universitas indonesia gambaran pola peresepan dan alasan

advertisement
UNIVERSITAS INDONESIA
GAMBARAN POLA PERESEPAN DAN ALASAN
PERUBAHAN TERAPI PADA PASIEN SKIZOFRENIA DI
POLI JIWA DEWASA RSCM
TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Spesialis Kedokteran Jiwa
ALVINA
NPM 0906647210
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS
BIDANG STUDI ILMU KEDOKTERAN JIWA
JAKARTA
DESEMBER 2013
Gambaran pola…, Alvina, FK UI, 2014
Gambaran pola…, Alvina, FK UI, 2014
Gambaran pola…, Alvina, FK UI, 2014
KATA PENGANTAR
Saya mengucapkan puji dan syukur kepada Tuhan atas selesainya tesis ini sebagai
salah satu syarat untuk memperoleh gelar Spesialis Kedokteran Jiwa. Tesis ini
dibuat untuk mengetahui gambaran pola peresepan dan alasan perubahan terapi
pada pasien Skizofrenia di Poli Jiwa Dewasa RSCM. Pembuatan tesis ini tidak
terlepas dari dukungan banyak pihak. Untuk itu, saya ingin mengucapkan terima
kasih kepada dr. Hervita Diatri, SpKJ(K) selaku pembimbing akademik yang
senantiasa membimbing dan meyakinkan saya bahwa saya dapat menyelesaikan
tesis ini tepat pada waktunya, dr. Richard Budiman, SpKJ(K) selaku pembimbing
penelitian dan dr. Natalia Widiasih, SpKJ(K), MPd.Ked selaku Kepala Program
Studi dan penguji tesis.
Saya mengucapkan terima kasih kepada seluruh petugas rekam medik
khususnya Bapak Gandi Agusniadi dan Ibu Nur yang telah membantu saya dalam
menyediakan rekam medik yang dibutuhkan untuk penelitian ini, kepada dr.
Heriani Tobing, SpK(K) selaku Kepala Program Studi terdahulu yang membantu
membuatkan jadwal agar penelitian ini dapat selesai tepat waktu.
Saya juga mengucapkan terima kasih kepada suami dan kedua orang tua
saya atas cinta, perhatian dan pengertian yang diberikan khususnya selama saya
sibuk mengerjakan penelitian ini. Saya mengucapkan terima kasih kepada seluruh
pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, yang telah membantu saya
dalam mengerjakan tesis ini.
Saya menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna sehingga
dibutuhkan masukan dan saran untuk dapat menyempurnakannya. Saya berharap
tesis ini dapat bermanfaat terutama untuk memperbaiki layanan pengobatan bagi
pasien dengan Skizofrenia di Poli Jiwa Dewasa.
Jakarta, 30 Desember 2013
Alvina
iv
Gambaran pola…, Alvina, FK UI, 2014
Gambaran pola…, Alvina, FK UI, 2014
ABSTRAK
Nama
: Alvina
Program Studi : PPDSp-1 Ilmu Kedokteran Jiwa
Judul Tesis : Gambaran Pola Peresepan dan Alasan Perubahan Terapi Pada
Pasien Skizofrenia di Poli Jiwa Dewasa RSCM
Latar Belakang: Skizofrenia merupakan gangguan jiwa yang berpotensi
berlangsung dalam jangka waktu yang panjang dengan prognosis yang tidak
terlalu baik, sehingga diperlukan tata laksana yang tepat guna memperbaiki
keluaran pada pasien-pasien dengan Skizofrenia. Penelitian ini berupaya untuk
mencermati pola peresepan dan alasan perubahan terapi pasien-pasien dengan
Skizofrenia di Indonesia khususnya di Poli Jiwa Dewasa RSCM dengan merujuk
pada Konsensus Penatalaksanaan Gangguan Skizofrenia 2011.
Metodologi: Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan desain kohort
retrospektif yang dilakukan dengan cara mengumpulkan data mengenai pola
peresepan sejak awal pasien tersebut mendapatkan terapi farmakologi hingga
waktu kunjungan yang ditentukan serta alasan perubahan terapi farmakologi bila
terjadi perubahan terapi. Penelitian ini menggunakan data rekam medik pasienpasien dengan Skizofrenia di Poli Jiwa Dewasa RSCM yang melakukan
kunjungan pada bulan Juli 2013 hingga jumlah sampel terpenuhi.
Hasil: Pada 53 (65,4%) rekam medik digunakan antipsikotik monoterapi pada
awal terapi. Untuk pengobatan awal, 79 (97,5%) pasien mendapatkan jenis obat
yang rasional dan 75 (92,6%) pasien mendapatkan dosis obat yang rasional. Pada
pasien yang awalnya mendapatkan monoterapi, sebanyak 14 (43,8%) pasien
kemudian mengalami switching ke antipsikotik lain dan sebanyak 18 (56,3%)
pasien kemudian mendapatkan antipsikotik kombinasi. Pada pasien yang awalnya
mendapatkan terapi antipsikotik kombinasi, sebanyak 7 (26,9%) pasien kemudian
mengalami switching, 4 (15,4%) pasien mendapatkan penambahan jenis obat, 1
(3,8%) pasien mengalami pengurangan jenis obat dan 14 (53,8%) pasien
mendapatkan antipsikotik monoterapi. Alasan perubahan terapi terbanyak sulit
dianalisis karena sebanyak 441 dari 780 (56.5%) perubahan terapi tidak tercantum
alasannya.
Simpulan: Penggunaan kombinasi antipsikotik pada awal pengobatan pasien
dengan Skizofrenia masih didapatkan di Poli Jiwa Dewasa walaupun tidak
direkomendasikan oleh panduan tata laksana yang ada. Ketidaklengkapan
pencatatan rekam medik menjadikan analisis rasionalitas terapi dan alasan
perubahan terapi sulit dilakukan.
Kata kunci:
pola peresepan, alasan perubahan terapi, Skizofrenia
vi
Gambaran pola…, Alvina, FK UI, 2014
ABSTRACT
Name
Study Program
Title
: Alvina
: Psychiatry
: The Prescription Pattern and The Reason of Medication
Changing in Schizophrenia Patients in Poli Jiwa Dewasa
RSCM
Background: Schizophrenia is a mental disorder that could potentially progress to
a long term disorder with a not very good prognosis, so it requires an adequate
treatment in order to improve the outcome. This study aims to examine the
prescribing pattern and the reason of therapy changing of patients with
Schizophrenia in Indonesia especially in Poli Jiwa Dewasa RSCM regarding the
Konsensus Penatalaksanaan Gangguan Skizofrenia 2011.
Methodology: This study is a descriptive study with retrospective cohort design
that conducted by collecting data on prescribing pattern since the beginning of
patients’ pharmacological treatment until the determined time of visit and the
reason of therapy changing. This study uses the medical record data of patients
with Schizophrenia in Poli Jiwa Dewasa RSCM who visited in July 2013 until the
number of samples provided.
Result: In the beginning of Schizophrenia treatment, monotherapy was used in 53
(65,4%) medical records. For the initial treatment, 79 (97,5%) patients received
the rational drug and 75 (92,6%) patients received the rational drug dosage. In
patients who received monotherapy as initial treatment, 14 (43,8%) patients
underwent switching to another antipsychotic and 18 (56,3%) patients received
antipsychotic combination. In patients who received antipsychotic combination as
initial treatment, 7 (26,9%) patients underwent switching to another
antipsychotic, 4 (15,4%) patients received added number of antipsychotic,1
(3,8%) patient received reduced number of antipsychotic and 14 (53,8%) patients
received monotherapy. The analysis of reason of therapy changing was difficult to
conduct since there was no reason of therapy changing written in 441 of 780
(56.5%) antipsychotic treatment changing.
Conclusion: Antipsychotic combination as initial treatment in patient with
Schizophrenia is still found in Poli Jiwa Dewasa eventhough the use of
antipsychotic combination is not recommended by the available guidelines.
Incomplete documentation in medical record makes the treatment rationality
analysis difficult.
Keyword:
prescription pattern, reason of medication changing, Schizophrenia
vii
Gambaran pola…, Alvina, FK UI, 2014
DAFTAR ISI
Halaman Judul......................................................................................... i
Halaman Pernyataan Orisinalitas ............................................................ ii
Halaman Pengesahan .............................................................................. iii
Kata Pengantar ........................................................................................ iv
Lembar Persetujuan Publikasi ................................................................. v
Abstrak .................................................................................................... vi
Daftar Isi.................................................................................................. viii
Daftar Lampiran ...................................................................................... x
Daftar Tabel ............................................................................................ xi
Daftar Gambar ......................................................................................... xii
Daftar Singkatan...................................................................................... xiii
Bab I
PENDAHULUAN ............................................................... 1
1.1 Latar Belakang ............................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah ....................................................... 3
1.3 Tujuan Penelitian ........................................................ 3
1.4 Manfaat Penelitian ...................................................... 3
Bab II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN.......................................... 5
2.1 Skizofrenia .................................................................. 5
2.2 Skizofrenia dan Komorbiditas .................................... 8
2.3 Tata Laksana Farmakoterapi Untuk Skizofrenia ........ 12
2.4 Masalah Ketaatan Terhadap Terapi ............................ 19
2.5 Masalah dalam Peresepan Obat .................................. 20
2.6 Profil Singkat RSCM, Departemen Psikiatri
FKUI/RSCM dan Kompetensi Peserta Program
Pendidikan Dokter Spesialis-1 Ilmu
Kedokteran Jiwa FKUI/RSCM ................................... 22
2.7 Kerangka Teori ........................................................... 24
2.8 Kerangka Konsep ........................................................ 24
Bab III
METODOLOGI PENELITIAN ....................................... 25
3.1 Desain Penelitian ........................................................ 25
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian ..................................... 25
3.3 Populasi dan Sampel ................................................... 25
3.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi ...................................... 25
3.5 Sampel dan Cara Pengambilan Sampel ...................... 26
3.6 Cara Kerja ................................................................... 27
3.7 Kerangka Kerja ........................................................... 27
3.8 Identifikasi Variabel dan Definisi Operasional .......... 28
3.9 Masalah Etika ............................................................. 31
3.10 Jadwal Penelitian ........................................................ 31
3.11 Anggaran ..................................................................... 32
viii
Gambaran pola…, Alvina, FK UI, 2014
Bab IV
HASIL PENELITIAN ....................................................... 33
4.1 Penelusuran Rekam medik ......................................... 33
4.2 Sosiodemografi Pasien................................................ 34
4.3 Diagnosis Pasien ......................................................... 36
4.4 Lama Sakit dan Lama Pengobatan di Poli Jiwa
Dewasa ........................................................................ 36
4.5 Penggunaan Antipsikotik ............................................ 37
4.5.1 Penggunaan Antipsikotik Pada Awal Terapi .............. 37
4.5.2 Rasionalitas Antipsikotik ............................................ 38
4.5.3 Perubahan Komposisi Jenis Obat ............................... 39
4.6 Penggunaan Obat Selain Antipsikotik ........................ 42
4.7 Alasan Perubahan Terapi ............................................ 42
Bab V
PEMBAHASAN ................................................................. 45
5.1 Penelusuran Rekam medik ......................................... 45
5.2 Sosiodemografi Pasien................................................ 46
5.3 Diagnosis Pasien ......................................................... 46
5.4 Lama Sakit dan Lama Pengobatan di Poli Jiwa
Dewasa ........................................................................ 48
5.5 Penggunaan Antipsikotik ............................................ 48
5.5.1 Penggunaan Antipsikotik Pada Awal Terapi .............. 48
5.5.2 Rasionalitas Antipsikotik ............................................ 50
5.5.3 Perubahan Komposisi Jenis Obat ............................... 50
5.6 Penggunaan Obat Selain Antipsikotik ........................ 54
5.7 Alasan Perubahan Terapi ............................................ 54
5.8 Kelemahan Penelitian ................................................. 55
Bab VI
SIMPULAN DAN SARAN ................................................ 57
6.1 Simpulan ..................................................................... 57
6.2 Saran ........................................................................... 58
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 59
ix
Gambaran pola…, Alvina, FK UI, 2014
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1:
Lampiran 2:
Lampiran 3:
Lampiran 4:
Kuesioner .................................................................... 63
Dummy Table .............................................................. 64
Keterangan Lolos Kaji Etik
Persetujuan Ijin Penelitian Dari Bagian Penelitian RSCM
x
Gambaran pola…, Alvina, FK UI, 2014
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1. Karakteristik yang Menentukan Prognosis Baik dan
Buruk pada Skizofrenia ........................................................ 8
Tabel 2.2. Kondisi Fisik yang Kerap Ditemui pada Pasien dengan
Skizofrenia dan Hubungan Kondisi Fisik dengan Kondisi
Psikiatri, Pengobatan dan Gaya Hidup ................................. 12
Tabel 2.3. Potensi Reseptor (nilai Ki, nM) Beberapa Obat
Antipsikotik .......................................................................... 13
Tabel 2.4. Obat Antipsikotik yang Sering Digunakan .......................... 18
Tabel 2.5. Pilihan Obat untuk Fase Akut Skizofrenia ........................... 18
Tabel 2.6. Beberapa Efek Samping Obat Antipsikotik yang Sering
Digunakan ............................................................................ 19
Tabel 4.1. Pencarian Rekam Medik ...................................................... 33
Tabel 4.2. Alasan Eksklusi Rekam Medik ............................................ 34
Tabel 4.3. Data Sosiodemografi ............................................................ 35
Tabel 4.4. Kelengkapan Diagnosis ........................................................ 36
Tabel 4.5. Diagnosis .............................................................................. 36
Tabel 4.6. Penggunaan Antipsikotik Pada Awal Terapi ....................... 37
Tabel 4.7. Penggunaan Monoterapi Antipsikotik Pada Awal Terapi .... 38
Tabel 4.8. Penggunaan Kombinasi Antipsikotik Pada Awal Terapi ..... 38
Tabel 4.9. Rasionalitas Pemberian Antipsikotik Pada Awal Terapi ..... 39
Tabel 4.10. Perubahan Komposisi Jenis Obat Pada Pasien
yang Awalnya Mendapatkan Antipsikotik Monoterapi ....... 40
Tabel 4.11. Antipsikotik Pilihan Saat Dilakukan Switching ................... 41
Tabel 4.12. Perubahan Komposisi Jenis Obat Pada Pasien
yang Awalnya Mendapatkan Antipsikotik Kombinasi ........ 41
Tabel 4.13. Penggunaan Obat Selain Antipsikotik.................................. 42
Tabel 4.14. Pencatatan Alasan Perubahan Terapi ................................... 43
Tabel 4.15. Alasan Perubahan Terapi ..................................................... 43
Tabel 4.16. Jenis Efek Samping yang Muncul ........................................ 44
Tabel 5.1. Keuntungan dan Kerugian Metode-metode Switching......... 52
xi
Gambaran pola…, Alvina, FK UI, 2014
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1.
Gambar 2.2.
Gambar 2.3.
Gambar 2.4.
Tiga Metode Penggantian Obat .................................. 16
Terapi Biologik Gangguan Skizofrenia ...................... 17
Hambatan Pada Ketaatan Terhadap Terapi ................ 20
Algoritma Pengobatan Skizofrenia ............................. 21
xii
Gambaran pola…, Alvina, FK UI, 2014
DAFTAR SINGKATAN
nM
DPJP
FKUI
ICD-10
Ki
PDSKJI
PNS
PPDSp-1
RSCM
SD
SMP
SMU
SPO
WHO
nanoMolar
Dokter Penanggung Jawab Pasien
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
International Classification of Diseases 10
Kidney International
Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia
Pegawai Negeri Sipil
Program Pendidikan Dokter Spesialis-1
Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo
Sekolah Dasar
Sekolah Menengah Pertama
Sekolah Menengah Umum
Standar Prosedur Operasional
World Health Organization
xiii
Gambaran pola…, Alvina, FK UI, 2014
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Skizofrenia merupakan gangguan jiwa yang berpotensi berlangsung dalam jangka
waktu yang panjang.1 Data dari World Health Organization (WHO) menunjukkan
bahwa Skizofrenia dialami oleh 7 dari 1000 orang dewasa dan lebih dari 50% dari
orang dengan Skizofrenia tidak mendapatkan penatalaksanaan yang adekuat.2
Data juga menunjukkan bahwa 90% orang dengan Skizofrenia yang tidak
mendapatkan penatalaksanaan yang adekuat berada di negara berkembang.2 Dari
survei yang dilakukan di Finlandia, didapatkan bahwa lifetime prevalence
Skizofrenia bervariasi antara 0,12%-1,6%.3 Data Riset Kesehatan Dasar 2007
menunjukkan bahwa prevalensi gangguan jiwa berat di Indonesia sebesar 4,6‰.4
Bila dilakukan penghitungan secara kasar dari jumlah penduduk Indonesia
berdasarkan sensus penduduk yang dilakukan tahun 2010 yaitu sebesar
237.641.326 orang, maka jumlah penduduk Indonesia yang mengalami gangguan
jiwa berat sekitar 1 juta orang.5
Prognosis Skizofrenia tidak terlalu baik. Sekitar sepertiga pasien akan
menjalani kehidupan yang normal, sepertiga lainnya akan tetap mengalami gejala
yang bermakna namun tetap dapat hidup di tengah masyarakat dan sepertiga
lainnya akan mengalami gejala yang berat dan sering menjalani rawat inap.6
Dampak dari Skizofrenia sangat besar baik bagi pasien dan keluarga maupun
negara. Pada sebuah ulasan mengenai penelitian cost of illness pada Skizofrenia,
ditelusuri besarnya biaya ditinjau dari biaya langsung, biaya tidak langsung dan
biaya yang tidak kentara. Biaya langsung dapat dilihat dari pengeluaran untuk
biaya rawat inap atau perawatan di rumah, pelayanan dokter dan jasa profesional
lain, obat-obatan dan peralatan yang digunakan selama perawatan pasien tersebut.
Hilangnya produktivitas yang diakibatkan oleh gejala Skizofrenia yang tidak
teratasi atau kematian dini diperhitungkan dalam biaya tidak langsung, sementara
hambatan akibat penyakit dihitung dalam intangible cost.7 Selain biaya
1
Gambaran pola…, Alvina, FK UI, 2014
2
pengobatan yang besar, efek samping obat dan gaya hidup tidak sehat yang
dialami oleh pasien dengan Skizofrenia menurunkan fungsi dan kualitas hidup
pasien dan keluarga yang kemudian memengaruhi relasi personal mereka.
Disabilitas yang dialami oleh pasien dengan Skizofrenia membuat pasien-pasien
ini rentan kehilangan pekerjaan, kesulitan untuk kembali bekerja, memiliki
ketidakhadiran yang tinggi di tempat kerja. Hal ini membuat mereka berpotensi
terlibat dalam aktivitas kriminal serta penyalahgunaan zat. Pasien-pasien tersebut
juga menjadi beban bagi pelaku rawat mereka sehingga tidak jarang mereka
mengalami masalah dalam perkawinan dan perceraian.8,9
Untuk memperbaiki keluaran, intervensi harus dilakukan segera setelah
gejala-gejala muncul. Pada Skizofrenia, tata laksana segera dilakukan setelah
gejala psikotik muncul.10 Negara-negara di dunia berupaya membuat suatu
pedoman tata laksana yang adekuat untuk mengatasi Skizofrenia. Beberapa
panduan tata laksana Skizofrenia yang telah dibuat antara lain Schizophrenia:
Australian Treatment Guide for Consumers and Carers (Agustus 2009)11,
Evidence-based
Guidelines
for
Schizophrenia:
Recommendations
The
from
Pharmacological
The
British
Treatments
Association
of
for
Psychopharmacology (2011)10, World Federation of Societies of Biological
Psychiatry (WFSBP) Guidelines for Biological Treatment of Schizophrenia
(2012)12, NICE Clinical Guideline Schizophrenia: Core Intervention in The
Treatment and Management of Schizophrenia in Adults in Primary and Secondary
Care Updated Edition (2010)1 dan Texas Medication Algorithm Project
Procedural Manual: Schizophrenia Treatment Algorithms (2008).13 Di Indonesia,
Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) sudah
mengeluarkan Konsensus Penatalaksanaan Gangguan Skizofrenia pada tahun
2011.14
Pembuatan panduan diupayakan untuk menyediakan rekomendasi yang
berbasis bukti serta terkini dalam hal manajemen kondisi dan gangguan oleh
tenaga kesehatan, dasar untuk menetapkan standar untuk penilaian praktik
profesional kesehatan, dasar pendidikan dan pelatihan tenaga kesehatan,
membantu pengguna jasa pelayanan kesehatan dan pelaku rawat dalam membuat
Universitas Indonesia
Gambaran pola…, Alvina, FK UI, 2014
3
keputusan
berdasarkan
informasi
tentang
pengobatan
dan
perawatan,
memperbaiki komunikasi antara profesional kesehatan, pengguna jasa layanan dan
pelaku rawat serta menentukan prioritas penelitian ke depan.14
Skizofrenia merupakan gangguan jiwa berat dengan prognosis yang tidak
terlalu baik. Tata laksana yang tepat diperlukan untuk memperbaiki keluaran pada
pasien-pasien dengan Skizofrenia. Untuk itu telah banyak dibuat panduan tata
laksana Skizofrenia di seluruh dunia. Begitu pula halnya di Indonesia, sejak tahun
2011 PDSKJI sudah mengeluarkan Konsensus Penatalaksanaan Gangguan
Skizofrenia. Namun hingga saat ini, belum ada penelitian yang berupaya untuk
mencermati pola peresepan dan alasan perubahan terapi pasien-pasien dengan
Skizofrenia di Indonesia khususnya di Poli Jiwa Dewasa RSCM. Padahal hal
tersebut penting untuk menilai apakah terapi yang diberikan rasional atau tidak,
karena akan berdampak pada perbaikan klinis maupun manajemen rumah sakit.
1.2 RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian di atas, maka disusun rumusan masalah bagaimana pola
peresepan dan apakah alasan perubahan terapi pada pasien Skizofrenia di
Indonesia khususnya di Poli Jiwa Dewasa RSCM.
1.3 TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini ditujukan untuk:
1.
mendapatkan gambaran pola peresepan pasien dengan Skizofrenia di Poli
Jiwa Dewasa RSCM
2.
mendapatkan alasan perubahan terapi pada pasien dengan Skizofrenia di
Poli Jiwa Dewasa RSCM
1.4 MANFAAT PENELITIAN
Manfaat dilakukannya penelitian ini adalah:
1.
Di bidang pelayanan masyarakat
Dapat menjadi bahan evaluasi dalam penerapan panduan tata laksana
Skizofrenia khususnya Konsensus Penatalaksanaan Gangguan Skizofrenia
Universitas Indonesia
Gambaran pola…, Alvina, FK UI, 2014
4
sehingga hambatan-hambatan dalam menerapkan panduan tersebut dapat
dikenali dan diatasi.
2.
Di bidang penelitian
Dapat mendorong dilakukannya penelitian-penelitian serupa di berbagai
rumah sakit yang menyediakan layanan kesehatan jiwa untuk mengevaluasi
pemberian obat bagi pasien-pasien dengan Skizofrenia dan mengetahui
alasan perubahan terapinya.
3.
Di bidang pendidikan
Dapat mendorong para dokter spesialis kedokteran jiwa dan para peserta
program pendidikan spesialis kedokteran jiwa untuk secara kontinu
memperbaharui pengetahuannya mengenai pengobatan Skizofrenia.
Universitas Indonesia
Gambaran pola…, Alvina, FK UI, 2014
BAB 2
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
2.1 Skizofrenia
Skizofrenia merupakan gangguan jiwa berat. Skizofrenia ditandai dengan adanya
gangguan daya nilai realita.15 Gangguan ini memengaruhi persepsi, pikiran, afek
dan perilaku penderitanya.1 Tidak ada tanda atau gejala yang patognomonis untuk
Skizofrenia. Tanda dan gejala yang muncul pada Skizofrenia dapat muncul pada
gangguan psikiatri dan neurologi lainnya. Hal ini menjadi alasan pentingnya
mendapatkan riwayat perjalanan penyakit pada pasien untuk menegakkan
diagnosis Skizofrenia. Gejala-gejala pada pasien Skizofrenia cenderung berubahubah sepanjang perjalanan penyakitnya. Dalam memeriksa pasien Skizofrenia,
dokter harus mempertimbangkan tingkat pendidikan, kemampuan intelektual dan
latar belakang budaya pasien.16
Gejala-gejala Skizofrenia umumnya dibagi menjadi 2 yaitu gejala positif
dan gejala negatif. Gejala positif pada Skizofrenia antara lain waham, halusinasi,
distorsi dalam bahasa dan komunikasi, bicara kacau, perilaku kacau, perilaku
katatonik dan agitasi. Gejala negatif pada Skizofrenia antara lain afek yang
menumpul, penarikan emosional, pasivitas, rapport yang buruk, kesulitan dalam
berpikir abstrak, kurangnya spontanitas, pikiran stereotipik, alogia, anhedonia dan
gangguan atensi. Selain pembagian gejala Skizofrenia menjadi gejala positif dan
gejala negatif, beberapa penelitian mengelompokkan gejala dalam 5 dimensi yaitu
gejala positif, gejala negatif, gejala kognitif, gejala agresif dan gejala afektif.
Gejala kognitif yang sering ditemukan pada pasien Skizofrenia antara lain
kesulitan dalam memiliki dan mencapai tujuan, kesulitan dalam membagi,
memusatkan dan mempertahankan perhatian, kesulitan dalam memonitor
performa diri, kesulitan dalam menentukan prioritas, kesulitan dalam memodulasi
perilaku berdasarkan petunjuk-petunjuk sosial, kesulitan dalam pembelajaran
serial, gangguan kefasihan verbal dan kesulitan dalam memecahkan masalah.
Gejala agresif yang dapat muncul pada Skizofrenia antara lain kekerasan verbal
dan fisik, bahkan penyerangan, perilaku menyakiti diri termasuk bunuh diri,
5
Gambaran pola…, Alvina, FK UI, 2014
6
perusakan barang dan sexual acting out. Gejala afektif yang sering berkaitan
dengan Skizofrenia antara lain mood yang depresif, mood cemas, rasa bersalah,
ketegangan, iritabilitas dan ketakutan.17
Diagnosis Skizofrenia ditegakkan berdasarkan pedoman diagnosis baik
menurut International Classification of Diseases 10 (ICD-10).
Kriteria diagnosis Skizofrenia berdasarkan ICD-10 adalah harus ada sedikitnya satu
gejala tersebut di atas yang amat jelas (dan biasanya dua gejala atau lebih apabila
gejala-gejala itu kurang tajam atau kurang jelas) dari gejala yang termasuk salah satu
dari kelompok gejala a sampai d, atau paling sedikit dua gejala dari kelompok e sampai
h yang harus selalu ada secara jelas selama kurun waktu satu bulan atau lebih.18
a.
Thought echo, thought insertion atau withdrawal dan thought broadcasting
b.
Waham dikendalikan, waham dipengaruhi atau passivity, yang jelas merujuk pada
pergerakan tubuh atau pergerakan anggota gerak, atau pikiran, perbuatan atau
perasaan khusus, persepsi delusional
c.
Suara halusinasi yang berkomentar secara terus-menerus terhadap perilaku pasien
atau mendiskusikan perihal pasien di antara mereka sendiri, atau jenis suara
halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagian tubuh
d.
Waham-waham menetap jenis lain yang menurut budayanya dianggap tidak wajar
serta sama sekali mustahil, seperti misalnya mengenai identitas keagamaan atau
politik atau kekuatan dan kemampuan “manusia super” (misalnya mampu
mengendalikan cuaca atau berkomunikasi dengan makhluk asing dari dunia lain)
e.
Halusinasi yang menetap dalam setiap modalitas apabila disertai baik oleh waham
yang mengambang/melayang maupun yang setengah berbentuk tanpa kandungan
afektif yang jelas ataupun oleh ide-ide berlebihan (overvalued ideas) yang menetap
atau apabila terjadi setiap hari selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan
terus-menerus
f.
Arus pikir yang terputus atau yang mengalami sisipan (interpolasi) yang berakibat
inkoherensi atau pembicaraan yang tidak relevan atau neologisme
g.
Perilaku katatonik seperti keadaan gaduh gelisah (excitement), sikap tubuh
tertentu (posturing), atau fleksibilitas serea, negativisme, mutisme dan stupor
h.
Gejala-gejala negatif seperti sikap sangat masa bodo (apatis), pembicaraan yang
terhenti dan respons emosional yang menumpul atau tidak wajar, biasanya yang
mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan sosial dan menurunnya kinerja
sosial tapi harus jelas bahwa semua hal tersebut tidak disebabkan oleh depresi
atau medikasi neuroleptika
i.
Suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu keseluruhan dari
beberapa aspek perilaku perorangan, bermanifestasi sebagai hilangnya minat, tak
bertujuan, sikap malas, sikap berdiam diri (self-absorbed attitude) dan penarikan
diri secara sosial
Ditinjau secara retrospektif, mungkin terlihat jelas bahwa terdapat suatu fase
prodromal dimana gejala-gejala dan perilaku seperti kehilangan minat dalam bekerja,
dalam aktivitas sosial (pergaulan sosial), penelantaran penampilan pribadi dan
perawatan diri, bersama dengan kecemasan yang menyeluruh serta depresi dan
preokupasi yang berderajat ringan, mendahului onset gejala-gejala psikotik selama
berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan. Karena sulitnya menentukan onset, kriteria
lamanya 1 bulan berlaku hanya untuk gejala-gejala khas tersebut di atas dan tidak
berlaku untuk setiap fase nonpsikotik prodromal.18
Diagnosis Skizofrenia tidak boleh dibuat bila terdapat secara luas gejala-gejala
depresif atau manik kecuali bila memang jelas bahwa gejala-gejala skizofrenik itu
Universitas Indonesia
Gambaran pola…, Alvina, FK UI, 2014
7
mendahului gangguan afektif tersebut. Bila gejala-gejala skizofrenik dan afektif
berkembang bersama-sama secara seimbang dan sama banyak maka diagnosis gangguan
skizoafektif harus dibuat walaupun gejala-gejala skizofrenik itu saja cukup beralasan
untuk menegakkan diagnosis Skizofrenia. Skizofrenia tidak boleh didiagnosis bila
terdapat penyakit otak yang nyata atau dalam keadaan intoksikasi atau lepas zat.18
Perjalanan gangguan Skizofrenia menurut ICD-10 dapat diklasifikasikan
menjadi berkelanjutan, episodik dengan kemunduran progresif, episodik dengan
kemunduran stabil, episodik berulang, remisi tak sempurna, remisi sempurna,
lainnya dan periode pengamatan kurang dari 1 tahun. Menurut ICD-10,
Skizofrenia dibagi menjadi beberapa tipe yaitu Skizofrenia paranoid, Skizofrenia
hebefrenik,
Skizofrenia
katatonik,
Skizofrenia
tak
terinci,
depresi
pascaskizofrenia, Skizofrenia residual, Skizofrenia simpleks, Skizofrenia lainnya
dan Skizofrenia YTT.18
Perjalanan penyakit Skizofrenia yang klasik ditandai dengan adanya
eksaserbasi dan remisi. Pasien biasanya relaps dan perjalanan penyakit pasien
ditentukan dalam 5 tahun pertama setelah diagnosis ditegakkan. Penurunan fungsi
yang lebih lanjut terjadi setelah setiap relaps yang terjadi. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa dalam periode 5-10 tahun setelah pasien Skizofrenia
menjalani rawat inap yang pertama, hanya 10-20% pasien yang memiliki keluaran
yang baik, lebih dari 50% pasien memiliki keluaran yang buruk. Beberapa hal
yang menjadi ciri-ciri prognosis baik atau buruk pada Skizofrenia disajikan dalam
tabel 2.1.16
Universitas Indonesia
Gambaran pola…, Alvina, FK UI, 2014
8
Tabel 2.1. Karakteristik yang Menentukan Prognosis Baik dan Buruk pada
Skizofrenia
Sumber: Schizophrenia dalam Kaplan & Sadock’s Synopsis of Psychiatry: Behavioral
Sciences/Clinical Psychiatry. ed.10. USA: Lippincott Williams and Wilkins; 2007.
2.2 Skizofrenia dan Komorbiditas
Pasien-pasien dengan Skizofrenia sering mengalami komorbiditas, baik dengan
gangguan psikiatri lainnya atau dengan gangguan fisik.19,20 Gangguan psikiatri
yang sering berkomorbid dengan Skizofrenia antara lain penyalahgunaan zat,
gangguan cemas dan gangguan depresi. Pasien dengan Skizofrenia memiliki
lifetime prevalence mengalami penyalahgunaan zat sebesar 47%. Ada beberapa
hipotesis yang berusaha menjelaskan angka komorbiditas Skizofrenia dengan
penyalahgunaan zat yang tinggi. Pertama, hal tersebut semata-mata adalah 2
kejadian yang kebetulan terjadi secara bersamaan khususnya karena remaja dan
dewasa muda sering mengalami penyalahgunaan zat. Kedua, zat dianggap sebagai
pencetus terjadi gejala psikotik pada pasien dengan Skizofrenia, walaupun
keduanya tidak memiliki perjalanan penyakit yang sama. Ketiga, Skizofrenia dan
penyalahgunaan zat mungkin memiliki kerentanan biologis yang sama yaitu
disregulasi dopamin yang membuat pasien dengan Skizofrenia cenderung
Universitas Indonesia
Gambaran pola…, Alvina, FK UI, 2014
9
menyalahgunakan zat. Penyalahgunaan zat pada pasien dengan Skizofrenia
membuat pasien-pasien tersebut memiliki lebih banyak gejala positif, lebih sering
kambuh, memiliki risiko melakukan kekerasan dan bunuh diri yang lebih tinggi,
memiliki komorbitas medik yang lebih tinggi, lebih sering melakukan
pelanggaran hukum dan memiliki risiko efek samping antipsikotik yang lebih
tinggi.19
Prevalensi gangguan cemas pada pasien dengan Skizofrenia lebih tinggi
dibandingkan dengan populasi umum. Gangguan cemas yang sering didapatkan
pada pasien dengan Skizofrenia antara lain gangguan panik, gangguan stres
pascatrauma, gangguan obsesif kompulsif, gangguan cemas menyeluruh dan
gangguan cemas sosial. Di antara gangguan-gangguan cemas tersebut, gangguan
panik, gangguan stres pascatrauma dan gangguan obsesif kompulsif paling banyak
diteliti pada pasien dengan Skizofrenia. Prevalensi serangan panik pada pasien
dengan Skizofrenia mencapai 45%. Pada studi lainnya menunjukkan bahwa
prevalensi serangan panik sebesar 7,1%-63% dan prevalensi gangguan panik
mencapai 3,3%-29,5%. Komorbiditas Skizofrenia dengan gangguan panik
berkaitan dengan psikopatologi yang lebih berat, peningkatan ide dan perilaku
bunuh diri serta peningkatan risiko terjadinya penyalahgunaan zat.19
Prevalensi gangguan stres pascatrauma pada pasien dengan Skizofrenia
sebesar 0%-67%. Pasien dengan Skizofrenia memang sering memiliki riwayat
trauma dan trauma masa kecil menjadi faktor risiko terjadinya gejala psikotik.
Pasien-pasien dengan Skizofrenia memiliki kecenderungan yang lebih tinggi
untuk mengalami peristiwa yang bersifat traumatis, seperti gejala psikotiknya,
pengalaman pasien menjalani rawat inap dengan paksa, berada di ruang seklusi
dan mengalami fiksasi. Diagnosis gangguan stres pascatrauma pada pasien dengan
Skizofrenia berkaitan dengan psikopatologi yang lebih berat, angka ide dan
perilaku bunuh diri yang lebih tinggi, kunjungan rawat jalan dan rawat inap yang
lebih tinggi. Penelitian menunjukkan peningkatan angka kejadian gejala dan
gangguan obsesif kompulsif pada Skizofrenia. Sebuah penelitian menunjukkan
bahwa pada pasien dengan Skizofrenia terjadi peningkatan odds sebesar 12,5 kali
untuk mengalami gangguan obsesif kompulsif dan sebaliknya pada pasien dengan
gangguan obsesif kompulsif terjadi peningkatan risiko sebesar 3,77 kali untuk
Universitas Indonesia
Gambaran pola…, Alvina, FK UI, 2014
10
mengalami Skizofrenia. Pada pasien dengan Skizofrenia, adanya gangguan
obsesif kompulsif menjadi salah satu faktor prognostik yang bermakna. Pasien
dengan Skizofrenia yang mengalami gangguan obsesif kompulsif memiliki
disabilitas yang lebih besar. Pasien dengan Skizofrenia yang mengalami gejala
obsesif kompulsif memiliki awitan penyakit yang lebih dini, tingkat rawat inap
yang lebih tinggi, kemungkinan yang lebih kecil untuk mendapatkan pekerjaan
dan menikah serta peningkatan ide dan perilaku bunuh diri.19
Menurut Bartels dan Drake, gejala depresi pada Skizofrenia dapat
dibedakan menjadi 3 subtipe yaitu gejala depresi yang disebabkan oleh faktor
organik, gejala depresi yang bersifat intrinsik terkait episode psikotik akut dan
gejala depresi yang tidak berkaitan dengan episode psikotik akut. Pada penelitian
yang dilakukan oleh Mandel, 25% pasien dengan Skizofrenia yang mengalami
depresi dalam bulan-bulan pertama setelah pulang rawat inap memiliki gejala
kronisitas yang lebih berat. Pasien dengan Skizofrenia memiliki kerentanan yang
besar untuk mengalami depresi yaitu sebesar 25%.19
Selain memiliki komorbiditas dengan gangguan psikiatri lainnya, pasien
dengan Skizofrenia juga sering memiliki komorbiditas dengan gangguan fisik.
Secara umum, laki-laki dengan Skizofrenia meninggal 20 tahun lebih dini dan
perempuan dengan Skizofrenia meninggal 15 tahun lebih dini dibandingkan orang
tanpa gangguan mental berat. Faktor yang menyebabkan kematian dini pada
pasien-pasien ini terutama adalah penyakit kardiovaskular, penyakit paru terkait
merokok dan diabetes melitus tipe 2.21 Walaupun begitu, beberapa penelitian yang
dilakukan di Amerika Serikat menunjukkan tingkat deteksi gangguan fisik yang
rendah pada pasien dengan gangguan jiwa. Sebagai contoh, penelitian
menunjukkan bahwa 45% pasien dalam sistem kesehatan jiwa publik di California
memiliki penyakit fisik, namun dokter yang merawat tidak mendeteksi 47% di
antaranya.20
Pada sebuah analisis retrospektif longitudinal di Iowa, pasien dengan
Skizofrenia memiliki kecenderungan yang lebih besar secara bermakna untuk
memiliki 1 atau lebih kondisi kronis lain dibandingkan kontrol seperti
hipotiroidisme, penyakit paru obstruktif kronik, diabetes dengan komplikasi,
hepatitis C, gangguan cairan/elektrolit dan penyalahgunaan/ketergantungan
Universitas Indonesia
Gambaran pola…, Alvina, FK UI, 2014
11
nikotin.22
Pada
sebuah
penelitian
potong
lintang di
Skotlandia
yang
mengikutsertakan 314 praktik layanan primer, didapatkan bahwa pasien dengan
Skizofrenia memiliki kecenderungan yang lebih tinggi secara bermakna untuk
memiliki komorbiditas dengan 1, 2 dan 3 gangguan fisik. Angka tertinggi
didapatkan pada hepatitis viral, konstipasi dan penyakit Parkinson.21 Dalam tabel
2.2 disajikan kondisi fisik yang kerap ditemui pada pasien dengan Skizofrenia dan
hubungan kondisi fisik dengan kondisi psikiatri, pengobatan dan gaya hidup.22
Universitas Indonesia
Gambaran pola…, Alvina, FK UI, 2014
12
Tabel 2.2. Kondisi Fisik yang Kerap Ditemui pada Pasien dengan Skizofrenia dan
Hubungan Kondisi Fisik dengan Kondisi Psikiatri, Pengobatan dan Gaya Hidup
Sumber: Lambert, Timothy J.R., Dennis Velakoulis dan Christos Pantelis. Medical Comorbidity in
Schizophrenia. MJA 2003;178:S67-S70.
2.3 Tata Laksana Farmakoterapi Untuk Skizofrenia
Hingga saat ini penyebab terjadinya Skizofrenia masih belum jelas, namun
didapatkan adanya beberapa kondisi dalam sistem saraf pusat yang bermakna.
Munculnya gejala psikotik dikaitkan dengan adanya hiperaktivitas pada reseptor
dopaminergik, penurunan jumlah neuron inhibitorik, penurunan sintesis enzim
yang dibutuhkan untuk membuat asam gama aminobutirik, penurunan ekspresi
Universitas Indonesia
Gambaran pola…, Alvina, FK UI, 2014
13
neuropeptida kolesistokinin dan somatostatin, penurunan migrasi neuron dari area
putih ke korteks, pembesaran ventrikel dan penurunan volume otak lainnya.23
Sejak tahun 1950, obat antipsikotik sudah digunakan dalam tata laksana
Skizofrenia.1 Obat antipsikotik yang pertama digunakan pada pasien dengan
Skizofrenia adalah obat antipsikotik konvensional yang memiliki afinitas pada
reseptor dopamin D2 yang tinggi pada ganglia basalis dan area limbik. Obat
antipsikotik konvensional yang pertama digunakan berasal dari golongan
fenotiazin
seperti
klorpromazin,
promazin,
triflupromazin,
flufenazin,
trifluoperazin dan proklorperazin dan golongan butirofenon seperti haloperidol,
benperidol, droperidol dan triperidol. Pada perkembangan selanjutnya juga
digunakan obat antipsikotik atipikal. Obat antipsikotik atipikal bekerja sebagai
antagonis reseptor dopamin D2 namun tidak terikat sekuat obat antipsikotik
konvensional dan juga bekerja pada neurotrasmiter lain di otak. Dalam tabel 2.3
disajikan potensi reseptor pada beberapa obat antipsikotik.24
Tabel 2.3. Potensi Reseptor (nilai Ki, nM) Beberapa Obat Antipsikotik
Sumber: Gardner David M., Ross J.Baldessarini dan Paul Waraich. Modern Antipsychotic Drugs:
A Critical Overview. CMAJ 2005;172(13): 1703-11.
Dari sebuah ulasan sistematik dan analisis metaregresi didapatkan bahwa
tidak ada bukti-bukti yang dengan jelas menunjukkan bahwa obat antipsikotik
atipikal lebih efektif atau lebih baik ditoleransi dibandingkan antipsikotik
Universitas Indonesia
Gambaran pola…, Alvina, FK UI, 2014
14
konvensional.
Dari
penelitian
tersebut
disimpulkan
bahwa
antipsikotik
konvensional dapat digunakan pada fase awal pengobatan pasien dengan
Skizofrenia kecuali pasien tersebut memiliki riwayat respons yang tidak adekuat
atau memiliki riwayat efek samping ekstrapiramidal dengan obat antipsikotik
konvensional.25
Dalam memilih obat yang hendak digunakan untuk pasien, ada beberapa
aspek yang harus dipertimbangkan. Aspek-aspek tersebut antara lain:26

Keamanan (safety) - pemilihan pengobatan yang akan diberikan kepada
pasien hendaknya mengutamakan profil keamanan obat tersebut. Dalam
mempertimbangkan aspek keamanan, dokter dapat memperhatikan hal-hal
seperti ada tidaknya komorbiditas dengan penyakit fisik, interaksi obat yang
mungkin terjadi.

Toleransi (tolerability) - dalam memilih obat yang sesuai untuk pasien,
dokter hendaknya mempertimbangkan efek jangka pendek dan jangka
panjang penggunaan obat tersebut.

Efikasi - dalam memilih obat tertentu, dokter hendaknya mengetahui buktibukti klinis manfaat obat tersebut untuk gangguan yang dialami pasien.

Practicality - dalam memilih obat yang sesuai untuk pasien, hendaknya
dokter juga mempertimbangkan biaya pengobatan yang harus ditanggung
pasien dan keluarga, adherence dan pemantauan penggunaan obat tersebut.
Sebagai contoh: dokter mungkin dapat memilih obat dengan harga yang
terjangkau oleh pasien atau mempertimbangkan frekuensi pemberian obat
dalam sehari.
Fase pengobatan Skizofrenia menurut Konsensus Penatalaksanaan
Gangguan Skizofrenia dibagi menjadi 3 yaitu fase akut, fase stabilisasi dan fase
stabil atau fase rumatan. Dalam fase akut, didapatkan adanya gejala psikotik yang
membutuhkan tata laksana segera. Fase ini berlangsung selama 4-8 minggu.
Setelah fase akut terlewati maka pengobatan berlanjut ke fase stabilisasi. Pada
fase stabilisasi, diberikan obat antipsikotik dengan dosis yang sama yang
diberikan pada fase akut selama sekurang-kurangnya 6 bulan. Kemudian,
pengobatan memasuki fase stabil atau fase rumatan. Pada fase ini, gangguan
sudah mengalami remisi dan pemberian obat dengan dosis efektif minimal
Universitas Indonesia
Gambaran pola…, Alvina, FK UI, 2014
15
ditujukan untuk mencegah kekambuhan dan memperbaiki fungsi.14 Pada
penelitian didapatkan bahwa pasien-pasien yang tetap mendapatkan antipsikotik
memiliki tingkat kekambuhan yang lebih rendah dibandingkan dengan yang tidak
mendapatkan antipsikotik. Tingkat kekambuhan pasien dengan Skizofrenia dalam
setahun adalah 16-23% untuk pasien-pasien yang tetap mendapatkan pengobatan
dan 53-72% untuk pasien-pasien yang tidak mendapatkan pengobatan. Hingga
saat ini belum ada panduan yang menyatakan dengan jelas berapa lama
pengobatan dalam fase rumatan dipertahankan. Data menunjukkan bahwa pada
Skizofrenia episode pertama, mempertahankan pengobatan selama 1-2 tahun
mungkin tidak adekuat. Pasien-pasien dengan Skizofrenia yang sudah mengalami
kekambuhan berulang dianjurkan untuk mendapatkan pengobatan sekurangkurangnya selama 5 tahun, bahkan banyak ahli yang menyarankan pemberian
pengobatan seumur hidup.16
Pasien dengan Skizofrenia memiliki respons terhadap farmakoterapi yang
berbeda-beda. Definisi respons yang baik terhadap pengobatan antipsikotik masih
belum disepakati, namun para profesional di bidang kesehatan jiwa biasanya
menggunakan penurunan skor pada instrumen-instrumen tertentu untuk
mengetahui seberapa besar respons pasien dengan Skizofrenia terhadap
antipsikotik. Pasien menunjukkan respons terhadap terapi apabila terjadi
penurunan skor pada Positive and Negative Syndrome Scale sebesar ≥ 20% atau
skor Brief Psychiatric Rating Scale setelah terapi ≤ 35 atau skor Clinical Global
Impression-severity setelah terapi ≤ 3.27 Bukti-bukti menunjukkan bahwa respons
yang buruk terhadap antipsikotik di minggu pertama terapi dapat menjadi faktor
prediktor nonrespons terhadap antipsikotik. Dokter dapat mempertimbangkan
penggantian antipsikotik pada pasien-pasien yang tidak berespons terhadap terapi
dalam waktu 2 minggu fase akut, kecuali pada pasien-pasien dengan episode
pertama.28 Pada penelitian yang dilakukan Maret 1997-Juli 2001 di 14 pusat
akademik di Amerika Utara dan Eropa Barat yang mengikutsertakan pasienpasien dengan Skizofrenia, Skizofreniform dan gangguan Skizoafektif, didapatkan
bahwa duration of untreated psychosis yang lebih pendek dan fungsi premorbid
yang baik menjadi faktor prediktor respons yang baik terhadap terapi antipsikotik
pada pasien.29
Universitas Indonesia
Gambaran pola…, Alvina, FK UI, 2014
16
Penggantian obat antipsikotik kerap dilakukan dengan alasan respons yang
tidak adekuat atau adanya treatment-limiting effect seperti terjadinya pemanjangan
interval QTc yang disebabkan oleh penggunaan antipsikotik pada pasien dengan
riwayat disritmia jantung, rasa kantuk yang berlebihan pada pasien yang bekerja
atau bersekolah. Penggantian obat dapat dilakukan dengan beberapa metode yaitu
menghentikan penggunaan obat A secara langsung dan memulai penggunaan obat
B dengan dosis optimal, menurunkan dosis obat A secara perlahan sambil
memulai obat B pada dosis optimal atau menurunkan dosis obat A secara perlahan
sambil mulai menaikkan perlahan dosis obat B seperti terlihat pada gambar 2.1.30
Gambar 2.1. Tiga Metode Penggantian Obat
Sumber: Winans, Elizabeth A. Switching Antipsychotics A Balanced Approach. Current Psychiatry
vol.2, no.8, August 2003.
Dalam gambar 2.2, tabel 2.4-2.6 disajikan terapi biologik untuk
Skizofrenia menurut Konsensus Penatalaksanaan Gangguan Skizofrenia 2011.14
Universitas Indonesia
Gambaran pola…, Alvina, FK UI, 2014
17
Gambar 2.2. Terapi Biologik Gangguan Skizofrenia
Sumber: Konsensus Penatalaksanaan Gangguan Skizofrenia. Perhimpunan Dokter Spesialis
Kedokteran Jiwa Indonesia 2011.
Universitas Indonesia
Gambaran pola…, Alvina, FK UI, 2014
18
Tabel 2.4. Obat Antipsikotik yang Sering Digunakan
Sumber: Konsensus Penatalaksanaan Gangguan Skizofrenia. Perhimpunan Dokter Spesialis
Kedokteran Jiwa Indonesia 2011.
Tabel 2.5. Pilihan Obat untuk Fase Akut Skizofrenia
Sumber: Konsensus Penatalaksanaan Gangguan Skizofrenia. Perhimpunan Dokter Spesialis
Kedokteran Jiwa Indonesia 2011.
Universitas Indonesia
Gambaran pola…, Alvina, FK UI, 2014
19
Tabel 2.6. Beberapa Efek Samping Obat Antipsikotik yang Sering Digunakan
a
0 = tidak ada risiko atau jarang menimbulkan efek samping pada dosis terapeutik. + =
ringan atau sesekali menyebabkan efek samping pada dosis terapeutik. ++ = kadang-kadang
menyebabkan efek samping pada dosis terapeutik. +++ = sering menyebabkan efek samping pada
dosis terapeutik. Data terlalu terbatas untuk memberikan penilaian dengan yakin.
b
juga menyebabkan agranulositosis, kejang dan miokarditis
c
kemungkinan perkecualian untuk akatisia
d
juga mempunyai peringatan tentang potensi timbulnya katarak
e
juga menyebabkan mual dan nyeri kepala
Sumber: Konsensus Penatalaksanaan Gangguan Skizofrenia. Perhimpunan Dokter Spesialis
Kedokteran Jiwa Indonesia 2011.
2.4 Masalah Ketaatan Terhadap Terapi
Masalah ketaatan terhadap terapi sering terjadi pada pasien-pasien dengan
gangguan jiwa walaupun sebenarnya pasien-pasien tersebut bisa mendapatkan
manfaat dari adherens yang baik. Tingkat ketaatan terhadap terapi pada pasien
dengan Skizofrenia diperkirakan sekitar 50-60%.31 Ada beberapa faktor yang
berkaitan dengan tingkat ketaatan yang buruk pada pasien dengan Skizofrenia,
yaitu:32
-
Faktor yang terkait dengan pasien – derajat keparahan gejala atau
grandiositas atau keduanya, tilikan yang buruk, adanya komorbiditas dengan
penyalahgunaan zat
-
Faktor yang terkait dengan obat – efek samping disforia, dosis subterapeutik
atau sangat tinggi
-
Faktor lingkungan – kurangnya pengawasan atau dukungan, hambatan
transportasi/keuangan
Universitas Indonesia
Gambaran pola…, Alvina, FK UI, 2014
20
-
Faktor terkait terapis – aliansi terapeutik yang buruk
Interaksi antara pasien, penyedia layanan kesehatan dan sistem layanan
kesehatan dapat menjadi faktor yang menghambat adherens seperti disajikan pada
gambar 2.3.
Gambar 2.3. Hambatan Pada Ketaatan Terhadap Terapi
Sumber: Osterberg, Lars dan Terrence Blaschke. Adherence to Medication. N Engl J Med
2005;353:487-97.
2.5 Masalah dalam Peresepan Obat
Untuk meningkatkan layanan kesehatan jiwa khususnya dalam tata laksana
Skizofrenia, negara-negara dan organisasi-organisasi di seluruh dunia berupaya
membuat panduan dan algoritma tata laksana Skizofrenia. Walaupun sudah
banyak panduan-panduan tersedia namun penerapan panduan tersebut dalam
praktik klinis masih perlu dievaluasi. Sebagai contoh penggunaan kombinasi
antipsikotik atau juga disebut polifarmasi antipsikotik pada Skizofrenia sering
Universitas Indonesia
Gambaran pola…, Alvina, FK UI, 2014
21
ditemukan dalam praktik klinis.33 Dalam Konsensus Penatalaksanaan Gangguan
Skizofrenia tidak dijabarkan dengan jelas mengenai kemungkinan pengobatan
dengan polifarmasi apabila pengobatan dengan monoterapi antipsikotik tidak
berhasil. Di dalam Texas Medication Algorithm Project Procedural Manual:
Schizophrenia treatment Algorithms (2008) dijabarkan mengenai alur pengobatan
pasien dengan Skizofrenia dengan cukup jelas seperti disajikan pada gambar 2.4.13
Gambar 2.4. Algoritma Pengobatan Skizofrenia
Sumber: Texas Medication Algorithm Project Procedural Manual: Schizophrenia Treatment
Algorithms (2008)
Universitas Indonesia
Gambaran pola…, Alvina, FK UI, 2014
22
Di Amerika Serikat, prevalensi polifarmasi antipsikotik mencapai 7%50%. Hal ini masih terjadi walaupun panduan tata laksana berbasis bukti
merekomendasikan penggunaan kombinasi antipsikotik hanya setelah usaha
pemberian antipsikotik monoterapi gagal, termasuk klozapin.34 Efektivitas dan
efek samping dari penggunaan kombinasi antipsikotik belum dinilai secara
sistematik sehingga belum didapatkan bukti-bukti superioritas penggunaan
kombinasi antipsikotik dibandingkan monoterapi antipsikotik. Penggunaan
kombinasi antipsikotik memaparkan pasien pada obat dosis tinggi sehingga angka
kejadian efek samping meningkat. Penggunaan kombinasi antipsikotik juga
meningkatkan risiko terjadinya interaksi obat dan perburukan kepatuhan
berobat.10
Begitu pula halnya di Indonesia, PDSJKI berupaya menyusun suatu
panduan tata laksana untuk Skizofrenia guna menuntun penegakan diagnosis yang
akurat sedini mungkin sehingga dapat dilakukan tata laksana komprehensif
sesegera mungkin. Penyusunan panduan tata laksana ini belum diikuti dengan
penelitian-penelitian yang berupaya untuk melakukan evaluasi mengenai
kesesuaian tata laksana kedua gangguan tersebut dengan panduan yang sudah ada.
Penelitian mengenai pola peresepan diperlukan untuk menjadi data dasar dalam
mengenali
area-area
yang
memerlukan
perbaikan
sehingga
nantinya
penatalaksanaan Skizofrenia tidak hanya efektif tetapi juga aman dan efektif dari
segi pembiayaan.33
2.6 Profil Singkat RSCM, Departemen Psikiatri FKUI/RSCM dan
Kompetensi Peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis-1 (PPDSp-1) Ilmu
Kedokteran Jiwa FKUI/RSCM
RSCM merupakan rumah sakit kelas A yang juga merupakan sebuah rumah sakit
pendidikan. RSCM memiliki visi menjadi rumah sakit pendidikan dan pusat
rujukan nasional terkemuka di Asia Pasifik tahun 2014. Untuk mencapai visi ini,
RSCM memiliki 3 misi yaitu memberikan pelayanan kesehatan paripurna dan
bermutu serta terjangkau oleh semua lapisan masyarakat, menjadi tempat
pendidikan dan penelitian tenaga kesehatan serta menjadi tempat penelitian dan
Universitas Indonesia
Gambaran pola…, Alvina, FK UI, 2014
23
pengembangan dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan masyarakat melalui
manajemen yang dinamis dan akuntabel.35
Departemen
Psikiatri
FKUI/RSCM
mengalami
transformasi
yang
mendasar. Sejak terpisah dari Departemen Neurologi pada tahun 1961,
Departemen Psikiatri mengalami banyak perubahan. Program Pendidikan Dokter
Spesialis-1 (PPDSp-1) Ilmu Kedokteran Jiwa meraih akreditasi internal dari
Kolegium Psikiatri Indonesia dengan predikat A dan sekaligus ditetapkan sebagai
PPDSp-1 yang mempunyai status sebagai pembina PPDSp-1 Ilmu Kedokteran
Jiwa di institusi pendidikan lainnya.36
Poli Jiwa Dewasa RSCM merupakan tempat layanan rawat jalan bagi para
pasien yang mengalami gangguan psikiatri. Pelayanan medis di Poli Jiwa Dewasa
dilakukan oleh peserta PPDSp-1 semester 4 dan 5 dengan supervisi dari para staf.
PPDSp-1 semester 4 dan 5 sudah memiliki kompetensi sebagai berikut:37
-
Melakukan
wawancara
psikiatrik
deskriptif/diagnostik
serta
mengidentifikasi psikopatologi yang terdapat pada pasien dewasa
-
Membuat diagnosis serta memberikan terapi fisik dan atau psikoterapi serta
merujuk pasien sesuai kondisi pada kasus-kasus rawat jalan dewasa dengan
gangguan mental organik, gangguan mental akibat zat, psikosis, gangguan
mood, gangguan kepribadian, gangguan siklotimia dan distimia, gangguan
cemas menyeluruh dan gangguan panik, gangguan ansietas fobik, gangguan
obsesif kompulsif, gangguan somatoform, gangguan disosiatif, reaksi stres
akut dan gangguan stres pascatrauma, gangguan penyesuaian dan sindrom
tingkah laku yang berhubungan dengan gangguan fisiologik dan faktor fisik
-
Menganalisis
permasalahan
pasien
dengan
kasus
psikiatrik
serta
merencanakan rehabilitasi mental baik di lingkup rumah sakit atau dalam
masyarakat
-
Menghadapi serta melakukan tata laksana kasus-kasus gawat darurat
psikiatrik
-
Melakukan consultation-liaison psychiatry untuk kasus-kasus psikiatrik
pada orang dewasa
-
Membuat rekam medik yang lege artis
Universitas Indonesia
Gambaran pola…, Alvina, FK UI, 2014
24
2.7 Kerangka Teori
2.8 Kerangka Konsep
Universitas Indonesia
Gambaran pola…, Alvina, FK UI, 2014
BAB 3
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Desain Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan desain kohort retrospektif. Pada
penelitian ini dilakukan pengumpulan data mengenai pola peresepan pada pasienpasien dengan Skizofrenia sejak awal pasien tersebut mendapatkan terapi
farmakologi hingga waktu kunjungan yang ditentukan serta alasan perubahan
terapi farmakologi bila terjadi perubahan terapi.
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan dengan mengambil data rekam medik pasien-pasien dengan
Skizofrenia di Poli Jiwa Dewasa RSCM yang melakukan kunjungan pada bulan
Juli 2013 hingga jumlah sampel terpenuhi. Pada penelitian ini, rekam medik yang
disertakan adalah rekam medik pasien-pasien dengan Skizofrenia di Poli Jiwa
Dewasa RSCM yang melakukan kunjungan pada bulan Juli 2013 hingga
September 2013.
3.3 Populasi dan Sampel
Populasi target adalah pasien dengan Skizofrenia yang mendapatkan terapi
farmakologi.
Populasi terjangkau adalah data catatan rekam medik pasien-pasien dengan
Skizofrenia yang mendapatkan terapi farmakologi dan melakukan kunjungan di
Poli Jiwa Dewasa RSCM pada bulan Juli 2013 hingga jumlah sampel terpenuhi.
Sampel penelitian adalah populasi terjangkau yang memenuhi kriteria inklusi.
3.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi
Kriteria Inklusi:

Pasien mendapatkan diagnosis Skizofrenia selama menjalani pengobatan di
Poli Jiwa Dewasa RSCM
25
Gambaran pola…, Alvina, FK UI, 2014
26

Merupakan status pasien yang berkunjung pada bulan Juli 2013 hingga
jumlah sampel terpenuhi

Pasien kontrol rutin di Poli Jiwa Dewasa

Tidak memiliki komorbiditas dengan penyakit fisik dan gangguan mental
lainnya

Berusia antara 18-59 tahun

Mendapatkan terapi farmakologi
Kriteria Eksklusi:

Rekam medik pasien Skizofrenia tipe apapun dengan data dasar (keluhan
utama, riwayat perjalanan penyakit, pemeriksaan status mental awal,
diagnosis awal dan terapi awal) dan pemantauan perkembangan yang tidak
lengkap
3.5 Sampel dan Cara Pengambilan Sampel
Pengambilan sampel dilakukan secara consecutive sampling, yaitu semua rekam
medik yang memenuhi kriteria inklusi yang telah ditetapkan dimasukkan ke dalam
penelitian hingga jumlah sampel terpenuhi. Metode consecutive sampling
digunakan dengan pertimbangan merupakan jenis non-probability sampling yang
paling baik dan relatif mudah, lagipula hasil penelitian ini tidak digunakan untuk
membuat kesimpulan secara umum mengenai gambaran populasi target. Untuk
menentukan besar sampel digunakan rumus penghitungan sampel:38
n = Zα2 x P x Q
d2
dengan menetapkan tingkat kemaknaan α sebesar 0.05, proporsi kesesuaian resep
dengan konsensus yang berlaku (P) sebesar 0.7 dan tingkat ketepatan absolut yang
dikehendaki (d) sebesar 10% maka besar sampel ditetapkan sebesar 81.
Universitas Indonesia
Gambaran pola…, Alvina, FK UI, 2014
27
3.6. Cara Kerja
1.
Peneliti memperoleh ijin dari Kepala Departemen Psikiatri, Komite Etik
Fakultas Kedokteran Indonesia, Kepala Poli Jiwa Dewasa RSCM, Kepala
Rekam Medik RSCM.
2.
Peneliti membuat daftar permintaan pencarian rekam medik pasien-pasien
berusia 18-59 tahun dengan kode diagnosis F.20 dengan melihat daftar
kunjungan pasien dari laporan harian pasien di Poli Jiwa Dewasa RSCM
yang melakukan kunjungan di Poli Jiwa Dewasa RSCM pada bulan Juli
2013 hingga jumlah sampel terpenuhi.
3.
Peneliti memilih rekam medik yang memenuhi kriteria inklusi untuk dipilih
sebagai sampel penelitian. Metode pengumpulan data dilakukan dengan
consecutive sampling hingga jumlah sampel mencapai 81.
4.
Peneliti menelusuri data demografis, pola peresepan dan alasan perubahan
terapi sejak awal kunjungan hingga kunjungan terakhir di Poli Jiwa Dewasa
RSCM.
5.
Peneliti melakukan pengolahan data.
3.7 Kerangka Kerja
Universitas Indonesia
Gambaran pola…, Alvina, FK UI, 2014
28
3.8 Identifikasi Variabel dan Definisi Operasional
NO
VARIABEL
DEFINISI
CARA & HASIL UKUR
OPERASIONAL
1.
Skizofrenia
UKUR
Gangguan jiwa yang
Melihat diagnosis yang
ditandai
tertulis pada rekam medik
dengan
adanya
daya
SKALA
Nominal
gangguan
nilai
yang
realita
berlangsung
setidaknya selama 1
bulan
2.
Usia
Jumlah
tahun
Melihat
berdasarkan
ulang
medik
catatan
rekam
Numerik
catatan
rekam
Nominal
tahun terakhir saat
pertama kali datang
ke Poli Jiwa Dewasa
RSCM. Bila < 6
bulan dibulatkan ke
bawah dan bila > 6
bulan dibulatkan ke
atas
3.
Jenis Kelamin
Kondisi
perbedaan
gender pasien
Melihat
medik
mengenai
jenis
kelaminnya. Hasil:
4.
5.
Suku Bangsa
Pendidikan
1.
Laki-laki
2.
Perempuan
Pengelompokan etnik
Melihat
suku
medik
dan
bangsa
catatan
rekam
mengenai
suku
berdasarkan
bangsa pasien. Hasil: suku
keturunan ayah
bangsa tertentu.
Pendidikan terakhir
Melihat
catatan
medik
pendidikan
Nominal
rekam
Nominal
mengenai
terakhir
pasien. Hasil:
Tidak sekolah
Tidak tamat SD/setingkat
Tamat SD/setingkat
Tamat SMP/setingkat
Tamat SMU/setingkat
Universitas Indonesia
Gambaran pola…, Alvina, FK UI, 2014
29
Perguruan Tinggi
6.
Pekerjaan
Kegiatan pasien yang
Melihat
catatan
rekam
menghasilkan uang
medik
mengenai
keterangan
pekerjaan
Nominal
pasien. Hasil:
7.
8.
Agama
Aliran
Status Perkawinan
kepercayaan
1.
Bekerja
2.
Tidak bekerja
Melihat
catatan
rekam
yang diyakini oleh
medik mengenai agama
pasien
pasien. Hasil:
Keadaan
yang
1.
Islam
2.
Kristen
3.
Katholik
4.
Budha
5.
Hindu
6.
Lainnya:…
Melihat
catatan
rekam
mengenai
status
menyatakan
medik
keterikatan seseorang
perkawinan pasien. Hasil:
dengn
orang
lain
1.
Menikah
yang telah disahkan
2.
Belum menikah
menurut
3.
Cerai hidup/mati
undang-
Nominal
Nominal
undang perkawinan
9.
Diagnosis lengkap
Diagnosis skizofrenia
Melihat
disertai
medik
dengan
Peresepan
rasional
penuh
rekam
diagnosis terakhir yang
pola
diterima pasien. Hasil:
perjalanan
Seluruh
peresepan
yang diberikan sesuai
dengan
1.
Lengkap
2.
Tidak lengkap
Melihat
Nominal
mengenai
penulisan tipe dan
penyakit
10.
catatan
catatan
rekam
Nominal
catatan
rekam
Nominal
medik
konsensus
baik pemilihan obat,
dosis
dan
durasi
pemberiannya
11.
Peresepan
parsial
rasional
Terdapat minimal 1
Melihat
peresepan
yang
medik
diberikan
sesuai
Universitas Indonesia
Gambaran pola…, Alvina, FK UI, 2014
30
dengan
konsensus
baik pemilihan obat,
dosis
dan
durasi
pemberiannya
12.
Peresepan
tidak
rasional
Seluruh
peresepan
yang diberikan tidak
sesuai
Melihat
catatan
rekam
Nominal
catatan
rekam
Nominal
catatan
rekam
Nominal
catatan
rekam
Nominal
medik
dengan
konsensus
baik
pemilihan obat, dosis
dan
durasi
pemberiannya
13.
13.
Monoterapi
Pemberian
Kombinasi/Polifarmasi
1
jenis
Melihat
antipsikotik
medik
Penggunaan 2 atau
Melihat
lebih
medik
antipsikotik
secara bersamaan
14.
Jenis obat
Jenis
obat
dengan
15.
Dosis obat
sesuai
algoritma
Melihat
medik. Hasil:
yang tercantum pada
1.
Rasional
gambar 2
2.
Tidak rasional
Dosis
obat
dengan
sesuai
yang
Melihat
catatan
rekam
medik. Hasil:
tercantum pada tabel
1.
Rasional
4 dikatakan rasional.
2.
Tidak rasional
Untuk
Nominal
pengobatan
kombinasi dengan 2
antipsikotik, minimal
1
antipsikotik
memiliki dosis yang
optimal
rasional.
dikatakan
Untuk
pengobatan dengan 3
antipsikotik, minimal
2
antipsikotik
memiliki dosis yang
optimal
dikatakan
rasional.
16.
Durasi pengobatan
Durasi
pengobatan
Melihat
catatan
rekam
Nominal
Universitas Indonesia
Gambaran pola…, Alvina, FK UI, 2014
31
yang
rasional
medik. Hasil:
ditentukan
berdasarkan
fase
pengobatan
dan
respons
1.
Rasional
2.
Tidak rasional
terhadap
antipsikotik.
17.
Obat
selain
antipsikotik
Penggunaan
obat
selain dari golongan
Melihat
catatan
rekam
Nominal
catatan
rekam
Nominal
catatan
rekam
Nominal
medik
antipsikotik
18.
Alasan
perubahan
terapi tercatat
Tercantum
alasan
Melihat
perubahan
terapi
medik
pada catatan rekam
medik
19.
Tidak
ada
alasan
perubahan terapi
Alasan
perubahan
terapi
tidak
tercantum
pada
Melihat
medik
catatan rekam medik
3.9 Masalah Etika
Penelitian ini menggunakan data sekunder dari catatan rekam medik pasien.
Peneliti akan menjaga kerahasiaan data tersebut.
3.10 Jadwal Penelitian
Kegiatan
Juli-September
September-
2013
Oktober 2013
November 2013
Desember
2013
Persiapan,
bimbingan
penelitian, ujian
proposal,
perijinan
Pengumpulan
data
Pengolahan data
Presentasi
dan
publikasi hasil
Universitas Indonesia
Gambaran pola…, Alvina, FK UI, 2014
32
3.11 Anggaran
Tahap persiapan
Fotokopi proposal dan kuesioner
Rp. 500.000,00
Biaya konsultasi statistik
Rp. 700.000,00
Tahap Pelaksanaan
Jasa petugas rekam medik
Rp. 500.000,00
Tahap Penyelesaian
Fotokopi makalah
Rp. 1.000.000,00
Total anggaran
Rp. 2.700.000,00
Universitas Indonesia
Gambaran pola…, Alvina, FK UI, 2014
BAB 4
HASIL PENELITIAN
Penelitian ini merupakan sebuah penelitian deskriptif dengan desain kohort
retrospektif yang bertujuan untuk mengetahui gambaran pola peresepan dan
alasan perubahan terapi pada pasien Skizofrenia di Poli Jiwa Dewasa RSCM.
Penelitian dilakukan dengan menggunakan data sekunder yaitu catatan rekam
medik pasien-pasien Skizofrenia yang berobat di Poli Jiwa Dewasa RSCM.
4.1 Penelusuran Rekam Medik
Penelusuran rekam medik dilakukan dengan terlebih dahulu membuat daftar
permintaan pencarian rekam medik pasien yang berobat di Poli Jiwa Dewasa
mulai bulan Juli 2013 hingga jumlah sampel terpenuhi yaitu bulan September
2013. Saat penyusunan daftar, peneliti menggunakan data dari laporan harian
pasien Poli Jiwa Dewasa dan mengikutsertakan seluruh pasien dengan kode
diagnosis F.20 yang berusia 18-59 tahun. Dari 188 rekam medik yang
diikutsertakan dalam pencarian, didapatkan 81 (43%) rekam medik yang
memenuhi kriteria inklusi dan 107 (57%) rekam medik yang dieksklusi seperti
yang tercantum dalam tabel 4.1.
Tabel 4.1. Pencarian Rekam Medik
Alasan eksklusi rekam medik yang terbanyak adalah karena terdapat
perbedaan diagnosis antara yang tercantum pada laporan harian pasien Poli Jiwa
Dewasa RSCM dengan diagnosis yang tercatat pada rekam medik pasien yaitu
sebanyak 63 (58,9%) rekam medik. Alasan kedua terbanyak adalah catatan rekam
medik
yang tidak lengkap
yaitu sebanyak
33
Gambaran pola…, Alvina, FK UI, 2014
31 (29%) rekam
medik.
34
Ketidaklengkapan rekam medik meliputi data dasar yang tidak ada dan atau
catatan rekam medik yang tidak lengkap untuk setiap kunjungan pasien. Alasan
eksklusi berikutnya adalah pasien pernah mendapatkan diagnosis lain selain
skizofrenia baik pada awal, pertengahan maupun akhir pengobatan yaitu 9 (8,4%)
rekam medik, pasien sudah menjalani terapi untuk Skizofrenia sejak masa kanak
yaitu 2 (1,9%) rekam medik, pasien memiliki komorbiditas dengan epilepsi yaitu
1 rekam medik (0,9%), dan pasien sudah berusia lanjut yaitu 1 rekam medik
(0,9%). Alasan eksklusi ini dapat dilihat pada tabel 4.2.
Tabel 4.2. Alasan Eksklusi Rekam Medik
4.2 Sosiodemografi Pasien
Dari rekam medik yang memenuhi kriteria inklusi penelitian didapatkan pasien
laki-laki berjumlah 56 (69,1%) orang dan perempuan 25 (30,9%) orang. Usia
pasien termuda yang diikutsertakan adalah 20 tahun dan usia tertua 59 tahun
dengan usia rata-rata 38,9 tahun. Dari penelusuran didapatkan pasien yang
beragama Islam sebanyak 65 (80,2%) orang, Kristen 11 (13,6%) orang, Katholik 2
(2,5%) orang, Hindu 1 (1,2%) orang dan 2 (2,5%) orang tidak tercatat pada
rekam medik. Pasien yang berasal dari suku Jawa sebanyak 11 (13,6%) orang,
suku Batak 6 (7,4%) orang, suku Sunda 5 (6,2%) orang, suku Betawi 3 (3,7%)
orang, suku Minang 3 (3,7%) orang, suku Bali 1 (1,2%) orang, suku Manado 1
(1,2%) orang dan tidak tercatat sukunya sebanyak 51 (63%) orang. Dari
penelusuran tingkat pendidikan didapatkan pasien yang memiliki tingkat
pendidikan SD sebanyak 2 (2,5%) orang, SMP 5 (6,2%) orang, SMU 12 (14,8%)
Universitas Indonesia
Gambaran pola…, Alvina, FK UI, 2014
35
orang, perguruan tinggi 11 (13,6%) orang dan tidak tercatat sebanyak 51 (63%)
orang. Dari catatan rekam medik didapatkan pasien yang tidak memiliki pekerjaan
berjumlah 11 (13,6%) orang, pegawai negeri sipil (PNS) 4 (4,9%) orang,
karyawan swasta 3 (3,7%) orang, membantu orang tua 2 (2,5%) orang, buruh 1
(1,2%) orang, lain-lain 3 (3,7%) orang dan tidak tercatat sebanyak 57 (70,4%)
orang. Dari penelusuran status pernikahan, didapatkan sebanyak 35 (43,2%)
pasien belum menikah, 8 (9,9%) pasien sudah menikah, 3 (3,7%) pasien cerai
hidup/mati dan 35 (43,2%) pasien tidak tercatat. Data ini dapat dilihat pada tabel
4.3.
Tabel 4.3. Data Sosiodemografi
Universitas Indonesia
Gambaran pola…, Alvina, FK UI, 2014
36
4.3 Diagnosis Pasien
Dari 81 rekam medik yang memenuhi kriteria inklusi sebanyak 60 (74,1%) rekam
medik mencantumkan diagnosis yang lengkap dan sebanyak 21 (25,9%) rekam
medik mencantumkan diagnosis yang tidak lengkap seperti tercantum pada tabel
4.4. Dari rekam medik yang memenuhi kriteria inklusi penelitian didapatkan
pasien yang didiagnosis Skizofrenia paranoid 76 (93,8%) orang, Skizofrenia
residual 2 (2,5%) orang, Skizofrenia YTT 2 (2,5%) orang dan Skizofrenia
katatonik 1 (1,2%) orang seperti tercantum pada tabel 4.5.
Tabel 4.4. Kelengkapan Diagnosis
Tabel 4.5. Diagnosis
4.4 Lama Sakit dan Lama Pengobatan di Poli Jiwa Dewasa
Dari 81 rekam medik yang diikutsertakan dalam penelitian, sebanyak 54 (66,7%)
pasien tercatat lama sakitnya sementara sebanyak 27 (33,3%) pasien tidak tercatat.
Dari lama sakit yang tercatat, didapatkan lama sakit terpendek selama 3 bulan,
lama sakit terpanjang selama 27 tahun dan rata-rata lama sakit selama 9 tahun 4
bulan. Dari data rekam medik didapatkan lama pengobatan terpendek selama 1
bulan, lama pengobatan terpanjang 24 tahun 7 bulan dan rata-rata lama pasien
menjalani pengobatan di Poli Jiwa Dewasa 4 tahun 9 bulan.
Universitas Indonesia
Gambaran pola…, Alvina, FK UI, 2014
37
4.5 Penggunaan Antipsikotik
4.5.1 Penggunaan Antipsikotik Pada Awal Terapi
Dari 81 rekam medik yang diikutsertakan dalam penelitian, pada 53 (65,4%)
rekam medik digunakan antipsikotik monoterapi pada awal terapi skizofrenia
sementara pada 28 (34,6%) rekam medik menggunakan antipsikotik kombinasi
seperti tercantum pada tabel 4.6.
Tabel 4.6. Penggunaan Antipsikotik Pada Awal Terapi
Dari 53 rekam medik yang menggunakan monoterapi antipsikotik pada
awal terapi, sebanyak 11 (20,8%) rekam medik menggunakan antipsikotik
kelompok 1 yang terdiri dari haloperidol 7 (13,2%), trifluoperazin 2 (3,8%) dan
klorpromazin 2 (3,8%). Antipsikotik kelompok 2 digunakan pada 42 (79,2%)
rekam medik dengan perincian sebagai berikut: 38 (71,7%) rekam medik
menggunakan risperidon, sebanyak masing-masing 1 (1,9%) rekam medik
menggunakan quetiapin, olanzapin dan aripiprazol. Antipsikotik kelompok 3
digunakan pada 1 (1,9%) rekam medik. Antipsikotik kelompok 4 tidak digunakan
pada awal terapi. Penggunaan monoterapi antipsikotik pada awal terapi tercantum
pada tabel 4.7. Penggunaan kombinasi antipsikotik pada awal terapi dapat dilihat
pada tabel 4.8.
Universitas Indonesia
Gambaran pola…, Alvina, FK UI, 2014
38
Tabel 4.7. Penggunaan Monoterapi Antipsikotik Pada Awal Terapi
Tabel 4.8. Penggunaan Kombinasi Antipsikotik Pada Awal Terapi
4.5.2 Rasionalitas Antipsikotik
Untuk pasien yang mendapatkan monoterapi antipsikotik pada awal pengobatan,
sebanyak 52 (64,2%) pasien mendapatkan jenis obat yang rasional yaitu
antipsikotik konvensional atau atipikal kecuali klozapin dan 1 (1,2%) pasien
mendapatkan jenis obat yang tidak rasional yaitu klozapin. Sementara, untuk
pasien yang mendapatkan kombinasi antipsikotik pada awal pengobatan, sebanyak
27 (33,3%) pasien mendapatkan jenis obat yang rasional dan 1 (1,2%) pasien
mendapatkan jenis obat yang tidak rasional yaitu kombinasi trifluoperazin,
klorpromazin dan klozapin. Pada 53 (65,4%) pasien yang mendapatkan
Universitas Indonesia
Gambaran pola…, Alvina, FK UI, 2014
39
antipsikotik monoterapi, sebanyak 50 (61,7%) pasien mendapatkan dosis obat
yang rasional dan 3 (3,7%) pasien mendapatkan dosis obat yang tidak rasional
yaitu dosis suboptimal. Pada 28 (34,6%) pasien yang mendapatkan antipsikotik
kombinasi, sebanyak 25 (30,9%) pasien mendapatkan dosis obat yang rasional
dan 3 (3,7%) pasien mendapatkan dosis obat yang tidak rasional yaitu dosis
suboptimal. Data ini dapat dilihat pada tabel 4.9.
Tabel 4.9. Rasionalitas Pemberian Antipsikotik Pada Awal Terapi
4.5.3 Perubahan Komposisi Jenis Obat
Dari 81 rekam medik yang diikutsertakan dalam penelitian, sebanyak 23 (28,4%)
pasien mendapatkan terapi farmakologi yang tetap sepanjang pengobatan
sementara 58 (71,6%) pasien mengalami perubahan regimen pengobatan. Dari 58
pasien yang mengalami perubahan regimen pengobatan, rata-rata pasien
mengalami 4 kali perubahan.
Pada pasien yang awalnya mendapatkan antipsikotik monoterapi,
sebanyak 21 (39,6%) pasien tidak mengalami perubahan komposisi jenis obat
sepanjang pengobatan di Poli Jiwa Dewasa dan sebanyak 32 (60,4%) pasien
mengalami perubahan komposisi jenis obat. Pada pasien yang mengalami
Universitas Indonesia
Gambaran pola…, Alvina, FK UI, 2014
40
perubahan komposisi jenis obat, sebanyak 14 (43,8%) pasien kemudian
mengalami switching ke antipsikotik lain dan sebanyak 18 (56,3%) pasien
kemudian mendapatkan antipsikotik kombinasi. Dari pasien-pasien yang
mengalami switching ke antipsikotik lain, sebanyak 11 pasien (34,4%) mengalami
switching dengan cara obat pertama dihentikan langsung disertai pemberian obat
kedua (tipe A), tidak ada pasien yang mengalami switching ke antipsikotik lain
dengan cara penghentian obat pertama secara bertahap disertai pemberian obat
kedua dosis optimal (tipe B) dan sebanyak 3 pasien (9,4%) mengalami switching
ke antipsikotik lain dengan cara penurunan dosis obat pertama secara bertahap
disertai peningkatan dosis obat kedua secara bertahap (tipe C) seperti tercantum
pada tabel 4.10.
Tabel 4.10. Perubahan Komposisi Jenis Obat Pada Pasien yang Awalnya
Mendapatkan Antipsikotik Monoterapi
Antipsikotik yang menjadi pilihan saat dilakukan switching adalah
olanzapin 6 (42,9%) pasien, risperidon 3 (21,4%) pasien, trifluoperazin 3 (21,4%)
pasien, quetiapin 1 (7,1%) pasien dan klozapin 1 (7,1%) pasien seperti tercantum
pada tabel 4.11.
Universitas Indonesia
Gambaran pola…, Alvina, FK UI, 2014
41
Tabel 4.11. Antipsikotik Pilihan Saat Dilakukan Switching
Pada pasien yang awalnya mendapatkan terapi antipsikotik kombinasi,
sebanyak 2 (7,1%) pasien tidak mengalami perubahan komposisi jenis obat
sepanjang menjalani pengobatan di Poli Jiwa Dewasa dan sebanyak 26 (92,9%)
pasien mengalami perubahan komposisi jenis obat. Pada pasien yang mengalami
perubahan komposisi jenis obat, sebanyak 7 (26,9%) pasien mengalami switching
dengan cara obat pertama dihentikan langsung disertai pemberian obat kedua (tipe
A), tidak ada pasien yang mengalami switching ke antipsikotik lain dengan cara
penghentian obat pertama secara bertahap disertai pemberian obat kedua dosis
optimal (tipe B) atau dengan cara penurunan dosis obat pertama secara bertahap
disertai peningkatan dosis obat kedua secara bertahap (tipe C), 4 (15,4%) pasien
mendapatkan penambahan jenis obat, 1 (3,8%) pasien mengalami pengurangan
jenis obat dan 14 (53,8%) pasien mendapatkan antipsikotik monoterapi seperti
tercantum pada tabel 4.12.
Tabel 4.12. Perubahan Komposisi Jenis Obat Pada Pasien yang Awalnya
Mendapatkan Antipsikotik Kombinasi
Universitas Indonesia
Gambaran pola…, Alvina, FK UI, 2014
42
4.6 Penggunaan Obat Selain Antipsikotik
Selain penggunaan antipsikotik, pada rekam medik tercatat pemberian obat-obat
lain baik obat-obat golongan antikolinergik, mood stabilizer, antidepresan,
benzodiazepin dan obat lainnya seperti tercantum pada tabel 4.13.
Tabel 4.13. Penggunaan Obat Selain Antipsikotik
4.7 Alasan Perubahan Terapi
Dari 780 perubahan terapi yang dilakukan pada 81 rekam medik yang
diikutsertakan dalam penelitian, sebanyak 443 (56,8%) perubahan terapi tidak
mencantumkan alasannya. Pada tabel 4.14 disajikan jumlah alasan perubahan
terapi yang tercatat dan tidak tercatat.
Universitas Indonesia
Gambaran pola…, Alvina, FK UI, 2014
43
Tabel 4.14. Pencatatan Alasan Perubahan Terapi
Dari alasan perubahan terapi yang tercatat, alasan perubahan terapi yang
terbanyak adalah respons yang tidak adekuat 154 (45,7%) alasan, perbaikan gejala
75 (22,2%) alasan, munculnya efek samping 48 (14,2%) alasan, sesuai dengan
keinginan pasien 17 (5%) alasan dan obat yang tidak rutin diminum/putus obat 12
(3,6%) alasan. Alasan perubahan terapi yang tercatat disajikan pada tabel 4.15.
Tabel 4.15. Alasan Perubahan Terapi
Dari seluruh efek samping yang muncul pada pasien, efek samping yang
paling banyak muncul adalah parkinsonisme, sedasi, akathisia, hipersalivasi dan
distonia seperti tercantum pada tabel 4.16.
Universitas Indonesia
Gambaran pola…, Alvina, FK UI, 2014
44
Tabel 4.16. Jenis Efek Samping yang Muncul
Universitas Indonesia
Gambaran pola…, Alvina, FK UI, 2014
BAB 5
PEMBAHASAN
Telah dilakukan penelitian untuk mengetahui gambaran pola peresepan dan alasan
perubahan terapi pada pasien Skizofrenia di Poli Jiwa Dewasa RSCM. Penelitian
yang dilakukan merupakan penelitian deskriptif dengan cara kohort retrospektif
yang dilakukan dengan menggunakan data sekunder dari 81 rekam medik pasienpasien Skizofrenia yang datang ke Poli Jiwa Dewasa RSCM bulan Juli –
September 2013.
5.1 Penelusuran Rekam Medik
Pada proses pencarian rekam medik didapatkan adanya kesenjangan diagnosis
antara data pada laporan harian pasien Poli Jiwa Dewasa dengan rekam medik
pasien. Hal ini dapat dilihat dari besarnya jumlah rekam medik yang dicatat
dengan kode F.20 pada laporan harian pasien Poli Jiwa Dewasa namun ternyata
pada rekam medik tersebut tercatat diagnosis yang berbeda. Hal ini merupakan
penyumbang terbesar alasan eksklusi rekam medik yaitu sebanyak 63 (58,9%)
rekam medik. Data ini menunjukkan perlunya peningkatan kualitas pencatatan
disertai dengan pengawasan terhadap pencatatan laporan harian pasien di Poli
Jiwa Dewasa agar kesenjangan data dapat diminimalisasi.
Alasan eksklusi kedua terbanyak adalah catatan rekam medik yang tidak
lengkap yaitu sebanyak 31 (29%) rekam medik. Ketidaklengkapan rekam medik
mencakup data dasar pasien yang tidak ada dan atau ketidaklengkapan catatan
kunjungan pasien dalam rekam medik. Ketiadaan data dasar dapat dilengkapi
dengan meminta bantuan PPDSp-1 yang menangani pasien untuk membuat data
dasar apabila ternyata dalam catatan rekam medik pasien tidak ada data dasar.
Untuk meminimalisasi ketidaklengkapan catatan kunjungan pasien dalam rekam
medik, diperlukan adanya perbaikan pada sistem penyimpanan rekam medik di
RSCM. Pada penelusuran, 2 pasien (1,9%) yang sudah mendapatkan terapi untuk
Skizofrenia sejak masa kanak tidak diikutsertakan dalam evaluasi karena di dalam
Konsensus Penatalaksanaan Gangguan Skizofrenia tidak tertera pedoman terapi
Skizofrenia masa kanak.
45
Gambaran pola…, Alvina, FK UI, 2014
46
5.2 Sosiodemografi
Dari rekam medik yang memenuhi kriteria inklusi penelitian didapatkan pasien
laki-laki berjumlah 56 (69,1%) orang dan pasien perempuan berjumlah 25
(30,9%) orang. Data ini berbeda dengan data yang didapatkan berdasarkan
systematic review yang dilakukan oleh Sukanta Saha et al (2005) yang
menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan prevalensi Skizofrenia antara laki-laki
dan perempuan namun sesuai dengan data yang didapatkan John Mcgrath et al
(2008) yang mengasumsikan bahwa prevalensi Skizofrenia pada laki-laki akan
lebih tinggi dibandingkan perempuan karena perjalanan penyakit pada laki-laki
lebih parah dibandingkan perempuan.39,40
Dari penelusuran didapatkan pasien yang beragama Islam merupakan
jumlah yang terbanyak yaitu 65 (80,2%) orang. Hal ini sesuai dengan kondisi
populasi masyarakat Indonesia yang sebagian besar memeluk agama Islam,
khususnya 85,36% penduduk Jakarta yang menurut data sensus penduduk tahun
2010 memeluk agama Islam.41
Dari penelusuran tidak dapat dilakukan analisis yang akurat mengenai
keragaman suku, tingkat pendidikan, pekerjaan dan status pernikahan karena
ketidaklengkapan pencatatan pada rekam medis yang meliputi lebih dari 40%
rekam medik yang diikutsertakan dalam penelitian yaitu suku dan tingkat
pendidikan sebesar 63%, pekerjaan 70,4% dan status pernikahan sebesar 43,2%.
Data sosiodemografi ini hendaknya dapat dilengkapi oleh petugas administrasi
atau perawat pada saat pasien datang berkonsultasi ke Poli Jiwa Dewasa sehingga
didapatkan gambaran yang lebih lengkap mengenai pasien baik untuk kepentingan
terapi maupun untuk penelitian-penelitian berikutnya.
5.3 Diagnosis Pasien
Dari rekam medik yang memenuhi kriteria inklusi penelitian didapatkan pasien
yang didiagnosis Skizofrenia paranoid 76 orang (93,8%), Skizofrenia residual 2
orang (2,5%), Skizofrenia katatonik 1 orang (1,2%) dan Skizofrenia YTT 2 orang
(2,5%). Dari 81 rekam medik yang memenuhi kriteria inklusi sebanyak 60 rekam
medik (74,1%) mencantumkan diagnosis yang lengkap dan sebanyak 21 rekam
medik (25,9%) mencantumkan diagnosis yang tidak lengkap. Walaupun
Universitas Indonesia
Gambaran pola…, Alvina, FK UI, 2014
47
mencantumkan diagnosis secara lengkap namun akan lebih baik apabila
ditambahkan keterangan waktu pada diagnosis remisi baik parsial maupun
sempurna untuk menuntun penentuan fase pengobatan pasien.
Penentuan fase pengobatan penting untuk menentukan dosis obat
antipsikotik dan durasi penggunaan antipsikotik. Pada penelitian ini sulit untuk
menentukan fase pengobatan pasien karena pada sebagian besar rekam medik
tidak terdapat catatan yang lengkap mengenai fase pengobatan. Catatan mengenai
fase pengobatan pasien hanya terdapat pada 3 rekam medik. Dengan tidak adanya
fase pengobatan maka penilaian rasionalitas pemberian obat antipsikotik dari segi
durasi pada awal pengobatan serta rasionalitas dosis dan durasi setelah terjadi
perubahan terapi menjadi sulit untuk dilakukan.
Seperti telah dibahas sebelumnya bahwa setelah pengobatan fase akut
selama 4-8 minggu, maka pengobatan dilanjutkan dengan fase stabilisasi selama
sekurang-kurangnya 6 bulan. Pada fase stabilisasi ini, pasien diberikan dosis
antipsikotik yang sama dengan dosis pada fase akut. Setelah fase stabilisasi
selesai, pengobatan akan masuk ke dalam fase rumatan. Dosis obat yang diberikan
adalah dosis efektif minimal dengan lama terapi yang belum ditentukan secara
jelas., namun digunakan panduan bahwa pasien dengan Skizofrenia yang kambuh
berulang dianjurkan mendapatkan pengobatan sedikitnya 5 tahun atau bahkan
seumur hidup.14,16 Respons pasien terhadap pengobatan yang diberikan juga tidak
tercatat sehingga analisis terhadap rasionalitas durasi pengobatan, penggantian
jenis obat atau kebutuhan untuk kombinasi antipsikotik tidak dapat dilakukan.
Kelengkapan pencatatan diagnosis menjadi tanggung jawab bersama
antara PPDSp-1 dengan dokter penanggung jawab pasien (DPJP). Setelah PPDSp1 selesai menangani pasien dan menulis catatan rekam medik, DPJP akan
memeriksa kembali catatan tersebut walaupun PPDSp-1 sebelumnya telah
melaporkan pasien tersebut. Sistem pengawasan ini sangat penting dilakukan
untuk meminimalisasi terjadinya kesalahan atau ketidaklengkapan pencatatan
rekam medik mengingat bahwa rekam medik memiliki beberapa fungsi, yaitu
administratif, legal, finansial, penelitian, pendidikan dan dokumentasi.42
Keseluruhan fungsi ini dapat berjalan dengan baik apabila rekam medik memuat
dokumen secara lengkap. Di Indonesia, seperti tercantum dalam Permenkes
Universitas Indonesia
Gambaran pola…, Alvina, FK UI, 2014
48
nomor 269/Menkes/PER/III//2008, rekam medik memiliki fungsi sebagai dasar
pemeliharaan kesehatan dan pengobatan pasien, alat bukti dalam proses
penegakan hukum, disiplin kedokteran dan kedokteran gigi dan penegakan etika
kedokteran dan etika kedokteran gigi, bahan untuk keperluan penelitian dan
pendidikan, dasar pembayaran biaya pelayanan kesehatan dan data statistik
kesehatan.43 Dengan demikian kelengkapan pencatatan diagnosis sebagai bagian
dari rekam medik perlu diperhatikan.
5.4 Lama Sakit dan Lama Pengobatan di Poli Jiwa Dewasa
Dari lama sakit yang tercatat, didapatkan rata-rata lama sakit selama 9 tahun 4
bulan. Hal ini sesuai dengan karakteristik Skizofrenia yang memang merupakan
penyakit yang kronik yang ditandai dengan adanya eksaserbasi dan remisi.1,16
Walaupun didapatkan rata-rata lama sakit selama 9 tahun 4 bulan, namun ternyata
rata-rata lama pasien menjalani pengobatan di Poli Jiwa Dewasa selama 4 tahun 9
bulan. Hal ini mungkin disebabkan karena pasien sudah dibawa berobat ke
layanan kesehatan nonmedis atau medis selain Poli Jiwa Dewasa RSCM atau
terdapat keterlambatan penatalaksanaan pasien dengan Skizofrenia. Ada
kemungkinan, pasien-pasien ini pernah menjalani pengobatan di layanan
kesehatan selain RSCM dan mengalami resistensi atau efek samping obat.
Pencatatan yang tidak lengkap menyebabkan penilaian rasionalitas pengobatan
dalam penelitian ini menjadi tidak mudah. Hal ini juga sesuai dengan data dari
WHO yang menunjukkan bahwa lebih dari 50% dari orang dengan Skizofrenia
tidak mendapatkan penatalaksanaan yang adekuat dan 90% orang dengan
Skizofrenia yang tidak mendapatkan penatalaksanaan yang adekuat berada di
negara berkembang.2
5.5 Penggunaan Antipsikotik
5.5.1 Penggunaan Antipsikotik Pada Awal Terapi
Dari 81 rekam medik yang diikutsertakan dalam penelitian, pada 53 (65,4%)
rekam medik digunakan antipsikotik monoterapi pada awal terapi Skizofrenia.
Penggunaan antipsikotik monoterapi pada awal terapi sudah sesuai dengan
panduan tata laksana yang tersedia. Dari penelusuran yang dilakukan, antipsikotik
Universitas Indonesia
Gambaran pola…, Alvina, FK UI, 2014
49
kelompok 2 merupakan antipsikotik yang menjadi pilihan terbanyak untuk
digunakan sebagai monoterapi pada awal terapi yaitu pada 42 (79,2%) pasien.
Data ini menunjukkan bahwa para dokter di Poli Jiwa Dewasa RSCM lebih
memilih
menggunakan
antipsikotik
atipikal
dibandingkan
antipsikotik
konvensional pada pasien-pasien di awal terapi. Dewasa ini, obat antipsikotik
atipikal memang cenderung digunakan sebagai obat lini pertama. Penggunaan
obat antipsikotik konvensional dibatasi pada pasien-pasien yang tidak berespons
dengan obat antipsikotik atipikal karena risiko munculnya diskinesia tardif.44
Penelitian menunjukkan bahwa obat antipsikotik atipikal memiliki efikasi yang
sama dengan obat antipsikotik konvensional dalam mengatasi gejala positif dan
memiliki manfaat yang lebih baik dalam mengatasi gejala negatif, kejadian efek
samping ektrapiramidal dan diskinesia tardif.45 Dari berbagai pilihan obat
antipsikotik atipikal, risperidon menjadi obat yang paling banyak digunakan
sebagai pilihan pertama. Hal ini mungkin disebabkan karena risperidon
merupakan obat antipsikotik atipikal dengan harga yang paling terjangkau
dibandingkan obat-obat antipsikotik atipikal lainnya. Dengan demikian pemilihan
obat antipsikotik atipikal pada awal terapi telah sesuai dengan pedoman yang
mempertimbangkan keamanan, toleransi, efikasi dan practicality.26
Pada 28 (34,6%) rekam medik antipsikotik kombinasi digunakan di awal
terapi. Literatur menyebutkan penggunaan kombinasi antipsikotik cukup sering
didapatkan walaupun bukti-bukti empiris yang mendukung penggunaan
kombinasi antipsikotik terbatas. Ada beberapa alasan penggunaan kombinasi
antipsikotik, di antaranya sedang dilakukan penggantian antipsikotik dengan cara
cross-titration, kegagalan penggunaan monoterapi antipsikotik, mekanisme kerja
yang berbeda dari antipsikotik yang berbeda, untuk memperkuat efek terapi atau
mempercepat timbulnya respons, menurunkan efek samping dari penggunaan
antipsikotik tunggal, mengatasi kondisi komorbid dan rute pemberian yang
berbeda.46 Dari studi metaanalisis disimpulkan bahwa kombinasi antipsikotik
hanya diberikan pada pasien-pasien dengan gangguan yang berat yang tidak
berespons dengan penggunaan antipsikotik monoterapi baik pada fase akut
maupun kronik.34
Universitas Indonesia
Gambaran pola…, Alvina, FK UI, 2014
50
5.5.2 Rasionalitas Antipsikotik
Untuk pengobatan awal, sebanyak 79 (97,5%) pasien mendapatkan jenis obat
yang rasional yaitu antipsikotik konvensional atau atipikal kecuali klozapin. Hal
ini menunjukkan bahwa pemilihan jenis obat pada awal terapi sudah sesuai
dengan Konsensus Penatalaksanaan Gangguan Skizofrenia. Dalam penelitian
terdapat 2 (2,5%) pasien yang mendapatkan klozapin di awal pengobatan. Hal ini
mungkin disebabkan karena pada pengobatan sebelumnya di layanan kesehatan
lain pasien sudah mendapatkan klozapin sehingga saat awal menjalani pengobatan
di Poli Jiwa Dewasa RSCM klozapin diteruskan, pasien memiliki riwayat respons
terapi yang tidak adekuat dengan obat antipsikotik lain, pasien memiliki perilaku
atau ide bunuh diri yang menetap.
Dari 53 (65,4%) pasien yang mendapatkan antipsikotik monoterapi,
sebanyak 50 (61,7%) pasien mendapatkan dosis obat yang rasional yaitu sesuai
dengan yang tercantum pada tabel 4 dan 3 (3,7%) pasien mendapatkan dosis obat
yang tidak rasional. Pada 28 (34,6%) pasien yang mendapatkan antipsikotik
kombinasi, sebanyak 25 (30,9%) pasien mendapatkan dosis obat yang rasional
dan 3 (3,7%) pasien mendapatkan dosis obat yang tidak rasional. Hal ini
menunjukkan bahwa penentuan dosis obat sebagian besar sudah sesuai dengan
Konsensus Penatalaksanaan Gangguan Skizofrenia. Rasionalitas durasi pada awal
terapi tidak dapat dinilai karena fase pengobatan dan respons terhadap pengobatan
tidak tercatat dengan baik. Penentuan terapi rasional penuh, rasional parsial dan
tidak rasional menjadi sulit untuk dilakukan karena ketidaklengkapan penulisan
diagnosis, fase pengobatan dan respons terhadap terapi dalam rekam medik.
5.5.3 Perubahan Komposisi Jenis Obat
Pada pasien yang awalnya mendapatkan antipsikotik monoterapi lalu mengalami
switching ke antipsikotik lain, paling banyak menggunakan cara obat pertama
dihentikan langsung disertai pemberian obat kedua (tipe A) sebanyak 11 (20,8%)
pasien. Pada penelusuran didapatkan sebanyak 7 (13,2%) pasien sebelumnya
mendapatkan dosis antipsikotik yang optimal sementara 4 (7,5%) pasien
sebelumnya mendapatkan dosis antipsikotik yang suboptimal. Belum ada
penelitian yang membuktikan metode switching yang paling baik digunakan,
Universitas Indonesia
Gambaran pola…, Alvina, FK UI, 2014
51
namun salah satu jurnal merekomendasikan metode cross-titration karena metode
ini mungkin memiliki risiko terendah untuk terjadinya relaps.44 Pada tabel 5.1
ditampilkan keuntungan dan kerugian metode-metode switching yang sering
digunakan.47
Universitas Indonesia
Gambaran pola…, Alvina, FK UI, 2014
52
Tabel 5.1. Keuntungan dan Kerugian Metode-metode Switching
Sumber: Guidelines for Antipsychotic Medication Switches. Diunduh dari: www.humber.nhs.uk
pada tanggal 16 Januari 2014.
Universitas Indonesia
Gambaran pola…, Alvina, FK UI, 2014
53
Pada pasien yang awalnya mendapatkan terapi antipsikotik kombinasi,
seluruh switching dilakukan dengan cara obat pertama dihentikan langsung
disertai pemberian obat kedua (tipe A). Sebagian besar pasien kemudian
mendapatkan antipsikotik monoterapi. Penggunaan kombinasi antipsikotik pada
awal terapi tidak sesuai dengan panduan tata laksana berbasis bukti
merekomendasikan penggunaan kombinasi antipsikotik hanya setelah usaha
pemberian antipsikotik monoterapi gagal, termasuk klozapin.34 Apabila pemberian
kombinasi antipsikotik dipertimbangkan maka hal ini sebaiknya dilakukan setelah
penggunaan optimal masing-masing obat komponen kombinasi tidak efektif.
Pengawasan harus dilakukan saat penggunaan kombinasi antipsikotik diterapkan.
Data menunjukkan bahwa perubahan dari kombinasi antipsikotik ke monoterapi
dapat dilakukan pada dua pertiga pasien tanpa penurunan efikasi. Hal ini
menunjukkan bahwa perubahan ke monoterapi harus dipertimbangkan kecuali
terdapat alasan yang kuat untuk meneruskan kombinasi tersebut dan hal ini harus
dicatat dengan baik.46 Prevalensi penggunaan kombinasi antipsikotik pada
penelitian ini lebih rendah dibandingkan studi yang dilakukan di Palestina
(50,4%) dan Nigeria (92%). Namun prevalensi lebih tinggi dibandingkan studi
yang dilakukan di Afrika Selatan (28,6%), Amerika Serikat (27,5%), Kanada
(25,7%) dan Asia (<31%).33
Dari data yang didapatkan pada penelitian ini, rata-rata lama pengobatan
pasien di Poli Jiwa Dewasa adalah 4 tahun 9 bulan dan rata-rata pasien mengalami
4 kali perubahan regimen pengobatan sehingga secara kasar dapat dihitung bahwa
rata-rata pasien mengalami perubahan regimen pengobatan setelah periode 1
tahun 2 bulan. Seperti telah disebutkan sebelumnya, penggantian obat antipsikotik
kerap dilakukan dengan alasan respons yang tidak adekuat atau adanya treatmentlimiting effect seperti terjadinya pemanjangan interval QTc yang disebabkan oleh
penggunaan antipsikotik pada pasien dengan riwayat disritmia jantung, rasa
kantuk yang berlebihan pada pasien yang bekerja atau bersekolah.30 Bukti-bukti
menunjukkan bahwa respons yang buruk terhadap antipsikotik di minggu pertama
terapi dapat menjadi faktor prediktor nonrespons terhadap antipsikotik sehingga
dokter dapat mempertimbangkan penggantian antipsikotik pada pasien-pasien
yang tidak berespons terhadap terapi dalam waktu 2 minggu fase akut, kecuali
Universitas Indonesia
Gambaran pola…, Alvina, FK UI, 2014
54
pada pasien-pasien dengan episode pertama.28 Hal ini menunjukkan bahwa pada
pasien-pasien di Poli Jiwa Dewasa terjadi keterlambatan dalam penggantian obat.
5.6 Penggunaan Obat Selain Antipsikotik
Selain antipsikotik, pada catatan rekam medik yang dievaluasi juga tercantum
pemberian obat lain. Obat lain selain antipsikotik yang paling banyak diberikan
pada pasien Skizofrenia di Poli Jiwa Dewasa RSCM adalah antikolinergik yaitu
pada 69 pasien (85,2%). Obat antikolinergik khususnya triheksifenidil diberikan
dalam rangka mencegah atau mengatasi munculnya efek samping ekstrapiramidal.
Padahal dalam penelitian ini, tercatat hanya sebanyak 16 (31,4%) pasien
mengalami parkinsonisme, 3 (5,9%) pasien mengalami akathisia, 3 (5,9%) pasien
mengalami hipersalivasi dan 3 (5,9%) pasien mengalami distonia. Hal ini
menunjukkan pemberian antikolinergik yang irasional pada pasien di Poli Jiwa
Dewasa. Hasil yang didapatkan ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh
Wijono di Poli Jiwa Dewasa RSCM pada periode Agustus 2010-Juli 2011 yaitu
didapatkan sebanyak 91,8% pasien sudah mendapatkan triheksifenidil bersamaan
dengan obat antipsikotik sejak awal pengobatan atau sebelum muncul efek
samping ekstrapiramidal.48 Hal ini tidak sesuai dengan rekomendasi WHO yang
menyebutkan bahwa antikolinergik hendaknya tidak digunakan secara rutin untuk
mencegah efek samping ekstrapiramidal pada pasien dengan gangguan psikotik
(termasuk Skizofrenia) yang mendapatkan antipsikotik. Antikolinergik dapat
digunakan dalam jangka pendek pada pasien efek samping ekstrapiramidal yang
bermakna saat penurunan dosis dan penggantian obat tidak efektif atau efek
samping yang terjadi bersifat akut dan berat.49
5.7 Alasan Perubahan Terapi
Penelusuran alasan perubahan terapi pada awalnya hendak dilakukan dengan cara
melihat ada tidaknya alasan perubahan terapi pada catatan rekam medik. Hal ini
tidak dapat dilakukan karena pada hampir seluruh perubahan terapi tidak
tercantum alasannya. Peneliti kemudian menelusuri seluruh catatan yang tertulis
pada kunjungan saat dilakukan perubahan terapi yang meliputi subjective,
Universitas Indonesia
Gambaran pola…, Alvina, FK UI, 2014
55
objective, diagnosis dan planning untuk menyimpulkan alasan perubahan terapi
pada pasien.
Bila ditelusuri dari seluruh perubahan terapi antipsikotik yang tercatat
dalam rekam medik, didapatkan sebanyak 441 dari 780 (56.5%) perubahan terapi
tanpa mencantumkan alasannya. Ketidaklengkapan penulisan alasan perubahan
terapi membuat analisis rasionalitas terapi dan penyumbang terbesar alasan
perubahan terapi menjadi sulit. Pemantauan terhadap pengobatan akan menjadi
baik apabila respons terhadap pengobatan, perubahan gejala klinis baik secara
kualitatif maupun kuantitatif, efek samping dan fase pengobatan pada setiap
kunjungan tercatat dengan jelas. Penulisan alasan perubahan terapi secara lengkap
menjadi bagian dari pencatatan rekam medik yang lengkap. Seperti telah
disebutkan sebelumnya, dengan menulis rekam medik secara lengkap, rekam
medik tersebut dapat digunakan sebagai dasar pemeliharaan kesehatan dan
pengobatan pasien, alat bukti dalam proses penegakan hukum, disiplin kedokteran
dan kedokteran gigi dan penegakan etika kedokteran dan etika kedokteran gigi,
bahan untuk keperluan penelitian dan pendidikan, dasar pembayaran biaya
pelayanan kesehatan dan data statistik kesehatan.43 Data pada catatan rekam
medik tidak hanya dapat digunakan untuk melakukan evaluasi perkembangan
kondisi dan pengobatan pasien tetapi juga dapat menjadi bahan evaluasi sistem
layanan kesehatan yang lebih luas.
5.8 Kelemahan Penelitian
Pada penelitian ini didapatkan beberapa kelemahan, yaitu:
1.
Pencarian dan kualitas data penelitian tergantung pada kualitas penulisan
data pasien yang termuat dalam laporan harian pasien di Poli Jiwa Dewasa
RSCM dan kualitas data sekunder (catatan rekam medik). Terdapat
ketidaklengkapan penulisan data dalam laporan harian pasien dan
kesenjangan diagnosis dengan yang tercatat pada rekam medik. Dalam
rekam medik terdapat ketidaklengkapan data dasar dan catatan pasien untuk
setiap kunjungannya. Pada rekam medik juga terdapat ketidaklengkapan
penulisan diagnosis, respons pengobatan, perubahan gejala klinis dan fase
pengobatan.
Universitas Indonesia
Gambaran pola…, Alvina, FK UI, 2014
56
2.
Pengambilan sampel yang tidak dilakukan secara acak mengingat
keterbatasan waktu, kualitas laporan harian pasien Poli Jiwa Dewasa dan
kualitas rekam medik.
3.
Sampel penelitian bersifat heterogen misalnya dalam hal sosiodemografi,
lama sakit dan lama pengobatan.
4.
Penelitian
dilakukan
dengan
merujuk
hanya
pada
Konsensus
Penatalaksanaan Gangguan Skizofrenia yang dibuat oleh PDSKJI 2011.
Universitas Indonesia
Gambaran pola…, Alvina, FK UI, 2014
BAB 6
SIMPULAN DAN SARAN
Penelitian untuk mendapatkan gambaran pola peresepan dan alasan perubahan
terapi pada pasien Skizofrenia di Poli Jiwa Dewasa RSCM telah dilakukan. Dari
penelitian yang mengikutsertakan 81 rekam medik ini dapat dibuat beberapa
simpulan dan saran.
6.1 Simpulan
Pada 53 (65,4%) rekam medik digunakan antipsikotik monoterapi pada awal
terapi Skizofrenia sementara pada 28 (34,6%) rekam medik menggunakan
antipsikotik kombinasi. Antipsikotik kelompok 2 merupakan antipsikotik yang
menjadi pilihan terbanyak untuk digunakan sebagai monoterapi pada awal terapi
yaitu pada 42 (79,2%) pasien.
Untuk pengobatan awal, sebanyak 79 (97,5%) pasien mendapatkan jenis
obat yang rasional dan sebagian besar pasien mendapatkan dosis obat yang
rasional. Penentuan terapi rasional penuh, rasional parsial dan tidak rasional
menjadi sulit untuk dilakukan pada penelitian ini karena ketidaklengkapan
penulisan diagnosis, fase pengobatan dan respons terhadap terapi dalam rekam
medik.
Pada pasien yang awalnya mendapatkan antipsikotik monoterapi, pada
perubahan komposisi jenis obat berikutnya sebanyak 14 (43,8%) pasien kemudian
mengalami switching ke antipsikotik lain dan sebanyak 18 (56,3%) pasien
kemudian mendapatkan antipsikotik kombinasi. Pada pasien yang awalnya
mendapatkan terapi antipsikotik kombinasi, pada perubahan komposisi jenis obat
berikutnya sebanyak 7 (26,9%) pasien mengalami switching, 4 (15,4%) pasien
mendapatkan penambahan jenis obat, 1 (3,8%) pasien mengalami pengurangan
jenis obat dan 14 (53,8%) pasien mendapatkan antipsikotik monoterapi. Obat
selain antipsikotik yang paling banyak diberikan adalah antikolinergik yaitu pada
69 (85,2%) pasien.
Dari seluruh perubahan terapi antipsikotik yang tercatat dalam rekam
medik, didapatkan sebanyak 441 dari 780 (56.5%) perubahan terapi tidak
57
Gambaran pola…, Alvina, FK UI, 2014
58
tercantum alasannya. Ketidaklengkapan penulisan alasan perubahan terapi
membuat analisis rasionalitas terapi dan penyumbang terbesar alasan perubahan
terapi menjadi sulit.
6.2 Saran
Untuk mendapatkan laporan harian pasien Poli Jiwa Dewasa yang lengkap dan
akurat, dapat dilakukan pelatihan pengisian laporan harian, termasuk resosialisasi
kode diagnosis. Selain itu, perlu dilakukan supervisi pengisian laporan harian
untuk meminimalisasi kesalahan atau ketidaklengkapan pencatatan.
Untuk mendapatkan rekam medik yang lengkap, dapat dilakukan perbaikanperbaikan berikut:
1.
Bekerja sama dengan petugas administrasi atau perawat di Poli Jiwa Dewasa
dalam melengkapi data sosiodemografi di rekam medik yang belum lengkap
2.
Membuat Standar Prosedur Operasional (SPO) penulisan rekam medik yang
memuat secara detail butir-butir yang harus tercatat dalam catatan rekam
medik pasien termasuk penulisan data dasar pada rekam medik yang tidak
ada data dasarnya
3.
Mengadakan pelatihan internal secara berkala mengenai pengisian rekam
medik
4.
Supervisi pencatatan rekam medik oleh DPJP harus tetap dilaksanakan
karena kelengkapan catatan terutama yang bersifat medis menjadi tanggung
jawab PPDSp-1 dan DPJP
5.
Memperbaiki sistem penyimpanan rekam medik sehingga setiap kali pasien
berobat ke Poli Jiwa Dewasa selalu menggunakan rekam medik yang sama,
termasuk bila pasien pernah menjalani perawatan inap
Sebagai dasar dalam memberikan layanan kesehatan bagi pasien dengan
Skizofrenia, dalam Konsensus Penatalaksanaan Gangguan Skizofrenia mungkin
dapat ditambahkan mengenai algoritma, dosis, durasi dan evaluasi penggunaan
kombinasi antipsikotik. Hal ini penting agar para dokter memiliki panduan yang
jelas mengenai indikasi penggunaan kombinasi antipsikotik.
Universitas Indonesia
Gambaran pola…, Alvina, FK UI, 2014
DAFTAR PUSTAKA
1.
Schizophrenia: Core Interventions in the Treatment and Management of
Schizophrenia in Adults in Primary and Secondary Care (Updated Edition).
NICE clinical guideline 82. 2010.
2.
Schizophrenia.
Diunduh
dari:
www.who.int/mental_health/management/schizophrenia pada tanggal 8
Agustus 2013.
3.
Perala, Jonna, Kimmo Kuoppasalmi, Timo Partonen dan Tuula Kieseppa.
Lifetime Prevalence of Psychotic and Bipolar I Disorders in a General
Population. Arch Gen Psychiatry. 2007;64:19-28.
4.
Riset Kesehatan Dasar 2007
5.
Sensus Penduduk 2010. Diunduh dari: sp2010.bps.go.id pada tanggal 8
Agustus 2013.
6.
Schizophrenia dalam Handbook of Disabilities. Curators of the University
of Missouri 2001.
7.
Knapp, Martin., Roshni Mangalore dan Judit Simon. The Global Costs of
Schizophrenia. Schizophrenia Bulletin, 30(2):279-293, 2004.
8.
Viertio, Satu. Functional Limitations and Quality of Life in Schizophrenia
ad Other Psychotic Disorders. Disertasi Akademis didiskusikan pada
tanggal 27 Mei 2011.
9.
Drug Treatments for Schizophrenia. Effective Health Care, Vol.5, No. 6,
December 1999.
10.
Barnes, Thomas R.E. dan the Schizophrenia Consensus Group of the British
Association for Psychopharmacology. Evidence-based Guidelines for the
Pharmacological Treatment of Schizophrenia: Recommendations from the
British
Association
for
Psychopharmacology.
Journal
of
Psychopharmacology 0(0)1-54, 2011.
11.
The Royal Australian & New Zealand College of Psychiatrists.
Schizophrenia: Australian Treatment Guide for Consumers and Carers.
Agustus 2009.
59
Gambaran pola…, Alvina, FK UI, 2014
60
12.
Hasan, Alkomiet et al. World Federation of Sociaties of Biological
Psychiatry (WFSBP) Guidelines for Biological Treatment of Schizophrenia.
The World Journal of Biology Psychiatry, 2012;13:318-378.
13.
Texas Medication Algorithm Project Procedural Manual: Schizophrenia
Treatment Algorithms. Texas Department of Safe Health Services 2008.
14.
Konsensus Penatalaksanaan Gangguan Skizofrenia. Perhimpunan Dokter
Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia 2011.
15.
Pedoman
Nasional
Pelayanan
Kedokteran
(PNPK)
Jiwa/Psikiatri.
Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia 2012.
16.
Schizophrenia dalam Kaplan & Sadock’s Synopsis of Psychiatry:
Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry. ed.10. USA: Lippincott Williams
and Wilkins; 2007.
17.
Stahl S.M. Stahl’s Essential Psychopharmacology. 3rd edition USA:
Cambridge University Press; 2008.
18.
The ICD-10 Classification of Mental and Behavioral Disorders. WHO,
1993.
19.
Buckley, Peter F, Brian J.Miller, Douglas S.Lehrer dan David J.Castle.
Psychiatric Comorbidities and Schizophrenia. Schizophrenia Bulletin
vol.35 no.2 383-402, 2009.
20.
Lambert, Timothy J.R., Dennis Velakoulis dan Christos Pantelis. Medical
Comorbidity in Schizophrenia. MJA 2003;178:S67-S70.
21.
Smith, Daniel J., Julia Langan, Gary McLean, Bruce Guthrie dan Stewart
W.Mercer. Schizophrenia is associated with excess multiple physical-health
comorbidities but low levels of recorded cardiovascular disease in primary
care: cross-sectional study. BMJ Open 2013;3:e002808.
22.
Carney, Caroline P., Laura Jones dan Robert F.Woolson. Medical
Comorbidity in Women and Men in Schizophrenia. J Gen Intern Med
2006;21:1133-1137.
23.
Weiss, Adam, Reza Movabed dan Harry Dym. Schizophrenia: Current
Therapy and Review. J Oral Maxillofac Surg 69:192-198,2011.
24.
Gardner David M., Ross J. Baldessarini dan Paul Waraich. Modern
Antipsychotic Drugs: A Critical Overview. CMAJ 2005;172(13): 1703-11.
Universitas Indonesia
Gambaran pola…, Alvina, FK UI, 2014
61
25.
Geddes, John, Nick Freemantle, Paul Harrison dan Paul Bebbington.
Atypical Antipsychotics in The Treatment of Schizophrenia: Systematic
Overview and Meta-regression Analysis. BMJ vol.321 2 Desember 2000.
26.
Cristensen. Teaching the STEPs of Clinical Psychopharmacology. Current
Psychiatry vol.5, no.2, December 2006.
27.
Suzuki, Takefumi et al. Treatment Resistant Schizophrenia and Response to
Antipsychotics: A Review. Schizophrenia Research. Vol.133, issue 1. P5462, December 2011.
28.
Gardner, Kristen N. dan Jolene R.Bostwick. Antipsychotic Treatment
Response in Schizophrenia. American Journal of Health-System Pharmacy.
Vol.69, no.21, p1872-1879, November 1, 2012.
29.
Perkins, Diana O. et al. Predictors of Antipsychotic Treatment Response in
Patients
with
First-Episode
Schizophrenia,
Schizoaffective
and
Schizophreniform Disorders. British Journal of Psychiatry 2004, 185, 18-24.
30.
Winans, Elizabeth A. Swicthing Antipsychotics A Balanced Approach.
Current Psychiatry vol.2, no.8, August 2003.
31.
Osterberg, Lars dan Terrence Blaschke. Adherence to Medication. N Engl J
Med 2005;353:487-97.
32.
Fenton, Wayne S., Crystal R. Blyler dan Robert K.Heinsenn. Determinants
of Medication Compliance in Schizophrenia: Empirical and Clinical
Findings. Schizophrenia Bulletin, 23(4):637-651, 1997.
33.
Sweileh, Waleed M, Jihad Bani Odeh, Sa’ed H. Zyoud, Ansam F. Sawalha
dan Manal S. Ihbeasheh. Conformance to Schizophrenia Treatment
Guidelines in North West-Bank, Palestine: Focus on Antipsychotic Dosing
and Polytherapy. BMC Psychiatry 2013, 13:179.
34.
Corell, Christoph U. et al. Antipsyhotic Combinations vs Monotherapy in
Schizophrenia: A Meta-analysis of Randomized Controlled Trials.
Schizophrenia Bulletin vol 35 no.2 pp 443-457, 2009.
35.
Profil dan Visi Misi RSCM. Diunduh dari: www.rscm.co.id pada tanggal 26
Desember 2013.
36.
Untaian Langkah Perjalanan Departemen Psikiatri FKUI/RSCM.
37.
Kompetensi PPDSp-1 Ilmu Kedokteran Jiwa.
Universitas Indonesia
Gambaran pola…, Alvina, FK UI, 2014
62
38.
Sastroasmoro, Sudigdo. Pemilihan Subyek Penelitian. Dalam Sastroasmoro,
Sudigdo dan Sofyan Ismael. Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis. ed.4,
Indonesia: CV Sagung Seto, 2011.
39.
Saha S., Chant D., Welham J., McGrath J (2005). A Systematic Review of
The Prevalence of Schizophrenia. PloS Med 2(5): e141.
40.
McGrath J., Sukanta Saha, David Chant dan Joy Welham. Schizophrenia: A
Concise Overview of Incidence, Prevalence and Mortality. Epidemiol Rev
2008;30:67-76.
41.
Penduduk Menurut Wilayah dan Agama yang Dianut. Diunduh dari:
sp2010.bps.go.id pada tanggal 22 Desember 2013.
42.
Aspek Hukum Rekam Medis. Majalah Yustisia, ISSN: 0852-0941 no.37
tahun X September-Nopember 1996.
43.
Peraturan
Menteri
Kesehatan
Republik
Indonesia
Nomor269/Menkes/Per/III/2008 Tentang Rekam Medis.
44.
Nielsen, Rene Ernst dan Jimmi Nielsen. Antipsychotic Drug Treatment for
Patients
with
Schizophrenia:
Theoretical
Background
Clinical
Considerations and Patient Preferences. Clinical Medicine: Therapeutics
2009:1;1053-1068.
45.
Bridler, Rene dan Daniel Umbricht. Atypical Atipsychotics in The Treatment
of Schizophrenia. Swiss Med Wkly 2003;133:63-76.
46.
Tandon, Rajiv. Antipsychotic Polypharmacy: Update and Guidelines for
Practice. Diunduh dari: http://medicaidmentalhealth.org pada tanggal 21
Desember 2013.
47.
Guidelines
for
Antipsychotic
Medication
Switches.
Diunduh
dari:
www.humber.nhs.uk pada tanggal 16 Januari 2014.
48.
Wijono, Rudy, Martina Wiwie Nasrun dan Charles Evert Damping.
Gambaran dan Karakteristik Penggunaan Triheksifenidil pada Pasien yang
Mendapat Terapi Antipsikotik. J Indon Med Assoc, volum: 63, nomor: 1,
Januari 2013.
49.
Role of Anticholinergic Medications in Patients Requiring Long-term
Antipsychotic
Treatment
for
Psychotic
Disorders.
Diunduh
dari:
www.who.int pada tanggal 21 Januari 2014.
Universitas Indonesia
Gambaran pola…, Alvina, FK UI, 2014
63
Lampiran 1: Kuisioner
Nama
: ...............................................................................................
Tanggal Lahir
: ...............................................................................................
Jenis Kelamin
: ...............................................................................................
Suku Bangsa
: ...............................................................................................
Pendidikan
: ...............................................................................................
Pekerjaan
: ...............................................................................................
Agama
: ...............................................................................................
Status Perkawinan
: ...............................................................................................
Diagnosis
: ...............................................................................................
Lama sakit
: ...............................................................................................
Tanggal
Pengobatan
Kel.1:
Antipsikotik
generasi
Alasan Perubahan Terapi
pertama
1. respons tidak adekuat
dosis…………………………………….
2. efek samping:……………….
Kel.2:
3. lain-lain:…………………….
risperidon,
olanzapin,
quetiapin,
ziprazidon, aripiprazol dosis…………..
Kel.3: klozapin dosis……………………
Kel.4: antipsikotik injeksi jangka panjang
dosis……………………………………..
Tanggal
Pengobatan
Kel.1:
Alasan Perubahan Terapi
Antipsikotik
generasi
pertama
1. respons tidak adekuat
dosis…………………………………….
2. efek samping:……………….
Kel.2:
3. lain-lain:…………………….
risperidon,
olanzapin,
quetiapin,
ziprazidon, aripiprazol dosis…………..
Kel.3: klozapin dosis……………………
Kel.4: antipsikotik injeksi jangka panjang
dosis……………………………………..
Universitas Indonesia
Gambaran pola…, Alvina, FK UI, 2014
64
Lampiran 2 : Dummy table
Universitas Indonesia
Gambaran pola…, Alvina, FK UI, 2014
Download