Restu Pamanggih & Soraya Rahmanisa | Diabetes Melitus Maternal sebagai Faktor Risiko Skizofrenia pada Anak Diabetes Melitus Maternal sebagai Faktor Risiko Skizofrenia pada Anak Restu Pamanggih1, Soraya Rahmanisa2 Mahasiswa, Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung 2 Bagian Biomedik, Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung 1 Abstrak Skizofrenia adalah kelainan psikotik yang menimbulkan ketidakmampuan seseorang dalam mengatur pikiran, perilaku dan emosinya. Di Indonesia sendiri prevalensi pasien skizofrenia cukup tinggi, yaitu sebesar 0,46%. Diabetes melitus pada ibu hamil adalah salah satu faktor resiko terjadinya skizofrenia pada anak. Diabetes melitus pada ibu hamil ini biasa disebut DM maternal, DM maternal menyebabkan terjadi hiperglikemia pada ibu hamil sehingga bayi merespon dengan pembentukan insulin yang mengakibatkan konsumsi oksigen meningkat dan terjadilah pada janin. Hipoksia pada janin berpengaruh terhadap perkembangan saraf dan pembentukan neurotransmitter yang berujung pada terjadinya skizofrenia pada anak. Hipoksia pada janin juga mempengaruhi terbentuknya eritropoietin dan hemoglobin, hal ini menyebabkan kebutuhan akan pasokan besi meningkat dan jumlah besi pada serum janin berkurang, besi berperan penting dalam replikasi saraf, pembentukan mielin dan sintesis neurotransmitter, terutama DA. Selain itu hipoksia juga menyebabkan dikeluarkannya sitokin pada janin, sitokin berperan negatif terhadap kelangsungan hidup neurotransmitter. Simpulan, DM maternal adalah faktor resiko terjadinya Skizofrenia pada dengan beberapa mekanisme seperti, hipoksia pada janin yang menyebabkan terganggu perkembangan saraf pada janin, dan kurangnya pasokan besi pada janin yang meyebabkan terhambatnya sintesis neurotransmitter pada janin, dan meningkatkatnya jumlah sitokin yang menyebabkan berkurangnya keberlangsungan hidup dari neurotransmitter. Kata kunci: diabetes melitus, hipoksia, neurotransmitter, skizofrenia Maternal Diabetes Mellitus as Risk Factors for Schizophrenia in Children Abstract Schizophrenia is a psychotic disorder that causes a person's inability to organize thoughts, behaviors and emotions. In Indonesia alone, the prevalence of schizophrenia patients is quite high at 0.46%. Diabetes mellitus in pregnancy is a risk factor for schizophrenia in children. Diabetes mellitus in pregnancy is usually called maternal diabetes, maternal diabetes cause hyperglycemia occurs in pregnant women, so the baby responds to the formation of insulin resulting in increased oxygen consumption and it came to pass in the fetus. Fetal Hypoxia effect on neurological development and formation of neurotransmitters that led to the occurrence of schizophrenia in children. Fetal Hypoxia also affects the formation of erythropoietin and hemoglobin, causing the need for the supply of iron increases and the amount of iron in reduced fetal serum, iron plays an important role in the replication of nerves, myelin formation and the synthesis of neurotransmitters, especially the DA. In addition hypoxia also causes the release of cytokines in the fetus, cytokines play a role here can negatively affect the survival of neurotransmitters. In conclusion, DM maternal risk factor for schizophrenia in with some mechanisms, such as hypoxia in the fetus that causes impaired neurological development in fetuses, and the lack of supply of iron to the fetus that led to the inhibition of the synthesis of neurotransmitters in the fetus, and meningkatkatnya number of cytokines that lead to reduced survival of neurotransmitter. Keywords: diabetes mellitus, hipoksia, neurotransmitter, schizophrenia Korespondensi: Restu Pamanggih, alamat: Jl. Soemantri Brodjonegoro No. 1, No. HP: 08998193199, e-mail: [email protected] Pendahuluan Diabetes melitus (DM) adalah kelainan metabolik yang disebabkan oleh banyak faktor seperti kurangnya insulin atau ketidak mampuan tubuh untuk memanfaatkan insulin, dengan simtoma berupa hiperglikemia kronis, kelianan metabolisme protein dan lemak.1 Diabetes melitus (DM) pada ibu hamil merupakan faktor resiko terjadinya skizofrenia, DM selama kehamilan dapat meningkatkan risiko skizofrenia pada keturunannya. Diabetes melitus gestasional (GDM) terjadi sekitar 4% dari semua kehamilan di Amerika Serikat, dan MAJORITY I Volume 5 I Nomor 4 I Oktober 2016 I142 3-5% di Inggris. Prevalensi diabetes melitus gestasional di Eropa sebesar 2-6%. Prevalensi prediabetes di Indonesia pada tahun 2007 sebesar 10% sedangkan prevalensi GDM di Indonesia sebesar 1,9%-3,6% pada kehamilan umumnya. Pada ibu hamil dengan riwayat keluarga diabetes melitus, GDM sebesar 5,1%. Angka ini lebih rendah dari pada prevalensi di Negara Inggris dan Amerika Serikat. Meskipun demikian, masalah diabetes gestasional di Indonesia masih membutuhkan penanganan yang serius melihat jumlah penderita yang Restu Pamanggih & Soraya Rahmanisa | Diabetes Melitus Maternal sebagai Faktor Risiko Skizofrenia pada Anak cukup banyak serta dampak yang ditimbulkan pada ibu hamil dan janin.1 Skizofrenia adalah penyakit perkembangan saraf dan neurodegeneratif yang patofisiologi kurang dipahami. ditandai dengan terdapatnya perpecahan (schism) antara pikiran, emosi dan perilaku pasien yang terkena. Perpecahan pada pasien digambarkan dengan adanya gejala fundamental (atau primer) spesifik, yaitu gangguan pikiran yang ditandai dengan gangguan asosiasi, khususnya kelonggaran asosiasi. Gejala fundamental lainnya adalah gangguan afektif, autisme, dan ambivalensi. Sedangkan gejala sekundernya adalah waham dan halusinasi gejala psikotik sering hadir dalam skizofrenia, hal ini berhubungan dengan kelebihan oksigen reaktif spesies (ROS) dan gangguan pertahanan oksidatif.2 Skizofrenia (SCZ) adalah penyakit neuropsikiatri serius yang ditandai oleh fenotip kompleks, termasuk gejala positif, negatif, dan kognitif. Gangguan ini mempengaruhi hampir 1% dari populasi sehingga menimbulkan permasalahan sosial yang cukup besar. Sekitar 1-2 juta masyarakat Indonesia terdeteksi mengalami Skizofrenia. Ironisnya, banyak orang yang tidak mengerti benar mengenai penyakit ini. Skizofrenia sendiri adalah salah satu gangguan jiwa yang berkaitan dengan masalah medik. Penyakit ini sering kambuh, dan mempengaruhi semua aspek kehidupan penderita. Penyakit ini ditandai dengan ketidak mampuan menilai realita, dimana penderita sering mendengar suara bisikan, berperilaku aneh, dan mempunyai kepercayaan yang salah yang tidak dapat dikoreksi. Akibatnya, mereka akan mengalami kemunduran dalam berbagai aspek kehidupan seperti pekerjaan, hubungan sosial, dan kemampuan merawat diri, yang bisa menyulitkan kehidupan pribadi, keluarga, maupun kehidupan sosial penderitanya. Pada akhirnya, mereka cenderung menggantungkan sebagian besar aspek kehidupannya pada orang lain.3 Hasil riset WHO dan World Bank menyimpulkan bahwa gangguan jiwa dapat mengakibatkan penurunan produktivitas sampai dengan 8,5%. Saat ini jiwa menempati urutan kedua sebagai penyakit yang menghambat produktifitas seseorang, setelah penyakit infeksi dengan 11,5%. Pada klien gangguan jiwa sering terlihat adanya kemunduran yang ditandai dengan hilangnya motivasi dan tanggung jawab, apatis, menghindar dari kegiatan, dan hubungan sosial. Kemampuan dasar sering terganggu, seperti activities of daily living (ADL). Situasi tersebut mengakibatkan klien gangguan jiwa tidak dapat berperan sesuai dengan harapan lingkungan dimana ia berada. Klien gangguan jiwa tidak mampu melakukan fungsi dasar secara mandiri misalnya kebersihan diri, penampilan dan sosialisasi. Klien seperti ini tentu akan ditolak oleh keluarga dan masyarakat.4 Skizofrenia terkait dengan stres, gangguan neurobiologis yang ditandai dengan gangguan pikiran. Data menunjukkan bahwa 1% populasi penduduk dunia menderita skizofrenia. Skizofrenia lebih sering terjadi pada populasi urban dan pada kelompok sosial ekonomi rendah. Di seluruh dunia, skizofrenia tidak terdistribusi merata secara geografis. Secara historis, prevalensi skizofrenia di timur laut dan barat Amerika Serikat dilaporkan lebih tinggi daripada daerah lain. Derajat keparahan skizofrenia lebih besar di negara maju dari pada negara berkembang.4 Beberapa bukti melibatkan neuroplastisitas terganggu dalam patofisiologi SCZ, yaitu perubahan dalam sistem neurotransmitter dan konektivitas kortikal. Neuroplastisitas mengacu pada kemampuan otak untuk menata kembali dan menghasilkan jalur neuronal baru direspon terhadap rangsangan internal dan eksternal.3 Namun penyebab pasti dari skizofrenia masih belum jelas. Konsensus umum saat ini adalah bahwa gangguan ini disebabkan oleh interaksi yang kompleks antara berbagai faktor. Faktor-faktor yang telah dipelajari dan diimplikasikan meliputi predisposisi genetika, abnormalitas perkembangan saraf, abnormalitas struktur otak, ketidakseimbangan neurokimia, dan proses psikososial dan lingkungan.5 Hipotesis perkembangan saraf secara luas diakui sebagai penjelasan yang paling komprehensif dan berpengaruh dari etiopatogenesis skizofrenia akibat DM pada ibu hamil. Pada awalnya terjadi penyimpangan cytoarchitectural prenatal (dijuluki sebagai "sindrom neuro-dislokasi"), dan berlanjut dengan terhambatnya transmisi dopaminergik kortikal dan subkortikal pada janin sehingga munculnya gejala psikotik dalam kehidupan dewasa.6 MAJORITY I Volume 5 I Nomor 4 I Oktober 2016 I143 Restu Pamanggih & Soraya Rahmanisa | Diabetes Melitus Maternal sebagai Faktor Risiko Skizofrenia pada Anak Isi Diabetes Melitus (DM) adalah penyakit kelainan metabolik yang dikarakteristikkan dengan hiperglikemia kronis serta kelainan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein diakibatkan oleh kelainan sekresi insulin, kerja insulin maupun keduanya. Hiperglikemia kronis pada diabetes melitus akan disertai dengan kerusakan, gangguan fungsi beberapa organ tubuh khususnya mata, ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh darah. Walaupun pada diabetes melitus ditemukan gangguan metabolisme semua sumber makanan tubuh kita, kelainan metabolisme yang paling utama ialah kelainan metabolisme karbohidarat. Oleh karena itu diagnosis diabetes melitus selalu berdasarkan tingginya kadar glukosa dalam plasma darah.7 Prevalensi DM sulit ditentukan karena standar penetapan diagnosisnya berbedabeda. Berdasarkan kriteria American Diabetes Association tahun 2012, sekitar 10,2 juta orang di Amerika Serikat menderita DM. Sementara itu, di Indonesia prevalensi DM sebesar 1,52,3% penduduk usia >15 tahun, bahkan di daerah Manado prevalensi DM sebesar 6,1%. Pemeriksaan laboratorium bagi penderita DM diperlukan untuk menegakkan diagnosis serta memonitor terapi dan timbulnya komplikasi. Dengan demikian, perkembangan penyakit bisa dimonitor dan dapat mencegah komplikasi.7 Klasifikasi Diabetes Melitus (DM) adalah kelainan endokrin yang ditandai dengan tingginya kadar glukosa darah. Secara etiologi DM dapat dibagi menjadi DM tipe 1, DM tipe 2, dan DM dalam kehamilan. DM tipe 1 atau yang dulu dikenal dengan nama Insulin Dependent Diabetes Melitus (IDDM), terjadi karena kerusakan sel β pankreas (reaksi autoimun). Sel β pankreas merupakan satu-satunya sel tubuh yang menghasilkan insulin yang berfungsi untuk mengatur kadar glukosa dalam tubuh. Bila kerusakan sel β pankreas telah mencapai 80-90% maka gejala DM mulai muncul. Perusakan sel ini lebih cepat terjadi pada anakanak daripada dewasa. Sebagian besar penderita DM tipe 1 sebagian besar oleh karena proses autoimun, Namun ada pula yang disebabkan oleh bermacam-macam virus, diantaranya virus Cocksakie, Rubella, CMVirus, Herpes, dan lain sebagainya. Ada beberapa tipe otoantibodi yang dihubungkan dengan DM Tipe 1, antara lain ICCA (Islet Cell Cytoplasmic Antibodies), ICSA (Islet cell surface antibodies), MAJORITY I Volume 5 I Nomor 4 I Oktober 2016 I144 dan antibodi terhadap GAD (glutamic acid decarboxylase).7 Diabetes melitus tipe 1 yang tidak diketahui penyebabnya disebut sebagai type 1 idiopathic, pada mereka ini ditemukan insulinopenia tanpa adanya petanda imun dan mudah sekali mengalami ketoasidosis. Diabetes Melitus tipe 1 sebagian besar (75% kasus) terjadi sebelum usia 30 tahun dan DM Tipe ini diperkirakan terjadi sekitar 5-10 % dari seluruh kasus DM yang ada.7 Diabetes Melitus Tipe 2 merupakan penyakit hiperglikemi akibat insensivitas sel terhadap insulin. Kadar insulin mungkin sedikit menurun atau berada dalam rentang normal. Karena insulin tetap dihasilkan oleh sel-sel beta pankreas, maka diabetes melitus tipe II dianggap sebagai non insulin dependent diabetes melitus. Diabetes Melitus Tipe 2 adalah penyakit gangguan metabolik yang di tandai oleh kenaikan gula darah akibat penurunan sekresi insulin oleh sel beta pankreas dan atau ganguan fungsi insulin (resistensi insulin).8 Diabetes melitus tipe 2 merupakan 90% dari kasus DM yang dulu dikenal sebagai non insulin dependent Diabetes Melitus (NIDDM). Bentuk DM ini bervariasi mulai yang dominan resistensi insulin, defisiensi insulin relatif sampai defek sekresi insulin. Etiologi DM Tipe 2 merupakan multifaktor yang belum sepenuhnya terungkap dengan jelas. Faktor genetik dan pengaruh lingkungan cukup besar dalam menyebabkan terjadinya DM tipe 2, mantara lain obesitas, diet tinggi lemak dan rendah serat, serta kurang gerak badan. Obesitas atau kegemukan merupakan salah satu faktor pradisposisi utama. Penelitian terhadap mencit dan tikus menunjukkan bahwa ada hubungan antara gen-gen yang bertanggung jawab terhadap obesitas dengan gen-gen yang merupakan faktor pradisposisi untuk DM Tipe 2.7 Pada diabetes ini terjadi penurunan kemampuan insulin bekerja di jaringan perifer (insulin resistance) dan disfungsi sel β. Akibatnya, pankreas tidak mampu memproduksi insulin yang cukup untuk mengkompensasi insulin resistance. Kedua hal ini menyebabkan terjadinya defisiensi insulin relatif. Kegemukan sering berhubungan dengan kondisi ini. Diabetes Melitus tipe 2 umumnya terjadi pada usia > 40 tahun. Pada DM tipe 2 terjadi gangguan pengikatan glukosa oleh Restu Pamanggih & Soraya Rahmanisa | Diabetes Melitus Maternal sebagai Faktor Risiko Skizofrenia pada Anak reseptornya tetapi produksi insulin masih dalam batas normal sehingga penderita tidak tergantung pada pemberian insulin. Walaupun demikian pada kelompok diabetes melitus tipe2 sering ditemukan komplikasi mikrovaskuler dan makrovaskuler.7 Diabetes melitus gestasional (GDM) adalah suatu gangguan toleransi karbohidrat yang terjadi atau diketahui pertama kali pada saat kehamilan sedang berlangsung. Keadaan ini biasa terjadi pada saat 24 minggu usia kehamilan dan sebagian penderita akan kembali normal pada setelah melahirkan. Diabetes melitus gestasional menjadi masalah kesehatan masyarakat sebab penyakit ini berdampak langsung pada kesehatan ibu dan janin. Dampak yang ditimbulkan oleh ibu penderita diabetes melitus gestasional adalah ibu berisiko tinggi terjadi penambahan berat badan berlebih, terjadinya preklamsia, eklamsia, bedah sesar, dan komplikasi kardiovaskuler hingga kematian ibu. Setelah persalinan terjadi, maka penderita berisiko berlanjut terkena diabetes tipe 2 atau terjadi diabetes gestasional yang berulang pada 3 masa yang akan datang. Sedangkan bayi yang lahir dari ibu yang mengalami diabetes gestasional berisiko tinggi untuk terkena makrosomia, trauma kelahiran. Selain itu, bayi berisiko tinggi untuk terkena hipoglikemia, hipokalsemia, polistemia, hiperbilirubinemia, obesitas, sindrom gangguan pernafasan dan DM tipe 2.9 Skizofrenia adalah gangguan psikotik yang bersifat kronis atau kambuh ditandai dengan terdapatnya perpecahan (schism) antara pikiran, emosi dan perilaku pasien yang terkena. Perpecahan pada pasien digambarkan dengan adanya gejala fundamental (atau primer) spesifik, yaitu gangguan pikiran yang ditandai dengan gangguan asosiasi, khususnya kelonggaran asosiasi. Gejala fundamental lainnya adalah gangguan afektif, autisme, dan ambivalensi. Sedangkan gejala sekundernya adalah waham dan halusinasi.10 Berdasarkan DSM-IV, skizofrenia merupakan gangguan yang terjadi dalam durasi paling sedikit selama 6 bulan, dengan 1 bulan fase aktif gejala (atau lebih) yang diikuti munculnya delusi, halusinasi, pembicaraan yang tidak terorganisir, dan adanya perilaku yang katatonik serta adanya gejala negatif. Skizofrenia biasanya menyerang pasien dewasa yang berusia 15-35 tahun. Diperkirakan terdapat 50 juta penderita di dunia, 50% dari penderita tidak menerima pengobatan yang sesuai, dan 90% dari penderita yang tidak mendapat pengobatan tepat tersebut terjadi di negara berkembang. Di Indonesia, prevalensi gangguan jiwa berat (skizofrenia) sebesar 0,46%.10 Penyebab pasti dari skizofrenia masih belum jelas. Konsensus umum saat ini adalah bahwa gangguan ini disebabkan oleh interaksi yang kompleks antara berbagai faktor. Faktorfaktor yang telah dipelajari dan diimplikasikan meliputi:10 1. Predisposisi genetika. Penelitian telah berfokus pada kromosom 6, 13, 18, dan 22. Ada pula penelitian yang telah menemukan bahwa pertanda kromosom yang berhubungan dengan skizofrenia adalah kromosom 5,11 dan 18 pada bagian lengan panjang dan kromosom 19 pada bagian lengan pendek, dan yang paling sering dilaporkan adalah terjadi pada kromosom X. Pada skizofrenia kromosom-kromosom ini mengalami kelainan yaitu saat mengkode dapat terjadi kekacauan seprti translokasi. 2. Abnormalitas perkembangan saraf. Perkembangan saraf awal selama masa kehamilan ditentukan oleh asupan gizi selama hamil ( wanita hamil yang kurang gizi mempunyai risiko anaknya berkembang menjadi skizofrenia) dan trauma psikologis selama masa kehamilan. 3. Abnormalitas struktur otak. Area otak utama yang terlibat dalam skizofrenia adalah sistem limbik, ganglia basalis, lobus frontalis. Sistem limbik berfungsi mengendalikan emosi. Pada skizofrenia terjadi penurunan daerah amigdala, hipokampus dan girus parahipokampus. Jika fungsi ini terganggu maka akan menimbulkan gejala skizofrenia yaitu terjadi gangguan emosi. 4. Ketidakseimbangan jumlah neurokimia (neurotransmitter). Dopamin merupakan neurotransmiter pertama yang berkontribusi terhadap gejala skizofrenia. Hampir semua obat antipsikotik baik tipikal maupun antipikal menyekat reseptor dopamin D2. Aktivitas dopamine yang berlebihan di bagian kortikal otak, berkaitan dengan gejala positif dari skizofrenia. Neurotrasnmiiter lain yang juga berpera adalah serotonin, MAJORITY I Volume 5 I Nomor 4 I Oktober 2016 I145 Restu Pamanggih & Soraya Rahmanisa | Diabetes Melitus Maternal sebagai Faktor Risiko Skizofrenia pada Anak norepineprin, glutamate,dan GABA. Homeostasis atau hubungan antar neurotransmitter mungkin lebih penting disbanding jumlah relative 11 neurotransmitter tertentu. Pada dasarnya patofisiologi SCZ kurang dipahami. Beberapa bukti melibatkan neuroplastisitas terganggu dalam patofisiologi SCZ yaitu perubahan dalam sistem neurotransmitter dan konektivitas kortikal. Neuroplastisitas mengacu pada kemampuan otak untuk menata kembali dan menghasilkan jalur neuronal baru pada respon terhadap rangsangan internal dan eksternal. Kekuatan koneksi saraf di jalur aktif disebut long-term potentiation (LTP). Kelemahan jalur neuronal yang tidak mampu diaktifkan disebut long-term depression (LTD). Long-term potentiation dan LTD dianggap mekanisme saraf yang mendasari pembelajaran dan memori. Glutamatergic Nmetil-d-aspartat (NMDA) reseptor berperan penting dalam proses molekuler dari LTP dan LTD. Beberapa penelitian telah menghubungkan NMDA reseptor hipofungsi sehingga memberikan dukungan bagi teori reseptor NMDA hipofungsi dan gangguan plastisitas di skizoprenia. Asam gamma amino butyric-(GABA) juga memainkan kritis peran dalam modulasi plastisitas sinaptik. NMDA reseptor diketahui memodulasi tingkat GABAergic interneuron. Bukti terganggunya GABAergic neurotransmisi di skizoprenia telah dibuktikan melalui beberapa postmortem yang telah menunjukkan baik penurunan kepadatan interneuron GABAergic di beberapa daerah korteks serta perubahan dalam asam glutamat enzim GABA-sintesis dekarboksilase pada pasien skizoprenia.3 Skizofrenia digolongkan menjadi 4 jenis:12 1. Skizofrenia Paranoid adalah jenis skizofrenia dimana penderitanya mengalami bayangan dan khayalan tentang penganiayaan dan kontrol dari orang lain dan juga kesombongan yang berdasarkan kepercayaan bahwa penderitanya itu lebih mampu dan lebih hebat dari orang lain. Skizofrenia Tak Teratur Jenis skizofrenia yang sifatnya ditandai terutama oleh gangguan dan kelainan di pikiran. Seseorang yang menderita skizofrenia sering menunjukkan tanda tanda emosi dan ekspresi yang tidak sesuai untuk keadaan nya. Halusinasi dan MAJORITY I Volume 5 I Nomor 4 I Oktober 2016 I146 khayalan adalah gejala-gejala yang sering dialami untuk orang yang mederita skizofrenia jenis ini. 2. Skizofrenia Katatonia adalah jenis skizofrenia yang ditandai dengan berbagai gangguan motorik, termasuk kegembiraan ekstrim dan pingsan. Orang yang menderita bentuk skizofrenia ini akan menampilkan gejala negatif: postur katatonik dan fleksibilitas seperti lilin yang bisa di pertahankan dalam kurun waktu yang panjang. 3. Skizofrenia Tanpa Kriteria adalah jenis skizofrenia dimana penderita penyakitnya memiliki delusi, halusinasi dan perilaku tidak teratur tetapi tidak memenuhi kriteria untuk skizofrenia paranoid, tidak teratur, atau katatonik. 4. Skizofrenia Residual adalah skizofrenia residual akan di diagnosis ketika setidaknya epsiode dari salah satu dari empat jenis skizofrenia yang lainnya telah terjadi. Tetapi skizofrenia ini tidak mempunyai satu pun gejala positif yang menonjol. Adapun gejala skizofrenia yang termasuk dalam indikator premorbid (pra-sakit) preskizofrenia antara lain: 1. Ketidakmampuan seseorang untuk mengekspresikan emosi seperti wajah dingin, jarang tersenyum, acuh tak acuh. 2. Penyimpangan komunikasi seperti pasien sulit melakukan pembicaraan terarah, kadang menyimpang (tanjential) atau berputar-putar (sirkumstantial). 3. Gangguan atensi seperti penderita tidak mampu untuk memfokuskan, mempertahankan, atau memindahkan atensi. 4. Gangguan perilaku seperti menjadi pemalu, tertutup, menarik diri secara sosial, tidak bisa menikmati rasa senang, menantang tanpa alasan jelas, mengganggu dan tak disiplin. Gejala-gejala skizofrenia pada umumnya bisa dibagi menjadi dua kelas:12 1. Gejala-gejala Positif termasuk halusinasi, delusi, gangguan pemikiran (kognitif). Gejala-gejala ini disebut positif karena merupakan manifestasi jelas yang dapat diamati oleh orang lain. 2. Gejala-gejala Negatif merupakan kehilangan dari ciri khas atau fungsi normal seseorang. Termasuk kurang atau Restu Pamanggih & Soraya Rahmanisa | Diabetes Melitus Maternal sebagai Faktor Risiko Skizofrenia pada Anak tidak mampu menampakkan atau mengekspresikan emosi pada wajah dan perilaku, kurangnya dorongan untuk beraktivitas, tidak dapat menikmati kegiatan-kegiatan yang disenangi dan kurangnya kemampuan bicara (alogia). Diabetes melitus ibu dalam kehamilan mempersulit hingga 7% dari kehamilan dan meningkatkan tingkat kematian ibu dan anak dalam persalinan. Diabetes melitus yang terjadi selama periode prenatal diklasifikasikan menjadi 2 jenis yaitu DM gestasional (GDM) dan DM pregestational (PGDM).6 Diabetes mellitus Gestasional menyumbang 90% dari semua kasus DM ibu pada kehamilan dan didiagnosis ketika gangguan toleransi glukosa yang pertama terdeteksi selama kehamilan. Dari kasus-kasus yang tersisa, 60% memiliki diagnosis DM tipe 2 sebelum kehamilan, sementara 40% memiliki yang sudah ada sebelumnya DM tipe 1. Tidak seperti PGDM, GDM berkembang lebih jarang sebelum trimester ketiga, sehingga janin mampu melewati organogenesis bebas dari hiperglikemia, sehingga tingkat kematian yang lebih rendah dan cacat lahir utama.6 Efek dari hiperglikemia maternal pada perkembangan janin bervariasi dan ditentukan oleh tingkat keparahan dan waktu DM. Karena insulin dari ibu tidak melewati plasenta, produksi insulin janin semata-mata ditentukan oleh kadar glukosa dalam darah ibu. Glukosa serum ibu yang tinggi merangsang peningkatan produksi insulin janin sehingga meningkatkan resiko makrosomia pada janin, yaitu komplikasi yang paling umum dari GDM. Makrosomia meningkatkan risiko komplikasi obstetri termasuk trauma, operasi caesar dan asfiksia perinatal. Komplikasi PGDM, di sisi lain, lebih umum dan parah daripada GDM karena hiperglikemia periconceptional adalah teratogenik dan dapat menyebabkan cacat bawaan dan keguguran. Risiko cacat bawaan pada GDM untuk perempuan nondiabetes sekitar 2%. Sedangkan 5,9% dan 4,4% dari anak yang lahir tipe 1 dan tipe 2 dari ibu PGDM. Otak manusia sangat rentan terhadap efek dari hiperglikemia, dan risiko relatif malformasi sistem saraf pusat 15 kali lebih tinggi pada diabetes dibandingkan pada kehamilan normal.6 Beberapa komplikasi akibat PGDM dan GDM dapat menjadi kendala dalam masa kehamilan. Hiperglikemia dan hipoksia selama kehamilan menyebabkan fungsi kekebalan tubuh terganggu, termasuk mengganggu faktor nekrosis tumor, C reaktif protein dan peningkatan regulasi sitokin lain yang mempromosikan peradangan. Akhirnya, hiperglikemia ibu bisa memiliki efek pada fisiologi sel janin, menyebabkan peningkatan kerentanan terhadap stres dan kerentanan terhadap skizofrenia. Peristiwa prenatal juga dapat menyebabkan komplikasi obstetri seperti pertumbuhan janin abnormal dan peningkatan kepekaan terhadap infeksi prenatal, semua fenomena yang berkaitan dengan berbagai kelainan perkembangan saraf dan peningkatan risiko skizofrenia.6 Gambar 1. Patofisiologi diabetes gestasional dan skizofrenia6 Beberapa perubahan biologis yang diketahui terjadi pada ibu hamil dengan DM yang mempengaruhi perkembangan saraf janin bisa menjelaskan bagaimana DM selama kehamilan mempengaruhi faktor resiko anak menderita skizofrenia. DM, diketahui mempengaruhi perkembangan saraf dan menginduksi aktivasi kekebalan, stres oksidatif, hiperinsulinemia, hipoksia jaringan kronis dan penurunan kadar zat besi pada janin. Naiknya level insulin meningkatkan konsumsi oksigen dan metabolisme pada janin, dan mengakibatkan hipoksia kronis karena plasenta tidak dapat menyuplai pengiriman oksigen untuk memenuhi permintaan ini. Hipoksia mempengaruhi perkembangan saraf dalam beberapa cara mulai dari perubahan dalam mielinisasi dan konektivitas. Selain hipoksia, MAJORITY I Volume 5 I Nomor 4 I Oktober 2016 I147 Restu Pamanggih & Soraya Rahmanisa | Diabetes Melitus Maternal sebagai Faktor Risiko Skizofrenia pada Anak kelebihan erythropoietin dan hemoglobin yang diproduksi sebagai upaya janin untuk mempertahankan pengiriman oksigen ke jaringan. Dalam keadaan ini, kebutuhan janin akan zat besi meningkat. Besi juga memainkan peran penting dalam replikasi saraf, pembentukan mielin dan sintesis 6 neurotransmitter, terutama DA. Hiperglikemia berkaitan dengan aktivasi sistem kekebalan dan janin dengan keadaan hipoksia juga dapat meningkatkan beban inflamasi yang dikeluarkan oleh janin. Sitokin, termasuk interleukin-6 (IL-6) dan tumor necrosis factor alpha (TNF-α), meningkat pada bayi yang mengalami asfiksia dan ensefalopati hypoxicischemic, hal itu menunjukkan bayi telah terlibat dalam kerusakan saraf, setelah gangguan perinatal tersebut.6 Sitokin proinflamasi seperti TNF-α, IL6 mengurangi kelangsungan hidup hipokampus dan korteks syaraf dan mengurangi kompleksitas dendritik dalam mengembangkan neuron kortikal. Sitokin juga mengurangi kelangsungan hidup beberapa neurotransmitter, yaitu DA dan 5-HT. Oleh karena itu terjadi hambatan dari transmisi saraf pada janin yang menjadi salah pertanda terjadi nya skizofrenia.6 Ringkasan Diabetes melitus adalah penyakit kelainan metabolik yang dikarakteristikkan dengan hiperglikemia kronis serta kelainan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein. Diabetes Melitus masih menjadi permasalahan besar bagi indonesia dan mempunyai tingkat prevalensi yang tinggi di Indonesia. Secara etiologi DM dapat dibagi menjadi DM tipe 1, DM tipe 2, dan DM dalam kehamilan. Sebagian besar penderita DM tipe 1 disiebabkan oleh karena proses autoimun, DM Tipe 2 disebabkan oleh multifaktor yang belum sepenuhnya terungkap dengan jelas. Faktor genetik dan pengaruh lingkungan cukup besar dalam menyebabkan terjadinya DM tipe 2, antara lain obesitas, diet tinggi lemak dan rendah serat, serta kurang aktivitas tubuh. Sedangkan DM gestasional adalah DM yang terjadi pada ibu hamil yang disebabkan oleh adanya hambatan dari proses pemberhentian produksi insulin. DM yang terjadi selama periode prenatal diklasifikasikan menjadi 2 jenis: DM gestasional (GDM) dan DM pregestational (PGDM). PGDM adalah salah MAJORITY I Volume 5 I Nomor 4 I Oktober 2016 I148 satu faktor resiko terjadinya skizofrenia pada anak. Skizofrenia adalah gangguan psikotik yang bersifat kronis atau kambuh ditandai dengan terdapatnya perpecahan (schism) antara pikiran, emosi dan perilaku pasien yang terkena. Penyebab pasti dari skizofrenia masih belum jelas. Konsensus umum saat ini adalah bahwa gangguan ini disebabkan oleh interaksi yang kompleks antara berbagai faktor, yaitu presiposisi genetik, abnormalitas perkembangan saraf, abnormalitas struktur otak, serta Ketidakseimbangan jumlah neurokimia (neurotransmitter). Beberapa komplikasi akibat PGDM dan GDM dapat menjadi kendala dalam masa kehamilan. Hiperglikemia dan hipoksia selama kehamilan menyebabkan fungsi kekebalan tubuh terganggu, termasuk mengganggu faktor nekrosis tumor, C reaktif protein dan peningkatan regulasi sitokin lain yang mempromosikan peradangan. Akhirnya, hiperglikemia ibu bisa memiliki efek pada fisiologi sel janin, menyebabkan peningkatan kerentanan terhadap stres dan kerentanan terhadap skizofrenia. Simpulan Diabetes Melitus pada ibu hamil khususnya PGDM merupakan faktor resiko terjadinya skizofrenia pada anak. Daftar Pustaka 1. Zahtamal, Chandra F, Suyanto, Restuastuti T. Faktor-faktor risiko pasien diabetes melitus. Berita kedokteran masyarakat. 2007; 23(3):142-7 2. Pawelczk T, Szymanska B, Grabka MG, Antczak MK, Pawelczyk. Telomere length in blood cells is related to the chronicity, severity, and recurrence of schizophrenia. Neuropsychiatr Dis Treat. 2015; 11(1):1493-503. 3. Bhandari A, Voimeskos D, Daskala kis ZJ, Rajji TK, Blumberger DM. A review of impaired neuroplasticity in schizophrenia investigated with non-invasive brain stimulation. Frontiers in Psychiatry. 2016; 7(1):1-9. 4. Fadli SM, Mitra. Pengetahuan dan ekspresi emosi keluarga serta frekuensi kekambuhan penderita skizofrenia. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional. 2013; 7(10):466-70. Restu Pamanggih & Soraya Rahmanisa | Diabetes Melitus Maternal sebagai Faktor Risiko Skizofrenia pada Anak 5. 6. 7. 8. Danang HH. Pendekatan holistik pada gangguan jiwa skizofrenia. Jakarta: FKUI; 2013. Lieshout RJV, Voruganti LP. Diabetes melitus during pregnancy and increased risk of schizophrenia in offspring: a review of the evidence and putative mechanisms. J Psychiatry Neurosci. 2008; 33(5):395– 404. Kardika IBW, Herawati S, Yasa IWPS. Preanalitic and interpretation blood glucose for diagnose diabetic melitus. Ejurnal Medika Udayana. 2013; 2(10):1-14. Fatimah RN. Diabetes melitus tipe 2. J Majority. 2015; 4(5):93-101. 9. Ifan PS, Wahiduddin, Dian S. Faktor risiko kejadian pradiabetes/diabetes melitus gestasional di rsia sitti khadijah i kota makassar [Skripsi]. Makassar: Universitas Hasanuddin; 2013. 10. Kaplan HI, Saddock BJ. Sinopsis Psikiatri. Jakarta: Bina Rupa Aksara; 2005. 11. Hawari D. Pendekatan holistik pada gangguan jiwa skizofrenia. Jakarta: FKUI; 2013. 12. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Skizofrenia. Jakarta: Departemen kesehatan RI; 2009. MAJORITY I Volume 5 I Nomor 4 I Oktober 2016 I149