naskah publikasi perilaku kekerasan terhadap

advertisement
NASKAH PUBLIKASI
PERILAKU KEKERASAN TERHADAP ANAK
DITINJAU DARI STATUS SOSIAL EKONOMI
Oleh:
Doni Maradona
01320302
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI DAN ILMU SOSIAL BUDAYA
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
YOGYAKARTA
2007
1
2
PERILAKU KEKERASAN TERHADAP ANAK
DITINJAU DARI STATUS SOSIAL EKONOMI
Doni Maradona
Uly Gusniarti
INTISARI
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan perilaku kekerasan terhadap anak
ditinjau dari status sosial ekonomi. Dugaan awal yang diajukan pada penelitian ini adalah ada
perbedaan perilaku kekerasan terhadap anak ditinjau dari status sosial ekonomi, dimana perilaku
kekerasan terhadap anak pada orang tua yang berstatus sosial ekonomi rendah lebih tinggi dari pada
orang tua yang berstatus sosial sedang dan perilaku kekerasan terhadap anak pada orang tua yang
berstatus sosial sedang lebih tinggi dari pada orang tua yang berstatus sosial tinggi.
Subjek yang dipakai pada penelitian ini adalah para orang tua yang memiliki anak di bawah
usia 18 tahun. Adapun alat ukur yang digunakan dalam penilitian ini berupa skala dan angket, skala
kekerasan terhadap anak disusun berdasarkan aspek-aspek : kekerasan anak secara fisik, kekerasan
anak secara psikis dan kekerasan anak secara sosial, untuk angket status sosial ekonomi merupakan
adaptasi dari penelitian sebelumnya yang disusun oleh Pudjono dan berdasarkan aspek-aspek :
pendidikan, pekerjaan dan keadaan ekonomi.
Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan fasilitas program
SPSS versi 12.0 untuk menguji perbedaan perilaku kekerasan terhadap anak ditinjau dari status sosial
ekonomi. Hasil analisis statistik uji hipotesis yang memakai anova satu jalur menunjukkan F = 39.703
dengan p = 0.000 (p < 0.001), berarti ada perbedaan yang sangat signifikan perilaku kekerasan
terhadap anak ditinjau dari status sosial ekonomi.
Dengan demikian hipotesis yang diajukan pada penelitian ini bahwa ada perbedaan perilaku
kekerasan terhadap anak ditinjau dari status sosial ekonomi dapat diterima.
Kata kunci : perilaku kekerasan terhadap anak
status sosial ekonomi
3
PENGANTAR
Anak-anak adalah tunas bangsa atau generasi penerus yang dapat
mewujudkan cita-cita suatu bangsa dan di pundak merekalah eksistensi suatu bangsa
dapat ditentukan. Oleh karena itu mereka harus mendapatkan kesempatan yang
seluas-luasnya untuk dapat tumbuh dan berkembang secara optimal baik fisik, psikis,
sosial, maupun spiritual dan mereka juga perlu mendapatkan hak-haknya, perlu
dilindungi dan disejahterakan. Karenanya, segala bentuk-bentuk tindak kekerasan
terhadap anak perlu dicegah dan diatasi sebagaimana tercantum dalam pasal 2
undang-undang nomor 4 tahun 1976 tentang kesejahteraan anak dan konvensi hak
anak yang telah diratifikasi dengan dikeluarkanya Keputusan Presiden RI No. 28
tahun 1990, bahwa anak harus mendapatkan perlindungan dan dipenuhi hak-haknya
untuk tumbuh dan berkembang secara normal, dan anak-anak diberikan kesempatan
berpartisipasi yaitu dengan didengarkan suara hatinya, diberi kesempatan
mengembangkan potensinya sesuai dengan keinginan anak (Tursilarini, 2005).
Orang tua merupakan manusia pertama yang harus memberikan kepada anak
berupa hak-hak mereka sebagaimana yang telah diatur dalam undang-undang
perlindungan anak yaitu antara lain memberikan perlindungan dan kesejahteraan
kepada seorang anak, agar anak-anak tersebut dapat tumbuh dan berkembang sebagai
pribadi yang baik. Tetapi sangat disayangkan bahwa kebanyakan para pelaku
kekerasan terhadap anak merupakan orang-orang terdekat dari anak itu sendiri,
4
terutama orang tua mereka sendiri, di mana seharusnya para anak-anak merasa damai
dan aman bila berada di dekat orang tuanya tetapi orang tua lah yang menjadi pelaku
kekerasan.
Setiap dua menit sekali terjadi kasus kekerasan terhadap anak di Indonesia. Itu
artinya, ada 788 ribu kasus kekerasan terhadap anak di Indonesia setiap tahunnya.
Ironisnya, sebagian besar kasus kekerasan terjadi dalam rumah tangga, catatan jelang
peringatan Hari Anak Nasional (HAN) dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia
(KPAI) menyebutkan, pelaku kekerasan terhadap anak tidak hanya orang luar,
bahkan orang terdekat seperti ayah, ibu dan guru. Ketua Komisi Perlindungan Anak
Indonesia (KPAI), Wiyogo di Jakarta, mengatakan, sejak sebulan terakhir, pihaknya
bahkan telah menerima sedikitnya 100 pengaduan masyarakat soal anak-anak yang
menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga (http//www.waspada.co.id).
Peristiwa kekerasan terhadap anak (child abuse) akhir-akhir ini marak terjadi.
Ada contoh kasus dimana seorang ibu yang bernama Yeni berusia 22 tahun tega
membakar kedua anaknya yang masih balita, Indah berusia 3 tahun dan Lintar berusia
11 bulan, hingga menyebabkan Indah tak bisa diselamatkan nyawanya, sedangkan
adiknya, Lintar masih bisa diselamatkan, meski tubuhnya penuh balutan perban, dan
menurut tim dokter perlu waktu 3 bulan untuk penyembuhan. Dalam kasus Indah dan
Lintar, sang ibu tak kuasa menahan emosinya menghadapi kenyataan suaminya yang
bernama Saiful yang berusia 31 tahun menghambur-hamburkan uang untuk mabukmabukan,
tak
peduli
lagi
pada
pemenuhan
keperluan
rumah
tangga
(http://www.azayaka’s.com). Dari informasi yang dihimpun, sebelum membakar
5
anaknya, Yeni bertengkar dengan suaminya, Saiful yang pulang lewat tengah malam
dengan mulut berbau minuman keras. Murni, nenek dua anak itu menuturkan hampir
dua bulan terakhir Saiful menganggur sejak tidak berdagang buah lagi. Sejak itu, ia
lebih sering menghabiskan waktu bersama teman-temannya dari pada tinggal di
rumah petak kontrakanya (http//www.kompas.com).
Menurut Suharto (2004) kemiskinan seringkali bergandengan dengan rendahnya
tingkat pendidikan, pengangguran, dan tekanan mental umumnya dipandang sebagai
faktor dominan yang mendorong terjadinya kasus kekerasan pada anak. Lemahnya
penegakan hukum dan praktik budaya bisa pula berdampak pada fenomena kekerasan
terhadap anak. Misalnya hukuman badan (corporal punishment) pada masyarakat
tertentu adalah bentuk kekerasan terhadap anak yang sering kali lepas dari jeratan
hukum dan secara budaya diterima sebagai hal yang wajar dilakukan terhadap anak.
Kekerasan terhadap anak cenderung diturunkan, anak yang pernah menerima
kekerasan kelak akan melakukan hal yang sama terhadap anaknya. Suami yang sering
melakukan perlakuan salah terhadap anaknya, cenderung melakukan hal serupa
terhadap istrinya (Huraerah, 2006).
Rusmil (Huraerah, 2006) menjelaskan bahwa penyebab atau resiko terjadinya
kekerasan dan penelantaran terhadap anak dibagi ke dalam tiga faktor, yaitu: (a)
faktor orang tua/keluarga yang meliputi praktik-praktik yang merugikan anak,
dibesarkan dengan penganiyaan, gangguan mental, pencandu minuman keras, (b)
faktor lingkungan sosial/komunitas yang meliputi kemiskinan dalam masyarakat dan
tekanan nilai matrealistis, kondisi sosial ekonomi yang rendah, adanya nilai dalam
6
masyarakat bahwa anak adalah milik orang tua sendiri, status wanita yang dipandang
rendah, sistem keluarga patriarkhal dan nilai masyarakat yang terlalu individualistis,
(c) faktor anak itu sendiri yang meliputi penderita gangguan perkembangan,
menderita penyakit kronis dan perilaku menyimpang pada anak.
Menurut Fitriati (http//pikiranrakyat.com) kasus-kasus kekerasan fisik, psikis,
dan seksual terhadap anak yang mencuat di media massa enam bulan terakhir ini,
sebagian besar terjadi karena alasan ekonomi. Walaupun sebenarnya ada juga
kekerasan fisik, psikis, dan seksual yang terjadi pada masyarakat menengah atas.
Faktor kemiskinan dan tekanan hidup yang semakin meningkat, disertai
kemarahan/kekecewaan pada pasangan karena ketidakberdayaan dalam mengatasi
masalah ekonomi, menyebabkan orang tua mudah sekali meluapkan emosi,
kemarahan, kekecewaan dan ketidak mampuannya kepada orang terdekatnya. Anak,
sebagai makhluk lemah, rentan, dan dianggap sebagai "milik" orang tua, paling
mudah menjadi sasaran.
Status sosial ekonomi diperoleh oleh seseorang karena tiga hal yaitu:
pendidikan, pekerjaan dan pendapatan. Sedangkan status sosial ekonomi memiliki
tiga tingkatan, yaitu kelas sosial atas yang terdiri dari orang-orang kaya, kelas sosial
menengah yang terdiri dari orang-orang yang berkecukupan, kelas sosial bawah yang
terdiri dari orang-orang miskin.
7
1. Pengertian Perilaku Kekerasan terhadap Anak
Dalam buku teori-teori kekerasan (Santoso, 2002) istilah kekerasan digunakan
untuk menggambarkan perilaku, baik yang terbuka (overt) atau tertutup (covert), dan
baik yang bersifat menyerang (offensive) atau bertahan (defensive) yang disertai
penggunaan kekuatan pada orang lain, oleh karena itu ada 4 jenis kekerasan yang
dapat diidentifikasi, yaitu :
a. Kekerasan terbuka, kekerasan yang dapat dilihat seperti perkelahian.
b. Kekerasan tertutup, kekerasan tersembunyi atau tidak dilakukan langsung seperti
mengancam.
c. Kekerasan agresif, kekerasan yang dilakukan tidak untuk perlindungan, tetapi
untuk mendapatkan sesuatu.
d. Kekerasan defensive, kekerasan yang dilakukan sebagai tindakan perlindungan
diri.
Suyanto (Tursilarini, 2005) mendefinisikan kekerasan terhadap anak sebagai
peristiwa perlukaan fisik, mental dan seksual yang umumnya dilakukan oleh orangorang yang mempunyai tanggung jawab terhadap kesejahteraan anak yang semua ini
diindikasikan dengan kerugian dan ancaman terhadap kesehatan serta kesejahteraan
anak. Sedangkan Sa’abah mendefinisikn kekerasan anak (Child abuse) merupakan
suatu tindakan orang dewasa terhadap anak dengan cara yang disadari ataupun tidak
yang berakibat menggangu proses pada anak.
Menurut Barker (Huraerah, 2006) kekerasan adalah perilaku tidak layak yang
mengakibatkan kerugian atau bahaya secara fisik, psikologis, atau finansial, baik
8
yang dialami individu maupun kelompok. Masih menurut Barker kekerasan terhadap
anak adalah tindakan melukai yang berulang-ulang secara fisik dan emosional
terhadap yang ketergantungan melalui desakan hasrat, hukuman badan yang tak
terkendali, degradasi dan cemoohan permanen atau kekerasan seksual, biasanya
dilakukan orang tua atau pihak lain yang seharusnya merawat anak. Sedangkan
menurut Gellas dalam encyclopedia article from (Huraerah, 2006) mengartikan
kekerasan terhadap anak adalah perbuatan disengaja yang menimbulkan kerugian
atau bahaya terhadap anak-anak secara fisik maupun emosional. Istilah kekerasan
terhadap anak (child abuse) meliputi berbagai macam bentuk tingkah-laku, dari
tindakan ancaman fisik langsung orang tua atau orang dewasa lainnya sampai kepada
penelantaran kebutuhan-kebutuhan dasar anak.
Menurut Pope (Patnani, Ekowarni dan Bhinnety, 2002) kekerasan fisik
merupakan salah satu bentuk dari apa yang disebut child maltreatment, yaitu
memperlakukan anak dengan cara yang salah. Selain kekerasan fisik, child
maltreatment mencakup kekerasan seksual (sexual abuse), penelantaran atau
penolakan (neglect) dan kekerasan emosi atau psikologis.
Menurut U. S. Departement of Health, Education and Welfare, perlakuan salah
terhadap anak (child abuse) adalah kekerasan fisik atau mental, kekerasan seksual,
dan penelantaran terhadap seorang anak di bawah usia 18 tahun yang dilakukan oleh
orang yang seharusnya bertanggung jawab terhadap kesejahteraan anak, sehingga
kesehatan atau kesejahteraan anak tersebut terancam (Sukamto, 2000).
9
Dengan demikian kekerasan terhadap anak merupakan perbuatan melukai, baik
yang dilakukan secara sengaja atau pun tidak sengaja, baik secara fisik maupun
psikis, dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa kekerasan terhadap anak
merupakan perbuatan negatif berupa tindakan melukai, penganiyaan, penghinaan,
pemberian hukuman, pelanggaran seksual yang dapat menimbulkan kerugian bagi
perkembangan fisik dan psikologis sang anak.
2. Pengertian status sosial ekonomi
Status adalah kedudukan seseorang dalam suatu kelompok dan hubungannya
dengan anggota lain dalam kelompok itu, atau kedudukan sesuatu kelompok
berbanding dengan kelompok lain yang lebih banyak jumlahnya. Sedangkan status
sosial selalu mengacu kepada kedudukan khusus seseorang dalam masyarakatnya
berhubungan dengan orang lain dalam lingkungan yang disertainya, martabat, yang
diperolehnya, dan hak serta tugas yang dimilikinya. Kelas sosial adalah suatu
kelompok manusia yang tidak teratur yang menjadi anggota melalui kelahiran
anggota atau dengan memasuki kelompok itu kemudian, yang menganggap bahwa
satu sama lain sebagai hampir sama, yang hubungan antara satu dengan lain lebih erat
ketimbang hubungan dengan kelompok lain, dan yang mempunyai hubungan yang
hampir sama tentang pertinggian dan perendahan kepada orang-orang dari kelompokkelompok lain dalam masyarakat itu (Joseph and Roland, 1984).
Status mempunyai dua pengertian, yakni arti objektif dan subjektif. Arti status
secara objektif ialah suatu tatanan (order) hak dan kewajiban secara hierarki dalam
struktur formal suatu organisasi, dengan kata lain status merupakan kedudukan atau
10
posisi seseorang didalam masyarakat. Sedangkan arti status secara subjektif, bahwa
status yang dimiliki seseorang merupakan penalaran orang lain terhadap dirinya
dalam suatu hubungan sosial (Anwar, 1995). Menurut Darsons seseorang tokoh
sosiologi moderen (Anwar,1995), terdapat 5 kreteria yang digunakan untuk
menentukan tinggi-rendahnya status seseorang secara subjektif, yaitu :
1. Faktor kelahiran
Faktor kelahiran secara subjektif dapat menentukan tinggi-rendahnya status
seseorang dalam masyrakat. Misalnya, karena si B lahir dari keluarga raja/sultan
atau karena dia lahir dari suatu keluarga kaya yang memiliki posisi tinggi dalam
kelas sosial di masyarakat, maka ia digolongkan memiliki status sosial yang
tinggi oleh orang lain disekitarnya.
2. Faktor mutu pribadi
Mutu kepribadian yang baik yang dimiliki seseorang, seperti berlaku bijaksana,
pandai, kuat, dan selalu berlaku tertib dalam hidupnya, maka ia memperoleh
penilaian yang baik dari orang lain, sehingga digolongkan pada status sosial yang
terhormat didalam masyarakatnya.
3. Faktor prestasi
Seseorang yang berprestasi dalam hidupnya, maka status sosialnya secara
subjektif akan naik. Suatu instansi/perusahaan menentukan prestasi ini sebagai
kreteria untuk menaikkan pangkat pegawai/karyawannya, seseorang yang
dinaikkan pangkatnya berarti naik pula status sosialnya.
11
4. Faktor pemilikan
Orang-orang yang memiliki banyak kekayaan secara subjektif sering ditempatkan
pada posisi status sosial yang tinggi dimasyarakatnya.
5. Faktor otoritas
Faktor otoritas atau kekuasaan yang dimilki seseorang dapat menentukan tinggi
rendahnya status sosial seseorang. Seseorang yang menempati jabatan ketua,
pimpinan atau kepala suatu instansi /organisasi sering dianggap memiliki status
sosial yang tinggi oleh orang disekitarnya.
Stratifikasi sosial berdasarkan kreteria ekonomi adalah pembedaan anggota
masyarakat berdasarkan pemilikan materi, orang yang memiliki materi dalam jumlah
besar didudukan dalam posisi tinggi sedangkan yang memiliki materi sedikit
menempati posisi rendah (Samuel dan Suganda, 1997). Umumnya, pembedaan
anggota masyrakat berdasarkan pemilikan materi disebut kelas sosial. Kelas sosial
bisa dibagi atas tiga golongan, yaitu :
1. Kelas sosial atas, terdiri dari kelompok orang kaya, yang dengan leluasa dapat
memenuhi kebutuhan hidupnya, bahkan secara berlebihan.
2. Kelas sosial menegah, terdiri dari kelompok orang yang berkecukupan yang
sudah bisa memenuhi kebutuhan pokok (primer), terdiri dari sandang, pangan,
dan papan.
3. Kelas sosial bawah, terdiri dari kelompok orang miskin yang masih belum bisa
memenuhi kebutuhan primer.
12
Dari berbagai pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa status sosial ekonomi
adalah pembedaan status seseorang kedalam keles-kelas tertentu yang didasari oleh
kreteria ekonomi
METODE PENELITIAN
1. Subjek Penelitian
Subjek yang dipakai dalam penelitian ini adalah orang tua yang memiliki anak
di bawah usia 18 tahun. Hal ini dikarenakan dalam Convention on the Rights of the
Child (1989) yang telah diratifikasi pemerintah Indonesia melalui Keppres nomor 39
tahun 1990 disebutkan bahwa anak adalah mereka yang berusia 18 tahun ke bawah
(Huraerah, 2006). Para orang tua tersebut mengisi angket status sosial ekonomi dan
mengisi skala kekerasan terhadap anak.
2. Metode Pengumpulan Data
a. Skala Kekerasan terhadap anak
Aitem-aitem dalam skala ini disusun didasarkan dalam aspek kekerasan
terhadap anak yaitu:
? Kekerasan anak secara fisik, yang indikatornya berupa penyiksaan, pemukulan,
dan penganiyaan dengan atau tampa menggunakan benda
? Kekerasan anak secara psikis, yang indikatornya adalah berupa penghardikan,
penyampaiaan kata-kata kasar dan kotor.
? Kekerasan anak secara sosial, yang indikatornya berupa penelantaran, eksploitasi
anak (Huraerah, 2006).
13
Aitem-aitem yang digunakan dalam skala penelitian ini disusun sendiri oleh
peneliti. Pernyataan dalam skala ini dinyatakan dalam bentuk pernyataan favourable
(mendukung) dan unfavourable (tidak mendukung). Subyek diminta menanggapi
pernyataan yang ada dengan cara memilih satu dari pilihan jawaban yang tersedia.
Setiap butir skala terdiri dari 5 kategori jawaban, yaitu: “Selalu”, “Sering”,
“kadang-kadang”, “Jarang” dan “Tidak pernah”. Skor untuk setiap butir berkisar dari
1 sampai dengan 5. Cara pemberian skor untuk tiap jawaban terhadap butir
pertanyaan favorabel adalah 5 untuk pilihan “Selalu”, 4 untuk pilihan “Sering”, 3
untuk pilihan “kadang-kadang”, 2 untuk pilihan “Jarang”, dan 1 untuk pilihan “Tidak
pernah”. Sebaliknya skor untuk tiap jawaban terhadap butir pernyataan tidak
favorabel adalah: 1 untuk pilihan “Selalu”, 2 untuk pilihan “Sering”, 3 untuk pilihan
“kadang-kadang”, 4 untuk pilihan “Jarang”, dan 5 untuk pilihan “Tidak pernah”.
b. Status Sosial Ekonomi
Angket yang digunakan untuk mengukur status sosial ekonomi subjek disusun
berdasarka tiga aspek, yaitu :
? Aspek pendidikan, indikatornya adalah seberapa tinggi tingkat pendidikan subjek
dari bangku pendidikan formal yang pernah diperoleh.
? Aspek pekerjaan, indikatornya adalah ditunjukkan oleh jenis pekerjaan subjek
yang dapat juga ditunjukkan oleh adanya pangkat, kedudukan (golongan) dari
pekerjaan.
? Aspek keadaan ekonomi, indikatornya adalah seberapa lengkap fasilitas-fasilitas
yang menunjang kegiatan keluarga. Seperti: pendapatan, tempat tinggal, sarana
14
angkutan, sarana komunikasi dan informasi, makanan, perabotan rumah tangga
yang digerakkan dengan listrik.
Cara menentukan nilai tingkat pendidikan, pekerjaan dan keadaan ekonomi
berdasarkan jenjang nilai yang telah ditentukan kemudian dikontroversikan ke dalam
T guna menyamakan nilai-nilai yang berupa angka dasar. Nilai T yang didapat
kemudian dikalikan dengan bobot yang telah ditentukan, dimana bobot untuk masingmasing aspek adalah 1, hal ini dikeranakan semua aspek sama pentingnya untuk
menentukan status sosial ekonomi seseorang. Nilai status sosial ekonomi subjek
dapat diketahui dengan menjumlahkan nilai pendidikan, pekerjaan dan keadaan
ekonomi yang sudah berbobot (Puspitasari, 2002).
Dari uji validitas yang pernah dilakukan oleh penyusun angket yaitu Pudjono
melalui 45 siswa di SMA Negeri 1 Yogyakarta, maka diperoleh hasil bahwa semua
item adalah sahih dengan p < 0,01. Reliabilitas dari angket status sosial ekonomi ini
adalah 0,601, sehingga angket ini layak digunakan untuk penelitian (Puspitasari,
2002), aitem-aitem yang digunakan merupakan adaptasi dari peneliti sebelumnya.
3. Metode Analisis Data
Metode analisis data yang digunakan adalah analisis statistik anava dan uji t.
Dengan program komputer statistical Package for Social Science (SPSS) for
Windows 12.
Tujuan dilakukannya analisis data adalah untuk memudahkan dalam pembacaan
data hasil penelitian yang masih berupa data kasar. Metode analisis data dalam
penelitian ini adalah metode kuantitatif dengan menggunakan statistik.
15
HASIL PENELITIAN
1. Deskriptif Statistik
Berdasarkan diskriptif statistik data penelitian pada skala persepsi terhadap
karakteristik pekerjaan dapat dilihat dalam tabel
Tabel 5
Deskriptif Data Penelitian
Hipotetik
Empirik
Variabel
Min
Mak
µ
Skala 1
41
205
123
Skala 2
1090.6 1307.04 1198.82
s
27.33
Min
Mak
µ
s
45
145
71.17
21.31
36.07 928.86
1738.12 1407.25 1407.25
Catatan: µ = Rerata; s = Standar deviasi
Deskripsi data penelitian digunakan untuk membuat kategorisasi pada variabel,
yaitu: kategori rendah, sedang, dan tinggi. Kategori dibuat berdasarkan tiga kategori.
Tabel 6
Kriteria Kategori Skala
Kategori
Nilai
Sangat Tinggi
X > (µ + 1,8s )
Tinggi
(µ + 0,6s ) < X = (µ + 1,8s )
Sedang
(µ - 0,6s ) < X = (µ + 0,6s )
Rendah
(µ - 1,8s ) = X = (µ - 0,6s )
Sangat Rendah
X < (µ - 1,8s )
Catatan: µ = rerata ; s = setiap satuan standar deviasi
16
Tabel 7
Deskripsi Kategori Subyek Penelitian (variabel kekerasan terhadap anak)
Kategori
Norma
n
Presentase
Sangat Tinggi
X > 172.694
-
-
Tinggi
139.898 > X = 172.694.
1
1.25%
Sedang
107.10 < X = 139.898
2
2.46%
Rendah
74.30 = X = 107.102
16
19.75 %
Sangat Rendah
X < 74.306
62
76,54 %
Sebaran hipotetik pada skor skala kekerasan terhadap anak diketahui nilai
terendah 41, nilai tertinggi adalah 205. Luas jarak sebarannya adalah 205 – 41 = 164,
sehingga setiap satuan deviasi standarnya bernilai 1 s = 164: 6 = 27.33, dan mean
teoritisnya adalah µ = 41 + 205:2 = 123
Hasil pengolahan yang ditunjukan dalam tabel di atas terlihat bahwa dari
keseluruhan jumlah subyek yaitu 81 orang, rata-rata berada pada tingkat sangat
rendah yaitu 76.54 %, rendah 19.75 %, sedang 2.46 %, dan tinggi 1.25 %. Sedangkan
untuk kategori sangat tinggi tidak ditemukan.
17
Tabel 8
Deskripsi Kategori Subyek Penelitian (variabel status sosial ekonomi)
Kategori
Norma
N
Presentase
Tinggi
1234 = X
50
61.72 %
Sedang
1162.75 = X < 1234
24
29.63 %
Rendah
X < 1162,75
7
8.65 %
Sebaran hipotetik pada skor angket status sosial ekonomi diketahui nilai
terendah 1090.6, nilai tertinggi adalah 1307.04. Luas jarak sebarannya adalah
1307.04 – 1090.6 = 216.44, sehingga setiap satuan deviasi standarnya bernilai 1 s =
216.44: 6 = 36.07 dan mean teoritisnya adalah µ = 1090.6 + 1307.04 : 2 = 1198.82
Hasil pengolahan yang ditunjukan dalam tabel di atas terlihat bahwa dari
keseluruhan jumlah subyek yaitu 81 orang, rata-rata berada pada tingkat Tinggi yaitu
61.72 %, sedang 29.63 %. Sedangkan untuk kategori Rendah 8.65 %.
2. Uji Asumsi
a. Uji Normalitas
Hasil uji normalitas terhadap 81 subjek penelitian dihitung dengan
menggunakan One Sample Kolmogorov Smirnov test. Kaidah statistik untuk uji
normalitas adalah bila p>0.05. Hasil uji normalitas dapat dilihat dalam tabel.
18
Tabel 9
Hasil uji normalitas
Variabel
? Perilaku
kekerasan
terhadap anak
? Status sosial
ekonomi
Skor KS-Z
1.581
p
0.051
Kategori
Normal
1.067
0.061
Normal
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa variabel perilaku kekerasan terhadap anak
mempunyai skor KS-Z = 1.581 dan p = 0.051 (p > 0.05) sehingga data normal. Nilai
variable status sosial ekonomi mempunyai skor KS-Z = 1.067 dan p = 0.061 (p >
0.05) normal.
b. Uji Homogenitas
Uji homogenitas di lakukan dengan tujuan untuk mengetahui apakah variansi
dalam kelompok-kelompok tersebut homogen. Hasil uji homogenitas diperoleh nilai
F pada Levene Statistic sebesar 1.310 dengan p= 0.063 (p > 0.05), dari hasil uji
homogenitas yang di peroleh ini menunjukkan bahwa variansi-variansinya homogen.
3. Uji Hipotesis
Berdasarkan perhitungan anava satu jalur diperoleh hasil F = 39.703 dengan p =
0.000 (p < 0.01), maka ada perbedaan yang sangat signifikan perilaku kekerasan
terhadap anak ditinjau dari status sosial ekonomi, dengan perbedaan rata-rata antara
perilaku kekerasan terhadap anak yang berstatus sosial ekonomi tinggi dan sedang
10.415, perbedaan rata-rata antara perilaku kekerasan terhadaap anak yang berstatus
19
sosial tinggi dan rendah 48.182, sedangkan perbedaan rata-rata perilaku kekerasan
terhadap anak antara yang berstatus sosial sedang dan rendah 37.767.
Berdasarkan analisis teknik statistik dengan menggunakan SPSS versi 12,
menggunakan statistic parametric t-test, dimana untuk uji beda perilaku kekerasan
terhadap anak antara yang berstatus sosial tinggi dan sedang, diperoleh hasil t =
3.814, dengan p = 0.000 (p < 0.01) jadi ada perbedaan yang sangat signifikan antara
perilaku kekerasan terhadap anak antara orang tua yang berlatar belakang status sosial
ekonomi tinggi dan sedang.
Sedangkan uji beda antara yang berstatus sosial tinggi dan rendah diperoleh
hasil t = 9.234, dengan p = 0.000 (p < 0.01) jadi ada perbedaan yang sangat signifikan
perilaku kekerasan terhadap anak antara orang tua yang berlatar belakang status sosial
ekonomi tinggi dengan rendah, dan untuk uji beda antara status sosial sedang dan
rendah, diperoleh hasil t = 4.561dengan p = 0.000 (p < 0.01) jadi ada perbedaan yang
sangat signifikan perilaku kekerasan terhadap anak antara orang tua yang berlatar
belakang status sosial ekonomi sedang dan rendah.
Berdasarkan hasil uji hipotesis tersebut di atas maka hal tersebut menunjukkan
bahwa hipotesis diterima, jadi ada perbedaan perilaku kekerasan terhadap anak
ditinjau dari status sosial ekonomi.
4. Analisis Tambahan
Setelah mencari perbedaan perilaku kekerasan terhadap anak berdasarkan status
sosial ekonomi maka selanjutnya mencari perbedaan perilaku kekerasan terhadap
20
anak yang ditinjau dari tiga aspek status sosial ekonomi, yaitu : pendidikan, pekerjaan
dan keadaan ekonomi.
Berdasarkan analisis teknik statistik dengan menggunakan SPSS versi 12,
menggunakan statistic parametric t-test, dimana untuk uji beda perilaku kekerasan
terhadap anak antara orang tua yang berpendidikan tinggi dan sedang diperoleh hasil t
= 2.765 dengan p = 0.007 (p > 0.01), jadi ada perbedaan yang sangat signifikan
perilaku kekerasan terhadap anak antara orang tua yang berlatar belakang pendidikan
sedang dan tinggi, untuk uji beda antara pendidikan tinggi dan rendah, diperoleh hasil
t = 6.184, dengan p = 0.000 (p < 0.01), jadi ada perbedaan yang sangat signifikan
perilaku kekerasan terhadap anak antara orang tua yang berlatar belakang pendidikan
tinggi dan rendah. Sedangkan untuk uji beda antara pendidikan sedang dan rendah
diperoleh hasil t = 4.113dengan p = 0.000 (p < 0.01) jadi ada perbedaan yang sangat
signifikan perilaku kekerasan terhadap anak antara orang tua yang berlatar belakang
pendidikan sedang dan rendah.
Uji beda perilaku kekerasan terhadap anak yang ditinjau dari pekerjaan adalah
untuk yang tinggi dan sedang diperoleh hasil t = 3.299 dengan p = 0.002 (p < 0.01)
jadi ada perbedaan yang sangat signifikan perilaku kekerasan terhadap anak antara
orang tua yang pekerjaannya digolongkan tinggi dan sedang, untuk yang tinggi dan
rendah diperoleh hasil t = 3.388, dengan p = 0.001 (p < 0.01) jadi ada perbedaan yang
sangat signifikan perilaku kekerasan terhadap anak antara orang yang memiliki
pekerjaan yang digolongkan tinggi dan rendah. Sedangkan untuk yang sedang dan
rendah , diperoleh hasil t = 1.066, dengan p = 0.293 (p > 0.05) jadi tidak ada
21
perbedaan perilaku kekerasan terhadap anak antara orang tua yang memiliki
pekerjaan yang digolongkan sedang dan rendah.
Uji beda untuk perilaku kekerasan ditinjau dari keadaan ekonomi, dimana untuk
uji beda yang tinggi dan sedang diperoleh hasil t = 4.398, dengan p = 0.000 (p <
0.01), jadi ada perbedaan yang sangat signifikan perilaku kekerasan terhadap anak
antara orang tua yang keadaan ekonominya tinggi dan sedang, untuk yang tinggi dan
rendah diperoleh hasil t = 8.089, dengan p = 0.000 (p < 0.01), jadi ada perbedaan
yang sangat signifikan perilaku kekerasan terhadap anak antara orang tua yang
keadaan ekonominya tinggi dan rendah. Sedangkan untuk yang sedang dan rendah
diperoleh hasil t = 1.282 dengan p = 0.236 (p > 0.05), jadi tidak ada perbedaan
perilaku kekerasan terhadap anak antara orang tua yang keadaan ekonominya sedang
dan rendah.
Pembahasan
Berdasarkan analisis data uji hipotesis maka hipotesis yang peneliti ajukan
dapat diterima, bahwa ada perbedaan yang sangat signifikan perilaku kekerasan
terhadap anak antara orang tua yang berstatus sosial ekonomi tinggi, sedang dan
rendah, dimana berdasarkan analisis uji beda antara status sosial ekonomi tinggi dan
sedang, diperoleh hasil t = 3.814, dengan p = 0.000 (p < 0.01) dan dari data tersebut
juga dapat diketahui bahwa perilaku kekerasan terhadap anak pada status sosial
sedang lebih tinggi dari status sosial tinggi. Jadi ada perbedaan yang sangat signifikan
antara perilaku kekerasan terhadap anak antara orang tua yang berlatar belakang
status sosial ekonomi tinggi dan sedang, untuk yang berstatus sosial tinggi dan rendah
22
diperoleh hasil t = 9.234, dengan p = 0.000 (p < 0.01) dan perilaku kekerasan
terhadap anak pada status sosial ekonomi rendah lebih tinggi dari pada status sosial
tinggi, dari hasil analisis tersebut menunjukkan ada perbedaan yang sangat signifikan
perilaku kekerasan terhadap anak antara orang tua yang berstatus sosial ekonomi
tinggi dan rendah.
Perilaku kekerasan terhadap anak antara yang berstatus sosial ekonomi sedang
dan rendah juga menunjukkan ada perbedaan yang sangat signifikan perilaku
kekerasan terhadap anak antara orang tua yang berstatus sosial ekonomi sedang dan
rendah, dimana hal tersebut diperoleh berdasarkan hasil analisis hipotesis uji beda
yang hasilnya adalah t = 4.561dengan p = 0.000 (p < 0.01) dan perilaku kekerasan
terhadap anak pada status sosial rendah lebih tinggi dari pada status sosial sedang.
Adanya perbedaan perilaku kekerasan terhadap anak antara orang tua yang
berstatus sosial ekonomi tinggi, sedang dan rendah dikarenakan menurut Rusmili
(Huraerah, 2006) salah satu faktor penyebab terjadinya kekerasan terhadap anak
adalah faktor lingkungan sosial atau komunitas, dimana di dalam faktor tersebut salah
satunya adalah kondisi sosial-ekonomi yang rendah, hal tersebut juga didukung
dengan pernyataan Gelles (Huraerah, 2006) bahwa sebagian besar kasus-kasus
dilaporkan tentang tindak kekerasan terhadap anak berasal dari keluarga yang hidup
dalam kemiskinan (poverty).
Menurut Scanzoni dan Litton (Kurniawan, 2005), pendidikan yang dijalani akan
menambah keyakinan seseorang pada peranan yang dimilikinya,. Sedangkan menurut
Hess, pendidikan juga mempengaruhi aspek-aspek pengasuhan orang tua yang
23
berasal dari keyakinan-keyakinan orang tua tentang kemampuan anak, dan nilai-nilai
tentang praktek-praktek pengasuhan anak yang berbeda-beda. Adanya perbedaan
yang sangat signifikan perilaku kekerasan terhadap anak antara orang tua yang
berlatar belakang pendidikan tinggi dan rendah, dimana hal tersebut ditunjukkan dari
hasil analisis uji t yang hasilnya adalah t = 6.184, dengan p = 0.000 (p < 0.01) dan
perilaku kekerasan terhadap anak pada orang tua yang berpendidikan rendah lebih
tinngi dibandingkan dengan yang berpendidikan tinggi, untuk uji beda perilaku
kekerasan terhadap anak antara orang tua yang berpendidikan tinggi dan sedang
diperoleh hasil t = 2.765 dengan p = 0.007 (p > 0.01) dan perilaku kekerasan terhadap
anak pada orang tua yang berpendidikan sedang lebih tinggi dibandingkan dengan
yang berpendidikan tinggi, ada perbedaan yang sangat signifikan perilaku kekerasan
terhadap anak antara orang tua yang berlatar belakang pendidikan sedang dan tinggi.
Uji beda untuk perilaku kekerasan terhadap anak antara yang berpendidikan
sedang dan rendah diperoleh hasil t = 4.113 dengan p = 0.000 (p < 0.01) dan perilaku
kekerasan terhadap anak pada orang tua yang berpendidikan rendah lebih tinggi
dibandingkan dengan yang berpendidikan sedang,ada perbedaan yang sangat
signifikan perilaku kekerasan terhadap anak antara orang tua yang berlatar belakang
pendidikan sedang dan rendah.
Adanya perbedaan tersebut kemungkinan disebabkan para orang tua dengan
tingkat pendidikan tinggi memiliki teori yang lebih komplek tentang sebab-sebab
perilaku anak dan perkembangan anak menurut Sameroff dan Feil (Kurniawan,
2005). Dengan pemahaman yang lebih baik tentang sebab-sebab perilaku anak dan
24
perkembangan anak, maka orang tua akan lebih mudah untuk mengerti dan
memahami kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh anak. Sedangkan menurut HoffGinsberg (Kurniawan, 2005), cenderung menganut model Piaget yang menganggap
anak sebagai partisipan aktif dalam proses belajar dan perkembangan sendiri,
sehingga orang tua yang berpendidikan tinggi akan lebih toleran dan mendiskusikan
apa-apa saja perilaku anak yang kurang baik pada anak.
Perbedaan perilaku kekerasan terhadap anak yang ditinjau dari keadaan
ekonomi berhubungan dengan pendapatan karena pendapatan merupakan salah satu
indikator yang dapat menunjukkan keadaan ekonomi seseorang tinggi atau rendah,
dimana hal tersebut berhubungan dengan stres.
Menurut Meyer dalam Good Parent Theory versi Parental Stress Model
(Kurniawan, 2005) menjelaskan bahwa tingkat pendapatan yang rendah mengurangi
kemampuan para orang tua untuk menjadi orang tua yang baik, perbedaan perilaku
kekerasan terhadap anak antara orang tua dengan keadaan ekonomi tinggi dan rendah,
dimana hasilnya adalah t = 8.089, dengan p = 0.000 (p < 0.01) dan perilaku kekerasan
terhadap anak pada orang tua yang memiliki keadaan ekonomi rendah lebih tinggi
dibandingkan dengan keadaan ekonomi yang tinggi, jadi ada perbedaan yang sangat
signifikan, dimana untuk uji beda yang tinggi dan sedang diperoleh hasil t = 4.398,
dengan p = 0.000 (p < 0.01) dan perilaku kekerasan terhadap anak yang orang tua
berkeadaan ekonomi sedang lebih tinggi dibandingkan dengan yang berkeadaan
ekonomi tinggi, jadi ada perbedaan yang sangat signifikan perilaku kekerasan
terhadap anak antara orang tua yang keadaan ekonominya tinggi dan sedang.
25
Sedangkan untuk yang sedang dan rendah diperoleh hasil t = 1.282 dengan p = 0.236
(p > 0.05), jadi tidak ada perbedaan perilaku kekerasan terhadap anak antara orang
tua yang keadaan ekonominya sedang dan rendah.
Perbedaan perilaku kekerasan terhadap anak antara orang tua memilki pekerjaan
yang digolongkan tinggi dan rendah berdasarkan hasil analisis adalah ada perbedaan
yang sangat signifikan dan hasilnya adalah t = 3.388, dengan p = 0.001 (p < 0.01) dan
perilaku kekerasan terhadap anak pada orang tua yang memiliki pekerjaan rendah
lebih tinggi dibandingkan dengan yang memiliki pekerjaan tinggi, untuk yang tinggi
dan sedang diperoleh hasil t = 3.299 dengan p = 0.002 (p < 0.01) dan perilaku
kekerasan terhadap anak pada orang tua yang memiliki pekerjaan sedang lebih tinggi
dibandingkan dengan yang memiliki pekerjaan tinggi, jadi ada perbedaan yang sangat
signifikan perilaku kekerasan terhadap anak antara orang tua yang pekerjaannya
digolongkan tinggi dan sedang.
Uji beda perilaku kekerasan terhadap anak antara yang memiliki pekerjaan
sedang dan rendah, diperoleh hasil t = 1.066, dengan p = 0.293 (p > 0.05) jadi tidak
ada perbedaan perilaku kekerasan terhadap anak antara orang tua yang memiliki
pekerjaan yang digolongkan sedang dan rendah, menurut Herbert (Anoraga, 2001)
kedudukan, jabatan, fungsi dan kekuasaan yang ada pada seseorang dapat
mempengaruhi pola pikir, sikap dan tindakan seseorang. Antara pekarjaan yang
digolongkan tinggi dan rendah memiliki ketegangan tersendiri yang dapat
menyebabkan seseorang mengalami stress dalam bekerja, dan hal tersebutlah yang
dapat menyeebabkan terjadinya perilaku kekerasan terhadap anak.
26
Penelitian ini pun memiliki kelemahan. Kelemahan yang dapat peneliti
ungkapkan adalah kurang berimbangnya antara subjek yang berstatus sosial ekonomi
tinggi, sedang dan rendah karena seharusnya tehnik pemeilihan sample yang dipakai
pada penelitian ini propotional stratified random sampling.
Kelemahan yang lain mungkin adalah alat ukur yang digunakan untuk
mengukur status sosial ekonomi tidak relevan lagi dengan keadaan saat sekarang. Hal
ini dikarenakan rentang nilai untuk mengukur penghasilan terlalu kecil untuk saat
sekarang dan angket status sosial ekonomi juga tidak mengukur dan memberikan
penilaian pada hutang dan kekeyaan yang dimiliki seseorang berupa harta investasi,
seperti kepemilikan tanah, tabungan dan lain-lain.
27
Kesimpulan
Berdasarkan analisis data yang telah dilakukan pada penelitian ini, maka dapat
disimpulkan : ada perbedaan perilaku kekerasan terhadap anak yang dilakukan oleh
orang tua yang berlatar belakang status sosial ekonomi tinggi, status sosial ekonomi
sedang dan status sosial ekonomi rendah, dimana perilaku kekerasan terhadap anak
pada orang tua yang berstatus sosial ekonomi rendah lebih tinggi dibandingkan
dengan status sosial ekonomi tinggi dan sedang dan perilaku kekerasan terhadap anak
pada orang tua yang berstatus sosial sedang lebih tinggi dibandingkan dengan yang
berstatus sosial tinggi.
Saran
1. Bagi para orang tua sebaiknya tidak melakukan tindak kekerasan terhadap anak,
karena hal tersebut dapat menganggu perkembangan fisik dan psikis anak.
2. Semakin meningkatnya kasus-kasus kekerasan terhadap anak akhir-akhir ini yang
terjadi dalam masyarakat, diharapkan peran serta seluruh elemen masyarakat
untuk turut membantu melindungi seluruh anak-anak dari tindak kekerasan oleh
orang dewasa.
3. Untuk peneliti selanjutnya agar dapat menggunakan alat ukur status sosial
ekonomi yang lebih terbaru karena alat ukur yang digunakan untuk mengukur
status sosial ekonomi tidak relevan lagi dengan keadaan saat sekarang. dan
menyeimbangkan antara jumlah subjek yang berstatus sosial ekonomi tinggi,
sedang dan rendah.
28
DAFTAR PUSTAKA
Anoraga, P. 2001. Psikologi Kerja. Rineka Cipta. Jakarta.
Anwar, M. 1995. Pegangan Sosiologi. Arimaco. Bandung.
Aryanti, L. D. 2002. Tingkat Kekerasan Suami Pada Isteri Ditinjau dari Sebelum
Perselingkuhan Suami Diketahui Oleh Isteri dan Sesudah Diketahui Oleh
Isteri.: Skripsi (tidak diterbitkan). Yogyakarta. Fakultas Psikologi Dan Ilmu
Sosial Budaya Universitas Islam Indonesia.
Azwar, S. 1997. Reliabilitas dan Validitas. Liberty. Yogyakarta.
Azwar, S. 2004. Penyusunan Skala Psikologi. Pustaka pelajar. Yogyakarta.
Danim, S. 1997. Metode Penelitan untuk Ilmu-Ilmu Perilaku. Bumi Aksara. Jakarta.
Huraerah, A. 2006. Kekerasan Terhadap Anak. Nuansa. Bandung.
Kartono, K. 1990. Pengantar Metodologi Riset Sosial. Mandar Maju. Bandung.
Kurniawan, I. N. 2005. Strategi Manejemen Konflik Dalam Interaksi Antar Saudara
Kandung Ditinjau Dari Keyakinan Orang Tua dan Status Sosial Ekonomi
Orang Tua. Psikologika Nomor 20 tahun X. Yogyakarta
Patnani, Mm Ekowarni, E. Etsem, M. B. 2002. Kekerasan Fisik terhadap Anak dan
Strategi yang Dikembangkan Anak. Indigenous: Jurnal Ilmiah Berkala Psikologi
Vol 6 No 1. Surakarta.
Paul, H. C. and Emely, L., 1998. Understanding People and Sociology. West
Publishing Company. St paul New York Los Angles. San Francisco.
Puspita, S. E. 2002. Sikap Terhadap Produk Konsumtif pada Remaja Siswa SLTP
Negeri 3 Semarang Ditinjau dari Status Sosial Ekonomi dan Jenis Kelamin.
Skripsi (tidak diterbitkan). Semarang, Fakultas Psikologi Universitas Katolik
Soegijapranata.
Roucek, J. S and Warrner, R. L. 1984. Pengantar Sosiologi. Terjemahan Simamora.
S. PT Bina Aksara. Jakarta.
Samuel, H Dan Suganda, A. 1997. Sosiologi 1. Depertemen Pendidikan dan
Kebudayaan. Jakarta.
29
Santoso, T. 2005. Teori-Teori Kekerasan. Ghalia Indonesia. Jakarta
Sukamto, M. E. 2000, Kekerasan Dalam Rumah Tangga: Perspektif Psikologis dan
Edukatif. Anima : Indonesian Psychological Journal vol 15 no 3. Jakarta.
Tursilarini, T. Y. 2006, Tindak Kekerasan Terhadap Anak : Suatu Tinjauan Aspek
Budaya. Jurnal PKS vol. IV No13. Yogyakarta.
Umaeti, H. 2006. Sikap Terhadap Kekerasan Dalam Rumah Tangga Ditinjau dari
Tingkat Pendidikan, Skripsi (tidak diterbitkan). Yogyakarta. Fakultas Psikologi
Universitas Islam Indonesia.
Wahab,R. 2006. Kekerasan Dalam Rumah Tangga: Perspektif Psikologis dan
Edukatif. UNISIA No 61/xxxix/iii/2006. Yogyakarta.
hhtp://www.waspada.co.id
http://www.azayaka’s.com
http://www.kompas.com
hhtp://www.pikiranrakyat.com
30
Identitas Peneliti
Nama Mahasiswa
: Dono Maradona
Alamat
: Jl. Pagar Alam G. Cempaka 4/3, Segala Mider
Bandar Lampung
No Telpon
: 0721-788727
Download