HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI TERHADAP KEMATIAN DENGAN KETAKUTAN AKAN KEMATIAN PADA WANITA PENDERITA KANKER PAYUDARA Nabilla Irfani Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma Abstrak Di Indonesia, kanker payudara merupakan salah satu jenis penyakit yang mematikan dimana penyakit ini paling sering diderita oleh wanita dengan persentase jumlah rata-rata penderitanya adalah 10 dari 100 ribu wanita sehingga menjadikan penyakit ini berada di urutan kedua penyakit kanker yang kerap ditemukan pada wanita. Atas dasar hal tersebut, maka penyakit ini seringkali menimbulkan persepsi mengenai kematian bagi setiap orang yang mendengarnya. Adapun ketika membahas mengenai kematian, maka akan muncul perasaaan takut dimana rasa takut yang muncul tersebut disebut sebagai rasa takut akan kematian (thanatophobia). Ketika seseorang menghadapi kematian, ada yang menghadapinya secara positif namun tidak jarang pula yang menghadapinya secara negatif. Mereka yang memiliki persepsi yang positif terhadap kematian akan menjalani kehidupannya penuh dengan rasa nyaman dan makna bahkan tidak jarang berusaha membantu untuk membuat dunia menjadi tempat yang tenteram dan damai. Namun, bagi mereka yang memiliki persepsi negatif terhadap kematian akan menjalani kehidupannya penuh dengan kekacauan disebabkan karena keinginan untuk membuat kesan mendalam yang cenderung negatif kepada dunia dan orang-orang disekitarnya (Cicirelli, 1998). Sedangkan, bentuk dari rasa takut yang dimunculkan dapat tinggi ataupun rendah (Bond, 1994). Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk menguji secara empirik sejauh mana hubungan antara persepsi terhadap kematian dengan ketakutan akan kematian pada wanita penderita kanker payudara, dan arah hubungannya. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah persepsi terhadap kematian, sedangkan variabel terikatnya adalah ketakutan akan kematian. Partisipan dalam penelitian ini berjumlah 30 orang yang memiliki karakteristik wanita berusia diatas 25 tahun, yang menderita kanker payudara dan sedang menjalani terapi di Rumah Sakit. Penelitian ini menggunakan skala pemaknaan pribadi terhadap kematian yang disusun oleh Cicirelli (1998) untuk mengukur persepsi terhadap kematian dan skala ketakutan akan kematian yang disusun oleh Bond (1994) untuk mengukur ketakutan akan kematian. Setelah itu dilakukan uji validitas dan reliabilitas. Dalam skala persepsi terhadap kematian, reliabilitasnya 0,817 dari 30 item yang diujicobakan, terdapat 16 item yang valid. Dalam skala ketakutan akan kematian, reliabilitasnya sebesar 0,886 dari 32 item yang diujicobakan terdapat 22 item yang valid. Hasil dari penelitian ini diperoleh nilai korelasi (r) sebesar 0,619 dengan signifikansi (p) sebesar 0,000 (p<0,05). Hal ini berarti bahwa terdapat hubungan yang sangat signifikan antara persepsi terhadap kematian dengan ketakutan akan kematian, dimana hubungannya adalah positif. Artinya, apabila partisipan penelitian dalam hal ini adalah wanita penderita kanker payudara memiliki persepsi terhadap kematian yang positif (tinggi), maka ia juga memiliki ketakutan akan kematian yang tinggi pula, begitu pula sebaliknya. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi persepsi partisipan penelitian terhadap kematian, diantaranya individu yang mempersepsi, sesuatu yang dipersepsi, dan situasi (Robbins, 1988). Sedangkan, faktor yang mempengaruhi ketakutan akan kematian partisipan penelitian adalah jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan (Aiken, 1994). Namun demikian, terdapat beberapa faktor pendukung lain yang mempengaruhi ketakutan akan kematian partisipan, yakni stadium kanker, lama menderita kanker, dan lama menjalani terapi. Selain itu, diketahui bahwa persepsi terhadap kematian yang dimiliki oleh partisipan berada pada rentang rata-rata dengan ketakutan akan kematian yang tinggi. Kata Kunci : Persepsi Terhadap Kematian, Ketakutan Akan Kematian (fear of death), Wanita, Kanker Payudara PENGANTAR Kanker payudara merupakan penyakit kanker peringkat kedua yang kerap ditemukan terjadi pada wanita. Pada umumnya kanker payudara menyerang wanita yang telah berumur lebih dari 40 tahun. Namun demikian, wanita muda pun bisa terserang penyakit ini (Purwoastuti, 2008), dan kaum pria dapat juga terkena kanker jenis ini, tetapi kemungkinan terkena kanker payudara pada wanita 100 kali lipat dibandingkan pada pria (Diananda, 2007). Di Indonesia sendiri, rata-rata penderita kanker payudara adalah 10 dari 100 ribu perempuan. Adapun berdasarkan survei yang dilakukan di dunia menunjukkan tiap 3 menit ditemukan penderita kanker payudara dan setiap 11 menit ditemukan seorang perempuan meninggal dunia akibat kanker payudara (San, 2003). Setiap penyakit pasti ada obatnya, begitu pula dengan penyakit kanker payudara ini juga memiliki beberapa jenis pengobatan yang biasa dilakukan oleh para dokter spesialis untuk mengobati penyakit ini, yakni dengan cara pembedahan (operasi), pemberian kemoterapi (sitostika), radioterapi (penyinaran), maupun hormon (Purwoastuti, 2008). Ragam jenis pengobatan tersebut diberikan kepada penderita berdasarkan pada stadium kanker yang diderita, yakni jika sel kanker berada pada stadium dini hingga stadium 3, maka terapi yang dilakukan berupa pembedahan, kemoterapi (pemberian obat anti kanker), terapi radiasi atau hormonal. Akan tetapi, jika sudah mencapai stadium 4, pembedahan tidak dapat dilakukan, melainkan hanya dengan melakukan terapi kemoterapi dan radiasi (Sutjipto, dalam San 2003). Berdasarkan dari stadium kanker yang diderita dapat diketahui pula seberapa besar harapan untuk sembuh dari penyakit tersebut, dimana apabila seorang wanita divonis menderita kanker payudara dan bahwa penyakit kankernya masuk dalam stadium satu, maka harapan hidup lima tahun ke depan akan mencapai 90 persen. Stadium dua, 65 persen, stadium tiga, 15-20 persen, dan stadium empat harapan hidupnya hanya kurang dari 5 persen (Diananda, 2008). Hal tersebut didukung oleh anggapan bahwa penyakit kanker dikenal sebagai “pembunuh yang sebenarnya” karena dalam perjalanannya memang mengarahkan kepada kematian dengan cara langsung dan tidak langsung. Pada jalur langsung, sel kanker menjalar dengan bekerja terus menerus pada organ penting, seperti otak, hati, atau paru-paru; yang kemudian sel ini bersaing untuk mendapatkan nutrisi yang lebih pada organ jaringan yang diperlukan untuk dapat bertahan hidup, dan hal tersebut menyebabkan organ itu menjadi rusak. Penyakit ini membunuh secara tidak langsung dengan dua cara, yaitu penyakit itu sendiri memperlemah korban dan kedua penyakit dan pengobatan dapat mengganggu nafsu makan pasien dan kemampuan untuk melawan infeksi (Sarafino, 1994). Oleh karena itu, tetap tidak dapat dipungkiri bahwa penderita penyakit ini akan tetap berpikir mengenai resiko terburuk yang ditimbulkan oleh penyakit ini, yakni kematian menimbulkan persepsi mengenai kematian dimana persepsi yang muncul cukup bervariasi dan masing-masing merefleksikan berbagai nilai dan filosofi. Disebabkan karena berdasarkan fase perkembangan terdapat perbedaan persepsi mengenai kematian. Dalam hal ini wanita penderita kanker payudara berdasarkan pada fase perkembangan berada pada fase dewasa yang terbagi ke dalam tiga bagian, yakni dewasa awal, dewasa madya dan dewasa akhir. Adapun menurut Santrock (2002) orang dewasa lebih sering mengalami kematian karena penyakit kronis, salah satunya disebabkan oleh penyakit kanker. Penyakit yang diderita orang dewasa sering kali melumpuhkan sebelum akhirnya membunuh, dan mereka kebanyakan berada dalam keadaan yang sekarat dimana secara lambat laun keadaan tersebut menuju ke arah kematian. Pada tahap dewasa awal diketahui bahwa tidak ada bukti yang menunjukkan perkembangan suatu pemahaman atau orientasi khusus mengenai kematian. Peningkatan kesadaran mengenai kematian muncul sejalan saat mereka beranjak tua, yang biasanya meningkat pada masa dewasa tengah, yang mengindikasikan bahwa usia paruh baya merupakan saat dimana orang dewasa mulai berpikir lebih jauh mengenai berapa banyak waktu yang tersisa dalam hidup mereka. Orang-orang diusia dewasa akhir lebih banyak berpikir mengenai kematian dan mereka lebih banyak membicarakan mengenai kematian dengan orang lain dibandingkan dengan usia dewasa tengah maupun dewasa muda. METODE PENELITIAN Partisipan Partisipan penelitian ini adalah wanita penderita kanker payudara yang berusia 25 tahun ke atas dan sedang menjalani terapi sejumlah 30 orang. Untuk stadium kanker yang diderita partisipan mayoritas berada pada stadium II (n = 12; 40%), diikuti oleh partisipan yang berada pada stadium III (n = 11; 37%), lalu partisipan yang berada pada stadium I (n = 6; 20%); kemudian oleh partisipan yang berada pada stadium IV (n = 1; 3%). Untuk lama menderita kanker, mayoritas partisipan menderita kanker selama kurang dari 1 tahun (n = 16; 53%), kemudian partisipan dengan lama menderita 1 sampai 2 tahun (n = 8; 27%) lalu partisipan dengan lama menderita lebih dari 2 tahun (n = 6; 20%). Untuk lama menjalani terapi, mayoritas partisipan telah menjalani terapi selama kurang dari 3 bulan (n = 16; 40%), selanjutnya partisipan dengan lama menjalani terapi 3 sampai 5 bulan berjumlah sama dengan jumlah partisipan dengan lama menjalani terapi lebih dari 5 bulan yakni (n = 9; 30%) Usia Partisipan dibagi menjadi 3 bagian, yakni dewasa awal (n = 13; 43%), dewasa madya (n = 15; 50%) dan dewasa akhir (n = 2; 7%). Mayoritas partisipan sudah menikah (n = 27; 90%), dan 3 orang yang tidak menikah (10%). Pendidikan terakhir partisipan mayoritas adalah SMA (n = 13; 44%), diikuti oleh S1 (n = 12; 40%), SD (n = 4; 13%), D3 (n = 1; 3%) dan SMP (n = 0; 0%). Mayoritas partisipan bekerja (n = 16; 53%) sedangkan partisipan yang tidak bekerja (n = 14; 47%). Alat Ukur Persepsi Terhadap Kematian. Variabel ini diukur dengan menggunakan Skala Pemaknaan Pribadi Terhadap Kematian yang disusun oleh Cicirelli (1998) berdasarkan dimensi pemaknaan pribadi terhadap kematian, yaitu memaknai kematian sebagai akibat, kematian sebagai kehidupan di alam baka, kematian sebagai peniadaan, dan kematian sebagai motivator. Skor skala terentang antara 1 – 4 mulai dari Sangat Setuju sampai dengan Sangat Tidak Setuju. Dari 30 item yang diujicobakan gugur 16 item dan tersisa 14 item sahih dengan validitas berkisar antara 0.324 – 0.607. Reliabilitas alat ukur sebesar 0.817. Ketakutan Akan Kematian. Variabel ini diukur dengan menggunakan Skala Ketakutan Akan Kematian Collet-Lester dalam Bond (1994) yang disusun berdasarkan dimensi ketakutan akan kematian, yaitu ketakutan akan kematian diri sendiri, ketakutan akan proses kematian diri sendiri, ketakutan akan kematian orang lain dan ketakutan akan proses kematian yang dialami oleh orang lain. Skor skala dibagi kedalam tiga kategori yakni nilai 1 yang berarti jawaban “Tidak”; 2, 3, dan 4 yang berarti jawaban “Agak”; 5 yang berarti jawaban “Sangat”. Dari 32 item yang diujicobakan gugur 10 item dan tersisa 22 item sahih dengan validitas berkisar antara 0.303 – 0.673. Reliabilitas alat ukur sebesar 0.886. HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan kurva normal dapat diketahui bahwa persepsi terhadap kematian yang dimiliki oleh partisipan berada pada rentang rata-rata dan ketakutan akan kematiannya berada pada rentang tinggi. Maksudnya adalah, partisipan yang mempersepsi kematian secara negatif (rendah) berimbang dengan partisipan yang mempersepsi kematian secara positif (tinggi) sehingga persepsi partisipan secara keseluruhan tentang kematian berada pada rentang rata-rata. Terdapat tiga faktor yang mempengaruhi persepsi, yaitu individu yang mempersepsi, sesuatu yang akan dipersepsi, dan situasi (Robbins, 1988). Dalam hal ini, individu yang mempersepsi adalah wanita yang menderita kanker payudara, berusia diatas 25 tahun, dan sedang menjalani terapi di Rumah Sakit. Sedangkan, sesuatu yang dipersepsi oleh partisipan adalah kematian, dimana masing-masing individu memiliki persepsi yang beragam tentang kematian. Situasinya adalah partisipan mengetahui bahwa penyakit ini memiliki efek yang sangat tidak menyenangkan bahkan menakutkan, mulai dari penurunan kondisi secara fisik sampai pada kenyataan bahwa penyakit ini dapat menyebabkan kematian. Ketakutan akan kematian partisipan yang berada pada rentang tinggi berarti bahwa secara keseluruhan partisipan memiliki ketakutan yang tinggi terhadap kematian. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi ketakutan akan kematian, yakni jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, penilaian pribadi, dan defensiveness dan denial (Aiken, 1994). Berdasarkan jenis kelamin diketahui bahwa wanita memiliki ketakutan yang lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki, disebabkan karena adanya perbedaan cara pandang mengenai kematian antara pria dan wanita. Lalu, berdasarkan pendidikan terakhir diketahui bahwa partisipan yang memiliki pendidikan terendah memiliki ketakutan akan kematian yang terendah pula, yakni partisipan dengan pendidikan terakhir SD (M = 68,25). Sedangkan ketakutan akan kematian yang tertinggi dialami oleh partisipan dengan pendidikan terakhir D3 (M = 104,00), lalu SMA (M = 86,50) dan S1 (M = 85,38). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian seorang ahli yang bernama Riley (dalam Aiken, 1994) yang mendapat adanya hubungan yang signifikan antara tingkat pendidikan dengan rasa takut atau cemas terhadap kematian. Hasil penelitiannya menemukan bahwa semakin rendah tingkat pendidikan seseorang maka rasa takut atau cemas dalam menghadapi kematian akan semakin rendah. Hal tersebut dikarenakan partisi- pan yang berpendidikan rendah memiliki pengetahuan tentang kematian yang sederhana sehingga menyebabkan rasa takut yang muncul juga sederhana atau rendah. Selanjutnya, berdasarkan pada latar belakang pekerjaan diketahui bahwa partisipan yang bekerja memiliki ketakutan akan kematian yang lebih tinggi (M = 90,00) dibandingkan dengan partisipan yang bekerja (M = 77,50). Hal ini didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Neimener (dalam Aiken, 1994) yang menyatakan bahwa individu yang masih bekerja memiliki ketakutan atau kecemasan yang lebih tinggi dibandingkan mereka yang telah pensiun. Hal ini dikarenakan individu yang masih bekerja merasa takut atau cemas untuk meninggalkan orang-orang yang disayanginya tanpa mampu memberikan apa-apa. Dimana pada saat ini tuntutan kehidupan yang sangat berat membuat wanita tidak hanya harus mengurus pekerjaan rumah tangga, namun juga harus bekerja untuk membantu penghidupan keluarganya. Oleh karena itu, muncullah rasa takut jika harus meninggalkan keluarga tanpa mampu memberikan sesuatu sebagai bekal untuk melanjutkan kehidupan. Dari hasil penelitian ditemukan bahwa partisipan yang berada pada stadium IV memiliki ketakutan akan kematian (M = 107,00) yang paling tinggi atau negative dibandingkan dengan partisipan yang berada pada stadium I (M = 80,83), stadium II (M = 86,67) dan stadium III (M = 81,18). Hal ini disebabkan adanya keterkaitan antara tingkat stadium yang diderita dengan harapan untuk sembuh sehingga mempengaruhi ketakutan akan kematian partisipan. Yakni, apabila seorang wanita divonis menderita kanker payudara dan bahwa penyakit tersebut berada pada stadium I, maka harapan hidup untuk lima tahun ke depan akan mencapai 90 persen. Stadium II, 65 persen, stadium III, 15 – 20 persen, dan stadium IV harapan hidupnya hanya mencapai kurang dari 5 persen (Diananda, 2008). Oleh karena itu, partisipan dengan stadium IV memiliki ketakutan akan kematian yang paling tinggi karena persentase harapan hidup yang dimiliki hanya mencapai kurang dari 5 persen. Lalu, berdasarkan pada lama menderita kanker payudara diketahui bahwa partisipan dengan lama menderita kanker kurang dari 1 tahun memiliki ketakutan akan kematian yang paling tinggi (M = 87,69), dibandingkan dengan partisipan dengan lama menderita kanker 1 – 2 tahun (M = 85,63) dan partisipan dengan lama menderita kanker lebih dari 2 tahun (M = 72,83). Partisipan dengan lama menderita kanker payudara kurang dari satu tahun (< 1 tahun) merupakan pasien yang baru mengetahui bahwa dirinya mengalami penyakit kanker payudara dimana berdasarkan informasi yang diketahui dari lingkungan diketahui bahwa penyakit kanker payudara merupakan penyakit yang mematikan dan berada pada urutan kedua penyakit kanker yang paling kerap ditemukan (San, 2003). Oleh karena itu, partisipan dengan lama menderita kurang dari 1 tahun (< 1 tahun) memiliki ketakutan yang paling tinggi. Kemudian, berdasarkan pada lama menjalani terapi diketahui bahwa partisipan dengan lama menjalani terapi kurang dari 3 bulan memiliki ketakutan akan kematian yang tertinggi (M = 87,17) jika dibandingkan dengan partisipan yang menjalani terapi selama 3 – 5 bulan (M = 82,67) dan partisipan dengan lama menjalani terapi lebih dari 5 bulan (M = 81,67). Partisipan dengan lama menjalani terapi kurang dari 3 bulan (< 3 bulan) merupakan partisipan yang baru mengikuti terapi guna memusnahkan sel kanker yang ada didalam tubuh. Adapun proses terapi yang biasa dilakukan adalah dengan cara operasi, pemberian kemoterapi (sitostika), radioterapi (penyinaran) maupun hormon (Purwoatuti, 2008). Namun, terdapat beberapa efek samping dari proses terapi ini, yakni tubuh akan menjadi lemah, nafsu makan berkurang, warna kulit di sekitar payudara menjadi hitam, serta Hb (Hemoglobin) dan leukosit cenderung menurun sebagai akibat dari radiasi, pasien juga akan mengalami mual dan muntah serta rambut rontok karena pengaruh obat-obatan yang diberikan pada saat kemoterapi (Wikipedia, 2008). Oleh karenanya, partisipan dengan lama menjalani terapi kurang dari 3 bulan (< 3 bulan) mengalami ketakutan akan kematian yang paling tinggi karena efek samping yang dialami dari proses terapi yang baru dijalaninya. Selanjutnya, berdasarkan usia diketahui bahwa partisipan yang berada pada rentang usia dewasa akhir memiliki ketakutan akan kematian yang tertinggi (M = 94,50) selanjutnya diikuti oleh partisipan yang berada rentang usia dewasa awal (M = 84,23) dan partisipan yang berada pada rentang usia dewasa madya (M = 78,93). Hal ini mungkin disebabkan karena faktor usia yang sudah tua dan perasaan takut meninggalkan semua yang telah dimiliki di dunia, seperti keluarga, teman-teman, harta benda, jabatan, dan lain sebagainya. Sesuai dengan pendapat dari Cavanaugh (1990) bahwa pada usia dewasa lanjut, mereka merasa takut kehilangan apa yang telah mereka miliki. Berdasarkan hasil penelitian juga ditemukan bahwa partisipan yang berstatus menikah memiliki ketakutan akan kematian yang lebih tinggi (M = 84,37) dibandingkan dengan partisipan yang belum menikah (M = 82,33), dimana hal ini menunjukkan adanya korelasi yang positif antara status pernikahan dengan ketakutan akan kematian dimana bagi partisipan yang telah menikah memiliki ketakutan akan kematian yang tinggi, sedangkan bagi partisipan yang belum menikah memiliki ketakutan akan kematian yang rendah. Hal ini sesuai dengan teori dari Aiken (1994) yang menyatakan bahwa kecemasan atau ketakutan akan kematian menimbulkan sejumlah pemikiran, salah satunya adalah perpisahan dengan orang yang disayangi, dalam hal ini suami dan anak-anak. Simpulan Hasil studi ini menunjukkan bahwa hipotesis penelitian diterima, yaitu terdapat hubungan yang sangat signifikan antara persepsi terhadap kematian dengan ketakutan akan kematian pada wanita penderita kanker payudara, dalam hal ini hubungannya positif. Dimana berarti bahwa wanita penderita kanker payudara yang memiliki persepsi terhadap kematian yang positif (tinggi), maka ia akan memiliki ketakutan akan kematian yang tinggi pula, begitu pula sebaliknya. Hal tersebut disebabkan karena ketakutan lebih bersifat emosional sedangkan persepsi merupakan bentuk penalaran. Maksudnya adalah walaupun wanita penderita kanker payudara berusaha untuk membuat persepsi atau pandangan yang positif mengenai kematian, namun hal tersebut tidak dapat mempengaruhi ketakutan akan kematian yang muncul. Hal ini juga berarti bahwa wanita penderita kanker payudara yang memiliki persepsi terhadap kematian yang positif atau dapat diartikan memiliki pandangan yang baik terhadap kematian, tetap saja memiliki ketakutan akan kematian yang tinggi disebabkan karena adanya penyakit kanker payudara yang diderita merupakan penyakit yang mematikan. Sebaliknya, wanita penderita kanker payudara yang memiliki persepsi terhadap kematian yang negatif atau dapat diartikan memiliki pandangan yang buruk terhadap kematian, memiliki rasa takut yang rendah disebabkan karena rasa putus asa yang dialami untuk terbebas dari penyakit yang diderita sehingga mengakibatkan berkurangnya rasa takut terhadap kematian itu sendiri. Di sisi lain, studi ini masih memiliki beberapa kelemahan, misalnya saja jumlah partisipan yang masih sedikit, dan tidak diperhitungkannya beberapa variabel lain seperti religiusitas, self-efficacy, locus of control, dan dukungan sosial yang mungkin memiliki pengaruh terhadap ketakutan akan kematian yang dimiliki. Gambaran secara lebih komprehensif mengenai wanita penderita kanker payudara diharapkan dapat tercapai dengan adanya studi-studi lebih lanjut guna mendukung hasil studi ini atau justru memperoleh fakta-fakta terbaru. DAFTAR PUSTAKA Aiken, L. R. (1994). Death and breavement. Boston : Allyn and Bacon. Aiken, L.R. (1995). Aging : An introduction to gerontology. Thousand Oaks : Sage Publications, Inc. Anastasi, A & Urbina, S. (1997). Tes psikologi : Psychological testing 7e. Alih bahasa : Robertus Hariono S. Imam & Benyamin Molan. Jakarta : PT. Prenhalindo. Atkinson, R. L., Atkinson, R. C., & Hilgard, E. R. (1993). Pengantar psikologi edisi 8 jilid 2. Alih bahasa : Nurdjanah Taufiq. Jakarta : Erlangga. Azwar, S. (2005). Dasar-dasar psikometri. Yogyakarta : Pustaka Belajar. Bond, C. W. (1994). Religiosity, age, gender, and death anxiety (Thesis). Germany : University Stuckenberg. Cavanaugh, J.C., & Fields, F.B. (2006). Adult development and aging (fifth edition). United States America : Thomson Higher Education. Cicirelli, V.G. (1998). Personal meanings of death in relation to fear of death, ProQuest Journal, Death Studies, 22, 713-733. Daviddof, L. L. (1991). Pengantar psikologi. Alih bahasa : Mari Juniati. Jakarta : Erlangga. Diananda, R. dr. (2007). Mengenal seluk-beluk kanker. Jogjakarta : Katahati. Faturochman. (2006). Pengantar psikologi sosial. Yogyakarta : Pustaka. Gamble, M. & Gamble, T. K. (2005). Communication works (eight edition). New York : Mc Graw Hill. Hall, C. S. & Lindzey, G. (1991). Kepribadian 1 : Teori-teori psikodinamik (klinis). Alih bahasa : Supratiknya. Yogyakarta : Kanisius. Hidayat, K. (2006). Psikologi kematian : Mengubah ketakutan menjadi optimisme. Jakarta : Penerbit Hikmah. Kalish, R. A. (1985). “The social context of death and dying,” Handbook of aging and the social sciences (2nd edition). Robert H. Binstock and Ethel Shanas (Ed.). New York : Van Nostrand Reinhold Co, Inc. Kastenbaum, R. & Aisenberg, R. (1976). The psychology of death (Concise edition). New York : Springer Publishing Co. Komunitas Kesehatan Hartford. (1997). Mortality city of Hartford 1997. http://www.hchp.org/health_data/rptmortality.htm. Received : 1 Mei 2008. Mardiana, L. (2008). Kanker pada wanita : Pencegahan dan pengobatan dengan tanaman obat. Jakarta : Penebar Swadaya. Nazir, M. (2003). Metode penelitian. Jakarta : Ghalia Indonesia. Papalia, D.E., Camp, C. J., Feldman, Ruth D dan Sterns, H.L. (2002). Adult development and aging. New York : Mc Graw-Hill, Co. Purwoastuti, E. Th. (2008). Kanker payudara : Pencegahan & Deteksi dini. Yogyakarta : Kanisius. Rakhmat, J. (2007). Psikologi komunikasi (cetakan ke dua puluh empat). Bandung : PT. Remaja Rosdakarya. Riyanti, D. & Prabowo, H. (1996). Psikologi umum I. Depok : Universitas Gunadarma. Riyanti, D. & Prabowo, H. (1998). Psikologi umum 2. Depok : Universitas Gunadarma. Robbins, S, P. (1988). Essentials of organization behavior (2th ed). New Jersey, USA : Prentice-Hall. San. (2003). Kanker oayudara bukan akhir segalanya. http://www.sinarharapan.co.id/iptek/kesehatan/2003/042/kes1.html. Received : 18 Agustus 2008. Santrock, J.W. (1995). Life-Span development (7th ed.). New York : McGraw-Hill Companies. Santrock, J. W. (2002). Life-Span development (edisi kelima) : Perkembangan masa hidup. Alih bahasa : Jude Damanik & Achmad Chusairi. Jakarta : Erlangga. Sarafino, E. P. (1998). Health psychology, biopsychosocial interaction (3th ed). New York : John Wiley & Sons, Inc. Sarwono, S.W. (2002). Psikologi sosial : Individu dan teori-teori psikologi sosial. Jakarta : PT. Balai Pustaka. Scott, J. & Wink, P. (2005). Does religiousness buffer against the fear of death and dying in late adulthood ? findings from a longitudinal study, Journal Gerontology, 60B, 207-214. Shneidman, E.S. (1980). Death : Current Perspectives (2nd ed.). California : Mayfield Publishing Company. Suparman, M.Y., Wirawan, H.E. (2000). Dinamika emosional menjelang ajal dan setelah lepas dari maut, Phronesis, 2 ( 3), 34-40. Tara, E. (2001). Kanker pada wanita. Jakarta : Ladang Pustaka & Intimedia. Troll, L. E. (1982). Continuations Adults development & aging. California : Brooks / Cole Publishing Company. Walgito. (1993). Pengantar Psikologi. Yogyakarta : Rosda Karya. Weenelsoen, P. (1997). The art of dying. Alih bahasa : T. H. Huber. Jakarta : Gramedia. Wikipedia. (2008). Kanker payudara. http://id.wikipedia.org/wiki/Kanker_payudara. Received : 18 Agustus 2008.