b . beberapa perkembangan terakhir dalam ekonomi indonesia

advertisement
B . B E B E R A P A P E R K E MB A N G A N T E R A K H IR D A L A M E K O N O MI IN DO N E S I A
1. P a k e t s ti m u lu s fi s k a l In do n e s ia
Pembuat kebijakan di
Indonesia dengan cepat
menanggapi krisis global
secara luas
Dari akhir tahun 2008 hingga tahun 2009, Indonesia dengan cepat bergerak menuju
kebijakan moneter dan fiskal yang ekspansioner dalam rangka mendukung kegiatan
domestik dalam menghadapi pengaruh harga eksternal yang merugikan dan goncangan
permintaan yang muncul akibat krisis ekonomi dan pengetatan kredit internasional. Bank
sentral Indonesia, mulai melonggarkan kebijakan moneter sejak November 2008, dengan
kelonggaran umum yang meliputi penurunan tingkat kebijakannya sebesar total 300 basis
points. Sementara itu Pemerintah Indonesia aktif dalam melonggarkan kebijakan fiskal
dengan paket stimulus fiskal yang disetujui oleh DPR pada bulan Februari 2009.
Paket stimulus fiskal
Indonesia setara dengan
1.4 persen dari PDB
Stimulus fiskal bernilai sekitar Rp 73.3 trilyun pada tahun 2009 atau 1.4 persen dari PDB
Indonesia. Stimulus ini dirancang untuk menyokong daya beli konsumen, melindungi
sektor bisnis dari perlambatan global dan menciptakan lapangan kerja sebagai mitigasi
dampak hilangnya pekerjaan di sektor swasta. Meskipun relatif kecil jumlahnya; ukuran
paket tersebut cukup lazim ditemukan di antara ekonomi regional lainnya.
.. sebagian besar dalam
bentuk potongan pajak
Namun paket stimulus Indonesia berbeda karena besarnya alokasi dalam bentuk
potongan pajak – sekitar Rp 61 trilyun dialokasikan untuk potongan pajak pendapatan dan
perusahaan dibdaningkan dengan Rp 12 trilyun untuk peningkatan belanja infrastruktur
dan lainnya pada 2009. Dengan permasalahan pencairan belanja yang lamban dan
terlambat, pemberatan pada potongan pajak dimaksudkan untuk memaksimalkan dampak
stimulus ini pada ekonomi. (Untuk perincian lebih lanjut tentang paket stimulus silahkan
melihat Kotak 1 dalam Indonesia’s Economic Quarterly Juni 2009.).
a . B a ga ima na dampak ek onomi da ri pak et s timulus fis k a l da pa t diuk ur?
Estimasi dari multiplier
fiskal memberikan
informasi kepada
pembuat kebijakan
tentang besaran dampak
dari kebijakan
ekspansioner terhadap
ekonomi
Multiplier fiskal seringkali dipergunakan untuk menilai dampak kebijakan fiskal pada
ekonomi. Multiplier fiskal adalah rasio perubahan dalam pertumbuhan ekonomi (output)
dibdaningkan perubahan kebijakan fiskal baik melalui potongan pajak atau belanja
pemerintah. Multiplier ini dapat diperkirakan pada titik waktu setelahnya yang berbedabeda sejak implementasi perubahan kebijakan. Multiplier fiskal dapat memberikan
informasi bagi para pembuat kebijakan seberapa jauh kebijakan ekspanioner seharusnya
dilakukan. Ekspansi yang terlalu besar dapat memicu resiko inflasioner dan dapat
memunculkan kekhawatiran tentang kesinambungan fiskal yang padda akhirnya dapat
merugikan potensi pertumbuhan; ekspansi yang terlalu kecil tidak akan mampu mencapai
tujuan para pembuat kebijakan untuk melawan siklus pada masa krisis.
Banyak perdebatan
tentang besaran
multiplier fiskal namun
beberapa studi
menemukan bahwa
multiplier belanja
cenderung lebih tinggi
dibdaningkan multiplier
pajak dan multiplier
keseluruhan cenderung
lebih kecil pada ekonomi
yang lebih kecil dan
berpendapatan lebih
rendah
Banyak perdebatan tentang besaran multiplier fiskal, bahkan di Negara maju, dengan
ukuran dampak kebijakan ekspansioner menjadi semakin tidak menentu selama
pelambatan ekonomi. Namun, dari serangkaian studi dan kasus negara, terdapat
beberapa pesan umum.
1) Pertama, multiplier fiskal cenderung lebih rendah dari satu dan sebagai
peraturan pedoman umum besarnya adalah antara 1 dan 0.5 untuk negara
berukuran menengah dan 0.5 atau kurang bagi negara kecil dan terbuka.
2) Kedua, multiplier untuk negara berpendapatan lebih rendah cenderung lebih
kecil, namun estimasi ini tidak terlalu akurat karena berdasarkan data yang
terbatas.
3) Ketiga, secara umum, multiplier belanja cenderung lebih tinggi dibdaningkan
dengan multiplier pajak. Hal ini konsisten dengan pdanangan bahwa dampak
belanja pemerintah lebih langsung terhadap ekonomi dibdaningkan dengan
pengurangan pajak yang lebih banyak bergantung pada respon perilaku
konsumen dan dunia usaha.
4) Keempat, multiplier belanja modal cenderung lebih tinggi dibdaningkan belanja
rutin. Misalnya, dalam krisis saat ini, pada bulan Maret 2009 IMF menyediakan
serangkai multiplier sebagai pedoman bagi pembahasan Menteri Keuangan G20
dimana multiplier belanja, tidak termasuk belanja modal, berkisar dari 0.3 hingga
1. Multiplier belanja modal kisarannya lebih tinggi yaitu 0.5 hingga 1.8.
5) Kelima, perbedaan khusus lembaga ekonomi dan sistem anggaran suatu Negara
dapat menghasilkan ukuran multiplier dengan rentang ukuran yang sangat luas.
27
P erkembangan Triwulanan P erekonomian Indones ia
Menjaga Momentum
Studi terkini menemukan
bahwa di Indonesia
multiplier untuk belanja
fiskal lebih tinggi
dibdaningkan untuk pajak
namun multiplier pajak
lebih efektif dalam
menstabilkan dampak
dari goncangan
permintaan yang besar
Suatu studi1 yang mempelajari efektifitas kebijakan fiskal baik melalui kebijakan
discretionary dan penstabil otomatis (automatic stabilizer), di negara Bangladesh, Cina,
Indonesia, dan Filipina menggunakan model simulasi makro-ekonomi structural.
Efektifitas kebijakan discretionary dievaluasi berdasarkan ukuran multiplier jangka pendek
dan menengah dalam tiga skenario: i) peningkatan belanja pemerintah tanpa sasaran, ii)
peningkatan belanja yang ditargetkan untuk belanja modal, iii) dan pengurangan pajak.
Penstabil otomatis juga dianalisa dimana multiplier sisi belanja dan sisi pajak dibedakan.
Bagi Indonesia, multiplier fiskal jangka pendek2 dari belanja pemerintah tanpa sasaran
diestimasikan sebesar 0.22 (yaitu peningkatan 10 persen dalam belanja yang berkaitan
dengan peningkatan PDB sebesar 2.2 persen), yang lebih kecil daripada peningkatan
belanja modal namun lebih besar dari estimasi sebesar 0.76 untuk peningkatan belanja
modal namun lebih besar daripada estimasi multiplier pengurangan pajak yaitu 0.16. Dari
segi penstabil otomatis, ditemukan bahwa peningkatan belanja fiskal, meskipun
ekspansioner tidak terlalu efektif dalam stabilisasi, tetapi pengurangan pajak yang yang
kurang efektif sebagai instrumen ekspansioner lebih mampu menstabilisasi (yaitu lebih
efektif dalam meratakan variabilitas PDB, misalnya yang terjadi akibat goncangan
permintaan yang besar).
Data berfrekuensi tinggi
dan pendekatan
timeseries sederhana
menghasilkan estimasi
dampak yang lebih kecil
dari kebijakan belanja
yang lebih besar pada
pertumbuhan PDB di
Indonesia
Menggunakan dataset triwulan yang baru dan unik dari periode 1994-2009, analisa
timeseries sederhana menghasilkan estimasi baru tentang hubungan antara belanja
3
pemerintah dan pertumbuhan PDB. Model estimasi tersebut adalah:
∆ GDP t = c + a ∆ GE
t,t-1,t-2, t-3,t-4
+ b ∆ GDP t-1 + d ∆ GR
t, t-1
Dimana c merupakan konstanta, GE adalah komponen belanja pemerintah yang relevan
dengan masa tenggang waktu triwulan masing-masing (misalnya., t, t-1), dan GR adalah
pendapatan pemerintah. Menggunakan pendekatan yang relatif sederhana ini akan
menghasilkan arah korelasi antara belanja dan output daripada mengidentifikasikan
dampak sebab-akibat secara khusus. Variabel pengendali untuk pendapatan pemerintah
dimasukkan dalam setiap spesifikasi untuk mengisolir hubungan sebab-akibat, karena
fokusnya adalah pada belanja pemerintah daripada perubahan dalam posisi fiskal.
Ketiga spesifikasi yang dipergunakan adalah:
1)
2)
3)
Hasil awal
mengindikasikan bahwa
peningkatan dalam
belanja pemerintahan
menyokong pertumbuhan
PDB di Indonesia
Beberapa pendekatan untuk mengestimasi dampak belanja terhadap indikator
output:
a) Pertumbuhan belanja nominal terhadap indikator output riil disesuaikan dengan
musim (seasonally adjusted)
b) Pertumbuhan belanja nominal terhadap indikator output riil tidak disesuaikan
dengan musim
c) Pertumbuhan belanja riil (dengan deflasi Indeks Harga Konsumen atau CPI)
terhadap indikator output riil yang disesuaikan dengan musim
d) Belanja nominal terhadap indikator output nominal disesuaikan dengan musim
Memberikan koefisien yang berbeda apabila output dibawah potensinya
Mengizinkan pencairan yang jauh lebih tinggi pada setiap triwulan keempat
Dalam spesifikasi dasar (1), ditemukan bahwa peningkatan belanja pemerintah pusat
sebesar 10 persen berhubungan dengan peningkatan PDB sebesar 0.2 persen
(disesuaikan dengan musiman) dibdaningkan dengan tidak ada stimulus dalam triwulan
tersebut. Dalam jangka waktu yang lebih panjang, dampak kumulatif yang
mempertimbangkan koefisien dari dampak yang terlambat agak lebih kecil yaitu sedikit di
atas 0.1 persen. Tidak ada efek yang signifikan saat variabel nominal ataupun real
dipergunakan dalam spesifikasi alternatif.
Dalam spesifikasi kedua, menggunakan suatu pengganti buatan dalam triwulan terakhir,
mengindikasikan bahwa belanja yang dibebankan di belakang pada triwulan keempat
memberikan dorongan tambahan pada pertumbuhan PDB sebesar 0.026 (yaitu tambahan
1
Ducanes, Geoffrey, et al (2006). Macroeconomic Effects of Fiscal Policies: Empirical Evidence
from Bangladesh, China, Indonesia and the Philippines
2
3
Jangka pendek didefinisikan sebagai tahun saat kejadian dengan goncangan dan tahun setelahnya
Merupakan analisa yang masih berjalan, angka-angka tersebut merupakan hasil awal
T H E W O R L D B A N K | BANK DUNIA
Maret 2010
28
P erkembangan Triwulanan P erekonomian Indones ia
Menjaga Momentum
belanja 10 persen menaikkan PDB sebesar 0.26 persen). Selama setahun penuh, dengan
mempertimbangkan kejadian triwulan keempat, dampak kumulatif dari peningkatan
belanja sebesar 10 persen adalah kenaikan PDB sebesar 0.15 persen.
…terutama ketika output
(PDB) di bawah
potensinya
Uji spesifikasi terakhir tentang apakah belanja pemerintah memiliki dampak yang lebih
besar ketika ekonomi berada di bawah potensinya. Variabel dummy disertakan dan sama
dengan 1 apabila terdapat gap output negatif. Seri output ‘potensial’ diestimasikan
menggunakan filter Hodrick-Prescott pada seri data PDB – metode statistik ini memiliki
keterbatasan karena tidak menyertakan informasi ekonomi tentang stok sumberdaya yang
tersedia untuk produksi, misalnya, selain output aktual, hal ini merupakan pendekatan
yang lazim dipergunakan. Estimasi ini mengindikasikan bahwa pembelanjaan tambahan
memang berdampak lebih besar pada PDB saat ekonomi memiliki cadangan kapasitas
dengan variabel dummy signifikan pada angka 5 persen. Mempertimbangkan gap output
meningkatkan estimasi dampak kumulatif dari tambahan belanja sebesar 10 persen
menjadi 0.18 persen.
Belanja pegawai
nampaknya memiliki
dampak terbesar pada
permintaan, khususnya
dalam menyokong
konsumsi swasta
Setelah mengestimasikan dampak belanja keseluruhan pada agregat PDB, menentukan
bagian PDB yang paling terdampak dan aspek belanja pemerintah yang dampaknya
terbesar pada PDB merupakan hal yang konstruktif. Misalnya, belanja kepegawaian akan
diharapkan berdampak secara langsung pada konsumsi swasta dan hal ini memang
ditemukan terjadi (dalam kaitannya dengan konsumsi yang tidak disesuaikan dengan
musimnya; seperti yang diperkirakan karena belanja kepegawaian merupakan relatif stabil
sepanjang waktu dan seasonally adjusted dapat lebih melancarkan dampak dari belanja
pemerintah). Dengan memasukkan dummy musiman, belanja pegawai meningkat
sebesar 0.5 persen setelah ada peningkatan belanja pemerintah sebesar 10 persen.
Komponen lain dari belanja pemerintah tidak memiliki dampak tunggal pada PDB atau
komponen output. Hal ini mungkin karena item belanja ini terlalu kecil dibdaningkan
belanja pemerintah secara keseluruhan untuk memiliki dampak yang dapat
diidentifikasikan pada PDB. Mungkin juga dikarenakan dampak belanja beroperasi pada
serangkaian komponen dan hanya dapat dilihat jelas pada tingkat agregat.
Keterlambatan dalam
proses anggaran dapat
memperlambat dampak
kebijakan pada ekonomi
Hasil awal ini mencerminkan proses penganggaran dan tantangan dalam pelaksanaan di
Indonesia dimana pencairan dana terkonsentrasi pada bulan terakhir dalam tahun
tersebut. Hal ini memicu pertanyaan tentang secepat apakah kebijakan fiskal mampu
memberikan respon dengan struktur kelembagaan seperti saat ini, dimana ketepatan
waktu dukungan untuk ekonomi bisa menjadi hal yang kritis dalam membatasi dampak
pada lapangan kerja dan kesejahteraan rumah tangga, terutama dengan tenggang waktu
antara keputusan untuk meningkatkan kebijakan belanja melalui proses penganggaran
yang panjang sebelum memasuki ekonomi yang riil.
T H E W O R L D B A N K | BANK DUNIA
Maret 2010
29
P erkembangan Triwulanan P erekonomian Indones ia
Menjaga Momentum
Tabel 12: Penggdana fiskal yang beragam di beberapa negara
Method
Blanchard and
Perotti (2002)
Cogan et al (2009)
Countries
Impact multiplier
One quarter
One year
Quarterly structural VAR
US
Gov spending
0.8
0.5
Tax cut
0.7
0.7
New Keynesian simulation
US
Gov spending
1.0
0.7
Tax cut
1.0
0.9
27 Emerging
Gov spending
0.6
0.4
22 Advanced
Gov spending
0.4
0.7
Emerging Asia
Gov investment and
transfer
Ilzetzki and Végh
(2008)
Quarterly panel VAR
Freedman,
Laxton, and
Kumhof (2008)
Fiscal shock
Global Integrated Monetary
and Fiscal (GIMF) model
simulations with Taylor rule
0.7
0.4
Lump-sum transfer
IMF (2008)
Panel regression
Ducanes, et al.
(2006)
Emerging
Structural macroeconometric model
Indonesia
Gov spending
0.1-0.2
Tax cut
0.1-0.2
Gov spending 1 year
0.22
Capital spending 3 years
0.76
b. P enggunaa n multiplier fis k a l s eba ga i
k ebijak a n s timulus fis k al Indones ia 2009
Multiplier fiskal yang
relevan harus diterapkan
pada setiap kebijakan
stimulus
(pear on year growth in aggregate GDP)
Per cent, yoy
Per cent, yoy
8
6
6
4
4
2
2
Post Stimulus
menges tima s i
dampak
Apabila diasumsikan bahwa semua multiplier pajak
berkisar pada angka 0.3 dan multiplier belanja sekitar 0.5,
maka diestimasikan bahwa PDB pada tahun 2009 sekitar
1 persen lebih tinggi daripada tanpa tindakan stimulus
(Grafik 42)
Grafik menunjukkan bahwa meskipun kebijakan stimulus
efektif dalam membatasi parahnya perlambatan ekonomi,
Indonesia tetap akan menghindari resesi tanpa tindakan
stimulus tersebut.
Pre-stimulus
0
Dec-07
untuk
Multiplier fiskal dalam Tabel 12Tabel 12 dapat dipergunakan untuk membentuk estimasi
kasar dari dampak paket stimulus fiskal pada pertumbuhan PDB selama 2009. Metodologi
untuk menghitung dampak ekonomi riil dari stimulus membutuhkan penerapan multiplier
fiskal yang relevan pada setiap kebijakan stimulus. Untuk mengestimasi dampaknya pada
PDB riil, stimulus fiskal harus dideflasikan dengan indeks harga yang relevan (misalnya
Indeks Harga Konsumen atau CPI atau PDB deflator) untuk melakukan konversi pada
tingkat harga yang sama dengan seri PDB riil Indonesia saat ini. Misalnya, menggunakan
multiplier 0.3 berarti bahwa untuk setiap Rp. 1 juta (riil) yang dibelanjakan oleh
Pemerintah dalam tindakan tertentu, kegiatan ekonomi meningkat sejumlah Rp 300,000.
Sisanya ditabung oleh para individu dan bisnis atau bocor ke luar negeri melalui impor.
G rafik 42: E s timas i dampak s timulus 2009 pada P DB
8
alat
0
Sep-08
Jun-09
Mar-10
Dec-10
Sumber: BPS dan World Bank
T H E W O R L D B A N K | BANK DUNIA
Maret 2010
30
P erkembangan Triwulanan P erekonomian Indones ia
Menjaga Momentum
2. Im pl e m e n ta s i k e b e r l a n ju ta n k e s e p a k a ta n p e d a g a n g a n be b a s A S E A N -C in a
(AC F T A)
Babak baru kesepakatan
pemotongan tarif ACFTA
dikhawatirkan berdampak
negatif kepada para
produsen Indonesia
Sejak diimplementasikannya kesepakatan pasar bebas ASEAN-China (ACFTA) pada Juli
2005, negara-negara ASEAN telah secara perlahan menurunkan tarif mereka terhadapa
produk import China dan begitu juga sebaliknya. Kesepakatan ini pada hakekatnya
bertujuan untuk meningkatkan kesejateraan negera-negara yang berpartisipasi dengan
cara menurunkna harga yang dibebankan kepada konsumen maupun kepada produsen,
memperluas akses ke pasar serta meningkatkan pilihan barang dan layanan yang
tersedia.
Penjadwalan pemotongan tarif yang dilaksanakan pada awal Januari tahun ini telah
memicu kekhawatiran yang cukup meluas tentang membanjirnya barang impor murah
dari China dan juga kaitannya dengan kemungkinan negatif terhadapa perekonomian
Indonesia. Kenyataannya, penurunan tarif ini relatif kecil dan selaras dengan pemotongan
tarif yang dilakukan oleh negara pendana tangan kesepakatan lainnya. Bahkan, sejak
kesepakatan ini pertama dilaksanakan dan diikuti dengan penerapan pemotongan tarif,
ekspor Indonesia dan impor dari Cina telah ikut juga meningkat secara signifikan.
Berdasarkan hasil uji coba model ekonomi yang ada, secara umum kesepakatan ini
justru mengindikasikan adanya efek manfaat kepada Indonesia, terutama melalui
manfaat untuk menikmati harga yang yang lebih rendah, walaupun hal ini berefek pada
berkurangnya surplus perdagangan Indonesia dan beberpa dampak pada output di
beberapa sektor.
a . P a da awal ta hun 2010, Indones ia meneta pk a n pemotonga n ta rif lebih lanjut ya ng
rela tif k ec il untuk impor dari C ina
Indonesia memenuhi
kesepakatannya dalam
ACTFA dengan
meniadakan tarif pada 90
persen barang pada
tahun 2010
Di dalam kesepakatan pasar bebas ASEAN-Cina (ACFTA), ASEAN-64 dan Cina
bersepakat untuk meniadakan pemberlakuan tarif pada 90 persen dari barang yang
diperdagangkan pada tahun 2010 dan memberikan pengecualian pada empat negara
(Cambodia, Laos PDR, Myanmar dan Vietnam) untuk memenuhi kesepakatan ini di tahun
2015. Pada tanggal 1 Januari 2010 kesepakatan ini direalisasikan dengan
diberlakukannya tarif istimewa, yaitu dengan diturunkannya tarif menjadi nol persen untuk
hampir seluruh barang yang diperdagangkan antara ASEAN-6 dan Cina. Dalam hal ini,
Indonesia juga telah merealisasikan kesepakatan; mengurangi tingkat tarif istimewa
untuk 90 persen barang yang diimpor dari Cina menjadi nol; dengan menerapkannya
pada 99.11 persen dari tarif line . (Untuk memperoleh tarif yang lebih rendah, barangbarang tersebut harus memenuhi persyaratan konten lokal – bahwa sebagian dari nilai
barang tersebut diproduksi di Cina atau Indonesia).
Penurunan tarif ini
selaras dengan tingkat
tarif Indonesia di FTA
lainnya …
Penurunan tarif ACFTA – termasuk di dalamnya Indonesia – berawal pada tahun 2005,
dengan potongan tarif yang bertahap dan dilakukan setiap tahun. Penurunan tarif yang
diimplementasikan di bawah ACFTA konsisten dengan penurunan yang dilakukan
Indonesia bagi mitra perdagangan utamanya dalam ASEAN FTA (AFTA), ASEAN-Korea
FTA (AKFTA), the Perjanjian Kerjasama Ekonomi Indonesia-Japan(IJEPA), dan
kesepakatam penurunan tarif yang bersifat unilateral melalui tarif preferensi untuk Most
Favored Nation (MFN) (Tabel 13 ).
T abel 13: T ingkat tarif Indones ia untuk barang impor s es uai dengan kes epakatan
perdagangan, rata-rata s ederhana
(persen)
1995
2002
2003
MFN
15.5%
7.3%
7.2%
AFTA
4.32%
2.82%
ACFTA
AKFTA
IJEPA
Difference MFN - ACFTA
Sumber: Departemen Keuangan
4
2004
9.9%
3.42%
2005
9.9%
2.8%
9.6%
2006
9.5%
2.8%
9.5%
2007
7.8%
2.0%
6.4%
6.6%
0.3%
0.0%
1.4%
2008
7.6%
2.0%
6.4%
6.0%
5.2%
1.3%
2009
7.6%
1.9%
3.8%
2.6%
4.5%
3.8%
2010
7.5%
0.0%
2.9%
2.6%
3.0%
4.6%
Terdiri dari Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura dan Thailand.
T H E W O R L D B A N K | BANK DUNIA
Maret 2010
31
P erkembangan Triwulanan P erekonomian Indones ia
… dan dengan tarif
negara lainnya dalam
ACFTA
Menjaga Momentum
Penurunan tarif yang dilakukan Indonesia juga konsisten dengan yang diimplementasikan
oleh negara lain termasuk Cina, dibawah ACFTA. (Tabel 14 ) Indonesia melakukan
pemotongan tarif dengan besar pada tahun 2007 dan 2009, sejalan dengan negara
lainnya di ACFTA. Namun, rata-rata tarif ndonesia pada tahun 2010 relatif kecil bila
dibdaningan dengan pemotongan di tahun-tahun sebelumnya.
T abel 14: T arif impor barang AC F T A, rata-rata s ederhana
(per cent)
Indonesia
Thailand
Philippines
China*
2005
9.57%
12.36%
2006
9.50%
12.36%
2007
6.37%
8.38%
2008
6.38%
8.38%
8.30%
8.30%
6.55%
6.55%
2009
3.83%
5.10%
3.54%
3.02%
2010
2.92%
2.67%
4.64%
1.05%
* rata-rata tarif barang yang diimpor dari Indonesia. Sumber: Departemen Keuangan
Di tahun 2010, hampir
seluruh sektor yang ada
di Indonesia hanya
mengalami penurunan
tarif yang kecil; adapun
tarif yang tinggi masih
berlaku pada beberapa
produk pertanian dan
peralatan transportasi
Di bawah ACFTA, Indonesia dan Cina menyepakati serangkaian pemotongan tarif ‘Early
Harvest, dimana rata-rata tarif pada serangkaian tarif line turun dengan cepat pada tahuntahun awal (terutama untuk produk-produk pertanian yang belum diproses, seperti ikan),
sementara pemotongan dalam sektor lainnya ditangguhkan hingga tahun-tahun
berikutnya. Hasilnya, hampir semua sektor memiliki rata-rata tarif yang mengalami
pemotongan besar di awal implementasi perjanjian atau terpangkas secara berthap
selama kurun lima tahun. Sebagai contoh, pemotongan tarif yang cukup substansial
terjadi pada produk-produk minyak bumi dan turunanya, dan peralatan transportasi di
tahun 2007, sementara hampir sebagian besar sektor lainnya mengalami pemotongan
tarif yang cukup drastik langsung di tahun 2009. (Tabel 15).
Namun untuk beberapa produk impor dari China masih dibebankan tarif yang relatif tinggi,
terutama pada sektor peralatan transportasi dan pertanian. Barang-barang tersebut lazim
dikenal sebagai ‘barang sensitif’ – dan ini mewakili 0.89 persen tarif line yang terakhir.
Dalam ACFTA tingkat tarif barang ini tetap dijadwalkan untuk dijadikan nol persen pada
tahun 2015. Adapun yang termasuk ke dalam daftar barang sensitif Indonesia adalah
beras, gula, alkohol, rokok, barang pecah belah keramik dan perselen, sepeda motor,
mobil dan truk.
… dan sebagian besar
barang sensitif akan
menikmati tarif 0 sampai
5 persen di tahun 2018
Dalam ACFTA, ASEAN-6 dan Cina juga telah menyepakati penjadwalan pengurangan
tarif untuk ‘barang sensitif’. Dari daftar ini, tidak lebih dari 40 persen dapat diklasifikasikan
lebih lanjut sebagai ‘sangat sensitif’, dengan sisa ‘barang sensitif’ diperkirakan akan
dikurangi tarifnya menjadi 20 persen pada tanggal 1 Januari 2012, dan menjadi 0 hingga
5 persen pada 1 Januari 2018. Tarif pada barang yang ‘sangat sensitif’ diperkirakan akan
turun menjadi tidak lebih dari 50 persen pada tanggal 1 Januari 2015.
T abel 15: Tarif Indones ia di AC F T A turun ke tingkat yang rendah pada tahun 2010, dengan
pengec ualian dari berbagai peralatan trans portas i dan barang pertanian
(tingkat tarif, persen)
2004
11.9
6.5
6.8
2005
10.5
6.5
6.8
2006
9.6
6.5
6.8
2007
9.4
5.4
4.6
2008
9.4
5.4
4.6
2009
6.9
2.4
2.1
2010
6.8
1.5
0.5
2011
6.8
1.5
0.5
2012
6.7
1.2
0.4
Perikanan
Kulit, Karet, Alas Kaki
4.7
8.7
0.1
8.7
0.1
8.7
0.2
7.3
0.2
7.3
0.1
4.3
0.1
3.5
0.1
3.5
0.0
3.0
Manufaktur Lainnya
Logam
Mineral
NE Machinery
Petroleum
Tekstil & Garmen
Peralatan Transpor
7.3
9.8
5.1
2.6
5.0
10.8
28.7
7.3
8.9
6.0
2.6
3.2
10.8
28.7
7.3
8.9
6.0
2.6
3.2
10.8
28.7
5.5
6.5
5.0
2.0
1.2
7.6
18.8
5.5
6.5
5.0
2.0
1.2
7.6
18.9
2.2
3.2
1.9
0.8
1.2
4.3
18.5
0.6
1.7
1.2
0.3
1.2
1.6
18.4
0.6
1.7
1.2
0.3
1.2
1.6
18.4
0.2
1.3
1.1
0.2
1.2
1.1
18.1
Kayu, Pulp, Kertas, Meubel
4.7
4.7
4.7
4.3
4.3
1.1
0.4
0.4
0.0
Rata-rata
9.9
9.6
9.5
6.4
6.4
3.8
2.9
2.9
2.6
Pertanian
Kimia
E. Machinery
Sumber: Departemen Keuangan
T H E W O R L D B A N K | BANK DUNIA
Maret 2010
32
P erkembangan Triwulanan P erekonomian Indones ia
Saat ini, hanya sedikit
produk impor Cina yang
memanfaatkan tarif
istimewa ACFTA, namun
hal ini akan terus
meningkat seiring dengan
diberlakukannya
pemotongan tarif yang
terbaru
Menjaga Momentum
Sementara, bukti anekdotal menunjukan bahwa sebagian besar importir Cina belum
memanfaatkan tarif istimewa ACFTA, mereke justru masih memanfaatkan tarif Most
Favored Nation (MFN), yang – secara rata-rata – sedikit lebih tinggi dibdaningkan tarif
istimewa (Tabel 13). Dapat diartikan bahwa biaya administratif yang berkaitan dengan
pengajuan aplikasi ACFTA merupakan insentif keuangan yang kurang menguntungkan
untuk mempergunakan ACFTA.
Namun, dengan makin lebarnya perbedaan anatara MFN dan ACFTA di tahun 2009 dan
2010 (Tabel 13), Pemanfaatan tarif istimewa oleh impor Cina dapat memacu daya saing
bagi beberapa industri tanah air, sekaligus berpotensi menimbulkan dampak negatif
terhadap produksi domestik,Disaat yang sama, pemanfaatan bea istimewa ACFTA juga
dapat memberikan manfaat kepada konsumen, produsen dan export Indonesia karena
harga yang lebih rendah untuk produk akhir dan setengah-jadi.
b. Dengan menurunnya tingk a t tarif bila tera l, perda ga nga n anta ra Indones ia da n
C ina telah meningk a t …
Ekspor Indonesia ke Cina
telah meningkat secara
signifikan dalam
beberapa terakhir ini
terutama untuk produk
pertanian dan mineral
Sejak penurunan tarif ACFTA berawal pada tahun 2005, ekspor Indonesia ke Cina telah
meningkat sejumlah hampir 70 persen,5 didorong oleh peningkatan hampir tiga kali lipat
dalam ekspor mineral dan hampir dua kali lipat dalam produk pertanian (Grafik 43)Selain
mencerminkan harga yang lebih tinggi, komoditas yang diekspor Indonesia ke Cina juga
mencerminkan volume yang lebih besar. menunjukkan bahwa sejak tahun 2005 Indonesia
telah menunjukan peningkatan total ekspor komoditas (terutama, pertanian,
pertambangan dan logam) ke Cina. dan ditahun yang sama, ekspor komoditas Indonesia
secara
umum menunjukan peranannya yang cukup signifikan – dengan nilai
pertumbuhan ekspor yang lebih cepat dibdaning nilai (gabungan antara kuantitas yang
diekspor dan harganya) sektor ekspor lainnya.
Sementara itu impor
barang modal dari Cina
ke Indonesia juga makin
meningkat
Hal yang sama juga terjadi pada impor, sejak penurunan tarif pada tahun 2005, nilai impor
Indonesia dari Cina telah meningkat hampir sebesar 70 persen, didominasi oleh alat
elektronik (lebih dari lima kali lipat), alat non-elektronik (lebih dari tiga kali lipat) dan alatalat transportasi (lebih dari empat kali lipat) (Grafik 44Grafik 44). Sebagian besar dari
pertumbuhan ini adalah karena volume impor yang lebih besar, dengan fakta bahwa
harga untuk barang manufaktur ini cukup stagnan selama setengah dasawarsa terakhir
ini. Selain itu, Tabel 17 sekali lagi menyoroti bahwa sejak tahun 2005 proporsi impor
barang modal Indonesia secara signifikan lebih banyak bersumber dari Cina – terutama
untuk peralatan elektronik – dimana proporsi impor dari Cina semula hanya satu
perdelapan dari total impor meningkat menjadi menjadi hampir separuh total impor
Indonesia.
5
Nilai untuk 10 bulan sejak Januari – Oktober 2005 dibandingkan dengan Januari – Oktober 2009.
T H E W O R L D B A N K | BANK DUNIA
Maret 2010
33
P erkembangan Triwulanan P erekonomian Indones ia
G rafik 43: S ementara tarif menurun, nilai eks por pertanian
dan mineral Indones ia ke C ina telah meningkat …
Menjaga Momentum
Tabel 16: … dan bagian yang lebih bes ar dari total eks por
pertanian dan mineral Indones ia kini dikirim ke C ina.
(ekspor ke Cina sebagai persentase per sektor dan bagian dari
(USD millions dan simple average tarif rate across all goods) total ekspor ke Cina berdasarkan sektornya)
U USD
480 Juta
Persen
400
12
10
Tarif (RHS)
320
8
240
6
Mineral (LHS)
160
4
80
2
Pertanian (LHS)
0
Jan-05
0
Jan-06
Jan-07
Jan-08
Jan-09
2005 2006 2007 2008 2009 Prop 05 Prop 09
9
12
12
10
12
12
19
17
15
14
10
13
12
6
2
2
3
3
3
2
2
4
2
2
2
3
1
0
7
10
10
11
14
6
9
2
2
3
2
2
0
0
6
6
7
7
9
8
11
7
11
12
12
12
17
28
3
4
6
5
5
2
2
16
10
11
9
15
24
11
2
2
2
2
2
2
2
2
4
2
1
10
1
3
KAYU, KERTAS, PULP 10
11
9
11
9
13
7
TOTAL
8
8
8
9
10
100
100
AGRI (kec. IKAN)
KIMIA
ALAT ELEKTRONIK
PERIKANAN
KULIT, KARET
MANUFAKTUR
LOGAM
MINERAL
ALAT NON-E
PETRO
TEKSTIL
TRANSPORT
Sumber: BPS, Departemen Keuangan dan kalkulasi Bank Dunia
c . Ha s il s tudi menunjuk a n bahwa perek onomian Indones ia diuntungk an dengan
a da nya A C F T A
ACFTA diharapkan dapat
meningkatkan
kesejahteraan
perekonomian Indonesia,
sekaligus meningkatkan
hubungan perdagangan
bilateral dengan Cina
Bank Pembangunan Asia (ADB) melakukan sebuah studi komprehensif pada tujuh
negara pendanatangan ACFTA dan pada tujuh sektor ekonomi pada tahun 2008.
Makalah ini mencoba menganalisa dampak ACFTA pada output, ekspor, dan impor
6
masing-masing negara dan pada setiap tujuh sektor yang dianalisa. . Metode analisa
menggunakan pendekatan kualitatif dan kuantitif; dimana metoda kuantitatif yang
digunakan adalah model statis CompuTabel General Equilibrium (CGE) dengan
menggunakan basis data Global Trade Analysis Project (GTAP). Hasil studi ini
mendapati bahwa ACFTA ternyata memberikan dampak positif bagi kesejahteraan
Indonesia, terutama karena ACFTA sebagian mengakibatkan turunnya harga dan
sebagian lagi memperluas jangkauan ekspor Indonesia ke Cina secara signifikan.
Kesepakatan
menawarkan akses ke
pasar ekspor yang lebih
besar dan harga yang
lebih rendah bagi
konsumen dan produsen
Adapun secara kualitatif, diperkirakan Indonesia akan diuntungkan dengan peningkatan
akses ke pasar konsumen terbesar di dunia; peningkatan produktifitas dan efisiensi dalam
pasar domestik sebagai hasil dari persaingan yang lebih ketat; harga yang lebih rendah
untuk konsumen dan produsen domestik; dan perlindungan lebih dari goncangan yang
merugikan pada ekonomi global. Demikian besarnya ACFTA sehingga menawarkan
potensi penciptaan perdagangan yang besar ke Indonesia. ACFTA berpotensi dengan
populasinya yang sejumlah hampir 2 milyar, yang pada tahun 2008 berproduksi lebih dari
USD 6.6 trilyun dan mencataat transaksi perdagangan barang ke sesama anggota senilai
sekitar USD 4.3 trilyun. Dengan demikian, ACFTA merupakan pasar terbesar ketiga di
dunia, setelah Perjanjian Perdagangan Bebas Amerika Utara (North America FTA) dan
Uni Eropa. Kesepakatan ini seharusnya menghasilkan penurunan harga dan pilihan yang
lebih banyak bagi konsumen dan produsen Indonesia, menurunkan biaya dan mendukung
integrasi Indonesia ke dalam jejaring produksi regional.
6
Sektor-sektor ini meliputi: Pertanian; Pangan; Industri Ekstraktif; Manufaktur Ringan; Manufaktur
Berat; Manufaktur Berteknologi Tinggi; dan Layanan.
T H E W O R L D B A N K | BANK DUNIA
Maret 2010
34
P erkembangan Triwulanan P erekonomian Indones ia
Menjaga Momentum
G rafik 44: Impor alat modal Indones ia telah meningkat pes at T abel 17: … dan now repres enting a far greater proportion of
s ejak 2005 …
Indones ia’s total c apital goods imports .
(Juta USD dan tingkat tarif rata-rata sederhana untuk semua (Impor dari Cina, persentasi dari impor dunia berdasarkan
barang)
sektor, dan proporsi total impor dari Cina berdasarkan sektor)
350
USD mn
USD mn
300
350
300
Alat Non-Elektronik
250
250
200
200
150
150
Transportasi
100
100
Alat-alat Elektronik
50
0
Mar -05
50
0
Mar -06
Mar -07
Mar -08
Mar -09
Sektor
AGRI (kec.IKAN)
KIMIA
ALAT ELEKTRONIK
PERIKANAN
KULIT, KARET
MANUFAKTUR
LOGAM
MINERAL
ALAT NON-E
PETRO
TEKSTIL
TRANSPORT
KAYU, KERTAS, PULP
TOTAL
2005 2006 2007 2008 2009 Prop 05 Prop 09
8
10
11
10
13
5
7
9
10
11
13
14
11
11
15
18
31
45
45
5
14
2
3
2
2
6
0
1
12
15
15
15
16
1
2
24
30
29
29
31
3
2
17
17
22
18
16
19
10
20
23
17
20
17
4
3
11
14
17
22
25
15
25
8
5
3
1
2
24
3
14
15
17
19
23
4
4
8
11
8
15
16
8
17
7
9
10
11
12
2
2
10
11
12
12
15
100
100
Sumber: BPS, Departemen Keuangan, kalkulasi Bank Dunia. Sumber: BPS, Departemen Keuangan, kalkulasi Bank Dunia.
…dan perlindungan yang
lebih besar dari berbagai
goncangan ekonomi
global
Manfaat signifikan lainnya dengan integrasi yang lebih kuat antara Indonesia dan Cina
adalah integrasi berpotensi melindungi Indonesia dari goncangan negatif ekonomi global,
sejauh peningkatan peran pasar Cina bagi eksportir Indonesia menjadi penyeimbang
pasar utama lainnya. Hal ini terbukti dengan adanya krisis ekonomi global terakhir,
dimana pemulihan ekspor Indonesia jauh lebih cepat disbdaning dengan perdagangan di
negara lainnya, karena salah satunya didorong oleh permintaan Cina yang tetap kuat
7
untuk komoditas ekspor Indonesia. Diversifikasi pasar ekspor Indonesia pun makin
meningkat, dimana peningkatan peranan Cina dalam Indonesia Cina juga berarti
mengurangi dominasi pasar Jepang dan Amerika. Error! Reference source not found.)
Walau demikian , Indonesia jauh lebih sedikit keterpaparannya pada pasar Cina
dibdaningkan dengan negara tetangga seperti Filipina, Malaysia dan Thaildan – dimana
ekspor ke Cina mewakili sekitar 27 persen dari seluruh ekspor Filipina dan sekitar 15
persen untuk masing-masing Thaildan dan Malaysia
Meksipun seharusnya
mendukung
kesejahteraan ekonomi
Indonesia dan beberapa
sektor, modeling
mengindikasikan bahwa
berpotensi berujung pada
kemerosotan kecil dalam
output dan surplus
perdagangan
keseluruhan
Meskipun kesepakatan ini diperkirakan akan meningkatkan kesejahteraan ekonomi
Indonesia secara keseluruhan, modeling ADB mengindikasikan bahwa kesepakatan ini
berkemungkinan akan berujung pada kontraksi kecil dalam output dan neraca
perdagangan. Output diperkirakan akan merosot sekitar 0.17 percentage points –
dibdaningkan dengan tidak mengimplementasikan kesepakatan – dengan keuntungan
dari produksi pertanian dan pangan tidak cukup untuk menyeimbangkan kerugian dalam
sektor menufaktur berat.
Selin itu, meskipun ACFTA diperkirakan akan meningkatkan neraca perdagangan bilateral
Indonesia dengan Cina, ACFTA diperkirakan akan menyebabkan penyempitan neraca
perdagangan Indonesia secara keseluruhan. Total ekspor diestimasikan hanya akan
meningkat sebesar 1.5 persen, sementara total impor diperkirakan akan meningkat
sekitar 4.4 persen. Proyeksi ini berdasarkan ekpor Indonesia saat ini ke AS dan Jepang
dialihkan ke Cina karena tarif yang lebih rendah berlaku untuk barang-barang yang
termasuk dalam kesepakatan dengan ekspor ke negara-negara tersebut diproyeksikan
akan turun sekitar 10 hingga 15 persen dibdaningkan dengan apabila kesepakatan tidak
diimplementasikan. Karena sebagian besar ekspor yang dialihkan ini adalah pertanian
dan mineral maka terdapat keterbatasan ruang bagi produsen untuk meningkatkan
pasokan.
7
Sejak masa paling terpuruk dalam krisis pada Februari 2009, ekspor Indonesia telah pulih lebih dari
62 persen sementara ekspor untuk semua negara berkembang hanya meningkat 26 persen dan
ekspor global hanya 13 persen.
T H E W O R L D B A N K | BANK DUNIA
Maret 2010
35
P erkembangan Triwulanan P erekonomian Indones ia
Menjaga Momentum
Menurut sektornya, total ekspor pangan diperkirakan akan paling banyak meningkat yaitu
sekitar 20 persen, sebagian diseimbangkan dengan penurunan dalam ekspor pertanian
lainnya (sekitar 8 persen), layanan (6.5 persen), an peralatan manufaktur berat (sekitar 4
persen). Secara komparatif, impor diperkirakan akan meningkat dalam semya sektor,
dengan produk pangan meningkat paling tinggi, sekitar 16 persen.
ACFTA berpotensi akan
membawa manfaat
berjangka panjang
lainnya
Analisa ini hanya menangkap beberapa dari potensi manfaat yang mungkin akan diterima
oleh Indonesia sebagai hasil dari ACFTA. Keuntungan lain tersebut mulai dari transfer
teknologi yang lebih banyak melalui peningkatan spesialisasi dan penanaman modal
dalam kawasan ini hingga peningkatan kekuatan menawar (bargaining power) dalam
forum multilateral. Banyak keuntungan dari kesepakatan yang diperkiraan akan diperoleh
dalam jangka panjang – sehingga sulit untuk melakukan kuantifikasi, misalnya dengan
perusahaan Indonesia merealisasikan peluang pasar baru di Cina atau meningkatkan
daya saing mereka sehubungan dengan perluasan impor.
3. A r u s m a s u k m o d a l da n s te r i lis a s i b a n k s e n tr a l
a . B I telah memilih untuk mena ngani arus modal ma s uk denga n ga bunga n da ri
membia rk a n a pres ia s i rupia h da n melak uk a n intervens i di pas ar pertuk a ran
mata ua ng da n bers amaa n denga n itu melak uk an s terilis as i terhadap intervens i
ters ebut
BI telah menangani arus
modal masuk sejak bulan
Juni dengan
menggabungkan
apresiasi Rupiah dan
melakukan intervensi di
pasar pertukaran mata
uang dan bersamaan
dengan itu melakukan
sterilisasi terhadap
intervensi tersebut
Sejak bulan Juni 2009, arus masuk modal asing netto ke aset keuangan Indonesia
(ekuitas, obligasi pemerintah dan instrumen pasar uang jangka pendek) telah mencapai
hampir USD 6.6 milyar (Grafik 45). Tanpa adanya intervensi apapun dari bank sentral,
arus masuk ini bisa berujung pada apresiasi rupah yang tinggi yang kemudian berpotensi
menyebabkan kehilangan daya saing ekspor dan kemerosotan dalam neraca
perdagangan. Alternatifnya, apabila bank sentral melakukan intervensi untuk mencegah
kenaikan kurs yang tajam, dengan membeli mata uang asing dan menjual Rupiah
sehingga peningkatan pasokan uang yang dihasilkan bisa menjadi inflasioner. Hasilnya,
meskipun arus masuk modal tentunya dapat menjadi dorongan positif bagi ekonomi
domestik, dampaknya pada sistem moneter dan ekonomi riil juga bisa mengganggu
kestabilan. Sebagai mitigasi dampak destabilisasi akibat arus masuk modal pada pasar
modal domestik, terdapat beragam pilihan yang tersedia bagi bank sentral dan
keuangan—namun setiap pilihan memiliki beban biayanya masing-masing.
Dalam kasus Indonesia sejak pertengahan 2009 hingga awal 2010, kami menemukan
bahwa BI telah memilih untuk menangani arus masuk modal dengan cara membiarkan
apresiasi Rupiah ke tingkat tertentu, namun juga dengan membangun cadangan dalam
rangka mencegah kenaikan mata uang yang terlampau tajam dan kemudian menarik
kembali atau melakukan “sterilisasi” kelebihan likuiditas melalui operasi pasar terbuka.
Catatan ini membahas pro dan kontra sterilisasi cadangan arus masuk modal oleh bank
sentral, dalam upaya untuk menganalisis kesinambungan dan efektivitas strategi ini
dalam konteks Indonesia akhir-akhir ini.
Apresiasi Rupiah telah
meningkat sebesar
hampir 9 persen
Kami dapat melihat jelas gabungan kebijakan BI berdasarkan tren yang ditunjukkan oleh
nilai tukar mata uang, total cadangan dan uang primer. Kurs IDR/USD telah terapresiasi
sebesar 8.7 persen sejak bulan Juni—jadi membiarkan apresiasi Rupiah jelas merupakan
satu strategi (Grafik 46). Namun, dengan adanya arus netto sebesar USD 6.6 milyar
mewakili lonjakan total saham modal asing yang ditanamkan di Indonesia sebesar 36
persen, apresiasi tersebut kemungkinan besar seharusnya jauh lebih kuat apabila tidak
ada intervensi nilai tukar mata uang asing oleh BI.
Cadangan telah
meningkat sebesar USD
12 milyar namun uang
primer hanya meningkat
separuhnya,
mengindikasikan bahwa
BI telah mensterilisasikan
sisanya …
Cadangan internasional telah meningkat sebesar USD 12 milyar atau 21 persen sejak
bulan Juni, dengan adanya arus masuk modal dan surplus perdagangan (Grafik 45).
Meskipun sebagian dari peningkatan cadangan ini adalah dari pembayaran langsung
ekspor (direct export receivables) yang masuk ke rekening BI, BI belum mengkonversinya
ke Rupiah menggunakan nilai yang mungkin dipergunakan dalam masa ketika arus modal
masuk lebih lemah. Secara bersamaan diyakini bahwa BI secara aktif melakukan
intervensi dengan membeli mata uang asing sebagai respon terhadap arus masuk modal.
Maka, peningkatan cadangan kurang lebih juga mengindikasikan bahwa BI telah
T H E W O R L D B A N K | BANK DUNIA
Maret 2010
36
P erkembangan Triwulanan P erekonomian Indones ia
Menjaga Momentum
melakukan intervensi dalam pasar pertukaran nilai mata uang asing untuk mencegah
kenaikan Rupiah yang terlalu tajam dengan cara membeli mata uang asing dari sektor
swasta dan menjual Rupiah. Tanpa sterilisasi, kelebihan likuiditas ini akan muncul
sebagai kenaikan yang signifikan dari uang primer (M0). Namun, kita menemukan bahwa
uang primer hanya naik sekitar USD 6.5 milyar (atau separuh dari peningkatan cadangan)
sejak Juni. (Grafik 47). Maka dengan demikian, bank sentral telah melakukan sterilisasi
pada sebagian dari kenaikan cadangan dengan melakukan operasi pasar terbuka untuk
menyerap kelebihan likuiditas yang ada.
G rafik 45: Arus mas uk modal dengan s urplus perdagangan
telah menyebabkan kenaikan tajam dalam c adangan s ejak
bulan J uni 2009
(Netto pembelian ekuitas, obligasi pemerintah IDR dan
instrumen pasar uang jangka pendek dalam trilyun Rupiah;
cadangan dalam milyar USD)
40
IDR trillion
USD billion
75
G rafik 46: …dan apres ias i R upiah s ebes ar 9 pers en
(Kurs spot IDR per USD; cadangan dalam milyar USD)
75000
USD million
IDR per USD
June 2009
June
JJ 2009
e
65000
Total Reserves
(RHS)
20
8500
60
9500
55000
0
Total Reserves
(LHS)
45
10500
45000
IDR/USD
(RHS)
-20
30
11500
35000
Net Foreign Capital Inflows
(LHS)
IDR Appreciation
-40
Jan-07
15
Jul-07
Jan-08
Jul-08
Jan-09
Jul-09
Sumber: Federal Reserve Board dan BI via CEIC
Jan-10
25000
Jan-07
12500
Jul-07
Jan-08
Jul-08
Jan-09
Jul-09
Jan-10
Sumber: JP Morgan dan BI via CEIC
…melalui peningkatan
penerbitan SBI berjangka
1 bulan dan 3 bulan
Instrumen pasar uang berjangka pendek yang dipergunakan oleh bank sentral Indonesia
dalam melakukan operasi pasar terbuka adalah SBI (Sertifikat Bank Indonesia). Mirip
dengan US Treasury Bills, saat ini SBI memiliki jangka waktu 3 bulan dan 6 bulan, (BI
berencana untuk mulai meniadakan SBI berjangka 1 bulan). Kenaikan total SBI
outstdaning netto sejak bulan Juni telah ada sejumlah USD 7 milyar (kenaikan 29 persen).
Penerbitan SBI 1 bulan dan 3 bulan telah menjadi pendorong kenaikan ini, karena SBI
berjangka 6 bulan yang ada telah menurun sebesar 92 persen selama periode ini (Grafik
48)
Peningkatan SBI
outstdaning dan uang
primer sejak Juni
menyeimbangkan
naiknya cadangan
Naiknya SBI outstdaning dan uang primer (money base) secara bersama seharusnya
menyeimbangkan peningkatan cadangan, dengan asumsi tidak ada perubahan
fundamental dalam strategi manajemen uang bank sentral. Karena uang primer
meningkat sebesar USD 6.5 milyar dan SBI sebesar hampir USD 7 milyar maka hal ini
menyeimbangkan kenaikan cadangan sebesar USD 12 milyar (Mohon dicatat bahwa
adanya perbedaan sedikit dalam angka tersebut mungkin terjadi karena asumsi kurs yang
berbeda).
T H E W O R L D B A N K | BANK DUNIA
Maret 2010
37
P erkembangan Triwulanan P erekonomian Indones ia
Menjaga Momentum
G rafik 47: B I telah melakukan s terilis as i pada s eparuh dari
kenaikan c adangan melalui peningkatan penerbitan S B I …
G rafik 48: …sebagian bes ar melalui peningkatan penerbitan
S B I berjangka 1 bulan dan 3 bulan
(Uang primer dan SBI outstdaning dalam trilyun IDR)
(Outstanding SBI 1,3 dan 6 bulan dalam trilyun IDR)
450
IDR trillion
USD billion
80
June 2009
350
350,000
IDR billion
IDR billion
300,000
300,000
250,000
250,000
70
M0 Base Money
(LHS)
200,000
250
200,000
6m SBI
60
150,000
Total Reserves
(RHS)
150
150,000
3m SBI
100,000
100,000
50
50,000
Total SBI
Outstanding (LHS)
50
01-Jan-08
350,000
40
01-Jul-08
01-Jan-09
01-Jul-09
Sumber: CEIC dan Bank Dunia
01-Jan-10
50,000
1m SBI
0
0
Jan-08
Jul-08
Jan-09
Jul-09
Jan-10
Sumber: CEIC
b. Mes k ipun terda pa t perdebata n lama s eputa r k emungk inan tingginya bia ya
melak uk a n s terilis as i, bia ya ya ng diemban Indones ia s elama enam bulan rela tif
terbatas
Sterilisasi bisa menjadi
hal yang mahal bagi bank
sentral karena selisih
suku bunga antara yang
diperoleh dari cadangan
dan yang dibayarkan
dalam instrumen pasar
uang domestik
Perdebatan seputar sterilisasi dan potensi biayanya yang tinggi dalam negara
berkembang bukan hal baru dan muncul karena beberapa alasan. Pertama dan yang
paling kuat adalah biaya quasi-fiscal yang diemban oleh bank sentral karena rendahnya
suku bunga yang diperolehnya dari cadangannya (lazimnya USD) sementara harus
membayarkan suku bunga yang relatif tinggi dalam instrumen pasar uang domestik yang
diterbitkan untuk menyerap likuiditas melalui operasi pasar terbuka. Argumentasi ini
nampaknya lebih memiliki keterkaitan karena merosotnya nilai US Treasury Bill, karena
bagian yang besar dari cadangan internasional berada dalam bentuk Dolar AS. Dalam
kasus Indonesia, bank sentral membayarkan sekitar 6.5 persen (dihitung secara tahunan)
8
dalam SBI. Sejak nilai Treasury Bill berjangka 1 bulan jatuh hingga 0.0075 persen, selisih
suku bunga antara yang diperoleh BI dari cadangan dan yang dibayarkannya melalui SBI
adalah selisih yang signifikan (Grafik 49).
8
Meskipun bank sentral melakukan diversifikasi investasi cadangannya dari segi mata uang maupun
durasinya, pendapatannya dari cadangan dikalkulasikan di sini berdasarkan Treasury Bill rate 1
bulan karena hal ini memberikan estimasi pendapatan yang konservatif dan dengan demikian
memberikan plafon atas dari kemungkinan biaya sterilisasi yang diemban oleh bank sentral.
T H E W O R L D B A N K | BANK DUNIA
Maret 2010
38
P erkembangan Triwulanan P erekonomian Indones ia
Menjaga Momentum
selisih
suku
bunganya
tinggi,
biaya
G rafik 49: Dengan s uku bunga Amerika S erikat yang hampir Meskipun
nol, antara biaya s uku bunga B I untuk S B I dan pendapatan sesungguhnya dalam melakukan sterilisasi oleh BI antara
bulan Juni 2009-Januari 2010, dengan perubahan
s uku bunga dari c adangan US D marginnya tinggi
(tingkat suku bunga SBI 1 bulan dan Treasury Bill 1 bulan,
persen)
Percent
Percent
12
12
10
10
cadangan devisa dan SBI pada neraca keuangannya dan
selisih suku bunganya mengindikasikan bahwa biaya
aktualnya mungkin moderat. Estimasi ini mengindikasikan
bahwa biaya quasi-fiscal untuk 6 bulan hingga awal 2010
adalah sekitar USD 77.2 juta, setara dengan 0.01 persen
dari PDB Indonesia.
1m SBI rate
8
8
6
6
4
4
1m TBill rate
2
2
0
0
Jan-07
Jul-07
Jan-08
Jul-08
Jan-09
Jul-09
Argumentasi lain yang beredar luas yang menentang
sterilisasi adalah bahwa sterilisasi menyebabkan suku
bunga domestik naik (atau tetap tinggi) karena
peningkatan penerbitan instrumen pasar uang dan dengan
demikian mungkin menyebabkan lingkaran setan dengan
lebih banyak sterilisasi dan tingkat bunga yang semakin
tinggi. Meskipun argumentasi ini pasti ada benarnya dalam
beberapa episode sterilisasi sebelumnya namun hal ini
tidak terealisasi di Indonesia selama enam bulan terakhir.
Suku bunga pada SBI 1 bulan, 3 bulan dan 6 bulan tetap
bertahan stabil dan bahkan turun sedikit sejak Juni.
Jan-10
Sumber: CEIC dan Bank Dunia
Efektivitas sterilisasi
tergantung pada sifat
goncangan yang
mendorong arus modal
masuk
Alasan untuk hal ini mungkin terdapat dalam argumentasi bahwa efektivitas sterilisasi
bergantung pada sifat goncangan yang menyebabkan arus modal masuk terjadi (Frankel
2004). Apabila arus masuk “didorong” masuk karena faktor eksternal seperti jatuhnya
suku bunga asing sehingga menjadikan aset keuangan domestik lebih menarik
dibdaningkan dengan aset asing maka sterilisasi bisa menjadi sangat efektif dan tidak
harus memberikan mendorong kenaikan suku bunga. Di sisi lain, apabila arus masuk
“ditarik” masuk karena adanya faktor internal positif yang meningkatkan permintaan uang
domestik maka sterilisasi mungkin bukan merupakan jawaban yang tepat karena orang
mencari likuiditas dan kredit yang lebih – bukan instrumen pasar uang berpenghasilan
tinggi. Dalam situasi seperti ini, sterilisasi dapat berujung pada suku bunga yang lebih
tinggi karena tidak akan ada permintaan untuk instrumen pasar uang seperti SBI.
Di Indonesia, arus modal
masuk sebagian besar
“didorong” masuk pada
paruh kedua tahun 2009
karena faktor eksternal
dan karenanya sterilisasi
nampaknya relatif efektif
Dalam kasus Indonesia selama enam bulan terakhir modal telah mengalir masuk karena
investor dari seluruh dunia telah mengejar penghasilan yang lebih tinggi dan melakukan
carry trades untuk mengambil keuntungan dari suku bunga yang rendah dalam
sejarahnya di Amerika Serikat. Maka nampaknya arus modal telah “didorong” masuk dan
bukan “ditarik” masuk akibat suatu perubahan dalam kebijakan domestik. Bahkan
faktanya adalah kebijakan moneter BI selama periode ini adalah ekspansioner dengan
penurunan suku bunga sebesar 300 basis points dari Desember hingga Agustus 2009
dan lalu tetap dari bulan September 2009.
Dalam iklim ini, kebijakan BI untuk meningkatkan pasokan surat berpenghasilan tinggi
berjangka pendek menghasilkan permintaan yang tinggi dan tidak memicu tingkat bunga
SBI yang lebih tinggi.
T H E W O R L D B A N K | BANK DUNIA
Maret 2010
39
P erkembangan Triwulanan P erekonomian Indones ia
Menjaga Momentum
G rafik 50: K ebijakan moneter dan fis kal dapat membatas i dampak dari arus mas uk modal, namun s ebagian bes ar ops i
membutuhkan biaya tinggi
A: Mengijinkan alliran dana masuk (menggeser LM
ke kanan), bisa menjadi inflasioner
B: Sterilisasi aliran dana masuk dengan membangun
cadangan (Operasi Pasar Terbuka, tetap di B), dapat
mempertahankan arus dana masuk lebih lama
dengan suku bunga tetap tinggi
C: Mengijnkan apresiasi (menggeser IS dan BP ke
kiri) , ekspor kehilangan daya saing
D: Menetapkan pengendalian modal (menggeser BP
ke atas, kemiringan lebih tegak), kehilangan
efisiensi; harus mendanai investasi dengan biaya
dana domestik yang lebih tinggi daripada meminjam
dari luar negeri dengan biaya yang lebih rendah
E: Kontraksi fiskal (menggeser IS ke kiri), bisa
menjadi resesioner; secara politis sulit
i
BP '
LM
BP=0
D
C, E
B
IS'
A
LM'
IS
Y
Model IS-LM ini merupakan kerangka kerja Keynesian yang fokus pada interaksi antara elemen riil dan moneter dalam
ekonomi. Kurva IS (investasi-tabungan/savings) mewakili hubungan antara output dan suku bunga yang memberikan
ekuilibrium dalam pasar barang sementara kurva LM (preferensi likuiditas dan suplai uang/money supply) mewakili
hubungan antara pendapatan dan suku bunga yang memberikan ekuilibrium dalam pasar uang.
Karena Indonesia
memiliki rejim arus modal
yang terbuka penuh maka
sterilisasi merupakan
perangkat kebijakan yang
penting untuk
mempertahankan
kemdanirian moneter dan
kestabilan ekonomi yang
lebih luas
Salah satu argumentasi positif untuk sterilisasi adalah bahwa dengan melakukan
sterilisasi, negara berkembang dapat mempertahankan kemdanirian moneter. Dengan
fakta bahwa uang primer di suatu negara sama dengan nilai net aset domestik ditambah
net aset asing (cadangan), tanpa sterilisasi maka peningkatan atau penurunan cadangan
akan memiliki dampak yang terasa pada jumlah uang dalam ekonomi. Hal ini akan sangat
membatasi kendali bank sentral atas likuiditas domestik dan menjadikan ekonomi sangat
rentan pada arus masuk dan arus keluar modal. Karena Indonesia memiliki rejim arus
modal yang terbuka penuh (completely open capital account) dan dana seringkali
mengalir keluar secepat arus masuknya maka kebijakan untuk tidak mensterilisasi
intervensi pasar pertukaran mata uang asing berpotensi untuk mengganggu stabilitas.
4. D a m p a k ‘ pe r a tu r a n 20 pe r s e n ’ te r h a da p tin g k a t da n m u tu be l a n ja p e n didik a n
Peruntukan (earmark)
sebesar 20 persen dari
anggaran negara
Indonesia menjamin
tingkat pendanaan yang
relatif tinggi bagi sektor
prioritas namun juga
membuat pengelolaan
anggaran menjadi lebih
rumit dan memicu adanya
kekhawatiran tentang
mutu pembelanjaan dana
tersebut
Amdanemen UUD 1945 Indonesia tahun 2002 mewajibkan bahwa setidaknya 20 persen
dari APBN atau anggaran Pemerintah Pusat dialokasikan untuk pendidikan, yang disebut
9
sebagai “peraturan 20 persen”. Meskipun cukup lama diperdebatkan selama beberapa
10
tahun tentang bagaimana persisnya peraturan ini akan diinterpretasikan , sejak tahun
2009, interpretasinya sedemikian rupa sehingga peraturan tersebut: (1) berlaku baik pada
anggaran negara APBN awal dan hasil revisi (APBN-P); (2) termasuk semua belanja
langsung Pemerintah Pusat untuk bidang pendidikan serta estimasi pembelanjaan daerah
untuk pendidikan yang didanai oleh transfer dari pusat (misalnya seperti gaji guru); dan
(3) dikalkulasikan sebagai bagian dari total belanja negara termasuk subsidi, pembayaran
bunga dan transfer ke daerah. Peraturan dua puluh persen menjamin adanya tingkat
pendanaan yang relatif tinggi untuk bidang prioritas dengan belanja yang mencapai titik
tertinggi pada tahun 2009 dan diperkirakan akan tetap relatif tinggi. Namun, peraturan 20
persen juga berpotensi untuk melemahkan efisiensi belanja publik dan yang lebih
mendesak, memperumit manajemen anggaran dengan mengadakan alokasi anggaran
tambahan untuk sektor pendidikan pada berbagai tahapan siklus anggaran – seringkali
dengan pemberitahuan yang singkat – yang memicu kekhawatiran tentang kualitas
pembelanjaan dana tersebut.
9
Peraturan ini juga berlaku bagi anggaran pemerintah daerah.
Perdebatan pertama terpusat pada apakah gaji guru seharusnya termasuk dalam alokasi 20
persen tersebut dan setelahnya tentang apakah 20 persen tersebut sebaiknya dikalkulasikan
berdasarkan total belanja termasuk subsidi, pembayaran bunga dan transfer atau apakah hal-hal
tersebut layaknya tidak dimasukkan dalam denominator.
10
T H E W O R L D B A N K | BANK DUNIA
Maret 2010
40
P erkembangan Triwulanan P erekonomian Indones ia
Menjaga Momentum
G rafik 51: B elanja publik nas ional pendidikan di Indones ia
(Pusat, Propinsi dan Kabupaten/Kotamadya)
250
Persen
IDR trilyun
4.0
200
3.2
150
2.4
100
1.6
50
0.8
0
0.0
2001
2002
2003
2004
Belanja riil, harga 2008 (LHS)
2005
2006
2007*
Nominal belanja (LHS)
2008*
2009**
% PDB (RHS)
Sumber dan catatan: Kalkulasi staf Bank Dunia berdasarkan data Depkeu dan SIKD. *Data daerah berdasarkan anggaran.
**Data Pemerintah Pusat berdasarkan anggaran APBN-P 2009, data anggaran daerah merupakan estimasi oleh staf.
Peruntukan 20 persen
telah membantu
meningkatkan tambahan
belanja publik untuk
pendidikan, yang
mencapai titik tertinggi
baru pada tahun 2009
Mencerminkan statusnya sebagai prioritas nasional utama, pembelanjaan dalam sektor
pendidikan
oleh
semua
tingkat
pemerintahan
(Pusat,
Propinsi
dan
Kabupaten/Kotamadya) telah meningkat tajam selama dasawarsa terakhir (Grafik 51).
Sejak tahun 2006, pembelanjaan nasional untuk sektor pendidikan secara rata-rata
adalah sekitar 15 persen dari total belanja nasional dan 3.1 persen dari PDB, yang
merupakan bagian terbesar dibdaningkan dengan sektor lainnya dalam anggaran (selain
subsidi dalam beberapa tahun). Selain itu, belanja dalam sektor pendidikan meningkat
tajam dan mencapai titik tertinggi baru pada tahun 2009 setelah Pemerintah Pusat
mengimplementasikan interpretasi terkini dari peraturan 20 persen. Diharapkan hal ini
meningkatkan pembelanjaan untuk sektor pendidikan sebesar sekitar 35 persen pada
tahun 2009, dalam nilai riil, menjadi Rp. 216 trilyun (USD 20.5 milyar), setara dengan
3.8 persent PDB. Tahun 2010 dan selanjutnya akan melihat stabilisasi pembelanjaan
untuk sektor pendidikan pada tingkat yang relatif tinggi. Dengan peningkatan akhir-akhir
ini maka pembelanjaan pendidikan Indonesia kini dapat dibdaningkan dengan positif
dengan negara regional lainnya serta dengan negara berpendapatan menengah ke
bawah (lower middle income), yang rata-rata menggunakan 16 persen dari anggarannya
dan 5.4 persen dari PDBnya untuk sektor pendidikan (Tabel 18).
T abel 18: B elanja P ublik untuk P endidikan di Negara Tetangga Indones ia
Belanja pendidikan sebagai % PDB
Belanja pendidikan sebagai % belanja pemerintah
PDB per kapita, PPP (konstan 2005 int. $)
Populasi (juta)
Malaysia
4.7
25
12,766
27
Thailand
4.0
21
7,682
65
Indonesia
3.8
20
3,506
237
Negara
berpendapatan
Filipina Menengah bawah*
2.5
5.4
15
16
3,217
91
Sumber dan catatan: Kalkulasi staf Bank Dunia berdasarkan data Depkeu dan SIKD untuk Indonesia dan indikator
Pembangunan Dunia (tahun terkini yang tersedia) untuk negara lainnya. *Rata-rata sederhana untuk negara dimana
datanya tersedia.
T H E W O R L D B A N K | BANK DUNIA
Maret 2010
41
P erkembangan Triwulanan P erekonomian Indones ia
Namun, peruntukan
tersebut juga dapat
melemahkan efisiensi
pembelanjaan dan yang
lebih mendesak,
memperumit pengelolaan
anggaran dengan adanya
“dana tak terduga”
(windfall) untuk sektor
pendidikan secara
mendadak, yang beresiko
mengurangi mutu
pembelanjaan anggaran
tersebut
Menjaga Momentum
Meskipun peraturan 20 persen telah berkontribusi meningkatkan tingkat pendanaan untuk
sektor prioritas ini, peraturan tersebut juga berpotensi melemahkan efisiensi
pembelanjaan publik dan memperumit pengelolaan anggaran. Pada umumnya
peruntukan anggaran 20 persen bisa problematis karena: (1) kakunya anggaran
mengurangi efisiensi alokasi dengan membatasi pemerintah dalam memindahkan
sumberdaya untuk memenuhi perubahan kebutuhan; (2) peruntukan alokasi mengurangi
efisiensi teknis dengan mengurangi insentif pengelolaan dan kapasitas perencanaan; dan
(3) terdapat kecenderungan untuk proliferasi peruntukan, yang meningkatkan ketatnya
anggaran secara keseluruhan. Yang lebih mendesak, karena adanya peraturan 20 persen
dan cara peraturan ini diinterpretasikan saat ini maka semua keputusan untuk
meningkatkan agregat pengeluaran (aggregate expenditures) dalam anggaran atau pagu
belanja dari sektor tertentu (misalnya kesehatan atau infrastruktur) pada siklus anggaran
manapun mewajibkan Pemerintah untuk mengalokasikan dana tambahan atau “dana tak
terduga” pada sektor pendidikan kecuali bagian dari total belanja negara sudah diatas 20
persen. Dana tak terduga ini dapat muncul secara mendadak pada tahapan akhir proses
anggaran (lihat di bawah) sehingga beresiko tidak dipergunakan dengan baik karena
waktu perencanaan yang singkat dapat menghasilkan program yang diimplementasikan
secara tergesa-gesa.
Permasalahan dana tak terduga semakin buruk dengan adanya sejumlah permasalahan
anggaran yang lebih luas. Pertama, DPR RI memainkan peran yang aktif dalam
menetapkan asumsi anggaran seperti pertumbuhan PDB, inflasi dan harga minyak
mentah. Perubahan pada asumsi setelah adanya pertimbangan/musyawarah dapat
menyebabkan perubahan yang signifikan dalam proyeksi pendapatan dan pembelanjaan
(terutama subsidi), yang berdampak pada besaran alokasi untuk pendidikan dalam
anggaran. Kedua, pencairan dana baik dalam berjalannya operasional pemerintah secara
konvensional dan melalui program belanja baru dan perluasan program yang telah ada,
tetap merupakan tantangan yang serius di Indonesia. Dalam sejarahnya pencairan
anggaran terjadi dengan lamban dan tidak merata. Tantangan tersebut dapat membatasi
kemampuan Pemerintah untuk secara signifikan memperluas belanja dalam sektor
pendidikan terutama dana tambahan dialokasikan pada sektor tersebut pada tahapan
akhir proses penganggaran. Ketiga, peraturan anggaran Indonesia biasanya tidak
mengijinkan adanya sisa dana yang tidak dibelanjakan diteruskan dari satu tahun ke
tahun berikutnya. Fleksibilitas akhir tahun ini akan meningkatkan insentif untuk
mengimplementasikan program dengan tergesa-gesa atau alternatifnya, dapat
menyebabkan adanya dana tak terduga pendidikan tak terbelanjakan yang dikembalikan
ke rekening umum pemerintah pada akhir tahun fiskal.
Permasalahan dana tak terduga juga dibuat semakin berat dengan ketidakstabilan harga
energi, kebijakan subsidi energi Pemerintah dan kebijakan berbagi pendapatan
sumberdaya turut terkait meskipun tidak seberat faktor lainnya. Pemerintah Indonesia
memberikan subsidi energi secara universal, terutama untuk bahan bakar dan listrik, pada
konsumen dan bisnis Indonesia dengan mengatur harga produk tersebut di bawah harga
pasar. Pemerintah juga membagi penerimaan dari minyak dan gas dengan daerah
dengan rumusan 15.5 persen realisasi pendapatan dari gas dan 30.5 persen dari minyak
ditransfer ke pemerintah daerah secara triwulan. Konsekuensi dari kebijakan ini adalah
bahwa lonjakan dalam harga energi secara otomatis meningkatan total belanja negara
dalam anggaran dengan memicu baik peningkatan belanja untuk subsidi dan naiknya
transfer ke daerah, yang kemudian secara otomatis menghasilkan dana tak terduga
tambahan untuk bidang pendidikan kapanpun anggaran negara direvisi.
Dana tak terduga bisa
muncul pada tiga tahap
yang berbeda dalam
siklus anggaran dengan
potensi adanya eskalasi
konsekuensi
Dana tak terduga bisa muncul pada tiga tahap yang berbeda dalam siklus penganggaran:
•
Pertama, dana tambahan bisa dialokasikan setelah pembahasan awal dengan DPR
berkaitan dengan rancangan anggaran negara (RAPBN), biasanya antara bulan Mei
dan Juni pada tahun penyiapan anggaran (tahun sebelum tahun fiskal). Hal ini terjadi
apabila ada perubahan pada asumsi-asumsi, proyeksi anggaran atau plafon/pagu
belanja.
•
Kedua, dan yang lebih kritis, dana tak terduga bisa muncul dengan alasan yang
sama selama pembahasan akhir dengan DPR perihal RAPBN, biasanya antara
pertengahan Agustus dan pertengahan November pada tahun penyiapan anggaran.
T H E W O R L D B A N K | BANK DUNIA
Maret 2010
42
P erkembangan Triwulanan P erekonomian Indones ia
Menjaga Momentum
Dengan potensinya untuk berjumlah signifikan dan muncul di bagian akhir proses
penyiapan anggaran dana tak terduga tersebut mungkin membutuhkan
pengembangan program tambahan dengan tenggat waktu yang sangat singkat.
Misalnya, selama pembahasan tentang RAPBN 2010 Pemerintah, perubahan pada
asumsi anggaran meningkatkan proyeksi pendapatan dan pembelanjaan (sebagian
besar karena peningkatan belanja untuk subsidi dan transfer ke daerah) sehingga
menghasilkan tambahan Rupiah 7.6 trilyun (USD 0.8 milyar) yang dialokasikan pada
sektor pendidikan (Tabel 19). Mayoritas dari dana tersebut ( 5.8 trilyun) dialokasikan
ke Kementrian negara Pemerintah Pusat yang bertanggungjawab dalam bidang
pendidikan, terutama Kementerian Pendidikan Nasional dan Kementerian Agama.
•
Ketiga dan paling kritis, dana tak terduga yang berpotensi berjumlah besar bisa
muncul pada bagian akhir tahun fiskal aktual setelah pembahasan dengan DPR
tentang revisi rancangan anggaran negara Pemerintah (RAPBN-P), yang biasanya
diserahkan pada paruh kedua setiap tahun fiskal setelah evaluasi kinerja tengah
tahun pada bulan Juli. Maka hanya tersisa waktu beberapa bulan untuk
merencanakan dan melaksanakan belanja pendidikan tambahan. Analisa anggaran
sebelumnya mengindikasikan bahwa dana tak terduga/alokasi tambahan pada tahap
ini dalam siklus anggaran cenderung untuk berjumlah besar pada tahun-tahun
dimana harga minyak mengalami deviasi yang signifikan antara APBN dan APBN-P.
Pada tahun 2008, misalnya, belanja total dalam APBN-P sejumlah Rph 135 trilyun
(atau 16 persen) lebih tinggi dari APBN, hampir semuanya didorong oleh peningkatan
belanja subsidi energi sebagai tanggapan pada lonjakan harga energi global. Apabila
pada tahun 2008 peraturan 20 persen telah diterapkan maka dana tak terduga
(windfall) sejumlah Rupiah 27 trilyun (USD 3.0 milyar) akan diterima oleh sektor
pendidikan pada akhir tahun fiskal tersebut. Dengan telah ditetapkan interpretasi
peraturan pada saat ini maka resiko adanya dana tambahan tak terduga terjadi pada
masa mendatang sangat mungkin terjadi. Tanpa perencanaan yang baik maka dana
tak terduga serupa berpotensi untuk tidak dipergunakan dengan baik akibat
minimnya waktu yang tersisa untuk merencanakan dan melaksanakan alokasi
tambahan tersebut.
T abel 19: E volus i alokas i pendidikan 2010 dalam anggaran negara
(Trilyun Rupiah kecuali disebutkan secara khusus)
Rancangan
Anggaran Negara
(RAPBN)
Agustus 2009
A. Pendapatan Negara dan Hibah
B. Belanja Negara
o/w Subsidi
II. Transfer ke daerah
C. Defisit Fiskal (% GDP)
Alokasi Pendidikan (20% dari B. Belanja Negara)
Revisi Rancangan
Anggaran Negara
(RAPBN-P)
Mar 2010
911.5
949.7
974.8
1009.5
1047.7
1104.6
38.2
57.0
699.7
725.2
770.4
144.4
157.8
199.3
309.8
322.4
334.3
1.6
1.6
2.1
201.9
209.5
221.4
7.6
11.9
7.6
19.5
5.5
Perubahan
I. Belanja Pemerintah Pusat
Anggaran Negara
Disetujui
(APBN)
Sept 2009
Alokasi tambahan/dana tak terduga
Dana Tak Terduga Kumulatif (relatif dengan RAPBN)
Asumsi Anggaran
Pertumbuhan PDB Riil (%)
5.0
5.5
Inflasi (%)
5.0
5.0
5.7
60.0
65.0
77.0
Harga Minyak Mentah (USD/Barrel)
Sumber dan catatan: Depkeu dan kalkulasi staf Bank Dunia.
Resiko dana tambahan
tak terduga muncul pada
akhir tahun fiskal 2010
telah diminimalisir
dengan keputusan
Pemerintah untuk
membuat revisi dini pada
Pada bulan Januari 2010, hanya satu bulan setelah tahun fiskal 2010 berjalan,
Pemerintah mengumumkan rencana untuk membuat revisi dini pada anggaran negara
sebagai tanggapan pada berubahan kondisi makroekonomi- terutama harga minyak yang
lebih tinggi – untuk memastikan bahwa anggaran diimplementasikan dengan efektif.
Revisi anggaran yang diajukan (RAPBN-P) yang dirilis oleh Pemerintah pada bulan Maret
2010 meningkatkan total belanja negara sejumlah Rph 57.0 trilyun (5.4 persen), terutama
akibat meningkatnya pengeluaran untuk subsidi dan mengalokasikan tambahan
T H E W O R L D B A N K | BANK DUNIA
Maret 2010
43
P erkembangan Triwulanan P erekonomian Indones ia
Menjaga Momentum
anggaran negara
Rph 11.9 trilyun (US$1.2 milyar) pada sektor pendidikan dalam rangka mempertahankan
alokasi 20 persennya (Tabel 19). Dengan jumlah tersebut maka secara kumulatif dana
tambahan tak terduga untuk pendidikan pada 2010 adalah Rph 19.5 trilyun (US$2.1
milyar), 10 persen lebih tinggi dari jumlah yang dianggarkan dalam RAPBN. Seperti
sebelumnya, RAPBN-P bermaksud untuk mengalokasikan mayoritas dana tambahan tak
terduga tersebut (Rupiah 9.4 trilyun) pada Kementerian Pemerintah Pusat, terutama
Kemendiknas (yang anggarannya meningkat sebesar 11 persen atau or
Rupiah 6.2 trilyun) dan Kemenag (9 persen atau Rupiah 2.1 trilyun). Hal ini merupakan
alokasi tambahan yang relatif besar dan mungkin pencairannya akan menjadi tantangan
tersendiri sesuai dengan alasan yang telah dibahas sebelumnya. Namun demikian,
keputusan untuk melakukan revisi anggaran dini telah mengurangi resiko akan adanya
tambahan dana tak terduga muncul lebih lambat lagi pada masa fiskal 2010 dan dengan
asumsi bahwa rancangan anggaran disetujui oleh DPR sekitar bulan April 2010 maka
keputusan revisi dini tersebut memberikan waktu yang lebih lama (sekitar delapan bulan)
untuk kementerian terkait melakukan perencanaan dan pelaksanaan belanja tambahan
tersebut.
Anggaran revisi juga
meliputi sejumlah
pedoman dan membentuk
dana abadi (endowment
fund) pendidikan untuk
mendukung penggunaan
dana tambahan tak
terduga dengan baik
RAPBN-P juga meliputi sejumlah pedoman dan menspesifikasikan sejumlah bidang
belanja prioritas untuk membantu memastikan bahwa alokasi tambahan yang diberikan
pada kementerian negara dipergunakan dengan baik. Terutama, alokasi tersebut harus
dialokasikan untuk program dan kegiatan yang telah dirancang sebelumnya, dapat
diimplementasikan pada akhir tahun fiskal dan memiliki output dan outcome yang jelas.
Belanja baru ini juga harus mendukung program prioritas yang diumuman oleh
Pemerintah dalam RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah) 2010-14 yang
baru dirilis, seperti dana operasional sekolah (BOS), beasiswa, program makanan di
sekolah dan rehabilitasi sarana sekolah. Selain itu, RAPBN-P juga mengajukan untuk
mengalokasikan sisa Rupiah 2.4 trilyun (sekitar USD 250 juta) dari dana tambahan tak
terduga yang bertujuan untuk memastikan kesinambungan program pendidikan dalam
jangka waktu yang lebih panjang dan yang dapat dimanfaatkan untuk investasi
pendidikan (misalnya beasiswa). Dengan dana ini maka dana pencairan tambahan tak
terduga bisa lebih lancar dalam waktu yang lebih lama, membantu menangani
permasalahan dana yang tidak dibelanjakan sebelum akhir tahun fiskal (yang
mengakibatkan dana tersebut dikembalikan ke rekening pemerintah) karena kurangnya
waktu.
Namun demikian,
permasalahan dana tak
terduga tambahan akan
terjadi berulang kali dan
beberapa opsi kebijakan
dapat membantu
penanganan masalah
dalam jangka waktu yang
lebih panjang
Permasalahan dana tambahan tak terduga akan berulang kembali pada tahun-tahun
mendatang selama revisi anggaran dan pemantapan kriteria bagaimana alokasi
tambahan dapat dipergunakan dan pembentukan dana pendidikan akan membantu
pengelolaan permasalahan dan mitigasi resiko pemanfaatan dana yang kurang memadai
saat dana tambahan tak terduga muncul. Memperkuat perencanaan cadangan
(contingency planning) anggaran Kemendiknas dan Kemenag juga dapat membantu
meningkatkan penanganan masalah ini. Namun, seperti yang dicatat sebelumnya, dana
tambahan tak terduga pendidikan merupakan bagian dari masalah yang lebih luas yaitu
ketidakstabilan anggaran yang diakibatkan oleh subsidi energi dan fluktuasi dalam
pendapatan. Maka, alternatif kebijakan berjangka-panjang untuk menangani
permasalahan dana tambahan tak terduga dapat meliputi menyikapi masalah mendasar
ini secara langsung dengan cara menetapkan kebijakan reformasi subsidi energi dan/atau
“dana stabilisasi harga energi” untuk menangani fluktuasi pendapatan.
T H E W O R L D B A N K | BANK DUNIA
Maret 2010
44
Download