sudden deafness - UIN Repository

advertisement
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
PENGARUH TERAPI OKSIGEN HIPERBARIK
TERHADAP PASIEN TULI MENDADAK (SUDDEN
DEAFNESS) DI RUMAH SAKIT ANGKATAN LAUT
Dr. MINTOHARDJO JAKARTA PUSAT
PERIODE 2014
SKRIPSI
NOVILA TARI
NIM : 1111102000006
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI FARMASI
JAKARTA
JULI 2015
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
PENGARUH TERAPI OKSIGEN HIPERBARIK
TERHADAP PASIEN TULI MENDADAK (SUDDEN
DEAFNESS) DI RUMAH SAKIT ANGKATAN LAUT
Dr. MINTOHARDJO JAKARTA PUSAT
PERIODE 2014
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi
NOVILA TARI
1111102000006
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI FARMASI
JAKARTA
JULI 2015
i
ii
iii
v
ABSTRAK
Nama
: Novila Tari
Program Studi
: Farmasi
Judul
: Pengaruh Terapi Oksigen Hiperbarik Terhadap Pasien
Tuli Mendadak di Rumah Sakit Angkatan Laut Dr.
Mintohardjo Jakarta Pusat Periode 2014
Tuli mendadak (sudden deafness) adalah suatu kegawatdaruratan yang terjadi
secara tiba-tiba dan memerlukan penanganan segera. Tuli mendadak biasanya
bersifat unilateral. Terapi oksigen hiperbarik merupakan terapi dimana pasien
bernafas dengan pemberian oksigen 100%. Terapi oksigen hiperbarik digunakan
dalam terapi tuli mendadak untuk meningkatkan tekanan oksigen parsial dan
konsentrasi oksigen dalam telinga bagian dalam dan juga untuk meningkatkan
profil darah dan mikrosirkulasi. Penilaian Audiometry dari 54 pasien dilakukan
sebelum dan setelah perawatan. Tekanan terapi oksigen hiperbarik 2,5 ATA
selama 90 menit. Dalam penelitian ini menunjukkan peningkatan rata-rata
mendengar termurah ditemukan pada pasien dengan usia lebih dari 65 tahun
sebesar 5,38 ± 5,47 dB. Perubahan tingkat gangguan pendengaran berdasarkan
ambang pendengaran perbedaan sebelum dan sesudah terapi oksigen hiperbarik
pada frekuensi 250 Hz, 500 Hz, 1000 Hz, 2000 Hz, 4000 Hz dan 8000 Hz. Pada
perbaikan pendengaran rata-rata sebelum dan sesudah terapi oksigen hiperbarik
dilakukan pada frekuensi 250 Hz sebesar 19,4±14,7 dB, frekuensi 500 Hz sebesar
17,3±14,2 dB, frekuensi 1000 Hz sebesar 16,6±13,4 dB, frekuensi 2000 Hz
sebesar 16,7±14,4 dB, frekuensi 4000 Hz sebesar 17,5±12,97 dB dan frekuensi
8000 Hz sebesar 16,6±11,2 dB. . Perubahan tingkat pendengaran menunjukkan
bahwa terapi oksigen hiperbarik secara statistik signifikan dalam meningkatkan
fungsi pendengaran penderita tuli mendadak atau tiba-tiba tuli (p≤0,05).
Kata kunci: Terapi oksigen hiperbarik, gangguan pendengaran, tuli mendadak,
frekuensi audiometri
vi
ABSTRACT
Name
: Novila Tari
Study Program
: Pharmacy
Title
: The Effect Of Hyperbaric Oxygen Therapy to Patients
Sudden Deafness in Naval Hospital Dr Mintohardjo
Central Jakarta Period 2014
Sudden deafness is an emergency that occurs suddenly and requires immediate
treatment. Sudden deafness is usually unilateral. Hyperbaric oxygen therapy is
defined as a treatment in which a patient intermittently breathes 100% oxygen.
Hyperbaric oxygen therapy is used in the therapy of sudden deafness to increase
the partial oxygen pressure and the oxygen concentration in the inner ear and also
to improve the blood profile and the microcirculation. Audiometry assessments of
the 54 patients were performed before and after the treatment. Hyperbaric oxygen
therapy pressure of 2.5 ATA for 90 minutes. In this study showed an average
improvement of hearing lowest was found in patients with age over 65 years
amounted to 5.38 ± 5,47 dB. Changes in the level of hearing loss based on the
difference hearing threshold before and after hyperbaric oxygen therapy at a
frequency of 250 Hz, 500 Hz, 1000 Hz, 2000 Hz, 4000 Hz and 8000 Hz. On
average hearing improvement before and after hyperbaric oxygen therapy done at
a frequency of 250 Hz by 19.4 ± 14.7 dB, a frequency of 500 Hz by 17.3 ± 14.2
dB, frequency of 1000 Hz by16.6 ± 13.4 dB, a frequency of 2000 Hz by 16.7 ±
14.4 dB, frequency at 4000 Hz by 17.5 ± 12.97 dB and a frequency of 8000 Hz by
16.6 ± 11.2 dB. Changes in hearing levels showed that hyperbaric oxygen therapy
was statistically significant in improving the function of hearing people with
sudden deafness or sudden deafness (p≤0,05).
Keywords: Hyperbaric oxygen therapy, hearing loss, sudden deafness, frequency
audiometry
vii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil’alamin, segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT
atas segala rahmat, karunia, dan hidayah-Nya yang telah dilimpahkan kepada
penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi
dengan judul “Pengaruh Terapi Oksigen Hiperbarik Terhadap Pasien Tuli
Mendadak (Sudden Deafness) di Rumah Sakit Angkatan Laut Dr. Mintohardjo
Jakarta Pusat periode 2014”. Shalawat serta salam semoga selalu tercurah kepada
junjungan Nabi Muhammad SAW, dan para sahabat serta pengikutnya.
Dalam penyelesaian penelitian dan penulisan skripsi ini penulis banyak
menerima bantuan maupun dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada
kesempatan ini dengan segala kerendahan hati, penulis ingin memberikan
penghargaan yang setinggi-tingginya dan menyampaikan terima kasih yang tulus
kepada :
1. Drs. Arif Sumantri, M.Kes selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan
2. Yardi, Ph.D., Apt selaku Kepala Program Studi Farmasi Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
3. Dr. Dra. Delina Hasan M. Kes., Apt dan Drs. Fakhren Kasim, MH. Kes.,
Apt.sebagai dosen pembimbing I dan II yang dengan kesabarannya telah
memberikan waktu, ilmu, arahan dan bimbingannya selama penelitian dan
penulisan skripsi ini
4. Kepala Rumah Sakit Angkatan Laut Dr. Mintohardjo, Kepala Bangdiklat
dan Kepala Departemen Farmasi, karyawan ruangan rekam medis yang
telah membantu saya memperoleh data untuk penyusunan skripsi ini
5. Ayahanda tercinta Hendri Si Sutan Bandaro dan Ibunda tercinta Husnita
yang senantiasa selalu memberikan doa, kasih sayang, dan dukungan baik
moral maupun materi kepada penulis selama ini
6. Adik-adikku tersayang Indah Putri Islami, Salsabila Natasya Putri, Suci
Handayani, Ega Fitri Handayani, Debby Tri Handayani, Olivia Reghita
Fitri, Atika Stevany Castavina, Muhammad Ridwan Al-Rasyid, Al-Harits,
Al-Hafidz, Abdurrahman yang senantiasa memberikan dukungan dan
motivasi kepada penulis.
7. Bapak dan Ibu Dosen yang telah memberikan ilmu dan pengetahuan
hingga penulis dapat menyelesaikan studi di Program Studi Farmasi
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
viii
8. Teman seperjuangan di RUMKITAL Dr. Mintohardjo, Dana
Yushhiammanti Fitri, Nindya Azhar, Khabatun Nikmah, Athirotin
Halawiah, Siti Ulfa Bilqis, atas kebersamaan, motivasi dan bantuan selama
penelitian hingga terselesaikannya skripsi ini.
9. Teman-teman tersayang yang telah memberikan dukungan Mazaya
Fadhila, Firda Khanifah, Nurul Hikmah Tanjung, Dini Fauzana, Fitri
Rahmadani, Yulia Nurbaiti Raihana, Denny Arman Siregar, Resky
Yuliandari.
10. Teman-teman Farmasi Angkatan 2011 atas segala kebersamaanya,
semangat, dan bantuan selama dibangku perkuliahan hingga selesai
pengerjaan skripsi ini.
11. Dan kepada semua pihak yang telah membantu selama penelitian dan
penulisan skripsi baik secara langsung maupun tidak langsung yang tidak
bisa penulis sebutkan satu per satu.
Semoga segala bantuan yang telah diberikan kepada penulis
mendapatkan balasan dari Allah SWT. Penulis menyadari bahwa skripsi
ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu penulis mengaharapkan masukan
berupa kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan skripsi ini.
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Jakarta,
Juni 2015
Penulis
ix
x
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL............................................................................................. i
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS................................................. ii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING.................................................. iii
HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI............................................................... iv
ABTRAK................................................................................................................. v
ABSTRACT............................................................................................................ vi
KATA PENGANTAR............................................................................................ vii
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI........................... ix
DFTAR ISI.............................................................................................................. x
DAFTAR TABEL .................................................................................................. xii
DAFTAR GAMBAR.............................................................................................. xiii
DAFTAR LAMPIRAN.......................................................................................... xiv
DAFTAR ISTILAH............................................................................................... xv
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang...................................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah................................................................................ 3
1.3. Tujuan Penelitian.................................................................................. 3
1.3.1. Tujuan Umum........................................................................... 3
1.3.2. Tujuan Khusus.......................................................................... 3
1.4. Manfaat Penelitian................................................................................ 4
1.4.1. Secara Teoritis.......................................................................... 4
1.4.2. Secara Metodologi.................................................................... 4
1.4.3. Secara Aplikatif........................................................................ 4
1.5. Ruang Lingkup Penelitian.................................................................... 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................ 5
2.1. Anatomi dan Fisiologi Pendengaran................................................ 5
2.1.1. Anatomi Pendengaran............................................................... 5
2.1.2. Fisiologi Pendengaran............................................................... 8
2.2. Jenis Gangguan Pendengaran........................................................... 9
2.3. Cara Pemerikaan Pendengaran......................................................... 9
2.4. Ambang Dengar................................................................................ 12
2.5. Tuli Mendadak.................................................................................. 12
2.5.1. Definisi ..................................................................................... 12
2.5.2. Etiologi ..................................................................................... 13
2.5.3. Patogenesis................................................................................ 13
2.5.4. Gejala Klinis............................................................................. 14
2.5.5. Klasifikasi Derajat Gangguan Pendengaran.............................. 15
2.5.6. Diagnosa.................................................................................... 15
2.5.7. Pengobatan................................................................................ 15
2.5.8. Evaluasi fungsi pendengaran.................................................... 16
2.5.9. Prognosis................................................................................... 16
2.6. Oksigen
16
2.6.1. Definisi Oksigen........................................................................ 16
2.6.2. Komposisi Udara....................................................................... 17
2.6.3. Proses Pernafasan...................................................................... 17
xi
2.7. Terapi Oksigen Hiperbarik...............................................................
2.7.1. Definisi Terapi Oksigen Hiperbarik..........................................
2.7.2. Indikasi Terapi Oksigen Hiperbarik..........................................
2.7.3. Kontraindikasi Terapi Oksigen Hiperbarik...............................
2.7.4. Komplikasi................................................................................
2.7.5. Klasifikasi Ruang Terapi Oksigen Hiperbarik..........................
2.7.6. Peralatan Tambahan untuk Ruang Udara Bertekanan Tinggi...
2.7.7. Faktor Pelaksanaan Terapi Oksigen Hiperbarik.......................
2.7.8. Cara Kerja Terapi Oksigen Hiperbarik.....................................
2.7.9. Efek Terapi Oksigen Hiperbarik pada Tuli Mendadak
(Sudden Deafness)....................................................................
2.7.10. Hiperbarik Center Rumah Sakit Angkatan Laut Dr.
Mintohardjo Jakarta..................................................................
BAB III KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL........................
3.1. Kerangka Konsep.............................................................................
3.2. Definisi Operasional.........................................................................
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN.............................................................
4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian...........................................................
4.2. Desain Penelitian.............................................................................
4.3. Populasi dan Sampel Penelitian.......................................................
4.3.1. Populasi......................................................................................
4.3.2. Sampel........................................................................................
4.4. Prosedur Penelitian..........................................................................
4.4.1. Persiapan (Permohonan Izin Penelitian)....................................
4.4.2. Pengumpulan Data.....................................................................
4.4.3. Pengolahan Data........................................................................
4.5. Analisa Data....................................................................................
4.5.1. Rencana Analisis Data...............................................................
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN.................................................................
5.1. Hasil..................................................................................................
5.1.1. Sifat Gangguan Pendengaran Pasien Tuli Mendadak...............
5.1.2. Perubahan Tingkat Pendengaran (dB) Berdasarkan Usia.........
5.1.3. Perubahan Tingkat Pendengaran (dB) Setelah Terapi Oksigen
Hiperbarik Pada Frekuensi 250 Hz, 500 Hz, 1000 Hz, 2000 Hz,
4000 Hz dan 8000 Hz..................................................................
5.2. Pembahasan.....................................................................................
5.2.1. Sifat Gangguan Pendengaran Pasien Tuli Mendadak...............
5.2.2.Perubahan Tingkat Pendengaran (dB) Berdasarkan Usia.........
5.2.3. Perubahan Tingkat Pendengaran (dB) Setelah Terapi Oksigen
Hiperbarik Pada Frekuensi 250 Hz, 500 Hz, 1000 Hz, 2000
Hz, 4000 Hz dan 8000 Hz......................................................
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN................................................................
6.1. Kesimpulan..................................................................................
6.2. Saran............................................................................................
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................
LAMPIRAN. .........................................................................................................
xii
21
23
23
25
26
27
28
28
29
30
31
33
33
33
35
35
35
35
35
35
36
36
36
37
37
37
40
40
40
40
41
43
43
43
44
45
45
46
47
51
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1. Diagnosa Tes Rinne, Tes Webber Dan Tes Schwabach............... 11
Tabel 2.2. Klasifikasi Derajat Gangguan Pendengaran..................................15
Tabel 2.3. Komposisi udara dan unsur penyusunnya.....................................17
Tabel 2.4. Tekanan parsial oksigen dan karbondioksida............................... 19
Tabel 3.1 Definisi Operasional...................................................................... 33
xiii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1. Anatomi Telinga...................................................................... 5
Gambar 3.1. Kerangka Konsep Penelitian.................................................... 33
xiv
Daftar Lampiran
Lampiran 1. Data audiogram sebelum terapi oksigen hiperbarik....................
51
Lampiran 2. Data audiogram setelah terapi oksigen hiperbarik......................
52
Lampiran 3. Audiogram sebelum dan setelah terapi oksigen hiperbarik........
53
Lampiran 4. Sifat gangguan pendengaran tuli mendadak................................
54
Lampiran 5. Perubahan tingkat pendengaran setelah terapi oksigen hiperbarik
berdasarkan usia............................................................................................... 55
Lampiran 6. Hasil dari Paired Sample T-Test.................................................
xv
56
DAFTAR ISTILAH
AD
: Ambang Dengar
AC
: Air Conduction / Konduksi Udara
BC
: Bone Conduction / Konduksi Tulang
Bilateral
: Dua Telinga
dB
: Decibell
Hz
: Hertz
Unilateral
: Satu telinga
dB HL
: Decibell Hearing Level
dB SL
: Decibell Sensation Level
dB SPL
: Decibell Sound Pressure Level
xvi
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Tuli mendadak (sudden deafness) adalah gejala menakutkan yang terjadi secara tiba-
tiba (Bashiruddin J, 2007) dan disarankan langsung melakukan pengobatan (Stachler RJ et
al., 2012). Walaupun beberapa kepustakaan menyatakan bahwa tuli mendadak dapat pulih
spontan (Arslan N et al., 2011). Biasanya tuli mendadak bersifat unilateral dan kurang dari
2% bersifat bilateral (Topuz, 2010). Kehilangan pendengaran sensorineural secara tiba-tiba
mempengaruhi 5 sampai 20 per 100.000 penduduk dengan sekitar 4000 kasus baru per tahun
di Amerika Serikat (Stachler RJ et al., 2012).
Berdasarkan hasil “WHO Multi Center Study” pada tahun 1998, Indonesia termasuk
empat negara di Asia Tenggara dengan prevalensi ketulian yang cukup tinggi (4,6%), tiga
negara lainnya adalah Sri Lanka (8,8%), Myanmar (8,4%) dan India (6,3%). Walaupun bukan
yang tertinggi tetapi prevalensi 4,6% dapat menimbulkan masalah sosial di tengah
masyarakat. Hasil Survei Kesehatan Indera Penglihatan dan Pendengaran tahun 1994-1996
yang dilaksanakan di tujuh provinsi di Indonesia menunjukan prevalensi dari tuli mendadak
sebanyak 0,2% (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2006).
Secara global WHO memperkirakan bahwa pada tahun 2000 terdapat 250 juta (4,2%)
penduduk dunia menderita gangguan pendengaran, 75 sampai 140 juta diantaranya terdapat
di Asia Tenggara, 50% dari gangguan pendengaran ini sebenarnya dapat dicegah dengan
penatalaksanaan yang benar dan deteksi dini dari penyakit (Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia, 2006).
Menurut Chin-Saeng Cho et al. (2013), 32% sampai 65% dari kasus tuli mendadak
dapat sembuh spontan. Prognosis untuk pemulihan tergantung pada sejumlah faktor,
termasuk usia pasien, adanya vertigo saat onset, tingkat gangguan pendengaran, konfigurasi
audiometri, dan waktu antara onset gangguan pendengaran dan pengobatan (Chin-Saeng Cho
et al., 2013).
Penyebab pasti tuli mendadak hanya ditemukan pada 10-15% kasus (Rauch, 2008)
sebagian besar kasus tetap tidak diketahui penyebab terjadinya tuli mendadak yang disebut
juga dengan idiopatik (Stachler RJ et al., 2012).Terapi yang diberikan untuk pasien tuli
mendadak dengan pengobatan konvensional berupa vasodilasator, kortikosteroid, vitamin c
dan neurobion. Sejalan dengan perkembangan teknologi, terapi untuk mencapai kesembuhan
1
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2
tuli mendadak pun mengalami perkembangan. Salah satu teknologi yang digunakan untuk
membantu mempercepat penyembuhan tuli mendadak adalah terapi oksigen hiperbarik
(Bashiruddin J, dkk., 2007).
Terapi oksigen hiperbarik didefinisikan oleh Undersea and Hyperbaric Medical
Society (UHMS) sebagai pengobatan dimana pasien bernafas dengan oksigen 100% di dalam
ruang yang bertekanan tinggi dari tekanan atmosfir normal, yaitu 1 ATA (Atmosfir Absolut).
Peningkatan tekanan harus sistemik dan dapat diterapkan dalam monoplace atau multiplace.
Ruang multiplace bertekanan udara dengan oksigen diberikan melalui topeng wajah dan
tabung endotrakeal, sedangkan ruang monoplace bertekanan oksigen (Gill A.L, 2004). Terapi
oksigen hiperbarik ini bersifat terapi tambahan untuk tuli mendadak (Bashiruddin J, dkk.,
2007).
Sejak tahun 1960, terapi oksigen hiperbarik digunakan untuk perawatan tuli
mendadak di Perancis dan German. Terapi oksigen hiperbarik untuk pasien tuli mendadak
atau sudden deafness bermanfaat untuk meningkatkan pengiriman oksigen ke dalam jaringan
koklea yang sangat sensitif terhadap iskemia. Terapi oksigen hiperbarik diperkirakan
memiliki efek yang kompleks pada imunitas, transportasi oksigen, hemodinamik, mengurangi
hipoksia dan edema (Stachler RJ, 2012). Persentasi tingkat pemulihan pada anak-anak 72,4%
dan orang dewasa 70,6%. Baik pada anak-anak dan orang dewasa menunjukkan tingkat
pemulihan pendengaran secara signifikan. (Na, 2014).
Studi penelitian lain dilakukan pada 17 pasien tuli mendadak dengan jumlah peserta
laki-laki 12 orang dan perempuan 5 orang dengan usia rata-rata adalah 35,3 tahun (rentang:
18-68). Dalam ruang hiperbarik, semua pasien bernapas 100% oksigen selama 60 menit dua
kali sehari, baik sampai sembuh atau maksimal 30 sesi dimana sebelum dilakukan penelitian
peserta diperiksa dengan lima frekuensi. Ditemukan pendengaran pasien di kisaran 61-93 dB
pada 12 pasien, sementara 5 pasien di kisaran 41-60 dB. Setelah terapi oksigen hiperbarik,
tingkat pendengaran dari 14 pasien berada dalam kisaran 0-26 dB, tingkat pendengaran 2
pasien meningkat menjadi 27-40 dB dan 1 pasien dengan tingkat pendengaran tetap di
kisaran 41-60 dB. Tingkat pendengaran rata-rata untuk semua pasien dan untuk semua lima
frekuensi dasar adalah 67,8 dB sebelum terapi, dibandingkan dengan 21,6 dB setelah terapi
oksigen (Racic G., 2001). Hal ini menunjukkan bahwa terapi oksigen hiperbarik dapat
meningkatkan kemampuan pendengaran pasien tuli mendadak.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3
Di Indonesia, salah satu rumah sakit yang memiliki fasilitas terapi oksigen hiperbarik
adalah Rumah Sakit Angkatan Laut Dr. Mintohardjo Jakarta Pusat. Tahun 2014 pasien tuli
mendadak (sudden deafness) di Rumah Sakit Angkatan Laut Dr. Mintohardjo sebanyak 123
pasien, jumlah ini meningkat dari 106 pasien pada tahun 2013. Pada tahun 2002 dilakukan
penelitian tentang terapi oksigen hiperbarik terhadap penderita dengan diagnosa tuli
mendadak di Rumah Sakit Angkatan Laut Dr. Mintohardjo. Pada 34 pasien yang diteliti
terdapat 25 pasien yang mengalami perbaikan pendengaran. Penelitian tersebut hanya
dilakukan pada frekuensi 500 Hz, 1000 Hz dan 4000 Hz dengan perbaikan pendengaran
sebesar 13,7±23,1 dB, 14,1±21,9 dB dan 13,8±20,0 dB (wulandari, 2002). Oleh karena itu,
dilakukan penelitian mengenai Pengaruh Penggunaan Terapi Oksigen Hiperbarik pada Pasien
Tuli Mendadak (Sudden Deafness) di Rumah Sakit Angkatan Laut Dr. Mintohardjo Periode
2014 dengan frekuensi tambahan 250 Hz, 2000 Hz dan 8000 Hz.
1.2.
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas menunjukan bahwa penyakit tuli mendadak semakin
meningkat. Pada tahun 2002, sudah dilakukan penelitian tentang terapi oksigen hiperbarik
terhadap penderita dengan diagnosa tuli mendadak di Rumah Sakit Angkatan Laut Dr.
Mintohardjo pada frekuensi 500 Hz, 1000 Hz dan 4000 Hz (Wulandari, 2002). Penelitian ini
akan dilakukan dengan penambahan pada frekuensi 250 Hz, 2000 Hz dan 8000 Hz di Rumah
Sakit Angkatan Laut Dr. Mintohardjo.
1.3.
Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh terapi hiperbarik pada
pasien tuli mendadak di Rumah Sakit Angkatan Laut Dr. Mintohardjo pada bulan Januari
2014 hingga Desember 2014.
1.3.2. Tujuan Khusus
1.
Untuk mengidentifikasi fungsi terapi oksigen hiperbarik terhadap pasien tuli
mendadak.
2.
Untuk mengetahui apakah ada perbaikan pendengaran setelah terapi oksigen
hiperbarik berdasarkan umur.
3.
Untuk mengetahui apakah adanya perbaikan pendengaran setelah terapi oksigen
hiperbarik pada frekuensi 250 Hz, 500 Hz, 1000 Hz, 2000 Hz, 4000 Hz dan 8000
Hz.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4
1.4.
Manfaat Penelitian
1.4.1. Secara Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah ilmu pengetahuan serta wawasan
tentang penggunaan terapi hiperbarik, khususnya bagi pasien tuli mendadak atau sudden
deafness.
1.4.2. Secara Metodologi
Metode penelitian ini dapat menjadi referensi untuk diaplikasikan pada penelitian
farmasi klinis yang menggunakan terapi oksigen hiperbarik.
1.4.3. Secara Aplikatif
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan suatu bahan pertimbangan ataupun
kebijakan dalam pengobatan tuli mendadak di Rumah Sakit Angkatan Laut Dr. Mintohardjo.
1.5.
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian yang berjudul “ Pengaruh Terapi Hiperbarik pada Pasien Tuli Mendadak
(sudden deafness) di Rumah Sakit Angkatan Laut Dr. Mintohardjo Jakarta Pusat Periode
2014”, membahas tentang penggunaan terapi hiperbarik pada pasien tuli mendadak di Rumah
Sakit Angkatan Laut Dr. Mintohardjo Jakarta Pusat. Data yang diambil berupa data pasien
yang menderita penyakit tuli mendadak atau sudden deafness yang dilakukan dengan
pendekatan retrospektif dengan desain penelitian cross sectional. Penelitian ini akan
dilaksanakan pada bulan Mei 2015 sampai juni 2015 di Rumah Sakit Angkatan Laut Dr.
Mintohardjo Jakarta Pusat.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi dan Fisiologi Pendengaran
2.1.1. Anantomi Alat Pendengaran
Gambar 1. Anatomi Telinga (Pearce, 2009).
Telinga terdiri dari tiga bagian:
a. Telinga luar,
b. Telinga tengah,
c. Teliga dalam, telinga dalam terdiri dari dua bagian, yaitu aparat vestibular
untuk keseimbangan dan koklea untuk pendengaran.
Telinga luar dan tengah menghantarkan suara ke koklea, yang memisahkan
suara sesuai frekuensi sebelum suara ditransduksi oleh sel rambut menjadi kode
neural dalam serat saraf pendengaran. Pada telinga luar terdapat konka yang
paling penting secara akustik (Moller, 2006).
a. Telinga Luar
Telinga luar terdiri atas aurikel atau pina, meatus auditorius
eksterna yang menghantarkan getaran suara menuju membran timpani.
5
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
6
Liang telinga berukuran 2,5 sentimeter, sepertiga luarnya adalah tulang
rawan sementara dua pertiga dalamnya berupa tulang. Aurikel berbentuk
tidak teratur serta terdiri atas tulang rawan dan jaringan fibrus, kecuali
cuping telinga yang terutama terdiri dari lemak (Pearce, 2009).
b. Telinga tengah
Telinga tengah merupakan rongga timpani yang berisi udara. Di
dalam tulang tengah terdapat tulang-tulang pendengaran yaitu tiga tulang
kecil yang tersusun seperti rantai bersambung dari membran timpani
menuju rongga telinga dalam. Tulang sebelah luar adalah maleus,
berbentuk seperti martil. Tulang yang berada di tengah disebut inkus atau
landasan. Tulang stapes atau sanggurdi dikaitkan pada inkus dengan ujung
yang lebih kecil dan dasarnya terkait pada membran fenestra vestibuli.
Tulang-tulang pendengaran ini berfungsi mengalirkan getaran suara dari
gendang telinga menuju rongga telinga dalam.
Prosesus mastoideus adalah bagian tulang temporalis yang terletak
di belakang telinga, sementara ruang udara yang berada pada bagian
atasnya adaah antrum mastoideus yang berhubungan dengan rongga
telinga tengah (Pearce, 2009).
Membran timpani memiliki bentuk agak oval dan pada ujung liang
telinga berupa selaput tipis. Gendang telinga berbentuk kerucut dan agak
cekung bila dilihat dari liang telinga. Bagian utama dari gendang telinga
disebut pars tensa dan bagian kecilnya disebut pars flasida yang lebih tipis
dan terletak diatas manubrium maleus. Gendang telinga ditutupi oleh
selapis sel epidermis yang berlanjut dari kulit liang telinga. Tuba
eustachius menghubungkan rongga telinga tengah dengan daerah
nasofaring. Tuba Eustachius terdiri dari bagian tulang atau protimpanum
yang terletak dekat rngga telinga tengah dan bagian tulang rawan yang
membentuk celah tertutup saat berakhir di nasofaring (Moller, 2006).
c. Telinga dalam
Rongga telinga dalam berada dalam bagian os petrosum tulang
temporalis. Rongga telinga dalam terdiri atas berbagai rongga yang
menyerupai saluran-saluran dalam tulang temporais. Rongga-rongga itu
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
7
disebut labirin tulang dan dilapisi membran sehingga membentuk labirin
membranosa (Pearce, 2009).
Telinga dalam labirin terdiri dari koklea dan vestibular. Koklea
atau rumah siput berupa dua setengah lingkaran dan vestibular terdiri dari
tiga buah kanalis semisirkularis. Koklea memiliki 3 saluran yang berisi
cairan, yaitu skala vestibuli, skala timpani dan skala media. Skala media
yang berlokasi di tengah koklea, dipisahkan dari skala vestibuli oleh
membran Reissner dan dari skala timpani oleh membran basilar. Pada
membran basilar ini terdapat organ corti yang mengandung sel rambut
(Moller, 2006).
Organ corti terdiri dari beberapa sel penunjang, satu sel indera
bagian dalam dan tiga sel indera bagian luar. Sel-sel indera ini
berhubungan dengan membran tektoria. Karena getaran pada stapes terjadi
gelombang-gelombang yang berjalan ke perpilimfa dan endolimfa.
Akibatnya, sel rambut dalam duktus koklearis akan bergerak terhadap
membran tektoria. Pergeseran ini akan merangsang sel-sel rambut luar.
Secara berirama sel-sel rambut luar akan berkontraksi sehingga pergeseran
antara membran tektoria dan membran basal akan diperkuat dan
selektivitas frekuensi diperbesar. Akibatnya, timbul depolarisasi pada
sinaps sel-sel rambut bagian dalam. Membran basal bekerja menerima
nada tinggi pada permulaan dan nada rendah pada dibagian akhir atau
helikotrema (Moller, 2006).
Sistem cairan koklea dibagi dengan organ vestibular dan terdiri dari dua
sistem, yaitu sistem perilimfatik, dimana komposisi cairan ionik menyerupai
carian serebrospinal dan endolimfatik yang sistem cairan menyerupai cairan
intraseluler. Dalam koklea ruang endolimfatik dipisahkan dari ruang perilimfatik
oleh membran Reissner dan membran basilar. Komposisi cairan ionik perilimfatik
berfungsi untuk sel-sel rambut. Ruang cairan perilimfatik dari telinga bagian
dalam berkomunikasi dengan cairan serebrospinal dalam rongga tengkorak
melalui saluran cair koklea yang menghubungkan ruang perilimfatik dengan
ruang cairan kranial. Saluran tersebut memiliki diameter 0,05-0,5 mm. Ruang
endolimfatik berkomunikasi dengan kantung endolimfatik melalui saluran
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
8
endolimfatik. Kantung endolimfatik merupakan ruang antara dua lapisan dura
meter. Kantung tersebut berada di dekat dinding tengkorak yaitu acousticus porus.
Ketidakseimbangan tekanan pada ruang tersebut dapat menyebabkan gangguan
pendengaran dan gangguan keseimbangan (Moller, 2006).
Peredaran darah di telinga luar dialiri oleh cabang aurikulotemporal arteri
temporalis superfisial di bagian anterior dan di bagian posterior disuplai oleh
cabang aurikuloposterior arteri karotis eksterna. Kavum timpani disuplai oleh
berbagai cabang arteri karotis eksterna (arteri meningea media, arteri faringeal
asceden, arteri maksilaris dan arteri stilomastoid). Peredaran darah di telinga
dalam disuplai oleh arteri labirin yang berasal dari arteri anterior inferior
cerebellar atau arteri basilaris. Arteri labirin merupakan akhir dari arteri yang
sedikit atau tanpa suplai darah ke koklea ( Moller, 2006).
2.1.2. Fisiologi Pendengaran
Proses mendengar diawali dengan ditankgapnya energi bunyi oleh daun
telinga dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau tulang ke
koklea (Bashiruddin J, 2007). Getaran-getaran tersebut selanjutnya diteruskan
menuju inkus, stapes dan maleus. Gerakan yang timbul pada setiap tulang akan
memperbesar getaran yang kemudian disalurkan melalui fenestra vestibular
menuju perilimfa (Pearce, 2009). Getaran diteruskan melalui membran Reissner
yang mendorong endolmifa sehingga menimbulkan gerak relatif antara membran
basilaris dan membran tektoria (Bashiruddin J, 2007).
Organ corti menumpang pada membran basilaris sel-sel rambut bergerak
naik turun sewaktu membran basilaris bergetar. Karena rambut-rambut dari sel
reseptor terbenam di dalam membran tektorial yang kaku dan stasioner, rambutrabut tersebut akan membengkok ke depan dan belakang sewaktu membran
basilaris menggeser posisinya terhadap membran tektorial. Perubhan bentuk
mekanis rambut yang maju-mundur menyebabkan saluran-saluran ion gerbang
mekanis pada sel-sel rambut terbuka dan tertutup secara bergantian. Hal ini
menyebabkan perubahan potensial depolarisasi dan hiperpolarisasi yang
bergantian pada frekuensi yang sama dengan rangsangan suara semula (Lauralee
S, 2001).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
9
Dengan demikian, telinga mengubah gelombang suara di udara menjadi
gerakan-gerakan berosilasi membran basilaris yang membengkokkan pergerakan
maju-mundur rambut-rambut di sel reseptor. Perubahan bentuk mekanis rambutrambut tersebut menyebabkan pembukaan dan penutupan (secara bergantian)
saluran di sel reseptor yang menimbulkan perubahan potensial berjenjang di
reseptor sehingga mengakibatkan perubahan kecepatan pembentukan potensial
aksi yang merambat ke otak. Dengan cara ini, gelombang suara di terjemakan
menjadi sinyal saraf yang dapat dipersepsikan oleh otak sebagai sensasi suara.
(Lauralee S, 2001).
2.2. Jenis Gangguan Pendengaran
1. Gangguan pendengaran konduktif
Pada gangguan pendengaran jenis ini, transmisi gelombang tidak
dapat mencapai telinga dalam secara efektif. Ini disebabkan karena
beberapa gangguan atau lesi pada kanal telinga luar, rantai tulang
pendengaran, ruang telinga tengah, fenestra ovalis, fenestra rotunda dan
tuba auditiva. Gejala yang dialami pada gangguan pendengaran konduktif
biasanya berupa adanya cairan yang keluar dari telinga (Bashiruddin J,
2007).
2. Gangguan pendengaran sensorineural
Gangguan pendengaran sensorineural kelainan teradpat pada
koklea (telinga dalam), nervus VIII atau di pusat pendengaran
(Bashiruddin J, 2007).
3. Gangguan pendengaran campuran
Bila
gangguan
pendengaran
atau
ketulian
konduktif
dan
sensorineural terjadi bersamaan. Misalnya, radang telinga tengah dengan
komplikasi ke telinga dalam atau merupakan dua penyakit yang berlainan,
misalnya tumor nervus VIII (tuli saraf) dengan radang telinga tengah (tuli
kenduktif) (Bashiruddin J, 2007).
2.3.
Cara Pemeriksaan Pendengaran
Untuk memeriksa pendengaran diperlukan pemeriksaan hantaran melalui
udara dan melalui tulang dengan memakai garpu tala atau audiometer nada murni.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
10
Kelainan hantaran melalui udara menyebabkan tuli konduktif, berarti ada kelainan
di telinga luar dan telinga tengah, seperti atresia liang telinga, eksostosis liang
telinga, serumen, sumbatan tuba eusachius serta radang telinga tengah. Kelainan
di telinga tengah menyebabkan tuli sensorineural koklea atau retrokoklea
(Bashiruddin J, 2007).
Secara fisiologik telinga dapat mendengar nada antara 20-18.000 Hz.
Untuk pendengaran sehari-hari yang paling efektif antara 500-2000 Hz. Oleh
karena itu untuk memeriksa pendengaran dipakai garpu tala 512, 1024 dan 2048
Hz. Penggunaan ketiga garpu tala ini penting untuk pemeriksaan kualitatif. Bila
salah saut frekuensi ini tergangu penderita akan sadar adanya gangguan
pendengaran. Bila tidak mungkin menggunakan ketiga garpu tala itu, maka
diambil 512 Hz karena penggunaan garpu tala ini tidak terlalu dipengaruhi suara
bising di sekitarnya (Bashiruddin J, 2007).
Untuk mempermudah interpretasi secara klinik, dipakai tes Rinne, tes
Weber dan tes Schwabach secara bersamaan.
1. Cara pemeriksaan
1. Tes Rinne: tes ini membandingkan antara konduksi melalui tulang
dan udara. Garputala digetarkan kemudian diletakkan pada
prosesus mastoideus (dibelakang telinga), setelah tidak mendengar
getaran lagi garputala dipindahkan di depan liang telinga, tanyakan
penderita apakah masih mendengarnya (J.F Gabriel, 1996).
2. Tes Weber: penala digetarkan dan tangkai penala diletakkan di
garis tengah kepala (di verteks, dahi, pangkal hidung, di tengahtengah gigi seri atau dagu). Apabila bunyi penala terdengar lebih
keras pada salah satu telinga disebut Weber lateralisasi ke telinga
tersebut. Bila tidak dapat dibedakan ke arah telinga mana bunyi
terdengar lebih keras disebut Weber tidak ada lateralisasi
(Bashiruddin J, 2007).
3. Tes Schwabach: tes ini membandingkan jangka waktu konduksi
tulang melalui verteks atau prosesus mastoideus penderita dengan
konduksi tulang sipemeriksa (J.F Gabriel, 1996).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
11
Tabel 2.1. Diagnosa Tes Rinne, Tes Weber dan Tes Schwabach
(Bashiruddin J, 2007).
Tes Rinne
Tes Weber
Tes
Schwabach
Diagnosis
Positif
Tidak ada Sama dengan Normal
lateralisasi
pemeriksa
Negatif
Lateralisasi Memanjang
ke telinga
yang sakit
Tuli
konduktif
Positif
Lateralisasi Memendek
ke telinga
yang sehat
Tuli
sensoineural
1. Tes berbisik
Pemeriksaan ini bersifat semi-kuantitatif, menentukan derajat
ketulian secara kasar. Hal yang perlu diperhatikan adalah ruangan cukup
tenang, dengan panjang minimal 6 meter. Pada nilai normal tes berbisik
adalah 5/6-6/6 (Bashiruddin J, 2007).
2. Audiometri nada murni
Untuk membuat audiogram diperlukan alat audiometer. Bagian
dari audiometer tombol pengatur intensitas bunyi, tombol pengatur
frekuensi, headphone untuk memeriksa AC (hantaran udara), bone
conductor untuk memeriksa BC (hantaran tulang).
1. Frekuensi adalah nada murni yang dihasilkan oleh getaran suatu benda
yang sifatnya harmonis sederhana (simple harmonic motion). Jumlah
getaran per detik dinyatakan dalam Hertz.
2. Intesitas bunyi dinyatakan dalan dB (decibell). Dikenal dengan dB HL
(hearing level), dB SL (sensation level), dB SPL (sound pressure
level). dB HL dan dB SL dasarnya adalah subyektif, dan inilah yang
biasanya digunakan pada audiometer, sedang dB SPL digunakan
apabila ingin mngetahui intensitas bunyi yang sesungguhnya secara
fisika.
3. Ambang dengar ialah bunyi nada murni yang terlemah pada frekuensi
tertentu yang masih dapat didengar oleh telinga seseorang. Terdapat
ambang dengar menurut konduksi udara (AC) dan menurut konduksi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
12
tulang (BC). Bila ambang dengar ini dihubungkan dengan garis baik
AC maupun BC, maka akan didapatkan audiogram. Dari audiogram
dapat diketahui jenis dan derajat ketulian (Bashiruddin J, 2007).
4. Notasi pada audiogram
Untuk pemeriksaan audiogram, dipakai grafik AC yang dibuat dengan
garis lurus penuh (intensitas yang diperiksa antara 125-8000 Hz) dan
grafik BC yaitu dibuat dengan garis putus-putus (intensitas yang
diperiksa 250-4000 Hz). Untuk telinga kiri dipakai warna biru
sedangkan telinga kanan warna merah (Bashiruddin J, 2007).
Nilai nol audiometrik (audiometric zero) dalam dB HL dan dB SL,
yaitu intensitas nada murni yang terkecil pada suatu frekuensi tertentu
yang masih dapat didengar oleh telinga rata-rata orang dewasa muda yang
normal (18-30 tahun). Pada tiap frekuensi intensitas nol audiometrik tidak
sama. (Bashiruddin J, 2007).
Telinga manusia paling sensitif terhadap bunyi dengan frekuensi
1000 Hz yang besar nilai audiometrik kira-kira 0,0002 dyne/cm2. Pada
frekuensi 2000 Hz nilai audiometriknya lebih besar dari 0,0002 dyne/cm2.
Pada audiogram angka-angka intensitas dalam dB bukan menyatakan
liniar, tetapi merupakan kenaikan logaritmik secara perbandingan
(Bashiruddin J, 2007).
2.4.
Ambang Dengar (Bashiruddin J, 2007)
AD =
2.5.
Tuli Mendadak
2.5.1. Definisi
Tuli mendadak atau sudden deafness adalah tuli yang terjadi secara tibatiba. Jenis ketuliannya adalah sensorineural dan penyebabnya tidak dapat
langsung diketahui. Biasanya terjadi pada satu telinga (Bashiruddin J, 2007).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
13
2.5.2. Etiologi
Menurut Rauch, penyebab pasti tuli mendadak hanya ditemukan pada 1015% kasus, sebagian besar kasus tetap tidak diketahui penyebabnya (idiopatik)
(Rauch, 2008). Tuli mendadak juga dapat disebabkan oleh berbagai hal antara lain
iskemia koklea, infeksi virus, trauma kepala, trauma bising yang keras, perubahan
tekanan atmosfir, autoimun, obat ototoksik, penyakit Meniere dan neuromakustik.
Tetapi yang biasanya dianggap sebagai etiologi adalah iskemia koklea dan infeksi
virus (Bashiruddin J, dkk., 2007).
2.5.3. Patogenesis
Ada 4 teori postulasi terjadinya tuli mendadak yaitu infeksi viral labirin,
gangguan vaskular labirin, ruptur membran intrakoklear dan penyakit telinga
dalam yang berhubungan dengan autoimun. Namun setiap jalur teori ini belum
tentu terjadi pada setiap kasus tuli mendadak atau suden deafness.
1. Infeksi viral labirin
Prevalensi menunjukan 7 -13% pasien
yang menderita
tuli
mendadak sebelumnya menderita infeksi virus (mumps, herpes).
Terkadang dapat ditemukannya histopatologi pada telinga bagian dalam
yang
menunjukan adanya infeksi oleh virus. Gambaran histopatologi
ditemukan adanya kerusakan di koklea berupa hilangnya sel–sel rambut
dan sel penyokongnya, atrofi membrane tectorial, atrofi stria vascularis,
dan hilangnya neuron (Marthur, 2015).
2. Gangguan vaskular labirin
Koklea diperdarahi oleh arteri auditiva interna, dimana pembuluh
darah ini merupakan arteri ujung atau end-artery, sehingga bila terjadi
gangguan pada pembuluh darah ini koklea sangat mudah mengalami
kerusakan. Gangguan vaskular labirin bisa disebabkan oleh adanya
trombus, emboli dan vasospasme yang dapat menyebabkan penurunan
suplai darah ke koklea sehingga perfusi dan oksigenasi jaringan
terganggu (iskemia koklea) yang menyebabkan perubahan tekanan
oksigen perilimfe (Marthur, 2015).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
14
3. Ruptur membran intrakoklear
Membran ini memisahakan telinga tengah dan telinga dalam. Pada
koklea membran ini juga memisahkan ruang perilimfe dan endolimfe.
Ruptur dari salah satu atau kedua membran ini dapat menyebabkan tuli
mendadak. Kebocoran cairan perilimfe ke telinga tengah melalui tingkap
lonjong dapat menyebabkan terjadinya tuli mendadak. Ruptur membran
intrakoklear menyebabkan bercampurnya cairan perilimfe dan endolimfe
sehingga terjadi perubahan potensial endokoklea (Marthur, 2015).
3. Penyakit telinga dalam yang berhubungan dengan autoimun
Pada sebuah studi terhadap 51 pasien yang mengalami tuli
mendadak, ditemukan adanya keterlibatan penyakit autoimun dan tuli
mendadak (Marthur, 2015).
2.5.4. Gejala Klinis
Timbulnya tuli pada iskemia koklea dapat bersifat mendadak atau
menahun secara tidak jelas. Kadang-kadang bersifat sementara atau berulang
dalam serangan, tetapi biasanya menetap. Tuli yang bersifat sementara biasanya
tidak berat dan berlangsung lama. Tuli dapat unilateral atau bilateral, dapat
disertai dengan tinitus dan vertigo.
Pada infeksi virus, timbulnya tuli mendadak biasanya pada satu telinga,
dapat disertai tinitus dan vertigo. Kemungkinan ada gejala dan tanda penyakit
virus seperti, parotis, varisela, variola atau pada anamnesis baru sembuh dari
penyakit virus tersebut. Pada pemeriksaan klinis tidak terdapat kelainan telinga
(Bashiruddin J, 2007).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
15
2.5.5. Klasifikasi Derajat Gangguan Pendengaran
Klasifikasi derajat gangguan pendengaran menurut International Standard
Organization (ISO) dan American Standard Association (ASA)
Tabel 2.2. Klasifikasi Derajat Gangguan Pendengaran
Derajat Gangguan
Pendengaran
Pendengaran normal
Ringan
Sedang
Sedang Berat
Berat
Sangat Berat
ISO
ASA
10-25 dB
26-40 dB
41-55 dB
56-70 dB
71-90 dB
Lebih 90 dB
10-15 dB
16-29 dB
30-44 dB
45-59 dB
60-79 dB
Lebih 80 dB
2.5.6. Diagnosa
Menurut Guidline American Academy of Otolaryngology-Head and Neck
Surgery, langkah pertama diagnosis tuli mendadak adalah membedakan tuli
sensorineural dan tuli konduktif melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, tes penala,
pemeriksaan audiometri, dan pemeriksaan penunjang lainnya. Ketulian atau
hearing loss diklasifikasikan menjadi tuli konduktif, tuli sensorineural, atau
campuran. Tuli konduktif disebabkan oleh abnormalitas telinga luar, membran
timpani, rongga udara telinga tengah, atau tulang pendengaran, struktur yang
menghantarkan gelombang suara ke koklea. Sementara itu, tuli sensorineural
disebabkan oleh adanya abnormalitas koklea, saraf auditorik, dan struktur lain
yang mengolah impuls neural ke korteks auditorik di otak (Stachler R.J et al,
2012).
2.5.7. Pengobatan
1. Vasodilantasia
yang cukup kuat
misalnya
dengan pemberian
complamin injeksi disertai dengan pemberian tablet vasodilator oral
tiap hari.
2. Prednison (kortikosteroid) 4x10 mg (2 tablet), tapering off tiap 3 hari
3. Vitamin C 500 mg 1x1 tablet/hari
4. Neurobion (neurotonik) 3x1 tablet/hari
5. Diet rendah garam dan rendah kolestrol
6. Obat anti virus sesuai dengan virus penyebab (Bashiruddin J, 2007).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
16
2.5.8. Evaluasi Fungsi Pendengaran
1. Sangat baik, apabila perbaikan lebih dari 30 dB pada 5 frekuensi.
2.
Sembuh, apabila perbaikan ambang pendengaran kurang dari 30 dB
pada frekuensi 250 Hz, 500 Hz, 1000 Hz, 2000 Hz, dan dibawah 25
dB pada frekuensi 4000 Hz.
3.
Baik, apabila rerata perbaikan 10-30 dB pada 5 frekuensi.
4.
Tidak ada perbaikan, apabila terdapat perbaikan kurang dari 10 dB
pada 5 frekuensi.
2.5.9. Prognosis
Prognosis tuli mendadak tergantung pada beberapa faktor yaitu; kecepatan
pemberian obat, respon 2 minggu pengobatan pertama, usia, derajat tuli saraf dan
adanya faktor predisposisi. Pada umumnya makin cepat diberikan pengobatan
makin besar kemungkinan untuk sembuh, bila sudah lebih 2 minggu kemungkinan
sembuh menjadi lebih kecil. Penyembuhan dapat sebagian atau lengkap, tetapi
dapat juga tidak sembuh, hal ini disebabkan oleh karena faktor konstitusi pasien
seperti pasien yang pernah mendapat pengbatan obat ototoksik yang cukup lama,
pasien diabetes melitus, pasien dengan kadar lemak darah yang tinggi, pasien
dengan viskositas darah yang tinggi dan sebagainya, walaupun pengobatan
diberikan pada stadium yang dini (Bashiruddin J, 2007).
Pasien yang cepat mendapat pemberian kortikosteroid atau vasodilator
mempunyai angka kesembuhan yang lebih tinggi, demikian pula dengan
kombinasi pemberian steroid dengan heparinisasi dan karbogen serta steroid
dengan obat fibrinolitik. Usia muda mempunyai angka perbaikan yang lebih besar
dibandingkan usia tua (Bashiruddin J, 2007).
2.6.
Oksigen
2.6.1. Definisi Oksigen
Molekul oksigen adalah salah satu dari komponen utama penyusun udara
(Oxtoby et, al. 2007). Menurut Thomas (2005), oksigen ditemukan pertama kali
pada awal abad ke-18, tepatnya pada tahun 1773 oleh ilmuwan kimia
berkebangsaan Swedia Karl Scheele dan Joseph Priestley yang berkebangsaan
Inggris. Oksigen memiliki simbol unsur O dan terletak pada golongan VI A pada
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
17
sistem periodik bersama dengan belerang (S), selenium (Se), telurium (Te), dan
polonium (Po). Atom ini termasuk ke dalam unsur non logam dan berwujud gas
pada temperatur ruangan. Gas oksigen memiliki sifat tidak berwarna, tidak
berbau, tidak berasa pada kondisi normal. Sumber utama oksigen bebas di udara
merupakan hasil dekomposisi uap air oleh pancaran sinar UV pada lapisan atas
atmosfer(Oxtoby et. al, 2007).
2.6.2. Komposisi Udara
Tabel 2.3. Komposisi udara dan unsur-unsur penyusunnya (Oxtoby et. al,
2007)
No.
Unsur Penyusun
Jumlah (%)
1.
Nitrogen (N2)
78,11
2.
Oksigen (O2)
21,00
3.
Argon (Ar)
0,93
4.
Karbondioksida (CO2)
0,03
5.
Neon (Ne)
1,82x10-5
6.
Helium (he)
5,20x10-6
7.
Metana (CH4)
1,50x10-6
8.
Kripton (Kr)
1,10x10-6
9.
Hidrogen (H2)
5,00x10-7
10.
Dinitrogen oksida (N2O)
3,00x10-7
11.
Xenon (Xe)
8,70x10-8
2.6.3. Proses Pernafasan
Oksigen dibutuhkan manusia terutama dalam proses pernapasan sehingga
dapat menghasilkan energi yang dapat digunakan untuk aktivitas kerja sel tubuh
(Harris, 2007). Jalur oksigen secara normal berasal dari udara bebas yang
kemudian masuk melalui saluran pernapasan sehingga dapat digunakan untuk
membantu proses metabolisme yang berlangsung di dalam tubuh. Proses
pernapasan merupakan proses pertukaran gas yang berasal dari makhluk hidup
dengan gas yang ada di lingkungannya. Pernapasan dapat terjadi, baik secara
sadar ataupun tidak disadari. Proses masuknya udara dari luar tubuh sampai ke
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
18
dalam paru-paru dikenal dengan proses inspirasi, sedangkan proses keluarnya
udara dari saluran pernapasan ke luar tubuh disebut proses ekspirasi (Rhoades et.
al, 2009).
Aliran udara yang masuk dan keluar dari paru-paru dikontrol oleh sistem
saraf yang menjamin pola dan kecepatan pernapasan manusia secara normal.
Proses pernapasan dimulai oleh sekelompok sel saraf pada batang otak yang
bertugas sebagai pusat respirasi. Sel-sel ini akan mengirimkan sinyal pada otot
diafragma dan otot perut untuk memulai pernapasan. Rata-rata kecepatan
pernafasan pada manusia dewasa adalah 12-15 tarikan nafas per menit. Dari
sekitar 500 ml setiap kali bernapas atau kira-kira 7 liter/menit udara yang masuk
ke dalam paru-paru, sejumlah volume oksigen yang masuk ke dalam tubuh ± 1.47
liter/menit (Rhoades et. al, 2009).
Proses pernapasan dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu pernapasan
eksternal, internal, dan seluler. Pernapasan eksternal adalah pertukaran udara
antara darah dan atmosfer. Pernapasan internal adalah pertukaran udara yang
terjadi antara darah dan sel-sel tubuh. Dan pernapasan seluler merupakan proses
kimia yang terjadi di dalam mitokondria sel-sel (Rhoades et. al, 2009).
Saluran pernapasan terdiri dari rongga hidung, faring, laring, trakea,
bronkus, paru-paru, bronkiolus, dan alveolus. Udara pertama kali mengalir masuk
melalui rongga hidung dan kemudian mengalami penyaringan dari debu dan
kotoran yang ikut masuk karena ada bulu-bulu halus di dalam hidung. Selain
berfungsi untuk menyaring kotoran, hidung juga berfungsi untuk memanaskan
dan melembabkan udara dengan mengatur suhu udara pernapasan yang masuk.
Setelah melewati hidung, udara akan masuk ke faring yang merupakan saluran
penghubung antara rongga hidung dan tenggorokan. Selain itu faring berfungsi
sebagai katup yang memisahkan antara saluran pernapasan (tenggorokan) dan
saluran pencernaan (kerongkongan), jadi pada saat udara masuk katup ini akan
menutup jalur saluran pencernaan (Davies et. al, 2003).
Selanjutnya udara yang dihirup masuk ke laring. Pada laring terdapat pita
suara sehingga pada saat kita berbicara, bagian ini akan bergetar. Laring
merupakan saluran yang dikelilingi oleh tulang rawan. Setelah itu, udara akan
menuju trakea, yaitu bagian yang tersusun atas empat lapisan, antara lain lapisan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
19
mukosa, lapisan submukosa, lapisan tulang rawan, dan lapisan adventitia. Trakea
memiliki panjang ± 11.5 cm dengan diameter 2.4 cm. Trakea bercabang menjadi
dua bronkus yang masing-masing menuju paru-paru kanan dan kiri. Di dalam
paru-paru, bronkus bercabang-cabang lagi menjadi bronkiolus. Pada ujung-ujung
bronkiolus terdapat sekumpulan kantong udara yang disebut alveolus. Di sekitar
alveoulus
terdapat
kapiler-kapiler
pembuluh
darah.
Pada
bagian
ini
memungkinkan terjadinya difusi antara udara alveolus dan udara pada kapilerkapiler pembuluh darah. Bronkus, bronkiolus, dan alveolus membentuk satu
struktur yang disebut paru-paru (Davies et. al, 2003).
Tempat proses pernapasan di dalam tubuh terjadi di bagian alveolus paruparu, dimana terjadinya pertukaran gas oksigen dan karbon dioksida yang akan
diangkut dari dan ke dalam sel-sel tubuh. Pertukaran gas tersebut terjadi di dalam
paru-paru dan jaringan tubuh secara difusi pasif karena adanya perbedaan tekanan.
Pada dasarnya gas akan berdifusi dari bagian yag bertekanan parsial tinggi ke
bagian yang bertekanan parsial rendah (Levitzky, 2003).
Tabel 2.4. Tekanan parsial oksigen dan karbondioksida (Levitzky, 2003).
Tempat
Tekanan
Parsial O2
(mmHg)
Tekanan Parsial
CO2 (mmHg)
Atmosfer
160
0,2
Alveoli
104
40
Darah kaya O2
104
40
Darah miskin O2
40
45
Jaringan tubuh
40
45
Ketika darah berada di pembuluh kapiler, karbon dioksida akan berdifusi
dari darah menuju udara di alveoli. Sebaliknya, oksigen akan berdifusi dari alveoli
ke dalam darah. Pada saat meninggalkan paru-paru, darah yang kaya O2 memiliki
PaO2 yang tinggi dan PaCO2 yang rendah dibandingkan sebelum masuk paruparu. Setelah melewati jantung, darah tersebut akan dipompa melalui peredaran
darah sistemik. Di dalam kapiler peredaran darah sistemik, perbedaan tekanan
parsial menyebabkan terjadinya difusi oksigen dari darah menuju sel tubuh. Pada
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
20
saat bersamaan, CO2 akan berdifusi dari sel-sel jaringan menuju darah. Setelah
melepas O2 dan mengangkut CO2, darah akan kembali ke jantung (Levitzky,
2003).
Sistem sirkulasi darah manusia termasuk ke dalam sistem peredaran darah
tertutup dan ganda. Sistem sirkulasi tertutup artinya peredaran darah di dalam
tubuh selalu berada di dalam pembuluh, sedangkan ganda berarti darah setiap
bersirkulasi ke seluruh tubuh melewati jantung sebanyak dua kali. Sistem sirkulasi
darah ganda terbagi menjadi dua jalur, yaitu sistem peredaran darah pulmonalis
dan peredaran darah sistemik. Organ tubuh yang terlibat di dalam sistem
peredaran darah secara umum adalah jantung, pembuluh darah, dan darah
(Rhoades et. al, 2009).
Sistem peredaran darah pulmonalis terdiri dari pembuluh nadi (arteri) dan
pembuluh balik (vena) yang mendistribusikan darah dari jantung ke paru-paru dan
berlaku pula sebaliknya. Sistem ini diawali dari bilik (ventrikel) kanan jantung
dan berakhir pada serambi (atrium) kiri jantung. Darah yang kaya oksigen yang
berasal dari proses respirasi di dalam paru-paru akan didistribusikan melalui
lintasan pulmonalis oleh pembuluh vena paru-paru menuju serambi kiri jantung,
diteruskan ke bilik kiri, dan selanjutnya akan memasuki jalur sistemik (Johnson
et. al, 2003).
Pada jalur sistemik darah yang kaya O2 akan dipompa menuju seluruh
organ dan jaringan tubuh melalui aorta, arteri, arteriol, dan pembuluh darah
kapiler. Selanjutnya darah yang telah menyalurkan oksigen ke seluruh jaringan
tubuh, kemudian akan membawa karbon dioksida yang merupakan hasil
sampingan proses metabolisme yang berlangsung di dalam sel untuk dibuang
keluar tubuh. Darah yang kaya CO2 tersebut akan dibawa melalui pembuluh vena
sistemik menuju serambi kanan jantung, diteruskan ke bilik kanan jantung lalu
menuju jalur pulmonalis kembali (Johnson et. al, 2003).
Bagian darah yang bertanggung jawab terhadap proses pengangkutan
oksigen adalah sel darah merah (eritrosit). Hemoglobin merupakan protein utama
pengangkut oksigen dan karbon dioksida di dalam sel darah merah. hemoglobin
yang telah 100% jenuh dengan oksigen mampu mengikat 1.34 ml oksigen per
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
21
gram hemoglobin. Apabila di dalam 100 ml darah terdapat 15 gram hemoglobin
berarti kandungan oksigen di dalamnya sebesar 20.1 ml/dl darah. Pada paru-paru
tekanan parsial oksigen tinggi (90-100 mmHg) dan pH relatif tinggi sekitar 7.6,
hemoglobin cenderung jenuh maksimum dengan oksigen.
Pembuluh kapiler Sel darah juga berfungsi untuk mengangkut gas CO 2
yang terbentuk sebagai hasil akhir metabolisme dari dalam jaringan menuju ke
luar tubuh. Secara keseluruhan, sekitar dua per tiga total kandungan CO2 berada di
dalam plasma dan hanya sepertiganya yang berada di dalam sel darah merah.
Akan tetapi hampir semua CO2 darah harus masuk dan keluar sel darah merah
selama pengangkutan CO2 dari jaringan ke paruparu. Sejumlah 72% karbon
dioksida dalam tubuh manusia larut dalam plasma darah dalam bentuk ion
bikarbonat (HCO3-) dan 8% lainnya dalam bentuk molekul karbondioksida.
Sisanya sebesar 20% diikat oleh hemoglobin dalam bentuk carbaminohemoglobin
(Bain, 2006).
2.7.
Terapi Oksigen Hiperbarik
Pengobatan oksigenasi hiperbarik sudah sejak abad ke-16 digunakan
sebagai salah satu metode untuk menyembuhkan penyakit dan pengobatan.
Tepatnya, di Inggris tahun 1662 oleh Henshaw, Ruang Udara Bertekanan Tinggi
(Hyperbaric Chamber) digunakan untuk mengobati beberapa penyakit kulit dan
rickets. Di Perancis tahun 1834 dr. Junot menyatakan adalnya penyembuhan
bermana pada pasien dengan penyakit kardiopulmoner yang diobati oleh
hiperbarik. Sedangkan pada awal tahun 1900 di Inggris dr. John Haldane, berhasil
menemukan tabel rekompresi dan penyelaman, sampai sekarang tabel rekompresi
ini masih dipakai dalam pelayanan pengobatan (Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia, 2008).
Pengobatan hiperbarik semakin berkembang pesat tahun 1956, dr. I.
Boereina dari Belanda, melaporkan keberhasilan suatu tindakan pembedahan
jantung paru yang dilakukan dalam Ruang Udara Bertekanan Tinggi (RUBT).
Indonesia juga telah sejak lama ikut berperan dalam penggunaan pengobatan
hiperbarik. Tepatnya tahun 1960, pengobatan hiperbarik mulai digunakan oleh
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
22
TNI AL yang selanjutnya dikembangkan di Tanjung Pinang, Jakarta, Ambom dan
Lakesla Surabaya, yang digunakan untuk menangani kasus-kasus cedera
penyelaman seperti keracunan gas-gas pernapasan dan penyakit dekompresi
(Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2008).
Terapi oksigen hiperbarik pertama kali digunakan oleh Behnke pada tahun
1930 untuk menghilangkan simptom penyakit dekompresi (Caisson’s disease)
setelah menyelam. Penyakit dekompresi adalah penyakit yang terjadi karena
perubahan tekanan, misalnya saat menyelam atau naik pesawat terbang, yakni
terjadi pelepasan dan mengembangnya gelembung gas dalam organ. Jika kita
kembali ke tekanan awal, maka akan terjadi perubahan tekanan yang dapat
mengganggu fungsi beberapa organ tubuh atau penyakit dekompresi (Sourabh B
et. al, 2012).
Kondisi ruang terapi oksigen hiperbarik harus memiliki tekanan udara
yang lebih besar dibandingkan dengan tekanan di dalam jaringan tubuh (1 ATA).
Keadaan ini daoat dialami oleh seseorang pada waktu menyelam atau dalam ruang
udara yang bertekanan tinggi yang dirancang baik untuk kasus penyelaman
maupun pngobatan klinis. Setiap penurunan kedalaman 33 kaki (10 meter),
tekanan akan naik 1 atm. Tiap terapi diberikan 2-3 ATA, menghasilkan 6 ml
oksigen terlarut dalam 100 ml plasma, dan durasi rata-rata terapi sekitar 60-90
menit. Dosis yang digunakan pada perawatan tidak boleh lebih dari 3 ATA karena
tidak aman untuk pasien selain berkaitan dengan lamanya perawatan yang
dibutuhkan, juga dikatakan bahwa tekanan di atas 2,5 ATA mempunyai efek
imunosupresif (Ali S et. al, 2014).
Disamping sebagai terapi untuk penyakit akibat penyelaman, saat ini
hiperbarik juga telah digunakan di Indonesia sebagai pengobatan dalam terapi
untuk membantu penyembuhan berbagai penyakit klinis, seperti penyembuhan
luka infeksi, luka bakar, membantu penyembuhan komplikasi diabetes melitus,
serta untuk kesehatan dan kebugaran, terutama untuk pasien lanjut usia
(Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2008).
Dalam perkembangan di Indonesia, saat ini telah terdapat organisasi
profesi berupa perhimpunan dokter spesialis dan perhimpunan seminat dalam
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
23
bidang hiperbarik, yaitu Perhimpunan Kedokteran Kelautan (PERDOKLA) dan
Perhimpunan Kesehatan Hiperbarik Indonesia (PKHI). Organisasi diatas bekerja
sama secara erat dengan Rumah Sakit Angkatan Laut dan Lembaga Kesehatan
Angkatan Laut untuk melaksanakan pelayanan, pendidikan dan penelitian,
pembinaan serta pengembangan hiperbarik sebagai pengobatan utama dan
pengobatan tambahan dalam penyelenggaraan pelayanan medik di saarana
pelayanan kesehatan di Indonesia (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia,
2008). Beberapa rumah sakit yang memiliki fasilitas terapi oksigen hiperbarik
adalah :
1.
RSAL Dr. Ramelan, Surabaya
2.
RS PT Arun, Aceh
3.
RS AL Dr. Midiyato S, Tanjung Pinang
4.
RS AL Dr. Mintohardjo, Jakarta
5.
RS Pertamina, Cilacap
6.
RS Pertamina, Balikpapan
7.
RS Gunung Wenang, Manado
8.
RSU Makasar
9.
RS AL Halong, Ambon
10. RS Petromer, Sorong
11. RS Bethsaida, Serpong Tangerang
2.7.1. Definisi Terapi Oksigen Hiperbarik
Terapi oksigen hiperbarik didefinisikan oleh Undersea and Hyperbaric
Medical Society (UHMS) sebagai pengobatan dimana pasien bernafas dengan
oksigen 100% dalam suatu ruangan yang bertekanan yang lebih besar dari 1 ATA
(Gill A.L, 2004).
2.7.2.
Indikasi Terapi Oksigen Hiperbarik
Indikasi mengacu pada lingkup dan standar untuk penggunaan yang
sesuai dengan terapi oksigen hiperbarik. Di Cina indikasi dari terapi oksigen
hiperbarik awalnya dirilis pada tahun 1982. Dengan praktek dan pengakuan CMA
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
24
(Chinese Medical Association) merevisi indikasi yang direkomendasikan pada
tahun 2004 untuk memasukkan 12 indikasi darurat dan indikasi non-darurat.
Indikasi darurat adalah penyakit di mana terapi oksigen hiperbarik harus
diberikan sesegera mungkin. Berikut ini adalah indikasi darurat (Yan, 2015):
1. Karbon monoksida keracunan akut dan keracunan gas berbahaya lainnya;
2. Gangren gas, tetanus dan infeksi bakteri anaerob lainnya;
3. Penyakit dekompresi;
4. Sindrom emboli udara;
5. Setelah resusitasi cardiopulmonary (CPR) karena berbagai risiko disfungsi
otak akut;
6. Bantuan dalam pengobatan syok;
7. Edema otak;
8. Edema paru (kecuali edema paru jantung);
9. Crush injure;
10. Suplai darah setelah transplantasi kulit;
11. Keracunan obat dan kimia;
12. Acute ischemia anoxic encephalopathy
Selain itu, indikasi non-darurat yang disetujui untuk digunakan: (1)
keracunan karbon monoksida atau ensefalopati beracun lainnya; (2) tuli
mendadak; (3) penyakit iskemik serebrovaskular (cerebral arterioclerosis,
transient ischemic attack, trombosis serebral, infark serebral); (4) craniocerebral
injury (gegar otak, memar otak dari operasi pengangkatan hematoma intrakranial,
cedera batang otak); (5) pemulihan pendarahan otak; (6) fraktur penyembuhan; (7)
serosa sentral peradangan retina; (8) keadaan vegetatif; (9) sindrom insufisiensi
adaptasi dataran tinggi; (10) cedera saraf perifer; (11) intrakranial operasi tumor
jinak; (12) penyakit periodontal; (13) ensefalitis virus; (14) kelumpuhan wajah;
(15) osteomyelitis; (16) osteonekrosis aseptik; (17) cerebral palsy; (18)
keterlambatan perkembangan janin; (19) diabetes dan kaki diabetik; (20) penyakit
jantung koroner aterosklerotik (angina dan infark miokard); (21) kecepatan
aritmia (fibrilasi atrium, denyut prematur, takikardia); (22) miokarditis; (23)
penyakit pembuluh darah perifer, vaskulitis, misalnya, trombosis vena dalam,
Raynaud; (24) vertigo; (25) ulkus kulit kronis (hambatan suplai darah arteri,
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
25
kongesti vena, luka baring); (26) cedera tulang belakang; (27) ulkus peptikum;
(28) kolitis ulserativa; (29) hepatitis menular (Menggunakan ruang khusus
penyakit menular); (30) luka bakar; (31) radang dingin; (32) operasi plastik; (33)
pencangkokan kulit; (34) cedera olahraga; (35) kerusakan radioaktif (tulang dan
jaringan lunak, sistitis, dll); (36) tumor ganas (dengan radioterapi atau
kemoterapi); (37) cedera saraf otic; (38) sindrom kelelahan; (39) angioneurotic
headache ; (40) pustular; (41) psoriasis; (42) pityriasisrosea; (43) multiple
sclerosis; (44) sindrom Guillain Barre akut; (45) ulkus mulut berulang; (46) ileus
paralitik; (47) asma bronkial; dan (48) sindrom gangguan pernapasan akut (Yan,
2015).
2.7.3. Kontraindikasi Terapi Oksigen Hiperbarik
CMA (Chinese Medical Association) menerbitkan kontraindikasi dar
pengobatan oksigen hiperbarik pada tahun 2004, yang meliputi 4 kontraindikasi
absolut dan 10 kontraindikasi relatif. Kontraindikasi absolut adalah mereka di
mana penggunaan terapi oksigen hiperbarik dilarang jika pasien disertai dengan
berikut:
1. Pneumotoraks yang tidak diobati, pneumomediastinum diobati;
2. Pulmonarry bulla;
3. Perdarahan aktif dan penyakit hemoragik; atau
4. Pembentukan rongga TB dan hemoptisis.
Kontraindikasi relatif mengacu pada kondisi dimana penggunaan terapi
oksigen hiperbarik pada pasien perlu diperhatikan dan mungkin dapat
menyebabkan
efek
samping
yang
meningkatkan
ketidaknyamanan
atau
komplikasi.
Terapi oksigen hiperbarik harus digunakan dengan hati-hati jika pasien
memiliki salah satu kondisi berikut:
1. Infeksi saluran pernapasan atas yang parah;
2. Emfisema berat;
3. Penyakit bronkiektasis;
4. Infeksi sinus;
5. Semua tingkatan atrioventrikular;
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
26
6. Tekanan darah tinggi (> 160/100 mmHg);
7. Bradikardia (<50 kali / menit);
8. Tumor ganas yang tidak diobati;
9. Ablasi retina;
10. Tahap awal kehamilan (3 bulan).
Pada tahun 2013, kontraindikasi baru untuk terapi oksigen hiperbarik
dirilis oleh CMA (Chinese Medical Association). Kontraindikasi baru termasuk
kontraindikasi mutlak dan kontraindikasi relatif. Satu-satunya kontraindikasi
mutlak yaitu ketegangan pneumotoraks tanpa pengobatan.
Kontraindikasi relatif sebagai berikut:
1. Intraventricular external drainage;
2. Fraktur dasar tengkorak dengan kebocoran cairan serebrospinal;
3. Berat lahir <2000 gram pada prematur dan bayi lahir rendah berat;
4. Infeksi serius dari saluran pernapasan atas:
5. Tekanan darah tinggi (SBP> 180 mmHg, DBP> 110 mmHg;
6. Pasien
dengan
obstruktif
kronik
penyakit
paru
dengan
retensi
karbondioksida (Yan, 2015).
2.7.4. Komplikasi
Meskipun terapi oksigen hiperbarik memiliki aplikasi luas, komplikasi
dalam penggunaan dapat terjadi. Dalam terapi oksigen hiperbarik, terdapat
masalah pemerataan tekanan yang dominan mempengaruhi telinga tengah dan
sinus hidung yang menyebabkan lesi barotraumatik. Dalam sebuah penelitian
yang dilakukan untuk menganalisa efek samping dari terapi oksigen hiperbarik,
dilaporkan adanya toksisitas oksigen dan gangguan mata. Pada pasien yang
dirawat secara rutin dengan terapi oksigen hiperbarik, dimana oksigen diberikan
melalui masker wajah yang memiliki risiko toksisitas oksigen tiga kali lipat lebih
besar dari biasanya. Tapi hasil komplikasi yang diamati berupa sementara
(Devaraj, 2014).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
27
2.7.5. Klasifikasi Ruang Terapi Oksigen Hiperbarik
1. Ruang Udara Bertekanan Tinggi/RUBT (Hyperbaric Chamber)
Ruang Udara Bertekanan Tinggi merupakan fasilitas utama yang
dibutuhkan dalam pelayanan medik hiperbarik. Yang terpenting dalam
mekanisme RUBT adalah adanya tekanan, maka oksigen di dalamnya
memberikan tekanan yang lebih tinggi dari permukaan air laut. Ukuran,
bentuk dan kapasitas tekan da RUBT sangat bervariasi (Kementrian
Kesehatan Republik Indonesia, 2008).
Pembagian tipe RUBT adalah sebagai berikut:
1. RUBT ruang tunggal (monoplace)
Merupakan tipe RUBT yang sering digunakan. Pasien dapat
dipindahkan ke dalam RUBT dengan oksigen yang diisi sesuai dengan
tekanan, yaitu lebih dari 3 ATA. Digunakan untuk penanganan pasien
individu, kasus infeksi dan perawatan intensif. Kelebihannya adalah
mudah dioperasikan, mudah untuk ditempatkan, tidak membutuuhkan
masker muka, mudah untuk mengobservasi pasien, serta hanya
membutuhkan sedikit tenaga operator.
2. RUBT ruang ganda (multiplace)
Digunakan untuk pengobatan bersama beberapa pasien, dimana pasien
bernafas melalui masker yang menutupi mulut dan hidung.
3. RUBT pengangkut (mobile/portable)
RUBT yang dapat dipindahkan dan bergerak kemana saja dibutuhkan,
dapat langsung berfungsi di lokasi, bahkan di tempat parkir rumah
sakit. Tipe ini sangat ideal untuk mendukung operasi militer dan dapat
difungsikan sebaga rumah sakit di medan tempur serta dapat
digunakan untuk mendukung penelitian dan terapi.
4. RUBT untuk testing dan latihan penyelam
Digunakan untuk melakukan uji coba terhadap penyelam, dimana
ruangan tersebut disimulasikan sesuai dengan kedalaman penyelaman.
5. Small hyperbaric chamber
Digunakan untuk neonatus dan hewan percobaan (Kementrian
Kesehatan Republik Indonesia, 2008).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
28
2.7.6. Peralatan Tambahan untuk Ruang Udara Bertekanan Tinggi
1.
Masker oksigen
2.
Respirator dan ventilator
3.
Peralatan untuk terapi, yaitu:
a. Peralatan resusitasi jantung dan paru
b. Tabung endotrakeal
c. Suction
d. Peralatan infus
4.
Peralatan diagnostik
a. Alat diagnostik kedokteran
b. Alat monitor transkutan oksigen
c. EKG
d. EEG
e. Alat ukur gas darah
f. Alat monitor tekanan intra kranial
5.
Alat neurologi, yaitu optalmoskop dan dynamometer untuk mengukur
spastisitas
6.
Alat latihan, yaitu treadmill
Alat terapi, yaitu traksi servikal untuk luka cervical spine (Kementrian
Kesehatan Republik Indonesia, 2008).
2.7.7. Faktor Pelaksanaan Terapi Oksigen Hiperbarik
Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam pelaksanaan terapi
oksigen hiperbarik:
1. Untuk kasus elektif diperhitungkan jumlah pasien minimal 6 orang
2. Untuk kasus emergensi tidak diperhitungkan jumlah minimal pasien dan
pelaksanaanya 24 jam kerja
3. Untuk pasien yang tabel pengobatannya dosis terapi hiperbariknya sama
disatukan dalam satu sesi terapi
4. Kasus lama dan baru: pasien yang baru pertama kali mengikuti terapi
oksigen hiperbarik, dokter harus mengawasi apakah dia tahan terhadap
perubahan tekanan (pressure test) serta apakah tanda-tanda keracunan
oksigen (oxygen tolerance test)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
29
5. Faktor resiko penularan penyakit
1. Pemisahan masker yang dipakai
2. Sterilisasi masker
3. Masuk di RUBT yang lebih intensif
4. Luka yang berbau tidak dicampur dengan kasus penyakit lain
Apabila terapi oksigen hiperbarik dilaksanakan dengan RUBT ruang
tunggal, maka poin a sampai 3 tidak dipertimbangkan.
6. Bagi pasien yang akan terbang sesudah pengobatan hiperbarik,
penerbangan dilakukan dalam jangka waktu 72 jam setelah pengobatan
terakhir
7. Bagi pasien dengan pengobatan hiperbarik untuk program kebugaran,
penerbangan bileh dilakukan dalam janga waktu 4-6 jam setelah
pengobatan terakhir
8. Bagi pasien penyakit dekompresi dan atau arterial gas emboli, diijinkan
terbang setelah pengobatan hiperbarik dalam jangka 1-2 minggu setelah
pengobatan terakhir untuk pasien yang tidk sadar, perlu dilakukan
timpanoplasti oleh dokter spesialis THT atau dokter sepisalis kelautan dan
dokter hiperbarik yang pernah mengikuti pelatihan timpanoplasti
(Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2008).
2.7.8. Cara Kerja Terapi Oksigen Hiperbarik
Efek yang disebabkan oleh oksigen hiperbarik pada tubuh dapat dibagi
menjadi efek utama seperti peningkatan tekanan oksigen dan difusi dalam
jaringan. Efek sekunder seperti vasokonstriksi, angiogenesis, proliferasi fibroblast
dan meningkatkan pembunuhan leukosit oksidatif.
Hukum Henry menyatakan bahwa jumlah gas yang terlarut dalam cairan
atau jaringan sebanding dengan tekanan parsial gas yang bersentuhan dengan
cairan atau jaringan. Dalam terapi oksigen hiperbarik, jumlah peningkatan
oksigen yang dipasok, meningkatkan tekanan oksigen dalam jaringan, sehingga
menjelaskan efek hiperoksia di jaringan hipoksia (Devaraj, 2014).
Ketika tekanan oksigen menurun, terjadi pengaktifan neutrofil. Neutrofil
yang diaktifkan mengkonsumsi sejumlah besar oksigen, menyebabkan penurunan
kadar oksigen lebih lanjut dalam jaringan hipoksia. Tingkat oksigen yang sangat
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
30
rendah dapat menyebabkan cedera jaringan. Terapi oksigen hiperbarik
membalikkan cedera jaringan hipoksia dengan meningkatkan konsentrasi oksigen,
sehingga membantu neutrofil dengan menyediakan oksigen dan mempercepat
proses penyembuhan (Devaraj, 2014).
Kadar oksigen yang tinggi menyebabkan vasokonstriksi di jaringan
normal. Hal ini berguna dalam edema jaringan pasca trauma. Efek oksigen
hiperbarik ini digunakan dalam pengobatan sindrom kompartemen, mengobati
cedera dan luka bakar. Menurut sebuah studi yang dilakukan pada telinga kelinci
mencatat bahwa pertumbuhan kapiler juga dipengaruhi oleh konsentrasi oksigen.
Pembentukan kapiler meningkat dengan peningkatan tekanan oksigen (Devaraj,
2014).
2.7.9. Efek Terapi Oksigen Hiperbarik pada Tuli Mendadak (Sudden
Deafness)
Penelitian neurofisiologi terhadap koklea dari binatang percobaan dan
observasi pada manusia membuktikan bahwa kejadian degeneratif secara garis
besar bisa digambarkan karena adanya iskemia jaringan oleh sistem arteri yang
mendarahi labirin yang tidak berkomprensasi secara efektif. Dengan pemakaian
terapi oksigen hiperbarik, koklea mendapat terapi yang tepat karena oksigen dapat
mencapai bagian dari labirin, tidak hanya melalui difusi plasma tetapi juga masuk
ke bagian basal koklea dengan cara difusi gas melalui membran semipermiabel
foramen rotundum (Sutarno, 2000).
Arteri mengalami difusi dari kapiler ke dalam cairan telinga dalam dan
meningkatkan saturasi parsial oksigen yang mempengaruhi tekanan oksigen
telinga dalam. Selama terapi oksigen hiperbarik, tekanan parsial oksigen yang
tinggi menghidupkan kembali daerah yang mengalami hipoksia pada koklea.
Keuntungan HBO pada tuli mendadak adalah peningkatan distribusi oksigen yang
terlarut dalam sirkulasi darah. Peningkatan oksigen pada perilimfa dan endolimfa
membantu pemulihan fungsi telinga dalam. Terapi hiperbarik juga meningkatkan
suplai darah dan berkontribusi pada peningkatan mikrosirkulasi (Topuz, 2004).
Pada
penelitian
yang
dilakukan
oleh
Alimoglu
Y
et.al,
yaitu
membandingkan efikasi terapi oksigen hiperbarik, steroid oral, terapi steroid
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
31
intratimpani. Pasien dibagi menjadi empat kelompok sesuai dengan terapi yang
diterima yaitu berupa, steroid oral, steroid oral dengan terapi oksigen hiperbarik,
steroid intratimpani dan oksigen hiperbarik. 217 pasien dan 219 telinga diperiksa.
Persentase tertinggi dari pasien yang merespon terapi adalah yang tertinggi di
steroid oral dengan terapi oksigen hiperbarik sebesar 86,88% (53/61) dan
kelompok steroid oral 63,79% (37/58), kelompok steroid intratimpani dengan
46,51% (20/43) dan kelompok terapi oksigen hiperbarik dengan 43,85% (25/57).
maka pengobatan tuli mendadak steroid oral dengan terapi oksigen hiperbarik
memiliki tingkat pemulihan yang lebih tinggi dari pada pengobtan steroid oral,
steroid intratimpani dan terapi oksigen hiperbarik saja. (Alimoglu et. al, 2011).
Penelitian Liu SC et. al, menunjukannya bahawa kombinasi pengobatan
terapi oksigen hiperbarik dengan steroid dan dekstran memiliki tingkat pemulihan
yang siginifikan terhadap pasien tuli mendadak sebesar 24,5 ± 2,7 dB
dibandingkan dengan steroid (12,9 ± 3,7 dB) atau steroid-dekstran (15,6 ± 2,7
dB). (Liu SC et. al, 2011).
2.7.10. Hiperbarik Center Rumah Sakit Angkatan Laut Dr. Mintohardjo
Jakarta
Rumah Sakit Angkatan Laut Dr. Mintoharjo memiliki tempat terapi
oksigen hiperbarik. pelayanan terapi oksigen hiperbarik Rumah Sakit Angkatan
Laut Dr. Mintoharjo dimulai pada pukul 07.30-15.00 dari hari senin sampai hari
jumat kecuali hari libur nasional. Rumah Sakit Angkatan Laut Dr. Mintohardjo
memiliki 4 buah multiple chamber tetapi yang digunakan terapi hanya 2 buah,
sisanya masih dalam tahap persiapan. Dokter yang bekerja di bagian terapi
hiperbarik berjumlah 6 orang.
Penyakit yang sering diterapi dengan terapi hiperbarik oksigen di Rumah
Sakit Angkatan Laut Dr. Mintohardjo diantaranya seperti, sudden deafness,
stroke, Diabetes Melitus, gangren akibat Diabetes Melitus, luka sulit sembuh,
ulkus yang sulit sembuh, fraktur terbuka, fraktur yang sulit sembuh, luka bakar,
luka bekas operasi, vertigo, autis, decompression sickness. Fasilitas hiperbarik
juga digunakan dalam bidang angkatan laut seperti, tes ketahanan tekanan pada
anggota baru angkatan laut, tes ketahanan tekanan secara rutin pada anggota lama
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
32
angkatan laut, dan tes ketahanan tekanan pada awak kapal selam. Fasilitas
hiperbarik ini juga banyak didatangi oleh masyarakat untuk mendapatkan tubuh
yang bugar. Untuk kasus emergensi, fasilitas hiperbarik dapat dilakukan 24 jam.
Jadwal Terapi Oksigen Hiperbarik:

Sesi I : pukul, 06.30 – 08.30 WIB

Sesi II : pukul, 08.30 – 10.30 WIB

Sesi III : pukul, 10.30 – 12.30 WIB
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB III
KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL
3.1. Kerangka Konsep
Rekam Medik Pasien Tuli Mendadak yang
menggunakan terapi oksigen hiperbarik Januari
2014-Desember 2014
Memenuhi Kriteria
Inklusi dan Eklusi
Frekuensi audiogram
250 Hz
500 Hz
2000 Hz
1000 Hz
4000 Hz
1. Ada
1. Ada
1. Ada
1. Ada
1. Ada
perubahan
perubahan
perubahan
perubahan
perubahan
2. Tidak ada
perubahan
8000 Hz
1. Ada
perubahan
2. Tidak ada 3. Tidak ada 2. Tidak ada 2. Tidak ada 2. Tidak ada
perubahan
perubahan
perubahan
perubaha
perubahan
n
Gambar 2. Kerangka Konsep Penelitian
3.2. Definisi Operasional
Tabel 3.1. Definisi Operasional
No.
1.
2.
Nama
Variabel
Pasien
Terapi
Oksigen
Hiperbarik
Definisi
Operasional
Pasien
tuli
mendadak yang
melakukan terapi
di RUMKITAL
Dr.
MINTOHARDJO
Suatu alat yang
digunakan untuk
terapi
tuli
33
Cara
Pengukuran
Membaca
data
rekam medis pasien
Hasil
Pengukuran
Pasien
menderita tuli
mendadak
Pemberian oksigen Dilakukan
100% di dalam terapi oksigen
ruang
udara hiperbarik
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
34
mendadak
3.
Sifat
gangguan
pendengaran
4.
Pengukuran
tingkat
pendengaran
5.
Usia
6.
Jenis
kelamin
bertekanan tinggi
pada 2,5 ATA 90
menit
Kerusakan yang Membaca
data 0. Unilateral
terjadi pada satu rekam medis pasien 1. Bilateral
atau
kedua
telinga
Tingkat frekuensi Mengukur frekuensi Nilai dB
pendengaran pada pendengaran pada
pasien
tuli 250 Hz, 500 Hz,
mendadak
1000 Hz, 2000 Hz,
4000 Hz dan 8000
Hz
Usia
menurut Membaca
data Tahun
DEPKES
RI, rekam medis pasien
2009:
1. 5-11
tahun:
masa kanakkanak
2. 12-16 tahun:
masa remaja
awal
3. 17-25 tahun:
masa remaja
akhir
4. 25-35 tahun:
masa dewasa
awal
5. 36-45 tahun:
masa dewasa
akhir
6. 46-55 tahun:
masa
lansia
awal
7. 55-56 tahun:
masa
lansia
akhir
8. 65-sampai di
atas: manula
Kondisi fisik yang Membaca
data 0. Laki-laki
menentukan
rekam medis pasien 1. Perempuan
status seseorang
laki-laki
atau
perempuan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Rumah Sakit Angkatan Laut Dr. Mintoharjo
dengan alamat Jl. Bendungan Hilir No. 17 Jakarta Pusat 10210 pada bulan Mei
2015 sampai Juni 2015.
4.2. Desain Penelitian
Desain penelitian yang digunakan adalah desain penelitian cross sectional,
yaitu pengumpulan data variabel untuk mendapatkan gambaran pengaruh terapi
oksigen hiperbarik terhadap tuli mendadak dan pengumpulan data dilakukan
dengan retrospektif. Penelitian ini dilakukan dengan mengumpulkan data
sekunder, yaitu berupa catatan rekam medis pasien tuli mendadak yang
menggunakan terapi oksigen hiperbarik di Rumah Sakit Angkatan Laut Dr.
Mintoharjo Jakarta Pusat pada bulan Januari 2014 sampai Desember 2014.
4.3. Populasi dan Sampel Penelitian
4.3.1. Populasi
Populasi adalah seluruh objek penelitian yang memiliki kuantitas dan
karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk diteliti dan ditarik
kesimpulannya (Arikunto, 2002). Subjek dalam penelitian ini adalah seluruh
pasien tuli mendadak yang melakukan terapi hiperbarik Rumah Sakit Angkatan
Laut Dr. Mintoharjo periode bulan Januari – Desember 2014 sebanyak 123 pasien
tuli mendadak dengan terapi oksigen hiperbarik.
4.3.2. Sampel
Sampel merupakan sebagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki
populasi tersebut (Sugiyono, 2005). Sampel penelitian ini merupakan seluruh
populasi yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.
35
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
36
Kriteria inklusi
Kriteria inklusi untuk sampel kasus dalam penelitian ini adalah:
1.
Pasien tuli mendadak dengan terapi hiperbarik periode bulan Januari
– Desember 2014;
2.
Pasien tuli mendadak yang bersifat unilateral dan bilateral
Kriteria eksklusi
Yang termasuk kriteria eksklusi adalah:
1.
Pasien yang tidak memiliki data audiometri yang lengkap sebelum
dan setelah terapi.
2.
Pasien yang tidak melakukan terapi oksigen hiperbarik selama satu
sesi yaitu kurang dari 10 kali terapi.
4.4. Prosedur Penelitian
4.4.1. Persiapan (Permohonan Izin Penelitian)
1. Pembuatan dan penyerahan surat permohonan izin pelaksanaan
penelitian dari Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta kepada Rumah Sakit
Angkatan Laut Dr. Mintoharjo Jakarta Pusat.
2. Penyerahan surat persetujuan peelitian dari Rumah Sakit Angkatan
Laut Dr. Mintoharjo Jakarta Pusat kepada Program Studi Farmasi
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
4.4.2. Pengumpulan Data
1. Penelusuran data pasien tuli mendadak yang menggunakan terapi
hiperbarik di Rumah Sakit Angkatan Laut Dr. Mintoharjo Jakarta dari
bulan Januari 2014 sampai Desember 2014.
2. Proses pemilihan pasien yang masuk ke dalam kriteria inklusi.
3. Pengambilan dan pencatatan data hasil rekam medis, berupa:
1. Nomor rekam medis,
2. Identitas pasien (nama, jenis kelamin, dan usia),
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
37
3. Tanggal perawatan,
4. Sifat gangguan pendengaran
5. Data audiometri sebelum dan setelah terapi oksigen hiperbarik
4.4.3. Pengolahan Data
1. Editing data
Pemeriksaan kembali kelengkapan data dan mengeluarkan data yang tidak
memenuhi kriteria.
2. Coding data
Coding berupa kegiatan pemberian kode numerik (angka) terhadap data
yang terdiri atas beberapa kategori. Peneliti melakukan coding terhadap
data yang terpilih dari proses seleksi untuk mempermudah analisis di
program Microsoft Excel.
3. Entry data
Pemasukan data ke dalam program Microsoft Excel dalam bentuk tabel
yang telah dilakukan proses coding.
4. Cleaning data
Data yang sudah dimasukan diperksa kembali sebelum melakukan analisa
lebih lanjut.
4.4.4. Perhitungan Data
1. Perhitungan batas ambang dengar
AD =
4.5. Analisa Data
4.5.1. Rencana Analisis Data
Data-data yang telah dilakukan pengolahannya dengan benar selanjutnya
dianalisis menggunakan program SPSS (Statistical Package for the Social
Sciences) 16.0. yang akan dianalisa dengan analisa univariat dan bivariat.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
38
1. Analisa univariat
Analisis univariat adalah analisa yang digunakan untuk menganalisa
setiap variabel (terikat maupun bebas ) yang akan diteliti secara deskriptif
(Notoatmodjo, 2003).
Adapun pengolahan data dengan menggunakan analisis univariat ialah:
1. Jenis kelamin
2. Usia
3. Sifat gangguan pendengaran
4. Data audiometri sebelum dan setelah terapi
2. Analisa bivariat
Analisis bivariat dilakukan untuk melihat adanya hubungan atara
variabel bebas dengan variabel terikat dan untuk melihat kemaknaan
antara variabel. Selisih data audiometri sebelum dilakukannya terapi
oksigen hiperbarik dengan data audiometri setelah dilakukannya terapi
oksigen hiperbarik dilakukan analisa dengan SPSS (Statistical Package for
the Social Sciences) 16.0. dengan uji Paired Sample T-Test.
Paired Sample T-Test
Tujuan
: Untuk mengetahui ada atau tidak adanya perbaikan
pendengaran
pada
penderita
tuli
mendadak
menggunakan terapi oksigen hiperbarik
Hipotesis
1. Ho
:
:Tidak ada perbaikan pendengaran pada penderita tuli
mendadak
dengan terapi oksigen hiperbarik secara
bermakana
2. H1
:Ada perbaikan pendengaran pada penderita tuli
mendadak dengan terapi oksigen hiperbarik secara
bermakna
Pengambilan Kesimpulan
1.
:
Jika nilai signifikan ≥0,05, maka Ho diterima, berarti tidak ada
perbaikan pendengaran pada penderita tuli mendadak dengan terapi
oksigen hiperbarik
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
39
2.
Jika nilai signifikan ≤0,05, maka Ho ditolak berarti ada perbaikan
pendengaran pada penderita tuli mendadak dengan terapi oksigen
hiperbarik
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Hasil
5.1.1. Sifat Gangguan Pendengaran Pasien Tuli Mendadak
Sifat
Unilateral
Bilateral
Total
Jumlah
18
18
36
%
50
50
100
Pasien tuli mendadak atau sudden deafness di Rumah Sakit Angkatan Laut
Dr. Mintohardjo periode 2014 berjumlah 123 pasien. Pasien yang memiliki
catatan audiometri yang lengkap sebelum dan setelah terapi oksigen hiperbarik
berjumlah 36 pasien. Dari 36 pasien tersebut, 18 pasien tuli mendadak bersifat
unilateral dan 18 pasien bilateral. Maka, gangguan pendengaran yang dapat
diamati berjumlah 54 telinga.
5.1.2. Perubahan Tingkat Pendengaran (dB) berdasarkan Usia
Rerata
SD
Perubahan Tingkat Pendengaran (dB)
12-16
17-25
26-35
36-45
46-55
56-65
>65
tahun
tahun
tahun
tahun
tahun
tahun
tahun
27,5
20
8,75
5
8,75
3,75
-1,25
27,5
10
10
12,5
7,5
-1,25
28,5
15
10
15
8,75
1,25
33,75
16,25
10
17,5
11,25
2,5
18,75
12,5
45
11,25
3,75
20
15
11,25
5
23,75
18,75
12,5
7,5
25
20
15
10
30
22,5
15
11,25
36,25
28,75
17,5
15
37,5
33,75
43,75
43,75
27,5
27,43
21,93
21,06
19,75
11,38
5,38
5,67
9,67
12,88
14,48
4,02
5,47
40
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
41
Keterangan:
-
bilangan negatif menunjukan penurunan tingkat pendengaran
-
bilangan positif menunjukan perbaikan tingkat pendengaran
Perubahan tingkat pendengaran setelah terapi oksigen hiperbarik diperoleh
dari selisih ambang dengar rata-rata sebelum dan setelah dilakukannya terapi
oksigen hiperbarik.
5.1.3. Perubahan Tingkat Pendengaran (dB) Setelah Terapi Oksigen
Hiperbarik Pada Frekuensi 250 Hz, 500 Hz, 1000 Hz, 2000 Hz, 4000
Hz dan 8000 Hz
Perubahan Tingkat Pendengaran (dB)
250
500
1000
2000
4000
8000
5
-15
5
10
-5
-5
5
10
0
5
0
5
5
5
0
5
10
10
35
20
30
30
30
30
10
5
20
20
15
15
30
25
25
30
35
15
35
35
60
60
20
15
20
15
25
15
25
25
40
20
30
35
25
25
-5
-10
0
-5
10
20
10
10
5
5
15
5
10
15
15
20
30
15
10
5
30
15
10
10
20
5
15
10
10
10
5
15
15
20
10
15
40
30
0
5
5
10
30
20
40
55
35
20
10
20
5
10
10
5
15
15
20
15
10
50
50
55
50
40
35
40
5
10
0
5
30
15
40
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
44
15
10
5
5
15
5
10
10
10
10
15
15
5
15
15
15
25
10
50
35
30
5
20
30
40
40
45
10
25
25
5
5
5
0
0
5
5
0
0
5
10
10
5
15
0
0
5
15
25
15
10
20
20
25
10
15
10
15
10
15
20
15
10
25
10
20
40
55
35
40
45
30
15
10
30
40
55
30
50
60
15
25
35
40
25
20
10
0
0
10
10
10
20
20
50
45
25
15
10
5
10
5
25
20
10
10
5
10
45
35
15
20
10
25
15
15
25
35
20
10
40
10
10
20
10
10
35
30
35
40
40
35
15
15
25
15
15
15
35
35
25
35
20
15
15
15
10
5
5
15
-10
5
5
-10
5
10
20
10
10
5
5
5
15
10
15
5
10
5
20
15
10
15
10
15
20
30
20
10
15
10
10
20
10
15
15
20
5
10
5
10
15
5
5
5
15
25
30
20
Rerata
19
17,3
16,6
16,7
17,5
16,6
Standar Deviasi
15
14,3
13,6
14,5
13,1
11,3
40
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
44
Keterangan:
-
bilangan negatif menunjukan penurunan pendengaran
-
bilangan positif menunjukan perbaikan pendengaran
-
angka o tdak ada perubahan tingkat pendengaran
Perubahan tingkat pendengaran pada tabel 5.1.3. adalah selisih ambang
dengar sebelum dan setelah terapi oksigen hiperbarik frekuensi 250 Hz, 500 Hz,
1000 Hz, 2000 Hz, 4000 Hz dan 8000 Hz.
5.2. Pembahasan
5.2.1. Sifat Gangguan Pendengaran Pasien Tuli Mendadak
Pada tabel 5.1.1. penderita tuli mendadak pada pasien tuli mendadak yang
memiliki data yang lengkap menunjukkan bahwa pasien tuli mendadak yang
bersifat unilateral sebanyak 50% dan pasien tuli mendadak yang bersifat bilateral
sebanyak 50%.
Menurut Maghie Khun et al, hampir semua kasus tuli mendadak bersifat
unilateral dan kurang dari 2% bersifat bilateral (Khun, Magie et al, 2011).
Menurut Benjamin ES et al, kehilangan pendengaran secara tiba-tiba sering
terjadi hampir pada semua kasus dan kurang dari 5% tuli mendadak bersifat
bilateral (Benjamin, 2010). Perbedaan hasil penelitian dan referensi diatas
kemungkinan terjadi karena sedikitnya sampel penelitian yang memiliki data
lengkap.
5.2.2. Perubahan Tingkat Pendengaran (dB) berdasarkan Usia
Pada tabel 5.1.2. menunjukkan bahwa pada kelompok usia 12-16 tahun
mengalami ambang perbaikan pendengaran ambang rata-rata yaitu 27,5 dB. Pada
kelompok usia 17-25 tahun memliki perbaikan pendengaran dengan ambang
pendengaran rata-rata sebesar 27,23±5,67 dB, kelompok usia 26-35 tahun
memiliki perbaikan ambang pendengar rata-rata sebesar 21,93±9,67 dB. Pada
kelompok masa dewasa akhir, 36-45 tahun memiliki perbaikan pendengaran
dengan ambang pendengaran rata-rata sebesar 21,06±12,88 dB. Kelompok usia
masa lansia awal sebanyak 4 data, 46-55 tahun meiliki perbaikan pendengaran
dengan ambang pendengaran rata-rata sebesar 19,75±14,48 dB. Pada kelompok
40
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
44
usia 56-65 tahun, masa lansia akhir memiliki perbaikan pendengaran dengan
ambang pendengaran rata-rata sebesar 11,38±4,02 dB dan pada kelompok usia
lebih dari 65 tahun perbaikan pendengaran dengan ambang pendengaran rata-rata
sebesar 5,38±5,47dB.
Penelitian yang dilakukan oleh Topuz et al, usia penderita tuli mendadak
yang kurang dari 50 tahun memberikan hasil perbaikan pendengaran setelah terapi
oksigen hiperbarik lebih efektif dari pada pasien penderita tuli mendadak yang
berusia lebih dari 50 tahun (Topuz et al, 2004). Pada penelitian ini, pasien dengan
usia dibawah rentang 46-55 tahun memiliki hasil perbaikan pendengaran yang
lebih besar dari pada pasien di usia lebih dari 56 tahun. Secara alamiah organorgan pendengaran pada lansia akan mengalamai proses degenerasi. Struktur
telinga, komponen telinga berupa saraf, pembuluh darah, jaringan penunjang
maupun sinaps saraf sangat rentan terhadap proses degenerasi pada usia lanjut.
5.2.3. Perubahan Tingkat Pendengaran (dB) Setelah Terapi Oksigen
Hiperbarik Pada Frekuensi 250 Hz, 500 Hz, 1000 Hz, 2000 Hz, 4000
Hz dan 8000 Hz
Pada tabel 5.1.4. merupakan perubahan tingkat pendengaran berdasarkan
selisih ambang dengar sebelum dan setelah terapi oksigen hiperbarik frekuensi
250 Hz, 500 Hz, 1000 Hz, 2000 Hz, 4000 Hz dan 8000 Hz. Frekuensi pada
penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan wulandari, 2002. Karena,
penelitian ini memakai enam frekuensi yang terdapat dari data audiometri.
Penelitian ini menunjukkan rata-rata perbaikan pendengaran setelah dilakukannya
terapi oksigen hiperbarik pada frekuensi 250 Hz sebesar 19±15 dB, frekuensi 500
Hz sebesar 17,3±14,3 dB, frekuensi 1000 Hz sebesar 16,6±13,6 dB, frekuensi
2000 Hz sebesar 16,7±14,5 dB, frekuensi 4000 Hz sebesar 17,5±13,1 dB dan
frekuensi 8000 Hz sebesar 16,6±11,3 dB. Perubahan tingkat pendengaran setelah
terapi oksigen hiperbarik di uji secara statisktik dengan paired sample t-test yang
menunjukkan bahwa terapi oksigen hiperbarik bermakna dalam meningkatkan
fungsi pendengaran penderita tuli mendadak atau sudden deafness pada masingmasing frekuensi di Rumah Sakit Angkatan Laut Dr. Mintohardjo periode 2014
(p≤0,05).
40
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
46
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil dari penelitian yang dilakukan, dapat diambil beberapa
kesimpulan, diantaranya:
1. Dari 123 rekam medis pasien tuli mendadak di Rumah Sakit Angkatan
Laut Dr. Mintohardjo periode 2014 hanya 36 data memiliki kriteria
inklusi.
2. Dari 36 data, 18 diantaranya bersifat unilateral dan 18 lainnya bersifat
bilateral. Sehingga telinga yang mengalami gangguan pendengaran
sebanyak 54 telinga.
3. Rata-rata perubahan tingkat pendengaran dari hasil penelitian didapatkan
bahwa pada keompok usia 12-16 tahun sebesar 27,5 dB, kelompok usia
17-25 tahun sebesar 27,23±5,67 dB, kelompok usia 26-35 tahun sebesar
21,93±9,67 dB. Pada kelompok masa dewasa akhir, 36-45 tahun sebesar
21,06±12,88 dB, klompok usia masa lansia awal 46-55 tahun sebesar
19,75±14,48 dB, kelompok usia 56-65 tahun masa lansia akhir sebesar
11,38±4,02 dB dan pada kelompok usia lebih dari 65 tahun sebesar
5,38±5,47dB.
4. Tingkat perbaikan pada frekuensi 250 Hz sebesar 19±15 dB, frekuensi 500
Hz sebesar 17,3±14,3 dB, frekuensi 1000 Hz sebesar 16,6±13,6 dB,
frekuensi 2000 Hz sebesar 16,7±14,5 dB, frekuensi 4000 Hz sebesar
17,5±13,1 dB dan frekuensi 8000 Hz sebesar 16,6±11,3 dB.
5. Secara statisktik uji paired sample t-test didapatkan bahwa terapi oksigen
hiperbarik bermakna dalam meningkatkan fungsi pendengaran penderita
tuli mendadak atau sudden deafness (p≤0,05).
45
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
46
6.2. Saran
1. Dilakukannya penelitian lebih lanjut pengaruh terapi oksigen hiperbarik
terhadap tuli mendadak secara prospektif mengingat tuli mendadak dapat
sembuh spontan.
45
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
47
DAFTAR PUSTAKA
Ali S, Maryam K, Matineh H. (2014). Diseases treated with hyperbarik oxygen
therapy. Med Hyp Discov Innov Interdisciplinary.
Alimoglu, Y., Inci, E., Edizer, D.T., Ozdilek, A., & Aslan, M. (2011). Efficacy
comparison of oral steroid, intratympanic steroid, hyperbaric oxygen and
oral steroid + hyperbaric oxygen treatments in idiopathic sudden
sensorineural
hearing
loss
cases.
European
Archives
of
Otorhinolaryngology, 268:1735- 1741.
Arikunto, S. (2002). Prosedur Suatu Penelitian: Pendekatan Praktek, Edisi 5.
Jakarta: Rineka Cipta.
Arslan, N., Haldun O., Münir D., Mustafa A. S., Ahmet I., Selda K. K., Erdal S.
(2011). Combined intratympanic and systemic use of steroids for idiopathic
sudden sensorineural hearing loss. Otol Neurotol.;32:393-7.
Bain, B.J. (2006). Haemoglobinopathy Diagnosis, 2nd Edition. Massachusetts:
Blackwell Publishing Inc.
Bashiruddin, J., Soetirto I. (2007). Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung
tenggorok kepala dan leher. Ed 6. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. hal.46.
Benjamin, ES, Charlotte Agrup, Dorian O Haskard, Linda M Luxon. (2010).
Sudden Sensorineural Hearing Loss. Lancet; 375: 1203–11
Chin-Saeng, Cho, Young-Jin Choi. (2013). Prognostic factor in sudden
sensorineural hearing loss; a retrospective study using interaction effects.
Braz J Otorhinolaryngol.;79(4):466-70.
Davies, A. dan Moores, C. (2003). The Respiratory System. London: Elsevier
Science Ltd.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
48
Devaraj, Divya. D., Srisakthi. (2014). Hyperbaric oxygen therapy-can it be the
new era in denstistry?. Department of Public Health Dentistry, Saveetha
Dental College: India.
Gill, A.L., Bell C.N.A. (2004). Hyperbaric oxygen; its uses, mechanisms of action
and outcomes. Q J MED; 97:385-395
Harris, D. (2007). Ensiklopedi Unsur-Unsur Kimia. Edisi Kedua. Jakarta: Penerbit
Kawan Pustaka.
Imsuwansri, Thanarath. Pipat Poonsap. Kornkiat Snidvongs. 2012. Hyperbaric
oxygen therapy for sudden sensorineural hearing loss after failure from oral
and intratumpaic corticosteroid. Thailand: Department of otolaryngology.
Johnson, L.R. dan Byrne, J.H. (2003). Essential Medical Physiology. California:
Academic Press.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia No. 879. (2006). Rencana strategi
nasional untuk mencapai sound hearing 2030. Jakarta: Kemenkes.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia No. 120. (2008). Standar pelayanan
medik hiperbarik. Jakarta: Kemenkes
Lauralee, S. (2001). Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi 2. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC
Levitzky, M.G. (2003). Pulmonary Physiology, 6th Edition. Indiana: McGrawHill Companies Inc.
Lin, Frank L., Roland Thorpe, Sandra Gordon-Salan, Luigi Ferrucci. (2011).
Hearing loss prevalence and risk factos among older adults in the United
States. J Gerontol A Biol Sci Med Sci; 66A(5):582–590.
Liu, S.C., Kang, B.H., Lee, J.C., Lin, Y.S., Huang, K.L., Liu, D.W., Su, W.F., …
& Wang C.H. (2011). Comparison of therapeutic results in sudden
sensorineural hearing loss with/without additional hyperbaric oxygen
therapy: A Retrospective review of 465 audiologically controlled cases.
Clinical Otolaryngology, 36:121-128
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
49
Mathur,
Neeraj
N.
(2015).
Sudden
Hearing
Losss.
Diakses
dari:
http://emedicine.medscape.com/article/856313-overview#showall
Moller AR. (2006). Hearing. Anathomy,Physiology, and Disorders of the auditory
system. Second edition. Elsevier Inc: School of Behavioral and Brain
Sciences University of Texas at Dallas.
Notoatmodjo, S. (2002). Metodologi Penelitian Kesehatan. Yogyakarta: PT
Rineka Cipta.
Na, Se Yong. Myung Gu Kim. Seok Min Hong. Ji Hyun Chung. Ho Min Kang.
Seung Geun Yeo. (2014) Comparison of sudden deafness in adults and
children. Clinical and experimental otorhinolaryngology; Korea. eISSN
2005-0720.
Oxtoby, D.W., Gillis, H.P., Nachtrieb N.H., dan Campio, A. (2007). Principles of
Modern Chemistry. California: Thomson Brooks/Cole Publisher.
Pearce, Evelyn C. (2009). Anatomi dan fisiologi untuk paramedis. Jakarta:
Gramedia.
Racic, G., Petri N.M., Andric D. (2001). Hyperbaric oxygen as a mrthod of
therapy of sudden sensorineural hearing loss. Clinical Hospital Split,
croatia, Department of ENT. International Maritime Health. 5291-40:74-84.
Rauch, S.D. (2008). Clinical practice: Idiopathic sudden sensorineural hearing
loss. N Engl J Med;359:833-40.
Rhoades, R.A. dan Bell, D.R. (2009). Medical Physiology. Maryland: Lippincott
Williams & Wilkins.
Sourabh B, Guruswam V. (2012). Hyperbaric oxygen and wound healing. Indian
J Plast Surg. 45(2): 316-24.
Stachler R. J., Chandrasekhar S. S., Archer S. M., Rosenfeld R. M., Schwartz S.
R., Barrs DM. (2012). Clinical practice guideline sudden hearing loss.
American Academy of Otolaryngology-Head and Neck Surgery. Otolaryngol
Head Neck Surg. 146:S1.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
50
Sugiyono. (2005). Statistika untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta.
Sutarno, Adi Riono. (2000). Kedokteran Hiperbarik. Jakarta: Senter Hiperbarik
RSAL Dr. Mintohardjo.
Thomas, M. (2005). Understanding the Element of the Periodic Table Oxygen.
New York: The Rosen Publishing Group Inc.
Topuz, Ebru. Ozgur Yigit. Ugur Cinar. Huseyin Seven. (2004). Should hyperbaric
oxygen be added to treatment in idiopathic sudden sensorineural hearing
loss?. Eur Arch Otorhinolaryngol 261 : 393–396 DOI 10.1007/s00405-0030688-6
Wulandari, Ayu. (2002). Terapi oksigen hiperbarik terhadap penderita dengan
diagnosis tuli mendadak senter hiperbarik RSAL Dr. Mintohardjo periode
2002. Bandung: Universitas Padjajaran.
Yan, Ling. Ting Liang. Oumei Cheng. (2015). Hyperbaric oxygen therapy in
China. Medical Gas Research: China. DOI 10.1186/s13618-015-0024-4.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
56
Lampiran 6. Uji Paired Sample T-Test
1.
Paired Sample T-Test
Tujuan
: Untuk
mengetahui
ada
atau
tidak
adanya
perbaikan
pendengaran pada penderita tuli mendadak menggunakan
terapi oksigen hiperbarik
Hipotesis
1. Ho
:
: Tidak ada perbaikan pendengaran pada penderita tuli mendadak
dengan terapi oksigen hiperbarik secara bermakana
2. H1
: Ada perbaikan pendengaran pada penderita tuli mendadak
dengan terapi oksigen hiperbarik secara bermakna
Pengambilan Kesimpulan
1.
:
Jika nilai signifikan ≥0,05, maka Ho diterima, berarti tidak
ada perbaikan pendengaran pada penderita tuli mendadak dengan terapi
oksigen hiperbarik
2.
Jika nilai signifikan ≤0,05, maka Ho ditolak berarti ada
perbaikan pendengaran pada penderita tuli mendadak
dengan terapi
oksigen hiperbarik
Paired Sample T-Test pada frekuensi 250 Hz
Kesimpulan: ada perbaikan pendengaran pada penderita tuli mendadak dengan
terapi oksigen hiperbarik secara bermakna
Paired Sample T-Test pada frekuensi 500 Hz
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
57
Kesimpulan: ada perbaikan pendengaran pada penderita tuli mendadak dengan
terapi oksigen hiperbarik secara bermakna
Paired Sample T-Test pada frekuensi 1000
Kesimpulan: ada perbaikan pendengaran pada penderita tuli mendadak dengan
terapi oksigen hiperbarik secara bermakna
Paired Sample T-Test pada frekuensi 2000 Hz
Kesimpulan: ada perbaikan pendengaran pada penderita tuli mendadak dengan
terapi oksigen hiperbarik secara bermakna
Paired Sample T-Test pada frekuensi 4000 Hz
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
58
Kesimpulan: ada perbaikan pendengaran pada penderita tuli mendadak dengan
terapi oksigen hiperbarik secara bermakna
Paired Sample T-Test pada frekuensi 8000 Hz
Kesimpulan: ada perbaikan pendengaran pada penderita tuli mendadak dengan
terapi oksigen hiperbarik secara bermakna
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Download