Aktivitas politik perempuan

advertisement
AKTIVITAS POLITIK PEREMPUAN
DALAM PERSPEKTIF ISLAM
* Ubadah Yasin
Abstract
This paper deals with the political participation of women in
the perspective of Islam. This paper shows that Islam allows
women to get involved in politics and any other activities which
relate to it in the condition that they do not go beyond their
nature as women. However, there are some people who oppose
women’s participation using the theological proofs from the
Quran and the Prophetic hadith, as well as the cultural views.
Kata Kunci: partisipasi politik, perempuan, Islam
Pendahuluan
Pada suatu hari di awal bulan Agustus tahun 2008, penulis merasa
tersentak ketika mendengar sebuah lirik lagu "wanita racun dunia" yang
dinyanyikan oleh anak saya yang baru berumur tiga tahun lebih dengan lirik
kanak-kanak yang datar dan polos. Ternyata lirik lagu tersebut didengar dan
dihafal oleh anak saya dari sound track sebuah sinetron yang sering ditonton
oleh istri saya yang ditayangkan salah satu stasiun televisi nasional. Lirik
lagu tersebut seakan mengindikasikan pada saya bahwa perempuan di Ibu
pertiwi ini masih dianggap sebagaI "racun".
Memang, diakui atau tidak, sampai sekarang ini peranan perempuan
dalam segala hal, temasuk dalam kancah perpolitikan masih terus menjadi
persoalan yang krusial di Ibu pertiwi ini. Dalam realitasnya, perempuan
tetap saja hanya dijadikan komoditi dan ornament daripada diandalkan
secara konsisten. Kenyataan tersebut seakan relevan dengan diktum yang
pernah dikemukakan oleh seorang pemikir Perancis, Simon de Beauvoir,
116
Musawa, Vol. 1, No.1, Juni 2009 : 115 - 130
bahwa dalam banyak hal perempuan selalu dianggap sebagai makhluk the
second sex.1
Bahkan perempuan sering dianggap sebagai obyek sasaran produkproduk media. Lebih jauh lagi, mereka cenderung dieksploitasi dan
"mengeksploitasi" keperempuanannya dan dijadikan sebagai komoditas
industri. Hal ini bisa terjadi karena, menurut Yenny Wahid, putri sulung
Gusdur, karena perempuan itu kebanyakan terkena sindroma primadona
dimana ia selalu ingin dianggap yang paling cantik, paling beken, dan
seterusnya2.
Oleh karena itu, tidak heran jika perempuan sering dianggap sebagai
"umpan yang manjur dan sakti mandraguna" untuk menarik konsumen pria
dalam membeli suatu produk. Ironisnya, kelompok yang sering mengaku
sebagai "pembela" hak-hak perempuan diam seribu bahasa dalam melihat
fenomena tersebut dan mereka lebih cenderung mengkritisi undang-undang
pornografi yang notebene–menurut hemat penulis-bisa menghapus atau
paling tidak meminimalisir ekploitasi seksualitas terhadap perempuan.
Berbicara tentang keikutsertaan perempuan dalam arena perpolitikan
saat ini merupakan topik menarik yang diperdebatkan oleh para ulama dan
para intelektual dari dulu sampai sekarang. Sebagian ulama
memperbolehkan wanita ikut serta dalam ranah politik dengan argumentasi
bahwa keikutsertaan mereka merupakan manifestasi dari tanggung jawab
sosial, bahkan kewajiban setiap insan tanpa membedakan gender, untuk
memperbaiki keadaan masyarakat. Sebagian ulama lainnya ada yang tidak
membolehkan kaum wanita ini terjun dalam dunia politik, dengan berbagai
alasan cultural dan teologis, serta sifat dan karekteristik kaum perempuan
yang dianggap berbeda dengan kaum kaum laki-laki, baik dari segi fisik
maupun mental.
1
“Menanti Peran Politik Perempuan.” (Online). http://www.Saihusaavie.com. diakses pada
tanggal 27 Desember 2008.
2
“Aktivitas Politik Perempuan di Indonesia,” (Online). http://www. Republika.co.id. diakses
26 Desember 2008.
Ubadah Yasin, Aktivitas Politik Perempuan 117
Problema Keterlibatan Perempuan dalam Ranah Perpolitikan di Tanah
Air
Keterlibatan
perempuan
dalam
ranah
perpolitikann
nasional
menyurutkan pandangan negatif yang berkembang selama ini bahwa kaum
hawa tidak layak untuk memimpin. Megawati yang pernah "dijegal" untuk
maju sebagai presiden di tahun 1999 dengan berbagai alasan cultural dan
berbagai dalil keagamaan, lambat laun bisa diatasi. Dan akhirnya Megawati
menjadi presiden RI ke 5 pada tahun 2001 yang menggantikan Gusdur. Hal
tersebut memberi pandangan baru pada kancah perpolitikan tanah air
bahwa seorang perempuan pun bisa menggantikan kedudukan laki-laki
untuk memimpin Negara ini.
Perjuangan untuk mengangkat dan mensejajarkan hak-hak perempuan
dalam kancah perpolitikan tanah air telah mencapai suatu hasil yang
menggembirakan. Hal ini bisa terlihat salah satu hasilnya yaitu dengan
munculnya kebijakan affirmative action kuota 30% (Undang-undang No 12
tahun 2003) yang memberi pengaruh signifikan pada kebijakan partai politik
dalam merekrut kader perempuan. Dengan kebijakan tersebut, diharapkan
akan lebih mendorong peningkatan representasi perempuan dalam legislatif.
Akan tetapi, kebijakan affirmative action kuota 30 persen tersebut
nampaknya akan sulit terealisasi karena pada kenyataannya caleg dari kaum
Hawa tetap harus bersain ketat dengan caleg lain. Hal itu dikarenakan
dengan adanya putusan MK (Mahkamah Konstitusi) pertengahan Desember
tahun 2008 kemarin yang membatalkan penggunaan nomor urut dalam
penetapan calon anggota legislatif menjadi suara terbanyak.
Dengan keputusan MK tersebut, jelas akan menjadi bumerang dan
bisa menghambat caleg perempuan untuk lolos sebagai anggota legilatif,
mengingat ketatnya persaingan dengan caleg dari kaum laki-laki yang
notabene telah "mengakar" dan lebih berpengalaman. Hal ini senada dengan
pernyataan anggota Komisi II DPR RI yang juga caleg dari PDI-P, Eva
118
Musawa, Vol. 1, No.1, Juni 2009 : 115 - 130
Kusuma Sundari,3 yang menilai putusan MK tersebut cenderung bisa
merugikan caleg perempuan dan berpotensi melanggengkan nilai patriarkis,
(nilai yang selama ini dianggap sebagai nilai yang memarginalkan posisi
perempuan dalam berbagai aspek, -penulis).
Terlepas dari pro-kontra putusan MK tersebut, yang perlu digaris
bawahi adalah, bahwa kunci sukses untuk caleg adalah bagaimana cara
untuk bisa merebut kepercayaan rakyat, bukan pada keistimewaan
pemberian kuota maupun penempatan pada nomor "jadi" di partai. Oleh
karena itu, menurut pengamat hukum dan politik Nicolas Pira Bunga yang
juga Rektor Universitas Nusa Cendana, bahwa kaum perempuan tidak perlu
lagi "menjerit dan meratapi" keputusan MK yang secara langsung
"memangkas" ketentuan kuota 30 persen itu, tetapi perempuan tetap harus
maju dan berjuang layaknya Benazir Bhutto dan pemimpin wanita lainnya di
Asia, ataupun seperti Fatemeh Vaez Javadi yang pernah tampil di panggung
politik Iran dan menduduki beberapa jabatan yang prestisius serta Begum
Khaleda Zia dan Syekh Hashina, yang pernah menjadi perdana menteri. Dan
tentang putusan Mk itu, menurut penulis, hal itu merupakan suatu pilihan
politik yang sangat demokratis bagi semua caleg.
Kendati semakin diakomodirnya perempuan dalam berbagai aspek
kehidupan termasauk politik, namun masih ada kesan lama yang selalu
muncul dalam hal diskriminasi gender yaitu bahwa perempuan dikonstruksi
sebagai manusia yang harus taat dan tunduk serta patuh kepada kaum lakilaki. Dan anehnya, pandangan yang "miring" terebut seringkali dihubunghubungkan dengan ayat Alquran.4 Akhirnya perempuan menjadi tersekat
dalam satu koridor yang sempit, yaitu hanya terfokus pada DSK alias dapur,
sumur, dan kasur. Dan mereka dianggap tidak layak untuk terlibat dalam
kegiatan yang bersifat public, mulai dari perpolitikan, perekonomian,
3
Ibid.
Misalnya, dalam QS. Al-Nisa [4]: 34 dan Al-Ahzab [33]: 33. Lihat Quraisy Shihab, Perempuan,
Cet. Ke-1, (Bandung: Mizan, 2005), 344-345.
4
Ubadah Yasin, Aktivitas Politik Perempuan 119
bahkan masalah social. Dan lagi-lagi, agama seringkali dijadikan sebagai dalil
pembenaran dari argument-argumen mereka. Oleh karena itu, bisa
dikatakan, diskriminasi terhadap perempuan tidak hanya dalam konteks
sosial dan budaya, tetapi sudah memasuki domain politik kekuasaan
Namun, jika dibuka kembali lembaran sejarah masa lampau, maka
disitu terlihat bahwa kondisi perempuan jauh lebih dimarginalkan
ketimbang pada masa sekarang ini. Dalam rentang sejarah, sepanjang abad
pertengahan, nasib perempuan tetap sangat memprihatinkan, bahkan
sampai tahun 1805 konstitusi Inggris mengakui hak suami untuk menjual
isterinya , dan sampai tahun 1882 perempuan Inggris belum memiliki hak
pemilikan harta benda secara penuh dan hak menuntut ke pengadilan.5 Dan
pada zaman modern sekarang ini, dalam hal-hal tertentu, hak-hak dan peran
perempuan dalam berbagai aspek masih sering dikebiri, dimarginalkan, dan
dianggap sebelah mata.
Pertanyaan yang kemudian membentang dihadapan kita adalah bahwa
benarkah Islam sebagai agama yang rahmatan lil 'alamin mengajarkan
marginalisasi kaum perempuan dengan membatasi hak-hak mereka
(termasuk dalam bidang politik) dan menempatkan kaum laki-laki ansich
sebagai superior dan perempuan hanya sebagai inferior?
Pandangan Islam tentang Aktifitas Perempuan dalam Ranah Politik
Dalam khazanah doktrin Islam, disebutkan bahwa manusia adalah
makhluk Allah yang dikirim ke bumi untuk menjadi khalifah-Nya yang
mengemban tugas isti'maru al-ardh, memakmurkan bumi dengan syariat-Nya.6
Jika khalifah dimaknai sebagai kekuasaan, maka untuk mencapai kekuasaan
itu politik tidak mungkin dihindari. Artinya manusia adalah satu-satunya
makhluk yang berpolitik, karena Allah tidak mengirim atau membebankan
5
Quraisy Shihab, Wawasan Alquran: Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Ummat. Cet. Ke-2,
(Bandung: Mizan, 1996), 297.
6
Lihat QS. Al-Baqarah [2]: 30 dan Hud [11]: 61.
120
Musawa, Vol. 1, No.1, Juni 2009 : 115 - 130
amanah sebagai khalifah-Nya kepada selain manusia. Maka sifat politik
adalah kekhususan bagi manusia ansich. Sehingga bisa dikatakan bahwa
setiap manusia, laki-laki atau perempuan adalah insanun siyasiy atau makhluk
yang memiliki potensi untuk berpolitik (baca bisa menjadi politisi). Bahkan
menurut Ibnu Khaldun, ilumuwan politik Islam, bahwa kehidupan politik
adalah keharusan bagi kehidupan manusia dalam bermasyarakat. Berpolitik
dilukiskan sebagai sarana menuju keteraturan dan sebuah cara menuju
peradaban.
Sebelum membicarakan tentang aktifitas politik perempuan dalam
perspektif Islam, terlebuh dahulu dibahas sekilas tentang hak-hak yang
dimiliki oleh perempuan dalam perspekif Alquran dan Sunnah.
Alquran berbicara tentang perempuan dalam berbagai surah yang
menyangkut tentang berbagai sisi kehidupan. Ada ayat yang berbicara
tentang hak dan kewajibannya, ada pula yang menguraikan keistimewaan
tokoh-tokoh perempuan dalam sejarah agama dan kemanusiaan.
Secara umum, Surah An-Nisa ayat 32 menunjukkan hak-hak
perempuan:
            
     
Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah
kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain.
(karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang
mereka usahakan, dan bagi Para wanita (pun) ada bahagian dari
apa yang mereka usahakan.
Pada masa Nabi Muhammad saw., para perempuan diberi oleh
Alquran hak-haknya, karena tidak mungkin ada kewajiban-kewajiban kalau
tidak diserta dengan hak-hak. Dan itu adalah bagaikan dua sisi dari satu
mata uang. Karena itu, Alquran menekankan dalam surah Al-Baqarah ayat
228:
Ubadah Yasin, Aktivitas Politik Perempuan 121
"Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan
kewajiban mereka menurut cara yang ma'ruf"
Penggalan ayat di atas, menurut Quraish Shihab,7 merupakan
pengumuman Alquran menyangkut hak-hak perempuan. Didahulukannya
penyebutan hak mereka atas kewajiban mereka merupakan penegasan
tentang hak-hak tersebut, sekaligus menunjukkan betapa pentingnya hak itu
diperhatikan. Apalagi ketika itu pada beberapa suku di masyarakat Jahiliyah,
perempuan nyaris bisa dianggap tidak mempunyai hak sama sekali. Atas
dasar hak inilah sehingga tidak sedikit perempuan pada masa Nabi
Muhammad Saw. yang cukup kritis dan "berani" berdiskusi, bahkan menolak
pendapat para suaminya.
Kendati banyak pula dalil yang dikemukakan oleh para penentang
hak-hak perempuan, terutama An-Nisa ayat 34 bahwa para lelaki adalah
pemimpin perempuan, namun, menurut Quriash Shihab,8 tidak ditemukan
satu ketentuan agama pun yang secara tegas dapat dipahami sebagai
pelarangan keterlibatan perempuan dalam bidang politik, atau membatasi
bidang tersebut hanya kepada laki-laki. Dalih yang melarang keterlibatan
perempuan dalam bidang politik kesemuanya dapat dilemahkan. Ditambah
lagi, kata beliau dalam bukunya yang lain,9 bahwa memang dalam memahami
teks-teks keagamaan amat sulit dilepaskan dari pengaruh budaya serta
perkembnagan masyarakat yang dialami oleh seorang pemikir (mufassir). Di
sisi yang lain, kekeliruan akan terjadi jika memahami satu teks tersebut
secara parsial (berdiri sendiri) atau memahaminya terlepas dari konteks.
Pendapat Quraish Shihab yang luar biasa maju tersebut, paling tidak
ikut member andil yang signifikan dalam mencairkan "hambatan teologis" di
kalangan umat Islam untuk menerima aktrifitas perempuan dalam kancah
politik. Hal ini merupakan salah satu langkah kemajuan yang progresif
7
Shihab, Perempuan, 111.
Shihab, Kepemimpinan Perempuan dalam Islam. (Bandung: Mizan, 2000), 27.
9
Shihab, Fatwa-fatwa Seputar wawasan Agama, Cet. Ke-2, (Bandung: Mizan, 2001), 238.
8
122
Musawa, Vol. 1, No.1, Juni 2009 : 115 - 130
dimana umat Islam mulai menapaki babak baru gelombang demokratisasi di
negara Muslim terbesar, yang tidak lagi mempersoalkan "jenis kelamin"
dalam kegiatan politik termasuk dalam pemilihan presiden, melainkan lebih
kepada kualitas manajerial dan intelektual dalam menyelesaikan krisis
bangsa yang samapai sekarang tidak kunjung teratasi.
Sementara itu, dalam rentangan sejarah Islam, sejumlah perempuan
sahabat Nabi seperti Nusaibah, Ummu Athiyyah Al-anshariyah dan Rabi'
binti Al-Mu'awwadz ikut bersama lelaki dalam perjuangan bersenjata
melawan penindasan dan ketidakadilan. Mereka mengobati yang luka dan
bahkan memanggul senjata di medan juang. Para perempuan pada masa Nabi
saw. juga aktif dalam berbagai bidang pekerjaan, dalam bidang perdagangan
misalnya, nama istri Nabi yang pertama Khadijah binti Khuwailid, tercatat
sebagai perempuan yang sukses. Adapula Qilat Ummu Bani Ammar yang
pernah datang kepada Nabi meminta petunjuk-petunjuk tentang jual-beli.10
Bahkan nama-nama seperti Ummu Salamah (istri Nabi), Shafiyah
Lailah Al-Ghaffariyah, dan nama-nama lain seperti yang telah disebutkan di
atas, adalah yang tercatat sebagai tokoh-tokoh perempuan yang terlibat
langsung dalam kancah peperangan. Karena itu, Imam Bukhari dalam Kitab
Shahih-nya membukukan bab-bab yang mengetengahkan tentang kegiatan
kaum wanita, misalnya bab tentang Keterlibatan Perempuan dalam Perang
(
), bab tentang Keterlibatan Perempuan dalam Pertempuran di
Lautan (
), dan beberapa bab lagi yang berbicara tentang
keterlibatan perempuan dalam perang.11
Pada sisi yang lain, dalam Alquran juga ditemukan citra perempuan
yang terpuji adalah yang memiliki kemandirian yang menjadikannya
memiliki hak berpolitik dan kritis terhadap apa yang dihadapinya. Misalnya
kisah tentang anak-anak perempuan Nabi Syuaib yang bekerja untuk
memenuhi kebutuhan ayahnya yang telah tua dalam surah al-Qashash ayat
23. Bahkan dalam surah an-Naml ayat 29-44 berkisah tentang perempuan
10
11
Shihab, Wawasan, 306.
lihat Shahih al-Bukhari pada bab al-Maghaziy dalam al-Maktab al-Shamilah: 2007
Ubadah Yasin, Aktivitas Politik Perempuan 123
yang menjadi penguasa tertinggi yang dipatuhi oleh rakyatnya baik laki-laki
maupun perempuan, yang menurut beberapa mufassir bahwa ratu tersebut
bernama Balqis.12
Oleh karena itu tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa untuk
mewujudkan kemandirian perempuan dan memelihara kodrat serta hak-hak
mereka, maka perempuan tidak hanya harus merasa dirinya setara dengan
kaum laki-laki, tetapi lebih dari itu, perempuan harus membuktikanna
melalui kemampuan dan akitfitas mereka dalam dunia nyata yang termasuk
di dalamnya arena politik.
Dalam perpektif Islam, politik atau siyasah bisa bermakna sebagai
cara mengatur urusan kehidupan bersama untuk mencapai kesejahteraan di
dunia maupun di akhirat (
).13 Dengan begitu, politik dalam konteks ini adalah adalah ruang maha luas,
seluas ruang kehidupan itu sendiri. Ia muncul dalam ruang domestik
maupun publik, kultural maupun struktural, personal dan komunal. Tapi
penyebutan politik dalam pikiran banyak orang telah menyempit menjadi
istilah politik praktis, politik struktural, perebutan kekuasaan untuk
kepentingan diri atau sebagian orang dan sesaat, bukan untuk kepentingan
masyarakat luas dan masa depan yang panjang.
Dalam pandangan yang lain, politik diartikan antara lain sebagai
urusan dan tindakan atau kebijakan mengenai pemerintahan Negara atau
Negara lain. Politik juga berarti kebijakan dalam menangani satu masalah,
baik yang berkaitan dengan masyarakat maupun selainnya. Alquran
berbicara tentang politik melalui sekian banyak ayatnya, khusunya yang
menggunakan kata hukm.14
Dalam perspektif poltik Islam klasik, mengangkat pemimpin atau alimam adalah wajib dalam kategori fardhu kifayah atau kewajiban kolektif. Hal
12
Ibn Katsir, Tafsir Ibn Katsir, Surah al-Qashash dalam kutub al-Tafasir. CD. ROM alMaktabah al-Syamilah Edisi ke-2, 2007.
13
Husain Muhammad, “Partisipasi Politik Perempuan dalam Tafsir Alquran”. (On-line)
http://www.Swararahima.com. Diakses pada tanggal 30 Desember 2008.
14
Shihab, Perempuan, 343.
124
Musawa, Vol. 1, No.1, Juni 2009 : 115 - 130
ini berdasarkan pada beberapa argumen agama (naqliy) maupun dalil 'aqliy.
Bahkan Al-Ghazali dalam al-I'tiqad wa al-iqtishad meyebut tugas ini sebagai
sesuatu yang dharury atau keniscayaan dalam kerangka berjalannya ajaranajaran Tuhan.15 Sementara itu, Al-Mawardi menegaskan bahwa
bahwa eksistensi pemerintahan
diperlukan untuk melindungi agama (atau umat) dan pengaturan dunia. 16
Dan yang perlu digaris bawahi tentang kepemimpinan ini adalah bahwa
apapun bentuk atau nama dan cirinya, dan ditinjau dari sudut pandang
manapun, kepemimpinan harus selalu berlandaskan kebajikan dan
kemaslahatan, serta mengantar kepada kemajuan.17 Kepemimpinan harus
dapat menentukan arah, menciptakan peluang, dan melahirkan hal-hal baru
melalui inovasi pemimipin (laki-laki maupun perempuan karena dalam
perspektif Islam, setiap orang adalah pemimipin, kullukun raa'in wa kullukum
mas'ulun an ra'iyytihi) yang kesemuanya menuntut kemampuan berinisiatif,
kreatifitas, dan dinamika berpikir.
Islam sebagai ideologi, memiliki konsep yang jelas, yaitu mengatur
urusan umat, baik dalam dan luar negeri. Politik dilaksanakan oleh Negara
dan masyarakat. Negara mengurusi kepentingan masyarakat, dan sebaliknya
masyarakat melakukan kritik atau koreksi dan kontrol terhadap Negara.
Sedangkan pelaku politik adalah para individu, partai, kelompok, ataupun
negara. Aktivitas politik merupakan sesuatu yang wajib bagi setiap muslim,
hal ini berdasarkan pada dalil naqliy dalam QS Ali-Imran: 104.
         
     
15
Muhammad, Partisipasi.
Imam Almawardi al-Ahkam al-Sulthaniyah, dalam al-maktab al-syamilah: 2008.
17
Shihab, Menabur Pesan Ilahi: Alquan dan Dinamika Kehidupan Masyarakat. Cet. Ke-1, (Jakarta:
Lentera Hati, 2006), 379, 382.
16
Ubadah Yasin, Aktivitas Politik Perempuan 125
"dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru
kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah
dari yang munkar merekalah orang-orang yang beruntung".
Sekalipun ayat tersebut oleh beberapa ulama dijadikan dasar bahwa
amar ma'ruf nahi munkar adalah kewajiban kolektif, termasuk ulama
Mu'tazilah. Namun mayoritas ulama berpendapat bahwa amar ma'ruf nahi
munkar adalah kewajiban individual atau fardhu 'ain, diwajibkan kepada
semua mukmin dan seluruh anggota masyarakat (baik laki-laki maupun
perempuan) dan hal ini berdasarkan pada Alquran surah At-Taubah ayat 71
dan juga berdasarkan pada hadis Nabi yang mewajibkan setiap orang yang
melihat kemunkaran untuk segera mencegahnya.18 Hadis tersebut berbunyI:
"Barang siapa yang melihat kemunkaran, hendaknya dia merubah dengan
tangannya, bila dia tidak mampu, rubahlah dengan lidahnya, dan bila tidak
mampu, rubahlah dengan hatinya. Yang demikian itu adalah iman yang
paling lemah."19
Oleh karena itu, Islam tidak membedakan laki-laki dan perempuan
dalam hak-hak individu dan hak-hak kemasyarakatan utamanya hak politik.
Namun demikian, yang perlu dicatat adalah bahwa semua hak tersebut harus
diletakkan dalam batas-batas kodratnya sebagai perempuan. Perempuan
adalah makhluk Tuhan seperti halnya laki-laki. Sebab itu dia juga memiliki
tanggungjawab kemanusiaan, memakmurkan bumi dan mensejahterakan
manusia atau dengan kata lain bahwa mereka juga punya tanggung jawab
publik seperti laki-laki. Tidak sedikit nash Alquran yang menjelaskan
tentang keharusan bekerja sama antara laki-laki dan perempuan dalam
konteks pengaturan dunia.20 Menurut Alquran Laki-laki dan perempaun
yang beriman harus saling bekerja sama untuk tugas keagamaan,
menyerukan kebaikan dan menghapuskan kemunkaran (baca kerusakan
social). Hal ini bisa dikatakan bahwa banyak dalil keagmaan yang bisa
18
Jalauddin Rakhmat, Islam dan Pluralisme, Akhlak Qur'an Menyikapi Perbedaan. Cet. Ke-2, (Jakarta:
Serambi Ilmu Semesta, 2006), 234.
19
Al-Munziri, al-Targhib wa al-Tarhib, Jilid 3, (Makkah: Dar el-Baz, 1995), 223.
20
Lihat QS An-Nahl [16]: 97.
126
Musawa, Vol. 1, No.1, Juni 2009 : 115 - 130
dijadikan dasar untuk mendukung hak-hak perempuan dalam arena politik.
Salah satu ayat tersebut terdapat dalam Surah At-Taubah ayat 71, yang
artinya:
"dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian
mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain.
mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang
munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat
pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh
Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana."
Pengertian kata auliya' pada ayat tersebut, menurut Quraish Shihab,21
mencakup kerjasama, bantuan, dan penguasaan. Sedangkan pengertian menyuruh
mengerjakan yang ma'ruf mencakup segala segi kebaikan/perbaikan kehidupan,
termasuk memberi nasihat/kritik kepada penguasa. Dengan demikian, setiap
lelaki dan perempuan hendaknya mampu mengikuti perkembangan
masyarakatnya, agar masing-masing mampu melihat dan memberi saran atau
nasihat dan kritik dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk kehidupan
politik.
Oleh karena itu, berdasarkan beberapa ayat di atas, dan tentu masih
ada ayat-ayat lain yang bisa menjadi dasar untuk memberi legitimasi akan
partisipasi politik perempuan yang tidak dibedakan dari kaum laki-laki.
Bahkan Alquran juga menguraikan permintaan para perempuan pada zaman
nabi untuk melakukan bai'at atau semacam janji setia kepada Nabi dan
ajaran Islam.22 Diterimanya bai'at mereka, membuktikan bahwa mereka
mempunyai hak menentukan pilihan (atau afiliasi politik) yang berkaitan
dengan kehidupan serta kebebasan mereka untuk berbeda dengan kelompok
lain dalam masyarakat.
Dalam sejarah kenabian tercatat sejumlah besar perempuan yang aktif
memainkan beberapa peran atau akitifitas bersama laki-laki. Misalnya
Khadijah, Aisyah, Ummu Salamah, dan para istri Nabi yang lain, anak
kandung Nabi Fatimah, cucu Nabi zainab, mereka itu adalah perempuan-
21
22
Shihab, Perempuan, 346.
Lihat QS. Al-Mumtahanah: 12.
Ubadah Yasin, Aktivitas Politik Perempuan 127
perempaun terkemuka yang cerdas. Mereka sering terlibat dalam diskusidiskusi seputar tema-tema social dan politik, bahkan menkritisi kebijakankebijakan domistik maupun public yang patriarkis. Bahkan dalam kancah
politik praktis.23 Ummu Hani' misalnya, dibenarkan sikapnya oleh Nabi
Muhammad saw. ketika member jaminan keamanan (yang notabene adalah
salah satu aspek dalam bidang politik) kepada dua orang musyrik. Dalam
catatan lain, Umar bin khattab juga pernah mengangkat Al-Syifa, perempuan
yang cerdas dan terpercaya, untuk jabatan manajer pasar di Madinah. 24
Selain itu, Aisyah, isteri Nabi, meninggalkan rumahnya di Madinah
menuju Bashrah (di Irak Sekarang) untuk memimpin pasukan melawan Ali
ibn Abi Thalib. Dan yang menjadi latarbelakang perseteruan tersebut adalah
alasan politik, yaitu masalah suksesi keuasaan setelah khalifah ketiga,
Usman bin Affan mati tebunuh. Kendati pada akhirnya menyesali kejadian
tersebut, tetapi yang disesali bukanlah karena keterlibatannya dalam politik
praktis, namun kekeliruan dalam pandangan politiknya.25 Hal ini diakui atau
tidak, keterlibatan istri nabi tersebut dalam bidang politik praktis, sekali
lagi mengindikasikan bahwa perempuan juga layak terjun dalam arena
politik.
Dalam konteks ke-Indonesiaan, kiprah perempuan dalam arena publik
juga dapat ditelusuri dalam pentas sejarah nasional bangsa Indonesia.
Perjuangan kaum perempuan pada masa penjajahan kolonial tak kalah
heroiknya dengan kaum laki-laki. Di Aceh, ada Cut Nyak Dien, Cut Meutia,
juga di Jawa ada Kartini, yang sampai sekarang namanya sering dijadikan
simbol gerakan emansipasi perempuan. Oleh karena itu, dalam konteks
Indonesia yang notabene berpenduduk muslim terbanyak di dunia, status
yang setara bagi perempuan dan peluang mereka dalam aktifitas politik
sesungguhnya telah mendapat dasar yuridis dalam undang-undang dasar
1945.
23
Shihab, Perempuan, 347.
Muhammad, Partisipasi.
25
Ahnad Syalaby, Mausuah al-Tarikh al-Islamiy wa al_hadharah al-Islamiy, (Kairo: Al-Nahdhah alMishriya, 1984), 70.
24
128
Musawa, Vol. 1, No.1, Juni 2009 : 115 - 130
Terlepas dari masih berjubelnya problema diskriminasi terhadap
perempuan, sejumlah kemajuan atas status perempuan telah berhasil dicapai.
Dan yang menarik adalah bahwa beberapa keputusan politik seperti
affirmative action 30 persen kuota perempuan yang telah disinggung di bagaian
awal tulisan ini, mendapat sambutan yang baik dan cenderung diterima
tanpa resistensi dan perdebatan yang berarti dari partai politik termasuk
partai politik yang notabene pernah menolak pencalonan perempuan sebagai
presiden pada tahun 1999. Bahkan para ulama dan organisasi-organisasi
keagamaan garis keras ternyata juga bisa menerima. Realitas tersebut sangat
berbeda dengan tradisi dan pikiran keagamaan yang mereka anut selama ini.
Respons dan akseptabilitas terhadap partisipasi politik perempuan
tersebut diharapkan bukan karena kepentingan politik sesaat ansich demi
menarik dukungan kaum Hawa' untuk sebuah kemenangan dalam
perebutan kekuasaan, tetapi karena agama memang membolehkan dan sama
sekali tidak melarang aktifitas bagi perempuan dalam ranah politik, dan
tentunya tetap dalam koridor dan bingkai agama sekaligus tidak
mengabaikan peran utamanya sebagai ummu wa rabbatul bait
Kesimpulan
Dari pembahasan di atas, sangat jelas bahwa Islam tidak pernah dan
tidak akan memasung perempuan berkiprah di bidang publik, termasuk
berpartisipasi dalam arena politik sepanjang tidak melanggar fitrah dan
kodratnya serta norma-norma Islam yang sudah sangat jelas. Mungkin bisa
dikatakan bahwa resistensi terhadap kiprah perempuan di dunia politik
terjadi karena kekhawatiran dengan terjunnya kaum perempuan ke sektor
publik, seperti politik, bisa mengabaikan fungsi fitrahnya sebagai istri;
sebuah peran primordial dan signifikan yang sangat dihargai dalam
perspektif Islam.
Sepanjang fitrah perempuan tidak terabaikan dan kaum perempuan
bisa menjaga integritas sebagai seorang muslimah yang baik, maka tidak ada
halangan bagi perempuan Islam berpartisipasi dalam politik. Persoalannya
Ubadah Yasin, Aktivitas Politik Perempuan 129
kembali ke kaum perempuan itu sendiri. Di tengah arena perpolitikan yang
"ganas" dan begitu kompleks, keras, dan banyak wilayah syubhat/abu-abunya
itu, apakah mereka mampu untuk tetap menjaga fitrah dan martabatnya
sebagai seorang perempuan, sebagai seorang ibu, atau sebagai seorang istri,
dan tentunya sebagai muslimah yang
Daftar Pustaka
Bukhari, Shahih al-Bukhari, Bab Al-Maghaziy. CD.ROM Al-Bayan Versi 2.0,
2002
Katsir, Ibn. Tafsir Ibn Katsir, Surah al-Qashash dalam kutub al-Tafasir. CD.
ROM al-Maktabah al-Syamilah Edisi kedua, 2007
Mawardi, Al-Ahkam al-Sulthaniyah, (Kutub al-Siyasah). CD. ROM alMaktabah al-Syamilah Edisi kedua, 2007
Muhammad, Husain “Partisipasi Politik Perempuan dalam Tafsir Alquran”.
(On-line) http://www.Swararahima.com. Diakses pada tanggal 30
Desember 2008
Munziri, al-Targhib wa al-Tarhib, Jilid 3, Makkah: Dar el-Baz, 1995
Rakhmat Jalauddin, Islam dan Pluralisme, Akhlak Qur'an Menyikapi Perbedaan.
Cet. Ke-2, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2006
Shihab, Quraisy, Wawasan Alquran: Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Ummat.
Cet. Ke-2, Bandung: Mizan, 1996
Shihab, Quraisy, Kepemimpinan Perempuan dalam Islam. Bandung: Mizan, 2000
Shihab, Quraisy, Fatwa-fatwa Seputar wawasan Agama, Cet. Ke-2, Bandung:
Mizan, 2001
Shihab, Quraisy, Perempuan, Cet. Ke-1, Bandung: Mizan, 2005
Shihab, Quraisy, Menabur Pesan Ilahi: Alquan dan Dinamika Kehidupan Masyarakat.
Cet. Ke-1, Jakarta: Lentera Hati, 2006
130
Musawa, Vol. 1, No.1, Juni 2009 : 115 - 130
Syalabi, Ahmad, Mausuah al-Tarikh al-Islamiy wa al-Hadharah al-Islamiy, Kairo:
Al-Nahdhah al-Mishriya, 1984
Sumber Web
“Menanti Peran Politik Perempuan.” (Online). http://www.Saihusaavie.com.
diakses pada tanggal 27 Desember 2008.
“Aktivitas Politik Perempuan di Indonesia,” (Online). http://www.
Republika.co.id. diakses 26 Desember 2008.
* H. Ubadah, S.Ag., M.Pd. adalah Dosen Tarbiyah, STAIN
Datokarama Palu, Sulawesi Tengah.
Download