PENISTAAN AGAMA DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF DAN ISLAM (Studi Kasus Dugaan Penistaan Agama oleh Basuki Tjahaya Purnama(Ahok)) Oleh: Muannif Ridwan1 Abstract This study discusses the defamation of religion which became a hot topic among Indonesian society today. As a lot of news about it in the print and electronic media. This issue drew public attention back, one of which stems from the release of video footage Tjahaja Basuki Purnama (Ahok) quoting Surah Al Maidah verse 51. In the concept of the crime of blasphemy carries the consequences of an act of tarnishing religion. Policy formulation of the crime of defamation of religion shows that the legal interest protected is religion itself. Defamation of religion have been decided by the Constitutional Court as a criminal offense that is not contrary to the 1945 Constitution, and therefore still workable and ensnare anyone suspected of doing so. In Islam, the Quran has a way to resolve cases of defamation of religion as in Surat an-Nisa verse 140 and surah Al-An'am verse 68. Keywords: Defamation of Religion, Positive Law, Islamic Law I. LATAR BELAKANG MASALAH Penistaan agama kembali menjadi topik pembicaraan di masyarakat Indonesia. Sebagaimana banyak pemberitaan di media cetak dan elektronik. Isu penistaan agama kembali menjadi perhatian masyarakat di Indonesia salah satunya bermula dari beredarnya potongan video Basuki Tjahaja Purnama (BTP) alias Ahok, Gubernur DKI Jakarta, yang mengutip Surat Al Maidah Ayat 51 pada saat melakukan kunjungan kerja di Kepulauan Seribu pada 27 September 2016 yang lalu. Video tersebut menjadi viral di media sosial dan pada akhirnya mengundang respon publik yang besar, khususnya umat Islam di Indonesia. Konsep penistaan Agama digunakan untuk menyebut tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 156 a KUHP. Dalam pasal tersebut tidak menjelaskan pengertian dari penistaan agama itu sendiri. Penodaan agama berasal dari 2 (dua) kata yaitu penodaan dan agama. Penodaan i t u sendiri terbentuk dari kata dasar noda kemudian mendapat imbuhan pe-an yang berfungsi menyatakan suatu perbuatan. Berdasarka uraian tersebut dapat diartikan perbuatan yang menimbulkan noda, dengan kata lain menodai. Konsep tindak pidana penistaan agama membawa konsekuensi apabila suatu perbuatan menodai Agama, namun tidak mengganggu ketentraman orang beragama perbuatan tersebut tidak dapat dipidana, karena tidak mengganggu 1 Muannif Ridwan adalah Mahasiswa Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum Universitas Islam As-syafi’iyah, Jakarta. 18 ketertiban umum. Kebijakan formulasi tindak pidana penistaan agama menunjukan bahwa kepentingan hokum yang dilindungi adalah Agama itu sendiri. Konsep demikian membawa konsekuensi, tanpa mengganggu ketertiban umum apabila seseorang melakukan perbuatan yang menista Agama maka perbuatan tersebut dapat dipidana. Di Indonesia, UU No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama yang selama ini dijadikan dasar hukum, selain pasal 156 a KUHP, upaya penindakan aliran-aliran sesat hanya memuat rumusan sanksi pidana penjara selama-lamanya lima tahun. Dan adanya SKB 3 menteri sebagai salah satu bentuk penanggulangan tindak pidana penistaan agama. Agama merupakan sebuah koleksi terorganisir dari kepercayaan, sistem budaya, dan pandangan dunia yang menghubungkan manusia dengan tatanan/perintah dari kehidupan. Bagi para penganutnya agama berisikan ajaranajaran mengenai kebenaran tertinggi dan mutlak tentang eksistensi manusia dan petunjuk hidup di dunia maupun di akhirat. Karena itu pula agama dapat menjadi bagian dan inti dari sistem-sistem nilai yang ada dalam kebudayaan dari masyarakat yang bersangkutan, dan menjadi pendorong serta pengontrol bagi tindakan-tindakan para anggota masyarakat tersebut untuk tetap berjalan sesuai dengan nilai-nilai kebudayaan dan ajaran-ajaran Agamanya.2 Agama tidak hanya mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhannya, tetapi juga hubungannya dengan sesama manusia. Oleh karena itu, agama juga memiliki pengaruh terhadap kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pengingkaran terhadap pengaruh agama dalam kehidupan bermasyarakat dapat mendorong terjadinya penodaan terhadap agama. Maraknya tindak pidana penistaan agama dalam berbagai bentuk, seperti munculnya penyimpanganpenyimpangan dalam kehidupan beragama dalam masyarakat yang bertentangan dengan ajaran-ajaran dan hukum agama yang telah ada tersebut dapat merongrong sendi-sendi kehidupan beragama masyarakat. Indonesia bukanlah negara agama, sebab negara Indonesia tidak didasarkan pada suatu agama tertentu, tetapi Indonesia mengakui eksistensi enam (6) agama, yaitu: agama Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha dan Konghuchu. Sebenarnya, masalah keyakinan terhadap suatu ajaran agama adalah urusan hati setiap manusia dan tidak bisa diintervensi siapapun. Tapi mengubah, menambah, atau menghilangkan ajaran agama yang sudah ada dianut di Indonesia, bukanlah suatu hak asasi manusia yang harus dihormati dan dilindungi, karena itu adalah perbuatan menista suatu agama atau penodaan agama. Penodaan ajaran agama ialah suatu hal/kegiatan yang mengusik ajaran sakral dalam satu agama. 2Parsudi Suparlan Dalam Rebertson, Roland (ed). 1988. “Agama: Dalam Analisis dan Interpretasi Sosiologi”, pp.v-xvi. Jakarta CV. Rajawali, hlm. 26. 19 Menurut Wirjono Prodjodikoro yang dimaksud tindak pidana terhadap kepentingan agama sering disebut dengan penodaan agama. Aspek mengenai tindak pidana terhadap kepentingan agama tersebut diatur dalam KUHP dengan tujuan melindungi kepentingan agama. Di dalam KUHP ada tiga kepentingan yang dilindungi yaitu kepentingan individu, kepentingan masyarakat dan kepentingan negara yang masing-masing diperinci ke dalam sub jenis kepentingan lagi.3 Kelemahan delik terhadap agama didukung dengan tidak adanya penyebutan objek yang dihina dari agama secara jelas. Selain itu, rumusan deliknya juga tidak mencantumkan unsur “kesalahan” yang berupa penyebaran kebencian, ejekan, hujatan, atau penghinaan terhadap objek dari keyakinan agama yang dihujat atau dihina. Maka negara bukan hanya melindungi agama, tetapi juga perlindungan terhadap perasaan keagamaan masyarakat dan perlindungan terhadap ketentraman umat beragama, karena menyerang menghina kesucian agama lain atau menyerang konsep Tuhan, Rasul, Nabi, dan Kitab Suci, tentu akan menodai perasaan keagamaan penganutnya. Jadi, yang ditekankan di sini ketika seseorang mengekspresikan keyakinannya di “ranah publik” yang mengakibatkan terhinanya perasaan keagamaan pihak lain. Hal inilah yang melahirkan pelecehan atau penodaan agama. Ketidakjelasan rumusan delik terhadap agama yang ada dalam setiap peraturan di Indonesia, berimbas tidak seimbangnya hukuman terhadap pelaku pelanggaran delik agama. Hukuman yang sepantasnya dijatuhkan harusnya bertujuan agar tidak adanya balasan dari apa yang telah dilakukan, menjadikan hukuman sebagai bahan perbaikan dan pengajaran, serta bertujuan agar pelaku tidak mengulangi perbuataan pidananya untuk kedua kalinya. Disamping itu juga merupakan tindakan preventif bagi orang lain untuk tidak melakukan tindakan yang sama.4 II. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan penjelasan dan uraian di atas, untuk lebih detailnya maka penulis akan mengemukakan beberapa pertanyaan sebagai rumusan masalah yang diharapkan mampu mengantarkan pada pemahaman yang sistematis dan mendalam, yaitu: 1. Bagaimana penistaan Agama dilihat dari perspektif hukum di Indonesia? 2. Apa Sanksi Pidana Terhadap Penistaan Agama Menurut Hukum Positif? 3. Bagaimana pandangan Islam terhadap perilaku atau tindakan penistaan agama? III. KERANGKA KONSEP POLITIK HUKUM Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Eresco, 1986), hlm. 6. 4 Majalah Hidayatullah, Sekte Penyembah Kucing, (Edisi November 2008), hlm. 1. 3 20 Penistaan agama telah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi sebagai delik pidana yang tidak bertentangan dengan UUD 1945, dan karenanya masih bisa diterapkan dan menjerat siapapun yang diduga melakukannya. Minimal ada dua putusan MK Nomor 140/PUU-VII/2009 dan Nomor 84/PUU-X/2012 terkait pengujian Pasal 156a KUHP jo Undang-Undang Nomor 1 /PNPS tahun 1965 Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Dalam dua kasus pengujian itu, MK memutuskan menolak argumentasi pemohon bahwa Pasal 156a KUHP jo Undang-Undang Nomor 1 /PNPS tahun 1965 bertentangan dengan UUD 1945. Para pemohon dalam perkara tahun 2009 adalah beberapa LSM yang bergerak di bidang bantuan hukum dan HAM, seperti LBH, Imparsial, ELSAM, PBHI, DEMOS, Setara Institute dan Desantara Foundation. Selain itu, terdapat juga para Pemohon perorangan, di antaranya M. Dawam Rahardjo dan mantan Presiden Abdurrahman Wahid.5 Inti dari putusan MK adalah menolak argumen bahwa delik penistaan agama adalah bentuk intervensi negara ke wilayah kebebasan beragama. MK tetap berpandangan bahwa kebebasan beragama perlu ada pembatasan, agar tidak menimbulkan penistaan. Yang pasti sejak reformasi, ketika kebebasan berbicara makin terbuka, kasus penodaan agama makin banyak terjadi. Di era Orde Baru sampai awal reformasi dari tahun 1965 hingga tahun 2000, pasal 165A hanya dipakai 10 kali. Namun dalam 15 tahun terakhir (2000 -2015) telah digunakan pada lebih dari 50 kasus. Dengan pelaku terbanyaknya mengaku beragama Kristen 61 orang dan Islam 49 orang (aliran kepercayaan 4 orang dan tidak diketahui 6 orang). Soal politik hukum penistaan agama ini menarik untuk membaca tulisan Zainal Abidin Bagir berjudul, "Supremasi Hukum untuk Penista Agama" pada situs www.islamindonesia.id.6 Banyak isu yang berpilin dengan kasus dugaan penistaan agama terhadap Terlapor Basuki Tjahaya Purnama (BTP) alias Ahok ini. Salah satunya yang ingin penulis berikan komentar adalah keterkaitannya dengan posisi Ahok sebagai Calon Gubernur dalam Pilgub Jakarta 2017 mendatang. Penulis membaca ada pandangan bahwa jika yang bersangkutan menjadi tersangka atau terdakwa, maka statusnya sebagai calon gubernur menjadi hilang. Pandangan demikian keliru dan harus diluruskan. Kasus dugaan penistaan agama yang dituduhkan kepada Ahok ini bisa dikatakan sebagai persoalan agama yang menjadi persoalan politik. Kalau agama ada cara Al-Quran untuk menyelesaikan seperti dalam surat An-Nisa ayat 140 dan surat Al-An’am ayat 68. Catatan Kamisan Denny Indrayana, Ahok, Penistaan Agama dan Supremasi Hukum, DetikNews, Kamis 10 Nov 2016, 12:10 WIB 6 https://islamindonesia.id/kolom/kolom-supremasi-hukum-untuk-penistaagama.htm 5 21 Artinya: Dan sungguh Allah telah menurunkan kekuatan kepada kamu di dalam Al Quran bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka. Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan semua orang-orang munafik dan orang-orang kafir di dalam Jahannam. (QS. AnNisa ayat 140) Artinya: Dan apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olokkan ayatayat Kami, maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain. Dan jika syaitan menjadikan kamu lupa (akan larangan ini), maka janganlah kamu duduk bersama orang-orang yang zalim itu sesudah teringat (akan larangan itu). (Al-An’am ayat 68) Kalau orang yang terbukti memperolok-olok agama, penyelesaiannya dengan cara diboikot dan hindari sampai bicara dengan benar, bukan berarti harus didemo ramai-ramai. Jika murni persoalan agama, seharusnya sudah selesai dengan mengikuti solusi yang tertuang dalam Alquran tersebut. Apalagi Ahok sudah minta maaf. Kalau memang sesuai agama, agama itu ajarannya santun, cinta damai dan menganjurkan untuk memaafkan. Kalau ternyata ada kebencian atau jengkel, itu murni politik. Sementara penggunaan Pasal 156a KUHP jo Pasal 28 (1) UU 11 tahun 2008 tentang ITE, di tengah kontestasi politik Pilkada DKI, menegaskan bahwa Ahok terjebak pada praktik politisasi identitas yang didesain oleh kelompok-kelompok tertentu. Dalam Pasal 163 UU 10 Tahun 2016 terkait pemilihan gubernur ditegaskan bahwa status tersangka dan terdakwa tidak menghilangkan status seorang calon gubernur. Bahkan di dalam Pasal 163 ayat (6) dalam status tersangka, seorang gubernur terpilih tetap harus dilantik. Dalam pasal 163 ayat (7) diatur, dalam status terdakwa, gubernur terpilih tetap dilantik meskipun kemudian pada saat pelantikan itu juga diberhentikan sementara. Baru jika keputusan pengadilan menetapkan gubernur terpilih menjadi terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum, menurut Pasal 163 ayat (8) yang bersangkutan tetap dilantik agar dapat langsung diberhentikan. Mengingat sekarang masih jauh dari putusan berkekuatan hukum tetap, sedangkan proses Pilgub Jakarta akan berakhir pertengahan tahun depan, maka jelaslah bahwa 22 jikapun Ahok menjadi tersangka ataupun terdakwa, dia tetap bisa terus mengikuti proses pemilihan gubernur di Jakarta.7 Terkait soal independensi penegakan hukum. Saat ini atas kasus dugaan penistaan agama oleh Terlapor Ahok ini, masyarakat minimal terbelah menjadi pendukung dan pembela Ahok. Masing-masing pada dua kutub ekstrem tuntutan; mewajibkan Ahok menjadi tersangka atau megharuskan Ahok bebas. Perlu ditegaskan berulang kali, bahwa pendapat demikian adalah hak dan dijamin sebagai kebebasan berpendapat dalam UUD 1945. Namun, UUD 1945 juga menjamin kemerdekaan kekuasaan kehakiman, dalam arti tidak boleh ada bentuk intervensi ataupun paksaan dalam bentuk apapun oleh siapapun atas suatu proses hukum. Karenanya, semua pihak harus sama-sama menghormati proses hukum yang sekarang berlangsung, tanpa memaksanakan kehendaknya sendiri-sendiri yang sangat berbahaya bagi prinsip kemerdekaan kekuasaan kehakiman dan pondasi dasar negara hukum Indonesia. IV. PEMBAHASAN 1. Penistaan Agama dalam Perspektif Hukum di Indonesia Isu penistaan agama kembali menjadi perhatian publik di Indonesia. Hal itu dipicu oleh potongan video Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, Gubernur DKI Jakarta, yang mengutip Surat Al Maidah Ayat 51 pada saat melakukan kunjungan kerja di Kepulauan Seribu pada 27 September 2016. Video tersebut viral di media sosial dan pada akhirnya mengundang respon publik yang besar, khususnya umat Islam di Indonesia. Sebagian pihak menilai ucapan Ahok dalam potongan video tersebut telah menistakan ajaran Agama Islam. Namun di sisi lain, Ahok menganggap ucapannya tersebut merupakan respon terhadap sejumlah pihak yang menggunakan ayat suci untuk kepentingan politiknya dengan tujuan menolak Ahok dalam Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 mendatang. Terhadap tuduhan melecehkan Agama Islam, Ahok kemudian meminta maaf kepada umat Islam atas ucapannya. Hal itu disampaikan Ahok di Balai Kota DKI Jakarta, Senin 10 Oktober 2016. Namun sejumlah pihak tidak memaafkan Ahok dan tetap ingin membawa kasus tersebut ke dalam ranah hukum.8 Selama ini ada beberapa kasus penistaan agama yang berujung di ranah hukum, beberapa diantaranya: (1) Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar)9; (2) Analisis Hukum Tentang Kasus Ahok Penistaan Agama Islam, Oleh: DR. M. Khoirul Huda SH MH, Dekan Fakultas Hukum Universitas Hang Tuah Surabaya bisa diakses melalui situs: www.sriwijayaaktual.com 8 http://megapolitan.kompas.com/read/2016/10/10/09245441/ahok.minta.maaf. kepada.umat.islam 9 Terkait organisasi ini, selengkapnya bisa dibaca di: https://beritagar.id/artikel/ berita/fakta-seputar-gafatar-gerakan-fajar-nusantara 7 23 penistaan agama oleh Arswendo Atmowiloto melalui Tabloid Monitor; (3) penistaan agama oleh Nando Irwansyah M’ali terhadap Agama Hindu (4) penistaan Agama Hindu oleh Rusgiani; (5) penistaan agama terhadap Agama Kristen oleh Heidi Euginie; (6) penistaan Agama Islam oleh Ki Panji Kusmin pada 1968.10 Secara yuridis penodaan agama merupakan bagian dari delik agama yang memang telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) di Indonesia. Pengaturan tersebut ditujukan untuk menjamin agar negara Indonesia yang majemuk; multi agama, multi etnik, dan multi ras dapat terhindar dari halhal memecah belah, salah satunya konflik-konflik antar umat beragama. Di dalam KUHP sebetulnya tidak ada bab khusus yang mengatur delik agama. Namun ada beberapa delik yang sebenarnya dapat dikategorikan sebagai delik agama. Istilah delik agama sendiri mengandung beberapa pengertian meliputi: (a) Delik menurut agama; (b) Delik terhadap agama; (c) Delik yang berhubungan dengan agama.11 Adami Chazawi, seorang pakar hukum pidana, mengemukakan mengenai kejahatan penghinaan yang berhubungan dengan agama ini dapat dibedakan menjadi 4 (empat) macam, yaitu: (1) penghinaan terhadap agama tertentu yang ada di Indonesia (Pasal 156a); (2) penghinaan terhadap petugas agama yang menjalankan tugasnya (Pasal 177 angka 1); (3) penghinaan mengenai bendabenda untuk keperluan ibadah (Pasal 177 angka 2); (4) menimbulkan gaduh di dekat tempat ibadah yang sedang digunakan beribadah (Pasal 503).12 Pasal yang selama ini sering disebut sebagai pasal penodaan agama adalah Pasal 156a KUHP. Perlu diketahui bahwa sebenarnya Pasal 156a KUHP ini tidak berasal dari Wetboek van Strafrecht (WvS) Belanda, melainkan bersumber dari Penetapan Presiden Nomor 1 tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama (Penpres No.1/1965). Penpres No.1/1965 dalam Pasal 4 menyatakan “dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barangsiapa dengan sengaja dimuka umum mengeluarkan perasaan aau melakukan perbuatan: (a) yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; (b) dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendi ke– Tuhanan Yang Maha Esa.” 10http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/16/10/18/of81e3330-ini- kasus-penistaan-agama-di-indonesia-yang-diproses-hukum 11 Delik Penodaan Agama Di Tinjau Dari Sudut Pandang Hukum Pidana Di Indonesia, Oleh: Randy A. Adare, Lex et Societatis, Vol.I/No.1/Jan-Mrt/2013 12 Adami Chazawi, 2008, Pelajaran Hukum Pidana 2, Raja Grafindo Persada, Jakarta. 24 Salah satu fungsi penting hukum pidana adalah untuk memberikan legitimasi bagi tindakan represif negara terhadap seseorang atau kelompok orang yang melakukan perbuatan yang mengancam dan membahayakan, serta merugikan kepentingan umum. Namun dalam pelaksanaannya, kebijakan pemerintah dalam masalah agama senantiasa menimbulkan pro kontra. Hal ini dikarenakan kelompok-kelompok agama di Indonesia sendiri mempunyai aspirasi yang bukan saja berbeda, tapi saling bertentangan, bahkan di dalam internal kelompok agama sendiri. Menurut Rusli Muhammad, Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, dengan ‘mengamankan’ agenda keagamaan melalui pasal dalam undang-undang dan regulasi lainnya, maka tindakan yang diskriminatif sekalipun bisa menjadi ‘kebenaran’ karena disahkan oleh undang-undang. Kondisi ini jelas berbahaya, karena undang-undang bisa menjadi sandera untuk membenarkan tindakan yang melanggar konstitusi sekalipun.13 Dalam hubungannya dengan kasus dugaan penistaan agama yang dilakukan oleh Ahok, harapannya hukum dapat bekerja secara profesional dan proporsional. Meskipun semestinya perkara menyangkut Ahok ini bisa saja selesai apabila permintaan maaf Ahok diterima dengan catatan tidak diulangi lagi. Namun yang terjadi adalah sebagian pihak memaafkan, sementara pihak lain tidak. Sehingga mau tidak mau kasus dugaan penodaan agama yang dilakukan oleh Ahok ini bisa saja dibawa ke ranah hukum oleh pihak-pihak yang tidak mau memaafkan. Persoalannya sekarang, dalam praktek peradilan terkait dengan delik penodaan terhadap agama yang sering menjadi kesulitan adalah istilah penodaan terhadap agama sesungguhnya sangat abstrak. Dalam praktiknya pasal tentang penodaan agama menjadi pasal yang sangat lentur yang bisa dipahami secara sepihak. Oleh karena itu dalam pembuktian kasus penodaan agama harus dilakukan dengan hati-hati dan memperhatikan aspek kepastian hukum bagi masyarakat. 2. Sanksi Pidana Terhadap Penistaan Agama Menurut Hukum Positif Sanksi pidana dalam KUHP sesungguhnya bersifat reaktif dalam suatu perbuatan, sedangkan sanksi tindakan lebih bersifat antisipatif terhadap pelaku perbuatan tersebut. Menurut Alf Ross Sanksi pidana adalah suatu sanksi yang harus memenuhi dua syarat/tujuan. Pertama: pidana dikenakan kepada pengenaan penderitaan terhadap orang yang bersangkutan. Kedua: pidana itu harus merupakan suatu pernyataan pencelaan terhadap perbuatan si pelaku.14 Penodaan Agama dalam Perspektif Hukum Di Indonesia, oleh: Zihan Syahayani, Peneliti Bidang Hukum di The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research, hlm. 3. 14 Sudut Hukum, Portal Hukum Indonesia (http://www.suduthukum.com/) 13 25 Perumusan sanksi pidana dalam KUHP pada umumnya memakai dua pilihan, misalnya pidana penjara atau denda (system alternative). Jika dipandang dari sudut sifatnya, sanksi merupakan akibat hukum dari pada pelanggaran suatu kaidah, hukuman dijatuhkan berhubung dilanggarnya suatu norma oleh seseorang. Mengenai aturan penodaan agama, sanksi yang dikenakan adalah sanksi penjara sebagai bagian dari sanksi pidana dengan membuat pelaku tersebut menderita, sanksi penodaan agama ini diatur dalam pasal 2 UU PNPS No 1/1965 (jo Undang-Undang No 5/1965) dan pasal 156a KUHP. Pasal 2 UU PNPS No 1/1965 menyebutkan: Ayat (1) Barang siapa melanggar ketentuan tersebut dalam pasal 1 diberi perintah dan peringatan keras untuk menghentikan perbuatannya itu di dalam suatu keputusan bersama Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri”. Ayat (2) “Apabila pelanggaran tersebut dalam ayat (1) dilakukan oleh organisasi atau sesuatu aliran kepercayaan, maka Presiden Republik Indonesia dapat membubarkan organisasi itu dan menyatakan organisasi atau aliran tersebut sebagai organisasi atau aliran terlarang, satu dan lain setelah Presiden mendapat pertimbangan dari Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri. Sesuai dengan kepribadian Indonesia, maka terhadap orang-orang ataupun penganut-penganut suatu aliran kepercayaan maupun anggota maupun anggota pengurus organisasi yang melanggar larangan tersebut dalam pasal 1, untuk permulaannya dirasa cukup diberi nasehat seperlunya. Apabila penyelewengan itu dilakukan oleh organisasi atau penganut-penganut kepercayaan dan mempunyai efek yang cukup serius bagi masyarakat yang beragama, maka Presiden berwenang untu membubarkan organisasi itu dan untuk menyatakan sebagai organisasi atau aliran terlarang dengan akibat-akibatnya. Dalam pasal 3 disebutkan: Apabila, setelah dilakukan tindakan oleh Menteri Agama bersamasama Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri atau oleh Presiden Republik Indonesia menurut ketentuan pasal 2 terhadap orang, organisasi atau aliran kepercayaan, mereka masih terus melanggar ketentuan dalam pasal 1, maka orang, penganut, anggota dan atau anggota Pengurus Organisasi yang bersangkutan dari aliran itu dipidanna dengan pidana penjara selamalamanya lima tahun”. Pemberian ancaman pidana yang diatur dalam pasal ini adalah tindakan lanjutan terhadap anasir-anasir yang tetap mengabaikan peringatan tersebut, dalam pasal 2. Oleh karena aliran kepercayaan biasanya tidak mempunyai bentuk seperti organisasi/perhimpunan, di mana mudah dibedakan siapa pengurus dan siapa anggotanya, maka mengenai aliran kepercayaan, hanya penganutnaya yang masih melakukan pelanggaran yang dapat dikenakan pidana, sedang pemuka 26 aliran sendiri yang menghentikan kegiatannya tidak dapat dituntut. Mengingat sifat dari tindak pidana dalam pasal ini, maka ancaman pidana 5 tahun dirasa sudah wajar. Dalam pasal 4 disebutkan: Pada KUHP diadakan pasal baru yaitu pasal 156a yang berbunyi: Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: a. Yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia. b. Dengan maksud agar orang tidak menganut agama apapun juga yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Sanksi penjara tersebut diberlakukan jika tersangka telah terbukti secara sah dan meyakinkan dan diputuskan oleh pengadilan dengan ancaman hukuman maksimal lima tahuk penjara, dikatakan maksimal, artinya jumlah pidana tersebut pelaku penistaan agama dalam KUHP adalah lima tahun penjara atau bahkan dapat diberikan hukuman minimum. 3. Pandangan Islam Terhadap Perilaku Atau Tindakan Penistaan Agama Selain video viral Ahok yang mengutip Surat Al Maidah Ayat 51 pada saat melakukan kunjungan kerja di Kepulauan Seribu pada 27 September yang lalu. Sebelumnya juga telah beredar beberapa foto remaja yang disinyalir berasal dari Metro Lampung berpose tengah melaksanakan shalat. Yang jadi permasalahan, mereka melaksanakan shalat tersebut dengan aurat terbuka. Imam Asyrofi, pengurus MUI Lampung, dan seluruh umat Islam sangat menyayangkan beredarnya foto tersebut. Apapun alasannya itu merupakan pelecehan dan penistaan agama Islam.15 Dalam Islam, perbuatan tersebut masuk dalam kategori Istihza’ bid din yakni memperolok atau menistakan agama. Sementara menistakan agama termasuk salah satu pembatal keislaman seseorang. Dalam ta’liq (syarah) kitab Aqidah Ath Thahawiyah, Syaikh, Shalih Al Fauzan mengatakan: “Pembatal-pembatal keislaman sangat banyak. Diantaranya adalah juhud (pengingkaran hukum Allah), syirik dan memperolokolok/menistakan agama atau sebagian dari syi’ar agama –meskpin ia tidak mengingkarinya. Para ulama dan ahli fiqh telah menyebutkannya dalam bab-bab riddah (kemurtadan). Diantaranya juga adalah menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal.” Allah SWT. berfirman dalam kitab-Nya: Informasi lengkapnya bisa diakses melalui: http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/hukum/16/07/25/oatun9318beredar-di-medsos-remaja-lampung-shalat-buka-aurat 15 27 Artinya: Orang-orang munafik itu takut akan diturunkan terhadap mereka sesuatu surat yang menerangkan apa yang tersembunyi di dalam hati mereka. Katakanlah kepada mereka: “Teruskanlah ejekan-ejekanmu (terhadap Allah dan RasulNya)”. Sesungguhnya Allah akan menyatakan apa yang kamu takuti. (At Taubah:64). Artinya: Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentu mereka akan menjawab: “Sesungguhnya kami hanya bersenda-gurau dan bermain-main saja”. Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya, kamu selalu berolok-olok?” (At Taubah:65). Artinya: Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman. Jika Kami mema’afkan segolongan dari kamu (lantaran mereka taubat), niscaya Kami akan mengadzab golongan (yang lain) disebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa. (At Taubah:66). Ayat ini menjelaskan sikap orang-orang munafik terhadap Allah, Rasul-Nya dan kaum mukminin. Kebencian yang selama ini mereka pendam, terlahir dalam bentuk ejekan dan olok-olokan terhadap Allah dan Rasul-Nya. Allah berfirman dalam kitab-Nya: Artinya: Dan sungguh Allah telah menurunkan kepada kamu di dalam Al Qur’an bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka. Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan orangorang munafik dan orang-orang kafir di dalam jahannam. (An Nisa’:140). Berkaitan dengan ayat ini, Syaikh Abdurrahman As Sa’di mengatakan dalam tafsirnya: “Yakni Allah telah menjelaskan kepada kamu–dari apa yang telah Allah turunkan kepadamu– hukum syar’i berkaitan dengan menghadiri majelis-majelis kufur dan maksiat. Allah mengatakan “bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan” yaitu dilecehkan, maka sesungguhnya kewajiban atas setiap mukallaf (orang yang sudah baligh dan berakal sehat) apabila mendengar ayat-ayat Allah adalah mengimaninya, mengagungkan dan memuliakannya. Itulah maksud diturunkannya ayat-ayat Allah. Dialah Allah yang karenanya telah menciptakan makhluk. Lawan dari iman adalah mengkufurinya, dan lawan dari pengagungan adalah melecehkan dan merendahkannya. Termasuk di dalamnya adalah perdebatan orang-orang kafir dan munafik untuk membatalkan ayat-ayat Allah dan mendukung kekafiran mereka.16 Tafsir Al-Quran Al-Karim, fi Tafsiril Mannan, Syaikh Abdurrahman bin Nashir asSa’di, 1-7 jilid; 696 hlmn. 16 28 V. PENUTUP A. Kesimpulan 1. Penistaan agama telah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi sebagai delik pidana yang tidak bertentangan dengan UUD 1945, dan karenanya masih bisa diterapkan dan menjerat siapapun yang diduga melakukannya. Minimal ada dua putusan MK Nomor 140/PUUVII/2009 dan Nomor 84/PUU-X/2012 terkait pengujian Pasal 156a KUHP jo Undang-Undang Nomor 1 /PNPS tahun 1965 Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. 2. Jika mengacu pada keputusan Mahkamah Agung, perkara yang dianggap mengandung unsur penistaan agama Islam rujukannya adalah Majelis Ulama Indonesia (MUI) 3. Dalam perspektif agama Islam ada cara Al-Quran untuk menyelesaikan kasus penistaan agama seperti dalam surat An-Nisa ayat 140 dan surat Al-An’am ayat 68. Kalau orang yang terbukti memperolok-olok agama, penyelesaiannya dengan cara diboikot dan hindari sampai bicara dengan benar. Sementara menistakan agama (Istihza’ bid din) termasuk salah satu pembatal keislaman seseorang. 4. Penegakan hukum memang bukanlah jalan terbaik untuk kasus-kasus yang disebut “penodaan agama”. Alternatifnya adalah jalan penyelesaian lain, non-hukum, yang diharapkan dapat menyelesaikan masalah dan lebih berkeadilan bagi semua pihak. Yaitu ishlah atau rekonsiliasi. 5. Dalam upaya mengatasi konflik, biasa dikenal tiga pendekatan. Pertama, pendekatan kuasa (yang populer di masa Orde Baru). Kedua, pendekatan berbasis hak (yang menggunakan instrumen-instrumen hukum untuk melihat pihak mana yang bersalah dan pihak mana yang benar). Ketiga, pendekatan berbasis kepentingan bersama, dimana pihak-pihak yang bertikai mencari cara agar kepentingan mereka dapat terpenuhi dan konflik selesai. Ishlah adalah salah satu bentuk jalan ketiga itu. Ada dua alasan mengapa pendekatan ini perlu dilakukan: (1) kemungkinan besar bahwa hasil proses hukum ternyata tidak bisa diterima sebagian orang; dan (2) bahwa masalah tuduhan penistaan agama ini kini telah mencapai tingkat yang cukup mengkhawatirkan. B. Saran 1. Semua umat beragama harus menghindarkan diri dari upaya penistaan agama. Namun yang jauh lebih penting adalah umat beragama harus menyadari bahwa semua perilaku atau tindakan individu dan sosial yang bertentangan dengan nilai ajaran agama, semua itu merupakan tindakan penistaan terhadap ajaran agama itu sendiri. 29 2. Semua umat beragama perlu memahami bahwa soal isu agama itu tidak hanya menyangkut aspek rasional dan empiris keagamaan semata, tetapi juga terkait dengan dimensi kebatinan (feeling of the people) atau spiritualitas masing-masing umat beragama yang sangat subyektif, yang hanya dapat dipahami atau dihayati oleh individu masing-masing penganut agama. 3. Media massa maupun media sosial lainnya harus tetap mengedepankan analisis dan kajian kegamaan secara rasional, akademis dan proporsional. Fokus pada ide dan sedapat mungkin menghindarkan diri dari sikap menghakimi (Judgement) atau stigmasi pribadi, kelompok maupun lembaga keagamaan dan lembaga sosial lainnya. 4. Kasus yang menimpa Ahok ini hendaknya dapat dijadikan pelajaran bagi semua umat beragama agar dimasa depan lebih berhati-hati lagi bila berbicara soal agama. Dalam soal agama, biarkan ilmuan agama masing-masing yang paling berhak (kompeten) dalam menafsirkan ajaran agamanya. Orang atau penganut agama yang diluar agamanya sendiri (Outsider), wajib menjaga diri untuk memberikan komentar kecuali terkait dengan kajian akademis perbandingan agama 5. Semua kelompok sosial maupun politik harus menghindarkan diri dari upaya sengaja untuk menjadikan isu agama sebagai alat legitimasi tindakan politik yang sifatnya pragmatis, namun jauh dari nilai-nilai hakiki dari ajaran agama itu sendiri. Bila ditemukan adanya upaya politisasi agama maka harus dibawa ke ranah hukum. Dan jika telah dibawa ke jalur hukum, apapun hasilnya harus diterima secara sportif dan lapang dada dari dua belah pihak yang berseteru. Bila ada pihak yang kurang puas dengan hasil yang ada, maka penyelesaian juga harus dilakukan melalui upaya hukum lanjut sesuai mekanisme dan ketetapan yang berlaku. DAFTAR PUSTAKA Buku-buku Al-Quran dan Terjemahnya, Departemen Agama RI, Cetakan 2009. Chazawi, Adami, Pelajaran Hukum Pidana 2, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008. Fadlan Asif, Muhammad, Analisis Hukum Islam Terhadap Pasal 156a (KUHP) Tentang Tindak Pidana Penodaan Agama, Skripsi, Jurusan Siyasah Jinayah, 30 Fakultas Syari’ah Dan Hukum, Universitas Islam Negeri Walisongo, Semarang, 2015. Majalah Hidayatullah, Sekte Penyembah Kucing, Edisi November 2008. Parsudi Suparlan Dalam Rebertson, Roland (ed).“Agama: Dalam Analisis dan Interpretasi Sosiologi”, pp.v-xvi, Jakarta: CV. Rajawali, 1988. Prodjodikoro, Wirjono, Asas-Asas hukum Pidana Indonesia, Bandung: Eresco, 1986. Abdurrahman As Sa’di, Syaikh, Tafsir Al-Quran Al-Karim, fi Tafsiril Mannan, Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di, 1-7 jilid; 696 hlmn, tanpa tahun. Makalah/Artikel Analisis Hukum Tentang Kasus Ahok Penistaan Agama Islam, Oleh: Khoirul Huda, Dekan Fakultas Hukum Universitas Hang Tuah Surabaya. Bisa diakses melalui situs: www.sriwijayaaktual.com Catatan Kamisan Denny Indrayana, Ahok, Penistaan Agama dan Supremasi Hukum, DetikNews, Kamis 10 Nov 2016, 12:10 WIB Delik Penodaan Agama Di Tinjau Dari Sudut Pandang Hukum Pidana Di Indonesia, Oleh: Randy A. Adare, Lex et Societatis, Vol.I/No.1/JanMrt/2013. Penodaan Agama dalam Perspektif Hukum Di Indonesia, oleh: Zihan Syahayani, Peneliti Bidang Hukum di The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research. Supremasi Hukum untuk “Penista Agama”?, Oleh: Zainal Abidin Bagir, Dosen Program Studi Agama dan Lintas Budaya, Universitas Gadjah Mada, Wednesday, 02 November 2016. Perundang-undangan Pasal 156 a KUHP tentang Penodaan Agama Pasal 156 a KUHP jo Pasal 28 (1) UU 11 tahun 2008 tentang ITE Pasal 163 UU 10 Tahun 2016 terkait Pemilihan Gubernur Pasal 177 angka 1 terkait Hak dari Saksi 31 Penetapan Presiden Nomor 1 tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama (Penpres No.1/1965). Putusan MK Nomor 140/PUU-VII/2009 dan Nomor 84/PUU-X/2012 terkait pengujian Pasal 156a KUHP jo Undang-Undang Nomor 1 /PNPS tahun 1965 Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama Internet https://beritagar.id/artikel/berita/fakta-seputar-gafatar-gerakan-fajar-nusantara http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/16/10/18/of81e3330-ini-kasuspenistaan-agama-di-indonesia-yang-diproses-hukum Sudut Hukum, Portal Hukum Indonesia (http://www.suduthukum.com/) http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/hukum/16/07/25/oatun9318beredar-di-medsos-remaja-lampung-shalat-buka-aurat https://islamindonesia.id/kolom/kolom-supremasi-hukum-untuk-penistaagama.htm http://megapolitan.kompas.com/read/2016/10/10/09245441/ahok.minta.maaf.kepa da.umat.islam http://pascasarjana.umy.ac.id/kasus-penistaan-agama-momentum-transparansipenegakan-hukum-indonesia/ http://www.hidayatullah.com/artikel/opini/read/2016/11/07/104559/pancasiladan-penistaan-agama.html http://www.theindonesianinstitute.com/penodaan-agama-dalam-perspektifhukum-di-indonesia/ https://www.islampos.com/pandangan-islam-tentang-penistaan-agama-291752/ 32