AKTIVITAS POLITIK PEREMPUAN DALAM PERSPEKTIF ISLAM * Ubadah Yasin Abstract This paper deals with the political participation of women in the perspective of Islam. This paper shows that Islam allows women to get involved in politics and any other activities which relate to it in the condition that they do not go beyond their nature as women. However, there are some people who oppose women’s participation using the theological proofs from the Quran and the Prophetic hadith, as well as the cultural views. Kata Kunci: partisipasi politik, perempuan, Islam Pendahuluan Pada suatu hari di awal bulan Agustus tahun 2008, penulis merasa tersentak ketika mendengar sebuah lirik lagu "wanita racun dunia" yang dinyanyikan oleh anak saya yang baru berumur tiga tahun lebih dengan lirik kanak-kanak yang datar dan polos. Ternyata lirik lagu tersebut didengar dan dihafal oleh anak saya dari sound track sebuah sinetron yang sering ditonton oleh istri saya yang ditayangkan salah satu stasiun televisi nasional. Lirik lagu tersebut seakan mengindikasikan pada saya bahwa perempuan di Ibu pertiwi ini masih dianggap sebagaI "racun". Memang, diakui atau tidak, sampai sekarang ini peranan perempuan dalam segala hal, temasuk dalam kancah perpolitikan masih terus menjadi persoalan yang krusial di Ibu pertiwi ini. Dalam realitasnya, perempuan tetap saja hanya dijadikan komoditi dan ornament daripada diandalkan secara konsisten. Kenyataan tersebut seakan relevan dengan diktum yang pernah dikemukakan oleh seorang pemikir Perancis, Simon de Beauvoir, 116 Musawa, Vol. 1, No.1, Juni 2009 : 115 - 130 bahwa dalam banyak hal perempuan selalu dianggap sebagai makhluk the second sex.1 Bahkan perempuan sering dianggap sebagai obyek sasaran produkproduk media. Lebih jauh lagi, mereka cenderung dieksploitasi dan "mengeksploitasi" keperempuanannya dan dijadikan sebagai komoditas industri. Hal ini bisa terjadi karena, menurut Yenny Wahid, putri sulung Gusdur, karena perempuan itu kebanyakan terkena sindroma primadona dimana ia selalu ingin dianggap yang paling cantik, paling beken, dan seterusnya2. Oleh karena itu, tidak heran jika perempuan sering dianggap sebagai "umpan yang manjur dan sakti mandraguna" untuk menarik konsumen pria dalam membeli suatu produk. Ironisnya, kelompok yang sering mengaku sebagai "pembela" hak-hak perempuan diam seribu bahasa dalam melihat fenomena tersebut dan mereka lebih cenderung mengkritisi undang-undang pornografi yang notebene–menurut hemat penulis-bisa menghapus atau paling tidak meminimalisir ekploitasi seksualitas terhadap perempuan. Berbicara tentang keikutsertaan perempuan dalam arena perpolitikan saat ini merupakan topik menarik yang diperdebatkan oleh para ulama dan para intelektual dari dulu sampai sekarang. Sebagian ulama memperbolehkan wanita ikut serta dalam ranah politik dengan argumentasi bahwa keikutsertaan mereka merupakan manifestasi dari tanggung jawab sosial, bahkan kewajiban setiap insan tanpa membedakan gender, untuk memperbaiki keadaan masyarakat. Sebagian ulama lainnya ada yang tidak membolehkan kaum wanita ini terjun dalam dunia politik, dengan berbagai alasan cultural dan teologis, serta sifat dan karekteristik kaum perempuan yang dianggap berbeda dengan kaum kaum laki-laki, baik dari segi fisik maupun mental. 1 “Menanti Peran Politik Perempuan.” (Online). http://www.Saihusaavie.com. diakses pada tanggal 27 Desember 2008. 2 “Aktivitas Politik Perempuan di Indonesia,” (Online). http://www. Republika.co.id. diakses 26 Desember 2008. Ubadah Yasin, Aktivitas Politik Perempuan 117 Problema Keterlibatan Perempuan dalam Ranah Perpolitikan di Tanah Air Keterlibatan perempuan dalam ranah perpolitikann nasional menyurutkan pandangan negatif yang berkembang selama ini bahwa kaum hawa tidak layak untuk memimpin. Megawati yang pernah "dijegal" untuk maju sebagai presiden di tahun 1999 dengan berbagai alasan cultural dan berbagai dalil keagamaan, lambat laun bisa diatasi. Dan akhirnya Megawati menjadi presiden RI ke 5 pada tahun 2001 yang menggantikan Gusdur. Hal tersebut memberi pandangan baru pada kancah perpolitikan tanah air bahwa seorang perempuan pun bisa menggantikan kedudukan laki-laki untuk memimpin Negara ini. Perjuangan untuk mengangkat dan mensejajarkan hak-hak perempuan dalam kancah perpolitikan tanah air telah mencapai suatu hasil yang menggembirakan. Hal ini bisa terlihat salah satu hasilnya yaitu dengan munculnya kebijakan affirmative action kuota 30% (Undang-undang No 12 tahun 2003) yang memberi pengaruh signifikan pada kebijakan partai politik dalam merekrut kader perempuan. Dengan kebijakan tersebut, diharapkan akan lebih mendorong peningkatan representasi perempuan dalam legislatif. Akan tetapi, kebijakan affirmative action kuota 30 persen tersebut nampaknya akan sulit terealisasi karena pada kenyataannya caleg dari kaum Hawa tetap harus bersain ketat dengan caleg lain. Hal itu dikarenakan dengan adanya putusan MK (Mahkamah Konstitusi) pertengahan Desember tahun 2008 kemarin yang membatalkan penggunaan nomor urut dalam penetapan calon anggota legislatif menjadi suara terbanyak. Dengan keputusan MK tersebut, jelas akan menjadi bumerang dan bisa menghambat caleg perempuan untuk lolos sebagai anggota legilatif, mengingat ketatnya persaingan dengan caleg dari kaum laki-laki yang notabene telah "mengakar" dan lebih berpengalaman. Hal ini senada dengan pernyataan anggota Komisi II DPR RI yang juga caleg dari PDI-P, Eva 118 Musawa, Vol. 1, No.1, Juni 2009 : 115 - 130 Kusuma Sundari,3 yang menilai putusan MK tersebut cenderung bisa merugikan caleg perempuan dan berpotensi melanggengkan nilai patriarkis, (nilai yang selama ini dianggap sebagai nilai yang memarginalkan posisi perempuan dalam berbagai aspek, -penulis). Terlepas dari pro-kontra putusan MK tersebut, yang perlu digaris bawahi adalah, bahwa kunci sukses untuk caleg adalah bagaimana cara untuk bisa merebut kepercayaan rakyat, bukan pada keistimewaan pemberian kuota maupun penempatan pada nomor "jadi" di partai. Oleh karena itu, menurut pengamat hukum dan politik Nicolas Pira Bunga yang juga Rektor Universitas Nusa Cendana, bahwa kaum perempuan tidak perlu lagi "menjerit dan meratapi" keputusan MK yang secara langsung "memangkas" ketentuan kuota 30 persen itu, tetapi perempuan tetap harus maju dan berjuang layaknya Benazir Bhutto dan pemimpin wanita lainnya di Asia, ataupun seperti Fatemeh Vaez Javadi yang pernah tampil di panggung politik Iran dan menduduki beberapa jabatan yang prestisius serta Begum Khaleda Zia dan Syekh Hashina, yang pernah menjadi perdana menteri. Dan tentang putusan Mk itu, menurut penulis, hal itu merupakan suatu pilihan politik yang sangat demokratis bagi semua caleg. Kendati semakin diakomodirnya perempuan dalam berbagai aspek kehidupan termasauk politik, namun masih ada kesan lama yang selalu muncul dalam hal diskriminasi gender yaitu bahwa perempuan dikonstruksi sebagai manusia yang harus taat dan tunduk serta patuh kepada kaum lakilaki. Dan anehnya, pandangan yang "miring" terebut seringkali dihubunghubungkan dengan ayat Alquran.4 Akhirnya perempuan menjadi tersekat dalam satu koridor yang sempit, yaitu hanya terfokus pada DSK alias dapur, sumur, dan kasur. Dan mereka dianggap tidak layak untuk terlibat dalam kegiatan yang bersifat public, mulai dari perpolitikan, perekonomian, 3 Ibid. Misalnya, dalam QS. Al-Nisa [4]: 34 dan Al-Ahzab [33]: 33. Lihat Quraisy Shihab, Perempuan, Cet. Ke-1, (Bandung: Mizan, 2005), 344-345. 4 Ubadah Yasin, Aktivitas Politik Perempuan 119 bahkan masalah social. Dan lagi-lagi, agama seringkali dijadikan sebagai dalil pembenaran dari argument-argumen mereka. Oleh karena itu, bisa dikatakan, diskriminasi terhadap perempuan tidak hanya dalam konteks sosial dan budaya, tetapi sudah memasuki domain politik kekuasaan Namun, jika dibuka kembali lembaran sejarah masa lampau, maka disitu terlihat bahwa kondisi perempuan jauh lebih dimarginalkan ketimbang pada masa sekarang ini. Dalam rentang sejarah, sepanjang abad pertengahan, nasib perempuan tetap sangat memprihatinkan, bahkan sampai tahun 1805 konstitusi Inggris mengakui hak suami untuk menjual isterinya , dan sampai tahun 1882 perempuan Inggris belum memiliki hak pemilikan harta benda secara penuh dan hak menuntut ke pengadilan.5 Dan pada zaman modern sekarang ini, dalam hal-hal tertentu, hak-hak dan peran perempuan dalam berbagai aspek masih sering dikebiri, dimarginalkan, dan dianggap sebelah mata. Pertanyaan yang kemudian membentang dihadapan kita adalah bahwa benarkah Islam sebagai agama yang rahmatan lil 'alamin mengajarkan marginalisasi kaum perempuan dengan membatasi hak-hak mereka (termasuk dalam bidang politik) dan menempatkan kaum laki-laki ansich sebagai superior dan perempuan hanya sebagai inferior? Pandangan Islam tentang Aktifitas Perempuan dalam Ranah Politik Dalam khazanah doktrin Islam, disebutkan bahwa manusia adalah makhluk Allah yang dikirim ke bumi untuk menjadi khalifah-Nya yang mengemban tugas isti'maru al-ardh, memakmurkan bumi dengan syariat-Nya.6 Jika khalifah dimaknai sebagai kekuasaan, maka untuk mencapai kekuasaan itu politik tidak mungkin dihindari. Artinya manusia adalah satu-satunya makhluk yang berpolitik, karena Allah tidak mengirim atau membebankan 5 Quraisy Shihab, Wawasan Alquran: Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Ummat. Cet. Ke-2, (Bandung: Mizan, 1996), 297. 6 Lihat QS. Al-Baqarah [2]: 30 dan Hud [11]: 61. 120 Musawa, Vol. 1, No.1, Juni 2009 : 115 - 130 amanah sebagai khalifah-Nya kepada selain manusia. Maka sifat politik adalah kekhususan bagi manusia ansich. Sehingga bisa dikatakan bahwa setiap manusia, laki-laki atau perempuan adalah insanun siyasiy atau makhluk yang memiliki potensi untuk berpolitik (baca bisa menjadi politisi). Bahkan menurut Ibnu Khaldun, ilumuwan politik Islam, bahwa kehidupan politik adalah keharusan bagi kehidupan manusia dalam bermasyarakat. Berpolitik dilukiskan sebagai sarana menuju keteraturan dan sebuah cara menuju peradaban. Sebelum membicarakan tentang aktifitas politik perempuan dalam perspektif Islam, terlebuh dahulu dibahas sekilas tentang hak-hak yang dimiliki oleh perempuan dalam perspekif Alquran dan Sunnah. Alquran berbicara tentang perempuan dalam berbagai surah yang menyangkut tentang berbagai sisi kehidupan. Ada ayat yang berbicara tentang hak dan kewajibannya, ada pula yang menguraikan keistimewaan tokoh-tokoh perempuan dalam sejarah agama dan kemanusiaan. Secara umum, Surah An-Nisa ayat 32 menunjukkan hak-hak perempuan: Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi Para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan. Pada masa Nabi Muhammad saw., para perempuan diberi oleh Alquran hak-haknya, karena tidak mungkin ada kewajiban-kewajiban kalau tidak diserta dengan hak-hak. Dan itu adalah bagaikan dua sisi dari satu mata uang. Karena itu, Alquran menekankan dalam surah Al-Baqarah ayat 228: Ubadah Yasin, Aktivitas Politik Perempuan 121 "Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajiban mereka menurut cara yang ma'ruf" Penggalan ayat di atas, menurut Quraish Shihab,7 merupakan pengumuman Alquran menyangkut hak-hak perempuan. Didahulukannya penyebutan hak mereka atas kewajiban mereka merupakan penegasan tentang hak-hak tersebut, sekaligus menunjukkan betapa pentingnya hak itu diperhatikan. Apalagi ketika itu pada beberapa suku di masyarakat Jahiliyah, perempuan nyaris bisa dianggap tidak mempunyai hak sama sekali. Atas dasar hak inilah sehingga tidak sedikit perempuan pada masa Nabi Muhammad Saw. yang cukup kritis dan "berani" berdiskusi, bahkan menolak pendapat para suaminya. Kendati banyak pula dalil yang dikemukakan oleh para penentang hak-hak perempuan, terutama An-Nisa ayat 34 bahwa para lelaki adalah pemimpin perempuan, namun, menurut Quriash Shihab,8 tidak ditemukan satu ketentuan agama pun yang secara tegas dapat dipahami sebagai pelarangan keterlibatan perempuan dalam bidang politik, atau membatasi bidang tersebut hanya kepada laki-laki. Dalih yang melarang keterlibatan perempuan dalam bidang politik kesemuanya dapat dilemahkan. Ditambah lagi, kata beliau dalam bukunya yang lain,9 bahwa memang dalam memahami teks-teks keagamaan amat sulit dilepaskan dari pengaruh budaya serta perkembnagan masyarakat yang dialami oleh seorang pemikir (mufassir). Di sisi yang lain, kekeliruan akan terjadi jika memahami satu teks tersebut secara parsial (berdiri sendiri) atau memahaminya terlepas dari konteks. Pendapat Quraish Shihab yang luar biasa maju tersebut, paling tidak ikut member andil yang signifikan dalam mencairkan "hambatan teologis" di kalangan umat Islam untuk menerima aktrifitas perempuan dalam kancah politik. Hal ini merupakan salah satu langkah kemajuan yang progresif 7 Shihab, Perempuan, 111. Shihab, Kepemimpinan Perempuan dalam Islam. (Bandung: Mizan, 2000), 27. 9 Shihab, Fatwa-fatwa Seputar wawasan Agama, Cet. Ke-2, (Bandung: Mizan, 2001), 238. 8 122 Musawa, Vol. 1, No.1, Juni 2009 : 115 - 130 dimana umat Islam mulai menapaki babak baru gelombang demokratisasi di negara Muslim terbesar, yang tidak lagi mempersoalkan "jenis kelamin" dalam kegiatan politik termasuk dalam pemilihan presiden, melainkan lebih kepada kualitas manajerial dan intelektual dalam menyelesaikan krisis bangsa yang samapai sekarang tidak kunjung teratasi. Sementara itu, dalam rentangan sejarah Islam, sejumlah perempuan sahabat Nabi seperti Nusaibah, Ummu Athiyyah Al-anshariyah dan Rabi' binti Al-Mu'awwadz ikut bersama lelaki dalam perjuangan bersenjata melawan penindasan dan ketidakadilan. Mereka mengobati yang luka dan bahkan memanggul senjata di medan juang. Para perempuan pada masa Nabi saw. juga aktif dalam berbagai bidang pekerjaan, dalam bidang perdagangan misalnya, nama istri Nabi yang pertama Khadijah binti Khuwailid, tercatat sebagai perempuan yang sukses. Adapula Qilat Ummu Bani Ammar yang pernah datang kepada Nabi meminta petunjuk-petunjuk tentang jual-beli.10 Bahkan nama-nama seperti Ummu Salamah (istri Nabi), Shafiyah Lailah Al-Ghaffariyah, dan nama-nama lain seperti yang telah disebutkan di atas, adalah yang tercatat sebagai tokoh-tokoh perempuan yang terlibat langsung dalam kancah peperangan. Karena itu, Imam Bukhari dalam Kitab Shahih-nya membukukan bab-bab yang mengetengahkan tentang kegiatan kaum wanita, misalnya bab tentang Keterlibatan Perempuan dalam Perang ( ), bab tentang Keterlibatan Perempuan dalam Pertempuran di Lautan ( ), dan beberapa bab lagi yang berbicara tentang keterlibatan perempuan dalam perang.11 Pada sisi yang lain, dalam Alquran juga ditemukan citra perempuan yang terpuji adalah yang memiliki kemandirian yang menjadikannya memiliki hak berpolitik dan kritis terhadap apa yang dihadapinya. Misalnya kisah tentang anak-anak perempuan Nabi Syuaib yang bekerja untuk memenuhi kebutuhan ayahnya yang telah tua dalam surah al-Qashash ayat 23. Bahkan dalam surah an-Naml ayat 29-44 berkisah tentang perempuan 10 11 Shihab, Wawasan, 306. lihat Shahih al-Bukhari pada bab al-Maghaziy dalam al-Maktab al-Shamilah: 2007 Ubadah Yasin, Aktivitas Politik Perempuan 123 yang menjadi penguasa tertinggi yang dipatuhi oleh rakyatnya baik laki-laki maupun perempuan, yang menurut beberapa mufassir bahwa ratu tersebut bernama Balqis.12 Oleh karena itu tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa untuk mewujudkan kemandirian perempuan dan memelihara kodrat serta hak-hak mereka, maka perempuan tidak hanya harus merasa dirinya setara dengan kaum laki-laki, tetapi lebih dari itu, perempuan harus membuktikanna melalui kemampuan dan akitfitas mereka dalam dunia nyata yang termasuk di dalamnya arena politik. Dalam perpektif Islam, politik atau siyasah bisa bermakna sebagai cara mengatur urusan kehidupan bersama untuk mencapai kesejahteraan di dunia maupun di akhirat ( ).13 Dengan begitu, politik dalam konteks ini adalah adalah ruang maha luas, seluas ruang kehidupan itu sendiri. Ia muncul dalam ruang domestik maupun publik, kultural maupun struktural, personal dan komunal. Tapi penyebutan politik dalam pikiran banyak orang telah menyempit menjadi istilah politik praktis, politik struktural, perebutan kekuasaan untuk kepentingan diri atau sebagian orang dan sesaat, bukan untuk kepentingan masyarakat luas dan masa depan yang panjang. Dalam pandangan yang lain, politik diartikan antara lain sebagai urusan dan tindakan atau kebijakan mengenai pemerintahan Negara atau Negara lain. Politik juga berarti kebijakan dalam menangani satu masalah, baik yang berkaitan dengan masyarakat maupun selainnya. Alquran berbicara tentang politik melalui sekian banyak ayatnya, khusunya yang menggunakan kata hukm.14 Dalam perspektif poltik Islam klasik, mengangkat pemimpin atau alimam adalah wajib dalam kategori fardhu kifayah atau kewajiban kolektif. Hal 12 Ibn Katsir, Tafsir Ibn Katsir, Surah al-Qashash dalam kutub al-Tafasir. CD. ROM alMaktabah al-Syamilah Edisi ke-2, 2007. 13 Husain Muhammad, “Partisipasi Politik Perempuan dalam Tafsir Alquran”. (On-line) http://www.Swararahima.com. Diakses pada tanggal 30 Desember 2008. 14 Shihab, Perempuan, 343. 124 Musawa, Vol. 1, No.1, Juni 2009 : 115 - 130 ini berdasarkan pada beberapa argumen agama (naqliy) maupun dalil 'aqliy. Bahkan Al-Ghazali dalam al-I'tiqad wa al-iqtishad meyebut tugas ini sebagai sesuatu yang dharury atau keniscayaan dalam kerangka berjalannya ajaranajaran Tuhan.15 Sementara itu, Al-Mawardi menegaskan bahwa bahwa eksistensi pemerintahan diperlukan untuk melindungi agama (atau umat) dan pengaturan dunia. 16 Dan yang perlu digaris bawahi tentang kepemimpinan ini adalah bahwa apapun bentuk atau nama dan cirinya, dan ditinjau dari sudut pandang manapun, kepemimpinan harus selalu berlandaskan kebajikan dan kemaslahatan, serta mengantar kepada kemajuan.17 Kepemimpinan harus dapat menentukan arah, menciptakan peluang, dan melahirkan hal-hal baru melalui inovasi pemimipin (laki-laki maupun perempuan karena dalam perspektif Islam, setiap orang adalah pemimipin, kullukun raa'in wa kullukum mas'ulun an ra'iyytihi) yang kesemuanya menuntut kemampuan berinisiatif, kreatifitas, dan dinamika berpikir. Islam sebagai ideologi, memiliki konsep yang jelas, yaitu mengatur urusan umat, baik dalam dan luar negeri. Politik dilaksanakan oleh Negara dan masyarakat. Negara mengurusi kepentingan masyarakat, dan sebaliknya masyarakat melakukan kritik atau koreksi dan kontrol terhadap Negara. Sedangkan pelaku politik adalah para individu, partai, kelompok, ataupun negara. Aktivitas politik merupakan sesuatu yang wajib bagi setiap muslim, hal ini berdasarkan pada dalil naqliy dalam QS Ali-Imran: 104. 15 Muhammad, Partisipasi. Imam Almawardi al-Ahkam al-Sulthaniyah, dalam al-maktab al-syamilah: 2008. 17 Shihab, Menabur Pesan Ilahi: Alquan dan Dinamika Kehidupan Masyarakat. Cet. Ke-1, (Jakarta: Lentera Hati, 2006), 379, 382. 16 Ubadah Yasin, Aktivitas Politik Perempuan 125 "dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar merekalah orang-orang yang beruntung". Sekalipun ayat tersebut oleh beberapa ulama dijadikan dasar bahwa amar ma'ruf nahi munkar adalah kewajiban kolektif, termasuk ulama Mu'tazilah. Namun mayoritas ulama berpendapat bahwa amar ma'ruf nahi munkar adalah kewajiban individual atau fardhu 'ain, diwajibkan kepada semua mukmin dan seluruh anggota masyarakat (baik laki-laki maupun perempuan) dan hal ini berdasarkan pada Alquran surah At-Taubah ayat 71 dan juga berdasarkan pada hadis Nabi yang mewajibkan setiap orang yang melihat kemunkaran untuk segera mencegahnya.18 Hadis tersebut berbunyI: "Barang siapa yang melihat kemunkaran, hendaknya dia merubah dengan tangannya, bila dia tidak mampu, rubahlah dengan lidahnya, dan bila tidak mampu, rubahlah dengan hatinya. Yang demikian itu adalah iman yang paling lemah."19 Oleh karena itu, Islam tidak membedakan laki-laki dan perempuan dalam hak-hak individu dan hak-hak kemasyarakatan utamanya hak politik. Namun demikian, yang perlu dicatat adalah bahwa semua hak tersebut harus diletakkan dalam batas-batas kodratnya sebagai perempuan. Perempuan adalah makhluk Tuhan seperti halnya laki-laki. Sebab itu dia juga memiliki tanggungjawab kemanusiaan, memakmurkan bumi dan mensejahterakan manusia atau dengan kata lain bahwa mereka juga punya tanggung jawab publik seperti laki-laki. Tidak sedikit nash Alquran yang menjelaskan tentang keharusan bekerja sama antara laki-laki dan perempuan dalam konteks pengaturan dunia.20 Menurut Alquran Laki-laki dan perempaun yang beriman harus saling bekerja sama untuk tugas keagamaan, menyerukan kebaikan dan menghapuskan kemunkaran (baca kerusakan social). Hal ini bisa dikatakan bahwa banyak dalil keagmaan yang bisa 18 Jalauddin Rakhmat, Islam dan Pluralisme, Akhlak Qur'an Menyikapi Perbedaan. Cet. Ke-2, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2006), 234. 19 Al-Munziri, al-Targhib wa al-Tarhib, Jilid 3, (Makkah: Dar el-Baz, 1995), 223. 20 Lihat QS An-Nahl [16]: 97. 126 Musawa, Vol. 1, No.1, Juni 2009 : 115 - 130 dijadikan dasar untuk mendukung hak-hak perempuan dalam arena politik. Salah satu ayat tersebut terdapat dalam Surah At-Taubah ayat 71, yang artinya: "dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." Pengertian kata auliya' pada ayat tersebut, menurut Quraish Shihab,21 mencakup kerjasama, bantuan, dan penguasaan. Sedangkan pengertian menyuruh mengerjakan yang ma'ruf mencakup segala segi kebaikan/perbaikan kehidupan, termasuk memberi nasihat/kritik kepada penguasa. Dengan demikian, setiap lelaki dan perempuan hendaknya mampu mengikuti perkembangan masyarakatnya, agar masing-masing mampu melihat dan memberi saran atau nasihat dan kritik dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk kehidupan politik. Oleh karena itu, berdasarkan beberapa ayat di atas, dan tentu masih ada ayat-ayat lain yang bisa menjadi dasar untuk memberi legitimasi akan partisipasi politik perempuan yang tidak dibedakan dari kaum laki-laki. Bahkan Alquran juga menguraikan permintaan para perempuan pada zaman nabi untuk melakukan bai'at atau semacam janji setia kepada Nabi dan ajaran Islam.22 Diterimanya bai'at mereka, membuktikan bahwa mereka mempunyai hak menentukan pilihan (atau afiliasi politik) yang berkaitan dengan kehidupan serta kebebasan mereka untuk berbeda dengan kelompok lain dalam masyarakat. Dalam sejarah kenabian tercatat sejumlah besar perempuan yang aktif memainkan beberapa peran atau akitifitas bersama laki-laki. Misalnya Khadijah, Aisyah, Ummu Salamah, dan para istri Nabi yang lain, anak kandung Nabi Fatimah, cucu Nabi zainab, mereka itu adalah perempuan- 21 22 Shihab, Perempuan, 346. Lihat QS. Al-Mumtahanah: 12. Ubadah Yasin, Aktivitas Politik Perempuan 127 perempaun terkemuka yang cerdas. Mereka sering terlibat dalam diskusidiskusi seputar tema-tema social dan politik, bahkan menkritisi kebijakankebijakan domistik maupun public yang patriarkis. Bahkan dalam kancah politik praktis.23 Ummu Hani' misalnya, dibenarkan sikapnya oleh Nabi Muhammad saw. ketika member jaminan keamanan (yang notabene adalah salah satu aspek dalam bidang politik) kepada dua orang musyrik. Dalam catatan lain, Umar bin khattab juga pernah mengangkat Al-Syifa, perempuan yang cerdas dan terpercaya, untuk jabatan manajer pasar di Madinah. 24 Selain itu, Aisyah, isteri Nabi, meninggalkan rumahnya di Madinah menuju Bashrah (di Irak Sekarang) untuk memimpin pasukan melawan Ali ibn Abi Thalib. Dan yang menjadi latarbelakang perseteruan tersebut adalah alasan politik, yaitu masalah suksesi keuasaan setelah khalifah ketiga, Usman bin Affan mati tebunuh. Kendati pada akhirnya menyesali kejadian tersebut, tetapi yang disesali bukanlah karena keterlibatannya dalam politik praktis, namun kekeliruan dalam pandangan politiknya.25 Hal ini diakui atau tidak, keterlibatan istri nabi tersebut dalam bidang politik praktis, sekali lagi mengindikasikan bahwa perempuan juga layak terjun dalam arena politik. Dalam konteks ke-Indonesiaan, kiprah perempuan dalam arena publik juga dapat ditelusuri dalam pentas sejarah nasional bangsa Indonesia. Perjuangan kaum perempuan pada masa penjajahan kolonial tak kalah heroiknya dengan kaum laki-laki. Di Aceh, ada Cut Nyak Dien, Cut Meutia, juga di Jawa ada Kartini, yang sampai sekarang namanya sering dijadikan simbol gerakan emansipasi perempuan. Oleh karena itu, dalam konteks Indonesia yang notabene berpenduduk muslim terbanyak di dunia, status yang setara bagi perempuan dan peluang mereka dalam aktifitas politik sesungguhnya telah mendapat dasar yuridis dalam undang-undang dasar 1945. 23 Shihab, Perempuan, 347. Muhammad, Partisipasi. 25 Ahnad Syalaby, Mausuah al-Tarikh al-Islamiy wa al_hadharah al-Islamiy, (Kairo: Al-Nahdhah alMishriya, 1984), 70. 24 128 Musawa, Vol. 1, No.1, Juni 2009 : 115 - 130 Terlepas dari masih berjubelnya problema diskriminasi terhadap perempuan, sejumlah kemajuan atas status perempuan telah berhasil dicapai. Dan yang menarik adalah bahwa beberapa keputusan politik seperti affirmative action 30 persen kuota perempuan yang telah disinggung di bagaian awal tulisan ini, mendapat sambutan yang baik dan cenderung diterima tanpa resistensi dan perdebatan yang berarti dari partai politik termasuk partai politik yang notabene pernah menolak pencalonan perempuan sebagai presiden pada tahun 1999. Bahkan para ulama dan organisasi-organisasi keagamaan garis keras ternyata juga bisa menerima. Realitas tersebut sangat berbeda dengan tradisi dan pikiran keagamaan yang mereka anut selama ini. Respons dan akseptabilitas terhadap partisipasi politik perempuan tersebut diharapkan bukan karena kepentingan politik sesaat ansich demi menarik dukungan kaum Hawa' untuk sebuah kemenangan dalam perebutan kekuasaan, tetapi karena agama memang membolehkan dan sama sekali tidak melarang aktifitas bagi perempuan dalam ranah politik, dan tentunya tetap dalam koridor dan bingkai agama sekaligus tidak mengabaikan peran utamanya sebagai ummu wa rabbatul bait Kesimpulan Dari pembahasan di atas, sangat jelas bahwa Islam tidak pernah dan tidak akan memasung perempuan berkiprah di bidang publik, termasuk berpartisipasi dalam arena politik sepanjang tidak melanggar fitrah dan kodratnya serta norma-norma Islam yang sudah sangat jelas. Mungkin bisa dikatakan bahwa resistensi terhadap kiprah perempuan di dunia politik terjadi karena kekhawatiran dengan terjunnya kaum perempuan ke sektor publik, seperti politik, bisa mengabaikan fungsi fitrahnya sebagai istri; sebuah peran primordial dan signifikan yang sangat dihargai dalam perspektif Islam. Sepanjang fitrah perempuan tidak terabaikan dan kaum perempuan bisa menjaga integritas sebagai seorang muslimah yang baik, maka tidak ada halangan bagi perempuan Islam berpartisipasi dalam politik. Persoalannya Ubadah Yasin, Aktivitas Politik Perempuan 129 kembali ke kaum perempuan itu sendiri. Di tengah arena perpolitikan yang "ganas" dan begitu kompleks, keras, dan banyak wilayah syubhat/abu-abunya itu, apakah mereka mampu untuk tetap menjaga fitrah dan martabatnya sebagai seorang perempuan, sebagai seorang ibu, atau sebagai seorang istri, dan tentunya sebagai muslimah yang Daftar Pustaka Bukhari, Shahih al-Bukhari, Bab Al-Maghaziy. CD.ROM Al-Bayan Versi 2.0, 2002 Katsir, Ibn. Tafsir Ibn Katsir, Surah al-Qashash dalam kutub al-Tafasir. CD. ROM al-Maktabah al-Syamilah Edisi kedua, 2007 Mawardi, Al-Ahkam al-Sulthaniyah, (Kutub al-Siyasah). CD. ROM alMaktabah al-Syamilah Edisi kedua, 2007 Muhammad, Husain “Partisipasi Politik Perempuan dalam Tafsir Alquran”. (On-line) http://www.Swararahima.com. Diakses pada tanggal 30 Desember 2008 Munziri, al-Targhib wa al-Tarhib, Jilid 3, Makkah: Dar el-Baz, 1995 Rakhmat Jalauddin, Islam dan Pluralisme, Akhlak Qur'an Menyikapi Perbedaan. Cet. Ke-2, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2006 Shihab, Quraisy, Wawasan Alquran: Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Ummat. Cet. Ke-2, Bandung: Mizan, 1996 Shihab, Quraisy, Kepemimpinan Perempuan dalam Islam. Bandung: Mizan, 2000 Shihab, Quraisy, Fatwa-fatwa Seputar wawasan Agama, Cet. Ke-2, Bandung: Mizan, 2001 Shihab, Quraisy, Perempuan, Cet. Ke-1, Bandung: Mizan, 2005 Shihab, Quraisy, Menabur Pesan Ilahi: Alquan dan Dinamika Kehidupan Masyarakat. Cet. Ke-1, Jakarta: Lentera Hati, 2006 130 Musawa, Vol. 1, No.1, Juni 2009 : 115 - 130 Syalabi, Ahmad, Mausuah al-Tarikh al-Islamiy wa al-Hadharah al-Islamiy, Kairo: Al-Nahdhah al-Mishriya, 1984 Sumber Web “Menanti Peran Politik Perempuan.” (Online). http://www.Saihusaavie.com. diakses pada tanggal 27 Desember 2008. “Aktivitas Politik Perempuan di Indonesia,” (Online). http://www. Republika.co.id. diakses 26 Desember 2008. * H. Ubadah, S.Ag., M.Pd. adalah Dosen Tarbiyah, STAIN Datokarama Palu, Sulawesi Tengah.