Volume 3 No. 1 Juni 2015 HUBUNGAN PENDIDIKAN DENGAN STRAFIKASI SOSIAL DAN MOBILITAS SOSIAL DALAM MASYARAKAT St.Marwiyah IAIN Palopo Abstrak: Eksistensi pendidikan dalam kaitannya dengan proses stratikasi sosial dan mobilitas sosial tidak dapat dipisahkan satu sama lain, karena pendidikan adalah suatu kegiatan yang dilakukan oleh manusia dewasa dalam arti ilmu pengetahuan. Semakin tinggi ilmu pengetahuan manusia, maka mereka semakin berpeluang menduduki stratifikasi sosial yang semakin tinggi pula dalam berbagai aspeknya, demikian pula manusia yang memiliki tingkat pendidikan dan ilmu pengetahuan yang tinggi, mereka dapat mengalami mobilitas sosial ke arah yang lebih baik dalam perjalanan di pentas permukaan bumi ini. Kata Kunci: Pendidikan, Stratifikasi, Mobilisasi, Pendidikan adalah suatu aktivitas sejak adanya manusia, dan ia dapat mempengaruhui strafikasi sosial maupun mobilitas sosial dalam masyarakat. Hal itu dapat dipahami, ketika Allah swt., memberikan ketegasan kepada. para Malaikat bahwa kamu sama sekali tidak mengetahui apa yang saga ketahui. Kemudian Allah Swt., mengajarkan semua nama di atas langit dan bumi kepada Nabi Adam a.s, selanjutnya Allah swt., memerintahkan Adam a.s, mengajarkan nama-nama tersebut kepada para Malaikat (QS. (3): 3 1 -11). Allah swt., dalam hal ini boleh dikata sebagai pendidik pertama. yang Maha. Mutlak. Adam a.s, pada awalnya sebagai murid tunggal Allah Swt. Pada tahap berikutnya Adam a.s, menjadi guru yang kedua, sedang para Malaikat adalah murid-murid Nabi Adam a.s. materi yang diajarkannya kepada para Malaikat adalah semua nama yang ada di langit dan di bumi. Dari paparan tersebut di atas dapat dikatakan bahwa semua materi pendidikan (ilmu pengetahuan) adalah milik Allah swt. Tujuan pendidikan (Islam) adalah membentuk manusia menjadi tenaga yang terampil, baik teoritis maupun praktis demi kepentingan individu dan sosial (masyarakat), bahkan untuk negara. Dalam buku Falsafah Pendidikan Islam dikatakan bahwa pendidikan bertujuan mengubah tingkah laku individu dalam kehidupan pribadinya dan kehidupan kemasyarakatannya serta kehidupan alam sekitarnya melalui proses pendidikan yang berdasarkan kepada nilai-nilai Islam (Hasan Langgulung, 1979 : 399). Dalam Undang-Undang Tentang Sistem Pendidikan Nasional dikatakan bahwa tujuan pendidikan Nasional adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti yang luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggungjawab kemasyarakatan dan kebangsaan (UUD Sisdiknas, 1992 : 4). Jadi pada, dasarnya tujuan pendidikan demi kepentingan individu, sosial, kemasyarakatan dan bahkan kebangsaan. 16 Jurnal Pendidikan ‘IQRA’ Salah seorang pakar pendidikan mengemukakan tiga, tujuan pendidikan yaitu; (1) Tujuan individu yang menyangkut individu melalui proses belajar dalam rangka mempersiapkan dirinya dalam kehidupan dunia dan akhirat; (2) Tujuan sosial yang berhubungan dengan kehidupan masyarakat; (3) Tujuan profesional yang menyangkut pengajaran sebagai ilmu seni serta profesi dan sebagai suatu kegiatan dalam. masyarakat (M.Arifin, 1996 : 42). Kalau tujuan pendidikan adalah demi kepentingan individu dan sosial (masyarakat) maka Sosiologi, objek penelitiannya yang paling utama adalah kehidupan sosial, baru kehidupan individu. Abdulsyani mengutip buah pikirannya Soedirman yang mengatakan bahwa manusia, adalah makhluk hidup Tuhan, dilengkapi dirinya dengan kelengkapan hidup, seperti raga, ras, dan rasio serta rukun. Rukun atau hidup dengan individu lainnya secara damai, harmonis, dan saling melengkapi. Rukun adalah perangkat yang dapat mempengaruhi untuk dapat membentuk kelompok sosial yang biasa disebut masyarakat (Abdulsyani, 1997 : 25-26). Jadi individu sebagai manusia adalah makhluk yang mempunyai naluri untuk senantiasa hidup bersama dengan sesamanya. Dalam hidup bermasyarakat ada dua faktor yang bisa mempengaruhi tedadinya status sosial dalam masyarakat. Kedua faktor tersebut adalah; (1) Faktor kelahiran atau keturunan yang berlaku terus menerus, diwarisi dari generasi ke generasi; (2) Faktor pendidikan yang bisa merubah status sosial seseorang dalam masyarakat (Dwi Narwoko Bagong Suyanto, 2004 : 1370). Faktor pendidikan mempengaruhi status sosial, jauh lebih besar pengaruhnya dibandingkan faktor keturunan. Bahkan faktor pendidikan bisa menjadikan keberadaan stratifikasi sosial dalam masyarakat serta mobilitas sosial dalam masyarakat. A. Pendidikan Ary A. Gunawan telah mengutip defmisi pendidikan yang dikemukakan oleh Lengeveld, bahwa pendidikan adalah proses mendewasakan anak. Selanjutnya menurut Romo Dwijarkoro, pendidikan adalah proses memanusiakan manusia muda. Menurut Ary, bahwa pada defenisi pertama, pendidikan hanya bisa dilakukan oleh orang yang lebih dewasa kepada anak-anak. Menutup kemungkinan seorang anak yang sudah pintar, bisa mengajar orang dewasa yang masih bodoh (buta huruf). Pada definisi kedua, masih dipengaruhi oleh Lengeveld sehubungan dengan adanya kata “muda” sebab seolah-olah orang yang sudah dewasa tidak perlu untuk diajar. Menurut Ary, pendidikan adalah merupakan proses memanusiakan manusia secara manusiawi yang harus disesuaikan dengan kondisi dan perkembangan zaman (Ary A.Gunawan, 2000 : 55). M. Arifin dalam, bukunya. “Pendidikan Islam”, mengemukakan tiga tujuan pendidikan yaitu; (1) Tujuan individu melalui proses belajar dalam rangka mempersiapkan dirinya untuk kehidupan dunia dan akhirat; (2) Tujuan sosial yang berhubungan dengan kehidupan masyarakat; (3) Tujuan profesional yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat (M.Arifin, 1996 : 42). 17 Volume 3 No. 1 Juni 2015 Dari beberapa pendapat pakar pendidikan tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa pendidikan adalah memanusiakan manusia secara manusiawi, baik individu maupun sosial (masyarakat). Oleh karena itu, pendidikan memiliki beberapa fungsi sebagai berikut bila dikaitkan dengan kehidupan sosial (masyarakat). 1. Pendidikan Salah Satu Sarana Penentu Lingkungan Sosial Pendidikan adalah sarana yang terbesar dalam menentukan lingkungan sosial. Jika seorang siswa bedumpa dengan siswa lain, maka tedadilah interaksi sosial secara individu dengan individu. Seorang guru yang sedang mengajar anak didiknya dalam kelas, akan muncul interaksi sosal secara individu dan kelompok dan jika dilaksanakan pertandingan sepak bola antar kelas, maka muncullah interaksi sosial secara kelompok dan kelompok. Jadi ketiga bentuk interaksi sosial di atas adalah merupakan hubungan antara orang perorangan, antara, kelompok-kelompok manusia maupun antara, orang-orang perorangan dengan kelompok manusia (Soerjono Soekanto, 2000: 67). Dalam masyarakat primitif tidak ada pendidikan formal yang tersendiri, Setiap anak harus belajar dari lingkungan sosialnya dan harus menguasai sejumlah kelakuan yang diharapkan suatu saat dia bisa bertanggungjawa terhadap lingkungannya. Sebaliknya dalam masyarakat yang sudah maju, kebanyakan perilaku dan pola kelakuan yang pokok dalam kebudayaan dipelajari melalui proses pendidikan, atau sosialisasi informal. Bahasa kebiasaan makan, dan kepribadian fundamental sebagian besar diperoleh melalui pendidikan informal. Jadi semakin tinggi pendididikan seseorang, maka semakin tinggilah kedudukan sosialnya dalam masyarakat, sebaliknya jika tidak ada, pendidikannya berarti kedudukannya atau status sosialnya sangat rendah dalam masyarakat. 2. Pendidikan sebagai Daya Pengubah Menyampaikan, meneruskan atau mentransmisi kebudayaan adalah tugas pendidikan, seperti tradisi nenek moyang yang diteruskan ke generasi muda. Pendidikan melalui sekolah mendidik generasi muda agar bisa menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan yang cepat akibat perkembangan ihnu pengetahuan dan teknologi. Dernikian pula, pendidikan melalui sekolah bertugas sebagai “agent of change”, lembaga pengubah. Perubahan dari negara agraris menjadi negara industri, memerlukan orientasi barU bagi sekolah kejuruan yang menyediakan tenaga kerJa yang sesuai dengan kepentingan negera industri. Dalam kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi pendidikan memegang peranan yang amat penting sebagai “agent of change” untuk membawa perubahan-perubahan sosial. Namun dalam hal norma-norma sosial seperti struktur keluarga, agama dan filsafat bangsa, pendidikan cenderung mempertahankan yang lama untuk mencegah terjadinya perubahan yang bisa mengancam keutuhan negara. 3. Pendidikan dan Pembaharuan Masyarakat 18 Jurnal Pendidikan ‘IQRA’ Yang dirnaksud di sini adalah aspek-aspek kehidupan dalam masyarakat. Aspek-aspek kehidupan tersebut sangat erat kaitannya dengan kebudayaan. Jadi jika dikatakan perubahan masyarakat, artinya perubahan-perubahan kebudayaan yang ads dalam masyarakat tersebut. M. Arifin Noor mengutip ulasan Selosoemarjan dan Soelaiman Sumardi yang mengatakan bahwa kebudayaan adalah semua hasil karya, rasa dan cipta masyarakat. Karya menghasilkan teknologi dan kebudayaan kebendaan atau kebudayaan jasmaniah yang diperlukan manusia untuk menguasai alam sekelilingnya untuk keperluan masyarakat. Rasa yang berkaitan dengan jiwa manusia mewujudkan segala kaidah-kaidah dan nilai-nilai kemasyarakatan dalam arti yang luas, misalnya agama, ideologi, kebatinan, kesenian dan semua unsur hasil ekspresi dari jiwa manusia sebagai anggota masyarakat. Cipta merupakan kemampuan mental, kemampuan beripikir yang bisa meghasilkan filsafat dan ilmu pengetahuan, baik murni maupun terapan (M.Arifin Noor, 1999 : 55). Jadi masyarakat dan kebudayaan tidak bisa dipisahkan. Kebudayaan ada jika masyarakat itu ada dan demikian sebaliknya. Kebudayaan itu ada jika ada pelatihan-pelatihan atau pendidikan dalam masyarakat. yang berbentuk nonformal dan informal atau formal. Oleh karena itu semakin maju pendidikan dalam masyarakat, semakin cepat perubahan-perubahan itu tedadi dan akan muncul pelapisan sosial dalam masyarakat. Dan jika pendidikan itu berupa sekolah kejuruan, setelah tamat nanti dan siswa-siswanya dibutuhkan pada salah satu perindustrian, maka ter adilah mobilitas sosial dari anak-anak agraris menjadi tenaga buruh pada pabrik-pabrik. B. Stratifikasi Sosial Dalam buku-buku, “Ilmu Sosial Dasar” dijelaskan, bahwa stratifikasi berasal dari kata “Stratus” yang artinya lapisan (berlapis-lapis), sehingga stratifikasi sosial berarti pelapisan masyarakat ( M.Arifin Noor, 1999 : 154). Dalam buku, “Social and Cultural Mobility” yang dikarang oleh Pitirdn A. Sorokin, dikatakan bahwa kata stratification berasal dari stratum jamaknya “strata” berarti (lapisan). Lanjut dia katakan bahwa sistem dalam masyarakat ciri yang tetap dan umum dalam masyarakat, yang hidup teratur. Barang siapa yang memiliki sesuatu yang banyak dan paling berharga, berada dalam lapisan teratas. Sebaliknya prang-prang yang memiliki sesuatu yang sedikit atau sama sekali tidak ada, berada dalam lapisan terendah. Diantara lapisan teratas dan terendah ada lapisan yang ditentukan sendiri oleh mereka sendiri yang hendak mempelajari sistem pelapisan tersebut (Soerjono Soekanto, 2000 : 251-252). Bahkan pada zaman kunopun stratifikasi sosial sudah dikenal oleh masyarakat. Filosof Aristoteles (Yunani) mengatakan bahwa dalam negara terdapat tiga unsur, yaitu mereka yang kaya sekali, yang melarat dan yang berada di tengah-tengahnya (Soerjono Soekanto, 2000 : 251) Dari penjelasan-penjelasan pakar sosiologi tersebut di atas, jelas bahwa stratifikasi sosial itu ada sejak kapan manusia itu hidup berkelompok-kelompok atau bermasyarakat. Pelapisan masyarakat sangat ditentukan oleh sesuatu yang dimiliki oleh seseorang yang nilainya sangat tinggi atau rendah. Pelapisan dalam 19 Volume 3 No. 1 Juni 2015 masyarakat pada umumnya terdiri dari lapisan teratas dan lapisan terendah dan lapisan yang berada diantara keduanya. Berikutnya adalah bagaimana caranya untuk mengetahui golongan sosial dalam masyarakat atau pelapisan sosial. Menurut S. Nasution, untuk menentukan golongan sosial masyarakat, ada tiga metode yaitu; (1) Metode objektif, (2) Metode subyektif, (3) Metode reputasi. Metode objektif. Stratifikasi ditentukan oleh kriteria objektif, diantaranya jumlah pendapatan, pendidikan tinggi (lamanya), jenis pekerjaan. Keterangan ini bisa diperoleh ketika dilakukan senses penduduk. Contohnya penelitian (tahun 1954), di Amerika Serikat, hasilnya Dokter, Gubernur Negara Bagian, Professor, Ilmuan dan Anggota Kongres menduduki lapisan teratas. Anggota DPR dan pars guru menempati lapisan terendah. Kapten Tentara, pemain orkes dan kontraktor menempati lapisan diantara keduanya. Metode subyektif Stratifikasi ditentukan oleh anggota masyarakat masingmasing. Setiap orang ditanya, apakah dia berada di hierarki sosial yang mana, hierarki atas, rendah, atau tengah. Metode reputasi. Stratifikasi masyarakat melalui metode ini, yakni anggota masyarakatlah yang menentukan setiap orang berada pada pelapisan sosial yang mana. Apa dia berada pada pelapisan sosial tertinggi, terendah atau berada pada lapisan sosial diantara keduanya (S.Nasution, 2004 : 26-27). Kemudian bagaimana caranya mengukur pelapisan masyarakat dari segi statusnya. Menurut Pitirin Sorokin ada enam sumber tempat bisa mengukur stratifikasi sosial dari segi status yaitu; 1. Jabatan atau pekedaan. 2. Pendidikan dan luasnya i1mu pengetahuan 3. Kekayaan 4. Politis 5. Keturunan dan 6. Agama ( Dwi Narwoko Bagong Suyanto, 2004 : 136-137). Selanjutnya dilihat dari segi sifat sistem lapisan masyarakat maka ada lapisan sosial dengan sistem sifat tertutup (closed stratification) dan ada sistem sifat terbuka (open social stratification). Sistem tertutup hanya bisa seseorang berpindah dari lapisan yang satu ke lapisan yang lain dengan cars hubungan langsung pisik (kelahiran). Pada lapisan Sistem terbuka, peluang untuk naik dari lapisan rendah ke lapisan teratas sangat luas. Sebaliknya untuk jatuh dari lapisan teratas ke lapisan terendah bisa saja ter adi. Tergatung kepada sesuatu yang dimiliki (apakah kekayaan, jabatan, peker aan atau pendidikan) yang mendapat penghargaan yang tinggi dari masyarakat. Sistem pelapisan sosial yang sangat tertutup terdapat pada agama Hindu, masing-maing adalah; Brahmana, Ksatria,Waicia, dan. Sudra. Kriteria-kriteria khusus agama Hindu yang terdapat di India yaitu; a) Keanggotaan pada kasta diperoleh melalui kelahiran menurut status kasta orang tua. b) Keanggotaan kasta yang diwariskan tadi, tidak bisa berubah, kecuali ada orang yang dipecat demi keanggotaannya. c) Perkawinan harus sekasta atau bersifat endogam 20 Jurnal Pendidikan ‘IQRA’ d) Hubungan antara kasta dengan kasta lainnya terkadang tertutup. e) Setiap anggota kasta sangat disiplin dalam menjaga batas-batas yang telah ditentukan. f) Kedudukan-kedudukan telah ditetapkan sesuai dengan pelapisan kastanya. g) Pretise suatu kasta benar-benar diperhatikan ( Soerjono Soekanto, 2000 : 256-257). Pelapisan sosial dalam agama Hindu dengan empat bentuk kasta, antara kasata dengan lainnya sangat tertutup. Artinya tidak dibenarkan menikah atau mengadakan hubungan kasta. rendahan (Sudra) dengan kasta-kasta lainnya. Kita mencoba kcmbali ke zaman penjajahan Belanda, sistem pelapisan sosial sangat dirasakan oleh rakyat Indonesia. Abuddin Nata mengatakan bahwa salah sate tujuan Belanda mendirikan sekolah adalah mempertahankan perbedaanperbedaan sosial di kalangan elit Belanda (Eropa) dengan pribumi umat Islam (Abuddin Nata, 2003 : 15). Kemudian Sumarsono Mestoko mengatakan diskriminasi sosial (lapisan sosial) nampak sekali bila dilihat dari sekolah-sekolah yang didirikan oleh Belanda sekolah kelas I atau sekolah Raja hanya diperuntukkan anak-anak bangsawan, tokoh-tokoh terkemuka, dan para anak-anak Belanda, sedangkan sekolah kelas II yang biasa disebut Ongko Lomo, khusus untuk rakyat biasa (Soemarsono Mestoko, 1997 : 52). Selanjutnya Dody S menjelaskan pelapisan sosial yang nampak pada, sekolah-sekolah yang didirikan Belanda diantaranya; (1) Eropeesche Lagere Schoal /ELS adalah sekolah khusus ras Eropa, (2) Hollendsch Chinese Schoal, sekolah khusus ras China dan keturunan Asia Timur, (3) Holandsch Inlandsche Schoal, sekolah khusus pribumi dari kalangan ningrat, (4) Inlandsch Schoal adalah sekolah khusus pribumi untuk rakyat biasa (Dody S.Truna, 2002 : 247) Pelapisan sosial pada zaman Belanda hampir pada, semua asepk kehidupan untuk mempermudah pemerintahannya. Di samping pelapisan sosial yang berdasarkan kelahiran yang diwariskan turun temurun. Belanda jugs menciptakan pelapisan-pelapisan sosial, seperti Opu, Andi, Karaeng, Puang, dan Raja dengan tujuan untuk mempermuda pemerintahannya. Belanda jika mau memanggil pendudul suatu daerah, maka cukup dengan perintah kepada Karaeng atau Opu, maka semua penduduk bisa berkumpul. Demikian pula jika Belanda mau menghancurkan satu kerajaan maka Belanda cukup mengadu domba rajanya, maka terjadilah peperangan. C. Mobilitas Sosial Ary A. Gunawan mengutip definisi mobilitas sosial yang dikemukakan Henry Clay Smith dan Haditono. Menurut Henry, mobilitas sosial (gerak sosial) ialah gerak dalam struktur sosial dalam kaitan hubungan antara individu dengan kelompoknya (Ary A.Gunawan, 2000 : 43). Sedang menurut Haditono, yang dimaksud mobilitas sosial adalah perpindahan seorang atau sekelompok orang ke kedudukannya yang satu kekedudukan yang lain. Kedudukan bisa berarti situasi tempat, atau status ( Ary A.Gunawan, 2000 : 43). Selanjutnya menurut Horton dan Hunt, mobilitas dapat diartikan sebagai gerak perpindahan dari satu kelas sosial ke kelas sosial lainnya. Mobilitas sosial 21 Volume 3 No. 1 Juni 2015 bisa berarti peningkatan atau penurunan dalam segi status sosial (biasanya) termasuk pula segi penghasilan yang dapat dialami oleh beberapa individu atau keseluruhan anggota kelompok (Soerjono Soekanto, 2000 : 188). Jadi mobilitas sosial adalah perpindahan status sosial, apakah secara horizontal atau vertikal, apakah secara individu atau kelompok dari satu status sosial ke status sosial lainnya. Perpindahan status sosial bisa tedadi oleh karena harts kekayaan, jabatan, pendidikan dan ilmu pengetahuan, agama atau dengan kata lain mobilitas sosial bisa terjadi sebab seseorang memiliki sesuatu yang diberi nilai tinggi sekali (penghargaan) oleh masyarakat. Namun agama (Hindu), termasuk pelapisan sosial dalam masyarakat yang sukar sekali tedadi mobilitas sosial karena antara satu kasta dengan kasta lainnya tidak boleh tedadi mobilitas sosial. Selanjutnya mobilitas sosial dapat dibagi oleh pakar Sosiologi dengan beberapa bagian. Menurut arahnya PA. Sorokin membagi mobilitas sosial ke dalam dua bagian yaitu; 1. Mobilitas horisontal (sejajar/mendatar), merupakan perpindahan dari kedudukan yang satu ke kedudukan lain yang sejajar. 2. Mobilitas vertikal, meliputi; a. Social climbing -Dari status rendah ke status yang tinggi, di mana status yang tinggi itu telah ada sebelumnya -Membentuk kelompok atas (status) baru; karena status yang lebih di atas belum ada (promosi) b. Social sinking, yang meliputi; - Dari kelompok status sosial yang tinggi kepelapisan sosial yang terendah (demosi). - Derajat kelompoknya menurun (Ary A.Gunawan, 2000 : 44-45). Menurut Horton dan Hunt, tingkat mobilitas sosial dilihat dari segi kemasyarakat, terbagi atas dua bagian, yaitu; (1). Pada masyarakat yang bersistem kelas sosial terbuka maka tingkat mobilitas sosial warga masyrakat akan cenderung tinggi, (2) Tetapi pada tingkat mobilitas sosial kelas tertutup, seperti masyarakat bersistem kasta, maka tingkat mobilitas sosial warga masyarakatnya cenderung sangat rendah dan sangat sukar diubah ( Dwi Narwoko Bagong Suyanto, 2004 : 188). Demikian pula bila dikaitkan dengan pendidikan maka pada tingkat mobilitas sosial terbuka akan mendapatkan tempat yang sangat luas. Pendidikan sangat menentukan mobilitas sosial pada tingkat yang teratas . Semakin tinggi pendidikan seseorang, maka semakin mudahlah baginya melakukan mobilitas sosial ke tingkat yang paling teratas sebaliknya semakin rendah pendidikan seseorang maka dia melakukan mobilitas sosial ketingkat terendah. Pada tingkat mobilitas sosial yang tertutup, seperti pada masyarakat Hindu, maka mobilitas sosial sangat sukar terjadi sekalipun yang bersangkutan memiliki pendidikan yang tinggi. Menurut Pitirin A. Sorokin bahwa mobilits sosial secara vertikal dapat disalurkan lewat beberapa saluran yang terpenting sebagai berikut; 22 Jurnal Pendidikan ‘IQRA’ 1) Melalui Angkatan Bersenjata. Dalam setiap keadaan perang, maka hukum yang berlaku adalah hukum darurat, setiap aturan yang berlaku boleh saja dilanggar demi kepentingan negara. Seluruh pasukan, jika berhasil mengalahkan musuh-mush mereka, maka mereka akan dinaikkan pangkat mereka ke tingkat teratas. Sebaliknya apabila mereka kalah dan berhasil kembali ke negara, maka pangkat mereka diturunkan. Maka tedadilah mobilitas sosial ke tingkat terendah. 2) Lembaga pendidikan. Pendidikan merupakan sarana yang ampuh untuk menjadikan manusia memiliki ilmu pengetahuan dan teknologi. Degan ilmu dan teknologi manusai dapat mengelolah kandungan alam. ini. Maka otomatis bagi manusia yang memiliki ilmu dan teknologi dalam masyarakat sistem pelapisan sosialnya terbuka, akan naik ke pelapisan sosial tingkat teratas dan demikian sebaliknya. 3) Lembaga-lembaga keagamaan. Dalam masyarakat yang dikuasai oleh agama Hindu, lembaga agama merupakan iembaga yang statis, tidak bisa berubah. Pelapisan sosial sudah di atur dalam empat kasta yang bersifat permanen, sep--fti Brahma, Ksatria, Waica dan Sudra. Agama Islam mempunyai peluang lugs dalam mobilitas sosial, tetapi sekedar nama saja. Derajat setiap hamba dalam Islam semuanya sama. 4) Organisasi politik. Lembaga ini merupakan tempat pertarungan untuk menciptkan keberadaan mobilitas sosial secara vertikal ke tingkat teratas. Dari rakyat biasa menjadi anggota DPR, menjadi 'Gubernur, menjadi Menteri dan akhirnya sampai ke Presiden, dengan syarat memiliki ijazah yang sah melalui pendidikan. 5) Organisasi ekonomi. Lembaga ini, baik yang bergerak dalam bidang perusahaan maupun dalam bidang jasa, sangat terbuka bagi aggotaanggotanya untuk melakukan mobilitas sosial secara vertikal. Tergantung masing-masing profesi apa yang dimiliki berkaitan dengan ekonomi (Dwi Narwoko Bagong Suyanto, 2004 : 190-191). Jadi kelima saluran mobilitas sosial bisa terjadi bila diusahakan melalui pendidikan terkecuali masyarakat yang dikuasai agama Hindu dimana pelapisan masyarakat tersediri dari kasta yang berdasarkan kepada kelahiran yang diwariskan terdiri dari generasi ke generasi tanpa melihat pendidikannya. D. Penutup Dari berbagai uraian di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut ; 1. Pendidikan adalah usaha manusia untuk memanusiakan manusia dalam proses belajar mengajar yang disesuaikan dengan kondisi dan perkembangan zaman. a. Pendidikan dan perubahan masyarakat, tidak bisa dipisahkan, sebab pembaharuan dan kebudayaan erat sekali hubungannya. Pembaharuan di lakukan melalui kebudayaan dengan latihan-latihan pada tempat pendidikan informal dan non formal serta pendidikan formal di sekolahsekolah. b. Pendidikan adalah agent of change (lembaga pengubah). Pada masyarakat primitif lembaga pendidikan formal belum ada, sehingga masih ada 23 Volume 3 No. 1 Juni 2015 keterlambatan-keterlarnbatan di berbagai apek kehidupan. Sebaliknya, pada, masyarakat, modern segala, lembaga pendidikan sudah ada, sehingga masyarakat mengalami, kemajuan-kemajuan di berbagai aspek kehidupan. c. Pendidikan adalah penentu lingkungan sosial. Pada masyarakat yang tertutup, seperti masyarakat yang dikuasai agama Hindu akan terjadi jurang pemisah antara kasta yang bisa sekolah dengan kasta yang tidak bisa sekolah. Pada kasta yang bisa sekolah berada pada pelapisan sosial teratas dan demikian sebaliknya. Namun pada masyarakat terbuka, pelapisan sosialnya pada tingkat teratas, sebab mereka maju karena pendidikan. 2. Keberadaan stratifikasi sosial, sejak adanya manusia, baik secara individu maupun secara kelompok. Stratifikasi sosial dalam masyarakat sangat ditentukan oleh sesuatu yang banyak dan mendapat penilaian yang tinggi dari masyarakat. a. Untuk mengetahui pelapisan sosial dalam masyarakat, kita dapat melakukannya dengan metode obyektif, subyektif dan metode reputasi. b. Pelapisan sosial dapat diukur melalui statusnya seperti kekayaan, ilmu pengetahuan dan pendidikan, jabatan/pangkat, politik, keturunan dan agama. 3. Mobilitas sosial adalah perpindahan seseorang individu/atau kelompok dari pelapisan sosial masyarakat ke pelapisan sosial yang lain. Baik secara horisontal maupun vertikal. a. Mobilitas sosial secara vertikal terdiri dari social climbing dan social sinking. b. Mobilitas sosial bisa disalurkan melalui; Agkatan Bersenjata, lembaga pendidikan, lembaga Keagamaan, lembaga politik dan organisasi ekonomi. DAFTAR PUSTAKA Abdulsyani. Sosiologi, Skematika, Teori dan Terapan. Cet. I; Jakarta: Bumi Aksara, 1997. Arifin, M. Ilmu Pendidikan Islam, Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner. Cet. IV; Jakarta: Bumi Aksara, 1996. Gunawan, Ary A. Sosiologi Pedidikan. Cet. I; Jakarta: Rineka Cipta, 2000. Langgulung, Hasan. Falsafah Pendidikan Islam. Cet. I; Jakarta: Bulan Bintang, 1979. Mestoko, Sumarsono. Pendidikan di Indonesia dari Jaman ke Jaman. Jakarta: DIKPIKBUD, RI, 1997. Narwoko I. Dwi, Bagong Suyanto. Sosiologi, Teks Pengantar dan Terapan, Jakarta: Prenada Media, 2004. Nasution, S. Sosiologi Pendidikan. Cet. III; Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2004. Nata, Abuddin. Kapita Selekta Pendidikan Islam. Bandung: Angkasa, 2003. Noor, M. Arifin. Ilmu Sosial Dasar. Cet. II: Jakarta: PT. Pustaka Setia, 1999. Soekanto, Soejono. Sosiologi Suatu Pengantar. Cet. XYIX; Jakarta: PT. Raja Grafmdo Persada, 2000. 24 Jurnal Pendidikan ‘IQRA’ Truna, Dody, S. Pranata Islam di Indonesia. Ciputat: tp, 2002. Undang-Undang Tentang Sistem Pendidikan Nasional UU. RI. NO. 2 Tahun 1989. Jakarta: Sinar Grafika, 1992. 25