaman Modal Asing (UUPMA) dan Undang-Undang
Penanaman Modal Dalam Negeri (UUPMDN), sebagaimana dijelaskan berikut:
“Di bidang ekonomi perubahan penting yang dilakukan Orde Baru
adalah dengan diterapkannya TAP No. XIII/MPRS/1966 tentang
penyelesaian masalah ekonomi dan keuangan, serta ditetapkannya
Undang-undang Penanaman Modal Asing (PMA) tahun 1967 dan
Undang-undang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) tahun
1968 yang menjamin keamanan modal asing di Indonesia.”64
Dengan adanya UUPMA dan UUPMDN tersebut, pemerintah Orde Baru
memberikan berbagai kemudahan yang memberi jaminan keuntungan dan
perlakuan istemewa terhadap investor asing. Kebijakan ini memberikan
kesempatan bagi para pengusaha Tionghoa untuk dapat memperbesar usaha,
sehingga mereka memiliki peranan penting dalam perekonomian di Indonesia.
Situasi ini dijelaskan berikut:
“Pada awal pemeritahan Soeharto, tahun 1966-1967 warga etnis
Tionghoa banyak diberi peluang, karena pada waktu itu mereka
dianggap memiliki akses ke luar negeri untuk menarik modal investor
asing, khususnya etnis Tionghoa berkewarganegaran Taiwan,
Hongkong, dan Singapura. Kenyataannya, strategi yang diterapkan
oleh pemerintah Soeharto waktu itu cukup berhasil menari investor
asing. Banyaknya investor asing yang pada umumnya memilih bekerja
sama dengan etnis Tionghoa, karena kelompok ini dianggap telah
menguasai jalur distribusi perdagangan dalam negeri dan dekat
dengan eliet pemerintahan Soeharo, sehingga mudah mendapatkan
konsesi dan lisensi.”65
Sejalan
dengan
kebijakan
tersebut,
pemerintah
Orde
Baru
juga
menganjurkan kepada para pengusaha Tionghoa untuk melakukan kerjasama
usaha dengan perusahaan swasta nasional Indonesia. Pemberian kebebasan bagi
pengusaha Tionghoa untuk bekerjasama dengan perusahaan swasta maupun
64
Wirawan Yery, Dinamika Ekonomi Politik Awal Orde Baru: 1996-1968, Jakarta: Skripsi
Program Studi Sejarah Fakultas sastra Universitas Indonesia, hlm 47
65
Ibid, hlm 48
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
52
pemerintah tersebut membawa dampak negatif seperti lahirnya kerjasama atau
pengusaha Tionghoa dengan pemerintah. Para elit pemerintah memberikan
perlindungan keamanan dan pemberian fasilitas kepada para pengusaha Tionghoa,
sementara itu pengusaha Tionghoa memberikan jaminan uang sebesar-besarnya
kepada elit pemerintah, guna memperlancar usaha mereka. Kerjasama semacam
ini kemudian dinamakan sistem Cukong atau Cukongisme yaitu istilah Tionghoa
(Hokkien) yang artinya majikan. Cukong diadopsi dari sistem ekonomi benteng
Ali Baba pada masa Orde Lama. Pada satu hal, kebijakan ekonomi pemerintah
tersebut banyak memberikan keuntungan bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Dengan adanya keterbukaan penanaman modal asing yang mendorong terciptanya
pasar bebas, akhirnya muncul dominasi Tionghoa dalam sektor perekonomian
seiring dengan kondisi perekonomian Indonesia yang terus membaik dan stabil.
Meski pada awalnya para pengusaha Tionghoa diberikan kesempatan untuk
mengembangkan usahanya dalam rangka pembangunan ekonomi, dalam
prakteknya mereka harus berhadapan dengan birokrasi dan masalah keamanan
usaha dari ancaman pribumi yang selalu memendam prasangka terhadap mereka.
Untuk mengatasi kesulitan birokrasi tersebut mereka menjalin kerjasama dengan
para elit pribumi yang dekat dengan kekuasaan. Adanya kerjasama itu dijelaskan
berikut ini:
“Untuk menghindari kesulitan birokrasi dan untuk pengamanan
banyak pengusaha etnis Tionghoa berkolaborasi dengan elit Indonesia,
terutama dengan pihak militer. Kolaborasi tidak resmi yang sangat
umum pada waktu itu adalah pengusaha etnis Tionghoa memberikan
dukungan modal dan mengelola usaha, sedangkan elit Indonesia
memberikan lisensi atau konsesi monopoli. Keduanya sangat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
53
diuntungkan oleh „kerja sama‟ semacam ini, yang dikenal waktu itu
sebagai „cukongisme‟66
Kerja sama tersebut menghasilkan sikap atau tindakan saling mengisi antara
elit pribumi dengan para pengusaha Tionghoa. Dengan adanya aksi-aksi
kerusuhan sebagai imbas dari dominasi mereka dalam perekonomian, mereka
tidak segan-sega memberikan sogokan dalam bentuk uang dan sebagainya dengan
jumlah besar. Sebagai jaminannya mereka diberikan perlindungan khusus oleh elit
pribumi yang besar. Mengenai praktek pemberian uang ataupun bantuan diuraikan
berikut ini:
“Kadang-kadang, para cukong tersebut memberikan sumbangan untuk
tujuan yang mereka anggap baik. Untuk beberapa saat, media massa
tersebar dengan laporan-laporan yang menginikasikan keterlibatan
mereka dalam pembiayaan kampanye politik Golkar sampai ke aksiaksi yang kurang transparan.”67
D. Bidang Politik
Pengalaman dari zaman Orde Lama memotivasi pemerintahan Orde Baru
mengubah kebijakan untuk mengatasi permasalahan perihal dominasi etnis
Tionghoa di Indonesia. Namun pergantian masa Orde lama tidak serta merta
membawa angin segar terhadap hilangnya diskriminasi rasial yang dialami oleh
etnis Tionghoa di Indonesia. Kenyataannya yang ada, diskriminasi rasial terhadap
etnis Tionghoa masih saja berlanjut pada masa Orde Baru. Pada masa
pemerintahan Orde Baru, keberadaan etnis Tionghoa menjadi masalah yang lebih
66
I Wibowo, Retropeksi dan Rekontektualisasi Masalah Cina, Jakarta: PT.Gramedia Pustaka
Utama, 1999, hlm 59.
67
Yusiun Liem, Prasangka Terhadap Etnis Cina : Sebuah Intisari ealuasi 33 Tahun di Bawah
Rejim Soeharto, Jakarta: Djambatan, 2000, hlm. 75.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
54
serius. Masalah tersebut begitu kompleks bukan hanya mengenai identitas
kebangsaan, akan tetapi berkaitan juga dengan masalah politik.
Kegiatan orang Tionghoa dalam bidang politik dibatasi seperti pelarangan
kegiatan yang mengarah pada hal yang berbau politik. Hal ini dituangkan dalam
Instruksi Presidium Kabinet No. 31/U/IN/12/1966 kepada menteri dan kantor
catatan sipil.68 Setelah pergantian dari Orde Lama ke Orde Baru, pemerintah Orde
Baru melarang semua organisasi sosio-politik Tionghoa. Mereka memandang
organisasi Tionghoa bersifat ekslusif dan ingin melihat orang Tionghoa
bergabung dalam ormas yang didominasi oleh pribumi. Hal tersebut dibenarkan
oleh Ang Tjing Kwang bahwa secara kasat mata tidak ada generasi yang lahir
setelah tahun 1965 menjadi pegawai negeri atau pegawai pemerintahan. Pegawai
negeri maupun pegawai pemerintahan mayoritas dipegang sepenuhnya oleh
kalangan pribumi.
Selama 30 tahun masa pemerintahan rezim Orde baru yang otoriter, akibat
peraturan yang berlaku pada waktu itu, orang Tionghoa tidak dapat melakukan
kegiatan apa pun di bidang politik. Terjadinya sebuah sikap apolitik di kalangan
orang Tionghoa walaupun sikap yang sama tampak pada hampir semua kelompok
orang Indonesia. Seperti telah diungkapkan banyak pengamat, orang-orang
Tionghoa mengalihkan kegiatan mereka ke bidang ekonomi, satu- satunya bidang
kehidupan yang masih terbuka bagi mereka. Perlahan- lahan mereka mengubah
diri mereka menjadi economic animal yang pada gilirannya menimbulkan rasa
marah di kalangan orang-orang non-Tionghoa. Sikap apolitik di kalangan orang
68
Junus Jahja, Nonpri dimata Pribumi. Jakarta: Yayasan Tunas Bangsa, 1991. hlm 224
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
55
Tionghoa telah membuat diri mereka benar-benar anti politik, sedemikian rupa
sehingga mereka menjahui segala sesuatu yang” berbau politik”. Sikap anti politik
inilah yang kini tertanam dalam-dalam yang sulit sekali untuk diatasi.69
69
Wibowo I, Setelah Air mata Kering „Masyarakat Tionghoa Pasca Peristiwa mei 1998, Jakarta:
Kompas, 2010.hlm. 25-26
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB IV
DAMPAK KEBIJAKAN ORDE BARU
TERHADAP ETNIS TIONGHOA
A. Bidang Sosial dan Budaya
1. Masalah SBKRI
Dengan Keputusan Presiden No. 56/1996 dan instruksi Presiden No.4/1999
tentang pelaksanaan keputusan Presiden No.56/1996 yang menginstruksikan tidak
berlakunya SBKRI bagi etnis Tionghoa yang sudah menjadi WNI, SBKRI
dicabut. Pencabutan secara nasional ini terinspirasi dari Surakarta. Ketika
Walikota Surakarta, Slamet Suryanto di tengah kesimpangsiuran antara ketentuan
dan praktik birokrasi, pihaknya melakukan penghapusan SBKRI bagi warga
keturunan Tionghoa di Surakarta. Melalui Instruksi Walikota No 471/006/02/2004
yang
dikeluarkan
tanggal
19
Juli
2004
tentang
penggunaan
bukti
kewarganegaraan RI merupakan tindak lanjut pencabutan SBKRI secara nasional
sesuai Keppres Nomer 56 tahun 1996 dan Inpres No 4 tahun 1999. Selanjutnya
masyarakat Tionghoa tidak lagi disibukkan dengan bukti kewarganegaraan
tambahan selain Kartu Tanda Penduduk (KTP).70
Masyarakat Tionghoa pada umumnya menerima kebijakan asimilasi
tersebut meskipun beberapa di antaranya enggan untuk berganti nama menjadi
70
Winara Frans H, “Upaya penghapusan Praktik Diskriminasi, Khasusnya Surat Bukti
Kewarganegaraan Republik Indonesia, Pasca Lahirnya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006
tentang kewarganegaraan Republik Indonesia”, Jurnal: hlm 6
56
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
57
nama Indonesia. Beberapa yang lain juga enggan untuk mencatatkan pernikahan
di departemen terkait, karena permasalahan birokrasi yang dirasa sulit serta sarat
dengan penarikan uang secara tidak legal. Pengalaman Adong Wijaya, 37 tahun
salah satunya. Warga keturunan Tionghoa yang tinggal di perumahan Taman
Lopang Indah, Serang, Banten, ini gagal mengurus akta kelahiran anaknya yang
baru berusia dua bulan. Meskipun melampirkan SBKRI orang tuanya, Adong tak
mampu menunjukkan SBKRI atas namanya sendiri. Adong sempat beradu
argumentasi
“Tak ada gunanya reformasi. Saya tetap dipandang sebelah mata, ujar
Adong yang tengah menjadi ketua peringatan 17 Agustus di Wilayah
rukun tetangga tempat tinggalnya.”71
Kini, setelah 35 tahun berselang, SBKRI tetap menjadi momok bagi warga
keturunan. Padahal, secara resmi, pemerintah telah menghapus keharusan
menunjukkan SBKRI bagi warga keturunan Tionghoa dalam mengurus dokumen
apapun, termasuk paspor. Keputusan Pemerintah menetapkan bahwa SBKRI ayat
2 keputusan itu ditulis, „WNI yang telah memiliki KTP, Kartu Keluarga,atau Akta
kelahiran tak lagi membutuhkan SBKRI.
Tapi aturan tinggal aturan. Praktek lapangan sungguh masih jauh dari
kenyataan. Para petugas imigrasi, misalnya, selalu menanyakan SBKRI saat
warga etnis Tionghoa akan membuat atau memperpanjang paspor. Perlakuan yang
sama masih diterima saat mereka mengurus kartu tanda penduduk maupun akta
kelahiran.
71
Ibid.hlm 12
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
58
2. Diskriminasi Agama Konghucu
Pada tanggal 6 Desember 1967, Orde Baru mengeluarkan keputusan No. 14
Tahun 1967 tentang asimilasi atau pembaharuan, dalam hal ini yang dimaksud
adalah memaksa orang Tionghoa menghilangkan identitas budaya Tionghoa dan
diganti dengan identitas budaya setempat. Peraturan ini memang tidak langsung
berdampak bagi umat Konghucu tetapi hanya membatasi aktivitas budaya etnis
Tionghoa di depan umum. Namun pada perkembangannya peraturan tersebut turut
mempengaruhi aktivitas Umat Konghucu karena ajaran Konghucu merupakan
bagian dari budaya etnis Tionghoa.
Instruksi Presiden No.14 Tahun 1967 tersebut menimbulkan keraguan pada
WNI keturunan Tionghoa untuk berpegang pada agama tradisional mereka.
Karena secara tersirat menggambarkan adanya identifikasi bahwa agama mereka
yaitu agama Konghucu identik dengan Tiongkok dan komunisme. Instruksi
tersebut tidak sejalan dengan pengakuan adanya agama Konghucu. Segala
peraturan yang bersifat diskriminatif semasa Orde Baru juga menghambat
aktivitas keagamaan umat Konghucu di Kelenteng.
Dalam menghadapi situasi Orde Baru terkait dengan segala peraturan
tentang agama dan budaya kelompok Tionghoa dan Umat Konghucu pada
khususnya, umat Konghucu memilih untuk menanggapi semua itu dengan jalan
damai. Mereka tidak berani melakukan aksi-aksi untuk menentang karena apabila
terlalu menentang peraturan-peraturan yang dibuat maka mereka akan dianggap
sebagai komunis dan dimasukkan ke penjara. Selain itu pelanggaran terhadap
tidak diperbolehkan menggunakan bahasa Cina dalam aktivitas sehari-hari juga
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
59
sangat memberatkan umat Konghucu, bahkan di kalangan umat Konghucu tidak
ada yang berani menyimpan tulisan-tulisan berbahasa Cina tekanan serta
kekawatiran dicurigai sebagai anggota PKI.
Dalam urusan hak catatan sipil masyarakat Konghucu juga dihadapkan pada
permasalahan sulitnya mendapatkan pengakuan agama Konghucu baik saat nikah
maupun saat mendaftarkan diri untuk mendapatkan catatan identitas diri atau
KTP. Hal lain yang masih menekan umat Konghucu pada khususnya dan
masyarakat etnis Tionghoa pada umumnya adalah adanya proses asimilasi yang
begitu memberatkan serta sangat menguras tenaga.
Umat Konghucu menjadi serba salah, karena jika tidak memilih satu
diantara agama yang ada, sama saja dia tidak mendapatkan hak-haknya sebagai
warga negara. Seperti kesulitan dalam pencatatan perkawinan di catatan sipil,
kesulitan mendapatkan akta kelahiran anak dan memperoleh hak pendidikan bagi
si anak. Namun, jika umat Konghucu mencatatkan agamanya di kolom KTP tidak
sesuai dengan keyakinannya sama saja dia membohongi Tuhannya. Pada akhirnya
kebanyakan umat Konghucu menulis agama di KTP terserah dan tidak
mempersalahkan, yang penting keyakinan mereka kepada Tuhan.
Selama berpuluh-puluh tahun Konghucu tidak pernah jelas statusnya
sebagai agama atau bukan di Indonesia. Namun, perjuangan umat Konghucu
untuk mendapatkan hak-hak sipilnya sebagai warga negara Indonesia terus
diupayakan. Terbukti pada era pemerintahan Presiden Abdurahman Wahid
keluarlah Keppres RI No.6 Tahun 2000 tentang pencabutan Inpres No. 14 Tahun
1967. Pencabutan Inpres yang dilakukan tidak hanya faktor kedekatan tokoh
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
60
Konghucu dengan Gus Dur, tetapi juga karena pemikiran Pluralisme yang Gus
Dur miliki. Peran Gus Dur dalam upaya mengembalikan posisi Konghucu sebagai
agama dan memperjuangkan hak-hak sipilnya sangat berarti bagi umat Konghucu.
Peran Gus Dur dalam melindungi hak-hak minoritas etnis Tionghoa menjadikan
beliau dinobatkan sebagai Bapak Tionghoa Indonesia.
3. Masalah Kelenteng
Di awal pemerintahan Orde Baru, pengurus perhimpunan tempat Ibadah Tri
Dharma (PTITD) yang anggota-anggotanya terdiri atas puluhan TITD (Tempat
Ibadah Tri Dharma) akan dimusiumkan oleh pemerintah Orde Baru. Oleh para
tokoh PTITD saat itu lahirlah namanya agama Buddha Tridharma, menginduk
pada agama Buddha dan terdaftar di departemen agama RI sebagai agama Buddha
aliran Tridharma, yakni agama Buddha yang mempelajari ajaran Konghucu dan
ajaran Taoisme, termasuk dalam lingkup Buddha Mahayana. Inilah yang
menyebabkan kelenteng / TITD terlindungi.
Namun sikap ini 30 tahun kemudian menyebabkan masyarakat Indonesia
menyangka bahwa agama Buddha, agama Konghucu agama TAO adalah identik
atau sama, padahal sebetulnya berbeda, baik dalam ketuhanan, ajaran-ajaran, dan
kitab suci. Ketiga agama ini berdiri sendiri dan memiliki Nabi serta ajaran agama
sendiri-sendiri. Semua karena politik dikala itu. Mungkin banyak orang Tionghoa
bisa menahan tidak melihat, mendengar barongsai, liong, tulisan mandarin, lagulagu mandarin, di tempat - tempat umum, sebagai warisan budaya nenek moyang
mereka dari Republik Rakyat Cina (RRC) selama 30 tahun.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
61
Untuk urusan agama rasanya tidak bisa terpisahkan meskipun hanya
perjuangan PTITD menyatukan 3 agama minoritas di dalam 1 wadah keagamaan,
yakni TITD hanya bersifat administratif belaka, namun hal itu bisa dipahami,
mesikpun perjuangan tersebut dianggap belum memuatkan karena pada dasarnya
agama adalah hak manusia paling hakiki atau mendasar. Perayan-perayan agama
dan adat istiadat Tionghoa juga melarang kelenteng - kelenteng yang tidak ada
simbol agama Buddha. Hal ini disebabkan pada masa Orde Baru pemerintah
hanya mengakui Konghucu bila masuk dalam Tri Dharma. Peraturan tersebut juga
didukung Surat Keputusan Pepelrada No.22/6/1967 dikeluarkan oleh Mayjen M
Yasin yang menggantikan posisi Mayor Jendral Soemitro yang isinya menetapkan
penggantian istilah “Kelenteng “ menjadi “Tempat Ibadah Tri Dharma” (TITD)
dan kepada pemeluknya diberi kebebasan menjalankan ibadah di tempat- tempat
ibadah Tri Dharma. Melihat kondisi yang demikian para pengurus Kelenteng
segera merespon dan tidak mau mengambil jalan secara frontal. Sejak saat itu lah
Kelenteng berubah menjadi tempat ibadah Tri Dharma yakni tempat ibadah bagi
umat agama Konghucu, Buddha dan Tao sehingga Kelenteng masuk dalam
Penghimpunan Tempat Ibadah Tri Dharma (PTITD).
Meskipun demikian berubahnya Kelenteng manjadi Tempat Ibadah Tri
Dharma dalam pelaksanaanya mayoritas umat Konghucu berusaha agar aktivitas
ibadah mereka tidak menyolok, artinya mereka berlindung di bawah identitas
agama Buddha yang diakui oleh pemerintah. Seluruh aktivitas kegiatan Umat
Konghucu tetap mendapat pengawasan yang ketat dari pihak keagamaan. Misal
pengurus Kelenteng dilarang melakukan renovasi dan perawatan bangunan. Demi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
62
menyambung nyawa dan menjamin keselamatan dirinya, warga Tionghoa di
Indonesia pun banyak yang berlindung dalam agama resmi yang ditetapkan
pemerintah. Kaum tuanya mungkin menyadari kesenjangan budaya ini tetapi
tekanan politik terasa berat. Mereka lebih mengutamakan keselamatan generasi
mudanya walaupun harus kehilangan sebagian besar budayanya. Bahkan,
beberapa diantara kaum tua Tionghoa ada yang sengaja menakut-nakuti kaum
mudanya untuk tidak belajar budaya leluhurnya demi keselamatan keluarga.
Akibatnya dapat dibayangkan bila 30 tahun kemudian terjadi kesenjangan budaya
antara generasi tua dan generasi muda Tionghoa di Indonesia. Memang unik juga
nasib bangsa Cina perantauan ini, mereka harus terpaksa mengorbankan sebagian
harga dirinya, yaitu kebudayannya untuk mempertahankan hidup dan memperoleh
bentuk harga diri yang lain.
Walaupun begitu, kebudayan Tionghoa tidaklah lantas lenyap seluruhnya
begitu saja. Sisa-sisa kebudayan ini masih tersimpan dan dilakukan semampunya
di dalam kelenteng. Meskipun bagian rusak dan tak terawat, bangunan kelenteng
masih menyimpan berbagai arca, ukiran, lukisan, dan berbagai ornamen. Secara
sangat terbatas dan sembunyi- sembunyi, berbagai arca ritual, kebudayan, dan
kegiatan sosial masih dilakukan di dalam lingkunagan kelenteng. Pendeknya
selama hampir 32 tahun pemerintahan Orde Baru, kelenteng berfungsi menjadi
benteng terakhir kebudayan Tionghoa di Indonesia. Setelah menjadi salah satu
tumbal politik melalui peristiwa anti-Tionghoa Mei 1998, Era Reformasi
membawa banyak perubahan di Indonesia. Era pemerintahan baru di bawah
Presiden Abdurahman Wahid mencabut beberapa kebijakan yang diskriminatif
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
63
terhadap masyarakat Tionghoa. Walapun masih terjadi beberapa kendala di
lapangan, tetapi kebudayan Tionghoa kembali bangkit. Malahan di berbagai
tempat atau kalangan ditengarai terjadi eforia atau malah latah kebudayan
Tionghoa.72
Kelenteng menjadi pusat kegiatan. Banyak bangunan kelenteng mulai
diperbaiki atau direnovasi besar-besaran. Tarian Barongsai terlihat meramaikan
berbagai acara. Upacara arak-arakan dewa “gotong tepekong” yang banyak
mengikutsertakan kebudayan China, seperti pakaian, musik, dan tarian mulai
dilaksanakan di berbagai kota. Kelenteng kembali ramai didatangi oleh lebih umat
Tionghoa yang ingin bersembahyang. Pendeknya kelenteng menjadi salah satu
titik awal bangkitnya kembali kebudayan Tionghoa di Indonesia. Namun tiga
puluh tahun lebih dalam belenggu budaya membuat sebagian besar umat
Tionghoa kehilangan pengetahuan rohani dan budayanya. Sebuah kenyataan pahit
menjadi pemandangan sehari- hari dalam kelenteng, yaitu banyak umat Tionghoa
yang datang ke kelenteng hanya bersembahyang di depan arca para dewa tanpa
mengerti lagi siapa dan apa sebenarnya ajaran para dewa- dewi tersebut.
Pokoknya bersoja, mengucapkan hio dan menuang minyak di altar dewa tersebut,
beres urusan.
Juga dapat diperhatikan, bila memasuki sebuah kelenteng, perhatian umat
hanya tertuju pada arca dewa dewi saja. Isi kelenteng lainnya seolah bukanlah hal
yang patut diperhatikan, atau paling tidak dinikmati keindahanya. Ditambah lagi,
entah karena ketidaktahuan, ketidakmampuan, atau bahkan ketidakpedulian dari
72
Herwiranto M,”Kelenteng:Benteng Terakhir dan titik awal perkembangan kebudayaan
Tionghoa di Indonesia”, Jurnal Lingua Cultur hlm. 83
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
64
umat dan pengurus kelenteng, ukiran atau lukisan yang menyimbolkan ajaran
banyak hal itu dianggap hiasan belaka sehingga kerap tampak tak terawat, kotor
tertutup debu, atau malahan hitam tak terlihat sama sekali terkena asap bertahuntahun. Jangankan untuk mengerti simbol apa yang terkandung, bahkan sering kali
mereka juga tidak tahu lagi apa sebenarnya hewan, tumbuhan, atau cerita apa
yang terukir atau terlukis tersebut.
Memang ada usaha dari beberapa kaum terpelajar Tionghoa untuk memulai
memperhatikan masalah ini. Akan tetapi, memang bukanlah hal yang mudah
untuk menghadapi akibat belenggu budaya yang telah membuat sebagian besar
kaum Tionghoa tua terlanjur apatis dan kaum mudanya tak lagi mengenali
budayanya.
B. Bidang Ekonomi
Maraknya sistem cukong di masa Orde Baru memicu praktik korupsi,
kolusi, dan nepotisme (KKN). Pada akhirnya, kelompok KKN inilah yang
sebetulnya menguasai ekonomi Indonesia. Hal ini muncul dengan hadirnya
beberapa konglomerat yang memainkan peran sangat dominan dalam praktek
tersebut seperti Liem Sioe Liong atau Sudono Salim, William Soeryadjaya, Eka
Tjipta, Bob Hasan, dan sebagainya. Sementara itu orang-orang yang berasal dari
elit pribumi diantaranya adalah Ibnu Sutowo, Ali Murtopo, Ali Sadikin, dan
beberapa petinggi militer yang memegang jabatan penting pada masa Orde Baru.
Singkatnya pada masa Orde Baru, setiap pengusaha yang dekat dengan
kekuasaan bisnisnya akan menjadi berkembang dan besar. Hal ini terjadi pada
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
65
Liem Sioe Liong atau Sudono Salim. Kemampuanya menjalin kedekatan dengan
Soeharto menjadikannya salah satu konglomerat terbesar di Indonesia. Ini tidak
dapat dipungkiri dari citranya sebagai pengusaha sukses yang mempunyai
beberapa perusahaan besar seperti PT. Indocement, bank Central Asia (BCA),
Hotel Mandiri, PT.Tarumate, dan lain-lain, yang merupakan deretan kelompok
usaha-usaha besar strategis bagi perkembangan ekonomi Indonesia.73
Melihat kenyataan tentang besarnya peran serta pengusaha Tionghoa dalam
perekonomian Indonesia, terutama setelah kedatangan para investor asing yang
menanamkan modalnya dan bekerja sama dengan pengusaha Tionghoa hingga
lahirnya praktik percukongan yang menimbulkan KKN di tubuh elit kekuasaan
dan para pengusaha Tionghoa yang ikut terlibat di dalamnya, maka mucul kritikkritik terhadap kebijakan pemerintah tersebut. Kritik-kritik tersebut selanjutnya di
wujudkan dalam bentuk aksi demonstrasi. Tentang situasi tersebut digambarkan
berikut:
“Pada akhir 1975 situasi dikalangan mahasiswa memanas, karena
keresahan yang dialami rakyat melihat arah perkembangan ekonomi
yang dilaksanakan pemerintahan Orde Baru. Isu-isu korupsi,
percukongan, modal asing, serta peranan Jepang menjadi sorotan
mereka. Mahasiswa menilai bahwa pelaksanaan pembangunan
memberikan porsi terlampau besar kepada modal asing, terutama
modal modal Jepang sehingga menghancurkan modal dalam negeri.
Aksi-aksi demonstrasi tersebut berkembang menjadi aksi rasialis anti
Tionghoa dengan merusak dan menjarah toko etnis Tionghoa.”74
73
Siswono Yudo H, Warga Baru:Kasus cina di Indonesia, Jakarta: Lembaga penelitian Yayasan
Padamu Negri.1985. hlm. 83
74
Benny G. Setiono, Tionghoa Dalam Pusaran Politik :Mengungkap fakta Sejarah tersembunyi
Orang Tionghoa di Indonesia, Jakarta: Elkasa,2003. hlm. 1002
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
66
Rangkaian demonstrasi ini akhirnya meledak dalam peristiwa kerusuhan
pada tanggal 15 Januari 1974 yang dikenal dengan Peristiwa Malari (Malapetaka
Lima Belas Januari). Peristiwa ini ditandai dengan penghancuran toko-toko milik
etnis Tionghoa dan pengrusakan produk-produk Jepang. Semenjak saat itu
pemerintah Orde Baru mulai menjalankan kebijakan ekonomi mengenai
pembatasan dominasi etnis Tionghoa dan juga pihak asing dalam aktivitas
perekonomian di Indonesia.
Setelah peristiwa Malari, diskusi mengenai etnis Tionghoa dan juga
penanaman modal asing dibatasi. Hal ini untuk menghindari terjadinya aksi
demonstrasi yang mengarah pada etnis Tionghoa. Setelah masa itu pula, muncul
istilah pribumi dan non pribumi. Penggunaan istilah tersebut digunakan sebagai
kritikan terhadap pengusaha etnis Tionghoa.
Untuk mengurangi ketegangan yang terjadi, pemerintah Orde Baru
mengeluarkan kebijakan ekonomi yang baru. Kebijakan ekonomi ini pada intinya
dalam rangka upaya mempribumikan atau Indonesianisasi dengan tujuan untuk
membantu para pengusaha pribumi agar dapat mengembangkan usahanya. Dalam
upaya ini, pada tahun 1974 dikeluarkan suatu peraturan yang mengharuskan
semua investasi asing di Indonesia dikelola dalam bentuk patungan.
Adapun peraturan akhir dalam upaya pemribumian atau Indonesianisasi ini
adalah dengan dikeluarkannya Keppres No. 14 yang dikeluarkan 1979, yang
kemudian disempurnakan menjadi Keppres No. 14A tahun 1980 yang
menempatkan bahwa departeman dan lembaga-lembaga pemerintah memberikan
prioritas kepada para pengusaha dan kontraktor kelompok ekonomi lemah (yaitu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
67
pribumi Indonesia) untuk membeli barang-barang dan mengadakan kontrak.
Untuk proyek besar, usaha patungan antara pribumi dan non pribumi digalakkan,
akan tetapi pribumi harus memiliki andil 50% dan aktif dalam perusahan
tersebut.75
Melalui Keppres tersebut dan dengan adanya upaya pemerintah dalam hal
merangsang tumbuhnya pengusaha pribumi, maka muncullah pengusahapengusaha pribumi seperti Siswono Yudo Husodo, Fahmi Indris, dan Pontjo
Sutowo yang terutama bergerak di sektor konstruksi. Akan tetapi, walapun ada
aturan seperti Keppres no. 14A tahun 1980 ini scara keseluruhan, pengusaha etnis
Tionghoa ternyata lebih banyak tumbuh dan menjadi besar. Hal ini dikarenakan,
peraturan ini hanya membantu sebagian pengusaha pribumi saja, terutama mereka
yang memiliki hubungan dengan kekuasaan atau telah memiliki kerja sama
dengan pengusaha Tionghoa. Akhirnya, dominasi perekonomian Indonesia tetap
berada pada para pengusaha Tionghoa.
Dominasi etnis Tionghoa dalam perekonomian semakin jelas terutama
setelah jatuhnya harga minyak sehingga mengakibatkan pemerintah kembali
menjalin kerja sama dengan pengusaha Tionghoa dalam upaya mendorong
pendapatan bukan minyak. Bisnis etnis Tionghoa diharapkan dapat membantu
program pembangunan pemerintah Orde Baru. Hal ini tercermin dalam pidato
Presiden Soeharto berikut ini:
“Pemerintah hanya dapat menyediakan 54,1% dari keseluruhan
biaya yang dibutuhkan bagi pembangunan tahap i. sementara
sisanya 15,9% diharapkan dating dari sector swasta, terutama
untuk menunjang pengadaan lapangan kerja dan memperoleh
75
Suryadinata Leo, Etnis Tionghoa Dan Pembangunan Bangsa, Jakarta: LP3ES, 1999, hal. 94.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
68
dana bagi program pembangunan dari penerimaan ekspor non
migas.”76
Berdasarkan hal tersebut, kebijakan di bidang ekonomi ini secara jelas
ditunjukan dan menguntungkan kepada para pengusaha etnis Tionghoa, karena
hanya golongan ini yang memiliki kemampuan financial.
C. Bidang Politik
Pada masa pemerintahan Orde Baru, etnis Tionghoa dihadapkan pada suatu
pilihan yang sulit. Mereka banyak yang dituduh terlibat dalam golongan kiri
terutama PKI sehingga banyak dikalukan penangkapan terhadap tokoh- tokoh
etnis Tionghoa. Tokoh – tokoh etnis Tionghoa dulunya aktif dalam kegiatan
organisasi seperti di Baperki dan ada juga yang aktif dalam partai politik yang
didominasi oleh penduduk Pribumi. Penangkapan – penangkapan yang dilakukan
pemerintah Orde Baru membuat etnis Tionghoa mengalami trauma politik.
Kebanyakan dari mereka tidak ingin aktif lagi dalam kegiatan politik dan lebih
menekuni bidang lain seperti ekonomi dan keagamaan.
Program asimilasi yang dicanakan oleh pemerintah tidak membawa ke jalan
yang dinginkan. Proses pembaharuan antara etnis Tionghoa dengan penduduk
pribumi agaknya kurang berjalan lancer. Penduduk pribumi memandang bahwa
etnis tionghoa pola kehidupanya masih esklusif, tidak banyak bergaul dengan
penduduk pribumi. Pandangan masyarakat pribumi yang seperti ini nampaknya
ingin diluruskan oleh Bapak Indra dengan menyatakan bahwa:
76
I Wibowo,op.cit, hlm 68
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
69
“Etnis Tionghoa juga masih banyak yang bersikap eksklusif
namun begitu bukannya etnis Tionghoa seperti itu semua. Adak
ok etnis Tionghoa yang bergaul dengan penduduk Pribumi dan
aktif dalam kegiatan RT misalnya, bahkan sekarang ada juga
yang menjadi ketua RT-nya77
Munculnya
berbagai
anggapan terhadap
etnis
Tionghoa membuat
pemerintah sebagai pembuat kebijakan ikut berpartisipasi dalam usaha mengatasi
permasalahan etnis Tionghoa. Selepas dibubarkanya Baperki karena diduga
terlibat peristiwa 30 september 1965 pemerintah membentuk suatu badan yang
mengurusi tentang masalah etnis Tionghoa, badan tersebut adalah Badan
Komunikasi Penghayatan Kesatuan Bangsa (Bakom –PKB). Sikap etnis tionghoa
dalam pembentukan badan- badan tersebut memandang bahwa keberadaan badan
– badan itu justru tidak memecah masalah, karena badan- badan tersebut dijadikan
alat oleh pemerintah untuk mengekang kebebasan etnis Tionghoa. Sedangkan
Liong Kou Tjun menganggap pembentukan badan – badan tersebut diperlukan
dalam upaya menjaga keharmonisan hubungan antara etnis Tionghoa sebenarnya
ada yang dating dari dalam diri indiidu mereka sendiri.78
Politik etnis Tionghoa adalah tipe politik “broker” dimana etnis Tionghoa
mendekati penguasa untuk mendapatkan fasilitas yang diinginkan dalam kegiatan
bisnisnya. Sebagai contoh adalah apa yang dilakukan oleh Liem Sioe Liong yang
melakukan pendekatan kepada Soeharto agar mendapat kemudahan dalam
memonopoli barang termasuk mendistribusikannya, sempat dia menguasai
perusahan Bank Central Asia (BCA)
77
78
Wawancara dengan Bapak Indra tanggal 3 April 2016
Wawancara dengan Bapak Hendra Kurniawan 2 April 2016
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
70
Kedekatan dengan penguasa dilakukan dalam rangka mempermudah jalan
bisnis mereka, awalnya mereka menawarkan kerjasama yang meguntungkan
kedua belah pihak. Dalam prakteknya penguasa pribumi hanya mendapatkan
sebagian keuntungan dan yang lainnya dinikmati oleh etnis Tionghoa.
Etnis tionghoa mengalami traumaktik politik akibat adanya pembantaian
etnis Tionghoa yang dilakukan pada masa awal pemerintahan Soeharto.
Pembantaian etnis Tionghoa di sinyalir sebagai tindak lanjut pemerintah yang
mengambil dalih penumpasan
peristiwa 30 September 1965, etnis Tionghoa
dituduh terlibat dengan gerakan kiri (PKI) dan dianggap sebagai antek RRT yang
menyebarluaskan paham komunis.
Dalam mengikuti kegiatan politik, etnis Tionghoa hanya ikut-ikutan kepada
politik yang berkasa pada saat itu. Pada masa awal pemerintahan Soeharto etnis
Tionghoa terlihat pasif dan tidak aktif dalam kegiatan politik. Pemilu 1971 bisa
dijadikan pedoman yang jelas dimana etnis Tionghoa banyak menyalurkan
aspirasinya ke Golongan Karya (Golkar), namun ada juga yang berfiliasi ke pDI
(Partai Demokrasi Indonesia). PDI sebagai partai nasionalis yang lebih pas
menurut mereka dapat memperjuangkan aspirasi mereka sebagai minoritas di
Indonesia. Kebijakan Pemerintah Orde Baru yang menyerderhanakan partai –
partai politik menjadi tiga partai politik ( PPP, Golkar, dan PDI) membuat etnis
Tionghoa tidak banyak mempunyai pilihan dalam mengapresiasikan politik
mereka.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
71
Aspirasi Politik etnis Tionghoa yang hanya sekedar mengikuti arus
menjadikan mereka tidak bisa menduduki jabatan – jabatan penting, baik itu
ditingkat daerah maupun sebagai anggota legislatif.
Pasca lengsernya pemerintahan Orde Baru merupakan masa dimana terjadi
berbagai sentimen negatif terhadap dominasi etnis Tionghoa di Indonesia. Krisis
moneter yang menimpa Indonesia memunculkan rasa ketidak puasan dari
kalangan masyarakat luas terhadap kebijakan ekonomi pemerintah. Maraknya
praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) diperburuk lagi dengan kenyataan
bahwa beberapa penguasa Tionghoa yang kaya adalah penyokong utama
pemerintah Orde Baru, keadaan ini kemudian memicu meletusnya kerusuhan pada
tanggal 13-14 Mei 1998 di Jakarta. Kerusuhan ini kemudian mengundang
berbagai tindakan untuk melaksanakan aksi rasial anti Tionghoa di daerah antara
lain Purwakarta, Solo, Pekalongan, Jakarta, Situbondo, Rengasdengklok,
Banjarmasin, dan Makasar. Aksi tersebut bukan hanya ditunjukan pada kalangan
pengusaha kecil etnis Tionghoa tetapi juga kepada tempat ibadah seperti halnya
Gereja Kristen dan Katolik serta beberapa Wihara dan Kelenteng.79
Berbagai konflik antar etnis merebak di berbagai wilayah Indonesia, yang
pada awalnya disulut dengan isu anti-Tionghoa. Kebijakan asimilasi yang
diberlakukan oleh pemerintah Orde Baru sejak tahun 1967, rupanya belum
mampu menjawab persoalan konflik etnis keturunan Tionghoa dengan komunitas
pribumi secara tuntas. Kerusuhan Mei 1998 membuktikan bahwa tanpa memiliki
tendensi kekuatan politik, posisi orang Tionghoa di Indonesia yang selama ini
79
Beny G Setiono, Tionghoa….,op.cit.,hlm.1005
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
72
berkembang di masyarakat sebagai golongan yang sangat menonjol di bidang
ekonomi ternyata sangat rentang konflik. Keyakinan kalangan etnis Tionghoa
bahwa perlindungan yang paling aman adalah dengan mendapatkan perlindungan
kepada para penguasa ternyata keliru. Reaksi atas terjadinya tragedy Mei 1998
telah membuktikannya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB V
KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan dari bab II sampai bab IV, maka dapat diambil
kesimpulan sebagai berikut:
1. Terdapat banyak hal yang melatarbelakangai kebijakan Orde Baru
terhadap etnis Tionghoa, mulai dari menerapkan politik ras atas nama
etnis. Akibatnya muncul sentimen rasial dalam kehidupan bernegara.
Sikap rasialis juga berkembang karena adanya prasangka- prasangka yang
hidup dalam masyarakat, misalnya bahwa orang Tionghoa itu hidup secara
eksklusif dan memiliki sikap oportunis. Pada era pemerintah Orde Baru,
insiden anti Tionghoa terjadi di berbagai tempat meskipun tidak meluas
secara serempak di banyak tempat. Kebijakan rezim Orde Baru terhadap
warga Tionghoa lebih sistematis dibandingkan kebijakan negara
sebelumnya. Pemerintah berpendapat behwa keterlibatan warga Tionghoa
dalam peristiwa 30 September 1965 merupakan hasil dari tidak
berasimilasinya warga Tionghoa dalam masyarakat Indonesia. Oleh sebab
itu pemerintah meluncurkan program asimilasi yang sangat gencar.
Pemerintah mengeluarkan Instruksi Presiden No. 14 tahun 1967 mengenai
pelarangan agama, kepercayaan, dan adat istiadat Cina yang menghalangi
ekspresi kehidupan sehari – hari warga Tionghoa.
2. Pelaksanan kebijakan yang dilakukan Orde Baru terhadap etnis Tionghoa
yaitu melalui proses marginalisasi dilakukan dengan cermat. Partisipasi
73
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
74
politik dihambat dengan berbagai alasan, termasuk dalam bidang sosial
budaya. Pemerintah melakukan kebijakan asimilasi terhadap orang-orang
Tionghoa dengan memutus hubungan leluhurnya yaitu mengenai
pergantian nama WNI
yang memakai nama Tionghoa menjadi nama
Indonesia, diharuskanya memiliki SBKRI (Surat Bukti Kewarganegaraan
Republik Indonesia) yang terkadang masih dipertanyakan, larangan
memperdagangkan dan mengedarkan segala jenis barang barang cetak
dalam bahasa Cina, sekolah- sekolah Cina ditutup dan semua anak sekolah
harus pindah ke pengajaran yang disampaikan dalam bahasa Indonesia.
Etnis Tionghoa kembali berkonsentrasi dalam bidang ekonomi. Bentuk
ekonomi kerjasama atau ekonomi Ali- Baba seperti pada era presiden
Sukarno tetapi pada praktek bisnis pada masa Orde Baru dikenal sebagai
sistem cukongisme. Orientasi Orde Baru pada ekonomi membutuhkan
penciptaan basis investasi yang luas dan bersifat masal. Dalam hal ini yang
memenuhi syarat untuk menghimpun modal hanyalah golongan etnis
Tionghoa karena lemahnya struktur modal yang dimiliki oleh pengusaha
pribumi. Pemerintah Orde Baru benar- benar memberikan fasilitas untuk
kemajuan bisnis beberapa tokoh Tionghoa, misalnya Sudono Salim. Motif
di balik program pemerintah tersebut adalah untuk mengerahkan potensi
ekonomi Cina di Indonesia dan dengan demikian mendorong mereka
menarik lebih banyak modal asing. Segala fasilitas pemerintah yang
menguntungkan mempercepat kebangkitan kembali Cina dalam ekonomi
Indonesia dan mendesak perusahan-perusahan pribumi. Kebijakan Orde
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
75
Baru ini dalam bidang ekonomi dilatarbelakangi kepentingan politik dan
ekonomi
yang
tampak
sebagai
upaya
untuk
menyangga
dan
melanggengkan kekuasaannya.
3. Adanya program pembaharuan yang dicanangkan Orde Baru dimasa
lampau berdampak langsung kepada kelompok etnis Tionghoa. Salah satu
akibat cukup fatal yang terjadi pada program pembaruan yang tidak dapat
berjalan mulus karena sarat dengan muatan politis. Kebijakan asimilasi
ternyata tidak menghasilkan sebuah pembauran budaya tetapi justru
menjadikan kelompok etnis Tionghoa terdiskriminasi dan terasing dari
banyak aspek kehidupan nyata karena yang terjadi adalah pembatasan –
pembatasan. Asimilasi total lebih bertitik tolak dari apa yang boleh dan
apa yang tidak boleh. Pembatasan tersebut terbentang dari yang bersifat
substansial hingga yang bersifat ritual. Contohnya masuk dalam perguruan
tinggi negeri, pembatasan untuk menjadi pegawai pemerintahan termasuk
menjadi anggota militer dan polisi serta pembatasan – pembatasan lainnya.
Di satu sisi khususnya sector ekonomi orang- orang Tionghoa diberi
peluang, yang sebenarnya tidak lain juga demi kepentingan penguasa, pada
sisi lain secara politik dan kultur mereka tertekan. Dampak kebijakan itu
adalah adanya perbedaan sosial ekonomi yang menyolok antara pribumi
dan non pribumi, yang akhirnya bermuara pada munculnya kecemburuan
sosial dan isu SARA dan berpuncak pada tragedi Mei 1998
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
DAFTAR PUSTAKA
Abdurahman Wahid. 1990. Beri Jalan Tionghoa, Non Pribumi Di Mata Pribumi.
Jakarta: Yayasan Tunas Bangsa.
Barth, Frederick.1988. Kelompok Etnis dan Batasannya. Jakarta: UI Press
Barker, Chris. 2005. Cultural Studies. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Chang-Yau hoon. Identitas Tionghoa Pasca Soeharto: Budaya, Politik dan media.
Jakarta: Yayasan Nabil dan LP3ES.
Coppel, Charles A. 1993. Tionghoa Indonesia Dalam Krisis. Jakarta: Sinar
Harapan
Dhlan Nasution. 1989. Politik Internasional : Konsep dan Teori. Jakarta: Erlanga
Helius Sjamsudin. 2012. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Ombak
Justian Suhandinata. 2009. WNI Keturunan Cina dalam Stabilitas Ekonomi dan
Politik Indonesia. Jakarta: Gramedia.
Liem Yusiun. 2000. Prasangka Terhadap Etnis Cina: Sebuah Intisari evaluasi 32
Tahun di Bawah Rezim Soeharto. Jakarta: Djambatan
Mackie. 1976. Anti Chinese Outbrek in Indonesia 1959-1968, Melbourne:Thomas
Nelson.
Moh Mahfud MD. 2006. Politik Hukum di Indonesia. Jakarta: LP3ES
Miram Budiarjo. 1982. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia
Mohammad Zain. 1994. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan
Philipus dan Nurul Aini. 1988. Politik Internasional Kerangka Analitis. Jakarta:
Erlangga Press
Rahardja T. 2005. Menghargai Perbedaan Kultur: Mindfulness Dalam
komunikasi antara etnis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Saefulah Fatah. 2000. Penghianatan Demokrasi Ala Orde Baru: Masalah dan
Masa Demokrasi Terpimpin Konstitusional. Bandung: Rosdakarya.
76
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
77
Selo Soemarjan. 2011. Pengawasan Sosial Orde Baru dan Reformasi. Jakarta:
Obor.
Setiono Benny G. 2005. Tionghoa Dalam Pusaran Politik. Jakarta: Elkasa
Soyomukti Nurani. 2002. Soekarno dan Cina. Yogyakarta: Garasi
Suhartono W.Pranoto. 2010. Teori dan Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Graha
Ilmu.
Leo Suryadinata. 1988. Dilema Minoritas Tionghoa. Jakarta :Temprint
____________ . 1999. Etnis Tionghoa dan Pembangunan Bangsa. Jakarta:
LP3ES
_____________. 2002. Negara dan Etnis Tionghoa. Jakarta: LP3ES
Tan, Mely G. 1979. Golongan Etnis Tionghoa di Indonesia, Suatu Masalah
Pembinaan Kesatuan Bangsa. Jakarta: Gramedia
Titi
Sumbung.1969. Perjanjian RI-RRT
Kewarganegaraan. Jakarta: Sinar Harapan.
Mengenai
Masalah
Dwi
Wahyu Efendi. 2008. Tionghoa dalam cengkraman SBKRI. Jakarta: Tranmedia
Pustaka
Wibowo I dan Thung Ju Lan. 2010. Setelah Air Mata Kering: Masyarakat
Tionghoa Pasca Peristiwa Mei 1998. Jakarta: Kompas
Wibowo I. 1999. Retropeksi dan Rekontektualisasi Masalah Cina. Jakarta:
PT.Gramedia
Yahya A Muhaimin. 1980. Bisnis dan Politik: Kebijakan Ekonomi Indonesia
1950-1980. Jakarta: LP3ES.
Yudo H, Siswono. 1985. Warga Baru: Kasus Cina di Indonesia. Jakarta:
Lembaga Penelitian Yayasan padamu Negri.
Sumber Internet :
Kusteja,2011:http://web.budaya-Tionghoa.net/home/625-istilah-tiongoaTionghoa-chinachinese-dan-cina)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
78
Sumber Majalah dan Jurnal :
Majalah Tempo, Etnis Tionghoa di Zaman yang Berubah, Jakarta: edisi 16-22
Agustus 2004.
Darini Ririn, Kebijakan Negara dan Sentimen Anti Cina Perspektif Historis,
Jurnal,
Winara Frans H, “Upaya penghapusan Praktik Diskriminasi, Khasusnya Surat
Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia, Pasca Lahirnya UndangUndang Nomor 12 Tahun 2006 tentang kewarganegaraan Republik
Indonesia”, Jurnal
Herwiranto M,”Kelenteng:Benteng Terakhir dan titik awal perkembangan
kebudayaan Tionghoa di Indonesia”, Jurnal Lingua Cultur
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
SILABUS
Mata Pelajaran
: Sejarah Indonesia (Wajib)
Kelas
: XII
Kompetensi Inti
:
1. Menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang dianutnya
2. Menghayati dan mengamalkan perilaku jujur, disiplin, tanggung jawab, peduli (gotong royong, kerjasama, toleran, damai),
santun, responsif, dan pro-aktif dan menunjukkan sikap sebagai bagian dari solusi atas berbagai permasalahan dalam berinteraksi
secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam serta dalam menempatkan diri sebagai cerminan bangsa dalam pergaulan dunia.
3. Memahami, menerapkan, dan menganalisis pengetahuan faktual, konseptual, prosedural, dan metakognitif berdasarkan rasa ingin
tahunya tentang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya, dan humaniora dengan wawasan kemanusiaan, kebangsaan,
kenegaraan, dan peradaban terkait penyebab fenomena dan kejadian, serta menerapkan pengetahuan prosedural pada bidang
kajian yang spesifik sesuai dengan bakat dan minatnya untuk memecahkan masalah.
4. Mengolah, menalar, dan menyaji dalam ranah konkret dan ranah abstrak terkait dengan pengembangan dari yang dipelajarinya di
sekolah secara mandiri, bertindak secara efektif dan kreatif, serta mampu menggunakan metoda sesuai kaidah keilmuan.
79
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
80
Kompetensi Dasar
Materi Pokok
1.2 Mengamalkan
hikmah kemerdekaan
sebagai tanda syukur
kepada Tuhan YME,
dalam kegiatan
membangun
kehidupan berbangsa
dan bernegara.
2.3 Menunjukan sikap
peduli dan proaktif
yang dipelajari dari
peristiwa dan para
pelaku sejarah dalam
menyelesaikan
permasalahan bangsa
dan negara
Indonesia.
IBadrika, 2006.
Sejarah Untuk SMA
Kelas XI Program
Ilmu Pengetahuan
Alam, Jilid 2 Jakarta:
Erlangga.
Pembelajaran
Penilaian
Alokasi
Waktu
Sumber Belajar
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
81
3.5 Mengevaluasi
kehidupan politik
dan ekonomi bangsa
Indonesia pada
masa Orde Baru
Kehidupan
Bangsa Indonesia
di Masa Orde
Baru dan
Reformasi
4.5 Melakukan
penelitian sederhana
tentang kehidupan
politik dan ekonomi
bangsa Indonesia
pada masa Orde
Baru dan
menyajikannya
dalam bentuk
laporan tertulis.
 Latar Belakang
Kebijakan
Pemerintah
Orde Baru
terhadap Etnis
Tionghoa
 Pelaksanaan
Kebijakan
Pemerintah
Orde Baru
terhadap Etnis
Tionghoa
 Dampak
Kebijakan
Pemerintah
Orde Baru
Terhadap Etnis
Tionghoa
Mengamati:
Mengamati film
tentang kebijakan
Pemerintah Orde
Baru terhadap etnis
Tionghoa
Menanya:
Tanya jawab,
berdiskusi dan
memberi komentar
tentang Kebijakan
Pemerintah orde
Baru terhadap
Etnis Tionghoa
Mengumpulkan
Informasi:
Di dalam
kelompok, siswa
mendiskusikan
topik terkait dengan
latar belakang, serta
Observasi:
Mengamati
kegiatan
pesertadidik
dalam proses
mengumpulk
an data,
analisis data
dan
pembuatan
laporan
tentang
Kebijakan
Pemerintah
Orde Baru
terhadap
Etnis
Tionghoa
2 x 45 menit.
Leo Suryadinata.
1988. Dilema
Minoritas
Tionghoa.
Jakarta: Temprint
--------. 1999.
Etnis Tionghoa
dan
pembangunan
Bangsa. Jakarta:
LP3ES
Charles A.
Coppel. 1993.
Tionghoa Dalam
Krisis. Jakarta:
Sinar Harapan
Portofolio:
Menilai
laporan
makalah
peserta didik
tentang
Efendi Wahyu.
2008. Tionghoa
Dalam
Cengkraman
SBKRI. Jakarta:
Trans media
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
82
pelaksaan dan
dampak dari
Kebijakan
Pemerintah Orde
Baru terhadap Etnis
Tionghoa
Mengasosiasi:
Menganalisis
informasi yang
didapat dari
berbagai sumber
mengenai
keterkaitan untuk
mendapatkan
kesimpulan tentang
latar belakang,
serta pelaksaan dan
dampak dari
Kebijakan
Pemerintah Orde
Baru terhadap
Etnis Tionghoa
melalui bacaan
atau internet
Kebijakan
Pemerintah
Orde Baru
terhadap
Etnis
Tionghoa
Tes tertulis:
Menilai
kemampuan
peserta didik
dalam
penguasaan
materi
Kebijakan
Pemerintah
Orde Baru
terhadap
Etnis
Tionghoa
Pustaka
Wibowo I dan
Thung Ju Lan.
2010. Setelah Air
Mata Kering :
Masyarakat
Tionghoa PascaPeristiwa Mei
1998. Jakarta:
Kompas
Setiono Benny G.
2005. Tionghoa
Dalam Pusaran
Politik. Jakarta:
Elkasa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
83
Mengkomunikasikan
Membuat hasil
kajian dalam
bentuk tulisan
mengenai tentang
latar belakang,
serta pelaksanan
dan dampak dari
Kebijakan
Pemerintah Orde
Baru terhadap
Etnis Tionghoa,
melalui bacaan
atau internet
Yogyakarta, 2 Januari 2016
Mengetahui,
Kepala Sekolah
Drs. Andar Rujito.M.H.
Guru Mata Pelajaran
Daud Ade Nurcahyo
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN
Satuan Pendidikan
: SMA Bopkri 1 Yogyakarta
Kelas/ Semester
: XII / 2
Mata Pelajaran
: Sejarah Indonesia
Materi Pokok
:
Pertemuan
: 1
Alokasi Waktu
: 2 x 45 menit
A. KOMPETENSI INTI
1. Menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang dianutnya
2. Mengembangkan perilaku (jujur, disiplin, tanggung jawab, peduli, santun,
ramah lingkungan, gotong royong, kerjasama, cinta damai, responsif dan
pro-aktif) dan menunjukan sikap sebagai bagian dari solusi atas berbagai
permasalahan bangsa dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan
sosial dan alam serta dalam menempatkan diri sebagai cerminan bangsa
dalam pergaulan dunia.
3. Memahami,
menerapkan
dan
menganalisis
pengetahuan
faktual,
konseptual, prosedural dalam ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya,
dan humaniora dengan wawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan,
dan peradaban terkait fenomena dan kejadian, serta menerapkan
pengetahuan prosedural pada bidang kajian yang spesifik sesuai dengan
bakat dan minatnya untuk memecahkan masalah.
4. Mengolah, menalar, dan menyaji dalam ranah konkret dan ranah abstrak
terkait dengan pengembangan dari yang dipelajarinya di sekolah secara
mandiri, dan mampu menggunakan metoda sesuai kaidah keilmuan.
84
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
85
B. KOMPETENSI DASAR DAN INDIKATOR PENCAPAIAN
KOMPETENSI
No.
1.
2.
2
Kompetensi Dasar
1.2
Mengamalkan hikmah
kemerdekaan sebagai tanda
syukur kepada Tuhan YME,
dalam kegiatan membangun
kehidupan berbangsa dan
bernegara.
2.3 Menunjukan sikap peduli
dan proaktif yang dipelajari
dari peristiwa dan para
pelaku sejarah dalam
menyelesaikan
permasalahan bangsa dan
negara Indonesia.
3.5 Mengevaluasi kehidupan
politik dan ekonomi bangsa
Indonesia pada masa Orde
Baru
Indikator Pencapaian Kompetensi
1.1.1
1.1.2
2.1.1. Mengembangkan sikap
peduli.
2.1.2. Mengembangkan sikap
kerjasama
3.1.1
3.1.2
3.1.3
3
4.6 Melakukan penelitian
sederhana tentang
kehidupan politik dan
ekonomi bangsa Indonesia
pada masa Orde Baru dan
menyajikannya dalam
bentuk laporan tertulis.
Bersyukur kepada Tuhan
Yang Maha Esa
Berdoa sebelum dan sesudah
kegiatan pembelajaran
4.1.1
Mendeskripsikan latar
belakang Kebijakan Orde
Baru terhadap Etnis
Tionghoa
Mendeskripsikan
Pelaksanaan Kebijakan Orde
Baru Terhadap Etnis
Tionghoa
Mendeskripsikan Dampak
Kebijakan Orde Baru
Terhadap Etnis Tionghoa
Melaporkan hasil tulisan
tentang kasus diskriminasi
kebijakan Orde Baru
terhadap etnis Tionghoa
C. TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah mengikuti serangkaian kegiatan pembelajaran peserta didik dapat:
1. Menunjukan sikap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
kemerdekaan Indonesia dari tangan penjajah dengan belajar tekun.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
86
2. Menunjukan sikap prilaku menghargai jasa-jasa pahlawan dalam melawan
penjajah.
3. Bertanggungjawab dalam mengerjakan tugas
4. Menunjukan sikap dan prilaku jujur
5. Menjelaskankan latar belakang Kebijakan Orde Baru Terhadap Etnis
Tionghoa
6. Menjelaskan pelaksanaan Kebijakan Orde Baru Terhadap Etnis Tionghoa
7. Menjelaskan dampak Kebijakan Orde Baru Terhadap Etnis Tionghoa
8. Mempresentasikan tentang kasus diskriminasi Orde Baru terhadap etnis
Tionghoa
D. MATERI AJAR
1. Latar belakang Kebijakan Orde Baru Terhadap Etnis Tionghoa
2. Pelaksanaan Kebijakan Orde Baru Terhadap Etnis Tionghoa
3. Dampak Kebijakan Orde Baru Terhadap Etnis Tionghoa
E. METODE PEMBELAJARAN
1. Pendekatan pembelajaran
: Saintifik
2. Metode pembelajaran
: Ceramah, tanya jawab, diskusi, presentasi
3. Model Pembelajaran
: Problem Based Learning
F. SUMBER BELAJAR
Leo Suryadinata. 1988. Dilema Minoritas Tionghoa. Jakarta: Temprint
Hapsari, Ratna, M. Adil. 2013. Sejarah Indonesia untuk SMA Kelas XII.
Jakarta: Erlangga
I Wayan Badrika. 2006 . Sejarah Kelas XII. Jakarta: Erlangga
G. MEDIA PEMBELAJARAN
Alat : Laptop, speaker, LCD.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
87
Bahan : Power point, film tentang kebijakan Orde Baru terhadap etnis
Tionghoa
H. KEGIATAN PEMBELAJARAN
Kegiatan
Pendahuluan
Kegiatan Inti
Deskripsi




Guru mengucapkan salam kepada siswa
Guru mengajak siswa untuk berdoa bersama
Guru mengecek kehadiran siswa
Apersepsi:
Guru menyampaikan pengantar tentang
peristiwa sejarah etnis Tionghoa masa
pemerintah Orde Baru yang diskriminatif
 Menyampaikan tujuan pembelajaran
Mengamati
 Peserta didik mengamati Film tentang
kebijakan Orde Baru terhadap Etnis Tionghoa
Menanya
 Guru memberikan kesempatan kepada
peserta
didik
untuk
bertanya
dan
menyampaikan pendapat tentang Materi
Kebijakan Orde Baru terhadap Etnis
Tionghoa
Mengumpulkan informasi
 Peserta
didik
mendiskusikan
topik
permasalahan tentang Kebijakan Orde Baru
terhadap Etnis Tionghoa
Mengasosiasi
 Peserta
didik
melakukan
kegiatan
mengemukakan pendapat untuk menganalisis
tentang kebijakan Orde Baru terhadap Etnis
Tionghoa
Peserta didik merumuskan nilai-nilai yang
diperoleh dari Kebijakan Orde Baru yang
berdampak khususnya pada Etnis Tionghoa
Mengkomunikasikan
 Peserta didik mempresentasikan analisis hasil
diskusi kelompok di depan kelas yang
Alokasi
waktu
5‟
Menit
70‟
Menit
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
88

Penutup




diwakili oleh salah satu anggota kelompok
masing-masing, anggota kelompok lain
memberikan tanggapan.
Peserta didik menyajikan hasil simpulan
materi yang telah dipelajari di depan kelas.
Peserta didik diberikan ulasan singkat tentang
kegiatan pembelajaran dan hasil belajarnya
Peserta didik diberikan pertanyaan lisan secara
acak untuk mendapatkan umpan balik atas
pembelajaran yang baru saja dilakukan
Konfirmasi
Peserta didik diberikan tugas untuk membuat
laporan tentang kasus dari Kebijakan Orde Baru
terhadap Etnis Tionghoa
Informasi materi pembelajaran yang akan
datang
15‟
Menit
I. PENILAIAN
A. Sikap Spiritual
a. Teknik Penilaian : Observasi
b. Bentuk Instrumen : Lembar observasi
c. Kisi-kisi:
No.
Sikap/nilai
1.
Bersyukur kepada Tuhan
2.
Butir Instrumen
1
d. Instrumen:
Instrumen 1.
No.
Nama
Peserta didik
Indikator:
Berdoa sebelum dan
Bersyukur kepada
sesudah kegiatan
Tuhan
pembelajaran
(1-4)
(1-4)
NilaiAkhir
1.
2.
3.
4.
Kisi-kisi Indikator sikap spiritual: Berdoa sebelum dan sesudah kegiatan
pembelajaran
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
89
1.
2.
3.
4.
Berdoa dengan tidak sungguh-sungguh
Kadang-kadang berdoa dengan sungguh-sungguh
Sering berdoa dengan sungguh-sungguh
Selalu berdoa dengan sungguh-sungguh
Petunjuk Penyekoran :
Peserta didik memperoleh nilai :
Baik Sekali : apabila memperoleh skor
Baik
: apabila memperoleh skor
Cukup
: apabila memperoleh skor
Kurang
: apabila memperoleh skor
8
6
4
2
B. Sikap Sosial
a. Teknik Penilaian: Non tes (Pengamatan sikap selama proses pembelajaran)
b. Bentuk Instrumen: Lembar penilaian
c. Kisi-kisi:
No.
Sikap/nilai
Butir Instrumen
1.
Menghargai pendapat teman
1
2.
Tidak memilih – milih teman
2
3.
d.
Instrumen
No.
Peserta
didik
Indikator
Menghargai
Tidak memilih
pendapat
– milih teman
teman
(1-4)
(1-4)
Jumlah Skor
1.
2.
3.
4.
Kisi-kisi Indikator sikap sosial Menghargai pendapat teman:
Deskriptor
Tidak menghargai pendapat teman
Kurang menghargai pendapat teman
Cukup menghargai pendapat teman
Sangat menghargai pendapat teman
Skor
1
2
3
4
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
90
Kisi-kisi Indikator sikap sosial Tidak memilih – milih teman:
Deskriptor
Tidak memilih – milih teman
Kurang tidak memilih teman
Cukup tidak memilih teman
Sangat tidak memilih teman
Petunjuk Penyekoran :
Peserta didik memperoleh nilai :
Baik Sekali : apabila memperoleh skor
Baik
: apabila memperoleh skor
Cukup
: apabila memperoleh skor
Kurang
: apabila memperoleh skor
Skor
1
2
3
4
12
9
6
3
C. Penilaian Sikap Diskusi
a. Teknik
: Non tes(pengamatan sikap selamadiskusi)
b.Bentuk instrument
: Lembar penilaian
c. Kisi- kisi
:Sikap selama diskusi
No.
1.
2.
3.
4.
Sikap/nilai
Keaktifan
Keseriusan
Mengemukakan pendapat
Bertanya
Butir Instrumen
1
2
3
4
d. Instrumen:
No.
1.
2.
3.
4.
Nama
Keaktifan
Indikator
Keseriusan Bertanya
MengemukakanPendapat
NilaiAkhir
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
91
Kisi-kisi indikator penilaian sikap diskusi:
Keaktifan, mengemukakanpendapat, bertanya
a. Skor 1 diperoleh siswa bila tidak terlibat dalam kelompok
b. Skor 2 diperoleh siswa bila terlibat dalam kelompok namun tidak
memberikan masukan
c. Skor 3 diperoleh siswa bila terlibat dan memberikan masukan
d. Skor 4 dperoleh siswa bila berperan aktif dalam kelompok
Keseriusan
a. skor 1 diperoleh siswa bila siswa tidak serius dalam mengerjakan tugas
b. skor 2 diperoleh siswa bila siswa cukup serius dalam mengerjakan tugas
c. skor 3 diperoleh siswa bila siswa serius dalam mengerjakan tugas
d. skor 4 diperoleh siswa bila siwa sangat serius dalam mengerjakan tugas
Petunjuk Penyekoran:
Peserta didik memperoleh nilai:
A = Baik Sekali
: apabila memperoleh skor 12
B = Baik
: apabila memperoleh skor 9
C = Cukup
: apabila memperoleh skor 6
D = Kurang
: apabila memperoleh skor 3
D. Pengetahuan (Kognitif)
a.
Teknik Penilaian: Tes
b.
Bentuk Instrumen: Lembar tugas
c.
Kisi-kisi: Tugas terstruktur
d.
Instrument: Soal tes

Soal tes
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
92
1. Bagaimana latar belakang Kebijakan Orde Baru terhadap Etnis Tionghoa?
2. Sebutkan dan Jelaskan Pelaksanan dari Kebijakan Pemerintah Orde Baru
terhadap Etnis Tionghoa?
3. Jelaskan Dampak dari Kebijakan Orde Baru terhadap Etnis Tionghoa?
Kunci jawaban
1.
Bagaimana latar belakang Kebijakan Orde Baru terhadap Etnis Tionghoa?
Pemerintah Indonesia yang dibentuk setelah penyerahan kedaulatan pada
tahun 1950 pada dasarnya mewarisi kebijakan yang ditinggalkan oleh pemerintah
kolonial. Pemerintah membiarkan warga Tionghoa terus aktif di bidang ekonomi
sambil membatasi keberadaan mereka sebagai pejabat di bidang birokrat.
Pada era Orde Lama masa demokrasi terpimpin,
pemerintah juga
mengeluarkan peraturan yang dianggap diskriminatif di bidang ekonomi yaitu PP
No.10/1959 yang isinya melarang orang-orang Tionghoa berdagang di wilayah
pedesaan yang melahirkan sejumlah insiden. Peraturan ini membatasi secara tegas
peran dan hak ekonomi etnis Tionghoa. Mereka hanya diperbolehkan berdagang
sampai tingkat kabupaten dan tidak boleh berdagang di tingkat kecamatan apalagi
di desa-desa. Implikasinya, orang –orang di berbagai daerah dilarang dan dipaksa
untuk
meninggalkan
permukimannya
di
pedesaaan.
Sekalipun
larangan
ditunjukkan kepada WNA Cina,
a. Etnis Tionghoa Pasca peristiwa 65
Selain konflik politik yang meliputi peralihan kekuasaan, setelah peristiwa
G30S/PKI, konflik sosial juga bermunculan di tengah masyarakat. Pembunuhan
masal yang timbul setelah kudeta berdarah, lebih ditujukan kepada masyarakat
pribumi anggota PKI dan simpatisannya, meskipun dalam peristiwa-peristiwa
tersebut etnis Tionghoa juga turut menjadi korban. Pembunuhan orang Tionghoa
lebih bersifat sporadis dan kurang sistematis, karena hanya sebagai bagian dari
pembunuhan besar-besaran pada umumnya, yang menimpa orang-orang Indonesia
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
93
yang dianggap mendukung PKI. Pada umumnya kekerasan yang menimpa etnis
Tionghoa setelah kudeta lebih banyak berupa pengrusakan harta milik, seperti
perampokan, pembakaran toko, sekolah, rumah, dan mobil.
b.
Pembatalan Dwi Kewarganegaraan
Saat Indonesia merdeka, pemerintah memberlakukan Undang-undang
Kewarganegaraan, 1946, yang menyatakan bahwa etnis Tionghoa yang lahir di
Indonesia merupakan warga negara Indonesia. Undang-undang Kewarganegaraan
tahun 1946, menerapkan Jus Soli (berdasarkan daerah kelahiran) dan sistem pasif.
Dalam undang-undang tersebut disebutkan bahwa warga negara Indonesia terdiri
dari orang asli yang lahir dan telah menetap di Indonesia selama 5 tahun berturutturut, serta mereka yang telah berumur 2 tahun. Kemudian orang-orang asing,
dalam hal ini adalah etnis Tionghoa, dapat menjadi warga negara Indonesia, jika
mereka tidak menolak kewarganegaran Indonesia.80 Akan tetapi ,warga Indonesia
keturunan Tionghoa juga terikat dengan Undang-undang Kebangsaan Ching tahun
1909, yang menyebabkan mereka masih memiliki dua kewarganegaraan, yaitu
kewarganegaraan Cina dan Indonesia.
Perjanjian Dwi Kewarganegraan lahir karena kekhawatiran Indonesia
terhadap paham komunis di Cina yang dapat disalurkan melalui warga negara
Indonesia keturunan Tionghoa, setelah orang –orang komunis merebut kekuasaan
di Cina daratan. Cina sendiri menyambut baik pendekatan yang dilakukan oleh
pemerintah Indonesia, karena setelah orang-orang komunis memegang kekuasaan
di Cina, mereka menginginkan untuk memegang peran dalam percaturan politik
80
Suryadinata, Leo, Dilema Minoritas Tionghoa, Jakarta: PT Temprint, hlm.116
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
94
regional dengan cara membangun hubungan baik dengan negara-negara tetangga
yang mencurigainya. Selain itu, perjanjian dwi kewarganegaraan juga lahir karena
presepsi orang Indonesia tentang Tionghoa lokal, yang dianggap tidak dapat
berasimilasi.
2.
Sebutkan dan Jelaskan Pelaksanan dari Kebijakan Pemerintah Orde Baru
terhadap Etnis Tionghoa?
Sewaktu Orde Baru berjaya, selama itu pula Etnis Tionghoa banyak
mengalami diskriminasi. Hal itu bisa dibuktikan dengan adanya beberapa
peraturan yang mengatur eksistensi Etnis Tionghoa di Indonesia,antara lain :
a. Intrusksi Presiden No. 14/1976 yang berisi larangan kegiatan
keagamaan,kepercayaan, dan adat Tionghoa di Indonesia.
 Pada tanggal 6 Desember 1967 Presiden Soeharto mengeluarkan Instruksi
Presiden Nomer 14 tahun 1967 tentang agama, Kepercayaan dan Adat
Istiadat Tionghoa. Dalam instruksi tersebut ditetapkan bahwa semua
upacara agama, kepercayaan, dan adat istiadat Tionghoa hanya boleh
dirayakan di lingkungan keluarga dan dalam ruangan tertutup. Instruksi
Presiden ini bertujuan melikuidasi pengaruh seluruh kebudayaan
Tionghoa. Termasuk kepercayaan, tradisi, adat istiadat, dan agamanya,
dan mendorong terjadinya asimilasi secara total.
b. Surat Edaran No. 06/Preskab/6/1967 yang isinya menyatakan
masyarakat Tionghoa harus mengubah namanya menjadi nama yang
berbau Indonesia
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
95
 Salah satu bentuk politik diskriminasi nyata yang dilakukan secara
institusional di Indonesia adalah
penerapan ketentuan SBKRI yang
terutamanya ditunjukkan kepada kelompok etnis Tionghoa warga negara
Indonesia beserta keturunan- keturunannya. SBKRI adalah tanda
pengenalan yang menyatakan bahwa pemiliknya adalah warga negara
Republik Indonesia. Walaupun peruntukan ini bersifat legalitas, SBKRI
terutamanya hanya diberikan kepada keturunan Tionghoa. Pada dasarnya,
pengamalan SBKRI sama artinya dengan usaha untuk menempatkan para
warga negara keturunan Tionghoa pada status yang “masih dipertanyakan
“di sisi undang- undang kewarganegaran Indonesia. Akibatnya seorang
WNI Tionghoa yang meskipun sudah beberapa generasi lahir “hingga
menutup mata” ditanah Indonesia, setiap waktu harus membuktikan
dirinya sebagai warga negara Indonesia. Dalam berbagai proses
admistratif publik, dari pembuatan kartu tanda penduduk (KTP),
memasuki dunia pendidikan , menyatakan hak politik, membuat surat
perjalanan ke luar negeri, sampai menikah dan meninggal dunia pun harus
membuktikan dirinya warga negara Indonesia melalui SBKRI.
c. Peraturan Menteri Perumahan No. 455.2-360/1988, yang melarang
penggunaan
lahan
untuk
mendirikan
,memperluas,atau
memperbarui Klenteng.
 Menilik berbagai fungsinya, tidaklah disangkal bila kelenteng menjadi
salah satu pusat kegiatan masyarakat Tionghoa di Indonesia. Akan tetapi,
pemerintahan Orde Baru membawa perubahan besar terhadap kelenteng kelenteng di Indonesia melalui peraturan Menteri Perumahan No.455.2-
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
96
360/1988, yang isinya melarang penggunaan lahan untuk mendirikan,
memperluas,atau memperbahurui kelenteng.81 Istilah klenteng yang
menunjukkan tempat ibadah orang Tionghoa tidak lagi digunakan dan
diganti dengan Wihara (tempat ibadah umat Budha). Selama Orde Baru
Berjaya mendirikan sebuah perhimpunan tempat ibadah Tri Dharma yang
mencangkup tiga agama sekaligus yaitu agama Khonghucu, Tao, dan
Buddha. Perhimpunan tempat Ibadah Tri Dharma kemudia berkembang
menjadi perhimpunan tempat Ibadah Tri Dharma se-Indonesia. Rezim
Soeharto berusaha mengubah kelenteng menjadi Wihara yang lebih
mengacu sebagai tempat ibadat agama Budha sedangkan ajaran Taoisme
dan Konghuchu dianggap sebagai sampingan saja dan harus berlindung
dibalik agama Budha.
3.
Jelaskan Dampak dari Kebijakan Orde Baru terhadap Etnis Tionghoa?
 Bidang Sosial dan Budaya
Dengan Keputusan Presiden No. 56/1996 dan instruksi Presiden
No.4/1999 tentang pelaksanaan keputusan Presiden No.56/1996 yang
mengintruksikan tidak berlakuknya SBKRI bagi etnis Tionghoa yang
sudah menjadi WNI, sehingga SBKRI dicabut. Pencabutan secara
nasional ini terispirasi dari Surakarta. Ketika Walikota Surakarta, Slamet
Suryanto di tengah kesimpangsiuran antara ketentuan dan praktik
birokrasi, pihaknya melakukan penghapusan SBKRI bagi warga
keturunan Tionghoa di Surakarta. Melalui Instruksi Walikota No
471/006/02/2004 yang dikeluarkan tanggal 19 Juli 2004 tentang
penggunaan bukti kewarganegaraan RI merupakan tindak lanjut
81
Majalah Tempo, Etnis Tionghoa di Zaman yang Berubah, Jakarta: Edisi 16-22 Agustus 2004,
hlm.37
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
97
pencabutan SBKRI secara nasional sesuai Keppres Nomer 56 tahun 1996
dan Inpres No 4 tahun 1999. Selanjutnya masyarakat Tionghoa tidak lagi
disibukkan dengan bukti kewarganegaraan tambahan selain Kartu Tanda
Penduduk (KTP).
 Bidang Ekonomi
Maraknya sistem cukong di masa Orde Baru kemudian memicu praktek
korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Pada akhirnya, kelompok KKN
inilah yang sebetulnya menguasai ekonomi Indonesia. Hal ini muncul
dengan hadirnya beberapa konglomerat yang memainkan peran sangat
dominan dalam praktek tersebut seperti Liem Sioe Liong atau Sudono
Salim, William Soeryadjaya, Eka Tjipta, Bob Hasan, dan sebagainya.
Sementara itu orang-orang yang berasal dari elit pribumi diantaranya
adalah Ibnu Sutowo, Ali Murtopo, Ali Sadikin, dan beberapa petinggi
militer yang memegang jabatan penting pada masa Orde Baru.
Singkatnya pada masa Orde Baru, setiap pengusaha yang dekat dengan
kekuasaan bisnisnya akan menjadi berkembang dan besar. Hal ini terjadi
pada Liem Sioe Liong atau Sudono Salim. Kemampuanya menjalin
kedekatan dengan Soeharto menjadikannya salah satu konglomerat
terbesar di Indonesia. Ini tidak dapat dipungkiri dari citranya sebagai
pengusaha sukses yang mempunyai beberapa perusahaan besar seperti PT.
Indocement, bank Central Asia (BCA), Hotel Mandiri, PT.Tarumate, dan
lain-lain, yang merupakan deretan kelompok usaha-usaha besar strategis
bagi perkembangan ekonomi Indonesia.
 Bidang Politik
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
98
 Politik penerimaan disambut sangat antusias oleh masyarakat Tionghoa.
Mereka tidak hanya mewujudkanya dalam bentuk pendirian partai-partai
politik saja, melainkan juga organisasi kemasyarakatan. Sebagian tokoh
Tionghoa yang sejak awal tidak menyetujui didirikannya partai etnik,
memilih bergabung dengan partai politik yang dibentuk oleh orang
Indonesia non Tionghoa atau mendirikan organisasi masa yang lebih
berfungsi sebagai pressure grup. Fenomena ini sebenarnya sekali lagi
dapat dimaknai dan dapat menunjukkan bahwa mereka adalah sebuah
masyarakat yang tidak homogeny, tetapi multi etnik dan multi budaya
yang memiliki orientasi politik sebagai cermin orientasi budaya yang
berbeda-beda dan beragam.
Selain mendirikan partai dan bergabung dengan partai politik yang sudah
ada, beberapa kelompok warga tionghoa bergabung untuk berhimpun
dalam organisasi yang bergerak di berbagai bidang dan tujuan, mualai
profesi hingga sosial budaya bahkan etnis dan agama. Seluruh organisasi
tersebut, walaupun bermcam-macam tujuan dan kegiatannya namun
memiliki kesamaan antara satu dengan yang lainnya yaitu beranggotakan
Tionghoa. Beberapa organisasi yang menonjol adalah Paguyuban Sosial
Marga Tionghoa Indonesia dan Perhimpunan Keturunan Tionghoa
Indonesia.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
99

Pedoman penskoran
No.
Rambu-rambu skor
Skor
1.
Jawaban lengkap dengan alasan yang tepat
20
2.
Jawaban berdasarkan referensi yang relevan
dengan alasan seadanya
15
3.
Jawaban kurang lengkap
6
4.
Jawaban tidak sesuai dengan soal yang ditanyakan
4
Catatan : setiap soal skor maksimal 20
Keterangan:
-
Siswa yang memperoleh nilai <75 dinyatakan tidak tuntas dan
mengikuti remidi
-
siswa yang memperoleh nilai >75 dinyatakan tuntas dan mengikuti
pengayaan
E.
Psikomotorik
a.
Teknik Penilaian: Tes
b.
Bentuk Instrumen: Lembar tugas
c.
Kisi-kisi :
Tugas
d.
: Peserta didik diberi tugas untuk membuat artikel ilmiah.
Instrumen:
Soal
: Buatlah artikel ilmiah tentang kasus diskriminasi Orde Baru
terhadap etnis Tionghoa
No.
1.
2.
3.
Nama
Peserta
Didik
Aspek yang dinilai
Relevansi
(1-4)
Kelengkapan Pembahasan
(1-4)
(1-4)
Ketepatan
Waktu
(1-4)
Nilai
Akhir
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
100
Petunjuk Penyekoran:
Peserta didik memperoleh nilai:
Baik Sekali
: apabila memperoleh skor 13–16
Baik
: apabila memperoleh skor 9 – 12
Cukup
: apabila memperoleh skor 5 – 8
Kurang
: apabila memperoleh skor 1 – 4
Yogyakarta, 2 Maret 2016
Mengetahui,
Kepala Sekolah
Drs. Andar Rujito.M.H.
Guru Mata Pelajaran
Daud Ade Nurcahyo
Download