PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI KEBIJAKAN ORDE BARU TERHADAP ETNIS TIONGHOA SKRIPSI DiajukanuntukMemenuhi Salah SatuSyarat MemperolehGelarSarjanaPendidikan Program StudiPendidikanSejarah Oleh: DAUD ADE NURCAHYO NIM : 111314013 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2016 i PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI HALAMAN PERSEMBAHAN Sebagaiungkapankasih, skripsiinisayapersembahkankepada: 1. Kedua orang tuasaya, AyahandaZachiusPaidiNotoHadidanIbunda Anastasia DasilahS.Pd. 2. Ketigasaudarasaya, Yohanes Ari Wibowo, Veronica RiaMerdekaS.Pddan Lea PuriDaniatiS.Pd. 3. Sahabat- sahabatsaya, iv PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI MOTTO Kedisiplinan, hargadiri, dankepedulianmerupakanawaldarikeberhasilan (George Washington) Sayamemangberpendidikan di Barat, tapisayatetaplah orang Jawa (Sri Sultan HB IX) Sabarituilmutingkattinggi, belajarnyatiaphari, latihanyatiapsaat, ujiannyamendadak, sekolahnyaseumurhidup, hadiahnyakebahagiaan (Daud Ade Nurcahyo) v PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI ABSTRAK KEBIJAKANORDE BARU TERHADAP ETNIS TIONGHOA Oleh: Daud Ade Nurcahyo Universitas Sanata Dharma 2016 Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis tiga permasalahan pokok yaitu (1) Latar belakang munculnya kebijakan Orde Baru terhadap etnis Tionghoa; (2) Pelaksanaan kebijakan Orde Baru terhadap etnis Tionghoa; (3) Dampak dari kebijakan Orde Baru terhadap etnis Tionghoa. Metode penelitian yang digunakan yaitu historis faktual dengan tahapan: pemilihan topik, heuristik (pengumpulan sumber), verifikasi (kritik sumber), interpretasi dan historiografi (penulisan sejarah). Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan sosiologi dan pendekatan politik dengan model penulisan yang bersifat deskriptif analisis. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa (1) latar belakang munculnya kebijakan Orde Baru terhadap etnis Tionghoa dapat dirunut dari masa kolonial hingga meletusnya peristiwa 1965, (2) Pelaksanaan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah Orde Baru yaitu mencangkup beberapa bidang, di antaranya dalam bidang sosial budaya, bidang ekonomi dan bidang politik yang sangat menyandera etnis Tionghoa, (3) dampak kebijakan yang dikeluarkanOrde Baru dalam bidang sosial budaya adalah masyarakat Tionghoa umumnya kehilangan identitasnya, dampak dalam bidang ekonomi menjadikan etnis Tionghoa sebagai komunitas yang ekslusif karena mempunyai kemampuan ekonomi yang bagus dan dampak dalam bidang politik masyarakat Tionghoa menjadi apolitis sehingga ketika reformasi muncul menjadilkan babak baru peran perpolitikan etnis Tionghoa. viii PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI ABSTRACT NEW ORDER POLICY AGAINST CHINESE ETHNIC By: Daud Ade Nurcahyo Sanata Dharma University 2016 This study aims to describe and analyze three key issues, namely (1) The background of theemergence of the New Order policies against the Chinese ethnic a group in Indonesia; (2) The implementation of the New Order policies against theChinese; (3) The impact of the New Order policies against the Chinese. The research method used was factual historic usius steps as follows: selection of topics, heuristics (the collection of sources), verification (the source criticism), interpretation and historiography (the history writing). The approaches used wasa sociological approach and political approach. Model was used to report the study descriptive analysis writing. The results of this study indicated that (1) the background of New Order policies of the Chinese ethnic could be traced from the colonial period up to the outbreak of the 1965events, (2) the implementation of the policies issued by the New Order government covered several fields, including the social and cultural fields, economic field and political field which highly disaduantagedChinese, (3) the impact of the policies issued by the New Order in the socio-cultural field was making the Chinese societylose their identity; the impact in the economy made Chinese ethnic economically exclusive. As a resuet the Chinese community becomeapolitical. Therefore with the reformation, the Chinese ethnicgroup appean to gain new political role. ix PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan anugerah, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Kebijakan Pemerintah Orde Baru Terhadap Etnis Tionghoa”. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat meraih gelar Sarjana Pendidikan di Universitas Sanata Dharma, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Jurusan Ilmu Pendidikan Sosial, Program Studi Pendidikan Sejarah. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bimbingan, dukungan dan peran serta pihak-pihak yang telah memberi bantuan langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan 2. Ketua Program Studi Pendidikan Sejarah Universitas Sanata Dharma yang memberikan kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. 3. Dr. Anton Haryono, M.Hum selaku dosen pembimbing I yang telah sabar membimbing, membantu, dan memberikan banyak pengarahan, saran serta masukan selama penyusunan skripsi. 4. HendraKurniawanM.Pd. selaku dosen pendampingyang telah sabar mendampingi, membantu, dan memberikan banyak pengarahan, saran serta masukan selama penyusunan skripsi. 5. Drs.B. Musidi.M.Pd. selaku dosen Pembimbing Akademik yang telah membimbing, membantu, dan memberikan banyak pengarahan kepada penulis selama proses studi. x PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 6. Seluruh dosen dan sekretariat program studi pendidikan sejarah yang telah memberikan dukungan dan bantuan selama penulis menyelesaikan studi di Universitas Sanata Dharma. 7. Kedua Orang tua penulisan, AyahandaZachiusPaidiNotoHadidan Ibunda Anastasia DhasilahS.Pd yang telah banyak memberikan dorongan spiritual dan material sehingga penulis dapat meyelesaikan studi di Universitas Sanata Dharma. 8. Ketiga kakak penulis Yohanes Ari Wibowo, Veronica Ria Merdeka, S.Pd. dan Lea Puri Daniati, S.Pd. yang telah memberikan dukungan selama menyelesaikan skripsi. 9. Teman – teman seperjuangan di Pendidikan Sejarah angkatan 2011 yang telah memberikan dukungan, bantuan, serta inspirasi dalam menyelesaikan skripsi 10. Kekasih saya, Chatarina Adventi Rose Susanta yang telah memberikan dukungan dan semangat dalam penyusunan dan menyelesaikan skripsi ini. 11. Temanteman brotherhood, Esti, Bayu, Ardi,IndraPoku, dan Inayang telah memberikan dukungan dan semangat dalam menyelesaikan skripsi ini. 12. Teman- teman geng TIPIS, Tea, Dimas, Wawan, Galang, dan Bernad yang telah memberikan dukungan dan semangat dalam menyelesaikan skripsi ini. xi PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ......................................................................................... i HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................. ii HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................... iii HALAMAN PERSEMBAHAN ....................................................................... iv HALAMAN MOTTO ....................................................................................... v LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ......................................... vi PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ........................................... vii ABSTRAK ......................................................................................................... viii ABSTRACT ....................................................................................................... ix KATA PENGANTAR ....................................................................................... x DAFTAR ISI ...................................................................................................... xii BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 1 A. Latar Belakang .................................................................................. 1 B. Rumusan Masalah ............................................................................. 5 C. Tujuan Penulisan ............................................................................... 5 D. Manfaat Penulisan ............................................................................. 6 E. Tinjauan Kepustakaan ....................................................................... 6 F. Landasan Teori .................................................................................. 9 G. Metodologi Penelitian Dan Pendekatan ............................................ 18 H. Sistematika Penulisan ....................................................................... 22 BAB II LATAR BELAKANG MUNCULNYA KEBIJAKANORDE BARU TERHADAP ETNIS TIONGHOA .................................................... 23 A. Perlakuan Etnis Tionghoa Sebelum Orde Baru ................................ 23 B. Etnis Tionghoa Pasca Peristiwa 1965 ............................................... 25 C. Sikap Orde Baru Terhadap Etnis Tionghoa ...................................... 32 xiii PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI D. Pembatalan Perjanjian Dwi Kewarganegaraan ................................. 34 BAB III PELAKSANAAN KEBIJAKANORDE BARU TERHADAP ETNIS TIONGHOA ...................................................................................... 39 A. Dikeluarkannya Instruksi Presiden Tahun 1967-1998 ...................... 39 B. Bidang Sosial dan Budaya ................................................................ 42 1. Instruksi Presiden No. 14/1967 .................................................. 42 2. Surat Edaran Menteri Kehakiman No.JHB 3/31/3 Tahun 1978 . 46 3. Peraturan Menteri Perumahan No.55.2-360/1988 ...................... 49 C. Bidang Ekonomi ............................................................................... 50 D. Bidang Politik ................................................................................... 53 BAB IV DAMPAK DARI KEBIJAKAN ORDE BARU TERHADAPETNIS TIONGHOA ........................................................................................ 56 A. Bidang Sosial dan Budaya ................................................................ 56 1. Masalah SBKRI .......................................................................... 56 2. Diskriminasi Agama Konghucu .................................................. 58 3. Masalah Kelenteng ...................................................................... 60 B. Bidang Ekonomi ............................................................................... 64 C. Bidang Politik ................................................................................... 68 BAB V KESIMPULAN .................................................................................... 73 DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 76 LAMPIRAN-LAMPIRAN ............................................................................... 79 xiv PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada masa Orde Baru, keberadaan etnis Tionghoa merupakan masalah yang krusial. Masalah tersebut begitu kompleks bukan saja mengenai identitas kebangsaannya, tetapi juga masalah politik, ekonomi dan kebudayaannya yang berkembang di Indonesia. Citra Etnis Tionghoa akhirnya dinilai negatif di kalangan pemerintahan Orde Baru yang terlihat dalam kebijakan-kebijakannya.1 Sewaktu Orde Baru berjaya, selama itu pula Etnis Tionghoa banyak mengalami diskriminasi. Hal itu bisa dibuktikan dengan adanya beberapa peraturan yang mengatur eksistensi Etnis Tionghoa di Indonesia, antara lain : 1. Instruksi Presiden No. 14/1976 yang berisi larangan kegiatan keagamaan,kepercayaan, dan adat Tionghoa di Indonesia. 2. Surat Edaran No. 06/Preskab/6/1967 yang isinya menyatakan masyarakat Tionghoa harus mengubah namanya menjadi nama yang berbau Indonesia 3. SK Menteri Perdagangan dan Koperasi No. 286/1978 tentang pelarangan Impor, penjualan, dan Penggunaan bahasa Cina. 4. Surat edaran SE.02/SE/Ditjen/PPG/K/1988, yang melarang penerbitan dan percetakan tulisan/iklan beraksara dan berbahasa Cina di depan umum. 5. Peraturan Menteri Perumahan No. 455.2-360/1988, yang melarang penggunaan lahan untuk mendirikan, memperluas,atau memperbarui Kelenteng. 6. Keputusan Presiden No. 56/1996 bertanggal 9 juli 1996. Isinya, semua peraturan yang mensyaratkan SBKRI dihapus.2 1 Leo Suryadinata, Dilema Minoritas Tionghoa, Jakarta: Temprint,1988. hlm.63 Majalah Tempo, Etnis Tionghoa di Zaman yang Berubah, Jakarta: edisi 16-22 Agustus 2004.hlm.16 2 1 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 2 Orde Baru memberikan perlakuan diskriminatif dan membatasi golongan etnis Tionghoa. Sejalan dengan hal tersebut, pemerintah Orde Baru melanjutkan kebijakan pembaharuannya dan memunculkan konsep SARA (Suku, Agama, Ras, Antar golongan) yang ditunjukkan kepada media agar tidak memberikan hal-hal yang menyangkut dengan konsep tersebut. Dalam kenyataannya, proses pembaruan yang diimplementasikan oleh pemerintah tidak menuju kerukunan hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, khususnya yang berkaitan dengan etnis Tionghoa. Malahan yang terjadi sebaliknya, selama Orde Baru terjadi sentimen anti Tionghoa yang menimbulkan kekerasan seperti yang terjadi pada akhir kekuasaan Soeharto sekitar bulan Mei 1998.3 Sikap anti Tionghoa sering dipertanyakan dengan asumsi bahwa sikap anti Tionghoa merupakan produk dari proses interaksi sosial dengan etnis lainnya dalam kehidupan bermasyarakat yang berlangsung secara alami. Dalam masyarakat sentimen anti Tionghoa didorong oleh faktor kesenjangan ekonomi. Latar belakang sejarah di bidang ekonomi warga etnis Tionghoa telah melahirkan mitos kekuatan ekonomi mereka. Terdapat pemukul ratataan bahwa WNI etnis Tionghoa adalah kaya dan memperoleh akses pada kekuasaan tertinggi dalam pemerintahan nasional sebagaimana dahulu mereka mendapatkan perlindungan dan keistimewaaan dari pemerintah kolonial.4 Pandangan yang lain justru membawa sikap anti Tionghoa yang dihasilkan atau direkayasa melalui kebijakan negara sebagai alat peredam yang dipakai oleh penguasa untuk mempertahankan kekuasaannya. Prasangka anti Tionghoa begitu mendalam dibandingkan terhadap 3 Mely G Tan, Golongan Etnis Tionghoa di Indonesia,Suatu Masalah Pembinaan Kesatuan Bangsa, Jakarta: Gramedia, 1979. hlm. 206 4 Ririn Darini, Kebijakan Negara dan Sentimen Anti Cina Perspektif Historis, Jurnal,hlm 9 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 3 pendatang asing lainnya. Hal ini disebabkan banyak hal, diantaranya berasal dari sudut pandang ekonomi. Kebijakan ekonomi yang diterapkan pada masa pemerintahan Orde Baru mengakibatkan kesengsaraan bagi etnis Tionghoa sendiri. Kesempatan etnis Tionghoa untuk berwirausaha dibebaskan dalam kebijakan ekonomi Orde Baru. Hal tersebut memicu ketidakpuasan kaum pribumi terhadap pencapaian ekonomi etnis Tionghoa yang mengakibatkan timbulnya kesenjangan sosial. Kondisi ini dimanfaatkan oleh masa untuk melakukan kerusuhan dengan bentuk pengerusakan. Bila dirunut jauh ke masa lalu sentimen yang menimpa etnis Tionghoa berpangkal pada politik devide et impera atau politik pecah belah yang pernah dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda. Pemerintah kolonial tidak menginginkan etnis-etnis non-pribumi yang ada di negeri jajahannya, termasuk etnis Tionghoa berbaur dengan pribumi. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah segala kemungkinan yang dapat menimbulkan pemberontakan. Atas dasar warisan kolonial tersebut terciptalah ketidaksengajaan di kalangan pribumi terhadap etnis Tionghoa. Sudah sejak zaman pemerintahan Hindia Belanda politik “Pecah belah” golongan antar etnis telah diberlakukan. Sikap kebangsaan etnis Tionghoa di Indonesia semakin dikebiri oleh negara, bahkan oleh masyarakat pribumi. Etnis Tionghoa sangat dibatasi untuk menunjukkan sikap mereka dalam memaknai ke Indonesiaannya. Kebudayaan serta kebiasaan yang mereka miliki „terpangkas‟ dengan adanya aturan-aturan dan pembatasan-pembatasan yang dilakukan oleh PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 4 negara. Stereotip5 yang tumbuh dan berkembang terlebih sejak masa Orde Baru, semakin menguatkan kelemahan etnis Tionghoa yang kemudian berlabelkan „minoritas‟, bahkan di Indonesia sendiri ketika mereka telah berasimilasi dan berakulturasi menjadi warga negara Indonesia. Sebenarnya apakah yang salah dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia sehingga mitos-mitos dan prasangka terhadap Etnis Tionghoa tertanam lekat dalam benak kita sampai sekarang. Berkembangnya sentimen anti “Tionghoa” tidak terlepas dari kebijakan negara. Negara dalam hal ini pemerintah, merupakan suatu institusi yang selalu membuat isu-isu rasial demi mempertahankan status quo. Sejak zaman penjajahan Belanda, penguasa telah menerapkan kebijakan segregasi6 sosial terhadap Etnis Tionghoa. Langsung atau tidak langsung negara memelihara prasangka dan memanipulasinya untuk mempertahankan kekuasaannya. 5 Stereotip adalah penilaian terhadap seseorang hanya berdasarkan persepsi terhadap kelompok dimana orang tersebut dapat dikategorikan atau dapat juga berupa prasangka positif dan juga negative, dan kadang-kadang dijadikan alasan untuk melakukan tindakan diskriminatif. 6 Segregasi adalah pemisahan kelompok rasa atau etnis secara paksa. Segregasi merupakan bentuk pelembagaan diskriminasi yang diterapkan dalam struktur sosial. . PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 5 B. Perumusan Masalah Berdasarkan dari latar belakang di atas, dapat ditarik beberapa permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana latar belakang munculnya kebijakan Orde Baru terhadap etnis Tionghoa? 2. Bagaimana pelaksanaan kebijakan Orde Baru terhadap etnis Tionghoa? 3. Bagaimana dampak dari kebijakan Orde Baru terhadap etnis Tionghoa? C. Tujuan Penulisan Penulisan ini secara umum diarahkan pada upaya menjawab berbagai masalah yang berkaitan dengan kebijakan pemerintahan Orde Baru terhadap etnis Tionghoa. Maka penulisan ini memiliki tujuan sebagai berikut: 1. Menjelaskan latar belakang munculnya kebijakan Orde Baru terhadap etnis Tionghoa. 2. Mendeskripsikan pelaksanaan kebijakan Orde Baru terhadap etnis Tionghoa. 3. Menjelaskan dampak dari kebijakan Orde Baru terhadap etnis Tionghoa. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 6 D. Manfaat Penulisan Manfaat dari penulisan ini sebagai berikut : 1. Bagi Universitas Sanata Dharma Selain untuk melaksanakan salah satu Tri Dharma Perguruan Tinggi khususnya bidang penelitian yaitu ilmu pengetahuan sosial, skripsi ini diharapkan dapat memberikan kekayaan khasanah yang berguna bagi pembaca dan pemerhati sejarah. 2. Bagi Penulis Untuk menambah pengalaman dan pengetahuan dalam menulis karya ilmiah khususnya tentang kebijakan Orde Baru terhadap etnis Tionghoa. 3. Bagi Pembaca Skripsi ini diharapkan mampu menarik minat pembaca untuk mempelajari tentang sejarah Indonesia kontemporer, khususnya mengenai kebijakan Orde Baru terhadap etnis Tionghoa. E. Tinjauan Pustaka Dikarenakan Keterbatasan sumber primer, maka skripsi ini lebih banyak menggunakan sumber-sumber Sekunder. Beberapa sumber pustaka yang utama antara lain: PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 7 1. Dilema Minoritas Tionghoa7 Buku karangan Leo Suryadinata tentang Minoritas Etnis Tionghoa ini menjelaskan tiga hal pokok. Pertama, peresepsi tentang bangsa Indonesia dan minoritas Tionghoa. Bagian kedua, memberikan uraian singkat tentang posisi ekonomi orang Tionghoa serta analisis sosiohistoris terbatas mengenai masyarakat Tionghoa Indonesia. Bagian ketiga, menjelaskan tentang kebijakan pemerintah Indonesia, dan persepsi orang Indonesia terhadap pengambilan kebijakan Misalnya, peresepsi kaum nasionalis sekuler mengenai etnis Tionghoa pada masa Liberal dan Demokrasi Terpimpin, sedangkan persepsi kaum militer dominan setelah kudeta tahun 1965. Persepsi-persepsi ini berkembang sesuai dengan keadaan ekonomi dan politik pada waktu itu, terwujud dalam kebijakan pemerintah Indonesia terhadap Tionghoa lokal dari tahun 1949 sampai 1975, serta dampaknya bagi kebijakan Indonesia terhadap RRC. 2. Etnis Tionghoa dan Pembangunan Bangsa8 Buku karangan Leo Suryadinata ini berisi tentang persoalan-persoalan etnis Tionghoa melalui kajian studi komparatif di Asia Tenggara yakni di Indonesia dan Malaysia. Buku ini menjelaskan kebijakan pemerintah dan integrasi nasional di Indonesia. Pemerintah Indonesia baru menerapkan kebijakan integrasi nasional yang plural. Integrasi Nasional didefinisikan dalam pengertiannya menciptakan identitas nasional. Ini mencakup integrasi politik dan integrasi teritorial. Kebijakan 7 8 terhadap kelompok “minoritas asing” berbeda. Leo Suryadinata, Dilema Minoritas Tionghoa, Jakarta: Temprint 1988 Leo Suryadinata, Etnis Tionghoa dan Pembangunan Bangsa, Jakarta: LP3ES.1999 Pemerintah PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 8 menggunakan model asimilasi yang mengharuskan etnis Tionghoa meninggalkan identitas Cina mereka dan mengubahnya menjadi identitas „pribumi‟ Indonesia. Dengan kata lain, kecinaan dianggap „asing‟ dan „berbahaya‟ bagi pembentukan kebudayaan Indonesia. Tujuan kebijakan Indonesia terhadap etnis Tionghoa masih merupakan perubahan total. Kebijakan asimilasi dapat dilihat dalam berbagai bidang seperti pendidikan, status bahasa Cina, undang-undang kewarganegaraan, dan peraturan pergantian nama. 3. Tionghoa Indonesia Dalam Krisis9 Buku karangan Charles A. Coppel ini berisi tentang latar belakang sejarah keberadaan etnis Tionghoa di Indonesia, timbulnya anti Tionghoa, kebijakan pemerintah mengatur etnis Tionghoa, dan keterlibatan etnis Tionghoa dalam pemerintahan. Selain itu kehidupan etnis Tionghoa pada masa Orde Lama dan Orde Baru, juga memaparkan kebijakan pemerintahan yang mempengaruhi pergantian agama dan pergantian nama masyarakat etnis Tionghoa pada masa Orde Baru. Hal ini terjadi karena pemerintah ingin melaksanakan pembaruan dan asimilasi secara konsekwen. 4. Tionghoa Dalam Cengkraman SBKR10 Buku karangan Wahyu Efendi ini berisi tentang permasalahan surat bukti kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI). SBKRI, sebagai sebuah dokumen tidaklah istimewa, hanya berbentuk buku saku hampir menyerupai paspor. Persoalannya tidaklah sederhana dan terbatas sebagai dokumen yang “diharuskan” untuk dimiliki ketika seorang anak dari orang tua warga Negara Indonesia etnis 9 10 Charles A.Coppel, Tionghoa Indonesia Dalam Krisis, Jakarta: Sinar Harapan, 1993 Wahyu Efendi, Tionghoa dalam cengkraman SBKRI, Jakarta: Transmedia Pustaka, 2008 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 9 Tionghoa beranjak 18 tahun atau sudah menikah, biarpun orang tua atau kakek nenek buyutnya sudah menjadi warga Negara Indonesia dan mempunyai bukti kewarganaegaran Indonesia. Layaknya sebuah “ritual generasi” ketika anak sudah menjadi orangtua, dia pun harus mengurus SBKRI anaknya, begitu seterusnya terjadi dari generasi ke generasi. 5. Setelah Air Mata Kering “Masyarakat Tionghoa Pasca –Peristiwa Mei 1998”11 Buku ini merupakan hasil seminar “Setelah Air Mata Kering” Sebagaimana jelas dari judul tersebut, sesudah Tragedi Mei berlalu 10 tahun, dan sesudah air mata banyak orang disiksa. Sumbangan gagasan dalam buku ini dapat menambah sedikit pemikiran tentang kelompok etnis Tionghoa di Indonesi, yang selama 10 tahun terakhir telah ikut mengalami “reformasi”. Dari buku ini tampak bahwa kelompok etnis Tionghoa tidak tinggal diam, tetapi telah berpikir dan berbuat banyak. F. Landasan Teori Skripsi ini berjudul Kebijakan Orde Baru terhadap Etnis Tionghoa. Untuk menjelaskan permasalahan dan ruang lingkup skripsi dibutuhkan beberapa teori konsep sebagai berikut: 11 Wibowo I dan Thung Ju Lan, Setelah Air Mata Kering:Masyarakat Tionghoa Pasca-Peristiwa Mei 1998, Jakarta: Kompas, 2010 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 10 1. Kebijakan Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kebijakan berasal dari kata dasar bijak, yang berarti pandai, mahir, selalu menggunakan akal budi. Kata dasar bijak ini diberi imbuhan ke – an menjadi kebijakan yang berarti kepandaian, kemahiran.12 Kebijakan dalam arti sempit dapat diartikan sebagai keputusan atau tindakan dari suatu organisasi atau institusi. Kebijakan juga dapat diartikan sebagai suatu arah tindakan yang diusulkan pada seseorang, golongan atau pemerintah dan kesempatan yang diharapkan dapat mengatasi halangan tersebut dalam rangka mencapai sebuah cita-cita atau mewujudkan suatu kehendak serta tujuan tertentu.13 Kebijakan di sini adalah arah tindakan yang direncanakan untuk mencapai suatu sasaran.14 Kebijakan dapat juga dikatakan sebagai suatu kumpulan keputusan yang diambil oleh seorang pelaku atau oleh kelompok politik dalam usaha memilih tujuan-tujuan dan cara-cara untuk mecapai tujuan-tujuan itu. Pada prinsipnya pihak yang membuat kebijakan mempunyai kekuasaan untuk melaksanakannya.15 Selanjutnya kebijakan selalu menyangkut keputusan dan tindakan , dengan pengertian bahwa keputusan adalah unsur yang lebih penting. Tindakan untuk mencapai sasaran dapat dihasilkan dari kebijakan, apabila keputusan menunjukkan dengan jelas apa yang terkandung dari pikiran pembuat kebijakan baik sebagai sasaran ataupun sebagai prosedur.16 12 Sutan Mohammad Zain, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,1994, hlm 131. 13 Soenarko, Public Policy,Surabaya, Ailangga University Pres: 2000, hlm 32 14 Dhlan Nasution, Politik Internasional : Konsep dan Teori, Jakarta: Erlangga, 1989, hlm 9. 15 Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia, 1982, hlm 12. 16 Ibid,hlm 10. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 11 2. Orde Baru Orde Baru adalah bangunan sistem politik kekuasaan yang tidak terlepas dari sosok Soeharto yang berperan sebagai arsitek. Sepanjang sejarahnya Orde Baru memiliki dua pola kekuasaan. Pola pertama terbentuk pada masa konsolidasi awal Orde Baru. Pada masa ini Presiden belum muncul sebagai kekuatan politik mandiri dan masih terkolektifikasi di dalam kekuatan Angkatan Darat atau militer. Pola kedua segera terbentuk setelah Golongan Karya (Golkar) memenangkan dua kali pemilu, sehingga penguasa Orde Baru memiliki legitimasi politik yang konkrit dan kokoh. Pada pola kedua, Presiden perlahan namun pasti mencuat sebagai kekuatan politik yang mandiri, dan akhirnya menjadi sentral kekuasaan.17 Pada awal perjalanannya pemerintahan Orde Baru menunjukkan langgam libertarian yang sebenarnya adalah langgam transisi sambil mencari format baru bagi konfigurasi politik. Program pembangunan yang menitikberatkan pada bidang ekonomi harus diamankan dengan “stabilitas nasional” yang dianggap sebagai prasyarat yang realisasinya ternyata menuntut langgam otoritarian. Sejak penemuan format baru politik Indonesia pada tahun 1969/1971, Indonesia mulai menampilkan politik otoriter birokratis yang diperlukan untuk mengamankan jalannya pembangunan.18 Pada pertengahan 1970-an, Soeharto telah menjadi dalang nasional, menggunakan para perwira militer yang setia untuk menghancurkan musuhmusuhnya. Orde Baru sangat berhasil dalam membuat dan menyebarkan cerita 17 Saefulah Fatah, Penghianatan Demokrasi Ala Orde Baru:Masalah dan Masa Demokrasi Terpimpin Konstitusional, Bandung: Rosdakarya, 2000. hlm 46. 18 Moh Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta: LP3ES, 2006, hlm 196. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 12 versi mereka bagi sebagian besar orang Indonesia tentang “kudeta” 30 September dengan mengalamatkan semua kesalahan pada Partai Komunis. Para wartawan, cendikiawan, seniman, dan pejabat yang dipekerjakan oleh rezim diarahkan untuk menghasilkan laporan dan kisah tentang kudeta sesuai dengan versi Soeharto. Publikasi-publikasi yang ada membuktikan bahwa peristiwa itu adalah “Kudeta PKI‟. 19 Intinya pada masa pemerintahan Orde Baru, Soeharto berupaya menjaga stabilitas politik dan sosial yang dilakukan secara keras sehingga dirasakan sebagai pemerintahan yang posesif dan represif. Siapa yang berani mengkritik Orde Baru dianggap musuh Panscasila atau pro-komunis dan G-30S, sehingga harus disingkirkan dari kehidupan umum. Pada waktu itu, Soeharto sebagai presiden berhasil menguasai semua lembaga pengawasan, termasuk MPR, DPR, ABRI, Bepeka, BPKP, pengadilan, Pres, dan media masa lainnya. Pengawasan hanya diperbolehkan terhadap pihak-pihak yang di luar lingkaran kekuasaan Presiden termasuk yang bertentangan dengan kepentingannya. Semua itu terbuka waktu negara Indonesia pada pertengahan tahun 1997 diserang oleh krisis moneter dan krisis ekonomi yang menggetarkan seluruh masyarakat.20 Dari paparan di atas dapatlah ditegaskan, bagaimana politik atau kebijakankebijakan pada masa pemerintahan Soeharto yang mengatasnamakan Orde Baru dijalankan. Pada dasarnya politik yang dilakukan Soeharto tampak untuk melanggengkan kekuasaanya. Dengan dalih untuk stabilitas nasional dan agar masyarakat dapat mengamalkan Pancasila secara murni dan konsekuen, maka 19 20 Ibid., hlm 262. Selo Soemarjan, Pengawasan Sosial Orde Baru dan Reformasi, Jakarta: Obor, 2011, hlm 639. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 13 siapa pun yang menentang kebijakan Soeharto, termasuk organisasi manapun, dianggap sebagai pembangkang negara dan berbahaya bagi negara. Di sini tampak tidak ada satu pun kekuatan yang dapat mengontrol kebijakan Soeharto. Untuk itu dapat dianggap bahwa dalam menjalankan pemerintahannya, Soeharto layaknya raja yang diktator. 3. Etnis Tionghoa Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah etnis berarti kelompok sosial dalam sistem sosial atau kebudayaan yang mempunyai arti atau kedudukan tertentu karena keturunan adat, agama, bahasa dan sebagainya. Narrol, menyatakan bahwa yang disebut dengan etnis/kelompok etnis adalah sebagai berikut: 1. Secara biologis mampu berkembang biak dan bertahan. 2. Mempunyai nilai-nilai budaya yang sama dan sadar akan rasa kebersamaan dalam suatu bentuk budaya. 3. Membentuk jaringan komunikasi dan interaksi sendiri. 4. Menentukan ciri kelompoknya sendiri yang diterima oleh kelompok lain dan dapat diterima oleh kelompok lain, dan dapat dibedakan dari kelomok populasi lain. Lain halnya dengan Narrol, Barth memberikan definisi etnis, yang menujukkan pada suatu kelompok tertentu dimana karena kesamaan ras, agama, asal usul bangsa ataupun kombinasi dari kategori tersebut terikat pada sistem nilai budayannya.21 Barker juga memberikan definisi etnis sebagai sebuah konsep 21 Barth, Kelompok Etnis dan Batasannya, Jakarta: UI Press, 1988, hlm 9-20. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 14 budaya yang terpusat pada kesamaan norma, nilai, kepercayaan, simbol dan praktek budaya. Terbentuknya “suku bangsa” bersandar pada penanda budaya yang dimiliki secara bersama yang telah berkembang dalam konteks historis, sosial dan politis tertentu yang mendorong rasa memiliki, yang paling tidak sebagaian didasarkan pada nenek moyang mitologis yang sama.22 Sedangkan dalam penelitian ini etnis merupakan sebuah komunitas atau kelompok yang memiliki kesamaan asal, yang kemudian terpusat pada kesamaan norma, nilai, kepercayaan, simbol, dan praktek budaya. Sebelum membahas mengenai kata Tionghoa, haruslah membahas dahulu kata Cina yang merupakan sumber dari Tionghoa. Cina adalah sebuah negara yang terletak di sebelah barat Korea, sebelah utara Vietnam dan sebelah selatan Rusia. Asal mula penggunaan kata Cina diperkirakan terjadi pada Dinasti Chin , dimana kaisar pada saat itu adalah Chin Si Ong, seorang kaisar yang berhasil membangun tembok besar. Pada masa itu, orang di daratan China seringkali mengganti istilah kebangsaan mereka, ketika Dinasti Tang berkuasa, mereka menyebut diri mereka orang Tang (Tang-jin), ketika Dinasti Han berkuasa, mereka menyebut diri mereka orang Han (Han-jin). Demikian pula ketika bangsa Chin berkuasa mereka menyebut diri mereka bangsa Chin. Dalam dialek Hokkian, ucapan Chin seringkali ada ujungnya, dan biasanya diucapkan dengan akhiran “a” atau”ah”, yang oleh orang-orang ini kemudian dihafalkan menjadi “Chin-ah” dan akhirnya lama-lama menjadi kata Cina.23 22 Baker, Cultural Studies,Yogyakarta: Kresai Wacana, 2005, hlm 201. Mahar,Chellen,dkk,”Posisi Teoritis Dasar Dalam :Richard Harker Cheleen Mahar dan Cris Wilkes,Yogyakarta: Jalansutra, 2009, hlm 32 23 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 15 Kata Tionghoa atau tionghwa itu sendiri sebenarnya merupakan istilah yang dibuat oleh orang keturunan China di Indonesia, yang berasal dari kata Zhonghua dalam Bahasa Mandarin. Zhonghua berasal dari kata Zhonggua dan sudah ditemukan pada naskah sejarah klasik dari abad 6 SM, penyebutan untuk kekaisaran Dinasti Zhou. Pada masa itu, Dinasti Zhou merasa sebagai pusat kebudayaan, dibandingkan dengan daerah sekelilingnya. Kadang istilah Zhongguo dipakai juga untuk menamai ibu kota pusat kekaisaran yang membedakannya dengan penamaan kota di bawah kekuasaan pangeran yang berinduk pada kaisar. Kemudian istilah Zhongguo juga dipakai sebagai singkatan penamaan dari republik yang didirikan Dr. Sun Yat Sen pada tahun 1911, yakni Zhonghua Minguo. Selanjutnya hal yang sama juga terjadi pada tahun 1949, ketika diproklamirkannya Zhonghua Renmin Gongheguo. Istilah ini kemudian menjadi populer setelah Dr. Sun Yat Sen pada tahun 1911 memproklamirkan berdirinya republik setelah menumbangkan kekaisaran Manchu (Ching) Da Qing Di Guo. Negara baru tersebut kemudian diberi nama Chung Hwa Ming Guo (Zhonghua Minguo) yang memiliki arti harfiah Negara rakyat Chungwa atau Republik Chunghwa, yang kemudian disingkat menjadi Chung Guo dalam dialek Hokkian. Sedangkan warga masyarakatnya disebut Chunghwa atau dalam dialek Hokkian dilafalkan sebagai Tionghoa. Sebutan Chungguo dan Chunghwa menjadi popular sebab revolusi perubahan dari kekaisaran menjadi negara demokratis memberikan sebuah harapan baru adanya perbaikan pada masyarakat umum. Tersirat juga di sana persaingan primordial bahwa etnis Han terlepas dari dominasi etnis Manchu. Hal PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 16 ini sangat jelas terlihat ketika mereka yang merasa memiliki orientasi baru segera memotong rambut panjang, suatu adat yang dipaksakan oleh pemerintah Manchu ketika mereka pada periode awal berhasil menguasai kekaisaran Tiongkok. Dengan adanya istilah baru ini tersirat semangat membangun kembali harga diri bangsa dan negara yang telah lama terpuruk.24 Wacana Cung Hwa atau Tionghoa pertama kalinya dikemukakan di muka umum pada Tahun 1900-an di Indonesia, dengan didirikannya THHK(Tiong Hoa Hwee Koan/”Tjung Hwa Hwei Kwan”/Zhonghua Huiguan). Pada masa itu,etnis Tionghoa di Indonesia (Hindia Belanda) disebut dengan “Orang Tjin” oleh masyarakat. Istilah Tionghoa dan kemudian Tiongkok mulai popoler dengan bangkitnya nasionalisme kalangan Tionghoa di Hindia Belanda pada dekade ke dua abad ke 20. Penggunaan istilah Tionghoa sangat erat kemudian dengan penggunaan istilah Zhonghua di daratan Tiongkok, di mana Zhonghua dalam dialek Hokkian dilafalkan sebagai Tionghoa di Hindia Belanda. Melalui THHK dan sekolahsekolahnya dan juga pres, istilah Tionghoa kemudian disebarluaskan ke seluruh lapisan masyarakat. Hal ini kemudian menjadikan masyarakat mulai mengenal istilah Tionghoa. Istilah lama Tjina (Cina) mulai dianggap sebagai istilah yang berkaitan dengan status rendah dan menjadi target gerakan nasionalis Tionghoa. Dalam konteks tersebut, orang Tionghoa di Hindia Belanda akan merasa dihina apabila dipanggil dengan sebutan Tjina dan mereka ingin disebut dengan Tionghoa saja. 24 Kusteja,2011:http://web.budaya-Tionghoa.net/home/625-istilah-tiongoa-Tionghoa-chinachinesedan-cina) PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 17 Pada tahun 1928, Anggaran Dasar THHK juga mengalami amandemen, dimana istilah Tjina diganti dengan istilah Tionghoa. Tahun yang sama Gubernur Jendral Hindia Belanda juga memakai istilah Tionghoa sebagai istilah resmi. Istilah Tionghoa dan Tiongkok juga mulai masuk pada pres pribumi. Pres peranakan Tionghoa juga memakai istilah “Indonesier” tidak lagi memakai sebutan “Boemiputra” untuk menyebut orang pribumi, sebutan “Hindia Belanda” dan “Hindia Oland” diganti dengan sebutan Indonesia. Sebutan Indonesia mulai dipergunakan pres peranakan pada tahun 1927 tepatnya 3 Febuari 1927 pada Koran Sin Po, akan tetapi istilah ini baru popular pada tahun 1930-an. Pada perkembangan berikutnya, zaman penjajahan Jepang hingga Indonesia merdeka, istilah Tionghoa kemudian menjadi sebutan baku yang dipergunakan tidak saja bagi kalangan Tionghoa sendiri tetapi juga kalangan pres.25 Jadi yang dimaksud dengan etnis Tionghoa adalah kelompok sosial dalam sistem sosial yang terpusat pada kesamaan norma, nilai, kepercayaan, simbol dan praktek budaya yang berasal dari Cina yang telah lama terintegrasi ke dalam bangsa Indonesia, dan telah menjadi bagian integral dari negara Indonesia. 25 Leo Suryadinata, Negara dan Etnis Tionghoa, Jakarta: LP3ES, 2002, hlm 100-106. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 18 G. Metodologi Penelitian dan Pendekatan 1. Metode Penelitian Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode penelitian sejarah melalui tahap-tahap berikut: a. Pengumpulan Sumber (Heuristik) Heuristik atau mengumpulkan sumber sejarah adalah tahap lanjutan setelah tema dipilih. Sumber sejarah adalah bahan penulisan sejarah yang mengandung bukti baik lisan maupun tertulis. Menulis sejarah tidak mungkin dapat dilakukan tanpa tersedianya sumber sejarah.26 Dalam pengumpulan sumber ini dilakukan beberapa teknik pengumpulan sumber, yaitu: 1. Studi Pustaka Studi pustaka merupakan kegiatan untuk memperoleh data dengan cara mencari dan membaca buku- buku dan literatur yang relevan dengan tema penelitian. 2. Wawancara Wawancara adalah usaha mengumpulkan keterangan dan informasi tentang kehidupan manusia dalam suatu masyarakat. Wawancara dilakukan terhadap informan, agar yang akan diwawancari mau menjawab dengan lancar pertanyaan- pertanyaan yang diajukan maka harus dikembangkan suasana yang harmonis kekeluargaan. Adapun pelaksanaan dari wawancara ini menggunakan teknik wawancara bebas terpimpin yang dimaksud disini adalah bentuk pertanyaan yang diajukan kepada informan bersifat terbuka dan 26 Suhartono W. Pranoto, Teori dan Metodologi Sejarah, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010,hlm. 30 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 19 terarah. Sebelum wawancara dilakukan terlebih dahulu menentukan informan yang akan diwawancarai. Hal ini dilakukan dengan maksud supaya penulis dapat menggali dan memperoleh informasi yang sesungguhnya dan informasi yang semu. Dalam penelitian ini yang dijadikan informan adalah tokoh tokoh etnis Tionghoa yang hidup pada era Orde Baru b. Kritik sumber (Verifikasi) Kritik sumber adalah upaya mendapatkan otentitas dan kredibilitas sumber. Yang dimaksud dengan kritik adalah kerja intelektual dan rasional yang mengikuti metodologi sejarah untuk mendapatkan objektivitas suatu kejadian.27 Dalam usaha mencari kebenaran, sejarawan dihadapkan dengan kebutuhan untuk membedakan apa yang benar, apa yang tidak benar atau palsu, apa yang mungkin dan apa yang meragukan atau mustahil. Supaya memperoleh sumber yang benar, sejarawan harus menggabungkan antara pengetahuan, sikap ragu (skeptis), percaya begitu saja, menggunakan akal sehat, dan melakukan tebakan inteligen. Jadi, fungsi dari kritik sumber adalah supaya karya sejarah merupakan produk dari suatu proses ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan, bukan hasil dari suatu fantasi, manipulasi atau fabrikasi sejarawan.28 Umumnya kritik sumber dilakukan terhadap sumber-sumber pertama. Kritik ini meliputi verifikasi sumber, yaitu pengujian mengenai kebenaran atau ketepatan (akurasi) dari sumber itu. Dalam metode sejarah ada dua jenis kritik sumber, yaitu kritik eksternal (otentitas dan integritas) dan kritik internal. 27 28 Ibid., hlm 35 Helius Sjamsuddin, Metodologi Sejarah, Yogyakarta: Ombak, 2012, hlm103. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 20 c. Interprestasi Fakta yang sudah dikumpulkan harus diinterprestasikan untuk menghasilkan cerita sejarah. Sebenarnya interprestasi atau tafsir sangat individual, artinya siapa saja dapat menafsirkan. Walapun datanya sama, tetapi interprestasinya bisa berbeda antara satu orang dengan orang yang lain. Perbedaan interprestasi terjadi karena perbedaan latar belakang, pengaruh, motivasi, pola pikir, Jadi interpretasi sangat subjektif, tergantung masing-masing pribadi.29 Dalam melakukan interpretasi, sejarawan tetap berada di bawah bimbingan metodologi sejarah, sehingga subjektivitas dapat dieliminasi. Metodologi mengharuskan sejarawan mencantumkan sumber datanya supaya pembaca dapat mengecek kebenaran data dan konsisten dengan interpretasinya. Interpretasi dapat dilakukan dengan analisis dan sintesis menganalisis sama dengan menguraikan. Dari data yang bervariasi dapat dianalisis setelah ditarik secara induktif sehingga dapat disimpulkan. Sedangkan sintesis berlawanan dengan analisis. Sintesis sama dengan penyatuan. Data-data yang dikelompokkan menjadi satu kemudian disimpulkan.30 d. Penulisan (Historiografi) Tahap penulisan mencangkup interprestasi sejarah, eksplanasi sejarah, sampai presentasi atau pemeparan sejarah sebenarnya. Ketika sejarawan memasuki tahap menulis, ia harus menggunakan pikiran-pikiran kritis dan analisisnya karena ia harus menghasilkan suatu sintesis dari seluruh hasil 29 30 Suhartono W. Pranoto, Teori dan Metodologi Sejarah, Yogyakarta: Graha Ilmu,2010, hlm 55. Ibid., hlm 56. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 21 penelitiannya atau penemuannya itu dalam suatu penulisan utuh yang disebut historiografi (penulisan sejarah).31 1. Pendekatan Penelitian Sejarah sebagai ilmu sosial tidak bisa berdiri tanpa bantuan ilmu sosial yang lain. Maka dari itu sejarah meminjam ilmu sosial yang lain maka penelitian sejarah akan lebih jelas. Pendekatan menjadi sangat penting, sebab dari pendekatan yang mengambil sudut pandang tertentu akan menghasilkan kejadian tertentu. Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan dua pendekatan,yaitu pendekatan sosial dan pendekatan politik. a. Pendekatan sosial Pendekatan sosial merupakan pendekatan yang berorientasi pada peristiwa sosial dengan segala implikasinya. Pendekatan sosial ini digunakan untuk melihat teori- teori sosial yang sesuai dengan konsep kebijakan Orde Baru terhadap etnis Tionghoa. Pendekatan sosial ini juga digunakan untuk melihat masalah- masalah sosial yang melatarbelakangi timbulnya kebijakan Orde baru terhadap etnis Tionghoa b. Pendekatan politik Dalam sejarah kebijakan pemerintah yang berdampak ke etnis Tionghoa, pendekatan politik disini artinya suatu pendekatan yang muncul berupa kebijakan politik untuk mempertahankan kekuasaan Orde Baru. 31 Helius Sjamsuddin,op.cit.,hlm 103-104 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 22 H. Sistematika Penulisan Penulisan Skripsi yang berjudul “Kebijakan Orde Baru terhadap Etnis Tionghoa”, mempunyai sistematika penulisan sebagai berikut: Bab I. Berupa pendahuluan yang memuat latar belakang masalah, permasalahan, tujuan penulisan, manfaat penulisan, tinjauan pustaka, landasan teori, metodologi penelitian dan pendekatan, serta sistematika penulisan. Bab II Menyajikan uraian tentang latar belakang kebijakan Orde Baru terhadap Etnis Tionghoa Bab III Menyajikan uraian tentang pelaksanan dari kebijakan Orde Baru terhadap Etnis Tionghoa. Bab IV Menyajikan uraian tentang dampak dari kebijakan Orde Baru terhadap Etnis Tionghoa Bab V Menyajikan kesimpulan yang berisi tentang permasalah yang ada dalam bab II, III, dan IV jawaban-jawaban PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI BAB II LATAR BELAKANG MUNCULNYA KEBIJAKAN ORDE BARU TERHADAP ETNIS TIONGHOA A. Perlakuan Etnis Tionghoa Sebelum Orde Baru Pemerintah Indonesia yang dibentuk setelah penyerahan kedaulatan pada tahun 1950 pada dasarnya mewarisi kebijakan yang ditinggalkan oleh pemerintah kolonial. Pemerintah membiarkan warga Tionghoa terus aktif di bidang ekonomi sambil membatasi keberadaan mereka sebagai pejabat di bidang birokrasi. Namun warga Tionghoa dibolehkan dalam bidang politik sehingga terdapat sebagian warga Tionghoa yang menduduki jabatan sebagai menteri, misalnya Lie Kiat Teng sebagai Menteri Kesehatan dan Oey Tjoe Tat sebagai menteri pada Kabinet 100 menteri. Pemerintah Soekarno juga membolehkan etnis Tionghoa mengekspresikan kebudayaan mereka dan menjalankan agama atau keyakinan mereka. Namun demikian segregasi tetap terjadi karena dalam kenyataannya tidak ada interaksi yang efektif antara warga etnis Tionghoa dengan warga etnis lainnya. Akibatnya beberapa konflik serius terjadi. Masalah utama adalah kesenjangan kemakmuran Beberapa tokoh nasionalis di bawah Mr. Asaat pernah memperkenalkan sebuah program ekonomi yang disebut program Benteng, yang intinya ingin 23 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 24 meningkatkan partisipasi ekonomi warga pribumi dalam ekonomi nasional.32 Sistem ini diberlakukan untuk melindungi para importir nasional agar dapat bersaing dengan orang asing yang masih beroperasi di Indonesia. Tujuan dari sistem Benteng adalah agar terbentuk kelompok wiraswasta Indonesia yang mampu menggerakkan perekonomian nasional. Program ini memberikan hak kepada pengusaha pribumi untuk mendapatkan lisensi dan kredit impor. Sebenarnya pemerintahan Soekarno ini ingin meminimalisir kebijakan ekonomi politik sebagai pemicu segregasi sosial yang akan mengarah pada munculnya sentimen anti Tionghoa. Tetapi target ini tidak tercapai dan hanya dimanfaatkan oleh sekelompok elit politik untuk menumpuk kekayaan pribadi atau menghimpun dana-dana politik, bahkan memelihara sebuah kerja sama Ali-Baba”. Dalam kerjasama model ini pihak Indonesia asli yang tidak berpengalaman menjual izin dan lisensi kepada pedagang warga etnis Tionghoa. Dengan cara ini orang Tionghoa tetap mampu melanjutkan usahanya dan mendapatkan keuntungan, sementara mitra Indonesia asli hampir tidak mendapatkan pengalaman bisnis yang diperlukan bagi pengembangan ekonomi nasional. Pada masa demokrasi terpimpin, pemerintah juga mengeluarkan peraturan yang dianggap diskriminatif di bidang ekonomi yaitu PP No.10/1959 yang isinya melarang orang-orang Tionghoa berdagang di wilayah pedesaan yang melahirkan sejumlah insiden. Peraturan ini membatasi secara tegas peran dan hak ekonomi etnis Tionghoa. Mereka hanya diperbolehkan berdagang sampai tingkat kabupaten dan tidak boleh berdagang di tingkat kecamatan apalagi di desa-desa. 32 Justian Suhandinata, WNI Keturunan Cina dalam Stabilitas Ekonomi dan politik Indonesia, Jakarta: Gramedia, 2009, hlm.312. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 25 Implikasinya, orang - orang di berbagai daerah dilarang dan dipaksa untuk meninggalkan permukimannya di pedesaaan. Sekalipun larangan ditunjukkan kepada WNA Cina, dalam praktiknya pembedaan dengan mereka yang peranakan tidak secara jelas diberlakukan. Selama tahun 1959-1960 kampanye pengusiran berlangsung dengan dukungan pihak TNI-AD. Sebanyak 136.000 orang Tionghoa meninggalkan Indonesia, sementara 100.000 orang di antaranya pulang ke tanah leluhur Tiongkok.33 Kerusuhan anti Tionghoa tahun 1966 terjadi di berbagai daerah terutama di Jawa Barat yaitu di Cirebon, Bandung, Sumedang, Bogor, Cipayung, Tasikmalaya, Garut, dan Sukabumi. Selain itu kerusuhan juga terjadi di Solo, Surabaya, Malang, dan Medan. Kerusuhan terjadi akibat kesenjangan kemakmuran, etnis Tionghoa terkena imbas dari situasi politik-ekonomi saat itu, yaitu inflasi yang melonjak tinggi, kelangkaan barang-barang kebutuhan pokok, frustasi terhadap kebijakan ekonomi pemerintahan Soekarno yang berantakan. Rasa frustasi dengan mudah dapat diarahkan dengan mencari target kemarahan yang termanifestasikan dalam kerusuhan anti Tionghoa, dan ini adalah bagian dari pertarungan memperebutkan kekuasaan politik antara kekuatan kiri dengan kanan.34 B. Etnis Tionghoa Pasca Peristiwa 1965 Setelah peristiwa 30 September 1965, banyak timbul konflik-konflik politik dan sosial di Indonesia. Konflik yang timbul merupakan usaha yang dilakukan 33 J.A.C.Mackie,”Anti Chinese Outbreak in Indonesia1959-1968”,dalam The Chinese in Indonesia:Five Essays, Melbourne: Thomas Nelson, 1976, hlm.82-85. 34 Ririn Darini, “ Kebijakan Negara Dan Sentimen Anti Cina Perspektif Historis”, Jurnal hlm 5 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 26 oleh TNI AD untuk terus menekan kepemimpinan Soekarno, setelah peristiwa 30 September 1965. TNI AD menggunakan kelompok mahasiswa untuk melakukan hal tersebut, dengan mengizinkan demonstrasi-demontrasi yang mengakibatkan semakin panasnya suhu perpolitikan Indonesia. Dengan kondisi perpolitikan yang semakin memanas dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap kepemimpinan Soekarno, terhitung semenjak tanggal 22 Febuari 1967, Soekarno mengumumkan pengunduran dirinya sebagai Presiden.35 Selain konflik politik yang meliputi peralihan kekuasaan, setelah peristiwa 30 September 1965, konflik sosial juga bermunculan di tengah masyarakat. Pembunuhan masal yang timbul setelah kudeta berdarah, lebih ditujukan kepada masyarakat pribumi anggota PKI dan simpatisannya, meskipun dalam peristiwaperistiwa tersebut etnis Tionghoa juga turut menjadi korban. Pembunuhan orang Tionghoa lebih bersifat sporadis dan kurang sistematis, karena hanya sebagai bagian dari pembunuhan besar-besaran pada umumnya, yang menimpa orangorang Indonesia yang dianggap mendukung PKI. Pada umumnya kekerasan yang menimpa etnis Tionghoa setelah kudeta lebih banyak berupa pengrusakan harta milik, seperti perampokan, pembakaran toko, sekolah, rumah, dan mobil.36 Setelah peristiwa 30 September 1965, demonstrasi anti-Tionghoa pertama kali terjadi di Makassar, pada tanggal 10 November 1965. Dalam aksi ini mahasiswa dan pemuda anggota HMI dan Ansor berdemonstrasi di konsulat Republik Rakyat Cina (RRC), kemudian aksi berlanjut ke pertokoan dan pemukinan etnis Tionghoa. Para demonstran membakar mobil dan menjarah 35 Tim Penulis, Sketsa Perjalanan Bangsa Berdemokrasi, Jakarta: Departemen Komunikasi dan informatika, 2005, hlm,139. 36 Charles A.Coppel, Tionghoa Indonesia Dalam Krisis, Jakarta: Sinar Harapan, 1993, hlm.124. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 27 pertokoan serta rumah milik orang Tionghoa. Demonstrasi anti-Tionghoa berikutnya terjadi di Medan, pada 10 Desember 1965. Dibandingkan dengan peristiwa yang terjadi di Makasar, peristiwa yang terjadi di Medan lebih brutal dan menyebabkan korban jiwa di kalangan etnis Tionghoa. Hal ini disebabkan tembakan yang ditujukan kepada para demonstran di Konsulat RRC, yang mengakibatkan masa marah dan menikam orang-oang Tionghoa yang mereka temui di jalan. 37 Munculnya prasangka di kalangan pribumi terhadap etnis Tionghoa bukanlah tanpa sebab. Ada beberapa faktor yang menyebabkan timbulnya prasangka ini seperti aktivitas Baperki38 suatu organisasi etnis Tionghoa yang ideologinya condong ke arah komunis. Hal tersebut menyebabkan meningkatnya kegiatan anti Tionghoa, karena tuduhan-tuduhan yang berkembang di masyarakat bahwa Baperki merupakan antek PKI dan Republik Rakyat Cina (RRC). Baperki sendiri dianggap sebagai organisasi yang mewakili kepentingan Tionghoa di Indonesia. Selain itu, dalam susunan Dewan Revolusi terdapat nama Siauw Giok Tjhan. Oleh sebab itu, masyarakat Indonesia beranggapan bahwa etnis Tionghoa yang diwakili oleh Baperki dalam kegiatan politiknya, merupakan pendukung paham komunis dan peristiwa 30 September 1965. Anggapan tersebut muncul karena tindakan - tindakan yang dilakukan Baperki pasca peristiwa 30 September 1965, yang mengutuk gerakan tersebut 37 Ibid,hlm.128 Pada tahun 1954 organisasi yang dinamakan Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki) didirikan oleh beberapa tokoh peranakan Tionghoa. Masalah yang dihadapi para tokoh Baperki yang dipimpin oleh Siauw Giok Tjhan pada masa itu bukan lagi identitas keTionghoa-an yang mereka hadapi adalah diskriminasi rasial di berbagai bidang. Baperki berkembang sebagai sebuah organisasi massa yang mengutamakan perjuangan politik dalam mencapai tujuan ekonomi, sosial, kebudayaan dan pendidikan. 38 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 28 atapun mengeluarkan pernyataan duka cita atas meninggalnya para Jendral. Anggapan ini diperkuat dengan dugaan yang belum terbukti, bahwa baperki merupakan penyandang dana bagi PKI. Selain itu, ketidaksukaan masyarakat terhadap etnis Tionghoa semakin besar karena adanya provokasi yang dilakukan oleh RRC melalui siaran radio Peking, terhadap revolusi Indonesia dan sikap mendukung gerakan 30 September yang ditunjukkan. Kondisi ini dimanfaatkan oleh Amerika dan Inggris, untuk mengalihkan perhatian masyarakat Indonesia dari kegiatan anti Imperialisme Amerika Inggris. Kedua negara tersebut melaksanakan propaganda agar masyarakat Indonesia tidak lagi mengarah kepada RRC yang dianggap sebagai musuh rakyat Indonesia yang sebenarnya. Oleh sebab itu bisa dikatakan masa-masa setelah Peristiwa 30 September 1965/PKI, merupakan masa genting bagi etnis Tionghoa Indonesia, akibat prasangka-prasangka masyarakat terhadap etnis ini. Pada 15 April 1966, sebanyak 15.000 Tionghoa Indonesia berkumpul di Lapangan Banteng, Jakarta, untuk mendengar sambutan pidato-pidato dan sambutan tertulis Menteri Luar Negeri Adam Malik, yang menyerukan kepada etnis Tionghoa di Indonesia untuk membuktikan kesetiaan mereka kepada Indonesia. Senada dengan aksi demonstrasi di Medan, dalam rapat umum ini juga mengutuk tindakan RRC yang mencampuri urusan dalam negeri Indonesia dan menuntut kepada pemerintahan untuk memutuskan hubungan diplomatik dengan RRC. Para demonstran juga menuntut untuk memulangkan orang Tionghoa asing kembali ke Tiongkok, selain menuntut ditutupnya sekolah-sekolah Cina. Selain itu 50.000 Tionghoa yang berkumpul di Lapangan Banteng, juga menyatakan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 29 kesetiannya kepada Negara Republik Indonesia.39 Dalam aksi ini, demonstran juga bergerak ke arah kedutaan besar Cina, merusak pintu gerbang, menghancurkan peralatan kantor, dan melukai beberapa orang staf. Menanggapi aksi demonstran yang dilakukan oleh orang Tionghoa Indonesia yang menghasilkan pernyataan kesetiaan kepada Indonesia, pers Indonesia menanggapinya dengan positif. Akan tetapi, menurut pers Indonesia, kesetiaan tersebut akan menjadi tidak ada artinya jika mereka masih mempertahankan keeksklusifan mereka dalam kehidupan sehari-hari. Oleh sebab itu diharapkan orang Tionghoa Indonesia, merubah cara hidup mereka yang cenderung eksklusif untuk menghilangkan prasangka yang berkembang di masyarakat.40 Aksi-aksi anti Tionghoa terus berlanjut, dan mengarah kepada masyarakat pribumi untuk mengusir orang Tionghoa berkewarganegaraan Cina. Tuntutan tersebut merupakan reaksi dari perdebatan antara pemerintah Indonesia dan pemerintah Cina. Perdebatan berisi tuntutan pemerintah RRC kepada pemerintah RI untuk menyediaan kapal bagi Tionghoa yang ingin kembali ke Cina. Hal ini dikarenakan pemerintah Indonesia dinilai gagal menjaga kepentingan orang Tionghoa asing di Indonesia. Jawaban terhadap tuntutan ini ialah pada prinsipnya orang-orang Tionghoa asing bebas untuk pergi ke Tiongkok. Pemerintah RI juga menolak untuk menanggung seluruh biaya pemulangan orang Tionghoa asing 39 40 Setiono Benny G, Tionghoa Dalam Pusaran Politik, Jakarta: Elkasa, 2005, hlm.958. Coppel, op., cit.,hlm.17 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 30 kembali ke negaranya.41 Akhirnya permasalahan terpecahkan dengan pengiriman kapal Kuang Hua oleh pemerintah RRC, pada akhir September 1966. Di Aceh, Iskandar Muda Brigjen Iskah Djuarsa mengumumkan ke seluruh orang Tionghoa berkewarganegaraan asing untuk segera meninggalkan Aceh, sebelum tanggal 17 Agustus 1966. Pengumuman tersebut disampaikan pada 8 Mei 1966. Hal tersebut mengakibatkan 15. 000 orang Tionghoa meninggalkan tempat tinggalnya, menuju ke Medan. Tuntutan untuk memulangkan orang Tionghoa berkewarganegaraan Cina, terus berkembang hingga daerah-daerah lainnya di Indonesia. Di Yogyakarta, KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia) menuntut kepada kepala daerah istimewa Yogyakarta, Sri Paku Alam, untuk mengusir orang Tionghoa asing. Di Banjarmasin pemerintah telah memutuskan untuk segera mengambil langkah-langkah dalam pemulangan orang Tionghoa asing. Pemerintah daerah juga mengambil tindakan pengawasan terhadap kegiatan mereka, sebelum kembali ke negeri asalnya. Pada tanggal 25-31 Agustus 1966, Angkatan Darat RI menyelenggarakan suatu seminar bertempat di Bandung. Tujuan seminar adalah merumuskan kembali doktrin Angkatan Darat dengan mengingat perubahan-perubahan politik dan program Angkatan Darat karena perubahan politik yang terjadi semenjak diadakannya Seminar Angkatan Darat I, Pada April 1965.42 Meskipun bertemakan 41 Ibid.,hlm.139. Coppel,op. cit.,hlm. 171. Dalam seminar tersebut hadir pula para ekonom UI seperti Dr.Widjaja Nitisastro, Emil Salim, Subroto, dan Sadli Sarbini, yang membahas permasalahan ekonom di Indonesia dan memberikan solusinya. Selain itu,hadir pula K.Sindhunata dan dr.Lie Tek Tjeng, membahas mengenai permasalahan Tionghoa. Dalam pembahasan mengenai permasalah Tionghoa Indonesia,Dr.Lie Tek Tjeng berpendapat harus ditarik garis jelas untuk memisahkan antara etnis Tionghoa Indonesia dengan etnis Tionghoa asing. Hal ini dikarenakan kesulitan untuk membedakan keduanya, menyebabkan peraturan pemerintah yang ditunjukkan kepada warga negara asing, terkadang berimbas kepada warga negara Indoneisa keturunan Tionghoa dalam 42 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 31 perumusan kembali dokrin Angkatan Darat, seminar tersebut justru menghasilkan keputusan yang berbeda jauh dengan tema yang diangkat. Dalam seminar tersebut, diputuskan untuk mempergunakan kembali kata Cina untuk Republik Rakyat Cina dan warga negaranya. Keputusan mengenai hasil seminar ini sebagai berikut: “Untuk mengembalikan sebutan umum kepada pemakaian Tjina telah lazim terdapat di mana - mana, baik di dalam negeri, maupun di luar negeri, dan dalam berbagai bahasa, sebagai sebutan bagi Negara dan Warga Negara. Maka patut pula kami laporkan bahwa Seminar telah memutuskan untuk kembali memakai penyebutan bagi Republik Rakyat Tiongkok dan warga negara, dirubah menjadi Republik rakyat Tjina dan warga negara Tjina. Hal ini dapat dipertanggungjawabkan secara historis dan sosiologis” Hasil dari seminar tersebut, sebenarnya ditunjukkan kepada warga negara Cina beserta negaranya, yang dianggap sebagai pendukung PKI serta Gerakan 30 September, serta sikap bermusuhan yang ditunjukkan kepada pemerintah Indonesia, terutama kepada AD.43 Akan tetapi, pada perkembangannya sebutan ini juga dipergunakan untuk menyebut WNI keturunan Tionghoa. Konotasi yang terkandung dalam penyebutan Cina kepada etnis Tionghoa Indonesia, memiliki makna menghina dan merendahkan, suatu hal yang tidak pernah diakui secara eksplisit selama ini.44 Hal ini pun diakui oleh Muchtar Lubis seorang penulis terkenal dan mantan pemimpin redaksi Indonesia Raya, melakukan aktiitasnya di Indonesia. Hal ini dikarenakan meskipun mereka sudah berkewarganegaraan Indonesia,statusnya masih disamakan dengan warga negara asing. 43 Suryadinata, Leo, Negara dan Etnis Tionghoa Kasus Indonesia, Jakarta: LP3ES, 2002, hlm 34. 44 Tan,op cit. hlm 198. Penggunaan kata Cina kepada Tionghoa memiliki konotasi yang sama dengan penyebutan inlander kepada masyarakat pribum, pada masa Hindia belanda. Inlander memiliki arti anak pribumi setempat, dimana penyebutannya tidak memiliki konotasi negative,jika digunakan untuk menyebut orang Belanda di Netherland. Akan tetapi, kata tersebut menjadi negative saat pemerintah Hindia Belanda mempergunakannya untuk menyebut orang Indonesia pada masa itu. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 32 yang mengatakan bahwa pemakaian istilah Cina mungkin sesuai untuk menunjukkan kemarahan bangsa Indonesia kepada Peking. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa penggunaan istilah ini tidak dapat dibatasi pada warga negara RRT saja, akan tetapi juga akan berdampak pada warga negara Indonesia keturunan Tionghoa.45 Menurut Dr. Lie Tek Tjeng, penggunaan kata Cina untuk menyebut orang Tionghoa berwarganegaraan Cina, tidak tepat sasaran. Hal ini dikarenakan penyebutan kata Cina juga akan ditujukan kepada WNI keturunan Tionghoa. Hal tersebut menurutnya akan membahayakan stabilitas ekonomi/politik Kabinet Ampera, yang merupakan syarat dari suksesnya pembangunan Orde Baru. C. Sikap Orde Baru Terhadap Etnis Tionghoa Pada era pemerintahan Soeharto, insiden anti Tionghoa terjadi di berbagai tempat meskipun tidak meluas secara serempak di banyak tempat. Kebijakan rezim Orde Baru terhadap warga Tionghoa lebih sistematis dibandingkan kebijakan negara sebelumnya. Rezim ini membungkam keanekaragaman kelompok etnis, salah satunya etnis Tionghoa. Pembungkaman dilakukan karena kelompok etnis dianggap sebagai ancaman politik yang dapat mengguncang kekuasaan. Jika ada kelompok etnis yang menentang kekuasaan akan segera ditindas. Meski berada dalam kontrol kekuasaan, kebijakan politik Orde Baru terhadap satu kelompok etnis dengan lainnya tidak seragam, diperlukan berbedabeda sesuai dengan kepentingan kekuasaan. 45 Leo Suryadinata,Negara dan…,op.cit.,hlm.109 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 33 Pada awal masa pemerintahannya Orde Baru menjalin hubungan dengan orang Tionghoa untuk kepentingan ekonomi. Bersama dengan konsolidasi kekuasaan Orde Baru orang Tionghoa, terutama kalangan pemilik modal, merapat ke kekuasaan dan memperoleh keuntungan ekonomi. Proteksi politik ini membuat pengusaha Tionghoa memonopoli sektor ekonomi sampai akhirnya dapat membangun imperium bisnis di Indonesia. Dari sinilah muncul Cukong, taipan, dan konglomerat. Bukan rahasia lagi, dalam menjalankan bisnisnya cukong, taipan, dan konglomerat bekerjasama dengan petinggi- petinggi militer yang saat itu menjadi aktor politik yang sangat berpengaruh. Akibatnya orang Tionghoa mendominasi sektor ekonomi yang luar biasa besar. Orang Tionghoa menjadi masyarakat apolitis dan menjauhkan diri dari kehidupan sosial politik. Pada saat yang sama penguasa Orde Baru selalu menempatkan orang Tionghoa menjadi kambing hitam dari setiap persoalan politik. Dengan demikian jika terjadi gejolak politik, apalagi yang berkaitan dengan masalah ekonomi, orang Tionghoa selalu menjadi target kemarahan kalangan pribumi. Meskipun ditempatkan dalam posisi sosial sedemikian rupa, orang Tionghoa menganggap kekuasaan tetap melindungi mereka. Agar kekuasaan Orde Baru bertahan lama Soeharto memelihara konflik yang ditujukan kepada etnis Tionghoa dengan pribumi yang menyangkut SARA. Konflik sering terjadi di bidang ekonomi, etnis Tionghoa yang berada dalam lingkup daerah memiliki andil dalam perdagangan. Perdagangan yang dilakukan oleh etnis Tionghoa berupa perdagangan besar maupun kecil, grosir maupun eceran. Kegiatan perdagangan tersebut antara lain, membuka toko mebel, toko PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 34 barang kebutuhan pokok, toko bahan bangunan dan jenis toko lainnya. Sikap anti politik etnis Tionghoa yang dibentuk oleh rezim Orde Baru membuat etnis Tionghoa menjadi semakin giat meningkatkan usaha di bidang ekonomi. Hal inilah yang membuat kecemburuan bagi masyarakat pribumi, karena etnis Tionghoa dianggap „lebih kaya‟ dibandingkan masyarakat pribumi. Interaksi yang pada awalnya dilandasi kerja sama antara penjual yakni etnis Tionghoa dengan masyarakat pribumi sebagai pembeli menjadi sebuah rasa curiga dan benci terhadap etnis Tionghoa dan begitu sebaliknya. D. Pembatalan Perjanjian Dwi Kewarganegaraan Pada masa kolonial pemerintah Hindia Belanda, mengklaim bahwa seluruh orang Tionghoa yang lahir di Hindia Belanda merupakan warga negaranya. Selain itu, Undang-undang Kebangsaan Ching tahun 1909, menyebutkan bahwa seluruh orang Tionghoa, di mana pun mereka dilahirkan merupakan warga negara Cina. Oleh karena itu, etnis Tionghoa pada masa tersebut memiliki dua kewarganegaraan. Saat Indonesia merdeka, pemerintah memberlakukan Undang-undang Kewarganegaraan, 1946, yang menyatakan bahwa etnis Tionghoa yang lahir di Indonesia merupakan warga negara Indonesia. Undang-undang Kewarganegaraan tahun 1946, menerapkan Jus Soli (berdasarkan daerah kelahiran) dan sistem pasif. Dalam undang-undang tersebut disebutkan bahwa warga negara Indonesia terdiri dari orang asli yang lahir dan telah menetap di Indonesia selama 5 tahun berturutturut, serta mereka yang telah berumur 2 tahun. Kemudian orang-orang asing, PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 35 dalam hal ini adalah etnis Tionghoa, dapat menjadi warga negara Indonesia, jika mereka tidak menolak kewarganegaran Indonesia.46 Akan tetapi ,warga Indonesia keturunan Tionghoa juga terikat dengan Undang-undang Kebangsaan Ching tahun 1909, yang menyebabkan mereka masih memiliki dua kewarganegaraan, yaitu kewarganegaraan Cina dan Indonesia. Perjanjian Dwi Kewarganegraan lahir karena kekhawatiran Indonesia terhadap paham komunis di Cina yang dapat disalurkan melalui warga negara Indonesia keturunan Tionghoa, setelah orang – orang komunis merebut kekuasaan di Cina daratan. Cina sendiri menyambut baik pendekatan yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia, karena setelah orang-orang komunis memegang kekuasaan di Cina, mereka menginginkan untuk memegang peran dalam percaturan politik regional dengan cara membangun hubungan baik dengan negara-negara tetangga yang mencurigainya. Selain itu, perjanjian dwi kewarganegaraan juga lahir karena presepsi orang Indonesia tentang Tionghoa lokal, yang dianggap tidak dapat berasimilasi. Pada tanggal 22 April 1955, Perjanjian Dwi Kewarganegaraan atau yang dikenal dengan Perjanjian Sunario-Chou En Lai, ditandatangani. Perjanjian ini kemudian dijadikan Undang-Undang No.2 Tahun 1958, pada tanggal 27 Januari 1958.47 Undang –Undang No. 2 Tahun 1958 mensyaratkan bahwa penolakan kewarganegaraan Cina harus dilakukan di Pengadilan Negeri di Indonesia, atau di kedutan-kedutan atau di konsulat-konsulat Indonesia untuk orang Tionghoa yang ada di luar negeri, untuk mempertahankan kewarganegaraan Indonesia. Setiap 46 Leo Suryadinata, Dilema Minoritas Tionghoa, Jakarta: PT Temprint, hlm.116 Titi Sumbung,”Perjanjian RI-RRT Mengenai Masalah Dwikewarganegaraan”,Sinar Harapan,26 Febuari,1969,hlm.5. 47 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 36 orang yang memiliki kewarganegaraan ganda sebelum tanggal 20 Januari 1960, harus menolak kewarganegaraan Cina atau Indonesia dalam jangka waktu yang telah ditentukan, yaitu 20 Januari 1960-20 Januari 1962.48 Diberlakukannya Perjanjian Dwi Kewarganegaraan menimbulkan pro dan kontra di kalangan partai - partai politik. PNI dan PKI yang mendukung diberlakukannya undang-undang tersebut menilai, bahwa Perjanjian Dwi Kewarganegaraan merupakan cara yang cepat dalam menyelesaikan permasalahan kewarganegaraan ganda masyarakat Tionghoa. Partai oposisi yang menentang berpendapat bahwa dengan berlakunya perjanjian tersebut, maka dikhawatirkan akan semakin banyak orang asing yang menetap di Indonesia. Sutan Mangkuto, salah satu anggota parlemen dari Masyumi berpendapat bahwa, Tionghoa Indonesia mempunyai kecenderungan untuk melakukan kegiatan yang ilegal. Oleh sebab itu, pengakuan etnis Tionghoa sebagai warga negara Indonesia, dapat membahayakan bangsa Indonesia. Undang-undang mengenai kewarganegaraan ini baru bisa dijalankan pada tanggal 20 Januari 1960, setelah Soekarno menguasai keadaan pada waktu itu.49 Kondisi hubungan diplomasi yang semakin kritis dan adanya tuntutan dari pemuda dan mahasiwa, maka melalui sidang 9 oktober 1967, pemerintah Indonsia memutuskan untuk membekukan hubungan diplomatik dengan RRC.50 48 Isi dari Perjanjian Dwi Kewarganegaran: 1. Orang Tionghoa asing yang telah memilih kewarganegaran Cina,sebelum ditandatanganinya perjanjian tersebut, tidak mempunyai hak untuk memilih lagi; 2. Orang Tiongoa yang memiliki kewarganegaraan ganda,akan diberi waktu 2 tahun untuk memilih. Jika ia bertindak pasif,maka ia menjadi warga negara RRC; 3. Anak-anak yang akan memilih kewarganegaraan saat berusia 18 tahun, untuk sementara akan dianggap berkewarganegaraan seperti ayahnya. Suryadinata,Dilema Minoritas…,op.cit,hlm.125 49 Leo Suryadinata, Dilema Minoritas….,op.cit.,hlm.124-125. 50 Setiono,op.cit.,hlm 981 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 37 Hal ini kemudian menyebabkan pemerintah Indonesia memutuskan Perjanjian Dwi Kewarganegaraan secara sepihak. Pemerintahan Soeharto memiliki pandangan yang sama dengan partai oposisi di jaman Soekarno, saat mereka menolak untuk pemberlakuan Perjanjian Dwi Kewarganegaraan. Pemerintah Soeharto menilai diberlakukannya Perjanjian Dwi Kewarganegaraan memberikan kesempatan kepada anak-anak yang orang tuanya memiliki kewarganegaraan Cina untuk menjadi warga negara Indonesia, sampai anak-anak tersebut mencapai umur 18 tahun, tanpa penyaringan secara ketat dari pemerintah. Selain itu pemerintah juga berpendapat diberlakukannya perjanjian tersebut memberikan suatu perlakuan khusus kepada golongan tertentu dari penduduk Indonesia yang tidak dinikmati oleh golongan lainnya. Hal tersebut sudah tentu menyimpang dari asas kesamaan kedudukan di muka hukum.51 Pencabutan secara sepihak Perjanjian Dwi Kewarganegaraan menimbulkan permasalahan baru. Dalam artikel yang ditulis oleh Titi Sumbung secara bersambung, pada tanggal 26 dan 27 Febuari 1969 di Koran Sinar Harapan, dinyatakan bahwa dicabutnya Perjanjian Dwi Kewarganegaran menyebabkan status kewarganegaran yang kabur. Hal ini dikarenakan bagi anak-anak dari orang tua yang telah memilih kewarganegaraan Cina, diharuskan untuk memilih kewarganegaraan apa yang ia pilih saat ia telah mencapai usia umur 18 tahun. ‟‟….kalau ia memilih kewarganegaraan RI ia harus melepaskan RRT, demikian juga sebaliknya. Dengan dibekukannya hubungan diplomatik antar RI-RRT, melepaskan kewarganegaraan RRT sudah tidak mempunyai arti lagi, sedangkan bagi mereka yang mau memilih 51 Leo Suryadinata, Dilema Minoritas….,op.cit.,hlm.129. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 38 kewarganegaraan RRT, praktis sudah tidak ada yang menampung lagi”52 Dengan dihapuskannya Perjanjian Dwi Kewarganegaraan, maka setiap anak dari orang tua yang berkewarganegaraan Cina, jika memilih kewarganegaraan Indonesia harus melalui proses naturalisasi, berdasarkan Undang – Undang Kewarganegaraan No. 62 Tahun 1958. Undang-undang tersebut juga menyebutkan bagi anak-anak yang orang tuanya telah memilih kewarganegaran Indonesia, atau salah satu orang tuannya merupakan warga negara Indonesia, maka anak-anak mereka tetap menjadi warga negara Indonesia.53 52 53 Sumbung ,loc.cit Leo Suryadinata, Dilema Minoritas…,op.cit.,hlm.129. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI BAB III PELAKSANAAN KEBIJAKAN ORDE BARU TERHADAP ETNIS TIONGHOA A. Dikeluarkannya Instruksi Presiden Tahun 1967-1998 Orde Baru memulai kekuasaannya setelah Soeharto menjadi presiden . Saat itu dimulailah penerapan kebijakan yang melarang segala hal yang berbau Tionghoa. Sebuah rezim pro-Barat yang kemudian membawa Indonesia menjadi negara yang sangat diskriminatif pada etnis Tionghoa.54 Sejak peristiwa 30 september 1965, ada trauma yang mendalam di kalangan warga Tionghoa yang menyebabkan mereka selalu menghindari keterlibatan bidang politik. Mereka bahkan enggan berbicara tentang hal-hal yang terjadi pada waktu itu. Orang - orang keturunan Tionghoa distigmatisasikan sebagai kelompok yang berkiblat (komunis) ke Tiongkok selama Orde Baru.55 Sejak awal berdirinya rezim Soeharto, ada keyakinan umum bahwa keturunan Tionghoa tidak memiliki sentimen kebangsaan. Orang-orang keturunan Tionghoa dicurigai telah mendukung politik kaum kiri karena RRT adalah negara komunis. Terjadi identifikasi yang esensialis dan umum antara etnis Tionghoa dan komunisme. Stigma sebagai Tionghoa dan keadaan sebagai Tionghoa karena telah terlibat dalam kudeta komunis 1965 dianggap menular dan menurun ke generasi selanjutnya. 54 Nurani soyomukti,”Soekarno & cina”,Yogyakarta: Garasi,2002.hlm.304. Chang - Yau hoon,Inentitas Tionghoa Pasca Soeharto: Budaya,Politik dan media, Jakarta: Yayasan Nabil dan LP3ES, 2012, hlm.176. 55 39 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 40 Pengakuan terhadap identitas kultural sebagai hak yang perlu dimiliki oleh setiap kelompok etnis juga dirasakan oleh orang-orang keturunan Tionghoa di Indonesia. Keberadaan mereka hingga sekarang masih menjadi persoalan. Orangorang keturunan Tionghoa belum diterima secara penuh sebagai bagian dari anggota bangsa Indonesia. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya istilah baku bagi orang-orang keturunan Tionghoa yang telah menanggalkan akar-akar kultur mereka dari negeri asal.56 Pengakuan terhadap identitas kultur (keturunan Tionghoa) merupakan salah satu bagian dari „masalah Tionghoa‟ yang belum terselesaikan. Pada masyarakat pribumi berkembang pandangan yang tidak menguntungkan terhadap keberadaan orang-orang keturunan Tionghoa yang cenderung eksklusif dan mempertahankan hubungan „kekerabatan‟ dengan negeri leluhurnya. Selain masih berkembangnya stereotip negatif di kalangan pribumi terhadap orang-orang keturunan Tionghoa, kebijakan pemerintah yang tidak jelas dalam menangani persoalan berbasis kultur, merupakan wujud nyata dari “masalah Tionghoa” yang belum terselesaikan. Masalah Tionghoa di Indonesia sangat berkaitan dengan sikap dan kebijakan pemerintah yang tidak cukup tegas dalam persoalan kewarganegaran orang-orang keturunan Tionghoa. Kebijakan asimilasi yang diterapkan menjadi salah arah, karena muncul pandangan bahwa loyalitas orang-orang keturunan Tionghoa hanya dapat dicapai melalui pengingkaran terhadap cirri - ciri kultur mereka. Dalam kenyataannya, keragaman adalah sebuah fakta kehidupan, dan 56 Turnomo Rahardja, Kebijakan Pemerintah Tentang Etnis Cina, dalam Dialogue, JIAKP: l2, No.2, Mei 2005, hlm.784 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 41 kesatuan dalam keberagaman dapat dicapai tanpa harus melakukan penyeragaman. Orde Baru di bawah pimpinan Soeharto menaruh curiga atas hubungan – hubungan yang dijalin oleh etnis Tionghoa dengan Republik Rakyat Tiongkok. Pemerintah Indonesia begitu bersemangat untuk menciptakan sebuah “bangsa yang homogen” sehingga pemeritah mengambil kebijakan asimilasi terhadap kelompok etnis Tionghoa. Penting untuk dicatat bahwa yang disebut “bangsa homogen” disini ditegakkan atas model pribumi. Kelompok etnis Tionghoa dipandang sebagai “nonpribumi” dan karena itu harus menanggalkan identitas ketionghoaan mereka jika mereka ingin menjadi “orang Indonesia tulen”. Namun, identitas pribumi Indonesia yang harus diikuti oleh kelompok etnis Tionghoa itu tidak didefinisikan dengan jelas. Kebijakan asimilasi yang diterapkan pada masa Orde Baru didasarkan pada semboyan Bhineka Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Mangrwa. Indonesia mempunyai masyarakat yang beraneka ragam, bergabung bersama sebagai kesatuan Indonesia seperti yang digambarkan dalam lambang “Binneka Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Mangrwa”. Makna semboyan Bhineka Tunggal Ika berarti berbeda-beda tetapi pada hakekatnya satu, sebab meskipun secara keseluruhannya memiliki perbedaan tetapi pada hakekatnya satu, satu bangsa dan negara Republik Indonesia. Semantara semboyan Tan Hana Dharma Mangrwa57 memiliki makna 57 Semboyan Tan Hana Dharma Mangrwa ini dianut dan dipercaya oleh Presiden Soeharto pada waktu itu karena Presiden Soeharto sendiri adalah seorang militer. Semboyan Tan Hana dharma Mangrwa juga diterapkan di biang militer, sesuai dengan maknanya yaitu tidak ada keragu-raguan, tidak ada kebenaran yang bermuka dua serta senantiasa berpegang dan berlandasan pada kebenaran yang satu, karena di dalam militer sendiri kesetiaan dan kepercayaan hanya ada satu yaitu kepercayaan kepada pemimpin. Semboyan Tan Hana Dharma Mangrwa ini diterapkan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 42 yaitu tidak ada kebenaran yang bermuka dua, sesungguhnya memiliki pengertian agar hendaknya setiap insan manusia senantiasa berpegang dan berlandasan pada kebenaran satu.58 Orang-orang keturunan Tionghoa diharapkan meleburkan kebudayaannya, adat istiadat serta ciri-ciri lainnya ke dalam kebinekaan masyarakat Indonesia. Semboyan Bhinneka Tunggal Ika menghendaki kesatuan bangsa, termasuk juga kesatuan antara minoritas dan mayoritas. Golongan minoritas tidak bisa hanya menuju ke suatu masyarakat yang adil dan makmur, tetapi harus juga memenuhi dan melaksanakan cita-cita negara Indonesia yaitu arah kesatuan. Menuju ke arah kesatuan ini hanya dapat dicapai dengan jalan asimilasi, sehingga ekslusiisme dari minoritas hancur, sehingga hubungan –hubungan antara minoritas dan mayoritas dipererat dan menambah perkawinan –perkawinan campuran. Dengan demikian dapat tercapailah asimilasi ekonomi, sosial, politik dan lain-lain. B. Bidang Sosial dan Budaya 1. Instruksi Presiden No.14/1967 Salah satu peraturan berkaitan dengan asimilasi, yang pertama dikeluarkan pada masa pemerintahan Orde Baru yaitu Instruksi Prsiden No.14/1967. Isi Intruksi tersebut adalah: “Tanpa mengurangi jaminan keleluasaan memeluk agama dan menunaikan ibadatnya, tata cara ibadat Tionghoa yang memiliki aspek kepada orang-orang keturunan Tionghoa karena mereka memiliki kesetiaan yang mendua yaitu kesetiaanya kepada Indonesia, dan juga kepada negerinya Tiongkok. Dengan diterapkannya semboyan ini, maka diharapkan orang-orang keturunan Tionghoa hanya mempunyai kesetiaan yang satu yaitu kesetiaan kepada negara Republik Indonesia. 58 Brigaspad,‟Bineka Tunggal Ika‟…… PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 43 afinitas kultur pada negeri leluhur, pelaksanaannya harus dilakukan secara intern dalam hubungan keluarga atau perorangan.” Pada tanggal 6 Desember 1967 Presiden Soeharto mengeluarkan Instruksi Presiden Nomer 14 tahun 1967 tentang agama, kepercayaan dan adat istiadat Tionghoa. Dalam instruksi tersebut ditetapkan bahwa semua upacara agama, kepercayaan, dan adat istiadat Tionghoa hanya boleh dirayakan di lingkungan keluarga dan dalam ruangan tertutup. Instruksi Presiden ini bertujuan melikuidasi pengaruh seluruh kebudayaan Tionghoa. Termasuk kepercayaan, tradisi, adat istiadat, dan agamanya, dan mendorong terjadinya asimilasi secara total. Keluarnya Instruksi tersebut yang menyatakan adat istiadat orang Tionghoa dilarang dipertontonkan di depan umum, membuat keturunan Tionghoa tidak bebas melestarikan budaya leluhurnya di Indonesia. Tidak hanya itu, pelestarian budaya leluhur orang-orang keturunan Tionghoa dikhawatirkan oleh pemerintah akan menggangu proses program asimilasi yang direncanakan. Kebijakan asimilasi mengakibatkan pengikisan bahasa serta kebudayaan Tionghoa. Organisasi dibubarkan dan sekolah Tionghoa ditutup. Hal itu sejalan dengan kebijakan asimilasi ini. Kebijakan asimilasi di Indonesia merupakan kebijakan yang paling radikal, sebab kebijakan tersebut telah menghilangkan tiga pilar yang menyangga keberadaan masyarakat dan identitas kultur orang – orang keturunan Tionghoa, yaitu sekolah, media masa, dan asosiasi-asosiasi orang keturunan Tionghoa.59 59 Rahardja T, Menghargai Perbedaan Kultur: Mindfulness Dalam Komunikasi antara etnis, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.2005.hlm.787 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 44 Selama 11 tahun sesudah Soeharto memegang kekuasaan, rezim yang baru menyambut baik agama Konghucu. Pemimpin - pemimpin mereka menjalin hubungan erat dengan militer. Mereka juga didukung oleh partai pemerintah Golkar, pada pemilihan 1977. Tak lama kemudian, rezim Soeharto merasa cukup kokoh sehingga tidak memerlukan dukungan kelompok penganut agama Konghucu. Lagi pula para jendral merasa bahwa agama Konghucu adalah penghambat bagi asimilasi warga negara Indonesia keturunan Tionghoa. Sejak tahun 1978, pemerintah mulai menjaga jarak terhadap agama Konghucu. Pada awal tahun 1979 pemerintah Orde Baru juga menerbitkan sebuah surat keputusan yang mengatakan bahwa agama Konghucu bukan agama. Berikut ini adalah diskriminasi akibat dikeluarkannya Instruksi Presiden dalam masalah agama Konghucu: a. Diskriminasi Beribadah Umat Konghucu hanya dapat beribadah secara sembunyi- sembunyi di litang maupun di kelenteng. Akan tetapi ketika ingin mengadakan upacaraupacara besar/Tahun baru Imlek dibatasi, bahkan kelenteng-kelenteng disuruh ditutup. b. Diskriminasi Pendidikan. Umat Konghucu dipaksa untuk mengambil salah satu mata pelajaran agama dari kelima agama yang ada. Hal tersebut dikarenakan tidak ada guru yang mengampu pendidikan agama Konghucu. Rata-rata umat Konghucu pada zaman dahulu mengambil mata pelajaran pendidikan agama Katolik, Kristen atau Buddha. Ada pula yang akhirnya mengambil PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 45 mata pelajaran pendidikan agama Islam. Dikarenakan siswa yang keyakinan agama Konghucu di sekolah tidak mendapatkan hak memperoleh pelajaran agama Konghucu, maka banyak masyarakat Konghucu yang berpindah agama. c. Diskriminasi Perkawinan. Tidak jauh berbeda dengan pendidikan, dalam perkawinan umat Konghucu juga harus memilih perkawinan satu diantara lima agama yaitu Islam, Katolik, Hindu, Buddha, dan Kristen. Menyikapi pemaksaan ini ada tiga jalan : pertama, jalan seperti Budi dan Lani (Pasangan penganut agama Konghucu) yang menggugat ke catatan sipil walaupun prosesnya panjang sampai Mahkamah Agung. Kedua, jalan yang paling banyak ditempuh oleh umat Konghucu mencatatkan dirinya secara agama lain missal agama Katolik atau Buddha walaupun diberkati di litang/kelenteng agar perkawinan diakui oleh negara. d. Diskriminasi Kartu Tanda Penduduk (KTP) Karena dalam kolom agama tidak ada pilihan agama Konghucu sehingga umat Konghucu dipaksa untuk memilih kelima agama yang ada. e. Diskriminasi Aksara Aksara kitab-kitab Konghucu tidak ditulis dalam bahasa mandarin sehingga diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia murni dengan tidak menampilkan aksara kitabnya. Dahulu tidak diperbolehkan, karena jika ditampilkan dalam bahasa mandarin bisa ditangkap, disita dan diintimidasi. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 46 Diskriminasi juga dialami dalam administrasi kependudukan seperti Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan akta kelahiran. Kebanyakan dari penganut Konghucu akhirnya mencatatkan agama lain di akta kelahiran maupun KTP, jika tidak memilih satu di antara agama yang ada, sama saja dia tidak mendapatkan hakhaknya sebagai warga negara. Seperti kesulitan dalam pencatatan perkawinan di catatan sipil, kesulitan mendapatkan akta kelahiran anak dan memperoleh hak pendidikan bagi si anak. Akan tetapi jika umat Konghucu tersebut mencatatkan agamanya di kolom KTP tidak sesuai dengan keyakinannya sama saja dengan membohongi Tuhannya. Pada akhirnya kebanyakan umat Konghucu menulis agama di KTP terserah dan tidak mempermasalahkan, yang penting keyakinan mereka kepada Tuhan. Kebijakan asimilasi terhadap orang Tionghoa didefinisikan dari sudut upaya untuk menghapus komponen Tionghoa dari ”kebudayan Indonesia”, maka tidak mengherankan apabila tidak lama sesudah agama Konghucu tidak diakui sebagai agama, pemerintah mulai membina agama Buddha. Menurut pandangan rezim Orde Baru agama Buddha lebih berciri Indonesia dibandingkan dengan agama Konghucu. Indonesia memang pernah menjadi tempat tumbuhnya dua kerajaan Buddhis yang besar, yaitu Syailendra dan Sriwijaya.60 2. Surat Edaran Menteri Kehakiman No.JHB 3/31/3 Tahun 1978 Salah satu bentuk politik diskriminasi nyata yang dilakukan secara institusional di Indonesia adalah penerapan ketentuan SBKRI yang terutama 60 Wibowo I dan Tung Ju Lan, Setelah Air Mata Kering:Masyarakat Tionghoa Pasca-Peristiwa Mei 1998, Jakarta: Kompas, hlm.85. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 47 ditunjukan kepada kelompok etnis Tionghoa warga negara Indonesia beserta keturunan- keturunannya. SBKRI adalah tanda pengenal yang menyatakan bahwa pemiliknya adalah warga negara Republik Indonesia. Walaupun peruntukan ini bersifat legalitas, SBKRI terutama diberikan kepada keturunan Tionghoa. Pada dasarnya, pengamalan SBKRI sama artinya dengan usaha menempatkan warga negara keturunan Tionghoa pada status yang “masih dipertanyakan“ di sisi undang- undang kewarganegaran Indonesia. Akibatnya seorang WNI Tionghoa yang meskipun sudah beberapa generasi lahir “hingga menutup mata” di tanah Indonesia, setiap waktu harus membuktikan dirinya sebagai warga negara Indonesia. Dalam berbagai proses administratif publik, dari pembuatan kartu tanda penduduk (KTP), memasuki dunia pendidikan, menyatakan hak politik, membuat surat perjalanan ke luar negeri, sampai menikah dan meninggal dunia pun harus membuktikan dirinya warga negara Indonesia melalui SBKRI. Permasalahan pembuktian kewarganegaraan RI dan SBKRI, diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 5 Tahun 1947 yang merupakan peraturan pelaksanaan UU No. Tahun 1946 tentang penduduk dan warga negara didalamnya ditegaskan secara eksplisit bahwa dalam sistem undang-undang warganegara Indonesia suatu bukti kewarga negara Indonesia Tidak Diperlukan untuk orang-orang yang tentu dan diharapkan tentu menjadi warganegara Indonesia : yaitu untuk orang Indonesia asli dan untuk orang peranakan. Artinya penduduk etnis Tionghoa yang sudah menjadi WNI sejak kelahirannya tidak lagi membutuhkan pembuktian atas kewarganegaraan RI-nya. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 48 Dalam perkembangannya setelah terjadi penyerahan kedaulatan dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) pada tahun 1949, permasalahan pembuktian kewarganegaraan RI muncul, klim politik pemerintahan Mao Tse Tung bahwa semua orang Cina di seluruh dunia, termasuk Indonesia adalah warga negara Republik Rakyat Tiongkok karena asas keturunan darah, yang kemudian ditindaklanjuti dengan perjanjian dwi kewarganegaraan RI-RRT antara Perdana Menteri RRT Chou En Lai, dan Menteri luar negeri RI Mr.Soenario pada tahun 1955. Peraturan tersebut ditindaklanjuti dengan Surat Edaran Menteri Kehakiman No. JHB 3/31/3 Tahun 1978 kepada semua pengadilan negeri dan semua kepala perwakilan RI di luar negeri, bahwa SBKRI ditujukan kepada semua kaum peranakan, misalnya golongan Tionghoa, Arab, dan India. Akan tetapi, dalam prakteknya di birokrasi, kebijakan SBKRI hanya diterapkan kepada peranakan Tionghoa, sedangkan peranakan lainnya tidak. Fenomena “rasial” inilah kemudian menjadi awal dari segala kebijakan diskriminatif yang tidak berkesudahan hingga saat ini. Dalam perkembangannya SBKRI sendiri secara eksplisit sudah dihapuskan penerapannya kepadaWNI Tionghoa dengan Keputusan Presiden (Keppres) No. 56 Tahun 1996 tentang Surat Bukti Kewarganegaran Republik Indonesia. Dalam Keppres tersebut pasal 5 menyebutkan: “Dengan berlakunya keputusan presiden ini, maka segala peraturan perundang-undangan untuk kepentingan tertentu mempersyaratkan SBKRI dinyatakan tidak diberlakukan lagi” PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 49 Kebijakan diskriminatif tersebut tetap saja diimplementasikan di berbagai instasi pemerintahan. Pihak-pihak yang berwenang atas kebijakan ini menyatakan berbagai alasan pemberlakuan SBKRI bagi WNI Tionghoa ini. Kenyataannya, SBKRI selalu saja menjadi salah satu syarat yang diminta oleh instasi-instasi terkait, seperti jajaran Departeman Dalam negeri ketika mengurus akta kelahiran, perkawinan, bahkan surat kematian, serta di beberapa daerah juga dilakukan oleh jajaran Departeman Kehakiman dan Ham. 3. Peraturan Menteri Perumahan No. 55.2-360/1988 Menilik berbagai fungsinya, tidaklah disangkal bila kelenteng menjadi salah satu pusat kegiatan masyarakat Tionghoa di Indonesia. Akan tetapi, pemerintahan Orde Baru membawa perubahan besar terhadap kelenteng - kelenteng di Indonesia melalui peraturan Menteri Perumahan No.455.2-360/1988, yang isinya melarang penggunaan lahan untuk mendirikan, memperluas, atau memperbahurui kelenteng.61 Istilah kelenteng yang menunjukkan tempat ibadah orang Tionghoa tidak lagi digunakan dan diganti dengan Wihara (tempat ibadah umat Buddha). Selama Orde Baru berjaya mendirikan sebuah perhimpunan tempat ibadah Tri Dharma yang mencakup tiga agama sekaligus yaitu agama Konghucu, Tao, dan Buddha. Perhimpunan tempat Ibadah Tri Dharma kemudia berkembang menjadi perhimpunan tempat Ibadah Tri Dharma se-Indonesia. Rezim Soeharto berusaha mengubah kelenteng menjadi Wihara yang lebih mengacu sebagai tempat ibadat agama Buddha sedangkan ajaran Taoisme dan Konghucu dianggap sebagai sampingan saja dan harus berlindung di balik agama Buddha. Akibatnya, di 61 Majalah Tempo, Etnis Tionghoa di Zaman yang Berubah, Jakarta: Edisi 16-22 Agustus 2004, hlm.37 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 50 beberapa kelenteng, arca tokoh dari ajaran Buddha yang dulunya sebagai arca tambahan ditempatkan di altar utama. Bahkan di beberapa kelenteng yang sebelumnya tidak menganut ajaran Buddha, mencari keselamatan dengan men-Tri Dharmakan diri dengan memasukkan arca dari ajaran Buddha. Fisik bangunan kelenteng pun menjadi korban. Masyarakat Tionghoa pun dilarang membangun atau memperluas bangunan, memperbaiki kerusakan pun tidak berani dilakukan, Kalaupun dilakukan, pasti dengan sembunyi-sembunyi. Akibatnya, sampai tahun 1998 banyak sekali bangunan kelenteng dalam kondisi mengenaskan.62 C. Bidang Ekonomi Berakhirnya Demokrasi Terpimpin pada tahun 1967 mewariskan keadaan ekonomi yang sangat buruk bagi periode pemerintahan Orde Baru di Indonesia. Pada tahun 1965, harga-harga umumnya naik lebih dari 500%. Keadaan paling parah terjadi pada bulan Januari, Febuari, dan Maret 1966.63 Menghadapi kenyataan tersebut, pemerintah Orde Baru mengambil berbagai kebijakan untuk mengatasi perekonomian negara yang semakin memburuk. Salah satu kebijakannya adalah menggunakan etnis Tionghoa. Berdasarkan kecenderungan tersebut pemerintah mengambil keputusan yang dipandang penting dalam upaya menstabilkan dan membangun perekonomian serta menarik para kreditor dan investor asing. Berdasarkan hal tersebut, maka pemerintah memberlakukan 62 Herwiranto M, Kelenteng:Benteng terakhir dan titik awal perkembangan kebudayaan Tionghoa di Indonesia, hlm 83 63 Muhaimin Yahya A, Bisnis dan Politik:Kebijakan Ekonomi Indonesia 1950-1980, Jakarta: LP3ES, 1990. hlm.51 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 51 Undangan-Undang Penanaman Modal Asing (UUPMA) dan Undang-Undang Penanaman Modal Dalam Negeri (UUPMDN), sebagaimana dijelaskan berikut: “Di bidang ekonomi perubahan penting yang dilakukan Orde Baru adalah dengan diterapkannya TAP No. XIII/MPRS/1966 tentang penyelesaian masalah ekonomi dan keuangan, serta ditetapkannya Undang-undang Penanaman Modal Asing (PMA) tahun 1967 dan Undang-undang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) tahun 1968 yang menjamin keamanan modal asing di Indonesia.”64 Dengan adanya UUPMA dan UUPMDN tersebut, pemerintah Orde Baru memberikan berbagai kemudahan yang memberi jaminan keuntungan dan perlakuan istemewa terhadap investor asing. Kebijakan ini memberikan kesempatan bagi para pengusaha Tionghoa untuk dapat memperbesar usaha, sehingga mereka memiliki peranan penting dalam perekonomian di Indonesia. Situasi ini dijelaskan berikut: “Pada awal pemeritahan Soeharto, tahun 1966-1967 warga etnis Tionghoa banyak diberi peluang, karena pada waktu itu mereka dianggap memiliki akses ke luar negeri untuk menarik modal investor asing, khususnya etnis Tionghoa berkewarganegaran Taiwan, Hongkong, dan Singapura. Kenyataannya, strategi yang diterapkan oleh pemerintah Soeharto waktu itu cukup berhasil menari investor asing. Banyaknya investor asing yang pada umumnya memilih bekerja sama dengan etnis Tionghoa, karena kelompok ini dianggap telah menguasai jalur distribusi perdagangan dalam negeri dan dekat dengan eliet pemerintahan Soeharo, sehingga mudah mendapatkan konsesi dan lisensi.”65 Sejalan dengan kebijakan tersebut, pemerintah Orde Baru juga menganjurkan kepada para pengusaha Tionghoa untuk melakukan kerjasama usaha dengan perusahaan swasta nasional Indonesia. Pemberian kebebasan bagi pengusaha Tionghoa untuk bekerjasama dengan perusahaan swasta maupun 64 Wirawan Yery, Dinamika Ekonomi Politik Awal Orde Baru: 1996-1968, Jakarta: Skripsi Program Studi Sejarah Fakultas sastra Universitas Indonesia, hlm 47 65 Ibid, hlm 48 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 52 pemerintah tersebut membawa dampak negatif seperti lahirnya kerjasama atau pengusaha Tionghoa dengan pemerintah. Para elit pemerintah memberikan perlindungan keamanan dan pemberian fasilitas kepada para pengusaha Tionghoa, sementara itu pengusaha Tionghoa memberikan jaminan uang sebesar-besarnya kepada elit pemerintah, guna memperlancar usaha mereka. Kerjasama semacam ini kemudian dinamakan sistem Cukong atau Cukongisme yaitu istilah Tionghoa (Hokkien) yang artinya majikan. Cukong diadopsi dari sistem ekonomi benteng Ali Baba pada masa Orde Lama. Pada satu hal, kebijakan ekonomi pemerintah tersebut banyak memberikan keuntungan bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Dengan adanya keterbukaan penanaman modal asing yang mendorong terciptanya pasar bebas, akhirnya muncul dominasi Tionghoa dalam sektor perekonomian seiring dengan kondisi perekonomian Indonesia yang terus membaik dan stabil. Meski pada awalnya para pengusaha Tionghoa diberikan kesempatan untuk mengembangkan usahanya dalam rangka pembangunan ekonomi, dalam prakteknya mereka harus berhadapan dengan birokrasi dan masalah keamanan usaha dari ancaman pribumi yang selalu memendam prasangka terhadap mereka. Untuk mengatasi kesulitan birokrasi tersebut mereka menjalin kerjasama dengan para elit pribumi yang dekat dengan kekuasaan. Adanya kerjasama itu dijelaskan berikut ini: “Untuk menghindari kesulitan birokrasi dan untuk pengamanan banyak pengusaha etnis Tionghoa berkolaborasi dengan elit Indonesia, terutama dengan pihak militer. Kolaborasi tidak resmi yang sangat umum pada waktu itu adalah pengusaha etnis Tionghoa memberikan dukungan modal dan mengelola usaha, sedangkan elit Indonesia memberikan lisensi atau konsesi monopoli. Keduanya sangat PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 53 diuntungkan oleh „kerja sama‟ semacam ini, yang dikenal waktu itu sebagai „cukongisme‟66 Kerja sama tersebut menghasilkan sikap atau tindakan saling mengisi antara elit pribumi dengan para pengusaha Tionghoa. Dengan adanya aksi-aksi kerusuhan sebagai imbas dari dominasi mereka dalam perekonomian, mereka tidak segan-sega memberikan sogokan dalam bentuk uang dan sebagainya dengan jumlah besar. Sebagai jaminannya mereka diberikan perlindungan khusus oleh elit pribumi yang besar. Mengenai praktek pemberian uang ataupun bantuan diuraikan berikut ini: “Kadang-kadang, para cukong tersebut memberikan sumbangan untuk tujuan yang mereka anggap baik. Untuk beberapa saat, media massa tersebar dengan laporan-laporan yang menginikasikan keterlibatan mereka dalam pembiayaan kampanye politik Golkar sampai ke aksiaksi yang kurang transparan.”67 D. Bidang Politik Pengalaman dari zaman Orde Lama memotivasi pemerintahan Orde Baru mengubah kebijakan untuk mengatasi permasalahan perihal dominasi etnis Tionghoa di Indonesia. Namun pergantian masa Orde lama tidak serta merta membawa angin segar terhadap hilangnya diskriminasi rasial yang dialami oleh etnis Tionghoa di Indonesia. Kenyataannya yang ada, diskriminasi rasial terhadap etnis Tionghoa masih saja berlanjut pada masa Orde Baru. Pada masa pemerintahan Orde Baru, keberadaan etnis Tionghoa menjadi masalah yang lebih 66 I Wibowo, Retropeksi dan Rekontektualisasi Masalah Cina, Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama, 1999, hlm 59. 67 Yusiun Liem, Prasangka Terhadap Etnis Cina : Sebuah Intisari ealuasi 33 Tahun di Bawah Rejim Soeharto, Jakarta: Djambatan, 2000, hlm. 75. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 54 serius. Masalah tersebut begitu kompleks bukan hanya mengenai identitas kebangsaan, akan tetapi berkaitan juga dengan masalah politik. Kegiatan orang Tionghoa dalam bidang politik dibatasi seperti pelarangan kegiatan yang mengarah pada hal yang berbau politik. Hal ini dituangkan dalam Instruksi Presidium Kabinet No. 31/U/IN/12/1966 kepada menteri dan kantor catatan sipil.68 Setelah pergantian dari Orde Lama ke Orde Baru, pemerintah Orde Baru melarang semua organisasi sosio-politik Tionghoa. Mereka memandang organisasi Tionghoa bersifat ekslusif dan ingin melihat orang Tionghoa bergabung dalam ormas yang didominasi oleh pribumi. Hal tersebut dibenarkan oleh Ang Tjing Kwang bahwa secara kasat mata tidak ada generasi yang lahir setelah tahun 1965 menjadi pegawai negeri atau pegawai pemerintahan. Pegawai negeri maupun pegawai pemerintahan mayoritas dipegang sepenuhnya oleh kalangan pribumi. Selama 30 tahun masa pemerintahan rezim Orde baru yang otoriter, akibat peraturan yang berlaku pada waktu itu, orang Tionghoa tidak dapat melakukan kegiatan apa pun di bidang politik. Terjadinya sebuah sikap apolitik di kalangan orang Tionghoa walaupun sikap yang sama tampak pada hampir semua kelompok orang Indonesia. Seperti telah diungkapkan banyak pengamat, orang-orang Tionghoa mengalihkan kegiatan mereka ke bidang ekonomi, satu- satunya bidang kehidupan yang masih terbuka bagi mereka. Perlahan- lahan mereka mengubah diri mereka menjadi economic animal yang pada gilirannya menimbulkan rasa marah di kalangan orang-orang non-Tionghoa. Sikap apolitik di kalangan orang 68 Junus Jahja, Nonpri dimata Pribumi. Jakarta: Yayasan Tunas Bangsa, 1991. hlm 224 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 55 Tionghoa telah membuat diri mereka benar-benar anti politik, sedemikian rupa sehingga mereka menjahui segala sesuatu yang” berbau politik”. Sikap anti politik inilah yang kini tertanam dalam-dalam yang sulit sekali untuk diatasi.69 69 Wibowo I, Setelah Air mata Kering „Masyarakat Tionghoa Pasca Peristiwa mei 1998, Jakarta: Kompas, 2010.hlm. 25-26 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI BAB IV DAMPAK KEBIJAKAN ORDE BARU TERHADAP ETNIS TIONGHOA A. Bidang Sosial dan Budaya 1. Masalah SBKRI Dengan Keputusan Presiden No. 56/1996 dan instruksi Presiden No.4/1999 tentang pelaksanaan keputusan Presiden No.56/1996 yang menginstruksikan tidak berlakunya SBKRI bagi etnis Tionghoa yang sudah menjadi WNI, SBKRI dicabut. Pencabutan secara nasional ini terinspirasi dari Surakarta. Ketika Walikota Surakarta, Slamet Suryanto di tengah kesimpangsiuran antara ketentuan dan praktik birokrasi, pihaknya melakukan penghapusan SBKRI bagi warga keturunan Tionghoa di Surakarta. Melalui Instruksi Walikota No 471/006/02/2004 yang dikeluarkan tanggal 19 Juli 2004 tentang penggunaan bukti kewarganegaraan RI merupakan tindak lanjut pencabutan SBKRI secara nasional sesuai Keppres Nomer 56 tahun 1996 dan Inpres No 4 tahun 1999. Selanjutnya masyarakat Tionghoa tidak lagi disibukkan dengan bukti kewarganegaraan tambahan selain Kartu Tanda Penduduk (KTP).70 Masyarakat Tionghoa pada umumnya menerima kebijakan asimilasi tersebut meskipun beberapa di antaranya enggan untuk berganti nama menjadi 70 Winara Frans H, “Upaya penghapusan Praktik Diskriminasi, Khasusnya Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia, Pasca Lahirnya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang kewarganegaraan Republik Indonesia”, Jurnal: hlm 6 56 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 57 nama Indonesia. Beberapa yang lain juga enggan untuk mencatatkan pernikahan di departemen terkait, karena permasalahan birokrasi yang dirasa sulit serta sarat dengan penarikan uang secara tidak legal. Pengalaman Adong Wijaya, 37 tahun salah satunya. Warga keturunan Tionghoa yang tinggal di perumahan Taman Lopang Indah, Serang, Banten, ini gagal mengurus akta kelahiran anaknya yang baru berusia dua bulan. Meskipun melampirkan SBKRI orang tuanya, Adong tak mampu menunjukkan SBKRI atas namanya sendiri. Adong sempat beradu argumentasi “Tak ada gunanya reformasi. Saya tetap dipandang sebelah mata, ujar Adong yang tengah menjadi ketua peringatan 17 Agustus di Wilayah rukun tetangga tempat tinggalnya.”71 Kini, setelah 35 tahun berselang, SBKRI tetap menjadi momok bagi warga keturunan. Padahal, secara resmi, pemerintah telah menghapus keharusan menunjukkan SBKRI bagi warga keturunan Tionghoa dalam mengurus dokumen apapun, termasuk paspor. Keputusan Pemerintah menetapkan bahwa SBKRI ayat 2 keputusan itu ditulis, „WNI yang telah memiliki KTP, Kartu Keluarga,atau Akta kelahiran tak lagi membutuhkan SBKRI. Tapi aturan tinggal aturan. Praktek lapangan sungguh masih jauh dari kenyataan. Para petugas imigrasi, misalnya, selalu menanyakan SBKRI saat warga etnis Tionghoa akan membuat atau memperpanjang paspor. Perlakuan yang sama masih diterima saat mereka mengurus kartu tanda penduduk maupun akta kelahiran. 71 Ibid.hlm 12 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 58 2. Diskriminasi Agama Konghucu Pada tanggal 6 Desember 1967, Orde Baru mengeluarkan keputusan No. 14 Tahun 1967 tentang asimilasi atau pembaharuan, dalam hal ini yang dimaksud adalah memaksa orang Tionghoa menghilangkan identitas budaya Tionghoa dan diganti dengan identitas budaya setempat. Peraturan ini memang tidak langsung berdampak bagi umat Konghucu tetapi hanya membatasi aktivitas budaya etnis Tionghoa di depan umum. Namun pada perkembangannya peraturan tersebut turut mempengaruhi aktivitas Umat Konghucu karena ajaran Konghucu merupakan bagian dari budaya etnis Tionghoa. Instruksi Presiden No.14 Tahun 1967 tersebut menimbulkan keraguan pada WNI keturunan Tionghoa untuk berpegang pada agama tradisional mereka. Karena secara tersirat menggambarkan adanya identifikasi bahwa agama mereka yaitu agama Konghucu identik dengan Tiongkok dan komunisme. Instruksi tersebut tidak sejalan dengan pengakuan adanya agama Konghucu. Segala peraturan yang bersifat diskriminatif semasa Orde Baru juga menghambat aktivitas keagamaan umat Konghucu di Kelenteng. Dalam menghadapi situasi Orde Baru terkait dengan segala peraturan tentang agama dan budaya kelompok Tionghoa dan Umat Konghucu pada khususnya, umat Konghucu memilih untuk menanggapi semua itu dengan jalan damai. Mereka tidak berani melakukan aksi-aksi untuk menentang karena apabila terlalu menentang peraturan-peraturan yang dibuat maka mereka akan dianggap sebagai komunis dan dimasukkan ke penjara. Selain itu pelanggaran terhadap tidak diperbolehkan menggunakan bahasa Cina dalam aktivitas sehari-hari juga PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 59 sangat memberatkan umat Konghucu, bahkan di kalangan umat Konghucu tidak ada yang berani menyimpan tulisan-tulisan berbahasa Cina tekanan serta kekawatiran dicurigai sebagai anggota PKI. Dalam urusan hak catatan sipil masyarakat Konghucu juga dihadapkan pada permasalahan sulitnya mendapatkan pengakuan agama Konghucu baik saat nikah maupun saat mendaftarkan diri untuk mendapatkan catatan identitas diri atau KTP. Hal lain yang masih menekan umat Konghucu pada khususnya dan masyarakat etnis Tionghoa pada umumnya adalah adanya proses asimilasi yang begitu memberatkan serta sangat menguras tenaga. Umat Konghucu menjadi serba salah, karena jika tidak memilih satu diantara agama yang ada, sama saja dia tidak mendapatkan hak-haknya sebagai warga negara. Seperti kesulitan dalam pencatatan perkawinan di catatan sipil, kesulitan mendapatkan akta kelahiran anak dan memperoleh hak pendidikan bagi si anak. Namun, jika umat Konghucu mencatatkan agamanya di kolom KTP tidak sesuai dengan keyakinannya sama saja dia membohongi Tuhannya. Pada akhirnya kebanyakan umat Konghucu menulis agama di KTP terserah dan tidak mempersalahkan, yang penting keyakinan mereka kepada Tuhan. Selama berpuluh-puluh tahun Konghucu tidak pernah jelas statusnya sebagai agama atau bukan di Indonesia. Namun, perjuangan umat Konghucu untuk mendapatkan hak-hak sipilnya sebagai warga negara Indonesia terus diupayakan. Terbukti pada era pemerintahan Presiden Abdurahman Wahid keluarlah Keppres RI No.6 Tahun 2000 tentang pencabutan Inpres No. 14 Tahun 1967. Pencabutan Inpres yang dilakukan tidak hanya faktor kedekatan tokoh PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 60 Konghucu dengan Gus Dur, tetapi juga karena pemikiran Pluralisme yang Gus Dur miliki. Peran Gus Dur dalam upaya mengembalikan posisi Konghucu sebagai agama dan memperjuangkan hak-hak sipilnya sangat berarti bagi umat Konghucu. Peran Gus Dur dalam melindungi hak-hak minoritas etnis Tionghoa menjadikan beliau dinobatkan sebagai Bapak Tionghoa Indonesia. 3. Masalah Kelenteng Di awal pemerintahan Orde Baru, pengurus perhimpunan tempat Ibadah Tri Dharma (PTITD) yang anggota-anggotanya terdiri atas puluhan TITD (Tempat Ibadah Tri Dharma) akan dimusiumkan oleh pemerintah Orde Baru. Oleh para tokoh PTITD saat itu lahirlah namanya agama Buddha Tridharma, menginduk pada agama Buddha dan terdaftar di departemen agama RI sebagai agama Buddha aliran Tridharma, yakni agama Buddha yang mempelajari ajaran Konghucu dan ajaran Taoisme, termasuk dalam lingkup Buddha Mahayana. Inilah yang menyebabkan kelenteng / TITD terlindungi. Namun sikap ini 30 tahun kemudian menyebabkan masyarakat Indonesia menyangka bahwa agama Buddha, agama Konghucu agama TAO adalah identik atau sama, padahal sebetulnya berbeda, baik dalam ketuhanan, ajaran-ajaran, dan kitab suci. Ketiga agama ini berdiri sendiri dan memiliki Nabi serta ajaran agama sendiri-sendiri. Semua karena politik dikala itu. Mungkin banyak orang Tionghoa bisa menahan tidak melihat, mendengar barongsai, liong, tulisan mandarin, lagulagu mandarin, di tempat - tempat umum, sebagai warisan budaya nenek moyang mereka dari Republik Rakyat Cina (RRC) selama 30 tahun. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 61 Untuk urusan agama rasanya tidak bisa terpisahkan meskipun hanya perjuangan PTITD menyatukan 3 agama minoritas di dalam 1 wadah keagamaan, yakni TITD hanya bersifat administratif belaka, namun hal itu bisa dipahami, mesikpun perjuangan tersebut dianggap belum memuatkan karena pada dasarnya agama adalah hak manusia paling hakiki atau mendasar. Perayan-perayan agama dan adat istiadat Tionghoa juga melarang kelenteng - kelenteng yang tidak ada simbol agama Buddha. Hal ini disebabkan pada masa Orde Baru pemerintah hanya mengakui Konghucu bila masuk dalam Tri Dharma. Peraturan tersebut juga didukung Surat Keputusan Pepelrada No.22/6/1967 dikeluarkan oleh Mayjen M Yasin yang menggantikan posisi Mayor Jendral Soemitro yang isinya menetapkan penggantian istilah “Kelenteng “ menjadi “Tempat Ibadah Tri Dharma” (TITD) dan kepada pemeluknya diberi kebebasan menjalankan ibadah di tempat- tempat ibadah Tri Dharma. Melihat kondisi yang demikian para pengurus Kelenteng segera merespon dan tidak mau mengambil jalan secara frontal. Sejak saat itu lah Kelenteng berubah menjadi tempat ibadah Tri Dharma yakni tempat ibadah bagi umat agama Konghucu, Buddha dan Tao sehingga Kelenteng masuk dalam Penghimpunan Tempat Ibadah Tri Dharma (PTITD). Meskipun demikian berubahnya Kelenteng manjadi Tempat Ibadah Tri Dharma dalam pelaksanaanya mayoritas umat Konghucu berusaha agar aktivitas ibadah mereka tidak menyolok, artinya mereka berlindung di bawah identitas agama Buddha yang diakui oleh pemerintah. Seluruh aktivitas kegiatan Umat Konghucu tetap mendapat pengawasan yang ketat dari pihak keagamaan. Misal pengurus Kelenteng dilarang melakukan renovasi dan perawatan bangunan. Demi PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 62 menyambung nyawa dan menjamin keselamatan dirinya, warga Tionghoa di Indonesia pun banyak yang berlindung dalam agama resmi yang ditetapkan pemerintah. Kaum tuanya mungkin menyadari kesenjangan budaya ini tetapi tekanan politik terasa berat. Mereka lebih mengutamakan keselamatan generasi mudanya walaupun harus kehilangan sebagian besar budayanya. Bahkan, beberapa diantara kaum tua Tionghoa ada yang sengaja menakut-nakuti kaum mudanya untuk tidak belajar budaya leluhurnya demi keselamatan keluarga. Akibatnya dapat dibayangkan bila 30 tahun kemudian terjadi kesenjangan budaya antara generasi tua dan generasi muda Tionghoa di Indonesia. Memang unik juga nasib bangsa Cina perantauan ini, mereka harus terpaksa mengorbankan sebagian harga dirinya, yaitu kebudayannya untuk mempertahankan hidup dan memperoleh bentuk harga diri yang lain. Walaupun begitu, kebudayan Tionghoa tidaklah lantas lenyap seluruhnya begitu saja. Sisa-sisa kebudayan ini masih tersimpan dan dilakukan semampunya di dalam kelenteng. Meskipun bagian rusak dan tak terawat, bangunan kelenteng masih menyimpan berbagai arca, ukiran, lukisan, dan berbagai ornamen. Secara sangat terbatas dan sembunyi- sembunyi, berbagai arca ritual, kebudayan, dan kegiatan sosial masih dilakukan di dalam lingkunagan kelenteng. Pendeknya selama hampir 32 tahun pemerintahan Orde Baru, kelenteng berfungsi menjadi benteng terakhir kebudayan Tionghoa di Indonesia. Setelah menjadi salah satu tumbal politik melalui peristiwa anti-Tionghoa Mei 1998, Era Reformasi membawa banyak perubahan di Indonesia. Era pemerintahan baru di bawah Presiden Abdurahman Wahid mencabut beberapa kebijakan yang diskriminatif PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 63 terhadap masyarakat Tionghoa. Walapun masih terjadi beberapa kendala di lapangan, tetapi kebudayan Tionghoa kembali bangkit. Malahan di berbagai tempat atau kalangan ditengarai terjadi eforia atau malah latah kebudayan Tionghoa.72 Kelenteng menjadi pusat kegiatan. Banyak bangunan kelenteng mulai diperbaiki atau direnovasi besar-besaran. Tarian Barongsai terlihat meramaikan berbagai acara. Upacara arak-arakan dewa “gotong tepekong” yang banyak mengikutsertakan kebudayan China, seperti pakaian, musik, dan tarian mulai dilaksanakan di berbagai kota. Kelenteng kembali ramai didatangi oleh lebih umat Tionghoa yang ingin bersembahyang. Pendeknya kelenteng menjadi salah satu titik awal bangkitnya kembali kebudayan Tionghoa di Indonesia. Namun tiga puluh tahun lebih dalam belenggu budaya membuat sebagian besar umat Tionghoa kehilangan pengetahuan rohani dan budayanya. Sebuah kenyataan pahit menjadi pemandangan sehari- hari dalam kelenteng, yaitu banyak umat Tionghoa yang datang ke kelenteng hanya bersembahyang di depan arca para dewa tanpa mengerti lagi siapa dan apa sebenarnya ajaran para dewa- dewi tersebut. Pokoknya bersoja, mengucapkan hio dan menuang minyak di altar dewa tersebut, beres urusan. Juga dapat diperhatikan, bila memasuki sebuah kelenteng, perhatian umat hanya tertuju pada arca dewa dewi saja. Isi kelenteng lainnya seolah bukanlah hal yang patut diperhatikan, atau paling tidak dinikmati keindahanya. Ditambah lagi, entah karena ketidaktahuan, ketidakmampuan, atau bahkan ketidakpedulian dari 72 Herwiranto M,”Kelenteng:Benteng Terakhir dan titik awal perkembangan kebudayaan Tionghoa di Indonesia”, Jurnal Lingua Cultur hlm. 83 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 64 umat dan pengurus kelenteng, ukiran atau lukisan yang menyimbolkan ajaran banyak hal itu dianggap hiasan belaka sehingga kerap tampak tak terawat, kotor tertutup debu, atau malahan hitam tak terlihat sama sekali terkena asap bertahuntahun. Jangankan untuk mengerti simbol apa yang terkandung, bahkan sering kali mereka juga tidak tahu lagi apa sebenarnya hewan, tumbuhan, atau cerita apa yang terukir atau terlukis tersebut. Memang ada usaha dari beberapa kaum terpelajar Tionghoa untuk memulai memperhatikan masalah ini. Akan tetapi, memang bukanlah hal yang mudah untuk menghadapi akibat belenggu budaya yang telah membuat sebagian besar kaum Tionghoa tua terlanjur apatis dan kaum mudanya tak lagi mengenali budayanya. B. Bidang Ekonomi Maraknya sistem cukong di masa Orde Baru memicu praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Pada akhirnya, kelompok KKN inilah yang sebetulnya menguasai ekonomi Indonesia. Hal ini muncul dengan hadirnya beberapa konglomerat yang memainkan peran sangat dominan dalam praktek tersebut seperti Liem Sioe Liong atau Sudono Salim, William Soeryadjaya, Eka Tjipta, Bob Hasan, dan sebagainya. Sementara itu orang-orang yang berasal dari elit pribumi diantaranya adalah Ibnu Sutowo, Ali Murtopo, Ali Sadikin, dan beberapa petinggi militer yang memegang jabatan penting pada masa Orde Baru. Singkatnya pada masa Orde Baru, setiap pengusaha yang dekat dengan kekuasaan bisnisnya akan menjadi berkembang dan besar. Hal ini terjadi pada PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 65 Liem Sioe Liong atau Sudono Salim. Kemampuanya menjalin kedekatan dengan Soeharto menjadikannya salah satu konglomerat terbesar di Indonesia. Ini tidak dapat dipungkiri dari citranya sebagai pengusaha sukses yang mempunyai beberapa perusahaan besar seperti PT. Indocement, bank Central Asia (BCA), Hotel Mandiri, PT.Tarumate, dan lain-lain, yang merupakan deretan kelompok usaha-usaha besar strategis bagi perkembangan ekonomi Indonesia.73 Melihat kenyataan tentang besarnya peran serta pengusaha Tionghoa dalam perekonomian Indonesia, terutama setelah kedatangan para investor asing yang menanamkan modalnya dan bekerja sama dengan pengusaha Tionghoa hingga lahirnya praktik percukongan yang menimbulkan KKN di tubuh elit kekuasaan dan para pengusaha Tionghoa yang ikut terlibat di dalamnya, maka mucul kritikkritik terhadap kebijakan pemerintah tersebut. Kritik-kritik tersebut selanjutnya di wujudkan dalam bentuk aksi demonstrasi. Tentang situasi tersebut digambarkan berikut: “Pada akhir 1975 situasi dikalangan mahasiswa memanas, karena keresahan yang dialami rakyat melihat arah perkembangan ekonomi yang dilaksanakan pemerintahan Orde Baru. Isu-isu korupsi, percukongan, modal asing, serta peranan Jepang menjadi sorotan mereka. Mahasiswa menilai bahwa pelaksanaan pembangunan memberikan porsi terlampau besar kepada modal asing, terutama modal modal Jepang sehingga menghancurkan modal dalam negeri. Aksi-aksi demonstrasi tersebut berkembang menjadi aksi rasialis anti Tionghoa dengan merusak dan menjarah toko etnis Tionghoa.”74 73 Siswono Yudo H, Warga Baru:Kasus cina di Indonesia, Jakarta: Lembaga penelitian Yayasan Padamu Negri.1985. hlm. 83 74 Benny G. Setiono, Tionghoa Dalam Pusaran Politik :Mengungkap fakta Sejarah tersembunyi Orang Tionghoa di Indonesia, Jakarta: Elkasa,2003. hlm. 1002 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 66 Rangkaian demonstrasi ini akhirnya meledak dalam peristiwa kerusuhan pada tanggal 15 Januari 1974 yang dikenal dengan Peristiwa Malari (Malapetaka Lima Belas Januari). Peristiwa ini ditandai dengan penghancuran toko-toko milik etnis Tionghoa dan pengrusakan produk-produk Jepang. Semenjak saat itu pemerintah Orde Baru mulai menjalankan kebijakan ekonomi mengenai pembatasan dominasi etnis Tionghoa dan juga pihak asing dalam aktivitas perekonomian di Indonesia. Setelah peristiwa Malari, diskusi mengenai etnis Tionghoa dan juga penanaman modal asing dibatasi. Hal ini untuk menghindari terjadinya aksi demonstrasi yang mengarah pada etnis Tionghoa. Setelah masa itu pula, muncul istilah pribumi dan non pribumi. Penggunaan istilah tersebut digunakan sebagai kritikan terhadap pengusaha etnis Tionghoa. Untuk mengurangi ketegangan yang terjadi, pemerintah Orde Baru mengeluarkan kebijakan ekonomi yang baru. Kebijakan ekonomi ini pada intinya dalam rangka upaya mempribumikan atau Indonesianisasi dengan tujuan untuk membantu para pengusaha pribumi agar dapat mengembangkan usahanya. Dalam upaya ini, pada tahun 1974 dikeluarkan suatu peraturan yang mengharuskan semua investasi asing di Indonesia dikelola dalam bentuk patungan. Adapun peraturan akhir dalam upaya pemribumian atau Indonesianisasi ini adalah dengan dikeluarkannya Keppres No. 14 yang dikeluarkan 1979, yang kemudian disempurnakan menjadi Keppres No. 14A tahun 1980 yang menempatkan bahwa departeman dan lembaga-lembaga pemerintah memberikan prioritas kepada para pengusaha dan kontraktor kelompok ekonomi lemah (yaitu PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 67 pribumi Indonesia) untuk membeli barang-barang dan mengadakan kontrak. Untuk proyek besar, usaha patungan antara pribumi dan non pribumi digalakkan, akan tetapi pribumi harus memiliki andil 50% dan aktif dalam perusahan tersebut.75 Melalui Keppres tersebut dan dengan adanya upaya pemerintah dalam hal merangsang tumbuhnya pengusaha pribumi, maka muncullah pengusahapengusaha pribumi seperti Siswono Yudo Husodo, Fahmi Indris, dan Pontjo Sutowo yang terutama bergerak di sektor konstruksi. Akan tetapi, walapun ada aturan seperti Keppres no. 14A tahun 1980 ini scara keseluruhan, pengusaha etnis Tionghoa ternyata lebih banyak tumbuh dan menjadi besar. Hal ini dikarenakan, peraturan ini hanya membantu sebagian pengusaha pribumi saja, terutama mereka yang memiliki hubungan dengan kekuasaan atau telah memiliki kerja sama dengan pengusaha Tionghoa. Akhirnya, dominasi perekonomian Indonesia tetap berada pada para pengusaha Tionghoa. Dominasi etnis Tionghoa dalam perekonomian semakin jelas terutama setelah jatuhnya harga minyak sehingga mengakibatkan pemerintah kembali menjalin kerja sama dengan pengusaha Tionghoa dalam upaya mendorong pendapatan bukan minyak. Bisnis etnis Tionghoa diharapkan dapat membantu program pembangunan pemerintah Orde Baru. Hal ini tercermin dalam pidato Presiden Soeharto berikut ini: “Pemerintah hanya dapat menyediakan 54,1% dari keseluruhan biaya yang dibutuhkan bagi pembangunan tahap i. sementara sisanya 15,9% diharapkan dating dari sector swasta, terutama untuk menunjang pengadaan lapangan kerja dan memperoleh 75 Suryadinata Leo, Etnis Tionghoa Dan Pembangunan Bangsa, Jakarta: LP3ES, 1999, hal. 94. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 68 dana bagi program pembangunan dari penerimaan ekspor non migas.”76 Berdasarkan hal tersebut, kebijakan di bidang ekonomi ini secara jelas ditunjukan dan menguntungkan kepada para pengusaha etnis Tionghoa, karena hanya golongan ini yang memiliki kemampuan financial. C. Bidang Politik Pada masa pemerintahan Orde Baru, etnis Tionghoa dihadapkan pada suatu pilihan yang sulit. Mereka banyak yang dituduh terlibat dalam golongan kiri terutama PKI sehingga banyak dikalukan penangkapan terhadap tokoh- tokoh etnis Tionghoa. Tokoh – tokoh etnis Tionghoa dulunya aktif dalam kegiatan organisasi seperti di Baperki dan ada juga yang aktif dalam partai politik yang didominasi oleh penduduk Pribumi. Penangkapan – penangkapan yang dilakukan pemerintah Orde Baru membuat etnis Tionghoa mengalami trauma politik. Kebanyakan dari mereka tidak ingin aktif lagi dalam kegiatan politik dan lebih menekuni bidang lain seperti ekonomi dan keagamaan. Program asimilasi yang dicanakan oleh pemerintah tidak membawa ke jalan yang dinginkan. Proses pembaharuan antara etnis Tionghoa dengan penduduk pribumi agaknya kurang berjalan lancer. Penduduk pribumi memandang bahwa etnis tionghoa pola kehidupanya masih esklusif, tidak banyak bergaul dengan penduduk pribumi. Pandangan masyarakat pribumi yang seperti ini nampaknya ingin diluruskan oleh Bapak Indra dengan menyatakan bahwa: 76 I Wibowo,op.cit, hlm 68 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 69 “Etnis Tionghoa juga masih banyak yang bersikap eksklusif namun begitu bukannya etnis Tionghoa seperti itu semua. Adak ok etnis Tionghoa yang bergaul dengan penduduk Pribumi dan aktif dalam kegiatan RT misalnya, bahkan sekarang ada juga yang menjadi ketua RT-nya77 Munculnya berbagai anggapan terhadap etnis Tionghoa membuat pemerintah sebagai pembuat kebijakan ikut berpartisipasi dalam usaha mengatasi permasalahan etnis Tionghoa. Selepas dibubarkanya Baperki karena diduga terlibat peristiwa 30 september 1965 pemerintah membentuk suatu badan yang mengurusi tentang masalah etnis Tionghoa, badan tersebut adalah Badan Komunikasi Penghayatan Kesatuan Bangsa (Bakom –PKB). Sikap etnis tionghoa dalam pembentukan badan- badan tersebut memandang bahwa keberadaan badan – badan itu justru tidak memecah masalah, karena badan- badan tersebut dijadikan alat oleh pemerintah untuk mengekang kebebasan etnis Tionghoa. Sedangkan Liong Kou Tjun menganggap pembentukan badan – badan tersebut diperlukan dalam upaya menjaga keharmonisan hubungan antara etnis Tionghoa sebenarnya ada yang dating dari dalam diri indiidu mereka sendiri.78 Politik etnis Tionghoa adalah tipe politik “broker” dimana etnis Tionghoa mendekati penguasa untuk mendapatkan fasilitas yang diinginkan dalam kegiatan bisnisnya. Sebagai contoh adalah apa yang dilakukan oleh Liem Sioe Liong yang melakukan pendekatan kepada Soeharto agar mendapat kemudahan dalam memonopoli barang termasuk mendistribusikannya, sempat dia menguasai perusahan Bank Central Asia (BCA) 77 78 Wawancara dengan Bapak Indra tanggal 3 April 2016 Wawancara dengan Bapak Hendra Kurniawan 2 April 2016 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 70 Kedekatan dengan penguasa dilakukan dalam rangka mempermudah jalan bisnis mereka, awalnya mereka menawarkan kerjasama yang meguntungkan kedua belah pihak. Dalam prakteknya penguasa pribumi hanya mendapatkan sebagian keuntungan dan yang lainnya dinikmati oleh etnis Tionghoa. Etnis tionghoa mengalami traumaktik politik akibat adanya pembantaian etnis Tionghoa yang dilakukan pada masa awal pemerintahan Soeharto. Pembantaian etnis Tionghoa di sinyalir sebagai tindak lanjut pemerintah yang mengambil dalih penumpasan peristiwa 30 September 1965, etnis Tionghoa dituduh terlibat dengan gerakan kiri (PKI) dan dianggap sebagai antek RRT yang menyebarluaskan paham komunis. Dalam mengikuti kegiatan politik, etnis Tionghoa hanya ikut-ikutan kepada politik yang berkasa pada saat itu. Pada masa awal pemerintahan Soeharto etnis Tionghoa terlihat pasif dan tidak aktif dalam kegiatan politik. Pemilu 1971 bisa dijadikan pedoman yang jelas dimana etnis Tionghoa banyak menyalurkan aspirasinya ke Golongan Karya (Golkar), namun ada juga yang berfiliasi ke pDI (Partai Demokrasi Indonesia). PDI sebagai partai nasionalis yang lebih pas menurut mereka dapat memperjuangkan aspirasi mereka sebagai minoritas di Indonesia. Kebijakan Pemerintah Orde Baru yang menyerderhanakan partai – partai politik menjadi tiga partai politik ( PPP, Golkar, dan PDI) membuat etnis Tionghoa tidak banyak mempunyai pilihan dalam mengapresiasikan politik mereka. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 71 Aspirasi Politik etnis Tionghoa yang hanya sekedar mengikuti arus menjadikan mereka tidak bisa menduduki jabatan – jabatan penting, baik itu ditingkat daerah maupun sebagai anggota legislatif. Pasca lengsernya pemerintahan Orde Baru merupakan masa dimana terjadi berbagai sentimen negatif terhadap dominasi etnis Tionghoa di Indonesia. Krisis moneter yang menimpa Indonesia memunculkan rasa ketidak puasan dari kalangan masyarakat luas terhadap kebijakan ekonomi pemerintah. Maraknya praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) diperburuk lagi dengan kenyataan bahwa beberapa penguasa Tionghoa yang kaya adalah penyokong utama pemerintah Orde Baru, keadaan ini kemudian memicu meletusnya kerusuhan pada tanggal 13-14 Mei 1998 di Jakarta. Kerusuhan ini kemudian mengundang berbagai tindakan untuk melaksanakan aksi rasial anti Tionghoa di daerah antara lain Purwakarta, Solo, Pekalongan, Jakarta, Situbondo, Rengasdengklok, Banjarmasin, dan Makasar. Aksi tersebut bukan hanya ditunjukan pada kalangan pengusaha kecil etnis Tionghoa tetapi juga kepada tempat ibadah seperti halnya Gereja Kristen dan Katolik serta beberapa Wihara dan Kelenteng.79 Berbagai konflik antar etnis merebak di berbagai wilayah Indonesia, yang pada awalnya disulut dengan isu anti-Tionghoa. Kebijakan asimilasi yang diberlakukan oleh pemerintah Orde Baru sejak tahun 1967, rupanya belum mampu menjawab persoalan konflik etnis keturunan Tionghoa dengan komunitas pribumi secara tuntas. Kerusuhan Mei 1998 membuktikan bahwa tanpa memiliki tendensi kekuatan politik, posisi orang Tionghoa di Indonesia yang selama ini 79 Beny G Setiono, Tionghoa….,op.cit.,hlm.1005 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 72 berkembang di masyarakat sebagai golongan yang sangat menonjol di bidang ekonomi ternyata sangat rentang konflik. Keyakinan kalangan etnis Tionghoa bahwa perlindungan yang paling aman adalah dengan mendapatkan perlindungan kepada para penguasa ternyata keliru. Reaksi atas terjadinya tragedy Mei 1998 telah membuktikannya. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI BAB V KESIMPULAN Berdasarkan pembahasan dari bab II sampai bab IV, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Terdapat banyak hal yang melatarbelakangai kebijakan Orde Baru terhadap etnis Tionghoa, mulai dari menerapkan politik ras atas nama etnis. Akibatnya muncul sentimen rasial dalam kehidupan bernegara. Sikap rasialis juga berkembang karena adanya prasangka- prasangka yang hidup dalam masyarakat, misalnya bahwa orang Tionghoa itu hidup secara eksklusif dan memiliki sikap oportunis. Pada era pemerintah Orde Baru, insiden anti Tionghoa terjadi di berbagai tempat meskipun tidak meluas secara serempak di banyak tempat. Kebijakan rezim Orde Baru terhadap warga Tionghoa lebih sistematis dibandingkan kebijakan negara sebelumnya. Pemerintah berpendapat behwa keterlibatan warga Tionghoa dalam peristiwa 30 September 1965 merupakan hasil dari tidak berasimilasinya warga Tionghoa dalam masyarakat Indonesia. Oleh sebab itu pemerintah meluncurkan program asimilasi yang sangat gencar. Pemerintah mengeluarkan Instruksi Presiden No. 14 tahun 1967 mengenai pelarangan agama, kepercayaan, dan adat istiadat Cina yang menghalangi ekspresi kehidupan sehari – hari warga Tionghoa. 2. Pelaksanan kebijakan yang dilakukan Orde Baru terhadap etnis Tionghoa yaitu melalui proses marginalisasi dilakukan dengan cermat. Partisipasi 73 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 74 politik dihambat dengan berbagai alasan, termasuk dalam bidang sosial budaya. Pemerintah melakukan kebijakan asimilasi terhadap orang-orang Tionghoa dengan memutus hubungan leluhurnya yaitu mengenai pergantian nama WNI yang memakai nama Tionghoa menjadi nama Indonesia, diharuskanya memiliki SBKRI (Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia) yang terkadang masih dipertanyakan, larangan memperdagangkan dan mengedarkan segala jenis barang barang cetak dalam bahasa Cina, sekolah- sekolah Cina ditutup dan semua anak sekolah harus pindah ke pengajaran yang disampaikan dalam bahasa Indonesia. Etnis Tionghoa kembali berkonsentrasi dalam bidang ekonomi. Bentuk ekonomi kerjasama atau ekonomi Ali- Baba seperti pada era presiden Sukarno tetapi pada praktek bisnis pada masa Orde Baru dikenal sebagai sistem cukongisme. Orientasi Orde Baru pada ekonomi membutuhkan penciptaan basis investasi yang luas dan bersifat masal. Dalam hal ini yang memenuhi syarat untuk menghimpun modal hanyalah golongan etnis Tionghoa karena lemahnya struktur modal yang dimiliki oleh pengusaha pribumi. Pemerintah Orde Baru benar- benar memberikan fasilitas untuk kemajuan bisnis beberapa tokoh Tionghoa, misalnya Sudono Salim. Motif di balik program pemerintah tersebut adalah untuk mengerahkan potensi ekonomi Cina di Indonesia dan dengan demikian mendorong mereka menarik lebih banyak modal asing. Segala fasilitas pemerintah yang menguntungkan mempercepat kebangkitan kembali Cina dalam ekonomi Indonesia dan mendesak perusahan-perusahan pribumi. Kebijakan Orde PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 75 Baru ini dalam bidang ekonomi dilatarbelakangi kepentingan politik dan ekonomi yang tampak sebagai upaya untuk menyangga dan melanggengkan kekuasaannya. 3. Adanya program pembaharuan yang dicanangkan Orde Baru dimasa lampau berdampak langsung kepada kelompok etnis Tionghoa. Salah satu akibat cukup fatal yang terjadi pada program pembaruan yang tidak dapat berjalan mulus karena sarat dengan muatan politis. Kebijakan asimilasi ternyata tidak menghasilkan sebuah pembauran budaya tetapi justru menjadikan kelompok etnis Tionghoa terdiskriminasi dan terasing dari banyak aspek kehidupan nyata karena yang terjadi adalah pembatasan – pembatasan. Asimilasi total lebih bertitik tolak dari apa yang boleh dan apa yang tidak boleh. Pembatasan tersebut terbentang dari yang bersifat substansial hingga yang bersifat ritual. Contohnya masuk dalam perguruan tinggi negeri, pembatasan untuk menjadi pegawai pemerintahan termasuk menjadi anggota militer dan polisi serta pembatasan – pembatasan lainnya. Di satu sisi khususnya sector ekonomi orang- orang Tionghoa diberi peluang, yang sebenarnya tidak lain juga demi kepentingan penguasa, pada sisi lain secara politik dan kultur mereka tertekan. Dampak kebijakan itu adalah adanya perbedaan sosial ekonomi yang menyolok antara pribumi dan non pribumi, yang akhirnya bermuara pada munculnya kecemburuan sosial dan isu SARA dan berpuncak pada tragedi Mei 1998 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI DAFTAR PUSTAKA Abdurahman Wahid. 1990. Beri Jalan Tionghoa, Non Pribumi Di Mata Pribumi. Jakarta: Yayasan Tunas Bangsa. Barth, Frederick.1988. Kelompok Etnis dan Batasannya. Jakarta: UI Press Barker, Chris. 2005. Cultural Studies. Yogyakarta: Kreasi Wacana. Chang-Yau hoon. Identitas Tionghoa Pasca Soeharto: Budaya, Politik dan media. Jakarta: Yayasan Nabil dan LP3ES. Coppel, Charles A. 1993. Tionghoa Indonesia Dalam Krisis. Jakarta: Sinar Harapan Dhlan Nasution. 1989. Politik Internasional : Konsep dan Teori. Jakarta: Erlanga Helius Sjamsudin. 2012. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Ombak Justian Suhandinata. 2009. WNI Keturunan Cina dalam Stabilitas Ekonomi dan Politik Indonesia. Jakarta: Gramedia. Liem Yusiun. 2000. Prasangka Terhadap Etnis Cina: Sebuah Intisari evaluasi 32 Tahun di Bawah Rezim Soeharto. Jakarta: Djambatan Mackie. 1976. Anti Chinese Outbrek in Indonesia 1959-1968, Melbourne:Thomas Nelson. Moh Mahfud MD. 2006. Politik Hukum di Indonesia. Jakarta: LP3ES Miram Budiarjo. 1982. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Mohammad Zain. 1994. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan Philipus dan Nurul Aini. 1988. Politik Internasional Kerangka Analitis. Jakarta: Erlangga Press Rahardja T. 2005. Menghargai Perbedaan Kultur: Mindfulness Dalam komunikasi antara etnis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Saefulah Fatah. 2000. Penghianatan Demokrasi Ala Orde Baru: Masalah dan Masa Demokrasi Terpimpin Konstitusional. Bandung: Rosdakarya. 76 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 77 Selo Soemarjan. 2011. Pengawasan Sosial Orde Baru dan Reformasi. Jakarta: Obor. Setiono Benny G. 2005. Tionghoa Dalam Pusaran Politik. Jakarta: Elkasa Soyomukti Nurani. 2002. Soekarno dan Cina. Yogyakarta: Garasi Suhartono W.Pranoto. 2010. Teori dan Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Graha Ilmu. Leo Suryadinata. 1988. Dilema Minoritas Tionghoa. Jakarta :Temprint ____________ . 1999. Etnis Tionghoa dan Pembangunan Bangsa. Jakarta: LP3ES _____________. 2002. Negara dan Etnis Tionghoa. Jakarta: LP3ES Tan, Mely G. 1979. Golongan Etnis Tionghoa di Indonesia, Suatu Masalah Pembinaan Kesatuan Bangsa. Jakarta: Gramedia Titi Sumbung.1969. Perjanjian RI-RRT Kewarganegaraan. Jakarta: Sinar Harapan. Mengenai Masalah Dwi Wahyu Efendi. 2008. Tionghoa dalam cengkraman SBKRI. Jakarta: Tranmedia Pustaka Wibowo I dan Thung Ju Lan. 2010. Setelah Air Mata Kering: Masyarakat Tionghoa Pasca Peristiwa Mei 1998. Jakarta: Kompas Wibowo I. 1999. Retropeksi dan Rekontektualisasi Masalah Cina. Jakarta: PT.Gramedia Yahya A Muhaimin. 1980. Bisnis dan Politik: Kebijakan Ekonomi Indonesia 1950-1980. Jakarta: LP3ES. Yudo H, Siswono. 1985. Warga Baru: Kasus Cina di Indonesia. Jakarta: Lembaga Penelitian Yayasan padamu Negri. Sumber Internet : Kusteja,2011:http://web.budaya-Tionghoa.net/home/625-istilah-tiongoaTionghoa-chinachinese-dan-cina) PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 78 Sumber Majalah dan Jurnal : Majalah Tempo, Etnis Tionghoa di Zaman yang Berubah, Jakarta: edisi 16-22 Agustus 2004. Darini Ririn, Kebijakan Negara dan Sentimen Anti Cina Perspektif Historis, Jurnal, Winara Frans H, “Upaya penghapusan Praktik Diskriminasi, Khasusnya Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia, Pasca Lahirnya UndangUndang Nomor 12 Tahun 2006 tentang kewarganegaraan Republik Indonesia”, Jurnal Herwiranto M,”Kelenteng:Benteng Terakhir dan titik awal perkembangan kebudayaan Tionghoa di Indonesia”, Jurnal Lingua Cultur PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI SILABUS Mata Pelajaran : Sejarah Indonesia (Wajib) Kelas : XII Kompetensi Inti : 1. Menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang dianutnya 2. Menghayati dan mengamalkan perilaku jujur, disiplin, tanggung jawab, peduli (gotong royong, kerjasama, toleran, damai), santun, responsif, dan pro-aktif dan menunjukkan sikap sebagai bagian dari solusi atas berbagai permasalahan dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam serta dalam menempatkan diri sebagai cerminan bangsa dalam pergaulan dunia. 3. Memahami, menerapkan, dan menganalisis pengetahuan faktual, konseptual, prosedural, dan metakognitif berdasarkan rasa ingin tahunya tentang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya, dan humaniora dengan wawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban terkait penyebab fenomena dan kejadian, serta menerapkan pengetahuan prosedural pada bidang kajian yang spesifik sesuai dengan bakat dan minatnya untuk memecahkan masalah. 4. Mengolah, menalar, dan menyaji dalam ranah konkret dan ranah abstrak terkait dengan pengembangan dari yang dipelajarinya di sekolah secara mandiri, bertindak secara efektif dan kreatif, serta mampu menggunakan metoda sesuai kaidah keilmuan. 79 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 80 Kompetensi Dasar Materi Pokok 1.2 Mengamalkan hikmah kemerdekaan sebagai tanda syukur kepada Tuhan YME, dalam kegiatan membangun kehidupan berbangsa dan bernegara. 2.3 Menunjukan sikap peduli dan proaktif yang dipelajari dari peristiwa dan para pelaku sejarah dalam menyelesaikan permasalahan bangsa dan negara Indonesia. IBadrika, 2006. Sejarah Untuk SMA Kelas XI Program Ilmu Pengetahuan Alam, Jilid 2 Jakarta: Erlangga. Pembelajaran Penilaian Alokasi Waktu Sumber Belajar PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 81 3.5 Mengevaluasi kehidupan politik dan ekonomi bangsa Indonesia pada masa Orde Baru Kehidupan Bangsa Indonesia di Masa Orde Baru dan Reformasi 4.5 Melakukan penelitian sederhana tentang kehidupan politik dan ekonomi bangsa Indonesia pada masa Orde Baru dan menyajikannya dalam bentuk laporan tertulis. Latar Belakang Kebijakan Pemerintah Orde Baru terhadap Etnis Tionghoa Pelaksanaan Kebijakan Pemerintah Orde Baru terhadap Etnis Tionghoa Dampak Kebijakan Pemerintah Orde Baru Terhadap Etnis Tionghoa Mengamati: Mengamati film tentang kebijakan Pemerintah Orde Baru terhadap etnis Tionghoa Menanya: Tanya jawab, berdiskusi dan memberi komentar tentang Kebijakan Pemerintah orde Baru terhadap Etnis Tionghoa Mengumpulkan Informasi: Di dalam kelompok, siswa mendiskusikan topik terkait dengan latar belakang, serta Observasi: Mengamati kegiatan pesertadidik dalam proses mengumpulk an data, analisis data dan pembuatan laporan tentang Kebijakan Pemerintah Orde Baru terhadap Etnis Tionghoa 2 x 45 menit. Leo Suryadinata. 1988. Dilema Minoritas Tionghoa. Jakarta: Temprint --------. 1999. Etnis Tionghoa dan pembangunan Bangsa. Jakarta: LP3ES Charles A. Coppel. 1993. Tionghoa Dalam Krisis. Jakarta: Sinar Harapan Portofolio: Menilai laporan makalah peserta didik tentang Efendi Wahyu. 2008. Tionghoa Dalam Cengkraman SBKRI. Jakarta: Trans media PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 82 pelaksaan dan dampak dari Kebijakan Pemerintah Orde Baru terhadap Etnis Tionghoa Mengasosiasi: Menganalisis informasi yang didapat dari berbagai sumber mengenai keterkaitan untuk mendapatkan kesimpulan tentang latar belakang, serta pelaksaan dan dampak dari Kebijakan Pemerintah Orde Baru terhadap Etnis Tionghoa melalui bacaan atau internet Kebijakan Pemerintah Orde Baru terhadap Etnis Tionghoa Tes tertulis: Menilai kemampuan peserta didik dalam penguasaan materi Kebijakan Pemerintah Orde Baru terhadap Etnis Tionghoa Pustaka Wibowo I dan Thung Ju Lan. 2010. Setelah Air Mata Kering : Masyarakat Tionghoa PascaPeristiwa Mei 1998. Jakarta: Kompas Setiono Benny G. 2005. Tionghoa Dalam Pusaran Politik. Jakarta: Elkasa PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 83 Mengkomunikasikan Membuat hasil kajian dalam bentuk tulisan mengenai tentang latar belakang, serta pelaksanan dan dampak dari Kebijakan Pemerintah Orde Baru terhadap Etnis Tionghoa, melalui bacaan atau internet Yogyakarta, 2 Januari 2016 Mengetahui, Kepala Sekolah Drs. Andar Rujito.M.H. Guru Mata Pelajaran Daud Ade Nurcahyo PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN Satuan Pendidikan : SMA Bopkri 1 Yogyakarta Kelas/ Semester : XII / 2 Mata Pelajaran : Sejarah Indonesia Materi Pokok : Pertemuan : 1 Alokasi Waktu : 2 x 45 menit A. KOMPETENSI INTI 1. Menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang dianutnya 2. Mengembangkan perilaku (jujur, disiplin, tanggung jawab, peduli, santun, ramah lingkungan, gotong royong, kerjasama, cinta damai, responsif dan pro-aktif) dan menunjukan sikap sebagai bagian dari solusi atas berbagai permasalahan bangsa dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam serta dalam menempatkan diri sebagai cerminan bangsa dalam pergaulan dunia. 3. Memahami, menerapkan dan menganalisis pengetahuan faktual, konseptual, prosedural dalam ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya, dan humaniora dengan wawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban terkait fenomena dan kejadian, serta menerapkan pengetahuan prosedural pada bidang kajian yang spesifik sesuai dengan bakat dan minatnya untuk memecahkan masalah. 4. Mengolah, menalar, dan menyaji dalam ranah konkret dan ranah abstrak terkait dengan pengembangan dari yang dipelajarinya di sekolah secara mandiri, dan mampu menggunakan metoda sesuai kaidah keilmuan. 84 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 85 B. KOMPETENSI DASAR DAN INDIKATOR PENCAPAIAN KOMPETENSI No. 1. 2. 2 Kompetensi Dasar 1.2 Mengamalkan hikmah kemerdekaan sebagai tanda syukur kepada Tuhan YME, dalam kegiatan membangun kehidupan berbangsa dan bernegara. 2.3 Menunjukan sikap peduli dan proaktif yang dipelajari dari peristiwa dan para pelaku sejarah dalam menyelesaikan permasalahan bangsa dan negara Indonesia. 3.5 Mengevaluasi kehidupan politik dan ekonomi bangsa Indonesia pada masa Orde Baru Indikator Pencapaian Kompetensi 1.1.1 1.1.2 2.1.1. Mengembangkan sikap peduli. 2.1.2. Mengembangkan sikap kerjasama 3.1.1 3.1.2 3.1.3 3 4.6 Melakukan penelitian sederhana tentang kehidupan politik dan ekonomi bangsa Indonesia pada masa Orde Baru dan menyajikannya dalam bentuk laporan tertulis. Bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa Berdoa sebelum dan sesudah kegiatan pembelajaran 4.1.1 Mendeskripsikan latar belakang Kebijakan Orde Baru terhadap Etnis Tionghoa Mendeskripsikan Pelaksanaan Kebijakan Orde Baru Terhadap Etnis Tionghoa Mendeskripsikan Dampak Kebijakan Orde Baru Terhadap Etnis Tionghoa Melaporkan hasil tulisan tentang kasus diskriminasi kebijakan Orde Baru terhadap etnis Tionghoa C. TUJUAN PEMBELAJARAN Setelah mengikuti serangkaian kegiatan pembelajaran peserta didik dapat: 1. Menunjukan sikap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas kemerdekaan Indonesia dari tangan penjajah dengan belajar tekun. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 86 2. Menunjukan sikap prilaku menghargai jasa-jasa pahlawan dalam melawan penjajah. 3. Bertanggungjawab dalam mengerjakan tugas 4. Menunjukan sikap dan prilaku jujur 5. Menjelaskankan latar belakang Kebijakan Orde Baru Terhadap Etnis Tionghoa 6. Menjelaskan pelaksanaan Kebijakan Orde Baru Terhadap Etnis Tionghoa 7. Menjelaskan dampak Kebijakan Orde Baru Terhadap Etnis Tionghoa 8. Mempresentasikan tentang kasus diskriminasi Orde Baru terhadap etnis Tionghoa D. MATERI AJAR 1. Latar belakang Kebijakan Orde Baru Terhadap Etnis Tionghoa 2. Pelaksanaan Kebijakan Orde Baru Terhadap Etnis Tionghoa 3. Dampak Kebijakan Orde Baru Terhadap Etnis Tionghoa E. METODE PEMBELAJARAN 1. Pendekatan pembelajaran : Saintifik 2. Metode pembelajaran : Ceramah, tanya jawab, diskusi, presentasi 3. Model Pembelajaran : Problem Based Learning F. SUMBER BELAJAR Leo Suryadinata. 1988. Dilema Minoritas Tionghoa. Jakarta: Temprint Hapsari, Ratna, M. Adil. 2013. Sejarah Indonesia untuk SMA Kelas XII. Jakarta: Erlangga I Wayan Badrika. 2006 . Sejarah Kelas XII. Jakarta: Erlangga G. MEDIA PEMBELAJARAN Alat : Laptop, speaker, LCD. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 87 Bahan : Power point, film tentang kebijakan Orde Baru terhadap etnis Tionghoa H. KEGIATAN PEMBELAJARAN Kegiatan Pendahuluan Kegiatan Inti Deskripsi Guru mengucapkan salam kepada siswa Guru mengajak siswa untuk berdoa bersama Guru mengecek kehadiran siswa Apersepsi: Guru menyampaikan pengantar tentang peristiwa sejarah etnis Tionghoa masa pemerintah Orde Baru yang diskriminatif Menyampaikan tujuan pembelajaran Mengamati Peserta didik mengamati Film tentang kebijakan Orde Baru terhadap Etnis Tionghoa Menanya Guru memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk bertanya dan menyampaikan pendapat tentang Materi Kebijakan Orde Baru terhadap Etnis Tionghoa Mengumpulkan informasi Peserta didik mendiskusikan topik permasalahan tentang Kebijakan Orde Baru terhadap Etnis Tionghoa Mengasosiasi Peserta didik melakukan kegiatan mengemukakan pendapat untuk menganalisis tentang kebijakan Orde Baru terhadap Etnis Tionghoa Peserta didik merumuskan nilai-nilai yang diperoleh dari Kebijakan Orde Baru yang berdampak khususnya pada Etnis Tionghoa Mengkomunikasikan Peserta didik mempresentasikan analisis hasil diskusi kelompok di depan kelas yang Alokasi waktu 5‟ Menit 70‟ Menit PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 88 Penutup diwakili oleh salah satu anggota kelompok masing-masing, anggota kelompok lain memberikan tanggapan. Peserta didik menyajikan hasil simpulan materi yang telah dipelajari di depan kelas. Peserta didik diberikan ulasan singkat tentang kegiatan pembelajaran dan hasil belajarnya Peserta didik diberikan pertanyaan lisan secara acak untuk mendapatkan umpan balik atas pembelajaran yang baru saja dilakukan Konfirmasi Peserta didik diberikan tugas untuk membuat laporan tentang kasus dari Kebijakan Orde Baru terhadap Etnis Tionghoa Informasi materi pembelajaran yang akan datang 15‟ Menit I. PENILAIAN A. Sikap Spiritual a. Teknik Penilaian : Observasi b. Bentuk Instrumen : Lembar observasi c. Kisi-kisi: No. Sikap/nilai 1. Bersyukur kepada Tuhan 2. Butir Instrumen 1 d. Instrumen: Instrumen 1. No. Nama Peserta didik Indikator: Berdoa sebelum dan Bersyukur kepada sesudah kegiatan Tuhan pembelajaran (1-4) (1-4) NilaiAkhir 1. 2. 3. 4. Kisi-kisi Indikator sikap spiritual: Berdoa sebelum dan sesudah kegiatan pembelajaran PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 89 1. 2. 3. 4. Berdoa dengan tidak sungguh-sungguh Kadang-kadang berdoa dengan sungguh-sungguh Sering berdoa dengan sungguh-sungguh Selalu berdoa dengan sungguh-sungguh Petunjuk Penyekoran : Peserta didik memperoleh nilai : Baik Sekali : apabila memperoleh skor Baik : apabila memperoleh skor Cukup : apabila memperoleh skor Kurang : apabila memperoleh skor 8 6 4 2 B. Sikap Sosial a. Teknik Penilaian: Non tes (Pengamatan sikap selama proses pembelajaran) b. Bentuk Instrumen: Lembar penilaian c. Kisi-kisi: No. Sikap/nilai Butir Instrumen 1. Menghargai pendapat teman 1 2. Tidak memilih – milih teman 2 3. d. Instrumen No. Peserta didik Indikator Menghargai Tidak memilih pendapat – milih teman teman (1-4) (1-4) Jumlah Skor 1. 2. 3. 4. Kisi-kisi Indikator sikap sosial Menghargai pendapat teman: Deskriptor Tidak menghargai pendapat teman Kurang menghargai pendapat teman Cukup menghargai pendapat teman Sangat menghargai pendapat teman Skor 1 2 3 4 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 90 Kisi-kisi Indikator sikap sosial Tidak memilih – milih teman: Deskriptor Tidak memilih – milih teman Kurang tidak memilih teman Cukup tidak memilih teman Sangat tidak memilih teman Petunjuk Penyekoran : Peserta didik memperoleh nilai : Baik Sekali : apabila memperoleh skor Baik : apabila memperoleh skor Cukup : apabila memperoleh skor Kurang : apabila memperoleh skor Skor 1 2 3 4 12 9 6 3 C. Penilaian Sikap Diskusi a. Teknik : Non tes(pengamatan sikap selamadiskusi) b.Bentuk instrument : Lembar penilaian c. Kisi- kisi :Sikap selama diskusi No. 1. 2. 3. 4. Sikap/nilai Keaktifan Keseriusan Mengemukakan pendapat Bertanya Butir Instrumen 1 2 3 4 d. Instrumen: No. 1. 2. 3. 4. Nama Keaktifan Indikator Keseriusan Bertanya MengemukakanPendapat NilaiAkhir PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 91 Kisi-kisi indikator penilaian sikap diskusi: Keaktifan, mengemukakanpendapat, bertanya a. Skor 1 diperoleh siswa bila tidak terlibat dalam kelompok b. Skor 2 diperoleh siswa bila terlibat dalam kelompok namun tidak memberikan masukan c. Skor 3 diperoleh siswa bila terlibat dan memberikan masukan d. Skor 4 dperoleh siswa bila berperan aktif dalam kelompok Keseriusan a. skor 1 diperoleh siswa bila siswa tidak serius dalam mengerjakan tugas b. skor 2 diperoleh siswa bila siswa cukup serius dalam mengerjakan tugas c. skor 3 diperoleh siswa bila siswa serius dalam mengerjakan tugas d. skor 4 diperoleh siswa bila siwa sangat serius dalam mengerjakan tugas Petunjuk Penyekoran: Peserta didik memperoleh nilai: A = Baik Sekali : apabila memperoleh skor 12 B = Baik : apabila memperoleh skor 9 C = Cukup : apabila memperoleh skor 6 D = Kurang : apabila memperoleh skor 3 D. Pengetahuan (Kognitif) a. Teknik Penilaian: Tes b. Bentuk Instrumen: Lembar tugas c. Kisi-kisi: Tugas terstruktur d. Instrument: Soal tes Soal tes PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 92 1. Bagaimana latar belakang Kebijakan Orde Baru terhadap Etnis Tionghoa? 2. Sebutkan dan Jelaskan Pelaksanan dari Kebijakan Pemerintah Orde Baru terhadap Etnis Tionghoa? 3. Jelaskan Dampak dari Kebijakan Orde Baru terhadap Etnis Tionghoa? Kunci jawaban 1. Bagaimana latar belakang Kebijakan Orde Baru terhadap Etnis Tionghoa? Pemerintah Indonesia yang dibentuk setelah penyerahan kedaulatan pada tahun 1950 pada dasarnya mewarisi kebijakan yang ditinggalkan oleh pemerintah kolonial. Pemerintah membiarkan warga Tionghoa terus aktif di bidang ekonomi sambil membatasi keberadaan mereka sebagai pejabat di bidang birokrat. Pada era Orde Lama masa demokrasi terpimpin, pemerintah juga mengeluarkan peraturan yang dianggap diskriminatif di bidang ekonomi yaitu PP No.10/1959 yang isinya melarang orang-orang Tionghoa berdagang di wilayah pedesaan yang melahirkan sejumlah insiden. Peraturan ini membatasi secara tegas peran dan hak ekonomi etnis Tionghoa. Mereka hanya diperbolehkan berdagang sampai tingkat kabupaten dan tidak boleh berdagang di tingkat kecamatan apalagi di desa-desa. Implikasinya, orang –orang di berbagai daerah dilarang dan dipaksa untuk meninggalkan permukimannya di pedesaaan. Sekalipun larangan ditunjukkan kepada WNA Cina, a. Etnis Tionghoa Pasca peristiwa 65 Selain konflik politik yang meliputi peralihan kekuasaan, setelah peristiwa G30S/PKI, konflik sosial juga bermunculan di tengah masyarakat. Pembunuhan masal yang timbul setelah kudeta berdarah, lebih ditujukan kepada masyarakat pribumi anggota PKI dan simpatisannya, meskipun dalam peristiwa-peristiwa tersebut etnis Tionghoa juga turut menjadi korban. Pembunuhan orang Tionghoa lebih bersifat sporadis dan kurang sistematis, karena hanya sebagai bagian dari pembunuhan besar-besaran pada umumnya, yang menimpa orang-orang Indonesia PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 93 yang dianggap mendukung PKI. Pada umumnya kekerasan yang menimpa etnis Tionghoa setelah kudeta lebih banyak berupa pengrusakan harta milik, seperti perampokan, pembakaran toko, sekolah, rumah, dan mobil. b. Pembatalan Dwi Kewarganegaraan Saat Indonesia merdeka, pemerintah memberlakukan Undang-undang Kewarganegaraan, 1946, yang menyatakan bahwa etnis Tionghoa yang lahir di Indonesia merupakan warga negara Indonesia. Undang-undang Kewarganegaraan tahun 1946, menerapkan Jus Soli (berdasarkan daerah kelahiran) dan sistem pasif. Dalam undang-undang tersebut disebutkan bahwa warga negara Indonesia terdiri dari orang asli yang lahir dan telah menetap di Indonesia selama 5 tahun berturutturut, serta mereka yang telah berumur 2 tahun. Kemudian orang-orang asing, dalam hal ini adalah etnis Tionghoa, dapat menjadi warga negara Indonesia, jika mereka tidak menolak kewarganegaran Indonesia.80 Akan tetapi ,warga Indonesia keturunan Tionghoa juga terikat dengan Undang-undang Kebangsaan Ching tahun 1909, yang menyebabkan mereka masih memiliki dua kewarganegaraan, yaitu kewarganegaraan Cina dan Indonesia. Perjanjian Dwi Kewarganegraan lahir karena kekhawatiran Indonesia terhadap paham komunis di Cina yang dapat disalurkan melalui warga negara Indonesia keturunan Tionghoa, setelah orang –orang komunis merebut kekuasaan di Cina daratan. Cina sendiri menyambut baik pendekatan yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia, karena setelah orang-orang komunis memegang kekuasaan di Cina, mereka menginginkan untuk memegang peran dalam percaturan politik 80 Suryadinata, Leo, Dilema Minoritas Tionghoa, Jakarta: PT Temprint, hlm.116 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 94 regional dengan cara membangun hubungan baik dengan negara-negara tetangga yang mencurigainya. Selain itu, perjanjian dwi kewarganegaraan juga lahir karena presepsi orang Indonesia tentang Tionghoa lokal, yang dianggap tidak dapat berasimilasi. 2. Sebutkan dan Jelaskan Pelaksanan dari Kebijakan Pemerintah Orde Baru terhadap Etnis Tionghoa? Sewaktu Orde Baru berjaya, selama itu pula Etnis Tionghoa banyak mengalami diskriminasi. Hal itu bisa dibuktikan dengan adanya beberapa peraturan yang mengatur eksistensi Etnis Tionghoa di Indonesia,antara lain : a. Intrusksi Presiden No. 14/1976 yang berisi larangan kegiatan keagamaan,kepercayaan, dan adat Tionghoa di Indonesia. Pada tanggal 6 Desember 1967 Presiden Soeharto mengeluarkan Instruksi Presiden Nomer 14 tahun 1967 tentang agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Tionghoa. Dalam instruksi tersebut ditetapkan bahwa semua upacara agama, kepercayaan, dan adat istiadat Tionghoa hanya boleh dirayakan di lingkungan keluarga dan dalam ruangan tertutup. Instruksi Presiden ini bertujuan melikuidasi pengaruh seluruh kebudayaan Tionghoa. Termasuk kepercayaan, tradisi, adat istiadat, dan agamanya, dan mendorong terjadinya asimilasi secara total. b. Surat Edaran No. 06/Preskab/6/1967 yang isinya menyatakan masyarakat Tionghoa harus mengubah namanya menjadi nama yang berbau Indonesia PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 95 Salah satu bentuk politik diskriminasi nyata yang dilakukan secara institusional di Indonesia adalah penerapan ketentuan SBKRI yang terutamanya ditunjukkan kepada kelompok etnis Tionghoa warga negara Indonesia beserta keturunan- keturunannya. SBKRI adalah tanda pengenalan yang menyatakan bahwa pemiliknya adalah warga negara Republik Indonesia. Walaupun peruntukan ini bersifat legalitas, SBKRI terutamanya hanya diberikan kepada keturunan Tionghoa. Pada dasarnya, pengamalan SBKRI sama artinya dengan usaha untuk menempatkan para warga negara keturunan Tionghoa pada status yang “masih dipertanyakan “di sisi undang- undang kewarganegaran Indonesia. Akibatnya seorang WNI Tionghoa yang meskipun sudah beberapa generasi lahir “hingga menutup mata” ditanah Indonesia, setiap waktu harus membuktikan dirinya sebagai warga negara Indonesia. Dalam berbagai proses admistratif publik, dari pembuatan kartu tanda penduduk (KTP), memasuki dunia pendidikan , menyatakan hak politik, membuat surat perjalanan ke luar negeri, sampai menikah dan meninggal dunia pun harus membuktikan dirinya warga negara Indonesia melalui SBKRI. c. Peraturan Menteri Perumahan No. 455.2-360/1988, yang melarang penggunaan lahan untuk mendirikan ,memperluas,atau memperbarui Klenteng. Menilik berbagai fungsinya, tidaklah disangkal bila kelenteng menjadi salah satu pusat kegiatan masyarakat Tionghoa di Indonesia. Akan tetapi, pemerintahan Orde Baru membawa perubahan besar terhadap kelenteng kelenteng di Indonesia melalui peraturan Menteri Perumahan No.455.2- PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 96 360/1988, yang isinya melarang penggunaan lahan untuk mendirikan, memperluas,atau memperbahurui kelenteng.81 Istilah klenteng yang menunjukkan tempat ibadah orang Tionghoa tidak lagi digunakan dan diganti dengan Wihara (tempat ibadah umat Budha). Selama Orde Baru Berjaya mendirikan sebuah perhimpunan tempat ibadah Tri Dharma yang mencangkup tiga agama sekaligus yaitu agama Khonghucu, Tao, dan Buddha. Perhimpunan tempat Ibadah Tri Dharma kemudia berkembang menjadi perhimpunan tempat Ibadah Tri Dharma se-Indonesia. Rezim Soeharto berusaha mengubah kelenteng menjadi Wihara yang lebih mengacu sebagai tempat ibadat agama Budha sedangkan ajaran Taoisme dan Konghuchu dianggap sebagai sampingan saja dan harus berlindung dibalik agama Budha. 3. Jelaskan Dampak dari Kebijakan Orde Baru terhadap Etnis Tionghoa? Bidang Sosial dan Budaya Dengan Keputusan Presiden No. 56/1996 dan instruksi Presiden No.4/1999 tentang pelaksanaan keputusan Presiden No.56/1996 yang mengintruksikan tidak berlakuknya SBKRI bagi etnis Tionghoa yang sudah menjadi WNI, sehingga SBKRI dicabut. Pencabutan secara nasional ini terispirasi dari Surakarta. Ketika Walikota Surakarta, Slamet Suryanto di tengah kesimpangsiuran antara ketentuan dan praktik birokrasi, pihaknya melakukan penghapusan SBKRI bagi warga keturunan Tionghoa di Surakarta. Melalui Instruksi Walikota No 471/006/02/2004 yang dikeluarkan tanggal 19 Juli 2004 tentang penggunaan bukti kewarganegaraan RI merupakan tindak lanjut 81 Majalah Tempo, Etnis Tionghoa di Zaman yang Berubah, Jakarta: Edisi 16-22 Agustus 2004, hlm.37 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 97 pencabutan SBKRI secara nasional sesuai Keppres Nomer 56 tahun 1996 dan Inpres No 4 tahun 1999. Selanjutnya masyarakat Tionghoa tidak lagi disibukkan dengan bukti kewarganegaraan tambahan selain Kartu Tanda Penduduk (KTP). Bidang Ekonomi Maraknya sistem cukong di masa Orde Baru kemudian memicu praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Pada akhirnya, kelompok KKN inilah yang sebetulnya menguasai ekonomi Indonesia. Hal ini muncul dengan hadirnya beberapa konglomerat yang memainkan peran sangat dominan dalam praktek tersebut seperti Liem Sioe Liong atau Sudono Salim, William Soeryadjaya, Eka Tjipta, Bob Hasan, dan sebagainya. Sementara itu orang-orang yang berasal dari elit pribumi diantaranya adalah Ibnu Sutowo, Ali Murtopo, Ali Sadikin, dan beberapa petinggi militer yang memegang jabatan penting pada masa Orde Baru. Singkatnya pada masa Orde Baru, setiap pengusaha yang dekat dengan kekuasaan bisnisnya akan menjadi berkembang dan besar. Hal ini terjadi pada Liem Sioe Liong atau Sudono Salim. Kemampuanya menjalin kedekatan dengan Soeharto menjadikannya salah satu konglomerat terbesar di Indonesia. Ini tidak dapat dipungkiri dari citranya sebagai pengusaha sukses yang mempunyai beberapa perusahaan besar seperti PT. Indocement, bank Central Asia (BCA), Hotel Mandiri, PT.Tarumate, dan lain-lain, yang merupakan deretan kelompok usaha-usaha besar strategis bagi perkembangan ekonomi Indonesia. Bidang Politik PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 98 Politik penerimaan disambut sangat antusias oleh masyarakat Tionghoa. Mereka tidak hanya mewujudkanya dalam bentuk pendirian partai-partai politik saja, melainkan juga organisasi kemasyarakatan. Sebagian tokoh Tionghoa yang sejak awal tidak menyetujui didirikannya partai etnik, memilih bergabung dengan partai politik yang dibentuk oleh orang Indonesia non Tionghoa atau mendirikan organisasi masa yang lebih berfungsi sebagai pressure grup. Fenomena ini sebenarnya sekali lagi dapat dimaknai dan dapat menunjukkan bahwa mereka adalah sebuah masyarakat yang tidak homogeny, tetapi multi etnik dan multi budaya yang memiliki orientasi politik sebagai cermin orientasi budaya yang berbeda-beda dan beragam. Selain mendirikan partai dan bergabung dengan partai politik yang sudah ada, beberapa kelompok warga tionghoa bergabung untuk berhimpun dalam organisasi yang bergerak di berbagai bidang dan tujuan, mualai profesi hingga sosial budaya bahkan etnis dan agama. Seluruh organisasi tersebut, walaupun bermcam-macam tujuan dan kegiatannya namun memiliki kesamaan antara satu dengan yang lainnya yaitu beranggotakan Tionghoa. Beberapa organisasi yang menonjol adalah Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia dan Perhimpunan Keturunan Tionghoa Indonesia. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 99 Pedoman penskoran No. Rambu-rambu skor Skor 1. Jawaban lengkap dengan alasan yang tepat 20 2. Jawaban berdasarkan referensi yang relevan dengan alasan seadanya 15 3. Jawaban kurang lengkap 6 4. Jawaban tidak sesuai dengan soal yang ditanyakan 4 Catatan : setiap soal skor maksimal 20 Keterangan: - Siswa yang memperoleh nilai <75 dinyatakan tidak tuntas dan mengikuti remidi - siswa yang memperoleh nilai >75 dinyatakan tuntas dan mengikuti pengayaan E. Psikomotorik a. Teknik Penilaian: Tes b. Bentuk Instrumen: Lembar tugas c. Kisi-kisi : Tugas d. : Peserta didik diberi tugas untuk membuat artikel ilmiah. Instrumen: Soal : Buatlah artikel ilmiah tentang kasus diskriminasi Orde Baru terhadap etnis Tionghoa No. 1. 2. 3. Nama Peserta Didik Aspek yang dinilai Relevansi (1-4) Kelengkapan Pembahasan (1-4) (1-4) Ketepatan Waktu (1-4) Nilai Akhir PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 100 Petunjuk Penyekoran: Peserta didik memperoleh nilai: Baik Sekali : apabila memperoleh skor 13–16 Baik : apabila memperoleh skor 9 – 12 Cukup : apabila memperoleh skor 5 – 8 Kurang : apabila memperoleh skor 1 – 4 Yogyakarta, 2 Maret 2016 Mengetahui, Kepala Sekolah Drs. Andar Rujito.M.H. Guru Mata Pelajaran Daud Ade Nurcahyo