JURNAL SUBJEKTIVE WELL-BEING PADA LANSIA PENGHUNI

advertisement
JURNAL SUBJEKTIVE WELL-BEING
PADA LANSIA PENGHUNI PANTI
JOMPO
mengevaluasi dirinya secara positif bahwa
dirinya dapat mengendalikan aspek-aspek
penting dalam hidupnya.
Sarvatra Wari erlangga
Kata kunci: Subjective Well-being, Lansia,
Panti Jompo
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Fakultas Psikologi
Universitas Gunadarma
ABSTRAK
Subjective well-being penting bagi
lansia karena dengan seseorang memiliki
penilaian yang lebih tinggi tentang
kebahagiaan dan kepuasan hidup maka
mereka cenderung bersikap lebih bahagia
dan lebih puas, tujuan peneliti melakukan
penelitian ini adalah untuk mengetahui
gambaran subjective well-being dan faktor faktor yang menyebabkan subjective wellbeing pada lansia penghuni panti jompo.
Dalam penelitian ini peneliti
menggunakan metode penelitian kualitatif
yang di tekankan pada penelitian studi
kasus, subjek dalam penelitian ini adalah
lanjut usia yang berusia 60-70 tahun yang
berjenis kelamin laki-laki, yaitu penghuni
panti jompo, dan dalam pengumpulan data
peneliti menggunakan metode wawancara
dan observasi.
Subjective well-being pada lansia
penghuni panti jompo adalah kepuasaan
subjek dalam berkarir dengan prestasi yang
didapat. Dalam kehidupan sehari-hari
subjek tidak memilih-milih dalam berteman
dan teman subjek selalu ada ketika subjek
membutuhkannya, subjek tergolong orang
yang sabar dan subjek tidak memikirkan
siapa yang berbuat salah terhadap dirinya.
Subjek rajin dalam beribadah, subjek juga
tidak gegabah ketika menghadapi masalah.
Dalam penelitian ini peneliti
menyimpulkan: bahwa orang yang lebih
optimis akan masa depannya merasa lebih
bahagia dan puas atas hidupnya, dan
Saat individu tidak dapat mengatasi
masalah yang sedang dihadapinya maka
akan
timbul
emosi
yang
tidak
menyenangkan dalam dirinya. Keadaan ini
dapat
menyebabkan
individu
yang
bersangkutan merasa tidak puas dan tidak
bahagia di dalam kehidupannya. Menurut
Diener, Suh, dan Oishi (1997) pengalaman
internal yang dialami oleh individu tersebut
digambarkan sebagai subjective well-being
(SWB).
Subjective well-being ini
merupakan suatu bentuk evaluasi mengenai
kehidupan individu yang bersangkutan.
Bentuk evaluasi dapat dilakukan melalui dua
cara yaitu: penilaian secara kognitif, seperti
kepuasan hidup, dan respon emosional
terhadap kejadian, seperti merasakan emosi
yang positif (Diener,2002). Subjective wellbeing ini diukur berdasarkan pada perspektif
individu yang bersangkutan melalui tiga
komponen yang saling berhubungan yaitu
kepuasan hidup secara global dan kepuasan
dalam domain yang penting dalam hidup,
misalnya cinta, perkawinan, persahabatan,
dan lain-lain. Komponen selanjutnya adalah
afeksi positif dan afeksi negatif yang
dirasakan oleh individu yang bersangkutan (
Diener, 1997).
Kemunduran fungsi tubuh dan
berkurangnya peran di masyarakat bagi
lansia dapat membuat emosi yang labil,
mudah tersinggung, gampang merasa
dilecehkan, kecewa, tidak bahagia, perasaan
kehilangan dan tidak berguna.
Lansia
dengan problem tersebut menjadi rentan
terhadap gangguan psikiatrik seperti depresi,
ansietas (kecemasan), psikosis (kegilaan)
atau kecanduan obat (Akhmadi, 2006).
Ketidakmampuan keluarga lansia dalam
mengatasi masalah – masalah yang
dihadapai para lansia, dapat menyebabkan
para lansia dititipkan panti jompo. Adapun
Menurut Santrock (2002)
panti jompo
merupakan lembaga perawatan atau rumah
perawatan yang dikhususkan untuk orangorang dewasa lanjut.
Disana tersedia
berbagai macam layanan yang dibutuhkan
oleh para orang-orang lanjut usia dan
tersedia juga fasilitas kesehatan.
Para lansia yang berada dipanti
jompo cenderung akan berkurangnya waktu
bertemu
dan
berkumpul
dengan
keluarganya. Berkurangnya waktu untuk
bertemu dengan keluarga menyebabkan para
lansia yang berada di panti jompo akan
merasa tidak mendapatkan kebahagiaan dari
keluarganya. Ada beberapa masalah yang
biasa dialami oleh lansia diantaranya adalah
kesepian, keterasingan dari lingkungan,
ketidakberdayaan, ketergantungan, kurang
percaya diri, keterlantaran terutama bagi
lansia yang miskin serta kurangnya
dukungan dari anggota keluarga. Hal
tersebut dapat mengakibatkan depresi yang
dapat menghilangkan kebahagiaan, hasrat,
harapan,
ketenangan
pikiran
dan
kemampuan untuk merasakan ketenangan
hidup, hubungan yang bersahabat dan
bahkan
menghilangkan
keinginan
menikmati
kehidupan
sehari-hari.
Sedangkan pada perubahan sosial antara lain
terjadinya penurunan aktivitas, peran dan
partisipasi sosial (Partini, 2002).
Perasaan
tersebut
muncul
dikarenakan rendahnya tingkat subjective
well-being pada diri lansia tersebut sehingga
membuat lansia memandang rendah hidup
nya dan menganggap peristiwa yang terjadi
sebagai hal yang tidak menyenangkan
sehingga timbul emosi yang tidak
menyenangkan seperti kecemasan, deperesi
dan kemarahan (Myers & Diener, 1995).
Subjective well-being penting bagi
lansia karena dengan seseorang memiliki
penilaian yang lebih tinggi tentang
kebahagiaan dan kepuasan hidup maka
mereka cenderung bersikap lebih bahagia
dan lebih puas (Muba, 2009) Dengan adanya
perasaan puas dan bahagia lansia maka
dapat membantu lansia dalam mengatasi
masalah-masalah yang sedang dialami oleh
lansia tersebut.
Namun jika lansia penghuni panti
jompo memiliki subjective well-being yang
baik maka dapat membuat lansia menikmati
kehidupan nya didalam panti jompo, karena
individu yang memiliki subjective wellbeing yang tinggi pada umumnya memiliki
sejumlah kualitas hidup yang mengagumkan
(Diener, 2000), karena individu ini akan
lebih mampu mengontrol emosinya dan
menghadapi berbagai peristiwa dalam hidup
dengan lebih baik.
B. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan latar belakang yang telah
diuraikan di atas, maka peneliti tertarik
untuk melihat:
1. Bagaimana gambaran subjective wellbeing pada lansia penghuni panti
jompo?
2. Mengapa subjective well-being dialami
oleh lansia penghuni panti jompo?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan peneliti melakukan penelitian
ini adalah untuk mengetahui gambaran
subjective well-being pada lansia penghuni
panti jompo dan untuk mengkaji faktor faktor yang menyebabkan subjective wellbeing pada lansia penghuni panti jompo.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan memiliki
manfaat baik dari segi teoritis maupun dari
segi praktis, yaitu :
1. Manfaat Teoritis
Hasil dari penelitian ini diharapkan
dapat menambah khasanah ilmu
pengetahuan khususnya di bidang
Psikologi Perkembangan, Psikologi
Klinis dan Psikologi Sosial, dengan
menggali lebih dalam lagi mengenai
gambaran perasaan subjective wellbeing terutama pada lansia penghuni
panti jompo. Selain itu juga dapat
dijadikan bahan referensi untuk
penelitian lebih lanjut yaitu bagi yang
ingin meneliti mengenai subjective
well-being dan lansia penghuni panti
jompo.
2. Manfaat Praktis
Hasil dari penelitian ini secara umum
diharapkan
dapat
meningkatkan
kesejahteraan terhadap lansia yang
bersangkutan, bagi keluarga agar dapat
mengetahui
pentingnya
perasaan
sejahtera terhadap lansia, terhadap
petugas lansia agar dapat memberikan
bantuan yang dapat meningkatkan
perasaan sejahtera terhadap lansia
penghuni panti jompo, bagi masyarakat
agar masyarakat menyadari bahwa
perannya sangatlah penting dalam
meningkatkan
kesejahteraan
para
penghuni panti jompo dan bagi
pembaca dapat mengetahui gambaran
dan factor-faktor yang menyebabkan
kesejahteraan penghuni panti.
TINJAUAN PUSTAKA
A. Subjective Well-being
1. Pengertian Subjective Well-being
Definisi dari subjective wellbeing menurut Diener dan Lucas (1999),
adalah evaluasi seseorang tentang hidup
mereka, termasuk penilaian kognitif
terhadap kepuasan hidupnya serta
evaluasi afektif dari mood dan emosiemosi. Komponen-komponen dari SWB
dibagi menjadi komponen kognitif dan
komponen afektif. Sedangkan menurut
Muba (2009) seseorang yang memiliki
penilaian yang lebih tinggi tentang
kebahagiaan
dan
kepuasan
hidup
cenderung bersikap lebih bahagia dan
lebih puas.
Maka dapat disimpulkan bahwa
subjective well-being adalah perasaan
bahagia yang tercipta dari evaluasi hidup
seseorang yang terdiri dari perasaan
kepuasaan
hidup,
kebahagiaan,
pengalaman
menyenangkan
dan
rendahnya tingkat mood negatif yang
cenderung dapat membuat seseorang
bersikap lebih bahagia dan lebih puas
didalam hidup nya.
2. Komponen Subjective Well-Being
Menurut Diener (dalam Muba,
2009) subjective well-being diukur
berdasarkan pada prespektif individu
yang bersangkutan, melalui 3 komponen
yang saling berhubungan antara lain :
a. Kepuasan Hidup
Kepuasan hidup adalah kondisi
subyektif dari keadaan pribadi
seseorang sehubungan rasa senang
atau tidak senang sebagai akibat dari
adanya dorongan atau kebutuhan
yang ada dari dalam dirinya dan
dihubungkan dengan kenyataan yang
dirasakan (Caplin, 1999). Seorang
individu yang dapat menerima diri
dan lingkungan secara positif akan
merasa puas dengan hidupnya
(Hurlock, 2000).
b. Afeksi Positif
Seseorang dapat dikatakan memiliki
Subyective Well-Being yang tinggi
jika mereka sering kali merasakan
emosi yang positif (Diener dan
Larsen, 1984) memiliki prediktor:
penuh perhatian, tertarik, waspada,
bersemangat, antusias, terinspirasi,
bangga, ditentukan, kuat dan aktif
c. Afeksi Negatif
Seseorang dapat dikatakan memiliki
Subyective Well-Being yang tinggi
jika mereka jarang sekali mengalami
emosi yang negatif (Diener dan
Larsen, 1984) memiliki prediktor:
sedih, bermusuhan, mudah marahmarah, takut, malu, bersalah, dan
gelisah
3. Prediktor Subjective Well-Being
Menurut Wang Muba (2009) ada
8 prediktor didalam Subyective WellBeing antara lain:
a. Harga Diri
Campbell (1981) menemukan bahwa
harga diri merupakan prediktor yang
paling penting untuk kesejahteraan
subjektif. Harga diri yang tinggi
membuat
seseorang
memiliki
beberapa
kelebihan
termasuk
pemahaman mengenai arti dan nilai
hidup. Hal itu merupakan pedoman
yang berharga dalam hubungan
interpersonal dan merupakan hasil
alamiah dari pertumbuhan seseorang
yang sehat (Ryan & Deci, 2000).
b. Rasa Tentang Pengendalian Yang
Bisa Diterima
Perasaan
untuk
memiliki
pengendalian
personal
dapat
diartikan sebagai kepercayaan bahwa
seseorang memiliki beberapa tolak
ukur pengendalian atas kejadiankejadian dalam hidup yang penting
bagi dirinya. Sebagai tambahan,
tanpa adanya rasa ini, hidup akan
dipenuhi oleh kejadian-kejadian
yang kacau balau, dimana sebagian
besar orang akan menjadi tertekan
karenanya.
Kebutuhan
akan
pengendalian yang dapat diterima
mungkin menjadi kebutuhan sejak
dini (Ryan & Deci, 2000).
c. Sifat Terbuka
Beberapa studi bahkan melaporkan
korelasi 0,80 antara sifat ekstrovert
dan kebahagiaan yang dinilai oleh
diri sendiri (Fujita, 1991). Sifat
ekstrovert juga telah dipergunakan
untuk
memprediksi
tingkat
kebahagiaan sampai tiga puluh tahun
setelah tes awal dilakukan (Costa &
McCrae, 1986). Sementara variabel
ini secara konsisten dihubungkan
dengan kesejahteraan subjektif, tidak
berarti bahwa seseorang dengan sifat
introvert selalu merasakan depresi
dan bosan.
d. Optimisme
Pada umumnya, orang yang lebih
optimis tentang masa depannya
dilaporkan merasa lebih bahagia dan
puas atas hidupnya (Diener et al.,
1999). Sebagai keterangan mengenai
variabel-variabel lain yang telah
dibahas, hal ini membuat semuanya
menjadi masuk akal. Orang yang
mengevaluasi dirinya secara positif
beranggapan bahwa dia dapat
mengendalikan aspek-aspek penting
dalam hidupnya dan orang yang
berhasil
dalam
berinteraksi
tampaknya akan memandang masa
depan dengan penuh harapan dan
ekspektasi positif.
e. Hubungan Yang Positif
Hubungan yang positif antara
kesejahteraan subjektif yang tinggi
dan kepuasan terhadap keluarga serta
teman adalah salah satu dari sedikit
hubungan yang ditemukan secara
universal dalam berbagai studi lintas
budaya mengenai kesejahteraan
(Diener, Oishi & Lucas, 2003).
f. Kontak Sosial
Seseorang mungkin bertanya-tanya
apakah orang lebih suka bersamasama dengan orang lain ketika
mereka merasa bahagia atau ketika
mereka merasa sedih. Salah satu
studi bertanya kepada orang dalam
situasi apa mereka memilih untuk
berada sendirian atau bersama orang
lain (Middlebrook, 1980) dan
menemukan bahwa kebanyakan
orang lebih ingin bersama orang lain
ketika mereka merasa bahagia.
Karena kontak sosial yang positif
tampaknya juga dapat meningkatkan
kesejahteraan, hubungan antara
kesejahteraan
subjektif
dan
hubungan sosial yang positif dapat
bersifat timbal balik.
g. Pemahaman Tentang Arti Dan
Tujuan
Sejumlah studi telah menemukan
bahwa orang-orang dengan iman
terhadap agama yang lebih kuat,
yang lebih memandang penting
agama dalam hidupnya dan yang
lebih sering mengikuti ibadah
keagamaan dilaporkan memiliki
tingkat kesejahteraan yang lebih
tinggi. Tentu saja, salah satu alasan
dari penemuan ini adalah karena
agama memberikan arti pada tiap
individu. Jelaslah bahwa agama juga
dapat menghilangkan kecemasan
yang ada dan rasa takut akan
kematian.
Meskipun demikian,
perhatikan
bahwa
pemahaman
tentang arti dan tujuan hidup tidak
harus selalu dikaitkan dengan
kepercayaan
yang
religius
(McGregor & Little, 1998; Compton,
2000).
h. Penyelesaian Konflik Dalam Diri
Para peneliti telah menemukan
bahwa semakin sedikit kepingan diri
atau integrasi yang lebih baik dan
kesesuaian antara berbagai aspek
dalam satu pribadi, maka semakin
tinggi
kesejahteraan
subjektif
seseorang
(Donahue,
Robins,
Roberts & John, 1993). Maka dari
itu, integrasi personal mungkin
menjadi deskripsi yang lebih baik
tentang apa yang dimaksud oleh
prediktor kesejahteraan subjektif ini.
B. Lanjut Usia (Lansia)
1. Pengertian Lanjut Usia (Lansia)
Menurut Levinson (dalam Monks,
2002) dalam fase perkembangan usia
lanjut itu berada dalam fase masa
dewasa akhir berusia antara 60 tahun
keatas. dalam arti tumbuh, bertambah
besar, mengalami diferensiasi yaitu
sebagai proses perubahan yang dinamis
pada masa dewasa berjalan bersama
dengan keadaan menjadi tua.
Thomae (dalam Monks, 2002)
berpendapat bahwa proses menjadi tua
merupakan suatu struktur perubahan
yang mengandung berbagai macam
dimensi, yaitu:
a. Proses biokemis dan fisiologis yang
oleh Burger disebut sebagai proses
penuaan yang primer, dalam daerah
batas psikofisiologis;
b. Proses fisiologis atau timbulnya
penyakit-penyakit;
c. Perubahan fungsional-psikologis;
d. Perubahan kepribadian dalam arti
sempit;
e. Penstrukturan kembali dalam hal
sosial psikologis yang berhubungan
dengan bertambahnya usia;
f. Perubahan
yang
berhubungan
dengan kenyataan bahwa orang tidak
hanya mengalami keadaan menjadi
tua, melainkan bahwa seseorang juga
mengambil sikap terhadap keadaan.
Birren dan Schroots (dalam
Monks, 2002) membedakan tiga proses
sentral pada masa dewasa lanjut, yaitu :
a. Penuaan sebagai proses biologis
(senescing);
b. Menjadi senior dalam masyarakat
atau penuaan sosial (eldering);
c. Penuaan
psikologis
subjektif
(geronting).
Berdasarkan pengertian-pengertian
diatas maka dapat disimpulkan bahwa
lanjut usia adalah seseorang yang
berusia 60 tahun (di negara berkembang)
atau 65 tahun (di negara maju) yang
telah mengalami proses menjadi tua dan
karena faktor-faktor tertentu tidak dapat
memenuhi kebutuhan dasarnya baik
secara jasmani, rohani maupun sosial.
2. Karakteristik Lanjut Usia
a. Karakteristik fisik
Papalia, Olds dan Feldman
(2004) mengatakan bahwa pada
masa lanjut usia, individu memiliki
perubahan fisik, baik yang dapat
terlihat maupun yang kurang dapat
terlihat. Perubahan-perubahan fisik
yang dapat terlihat tersebut antara
lain kulit yang mengeriput dan
kurang elastis serta rambut yang
memutih, tubuh lansia juga terlihat
lebih pendek karena tulang yang
membungkuk
dan
menipis.
Sedangkan perubahan fisik yang
kurang dapat terlihat antara lain:
1) Penurunan berat otak yang
semakin
bertambah
akibat
hilangnya neuron dalam otak
yang akhirnya menyebabkan
penurunan
koordinasi
fisik
maupun
kognitif
sehingga
kemampuan
merespon juga
menurun.
2) Munculnya masalah pada alatalat indera, antara lain berupa
kesulitan dalam mempersepsikan
kedalaman atau warna ataupun
kesulitan
dalam
membaca,
menjahit, dansebagainya. Kurang
nya kemampuan mendengar
suara dengan nada tinggi.
Penurunan pada indera pengecap
dan
penciuman
yang
menyebabkan lansia kurang
dapat menikmati makanan. Serta
penurunan
kekuatan
dan
keseimbangan sehingga sudah
kurang mampu untuk melakukan
aktivitas
yang
memerlukan
tenaga besar dalam waktu yang
lama.
3) Pada
dasarnya
kemampuan
fungsi seksual dapat dijaga
dengan aktivitas seksual yang
konsisten selama bertahun-tahun.
Hanya
saja
waktu
yang
diperlukan lebih lama pada lansia
laki-laki untuk ereksi atau
ejakulasi, sedang pada lansia
perempuan,
tanda-tanda
rangsangan seksual akan menjadi
kurang
kuat
dibanding
sebelumnya.
4) Selain itu, lansia juga memiliki
kecenderungan untuk mengalami
dementia atau penurunan fungsi
kognitif dan tingkah laku yang
disebabkan karena perubahan
fisiologis yang terjadi sejalan
pertambahan usia. Salah satu
jenis dementia yang biasanya
dialami lansia adalah penyakit
alzeimer (penurunan fungsi
kognitif dan hilangnya kontrol
terhadap fungsi tubuh akibat
kelainan pada otak). Selain itu,
lansia
juga
memiliki
kecenderungan
Parkinson
dengan gejala tremor, kekakuan,
pergerakan yang lambat dan
postur yang tidak stabil akibat
kelainan neurologis.
b. Karakteristik Psikososial
Menurut Papalia, Olds dan
Feldman (2004) pada fungsi
psikososial,
lansia
mengalami
perubahan pada gaya hidup, hal ini
dikarenakan pensiun dan waktu
luang, pada hubungan sosial, serta
pada hubungan konsensual, yaitu
pernikahan,
menjanda,
ataupun
hidup sendiri, individu pada masa
lansia yang sebelumnya bekerja
maka
juga
akan
mengalami
kehilangan identitas pada masa
pensiunnya.
Menurut
Newman
&
Newman (2006), latihan fisik
menjadi fokus dalam aktivitas waktu
luang pada sejumlah lansia karena
bermanfaat
untuk
kesehatan,
kepercayaan diri dan semangat
hidup. Aktivitas waktu luang pada
lansia juga bermanfaat untuk
memenuhi
kebutuhan
akan
persahabatan,
kebutuhan
untuk
mengalami hal baru dan berbeda,
untuk melepaskan diri dari tekanan
dalam berhubungan dengan orang
lain, untuk menemukan ketenangan
dan keamanan, dan menemukan
kesempatan memperoleh stimulasi
intelektual, ekspresi diri, dan
pelayanan (Tiensley et al. dalam
Newman & Newman, 2006).
Patterson (dalam Newman &
Newman, 2006) mengatakan bahwa
janda atau duda lansia yang terlibat
dalam aktivitas luang memiliki
tingkat stress yang lebih rendah
dibanding mereka yang tidak, namun
bukan berarti dengan begitu mereka
tidak berduka, dan karena aktivitas
sosial yang mereka lakukanlah yang
membantu mereka merasa tidak
terisolasi dan memberi mereka
perasaan akan nilai sosial yang
berlanjut.
Salah satu tema penting pada
masa lansia adalah pada pengaturan
tempat tinggal. Pada umumnya,
lansia akan tinggal bersama anak dan
cucunya atau tinggal di suatu
institusi. Di negara berkembang, para
lansia baik pria maupun wanita
biasanya tinggal dengan anakanaknya dan cucu-cucunya (Papalia,
Olds & Feldman, 2004). Sedangkan
menurut McFall & Miller (dalam
Papalia, Olds & Feldman, 2004)
lansia yang memiliki resiko tinggi
untuk tinggal di institusi adalah
mereka yang hidup sendiri, yang
tidak mengambil bagian dalam
aktivitas sosial, yang memiliki
keterbatasan
kesehatan
dan
kemampuan, serta mereka yang
memiliki keluarga yang terbebani
dengan kehadiran mereka.
Penelitian
menunjukkan
bahwa lansia biasanya melewatkan
kesempatan untuk meningkatkan
kontak sosial dan lebih puas dengan
jaringan sosial yang lebih kecil
(Papalia, Olds & Feldman, 2004)
sehingga bagi lansia, hubungan
personal menjadi hal yang penting,
bahkan lebih dari sebelumnya,
walaupun dalam hubungan sosial,
umumnya
kehidupan
lansia
diperkaya dengan kehadiran teman
lama dan keluarga.
Perubahan psikososial lain
yang terjadi pada masa lansia adalah
kehilangan pasangan. Umumnya,
pria akan menikah lagi ketika
kehilangan pasangan dibandingkan
dengan wanita (Papalia, Olds &
Feldman, 2004). Oleh karena itu,
saat ini tidak heran apabila lebih
banyak ditemukan lansia wanita
yang hidup sendiri dan menjanda.
C. Panti Jompo
1. Pengertian Panti Jompo
Panti Jompo adalah tempat tinggal
yang dirancang khusus untuk orang
lanjut usia, yang di dalamnya disediakan
semua fasilitas lengkap yang dibutuhkan
orang lanjut usia (Hurlock, 1996).
Menurut Santrock (2002) panti jompo
merupakan lembaga perawatan atau
rumah perawatan yang dikhususkan
untuk orang-orang dewasa lanjut. Disana
tersedia berbagai macam kebutuhan
yang dibutuhkan oleh para orang-orang
lanjut usia dan tersedia juga fasilitas
kesehatan.
Panti Jompo swasta didefinisikan
sebagai usaha yang menyediakan
akomodasi, perawatan, layanan makanan
dan manajemen kesehatan bagi satu atau
lebih orang lanjut usia (Nusantara,
2009). Panti Jompo merupakan unit
pelaksanaan teknis yang memberikan
pelayanan sosial bagi lanjut usia, yaitu
berupa
pemberian
penampungan,
jaminan hidup seperti makanan dan
pakaian,
pemeliharaan
kesehatan,
pengisian waktu luang termasuk
rekreasi, bimbingan sosial, mental serta
agama,
sehingga
mereka
dapat
menikmati hari tuanya dengan diliputi
ketentraman lahir batin (DEPSOS RI,
2003).
2. Keuntungan dan Kerugian Tinggal di
Panti Jompo
a. Keuntungan
Menurut Hurlock (1996) Ada
beberapa keuntungan yang akan
didapat para lansia bila tinggal di
Panti Jompo adalah sebagai berikut :
1) Perawatan dan perbaikan wisma
dan perlengkapannya dikerjakan
oleh lembaga;
2) Semua makanan mudah didapat
dengan biaya yang memadai;
3) Perabotan dibuat untuk rekreasi
dan hiburan;
4) Terdapat kemungkinan untuk
berhubungan dengan teman
seusia yang mempunyai minat
dan kemampuan yang sama;
5) Kesempatan yang besar untuk
dapat diterima secara temporer
oleh teman seusia daripada
dengan orang yang lebih muda;
6) Menghilangkan kesepian karena
orang-orang di situ dapat
dijadikan teman;
7) Perayaan hari libur bagi mereka
yang tidak mempunyai keluarga
tersedia di sini;
8) Ada
kesempatan
untuk
berprestasi berdasarkan prestasi
di masa lalu kesempatan
semacam ini tidak mungkin
terjadi dalam kelompok orangorang muda.
b. Kerugian
Selain
mendapat
beberapa
keuntungan terdapat pula beberapa
kerugian bila tinggal di Panti Jompo,
diantaranya adalah :
1) Biaya hidup yang lebih mahal
daripada tinggal di Rumah
sendiri
2) Seperti halnya makanan di semua
lembaga,
biasanya
kurang
menarik
daripada
masakan
rumah sendiri
3) Pilihan makanan terbatas dan
seringkali diulang-ulang
4) Berhubungan dekat dan menetap
dengan beberapa orang yang
mungkin tidak menyenangkan
5) Letaknya seringkali jauh dari
tempat pertokoan, hiburan dan
organisasi masyarakat
6) Tempat tinggalnya cenderung
lebih kecil daripada rumah yang
dulu.
D. Subjective Well Being Pada Lansia
Penghuni Panti Jompo
Didalam panti jompo terkadang
lansia mengalami beberapa masalah yang
menyebabkan lansia merasa tidak betah
didalam panti jompo masalah tersebut
diantaranya adalah kesepian, keterasingan
dari
lingkungan,
ketidakberdayaan,
ketergantungan, kurang percaya diri,
keterlantaran terutama bagi lansia yang
miskin serta kurangnya dukungan dari
anggota keluarga. Hal tersebut dapat
mengakibatkan
depresi
yang
dapat
menghilangkan
kebahagiaan,
hasrat,
harapan,
ketenangan
pikiran
dan
kemampuan untuk merasakan ketenangan
hidup, hubungan yang bersahabat dan
bahkan
menghilangkan
keinginan
menikmati
kehidupan
sehari-hari.
Sedangkan pada perubahan sosial antara lain
terjadinya penurunan aktivitas, peran dan
partisipasi sosial (Partini, 2002).
Namun jika lansia penghuni panti
jompo memiliki subjective well-being maka
dapat membuat lansia menikmati kehidupan
nya didalam panti jompo, karena individu
yang memiliki subjective well-being yang
tinggi pada umumnya memiliki sejumlah
kualitas hidup yang mengagumkan (Diener,
2000), karena individu ini akan lebih
mampu
mengontrol
emosinya
dan
menghadapi berbagai peristiwa dalam hidup
dengan lebih baik.
Seseorang yang memiliki subjective
well-being yang baik maka dia akan dengan
mudah beradaptasi dengan lingkungannya
yang baru. Dia akan cenderung lebih
menikmati hidup karena dia menjalaninya
dengan rasa bahagia tanpa tertekan dan
selalu berfikir positif. Selain itu dia juga
akan mdah berbaur dengan orang-orang
disekitarnya sehingga dia akan merasa
nyaman untuk tinggal dimana saja termasuk
didalam panti jompo.
METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Penelitian
Metode studi kasus dalam penelitian
ini untuk mengetahui gambaran subjective
well- being pada lansia penghuni panti
jompo. Dengan menggunakan metode studi
kasus
ini,
peneliti
berharap
akan
memperoleh suatu pemahaman subjective
well- being pada lansia penghuni panti
jompo.
Punch (dalam Poerwandari, 2005)
mengatakan bahwa studi kasus adalah
fenomena khusus yang hadir dalam suatu
konteks yang terbatasi (bounded context),
meski batas – batas antara fenomena dan
konteks tidak sepenuhnya jelas. Dimana
kasus itu dapat berupa individu, peran,
kelompok kecil, organisasi, komunitas, atau
bahkan suatu bangsa. Kasus dapat pula
berupa keputusan, kebijakan, proses, atau
suatu peristiwa khusus tertentu.
Stake
(dalam
Basuki,
2006)
menjelaskan bahwa nama studi kasus
ditekankan oleh beberapa peneliti karena
memfokuskan tentang apa yang dapat
dipelajari secara khusus pada kasus tunggal.
Penekanan
studi
kasus
adalah
memaksimalkan pemahaman tentang kasus
yang
dipelajari
dan
bukan
untuk
mendapatkan generalisasi.
B. Subjek Penelitian
Subyek penelitian ini adalah seorang
lansia (lanjut usia). Jumlah subjek dalam
penelitian ini berjumlah satu orang subjek
dan satu orang significant other.
C. Tahap-tahap Penelitian
Tahap persiapan dan pelaksanaan
yang akan dilakukan dalam penelitian ini
meliputi beberapa tahap, antara lain:
1. Tahap Persiapan Penelitian
Langkah awal yang dilakukan oleh
peneliti
adalah
membuat
pedoman
wawancara yang disusun berdasarkan teoriteori yang relevan dengan masalah
penelitian ini. Pedoman wawancara ini berisi
pertanyaan-pertanyaan
mendasar
yang
nantinya
dapat
berkembang
dalam
wawancara. Pedoman wawancara yang telah
disusun,
sebelum
digunakan
dalam
wawancara dikonsultasikan terlebih dahulu
dengan yang lebih ahli atau significant other
yang dalam hal ini adalah dosen
pembimbing, peneliti melihat perbaikan
terhadap
pedoman
wawancara
dan
mempersiapkan diri untuk melakukan
wawancara.
Karena
peneliti
telah
mendapatkan subjek, selanjutnya peneliti
membuat kesepakatan dengan subjek dan
mengatur waktu serta tempat pertemuan
selanjutnya untuk melakukan wawancara
berdasarkan pedoman yang telah dibuat.
Peneliti juga perlu mempersiapkan tape
recorder yang akan digunakan untuk
merekam jalannya wawancara agar semua
informasi akurat tidak ada yang terlupakan.
2. Tahap Pelaksanaan Penelitian
Dalam
pelaksanaan
penelitian,
peneliti melakukan beberapa prosedur yang
meliputi:
a. Peneliti menentukan siapa subjek yang
ingin diteliti, Peneliti menghubungi
subjek
dengan
maksud
untuk
memperkenalkan diri, kemudian peneliti
menanyakan kepada subjek mengenai
waktu, tanggal sdan tempat diadakannya
pertemuan, sehingga subjek dapat
menyesuaikan dan memilih jadwal yang
tidak mengganggu kesibukan subjek,
Peneliti
menemui
subjek
dan
memperkenalkan diri secara langsung,
Peneliti kemudian membuat janji untuk
pertemuan berikutnya dengan subjek,
Sebelum pertemuan kedua, peneliti
menghubungi subjek kembali untuk
memastikan pertemuan yang telah
direncanakan, Pertemuan kedua peneliti
mulai melakukan wawancara dan
observasi yang digunakan untuk
pengumpulan data, Setelah observasi
dan wawancara dilakukan, peneliti
menulis dan memeriksa kembali hasil
penelitian.
D. Teknik Pengumpulan Data
Tehnik pengumpulan data dalam
penelitian ini adalah wawancara dan
observasi.
1. Metode Wawancara
Menurut
Banister
dkk
(dalam
Poerwandari, 1998) wawancara adalah
percakapan dan tanya jawab yang diarahkan
untuk mencapai tujuan tertentu. Sedangkan
Kartono
(dalam
Basuki,
2006)
mendefinisikan wawancara sebagai suatu
percakapan yang diarahkan pada suatu
masalah tertentu, merupakan tanya jawab
lisan, dimana dua orang atau lebih berhadap
– hadapan secara fisik.
Menurut Walgito (1991) ada
beberapa macam jenis wawancara, yaitu
wawancara
bebas
(free
interview),
wawancara terpimpin (guided interview),
dan wawancara bebas – terpimpin.
1) Wawancara bebas
Merupakan
bentuk
wawancara
dimana orang yang diwawancarai
diberi
kebebasan
dalam
mengemukakan pendapat, dalam
berbicara. Situasinya merupakan
situasi yang bebas.
2) Wawancara terarah
Wawancara yang dituntun atau
diarahkan
oleh
peneliti
atau
pewawancara. Peneliti membacakan
pertanyaan – pertanyaan yang pada
umumnya sudah disiapkan dalam
bentuk tertulis, sehingga seakan –
akan merupakan bentuk kuesioner
yang
dibacakan.
Karena
itu
situasinya merupakan situasi yang
kurang bebas, kurang alami dan
jalannya wawancara agak kaku.
3) Wawancara bebas – terpimpin
Merupakan
kombinasi
dari
wawancara bebas dan wawancara
terpimpin. Dalam wawancara ini
kebebasan juga diberikan, dalam arti
yang
diwawancarai
dapat
memberikan jawaban dalam situasi
bebas,
tapi
peneliti
juga
mengendalikan, peneliti memberikan
arah dari wawancara.
Dalam penelitian ini akan digunakan
tipe
wawancara
bebas-terpimpin.
Wawancara bebas-terpimpin kebebasan juga
diberikan, dalam arti yang diwawancarai
dapat memberikan jawaban dalam situasi
bebas, tapi peneliti juga mengendalikan,
peneliti memberikan arah dari wawancara.
2. Metode Observasi
Menurut Kartono (dalam Heru
Basuki, 2006) pengertian observasi diberi
batasan sebagai berikut: “studi yang
disengaja dan sistematis tentang fenomena
sosial dan gejala – gejala psikis dengan jalan
pengamatan dan pencatatan”.
Tujuan observasi mendeskripsikan
setting yang dipelajari, aktivitas – aktivitas
yang berlangsung, orang – orang yang
terlibat dalam aktivitas dan makna kejadian
dilihat dari perspektif mereka yang terlibat
dalam kejadian yang diamati tersebut
(Poerwandari, 1998).
Observasi juga
bertujuan untuk mengerti ciri – ciri dan
luasnya signifikansi dari inter relasinya
elemen – elemen tingkah laku manusia pada
fenomena sosial serba kompleks dalam pola
– pola kulturil tertentu (Kartono dalam
Basuki, 2006).
Dalam observasi dikenal ada
beberapa macam atau jenis observasi, yaitu
(Walgito, 1991):
1) Observasi partisipasi
Merupakan observasi yang observer
atau peneliti ikut ambil bagian dalam
situasi atau keadaan yang akan
diobservasinya, observer ikut sebagai
pemain
tidak
hanya
sebagai
penonton. Dalam observasi jenis ini,
observer
atau
peneliti
dapat
mengungkap hal – hal yang cukup
mendalam, karena peneliti atau
observer sudah tidak menimbulkan
kecurigaan
bagi
yang
diobservasinya.
2) Observasi non-partisipasi
Observasi jenis ini merupakan
kebalikan dari observasi jenis partisipasi.
Dalam observasi ini observer atau peneliti
tidak ikut ambil bagian secara langsung
dalam situasi yang ditelitinya. Peneliti tidak
sebagai pemain, tetapi sebagai penonton.
Pada observasi jenis ini pada umumnya
observer atau peneliti tidak dapat
mengungkap hal – hal yang mendalam
seperti yang dapat terjadi pada observasi
partisipasi.
Pada penelitian ini, peneliti akan
menggunakan metode observasi non partisipasi. Dalam observasi ini observer
atau peneliti tidak ikut ambil bagian secara
langsung dalam situasi yang ditelitinya.
Peneliti tidak sebagai pemain, tetapi sebagai
penonton.
E. Alat Pengumpul Data
Alat bantu yang digunakan dalam
penelitian ini berupa pedoman wawancara,
pedoman observasi, alat perekam dan alat
tulis.
1. Pedoman Wawancara
Berupa kertas yang berisikan
beberapa garis besar tentang pertanyaan
yang akan diajukan kepada subyek, agar
tidak meluasnya pembahasan dan menyebar
kepada hal-hal yang tidak relevan sehingga
wawancara tidak lagi sesuai dengan tujuan
penelitian.
2. Pedoman Observasi
Alat pencatatan yang digunakan
peneliti dalam observasi ialah sebuah daftar
berisi jenis – jenis gejala yang akan diamati.
Hal ini dimaksudkan agar observer lebih
mudah dalam melakukan observasi.
3. Alat Perekam dan Kaset
Alat perekam digunakan untuk
merekam informasi saat wawancara
berlangsung. Alat perekam digunakan dalam
upaya mengatasi keterbatasan peneliti dalam
mengingat dan mencatat informasi yang
diperoleh saat wawancara. Penggunaan alat
perekam
ini
dilakukan
dengan
sepengetahuan dan persetujuan dari subjek.
4. Alat Tulis
Alat tulis yang digunakan adalah
buku tulis, pensil, pulpen, dan penghapus.
Dengan tujuan untuk mencatat semua data
dan informasi dalam penelitian
F. Keakuratan Penelitian
Menurut
Patton
(dalam
Poerwandari, 2001) triangulasi dapat
dibedakan menjadi empat bagian yaitu:
1. Triangulasi
data,
yakni
menggunakan berbagai sumber data
seperti hasil wawancara, atau juga
dengan mewawancarai lebih dari
satu subjek yang dianggap memiliki
sudut pandang yang berbeda dengan
melakukan perbandingan antara data
subjek I dan subjek II.
2. Triangulasi penelitian, yakni adanya
pengamat diluar peneliti yang turut
memeriksa hasil pengumpulan data.
Dalam
penelitian
ini
dosen
pembimbing
bertindak
sebagai
pengamat (expert judgement) yang
memberikan masukan terhadap hasil
pengumpulan data.
3. Triangulasi
teori,
yakni
digunakannya berbagai teori untuk
memastikan bahwa data yang
dikumpulkan sudah memenuhi syarat
penelitian.
4. Triangulasi
metodologis,
yakni
dipakainya beberapa metode yang
berbeda untuk meneliti suatu hal
yang
sama.
Seperti
metode
wawancara dan metode observasi,
Dalam penelitian ini peneliti
menggunakan
keempat
triangulasi
dikarenakan peneliti melakukan seluruh
trianggulasi yang ada.
G. Teknik Analisa Data
Proses analisis dapat melibatkan
konsep – konsep yang muncul dari jawaban
atau kata – kata responden sendiri maupun
konsep – konsep yang dikembangkan atau
dipilih peneliti untuk menjelaskan fenomena
yang dianalisis. Kata – kata kunci dapat
diambil dari istilah yang dipakai oleh
responden sendiri, yang oleh peneliti
dianggap benar – benar tepat dan dapat
mewakili fenomena yang dijelaskan
(Poerwandari, 1998)
Menurut
Poerwandari
(1998)
tahapan analisis data meliputi :
1. Organisasi Data
Pengolahan dan analisis data
sesungguhnya
dimulai
dengan
mengorganisasikan data (Poerwandari,
1998). Highlen dan Finley (dalam
Poerwandari, 1998) mengatakan bahwa
organisasi
data
yang
sistematis
memungkinkan peneliti untuk memperoleh
kualitas data yang baik dan dapat
mendokumentasikan analisis yang diberikan.
2. Koding dan Analisis
Langkah
selanjutnya
adalah
melakukan koding dan analisis. Koding
dimaksudkan untuk memberi kode – kode
pada
materi
yang
diperoleh
agar
memudahkan
dalam
proses
pengorganisasian dan mensistematisasi data
secara lengkap dan mendetail sehingga data
dapat memunculkan gambaran tentang topik
yang dipelajari (Poerwandari, 1998)
3. Analisa Tematik
Setelah
peneliti
melakukan
penyusunan
koding,
peneliti
akan
melakukan langkah berikutnya yaitu analisis
tematik.
Menurut
Boyatzis
(dalam
Poerwandari, 1998) analisis tematik
memungkinkan peneliti menemukan pola
yang pihak lain tidak melihatnya secara
jelas. Pola atau tema tersebut tampil seolah –
olah secara acak dalam tumpukan informasi
yang tersedia. Setelah peneliti menemukan
pola
(seeing),
peneliti
akan
mengklasifikasikan atau men ‘encode’ pola
tersebut (seeing as) dengan label, definisi
atau deskripsi. Tujuan utama dari analisis ini
adalah untuk memberi atau membuat makna
terhadap materi – materi yang secara awam
terlihat tidak saling terkait.
Dalam menganalisa data pada
penelitian ini, peneliti melakukan langkah –
langkah sebagai berikut:
a. Mengumpulkan data mentah (catatan
dan rekaman hasil wawancara dan
observasi).
b. Merubah hasil wawancara dan observasi
ke dalam bentuk transkrip kata demi
kata.
c. Membaca kembali transkrip dengan teliti
dan mengidentifikasi tema – tema yang
muncul.
d. Memberikan kode – kode pada transkrip
berdasarkan tema - tema yang muncul.
e. Mencari hubungan di antara tema – tema
tersebut;
f. Menulis laporan berdasarkan hubungan
yang terdapat di dalam tema – tema
tersebut.
g. Kemudian menarik kesimpulan pada
setiap
data,
disesuaikan
dengan
karakteristik dan banyaknya data yang
telah didapat dari proses wawancara dan
observasi.
HASIL DAN ANALISIS
Pembahasan
Berdasarkan hasil wawancara dan
observasi yang dilakukan dengan subjek dan
significant other telah didapat data dan
disimpulkan bahwa subjek memang
mendapatkan dukungan dari keluarga. Oleh
karena itu berdasarkan analisis di atas dapat
dibuat pembahasan mengenai subjective
well-being pada lansia penghuni panti
jompo.
1. Gambaran subjective well-being pada
lansia penghuni panti jompo
a. Kepuasan hidup
Kepuasan hidup yang didapat
subjek berupa kepuasaan dalam
berkarir dengan prestasi yang didapat
dalam pekerjaannya yaitu ketika
subjek memenangkan sebuah tender
yang
lumayan
besar,
subjek
diberikan
kepercayaan
pada
perusahaan tempat subjek berkerja.
dan dapat mengantarkan semua anak
– anak mendapatkan kerjaan yang
bagus, dan memiliki keluarga. Hal
ini sesuai dengan apa yang dikatakan
significant other tentang kepuasan
hidupnya, yaitu adalah saat subjek
membicarakan prestasi kerjanya
yaitu mampu memenangi tender, dan
subjek merasa bangga karena dapat
menolong teman-temanya serta
berusaha untuk memberika yang
terbaik kepada teman-temanya,
Selain itu subjek juga berusaha untuk
berguna didalam panti dan menolong
teman pantinya yang sedang
membutuhkan pertolongan.
Hal ini sesuai dengan
pendapat Hurlock (2000) tentang
kepuasan
hidup
merupakan
kemampuan
seseorang
untuk
menikmati pengalaman-pengalaman
yang disertai dengan tingkat
kegembiraan. Kepuasan hidup timbul
dari pemenuhan kebutuhan atau
harapan dan merupakan penyebab
atau sarana untuk menikmati.
b. Afeksi positif
Afeksi positif pada subjek
cukup tinggi karena subjek sering
kali merasakan emosi yang positif,
memiliki banyak teman dan berusaha
untuk berguna oleh orang lain,
semangat dalam menjalankan hidup
seperti tidak
mudah berburuk
sangka, dan menjaga hubungan baik
dengan
orang
lain,
tidak
mengecewakan orang lain dan
berusaha tidak menyakiti orang lain,
kuat dan aktif dalam menjalankan
hidupnya, pernyataan ini sesuai
dengan
apa
yang
dikatakan
significant other, Menurut significant
other, subjek termasuk orang yang
sangat perhatian, jarang marah, dan
pemaaf, itu dilihat dari apabila ada
temannya yang sakit, subjek suka
menjenguk dan memberi dukungan
moril, agar cepat sembuh, subjek
juga banyak teman-temannya di
dalam panti, karena suka negur, dan
cepat akrab dengan orang di sekitar
panti. Hal ini sesuai dengan pendapat
Diener dan Larsen (1984) bahwa
afeksi positif Seseorang dapat
dikatakan memiliki Subyective WellBeing yang tinggi jika mereka sering
kali merasakan emosi yang positif
seperti penuh perhatian, tertarik,
waspada, bersemangat, antusias,
terinspirasi, bangga, ditentukan, kuat
dan aktif.
c. Afeksi negatif
Afeksi negatif pada subjek
tidak terlalu muncul dan dapat
diatasi oleh subjek, walau dapat
diatasi namun subjek tetap merasa
wajar untuk merasakan sedih, pada
saat subjek kehilangan istrinya, dan
subjek merasa gelisah ketika subjek
tidak
dapat
menyelesaikan
pekerjaanya
sehingga
mengecewakan orang lain, namun
subjek mengatasinya dengan cara
mengerjakan pekerjaannya dengan
serius dan secepat mungkin untuk
menyelesaikannya.
Dan
sesuai
dengan significant other
karena
menurut significant other, subjek
jarang terlihat murung atau sedih,
bermusuhan, mudah marah, takut,
malu, merasa bersalah dan gelisah.
Jadi hal ini sesuai dengan pendapat
Diener dan Larsen (1984) bahwa
Seseorang dapat dikatakan memiliki
Subyective Well-Being yang tinggi
jika mereka jarang sekali mengalami
emosi yang negatif, seperti sedih,
bermusuhan, mudah marah-marah,
takut, malu, bersalah, dan gelisah.
2. Subjective well-being dialami oleh
lansia penghuni panti jompo
a. Optimisme
Subjek termasuk orang yang
terbuka, sebab di waktu subjek ada
masalah subjek sering berbagi cerita
dengan teman-temannya, di samping
itu subjek sangat optimis dengan
kehidupannya, subjek merasa tidak
ada hal yang tidak mungkin, selama
kita masih tetap mau untuk mencoba
sesuatu walaupun subjek pernah
gagal dan subjek selalu berfikir
bahwa segala masalah pasti ada jalan
keluarnya, pernyataan ini sama
dengan significant other,bahwa
subjek adalah orang yang semangat
dan jarang mengeluh, sebab bila
subjek sedang mengerjakan sesuatu
seperti membersihkan kamarnya,
pekerjaannya langsung di tuntaskan,
tidak ditinggalkan. Jadi hal ini sesuai
dengan pendapat Diener (1999) Pada
umumnya, orang yang lebih optimis
tentang masa depannya dilaporkan
merasa lebih bahagia dan puas atas
hidupnya, dan mengevaluasi dirinya
secara positif beranggapan bahwa dia
dapat mengendalikan aspek-aspek
penting dalam hidupnya, dan orang
yang berhasil dalam berinteraksi
tampaknya akan memandang masa
depan dengan penuh harapan.
b. Kontak sosial
Tinggal di dalam panti jompo
menurut subjek juga banyak hal-hal
yang menarik dan membuat saya
betah,
seperti
ketika
subjek
mengalami kesulitan, banyak teman
subjek yang tinggal di panti jompo
untuk menolong nya karena subjek
juga banyak bergaul di dalam
lingkungan sosialnya. Subjek juga
tidak memilih-milih dalam berteman
dan subjek juga suka dengan suasana
yang ramai dan teman subjek selalu
ada ketika subjek membutuhkannya,
hal ini sesuai dengan significant
other menurut significant other
subjek
termasuk
orang
yang
penyabar, bila ada masalah subjek
tidak
terlalu
panik
dalam
menyelesaikan masalahnya. Didalam
panti jompo subjek tidak ada
masalah dengan teman-temannya,
seperti permusuhan sesama penghuni
panti jompo, hal ini sesuai dengan
pendapat Middlebrook (1980) bahwa
pada umumnya bahwa kebanyakan
orang lebih ingin bersama orang lain
ketika mereka merasa bahagia.
Karena kontak sosial yang positif
tampaknya juga dapat meningkatkan
kesejahteraan, hubungan antara
kesejahteraan
subjektif
dan
hubungan sosial yang positif dapat
bersifat timbal balik.
c. Pemahaman tentang arti dan
tujuan
Subjek termasuk orang yang
sabar, karena subjek sadar dirinya
sudah tua, sehingga subjek tidak
terlalu memikirkan siapa saja yang
berbuat salah dengan dirinya,. Selain
itu subjek rajin beribadah dan subjek
selalu berusaha agar shalatnya tidak
tertinggal, subjek selalu bersabar
ketika subjek menghadapi masalah
dan memaafkan kesalahan orang
lain. Pernyataan ini sesuai dengan
significant other
karena juga
bercerita tentang keimanan subjek
yang kuat, buktinya dilihat dari
ibadahnya yang tidak pernah di
tinggalnya, malah subjek suka
mengajak temannya untuk beribadah
bareng,
katanya
bila
selesai
beribadah akan merasa tenang Hal
ini
sesuai
dengan
pendapat
McGregor & Little (1998) dan
Compton (2000)
bahwa agama
memberikan arti pada tiap individu.
Jelaslah bahwa agama juga dapat
menghilangkan kecemasan yang ada
dan rasa takut akan kematian.
Meskipun demikian, perhatikan
bahwa pemahaman tentang arti dan
tujuan hidup tidak harus selalu
dikaitkan dengan kepercayaan yang
religius.
d. Harga diri
Subjek
merasa
bangga
dengan hidupnya dikarenakan subjek
dapat menolong teman-temanya,
subjek pun telah dapat membesarkan
anak-anaknya
hingga
menjadi
dewasa dan dapat menghidupi
dirinya sendiri berserta keluarganya.
Pernyataan ini sesuai dengan
significant other yang bercerita
bahwa subjek suka membantu
teman-teman di panti jompo dan
keberhasilan
subjek
dalam
membesarkan anak-anak nya. Hal ini
sesuai dengan pendapat Campbell
(1981), harga diri yang tinggi
membuat
seseorang
memiliki
beberapa
kelebihan
termasuk
pemahaman mengenai arti dan nilai
hidup, maka jelaslah bahwa harga
diri
merupakan
prediktor
kesejahteraan subjektif dan juga
pedoman penting terhadap hubungan
inter personal.
e. Sifat Terbuka
Subjek adalah seorang yang
terbuka, setiap mengalami masalah
subjek seringkali bercerita dengan
penghuni yang lain, selain itu subjek
sangat suka membuka pembicaraan
dan subjek tidak segan untuk
menegur orang lain walaupun subjek
tidak mengenal orang tersebut.
Pernyataan ini sesuai dengan
significant other yang bercerita
bahwa subjek adalah seorang yang
terbuka yang tidak segan untuk
menceritakan masalah yang sedang
dia hadapi terhadap orang lain dan
subjek merupakan orang yang mudah
bergaul dan memiliki banyak teman.
Hal ini sesuai dengan pendapat Costa
& McCrae (1986), bahwa sifat
terbuka
dipergunakan
untuk
memprediksi tingkat kebahagiaan.
f. Rasa tentang pengendalian
yang bisa diterima
Subjek adalah seorang yang
sabar dikarenakan subjek suka
memaafkan kesalahan orang lain dan
subjek tidakpernah memikirkan
kesalahan orang lain karena subjek
sadar kalau dirinyapun tidak luput
dari kesalahan. Pernyataan ini sesuai
dengan significant other yang
bercerita bahwa subjek adalah sorang
yang pemaaf dan jarang sekali
terlihat marah. Hal ini sesuai dengan
pendapat Ryan & Deci (2000)
Perasaan
untuk
memiliki
pengendalian
personal
dapat
diartikan sebagai kepercayaan bahwa
seseorang memiliki beberapa tolak
ukur pengendalian atas kejadiankejadian dalam hidup yang penting
bagi dirinya.
g. Hubungan yang positif
Subjek memiliki hubungan
baik dengan orang lain, subjek
berusaha untuk berguna dengan
orang lain dan subjek berusaha untuk
tidak mengecewakan orang lain.
Pernyataan ini sesuai dengan
significant other yang bercerita
bahwa subjek tidak memiliki
masalah dengan penghuni lainya dan
hubungan
subjek
dengan
keluarganya baik. Hal ini sesuai
dengan pendapat Diener, Oishi &
Lucas, (2003) Hubungan yang positif
antara kesejahteraan subjektif yang
tinggi dan kepuasan terhadap
keluarga serta teman adalah salah
satu dari sedikit hubungan yang
ditemukan secara universal dalam
berbagai
studi
lintas
budaya
mengenai kesejahteraan.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kesimpulan yang di dapat dari penelitian
ini:
1. Gambaran subjective well-being pada
lansia penghuni panti jompo
Gambaran subjective well-being
pada lansia penghuni panti jompo adalah
kepuasaan hidup seperti terlihat pada
subjek dalam berkarir dengan prestasi
yang didapat dalam pekerjaannya yaitu
ketika subjek memenangkan sebuah
tender yang lumayan besar, subjek
diberikan kepercayaan pada perusahaan
tempat subjek berkerja. dan subjek dapat
mengantarkan semua anak – anaknya
mendapatkan kerjaan yang bagus, dan
telah memiliki keluarga. Selain itu afeksi
positif pada subjek cukup tinggi karena
subjek sering kali merasakan emosi yang
positif, subjek cukup siaga contohnya
seperti: memiliki banyak teman dan
berusaha untuk berguna oleh orang lain,
semangat dalam menjalankan hidup
seperti: tidak mudah berburuk sangka,
dan menjaga hubungan baik dengan
orang lain, tidak mengecewakan orang
lain, dan berusaha tidak menyakiti orang
lain. Sedangkan Afeksi negatif pada
subjek tidak terlalu muncul dan dapat
diatasi oleh subjek, walau dapat diatasi
namun subjek tetap merasa wajar untuk
merasakan sedih, pada saat subjek
kehilangan istrinya, dan subjek merasa
gelisah ketika subjek tidak dapat
menyelesaikan pekerjaanya sehingga
mengecewakan orang lain, namun
subjek mengatasinya dengan cara
mengerjakan pekerjaannya dengan serius
dan
secepat
mungkin
untuk
menyelesaikannya.
2. Mengapa subjective well-being yang
tinggi dialami oleh lansia penghuni panti
jompo
Dari data diatas dapat disimpulkan
bahwa Subjective well-being dialami
oleh lansia penghuni panti jompo terdiri
dari delapan prediktor Subjective wellbeing namun yang jelas ada tujuh
prediktor yang keluar yaitu Optimisme,
subjek
sangat
optimis
dengan
kehidupannya, subjek merasa tidak ada
hal yang tidak mungkin, selama kita
masih tetap mau untuk mencoba sesuatu,
walaupun subjek pernah gagal dan
subjek selalu berfikir bahwa segala
masalah pasti ada jalan keluarnya.
Subjek juga memiliki sifat terbuka, jika
subjek memiliki masalah begitu juga
sebaliknya subjek selalu bercerita
dengan
teman-temanya.
Hal
ini
dibuktikan dengan teman subjek selalu
ada ketika subjek membutuhkanya
begitu juga sebaliknya. Selain itu, subjek
tidak memilih-milih dalam berteman
dan juga banyak bergaul didalam
lingkungan sosialnya serta menyukai
suasana yang ramai. Subjek termasuk
orang yang sabar, karena subjek sadar
dirinya sudah tua, sehingga subjek tidak
terlalu memikirkan siapa saja yang
berbuat salah dengan dirinya,. Selain itu
subjek rajin beribadah dan subjek selalu
berusaha agar shalatnya tidak tertinggal,
subjek selalu bersabar ketika subjek
menghadapi masalah dan memaafkan
kesalahan orang lain.
B. Saran
1. Saran untuk Subjek
Dalam penelitian ini peneliti ingin
memberikan saran kepada subjek agar
subjek tetap optimis, selalu terbuka
dengan penghuni lain, mempertahankan
perasaan bangga terhadap hidupnya,
berteman baik dengan penghuni lainya,
rajin beribadah dan sabar dalam
menjalani hidupnya didalam panti
jompo.
2. Saran untuk keluarga
Bagi
keluarga
diharapkan
memperhatikan subjek, sebisa mungkin
meluangkan waktu untuk mengunjungi
subjek, dan selalu memotivasi agar
subjek bisa menikmati hidup, sehingga
tidak terlalu memikirkan anak cucunya.
3. Saran untuk panti jompo
Saran untuk panti jompo terkait, untuk
selalu
meningkatkan
pelayanan
kesehatannya, dan petugas panti agar
dapat lebih berbaur dengan penghuni
panti
jompo,
sehingga
dapat
memunculkan suasana kekeluargaan
didalam panti jompo tersebut.
4. Saran untuk penelitian berikutnya
Untuk penelitian selanjutnya dapat
menggunakan subjek lansia wanita,
lansia yang tinggal di rumah anakanaknya, ataupun lansia yang hidup
sendirian.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi. (2002). Psikologi sosial. Jakarta:
Rieneka Cipta Brickman.
Alky.
(2009). Subjective well-being.
http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2
009/11/subjective-well-being/ Akses
24 September 2010
Arbiyah, N., Imelda, F. N., & Oriza. I. D.
(2007). Hubungan bersukur dan
subjective well being pada penduduk
miskin.
Fakultas
kesehatan
masyarakat Universitas Indonesia.
Basuki, Heru. (2006). Penelitian kualitatif
untuk ilmu – ilmu kemanusiaan dan
budaya. Jakarta: Penerbit Universitas
Gunadarma.
DEPSOS RI. (2003). Rencana aksi nasional
untuk kesejahteraan lanjut usia.
Jakarta
:
Departemen
Sosial
Republik Indonesia.
Diener, E.,& Larsen, R. J. (1984). Temporal
stability
and
cross-situatuonal
consistency of cognitive, afective,
and behavioral responses. Journal of
Personality and social psychology.
Vol I, 43-102
Diener, E.,& Lucas, R. E. (1999). Subjective
well-being : three decades of
progress1967
to
1997.
Psychological Bulletin. Vol II, 35-44
Diener. (1999). Subjective well-being : three
decades of progress. Journal of
Personality and social psychology.
Vol III, 25-39
Diener, E. (2000). The optimum level of
well-being : can people be too
happy. Department of Psychology
University of Virginia
Fitryan & Novriyadi. (2010). Merajut hari
tua
di
panti
werdha
http://www.tnol.co.id/id/spiritualpsychology/5866-merajut-hari-tuadi-panti-werdha.html. Akses 16
Maret 2011.
Hurlock, E. B. (1993). Perkembangan anak
(6th ed). Terj. Tjandra M. M. Jakarta:
Erlangga
Ihromi, T.O. (1999). Bunga rampai
sosiologi keluarga. Jakarta : Penerbit
Yayasan Obor Indonesia.
Moleong, L. J. (2005). Metodologi
penelitian kualitatif (Edisi Revisi).
Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Muba, W. (2009). Predictors of subjective
wellbeing. Journal of positive
psychological Assessment. Vol I, 2435
Murjanta, H.S. (1998). Masalah lansia
nasional: Pensiun tidak harus di usia
56
tahun
www.sinarharapan.co.id/berita/0406/
24/nas09.html -26k -SH/stevani
elizabeth. Diakses 20 Juli 2008.
Papalia, D.E., Olds, S.W.,& Feldman, R.D.
(2004). Human development (8th
ed). Boston, USA : McGraw - Hill
Companies.
Poerwandari, E. K. (1998). Pendekatan
kualitatif
dalam
peneliatian
psikologi.
Jakarta:
LPSP3
Universitas Indonesia.
Poerwandari, E. K. (2001). Pendekatan
kualitatif untuk penelitian perilaku
manusia. LPSP 3: Fakultas Psikologi
Universitas Indonesia.
Peorwandari, E. K. (2005). Pendekatan
kualitatif untuk penelitian perilaku
manusia. Jakarta: LPSP3 Universitas
Indonesia.
Santrock, W. J. (2002). Life span
development, (5th ed). Jilid 1, terj.
Damanik. Jakarta: Erlangga.
Taylor.
(1999).
Panti
jompo.
www.amalmulia.com/2007/11/06/pa
nti-jompo/ - 18k. Akses 20 Juli 2008
Walgito, B. (1991). Psikologi
Yogyakarta: Andi Offset.
sosial.
Wibowo, S. (2009). Sehat di usia lanjut.
http://www.rajawana.com/artikel/kes
ehatan/ 326- permasalahan-lanjutusialansia.htmlhttp://www.kapanlagi.co
m/h/0000118501.html Akses 13 Juli
2010
Download