16 HUBUNGAN PENDIDIKAN DENGAN

advertisement
Volume 3 No. 1 Juni 2015
HUBUNGAN PENDIDIKAN DENGAN STRAFIKASI SOSIAL DAN
MOBILITAS SOSIAL DALAM MASYARAKAT
St.Marwiyah
IAIN Palopo
Abstrak: Eksistensi pendidikan dalam kaitannya dengan proses
stratikasi sosial dan mobilitas sosial tidak dapat dipisahkan satu sama
lain, karena pendidikan adalah suatu kegiatan yang dilakukan oleh
manusia dewasa dalam arti ilmu pengetahuan. Semakin tinggi ilmu
pengetahuan manusia, maka mereka semakin berpeluang menduduki
stratifikasi sosial yang semakin tinggi pula dalam berbagai aspeknya,
demikian pula manusia yang memiliki tingkat pendidikan dan ilmu
pengetahuan yang tinggi, mereka dapat mengalami mobilitas sosial ke
arah yang lebih baik dalam perjalanan di pentas permukaan bumi ini.
Kata Kunci: Pendidikan, Stratifikasi, Mobilisasi,
Pendidikan adalah suatu aktivitas sejak adanya manusia, dan ia dapat
mempengaruhui strafikasi sosial maupun mobilitas sosial dalam masyarakat. Hal
itu dapat dipahami, ketika Allah swt., memberikan ketegasan kepada. para
Malaikat bahwa kamu sama sekali tidak mengetahui apa yang saga ketahui.
Kemudian Allah Swt., mengajarkan semua nama di atas langit dan bumi kepada
Nabi Adam a.s, selanjutnya Allah swt., memerintahkan Adam a.s, mengajarkan
nama-nama tersebut kepada para Malaikat (QS. (3): 3 1 -11).
Allah swt., dalam hal ini boleh dikata sebagai pendidik pertama. yang Maha.
Mutlak. Adam a.s, pada awalnya sebagai murid tunggal Allah Swt. Pada tahap
berikutnya Adam a.s, menjadi guru yang kedua, sedang para Malaikat adalah
murid-murid Nabi Adam a.s. materi yang diajarkannya kepada para Malaikat
adalah semua nama yang ada di langit dan di bumi.
Dari paparan tersebut di atas dapat dikatakan bahwa semua materi
pendidikan (ilmu pengetahuan) adalah milik Allah swt. Tujuan pendidikan (Islam)
adalah membentuk manusia menjadi tenaga yang terampil, baik teoritis maupun
praktis demi kepentingan individu dan sosial (masyarakat), bahkan untuk negara.
Dalam buku Falsafah Pendidikan Islam dikatakan bahwa pendidikan
bertujuan mengubah tingkah laku individu dalam kehidupan pribadinya dan
kehidupan kemasyarakatannya serta kehidupan alam sekitarnya melalui proses
pendidikan yang berdasarkan kepada nilai-nilai Islam (Hasan Langgulung, 1979 :
399).
Dalam Undang-Undang Tentang Sistem Pendidikan Nasional dikatakan
bahwa tujuan pendidikan Nasional adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan
mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu yang beriman dan bertakwa
terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti yang luhur, memiliki
pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang
mantap dan mandiri serta rasa tanggungjawab kemasyarakatan dan kebangsaan
(UUD Sisdiknas, 1992 : 4).
Jadi pada, dasarnya tujuan pendidikan demi kepentingan individu, sosial,
kemasyarakatan dan bahkan kebangsaan.
16
Jurnal Pendidikan ‘IQRA’
Salah seorang pakar pendidikan mengemukakan tiga, tujuan pendidikan
yaitu; (1) Tujuan individu yang menyangkut individu melalui proses belajar dalam
rangka mempersiapkan dirinya dalam kehidupan dunia dan akhirat; (2) Tujuan
sosial yang berhubungan dengan kehidupan masyarakat; (3) Tujuan profesional
yang menyangkut pengajaran sebagai ilmu seni serta profesi dan sebagai suatu
kegiatan dalam. masyarakat (M.Arifin, 1996 : 42).
Kalau tujuan pendidikan adalah demi kepentingan individu dan sosial
(masyarakat) maka Sosiologi, objek penelitiannya yang paling utama adalah
kehidupan sosial, baru kehidupan individu.
Abdulsyani mengutip buah pikirannya Soedirman yang mengatakan bahwa
manusia, adalah makhluk hidup Tuhan, dilengkapi dirinya dengan kelengkapan
hidup, seperti raga, ras, dan rasio serta rukun. Rukun atau hidup dengan individu
lainnya secara damai, harmonis, dan saling melengkapi. Rukun adalah perangkat
yang dapat mempengaruhi untuk dapat membentuk kelompok sosial yang biasa
disebut masyarakat (Abdulsyani, 1997 : 25-26).
Jadi individu sebagai manusia adalah makhluk yang mempunyai naluri
untuk senantiasa hidup bersama dengan sesamanya.
Dalam hidup bermasyarakat ada dua faktor yang bisa mempengaruhi
tedadinya status sosial dalam masyarakat. Kedua faktor tersebut adalah; (1)
Faktor kelahiran atau keturunan yang berlaku terus menerus, diwarisi dari
generasi ke generasi; (2) Faktor pendidikan yang bisa merubah status sosial
seseorang dalam masyarakat (Dwi Narwoko Bagong Suyanto, 2004 : 1370).
Faktor pendidikan mempengaruhi status sosial, jauh lebih besar
pengaruhnya dibandingkan faktor keturunan. Bahkan faktor pendidikan bisa
menjadikan keberadaan stratifikasi sosial dalam masyarakat serta mobilitas sosial
dalam masyarakat.
A. Pendidikan
Ary A. Gunawan telah mengutip defmisi pendidikan yang dikemukakan
oleh Lengeveld, bahwa pendidikan adalah proses mendewasakan anak.
Selanjutnya menurut Romo Dwijarkoro, pendidikan adalah proses memanusiakan
manusia muda.
Menurut Ary, bahwa pada defenisi pertama, pendidikan hanya bisa
dilakukan oleh orang yang lebih dewasa kepada anak-anak. Menutup
kemungkinan seorang anak yang sudah pintar, bisa mengajar orang dewasa yang
masih bodoh (buta huruf). Pada definisi kedua, masih dipengaruhi oleh Lengeveld
sehubungan dengan adanya kata “muda” sebab seolah-olah orang yang sudah
dewasa tidak perlu untuk diajar.
Menurut Ary, pendidikan adalah merupakan proses memanusiakan manusia
secara manusiawi yang harus disesuaikan dengan kondisi dan perkembangan
zaman (Ary A.Gunawan, 2000 : 55).
M. Arifin dalam, bukunya. “Pendidikan Islam”, mengemukakan tiga tujuan
pendidikan yaitu; (1) Tujuan individu melalui proses belajar dalam rangka
mempersiapkan dirinya untuk kehidupan dunia dan akhirat; (2) Tujuan sosial yang
berhubungan dengan kehidupan masyarakat; (3) Tujuan profesional yang
berkaitan dengan kehidupan masyarakat (M.Arifin, 1996 : 42).
17
Volume 3 No. 1 Juni 2015
Dari beberapa pendapat pakar pendidikan tersebut di atas, dapat dikatakan
bahwa pendidikan adalah memanusiakan manusia secara manusiawi, baik
individu maupun sosial (masyarakat). Oleh karena itu, pendidikan memiliki
beberapa fungsi sebagai berikut bila dikaitkan dengan kehidupan sosial
(masyarakat).
1. Pendidikan Salah Satu Sarana Penentu Lingkungan Sosial
Pendidikan adalah sarana yang terbesar dalam menentukan lingkungan
sosial. Jika seorang siswa bedumpa dengan siswa lain, maka tedadilah interaksi
sosial secara individu dengan individu. Seorang guru yang sedang mengajar anak
didiknya dalam kelas, akan muncul interaksi sosal secara individu dan kelompok
dan jika dilaksanakan pertandingan sepak bola antar kelas, maka muncullah
interaksi sosial secara kelompok dan kelompok.
Jadi ketiga bentuk interaksi sosial di atas adalah merupakan hubungan
antara orang perorangan, antara, kelompok-kelompok manusia maupun antara,
orang-orang perorangan dengan kelompok manusia (Soerjono Soekanto, 2000:
67).
Dalam masyarakat primitif tidak ada pendidikan formal yang tersendiri,
Setiap anak harus belajar dari lingkungan sosialnya dan harus menguasai sejumlah
kelakuan yang diharapkan suatu saat dia bisa bertanggungjawa terhadap
lingkungannya.
Sebaliknya dalam masyarakat yang sudah maju, kebanyakan perilaku dan
pola kelakuan yang pokok dalam kebudayaan dipelajari melalui proses
pendidikan, atau sosialisasi informal.
Bahasa kebiasaan makan, dan kepribadian fundamental sebagian besar
diperoleh melalui pendidikan informal.
Jadi semakin tinggi pendididikan seseorang, maka semakin tinggilah
kedudukan sosialnya dalam masyarakat, sebaliknya jika tidak ada, pendidikannya
berarti kedudukannya atau status sosialnya sangat rendah dalam masyarakat.
2. Pendidikan sebagai Daya Pengubah
Menyampaikan, meneruskan atau mentransmisi kebudayaan adalah tugas
pendidikan, seperti tradisi nenek moyang yang diteruskan ke generasi muda.
Pendidikan melalui sekolah mendidik generasi muda agar bisa menyesuaikan diri
dengan perubahan-perubahan yang cepat akibat perkembangan ihnu pengetahuan
dan teknologi. Dernikian pula, pendidikan melalui sekolah bertugas sebagai
“agent of change”, lembaga pengubah.
Perubahan dari negara agraris menjadi negara industri, memerlukan
orientasi barU bagi sekolah kejuruan yang menyediakan tenaga kerJa yang sesuai
dengan kepentingan negera industri.
Dalam kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi pendidikan memegang
peranan yang amat penting sebagai “agent of change” untuk membawa
perubahan-perubahan sosial. Namun dalam hal norma-norma sosial seperti
struktur keluarga, agama dan filsafat bangsa, pendidikan cenderung
mempertahankan yang lama untuk mencegah terjadinya perubahan yang bisa
mengancam keutuhan negara.
3. Pendidikan dan Pembaharuan Masyarakat
18
Jurnal Pendidikan ‘IQRA’
Yang dirnaksud di sini adalah aspek-aspek kehidupan dalam masyarakat.
Aspek-aspek kehidupan tersebut sangat erat kaitannya dengan kebudayaan. Jadi
jika dikatakan perubahan masyarakat, artinya perubahan-perubahan kebudayaan
yang ads dalam masyarakat tersebut.
M. Arifin Noor mengutip ulasan Selosoemarjan dan Soelaiman Sumardi
yang mengatakan bahwa kebudayaan adalah semua hasil karya, rasa dan cipta
masyarakat. Karya menghasilkan teknologi dan kebudayaan kebendaan atau
kebudayaan jasmaniah yang diperlukan manusia untuk menguasai alam
sekelilingnya untuk keperluan masyarakat. Rasa yang berkaitan dengan jiwa
manusia mewujudkan segala kaidah-kaidah dan nilai-nilai kemasyarakatan dalam
arti yang luas, misalnya agama, ideologi, kebatinan, kesenian dan semua unsur
hasil ekspresi dari jiwa manusia sebagai anggota masyarakat. Cipta merupakan
kemampuan mental, kemampuan beripikir yang bisa meghasilkan filsafat dan
ilmu pengetahuan, baik murni maupun terapan (M.Arifin Noor, 1999 : 55).
Jadi masyarakat dan kebudayaan tidak bisa dipisahkan. Kebudayaan ada
jika masyarakat itu ada dan demikian sebaliknya. Kebudayaan itu ada jika ada
pelatihan-pelatihan atau pendidikan dalam masyarakat. yang berbentuk nonformal
dan informal atau formal. Oleh karena itu semakin maju pendidikan dalam
masyarakat, semakin cepat perubahan-perubahan itu tedadi dan akan muncul
pelapisan sosial dalam masyarakat. Dan jika pendidikan itu berupa sekolah
kejuruan, setelah tamat nanti dan siswa-siswanya dibutuhkan pada salah satu
perindustrian, maka ter adilah mobilitas sosial dari anak-anak agraris menjadi
tenaga buruh pada pabrik-pabrik.
B. Stratifikasi Sosial
Dalam buku-buku, “Ilmu Sosial Dasar” dijelaskan, bahwa stratifikasi
berasal dari kata “Stratus” yang artinya lapisan (berlapis-lapis), sehingga
stratifikasi sosial berarti pelapisan masyarakat ( M.Arifin Noor, 1999 : 154).
Dalam buku, “Social and Cultural Mobility” yang dikarang oleh Pitirdn A.
Sorokin, dikatakan bahwa kata stratification berasal dari stratum jamaknya
“strata” berarti (lapisan). Lanjut dia katakan bahwa sistem dalam masyarakat ciri
yang tetap dan umum dalam masyarakat, yang hidup teratur. Barang siapa yang
memiliki sesuatu yang banyak dan paling berharga, berada dalam lapisan teratas.
Sebaliknya prang-prang yang memiliki sesuatu yang sedikit atau sama sekali tidak
ada, berada dalam lapisan terendah. Diantara lapisan teratas dan terendah ada
lapisan yang ditentukan sendiri oleh mereka sendiri yang hendak mempelajari
sistem pelapisan tersebut (Soerjono Soekanto, 2000 : 251-252).
Bahkan pada zaman kunopun stratifikasi sosial sudah dikenal oleh
masyarakat. Filosof Aristoteles (Yunani) mengatakan bahwa dalam negara
terdapat tiga unsur, yaitu mereka yang kaya sekali, yang melarat dan yang berada
di tengah-tengahnya (Soerjono Soekanto, 2000 : 251)
Dari penjelasan-penjelasan pakar sosiologi tersebut di atas, jelas bahwa
stratifikasi sosial itu ada sejak kapan manusia itu hidup berkelompok-kelompok
atau bermasyarakat. Pelapisan masyarakat sangat ditentukan oleh sesuatu yang
dimiliki oleh seseorang yang nilainya sangat tinggi atau rendah. Pelapisan dalam
19
Volume 3 No. 1 Juni 2015
masyarakat pada umumnya terdiri dari lapisan teratas dan lapisan terendah dan
lapisan yang berada diantara keduanya.
Berikutnya adalah bagaimana caranya untuk mengetahui golongan sosial
dalam masyarakat atau pelapisan sosial. Menurut S. Nasution, untuk menentukan
golongan sosial masyarakat, ada tiga metode yaitu; (1) Metode objektif, (2)
Metode subyektif, (3) Metode reputasi.
Metode objektif. Stratifikasi ditentukan oleh kriteria objektif, diantaranya
jumlah pendapatan, pendidikan tinggi (lamanya), jenis pekerjaan. Keterangan ini
bisa diperoleh ketika dilakukan senses penduduk. Contohnya penelitian (tahun
1954), di Amerika Serikat, hasilnya Dokter, Gubernur Negara Bagian, Professor,
Ilmuan dan Anggota Kongres menduduki lapisan teratas. Anggota DPR dan pars
guru menempati lapisan terendah. Kapten Tentara, pemain orkes dan kontraktor
menempati lapisan diantara keduanya.
Metode subyektif Stratifikasi ditentukan oleh anggota masyarakat masingmasing. Setiap orang ditanya, apakah dia berada di hierarki sosial yang mana,
hierarki atas, rendah, atau tengah.
Metode reputasi. Stratifikasi masyarakat melalui metode ini, yakni anggota
masyarakatlah yang menentukan setiap orang berada pada pelapisan sosial yang
mana. Apa dia berada pada pelapisan sosial tertinggi, terendah atau berada pada
lapisan sosial diantara keduanya (S.Nasution, 2004 : 26-27).
Kemudian bagaimana caranya mengukur pelapisan masyarakat dari segi
statusnya. Menurut Pitirin Sorokin ada enam sumber tempat bisa mengukur
stratifikasi sosial dari segi status yaitu;
1. Jabatan atau pekedaan.
2. Pendidikan dan luasnya i1mu pengetahuan
3. Kekayaan
4. Politis
5. Keturunan dan
6. Agama ( Dwi Narwoko Bagong Suyanto, 2004 : 136-137).
Selanjutnya dilihat dari segi sifat sistem lapisan masyarakat maka ada
lapisan sosial dengan sistem sifat tertutup (closed stratification) dan ada sistem
sifat terbuka (open social stratification).
Sistem tertutup hanya bisa seseorang berpindah dari lapisan yang satu ke
lapisan yang lain dengan cars hubungan langsung pisik (kelahiran). Pada lapisan
Sistem terbuka, peluang untuk naik dari lapisan rendah ke lapisan teratas sangat
luas. Sebaliknya untuk jatuh dari lapisan teratas ke lapisan terendah bisa saja ter
adi. Tergatung kepada sesuatu yang dimiliki (apakah kekayaan, jabatan, peker aan
atau pendidikan) yang mendapat penghargaan yang tinggi dari masyarakat.
Sistem pelapisan sosial yang sangat tertutup terdapat pada agama Hindu,
masing-maing adalah; Brahmana, Ksatria,Waicia, dan. Sudra. Kriteria-kriteria
khusus agama Hindu yang terdapat di India yaitu;
a) Keanggotaan pada kasta diperoleh melalui kelahiran menurut status kasta
orang tua.
b) Keanggotaan kasta yang diwariskan tadi, tidak bisa berubah, kecuali ada
orang yang dipecat demi keanggotaannya.
c) Perkawinan harus sekasta atau bersifat endogam
20
Jurnal Pendidikan ‘IQRA’
d) Hubungan antara kasta dengan kasta lainnya terkadang tertutup.
e) Setiap anggota kasta sangat disiplin dalam menjaga batas-batas yang telah
ditentukan.
f) Kedudukan-kedudukan telah ditetapkan sesuai dengan pelapisan kastanya.
g) Pretise suatu kasta benar-benar diperhatikan ( Soerjono Soekanto, 2000 :
256-257).
Pelapisan sosial dalam agama Hindu dengan empat bentuk kasta, antara
kasata dengan lainnya sangat tertutup. Artinya tidak dibenarkan menikah atau
mengadakan hubungan kasta. rendahan (Sudra) dengan kasta-kasta lainnya.
Kita mencoba kcmbali ke zaman penjajahan Belanda, sistem pelapisan
sosial sangat dirasakan oleh rakyat Indonesia. Abuddin Nata mengatakan bahwa
salah sate tujuan Belanda mendirikan sekolah adalah mempertahankan perbedaanperbedaan sosial di kalangan elit Belanda (Eropa) dengan pribumi umat Islam
(Abuddin Nata, 2003 : 15).
Kemudian Sumarsono Mestoko mengatakan diskriminasi sosial (lapisan
sosial) nampak sekali bila dilihat dari sekolah-sekolah yang didirikan oleh
Belanda sekolah kelas I atau sekolah Raja hanya diperuntukkan anak-anak
bangsawan, tokoh-tokoh terkemuka, dan para anak-anak Belanda, sedangkan
sekolah kelas II yang biasa disebut Ongko Lomo, khusus untuk rakyat biasa
(Soemarsono Mestoko, 1997 : 52).
Selanjutnya Dody S menjelaskan pelapisan sosial yang nampak pada,
sekolah-sekolah yang didirikan Belanda diantaranya; (1) Eropeesche Lagere
Schoal /ELS adalah sekolah khusus ras Eropa, (2) Hollendsch Chinese Schoal,
sekolah khusus ras China dan keturunan Asia Timur, (3) Holandsch Inlandsche
Schoal, sekolah khusus pribumi dari kalangan ningrat, (4) Inlandsch Schoal
adalah sekolah khusus pribumi untuk rakyat biasa (Dody S.Truna, 2002 : 247)
Pelapisan sosial pada zaman Belanda hampir pada, semua asepk kehidupan
untuk mempermudah pemerintahannya. Di samping pelapisan sosial yang
berdasarkan kelahiran yang diwariskan turun temurun. Belanda jugs menciptakan
pelapisan-pelapisan sosial, seperti Opu, Andi, Karaeng, Puang, dan Raja dengan
tujuan untuk mempermuda pemerintahannya. Belanda jika mau memanggil
pendudul suatu daerah, maka cukup dengan perintah kepada Karaeng atau Opu,
maka semua penduduk bisa berkumpul. Demikian pula jika Belanda mau
menghancurkan satu kerajaan maka Belanda cukup mengadu domba rajanya,
maka terjadilah peperangan.
C. Mobilitas Sosial
Ary A. Gunawan mengutip definisi mobilitas sosial yang dikemukakan
Henry Clay Smith dan Haditono. Menurut Henry, mobilitas sosial (gerak sosial)
ialah gerak dalam struktur sosial dalam kaitan hubungan antara individu dengan
kelompoknya (Ary A.Gunawan, 2000 : 43). Sedang menurut Haditono, yang
dimaksud mobilitas sosial adalah perpindahan seorang atau sekelompok orang ke
kedudukannya yang satu kekedudukan yang lain. Kedudukan bisa berarti situasi
tempat, atau status ( Ary A.Gunawan, 2000 : 43).
Selanjutnya menurut Horton dan Hunt, mobilitas dapat diartikan sebagai
gerak perpindahan dari satu kelas sosial ke kelas sosial lainnya. Mobilitas sosial
21
Volume 3 No. 1 Juni 2015
bisa berarti peningkatan atau penurunan dalam segi status sosial (biasanya)
termasuk pula segi penghasilan yang dapat dialami oleh beberapa individu atau
keseluruhan anggota kelompok (Soerjono Soekanto, 2000 : 188).
Jadi mobilitas sosial adalah perpindahan status sosial, apakah secara
horizontal atau vertikal, apakah secara individu atau kelompok dari satu status
sosial ke status sosial lainnya. Perpindahan status sosial bisa tedadi oleh karena
harts kekayaan, jabatan, pendidikan dan ilmu pengetahuan, agama atau dengan
kata lain mobilitas sosial bisa terjadi sebab seseorang memiliki sesuatu yang
diberi nilai tinggi sekali (penghargaan) oleh masyarakat. Namun agama (Hindu),
termasuk pelapisan sosial dalam masyarakat yang sukar sekali tedadi mobilitas
sosial karena antara satu kasta dengan kasta lainnya tidak boleh tedadi mobilitas
sosial.
Selanjutnya mobilitas sosial dapat dibagi oleh pakar Sosiologi dengan
beberapa bagian. Menurut arahnya PA. Sorokin membagi mobilitas sosial ke
dalam dua bagian yaitu;
1. Mobilitas horisontal (sejajar/mendatar), merupakan perpindahan dari
kedudukan yang satu ke kedudukan lain yang sejajar.
2. Mobilitas vertikal, meliputi;
a. Social climbing
-Dari status rendah ke status yang tinggi, di mana status yang tinggi itu telah
ada sebelumnya
-Membentuk kelompok atas (status) baru; karena status yang lebih di atas
belum ada (promosi)
b. Social sinking, yang meliputi;
- Dari kelompok status sosial yang tinggi kepelapisan sosial yang terendah
(demosi).
- Derajat kelompoknya menurun (Ary A.Gunawan, 2000 : 44-45).
Menurut Horton dan Hunt, tingkat mobilitas sosial dilihat dari segi
kemasyarakat, terbagi atas dua bagian, yaitu; (1). Pada masyarakat yang bersistem
kelas sosial terbuka maka tingkat mobilitas sosial warga masyrakat akan
cenderung tinggi, (2) Tetapi pada tingkat mobilitas sosial kelas tertutup, seperti
masyarakat bersistem kasta, maka tingkat mobilitas sosial warga masyarakatnya
cenderung sangat rendah dan sangat sukar diubah ( Dwi Narwoko Bagong
Suyanto, 2004 : 188).
Demikian pula bila dikaitkan dengan pendidikan maka pada tingkat
mobilitas sosial terbuka akan mendapatkan tempat yang sangat luas. Pendidikan
sangat menentukan mobilitas sosial pada tingkat yang teratas . Semakin tinggi
pendidikan seseorang, maka semakin mudahlah baginya melakukan mobilitas
sosial ke tingkat yang paling teratas sebaliknya semakin rendah pendidikan
seseorang maka dia melakukan mobilitas sosial ketingkat terendah. Pada tingkat
mobilitas sosial yang tertutup, seperti pada masyarakat Hindu, maka mobilitas
sosial sangat sukar terjadi sekalipun yang bersangkutan memiliki pendidikan yang
tinggi.
Menurut Pitirin A. Sorokin bahwa mobilits sosial secara vertikal dapat
disalurkan lewat beberapa saluran yang terpenting sebagai berikut;
22
Jurnal Pendidikan ‘IQRA’
1) Melalui Angkatan Bersenjata. Dalam setiap keadaan perang, maka hukum
yang berlaku adalah hukum darurat, setiap aturan yang berlaku boleh saja
dilanggar demi kepentingan negara. Seluruh pasukan, jika berhasil
mengalahkan musuh-mush mereka, maka mereka akan dinaikkan pangkat
mereka ke tingkat teratas. Sebaliknya apabila mereka kalah dan berhasil
kembali ke negara, maka pangkat mereka diturunkan. Maka tedadilah
mobilitas sosial ke tingkat terendah.
2) Lembaga pendidikan. Pendidikan merupakan sarana yang ampuh untuk
menjadikan manusia memiliki ilmu pengetahuan dan teknologi. Degan ilmu
dan teknologi manusai dapat mengelolah kandungan alam. ini. Maka otomatis
bagi manusia yang memiliki ilmu dan teknologi dalam masyarakat sistem
pelapisan sosialnya terbuka, akan naik ke pelapisan sosial tingkat teratas dan
demikian sebaliknya.
3) Lembaga-lembaga keagamaan. Dalam masyarakat yang dikuasai oleh agama
Hindu, lembaga agama merupakan iembaga yang statis, tidak bisa berubah.
Pelapisan sosial sudah di atur dalam empat kasta yang bersifat permanen, sep--fti Brahma, Ksatria, Waica dan Sudra. Agama Islam mempunyai peluang
lugs dalam mobilitas sosial, tetapi sekedar nama saja. Derajat setiap hamba
dalam Islam semuanya sama.
4) Organisasi politik. Lembaga ini merupakan tempat pertarungan untuk
menciptkan keberadaan mobilitas sosial secara vertikal ke tingkat teratas. Dari
rakyat biasa menjadi anggota DPR, menjadi 'Gubernur, menjadi Menteri dan
akhirnya sampai ke Presiden, dengan syarat memiliki ijazah yang sah melalui
pendidikan.
5) Organisasi ekonomi. Lembaga ini, baik yang bergerak dalam bidang
perusahaan maupun dalam bidang jasa, sangat terbuka bagi aggotaanggotanya untuk melakukan mobilitas sosial secara vertikal. Tergantung
masing-masing profesi apa yang dimiliki berkaitan dengan ekonomi (Dwi
Narwoko Bagong Suyanto, 2004 : 190-191).
Jadi kelima saluran mobilitas sosial bisa terjadi bila diusahakan melalui
pendidikan terkecuali masyarakat yang dikuasai agama Hindu dimana pelapisan
masyarakat tersediri dari kasta yang berdasarkan kepada kelahiran yang
diwariskan terdiri dari generasi ke generasi tanpa melihat pendidikannya.
D. Penutup
Dari berbagai uraian di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai
berikut ;
1. Pendidikan adalah usaha manusia untuk memanusiakan manusia dalam proses
belajar mengajar yang disesuaikan dengan kondisi dan perkembangan zaman.
a. Pendidikan dan perubahan masyarakat, tidak bisa dipisahkan, sebab
pembaharuan dan kebudayaan erat sekali hubungannya. Pembaharuan di
lakukan melalui kebudayaan dengan latihan-latihan pada tempat
pendidikan informal dan non formal serta pendidikan formal di sekolahsekolah.
b. Pendidikan adalah agent of change (lembaga pengubah). Pada masyarakat
primitif lembaga pendidikan formal belum ada, sehingga masih ada
23
Volume 3 No. 1 Juni 2015
keterlambatan-keterlarnbatan di berbagai apek kehidupan. Sebaliknya,
pada, masyarakat, modern segala, lembaga pendidikan sudah ada,
sehingga masyarakat mengalami, kemajuan-kemajuan di berbagai aspek
kehidupan.
c. Pendidikan adalah penentu lingkungan sosial. Pada masyarakat yang
tertutup, seperti masyarakat yang dikuasai agama Hindu akan terjadi
jurang pemisah antara kasta yang bisa sekolah dengan kasta yang tidak
bisa sekolah. Pada kasta yang bisa sekolah berada pada pelapisan sosial
teratas dan demikian sebaliknya. Namun pada masyarakat terbuka,
pelapisan sosialnya pada tingkat teratas, sebab mereka maju karena
pendidikan.
2. Keberadaan stratifikasi sosial, sejak adanya manusia, baik secara individu
maupun secara kelompok. Stratifikasi sosial dalam masyarakat sangat
ditentukan oleh sesuatu yang banyak dan mendapat penilaian yang tinggi dari
masyarakat.
a. Untuk mengetahui pelapisan sosial dalam masyarakat, kita dapat
melakukannya dengan metode obyektif, subyektif dan metode reputasi.
b. Pelapisan sosial dapat diukur melalui statusnya seperti kekayaan, ilmu
pengetahuan dan pendidikan, jabatan/pangkat, politik, keturunan dan
agama.
3. Mobilitas sosial adalah perpindahan seseorang individu/atau kelompok dari
pelapisan sosial masyarakat ke pelapisan sosial yang lain. Baik secara
horisontal maupun vertikal.
a. Mobilitas sosial secara vertikal terdiri dari social climbing dan social
sinking.
b. Mobilitas sosial bisa disalurkan melalui; Agkatan Bersenjata, lembaga
pendidikan, lembaga Keagamaan, lembaga politik dan organisasi ekonomi.
DAFTAR PUSTAKA
Abdulsyani. Sosiologi, Skematika, Teori dan Terapan. Cet. I; Jakarta: Bumi
Aksara, 1997.
Arifin, M. Ilmu Pendidikan Islam, Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis
Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner. Cet. IV; Jakarta: Bumi Aksara,
1996.
Gunawan, Ary A. Sosiologi Pedidikan. Cet. I; Jakarta: Rineka Cipta, 2000.
Langgulung, Hasan. Falsafah Pendidikan Islam. Cet. I; Jakarta: Bulan Bintang,
1979.
Mestoko, Sumarsono. Pendidikan di Indonesia dari Jaman ke Jaman. Jakarta:
DIKPIKBUD, RI, 1997.
Narwoko I. Dwi, Bagong Suyanto. Sosiologi, Teks Pengantar dan Terapan,
Jakarta: Prenada Media, 2004.
Nasution, S. Sosiologi Pendidikan. Cet. III; Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2004.
Nata, Abuddin. Kapita Selekta Pendidikan Islam. Bandung: Angkasa, 2003.
Noor, M. Arifin. Ilmu Sosial Dasar. Cet. II: Jakarta: PT. Pustaka Setia, 1999.
Soekanto, Soejono. Sosiologi Suatu Pengantar. Cet. XYIX; Jakarta: PT. Raja
Grafmdo Persada, 2000.
24
Jurnal Pendidikan ‘IQRA’
Truna, Dody, S. Pranata Islam di Indonesia. Ciputat: tp, 2002.
Undang-Undang Tentang Sistem Pendidikan Nasional UU. RI. NO. 2 Tahun
1989. Jakarta: Sinar Grafika, 1992.
25
Download