PROGRAM KEMITRAAN BUMN DENGAN USAHA KECIL DAN PROGRAM BINA LINGKUNGAN SEBAGAI TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN DI PT. BANK NEGARA INDONESIA (PERSERO) TBK CABANG PURWOKERTO SKRIPSI Oleh: PAMELA BEATHRICE ARITONANG E1A009115 KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2013 i PROGRAM KEMITRAAN BUMN DENGAN USAHA KECIL DAN PROGRAM BINA LINGKUNGAN SEBAGAI TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN DI PT. BANK NEGARA INDONESIA (PERSERO) TBK CABANG PURWOKERTO SKRIPSI Diajukan Sebagai Syarat Untuk Mendapatkan Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Oleh: PAMELA BEATHRICE ARITONANG E1A009115 KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2013 ii Lembar Pengesahan Skripsi PROGRAM KEMITRAAN BUMN DENGAN USAHA KECIL DAN PROGRAM BINA LINGKUNGAN SEBAGAI TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN DI PT. BANK NEGARA INDONESIA (PERSERO) TBK CABANG PURWOKERTO Oleh : PAMELA BEATHRICE ARITONANG E1A009115 Untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Diterima dan Disahkan Pada Tanggal............................ Pembimbing I Pembimbing II Penguji M.I Wiwik Yuni Hastuti, S.H., M.H. NIP. 19590619 198601 2 002 Sukirman, S.H., M. Hum. NIP. 19581006 198403 1 001 Sutoyo, S.H., M.H. NIP. 19560403 198503 1 002 Mengetahui Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Dr. Angkasa, S.H., M.H. NIP. 19640923 198901 1 001 iii SURAT PERTANYAAN Dengan ini saya: Nama : PAMELA BEATHRICE ARITONANG NIM : E1A009115 Judul Skripsi : PROGRAM KEMITRAAN BUMN DENGAN USAHA KECIL DAN SEBAGAI PROGRAM TANGGUNG BINA LINGKUNGAN JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN DI PT. BANK NEGARA INDONESIA (PERSERO) TBK CABANG PURWOKERTO Menyatakan bahwa skripsi yang saya buat ini adalah benar-benar karya saya sendiri dan tidak menjiplak hasil karya orang lain maupun dibuatkan oleh orang lain. Dan apabila terbukti saya melakukan pelanggaran sebagaimana tersebut di atas, maka saya bersedia dikenai sanksi apa pun dari Fakultas. Purwokerto, Februari 2013 Pamela Beathrice Aritonang E1A009115 iv PRAKATA Segala Puja dan Puji Syukur Penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan Berkat dan Kasih Karunia-Nya, sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul PROGRAM KEMITRAAN BUMN DENGAN USAHA KECIL DAN PROGRAM BINA LINGKUNGAN SEBAGAI TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN DI PT. BANK NEGARA INDONESIA (PERSERO) TBK CABANG PURWOKERTO sebagai syarat untuk mendapat gelar kesarjanaan Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto. Pelaksanaan dan penyusunan skripsi ini tidak akan berhasil dengan baik tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, Penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Bapak Dr. Angkasa, S.H., M. Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman yang telah memberikan bimbingan. 2. Ibu M.I Wiwik Yuni Hastuti, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing Akademik dan Dosen Pembimbing I yang telah memberikan banyak bimbingan, motivasi dan arahan selama penulis kuliah serta pemahaman ilmu dalam penulisan skripsi ini. 3. Bapak Sukirman, S.H., M. Hum., selaku Dosen Pembimbing II yang juga telah memberikan banyak bimbingan dan arahan serta pemahaman ilmu dalam penulisan skripsi ini. v 4. Bapak Sutoyo, S.H., M.H., selaku Dosen Penguji Skripsi yang telah memberikan banyak masukan dan bimbingan demi kesempuranaan skripsi ini. 5. Seluruh Dosen, Staff Administrasi, dan Civitas Akademika Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman yang mendidik, mentrasnsformasikan ilmu hukum, serta memberikan pelayanan selama Penulis melakukan studi. 6. Keluarga besar PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Cabang Purwokerto atas izin dan data yang telah diberikan terkait skripsi ini. 7. Keluarga tercinta (Papa, Mama, Tulang Bagas, Nantulang Bagas, David, Amos, Bagas dan Doge) yang telah membantu dan memberikan semangat, support, kekuatan doa dan cinta tanpa henti serta makna hidup yang sangat berarti. 8. Keluarga Besar Asian Law Student’s Association (ALSA) Local Chapter UNSOED yang tidak bisa disebutkan satu per satu, terima kasih atas kebersamaan dan proses yang telah kita jalani bersama. 9. Keluarga besar mahasiswa FH Unsoed khususnya teman-teman angkatan 2009 yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, terimakasih atas kebersamaan yang telah kita lewati bersama. 10. Para Sahabat terutama Lintang, Anis dan Afril terima kasih atas dukungan, kebersamaan dan kebahagian serta rekan-rekan yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu terima kasih atas dukungannya. vi PROGRAM KEMITRAAN BUMN DENGAN USAHA KECIL DAN PROGRAM BINA LINGKUNGAN SEBAGAI TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN DI PT. BANK NEGARA INDONESIA (PERSERO) TBK CABANG PURWOKERTO Oleh : PAMELA BEATHRICE ARITONANG E1A009115 ABSTRAKSI Sebagai salah satu pelaku usaha kegiatan ekonomi dalam perekonomian nasional berdasarkan ekonomi demokrasi di Indonesia, Badan Usaha Milik Negara haruslah melaksanakan kegiatannya dengan profesional dan mengikuti perkembangan zaman yang terjadi saat ini. Pemerintah mengeluarkan UndangUndang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara dengan memperhatikan posisi strategis BUMN dalam perekonomian Indonesia guna mengoptimalkan peran BUMN agar menjadi lebih profesional. Namun dalam melaksanakan kegiatan usaha, baik pihak swasta maupun pemerintah yang diwakili oleh BUMN haruslah memperhatikan aspek sosial. Sebagaimana yang diamanatkan pada Pasal 88 UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN bahwa BUMN dapat menyisihkan sebagian laba bersihnya untuk keperluan pembinaan usaha kecil/koperasi serta pembinaan masyarakat sekitar BUMN. Dengan lahirnya UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN lahirlah Peraturan Menteri Negara BUMN Nomor PER-05/MBU/2007 tentang Program Kemitraan Badan Usaha Milik Negara dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan (PKBL) sebagai pengaturan mengenai salah satu bentuk tanggung jawab sosial perusahaan dari BUMN. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan mengetahui penerapan Peraturan Menteri Negara BUMN Nomor PER-05/MBU/2007 tentang PKBL sebagai salah satu bentuk tanggung jawab sosial perusahaan dari BUMN di PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Cabang Purwokerto. Hasil penelitian menunjukkan bahwa PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Cabang Purwokerto sebagai unit operasional telah menerapkan ketentuan Peraturan Menteri Negara BUMN Nomor PER-05/MBU/2007 tentang Program Kemitraan Badan Usaha Milik Negara dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan. Kata Kunci : Program Kemitraan BUMN, Program Bina Lingkungan dan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan. vii ABSTRACT As one of the businesses of economic activity in the national economy based on economic democracy in Indonesia, BUMN should carry out their activities with professionals and keep abreast of the current era. Government issued Law No. 19 of 2003 on BUMN with respect to the strategic position of the Indonesian economy in order to optimize the role of the state in order to become more professional. But in conducting business, both private and government, represented by BUMN must give attention to social aspects. As stipulated in Article 88 of Law No. 19 Year 2003 on BUMN can set aside part of its net income for the purposes of fostering small businesses / cooperatives and community development around the state. With the birth of the Law no. 19 of 2003 on state born Minister of BUMN No. PER-05/MBU/2007 about Partnership Program with the State Owned Small Business and Community Development Program (CSR) as a form of regulation on corporate social responsibility of the BUMN. This research was conducted with the purpose of knowing the application of the Minister of BUMN No. PER-05/MBU/2007 about CSR as a form of corporate social responsibility of state-owned PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Branch Purwokerto. The results showed that PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Branch Purwokerto as operational units have implemented the theof rule of Minister BUMN No. PER-05/MBU/2007 about Partnership Program with the State Owned Small Business and Community Development. Keywords: Partnership Program, Community Development Program and Corporate Social Responsibility. viii DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL ………………………………….........................………… i HALAMAN PENGESAHAN …………………….........................……………. ii SURAT PERNYATAAN ………………………...................…………………. iii PRAKATA ……………………………………..……….............................…… iv ABSTRAK …………………………………………..……............................… vii ABSTRACT ……………………………………………..........................……. viii DAFTAR ISI ………………………………………………...........……………. ix BAB I PENDAHULUAN...................................................................................1 A. Latar Belakang Masalah...........................................................................1 B. Perumusan Masalah...............................................................................13 C. Tujuan Penelitian...................................................................................14 D. Kegunaan Penelitian..................................................................................14 BAB II TINJAUAN PUSTAKA.......................................................................16 A. Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Corporate Social Responsibilty).....16 1. Pengertian, Konsep dan Prinsip Tanggung Jawab Sosial Perusahaan.16 2. Pengaturan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan di Indonesia.............36 B. Badan Usaha Milik Negara (BUMN)........................................................42 ix 1. Pengertian, Pengaturan dan Peranan Badan Usaha Milik Negara (BUMN)...............................................................................................42 2. Jenis-Jenis Badan Usaha Milik Negara (BUMN)................................56 3. PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk..........................................69 C. Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan (PKBL)...............................................................................71 1. Sejarah dan Dasar Hukum Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dan Bina Lingkungan..................................................................71 2. Tujuan dan Sistem Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan..........................................................76 BAB III METODE PENELITIAN....................................................................86 A. Metode Pendekatan................................................................................86 B. Spesifikasi Penelitian.............................................................................87 C. Lokasi Penelitian...................................................................................88 D. Sumber Data...........................................................................................88 E. Metode Pengumpulan Data....................................................................90 F. Metode Penyajian Data..........................................................................90 G. Metode Analisis Data.............................................................................91 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN....................................92 A. Hasil Penelitian......................................................................................92 B. Pembahasan.........................................................................................122 BAB V PENUTUP............................................................................................139 A. Simpulan..............................................................................................139 x B. Saran....................................................................................................141 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN xi 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang dilimpahi kekayaan alam dari Sabang sampai Merauke seperti minyak bumi, hasil produksi hutan, dan hasil produksi laut. Melimpahnya kekayaan alam yang ada di Indonesia mempengaruhi terhadap pemenuhan kebutuhan rakyat Indonesia. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) sebagai landasan kontitusi merumuskan falsafah dan landasan perekonomian negara Indonesia yang dapat dilihat pada Bab XIV UUD 1945 yang berjudul “Kesejahteraan Sosial”, khususnya Pasal 33 UUD 1954. Adanya Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, menunjukan penegasan legalitas untuk menjamin kesejahteraan rakyat Indonesia. Terlebih lagi dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 pada Alinea ke-empat yang berbunyi “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa....”. Bunyi Alinea ke-empat Pembukaan UUD 1945 Indonesia menyatakan tujuan dibentuknya negara Indonesia. Dilihat dari bunyi Pasal 33 UUD 1945 terkandung makna dari pokok pikiran Alinea ke-empat terutama pada Ayat (2) dan (3) secara 2 jelas menerangkan bahwa cabang-cabang produksi penting yang menguasai hajat hidup orang banyak serta bumi, air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara, dan digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Terhadap makna tersirat dalam Pasal 33 UUD 1945, maka secara jelas Indonesia menyatakan dirinya sebagai negara kesejahteraan (welfare state), yang mana kesejahteraan rakyat merupakan tujuan utama dari pelaksanaan kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam melaksanakan perannya sebagai negara kesejahteraan (welfare state), sebuah negara haruslah memiliki perangkat untuk mewujudkan cita-citanya yaitu kesejahteraan rakyatnya. Di Indonesia, salah satu perangkat untuk mewujudkan tujuan tersebut adalah Badan Usaha Milik Negara. Bermula pada tahun 1960 dengan dikeluarkannya kebijakan Pemerintah untuk mendirikan sejumlah perusahaan negara guna mengambil alih perusahaan-perusahaan bekas Belanda pasca Kemerdekaan Indonesia. Pada masa itu Indonesia mengalami hambatan karena belum memiliki sumber daya manusia yang cukup memadai untuk menjalankan perusahaan berskala besar secara efisien dan produktif. Perusahaan negara diatur dengan berbagai peratutan perundang-undangan seperti Undang-Undang Perusahaan Negara (Indonesiche Bedrijven Wet/IBW), UndangUndang Perbendaharaan Negara (Indonesische Comptabliteits Wet/ICW), dan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (Wetboek van Kophandel/WvK).1 Pengaturan perusahaan negara dengan berbagai ketentuan tersebut pada akhirnya 1 Parluhutan Sagala, Penyebaran Kepemilikan Saham Pemerintah Pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk menciptakan Perusahaan yang efektif dan efisien, Disertasi, (Medan: Sekolah Pascasarjana, 2009), Hlm. 44. 3 menimbulkan kesulitan di bidang administrasi dan pengawasan oleh pemerintah. Dalam rangka melakukan re-orginasasi alat-alat produksi dan distribusi yang sesuai dengan Pasal 33 UUD 1945, maka pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 19 Tahun 1960. Dikeluarkannya Perpu ini membuat sebuah keseragaman tentang perusahaan negara adalah semua perusahaan dalam bentuk apapun yang modalnya untuk seluruhnya merupakan kekayaan Negara Republik Indonesia, kecuali ditentukan lain dengan atau berdasarkan Undang-Undang. Pada tahun 1969, Pemerintah mengeluarkan Perpu Nomor 9 Tahun 1969 yang kemudian menjadi Undang-Undang Nomor 9 Prp Tahun 1969 tentang Bentuk-Bentuk Usaha Negara yang mengurangi jumlah BUMN dari 822 menjadi 184 perusahaan. Pada UU No. 9 Prp Tahun 1969 ini, BUMN dikelompokan menjadi tiga bentuk yaitu Perjan, Perum dan Persero. Pasca Reformasi, pengelolaan BUMN diatur dalam ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1999 mengenai: (1) penataan BUMN secara efisien, transparan dan profesional; (2) penyehatan BUMN yang berkaitan dengan kepentingan umum; dan (3) mendorong BUMN yang tidak berkaitan dengan kepentingan umum untuk melakukan privatisasi di pasar modal. Untuk melaksanakan ketetapan MPR tersebut, diterbitkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara yang selanjutnya dalam Skripsi dengan UU BUMN. Dalam UU BUMN, BUMN dibagi menjadi dua jenis, yaitu: 1. Perusahaan Perseroan, yang selanjutnya disebut Persero, adalah BUMN yang berbentuk Perseroan Terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruhnya atau paling sedikit 51 % 4 (Lima Puluh Satu Persen) sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia yang tujuan utamanya mengejar keutungan. 2. Perusahaan Umum, yang selanjutnya disebut Perum adalah BUMN yang seluru modalnya dimiliki negara dan tidak terbagi atas saham, yang bertujuan untuk kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/ atau jasa yang bernutu tinggi dan sekaligus mengejar keuntungan berdasarkan prinsip pengeloaan perusahaan. Kehadiran Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menyatakan Indonesia turut serta sebagai salah satu pelaku ekonomi di Indonesia. Berdasarkan hal tersebut, kinerja BUMN haruslah profesional dalam pengelolaannya sama halnya dengan perusahaan-perusahaan lain yang non-BUMN. Sampai pada era reformasi, peran BUMN masih menjadi isu besar. Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh Menteri BUMN Dahlan Iskan dalam rencana pembentukan PT. Perusahaan Pengelola Aset (PT. PPA) bahwa “BUMN yang berjumlah 141 dengan penguasaan aset-aset yang menembus Rp. 2.500.000.000.000.000,- (dua ribu lima ratus triliun) kinerjanya menjadi sorotan”.2 Melihat jumlah aset yang dikuasai BUMN, maka bukanlah perkara mudah untuk mengemban amanat dari Pasal 33 Ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang tidak dapat dilepaskan dari tujuan berdirinya BUMN yang menyatakan “Cabang-Cabang produksi yang penting bagi Negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara”. Secara kasat mata, pelaksana dari Pasal 33 terutama Ayat (2) tersebut adalah BUMN sebagai wakil negara dalam melaksanakan tugasnya menjadi pelaku ekonomi di Indonesia yang bertujuan mensejahterakan rakyat Indonesia dengan menguasai 2 www.tempo.co/read/news/2011/10/31/090364183/Aset-BUMN-Nganggur-Dialihkan, diakses pada 20 November 2012 5 dan mengelola cabang-cabang produksi penting bagi negara dan hajat hidup orang banyak. Perkembangan kehidupan yang terjadi di zaman modern dan beragam kebutuhan manusia yang menuntut untuk dipenuhi, maka makin banyak pula pelaku ekonomi yang mengembangkan kegiatan usaha mereka baik di sektor pemerintahan dan sektor swasta. Keberadaan perusahaan bukan bersifat independen terhadap lingkungan dan masyarakat, melainkan memiliki ketergantungan dan membutuhkan lingkungan masyarakat yang lebih besar. Merujuk pada Nor Hadi, Perusahaan adalah pihak yang memperoleh keuntungan besar dalam pemanfaatan sumberdaya tersebut sementara masyarakat adalah pihak yang yang justru menanggung akibat negatif (negative externalities) baik yang bersifat langsung dan tidak langsung.3 Serupa dengan yang dikatakan oleh Nor Hadi, Crowther David mengemukakan pengaruh perusahaan terhadap lingkungan masyarakat dapat menimbulkan berbagai persoalan sosial dan lingkungan, seperti: 1. 2. 3. 4. 5. 3 Pemanfaatan sumber daya alam sebagai bagian dari proses produksinya; Pengaruh persaingan antar organisasi di pasar yang sama; Memperkaya komunitas lokal melalui penciptaan kesempatan kerja; Transformasi bentuk alam karena ekstraksi bahan baku atau penyimpanan limbah produk; Distribusi kekayaan yang diciptakan dalam perusahaan kepada pemilik (melalui dividen) dan pekerja bahwa perusahaan (melalui upah) dan akibatnya pada kesejahteraan individu; dan Nor Hadi, Corporate Social Responsibility, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2011, Hlm 35. 6 6. Akhir-akhir ini perhatian terbesar terhadap iklim dan cara emisi gas rumah kaca dalam memperburuk ini.4 Didasarkan pada pemikiran Nor Hadi dan Crowther David, perusahaan harus memberikan nilai timbal balik kepada para pemangku kepentingan atau stakeholder dan melakukan tindakan tanggung jawab sosial perusahaan yang menjadi bagian tidak terpisahkan dalam operasionalnya. Melihat fakta di lapangan bahwa sumber daya alam semakin tergerus oleh perilaku para pelaku ekonomi untuk memenuhi kebutuhan konsumen, mulailah diperkenalkan konsep Tanggung Jawab Sosial atau Corporate Social Responsibility (CSR) pada tahun 1953 dengan diterbitkan buku yang bertajuk “Social Responsibilities of the Businessman” karya Howard R. Bowen yang kemudian dikenal dengan Bapak CSR. Tanggung Jawab Sosial Perusahaan atau Corporate Social Responsibility yang selanjutnya dalam penelitian ini disebut CSR. CSR merupakan isu sosial yang ramai dibicarakan di kalangan pelaku bisnis dan perusahaan. CSR sendiri mulai ramai diperbincangkan pada tahun 1970 ketika terbitnya buku Cannibals With Forks: The Triple Bottom Line in 21st Century Business (1998) 5, karya John Elkington. Buku Cannibals With Forks: The Triple Bottom Line in 21st Century Business (1998) mengembangkan tiga komponen penting pembangunan berkelanjutan (sustainable development), yakni pertumbuhan ekonomi (economic growth), perlindungan lingkungan (environmental protection), dan persamaan sosial (social equity) yang digagas The World Commission on Environment and Development (WCED) dalam Brundtland Report (1987). Elkington mengemas CSR ke dalam 4 David Crowther, Corporate Social Responsibility, Guler Aras & Ventus Publishing Aps, 2008, Hlm 13. 5 Nor Hadi, Op. Cit, Hlm 56. 7 tiga fokus: 3P, singkatan dari profit, planet dan people, dimana perusahaan yang baik tidak hanya memburu keuntungan ekonomi belaka (profit), melainkan memiliki kepedulian terhadap kelestarian lingkungan (planet) dan kesejahteraan masyarakat (people). Corporate Social Responsibility (CSR) dalam konsep yang luas mencakup kepatuhan perusahaan kepada Hak Azasi Manusia, perburuhan, perlindungan konsumen, dan lingkungan hidup. Dalam pengertian yang sempit yaitu pembangunan kesejahteraan masyarakat sekitar perusahaan berada.6 menurut Lord Holme dan Richard Watts (2006) dalam Nor Hadi mendefinisikan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan adalah komitmen berkelanjutan oleh bisnis untuk berperilaku etis dan berkontribusi terhadap pembangunan ekonomi sekaligus meningkatkan kesetaraan kehidupan tenaga kerja dan keluarganya serta masyarakat setempat dan masyarakat pada umumnya.7 Kendati demikian, wacana tanggung jawab sosial perusahaan masih diposisikan secara marginal dan cenderung memiliki apresiasi yang kurang tepat, sehingga konteks dari tanggung jawab sosial sering kali disepelekan. Seiring dengan semangat dunia usaha untuk mengimplementasikan program CSR yang semakin meluas, maka pemerintah beserta segenap jajaran sebaiknya berusaha untuk memahami konsep CSR agar ada titik kesepahaman dengan dunia usaha. Jikalau tidak mencapai titik kesepahaman tersebut, antara kebijakan pemerintah dan kebijakan dunia usaha akan terjadi tabrakan kepentingan dan pengimplementasian CSR tidak akan maksimal. 6 Rajaguguk Erman, “Konsep dan Perkembangan Pemikiran Tentang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan”, http://journal.uii.ac.id, Hlm 10, diakses pada 30 Oktober 2012. 7 Nor Hadi, Op. Cit, Hlm 46. 8 Ada lima peraturan di Indonesia yang mewajibkan perusahaan tertentu untuk menjalankan program tanggung jawab sosial perusahaan atau CSR, yaitu: (1) Keputusan Menteri BUMN Tentang Program Kemitraan Bina Lingkungan (PKBL), (2) Undang-Undang Perseroan Terbatas Nomor 40 Tahun 2007 (yang selanjutnya disebut dengan UUPT), (3) Undang-Undang Penanaman Modal Nomor 25 Tahun 2007 (UUPM), dan (4) Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi Nomor 22 Tahun 2001, dan (5) Guidance ISO 26000. Pada Bab V UUPT, Pasal 74 yang berjudul “Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan”, mengatur tentang tanggung jawab sosial perusahaan. Pada Pasal 74 tersebut hanya mengatur tanggung jawab sosial perusahaan yang akibat dari kegiatan usahanya berdampak langsung terhadap lingkungan atau Perseroan yang kegiatan usahanya mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam serta Perseroan yang tidak mengelola dan tidak memanfaatkan sumber daya alam, tetapi kegiatan usahanya berdampak pada fungsi kemampuan sumber daya alam. Melihat isi Pasal 74 UU PT tersebut dapat diketahui bahwa pada Pasal 74 tidak mengatur tanggung jawab sosial perusahaan yang tidak bersinggungan dengan sumber daya alam. Diberlakukannya UUPT membuat konsep tanggung jawab sosial perusahaan mulai disinggung dan ramai dibicarakan di Indonesia. Dalam UndangUndang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal pada Bab IX yang berjudul “Hak, Kewajiban, dan Tanggung Jawab Penanam Modal”, Pasal 15 huruf b yang menyebutkan setiap penanam modal berkewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan. Dimasukannya instruksi melaksanakan Corporate Social Responsibility berimplikasi kepada pelaku usaha 9 yang disebutkan wajib melaksanakan CSR, tidak hanya diwajibkan pada pelaku usaha swasta saja tetapi kepada BUMN walau pun kedua Undang-Undang tersebut tidak menyebutkan secara eksplisit CSR harus dilakukan oleh BUMN, akan tetapi pada Pasal 74 menyebutkan bahwa Perseroan wajib melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan yang mana salah satu bentuk BUMN adalah Perseroan Terbatas. Maksud dan tujuan pendirian BUMN sebagaimana tercantum pada Pasal 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara adalah memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian nasional pada umumnya dan penerimaan negara pada khususnya, mengejar keuntungan, menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan memadai bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak, menjadi perintis kegiatan-kegiatan usaha yang belum dapat dilaksanakan oleh sektor swasta dan koperasi, turut aktif memberikan bimbingan dan bantuan kepada pengusaha golongan ekonomi lemah, koperasi, dan masyarakat. Tujuan dan maksud didirikannya BUMN sangatlah mulia dan patut mendapatkan porsi tempat besar yang sangat strategis dalam sistem perekonomian di Indonesia, terlebih lagi BUMN juga merupakan salah satu sumber penerimaan negara yang signifikan dalam bentuk berbagai jenis pajak, deviden dan hasil privatisasi.8 Undang-Undang tersebut secara eksplisit dan implisit memberikan 8 Yusuf Wibisono, Membedah Konsep & Aplikasi Corporate Social Responsibility (CSR),Gresik, Fascho Publishing, 2007, hlm. 81. 10 mandat dan arahan bagi BUMN untuk tidak melihat orientasi dari perspektif rasional ekonomi (economic rational) semata.9 Pada umumnya orientasi perusahaan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan bagi para pemilik atau shareholder dan kreditur, merujuk pada Noor Hadi batasan tersebut sesungguhnya merupakan cara pandang lama (tradisional), yang karena perjalanan waktu dan pengalaman sejarah sudah tidak relevan lagi dan sudah saatnya menuju pada orientasi pemangku kepentingan atau stakeholder orientation. Orientasi perusahaan ditujukan tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan dan kesejahteraan shareholder, namun upaya mencapai peningkatan dan perkembangan perusahaan juga didudukkan dalam kerangka keselarasan, keserasian dan keseimbangan lingkungan.10 CSR tidak hanya terbatas pada konsep pemberian donor saja, tetapi konsepnya sangat luas dan tidak bersifat statis dan pasif serta tidak hanya dikeluarkan dari perusahaan, akan tetapi hak dan kewajiban yang dimiliki bersama antara stakeholders. Konsep CSR melibatkan tanggung jawab kemitraan antara pemerintah, lembaga sumberdaya komunitas, juga komunitas setempat. Kemitraaan ini merupakan tanggung jawab bersama secara sosial antara stakeholders. Konsep kedermawanan perusahaan atau corporate philantrophy dalam tanggung jawab sosial tidak lagi memadai, karena konsep tersebut tidak 9 Ibid. Hlm 25. Nor Hadi, Op. Cit, Hlm 40. 10 11 melibatkan kemitraan tanggung jawab perusahaan secara sosial dengan stakeholder lainnya.11 Pasal 88 Ayat (1) UU No 19 Tahun 2003 tentang BUMN menyatakan bahwa BUMN dapat menyisihkan sebagian laba bersihnya untuk keperluan pembinaan usaha kecil dan koperasi serta pembinaan masyarakat sekitar BUMN. Kelanjutan dari UU BUMN khususnya menyangkut Pasal 2 dan Pasal 88, diterbitkan Keputusan Menteri Negara BUMN (Kepmen BUMN) No. Kep236/MBU/2003 tentang Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan, yang selanjutnya dilakukan penyempurnaan dengan Peraturan Menteri Negara BUMN (Permen BUMN) No. Per-05/MBU/2007 tentang Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan. Berdasarkan Peraturan Menteri tersebut, bentuk kepedulian BUMN dijabarkan dalam dua program, yakni : Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan. Program Kemitraan adalah program untuk meningkatkan kemampuan usaha kecil agar menjadi tangguh dan mandiri melalui pemanfaatan dana dari bagian laba BUMN, sedangkan yang dimaksud dengan Program Bina Lingkungan adalah program pemberdayaan kondisi sosial masyarakat oleh BUMN melalui pemanfaatan dana dari bagian laba BUMN. 12 11 Bambang Rudito dan Melia Famiola, Etika Bisnis dan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan di Indonesia, Bandung: Rekayasa Sains, 2007, Hlm 207. 12 ASDEP Pembinaan Kemitraaan dan Bina Lingkungan, Kebijakan Kementerian BUMN Tentang Ptogram CSR “Rakor Penguatan Kerjasama Pengelolaan Peluang Kerja dan Peluang Usaha”, Buku Panduan, Hlm 5, http://www.infokursus.net/download/1511101152Paparan_BUMN.pdf, diakses tanggal 09 Oktober 2012. 12 BUMN tidak hanya bertujuan untuk mencari keuntungan (profit), tetapi juga memiliki tanggung jawab terhadap karyawannya dalam memberikan bimbingan aktif dan pengusaha yang tergolong lemah, koperasi dan masyarakat serta dalam pelestarian lingkungan. Dilihat dari ruh serta bunyi Pasal 88 UU BUMN serupa dengan jiwa tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) yang telah disebutkan sebelumnya. Sebagaimana yang peneliti kutip dari Rahmatullah dan Trianita Kurniati menyatakan bahwa Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL) merupakan program yang identik dengan tanggung jawab sosial perusahaan atau dengan kata lain PKBL merupakan salah satu bentuk tanggung jawab sosial perusahaan.13 Salah satu bentuk tanggung jawab sosial perusahaan BUMN ini dilakukan melalui Program Kemitraan dan Bina Lingkungan yang diatur dalam Peraturan Menteri Negara BUMN (Permen.BUMN) No. Per05/MBU/2007 tentang Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan yang mengatur mulai dari besaran dana hingga cara pelaksanaan Corporate Social Responsibility (CSR). Pengaturan dari besaran dana dan cara pelaksanaan CSR mengacu kepada Peraturan Menteri Negara BUMN Nomor Per-05/MBU/2007 tentang Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan. Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya Peraturan Menteri Negara BUMN tersebut merupakan tindak lanjut dari UU BUMN terkhusus Pasal 2 dan Pasal 88. Makna dari Pasal 88 tersebut adalah BUMN turut serta mengembangkan dan membina UKM dan masyarakat sekitar BUMN, yang semakna dengan tujuan dari tanggung 13 Rahmatullah dan Trianita Kurniati, Panduan Praktis Pengelolaan Corporate Social Responsibility, Jogjakarta: Samudra Biru, 2011, Hlm 1. 13 jawab sosial perusahan (Corporate Social Responsibility), sehingga BUMN memiliki tanggung jawab sosial perusahaan yang dapat dituntut sama seperti perusahan-perusahaan lain yang ada di Indonesia. Serupa dengan Pasal 88, Menteri BUMN dalam pidato sambutan Menteri Negara BUMN pada Upacara Peringatan Hari Ulang Tahun Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia Ke66 pada tanggal 17 Agustus 2011 mengatakan: Disinilah peran BUMN melalui berbagai instrumen yang dimiliki menjadi sangat sentral dan penting. Dengan laba bersih yang kini telah melampaui Rp 100 triliun, BUMN diharapkan menyisihkan sebagian keuntungan tersebut untuk memacu berbagai program yang pada intinya mendorong kekuatan masyarakat kecil dan menengah untuk tumbuh berkembang. Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL) dalam hal ini telah dan terus dipacu untuk menjadi penopang pengembangan masyarakat secara luas diikuti dengan berbagai program lain yang baru-baru ini dicanangkan, seperti Gerakan Peningkatan Produksi Pangan berbasis Korporasi (GP3K).14 Salah satu BUMN yang sudah berdiri lama sejak tahun 1946 dan sepatutnya wajib melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan adalah PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Cabang Purwokerto. Berkaitan dengan apa yang telah diuraikan di atas, maka peneliti tertarik untuk meneliti penerapan Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dan Bina Lingkungan dan peneliti menuangkannya dalam bentuk skripsi yang berjudul “Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dan Bina Lingkungan sebagai Tanggung Jawab Sosial Perusahaan di PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Cabang Purwokerto” 14 Mustafa Abubakar, Pidato: “Sambutan Menteri Negara BUMN Pada Upacara Peringatan Hari Ulang Tahun Proklamasi Kemerdekan Republik Indonesia Ke -66”, Kementerian Negara BUMN, (Jakarta, 17 Agustus 2011), Hlm 4. 14 B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan di atas maka dapat dirumuskan permasalahan, yaitu bagaimana penerapan Peraturan Menteri Negara BUMN Nomor PER-05/MBU/2007 tentang Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan sebagai bentuk tanggung jawab sosial perusahaan di PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Cabang Purwokerto? C. Tujuan Penelitian Sesuai dengan permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini, maka tujuan penelitian ini adalah memberikan gambaran mengenai penerapan Peraturan Menteri Negara BUMN Nomor PER-05/MBU/2007 tentang Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan sebagai bentuk tanggung jawab sosial perusahaan di PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Cabang Purwokerto. D. Kegunaan Penelitian a. Secara Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah kepustakaan ilmu hukum khususnya Hukum Perusahaan yaitu mengenai Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan sebagai bentuk tanggung jawab sosial perusahaan pada Badan Usaha Milik Negara, sehingga 15 hukum dapat selalu selaras dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. b. Secara Praktis Hasil dari penelitian ini diharapkan berguna untuk memberikan informasi kepada khalayak umum tentang penerapan Peraturan Menteri Negara BUMN Nomor PER-05/MBU/2007 tentang Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan sebagai bentuk tanggung jawab sosial perusahaan di PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Cabang Purwokerto. Penelitian ini juga diharapkan bisa menjadi sumbangan pemikiran untuk dunia usaha dalam memahami ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan tanggung jawab sosial perusahaan terutama Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan, serta dapat dijadikan sebagai masukan dan menjadi pertimbangan kepada BUMN dalam melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan. 16 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. 1. Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Corporate Social Responsibility) Pengertian, Konsep dan Prinsip Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Era globalisasi sering kali menjadi alasan untuk menjawab perubahan yang terjadi di sekitar kita tanpa menyadari efek yang timbul dari globalisasi itu sendiri. Globalisasi sendiri berarti universal, di mana segala sesuatu nanti akan saling tergantung satu sama lain dan saling berintegrasi dengan menyingkirkan batas-batas geografis, ekonomi, politik, lingkungan dan budaya masyarakat.15 Dalam dinamika masyarakat sendiri banyak fenomena yang muncul menjadi isu sosial, salah satunya adalah Tanggung Jawab Sosial Perusahaan atau Corporate Social Responsibility (CSR). Tanggung jawab sosial atau social responsibiliy muncul dan berkembang sejalan dengan interelasi antara perusahaan dan masyarakat, yang sangat ditentukan oleh dampak yang timbul dari dari perkembangan dan peradaban masyarakat. Batasan konsep social responsibility mengalami perkembangan dalam keberadaannya. Social responsibility muncul dari tuntutan stakeholders, sebagai akibat bagian dari hak yang dimiliki terganggu oleh eksistensi perusahaan. Untuk memahami dengan benar tentang tanggung jawab sosial 15 Roland Robertson, Globalization Social Theory and Global Culture, London: Sage Publication, 1992, Hlm 8. 17 perusahaan, maka perlu diketahui terlebih dahulu mengenai perkembangan CSR yang dibagi menjadi tiga periode, yaitu: a. Perkembangan awal tahun 1950 sampai dengan Tahun 1960 Pada masa ini social responsibility masih dipahami sebagai derma perusahaan terhadap masyarakat sekitarnya yang lebih didasarkan pada aktivitas yang bersifat kariatif. Gema tanggung jawab sosial perusahaan dimulai sejak tahun 1960-an ketika secara global masyarakat dunia baru pulih dari pengaruh Perang Dunia I dan II dan memulai menapaki jalan menuju kesejahteraan. Pada tahun 1952 diterbitkan buku yang berjudul “Social Responsibility of The Business” karya Howard R Bowen yang kemudian dikenal sebagai Bapak CSR. Dalam buku itu terdapat dua karakter social responsibility sebagaimana yang dikutip dari Solihin Ismail dalam Nor Hadi, yaitu: (1) Bentuk social responsibility yang belum kita kenal seperti sekarang ini. Korporasi sekarang ini sudah sedemikian maju dengan berbagai implikasi yang mengitari dan dukungan perkembangan ilmu pengetahuan dan transformasi yang sudah lintas batas; (2) Social responsibility yang masih didominasi dengan kegiatan kariatif jangka pendek dan merupakan sikap murah hati kaum pemodal (perusahaan). 16 Dalam bukunya Bowen memberikan rumusan social responsibility bahwa “adanya itikad baik para pelaku bisnis untuk mengenal kewajiban dan dalam menetapkan tujuan memperhatikan keseimbangan dengan nilai-nilai dalam masyarakat.” (it refer to the 16 Nor Hadi, Op.Cit, Hlm 49. 18 obligation of businessman to pursue those policies, to make those decision, or to follow those lines of action which are desirable in terms of objective and values of our society). 17 Serupa dengan yang dikutip oleh Edi Syahputra, CSR sebagaimana yang dimaksudkan Bowen dapat dijelaskan sebagai berikut: CSR yang dimaksudkan Bowen mengacu kewajiban pelaku bisnis untuk membuat dan melaksanakan kebijakan, keputusan, dan berbagai tindakan yang harus mengikuti tujuan dan nilai-nilai dalam suatu masyarakat. Singkatnya, konsep CSR mengandung makna, perusahaan atau pelaku bisnis umumnya memiliki tanggung jawab yang meliputi tanggung jawab legal, ekonomi, etis, dan lingkungan.Lebih khusus lagi, CSR menekankan aspek etis dan sosial dari perilaku korporasi, seperti etika bisnis, kepatuhan pada hukum, pencegahan penyalahgunaan kekuasaan dan pencaplokan hak milik masyarakat, praktek tenaga kerja yang manusiawi, hak asasi manusia, keamanan dan kesehatan, perlindungan konsumen, sumbangan sosial, standar-standar pelimpahan kerja dan barang, serta operasi antar negara.18 Sebagaimana dikutip dari Solihin Ismail dalam Nor Hadi, batasan luas dinyatakan oleh Keith Davis yang dituangkan dalam “Irone Law responsibility” bahwa “tanggung jawab sosial perlu diseimbangkan dengan kekuatan sosial mereka...sehingga penghindaran terhadap tanggung jawab sosial berangsur-angsur mengarah kepada pengikisan kekuatan sosial.” (social responsibility of businessman need 17 Ibid, Hlm 50. Edi Syahputra, 2008, “Implementasi Corporate Social Responsibility (CSR) Terhadap Masyarakat Lingkungan PTPN IV (Studi Pada Unit Kebun Dolok Ilir Kabupaten Simalungun)”, Tesis, Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, Hlm 15, www.repository.usu.ac.id, diakses tanggal 13 November 2012. 18 19 to be commensurate with their social power ...then the avoidance of social responsibility lead to gradual erosion of social power). 19 Tanggung jawab sosial dapat muncul dan berkembang sejalan dengan perkembangan daya nalar masyarakat yang mengitari, dan peran kekuasaan sosial yang ada (social agent effectiveness), sehingga peran tanggung jawab sosial perusahaan berkontribusi terhadap penciptaan legitimasi masyarakat. Tanggung jawab sosial perusahaan pada saat itu juga diramaikan dengan diterbitkan buku legendaris pada tahun 1962 yang berjudul “Silent Spring” oleh Rachel Carson, seorang ibu rumah tangga yang pemikirannya dilatar belakangi oleh betapa mematikannya pestisida bagi lingkungan dan kehidupan.20 Paparan yang disampaikan dalam buku tersebut menggugah kesadaran banyak pihak bahwa tingkah laku korporasi harus diluruskan sebelum menuju kehancuran bersama.21 Karakter tanggung jawab sosial perusahaan era tahun 1960-an dapat seperti itu, sesungguhnya merupakan pemicu dari beberapa hal, antara lain: (1) Tanggung jawab sosial (sosial responsibility) muncul sebagai respon kesadaran etis dalam berbisnis (business ethics) secara personal pemilik modal (juragan), sehingga tanggunng jawab sosial merupakan bentuk sikap derma yang ditujukan pada masyarakat sekitar. 19 Nor Hadi, Op. Cit, Hlm 50-51. Loc. Cit. 21 AB Susanto, A Strategic Management Approach CSR, Jakarta: The Jakarta Consulting Group, 2007, Hlm21. 20 20 (2) Wujud tanggung jawab sosial (social responsibility) bersifat kariatif dan insidental, yang bergantung pada kondisi kesadaran dan keiginan pemodal. Bentuk apa, kapan, dan kepada siapa bantuan diberikan sangat bergantung pada kemauan pengusaha. (3) Tipe kontak pelaksanaan yang mendasari tanggung jawab sosial bersifat prinisp perwalian (stewarship principle). Konsep tersebut mendudukan pelaku bisnis sebagai wali (steward) masyarakat, sehingga perlu mempertimbangkan kepentingan para pemangku kepentingan. 22 b. Perkembangan era tahun 1970 sampai dengan Tahun 1980 Dimulai pada tahun 1966 saat pemikiran tentang korporasi yang lebih manusiawi muncul dalam tulisan “The Future Capatilsm” yang ditulis oleh Lester Throuw bahwa kapitalis juga memasukan unsur sosial dan lingkungan (social perspective) perusahaan di mata masyarakat.23 basis sustainable Throuw dalam bukunya sudah memprediksikan bahwa pada saatnya nanti, kapitalisme akan berjalan kencang tanpa perlawanan karena musuh utamanya yakni sosialisme dan komunisme telah lenyap. Pemikiran Throuw ini menekankan bahwa kapitalisme tidak hanya berurusan pada ekonomi semata, melainkan juga memasukkan unsur sosial dan lingkungan untuk membangun masyarakat yang kemudian disebut masyarakat berkelanjutan atau sustainable society, walau pada masanya pemikiran seperti ini sulit untuk diterapkan seperti yang ia tuliskan bahwa tidak ada kewajiban sosial dalam kapitalisme (there is no social „must‟ in 22 23 Nor Hadi, Op. Cit, Hlm 50-51. Yusuf Wibisono, Op.Cit, Hlm 90. 21 capitalism). 24 Tulisan tersebut merupakan awal dari pergeseran orientasi perusahaan ke arah persepektif pemangku kepentingan (stakesholders perspective) dan dimasuki pemikiran ke depan tentang pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Pada tahun 1970-an, banyak professor menulis buku tentang pentingnya tanggung jawab sosial perusahan disamping kegiatan mengeruk keuntungan. Salah satunya adalah buku dengan judul “Beyond the Bottom Line” karya Prof. Courtney C. Brown, orang pertama yang menerima gelar Professor of Public Policy and Business Responsibility dari Universitas Columbia.25 Kemudian terbitlah “The Limits to Growth” yang merupakan buku monumental ditulis oleh Club of Rome. Buku tersebut mengingatkan kepada masyarakat dunia bahwa Bumi memiliki keterbatasan daya dukung, karena itu eksploitasi sumber daya alam harus dilakukan secara cermat agar pembangunan dapat berkelanjutan. Turut meramaikan perkembangan CSR di era ini terbentuk Community Economic for Development (CED) pada tahun 1970-an yang merupakan gabungan kelompok perusahaan Amerika dan peneliti. Pernyataan CED dituangkan dalam “Social Responsibility of Business Corporation” tahun 1971, yaitu: sekarang adalah saatnya kontrak sosial antara masyarakat dan bisnis, yang nyatanya mengubah cara penting dan substansi. Dunia bisnis dituntut untuk melebarkan tanggung jawabnya kepada masyarakat dari sebelumnya dan melayani kebutuhan manusia lebih baik (Today it is that the terms of 24 25 AB Susanto, Op. Cit, Hlm 21. Loc. Cit. 22 social contract between society and business are, in fact, changing in substansial and important ways. Business is being ask to asume broader responsibilities to society than ever before and to serve a wider range of human values. Business enterprise, in effect, are being asked to contribute more to the quality of American life the just supplying quantities of goods and service) 26 Kepedulian terhadap lingkungan dan kegiatan kedermaan perusahaan terus berkembang dalam keemasan kedermawanan atau philanthtropy maupun pembangunan masyarakat atau Community Development (CD). Pada dasawarsa tersebut, terjadi perpindahan penekanan tanggung jawab sosial dari sektor-sektor sosial dan makin banyak perusahaan yang menggeser konsep tanggung jawab sosial dari bisnis philanthropy ke arah yang lebih produktif lewat community development. Intinya, yang tadinya kental dengan kegiatan yang bersifat kariatif bergeser kepada pengembangan kerja sama, memberikan keterampilan, pembukaan akses pasar, hubungan intiplasma, dan sejenisnya.27 Dapat ditangkap bahwa pergeseran gejala kesadaran para pelaku bisnis dalam menangkap fenomena empiris lapangan merupakan bagian yang tak terpisahkan dengan operasional usaha yang dipraktikan. Jika pada era sebelumnya, praktik CSR lebih dilihat sebagai bentuk derma perusahaan terhadap masyarakat dan lingkungan sehingga aktivitasnya terbungkus dalam kegitan philanthropy, era tahun 1970-an bergeser menjadi lebih komprehensif dan manusiawi 26 27 Nor Hadi, Op. Cit, Hlm 53. Ibid, Hlm 54. 23 dan lebih bersifat community development (CD). Secara garis besar, karakteristik dari praktik CSR era 1970-an, antara lain: (1)Dimulainya berbagai kegiatan yang berorientasi pada pembedaan masyarakat; (2)Masyarakat dan Lingkungan sebagai sentral pertimbangan munculnya kegiatan; (3)Berorientasi pada kegiatan-kegiatan yang bersifat intiplasma; dan (4)Kegiatan bukan hanya ditujukan derma atau kebajikan juragan.28 c. Perkembangan era Tahun 1990-an sampai dengan sekarang Pada tahun 1990-an adalah periode praktik social responsibility yang diwarnai dengan beragam pendekatan, seperti: pendekatan integral, pendekatan stakeholder maupun pendekatan civil society.29 Ragam pendekatan tersebut tersebut telah mempengaruhi praktik community development yang lebih menusiawi dalam bentuk peran pemberdayaan. Community development akhirnya menjadi suatu aktivitas yang lintas sektor karena mencakup baik aktivitas produktif maupun sosial dengan lintas pelaku sebagai konsekuensi keterlibatan berbagai pihak. Pada tahun 1987 The World Commission on Environment and Development yang lebih dikenal dengan The Brundtland Commission dibentuk untuk menanggapi keprihatinan yang semakin meningkat dari para pemimpin dunia, menyangkut peningkatan kerusakan lingkungan hidup dan sumber daya alam yang semakin cepat 28 29 Ibid, Hlm 55. Yusuf Wibisono, Op. Cit, Hlm 91. 24 melaporkan lewat publikasi Oxford University Press berjudul “Our Common Future”. Hal penting dalam laporan tersebut adalah dikemukakan konsep pembangunan berkelanjutan, yaitu: “pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang memenuhi kebutuhan sekarang dengan mempertimbangkan kemampuan generasi masa depan dalam memenuhi kebutuhannya” (Sustainable development is development that meets the needs of the present without compromising the ability of future generation to meet their own needs). 30 Laporan tersebut secara konseptual dan strategi dituangkan dalam aplikasi sustainbility development. Konsep sustainbility development ini mengandung aspek penting dalam kerangka menjaga keseimbangan, baik dilihat dari isi maupun horizon waktu yang ditunjuk dengan kaidah dan aplikasi sustainibility development yang memasukan dimensi pembangunan saat ini dengan tidak mengorbankan kemampuan dan kebutuhan generasi muda di masa datang. 31 Pada Tahun 1992 kabar menggembirakan datang dari KTT Bumi di Rio de Jenerio yang menegaskan bahwa konsep pembangunan berkelanjutan menjadi hal yang harus diperhatikan, tidak saja oleh negara, terlebih lagi oleh kalangan korporasi yang diprediksi akan melesatkan kapitalisme di masa mendatang. Semakin berkembangnya konsep CSR, pada tahun 1994 James Collins dan Jerry Poras dalam 30 The World Comission on Environment and Development, “Our Common Future”, Report of The World Comission on Environment and Development, 1987, Hlm 15. 31 Loc.Cit. 25 bukunya “Built to Last: Successful Habits of Visionary Companies” menyampaikan bukti bahwa perusahaan yang terus hidup adalah tidak semata meraup keuntungan dan menghasilkan uang saja akan tetapi perusahaan yang sangat peduli dengan lingkungan sosial dan turut andil dalam menjaga keberlangsungan lingkungan hidup. John Elkington menyampaikan hal yang senada pada tahun 1997 dengan menulis buku berjudul “Canibal With The Forks, The Triple Bottom Line of Twentieth Century Bussiness”, di dalamnya dikemukakan konsep The Triple Bottom Line. Konsep tersebut mengakui bahwa jika perusahaan ingin berkelanjutan (sustain), maka perlu memperhatikan 3P yaitu bukan cuma keuntungan (profit) yang diburu akan tetapi juga harus memberikan kontribusi positif kepada masyarakat (people) dan ikut aktif dalam menjaga kelestarian lingkungan (planet). Konsep ini merupakan kelanjutan dari konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development ) yang secara eksplisit telah menghubungkan antara dimensi tujuan dan tanggung jawab, baik kepada shareholders dan stakeholders.32 Agenda World Summit di Johannesburg pada tahun 2002, menekankan pentingnya tanggung jawab sosial perusahaan.33 Dari situ program CSR mulai terus berkembang dan berjalan dengan berbagai konsep dan definisi. Sampai pada tahun 2010 International of 32 Nor Hadi, Op. Cit, Hlm 56. UN ESCAP, “Johannesburg Declaration on Sustainable Development”, 4 September 2002,http://www.unescap.org/esd/environment/rio20/pages/Download/johannesburgdeclaration.pd f, diakses pada 16 Januari 2013. 33 26 Standardization for Organization (ISO) merumuskan ISO 26000 Guidance Standard on Social Responsibility. ISO 26000 ini merupakan rekomendasi dari CAPOLCO kepada ISO Council. Lahirnya ISO 26000 ini didasarkan pemahaman bahwa social responisibility sangat penting bagi keberlanjutan usaha. Pemahaman ini berasal dari dua sidang yakni Rio Earth Summit on The Environment tahun 1992 dan World Summit on Sustainable Development (WSSD) tahun 2002. Sesuai dengan nama dari ISO 26000, ISO ini bukan merupakan keharusan akan tetapi merupakan panduan bagi mereka yang ingin melakukan CSR.34 Tidak disebutkannya secara spesifik kata „corporate‟ dalam ISO 26000, maka ISO tersebut tidak dibatasi penggunaannya oleh siapa pun bagi mereka yang ingin melakukan CSR. Penggunaanya pun dapat dilakukan oleh institusi pemerintah, Organisasi bukan Pemerintah atau Non Governmental Organization (NGO) dan tentunya sektor bisnis karena setiap organisasi dapat memberikan akibat bagi lingkungan sosial maupun alam. ISO 26000 berbeda bentuknya dengan ISO lainnya seperti ISO 9001:2000 dan 14001:2004 yang menggunakan mekanisme sertifikasi, ISO 26000 hanya sekedar panduan dan standard. Paparan di atas menjadi pengantar paradigma tanggung jawab sosial perusahaan yang lebih dikenal dengan Corporate Social Responsibility (CSR). Pembagian tanggung jawab sosial sangat penting karena memegang salah satu keseimbangan eksploitasi. CSR terkadang masih diposisikan secara 34 ISO,”Global Guidance Standard on Social Responsibility”,Handbook for implementers of ISO 26000, Mei 2011, Hlm 3-4. 27 marginal dan cenderung memiliki apresiasi yang kurang tepat. Menurut penelitian Nor Hadi yang dikutip dalam Nor Hadi, paradigma yang seperti ini disebabkan oleh: (1) Masih belum jelas dan seragam batasan tanggung jawab sosial perusahaan; (2) Sikap opportunis perusahaan, terlebih mengenai CSR memerlukan biaya yang tidak sedikit dan belum tentu memiliki relevansi terhadap pencapaian tujuan yang bermotif ekonomi; (3) Kurangnya respon stakeholder, sehingga kurang menciptakan kontrol sosial (social control) meskipun masyarakat sebagai agen sosial (social agent); (4) Dukungan tata perundangan yang masih lemah; (5) Standar operasional yang kurang jelas; dan (6) Belum jelasnya ukuran evaluasi. 35 Konteks seperti itu cenderung menciptakan praktik CSR yang sebatas polesan dan kurang optimal dalam penerapanya, meskipun terdapat beberapa perusahaan yang bersungguh-sungguh dalam melakukan CSR. Perkembangan CSR tidak dapat lepas dari konsep pembangunan berkelanjutan (sustainability development). Defenisi pembangunan berkelanjutan menurut The World Commission on Environment and Development yang lebih dikenal dengan The Brundtland Comission, adalah pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan manusia saat ini tanpa mengorbankan kemampuan generasi yang akan datang dalam memenuhi kebutuhan mereka.36 Menurut The World Business Council for Sustainability Development (WBCSD), CSR adalah komitmen berkelanjutan dari para pelaku bisnis untuk berperilaku secara etis dan memberikan kontribusi bagi pembangunan 35 36 Nor Hadi, Op.Cit, Hlm 45-46. Rahmatullah dan Trianita Kurniati, Op.Cit. Hlm 3. 28 ekonomi pada saat yang sama meningkatkan kualitas hidup para pekerja dan keluarganya serta masyarakat lokal dan luas.37 Menurut World bank, CSR merupakan komitmen sektor swasta untuk mendukung terciptanya pembangunan berkelanjutan.38 Terdapat beberapa definisi CSR lainnya, baik yang dikemukakan para pakar maupun lembaga internasional sebagaimana yang dikutip dari Oliver van Heel dalam Rahmatullah dan Trianita Kurniati, yaitu: Menurut Oliver van Heel, CSR merupakan suatu pendekatan bisnis yang menciptakan nilai pemangku kepentingan dengan merangkum semua peluang kepentingan dengan merangkum semua peluang dalam mengelola semua risiko yang dihasilkan dari kegiatan pembangunan ekonomi, lingkungan dan sosial.39 Sedikit berbeda dengan Heel, makna CSR lebih luas dan lebih berorientasi kepada kewajiban pelaku bisnis seperti yang dirumuskan oleh European Comission, bahwa: CSR merupakan sebuah konsep dengan mana perusahaan mengintegrasikan perhatian terhadap sosial dan lingkungan dalam operasi bisnis mereka dan dalam interaksinya dengan para pemangku kepentingan berdasarkan prinsip kesukarelaan.40 Hampir serupa dengan rumusan yang diberikan oleh European Comission, International Finance Corporation mendefinisikan: CSR sebagai komitmen dunia bisnis untuk memberikan kontribusi terhadap pembangunan ekonomi berkelanjutan melalui kerja sama dengan karyawan, keluarga mereka,komunitas lokal dan masyarakat luas untuk meningkatkan kehidupan mereka melalui cara-cara yang baik bagi bisnis maupun pembangunan.41 37 38 39 40 41 Ibid, Hlm 4. Loc. Cit. Loc. Cit. Ibid, Hlm 5. Ibid, Hlm 6. 29 Sedangkan peraturan internasional terbaru mengenai CSR yakni International Standarization of Organization (ISO) 26000 merumuskan CSR sebagai berikut: CSR adalah tanggung jawab sebuah organisasi atas dampak dari keputusan dan kegiatan suatu organisasi bagi masyarakat dan lingkungannya, melalui perilaku transparan dan etis yang konsisten dengan pembangunan berkelanjutan dan kesejahteraan masyarakat. Memperhatikan ekspektasi dari stakeholdersnya, sejalan dengan hukum yang berlaku dan norma-norma sikap dan juga terintegerasi kepada keseluruhan organisasi.42 Paparan dan rumusan para pakar mengenai CSR dan konsepnya, peneliti menarik benang merah bahwa tanggung jawab sosial perusahaan atau CSR merupakan tanggung jawab yang dijelmakan dengan perilaku pelaku bisnis yang bertujuan mengembangkan dan meningkatkan kehidupan masyarakat lokal pada khususnya dan masyarakat internasional pada umumnya yang harus dilakukan atau kewajiban pelaku bisnis dalam kegiatan bisnisnya disertai pertanggung jawaban pelaksanaan dan bersifat sukarela tanpa pamrih dan dilakukan dengan kesadaran yang tinggi. Paparan sebelumnya telah terlihat bahwa lingkup tanggung jawab sosial terdiri dari lingkup yang sangat luas. Telah dikatakan bahwa tanggung jawab sosial tidak hanya merupakan cara meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal pada khususnya dan masyarakat pada umumnya, disamping itu perusahaan melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan bersamaan dengan mencari keuntungan bagi perusahaan dan para pemilik perusahaannya, sehingga tanggung jawab sosial mengandung interpretasi 42 Ibid, Hlm 5-6. 30 yang sangat berbeda terutama dikaitkan dengan pemangku kepentingan (stakeholders). Hal ini lah yang menyebabkan banyaknya berbagai rumusan defenisi dari CSR itu sendiri yang kemudian memicu para pakar menggali prinsip dasar dalam CSR. Menurut Philip Kotler dan Nancy Lee, inisiatif sosial perusahaan merupakan kegiatan utama yang dilakukan oleh perusahaan untuk mendukung penyebab sosial dan memenuhi komitmen tanggung jawab sosial perusahaan.43 Corporate Social Responsibility merupakan proses penting dalam pengaturan biaya yang dikeluarkan dan keuntungan kegiatan bisnis dari stakeholders baik secara internal (pekerja, stakeholders dan penanam modal) maupun eksternal (kelembagaan pengaturan umum, anggota-anggota masyarakat, kelompok masyarakat sipil dan perusahaan lain). Konsep tanggung jawab sosial perusahaan tidak hanya terbatas pada konsep pemberian donor saja, tetapi konsepnya sangat luas dan tidak bersifat statis dan pasif yang hanya dikeluarkan dari perusahaan, namun menjadi hak dan kewajiban yang dimiliki bersama stakeholders.44 Pada zaman seperti sekarang ini, pemahaman konsep CSR hanya sebagai sekedar dan alakadarnya tanpa memperhatikan keoptimalan dari hasil yang ada sangatlah salah besar dan menyalahi nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Untuk keberhasilan suatu korporat ditentukan oleh adanya 43 Philip Kotler dan Nancy Lee, Corporate Social Responsibility: Doing the most Good For Your Company and Your Cause, New Jersey: John Wiley & Sons Inc, 2005, Hlm 22. 44 Bambang Rudito Dkk, Corporate Social Resonsibility: Jawaban Bagi Model Pembangunan Indonesia Masa Kini, Jakarta: ICSD, Hlm 73. 31 perhatian terhadap lingkungan sosial sekitar yang berarti sukses komersial perusahaan-perusahaan dilihat juga dari bagaimana perusahaan mengelola tanggung jawab sosial terhadap komuniti disekitar daerah operasinya. Menurut Said dan Abidin sebagaimana dikutip dalam Ronny Irawan, model atau pola Corporate Social Responsibility yang umum diterapkan oleh perusahaan-perusahaan di Indonesia sebagai berikut: 1. Keterlibatan langsung, perusahaan menjalankan program CSR secara langsung dengan menyelenggarakan sendiri kegiatan sosial atau menyerahkan sumbangan ke masyarakat tanpa perantara. Untuk menjalankan tugas ini, perusahaan biasanya menugaskan salah satu pejabat seniornya, seperti corporate secretary atau public affair manager atau menjadi bagian dari tugas pejabat public relation. 2. Melalui yayasan atau organisasi sosial milik perusahaan, perusahaan mendirikan yayasan sendiri di bawah perusahaan atau groupnya. Model ini merupakan adopsi yang lazim dilakukan di negara maju. Disini perusahaan menyediakan dana awal, dana rutin atau dana abadi yang dapat digunakan untuk operasional yayasan. 3. Bermitra dengan pihak lain, perusahaan menyelenggarakan CSR melalui kerjasama dengan lembaga/organisasi non pemerintah, instansi pemerintah, universitas atau media massa, baik dalam mengelola dana maupun dalam melaksanakan kegiatan sosialnya. 4. Mendukung atau bergabung dalam suatu konsorium, perusahaan turut mendirikan, menjadi anggota atau mendukung suatu lembaga sosial yang didirikan untuk tujuan sosial tertentu. Pihak konsorsium yang dipercaya oleh perusahaan-perusahaan yang mendukungnya akan secara proaktif mencari kerjasama dari berbagai kalangan dan kemudian mengembangkan program yang telah disepakati. 45 Menurut Kotler dan Lee, terdapat enam alternatif program CSR yang dapat dipilih perusahaan dengan mempertimbangkan tujuan perusahaan, tipe 45 Ronny Irawan, “Corporate Social Responsibility: Tinjauan Menurut Peraturan Perpajakan di Indonesia”, The Second National Conferences UKWMS, Surabaya, 06 September 2008, Hlm 7, www.mages.andamawara.multiply.multiplycontent.com, diakses tanggal 09 Januari 2013. 32 program, keuntungan potensial yang akan diperoleh serta tahap-tahap kegiatan. Berikut enam alternatif tersebut sebagaimana yang dikutip dari Kotler dan Lee dalam Rahmatullah dan Trianita adalah: a. Cause Promotions Perusahaan yang menggunakan jenis program CSR bentuk ini menyediakan sejumlah dana sebagai bentuk kontribusi CSR atau sumebr daya lainnya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap suatu masalah sosial atau untuk mendukung pengumpulan dana, partisipasi dari masyarakat, atau dalam rangka merekrut relawan untuk mendukung masalah sosial tersebut. Aktivitas program CSR ini pada akhirnya mampu mendorong masyarakat untuk mendonasikan waktunya, uang atau sumber daya lainnya. Berbagai keuntungan potensial dapat diperoleh perusahaan dengan melaksanakan kegiatan Cause Promotions adalah memperkuat brand positioning perusahaan, memberikan peluang kepada karyawan perusahaan untuk terlibat dalam suatu kegiatan sosial yang menjadi kepedulian mereka, menciptakan kerja sama antara perusahaan dengan pihak-pihak lain serta meningkatkan citra perusahaan (corporate image). b. Cause Related Market (CRM) Perusahaan yang mengimplementasikan CSR tipe ini bekomitmen untuk menyumbangkan presentase tertentu dari penghasilannya untuk suatu kegiatan sosial berdasarkan besarnya penjualan produk. CSR pada tipe ini pertama-tama perusahaan melakukan penilaian atau assessment terhadap situasi, kemudian menetapkan tujuan, memilih target, audiens, dan pada akhirnya melakukan perhitungan terhadap rencana pemasaran, rencana anggaran, serta rencana implementasi dan evaluasi. c. Corporate Social Marketing (CSM) Dalam program CSR ini perusahaan mengembangkan dan melaksanakan kampanye untuk merubah perilaku masyarakat dengan tujuan meningkatkan kesehatan dan keselamatan publik, menjaga kelestarian lingkungan hidup, serta menigkatkan kesejahteraan masyarakat. Keuntunagn yang diperoleh perusahaan adalah meningkatkan brand positioning atau penguatan merek perusahaan di mata konsumen, mendorong peningkatan penjualan, mendorong antusiasme partner perusahaan untuk mendukung program ini, serta memberikan dampak nyata pada perubahan sosial. 33 d. Corporate Philanthropy (CP) Perusahaan dengan program CSR ini memberikan kontribusi langsung secara cuma-cuma (charity) dalam bentuk hibah tunai, sumbangan dengan sejenisnya. CP pada umumnya berkaitan dengan masalah sosial yang menjadi prioritas perhatian perusahaan, diantaranya dalam bentuk sebagai berikut: (1) menyiapkan sumbangan tunai; (2) menawarkan bantuan/sokongan; (3) memberikan beasiswa; (4) pemberian donasi produk; (5) pemberian layanan; dan (6) pemberian kontribusi perusahaan dengan jasa keahlian dan pemakaian peralatan secara cuma-cuma. e. Community Volunteering (CV) Melalui program ini mendukung serta mendorong para karyawan, pemegang rekan pedagang eceran atau franchise untuk menyisihkan waktu mereka secara sukarela guna membantu organisasi masyarakat lokal maupun masyarakat yang menjadi sasaran program. Keuntungan dengan menjalankan program ini adalah terciptanya hubungan yang tulus antara perusahaan dengan komunitas, memberikan kontribusi terhadap pencapaian tujuan perusahaan serta meningkatkan kepuasan dan motovasi karyawan. f. Socially Responsible Business Practice (Community Development) Menurut Kotler, Community Development adalah praktik bisnis di mana perusahaan melakukan investasi yang mendukung pemecahan suatau masalah sosial untuk meningkatkan kesejahteraan komunitas dan melindungi lingkungan. Perusahaan yang melakukan praktik bisnis melampaui standar etika yang telah ditetapkan berdasarkan regulasi. Socially Responsibility Business Practice mencakup hal-hal sebagai berikut: (1) membuat fasilitas yang sesuai dengan standar keamanan yang direkomendasikan; (2) mengembangkan kegiatan pengurangan sampah dan mengolahnya kembali; (3) menghentikan penawarn produk yang membahayakan kesehatan manusia; (4) memilih pemasok yang menggunakan material ramah lingkungan (5) mengembangkan berbagai program untuk menunjang terciptanya kesejahteraan karyawan. 46 Lahirnya ISO 26000 dan prinsip-prinsip yang ada dalam ISO 26000 pun harus dianut juga oleh mereka yang ingin melakukan CSR, berikut 46 Rahmatullah dan Trianita Kurniati, Op. Cit, Hlm 28-36. 34 prinsip-prinsip yang terdapat dalam ISO 26000 sebagaimana yang dikutip dari Agus S. Riyanto: 1. Prinsip Akuntabilitas ï‚· Akuntabilitas adalah membuktikan bahwa organsisasi bersangkutan melakukan segala sesuatu dengan benar. ï‚· Akuntabilitas dilakukan terhadap seluruh pemangku kepentingan terkait dampak yang tidak disengaja atau tak diduga kepada masyarakat dan lingkungan. ï‚· Organisasi menerima bahkan mendorong penyelidikan mendalam atas dampak operasionalnya. 2. Prinsip Transparansi ï‚· Semua keputusan dan aktifitas organisasi yang berdampak kepada masyarakat dan lingkungan harus disampaikan dengan transparan. ï‚· Organisasi dituntut untuk clear, accurate, dan complete terhadap semua kebijakan, keputusan dan aktivitas. 3. Prinsip Perilaku Etis ï‚· Organisasi harus berperilaku etis sepanjang waktu dengan menegakkan kejujuran, kesetaraan, dan integritas. ï‚· Promosi perilaku etis dilaksanakan melalui: (1) pengembangan struktur tata kelola yang mendorong perilaku etis; (2) membuat dan mengaplikasikan standar perilaku etis; dan (3) terus-menerus meningkatkan standar perilaku etis. 4. Prinsip Penghormatan pada Kepentingan Stakeholder ï‚· Organisasi harus menghormati dan menanggapi kepentingan seluruh stakeholdernya. ï‚· Caranya: (1) mengidentifikasi; (2) menanggapi kebutuhan; (3) mengenali hak-hak legal dan kepentingan yang sah; (4) mengenali kepentingan yang lebih luas terkait dengan pembangunan berkelanjutan. 5. Prinsip Kepatuhan Terhadap Hukum ï‚· Kepatuhan terhadap hukum adalah suatu kewajiban. ï‚· Caranya: (1) patuh pada semua regulasi; (2) memastikan bahwa seluruh aktivitasnya sesuai dengan kerangka hukum yang relevan; (3) patuh pada seluruh aturan yang dibuatnya sendiri secara adil dan imparsial; (4) mengetahui perubahan-perubahan dalam regulasi; dan (5) secara periodik memeriksa kepatuhannya. 6. Prinsip Penghormatan Terhadap norma perilaku Internasional Di negara-negara di mana hukum nasionalnya atau implementasi tidak mencukupi untuk melindungi kondisi 35 lingkungan dan sosialnya, organisasi harus berusaha untuk mengacu kepada norma perilaku internasional. 7. Prinsip Penghormatan Terhadap HAM ï‚· Organisasi harus menghormati HAM, serta mengakui betapa pentingnya HAM yang sifat universal. ï‚· Caranya: (1) ketika ditemukan pelanggaran HAM, organisasi harus melindungi HAM dan tidak mengambil kesempatan dari situasi itu; (2) apabila tidak ada regulasi HAM di tinglat nasional, maka organisasi harus mengacu pada standar HAM Internasional.47 Berikut prinsip-prinsip CSR yang dikutip dari Alyson Warhurst dalam Nor Hadi: (1) Prioritas Korporat: mengakui tanggung jawab sosial sebagai prioritas tertinggi perusahaan, sehingga segala aktivitas (operasi) perusahaan tak dapat dilepas dari tanggung jaab sosial; (2) Manajemen terpadu: mengintegrasikan kebijakan, program dan praktik ke dalam setiap kegiatan bisnis sebagai satu unsur manajemen dalam semua fungsi; (3) Proses Perbaikan: Secara berkesinambungan memperbaiki kebijakan, program dan kinerja sosial korporat, berdasarkan temuan riset mutakhir dan memahami kebutuhan sosial serta menerapkan kriteria sosial tersebut secara internasional (4) Pendidikan karyawan: menyelanggarakan pendidikan dan pelatiha serta memotivasi karyawan; (5) Pengkajian: melakukan kajian dampak sosial sebelum memulai kegiatan atau proyek baru dan sebelum menutup satu fasilitas atau meninggalkan lokasi proyek; (6) Produk dan Jasa: mengembangkan produk dan jasa yang tidak berdampak negatif terhadap lingkungan; (7) Informasi lingkungan: memberi informasi dan bila diperlukan mendidik pelanggan, distributor dan publik tentang pengguna yang aman, dan begitu pula dengan jasa; (8) Fasilitas dan Operasi: mengembangkan, merancang, dan mengoperasikan fasilitas serta menjalankan kegiatan yang mempertimbangkan temuan kajian dampak lingkungan; (9) Penelitian: melakukan atau mendukung penelitian dampak sosial bahan baku, produk, proses, emisi dan limbah yang 47 Agus S, PKBL Ragam Derma Sosial BUMN, Jakarya Selatan: Bahana Publisher, 2011, Hlm 40-41. 36 (10) (11) (12) (13) (14) (15) (16) 2. terkait dengan kegiatan usaha dan penelitian yang menjadi sarana mengurangi dampak negatif; Prinsip Pencegahan: memodifikasikan manufaktur, pemasaran atau penggunaan produk dan jasa, sejalan dengan penelitian mutakhir untuk mencegah dampak sosial yang bersifat negatif; Kontraktor dan Pemasokan: mendorong penggunaan prinsip-prinsip tanggung jawab sosial korporat yang dijalankan kalangan kontraktor dan pemasok, disamping itu bila diperlukan masyarakat perbaikan dalam praktik bisnis yang dilakukan kontraktor dan pemasok; Siaga Menghadapi darurat: menyusun merumuskan rencana menghadapi keadaan darurat, dan bila terjadi keadaan bahaya bekerja sama dengan layanan gawat darurat, instansi berwenang dan komunitas lokal. Sekaligus mengenali potensi bahaya yang muncul; Transfer Best Practice: Berkontribusi pada pengembangan kebijakan publik dan bisnis, lembaga pemerintah dan lintas departemen pemerintah dan lintas departemen pemerintah serta lembaga pendidikan yang akan meningkatkan kesadaran tentang tanggung jawab sosial; Memberi Sumbangan: sumbangan untuk usaha bersama, pengembangan kebijakan publik dan bisnis, lembaga pemerintah dan lintas departemen pemerintah serta lembaga pendidikan yang akan meningkatkan kesadaran tentang tanggung jawab sosial perusahaan; Keterbukaan: menumbuh kembangkan keterbukaan dan dialog dengan pekerja dan publik, mengantisipasi dan memberi respon terhadap potencial hazard dan dampak operasi, produk dan limbah atau jasa; dan Pencapaian dan Laporan: mengevaluasi kinerja sosial, melaksanakan audit sosial secara berkala dan mengkaji pencapaian berdasarkan kriteria korporat dan peraturan perundang-undangan dan menyampaikan informasi tersebut kepada dewan direksi, pemegang saham, pekerja dan publik. 48 Pengaturan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan di Indonesia Indonesia sebagai negara yang turut berperan serta dalam aktvitas dunia harus dapat mengikuti perkembangan dunia, begitu juga dengan ikut 48 Nor Hadi, Op. Cit, Hlm 62. 37 menyelenggarakan dunia usaha yang beretika. CSR pada mulanya dikenal oleh dan hanya mengikat untuk dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN). CSR BUMN dilaksanakan sejak tahun 1983 dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 1983 tentang Tata Cara Pembinaan Perjan, Perum dan Persero. Pada saat itu BUMN dikenal dengan sebutan “Bapak Angkat Usaha Kecil/Industri Kecil”,49 yang ditegaskan lagi dengan dikeluarkannya Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor 1232/KMK.013/1989 tentang Pedoman Pembinaan Pengusaha Ekonomi Lemah dan Koperasi melalui BUMN tanggal 11 November 1989 yang dikenal dengan program PEGELKOP. Berdasarkan Pasal 2 Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor 1232/KMK.013/1989 tentang Pedoman Pembinaan Pengusaha Ekonomi Lemah dan Koperasi BUMN diwajibkan melakukan pembinaan terhadap pengusaha ekonomi lemah dan koperasi. Semakin banyaknya BUMN yang terorganisir, maka pada tahun 2003 terbitlah Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara yang selanjutnya dalam Skripsi ini disebut UU BUMN. Hal terpenting yang berkaitan dengan CSR BUMN adalah pada Pasal 88 Ayat (1) yang menyatakan bahwa BUMN dapat menyisihkan sebagian laba bersihnya untuk keperluan pembinaan usaha kecil/koperasi serta pembinaan masyarakat sekitar BUMN. Tindak lanjut dari Pasal 2 dan Pasal 88 UU BUMN tersebut diterbitkan Keputusan Menteri Negara BUMN Nomor Kep-236/MBU/2003 tentang Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dan Bina 49 Rahmatullah & Trianita Kurniati, Op. Cit, Hlm 14. 38 Lingkungan, yang kemudian disempurnakan dengan Peraturan Menteri BUMN Nomor Per-05/MBU/2007 tentang Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dan Bina Lingkungan. Bagi perusahaan yang operasionalnya mengelola Sumber Daya Alam dalam hal ini minyak dan gas bumi, memiliki kewajiban melakukan CSR berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Pada Pasal 13 Ayat 3 huruf (p) menyatakan bahwa kontrak kerja sama sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) wajib memuat paling sedikit ketentuan-ketentuan pokok yaitu: (p) pengembangan masyarakat sekitarnya dan jaminan hak-hak masyarakat adat. Selain BUMN, pihak swasta pun memiliki tanggung jawab sosial. Sejak tahun 2007 ketika dikeluarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Tebatas yang selanjutnya dalam Skipsi ini disebut UU PT. Dalam Pasal 74 UUPT diatur bahwa: (1) Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan; (2) Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran; (3) Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan diatur dengan peraturan pemerintah. 39 Pada penjelasan Pasal 74 UU PT, disebutkan bahwa Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang sumber daya alam adalah Perseroan yang kegiatan usahanya mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam dan yang dimaksud dengan Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya yang berkaitan dengan sumber daya alam adalah Perseroan yang tidak mengelola dan tidak memanfaatkan sumber daya alam, tetapi kegiatan usahanya berdampak pada fungsi kemampuan sumber daya alam, sehingga hal ini dapat menimbulkan penafsiran bahwa entitas yang tidak berbentuk Perseroan Terbatas tidak diwajibkan untuk melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Selain itu Pasal 74 UU PT tidak menjelaskan penerapan CSR bagi perseroan yang tidak menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam, juga tidak menyebutkan jumlah anggaran yang dapat dianggarkan untuk CSR. Pada Ayat (4) dinyatakan bahwa ketentuan lebih lanjut diatur dengan Peraturan Pemerintah (PP), sedangkan PP yang dimaksud belum ada. Dapat diperkirakan bagaimana bentuk penerapan CSR dengan belum adanya PP tersebut yang bertendensi kepada penerapan yang sekenanya dan alakadarnya walaupun ada perseroan yang menjalankan CSR dengan sungguh-sungguh. Melihat yang diwajibkan melakukan CSR dalam UU PT ini adalah Perseroan Terbatas, terhadap BUMN yang berbentuk Perseroan Terbatas pun harus melakukan CSR seperti yang dimaksud dalam Pasal 74 UU PT ini. Walaupun pada Pasal 74 UUPT hanya menyatakan secara eksplisit perseroan yang bersinggungan langsung dengan Sumber Daya Alam (SDA) saja yang wajib melaksanakan, akan tetapi 40 tidak dapat dibatasi begitu saja, karena tidak ada satu pun dunia usaha yang tidak bersinggungan dengan SDA atau pun lingkungan itu sendiri. Seperti contoh Rita Pasaraya yang didirikan di Kota Purwokerto sekilas tidak melakukan kegiatan yang mengeruk SDA atau pun memanfaatkan hasil-hasil alam, akan tetapi Gedung Rita Pasaraya sendiri memanfaatkan ruang dan tempat lingkungan yang di dalam gedungnya terdapat penjual makanan dan pengusaha resto dan menghasilkan limbah yang dapat mempengaruhi keseimbangan lingkungan. Implikasinya dalam pendirian usaha pun, Rita Pasaraya harus memenuhi salah satu syarat yakni lulus Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Hal tersebut menunjukan bahwa tidak ada satu pun kegiatan usaha yang tidak bersinggungan dengan lingkungan dan Sumber Daya Alam. Peraturan perundang-undang lain yang mewajibkan adanya pelaksanaan CSR di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal yang selanjutnya dalam Skripsi ini disebut sebagai UU PM. Dalam UU PM pada Pasal 15 huruf b menyatakan bahwa setiap penanam modal berkewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan. Tanggung jawab sosial perusahaan pada UU PM adalah tanggung jawab yang melekat pada setiap perusahaan penanaman modal untuk tetap menciptakan hubungan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat. Kemudian ditegaskan pada Pasal 34 yang menyatakan bahwa badan usaha atau perserorangan yang dimaksud pada Pasal 5 tidak melaksanakan kewajiban 41 yang disebut dalam Pasal 15 dikenai sanksi administratif. Sanksi administartif berupa peringatan tertulis, pembatasan kegiatan usaha, pembekuan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanam modal, pencabutan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanam modal. Pada tahun 2010 lahirlah International of Standardization for Organization 26000 Guidance Standard On Social Responsibility (ISO 26000:2010) merupakan salah satu panduan dalam menjalankan Social Responsibility. ISO 26000 sesuai dengan judulnya merupakan “Guidance” yang dalam bahasa Indonesia memiliki arti pedoman atau panduan, sehingga ISO 26000:2010 merupakan instrumen hukum lunak (soft law) dan tidak dapat dipaksakan, namun pemerintah Indonesia tetap mensahkan ISO 26000 dengan meratifikasinya. ISO ini merupakan instrumen tentang Social Responsibility yang pertama kali ada di Dunia yang menyediakan panduan mengenai tanggung jawab sosial kepada semua bentuk organisasi tanpa memperhatikan ukuran dan lokasi. Panduan tersebut diperuntukan mengidentifikasi masalah; menyatukan, melaksanakan dan memajukan praktik tanggung jawab sosial; mengidentifikasi dan pendekatan dengan para pemangku kepentingan; mengkomunikasikan komitmen dan performa serta kontribusi terhadap pembangunan berkelanjutan.50 Dapat dibenarkan apabila ISO 26000 ini tidak seperti ISO lainnya yang menuntut adanya sertifikasi karena ISO 26000 merupakan sebuah panduan yang bertujuan mendorong organisasi untuk melaksanakan aktivitas lebih dari apa yang diwajibkan. 50 Rahmatullah dan Trianita Kurniati, Op. Cit, Hlm 22. 42 Lahirnya ISO 26000 membuat salah satu pedoman para pelaku usaha baik pihak swasta dan pemerintah (dalam hal ini BUMN) dalam melakukan CSRnya bertambah lagi dengan disahkannya ISO 26000 ini. B. Badan Usaha Milik Negara (BUMN) 1. Pengertian, Pengaturan dan Peranan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Definisi Badan Usaha Milik Negara dapat dengan mudah ditemukan dalam tiap peraturan perudang-undangan mengenai Badan Usaha Milik Negara. Untuk memahami secara menyeluruh dan jelas mengenai pengertian dan peranan dari BUMN sendiri menurut peneliti haruslah memahami perkembangan dan latar belakang hadirnya BUMN disamping mengkaji peraturan perundang-undangan mengenai BUMN dari masa ke masa, karena perkembangan BUMN dipengaruhi oleh peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang BUMN. Pemahaman tidak hanya terfokus pada apa yang dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan yang berisi rumusan mengenai BUMN, akan tetapi juga memahami betul keberadaan BUMN hingga bisa sampai seperti sekarang ini. Latar belakang pendirian bumn di Indonesia bermacam-macam bergantung dari periode pendiriannya dan kebijaksanaan pemerintah pada saat itu. Beberapa BUMN merupakan kelanjutan dari perusahaan-perusahaan yang didirikan pada zaman sebelum kemerdekaan dan sesudah kemerdekaan. Secara politik-ekonomi, pendirian BUMN di Indonesia mempunyai tiga alasan pokok. Pertama, sebagai wadah bisnis aset yang dinasionalisasi, alasan ini terjadi di tahun 1950-an ketika 43 pemerintah menasionalisasi perusahaan perusahaan asing. Peristiwanya dimulai pada tahun 1957, ketika kabinet Ali Satroamidjojo II jatuh disertai krisis ekonomi yang parah. Kejatuhan kabinet ini seakan memperkuat tanda bahwa pemerintahan parlementer akan membawa Indonesia ke dalam keterpurukan.51 Kedua, membangun industri yang diperlukan masyarakat, namun masyarakat sendiri (atau swasta) tidak mampu memasukinya, baik karena alasan investasi yang sangat besar maupun risiko usaha yang sangat besar.52 Ketiga, membangun industri yang sangat strategis karena berkenaan dengan keamanan negara yang oleh karena itu pemerintah membangun industri persenjataan Pindad, bahan peledak, Dahana, pencetakan uang, Peruri, hingga pengelolaan stok pangan, Bulog.53 Latar belakang filosofis-historis hadirnya BUMN dipengaruhi dari keterlibatan langsung Pemerintah dalam kegiatan produksi yang dimanifestasikan dalam wujud BUMN. Paling tidak ada lima faktor yang melatar belakangi keberadaan BUMN, yaitu: (1) Pelopor atau perintis karena swasta tidak tertarik untuk menggelutinya; (2) Mengelola bidang-bidang usaha yang “strategis” dan pelaksana pelayanan publik; (3) Penyeimbang kekuatan-kekuatan swasta besar; (4) Sumber pendapatan negara; dan (5) Hasil dari nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda dan didanai oleh pampasan perang. 54 51 Riant Nugroho dan Randy R. Wrihatnolo, Manajemen Privatisasi BUMN, Jakarta: Gramedia, 2008, Hlm. 15. 52 Loc.Cit. 53 Ibid, Hlm 16. 54 Selly Asgari, Sistem Perekonomian Indonesia, http://sellmieasgaricristy.blogspot.com/ 2012/03/sistem-perekonomian-indonesia-2_21.html, diakses pada 21 Maret 2012. 44 Jika dikaji lebih lanjut, faktor keempat cenderung semakin tidak relevan sedangkan faktor kelima semakin bisa diabaikan, sehingga tinggal tiga faktor pertama yang patut dijadikan pembenaran bagi keberadaan BUMN. Ketiga faktor tersebut tidak bersifat mutlak, sehingga ketiga faktor tergantung pada berbagai keadaan. Hal terpenting adalah mekanisme pasar yang dapat berfungsi secara optimal serta dilengkapi dengan perangkat-perangkat pengamannya, seperti: pengaturan tentang praktek monopoli dan oligopoli; peraturan tentang praktek kolusi, penegakan kaidah-kaidah praktek bisnis yang sehat; perlindungan terhadap usaha kecil; serta perlindungan kepada konsumen. Pada masa konfrontasi politik di Indonesia pada tahun 1959, Pemerintah telah mengambil alih perusahaan-perusahaan asing termasuk perusahaan Belanda dengan mengeluaran Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 1958 tentang Penempatan Semua Perusahaan Belanda dibawah penguasaan Pemerintah Republik Indonesia. Pada masa itu, perusahaan negara diatur dengan berbagai peraturan perundangundangan seperti UndangUndang Perusahaan Negara (Indonesiche Bedrijven Wet/IBW), UndangUndang Perbendaharaan Negara (Indonesische Comptabliteits Wet/ICW), Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Hukum Dagang. 55 Pengaturan perusahaan negara dengan berbagai ketentuan tersebut pada akhirnya menimbulkan kesulitan di bidang administrasi dan pengawasan oleh pemerintah. 55 Parluhutan Sagala, Op. Cit, Hlm 44. 45 Fenomena tersebut mengharuskan dilakukan reorganisasi alat-alat produksi dan distribusi yang sesuai dengan Pasal 33 UUD 1945 dengan mempergunakan relnya Demokrasi terpimpin dan semua alat vital dalam produksi dan harus dikuasai atau sedikitnya diawasi oleh Pemerintah, sedangkan segala modal dan tenaga yang terbukti progressif dapat diikutsertakan dalam pembangunan Indonesia. Dalam rangka program umum pemerintah di bidang ekonomi untuk menyesuaikan organisasi alat-alat produksi dan distribusi yang mengacu pada Pasal 33 UUD 1945, Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No. 19 Tahun 1960 tentang Perusahaan Negara yang kemudian menjadi UU Nomor 19 Prp Tahun 1960 tentang Perusahaan Negara. UU 19 Prp Tahun 1960 tentang Perusahaan Negara lahir di masa sistem perekonomian terpimpin yang menuju pelaksanaan sosialisme Indonesia yaitu menuju ke suatu masyarakat adil dan makmur, maka segala kegiatan ekonomi perlu disinkronisasikan dengan baik dan bijaksana dan pemerintah bermaksud mempersingkatkan waktu yang dibutuhkan untuk menaikkan tingkatan hidup rakyat. Dalam UU ini, pengertian perusahaan negara diseragamkan yaitu semua perusahaan dalam bentuk apapun yang modalnya untuk seluruhnya merupakan kekayaan Negara Republik Indonesia kecuali jika ditentukan lain dengan atau berdasarkan Undang-Undang.56 Adanya ketentuan tersebut, maka semua perusahaan yang modalnya untuk seluruhnya merupakan kekayaan negara maupun yang terjadi karena 56 Martino Hadianto, Op. Cit, Hlm 12. 46 pemisahan dari kekayaan negara atau yang terjadi karena nasionalisasi berdasarkan Undang-Undang Nomor 86 Tahun 1958 tentang Nasionalisasi Perusahaan-Perusahaan Milik Belanda (Lembaran Negara 1958 – 162) adalah perusahaan nasional. UU Prp No 19 tahun 1960 tentang Perusahaan Negara menegaskan bahwa semua perusahaan-perusahaan negara yang sudah ada sebelum UU ini dikeluarkan harus menyesuaikan dengan UU ini apabila ingin diakui sebagai perusahaan negara. Perusahaan negara yang dimaksud kelak modalnya terdiri atas kekayaan negara yang dipisahkan dari Neraca Kekayaan Negara dan tidak memberatkan anggaran (budget) negara lagi. Dalam UU ini perusahaan negara adalah suatu kesatuan produksi yang dalam arti luas meliputi perusahaan-perusahaan yang menyelenggarakan kemanfaat umum serta memupuk pendapatan meliputi juga perusahaan-perusahaan yang memberi jasa.57 Perusahaan negara bertujuan turut membantu ekonomi nasional sesuai dengan rencana ekonomi terpimpin serta di dalam menunaikan tugasnya selalu memperhatikan daya guna yang sebesarbesarnya dengan tidak melupakan tujuan perusahaan untuk ikut serta membangun ekonomi nasional dengan mengutamakan kebutuhan rakyat serta ketentraman dan kesenangan kerja dalam perusahaan menuju masyarakat yan adil dan makmur. Pada masa Orde Lama, Indonesia menggunakan Sistem Ekonomi Terpimpin yang memfungsikan perusahaan-perusahaan negara sebagai instrumen industrialisasi ekonomi dan pengelolaannya didominasi oleh 57 Chairul Anwar, Perusahaan-Perusahaan Negara di Indonesia, Jakarta: Bappit Pusat Permata, 1960, Hlm 34. 47 militer. Perusahaan negara telah mendominasi perekonomian seperti perbankan, perdagangan, perkebunan, pertambangan, perminyakan, industri manufaktur, industri barang modal, bahkan industri berat seperti industri baja, perkapalan, elektronika dan semen saat berakhirnya kekuasaan Orde Lama pada Tahun 1967. Berada di bawah naungan dan kendali pemerintah, kalangan pengusaha (di perusahaan negara) semakin maju dan berkembang pada sektor perdagangan, transportasi, industri ringan dan industri jasa. Hal tersebut karena mereka mendapat subsidi dan diproteksi oleh pemerintah dengan maksud agar perusahaan-perusahaan negara tersebut dapat berperan sebagai agen pertumbuhan industri (agent of industrial growth). Perlakuan pemerintah yang seperti itu dinilai berdampak buruk terhadap peranan swasta dalam konteks pembangunan perekonomian nasional karena keberpihakan kepada perusahaan negara (pilih kasih).58 Keberpihakan pemerintah tersebut dirasa dapat dimaklumi karena posisi dan peranan negara dalam perekonomian nasional pasca kemerdekaan sangat dominan. Pemikiran seperti itu didasarkan pada: (1)Situasi negara yang baru lepas dari penjajahan tidak memiliki social overhead capital (SOC) sebagai modal pembangunan; (2)Besarnya kerugian dan kerusakan public utilities sebagai akibat perang; dan (3)Tersinggirkannya pengusaha pribumi (sebagai kelas ketiga setelah pengusaha Eropa dan Keturunan Arab dan China).59 Pada masa Orde Baru dengan beralihnya kekuasaan tahun 1967 terjadi perubahan mendasar pada sistem perekonomian Indonesia. Perubahan 58 Indra Bastian, Op. Cit, Hlm 94 Setyanto P. Santosa, “Privatiasi: Penerapan Nasionalisme Pengelolaan BUMN”, http://kolom.pacific.net.id/ind/media/PrivatisasiPenerapan NasionalismePengelolaanBUMN.pdf, diakses pada 21 November 2012. 59 48 mendasar tersebut dipengaruhi oleh Lembaga Internasional (International Governmental Group on Indonesia (IGGI) dan International Bank for Reconstruction & Development (IBRD)) yang berhasil meyakinkan pemerintah bahwa untuk pemulihan perekonomian Indonesia harus didukung oleh bantuan luar negeri. Tindak lanjut dari pengaruh itu adalah pemerintah menjalankan kebijakan “pintu terbuka” untuk memberikan jalan masuknya modal asing sehingga terbitlah Undang-Undang No. 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing yang telah mendorong masuknya modal asing ke Indonesia ke berbagai perusahaan multi nasional. Setahun kemudian diundangkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman modal Dalam Negeri yang mendorong lahirnya perusahaan-perusahaan raksasa milik sekelompok kecil pangusaha etnis tionghoa. Diperkirakan sejak saat itu mulai tercipta hubungan kepentingan antara berbagai perusahaan swasta dengan militer dan elit politik yang berkuasa dalam berbagai bentuk kerja sama karena lahirnya perusahaanperusahaan besar milik badan usaha yang terkait dengan sejumlah yayasan dan oknum militer.60 Disusul dengan dikeluarkannya Perpu Nomor 1 Tahun 1969 tentang Bentuk-Bentuk Usaha Negara yang kemudian menjadi UndangUndang Nomor 9 Tahun 1969 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang nomor 1 Tahun 1969 tentang Bentuk-Bentuk Badan usaha Negara menjadi Undang-Undang, berakibat berhasil mengurangi jumlah BUMN menjadi 184 dari 822 perusahaan. UU ini mengelompokan 60 Indra Bastian, Op. Cit, Hlm 94-95. 49 BUMN menjadi tiga bentuk yaitu Perjan, Perum dan Persero. Dalam UU ini tidak disebutkan pengertian dari BUMN akan tetapi membagi Perusahaan Negara menjadi tiga yaitu: (1) Perusahaan Jawatan yang disingkat PERJAN; (2) Perusahaan Umum yang disingkat PERUM; dan (3) Perusahaan Perseroan yang disingkat PERSERO. Dalam Undang-Undang ini BUMN dipisahkan berdasarkan fungsi dan peran sosial ekonomisnya, yakni Perusahaan Jawatan, Perusahaan Umum, dan Perusahaan Perseroan. Selanjutnya BUMN di Indonesia mengalami beberapa perubahan, yang disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat dan kebijakan pemerintah.61 Indonesia mendapatkan perolehan keuntungan yang sangat besar akibat melambungnya harga minyak dan gas bumi di pasar internasional yang diakui memiliki andil besar dalam peningkatan perekonomian nasional. Peningkatan perekonomian tersebut tidak diiringi dengan peningkatan BUMN karena masalah Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) dan pemberian subsidi kegiatan BUMN yang kurang efisien.62 Diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 1983 tentang Tata Cara Pembinaan dan Pengawasan Perjan, Perum dan Persero dimaksudkan untuk meningkatkan peranan perusahaan negara dan sekaligus pengendaliannya oleh Pemerintah. Terbitnya Peraturan Pemerintah ini menjadikan Pemerintah 61 Riant Nugroho dan Randy R. Wrihatnolo, Op. cit., Hlm. 11. A. Effendy Choirie, Privatisasi Versus Neo-Sosialisme Indonesia, Jakarta: LP3ES, 2003, Hlm. 4-5. 62 50 memiliki kewenangan yang sangat besar dalam hal pengelolaan BUMN dan sekaligus membatasi kewenangan pengelolanya (manajemen).63 Pada Tahun 1999 ketika jatuhnya harga minyak bumi menyebabkan penerimaan negara dari sektor migas menjadi berkurang yang ditanggulangi oleh pemerintah dengan pengetatan anggaran termasuk pemberian subsidi pada kegiatan BUMN.64 Untuk memberdayakan BUMN kembali, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 1990 tentang Perusahaan Perseroan (PERSERO) yang Menjual Sahamnya Kepada Masyarakat Melalui Pasar Modal. Melalui PP ini pemerintah memberikan otonomi yang luas kepada BUMN yang telah go-public. Maksud pemerintah mengeluarkan PP tersebut adalah untuk menciptakan BUMN yang mandiri dan memiliki kemampuan yang cukup sebagai pelaku ekonomi dalam menghadapi era perdagangan bebas. Hubungan antara pemerintah sebagai pemegang saham dengan pengelola BUMN dijalankan secara profesional. Pasca-reformasi, pengelolaan BUMN diatur dalam ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1999 mengenai: (1) penataan BUMN secara efisien, transparan, dan profesional; (2) penyehatan BUMN yang berkaitan dengan kepentingan umum; dan (3) mendorong BUMN yang tidak berkaitan dengan kepentingan umum untuk melakukan privatisasi dipasar modal. Untuk melaksanakan TAP MPR tersebut, diterbitkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (UU BUMN) yang masih 63 Parluhutan Sagala, Op. Cit, Hlm 50. Barcelius Ruru, Restrukrisasi Peran BUMN: Tinjauan Ideologis dan Ekonomis. Dalam Kumala Hadi dkk, Liberalisasi Ekonomi dan Politik di Indonesia, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1997, Hlm. 332. 64 51 berlaku sampai dengan saat ini, peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini diatur melalui Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, dan Keputusan Menteri. Pada Pasal 1 UU No. 19 Tahun 2003 BUMN terbagi atas 2, yaitu: 1. Perusahaan Perseroan, yang selanjutnya disebut Persero, adalah BUMNyang berbentuk Perseroan Terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruhnya atau paling sedikit 51% (Lima Puluh Satu Persen) sahamnya dimiliki olehNegara Republik Indonesia yang tujuan utamanya mengejar keuntungan; 2. Perusahaan Umum, yang selanjutnya disebut Perum adalah BUMN yang seluruh modalnya dimiliki negara dan tidak terbagi atas saham, yang bertujuan untuk kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan sekaligus mengejar keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan. Dalam UU BUMN ini yang dimaksud dengan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) adalah Badan Usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Bahasa asingnya (inggris) BUMN adalah public enterprise, dengan demikian BUMN berisikan dua elemen esensial yakni unsur pemerintah (public) dan unsur bisnis (enterprise). Pada Pasal 2 UU ini termaktub maksud dan tujuan BUMN yaitu: a. Memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian nasional pada umumnya dan penerimaan negara pada khususnya; b. Mengejar keuntungan; c. Menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan memadai bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak; d. Menjadi perintis kegiatan-kegiatan usaha yang belum dapat dilaksanakan oleh sektor swasta dan koperasi; e. Turut aktif memberikan bimbingan dan bantuan kepada pengusaha golongan ekonomi lemah, koperasi, dan masyarakat. 52 Berlakunya UU BUMN ini membuat beberapa peraturan mengenai BUMN menjadi tidak berlaku, yakni: (1) Indonesische Bedrijvenwet (Staatsblad Tahun 1927 Nomor 419) sebagaimana telah beberapa kali diubah dan ditambah terakhir dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1955; (2) Undang-undang Nomor 19 Prp Tahun 1960 tentang Perusahaan Negara; dan (3) Undang-undang Nomor 9 Tahun 1969 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1969. Setelah mengetahui kronologis dari pengaturan-pengaturan mengenai BUMN, maka telah mengerucut kepada suatu pengertian bahwa Badan Usaha Milik Negara atau BUMN adalah yang dirumuskan oleh UU No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara sebagai hukum positif saat ini. Peran BUMN dirasakan semakin penting sebagai pelopor dan/atau perintis dalam sektor-sektor usaha yang belum diminati usaha swasta bukan karena untuk pembangunan ekonomi (berangkat dari semangat pembangunan ekonomi), akan tetapi untuk mewujudkan kemakmurn rakyat. Disamping itu, BUMN juga mempunyai peran strategis sebagai pelaksana pelayanan publik, penyeimbang kekuatan-kekuatan swasta besar dan turut membantu pengembangan usaha kecil/koperasi. BUMN juga merupakan salah satu sumber penerimaan Negara yang signifikan dalam bentuk berbagai jenis pajak, deviden, dan hasil privatisasi. BUMN mempunyai fungsi bisnis yaitu sebagai unit ekonomi, alat kebijaksanaan pemerintah/agen pembangunan. Sebagai unit ekonomi, BUMN dituntut untuk mencari keuntungan sebagaimana perusahaan swasta 53 umumnya. Sedangkan sebagai agen pembangunan, BUMN dituntut untuk menjalankan misi pemerintah dengan sebaik-baiknya. Berarti setiap BUMN harus menjalankan fungsi tersebut sekaligus, meskipun dengan bobot yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya.65 Di Indonesia peranan BUMN kini tidak lagi sebatas pada pengelolaan sumber daya dan produksi barang-barang yang meliputi hajat hidup orang banyak, tetapi juga dalam berbagai kegiatan produksi dan pelayanannya yang dilakukan oleh swasta. Beberapa hal pokok yang menjadi peranan BUMN di Indonesia antara lain: perlunya bahan konsumsi masyarakat (public goods) untuk dikelola pemerintah, pertimbangan efisiensi untuk kegiatan ekonomi berskala besar, dan pengendalian dampak negatif seperti masalah eksternalitas.66 Menurut Pandji Anoraga, peranan BUMN di sistem pemerintahan Indonesia sangatlah besar. BUMN diharapkan dapat berperan baik sebagai perusahaan biasa yang dituntut menghasilkan laba yang sebesar-besarnya seperti perusahaan swasta maupun sebagai bagian aparatur Negara yang dibebani berbagai penugasan oleh pemerintah, akan tetapi pendapat Riyanto dalam Pandji Anoraga mengenai fungsi dan peran BUMN adalah: Fungsi dan peranan BUMN di Negara Indonesia sedikit unik yakni di satu pihak dituntut sebagai badan usaha pengemban kebijaksanaan dan program-program pemerintahan atau yang dikenal dengan dengan sebutan sebagai agen pembangunan, dipihak lain harus tetap berfungsi sebagai unit usaha komersial biasa dan mampu berjalan dan beroperasi dengan prinsip usaha yang ketat.67 65 Ibrahim, BUMN dan Kepentingan Umum, Jakarta: Citra Aditya, 1997, Hlm 135. Op. Cit, Hlm 10. 67 Ibid, Hlm 8. 66 54 BUMN tidaklah murni 100% (seratus persen) pemerintah dan juga tidaklah murni 100% (seratus persen) swasta. Besarnya presentase masingmasing elemen itu disuatu BUMN tergantung pada jenis atau tipe BUMNnya. Chairuman Armia dalam Pandji Anoraga mengatakan bahwa yang terpenting dari setiap BUMN unsur tersebut harus ada. Ini unik jika dibanding dengan pelaku ekonomi lainnya seperti perusahaan swasta dan koperasi.68 BUMN memiliki keistimewaan karateristik yang tidak dipunyai oleh badan usaha lain, yang dirumuskan sebagai: “suatu badan usaha yang „berbaju‟ pemerintah tetapi mempunyai fleksibilitas dan inisiatif sebagai perushaan swasta” (A corporation clothes with the power of the government but possessed the flecibility of private enterprise), di sanalah letak keampuhan lembaga BUMN.69 Jika diuraikan lebih lanjut maka dalam public dari public enterprise (BUMN) ada tiga makna terkandung di dalamnya, yakni: public purpose, public ownership, dan public control. Dari ketiga makna itu, public purpose lah yang menjadi inti dari konsep BUMN yang dijabarkan sebagai hasrat pemerintah untuk mencapai cita-cita pembangunan (sosial, politik dan ekonomi) bagi kesejahteraan bangsa dan Negara. Dalam hubungan inilah BUMN sering dilukiskan berperan sebagai alat untuk pencapaian tujuan nasional. Sebagai pegangan dalam penyusunan 68 Pandji Anoraga, BUMN, Swasta dan Kopersai (Tiga Pelaku Ekonomi), cet. 1, Jakarta: Pustaka Jaya, 1995. Hlm 1. 69 Ibid, Hlm 2. 55 strategi pembangunan tersebut70 adalah Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi: (1)Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan; (2)Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara; (3)Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai olehh Negara dan dipergunakan untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat. Untuk menjaga stabilitas ekonomi, maka hak monopoli atas sumber daya dan kegiatan ekonomi tertentu berada di tangan Negara seperti yang didalam Pasal 33 UUD 1945 secara normatif, monopoli dipegang pemerintah untuk kemanfaatan rakyat banyak. Ringkasnya, peranan BUMN dalam sistem perekonomian nasional adalah ikut serta menghasilkan barang dan/atau jasa yang diperlukan dalam rangka mewujudkan sebesar besarnya kemakmuran masyarakat. Peranan BUMN dirasakan semakin penting sebagai pelopor dan/atau perintis dalam sektor-sektor usaha yang belum diminati usaha swasta. Disamping itu, BUMN juga mempunyai peran strategis sebagai pelaksana pelayanan publik, penyeimbang kekuatan-kekuatan swasta besar, dan turut membantu pengembangan usaha kecil/koperasi. BUMN juga merupakan salah satu sumber penerimaan negara yang signifikan dalam bentuk berbagai jenis pajak, dividen dan hasil privatisasi. 70 Hendra Esmara, Politik Perencanaan Pembangunan Teori Kebijaksanaan dan Prospek, Jakarta: Gramedia, 1986, Hlm 37. 56 2. Jenis-Jenis Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Seperti yang telah diketahui bahwa peraturan yang mengatur tentang Perusahaan Negara atau yang disebut sekarang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ada bermacam-macam yang isi muatannya pun berbeda-beda. Undang-Undang paling akhir tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang terakhir adalah Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara. Pada Undang-Undang ini disebutkan secara jelas pada Pasal 1 angka 1 bahwa yang dimaksud dengan BUMN pada Undang-Undang ini adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Pada Undang-Undang ini, BUMN dibedakan menjadi dua jenis, yaitu Perusahaan Perseroan (Persero) dan Perusahaan Umum (Perum). a. Perusahaan Persero (Persero) Perusahaan Perseroan, yang selanjutnya disebut Persero, menurut UU BUMN adalah BUMN yang berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51% (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia yang tujuan utamanya mengejar keuntungan. Pendirian Persero berbeda dengan pendirian badan hukum (perusahaan) pada umumnya. Pendirian Persero diusulkan oleh Menteri kepada Presiden disertai dengan dasar pertimbangan setelah dikaji bersama dengan Menteri Teknis dan Menteri 57 Keuangan. Organ Persero terdiri atas RUPS, Direksi dan Komisaris. Ciriciri Persero adalah: (1) Makna usahanya adalah untuk memupuk keuntungan guna meningkatkan nilai perusahaan dan menyediakan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan berdaya saingan kuat; (2) Berbentuk perseroan terbatas; (3) Modal seluruhnya atau sebagian merupakan milik Negara dari kekayaan Negara yang dipisahkan; (4) Dipimpin oleh seorang Direksi. 71 Dalam pendirian Persero pun memperhatikan peraturan perundangundangan yang berlaku yakni Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara dan juga Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. BUMN yang berbentuk Persero pada mulanya diatur dalam PP Nomor 12 Tahun 1998 tentang Perusahaan Perseroan jo PP Nomor 45 Tahun 2001 tentang Perubahan PP Nomor 12 Tahun 1998 tentang Perusahaan Persero jo Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2005 tentang Pendirian, Pengurusan Pengawasan, dan Pembubaran Badan usaha Milik Negara, juga dalam hal-hal tertentu berlaku pula prinsip-prinsip UU Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas (UU PT) termasuk dalam hal pendirian suatu Persero berlakulah UU PT. Pada PP No 45 Tahun 2005 tentang Pendirian, Pengurusan Pengawasan, dan Pembubaran Badan usaha Milik Negara disebutkan bahwa organ Persero adalah Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), Direksi dan Komisaris. Untuk pengurusan Persero dilakukan oleh Direksi 71 Achmad Ichsan, Dunia Usaha Indonesia, Jakarta: Pradnya Paramita, 2000, Hlm 467. 58 yang pengangkatan dan pemberhentiannya dilakukan oleh RUPS dan untuk masa jabatan lima tahun yang dapat diangkat kembali untuk satu kali masa jabatan. Tugas-tugas direksi secara rinci dituangkan dalam anggaran dasar Persero, akan tetapi pada Pasal 26 sampai dengan Pasal 30 PP No. 45 Tahun 2005 tentang Pendirian, Pengurusan Pengawasan, dan Pembubaran Badan usaha Milik Negara Direksi bertugas membuat rencana jangka panjang Persero, menyiapkan rancangan rencana kerja, anggaran perusahaan yang memuat penjabatan tahunan dari rencana jangka panjang beserta laporan berkala tiap triwulan dan tahunan, bertanggung jawab penuh atas pengurusan Persero untuk kepentingan dan tujuannya serta mewakili Persero baik di dalam maupun di luar pengadilan. Pengawasan Persero dilakukan oleh Komisaris yang dilakukan berdasarkan ketentuan dan prinsip-prinsip dan ketentuan yang berlaku bagi Perseoran Terbatas. Komisaris diangkat dan diberhentikan oleh RUPS. Komisaris diangkat untuk masa jabatan selama lima tahun dan dapat diangkat kembali untuk satu kali masa jabatan. Tugas dari Komisaris secara rinci diatur dalam anggaran dasar Persero, akan tetapi menurut ketentuan Pasal 59 dan Pasal 60 PP No. 45 Tahun 2005 tentang Pendirian, Pengurusan Pengawasan, dan Pembubaran Badan usaha Milik Negara secara umum adalah: a. Melaksanakan pengawasan terhadap pengurusan BUMN yang dilakukan oleh Direksi; dan b. Memberi nasihat kepada Direksi dalam melaksanakan kegiatan pengurusan BUMN. 59 Berdasarkan ketentaun PP No 45 Tahun 2005 tentang Pendirian, Pengurusan Pengawasan, dan Pembubaran Badan usaha Milik Negara pada Pasal 66 sampai dengan Pasal 74 pada Persero dibentuk satuan pengawas intern dan komite audit. Satuan pengawas intern yang bertanggung jawab langsung kepada Direktur Utama yang bertugas: a. Membantu Direktur Utama dalam melaksanakan pemeriksaan operasional dan keuangan BUMN, menilai pengendalian, pengelolaan dan pelaksanaannya pada BUMN serta memberikan saran-saran perbaikannya; b. Memberikan keterangan tentang hasil pemeriksaan atau hasil pelaksanaan tugas Satuan Pengawasan Intern sebagaimana dimaksud dalam huruf a kepada Direktur Utama; dan c. Memonitor tindak lanjut atas hasil pemeriksaan yang telah dilaporkan. Sedangkan komite audit juga didirikan di Persero yang berfungsi membantu Komisaris dalam melakukan tugasnya yakni: a. Membantu Komisaris dalam memastikan efektivitas sistem pengendalian intern dan efektivitas pelaksanaan tugas eksternal auditor dan internal auditor; b. Menilai pelaksanaan kegiatan serta hasil audit yang dilaksanakan oleh Satuan Pengawasan Intern maupun auditor eksternal; c. Memberikan rekomendasi mengenai penyempurnaan sistem pengendalian manajemen serta pelaksanaannya; d. Memastikan telah terdapat prosedur review yang memuaskan terhadap segala informasi yang dikeluarkan perusahaan; dan e. Melakukan identifikasi hal-hal yang memerlukan perhatian Komisaris serta tugas-tugas Komisaris lainnya. PP ini berisi mengenai perihal pendirian, pengurusan pengawasan dan pembubaran BUMN, akan tetapi untuk Perseroan Terbatas mengenai hal tersebut tetap harus dilakukan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Perseroan Terbatas (UU No. 40 Tahun 60 2007). Pendirian BUMN berbentuk Persero dapat berupa pembentukan Persero baru yang bukan berasal dari pengalihan bentuk dan peleburan BUMN atau perubahan BUMN sebagai akibat dari peleburan Persero dan Perum. Pasal 5 PP No. 45 Tahun 2005 tentang Pendirian, Pengurusan Pengawasan, dan Pembubaran Badan usaha Milik Negara menyatakan untuk pendirian sebuah Persero pun ditetapkan dengan Peraturan pemerintah tentang pendirian Persero yang bersangkutan dan PP tersebut memuat mengenai penetapan pendirian, maksud dan tujuan pendirian serta besarnya penyertaan kekayaan negara yang dipisahkan dalam rangka pendirian BUMN. Pada Pasal 12 Ayat (1) PP No. 45 Tahun 2005 tentang Pendirian, Pengurusan Pengawasan, dan Pembubaran Badan usaha Milik Negara ditentukan mengenai penulisan nama Persero sebagai berikut: a. Dalam hal penulisan nama Persero dilakukan secara lengkap, maka didahului dengan perkataan "Perusahaan Perseroan (Persero)", diikuti dengan singkatan "PT" dan kemudian diikuti dengan nama perusahaan; b. Dalam hal penulisan nama Persero dilakukan secara singkat, maka kata "(Persero)" dicantumkan setelah singkatan "PT" dan nama Perusahaan. Penggunaan laba dan dana cadangan Persero dan pembubaran Persero dilakukan sesuai dengan ketentuan UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Ketentuan pelaksana PP No. 12 Tahun 1998 tentang Perusahaan Persero jo PP No. 45 Tahun 2001 masih berlaku sepanjang untuk hal-hal tertentu tidak bertentangan dengan PP No. 45 Tahun 2005 tentang Pendirian, Pengurusan Pengawasan, dan Pembubaran Badan usaha Milik Negara. PP No. 12 Tahun 1998 ini disusun sepenuhnya berdasarkan 61 ketentuan yang berlaku bagi Perseroan Terbatas sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas yang telah di perbaharui dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Tebatas, hanya saja Peraturan Pemerintah ini memberi pengaturan-pengaturan khusus yang berkaitan dengan karakter Persero sebagai Perseroan Terbatas yang sahamnya sebagian atau seluruhnya dimiliki oleh Negara. Menteri Keuangan bertindak selaku RUPS apabila seluruh saham Persero dimiliki oleh negara dan bertindak selaku pemegang saham pada Persero dan Perseroan Terbatas dalam hal tidak seluruh sahamnya dimiliki oleh negara dan keputusannya diambil bersama-sama dengan pemegang saham lainnya dalam RUPS. Dalam hal Menteri Keuangan berkedudukan sebagai RUPS, maka cukup dengan penetapan Menteri. Dalam PP ini disertakan pula pengaturan mengenai Persero Terbuka dan untuk Persero Terbuka diberlakukan pula ketentuan mengenai peraturan perundangundang di bidang pasar modal. Persero didirikan dengan maksud dapat memenuhi permintaan pasar melalui penyediaan barang dan jasa yang bermutu tinggi dan berdaya saing kuat baik di pasar dalam negeri maupun internasional. Meskipun Persero didirikan dengan maksud dan tujuan untuk mencari keuntungan, namun dapat pula Persero didirikan untuk melaksanakan pelayanan kepentingan masyarakat luas. Disamping itu, dalam hal adanya kebutuhan masyarakat luas yang mendesak dan Pemerintah dapat pula menugaskan suatu Persero melaksanakan fungsi 62 pelayanan kemanfaatan umum. Termasuk dalam fungsi tersebut adalah pelaksanaan Program Kemitraan dan pembinaan usaha kecil dan koperasi. Kekayaan negara yang disertakan menjadi kekayaan Persero ditetapkan dengan PP. Penetapan dengan PP dilakukan karena modal dalam Perseroan Terbatas adalah kekayaan Negara. Jadi, PP tersebut bukan mengesahkan berdirinya perseroan terbatas melainkan mengesahkan penyertaan modal Negara dalam perseroan terbatas. Pemisahan kekayaan Negara untuk dijadikan penyertaan Negara dalam modal perseroan terbatas dapat dilakukan dengan cara penyertaan langsung Negara ke dalam modal perseroan terbatas. Ini berarti dalam hal pendirian Persero, Menteri Keuangan bertindak mewakili Negara, atau dapat memberi kuasa kepada Menteri lain yang sesuai dengan sektor usaha Persero untuk menghadap notaris sebagai pendiri mewakili Negara. Sebelum menghadap notaris, rancangan anggaran dasar Persero yang akan dituangkan dalam akta pendirian harus mendapat persetujuan lebih dahulu dari Menteri Keuangan. Menteri Keuangan menyelenggarakan penata usahaan setiap penyertaan modal Negara berikut perubahannya ke dalam modal saham perseroan terbatas dan penyertaan-penyertaan yang dilakukan oleh Persero. Menurut ketentuan Pasal 1 angka 1 dan angka 2 UU BUMN, modal Persero terbagi atas saham yang seluruh atau paling sedikit 51% (lima puluh persen) dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Menurut 63 Pasal 1 angka 10 UU BUMN, kekayaan negara yang dipisahkan adalah kekayaan negara yang berasal dari APBN untuk dijadikan penyertaan modal negara pada Persero dan/atau Perum serta perseroan terbatas lainnya. Ketentuan ini ditegaskan lagi oleh Pasal 4 Ayat (1) UU BUMN yang menyatakan bahwa modal BUMN merupakan dan berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Istilah „dipisahkan‟ menurut penjelasan Pasal 4 Ayat (1) UU BUMN adalah pemisahan kekayaan negara dari APBN untuk dijadikan penyertaan modal negara pada BUMN, untuk selanjutnya pembinaan dan pengelolaannya tidak lagi didasarkan pada sistem APBN namun didasarkan pada prinsip-prinsip perusahaan yang sehat. Menurut ketentuan Pasal 1 angka 1 UU PT, Perseroan Terbatas merupakan persekutuan modal yang didirikan berdasarkan perjanjian dan melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham, sedangkan menurut Pasal 31 Ayat (1) UU PT, modal dasar Perseroan Terbatas terdiri atas seluruh nilai nominal saham dan harta kekayaan Perseroan Terbatas meliputi modal dasar yang berupa nilai nominal saham dan aset-aset lainnya. Semua kekayaan termasuk kekayaan negara yang dipisahkan dan disertakan sebagai modal Persero adalah bagian dari persekutuan modal, berupa nilai nominal saham, yang merupakan modal dasar Persero. Modal dasar ini beserta aset yang lain merupakan harta kekayaan Persero. Singkatnya, kekayaan negara yang dipisahkan dan disertakan sebagai modal Persero berubah menjadi harta 64 kekayaan Persero, yang pengelolaannya didasarkan pada tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance).72 b. Perusahaan Umum (Perum) Perusahaan Umum, yang selanjutnya disebut Perum, menurut UU BUMN adalah BUMN yang seluruh modalnya dimiliki Negara dan tidak terbagi atas saham, tujuan untuk kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan sekaligus mengejar keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan. Pada dasarnya proses pendirian Perum sama dengan pendirian Persero. Organ Perum adalah Menteri, Direksi, dan Dewan Pengawas. Untuk pengangkatan dan pemberhentian Direksi dan Dewan Pengawas ditetapkan oleh Menteri dengan berpedoman pada mekanisme dan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku. Baik Direksi dan Dewan Pengawas pada Perum tugasnya sama dengan Direksi dan Komisaris pada Persero. Anggota Dewan Pengawas dapat terdiri dari Menteri Teknis atau Menteri Keuangan dengan tetap memperhatikan persyaratan yang ada dan jumlahnya memperhatikan kebutuhan tiap Persero. Ciri-ciri Perum adalah: (1) Makna usahanya adalah melayani kepentingan umum dan sekaligus untuk memupuk keuntungan; (2) Berstatus badan hukum dan diatur berdasarkan UU; (3) Mempunyai nama dan kekayaan sendiri serta kebebasan bergerak seperti perusahaan swasta untuk mengadakan atau masuk ke dalam suatu perjanjian, kontrak-kontrak, dan hubungan-hubungan dengan perusahaan lain; 72 Good Corporate Governance merupakan tata kelola pemerintahan yang baik yang harus diterapkan dalam pengurusan BUMN yang terdiri atas: Transparansi, Kemandirian, Akuntabilitas, Pertanggungjawaban, dan kewajaran yand diatur dalam Pasal 76 UU BUMN dan Kepmen Nomor 117 Tahun 2002. 65 (4) Modal seluruhnya dimiliki oleh Negara dari kekayaan Negara yang dipisahkan; (5) Dipimpin oleh seorang Direksi. Mengenai Perum diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 1998 tentang Perusahaan Umum jo Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2005 tentang Pendirian, Pengurusan, Pengawasan dan Pembubaran Badan Usaha Milik Negara juga Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara. Pada Pasal 7 PP No. 13 Tahun 1998 tentang Perusahaan Umum jo Pasal 35 UU No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara jo Pasal 5 Ayat (1) PP No. 45 Tahun 2005 tentang Pendirian, Pengurusan, Pengawasan dan Pembubaran Badan Usaha Milik Negara disebutkan Perum adalah badan usaha milik Negara yang didirikan dengan peraturan pemerintah. PP tentang pendirian Perum sekaligus menetapkan keputusan untuk melakukan penyertaan modal Negara ke dalam Perum. Ketentuan ini menyebabkan Perum memperoleh status badan hukum setelah PP pendirian Perum diundangkan dan mulai berlaku sejak diundangkan. PP pendirian Perum tersebut sekurangkurangnya memuat penetapan pendirian Perum, maksud dan tujuan pendirian Perum, penetapan besarnya kekayaan Negara yang dipisahkan untuk penyertaan ke dalam modal Perum, anggaran dasar Perum, penunjukan Menteri Keuangan selaku wakil pemerintah sebagai pemilik modal dan pendelegasian wewenang Menteri Keuangan kepada Menteri BUMN dalam pelaksanaan pembinaan sehari-hari Perum. 66 Penjelasan Pasal 8 PP No. 45 Tahun 2005 tentang Pendirian, Pengurusan, Pengawasan dan Pembubaran Badan Usaha Milik Negara tersebut menyatakan bahwa pemisahan kekayaan Negara untuk dijadikan modal dalam Perum dapat berupa uang tunai atau bentuk lain dan disebutkan jumlah atau nilai nominalnya. Pemisahan kekayaan Negara untuk dijadikan modal suatu Perum dapat dilakukan untuk pendirian suatu Perum, penambahan kapasitas suatu Perum, dan restrukturisasi permodalan Perum. Pada PP tersebut dicantumkan juga anggaran dasar Perum. Menurut ketentuan Pasal 9 PP No. 45 Tahun 2005 tentang Pendirian, Pengurusan, Pengawasan dan Pembubaran Badan Usaha Milik Negara, anggaran dasar Perum memuat sekurang-kurangnya: a. b. c. d. e. f. g. h. i. Nama dan tempat kedudukan; Maksud dan tujuan serta kegiatan usaha; Jangka waktu berdiri; Besarnya modal; Susunan dan jumlah anggota Direksi dan Dewan Pengawas serta komposisi Dewan Pengawas; Tata cara pemilihan, pengangkatan, dan pemberhentian anggota Direksi dan Dewan Pengawas; Tata cara penyelenggaraan rapat Direksi dan rapat Dewan Pengawas; Tata cara penggunaan laba; dan Ketentuan-ketentuan lain menurut Peraturan Pemerintah ini. Ketentuan Pasal 12 Ayat (2) PP No. 45 Tahun 2005 tentang Pendirian, Pengurusan, Pengawasan dan Pembubaran Badan Usaha Milik Negara mengatur penulisan nama Perum yakni dengan didahului perkataan “Perusahaan Umum (Perum)” atau dapat disingkat “Perum” yang dicantumkan sebelum nama perusahaan. Pengaturan mengenai modal Perum dapat dilihat dalam UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN jo 67 PP Nomor 13 Tahun 1998 Tentang Perum. Dalam UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN jo PP Nomor 13 Tahun 1998 tentang Perusahaan Umum disebutkan bahwa modal dari Perum keseluruhannya adalah berasal dari kekayaan Negara yang dipisahkan. Dalam UU BUMN disebutkan: a. Perum adalah BUMN yang seluruh modalnya dimiliki oleh Negara; b. Modal Perum tidak terbagi atas saham. Ketentuan Pasal 43 UU BUMN mengatur Penggunaan laba bersih Perum termasuk penentuan jumlah penyisihan untuk cadangan ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Berdasarkan ketentuan Pasal 76 PP No. 45 Tahun 2005 tentang Pendirian, Pengurusan, Pengawasan dan Pembubaran Badan Usaha Milik Negara setiap tahun Perum menyisihkan laba bersih minimal 20% (dua puluh persen) dari modal Perum yang diperuntukan menutup kerugian Perum dan jikalau laba bersih lebih dari 20% (dua puluh persen), maka kelebihan tersebut dipergunakan untuk keperluan Perum. Laba yang diperoleh dari pengelolaan dana cadangan Perum pun dimasukkan dalam perhitungan laba rugi. Menteri dapat menetapkan penggunaan laba bersih Perum termasuk jumlah penyisihan untuk cadangan juga dapat menetapkan bahwa sebagian atau seluruh laba bersih akan digunakan untuk pembagian dividen kepada pemilik modal, atau pembagian lain seperti tansiem (tantiem) untuk Direksi dan Dewan Pengawas, bonus untuk karyawan, cadangan dana sosial dan lain-lain atau penempatan laba bersih tersebut dalam cadangan Perum yang antara lain diperuntukan bagi perluasan usaha Perum. Dalam hal kerugian Perum, Menteri keuangan 68 tidak bertanggung jawab atas segala akibat perbuatan hukum yang dibuat Perum dan tidak bertanggung jawab atas kerugian Perum yang melebihi nilai kekayaan negara yang telah dipisahkan ke dalam Perum. Tanggung jawab Menteri Keuangan tersebut dapat dikecualikan apabila Menteri baik langsung maupun tidak langsung dengan itikad buruk memanfaatkan Perum semata-mata untuk kepentingan pribadi; terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Perum; atau langsung maupun tidak langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan Perum. Berdasarkan ketentuan PP No. 45 Tahun 2005 tentang Pendirian, Pengurusan, Pengawasan dan Pembubaran Badan Usaha Milik Negara pada Pasal 66 – 74 pada Perum dibentuk satuan pengawas intern dan komite audit. Satuan pengawas intern yang bertanggung jawab langsung kepada Direktur Utama yang bertugas: a. Membantu Direktur Utama dalam melaksanakan pemeriksaan operasional dan keuangan BUMN, menilai pengendalian, pengelolaan dan pelaksanaannya pada BUMN serta memberikan saran-saran perbaikannya; b. Memberikan keterangan tentang hasil pemeriksaan atau hasil pelaksanaan tugas Satuan Pengawasan Intern sebagaimana dimaksud dalam huruf a kepada Direktur Utama; dan c. Memonitor tindak lanjut atas hasil pemeriksaan yang telah dilaporkan. Komite audit juga didirikan di Perum yang berfungsi membantu Dewan Pengawas dalam melakukan tugasnya yakni: a. Membantu Dewan Pengawas dalam memastikan efektivitas sistem pengendalian intern dan efektivitas pelaksanaan tugas eksternal auditor dan internal auditor; 69 b. Menilai pelaksanaan kegiatan serta hasil audit yang dilaksanakan oleh Satuan Pengawasan Intern maupun auditor eksternal; c. Memberikan rekomendasi mengenai penyempurnaan sistem pengendalian manajemen serta pelaksanaannya; d. Memastikan telah terdapat prosedur review yang memuaskan terhadap segala informasi yang dikeluarkan perusahaan; dan e. Melakukan identifikasi hal-hal yang memerlukan perhatian Dewan Pengawas serta tugas-tugas Dewan Pengawas lainnya. 3. PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Salah satu BUMN yang ada di Indonesia adalah PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk yang berdiri dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) Nomor 2 Tahun 1946 Tentang Pendirian Bank Negara Indonesia.73 BNI merupakan sebuah BUMN yang melakukan kegiatan usaha di bidang perbankan. Fungsi perbankan berdasarkan ketentuan Pasal 3 Undang-Undang Perbankan yang menyatakan bahwa, “Fungsi utama perbankan Indonesia adalah sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat”. Dari ketentuan tersebut tercermin fungsi bank sebagai perantara pihak-pihak yang memiliki kelebihan dana (surplus of funds) dengan pihak-pihak yang kekurangan dan memerlukan dana (lacks of funds).74 Mengenai jenis-jenis Bank dapat dilihat ketentuan Pasal 5 Ayat (1) UU Perbankan yang membagi bank ke dalam dua jenis, yaitu Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat. 73 Anonim, “Sejarah 66 Tahun BNI”, 2012, http://www.bni.co.id, diakses tanggal 30 Oktober 2012. 74 Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, cet 2, Jakarta: Kencana, 2006, Hlm 20. 70 Bank Umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan/atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran, sedangkan yang dimaksud dengan Bank Perkreditan Rakyat adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan/atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Berdasarkan ketentuan Pasal 21 Ayat (1) UU Perbankan, bentuk hukum perseroan terbatas dapat berupa perseroan terbatas, koperasi, dan perusahaan daerah. BNI ketika berdiri merupakan Bank Umum, yang mulai mengedarkan alat pembayaran resmi pertama yang dikeluarkan Pemerintah Indonesia, yakni ORI atau Oeang Republik Indonesia, pada malam menjelang tanggal 30 Oktober 1946, hanya beberapa bulan sejak pembentukannya. Sampai saat ini, tanggal tersebut diperingati sebagai Hari Keuangan Nasional, sementara hari pendiriannya yang jatuh pada tanggal 5 Juli ditetapkan sebagai Hari Bank Nasional. Sehubungan dengan penambahan modal pada tahun 1955, status Bank Negara Indonesia diubah menjadi bank komersial milik pemerintah. Perubahan ini melandasi pelayanan yang lebih baik dan tuas bagi sektor usaha nasional. Tahun 1992, status hukum dan nama BNI berubah menjadi PT. Bank Negara Indonesia (Persero), sementara keputusan untuk menjadi perusahaan publik diwujudkan melalui penawaran saham perdana di pasar modal pada tahun 1996 sebagai bank pemerintah yang pertama kali go public. Kemudian pada tahun 2007, PT. Bank Negara Indonesia kembali menawarkan sahamnya kepada masyarakat, pada waktu itu komposisi 71 kepemilikan saham BNI adalah sebesar 99,11% milik pemerintah RI dan 0.89 % milik masyarakat. Pada akhir tahun 2011, Pemerintah Republik Indonesia memegang 60% saham BNI, sementara 40% saham selebihnya dimiliki oleh pemegang saham publik baik individu maupun institusi, domestik dan asing. C. Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan (PKBL) 1. Sejarah dan Dasar Hukum Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dan Bina Lingkungan Jauh sebelum ada Program Kemitraan dan Program Bina Lingkungan atau yang selanjutnya disebut PKBL ada di Indonesia, BUMN telah melakukan kegiatan pengembangan masyarakat atau yang dikenal juga dengan community development/CD). Seperti yang telah disampaikan sebelumnya community development berporos pada pengembangan masyarakat menuju masyarakat yang memiliki taraf kehidupan yang maju. Pada tahun 1979 oleh Jack Rothman, community development disamakan dengan local development (LD) yang artinya sama sebagai: “Sebuah model pengembangan masyarakat yang menekankan pada partisipasi penuh seluruh warga masyarakat”.75 Kemudian Persekutuan Bangsa-Bangsa (PBB) mendefinisikan pengembangan masyarakat sebagai sesuatu proses yang dirancang untuk menciptakan kemajuan kondisi ekonomi dan sosial bagi 75 Agus S., Op.cit, Hlm 27. 72 seluruh warga masyarakat dengan partisipasi aktif dan sejauh mungkin menumbuhkan prakarsa masyarakat itu sendiri.76 Sebenarnya pemerintah Indonesia telah memulai pelaksanaan kegiatan pembangunan masyarakat ketika dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 1983 tentang Tata Cara pembinaan dan Pengawasan Perusahaan Jawatan, Perusahaan Umum dan Perusahaan Perseroan. Pada saat itu BUMN yang melaksanakan pembinaan usaha kecil dikenal dengan panggilan “Bapak angkat usaha kecil/industri kecil”, yang merupakan implikasi dari ketentuan Pasal 2 Ayat (2) huruf f pada PP No. 3 Tahun 1983 tentang Tata Cara pembinaan dan Pengawasan Perusahaan Jawatan, Perusahaan Umum dan Perusahaan Perseroan bahwa “Maksud dan tujuan dari kegiatan Perjan, Perum, dan Persero adalah: turut aktif memberikan bimbingan kegiatan kepada sektor swasta khususnya pengusaha golongan ekonomi lemah dan sektor koperasi”, maka BUMN terlepas berbentuk Perjan, Perum atau pun Persero memiliki tujuan yang terpenting yakni seperti yang disebutkan pada Pasal 2 Ayat (2) huruf f. Program pembinaan usaha kecil oleh BUMN diperkuat lagi dengan dikeluarkannya Keputusan Menteri Keuangan (Kepmenkeu) Nomor 1232/KMK.013/1989 pada 11 November 1989 tentang Pedoman Pembinaan Pengusaha Ekonomi Lemah dan Koperasi Melalui BUMN. Dalam Kepemenkeu ini dikenalkan Program Pegelkop (Pembinaan Pengusaha Golongan Ekonomi Lemah dan Koperasi). Dalam Pasal 4 Kepmenkeu Nomor 76 Loc. Cit. 73 1232/KMK.013/1989 tentang Pedoman Pembinaan Pengusaha Ekonomi Lemah dan Koperasi melalui BUMN menjelaskan bahwa pengertian pengusaha ekonomi lemah adalah perorangan atau badan usaha yang mempunyai aset sebanyak maksimal Rp. 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah) atau omzet maksimalnya Rp. 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah) per tahun atau Rp. 25.000.000,- (dua puluh lima juta rupiah) per bulan. Pembinaan untuk Program Pegelkop diambil dari laba bersih BUMN setelah dikurangi pajak yang besarnya 1%-5% (satu persen sampai dengan lima persen). Status dana pembinaan pun ditetapkan sebagai hibah atau pinjaman apabila ditujukan kepada pengusaha golongan ekonomi lemah dan koperasi dan pelaksanaan pembinaan seluruhnya menjadi tanggung jawab direksi BUMN yang bersangkutan. Kemudian pada tanggal 27 Juni 1994 dikeluarkannya Keputusan Menteri Nomor 316/KMK.016/1994 tentang Pedoman Pembinaan Usaha Kecil dan Koperasi melalui Pemanfaatan Dana dari Bagian Laba BUMN. Pada Kepmen ini programnya bernama PUKK (Pembina Usaha Kecil dan Koperasi). Alasan yang melatar belakangi dikeluarkannya Keputusan Menteri itu adalah dalam rangka medorong kegiatan dan pertumbuhan ekonomi dan terciptanya pemerataan pembangunan melalui perluasan lapangan kerja dan kesempatan berusaha, perlu dikembangkan potensi usaha kecil dan koperasi agar menjadi tangguh dan mandiri, sehingga dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat serta mendorong tumbuhnya kemitraan antara BUMN dengan usaha kecil dan koperasi. 74 Untuk memudahkan dalam penyelenggaraan pembinaan usaha kecil dan menengah pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil. Dalam Pasal 14 UU No. 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil menyatakan bahwa Pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat melakukan pembinaan dan pengembangan Usaha Kecil dalam bidang produksi dan pengolahan, pemasaran, sumber daya manusia, dan teknologi. Kegiatan BUMN dalam mengembangkn usaha kecil ditegaskan lagi dalam Pasal 21 UU No. 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil yang menyatakan bahwa Pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat menyediakan pembiayaan yang meliputi kredit perbankan, pinjaman lembaga keuangan bukan bank, modal ventura, pinjaman dari dana penyisihan sebagian laba badan usaha milik negara (BUMN), hibah dan jenis pembiayaan lainnya. Pada tahun 1998 terbitlah Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1998 tentang Pembinaan dan Pengembangan Usaha Kecil, yang antara lain mengatur penyediaan dana dilakukan oleh Departemen Teknis, Kantor Menteri Negara, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara, melalui anggaran pendapatan dan belanja negara, anggaran pendapatan dan belanja daerah, anggaran perusahaan sesuai dengan program pembinaan dan pengembangan usaha kecil di masing-masing sektor, sub sektor, pemerintah daerah, Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah yang bersangkutan. Sampai pada lahirnya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara. Pada Pasal 88 Ayat (1) UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN menyatakan bahwa BUMN dapat menyisihkan sebagian laba 75 bersihnya untuk keperluan pembinaan usaha kecil/koperasi serta pembinaan masyarakat sekitar BUMN. Kata kunci pada Pasal 88 ini adalah “BUMN dapat menyisihkan sebagian laba bersihnya”. Kata “dapat” berbeda dengan kata “wajib”, yang artinya BUMN tidak diwajibkan untuk menyisihkan laba bersihnya, sehingga kata “dapat” pada Pasal 88 UU BUMN diartikan sebagai kesukarelaan BUMN.77 Pada Pasal 2 Ayat (1) huruf e UU BUMN menyatakan bahwa maksud dan tujuan pendirian BUMN adalah turut aktif memberikan bimbingan dan bantuan kepada pengusaha golongan ekonomi lemah, koperasi, dan masyarakat. Sehingga dengan keberadaannya, BUMN membimbing dan membantu usaha golongan kecil dan menengah. Kelanjutan dari Pasal 2 dan 88 UU BUMN adalah dikeluarkannya Keputusan Menteri Badan Usaha Milik Negara Nomor Kep-236/MBU/2003 tentang Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan. Peraturan ini lantas diubah dengan Peraturan Menteri BUMN Nomor Per-05/MBU/2007 tentang Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan yang selanjutnya dalam Skripsi ini disebut dengan Permeneg PKBL. Permeneg PKBL ini berlaku untuk tahun buku 2007 dan ditetapkan pada tanggal 27 April 2007 dan program yang ada di Permen ini dikenal dengan PKBL. PKBL terdiri dari dua program yakni Program Kemitraan dan Program Bina Lingkungan. Program Kemitraan adalah program untuk meningkatkan kemampuan usaha kecil agar menjadi tangguh dan mandiri melalui pemanfaatan dana dari bagian laba BUMN, 77 Ibid, Hlm 25. 76 sedangkan Program Bina Lingkungan adalah program pemberdayaan kondisi sosial masyarakat oleh BUMN melalui pemanfaatan dana dari bagian laba BUMN. Dalam Permeneg PKBL disebutkan juga BUMN yang wajib dan yang tidak wajib melakukan PKBL, hal ini dinyatakan Pasal 2 Permen ini: Ayat (1) Perum dan Persero wajib melaksanakan Program Kemitraaan dan Program Bina Lingkungan dengan memenuhi ketentuan-ketentuan yang diatur dalam peraturan ini. Ayat (2) Persero Terbuka dapat melaksanakan Program Kemitraan dan Program Bina Lingkungan dengan berpedoman pada peraturan ini yang ditetapkan berdasarkan keputusan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Dari bunyi Pasal 2 tersebut diketahui bahwa Perum dan Persero “wajib” melaksanakan PKBL akan tetapi Persero Terbuka tidak diwajibkan, akan tetapi dapat melakukan PKBL yang tetap berpedoman dengan Peraturan Menteri ini dan ditetapkan dengan keputusan RUPS. 2. Tujuan dan Sistem Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan Jika dirunut dari peraturan perundang-undangan yang pernah mengatur tentang Program Kemitraan dan Program Bina Lingkungan (PKBL), maka peraturan perundang-undangan tersebut adalah sebagai berikut: (1) Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 1983 tentang Tata Cara pembinaan dan Pengawasan Perusahaan Jawatan, Perusahaan Umum dan Perusahaan Perseroan; 77 (2) Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1232/KMK. 013/1989 tentang Pedoman Pembinaan Pengusaha Ekonomi Lemah dan Koperasi melalui BUMN; (3) Keputusan Menteri Keuangan Nomor 316/KMK.016/1994 tentang Pedoman Pembinaan Usaha Kecil dan Koperasi melalui Pemanfaata Dana dari bagian laba BUMN; (4) Keputusan Menteri Negara BUMN Nomor Kep-216/MPBUMN/1999 tentang Program Kemitraan dan Bina Lingkungan BUMN; (5) Keputusan Menteri Negara BUMN Nomor Kep-236/MBU/2003 tentang Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan; dan (6) Peraturan Menteri Negara BUMN Nomor Per-05/MBU/2007 tentang Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan; Peraturan Menteri Negara BUMN Nomor Per-05/MBU/2007 menyatakan bahwa latar belakang dibuatnya Permen itu adalah atas perintah pasal 88 UU BUMN yang berbunyi: Ayat (1) BUMN dapat menyisihkan sebagian laba bersihnya untuk keperluan pembinaan usaha kecil/koperasi serta pembinaan masyarakat sekitar BUMN. Ayat (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyisihan dan penggunaan laba sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri. Makna yang tersirat dari Pasal tersebut adalah BUMN dapat menyisihkan laba bersih untuk membina usaha kecil dan menengah juga masyarakat sekitar BUMN. Jika ditarik benang merah dari peraturan 78 perundang-undangan yang mengatur tentang Program Kemitraan dan Program Bina Lingkungan, maka tujuan program ini hampir serupa dengan CSR tipe Corporate Philanthropy. Corporate Philanthropy adalah tindakan perusahaan untuk memberikan kembali kepada masyarakat sebagian dari kekayaan sebagai ungkapan terima kasih atas kontribusi masyarakat seperti yang ditulis oleh Kakbadse dalam Rahmatullah dan Trianita Kurniati.78 Dapat dikatakan bahwa PKBL merupakan salah satu bentuk CSR dan merupakan turunan atau alternatif CSR. Semua BUMN telah melakukan tanggung jawab sosial dengan melakukan pengembangan masyarakat (community development,) namun BUMN dituntut untuk lebih bertanggung jawab secara sosial kepada masyarakat luas dan tidak hanya kepada masyarakat di sekitar lokasi BUMN itu berada. Tuntutan ini berupa: (1)Tren global yang mengharuskan perusahaan untuk bertanggung jawab sosial kepada stakeholders secara menyeluruh, baik konsumen, tenaga kerja, dan masyarakat luas; (2)Terbitnya UU BUMN dan Permeneg BUMN Nomor Per 05/MBU/2007; (3)Kesadaran BUMN untuk betanggung jawab secara sosial kepada seluruh stakeholder.79 PKBL dan CSR memang seirama namun CSR lebih mengujung kepada seluruh stakeholder. Adapun PKBL hanya kepada masyarakat dan diintepretasi kepada masyarakat di sekitar lokasi BUMN yang bersangkutan. Pelaksanaan PKBL yang berkiblat kepada Peraturan Menteri Negara BUMN 78 79 Rahmutallah dan Trianita Kurniati, Op. Cit, Hlm 32. Agus S, Op.Cit, Hlm 49. 79 Nomor Per-05/MBU/2007 tentang PKBL yang tidak menyentuh kepada tenaga kerja, urusan kesempatan kerja dan hubungan pekerjaan maupun kecelakaan dan keamanan kerja bukan domain dari PKBL. 80 Jadi, community development dan PKBL merupakan bagian dari CSR, sehingga CSR adalah bingkai (frame) tanggung jawab sosial perusahaan yang lebih menyeluruh. Sedikit membahas sumber dana untuk melakukan PKBL, menurut ketentuan Pasal 9 Permeneg BUMN ini adalah berasal dari penyisihan laba setelah pajak maksimal sebesar 2% (dua persen). Kata kuncinya di sini adalah „laba‟, sehingga hanya BUMN yang mendapatkan laba lah yang harus menjalankan PKBL dan untuk BUMN yang merugi tidak harusmenjalankan PKBL, sebab dana PKBL berasal dari laba yang didapatkan BUMN tersebut. Bagi BUMN yang melaksanakan PKBL ini untuk posisi keuangan dari PKBL dilakukan terpisah dengan buku tahunan dari BUMN Pembina (off balance sheet). a. Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil Menurut Peraturan Menteri Negara BUMN (Permeneg BUMN) Nomor PER-05/MBU/2007 tentang Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan, Program Kemitraan dilakukan dengan tujuan meningkatkan kemampuan usaha kecil agar menjadi tangguh dan mandiri. Usaha kecil yang dimaksud dalam Permeneg BUMN ini adalah kegiatan ekonomi rakyat yang berskala kecil dan memenuhi kriteria kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan serta 80 Loc.Cit. 80 kepemilikan sebagaimana diatur dalam peraturan ini. Kriteria usaha kecil yang terdapat dalam Pasal 3 Permeneg PKBL adalah: (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) Memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah), tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha atau memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp 1.000.000.000,(satu milyar rupiah); Milik Warga Negara Indonesia; Berdiri sendiri, bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau berafiliasi baik langsung maupun tidak langsung dengan Usaha Menengah atau Usaha Besar; Berbentuk usaha orang perseorangan, badan usaha yang tidak berbadan hukum, atau badan usaha yang berbadan hukum, termasuk koperasi; Mempunyai potensi dan prospek usaha untuk dikembangkan; Telah melakukan kegiatan usaha minimal 1 (satu) tahun dan tidak berlaku bagi usaha kecil yang dibentuk atau berdiri sebagai pelaksanaan program BUMN Pembina; Belum memenuhi persyaratan perbankan (non bankable); dan Tidak dibentuk atau berdiri sebagai pelaksanaan program BUMN Pembina. Dalam menjalankan Program Kemitraan ini terdapat beberapa pihak yang pokok yakni mitra binaan sebagai usaha kecil yang mendapatkan pinjaman dana dari penyaluran Program Kemitraan dan berkewajiban melaksanakan kegiatan usaha yang sesuai dengan rencana yang telah disetujui oleh BUMN Pembina serta kemudian membayar kembali pinjaman secara tepat waktu dan menyampaikan laporan perkembangan usaha secara periodik kepada BUMN Pembina; BUMN Pembina sebagai BUMN yang melaksanakan PKBL dan diwajibkan melakukan kewajibannya yang terdapat pada Pasal 5 Permeneg BUMN ini; dan Koordinator BUMN Pembina yang ditunjuk oleh Menteri untuk 81 mengkoordinasikan BUMN Pembina di dalam suatu provinsi tertentu yang berkewajiban melakukan perencanaan dan pengalokasian dana Program Kemitraan yang dilakukan oleh BUMN Pembina, memberikan informasi kepada BUMN Pembina mengenai calon mitra binaan untuk menghindari duplikasi pinjaman dana Program Kemitraan serta menyampaikan laporan triwulan dan tahunan pelaksanaan PKBL di wilayahnya kepada menteri dengan tembusan kepada BUMN Pembina di wilayahnya. Selain bersumber dari penyisihan laba setelah pajak maksimal 2 % (dua persen), dana Program Kemitraan juga dapat berasal dari jasa administrasi pinjaman/marjin/bagi hasil, bunga deposito dan/atau jasa giro dari dana Program Kemitraan setelah dikurangi beban operasional serta pelimpahan dana Program Kemitran dari BUMN lain apabila ada. Dana untuk besarnya anggaran dana tersebut ditetapkan oleh Menteri untuk Perum dan RUPS untuk Persero yang kemudian dana tersebut disetorkan ke rekening dana PKBL paling lambat 45 hari setelah penetapan. Untuk pembukuannya dilakukan secara terpisah dari pembukuan BUMN Pembina sama halnya dengan Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) PKBL pun dilakukan terpisah. RKA berisi beban operasional, anggaran program PKBL, serta proyeksi posisi keuangan, laporan aktivitas, arus kas PKBL serta masalah bentuk Program Kemitraan yang diperintahkan dalam Permeneg BUMN ini adalah pinjaman untuk membiayai modal kerja dan atau pembelian aktiva tetap dan pinjaman khusus yang berjangka pendek pengembaliannya serta pembinaan baik dengan pembiayaan pendidikan, 82 pelatihan, pemagangan, pemasaran, promosi. Pembinaan tersebut hanya sebesar 20% dari dana Program Kemitraan yang disalurkan pada program tahunan yang sedang berjalan. Sedikit menarik perhatian dari Permeneg BUMN tentag PKBL ini adalah ditentukannya dua jenis cara pinjaman/pembiayaan yang dapat dilakukan, dua cara tersebut adalah: (1) Prinsip jual beli maka proyeksi marjin yang dihasilkan disetarakan dengan marjin sebesar 6% (enam persen) atau sesuai dengan penetapan Menteri. (2) Prinsip bagi hasil maka rasio bagi hasilnya untuk BUMN Pembina adalah mulai dari 10% (10 : 90) sampai dengan maksimal 50% (50 : 50). Untuk tata cara pemberian dana Program Kemitraan diatur dalam Pasal 12 Ayat (1) Permeneg PKBL, yaitu: a. Calon mitra binaan menyampaikan rencana penggunaan dana pinjaman dalam rangka pegembangan usahanya untuk diajukan kepada BUMN Pembina atau BUMN Penyalur atau Lembaga Penyalur, dengan memuat sekurangkurangnya data sebagai berikut: 1) Nama dan alamat unit usaha; 2) Nama dan alamat pemilik/pengurus unit usaha; 3) Bukti identitas diri pemilik/pengurus; 4) Bidang Usaha; 5) Izin usaha atau surat keterangan usaha dari pihak yang berwenang; 6) Perkembangan kinerja usaha; dan 7) Rencana usaha dan kebutuhan dana. b. BUMN Pembina atau BUMN Penyalur atau lembaga Penyalur melaksanakan evaluasi dan seleksi atas permohonanyang diajukan oleh calon mitra binaan; c. Calon mitra binaan yang layak bina, menyelesaikan proses administrasi; d. Pemberian pinjaman kepada calon mitra binaan dituangkan dalam surat perjanjian/kontrak; dan e. BUMN Pembina atau BUMN Penyalur atau Lembaga penyalur dilarang memberikan pinjaman kepada calon Mitra Binaan yang menjadi mitra binaan BUMN Pembina atau BUMN Penyalur atau Lembaga Penyalur Lain. 83 Bahkan dengan kinerja progam kemitraan ini dapat menentukan tingkat kesehatan suatu BUMN. b. Program Bina Lingkungan Program Bina Lingkungan baru dirumuskan dalam undang-undang pada saat dikeluarkannya Keputusan Menteri BUMN Nomor Kep236/MBU/2003 tentang Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan yang disebutkan bahwa Program Bina Lingkungan adalah program pemberdayaan kondisi sosial masyarakat oleh BUMN di wilayah usaha BUMN tersebut melalui pemanfaatan dana dari bagian laba BUMN. Keputusan Menteri BUMN Nomor Kep- 236/MBU/2003 tentang Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan diperbaharui dengan Peraturan Menteri Negara BUMN Nomor Per-05/MBU/2007 tentang Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan, maka Program Bina Lingkungan memang patut untuk dilakukan oleh BUMN. Ketentuan Pasal 9 Permeneg BUMN No. Per-05 /MBU/2007 tentang PKBL menyebutkan dana melaksanakan Program Bina Lingkungan (BL) bersumber dari penyisihan laba setelah dikurangi pajak dan maksimal sebesar 2% (dua persen) dan hasil bunga deposito dan atau jasa giro dari dana Program Bina Lingkungan. Tidak berbeda dengan dana Program Kemitraan, dana Program Bina Lingkungan pun harus disetorkan ke rekening dana PKBL paling lambat 45 hari kerja setelah ditetapkan oleh Menteri untuk Perum dan oleh 84 RUPS untuk Persero, sedangkan pendistribusian dana BL tersebut untuk setiap tahunnya adalah untuk sebesar 70 % (tujuh puluh persen) dari jumlah dana Program Bina Lingkungan disalurkan melalui Program Bina Lingkungan BUMN Pembina dan 30 % (tiga puluh persen) nya yang tersedia diperuntukan bagi Program Bina Lingkungan BUMN Peduli. Dalam Permeneg PKBL, terdapat dua jenis Program Bina Lingkungan menjadi dua yakni Program Bina Lingkungan BUMN Pembina dan Program Bina Lingkungan BUMN Peduli. Program Bina Lingkungan BUMN Pembina adalah Program Bina Lingkungan yang ditetapkan dan dilaksanakan oleh BUMN Pembina di wilayah usaha BUMN yang bersangkutan, sedangkan Program Bina Lingkungan BUMN Peduli adalah Program Bina Lingkungan yang dilakukan secara bersama-sama antar BUMN dan pelaksanaanya ditetapkan dan dikoordinir oleh Menteri. Untuk Program Bina Lingkungan diberikan dalam enam bentuk sesuai dengan ketentuan Pasal 11 Ayat (2) huruf e, yakni: - Bantuan korban bencana alam; - Bantuan pendidikan dan/atau pelatihan; - Bantuan peningkatan kesehatan; - Bantuan pengembangan prasarana dan/atau sarana umum; - Bantuan sarana ibadah; - Bantuan pelestarian alam. Berbeda dengan Program Kemitraan, untuk beban operasional Program Bina Lingkungan ditentukan maksimal sebesar maksimal 5% (lima persen) dari dana Program Bina Lingkungan BUMN Pembina yang disalurkan pada tahun berjalan, namun sebelum menyalurkan dana bina lingkungan BUMN Pembina harus melakukan survai dan identifikasi 85 sesuai dengan kondisi dan kebutuhan di wilayah usaha BUMN Pembina setempat. Setelah mengetahui permasalahan, anggaran keuangan dan kegiatan BL yang akan dilakukan, maka dituangkan ke dalam Rencana Kerja dan Anggaran. Setelah melakukan Program Bina Lingkungan berdasarkan ketentuan Pasal 21 Ayat (2) Permeneg PKBL, BUMN Pembina harus melaporkan hasilnya secara berkala yakni triwulan dan tahunan kepada Menteri dari Direksi dengan tembusan kepada Dewan Komisaris/Dewan Pengawas. 86 BAB III METODE PENELITIAN Penelitian ilmiah adalah suatu usaha untuk menemukan, mengembangkan dan menguji kebenaran suatu pengetahuan yang dilakukan secara metodologis dan sistematis. Metodologis berarti penelitian tersebut menggunakan metode-metode yang bersifat ilmiah, sedangkan sistematis berarti penelitian tersebut sesuai dengan pedoman atau aturan penelitian yang berlaku untuk karya ilmiah.81 Metode adalah alat yang digunakan untuk mencari jawaban dari suatu permasalahan, oleh karena itu agar dapat dipercaya kebenarannya, maka suatu penelitian ilmiah harus disusun dengan menggunakan metode yang tepat. A. Metode Pendekatan Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif, yaitu penelitian yang mengkonsepkan hukum sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan (laws in book) atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berperilaku manusia yang dianggap pantas82 dengan pendekatan perundang-undangan. Pendekatan perundang-undangan digunakan karena yang diteliti adalah berbagai aturan 81 Sutrisno Hadi, Metodologi Research, Yogyakarta, UGM Press, 1995, Hlm 4. Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006, Hlm 118. 82 87 hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral suatu penelitian.83 Kaitannya dengan penelitian ini adalah berbagai aturan hukum terutama Peraturan Perundang-undangan yang berkaitan dengan Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan sebagai Tanggung Jawab Sosial Perusahaan sebagai fokus sekaligus tema sentral dalam penelitian. Hal ini karena penelitian hukum dalam level dogmatik hukum atau penelitian untuk praktik hukum tidak dapat melepaskan diri dari pendekatan perundang-undangan.84 Metode pendekatan lain yang digunakan adalah pendekatan analitis (analytical approach). Pendekatan ini dimaksudkan untuk mengetahui makna yang dikandung oleh istilah-istilah yang digunakan dalam peraturan perundangundangan secaa konsepsional sekaligus mengetahui penerapannya dalam praktik.85 Dalam peneletian ini pendekatan analisis tersebut digunakan untuk mengetahui substansi dari Peraturan Perundang-undangan penerapan mengenai Program Kemitraan dan Bina Lingkungan dan penerapannya di PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Cabang Purwokerto. B. Spesifikasi Penelitian Spesifikasi penelitian memuat mengenai taraf penelitian yang dilakukan, apakah pada taraf deskriptif ataupun pada taraf inferensial. Dalam penelitian ini spesifikasi penelitian yang digunakan adalah deskriptif, yaitu suatu penelitian 83 Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Cetakan Keempat, Malang, Bayumedia Publishing, 2008, Hlm 302. 84 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Edisi Pertama Cetakan Ke-4, Jakarta: Kencana, 2008, Hlm 96. 85 Nayla Alawiya, Materi Kuliah Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, Universitas Jenderal Soedirman, Hlm 4-5. 88 yang bertujuan menggambarkan keadaan atau gejala dari obyek yang akan diteliti.86 Kaitannya dengan penelitian ini adalah untuk menggambarkan tentang penerapan Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan sebagai Tanggung Jawab Sosial Perusahaan di PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Cabang Purwokerto. C. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Pusat Informasi Ilmiah Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Unit Pelaksana Teknis Perpustakaan Universitas Jenderal Soedirman, Perpustakan Pusat Universitas Indonesia di Depok, Media Internet dan juga penelitian dilakukan di PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Puwokerto, Jl. Jend. Soedirman No. 137 Purwokerto, Banyumas, Jawa Tengah. D. Sumber Data Penelitian ini menggunakan data sekunder yakni bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. (1) Bahan hukum primer adalah yaitu bahan hukum yang mengikat, dan terdiri dari norma (dasar) atau kaidah dasar, peraturan dasar, dan peraturan perundangundangan. Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah peraturan hukum yang merupakan sumber 86 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, Penerbit Universitas Indonesia, 1986, Hlm 9. 89 hukum tentang PKBL sebagai tanggung jawab sosial perusahaan pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang dalam penelitian ini berpusat pada Peraturan Menteri Negara BUMN Nomor Per05/MBU/2007 tentang Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan. (2) Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang memberikan informasi dan menjelaskan mengenai bahan hukum primer yang tidak atau belum pernah diformalkan melalui proses positivisasi yang formal sebagai hukum. Dalam penulisan ini, bahan hukum sekunder yang digunakan berupa buku-buku teks, artikel-artikel, hasil penelitian dan hasil karya dari kalangan hukum seperti literatur, jurnal, dan buletin ilmiah di bidang hukum juga bahan-bahan dari situs internet yang mengungkapkan pemikiran-pemikirannya mengenai Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan yang dilakukan oleh BUMN serta bahan hukum sekunder mengenai Tanggung Jawab Sosial Perusahaan. (3) Bahan hukum tersier yakni bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder yang dalam penelitian ini dapat berupa berupa kamus hukum, kamus bahasa inggris, kamus bahasa indonesia serta kamus-kamus lainnya yang menunjang penelitian. Selain data sekunder, sumber bahan hukum yang digunakan meliputi data primer yakni wawancara kepada Bapak Rahadian Nur Vassa dan Bapak Oriletsa yang 90 dilakukan di PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Cabang Purwokerto guna mendukung data sekunder serta untuk melengkapi penelitian kepustakaan. Digunakannya data primer dalam penelitian ini adalah untuk mendukung terhadap penelaahan data sekunder dalam penelitian ini dan tidak akan mengubah karakter kekhasan ilmu hukum sebagai ilmu normatif. E. Metode Pengumpulan Data Dalam penelitian ini, pengumpulan data sekunder dilakukan dengan melakukan studi kepustakaan dan studi dokumenter.87 Studi kepustakaan dilakukan terhadap norma atau kaidah dasar dan peraturan perundang-undangan serta literatur, jurnal dan buletin ilmiah dalam bidang hukum dan melakukan studi dokumenter terhadap arsip-arsip dan dokumen-dokumen di PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Cabang Purwokerto. Penelitian ini juga melakukan pengumpulan data primer yang dilakukan melalui wawancara Bapak Rahdian Nur Vassa dan Bapak Oriletsa sebagai pihak yang terkait penerapan Program Kemitraan dan Program Bina Lingkungan di PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Cabang Purwokerto. F. Metode Penyajian Data Dalam penelitian ini, data yang diperoleh disajikan dalam bentuk teks naratif yang disusun secara sistematis sebagai satu kesatuan yang utuh. Data 87 Saryono Hanadi, Metodologi Penulisan dan Penelitian Hukum, Bahan Kuliah MPPH, Purwokerto, Universitas Jenderal Soedirman, 2008, Hlm 9. 91 sekunder dan data primer yang dikumpulkan baik melalui studi kepustakaan maupun melalui studi dokumen mengenai Program Kemitraaan BUMN dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan sebagai Tanggung Jawab Sosial Perusahaan serta wawancara dengan terkait PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Cabang Purwokerto akan disajikan dalam bentuk teks naratif dan disusun secara sistematis sebagai kesatuan yang utuh. G. Metode Analisis Data Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis data normatif kualitatif dengan model interpretasi hukum dan model analisa logika deduktif. Metode analisis normatif kualitatif, yaitu pembahasan dan penjabaran yang disusun secara logis terhadap hasil penelitian terhadap norma, kaidah, maupun teori hukum yang relevan dengan pokok permasalahan. Sedangkan model analisis logika deduktif adalah menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan yang konkret yang dihadapi.88 88 Johnny Ibrahim, Op.Cit. Hlm. 293 92 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Data Sekunder Berdasarkan data yang diperoleh selama penelitian dengan melakukan studi dokumenter yang berhubungan langsung dengan materi yang diteliti, diperoleh data sebagai berikut: 1. 1 Dasar dan acuan penerapan Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan di PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Cabang Purwokerto Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan di PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Cabang Purwokerto diterapkan dengan mengikuti ketentuan Standard Operating Prosedure (SOP) Program Kemitraan dan Program Bina Lingkungan (PKBL) yang dibuat oleh Divisi Komunikasi Perusahaan BNI. SOP PKBL ini ditujukan kepada segenap PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk, Kantor Wilayah, Kantor Cabang dan Sentra Kredit Kecil (SKC). SOP PKBL dikeluarkan karena adanya perintah Surat Keputusan Direksi BNI agar dibuat SOP PKBL. Berdasarkan konsideran, SOP PKBL tersebut disusun mengacu kepada Peraturan Menteri Negara BUMN Nomor PER-05/MBU2007 tanggal 27 April 2007 tentang Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dan 93 Program Bina Lingkungan serta peraturan Internal BNI. Maksud dan tujuan dari penerapan Program Kemitraan menurut SOP PKBL yang dikeluarkan oleh BNI adalah mendorong upaya pertumbuhan ekonomi kerakyatan serta terciptanya pemerataan pembangunan melalui perluasan lapangan kerja, kesempatan dan pemberdayaan masyarakat serta berpartisipasi aktif pembinaan kepada usaha kecil berupa bantuan modal usaha, promosi produk usaha, pendampingan mitra binaan dan pelatihan/pendidikan melalui Program Kemitraan. SOP PKBL dipedomani dalam menerapkan PKBL di unit operasional dan untuk hal-hal yang tidak diatur secara khusus tetap mengacu kepada peraturan BNI yang berlaku. SOP PKBL ini mulai berlaku sejak tanggal 29 Maret 2011. 1.2 Terminologi dalam PKBL di PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Cabang Purwokerto Terminologi yang digunakan dalam penerapan PKBL di PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Cabang Purwokerto bersumber dari Standard Operating Prosedure (SOP) Program Kemitraan dan Bina Lingkungan. SOP PKBL ditujukan kepada segenap Kantor Wilayah, Kantor Cabang dan SKC Purwokerto, sehingga SOP PKBL ini berlaku di BNI Kantor Cabang Purwokerto dan Sentra Kredit Kecil (SKC) Purwokerto. SOP ini dibuat dengan tujuan menindak lanjuti program pemerintah melalui Kementerian Negara BUMN dalam hal kewajiban Persero BUMN melaksanakan PKBL, juga dalam upaya mendorong pertumbuhan ekonomi kerakyatan serta terciptanya pemerataan pembangunan melalui perluasan lapangan kerja, 94 kesempatan berusaha dan pemberdayaan masyarakat. Dalam SOP PKBL disebutkan terminologi yang dipakai dalam penerapan PKBL di PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk dan Sentra Kredit Kecil (SKC) Cabang Purwokerto, yaitu: 1. Standard Operating Procedure (SOP) adalah sistem dan prosedur pelaksanaan PKBL yang berlaku di PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. 2. Badan Usaha Milik Negara, yang selanjutnya disebut BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh Negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan Negara yang dipisahkan. 3. Menteri adalah Menteri Badan Usaha Milik Negara. 4. Perusahaan adalah PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. 5. Kantor Besar adalah Kantor Pusat PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. 6. Kantor Cabang adalah Kantor Cabang dan atau Sentra Kredit Kecil dan atau Cabang Stand Alone (STA) PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. 7. Direktur Utama adalah Direktur Utama PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk dan bertindak sekaligus sebagai pembina PKBL PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. 8. Direksi adalah Direksi PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. 95 9. Usaha Kecil adalah kegiatan ekonomi rakyat yang berskala kecil/usaha perorangan atau badan usaha yang telah melakukan kegiatan usaha yang memiliki hasil penjualan tahunan setinggi-tingginya Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah) atau memiliki kekayaan bersih setinggi-tingginya Rp. 200.000.000 (dua ratus juta) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha. 10. PKBL adalah Program Kemitraan dan Bina Lingkungan. 11. Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil, yang selanjutnya disebut Program Kemitraan adalah Program untuk meningkatkan kemampuan usaha kecil agar menjadi tangguh dan mandiri melalui pemanfaatam dana dari bagian laba perusahaan yang telah disetujui oleh Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). 12. Program Bina Lingkungan, yang selanjutnya disebut Program Bina Lingkungan adalah program pemberdayaan kondisi kesejahteraan sosial masyarakat di wilayah usaha PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk melalui pemanfaatan bagian laba perusahaan yang telah disetujui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). 13. Program Bina Lingkungan BUMN Peduli adalah Program Bina Lingkungan yang dilakukan secara bersama-sama antar BUMN dan pelaksanaannya ditetapkan oleh Menteri. 14. Mitra Binaan adalah Pelaku usaha kecil (usaha mikro, kecil dan koperasi) yang mendapatkan fasilitas pinjaman dari dana Program Kemitraan PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. 96 15. BUMN Pembina adalah BUMN yang melaksanakan Program Kemitraan dan Program Bina Lingkungan. 16. Koordinator BUMN Pembina adalah BUMN yang ditunjuk oleh Menteri untuk mengkoordinasikan BUMN Pembina di dalam suatu propinsi tertentu. 17. BUMN Penyalur adalah BUMN yang menyalurkan Dana Program Kemitraan milik BUMN Pembina lain berdasarkan Perjanjuan Kerjasama Penyalur. 18. Lembaga Penyalur adalah badan usaha selain BUMN atau lembaga bukan badan usaha yang melakukan kerjasama dengan BUMN Pembina dalam menyalurkan pinjaman Dana Program Kemitraan berdasarkan Perjanjian Kerjasama Penyalur. 19. Kredit Kemitraan BUMN di PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk adalah pelaksanaan Program Kemitraan di PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. 20. Pinjaman Khusus adalah pinjaman kepada mitra binaan untuk membiayai kebutuhan dana pelaksanaan kegiatan usaha Mitra Binaan yang bersifat jangka pendek dalam rangka memenuhi pesanan dari rekanan mitra binaan untuk usaha produktif. 21. Beban Pembinaan adalah beban biaya kegiatan bimbingan dana pendampingan untuk menumbuhkan dan meningkatkan kemampuan mitra binaan. 97 22. Beban Operasional adalah beban biaya pelaksanaan operasional yang berhubungan dengan kegiatan PKBL. 23. Koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang atau badan hukum yang melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasarkan atas azas kekeluargaan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. 24. Lembaga Pendamping adalah merupakan instansi/institusi /lembaga/perusahaan/yayasan/koperasi yang mempunyai fungsi sebagai pembina, pendampin, rekomendasi dan konsultasi Program BL. 25. Kelompok PKBL adalah unit khusus di dalam Divisi Komunikasi Perusahaan dan Kesekretariatan PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk yang mengelola dana Program Kemitraan maupun Progran Bina Lingkungan. 26. Capacity Building adalah pendidikan dan pelatihan untuk meningkatkan kemampuan mitra binaan dalam bidang administrasi, kualitas produk dan pemasaran. Capacity Building juga digunakan untuk meningkatkan kemampuan petugas PKBL di PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. 27. Kampoeng BNI adalah program unggulan PKBL PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk untuk pemberdayaan masyarakat dan lingkungan sosialnya dalam suatu kawasan (cluster). 98 28. Kualitas Pinjaman Kredit BNI Mitra Binaan adalah suatu status kondisi pinjaman mitra binaan yang terdiri dari pinjaman lancar, pinjaman kurang lancar, pinjaman diragukan dan pinjaman macet. 29. Kualitas Pinjaman Kredit BNI adalah status kondisi portepel pinjaman pada BNI yang terdiri dari pinjaman lancar, pinjaman dengan perhatian khusus, pinjaman kurang lancar, pinjaman diragukan dan pinjaman macet. 30. Pemulihan Pinjaman adalah usaha untuk memperbaiki kualitas pinjaman kurang lancar, pinjaman diragukan dan pinjaman macet agar menjadi lebih baik kategorinya. 31. Dropping Dana adalah proses alokasi dana PKBL dari KMP kepada unit opersional. 32. Pengembalian dropping adalah pengembalian sisa dropping dana kemitraan yang masih tersisa di unit operasional ke giro KMP. 1.3 Divisi yang terlibat dalam PKBL di PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Ada tujuh divisi yang terlibat dalam penerapan PKBL di PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk dan berlaku di semua unit BNI di seluruh Indonesia, berikut divisi yang terlibat dalam penerapan PKBL tersebut: (1) Divisi Komunikasi Perusahaan & Kesekretariatan (KMP) Divisi KMP berperan sebagai yang melakukan seleksi, penilaian dan persetujuan atas usulan maupun proposal yang masuk dari unit operasional dan pihak eksternal; melakukan dropping dana PKBL ke unit 99 operasional; melakukan promosi dan publikasi terkait PKBL; melakukan sinergi dengan BUMN lain maupun instansi lain dalam terhadap penyaluran PKBL; melakukan kerjasama dengan instansi sebagai lembaga penyalur maupun lembaga pendamping untuk membantu kegiatan PKBL lainnya; melakukan perencanaan, pengelolaan serta monitoring PKBL secara berkesinambungan dengan melibatkan unit yang ada di PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk maupun pihak eksternal; melaksanakan fungsi akuntansi, administrasi dan pelaporan kegiatan PKBL; menyusun dan memperbaiki juklak PKBL bersama unit terkait. (2) Divisi Usaha Kecil (USK) Divisi USK berperan mengatur memutus kredit untuk Program Kemitraan; menunjuk PIC PKBL di SKC; dan menetapkan target Program Kemitraan bersama KMP. (3) Divisi Jaringan dan Layanan (JAL) Divisi JAL berperan mengatur kewenangan memutus kredit untuk Program Kemitraan dan menunjuk PIC PKBL di STA. (4) Divisi Pengendalian Keuangan (PKU) (5) Divisi Teknologi (TEK) (6) Kantor Wilayah. Kantor wilayah berwenang memberikan usulan kegiatan terkait PKBL di wilayah kerjanya; menyampaikan rencana kerja dan anggaran terkait PKBL di wilayah kerjanya; mendukung PKBL KMP saat 100 melaksanakan tugas di wilayah kerjanya; melakukan monitoring tethadap semua pelaksanaan kegiatan PKBL termasuk Kampoeng BNI yang berada di wilayah kerjanya; mengkoordinasikan seluruh permintaan Program Bina Lingkungan dari unit operasional di wilayah kerjanya dan menyampaikan ke KMP; menunjuk PIC PKBL di kantor wilayah; menyampaikan laporan kinerja dan aktivitas PKBL di wilayah kerjanya kepada KMP. (7) Unit Operasional (Divisi/Unit/Kantor Cabang/SKC/STA) Unit Operasional bertugas menerima dan mempertanggungjawabkan dana PKBL sesuai ketentuan yang berlaku; melakukan penyaluran kredit kemitraan melalui analisa kredit kemitraan sesuai ketentuan yang berlaku; menerima, melakukan proses dan memutus kredit kemitraan sesuai dengan matrik kewenangan kredit yang berlaku; mengelola dan memanfaatkan alokasi jasa administrasi kredit kemitraan di unitnya sesuai ketentuan terlampir tentang beban operasional; melakukan identifikasi, perencanaan dan pengembangan Kampoeng BNI sesuai dengan produk unggulan daerahnya; berperan aktif dalam melakukan kegiatan Bina Lingkungan (sosial) di sekitarnya dengan tujuan pemberdayaan masyarakat untuk meningkatkan citra positif BNI; melaporkan kinerja dan aktivitas terkait PKBL kepada kantor wilayah; menjaga kualitas dan monitoring kredit kemitraan kepada mitra binaan. 101 1.4 Ketentuan dan penerapan Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil di PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Cabang Purwokerto Dalam penerapan Program Kemitraan PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Cabang Purwokerto menamakan program tersebut menjadi Kredit Kemitraan BUMN atau yang selanjutnya dalam Skripsi ini disebut dengan KKB. Untuk Program Kemitraan dilaksanakan oleh Sentra Kredit Kecil (SKC) Purwokerto. Dilaksanakannya Program Kemitraan oleh SKC Purwokerto karena SKC Purwokerto merupakan salah satu unit di Bank Negara Indonesia yang melaksanakan penyaluran kredit untuk usaha kecil. Tidak dilaksanakannya Program Kemitraan ini oleh PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Cabang Purwokerto karena Kantor Cabang hanya melayani untuk kredit konsumtif. Dalam menerapkan Program Kemitraan di tiap unit operasional dituangkan dalam Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) yang mana RKA ini bersumber dari program kerja PKBL Divisi KMP dan unit operasional bersangkutan yang dalam hal ini diajukan oleh SKC Purwokerto. SKC Purwokerto menyampaikan usulan dana untuk melaksanakan Program Kemitraan kepada Divisi KMP. Nantinya RKA tersebut diteruskan oleh Perusahaan ke Menteri Negara BUMN dengan tembusan kepada Komisaris/Dewan Pengawas yang jika disetujui berlaku selama satu tahun anggaran berjalan. Dana dalam pengadaan kredit ini bersumber dari penyisihan laba perusahaan setelah pajak maksimal sebesar 2% (dua persen) dan ditetapkan dalam RUPS, yang untuk tahun 2012 berjalan 102 ini SKC Purwokerto mendapatkan dropping dana sebesar Rp. 1. 000.000.000,- (satu milyar rupiah). Dana yang didapat SKC Purwokerto tersebut merupakan dana bergulir Program Kemitraan pada periode sebelumnya yakni sebelum tahun 2011. Jadi setelah dana Program Kemitraan pada periode sebelum tahun 2011 disalurkan dan telah bergulir, maka SKC pun mempertanggung jawabkan dan mengembalikan dana tersebut kepada Divisi KMP. Pertanggung jawaban dana tersebut menjadi pertimbangan Divisi KMP untuk menyetujui usulan RKA pada periode tahun berikutnya kepada tiap unit operasional yang dalam hal ini adalah SKC Purwokerto. Pada periode 2012 ini Divisi KMP menyetujui untuk dana yang disalurkan oleh SKC Purwokerto sebesar Rp. 1.000.000.000 (satu milyar rupiah). Dropping dana sebesar Rp. 1.000.000.000 (satu milyar rupiah) didistribusikan oleh SKC Purwokerto kepada Unit Kredit Kecil (UKC) yang berada dibawah naungan SKC Purwokerto. UKC yang berada di bawah naungan SKC Purwokerto ada tiga, yakni: a. Unit Kredit Kecil (UKC) Cilacap b. Unit Kredit Kecil (UKC) Purbalingga c. Unit Kredit Kecil (UKC) Kebumen Dana tersebut didistribusikan berdasarkan potensi pembiayaan masingmasing UKC yang tiap Sentra Kredit Kecil dan Unit Kredit Kecil mendapatkan dana masing-masing sebesar Rp. 250.000.000,- (dua ratus lima 103 puluh juta rupiah). Dana ini lah yang harus dikelola oleh tiap SKC dan UKC dalam tahun 2012. Dana tersebut dapat dikelola dengan memberikan Kredit Kemitraan yang berupa: a. Pinjaman kepada usaha kecil untuk membiayai modal kerja dengan jangka waktu pinjaman maksimal 36 bulan termasuk grace period satu tahun. Maksimum kredit ini adalah sampai Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah) dengan tingkat bunga 6% (enam persen) flat pertahun. Kredit ini biasanya disebut dengan Kredit Modal Kerja (KMK); b. Pinjaman kepada usaha kecil untuk pembelian aktiva tetap (investasi) dalam rangka meningkatkan produksi dan penjualan yang dapat diberikan dalam bentuk dana/uang atau berupa barang/fisik. Jangka waktu pinjaman kredit ini adalah maksimal lima tahun termasuk grace period satu tahun. Maksimum kredit ini adalah sampai Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah) dengan tingkat bunga 6% (enam persen) flat pertahun. Kredit ini biasanya disebut dengan Kredit Investasi (KI); atau c. Pinjaman khusus, digunakan untuk membiayai kebutuhan dana pelaksanaan kegiatan usaha mitra binaan yang bersifat jangka pendek dalam rangka memenuhi pesanan dari rekanan usaha mitra binaan dengan jangka waktu pinjaman maksimum satu tahun, dengan maksimum kredit yang dapat diberikan sampai dengan Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dengan total keseluruhan kredit tidak melebihi Rp. 100.000.000,(seratus juta rupiah). 104 Berdasarkan SOP PKBL, kriteria usaha kecil yang dapat ikut serta dalam Program Kemitraan ini adalah: a. Pelaku usaha kecil yang mempunyai kekayaan bersih maksimal sebesar Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) diluar tanah dan bangunan tempat usaha atau memiliki hasil penjualan dalam satu tahun maksimal sebesar Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah) atau mengikuti ketentuan Kementerian BUMN yang sedang berlaku. b. Milik warga negara Indonesia. c. Berdiri sendiri, bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau berafiliasi baik langsung maupun tidak langsung dengan usaha menengah atau usaha besar. d. Telah melakukan kegiatan usaha minimal satu tahun. e. Usaha feasible namun belum bankable. f. Tidak sedang dibina oleh BUMN lain dan/atau fasilitas kredit produktif lainnya. g. Berbentuk usaha perorangan, badan usaha tidak berbadan hukum atau badan usaha yang berbadan hukum, termasuk koperasi. h. Mengajukan permohonan pinjaman dengan melampirkan: - Mengisi aplikasi permohonan. - Pas foto terbaru suami/istri/penangungjawab berikutnya masing-masing satu lembar, jika sudah menikah. - Foto copy (KTP) suami/istri yang masih berlaku, jika sudah menikah. - Foto copy Kartu Keluarga. 105 i. Keterangan berusaha dari Kepala Desa/Kelurahan, Kecamatan, Dinas Pasar atau Otorita setempat di mana Mitra Binaan berusaha. j. Khusus pinjaman Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) sampai dengan Rp. 100.000.000,- persyaratan dokumen mengikuti ketentuan perkreditan BNI yang berlaku. Untuk KKB sebesar Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) tidak dipersyaratkan untuk adanya jaminan tambahan (second way out). Maksimum kredit dari Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) sampai dengan Rp. 30. 000.000,- (tiga puluh juta rupiah) dipersyaratkan adanya jaminan tambahan alternatif berupa asli ijazah, asli akta kelahiran anak, asli SK pengangkatan pegawai negeri dan SK terakhir, kartu jamsostek dan atau jaminan kendaraan roda dua. Pinjaman dari Rp. 30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah) sampai dengan Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dipersyaratkan minimal adanya agunan yang tidak dapat diikat secara sempurna, seperti halnya tanah dengan status kepemilikan girik, petuk, letter c, surat hijau dan atau jaminan kendaraan roda empat. Pinjaman sebesar Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) sampai dengan Rp. 100.000.000 (seratus juta rupiah) dipersyaratkan adanya agunan yang dapat diikat secara sempurna, seperti halnya tanah dengan status kepemilikan berupa sertifikat. Sejak dikeluarkannya Standard Operating Procedure (SOP) untuk melaksanakan PKBL yang mulai berlaku sejak tanggal 29 Maret 2011, SKC Purwokerto dan UKC dibawah naungan SKC Purwokerto telah memberikan Kredit Kemitraan BUMN (KKB) kepada dua belas mitra binaan/nasabah, 106 sepuluh orang diantaranya diberikan Kredit Modal Kerja (KMK) dan dua diantaranya diberikan Kredit Investasi (KI). Jangka waktu yang diberikan kepada tiap dua belas mitra/nasabah dalam KKB ini adalah selama 36 bulan atau tiga tahun. Jenis usaha para mitra binaan delapan orang dari dua belas orang merupakan pedagang eceran komoditi lainnya (bukan makanan, minuman, atau tembakau), dua orang dengan usaha restoran/rumah makan, satu orang jasa akomodasi lainnya dan satu orang lagi jasa kegiatan lainnya. Tiap mitra dikenakan bunga kredit sebesar 6 % (enam persen) per tahun dengan biaya administrasi dan provisi sebesar Rp. 0,- (nol rupiah). Untuk penyaluran dana KKB ini disahkan dan dituangkan dalam bentuk perjanjian tertulis yang pada pokoknya berisi mengenai hal-hal: (1) Identitas para pihak; (2) Besaran maksimum kredit; (3) Tujuan kredit; (4) Suku bunga kredit; (5) Jangka waktu kredit; (6) Penarikan kredit dan biaya administrasi; (7) Jaminan atas kredit; (8) Asuransi barang-barang jaminan; dan (9) Hal-hal yang dilarang dalam perjanjian kredit. Selain perjanjian kredit yang menjadi perjanjian pokok, disertai pula perjanjian tambahan guna menjamin kredit yang diberikan kepada mitra binaan. Menurut SOP PKBL BNI, setiap mitra binaan harus dipantau 107 perkembangan usahanya yang dilakukan dari penyaluran sampai dengan pelunasan pinjaman. Monitoring atau pemantauan dan pembinaan perkembangan usaha mitra binaan dapat dilaksanakan sebagai berikut: a. Monitoring perkembangan usaha berdasarkan peninjauan lapangan oleh unit operasional mitra binaan minimal satu kali selama setahun. b. Melakukan evaluasi kepada mitra binaan terkait perkembangan usaha yang selanjutnya dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan keikutsertaan dalam pameran pengembangan Kampoeng BNI. Dalam penyaluran dana Program Kemitraan ini tidak menutup kemungkinan adanya kredit macet atau pinjaman bermasalah. Pinjaman bermasalah yang dapat dipulihkan adalah piutang yang kurang lancar, diragukan dan macet. Penanganan terhadap kredit yang bermasalah tersebut dapat berupa penjadualan kembali (rescheduling) atau penyesuaian persyaratan (reconditioning), kedua hal tersebut dapat dilakukan jika: (1) Mitra binaan beritikad baik atau kooperatif terhadap upaya penyelamatan yang akan dilakukan. (2) Usaha mitra binaan masih berjalan dan mempunyai prospek usaha. (3) Mitra binaan masih mempunyai kemampuan untuk membayar angsuran. (4) Tindakan rescheduling/reconditioning dilaksanakan setelah mendapat permintaan tertulis dari mitra binaan. 108 (5) Pelaksanaan rescheduling/reconditioning dapat dilakukan oleh unit operasional dengan jangka waktu maksimum satu tahun, serta dilaporkan kepada KMP. Dalam KKB tidak diperbolehkan adanya penghapus bukuan terhadap piutang bermasalah milik PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. Dropping dana sebesar Rp. 1.000.000.000 (satu milyar rupiah) tersebut untuk tahun berjalan ini belum dapat disalurkan semuanya oleh SKC Purwokerto yang terbagi kepada UKC dan SKC yang ada untuk unit operasionalnya. Dana yang sudah disalurkan kepada usaha kecil adalah sebesar Rp.530.000.000,- (lima ratus tiga puluh juta rupiah). Mitra binaan/nasabah yang menerima penyaluran dana Program Kemitraan dari SKC Purwokerto terhitung mulai bulan Desember 2012 semuanya jatuh tempo pelunasan pada 36 bulan berikutnya yakni pada bulan Desember 2014. Proses KKB mengacu kepada proses perkreditan di unit operasional, sehingga proses perkreditan mengacu kepada tata cara pengajuan kredit di PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk yang dilakukan oleh SKC Purwokerto. Untuk pelaporan Program Kemitraan yang telah dilakukan ditiap unit operasional dalam hal ini SKC Purwokerto melaporkan kepada Divisi KMP paling lambat tanggal sepuluh pada bulan berikutnya berupa hard copy dan soft copy. Laporan dari unit operasional dalam hal ini SKC Purwokerto disebut laporan internal, selain laporan internal ada laporan eksternal berupa laporan triwulan dan laporan tahunan. Laporan eksternal tersebut disampaikan oleh perusahaan kepada Menteri Negara BUMN dan tembusannya kepada Dewan Komisaris. 109 Laporan Program Kemitraan ini berisi posisi keuangan dana Program Kemitraan yang telah dilaksanakan di SKC Purwokerto. Laporan PKBL merupakan laporan yang bersifat off-balance sheet, sehingga laporan ini tidak masuk ke dalam neraca atau laporan keuangan BNI karena dibuat terpisah dari laporan keuangan BNI. 1.5 Ketentuan dan penerapan Program Bina Lingkungan di PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Cabang Purwokerto Program Bina Lingkungan yang dilakukan oleh PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Cabang Purwokerto dilakukan di sekitar wilayah operasional perusahaan, wilayah operasional PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Cabang Purwokerto meliputi sembilan daerah mengoperasionalkannya melalui cakupan wilayah operasionalnya, yakni: (1) Kantor Layanan Unsoed; (2) Kantor Layanan Pasar Wage; (3) Kantor Layanan Wangon; (4) Kantor Layanan Bumiayu; (5) Kantor Layanan Sokaraja; (6) Kantor Layanan Purbalingga; (7) Kantor Layanan Banjarnegara; (8) Kantor Layanan Bobotsari; dan dan 110 (9) Kantor Kas Ajibarang. Berbeda dengan Program Kemitraan, untuk Program Bina Lingkungan dilaksanakan oleh PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Cabang Purwokerto. Berdasarkan SOP PKBL, ruang lingkup bentuk Program Bina Lingkungan di PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Cabang Purwokerto meliputi: a. Bantuan kepada korban bencana alam, yaitu bantuan yang diberikan untuk meringankan beban para korban yang diakibatkan bencana alam (force majeur); b. Bantuan pendidikan dan atau pelatihan, yaitu bantuan yang diberikan dalam rangka meningkatkan kualitas sumber daya manusia; c. Bantuan peningkatan kesehatan, yaitu bantuan yang diberikan dalam rangka meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat; d. Bantuan pengembangan prasarana dan sarana umum, yaitu bantuan yang diberikan dalam rangka meningkatkan fasilitas kesejahteraan masyarakat; e. Bantuan sarana ibadah, yaitu bantuan yang diberikan dalam rangka meningkatkan kualitas keimanan masyarakat; dan f. Bantuan pelestarian alam yaitu bantuan yang diberikan dalam rangka meningkatkan kualitas lingkungan. 111 Untuk pendistribusian dana Bina Lingkungan dari wilayah kepada unit (dalam hal ini Kantor Semarang kepada Kantor Purwokerto) ditetapkan oleh BNI Kantor Wilayah Semarang. BNI Kantor Wilayah Semarang mengajukan RKA atau usulan tersebut kepada Divisi KMP dengan format tertentu yang telah ditentukan oleh Divisi KMP yang memuat data pemohon, data permohonan dan analisa dari BNI Kantor Cabang Purwokerto dan BNI Kantor Wilayah Semarang mengenai permohonan dana bina lingkungan. BNI juga menetapkan hal-hal yang tidak boleh dilakukan dalam menerapkan Program Bina Lingkungan ini. Dalam penerapan Program Bina Lingkungan ini, Divisi KMP mengkoordinir usulan Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) Program Bina Lingkungan dari Kantor Wilayah berdasarkan masukan dari unit operasional dan usulan atau permohonan Program Bina Lingkungan insidentil dari pihak internal dan eksternal perusahaan juga dikelola oleh Divisi KMP. Divisi KMP bertugas mengkoordinir segala kegiatan Perusahaan agar tidak terjadi tumpang tindih dan memaksimalkan program-program di perusahaan yang salah satunya adalah Program Bina Lingkungan . Penerapan Program Bina Lingkungan dimulai dari adanya permohonan atau usulan/proposal dari pemohon atau unit operasional yang dalam hal ini adalah PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Cabang Purwokerto diajukan ke Kantor Wilayah dan diteruskan ke Kantor Besar. Ketika di Kantor besar, proposal tersebut diperiksa dan diproses oleh Divisi 112 KMP, dalam memproses proposal tersebut ada patokan/indikator penilaian yang harus diikuti, berikut proses dan indikatornya: (1) Analisa dokumen, yang dilakukan untuk mengetahui pemohon, lokasi atau tempat diselanggarakan, jenis/bentuk bantuan yang diminta, jumlah kebutuhan, relevansi dengan program PKBL, frekuensi bantuan, rencana kerja, waktu pelaksanaan. (2) Survey lapangan (bila diperlukan), yang dilakukan untuk mengetahui kelayakan permohonan, menambah fakta lapangan yang belum tertuang dalam proposal, memastikan lokasi/tempat yang akan dibantu, menilai jenis bantuan yang dibutuhkan (tunai atau natura). (3) Menyampaikan usulan dari hasil evaluasi administrasi dan survey lapangan yang berisikan antara lain latar belakang usulan, dasar pertimbangan berdasarkan informasi yang diperoleh saat evaluasi dan ketentuan yang berlaku, rekomendasi penolakan atau persetujuan. (4) Menyampaikan surat penolakan atau persetujuan kepada pemohon atau unit operasional. Setelah proposal disetujui, maka dana dapat dicairkan dan dialokasikan kepada BNI Kantor Cabang Purwokerto. Setelah dana Program Bina Lingkungan cair, maka pihak yang bersangkutan dalam hal ini unit operasional (BNI Cabang Purwokerto) dan tempat dan masyarakat penerima dana Program Bina Lingkungan 113 melaksanakan Program Bina Lingkungan. Bukti pemanfaatan dana Program Bina Lingkungan oleh BNI Kantor Cabang Purwokerto perlu diadministrasikan dan disimpan oleh unit operasional. Laporan Program Bina Lingkungan terbagi menjadi dua yakni laporan eksternal dan laporan internal. Laporan eksternal disampaikan oleh Perusahaan kepada Menteri Negara BUMN dengan tembusan kepada Dewan Komisaris yang terdiri dari laporan triwulan dan laporan tahunan, sedangkan laporan internal dilakukan oleh unit operasional dalam hal ini BNI Kantor Cabang Purwokerto kepada BNI Kantor Wilayah Semarang yang kemudian diteruskan kepada Divisi KMP guna mengkoordinasikan laporan-laporan pelaksanaan program. Laporan penyaluran dana Program Bina Lingkungan memuat realisasi anggaran program dan berita acara program, laporan langsung dibuat setiap kali sebuah acara (even) selesai diselenggarakan dan disampaikan kepada BNI Kantor Wilayah Semarang. Berdasarkan laporan kegiatan Program Bina Lingkungan pada Tahun 2012 BNI Purwokerto, BNI Kantor Cabang Purwokerto telah melakukan empat bentuk Program Bina Lingkungan, yaitu: 1. Pemberian Beasiswa dan renovasi Gedung Sekolah Pemberian beasiswa ini diberikan kepada lima murid Sekolah Dasar dan lima murid Sekolah Menengah Pertama. Murid Sekolah Dasar yang menerima beasiswa berasal dari SD 3 Karang Pucung, SDN 2 Sokanegara, SDN 2 Dawuhan, SDN 4 Karang Tengah yang masing- 114 masing menerima uang tunai sebesar Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah). Untuk murid Sekolah Menengah Pertama yang menerima beasiswa berasal dari SMPN 1 Sokanegara, SMPN 1 Purwokerto, SMPN 5 Purwokerto, SMPN 1 Sumpiuh dan SMPN 4 Banyumas yang masingmasing menerima uang tunai sebesar Rp. 1.500.000,- (satu juta lima ratus ribu rupiah). Renovasi gedung sekolah diberikan kepada SDN 4 Karang Tengah dengan memberikan uang tunai sebesar Rp. 25.000.000,- (dua puluh lima juta rupiah). Besarnya dana bina lingkungan dalam bentuk pemberian beasiswa dan renovasi gedung sekolah ini adalah sebesar Rp. 37.500.000,- (tiga puluh juta lima ratus ribu rupiah). Acara ini dilaksanakan pada tanggal 7 Juli 2012 dalam rangka peringatan Ulang Tahun Bank Negara Indonesia yang diperingati setiap tahun pada tanggal 5 Juli. 2. Pembangunan lingkungan melalui distribusi air bersih Bina lingkungan dengan distribusi air bersih dilaksanakan di daerah Sokaraja tepatnya di Desa Pekaja pada tanggal 27 September 2012. Untuk Program Bina Lingkungan yang satu ini bekerja sama dengan Badan Penanggulan Bencana Daerah (BPBD) Banyumas. Pada program ini BNI Purwokerto menyumbangkan dana sebesar Rp. 1.500.000,00 (satu juta lima ratus ribu rupiah) untuk membeli air bersih sebanyak sepuluh tangki air yang dapat digunakan di Desa Pekaja, Sokaraja. 115 3. Pembagian Al Qur‟an Pembagian 100 (seratus) buah Al Qur‟an dilaksanakan di sepuluh Masjid/Mushola yang ada di Purwokerto. Dana bina lingkungan yang diberikan dalam bentuk Pembagian Al Qur‟an ini adalah sebesar Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah). Berikut masjid/mushola yang mendapat pembagian 100 buah Al Qur‟an: Al Furqon Grendeng, As Shobiri Pasar Cermai, Mina Dukuh Badong, Nurul Ulum Jl HR Bunyamin, Al Azhar Bancar Kembar, Al Firdaus Pabuaran, Al Hidayah Grendeng, Baitul Dhufron Grendeng, Al Haq Bancar Kembar, dan Al Mukminun Karangwangkal. Pembagian Al Qur‟an tersebut dilaksanakan pada 4 Agustus 2012. 4. Penyerahan hewan kurban Penyerahan kurban ini dilakukan pada saat hari raya Idul Adha pada tanggal 26 Oktober 2012. Kurban yang diserahkan berupa satu ekor sapi yang diberikan kepada Masjid Nurul Ulum. Dana bina lingkungan yang disalurkan dalam bentuk penyerahan kurban adalah sebesar Rp. 11.000.000,- (sebelas juta rupiah). 116 2. Data Primer 2.1 Proses Pengajuan dan Penyaluran Kredit Kemitraan BUMN (KKB) di Sentra Kredit Kecil (SKC) Purwokerto Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Rahadian Nur Vassa sebagai Penyelia Pemasaran Kredit di SKC Purwokerto, sebagai data pendukung didapat data mengenai proses pengajuan dan penyaluran Kredit Kemitraan BUMN (KKB) yang dilakukan oleh SKC Purwokerto. Tahapan dalam penyaluran KKB ini adalah pertama, pengajuan KKB dapat dilakukan secara langsung oleh pribadi/orang-perorangan ataupun melalui lembaga/instansi yang memiliki mitra binaan dengan melengkapi persyaratan untuk KKB, yakni: (1) Foto copy KTP suami/istri; (2) Foto copy jaminan; (3) Laporan keuangan usaha; dan (4) Legalitas pendirian usaha. Setelah persyaratan dilengkapi barulah memasuki tahapan kedua, yakni survey dan verifikasi awal. Pihak SKC yang diwakili oleh credit analist melakukan survey dan verifikasi awal mengenai data-data yang disampaikan calon mitra binaan agar dapat dikaji kelayakan pemberian penyaluran dana KKB. Jumlah credit analist di SKC Purwokerto adalah satu orang yaitu Ibu Esti di bawah kepenyeliaan Ibu Ester. Pada tahapan ini seorang credit analist melihat kecocokan data-data yang disampaikan calon mitra binaan 117 dengan fakta di lapangan. Tahapan yang ketiga adalah analisa data, tujuan dilakukannya tahapan ini adalah untuk mengetahui dapat atau tidaknya calon mitra binaan diberikan/disalurkan dana KKB dan jika diberikan kredit apakah calon mitra binaan dapat mengembalikan dana yang telah diberikan dengan tepat waktu. Tahapan ini dilakukan dengan menganalisa tentang kemampuan membayar (repayment capacity) mitra binaan/nasabah yang dapat dilihat dari progres dan keadaan tiga tahun ke belakang usaha calon mitra binaan. Dalam tahap ketiga ini, apabila hasil analisa data ini menyatakan bahwa usulan calon mitra binaan disetujui, maka dituangkan ke dalam Memorandum Pengusulan Kredit (MPK) dan diserahkan kepada wakil pimpinan SKC Purwokerto untuk proses persetujuan . Perlu diketahui untuk menerima proposal kredit kemitraan BUMN, SKC Purwokerto pun harus yakin bahwa calon mitra binaan dapat dipercaya menggunakan dana Program Kemitraan. Yakin tidaknya dapat dilihat dari repayment capacity calon mitra binaan dan manajemen usahanya. Setelah disetujui oleh Wakil Pimpinan SKC Purwokerto, maka dapat dibuat perjanjian KKB antara SKC Purwokerto sebagai pihak kreditur dan mitra binaan sebagai pihak debitur. Setelah perjanjian tersebut selesai dibuat, pihak debitur diharuskan membuka rekening tabungan di BNI Kantor Cabang Purwokerto. Pembukaan rekening tabungan dimaksudkan untuk memudahkan penyaluran dana dari kreditur kepada debitur. Bunga kredit dalam KKB ini dalah sebesar 6 % (enam persen). 118 Setelah dana/pinjaman tersebut disalurkan, maka barulah credit analist melakukan pemantauan kepada debitur setiap enam bulan (walau dalam SOP PKBL ditentukan untuk pemantauan dan pembinaan dilaksanakan setiap setahun sekali). Pemantauan ini bertujuan untuk: (1) Mengetahui kelancaran operasional usaha debitur; (2) Mengantisipasi kendala-kendala yang timbul dalam usaha debitur; (3) Mengeliminir risiko kredit menjadi bermasalah; (4) Melihat apakah peruntukan fasilitas kredit tepat guna dan tepat sasaran. Pemantauan dari pihak kreditur (SKC Purwokerto) sekaligus sebagai salah satu bentuk pembinaan kepada debitur/mitra binaan. Salah satu tugas credit analist adalah bertanggung jawab penuh atas usaha debitur sekaligus sebagai konsultan usaha bagi debitur sehingga credit analist harus memantau, membina dan mengawasi usaha debitur dan lunasnya piutang yang dimiliki kreditur (SKC Purwokerto) dengan tepat waktu. Hasil dari kunjungan dalam rangka pemantauan dan pembinaan ini dituangkan dalam call memo. Call memo merupakan hasil kerja dari petugas yang melakukan pemantauan dan pembinaan dalam penyaluran PK ini yang isinya dapat berupa tulisan, gambar, peta dll terkait keadaan dari usaha mitra binaan. Selama tahun 2012 ini, SKC Purwokerto telah menyalurkan dana Program Kemitraan kepada dua belas mitra binaan dengan bentuk Kredit Modal Kerja (KMK) dan Kredit Investasi (KI). 119 Apabila ditemukan kredit macet dan bermasalah, maka kredit tersebut ditangani oleh Divisi Comercial Remedial & Recovery Credit (RRM) untuk dicari penyelesaiannya yang representasi dari divisi itu di SKC Purwokerto adalah Bapak Irman. Divisi Comercial Remedial & Recovery Credit (RRM) yang diwakili oleh Bapak Irman di Sentra Kredit Kecil Purwokerto khusus menangani untuk penyelesaian kredit yang macet, tetapi selama SKC Purwokerto menyalurkan kredit ini belum ada reschedulling dan reconditioning. Sentra Kredit Kecil Purwokerto dibawah Divisi Usaha Kecil berwenang menangani perihal untuk kredit individual dengan maksimum pinjaman sampai dengan sebesar Rp. 10.000.000.000,(sepuluh milyar rupiah) dan untuk kredit kelompok maksimum pinjaman sampai dengan sebesar Rp. 15.000.000.000,- (lima belas milyar rupiah). Bapak Rahadian sendiri baru memegang Kredit Kemitraan BUMN ini pada tahun 2011 ketika Standar Operating Prosedure (SOP) PKBL yang tersebut di atas dikeluarkan dari Kantor Pusat, sedangkan pada tahun sebelumnya yakni pada tahun 2007 sampai dengan akhir 2010 dipegang oleh Ibu Lisa. Untuk penyaluran dana Program Kemitraan pada tahun 2007 sampai dengan 2010 ini masih mengacu kepada Keputusan Menteri BUMN Nomor KEP236/MBU/2003 tentang Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan. Peneliti mengambil data penelitian terkait penerapan Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan untuk tahun yang sedang berjalan yakni tahun 2012 karena Standard Operating Prosedure (SOP) PKBL mulai berlaku 120 menjelang pertengahan tahun 2011, sehingga peneliti merasa akan lebih baik dan akurat dengan mengambil data pada saat buka buku tahunan dimulai yakni pada tahun 2012. Berdasarkan pertimbangan tersebut peneliti tidak memasukan data mengenai penerapan Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan sebelum tahun 2012. 2.2 Tahapan penerapan Program Bina Lingkungan di PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Cabang Purwokerto Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Oriletsa di Unit Pemasaran PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Cabang Purwokerto, didapat data mengenai tahapan penerapan Program Bina Lingkungan di PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Cabang Purwokerto, yakni sebagai berikut: Pelaksanaan suatu Program Bina Lingkungan dimulai dari adanya pengajuan usulan Program Bina Lingkungan. Pengajuan tersebut dapat datang dari masyarakat, Pemerintah Daerah setempat atau dari BNI Kantor Cabang Purwokerto sendiri. Pada Program Bina Lingkungan yang telah dilakukan oleh BNI Kantor Cabang Purwokerto prosesnya ada yang datang dari pengajuan masyarakat baik perorangan atau kelompok, Pemerintah Daerah Banyumas, usulan dari BNI Kantor Cabang Purwokerto dan perintah langsung dari BNI Kantor Wilayah Semarang. Usulan Program Bina Lingkungan yang masuk ke BNI Kantor Cabang Purwokerto diproses dan dianalisa oleh unit pemasaran yang kemudian usulan tersebut diteruskan 121 kepada BNI Kantor Pusat di Jakarta melalui BNI Kantor Wilayah Semarang untuk ditelaah. Unit Pemasaran di BNI Kantor Cabang Purwokerto terdiri dari 22 orang, Unit Pemasaran memiliki tugas mengurusi kredit dan dana di BNI Kantor Cabang Purwokerto. Setelah proses tersebut BNI Kantor Wilayah Semarang meneruskan hasil konfirmasi atas usulan Program Bina Lingkungan yang diajukan oleh BNI Kantor Cabang Purwokerto lalu menyampaikan kepada pihak bersangkutan. Dalam hal usulan disetujui, maka dana akan disampaikan ke BNI Kantor Cabang Purwokerto dan Kantor Cabang menyalurkan dana tersebut kepada yang bersangkutan. Penyaluran dana kepada yang berkepentingan (masyarakat/lingkungan) dan penyelenggaraan Program Bina Lingkungan tersebut dilaksanakan oleh Unit Pemasaran di BNI Kantor Cabang Purwokerto karena Unit Pemasaran yang paling tepat melaksanakan, hal ini dikarenakan menyangkut perihal brand image dari BNI sendiri. Setelah Program Bina Lingkungan dilaksanakan, maka dibuat laporannya terkait penyelenggaraan program tersebut dalam jangka waktu satu minggu sampai dengan dua minggu dalam bentuk hardcopy dan softcopy yang berisi realisasi dana dan berita acara program yang telah diselenggarakan disertai foto-foto pada saat program tersebut. BNI Kantor Cabang Purwokerto belum memiliki dropping dana rutin dalam penyaluran dana Program Bina Lingkungan, sehingga dalam penerapan penyaluran dana bina lingkungan menjadi kurang leluasa. 122 B. Pembahasan Penelitian ini berjudul Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan sebagai Tanggung Jawab Sosial Perusahaan di PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Cabang Purwokerto. Penelitian ini merupakan penelitian hukum yuridis normatif, yang artinya penelitian ini merupakan penelitian yang memandang hukum sebagai kaidahkaidah normatif yang bebas dari nilai atau anasir-anasir di luar hukum. Penelitian ini mengkonsepkan hukum sebagai norma-norma positif di dalam sistem perundang-undangan hukum nasional yang berdasarkan ajaran hukum murni yang mengkaji „law as it is written in the books‟. Secara konkrit, yang mendasari penelitian ini adalah konsep hukum yang terdapat dalam Peraturan Menteri Negara BUMN Nomor PER05/MBU/2007 tentang Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan atau yang selanjutnya disebut dengan Permeneg PKBL. Konsep hukum yang terdapat dalam Permeneg PKBL tersebut dianalisis untuk mengetahui makna yang terkandung di dalamnya, karena hukum sebagaimana tertulis memiliki keterbatasan hukum sehingga harus diberikan penjelasan. Analisis tersebut sangatlah penting karena penelitian ini bertujuan untuk mencari tahu penerapan Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan di PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Cabang Purwokerto. Ketentuan Pasal 2 Permeneg PKBL menyebutkan bahwa: 123 Ayat (1) Perum dan Persero wajib melaksanakan Program Kemitraan dan Program BL dengan memenuhi ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Peraturan ini. Ayat (2) Persero Terbuka dapat melaksanakan Program Kemitraan dan Program BL dengan berpedoman pada Peraturan ini yang ditetapkan berdasarkan keputusan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Berdasarkan ketentuan Pasal 2 Permeneg PKBL tersebut, maka semua BUMN dengan bentuk Persero dan Perum harus melaksanakan Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan. Walau dalam Permeneg PKBL hanya mewajibkan Perum dan Persero namun untuk Persero Terbuka dapat melaksanakan PKBL dengan berpedoman pada Permeneg PKBL. Permeneg PKBL merupakan turunan dari Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, terutama Pasal 88 UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN yang menyatakan bahwa: Ayat (1) BUMN dapat menyisihkan sebagian laba bersihnya untuk keperluan pembinaan usaha kecil/koperasi serta pembinaan masyarakat sekitar BUMN. Ayat (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyisihan dan penggunaan laba sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri. Sebagai perusahaan negara yang berperan memberikan masukan kepada kas negara tidak lupa dalam UU ini diatur mengenai timbal balik BUMN kepada masyarakat sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 88 bahwa BUMN dapat menyisihkan sebagian laba bersihnya untuk keperluan pembinaan usaha kecil/koperasi serta pembinaan masyarakat sekitar BUMN. Melihat kata kunci antara Pasal 88 UU BUMN dan Pasal 2 Permeneg BUMN No. PER-05/MBU/2007 tentang PKBL terdapat perbedaan yakni pada Pasal 88 UU BUMN menyatakan „dapat‟ sedangkan pada Pasal 2 Permeneg PKBL 124 menyatakan „wajib‟, maka peneliti berasumsi pada Permeneg BUMN tersebut pembuat undang-undang sudah memiliki keinginan agar setiap BUMN wajib melaksanakan CSR dalam bentuk PKBL ini. Menurut Pasal 1 Angka 6 Permeneg PKBL, Program Kemitraan bertujuan meningkatkan kemampuan usaha kecil agar menjadi tangguh dan mandiri melalui pemanfaatan dana dari bagian laba BUMN, sedangkan Program Bina Lingkungan merupakan program pemberdayaan kondisi sosial masyarakat oleh BUMN melalui pemanfaatan dana dari bagian laba BUMN. Ketentuan Pasal 9 Ayat (1) dan (2) Permeneg BUMN No. PER05/MBU/2007 tentang PKBL menyatakan bahwa: Ayat (1) Dana Program Kemitraan bersumber dari : a. Penyisihan laba setelah pajak maksimal sebesar 2% (dua persen); b. Jasa administrasi pinjaman/marjin/bagi hasil, bunga deposito dan/atau jasa giro dari dana Program Kemitraan setelah dikurangi beban operasional; c. Pelimpahan dana Program Kemitraan dari BUMN lain, jika ada. Ayat (2) Dana Program BL bersumber dari : a. Penyisihan laba setelah pajak maksimal sebesar 2% (dua persen); b. Hasil bunga deposito dan atau jasa giro dari dana Program BL. Adanya ketentuan mengenai jumlah besaran laba yang disisihkan untuk digunakan melaksanakan PKBL ini memberikan garis panduan bagi BUMN baik Perum dan Persero dalam melaksanakan PKBL yakni menyisihkan labanya tiap tahun setelah dikurangi pajak sebesar maksimal 2% (dua persen). 125 Ketentuan Peraturan Menteri BUMN No. PER-05/MBU/2007 tentang PKBL memberikan kewajiban kepada semua BUMN di Indonesia untuk menerapkan PKBL, dan salah satunya adalah PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk yang dalam penelitian ini mengambil tempat penelitian di PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Cabang Purwokerto. Hal ini karena PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk merupakan BUMN dengan bentuk Persero dan tunduk kepada UU No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara dan Permeneg BUMN No. PER-05/MBU/2007 tentang Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan. Kewajiban BUMN Pembina tertuang dalam ketentuan Pasal 5 Permeneg PKBL yakni: a. Membentuk unit Program Kemitraan dan Program BL; b. Menyusun Standard Operating Procedure (SOP) untuk pelaksanaan Program Kemitraan dan Program BL yang dituangkan dalam Surat Keputusan Direksi; c. Menyusun Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) Program Kemitraan dan Program BL; d. Melakukan evaluasi dan seleksi atas kelayakan usaha dan menetapkan calon Mitra Binaan; e. Menyiapkan dan menyalurkan dana Program Kemitraan kepada Mitra Binaan dan dana Program BL kepada masyarakat; f. Melakukan pemantauan dan pembinaan terhadap Mitra Binaan; g. Mengadministrasikan kegiatan pembinaan; h. Melakukan pembukuan atas Program Kemitraan dan Program BL; dan i. Menyampaikan laporan pelaksanaan Program Kemitraan dan Program BL yang meliputi laporan berkala baik triwulanan maupun tahunan kepada Menteri dengan tembusan kepada Koordinator BUMN Pembina di wilayah masing-masing. 126 PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk menanggapi Permeneg PKBL dengan mengeluarkan Standard Operating Prosedure (SOP) PKBL yang dituangkan dalam Surat Keputusan Direksi yang ditujukan kepada setiap Kantor Wilayah, Kantor Cabang dan Sentra Kredit Kecil (SKC) untuk dijadikan pedoman PKBL di segenap Kantor Wilayah, Kantor Cabang dan SKC seperti yang tertuang dalam hasil penelitian pada poin 1.1 tentang dasar dan acuan penerapan Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan di PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Cabang Purwokerto. Hasil penelitian dalam data sekunder poin 1.2 tentang terminologi dalam PKBL di PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Cabang Purwokerto menyatakan bahwa BNI Kantor Pusat membentuk unit yang mengurusi PKBL di BNI bernama Kelompok PKBL. Kelompok PKBL ini merupakan unit di Divisi KMP dan kesekretariatan PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. Untuk divisi-divisi yang terlibat dalam melaksanakan PKBL terdiri dari tujuh divisi seperti yang disebutkan dalam hasil penelitian pada poin 1.3 tentang divisi yang terlibat dalam PKBL di PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk, yaitu: (1) Divisi Komunikasi Perusahaan dan Kesekretariatan (KMP) (2) Divisi Usaha Kecil (USK) (3) Divisi Jaringan dan Layanan (JAL) (4) Divisi Pengendalian Keuangan (PKU) (5) Divisi Teknologi (TEK) (6) Kantor Wilayah 127 (7) Unit Operasional (Divisi/Unit/Kantor Cabang/SKC/STA) Hasil penelitian dalam data sekunder pada poin 1.4 dan 1.5 menyebutkan bahwa BNI Kantor Cabang Purwokerto sebagai unit operasional, yang untuk Program Kemitraan dilaksanakan oleh SKC Purwokerto dan Program Bina Lingkungan oleh BNI Kantor Cabang Purwokerto sendiri dan Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) PKBL bersumber dari Divisi KMP. Hasil penelitian dalam data sekunder pada poin 1.1, 1.2, 1.3, 1.4 dan 1.5 yang menyatakan BNI mengeluarkan SOP PKBL melalui Surat Keputusan Direksi, membentuk Kelompok PKBL, membentuk divisi yang terlibat dalam PKBL serta menentukan wewenangnya dan membuat Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) PKBL dikaitkan dengan ketentuan Pasal 5 Permeneg PKBL, maka dapat dideskripsikan bahwa BNI Kantor Pusat sebagai BUMN Pembina dan melaksanakan kewajibannya sebagai BUMN Pembina. Hal ini dikarenakan BNI Kantor Pusat melakukan hal-hal yang ditentukan sebagai kewajiban BUMN Pembina pada Pasal 5 Permeneg PKBL. Menurut Permeneg BUMN No. PER-05/MBU/2007 tentang PKBL, maksud dan tujuan Program Kemitraan adalah meningkatkan kemampuan usaha kecil agar menjadi tangguh melalui pemanfaatan dana dari bagian laba BUMN. Kriteria usaha kecil diatur juga dalam ketentuan Pasal 3 Permeneg PKBL yang menyatakan: Ayat (1) Usaha Kecil yang dapat ikut serta dalam Program Kemitraan adalah sebagai berikut : 128 a. b. c. d. e. f. g. Memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah), tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha atau memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah); Milik Warga Negara Indonesia; Berdiri sendiri, bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau berafiliasi baik langsung maupun tidak langsung dengan Usaha Menengah atau Usaha Besar; Berbentuk usaha orang perseorangan, badan usaha yang tidak berbadan hukum, atau badan usaha yang berbadan hukum, termasuk koperasi; Mempunyai potensi dan prospek usaha untuk dikembangkan; Telah melakukan kegiatan usaha minimal 1 (satu) tahun; Belum memenuhi persyaratan perbankan (non bankable). Ayat (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) huruf f, tidak berlaku bagi usaha kecil yang dibentuk atau berdiri sebagai pelaksanaan program BUMN Pembina. Kriteria Usaha Kecil yang dapat ikut serta dalam Program Kemitraan di BNI tertuang dalam SOP PKBL BNI sebagaimana yang disebutkan dalam hasil penelitian pada poin 1.4 tentang ketentuan dan penerapan Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil di PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Cabang Purwokerto, yakni: a. Pelaku usaha kecil yang mempunyai kekayaan bersih maksimal sebesar Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) diluar tanah dan bangunan tempat usaha atau memiliki hasil penjualan dalam satu tahun maksimal sebesar Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah) atau mengikuti ketentuan Kementerian BUMN yang sedang berlaku. b. Milik warga negara Indonesia. 129 c. Berdiri sendiri, bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau berafiliasi baik langsung maupun tidak langsung dengan usaha menengah atau usaha besar. d. Telah melakukan kegiatan usaha minimal satu tahun. e. Usaha feasible namun belum bankable. f. Tidak sedang dibina oleh BUMN lain dan/atau fasilitas kredit produktif lainnya. g. Berbentuk usaha perorangan, badan usaha tidak berbadan hukum atau badan usaha yang berbadan hukum, termasuk koperasi. Terlebih lagi BNI merumuskan lebih jelas dengan menambahkan ketentuan bahwa usaha kecil tersebut haruslah feasible namun belum bankable dan dokumen yang harus dipenuhi untuk mengajukan Kredit Kemitraan BUMN. Feasible berarti usaha yang direncanakan layak untuk dilaksanakan, namun usaha yang sudah layak untuk dilaksanakan belum bankable yang berarti belum memenuhi persyaratan bank teknis. Apabila hasil penelitan dalam data sekunder poin 1.4 yang menyatakan kriteria usaha kecil dalam Program Kemitraan dikaitkan dengan ketentuan Pasal 3 Permeneg PKBL, maka dapat dideskripsikan bahwa ketentuan Usaha Kecil yang dapat ikut serta dalam Program Kemitraan di BNI Purwokerto telah mengacu dan sesuai dengan Pasal 3 Permeneg PKBL. Hal ini dikarenakan SOP PKBL BNI menentukan kriteria usaha kecil yang serupa dengan ketentuan usaha kecil pada Pasal 3 Permeneg PKBL. 130 Ketentuan Pasal 11 Ayat (1) Permeneg PKBL menyatakan bahwa dana Program Kemitraan dapat diberikan dalam bentuk: a. Pinjaman untuk membiayai modal kerja dan atau pembelian aktiva tetap dalam rangka meningkatkan produksi dan penjualan; b. Pinjaman khusus untuk membiayai kebutuhan dana pelaksanaan kegiatan usaha Mitra Binaan yang bersifat pinjaman tambahan dan berjangka pendek dalam rangka memenuhi pesanan dari rekanan usaha mitra binaan. Hasil penelitian pada data sekunder poin 1.4 menyebutkan bahwa dalam SOP PKBL BNI penyaluran dana program kemitraan dapat dilakukan dengan memberikan kredit modal kerja, kredit investasi dan pinjaman khusus walaupun dalam penerapannya dengan bentuk kredit modal kerja dan kredit investasi. Apabila hasil penelitian dalam data sekunder poin 1.4 dikaitkan dengan ketentuan Pasal 11 Ayat (1) Permeneg PKBL, maka dapat dideskripsikan bahwa bentuk penyaluran Program Kemitraan di BNI Purwokerto yang dilaksanakan oleh SKC Purwokerto telah sesuai dengan bentuk penyaluran dana Program Kemitraan pada Pasal 11 Ayat (1) Permeneg PKBL. Hal tersebut didukung oleh hasil penelitian dalam data primer poin 2.1 yang menyebutkan kredit kemitraan yang diambil oleh dua belas mitra binaan adalah kredit modal kerja dan kredit investasi. Ketentuan Program Kemitraan pada Pasal 5 huruf f Permeneg PKBL menyatakan bahwa BUMN Pembina harus melakukan pemantauan dan pembinaan terhadap mitra binaan. Apabila hasil penelitian dalam data sekunder pada poin 1.4 yang menyebutkan bahwa SKC Purwokerto melakukan pemantauan dan pembinaan terhadap mitra binaan setiap tahunnya 131 dikaitkan dengan ketentuan Pasal 5 huruf f Permeneg PKBL, maka dapat dideskripsikan bahwa SKC Purwokerto ditugaskan oleh BNI Kantor Pusat untuk melaksanakan pemantauan dan pembinaan terhadap mitra binaan, yang berarti SKC Purwokerto melaksanakan pemantauan dan pembinaan sesuai ketentuan Pasal 5 huruf f Permeneg PKBL. Dalam penyaluran dana Program Kemitraan, ketentuan Pasal 12 Ayat (3) Permeneg PKBL menyebutkan bahwa bunga yang dikenakan kepada mitra binaan adalah sebesar 6% (enam persen) dari besarnya pinjaman. Hasil penelitian pada data sekunder poin 1.4 tentang ketentuan dan penerapan Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil di PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Cabang Purwokerto menyebutkan bahwa BNI Kantor Cabang Purwokerto mengenakan bunga sebesar 6% (enam persen) kepada setiap mitra binaan baik kredit modal kerja atau pun kredit investasi. Apabila hasil penelitian dalam data sekunder poin 1.4 yang menyatakan besaran bunga dalam penyaluran kredit dikaitkan dengan ketentuan Pasal 12 Ayat (3), maka dapat dideskripsikan bahwa BNI Kantor Cabang Purwokerto menerapkan ketentuan Pasal 12 Ayat (3) Permeneg PKBL. Hal tersebut didukung dengan data primer pada poin 2.1 yang menyatakan bahwa bunga dalam Program Kemitraan ini adalah sebesar 6 % (enam persen). Ketentuan Pasal 12 Ayat (1) Permeneg PKBL menyatakan bahwa dalam pemberian dana Program Kemitraan haruslah dengan pengajuan dari calon mitra binaan yang kemudian calon mitra binaan memenuhi persyaratan yang ditentukan dan perjanjian kredit dituangkan dalam perjanjian tertulis. 132 Hasil penelitian dalam data sekunder poin 1.4 tentang ketentuan dan penerapan Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil di PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Cabang Purwokerto menyatakan tata cara pemberian kredit kemitraan (dalam penelitian ini bernama Kredit Kemitraan BUMN) kepada calon mitra binaan yakni mengajukan rencana pinjaman ke SKC Purwokerto, memenuhi persyaratan yang ditentukan dan kemudian perjanjian kredit tersebut dituangkan dalam perjanjian tertulis. Apabila hasil penelitian dalam data sekunder poin 1.4 yang menyatakan cara pemberian kredit kemitraan dikaitkan dengan ketentuan Pasal 12 Ayat (1) Permeneg PKBL tentang tata cara pemberian pinjaman dana Program Kemitraan, maka dapat dideskripsikan bahwa SKC Purwokerto melaksanakan ketentuan Pasal 12 Ayat (1). Hal tersebut didukung oleh data sekunder poin 2.1 tentang proses pengajuan dan penyaluran Kredit Kemitraan BUMN (KKB) di Sentra Kredit Kecil (SKC) Purwokerto. PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Cabang Purwokerto terutama SKC Purwokerto yang mengoperasionalkan Program Kemitraan melaksanakan ketentuan-ketentuan SOP PKBL BNI tersebut baik dari kriteria usaha kecil yang dapat berpartisipasi, cara pemberian kredit, bentuk penyaluran dana Program Kemitraan, bunga kredit yang dikenakan (sebesar 6%), serta pemantauan dan pembinaan mitra binaan. Berdasarkan uraian tersebut, SKC Purwokerto telah menerapkan Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil sesuai dengan Peraturan Menteri Negara BUMN No. 133 PER-05/MBU/2007 tentang Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan. Program Bina Lingkungan, menurut Permeneg PKBL bertujuan memberdayakan kondisi sosial masyarakat melalui pemanfaatan dana dari bagian laba BUMN. Bentuk Program ini adalah hibah alias bantuan cumacuma kepada masyarakat.89 Ruang lingkup Program Bina Lingkungan terdiri dari enam bentuk seperti yang disebutkan dalam Permeneg BUMN No. PER05/MBU/2007 tentang Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan pada Pasal 11 ayat (2) huruf e, yakni: 1) Bantuan korban bencana alam; 2) Bantuan pendidikan dan/atau pelatihan; 3) Bantuan peningkatan kesehatan; 4) Bantuan pengembangan prasarana dan/atau sarana umum; 5) Bantuan sarana ibadah; dan 6) Bantuan pelestarian alam. Ketentuan Pasal 11 Ayat (2) merupakan panduan dalam melaksanakan bentuk Program Bina Lingkungan dan tidak bersifat kumulatif, yang berarti enam bentuk Program Bina Lingkungan tidak harus dilaksanakan semua. Hal ini juga dikarenakan dalam melaksanakan Program Bina Lingkungan harus bersesuaian dengan kebutuhan lingkungan sekitar agar tepat guna. Hasil penelitian dalam data sekunder poin 1.5 tentang ketentuan dan penerapan Program Bina Lingkungan di PT. Bank Negara Indonesia (Persero) 89 Agus S, Op. Cit, Hlm 179. 134 Tbk Cabang Purwokerto menyebutkan bahwa Program Bina Lingkungan di BNI dapat dilakukan melalui enam bentuk yakni: a. Bantuan kepada korban bencana alam b. Bantuan pendidikan atau pelatihan c. Bantuan peningkatan kesehatan d. Bantuan pengembangan prasaran dan sarana umum e. Bantuan sarana ibadah f. Bantuan pelestarian alam Dalam laporan kegiatan Program Bina Lingkungan Tahun 2012 BNI Purwokerto menyebutkan bahwa bentuk Bina Lingkungan yang telah dilaksanakan ada empat, yaitu: 1. Pemberian Beasiswa dan renovasi Gedung Sekolah 2. Pembangunan lingkungan melalui distribusi air bersih 3. Pembagian Al Qur‟an 4. Penyerahan hewan kurban Apabila hasil penelitian dalam data sekunder pada poin 1.5 mengenai bentuk bina lingkungan yang dapat diselenggarakan di BNI dan bentuk Program Bina Lingkungan yang telah dilaksanakan di BNI Kantor Cabang Purwokerto dikaitkan dengan ketentuan Pasal 11 Ayat (2) huruf e, maka 135 dapat dideskripsikan bahwa BNI telah menentukan dan menerapkan bentuk Program Bina Lingkungan yang sesuai dengan ketentuan Pasal 11 Ayat (2) huruf e Permeneg PKBL. Hal tersebut karena ketentuan Pasal 11 Ayat (2) tidak bersifat kumulatif dan BNI Kantor Cabang Purwokerto telah menentukan enam bentuk Program Bina Lingkungan dan telah melaksanakan empat jenis dari enam jenis Program Bina Lingkungan yang ditentukan, yakni bantuan korban bencana alam melalui pendistribusian air bersih, bantuan pendidikan melalui pemberian beasiswa, bantuan pengembangan prasarana dan sarana umum melalui renovasi Gedung Sekolah serta bantuan sarana ibadah dengan pemberian Al Qur‟an dan hewan kurban. PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Cabang Purwokerto telah menerapkan empat dari enam poin bentuk Program Bina Lingkungan yang sesuai dengan Permeneg PKBL yakni bantuan korban bencana alam, bantuan pendidikan, bantuan pembangunan prasarana dan sarana dan bantuan sarana ibadah. Berdasarkan uraian tersebut PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Cabang Purwokerto sebagai unit operasional telah menerapkan Program Bina Lingkungan sesuai dengan Peraturan Menteri Negara BUMN No. PER05/MBU/2007 tentang Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan. Menurut Said dan Abidin sebagaimana dikutip dalam Ronny Irawan, model atau pola Corporate Social Responsibility yang umum diterapkan oleh perusahaan-perusahaan di Indonesia sebagai berikut: 136 1. Keterlibatan langsung, perusahaan menjalankan program CSR secara langsung dengan menyelenggarakan sendiri kegiatan sosial atau menyerahkan sumbangan ke masyarakat tanpa perantara. Untuk menjalankan tugas ini, perusahaan biasanya menugaskan salah satu pejabat seniornya, seperti corporate secretary atau public affair manager atau menjadi bagian dari tugas pejabat public relation. 2. Melalui yayasan atau organisasi sosial milik perusahaan, perusahaan mendirikan yayasan sendiri di bawah perusahaan atau groupnya. Model ini merupakan adopsi yang lazim dilakukan di negara maju. Disini perusahaan menyediakan dana awal, dana rutin atau dana abadi yang dapat digunakan untuk operasional yayasan. 3. Bermitra dengan pihak lain, perusahaan menyelenggarakan CSR melalui kerjasama dengan lembaga/organisasi non pemerintah, instansi pemerintah, universitas atau media massa, baik dalam mengelola dana maupun dalam melaksanakan kegiatan sosialnya. 4. Mendukung atau bergabung dalam suatu konsorium, perusahaan turut mendirikan, menjadi anggota atau mendukung suatu lembaga sosial yang didirikan untuk tujuan sosial tertentu. Pihak konsorsium yang dipercaya oleh perusahaan-perusahaan yang mendukungnya akan secara proaktif mencari kerjasama dari berbagai kalangan dan kemudian mengembangkan program yang telah disepakati. 90 Apabila uraian penerapan Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan di PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Cabang Purwokerto sebagaimana yang telah disampaikan sebelumnya dikaitkan dengan model atau pola Corporate Social Responisibilty dari Said dan Abidin, maka dapat disimpulkan bahwa Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan sebagai Tanggung Jawab Sosial Perusahaan yang diterapkan oleh PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Cabang Purwokerto adalah tanggung jawab sosial dengan model keterlibatan langsung. Hal ini karena PKBL di PT. Bank Negara Indonesia 90 Ronny Irawan, “Corporate Social Responsibility: Tinjauan Menurut Peraturan Perpajakan di Indonesia”, The Second National Conferences UKWMS, Surabaya, 06 September 2008, Hlm 7, www.mages.andamawara.multiply.multiplycontent.com, diakses tanggal 09 Januari 2013. 137 (Persero) Tbk Cabang Purwokerto diterapkan secara langsung kepada masyarakat tanpa perantara. Menurut Agus S. Riyanto ketentuan Pasal 22 tentang laporan PKBL Permeneg BUMN tentang PKBL mengandung pengertian sebagai berikut: Laporan PKBL merupakan konsumsi bagi pemegang saham alias Menteri BUMN. Sebab, dana PKBL berasal dari penyisihan laba bersih BUMN. Laporan triwulan harus sudah ada di tangan menteri paling lambat sebulan kemudian. Adapun laporan tahunan maksimal harus sudah dilaporkan lima bulan kemudian. Peraturan Menteri tersebut tidak menyatakan apa saja yang harus dilaporkan oleh BUMN. Peraturan itu hanya mensyaratkan keharusan adanya laporan keuangan PKBL yang sudah diaudit. Untuk BUMN yang berbentuk Perum, laporan keuangan PKBL diaudit oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Ini sesuai dengan permintaan Menteri BUMN melalui Surat Keputusan S-343/SAM2.MBU/2007. Adapun untuk BUMN yang berbadan hukum Perseroan Terbatas (PT), audit laporan keuangan PKBL dilakukan oleh Kantor Akuntan Publik (KAP).91 Berdasarkan pendapat Agus S. Riyanto mengenai Pasal 22 Permeneg PKBL, laporan PKBL yang dibuat oleh PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk harus diaudit oleh Kantor Akuntan Publik (KAP) karena BNI merupakan BUMN dengan bentuk Perseroan Terbatas. Pasal 30 Ayat (1) Permeneg BUMN No. PER-05/MBU/2007 menyatakan bahwa kinerja Program Kemitraan merupakan salah satu indikator penilaian tingkat kesehatan BUMN Pembina. Hasil penelitian dalam data sekunder poin 1.4 menggambarkan kinerja SKC Purwokerto menyalurkan dana Program Kemitraan dengan memberikan kredit kemitraan kepada dua belas mitra binaan dan mengacu pada ketentuan Permeneg PKBL. Apabila hasil penelitian dalam data sekunder pada poin 1.4 dikaitkan dengan 91 Agus S, Op.Cit, Hlm 179. 138 ketentuan Pasal 30 Ayat (1), maka dapat ditarik kesimpulan bahwa kinerja SKC Purwokerto dalam menyalurkan dana Program Kemitraan berpengaruh terhadap penilaian tingkat kesehatan BUMN Pembina yang dalam penelitian ini PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. Dalam Permeneg BUMN tentang PKBL ini tidak ada sanksi yang dapat dikenakan langsung, akan tetapi penilaian tingkat kesehatan BUMN Pembina merupakan bentuk teguran tidak langsung bagi BUMN yang tidak melakukan Program Kemitraan sesuai dengan ketentuan Permeneg PKBL, hal ini dikarenakan kinerja Program Kemitraan akan diketahui oleh masyarakat melalui laporan PKBL yang menjadi penilaian tingkat kesehatan sebuah BUMN. Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa BNI tidak mendapat teguran langsung. 139 BAB V PENUTUP A. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. a. Penerapan Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil di PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Cabang Purwokerto Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil yang diterapkan di PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Cabang Purwokerto telah sesuai dengan Peraturan Menteri Negara BUMN Nomor PER-05/MBU/2007 tentang Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan. Program Kemitraan yang dalam penyelenggaraannya dilakukan oleh Sentra Kredit Kecil (SKC) Purwokerto telah sesuai dengan ketentuan Permeneg PKBL yakni dari kriteria usaha kecil yang menjadi mitra binaan, cara pemberian kredit kepada calon mitra binaan, bentuk penyaluran program kemitraan, besar bunga kredit kemitraan, serta pemantauan dan pembinaan mitra binaan. 140 b. Penerapan Program Bina Lingkungan di PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Cabang Purwokerto Program Bina Lingkungan di PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Cabang Purwokerto telah diterapkan sesuai dengan ketentuan Program Bina Lingkungan Peraturan Menteri Negara BUMN Nomor PER-05/MBU/2007 tentang Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan. Ada pun bentuk penerapan Program Bina Lingkungan yang telah dilakukan oleh di PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Cabang Purwokerto adalah: (1) Pemberian Beasiswa dan renovasi Gedung Sekolah (2) Pembangunan lingkungan melalui distribusi air bersih (3) Pembagian Al Qur‟an (4) Penyerahan hewan Kurban B. Saran Berdasarkan simpulan di atas, maka dapat diberikan saran sebagai berikut: 1. PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Cabang Purwokerto sebaiknya membentuk unit PKBL yang menangani Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan dengan tujuan pegawai yang ada 141 dalam unit khusus tersebut fokus menangani PKBL, sehingga PKBL yang diselenggarakan dapat berjalan lebih maksimal. 2. PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Cabang Purwokerto sebaiknya memaksimalkan Program Bina Lingkungan di sekitar wilayah operasionalnya dengan melaksanakan semua bentuk Program Bina Lingkungan yang tertuang dalam ketentuan Pasal 11 Ayat (2) huruf e Permeneg PKBL baik dengan bekerja sama dengan pihak lain atau pun melakukan survey mendalam di lingkungannya, sehingga Program Bina Lingkungan sebagai salah satu bentuk tanggung jawab sosial perusahaan dapat dirasakan maksimal manfaatnya oleh masyarakat. 142 DAFTAR PUSTAKA Buku Literatur: Amiruddin dan Zainal Asikin, 2006, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Anoraga, Pandji, 1995, Cet. 1, BUMN, Swasta dan Kopersai (Tiga Pelaku Ekonomi), Pustaka Jaya, Jakarta. Anwar, Chairul, 1960, Perusahaan-Perusahaan Negara di Indonesia, Bappit Pusat Permata, Jakarta. Bambang Rudito dan Melia Famiola, 2007, Etika Bisnis dan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan di Indonesia, Rekayasa Sains, Bandung. Bambang Rudito Dkk, Corporate Social Resonsibility: Jawaban Bagi Model Pembangunan Indonesia Masa Kini, ICSD, Jakarta. Bastian, Indra, 2002, Privatisasi di Indonesia, Penerbit Salemba Empat, Jakarta. Crowther, David, 2008, Corporate Social Responsibility, Guler Aras & Ventus Publishing Aps. Effendy, Choirie, 2003, Privatisasi Versus Neo-Sosialisme Indonesia, LP3ES, Jakarta. Esmara, Hendra, 1986, Politik Perencanaan Pembangunan Teori Kebijaksanaan dan Prospek, Gramedia, Jakarta. Hadi, Nor, 2011, Corporate Social Responsibility, Graha Ilmu, Yogyakarta. Hadi, Sutrisno, 1995, Metodologi Research, UGM Press, Yogyakarta. Hermansyah, 2006, Cet. 2, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Kencana, Jakarta. Ichsan, Achmad, 2000, Dunia Usaha Indonesia, Pradnya Paramita, Jakarta. Ibrahim, Johnny, 2008, Cet. 4, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia Publishing, Malang. Ibrahim, 1997, BUMN dan Kepentingan Umum, Citra Aditya, Jakarta. 143 Kumala Hadi dkk, 1997, Liberalisasi Ekonomi dan Politik di Indonesia, PT Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta. Mahmud Marzuki, Peter, 2008, Cet. 4, Penelitian Hukum, Edisi Pertama Kencana, Jakarta. Moh. Arsjad Anwar dkk (ed), 1994, Strategi Pembiayaan & Regrouping BUMN: Upaya Menciptakan Sinergi dalam Rangka Peningkatan Daya Saing BUMN, Jakarta. Philip Kotler dan Nancy Lee, 2005, Corporate Social Responsibility: Doing the most Good For Your Company and Your cause, John Wiley & Sons Inc, New Jersey. Rahmatullah dan Trianita Kurniati, 2011, Panduan Praktis Pengelolaan Corporate Social Responsibility, Samudra Biru, Jogjakarta. Riant Nugroho dan Randy R. Wrihatnolo, 2008, Manajemen Privatisasi BUMN, Gramedia, Jakarta. Riyanto, Agus S., 2011, PKBL Ragam Derma Sosial BUMN, Bahana Publisher, Jakarta Selatan. Soekanto, Soerjono, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta. Susanto, AB, 2007, A Strategic Management Approach CSR, The Jakarta Consulting Group, Jakarta. Wibisono, Yusuf, 2007, Membedah Konsep & Aplikasi Corporate Social Responsibility (CSR), Fascho Publishing, Gresik. Peraturan Perundangan: Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Undang-undang Nomor 19 Prp Tahun 1960 tentang Perusahaan Negara. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1969 tentang Bentuk-Bentuk Usaha Negara. Keputusan Menteri Keuangan RI No. 740/KMK 00/1989 tentang Peningkatan Efisiensi dan Produktivitas Bada Usaha Milik Negara. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas. 144 Undang Undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil. Perturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1998 tentang Perusahaan Persero. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Undang Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara. Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 1983 tentang Tata Cara pembinaan dan Pengawasan Perusahaan Jawatan, Perusahaan Umum dan Perusahaan Perseroan. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1232/KMK. 013/1989 tentang Pedoman Pembinaan Pengusaha Ekonomi Lemah dan Koperasi melalui BUMN. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 316/KMK.016/1994 tentang Pedoman Pembinaan Usaha Kecil dan Koperasi melalui Pemanfaata Dana dari bagian laba BUMN. Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 1998 tentang Perusahaan Umum. Keputusan Menteri Negara BUMN Nomor Kep-216/MPBUMN/1999 tentang Program Kemitraan dan Bina Lingkungan BUMN. Keputusan Menteri BUMN Nomor KEP-236/MBU/2003 tentang Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2005 tentang Pendirian, Pengurusan, Pengawasan dan Pembubaran Badan Usaha Milik Negara. Permeneg BUMN Nomor PER-05/MBU/2007 tentang Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penananman Modal. Undang Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Tebatas. International of Standardization for Organization 26000 Guidance Standard On Social Responsibility (ISO 26000:2010). Disertasi, Tesis, Skripsi dan Paper: Parluhutan Sagala, Penyebaran Kepemilikan Saham Pemerintah Pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk menciptakan Perusahaan yang efektif dan efisien, Disertasi Doktor, Medan, Sekolah Pascasarjana, 2009. 145 Laporan, Pidato, Surat Kabar, Jurnal Elektronik dan Internet: Anonim, “Sejarah 66 Tahun BNI”, 2012, http://www.bni.co.id, diakses tanggal 30 Oktober 2012. ASDEP Pembinaan Kemitraaan dan Bina Lingkungan, Kebijakan Kementerian BUMN Tentang Ptogram CSR “Rakor Penguatan Kerjasama Pengelolaan Peluang Kerja dan Peluang Usaha”, Buku Panduan, http://www.infokursus.net/download/1511101152Paparan_BUMN.pdf, diakses tanggal 09 Oktober 2012. Edi Syahputra, 2008, “Implementasi Corporate Social Responsibility (CSR) Terhadap Masyarakat Lingkungan PTPN IV (Studi Pada Unit Kebun Dolok Ilir Kabupaten Simalungun)”, Tesis, Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, www.repository.usu.ac.id, diakses tanggal 13 November 2012. Erman Rajaguguk, “Konsep dan Perkembangan Pemikiran Tentang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan”, http://journal.uii.ac.id, diakses pada 30 Oktober 2012. ISO,”Global Guidance Standard on Social Responsibility”,Handbook for implementers of ISO 26000, Mei 2011. Mustafa Abubakar, Pidato: Sambutan Menteri Negara BUMN Pada Upacara Peringatan Hari Ulang Tahun Proklamasi Kemerdekan Republik Indonesia Ke -66, Kementerian Negara BUMN, (Jakarta, 17 Agustus 2011). Nayla, Alawiya, Materi Kuliah Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, Universitas Jenderal Soedirman. Ronny, Irawan, “Corporate Social Responsibility: Tinjauan Menurut Peraturan Perpajakan di Indonesia”, The Second National Conferences UKWMS, Surabaya,06 September 2008, www.mages.andamawara.multiply. multiplycontent.com, diakses tanggal 09 Januari 2013. Saryono, Hanadi, Metodologi Penulisan dan Penelitian Hukum, Bahan Kuliah MPPH, Purwokerto, Universitas Jenderal Soedirman, 2008. Selly Asgari, Sistem Perekonomian Indonesia, http://sellmieasgaricristy.blogspot .com/2012/03/sistemperekonomian-indonesia-2_21.html, 21 Maret 2012 Setyanto P. Santosa, Privatiasi: Penerapan Nasionalisme Pengelolaan BUMN, http://kolom.pacific.net.id/ind/media/PrivatisasiPenerapanNasionalismeP engelolaanBUMN.pdf. 146 The World Comission on Environment and Development, “Our Common Future”, Report of The World Comission on Environment and Development, 1987. UN ESCAP, “Johannesburg Declaration on Sustainable Development”,4 September 2002, http://www.unescap.org/esd/environment/rio20/pages /Download/johannesburgdeclaration.pdf, diakses pada 16 Januari 2013. SALINAN PERATURAN MENTERI NEGARA BADAN USAHA MILIK NEGARA NOMOR PER-05/MBU/2007 TENTANG PROGRAM KEMITRAAN BADAN USAHA MILIK NEGARA DENGAN USAHA KECIL DAN PROGRAM BINA LINGKUNGAN MENTERI NEGARA BADAN USAHA MILIK NEGARA, Menimbang : a. bahwa berdasarkan Pasal 88 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, ketentuan mengenai penyisihan dan penggunaan laba BUMN untuk keperluan pembinaan usaha kecil/koperasi dan pembinaan masyarakat sekitar BUMN, diatur dengan keputusan menteri. b. bahwa dengan Keputusan Menteri Badan Usaha Milik Negara Nomor Kep236/MBU/2003, telah ditetapkan Program Kemitraan Badan Usaha Milik Negara dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan; c. bahwa Keputusan Menteri Badan Usaha Milik Negara Nomor Kep236/MBU/2003 dipandang belum cukup memberikan landasan operasional bagi peningkatan pelaksanaan Program Kemitraan Badan Usaha Milik Negara dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan, oleh karena itu perlu ditinjau kembali; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, b, dan c di atas, maka perlu menetapkan kembali Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara tentang Program Kemitraan Badan Usaha Milik Negara dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 70; Tambahan Lembaran Negara Nomor 4297); 2. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2003 tentang Pengalihan Kedudukan, Tugas dan Kewenangan Menteri Keuangan pada Perusahaan Perseroan (PERSERO), Perusahaan Umum (PERUM) dan Perusahaan Jawatan (PERJAN) kepada Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara (Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 82; Tambahan Lembaran Negara Nomor 4305); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2005 tentang Pendirian, Pengurusan, Pengawasan, dan Pembubaran Badan Usaha Milik Negara (Lembaran Negara Tahun 2005 Nomor 117; Tambahan Lembaran Negara Nomor 4556); 4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 187/M Tahun 2004 sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 20/P Tahun 2005; MEMUTUSKAN …../-2- -2MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN MENTERI NEGARA BADAN USAHA MILIK NEGARA TENTANG PROGRAM KEMITRAAN BADAN USAHA MILIK NEGARA DENGAN USAHA KECIL DAN PROGRAM BINA LINGKUNGAN. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan : 1. Badan Usaha Milik Negara, yang selanjutnya disebut BUMN, adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. 2. Perusahaan Perseroan, yang selanjutnya disebut Persero, adalah BUMN yang berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51% (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia yang tujuan utamanya mengejar keuntungan. 3. Perusahaan Perseroan Terbuka, yang selanjutnya disebut Persero Terbuka, adalah Persero yang modal dan jumlah pemegang sahamnya memenuhi kriteria tertentu atau Persero yang melakukan penawaran umum sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal. 4. Perusahaan Umum, yang selanjutnya disebut Perum, adalah BUMN yang seluruh modalnya dimiliki negara dan tidak terbagi atas saham, yang bertujuan untuk kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan sekaligus mengejar keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan. 5. Menteri adalah Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara. 6. Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil, yang selanjutnya disebut Program Kemitraan, adalah program untuk meningkatkan kemampuan usaha kecil agar menjadi tangguh dan mandiri melalui pemanfaatan dana dari bagian laba BUMN. 7. Program Bina Lingkungan, yang selanjutnya disebut Program BL, adalah program pemberdayaan kondisi sosial masyarakat oleh BUMN melalui pemanfaatan dana dari bagian laba BUMN. 8. Program BL BUMN Pembina adalah Program BL yang ditetapkan dan dilaksanakan oleh BUMN Pembina di wilayah usaha BUMN yang bersangkutan. 9. Program BL BUMN Peduli adalah Program BL yang dilakukan secara bersama-sama antar BUMN dan pelaksanaannya ditetapkan dan dikoordinir oleh Menteri. 10. Usaha kecil adalah kegiatan ekonomi rakyat yang berskala kecil dan memenuhi kriteria kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan serta kepemilikan sebagaimana diatur dalam Peraturan ini. 11. Mitra Binaan adalah Usaha Kecil yang mendapatkan pinjaman dari Program Kemitraan. 12. BUMN...../-3- -312. BUMN Pembina adalah BUMN yang melaksanakan Program Kemitraan dan Program BL. 13. Koordinator BUMN Pembina adalah BUMN yang ditunjuk oleh Menteri untuk mengkoordinasikan BUMN Pembina di dalam suatu provinsi tertentu. 14. BUMN Penyalur adalah BUMN Pembina yang menyalurkan Dana Program Kemitraan milik BUMN Pembina lain berdasarkan Perjanjian Kerjasama Penyaluran. 15. Lembaga Penyalur adalah badan usaha selain BUMN atau lembaga bukan badan usaha yang melakukan kerjasama dengan BUMN Pembina dalam menyalurkan pinjaman Dana Program Kemitraan berdasarkan Perjanjian Kerjasama Penyaluran. 16. Unit Program Kemitraan dan Program BL adalah unit organisasi khusus yang mengelola Program Kemitraan dan Program BL yang merupakan bagian dari organisasi BUMN Pembina yang berada dibawah pengawasan seorang direksi. 17. Beban Operasional adalah beban pelaksanaan operasi unit Program Kemitraan dan Program BL diluar beban pegawai yang dananya berasal dari dana Program Kemitraan dan Program BL. 18. Beban Pembinaan adalah beban kegiatan bimbingan dan bantuan perkuatan untuk menumbuhkan dan meningkatkan kemampuan mitra binaan menjadi usaha yang tangguh dan mandiri. 19. Kualitas pinjaman adalah status kondisi pinjaman yang terdiri dari pinjaman lancar, pinjaman kurang lancar, pinjaman diragukan dan pinjaman macet. 20. Pemulihan pinjaman adalah usaha untuk memperbaiki kualitas pinjaman kurang lancar, pinjaman diragukan dan pinjaman macet agar menjadi lebih baik kategorinya. BAB II PROGRAM KEMITRAAN DAN PROGRAM BL Pasal 2 (1) Perum dan Persero wajib melaksanakan Program Kemitraan dan Program BL dengan memenuhi ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Peraturan ini. (2) Persero Terbuka dapat melaksanakan Program Kemitraan dan Program BL dengan berpedoman pada Peraturan ini yang ditetapkan berdasarkan keputusan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Pasal 3 (1) Usaha Kecil yang dapat ikut serta dalam Program Kemitraan adalah sebagai berikut : a. Memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah), tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha atau memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah); b. Milik Warga Negara Indonesia; c. Berdiri …../-4- -4c. Berdiri sendiri, bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau berafiliasi baik langsung maupun tidak langsung dengan Usaha Menengah atau Usaha Besar; d. Berbentuk usaha orang perseorangan, badan usaha yang tidak berbadan hukum, atau badan usaha yang berbadan hukum, termasuk koperasi; e. Mempunyai potensi dan prospek usaha untuk dikembangkan; f. Telah melakukan kegiatan usaha minimal 1 (satu) tahun; g. Belum memenuhi persyaratan perbankan (non bankable). (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f, tidak berlaku bagi usaha kecil yang dibentuk atau berdiri sebagai pelaksanaan program BUMN Pembina. Pasal 4 Mitra Binaan mempunyai kewajiban sebagai berikut : (1) Melaksanakan kegiatan usaha sesuai dengan rencana yang telah disetujui oleh BUMN Pembina atau BUMN Penyalur atau Lembaga Penyalur; (2) Membayar kembali pinjaman secara tepat waktu sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati; (3) Menyampaikan laporan perkembangan usaha secara periodik kepada BUMN Pembina. Pasal 5 BUMN Pembina mempunyai kewajiban sebagai berikut : a. Membentuk unit Program Kemitraan dan Program BL; b. Menyusun Standard Operating Procedure (SOP) untuk pelaksanaan Program Kemitraan dan Program BL yang dituangkan dalam Surat Keputusan Direksi; c. Menyusun Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) Program Kemitraan dan Program BL; d. Melakukan evaluasi dan seleksi atas kelayakan usaha dan menetapkan calon Mitra Binaan; e. Menyiapkan dan menyalurkan dana Program Kemitraan kepada Mitra Binaan dan dana Program BL kepada masyarakat; f. Melakukan pemantauan dan pembinaan terhadap Mitra Binaan; g. Mengadministrasikan kegiatan pembinaan; h. Melakukan pembukuan atas Program Kemitraan dan Program BL; i. Menyampaikan laporan pelaksanaan Program Kemitraan dan Program BL yang meliputi laporan berkala baik triwulanan maupun tahunan kepada Menteri dengan tembusan kepada Koordinator BUMN Pembina di wilayah masing-masing. Pasal 6 Koordinator BUMN Pembina mempunyai kewajiban sebagai berikut : a. Melakukan koordinasi atas perencanaan dan pengalokasian dana Program Kemitraan dan Program BL yang dilakukan oleh BUMN Pembina; b. Memberikan informasi kepada BUMN Pembina mengenai calon Mitra Binaan untuk menghindari duplikasi pemberian pinjaman dana Program Kemitraan; c. Menyampaikan …../-5- -5c. Menyampaikan laporan triwulanan dan tahunan pelaksanaan Program Kemitraan dan Program BL di wilayah koordinasinya kepada Menteri dengan tembusan kepada BUMN Pembina di wilayahnya. Pasal 7 BUMN Pembina yang memiliki kantor cabang/perwakilan di daerah dapat menyalurkan dana Program Kemitraan dan Program BL BUMN Pembina di wilayah kantor cabang/perwakilannya dengan mempertimbangkan dana yang tersedia dan kondisi wilayahnya. Pasal 8 (1) Untuk meningkatkan optimalisasi pelaksanaan Program Kemitraan, BUMN Pembina dapat melakukan kerjasama dengan BUMN Penyalur dan/atau dengan Lembaga Penyalur. (2) Lembaga Penyalur adalah lembaga keuangan mikro yang pendiriannya memiliki landasan hukum. (3) Kerjasama antara BUMN Pembina dengan BUMN Penyalur dan/atau Lembaga Penyalur dituangkan dalam perjanjian kerjasama yang sekurang-kurangnya memuat : - Para pihak yang melakukan kerjasama; - Maksud dan tujuan kerjasama; - Jumlah Dana Program Kemitraan yang dikerjasamakan; - Hak dan kewajiban masing-masing pihak; - Jangka waktu kerjasama; - Sanksi; - Keadaan memaksa (Force Majeure); dan - Penyelesaian perselisihan. (4) Dengan pertimbangan tertentu, Menteri dapat mengalih kelolakan dana Program Kemitraan dari BUMN Pembina ke BUMN Pembina lainnya. BAB III PENETAPAN DAN PENGGUNAAN DANA PROGRAM KEMITRAAN DAN PROGRAM BL Pasal 9 (1) Dana Program Kemitraan bersumber dari : a. Penyisihan laba setelah pajak maksimal sebesar 2% (dua persen); b. Jasa administrasi pinjaman/marjin/bagi hasil, bunga deposito dan/atau jasa giro dari dana Program Kemitraan setelah dikurangi beban operasional; c. Pelimpahan dana Program Kemitraan dari BUMN lain, jika ada. (2) Dana Program BL bersumber dari : a. Penyisihan laba setelah pajak maksimal sebesar 2% (dua persen); b. Hasil bunga deposito dan atau jasa giro dari dana Program BL. (3) Besarnya dana Program Kemitraan dan Program BL yang berasal dari penyisihan laba setelah pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan oleh : a. Menteri …../-6- -6a. Menteri untuk Perum; b. RUPS untuk Persero; (4) Dalam kondisi tertentu besarnya dana Program Kemitraan dan dana Program BL yang berasal dari penyisihan laba setelah pajak dapat ditetapkan lain dengan persetujuan Menteri/RUPS. (5) Dana Program Kemitraan dan Program BL yang berasal dari penyisihan laba setelah pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), disetorkan ke rekening dana Program Kemitraan dan Program Bina Lingkungan selambat-lambatnya 45 (empat puluh lima) hari setelah penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (3). (6) Pembukuan dana Program Kemitraan dan Program BL dilaksanakan secara terpisah dari pembukuan BUMN Pembina. Pasal 10 (1) Menteri setiap tahun menetapkan : a. BUMN Pembina dan Koordinator BUMN Pembina pada masing-masing Provinsi; b. Rencana penyaluran dana Program Kemitraan setiap BUMN Pembina pada masingmasing Provinsi berdasarkan usulan masing-masing BUMN Pembina. (2) Apabila Kordinator BUMN Pembina sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf a untuk tahun berjalan belum ditetapkan, maka yang berlaku adalah ketetapan Menteri tentang penetapan Koordinator BUMN Pembina tahun sebelumnya. Pasal 11 (1) Dana Program Kemitraan diberikan dalam bentuk : a. Pinjaman untuk membiayai modal kerja dan atau pembelian aktiva tetap dalam rangka meningkatkan produksi dan penjualan; b. Pinjaman khusus untuk membiayai kebutuhan dana pelaksanaan kegiatan usaha Mitra Binaan yang bersifat pinjaman tambahan dan berjangka pendek dalam rangka memenuhi pesanan dari rekanan usaha Mitra Binaan; c. Beban Pembinaan : 1) Untuk membiayai pendidikan, pelatihan, pemagangan, pemasaran, promosi, dan halhal lain yang menyangkut peningkatan produktivitas Mitra Binaan serta untuk pengkajian/penelitian yang berkaitan dengan Program Kemitraan; 2) Beban pembinaan bersifat hibah dan besarnya maksimal 20% (dua puluh persen) dari dana Program Kemitraan yang disalurkan pada tahun berjalan; 3) Beban Pembinaan hanya dapat diberikan kepada atau untuk kepentingan Mitra Binan. (2) Dana Program BL : a. Dana Program BL yang tersedia setiap tahun terdiri dari saldo kas awal tahun, penerimaan dari alokasi laba yang terealisir, pendapatan bunga jasa giro dan/atau deposito yang terealisir serta pendapatan lainnya. b. Setiap …../-7- -7b. Setiap tahun berjalan sebesar 70% (tujuh puluh persen) dari jumlah dana Program BL yang tersedia dapat disalurkan melalui Program BL BUMN Pembina. c. Setiap tahun berjalan sebesar 30% (tiga puluh persen) dari jumlah dana Program BL yang tersedia diperuntukkan bagi Program BL BUMN Peduli. d. Apabila pada akhir tahun terdapat sisa kas dana Program BL BUMN Pembina dan BUMN Peduli, maka sisa kas tersebut menjadi saldo kas awal tahun dana Program BL tahun berikutnya. e. Ruang lingkup bantuan Program BL BUMN Pembina : 1) Bantuan korban bencana alam; 2) Bantuan pendidikan dan/atau pelatihan; 3) Bantuan peningkatan kesehatan; 4) Bantuan pengembangan prasarana dan/atau sarana umum; 5) Bantuan sarana ibadah; 6) Bantuan pelestarian alam; f. Ruang lingkup bantuan Program BL BUMN Peduli ditetapkan oleh Menteri. BAB IV MEKANISME PENYALURAN DANA PROGRAM KEMITRAAN DAN PROGRAM BL Pasal 12 (1) Tata cara pemberian pinjaman dana Program Kemitraan : a. Calon Mitra Binaan menyampaikan rencana penggunaan dana pinjaman dalam rangka pengembangan usahanya untuk diajukan kepada BUMN Pembina atau BUMN Penyalur atau Lembaga Penyalur, dengan memuat sekurang-kurangnya data sebagai berikut : 1) Nama dan alamat unit usaha; 2) Nama dan alamat pemilik/pengurus unit usaha; 3) Bukti identitas diri pemilik/pengurus; 4) Bidang usaha; 5) Izin usaha atau surat keterangan usaha dari pihak yang berwenang; 6) Perkembangan kinerja usaha (arus kas, perhitungan pendapatan dan beban, neraca atau data yang menunjukkan keadaan keuangan serta hasil usaha); dan 7) Rencana usaha dan kebutuhan dana. b. BUMN Pembina atau BUMN Penyalur atau Lembaga Penyalur melaksanakan evaluasi dan seleksi atas permohonan yang diajukan oleh calon Mitra Binaan; c. Calon Mitra Binaan yang layak bina, menyelesaikan proses administrasi pinjaman dengan BUMN Pembina atau BUMN Penyalur atau Lembaga Penyalur bersangkutan; d. Pemberian pinjaman kepada calon Mitra Binaan dituangkan dalam surat perjanjian/kontrak yang sekurang-kurangnya memuat : 1) Nama dan alamat BUMN Pembina atau BUMN Penyalur atau Lembaga Penyalur dan Mitra Binaan; 2) Hak ...../-8- -82) Hak dan kewajiban BUMN Pembina atau BUMN Penyalur atau Lembaga Penyalur dan Mitra Binaan; 3) Jumlah pinjaman dan peruntukannya; 4) Syarat-syarat pinjaman (jangka waktu pinjaman, jadual angsuran pokok dan jasa administrasi pinjaman). e. BUMN Pembina atau BUMN Penyalur atau Lembaga Penyalur dilarang memberikan pinjaman kepada calon Mitra Binaan yang menjadi Mitra Binaan BUMN Pembina atau BUMN Penyalur atau Lembaga Penyalur lain. (2) Besarnya jasa administrasi pinjaman dana Program Kemitraan per tahun sebesar 6% (enam persen) dari limit pinjaman atau ditetapkan lain oleh Menteri. (3) Apabila pinjaman/pembiayaan diberikan berdasarkan prinsip jual beli maka proyeksi marjin yang dihasilkan disetarakan dengan marjin sebesar 6% (enam persen) atau sesuai dengan penetapan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatas. (4) Apabila pinjaman/pembiayaan diberikan berdasarkan prinsip bagi hasil maka rasio bagi hasilnya untuk BUMN Pembina adalah mulai dari 10% (10 : 90) sampai dengan maksimal 50% (50 : 50). (5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berlaku juga terhadap rasio bagi hasil untuk BUMN Penyalur dan Lembaga Penyalur. Pasal 13 (1) Tata cara penyaluran bantuan dana Program BL BUMN Pembina : a. BUMN Pembina terlebih dahulu melakukan survai dan identifikasi sesuai dengan kondisi dan kebutuhan di wilayah usaha BUMN Pembina setempat; b. Pelaksanaan Program BL dilakukan oleh BUMN Pembina yang bersangkutan. (2) Tata cara penyaluran bantuan dana Program BUMN Peduli ditetapkan oleh Menteri. BAB V BEBAN OPERASIONAL PROGRAM KEMITRAAN DAN PROGRAM BL Pasal 14 (1) Beban Operasional Program Kemitraan dibiayai dari dana hasil jasa administrasi pinjaman/marjin/bagi hasil, bunga deposito dan/atau jasa giro dana Program Kemitraan . (2) Besarnya Beban Operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maksimal sebesar jasa administrasi pinjaman/marjin/bagi hasil, bunga deposito dan/atau jasa giro dana Program Kemitraan selama tahun berjalan. (3) Dalam hal dana untuk Beban Operasional tidak mencukupi, maka kekurangannya dibebankan pada anggaran biaya BUMN Pembina yang bersangkutan. (4) Apabila …../-9- -9- (4) Apabila pada akhir tahun terdapat sisa dana untuk Beban Operasional maka sisa dana tersebut dapat digunakan untuk membiayai beban operasional tahun berikutnya dan/atau sebagai tambahan sumber dana Program Kemitraan. (5) Dalam hal Beban Operasional Program Kemitraan bagi BUMN Pembina yang menerima pelimpahan dari BUMN Pembina lain tidak mencukupi, maka kekurangan tersebut menjadi beban BUMN Pembina yang menerima pelimpahan. Pasal 15 (1) Beban Operasional Program BL BUMN Pembina dibiayai dari dana Program BL. (2) Besarnya Beban Operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maksimal 5% (lima persen) dari dana Program BL BUMN Pembina yang disalurkan pada tahun berjalan. Pasal 16 Beban Operasional Program Kemitraan dan Program BL BUMN Pembina dituangkan dalam RKA Program Kemitraan dan Program BL. Pasal 17 BUMN Pembina, BUMN Penyalur dan Lembaga Penyalur dilarang menggunakan dana Program Kemitraan dan Program BL untuk hal-hal diluar ketentuan yang diatur dalam Peraturan ini. BAB VI PENYUSUNAN DAN PENGESAHAN RENCANA KERJA DAN ANGGARAN Pasal 18 (1) RKA Program Kemitraan dan Program BL sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 huruf c terpisah dari Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP) BUMN Pembina. (2) RKA Program Kemitraan dan Program BL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang kurangnya memuat : a. Rencana kerja Program Kemitraan dan Program BL, dirinci menurut wilayah binaan; b. Anggaran Program Kemitraan dan Program BL, terdiri atas sumber dana, dana yang tersedia dan rencana penggunaan dana sesuai dengan rencana kerja sebagaimana dimaksud pada huruf a; c. Proyeksi Posisi Keuangan, Laporan Aktivitas dan Arus Kas Program Kemitraan dan Program BL; d. Masalah yang dihadapi dan langkah-langkah penyelesaiannya. Pasal 19...../-10- - 10 Pasal 19 RKA Program Kemitraan dan Program BL yang telah disetujui RUPS/Menteri langsung dapat dilaksanakan tanpa harus menunggu penetapan rencana penyaluran dana per provinsi sebagaimana dimaksud pada pasal 10 ayat (1) huruf b. Pasal 20 (1) Direksi BUMN Pembina wajib menyampaikan RKA Program Kemitraan dan Program BL kepada Menteri/Pemegang Saham dengan tembusan kepada Komisaris/Dewan Pengawas paling lambat 60 (enam puluh) hari sebelum memasuki tahun anggaran. (2) Menteri/RUPS mengesahkan RKA Program Kemitraan dan Program BL paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah tahun anggaran berjalan. (3) Dalam hal RKA Program Kemitraan dan Program BL belum memperoleh pengesahan sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), maka RKA Program Kemitraan dan Program BL tersebut dianggap telah disahkan dan dapat dilaksanakan sepanjang telah memenuhi ketentuan Pasal 18 dan ayat (1) pasal ini. (4) Direksi BUMN Pembina bertanggung jawab atas pelaksanaan dan pencapaian sasaran dalam RKA Program Kemitraan dan Program BL. (5) Komisaris/Dewan Pengawas BUMN Pembina bertanggung jawab atas pengawasan pelaksanaan Program Kemitraan dan Program BL. BAB VII PENYUSUNAN DAN PENGESAHAN LAPORAN Pasal 21 (1) Setiap BUMN Pembina wajib menyusun laporan pelaksanaan Program Kemitraan dan Program BL. (2) Laporan pelaksanaan Program Kemitraan dan Program BL terdiri dari Laporan Triwulanan dan Laporan Tahunan. (3) Laporan pelaksanaan Program Kemitraan dan Program BL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara terpisah dari Laporan Berkala dan Laporan Tahunan BUMN Pembina. Pasal 22 (1) Direksi BUMN Pembina wajib menyampaikan laporan pelaksanaan Program Kemitraan dan Program BL kepada Menteri/Pemegang Saham dengan tembusan kepada Komisaris/Dewan Pengawas, sebagai berikut : a. Laporan Triwulanan paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah berakhirnya triwulan yang bersangkutan; b. Laporan Tahunan termasuk laporan keuangan (audited) paling lambat 5 (lima) bulan setelah berakhirnya tahun anggaran yang bersangkutan. (2) Menteri/RUPS...../-11- - 11 (2) Menteri/RUPS mengesahkan Laporan Tahunan Program Kemitraan dan Program BL paling lambat 6 (enam) bulan setelah berakhirnya tahun anggaran yang bersangkutan. (3) Pengesahan Laporan Tahunan Program Kemitraan dan Program BL sekaligus memberikan pelunasan dan pembebasan tanggungjawab (acquite at de charge) kepada Direksi dan Komisaris/Dewan Pengawas atas pengurusan dan pengawasan Program Kemitraan dan Program BL sejauh tindakan tersebut ternyata dalam Laporan Tahunan Program Kemitraan dan Program BL yang telah di audit oleh Auditor. Pasal 23 Auditor yang memeriksa Laporan Keuangan pelaksanaan Program Kemitraan dan Program BL ditetapkan oleh : a. Menteri untuk Perum; b. RUPS untuk Persero; BAB VIII KUALITAS PINJAMAN DANA PROGRAM KEMITRAAN Pasal 24 Kualitas pinjaman dana Program Kemitraan dinilai berdasarkan pada ketepatan waktu pembayaran kembali pokok dan jasa administrasi pinjaman Mitra Binaan. Pasal 25 Dalam hal Mitra Binaan hanya membayar sebagian angsuran, maka pembayaran tersebut terlebih dahulu diperhitungkan untuk pembayaran jasa administrasi pinjaman dan sisanya bila ada untuk pembayaran pokok pinjaman. Pasal 26 Penggolongan kualitas pinjaman ditetapkan sebagai berikut : a. Lancar, adalah pembayaran angsuran pokok dan jasa administrasi pinjaman tepat waktu atau terjadi keterlambatan pembayaran angsuran pokok dan/atau jasa administrasi pinjaman selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari dari tanggal jatuh tempo pembayaran angsuran, sesuai dengan perjanjian yang telah disetujui bersama; b. Kurang lancar, apabila terjadi keterlambatan pembayaran angsuran pokok dan/atau jasa administrasi pinjaman yang telah melampaui 30 (tiga puluh) hari dan belum melampaui 180 (seratus delapan puluh) hari dari tanggal jatuh tempo pembayaran angsuran, sesuai dengan perjanjian yang telah disetujui bersama; c. Diragukan...../-12- - 12 c. Diragukan, apabila terjadi keterlambatan pembayaran angsuran pokok dan/atau jasa administrasi pinjaman yang telah melampaui 180 (seratus delapan puluh) hari dan belum melampaui 270 (duaratus tujuh puluh) hari dari tanggal jatuh tempo pembayaran angsuran, sesuai dengan perjanjian yang telah disetujui bersama; d. Macet, apabila terjadi keterlambatan pembayaran angsuran pokok dan/atau jasa administrasi pinjaman yang telah melampaui 270 (duaratus tujuh puluh) hari dari tanggal jatuh tempo pembayaran angsuran, sesuai dengan perjanjian yang telah disetujui bersama. Pasal 27 (1) Terhadap kualitas pinjaman kurang lancar, diragukan dan macet dapat dilakukan usahausaha pemulihan pinjaman dengan cara penjadwalan kembali (rescheduling) atau penyesuaian persyaratan (reconditioning) apabila memenuhi kriteria : a. Mitra Binaan beritikad baik atau kooperatif terhadap upaya penyelamatan yang akan dilakukan; b. Usaha Mitra Binaan masih berjalan dan mempunyai prospek usaha; c. Mitra Binaan masih mempunyai kemampuan untuk membayar angsuran. (2) Dalam hal dilakukan tindakan penyesuaian persyaratan (reconditioning), tunggakan jasa administrasi pinjaman dapat dihapuskan dan/atau beban jasa administrasi pinjaman selanjutnya yang belum jatuh tempo; (3) Tindakan penyesuaian persyaratan (reconditioning) dilakukan setelah adanya tindakan penjadwalan kembali (rescheduling). Pasal 28 (1) Pinjaman macet yang telah diupayakan pemulihannya namun tidak terpulihkan, dikelompokkan dalam aktiva lain-lain dengan pos Pinjaman Bermasalah; (2) Tata cara penghapusbukuan pinjaman bermasalah akan ditetapkan lebih lanjut oleh Menteri; (3) Terhadap pinjaman bermasalah yang telah dihapusbukukan tetap diupayakan penagihannya dan hasilnya dicatat dalam pos Pinjaman Bermasalah yang Diterima Kembali. (4) Jumlah dan mutasi rekening Pinjaman Bermasalah dan Pinjaman Bermasalah yang Diterima Kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3), dilaporkan secara periodik dalam laporan triwulanan. Pasal 29 Dikecualikan dari pasal 27 ayat (1) diatas, piutang macet yang terjadi karena keadaan memaksa (Force Majeure) seperti : mitra binaan meninggal dunia dan tidak ada ahli waris yang bersedia menanggung hutang dan/atau gagal usaha akibat bencana alam/kerusuhan, pemindahbukuan piutang macet tersebut kedalam pos pinjaman bermasalah dapat dilaksanakan tanpa melalui proses pemulihan pinjaman. BAB IX …../-13- - 13 - BAB IX KINERJA PROGRAM KEMITRAAN Pasal 30 (1) Kinerja Program Kemitraan merupakan salah satu indikator penilaian tingkat kesehatan BUMN Pembina. (2) Perhitungan kinerja Program Kemitraan akan diatur kemudian oleh Menteri. BAB X PEDOMAN AKUNTANSI PROGRAM KEMITRAAN DAN PROGRAM BL Pasal 31 (1) Penerapan pedoman akuntansi Program Kemitraan dan Program BL bertujuan untuk terciptanya informasi keuangan Program Kemitraan dan Program BL yang accountable (wajar dan dapat diandalkan) serta auditable. (2) Laporan keuangan Program Kemitraan dan Program BL terdiri dari Laporan Posisi Keuangan, Laporan Aktivitas dan Laporan Arus Kas, serta Catatan Atas Laporan Keuangan. (3) Laporan Arus Kas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disusun dengan menggunakan metode langsung (direct methode). BAB XI KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 32 Ketentuan-ketentuan dalam Peraturan ini berlaku pula bagi anak perusahaan BUMN dan perusahaan patungan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah atau dengan pihak lainnya, dengan ketentuan pemberlakuan Peraturan ini dikukuhkan dalam RUPS masing-masing perusahaan dimaksud. Pasal 33 Memberi kewenangan kepada Sekretaris Kementerian Negara BUMN untuk membuat petunjuk teknis lebih lanjut atas Peraturan ini. BAB XII ......./14 - 14 - BAB XII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 34 Dengan ditetapkannya Peraturan ini, maka : 1. Keputusan Menteri Badan Usaha Milik Negara Nomor Kep-236/MBU/2003 tanggal 17 Juni 2003 tentang Program Kemitraan Badan Usaha Milik Negara dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan; 2. Ketentuan-ketentuan yang bertentangan dengan Peraturan ini, dinyatakan tidak berlaku bagi BUMN. BAB XIII KETENTUAN PENUTUP Pasal 35 Peraturan ini mulai berlaku untuk tahun buku 2007. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. SALINAN peraturan ini disampaikan kepada Yth. ; 1. Ketua Badan Pemeriksa Keuangan; 2. Menteri Koordinator Perekonomian; 3. Menteri Keuangan; 4. Pejabat Eselon I dan Eselon II di lingkungan Kementerian Negara Badan Usaha Milik Negara. Ditetapkan di : Jakarta pada tanggal : 27 April 2007 MENTERI NEGARA BADAN USAHA MILIK NEGARA Salinan sesuai dengan aslinya Kepala Biro Hukum dan Humas Kementerian Negara BUMN ttd. Herman Hidayat NIP 060056141 ttd. SUGIHARTO