BAB V KESIMPULAN Perkembangan musik secara umum dan dangdut secara khusus di Indonesia, ternyata tidak lepas dari perkembangan situasi politik. Diawali dari sikap politik Soekarno yang anti Barat dan dilanjutkan dengan sikap politik Soeharto yang sangat cenderung ke Barat, ternyata sangat mempengaruhi perkembangan musik di Indonesia. Sikap Soekarno yang anti Barat telah menyebabkan musik-musik khususnya dari Amerika dan Inggris sangat dibatasi bahkan dilarang untuk berkembang di Indonesia. Pergantian rezim dari Soekarno ke Soeharto yang orientasi politiknya sangat cenderung ke Barat, ternyata sangat mempengaruhi perkembangan musik di Indonesia. Akibatnya, musik-musik dari Barat dapat berkembang dengan leluasa. Hal tersebut terlihat dengan munculnya grup-grup musik lokal yang identik dengan grup-grup musik dari Barat, misalnya AKA meniru gaya Emerson Lake, Palmer dan Black Sabath, sementara God Bless meniru Kansas, The Rollies meniru Chicago, Trencem selalu menyanyikan lagu-lagu Deep Purple dan Bentoel selalu meniru Rolling Stones dan lain sebagainya. Peniruan semacam itu juga dilakukan oleh salah satu musisi yang sebelumnya berada dalam 239 jalur genre Melayu, Rhoma Irama, yang kemudian memunculkan istilah musik dangdut pada awal tahun 1970’an. Selama masa kekuasaan rezim Ore Baru khususnya sejak periode 1970’an hingga 1990’an, musik dangdut mengalami perkembangan yang sangat pesat. Rezim ini memandang perkembangan musik yang sangat pesat tersebut ibarat pedang bermata dua. Pada satu sisi ia dapat menjadi sesuatu yang sangat berbahaya, namun di sisi lain ia dapat diandalkan sebagai sebuah senjata yang ampuh. Musik dangdut dianggap sebagai suatu yang sangat berbahaya ketika lirik-liriknya mengandung kritikan terhadap rezim, terutama jika lirik tersebut disampaikan secara tersurat. Meskipun demikian, sudut pandang atau standar suatu lagu dangdut dianggap berbahaya atau tidak adalah sudut pandang rezim, sehingga makna dari lagu-lagu dangdut memakai standar rezim. Ketika musik dangdut bersinggung dengan kekuasaan, ternyata hal tersebut dapat merubah – dalam bahasa Tod Jones – praktik-praktik budaya. Salah satunya ketika Rhoma Irama bergabung dengan PPP pada tahun 1977, ia mengubah lirik lagu “Begadang”nya sesuai dengan kepentingan kampanye saat itu. selain itu, campur tangan rezim terhadap pekembangan musik dangdut, juga telah merubah fungsi dari musik dangdut itu 240 sendiri, dimana musik dangdut yang pada awalnya berfungsi sebagai media hiburan, dalam perkembangannya lebih dominan sebagai alat kepentingan rezim, meskipun fungsinya sebagai hiburan tetap terlihat, namun hiburan tersebut beralih fungsi menjadi hiburan untuk kepentingan rezim. Sejumlah pelarangan terhadap musisi-musisi dangdut dan lagu mereka untuk disiarkan di TVRI dengan alasan lagu-lagu tersebut tidak sesuai dengan kepribadian bangsa dan alasan lainnya, menunjukkan bahwa rezim Orde Baru bersikap totaliter atau berusaha mengendalikan segala aspek kehidupan masyakarakat, termasuk perkembangan musik dangdut, termasuk di dalamnya menuntukan mana yang baik dan mana buruk dengan standarnya. Meskipun demikian, sikap totaliter rezim tersebut tidak selalu dapat mengedalikan perkembangan musik dangadut. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari kenyataan bahwa selera seni massa tidak selalu sejalan dengan kepentingan rezim. Pada sisi yang lain, dalam sejarah perkembangannya, ternyata musik dangdut dapat dijadikan senjata yang begitu ampuh guna mewujudkan kepentingan rezim. Dengan jumlah penggemar yang begitu banyak, rezim memanfaatkan musik dangdut untuk kepentingan mereka, terutama ketika kampanye menjelang 241 pemilihan umum yang fungsi utamanya sebagai pengumpul massa. Demikian juga halnya dengan pendapat Nirwan Dewanto – dalam bab IV awal - sangat tepat sekali dalam menggambarkan perkembangan musik dan hubungannya dengan kepentingan rezim dari 1970’an hingga 1990’an. Negara bersikat acuh tak acuh terhadap musik dangdut ketika kelahiran genre musik tersebut pada 1970’an awal dan seiring dengan perkembangan musik ini yang semakin populer, sikap tersebut berubah menjadi sikap memusuhi ketika dianggap bertentangan dengan kepentingan rezim. Memasuki tahun tahun 80’an hingga 90’an awal, sikap rezim terhadap musik dangdut sangat ambigu. Di satu sisi rezim mulai mensponspori perkembangan musik dangdut, namun di sisi lain sejumlah pelarangan terhadap TVRI – yang diberlakukan pertengahan 70’an – tetap diberlakukan. Wacana yang dilontarkan rezim dalam menjadikan dangdut sebagai musik nasional, meskipun sangat sarat dengan kepentingan politik dan ekonomi, ternyata sangat menguntungkan musik dangdut itu sendiri. Wacana ini juga dapat muncul tidak terlepas dari perkembangan musik dangdut yang sangat pesat dan semakin harmonisnya hubungan antara musik dangdut dan rezim, terutama sejak tahun 1990’an awal. Hubungan yang 242 harmonis tersebut pada akhirnya tidak hanya menguntungkan musisi dangdut, namun juga sangat menguntungkan rezim Orde Baru. Ketika hubungan yang terjalin antara musisi dangdut dan rezim berada dalam periode yang harmonis, kritik-kritik dari musisi dangdut terhadap rezim terdengar semakin halus. Sementara untuk penyanyi dangdut selain Rhoma Irama, dapat dikatakan tidak perubahan tersebut tidak begitu tampak. Kalaupun lagu mereka ada yang dilarang selama rezim Orde Baru berkuasa, itu semata merupakan representasi dari sifat rezim yang totaliter. 243