program kemitraan bumn dengan usaha kecil dan program bina

advertisement
PROGRAM KEMITRAAN BUMN DENGAN USAHA KECIL DAN
PROGRAM BINA LINGKUNGAN SEBAGAI TANGGUNG JAWAB
SOSIAL PERUSAHAAN DI PT. BANK NEGARA INDONESIA
(PERSERO) TBK CABANG PURWOKERTO
SKRIPSI
Oleh:
PAMELA BEATHRICE ARITONANG
E1A009115
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM
PURWOKERTO
2013
i
PROGRAM KEMITRAAN BUMN DENGAN USAHA KECIL DAN
PROGRAM BINA LINGKUNGAN SEBAGAI TANGGUNG JAWAB
SOSIAL PERUSAHAAN DI PT. BANK NEGARA INDONESIA
(PERSERO) TBK CABANG PURWOKERTO
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Syarat Untuk Mendapatkan Gelar Sarjana Hukum Pada
Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
Oleh:
PAMELA BEATHRICE ARITONANG
E1A009115
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM
PURWOKERTO
2013
ii
Lembar Pengesahan Skripsi
PROGRAM KEMITRAAN BUMN DENGAN USAHA KECIL DAN
PROGRAM BINA LINGKUNGAN SEBAGAI TANGGUNG JAWAB
SOSIAL PERUSAHAAN DI PT. BANK NEGARA INDONESIA
(PERSERO) TBK CABANG PURWOKERTO
Oleh :
PAMELA BEATHRICE ARITONANG
E1A009115
Untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Hukum pada
Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
Diterima dan Disahkan
Pada Tanggal............................
Pembimbing I
Pembimbing II
Penguji
M.I Wiwik Yuni Hastuti, S.H., M.H.
NIP. 19590619 198601 2 002
Sukirman, S.H., M. Hum.
NIP. 19581006 198403 1 001
Sutoyo, S.H., M.H.
NIP. 19560403 198503 1 002
Mengetahui
Dekan Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman
Dr. Angkasa, S.H., M.H.
NIP. 19640923 198901 1 001
iii
SURAT PERTANYAAN
Dengan ini saya:
Nama
:
PAMELA BEATHRICE ARITONANG
NIM
:
E1A009115
Judul Skripsi :
PROGRAM KEMITRAAN BUMN DENGAN USAHA
KECIL
DAN
SEBAGAI
PROGRAM
TANGGUNG
BINA
LINGKUNGAN
JAWAB
SOSIAL
PERUSAHAAN DI PT. BANK NEGARA INDONESIA
(PERSERO) TBK CABANG PURWOKERTO
Menyatakan bahwa skripsi yang saya buat ini adalah benar-benar karya
saya sendiri dan tidak menjiplak hasil karya orang lain maupun dibuatkan
oleh orang lain.
Dan apabila terbukti saya melakukan pelanggaran sebagaimana tersebut di
atas, maka saya bersedia dikenai sanksi apa pun dari Fakultas.
Purwokerto, Februari 2013
Pamela Beathrice Aritonang
E1A009115
iv
PRAKATA
Segala Puja dan Puji Syukur Penulis panjatkan ke hadirat Tuhan
Yang Maha Esa yang telah melimpahkan Berkat dan Kasih Karunia-Nya,
sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul PROGRAM
KEMITRAAN BUMN DENGAN USAHA KECIL DAN PROGRAM BINA
LINGKUNGAN SEBAGAI TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN
DI PT. BANK NEGARA INDONESIA (PERSERO) TBK CABANG
PURWOKERTO sebagai syarat untuk mendapat gelar kesarjanaan Ilmu
Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto.
Pelaksanaan dan penyusunan skripsi ini tidak akan berhasil dengan
baik tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu,
Penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada:
1.
Bapak Dr. Angkasa, S.H., M. Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman yang telah memberikan bimbingan.
2.
Ibu M.I Wiwik Yuni Hastuti, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing
Akademik dan Dosen Pembimbing I yang telah memberikan banyak
bimbingan, motivasi dan arahan selama penulis kuliah serta pemahaman
ilmu dalam penulisan skripsi ini.
3.
Bapak Sukirman, S.H., M. Hum., selaku Dosen Pembimbing II yang juga
telah memberikan banyak bimbingan dan arahan serta pemahaman
ilmu dalam penulisan skripsi ini.
v
4.
Bapak Sutoyo, S.H., M.H., selaku Dosen Penguji Skripsi yang telah
memberikan banyak masukan dan bimbingan demi kesempuranaan
skripsi ini.
5.
Seluruh Dosen, Staff Administrasi, dan Civitas Akademika Fakultas
Hukum
Universitas
Jenderal
Soedirman
yang
mendidik,
mentrasnsformasikan ilmu hukum, serta memberikan pelayanan selama
Penulis melakukan studi.
6.
Keluarga besar PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Cabang
Purwokerto atas izin dan data yang telah diberikan terkait skripsi ini.
7.
Keluarga tercinta (Papa, Mama, Tulang Bagas, Nantulang Bagas, David,
Amos, Bagas dan Doge) yang telah membantu dan memberikan
semangat, support, kekuatan doa dan cinta tanpa henti serta makna
hidup yang sangat berarti.
8.
Keluarga Besar Asian Law Student’s Association (ALSA) Local Chapter
UNSOED yang tidak bisa disebutkan satu per satu, terima kasih atas
kebersamaan dan proses yang telah kita jalani bersama.
9.
Keluarga besar mahasiswa FH Unsoed khususnya teman-teman
angkatan 2009 yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu,
terimakasih atas kebersamaan yang telah kita lewati bersama.
10. Para Sahabat terutama Lintang, Anis dan Afril terima kasih atas
dukungan, kebersamaan dan kebahagian serta rekan-rekan yang tidak
bisa penulis sebutkan satu persatu terima kasih atas dukungannya.
vi
PROGRAM KEMITRAAN BUMN DENGAN USAHA KECIL DAN
PROGRAM BINA LINGKUNGAN SEBAGAI TANGGUNG JAWAB
SOSIAL PERUSAHAAN DI PT. BANK NEGARA INDONESIA
(PERSERO) TBK CABANG PURWOKERTO
Oleh :
PAMELA BEATHRICE ARITONANG
E1A009115
ABSTRAKSI
Sebagai salah satu pelaku usaha kegiatan ekonomi dalam perekonomian
nasional berdasarkan ekonomi demokrasi di Indonesia, Badan Usaha Milik
Negara haruslah melaksanakan kegiatannya dengan profesional dan mengikuti
perkembangan zaman yang terjadi saat ini. Pemerintah mengeluarkan UndangUndang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara dengan
memperhatikan posisi strategis BUMN dalam perekonomian Indonesia guna
mengoptimalkan peran BUMN agar menjadi lebih profesional. Namun dalam
melaksanakan kegiatan usaha, baik pihak swasta maupun pemerintah yang
diwakili oleh BUMN haruslah memperhatikan aspek sosial. Sebagaimana yang
diamanatkan pada Pasal 88 UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN bahwa
BUMN dapat menyisihkan sebagian laba bersihnya untuk keperluan pembinaan
usaha kecil/koperasi serta pembinaan masyarakat sekitar BUMN. Dengan lahirnya
UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN lahirlah Peraturan Menteri Negara
BUMN Nomor PER-05/MBU/2007 tentang Program Kemitraan Badan Usaha
Milik Negara dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan (PKBL) sebagai
pengaturan mengenai salah satu bentuk tanggung jawab sosial perusahaan dari
BUMN.
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan mengetahui penerapan Peraturan
Menteri Negara BUMN Nomor PER-05/MBU/2007 tentang PKBL sebagai salah
satu bentuk tanggung jawab sosial perusahaan dari BUMN di PT. Bank Negara
Indonesia (Persero) Tbk Cabang Purwokerto. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Cabang Purwokerto sebagai unit
operasional telah menerapkan ketentuan Peraturan Menteri Negara BUMN Nomor
PER-05/MBU/2007 tentang Program Kemitraan Badan Usaha Milik Negara
dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan.
Kata Kunci
: Program Kemitraan BUMN, Program Bina Lingkungan dan
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan.
vii
ABSTRACT
As one of the businesses of economic activity in the national
economy based on economic democracy in Indonesia, BUMN should carry out
their activities with professionals and keep abreast of the current era.
Government issued Law No. 19 of 2003 on BUMN with respect to the strategic
position of the Indonesian economy in order to optimize the role of the state in
order to become more professional. But in conducting business, both private and
government, represented by BUMN must give attention to social aspects. As
stipulated in Article 88 of Law No. 19 Year 2003 on BUMN can set aside part of
its net income for the purposes of fostering small businesses / cooperatives and
community development around the state. With the birth of the Law no. 19 of 2003
on state born Minister of BUMN No. PER-05/MBU/2007 about Partnership
Program with the State Owned Small Business and Community Development
Program (CSR) as a form of regulation on corporate social responsibility of the
BUMN.
This research was conducted with the purpose of knowing the application
of the Minister of BUMN No. PER-05/MBU/2007 about CSR as a form of
corporate social responsibility of state-owned PT. Bank Negara Indonesia
(Persero) Branch Purwokerto. The results showed that PT. Bank Negara
Indonesia (Persero) Branch Purwokerto as operational units have implemented
the theof rule of Minister BUMN No. PER-05/MBU/2007 about Partnership
Program with the State Owned Small Business and Community Development.
Keywords: Partnership Program, Community Development Program and
Corporate Social Responsibility.
viii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ………………………………….........................………… i
HALAMAN PENGESAHAN …………………….........................……………. ii
SURAT PERNYATAAN ………………………...................…………………. iii
PRAKATA ……………………………………..……….............................…… iv
ABSTRAK …………………………………………..……............................… vii
ABSTRACT ……………………………………………..........................……. viii
DAFTAR ISI ………………………………………………...........……………. ix
BAB I PENDAHULUAN...................................................................................1
A. Latar Belakang Masalah...........................................................................1
B. Perumusan Masalah...............................................................................13
C. Tujuan Penelitian...................................................................................14
D. Kegunaan Penelitian..................................................................................14
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.......................................................................16
A. Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Corporate Social Responsibilty).....16
1. Pengertian, Konsep dan Prinsip Tanggung Jawab Sosial Perusahaan.16
2. Pengaturan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan di Indonesia.............36
B. Badan Usaha Milik Negara (BUMN)........................................................42
ix
1.
Pengertian, Pengaturan dan Peranan Badan Usaha Milik Negara
(BUMN)...............................................................................................42
2. Jenis-Jenis Badan Usaha Milik Negara (BUMN)................................56
3. PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk..........................................69
C. Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dan Program Bina
Lingkungan (PKBL)...............................................................................71
1. Sejarah dan Dasar Hukum Program Kemitraan BUMN dengan Usaha
Kecil dan Bina Lingkungan..................................................................71
2. Tujuan dan Sistem Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil
dan Program Bina Lingkungan..........................................................76
BAB III METODE PENELITIAN....................................................................86
A. Metode Pendekatan................................................................................86
B. Spesifikasi Penelitian.............................................................................87
C. Lokasi Penelitian...................................................................................88
D. Sumber Data...........................................................................................88
E. Metode Pengumpulan Data....................................................................90
F. Metode Penyajian Data..........................................................................90
G. Metode Analisis Data.............................................................................91
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN....................................92
A. Hasil Penelitian......................................................................................92
B. Pembahasan.........................................................................................122
BAB V PENUTUP............................................................................................139
A. Simpulan..............................................................................................139
x
B. Saran....................................................................................................141
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
xi
1
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan negara yang dilimpahi kekayaan alam dari Sabang
sampai Merauke seperti minyak bumi, hasil produksi hutan, dan hasil produksi
laut. Melimpahnya kekayaan alam yang ada di Indonesia mempengaruhi terhadap
pemenuhan kebutuhan rakyat Indonesia. Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) sebagai landasan kontitusi merumuskan
falsafah dan landasan perekonomian negara Indonesia yang dapat dilihat pada Bab
XIV UUD 1945 yang berjudul “Kesejahteraan Sosial”, khususnya Pasal 33 UUD
1954.
Adanya Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, menunjukan penegasan
legalitas untuk menjamin kesejahteraan rakyat Indonesia. Terlebih lagi dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 pada Alinea ke-empat yang berbunyi
“Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia
yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia
dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa....”.
Bunyi Alinea ke-empat Pembukaan UUD 1945 Indonesia menyatakan tujuan
dibentuknya negara Indonesia. Dilihat dari bunyi Pasal 33 UUD 1945 terkandung
makna dari pokok pikiran Alinea ke-empat terutama pada Ayat (2) dan (3) secara
2
jelas menerangkan bahwa cabang-cabang produksi penting yang menguasai hajat
hidup orang banyak serta bumi, air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara, dan digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Terhadap makna tersirat dalam Pasal 33 UUD 1945, maka secara jelas Indonesia
menyatakan dirinya sebagai negara kesejahteraan (welfare state), yang mana
kesejahteraan rakyat merupakan tujuan utama dari pelaksanaan kehidupan
berbangsa dan bernegara.
Dalam melaksanakan perannya sebagai negara kesejahteraan (welfare
state), sebuah negara haruslah memiliki perangkat untuk mewujudkan cita-citanya
yaitu kesejahteraan rakyatnya. Di Indonesia, salah satu
perangkat untuk
mewujudkan tujuan tersebut adalah Badan Usaha Milik Negara. Bermula pada
tahun 1960 dengan dikeluarkannya kebijakan Pemerintah untuk mendirikan
sejumlah perusahaan negara guna mengambil alih perusahaan-perusahaan bekas
Belanda pasca Kemerdekaan Indonesia. Pada masa itu Indonesia mengalami
hambatan karena belum memiliki sumber daya manusia yang cukup memadai
untuk menjalankan perusahaan berskala besar secara efisien dan produktif.
Perusahaan negara diatur dengan berbagai peratutan perundang-undangan seperti
Undang-Undang Perusahaan Negara (Indonesiche Bedrijven Wet/IBW), UndangUndang Perbendaharaan Negara (Indonesische Comptabliteits Wet/ICW), dan
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (Wetboek van Kophandel/WvK).1
Pengaturan perusahaan negara dengan berbagai ketentuan tersebut pada akhirnya
1
Parluhutan Sagala, Penyebaran Kepemilikan Saham Pemerintah Pada Badan Usaha
Milik Negara (BUMN) untuk menciptakan Perusahaan yang efektif dan efisien, Disertasi, (Medan:
Sekolah Pascasarjana, 2009), Hlm. 44.
3
menimbulkan kesulitan di bidang administrasi dan pengawasan oleh pemerintah.
Dalam rangka melakukan re-orginasasi alat-alat produksi dan distribusi yang
sesuai dengan Pasal 33 UUD 1945, maka pemerintah mengeluarkan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 19 Tahun 1960.
Dikeluarkannya Perpu ini membuat sebuah
keseragaman tentang perusahaan
negara adalah semua perusahaan dalam bentuk apapun yang modalnya untuk
seluruhnya merupakan kekayaan Negara Republik Indonesia, kecuali ditentukan
lain dengan atau berdasarkan Undang-Undang.
Pada tahun 1969, Pemerintah mengeluarkan Perpu Nomor 9 Tahun 1969
yang kemudian menjadi Undang-Undang Nomor 9 Prp Tahun 1969 tentang
Bentuk-Bentuk Usaha Negara yang mengurangi jumlah BUMN dari 822 menjadi
184 perusahaan. Pada UU No. 9 Prp Tahun 1969 ini, BUMN dikelompokan
menjadi tiga bentuk yaitu Perjan, Perum dan Persero. Pasca Reformasi,
pengelolaan BUMN diatur dalam ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1999
mengenai: (1) penataan BUMN secara efisien, transparan dan profesional; (2)
penyehatan BUMN yang berkaitan dengan kepentingan umum; dan (3)
mendorong BUMN yang tidak berkaitan dengan kepentingan umum untuk
melakukan privatisasi di pasar modal. Untuk melaksanakan ketetapan MPR
tersebut, diterbitkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha
Milik Negara yang selanjutnya dalam Skripsi dengan UU BUMN. Dalam UU
BUMN, BUMN dibagi menjadi dua jenis, yaitu:
1. Perusahaan Perseroan, yang selanjutnya disebut Persero, adalah
BUMN yang berbentuk Perseroan Terbatas yang modalnya
terbagi dalam saham yang seluruhnya atau paling sedikit 51 %
4
(Lima Puluh Satu Persen) sahamnya dimiliki oleh Negara
Republik Indonesia yang tujuan utamanya mengejar keutungan.
2. Perusahaan Umum, yang selanjutnya disebut Perum adalah
BUMN yang seluru modalnya dimiliki negara dan tidak terbagi
atas saham, yang bertujuan untuk kemanfaatan umum berupa
penyediaan barang dan/ atau jasa yang bernutu tinggi dan
sekaligus mengejar keuntungan berdasarkan prinsip pengeloaan
perusahaan.
Kehadiran Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menyatakan Indonesia
turut serta sebagai salah satu pelaku ekonomi di Indonesia. Berdasarkan hal
tersebut, kinerja BUMN haruslah profesional dalam pengelolaannya sama halnya
dengan perusahaan-perusahaan lain yang non-BUMN. Sampai pada era reformasi,
peran BUMN masih menjadi isu besar. Hal ini sebagaimana yang disampaikan
oleh Menteri BUMN Dahlan Iskan dalam rencana pembentukan PT. Perusahaan
Pengelola Aset (PT. PPA) bahwa “BUMN yang berjumlah 141 dengan
penguasaan aset-aset yang menembus Rp. 2.500.000.000.000.000,- (dua ribu lima
ratus triliun) kinerjanya menjadi sorotan”.2 Melihat jumlah aset yang dikuasai
BUMN, maka bukanlah perkara mudah untuk mengemban amanat dari Pasal 33
Ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang tidak dapat dilepaskan dari tujuan
berdirinya BUMN yang menyatakan “Cabang-Cabang produksi yang penting bagi
Negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara”. Secara
kasat mata, pelaksana dari Pasal 33 terutama Ayat (2) tersebut adalah BUMN
sebagai wakil negara dalam melaksanakan tugasnya menjadi pelaku ekonomi di
Indonesia yang bertujuan mensejahterakan rakyat Indonesia dengan menguasai
2
www.tempo.co/read/news/2011/10/31/090364183/Aset-BUMN-Nganggur-Dialihkan,
diakses pada 20 November 2012
5
dan mengelola cabang-cabang produksi penting bagi negara dan hajat hidup orang
banyak.
Perkembangan kehidupan yang terjadi di zaman modern dan beragam
kebutuhan manusia yang menuntut untuk dipenuhi, maka makin banyak pula
pelaku ekonomi yang mengembangkan kegiatan usaha mereka baik di sektor
pemerintahan dan sektor swasta. Keberadaan perusahaan bukan bersifat
independen
terhadap
lingkungan
dan
masyarakat,
melainkan
memiliki
ketergantungan dan membutuhkan lingkungan masyarakat yang lebih besar.
Merujuk pada Nor Hadi, Perusahaan adalah pihak yang memperoleh keuntungan
besar dalam pemanfaatan sumberdaya tersebut sementara masyarakat adalah
pihak yang yang justru menanggung akibat negatif (negative externalities) baik
yang bersifat langsung dan tidak langsung.3
Serupa dengan yang dikatakan oleh Nor Hadi, Crowther David
mengemukakan pengaruh perusahaan terhadap lingkungan masyarakat dapat
menimbulkan berbagai persoalan sosial dan lingkungan, seperti:
1.
2.
3.
4.
5.
3
Pemanfaatan sumber daya alam sebagai bagian dari proses
produksinya;
Pengaruh persaingan antar organisasi di pasar yang sama;
Memperkaya komunitas lokal melalui penciptaan kesempatan
kerja;
Transformasi bentuk alam karena ekstraksi bahan baku atau
penyimpanan limbah produk;
Distribusi kekayaan yang diciptakan dalam perusahaan kepada
pemilik (melalui dividen) dan pekerja bahwa perusahaan
(melalui upah) dan akibatnya pada kesejahteraan individu; dan
Nor Hadi, Corporate Social Responsibility, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2011, Hlm 35.
6
6.
Akhir-akhir ini perhatian terbesar terhadap iklim dan cara
emisi gas rumah kaca dalam memperburuk ini.4
Didasarkan pada pemikiran Nor Hadi dan Crowther David, perusahaan
harus memberikan nilai timbal balik kepada para pemangku kepentingan atau
stakeholder dan melakukan tindakan tanggung jawab sosial perusahaan yang
menjadi bagian tidak terpisahkan dalam operasionalnya. Melihat fakta di lapangan
bahwa sumber daya alam semakin tergerus oleh perilaku para pelaku ekonomi
untuk memenuhi kebutuhan konsumen, mulailah diperkenalkan konsep Tanggung
Jawab Sosial atau Corporate Social Responsibility (CSR) pada tahun 1953 dengan
diterbitkan buku yang bertajuk “Social Responsibilities of the Businessman”
karya Howard R. Bowen yang kemudian dikenal dengan Bapak CSR. Tanggung
Jawab Sosial Perusahaan atau Corporate Social Responsibility yang selanjutnya
dalam penelitian ini disebut CSR. CSR merupakan isu sosial yang ramai
dibicarakan di kalangan pelaku bisnis dan perusahaan. CSR sendiri mulai ramai
diperbincangkan pada tahun 1970 ketika terbitnya buku Cannibals With Forks:
The Triple Bottom Line in 21st Century Business (1998) 5, karya John Elkington.
Buku Cannibals With Forks: The Triple Bottom Line in 21st Century Business
(1998) mengembangkan tiga komponen penting pembangunan berkelanjutan
(sustainable development), yakni pertumbuhan ekonomi (economic growth),
perlindungan lingkungan (environmental protection), dan persamaan sosial (social
equity) yang digagas The World Commission on Environment and Development
(WCED) dalam Brundtland Report (1987). Elkington mengemas CSR ke dalam
4
David Crowther, Corporate Social Responsibility, Guler Aras & Ventus Publishing Aps,
2008, Hlm 13.
5
Nor Hadi, Op. Cit, Hlm 56.
7
tiga fokus: 3P, singkatan dari profit, planet dan people, dimana perusahaan yang
baik tidak hanya memburu keuntungan ekonomi belaka (profit), melainkan
memiliki kepedulian terhadap kelestarian lingkungan (planet) dan kesejahteraan
masyarakat (people). Corporate Social Responsibility (CSR) dalam konsep yang
luas mencakup kepatuhan perusahaan kepada Hak Azasi Manusia, perburuhan,
perlindungan konsumen, dan lingkungan hidup. Dalam pengertian yang sempit
yaitu pembangunan kesejahteraan masyarakat sekitar perusahaan berada.6
menurut Lord Holme dan Richard Watts (2006) dalam Nor Hadi
mendefinisikan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan adalah komitmen
berkelanjutan oleh bisnis untuk berperilaku etis dan berkontribusi
terhadap pembangunan ekonomi sekaligus meningkatkan kesetaraan
kehidupan tenaga kerja dan keluarganya serta masyarakat setempat
dan masyarakat pada umumnya.7
Kendati demikian, wacana tanggung jawab sosial perusahaan masih
diposisikan secara marginal dan cenderung memiliki apresiasi yang kurang tepat,
sehingga konteks dari tanggung jawab sosial sering kali disepelekan. Seiring
dengan semangat dunia usaha untuk mengimplementasikan program CSR yang
semakin meluas, maka pemerintah beserta segenap jajaran sebaiknya berusaha
untuk memahami konsep CSR agar ada titik kesepahaman dengan dunia usaha.
Jikalau tidak mencapai titik kesepahaman tersebut, antara kebijakan pemerintah
dan
kebijakan
dunia
usaha
akan
terjadi
tabrakan
kepentingan
dan
pengimplementasian CSR tidak akan maksimal.
6
Rajaguguk Erman, “Konsep dan Perkembangan Pemikiran Tentang Tanggung Jawab
Sosial Perusahaan”, http://journal.uii.ac.id, Hlm 10, diakses pada 30 Oktober 2012.
7
Nor Hadi, Op. Cit, Hlm 46.
8
Ada lima peraturan di Indonesia yang mewajibkan perusahaan tertentu
untuk menjalankan program tanggung jawab sosial perusahaan atau CSR, yaitu:
(1) Keputusan Menteri BUMN Tentang Program Kemitraan Bina Lingkungan
(PKBL), (2) Undang-Undang Perseroan Terbatas Nomor 40 Tahun 2007 (yang
selanjutnya disebut dengan UUPT), (3) Undang-Undang Penanaman Modal
Nomor 25 Tahun 2007 (UUPM), dan (4) Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi
Nomor 22 Tahun 2001, dan (5) Guidance ISO 26000. Pada Bab V UUPT, Pasal
74 yang berjudul “Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan”, mengatur tentang
tanggung jawab sosial perusahaan. Pada Pasal 74 tersebut hanya mengatur
tanggung jawab sosial perusahaan yang akibat dari kegiatan usahanya berdampak
langsung terhadap lingkungan atau Perseroan yang kegiatan usahanya mengelola
dan memanfaatkan sumber daya alam serta Perseroan yang tidak mengelola dan
tidak memanfaatkan sumber daya alam, tetapi kegiatan usahanya berdampak pada
fungsi kemampuan sumber daya alam. Melihat isi Pasal 74 UU PT tersebut dapat
diketahui bahwa pada Pasal 74 tidak mengatur tanggung jawab sosial perusahaan
yang tidak bersinggungan dengan sumber daya alam.
Diberlakukannya UUPT membuat konsep tanggung jawab sosial
perusahaan mulai disinggung dan ramai dibicarakan di Indonesia. Dalam UndangUndang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal
pada Bab IX yang berjudul “Hak, Kewajiban, dan Tanggung Jawab Penanam
Modal”, Pasal 15 huruf b yang menyebutkan setiap penanam modal berkewajiban
melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan. Dimasukannya instruksi
melaksanakan Corporate Social Responsibility berimplikasi kepada pelaku usaha
9
yang disebutkan wajib melaksanakan CSR, tidak hanya diwajibkan pada pelaku
usaha swasta saja tetapi kepada BUMN walau pun kedua Undang-Undang
tersebut tidak menyebutkan secara eksplisit CSR harus dilakukan oleh BUMN,
akan tetapi pada Pasal 74 menyebutkan bahwa Perseroan wajib melaksanakan
tanggung jawab sosial perusahaan yang mana salah satu bentuk BUMN adalah
Perseroan Terbatas.
Maksud dan tujuan pendirian BUMN sebagaimana tercantum pada Pasal 2
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha
Milik Negara adalah memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian
nasional pada umumnya dan penerimaan negara pada khususnya,
mengejar
keuntungan, menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang
dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan memadai bagi pemenuhan hajat hidup
orang banyak, menjadi perintis kegiatan-kegiatan usaha yang belum dapat
dilaksanakan oleh sektor swasta dan koperasi, turut aktif memberikan bimbingan
dan bantuan kepada
pengusaha golongan ekonomi lemah, koperasi, dan
masyarakat. Tujuan dan maksud didirikannya BUMN sangatlah mulia dan patut
mendapatkan porsi tempat besar yang sangat strategis dalam sistem perekonomian
di Indonesia, terlebih lagi BUMN juga merupakan salah satu sumber penerimaan
negara yang signifikan dalam bentuk berbagai jenis pajak, deviden dan hasil
privatisasi.8 Undang-Undang tersebut secara eksplisit dan implisit memberikan
8
Yusuf Wibisono, Membedah Konsep & Aplikasi Corporate Social Responsibility
(CSR),Gresik, Fascho Publishing, 2007, hlm. 81.
10
mandat dan arahan bagi BUMN untuk tidak melihat orientasi dari perspektif
rasional ekonomi (economic rational) semata.9
Pada umumnya orientasi perusahaan adalah untuk meningkatkan
kesejahteraan bagi para pemilik atau shareholder dan kreditur, merujuk pada
Noor Hadi batasan tersebut sesungguhnya merupakan cara pandang lama
(tradisional), yang karena perjalanan waktu dan pengalaman sejarah sudah tidak
relevan lagi dan sudah saatnya menuju pada orientasi pemangku kepentingan atau
stakeholder orientation. Orientasi perusahaan ditujukan tidak hanya untuk
memenuhi kebutuhan dan kesejahteraan shareholder, namun upaya mencapai
peningkatan dan perkembangan perusahaan juga didudukkan dalam kerangka
keselarasan, keserasian dan keseimbangan lingkungan.10
CSR tidak hanya terbatas pada konsep pemberian donor saja, tetapi
konsepnya sangat luas dan tidak bersifat statis dan pasif serta tidak hanya
dikeluarkan dari perusahaan, akan tetapi hak dan kewajiban yang dimiliki bersama
antara stakeholders. Konsep CSR melibatkan tanggung jawab kemitraan antara
pemerintah, lembaga
sumberdaya komunitas, juga komunitas setempat.
Kemitraaan ini merupakan tanggung jawab bersama secara sosial antara
stakeholders. Konsep kedermawanan perusahaan atau corporate philantrophy
dalam tanggung jawab sosial tidak lagi memadai, karena konsep tersebut tidak
9
Ibid. Hlm 25.
Nor Hadi, Op. Cit, Hlm 40.
10
11
melibatkan kemitraan tanggung jawab perusahaan secara sosial dengan
stakeholder lainnya.11
Pasal 88 Ayat (1) UU No 19 Tahun 2003 tentang BUMN menyatakan
bahwa BUMN dapat menyisihkan sebagian laba bersihnya untuk keperluan
pembinaan usaha kecil dan koperasi serta pembinaan masyarakat sekitar BUMN.
Kelanjutan
dari UU BUMN khususnya menyangkut Pasal 2 dan Pasal 88,
diterbitkan Keputusan Menteri Negara BUMN (Kepmen BUMN) No. Kep236/MBU/2003 tentang Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dan
Program Bina Lingkungan, yang selanjutnya dilakukan penyempurnaan dengan
Peraturan Menteri Negara BUMN (Permen BUMN) No. Per-05/MBU/2007
tentang Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dan Program Bina
Lingkungan. Berdasarkan Peraturan Menteri tersebut, bentuk kepedulian BUMN
dijabarkan dalam dua program, yakni : Program Kemitraan BUMN dengan Usaha
Kecil dan Program Bina Lingkungan. Program Kemitraan adalah program untuk
meningkatkan kemampuan usaha kecil agar menjadi tangguh dan mandiri melalui
pemanfaatan dana dari bagian laba BUMN, sedangkan yang dimaksud dengan
Program Bina Lingkungan adalah program pemberdayaan kondisi sosial
masyarakat oleh BUMN melalui pemanfaatan dana dari bagian laba BUMN. 12
11
Bambang Rudito dan Melia Famiola, Etika Bisnis dan Tanggung Jawab Sosial
Perusahaan di Indonesia, Bandung: Rekayasa Sains, 2007, Hlm 207.
12
ASDEP Pembinaan Kemitraaan dan Bina Lingkungan, Kebijakan Kementerian BUMN
Tentang Ptogram CSR “Rakor Penguatan Kerjasama Pengelolaan Peluang Kerja dan Peluang
Usaha”, Buku Panduan, Hlm 5,
http://www.infokursus.net/download/1511101152Paparan_BUMN.pdf, diakses tanggal 09
Oktober 2012.
12
BUMN tidak hanya bertujuan untuk mencari keuntungan (profit), tetapi
juga memiliki tanggung jawab terhadap karyawannya dalam memberikan
bimbingan aktif dan pengusaha yang tergolong lemah, koperasi dan masyarakat
serta dalam pelestarian lingkungan. Dilihat dari ruh serta bunyi Pasal 88 UU
BUMN serupa dengan jiwa tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) yang telah
disebutkan sebelumnya. Sebagaimana yang peneliti kutip dari Rahmatullah dan
Trianita Kurniati menyatakan bahwa Program Kemitraan dan Bina Lingkungan
(PKBL) merupakan program yang identik dengan tanggung jawab sosial
perusahaan atau dengan kata lain PKBL merupakan salah satu bentuk tanggung
jawab sosial perusahaan.13 Salah satu bentuk tanggung jawab sosial perusahaan
BUMN ini dilakukan melalui Program Kemitraan dan Bina Lingkungan yang
diatur dalam Peraturan Menteri Negara BUMN (Permen.BUMN) No. Per05/MBU/2007 tentang Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dan
Program Bina Lingkungan yang mengatur mulai dari besaran dana hingga cara
pelaksanaan Corporate Social Responsibility (CSR).
Pengaturan dari besaran dana dan cara pelaksanaan CSR mengacu kepada
Peraturan Menteri Negara BUMN Nomor Per-05/MBU/2007 tentang Program
Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan. Seperti
yang telah diungkapkan sebelumnya Peraturan Menteri Negara BUMN tersebut
merupakan tindak lanjut dari UU BUMN terkhusus Pasal 2 dan Pasal 88. Makna
dari Pasal 88 tersebut adalah BUMN turut serta mengembangkan dan membina
UKM dan masyarakat sekitar BUMN, yang semakna dengan tujuan dari tanggung
13
Rahmatullah dan Trianita Kurniati, Panduan Praktis Pengelolaan Corporate Social
Responsibility, Jogjakarta: Samudra Biru, 2011, Hlm 1.
13
jawab sosial perusahan (Corporate Social Responsibility), sehingga BUMN
memiliki tanggung jawab sosial perusahaan yang dapat dituntut sama seperti
perusahan-perusahaan lain yang ada di Indonesia. Serupa dengan Pasal 88,
Menteri BUMN dalam pidato sambutan Menteri Negara BUMN pada Upacara
Peringatan Hari Ulang Tahun Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia Ke66 pada tanggal 17 Agustus 2011 mengatakan:
Disinilah peran BUMN melalui berbagai instrumen yang dimiliki
menjadi sangat sentral dan penting. Dengan laba bersih yang kini telah
melampaui Rp 100 triliun, BUMN diharapkan menyisihkan sebagian
keuntungan tersebut untuk memacu berbagai program yang pada
intinya mendorong kekuatan masyarakat kecil dan menengah untuk
tumbuh berkembang. Program Kemitraan dan Bina Lingkungan
(PKBL) dalam hal ini telah dan terus dipacu untuk menjadi penopang
pengembangan masyarakat secara luas diikuti dengan berbagai
program lain yang baru-baru ini dicanangkan, seperti Gerakan
Peningkatan Produksi Pangan berbasis Korporasi (GP3K).14
Salah satu BUMN yang sudah berdiri lama sejak tahun 1946 dan
sepatutnya wajib melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan adalah PT.
Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Cabang Purwokerto. Berkaitan dengan apa
yang telah diuraikan di atas, maka peneliti tertarik untuk meneliti penerapan
Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dan Bina Lingkungan dan
peneliti menuangkannya dalam bentuk skripsi yang berjudul “Program
Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dan Bina Lingkungan sebagai
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan di PT. Bank Negara Indonesia (Persero)
Tbk Cabang Purwokerto”
14
Mustafa Abubakar, Pidato: “Sambutan Menteri Negara BUMN Pada Upacara
Peringatan Hari Ulang Tahun Proklamasi Kemerdekan Republik Indonesia Ke -66”, Kementerian
Negara BUMN, (Jakarta, 17 Agustus 2011), Hlm 4.
14
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan di atas maka
dapat dirumuskan permasalahan, yaitu bagaimana penerapan Peraturan Menteri
Negara BUMN Nomor PER-05/MBU/2007 tentang Program Kemitraan BUMN
dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan sebagai bentuk tanggung
jawab sosial perusahaan di PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Cabang
Purwokerto?
C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini, maka
tujuan penelitian ini adalah memberikan gambaran mengenai
penerapan
Peraturan Menteri Negara BUMN Nomor PER-05/MBU/2007 tentang Program
Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan sebagai
bentuk tanggung jawab sosial perusahaan di PT. Bank Negara Indonesia (Persero)
Tbk Cabang Purwokerto.
D. Kegunaan Penelitian
a.
Secara Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah kepustakaan ilmu
hukum khususnya Hukum Perusahaan yaitu mengenai Program Kemitraan
BUMN dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan sebagai bentuk
tanggung jawab sosial perusahaan pada Badan Usaha Milik Negara, sehingga
15
hukum dapat selalu selaras dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi.
b.
Secara Praktis
Hasil dari penelitian ini diharapkan berguna untuk memberikan informasi
kepada khalayak umum tentang penerapan Peraturan Menteri Negara BUMN
Nomor PER-05/MBU/2007 tentang Program Kemitraan BUMN dengan
Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan sebagai bentuk tanggung jawab
sosial perusahaan di PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Cabang
Purwokerto. Penelitian ini juga diharapkan bisa menjadi sumbangan
pemikiran untuk dunia usaha dalam memahami ketentuan peraturan
perundang-undangan
yang berkaitan dengan
tanggung jawab sosial
perusahaan terutama Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dan
Program Bina Lingkungan, serta dapat dijadikan sebagai masukan dan
menjadi pertimbangan kepada BUMN dalam melaksanakan tanggung jawab
sosial perusahaan.
16
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.
1.
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Corporate Social Responsibility)
Pengertian, Konsep dan Prinsip Tanggung Jawab Sosial Perusahaan
Era globalisasi sering kali menjadi alasan untuk menjawab perubahan
yang terjadi di sekitar kita tanpa menyadari efek yang timbul dari globalisasi
itu sendiri. Globalisasi sendiri berarti universal, di mana segala sesuatu nanti
akan saling tergantung satu sama lain dan saling berintegrasi dengan
menyingkirkan batas-batas geografis, ekonomi, politik, lingkungan dan
budaya masyarakat.15 Dalam dinamika masyarakat sendiri banyak fenomena
yang muncul menjadi isu sosial, salah satunya adalah Tanggung Jawab Sosial
Perusahaan atau Corporate Social Responsibility (CSR). Tanggung jawab
sosial atau social responsibiliy muncul dan berkembang sejalan dengan
interelasi antara perusahaan dan masyarakat, yang sangat ditentukan oleh
dampak yang timbul dari dari perkembangan dan peradaban masyarakat.
Batasan konsep social responsibility mengalami perkembangan dalam
keberadaannya. Social responsibility muncul dari tuntutan stakeholders,
sebagai akibat bagian dari hak yang dimiliki terganggu oleh eksistensi
perusahaan. Untuk memahami dengan benar tentang tanggung jawab sosial
15
Roland Robertson, Globalization Social Theory and Global Culture, London: Sage
Publication, 1992, Hlm 8.
17
perusahaan, maka perlu diketahui terlebih dahulu mengenai perkembangan
CSR yang dibagi menjadi tiga periode, yaitu:
a. Perkembangan awal tahun 1950 sampai dengan Tahun 1960
Pada masa ini social responsibility masih dipahami sebagai
derma perusahaan terhadap masyarakat sekitarnya
yang lebih
didasarkan pada aktivitas yang bersifat kariatif. Gema tanggung jawab
sosial perusahaan dimulai sejak tahun 1960-an ketika secara global
masyarakat dunia baru pulih dari pengaruh Perang Dunia I dan II dan
memulai menapaki jalan menuju kesejahteraan. Pada tahun 1952
diterbitkan buku yang berjudul “Social Responsibility of The Business”
karya Howard R Bowen yang kemudian dikenal sebagai Bapak CSR.
Dalam buku itu terdapat dua karakter social responsibility sebagaimana
yang dikutip dari Solihin Ismail dalam Nor Hadi, yaitu:
(1) Bentuk social responsibility yang belum kita kenal seperti
sekarang ini. Korporasi sekarang ini sudah sedemikian maju
dengan berbagai implikasi yang mengitari dan dukungan
perkembangan ilmu pengetahuan dan transformasi yang
sudah lintas batas;
(2) Social responsibility yang masih didominasi dengan
kegiatan kariatif jangka pendek dan merupakan sikap murah
hati kaum pemodal (perusahaan). 16
Dalam
bukunya
Bowen
memberikan
rumusan
social
responsibility bahwa “adanya itikad baik para pelaku bisnis untuk
mengenal kewajiban dan dalam menetapkan tujuan memperhatikan
keseimbangan dengan nilai-nilai dalam masyarakat.” (it refer to the
16
Nor Hadi, Op.Cit, Hlm 49.
18
obligation of businessman to pursue those policies, to make those
decision, or to follow those lines of action which are desirable in terms
of objective and values of our society). 17
Serupa dengan yang dikutip oleh Edi Syahputra, CSR
sebagaimana yang dimaksudkan Bowen dapat dijelaskan sebagai
berikut:
CSR yang dimaksudkan Bowen mengacu kewajiban pelaku
bisnis untuk membuat dan melaksanakan kebijakan,
keputusan, dan berbagai tindakan yang harus mengikuti
tujuan dan nilai-nilai dalam suatu masyarakat. Singkatnya,
konsep CSR mengandung makna, perusahaan atau pelaku
bisnis umumnya memiliki tanggung jawab yang meliputi
tanggung jawab legal, ekonomi, etis, dan lingkungan.Lebih
khusus lagi, CSR menekankan aspek etis dan sosial dari
perilaku korporasi, seperti etika bisnis, kepatuhan pada
hukum, pencegahan penyalahgunaan kekuasaan dan
pencaplokan hak milik masyarakat, praktek tenaga kerja
yang manusiawi, hak asasi manusia, keamanan dan
kesehatan, perlindungan konsumen, sumbangan sosial,
standar-standar pelimpahan kerja dan barang, serta operasi
antar negara.18
Sebagaimana dikutip dari Solihin Ismail dalam Nor Hadi,
batasan luas dinyatakan oleh Keith Davis yang dituangkan dalam
“Irone Law responsibility” bahwa “tanggung jawab sosial perlu
diseimbangkan dengan kekuatan sosial mereka...sehingga penghindaran
terhadap tanggung jawab sosial berangsur-angsur mengarah kepada
pengikisan kekuatan sosial.” (social responsibility of businessman need
17
Ibid, Hlm 50.
Edi Syahputra, 2008, “Implementasi Corporate Social Responsibility (CSR) Terhadap
Masyarakat Lingkungan PTPN IV (Studi Pada Unit Kebun Dolok Ilir Kabupaten Simalungun)”,
Tesis, Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, Hlm 15, www.repository.usu.ac.id,
diakses tanggal 13 November 2012.
18
19
to be commensurate with their social power ...then the avoidance of
social responsibility lead to gradual erosion of social power). 19
Tanggung jawab sosial dapat muncul dan berkembang sejalan
dengan perkembangan daya nalar masyarakat yang mengitari, dan
peran kekuasaan sosial yang ada (social agent effectiveness), sehingga
peran tanggung jawab sosial perusahaan berkontribusi terhadap
penciptaan legitimasi masyarakat. Tanggung jawab sosial perusahaan
pada saat itu juga diramaikan dengan diterbitkan buku legendaris pada
tahun 1962 yang berjudul “Silent Spring” oleh Rachel Carson, seorang
ibu rumah tangga yang pemikirannya dilatar belakangi oleh betapa
mematikannya pestisida bagi lingkungan dan kehidupan.20 Paparan
yang disampaikan dalam buku tersebut menggugah kesadaran banyak
pihak bahwa tingkah laku korporasi harus diluruskan sebelum menuju
kehancuran bersama.21
Karakter tanggung jawab sosial perusahaan era tahun 1960-an
dapat seperti itu, sesungguhnya merupakan pemicu dari beberapa hal,
antara lain:
(1) Tanggung jawab sosial (sosial responsibility) muncul
sebagai respon kesadaran etis dalam berbisnis (business
ethics) secara personal pemilik modal (juragan),
sehingga tanggunng jawab sosial merupakan bentuk
sikap derma yang ditujukan pada masyarakat sekitar.
19
Nor Hadi, Op. Cit, Hlm 50-51.
Loc. Cit.
21
AB Susanto, A Strategic Management Approach CSR, Jakarta: The Jakarta Consulting
Group, 2007, Hlm21.
20
20
(2) Wujud tanggung jawab sosial (social responsibility)
bersifat kariatif dan insidental, yang bergantung pada
kondisi kesadaran dan keiginan pemodal. Bentuk apa,
kapan, dan kepada siapa bantuan diberikan sangat
bergantung pada kemauan pengusaha.
(3) Tipe kontak pelaksanaan yang mendasari tanggung
jawab sosial bersifat prinisp perwalian (stewarship
principle). Konsep tersebut mendudukan pelaku bisnis
sebagai wali (steward) masyarakat, sehingga perlu
mempertimbangkan kepentingan para pemangku
kepentingan. 22
b.
Perkembangan era tahun 1970 sampai dengan Tahun 1980
Dimulai pada tahun 1966 saat pemikiran tentang korporasi yang
lebih manusiawi muncul dalam tulisan “The Future Capatilsm” yang
ditulis oleh Lester Throuw bahwa kapitalis juga memasukan unsur
sosial dan lingkungan
(social perspective)
perusahaan di mata masyarakat.23
basis sustainable
Throuw dalam bukunya sudah
memprediksikan bahwa pada saatnya nanti, kapitalisme akan berjalan
kencang tanpa perlawanan karena musuh utamanya yakni sosialisme
dan komunisme telah lenyap. Pemikiran Throuw ini menekankan
bahwa kapitalisme tidak hanya berurusan pada ekonomi semata,
melainkan juga memasukkan unsur sosial dan lingkungan untuk
membangun
masyarakat
yang
kemudian
disebut
masyarakat
berkelanjutan atau sustainable society, walau pada masanya pemikiran
seperti ini sulit untuk diterapkan seperti yang ia tuliskan bahwa tidak
ada kewajiban sosial dalam kapitalisme (there is no social „must‟ in
22
23
Nor Hadi, Op. Cit, Hlm 50-51.
Yusuf Wibisono, Op.Cit, Hlm 90.
21
capitalism).
24
Tulisan tersebut merupakan awal dari pergeseran
orientasi perusahaan ke arah persepektif pemangku kepentingan
(stakesholders perspective) dan dimasuki pemikiran ke depan tentang
pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Pada tahun
1970-an, banyak professor menulis buku tentang pentingnya tanggung
jawab sosial perusahan disamping kegiatan mengeruk keuntungan.
Salah satunya adalah buku dengan judul “Beyond the Bottom Line”
karya Prof. Courtney C. Brown, orang pertama yang menerima gelar
Professor of Public Policy and Business Responsibility dari
Universitas Columbia.25 Kemudian terbitlah “The Limits to Growth”
yang merupakan buku monumental ditulis oleh Club of Rome. Buku
tersebut mengingatkan kepada masyarakat dunia bahwa Bumi
memiliki keterbatasan daya dukung, karena itu eksploitasi sumber
daya alam harus dilakukan secara cermat agar pembangunan dapat
berkelanjutan. Turut meramaikan perkembangan CSR di era ini
terbentuk Community Economic for Development (CED) pada tahun
1970-an yang merupakan gabungan kelompok perusahaan Amerika
dan
peneliti.
Pernyataan
CED
dituangkan
dalam
“Social
Responsibility of Business Corporation” tahun 1971, yaitu:
sekarang adalah saatnya kontrak sosial antara masyarakat
dan bisnis, yang nyatanya mengubah cara penting dan
substansi. Dunia bisnis dituntut untuk melebarkan tanggung
jawabnya kepada masyarakat dari sebelumnya dan melayani
kebutuhan manusia lebih baik (Today it is that the terms of
24
25
AB Susanto, Op. Cit, Hlm 21.
Loc. Cit.
22
social contract between society and business are, in fact,
changing in substansial and important ways. Business is
being ask to asume broader responsibilities to society than
ever before and to serve a wider range of human values.
Business enterprise, in effect, are being asked to contribute
more to the quality of American life the just supplying
quantities of goods and service) 26
Kepedulian terhadap lingkungan dan kegiatan kedermaan
perusahaan terus berkembang dalam keemasan kedermawanan atau
philanthtropy maupun pembangunan masyarakat atau Community
Development (CD). Pada dasawarsa tersebut, terjadi perpindahan
penekanan tanggung jawab sosial dari sektor-sektor sosial dan makin
banyak perusahaan yang menggeser konsep tanggung jawab sosial
dari bisnis philanthropy ke arah yang lebih produktif lewat community
development. Intinya, yang tadinya kental dengan kegiatan yang
bersifat kariatif bergeser kepada pengembangan kerja sama,
memberikan keterampilan, pembukaan akses pasar, hubungan
intiplasma, dan sejenisnya.27 Dapat ditangkap bahwa pergeseran
gejala kesadaran para pelaku bisnis dalam menangkap fenomena
empiris lapangan merupakan bagian yang tak terpisahkan dengan
operasional usaha yang dipraktikan.
Jika pada era sebelumnya, praktik CSR lebih dilihat sebagai
bentuk derma perusahaan terhadap masyarakat dan lingkungan
sehingga aktivitasnya terbungkus dalam kegitan philanthropy, era
tahun 1970-an bergeser menjadi lebih komprehensif dan manusiawi
26
27
Nor Hadi, Op. Cit, Hlm 53.
Ibid, Hlm 54.
23
dan lebih bersifat community development (CD). Secara garis besar,
karakteristik dari praktik CSR era 1970-an, antara lain:
(1)Dimulainya berbagai kegiatan yang berorientasi pada
pembedaan masyarakat;
(2)Masyarakat
dan
Lingkungan
sebagai
sentral
pertimbangan munculnya kegiatan;
(3)Berorientasi pada kegiatan-kegiatan yang bersifat intiplasma; dan
(4)Kegiatan bukan hanya ditujukan derma atau kebajikan
juragan.28
c. Perkembangan era Tahun 1990-an sampai dengan sekarang
Pada tahun 1990-an adalah periode praktik social responsibility
yang diwarnai dengan beragam pendekatan, seperti: pendekatan
integral, pendekatan stakeholder maupun pendekatan civil society.29
Ragam pendekatan tersebut tersebut telah mempengaruhi praktik
community development yang lebih menusiawi dalam bentuk peran
pemberdayaan. Community development akhirnya menjadi suatu
aktivitas yang lintas sektor karena mencakup baik aktivitas produktif
maupun sosial dengan lintas pelaku sebagai konsekuensi keterlibatan
berbagai pihak. Pada tahun 1987 The World Commission on
Environment and Development yang lebih dikenal dengan The
Brundtland Commission dibentuk untuk menanggapi keprihatinan yang
semakin meningkat dari para pemimpin dunia, menyangkut peningkatan
kerusakan lingkungan hidup dan sumber daya alam yang semakin cepat
28
29
Ibid, Hlm 55.
Yusuf Wibisono, Op. Cit, Hlm 91.
24
melaporkan lewat publikasi Oxford University Press berjudul “Our
Common Future”. Hal penting dalam laporan tersebut adalah
dikemukakan
konsep
pembangunan
berkelanjutan,
yaitu:
“pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang memenuhi
kebutuhan sekarang dengan mempertimbangkan kemampuan generasi
masa depan dalam memenuhi kebutuhannya” (Sustainable development
is development that meets the needs of the present without
compromising the ability of future generation to meet their own needs).
30
Laporan tersebut secara konseptual dan strategi dituangkan dalam
aplikasi sustainbility development. Konsep sustainbility development ini
mengandung aspek penting dalam kerangka menjaga keseimbangan,
baik dilihat dari isi maupun horizon waktu yang ditunjuk dengan kaidah
dan aplikasi sustainibility development yang memasukan dimensi
pembangunan saat ini dengan tidak mengorbankan kemampuan dan
kebutuhan generasi muda di masa datang. 31
Pada Tahun 1992 kabar menggembirakan datang dari KTT
Bumi di Rio de Jenerio yang menegaskan bahwa konsep pembangunan
berkelanjutan menjadi hal yang harus diperhatikan, tidak saja oleh
negara, terlebih lagi oleh kalangan korporasi yang diprediksi akan
melesatkan kapitalisme di masa mendatang. Semakin berkembangnya
konsep CSR, pada tahun 1994 James Collins dan Jerry Poras dalam
30
The World Comission on Environment and Development, “Our Common Future”,
Report of The World Comission on Environment and Development, 1987, Hlm 15.
31
Loc.Cit.
25
bukunya “Built to Last: Successful Habits of Visionary Companies”
menyampaikan bukti bahwa perusahaan yang terus hidup adalah tidak
semata meraup keuntungan dan menghasilkan uang saja akan tetapi
perusahaan yang sangat peduli dengan lingkungan sosial dan turut andil
dalam menjaga keberlangsungan lingkungan hidup. John Elkington
menyampaikan hal yang senada pada tahun 1997 dengan menulis buku
berjudul “Canibal With The Forks, The Triple Bottom Line of Twentieth
Century Bussiness”, di dalamnya dikemukakan konsep The Triple
Bottom Line. Konsep tersebut mengakui bahwa jika perusahaan ingin
berkelanjutan (sustain), maka perlu memperhatikan 3P yaitu bukan
cuma keuntungan (profit) yang diburu akan tetapi juga harus
memberikan kontribusi positif kepada masyarakat (people) dan ikut
aktif dalam menjaga kelestarian lingkungan (planet). Konsep ini
merupakan kelanjutan dari konsep pembangunan berkelanjutan
(sustainable development ) yang secara eksplisit telah menghubungkan
antara dimensi tujuan dan tanggung jawab, baik kepada shareholders
dan stakeholders.32
Agenda World Summit di Johannesburg pada tahun 2002,
menekankan pentingnya tanggung jawab sosial perusahaan.33 Dari situ
program CSR mulai terus berkembang dan berjalan dengan berbagai
konsep dan definisi. Sampai pada tahun 2010 International of
32
Nor Hadi, Op. Cit, Hlm 56.
UN ESCAP, “Johannesburg Declaration on Sustainable Development”, 4 September
2002,http://www.unescap.org/esd/environment/rio20/pages/Download/johannesburgdeclaration.pd
f, diakses pada 16 Januari 2013.
33
26
Standardization for Organization (ISO) merumuskan ISO 26000
Guidance Standard on Social Responsibility. ISO 26000 ini merupakan
rekomendasi dari CAPOLCO kepada ISO Council. Lahirnya ISO 26000
ini didasarkan pemahaman bahwa social responisibility sangat penting
bagi keberlanjutan usaha. Pemahaman ini berasal dari dua sidang yakni
Rio Earth Summit on The Environment tahun 1992 dan World Summit
on Sustainable Development (WSSD) tahun 2002. Sesuai dengan nama
dari ISO 26000, ISO ini bukan merupakan keharusan akan tetapi
merupakan panduan bagi mereka yang ingin melakukan CSR.34 Tidak
disebutkannya secara spesifik kata „corporate‟ dalam ISO 26000, maka
ISO tersebut tidak dibatasi penggunaannya oleh siapa pun bagi mereka
yang ingin melakukan CSR. Penggunaanya pun dapat dilakukan oleh
institusi pemerintah,
Organisasi bukan Pemerintah atau Non
Governmental Organization (NGO) dan tentunya sektor bisnis karena
setiap organisasi dapat memberikan akibat bagi lingkungan sosial
maupun alam. ISO 26000 berbeda bentuknya dengan ISO lainnya
seperti ISO 9001:2000 dan 14001:2004 yang menggunakan mekanisme
sertifikasi, ISO 26000 hanya sekedar panduan dan standard.
Paparan di atas menjadi pengantar paradigma tanggung jawab sosial
perusahaan yang lebih dikenal dengan Corporate Social Responsibility
(CSR). Pembagian tanggung jawab sosial sangat penting karena memegang
salah satu keseimbangan eksploitasi. CSR terkadang masih diposisikan secara
34
ISO,”Global Guidance Standard on Social Responsibility”,Handbook for implementers
of ISO 26000, Mei 2011, Hlm 3-4.
27
marginal dan cenderung memiliki apresiasi yang kurang tepat. Menurut
penelitian Nor Hadi yang dikutip dalam Nor Hadi, paradigma yang seperti ini
disebabkan oleh:
(1) Masih belum jelas dan seragam batasan tanggung jawab
sosial perusahaan;
(2) Sikap opportunis perusahaan, terlebih mengenai CSR
memerlukan biaya yang tidak sedikit dan belum tentu
memiliki relevansi terhadap pencapaian tujuan yang bermotif
ekonomi;
(3) Kurangnya respon stakeholder, sehingga kurang menciptakan
kontrol sosial (social control) meskipun masyarakat sebagai
agen sosial (social agent);
(4) Dukungan tata perundangan yang masih lemah;
(5) Standar operasional yang kurang jelas; dan
(6) Belum jelasnya ukuran evaluasi. 35
Konteks seperti itu cenderung menciptakan praktik CSR yang sebatas
polesan dan kurang optimal dalam penerapanya, meskipun terdapat beberapa
perusahaan yang bersungguh-sungguh dalam melakukan CSR. Perkembangan
CSR tidak dapat lepas dari konsep pembangunan berkelanjutan (sustainability
development). Defenisi pembangunan berkelanjutan menurut The World
Commission on Environment and Development yang lebih dikenal dengan
The Brundtland Comission, adalah pembangunan yang dapat memenuhi
kebutuhan manusia saat ini tanpa mengorbankan kemampuan generasi yang
akan datang dalam memenuhi kebutuhan mereka.36
Menurut The World Business Council for Sustainability Development
(WBCSD), CSR adalah komitmen berkelanjutan dari para pelaku bisnis untuk
berperilaku secara etis dan memberikan kontribusi bagi pembangunan
35
36
Nor Hadi, Op.Cit, Hlm 45-46.
Rahmatullah dan Trianita Kurniati, Op.Cit. Hlm 3.
28
ekonomi pada saat yang sama meningkatkan kualitas hidup para pekerja dan
keluarganya serta masyarakat lokal dan luas.37 Menurut World bank, CSR
merupakan
komitmen
sektor
swasta
untuk
mendukung
terciptanya
pembangunan berkelanjutan.38 Terdapat beberapa definisi CSR lainnya, baik
yang dikemukakan para pakar maupun lembaga internasional sebagaimana
yang dikutip dari Oliver van Heel dalam Rahmatullah dan Trianita Kurniati,
yaitu:
Menurut Oliver van Heel, CSR merupakan suatu pendekatan
bisnis yang menciptakan nilai pemangku kepentingan dengan
merangkum semua peluang kepentingan dengan merangkum
semua peluang dalam mengelola semua risiko yang dihasilkan
dari kegiatan pembangunan ekonomi, lingkungan dan sosial.39
Sedikit berbeda dengan Heel, makna CSR lebih luas dan lebih
berorientasi kepada kewajiban pelaku bisnis seperti yang dirumuskan oleh
European Comission, bahwa:
CSR merupakan sebuah konsep dengan mana perusahaan
mengintegrasikan perhatian terhadap sosial dan lingkungan dalam
operasi bisnis mereka dan dalam interaksinya dengan para
pemangku kepentingan berdasarkan prinsip kesukarelaan.40
Hampir serupa dengan rumusan yang diberikan oleh European
Comission, International Finance Corporation mendefinisikan:
CSR sebagai komitmen dunia bisnis untuk memberikan
kontribusi terhadap pembangunan ekonomi berkelanjutan melalui
kerja sama dengan karyawan, keluarga mereka,komunitas lokal
dan masyarakat luas untuk meningkatkan kehidupan mereka
melalui cara-cara yang baik bagi bisnis maupun pembangunan.41
37
38
39
40
41
Ibid, Hlm 4.
Loc. Cit.
Loc. Cit.
Ibid, Hlm 5.
Ibid, Hlm 6.
29
Sedangkan peraturan internasional terbaru mengenai CSR yakni
International Standarization of Organization (ISO) 26000 merumuskan CSR
sebagai berikut:
CSR adalah tanggung jawab sebuah organisasi atas dampak dari
keputusan dan kegiatan suatu organisasi bagi masyarakat dan
lingkungannya, melalui perilaku transparan dan etis yang
konsisten dengan pembangunan berkelanjutan dan kesejahteraan
masyarakat. Memperhatikan ekspektasi dari stakeholdersnya,
sejalan dengan hukum yang berlaku dan norma-norma sikap dan
juga terintegerasi kepada keseluruhan organisasi.42
Paparan dan rumusan para pakar mengenai CSR dan konsepnya,
peneliti menarik benang merah bahwa tanggung jawab sosial perusahaan atau
CSR merupakan tanggung jawab yang dijelmakan dengan perilaku pelaku
bisnis yang bertujuan mengembangkan dan meningkatkan kehidupan
masyarakat lokal pada khususnya dan masyarakat internasional pada
umumnya yang harus dilakukan atau kewajiban pelaku bisnis dalam kegiatan
bisnisnya disertai pertanggung jawaban pelaksanaan dan bersifat sukarela
tanpa pamrih dan dilakukan dengan kesadaran yang tinggi.
Paparan sebelumnya telah terlihat bahwa lingkup tanggung jawab
sosial terdiri dari lingkup yang sangat luas. Telah dikatakan bahwa tanggung
jawab sosial tidak hanya merupakan cara meningkatkan kesejahteraan
masyarakat lokal pada khususnya dan masyarakat pada umumnya, disamping
itu perusahaan melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan bersamaan
dengan
mencari
keuntungan
bagi
perusahaan
dan
para
pemilik
perusahaannya, sehingga tanggung jawab sosial mengandung interpretasi
42
Ibid, Hlm 5-6.
30
yang sangat berbeda terutama dikaitkan dengan pemangku kepentingan
(stakeholders). Hal ini lah yang menyebabkan banyaknya berbagai rumusan
defenisi dari CSR itu sendiri yang kemudian memicu para pakar menggali
prinsip dasar dalam CSR.
Menurut Philip Kotler dan Nancy Lee, inisiatif sosial perusahaan
merupakan kegiatan utama yang dilakukan oleh perusahaan untuk
mendukung penyebab sosial dan memenuhi komitmen tanggung jawab sosial
perusahaan.43 Corporate Social Responsibility merupakan proses penting
dalam pengaturan biaya yang dikeluarkan dan keuntungan kegiatan bisnis
dari stakeholders baik secara internal (pekerja, stakeholders dan penanam
modal) maupun eksternal (kelembagaan pengaturan umum, anggota-anggota
masyarakat, kelompok masyarakat sipil dan perusahaan lain). Konsep
tanggung jawab sosial perusahaan tidak hanya terbatas pada konsep
pemberian donor saja, tetapi konsepnya sangat luas dan tidak bersifat statis
dan pasif yang hanya dikeluarkan dari perusahaan, namun menjadi hak dan
kewajiban yang dimiliki bersama stakeholders.44
Pada zaman seperti sekarang ini, pemahaman konsep CSR hanya
sebagai sekedar dan alakadarnya tanpa memperhatikan keoptimalan dari hasil
yang ada sangatlah salah besar dan menyalahi nilai-nilai yang ada dalam
masyarakat. Untuk keberhasilan suatu korporat ditentukan oleh adanya
43
Philip Kotler dan Nancy Lee, Corporate Social Responsibility: Doing the most Good
For Your Company and Your Cause, New Jersey: John Wiley & Sons Inc, 2005, Hlm 22.
44
Bambang Rudito Dkk, Corporate Social Resonsibility: Jawaban Bagi Model
Pembangunan Indonesia Masa Kini, Jakarta: ICSD, Hlm 73.
31
perhatian terhadap lingkungan sosial sekitar yang berarti sukses komersial
perusahaan-perusahaan dilihat juga dari bagaimana perusahaan mengelola
tanggung jawab sosial terhadap komuniti disekitar daerah operasinya.
Menurut Said dan Abidin sebagaimana dikutip dalam Ronny Irawan, model
atau
pola Corporate Social Responsibility yang umum diterapkan oleh
perusahaan-perusahaan di Indonesia sebagai berikut:
1. Keterlibatan langsung, perusahaan menjalankan program CSR
secara langsung dengan menyelenggarakan sendiri kegiatan
sosial atau menyerahkan sumbangan ke masyarakat tanpa
perantara. Untuk menjalankan tugas ini, perusahaan biasanya
menugaskan salah satu pejabat seniornya, seperti corporate
secretary atau public affair manager atau menjadi bagian dari
tugas pejabat public relation.
2. Melalui yayasan atau organisasi sosial milik perusahaan,
perusahaan mendirikan yayasan sendiri di bawah perusahaan
atau groupnya. Model ini merupakan adopsi yang lazim
dilakukan di negara maju. Disini perusahaan menyediakan
dana awal, dana rutin atau dana abadi yang dapat digunakan
untuk operasional yayasan.
3. Bermitra dengan pihak lain, perusahaan menyelenggarakan
CSR melalui kerjasama dengan lembaga/organisasi non
pemerintah, instansi pemerintah, universitas atau media massa,
baik dalam mengelola dana maupun dalam melaksanakan
kegiatan sosialnya.
4. Mendukung atau bergabung dalam suatu konsorium,
perusahaan turut mendirikan, menjadi anggota atau
mendukung suatu lembaga sosial yang didirikan untuk tujuan
sosial tertentu. Pihak konsorsium yang dipercaya oleh
perusahaan-perusahaan yang mendukungnya akan secara
proaktif mencari kerjasama dari berbagai kalangan dan
kemudian mengembangkan program yang telah disepakati. 45
Menurut Kotler dan Lee, terdapat enam alternatif program CSR yang
dapat dipilih perusahaan dengan mempertimbangkan tujuan perusahaan, tipe
45
Ronny Irawan, “Corporate Social Responsibility: Tinjauan Menurut Peraturan Perpajakan
di Indonesia”, The Second National Conferences UKWMS, Surabaya, 06 September 2008, Hlm 7,
www.mages.andamawara.multiply.multiplycontent.com, diakses tanggal 09 Januari 2013.
32
program, keuntungan potensial yang akan diperoleh serta tahap-tahap
kegiatan. Berikut enam alternatif tersebut sebagaimana yang dikutip dari
Kotler dan Lee dalam Rahmatullah dan Trianita adalah:
a. Cause Promotions
Perusahaan yang menggunakan jenis program CSR bentuk ini
menyediakan sejumlah dana sebagai bentuk kontribusi CSR
atau sumebr daya lainnya untuk meningkatkan kesadaran
masyarakat terhadap suatu masalah sosial atau untuk
mendukung pengumpulan dana, partisipasi dari masyarakat,
atau dalam rangka merekrut relawan untuk mendukung
masalah sosial tersebut. Aktivitas program CSR ini pada
akhirnya mampu mendorong masyarakat untuk mendonasikan
waktunya, uang atau sumber daya lainnya. Berbagai
keuntungan potensial dapat diperoleh perusahaan dengan
melaksanakan kegiatan Cause Promotions adalah memperkuat
brand positioning perusahaan, memberikan peluang kepada
karyawan perusahaan untuk terlibat dalam suatu kegiatan
sosial yang menjadi kepedulian mereka, menciptakan kerja
sama antara perusahaan dengan pihak-pihak lain serta
meningkatkan citra perusahaan (corporate image).
b. Cause Related Market (CRM)
Perusahaan yang mengimplementasikan CSR tipe ini
bekomitmen untuk menyumbangkan presentase tertentu dari
penghasilannya untuk suatu kegiatan sosial berdasarkan
besarnya penjualan produk. CSR pada tipe ini pertama-tama
perusahaan melakukan penilaian atau assessment terhadap
situasi, kemudian menetapkan tujuan, memilih target, audiens,
dan pada akhirnya melakukan perhitungan terhadap rencana
pemasaran, rencana anggaran, serta rencana implementasi dan
evaluasi.
c. Corporate Social Marketing (CSM)
Dalam program CSR ini perusahaan mengembangkan dan
melaksanakan kampanye untuk merubah perilaku masyarakat
dengan tujuan meningkatkan kesehatan dan keselamatan
publik, menjaga kelestarian lingkungan hidup, serta
menigkatkan kesejahteraan masyarakat. Keuntunagn yang
diperoleh perusahaan adalah meningkatkan brand positioning
atau penguatan merek perusahaan di mata konsumen,
mendorong peningkatan penjualan, mendorong antusiasme
partner perusahaan untuk mendukung program ini, serta
memberikan dampak nyata pada perubahan sosial.
33
d. Corporate Philanthropy (CP)
Perusahaan dengan program CSR ini memberikan kontribusi
langsung secara cuma-cuma (charity) dalam bentuk hibah
tunai, sumbangan dengan sejenisnya. CP pada umumnya
berkaitan dengan masalah sosial yang menjadi prioritas
perhatian perusahaan, diantaranya dalam bentuk sebagai
berikut: (1) menyiapkan sumbangan tunai; (2) menawarkan
bantuan/sokongan; (3) memberikan beasiswa; (4) pemberian
donasi produk; (5) pemberian layanan; dan (6) pemberian
kontribusi perusahaan dengan jasa keahlian dan pemakaian
peralatan secara cuma-cuma.
e. Community Volunteering (CV)
Melalui program ini mendukung serta mendorong para
karyawan, pemegang rekan pedagang eceran atau franchise
untuk menyisihkan waktu mereka secara sukarela guna
membantu organisasi masyarakat lokal maupun masyarakat
yang menjadi sasaran program. Keuntungan dengan
menjalankan program ini adalah terciptanya hubungan yang
tulus antara perusahaan dengan komunitas, memberikan
kontribusi terhadap pencapaian tujuan perusahaan serta
meningkatkan kepuasan dan motovasi karyawan.
f. Socially Responsible Business Practice (Community
Development)
Menurut Kotler, Community Development adalah praktik
bisnis di mana perusahaan melakukan investasi yang
mendukung pemecahan suatau masalah sosial untuk
meningkatkan kesejahteraan komunitas dan melindungi
lingkungan. Perusahaan yang melakukan praktik bisnis
melampaui standar etika yang telah ditetapkan berdasarkan
regulasi. Socially Responsibility Business Practice mencakup
hal-hal sebagai berikut: (1) membuat fasilitas yang sesuai
dengan standar keamanan yang direkomendasikan; (2)
mengembangkan kegiatan pengurangan sampah dan
mengolahnya kembali; (3) menghentikan penawarn produk
yang membahayakan kesehatan manusia; (4) memilih pemasok
yang menggunakan material ramah lingkungan (5)
mengembangkan berbagai program untuk menunjang
terciptanya kesejahteraan karyawan. 46
Lahirnya ISO 26000 dan prinsip-prinsip yang ada dalam ISO 26000
pun harus dianut juga oleh mereka yang ingin melakukan CSR, berikut
46
Rahmatullah dan Trianita Kurniati, Op. Cit, Hlm 28-36.
34
prinsip-prinsip yang terdapat dalam ISO 26000 sebagaimana yang dikutip
dari Agus S. Riyanto:
1. Prinsip Akuntabilitas
ï‚· Akuntabilitas adalah membuktikan bahwa organsisasi
bersangkutan melakukan segala sesuatu dengan benar.
ï‚· Akuntabilitas dilakukan terhadap seluruh pemangku
kepentingan terkait dampak yang tidak disengaja atau tak
diduga kepada masyarakat dan lingkungan.
ï‚· Organisasi menerima bahkan mendorong penyelidikan
mendalam atas dampak operasionalnya.
2. Prinsip Transparansi
ï‚· Semua keputusan dan aktifitas organisasi yang berdampak
kepada masyarakat dan lingkungan harus disampaikan
dengan transparan.
ï‚· Organisasi dituntut untuk clear, accurate, dan complete
terhadap semua kebijakan, keputusan dan aktivitas.
3. Prinsip Perilaku Etis
ï‚· Organisasi harus berperilaku etis sepanjang waktu dengan
menegakkan kejujuran, kesetaraan, dan integritas.
ï‚· Promosi perilaku etis dilaksanakan melalui: (1)
pengembangan struktur tata kelola yang mendorong
perilaku etis; (2) membuat dan mengaplikasikan standar
perilaku etis; dan (3) terus-menerus meningkatkan standar
perilaku etis.
4. Prinsip Penghormatan pada Kepentingan Stakeholder
ï‚· Organisasi
harus
menghormati
dan
menanggapi
kepentingan seluruh stakeholdernya.
ï‚· Caranya: (1) mengidentifikasi; (2) menanggapi kebutuhan;
(3) mengenali hak-hak legal dan kepentingan yang sah; (4)
mengenali kepentingan yang lebih luas terkait dengan
pembangunan berkelanjutan.
5. Prinsip Kepatuhan Terhadap Hukum
ï‚· Kepatuhan terhadap hukum adalah suatu kewajiban.
ï‚· Caranya: (1) patuh pada semua regulasi; (2) memastikan
bahwa seluruh aktivitasnya sesuai dengan kerangka hukum
yang relevan; (3) patuh pada seluruh aturan yang dibuatnya
sendiri secara adil dan imparsial; (4) mengetahui
perubahan-perubahan dalam regulasi; dan (5) secara
periodik memeriksa kepatuhannya.
6. Prinsip Penghormatan Terhadap norma perilaku Internasional
Di negara-negara di mana hukum nasionalnya atau
implementasi tidak mencukupi untuk melindungi kondisi
35
lingkungan dan sosialnya, organisasi harus berusaha untuk
mengacu kepada norma perilaku internasional.
7. Prinsip Penghormatan Terhadap HAM
ï‚· Organisasi harus menghormati HAM, serta mengakui
betapa pentingnya HAM yang sifat universal.
ï‚· Caranya: (1) ketika ditemukan pelanggaran HAM,
organisasi harus melindungi HAM dan tidak mengambil
kesempatan dari situasi itu; (2) apabila tidak ada regulasi
HAM di tinglat nasional, maka organisasi harus mengacu
pada standar HAM Internasional.47
Berikut prinsip-prinsip CSR yang dikutip dari Alyson Warhurst dalam
Nor Hadi:
(1) Prioritas Korporat: mengakui tanggung jawab sosial
sebagai prioritas tertinggi perusahaan, sehingga segala
aktivitas (operasi) perusahaan tak dapat dilepas dari
tanggung jaab sosial;
(2) Manajemen terpadu: mengintegrasikan kebijakan,
program dan praktik ke dalam setiap kegiatan bisnis
sebagai satu unsur manajemen dalam semua fungsi;
(3) Proses Perbaikan: Secara berkesinambungan memperbaiki
kebijakan, program dan kinerja sosial korporat,
berdasarkan temuan riset mutakhir dan memahami
kebutuhan sosial serta menerapkan kriteria sosial tersebut
secara internasional
(4) Pendidikan karyawan: menyelanggarakan pendidikan dan
pelatiha serta memotivasi karyawan;
(5) Pengkajian: melakukan kajian dampak sosial sebelum
memulai kegiatan atau proyek baru dan sebelum menutup
satu fasilitas atau meninggalkan lokasi proyek;
(6) Produk dan Jasa: mengembangkan produk dan jasa yang
tidak berdampak negatif terhadap lingkungan;
(7) Informasi lingkungan: memberi informasi dan bila
diperlukan mendidik pelanggan, distributor dan publik
tentang pengguna yang aman, dan begitu pula dengan jasa;
(8) Fasilitas dan Operasi: mengembangkan, merancang, dan
mengoperasikan fasilitas serta menjalankan kegiatan yang
mempertimbangkan temuan kajian dampak lingkungan;
(9) Penelitian: melakukan atau mendukung penelitian dampak
sosial bahan baku, produk, proses, emisi dan limbah yang
47
Agus S, PKBL Ragam Derma Sosial BUMN, Jakarya Selatan: Bahana Publisher, 2011,
Hlm 40-41.
36
(10)
(11)
(12)
(13)
(14)
(15)
(16)
2.
terkait dengan kegiatan usaha dan penelitian yang menjadi
sarana mengurangi dampak negatif;
Prinsip Pencegahan: memodifikasikan manufaktur,
pemasaran atau penggunaan produk dan jasa, sejalan
dengan penelitian mutakhir untuk mencegah dampak
sosial yang bersifat negatif;
Kontraktor dan Pemasokan: mendorong penggunaan
prinsip-prinsip tanggung jawab sosial korporat yang
dijalankan kalangan kontraktor dan pemasok, disamping
itu bila diperlukan masyarakat perbaikan dalam praktik
bisnis yang dilakukan kontraktor dan pemasok;
Siaga Menghadapi darurat: menyusun merumuskan
rencana menghadapi keadaan darurat, dan bila terjadi
keadaan bahaya bekerja sama dengan layanan gawat
darurat, instansi berwenang dan komunitas lokal.
Sekaligus mengenali potensi bahaya yang muncul;
Transfer Best Practice: Berkontribusi pada pengembangan
kebijakan publik dan bisnis, lembaga pemerintah dan
lintas departemen pemerintah dan lintas departemen
pemerintah serta lembaga pendidikan yang akan
meningkatkan kesadaran tentang tanggung jawab sosial;
Memberi Sumbangan: sumbangan untuk usaha bersama,
pengembangan kebijakan publik dan bisnis, lembaga
pemerintah dan lintas departemen pemerintah serta
lembaga pendidikan yang akan meningkatkan kesadaran
tentang tanggung jawab sosial perusahaan;
Keterbukaan: menumbuh kembangkan keterbukaan dan
dialog dengan pekerja dan publik, mengantisipasi dan
memberi respon terhadap potencial hazard dan dampak
operasi, produk dan limbah atau jasa; dan
Pencapaian dan Laporan: mengevaluasi kinerja sosial,
melaksanakan audit sosial secara berkala dan mengkaji
pencapaian berdasarkan kriteria korporat dan peraturan
perundang-undangan dan menyampaikan informasi
tersebut kepada dewan direksi, pemegang saham, pekerja
dan publik. 48
Pengaturan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan di Indonesia
Indonesia sebagai negara yang turut berperan serta dalam aktvitas
dunia harus dapat mengikuti perkembangan dunia, begitu juga dengan ikut
48
Nor Hadi, Op. Cit, Hlm 62.
37
menyelenggarakan dunia usaha yang beretika. CSR pada mulanya dikenal
oleh dan hanya mengikat untuk dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara
(BUMN). CSR BUMN dilaksanakan sejak tahun 1983 dengan diterbitkannya
Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 1983 tentang Tata Cara Pembinaan
Perjan, Perum dan Persero. Pada saat itu BUMN dikenal dengan sebutan
“Bapak Angkat Usaha Kecil/Industri Kecil”,49 yang ditegaskan lagi dengan
dikeluarkannya
Keputusan
Menteri
Keuangan
RI
Nomor
1232/KMK.013/1989 tentang Pedoman Pembinaan Pengusaha Ekonomi
Lemah dan Koperasi melalui BUMN tanggal 11 November 1989 yang
dikenal dengan program PEGELKOP. Berdasarkan Pasal 2 Keputusan
Menteri Keuangan RI Nomor 1232/KMK.013/1989 tentang Pedoman
Pembinaan Pengusaha Ekonomi Lemah dan Koperasi BUMN diwajibkan
melakukan pembinaan terhadap pengusaha ekonomi lemah dan koperasi.
Semakin banyaknya BUMN yang terorganisir, maka pada tahun 2003
terbitlah Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik
Negara yang selanjutnya dalam Skripsi ini disebut UU BUMN. Hal terpenting
yang berkaitan dengan CSR BUMN adalah pada Pasal 88 Ayat (1) yang
menyatakan bahwa BUMN dapat menyisihkan sebagian laba bersihnya untuk
keperluan pembinaan usaha kecil/koperasi serta pembinaan masyarakat
sekitar BUMN. Tindak lanjut dari Pasal 2 dan Pasal 88 UU BUMN tersebut
diterbitkan Keputusan Menteri Negara BUMN Nomor Kep-236/MBU/2003
tentang Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dan Bina
49
Rahmatullah & Trianita Kurniati, Op. Cit, Hlm 14.
38
Lingkungan, yang kemudian disempurnakan dengan Peraturan Menteri
BUMN Nomor Per-05/MBU/2007 tentang Program Kemitraan BUMN
dengan Usaha Kecil dan Bina Lingkungan.
Bagi perusahaan yang operasionalnya mengelola Sumber Daya Alam
dalam hal ini minyak dan gas bumi, memiliki kewajiban melakukan CSR
berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas
Bumi. Pada Pasal 13 Ayat 3 huruf (p) menyatakan bahwa kontrak kerja sama
sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) wajib memuat paling sedikit
ketentuan-ketentuan pokok yaitu: (p) pengembangan masyarakat sekitarnya
dan jaminan hak-hak masyarakat adat.
Selain BUMN, pihak swasta pun memiliki tanggung jawab sosial.
Sejak tahun 2007 ketika dikeluarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun
2007 tentang Perseroan Tebatas yang selanjutnya dalam Skipsi ini disebut
UU PT. Dalam Pasal 74 UUPT diatur bahwa:
(1) Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang
dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib
melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan;
(2) Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana
dimaksud pada Ayat (1) merupakan kewajiban Perseroan yang
dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang
pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan
dan kewajaran;
(3) Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana
dimaksud pada Ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Tanggung Jawab Sosial dan
Lingkungan diatur dengan peraturan pemerintah.
39
Pada penjelasan Pasal 74 UU PT, disebutkan bahwa Perseroan yang
menjalankan kegiatan usahanya di bidang sumber daya alam adalah Perseroan
yang kegiatan usahanya mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam dan
yang dimaksud dengan Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya yang
berkaitan dengan sumber daya alam adalah Perseroan yang tidak mengelola
dan tidak memanfaatkan sumber daya alam, tetapi kegiatan usahanya
berdampak pada fungsi kemampuan sumber daya alam, sehingga hal ini dapat
menimbulkan penafsiran bahwa entitas yang tidak berbentuk Perseroan
Terbatas tidak diwajibkan untuk melaksanakan tanggung jawab sosial dan
lingkungan. Selain itu Pasal 74 UU PT tidak menjelaskan penerapan CSR
bagi perseroan yang tidak menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau
berkaitan dengan sumber daya alam, juga tidak menyebutkan jumlah
anggaran yang dapat dianggarkan untuk CSR. Pada Ayat (4) dinyatakan
bahwa ketentuan lebih lanjut diatur dengan Peraturan Pemerintah (PP),
sedangkan PP yang dimaksud belum ada. Dapat diperkirakan bagaimana
bentuk penerapan CSR dengan belum adanya PP tersebut yang bertendensi
kepada penerapan yang sekenanya dan alakadarnya walaupun ada perseroan
yang menjalankan CSR dengan sungguh-sungguh. Melihat yang diwajibkan
melakukan CSR dalam UU PT ini adalah Perseroan Terbatas, terhadap
BUMN yang berbentuk Perseroan Terbatas pun harus melakukan CSR seperti
yang dimaksud dalam Pasal 74 UU PT ini. Walaupun pada Pasal 74 UUPT
hanya menyatakan secara eksplisit perseroan yang bersinggungan langsung
dengan Sumber Daya Alam (SDA) saja yang wajib melaksanakan, akan tetapi
40
tidak dapat dibatasi begitu saja, karena tidak ada satu pun dunia usaha yang
tidak bersinggungan dengan SDA atau pun lingkungan itu sendiri.
Seperti contoh Rita Pasaraya yang didirikan di Kota Purwokerto
sekilas tidak melakukan kegiatan yang mengeruk SDA atau pun
memanfaatkan hasil-hasil alam, akan tetapi Gedung Rita Pasaraya sendiri
memanfaatkan ruang dan tempat lingkungan yang di dalam gedungnya
terdapat penjual makanan dan pengusaha resto dan menghasilkan limbah
yang dapat mempengaruhi keseimbangan lingkungan. Implikasinya dalam
pendirian usaha pun, Rita Pasaraya harus memenuhi salah satu syarat yakni
lulus Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Hal tersebut
menunjukan bahwa tidak ada satu pun kegiatan usaha yang tidak
bersinggungan dengan lingkungan dan Sumber Daya Alam.
Peraturan
perundang-undang
lain
yang
mewajibkan
adanya
pelaksanaan CSR di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 25 Tahun
2007 tentang Penanaman Modal yang selanjutnya dalam Skripsi ini disebut
sebagai UU PM. Dalam UU PM pada Pasal 15 huruf b menyatakan bahwa
setiap penanam modal berkewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial
perusahaan. Tanggung jawab sosial perusahaan pada UU PM adalah
tanggung jawab yang melekat pada setiap perusahaan penanaman modal
untuk tetap menciptakan hubungan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan
lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat. Kemudian
ditegaskan pada Pasal 34 yang menyatakan bahwa badan usaha atau
perserorangan yang dimaksud pada Pasal 5 tidak melaksanakan kewajiban
41
yang disebut dalam Pasal 15 dikenai sanksi administratif. Sanksi administartif
berupa peringatan tertulis, pembatasan kegiatan usaha, pembekuan kegiatan
usaha dan/atau fasilitas penanam modal, pencabutan kegiatan usaha dan/atau
fasilitas penanam modal.
Pada tahun 2010 lahirlah International of Standardization for
Organization 26000 Guidance Standard On Social Responsibility (ISO
26000:2010) merupakan salah satu panduan dalam menjalankan Social
Responsibility. ISO 26000 sesuai dengan judulnya merupakan “Guidance”
yang dalam bahasa Indonesia memiliki arti pedoman atau panduan, sehingga
ISO 26000:2010 merupakan instrumen hukum lunak (soft law) dan tidak
dapat dipaksakan, namun pemerintah Indonesia tetap mensahkan ISO 26000
dengan meratifikasinya. ISO ini merupakan instrumen tentang Social
Responsibility yang pertama kali ada di Dunia yang menyediakan panduan
mengenai tanggung jawab sosial kepada semua bentuk organisasi tanpa
memperhatikan
ukuran
dan
lokasi.
Panduan
tersebut
diperuntukan
mengidentifikasi masalah; menyatukan, melaksanakan dan memajukan
praktik tanggung jawab sosial; mengidentifikasi dan pendekatan dengan para
pemangku kepentingan; mengkomunikasikan komitmen dan performa serta
kontribusi terhadap pembangunan berkelanjutan.50 Dapat dibenarkan apabila
ISO 26000 ini tidak seperti ISO lainnya yang menuntut adanya sertifikasi
karena ISO 26000 merupakan sebuah panduan yang bertujuan mendorong
organisasi untuk melaksanakan aktivitas lebih dari apa yang diwajibkan.
50
Rahmatullah dan Trianita Kurniati, Op. Cit, Hlm 22.
42
Lahirnya ISO 26000 membuat salah satu pedoman para pelaku usaha baik
pihak swasta dan pemerintah (dalam hal ini BUMN) dalam melakukan
CSRnya bertambah lagi dengan disahkannya ISO 26000 ini.
B. Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
1. Pengertian, Pengaturan dan Peranan Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
Definisi Badan Usaha Milik Negara dapat dengan mudah ditemukan
dalam tiap peraturan perudang-undangan mengenai Badan Usaha Milik
Negara. Untuk memahami secara menyeluruh dan jelas mengenai pengertian
dan peranan dari BUMN sendiri menurut peneliti haruslah memahami
perkembangan dan latar belakang hadirnya BUMN disamping mengkaji
peraturan perundang-undangan mengenai BUMN dari masa ke masa, karena
perkembangan BUMN dipengaruhi oleh peraturan perundang-undangan yang
mengatur tentang BUMN. Pemahaman tidak hanya terfokus pada apa yang
dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan yang berisi rumusan
mengenai BUMN, akan tetapi juga memahami betul keberadaan BUMN
hingga bisa sampai seperti sekarang ini. Latar belakang pendirian bumn di
Indonesia bermacam-macam bergantung dari periode pendiriannya dan
kebijaksanaan pemerintah pada saat itu. Beberapa BUMN merupakan
kelanjutan dari perusahaan-perusahaan yang didirikan pada zaman sebelum
kemerdekaan dan sesudah kemerdekaan. Secara politik-ekonomi, pendirian
BUMN di Indonesia mempunyai tiga alasan pokok. Pertama, sebagai wadah
bisnis aset yang dinasionalisasi, alasan ini terjadi di tahun 1950-an ketika
43
pemerintah menasionalisasi perusahaan perusahaan asing. Peristiwanya
dimulai pada tahun 1957, ketika kabinet Ali Satroamidjojo II jatuh disertai
krisis ekonomi yang parah. Kejatuhan kabinet ini seakan memperkuat tanda
bahwa pemerintahan parlementer akan membawa Indonesia ke dalam
keterpurukan.51 Kedua, membangun industri yang diperlukan masyarakat,
namun masyarakat sendiri (atau swasta) tidak mampu memasukinya, baik
karena alasan investasi yang sangat besar maupun risiko usaha yang sangat
besar.52
Ketiga, membangun industri yang sangat strategis karena berkenaan
dengan keamanan negara yang oleh karena itu pemerintah membangun industri
persenjataan Pindad, bahan peledak, Dahana, pencetakan uang, Peruri, hingga
pengelolaan stok pangan, Bulog.53 Latar belakang filosofis-historis hadirnya
BUMN dipengaruhi dari keterlibatan langsung Pemerintah dalam kegiatan
produksi yang dimanifestasikan dalam wujud BUMN. Paling tidak ada lima
faktor yang melatar belakangi keberadaan BUMN, yaitu:
(1) Pelopor atau perintis karena swasta tidak tertarik untuk
menggelutinya;
(2) Mengelola bidang-bidang usaha yang “strategis” dan
pelaksana pelayanan publik;
(3) Penyeimbang kekuatan-kekuatan swasta besar;
(4) Sumber pendapatan negara; dan
(5) Hasil dari nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda dan
didanai oleh pampasan perang. 54
51
Riant Nugroho dan Randy R. Wrihatnolo, Manajemen Privatisasi BUMN, Jakarta:
Gramedia, 2008, Hlm. 15.
52
Loc.Cit.
53
Ibid, Hlm 16.
54
Selly Asgari, Sistem Perekonomian Indonesia, http://sellmieasgaricristy.blogspot.com/
2012/03/sistem-perekonomian-indonesia-2_21.html, diakses pada 21 Maret 2012.
44
Jika dikaji lebih lanjut, faktor keempat cenderung semakin tidak
relevan sedangkan faktor kelima semakin bisa diabaikan, sehingga tinggal tiga
faktor pertama yang patut dijadikan pembenaran bagi keberadaan BUMN.
Ketiga faktor tersebut tidak bersifat mutlak, sehingga ketiga faktor tergantung
pada berbagai keadaan. Hal terpenting adalah mekanisme pasar yang dapat
berfungsi secara optimal serta dilengkapi dengan perangkat-perangkat
pengamannya, seperti: pengaturan tentang praktek monopoli dan oligopoli;
peraturan tentang praktek kolusi, penegakan kaidah-kaidah praktek bisnis yang
sehat; perlindungan terhadap usaha kecil; serta perlindungan kepada
konsumen.
Pada masa konfrontasi politik di Indonesia pada tahun 1959,
Pemerintah telah mengambil alih perusahaan-perusahaan asing termasuk
perusahaan Belanda dengan mengeluaran Peraturan Pemerintah Nomor 23
Tahun 1958 tentang Penempatan Semua Perusahaan Belanda dibawah
penguasaan Pemerintah Republik Indonesia. Pada masa itu, perusahaan
negara diatur dengan berbagai peraturan perundangundangan seperti UndangUndang Perusahaan Negara (Indonesiche Bedrijven Wet/IBW), UndangUndang Perbendaharaan Negara (Indonesische Comptabliteits Wet/ICW),
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Hukum Dagang.
55
Pengaturan
perusahaan negara dengan berbagai ketentuan tersebut pada akhirnya
menimbulkan kesulitan di bidang administrasi dan pengawasan oleh
pemerintah.
55
Parluhutan Sagala, Op. Cit, Hlm 44.
45
Fenomena tersebut mengharuskan dilakukan reorganisasi alat-alat
produksi dan distribusi yang sesuai dengan Pasal 33 UUD 1945 dengan
mempergunakan relnya Demokrasi terpimpin dan semua alat vital dalam
produksi dan harus dikuasai atau sedikitnya diawasi oleh Pemerintah,
sedangkan segala modal dan tenaga yang terbukti progressif dapat diikutsertakan dalam pembangunan Indonesia. Dalam rangka program umum
pemerintah di bidang ekonomi untuk menyesuaikan organisasi alat-alat
produksi dan distribusi yang mengacu pada Pasal 33 UUD 1945, Pemerintah
mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No.
19 Tahun 1960 tentang Perusahaan Negara yang kemudian menjadi UU
Nomor 19 Prp Tahun 1960 tentang Perusahaan Negara. UU 19 Prp Tahun
1960 tentang Perusahaan Negara lahir di masa sistem perekonomian
terpimpin yang menuju pelaksanaan sosialisme Indonesia yaitu menuju ke
suatu masyarakat adil dan makmur, maka segala kegiatan ekonomi perlu
disinkronisasikan dengan baik dan bijaksana dan pemerintah bermaksud
mempersingkatkan waktu yang dibutuhkan untuk menaikkan tingkatan hidup
rakyat. Dalam UU ini, pengertian perusahaan negara diseragamkan yaitu
semua perusahaan dalam bentuk apapun yang modalnya untuk seluruhnya
merupakan kekayaan Negara Republik Indonesia kecuali jika ditentukan lain
dengan atau berdasarkan Undang-Undang.56
Adanya ketentuan tersebut, maka semua perusahaan yang modalnya
untuk seluruhnya merupakan kekayaan negara maupun yang terjadi karena
56
Martino Hadianto, Op. Cit, Hlm 12.
46
pemisahan dari kekayaan negara atau yang terjadi karena nasionalisasi
berdasarkan Undang-Undang Nomor 86 Tahun 1958 tentang Nasionalisasi
Perusahaan-Perusahaan Milik Belanda (Lembaran Negara 1958 – 162) adalah
perusahaan nasional. UU Prp No 19 tahun 1960 tentang Perusahaan Negara
menegaskan bahwa semua perusahaan-perusahaan negara yang sudah ada
sebelum UU ini dikeluarkan harus menyesuaikan dengan UU ini apabila ingin
diakui sebagai perusahaan negara. Perusahaan negara yang dimaksud kelak
modalnya terdiri atas kekayaan negara yang dipisahkan dari Neraca Kekayaan
Negara dan tidak memberatkan anggaran (budget) negara lagi. Dalam UU ini
perusahaan negara adalah suatu kesatuan produksi yang dalam arti luas
meliputi perusahaan-perusahaan yang menyelenggarakan kemanfaat umum
serta memupuk pendapatan meliputi juga perusahaan-perusahaan yang
memberi jasa.57 Perusahaan negara bertujuan turut membantu ekonomi
nasional sesuai dengan rencana ekonomi terpimpin serta di dalam
menunaikan tugasnya selalu memperhatikan daya guna yang sebesarbesarnya dengan tidak melupakan tujuan perusahaan untuk ikut serta
membangun ekonomi nasional dengan mengutamakan kebutuhan rakyat serta
ketentraman dan kesenangan kerja dalam perusahaan menuju masyarakat yan
adil dan makmur.
Pada masa Orde Lama, Indonesia menggunakan Sistem Ekonomi
Terpimpin yang memfungsikan perusahaan-perusahaan negara sebagai
instrumen industrialisasi ekonomi dan pengelolaannya didominasi oleh
57
Chairul Anwar, Perusahaan-Perusahaan Negara di Indonesia, Jakarta: Bappit Pusat
Permata, 1960, Hlm 34.
47
militer. Perusahaan negara telah mendominasi perekonomian seperti
perbankan, perdagangan, perkebunan, pertambangan, perminyakan, industri
manufaktur, industri barang modal, bahkan industri berat seperti industri baja,
perkapalan, elektronika dan semen saat berakhirnya kekuasaan Orde Lama
pada Tahun 1967. Berada di bawah naungan dan kendali pemerintah,
kalangan pengusaha (di perusahaan negara) semakin maju dan berkembang
pada sektor perdagangan, transportasi, industri ringan dan industri jasa. Hal
tersebut karena mereka mendapat subsidi dan diproteksi oleh pemerintah
dengan maksud agar perusahaan-perusahaan negara tersebut dapat berperan
sebagai agen pertumbuhan industri (agent of industrial growth). Perlakuan
pemerintah yang seperti itu dinilai berdampak buruk terhadap peranan swasta
dalam konteks pembangunan perekonomian nasional karena keberpihakan
kepada perusahaan negara (pilih kasih).58 Keberpihakan pemerintah tersebut
dirasa dapat dimaklumi karena posisi dan peranan negara dalam
perekonomian nasional pasca kemerdekaan sangat dominan. Pemikiran
seperti itu didasarkan pada:
(1)Situasi negara yang baru lepas dari penjajahan tidak memiliki
social overhead capital (SOC) sebagai modal pembangunan;
(2)Besarnya kerugian dan kerusakan public utilities sebagai
akibat perang; dan
(3)Tersinggirkannya pengusaha pribumi (sebagai kelas ketiga
setelah pengusaha Eropa dan Keturunan Arab dan China).59
Pada masa Orde Baru dengan beralihnya kekuasaan tahun 1967 terjadi
perubahan mendasar pada sistem perekonomian Indonesia. Perubahan
58
Indra Bastian, Op. Cit, Hlm 94
Setyanto P. Santosa, “Privatiasi: Penerapan Nasionalisme Pengelolaan BUMN”,
http://kolom.pacific.net.id/ind/media/PrivatisasiPenerapan NasionalismePengelolaanBUMN.pdf,
diakses pada 21 November 2012.
59
48
mendasar tersebut dipengaruhi oleh Lembaga Internasional (International
Governmental Group on Indonesia (IGGI) dan International Bank for
Reconstruction & Development (IBRD)) yang berhasil meyakinkan
pemerintah bahwa untuk pemulihan perekonomian Indonesia harus didukung
oleh bantuan luar negeri. Tindak lanjut dari pengaruh itu adalah pemerintah
menjalankan kebijakan “pintu terbuka” untuk memberikan jalan masuknya
modal asing sehingga terbitlah Undang-Undang No. 1 tahun 1967 tentang
Penanaman Modal Asing yang telah mendorong masuknya modal asing ke
Indonesia ke berbagai perusahaan multi nasional.
Setahun kemudian diundangkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun
1968 tentang Penanaman modal Dalam Negeri yang mendorong lahirnya
perusahaan-perusahaan raksasa milik sekelompok kecil pangusaha etnis
tionghoa. Diperkirakan sejak saat itu mulai tercipta hubungan kepentingan
antara berbagai perusahaan swasta dengan militer dan elit politik yang
berkuasa dalam berbagai bentuk kerja sama karena lahirnya perusahaanperusahaan besar milik badan usaha yang terkait dengan sejumlah yayasan
dan oknum militer.60 Disusul dengan dikeluarkannya Perpu Nomor 1 Tahun
1969 tentang Bentuk-Bentuk Usaha Negara yang kemudian menjadi UndangUndang Nomor 9 Tahun 1969 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang nomor 1 Tahun 1969 tentang Bentuk-Bentuk
Badan usaha Negara menjadi Undang-Undang, berakibat berhasil mengurangi
jumlah BUMN menjadi 184 dari 822 perusahaan. UU ini mengelompokan
60
Indra Bastian, Op. Cit, Hlm 94-95.
49
BUMN menjadi tiga bentuk yaitu Perjan, Perum dan Persero. Dalam UU ini
tidak disebutkan pengertian dari BUMN akan tetapi membagi Perusahaan
Negara menjadi tiga yaitu:
(1) Perusahaan Jawatan yang disingkat PERJAN;
(2) Perusahaan Umum yang disingkat PERUM; dan
(3) Perusahaan Perseroan yang disingkat PERSERO.
Dalam Undang-Undang ini BUMN dipisahkan berdasarkan fungsi dan
peran sosial ekonomisnya, yakni Perusahaan Jawatan, Perusahaan Umum,
dan Perusahaan Perseroan. Selanjutnya BUMN di Indonesia mengalami
beberapa perubahan, yang disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat dan
kebijakan pemerintah.61 Indonesia mendapatkan perolehan keuntungan yang
sangat besar akibat melambungnya harga minyak dan gas bumi di pasar
internasional yang diakui memiliki andil besar dalam peningkatan
perekonomian nasional. Peningkatan perekonomian tersebut tidak diiringi
dengan peningkatan BUMN karena masalah Korupsi, Kolusi dan Nepotisme
(KKN) dan pemberian subsidi kegiatan BUMN yang kurang efisien.62
Diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 1983 tentang Tata Cara
Pembinaan dan Pengawasan Perjan, Perum dan Persero dimaksudkan untuk
meningkatkan peranan perusahaan negara dan sekaligus pengendaliannya
oleh Pemerintah. Terbitnya Peraturan Pemerintah ini menjadikan Pemerintah
61
Riant Nugroho dan Randy R. Wrihatnolo, Op. cit., Hlm. 11.
A. Effendy Choirie, Privatisasi Versus Neo-Sosialisme Indonesia, Jakarta: LP3ES,
2003, Hlm. 4-5.
62
50
memiliki kewenangan yang sangat besar dalam hal pengelolaan BUMN dan
sekaligus membatasi kewenangan pengelolanya (manajemen).63
Pada Tahun 1999 ketika jatuhnya harga minyak bumi menyebabkan
penerimaan negara dari sektor migas menjadi berkurang yang ditanggulangi
oleh pemerintah dengan pengetatan anggaran termasuk pemberian subsidi
pada kegiatan BUMN.64 Untuk memberdayakan BUMN kembali, pemerintah
mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 1990 tentang Perusahaan
Perseroan (PERSERO) yang Menjual Sahamnya Kepada Masyarakat Melalui
Pasar Modal. Melalui PP ini pemerintah memberikan otonomi yang luas
kepada BUMN yang telah go-public. Maksud pemerintah mengeluarkan PP
tersebut adalah untuk menciptakan BUMN yang mandiri dan memiliki
kemampuan yang cukup sebagai pelaku ekonomi dalam menghadapi era
perdagangan bebas. Hubungan antara pemerintah sebagai pemegang saham
dengan pengelola BUMN dijalankan secara profesional.
Pasca-reformasi, pengelolaan BUMN diatur dalam ketetapan MPR
Nomor IV/MPR/1999 mengenai: (1) penataan BUMN secara efisien,
transparan, dan profesional; (2) penyehatan BUMN yang berkaitan dengan
kepentingan umum; dan (3) mendorong BUMN yang tidak berkaitan dengan
kepentingan umum untuk melakukan privatisasi dipasar modal. Untuk
melaksanakan TAP MPR tersebut, diterbitkan Undang-Undang Nomor 19
Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (UU BUMN) yang masih
63
Parluhutan Sagala, Op. Cit, Hlm 50.
Barcelius Ruru, Restrukrisasi Peran BUMN: Tinjauan Ideologis dan Ekonomis. Dalam
Kumala Hadi dkk, Liberalisasi Ekonomi dan Politik di Indonesia, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana
Yogya, 1997, Hlm. 332.
64
51
berlaku sampai dengan saat ini, peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini
diatur melalui Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, dan Keputusan
Menteri. Pada Pasal 1 UU No. 19 Tahun 2003 BUMN terbagi atas 2, yaitu:
1. Perusahaan Perseroan, yang selanjutnya disebut Persero,
adalah BUMNyang berbentuk Perseroan Terbatas yang
modalnya terbagi dalam saham yang seluruhnya atau paling
sedikit 51% (Lima Puluh Satu Persen) sahamnya dimiliki
olehNegara Republik Indonesia yang tujuan utamanya
mengejar keuntungan;
2. Perusahaan Umum, yang selanjutnya disebut Perum adalah
BUMN yang seluruh modalnya dimiliki negara dan tidak
terbagi atas saham, yang bertujuan untuk kemanfaatan umum
berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi
dan sekaligus mengejar keuntungan berdasarkan prinsip
pengelolaan perusahaan.
Dalam UU BUMN ini yang dimaksud dengan Badan Usaha Milik
Negara (BUMN) adalah Badan Usaha yang seluruh atau sebagian besar
modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang
berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Bahasa asingnya (inggris)
BUMN adalah public enterprise, dengan demikian BUMN berisikan dua
elemen esensial yakni unsur pemerintah (public) dan unsur bisnis
(enterprise). Pada Pasal 2 UU ini termaktub maksud dan tujuan BUMN yaitu:
a. Memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian
nasional pada
umumnya dan penerimaan negara pada
khususnya;
b. Mengejar keuntungan;
c. Menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan
barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan memadai bagi
pemenuhan hajat hidup orang banyak;
d. Menjadi perintis kegiatan-kegiatan usaha yang belum dapat
dilaksanakan oleh sektor swasta dan koperasi;
e. Turut aktif memberikan bimbingan dan bantuan kepada
pengusaha golongan ekonomi lemah, koperasi, dan
masyarakat.
52
Berlakunya UU BUMN ini membuat beberapa peraturan mengenai
BUMN menjadi tidak berlaku, yakni: (1) Indonesische Bedrijvenwet
(Staatsblad Tahun 1927 Nomor 419) sebagaimana telah beberapa kali diubah
dan ditambah terakhir dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1955; (2)
Undang-undang Nomor 19 Prp Tahun 1960 tentang Perusahaan Negara; dan
(3) Undang-undang Nomor 9 Tahun 1969 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1969. Setelah
mengetahui kronologis dari pengaturan-pengaturan mengenai BUMN, maka
telah mengerucut kepada suatu pengertian bahwa Badan Usaha Milik Negara
atau BUMN adalah yang dirumuskan oleh UU No. 19 Tahun 2003 tentang
Badan Usaha Milik Negara sebagai hukum positif saat ini.
Peran BUMN dirasakan semakin penting sebagai pelopor dan/atau
perintis dalam sektor-sektor usaha yang belum diminati usaha swasta bukan
karena untuk pembangunan ekonomi (berangkat dari semangat pembangunan
ekonomi), akan tetapi untuk mewujudkan kemakmurn rakyat. Disamping itu,
BUMN juga mempunyai peran strategis sebagai pelaksana pelayanan publik,
penyeimbang kekuatan-kekuatan
swasta
besar dan turut
membantu
pengembangan usaha kecil/koperasi. BUMN juga merupakan salah satu
sumber penerimaan Negara yang signifikan dalam bentuk berbagai jenis
pajak, deviden, dan hasil privatisasi.
BUMN mempunyai fungsi bisnis yaitu sebagai unit ekonomi, alat
kebijaksanaan pemerintah/agen pembangunan. Sebagai unit ekonomi, BUMN
dituntut untuk mencari keuntungan sebagaimana perusahaan swasta
53
umumnya. Sedangkan sebagai agen pembangunan, BUMN dituntut untuk
menjalankan misi pemerintah dengan sebaik-baiknya. Berarti setiap BUMN
harus menjalankan fungsi tersebut sekaligus, meskipun dengan bobot yang
berbeda antara yang satu dengan yang lainnya.65
Di Indonesia peranan
BUMN kini tidak lagi sebatas pada pengelolaan sumber daya dan produksi
barang-barang yang meliputi hajat hidup orang banyak, tetapi juga dalam
berbagai kegiatan produksi dan pelayanannya yang dilakukan oleh swasta.
Beberapa hal pokok yang menjadi peranan BUMN di Indonesia antara lain:
perlunya bahan konsumsi masyarakat (public goods) untuk dikelola
pemerintah, pertimbangan efisiensi untuk kegiatan ekonomi berskala besar,
dan pengendalian dampak negatif seperti masalah eksternalitas.66
Menurut Pandji Anoraga, peranan BUMN di sistem pemerintahan
Indonesia sangatlah besar. BUMN diharapkan dapat berperan baik sebagai
perusahaan biasa yang dituntut menghasilkan laba yang sebesar-besarnya
seperti perusahaan swasta maupun sebagai bagian aparatur Negara yang
dibebani berbagai penugasan oleh pemerintah, akan tetapi pendapat Riyanto
dalam Pandji Anoraga mengenai fungsi dan peran BUMN adalah:
Fungsi dan peranan BUMN di Negara Indonesia sedikit unik
yakni di satu pihak dituntut sebagai badan usaha pengemban
kebijaksanaan dan program-program pemerintahan atau yang
dikenal dengan dengan sebutan sebagai agen pembangunan,
dipihak lain harus tetap berfungsi sebagai unit usaha komersial
biasa dan mampu berjalan dan beroperasi dengan prinsip usaha
yang ketat.67
65
Ibrahim, BUMN dan Kepentingan Umum, Jakarta: Citra Aditya, 1997, Hlm 135.
Op. Cit, Hlm 10.
67
Ibid, Hlm 8.
66
54
BUMN tidaklah murni 100% (seratus persen) pemerintah dan juga
tidaklah murni 100% (seratus persen) swasta. Besarnya presentase masingmasing elemen itu disuatu BUMN tergantung pada jenis atau tipe BUMNnya. Chairuman Armia dalam Pandji Anoraga mengatakan bahwa yang
terpenting dari setiap BUMN unsur tersebut harus ada. Ini unik jika dibanding
dengan pelaku ekonomi lainnya seperti perusahaan swasta dan koperasi.68
BUMN memiliki keistimewaan karateristik yang tidak dipunyai oleh
badan usaha lain, yang dirumuskan sebagai: “suatu badan usaha yang
„berbaju‟ pemerintah tetapi mempunyai fleksibilitas dan inisiatif sebagai
perushaan swasta” (A corporation clothes with the power of the government
but possessed the flecibility of private enterprise), di sanalah letak
keampuhan lembaga BUMN.69 Jika diuraikan lebih lanjut maka dalam public
dari public enterprise (BUMN) ada tiga makna terkandung di dalamnya,
yakni: public purpose, public ownership, dan public control. Dari ketiga
makna itu, public purpose lah yang menjadi inti dari konsep BUMN yang
dijabarkan sebagai hasrat pemerintah untuk mencapai cita-cita pembangunan
(sosial, politik dan ekonomi) bagi kesejahteraan bangsa dan Negara.
Dalam hubungan inilah BUMN sering dilukiskan berperan sebagai
alat untuk pencapaian tujuan nasional. Sebagai pegangan dalam penyusunan
68
Pandji Anoraga, BUMN, Swasta dan Kopersai (Tiga Pelaku Ekonomi), cet. 1, Jakarta:
Pustaka Jaya, 1995. Hlm 1.
69
Ibid, Hlm 2.
55
strategi pembangunan tersebut70 adalah Pasal 33 Undang-Undang Dasar
1945 yang berbunyi:
(1)Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas
azas kekeluargaan;
(2)Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang
menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara;
(3)Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai olehh Negara dan dipergunakan untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat.
Untuk menjaga stabilitas ekonomi, maka hak monopoli atas sumber
daya dan kegiatan ekonomi tertentu berada di tangan Negara seperti yang
didalam Pasal 33 UUD 1945 secara normatif, monopoli dipegang pemerintah
untuk kemanfaatan rakyat banyak. Ringkasnya, peranan BUMN dalam sistem
perekonomian nasional adalah ikut serta menghasilkan barang dan/atau jasa
yang diperlukan dalam rangka mewujudkan sebesar besarnya kemakmuran
masyarakat. Peranan BUMN dirasakan semakin penting sebagai pelopor
dan/atau perintis dalam sektor-sektor usaha yang belum diminati usaha
swasta. Disamping itu, BUMN juga mempunyai peran strategis sebagai
pelaksana pelayanan publik, penyeimbang kekuatan-kekuatan swasta besar,
dan turut membantu pengembangan usaha kecil/koperasi. BUMN juga
merupakan salah satu sumber penerimaan negara yang signifikan dalam
bentuk berbagai jenis pajak, dividen dan hasil privatisasi.
70
Hendra Esmara, Politik Perencanaan Pembangunan Teori Kebijaksanaan dan Prospek,
Jakarta: Gramedia, 1986, Hlm 37.
56
2. Jenis-Jenis Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
Seperti yang telah diketahui bahwa peraturan yang mengatur tentang
Perusahaan Negara atau yang disebut sekarang Badan Usaha Milik Negara
(BUMN) ada bermacam-macam yang isi muatannya pun berbeda-beda.
Undang-Undang paling akhir tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
yang terakhir adalah Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan
Usaha Milik Negara. Pada Undang-Undang ini disebutkan secara jelas pada
Pasal 1 angka 1 bahwa yang dimaksud dengan BUMN pada Undang-Undang
ini adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki
oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan
negara yang dipisahkan. Pada Undang-Undang ini, BUMN dibedakan
menjadi dua jenis, yaitu Perusahaan Perseroan (Persero) dan Perusahaan
Umum (Perum).
a. Perusahaan Persero (Persero)
Perusahaan Perseroan, yang selanjutnya disebut Persero, menurut
UU BUMN adalah BUMN yang berbentuk perseroan terbatas yang
modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51% (lima
puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia
yang tujuan utamanya mengejar keuntungan. Pendirian Persero berbeda
dengan pendirian badan hukum (perusahaan) pada umumnya. Pendirian
Persero diusulkan oleh Menteri kepada Presiden disertai dengan dasar
pertimbangan setelah dikaji bersama dengan Menteri Teknis dan Menteri
57
Keuangan. Organ Persero terdiri atas RUPS, Direksi dan Komisaris. Ciriciri Persero adalah:
(1) Makna usahanya adalah untuk memupuk keuntungan guna
meningkatkan nilai perusahaan dan menyediakan barang
dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan berdaya saingan
kuat;
(2) Berbentuk perseroan terbatas;
(3) Modal seluruhnya atau sebagian merupakan milik Negara
dari kekayaan Negara yang dipisahkan;
(4) Dipimpin oleh seorang Direksi. 71
Dalam pendirian Persero pun memperhatikan peraturan perundangundangan yang berlaku yakni Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003
tentang Badan Usaha Milik Negara dan juga Undang-Undang Nomor 40
Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. BUMN yang berbentuk Persero
pada mulanya diatur dalam PP Nomor 12 Tahun 1998 tentang Perusahaan
Perseroan jo PP Nomor 45 Tahun 2001 tentang Perubahan PP Nomor 12
Tahun 1998 tentang Perusahaan Persero jo Peraturan Pemerintah Nomor
45 Tahun 2005 tentang Pendirian, Pengurusan Pengawasan, dan
Pembubaran Badan usaha Milik Negara,
juga dalam hal-hal tertentu
berlaku pula prinsip-prinsip UU Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan
Terbatas (UU PT) termasuk dalam hal pendirian suatu Persero berlakulah
UU PT.
Pada PP No 45 Tahun 2005 tentang Pendirian, Pengurusan
Pengawasan, dan Pembubaran Badan usaha Milik Negara disebutkan
bahwa organ Persero adalah Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS),
Direksi dan Komisaris. Untuk pengurusan Persero dilakukan oleh Direksi
71
Achmad Ichsan, Dunia Usaha Indonesia, Jakarta: Pradnya Paramita, 2000, Hlm 467.
58
yang pengangkatan dan pemberhentiannya dilakukan oleh RUPS dan
untuk masa jabatan lima tahun yang dapat diangkat kembali untuk satu
kali masa jabatan. Tugas-tugas direksi secara rinci dituangkan dalam
anggaran dasar Persero, akan tetapi pada Pasal 26 sampai dengan Pasal 30
PP No. 45 Tahun 2005 tentang Pendirian, Pengurusan Pengawasan, dan
Pembubaran Badan usaha Milik Negara Direksi bertugas membuat rencana
jangka panjang Persero, menyiapkan rancangan rencana kerja, anggaran
perusahaan yang memuat penjabatan tahunan dari rencana jangka panjang
beserta laporan berkala tiap triwulan dan tahunan, bertanggung jawab
penuh atas pengurusan Persero untuk kepentingan dan tujuannya serta
mewakili Persero baik di dalam maupun di luar pengadilan. Pengawasan
Persero dilakukan oleh Komisaris yang dilakukan berdasarkan ketentuan
dan prinsip-prinsip dan ketentuan yang berlaku bagi Perseoran Terbatas.
Komisaris diangkat dan diberhentikan oleh RUPS. Komisaris diangkat
untuk masa jabatan selama lima tahun dan dapat diangkat kembali untuk
satu kali masa jabatan. Tugas dari Komisaris secara rinci diatur dalam
anggaran dasar Persero, akan tetapi menurut ketentuan Pasal 59 dan Pasal
60 PP No. 45 Tahun 2005 tentang Pendirian, Pengurusan Pengawasan, dan
Pembubaran Badan usaha Milik Negara secara umum adalah:
a. Melaksanakan pengawasan terhadap pengurusan BUMN yang
dilakukan oleh Direksi; dan
b. Memberi nasihat kepada Direksi dalam melaksanakan kegiatan
pengurusan BUMN.
59
Berdasarkan ketentaun PP No 45 Tahun 2005 tentang Pendirian,
Pengurusan Pengawasan, dan Pembubaran Badan usaha Milik Negara
pada Pasal 66 sampai dengan Pasal 74 pada Persero dibentuk satuan
pengawas intern dan komite audit. Satuan pengawas intern yang
bertanggung jawab langsung kepada Direktur Utama yang bertugas:
a. Membantu Direktur Utama dalam melaksanakan
pemeriksaan operasional dan keuangan BUMN, menilai
pengendalian, pengelolaan dan pelaksanaannya pada
BUMN serta memberikan saran-saran perbaikannya;
b. Memberikan keterangan tentang hasil pemeriksaan atau
hasil pelaksanaan tugas Satuan Pengawasan Intern
sebagaimana dimaksud dalam huruf a kepada Direktur
Utama; dan
c. Memonitor tindak lanjut atas hasil pemeriksaan yang telah
dilaporkan.
Sedangkan komite audit juga didirikan di Persero yang berfungsi
membantu Komisaris dalam melakukan tugasnya yakni:
a. Membantu Komisaris dalam memastikan efektivitas sistem
pengendalian intern dan efektivitas pelaksanaan tugas
eksternal auditor dan internal auditor;
b. Menilai pelaksanaan kegiatan serta hasil audit yang
dilaksanakan oleh Satuan Pengawasan Intern maupun
auditor eksternal;
c. Memberikan rekomendasi mengenai penyempurnaan sistem
pengendalian manajemen serta pelaksanaannya;
d. Memastikan telah terdapat prosedur review yang
memuaskan terhadap segala informasi yang dikeluarkan
perusahaan; dan
e. Melakukan identifikasi hal-hal yang memerlukan perhatian
Komisaris serta tugas-tugas Komisaris lainnya.
PP ini berisi mengenai perihal pendirian, pengurusan pengawasan
dan pembubaran BUMN, akan tetapi untuk Perseroan Terbatas mengenai
hal tersebut tetap harus dilakukan berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang Perseroan Terbatas (UU No. 40 Tahun
60
2007). Pendirian BUMN berbentuk Persero dapat berupa pembentukan
Persero baru yang bukan berasal dari pengalihan bentuk dan peleburan
BUMN atau perubahan BUMN sebagai akibat dari peleburan Persero dan
Perum. Pasal 5 PP No. 45 Tahun 2005 tentang Pendirian, Pengurusan
Pengawasan, dan Pembubaran Badan usaha Milik Negara menyatakan
untuk pendirian sebuah Persero pun ditetapkan dengan Peraturan
pemerintah tentang pendirian Persero yang bersangkutan dan PP tersebut
memuat mengenai penetapan pendirian, maksud dan tujuan pendirian serta
besarnya penyertaan kekayaan negara yang dipisahkan dalam rangka
pendirian BUMN. Pada Pasal 12 Ayat (1) PP No. 45 Tahun 2005 tentang
Pendirian, Pengurusan Pengawasan, dan Pembubaran Badan usaha Milik
Negara ditentukan mengenai penulisan nama Persero sebagai berikut:
a. Dalam hal penulisan nama Persero dilakukan secara lengkap,
maka didahului dengan perkataan "Perusahaan Perseroan
(Persero)", diikuti dengan singkatan "PT" dan kemudian
diikuti dengan nama perusahaan;
b. Dalam hal penulisan nama Persero dilakukan secara singkat,
maka kata "(Persero)" dicantumkan setelah singkatan "PT"
dan nama Perusahaan.
Penggunaan laba dan dana cadangan Persero dan pembubaran
Persero dilakukan sesuai dengan ketentuan UU No. 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas. Ketentuan pelaksana PP No. 12 Tahun 1998 tentang
Perusahaan Persero jo PP No. 45 Tahun 2001 masih berlaku sepanjang
untuk hal-hal tertentu tidak bertentangan dengan PP No. 45 Tahun 2005
tentang Pendirian, Pengurusan Pengawasan, dan Pembubaran Badan usaha
Milik Negara. PP No. 12 Tahun 1998 ini disusun sepenuhnya berdasarkan
61
ketentuan yang berlaku bagi Perseroan Terbatas sebagaimana termaktub
dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas
yang telah di perbaharui dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Tebatas, hanya saja Peraturan Pemerintah ini memberi
pengaturan-pengaturan khusus yang berkaitan dengan karakter Persero
sebagai Perseroan Terbatas yang sahamnya sebagian atau seluruhnya
dimiliki oleh Negara.
Menteri Keuangan bertindak selaku RUPS apabila seluruh saham
Persero dimiliki oleh negara dan bertindak selaku pemegang saham pada
Persero dan Perseroan Terbatas dalam hal tidak seluruh sahamnya dimiliki
oleh negara dan keputusannya diambil bersama-sama dengan pemegang
saham lainnya dalam RUPS. Dalam hal Menteri Keuangan berkedudukan
sebagai RUPS, maka cukup dengan penetapan Menteri. Dalam PP ini
disertakan pula pengaturan mengenai Persero Terbuka dan untuk Persero
Terbuka diberlakukan pula ketentuan mengenai peraturan perundangundang di bidang pasar modal. Persero didirikan dengan maksud dapat
memenuhi permintaan pasar melalui penyediaan barang dan jasa yang
bermutu tinggi dan berdaya saing kuat baik di pasar dalam negeri maupun
internasional. Meskipun Persero didirikan dengan maksud dan tujuan
untuk mencari keuntungan, namun dapat pula Persero didirikan untuk
melaksanakan pelayanan kepentingan masyarakat luas. Disamping itu,
dalam hal adanya kebutuhan masyarakat luas yang mendesak dan
Pemerintah dapat pula menugaskan suatu Persero melaksanakan fungsi
62
pelayanan kemanfaatan umum. Termasuk dalam fungsi tersebut adalah
pelaksanaan Program Kemitraan dan pembinaan usaha kecil dan koperasi.
Kekayaan negara yang disertakan menjadi kekayaan Persero
ditetapkan dengan PP. Penetapan dengan PP dilakukan karena modal
dalam Perseroan Terbatas adalah kekayaan Negara. Jadi, PP tersebut
bukan mengesahkan berdirinya perseroan terbatas melainkan mengesahkan
penyertaan modal Negara dalam perseroan terbatas. Pemisahan kekayaan
Negara untuk dijadikan penyertaan Negara dalam modal perseroan terbatas
dapat dilakukan dengan cara penyertaan langsung Negara ke dalam modal
perseroan terbatas. Ini berarti dalam hal pendirian Persero, Menteri
Keuangan bertindak mewakili Negara, atau dapat memberi kuasa kepada
Menteri lain yang sesuai dengan sektor usaha Persero untuk menghadap
notaris sebagai pendiri mewakili Negara. Sebelum menghadap notaris,
rancangan anggaran dasar Persero yang akan dituangkan dalam akta
pendirian harus mendapat persetujuan lebih dahulu dari Menteri
Keuangan.
Menteri Keuangan menyelenggarakan penata usahaan setiap
penyertaan modal Negara berikut perubahannya ke dalam modal saham
perseroan terbatas dan penyertaan-penyertaan yang dilakukan oleh
Persero. Menurut ketentuan Pasal 1 angka 1 dan angka 2 UU BUMN,
modal Persero terbagi atas saham yang seluruh atau paling sedikit 51%
(lima puluh persen) dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara
langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Menurut
63
Pasal 1 angka 10 UU BUMN, kekayaan negara yang dipisahkan adalah
kekayaan negara yang berasal dari APBN untuk dijadikan penyertaan
modal negara pada Persero dan/atau Perum serta perseroan terbatas
lainnya. Ketentuan ini ditegaskan lagi oleh Pasal 4 Ayat (1) UU BUMN
yang menyatakan bahwa modal BUMN merupakan dan berasal dari
kekayaan negara yang dipisahkan. Istilah „dipisahkan‟ menurut penjelasan
Pasal 4 Ayat (1) UU BUMN adalah pemisahan kekayaan negara dari
APBN untuk dijadikan penyertaan modal negara pada BUMN, untuk
selanjutnya pembinaan dan pengelolaannya tidak lagi didasarkan pada
sistem APBN namun didasarkan pada prinsip-prinsip perusahaan yang
sehat.
Menurut ketentuan Pasal 1 angka 1 UU PT, Perseroan Terbatas
merupakan persekutuan modal yang didirikan berdasarkan perjanjian dan
melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi
dalam saham, sedangkan menurut Pasal 31 Ayat (1) UU PT, modal dasar
Perseroan Terbatas terdiri atas seluruh nilai nominal saham dan harta
kekayaan Perseroan Terbatas meliputi modal dasar yang berupa nilai
nominal saham dan aset-aset lainnya. Semua kekayaan termasuk kekayaan
negara yang dipisahkan dan disertakan sebagai modal Persero adalah
bagian dari persekutuan modal, berupa nilai nominal saham, yang
merupakan modal dasar Persero. Modal dasar ini beserta aset yang lain
merupakan harta kekayaan Persero. Singkatnya, kekayaan negara yang
dipisahkan dan disertakan sebagai modal Persero berubah menjadi harta
64
kekayaan Persero, yang pengelolaannya didasarkan pada tata kelola
perusahaan yang baik (good corporate governance).72
b. Perusahaan Umum (Perum)
Perusahaan Umum, yang selanjutnya disebut Perum, menurut UU
BUMN adalah BUMN yang seluruh modalnya dimiliki Negara dan tidak
terbagi atas saham, tujuan untuk kemanfaatan umum berupa penyediaan
barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan sekaligus mengejar
keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan. Pada dasarnya
proses pendirian Perum sama dengan pendirian Persero. Organ Perum
adalah Menteri, Direksi, dan Dewan Pengawas. Untuk pengangkatan dan
pemberhentian Direksi dan Dewan Pengawas ditetapkan oleh Menteri
dengan berpedoman pada mekanisme dan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku. Baik Direksi dan Dewan Pengawas pada Perum
tugasnya sama dengan Direksi dan Komisaris pada Persero. Anggota
Dewan Pengawas dapat terdiri dari Menteri Teknis atau Menteri Keuangan
dengan tetap memperhatikan persyaratan yang ada dan jumlahnya
memperhatikan kebutuhan tiap Persero. Ciri-ciri Perum adalah:
(1) Makna usahanya adalah melayani kepentingan umum dan
sekaligus untuk memupuk keuntungan;
(2) Berstatus badan hukum dan diatur berdasarkan UU;
(3) Mempunyai nama dan kekayaan sendiri serta kebebasan
bergerak seperti perusahaan swasta untuk mengadakan atau
masuk ke dalam suatu perjanjian, kontrak-kontrak, dan
hubungan-hubungan dengan perusahaan lain;
72
Good Corporate Governance merupakan tata kelola pemerintahan yang baik yang
harus diterapkan dalam pengurusan BUMN yang terdiri atas: Transparansi, Kemandirian,
Akuntabilitas, Pertanggungjawaban, dan kewajaran yand diatur dalam Pasal 76 UU BUMN dan
Kepmen Nomor 117 Tahun 2002.
65
(4) Modal seluruhnya dimiliki oleh Negara dari kekayaan
Negara yang dipisahkan;
(5) Dipimpin oleh seorang Direksi.
Mengenai Perum diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 13
Tahun 1998 tentang Perusahaan Umum jo Peraturan Pemerintah Nomor 45
Tahun 2005 tentang Pendirian, Pengurusan, Pengawasan dan Pembubaran
Badan Usaha Milik Negara juga Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003
tentang Badan Usaha Milik Negara. Pada Pasal 7 PP No. 13 Tahun 1998
tentang Perusahaan Umum jo Pasal 35 UU No. 19 Tahun 2003 tentang
Badan Usaha Milik Negara jo Pasal 5 Ayat (1) PP No. 45 Tahun 2005
tentang Pendirian, Pengurusan, Pengawasan dan Pembubaran Badan
Usaha Milik Negara disebutkan Perum adalah badan usaha milik Negara
yang didirikan dengan peraturan pemerintah. PP tentang pendirian Perum
sekaligus menetapkan keputusan untuk melakukan penyertaan modal
Negara ke dalam Perum. Ketentuan ini menyebabkan Perum memperoleh
status badan hukum setelah PP pendirian Perum diundangkan dan mulai
berlaku sejak diundangkan. PP pendirian Perum tersebut sekurangkurangnya memuat penetapan pendirian Perum, maksud dan tujuan
pendirian Perum, penetapan besarnya kekayaan Negara yang dipisahkan
untuk penyertaan ke dalam modal Perum, anggaran dasar Perum,
penunjukan Menteri Keuangan selaku wakil pemerintah sebagai pemilik
modal dan pendelegasian wewenang Menteri Keuangan kepada Menteri
BUMN dalam pelaksanaan pembinaan sehari-hari Perum.
66
Penjelasan Pasal 8 PP No. 45 Tahun 2005 tentang Pendirian,
Pengurusan, Pengawasan dan Pembubaran Badan Usaha Milik Negara
tersebut menyatakan bahwa pemisahan kekayaan Negara untuk dijadikan
modal dalam Perum dapat berupa uang tunai atau bentuk lain dan
disebutkan jumlah atau nilai nominalnya. Pemisahan kekayaan Negara
untuk dijadikan modal suatu Perum dapat dilakukan untuk pendirian suatu
Perum,
penambahan
kapasitas
suatu
Perum,
dan
restrukturisasi
permodalan Perum. Pada PP tersebut dicantumkan juga anggaran dasar
Perum. Menurut ketentuan Pasal 9 PP No. 45 Tahun 2005 tentang
Pendirian, Pengurusan, Pengawasan dan Pembubaran Badan Usaha Milik
Negara, anggaran dasar Perum memuat sekurang-kurangnya:
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
Nama dan tempat kedudukan;
Maksud dan tujuan serta kegiatan usaha;
Jangka waktu berdiri;
Besarnya modal;
Susunan dan jumlah anggota Direksi dan Dewan Pengawas
serta komposisi Dewan Pengawas;
Tata cara pemilihan, pengangkatan, dan pemberhentian
anggota Direksi dan Dewan Pengawas;
Tata cara penyelenggaraan rapat Direksi dan rapat Dewan
Pengawas;
Tata cara penggunaan laba; dan
Ketentuan-ketentuan lain menurut Peraturan Pemerintah ini.
Ketentuan Pasal 12 Ayat (2) PP No. 45 Tahun 2005 tentang
Pendirian, Pengurusan, Pengawasan dan Pembubaran Badan Usaha Milik
Negara mengatur penulisan nama Perum yakni dengan didahului perkataan
“Perusahaan Umum (Perum)” atau dapat disingkat “Perum” yang
dicantumkan sebelum nama perusahaan. Pengaturan mengenai modal
Perum dapat dilihat dalam UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN jo
67
PP Nomor 13 Tahun 1998 Tentang Perum. Dalam UU No. 19 Tahun 2003
tentang BUMN jo PP Nomor 13 Tahun 1998 tentang Perusahaan Umum
disebutkan bahwa modal dari Perum keseluruhannya adalah berasal dari
kekayaan Negara yang dipisahkan. Dalam UU BUMN disebutkan:
a. Perum adalah BUMN yang seluruh modalnya dimiliki oleh
Negara;
b. Modal Perum tidak terbagi atas saham.
Ketentuan Pasal 43 UU BUMN mengatur Penggunaan laba bersih
Perum termasuk penentuan jumlah penyisihan untuk cadangan ditetapkan
oleh Menteri Keuangan. Berdasarkan ketentuan Pasal 76 PP No. 45 Tahun
2005 tentang Pendirian, Pengurusan, Pengawasan dan Pembubaran Badan
Usaha Milik Negara setiap tahun Perum menyisihkan laba bersih minimal
20% (dua puluh persen) dari modal Perum yang diperuntukan menutup
kerugian Perum dan jikalau laba bersih lebih dari 20% (dua puluh persen),
maka kelebihan tersebut dipergunakan untuk keperluan Perum. Laba yang
diperoleh dari pengelolaan dana cadangan Perum pun dimasukkan dalam
perhitungan laba rugi. Menteri dapat menetapkan penggunaan laba bersih
Perum termasuk jumlah penyisihan untuk cadangan juga dapat
menetapkan bahwa sebagian atau seluruh laba bersih akan digunakan
untuk pembagian dividen kepada pemilik modal, atau pembagian lain
seperti tansiem (tantiem) untuk Direksi dan Dewan Pengawas, bonus untuk
karyawan, cadangan dana sosial dan lain-lain atau penempatan laba bersih
tersebut dalam cadangan Perum yang antara lain diperuntukan bagi
perluasan usaha Perum. Dalam hal kerugian Perum, Menteri keuangan
68
tidak bertanggung jawab atas segala akibat perbuatan hukum yang dibuat
Perum dan tidak bertanggung jawab atas kerugian Perum yang melebihi
nilai kekayaan negara yang telah dipisahkan ke dalam Perum. Tanggung
jawab Menteri Keuangan tersebut dapat dikecualikan apabila Menteri baik
langsung maupun tidak langsung dengan itikad buruk memanfaatkan
Perum semata-mata untuk kepentingan pribadi; terlibat dalam perbuatan
melawan hukum yang dilakukan oleh Perum; atau langsung maupun tidak
langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan Perum.
Berdasarkan ketentuan PP No. 45 Tahun 2005 tentang Pendirian,
Pengurusan, Pengawasan dan Pembubaran Badan Usaha Milik Negara
pada Pasal 66 – 74 pada Perum dibentuk satuan pengawas intern dan
komite audit. Satuan pengawas intern yang bertanggung jawab langsung
kepada Direktur Utama yang bertugas:
a. Membantu Direktur Utama dalam melaksanakan
pemeriksaan operasional dan keuangan BUMN, menilai
pengendalian, pengelolaan dan pelaksanaannya pada
BUMN serta memberikan saran-saran perbaikannya;
b. Memberikan keterangan tentang hasil pemeriksaan atau
hasil pelaksanaan tugas Satuan Pengawasan Intern
sebagaimana dimaksud dalam huruf a kepada Direktur
Utama; dan
c. Memonitor tindak lanjut atas hasil pemeriksaan yang telah
dilaporkan.
Komite audit juga didirikan di Perum yang berfungsi membantu
Dewan Pengawas dalam melakukan tugasnya yakni:
a. Membantu Dewan Pengawas dalam memastikan efektivitas
sistem pengendalian intern dan efektivitas pelaksanaan
tugas eksternal auditor dan internal auditor;
69
b. Menilai pelaksanaan kegiatan serta hasil audit yang
dilaksanakan oleh Satuan Pengawasan Intern maupun
auditor eksternal;
c. Memberikan rekomendasi mengenai penyempurnaan sistem
pengendalian manajemen serta pelaksanaannya;
d. Memastikan telah terdapat prosedur review yang
memuaskan terhadap segala informasi yang dikeluarkan
perusahaan; dan
e. Melakukan identifikasi hal-hal yang memerlukan perhatian
Dewan Pengawas serta tugas-tugas Dewan Pengawas
lainnya.
3. PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk
Salah satu BUMN yang ada di Indonesia adalah PT. Bank Negara
Indonesia (Persero) Tbk yang berdiri dengan dikeluarkannya Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) Nomor 2 Tahun 1946
Tentang Pendirian Bank Negara Indonesia.73 BNI merupakan sebuah BUMN
yang melakukan kegiatan usaha di bidang perbankan. Fungsi perbankan
berdasarkan ketentuan Pasal 3 Undang-Undang Perbankan yang menyatakan
bahwa, “Fungsi utama perbankan Indonesia adalah sebagai penghimpun dan
penyalur dana masyarakat”. Dari ketentuan tersebut tercermin fungsi bank
sebagai perantara pihak-pihak yang memiliki kelebihan dana (surplus of
funds) dengan pihak-pihak yang kekurangan dan memerlukan dana (lacks of
funds).74 Mengenai jenis-jenis Bank dapat dilihat ketentuan Pasal 5 Ayat (1)
UU Perbankan yang membagi bank ke dalam dua jenis, yaitu Bank Umum
dan Bank Perkreditan Rakyat.
73
Anonim, “Sejarah 66 Tahun BNI”, 2012, http://www.bni.co.id, diakses tanggal 30
Oktober 2012.
74
Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, cet 2, Jakarta: Kencana, 2006,
Hlm 20.
70
Bank Umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara
konvensional dan/atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya
memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran, sedangkan yang dimaksud
dengan Bank Perkreditan Rakyat adalah bank yang melaksanakan kegiatan
usaha secara konvensional dan/atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam
kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
Berdasarkan ketentuan Pasal 21 Ayat (1) UU Perbankan, bentuk hukum
perseroan terbatas dapat berupa perseroan terbatas, koperasi, dan perusahaan
daerah. BNI ketika berdiri merupakan Bank Umum, yang mulai mengedarkan
alat pembayaran resmi pertama yang dikeluarkan Pemerintah Indonesia,
yakni ORI atau Oeang Republik Indonesia, pada malam menjelang tanggal 30
Oktober 1946, hanya beberapa bulan sejak pembentukannya. Sampai saat ini,
tanggal tersebut diperingati sebagai Hari Keuangan Nasional, sementara hari
pendiriannya yang jatuh pada tanggal 5 Juli ditetapkan sebagai Hari Bank
Nasional. Sehubungan dengan penambahan modal pada tahun 1955, status
Bank Negara Indonesia diubah menjadi bank komersial milik pemerintah.
Perubahan ini melandasi pelayanan yang lebih baik dan tuas bagi sektor
usaha nasional. Tahun 1992, status hukum dan nama BNI berubah menjadi
PT. Bank Negara Indonesia (Persero), sementara keputusan untuk menjadi
perusahaan publik diwujudkan melalui penawaran saham perdana di pasar
modal pada tahun 1996 sebagai bank pemerintah yang pertama kali go public.
Kemudian pada tahun 2007, PT. Bank Negara Indonesia kembali
menawarkan sahamnya kepada masyarakat, pada waktu itu komposisi
71
kepemilikan saham BNI adalah sebesar 99,11% milik pemerintah RI dan 0.89
% milik masyarakat. Pada akhir tahun 2011, Pemerintah Republik Indonesia
memegang 60% saham BNI, sementara 40% saham selebihnya dimiliki oleh
pemegang saham publik baik individu maupun institusi, domestik dan asing.
C. Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dan Program
Bina Lingkungan (PKBL)
1.
Sejarah dan Dasar Hukum Program Kemitraan BUMN dengan Usaha
Kecil dan Bina Lingkungan
Jauh sebelum ada Program Kemitraan dan Program Bina Lingkungan
atau yang selanjutnya disebut PKBL ada di Indonesia, BUMN telah
melakukan kegiatan pengembangan masyarakat atau yang dikenal juga
dengan community development/CD). Seperti yang telah disampaikan
sebelumnya
community
development
berporos
pada
pengembangan
masyarakat menuju masyarakat yang memiliki taraf kehidupan yang maju.
Pada tahun 1979 oleh Jack Rothman, community development disamakan
dengan local development (LD) yang artinya sama sebagai: “Sebuah model
pengembangan masyarakat yang menekankan pada partisipasi penuh seluruh
warga
masyarakat”.75
Kemudian
Persekutuan
Bangsa-Bangsa
(PBB)
mendefinisikan pengembangan masyarakat sebagai sesuatu proses yang
dirancang untuk menciptakan kemajuan kondisi ekonomi dan sosial bagi
75
Agus S., Op.cit, Hlm 27.
72
seluruh warga masyarakat dengan partisipasi aktif dan sejauh mungkin
menumbuhkan prakarsa masyarakat itu sendiri.76
Sebenarnya pemerintah Indonesia telah memulai pelaksanaan kegiatan
pembangunan masyarakat ketika dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No. 3
Tahun 1983 tentang Tata Cara pembinaan dan Pengawasan Perusahaan
Jawatan, Perusahaan Umum dan Perusahaan Perseroan. Pada saat itu BUMN
yang melaksanakan pembinaan usaha kecil dikenal dengan panggilan “Bapak
angkat usaha kecil/industri kecil”, yang merupakan implikasi dari ketentuan
Pasal 2 Ayat (2) huruf f pada PP No. 3 Tahun 1983 tentang Tata Cara
pembinaan dan Pengawasan Perusahaan Jawatan, Perusahaan Umum dan
Perusahaan Perseroan bahwa “Maksud dan tujuan dari kegiatan Perjan,
Perum, dan Persero adalah: turut aktif memberikan bimbingan kegiatan
kepada sektor swasta khususnya pengusaha golongan ekonomi lemah dan
sektor koperasi”, maka BUMN terlepas berbentuk Perjan, Perum atau pun
Persero memiliki tujuan yang terpenting yakni seperti yang disebutkan pada
Pasal 2 Ayat (2) huruf f.
Program pembinaan usaha kecil oleh BUMN diperkuat lagi dengan
dikeluarkannya
Keputusan
Menteri
Keuangan
(Kepmenkeu)
Nomor
1232/KMK.013/1989 pada 11 November 1989 tentang Pedoman Pembinaan
Pengusaha Ekonomi Lemah dan Koperasi Melalui BUMN. Dalam
Kepemenkeu ini dikenalkan Program Pegelkop (Pembinaan Pengusaha
Golongan Ekonomi Lemah dan Koperasi). Dalam Pasal 4 Kepmenkeu Nomor
76
Loc. Cit.
73
1232/KMK.013/1989 tentang Pedoman Pembinaan Pengusaha Ekonomi
Lemah dan Koperasi melalui BUMN menjelaskan bahwa pengertian
pengusaha ekonomi lemah adalah perorangan atau badan usaha yang
mempunyai aset sebanyak maksimal Rp. 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah)
atau omzet maksimalnya Rp. 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah) per tahun
atau Rp. 25.000.000,- (dua puluh lima juta rupiah) per bulan. Pembinaan
untuk Program Pegelkop diambil dari laba bersih BUMN setelah dikurangi
pajak yang besarnya 1%-5% (satu persen sampai dengan lima persen). Status
dana pembinaan pun ditetapkan sebagai hibah atau pinjaman apabila
ditujukan kepada pengusaha golongan ekonomi lemah dan koperasi dan
pelaksanaan pembinaan seluruhnya menjadi tanggung jawab direksi BUMN
yang bersangkutan.
Kemudian pada tanggal 27 Juni 1994 dikeluarkannya Keputusan
Menteri Nomor 316/KMK.016/1994 tentang Pedoman Pembinaan Usaha
Kecil dan Koperasi melalui Pemanfaatan Dana dari Bagian Laba BUMN.
Pada Kepmen ini programnya bernama PUKK (Pembina Usaha Kecil dan
Koperasi). Alasan yang melatar belakangi dikeluarkannya Keputusan Menteri
itu adalah dalam rangka medorong kegiatan dan pertumbuhan ekonomi dan
terciptanya pemerataan pembangunan melalui perluasan lapangan kerja dan
kesempatan berusaha, perlu dikembangkan potensi usaha kecil dan koperasi
agar menjadi tangguh dan mandiri, sehingga dapat meningkatkan taraf hidup
masyarakat serta mendorong tumbuhnya kemitraan antara BUMN dengan
usaha kecil dan koperasi.
74
Untuk memudahkan dalam penyelenggaraan pembinaan usaha kecil
dan menengah pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun
1995 tentang Usaha Kecil. Dalam Pasal 14 UU No. 9 Tahun 1995 tentang
Usaha Kecil menyatakan bahwa Pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat
melakukan pembinaan dan pengembangan Usaha Kecil dalam bidang
produksi dan pengolahan, pemasaran, sumber daya manusia, dan teknologi.
Kegiatan BUMN dalam mengembangkn usaha kecil ditegaskan lagi dalam
Pasal 21 UU No. 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil yang menyatakan bahwa
Pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat menyediakan pembiayaan yang
meliputi kredit perbankan, pinjaman lembaga keuangan bukan bank, modal
ventura, pinjaman dari dana penyisihan sebagian laba badan usaha milik
negara (BUMN), hibah dan jenis pembiayaan lainnya. Pada tahun 1998
terbitlah Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1998 tentang Pembinaan dan
Pengembangan Usaha Kecil, yang antara lain mengatur penyediaan dana
dilakukan oleh Departemen Teknis, Kantor Menteri Negara, Pemerintah
Daerah, Badan Usaha Milik Negara, melalui anggaran pendapatan dan
belanja negara, anggaran pendapatan dan belanja daerah, anggaran
perusahaan sesuai dengan program pembinaan dan pengembangan usaha
kecil di masing-masing sektor, sub sektor, pemerintah daerah, Badan Usaha
Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah yang bersangkutan.
Sampai pada lahirnya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang
Badan Usaha Milik Negara. Pada Pasal 88 Ayat (1) UU No. 19 Tahun 2003
tentang BUMN menyatakan bahwa BUMN dapat menyisihkan sebagian laba
75
bersihnya untuk keperluan pembinaan usaha kecil/koperasi serta pembinaan
masyarakat sekitar BUMN. Kata kunci pada Pasal 88 ini adalah “BUMN
dapat menyisihkan sebagian laba bersihnya”. Kata “dapat” berbeda dengan
kata “wajib”, yang artinya BUMN tidak diwajibkan untuk menyisihkan laba
bersihnya, sehingga kata “dapat” pada Pasal 88 UU BUMN diartikan sebagai
kesukarelaan BUMN.77 Pada Pasal 2 Ayat (1) huruf e UU BUMN
menyatakan bahwa maksud dan tujuan pendirian BUMN adalah turut aktif
memberikan bimbingan dan bantuan kepada pengusaha golongan ekonomi
lemah, koperasi, dan masyarakat. Sehingga dengan keberadaannya, BUMN
membimbing dan membantu usaha golongan kecil dan menengah.
Kelanjutan dari Pasal 2 dan 88 UU BUMN adalah dikeluarkannya
Keputusan Menteri Badan Usaha Milik Negara Nomor Kep-236/MBU/2003
tentang Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dan Program Bina
Lingkungan. Peraturan ini lantas diubah dengan Peraturan Menteri BUMN
Nomor Per-05/MBU/2007 tentang Program Kemitraan BUMN dengan Usaha
Kecil dan Program Bina Lingkungan yang selanjutnya dalam Skripsi ini
disebut dengan Permeneg PKBL. Permeneg PKBL ini berlaku untuk tahun
buku 2007 dan ditetapkan pada tanggal 27 April 2007 dan program yang ada
di Permen ini dikenal dengan PKBL. PKBL terdiri dari dua program yakni
Program Kemitraan dan Program Bina Lingkungan. Program Kemitraan
adalah program untuk meningkatkan kemampuan usaha kecil agar menjadi
tangguh dan mandiri melalui pemanfaatan dana dari bagian laba BUMN,
77
Ibid, Hlm 25.
76
sedangkan Program Bina Lingkungan adalah program pemberdayaan kondisi
sosial masyarakat oleh BUMN melalui pemanfaatan dana dari bagian laba
BUMN. Dalam Permeneg PKBL disebutkan juga BUMN yang wajib dan
yang tidak wajib melakukan PKBL, hal ini dinyatakan Pasal 2 Permen ini:
Ayat (1) Perum dan Persero wajib melaksanakan Program
Kemitraaan dan Program Bina Lingkungan dengan
memenuhi ketentuan-ketentuan yang diatur dalam
peraturan ini.
Ayat (2) Persero Terbuka dapat melaksanakan Program
Kemitraan dan Program Bina Lingkungan dengan
berpedoman pada peraturan ini yang ditetapkan
berdasarkan keputusan Rapat Umum Pemegang Saham
(RUPS).
Dari bunyi Pasal 2 tersebut diketahui bahwa Perum dan Persero
“wajib” melaksanakan PKBL akan tetapi Persero Terbuka tidak diwajibkan,
akan tetapi dapat melakukan PKBL yang tetap berpedoman dengan Peraturan
Menteri ini dan ditetapkan dengan keputusan RUPS.
2.
Tujuan dan Sistem Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dan
Program Bina Lingkungan
Jika dirunut dari peraturan perundang-undangan yang pernah
mengatur tentang Program Kemitraan dan Program Bina Lingkungan
(PKBL), maka peraturan perundang-undangan tersebut adalah sebagai
berikut:
(1) Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 1983 tentang Tata Cara pembinaan
dan Pengawasan Perusahaan Jawatan, Perusahaan Umum dan Perusahaan
Perseroan;
77
(2) Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1232/KMK. 013/1989 tentang
Pedoman Pembinaan Pengusaha Ekonomi Lemah dan Koperasi melalui
BUMN;
(3) Keputusan Menteri Keuangan Nomor 316/KMK.016/1994 tentang
Pedoman Pembinaan Usaha Kecil dan Koperasi melalui Pemanfaata
Dana dari bagian laba BUMN;
(4) Keputusan Menteri Negara BUMN Nomor Kep-216/MPBUMN/1999
tentang Program Kemitraan dan Bina Lingkungan BUMN;
(5) Keputusan Menteri Negara BUMN Nomor Kep-236/MBU/2003 tentang
Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dan Program Bina
Lingkungan; dan
(6) Peraturan Menteri Negara BUMN Nomor Per-05/MBU/2007 tentang
Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dan Program Bina
Lingkungan;
Peraturan
Menteri
Negara
BUMN
Nomor
Per-05/MBU/2007
menyatakan bahwa latar belakang dibuatnya Permen itu adalah atas perintah
pasal 88 UU BUMN yang berbunyi:
Ayat (1) BUMN dapat menyisihkan sebagian laba bersihnya
untuk keperluan pembinaan usaha kecil/koperasi serta
pembinaan masyarakat sekitar BUMN.
Ayat (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyisihan dan
penggunaan laba sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diatur dengan Keputusan Menteri.
Makna yang tersirat dari Pasal tersebut adalah BUMN dapat
menyisihkan laba bersih untuk membina usaha kecil dan menengah juga
masyarakat sekitar BUMN. Jika ditarik benang merah dari peraturan
78
perundang-undangan yang mengatur tentang Program Kemitraan dan
Program Bina Lingkungan, maka tujuan program ini hampir serupa dengan
CSR tipe Corporate Philanthropy. Corporate Philanthropy adalah tindakan
perusahaan untuk memberikan kembali kepada masyarakat sebagian dari
kekayaan sebagai ungkapan terima kasih atas kontribusi masyarakat seperti
yang ditulis oleh Kakbadse dalam Rahmatullah dan Trianita Kurniati.78 Dapat
dikatakan bahwa PKBL merupakan salah satu bentuk CSR dan merupakan
turunan atau alternatif CSR.
Semua BUMN telah melakukan tanggung jawab sosial dengan
melakukan pengembangan masyarakat (community development,) namun
BUMN dituntut untuk lebih bertanggung jawab secara sosial kepada
masyarakat luas dan tidak hanya kepada masyarakat di sekitar lokasi BUMN
itu berada. Tuntutan ini berupa:
(1)Tren global yang mengharuskan perusahaan untuk
bertanggung jawab sosial kepada stakeholders secara
menyeluruh, baik konsumen, tenaga kerja, dan masyarakat
luas;
(2)Terbitnya UU BUMN dan Permeneg BUMN Nomor Per
05/MBU/2007;
(3)Kesadaran BUMN untuk betanggung jawab secara sosial
kepada seluruh stakeholder.79
PKBL dan CSR memang seirama namun CSR lebih mengujung
kepada seluruh stakeholder. Adapun PKBL hanya kepada masyarakat dan
diintepretasi kepada masyarakat di sekitar lokasi BUMN yang bersangkutan.
Pelaksanaan PKBL yang berkiblat kepada Peraturan Menteri Negara BUMN
78
79
Rahmutallah dan Trianita Kurniati, Op. Cit, Hlm 32.
Agus S, Op.Cit, Hlm 49.
79
Nomor Per-05/MBU/2007 tentang PKBL yang tidak menyentuh kepada
tenaga kerja, urusan kesempatan kerja dan hubungan pekerjaan maupun
kecelakaan dan keamanan kerja bukan domain dari PKBL. 80 Jadi, community
development dan PKBL merupakan bagian dari CSR, sehingga CSR adalah
bingkai (frame) tanggung jawab sosial perusahaan yang lebih menyeluruh.
Sedikit membahas sumber dana untuk melakukan PKBL, menurut ketentuan
Pasal 9 Permeneg BUMN ini adalah berasal dari penyisihan laba setelah
pajak maksimal sebesar 2% (dua persen). Kata kuncinya di sini adalah „laba‟,
sehingga hanya BUMN yang mendapatkan laba lah yang harus menjalankan
PKBL dan untuk BUMN yang merugi tidak harusmenjalankan PKBL, sebab
dana PKBL berasal dari laba yang didapatkan BUMN tersebut. Bagi BUMN
yang melaksanakan PKBL ini untuk posisi keuangan dari PKBL dilakukan
terpisah dengan buku tahunan dari BUMN Pembina (off balance sheet).
a. Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil
Menurut Peraturan Menteri Negara BUMN (Permeneg BUMN)
Nomor PER-05/MBU/2007 tentang Program Kemitraan BUMN dengan
Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan, Program Kemitraan
dilakukan dengan tujuan meningkatkan kemampuan usaha kecil agar
menjadi tangguh dan mandiri. Usaha kecil yang dimaksud dalam
Permeneg BUMN ini adalah kegiatan ekonomi rakyat yang berskala kecil
dan memenuhi kriteria kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan serta
80
Loc.Cit.
80
kepemilikan sebagaimana diatur dalam peraturan ini. Kriteria usaha kecil
yang terdapat dalam Pasal 3 Permeneg PKBL adalah:
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
Memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp
200.000.000,- (dua ratus juta rupiah), tidak termasuk
tanah dan bangunan tempat usaha atau memiliki hasil
penjualan tahunan paling banyak Rp 1.000.000.000,(satu milyar rupiah);
Milik Warga Negara Indonesia;
Berdiri sendiri, bukan merupakan anak perusahaan atau
cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau
berafiliasi baik langsung maupun tidak langsung dengan
Usaha Menengah atau Usaha Besar;
Berbentuk usaha orang perseorangan, badan usaha yang
tidak berbadan hukum, atau badan usaha yang berbadan
hukum, termasuk koperasi;
Mempunyai potensi dan prospek usaha untuk
dikembangkan;
Telah melakukan kegiatan usaha minimal 1 (satu) tahun
dan tidak berlaku bagi usaha kecil yang dibentuk atau
berdiri sebagai pelaksanaan program BUMN Pembina;
Belum memenuhi persyaratan perbankan (non
bankable); dan
Tidak dibentuk atau berdiri sebagai pelaksanaan program
BUMN Pembina.
Dalam menjalankan Program Kemitraan ini terdapat beberapa
pihak yang pokok yakni mitra binaan sebagai usaha kecil yang
mendapatkan pinjaman dana dari penyaluran Program Kemitraan dan
berkewajiban melaksanakan kegiatan usaha yang sesuai dengan rencana
yang telah disetujui oleh BUMN Pembina serta kemudian membayar
kembali pinjaman secara tepat waktu dan menyampaikan laporan
perkembangan usaha secara periodik kepada BUMN Pembina; BUMN
Pembina sebagai BUMN yang melaksanakan PKBL dan diwajibkan
melakukan kewajibannya yang terdapat pada Pasal 5 Permeneg BUMN
ini; dan Koordinator BUMN Pembina yang ditunjuk oleh Menteri untuk
81
mengkoordinasikan BUMN Pembina di dalam suatu provinsi tertentu yang
berkewajiban melakukan perencanaan dan pengalokasian dana Program
Kemitraan yang dilakukan oleh BUMN Pembina, memberikan informasi
kepada BUMN Pembina mengenai calon mitra binaan untuk menghindari
duplikasi pinjaman dana Program Kemitraan serta menyampaikan laporan
triwulan dan tahunan pelaksanaan PKBL di wilayahnya kepada menteri
dengan tembusan kepada BUMN Pembina di wilayahnya.
Selain bersumber dari penyisihan laba setelah pajak maksimal 2 %
(dua persen), dana Program Kemitraan juga dapat berasal dari jasa
administrasi pinjaman/marjin/bagi hasil, bunga deposito dan/atau jasa giro
dari dana Program Kemitraan setelah dikurangi beban operasional serta
pelimpahan dana Program Kemitran dari BUMN lain apabila ada. Dana
untuk besarnya anggaran dana tersebut ditetapkan oleh Menteri untuk
Perum dan RUPS untuk Persero yang kemudian dana tersebut disetorkan
ke rekening dana PKBL paling lambat 45 hari setelah penetapan. Untuk
pembukuannya dilakukan secara terpisah dari pembukuan BUMN
Pembina sama halnya dengan Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) PKBL
pun dilakukan terpisah. RKA berisi beban operasional, anggaran program
PKBL, serta proyeksi posisi keuangan, laporan aktivitas, arus kas PKBL
serta masalah bentuk Program Kemitraan yang diperintahkan dalam
Permeneg BUMN ini adalah pinjaman untuk membiayai modal kerja dan
atau pembelian aktiva tetap dan pinjaman khusus yang berjangka pendek
pengembaliannya serta pembinaan baik dengan pembiayaan pendidikan,
82
pelatihan, pemagangan, pemasaran, promosi. Pembinaan tersebut hanya
sebesar 20% dari dana Program Kemitraan yang disalurkan pada program
tahunan yang sedang berjalan. Sedikit menarik perhatian dari Permeneg
BUMN tentag PKBL ini adalah ditentukannya dua jenis cara
pinjaman/pembiayaan yang dapat dilakukan, dua cara tersebut adalah:
(1) Prinsip jual beli maka proyeksi marjin yang dihasilkan
disetarakan dengan marjin sebesar 6% (enam persen) atau
sesuai dengan penetapan Menteri.
(2) Prinsip bagi hasil maka rasio bagi hasilnya untuk BUMN
Pembina adalah mulai dari 10% (10 : 90) sampai dengan
maksimal 50% (50 : 50).
Untuk tata cara pemberian dana Program Kemitraan diatur dalam
Pasal 12 Ayat (1) Permeneg PKBL, yaitu:
a. Calon mitra binaan menyampaikan rencana penggunaan
dana pinjaman dalam rangka pegembangan usahanya untuk
diajukan kepada BUMN Pembina atau BUMN Penyalur
atau Lembaga Penyalur, dengan memuat sekurangkurangnya data sebagai berikut:
1) Nama dan alamat unit usaha;
2) Nama dan alamat pemilik/pengurus unit usaha;
3) Bukti identitas diri pemilik/pengurus;
4) Bidang Usaha;
5) Izin usaha atau surat keterangan usaha dari pihak yang
berwenang;
6) Perkembangan kinerja usaha; dan
7) Rencana usaha dan kebutuhan dana.
b. BUMN Pembina atau BUMN Penyalur atau lembaga
Penyalur melaksanakan evaluasi dan seleksi atas
permohonanyang diajukan oleh calon mitra binaan;
c. Calon mitra binaan yang layak bina, menyelesaikan proses
administrasi;
d. Pemberian pinjaman kepada calon mitra binaan dituangkan
dalam surat perjanjian/kontrak; dan
e. BUMN Pembina atau BUMN Penyalur atau Lembaga
penyalur dilarang memberikan pinjaman kepada calon Mitra
Binaan yang menjadi mitra binaan BUMN Pembina atau
BUMN Penyalur atau Lembaga Penyalur Lain.
83
Bahkan dengan kinerja progam kemitraan ini dapat menentukan
tingkat kesehatan suatu BUMN.
b. Program Bina Lingkungan
Program Bina Lingkungan baru dirumuskan dalam undang-undang
pada saat dikeluarkannya Keputusan Menteri BUMN Nomor Kep236/MBU/2003 tentang Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil
dan Program Bina Lingkungan yang disebutkan bahwa Program Bina
Lingkungan adalah program pemberdayaan kondisi sosial masyarakat oleh
BUMN di wilayah usaha BUMN tersebut melalui pemanfaatan dana dari
bagian
laba
BUMN.
Keputusan
Menteri
BUMN
Nomor
Kep-
236/MBU/2003 tentang Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil
dan Program Bina Lingkungan diperbaharui dengan Peraturan Menteri
Negara BUMN Nomor Per-05/MBU/2007 tentang Program Kemitraan
BUMN dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan, maka
Program Bina Lingkungan memang patut untuk dilakukan oleh BUMN.
Ketentuan Pasal 9 Permeneg BUMN No. Per-05 /MBU/2007 tentang
PKBL menyebutkan dana melaksanakan Program Bina Lingkungan (BL)
bersumber dari penyisihan laba setelah dikurangi pajak dan maksimal
sebesar 2% (dua persen) dan hasil bunga deposito dan atau jasa giro dari
dana Program Bina Lingkungan.
Tidak berbeda dengan dana Program Kemitraan, dana Program
Bina Lingkungan pun harus disetorkan ke rekening dana PKBL paling
lambat 45 hari kerja setelah ditetapkan oleh Menteri untuk Perum dan oleh
84
RUPS untuk Persero, sedangkan pendistribusian dana BL tersebut untuk
setiap tahunnya adalah untuk sebesar 70 % (tujuh puluh persen) dari
jumlah dana Program Bina Lingkungan disalurkan melalui Program Bina
Lingkungan BUMN Pembina dan 30 % (tiga puluh persen) nya yang
tersedia diperuntukan bagi Program Bina Lingkungan BUMN Peduli.
Dalam Permeneg PKBL, terdapat dua jenis Program Bina Lingkungan
menjadi dua yakni Program Bina Lingkungan BUMN Pembina dan
Program Bina Lingkungan BUMN Peduli. Program Bina Lingkungan
BUMN Pembina adalah Program Bina Lingkungan yang ditetapkan dan
dilaksanakan oleh BUMN Pembina di wilayah usaha BUMN yang
bersangkutan, sedangkan Program Bina Lingkungan BUMN Peduli adalah
Program Bina Lingkungan yang dilakukan secara bersama-sama antar
BUMN dan pelaksanaanya ditetapkan dan dikoordinir oleh Menteri. Untuk
Program Bina Lingkungan diberikan dalam enam bentuk sesuai dengan
ketentuan Pasal 11 Ayat (2) huruf e, yakni:
- Bantuan korban bencana alam;
- Bantuan pendidikan dan/atau pelatihan;
- Bantuan peningkatan kesehatan;
- Bantuan pengembangan prasarana dan/atau sarana umum;
- Bantuan sarana ibadah;
- Bantuan pelestarian alam.
Berbeda dengan Program Kemitraan, untuk beban operasional
Program Bina Lingkungan ditentukan maksimal sebesar maksimal 5%
(lima persen) dari dana Program Bina Lingkungan BUMN Pembina yang
disalurkan pada tahun berjalan, namun sebelum menyalurkan dana bina
lingkungan BUMN Pembina harus melakukan survai dan identifikasi
85
sesuai dengan kondisi dan kebutuhan di wilayah usaha BUMN Pembina
setempat. Setelah mengetahui permasalahan, anggaran keuangan dan
kegiatan BL yang akan dilakukan, maka dituangkan ke dalam Rencana
Kerja dan Anggaran. Setelah melakukan Program Bina Lingkungan
berdasarkan ketentuan Pasal 21 Ayat (2) Permeneg PKBL, BUMN
Pembina harus melaporkan hasilnya secara berkala yakni triwulan dan
tahunan kepada Menteri dari Direksi dengan tembusan kepada Dewan
Komisaris/Dewan Pengawas.
86
BAB III
METODE PENELITIAN
Penelitian ilmiah adalah suatu usaha untuk menemukan, mengembangkan
dan menguji kebenaran suatu pengetahuan yang dilakukan secara metodologis dan
sistematis. Metodologis berarti penelitian tersebut menggunakan metode-metode
yang bersifat ilmiah, sedangkan sistematis berarti penelitian tersebut sesuai
dengan pedoman atau aturan penelitian yang berlaku untuk karya ilmiah.81
Metode adalah alat yang digunakan untuk mencari jawaban dari suatu
permasalahan, oleh karena itu agar dapat dipercaya kebenarannya, maka suatu
penelitian ilmiah harus disusun dengan menggunakan metode yang tepat.
A. Metode Pendekatan
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis
normatif, yaitu penelitian yang mengkonsepkan hukum sebagai apa yang tertulis
dalam peraturan perundang-undangan (laws in book) atau hukum dikonsepkan
sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berperilaku manusia yang
dianggap
pantas82
dengan
pendekatan
perundang-undangan.
Pendekatan
perundang-undangan digunakan karena yang diteliti adalah berbagai aturan
81
Sutrisno Hadi, Metodologi Research, Yogyakarta, UGM Press, 1995, Hlm 4.
Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2006, Hlm 118.
82
87
hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral suatu penelitian.83 Kaitannya
dengan penelitian ini adalah berbagai aturan hukum terutama Peraturan
Perundang-undangan yang berkaitan dengan Program Kemitraan BUMN dengan
Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan sebagai Tanggung Jawab Sosial
Perusahaan sebagai fokus sekaligus tema sentral dalam penelitian. Hal ini karena
penelitian hukum dalam level dogmatik hukum atau penelitian untuk praktik
hukum tidak dapat melepaskan diri dari pendekatan perundang-undangan.84
Metode pendekatan lain yang digunakan adalah pendekatan analitis (analytical
approach). Pendekatan ini dimaksudkan untuk mengetahui makna yang
dikandung oleh istilah-istilah yang digunakan dalam peraturan perundangundangan secaa konsepsional sekaligus mengetahui penerapannya dalam
praktik.85 Dalam peneletian ini pendekatan analisis tersebut digunakan untuk
mengetahui substansi dari Peraturan Perundang-undangan penerapan mengenai
Program Kemitraan dan Bina Lingkungan dan penerapannya di PT. Bank Negara
Indonesia (Persero) Tbk Cabang Purwokerto.
B. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi penelitian memuat mengenai taraf penelitian yang dilakukan,
apakah pada taraf deskriptif ataupun pada taraf inferensial. Dalam penelitian ini
spesifikasi penelitian yang digunakan adalah deskriptif, yaitu suatu penelitian
83
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Cetakan Keempat,
Malang, Bayumedia Publishing, 2008, Hlm 302.
84
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Edisi Pertama Cetakan Ke-4, Jakarta:
Kencana, 2008, Hlm 96.
85
Nayla Alawiya, Materi Kuliah Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, Universitas
Jenderal Soedirman, Hlm 4-5.
88
yang bertujuan menggambarkan keadaan atau gejala dari obyek yang akan
diteliti.86 Kaitannya dengan penelitian ini adalah untuk menggambarkan tentang
penerapan Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dan Program Bina
Lingkungan sebagai Tanggung Jawab Sosial Perusahaan di PT. Bank Negara
Indonesia (Persero) Tbk Cabang Purwokerto.
C. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Pusat Informasi Ilmiah Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman, Unit Pelaksana Teknis Perpustakaan Universitas
Jenderal Soedirman, Perpustakan Pusat Universitas Indonesia di Depok, Media
Internet dan juga penelitian dilakukan di PT. Bank Negara Indonesia (Persero)
Tbk Puwokerto, Jl. Jend. Soedirman No. 137 Purwokerto, Banyumas, Jawa
Tengah.
D. Sumber Data
Penelitian ini menggunakan data sekunder yakni bahan hukum primer,
bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.
(1) Bahan hukum primer adalah yaitu bahan hukum yang mengikat, dan
terdiri dari norma (dasar) atau kaidah dasar, peraturan dasar, dan
peraturan perundangundangan. Bahan hukum primer yang digunakan
dalam penelitian ini adalah peraturan hukum yang merupakan sumber
86
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, Penerbit Universitas
Indonesia, 1986, Hlm 9.
89
hukum tentang PKBL sebagai tanggung jawab sosial perusahaan pada
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang dalam penelitian ini
berpusat pada Peraturan Menteri Negara BUMN Nomor Per05/MBU/2007 tentang Program Kemitraan BUMN dengan Usaha
Kecil dan Program Bina Lingkungan.
(2) Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang memberikan
informasi dan menjelaskan mengenai bahan hukum primer yang tidak
atau belum pernah diformalkan melalui proses positivisasi yang
formal sebagai hukum. Dalam penulisan ini, bahan hukum sekunder
yang digunakan berupa buku-buku teks, artikel-artikel, hasil penelitian
dan hasil karya dari kalangan hukum seperti literatur, jurnal, dan
buletin ilmiah di bidang hukum juga bahan-bahan dari situs internet
yang mengungkapkan pemikiran-pemikirannya mengenai Program
Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dan Program Bina
Lingkungan yang dilakukan oleh BUMN serta bahan hukum sekunder
mengenai Tanggung Jawab Sosial Perusahaan.
(3) Bahan hukum tersier yakni bahan hukum yang memberikan petunjuk
maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder yang
dalam penelitian ini dapat berupa berupa kamus hukum, kamus bahasa
inggris, kamus bahasa indonesia serta kamus-kamus lainnya yang
menunjang penelitian.
Selain data sekunder, sumber bahan hukum yang digunakan meliputi data primer
yakni wawancara kepada Bapak Rahadian Nur Vassa dan Bapak Oriletsa yang
90
dilakukan di PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Cabang Purwokerto guna
mendukung data sekunder serta untuk melengkapi penelitian kepustakaan.
Digunakannya data primer dalam penelitian ini adalah untuk mendukung terhadap
penelaahan data sekunder dalam penelitian ini dan tidak akan mengubah karakter
kekhasan ilmu hukum sebagai ilmu normatif.
E. Metode Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, pengumpulan data sekunder dilakukan dengan
melakukan studi kepustakaan dan studi dokumenter.87 Studi kepustakaan
dilakukan terhadap norma atau kaidah dasar dan peraturan perundang-undangan
serta literatur, jurnal dan buletin ilmiah dalam bidang hukum dan melakukan studi
dokumenter terhadap arsip-arsip dan dokumen-dokumen di PT. Bank Negara
Indonesia (Persero) Tbk Cabang Purwokerto. Penelitian ini juga melakukan
pengumpulan data primer yang dilakukan melalui wawancara Bapak Rahdian Nur
Vassa dan Bapak Oriletsa sebagai pihak yang terkait penerapan Program
Kemitraan dan Program Bina Lingkungan di PT. Bank Negara Indonesia
(Persero) Tbk Cabang Purwokerto.
F. Metode Penyajian Data
Dalam penelitian ini, data yang diperoleh disajikan dalam bentuk teks
naratif yang disusun secara sistematis sebagai satu kesatuan yang utuh. Data
87
Saryono Hanadi, Metodologi Penulisan dan Penelitian Hukum, Bahan Kuliah MPPH,
Purwokerto, Universitas Jenderal Soedirman, 2008, Hlm 9.
91
sekunder dan data primer yang dikumpulkan baik melalui studi kepustakaan
maupun melalui studi dokumen mengenai Program Kemitraaan BUMN dengan
Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan sebagai Tanggung Jawab Sosial
Perusahaan
serta
wawancara dengan terkait PT. Bank Negara Indonesia
(Persero) Tbk Cabang Purwokerto akan disajikan dalam bentuk teks naratif dan
disusun secara sistematis sebagai kesatuan yang utuh.
G. Metode Analisis Data
Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
analisis data normatif kualitatif dengan model interpretasi hukum dan model
analisa logika deduktif. Metode analisis normatif kualitatif, yaitu pembahasan
dan penjabaran yang disusun secara logis terhadap hasil penelitian terhadap
norma, kaidah, maupun teori hukum yang relevan dengan pokok permasalahan.
Sedangkan model analisis logika deduktif adalah menarik kesimpulan dari suatu
permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan yang konkret yang
dihadapi.88
88
Johnny Ibrahim, Op.Cit. Hlm. 293
92
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
1.
Data Sekunder
Berdasarkan data yang diperoleh selama penelitian dengan
melakukan studi dokumenter yang berhubungan langsung dengan materi yang
diteliti, diperoleh data sebagai berikut:
1. 1 Dasar dan acuan penerapan Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil
dan Program Bina Lingkungan di PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk
Cabang Purwokerto
Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dan Program Bina
Lingkungan di PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Cabang Purwokerto
diterapkan dengan mengikuti ketentuan Standard Operating Prosedure (SOP)
Program Kemitraan dan Program Bina Lingkungan (PKBL) yang dibuat oleh
Divisi Komunikasi Perusahaan BNI. SOP PKBL ini ditujukan kepada
segenap PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk, Kantor Wilayah, Kantor
Cabang dan Sentra Kredit Kecil (SKC). SOP PKBL dikeluarkan karena
adanya perintah Surat Keputusan Direksi BNI agar dibuat SOP PKBL.
Berdasarkan konsideran, SOP PKBL tersebut disusun mengacu
kepada Peraturan Menteri Negara BUMN Nomor PER-05/MBU2007 tanggal
27 April 2007 tentang Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dan
93
Program Bina Lingkungan serta peraturan Internal BNI. Maksud dan tujuan
dari penerapan Program Kemitraan menurut SOP PKBL yang dikeluarkan
oleh BNI adalah mendorong upaya pertumbuhan ekonomi kerakyatan serta
terciptanya pemerataan pembangunan melalui perluasan lapangan kerja,
kesempatan dan pemberdayaan masyarakat serta berpartisipasi aktif
pembinaan kepada usaha kecil berupa bantuan modal usaha, promosi produk
usaha, pendampingan mitra binaan dan pelatihan/pendidikan melalui Program
Kemitraan. SOP PKBL dipedomani dalam menerapkan PKBL di unit
operasional dan untuk hal-hal yang tidak diatur secara khusus tetap mengacu
kepada peraturan BNI yang berlaku. SOP PKBL ini mulai berlaku sejak
tanggal 29 Maret 2011.
1.2 Terminologi dalam PKBL di PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk
Cabang Purwokerto
Terminologi yang digunakan dalam penerapan PKBL di PT. Bank
Negara Indonesia (Persero) Tbk Cabang Purwokerto bersumber dari Standard
Operating Prosedure (SOP) Program Kemitraan dan Bina Lingkungan. SOP
PKBL ditujukan kepada segenap Kantor Wilayah, Kantor Cabang dan SKC
Purwokerto, sehingga SOP PKBL ini berlaku di BNI Kantor Cabang
Purwokerto dan Sentra Kredit Kecil (SKC) Purwokerto. SOP ini dibuat
dengan tujuan menindak lanjuti program pemerintah melalui Kementerian
Negara BUMN dalam hal kewajiban Persero BUMN melaksanakan PKBL,
juga dalam upaya mendorong pertumbuhan ekonomi kerakyatan serta
terciptanya pemerataan pembangunan melalui perluasan lapangan kerja,
94
kesempatan berusaha dan pemberdayaan masyarakat. Dalam SOP PKBL
disebutkan terminologi yang dipakai dalam penerapan PKBL di PT. Bank
Negara Indonesia (Persero) Tbk dan Sentra Kredit Kecil (SKC) Cabang
Purwokerto, yaitu:
1.
Standard Operating Procedure (SOP) adalah sistem dan prosedur
pelaksanaan PKBL yang berlaku di PT. Bank Negara Indonesia
(Persero) Tbk.
2.
Badan Usaha Milik Negara, yang selanjutnya disebut BUMN adalah
badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh
Negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan
Negara yang dipisahkan.
3.
Menteri adalah Menteri Badan Usaha Milik Negara.
4.
Perusahaan adalah PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk.
5.
Kantor Besar adalah Kantor Pusat PT. Bank Negara Indonesia (Persero)
Tbk.
6.
Kantor Cabang adalah Kantor Cabang dan atau Sentra Kredit Kecil dan
atau Cabang Stand Alone (STA) PT. Bank Negara Indonesia (Persero)
Tbk.
7.
Direktur Utama adalah Direktur Utama PT. Bank Negara Indonesia
(Persero) Tbk dan bertindak sekaligus sebagai pembina PKBL PT.
Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk.
8.
Direksi adalah Direksi PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk.
95
9.
Usaha Kecil adalah kegiatan ekonomi rakyat yang berskala kecil/usaha
perorangan atau badan usaha yang telah melakukan kegiatan usaha
yang memiliki hasil penjualan tahunan setinggi-tingginya Rp.
1.000.000.000,- (satu milyar rupiah) atau memiliki kekayaan bersih
setinggi-tingginya Rp. 200.000.000 (dua ratus juta) tidak termasuk
tanah dan bangunan tempat usaha.
10. PKBL adalah Program Kemitraan dan Bina Lingkungan.
11. Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil, yang selanjutnya
disebut Program Kemitraan adalah Program untuk meningkatkan
kemampuan usaha kecil agar menjadi tangguh dan mandiri melalui
pemanfaatam dana dari bagian laba perusahaan yang telah disetujui
oleh Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).
12. Program Bina Lingkungan, yang selanjutnya disebut Program Bina
Lingkungan adalah program pemberdayaan kondisi kesejahteraan sosial
masyarakat di wilayah usaha PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk
melalui pemanfaatan bagian laba perusahaan yang telah disetujui Rapat
Umum Pemegang Saham (RUPS).
13. Program Bina Lingkungan BUMN Peduli adalah Program Bina
Lingkungan yang dilakukan secara bersama-sama antar BUMN dan
pelaksanaannya ditetapkan oleh Menteri.
14. Mitra Binaan adalah Pelaku usaha kecil (usaha mikro, kecil dan
koperasi) yang mendapatkan fasilitas pinjaman dari dana Program
Kemitraan PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk.
96
15. BUMN Pembina adalah BUMN yang melaksanakan Program
Kemitraan dan Program Bina Lingkungan.
16. Koordinator BUMN Pembina adalah BUMN yang ditunjuk oleh
Menteri untuk mengkoordinasikan BUMN Pembina di dalam suatu
propinsi tertentu.
17. BUMN Penyalur adalah BUMN yang menyalurkan Dana Program
Kemitraan milik BUMN Pembina lain berdasarkan Perjanjuan
Kerjasama Penyalur.
18. Lembaga Penyalur adalah badan usaha selain BUMN atau lembaga
bukan badan usaha yang melakukan kerjasama dengan BUMN Pembina
dalam menyalurkan pinjaman Dana Program Kemitraan berdasarkan
Perjanjian Kerjasama Penyalur.
19. Kredit Kemitraan BUMN di PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk
adalah pelaksanaan Program Kemitraan di PT. Bank Negara Indonesia
(Persero) Tbk.
20. Pinjaman Khusus adalah pinjaman kepada mitra binaan untuk
membiayai kebutuhan dana pelaksanaan kegiatan usaha Mitra Binaan
yang bersifat jangka pendek dalam rangka memenuhi pesanan dari
rekanan mitra binaan untuk usaha produktif.
21. Beban Pembinaan adalah beban biaya kegiatan bimbingan dana
pendampingan untuk menumbuhkan dan meningkatkan kemampuan
mitra binaan.
97
22. Beban Operasional adalah beban biaya pelaksanaan operasional yang
berhubungan dengan kegiatan PKBL.
23. Koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang atau badan
hukum yang melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi
sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasarkan atas azas
kekeluargaan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 25
Tahun 1992 tentang Perkoperasian.
24. Lembaga
Pendamping
adalah
merupakan
instansi/institusi
/lembaga/perusahaan/yayasan/koperasi yang mempunyai fungsi sebagai
pembina, pendampin, rekomendasi dan konsultasi Program BL.
25. Kelompok PKBL adalah unit khusus di dalam Divisi Komunikasi
Perusahaan dan Kesekretariatan PT. Bank Negara Indonesia (Persero)
Tbk yang mengelola dana Program Kemitraan maupun Progran Bina
Lingkungan.
26. Capacity Building adalah pendidikan dan pelatihan untuk meningkatkan
kemampuan mitra binaan dalam bidang administrasi, kualitas produk
dan pemasaran. Capacity Building juga digunakan untuk meningkatkan
kemampuan petugas PKBL di PT. Bank Negara Indonesia (Persero)
Tbk.
27. Kampoeng BNI adalah program unggulan PKBL PT. Bank Negara
Indonesia (Persero) Tbk untuk pemberdayaan masyarakat dan
lingkungan sosialnya dalam suatu kawasan (cluster).
98
28. Kualitas Pinjaman Kredit BNI Mitra Binaan adalah suatu status kondisi
pinjaman mitra binaan yang terdiri dari pinjaman lancar, pinjaman
kurang lancar, pinjaman diragukan dan pinjaman macet.
29. Kualitas Pinjaman Kredit BNI adalah status kondisi portepel pinjaman
pada BNI yang terdiri dari pinjaman lancar, pinjaman dengan perhatian
khusus, pinjaman kurang lancar, pinjaman diragukan dan pinjaman
macet.
30. Pemulihan Pinjaman adalah usaha untuk memperbaiki kualitas
pinjaman kurang lancar, pinjaman diragukan dan pinjaman macet agar
menjadi lebih baik kategorinya.
31. Dropping Dana adalah proses alokasi dana PKBL dari KMP kepada
unit opersional.
32. Pengembalian dropping adalah pengembalian sisa dropping dana
kemitraan yang masih tersisa di unit operasional ke giro KMP.
1.3 Divisi yang terlibat dalam PKBL di PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk
Ada tujuh divisi yang terlibat dalam penerapan PKBL di PT. Bank Negara
Indonesia (Persero) Tbk dan berlaku di semua unit BNI di seluruh Indonesia,
berikut divisi yang terlibat dalam penerapan PKBL tersebut:
(1) Divisi Komunikasi Perusahaan & Kesekretariatan (KMP)
Divisi KMP berperan sebagai yang melakukan seleksi, penilaian dan
persetujuan atas usulan maupun proposal yang masuk dari unit
operasional dan pihak eksternal; melakukan dropping dana PKBL ke unit
99
operasional; melakukan promosi dan publikasi terkait PKBL; melakukan
sinergi dengan BUMN lain maupun instansi lain dalam terhadap
penyaluran PKBL; melakukan kerjasama dengan instansi sebagai
lembaga penyalur maupun lembaga pendamping untuk membantu
kegiatan PKBL lainnya; melakukan perencanaan, pengelolaan serta
monitoring PKBL secara berkesinambungan dengan melibatkan unit
yang ada di PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk maupun pihak
eksternal; melaksanakan fungsi akuntansi, administrasi dan pelaporan
kegiatan PKBL; menyusun dan memperbaiki juklak PKBL bersama unit
terkait.
(2) Divisi Usaha Kecil (USK)
Divisi USK berperan mengatur memutus kredit untuk Program
Kemitraan; menunjuk PIC PKBL di SKC; dan menetapkan target
Program Kemitraan bersama KMP.
(3) Divisi Jaringan dan Layanan (JAL)
Divisi JAL berperan mengatur kewenangan memutus kredit untuk
Program Kemitraan dan menunjuk PIC PKBL di STA.
(4) Divisi Pengendalian Keuangan (PKU)
(5) Divisi Teknologi (TEK)
(6) Kantor Wilayah.
Kantor wilayah berwenang memberikan usulan kegiatan terkait
PKBL di wilayah kerjanya; menyampaikan rencana kerja dan anggaran
terkait PKBL di wilayah kerjanya; mendukung PKBL KMP saat
100
melaksanakan tugas di wilayah kerjanya; melakukan monitoring tethadap
semua pelaksanaan kegiatan PKBL termasuk Kampoeng BNI yang
berada
di wilayah kerjanya; mengkoordinasikan seluruh permintaan
Program Bina Lingkungan dari unit operasional di wilayah kerjanya dan
menyampaikan ke KMP; menunjuk PIC PKBL di kantor wilayah;
menyampaikan laporan kinerja dan aktivitas PKBL di wilayah kerjanya
kepada KMP.
(7) Unit Operasional (Divisi/Unit/Kantor Cabang/SKC/STA)
Unit Operasional bertugas menerima dan mempertanggungjawabkan
dana PKBL sesuai ketentuan yang berlaku; melakukan penyaluran kredit
kemitraan melalui analisa kredit kemitraan sesuai ketentuan yang berlaku;
menerima, melakukan proses dan memutus kredit kemitraan sesuai dengan
matrik kewenangan kredit yang berlaku; mengelola dan memanfaatkan
alokasi jasa administrasi kredit kemitraan di unitnya sesuai ketentuan
terlampir tentang beban operasional; melakukan identifikasi, perencanaan
dan pengembangan Kampoeng BNI sesuai dengan produk unggulan
daerahnya; berperan aktif dalam melakukan kegiatan Bina Lingkungan
(sosial) di sekitarnya dengan tujuan pemberdayaan masyarakat untuk
meningkatkan citra positif BNI; melaporkan kinerja dan aktivitas terkait
PKBL kepada kantor wilayah; menjaga kualitas dan monitoring kredit
kemitraan kepada mitra binaan.
101
1.4 Ketentuan dan penerapan Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil di
PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Cabang Purwokerto
Dalam penerapan Program Kemitraan PT. Bank Negara Indonesia
(Persero) Tbk Cabang Purwokerto menamakan program tersebut menjadi
Kredit Kemitraan BUMN atau yang selanjutnya dalam Skripsi ini disebut
dengan KKB. Untuk Program Kemitraan dilaksanakan oleh Sentra Kredit
Kecil (SKC) Purwokerto. Dilaksanakannya Program Kemitraan oleh SKC
Purwokerto karena SKC Purwokerto merupakan salah satu unit di Bank
Negara Indonesia yang melaksanakan penyaluran kredit untuk usaha kecil.
Tidak dilaksanakannya Program Kemitraan ini oleh PT. Bank Negara
Indonesia (Persero) Tbk Cabang Purwokerto karena Kantor Cabang hanya
melayani untuk kredit konsumtif. Dalam menerapkan Program Kemitraan di
tiap unit operasional dituangkan dalam Rencana Kerja dan Anggaran (RKA)
yang mana RKA ini bersumber dari program kerja PKBL Divisi KMP dan
unit operasional bersangkutan yang dalam hal ini diajukan oleh SKC
Purwokerto.
SKC
Purwokerto
menyampaikan
usulan
dana
untuk
melaksanakan Program Kemitraan kepada Divisi KMP. Nantinya RKA
tersebut diteruskan oleh Perusahaan ke Menteri Negara BUMN dengan
tembusan kepada Komisaris/Dewan Pengawas yang jika disetujui berlaku
selama satu tahun anggaran berjalan. Dana dalam pengadaan kredit ini
bersumber dari penyisihan laba perusahaan setelah pajak maksimal sebesar
2% (dua persen) dan ditetapkan dalam RUPS, yang untuk tahun 2012 berjalan
102
ini SKC Purwokerto mendapatkan dropping dana sebesar Rp. 1.
000.000.000,- (satu milyar rupiah).
Dana
yang didapat SKC Purwokerto tersebut merupakan dana
bergulir Program Kemitraan pada periode sebelumnya yakni sebelum tahun
2011. Jadi setelah dana Program Kemitraan pada periode sebelum tahun 2011
disalurkan dan telah bergulir, maka SKC pun mempertanggung jawabkan dan
mengembalikan dana tersebut kepada Divisi KMP. Pertanggung jawaban
dana tersebut menjadi pertimbangan Divisi KMP untuk menyetujui usulan
RKA pada periode tahun berikutnya kepada tiap unit operasional yang dalam
hal ini adalah SKC Purwokerto. Pada periode 2012 ini Divisi KMP
menyetujui untuk dana yang disalurkan oleh SKC Purwokerto sebesar Rp.
1.000.000.000
(satu
milyar
rupiah).
Dropping
dana
sebesar
Rp.
1.000.000.000 (satu milyar rupiah) didistribusikan oleh SKC Purwokerto
kepada Unit Kredit Kecil (UKC) yang berada dibawah naungan SKC
Purwokerto. UKC yang berada di bawah naungan SKC Purwokerto ada tiga,
yakni:
a. Unit Kredit Kecil (UKC) Cilacap
b. Unit Kredit Kecil (UKC) Purbalingga
c. Unit Kredit Kecil (UKC) Kebumen
Dana tersebut didistribusikan berdasarkan potensi pembiayaan masingmasing UKC yang tiap Sentra Kredit Kecil dan Unit Kredit Kecil
mendapatkan dana masing-masing sebesar Rp. 250.000.000,- (dua ratus lima
103
puluh juta rupiah). Dana ini lah yang harus dikelola oleh tiap SKC dan UKC
dalam tahun 2012.
Dana tersebut dapat dikelola dengan memberikan Kredit Kemitraan yang
berupa:
a. Pinjaman kepada usaha kecil untuk membiayai modal kerja dengan jangka
waktu pinjaman maksimal 36 bulan termasuk grace period satu tahun.
Maksimum kredit ini adalah sampai Rp. 100.000.000,- (seratus juta
rupiah) dengan tingkat bunga 6% (enam persen) flat pertahun. Kredit ini
biasanya disebut dengan Kredit Modal Kerja (KMK);
b. Pinjaman kepada usaha kecil untuk pembelian aktiva tetap (investasi)
dalam rangka meningkatkan produksi dan penjualan yang dapat diberikan
dalam bentuk dana/uang atau berupa barang/fisik. Jangka waktu pinjaman
kredit ini adalah maksimal lima tahun termasuk grace period satu tahun.
Maksimum kredit ini adalah sampai Rp. 100.000.000,- (seratus juta
rupiah) dengan tingkat bunga 6% (enam persen) flat pertahun. Kredit ini
biasanya disebut dengan Kredit Investasi (KI); atau
c. Pinjaman
khusus,
digunakan
untuk
membiayai
kebutuhan
dana
pelaksanaan kegiatan usaha mitra binaan yang bersifat jangka pendek
dalam rangka memenuhi pesanan dari rekanan usaha mitra binaan dengan
jangka waktu pinjaman maksimum satu tahun, dengan maksimum kredit
yang dapat diberikan sampai dengan Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta
rupiah) dengan total keseluruhan kredit tidak melebihi Rp. 100.000.000,(seratus juta rupiah).
104
Berdasarkan SOP PKBL, kriteria usaha kecil yang dapat ikut serta
dalam Program Kemitraan ini adalah:
a. Pelaku usaha kecil yang mempunyai kekayaan bersih maksimal sebesar
Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) diluar tanah dan bangunan
tempat usaha atau memiliki hasil penjualan dalam satu tahun maksimal
sebesar Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah) atau mengikuti ketentuan
Kementerian BUMN yang sedang berlaku.
b. Milik warga negara Indonesia.
c. Berdiri sendiri, bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan
yang dimiliki, dikuasai, atau berafiliasi baik langsung maupun tidak
langsung dengan usaha menengah atau usaha besar.
d. Telah melakukan kegiatan usaha minimal satu tahun.
e. Usaha feasible namun belum bankable.
f. Tidak sedang dibina oleh BUMN lain dan/atau fasilitas kredit produktif
lainnya.
g. Berbentuk usaha perorangan, badan usaha tidak berbadan hukum atau
badan usaha yang berbadan hukum, termasuk koperasi.
h. Mengajukan permohonan pinjaman dengan melampirkan:
- Mengisi aplikasi permohonan.
- Pas foto terbaru suami/istri/penangungjawab berikutnya masing-masing
satu lembar, jika sudah menikah.
- Foto copy (KTP) suami/istri yang masih berlaku, jika sudah menikah.
- Foto copy Kartu Keluarga.
105
i. Keterangan berusaha dari Kepala Desa/Kelurahan, Kecamatan, Dinas
Pasar atau Otorita setempat di mana Mitra Binaan berusaha.
j. Khusus pinjaman Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) sampai dengan
Rp. 100.000.000,- persyaratan dokumen mengikuti ketentuan perkreditan
BNI yang berlaku.
Untuk KKB sebesar Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) tidak
dipersyaratkan untuk adanya jaminan tambahan (second way out). Maksimum
kredit dari Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) sampai dengan Rp. 30.
000.000,- (tiga puluh juta rupiah) dipersyaratkan adanya jaminan tambahan
alternatif berupa asli ijazah, asli akta kelahiran anak, asli SK pengangkatan
pegawai negeri dan SK terakhir, kartu jamsostek dan atau jaminan kendaraan
roda dua. Pinjaman dari Rp. 30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah) sampai
dengan Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dipersyaratkan minimal
adanya agunan yang tidak dapat diikat secara sempurna, seperti halnya tanah
dengan status kepemilikan girik, petuk, letter c, surat hijau dan atau jaminan
kendaraan roda empat. Pinjaman sebesar Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta
rupiah) sampai dengan Rp. 100.000.000 (seratus juta rupiah) dipersyaratkan
adanya agunan yang dapat diikat secara sempurna, seperti halnya tanah
dengan status kepemilikan berupa sertifikat.
Sejak dikeluarkannya Standard Operating Procedure (SOP) untuk
melaksanakan PKBL yang mulai berlaku sejak tanggal 29 Maret 2011, SKC
Purwokerto dan UKC dibawah naungan SKC Purwokerto telah memberikan
Kredit Kemitraan BUMN (KKB) kepada dua belas mitra binaan/nasabah,
106
sepuluh orang diantaranya diberikan Kredit Modal Kerja (KMK) dan dua
diantaranya diberikan Kredit Investasi (KI). Jangka waktu yang diberikan
kepada tiap dua belas mitra/nasabah dalam KKB ini adalah selama 36 bulan
atau tiga tahun. Jenis usaha para mitra binaan delapan orang dari dua belas
orang merupakan pedagang eceran komoditi lainnya (bukan makanan,
minuman, atau tembakau), dua orang dengan usaha restoran/rumah makan,
satu orang jasa akomodasi lainnya dan satu orang lagi jasa kegiatan lainnya.
Tiap mitra dikenakan bunga kredit sebesar 6 % (enam persen) per tahun
dengan biaya administrasi dan provisi sebesar Rp. 0,- (nol rupiah). Untuk
penyaluran dana KKB ini disahkan dan dituangkan dalam bentuk perjanjian
tertulis yang pada pokoknya berisi mengenai hal-hal:
(1) Identitas para pihak;
(2) Besaran maksimum kredit;
(3) Tujuan kredit;
(4) Suku bunga kredit;
(5) Jangka waktu kredit;
(6) Penarikan kredit dan biaya administrasi;
(7) Jaminan atas kredit;
(8) Asuransi barang-barang jaminan; dan
(9) Hal-hal yang dilarang dalam perjanjian kredit.
Selain perjanjian kredit yang menjadi perjanjian pokok, disertai pula
perjanjian tambahan guna menjamin kredit yang diberikan kepada mitra
binaan. Menurut SOP PKBL BNI, setiap mitra binaan harus dipantau
107
perkembangan usahanya yang dilakukan dari penyaluran sampai dengan
pelunasan
pinjaman.
Monitoring
atau
pemantauan
dan
pembinaan
perkembangan usaha mitra binaan dapat dilaksanakan sebagai berikut:
a. Monitoring perkembangan usaha berdasarkan peninjauan lapangan oleh
unit operasional mitra binaan minimal satu kali selama setahun.
b. Melakukan evaluasi kepada mitra binaan terkait perkembangan usaha yang
selanjutnya dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan keikutsertaan
dalam pameran pengembangan Kampoeng BNI.
Dalam penyaluran dana Program Kemitraan ini tidak menutup
kemungkinan adanya kredit macet atau pinjaman bermasalah. Pinjaman
bermasalah yang dapat dipulihkan adalah piutang yang kurang lancar,
diragukan dan macet. Penanganan terhadap kredit yang bermasalah tersebut
dapat berupa penjadualan kembali
(rescheduling) atau penyesuaian
persyaratan (reconditioning), kedua hal tersebut dapat dilakukan jika:
(1)
Mitra binaan beritikad baik atau kooperatif terhadap upaya
penyelamatan yang akan dilakukan.
(2)
Usaha mitra binaan masih berjalan dan mempunyai prospek usaha.
(3)
Mitra binaan masih mempunyai kemampuan untuk membayar
angsuran.
(4)
Tindakan rescheduling/reconditioning dilaksanakan setelah mendapat
permintaan tertulis dari mitra binaan.
108
(5)
Pelaksanaan rescheduling/reconditioning dapat dilakukan oleh unit
operasional dengan jangka waktu maksimum satu tahun, serta
dilaporkan kepada KMP.
Dalam KKB tidak diperbolehkan adanya penghapus bukuan terhadap piutang
bermasalah milik PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk.
Dropping dana sebesar Rp. 1.000.000.000 (satu milyar rupiah)
tersebut untuk tahun berjalan ini belum dapat disalurkan semuanya oleh SKC
Purwokerto yang terbagi kepada UKC dan SKC yang ada untuk unit
operasionalnya. Dana yang sudah disalurkan kepada usaha kecil adalah
sebesar Rp.530.000.000,- (lima ratus tiga puluh juta rupiah). Mitra
binaan/nasabah yang menerima penyaluran dana Program Kemitraan dari
SKC Purwokerto terhitung mulai bulan Desember 2012 semuanya jatuh
tempo pelunasan pada 36 bulan berikutnya yakni pada bulan Desember 2014.
Proses KKB mengacu kepada proses perkreditan di unit operasional, sehingga
proses perkreditan mengacu kepada tata cara pengajuan kredit di PT. Bank
Negara Indonesia (Persero) Tbk yang dilakukan oleh SKC Purwokerto. Untuk
pelaporan Program Kemitraan yang telah dilakukan ditiap unit operasional
dalam hal ini SKC Purwokerto melaporkan kepada Divisi KMP paling lambat
tanggal sepuluh pada bulan berikutnya berupa hard copy dan soft copy.
Laporan dari unit operasional dalam hal ini SKC Purwokerto disebut laporan
internal, selain laporan internal ada laporan eksternal berupa laporan triwulan
dan laporan tahunan. Laporan eksternal tersebut disampaikan oleh perusahaan
kepada Menteri Negara BUMN dan tembusannya kepada Dewan Komisaris.
109
Laporan Program Kemitraan ini berisi posisi keuangan dana Program
Kemitraan yang telah dilaksanakan di SKC Purwokerto. Laporan PKBL
merupakan laporan yang bersifat off-balance sheet, sehingga laporan ini tidak
masuk ke dalam neraca atau laporan keuangan BNI karena dibuat terpisah
dari laporan keuangan BNI.
1.5 Ketentuan dan penerapan Program Bina Lingkungan di PT. Bank Negara
Indonesia (Persero) Tbk Cabang Purwokerto
Program Bina Lingkungan yang dilakukan oleh PT. Bank Negara
Indonesia (Persero) Tbk Cabang Purwokerto dilakukan di sekitar wilayah
operasional perusahaan, wilayah operasional PT. Bank Negara Indonesia
(Persero)
Tbk
Cabang
Purwokerto
meliputi
sembilan
daerah
mengoperasionalkannya melalui cakupan wilayah operasionalnya, yakni:
(1) Kantor Layanan Unsoed;
(2) Kantor Layanan Pasar Wage;
(3) Kantor Layanan Wangon;
(4) Kantor Layanan Bumiayu;
(5) Kantor Layanan Sokaraja;
(6) Kantor Layanan Purbalingga;
(7) Kantor Layanan Banjarnegara;
(8) Kantor Layanan Bobotsari; dan
dan
110
(9) Kantor Kas Ajibarang.
Berbeda dengan Program Kemitraan, untuk Program Bina Lingkungan
dilaksanakan oleh PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Cabang
Purwokerto. Berdasarkan SOP PKBL, ruang lingkup bentuk Program Bina
Lingkungan di PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Cabang Purwokerto
meliputi:
a. Bantuan kepada korban bencana alam, yaitu bantuan yang diberikan untuk
meringankan beban para korban yang diakibatkan bencana alam (force
majeur);
b. Bantuan pendidikan dan atau pelatihan, yaitu bantuan yang diberikan
dalam rangka meningkatkan kualitas sumber daya manusia;
c. Bantuan peningkatan kesehatan, yaitu bantuan yang diberikan dalam
rangka meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat;
d. Bantuan pengembangan prasarana dan sarana umum, yaitu bantuan yang
diberikan dalam rangka meningkatkan fasilitas kesejahteraan masyarakat;
e. Bantuan sarana ibadah, yaitu bantuan yang diberikan dalam rangka
meningkatkan kualitas keimanan masyarakat; dan
f. Bantuan pelestarian alam yaitu bantuan yang diberikan dalam rangka
meningkatkan kualitas lingkungan.
111
Untuk pendistribusian dana Bina Lingkungan dari wilayah kepada unit
(dalam hal ini Kantor Semarang kepada Kantor Purwokerto) ditetapkan oleh
BNI Kantor Wilayah Semarang. BNI Kantor Wilayah Semarang mengajukan
RKA atau usulan tersebut kepada Divisi KMP dengan format tertentu yang
telah ditentukan oleh Divisi KMP yang memuat data pemohon, data
permohonan dan analisa dari BNI Kantor Cabang Purwokerto dan BNI
Kantor Wilayah Semarang mengenai permohonan dana bina lingkungan. BNI
juga menetapkan hal-hal yang tidak boleh dilakukan dalam menerapkan
Program Bina Lingkungan ini.
Dalam penerapan Program Bina Lingkungan ini, Divisi KMP
mengkoordinir usulan Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) Program Bina
Lingkungan dari Kantor Wilayah berdasarkan masukan dari unit operasional
dan usulan atau permohonan Program Bina Lingkungan insidentil dari pihak
internal dan eksternal perusahaan juga dikelola oleh Divisi KMP. Divisi KMP
bertugas mengkoordinir segala kegiatan Perusahaan agar tidak terjadi
tumpang tindih dan memaksimalkan program-program di perusahaan yang
salah satunya adalah Program Bina Lingkungan .
Penerapan
Program
Bina
Lingkungan
dimulai
dari
adanya
permohonan atau usulan/proposal dari pemohon atau unit operasional yang
dalam hal ini adalah PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Cabang
Purwokerto diajukan ke Kantor Wilayah dan diteruskan ke Kantor Besar.
Ketika di Kantor besar, proposal tersebut diperiksa dan diproses oleh Divisi
112
KMP, dalam memproses proposal tersebut ada patokan/indikator penilaian
yang harus diikuti, berikut proses dan indikatornya:
(1) Analisa dokumen, yang dilakukan untuk mengetahui pemohon, lokasi
atau tempat diselanggarakan, jenis/bentuk bantuan yang diminta, jumlah
kebutuhan, relevansi dengan program PKBL, frekuensi bantuan, rencana
kerja, waktu pelaksanaan.
(2) Survey lapangan (bila diperlukan), yang dilakukan untuk mengetahui
kelayakan permohonan, menambah fakta lapangan yang belum tertuang
dalam proposal, memastikan lokasi/tempat yang akan dibantu, menilai
jenis bantuan yang dibutuhkan (tunai atau natura).
(3) Menyampaikan usulan dari hasil evaluasi administrasi dan survey
lapangan yang berisikan antara lain latar belakang usulan, dasar
pertimbangan berdasarkan informasi yang diperoleh saat evaluasi dan
ketentuan yang berlaku, rekomendasi penolakan atau persetujuan.
(4) Menyampaikan surat penolakan atau persetujuan kepada pemohon atau
unit operasional.
Setelah proposal disetujui, maka dana dapat dicairkan dan dialokasikan
kepada BNI Kantor Cabang Purwokerto.
Setelah dana Program Bina Lingkungan cair, maka pihak yang
bersangkutan dalam hal ini unit operasional (BNI Cabang Purwokerto) dan
tempat dan masyarakat penerima dana Program Bina Lingkungan
113
melaksanakan Program Bina Lingkungan. Bukti pemanfaatan dana Program
Bina
Lingkungan
oleh
BNI
Kantor
Cabang
Purwokerto
perlu
diadministrasikan dan disimpan oleh unit operasional. Laporan Program Bina
Lingkungan terbagi menjadi dua yakni laporan eksternal dan laporan internal.
Laporan eksternal disampaikan oleh Perusahaan kepada Menteri Negara
BUMN dengan tembusan kepada Dewan Komisaris yang terdiri dari laporan
triwulan dan laporan tahunan, sedangkan laporan internal dilakukan oleh unit
operasional dalam hal ini BNI Kantor Cabang Purwokerto kepada BNI
Kantor Wilayah Semarang yang kemudian diteruskan kepada Divisi KMP
guna mengkoordinasikan laporan-laporan pelaksanaan program. Laporan
penyaluran dana Program Bina Lingkungan memuat realisasi anggaran
program dan berita acara program, laporan langsung dibuat setiap kali sebuah
acara (even) selesai diselenggarakan dan disampaikan kepada BNI Kantor
Wilayah Semarang.
Berdasarkan laporan kegiatan Program Bina Lingkungan pada Tahun
2012 BNI Purwokerto, BNI Kantor Cabang Purwokerto telah melakukan
empat bentuk Program Bina Lingkungan, yaitu:
1.
Pemberian Beasiswa dan renovasi Gedung Sekolah
Pemberian beasiswa ini diberikan kepada lima murid Sekolah Dasar
dan lima murid Sekolah Menengah Pertama. Murid Sekolah Dasar yang
menerima beasiswa berasal dari SD 3 Karang Pucung, SDN 2
Sokanegara, SDN 2 Dawuhan, SDN 4 Karang Tengah yang masing-
114
masing menerima uang tunai sebesar Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah).
Untuk murid Sekolah Menengah Pertama yang menerima beasiswa
berasal dari SMPN 1 Sokanegara, SMPN 1 Purwokerto, SMPN 5
Purwokerto, SMPN 1 Sumpiuh dan SMPN 4 Banyumas yang masingmasing menerima uang tunai sebesar Rp. 1.500.000,- (satu juta lima
ratus ribu rupiah). Renovasi gedung sekolah diberikan kepada SDN 4
Karang Tengah dengan memberikan uang tunai sebesar Rp.
25.000.000,- (dua puluh lima juta rupiah). Besarnya dana bina
lingkungan dalam bentuk pemberian beasiswa dan renovasi gedung
sekolah ini adalah sebesar Rp. 37.500.000,- (tiga puluh juta lima ratus
ribu rupiah). Acara ini dilaksanakan pada tanggal 7 Juli 2012 dalam
rangka peringatan Ulang Tahun Bank Negara Indonesia yang
diperingati setiap tahun pada tanggal 5 Juli.
2.
Pembangunan lingkungan melalui distribusi air bersih
Bina lingkungan dengan distribusi air bersih dilaksanakan di daerah
Sokaraja tepatnya di Desa Pekaja pada tanggal 27 September 2012.
Untuk Program Bina Lingkungan yang satu ini bekerja sama dengan
Badan Penanggulan Bencana Daerah (BPBD) Banyumas. Pada program
ini BNI Purwokerto menyumbangkan dana sebesar Rp. 1.500.000,00
(satu juta lima ratus ribu rupiah) untuk membeli air bersih sebanyak
sepuluh tangki air yang dapat digunakan di Desa Pekaja, Sokaraja.
115
3.
Pembagian Al Qur‟an
Pembagian 100 (seratus) buah Al Qur‟an dilaksanakan di sepuluh
Masjid/Mushola yang ada di Purwokerto. Dana bina lingkungan yang
diberikan dalam bentuk Pembagian Al Qur‟an ini adalah sebesar Rp.
5.000.000,- (lima juta rupiah). Berikut masjid/mushola yang mendapat
pembagian 100 buah Al Qur‟an: Al Furqon Grendeng, As Shobiri Pasar
Cermai, Mina Dukuh Badong, Nurul Ulum Jl HR Bunyamin, Al Azhar
Bancar Kembar, Al Firdaus Pabuaran, Al Hidayah Grendeng, Baitul
Dhufron Grendeng, Al Haq Bancar Kembar, dan Al Mukminun
Karangwangkal. Pembagian Al Qur‟an tersebut dilaksanakan pada 4
Agustus 2012.
4.
Penyerahan hewan kurban
Penyerahan kurban ini dilakukan pada saat hari raya Idul Adha pada
tanggal 26 Oktober 2012. Kurban yang diserahkan berupa satu ekor
sapi yang diberikan kepada Masjid Nurul Ulum. Dana bina lingkungan
yang disalurkan dalam bentuk penyerahan kurban adalah sebesar Rp.
11.000.000,- (sebelas juta rupiah).
116
2. Data Primer
2.1
Proses Pengajuan dan Penyaluran Kredit Kemitraan BUMN (KKB) di
Sentra Kredit Kecil (SKC) Purwokerto
Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Rahadian Nur Vassa
sebagai Penyelia Pemasaran Kredit di
SKC Purwokerto, sebagai data
pendukung didapat data mengenai proses pengajuan dan penyaluran Kredit
Kemitraan BUMN (KKB) yang dilakukan oleh SKC Purwokerto.
Tahapan dalam
penyaluran KKB ini adalah pertama, pengajuan
KKB dapat dilakukan secara langsung oleh pribadi/orang-perorangan
ataupun melalui lembaga/instansi yang memiliki mitra binaan dengan
melengkapi persyaratan untuk KKB, yakni:
(1)
Foto copy KTP suami/istri;
(2)
Foto copy jaminan;
(3)
Laporan keuangan usaha; dan
(4)
Legalitas pendirian usaha.
Setelah persyaratan dilengkapi barulah memasuki tahapan kedua, yakni
survey dan verifikasi awal. Pihak SKC yang diwakili oleh credit analist
melakukan survey dan verifikasi awal mengenai data-data yang disampaikan
calon mitra binaan agar dapat dikaji kelayakan pemberian penyaluran dana
KKB. Jumlah credit analist di SKC Purwokerto adalah satu orang yaitu Ibu
Esti di bawah kepenyeliaan Ibu Ester. Pada tahapan ini seorang credit
analist melihat kecocokan data-data yang disampaikan calon mitra binaan
117
dengan fakta di lapangan. Tahapan yang ketiga adalah analisa data, tujuan
dilakukannya tahapan ini adalah untuk mengetahui dapat atau tidaknya
calon mitra binaan diberikan/disalurkan dana KKB dan jika diberikan kredit
apakah calon mitra binaan dapat mengembalikan dana yang telah diberikan
dengan tepat waktu. Tahapan ini dilakukan dengan menganalisa tentang
kemampuan membayar (repayment capacity) mitra binaan/nasabah yang
dapat dilihat dari progres dan keadaan tiga tahun ke belakang usaha calon
mitra binaan. Dalam tahap ketiga ini, apabila hasil analisa data ini
menyatakan bahwa usulan calon mitra binaan disetujui, maka dituangkan ke
dalam Memorandum Pengusulan Kredit (MPK) dan diserahkan kepada
wakil pimpinan SKC Purwokerto untuk proses persetujuan . Perlu diketahui
untuk menerima proposal kredit kemitraan BUMN, SKC Purwokerto pun
harus yakin bahwa calon mitra binaan dapat dipercaya menggunakan dana
Program Kemitraan. Yakin tidaknya dapat dilihat dari repayment capacity
calon mitra binaan dan manajemen usahanya. Setelah disetujui oleh Wakil
Pimpinan SKC Purwokerto, maka dapat dibuat perjanjian KKB antara SKC
Purwokerto sebagai pihak kreditur dan mitra binaan sebagai pihak debitur.
Setelah
perjanjian tersebut selesai dibuat, pihak debitur diharuskan
membuka rekening tabungan di BNI Kantor Cabang Purwokerto.
Pembukaan
rekening
tabungan
dimaksudkan
untuk
memudahkan
penyaluran dana dari kreditur kepada debitur. Bunga kredit dalam KKB ini
dalah sebesar 6 % (enam persen).
118
Setelah dana/pinjaman tersebut disalurkan, maka barulah credit
analist melakukan pemantauan kepada debitur setiap enam bulan (walau
dalam SOP PKBL ditentukan untuk
pemantauan dan pembinaan
dilaksanakan setiap setahun sekali). Pemantauan ini bertujuan untuk:
(1) Mengetahui kelancaran operasional usaha debitur;
(2) Mengantisipasi kendala-kendala yang timbul dalam usaha debitur;
(3) Mengeliminir risiko kredit menjadi bermasalah;
(4) Melihat apakah peruntukan fasilitas kredit tepat guna dan tepat
sasaran.
Pemantauan dari pihak kreditur (SKC Purwokerto) sekaligus sebagai salah
satu bentuk pembinaan kepada debitur/mitra binaan. Salah satu tugas credit
analist adalah bertanggung jawab penuh atas usaha debitur sekaligus
sebagai konsultan usaha bagi debitur sehingga credit analist harus
memantau, membina dan mengawasi usaha debitur dan lunasnya piutang
yang dimiliki kreditur (SKC Purwokerto) dengan tepat waktu. Hasil dari
kunjungan dalam rangka pemantauan dan pembinaan ini dituangkan dalam
call memo. Call memo merupakan hasil kerja dari petugas yang melakukan
pemantauan dan pembinaan dalam penyaluran PK ini yang isinya dapat
berupa tulisan, gambar, peta dll terkait keadaan dari usaha mitra binaan.
Selama tahun 2012 ini, SKC Purwokerto telah menyalurkan dana Program
Kemitraan kepada dua belas mitra binaan dengan bentuk Kredit Modal
Kerja (KMK) dan Kredit Investasi (KI).
119
Apabila ditemukan kredit macet dan bermasalah, maka kredit
tersebut ditangani oleh Divisi Comercial Remedial & Recovery Credit
(RRM) untuk dicari penyelesaiannya yang representasi dari divisi itu di
SKC Purwokerto adalah Bapak Irman. Divisi Comercial Remedial &
Recovery Credit (RRM) yang diwakili oleh Bapak Irman di Sentra Kredit
Kecil Purwokerto khusus menangani untuk penyelesaian kredit yang macet,
tetapi selama SKC Purwokerto menyalurkan kredit ini belum ada
reschedulling dan reconditioning. Sentra Kredit Kecil Purwokerto dibawah
Divisi Usaha Kecil berwenang menangani perihal untuk kredit individual
dengan maksimum pinjaman sampai dengan sebesar Rp. 10.000.000.000,(sepuluh milyar rupiah) dan untuk kredit kelompok maksimum pinjaman
sampai dengan sebesar Rp. 15.000.000.000,- (lima belas milyar rupiah).
Bapak Rahadian sendiri baru memegang Kredit Kemitraan BUMN ini pada
tahun 2011 ketika Standar Operating Prosedure (SOP) PKBL yang tersebut
di atas dikeluarkan dari Kantor Pusat, sedangkan pada tahun sebelumnya
yakni pada tahun 2007 sampai dengan akhir 2010 dipegang oleh Ibu Lisa.
Untuk penyaluran dana Program Kemitraan pada tahun 2007 sampai dengan
2010 ini masih mengacu kepada Keputusan Menteri BUMN Nomor KEP236/MBU/2003 tentang Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil
dan Program Bina Lingkungan. Peneliti mengambil data penelitian terkait
penerapan Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dan Program
Bina Lingkungan untuk tahun yang sedang berjalan yakni tahun 2012
karena Standard Operating Prosedure (SOP) PKBL mulai berlaku
120
menjelang pertengahan tahun 2011, sehingga peneliti merasa akan lebih
baik dan akurat dengan mengambil data pada saat buka buku tahunan
dimulai yakni pada tahun 2012. Berdasarkan pertimbangan tersebut peneliti
tidak memasukan data mengenai penerapan Program Kemitraan BUMN
dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan sebelum tahun 2012.
2.2 Tahapan penerapan
Program Bina Lingkungan di PT. Bank Negara
Indonesia (Persero) Tbk Cabang Purwokerto
Berdasarkan hasil
wawancara dengan Bapak Oriletsa di Unit
Pemasaran PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Cabang Purwokerto,
didapat data mengenai tahapan penerapan Program Bina Lingkungan di PT.
Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Cabang Purwokerto, yakni sebagai
berikut:
Pelaksanaan suatu Program Bina Lingkungan dimulai dari adanya
pengajuan usulan Program Bina Lingkungan. Pengajuan tersebut dapat
datang dari masyarakat, Pemerintah Daerah setempat atau dari BNI Kantor
Cabang Purwokerto sendiri. Pada Program Bina Lingkungan yang telah
dilakukan oleh BNI Kantor Cabang Purwokerto prosesnya ada yang datang
dari pengajuan masyarakat baik perorangan atau kelompok, Pemerintah
Daerah Banyumas, usulan dari BNI Kantor Cabang Purwokerto dan
perintah langsung dari BNI Kantor Wilayah Semarang. Usulan Program
Bina Lingkungan yang masuk ke BNI Kantor Cabang Purwokerto diproses
dan dianalisa oleh unit pemasaran yang kemudian usulan tersebut diteruskan
121
kepada BNI Kantor Pusat di Jakarta melalui BNI Kantor Wilayah Semarang
untuk ditelaah. Unit Pemasaran di BNI Kantor Cabang Purwokerto terdiri
dari 22 orang, Unit Pemasaran memiliki tugas mengurusi kredit dan dana di
BNI Kantor Cabang Purwokerto. Setelah proses tersebut BNI Kantor
Wilayah Semarang meneruskan hasil konfirmasi atas usulan Program Bina
Lingkungan yang diajukan oleh BNI Kantor Cabang Purwokerto lalu
menyampaikan kepada pihak bersangkutan. Dalam hal usulan disetujui,
maka dana akan disampaikan ke BNI Kantor Cabang Purwokerto dan
Kantor Cabang menyalurkan dana tersebut kepada yang bersangkutan.
Penyaluran dana kepada yang berkepentingan (masyarakat/lingkungan) dan
penyelenggaraan Program Bina Lingkungan tersebut dilaksanakan oleh Unit
Pemasaran di BNI Kantor Cabang Purwokerto karena Unit Pemasaran yang
paling tepat melaksanakan, hal ini dikarenakan menyangkut perihal brand
image dari BNI sendiri. Setelah Program Bina Lingkungan dilaksanakan,
maka dibuat laporannya terkait penyelenggaraan program tersebut dalam
jangka waktu satu minggu sampai dengan dua minggu dalam bentuk
hardcopy dan softcopy yang berisi realisasi dana dan berita acara program
yang telah diselenggarakan disertai foto-foto pada saat program tersebut.
BNI Kantor Cabang Purwokerto belum memiliki dropping dana rutin dalam
penyaluran dana Program Bina Lingkungan, sehingga dalam penerapan
penyaluran dana bina lingkungan menjadi kurang leluasa.
122
B. Pembahasan
Penelitian ini berjudul Program Kemitraan BUMN dengan Usaha
Kecil dan Program Bina Lingkungan sebagai Tanggung Jawab Sosial
Perusahaan di PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Cabang Purwokerto.
Penelitian ini merupakan penelitian hukum yuridis normatif, yang artinya
penelitian ini merupakan penelitian yang memandang hukum sebagai kaidahkaidah normatif yang bebas dari nilai atau anasir-anasir di luar hukum.
Penelitian ini mengkonsepkan hukum sebagai norma-norma positif di dalam
sistem perundang-undangan hukum nasional yang berdasarkan ajaran hukum
murni yang mengkaji „law as it is written in the books‟.
Secara konkrit, yang mendasari penelitian ini adalah konsep hukum
yang terdapat dalam Peraturan Menteri Negara BUMN Nomor PER05/MBU/2007 tentang Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dan
Program Bina Lingkungan atau yang selanjutnya disebut dengan Permeneg
PKBL. Konsep hukum yang terdapat dalam Permeneg PKBL tersebut
dianalisis untuk mengetahui makna yang terkandung di dalamnya, karena
hukum sebagaimana tertulis memiliki keterbatasan hukum sehingga harus
diberikan penjelasan. Analisis tersebut sangatlah penting karena penelitian ini
bertujuan untuk mencari tahu penerapan Program Kemitraan BUMN dengan
Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan di PT. Bank Negara Indonesia
(Persero) Tbk Cabang Purwokerto. Ketentuan Pasal 2 Permeneg PKBL
menyebutkan bahwa:
123
Ayat (1) Perum dan Persero wajib melaksanakan Program
Kemitraan dan Program BL dengan memenuhi
ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Peraturan ini.
Ayat (2) Persero Terbuka dapat melaksanakan Program
Kemitraan dan Program BL dengan berpedoman pada
Peraturan ini yang ditetapkan berdasarkan keputusan
Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).
Berdasarkan ketentuan Pasal 2 Permeneg PKBL tersebut, maka semua
BUMN dengan bentuk Persero dan Perum harus melaksanakan Program
Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan.
Walau dalam Permeneg PKBL hanya mewajibkan Perum dan Persero namun
untuk Persero Terbuka dapat melaksanakan PKBL dengan berpedoman pada
Permeneg PKBL. Permeneg PKBL merupakan turunan dari Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, terutama Pasal 88
UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN yang menyatakan bahwa:
Ayat (1) BUMN dapat menyisihkan sebagian laba bersihnya
untuk keperluan pembinaan usaha kecil/koperasi serta
pembinaan masyarakat sekitar BUMN.
Ayat (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyisihan dan
penggunaan laba sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diatur dengan Keputusan Menteri.
Sebagai perusahaan negara yang berperan memberikan masukan
kepada kas negara tidak lupa dalam UU ini diatur mengenai timbal balik
BUMN kepada masyarakat sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 88
bahwa BUMN dapat menyisihkan sebagian laba bersihnya untuk keperluan
pembinaan usaha kecil/koperasi serta pembinaan masyarakat sekitar BUMN.
Melihat kata kunci antara Pasal 88 UU BUMN dan Pasal 2 Permeneg BUMN
No. PER-05/MBU/2007 tentang PKBL terdapat perbedaan yakni pada Pasal
88 UU BUMN menyatakan „dapat‟ sedangkan pada Pasal 2 Permeneg PKBL
124
menyatakan „wajib‟, maka peneliti berasumsi pada Permeneg BUMN tersebut
pembuat undang-undang sudah memiliki keinginan agar setiap BUMN wajib
melaksanakan CSR dalam bentuk PKBL ini.
Menurut Pasal 1 Angka 6 Permeneg PKBL, Program Kemitraan
bertujuan meningkatkan kemampuan usaha kecil agar menjadi tangguh dan
mandiri melalui pemanfaatan dana dari bagian laba BUMN, sedangkan
Program Bina Lingkungan merupakan program pemberdayaan kondisi sosial
masyarakat oleh BUMN melalui pemanfaatan dana dari bagian laba BUMN.
Ketentuan Pasal 9 Ayat (1) dan (2) Permeneg BUMN No. PER05/MBU/2007 tentang PKBL menyatakan bahwa:
Ayat (1) Dana Program Kemitraan bersumber dari :
a. Penyisihan laba setelah pajak maksimal sebesar 2%
(dua persen);
b. Jasa administrasi pinjaman/marjin/bagi hasil, bunga
deposito dan/atau jasa giro dari dana Program
Kemitraan setelah dikurangi beban operasional;
c. Pelimpahan dana Program Kemitraan dari BUMN
lain, jika ada.
Ayat (2) Dana Program BL bersumber dari :
a. Penyisihan laba setelah pajak maksimal sebesar 2%
(dua persen);
b. Hasil bunga deposito dan atau jasa giro dari dana
Program BL.
Adanya ketentuan mengenai jumlah besaran laba yang disisihkan
untuk digunakan melaksanakan PKBL ini memberikan garis panduan bagi
BUMN baik Perum dan Persero dalam melaksanakan PKBL yakni
menyisihkan labanya tiap tahun setelah dikurangi pajak sebesar maksimal 2%
(dua persen).
125
Ketentuan Peraturan Menteri BUMN No. PER-05/MBU/2007 tentang
PKBL memberikan kewajiban kepada semua BUMN di Indonesia untuk
menerapkan PKBL, dan salah satunya adalah PT. Bank Negara Indonesia
(Persero) Tbk yang dalam penelitian ini mengambil tempat penelitian di PT.
Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Cabang Purwokerto. Hal ini karena PT.
Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk merupakan BUMN dengan bentuk
Persero dan tunduk kepada UU No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha
Milik Negara dan Permeneg BUMN No. PER-05/MBU/2007 tentang
Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dan Program Bina
Lingkungan.
Kewajiban BUMN Pembina tertuang dalam ketentuan Pasal 5
Permeneg PKBL yakni:
a. Membentuk unit Program Kemitraan dan Program BL;
b. Menyusun Standard Operating Procedure (SOP) untuk
pelaksanaan Program Kemitraan dan Program BL yang
dituangkan dalam Surat Keputusan Direksi;
c. Menyusun Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) Program
Kemitraan dan Program BL;
d. Melakukan evaluasi dan seleksi atas kelayakan usaha dan
menetapkan calon Mitra Binaan;
e. Menyiapkan dan menyalurkan dana Program Kemitraan
kepada Mitra Binaan dan dana Program BL kepada
masyarakat;
f. Melakukan pemantauan dan pembinaan terhadap Mitra
Binaan;
g. Mengadministrasikan kegiatan pembinaan;
h. Melakukan pembukuan atas Program Kemitraan dan Program
BL; dan
i. Menyampaikan laporan pelaksanaan Program Kemitraan dan
Program BL yang meliputi laporan berkala baik triwulanan
maupun tahunan kepada Menteri dengan tembusan kepada
Koordinator BUMN Pembina di wilayah masing-masing.
126
PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk menanggapi Permeneg
PKBL dengan mengeluarkan Standard Operating Prosedure (SOP) PKBL
yang dituangkan dalam Surat Keputusan Direksi yang ditujukan kepada setiap
Kantor Wilayah, Kantor Cabang dan Sentra Kredit Kecil (SKC) untuk
dijadikan pedoman PKBL di segenap Kantor Wilayah, Kantor Cabang dan
SKC seperti yang tertuang dalam hasil penelitian pada poin 1.1 tentang dasar
dan acuan penerapan Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dan
Program Bina Lingkungan di PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk
Cabang Purwokerto. Hasil penelitian dalam data sekunder poin 1.2 tentang
terminologi dalam PKBL di PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk
Cabang Purwokerto menyatakan bahwa BNI Kantor Pusat membentuk unit
yang mengurusi PKBL di BNI bernama Kelompok PKBL. Kelompok PKBL
ini merupakan unit di Divisi KMP dan kesekretariatan PT. Bank Negara
Indonesia
(Persero)
Tbk.
Untuk
divisi-divisi
yang
terlibat
dalam
melaksanakan PKBL terdiri dari tujuh divisi seperti yang disebutkan dalam
hasil penelitian pada poin 1.3 tentang divisi yang terlibat dalam PKBL di PT.
Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk, yaitu:
(1) Divisi Komunikasi Perusahaan dan Kesekretariatan (KMP)
(2) Divisi Usaha Kecil (USK)
(3) Divisi Jaringan dan Layanan (JAL)
(4) Divisi Pengendalian Keuangan (PKU)
(5) Divisi Teknologi (TEK)
(6) Kantor Wilayah
127
(7) Unit Operasional (Divisi/Unit/Kantor Cabang/SKC/STA)
Hasil penelitian dalam data sekunder pada poin 1.4 dan 1.5
menyebutkan bahwa BNI Kantor Cabang Purwokerto sebagai unit
operasional, yang untuk Program Kemitraan dilaksanakan oleh SKC
Purwokerto dan Program Bina Lingkungan oleh BNI Kantor Cabang
Purwokerto sendiri dan Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) PKBL
bersumber dari Divisi KMP.
Hasil penelitian dalam data sekunder pada poin 1.1, 1.2, 1.3, 1.4 dan
1.5 yang menyatakan BNI mengeluarkan SOP PKBL melalui Surat
Keputusan Direksi, membentuk Kelompok PKBL, membentuk divisi yang
terlibat dalam PKBL serta menentukan wewenangnya dan membuat Rencana
Kerja dan Anggaran (RKA) PKBL dikaitkan dengan ketentuan Pasal 5
Permeneg PKBL, maka dapat dideskripsikan bahwa BNI Kantor Pusat
sebagai BUMN Pembina dan melaksanakan kewajibannya sebagai BUMN
Pembina. Hal ini dikarenakan BNI Kantor Pusat melakukan hal-hal yang
ditentukan sebagai kewajiban BUMN Pembina pada Pasal 5 Permeneg
PKBL.
Menurut Permeneg BUMN No. PER-05/MBU/2007 tentang PKBL,
maksud dan tujuan Program Kemitraan adalah meningkatkan kemampuan
usaha kecil agar menjadi tangguh melalui pemanfaatan dana dari bagian laba
BUMN. Kriteria usaha kecil diatur juga dalam ketentuan Pasal 3 Permeneg
PKBL yang menyatakan:
Ayat (1) Usaha Kecil yang dapat ikut serta dalam Program
Kemitraan adalah sebagai berikut :
128
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
Memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp
200.000.000,- (dua ratus juta rupiah), tidak
termasuk tanah dan bangunan tempat usaha atau
memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp
1.000.000.000,- (satu milyar rupiah);
Milik Warga Negara Indonesia;
Berdiri sendiri, bukan merupakan anak perusahaan
atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai,
atau berafiliasi baik langsung maupun tidak
langsung dengan Usaha Menengah atau Usaha
Besar;
Berbentuk usaha orang perseorangan, badan usaha
yang tidak berbadan hukum, atau badan usaha yang
berbadan hukum, termasuk koperasi;
Mempunyai potensi dan prospek usaha untuk
dikembangkan;
Telah melakukan kegiatan usaha minimal 1 (satu)
tahun;
Belum memenuhi persyaratan perbankan (non
bankable).
Ayat (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) huruf f,
tidak berlaku bagi usaha kecil yang dibentuk atau
berdiri sebagai pelaksanaan program BUMN Pembina.
Kriteria Usaha Kecil yang dapat ikut serta dalam Program Kemitraan
di BNI tertuang dalam SOP PKBL BNI sebagaimana yang disebutkan dalam
hasil penelitian pada poin 1.4 tentang ketentuan dan penerapan Program
Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil di PT. Bank Negara Indonesia
(Persero) Tbk Cabang Purwokerto, yakni:
a. Pelaku usaha kecil yang mempunyai kekayaan bersih maksimal sebesar
Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) diluar tanah dan bangunan
tempat usaha atau memiliki hasil penjualan dalam satu tahun maksimal
sebesar Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah) atau mengikuti ketentuan
Kementerian BUMN yang sedang berlaku.
b. Milik warga negara Indonesia.
129
c. Berdiri sendiri, bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan
yang dimiliki, dikuasai, atau berafiliasi baik langsung maupun tidak
langsung dengan usaha menengah atau usaha besar.
d. Telah melakukan kegiatan usaha minimal satu tahun.
e. Usaha feasible namun belum bankable.
f. Tidak sedang dibina oleh BUMN lain dan/atau fasilitas kredit produktif
lainnya.
g. Berbentuk usaha perorangan, badan usaha tidak berbadan hukum atau
badan usaha yang berbadan hukum, termasuk koperasi.
Terlebih lagi BNI merumuskan lebih jelas dengan menambahkan ketentuan
bahwa usaha kecil tersebut haruslah feasible namun belum bankable dan
dokumen yang harus dipenuhi untuk mengajukan Kredit Kemitraan BUMN.
Feasible berarti usaha yang direncanakan layak untuk dilaksanakan, namun
usaha yang sudah layak untuk dilaksanakan belum bankable yang berarti
belum memenuhi persyaratan bank teknis.
Apabila hasil penelitan dalam data sekunder poin 1.4 yang
menyatakan kriteria usaha kecil dalam Program Kemitraan dikaitkan dengan
ketentuan Pasal 3 Permeneg PKBL, maka dapat dideskripsikan bahwa
ketentuan Usaha Kecil yang dapat ikut serta dalam Program Kemitraan di
BNI Purwokerto telah mengacu dan sesuai dengan Pasal 3 Permeneg PKBL.
Hal ini dikarenakan SOP PKBL BNI menentukan kriteria usaha kecil yang
serupa dengan ketentuan usaha kecil pada Pasal 3 Permeneg PKBL.
130
Ketentuan Pasal 11 Ayat (1) Permeneg PKBL menyatakan bahwa dana
Program Kemitraan dapat diberikan dalam bentuk:
a. Pinjaman untuk membiayai modal kerja dan atau pembelian
aktiva tetap dalam rangka meningkatkan produksi dan
penjualan;
b. Pinjaman khusus untuk membiayai kebutuhan dana pelaksanaan
kegiatan usaha Mitra Binaan yang bersifat pinjaman tambahan
dan berjangka pendek dalam rangka memenuhi pesanan dari
rekanan usaha mitra binaan.
Hasil penelitian pada data sekunder poin 1.4 menyebutkan bahwa dalam
SOP PKBL BNI penyaluran dana program kemitraan dapat dilakukan dengan
memberikan kredit modal kerja, kredit investasi dan pinjaman khusus
walaupun dalam penerapannya dengan bentuk kredit modal kerja dan kredit
investasi. Apabila hasil penelitian dalam data sekunder poin 1.4 dikaitkan
dengan ketentuan Pasal 11 Ayat (1) Permeneg PKBL, maka dapat
dideskripsikan bahwa bentuk penyaluran Program Kemitraan di BNI
Purwokerto yang dilaksanakan oleh SKC Purwokerto telah sesuai dengan
bentuk penyaluran dana Program Kemitraan pada Pasal 11 Ayat (1)
Permeneg PKBL. Hal tersebut didukung oleh hasil penelitian dalam data
primer poin 2.1 yang menyebutkan kredit kemitraan yang diambil oleh dua
belas mitra binaan adalah kredit modal kerja dan kredit investasi.
Ketentuan Program Kemitraan pada Pasal 5 huruf f Permeneg PKBL
menyatakan bahwa BUMN Pembina harus melakukan pemantauan dan
pembinaan terhadap mitra binaan. Apabila hasil penelitian dalam data
sekunder pada poin 1.4 yang menyebutkan bahwa SKC Purwokerto
melakukan pemantauan dan pembinaan terhadap mitra binaan setiap tahunnya
131
dikaitkan dengan ketentuan Pasal 5 huruf f Permeneg PKBL, maka dapat
dideskripsikan bahwa SKC Purwokerto ditugaskan oleh BNI Kantor Pusat
untuk melaksanakan pemantauan dan pembinaan terhadap mitra binaan, yang
berarti SKC Purwokerto melaksanakan pemantauan dan pembinaan sesuai
ketentuan Pasal 5 huruf f Permeneg PKBL.
Dalam penyaluran dana Program Kemitraan, ketentuan Pasal 12 Ayat
(3) Permeneg PKBL menyebutkan bahwa bunga yang dikenakan kepada
mitra binaan adalah sebesar 6% (enam persen) dari besarnya pinjaman. Hasil
penelitian pada data sekunder poin 1.4 tentang ketentuan dan penerapan
Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil di PT. Bank Negara
Indonesia (Persero) Tbk Cabang Purwokerto menyebutkan bahwa BNI
Kantor Cabang Purwokerto mengenakan bunga sebesar 6% (enam persen)
kepada setiap mitra binaan baik kredit modal kerja atau pun kredit investasi.
Apabila hasil penelitian dalam data sekunder poin 1.4 yang menyatakan
besaran bunga dalam penyaluran kredit dikaitkan dengan ketentuan Pasal 12
Ayat (3), maka dapat dideskripsikan bahwa BNI Kantor Cabang Purwokerto
menerapkan ketentuan Pasal 12 Ayat (3) Permeneg PKBL. Hal tersebut
didukung dengan data primer pada poin 2.1 yang menyatakan bahwa bunga
dalam Program Kemitraan ini adalah sebesar 6 % (enam persen).
Ketentuan Pasal 12 Ayat (1) Permeneg PKBL menyatakan bahwa
dalam pemberian dana Program Kemitraan haruslah dengan pengajuan dari
calon mitra binaan yang kemudian calon mitra binaan memenuhi persyaratan
yang ditentukan dan perjanjian kredit dituangkan dalam perjanjian tertulis.
132
Hasil penelitian dalam data sekunder poin 1.4 tentang ketentuan dan
penerapan Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil di PT. Bank
Negara Indonesia (Persero) Tbk Cabang Purwokerto menyatakan tata cara
pemberian kredit kemitraan (dalam penelitian ini bernama Kredit Kemitraan
BUMN) kepada calon mitra binaan yakni mengajukan rencana pinjaman ke
SKC Purwokerto, memenuhi persyaratan yang ditentukan dan kemudian
perjanjian kredit tersebut dituangkan dalam perjanjian tertulis. Apabila hasil
penelitian dalam data sekunder poin 1.4 yang menyatakan cara pemberian
kredit kemitraan dikaitkan dengan ketentuan Pasal 12 Ayat (1) Permeneg
PKBL tentang tata cara pemberian pinjaman dana Program Kemitraan, maka
dapat dideskripsikan bahwa SKC Purwokerto melaksanakan ketentuan Pasal
12 Ayat (1). Hal tersebut didukung oleh data sekunder poin 2.1 tentang
proses pengajuan dan penyaluran Kredit Kemitraan BUMN (KKB) di Sentra
Kredit Kecil (SKC) Purwokerto.
PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Cabang Purwokerto
terutama SKC Purwokerto yang mengoperasionalkan Program Kemitraan
melaksanakan ketentuan-ketentuan SOP PKBL BNI tersebut baik dari kriteria
usaha kecil yang dapat berpartisipasi, cara pemberian kredit, bentuk
penyaluran dana Program Kemitraan, bunga kredit yang dikenakan (sebesar
6%), serta pemantauan dan pembinaan mitra binaan. Berdasarkan uraian
tersebut, SKC Purwokerto telah menerapkan Program Kemitraan BUMN
dengan Usaha Kecil sesuai dengan Peraturan Menteri Negara BUMN No.
133
PER-05/MBU/2007 tentang Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil
dan Program Bina Lingkungan.
Program Bina Lingkungan, menurut Permeneg PKBL bertujuan
memberdayakan kondisi sosial masyarakat melalui pemanfaatan dana dari
bagian laba BUMN. Bentuk Program ini adalah hibah alias bantuan cumacuma kepada masyarakat.89 Ruang lingkup Program Bina Lingkungan terdiri
dari enam bentuk seperti yang disebutkan dalam Permeneg BUMN No. PER05/MBU/2007 tentang Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dan
Program Bina Lingkungan pada Pasal 11 ayat (2) huruf e, yakni:
1) Bantuan korban bencana alam;
2) Bantuan pendidikan dan/atau pelatihan;
3) Bantuan peningkatan kesehatan;
4) Bantuan pengembangan prasarana dan/atau sarana umum;
5) Bantuan sarana ibadah; dan
6) Bantuan pelestarian alam.
Ketentuan Pasal 11 Ayat (2) merupakan panduan dalam melaksanakan
bentuk Program Bina Lingkungan dan tidak bersifat kumulatif, yang berarti
enam bentuk Program Bina Lingkungan tidak harus dilaksanakan semua. Hal
ini juga dikarenakan dalam melaksanakan Program Bina Lingkungan harus
bersesuaian dengan kebutuhan lingkungan sekitar agar tepat guna.
Hasil penelitian dalam data sekunder poin 1.5 tentang ketentuan dan
penerapan Program Bina Lingkungan di PT. Bank Negara Indonesia (Persero)
89
Agus S, Op. Cit, Hlm 179.
134
Tbk Cabang Purwokerto menyebutkan bahwa Program Bina Lingkungan di
BNI dapat dilakukan melalui enam bentuk yakni:
a. Bantuan kepada korban bencana alam
b. Bantuan pendidikan atau pelatihan
c. Bantuan peningkatan kesehatan
d. Bantuan pengembangan prasaran dan sarana umum
e. Bantuan sarana ibadah
f. Bantuan pelestarian alam
Dalam laporan kegiatan Program Bina Lingkungan Tahun 2012 BNI
Purwokerto menyebutkan bahwa bentuk Bina Lingkungan yang telah
dilaksanakan ada empat, yaitu:
1. Pemberian Beasiswa dan renovasi Gedung Sekolah
2. Pembangunan lingkungan melalui distribusi air bersih
3. Pembagian Al Qur‟an
4. Penyerahan hewan kurban
Apabila hasil penelitian dalam data sekunder pada poin 1.5 mengenai
bentuk bina lingkungan yang dapat diselenggarakan di BNI dan bentuk
Program Bina Lingkungan yang telah dilaksanakan di BNI Kantor Cabang
Purwokerto dikaitkan dengan ketentuan Pasal 11 Ayat (2) huruf e, maka
135
dapat dideskripsikan bahwa BNI telah menentukan dan menerapkan bentuk
Program Bina Lingkungan yang sesuai dengan ketentuan Pasal 11 Ayat (2)
huruf e Permeneg PKBL. Hal tersebut karena ketentuan Pasal 11 Ayat (2)
tidak bersifat kumulatif dan BNI Kantor Cabang Purwokerto telah
menentukan enam bentuk Program Bina Lingkungan dan telah melaksanakan
empat jenis dari enam jenis Program Bina Lingkungan yang ditentukan, yakni
bantuan korban bencana alam melalui pendistribusian air bersih, bantuan
pendidikan melalui pemberian beasiswa, bantuan pengembangan prasarana
dan sarana umum melalui renovasi Gedung Sekolah serta bantuan sarana
ibadah dengan pemberian Al Qur‟an dan hewan kurban.
PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Cabang Purwokerto telah
menerapkan empat dari enam poin bentuk Program Bina Lingkungan yang
sesuai dengan Permeneg PKBL yakni bantuan korban bencana alam, bantuan
pendidikan, bantuan pembangunan prasarana dan sarana dan bantuan sarana
ibadah. Berdasarkan uraian tersebut PT. Bank Negara Indonesia (Persero)
Tbk Cabang Purwokerto sebagai unit operasional telah menerapkan Program
Bina Lingkungan sesuai dengan Peraturan Menteri Negara BUMN No. PER05/MBU/2007 tentang Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dan
Program Bina Lingkungan.
Menurut Said dan Abidin sebagaimana dikutip dalam Ronny Irawan,
model atau pola Corporate Social Responsibility yang umum diterapkan oleh
perusahaan-perusahaan di Indonesia sebagai berikut:
136
1. Keterlibatan langsung, perusahaan menjalankan program CSR
secara langsung dengan menyelenggarakan sendiri kegiatan
sosial atau menyerahkan sumbangan ke masyarakat tanpa
perantara. Untuk menjalankan tugas ini, perusahaan biasanya
menugaskan salah satu pejabat seniornya, seperti corporate
secretary atau public affair manager atau menjadi bagian dari
tugas pejabat public relation.
2. Melalui yayasan atau organisasi sosial milik perusahaan,
perusahaan mendirikan yayasan sendiri di bawah perusahaan
atau groupnya. Model ini merupakan adopsi yang lazim
dilakukan di negara maju. Disini perusahaan menyediakan
dana awal, dana rutin atau dana abadi yang dapat digunakan
untuk operasional yayasan.
3. Bermitra dengan pihak lain, perusahaan menyelenggarakan
CSR melalui kerjasama dengan lembaga/organisasi non
pemerintah, instansi pemerintah, universitas atau media massa,
baik dalam mengelola dana maupun dalam melaksanakan
kegiatan sosialnya.
4. Mendukung atau bergabung dalam suatu konsorium,
perusahaan turut mendirikan, menjadi anggota atau
mendukung suatu lembaga sosial yang didirikan untuk tujuan
sosial tertentu. Pihak konsorsium yang dipercaya oleh
perusahaan-perusahaan yang mendukungnya akan secara
proaktif mencari kerjasama dari berbagai kalangan dan
kemudian mengembangkan program yang telah disepakati. 90
Apabila uraian penerapan Program Kemitraan BUMN dengan Usaha
Kecil dan Program Bina Lingkungan di PT. Bank Negara Indonesia (Persero)
Tbk Cabang Purwokerto sebagaimana yang telah disampaikan sebelumnya
dikaitkan dengan model atau pola Corporate Social Responisibilty dari Said
dan Abidin, maka dapat disimpulkan bahwa Program Kemitraan BUMN
dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan sebagai Tanggung Jawab
Sosial Perusahaan yang diterapkan oleh PT. Bank Negara Indonesia (Persero)
Tbk Cabang Purwokerto adalah tanggung jawab sosial dengan model
keterlibatan langsung. Hal ini karena PKBL di PT. Bank Negara Indonesia
90
Ronny Irawan, “Corporate Social Responsibility: Tinjauan Menurut Peraturan Perpajakan
di Indonesia”, The Second National Conferences UKWMS, Surabaya, 06 September 2008, Hlm 7,
www.mages.andamawara.multiply.multiplycontent.com, diakses tanggal 09 Januari 2013.
137
(Persero) Tbk Cabang Purwokerto diterapkan secara langsung kepada
masyarakat tanpa perantara.
Menurut Agus S. Riyanto ketentuan Pasal 22 tentang laporan PKBL
Permeneg BUMN tentang PKBL mengandung pengertian sebagai berikut:
Laporan PKBL merupakan konsumsi bagi pemegang saham alias
Menteri BUMN. Sebab, dana PKBL berasal dari penyisihan laba
bersih BUMN. Laporan triwulan harus sudah ada di tangan
menteri paling lambat sebulan kemudian. Adapun laporan
tahunan maksimal harus sudah dilaporkan lima bulan kemudian.
Peraturan Menteri tersebut tidak menyatakan apa saja yang harus
dilaporkan oleh BUMN. Peraturan itu hanya mensyaratkan
keharusan adanya laporan keuangan PKBL yang sudah diaudit.
Untuk BUMN yang berbentuk Perum, laporan keuangan PKBL
diaudit oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan
(BPKP). Ini sesuai dengan permintaan Menteri BUMN melalui
Surat Keputusan S-343/SAM2.MBU/2007. Adapun untuk BUMN
yang berbadan hukum Perseroan Terbatas (PT), audit laporan
keuangan PKBL dilakukan oleh Kantor Akuntan Publik (KAP).91
Berdasarkan pendapat Agus S. Riyanto mengenai Pasal 22 Permeneg
PKBL, laporan PKBL yang dibuat oleh PT. Bank Negara Indonesia (Persero)
Tbk harus diaudit oleh Kantor Akuntan Publik (KAP) karena BNI merupakan
BUMN dengan bentuk Perseroan Terbatas.
Pasal 30 Ayat (1) Permeneg BUMN No. PER-05/MBU/2007
menyatakan bahwa kinerja Program Kemitraan merupakan salah satu
indikator penilaian tingkat kesehatan BUMN Pembina. Hasil penelitian dalam
data sekunder poin
1.4 menggambarkan kinerja SKC Purwokerto
menyalurkan dana Program Kemitraan dengan memberikan kredit kemitraan
kepada dua belas mitra binaan dan mengacu pada ketentuan Permeneg PKBL.
Apabila hasil penelitian dalam data sekunder pada poin 1.4 dikaitkan dengan
91
Agus S, Op.Cit, Hlm 179.
138
ketentuan Pasal 30 Ayat (1), maka dapat ditarik kesimpulan bahwa kinerja
SKC Purwokerto dalam menyalurkan dana Program Kemitraan berpengaruh
terhadap penilaian tingkat kesehatan BUMN Pembina yang dalam penelitian
ini PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. Dalam Permeneg BUMN
tentang PKBL ini tidak ada sanksi yang dapat dikenakan langsung, akan
tetapi penilaian tingkat kesehatan BUMN Pembina merupakan bentuk teguran
tidak langsung bagi BUMN yang tidak melakukan Program Kemitraan sesuai
dengan ketentuan Permeneg PKBL, hal ini dikarenakan kinerja Program
Kemitraan akan diketahui oleh masyarakat melalui laporan PKBL yang
menjadi penilaian tingkat kesehatan sebuah BUMN. Berdasarkan uraian
tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa BNI tidak mendapat teguran
langsung.
139
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat ditarik kesimpulan
sebagai berikut:
1.
a.
Penerapan Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil di PT.
Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Cabang Purwokerto
Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil yang
diterapkan di PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Cabang
Purwokerto telah sesuai dengan Peraturan Menteri Negara BUMN
Nomor PER-05/MBU/2007 tentang Program Kemitraan BUMN dengan
Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan. Program Kemitraan yang
dalam penyelenggaraannya dilakukan oleh Sentra Kredit Kecil (SKC)
Purwokerto telah sesuai dengan ketentuan Permeneg PKBL yakni dari
kriteria usaha kecil yang menjadi mitra binaan, cara pemberian kredit
kepada calon mitra binaan, bentuk penyaluran program kemitraan, besar
bunga kredit kemitraan, serta pemantauan dan pembinaan mitra binaan.
140
b.
Penerapan Program Bina Lingkungan di PT. Bank Negara Indonesia
(Persero) Tbk Cabang Purwokerto
Program Bina Lingkungan di PT. Bank Negara Indonesia
(Persero) Tbk Cabang Purwokerto telah diterapkan sesuai dengan
ketentuan Program Bina Lingkungan Peraturan Menteri Negara BUMN
Nomor PER-05/MBU/2007 tentang Program Kemitraan BUMN dengan
Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan. Ada pun bentuk penerapan
Program Bina Lingkungan yang telah dilakukan oleh di PT. Bank Negara
Indonesia (Persero) Tbk Cabang Purwokerto adalah:
(1) Pemberian Beasiswa dan renovasi Gedung Sekolah
(2) Pembangunan lingkungan melalui distribusi air bersih
(3) Pembagian Al Qur‟an
(4) Penyerahan hewan Kurban
B. Saran
Berdasarkan simpulan di atas, maka dapat diberikan saran sebagai berikut:
1. PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Cabang Purwokerto sebaiknya
membentuk unit PKBL yang menangani Program Kemitraan BUMN dengan
Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan dengan tujuan pegawai yang ada
141
dalam unit khusus tersebut fokus menangani PKBL, sehingga PKBL yang
diselenggarakan dapat berjalan lebih maksimal.
2. PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Cabang Purwokerto sebaiknya
memaksimalkan Program Bina Lingkungan di sekitar wilayah operasionalnya
dengan melaksanakan semua bentuk Program Bina Lingkungan yang tertuang
dalam ketentuan Pasal 11 Ayat (2) huruf e Permeneg PKBL baik dengan
bekerja sama dengan pihak lain atau pun melakukan survey mendalam di
lingkungannya, sehingga Program Bina Lingkungan sebagai salah satu bentuk
tanggung jawab sosial perusahaan dapat dirasakan maksimal manfaatnya oleh
masyarakat.
142
DAFTAR PUSTAKA
Buku Literatur:
Amiruddin dan Zainal Asikin, 2006, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT.
Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Anoraga, Pandji, 1995, Cet. 1, BUMN, Swasta dan Kopersai (Tiga Pelaku
Ekonomi), Pustaka Jaya, Jakarta.
Anwar, Chairul, 1960, Perusahaan-Perusahaan Negara di Indonesia, Bappit
Pusat Permata, Jakarta.
Bambang Rudito dan Melia Famiola, 2007, Etika Bisnis dan Tanggung Jawab
Sosial Perusahaan di Indonesia, Rekayasa Sains, Bandung.
Bambang Rudito Dkk, Corporate Social Resonsibility: Jawaban Bagi Model
Pembangunan Indonesia Masa Kini, ICSD, Jakarta.
Bastian, Indra, 2002, Privatisasi di Indonesia, Penerbit Salemba Empat, Jakarta.
Crowther, David, 2008, Corporate Social Responsibility, Guler Aras & Ventus
Publishing Aps.
Effendy, Choirie, 2003, Privatisasi Versus Neo-Sosialisme Indonesia, LP3ES,
Jakarta.
Esmara, Hendra, 1986, Politik Perencanaan Pembangunan Teori Kebijaksanaan
dan Prospek, Gramedia, Jakarta.
Hadi, Nor, 2011, Corporate Social Responsibility, Graha Ilmu, Yogyakarta.
Hadi, Sutrisno, 1995, Metodologi Research, UGM Press, Yogyakarta.
Hermansyah, 2006, Cet. 2, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Kencana,
Jakarta.
Ichsan, Achmad, 2000, Dunia Usaha Indonesia, Pradnya Paramita, Jakarta.
Ibrahim, Johnny, 2008, Cet. 4, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif,
Bayumedia Publishing, Malang.
Ibrahim, 1997, BUMN dan Kepentingan Umum, Citra Aditya, Jakarta.
143
Kumala Hadi dkk, 1997, Liberalisasi Ekonomi dan Politik di Indonesia, PT Tiara
Wacana Yogya, Yogyakarta.
Mahmud Marzuki, Peter, 2008, Cet. 4, Penelitian Hukum, Edisi Pertama Kencana,
Jakarta.
Moh. Arsjad Anwar dkk (ed), 1994, Strategi Pembiayaan & Regrouping BUMN:
Upaya Menciptakan Sinergi dalam Rangka Peningkatan Daya Saing
BUMN, Jakarta.
Philip Kotler dan Nancy Lee, 2005, Corporate Social Responsibility: Doing the
most Good For Your Company and Your cause, John Wiley & Sons Inc,
New Jersey.
Rahmatullah dan Trianita Kurniati, 2011, Panduan Praktis Pengelolaan
Corporate Social Responsibility, Samudra Biru, Jogjakarta.
Riant Nugroho dan Randy R. Wrihatnolo, 2008, Manajemen Privatisasi BUMN,
Gramedia, Jakarta.
Riyanto, Agus S., 2011, PKBL Ragam Derma Sosial BUMN, Bahana Publisher,
Jakarta Selatan.
Soekanto, Soerjono, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, Penerbit Universitas
Indonesia, Jakarta.
Susanto, AB, 2007, A Strategic Management Approach CSR, The Jakarta
Consulting Group, Jakarta.
Wibisono, Yusuf, 2007, Membedah Konsep & Aplikasi Corporate Social
Responsibility (CSR), Fascho Publishing, Gresik.
Peraturan Perundangan:
Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
Undang-undang Nomor 19 Prp Tahun 1960 tentang Perusahaan Negara.
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1969 tentang Bentuk-Bentuk Usaha Negara.
Keputusan Menteri Keuangan RI No. 740/KMK 00/1989 tentang Peningkatan
Efisiensi dan Produktivitas Bada Usaha Milik Negara.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas.
144
Undang Undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil.
Perturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1998 tentang Perusahaan Persero.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.
Undang Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara.
Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 1983 tentang Tata Cara pembinaan dan
Pengawasan Perusahaan Jawatan, Perusahaan Umum dan Perusahaan
Perseroan.
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1232/KMK. 013/1989 tentang Pedoman
Pembinaan Pengusaha Ekonomi Lemah dan Koperasi melalui BUMN.
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 316/KMK.016/1994 tentang Pedoman
Pembinaan Usaha Kecil dan Koperasi melalui Pemanfaata Dana dari
bagian laba BUMN.
Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 1998 tentang Perusahaan Umum.
Keputusan Menteri Negara BUMN Nomor Kep-216/MPBUMN/1999 tentang
Program Kemitraan dan Bina Lingkungan BUMN.
Keputusan Menteri BUMN Nomor KEP-236/MBU/2003 tentang Program
Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan.
Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2005 tentang Pendirian, Pengurusan,
Pengawasan dan Pembubaran Badan Usaha Milik Negara.
Permeneg BUMN Nomor PER-05/MBU/2007 tentang Program Kemitraan
BUMN dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan.
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penananman Modal.
Undang Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Tebatas.
International of Standardization for Organization 26000 Guidance Standard On
Social Responsibility (ISO 26000:2010).
Disertasi, Tesis, Skripsi dan Paper:
Parluhutan Sagala, Penyebaran Kepemilikan Saham Pemerintah Pada Badan
Usaha Milik Negara (BUMN) untuk menciptakan Perusahaan yang
efektif dan efisien, Disertasi Doktor, Medan, Sekolah Pascasarjana, 2009.
145
Laporan, Pidato, Surat Kabar, Jurnal Elektronik dan Internet:
Anonim, “Sejarah 66 Tahun BNI”, 2012, http://www.bni.co.id, diakses tanggal 30
Oktober 2012.
ASDEP Pembinaan Kemitraaan dan Bina Lingkungan, Kebijakan Kementerian
BUMN Tentang Ptogram CSR “Rakor Penguatan Kerjasama Pengelolaan
Peluang
Kerja
dan
Peluang
Usaha”,
Buku
Panduan,
http://www.infokursus.net/download/1511101152Paparan_BUMN.pdf,
diakses tanggal 09 Oktober 2012.
Edi Syahputra, 2008, “Implementasi Corporate Social Responsibility (CSR)
Terhadap Masyarakat Lingkungan PTPN IV (Studi Pada Unit Kebun
Dolok Ilir Kabupaten Simalungun)”, Tesis, Sekolah Pasca Sarjana
Universitas Sumatera Utara, www.repository.usu.ac.id, diakses tanggal
13 November 2012.
Erman Rajaguguk, “Konsep dan Perkembangan Pemikiran Tentang Tanggung
Jawab Sosial Perusahaan”, http://journal.uii.ac.id, diakses pada 30
Oktober 2012.
ISO,”Global Guidance Standard on Social Responsibility”,Handbook for
implementers of ISO 26000, Mei 2011.
Mustafa Abubakar, Pidato: Sambutan Menteri Negara BUMN Pada Upacara
Peringatan Hari Ulang Tahun Proklamasi Kemerdekan Republik
Indonesia Ke -66, Kementerian Negara BUMN, (Jakarta, 17 Agustus
2011).
Nayla, Alawiya, Materi Kuliah Metode Penelitian dan Penulisan Hukum,
Universitas Jenderal Soedirman.
Ronny, Irawan, “Corporate Social Responsibility: Tinjauan Menurut Peraturan
Perpajakan di Indonesia”, The Second National Conferences UKWMS,
Surabaya,06 September 2008, www.mages.andamawara.multiply.
multiplycontent.com, diakses tanggal 09 Januari 2013.
Saryono, Hanadi, Metodologi Penulisan dan Penelitian Hukum, Bahan Kuliah
MPPH, Purwokerto, Universitas Jenderal Soedirman, 2008.
Selly Asgari, Sistem Perekonomian Indonesia, http://sellmieasgaricristy.blogspot
.com/2012/03/sistemperekonomian-indonesia-2_21.html, 21 Maret 2012
Setyanto P. Santosa, Privatiasi: Penerapan Nasionalisme Pengelolaan BUMN,
http://kolom.pacific.net.id/ind/media/PrivatisasiPenerapanNasionalismeP
engelolaanBUMN.pdf.
146
The World Comission on Environment and Development, “Our Common
Future”, Report of The World Comission on Environment and
Development, 1987.
UN ESCAP, “Johannesburg Declaration on Sustainable Development”,4
September 2002, http://www.unescap.org/esd/environment/rio20/pages
/Download/johannesburgdeclaration.pdf, diakses pada 16 Januari 2013.
SALINAN
PERATURAN MENTERI NEGARA BADAN USAHA MILIK NEGARA
NOMOR PER-05/MBU/2007
TENTANG
PROGRAM KEMITRAAN BADAN USAHA MILIK NEGARA DENGAN USAHA
KECIL DAN PROGRAM BINA LINGKUNGAN
MENTERI NEGARA BADAN USAHA MILIK NEGARA,
Menimbang :
a. bahwa berdasarkan Pasal 88 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003
tentang Badan Usaha Milik Negara, ketentuan mengenai penyisihan dan
penggunaan laba BUMN untuk keperluan pembinaan usaha kecil/koperasi
dan pembinaan masyarakat sekitar BUMN, diatur dengan keputusan
menteri.
b. bahwa dengan Keputusan Menteri Badan Usaha Milik Negara Nomor Kep236/MBU/2003, telah ditetapkan Program Kemitraan Badan Usaha Milik
Negara dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan;
c. bahwa Keputusan Menteri Badan Usaha Milik Negara Nomor Kep236/MBU/2003 dipandang belum cukup memberikan landasan operasional
bagi peningkatan pelaksanaan Program Kemitraan Badan Usaha Milik
Negara dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan, oleh karena itu
perlu ditinjau kembali;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, b,
dan c di atas, maka perlu menetapkan kembali Peraturan Menteri Negara
Badan Usaha Milik Negara tentang Program Kemitraan Badan Usaha Milik
Negara dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan;
Mengingat
:
1. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik
Negara (Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 70; Tambahan Lembaran
Negara Nomor 4297);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2003 tentang Pengalihan
Kedudukan, Tugas dan Kewenangan Menteri Keuangan pada Perusahaan
Perseroan (PERSERO), Perusahaan Umum (PERUM) dan Perusahaan
Jawatan (PERJAN) kepada Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara
(Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 82; Tambahan Lembaran Negara
Nomor 4305);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2005 tentang Pendirian,
Pengurusan, Pengawasan, dan Pembubaran Badan Usaha Milik Negara
(Lembaran Negara Tahun 2005 Nomor 117; Tambahan Lembaran Negara
Nomor 4556);
4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 187/M Tahun 2004
sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 20/P Tahun
2005;
MEMUTUSKAN …../-2-
-2MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
PERATURAN MENTERI NEGARA BADAN USAHA MILIK NEGARA
TENTANG PROGRAM KEMITRAAN BADAN USAHA MILIK NEGARA
DENGAN USAHA KECIL DAN PROGRAM BINA LINGKUNGAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan :
1. Badan Usaha Milik Negara, yang selanjutnya disebut BUMN, adalah badan usaha yang
seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara
langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.
2. Perusahaan Perseroan, yang selanjutnya disebut Persero, adalah BUMN yang berbentuk
perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51%
(lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia yang tujuan
utamanya mengejar keuntungan.
3. Perusahaan Perseroan Terbuka, yang selanjutnya disebut Persero Terbuka, adalah Persero
yang modal dan jumlah pemegang sahamnya memenuhi kriteria tertentu atau Persero yang
melakukan penawaran umum sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang pasar
modal.
4. Perusahaan Umum, yang selanjutnya disebut Perum, adalah BUMN yang seluruh modalnya
dimiliki negara dan tidak terbagi atas saham, yang bertujuan untuk kemanfaatan umum
berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan sekaligus mengejar
keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan.
5. Menteri adalah Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara.
6. Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil, yang selanjutnya disebut Program
Kemitraan, adalah program untuk meningkatkan kemampuan usaha kecil agar menjadi
tangguh dan mandiri melalui pemanfaatan dana dari bagian laba BUMN.
7. Program Bina Lingkungan, yang selanjutnya disebut Program BL, adalah program
pemberdayaan kondisi sosial masyarakat oleh BUMN melalui pemanfaatan dana dari bagian
laba BUMN.
8. Program BL BUMN Pembina adalah Program BL yang ditetapkan dan dilaksanakan oleh
BUMN Pembina di wilayah usaha BUMN yang bersangkutan.
9. Program BL BUMN Peduli adalah Program BL yang dilakukan secara bersama-sama antar
BUMN dan pelaksanaannya ditetapkan dan dikoordinir oleh Menteri.
10. Usaha kecil adalah kegiatan ekonomi rakyat yang berskala kecil dan memenuhi kriteria
kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan serta kepemilikan sebagaimana diatur dalam
Peraturan ini.
11. Mitra Binaan adalah Usaha Kecil yang mendapatkan pinjaman dari Program Kemitraan.
12. BUMN...../-3-
-312. BUMN Pembina adalah BUMN yang melaksanakan Program Kemitraan dan Program BL.
13. Koordinator BUMN Pembina adalah BUMN yang ditunjuk oleh Menteri untuk
mengkoordinasikan BUMN Pembina di dalam suatu provinsi tertentu.
14. BUMN Penyalur adalah BUMN Pembina yang menyalurkan Dana Program Kemitraan milik
BUMN Pembina lain berdasarkan Perjanjian Kerjasama Penyaluran.
15. Lembaga Penyalur adalah badan usaha selain BUMN atau lembaga bukan badan usaha yang
melakukan kerjasama dengan BUMN Pembina dalam menyalurkan pinjaman Dana Program
Kemitraan berdasarkan Perjanjian Kerjasama Penyaluran.
16. Unit Program Kemitraan dan Program BL adalah unit organisasi khusus yang mengelola
Program Kemitraan dan Program BL yang merupakan bagian dari organisasi BUMN
Pembina yang berada dibawah pengawasan seorang direksi.
17. Beban Operasional adalah beban pelaksanaan operasi unit Program Kemitraan dan Program
BL diluar beban pegawai yang dananya berasal dari dana Program Kemitraan dan Program
BL.
18. Beban Pembinaan adalah beban kegiatan bimbingan dan bantuan perkuatan untuk
menumbuhkan dan meningkatkan kemampuan mitra binaan menjadi usaha yang tangguh dan
mandiri.
19. Kualitas pinjaman adalah status kondisi pinjaman yang terdiri dari pinjaman lancar, pinjaman
kurang lancar, pinjaman diragukan dan pinjaman macet.
20. Pemulihan pinjaman adalah usaha untuk memperbaiki kualitas pinjaman kurang lancar,
pinjaman diragukan dan pinjaman macet agar menjadi lebih baik kategorinya.
BAB II
PROGRAM KEMITRAAN DAN PROGRAM BL
Pasal 2
(1) Perum dan Persero wajib melaksanakan Program Kemitraan dan Program BL dengan
memenuhi ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Peraturan ini.
(2) Persero Terbuka dapat melaksanakan Program Kemitraan dan Program BL dengan
berpedoman pada Peraturan ini yang ditetapkan berdasarkan keputusan Rapat Umum
Pemegang Saham (RUPS).
Pasal 3
(1) Usaha Kecil yang dapat ikut serta dalam Program Kemitraan adalah sebagai berikut :
a. Memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah), tidak
termasuk tanah dan bangunan tempat usaha atau memiliki hasil penjualan tahunan
paling banyak Rp 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah);
b. Milik Warga Negara Indonesia;
c. Berdiri …../-4-
-4c. Berdiri sendiri, bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang
dimiliki, dikuasai, atau berafiliasi baik langsung maupun tidak langsung dengan Usaha
Menengah atau Usaha Besar;
d. Berbentuk usaha orang perseorangan, badan usaha yang tidak berbadan hukum, atau
badan usaha yang berbadan hukum, termasuk koperasi;
e. Mempunyai potensi dan prospek usaha untuk dikembangkan;
f. Telah melakukan kegiatan usaha minimal 1 (satu) tahun;
g. Belum memenuhi persyaratan perbankan (non bankable).
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f, tidak berlaku bagi usaha kecil yang
dibentuk atau berdiri sebagai pelaksanaan program BUMN Pembina.
Pasal 4
Mitra Binaan mempunyai kewajiban sebagai berikut :
(1) Melaksanakan kegiatan usaha sesuai dengan rencana yang telah disetujui oleh BUMN
Pembina atau BUMN Penyalur atau Lembaga Penyalur;
(2) Membayar kembali pinjaman secara tepat waktu sesuai dengan perjanjian yang telah
disepakati;
(3) Menyampaikan laporan perkembangan usaha secara periodik kepada BUMN Pembina.
Pasal 5
BUMN Pembina mempunyai kewajiban sebagai berikut :
a. Membentuk unit Program Kemitraan dan Program BL;
b. Menyusun Standard Operating Procedure (SOP) untuk pelaksanaan Program Kemitraan dan
Program BL yang dituangkan dalam Surat Keputusan Direksi;
c. Menyusun Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) Program Kemitraan dan Program BL;
d. Melakukan evaluasi dan seleksi atas kelayakan usaha dan menetapkan calon Mitra Binaan;
e. Menyiapkan dan menyalurkan dana Program Kemitraan kepada Mitra Binaan dan dana
Program BL kepada masyarakat;
f. Melakukan pemantauan dan pembinaan terhadap Mitra Binaan;
g. Mengadministrasikan kegiatan pembinaan;
h. Melakukan pembukuan atas Program Kemitraan dan Program BL;
i. Menyampaikan laporan pelaksanaan Program Kemitraan dan Program BL yang meliputi
laporan berkala baik triwulanan maupun tahunan kepada Menteri dengan tembusan kepada
Koordinator BUMN Pembina di wilayah masing-masing.
Pasal 6
Koordinator BUMN Pembina mempunyai kewajiban sebagai berikut :
a. Melakukan koordinasi atas perencanaan dan pengalokasian dana Program Kemitraan dan
Program BL yang dilakukan oleh BUMN Pembina;
b. Memberikan informasi kepada BUMN Pembina mengenai calon Mitra Binaan untuk
menghindari duplikasi pemberian pinjaman dana Program Kemitraan;
c. Menyampaikan …../-5-
-5c. Menyampaikan laporan triwulanan dan tahunan pelaksanaan Program Kemitraan dan
Program BL di wilayah koordinasinya kepada Menteri dengan tembusan kepada BUMN
Pembina di wilayahnya.
Pasal 7
BUMN Pembina yang memiliki kantor cabang/perwakilan di daerah dapat menyalurkan dana
Program Kemitraan dan Program BL BUMN Pembina di wilayah kantor cabang/perwakilannya
dengan mempertimbangkan dana yang tersedia dan kondisi wilayahnya.
Pasal 8
(1) Untuk meningkatkan optimalisasi pelaksanaan Program Kemitraan, BUMN Pembina dapat
melakukan kerjasama dengan BUMN Penyalur dan/atau dengan Lembaga Penyalur.
(2) Lembaga Penyalur adalah lembaga keuangan mikro yang pendiriannya memiliki landasan
hukum.
(3) Kerjasama antara BUMN Pembina dengan BUMN Penyalur dan/atau Lembaga Penyalur
dituangkan dalam perjanjian kerjasama yang sekurang-kurangnya memuat :
- Para pihak yang melakukan kerjasama;
- Maksud dan tujuan kerjasama;
- Jumlah Dana Program Kemitraan yang dikerjasamakan;
- Hak dan kewajiban masing-masing pihak;
- Jangka waktu kerjasama;
- Sanksi;
- Keadaan memaksa (Force Majeure); dan
- Penyelesaian perselisihan.
(4) Dengan pertimbangan tertentu, Menteri dapat mengalih kelolakan dana Program Kemitraan
dari BUMN Pembina ke BUMN Pembina lainnya.
BAB III
PENETAPAN DAN PENGGUNAAN
DANA PROGRAM KEMITRAAN DAN PROGRAM BL
Pasal 9
(1) Dana Program Kemitraan bersumber dari :
a. Penyisihan laba setelah pajak maksimal sebesar 2% (dua persen);
b. Jasa administrasi pinjaman/marjin/bagi hasil, bunga deposito dan/atau jasa giro dari dana
Program Kemitraan setelah dikurangi beban operasional;
c. Pelimpahan dana Program Kemitraan dari BUMN lain, jika ada.
(2) Dana Program BL bersumber dari :
a. Penyisihan laba setelah pajak maksimal sebesar 2% (dua persen);
b. Hasil bunga deposito dan atau jasa giro dari dana Program BL.
(3) Besarnya dana Program Kemitraan dan Program BL yang berasal dari penyisihan laba
setelah pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan oleh :
a. Menteri …../-6-
-6a. Menteri untuk Perum;
b. RUPS untuk Persero;
(4) Dalam kondisi tertentu besarnya dana Program Kemitraan dan dana Program BL yang
berasal dari penyisihan laba setelah pajak dapat ditetapkan lain dengan persetujuan
Menteri/RUPS.
(5) Dana Program Kemitraan dan Program BL yang berasal dari penyisihan laba setelah pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), disetorkan ke rekening dana Program
Kemitraan dan Program Bina Lingkungan selambat-lambatnya 45 (empat puluh lima) hari
setelah penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(6) Pembukuan dana Program Kemitraan dan Program BL dilaksanakan secara terpisah dari
pembukuan BUMN Pembina.
Pasal 10
(1) Menteri setiap tahun menetapkan :
a. BUMN Pembina dan Koordinator BUMN Pembina pada masing-masing Provinsi;
b. Rencana penyaluran dana Program Kemitraan setiap BUMN Pembina pada masingmasing Provinsi berdasarkan usulan masing-masing BUMN Pembina.
(2) Apabila Kordinator BUMN Pembina sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf a untuk tahun
berjalan belum ditetapkan, maka yang berlaku adalah ketetapan Menteri tentang penetapan
Koordinator BUMN Pembina tahun sebelumnya.
Pasal 11
(1) Dana Program Kemitraan diberikan dalam bentuk :
a. Pinjaman untuk membiayai modal kerja dan atau pembelian aktiva tetap dalam rangka
meningkatkan produksi dan penjualan;
b. Pinjaman khusus untuk membiayai kebutuhan dana pelaksanaan kegiatan usaha Mitra
Binaan yang bersifat pinjaman tambahan dan berjangka pendek dalam rangka memenuhi
pesanan dari rekanan usaha Mitra Binaan;
c. Beban Pembinaan :
1) Untuk membiayai pendidikan, pelatihan, pemagangan, pemasaran, promosi, dan halhal lain yang menyangkut peningkatan produktivitas Mitra Binaan serta untuk
pengkajian/penelitian yang berkaitan dengan Program Kemitraan;
2) Beban pembinaan bersifat hibah dan besarnya maksimal 20% (dua puluh persen) dari
dana Program Kemitraan yang disalurkan pada tahun berjalan;
3) Beban Pembinaan hanya dapat diberikan kepada atau untuk kepentingan Mitra Binan.
(2) Dana Program BL :
a. Dana Program BL yang tersedia setiap tahun terdiri dari saldo kas awal tahun,
penerimaan dari alokasi laba yang terealisir, pendapatan bunga jasa giro dan/atau
deposito yang terealisir serta pendapatan lainnya.
b. Setiap …../-7-
-7b. Setiap tahun berjalan sebesar 70% (tujuh puluh persen) dari jumlah dana Program BL
yang tersedia dapat disalurkan melalui Program BL BUMN Pembina.
c. Setiap tahun berjalan sebesar 30% (tiga puluh persen) dari jumlah dana Program BL
yang tersedia diperuntukkan bagi Program BL BUMN Peduli.
d. Apabila pada akhir tahun terdapat sisa kas dana Program BL BUMN Pembina dan
BUMN Peduli, maka sisa kas tersebut menjadi saldo kas awal tahun dana Program BL
tahun berikutnya.
e. Ruang lingkup bantuan Program BL BUMN Pembina :
1) Bantuan korban bencana alam;
2) Bantuan pendidikan dan/atau pelatihan;
3) Bantuan peningkatan kesehatan;
4) Bantuan pengembangan prasarana dan/atau sarana umum;
5) Bantuan sarana ibadah;
6) Bantuan pelestarian alam;
f. Ruang lingkup bantuan Program BL BUMN Peduli ditetapkan oleh Menteri.
BAB IV
MEKANISME PENYALURAN DANA PROGRAM KEMITRAAN DAN PROGRAM BL
Pasal 12
(1) Tata cara pemberian pinjaman dana Program Kemitraan :
a. Calon Mitra Binaan menyampaikan rencana penggunaan dana pinjaman dalam rangka
pengembangan usahanya untuk diajukan kepada BUMN Pembina atau BUMN
Penyalur atau Lembaga Penyalur, dengan memuat sekurang-kurangnya data sebagai
berikut :
1) Nama dan alamat unit usaha;
2) Nama dan alamat pemilik/pengurus unit usaha;
3) Bukti identitas diri pemilik/pengurus;
4) Bidang usaha;
5) Izin usaha atau surat keterangan usaha dari pihak yang berwenang;
6) Perkembangan kinerja usaha (arus kas, perhitungan pendapatan dan beban, neraca
atau data yang menunjukkan keadaan keuangan serta hasil usaha); dan
7) Rencana usaha dan kebutuhan dana.
b. BUMN Pembina atau BUMN Penyalur atau Lembaga Penyalur melaksanakan evaluasi
dan seleksi atas permohonan yang diajukan oleh calon Mitra Binaan;
c. Calon Mitra Binaan yang layak bina, menyelesaikan proses administrasi pinjaman
dengan BUMN Pembina atau BUMN Penyalur atau Lembaga Penyalur bersangkutan;
d. Pemberian pinjaman kepada calon Mitra Binaan dituangkan dalam surat
perjanjian/kontrak yang sekurang-kurangnya memuat :
1) Nama dan alamat BUMN Pembina atau BUMN Penyalur atau Lembaga Penyalur
dan Mitra Binaan;
2) Hak ...../-8-
-82) Hak dan kewajiban BUMN Pembina atau BUMN Penyalur atau Lembaga Penyalur
dan Mitra Binaan;
3) Jumlah pinjaman dan peruntukannya;
4) Syarat-syarat pinjaman (jangka waktu pinjaman, jadual angsuran pokok dan jasa
administrasi pinjaman).
e. BUMN Pembina atau BUMN Penyalur atau Lembaga Penyalur dilarang memberikan
pinjaman kepada calon Mitra Binaan yang menjadi Mitra Binaan BUMN Pembina atau
BUMN Penyalur atau Lembaga Penyalur lain.
(2) Besarnya jasa administrasi pinjaman dana Program Kemitraan per tahun sebesar 6% (enam
persen) dari limit pinjaman atau ditetapkan lain oleh Menteri.
(3) Apabila pinjaman/pembiayaan diberikan berdasarkan prinsip jual beli maka proyeksi
marjin yang dihasilkan disetarakan dengan marjin sebesar 6% (enam persen) atau sesuai
dengan penetapan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatas.
(4) Apabila pinjaman/pembiayaan diberikan berdasarkan prinsip bagi hasil maka rasio bagi
hasilnya untuk BUMN Pembina adalah mulai dari 10% (10 : 90) sampai dengan maksimal
50% (50 : 50).
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berlaku juga terhadap rasio bagi hasil
untuk BUMN Penyalur dan Lembaga Penyalur.
Pasal 13
(1)
Tata cara penyaluran bantuan dana Program BL BUMN Pembina :
a. BUMN Pembina terlebih dahulu melakukan survai dan identifikasi sesuai dengan
kondisi dan kebutuhan di wilayah usaha BUMN Pembina setempat;
b. Pelaksanaan Program BL dilakukan oleh BUMN Pembina yang bersangkutan.
(2) Tata cara penyaluran bantuan dana Program BUMN Peduli ditetapkan oleh Menteri.
BAB V
BEBAN OPERASIONAL PROGRAM KEMITRAAN DAN PROGRAM BL
Pasal 14
(1) Beban Operasional Program Kemitraan dibiayai dari dana hasil jasa administrasi
pinjaman/marjin/bagi hasil, bunga deposito dan/atau jasa giro dana Program Kemitraan .
(2) Besarnya Beban Operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maksimal sebesar jasa
administrasi pinjaman/marjin/bagi hasil, bunga deposito dan/atau jasa giro dana Program
Kemitraan selama tahun berjalan.
(3) Dalam hal dana untuk Beban Operasional tidak mencukupi, maka kekurangannya
dibebankan pada anggaran biaya BUMN Pembina yang bersangkutan.
(4) Apabila …../-9-
-9-
(4) Apabila pada akhir tahun terdapat sisa dana untuk Beban Operasional maka sisa dana
tersebut dapat digunakan untuk membiayai beban operasional tahun berikutnya dan/atau
sebagai tambahan sumber dana Program Kemitraan.
(5) Dalam hal Beban Operasional Program Kemitraan bagi BUMN Pembina yang menerima
pelimpahan dari BUMN Pembina lain tidak mencukupi, maka kekurangan tersebut menjadi
beban BUMN Pembina yang menerima pelimpahan.
Pasal 15
(1) Beban Operasional Program BL BUMN Pembina dibiayai dari dana Program BL.
(2) Besarnya Beban Operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maksimal 5% (lima
persen) dari dana Program BL BUMN Pembina yang disalurkan pada tahun berjalan.
Pasal 16
Beban Operasional Program Kemitraan dan Program BL BUMN Pembina dituangkan dalam
RKA Program Kemitraan dan Program BL.
Pasal 17
BUMN Pembina, BUMN Penyalur dan Lembaga Penyalur dilarang menggunakan dana
Program Kemitraan dan Program BL untuk hal-hal diluar ketentuan yang diatur dalam
Peraturan ini.
BAB VI
PENYUSUNAN DAN PENGESAHAN RENCANA KERJA DAN ANGGARAN
Pasal 18
(1) RKA Program Kemitraan dan Program BL sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 huruf c
terpisah dari Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP) BUMN Pembina.
(2) RKA Program Kemitraan dan Program BL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang
kurangnya memuat :
a. Rencana kerja Program Kemitraan dan Program BL, dirinci menurut wilayah binaan;
b. Anggaran Program Kemitraan dan Program BL, terdiri atas sumber dana, dana yang
tersedia dan rencana penggunaan dana sesuai dengan rencana kerja sebagaimana
dimaksud pada huruf a;
c. Proyeksi Posisi Keuangan, Laporan Aktivitas dan Arus Kas Program Kemitraan dan
Program BL;
d. Masalah yang dihadapi dan langkah-langkah penyelesaiannya.
Pasal 19...../-10-
- 10 Pasal 19
RKA Program Kemitraan dan Program BL yang telah disetujui RUPS/Menteri langsung dapat
dilaksanakan tanpa harus menunggu penetapan rencana penyaluran dana per provinsi
sebagaimana dimaksud pada pasal 10 ayat (1) huruf b.
Pasal 20
(1) Direksi BUMN Pembina wajib menyampaikan RKA Program Kemitraan dan Program BL
kepada Menteri/Pemegang Saham dengan tembusan kepada Komisaris/Dewan Pengawas
paling lambat 60 (enam puluh) hari sebelum memasuki tahun anggaran.
(2) Menteri/RUPS mengesahkan RKA Program Kemitraan dan Program BL paling lambat 30
(tiga puluh) hari setelah tahun anggaran berjalan.
(3) Dalam hal RKA Program Kemitraan dan Program BL belum memperoleh pengesahan
sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), maka RKA Program
Kemitraan dan Program BL tersebut dianggap telah disahkan dan dapat dilaksanakan
sepanjang telah memenuhi ketentuan Pasal 18 dan ayat (1) pasal ini.
(4) Direksi BUMN Pembina bertanggung jawab atas pelaksanaan dan pencapaian sasaran
dalam RKA Program Kemitraan dan Program BL.
(5) Komisaris/Dewan Pengawas BUMN Pembina bertanggung jawab atas pengawasan
pelaksanaan Program Kemitraan dan Program BL.
BAB VII
PENYUSUNAN DAN PENGESAHAN LAPORAN
Pasal 21
(1) Setiap BUMN Pembina wajib menyusun laporan pelaksanaan Program Kemitraan dan
Program BL.
(2) Laporan pelaksanaan Program Kemitraan dan Program BL terdiri dari Laporan Triwulanan
dan Laporan Tahunan.
(3) Laporan pelaksanaan Program Kemitraan dan Program BL sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) disampaikan secara terpisah dari Laporan Berkala dan Laporan Tahunan BUMN
Pembina.
Pasal 22
(1) Direksi BUMN Pembina wajib menyampaikan laporan pelaksanaan Program Kemitraan
dan Program BL kepada Menteri/Pemegang Saham dengan tembusan kepada
Komisaris/Dewan Pengawas, sebagai berikut :
a. Laporan Triwulanan paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah berakhirnya triwulan
yang bersangkutan;
b. Laporan Tahunan termasuk laporan keuangan (audited) paling lambat 5 (lima) bulan
setelah berakhirnya tahun anggaran yang bersangkutan.
(2) Menteri/RUPS...../-11-
- 11 (2) Menteri/RUPS mengesahkan Laporan Tahunan Program Kemitraan dan Program BL
paling lambat 6 (enam) bulan setelah berakhirnya tahun anggaran yang bersangkutan.
(3) Pengesahan Laporan Tahunan Program Kemitraan dan Program BL sekaligus memberikan
pelunasan dan pembebasan tanggungjawab (acquite at de charge) kepada Direksi dan
Komisaris/Dewan Pengawas atas pengurusan dan pengawasan Program Kemitraan dan
Program BL sejauh tindakan tersebut ternyata dalam Laporan Tahunan Program Kemitraan
dan Program BL yang telah di audit oleh Auditor.
Pasal 23
Auditor yang memeriksa Laporan Keuangan pelaksanaan Program Kemitraan dan Program BL
ditetapkan oleh :
a. Menteri untuk Perum;
b. RUPS untuk Persero;
BAB VIII
KUALITAS PINJAMAN DANA PROGRAM KEMITRAAN
Pasal 24
Kualitas pinjaman dana Program Kemitraan dinilai berdasarkan pada ketepatan waktu
pembayaran kembali pokok dan jasa administrasi pinjaman Mitra Binaan.
Pasal 25
Dalam hal Mitra Binaan hanya membayar sebagian angsuran, maka pembayaran tersebut terlebih
dahulu diperhitungkan untuk pembayaran jasa administrasi pinjaman dan sisanya bila ada untuk
pembayaran pokok pinjaman.
Pasal 26
Penggolongan kualitas pinjaman ditetapkan sebagai berikut :
a. Lancar, adalah pembayaran angsuran pokok dan jasa administrasi pinjaman tepat waktu atau
terjadi keterlambatan pembayaran angsuran pokok dan/atau jasa administrasi pinjaman
selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari dari tanggal jatuh tempo pembayaran angsuran,
sesuai dengan perjanjian yang telah disetujui bersama;
b. Kurang lancar, apabila terjadi keterlambatan pembayaran angsuran pokok dan/atau jasa
administrasi pinjaman yang telah melampaui 30 (tiga puluh) hari dan belum melampaui 180
(seratus delapan puluh) hari dari tanggal jatuh tempo pembayaran angsuran, sesuai dengan
perjanjian yang telah disetujui bersama;
c. Diragukan...../-12-
- 12 c. Diragukan, apabila terjadi keterlambatan pembayaran angsuran pokok dan/atau jasa
administrasi pinjaman yang telah melampaui 180 (seratus delapan puluh) hari dan belum
melampaui 270 (duaratus tujuh puluh) hari dari tanggal jatuh tempo pembayaran angsuran,
sesuai dengan perjanjian yang telah disetujui bersama;
d. Macet, apabila terjadi keterlambatan pembayaran angsuran pokok dan/atau jasa administrasi
pinjaman yang telah melampaui 270 (duaratus tujuh puluh) hari dari tanggal jatuh tempo
pembayaran angsuran, sesuai dengan perjanjian yang telah disetujui bersama.
Pasal 27
(1) Terhadap kualitas pinjaman kurang lancar, diragukan dan macet dapat dilakukan usahausaha pemulihan pinjaman dengan cara penjadwalan kembali (rescheduling) atau
penyesuaian persyaratan (reconditioning) apabila memenuhi kriteria :
a. Mitra Binaan beritikad baik atau kooperatif terhadap upaya penyelamatan yang akan
dilakukan;
b. Usaha Mitra Binaan masih berjalan dan mempunyai prospek usaha;
c. Mitra Binaan masih mempunyai kemampuan untuk membayar angsuran.
(2)
Dalam hal dilakukan tindakan penyesuaian persyaratan (reconditioning), tunggakan jasa
administrasi pinjaman dapat dihapuskan dan/atau beban jasa administrasi pinjaman
selanjutnya yang belum jatuh tempo;
(3)
Tindakan penyesuaian persyaratan (reconditioning) dilakukan setelah adanya tindakan
penjadwalan kembali (rescheduling).
Pasal 28
(1) Pinjaman macet yang telah diupayakan pemulihannya namun tidak terpulihkan,
dikelompokkan dalam aktiva lain-lain dengan pos Pinjaman Bermasalah;
(2) Tata cara penghapusbukuan pinjaman bermasalah akan ditetapkan lebih lanjut oleh
Menteri;
(3) Terhadap pinjaman bermasalah yang telah dihapusbukukan tetap diupayakan penagihannya
dan hasilnya dicatat dalam pos Pinjaman Bermasalah yang Diterima Kembali.
(4) Jumlah dan mutasi rekening Pinjaman Bermasalah dan Pinjaman Bermasalah yang
Diterima Kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3), dilaporkan secara
periodik dalam laporan triwulanan.
Pasal 29
Dikecualikan dari pasal 27 ayat (1) diatas, piutang macet yang terjadi karena keadaan memaksa
(Force Majeure) seperti : mitra binaan meninggal dunia dan tidak ada ahli waris yang bersedia
menanggung hutang dan/atau gagal usaha akibat bencana alam/kerusuhan, pemindahbukuan
piutang macet tersebut kedalam pos pinjaman bermasalah dapat dilaksanakan tanpa melalui
proses pemulihan pinjaman.
BAB IX …../-13-
- 13 -
BAB IX
KINERJA PROGRAM KEMITRAAN
Pasal 30
(1) Kinerja Program Kemitraan merupakan salah satu indikator penilaian tingkat kesehatan
BUMN Pembina.
(2) Perhitungan kinerja Program Kemitraan akan diatur kemudian oleh Menteri.
BAB X
PEDOMAN AKUNTANSI PROGRAM KEMITRAAN DAN PROGRAM BL
Pasal 31
(1)
Penerapan pedoman akuntansi Program Kemitraan dan Program BL bertujuan untuk
terciptanya informasi keuangan Program Kemitraan dan Program BL yang accountable
(wajar dan dapat diandalkan) serta auditable.
(2)
Laporan keuangan Program Kemitraan dan Program BL terdiri dari Laporan Posisi
Keuangan, Laporan Aktivitas dan Laporan Arus Kas, serta Catatan Atas Laporan
Keuangan.
(3)
Laporan Arus Kas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disusun dengan menggunakan
metode langsung (direct methode).
BAB XI
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 32
Ketentuan-ketentuan dalam Peraturan ini berlaku pula bagi anak perusahaan BUMN dan
perusahaan patungan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah atau dengan pihak
lainnya, dengan ketentuan pemberlakuan Peraturan ini dikukuhkan dalam RUPS masing-masing
perusahaan dimaksud.
Pasal 33
Memberi kewenangan kepada Sekretaris Kementerian Negara BUMN untuk membuat petunjuk
teknis lebih lanjut atas Peraturan ini.
BAB XII ......./14
- 14 -
BAB XII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 34
Dengan ditetapkannya Peraturan ini, maka :
1. Keputusan Menteri Badan Usaha Milik Negara Nomor Kep-236/MBU/2003 tanggal 17 Juni
2003 tentang Program Kemitraan Badan Usaha Milik Negara dengan Usaha Kecil dan
Program Bina Lingkungan;
2. Ketentuan-ketentuan yang bertentangan dengan Peraturan ini,
dinyatakan tidak berlaku bagi BUMN.
BAB XIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 35
Peraturan ini mulai berlaku untuk tahun buku 2007.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
SALINAN peraturan ini disampaikan kepada Yth. ;
1. Ketua Badan Pemeriksa Keuangan;
2. Menteri Koordinator Perekonomian;
3. Menteri Keuangan;
4. Pejabat Eselon I dan Eselon II di lingkungan Kementerian Negara Badan Usaha Milik Negara.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 27 April 2007
MENTERI NEGARA
BADAN USAHA MILIK NEGARA
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Biro Hukum dan Humas
Kementerian Negara BUMN
ttd.
Herman Hidayat
NIP 060056141
ttd.
SUGIHARTO
Download