bab i pendahuluan

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan yang sangat luas dan berada pada 6o LU
hingga 11oLS serta pada 95oBT hingga 141oBT. Berdasarkan data dari Badan Informasi
Geospasial (BIG) pada tahun 2013, panjang garis pantai Indonesia sepanjang 99.093 km
(belum termasuk garis pulau dan danau ) dengan jumlah pulau sebanyak 13.466 pulau
(by name by address). Konsekuensi dari panjangnya garis pantai tersebut adalah
dibutuhkannya stasiun pasang surut yang lebih banyak di sepanjang garis pantai tersebut
untuk memberikan gambaran kondisi pasang surut yang benar. Indonesia pada tahun
2013 baru memiliki 113 stasiun pasang surut dari target 400 stasiun dibawah koordinasi
Badan Informasi Geospasial(BIG, 2013). Hal ini menyebabkan kebutuhan akan data
pasang surut di pantai-pantai di Indonesia belum dapat terakomodasi.
Data pasut sangat penting bagi kegiatan pembangunan dan pengembangan daerah
pesisir.Dari data tersebut dapat diketahui informasi muka air laut dan perkiraan air laut
tertinggi serta terendah untuk referensi pembangunan dermaga atau pelabuhan. Selain
itu, dapat didefinisikan chart datum pada suatu perairan tertentu. Dengan pengembangan
teknologi akuisisi data yaitu secara ekstraterestrial menggunakan satelit altimetri, data
pasut memegang peranan sebagai koreksi SSH maupun SLA satelit altimetri. Namun
karena ketersediaannya yang terbatas, informasi pasang surut pada suatu perairan
tertentu belum dapat diketahui.
Salah satu solusi dari keterbatasan data pasang surut dari stasiun pasang surut di
sepanjang pantai di Indonesia adalah dengan menggunakan model pasang surut global.
Model pasang surut global diantaranya dibentuk menggunakan data satelit altimetri
seperti TOPEX/Poseidon, ERS-2, ENVISAT, Jason-1 atau Jason-2 pada periode tertentu
menggunakan metode tertentu (Savcenko dan Bosch, 2011). Model pasang surut global
diklasifikasikan menjadi tiga kategori, yang pertama adalah model berdasarkan analisis
data altimetri seperti model CSR (Center for Space Research) dan GOT (Goddard
1
2
Ocean Tide). Kategori kedua adalah model hidrodinamik murni seperti model FES95.2
serta kategori terakhir adalah model dinamis yang diasimilasikan dengan data pasut
observasi seperti model TPXO dan FES2004 (Basith, 2012). Namun, ketelitian dari
model pasang surut global tergantung pada lokasi perairan (region-dependent) dimana
ketelitiannya lebih rendah secara signifikan untuk daerah pesisir daripada di laut dalam
(Fok dkk., 2010).
Beberapa model pasang surut global (Global Tide Model) telah diasimilasi dan
divalidasi menggunakan data pasang surut perairan tertentu sehingga menghasilkan
model pasang surut regional. Model pasang surut ini meningkat ketelitiannya di perairan
tersebut dibandingkan model pasang surut global sehingga hanya cocok digunakan pada
perairan tersebut. Namun, belum diketahui model pasut yang paling sesuai, khususnya
untuk perairan pulau Jawa. Untuk itu, diperlukan identifikasi model pasut global dan
regional yang sesuai dengan cara (1) Nilai konstanta harmonik pasang surut suatu
perairan dari model pasut memiliki nilai yang tidak jauh berbeda dengan nilai konstanta
harmonik pasang surut dari data lapangan (pengukuran pasang surut terestris) (Lyard
dkk., 2005), (2) Model pasut digunakan untuk aplikasi tertentu, misalnya koreksi data
satelit altimetri dapat meningkatkan ketelitian atau standar deviasi data satelit altimetri
(Fok dkk, 2010).
Pada penelitian ini dilakukan evaluasi terhadap Regional Tide ModeldanGlobal
Tide Model untuk mengetahui model pasang surut yang paling sesuai dengan wilayah
perairan pulau Jawa. Model yang diuji yaitu model pasut regional buatan BIG (Badan
Informasi Geospasial) dan model global FES2012 dan TPXO7-Atlas. Pemilihan model
tersebut
dikarenakan
model
BIG
merupakan
asimilasi
model
TPXO7-Atlas
menggunakan data pasang surut perairan Indonesia sedangkan model FES2012 dipilih
karena merupakan model terbaru dengan resolusi spasial yang baik dan ukuran grid yang
rapat. Semakin kecil perbedaan antara konstanta harmonik pasut model dengan data
pengamatan pasut maka makin baik model pasang surut tersebut untuk digunakan pada
suatu perairan (Fok dkk., 2010). Selain itu, ketelitian (STD) data satelit altimetri yang
3
meningkat setelah diberikan koreksi dari model pasut maka semakin baik model
tersebut.
I.2. Rumusan Masalah
Saat ini tersedia model pasang surut global serta model pasang surut regional hasil
asimilasi dengan data pasang surut terestris sebagai alternatif menyelesaikan
keterbatasan data pasang surut yang ada di lapangan. Namun demikian, belum diketahui
ketelitian dan kesesuaian model-model tersebut dengan perairan pulau Jawa. Oleh
karena itu perlu dilakukan evaluasi model pasut dengan data pengamatan pasut dan
satelit altimetri untuk mengetahui model yang paling sesuai di gunakan di perairan pulau
Jawa.
I.3. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan masalah yang diidentifikasi pada sub bab I.2 maka peneliti
merumuskan beberapa pertanyaan sebagai berikut :
1. Berapakah nilai konstanta harmonik pasang surut pada masing-masing Global
Tide Model (FES2012 dan TPXO-7 Atlas), model pasang surut regional buatan
BIG serta data stasiun pasang surut pada perairan pulau Jawa?
2. Bagaimanakah urutan model yang memiliki nilai Root Mean Square (RMS),
Root Sum of Squares (RSS), Root Sum of Squares of the In-phase and
Quadrature (RSSIQ), Discrepancy (D) dengan data tide gauges terkecil hingga
terbesar?
3. Bagaimanakah urutan model yang memberikan nilai standar deviasi (STD) SLA
data satelit altimetri terkoreksi pasang surut laut data model dari terkecil hingga
terbesar?
4. Model pasut apa yang paling sesuai digunakan pada perairan pulau Jawa?
I.4. Cakupan Penelitian
Pada penelitian ini dilakukan evaluasi ketelitian model pasang surut global dan
regional pada perairan pulau Jawa. Data yang digunakan yaitu data pasang surut terestris
pada 4 stasiun pasut di pulau Jawa dan satelit altimetri yang melewati pulau Jawa selama
4
satu tahun. Model yang dievaluasi yaitu model pasut global FES2012 dan TPXO7-Atlas
serta model pasut regional BIG. Evaluasi dilakukan dengan membandingkan nilai
amplitudo 4 konstanta utama dari model terhadap konstanta dari pengukuran terestris.
Selain itu, nilai konstanta harmonik dari model digunakan untuk koreksi SLA satelit
altimetri yang masih mengandung nilai pasut ekuilibrium periode panjang dan sinyal
musiman sehingga akan menghasilkan nilai standar deviasi yang lebih baik. Model pasut
yang paling sesuai digunakan di perairan pulau Jawa ditunjukkan dengan model yang
memiliki nilai perbandingan ketelitian dan standar deviasi yang paling kecil.
I.5. Tujuan
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah :
1. Memperoleh nilai konstanta harmonik pasut dari data stasiun pasut dan 3 (tiga)
model pasut.
2. Memperoleh nilai perbandingan ketelitian (RMS, RSS, RSSIQ dan D) antara
konstanta harmonik model pasut regional dan global terhadap konstanta
harmonik data pasut terestris/lokal.
3. Memperoleh nilai perbandingan ketelitian (STD) model pasut regional dan
global untuk aplikasi koreksi data satelit altimetri.
4. Memperoleh model pasut yang paling sesuai dengan perairan pulau Jawa.
I.6. Manfaat
Manfaat dari penelitian ini yaitu dengan diketahui model pasut yang sesuai dengan
perairan pulau Jawa, maka dapat digunakan oleh pihak lain seperti instansi-instansi
terkait yang membutuhkan data pasang surut pada perairan pulau Jawa khususnya dan
perairan Indonesia lainnya yang jauh dari lokasi stasiun pasang surut. Oleh karena itu,
pembangunan dan pekerjaan lain yang memanfaatkan informasi pasut dapat dilakukan.
I.7. Tinjauan Pustaka
Cheng dkk (2010) melakukan validasi terhadap model pasut DTU10 dengan
pengukuran stasiun pasut pada wilayah Northwest European Shelf dan Eastern China
Sea. Perbandingan dengan model referensi FES2004 dan dengan model pasut global lain
5
seperti EOT08a dan GOT4.7 menunjukkan konstanta harmonik utama (M2, S2, K1 dan
O1) yang lebih baik pada wilayah perairan dangkal.
Carrere dkk (2012) mengadakan penelitian terhadap model pasut global FES2012.
Keakurasian model ini ditingkatkan dengan menggunakan data satelit altimetri selama
20 tahun namun masih memiliki errorpada perairan dangkal dan lintang tinggi. Model
ini masih harus meningkatkan koreksi pasang surut untuk semua misi satelit altimetri
dan misi SWOT pada tahun 2020. Nilai konstanta harmonik M2 lebih baik daripada
model DTU10 dan GOT4.8, khususnya pada wilayah pesisir dan shelf. Sedangkan nilai
K1 lebih baik pada wilayah pesisir/shelf daripada laut dalam.
European Space Agency (ESA) (2014) membandingkan model GOT4.8 dengan
FES2004 menggunakan data residu along-track 7,5 tahun dan data satelit Jason-2 dan
ENVISAT. Hasil menunjukkan bahwa model GOT4.8 mengurangi residu varian lebih
besar daripada FES2004 di perairan dangkal. Pengurangan varian tersebut lebih besar
dari 25 cm2.
Fok dkk (2010) melakukan penelitian dengan judul “evaluation of ocean tide
models used for Jason-2 Altimetry correction”. Pada penelitian ini, para peneliti
memperkirakan keakurasian koreksi pasut pada satelit altimetri Jason-2 menggunakan
model pasut FES2004 dan GOT00.2 dengan fokus pada wilayah pesisir tertentu. Model
pasut lain yang digunakan untuk memvalidasi di wilayah pesisir adalah EOT08a,
GOT4.7, NAO.99b, OSU06, TPXO6.2, TPXO7.1 dan TPX07.1. Metode yang
digunakan adalah dengan analisis data referensi di lapangan dan analisis variancereduction satelit altimetri. Wilayah perairan yang diteliti adalah pesisir pasifik barat laut,
atlantik barat laut, Gulf of Mexico, Patagonia Shelf, Cina Tenggara, Australia Selatan
dan Afrika Selatan. Hasil penelitian ini menunjukkan keakurasiannya tergantung pada
wilayah perairan tertentu pada tingkat RMS 2-3 cm.
Shum dkk (2012) melakukan evaluasi terhadap model pasang surut. Penelitian ini
menunjukkan perkiraan akurasi global dan regional menggunakan data stasiun pasut dan
data satelit altimetri. Stasiun pasut yang digunakan adalah stasiun pesisir dan pelagic.
Selain itu juga menggunakan database stasiun BODC acclaim, DART, gloup shelf,
6
rosame, SW 179, sonel dan gloup deep. Satelit altimetri yang digunakan adalah
TOPEX/Poseidon, GFO, Envisat, Jason-1 dan Jason-2. Wilayah yang diteliti adalah Gulf
Mexico dan Northwest Atlantic, Patagonia Shelf, Southeast Australia, Indonesia Sea,
Northeast Pasific dan Japanese Sea. Penelitian ini menunjukkan bahwa semua model
pasut ketelitiannya bergantung pada wilayah perairan.
Umam (2013) melakukan penelitian dengan melakukan evaluasi data hasil
prediksi elevasi dan ekstraksi konstanta pasut. Penelitian ini menggunakan model pasut
TPXO7.1 dan mengolahnya menggunakan perangkat lunak TMD. Hasil dari penelitian
ini adalah perbandingan konstanta pasut hasil prediksi elevasi dan ekstraksi konstanta
pasut dalam TMD menunjukkan nilai RMSE amplitudo dan beda fase paling kecil
dimiliki oleh komponen K1. Sedangkan untuk nilai RMSE amplitudo terbesar adalah
komponen S2 serta RMSE beda fase terbesar adalah komponen N2. Nilai rata-rata
RMSE amplitudo dan beda fase berturut-turut adalah sebesar 3,49336 dan 87,24757.
Pada penelitian ini dilakukan evaluasi terhadap tiga buah model pasang surut yaitu
model pasang surut global (FES2012 dan TPXO7-Atlas) serta model pasang surut
regional yaitu model pasut BIG. Metode evaluasi model menggunakan metode
perbandingan nilai konstanta harmonik data model dengan konstanta harmonik dari data
pengamatan pasut di pulau Jawa yaitu stasiun Kolinlamil, Pelabuhan Ratu, Surabaya dan
Sadeng. Metode evaluasi lain yang digunakan adalah identifikasi nilai standar deviasi
pada SLA (Sea Level Anomaly) dari data satelit altimetri Jason-2 yang telah diberi
koreksi pasut laut dari model. Berdasarkan hasil studi pustaka, belum ditemukan
penelitian yang serupa untuk melakukan evaluasi model pasang surut. Pada penelitian
ini difokuskan untuk memperoleh model pasang surut yang cocok digunakan pada
perairan pulau Jawa.
I.8. Landasan Teori
I.8.1. Teori Pasang Surut Laut
Pasang surut adalah fenomena naik dan turunnya muka air laut secara periodik
yang disebabkan karena pergerakan bumi, bulan, matahari dan benda astronomi lainnya
7
serta gaya sentrifugal sebagai gaya penyeimbang yang menyebabkan perpindahan massa
air laut seluruhnya dari permukaan hingga dasar laut (Donkers, 1964).
Terdapat beberapa teori mengenai pasang surut air laut seperti yang dikemukakan
oleh Sir Isaac Newton (1642-1727) mengenai teori pasut setimbang (Equilibrium Tides).
Teori ini mengasumsikan bumi berbentuk bola sempurna yang diselimuti air dengan
kedalaman homogen. Bumi dan air yang menyelimutinya dianggap dalam keadaan diam
(bumi ideal) sampai terdapat gaya yang mempengaruhinya. Namun pada kenyataannya,
bumi tidak berada pada keadaan setimbang karena tidak seluruh permukaan bumi
diselimuti oleh air namun juga terdapat daratan pada bumi. Selain itu, dasar laut
memiliki topografi dengan kedalaman yang beragam (tidak homogen). Adanya gesekan
(Zahran dkk., 2006) antara massa air laut dengan dasar laut atau antar massa air laut itu
sendiri juga mempengaruhi kondisi pasang surut setimbang.
I.8.2. Teori Harmonik Pasang Surut
Matahari dan bulan merupakan dua benda astronomi utama yang gaya tariknya
terhadap bumi mempengaruhi pasang surut yang terjadi di bumi. Benda astronomi lain
kecil pengaruhnya sehingga diabaikan karena jaraknya yang terlalu jauh dari bumi atau
karena ukurannya yang kecil (Donkers, 1964). Meskipun massa matahari lebih besar
dibanding massa bulan, gaya pembangkit pasang surut karena gaya tarik bulan lebih
besar pengaruhnya.
Teori pasut setimbang yang pertama dikemukakan oleh Laplace kemudian
dikembangkan oleh beberapa peneliti seperti Darwin, Doodson dan Franco. Pada
pengembangannya, Darwin menghasilkan beberapa konstanta harmonik seperti Mf, O1,
K1, OO1, M2, K2, P1, K1, Q1, S2, K2 dan Ssa. Sedangkan Doodson menetapkan
bilangan Doodson untuk membeda-bedakan jenis pasut. Bilangan Doodson ini
menetapkan nilai 0 (nol) untuk komponen periode panjang, 1 (satu) untuk komponen
diurnal dan 2 (dua) untuk komponen semidiurnal. Pengembangan teori harmonik pasut
oleh Franco menghasilkan komponen periode panjang, diurnal dan semidiurnal (Basith,
2014).
8
I.8.3. Konstanta Harmonik Pasang Surut
Gerakan pembangkit pasut dapat direpresentasikan dalam bentuk kurva kosinus.
Sumbu
horizontal
merepresentasikan
waktu
sedangkan
sumbu
vertikal
merepresentasikan besarnya gaya pembangkit pasut. Puncak kurva menandakan waktu
maksimal saat gaya membangkitkan pasut sedangkan sebaliknya, lembah kurva
menandakan waktu minimal. Masing-masing gerakan pembangkit pasut tersebut
direpresentasikan menjadi kurva kosinus harmonik sederhana yang dikenal sebagai
komponen pasut, konstanta pasut dan konstanta harmonik.
Konstituen pasut disebut sebagai konstanta semidiurnal utama matahari (Principal
Solar semidiurnal constituent) yang disimbolkan S2 sedangkan konstanta semidiurnal
utama bulan (Principal Lunar semidiurnal constituent) disimbolkan M2. Angka dua
menandakan bahwa konstanta tersebut mengalami dua siklus sehingga konstanta S2 dan
M2 merupakan konstanta semidiurnal. Periode S2 adalah 12,00 jam matahari sedangkan
periode M2 adalah 12,42 jam matahari. Dalam fungsi kecepatan n, S2 berkecepatan n =
360˚/12,00 = 30˚/jam sedangkan untuk M2 n = 360˚/12,42 = 28,984˚/jam.
K1 sebagai Luni-solar Declinational diurnal constituent dan O1 sebagai Principal
Lunar Declinational diurnal constituent merepresentasikan siklus deklinasi maksimal ke
deklinasi maksimal dari bulan yang terjadi setiap 27.3216 hari (bulan tropikal) atau
655.72 jam matahari. Deklinasi utara ke selatan memiliki kecepatan 1.098˚/jam sehingga
:
Kecepatan K1 = (28,984˚ + 1,098˚) = 15,041˚/jam
Kecepatan O1 = (28,984˚ - 1,098˚) = 13,943˚/jam
Principal Solar Declinational diurnal constituent atau P1 dan K1 sebagai Lunisolar Declinational diurnal constituent merepresentasikan siklus deklinasi maksimal ke
deklinasi maksimal dari matahari. Siklus ini memiliki waktu 4382.91 jam dari utara ke
selatan (juga dari selatan ke utara) dengan kecepatan 0,082˚/jam yang mempengaruhi
nilai S2 sehingga :
9
Kecepatan K1 = (30,000˚ + 0,082˚)/2 = 15,041˚/jam
Kecepatan P1 = (30,000˚ - 0,082˚)/2 = 14,959˚/jam
Tipe pasang surut dapat diketahui dari bilangan Formzahl dengan rumus (Ilahude,
1999) :
………………………………………………..(I.1)
dimana F adalah bilangan Formzahl, AK1 adalah amplitudo konstanta K1, AO1 adalah
amplitudo konstanta O1, AM2 adalah amplitudo konstanta M2 serta AS2 adalah
amplitudo konstanta S2. Klasifikasi tipe pasang surut berdasarkan nilai F yaitu :
a. 0 < F
0,25
: Tipe pasang surut harian ganda
b. 0,25 < F
1,50
: Tipe pasut campuran condong harian ganda
c. 1,50 < F
3,00
: Tipe pasut campuran condong harian tunggal
d. F > 3,0
: Tipe pasut harian tunggal
I.8.4. Analisis Harmonik Pasut dengan Metode Least-Square Adjustment
Analisis harmonik pasut merupakan suatu metode untuk mengetahui sifat dan
karakter pasut pada suatu perairan tertentu menggunakan hasil pengamatan pasut di
perairan tersebut selama kurun waktu tertentu. Nilai konstanta harmonik dihitung dalam
analisis harmonik ini yaitu nilai amplitudo dan beda fase dari unsur-unsur pembentuk
pasut dengan metode tertentu (Ali dkk., 1994) salah satunya yaitu metode hitung kuadrat
terkecil. Prinsip metode ini adalah meminimalkan perbedaan sinyal komposit dan sinyal
ukuran.
Persamaan analisis harmonik dengan kuadrat terkecil ditunjukkan pada persamaan
I.2.
( )
( )
∑
(
) ……………………….………..(I.2)
dengan h(t) adalah tinggi muka air laut yang merupakan fungsi dari waktu, v(t) adalah
residu, hm adalah tinggi muka air rerata, Ai adalah amplitudo komponen ke-1, i yaitu
10
kecepatan sudut komponen ke-i serta gi yaitu beda fase komponen ke-i. Jika persamaan
I.2 diuraikan dan dimisalkan :
maka persamaannya menjadi :
( )
( )
∑
∑
……….………..(I.3)
dimana Ar dan Br adalah konstanta harmonik ke-i, k adalah komponen pasut dan tn
adalah waktu pengamatan tiap jam.
Besarnya tinggi muka air rerata hasil hitungan persamaan I.3 mendekati elevasi
pasut pengamatan fungsi waktu jika memenuhi syarat hukum kuadrat terkecil yaitu
jumlah kuadrat residu minimum. Syarat ini kemudian diturunkan terhadap Ar dan Br.
Berdasarkan estimasi kuadrat terkecil maka penyelesaian analisis harmonik metode
kuadrat terkecil dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Persamaan observasi tinggi muka laut L=AX
2. Persamaan koreksi V=AX – L, sehingga
( )
∑
∑
( )
…………….…..(I.4)
Amplitudo dan fase komponen pasut laut ditentukan dengan persamaan 1.5 dan I.6.
………………………..…………………….…………(I.5)
√
…………………………………………………….…………..(I.6)
Desain matriks pengamatan pasut adalah sebagai berikut :
1 cos1t 1 s i n2t 1  cosk t 1 s i n1t 1  s i nk t 1 
1 cos t s i n t  cos t s i n t  s i n t 
1 1
2 1
k 1
1 1
k 1

A

n k





1 cos1t n s i n2t n  cosk t n s i n1t n  s i nk t 
h1 
L   
hn 
X  ( AT PA) 1 ( AT PL)
11
h0 
A 
 1
 
 
k X 1  Ak 
 B1 
 
 
B 
 k
I.8.5. Konsep Satelit Altimetri
Satelit altimetri yang diperkenalkan pertama kali pada 1970-an membawa
kemajuan pada ketersediaan data pasang surut. Satelit altimetri dengan kemampuannya
mampu mengobservasi topografi ketinggian permukaan laut secara global dengan
sampling temporal mingguan, resolusi cross-track 100 km dan akurasi yang lebih baik.
Pada tahun 1991, diluncurkan satelit ERS-1 disusul peluncuran satelit altimetri
TOPEX/Poseidon. TOPEX/Poseidon ini memiliki cakupan global dengan keakurasian
yang belum pernah ada sebelumnya, serta memiliki sampling orbital yang optimal yang
mengawali ilmu pasang surut dan satelit oseanografi menggunakan satelit altimetri
(Fudkk., 1994). Setelah saat itu, satelit altimetri lain diluncurkan seperti ER2-2, GFO,
Envisat, Jason-1, Jason-2 untuk berbagai keperluan geofisika dan oseanografi seperti
perubahan iklim, kenaikan muka air laut, perpindahan panas, sirkulasi laut dan lain
sebagainya (Fok dkk., 2010).
Satelit altimetri mengukur jarak vertikal antara satelit ke permukaan air laut
(range). Ketinggian air laut atau sea surface height (SSH) dari elipsoid referensi
diperoleh dari selisih antara tinggi satelit dari elipsoid referensi (altitude) dengan jarak
vertikal. Pada rumus I.7, h adalah jarak vertikal satelit dari elipsoid referensi global
diperoleh dari (Seeber,2003) :
h=H+N+a
……………..………………………………….(I.7)
12
dengan H adalah jarak vertikal MSS (Mean Sea Surface) terhadap geoid referensi, N
adalah undulasi geoid dan a adalah ketinggian orbit sebenarnya dari MSL. Komponen
dalam persamaan I.2 diatas dapat disajikan pada Gambar I. 1.
Gambar I.1. Konsep dasar satelit altimetri (Seeber, 2003)
I.8.6. Koreksi pada Pengukuran Satelit Altimetri
Kesalahan yang memerlukan koreksi pada pengukuran satelit altimetri dibagi
menjadi lima bagian (Moody dkk., 1996), yaitu kesalahan orbit, kesalahan satelit,
kesalahan media transmisi, kesalahan media pantul dan bias geofisika. Perlu diterapkan
koreksi pada bias geofisika untuk memperoleh nilai SSH yang akurat. Koreksi yang
diterapkan antara lain :
I.8.6.1. Koreksi instrumen
Biasanya, pengaruh kesalahan instrumen ini dapat ditentukan dengan melakukan
kalibrasi terhadap satelit altimetri dengam melakukan survey teliti di wilayah tertentu.
Kesalahan ini mencakup kesalahan Doppler-shift, bias antena, kesalahan nadir dan
beberapa kesalahan bias internal. Kesalahan Doppler-shiftakan mempengaruhi jarak
satelit altimetri ke permukaan laut dikarenakan adanya keterlambatan waktu
13
pengukuran. Hal ini disebabkan karena kecepatan radial satelit sehingga frekuensi
Doppler bergeser.
Offset pusat massa diperhitungkan untuk menentukan perbedaan pusat fase pada
antena satelit altimetri tempat menerima pulsa yang dipancarkan dan yang diterima
kembali dari permukaan laut. Selain itu, perhitungan orbit satelit juga didasarkan pada
pusat massa satelit ini. Pengukuran pada satelit altimetri dilakukan pada antenna satelit
altimetri yang letaknya tidak tepat berada di pusat massa satelit. Jarak antara pusat
massa satelit dengan antenna satelit disebut dengan bias antenna yang ditetapkan
sebelum satelit diluncurkan.
Penyimpangan pancaran sinyal arah vertikal karena garis proyeksi titik nadir
satelit ke permukaan bumi tidak selalu segaris dengan proyeksi tinggi satelit
menyebabkan kesalahan nadir. Hal ini mengakibatkan hasil pengukuran jarak yang
diperoleh adalah jarak miring terhadap titik offset dari nadir dan tidak persis pada posisi
yang terhitung.
I.8.6.2. Koreksi media transmisi
Koreksi media transmisi diterapkan dikarenakan pulsa menjalar melewati lapisan
atmosfer yaitu toposfer dan ionosfer. Koreksi ini meliputi koreksi ionosfer, troposfer
kering dan troposfer basah. Koreksi ionosfer bergantung pada frekuensi gelombang
altimetri dan tingkat ionisasi pada lapisan atmosfer. Nilai ionosfer ini diberikan oleh
instrumen yang terpasang pada satelit. Pada satelit bekerja dua buah sensor yang bekerja
secara simultan untuk mereduksi bias karena lapisan atmosfer.
Koreksi troposfer kering disebabkan karena komponen udara kering pada atmosfer
tidak dapat diukur langsung oleh sensor. Koreksi ini menggunakan model yang sudah
ada seperti model Saastamoinen tahun 1972. Koreksi toposfer basah karena kadar uap
air pada toposfer dapat dihitung dengan sensor microwave radiometer.
14
I.8.6.3. Koreksi Sea State Bias (SSB)
Koreksi media pantul disebabkan karena tiga dampak yang saling berhubungan
yaitu tracker bias, electromagnetic bias dan skewness bias. Bias elektromagnetik yaitu
perbedaan antara muka laut rerata dengan muka pantulan rerata dikarenakan tingkat
kekasaran muka laut yang tidak homogen. Skewness bias adalah beda tinggi antara muka
pantulan rata-rata dengan muka pantulan rata-rata yang diukur oleh satellite tracker.
Bias ini disebabkan oleh distribusi tinggi muka laut yang tidak normal.
I.8.6.4. Koreksi geofisik
Koreksi geofisik terdiri dari pasang surut laut (ocean tide), pasut pembebanan
(loading tide), pasut bumi padat (solid earth tide), pasut kutub (pole tide) dan pasut
atmosfer. Pasut laut disebabkan karena adanya gaya tarik menarik matahari dan bulan
terhadap bumi.pasut laut memberikan pengaruh yang besar terhadap dinamika
perubahan muka laut. Terdapat model pasang surut laut yang tersedia saat ini seperti
model global FES (Finite Element Solution), GOT (Goddard Ocean Tide) dan
sebagainya.
Perubahan naik turunnya air permukaan bumi menyebabkan lapisan kerak bumi
juga mengalami pembebanan. Jika air pasang maka kerak bumi akan mengalami
pembebanan yang besar dan sebaliknya. Pasang surut tersebut disebut dengan pasang
surut pembebanan atau loading tide yang
besarnya hanya 7% dari pasut laut
(Schwiderski, 1980). Pasut bumi padat disebabkan karena gaya gravitasi benda langit
terhadap bumi padat sedangkan pasut kutub disebabkan karena osilasi sumbu rotasi
bumi terhadap kerangka inersial periode 12 hingga 14 bulan.
Diatas permukaan laut terdapat atmosfer yang memiliki tekanan meningkat
maupun menurun. Hal ini berpengaruh pada permukaan laut dimana setiap tekanan
atmosfer bertambah 1 mbar maka akan menurunkan permukaan laut setinggi 1 cm.
Koreksi ini disebut inverse barometric yang dihitung dari koreksi troposfer kering
(Benada, 1996).
15
Dengan memperhitungkan semua koreksi tersebut maka akan diperoleh tinggi
permukaan laut (SSH) yang aktual. Persamaan I.8 menunjukkan rumus menentukan
SSH dengan memperhitungkan berbagai koreksi.
………………..……………………………………… (I.8)
dimana hinstr adalah koreksi instrumen, hiono adalah koreksi ionosfer, hdry adalah koreksi
troposfer kering, hwet adalah koreksi troposfer basah, hssb adalah koreksi sea state bias,
hoc adalah koreksi pasut laut, hol adalah koreksi pasut pembebanan, hsol adalah koreksi
pasut bumi padat, hpole adalah koreksi pasut kutub, hib adalah koreksi inverse barometric
dan e adalah noise dalam pengukuran.
I.8.7. Satelit Altimetri Jason-2
Misi satelit Jason-2 pertama kali diluncurkan pada 20 Juni 2008 oleh NOAA
(National Oceanic and Atmospheric Administration) Amerika, NASA (National
Aeronautics and Space Administration) Amerika, CNES (Centre National d’Etudes
Spatiales) Prancis dan EUMETSAT (the European Organization for the Exploitation of
Meteorological Satellites). Satelit Jason-2 disebut juga dengan OSTM (the Ocean
Surface Topography Mission) yang memiliki misi utama untuk memonitor tren kenaikan
kenaikan muka laut sebagai salah satu indikator perubahan iklim global. Jason-2
memecahkan rekor decadal global untuk pertama kalinya untuk memahami peran
penting laut dalam permasalahan perubahan iklim global. Oleh karena itu, data misi
satelit ini memungkinkan pemantauan perubahan sea level rise secara kontinyu (Dumont
dkk., 2011).
Pengukuran SSH (sea surface height) menggunakan misi satelit ini berada pada
ketelitian 3,4 cm atau lebih baik (pada 1 Hz). Koreksi pada alat dan lingkungan
diterapkan untuk mencapai ketelitian yang diinginkan. Selain itu, suatu sistem
pengukuran diterapkan berdasarkan dampak yang diantisipasi dari perbaikan pengolahan
offline ground. Perbaikan ini diharapkan mampu mengurangi kesalahan sea surface
16
height (SSH) hingga RMS 2,5 cm. Komponen dari OSTM/Jason-2 ini antara lain
(Dumont dkk., 2011) :
a. Altimeter (Poseidon-3) sebagai instrumen utama;
b. Advanced Microwave Radiometer (AMR) untuk mengoreksi pengukuran
altimeter untuk keterlambatan range atmosfer dikarenakan kelembaban air;
c. Sistem
radio
positioning
DORIS,
untuk
penentuan
kepresisian
orbit
menggunakan stasiun referensi di bumi;
d. Laser Reflection Array, untuk kalibrasi sistem penentuan orbit;
e. GPS receiver presisi (GPSP), untuk menyediakan data posisi tambahan bagi
DORIS untuk mendukung fungsi POD dan meningkatkan pemodelan medan
magnetik;
f. CARMEN-2 Radiation Detectors, untuk mengukur partikel high-energy yang
dapat mengganggu osilator ultra-stable pada DORIS;
g. Light Particle Telescope (LPT) yang berfungsi menyediakan JAXA bagi
pengukuran radiasi yang diterima DORIS;
h. Detektor Time Transfer by Laser Link (T2L2), untuk memonitor jam pada
DORIS.
Gambar I.2 Komponen utama satelit Jason-2 (Dumont dkk.,2011)
Karakteristik satelit Jason-2 disebutkan dalam Tabel I.1 (Seeber, 2003).
17
Tabel I.1.Karakteristik satelit altimetri Jason-2 (Seeber, 2003)
Misi Satelit Altimetri
Jason-2
Tahun awal peluncuran
2008
Ketinggian rata-rata
1336 km
Inklinasi
66˚
Cakupan lintang maksimum
± 66˚
Pengulangan cycle
10 hari
Jarak antar track
315 km
Radiometer/ frekuensi
Ya/4
Penentu orbit
SLR, GPS, DORIS, Laser tracking
OSTM/Jason-2 memiliki ascending passdari lintang -66.15 derajat hingga +66.15
derajat serta descending pass mulai dari lintang -66.15 derajat hingga +66.15 derajat.
Track atau pass diberi penomoran dari 1 hingga 254 sesuai dengan jumlah track Jason-2.
Ascending pass diberi nilai ganjil sedangkan descending pass diberi nomor genap.
Masing-masing track akan kembali pada titik pengamatan yang sama dengan ketelitian
±1 km dalam waktu 9,9 hari (Dumont dkk., 2011). Gambar I.3 menggambarkan track
satelit altimeter Jason-2 di atas peta dunia.
18
Gambar I.3. Track satelit altimeter Jason-2 dengan resolusi spasial 10 hari (Dumont
dkk., 2011)
I.8.8. Geophysical Data Record (GDR) Jason-2
Satelit altimeter Jason-2 menghasilkan 3 (tiga) jenis kelompok produk yaitu
OGDR (Operational Geophysical Data Records), IGDR (Interim Geophysical Data
Records) dan Final GDR (Geophysical Data Records). Final GDR merupakan produk
akhir yang telah melewati 3 (tiga) tahap pemrosesan data, yaitu (Dumont dkk., 2011) :
a. Validasi data telemetri
b. Validasi data karena kesalahan sensor dan koreksi geofisik
c. Validasi menggunakan orbit presisi
Produk GDR tersedia tiap cycle yang didistribusikan melalui halaman web CNES
atau NOAA.Satu cycle satelit altimeter Jason-2 berisi data pengamatan 10 hari. Satelit
akan mengamat pada suatu titik dan akan kembali mengamat pada titik yang sama dalam
waktu 10 hari dengan ketelitian posisi kurang lebih 1 kilometer (Dumont dkk., 2011).
19
Masing-masing dari ketiga kelompok produk data satelit altimeter Jason-2
memiliki tiga tipe file dalam format NetCDF (*.nc), termasuk kelompok data final GDR
itu sendiri, yaitu :
a. GDR-SSHA. Tipe file ini berisi kumpulan data pengamatan menggunakan
frekuensi sensor 1 Hz terreduksi. Data yang dimuat adalah data Sea Surface
Height (SSH).
b. GDR. Data ini disebut juga dengan native GDR, berisi data pengamatan
menggunakan frekuensi sensor 1 Hz dan 20 Hz.
c. S-GDR. S-GDR berisi data penuh radar-echo waveform. Wavefrom merupakan
data yang berisi kekuatan radar yang dipantulkan permukaan laut dan diterima
kembali oleh sensor pada satelit altimeter.
Kelompok data GDR memiliki keakurasian yang paling baik. Sedangkan ukuran
dan kompleksitas tipe file GDR meningkat dari GDR-SSHA, GDR hingga S-GDR.
Kelompok data GDR satelit altimeter Jason-2 memiliki penamaan sesuai konvensi
sebagai berikut :
GDR-SSHA:
JA2_GP<R>_2P<v>P<ccc>_<ppp>_<yyyymmdd_hhnnss>_<yyyymmdd_hhnns
s>.nc
GDR:
JA2_GP<N>_2P<v>P<ccc>_<ppp>_<yyyymmdd_hhnnss>_<yyyymmdd_hhnns
s>.nc
S-GDR:
JA2_GP<S>_2P<v>P<ccc>_<ppp>_<yyyymmdd_hhnnss>_<yyyymmdd_hhnns
s>.nc
dimana,
<N/R/S>
: tipe produk (N : native, R : terreduksi, S : sensor)
20
<v>
: versi produk
<ccc>
: nomor cycle
<ppp>
: nomor pass atau track
<yyyymmdd_hhnnss> : tanggal awal dan akhir pengamatan pada satu cycle.
Data utama GDR adalah range atau jarak satelit altimetri ke permukaan target.
GDR menyediakan range yang diukur pada Ku band dan C band. Range harus dikoreksi
dikarenakan keterlambatan sinyal pada atmosfer ataupun dikarenakan pemantulan sinyal
di permukaan laut. Persamaan I.9 menunjukkan koreksi yang harus diberikan kepada
range (Dumont dkk., 2011).
Jarak terkoreksi = jarak – koreksi toposfer basah + koreksi troposfer kering +
koreksi ionosfer + koreksi sea state bias
……………...…………………(I.9)
I.8.9. Sea Surface Height (SSH) dan Sea Level Anomaly (SLA)
SSH merupakan ketinggian permukaan laut diatas elipsoid referensi. Nilai SSH
dapat dihitung dengan mengurangkan nilai altitude atau ketinggian terbang satelit dari
elipsoid referensi terhadap jarak terkoreksi. SLA didefinisikan sebagai SSH yang
dikurangkan terhadap nilai MSS (Mean Sea Surface) dan efek geofisik seperti pasang
surut dan inverse barometric. Persamaan I.10 merupakan expression pada perangkat
lunak BRAT yang menunjukkan efek geofisik yang perlu disertakan untuk memperoleh
nilai SLA.
SLA = alt – range – dry_topocorr–(hf_fluctuationscorr + inv_barcorr) –
solid_earth_tidecorr – pole_tidecorr – sea_state_biascorr – ionocorr – wet_tropocorr –
MSS………………………………………………………………….……….. (I.10)
Keterangan dari persamaan I.5 adalah :
alt
: Altitude
range
: Jarak satelit terhadap permukaan laut
21
dry_topocorr
: Koreksi troposfer kering
hf_fluctuationscorr
: Fluktuasi topografi permukaan laut
inv_barcorr
: Koreksi inverse barometric
solid_earth_tidecorr
: Koreksi pasang surut bumi padat
pole_tidecorr
: Koreksi pasang surut kutub
sea_state_biascorr
: Koreksi sea state bias
ionocorr
: Koreksi ionosfer
wet_tropocorr
: Koreksi troposfer basah
MSS
: Mean Sea Surface
I.8.10. Koreksi Pasang Surut pada Satelit Altimeter Jason-2
Pasang surut berpengaruh secara signifikan terhadap Sea Surface Height (SSH)
observasi (Le Provost, 2001). Terdapat berbagai macam efek pasang surut yang
berpengaruh, yaitu pasang surut laut, pasang surut gaya berat (load tide), pasang surut
bumi padat serta pasang surut kutub. GDR Jason-2 menyediakan dua jenis nilai pasang
surut geosentris, yaitu ocean_tide_sol1 dan ocean_tide_sol2 sebagai salah satu koreksi
geofisik. Keduanya dihitung menggunakan jumlah nilai pasang surut laut tipe diurnal
dan semidiurnal serta nilai loading yang diprediksi menggunakan model GOT4.8 dan
FES2004.
Koreksi pasang surut ini digunakan untuk mengurangkan nilai Sea Surface Height
(SSH) sehingga menghasilkan nilai Sea Level Anomaly (SLA) (Dumont dkk., 2011).
Tide solution 1 dihasilkan menggunakan model GOT00.2 (GOT4.8) dan nilai pasang
surut laut S1 sedangkan nilai pasang surut pembebanan S1 diabaikan. Pada tide solution
2 menggunakan nilai dari model FES2004 serta nilai pasang surut laut S1 dan M4. Nilai
pasang surut pembebanan S1 dan M4 diabaikan pada solusi tersebut.
22
I.8.11. Model Pasang Surut
Dilatarbelakangi karena tidak memadainya data pasut konvensional untuk perairan
tertentu, model pasang surut global menjadi salah satu solusinya. Global tide model
memberikan pemodelan pasang surut di seluruh laut di permukaan bumi, baik di lautan
luas maupun di lautan pesisir yang dibangun menggunakan data satelit altimetri periode
tertentu dan beberapa stasiun pasut di lapangan. Beberapa model pasut yang dikenal
dengan berbagai versi adalah TPXO, FES (Finite Element Solution), GOT, DTU, CSR,
EOT dan lain-lain. Keakurasian model pasut global ini bergantung pada wilayah
perairan tertentu (region-dependent) dimana keakurasiannya memburuk untuk daerah
pesisir atau perairan dangkal (Fu, dkk, 2010).
Model pasut dapat diklasifikasikan menjadi tiga kategori (Zahran dkk., 2006) ,
yaitu:
a. Model berdasarkan analisis data altimetri untuk mengekstrak berbagai sinyal
pasut. Model ini pertama kali diikuti oleh satelit altimetri Geosat yang kemudian
dilanjutkan oleh TOPEX/Poseidon. Produk dari model ini adalah model CSR
(Center for Space Research) dan GOT (Goddard Ocean Tide).
b. Model hidrodinamik murni yang dihitung tanpa asimilasi data. Model yang
termasuk kategori ini adalah Finite Element Solution (FES 95.2) dan ICOM.
c. Model dinamis dengan asimilasi dari data pasut observasi (altimeter, stasiun
pasut pesisir dan pelagic). Model NAO, ORI, FES02 dan FES2004 termasuk
kategori model ini.
I.8.11.1. Finite Element Solution 2012 (FES2012)
Model pasang surut global FES (Finite Element Solution) 2012 merupakan salah
satu model hidrodinamik sebagai pengembangan dari versi sebelumnya yaitu
FES2004.FES2012 meningkatkan resolusi pada perairan global menggunakan data
pengamatan altimeter selama 20 tahun. Time series selama 20 tahun ini dianggap cukup
untuk menganalisa perairan dalam dengan lebih baik. Dari versi sebelumnya, FES2012
23
mengalami peningkatan kualitas pada data batimetri dan garis pesisir (Carrere dkk.,
2012).
FES2012 dibangun berdasarkan resolusi dari persamaan barotropik pasang surut
(model T-UGO) pada konfigurasi spektral. Sebanyak 32 konstanta pasang surut
(amplitudo dan fase) didistribusikan pada ukuran grid 1/16˚ x 1/16˚. Sebanyak kurang
lebih 1,5 juta titik node digunakan untuk meningkatkan keakurasian pada batimetri dua
kali lebih baik dibanding pendahulunya, FES2004. Keakurasian ini ditingkatkan kembali
dengan asimilasi data satelit altimeter jangka panjang (Topex/Poseidon, Jason-1, Jason2, ERS-1, ERS-2 dan ENVISAT) menggunakan metode asimilasi.FES2012 lebih baik
dibandingkan model FES2004 dan GOT4.8 khususnya pada area pesisir dan laut
dangkal.
I.8.11.2. TPXO7-Atlas
Wilayah pesisir dengan struktur topografi yang kompleks menyebabkan kualitas
penyelesaian global dan regional dibatasi oleh resolusinya. Dengan penyelesaian
menggunakan model Atlas dapat diperoleh resolusi yang lebih baik. Pada model Atlas
berhubungan dengan model dasar pada perairan dalam dan pada model lokal yang
diinterpolasi kepada grid yang lebih sempit pada wilayah pesisir.
TPXO7-Atlas menggabungkan semua model lokal kecuali laut Mediterania
ditambah dengan model Laut Baltik. Model Atlas akan sesuai dengan stasiun pasang
surut pesisir secara signifikan daripada model dasar namun masih lebih buruk jika
dibandingkan model lokal dikarenakan resolusi yang lebih kecil.
Selain model pasut global, beberapa model pasang surut regional diciptakan untuk
suatu wilyah perairan tertentu. Ketelitiannya meningkat di wilayah perairan tersebut jika
dibandingkan dengan model pasut global. Model pasut regional diperoleh dari beberapa
data altimetri dan dataset lain seperti data pengamatan pada stasiun pasang surut laut
yang diasimilasikan.
24
I.8.12. Metode Evaluasi Model Pasang Surut
Salah satu metode evaluasi model pasut laut yaitu analisis data titik kontrol di
lapangan (coastal and pelagic tidal constants). Metode ini melibatkan interpolasi bilinier
pada model grid konstanta pasut untuk mengetahui posisi catatan pasut tersebut tersedia
untuk kemudian dievaluasi antar keduanya. Metode ini menggunakan perhitungan
deviasi RMS dari konstanta harmonik untuk setiap konstituen j yang diturunkan dari
model pasut dibandingkan data referensi di lapangan yang didefinisikan sebagai (Fok,
dkk, 2010) :
∑
RMSj = √
dengan
,
*,
,
( )–
dan
( )-
,
( )–
( )- + .....……(I.11)
merupakan amplitude in-phase and quadrature pasut
dengan titik kontrol di lapangan untuk setiap stasiun i dan konstituen j serta N adalah
jumlah lokasi dimana amplitude in-phase and quadrature dihitung. Selanjutnya, RSS
(Root Sum of Squares) merupakan jumlah efek dari n konstituen pasut untuk setiap
model dirumuskan :
RSS = √∑
………………………………………….……………(I.12)
Root Sum of Squares of the In-Phase and Quadrature (RSSIQ) merupakan formula
untuk memperkirakan seluruh kesalahan model pasut dengan data kontrol di lapangan
dari RSS yang dirumuskan :
RSSIQ = √
∑
∑
*(
(
))
(
(
)) +
……….………(I.13)
Discrepancy (D) dalam prosentase dirumuskan :
D=
x 100%
………………………...……………………….…….(I.14)
Semakin kecil nilai D menunjukkan nilai error atau perbedaan yang semakin kecil
antara model pasut dengan data di lapangan. Sebaliknya, semakin besar nilai D
25
menunjukkan nilai perbedaan yang semakin besar antara model pasut dengan data di
lapangan.
Metode lain intuk melakukan evaluasi terhadap model pasang surut adalah dengan
memberikan koreksi pasang surut dari sinyal utama di laut terhadap nilai anomali SSH
dari data satelit altimetri. Diasumsikan bahwa model pasang surut yang baik akan
ditunjukkan dengan nilai variasi nilai residu SLA terkoreksi pasut model yang minimum
(King dkk., 1995). Standar deviasi dan residu SLA dari data satelit altimetri setelah nilai
koreksi pasut model dihilangkan dihitung untuk mengetahui variasi laut dapat
diminimalkan setelah koreksi pasut dihilangkan. Residu SLA dapat dihitung dengan
(Fok dkk., 2010) :
Residu SLA = SLA – (pasut diurnal + pasut semidiurnal) – LP – sinyal musiman
…………………………………………...……………………………….….(I.15)
dimana nilai pasut diurnal dan semidiurnal diperoleh dari model pasang surut. Pada
penelitian ini, nilai residu SLA yang dihasilkan masih mengandung nilai LP (pasut
ekuilibrium periode panjang) dan sinyal musiman.
I.9.
Hipotesis
Selain dari metode pengamatan pasut terestris dan satelit altimetri, data pasut dapat
diperoleh dari model pasut global dan regional. Meskipun model pasut global divalidasi
dengan data pasut terestris untuk meningkatkan ketelitian pada perairan tersebut, namun
belum dapat dipastikan kesesuaiannya dengan wilayah perairan pulau Jawa. Untuk
mengetahuinya perlu dilakukan evaluasi terhadap model pasang surut global dan
regional dengan dua metode yaitu (1) Nilai konstanta harmonik pasang surut suatu
perairan dari model pasut memiliki nilai yang tidak jauh berbeda dengan nilai konstanta
harmonik pasang surut dari data lapangan (pengukuran pasang surut terestris) (Lyard
dkk., 2005), (2) Model pasut digunakan untuk aplikasi tertentu, misalnya koreksi data
satelit altimetri dapat meningkatkan ketelitian atau standar deviasi data satelit altimetri
(Fok dkk., 2010).
26
Pada penelitian ini dilakukan evaluasi terhadap model pasang surut regional BIG
yang dibuat dari model TPXO7-Atlas. Model regional ini telah divalidasi dan diasimilasi
menggunakan data pasang surut perairan Indonesia sehingga mampu menggambarkan
karakteristik pasang surut Indonesia yang mendekati sebenarnya. Selain itu, model
FES2012 juga dievaluasi karena model ini memiliki ukuran grid yang rapat yakni 1/16⁰
x 1/16⁰ sehingga dapat memberikan hasil interpolasi yang lebih baik. Model dasar
pembuatan model BIG yaitu model TPXO7-Atlas juga dievaluasi pada penelitian ini.
Oleh karena itu hipotesis dalam penelitian ini adalah :
1. Berdasarkan
hasil penelitian yang dilakukan oleh Fok dkk (2010), nilai
amplitudo konstanta harmonik pasut M2 berkisar antara 1,59 cm s.d. 42,03 cm,
1,48cm s.d.11,57 cm untuk S2, 1,47 cm s.d. 15,18 cm untuk K1 dan 1,26 cm
s.d.11,01 cm untuk O1.
2. Nilai perbandingan ketelitian (RMS, RSS, RSSIQ dan D) antara konstanta
harmonik pasut data model dengan data pasut terestris dari terkecil hingga
terbesar berturut-turut adalah model regional BIG, FES2012 dan TPXO7-Atlas.
3. Nilai perbandingan ketelitian (standar deviasi) model pasut regional dan global
untuk aplikasi koreksi data satelit altimetri terkecil dari terkecil hingga terbesar
adalah model regional BIG, FES2012 dan TPXO7-Atlas.
4. Model pasang surut yang paling sesuai digunakan pada wilayah perairan pulau
Jawa yaitu model regional BIG.
Download