KAJIAN IKAN MEDAKA JAVANICUS Oryzias javanicus SEBAGAI BIOINDIKATOR PENCEMARAN LOGAM BERAT TIMBAL (Pb) DI PERAIRAN Inspect of Medaka javanicus Oryzias javanicus Fish as Bio-indicators of Heavy Metal Pollution of Lead (Pb) in the Waters. Sartika*, Magdalena litaaya, Irma andriania, Dahlang tahirb * Alamat korespondensi e-mail : [email protected] *a Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Hasanuddin, Makassar b Jurusan Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Hasanuddin, Makassar ABSTRAK Penelitian tentang kajian ikan medaka javanicus Oryzias javanicus sebagai bioindikator pencemaran logam berat timbal (Pb) di perairan, telah dilakukan pada bulan Maret - April 2015. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah ikan medaka javanicus O. javanicus bisa menjadi indikator biologis dan memperkenalkan satu spesies ikan medaka javanicus O. javanicus yang bisa digunakan sebagai bioassay. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode aklimatisasi, dengan konsentrasi perlakuan secara berturut-turut 0 mg/L, 0.01 mg/L, 0.03 mg/L dan 0.05 mg/L kemudian diukur dengan menggunakan alat EDXRF. Analisis Data meliputi: analisis kadar logam berat timbal Pb dan disorientasi gerak serta abnormalitas morfologi pada hewan uji. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah Pb yang ada pada ikan relevan dengan konsentrasi Pb yang ada pada wadah. Rata-rata timbal Pb yang terakumulasi pada konsentrasi 0.01, 0.03 dan 0.05 mg/L adalah sekitar 0.00085, 0.00089 dan 0.00095 mg/L. Kemampuan ikan medaka javanicus O. javanicus bertahan pada kondisi perairan yang tercemar logam berat timbal sampai diatas ambang batas (0.05 mg/L) menunjukkan ikan ini berpotensi sebagai organisme indikator. Kata kunci : Oryzias javanicus, Bioindikator, Timbal (Pb), Muara Sungai Jeneberang, XRF. ABSTRACT The research of the application of medaka javanicus Oryzias javanicus fish as bioindicators of heavy metal pollution of lead (Pb) in the waters, was conducted in March-April 2015. The purpose of this study was to determine whether the medaka javanicus fish Oryzias javanicus could be a biological indicator in pollutant waters, and to introduce medaka javanicus Oryzias javanicus make for bioassay and bio-indicator. Sampling was done randomly by using gill nets at the mouth of the Jeneberang Makassar, the observations made in Medaka Study Centre, building Activity Research Center, University of Hasanuddin, Makassar. Data analysis consisted of: 1) observation of a dose effect of certain pollutants after a given dose and 2) the analysis of heavy metals lead Pb levels in test animals were measured using EDXRF instrument. The results showed that the higher the lead Pb contained in the container, the more the concentration of heavy metals that can lead Pb accumulated by fish. 1 The amount of lead Pb shown is the concentration of 0 mg/L (control) is 0%, the concentration of 0.01 mg/L (below threshold) of about 0.00085 mg/L then at a concentration of 0.03 mg/L (threshold) of about 0.00089 mg/L. Meanwhile, at a concentration of 0.05 mg/L (above the threshold) the percentage of lead is obtained about 0.00095 mg/L Pb. The ability of medaka fish Oryzias javanicus javanicus konsisi survive on heavy metal contaminated waters of lead Pb to above the threshold (0.05 mg/L) showed medaka javanicus Oryzias javanicus potential as an indicator organism. Keywords: Oryzias javanicus, Bioindicator, Lead (Pb), Jeneberang estuary, XRF. PENDAHULUAN UU LH no 32 tahun 2009, menyebutkan bahwa pencemaran lingkungan hidup adalah masuk atau dimasukkannya mahluk hidup kedalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan. Pencemaran air merupakan masuknya mahluk hidup, zat, energi atau komponen lain ke dalam badan air sehingga menyebabkan kualitas air tercemar. Masukan tersebut sering disebut dengan istilah unsur pencemar, unsur pencemar dapat berupa logam berat. Pencemaran oleh logam berat di perairan seperti kadmium (Cd), Merkuri (Hg), dan Timbal (Pb) menjadi ancaman serius bagi keseimbangan ekosistem dan kehidupan manusia. Menurut Darmono (1995), umumnya logam berat pada suhu kamar tidak selalu berbentuk padat melainkan ada yang berupa unsur cair, misalnya merkuri (Hg), timbal (Pb), kadium (Cd), dan lain sebagainya Karena sifatnya yang susah diuraikan sehingga jika dibiarkan secara terus menerus maka akan terakumulasi dan akan mencemari area perairan baik sungai maupun di laut. Berdasarkan kondisi tersebut maka perlu dilakukan tindakan sebaik mungkin agar pencemaran tersebut tidak terlalu meluas. Darmono (1995), berpendapat bahwa selama ini pencemaran perairan dideteksi bilamana telah muncul dampak pencemaran berupa perubahan sifat fisik perairan atau kematian organisme yang hidup diperairan tersebut bahkan setelah munculnya kematian pada manusia. Fenomena seperti ini tentu saja berbahaya bagi keberlangsungan hidup manusia. Oleh karena itu dibutuhkan upaya deteksi dini terhadap keberadaaan polutan di suatu perairan. Pengukuran kadar pencemaran umumnya deteksi polutan di perairan menggunakan teknik kimiawi. Teknik ini cenderung mahal dan limbahnya dapat menimbulkan polutan baru bagi lingkungan manusia. Saat ini berkembang teknik deteksi dini pencemaran zat atau bahan kimia di perairan dengan menggunakan indikator biologis. Pada penelitian ini ingin diketahui jenis indikator biologis untuk pencemaran perairan yang layak dan mudah diperoleh. Salah satu organisme perairan yang memenuhi persyaratan sebagai indikator biologis adalah ikan medaka. Ikan medaka bisa menjadi salah satu agen indikator biologis itu karena bisa hidup dalam tekanan logam berat diperairan, memiliki kemampuan reproduksi tinggi, waktu pemijahan relatif singkat, tingkat adaptasinya tinggi yang dapat hidup di perairan air tawar maupun air laut, menetap pada suatu perairan sehingga mudah dijadikan sampel, mudah untuk dikembangkan di dalam laboratorium. Jenis ikan medaka yang digunakan pada penelitian ini adalah medaka javanicus Oryzias javanicus karena merupakan ikan endemik lokal yang banyak ditemukan di Sulawesi Selatan dan ikan ini juga mudah dibudidayakan. Saat ini ikan medaka javanicus O. javanicus juga sudah didomestikasi di pusat studi medaka, UNHAS. Oleh karena itu penelitian tentang pemanfaatan ikan ini sebagai indikator biologis pada perairan tercemar perlu dilakukan. 2 BAHAN DAN METODE Lokasi Studi dan Waktu Penelitian ini telah dilakukan pada bulan Maret – Mei 2015. Pengambilan sampel dilakukan di muara sungai Je’ne berang, kota Makassar Sulawesi Selatan. Sedangkan Pengamatan dilakukan di gedung Pusat Kegiatan Penelitian dan analisis data dilakukan di Gedung Sains Building, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Hasanuddin, Makassar. Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah toples kaca berukuran 10 x 10 x 10 cm, aerator, alat ukur, kamera digital, kotak sampel, cawan petri, timbangan, sendok tanduk, gunting, instrumen X-RAY dan gill net. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampel ikan Medaka javanicus oryzias javanicus, larutan timbal Pb dengan konsentrasi 0,01, 0,03, dan 0,05 mg/L, lem kaca, air, pelet, boardmarker, dan tissu gulung. Metode Kerja a. Penentuan Lokasi Pengambilan Sampel Sebelum dilakukan pengambilan sampel, terlebih dahulu dilakukan observasi lokasi untuk mendapatkan gambaran umum tentang kondisi Perairan Muara Sungai Je’ne Berang, Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Setelah melakukan observasi di lokasi penelitian, maka dilakukan penentuan titik pengambilan sampel. b. Metode pengambilan sampel Pengambilan sampel dilakukan secara acak dengan menggunakan gill net. Sampel ikan yang berada di dalam gill net diambil dan dimasukkan kedalam kantong sampel. Selanjutnya sampel difoto untuk didokumentasikan dan sampel dibawa ke gedung pusat kegiatan penelitian untuk dilakukan seleksi hewan uji. Hewaan uji yang telah diperoleh dari lokasi pengambilan sampel selanjutnya di lakukan seleksi hewan uji berdasarkan ukuran. Hewan uji yang diambil adalah yang berukuran 2 cm ± 0,1/0,2. c. Aklimatisasi Hewan uji hasil seleksi yang berjumlah 40 ekor, diadaptasikan dengan keadaan fisik yang ada di laboratorium (lingkungan pengujian) selama 10 hari. Aklimasi selama minimal 10 hari karena apabila dalam waktu 48 jam lebih dari 3% populasi hewan uji mati, maka populasi hewan uji dianggap tidak memenuhi syarat untuk pengujian (Johnson, 1980). Sebelum dilakukan proses aklimatisasi terlebih dahulu dilakukan pengujian kandungan logam berat Pb yang terdapat pada (air PAM) yaitu air yang digunakan untuk aklimatisasi dengan menggunakan EDXRF. d. Rancangan Penelitian Sebelum dilakukan pengujian serapan logam berat Pb terlebih dahulu dilakukan penentuan letal dosis LD 50 hewan uji dengan pemberian logam berat Pb dengan konsentrasi yang berbeda-beda yaitu 0.5, 0.75, 1 dan 1.25 mg/L. Selanjutnya dilakukan pengamatan berupa persentase mortalitas pada hewan uji. Pengujian serapan logam berat Pb dilakukan dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri dari 4 perlakuan dan 2 kali pengulangan sebagai berikut: A. Tanpa penambahan logam berat Pb 0 mg/L (kontrol). B. Penambahan konsentrasi logam berat Pb 0,01 mg/L (dibawah ambang batas). C. Penambahan konsentrasi logam berat Pb 0,03 mg/L (ambang batas). D. Penambahan konsentrasi logam berat Pb 0,05 mg/L (diatas ambang batas). Analisis Kadar Logam Berat Pb pada Hewan Uji Kadar logam berat Pb pada hewan uji diukur menggunakan alat EDXRF. Hewan uji terlebuh dahulu dipotong pada bagian pangkal sirip perut, selanjutnya bagian perut sampai kepala digerus agar sampel menjadi homogen dan dimasukkan kedalam wadah penyinaran untuk dianalisis dengan EDXRF. 3 Analisis Data Parameter Pengaruh Pb pada Ikan Medaka Setelah ikan berada dalam aquarium selama 1-10 hari sebagai tahap aklimatisasi, kemudian diberikan perlakuan dengan penambahan larutan logam berat Timbal (Pb) dengan dosis 0.01 mg/L, 0.03 mg/L dan 0.05 mg/L selama 17 hari, perubahan perilaku ikan diamati. Parameternya berupa disorientasi gerak yang ditandai dengan gerakan ikan melemah dan posisi tubuh ikan menjadi miring, serta abnormalitas yang ditandai dengan adanya perubahan morfologi pada ikan berupa insang ikan menjadi merah dan sisik ikan terkelupas. tidak terdeteksi sehingga air yang digunakan sebagai air aklimatisasi bebas dari unsur logam berat timbal Pb. Hasil Pengujian Dosis Letal 50 % (LD 50) Uji LD50 bertujuan untuk mendeteksi adanya toksisitas suatu zat, menentukan organ sasaran dan kepekaannya, memperoleh data bahayanya setelah pemberian suatu senyawa secara akut dan untuk memperoleh informasi awal yang dapat digunakan untuk menetapkan tingkat dosis yang diperlukan (Ibrahim, 2012). Hasil pengujian dosis letal (LD 50) terlihat pada Gambar 6. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Pengujian Kadar Logam Berat Pb Pada Air PAM yang Digunakan Untuk Aklimatisasi. Hasil pengujian kadar logam berat Pb pada air PAM yang digunakan sebagai air aklimatisasi menunjukkan bahwa pada air tersebut tidak terdapat logam berat Timbal (Pb) sehingga air tersebut dapat digunakan dalam penelitian ini. Hasil yang pengukuran yang diperoleh terlihat pada Tabel 4. Tabel 4. Pengujian Kadar Logam Berat Pb Pada Air PAM No Elemen m/m% StdErr 1 2 3 U Sr In 46,20 16,34 13,46 14,67 7,48 3,85 KnownConc = 0 REST = 0 D/S = 0 Sum Conc’s before normalization to 100% = 0,2 % Hasil pengujian pada air PAM, terlihat pada Tabel 4 bahwa elemenelemen logam yang terdeteksi oleh alat XRay yaitu U, Sr dan In dengan massa yang berbeda-beda dan standar eror yang berbeda pula. Sedangkan logam berat Pb Gambar 6. Persentase Mortalitas Hewan Uji Setelah 24 Jam. Grafik diatas menunjukkan persentase mortalitas hewan uji setelah pengamatan selama 24 jam. Hasilnya terlihat bahwa pada konsentrasi Pb 0,5 mg/L pada pengamatan 24 jam persentase mortalitas hewan uji yaitu 0 %, persentase mortalitas pada konsentrasi 0,75 mg/L mematikan hingga 25 % dari populasi hewan uji. Untuk konsentrasi 1 mg/L dalam jangka waktu 24 jam yang terlihat pada grafik bahwa pada waktu dan konsentrasi ini mampu mematikan hingga 50 % hewan uji. Sehingga dapat disimpulkan bahwa nilai dosis letal LD50 24 jam untuk logam berat timbal Pb dari ikan medaka javanicus O. Javanicus terdapat pada konsentrasi 1 mg/L dalam waktu 24 jam. Uji toksisitas akut dirancang untuk menentukan atau menunjukkan secara kasar median lethal 4 dose (LD50) dari toksikan. LD50 ditetapkan sebagai tanda statistik pada pemberian suatu bahan sebagai dosis tunggal yang dapat menyebabkan kematian 50% hewan uji (Frank,1996 dalam Ibrahim 2012). Menurut Ngatidjan,1997 dalam Ibrahim 2012, jumlah kematian hewan uji dipakai sebagai ukuran untuk efek toksik suatu bahan (kimia) pada sekelompok hewan uji. Jika dalam hal ini hewan uji dipandang sebagai subjek, respon berupa kematian tersebut merupakan suatu respon diskretik. Ini berarti hanya ada dua macam respon yaitu ada atau tidak ada kematian. Toksisitas akut didefinisikan sebagai kejadian keracunan akibat pemaparan bahan toksik dalam waktu singkat, yang biasanya dihitung dengan menggunakan nilai LC50 atau LD50. Nilai ini didapatkan melalui proses statistik dan berfungsi mengukur angka relatif toksisitas akut bahan kimia. Toksisitas akut dari bahan kimia lingkungan dapat ditetapkan secara eksperimen menggunakan spesies tertentu seperti mamalia, bangsa unggas, ikan, hewan invertebrata, tumbuhan vaskuler dan alga. Uji toksisitas akut dapat menggunakan beberapa hewan mamalia, namun yang dianjurkan untuk uji LD50 diantaranya tikus, mencit dan kelinci. Uji LD50 adalah suatu pengujian untuk menetapkan potensi toksisitas akut LD50, menilai berbagai gejala toksik, spektrum efek toksik, dan mekanisme kematian. Pengaruh Pb pada Morfometri dan Gerak O. Javanicus. Logam berat timbal Pb yang ada pada perairan dapat mempengaruhi morfometri dan gerak pada biota perairan. Hasil pengamatan pengaruh Pb pada morfometri dan gerak O. Javanicus diperlihatkan pada Tabel 5. Tabel 5. Hasil pengamatan pengaruh konsentrasi Pb terhadap gerak dan abnormalitas insang dan sisik. Kontrol Waktu (jam) Disorientasi gerak 0.01 mg/L Abnormalitas insang sisik Disorientasi gerak 0.03 mg/L Abnormalitas insang sisik Disorientasi gerak 0.05 mg/L Abnormalitas insang sisik Disorientasi gerak Abnormalitas insang sisik 0 - - - - - - - - - - - - 24 - - - - - - - - - + + + 48 - - - - - - - - - - - - 72 - - - - - - - - - - - - 96 - - - - - - + + + + + + 120 - - - + + + + + + + (2) + (2) + (2) 144 - - - + + + + + + + (2) + (2) + (2) 168 - - - + + + + (2) + (2) + (2) + (2) + (2) + (2) Ket : (+) Ikan yang mengalami disorientasi gerak dan abnormalitas. (-) Semua ikan normal (10 ekor). +(2) menunjukkan bahwa 2 ekor ikan mengalami disorientasi gerak dan abmormalitas. 5 Berdasarkan pengamatan pengaruh konsentrasi Pb yang diamati dengan parameter disorientasi gerak berupa gerakan ikan melemah dan posisi tubuh ikan menjadi miring serta abnormalitas yang ditandai dengan perubahan morfologi yang terjadi pada tubuh ikan diperoleh dipero hasil bahwa ikan yang diperlakukan sebagai kontrol dalam penelitian ini yang diamati selama 168 jam (7 hari) tidak memperlihatkan perubahan apapun baik dari orientasi gerak maupun abnormalitas. Sementara ikan yang di perlakuan dengan konsentrasi 0.01 mg/L g/L terlihat bahwa dari 0 -96 jam (1-4 4 hari) tidak terlihat perubahan apapun terhadap populasi ikan tersebut, dan memperlihatkan peruhan setelah 120-168 168 jam (hari ke 5-7) 5 yaitu terdapat satu ekor dari populasi ikan yang mengalami disorientasi gerak berupa posisi tubuhnya miring dan terlihat abnormalitas yaitu insangnya memerah dan sisiknya terkelupas. Populasi ikan yang ada pada perlakuan konsentrasi ambang batas yaitu pada konsentrasi 0.03 mg/L terlihat bahwa pada waktu 0-72 jam (1-3 3 hari) tidak memperlihatkan hatkan perubahan apapun, tetapi setelah 96-144 jam (4-6 6 hari) perubahan ikan mulai terjadi yaitu terdapat satu ekor dari populasi ikan pada perlakuan tersebut menunjukkan posisi tubuh yang miring, insang memerah dan sisiknya terkelupas. Jumlah ikan yang memperlihatkan me perubahan morfologi dan disorientasi gerak bertambah menjadi 2 ekor setelah pengamatan 168 jam (hari ke--7 ). Pada pengamatan konsentrasi 0.05, hasil yang diperoleh yaitu pada pengamatan 0 jam tidak terlihat perubahan apapun, dan memperlihatkan memperlihatka perubahan terjadi pada waktu 24 jam yaitu 1 ekor dari populasi ikan mengalami disorientasi gerak berupa gerakan tubuh ikan melemah dan posisi tubuh menjadi miring serta memperlihatkan terjadinya abnormalitas pada morfologi ikan. Hal ini dikarenakan pada pengamatan tersebut hewan uji masih dalam tahap penyesuaian (adaptasi). Tetapi pada pengamatan 48 dan 72 jam populasi ikan pada perlakuan ini tidak memperlihatkan adanya disorientasi gerak maupun abnormalitas. Hal ini terjadi karena hewan uji mampu beradaptasi beradap dengan kondisi tersebut. Setelah pengamatan 96 jam, 1 ekor dari populasi ikan kembali memperlihatkan adanya disorientasi gerak dan abnormalitas. Jumlah hewan uji yang memperlihatkan keadaan tersebut pada konsentrasi 0.05 bertambah menjadi 2 ekor pada waktu pengamatan 120-168 168 jam. Terjadinya perubahan yang memperlihatkan disorientasi gerak dan abnormalitas pada hewan uji dikarenakan banyaknya kotoran yang ada pada lingkungan hewan uji. Banyaknya kotoran yang menumpuk pada wadah perlakuan dikarenakan sel selama waktu perlakuan tidak dilakukan pembersihan pada wadah pengujian. Menurut Tandjung (1982), (1982) perubahan patomorfologik berupa perubahan morfologik hingga kerusakan histologik branchia ikan dapat dihubungkan dengan tingkat pencemaran air tempat ikan tersebut ut hidup dan/atau ditemukan. Gambaran disorientasi gerak dan abnormalitas dapat terlihat pada gambar dibawah ini: A B Gambar 7. Ikan yang mengalami disorientasi gerak (A), abnormalitas (B). Seperti yang dilansir oleh Darmono, 2001 bahwa toksisitas logam timbal (Pb) b) terhadap organisme air dapat menyebabkan an kerusakan jaringan organisme terutama pada organ yang peka seperti insang dan usus kemudian ke ke jaringan bagian dalam seperti hati dan ginjal tempat logam tersebut terakumulasi. Alaerts dan Santika (1987) juga 6 berpendapat bahwa Kandungannya dalam jaringan terus meningkat sesuai dengan kenaikan konsentrasi Pb dalam air dan lamanya organisme tersebut berada dalam perairan yang tercemar Pb. Hal ini disebabkan karena organisme air tidak mampu meregulasi logam berat Pb yang masuk kedalam tubuh organisme. Menurut Effendi (2003), polutan toksik dapat mengakibatkan kematian (letal) maupun bukan kematian (sub letal), misalnya terganggunya pertumbuhan, tingkah laku dan karakteristik morfologi berbagai organisme akuatik. Logam berat di dalam perairan dapat diserap dan diakumulasi oleh semua jaringan tubuh biota perairan dengan cara kontak melalui air dan rantai makanan. Adanya pencemaran pada badan-badan air termasuk sungai, akan menimbulkan masalah dan berdampak negatif pada kehidupan ikan-ikan yang hidup di sungai tersebut. Perairan yang tercemar akan mengalami penurunan kualitas, yang menyebabkan daya dukung perairan tersebut menurun terhadap organisme akuatik yang hidup di dalamnya. Masalah pencemaran air menimbulkan berbagai dampak, baik dampak biologi, fisik atau kimia. Menurut Connel dalam Yuniar (2009), bahwa zat beracun dapat menurunkan laju pertumbuhan. Penurunan laju pertumbuhan diduga organ tubuh ikan mengalami gangguan sehingga mengurangi nafsu makan dan pemanfaatan energi yang berasal dari makanan lebih banyak digunakan untuk mempertahankan diri dari tekanan lingkungan serta mengganti bagian sel yang rusak akibat kontaminasi dengan bahan toksik (Yosmaniar, 2009). Hasil Analisis Kadar Logam Berat Timbal Pb pada Hewan Uji Kadar logam berat timbal Pb yang di deteksi melalui analisis X-Ray Fluoresence terlihar pada Tabel 6. Tabel 6. Persentase (%) Kadar Logam Berat Timbal Pb pada Hewan Uji yang diukur dengan EDXRF. Persentase Logam N Konsentrasi Berat Timbal Pb (%) dalam 10 ekor o (mg/L) RI R II 1 Control 0 0 Rata – rata (%) 0 Persentase Logam Berat Timbal Pb Rata – rata (%) dalam 1 ekor (%) RI R II 0 0 0 Rata-rata (mg/L) 0 2 0.01 84.81 83.62 84.21 8.48 8.36 8.42 0.00084 3 0.03 93.19 86.57 89.88 9.3 8.65 8.9 0.00089 4 0.05 94.91 95.93 95.42 9.49 9.59 9.54 0.00095 Hasil yang diperoleh analisis kadar logam berat timbal Pb yang terakumulasi pada hewan uji yang diuji dengan menggunakan analisis XRF memperlihatkan bahwa: Konsentrasi 0 mg/L (kontrol) Pada kontrol, hasilnya menunjukkan bahwa tidak terdapat Pb yang terdeteksi oleh alat XRF. Hal ini terjadi dikarenakan pada pengujian ini tidak terjadi penambahan logam berat Pb sehingga tidak ada Pb yang terdeteksi melainkan hanya elemen-elemen lain dengan konsentrasi yang berbeda-beda. Konsentrasi 0.01 mg/L (dibawah ambang batas) Hasil yang diperoleh dari pengujian XRF untuk konsentrasi 0.01 mg/L rata – rata persentase logam berat timbal Pb yang terdeteksi dalam 10 ekor ikan adalah 7 84.21 %. Sehingga rata-rata yang diperoleh dalam 1 ekor hewan uji adalah 8.42 %. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa dari 0.01 mg/L jumlah Pb yang terakumulasi dalam tubuh satu ekor ikan sebanyak 0.00085 mg/L. Sehingga di asumsikan bahwa yang tidak terakumulasi yaitu 0.00915 mg/L. Jumlah Pb yang tidak terakumulasi diperoleh dari hasil pengurangan konsentrasi yang ditambahkan pada perlakuan yaitu 0.01 mg/L dengan jumlah yang terdeteksi pada alat EDXRF yaitu 0.00085. Konsentrasi 0.03 mg/L (ambang batas) Pada konsentrasi 0.03 mg/L, ratarata hasil yang diperoleh dari 10 ekor ikan yaitu 89.88%. Dalam 1 ekor hewan uji diperkirakan rata-rata konsentrasi Pb yang terakumulasi sekitar 8.9 % atau sebanyak 0.00089 mg/L. Dengan demikian jumlah konsentrasi Pb yang tidak terakumulasi adalah 0.000911 mg/L. Artinya dari konsentrasi 0.03 mg/L, yang dapat diakumulasi oleh ikan adalah 0.00089 mg/L per ekor. Konsentrasi 0.05 mg/L (diatas ambang batas) Dari perlakuan pada konsentrasi 0.05 mg/L memperlihatkan rata-rata persentase dalam 10 ekor hewan uji yaitu sebanyak 95.42 %. Persentase ini menunjukkan bahwa rata-rata dalam setiap ekor hewan uji yaitu 9.54 %. Jumlah persentase ini menyimpulkan bahwa dalam setiap ekor hewan uji, jumlah yang dapat diakumulasikan yaitu 0.00095 mg/L. Hal ini berarti bahwa yang tidak terakumulasi dari konsentrasi 0.05 mg/L ini adalah sekitar 0.0490 mg/L. Logam berat yang ada dalam perairan akan mengalami proses pengendapan dan akan terakumulasi dalam biota laut yang ada dalam perairan baik melalui insang maupun melalui rantai makanan dan akhirnya akan sampai pada manusia. Fenomena ini dikenal sebagai bioakumulasi atau biomagnifikasi. Seperti yang dikemukakan oleh Alaerts dan Santika, 1987 bahwa Kandungannya dalam jaringan terus meningkat sesuai dengan kenaikan konsentrasi Pb dalam air dan lamanya organisme tersebut berada dalam perairan yang tercemar Pb. Hal ini disebabkan karena organisme air tidak mampu meregulasi logam berat Pb yang masuk kedalam tubuh organisme. Akumulasi logam berat pada tubuh ikan terjadi karena logam berat yang sudah masuk ke dalam tubuh cenderung membentuk senyawa kompleks dengan zat organik yang terdapat dalam tubuh. Akibatnya logam terfiksasi dan tidak disekresi sehingga cenderung menumpuk di dalam tubuh (Riani, 2004). Terkumpulnya logam berat dalam jaringan tubuh hewan dan tanaman air terutama fitoplankton di sebut proses bioakumulasi. Logam berat dapat pula terkumpul dalam jaringan tubuh hewan lain yang lebih besar seperti ikan karena ikan tersebut memakan fitoplankton atau hewan air yang lebih kecil lain yang telah mengandung logam berat, sehingga konsentrasi logam berat di jumpai lebih tinggi pada tubuh hewan yang letaknya lebih tinggi dalam tingkatan trofik (Nybakken, 1992). KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi timbal Pb yang ada dalam wadah maka semakin tinggi konsentrasi logam berat timbal Pb yang dapat diakumulasi oleh ikan. Jumlah timbal Pb yang terlihat adalah konsentrasi 0 mg/L (kontrol) yaitu 0 %, konsentrasi 0.01 mg/L (dibawah ambang batas) sekitar 0.00085 mg/L kemudian pada konsentrasi 0.03 mg/L (ambang batas) sekitar 0.00089 mg/L. Sedangkan pada konsentrasi 0.05 mg/L (diatas ambang batas) diperoleh persentase timbal Pb sekitar 0.00095 mg/L. Kemampuan ikan medaka javanicus Oryzias javanicus bertahan pada kondisi perairan yang tercemar logam berat timbal Pb sampai diatas ambang batas (0.05 mg/L) menunjukkan ikan ini berpotensi sebagai organisme indikator. 8 Saran Mengingat bahwa ikan medaka javanicus Oryzias javanicus merupakan ikan endemik asli sulawesi dan jumlahnya yang sangat berlimpah di perairan maka Sebaiknya dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai pengaruh tingginya konsentrasi timbal dan lama waktu pemaparan logam berat timbal Pb terhadap daya akumulasi. Nybakken, J.W., 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. Alih bahasa oleh M. Eidman., Koesoebiono., D.G. Bengen., M. Hutomo., S. Sukardjo. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Indonesia. Riani, Daftar Pustaka Alaerts, G dan S. S. Santika. 1987. Metoda Penelitian Air. Usaha Nasional. Surabaya. Darmono., 1995. Lingkungan hidup dan Pencemaran. Penerbit Universias Indonesia. Jakarta. hal 36, 79-81, 130, 137-140. Darmono 2001. Review: Biomonitoring: an appealing tool for assessment of metal pollution in the aquatic ecosystem. Analytica Chimica Acta, (606): 135–150. Effendi 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan Perairan. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Ibrahim, M., 2012. Uji Lethal Dose 50 % (LD50) Poliherbal (Curcuma xanthorriza, Kheinhovia hospita, Nigella sativa, Arcangelisia flava dan Ophiocephalus striatus) pada Heparmin terhadap Mencit (mus musculus). Research and Development. PT Royal Medicalink Pharmalab. Hal 4-5. E., 2004. Dampak Bahan Pencemar terhadap Kecacatan dan Kepunahan Organisme Laut.http://www.wwf.or.id/Default .php ID=570. 28 Maret 2005. Tandjung, 1982. Kandungan Logam Berat Timbal (Pb) serta Struktur Mikroanatomi Ctenidia dan Digesti Gland (Hepar) Anodontia woodiana Lea., di Sungai Serang Hilir Waduk Kedung Ombo. Skripsi. Biologi FMIPA UNS. Surakarta. Yosmaniar, E. Supriyono dan Sutrisno. 2009. Toksisitas letal moluskisida niklosamida pada benih ikan mas (Cyprinus carpio). Jurnal Riset Akuakultur. Vol. 4 No.1: 85-93. Yuniar, V. 2009. Toksisitas merkuri (Hg) terhadap tingkat kelangsungan hidup, pertumbuhan, gambaran darah dan kerusakan organ pada ikan nila (Oreochromis niloticus). Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB. Bogor. UU LH NO. 32 thn 2009. Pencemaran Lingkungan. Kementrian Lingkungan Hidup. Jakarta. 9