Media Kedokteran Hewan Vol. 22, No. 3, September 2006 Pelacakan Antigen Virus Penyakit Jembrana pada Limfosit Darah Tepi dengan Antibodi Monoklonal Detection of Jembrana Disease Viral Antigen in Peripheral Blood Lymph ocytes by Monoclonal Antibodies Nyoman Mantik Astawa 1, Nining Hartaningsih 2, Luh Putu Agustini 2, Wayan Masa Tenaya 2, Ketut Berata 1, dan Luh Putu Manik Widiyanti 3 Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana, Jln. P B Sudirman, Denpasar 80232, Tel . 0361223791, e-mail: [email protected] Laboratorium Bioteknologi, Balai Penyidikan d an Pengujian Veteriner Wilayah VI Denpasar, Bali 3) Universitas Pendidikan Ganesha, Singaraja Bali 1) 2) Abstract The antigen of Jembrana disease virus (JDV) was detected in peripheral blood lymphocytes of Bali cattle by monoclonal antibodies against the capsid pr otein of the virus. The monoclonal antibodies were produced by fusion of myeloma cells with lymphocytes of mice immunized with JDV antigen. They were then used to detect JDV antigen in peripheral blood lymphocytes. JDV antigen was detected by immunositoche mistry technique as early as day-3 post-infection with the percentage of infected cells of 0,74%. The percentage of infected cells increased substantially at day -7 post-infection (6,21%), and started to decline at day -9 (5,12%) and day-11 (3,87%) post-infection. A similar result was obtained by western blotting, with which JDV antigen was detectable as early as day-4 post-infection with a very weak “band”. becoming more evident at day -5, 7, and 9 post-infection. At day11 post-infection, a weaker band was still detectable. The detection of JDV antigen in peripheral blood lymphocytes was accompanied by the rise of body temperature and the decline of total leucocyte counts. A rapid and an accurate diagnosis of JDV infection in Bali cattle can therefore be e stablished by the detection of JDV antigen in peripheral blood lymphocytes, determination of body temperature and total blood leucocyte count. Key words: Monoclonal antibodies, capsid protein, lymphocytes, Bali cattle, peripheral blood Pendahuluan Penyakit Jembrana (Jembrana disease/JD) merupakan penyakit menular akut pada sapi Bali yang disebabkan oleh lentivirus dari familia Retroviridae (Wilcox et al,. 1995). Secara ekonomi, penyakit ini sangat merugikan peternak karena telah menghambat penyebaran sapi Bali ke berbagai daerah di Indonesia. Tersedianya metode diagnosis yang cepat dan akurat merupakan hal yang amat penting dalam upaya pencegahan dan pengendalian penyakit Jembrana pada sapi Bali. Sampai saat ini, metode diag nosis laboratorium yang telah dikembangkan untuk penya kit Jembrana adalah uji enzym-linked immunosorbent assay (ELISA) (Hartaningsih et al., 1993; Desport et al., 2005) dan uji Western blotting (Kertayadnya et al., 1997). Keterbatasan kedua uji ini adala h hanya dapat dipakai untuk melacak antibodi khas virus JD pada hewan terinfeksi atau hewan yang pernah terinfeksi virus JD. Karena antibodi khas virus JD baru dapat dilacak setelah 2 bulan pascainfeksi (Hartaningsih et al., 1993), kedua uji tersebut tidak dapat dipakai untuk mendiagnosis penyakit Jembrana pada fase akut. Telah pula dikembangkan teknik polymerase chain reaction (PCR) untuk melacak asam nukleat virus pada hewan terinfeksi pada fase akut (S tewart et al., 2005). Teknik ini juga mempunyai kele mahan, yaitu hanya dapat dilakukan di laboratorium yang mempunyai fasilitas memadai dengan perangkat dan reagen yang mahal sehingga masih sulit diadopsi pada kondisi kebanyakan laboratorium diagnostik yang ada di Indonesia. Oleh karena itu, pelacakan antigen virus JD dalam limfosit darah tepi dengan AbMo mempunyai beberapa keunggulan. Pertama, AbMo hanya bereaksi dengan 1 jenis epitop sehingga mampu melacak antigen dengan tingkat kekhasan yang tinggi (Campbel, 1991). Tingkat kekhasannya yang tinggi menyebabkan AbMo banyak dipakai untuk menganalis struktur dan peta epitop dalam suatu antigen dari berbagai virus (Higman and Niles, 1994; Smirnov et al, 1999). Kedua, berbeda dengan dengan teknik ELISA dan western blotting yang telah dikembangkan sebelumnya, tekn ik ini dapat dipakai untuk mendiagnosis infeksi virus JD pada fase akut dan pada hewan yang masih hidup. Ketiga, diperlu - 154 Nyoman Mantik Astawa dkk .; Pelacakan Antigen Virus Penyakit Jembrana pada Limfosit Darah Tepi. .. kan fasilitas yang relatif lebih sederhana, dan reagen yang lebih murah jika dibandingkan dengan teknik PCR yang memerlukan reagen yang lebih mahal, fasilitas yang lebih canggih dan teknik pengerjaan yang lebih rumit. Pada sapi Bali yang mati atau dibunuh karena penyakit Jembrana, antigen atau asam nukleat virus JD dapat dilacak pada limfosit yang ada di dalam limpa dan limfoglandula, da n juga dalam limfosit yang menginfiltrsi berbagai organ atau jaringan seperti paru, ginjal, dan berbagai jaringan lainnya (Chadwick et al., 1997; Dharma, 1997). Sementara itu, pada saat sakit, virus JD dengan titer yang sangat tinggi (10 8 partikel infektif/ml plasma) ditemukan dalam plasma darah sapi terinfeksi terutama pada saat demam (Soeharsono et al., 1995) dan biasanya disertai dengan penurunan jumlah lekosit (leukope nia) secara tajam (Soesanto et al., 1990). Oleh karena menyerang limfosit, pela cakan antigen virus JD dalam limfosit darah tepi akan mempunyai nilai diagnosis yang tinggi karena dapat dilakukan pada hewan terinfeksi pada fase akut dan pada hewan yang masih hidup. Untuk melacak antigen virus JD pada limfosit darah tepi diperlukan anti bodi monoklonal (AbMo) yang bereaksi secara khas dengan antigen virus JD. Partikel virus JD tersusun a tas beberapa jenis protein dan beberapa di antaranya telah diidentifi kasi. Protein kapsid (capsid/Ca) yang disandi oleh gen gag (Chadwick et al., 1995) merupakan protein yang dominan, dan paling mudah dapat dilacak pada sapi yang terserang JD (Kertayadnya et al., 1993, Hartiningsih et al., 2001). Oleh karena itu, AbMo terhadap protein ini diharapkan dengan mudah dapat dipakai untuk melacak antigen virus JD dalam limfosit darah tepi sapi Bali yang terserang penyakit Jembrana. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui apakah antigen virus JD dapat dilacak dalam limfosit darah tepi menggunakan antibodi monoklonal anti protein kapsid virus JD. Hasil peneliti an ini diharapkan akan sangat bermanfaat bagi upaya pengembangan kit diagnosis yang cepat, sensitif, spesifik, dan akurat untuk penyakit Jembrana pada fase akut dan pada hewan yang masih hidup. Metode Penelitian Pembuatan Antibodi Monoklonal Anti -Protein Kapsid Virus JD Mencit Balb/c betina berumur 6 -7 minggu diimunisasi dengan antigen virus JD asal limpa yang diemulsikan dalam Freund’s complete adjuvant . Setiap mencit disuntik dengan 0,2 ml antigen secara intra peritoneal. Dua minggu setelah imunisasi pe rtama, mencit dimunisasi lagi dengan antig en yang sama tetapi diemulsikan dalam Freund`s incomplete adjuvant . 155 Dua dan tiga minggu setelah imunisasi kedua, mencit berturut-turut diimunisasi dengan antigen yang sama tetapi tanpa adjuvan, dan jalur penyunt ikannya adalah intraperitoneal. Lima, empat dan tiga hari sebelum fusi, mencit berturut dimunisasi dengan antigen asal limpa yang digabung dengan protein rekombinan glutation-S-tranferase-Capsid (GST-Ca) virus JD (diperoleh dari Murdoch University, Australia) dan disuntikan secara intraperitoneal. Limfosit asal limpa mencit yang kebal terhadap virus JD kemudian dipakai dalam pembuatan sel hibridoma. Sel hibridoma dibuat dengan cara memfusikan 2 x 10 7 sel mieloma dengan 10 8 limfosit asal limpa (splenosit) mencit yang telah kebal terhadap antigen virus JD. Fusi kedua sel dilakukan dengan polyethylene glycol (PEG) 45% dan hasilnya ditumbuhkan dalam media penumbuh selektif Dulbeco’s modified essential – ypoxantine aminopterinthymidine (DMEM-HAT) yang mengandung 100 ug hyphoxantine, 0,4 uM aminopte rin, 16 uM thymimidine, dan 10 6 limfosit mencit normal dan didistribusikan ke dalam plat mikro 96 sumuran. Skrining terhadap antibodi khas virus JD dilakukan dengan uji ELISA sesuai prosedur yang dijabarkan oleh Campbell, 1991 menggunakan protein rekombinan histidine-Capsid (His-Ca) virus JD sebagai antigen. Hibridoma yang menghasilkan antibodi khas virus JD kemudian diklon -ulang dengan teknik pengenceran terbatas (McKearn, 1984). Kekhasan AbMo yang dihasilkan oleh hibridoma ditentukan dengan uji western blotting sedangkan isotipenya ditentukan dengan uji ELISA indirek menggunakan mouse-isotyper typing kit (Bio-Rad, USA) sesuai dengan prosedur yang tertera dalam brosurnya. Hewan Percobaan Dalam penelitian ini dipak ai 4 ekor sapi bali bebas dari penyakit Jembrana asal Nusa Penida. Sapi diinfeksi dengan 100 cattle infective dose (CID)50 secara intravena. Pengukuran suhu tubuh dan penghitungan jumlah lekosit dilakukan mulai dari hari –1 sampai +11 pasca infeksi (PI). S uhu tubuh sapi bali diukur dengan termometer melalui rektum dan pengukuran dilakukan tiap 2 hari sekali kecuali pada saat deman dilakukan setiap hari. Sementara itu, jumlah sel darah putih dihitung menggunakan hemositometer sesuai dengan prosedur standar. Pelacakan Antigen Virus JD pada Limfosit Darah Tepi Sapi Bali Terinfeksi 1. Pelacakan dengan Teknik Western blotting Adanya antigen virus JD dalam limfosit darah tepi juga dilacak dengan uji w estern blotting menggunakan AbMo anti -Ca virus JD. Dalam hal ini, darah diambil dari sapi Bali terinfeksi virus JD Media Kedokteran Hewan dengan tabung yang berisi antikoagulan dan disentri fugasi dengan kecepatan 2500 rpm selama 10 menit. Lapisan buffycoat diambil dan disuspensikan dalam 4 ml H20 (hipotonik) selama 30 detik. Setela h semua sel darah merah mengalami lisis, tek anan osmosis campuran dinormalkan kembali dengan menambah kan 1 ml PBS 5 X. Tabung selanjutnya disentrifugasi dengan kecepatan 1500 rpm selama 5 manit. Endapan sel darah putih kemudian dilisis dengan larutan pelisis sel (1% Triton-X-100, 1mM EDTA dan 1 mM PMSF). Setelah semua sel mengalami lisis, campuran kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 1500 selama 5 menit. Supernatan (lisat) diambil, dan protein dalam lisat dipresipitasi dengan ethanol absolut ( 1 lisat : 5 ethanol). Presipitat kemudian diendapkan dengan sentrifugasi pada kecep atan 3000 rpm selama 10 menit. Setelah supernatannya dibuang, peletnya dikeringkan di udara dan dilarutkan dalam sample reducing buffer (2,5% SDS, 5% mercaptoethanol, 0,0625M Tris-HCl pH 6,8, 10% glycerol, 0,001% bromophenol blue). Setelah dididihkan selama 5 menit pada suhu 95 oC, protein dianalisis dengan sodium dodecyl sulfate-polyacrylamide electrophoresis (SDS-PAGE) menggunakan 12,5% separating gel dan 4% stacking gel. Protein dalam gel kemudian ditransfer ke membran nitroselulosa dengan larutan Tris glycine-methanol (TGM). Setelah diblok dengan larutan susu skim 3%, adanya protein khas virus JD pada membran nitroselulosa dilacak dengan penam bahan AbMo anti-Ca, diikuti dengan penambahan anti-IgG yang dilabel dengan alkaline phosphatase (Bio-Rad, USA) pada pengenceran 1:1000. Reaksi antigen antibodi pada membran nitroselulosa kemudian divisualisasikan dengan penambahan substrat nitroblue tetrazolium / Bromochromoindolyl phosphate (NBT-BCIP; Bio-Rad, USA). 2. Pelacakan dengan Teknik Imunositokimia Sebanyak 10 ml sampel darah diambil dari setiap sapi Bali yang dipakai dalam penelitian ini. Pengambilan sampel darah dilakukan sebelum dan setelah diinfeksi dengan virus JD. Limf osit darah tepi kemudian dipisahkan dari darah dengan metode picoll-paque. Setelah dicuci 2 x dengan PBS, sedian usap limfosit dibuat di atas gelas obyek yang telah dilapisi dengan poly-L-lysine. Limfosit pada gelas obyek kemudian difiksasi dengan aseton d ingin yang mengandung 3% H 2O2,dan dicuci kembali sebanyak 2 x dengan PBS. Sel di atas obyek gelas kemudian digenangi dengan serum kelinci normal dan cairan hibridoma yang mengandung AbMo anti -Ca. Setelah inkubasi pada suhu kamar selama 1 jam, gelas obyek dicuci dengan PBS pH 7,4 dan digenangi dengan rabbit antimouse IgG-peroxidase (Bio-Rad; pengenceran 1:80) selama 1 jam pada suhu kamar. Kemudian dicuci lagi seperti di atas, dan dicelupkan selama 10 Vol. 22, No. 3, September 2006 menit ke dalam larutan DAB (diaminobenzidine 0.005% dalam PBS yang mengandung hidrogen p eroksida 0.2%). Obyek gelas selanjutnya dicuci dengan air kran dan diwarnai dengan Mayer`s hematoxyline. Setelah dicuci dengan air kran, sel selanjutnya didehidrasi dengan alkohol, dibersihkan dengan xylol dan ditutup dengan coverslip. Adanya sel terinfeksi virus JD diperiksa di bawah mikroskop. Persentase limfosit darah tepi yang terinfeksi virus JD ditentu kan dengan menghitung jumlah limfosit terinfeksi (warna coklat)/jumlah limfosit total (coklat dan ungu) dalam 20 pandangan mikroskop yang berbeda x 100%. Hasil dan Pembahasan Karakteristik Antibodi Monoklonal Anti -kapsid Virus JD Dalam penelitian ini diproduksi 9 klon hibridoma yang menghasilkan antibodi terhadap protein Ca virus JD. AbMo berserta isotipenya be rturut-turut dinamai BC10 (IgG1), DB2 (IgG2a), BD2 (IgG2b), AF9 (IgG2a), AA4 (IgG1), BB7 (IgG2b), EG7 (IgG1), CB11 (IgG1), dan CC12 (IgG2a). Dalam uji ELISA semua AbMo bereaksi dengan protein GST -Ca, HIS-Ca dan hanya satu yang berekasi secara lemah dengan protein GST. Dalam uji western blotting, semua AbMo bereaksi dengan antigen antigen GST -Ca, HisCa dan antigen virus JD natif asal limpa sapi Bali terinfeksi virus JD. Hanya EG7 yang bereaksi lemah dengan antigen GST. Contoh hasil uji western blotting dari AbMo anti-kapsid virus JD dengan antigen, GST-Ca, His-Ca dan GST disajikan dalam Gambar 1. Beberapa AbMo anti -kapsid virus JD juga dapat dipakai untuk melacak antigen virus JD dalam limfosit sapi Bali yang terinfreksi virus JD (Tabel 1). Hasil positif ditandai dengan adanya sel berwarna coklat (terinfeksi), sedangkan hasil negatif ditandai dengan warna unggu (tidak terinfeksi, Gambar 3). Antigen Virus JD Terlacak dalam Limfosit Darah Tepi Dalam uji western blotting menggunakan AbMo anti-Ca, antigen virus JD mulai terdeteksi pada hari ke-4 pasca-infeksi (PI) ditandai dengan munculnya pita protein yang sangat lemah. Pada hari ke -7 dan 9 pasca infeksi, antigen virus JD dapat dilacak dengan mudah dalam limfosit darah tepi. Namun, pada hari ke-11, antigen virus JD mulai sulit dilacak dengan teknik Western imunoblotting, dan pita protein Ca khas virus JD intensitasnya mulai lemah. Jika dibandingkan dengan yang terlacak dalam limpa, pita protein Ca yang terlacak dalam limfosit darah tepi umumnya lebih lema h (Gambar 2). Selain itu, AbMo anti-Ca virus JD mengenali 3 pita protein, yakni dengan berat molekul 51 Kda, 42 Kda dan 26 Kda (Gambar 2). 156 Nyoman Mantik Astawa dkk .; Pelacakan Antigen Virus Penyakit Jembrana pada Limfosit Darah Tepi. .. Uji imunoisitokimia menunjukkan hasil yang serupa. Antigen virus JD mulai dapat dilacak dalam limfosit darah tepi mul ai hari ke-3 pasca-infeksi dengan persentase sel yang terinfeksi 0,74 %. Pada hari ke-5, jumlah limfosit yang terinfeksi makin banyak (3,43%) dan mencapai puncaknya pada hari ke -7 (6,21%). Pada hari ke-9 dan 11 pascainfeksi, jumlah limfosit terinfeksi tampak mulai sedikit menurun yaitu berturut-turut 5,12% dan 3,87%. (Tabel 2). Contoh hasil uji imunohistokimia terhadap limfosit darah tepi sapi bali terinfeksi virus JD menggunakan AbMo anti-kapsid JD disajikan dalam Gambar 3. 3. Tabel 1. Karakteristik Antibodi Monoklonal terhadap Protein Kapsid Virus Penyakit Jembrana ELISA WB No. AbMo Isotipe IHK Ca-GST GST HIS-Ca His-Ca GST Limpa 1 BC10 IgG1 +++ -+++ +++ --+++ TD 2 DB2 IgG2a +++ -+++ +++ --+++ +++ 3 BD2 IgG2b +++ -+++ +++ --+++ +++ 4 AF9 IgG2a ++ -++ ++ --++ TD 5 AA4 IgG1 ++ -++ ++ --+++ TD 6 BB7 IgG2b ++ -++ +++ --++ TD 7 EG7 IgG1 +++ + +++ +++ + ++ +++ 8 CB11 IgG1 +++ -+++ ++ --++ TD 9 CC11 IgG2a ++ -+++ ++ --++ TD +++ : positif kuat + : positif lemah TD : Tidak dikerjakan IHK : Imuno- histokimia ++ : positif sedang -- : negatif WB : Western Blot Gambar 1. Reaktivitas antibodi monoklonal (AbMo) anti -kapsid virus JD dengan protein his -Capsid dan protein GST (kontrol negatif). Protein his -Capsid dan protein GST dianalisis dengan SDS PAGE, ditransfer ke membran nitroselulosa dan direaksikan dengan AbMo anti -kapsid. Antigen: protein GST (2-7), His-Ca (9-12) . AbMo : CC12 (2 dan 8), BD2 (2 dan 9), DB2 (3 dan 10), BC11 (4 dan 11), AF9 (5 dan 12), EG7 (6 dan 13), monoclonal anti -GST (7). Prestained protein markers (1 dan 13). Terlihat bahwa tidak ada AbMo anti -protein kapsid yang mengenali protein GST. Hanya AbMo anti -GST yang mengenali protein GST dengan berat molekul 27 Kda (). AbMo anti-protein kapsid mengenali protein His -Kapsid dengan berat molekul 28 Kda () 157 Media Kedokteran Hewan Vol. 22, No. 3, September 2006 Gambar 2. Antigen virus JD yang dilacak pada limfosit darah tepi dengan uji western blotting menggunakan antibodi monoklonal anti -kapsid (AbMo anti-Ca). Limfosit darah tepi diisolasi dari sapi bali sebelum dan setelah terinfeksi, dianalisis dengan SDS -PAGE, ditansfer ke membran nitroselulosa dan direaksikan AbMo anti-Ca. 1-7 : Hari –1, +2, +4, + 5, + 7, + 9 dan +11 pasca infeksi. 8: antigen virus JD limpa terinfeksi (ko ntrol positif). 9: prestained standard markers. Protein kapsid terlacak dengan berat molekul 51 Kda, 42 Kda dan 26 Kda ( ). Gambar 3. Antigen virus JD yang dilacak pada limfosit darah tepi dengan teknik imunositokimia menggunakan antibodi monoclonal anti-kapsid (AbMo anti-Ca). Limfosit darah tepi diisolasi dari sapi Bali sebelum dan setelah terinfeksi, dibuat sedian usap di atas gelas obyek, dan direaksikan dengan AbMo anti-Ca. Limfosit sebelum diwarnai (A). Limfosit yang diwarnai dengan dengan tekn ik IHK sebelum infeksi (B). Hari ke -3 pascainfeksi (C), ke- 7 pascainfeksi (D). Limfosit terinfeksi tampak berwarna coklat ( ). Terlihat bahwa tidak ada sel terinfeksi yang terlacak sebelum infeksi dan sel terinfeksi mulai terlacak hari +3 pascainfeksi d an makin banyak pada hari +7 pasca -infeksi. 158 Nyoman Mantik Astawa dkk .; Pelacakan Antigen Virus Penyakit Jembrana pada Limfosit Darah Tepi. .. Tabel 2. Hubungan Suhu Tubuh, Jumlah Leukosit, Persentase Limfosit Terinfeksi dan Terlacaknya Protein Kapsid Virus JD dalam Limfosit Darah Tepi HPI Suhu Tubuh (oC) Jumlah Leukosit % Sel Terinfeksi WB -1 38,62# 7653# 0,00 -- +1 38,55 8120 0,00 -- +3 38,70 7150 0,74 -- +5 39,22 5129 3,43 + +7 40,52 2352 6,21 ++ +9 40,14 2518 5,12 ++ +11 39,70 3502 HPI: hari pascainfeksi #): Nilai rataan dari 4 ekor sapi 3,87 : negatif +) : positif lemah --) Ketika sapi menunjukkan tanda -tanda peningkatan suhu tubuh, terdapat hubungan yang erat antara kenaikan suhu tubuh, jumlah leukosit total, jumlah limfosit yang terinfeksi dan terlacaknya antigen virus JD dengan teknik western blotting dan imunositokimia. Sebelum diinokulasi, nilai rataan suhu tubuh dari 4 sapi Bali normal adalah 38,6 oC dan rataan jumlah leukosit normal adalah 7653 sel per ml darah. Keadaan ini belum berubah sampai pada hari ketiga pasca infeksi kecuali pada uji imunositokimia, sejumlah kecil sel terinfeski sudah mulai dapat terlacak pada hari ke -3 pasca-infeksi. Pada hari ke-5 pasca-infeksi, ketika suhu tubuh mulai naik (39,2 oC), jumlah lekosit mulai turun (5129 sel per ml darah). Pada hari ke -7 dan ke-9 pascainfeksi ketika peningkatan suhu tubuh mencapai puncaknya, jumlah leukosit menjadi sangat rendah yaitu berturut-turut 2352 dan 2518 sel per ml darah. Pada hari ke-11 pasca-infeksi, suhu tubuh mulai menurun (39,7 oC) dan disertai dengan peningkatan jumlah leukosit (3502) AbMo merupakan antibodi yang hanya bereaksi dengan satu jenis epitop sehingga mampu mengenali antigen dengan tingkat kekhasan yang tinggi (Campbell, 1991). AbMo semacam ini sangat ber potensi untuk dipakai dalam pembuatan kit diagnosis yang dapat melacak secara akurat keberadaan agen penyakit tertentu seperti virus JD. Oleh karena itu, jika tersedia AbMo yang bereaksi secara khas dengan virus JD, maka metode diagnosis yang akurat dan cepat dapat dikembangkan untuk penyakit Jembrana fase akut dan pada hewan yang masih hidup. Hal ini perlu dilakukan karena dua jenis uji serologis yang telah tersedia yaitu uji ELISA (Hartaningsih et al., 1993) dan uji Western blotting (Kertayadnya et al., 1993) hanya mampu melacak keberadaan antibodi pada hewan yang pernah terserang penyakit Jembrana. Karena antibodi khas virus JD baru dapat terlacak sekita 2 bulan pascainfeksi, diagnosis penyakit jembrana pada fase akut belum dapat dilakukan. 159 + ++): positif sedang Dalam penelitian ini dibuat AbMo yang bereaksi secara khas dengan protein kapsid vir us JD. Protein kapsid merupakan protein yang dominan (Kertayadnya et al., 1993) dan juga sangat imunogenik. Pada sapi Bali yang diimunisasi dengan vaksin asal limpa sapi ter infeksi, antibodi terhadap protein kapsid dapat dilacak 2 minggu setelah imunisasi (Hartaningsih et al., 2001). Karena itu, AbMo anti-protein kapsid virus JD, selain mudah dibuat, juga diharapkan d apat mendeteksi antigen JD dalam limfosit darah tepi dengan tingk at sensitivitas yang tinggi. Dalam penelitian ini dibuat 9 klon hibridoma yang menghasilkan antibodi terhadap protein kapsid virus JD. Semua AbMo yang diproduksi bereaksi secara khas dengan protein kapsid virus JD, baik dengan protein rekombinan yang dibuat dengan teknik rekayasa genetik maupun dengan protein natif asal hewan terinfeksi. Kesembilan AbMo bereaksi secara khas dengan protein GST -Ca dan His-Ca, dan dapat mengenali protein natif asal limpa. Hanya 1 AbMo (EG7) yang menganali secera lemah protein GST (Tabel 1). Hasil ini menunjukkan bahwa penggu naan protein virus JD asal limpa untuk imunisasi mencit tidak menjadi hambatan bagi diperolehnya AbMo yang bereaksi secara khas dengan protein virus JD. Penggunaan antigen virus JD asal limpa dimungkin kan karena limpa yang diperoleh dari sapi bali tererang JD mengandung banyak limfosit yang terinfeksi (Dharma, 1997; Chadwick et al., 1997). Sementara itu, booster yang dilakukan dengan protein virus JD natif asal limpa yang digabung dengan protein rekom binan GST-Ca dimaksudkan agar diperoleh kekeba lan yang optimal pada mencit yang diimunisasi karena protein rekombinan ini tersedia dalam bentuk murni. Skrining AbMo yang dilakukan dengan protein His -Ca dapat menghindari terlacaknya AbMo terhadap protein GST yang juga sangat imunogenik. Dalam uji western blotting terhadap limfosit darah tepi terinfeksi, AbMo anti -Ca virus JD mengenali protein dengan berat molekul 26 Kda, 42 Kda Media Kedokteran Hewan dan 51 Kda (Gambar 2). Protein dengan berat molekul 51 Kda dan 42 Kda sangat mungkin merupakan protein prekursor yang disandi oleh gen gag dan protein ini kemudian dipecah oleh enzim protease virus menjadi protein kapsid (p26), protein matriks (p16) dan protein nukleokapsid (p9). Berdasarkan sekuen neukelotidanya, gen gag virus JD dideduksikan dapat menyandi 3 protein, yaitu protein kapsid (p26), protei n matriks (p16), protein nukelocapsid (p9) (Chadwick et al., 1995). Karena protein kapsid virus JD dalam sel terinfeksi berada dalam dua bentuk, yaitu prekursornya (p51) dan (p42) protein kapsidnya sendiri (p26), uji WB terhadap sel terinfeksi virus JD me nggunakan AbMo anti-Ca (p26) akan senantiasa mengenali 3 pita protein dengan berat molekul yang berbeda. Terlacaknya antigen virus JD dalam limfosit darah tepi ternyata berkaitan erat dengan peningka tan suhu tubuh dan penurunan persentase jumlah leukosit. Ketika sapi menunjukkan tanda -tanda demam dan jumlah leukosit mulai menurun, antigen virus JD mulai dapat dilacak dengan teknik western blotting (hari ke-4) dan imunositokimia (hari ke -3). Pada hari ke-7 dan ke-9 pasca-infeksi ketika suhu tubuh mencapai puncaknya dan jumlah le ukosit menjadi sangat rendah, jumlah le ukosit terinfeksi juga mencapai persentase tertinggi dan protein kapsid virus JD sangat mudah dilacak dengan teknik western blotting. Akan tetapi, pada hari ke -11 pascainfeksi, ketika suhu tubuh mulai menurun dan jumlah leukosit mulai meningkat, jumlah limfosit terinfeksi mulai menurun dan protein khas virus JD yang terlacak dengan teknik western blotting intensitasnya mulai melemah. Peningkatan suhu tubuh (demam) dan penurunan jumlah le ukosit merupakan 2 indikator awal adanya serangan penya kit Jembrana pada sapi Bali (Soesanto et al., 1990). Namun, kedua indikator tersebut belum dapat dipakai untuk memastikan adanya antigen virus JD pada sapi bali yang terserang. Pengunaan AbMo anti Ca virus JD untuk melacak antigen virus JD dalam limfosit darah tepi, baik dalam uji western blotting dan imunositokimia, mempunyai nilai diagnosis yang tinggi karena dapat melacak virus JD pada sapi Bali secara akurat. Selain itu, pelacakan antigen virus JD dengan teknik ini dapat dipakai mendiagnosis penyakit jembrana pada fase akut dan pada hewan yang masih hidup. Kesimpulan Pada saat demam, antigen virus penyakit Jembrana terlacak dalam limfosit darah tepi sapi Bali dengan teknik western blotting da n imunositokimia menggunakan antibodi monoklonal. Terlacaknya antigen virus JD pada sapi Bali terinfeksi pada fase Vol. 22, No. 3, September 2006 akut disertai dengan penurunan jumlah le ukosit dan peningkatan suhu tubuh. Oleh karena itu, diagnosis yang cepat dan akurat untuk penyakit Je mbrana fase akut pada sapi Bali dapat dilakukan dengan melacak antigen virus JD dalam limfosit darah tepi menggunakan AbMo, pengukuran suhu tubuh dan penghitungan jumlah leukosit darah tepi. Ucapan Terimakasih Pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada tim peneliti penyakit Jembrana dari Murdoch University, Australia yang telah menyediakan protein rekombinan sehingga penulis dapat membuat AbMo anti -protein kapsid virus JD yang dipakai dalam penelitian ini. Terima kasih yang tak terhingga juga penulis sampaikan kepada Kepala BPPV Denpasar, staf dan teknisi BPPV atas bantuan tenaga dan fasilitasnya sehingga penulis dapat melakukan penelitian ini. Daftar Pustaka Campbell, A.S. 1991. Laboratory Technique in Bioche mistry and Molecular Biology: Monoclonal Anti body and Immunosensor Technology . Elsevier. Amsterdam Chadwick, B.J, R.J. Coelen, L.M. Sammel, G. Kertayadnya and G.E. Wilcox. 1995. Nucleotide sequence analysis of Jembrana disease virus : a new bovine lentivirus associated wit h an acute disease syndrome. J. Gen. Virol. 76:1637 -1650. Chadwick, B.J., M. Desport, D.M.N. Dharma, J. Brownlie, and G.E. Wilcox. 1997. Detection of Jembrana Disease virus in paraffin -embedded tissue sections by in situ hybridization. Workshop on Jembrana Disease and the bovine lenti viruses, Denpasar Bali. ACIAR Proceeding 75: 66 -71 Desport, M., M.E. Stewart, C.A. Sheridan, W.G. Ditcham, S. Setiyaningsih, W.M.Tenaya, N. Hartaningsih and G.E. Wilcox. 2005. Recombi nant Jembrana disease virus gag prote ins identify several different antigenic domains but do not facilitate serological differentiation of JDV and non-pathogenic bovine lentiviruses. J Virol Methods 124:135-42. Dharma, D.M.N. 1997. The pathology of Jembrana disease, Workshop on Jembrana Dise ase and the bovine lentiviruses, Denpasar Bali. ACIAR Proceeding 75: 26 – 28 Hartaningsih, N., G.E.Wilcox, G. Kertayadnya, and M. Astawa. 1993. Antibody response to Jembrana disease virus in Bali cattle. Vet. Microbiol. 39: 15 –23. 160 Nyoman Mantik Astawa dkk .; Pelacakan Antigen Virus Penyakit Jembrana pada Limfosit Darah Tepi. .. Hartaningsih, N., D.M.N. Dharma, S. Soeharsono and G.E. Wilcox. 2001. The induction of a protective immunity against Jembrana disease in cattle by vaccination with inactivated tissue -derived virus antigens. Vet. Immunol. and Immuno pathol. 78:163-76. Higman, M.A. and E.G. Nile s. 1994. Location of the S adenosyl-L-methionine binding region of vaccinia virus mRNA (guanine-7) methyltransferase. J. Biol. Chem. 269 : 14982 -14987. Kertayadnya, G. , G.E. Wilcox, S. Soeharsono, N. Hartaningsih, R.J. Coelen, R.D. Cook, M.E. Collin and J. Brownlie. 1993. Characteristics of a retrovirus associated with Jembrana disease in Bali cattle. J. Gen.Virol. 74:1765-1774 Smirnov, I.U.A., A.S. Lopatov, I. Okuno and A.K. Gitel’man. 1999. A common antigenic epitope in influenza virus (H1, H2, H5, H6) hamagglutinin. Vopr. Virusol. 44: 111-115. Soeharsono, S., G.E. Wilcox, D.M.N. Dharma, N. Hartaningsih, G. Kertayadnya, and A. Budiantono. 1995. Transmission of Jembrana disease, a lentivirus disease of Bos javanicus cattle. Epidemiology and Infection 115: 367 – 374. Soesanto, M., G.E.Wilcox, A. Budiantono, K. Sulistyana, M. Tenaya , and G.E.Wilcox. 1990. Studies on experimental Jembrana disease in Bali cattle II; Clinical signs and hematological changes. J. Comp. Pathol. 112 : 391 – 402 Kertayadnya, G., S. Soeharsono, N. Hartaningsih and G.E.Wilcox. 1997. Physicochemical characteris tics of a virus associated wit h Jembrana disease Workshop on Jembrana Disease and the b ovine lentivirus Denpasar Bali . ACIAR Proceeding 75: 43-48 Stewart, M., M. Desport, N. Hartaningsih, and G.E. Wilcox. 2005. TaqMan real -time reverse transcription-PCR and JDVp26 antigen capture enzyme-linked immunosorbent assay to quantify Jembrana disease virus load during the acute phase of in vivo infection. J Clin Microbiol. 43 :5574-5580. McKearn, T.J. 1984. Cloning hybridomas by limiting dilution in liquid phase, In: “ Monoclonal Antibodies : Hybridomas; a new dimension in biological analysis”. (R.H Kennet, T.J. McKearn and KB. Becol, Eds). Plenum Press, New York, London. Wilcox , G.E., B.J. Chadwick, and G. Kertayadnya. 1995. Jembrana disease virus: a new bovine lentivirus producing an acute severe clinical disease in Bos javanicus cattle. Ab staract in third International Conggress on Veterinary Virology, Interleken, Switzerland 4 -7 September 1994. 161