surat tugas - (Juke) Unila

advertisement
Restu Pamanggih & Soraya Rahmanisa | Diabetes Melitus Maternal sebagai Faktor Risiko Skizofrenia pada Anak
Diabetes Melitus Maternal sebagai Faktor Risiko Skizofrenia pada Anak
Restu Pamanggih1, Soraya Rahmanisa2
Mahasiswa, Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung
2
Bagian Biomedik, Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung
1
Abstrak
Skizofrenia adalah kelainan psikotik yang menimbulkan ketidakmampuan seseorang dalam mengatur pikiran, perilaku dan
emosinya. Di Indonesia sendiri prevalensi pasien skizofrenia cukup tinggi, yaitu sebesar 0,46%. Diabetes melitus pada ibu
hamil adalah salah satu faktor resiko terjadinya skizofrenia pada anak. Diabetes melitus pada ibu hamil ini biasa disebut DM
maternal, DM maternal menyebabkan terjadi hiperglikemia pada ibu hamil sehingga bayi merespon dengan pembentukan
insulin yang mengakibatkan konsumsi oksigen meningkat dan terjadilah pada janin. Hipoksia pada janin berpengaruh
terhadap perkembangan saraf dan pembentukan neurotransmitter yang berujung pada terjadinya skizofrenia pada anak.
Hipoksia pada janin juga mempengaruhi terbentuknya eritropoietin dan hemoglobin, hal ini menyebabkan kebutuhan akan
pasokan besi meningkat dan jumlah besi pada serum janin berkurang, besi berperan penting dalam replikasi saraf,
pembentukan mielin dan sintesis neurotransmitter, terutama DA. Selain itu hipoksia juga menyebabkan dikeluarkannya
sitokin pada janin, sitokin berperan negatif terhadap kelangsungan hidup neurotransmitter. Simpulan, DM maternal adalah
faktor resiko terjadinya Skizofrenia pada dengan beberapa mekanisme seperti, hipoksia pada janin yang menyebabkan
terganggu perkembangan saraf pada janin, dan kurangnya pasokan besi pada janin yang meyebabkan terhambatnya
sintesis neurotransmitter pada janin, dan meningkatkatnya jumlah sitokin yang menyebabkan berkurangnya
keberlangsungan hidup dari neurotransmitter.
Kata kunci: diabetes melitus, hipoksia, neurotransmitter, skizofrenia
Maternal Diabetes Mellitus as Risk Factors for Schizophrenia in Children
Abstract
Schizophrenia is a psychotic disorder that causes a person's inability to organize thoughts, behaviors and emotions. In
Indonesia alone, the prevalence of schizophrenia patients is quite high at 0.46%. Diabetes mellitus in pregnancy is a risk
factor for schizophrenia in children. Diabetes mellitus in pregnancy is usually called maternal diabetes, maternal diabetes
cause hyperglycemia occurs in pregnant women, so the baby responds to the formation of insulin resulting in increased
oxygen consumption and it came to pass in the fetus. Fetal Hypoxia effect on neurological development and formation of
neurotransmitters that led to the occurrence of schizophrenia in children. Fetal Hypoxia also affects the formation of
erythropoietin and hemoglobin, causing the need for the supply of iron increases and the amount of iron in reduced fetal
serum, iron plays an important role in the replication of nerves, myelin formation and the synthesis of neurotransmitters,
especially the DA. In addition hypoxia also causes the release of cytokines in the fetus, cytokines play a role here can
negatively affect the survival of neurotransmitters. In conclusion, DM maternal risk factor for schizophrenia in with some
mechanisms, such as hypoxia in the fetus that causes impaired neurological development in fetuses, and the lack of supply
of iron to the fetus that led to the inhibition of the synthesis of neurotransmitters in the fetus, and meningkatkatnya
number of cytokines that lead to reduced survival of neurotransmitter.
Keywords: diabetes mellitus, hipoksia, neurotransmitter, schizophrenia
Korespondensi: Restu Pamanggih, alamat: Jl. Soemantri Brodjonegoro No. 1, No. HP: 08998193199, e-mail:
[email protected]
Pendahuluan
Diabetes melitus (DM) adalah kelainan
metabolik yang disebabkan oleh banyak faktor
seperti
kurangnya
insulin atau
ketidak
mampuan tubuh untuk memanfaatkan insulin,
dengan simtoma berupa hiperglikemia kronis,
kelianan metabolisme protein dan lemak.1
Diabetes melitus (DM) pada ibu hamil
merupakan faktor resiko terjadinya skizofrenia,
DM selama kehamilan dapat meningkatkan
risiko skizofrenia pada keturunannya. Diabetes
melitus gestasional (GDM) terjadi sekitar 4%
dari semua kehamilan di Amerika Serikat, dan
MAJORITY I Volume 5 I Nomor 4 I Oktober 2016 I142
3-5% di Inggris. Prevalensi diabetes melitus
gestasional di Eropa sebesar 2-6%. Prevalensi
prediabetes di Indonesia pada tahun 2007
sebesar 10% sedangkan prevalensi GDM di
Indonesia sebesar 1,9%-3,6% pada kehamilan
umumnya. Pada ibu hamil dengan riwayat
keluarga diabetes melitus, GDM sebesar 5,1%.
Angka ini lebih rendah dari pada prevalensi di
Negara Inggris dan Amerika Serikat. Meskipun
demikian, masalah diabetes gestasional di
Indonesia masih membutuhkan penanganan
yang serius melihat jumlah penderita yang
Restu Pamanggih & Soraya Rahmanisa | Diabetes Melitus Maternal sebagai Faktor Risiko Skizofrenia pada Anak
cukup banyak serta dampak yang ditimbulkan
pada ibu hamil dan janin.1
Skizofrenia
adalah
penyakit
perkembangan saraf dan neurodegeneratif
yang patofisiologi kurang dipahami. ditandai
dengan terdapatnya perpecahan (schism)
antara pikiran, emosi dan perilaku pasien yang
terkena. Perpecahan pada pasien digambarkan
dengan adanya gejala fundamental (atau
primer) spesifik, yaitu gangguan pikiran yang
ditandai dengan gangguan asosiasi, khususnya
kelonggaran asosiasi. Gejala fundamental
lainnya adalah gangguan afektif, autisme, dan
ambivalensi. Sedangkan gejala sekundernya
adalah waham dan halusinasi gejala psikotik
sering hadir dalam skizofrenia, hal ini
berhubungan dengan kelebihan oksigen reaktif
spesies (ROS) dan gangguan pertahanan
oksidatif.2
Skizofrenia (SCZ) adalah penyakit
neuropsikiatri serius yang ditandai oleh fenotip
kompleks, termasuk gejala positif, negatif, dan
kognitif. Gangguan ini mempengaruhi hampir
1% dari populasi sehingga menimbulkan
permasalahan sosial yang cukup besar. Sekitar
1-2 juta masyarakat Indonesia terdeteksi
mengalami Skizofrenia. Ironisnya, banyak
orang yang tidak mengerti benar mengenai
penyakit ini. Skizofrenia sendiri adalah salah
satu gangguan jiwa yang berkaitan dengan
masalah medik. Penyakit ini sering kambuh,
dan mempengaruhi semua aspek kehidupan
penderita. Penyakit ini ditandai dengan ketidak
mampuan menilai realita, dimana penderita
sering mendengar suara bisikan, berperilaku
aneh, dan mempunyai kepercayaan yang salah
yang tidak dapat dikoreksi. Akibatnya, mereka
akan mengalami kemunduran dalam berbagai
aspek kehidupan seperti pekerjaan, hubungan
sosial, dan kemampuan merawat diri, yang bisa
menyulitkan kehidupan pribadi, keluarga,
maupun kehidupan sosial penderitanya. Pada
akhirnya, mereka cenderung menggantungkan
sebagian besar aspek kehidupannya pada
orang lain.3
Hasil riset WHO dan World Bank
menyimpulkan bahwa gangguan jiwa dapat
mengakibatkan
penurunan
produktivitas
sampai dengan 8,5%. Saat ini jiwa menempati
urutan kedua sebagai penyakit yang
menghambat produktifitas seseorang, setelah
penyakit infeksi dengan 11,5%. Pada klien
gangguan jiwa sering terlihat adanya
kemunduran yang ditandai dengan hilangnya
motivasi dan
tanggung
jawab, apatis,
menghindar dari kegiatan, dan hubungan
sosial. Kemampuan dasar sering terganggu,
seperti activities of daily living (ADL). Situasi
tersebut mengakibatkan klien gangguan jiwa
tidak dapat berperan sesuai dengan harapan
lingkungan dimana ia berada. Klien gangguan
jiwa tidak mampu melakukan fungsi dasar
secara mandiri misalnya kebersihan diri,
penampilan dan sosialisasi. Klien seperti ini
tentu akan ditolak oleh keluarga dan
masyarakat.4
Skizofrenia terkait dengan stres,
gangguan neurobiologis yang ditandai dengan
gangguan pikiran. Data menunjukkan bahwa
1% populasi penduduk dunia menderita
skizofrenia. Skizofrenia lebih sering terjadi
pada populasi urban dan pada kelompok sosial
ekonomi rendah. Di seluruh dunia, skizofrenia
tidak terdistribusi merata secara geografis.
Secara historis, prevalensi skizofrenia di timur
laut dan barat Amerika Serikat dilaporkan lebih
tinggi daripada daerah lain. Derajat keparahan
skizofrenia lebih besar di negara maju dari
pada negara berkembang.4
Beberapa
bukti
melibatkan
neuroplastisitas terganggu dalam patofisiologi
SCZ, yaitu perubahan dalam sistem
neurotransmitter dan konektivitas kortikal.
Neuroplastisitas mengacu pada kemampuan
otak untuk menata kembali dan menghasilkan
jalur neuronal baru direspon terhadap
rangsangan internal dan eksternal.3
Namun penyebab pasti dari skizofrenia
masih belum jelas. Konsensus umum saat ini
adalah bahwa gangguan ini disebabkan oleh
interaksi yang kompleks antara berbagai
faktor. Faktor-faktor yang telah dipelajari dan
diimplikasikan meliputi predisposisi genetika,
abnormalitas
perkembangan
saraf,
abnormalitas struktur otak, ketidakseimbangan
neurokimia, dan proses psikososial dan
lingkungan.5
Hipotesis perkembangan saraf secara
luas diakui sebagai penjelasan yang paling
komprehensif
dan
berpengaruh
dari
etiopatogenesis skizofrenia akibat DM pada ibu
hamil. Pada awalnya terjadi penyimpangan
cytoarchitectural prenatal (dijuluki sebagai
"sindrom neuro-dislokasi"), dan berlanjut
dengan terhambatnya transmisi dopaminergik
kortikal dan subkortikal pada janin sehingga
munculnya gejala psikotik dalam kehidupan
dewasa.6
MAJORITY I Volume 5 I Nomor 4 I Oktober 2016 I143
Restu Pamanggih & Soraya Rahmanisa | Diabetes Melitus Maternal sebagai Faktor Risiko Skizofrenia pada Anak
Isi
Diabetes Melitus (DM) adalah penyakit
kelainan metabolik yang dikarakteristikkan
dengan hiperglikemia kronis serta kelainan
metabolisme karbohidrat, lemak dan protein
diakibatkan oleh kelainan sekresi insulin, kerja
insulin maupun keduanya. Hiperglikemia kronis
pada diabetes melitus akan disertai dengan
kerusakan, gangguan fungsi beberapa organ
tubuh khususnya mata, ginjal, saraf, jantung,
dan pembuluh darah. Walaupun pada diabetes
melitus ditemukan gangguan metabolisme
semua sumber makanan tubuh kita, kelainan
metabolisme yang paling utama ialah kelainan
metabolisme karbohidarat. Oleh karena itu
diagnosis diabetes melitus selalu berdasarkan
tingginya kadar glukosa dalam plasma darah.7
Prevalensi DM sulit ditentukan karena
standar penetapan diagnosisnya berbedabeda. Berdasarkan kriteria American Diabetes
Association tahun 2012, sekitar 10,2 juta orang
di Amerika Serikat menderita DM. Sementara
itu, di Indonesia prevalensi DM sebesar 1,52,3% penduduk usia >15 tahun, bahkan di
daerah Manado prevalensi DM sebesar 6,1%.
Pemeriksaan laboratorium bagi penderita DM
diperlukan untuk menegakkan diagnosis serta
memonitor terapi dan timbulnya komplikasi.
Dengan demikian, perkembangan penyakit bisa
dimonitor dan dapat mencegah komplikasi.7
Klasifikasi Diabetes Melitus (DM) adalah
kelainan endokrin yang ditandai dengan
tingginya kadar glukosa darah. Secara etiologi
DM dapat dibagi menjadi DM tipe 1, DM tipe 2,
dan DM dalam kehamilan. DM tipe 1 atau yang
dulu dikenal dengan nama Insulin Dependent
Diabetes Melitus (IDDM), terjadi
karena
kerusakan sel β pankreas (reaksi autoimun). Sel
β pankreas merupakan satu-satunya sel tubuh
yang menghasilkan insulin yang berfungsi
untuk mengatur kadar glukosa dalam tubuh.
Bila kerusakan sel β pankreas telah mencapai
80-90% maka gejala DM mulai muncul.
Perusakan sel ini lebih cepat terjadi pada anakanak daripada dewasa. Sebagian besar
penderita DM tipe 1 sebagian besar oleh
karena proses autoimun, Namun ada pula yang
disebabkan oleh bermacam-macam virus,
diantaranya virus Cocksakie, Rubella, CMVirus,
Herpes, dan lain sebagainya. Ada beberapa tipe
otoantibodi yang dihubungkan dengan DM
Tipe 1, antara lain ICCA (Islet Cell Cytoplasmic
Antibodies), ICSA (Islet cell surface antibodies),
MAJORITY I Volume 5 I Nomor 4 I Oktober 2016 I144
dan antibodi terhadap GAD (glutamic acid
decarboxylase).7
Diabetes melitus tipe 1 yang tidak
diketahui penyebabnya disebut sebagai type 1
idiopathic, pada mereka ini ditemukan
insulinopenia tanpa adanya petanda imun dan
mudah sekali mengalami ketoasidosis.
Diabetes Melitus tipe 1 sebagian besar (75%
kasus) terjadi sebelum usia 30 tahun dan DM
Tipe ini diperkirakan terjadi sekitar 5-10 % dari
seluruh kasus DM yang ada.7
Diabetes Melitus Tipe 2 merupakan
penyakit hiperglikemi akibat insensivitas sel
terhadap insulin. Kadar insulin mungkin sedikit
menurun atau berada dalam rentang normal.
Karena insulin tetap dihasilkan oleh sel-sel beta
pankreas, maka diabetes melitus tipe II
dianggap sebagai non insulin dependent
diabetes melitus. Diabetes Melitus Tipe 2
adalah penyakit gangguan metabolik yang di
tandai oleh kenaikan gula darah akibat
penurunan sekresi insulin oleh sel beta
pankreas dan atau ganguan fungsi insulin
(resistensi insulin).8
Diabetes melitus tipe 2 merupakan 90%
dari kasus DM yang dulu dikenal sebagai non
insulin dependent Diabetes Melitus (NIDDM).
Bentuk DM ini bervariasi mulai yang dominan
resistensi insulin, defisiensi insulin relatif
sampai defek sekresi insulin. Etiologi DM Tipe 2
merupakan
multifaktor
yang
belum
sepenuhnya terungkap dengan jelas. Faktor
genetik dan pengaruh lingkungan cukup besar
dalam menyebabkan terjadinya DM tipe 2,
mantara lain obesitas, diet tinggi lemak dan
rendah serat, serta kurang gerak badan.
Obesitas atau kegemukan merupakan salah
satu faktor pradisposisi utama. Penelitian
terhadap mencit dan tikus menunjukkan
bahwa ada hubungan antara gen-gen yang
bertanggung jawab terhadap obesitas dengan
gen-gen yang merupakan faktor pradisposisi
untuk DM Tipe 2.7
Pada diabetes ini terjadi penurunan
kemampuan insulin bekerja di jaringan perifer
(insulin resistance) dan disfungsi sel β.
Akibatnya,
pankreas
tidak
mampu
memproduksi insulin yang cukup untuk
mengkompensasi insulin resistance. Kedua hal
ini menyebabkan terjadinya defisiensi insulin
relatif. Kegemukan sering berhubungan dengan
kondisi ini. Diabetes Melitus tipe 2 umumnya
terjadi pada usia > 40 tahun. Pada DM tipe 2
terjadi gangguan pengikatan glukosa oleh
Restu Pamanggih & Soraya Rahmanisa | Diabetes Melitus Maternal sebagai Faktor Risiko Skizofrenia pada Anak
reseptornya tetapi produksi insulin masih
dalam batas normal sehingga penderita tidak
tergantung pada pemberian insulin. Walaupun
demikian pada kelompok diabetes melitus tipe2 sering ditemukan komplikasi mikrovaskuler
dan makrovaskuler.7
Diabetes melitus gestasional (GDM)
adalah suatu gangguan toleransi karbohidrat
yang terjadi atau diketahui pertama kali pada
saat kehamilan sedang berlangsung. Keadaan
ini biasa terjadi pada saat 24 minggu usia
kehamilan dan sebagian penderita akan
kembali normal pada setelah melahirkan.
Diabetes melitus gestasional menjadi masalah
kesehatan masyarakat sebab penyakit ini
berdampak langsung pada kesehatan ibu dan
janin. Dampak yang ditimbulkan oleh ibu
penderita diabetes melitus gestasional adalah
ibu berisiko tinggi terjadi penambahan berat
badan berlebih, terjadinya preklamsia,
eklamsia, bedah sesar, dan komplikasi
kardiovaskuler hingga kematian ibu. Setelah
persalinan terjadi, maka penderita berisiko
berlanjut terkena diabetes tipe 2 atau terjadi
diabetes gestasional yang berulang pada 3
masa yang akan datang. Sedangkan bayi yang
lahir dari ibu yang mengalami diabetes
gestasional berisiko tinggi untuk terkena
makrosomia, trauma kelahiran. Selain itu, bayi
berisiko tinggi untuk terkena hipoglikemia,
hipokalsemia, polistemia, hiperbilirubinemia,
obesitas, sindrom gangguan pernafasan dan
DM tipe 2.9
Skizofrenia adalah gangguan psikotik
yang bersifat kronis atau kambuh ditandai
dengan terdapatnya perpecahan (schism)
antara pikiran, emosi dan perilaku pasien yang
terkena. Perpecahan pada pasien digambarkan
dengan adanya gejala fundamental (atau
primer) spesifik, yaitu gangguan pikiran yang
ditandai dengan gangguan asosiasi, khususnya
kelonggaran asosiasi. Gejala fundamental
lainnya adalah gangguan afektif, autisme, dan
ambivalensi. Sedangkan gejala sekundernya
adalah waham dan halusinasi.10
Berdasarkan
DSM-IV,
skizofrenia
merupakan gangguan yang terjadi dalam durasi
paling sedikit selama 6 bulan, dengan 1 bulan
fase aktif gejala (atau lebih) yang diikuti
munculnya delusi, halusinasi, pembicaraan
yang tidak terorganisir, dan adanya perilaku
yang katatonik serta adanya gejala negatif.
Skizofrenia
biasanya menyerang pasien
dewasa yang berusia 15-35
tahun.
Diperkirakan terdapat 50 juta penderita di
dunia, 50% dari penderita tidak menerima
pengobatan yang sesuai, dan 90% dari
penderita yang tidak mendapat pengobatan
tepat tersebut terjadi di negara berkembang.
Di Indonesia, prevalensi gangguan jiwa berat
(skizofrenia) sebesar 0,46%.10
Penyebab pasti dari skizofrenia masih
belum jelas. Konsensus umum saat ini adalah
bahwa gangguan ini disebabkan oleh interaksi
yang kompleks antara berbagai faktor. Faktorfaktor yang telah dipelajari dan diimplikasikan
meliputi:10
1. Predisposisi genetika. Penelitian telah
berfokus pada kromosom 6, 13, 18, dan
22. Ada pula penelitian yang telah
menemukan bahwa pertanda kromosom
yang berhubungan dengan skizofrenia
adalah kromosom 5,11 dan 18 pada
bagian lengan panjang dan kromosom 19
pada bagian lengan pendek, dan yang
paling sering dilaporkan adalah terjadi
pada kromosom X. Pada skizofrenia
kromosom-kromosom ini mengalami
kelainan yaitu saat mengkode dapat
terjadi kekacauan seprti translokasi.
2. Abnormalitas
perkembangan
saraf.
Perkembangan saraf awal selama masa
kehamilan ditentukan oleh asupan gizi
selama hamil ( wanita hamil yang kurang
gizi
mempunyai
risiko
anaknya
berkembang menjadi skizofrenia) dan
trauma psikologis selama masa kehamilan.
3. Abnormalitas struktur otak. Area otak
utama yang terlibat dalam skizofrenia
adalah sistem limbik, ganglia basalis, lobus
frontalis.
Sistem
limbik
berfungsi
mengendalikan emosi. Pada skizofrenia
terjadi penurunan daerah amigdala,
hipokampus dan girus parahipokampus.
Jika fungsi ini terganggu maka akan
menimbulkan gejala skizofrenia yaitu
terjadi gangguan emosi.
4. Ketidakseimbangan jumlah neurokimia
(neurotransmitter). Dopamin merupakan
neurotransmiter
pertama
yang
berkontribusi terhadap gejala skizofrenia.
Hampir semua obat antipsikotik baik
tipikal maupun antipikal menyekat
reseptor dopamin D2. Aktivitas dopamine
yang berlebihan di bagian kortikal otak,
berkaitan dengan gejala positif dari
skizofrenia. Neurotrasnmiiter lain yang
juga
berpera
adalah
serotonin,
MAJORITY I Volume 5 I Nomor 4 I Oktober 2016 I145
Restu Pamanggih & Soraya Rahmanisa | Diabetes Melitus Maternal sebagai Faktor Risiko Skizofrenia pada Anak
norepineprin,
glutamate,dan
GABA.
Homeostasis atau hubungan antar
neurotransmitter mungkin lebih penting
disbanding
jumlah
relative
11
neurotransmitter tertentu.
Pada dasarnya patofisiologi SCZ kurang
dipahami.
Beberapa
bukti
melibatkan
neuroplastisitas terganggu dalam patofisiologi
SCZ
yaitu
perubahan
dalam
sistem
neurotransmitter dan konektivitas kortikal.
Neuroplastisitas mengacu pada kemampuan
otak untuk menata kembali dan menghasilkan
jalur neuronal baru pada respon terhadap
rangsangan internal dan eksternal. Kekuatan
koneksi saraf di jalur aktif disebut long-term
potentiation (LTP). Kelemahan jalur neuronal
yang tidak mampu diaktifkan disebut long-term
depression (LTD). Long-term potentiation dan
LTD dianggap mekanisme saraf yang mendasari
pembelajaran dan memori. Glutamatergic Nmetil-d-aspartat (NMDA) reseptor berperan
penting dalam proses molekuler dari LTP dan
LTD.
Beberapa
penelitian
telah
menghubungkan NMDA reseptor hipofungsi
sehingga memberikan dukungan bagi teori
reseptor NMDA hipofungsi dan gangguan
plastisitas di skizoprenia. Asam gamma amino
butyric-(GABA) juga memainkan kritis peran
dalam modulasi plastisitas sinaptik. NMDA
reseptor diketahui memodulasi tingkat
GABAergic interneuron. Bukti terganggunya
GABAergic neurotransmisi di skizoprenia telah
dibuktikan melalui beberapa postmortem yang
telah menunjukkan baik penurunan kepadatan
interneuron GABAergic di beberapa daerah
korteks serta perubahan dalam asam glutamat
enzim GABA-sintesis dekarboksilase pada
pasien skizoprenia.3
Skizofrenia digolongkan menjadi 4
jenis:12
1. Skizofrenia
Paranoid
adalah
jenis
skizofrenia
dimana
penderitanya
mengalami bayangan dan khayalan
tentang penganiayaan dan kontrol dari
orang lain dan juga kesombongan yang
berdasarkan
kepercayaan
bahwa
penderitanya itu lebih mampu dan lebih
hebat dari orang lain. Skizofrenia Tak
Teratur Jenis skizofrenia yang sifatnya
ditandai terutama oleh gangguan dan
kelainan di pikiran. Seseorang yang
menderita skizofrenia sering menunjukkan
tanda tanda emosi dan ekspresi yang tidak
sesuai untuk keadaan nya. Halusinasi dan
MAJORITY I Volume 5 I Nomor 4 I Oktober 2016 I146
khayalan adalah gejala-gejala yang sering
dialami untuk orang yang mederita
skizofrenia jenis ini.
2. Skizofrenia Katatonia adalah jenis
skizofrenia yang ditandai dengan berbagai
gangguan motorik, termasuk kegembiraan
ekstrim dan pingsan. Orang yang
menderita bentuk skizofrenia ini akan
menampilkan gejala negatif: postur
katatonik dan fleksibilitas seperti lilin yang
bisa di pertahankan dalam kurun waktu
yang panjang.
3. Skizofrenia Tanpa Kriteria adalah jenis
skizofrenia dimana penderita penyakitnya
memiliki delusi, halusinasi dan perilaku
tidak teratur tetapi tidak memenuhi
kriteria untuk skizofrenia paranoid, tidak
teratur, atau katatonik.
4. Skizofrenia Residual adalah skizofrenia
residual akan di diagnosis ketika
setidaknya epsiode dari salah satu dari
empat jenis skizofrenia yang lainnya telah
terjadi. Tetapi skizofrenia ini tidak
mempunyai satu pun gejala positif yang
menonjol.
Adapun gejala skizofrenia yang termasuk
dalam indikator premorbid (pra-sakit) preskizofrenia antara lain:
1. Ketidakmampuan
seseorang
untuk
mengekspresikan emosi seperti wajah
dingin, jarang tersenyum, acuh tak acuh.
2. Penyimpangan komunikasi seperti pasien
sulit melakukan pembicaraan terarah,
kadang menyimpang (tanjential) atau
berputar-putar (sirkumstantial).
3. Gangguan atensi seperti penderita tidak
mampu
untuk
memfokuskan,
mempertahankan, atau memindahkan
atensi.
4. Gangguan perilaku seperti menjadi
pemalu, tertutup, menarik diri secara
sosial, tidak bisa menikmati rasa senang,
menantang
tanpa
alasan
jelas,
mengganggu dan tak disiplin.
Gejala-gejala skizofrenia pada umumnya
bisa dibagi menjadi dua kelas:12
1. Gejala-gejala Positif termasuk halusinasi,
delusi, gangguan pemikiran (kognitif).
Gejala-gejala ini disebut positif karena
merupakan manifestasi jelas yang dapat
diamati oleh orang lain.
2. Gejala-gejala
Negatif
merupakan
kehilangan dari ciri khas atau fungsi
normal seseorang. Termasuk kurang atau
Restu Pamanggih & Soraya Rahmanisa | Diabetes Melitus Maternal sebagai Faktor Risiko Skizofrenia pada Anak
tidak mampu menampakkan atau
mengekspresikan emosi pada wajah dan
perilaku, kurangnya dorongan untuk
beraktivitas, tidak dapat menikmati
kegiatan-kegiatan yang disenangi dan
kurangnya kemampuan bicara (alogia).
Diabetes melitus ibu dalam kehamilan
mempersulit hingga 7% dari kehamilan dan
meningkatkan tingkat kematian ibu dan anak
dalam persalinan. Diabetes melitus yang terjadi
selama periode prenatal diklasifikasikan
menjadi 2 jenis yaitu DM gestasional (GDM)
dan DM pregestational (PGDM).6
Diabetes
mellitus
Gestasional
menyumbang 90% dari semua kasus DM ibu
pada kehamilan dan didiagnosis ketika
gangguan toleransi glukosa yang pertama
terdeteksi selama kehamilan. Dari kasus-kasus
yang tersisa, 60% memiliki diagnosis DM tipe 2
sebelum kehamilan, sementara 40% memiliki
yang sudah ada sebelumnya DM tipe 1. Tidak
seperti PGDM, GDM berkembang lebih jarang
sebelum trimester ketiga, sehingga janin
mampu melewati organogenesis bebas dari
hiperglikemia, sehingga tingkat kematian yang
lebih rendah dan cacat lahir utama.6
Efek dari hiperglikemia maternal pada
perkembangan janin bervariasi dan ditentukan
oleh tingkat keparahan dan waktu DM. Karena
insulin dari ibu tidak melewati plasenta,
produksi insulin janin semata-mata ditentukan
oleh kadar glukosa dalam darah ibu. Glukosa
serum ibu yang tinggi merangsang peningkatan
produksi insulin janin sehingga meningkatkan
resiko makrosomia pada janin, yaitu komplikasi
yang paling umum dari GDM. Makrosomia
meningkatkan risiko komplikasi obstetri
termasuk trauma, operasi caesar dan asfiksia
perinatal. Komplikasi PGDM, di sisi lain, lebih
umum dan parah daripada GDM karena
hiperglikemia
periconceptional
adalah
teratogenik dan dapat menyebabkan cacat
bawaan dan keguguran. Risiko cacat bawaan
pada GDM untuk perempuan nondiabetes
sekitar 2%. Sedangkan 5,9% dan 4,4% dari anak
yang lahir tipe 1 dan tipe 2 dari ibu PGDM.
Otak manusia sangat rentan terhadap efek dari
hiperglikemia, dan risiko relatif malformasi
sistem saraf pusat 15 kali lebih tinggi pada
diabetes dibandingkan pada kehamilan
normal.6
Beberapa komplikasi akibat PGDM dan
GDM dapat menjadi kendala dalam masa
kehamilan. Hiperglikemia dan hipoksia selama
kehamilan menyebabkan fungsi kekebalan
tubuh terganggu, termasuk mengganggu faktor
nekrosis tumor, C reaktif protein dan
peningkatan regulasi sitokin lain yang
mempromosikan
peradangan.
Akhirnya,
hiperglikemia ibu bisa memiliki efek pada
fisiologi sel janin, menyebabkan peningkatan
kerentanan terhadap stres dan kerentanan
terhadap skizofrenia. Peristiwa prenatal juga
dapat menyebabkan komplikasi obstetri
seperti pertumbuhan janin abnormal dan
peningkatan kepekaan terhadap infeksi
prenatal, semua fenomena yang berkaitan
dengan berbagai kelainan perkembangan saraf
dan peningkatan risiko skizofrenia.6
Gambar 1. Patofisiologi diabetes gestasional dan
skizofrenia6
Beberapa perubahan biologis yang
diketahui terjadi pada ibu hamil dengan DM
yang mempengaruhi perkembangan saraf janin
bisa menjelaskan bagaimana DM selama
kehamilan mempengaruhi faktor resiko anak
menderita
skizofrenia.
DM,
diketahui
mempengaruhi perkembangan saraf dan
menginduksi aktivasi kekebalan, stres oksidatif,
hiperinsulinemia, hipoksia jaringan kronis dan
penurunan kadar zat besi pada janin. Naiknya
level insulin meningkatkan konsumsi oksigen
dan
metabolisme
pada
janin,
dan
mengakibatkan hipoksia kronis karena plasenta
tidak dapat menyuplai pengiriman oksigen
untuk memenuhi permintaan ini. Hipoksia
mempengaruhi perkembangan saraf dalam
beberapa cara mulai dari perubahan dalam
mielinisasi dan konektivitas. Selain hipoksia,
MAJORITY I Volume 5 I Nomor 4 I Oktober 2016 I147
Restu Pamanggih & Soraya Rahmanisa | Diabetes Melitus Maternal sebagai Faktor Risiko Skizofrenia pada Anak
kelebihan erythropoietin dan hemoglobin yang
diproduksi sebagai upaya janin untuk
mempertahankan pengiriman oksigen ke
jaringan. Dalam keadaan ini, kebutuhan janin
akan zat besi meningkat. Besi juga memainkan
peran penting dalam replikasi saraf,
pembentukan
mielin
dan
sintesis
6
neurotransmitter, terutama DA.
Hiperglikemia berkaitan dengan aktivasi
sistem kekebalan dan janin dengan keadaan
hipoksia juga dapat meningkatkan beban
inflamasi yang dikeluarkan oleh janin. Sitokin,
termasuk interleukin-6 (IL-6) dan tumor
necrosis factor alpha (TNF-α), meningkat pada
bayi yang mengalami asfiksia dan ensefalopati
hypoxicischemic, hal itu menunjukkan bayi
telah terlibat dalam kerusakan saraf, setelah
gangguan perinatal tersebut.6
Sitokin proinflamasi seperti TNF-α, IL6
mengurangi kelangsungan hidup hipokampus
dan korteks syaraf dan mengurangi
kompleksitas dendritik dalam mengembangkan
neuron kortikal. Sitokin juga mengurangi
kelangsungan
hidup
beberapa
neurotransmitter, yaitu DA dan 5-HT. Oleh
karena itu terjadi hambatan dari transmisi
saraf pada janin yang menjadi salah pertanda
terjadi nya skizofrenia.6
Ringkasan
Diabetes melitus adalah penyakit
kelainan metabolik yang dikarakteristikkan
dengan hiperglikemia kronis serta kelainan
metabolisme karbohidrat, lemak dan protein.
Diabetes Melitus masih menjadi permasalahan
besar bagi indonesia dan mempunyai tingkat
prevalensi yang tinggi di Indonesia. Secara
etiologi DM dapat dibagi menjadi DM tipe 1,
DM tipe 2, dan DM dalam kehamilan. Sebagian
besar penderita DM tipe 1 disiebabkan oleh
karena proses autoimun, DM Tipe 2
disebabkan oleh multifaktor yang belum
sepenuhnya terungkap dengan jelas. Faktor
genetik dan pengaruh lingkungan cukup besar
dalam menyebabkan terjadinya DM tipe 2,
antara lain obesitas, diet tinggi lemak dan
rendah serat, serta kurang aktivitas tubuh.
Sedangkan DM gestasional adalah DM yang
terjadi pada ibu hamil yang disebabkan oleh
adanya hambatan dari proses pemberhentian
produksi insulin. DM yang terjadi selama
periode prenatal diklasifikasikan menjadi 2
jenis: DM gestasional (GDM) dan DM
pregestational (PGDM). PGDM adalah salah
MAJORITY I Volume 5 I Nomor 4 I Oktober 2016 I148
satu faktor resiko terjadinya skizofrenia pada
anak.
Skizofrenia adalah gangguan psikotik
yang bersifat kronis atau kambuh ditandai
dengan terdapatnya perpecahan (schism)
antara pikiran, emosi dan perilaku pasien yang
terkena. Penyebab pasti dari skizofrenia masih
belum jelas. Konsensus umum saat ini adalah
bahwa gangguan ini disebabkan oleh interaksi
yang kompleks antara berbagai faktor, yaitu
presiposisi
genetik,
abnormalitas
perkembangan saraf, abnormalitas struktur
otak, serta Ketidakseimbangan jumlah
neurokimia (neurotransmitter).
Beberapa komplikasi akibat PGDM dan
GDM dapat menjadi kendala dalam masa
kehamilan. Hiperglikemia dan hipoksia selama
kehamilan menyebabkan fungsi kekebalan
tubuh terganggu, termasuk mengganggu faktor
nekrosis tumor, C reaktif protein dan
peningkatan regulasi sitokin lain yang
mempromosikan
peradangan.
Akhirnya,
hiperglikemia ibu bisa memiliki efek pada
fisiologi sel janin, menyebabkan peningkatan
kerentanan terhadap stres dan kerentanan
terhadap skizofrenia.
Simpulan
Diabetes Melitus pada ibu hamil
khususnya PGDM merupakan faktor resiko
terjadinya skizofrenia pada anak.
Daftar Pustaka
1. Zahtamal, Chandra F, Suyanto, Restuastuti
T. Faktor-faktor risiko pasien diabetes
melitus. Berita kedokteran masyarakat.
2007; 23(3):142-7
2. Pawelczk T, Szymanska B, Grabka MG,
Antczak MK, Pawelczyk. Telomere length
in blood cells is related to the chronicity,
severity, and recurrence of schizophrenia.
Neuropsychiatr
Dis
Treat. 2015;
11(1):1493-503.
3. Bhandari A, Voimeskos D, Daskala kis ZJ,
Rajji TK, Blumberger DM. A review of
impaired neuroplasticity in schizophrenia
investigated with non-invasive brain
stimulation. Frontiers in Psychiatry. 2016;
7(1):1-9.
4. Fadli SM, Mitra. Pengetahuan dan ekspresi
emosi
keluarga
serta
frekuensi
kekambuhan penderita skizofrenia. Jurnal
Kesehatan Masyarakat Nasional. 2013;
7(10):466-70.
Restu Pamanggih & Soraya Rahmanisa | Diabetes Melitus Maternal sebagai Faktor Risiko Skizofrenia pada Anak
5.
6.
7.
8.
Danang HH. Pendekatan holistik pada
gangguan jiwa skizofrenia. Jakarta: FKUI;
2013.
Lieshout RJV, Voruganti LP. Diabetes
melitus during pregnancy and increased
risk of schizophrenia in offspring: a review
of the evidence and putative mechanisms.
J Psychiatry Neurosci. 2008; 33(5):395–
404.
Kardika IBW, Herawati S, Yasa IWPS.
Preanalitic and interpretation blood
glucose for diagnose diabetic melitus. Ejurnal Medika Udayana. 2013; 2(10):1-14.
Fatimah RN. Diabetes melitus tipe 2. J
Majority. 2015; 4(5):93-101.
9.
Ifan PS, Wahiduddin, Dian S. Faktor risiko
kejadian pradiabetes/diabetes melitus
gestasional di rsia sitti khadijah i kota
makassar [Skripsi]. Makassar: Universitas
Hasanuddin; 2013.
10. Kaplan HI, Saddock BJ. Sinopsis Psikiatri.
Jakarta: Bina Rupa Aksara; 2005.
11. Hawari D. Pendekatan holistik pada
gangguan jiwa skizofrenia. Jakarta: FKUI;
2013.
12. Departemen
Kesehatan
Republik
Indonesia.
Skizofrenia.
Jakarta:
Departemen
kesehatan
RI;
2009.
MAJORITY I Volume 5 I Nomor 4 I Oktober 2016 I149
Download