Pemanfaatan Ampas Tebu (Saccharum officinarum)

advertisement
Prosiding Seminar Nasional II Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajaran,
Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda, 3 Desember 2016
Pemanfaatan Ampas Tebu (Saccharum officinarum) Sebagai Media
Perbanyakan Trichoderma spp.
Sapri, Sonja V.T. Lumowa, Akhmad
Program Studi Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman
Email: [email protected]
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pemanfaatan Ampas Tebu sebagai media
perbanyakan Jamur Trichoderma spp dan mengetahui pada komposisis berapa persen Ampas
Tebu menghasilkan pertumbuhan Jamur Trichoderma spp terbaik.Rancangan penelitian
menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 5 Perlakuan yang terdiri lima variasi
persentase Ampas Tebu sebagai bahan media tumbuh dan 4 kali ulangan. Perlakuan yang diuji
adalah : media beras menir (100g) = K0 (Kontrol), media beras menir : Ampas Tebu (75g : 25g)
=K1, media beras menir : Ampas Tebu (50g : 50g) = K2, media beras menir : Ampas Tebu (25g
: 75g) = K3, Ampas Tebu (100g) = K5. Paramater yang diamati adalah kerapatan spora
Trichoderma spp pada hari ke 15.Hasil Anava menunjukkan bahwa factor variasi persentase
Ampas Tebu sebagai media tumbuh berpengaruh secara nyata (signifikan) terhadap
perbanyakan jamur Trichoderma spp pada taraf kepercayaan 95%. Media perbanyakan jamur
terbaik ditunjukkan pada perlakuan media yang menggunakan bahan Ampas tebu dan beras
menir (25g : 75g) = K1 yaitu 13.500.000 sel/ml.
Kata kunci: ampas tebu, Trichoderma spp.
PENDAHULUAN
Ganguan hama dan penyakit pada tanaman merupakan salah satu kendala
dalam usaha pertanian. Oleh karena itu pencarian teknologi pengendalianhama
terpaduterus dikembangkan (Aditia, 2015). Usaha pengendalian serangan hama dan
penyakit yang kerap dilakukan adalah melalui pemberian insektisida. Namun,
penggunaan insektisida secara berlebihan akan berdampak terhadap keseimbangan
ekosistem. Misalnya, hama menjadi lebih kebal. Artinya, penggunaan bahan kimia
secara berlebihan bukan tidak mungkin menyebabkan populasi hama maupun
penyakitnya akan semakin bertambah. Selain itu, musuh alami dari hama yang berada
di lahan pertanian maupun perkebunan juga akan ikut mati, bahkan terancam punah.
Pengendalian kimia secara serampangan juga akan menyebabkan penurunan
jasad renik. Padahal jasad renik memiliki peran besar sebagai pengurai benda mati
menjadi bahan organik yang diperlukan untuk kesuburan tanah pengendalian kimia
secara berlebihan juga menyebabkan tertinggalnya residu insektisida pada produk
pertanian. Upaya mengganti insektisida bisa dilakukan dengan pengendalian hama
secara biologis (Angraeini, 2010)
Untuk mengurangi dampak negatif tersebut maka pemanfaatan pengendali
hayati menjadi sangat penting seperti pengunaan bakteri antagonis yang hidup
didaerah perakaran , mempunyai prospek yang dapat berfungsi untuk menekan
penyakit tanaman dan dapat mendorong pertumbuhan tanaman. Alternatif lain untuk
mengendalikan penyakit tanaman adalah dengan memanfaatkan mikroba agen
pengendali hayati. Pengendalian dengan cara ini dilaporkan cukup efektif dan belum
ada yang melaporkan timbulnya ketahanan jamur patogen terhadap agen pengendali
hayati (Freeman, 2002 dalam Beriu, 2013)
Salah satu organisme yang sedang dikembangkan sebagai jamur agen
pengendali hayati adalah jamur antagonis Trichordema spp(Eddy, 2004). Menurut
Ismail dkk (2010), jamur Trichordema spp disamping karakternya sebagai antagonis
diketahui pula bahwa Trichoderma spp juga berfungsi sebagai dekomposer dalam
pembuatan pupuk organik.Dalam perkembangannya ada dua teknologi untuk
pengembangan agen pengendali hayati jenis jamur yaitu media cair dan media
padat.Pengembangan media cair menggunakan media ekstrak kentang gula dan
media padatmengunakan media jagung, bekatul, dan beras menir (Vikayantidkk, 2010
“Menyiapkan Generasi Cerdas Berwawasan Lingkungan di Abad 21”
1
Prosiding Seminar Nasional II Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajaran,
Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda, 3 Desember 2016
dalam Beriu, 2013). Media jamur harus mengandung subtansi organik sebagai sumber
C, sumber N, ion anorganik dalam jumlah yang cukup sebagai pemasok pertumbuhan
daan sumber Vitamin (Nugroho, 2007)
Untuk memenuhi permintaan petani dan meningkatkan produktivitas perlu
dilakukan upaya mencari sumber alternatif pembuatan media pertumbuhan jamur
Trichordemasspyaitu dengan cara mengembangbiakan dengan menggunakan bahan
lokal yang melimpah dan banyak dijumpai dilingkungan sekitar. Salah satu bahan
tersebut adalah ampas tebu.Pemanfaatan ampas tebu sebagai media tumbuh
perbanyakan Trichordema ssp. perlu dipertimbangkan, hal ini dikarenakan tanaman
tebu setelah pasca pemanenan ampas tebu tidak lagi dimamfaatkan dan dibuang
begitu saja.
Ampas tebu adalah hasil samping dari proses ektrasi (pemerahan) cairan tebu.
dari satu pabrik dapat dihasilkan ampas tebu sekitar 35-40% dari berat tebu yang
digiling (Sugito, 1992) Berdasarkan data dari Pusat Penelitian Perkebunan Gula
Indonesia (P3GI) pada musim giling 2006 lalu, data yang diperoleh dari Ikatan Ahli
Gula Indonesia (Ikagi) menunjukkan bahwa jumlah tebu yang digiling oleh 57 pabrik
gula diindonesia mencapai sekitar 30 juta ton, sehinggah ampas tebu yang dihasilkan
diperkirakan mencapai 9.640.000 ton. Namun, sebanyak 5.740.000 ton dari ampas
tebu tersebut dimamfaatkan oleh pabrik gula sebagai bahan bakar, bahan baku untuk
kertas, bahan baku industri, kanvas rem, dll. Oleh karena itu sebanyak 3.856.000 ton
dari ampas tebu tersebut belum dimamfaatkan (Kusuma, 2009).
Menurut Aditya (2007) nutrisi yang terkandung dalam limbah organik ampas
tebu yaitu abu 3,82%, selulosa 37,65%, sari 1,81%, pentosan 27,97%, dan SiO2
3,01% dan sedangkan menurut Intannursiam (2010) ampas tebu (bagasse) merupakan
hasil limbah kasar setelah tebu digiling yang mengandung serat kasar yang tinggi yang
terdiri dari selulosa, pentosan dan lignin. Selulosa dan lignin merupakan nutrisi yang
digunakan untuk pertumbuhan dan perkembangan jamur sehingga diduga dapat
dimamfaatkan sebagai media tumbuh jamur Trichoderma spp. (Fatan, 2014).
Beras menir adalah butir beras yang ukurannya lebih kecil 2/10 atau butir beras
yang lolos dari ayakan atau saringan yang berdiameter 1,753 mm – 2 mm hasil dari
pengilingan beras (Ambiya, 2016).Dari hasil observasi dan wawancara peneliti pada
tanggal 4 april 2016 dengan pemilik pengilingan padi di Tanah Merah, bahwa menir
rata-rata yang dihasilkan padi satu karung bisa mencapai ½ kg menir. Beras menir
hampir sama dengan bekatul, kurang dimamfaatkan sebagai bahan pokok dan sering
digunakan
sebagai tambahan bahan
pakan ternak
saja.Beras
menir
memilikikandungan nutrisi yang sama dengan kandungan nutrisi pada beras.Dalam
penelitian sebelumnya, menyimpulkan bahwa pada media beras menir pertumbuhan
jamur Trichoderma spp. sanggat tinggi sehingga peneliti pada penelitian ini tertarik
menggunkan beras menir sebagai media perbandingan pertumbuhan jamur
Trichoderma spp.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan penelitian Kuantitatif Jenis
Eksperimen.Eksperimen adalah observasi dibawah kondisi buatan (artificial condition)
dimana kondisi tersebut dibuat dan diatur oleh si peneliti.Dengan demikian penelitian
eksperimental adalah penelitian yang dilakukan dengan mengadakan manipulasi
terhadap objek penelitian serta adanya control. (Nazir, 2005). Waktu penelitian ini akan
dilakukan selama 2 bulan dan penelitian ini di laksanakan di Laboratorium IHPT
Jurusan Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Mulawarman Samarinda.
Variabel bebas (independent variable) dalam penelitian ini adalah Ampas Tebu
(Saccharum officinarum) dengan konsentrasi 25gram, 50gram, 75gram, dan 100 gram.
Variabel terikat (devendent variable) adalah pertumbuhan jamur Trichoderma spp
Populasi dalam penelitian ini adalah Ampas Tebu (Saccharum officinaarum) yang
diambil dari penjual es tebu daerah Sempaja Ujung, Samarinda. Sampel dalam
“Menyiapkan Generasi Cerdas Berwawasan Lingkungan di Abad 21”
2
Prosiding Seminar Nasional II Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajaran,
Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda, 3 Desember 2016
penelitian ini adalah Ampas Tebu (Saccharum officinaarum) dengan komposisi25
gram, 50 gram, 75 gram dan 100 gram sebanyak 16 sampel sebagai media
pertumbuhan
Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak
Lengkap (RAL). Perlakuan terdiri atas enam variasi presentase Ampas Tebu sebagai
bahan media tumbuh dan empat kali ulangan yang diperoleh dari persamaan berikut.
(t - 1) (r - 1)
(6 – 1) (r – 1)
5r – 5
r
≥ 15
≥ 15
≥ 15
≥4
Keterangan
t = Perlakuan
r = Pengulangan
Adapun jenis media tumbuh pertumbuhanTrichoderma spp. adalah sebagai
berikut.
K0 (Kontrol)
= Media beras menir (100 gram)
K1 (Perlakuan 1) = Ampas tebu : beras menir (25 gram : 75 gram)
K2 (Perlakuan 2) = Ampas tebu : beras menir (50 gram : 50 gram)
K3 (Perlakuan 3) = Ampas tebu : beras menir (75 gram : 25 gram)
K4 (Perlakuan 4) =Ampas tebu : beras menir (100 gram)
(Keterangan dari masing-masing perlakuan dilakukan empat kali ulangan)
HASIL PENELITIAN
1. Penyajian Data
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Laboratorium IHPT Jurusan
Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Mulawarman Samarinda sebagai tempat
pembuatan perbanyakan Trichoderma spp. Sampel yang digunakan dalam penelitian
ini berjumlah 20 sampel, 4 sampel control dan 16 sampel dengan komposisi 25 gram,
50 gram, 75 gram dan 100 gram.
Sebelum masuk pada tahap perlakuan disiapkan isolate murni jamur
Trichoderma spp yang berasal dari daerah lempake yang sebelumnya telah
dikembangbiakan di laboratorium IHPT Agroteknologi Pertanian Universitas
Mulawarman. Selanjutnya pembuatan PDA. Pembuatan media PDA (Potato Dextrose
Agar) bertujuan sebagai tempat peremajaan dan pembiakan bibit jamur Trichoderma
spp agar cukup untuk media yang akan di pakai sebagai media perbanyakan
Trichoderma spp.
Kemudian pembuatan media pertumbuhan. Media pertumbuhan yang
digunakan adalah ampas tebu yang sudah dipotong kecil-kecil dengan komposisi 25
gram, 50 gram, 75 gram, dan 100 gram masing-masing media terdiri dari empat kali
ulangan. Proses selanjutnya isolate murni Trichoderma spp ditanam atau diinjeksikan
kedalam masing-masing perlakuan kemudian media diinkubasi pada suhu ruangan 22
– 230C selama 15 hari sampai spora jamur tumbuh sempurna. Setelah diinkubasi
selama 15 hari didalam ruangan inkubasi kemudian diencerkan dan dihitung kerapatan
sporanya menggunakan haemacytometer di atas mikroskop.
Pada Tabel 1. berikut dapat dilihat hasil perhitungan kerapat spora Trichoderma
spp yang dimana dari hasil penelitian ini diketahui bahwa komposisi media ampas tebu
: beras menir (25 gram : 75 gram) menghasilkan jumlah rata-rata spora terbanyak
dibandingkan dengan perlakuan yang lain.
“Menyiapkan Generasi Cerdas Berwawasan Lingkungan di Abad 21”
3
Prosiding Seminar Nasional II Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajaran,
Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda, 3 Desember 2016
Tabel
1.
Jumlah Spora Trichoderma spp. pada Masing-Masing Perlakuan Komposisi
Media..Tumbuh Hari Ke-15 (360 Jam) Pengamatan
Jumlah Spora Trichoderma spp (spora/ml) pada tiap Ulangan
P
(Perlakuan)
Ulangan 1
Ulangan 2
Ulangan 3
Ulangan 4
K0
21.625.000
22.000.000
22.000.000
21.437.000
K1
14.500.000
12.500.000
13.750.000
13.250.000
K2
10.094.000
10.000.000
10.120.000
11.000.000
K3
8.187.000
8.125.000
7.750.000
8.500.000
K4
5.937.000
5.500.000
5.187.500
4.750.000
Nilai rata-rata kerapatan jumlah spora pada hari ke-15 dari masing-masing perlakuan disajikan pada Tabel
2.
Tabel 2. Nilai rata-rata spora jamur Trichoderma spp.
No
Perlakuan
Nilai rata-rata (spora/ml)
1
K0
21.903.000ª
2
K1
13.500.000ªᵇ
3
K2
10.303.500ᵇ
4
K3
8.140.500ᵇᶜ
5
K4
5.343.625ᶜ
Analisis Data
Setelah diperoleh data perhitungan dari masing-masing perlakuan 4 kali
pengulangan maka selanjutnya dianalisis dengan menggunakan Analisis of Varians
(ANAVA). Dengan hasil perhitungan ANAVA dapat dilihat dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. sidik ragam pengaruh media terhadap pertumbuhan jamur Trichoderma spp.
Sumber
F.
No
JK
Db
KR
F. Hitung
Keragaman
Tabel
1
Perlaakuan
3.18894E+15
3
1.06298E+15
139.98
3.24
2
Galat
1.215E+14
16
7.59375E+12
3
Total
3.31044E+15
19
Berdasarkan hasil sidik ragam Anova atau Analisis Of Varians (lampiran 2)
menunjukkan bahwa Fhitung>Ftabel (139.98>3.24) dengan taraf kepercayaan 95%, hal ini
menjukkan bahwa factor variasi presentase ampas tebu sebagai bahan media tumbuh
berpengaruh secara nyata (signifikan) terhadap produksi spora Trichoderma spp. Uji
DMRT (Duncan Multiple Range Test) menunjukkan bahwa spora pada perlakuan K0
(control) berbeda nyata pada perlakuan K1, K2, K3 dan K4. Perlakuan K1 tidak
berbeda nyata dengan perlakuan K2 dan K3, tetatpi berbeda nyata terhadap perlakuan
K4 dan K0.Perlakuan K3 tidak berbeda nyata terhadap K2 dan K4 tetapi berbeda nyata
pada perlakuan K0 dan K1.Perlakuan K4 tidak berbeda nyata terhadap perlakuan K3
tetapi berbeda nyata terhadap perlakuan K0, K2 dan K3.
PEMBAHASAN
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ampas tebu (Saccharum
officinarum) dapat digunakan sebagai media pertumbuhan jamur Trichoderma spp.
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium IHPT Agroteknogi Pertanian Universitas
Mulawarman. Jamur yang digunakan dalam penelitian ini adalah jamur yang diisolasi
dari tanah daerah lempake. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah 20
sampel, 4 sampel control dan 16 sampel dengan perlakuan komposisi ampas tebu
yang berbeda yaitu K1 (komposisi ampas tebu 25 gram), K2 (komposisi ampas tebu 50
gram), K3 (komposisi ampas tebu 75 gram), dan K4 (komposisi ampas tebu 100 gram).
Sebelum Isolate murni jamur Trichoderma spp. dibiakan di media ampas tebu.
Ampas tebu yang digunakan untuk pembiakan jamur Trichoderma spp sebanyak 1 kilo
gram. Kemudian ampas tebu dipotong-potong sekecil mungkin agar jamur
Trichoderma spp mampu menyerap nutrisi yang ada pada tebu. Untuk beras disiapkan
sebanyak 1 kilo gram, kemudian beras menir menir dicuci dan dimasak hingga
“Menyiapkan Generasi Cerdas Berwawasan Lingkungan di Abad 21”
4
Prosiding Seminar Nasional II Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajaran,
Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda, 3 Desember 2016
setengga matang, setelah itu dinginkan selama kurang lebih 20 menit. Setelah beras
menir dingin, timbang ampas tebu sesuai dengan komposisi masing-masing perlakuan
hingga ulangan kempat, yaitu ampas tebu : beras menir (25 g : 75 g), ampas tebu :
beras menir (50 g : 50 g), ampas tebu : beras menir (75 g : 25 g), ampas tebu (100 g)
dan beras menir (100 g). Ampas tebu dan beras menir yang sudah ditimbang
dimasukkan kedalam plastic berukuran 12 x 25 cm dan diikat atau distapler,
selanjutnya kemasan diberi label sesuai komposisi masing-masing media.
Setelah pembuatan media perbanyakan, Isolate murni Trichoderma spp
dicampur dengan 5-10 ml aquades steril kedalam media PDA miring Trichoderma spp,
kemudian dihomogenkan. Selanjutnya tuang kedalam gelas kimia.Selajutnya diambil 3
ml suspense tersebut dengan menggunakan spuit, kemudian diinjeksikan pada
kemasan media perbanyakan. Setiap ulangan diberikan suspense sebnayak 5 ml.
Selanjutnya media dihomogenkan dan disusun diatas koranyang sebelumnya
disemprotkan dengan Alkohol 70%. Penempatan media dilakukan dengan cara
random sampling (undian). Lalu media ditutup dengan menggunakan kertas Koran
serta sekitarnya disemprot dengan alcohol 70%. Kemudian media diinkubasi pada
suhu ruangan 22-23 erajat celcius selam 15 hari sampai spora jamur tumbuh
sempurna. Kemduian jamur Trichoderma spp yang akan dihitung jumlah sporanya
terlebih dahulu diencerkan dengan metode pengenceran bertingkat. Dengan
mengambil 1 gram dari setiap perlakuanyaitu K0 sampai dengan K4 yang sudah
ditumbuhi jamur Trichoderma spp lalu disuspensikan kedalam tabung reaksi sebanyak
10 ml aquadest steril. Selanjutnya suspense jamur Trichoderma spp dihomogenkan
dengan cara dikocok sampai spora terlepas dari medianya.
Diambil 1 ml suspense spora Trichoderma spp dari media yang sudah
dihomogenkan dengan menggunakan pipet ukur, kemudian dimasukkan kedalam
tabung reaksi yang telah diisi 9 ml aquadest steril (pengenceran
). Pertumbuhan
spora dapat dilihat dengan cara melakukan perhitungan jumlah spora. Diambil 1 tetes
suspense Trichoderma spp menggunakan pipet tetes yang merupakan hasil dari
pengenceran. Kemudian dimasukkan kedalam ruang haemacytometer. Selanjutnya
diamati dibawah mikroskop dengan perbesaran 4x10 – 10x10 dan dihitung jumlah
spora yang terlihat. Jika dalam pengamatan jumlah spora tidak mampu maka
pengenceran dilakukankan lagi hingga spora mampu dihitung pada saat pengamatan.
Penelitian ini menggunakan 5 perlakuan K0 (control) tidak diberi perlakuan, K1
dengan komposisi 25 gram, K2 dengan komposisi 50 gram, K3 dengan komposisi 75
gram, dan K4 dengan komposisi 100 gram. Setiap perlakuan terdiri dari 4 ulangan
.Dari hasil pengamatan menunjukkan bahwa spora mampu berkecambah pada media
dalam waktu 120 jam (hari ke-5) setelah masa inkubasi dan merata pada perlakuan
control (K0) maupun pada perlakuan K1, K2, K3, dan K4. Spora jamur baru yang
terbentuk, bewarna hialin (transparan) pada masa ini spora jamur belum terbentuk
secara sempurna dan rentan terjadinya kontaminasi. Pada hari ke-7 (168 jam) masa
inkubasi, spora jamur sudah mengalami perubahan yang awalnya bewarna hialin
menjadi putih kehijauan atau hijau gelap (V. T. L. Sonya 2010). Kemudian pada hari
ke-15 masa inkubasi media sudah ditumbuhi oleh jamur secara keseluruhan dan
pengamatan ini juga terlihat bahwa bentuk dan struktur media tumbuh (beras menir)
yang awalnya berupa butiran besar berubah menjadi butiran kecil.Bau pada media
tumbuh pun berubah menjadi bau yang sedikit khas atau berbau jamur.Hal ini
menandakan bahwa jamur telah bekerja dalam menguraikan atau merombak bahan
organic (Beriu, 2013).
Selama masa inkubasi media ditempatkan didalam ruangan dengan suhu
berkisar antara 22-28% derajat celcius dan pada suhu tesebut spora jamur
Trichoderma spp pada media perlakuan dapat tumbuh dengan baik. Menurut Gunawan
(2001), suhu merupakan factor yang mempengaruhi pertumbuhan jamur. Suhu
ekstrim, yaitu suhu minimum dan suhu maksimum merupakan factor yang menentukan
“Menyiapkan Generasi Cerdas Berwawasan Lingkungan di Abad 21”
5
Prosiding Seminar Nasional II Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajaran,
Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda, 3 Desember 2016
pertumbuhan jamur sebab dibawah batas suhu minimum dan suhu maksimum jamur
tidak akan hidup.
Suhu pertumbuhan Trichoderma spp pada saat inkubasi lebih tinggi
dibandingkan dengan suhu pada saat pertumbuhan.Suhu inkubasi jamur berkisar
antara 22-28 derajat celcius dengan kelembapan 60-80%.Kelembapan, secara umum
memerlukan kelembapan yang relative cukup tinggi.Kelembapan relative sebesar 95%
- 100% menunjang pertumbuhan yang maksimum pada kebanyakan jamur.
Adapun hasil yang diperoleh dari perlakuan ampas tebu dan campuran beras
menir yaitu pada perlakuan K0 (Kontrol) diperoleh jumlah rata-rata sel spora sebanyak
21.903.000 sel/ml. pada perlakuan K1 diperoleh jumlah rata-rata sel spora sebanyak
13.500.000 sel/ml. pada perlakuan K2 terlihat jumlah rata-rata sel spora 10.303.500
sel/ml. Pada perlakuan K3 jumlah rata-rata sel spora sebanyak 8.140.500 sel/ml. Dan
pada perlakuan K4 jumlah rata-rata sel spora sebanyak 5.343.625 sel/ml. Komposisi
bahan atau media perbanyakan yang tidak sama konsentrasinya menentukan
pertumbuhan jumlah spora Trichoderma spp.
Berdasarkan Tabel 3 dapat diketahui bahwa pola hubungan antara jumlah
spora Trichoderma spp dengan variasi perlakuan presentase ampas tebu sebagai
media tumbuh dapat dilihat pada gambar berikut.
Jumlah Spora (Sel/mL)
Pertumbuhan Spora Trichoderma spp (gr/ml) pada media
ampas tebu
30000
21.903.000
25000
20000
13.500.000
10.305.000
15000
8.140.500
10000
5.343.626
5000
0
1
2
3
4
5
Gambar 1. Hubungan antara jumlah spora Trichoderma spp dengan variasi perlakuan presentase ampas
tebu sebagai media tumbuh.
Dari Gambar 1 terlihat bahwa pada hari ke-15 pengamatan perlakuan K0
(Kontrol) memiliki rata-rata jumlah spora paling tinggi dibandingkan dengan perlakuan
lainya. Perlakuan K0 (control) menghasilkan nilai rata-rata tertinggi yaitu 21.903.000
spora/mili dan menghasilkan sedangkan nilai rata-rata terendah pada perlakuan K4
yaitu 5.343.626 spora/milliliter.
Data yang didapatkan kemudiandianalisis menggunakan Analisis of Varians.
Dari perhitungan menunjukkan bahwa Fhitung>Ftabel (139.98>3.24) dengan taraf
kepercayaan 95%, hal ini menjukkan bahwa factor variasi presentase ampas tebu
sebagai bahan media tumbuh berpengaruh secara nyata (signifikan) terhadap produksi
spora Trichoderma spp. Uji DMRT (Duncan Multiple Range Test) menunjukkan bahwa
spora pada perlakuan K0 (control) berbeda nyata pada perlakuan K1, K2, K3 dan K4.
Perlakuan K1 tidak berbeda nyata dengan perlakuan K2 dan K3, tetatpi berbeda nyata
terhadap perlakuan K4 dan K0.Perlakuan K3 tidak berbeda nyata terhadap K2 dan K4
tetapi berbeda nyata pada perlakuan K0 dan K1. Perlakuan K4 tidak berbeda nyata
terhadap perlakuan K3 tetapi berbeda nyata terhadap perlakuan K0, K2 dan K3.
“Menyiapkan Generasi Cerdas Berwawasan Lingkungan di Abad 21”
6
Prosiding Seminar Nasional II Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajaran,
Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda, 3 Desember 2016
Komposisi bahan media perbanyakan yang tidak seimbang akan menentukan
pertumbuhan jumlah spora Trichoderma spp. Semakin rendah dan tidak seimbangnya
komposisi media yang digunakan, semakin menurun juga jumlah spora yang
dihasilkan, sehinggah rendah pula tingkat keragaman jumlah spora dari masingmasing perlakuan tersebut.
Walker (1991) dalam marlina (2012) menyatakan bahwa ada beberapa dasar
penting untuk mempersiapkan media yang baik, yaitu :
1.
Komposisi bahan : Kemurnian, perbandingan karbon dan nitrogen, perbedaan
variasi tiap bagian, tersedianya nutrisibagi pertumbuhan jamur.
2.
Pengaruh dari perbedaan percampuran tiap bahan, pH yang dibutuhkan sebelum
dan sesudah sterilisasi, efek sterilisasi pada mineral dan garam.
3.
Perubahan pada media sebelum inokulasi, suhu, aerasi dan pengadukan.
Walker (1998) dalam Marlina (2012), telah menyebutkan bahwa komposisi
bahan atau media harus diperhatikan untuk pertumbuhan jamur karena berpengaruh
terhadap jumlah nutrisiyang terkandung dalam media tersebut..Ferron (1981) dalam
Vikayanti dkk.(2007) berpendapat bahwa sumber nutrisi dapat berpengaruh pada
pertumbuhan jamur entomopatogen.Pada media yang nutrisinya terbatas, koloni
tampak transparan (hijau muda), sedangkan pada media yang nutrisinya lebih banyak
koloni dapat terlihat hijau tua (gelap) pada seluruh permukaan media (Irwan,
2010).Menurut bannet dan Hunter (1998) dalam Syhari dan Thamrin (2011), sumber
nutrisi yang dibutuhkan jamur terutama berupa karbon dan nitrogen, oleh karena itu
Trichoderma spp diperbanyak di media yang mengandung nutrisi tersebut.Urilal (2012)
menambahkan bahwa jamur memerlukan kandungan karbon dan nitrogen untuk
energy yang membantu dalam pertumbuhan sel-sel jamur. Sumber karbon dapat
diperoleh dari karbohidrat dengan kadar gula 4-5% (Sutejo, 1991 dalam Purwatisari,
2008). Kelley (1977) dalam Urial dkk (2012) mengemukan bahwa pertumbuhan
Trichoderma sppsangat bergantung pada ketersediaan karbohidrat yang digunakan
sebagai sumber energy untuk pertumbuhannya.Riyanto dan Santoso(1991),
menambahkan karbohidrat diperlukan jamur untuk perkembangbiakan koloni dan
merupakan sumber energy atau bahan bakar sebagai penyusun sel.
Nitrogen dapat disedikan dalam bentuk nitrat, ammonia atau bahan organic
seperti asam aminoatau protein.(Taborsky, 1992 dalam Marlina, 2012).Alexander
(1994) dalam Uruillal, dkk (2012) menyatakan unsur nitrogen diperlukan untuk sintesis
asam amino dan protein, nukleotida, purin dan pyrimidin, dan vitamin-vitamin
tertentu.Pembentukan konida jamur dipengaruhi oleh kandungan protein dalam media.
Protein diperlukan dalam pembentukan apikal hifa dan sisntesis enzim yang diperlukan
selama proses tersebut dan enzim juga yang berperan dalam aktivitas perkecambahan
dan protein yang diserap dalam bentuk asam amino (Garraway) 1984 dalam Vikayanti,
dkk (2007).
Selain karbohidrat dan protein, makronutrisi penting yang lain adalah fosfor
(dalam bentuk fosfaf). Rukman, (1997) menyatakan bahwa ampas tebu mengadung
zat besi sebanyak 2 mg dan kalsium sebanyak 40 mg. Meurut Riyanto dan Santoso
(1991) dalam Marlina (2012) menyatakan bahwa kekurangan akan unsure zat besi dan
kalsium akan menghambat perkembangan dari jamur. Dua unsur tersebut berperan
sebagai aktifator enzim dan sebagai komponen dari porphyrins yang sangat penting
dalam transfer electron. Kekurangan zat besi akan berpengaruh terhadap proses-prose
biokimia. Pada inang dapat menurunkan tingkat ATP dan menghambat sintesa DNA,
Sehinggah proses perkecambahan terhambat.Selain itu menurut Aditya (2007), ampas
tebu mengandung 13% Lignin dari keseluruhan nutrisi pada ampas tebu. Lignin
berfungsi untuk memperkuat hifa yang nantinya akan menembus diding sel pada jamur
patogen.
Jamur juga memerlukan kalsium untuk pertumbuhannya, tentang jumlahnya
sulit dibuktikan, karena sering kali terjadi kontaminasi pada media. Kalsium berguna
sebagai antibiotic sel jamur dan meningkatkan toksin. Peran utama kalsium dalam
“Menyiapkan Generasi Cerdas Berwawasan Lingkungan di Abad 21”
7
Prosiding Seminar Nasional II Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajaran,
Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda, 3 Desember 2016
jamur adalah mengatur osmotic potensial secara selular dalam sel, meningkatkan
tekanan turgor, serta berhubungan dengan transportasi dalam sel. (Marlina, 2012)
Selain komposisi media yang harus baik, pertumbuhan spora juga dipengaruhi
oleh factor-faktor lingkungan yaitu ;Suhu merupakan faktor penting yang
mempengaruhi pertumbuhan jamur. Suhu ekstrem, yaitu suhu minimum dan
maksimum merupakan faktor yang menentukan pertumbuhan jamur sebab dibawah
batas suhu minimum dan diatas suhu maksimum jamur tidak akan hidup.Berdasarkan
pada kisaran suhu, jamur dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu jamur psiklorofil,
jamur mesofil, dan jamur termofil. Kelompok psikrofil merupakan jamur yang
mempunyai suhu minimum dibawah nol derajat celcius, suhu optimum di atas 0 derajat
sampai 7 derajat celcius dan pada suhu diatas 20 derajat celcius jamur ini sudah tidak
dapat hidup. Kelompok kedua yaitu jamur mesofl memiliki suhu minimum diatas 0
derajat celcius, suhu maksimum dibawah 50 derajat celcius, dan suhu optimum antar
15-40 derajat celcius. Kelompok ketiga yaitu kelompok termofil yang mempunyai suhu
minimum diatas 20 derajat celcius, suhu maksimum 50 derajat celcius atau lebih, dan
suhu optimum sekitar 35 derajat celcius atau lebih.
Pengaruh pH terhadap pertumbuhan jamur tidak dapat dinyatakan secara
umum karena bergantung pada beberapa faktor, seperti ketersediaan ion
logamtertentu, permeabilitas membran sel yang berhubungan dengan pertukaranion
produksi CO2 atau NH3, dan asam organik.Di laboratorium umumnya jamur akan
tumbuh pada kisaran pH yang cukup luas yaitu antar 4,5-8,0 dengan pH optimum
antara 5,5-7,5 atau bergantung pada jenis jamurnya. Kisaran pH untuk pertumbuhan
miselium yang optimum umumnya berbeda dengan yang diperlukan untuk
pembentukkan tubuh buah jamur. Untuk jamur Trichoderma spp pH optimal untuk
pertumbuhannya 3-7. Jamur mempunyai daya hambat tertinggi pada pH 5-6,4 dan pH
optimumnya antara 3,7-4,7 pada tekanan bagian CO2 normal (Soesanto, 2008).
Sedangkan menurut Burgers (1981) dalam Nugroho (2007), menyebutkan tingkat pH
yang sesuai berkisar antar 3,3-8,5 sedangkan pertumbuhan optimal terjadi pada pH
6,5.
Suhu dan kelembapan juga sangat mempengaruhi pertumbuhan jamur
Trichoderma spp terutama untuk pertumbuhan dan perkecambahan konidia serta
patogenesitasnya. Batasan suhu untuk pertum
15- 5
- 5
tumbuh dengan baik dan maksimun pada kelembaban 80-92%.
Dua komponen penting dalam udara yang berpengaruh pada pertumbuhan
jamur, yaitu O2 (oksigen), dan CO2 (karbondioksida). Oksigen merupakan unsur
penting dalam respirasi sel. Sumberenergi didalam sel dioksidasi menjadi karbon
dioksida dan air sehingga energi menjadi tersedia..
Kebanyakan jamur, kecuali Agaricus memerlukan cahaya untuk awal
pembentukan tubuh buah dan perkembangannya yang normal. Namun untuk
kebanyakan jamur kebutuhan cahaya ini secara tepat belum diketahui. Satu hal
penting yang diketahui yaitu hanya sejumlah kecil panjang gelombang tertentu yang
diperlukan, tetapi cahaya putih diperlukan dalam jumlah relatif besar.
Secara umum jamur memerlukan kelembapan relatif yang cukup tinggi.
Kelembapan relatif sebesar 95-100 kelembapan
Berdasarkan uraian diatas, ada bebebrapa hal yang harus diperhartikan dalam
proses perbanyakan jamur Trichoderma spp yaitu; perisiapan dan pemelihan
komposisi media, dan faktor-faktor lingkungan. Agar hasil yang diperoleh memuaskan
dan mengurangi terjadinya tingkat kegagalan.
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa
Ampas Tebu (Saccharum officinarum) dapat dimamfaatkan sebagai media
“Menyiapkan Generasi Cerdas Berwawasan Lingkungan di Abad 21”
8
Prosiding Seminar Nasional II Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajaran,
Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda, 3 Desember 2016
pertumbuhanTrichoderma spp. Presentase media amapas tebu (Saccharum
officinarum) berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan jamur Trichoderma spp.
Komposisi media pertumbuhan Trichoderma sppterbaikditunjukkan oleh komposisi
25% ampas tebu (Saccharum officinarum).
Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang sudah dilaksanakan, maka Penulis
menyarankan kepada:
1. Pemilik kebun tebu, setelah pasca pemanenan dan pemerasan ekstrak tebu agar
ampas tebu tidak dibuang begitu saja karena ampas tebu dapat dimamfaatkan
sebagai media pertumbuhan Trichoderma spp.
2. Masyarakat khususnya para petani agar dapat memfaatkan jamur patogen
Trichoderma spp ini sebagai penganti Insektisida dalam membasmi hama pada
Tanaman.
3. Peneliti selanjutnya dalam pemilihan jenis media perbanyakan Trichoderma spp
harus mempertimbangkan jumlah nutrisi dan protein yang dibutuhkan oleh jamur
Trichoderma spp yang terkandung dalam media tersebut.
DAFTAR RUJUKAN
Anonim, 1992.Pembudidayaan Tebu di Lahan Sawah dan Tegalan. Jakarta. Penebar
Swadaya.
Aditya, 2007. Ampas Tebu. Fakultas Pertanian. Skripsi Universitas Sumatera Utara.
Medan
Ambiya, E. N. 2010 Mekanisasi Pertanian http://webcache. Googleusercontent
.com/search?q=cache:X20mvqpaSp4J:dhie91boy.blogspot.com/2010/06/mekani
sasi-pertanian.html+&cd=4&hl=id&ct=clnkdiakses 14 maret 2016
Angraeni,
A.
Y.
2015.
Pengendalian
Hayati.
http://pengendalian
hayati.Blogspot.co.id/2010/01/pengendalian hayati.html.Diakses pada 10 Maret
2016.
Beriu.J, 2013.Pemamfataan Eceng Gondok Sebagai Media Produksi Spora Jamur
Trichoderma Harzianum Rifai.Skripsi Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam. Universitas Mulawarman. Samarinda
Djafarudin. 2000. Dasar-dasar pengendalian Penyakit Tanaman. Jakarta: Bumi Aksara.
Eddy, P. T. 2005. Pengaruh Introduksi Jamur (Trichoderma spp) Terhadap
Perkembangan Penyakit Layu Fusarium (Fusarium oxysporum), Pertumbuhan
dan Hasil Tanaman Tomat. Balai Proteksi Tanaman Perkebunan Jawa Barat
Fatan. D. P, 2012. Trichoderma harzianum Rifai.Http://fatan dwiputra.blogspot. co.id/
2012/12/ trichoderma-sp.html.Diakses pada 1 Maret 2016 pukul 13.00 WITA.
Gunawan, A. W. 2001. Usaha Pembibitan Jamur. Jakarta. Penebar Swadaya.
Gusnawati, HS. 2014. Karakterisasi Morfologis Trichoderma spp. Indigenus Sulawesi
Tenggara. Fakultas Pertanian Universitas Halu Oleo, Kendari
Intanursiam, 2010. Bahan Makanan Ternak : Limbah Industry Perkebunan.
http://Intannursiams-blogspot .com/bahanmakanan46. Di akses pada 2 Maret
2016
Ismail, dkk.2010. Potensi Agens Hayati Trichoderma spp Sebagai Agnes Pengendalian
Hayati.Balai Pengkajian Teknologi Pertanaian (BPTP) Sulawesi Utara.
Kusuma, J. K. 2009. Pengaruh Tingkat Penggunaan Ampas Tebu (Bagasse)
Fermentasi Dalam Ransum Terhada Kecernaan Bahan Kering dan Bahan
Organik Pada Domba Lokal Jantan. Skripsi Fakultas Pertanian. Universitas
Sebelas Maret Surakarta
Marlina, 2012. Pemamfataan Singkong (Manihotutilisima Pohl.) Sebagai Media
Produksi Spora Jamur Trichoderma Harzianum Rifai.Skripsi Fakultas Matematika
dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Mulawarman : Samarinda
Nazir, M. 2005. Metodologi Penelitian. Ghalia Indonesia. Ciawi, Bogor Selatan.
“Menyiapkan Generasi Cerdas Berwawasan Lingkungan di Abad 21”
9
Prosiding Seminar Nasional II Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajaran,
Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda, 3 Desember 2016
Nugroho, C. H. 2007. Pengaruh Penambahan Tepung Beras dan Tepung Terigu Pada
Media Jagung Giling Terhadap Peningkatan Jumlah Spora Jamur Metarhizium
anisopliae
Nuryatiningsih, 2005.Prospek Jamur Trichoderma koningii Untuk Pengendalian
Penyakit Phytophthora palmiovora Pada Tanaman Kakao.http://www.prospek
jamur trichoderma_kononggi./2hjamur.com. Diakses pada 11 Februari 2016
Riyanto dan Santoso, 1991.Cendawan Beauveria basian dan Cara Pengembangannya
Guna Mengendalikan Hama Buah Kopi. Jakarta
Soesanto, L. 2008. Pengantar Pengendalian Hayati Penyakit Tanaman. Jakarta. PT.
Raja Grafindo Persada.
Suriawiria, U. 1986. Pengantar Untuk Mengenal dan Menanam Jamur. Bandung.
Angkasa.
Syifa,
B.
2016.Media
Tumbuh
Jamur
Merang.http://www.
binasyifa.
com/939/71/26/media- tumbuh-jamur-merang.htmDiakses 14 maret 2016.
Syahni dan Thamrin, T. 2011.Potensi Pemanfaatan Cendawan Trichoderma spp.
Sebagai Agens Pengendali Penyakit Tanaman di Lahan Rawa Lebak.Balai
Pengkajian Teknologi Pertanaian (BPTP) Sumatera Selatan. Palembang.
Uruilal, C. Klaay, M., Kaya.E. dan Siregar, A. 2012. Pemanfaatan Kompos Elga Sagu,
Sekam dan Dedak sebagai Media Perbanyakan Agens Hayati Trichoderma
harzianum Rifai. Jurnal Teknologi Fakultas Pertanian. Universitas Pattimura.
Ambon,
Vikayanti, 2007. Uji Berbagai Media Tumbuh Dalam Pengembangan Massal APH
Golongan Jamur. Balai Proteksi Tanaman Perkebunan. Jawa Timur.
V. T. L. Sonja, 2010. Pengaruh Ukuran Benih, Pupuk Kandang dan Trichoderma
koningii (Rivai) Terhadap Populasi Serangga dan Insidensi Penyakit Pada
Tanaman Kentang. Universitas Sam Ratulangi. Manado.
Wijayanti, 2008. Mengenal Tanaman Tebu. Penebar Swadaya. Jakarta
“Menyiapkan Generasi Cerdas Berwawasan Lingkungan di Abad 21”
10
Download