BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indikator

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indikator kesehatan jiwa yang dinilai pada Riskesdas 2013 diantaranya
adalah gangguan jiwa berat dan gangguan mental emosional serta cakupan
pengobatannya. Menurut data tersebut, prevalensi gangguan jiwa berat pada
penduduk Indonesia adalah sebesar 1,7 per mil. Gangguan jiwa berat terbanyak
terdapat di DI Yogyakarta, Aceh, Sulawesi Selatan, Bali, dan Jawa Tengah.
Gangguan jiwa berat yang dimaksud dalam riskesdas adalah gangguan psikotik
dan termasuk didalamnya adalah gangguan skizofrenia.
Gangguan jiwa berat menimbulkan beban bagi pemerintah, keluarga serta
masyarakat oleh karena menurunkan produktivitas pasien dan akhirnya
menimbulkan beban biaya yang besar bagi pasien dan keluarganya. Dari sudut
pandang pemerintah, gangguan ini menghabiskan biaya pelayanan kesehatan yang
cukup besar (Riskesdas, 2013).
Gangguan skizofrenia merupakan penyakit kronis, kambuhan, dan
menyebabkan penurunan fungsi yang semakin lama akan semakin berat, terutama
bila tidak mendapatkan penanganan yang adekuat. Dengan kata lain, gangguan
skizofrenia mengakibatkan disabilitas
menimbulkan beban penderitaan
yang sering kali ireversibel dan
yang berat baik bagi pasien maupun
keluarganya. Perkembangan ilmu dan tehnologi yang semakin pesat membawa
dampak positif bagi perkembangan strategi pengobatan gangguan ini. Klinisi
perlu untuk tetap mengikuti perkembangan riset ilmiah terkini dalam rangka
memberikan
penatalaksanaan
yang
terbaik
untuk
pasien
(Konsensus
Penatalaksanaan Gangguan Skizofrenia, 2011).
Sejak pertama kali didefinisikan sampai dengan saat ini, skizofrenia telah
mengalami berbagai perkembangan baik dalam hal pengenalan, diagnosis dan
terapi. Namun demikian berbagai penjelasan yang telah ada belum memberikan
jawaban yang memuaskan terhadap berbagai permasalahan yang dihadapi.
1
Diantaranya adalah pada perbaikan gejala negatif dan kognitif pada pasien
skizofrenia.
Gejala negatif adalah penting dalam gangguan skizofrenia. Keparahan gejala
negatif lebih dapat dijadikan sebagai prediktor kecacatan, apabila dibandingkan
dengan keparahan gejala positif atau disorganisasi. Keparahan gejala negatif akan
sangat berpengaruh terhadap fungsi sosial dan menjadi penyebab penurunan
keterampilan sosial pada pengukuran kinerja. Selain itu, gejala negatif memiliki
sifat yang lebih menetap sepanjang waktu dibandingkan gejala positif dan
disorganisasi (Lewis & Escalona, 2009).
Pada saat ini, pengobatan pada skizofrenia sebagian besar masih terbatas
pada penggunaan obat antipsikotik golongan anti dopaminergik. Obat antipsikotik
tersebut
lebih
memberikan manfaat
dalam
memperbaiki
gejala
positif
dibandingkan dengan perbaikan pada gejala negatif dan kognitif (Kane & Correll,
2010). Pada pasien skizofrenia, sekitar 30% diantaranya mengalami resisten
terhadap antipsikotik generasi pertama dan bahkan terhadap clozapine yang
merupakan antipsikotik pilihan pada pengobatan pasien yang resisten (Leucht,
2009).
Obat antipsikotik generasi pertama dan kedua, dapat mengatasi gejala
positif tetapi tidak dapat mengembalikan kesehatan dan elastisitas otak, serta
fungsi mental. Pasien skizofrenia masih menghadapi kesulitan dan masalah dalam
mencapai kemandiriannya. Hal ini menjadi tantangan bagi ilmu pengetahuan
untuk dapat meringankan beban penyakit pada pasien skizofrenia (Tamminga,
2009).
Oleh karena itu diperlukan suatu strategi pengobatan pasien skizofrenia
yang lebih efektif, yaitu yang mampu mengobati gejala positif, gejala negatif, dan
disfungsi kognitif melalui target selain jalur dopamin (Correll, 2011).
Salah satu hipotesis tentang etiologi skizofrenia menyatakan bahwa
skizofrenia terjadi sebagai akibat terjadinya paparan pra-perinatal yang
menghasilkan Latent Immune Vulnerability. Infeksi maternal akan menyebabkan
terjadinya gangguan pada pembentukan sistem kekebalan pada janin yang
dikandung. Kondisi tersebut menciptakan kerentanan yang bersifat laten pada
2
sistem kekebalan janin. Dengan demikian pasien skizofrenia akan lebih rentan
terhadap infeksi dan lebih mudah mengalami disregulasi sistem kekebalan
(Kinney et al., 2009).
Selain itu, kondisi inflamasi pada pasien skizofrenia akan berpengaruh pada
keparahan gejala skizofrenia dan progresifitasnya. Aktifasi respon inflamasi akan
memperburuk gangguan afektif, emosional, sosial, dan fungsi kognitif pasien
skizofrenia. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa proses inflamasi sangat
relevan sebagai faktor presipitasi gejala pada skizofrenia, terutama gejala negatif
dan kognitif (Kinney et al., 2009).
Pada skizofrenia, hipotesis gangguan jalur dopaminergik merupakan suatu
hipotesis yang saat ini telah dikenal secara luas. Menurut hipotesis ini, gejalagejala pada skizofrenia timbul sebagai akibat disregulasi jalur dopamin
mesolimbik, mesokortikal, nigrostriatal, tuberoinfundibular, dan jalur dopamin
talamik.
Secara khusus, gejala positif skizofrenia disebabkan oleh karena
hiperaktifitas neuron dopamin mesolimbik. Sedangkan gejala negatif, kognitif,
dan afektif disebabkan oleh karena terjadinya hipoaktifitas neuron dopamin
mesokortikal dan proyeksinya terhadap prefrontal kortek (Stahl, 2008).
Selain hipotesis jalur dopaminergik, pada skizofrenia juga dikenal hipotesis
jalur glutamatergik. Neurotransmiter glutamat telah diketahui berperan penting
dalam patofisiologi skizofrenia. Beberapa jalur glutamatergik memiliki relevansi
yang erat dengan psikofarmakologi dan patofisiologi skizofrenia.
Glutamat adalah suatu neurotransmiter excitatory (stimulatif) dan dianggap
sebagai switch master otak. Neurotransmiter glutamat dapat membangkitkan dan
mengaktifkan hampir semua neuron sistem saraf pusat. Jalur glutamatergik berupa
jalur descending neuron kortiko-piramidal ke pusat neurotransmiter, termasuk
diantaranya adalah raphe untuk serotonin, ventral tegmental area (VTA) dan
substansia nigra untuk dopamin dan locus coeruleus untuk norepinefrin. Jalurjalur ini berfungsi mengatur pelepasan neurotransmiter. Secara khusus, jalur
glutamat bertindak sebagai rem pada jalur dopamin mesolimbik (Stahl, 2008).
3
Berdasar pada hipotesis patofisiologis dan berbagai observasi klinis, para
ahli telah melakukan berbagai penelitian tentang strategi terapi tambahan yang
ditambahkan pada terapi antipsikotik pada pasien skizofrenia. Namun demikian,
sampai saat ini berbagai penelitian tersebut belum memberikan hasil yang
memuaskan, sehingga belum dapat ditetapkan sebagai terapi standar dan masih
memerlukan penelitian lebih lanjut.
Penelitian yang telah dilakukan diantaranya adalah penelitian dengan
strategi pemberian tambahan antidepresan, acetilkolinesterase inhibitor, asam
lemak omega-3, modafinil, dan N-metil reseptor D-aspartat modulator, serta
pemberian tambahan non steroid anti-inflamasi (NSAID) untuk memperbaiki
gejala negatif dan kognitif (Sommer, 2012).
Pada pasien skizofrenia terjadi peningkatan kadar pro-inflamasi dalam
darah, termasuk prostaglandin E2 (PGE2), C-reaktif protein, dan sitokin proinflamasi (Meyer et al., 2011). Salah satu mekanisme neuroimunologi yang
menjadi penghubung antara peningkatan aktivitas pro-inflamasi dengan induksi
gangguan afektif, emosional dan sosial adalah melalui metabolisme triptofan
(Müller & Schwarz, 2010).
Triptofan adalah suatu asam amino esensial yang dibutuhkan pada
biosintesis serotonin. Müller & Schwarz menyatakan bahwa peningkatan aktifitas
pro-inflamasi pada sistem saraf pusat menyebabkan peningkatan degradasi
triptofan menjadi kynurenine oleh indoleamin 2,3-dioksigenase (IDO), sehingga
mengurangi bioavailabilitas triptofan untuk disintesa menjadi serotonin. Pada
kondisi peningkatan aktifitas pro-inflamasi pada sistem saraf pusat akan
menyebabkan terjadinya defisiensi serotonin central. Sedangkan insufisiensi
serotonin berperan penting dalam patogenesis gejala negatif skizofrenia (AbiDargham, 1997).
Penambahan obat non steroid anti-inflamasi (NSAID) akan memberikan
manfaat pada terapi skizofrenia melalui mekanisme inhibisi siklooksigenase
(COX). Siklooksigenase adalah suatu enzim yang dibutuhkan pada sintesis proinflamasi. Pemberian terapi tambahan anti-inflamasi tidak hanya menurunkan
4
kadar sitokin pro-inflamasi, tetapi juga akan berpengaruh pada neurotransmisi
glutaminergik dan menghambat metabolisme triptofan (Müller & Schwarz, 2010).
Berdasarkan bukti-bukti tersebut, maka obat anti-inflamasi memiliki
peluang untuk digunakan sebagai terapi tambahan pada skizofrenia. Penambahan
anti-inflamasi dilakukan untuk mendapatkan hasil terapi yang lebih baik dalam
memperbaiki gejala negatif dan kognitif. Hal ini menjadi dasar bagi penulis
memilih untuk melakukan penelitian ini.
Dalam sebuah penelitian randomized controlled study yang dilakukan oleh
Müller (2010) menemukan bahwa terapi adjuvant celecoxib (suatu NSAID
selektif COX-1 dan COX-2 inhibitor), pada pasien skizofrenia first episode yang
mendapat pengobatan dengan antipsikotik risperidon, dapat memperbaiki gejala
negatif dan kognitif pasien skizofrenia dan tidak terjadi efek samping akibat
penggunaan anti-inflamasi.
Berbeda dengan penelitian diatas, pada penelitian ini, penulis menggunakan
penambahan meloxicam sebagai terapi tambahan anti-inflamasi pada pasien
skizofrenia kronis yang mendapat terapi antipsikotik kombinasi risperidonchlorpromazine. Pada pengamatan awal sebelum dilakukannya penelitian ini,
didapatkan data bahwa pasien skizofrenia yang menjalani rawat inap di RSJD dr.
ARIF ZAINUDIN Surakarta sebagian besar mendapatkan terapi antipsikotik
kombinasi dan beberapa kali menjalani perawatan rawat inap. Adapun pemilihan
meloxicam didasarkan pada pertimbangan bahwa meloxicam adalah termasuk
dalam golongan obat anti-inflamasi NSAID selektif COX-1 dan COX-2, serta
cukup aman terhadap efek samping pada saluran cerna. Selain itu meloxicam
memiliki efek anti-inflamasi yang setara dengan anti-inflamasi yang lain. Yang
menjadi dasar pertimbangan selanjutnya adalah bahwa meloxicam telah lama
dikenal dan banyak digunakan oleh masyarakat di Indonesia.
B. Rumusan Masalah
Apakah pemberian terapi tambahan anti-inflamasi meloxicam 7.5 mg/ hari
pada pasien skizofrenia kronis yang mendapat terapi antipsikotik kombinasi
risperidon-chlorpromazine efektif dalam memperbaiki PANSS dan SCoRS?
5
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui keefektifan terapi
tambahan anti-inflamasi meloxicam 7.5 mg/ hari dalam memperbaiki PANSS dan
SCoRS pada pasien skizofrenia kronis yang mendapat terapi antipsikotik
kombinasi risperidon-chlorpromazine.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
a. Menambah pengetahuan tentang keefektifan pemberian terapi tambahan
anti-inflamasi meloxicam 7.5 mg/ hari pada penatalaksanaan pasien
skizofrenia dalam memperbaiki PANSS dan ScoRS.
b. Menjadi landasan bagi penelitian selanjutnya tentang pemberian terapi
tambahan anti-inflamasi pada penatalaksanaan pasien skizofrenia.
2. Manfaat Praktis
a. Hasil penelitian dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam
menentukan standar terapi penatalaksanaan pasien skizofrenia.
b. Sebagai masukan/ wacana khususnya bagi dokter/ tenaga medis di bidang
ilmu kedokteran jiwa dalam penatalaksanaan pasien skizofrenia.
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori
1. Skizofrenia
a. Definisi
Skizofrenia berasal dari bahasa Yunani, schizein yang berarti terpisah atau
pecah dan phren yang artinya jiwa. Menurut Eugen Bleuler, skizofrenia adalah
suatu
gambaran
jiwa
yang
terpecah
belah,
adanya
keretakan
atau
ketidakharmonisan antara proses berpikir, perasaan dan perbuatan.
Skizofrenia merupakan gangguan jiwa yang multi dimensi, mencakup
banyak hal yang mengakibatkan hendaya pada tingkah laku, persepsi, proses
berpikir, emosi, neurokognisi serta hendaya psikososial pada seseorang yang
mengalaminya.
Skizofrenia biasanya didahului oleh suatu periode prodromal yang ditandai
dengan terjadinya penurunan fungsi pribadi. Termasuk diantaranya adalah
perubahan memori dan konsentrasi, penarikan sosial, gangguan komunikasi dan
afek, ide-ide aneh dan pengalaman persepsi, kebersihan pribadi yang buruk, serta
berkurangnya minat dan kemauan untuk melakukan kegiatan sehari-hari.
Perubahan
ini
akan
berpengaruh
pada
kemampuan
seseorang
untuk
mempertahankan pekerjaan, atau berhubungan dengan keluarga dan teman.
Onset full-blown skizofrenia biasanya terjadi pada masa late adolescence
atau early adulthood. Gangguan skizofrenia mencakup berbagai kelompok gejala
yang berbeda, tetapi sering kali co-exist dan biasa disebut dengan gejala positif,
negatif dan kognitif. Gejala positif digambarkan sebagai gejala yang tidak dialami
oleh orang yang sehat dan muncul pada pasien skizofrenia. Gejala yang termasuk
dalam gejala positif adalah halusinasi visual dan auditorik, delusi, dan gangguan
proses berpikir. Sedangkan gejala negatif adalah gejala yang
menunjukkan
terjadinya kehilangan atau penurunan fungsi normal (Tandon et al., 2009).
7
Terdapat beberapa macam pembagian fase skizofrenia. Diantaranya
berdasarkan pada lamanya pasien skizofrenia mengalami gangguan tersebut.
Skizofrenia subkronis mengacu kepada waktu seseorang pertama mulai
menunjukkan tanda-tanda skizofrenia. Fase ini biasanya berlangsung selama 6
bulan dan tidak lebih dari 2 tahun.
Skizofrenia kronis mengacu pada suatu penyakit yang telah ada selama
minimal 2 tahun. Skizofrenia akut mengacu pada kemunculan kembali atau
intensifikasi gejala psikotik pada orang yang sebelumnya tidak memiliki gejala
atau gejala yang tidak berubah untuk sejumlah besar waktu (APA, 2005). Fase ini
bisa berlangsung bertahun-tahun, dan sering kali terganggu dengan terjadinya
eksaserbasi akut yang memerlukan intervensi tambahan.
Hanya sekitar 14% - 20% pasien skizofrenia yang dapat mencapai
pulih sepenuhnya. Sebagian besar lainnya akan mengalami perbaikan, tetapi
mempunyai kemungkinan dapat mengalami kekambuhan yang dipengaruhi oleh
stres, kesulitan sosial dan isolasi. Dalam jangka panjang (sampai 15 tahun), lebih
dari 50% pasien skizofrenia mengalami serangan episodik yang disebabkan oleh
karena terus menerus menghadapi kesulitan dalam kehidupan (National institute
for health and clinical excellence, 2010).
b. Epidemiologi
Gangguan skizofrenia ditemukan di seluruh dunia pada berbagai
kebudayaan. Insiden skizofrenia menurut
penelitian kolaborasi WHO kurang
lebih 0,2 per 1000 penduduk pertahun dengan prevalensi kira-kira 5 per 1000
penduduk. Angka ini bervariasi pada populasi yang berbeda. Berdasarkan usia dan
jenis kelamin, onset skizofrenia meningkat pada usia dewasa muda, dan pada
wanita insiden meningkat kurang lebih 5 tahun kemudian. Resiko seumur hidup
untuk laki-laki dan wanita adalah sama (Mc Grath et al, 2008).
Menurut Penelitian Epidemiological Catchment Area (ECA) prevalensi
seumur hidup skizofrenia sekitar 1,3%. Gangguan ini biasanya mulai menyerang
usia sekitar 20 tahun dan berdampak tidak dapat pulih
kembali seperti
sebelumnya. Berbagai akibat yang ditimbulkan oleh gangguan skizofrenia
8
diantaranya adalah hambatan di sekolah, kehilangan kesempatan untuk mendapat
pekerjaan, serta kemampuan berkeluarga ataupun mempunyai keturunan.
Skizofrenia biasanya dimulai di usia dewasa awal, yaitu antara usia 15 - 25
tahun. Pria cenderung menderita skizofrenia sedikit lebih awal daripada wanita.
Usia puncak onset pada pria adalah pada usia 15 - 25 tahun, sedangkan pada
wanita adalah pada usia 25 - 35 tahun. Insidensi skizofrenia pada pria sedikit
lebih besar dibandingkan pada wanita. Insiden pada wanita lebih tinggi setelah
usia 30 tahun. Rata-rata usia onset adalah 18 tahun pada pria, dan 25 tahun pada
wanita. Onset skizofrenia cukup langka pada usia di bawah 10 tahun, atau pada
usia lebih dari 40 tahun. Terdapat insidensi skizofrenia yang lebih besar di daerah
urban dibandingkan rural. Derajat keparahan skizofrenia lebih besar di negara
maju, dibandingkan negara sedang berkembang (Stan et al, 2009).
c. Gejala klinis Skizofrenia
Gejala klinis skizofrenia sangat bervariasi antar individu dan bahkan pada
individu yang sama pada fase penyakit yang berbeda. Menurut penelitian,
psikopatologi pada skizofrenia dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu gejala
positif, gejala negatif, dan disorganisasi. Gejala positif meliputi halusinasi,
waham, gaduh gelisah, dan perilaku aneh atau bermusuhan. Gejala negatif
meliputi afek tumpul/ datar, menarik diri, motivasi turun, kontak sosial yang
miskin (pendiam, sulit diajak bicara), pasif, apatis dan sulit berpikir abstrak.
Gejala disorganisasi meliputi disorganisasi pembicaraan, disorganisasi tingkah
laku, gangguan pemusatan perhatian, dan gangguan pengolahan informasi
(Sinaga, 2007).
Dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders IV – Text
Revision
(DSM
IV-TR),
disebutkan
bahwa
gejala
negatif
skizofrenia
bermanifestasi sebagai pendataran afek, alogia, dan anhedonia. Sedangkan gejala
kognitif skizofrenia biasanya melibatkan gangguan pada fungsi eksekutif,
gangguan memori kerja, dan ketidakmampuan untuk mempertahankan perhatian.
Secara keseluruhan skizofrenia ditandai dengan disfungsi perilaku dan kognitif
yang luas dan mengganggu proses persepsi dan penilaian.
9
Terdapat klasifikasi pada gejala negatif yaitu gejala negatif primer dan
gejala negatif sekunder. Disebut sebagai gejala negatif primer apabila gejala
tersebut telah menjadi gambaran utama gangguan skizofrenia. Sedangkan gejala
negatif sekunder bersifat sementara dan sering kali disebabkan oleh episode akut
psikotik dan pemberian antipsikotik (Möller, 2007).
Gejala negatif dan kognitif skizofrenia pada saat ini lebih mendapat
perhatian, karena obat antipsikotik yang tersedia saat ini memiliki efikasi klinis
yang terbatas dalam memperbaiki disfungsi gejala ini (Bowie & Harvey, 2006).
Seperti halnya gejala negatif primer, gejala kognitif pada skizofrenia seringkali
menjadi gambaran utama pada gangguan ini dan menjadi kontributor penting
terjadinya gangguan fungsi. Gejala negatif primer dan gejala kognitif sering kali
mendahului onset full-blown episode psikotik dan terus bertahan mengikuti efek
terapi farmakologi pada fase psikotik akut (Möller, 2007).
d. Diagnosis
Gangguan skizofrenia ditandai secara fundamental dan karakteristik umum
dengan distorsi pemikiran dan persepsi, serta afek tumpul. Kesadaran dan
kapasitas intelektual biasanya masih bertahan, meskipun defisit kognitif tertentu
dapat berkembang dengan berjalannya waktu. Gangguan ini melibatkan fungsi
yang paling mendasar yang memberikan orang normal perasaan individualitas,
keunikan, dan pengarahan diri sendiri (Miyamoto et al., 2005). Adapun pedoman
diagnostic yang digunakan adalah sesuai dengan Pedoman Penggolongan dan
Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III (PPDGJ-III).
e. Penatalaksanaan
1) Terapi obat
Obat-obat utama yang digunakan dalam penatalaksanaan skizofrenia
disebut antipsikotik. Pada dasarnya semua obat antipsikosik mempunyai efek
primer (efek klinis) yang sama pada dosis ekuivalen. Perbedaan utama terdapat
pada efek sekunder (efek samping: sedasi, otonomik, ekstrapiramidal). Pemilihan
10
jenis anti psikosis mempertimbangkan gejala psikosis yang dominan dan efek
samping obat (Luana, 2007).
Obat antipsikotik dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu anti psikotik
generasi pertama (APG I) dan anti psikotik generasi ke dua (APG ll). APG I
bekerja dengan cara memblokade reseptor D2 di mesolimbik, mesokortikal,
nigostriatal dan tuberoin fundibular. Obat golongan ini mempunyai kemampuan
menurunkan gejala positif yang lebih cepat. Namun demikian, pemakaian APG I
dalam jangka waktu lama dapat memberikan efek samping berupa: gangguan
ekstrapiramidal, tardive dyskinesia, peningkatan kadar prolaktin yang akan
menyebabkan disfungsi seksual, peningkatan berat badan dan memperberat gejala
negatif maupun kognitif.
APG II sering disebut sebagai serotonin dopamin antagonis (SDA) atau anti
psikotik atipikal. APG II bekerja melalui interaksi serotonin dan dopamin pada ke
empat jalur dopamin di otak yang menyebabkan rendahnya efek samping
extrapiramidal dan sangat efektif mengatasi gejala negatif. Obat yang tersedia
untuk golongan ini adalah clozapine, olanzapine, quetiapine dan rispendon,
(Luana, 2007).
APG II mempunyai efek samping terhadap sistem extrapiramidal yang
lebih rendah dan relative lebih efektif mengatasi gejala negatif dibandingkan
dengan APG I (Stahl, 2008).
Menurut Polypharmacy Guidance (2015), pemberian obat adalah salah satu
cara yang paling umum dalam intervensi medis pada berbagai gangguan akut dan
kronis. Terapi obat dapat menjadi sangat efektif dalam mencegah penyakit atau
menghambat progresifitas penyakit apabila digunakan sesuai dengan pedoman
rekomendasi pengobatan yang berdasar evidence base. Namun, sering kali
terdapat ketidaksesuaian antara pedoman terapi yang ada dengan berbagai kondisi
klinis yang dialami oleh individu. Pada pasien yang mengalami beberapa
gangguan, kelemahan, atau pada pasien dengan kondisi tertentu (misalnya
demensia), dan pada pasien stadium akhir suatu penyakit, penggunaan
rekomendasi terapi mungkin menjadi tidak rasional, karena akan meningkatkan
resiko kejadian efek samping dan tidak sesuai dengan kebutuhan pasien.
11
Istilah polifarmasi mempunyai arti penggunaan beberapa obat dalam hal ini
pemberian lima macam obat atau lebih pada pasien. Yang perlu dicatat adalah
polifarmasi tidak selalu merupakan hal yang buruk. Polifarmasi dapat menjadi
rasional dan diperlukan. Oleh karena itu penting untuk membedakan polifarmasi
yang sesuai dan polifarmasi yang tidak sesuai.
Polifarmasi menjadi tidak sesuai ketika memberikan obat, sedangkan obat
tersebut tidak diperlu diberikan atau telah mencukupi karena:
- tidak ada indikasi
- obat tersebut tidak mencapai target terapi
- obat yang diberikan menyebabkan reaksi yang merugikan atau menempatkan
pasien pada risiko yang lebih tinggi
- pasien tidak bersedia atau tidak mampu mendapatkan obat yang dimaksud
Sedangkan polifarmasi dikatakan sesuai apabila :
- semua obat yang diresepkan untuk mencapai tujuan terapi dan telah disepakati
dengan pasien
- tujuan terapi yang diharapkan adalah beralasan dan akan dapat dicapai
- pemberian obat telah dioptimalkan untuk meminimalkan risiko reaksi efek
samping
- pasien termotivasi dan mampu mendapatkan semua obat yang dimaksud.
Menggabungkan beberapa obat antipsikotik dapat mengacaukan evaluasi
kemanjuran obat yang digunakan. Namun demikian pada kenyataannya
pemakaian kombinasi antipsikotik telah banyak dilakukan dengan berbagai
pertimbangan yang menguntungkan (Katzung et al. 2007). Pada unit rawat inap
RSJD dr. ARIF ZAINUDIN Surakarta, pemberian antipsikotik kombinasi sering
dilakukan, terutama kombinasi antara antipsikotik tipikal dan risperidon.
Terdapat berbagai pertimbangan dilakukannya penggunaan antipsikotik
kombinasi tipikal-risperidon di RSJD dr. ARIF ZAINUDIN Surakarta.
- Untuk mencegah/ mengurangi efek samping Extra Pyramidal Syndrome
- Untuk mengatasi simptom negatif dan memperbaiki kognitif
- Pertimbangan faktor ekonomi, karena sebagian besar pasien menggunakan
fasilitas BPJS
12
2) Terapi psikososial dan rehabilitasi
Meskipun hampir selalu diperlukan pemberian obat antipsikotik dalam
penatalaksanaan pasien skizofrenia, namun biasanya hal tersebut belum cukup.
Pasien skizofrenia juga membutuhkan bantuan dan dukungan untuk mengatasi
isolasi sosial, ketakutan dan stigma. Para ahli berpendapat bahwa pengobatan
psikososial dan layanan rehabilitasi akan memberikan manfaat pada tahap
pemulihan (Frances et al., 1996).
3) Terapi elektrokonvulsi
Terapi elektrokonvulsi (ECT) telah digunakan untuk mengobati pasien
skizofrenia sejak tahun 1938 oleh Cerletti dan Bini. Perkembangan pada terapi
farmakologis yang efektif pada pengobatan skizofrenia dan gangguan mood,
menyebabkan penurunan tajam dalam penggunaan ECT (Chanpattana, 2007).
2. Proses Inflamasi Pada Skizofrenia
Paparan lingkungan maternal yang merugikan selama periode kehamilan
akan mengganggu pembentukan sistem kekebalan yang normal pada janin. Hal ini
akan menciptakan kerentanan laten dalam sistem kekebalan tubuh yang membuat
seseorang lebih rentan terhadap penyakit dan lebih mudah mengalami infeksi
dikemudian hari. Selain itu akan terjadi disregulasi sistem kekebalan, yang
berpengaruh pada sistem saraf pusat.
Kerentanan laten pada sistem kekebalan tubuh tidak selalu menjadi manifes
sampai masa pubertas. Pada masa pubertas terjadi perubahan besar dalam sistem
kekebalan dan berkurangnya volume kelenjar timus, yang akan menimbulkan
suatu kerentanan. Ketika kerentanan ini muncul, individu akan menjadi lebih
rentan terhadap infeksi dan gangguan fungsi kekebalan yang berkontribusi pada
onset skizofrenia. Hal ini dapat membantu menjelaskan mengapa onset
skizofrenia biasanya terjadi setelah masa pubertas. Pada saat itu, kelenjar timus
mulai mengalami penurunan volume sampai sebesar 20% (Steinmann & Muller,
1995).
13
Demikian juga halnya pada infeksi pra-perinatal, dimana efek dari kejadian
tersebut mungkin tidak muncul sampai masa pubertas. Infeksi sistem saraf pusat
yang diperoleh selama dalam kandungan atau masa kanak-kanak dapat tetap
dormant untuk waktu yang lama dan kemudian dapat menjadi aktif kembali ketika
system kekebalan tubuh melemah. Terdapat beberapa bukti yang menunjukkan
bahwa hal ini juga terjadi pada pasien skizofrenia. Beberapa agen infeksi yang
berkaitan dengan skizofrenia dormant untuk waktu yang lama di jaringan otak.
Agen infeksi yang dimiliki oleh pasien skizofrenia cenderung menjadi dormant
dalam waktu yang sangat lama, dan dapat bangkit kembali bila terjadi imun
compromise (Torrey & Yolken, 2003).
Disfungsi sistem kekebalan, paparan infeksi dan aktifasi sistem kekebalan
pada
awal
kehidupan
dapat
menginduksi
terjadinya
sensitisasi
atau
preconditioning effects. Paparan imunologis pada awal kehidupan (prenatal atau
neonatal) dapat menyebabkan reaksi eksaserbasi yang menurunkan kondisi
imunologis atau non-imunologis di kemudian hari. Infeksi atau aktifasi kekebalan
pada awal kehidupan tidak hanya mengganggu pembentukan sistem kekebalan,
tetapi juga meningkatkan risiko terjadinya skizofrenia dan gangguan psikotik
terkait di kemudian hari (Brown, 2006).
Pasien Skizofrenia memiliki tingkat paparan dan kerentanan yang lebih
tinggi terhadap infeksi dan gangguan sistem kekebalan. Paparan ini terjadi
sebelum onset skizofrenia, dan dimulai sejak pasien belum lahir (Torrey &
Yolken, 2003). Pasien skizofrenia cenderung lebih rentan terhadap infeksi, dan
ketika mengalami infeksi akan mengalami gejala yang lebih berat. Beberapa
penelitian menemukan kematian karena penyakit menular secara signifikan lebih
tinggi pada pasien skizofrenia dibandingkan populasi umum. Sebuah metaanalisis menemukan bahwa risiko kematian karena penyakit menular adalah 9,4
kali lebih tinggi pada pasien skizofrenia dibandingkan populasi umum. Pasien
skizofrenia tidak hanya lebih rentan terhadap infeksi neurotropik, tetapi juga
cenderung menderita infeksi tersebut lebih parah, termasuk kemungkinan reaksi
auto-immune (Harris & Barraclough, 1998).
14
Salah satu hipotesis tentang skizofrenia menyatakan bahwa terjadinya
infeksi dan peradangan yang mengganggu proses neuro-developmental janin,
dapat menyebabkan perubahan perkembangan otak dan perilaku yang permanen,
sehingga meningkatkan risiko gangguan psikotik di masa dewasa (Gilmore &
Jarskog, 1997).
Dari hasil penelitian microarray menunjukkan bahwa sebagian besar pasien
skizofrenia mengalami perubahan sistem kekebalan atau perubahan gen kekebalan
pada prefrontal kortek yang mencerminkan konsekuensi jangka panjang dari
paparan infeksi dan gangguan sistem kekebalan pada awal kehidupan (Arion et
al., 2007).
Patofisiologi skizofrenia melibatkan ketidakseimbangan neurokimia dalam
berbagai sistem neurotransmiter. Perubahan pada sistem dopamin sentral (DA)
pada awalnya didasari oleh bukti bahwa efek terapi antipsikotik adalah dengan
memblokir reseptor DA, terutama reseptor D2. Sedangkan stimulasi DA dapat
menginduksi perilaku psikotik pada manusia non-psikotik dan menyebabkan
eksaserbasi gejala positif pada pasien skizofrenia (Carlsson et al., 2001).
Perubahan pada fungsi kekebalan juga mempunyai peran penting dalam
patofisiologi skizofrenia (DeLisi & Wyatt, 1982). Perubahan sistem kekebalan
pada skizofrenia berhubungan dengan proses aktifasi peradangan (Fan et al.,
2007). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa suatu abnormalitas sistem
kekebalan berperan dalam disregulasi sitokin pro-inflamasi pada skizofrenia
(Brown, 2006).
Munculnya gejala positif dipengaruhi oleh peningkatan aktivitas dopamin.
Jaras dopaminergik yang diperkirakan berperan dalam munculnya gejala positif
ialah jaras mesokortikal dan mesolimbik. Neuron dopaminergik pada jaras ini
diproyeksikan dari badan selnya di midbrain ke neuron dopaminoseptif pada
sistem limbik dan korteks serebri. Pelepasan berlebihan dopamin berpengaruh
pada keparahan gejala positif skizofrenia.
Selain dopamin, serotonin (5-HT; 5-hydroxytryptamine) diperkirakan juga
berperan dalam munculnya gejala positif pada skizofrenia. Peningkatan aktivitas
15
dopaminergik dan serotonergik diperkiran berperan dalam munculnya gejala
positif (Roth & Meltzer, 2000).
a. Efek Imunomodulator obat antipsikotik dan strategi terapi anti-inflamasi
pada pasien skizofrenia
Beberapa obat antipsikotik diketahui memiliki efek modulasi pada fungsi
kekebalan tubuh, khususnya pada sitokin perifer. Berbagai bukti menunjukkan
bahwa pengobatan dengan antipsikotik jangka panjang berpotensi meningkatkan
aktivitas anti-inflamasi dan berkurangnya marker
pro-inflamasi (Kim et al.,
2009).
Antipsikotik atipikal seperti clozapin memiliki efek meningkatkan sinyal
sitokin anti-inflamasi yang lebih besar dibandingkan dengan antipsikotik generasi
pertama. Kemampuan relatif antipsikotik untuk menormalkan perubahan sistem
kekebalan pro-inflamasi mejadi faktor penting yang menentukan kemanjuran
antipsikotik pada pengobatan skizofrenia (Müller & Schwarz, 2008, 2010).
Sampai saat ini, pengobatan yang efektif untuk skizofrenia masih terbatas
pada obat anti dopaminergik. Masih kurangnya pilihan pengobatan dengan
mekanisme kerja yang berbeda, sebagian besar disebabkan oleh karena
patofisiologi skizofrenia yang sampai saat ini belum diketahui dengan pasti,
gambaran klinis yang beragam, serta tidak adanya biomarker untuk diagnosis dan
observasi terhadap respon pengobatan. Selain itu, antipsikotik mempunyai potensi
yang lebih besar pada perbaikan gejala positif, dan kurang berpotensi pada
perbaikan gejala negatif dan kognitif (Leutch et al., 2009).
Sekitar 30% pasien skizofrenia resiten terhadap APG I dan bahkan terhadap
clozapine, yang merupakan antipsikotik pilihan dalam pengobatan pasien
skizofrenia resisten obat (Asenjo et al., 2010). Dengan demikian sangat
dibutuhkan suatu cara yang lebih efektif untuk mengobati gejala positif, gejala
negatif, serta disfungsi kognitif dengan target selain jalur sistem dopamine
(Correll, 2011).
16
b. Strategi pengobatan dengan anti-inflamasi
Mengingat keterlibatan proses inflamasi yang sangat besar pada skizofrenia,
penggunaan senyawa anti-inflamasi dalam farmakoterapi skizofrenia semakin
mendapat perhatian. Para ahli telah melakukan berbagai penelitian, diantaranya
adalah penelitian tentang penambahan/ adjuvant anti-inflamasi pada pasien
skizofrenia yang mendapat terapi antipsikotik standar.
Diantaranya adalah penelitian dengan menggunakan penambahan antiinflamasi non-steroid (NSAID), termasuk COX-1/2 inhibitor, asam asetilsalisilat
dan selektif COX-2 inhibitor celecoxib pada terapi standar skizofrenia. Penelitian
tersebut memberikan hasil yang menjanjikan dan menunjukkan efek pengobatan
yang lebih menguntungkan pada saat terapi standar antipsikotik diberikan
bersamaan dengan senyawa anti-inflamasi, bila dibandingkan dengan hasil
pengobatan menggunakan antipsikotik saja (Laan et al., 2010).
c. Anti-inflamasi dan perbaikan gejala positif, negative, dan kognitif
Beberapa penelitian menunjukan bahwa selain berpotensi mengurangi
gejala positif, penambahan anti-inflamasi pada terapi skizofrenia juga efektif
dalam memperbaiki gejala negatif dan kognitif (Laan et al., 2010).
Terapi tambahan anti-inflamasi COX-2 inhibitor pada pasien skizofrenia
menjadi bukti efisiensi terapi tambahan anti-inflamasi pada pengobatan gejala
skizofrenia, termasuk gejala negatif dan kognitif. Uji klinis pada pasien
eksaserbasi akut skizofrenia dengan pemberian terapi tambahan COX-2 inhibitor
celecoxib bersamaan dengan terapi antipsikotik atipikal risperidon terbukti lebih
unggul dibandingkan dengan pengobatan menggunakan antipsikotik risperidon
saja dalam memperbaiki skor PANSS total (Müller et al., 2002).
Penambahan anti-inflamasi COX-2 inhibitor dilaporkan memberikan efek
menguntungkan pada perbaikan gejala kognitif (Müller et al., 2005). Temuan ini
menunjukkan bahwa terapi tambahan anti-inflamasi, memiliki efek yang
menguntungkan pada perbaikan gejala negatif dan gejala kognitif pasien
skizofrenia.
17
3. Meloxicam
Meloxicam adalah suatu obat golongan NSAID yang bersifat COX-1/2
inhibitor. Meloxicam memiliki sifat menghambat COX-2 yang lebih kuat
dibandingkan penghambatan pada COX-1. Penyerapan meloxicam relatif lambat,
dan mempunyai waktu paruh sampai 20 jam, dan dikonversi menjadi metabolit
yang tidak aktif. Kemanjuran meloxicam sebanding dengan NSAID yang lain.
Efek samping penggunaan meloxicam 7.5 mg/ hari memiliki efek samping yang
lebih rendah dibandingkan dengan penggunaan dosis yang lebih besar.
Penggunaan meloxicam 7.5-15 mg/ hari memiliki efek samping ulserogenik yang
lebih rendah dibandingkan dengan penggunaan NSAID yang lain (Katzung,
2009).
Meloxicam mempunyai berat molekul 351.4, bersifat tidak mudah larut
dalam air, dengan kelarutan yang lebih baik pada suasana asam dan basa.
Meloxicam memiliki koefisien partisi (log P) app = 0,1 pada n-oktanol/
penyangga pH 7,4. Meloxicam memiliki nilai pKa 1.1 dan 4.2.
Bioavailabilitas absolut kapsul meloxicam adalah 89%. Pada pemakaian
secara intravena, dosis proporsional farmakokinetik pada kisaran 5 – 60 mg.
Sedangkan pada penggunaan oral dosis proporsional farmakokinetik kapsul
meloxicam pada kisaran 7,5 – 15 mg. Kadar maksimal dicapai 4 – 5 jam setelah
mengkonsumsi meloxicam. Konsentrasi steady state dicapai pada hari kelima.
Konsumsi kapsul meloxicam bersamaan dengan makanan tinggi lemak (75
g lemak) mengakibatkan peningkatan kadar obat puncak rata-rata (Cmax) sekitar
22% dan tidak berpengaruh pada tingkat absorpsi. Waktu yang dibutuhkan untuk
mencapai konsentrasi maksimum (Tmax) adalah antara 5 – 6 jam. Pada
pemakaian meloxicam bersamaan dengan pemberian antasida, nilai absorbsi
maupun Cmax yang sama seperti pada pemberian bersamaan dengan makanan
tinggi lemak, namun nilai rata-rata Tmax meningkat menjadi sekitar 7 jam.
Berdasarkan
hasil
tersebut,
tablet
meloxicam
dapat
diberikan
tanpa
memperhatikan waktu pemberian atau pemberian bersamaan dengan antasida
(Wilmana & Gan, 2012).
18
4. Instrumen The Positive And Negative Symptom Scale (PANSS)
Skala penilaian terhadap gejala positif dan negatif pada skizofrenia bermula
dari dijumpainya heterogenitas hasil penelitian yang tidak konsisten, yang diduga
disebabkan oleh karena metode pengukuran yang kurang dapat dipercaya
(Kusumawardhani, 1994).
Berbagai instrumen dan kuesioner dikembangkan untuk memeriksa kedua
macam tipe skizofrenia berdasarkan gejala yang mendominasinya, antara lain The
Positive And Negative Symptom Scale (PANSS). PANSS pertama kali disusun
oleh Stanley Kay, Lewis Opler, dan Abraham Fizsbein pada tahun 1987 yang di
susun berdasarkan instrumen Brief Psychiatric Rating Scale (BPRS) dan
Psychopathology Rating Scale yang sudah ada sebelumnya.
Untuk dapat dipakai pada pasien skizofrenia di Indonesia, telah dilakukan uji
reliabilitas, validasi, dan sensitivitas oleh A. Kusumawardani dan tim dari FKUI
pada tahun 1994.
PANSS terdiri dari 33 butir pertanyaan yang masing-masing dinilai dalam 7
skala poin. Tujuh butir dikelompokkan dalam skala positif, tujuh butir dalam
skala negatif, enam belas butir dalam skala psikopatologi umum, dan tiga butir
skala untuk menilai resiko agresi.
a. Skor PANSS
Masing-masing item dinilai sebagai berikut :
1 = tidak ada
2 = minimal
3 = ringan
4 = sedang
5 = agak berat
6 = berat
7 = sangat berat
19
b. Persentase perubahan total Skor PANSS
Untuk mengetahui adanya manfaat terapi yang diberikan, dilakukan
pengukuran sebelum dan sesudah terapi dilakukan. Presentase perubahan total
skor PANSS dianggap mempunyai makna klinis apabila memenuhi kriteria
berikut :
-
Minimal improved
: penurunan skor ± 19% - 28%
-
Much improved
: penurunan skor ± 40% - 53%
-
Very much improved : penurunan skor ± 71% - 83%
Selain itu, penilaian perbaikan klinis dapat diketahui dari perubahan skor PANSS
total (Nurmiati, 2008).
5. Instrumen Schizophrenia Cognition Rating Scale (SCoRS)
Pasien skizofrenia mengalami gangguan perhatian, memori, dan fungsi
eksekutif, yang berhubungan dengan konsekuensi psikososial. Gangguan fungsi
kognitif berpengaruh terhadap fungsi kerja dan fungsi sehari-hari seperti
intelegensi, perencanaan, proses belajar, dan pemecahan masalah. Semakin besar
disfungsi kognitif, semakin kecil kemungkinan seorang pasien skizofrenia
mendapatkan pekerjaan atau memainkan peran sosialnya.
Schizophrenia Cognition Rating Scale (SCoRS) adalah suatu intrumen
untuk mengukur fungsi kognitif pada pasien skizofrenia. Instrumen ini memiliki
susunan yang singkat, jumlah pertanyaan yang tidak terlalu banyak, ada dua
sumber informasi yang bisa digali yaitu dari pasien dan informan, menilai fungsi
kognitif secara lengkap, ada penilaian fungsi global dan sudah pernah dilakukan
uji validitas internal maupun external oleh Keefe, et al..
Untuk penggunaan SCoRS di Indonesia, telah dilakukan validasi SCoRS
oleh Herdaetha et al., pada tahun 2008, dengan hasil validitas Schizophrenia
Cognition Rating Scale versi Indonesia (SCoRSvI) memiliki reliabilitas interrater
(Kappa) sebesar 0,92, yang menunjukkan bahwa reliabilitas interrater SCoRSvI
sangat baik. Nilai reliabilitas (Cronbach’s Alpha) sebesar 0,976, yang
menunjukkan bahwa instrumen SCoRSvI tersebut sangat reliabel. Selain itu,
memiliki nilai yang tinggi pada sensitivitas sebesar 92,8 % dan spesifisitas sebesar
20
93,7 %. Hal ini menunjukkan bahwa instumen SCoRSvI dapat mengukur fungsi
kognitif pasien skizofrenia yang “sebenarnya”.
B. KERANGKA PIKIR
sitokin pro-inflamasi ↑↑ → indoleamin
2,3-dioksigenase (IDO) ↑↑ → degradasi
triptofan → kynurenine ↑↑ →
bioavailabilitas sintesa triptofan menjadi
serotonin ↓↓ → defisiensi serotonin →
gejala negative ↑↑
-
Infeksi maternal
Faktor genetik
Stress
dll
(Müller & Schwarz, 2010)
SKIZOFRENIA
Anti-inflamasi
-
Perbaikan gejala
positif, negatif dan
kognitif
Sistem imun tidak berkembang
dengan baik
Rentan terhadap infeksi dan
penyakit autoimun
Penanda infeksi ↑↑
-
Gejala positif
Gejala negatif
Gejala kognitif
C. Hipotesis
Pemberian terapi tambahan anti-inflamasi meloxicam pada pasien skizofrenia
kronis efektif dalam memperbaiki skor PANSS dan SCoRS.
21
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kuasi eksperimental dengan rancangan
randomized controlled trial group, double-blind, pre-post test design.
B. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di unit rawat inap RSJD dr. ARIF ZAINUDIN
Surakarta pada bulan November 2015 – Januari 2016.
C. Subjek Penelitian
Subjek penelitian adalah pasien skizofrenia kronis yang menjalani rawat
inap di RSJD dr. ARIF ZAINUDIN Surakarta pada bulan November 2015 –
Januari 2016 dan memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.
D. Tehnik Pengambilan Sampel
Tehnik pengambilan sampel dalam peneltian ini adalah menggunakan tehnik
purposive sampling, yang berarti bahwa subjek dipilih berdasarkan kriteria yang
telah ditentukan dan dibagi secara acak ke dalam kelompok perlakuan dan
kelompok kontrol (Sudigdo, 2014).
Adapun kriteria inklusi dan eksklusi pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
-
1. Kriteria inklusi
Pasien skizofrenia yang menjalani rawat inap di unit rawat inap RSJD dr.
ARIF ZAINUDIN Surakarta pada bulan November 2015 – Januari 2015.
-
Pasien telah mengalami gangguan skizofrenia selama lebih dari 2 tahun.
-
Pasien mendapat pengobatan dengan antipsikotik kombinasi risperidon –
chlorpromazine.
-
Berusia 25-55 tahun.
-
Bersedia mengikuti penelitian dan menandatangani surat persetujuan.
22
2. Kriteria eksklusi :
-
Pasien skizofrenia yang mengalami agitasi.
-
Terdapat riwayat gangguan lambung yang berat.
-
Terdapat riwayat penyakit jantung dan penyakit berat lainnya.
E. Besar Sampel
Penentuan besar sampel pada penelitian ini berdasar pada penentuan ukuran
sampel untuk analisis bivariat. Analisis bivariat adalah analisis yang melibatkan
sebuah variabel bebas dan variabel terikat. Penelitian dengan analisis data bivariat
mempunyai rule of thumb besar sampel minimal sebanyak 30 subjek penelitian
(Murti, 2010). Berdasar pada hal tersebut maka pada penelitian menggunakan
besar sampel 30 subjek penelitian dalam kelompok perlakuan dan 30 subjek
penelitian pada kelompok kontrol.
F. Identifikasi Variabel
1. Variabel bebas : anti-inflamasi meloxicam
2. Variabel terikat : skor PANNS dan SCoRS
G. Definisi Operasional Variabel Penelitian
1. Skizofrenia kronik : pasien dengan diagnosa skizofrenia dan telah
mengalami gangguan tersebut selama lebih dari 2 tahun.
2. Antipsikotik kombinasi : dalam penelitian ini ditentukan penggunaan
antipsikotik kombinasi risperidon – chlorpromazine.
3. Anti-inflamasi : digunakan meloxicam 7.5 mg dengan pemberian sekali
sehari pada pagi hari selama empat minggu.
4. Skor PANSS : pada penelitian ini dilakukan penilaian pada skor PANSS
pre dan post-tes.
5. Skor SCoRS : pada penelitian ini dilakukan penilaian pada skor SCoRS
pre dan post-tes.
23
H. Instrumen Penelitian
1. Informed consent
2. Data identitas subjek penelitian
3. Lembar penilaian PANSS
4. Lembar penilaian SCoRS
I. Prosedur Penelitian
1. Pasien skizofrenia yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dimotivasi
untuk mengikuti penelitian dan menandatangani persetujuan penelitian.
2. Pada rekam medik pasien yang menjadi subjek penelitian diberikan kode
berupa stiker dengan tulisan P (penelitian) oleh dokter penanggung jawab
ruangan.
3. Dilakukan penilaian skor PANSS dan SCoRS pre-tes pada seluruh subjek
penelitian.
4. Dilakukan pemberian terapi tambahan meloxicam 7.5 mg/ hari selama 4
minggu pada pasien yang masuk dalam kelompok perlakuan. Pada
kelompok kontrol dilakukan pemberian tambahan placebo. Penentuan
kelompok perlakuan dan keompok kontrol dilakukan oleh dokter
penanggung jawab ruangan.
5. Dilakukan observasi terhadap efek samping obat. Observasi berupa
pengamatan terhadap terjadinya keluhan gastro intestinal terhadap subjek
penelitian.
6. Dilakukan penilaian skor PANSS dan SCoRS post-tes 4 minggu
kemudian, setelah pemberian meloxicam yang terakhir. Pengukuran
dilakukan secara blind oleh peneliti dan residen psikiatri lain yang telah
menjalani interatter dengan psikiater.
7. Dilakukan analisa hasil secara statistik.
24
J. Alur Penelitian
Pasien skizofrenia kronis yang
menjalani rawat inap di RSJD
dr. ARIF ZAINUDIN Surakarta
Memenuhi kriteria inklusi
- kode P (penelitian) pada rekam medis
Kelompok perlakuan
Kelompok kontrol
Penilaian skor PANSS –
SCoRS pre-test
Penilaian skor PANSS –
SCoRS pre-test
Terapi standar
+ placebo
Terapi standar + pemberian
tambahan anti-inflamasi meloxicam
7.5 mg/ hari
Penilaian skor PANSS dan SCoRS post-tes
Analisis data
K. Teknik Analisis Data
Data yang terkumpul diolah dan dianalisa dengan uji t dengan
menggunakan program SPSS.
25
BAB IV
HASIL PENELITIAN
Telah dilakukan penelitian untuk mengetahui keefektifan pemberian terapi
tambahan meloxicam dalam memperbaiki skor PANSS dan SCoRS pada pasien
skizofrenia kronis yang mendapat terapi kombinasi riperidon-chlorpromazine di
unit rawat inap RSJD dr. ARIF ZAINUDIN Surakarta, pada bulan November
2015 hingga bulan Januari 2016.
Besar sampel pada penelitian ini adalah sebanyak 60 subjek, yang telah
memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Kemudian dari seluruh jumlah tersebut,
secara acak dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok perlakuan sebanyak 30
subjek penelitian dan kelompok kontrol sebanyak 30 subjek penelitian.
Subjek pada kelompok perlakuan mendapat penambahan terapi meloxicam
7.5 mg/ hari selama 4 minggu, selain terapi antipsikotik kombinasi risperidonchlorpromazin. Sedangkan subjek pada kelompok kontrol mendapat terapi
antipsikotik kombinasi riperidon-chlorpromazine dan placebo.
Data subjek penelitian diperoleh dari rekam medis dan dari hasil penilaian
skor PANSS dan SCoRS pre dan post-tes. Setelah semua data penelitian
terkumpul, selanjutnya dilakukan analisis data menggunakan program SPSS. Dari
penelitian yang dilakukan diperoleh data tentang karakteristik demografi subjek
penelitian dan penilaian skor PANSS dan SCoRS pre dan post test. Data yang
diproleh disajikan dalam bentuk tabel dan grafik.
A. Tabel 4.1. Karateristik Demografi Subjek Penelitian
Variabel
Jenis Kelamin**
Laki-laki
Perempuan
Umur (th)*
Pendidikan**
Kelompok
Eksperimen
Kontrol
n=30
n=30
15 (50,0%)
15 (50,0%)
35 (25-55)
15 (50,0%)
15 (50,0%)
32 (25-53)
26
p
1,00
0,11
0,62
Tidak Sekolah
SD
SMP
SMA/SMK
PT
Status**
Duda/janda
Kawin
Tidak Kawin
2 (6.7%)
10 (33.3%)
7 (23.3%)
9 (30.0%)
3 (10.0%)
11 (36.7%)
4 (13.3%)
7 (23.3%)
5 (16.7%)
2 (6.7%)
1 (3.3%)
3 (10.0%)
26 (86.7%)
0 (0,0%)
2 (6.7%)
28 (93.3%)
0,52
Keterangan : * Data Numerik Tidak Berdistribusi Normal; median (min-max); Uji Mann Whitney
** Data Kategorik; Jumlah (Prosentase); Uji Chi Square
Berdasarkan tabel 4.1., karakteristik demografik kedua kelompok dilakukan
uji komparatif. Dengan uji tersebut didapatkan hasil tidak ada perbedaan yang
bermakna antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol pada jenis kelamin
(p=1,00), pendidikan (p=0,62), dan status perkawinan (p=0,52). Sedangkan
menurut umur, terdapat distribusi data yang tidak normal. Oleh karena itu
kemudian dilakukan uji normalitas data dengan uji Mann Whitney. Uji ini
dilakukan agar supaya data yang didapat memenuhi syarat untuk dilakukan uji
statistik selanjutnya.
B. Hasil Penilaian Skor PANSS
Tabel 4.2. Skor PANSS Pre-tes
Variabel
PANSS Gejala Positif*
PANSS Gejala Negatif**
PANSS Psikopatologi Umum**
PANSS Total*
Kelompok
Perlakuan
Kontrol
n=30
n=30
32.60 + 4.74
33.33 + 3.47
32 (22-45)
35 (20-45)
59 (35-96)
59 (48-72)
123.70 + 11.95
125.20 + 10.68
Ket : * Data Numerik Berdistribusi Normal; Mean + SD; Uji Independent Sample T Test
** Data Numerik Tidak Berdistribusi Normal; Median (min-max), Uji Mann Whitney
Tabel 4.2. menyajikan data skor skala PANSS pre-tes kelompok perlakuan dan
kelompok kontrol.
27
Tabel 4.3. Uji Beda Skor Skala PANSS Pre-tes Kelompok Perlakuan dan
Kelompok Kontrol
Variabel
PANSS Gejala Positif*
PANSS Gejala Negatif**
PANSS Psikopatologi
Umum**
PANSS Total*
Kelompok
Perlakuan
Kontrol
n=30
n=30
32.60 + 4.74
33.33 + 3.47
32 (22-45)
35 (20-45)
p
0,49
0,76
59 (35-96)
59 (48-72)
0,73
123.70 + 11.95
125.20 + 10.68
0,61
Ket : * Data Numerik Berdistribusi Normal; Mean + SD; Uji Independent Sample T Test
** Data Numerik Tidak Berdistribusi Normal; Median (min-max), Uji Mann Whitney
Tabel 4.3. menyajikan data uji beda skor PANSS pre-tes tiap-tiap skala
pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol. Dari hasil perhitungan statistik
yang dilakukan didapatkan hasil uji beda kedua kelompok pada skor PANSS
positif (p=0,49), skor PANSS negatif (p=0,76), skor PANSS psikopatologi umum
(p=0,73), dan pada skor PANSS total (p=0,61).
Dari hasil tersebut dapat dikatakan bahwa tidak terdapat perbedaan yang
bermakna pada skor PANSS pre-test kelompok perlakuan dan kelompok kontrol.
Pada kedua kelompok memiliki data PANSS awal yang setara. Terdapat
keseimbangan awal skor PANSS pada kelompok perlakuan dan kelompok
kontrol.
Grafik 4.3.1. Uji Beda Skor PANSS Positif Pre-tes Kelompok Perlakuan dan
Kelompok Kontrol
Dari grafik 4.3.1. dapat dilihat skor PANSS Gejala Positif kelompok
perlakuan (32.60± 4.74) dan kelompok kontrol (33.33±3.47), nilai p=0,49. Dapat
dikatakan tidak terdapat perbedaan yang bermakna pada skor PANSS Positif pretes pada kedua kelompok.
28
Grafik 4.3.2. Uji Beda Skor PANSS Negatif Pre-tes Kelompok Perlakuan dan
Kelompok Kontrol
Dari grafik 4.3.2. dapat dilihat skor PANSS Gejala Negatif kelompok
perlakuan 32(22-45) dan kelompok kontrol 35(20-45), nilai p=0,76. Dapat
dikatakan tidak terdapat perbedaan yang bermakna pada skor PANSS Negatif pretes pada kedua kelompok.
Grafik 4.3.3. Uji Beda Skor PANSS Psikopatologi Umum Pre-tes Kelompok
Perlakuan dan Kelompok Kontrol
Dari grafik 4.3.3. dapat dilihat skor PANSS Psikopatologi Umum kelompok
perlakuan 59 (35-96) dan kelompok kontrol 59 (48-72), nilai p=0,73. Dapat
dikatakan tidak terdapat perbedaan yang bermakna pada skor PANSS
Psikopatologi Umum pre-tes pada kedua kelompok.
Grafik 4.3.4. Uji Beda Skor PANSS Total Pre-tes Kelompok Perlakuan dan
Kelompok Kontrol
29
Dari grafik 4.3.4. dapat dilihat skor PANSS Total kelompok perlakuan
(123.70 + 11.95) dan kelompok kontrol (125.20 + 10.68), nilai p=0,61. Dapat
dikatakan tidak terdapat perbedaan yang bermakna pada skor PANSS Total pretes pada kedua kelompok.
Tabel 4.4. Uji Beda Skor PANSS Pos-test Kelompok Perlakuan dan
Kelompok Kontrol
Variabel
PANSS Gejala Positif**
PANSS Gejala Negatif**
PANSS Psikopatologi
Umum*
PANSS Total*
Kelompok
Perlakuan
Kontrol
n=30
n=30
11 (6-14)
14 (7-20)
9 (4-22)
17 (7-26)
p
0,00
0,00
12,00 + 2.08
17.53 +7.38
0,00
32.60 + 8.15
49.77 + 9.66
0,00
Ket : * Data Numerik Berdistribusi Normal; Mean + SD; Uji Independent Sample T Testx
** Data Numerik Tidak Berdistribusi Normal; Median (min-max), Uji Mann Whitney
Data tabel 4.4. menyajikan hasil uji beda skor PANSS post-tes kelompok
perlakuan dan kelompok kontrol. Dari data tersebut terlihat bahwa terdapat
perbedaan yang signifikan (p=0,00) pada skor PANSS post-tes kelompok
perlakuan dan kelompok kontrol. Pada kelompok perlakuan terdapat penurunan
skor PANSS yang lebih besar.
Grafik 4.4.1. Uji Beda Skor PANSS Positif Post-tes Kelompok Perlakuan dan
Kelompok Kontrol
Dari grafik 4.4.1. dapat dilihat skor PANSS Positif post-tes kelompok
perlakuan 11(6-14) dan kelompok kontrol 14(7-20), nilai p=0,00. Dapat dikatakan
30
terdapat perbedaan yang bermakna pada skor PANSS Positif post-tes pada kedua
kelompok.
Grafik 4.4.2. Uji Beda Skor PANSS Negatif Post-tes Kelompok Perlakuan
dan Kelompok Kontrol
Dari grafik 4.4.2. dapat dilihat skor PANSS Negatif post-tes kelompok
perlakuan 9(4-22) dan kelompok kontrol 17(7-26), nilai p=0,00. Dapat dikatakan
terdapat perbedaan yang bermakna pada skor PANSS Negatif post-tes pada kedua
kelompok.
Grafik 4.4.3. Uji Beda Skor PANSS Psikopatologi Umum Post-tes Kelompok
Perlakuan dan Kelompok Kontrol
Dari grafik 4.4.3. dapat dilihat skor PANSS Psikopatologi Umum post-tes
kelompok perlakuan (12,00±2.08) dan kelompok kontrol (17.53±7.38), nilai
p=0,00. Dapat dikatakan terdapat perbedaan yang bermakna pada skor PANSS
Psikopatologi Umum post-tes pada kedua kelompok.
31
Grafik 4.4.4. Uji Beda Skor PANSS Total Post-tes Kelompok Perlakuan dan
Kelompok Kontrol
Dari grafik 4.4.4. dapat dilihat skor PANSS Total post-tes kelompok
perlakuan (32.60±8.15) dan kelompok kontrol (49.77±9.66), nilai p=0,00. Dapat
dikatakan terdapat perbedaan yang bermakna pada skor PANSS Total post-tes
pada kedua kelompok.
C. Hasil Penilaian Skor SCoRS
Tabel 4.5 Uji Beda Skor SCoRS Pre-tes Kelompok Perlakuan dan Kelompok
kontrol
Variabel
SCoRS
Kelompok
Perlakuan
Kontrol
n=30
n=30
61 (29-80)
48 (26-79)
p
0,28
Ket : Data Numerik Tidak Berdistribusi Normal; Median (min-max), Uji Mann Whitney
Tabel 4. menyajikan data hasil perhitungan skor SCoRS pre-tes kelompok
perlakuan 61(29-80) dan kelompok kontrol 48(26-79), nilai p=0,28. Dari data
tersebut dapat dilihat bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan pada skor pre-tes
SCoRS (p=0,283) antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol. Kedua
kelompok memiliki data awal yang setara.
32
Grafik 4.5.1. Uji Beda Skor SCoRS Pre-tes Kelompok Perlakuan dan
Kelompok kontrol
Dari grafik 4.5.1 dapat dilihat skor SCoRS pre-tes kelompok perlakuan
61(29-80) dan kelompok kontrol 48(26-79), nilai p=0,28. Dapat dikatakan tidak
terdapat perbedaan yang bermakna pada skor SCoRS pre-tes pada kedua
kelompok.
Tabel 4.6. Uji Beda skor SCoRS Post-tes Kelompok Perlakuan dan
Kelompok Kontrol
Variabel
Skor SCoRS
Kelompok
Perlakuan
Kontrol
n=30
n=30
28 (20-45)
35 (20-68)
p
0,04
Ket : Data Numerik Tidak Berdistribusi Normal; Median (min-max), Uji Mann Whitney
Tabel 4.6. menyajikan data uji beda skor SCoRS post-test antara kelompok
perlakuan 28(20-45) dan kelompok kontrol 35(20-68), nilai p=0,04. Dari data
tersebut dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan yang bermakna (p=0,04) pada
skor SCoRS post-tes antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol.
33
Grafik 4.6.1. Uji Beda skor SCoRS Post-tes Kelompok Perlakuan dan
Kelompok Kontrol
Dari grafik 4.6.1 dapat dilihat skor SCoRS post-test antara kelompok
perlakuan 28(20-45) dan kelompok kontrol 35(20-68), nilai p=0,04. Dapat
dikatakan tidak terdapat perbedaan yang bermakna pada skor SCoRS post-tes
pada kedua kelompok.
BAB V
PEMBAHASAN
34
A. Desain Penelitian
Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
eksperimental. Penelitian eksperimental merupakan penelitian yang dilakukan
dengan melakukan perlakuan terhadap subjek penelitian dan dilakukan kontrol
terhadap variabel tertentu. Tujuan dari eksperimental adalah untuk mengetahui
akibat perlakuan yang diberikan terhadap individu yang diamati. Jenis desain
eksperimen pada penelitian ini adalah eksperimen kuasi atau eksperimen semu,
yaitu merupakan desain eksperimen dimana pengendalian terhadap variabelvariabel tidak terlalu ketat seperti pada desain eksperimental murni. Selain itu
penentuan sampel tidak melalui randomisasi, yang menjadi ciri bagi desain
penelitian eksperimental kuasi.
B. Subjek Penelitian
Penilaian data dimulai dengan penilaian demografi yang terdiri dari
diskripsi, penilaian distribusi data atau uji normalitas. Dari data yang diperoleh
didapatkan hasil bahwa sampel memiliki distribusi normal. Dengan demikian data
memenuhi syarat untuk dilakukan uji statistik.
Kelompok perlakuan dan kelompok kontrol pada penelitian ini menunjukkan
setara dalam hal demografi mencakup jenis kelamin, umur, status perkawinan,
dan tingkat pendidikan yang ditunjukkan pada tabel 1. Secara keseluruhan dapat
dikatakan bahwa subjek penelitian adalah berasal dari sampel yang homogen.
C. Hasil Skor PANSS dan SCoRS
Kelompok perlakuan dan kelompok kontrol memiliki data awal yang setara.
Hal ini dapat dilihat dari hasil perhitungan statistik yang menunjukkan tidak
terdapat perbedaan yang bermakna pada skor PANSS dan SCoRS awal pada
kedua kelompok. Sehingga dapat dikatakan bahwa sampel pada penelitian ini
adalah homogen.
Dari penelitian ini didapatkan hasil bahwa pada kedua kelompok, baik
kelompok perlakuan maupun kelompok kontrol keduanya mengalami penurunan
35
skor PANSS dan SCoRS. Hal ini dapat disebabkan oleh karena kedua kelompok
mendapatkan terapi antipsikotik standar yang sama. Sehingga pada kedua
kelompok mendapat manfaat terapi dari pemberian antipsikotik tersebut.
Yang berbeda dari kedua kelompok adalah pada selisih skor PANSS dan
SCoRS pre-post tes. Pada kelompok perlakuan terjadi penurunan skor PANSS dan
SCoRS yang lebih besar dibandingkan dengan kelompok kontrol, terutama pada
penurunan skor PANSS Gejala Negatif. Dan setelah dilakukan analisa dengan
perhitungan statistik terdapat perbedaan yang bermakna pada penurunan skor
tersebut. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pemberian terapi tambahan
meloxicam 7.5 mg/ hari efektif dalam menurunkan skor PANSS dan SCoRS pada
pasien skizofrenia kronis yang menjalani rawat inap di RSJD dr. ARIF
ZAINUDIN Surakarta.
Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Meyer (2010) yang
menyatakan bahwa pemberian terapi tambahan anti-inflamasi COX-2 inhibitor
dapat menurunkan skor PANSS total dan tidak terjadi efek samping dari
pemberian anti-inflamasi. Pada penelitian ini juga tidak ditemukan terjadinya efek
samping, terutama efek samping gastrointestinal selama pemberian terapi
tambahan anti-inflamasi meloxicam.
D. Pelaksanaan Penilaian PANSS dan SCoRS
Pada penelitian ini dilakukan pemberian terapi tambahan meloxicam 7.5 mg/
hari selama 4 minggu. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa pemberian
meloxicam 7.5-15 mg/ hari memiliki efek samping ulserogenik yang lebih rendah
dibandingkan dengan penggunaan NSAID yang lain (Katzung, 2009). Pada
penggunaan oral, dosis proporsional farmakokinetik kapsul meloxicam pada
kisaran 7,5 – 15 mg. Kadar maksimal dicapai 4 – 5 jam setelah mengkonsumsi
meloxicam. Konsentrasi steady state dicapai pada hari kelima. Waktu yang
dibutuhkan untuk mencapai konsentrasi maksimum (Tmax) adalah antara 5 – 6
jam (Wilmana & Gan, 2012). Dengan demikian, pada pemberian meloxicam 7.5
mg/ hari selama 4 minggu, diharapkan telah tercapai konsentrasi maksimal dan
memberikan efek terapi. Penelitian ini bekerja sama dengan dokter penanggung
36
jawab ruangan dalam menentukan subjek dalam kelompok perlakuan dan
kelompok kontrol, dan dengan perawat ruangan untuk pengawasan pemberian
terapi tambahan dan efek samping.
Penilaian skor PANSS dan SCoRS dilakukan oleh penulis dibantu sejawat
residen psikiatri yang sebelumnya telah dilakukan interrater penilaian PANSS
dan SCoRS dengan psikiater.
E. Keterbatasan
Tidak dapat dipungkiri bahwa penelitian ini masih banyak kekurangan dan
keterbatasan. Keterbatasan kemampuan penulis, waktu, dan biaya menyebabkan
kelemahan dan keterbatasan dalam penelitian ini.
1. Jumlah sampel yang relatif kecil, yaitu 30 subjek tiap kelompok. Agar
hasil penelitian dapat digeneralisasikan diperlukan penelitian serupa
dengan jumlah sampel yang lebih besar, waktu pemberian lebih lama, dan
dilakukan dilokasi yang berbeda.
2. Pada penelitian ini penilaian skor PANSS dan SCoRS hanya dilakukan
pada awal dan akhir perlakuan, sehingga tidak diketahui secara pasti kapan
mulai terjadi perubahan skor.
3. Pada penelitian ini tidak dilakukan follow up untuk mengetahui berapa
lama perbaikan tanda dan gejala dapat bertahan.
BAB VI
SIMPULAN DAN SARAN
37
A. Simpulan
Berdasarkan hasil analisis data penelitian dapat diambil simpulan sebagai
berikut :
1. Terdapat penurunan skor PANSS dan SCoRS pada kelompok perlakuan
dan kelompok kontrol.
2. Terdapat perbedaan yang bermakna pada penurunan skor PANSS dan
SCoRS antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol. Kelompok
perlakuan mengalami penurunan skor PANSS dan SCoRS yang lebih
besar, terutama pada penurunan skor PANSS Gejala Negatif.
3. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penambahan meloxicam
efektif dalam menurunkan skor PANSS dan SCoRS pada pasien
skizofrenia kronis (hipotesis diterima).
B. Implikasi
Penambahan anti-inflamasi meloxicam efektif dalam menurunkan
skor PANSS pada pasien skizofrenia kronis. Dengan demikian hasil yang
diperoleh dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai untuk
memperdalam dan memperluas bidang kajian psikiatri. Selain itu,
penelitian ini diharapkan dapat menjadi landasan penelitian penelitian
selanjutnya
sehingga
dapat
memberikan
keuntungan
dalam
hal
penatalaksanaan pasien skizofrenia kronis pada masa yang akan datang.
C. Saran
Diperlukan adanya penelitian lanjutan dengan jumlah sampel yang
lebih besar, mengendalikan semua faktor perancu, pengamatan waktu
terjadinya efek terapi yang diharapkan, dan pengawasan efek samping
yang lebih dalam.
DAFTAR PUSTAKA
38
Abi-Dargham A., 1997. The role of serotonin in the pathophysiology and treatment of
schizophrenia. J Neuropsychiatry Clin Neurosci 9, 1–17.
APA., 2005. Schizophrenia and Other Psychotic Disorders. Diagnostic and Statistical
Manual of Mental Disorders IV – Text Revision (DSM IV - TR). Washington CD:
American Psychiatric Association.
Arion et al., 2007. Molecular Evidence For Increased Expression Of Genes Related To
Imun And Chaperone Function In The Prefrontal Cortex In Schizophrenia. Biol
Psychiatry 62, 711–721.
Arozal, W. & Gan, S. 2007. Psikotropik Dalam Farmakologi dan Terapi Edisi 5. FK-UI:
Jakarta
Asenjo LC., et al., 2010. Clozapine versus other atypical antipsychotics for
schizophrenia. Cochrane Database Syst Rev.
Bertram G Katzung, M.D., 2009. Basic & Clinical Pharmacology, 2009. 11th Edition.
Publisher: McGraw-Hill Medical.
Bowie, C. R., & Harvey, P. D. (2006). Treatment of cognitive deficits in schizophrenia.
Curr Opin Investig Drugs 7, 608–613.
Brown AS., 2006. Prenatal infection as a risk factor for schizophrenia. Schizophr Bull
2006; 32(2):200–2.
Carlsson et al., (2001). Interactions between monoamines, glutamate, and GABA in
schizophrenia: New evidence. Annu Rev Pharmacol Toxicol 41, 237–260.
Carol A. Tamminga M.D. 2009. Schizophrenia and Other Psychotic Disorders.
Introduction and Overview. Dalam: Kaplan & Sadock's Comprehensive Textbook
of Psychiatry, 9th Edition. Copyright ©2009 Lippincott Williams & Wilkins.
Correll CU., 2011. What are we looking for in new antipsychotics? J Clin Psychiatry.; 72
(suppl-1) : 9–13.
DeLisi et al., (1982). Abnormal imun regulation in schizophrenic patients.
Psychopharmacol Bull 18, 158–163.
Dennis K. Kinney et al., 2009. A unifying hypothesis of schizophrenia: Abnormal imun
system development may help explain roles of prenatal hazards, post-pubertal
onset, stress, genes, climate, infections, and brain dysfunction. Journal of Medical
Hypotheses.
39
Depkes RI. 2013. Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2013. Jakarta: Departemen
Kesehatan RI.
Fan et al., (2007). Inflammation and schizophrenia. Expert Rev Neurother 7, 789–796.
Gilmore, J. H., & Jarskog, L. F. (1997). Exposure to infection and brain development:
Cytokines in the pathogenesis of schizophrenia. Schizophr Res 24, 365–367.
Harris EC. & Barraclough B., 1998. Excess mortality of mental disorder. Br J Psychiat
1998;173:11–53.
Kane JM., & Correll CU., 2010. Past and present progress in the pharmacologic treatment
of schizophrenia. J Clin Psychiatry.;71:1115–1124.
Kim YK et al., 2009. Th1, Th2 and Th3 cytokine alteration in schizophrenia. Prog
Neuropsychopharmacol Biol Psychiatry.;28(7):1129-34.
Kusumawadhani A. Dkk., 1994. Pedoman Definisi PANSS. FKUI.
Leucht S., 2009. How effective are second-generation antipsychotic drugs? A metaanalysis of placebo-controlled trials. Mol Psychiatry.;14:429–447.
Möller, H. J. (2007). Clinical evaluation of negatif symptoms in schizophrenia. Eur
Psychiatry 22, 380–386.
Müller, N., & Schwarz MJ., 2010. Immune system and schizophrenia. Curr Immunol Rev.
2010;6:213–220.
Murti, B., 2010. Desain dan Ukuran Sampel untuk Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif di
Bidang Kesehatan. Gadjah Mada University Press Yogyakarta.
PDSKJI. 2011. Konsensus Penatalaksanaan Gangguan Skizofrenia. Jakarta.
Rekomendasi Perhimpunan Reumatologi Indonesia. Tentang Obat Anti Inflamasi Non
Steroid.
Sommer IE., 2012. Nonsteroidal anti-inflammatory drugs in schizophrenia: ready for
practice or a good start? A meta-analysis. J Clin Psychiatry.;73:414–419.
Stahl, 2008. Essential Psychopharmacology Neuroscientific Basis and Practical
Applications. Third Edition. Cambridge University Press 32 Avenue of the
Americas, New York, NY 10013-2473, USA.
Stan AD, Lesselyong A, Ghose S. 2009. Cellular and Molecular Neuropathology of
Schizophrenia. In : Kaplan & Sadock's Comprehensive Textbook of Psychiatry,
9th Edition. New York: Lippincott William & Wilkins.
40
Steinmann GG, Klaus B, Muller-Hermelink HK (1995). The involution of the ageing
human thymic epithelium is independent of puberty. A morphometric study. Scand
J Immunol; 22 (5): 563–75.
Stephen Lewis M.D., & P. Rodrigo Escalona, M.D., 2009. Phenomenology Of
Schizophrenia. Dalam: Kaplan & Sadock's Comprehensive Textbook of
Psychiatry, 9th Edition. Copyright ©2009 Lippincott Williams & Wilkins.
Sudigdo Sastroasmoro & Sofyan Ismael, 2014. Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis.
Edisi 5. Sagung Seto, Jakarta.
Tandon et al., (2009). Schizophrenia, “just the facts” 4. Clinical features and
conceptualization. Schizophr Res 110, 1–23.
Tandon et al., (2010). Schizophrenia, “just the facts” 5. Treatment and prevention. Past,
present, and future. Schizophr Res 122, 1–23.
Torrey EF, Yolken RH., 2003. Toxoplasma gondii and schizophrenia. Emerg Infect Dis
;9(11):1375–80.
Meyer, Schwarz, & Müller.,
2011. Inflammatory processes in schizophrenia: A
promising neuroimmunological target for the treatment of negatif/cognitive
symptoms and beyond. Journal of Pharmacology & Therapeutics 132.
Wilmana & Sulistia Gan, 2012. Analgesik-Antipiretik, Analgesik Anti-inflamasi
Nonsteroid, Dan Obat Gangguan Sendi Lainnya. Dalam: Farmakologi dan Terapi.
Edisi 5. Departemen Farmakologi dan Teraputik Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Balai Penerbit FKUI Jakarta.
41
42
43
Download