BAB 4 PEMBAHASAN Konsep pengenaan pajak atas penghasilan

advertisement
BAB 4
PEMBAHASAN
Konsep pengenaan pajak atas penghasilan berdasarkan Undang-undang Pajak
Penghasilan (UU PPh) Pasal 4 ayat (1) yang saat ini berlaku di Indonesia
mengandung pengertian bahwa, yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu
setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak
baik berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk
konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan dengan
nama dan dalam bentuk apa pun.
Undang-undang Pajak Penghasilan Indonesia menganut prinsip pemajakan
atas penghasilan dalam pengertian yang luas, yaitu bahwa pajak dikenakan atas
setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak
dari mana pun asalnya yang dapat dipergunakan untuk konsumsi atau untuk
menambah kekayaan Wajib Pajak tersebut.
Dan banyaknya perbedaan mengenai pengertian penghasilan membawa
dampak perpajakan tersendiri. Pengertian penghasilan dalam Undang-undang Pajak
Penghasilan tersebut tidak memperhatikan adanya penghasilan dari sumber tertentu,
tetapi pada adanya tambahan kemampuan ekonomis. Tambahan kemampuan
ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak merupakan ukuran terbaik
mengenai kemampuan Wajib Pajak tersebut untuk memikul biaya yang diperlukan
pemerintah untuk kegiatan rutin dan pembangunan.
Karena itu, berdasarkan Undang-undang teori-teori dan juga konsep-konsep
seperti yang telah saya paparkan di dalam Bab II, dan juga dan juga data-data
lapangan dan hasil wawancara yang telah dirangkum di Bab III, maka penulis
33
berusaha melakukan analisis tentang pelaksanaan pajak di Indonesia atas penghasilan
berupa manfaat asuransi jiwa.
4.1
Pelaksanaan Pemungutan Pajak Atas Penerimaan Manfaat Asuransi
Jiwa Yang Sesuai Dengan Mekanisme Yang Dianut Oleh Undang-undang Pajak
Penghasilan
Kebijakan tentang pajak penghasilan yang dikenakan terhadap manfaat
asuransi jiwa sebenarnya telah diatur dan ditulis jelas dalam pasal 4 ayat (3) huruf (e)
Undang-undang Nomor 36 tahun 2008 tentang perubahan keempat atas Undangundang nomor 7 tahun 1983 tentang pajak penghasilan yang menyatakan bahwa:
“Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan
asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan
asuransi bea siswa bukan merupakan sebagai objek pajak”. Dan didalam undangundang ini sudah tampak jelas jenis-jenis asuransi mana saja yang dapat dijadikan
sebagai objek pajak.
Pada saat pembayaran premi asuransi dilakukan oleh orang pribadi dan premi
yang dibayarkan sepenuhnya ditanggung oleh orang pribadi tersebut, atas premi
asuransi sebagai biaya pengenaan pajak penghasilan atas premi asuransi yang
dibayarkan orang pribadi tersebut tercermin dalam penjelasan Pasal 4 ayat (3) huruf
(e) Undang-undang Nomor 36 tahun 2008 tentang perubahan keempat atas Undangundang nomor 7 tahun 1983 tentang pajak penghasilan yang menyebutkan bahwa
“Penggantian atau santunan yang diterima oleh orang pribadi dari perusahaan
asuransi sehubungan dengan polis asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi
jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa bukan merupakan objek pajak.
34
Apabila dikemudian hari orang pribadi tersebut menerima santunan asuransi, maka
orang pribadi tersebut tidak lagi dikenakan pajak penghasilan (PPh)”.
Selain itu, ketentuan tersebut bagi perusahaan asuransi dapat dijadikan sebagai
nilai tambah dan keuntungan untuk menjual produk-produk mereka kepada para
masyarakat. Hal tersebut juga selaras dengan Pasal 9 ayat (1) huruf (d) Undangundang Nomor 36 tahun 2008 tentang perubahan keempat atas Undang-undang
nomor 7 tahun 1983 tentang pajak penghasilan, yaitu bahwa “Premi asuransi yang
dibayarkan oleh Wajib Pajak orang pribadi untuk kepentingan dirinya tidak boleh
dikurangkan dalam Penghitungan Penghasilan Kena Pajak”.
Dalam pasal tersebut sudah jelas terlihat bahwa premi asuransi telah
dikenakan pajak, yaitu tidak diperkenankannya premi asuransi sebagai biaya,
sehingga premi asuransi tersebut telah masuk dalam penghitungan Penghasilan Kena
Pajak wajib pajak dan dikenakan tarif progresif. Apabila dikemudian hari orang
pribadi tersebut menerima santunan asuransi, maka orang pribadi tersebut tidak lagi
dikenakan pajak penghasilan (PPh).
Hal ini juga telah sesuai dengan yang diatur dalam Pasal 4 ayat (3) huruf (e)
Undang- Undang-undang Nomor 36 tahun 2008 tentang perubahan keempat atas
Undang-undang nomor 7 tahun 1983 tentang pajak penghasilan. Oleh untuk itu,
menurut penulis kebijakan perpajakan tersebut dalam Pasal 4 ayat (3) huruf (e) UU
Pajak Penghasilan (PPh) sudah tepat dan sesuai, karena sesuai dan selaras dengan
Pasal 9 ayat (1) huruf (d) UU Pajak Penghasilan (PPh).
Pada pelaksanaan di lapangan, perlakuan Pajak Penghasilan terhadap manfaat
asuransi jiwa telah diatur lebih lanjut dalan ketentuan pelaksanaannya berupa Edaran
Direktur Jenderal Pajak, yaitu Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE09/PJ.42/1997 tanggal 23 Juli 1997 yang menyatakan bahwa “Pembayaran akibat
35
penutupan asuransi yang mengandung unsur tabungan, apabila manfaat tabungannya
dilakukan dalam jangka waktu tiga (3) tahun atau kurang, maka selisih lebih antara
manfaat tabungan yang diterima dengan premi yang telah dibayarkan, diperlakukan
sama dengan penghasilan dari bunga tabungan atau bunga deposito”.
Jika dilihat dari Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE09/PJ.42/1997 tanggal 23 Juli 1997 tersebut, ini berarti pembayaran manfaat asuransi
jiwa dikenakan pajak bersifat final, yang pada saat ini tarifnya sesuai dengan
ketentuan Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 131 Tahun 2000 Pengenaan Pajak
Penghasilan atas bunga dari deposito dan tabungan serta diskonto Sertifikat Bank
Indonesia dan Pasal 3 Keputusan Menteri Keuangan No. 51/KMK.04/2001 tentang
Pengenaan Pajak Penghasilan atas bunga deposito dan tabungan serta diskonto
Sertifikat Bank Indonesia, yaitu pajak final sebesar dua puluh persen (20%).
Apabila dilakukan perbandingan antara Pasal 4 ayat (3) huruf (e) UndangUndang-undang Nomor 36 tahun 2008 tentang perubahan keempat atas Undangundang nomor 7 tahun 1983 tentang pajak penghasilan yang menyatakan bahwa
pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan
asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan
asuransi beasiswa tidak termasuk objek pajak dengan Surat Edaran Direktur Jenderal
Pajak Nomor SE-09/PJ.42/1997 tanggal 23 Juli 1997 yang menyatakan bahwa
pembayaran akibat penutupan asuransi yang mengandung unsur tabungan, apabila
pembayaran manfaat tabungannya dilakukan dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun atau
kurang, maka selisih lebih antara manfaat tabungan yang diterima dengan premi
yang telah dibayarkan, diperlakukan sama dengan penghasilan dari bunga
tanggungan atau bunga deposito.
36
Terlihat dari perbandingan antara dua (2) ketentuan perpajakan tersebut diatas
akan terlihat penerapan yang berlawanan, dimana Pasal 4 ayat (3) huruf (e) UndangUndang-undang Nomor 36 tahun 2008 tentang perubahan keempat atas Undangundang nomor 7 tahun 1983 tentang pajak penghasilan menyatakan bahwa
pembayaran manfaat asuransi bukan merupakan objek pajak yang artinya tidak
dikenakan pajak, sedangkan pada Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE09/PJ.42/1997 tanggal 23 Juli 1997 menyatakan bahwa pembayaran manfaat asuransi
jiwa berupa manfaat tabungan dikenakan pajak bersifat final.
Di dalam Surat Edaran tersebut dapat dikatakan bahwa pembayaran atas
manfaat asuransi jiwa dapat dikenakan pajak, karena dianggap sama dengan bunga
tabungan atau bunga deposito. Akan tetapi menurut penulis, antara manfaat asuransi
jiwa dengan bunga tabungan atau pun bunga deposito tidaklah dapat dipersamakan,
dan hal ini merupakan suatu kekeliruan. Karena di dalam produk asuransi jiwa,
terdapat pengalihan resiko dari pemegang polis kepada perusahaan asuransi, dan
bukan saja hanya mencari bunga. Manfaat asuransi jiwa walaupun berupa manfaat
tabungan sangatlah terkait dengan suatu produk dengan nama apapun yang
ditawarkan oleh suatu perusahaan asuransi jiwa yang kemudian dibeli oleh seseorang
yang mempunyai kepentingan dan minat terhadap suatu jasa dalam penanggulangan
resiko yang dikaitkan dengan hidup dan meninggalnya seseorang yang akan
dipertanggungkan. Pemegang polis dalam asuransi jiwa mempunyai suatu kontrak
dalam jangka waktu tertentu yang harus dipenuhi oleh kedua belah pihak baik si
penanggung ataupun si tertanggung.
Sedangkan di dalam tabungan atau deposito hanya merupakan hasil
pengembangan dari sejumlah dana yang ditempatkan pada suatu wadah yang
namanya tabungan atau deposito dan biasanya dikelola oleh bank. Lalu antara
37
produk asuransi dengan tabungan atau deposito tidak dapat dipersamakan karena
tabungan atau deposito merupakan penyisihan penghasilan yang saat ini dimiliki oleh
seseorang untuk dinikmati kemudian hari. Deposito atau tabungan bukanlah suatu
produk jasa yang dapat dibeli oleh seseorang untuk dinikmati kemudian hari.
Tabungan bukan merupakan suatu bentuk produk jasa yang dapat dibeli oleh
seseorang, melainkan berupa suatu tempat penyimpanan penyisihan penghasilan
seseorang yang umumnya berupa uang. Tabungan tidak memiliki jangka waktu yang
ditetapkan, kecuali untuk suatu produk tertentu seperti deposito yang umumnya
berjangka waktu maksimal satu (1) tahun, tetapi pada umumnya tidak ada kontrak
pembatasan jangka waktu. Sehingga seseorang yang menyimpan uangnya dalam
tabungan atau deposito dapat mengambil uang yang dititipkan tersebut tanpa adanya
pemotongan atas produk dana yang ditanamkan, bahkan ada nilai lebih sebagai
bagian dari hasil investasi dari perusahaan tersebut yang biasanya disebut bunga.
Alasan lain bahwa bunga deposito dan bungan tabungan tidak dapat
dipersamakan adalah apabila suatu bank dapat memberikan pinjaman dan bila
pemberian pinjaman atas dana yang telah diperoleh dari nasabahnya maka bunga
yang diperoleh atas pinjaman tersebut tidak dikenakan pajak. Sedangkan asuransi
tidak bisa memberikan pinjaman atas dana kepada nasabahnya, tetapi hanya bisa
memberikan kuasa untuk mempergunakan nilai tunai yang telah terbentuk yang
merupakan bagian dari pembayaran itu sendiri. Itu bisa dikatakan mempergunakan
uang si nasabah yang bersangkutan yang telah diinvestasikan di perusahaan asuransi
jiwa tersebut.
Premi asuransi jiwa yang telah dibayarkan ke dalam perusahaan asuransi jiwa
juga tidak dapat diambil sewaktu-waktu seperti tabungan atau pun juga deposito.
Premi yang telah dibayarkan hanya dapat dipinjamkan, tetapi itu jika sudah terbentuk
38
nilai tunai polis dan nilai yang dipinjamkan hanya sejumlah nilai tunai yang
terbentuk. Sebagian besar produk asuransi baru mempunyai nilai tunai setelah tahun
ketiga kepesertaan asuransi, karena tahun pertama dan tahun kedua usia polis
asuransi jiwa lebih banyak dihabiskan untuk pembiayaan yang sebagian besar
digunakan untuk biaya komisi agen asuransi. Pilihan lain, adalah dengan pembatalan
suatu asuransi, dimana pemegang polis tidak melanjutkan pembayaran premi sesuai
dengan jangka waktu yang telah tertulis didalam perjanjian polis asuransi jiwa.
Berikut ini adalah data pembayaran manfaat asuransi jiwa kepada
pertanggungan perorangan (ada di halaman berikutnya):
39
Tabel 4.1
Pembayaran Manfaat Asuransi Jiwa PT. Bringin Life
Tahun 2010 Atas Pertanggungan Perorangan
Maturity
Meninggal
Surrender
Kesehatan
Tahapan
Anuitas
Redeem NT
Total
Nilai (Rp)
Nilai (Rp)
Nilai (Rp)
Nilai (Rp)
Nilai (Rp)
Nilai (Rp)
Nilai (Rp)
Nilai (Rp)
35.946.736
5.535.664.538
251.147.600
0
10.105.717.584
Regional 2 1.124.250.934 439.967.798 3.256.846.682 979.062.135 2.099.583.387 1.318.403.110
0
9.218.114.047
Regional 3
Wilayah
Regional 1
196.104.653
210.398.307 4.813.894.140 126.566.554 2.800.983.515
19.832.000
0
8.364.192.769
Regional 4 1.875.043.929 708.827.554 4.147.098.655 187.360.637 2.238.518.156
46.550.800
0
9.203.399.731
Regional 5 1.701.758.799 358.679.716 3.860.909.282 264.156.641 3.085.855.049
59.870.142
0
9.331.229.629
Regional 6 1.130.743.132 558.082.858 2.567.754.262
2.185.059
0
8.459.792.949
163.336.286
0
5.160.014.359
Regional 7
392.518.253
416.336.931 3.670.517.125
468.691.027
27.693.240
4.173.334.398
404.920.956 2.574.879.895 304.691.761 1.243.494.434
Sumber: Laporan Keuangan BRIngin Life
40
Tabel 4.2
Pembayaran Manfaat Asuransi Jiwa PT. Bringin Life
Tahun 2011 Atas Pertanggungan Perorangan
Maturity
Meninggal
Surrender
Kesehatan
Tahapan
Anuitas
Redeem NT
Total
Nilai (Rp)
Nilai (Rp)
Nilai (Rp)
Nilai (Rp)
Nilai (Rp)
Nilai (Rp)
Nilai (Rp)
Nilai (Rp)
64.016.028
1.511.563.501
597.743.386
0
6.022.566.332
0
12.727.120.598
Wilayah
Regional 1
615.110.101
173.503.736 3.060.629.580
Regional 2 3.309.418.725 415.007.005 4.208.439.075 1.644.801.930 2.136.832.965 1.012.620.898
Regional 3
482.855.092
104.561.888 3.914.896.545
50.471.844
2.226.219.044
20.192.400
4.471.402
6.803.668.215
Regional 4 2.389.632.865 772.437.376 4.754.278.651
149.298.185
2.485.308.256
101.354.518
0
10.652.309.851
Regional 5 2.054.280.410 656.749.282 4.678.977.681
183.228.137
2.523.599.973
80.762.534
956.369
10.178.554.386
Regional 6 1.501.452.128 209.184.722 4.108.667.720
42.226.070
3.241.017.958
6.198.636
1.102.923
9.109.850.157
Regional 7
329.643.048
1.512.907.109
101.482.200
0
5.214.274.255
412.815.239
226.822.167 2.630.604.492
Sumber: Laporan Keuangan BRIngin Life
41
Tabel 4.3
Pembayaran Manfaat Asuransi Jiwa PT. Bringin Life
Tahun 2012 Atas Pertanggungan Perorangan
Maturity
Meninggal
Surrender
Kesehatan
Tahapan
Anuitas
Redeem NT
Total
Nilai (Rp)
Nilai (Rp)
Nilai (Rp)
Nilai (Rp)
Nilai (Rp)
Nilai (Rp)
Nilai (Rp)
Nilai (Rp)
60.385.639
2.800.498.694
148.497.774
77.065.480
6.673.546.618
Wilayah
Regional 1
1.546.422.833 309.214.132 1.731.462.066
Regional 2
6.551.763.386 734.245.418 3.512.389.732 1.019.395.397 2.372.344.704 1.044.043.643
6.715.491
15.240.897.771
Regional 3
1.497.007.765 450.177.773 3.862.137.069
52.943.948
2.038.602.532
27.222.300
32.675.283
7.960.766.670
Regional 4
8.564.301.068 407.020.224 3.290.708.548
143.031.464
2.457.451.570
329.879.200
3.720.975
15.196.113.049
Regional 5
8.708.401.795 301.317.448 3.748.492.561
111.247.919
2.620.771.926
102.738.627
14.284.287
15.607.254.563
Regional 6
4.555.605.886 762.749.163 3.102.250.622
53.408.648
3.388.185.075
5.752.683
1.069.437
11.869.021.514
Regional 7
4.887.692.729
345.867.142
1.651.802.343
358.795.881
1.909.226
9.971.397.400
96.538.782
2.628.791.297
Sumber: Laporan Keuangan BRIngin Life
42
Dari tabel diatas dapat terlihat bahwa penebusan polis (surrender) atau yang
artinya pembatalan polis sebelum berakhirnya masa pertanggungan oleh pemegang
polis mempunyai hasil yang paling besar diantara yang lainnya. Berdasarkan hasil
wawancara yang diperoleh pemutusan kontrak tanpa tebusan atau yang disebut
surrender terjadi karena pemegang polis malas, lalai dan juga karena pemegang polis
tidak mampu melanjutkan kontrak asuransi jiwanya dan jangka waktu pemutusan
kontrak lebih banyak yang masih berjangka singkat yaitu 1 (satu) sampai 2 (dua)
tahun kepesertaan.
Sehingga ketika usia polis masih 1 (satu) tahun atau 2 (dua) tahun, sebagian
polis asuransi jiwa belum memiliki nilai tunai. Lalu baru pada saat tahun ketiga ada
nilai tunai yang bisa ditebus, dan itu jumlahnya relatif sedikit atau bahkan sama
sekali
tidak
memperoleh
hasil
karena
pilihan
produk
asuransi
untuk
mempertanggungkan hidup dan matinya orang yang dipertanggungkan maupun
pilihan
produk
asuransi
hanya
mempertanggungkan
matinya
orang
yang
dipertanggungkan di dalam polis saja.
Selain itu berdasarkan jumlah uang pertanggungan yang dibayarkan
perusahaan asuransi kepada pemegang polis untuk jenis pembayaran manfaat yang
kurang dari tiga (3) tahun, terlihat bahwa para pemegang polis cenderung untuk
membeli produk asuransi jiwa diatas tiga (3) tahun. Kecenderungan mereka untuk
memilih produk asuransi jiwa yang dia atas tiga (3) tahun karena bertujuan untuk
mengalihkan resiko mereka dan untuk menghindari pengenaan pajak apabila mereka
membeli produk asuransi yang memiliki masa manfaat kurang dari tiga (3) tahun.
Berdasarkan produk asuransi jiwa yang telah ada saat ini maka produk
asuransi yang telah dikemas harus tetap berpegang kepada penanggulangan resiko
hidup dan meninggalnya seseorang yang dipertanggungkan. Aturan di bidang
43
asuransi juga harus lebih mempertegas produk asuransi yang mempunyai unsur
penanggulangan resiko kepada tertanggung atau pemegang polis atau bahkan dapat
dibuat peraturan sendiri, seperti asuransi produk link. Jadi bukan pada penambahan
aturan perpajakannya sendiri seperti surat edaran tersebut.
Selain itu, pembuatan dan penerbitan surat edaran tersebut jelas bertentangan
dengan salah satu asas-asas pembuatan peraturan perundang-undangan, yaitu bahwa
Undang-undang yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi mempunyai kedudukan
yang lebih tinggi pula. Suatu peraturan tidak boleh bertentangan dengan isi peraturan
yang derajatnya lebih tinggi. Dalam membuat suatu peraturan hendaknya berpijak
kepada landasan hukum yang lebih kuat kedudukannya.
Undang-undang Perpajakan termasuk Undang-undang Pajak Penghasilan
(PPh) selalu diundangkan didalam Lembaran Negara Republik Indonesia, dimana
akan diketahui secara umum oleh seluruh wajib pajak. Sedangkan Edaran Direktur
Jenderal Pajak tidak diundangkan di Lembaran Negara Republik Indonesia, tetapi
lebih kepada aturan pelaksana untuk lingkungan kerja di direktorat Jenderal Pajak
yang bertujuan untuk diketahui dan dilaksanakan tanpa adanya pengunguman kepada
wajib pajak, sehingga untuk mengetahui adanya aturan lain yang dimuat didalam
surat edaran, wajib pajak harus mengetahuinya dengan mencari sendiri informasi
tersebut.
4.2
Analisis Keterbatasan Pelaksanaan Pemotongan Pajak Penghasilan Atas
Pembayaran Manfaat Asuransi Jiwa
Salah satu faktor yang penting agar pemotongan pajak dapat terlaksana dengan
baik adalah tanpa adanya hambatan, yaitu harus bersifat sederhana dan jelas.
Terdapat adanya keterbatasan ketentuan yang terdapat di dalam keputusan Surat
44
Edaran Direktur Jenderal Pajak SE-09/PJ.42/1997 tanggal 23 Juli 1997 hanyalah
berisi ketentuan mengenai objek apa saja yang terkena pajak penghasilan tetapi tidak
ada kejelasan mengenai teknis pelaksanaannya.
Sebagai akibat dari ketidakjelasan teknis pelaksanaan dari Surat Edaran
Direktur Jenderal Pajak SE-09/PJ.42/1997 sehingga menimbulkan kebingungan, hal
ini dapat terlihat pada saat menentukan jenis pemotongan pajak atas manfaat asuransi
jiwa yang dibayarkan kepada orang pribadi maka dalam pelaksanaan pemotongan
pajaknya tidak dapat diseragamkan jenis pemotongan pajaknya.
Didalam perkembangannya terdapat beberapa pendapat dalam menentukan
jenis pemotongan pajaknya. Ada yang berpendapat bahwa pemotongan tersebut
masuk kedalam PPh Pasal 21 Final dengan alasan bahwa si penerima manfaat
asuransi jiwa adalah orang pribadi. Adapula yang berpendapat bahwa pemotongan
tersebut masuk kedalam PPh Pasal 23 Final dengan alasan bahwa ketentuan dari
Surat Edaran Dirjen Pajak tersebut menetapkan pembayaran manfaat asuransi jiwa
tersebut dipersamakan dengan bunga deposito dan bunga tabungan. Dan juga adapula
yang berpendapat bahwa pemotongan tersebut masuk ke PPh final Pasal 4 ayat (2)
karena sifat pemotongnya yang bersifat final. Sebaiknya dalam ketentuan dari Surat
Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-09/PJ.42/1997 dijelaskan jenis
pemotongan pajaknya yang sesuai ketentuan di dalam Surat Edaran Direktur Jenderal
Pajak tersebut yang mempersamakan dengan pajak final bunga deposito dan juga
bunga tabungan. Berikut adalah ilustrasi tabel perbedaan pendapat (di halaman
berikutnya):
45
Tabel 4.4
Tabel Ilustrasi Perbedaan Pendapat dalam Menentukan Pemotongan Pajak
PPh 21 Final
PPh 23 Final
PPh Final Pasal 4 ayat 2
Karena penerima manfaat Karena berdasarkan SE Karena sifat pemotongnya
adalah orang pribadi
tersebut,
asuransi bersifat final
dipersamakan
bunga
deposito,
dengan
tabungan/bunga
sehingga
dikenakan pajak final
Tidak adanya sarana administrasi yang jelas dan pasti untuk melakukan
pemotongan dan pelaporan hutang pajaknya menjadi keterbatasan lain di dalam
pelaksanaan pemotongan pajak penghasilan atas pembayaran manfaat asuransi jiwa.
Seperti Bukti Pemotongan PPh Final dan Surat Pemberitahuan, maka dalam
pelaksanaannya masing-masing perusahaan asuransi jiwa menggunakan Bukti
Pemotongan dan Surat Pemberitahuan yang ada, tetapi berbeda-beda jenis
pemotongannya. Formulir bukti pemotongan pajak maupun surat pemberitahuan
untuk melaporkan pajak terutang yang telah ada belum mengakomodasi jenis
pemotongan pajak yang dimaksud didalam ketentuan Surat Edaran Direktur Jenderal
Pajak Nomor SE-09/PJ.42/1997 tanggal 23 Juli 1997 yaitu manfaat asuransi jiwa.
Berikut ini adalah bentuk formulir pajak penghasilan final (ada di halaman
berikutnya):
Gambar 4.1
46
Bentuk Formulir Pajak Penghasilan Final
No.
Jenis Penghasilan
Jumlah Bruto
Tarif
PPh yang dipotong
(1)
1.
(2)
(3)
(4)
(5)
Rp. ……………………………
…….. %
Rp. ……………………………
Rp. ……………………………
…….. %
Rp. ……………………………
Rp. ……………………………
…….. %
Rp. ……………………………
2.
Rp. ……………………………
…….. %
Rp. ……………………………
3.
Rp. ……………………………
…….. %
Rp. ……………………………
4.
Rp. ……………………………
…….. %
Rp. ……………………………
5.
Rp. ……………………………
…….. %
Rp. ……………………………
6.
Rp. ……………………………
…….. %
Rp. ……………………………
JUMLAH
Rp. ……………………………
Terbilang : …………………………………………………………………………………………………………………………
Jika dilihat dari model formulir bukti potong PPh Final yang telah ada,
informasi mengenai manfaat asuransi yang diinginkan oleh ketentuan Surat Edaran
Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-09/PJ.42/1997 tanggal 23 Juli 1997 tidak dapat
terakomodasi dalam model formulir yang telah ada baik bukti potong maupun surat
pemberitahuan. Didalam formulir yang ada hanya terdapat kolom jumlah
penghasilan bruto, padahal didalam ketentuan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak
Nomor SE-09/PJ.42/1997 tanggal 23 Juli 1997 dijelaskan bahwa jumlah yang
terkena pajak merupakan jumlah selisih lebih antara manfaat tabungan yang diterima
dengan jumlah premi yang telah dibayarkan. Jadi yang dimaksud disini adalah
jumlah penghasilan netto dan bukan jumlah penghasilan bruto.
Seharusnya didalam setiap membuat suatu ketentuan perpajakan yang baru
harus berisi suatu penjelasan yang pasti tentang perangkat sarana administrasi untuk
memudahkan keperluan setiap wajib pajak melaksanakan kewajiban perpajakannya,
sehingga formulir yang seharusnya menyertai dalam ketentuan Surat Edaran Direktur
47
Jenderal Pajak Nomor SE-09/PJ.42/1997 tanggal 23 Juli 1997 adalah formulir yang
lebih menginformasikan kepada penghasilan yang dikenakan pajak.
Tidak terdapatnya perangkat-perangkat administrasi seperti formulir bukti
potong pajak dan surat pemberitahuan untuk melaporkan pajak yang terutang, dalam
melakukan proses pemeriksaan kebenaran pembayaran pajak yang dilakukan oleh
Direktorat Jenderal Pajak akan menimbulkan atau mengalami kendala. Masalah ini
timbul karena ketika para pemeriksa pajak memeriksa kebenaran pembayaran secara
langsung
adalah
dengan
melakukan
pembuktian
terbalik,
yaitu
langsung
membandingkan antara pajak yang telah dibayar dan dilaporkan dalam surat
pemberitahuan dengan jumlah manfaat asuransi yang dibukukan pada perkiraan
klaim yang dibayarkan, sehingga pada saat pemeriksaan langsung terlihat adanya
kekurangan pajak atas pemotongan pajak. Tetapi sebetulnya yang dilihat oleh
pemeriksa adalah seluruh pembayaran yang dilakukan oleh perusahaan asuransi
kepada orang pribadi, dan bukan selisih lebih antara manfaat tabungan dengan
jumlah premi yang dibayarkan. Sedangkan untuk perusahaan asuransi tidak
memungkinkan adanya nama perkiraan tersendiri untuk selisih lebih manfaat
asuransi yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada orang pribadi sebagai
pemegang polis, karena akan dapat menambah beban pelaksanaan administrasi
didalam perusahaan.
Selain itu keterbatasan lain yang terdapat didalam pelaksanaan Surat Edaran
Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-09/PJ.42/1997 tanggal 23 Juli 1997 adalah tidak
adanya sosialisasi terhadap wajib pajak perusahaan asuransi jiwa atas pelaksanaan
terhadap Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak sehingga sebagian besar wajib pajak
mengalami kebingungan dan ketidakjelasan atas pelaksanaan Surat Edaran Direktur
Jenderal Pajak itu.
48
Penerapan aturan didalam surat edaran tersebut adalah berlaku surut. Padahal
suatu aturan yang dibuat dan berlaku secara umum tidak boleh bersifat berlaku surut.
Pemberlakuan ini terlihat pada perlakuan Pajak Penghasilan (PPh) terhadap manfaat
asuransi diterapkan terhadap seluruh polis yang manfaatnya dibayarkan mulai pada
saat diterbitkannya surat edaran tersebut. Padahal perjanjian didalam polis asuransi
telah berjalan sebelum adanya surat edaran.
Pemberlakuan berlaku surut itu menimbulkan masalah baru yang berpangkal
terhadap terhadap perjanjian atau kontrak asuransi itu sendiri, yang disebut Polis
Asuransi. Karena suatu hak dan kewajiban akan muncul dengan kekuatan hukum jika
ada perjanjian secara tertulis antara kedua belah pihak yang melakukan perjanjian.
Demikian pula dengan pertanggungan asuransi jiwa oleh suatu perusahaan asuransi
jiwa dimuat didalam suatu perjanjian polis asuransi jiwa yang dimana dibuat pada
saat seseorang membeli suatu produk asuransi jiwa sebagai jasa pertanggungan hidup
dan meninggalnya sesorang yang dipertanggungkan jiwanya.
Didalam polis telah dinyatakan hak dan kewajiban pertanggungan baik si
tertanggung ataupun si penanggung, yang isinya antara lain mengenai pembayaran
premi dan mekanisme pembayarannya, apa saja yang dipertanggungkan, dan yang
paling penting adalah besarnya uang pertanggungan yang diterima sebagai bagian
dari manfaat asuransi jiwa. Didalam perjanjian polis telah dinyatakan tentang
besarnya uang pertanggungan yang nantinya akan diterima oleh oleh pemegang polis
tanpa diungkapkan adanya pengenaan pajak. Bahkan ada juga perusahaan asuransi
yang telah mempromosikan bahwa pada saat penerimaan manfaat asuransi jiwa
dikemudian hari pada saat jatuh tempo ataupun terjadinya resiko, si nasabah tidak
dibebankan dengan pembayaran pajak karena perundang-undangan pajak pada
49
Undang-undang Pajak Penghasilan di Indonesia mengecualikan pembayaran asuransi
dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sebagai objek pajak.
Pembayaran atas manfaat asuransi oleh perusahaan asuransi seperti yang
terdapat didalam surat edaran akan menimbulkan permasalahan, yaitu berdasarkan
perjanjian polis asuransi tidak dapat dipotong pajak oleh perusahaan asuransi. Dan
jika apabila pemegang polis dapat mengerti terhadap ketentuan perpajakan
berdasarkan surat edaran yang memang tidak diumumkan di Lembaga Negara
Republik Indonesia maka tidaklah menjadi masalah bagi para pelaku perusahaan
asuransi, tetapi kenyataannya sebagaian besar para pemegang polis lebih melihat
kepada perjanjian polis asuransi jiwa yang telah ditandatangani sebelumnya.
Solusi yang diambil oleh perusahaan asuransi jiwa jika para pemegang polis
tidak bersedia dibebankan pajak penghasilan atas penerimaan manfaat asuransi jiwa
yang karenanya tidak ada didalam perjanjian polis asuransi jiwa adalah dengan cara
menanggung beban pajak penghasilan (PPh) atas manfaat asuransi jiwa tersebut, dan
hal ini akan menjadi biaya tambahan bagi perusahaan asuransi jiwa. Jadi, seharusnya
akan lebih bijak apabila suatu ketentuan yang berlaku secara umum tidak berlaku
untuk perjanjian yang sudah berjalan.
4.3
Ketidakadilan,
Ketidaknetralitasan
dan
Ketidakpastian
Dalam
Pelaksanaan Pemungutan Pajak Atas Penerimaan Manfaat Asuransi Jiwa
Walaupun manfaat pajak tidak dapat dirasakan secara langsung oleh si
pembayar, tetapi pajak merupakan sumber penghasilan kegiatan pemerintah yang
rutin dan berperan penting dalam faktor pembangunan Negara, dan demikian pajak
harus dibebankan secara adil kepada seluruh masyarakat yang mempunyai
penghasilan dan memenuhi syarat untuk dikenakan pajak. Dan yang telah dibahas
50
pada bab-bab sebelumnya yang dianggap penghasilan untuk dikenakan pajak di
Indonesia adalah setiap tambahan ekonomis dari manapun asalnya, dan dalam bentuk
apapun, tetapi dalam pemungutan pajak haruslah tetap berpegang teguh terhadap
asas-asas pemungutan pajak. Salah satunya adalah adanya keadilan didalam
pemungutan pajak.
Tetapi, dalam kenyataannya yang dinamakan adil akan bersifat relatif, dan
untuk mencari keadilan tersebut adalah dengan mengusahakan agar pemungutan
pajak diselenggarakan secara umum dan merata. Dilihat dalam ketentuan Surat
Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-09/PJ.42/1997 tanggal 23 Juli 1997
terdapat perbedaan perlakuan perpajakan terhadap jangka waktu penutupan asuransi,
yaitu jika penutupan asuransi jiwa yang mengandung unsur tabungan yang
pembayran manfaat tabungannya dilakukan dalam jangka waktu tiga (3) tahun atau
kurang maka pembayaran manfaat asuransi jiwanya yang tersebut dalam jangka
waktu tiga (3) tahun atau kurang maka pembayaaran manfaat asuransi jiwanya akan
dikenakan pajak final seperti bunga tabungan atau deposito. Sedangkan apabila
penutupan asuransinya yang mengandung unsur tabungan yang pembayaran manfaat
tabungannya dilakukan dalam jangka waktu lebih dari tiga (3) tahun, maka menurut
surat edaran tersebut tidak dikenakan pajak. Yang apabila tidak dikenakan pajak,
berarti maka sesuai dengan ketentuan pasal 4 ayat (3) huruf (e) Undang-undang
Nomor 36 tahun 2008 tentang perubahan keempat atas Undang-undang nomor 7
tahun 1983 tentang pajak penghasilan.
Akan tetapi perbedaan tersebut tidak seharusnya diberlakukan mengingat
bagaimanapun berapa lama jangka waktu pertanggungan suatu asuransi jiwa, suatu
produk asuransi tetap dikemas didalam suatu pertanggungan, karena hidup dan
matinya seseorang yang dipertanggungkan. Penentuan jangka waktu tiga (3) tahun
51
tersebut tidak memiliki dasar alasan yang kuat. Terlihat pula adanya pemotongan
Pajak Penghasilan (PPh) atas manfaat asuransi jiwa berupa manfaat tabungan yang
tidak memenuhi prinsi keadilan karena dalam kenyataannya sebagian produk
asuransi jiwa pada awal tahun sampai dengan tahun ketiga (3) umumnya mempunyai
nilai yang relatif kecil atau bahkan tidak ada nilainya dan jumlahnya masih dibawah
jumlah premi yang dibayarkan karena nilai tunainya belum terbentuk oleh sebab
masih digunakan untuk membiayai biaya administrasi dan biaya komisi agen
asuransi.
Dan dapat juga terlihat adanya perbedaan perlakuan diantara para wajib pajak
yang sama-sama menjadi pemegang polis asuransi jiwa. Hal ini dibedakan oleh
jangka waktu pembayaran manfaat asuransi, padahal kenyataan di lapangan saat ini
sebagian besar produk asuransi jiwa pada awal tahun sampai dengan tahun ketiga (3)
pada umumnya mempunyai nilaiu yang kecil atau bahkan mungkin tidak ada nilainya
(belum terbentuk nilai tunainya).
Menurut keterangan dari pejabat lingkungan asuransi jiwa, yaitu bahwa
adanya perlakuan Pajak Penghasilan (PPh) terhadap manfaat asuransi jiwa yang
terdapat didalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-09/PJ.42/1997
tanggal 23 Juli 1997 adalah karena adanya desakan dari lembaga keuangan bukan
asuransi yang pada umumnya bank untuk mempersamakan perlakuan manfaat
asuransi dengan bunga tabungan atau deposito. Hal tersebut dilakukan agar para
nasabahnya tidak mengalihkan dananya ke perusahaan asuransi mengingat adanya
kondisi krisis ekonomi saat itu.
Selain itu aspek pemajakan atas manfaat asuransi jiwa menurut Surat Edaran
Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-09/PJ.42/1997 tanggal 23 Juli 1997 dapat
dianggap menyebabkan terjadinya pajak berganda (double taxation). Karena hal ini
52
dapat dilihat dari premi yang dibayarkan oleh para nasabah kepada perusahaan
asuransi akan diinvestasikan oleh perusahaan jiwa tersebut. Ketika premi yang
dibayarkan oleh para nasabah selanjutnya akan diinvestasikan perusahaan asuransi
jiwa yang nantinya akan menghasilkan keuntungan, maka atas keuntungan yang
diperolah tersebut akan dikenakan pajak. Jika pada saat pemberian keuntungan
tersebut nasabah juga dikenakan pajak juga maka akan terjadi pemajakan dua kali
atas objek yang sama, yaitu hasil investasi premi yang dikumpulkan oleh perusahaan
asuransi dari nasabah. Alasan yang mendasar adalah bahwa dana berupa premi yang
disetor atau dibayarkan oleh nasabah kepada perusahaan asuransi jiwa merupakan
titipan dari nasabah untuk dikelola perusahaan asuransi jiwa. Dan juga sebenarnya
adana yang diinvestasikan oleh perusahaan asuransi jiwa adalah milik nasabah
sehingga tidak boleh dipajaki saat akan dikembalikan ke nasabah.
Karena itulah dengan adanya surat edaran tersebut akan dapat mengganggu
atau bahkan menghambat pemasaran produk asuransi yang berjangka waktu tiga (3)
tahun atau kurang, karena masyarakat akan lebih memilih untuk menabung di bank.
Padahal, masyarakat yang lebih memilih produk asuransi juga dapat menguntungkan
phak bank, karena dana yang diperoleh oleh perusahaan asuransi itu akan
diinvestasikan kepada bank itu sendiri. Berikut adalah tabel data jumlah investasi
(ada di halaman berikutnya):
53
Tabel 4.5
Data Jumlah Investasi
PT Asuransi Jiwa Bringin Sejahtera - Per 31 Desember 2011 dan 2010
Jumlah Investasi (dalam
No.
jutaan rupiah)
Jenis Investasi
2011
2010
1
Deposito Berjangka dan Sertifikat Deposito
377.833
431.094
2
Saham
44.092
39.379
3
Obligasi dan MTN
573.665
406.625
1.202.968
971.976
Surat Berharga yang Diterbitkan dan
4
Dijaminkan oleh Pemerintah
Surat Berharga yang Diterbitkan dan
5
Dijaminkan oleh BI
0
0
6
Unit Penyertaan Reksadana
61.922
72.535
7
Penyertaan Langsung
25.110
25.247
Bangunan dengan Hak Strata/Tanah dengan
8
Bangunan untuk Investasi
8.515
20.325
9
Pinjaman Hipotik
0
0
10
Pinjaman Polis
570
586
11
Pembiayaan Murabahah
0
0
12
Pembiayaan Mudharabah
0
0
13
Investasi Lain
0
425
Jumlah Investasi
2.294.675
1.968.192
Sumber: Laporan Keuangan BRIngin Life
54
Tabel 4.6
Data Jumlah Investasi
PT Asuransi Jiwa Bringin Sejahtera - Per 31 Desember 2012 dan 2011
Jumlah Investasi (dalam
No.
jutaan rupiah)
Jenis Investasi
2012
2011
1
Deposito Berjangka dan Sertifikat Deposito
525.818
377.433
2
Saham
106.485
44.092
3
Obligasi dan MTN
1.144.791
574.064
1.172.043
1.202.968
Surat Berharga yang Diterbitkan dan
4
Dijaminkan oleh Pemerintah
Surat Berharga yang Diterbitkan dan
5
Dijaminkan oleh BI
0
0
6
Unit Penyertaan Reksadana
82.216
61.922
7
Penyertaan Langsung
25.481
25.023
Bangunan dengan Hak Strata/Tanah dengan
8
Bangunan untuk Investasi
23.170
8.515
9
Pinjaman Hipotik
0
0
10
Pinjaman Polis
568
570
11
Pembiayaan Murabahah
0
0
12
Pembiayaan Mudharabah
0
0
13
Investasi Lain
0
0
Jumlah Investasi
3.080.572
2.294.587
Sumber: Laporan Keuangan BRIngin Life
55
Dapat terlihat dari tabel-tabel diatas bahwa investasi pada deposito berjangka
dan sertifikat deposito memiliki nominal yang lumayan besar, walaupun bukan
investasi utama, deposito berjangka dan sertifikat deposito mempunyai peranan yang
signifikan terhadap kegiatan investasi perusahaan asuransi jiwa.
Kemudian didalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE09/PJ.42/1997 tanggal 23 Juli 1997 memperlihatkan bahwa perlakuan pajak
penghasilan terhadap manfaat asuransi jiwa tidak memperlihatkan ketidaknetralitasan
suatu aturan perpajakan. Berdasar prinsip asas kenetralitasan mengatakan bahwa
pajak haruslah terbebas dari distorsi, baik distorsi produksi, distorsi konsumsi, dan
distorsi faktor-faktor lainnya. Artinya pajak seharusnya tidak boleh mempengaruhi
pilihan para masyarakat untuk melakukan konsumsi dan juga tidak mempengaruhi
pilihan-pilihan para produsen untuk menghasilkan barang-barang dan jasa, serta
tidak mengurangi semangat orang untuk bekerja.
Didalam surat edaran tersebut, dapat terlihat jelas bahwanya masyrakat
disudutkan untuk memilih untuk membeli produk asuransi yang jangka waktunya
lebih dari tiga (3) tahun. Padahal tidak semua para masyarakat yang membeli produk
asuransi mampu untuk membayar premi pertanggungan lebih dari tiga (3) tahun. Dan
hal ini disebabkan adanya perbedaan daya beli masyrakat itu sendiri. Jika akhirnya
masyarakat tidak mampu untuk membayar premi pada tahun ketiga dan seterusnya
maka ia akan kehilangan uang pertanggungan yang telah ia bayarkan di tahun
pertama dan kedua. Dari sisi pemegang polis ini tentu merugikan mereka, sehingga
ini bertentangan dengan asas netralitas. Padahal seharusnya kebijakan ini dibuat tidak
bertentangan dengan asas netralitas.
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-09/PJ.42/1997 tanggal 23 Juli
1997 dibuat dan ditetapkan untuk memotong pajak penghasilan atas manfaat asuransi
56
jiwa berupa manfaat tabungan tidak sesuai dengan prinsip kepastian dalam
pemungutan
pajaknya,
karena
tidak
mempunyai
kepastian
hukum
yang
melandasinya. Selain itu Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE09/PJ.42/1997 tanggal 23 Juli 1997 tidak mempunyai kepastian mengenai objek
pajak yang dimaksud ketentuan ini, sebenarnya manfaat asuransi jiwa yang diterima
oleh pemegang polis adalah murni merupakan penggantian atau santunan atas
terjadinya resiko yang dialami oleh pemegang polis yang telah tertulis dan
dinyatakan dalam suatu perjanjian polis. Sehingga pengertian penggantian atau
santunan tidak sama dengan penghasilan atau bunga tabungan.
Pelaksanaan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-09/PJ.42/1997
tanggal 23 Juli 1997 juga tidak sesuai dengan asas ekonomis dalam suatu
pemungutan pajak, dimana suatu pemngutan pajak tidak boleh mengganggu
keseimbangan dalam kehidupan ekonomi, dalam arti pemungutan pajak jangan
sampai menghambat kelancaran produksi dan perdagangan. Dalam hal ini, produk
asuransi yang berjangka waktu kurang ataupun sama dengan tiga (3) tahun akan
terhambat pemasarannya, karena orang akan tersudutkan pada pilihan menabung di
bank. Padahal kenyataannya instrumen investasi dilakukan juga dalam bentuk
deposito bank yang dilakukan oleh perusahaan asuransi jiwa dimana dana yang
diinvestasikan perusahaan asuransi jiwa sebenarnya adalah dana masyrakat yang ikut
serta dalam asuransi jiwa.
57
Download