BAB II 2.1 Anak Pelaku Tindak Pidana Anak menurut Kamus Besar

advertisement
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
BAB II
2.1 Anak Pelaku Tindak Pidana
Anak menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah keturunan
kedua. Dalam Penjelasan Undang-Undang Perlindungan Anak, Anak adalah
amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa harus kita jaga
karena dalam dirinya melekat harkat, martabat, dan hak-hak sebagai manusia yang
harus dijunjung tinggi.
Mengacu pada Konvensi PBB tentang Hak Anak (Convention On The Right
Of The Child) yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui Keputusan Presiden
Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 1990, dalam Pasal 1 disebutkan bahwa
Anak berarti setiap manusia di bawah umur 18 (delapan belas) tahun, kecuali
menurut undang-undang yang berlaku pada anak, kedewasaan dicapai lebih awal.
Berdasarkan aturan dalam Konvensi PBB tentang Hak Anak, Indonesia
membuat batasan umur untuk anak. Batasan umur untuk anak diatur dalam
peraturan perundang-undangan di Indonesia dan juga yurisprudensi serta hukum
adat yang berlaku di Indonesia.
Batasan Usia Anak dalam Perundang-Undangan, Yurisprudensi, dan Hukum Adat
di Indonesia
1.
Undang-Undang
Anak adalah seseorang yang belum mencapai 21 (dua
Kesejahteraan
puluh satu) tahun dan belum pernah kawin
Anak
10
Skripsi
PEMIDANAAN TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA
(Studi Kasus Putusan Nomor 162/Pid.B/2013/PN.PMS)
KHARISMA APRILIA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
11
2.
Undang-Undang
Hak
Anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18
Asasi (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk
Manusia
anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut
adalah demi kepentingannya.
3.
Undang-Undang
Anak adalah yang masih dibawah 18 (delapan belas)
Perkawinan
tahun dan belum menikah ada dibawah kekuasaan orang
tuanya selama mereka tidak dicabut kekuasaanya.
4.
5.
Undang-Undang
Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan
Perlindungan
belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam
Anak
kandungan.
Yurisprudensi
Penetapan batas kedewasaan tidak seragam. Seperti
Mahkamah Agung dalam Putusan MA Nomor 53 K/Sip/1952 tanggal 1 Juni
1955, 15 tahun dianggap telah dewasa untuk perkara
yang telah terjadi di daerah Bali. Dalam Putusan MA
Nomor 601 K/Sip/1976 tanggal 18 November 1976,
umur 20 tahun dianggap telah dewasa untuk perkara
yang terjadi di daerah Jakarta.9
6.
Hukum Adat
Tidak ada ketentuan yang pasti kapan seseorang
dikatakan dewasa dan mempunyai wewenang untuk
bertindak dalam melakukan sesuatu. Namun, menurut
hasil penelitian Mr. R. Soepomo tentang hukum perdata
Jawa Barat dijelaskan bahwa ukuran kedewasaan
seseorang diukur dari segi: (1) dapat bekerja sendiri; (2)
cakap untuk melakukan apa yang diisyaratkan dalam
kehidupan bermasyarakat dan bertanggung jawab; (3)
dapat mengurus harta kekayaan sendiri. Dari syarat
diatas
9
didapati
kesimpulan
bahwa
kedewasaan
Irma Setyowari Soemitro, Aspek Hukum Perlindungan Anak, Bumi Aksara, Jakarta, 1990,
h.19.
Skripsi
PEMIDANAAN TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA
(Studi Kasus Putusan Nomor 162/Pid.B/2013/PN.PMS)
KHARISMA APRILIA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
12
seseorang menurut hukum adat tidak dinilai dari umur
seseorang melainkan dari ciri tertentu sebagaimana yang
disebutkan.10
Dari berbagai macam peraturan yang menentukan batasan umur untuk anak
menunjukkan adanya disharmonisasi peraturan perundang-undangan yang ada.
Sehingga pada prakteknya dilapangan akan banyak kendala yang terjadi dari
perbedaan tersebut.11
Hadi Supeno mengungkapkan pendapatnya bahwa semestinya setelah lahir
Undang-Undang Perlindungan Anak yang dalam strata hukum dikategorikan
sebagai lex-specialist, semua ketentuan lainnya tentang definisi anak harus
disesuaikan, termasuk kebijakan yang dilahirkan dan berkaitan dengan
pemenuhan hak anak.12
Dengan adanya satu konsep tentang anak dalam peraturan perundangundangan, maka akan mencegah timbulnya tumpang tindih peraturan perundangundangan. Untuk itu, Undang-Undang Perlindunga Anak menjadi rujukan dalam
penentuan kebijakan yang berhubungan batasan umur anak dan pengaturan hak
dan kewajiban anak.
10
Ibid.
M. Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk Dihukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2013, h.10
12
Hadi Supeno, Kriminalisasi Anak Tawaran Gagasan Radikal Peradilan Anak Tanpa
Pemidanaan, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2010, h.41.
11
Skripsi
PEMIDANAAN TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA
(Studi Kasus Putusan Nomor 162/Pid.B/2013/PN.PMS)
KHARISMA APRILIA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
13
Konsep anak pelaku tindak pidana atau juvenile delinquent diatur dari
berbagai instrumen, baik instrumen hukum internasional maupun peraturan
perundang-undangan di Indonesia.
Dalam Resolusi PBB 40/33 tentang UN Standard Minimun Rules for the
Administration of Juvenile Justice, selanjutnya disebut dengan Beijing Rules,
khususnya dalam Rule 2.2 menyatakan :
For purposes of these Rules, the following definitions shall be applied by Member
States in a manner which is compatible with their respective legal systems and
concepts:
( a ) A juvenile is a child or young person who, under the respective legal systems,
may be dealt with for an offence in a manner which is different from an adult;
( b ) An offence is any behaviour (act or omission) that is punishable by law under
the respective legal systems;
( c ) A juvenile offender is a child or young person who is alleged to have
committed or who has been found to have committed an offence.
Sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan
Anak
yang
selanjutnya
disebut
dengan
Undang-Undang
Perlindungan Anak, pada dasarnya anak pelaku tidak pidana dikategorikan dalam
istilah anak nakal, yang mengacu pada Undang-Undang Pengadilan Anak.
Menurut Pasal 1 butir 2 Undang-Undang Pengadilan Anak bahwa yang
dimaksud dengan Anak Nakal adalah :
Skripsi
PEMIDANAAN TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA
(Studi Kasus Putusan Nomor 162/Pid.B/2013/PN.PMS)
KHARISMA APRILIA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
14
a. Anak yang melakukan tindak pidana, atau
b. Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan dilarang bagi anak,
baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan
hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.
Ketentuan dalam pasal diatas dinilai telah bertentangan dengan asas
legalitas, karena memasukkan peraturan lain yang hidup dan berlaku dalam
masyarakat yang bersangkutan dengan kategori pidana. Sebagai contoh, ketika
kenakalan anak menurut hukum adat dapat diselesaikan melalui Pengadilan Anak.
Dalam hal ini dapat berakibat adanya pengkriminalisasian kenakalan anak,
padahal belum tentu itu sesuai dengan konsep hukum pidana yang berlaku di
Indonesia.13 Sehingga, berdasarkan asas legalitas, dari dua pengertian Anak Nakal
dalam Pasal 1 butir 2 Undang-Undang Pengadilan Anak yang dapat diselesaikan
melalui jalur hukum hanyalah anak nakal dalam pengertian huruf a, yaitu anak
yang melakukan tindak pidana karena pada dasarnya KUHP hanya mengatur
tentang tindak pidana dan tidak mengenal anak nakal dari pengertian huruf b.14
Setelah diundangkannya Undang-Undang Perlindungan Anak, maka istilah
tersebut berubah menjadi anak yang berhadapan dengan hukum (ABH). Pasal 59
Undang-Undang Perlindungan Anak disebutkan bahwa :
Pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung
jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi
darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok
minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau
seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban
penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya
13
M. Nasir Djamil, op.cit, 2013, h.33.
Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistem Peradilan Pidana
Anak di Indonesia, PT Refika Aditama, Jakarta, 2010, h. 57.
14
Skripsi
PEMIDANAAN TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA
(Studi Kasus Putusan Nomor 162/Pid.B/2013/PN.PMS)
KHARISMA APRILIA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
15
(napza), anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak
korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang
cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran.
Namun, setelah diundangkannya dan berlakunya Undang-Undang Sistem
Peradilan Pidana Anak maka anak pelaku tindak pidana disebut dengan istilah
anak yang berkonflik dengan hukum. Dalam Undang-Undang Sistem Peradilan
Pidana Anak disebut dengan Anak yang Berkonflik dengan Hukum. Pasal 1 ayat 3
Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak disebutkan bahwa: Anak yang
Berkonflik dengan Hukum adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun,
tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak
pidana.
Paul M. Tappan memberikan perumusan tentang pengertian Juvenile
Delinquent sebagai berikut : “The juvenile delinquent is a person has been
ajudicated as such by a court proper jurisdiction though he may be no different up
until the time of court contact and ajudication at any rate, from masses of
children who are not delinquent.”15
Tentang Juvenile Delinquency, beberapa sarjana memberikan padangannya
tentang kenakalan anak atau yang dikenal dengan Juvenile Delinquency.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, delinkuensi diartikan sebagai
tingkah laku yang menyalahi secara ringan norma dan hukum yang berlaku dalam
suatu masyarakat.
15
Skripsi
Ibid, h.10.
PEMIDANAAN TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA
(Studi Kasus Putusan Nomor 162/Pid.B/2013/PN.PMS)
KHARISMA APRILIA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
16
Dalam bukunya, Wagiati Soetodjo menjabarkan istilah kenakalan anak.
Kenakalan Anak diambil dari istilah asing yaitu Juvenile Delinquency, tetapi
kenakalan anak disini bukan yang dimaksud dalam Pasal 489 KUHP. Juvenile
memiliki arti young, anak-anak, anak muda, atau ciri karakteristik pada masa
muda dan sifat-sifat khas pada periode remaja. Sedangkan Delinquency artinya
doing wrong, terabaikan/mengabaikan, yang kemudian diperluas artinya jahat,
anti sosial, kriminal, pelanggar aturan, pembuat ribut, pengacau, penteror, tidak
dapat diperbaiki lagi, durjana, dursila, dan lain-lain.16
Paul Moedikno memberikan perumusan mengenai pengertian juvenile
delinquency sebagai berikut :17
a. Semua perbuatan yang dari orang-orang dewasa merupakan suatu
kejahatan, bagi anak-anak merupakan delinquency. Jadi, semua tindakan yang
dilarang
oleh hukum pidana, seperti mencuri, menganiaya, membunuh, dan
sebagainya.
b. Semua perbuatan penyelewengan dari norma kelompok tertentu yang
menimbulkan keonaran dalam masyarakat, misalnya memakai celana jangki
tidak sopan, mode you can see, dan sebagainya.
c. Semua perbuatan yang menunjukkan kebutuhan perlindungan bagi sosial,
termasuk gelandangan, pengemis, dan lain-lain.
16
Wagiati Soetodjo, Op.Cit, h.8-9.
Ibid
17
Skripsi
PEMIDANAAN TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA
(Studi Kasus Putusan Nomor 162/Pid.B/2013/PN.PMS)
KHARISMA APRILIA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
17
R. Kusuanto Setyonegoro mengungkapkan pendapatnya tentang
juvenile delinquency sebagai berikut:18
Tingkah laku individu yang bertentangan dengan syarat-syarat dan
pendapat umum yang dianggap sebagai akseptabel dan baik, oleh suatu
lingkungan masyarakat atau hukum yang berlaku di suatu masyarakat
yang berkebudayaan tertentu. Apabila individu itu masih anak-anak,
maka sering tingkah laku serupa itu disebut dengan istilah tingkah laku
yang sukar atau nakal. Jika ia berusaha adolescent atau preadolescent,
maka tingkah laku itu sering disebut delinkuen dan jika ia dewwasa maka
tingkah laku ia seringkali disebut psikpatik dan jika terang-terangan
melawan hukum disebut kriminal.
Romli Atmasasmita mengatakan bahwa delinquency adalah suatu tindakan
atau perbuatan yang dilakukan oleh seorang anak yang dianggap bertentangan
dengan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku di suatu negara dan yang oleh
masyarakat itu dirasakan sendiri serta ditafsirkan sebagai perbuatan yang tercela.19
Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan dari berbagai pendapat sarjana
bahwa Juvenile Delinquency adalah suatu tindakan atau perbuatan yang
melanggar norma, baik norma hukum maupun norma sosial yang dilakukan oleh
anak-anak dalam usia muda. Secara etimologis, juvenile delinquency memiliki arti
kejahatan anak. 20 Namun istilah kejahatan anak dirasakan sangat tajam dan
memiliki konotasi negatif terhadap kejiwaan anak itu sendiri, sehingga para
18
19
Ibid, h.10-11.
Romli Atmasasmita, Problema Kenakalan Anak dan Remaja, Armico, Bandung, 1984,
h.23.
20
Paulus Hadisuprapto, Juvenile Delinquency Pemahaman dan Penanggulangannya, PT
Citra Aditya Bakti, 1997, h.10-11
Skripsi
PEMIDANAAN TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA
(Studi Kasus Putusan Nomor 162/Pid.B/2013/PN.PMS)
KHARISMA APRILIA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
18
sarjana sepakat dengan penggunaan kenakalan remaja atau kenakalan anak
sebagai pengartian dari juvenile delinquency.21
2.2 Tujuan Pemidanaan dan Jenis-Jenis Pidana
Berdasarkan pandangan sarjana, Muladi dan Barda Nawawi Arief, dalam
bukuya “Teori-Teori dan Kebijakan Pidana”, menyimpulkan bahwa ciri-ciri
pidana yaitu:22
a. pada hakikatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa
atau derita atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan;
b. pidana itu diberikan dengan sengaja oleh kekuasaan atau badan yang
berwenang;
c. pidana itu diberikan kepada seseorang yang telah melakukan tindak
pidana menurut undang-undang.
Widodo mengemukakan bahwa pengertian pemidanaan adalah penjatuhan
pidana oleh negara melalui organ-organnya tehadap seseorang yang terbukti
secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana.23
Dalam bukunya yaitu Asas-Asas Hukum Pidana, Andi Hamzah menulis
bahwa tujuan pidana dalam literatur Bahasa Inggris, 3R dan 1D yaitu:24
21
. Ibid.
Didik Endro Purwoleksono, op.cit, 2014, h.63
23
Widodo, Prisonisasi Anak Nakal: Fenomena dan Penanggulangannya, Aswaja Pressindo,
Yogyakarta, 2012. h.26.
24
Ibid.
22
Skripsi
PEMIDANAAN TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA
(Studi Kasus Putusan Nomor 162/Pid.B/2013/PN.PMS)
KHARISMA APRILIA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
19
1. Reformation, yang berarti memperbaiki atau merehabilitasi penjahat
menjadi orang baik berguna bagi masyarakat;
2. Restrain, maksudnya mengasingkan pelanggar dari masyarakat;
3. Retribution, yang berarti pembalasan terhadap pelanggar karena telah
melakukan kejahatan;
4. Deterrence, berarti menjera atau mencegah sehingga baik terdakwa
sebagai individu maupun orang lain yang potensial menjadi penjahat akan jera
atau takut melakukan kejahatan, melihat pidana yang dijatuhkan terhadap
terdakwa.
Untuk melihat tujuan dari adanya pemidanaan, maka ditinjau dari sejarah
perkembangan hukum pidana dikenal tentang 3 (tiga) teori pemidanaan, yaitu
teori absolut (pembalasan), teori relatif (tujuan), dan teori gabungan.
a. Teori Absolut atau Teori Pembalasan
Menurut teori pembalasan, titik pangkal penjatuhan pidana adalah pada
pembalasan yang diberikan kepada penjahat sebagai pelaku tindak pidana
sehingga siapa saja yang berbuat jahat harus dipidana tanpa melihat akibat-akibat
atau manfaat apa saja yang dapat timbul karena penjatuhan pidana. 25 Disebut
absolut, sebab pidana merupakan suatu tuntutan mutlak, bukan hanya sesuatu
yang perlu dijatuhkan tetapi merupakan sebuah keharusan karena hakikat dari
25
Skripsi
Sri Sutatiek, op.cit, 2013, h.21.
PEMIDANAAN TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA
(Studi Kasus Putusan Nomor 162/Pid.B/2013/PN.PMS)
KHARISMA APRILIA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
20
pidana dalam teori ini adalah pembalasan.26 Tokoh-tokoh yang menganut teori ini
adalah Van Hattum, Krannenburg, Immanuel Kant, Vos, Hegel, Herbart, Sthal,
dan Leo Polak.
Menurut Vos, teori absolut ada 2 (dua) macam, yaitu :27
1. Pembalasan subjektif, yaitu pembalasan terhadap kesalahan pelaku.
2. Pembalasan objektif, yaitu pembalasan terhadap apa yang telah
diciptakan oleh pelaku di dunia luar.
Dalam hal ini, teori absolut memiliki kelemahan, yaitu :28
1.
Dapat menimbulkan ketidakadilan. Sebagai contoh pada pembunuh
tidak semua pelaku dijatuhkan hukuman mati, tetapi harus didasarkan pada
pembuktian;
2. Dalam teori ini hanya negara yang memberikan pidana, padahal yang
menjadi dasar teori ini adalah untuk pembalasan.
b. Teori Relatif atau Teori Tujuan
Andi Hamzah dan Siti Rahayu menulis bahwa dalam teori ini, adanya
pemidanaan adalah diarahkan agar kejahatan yang pernah terjadi tidak diulang
26
Didik Endro Purwoleksono, op.cit, 2014, h.92.
Ibid
28
Ibid
27
Skripsi
PEMIDANAAN TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA
(Studi Kasus Putusan Nomor 162/Pid.B/2013/PN.PMS)
KHARISMA APRILIA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
21
lagi.29 Tokoh dalam teori ini adalah von Feurbach, Muller, Utrech, van Hamel,
von Listz. Ada beberapa tujuan pemidaan menurut teori relatif, yaitu :30
a. Menyelenggarakan tertib masyarakat;
b. Memperbaiki kerugian masyarakat akibat tindak pidana;
c. Memperbaiki si penjahat;
d. Membinasakan si penjahat;
e. Mencegah kejahatan (preverensi).
Preverensi dibagi menjadi 2 (dua), yaitu preverensi khusus dan preverensi
umum. Preverensi khusus menjadikan tujuan pemidanaan adalah memperbaiki
narapidana sehingga tidak melakukan tindak pidana lagi setelah menjalankan
masa hukuman. Sedangkan menurut preverensi umum, pemidanaan bertujuan agar
masyarakat tidak melakukan perbuatan pidana yang serupa atau tindak pidana
lainnya di kemudian hari.31
Dalam hal ini, teori relatif memiliki kelemahan, yaitu:32
1. Dapat menimbulkan ketidakadilan. Sebagai contoh pelaku kejahatan
ringan dijatuhi pidana berat sekedar hanya untuk menakut-nakuti;
2. Kepuasan masyarakat terabaikan, semata-mata demi si penjahat;
29
Andi Hamzah, Siti Rahayu, Suatu Tinjauan Ringkas Sistem Pemdianaan di Indonesia,
Akademi Presindo, Jakarta, 1983, h.26
30
Didik Endro Purwoleksono, op.cit, 2014, h.93.
31
Andi Hamzah, Siti Rahayu, op.cit, 1983, h.26.
32
Didik Endro Purwoleksono, op.cit, 2014, h.93.
Skripsi
PEMIDANAAN TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA
(Studi Kasus Putusan Nomor 162/Pid.B/2013/PN.PMS)
KHARISMA APRILIA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
22
3. Sulit untuk dilaksanakan dalam praktik, sebagai contoh terhadap residive.
c. Teori Gabungan
Teori gabungan mucul dengan beberapa pandangan tentang pemidanaan,
yaitu:33
a. Adanya pidana bertujuan untuk membalas kesalahan dan mengamankan
masyarakat. Adanya tindakan dimaksudkan untuk mengamankan dan memelihara
tujuan yang ingin dicapai. Sehingga, adanya pidana dan tindakan bertujuan untuk
mempersiapkan pelaku tindak pidana yang telah menjalani masa hukuman dalam
rangka kembali ke kehidupan dan lingkungan masyarakat.
b. Keadilan mutlak yang diwujudkan dalam pembalasan, tetapi yang
berguna bagi masyarakat. Dalam hal ini, pemidanaan memberikan titik berat yang
sama antara pembalasan dan sebagai hal yang berguna untuk masyarakat dalam
rangka perlindungan terhadap masyarakat dan pembelajaran terhadap masyarakat
itu sendiri.34.
c. Dasar-dasar pidana adalah adanya penderitaan yang beratya sesuai dengan
beratnya perbuatan yang dilakukan terpidana. Namun, penerapan pidana tersebut
tidak boleh melampaui batas dan cukup untuk dapat mempertahankan tata tertib
dan menegakkan aturan yang ada.35
33
Ibid.
Made Sadhi Astuti, Pemidanaan Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana, IKIP
Malang, Malang, 1997, h. 33.
35
Ibid.
34
Skripsi
PEMIDANAAN TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA
(Studi Kasus Putusan Nomor 162/Pid.B/2013/PN.PMS)
KHARISMA APRILIA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
23
Berdasarkan pada uraian diatas maka dapat diketahui bahwa teori gabungan
merupakan teori kombinasi antara teori absolut dan teori relatif. Dalam teori
gabungan, aspek pembalasan dengan aspek mempertahankan tata tertib guna
ketentraman dalam masyarakat diakumulasikan dalam bentuk suatu kebijakan
pemidanaan dan konsep inilah yang mengilhami sistem lembaga permasyarakatan
sebagai pengganti sistem pemenjaraan di Indonesia.36 Tokoh yang menganut teori
ini adalah Pompe, Van Bemmelen, Grotius, Rossi, dan Zevenbergen.
Didik Endro Purwoleksono dalam bukunya Hukum Pidana menulis tentang
teori keseimbangan sebagai salah satu bentuk teori pemidanaan. Dasar adanya
teori keseimbangan adalah:37
1. Bahwa ketiga teori yaitu teori Absolut, teori Relatif, dan Teori
Gabungan hanya tertuju kepada pelaku dan masyarakat, artinya dalam
hal ini mengabaikan hak-hak korban atau keluarga korban dari tindak
pidana.
2. Pihak-pihak dalam hukum acara pidana selain aparat penegak hukum,
yang
terdiri
dari
aparat
kepolisian,
pengadilan,
dan
lembga
permasyarakatan, juga ada pihak korban.
3. Dalam praktiknya, baik penuntut umum maupun terdakwa dalam
mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan atau meringankan sudah
memasukkan unsur korban dan keluarga korban.
36
37
Skripsi
Sri Sutatiek, op.cit, 2013, h.23.
Didik Endro Purwoleksono, op.cit, 2014, h.93.
PEMIDANAAN TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA
(Studi Kasus Putusan Nomor 162/Pid.B/2013/PN.PMS)
KHARISMA APRILIA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
24
Teori keseimbangan dalam dilihat dengan jelas dalam Undang-Undang
Sistem Peradilan Pidana Anak salah satunya dalam Pasal 60 ayat (2) yang
disebutkan bahwa dalam hal tertentu Anak Korban diberi kesempatan oleh Hakim
untuk menyampaikan pendapat tentang perkara yang bersangkutan. Anak Korban
adalah menurut Pasal 1 angka 4 yaitu anak yang menjadi korban tindak pidana
yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang mengalami penderitaan fisik,
mental, dan/atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana.
Jenis-jenis pidana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Alasan
penetapan jenis-jenis pidana dalam undang-undang yaitu:38
1. Menyediakan sarana untuk penegak hukum dalam rangka menanggulangi
kejahatan;
2. Membatasi para penegak hukum dalam menggunakan sarana berupa
pidana yang telah ditetapkan.
Jenis jenis pidana umum diatur dalam pasal 10 KUHP, yaitu Pidana Pokok
dan Pidana Tambahan. Pidana Pokok terdiri dari Pidana Mati, Pidana Penjara,
Kurungan, dan Denda. Sedangkan Pidana Tambahan terdiri dari pencabutan hakhak tertentu, perampasan barang-barang tertentu, dan pengumuman putusan
hakim.
Dalam Undang-Undang Pengadilan Anak diatur tentang jenis-jenis pidana
yang dapat diterapkan kepada anak pelaku tindak pidana. Dalam Pasal 23
Undang-Undang Pengadilan Anak disebutkan bahwa:
38
Skripsi
Didik Endro Purwoleksono, op.cit, 2014, h.94.
PEMIDANAAN TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA
(Studi Kasus Putusan Nomor 162/Pid.B/2013/PN.PMS)
KHARISMA APRILIA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
25
Ayat (1) Pidana yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah pidana
pokok dan pidana tambahan.
Ayat (2) Pidana pokok yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah:
a. pidana penjara;
b. pidana kurungan;
c. pidana denda; atau
d. pidana pengawasan.
Ayat (3) Selain pidana pokok sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
terhadap Anak Nakal dapat juga dijatuhkan pidana tambahan, berupa
perampasan barang-barang tertentu dan/atau pembayaran ganti rugi.
Ayat (4) Ketentuan mengenai bentuk dan tata cara pembayaran ganti rugi
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Sedangkan jenis-jenis pidana dalam Undang-Undang Sistem Peradilan
Pidana Anak diatur dalam Pasal 71 yang disebutkan ada 2 jenis pidana yaitu
Pidana Pokok dan Pidana Tambahan. Pidana pokok bagi anak yang terdiri atas a)
pidana peringatan; b) pidana dengan syarat: pembinaan di luar lembaga;
pelayanan masyarakat; atau pengawasan; c) pelatihan kerja; d) pembinaan dalam
lembaga; dan e) penjara. Sedangkan Pidana tambahan terdiri atas a) perampasan
keuntungan yang diperoleh dari tindakan pidana; atau b) pemenuhan kewajiban
adat.
Ketentuan dalam Pasal 71 ayat (3) disebutkan bahwa apabila dalam hukum
materiil diancam pidana kumulatif berupa penjara dan denda, pidana denda
diganti dengan pelatihan kerja dan dalam Pasal (4) disyaratkan bahwa pidana yang
dijatuhkan kepada Anak dilarang melanggar harkat dan martabat Anak.
2.3 Pertanggungjawaban Anak Pelaku Tindak Pidana
Skripsi
PEMIDANAAN TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA
(Studi Kasus Putusan Nomor 162/Pid.B/2013/PN.PMS)
KHARISMA APRILIA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
26
Moeljatno dalam bukunya Hukum Pidana memisahkan antara perbuatan
pidana dan pertanggungjawaban pidana. Perbuatan pidana adalah perbuatan yang
dilarang oleh sutau aturan hukum yang disertai ancaman (sanksi) yang berupa
pidana bagi siapapun yang melanggar larangan tersebut.39
Dalam hal pertanggungjawaban pidana dikenal asas tidak dipidana jika tidak
ada kesalahan (geen straf zonder schuld; Actus non facit reum nisi mens sist
rea).40 Menurut Didik Endro Purwoleksono unsur kesalahan terdiri dari:41
a. Melakukan tindak pidana
Mengenai hal melakukan tindak pidana, parameter seseorang melakukan
tindak pidana adalah adanya aturan yang mengatur tentang perbuatan tersebut atau
dikenal dengan asas legalitas.
42
Aturan tersebut bisa jadi melarang atau
mewajibkan seseorang untuk melakukan sesuatu. Contohnya adalah pencurian
yang dilakukan oleh Doni Yoga Simangunsong dan Rinaldy Sinaga. Pencurian
diatur dalam Pasal 362 KUHP dan dalam hal ini pencurian yang dilakukan oleh
Doni Yoga Simangunsong dan Rinaldy Sinaga diatur dalam Pasal 363 ayat (1)
angka 4 KUHP
b. Diatas umur tertentu dan mampu bertanggung jawab
39
Moeljatno, op.cit, 2009, h.59.
Ibid, h. 165
41
Didik Endro Purwoleksono, op.cit, 2014, h.63.
42
Ibid.
40
Skripsi
PEMIDANAAN TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA
(Studi Kasus Putusan Nomor 162/Pid.B/2013/PN.PMS)
KHARISMA APRILIA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
27
Mengenai batasan umur anak yang dapat dimintai pertanggungjawaban
pidana, diatur berbeda sepanjang peraturan perundang-undangan yang mengatur
tentang peradilan anak di Indonesia.
Tanggal 3 Januari 1997 diundangkan Undang-Undang Pengadilan Anak
yang berlaku 1 (satu) tahun setelah diundangkan, yang berarti Undang-Undang
Pengadilan Anak berlaku sejak 3 Januari 1998. Berdasarkan Undang-Undang
Pengadilan Anak Pasal 4 ayat (1) disebutkan bahwa: batas umur anak nakal yang
dapat diajukan ke Sidang Anak adalah sekurang-kurangnya 8 (delapan) tahun
tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.
Setelah adanya gugatan ke Mahkamah Konstitusi tentang batas usia dalam
kriteria anak nakal dan dikabulkannya gugatan tersebut dengan Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 1/PUU-VIII/2010, maka batas umur untuk anak
pelaku tindak pidana yang dapat dimintai pertanggung jawaban adalah 12 tahun.
Dalam amar putusannya disebutkan bahwa:
“Menyatakan frasa,”... 8 (delapan) tahun...,” dalam Pasal 1 angka 1, Pasal
4 ayat (1), dan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997
tentang Pengadilan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1997 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3668), beserta penjelasan Undang-Undang tersebut khususnya terkait
dengan frasa “...8 (delapan) tahun...” adalah bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara
bersyarat (conditionally unconstitutional), artinya inkonstitusional,
kecuali dimaknai “...12 (dua belas) tahun...”;
“Menyatakan frasa,”... 8 (delapan) tahun...,” dalam Pasal 1 angka 1, Pasal
4 ayat (1), dan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997
tentang Pengadilan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1997 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3668), beserta penjelasan Undang-Undang tersebut khususnya terkait
dengan frasa “...8 (delapan) tahun...” tidak mempunyai kekuatan hukum
Skripsi
PEMIDANAAN TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA
(Studi Kasus Putusan Nomor 162/Pid.B/2013/PN.PMS)
KHARISMA APRILIA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
28
mengikat secara bersyarat (conditionally unconstitutional), artinya
inkonstitusional, kecuali dimaknai “...12 (dua belas) tahun...”
Putusan ini berlaku mengikat sejak diputus hari Kamis, 24 Februari 2011
untuk seluruh perkara yang melibatkan anak pelaku tindak pidana dengan adanya
amar putusan yang menyatakan untuk memerintahkan pemuatan Putusan ini
dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. Dan dengan
adanya putusan ini, ketentuan dalam Pasal 26 ayat (3) dan ayat (4) secara otomatis
tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.43
Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak yang berlaku sejak 2 (dua)
tahun diundangkan dan sejak tanggal 30 Juli 2014 undang-undang ini sudah
berlaku sehingga Undang-Undang Pengadilan Anak dinyatakan tidak berlaku.
Pemidanaan terhadap anak pelaku tindak pidana menurut Pasal 69 UndangUndang Sistem Peradilan Pidana Anak hanya bisa dilakukan :
(1) Anak hanya dapat dijatuhi pidana atau dikenai tindakan berdasarkan
ketentuan dalam Undang-Undang ini.
(2) Anak yang belum berusia 14 (empat belas) tahun hanya dapat dikenai
tindakan.
Dari ketentuan pasal diatas, dapat ditarik pernyataan bahwa batasan umur
anak pelaku tindak pidana yang dapat dimintai pertanggung jawaban dalam
bentuk pemidanaan adalah 14 (empat belas) tahun sampai 18 (delapan belas)
tahun.
43
Skripsi
Didik Endro Purwoleksono, op.cit, 2014, h.67.
PEMIDANAAN TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA
(Studi Kasus Putusan Nomor 162/Pid.B/2013/PN.PMS)
KHARISMA APRILIA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
29
Dalam hal ini, tahun 2014 merupakan masa transisi dari perubahan UndangUndang Pengadilan Anak ke Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Banyak sekali orang-orang awam yang berfikir bahwa perbuatan pidana yang
dilakukan oleh anak sebelum tanggal 30 Juli 2014 dapat diadili dengan
menggunakan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak. Untuk itu, asas
tempus delikti berlaku terhadap penerapan undang-undang tentang peradilan anak.
Tempus Delicti sangat berhubungan erat dengan :
1. Apakah perbuatan yang bersangkutan ada saat itu sudah dilarang dan
diancam dengan pidana (dalam Pasal 1 KUHP yaitu asas legalitas).
2. Apakah terdakwa pada saat melakukan tindak pidana sudah dewasa atau
belum dewasa.
4. Apakah perbuatan itu sudah kadaluarsa atau belum (dalam Pasal 78
KUHP).
5. Diketahuinya perbuatan dalam keadaan tertangkap tangan (dalam Pasal 1
angka 19
KUHAP).
6. Alibi.
7 Upaya Hukum.
Mezger dalam hal ini berpendapat bahwa untuk tempus delicti dibedakan
menurut maksud dari peraturan, yaitu:44
44
Skripsi
Moeljatno, op.cit, 2009, h. 89.
PEMIDANAAN TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA
(Studi Kasus Putusan Nomor 162/Pid.B/2013/PN.PMS)
KHARISMA APRILIA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
30
1. Untuk keperluan dari tanggal daluwarsa dan hak penuntutan, yang
diperlukan adalah dihitung dimulai setelah terjadinya tindakan pidana atau
adanya akibat.
2. Untuk keperluan dalam asas legalitas, apakah pelaku mampu bertanggung
jawab, atau ada tidaknya perbuatan melawan hukum, tempus delicti adalah
waktu melakukan kelakuan dan waktu terjadinya akibat tidak mempunya
arti.
Jika dilihat dari pendapat Mezger diatas tentang asas tempus delicti, maka
untuk menentukan undang-undang mana yang dapat digunakan dalam hal
mengadili anak pelaku tindak pidana adalah saat terjadinya peristiwa atau waktu
melakukan pidana. Sehingga, anak yang melakukan tindak pidana sebelum
tanggal 30 Juli 2014 tetap diadili dengan menggunakan hukum acara dalam
Undang-Undang Pengadilan Anak. Seluruh ketentuan dalam Undang-Undang
Pengadilan Anak berlaku bagi anak pelaku tindak pidana yang melakukannya
sebelum tanggal 30 Juli 2014, seperti batasan umur anak pelaku tindak pidana,
penahanan, pemidanaan dan tindakan.
Undang-Undang Sistem Peradilan Anak berlaku tanggal 30 Juli 2014
sehingga anak yang melakukan tindak pidana setelah diberlakukannya undangundang tersebut diadili dengan hukum acara dalam Undang-Undang Sistem
Peradilan Pidana Anak dengan segala ketentuan yang diatur didalamnya.
Skripsi
PEMIDANAAN TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA
(Studi Kasus Putusan Nomor 162/Pid.B/2013/PN.PMS)
KHARISMA APRILIA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
31
Dalam Undang-Undang Pengadilan Anak dan Undang-Undang Sistem
Peradilan Pengadilan Anak diatur tentang tempus delicti mengenai persidangan
terhadap pelaku pidana anak yang telah dewasa.
Dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Pengadilan Anak, disebutkan
bahwa dalam hal anak melakukan tindak pidana pada umur 12 tahun (setelah
diganti dengan Putusan Mahkaman Konstitusi Nomor 1/PUU-VIII/2010) dan
diajukan ke sidang pengadilan anak yang bersangkutan melampaui batas umur
tersebut, tetapi belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun tetap diajukan ke
Sidang Anak.
Begitu pula dengan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Undang-Undang ini juga mengatur hal yang sama seperti undang-undang
sebelumnya. Dalam Pasal 20 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak
disebutkan bahwa dalam hal tindak pidana dilakukan oleh anak sebelum genap
berumur 18 tahun (delapan belas) tahun dan diajukan ke sidang pengadilan setelah
anak yang bersangkuan melampaui batas umur 18 (delapan belas) tahun, tetapi
belum mencapai 21 (dua puluh satu) tahun, anak tetap diajukan ke sidang anak.
Dari kedua aturan diatas, ditentukan bahwa untuk menentukan tempus
delikti dalam hal menerapkan sistem peradilan anak adalah waktu ketika
dilakukannya perbuatan pidana.
Dalam hal bertanggung jawab, seeorang dinyatakan sebagai orang yang
mampu bertanggung jawab adalah:
Skripsi
PEMIDANAAN TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA
(Studi Kasus Putusan Nomor 162/Pid.B/2013/PN.PMS)
KHARISMA APRILIA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
32
a. Jika mampu menentukan niat, kehendak, dan rencana atas perbuatan yang
dilakukannya.45
b. Mengetahui atau menginsafi bahwa perbuatannya dipandang tidak patut
oleh masyarakat.46
c. Mempunyai kemampuan untuk membedakan perbuatan yang baik dan
buruk, yang sesuai dengan hukum atau melawan hukum.47
Dalam Pasal 44 KUHP disbutkan tentang orang yang tidak dapat dimintai
pertanggungjawabannya, yaitu karena jiwanya cacat atau jiwanya terganggu
karena penyakit. Pelaku yang tidak dapat dimintai pertanggungjawabannya
sebagaimana yang memenuhi syarat dalam Pasal 44 KUHP maka tidak dipidana
melainkan dimasukkan ke rumah sakit jiwa untuk disembuhkan sebagaimana yang
diatur dalam Pasal 44 ayat (2) KUHP.
c. Dengan kesengajaan atau kealpaan;
Yaitu ketika seseorang dalam hal melakukan tindak pidana mempunyai
maksud, dengan mengetahui, dengan berkehendak, dengan perencanaan, dengan
tujuan, dengan pemaksaan, dengan kekerasan, dan dengan memalsuka. Adanya
syarat-syarat tersebut menjadikan unsur kesengajaan terpenuhi. Sedangkan untuk
kealpaan dengan adanya syarat kurang berhati-hati atau praduga-duga.
d. Tidak ada alasan pemaaf
45
Didik Endro Purwoleksono, op.cit, 2014, h. 68
Ibid.
47
Moeljatno, op.cit, 2009, h. 178
46
Skripsi
PEMIDANAAN TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA
(Studi Kasus Putusan Nomor 162/Pid.B/2013/PN.PMS)
KHARISMA APRILIA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
33
Alasan pemaaf adalah alasan yang menghapuskan kesalahan terdakwa.
Perbuatan yang dilakukan terdakwa merupakan suatu tindak pidana, namun tidak
dapat dipidana karena tidak adanya kesalahan.48
Dalam hal ini, anak pelaku tindak pidana yang memenuhi syarat-syarat
dalam unsur kesalahan dapat dimintai pertanggungjawabannya.
2.4 Pemidanaan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana
Jika unsur-unsur kesalahan telah terpenuhi oleh anak yang melakukan
tindak pidana, maka diperlukan adanya pembuktian untuk membuktikan
terpenuhinya unsur-unsur dalam suatu tindak pidana. Maka dari itu, pembuktian
dilakukan jika ada tindak pidana dan ada kesalahan pada pelakunya.49
Pidana yang dapat dijatuhkan kepada anak pelaku tindak pidana dibatasi
oleh Undang-Undang Pengadilan Anak dan Undang-Undang Sistem Peradilan
Pidana Anak.
Pidana dalam Undang-Undang Pengadilan Anak hanya bisa diterapkan pada
anak pelaku tindak pidana. Dalam pasal 25 ayat (1) disebutkan bahwa terhadap
anak nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, Hakim
menjatuhkan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 atau tindakan
sebagaimana dalam Pasal 24. Ketentuan Pasal 26 ayat (1) disebutkan bahwa
pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal adalah ½ (satu per dua)
dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa. Jika anak nakal
48
49
Didik Endro Purwoleksono, op.cit, 2014, h. 76
Hendar Soetarna, Hukum Pembuktian dalam Acara Pidana, Alumni, Bandung, 2011,
h.11
Skripsi
PEMIDANAAN TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA
(Studi Kasus Putusan Nomor 162/Pid.B/2013/PN.PMS)
KHARISMA APRILIA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
34
diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka sesuai
dengan ketentuan Pasal 26 ayat (2), pidana yang dapat dijatuhkan kepada anak
nakal adalah paling lama 10 (sepuluh) tahun.
Sama halnya dengan Undang-Undang Pengadilan Anak, dalam UndangUndang Sistem Peradilan Pidana Anak Pasal 81 ayat (2) disebutkan bahwa pidana
penjara yang dapat dijatuhkan kepada anak paling lama ½ (satu per dua) dari
maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa. Dalam Pasal 81 ayat (5)
disebutkan bahwa pidana penjara merupakan upaya terakhir yang sebelumnya
harus didahulukan dengan adanya diversi. Pasal (6) disebutkan bahwa jika tindak
pidana yang diancam dengan pidana mati atau seumur hidup, maka pidana yang
dijatuhkan adalah paling lama 10 (sepuluh) tahun.
Pemberlakuan pembuktian terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh anak
pelaku tindak pidana dalam KUHAP didasarkan pada Pasal 40 Undang-Undang
Pengadilan Anak, disebutkan bahwa hukum acara yang berlaku diterapkan pula
dalam acara pengadilan anak, kecuali ditentukan lain. Dalam Undang-Undang
Sistem Peradilan Pidana Anak disebutkan pula dalam Pasal 16 bahwa ketentuan
beracara dalam Hukum Acara Pidana berlaku juga dalam acara peradilan pidana
anak, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.
Pasal 183 KUHAP disebutkan bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan
pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat
bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa terdakwalah yang bersalah
melakukannya. Dari ketentuan tersebut terkandung dua asas pembuktian, yaitu:
Skripsi
PEMIDANAAN TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA
(Studi Kasus Putusan Nomor 162/Pid.B/2013/PN.PMS)
KHARISMA APRILIA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
35
1. Asas Minimum Pembuktian
Dalam KUHAP diatur jelas tentang alat bukti yang sah dan yang diakui oleh
undang-undang sebagaimana yang diatur dalam Pasal 184 KUHAP yaitu:
a. keterangan saksi;
b. keterangan ahli;
c. surat;
d. petunjuk;
e. keterangan terdakwa.
2. Asas Pembuktian menurut undang-undang secara negatif
Asas ini merupakan suatu prinsip hukum pembuktian yang mengajarkan
bahwa disamping kesalahan terdakwa cukup terbukti, harus diikuti dengan adanya
keyakinan hakim akan kebenaran-kebenaran tentang kesalahan terdakwa.
Penjatuhan pidana dapat dilakukan jika memenunhi kedua syarat adanya
alat bukti minimum dan keyakinan hakim. Apabila tidak memenuhi syarat dalam
Pasal 183 KUHAP tersebut maka hakim tidak boleh menjatuhkan pidana50. Dalam
Pasal 191 KUHAP juga disebutkan bahwa jika tidak terbukti bahwa terdakwa
bersalah dalam perbuatan pidana sebagaimana didakwakan sehingga berakibat
putusan bebas (Pasal 191 ayat (1) KUHAP) dan jika tidak terbukti adanya tindak
50
Skripsi
Ibid, h.83.
PEMIDANAAN TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA
(Studi Kasus Putusan Nomor 162/Pid.B/2013/PN.PMS)
KHARISMA APRILIA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
36
pidana yang didakwakan sehingga mengakibatkan adanya putusan lepas dari
segala tuntutan hukum (Pasal 191 ayat (2) KUHAP).
Mengenai apa yang diatur dalam Pasal 191 KUHAP bisa diperluas dengan
syarat-syarat putusan pembebasan atau pelepasan yang ada di dalam KUHP. 51
Dalam Pasal 45 yang telah dicabut dengan adanya Undang-Undang Pengadilan
Anak yang telah digantikan dengan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana
Anak bahwa terhadap anak yang melakukan tindak pidana namun bukan termasuk
kedalam kategori anak nakal yang dapat diajukan ke persidangan anak atau Anak
yang Berkonflik dengan Hukum, maka putusan yang seharusnya diberikan hakim
adalah memerintahkan supaya anak dikembalikan kepada orang tua atau pihak
yang bewenang sebagaimana diatur dalam undang-undang tanpa adanya hukuman
pidana52. Maka, putusan yang diterima anak yang belum termasuk dalam batasan
umur anak pidana dalam undang-undang mendapatkan putusan bebas.
Pemberian putusan bebas dilakukan karena adanya penghapusan pidana,
yang diperluas dengan tidak terpenuhinya syarat batas umur anak yang dapat
dimintai pertanggung jawaban pidana. Pada dasarnya, ada beberapa alasan
penghapusan pidana yaitu:53
1. Menurut Undang-undang
a. tidak mampu bertanggung jawab (Pasal 44 KUHP);
51
M. Yahya Harahap, Pembahasan, Permasalahan, dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan
Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Sinar Grafika, Jakarta, 2012, h.
348.
52
Ibid, h. 349.
53
Didik Endro Purwoleksono, op.cit, 2014, h. 98
Skripsi
PEMIDANAAN TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA
(Studi Kasus Putusan Nomor 162/Pid.B/2013/PN.PMS)
KHARISMA APRILIA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
37
b. daya paksa dan keadaan darurat;
c. pembelaan terpaksa dan pembelaan terpaksa melampaui batas;
d. menjalankan peraturan perundang-undangan;
e. menjalankan perintah jabatan.
2. Di luar undang-undang
a. tidak ada kesalahan sama sekali;
b. tidak ada sifat melawan hukum materiil.
Dalam Undang-Undang Pengadilan Anak, disebutkan dalam Pasal 5 ayat (1)
bahwa anak yang belum mencapai umur 12 tahun yang melakukan atau diduga
melakukan tindak pidana, maka terhadap anak tersebut dapat dilakukan
pemeriksaan oleh penyidik. Kemudian Pasal 5 ayat (2) disebutkan jika penyidik
berpendapat bahwa anak masih dapat dibina oleh orang tua, wali, atau orang tua
asuhnya, penyidik menyerahkan kembali anak tersebut kepada orang tua, wali,
atau orang tua asuhnya. Dan jika anak tersebut menurut penyidik tidak dapat
dibina lagi oleh orang tua, wali, atau orang tua asuhnya, maka sesuai dengan
ketentuan Pasal 5 ayat (3) anak tersebut diserahkan kepada Departemen Sosial
setelah mendengar pertimbangan pembimbing Kemasyarakatan.
Begitu pula dengan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak. Dalam
ketentuan Pasal 21 ayat (1) disebutkan bahwa dalam hal anak belum berumur 12
(dua belas) tahun melakukan atau diduga melakukan tindak pidana, penyidik,
Skripsi
PEMIDANAAN TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA
(Studi Kasus Putusan Nomor 162/Pid.B/2013/PN.PMS)
KHARISMA APRILIA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
38
pembimbing kemasyarakatan, dan pekerja sosial profesional mengambil
keputusan untuk:
a. menyerahkannya kembali kepada orang tua/wali;
b. mengikutsertakannya dalam program pendidikan, pembinaan, dan
pembimbingan di instansi pemerintah atau LPKS di instansi yang
menangani bidang kesejahteraan sosial, baik di tingkat pusat maupun daerah,
paling lama 6 bulan.
Dalam hal pemidanaa terhadap anak pelaku tindak pidana, tidak lepas dari
adanya asas ultimum remidium. Asas tersebut menjadikan pidana sebagai upaya
terakhir dalam hal penegakan hukum. Asas tersebut berlaku dalam hal penjatuhan
pidana terhadap anak pelaku tindak pidana, baik dalam Undang-Undang
Pengadilan Anak maupun Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Dalam Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang Pengadilan Anak disebutkan
bahwa anak nakal dapat dikenai sanksi pidana dan tindakan. Hal ini mejadikan
bahwa hakim memiliki pilihan terhadap sanksi yang dijatuhkan kepada anak
pelaku tindak pidana. Dalam penjelasan Pasal 25 Undang-Undang Pengadilan
Anak disebutkan bahwa:
Dalam menentukan pidana atau tindakan yang dapat dijatuhkan kepada
anak, hakim memperhatikan berat ringannya tindak pidana atau
kenakalan yang dilakukan oleh anak yang bersangkutan. Disamping itu
Hakim juga wajib memperhatikan keadaan anak, keadaan rumah tangga
orang tua, wali, atau orang tua asuh, hubungan antara anggota keluarga
dan keadaan lingkungannya. Demikian pula Hakim wajib memperhatikan
laporan Pembimbing Kemasyarakatan.
Skripsi
PEMIDANAAN TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA
(Studi Kasus Putusan Nomor 162/Pid.B/2013/PN.PMS)
KHARISMA APRILIA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
39
Penjatuhan sanksi pidana atau tindakan terhadap perkara anak masih
digantungkan pada putusan hakim anak. Namun dalam menerapkan hukum positif
hakim tetap harus memahami doktrin dalam ilmu pengetahuan hukum (Pidana)
sebagai salah satu sumber hukum.54 Kecenderungan hakim menjatuhkan pidana
terhadap anak pelaku tindak pidana bertentangan atau tidak sesuai dengan asas
ultimum remidium karena pemberian pidana walaupun dalam jangka waktu
pendek memberikan stigma yang buruk kepada pelaku dalam hal ini anak yang
harus dilindungi kepentingannya (masa depan anak).55
Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak menyatakan secara tegas
dalam Pasal 81 ayat (5) disebutkan bahwa pejatuhan pidana hanya dilakukan
sebagai upaya terakhir. Dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak
juga diwajibkan adanya diversi sebelum hakim menjatuhkan pidana terhadap anak
pelaku tindak pidana. Hal ini menyatakan secara tegas bahwa asas ultimum
remidium harus ditegakkan dalam penjatuhan putusan pidana terhadap anak
pelaku tindak pidana.
54
Riza Alifianto Kurniawan, Asas Ultimum Remedium Dalam Pemidanaan Anak Nakal,
Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, 2008
55
Ibid.
Skripsi
PEMIDANAAN TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA
(Studi Kasus Putusan Nomor 162/Pid.B/2013/PN.PMS)
KHARISMA APRILIA
Download