Ahimsa, dalam teropong Filsafat Antropologi

advertisement
i/ Ahimsa, dalam teropong Filsafat Antropologi
AHIMSA
dalam teropong Filsafat Antropologi
I Nyoman Yoga Segara
Cover Design
: M. Setia
Lay Out : N. Bakti
Cetakan: I /Mei 2017
ISBN : 978-602-9138-90-0
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Penerbit : CV. Setia Bakti
Jl. Padma 30 Penatih Denpasar Timur
[email protected]
Isi di luar tanggung jawab percetakan
PT. Mabhakti
v/ Ahimsa, dalam teropong Filsafat Antropologi
SENARAI ISI
Kata Pengantar
Prof. Dr. Ida Bagus Gede Yudha Triguna, MS.
(Guru Besar Sosiologi Universitas Hindu Indonesia) ..................... xi
UCAPAN TERIMA KASIH .............................................................xvii
Senarai Isi................................................................................................ xxiii
PROLOG:
Filsafat Antropologi dalam Gerakan Moral Ahimsa
1
BAGIAN SATU:
Mengapa Ahimsa? ................................................................................. 9
BAGIAN DUA:
Mahatma Gandhi dan Pengaruh Sosial-Politik ................ 23
A. Situasi Sosial-Politik di Afrika Selatan, Sebuah
Titik Balik ...............................................................................................24
B. Diskriminasi terhadap Warga Negara
Kulit Hitam Asia (India) .................................................................... 25
C. Penjajahan Inggris dan Perang Boer .............................................. 28
D. Situasi Sosial-Politik di India........................................................... 31
1. Penjajahan Inggris ........................................................................... 32
2. Konflik Agama (Hindu dan Islam) ............................................. 38
E. Dampak Perang Dunia I dan II ....................................................... 40
BAGIAN TIGA:
Dasar Pemikiran Ahimsa dan Tinjauan
Filosofis Terhadapnya ..................................................................... 45
xxiv/ Ahimsa, dalam teropong Filsafat Antropologi
A. Mahatma Gandhi: Sejarah Hidup, Tradisi, dan
Agamanya ............................................................................................46
1. Jaina dan Keteguhan Tradisi .....................................................49
2. Menjadi Manusia-Kosmis dan Penghambaan Total
51
3. Tentang Pelepasan Diri ..............................................................54
4. Pengaruh Samkhya tentang Dualisme ................................... 55
5. Dua Kitab Favorit: Bhagavad-Gita dan Upanisad .............. 56
6. Belajar Selaras dari Buddhisme ............................................... 61
B.Mahakarya Mahatma Gandhi: Dari Satyagraha
Menjadi Ahimsa.................................................................................... 62
C. Visi Agung Gandhi tentang Gerakan Non-Kekerasan............... 66
D. Tinjauan Filosofis terhadap Gerakan Ahimsa ............................ 69
1. Tinjauan Metafisika....................................................................... 69
2. Tinjauan Filsafat Antropologi .................................................... 75
BAGIAN EMPAT:
Ahimsa sebagai Gerakan Moral dan Resolusi
Konflik ....................................................................................................... 83
A. Ahimsa sebagai Bentuk Kesadaran Etis ......................................... 83
B. Ahimsa untuk Emansipatori.............................................................. 87
1. Penghargaan terhadap Martabat Manusia ............................. 88
2. Nilai Fundamental Cinta Kasih ................................................. 91
C. Ahimsa sebagai Resolusi Konflik Sosial-Politik.......................... 93
D. Ahimsa sebagai Anti-Tesa Kekerasan ......................................... 101
1. Kekerasan Struktur dan Kekerasan Langsung ....................103
2. Tiga Pola Menghadapi Kekerasan ..........................................106
3. Bagaimana Pola Gandhi menghadapi Kekerasan? ... 109
xxv/ Ahimsa, dalam teropong Filsafat Antropologi
BAGIAN LIMA:
Pengakuan Dunia atas Keagungan Nilai Ahimsa .......... 117
A. Buku Manual Ahimsa Bagi Pejuang Hak-Hak
Kemanusiaan ...................................................................................... 118
1. Martin Luther King Jr ................................................................120
2. Dalai Lama..................................................................................... 123
3. Laureate Nelson Mandela .........................................................124
4. Aung San Suu Kyi ........................................................................ 125
5. Cesar Chavez ................................................................................. 127
B. Ahimsa dalam Bidang Pemerintahan,
Politik dan Kemasyarakatan .......................................................... 129
C. Relevansi Gerakan Moral Ahimsa dalam
Kehidupan Sekarang ........................................................................ 133
BAGIAN ENAM:
Diskusi Kritis dalam Pemikiran Gandhi............................. 143
A. Kritik Filsafat Manusia atas Jiwa-Badan ............................ 144
B. Kritik Eksistensialisme atas Kesalingterjalinan.................148
C. Kritik Para Penentang dan Lawan-Lawan
Politik Gandhi .............................................................................150
BAGIAN TUJUH:
Simpulan ............................................................................................... 155
EPILOG:
Ahimsa, dari Gerakan Massa ke Individual ...................... 161
Indeks ......................................................................................................... 165
Daftar Pustaka ......................................................................................... 167
Tentang Penulis ....................................................................................... 173
xxvi/ Ahimsa, dalam teropong Filsafat Antropologi
PROLOG:
Filsafat Antropologi dalam Gerakan Moral Ahimsa
......................................................................................................................................................................
Dalam banyak rujukan, tidak kokoh benar penggunaan istilah
antropologi dalam filsafat, meskipun dalam kefilsafatan,
antropologi mendapat tempat khusus saat dikaitkan dengan
masalah-masalah kemanusiaan. Dari sini muncul istilah Filsafat
Antropologi dan Antropologi Filsafat. Keduanya bahkan
digunakan secara bolak balik, tergantung titik awal melangkah,
apakah dari antropologi atau filsafat. Namun yang sedikit jelas,
kedua istilah ini mengandung pesan bahwa masalah manusia dan
kemanusiaan menjadi lapangan analisisnya.
Dalam buku ini, secara konsisten akan digunakan Filsafat
Antropologi, oleh dua sebab. Pertama, ada hubungan yang sangat
erat antara filsafat dan antropologi. Ontologi sebagai salah satu
cabang utama filsafat–selain epistemologi dan aksiologi–adalah
antropologi yang secara khusus membahas manusia dengan
segala seluk beluknya, termasuk pertanyaan kritis tentang
siapakah manusia itu, apa hakikat manusia, atau bagaimanakah
hubungan manusia dengan sesama dan alam. Bahkan antropologi
menjadikan manusia sebagai lapangan studinya yang paling
utama, terutama tentang asal-usulnya dan bagaimana cara
manusia itu hidup. Kedua, filsafat manusia sebagai bagian dari
struktur filsafat yang sangat penting, adalah filsafat yang secara
luas membahas esensi manusia sebagai kesatuan integral dari
seluruh potensi yang ada dalam diri manusia, entah manusia
sebagai makhluk pribadi, sosial, hingga makhluk religius.
Melalui dua alasan itu, penulis ingin memastikan bahwa
antara filsafat manusia dengan antropologi adalah hubungan
integral, kalau tidak bsia disebut satu kesatuan, yang mengacu
pada keanekaragaman khas fisik manusia dan perkembangannya
yang dipusatkan pada struktur dan susunan organ manusia,
misalnya warna kulit, tinggi badan, kapasitas otaknya, dan
anggota tubuh lainnya. Sedangkan hasil karya seluruh potensi itu
dibahas secara khusus, salah satu yang terdepan: Antropologi
Budaya.
1/ Ahimsa, dalam teropong Filsafat Antropologi
Dengan demikian, antropologi pun berhak dinyatakan sebagai
filsafat yang membahas manusia, yaitu sebuah ilmu yang
mempelajari manusia dari aspek keanekaragaman baik fisik
maupun kebudayaannya, seperti cara mereka berperilaku, tradisi,
norma dan nilai bersama yang dianut, yang semuanya ini akan
membedakan antara satu manusia dengan manusia lainnya.
Artinya pula, sebagai filsafat, antropologi menjadi studi untuk
mempelajari manusia, fenomena yang melingkupinya dan
kebudayaan yang dihasilkannya.
Masalah jiwa-badan-roh dan apa yang mungkin muncul dari
ketiganya, atau sekurang-kurangnya tentang jiwa-badan saja,
adalah masalah utama ketika mendiskusikan manusia. Dan ini
menjadi lapangan yang luas bagi Filsafat Antropologi. Apakah
diskusi tentang manusia (jiwa-badan) itu distingtif, berbeda,
sama atau sebuah kesatuan, sejak lama sudah menjadi
perbincangan hangat. Bahkan filsuf-filsuf Yunani kuno, seperti
Plato, Aristoteles, Sokrates, dll di awal-awal kemunculannya,
menjadikan masalah jiwa-badan sebagai masalah kefilsafatan
yang serius. Hingga akhirnya, filsuf-filsuf dengan mazhab
rasionalis-kritis, semisal Sartre, Descartes, dll juga masih
menyoal dengan sengit masalah klasik ini. Pandangan agama juga
belum mampu menjadi middle way atas masalah ini secara
tuntas. Kehadiran filsuf yang fokus bicara Filsafat Manusia, salah
satunya Ponty, juga masih dipersoalkan pemikiran-pemikirannya.
Filsafat manusia, dimasa lalu sering berdekatan atau bahkan
disebut dengan istilah psikologi filosofis atau psikologi rasional,
namun masalah ini tetap dianggap bermasalah karena tampak
parsial, hanya membahas satu aspek dari manusia, yaitu jiwa
semata. Karenanya, antropologi filosofis menjadi tampak lebih
eksak, mengingat yang akan dipelajari manusia secara
keseluruhan, tentang jiwa-badan dan hubungannya dengan dunia
dan alam.1
Meskipun masalah manusia sudah banyak dituliskan,2 selain
dari nama-nama besar di atas, mengulasnya dari Filsafat
1 Louis Leahy. Siapakah Manusia? Yogyakarta: Kanisius, 2001, hlm 15-16.
2 Masalah ini juga sudah dibukukan oleh Soerjanto Poespowardojo dan K. Bertens.
Sekitar Manusia. Jakarta: Gramedia, 1985; Michael Polanyi. Kajian tentang Manusia.
Yogyakarta: Kanisius, 2001; Drijarkara. Filsafat Manusia. Yogyakarta: Kanisius, 1969.
2/ Ahimsa, dalam teropong Filsafat Antropologi
Antropologi tetap masih terasa asing. Bakker (2000) bahkan
menganggap
kehadiran
ilmu-ilmu
manusia
seperti
antropobiologi, sosiologi, psikologi tidak cukup mampu
mendalami manusia secara filsafat yang memang sedari awal
berangkat dengan pertanyaan kritis untuk mengungkap masalah
sampai keakarnya, bahkan secara radikal.3 Meskipun kemudian,
Bakker sendiri akhirnya juga mengakui bahwa ilmu-ilmu seperti
antropologi salah satunya, tetap memberikan data-data positif
yang akan dijadikan filsafat sebagai contoh dan ilustrasi untuk
uraian panjang lebarnya. Jadi, ada rangsangan pisikologis yang
besar bagi filsafat untuk mempelajari soal-soal tertentu.4
Sedangkan antropologi sebagai satu kajian khusus yang
mempelajari manusia, lalu menggambarkannya secara mendalam
(thick description), adalah satu cara bagi antropologi memahami
kebudayaan yang menjadi wujud dari segala tindakan dan ide
manusia. Mereka bertindak, berpikir dan menyadari dirinya dan
dengan ini mereka menghasilkan apa yang kita sebut
kebudayaan. Melalui pendekatan antropologi, masalah
kefilsafatan tentang manusia, penulis menjadikannya sebagai alat
untuk menarasikan aneka dan aktivitas manusia, sebagaimana
halnya Mahatma Gandhi memahami dirinya sebagai manusia dan
tindakan-tindakan yang dihasilkannya. Gerakan moral Ahimsa
dapat dijelaskan dari awal kemunculannya dan hasil-hasil yang
dicapainya, bahkan ketika India merdeka lepas dari koloni
Inggris. Artinya, posisi manusia, dalam hal ini Gandhi, para
pengikut dan lingkungannya dapat dilihat dari berbagai bingkai
sosial, ekonomi, politik dan budaya, termasuk pengalaman dan
alam kesadarannya.5
Dalam antropologi, salah satu metode yang sangat sentral
adalah mengamati aktor, atau manusia, sehingga narasi
tentangnya dapat ditelusuri bermula dari aktor tersebut.
3 Anton Bakker. Antropologi Metafisik. Yogyakarta: Kanisius, 2000, hlm 13.
4 Ibid., hlm. 135 Clifford Geertz,. The Interpretation of Cultures: Selected Essays.
London,
Hutchinson & CO Publisher LTD, 1973. (The Thick Description: Toward an Interpretive Theory
of Culture [1973a]; James P. Spradley. Metode Etnografi. Terjm.
Misbah Zulfa Elizabeth dari The Ethnographic Interview , 1979. Yogyakarta: Tiara Wacana,
2007.
3/ Ahimsa, dalam teropong Filsafat Antropologi
Bagaimanapun, subjek adalah mereka yang menyadari visi dan
dunianya sendiri.6 Serupa dengan ini, Bruner (1986) mengatakan
pendekatan antropologi lebih menitikberatkan bagaimana subjek
memandang pengalamannya sendiri, termasuk bagaimana
mereka berusaha memahami dunia sebagai subjek yang
mengalami dan melihatnya dengan perspektif yang ada dalam
dirinya sendiri.7 Artinya pula, kesejarahan dari sebuah
kebudayaan akan selalu merupakan bahan diskusi yang belum
final, dan selalu dalam “proses menjadi” ketika dimensi ruang
dan waktu, serta dinamika yang dikandung di dalamnya menjadi
wilayah diskusi kebudayaan secara mendalam.8
Cara antropologi, terutama metodologinya itu serta
bagaimana cara bekerjanya metode filsafat mengungkap makna,
menjadi satu cara untuk membaca ulang apa yang telah dilakukan
Gandhi di masa lalu. Konsekuensinya adalah antropologi dalam
tema ini tidak mungkin “menjejak bumi” sebagaimana keharusan
yang dilakukan antropolog, tetapi terbantu oleh metode filsafat.
Bagaimanapun, hubungan antara manusia dengan dunia secara
khusus nyata ada dalam kebudayaan. Berbeda dengan binatang
yang hanya menjadi bagian dari alam belaka.9 Binatang tidak
bertanggung jawab terhadap dunia dan lingkungannya, apalagi
kebudayaan. Manusia sebaliknya. Ia menjadi bagian sekaligus
bertanggung jawab di dalamnya. Gandhi, dengan segala
kesadarannya, terus berproses hingga memiliki kesanggupan
memahami dirinya, membangun dimensi sosialnya, dan
penghargaannya terhadap alam semesta.
Ahimsa yang dijadikan gerakan moral oleh Gandhi adalah
ajaran etika dalam agama Hindu. Ditangan Gandhi, Ahimsa
adalah cara untuk menginternalisasikan satu sikap etis, bahkan
satu budaya seharusnya, dalam memahami diri sebagai bagian
25.
6 Malinowski,
B. Argonauts of the Western Pacific. Waveland Press Inc., 1984 (1922), hlm
7 Edward Bruner. Experience and Its Expressionsdalam Bruner (ed) The Anthropology of
Experience. Chicago: University of Illinois, 1986.
8 Geertz, op.cit.1973, hlm. 89.
9 Albert Snijders. Antropologi Filsafat. Manusia Paradoks dan Seruan. Yogyakarta:
Kanisius, 2004, hlm. 57.
4/ Ahimsa, dalam teropong Filsafat Antropologi
tak terpisahkan dari alam. Beberapa bunyi kitab Upanisad
bahkan dengan tegas menyatakan bahwa manusia bagian dari
Tuhan dan Tuhan secara mikrokosmos berada di alam, tempat
manusia hidup. Dengan ini, manusia tidak berhak menyakiti
Tuhan yang berada dalam dirinya, juga menyakiti alam sebagai
tempat Tuhan bersemayam. Manusia memberikan penghargaan
yang mulia atas keberadaan Tuhan dalam dirinya, juga
keberadaan Tuhan di alam.
Gandhi pada titik itu sangat berhasil menjadikan dirinya
(badannya) sebagai “Tuhan” itu sendiri, pandangan yang sama
berhasilnya saat Gandhi menyatakan manusia-manusia yang
selama ini dianggap liyan, berbeda, bahkan jorok seperti kaum
paria, tetap harus mendapat penghargaan. Gandhi berjuang
untuk dirinya sendiri, orang lain (sesama) dan dunia luarnya.
Ahimsa menjadi meta-ajaran yang secara total dilakukan Gandhi
bahkan berhasil menjadi satu bentuk alternatif resolusi
menghadapi kekerasan. Pada saat tertentu, Gandhi memisahkan
jiwa dan badan, namun saat bersamaan pula menjadi kesatuan
teologis untuk menemukan pembebasan.
Filsafat Antropologi dalam pemikiran Gandhi tentang Ahimsa
menjadi kajian bukan hanya tentang hubungan jiwa-badan
semata, tetapi bagaimana manusia membangun relasi dengan
dirinya sendiri, orang lain dan alamnya, kebudayaannya. Bakker
(1994) mengatakan kebudayaan adalah penciptaan, penertiban
dan pengolahan nilai-nilai insani. Artinya, Filsafat Antropologi
dapat menjadi alat análisis untuk menjelaskan bagaimana
manusia bertindak, berpikir dan berbudaya.10 Apa yang
dilakukan Gandhi, baik dari pengakuan orang lain, maupun
terutama apa yang dikatakan dan ditulisnya selama hampir 40
tahun menjadi titik sentral untuk diceritakan kembali, salah
satunya melalui etnografi.
Ahimsa yang menjadi pokok diskusi dalam buku ini adalah
ajaran moralitas tertinggi dalam memahami Sang Diri, dan
hubungannya dengan seluruh kebudayaannya. Hindu menyebut
1
J.W.M. Bakker. Filsafat Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius, 1994, hlm. 22.
5/ Ahimsa, dalam teropong Filsafat Antropologi
adagium ini dengan ahimsa paramo dharma, yaitu “Ahimsa
adalah dharma (kebajikan) tertinggi.” Apa yang dilakukan
Gandhi hingga akhirnya berhasil menjadikan Ahimsa sebagai
“alat” untuk melawan kekerasan, tak bisa dilepaskan dari
pengetahuan,
pengalaman
dan
konsistensinya
dalam
menjalankan Ahimsa. Sudah banyak tokoh atau pergerakan yang
gagal karena nirkonsistensi ini. Gandhi menjalankan Ahimsa
tidak tiba-tiba. Ia mendapatkan begitu banyak penderitaan dan
pengorbanan hingga saat kemenangan tiba, ia juga tidak
mengambil hadiahnya. Berkat Gandhi dan dengan moralitas
Ahimsa, ia berhasil mengkonstruksi sebuah humanisasi dari
“dunia alam” menjadi “dunia budaya.”
Gandhi, sekali lagi, berhasil memulai dari dirinya sebagai
manusia utuh, dan memandang manusia lain dan dunia sama
utuhnya. Ahimsa sebagai moralitas tertinggi hadir untuk tidak
saling menegasi karena keduanya sama. Tidak saling menyakiti
dan melukai adalah moralitas tertinggi itu. Apa yang
diperlihatkan Gandhi dalam sejarah pembebasan India tanpa
darah, menjadi tanggung jawabnya sebagai manusia, representasi
dari kemampuan mengenali dirinya sendiri, lalu memperlakukan
hal yang persis sama untuk orang lain. Dari pengenalan dirinya
secara mendalam ini, Gandhi mengatur dengan baik sikap etis
dalam hidupnya [*]
6/ Ahimsa, dalam teropong Filsafat Antropologi
“…Peradaban sekarang berada dalam
genggaman kekerasan yang semakin
meningkat…Tindakan tanpa kekerasan
masih berupa tetesan dibandingkan dengan
gelombang pasang kekerasan yang
menyapu dunia. Tetapi…militerisme dan
senjata nuklir adalah tonggak-tonggak
berdarah yang menandakan jaman yang
sedang mengalami kepunahan…”
(G. Ramachandran, Sekretaris Yayasan
Perdamaian Gandhi di India)
7/ Ahimsa, dalam teropong Filsafat Antropologi
8/ Ahimsa, dalam teropong Filsafat Antropologi
BAGIAN SATU:
Mengapa Ahimsa?
......................................................................................................................................................................
Dewasa ini, tindakan kekerasan hampir selalu menjadi alat
untuk memperjuangkan segala macam bentuk ideologi, apakah
itu soal kemerdekaan, kebenaran, kedamaian, keadilan atau pun
sekadar cita-cita. Seolah kekerasan adalah jalan paling sahih, atau
mungkin satu-satunya, untuk menemukan semua ambisi itu. Ada
semacam keyakinan bahwa situasi dapat diubah atau nilai hakiki
serta martabat manusia dapat ditegakkan hanya melalui tindakan
kekerasan dan unjuk kekuatan.
Namun, tindakan kekerasan, dalam bentuk apa pun,
termasuk yang bernuansa Suku, Agama, Ras dan Antargolongan
(SARA) yang melibatkan individu, terlebih kelompok atau negara
akan selalu mendapat perlawanan. Misalnya, ketika sebuah
negara menggalang kekuatan melalui kemutakhiran senjata,
maka di lain pihak selalu akan ada kekuatan yang berusaha untuk
“mengalahkannya,” bahkan harus melalui kekerasan baru. Tidak
dapat dihindari bahwa segala bentuk saling “mengalahkan” ini
dapat saja mengambil wujud peperangan, konflik terbuka,
anarkhi atau teror.
Kontra strategi dalam sebuah pertarungan tidak hanya
mewujud dalam hard war, tapi juga soft war, sebagaimana
pertarungan dalam dunia wacana dan media sosial (medsos),
seperti akhir-akhir ini. Penyadapan yang dilakukan Amerika
Serikat kepada beberapa negara dan tokoh penting dunia pada
2013 silam, atau penyadapan Australia kepada salah satunya
Presiden Ke 6 Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono pada 2013
menjadi contoh aktual.1 Segera setelah penyadapan ini dilawan
1 Dalam dokumen yang dibocorkan whistleblower Edward Snowden, mantan kontraktor
Badan Keamanan Nasional (NSA) Amerika Serikat, Presiden Susilo Bambang Yudhyono (SBY)
disadap Australia. Berdasarkan laporan yang dimuat The Guardian dan ABC, Senin 18
November 2013, disebutkan SBY bersama 9 jajaran petinggi negara, termasuk Wakil Presiden
Boediono dan mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla juga menjadi target penyadapan pada 2009
(http://global.liputan6.com/read/748895/
snowden-ponsel-sby-disadap-australia
diakses
tanggal 29 Desember 2016).
9/ Ahimsa, dalam teropong Filsafat Antropologi
dengan pemutakhiran sistem keamanan teknologi informasi.
Kontra strategi seperti ini kadang menjadi drama yang menarik,
bahkan mungkin menguntungkan bagi beberapa pihak, tetapi
celakanya tidak serta merta mengakhiri arena pertarungan yang
sesungguhnya.
Banyak resep yang ditawarkan para ahli untuk mengatasi
segala macam bentuk tungkai pangkai, tepatnya konspirasi
seperti di atas, entah konflik, perang dan kekerasan lainnya,
terutama peperangan sebagai salah satu bentuk nyata implikasi
terbesar dari tindakan kekerasan. Tercatat salah satu nama ahli
itu adalah Johan Galtung, pakar studi perdamaian paling
terkemuka yang melahirkan gagasan tentang perdamaian positif
dan perdamaian negatif, meski kemudian Galtung sendiri
tampaknya gagal mempraktekkannya dalam kondisi-kondisi
tertentu. Begitu juga apa yang disebut Just War (perang adil)
yang mengadopsi pemikiran St. Augustinus tentang pengaturan
perang yang adil dengan membatasi perang itu sendiri. Misalnya
kapan dan di saat yang mana perang boleh tidaknya dilakukan.2
Laiknya Bharatayudha yang dianggap sebagai salah satu perang
terbaik yang memiliki peraturan khusus.3
Belakangan muncul pola baru untuk menangani kekerasan
yang banyak dipakai oleh lembaga atau negara, yaitu melalui
kekerasan itu sendiri dan penghimpunan kekuatan di dalamnya,
serta penggunaan hukum-hukum yang ketat. Jika keberhasilan
kedua pola ini hanya didasarkan pada hasil akhir, mungkin dapat
disebut berhasil, tapi hanya bersifat sementara. Mengapa? Karena
kedua pola ini pun dapat “tergelincir” dengan hilangnya makna
dan nilai moral paling dasar manusia, yaitu dehumanisasi.
Keduanya sama-sama jatuh pada adagium “kuasa manusia atas
2
Lihat Dan Smith. “Legitimacy, Justice and Preventive Intervention “ dalam Peter
Wallenstein (ed.), Preventing Violent Conflict: Past Record and Future Challenge. Stockhlm:
Elanders Gotab, 1998, hlm. 268-270.
3 Dalam Mahabharata, perang akan dimulai pada pagi hari setelah semua prajurit
melaksanakan doa bersama, lalu ditandai dengan tiupan Sangkakala. Menjelang malam,
perang harus dihentikan. Yang terluka harus dirawat bersama, para prajurit yang berseberangan
masih bisa bercengkrama. Begitu juga, jika ada lawan yang sudah kalah dan menyerah, mereka
tidak boleh dibunuh.
10/ Ahimsa, dalam teropong Filsafat Antropologi
manusia yang lain,” yang justru berpotensi melahirkan kekerasan
baru. Dalam upaya mereduksi kekerasan seperti inilah, Mahatma
Gandhi – selanjutnya hanya disebut Gandhi saja – menghadirkan
sebuah gagasan alternatif dengan justru melakukan tindakan
anti-kekerasan, yang secara khusus dinamakan Ahimsa.
Secara harafiah kata Ahimsa berasal dari bahasa Sanskerta,
yaitu bentukan dari urat kata “a” yang berarti tidak, tanpa (non),
sedangkan “himsa” berarti membunuh, melukai, menyakiti atau
melakukan tindakan kekerasan kepada semua makhluk hidup.
Jadi Ahimsa berarti tidak menyakiti, melukai, membunuh,
bertindak keras, baik dalam pikiran, perkataan dan perbuatan.
Dalam ajaran agama Hindu, Ahimsa menjadi salah satu pedoman
penting untuk pengendalian diri, keinginan dan nafsu berlebihan.
Tanpa kekerasan, itulah gaya perjuangan Gandhi yang
mungkin bagi kaum pragmatisme akan terasa sangat idealistik
dan tidak populer, tetapi di tangan Gandhi ternyata telah berhasil
mendapatkan kemenangan. Keberhasilan dan kemenangan
gerakan tanpa kekerasan disebutnya sebagai kemenangan
kemanusiaan atas segala ketidakadilan dan penindasan terhadap
nilai dasar manusia, seperti penjajahan, diskriminasi dan segala
bentuk kekerasan lainnya.
Pendek kata, Ahimsa dirumuskan sebagai gerakan nonkekerasan (non-violence). Gandhi berkeyakinan bahwa Ahimsa
adalah struktur kodratiah manusia dan sebagai jalan untuk
menemukan kebenaran. Dalam Ahimsalah segala gerak, kata-kata
dan pikiran manusia terpusat dan terkendalikan. Karenanya,
kalau manusia mau bertindak secara manusiawi, maka ia harus
melaksanakan Ahimsa. Keharusan seperti ini sebenarnya tidak
datang dari luar atau dari otoritas tertentu melainkan muncul
dari dalam struktur manusia yang bermoral, berbudaya, beradab
dan tentu saja bermartabat.
Apa yang dirancang Gandhi melalui strategi Ahimsa adalah
sebuah esensi pergerakan yang mutual gain. Esensi ini adalah
sebuah kondisi sosial untuk menuju ke perubahan yang baik.
Gandhi melihat bahwa kekerasan atarmanusia merupakan
11/ Ahimsa, dalam teropong Filsafat Antropologi
kondisi yang tidak dapat terpisahkan dalam kehidupan manusia.
Meski demikian, tindakan kekerasan dapat dianggap sebagai
tindakan yang salah dalam upaya mencari solusi perdamaian di
antara pihak-pihak yang berkonfrontasi. Artinya, kekerasan
merupakan cara yang tidak efektif untuk mencapai tujuan.
Kekerasan dalam bentuk apapun merupakan tindakan irasional
bagi perdamaian. Gandhi sendiri melihat bahwa kekerasan
muncul melalui struktur dan kekerasan langsung yang dilakukan
karena adanya pelaku, ada actor.
Sejalan dengan hal tersebut, Jack D. Douglas dan Frances
Chaput Waksler juga menyatakan bahwa kekerasan adalah
gambaran perilaku dari yang terbuka (overt) maupun tertutup
(covert). Masing-masing dapat menyerang (offensive) atau
bertahan (deffensive).4 Masing-masing pula dapat berpotensi
besar melahirkan kekerasan. Begitu seterusnya, eskalatif.
Menariknya, apakah model gerakan Gandhi dalam
menghadapi segala bentuk kekerasan yang terjadi masih relevan
untuk dipraktekkan, atau paling tidak dapat menjadi pilihan lain
dalam menghadapi berbagai bentuk kekerasan yang telah
menyerang kaidah-kaidah dasar kehidupan dewasa ini? Ini
adalah pertanyaan awal dari banyak pertanyaan yang akan
muncul kemudian. Pertanyaan berikutnya, apakah Ahimsa dapat
menjadi sebuah anti-tesa bagi kekerasan untuk menemukan
sintesa, yaitu kedamaian hidup. Atau bagaimana posisi Ahimsa
dalam wacana global dan di era new age belakangan ini?
Bukan bermaksud menjadi naif atau membuat simplitis dari
pertanyaan berat di atas, menurut hemat penulis, Gandhi telah
memberikan
formula
jitu
bagaimana
menghadapi
dan
menyelesaikan sebuah konflik. Menurut Gandhi, cara terbaik untuk
menyelesaikan setiap konflik adalah cinta kasih dan menerima
semua makhluk sebagai bagian dari diri. Cinta kasih bukan suatu
sifat yang pasif, melainkan aktif, diperlihatkan dalam usaha dan
perjuangan. Maka, Ahimsa bukan pula sifat yang pasif, diam, dan
negatif, melainkan sebuah daya kekuatan dari kebenaran cinta kasih
yang diperlihatkan dalam tindakan. Ahimsa
4
Thomas Santoso. Teori-Teori Kekerasan. Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002, hlm. 11.
12/ Ahimsa, dalam teropong Filsafat Antropologi
mendorong untuk aktif menyelesaikan kekerasan. Sekali lagi,
bukan fatalis.
Membaca persoalan di atas, maka setidaknya ada dua alasan
penting mengapa Ahimsa sebagai gerakan moral dalam pemikiran
Gandhi menjadi tema buku ini, yaitu pertama, karena konsep ini
mengajarkan kepada semua orang – termasuk semua penganut
agama – untuk hidup damai dengan tanpa kekerasan, dan selalu
bertumpu penuh pada kebenaran Tuhan. Ahimsa menjadi ajaran
yang secara esensial menyiratkan kesadaran untuk hidup dalam
kedamaian, sebuah kesadaran yang dilandasi oleh nilai-nilai
kebaikan tentang kehidupan. Secara alamiah, tidak ada manusia
yang tidak ingin damai dan jauh dari kekerasan.
Alasan yang lain adalah hingga saat ini kita masih
dihadapkan pada berbagai problema konflik yang di dalamnya
begitu banyak memuat kekerasan. Kini bahkan semakin
kompleks, baik kekerasan terhadap sesama maupun kepada
makhluk hidup lainnya. Konflik sosial-politik yang melibatkan
negara dan warga terjadi juga sebagai akibat dari hal ini. Penulis
ingin Ahimsa dapat menjadi gerakan moral bagi penyelesaian
berbagai konflik itu. Sebab dengan Ahimsa, sesungguhnya kita
dapat memberikan penghormatan kepada semua bentuk
kehidupan. Ini adalah sebuah pandangan yang telah memiliki
sejarah panjang dan bisa diartikan bahwa setiap orang, baik
perempuan maupun laki-laki, harus menghindari kejahatan
dengan hanya melakukan perbuatan-perbuatan baik di dunia.
Menurut penulis, Ahimsa bukan hanya sekadar tingkatan
tidak melakukan penyerangan secara negatif, tetapi juga
tingkatan cinta kasih yang positif, berbuat baik bahkan kepada
penjahat sekalipun. Sebagaimana keyakinan Gandhi, penulis juga
meyakini bahwa hanya cinta atau non-kekerasan yang akan
menaklukkan kejahatan, di mana pun dia berada – dalam diri
orang-orang atau tatanan hukum, agama, politik, dalam
masyarakat atau pemerintahan sekalipun.
Fenomena perang atau friksi dengan kontak fisik dan
sejenisnya adalah bentuk-bentuk kekerasan yang sering dijadikan
13/ Ahimsa, dalam teropong Filsafat Antropologi
alasan untuk menyelesaikan konflik. Tetapi ternyata perlawanan
terhadap kekerasan dengan cara-cara kekerasan justru
mengundang kekerasan yang lebih besar. Pendekatan dengan
cara seperti ini seringkali gagal. Kecuali dalam keadaan yang
sangat mendesak, menyelesaikan kekerasan dengan kekerasan
akan terlihat kuno saat etika global tanpa kekerasan semakin
deras menguat. Kekerasan tidak dapat di atasi hanya dengan
kekerasan melainkan dengan sikap tanpa kekerasan.
Kedua, alasan dipilihnya Mahatma Gandhi (1869-1948)
karena Gandhi adalah tokoh universal yang pemikiran dan
pandangannya dapat diterima hampir oleh semua orang,
termasuk penganut non-Hindu. Ia diberi nama Mahatma karena
keluhuran dan kemuliaan jiwanya.5 Tidak aneh kalau tokoh yang
diwajahnya selalu tampak tersenyum ini seolah menjadi milik
semua orang, milik publik. Sulit menjelaskan personalitas
seorang Gandhi. Orang Islam menyebutnya Muslim dan orang
Nasrani menyebutnya Kristen. Bahkan di atas meja tempat ia
berefleksi, tertata rapi kitab Bhagavad-Gita, Al-Qur’an dan Injil.
Keragaman pribadinya memang telah terbentuk oleh
kecintaannya kepada persoalan kemanusiaan yang melintasi
perbedaan agama, suku, ras, status bahkan ruang dan waktu.
Tidak aneh pula ketika berada di Johannesburg, Afrika Selatan ia
bahkan dijuluki “Raja Umat Hindu dan Muslim.” Dibalik
kelembutannya, tersimpan energi besar jika menyaksikan
kekerasan. Gandhi, ia adalah “manusia kecil bernyali besar.”
Demikian juga perjuangan, gerakan dan kehidupan Gandhi
yang tanpa kekerasan telah memberi inspirasi bagi banyak orang,
terutama tokoh-tokoh anti kekerasan yang muncul kemudian,
seperti Martin Luther King Jr., Dalai Lama, Nelson Mandela,
Aung San Suu Kyi hingga Cesar Chavez. Pengajaran Gandhi
terhadap kehidupan tokoh-tokoh ini membawanya pada
keyakinan atas perjuangan dengan cinta kasih dan tanpa
kekerasan untuk membebaskan umat manusia.6
5
Mahatma juga berasal dari bahasa Sanskerta yang terdiri dari dua kata, yaitu “maha“ yang
berarti besar, agung, suci, luhur dan “atma“ artinya jiwa, roh, atau dalam konteks pembahasan
ini lebih menunjuk kepada pribadi seseorang.
6
Stanley Wolpert. Mahatma Gandhi, sang penakluk kekerasan, hidupnya dan ajarannya.
terjm. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001, hlm. xii.
14/ Ahimsa, dalam teropong Filsafat Antropologi
Bahkan Solarz, seorang anggota Kongres Amerika Serikat
mengatakan bahwa pengambilalihan kekuasaan dari tangan
Ferdinand Marcos oleh Corazon Aquino pada 22-25 Februari
1986 melalui sebuah revolusi damai, yang kemudian dikenal
dengan people power, diyakini telah “mengadopsi” gerakan nonkekerasan ala Gandhi. Hal yang sama terjadi juga pada gerakan
hak-hak sipil di Amerika Serikat dan gerakan solidaritas di
Polandia. Sementara ilmuwan terkemuka dunia, Albert Einstein
memujinya sebagai manusia termulia yang pernah dilahirkan di
muka bumi, lalu menyamakannya dengan Sidharta Gautama,
pendiri agama Buddha.
Universalitas pemikiran Gandhi dapat juga dilihat dalam bidang
hidup keagamaannya, meskipun ia sendiri berakar kuat dalam
tradisi besar agama Hindu, ia mengembangkan perspektif
keagamaan yang bersifat moral dengan mendalam. Dari sudut
pandang ini, ia melihat konvergensi antara agama-agama dan
menyiarkan keselarasan antaragama, yakni umat beriman yang
saling mendorong untuk mencari kebenaran dengan tindakan tanpa
kekerasan. Sedangkan pada tingkat sosial, Gandhi mendukung
keselarasan komunal, khususnya antara orang-orang Hindu dan
Muslim berdasarkan toleransi timbal balik, pemahaman satu sama
lain dan kerjasama demi kesejahteraan semua orang.
Dengan demikian, ketokohan seorang Gandhi dapat menjadi
bukti bahwa perbedaan antarpandangan agama sesungguhnya dapat
disatukan dalam sebuah pandangan hidup yang sama, kekal dan
abadi. Bahkan salah satu pemikiran Gandhi yang sangat berdimensi
humanis-teologis adalah dengan mengajak seluruh umat manusia
untuk selalu menjalankan kebenaran agama; kebenaran adalah
kebaikan tertinggi. “Kebenaran adalah agama saya dan Ahimsa
adalah satu-satunya jalan untuk mengejewan-tahkannya”, katanya
suatu ketika. Dari pernyataan ini muncul slogan emas Gandhi:
“Tuhan adalah kebenaran dan kebenaran adalah Tuhan.” Tuhan
disamakan sebagai hakekat kenyataan terakhir. Pandangan Gandhi
ini sangat terinspirasi dari cara Sang Buddha memandang kebenaran
yang semestinya tidak hanya
15/ Ahimsa, dalam teropong Filsafat Antropologi
diterima begitu saja, lebih-lebih hanya mengagungkan Tuhan
dengan sebuah simbolik. “Datang dan lihat, ehi passika,” seru
Sang Buddha.7
Gandhi dilihat tidak hanya sebagai tokoh pergerakan yang
berusaha membebaskan bangsanya dari imperialisme Inggris,
tetapi juga seorang yang mempunyai integritas tinggi sebagai
seorang spiritualis. Dengan ajaran Ahimsa, ia ingin
menjembatani segala perbedaan manusia melalui ajaran-ajaran
cinta kasih dan tidak melakukan kekerasan kepada seluruh
makhluk hidup. Ahimsa, dengan demikian menjadi ajaran
universal yang secara esensial dapat menjadi gerakan moral
dalam segala aspek kehidupan manusia.
Bagi Gandhi, Ahimsa adalah senjata dari potensi yang tak
tertandingi. Ia adalah kebaikan tertinggi (summum bonum) dari
kehidupan. Bila tindakan seseorang didorong oleh cinta kepada
makhluk di alam semesta, tindakan itu dapat menunjang
kebaikan tertinggi. Dengan demikian, cinta adalah kebajikan
utama. Dalam hal ini Gandhi menggunakan kata Ahimsa dan
memperluas artinya sehingga Ahimsa bukan hanya menahan diri
dari melukai orang lain. Substansi Ahimsa sebagai gerakan moral
sudah dimulai dari pernyataan mendasar ini.
Setidaknya ada tiga pertanyaan penting sebagai Tema Pokok
yang dapat diajukan di sini, yaitu pertama, apakah Ahimsa sebagai
gerakan moral cukup efektif untuk menumbuhkan kesadaran etis?
Pertanyaan ini menjadi penting karena sebagai gerakan moral,
apakah Ahimsa cukup kuat menjadi lapangan bagi filsafat moral
dalam upaya penumbuhan kesadaran etis, yang kalau tidak hati-hati
dapat jatuh ke dalam pandangan agama semata, meskipun dalam
keadaan tertentu, kesadaran moral kita biasanya dilekatkan pada
gerakan moral dalam agama. Namun Ahimsa di sini hendak dilihat
dalam tataran moral di mana kekuatan moral agama dan sifat
rasional manusia menjadi kesatuan pandangan, khususnya dalam
melihat persoalan kekerasan.
7
Ngakan Made Madrasuta dan Sang Ayu Putu Renny. Gandhi dalam Dialog Hindu-Kristen.
terjm. Surabaya: Paramita, 2002, hlm. 108.
16/ Ahimsa, dalam teropong Filsafat Antropologi
Setelah penjernihan ini, baru kemudian kita akan melihat
sejauhmana Ahimsa dapat menjadi landasan berpikir untuk
melakukan praksisisme, seperti pengangkatan kembali
(emansipasi) sifat dasar dan nilai fundamental manusia, yaitu
martabat dan cinta kasih manusia.
Kedua, apakah gerakan moral Ahimsa dapat menjadi sebuah
media atau alat bagi pemecahan konflik sosial-politik? Apa yang
ingin dicapai melalui perumusan ini? Penulis ingin mendudukkan
posisi yang jelas bagi gerakan moral Ahimsa di tengah-tengah
berbagai konflik dan kekerasan dan cara-cara yang telah
dipergunakan untuk menghadapinya. Sehingga pencapaian kita
adalah Ahimsa dapat menjadi resolusi konflik dan anti-tesa
terhadap kekerasan untuk kemudian menemukan kedamaian
sebagai sintesanya. Struktur ini jelas akan mengikuti pemikiran
dialektika Hegel.
Ketiga, pertanyaan ketiga adalah apakah prinsip-prinsip
moral yang dikembangkan melalui Ahimsa masih cukup
berpengaruh terhadap dunia, dan sejauhmanakah relevansinya
dengan kehidupan sekarang? Menurut penulis rumusan ini harus
dikemukakan untuk melihat sejauhmanakah kemanfaatan
metode tidak populer Ahimsa dalam kehidupan sekarang. Sebab
bagaimanapun, tulisan tentang Ahimsa setidaknya dapat
memenuhi prediksi kritis yang terkandung di dalamnya. Jawaban
atas pertanyaan ini akan dapat menjelaskan apakah Ahimsa dapat
berpengaruh dalam bidang politik, pemerintahan dan
kemasyarakatan.
Latar belakang lahirnya konsep moral Ahimsa sepenuhnya
tidak dapat dilepaskan dari begitu banyak kekerasan atau bahkan
peperangan yang pernah terjadi, bahkan sejak dari jaman Yunani
Kuno di mana telah berkembang mitos adanya Dewi Perdamaian
(Irene).8 Namun, semenjak berakhirnya Perang Dunia II, yang
berarti penjajahan dalam bentuk perang atas satu bangsa kepada
8
J.G. Starke, Q.C., An Introduction to the Science of Peace(Irenology). Leiden: A.W.
Sitjhoff ’s Uitgeversmaatscappij N.V., 1968, hlm. 15.
17/ Ahimsa, dalam teropong Filsafat Antropologi
bangsa lain sudah tidak mendapat tempat lagi, pencarian akan
perdamaian masih dan akan terus dilakukan. Hal ini didasarkan
atas masih banyaknya berbagai tindakan kekerasan, termasuk
kekerasan global, macam teror yang masih terus terjadi.
Bahkan perang dingin saat dua blok Barat-Timur rontok,
belum menghentikan situasi memanas yang setiap waktu bisa
meledak menjadi konflik. Begitu juga geopolitik yang melanda
beberapa negara, terutama kawasan Timur Tengah yang sempat
dikenal dengan Arab Spring masih terus bergejolak hingga kini.
Belum lagi konflik-konflik bernuansa etnis, salah satu yang paling
mengemuka saat ini adalah dugaan kekerasan yang dilakukan
militer Myanmar terhadap etnis Rohingnya. Kenyataan ini pula
yang mendorong lahirnya studi-studi khusus yang mencoba
memecahkan dan mencari perdamaian dalam konflik. Salah satu
ilmu itu adalah polemologi yang bergerak atas adanya polemik
antara perdamaian dan konflik.
Studi tentang perdamaian secara jujur harus diakui ternyata
juga belum sepenuhnya mampu menjawab berbagai
permasalahan kekerasan dan perang. Bahkan kebijakan publik
tentang persoalan kekerasan yang muncul belakangan juga
menjadi agak paradoks dan cenderung hanya dibingkai oleh dua
pola utama, yaitu “perdamaian melalui kekerasan” dan “kontrol
hukum.” Kegagalan dari cara-cara seperti ini menginspirasi
keharusan munculnya teori liyan Ahimsa sebagai formula bagi
pemecahan konflik, solusi perdamaian atau pun sebagai gerakan
moral untuk menjamin upaya-upaya memanusiakan manusia
berdasarkan sifat hakiki yang telah dimilikinya.
Pola Ahimsa ala Gandhi ini, masih mungkin menjadi bahan
perdebatan. Meski kemudian pola ini akhirnya diakui sebagai pola
alternatif yang dianggap paling efektif dan dapat dikategorikan
sebagai pemikiran religius-ilmiah. Gandhi sendiri sesungguhnya
banyak mengadopsi filsafat India yang tercerap ke dalam kitab
Bhagawad-Gita, Upanisad, Aliran Jaina, Filsafat Samkhya serta
besarnya pengaruh ajaran Buddha. Gandhi juga sangat diinspirasi
18/ Ahimsa, dalam teropong Filsafat Antropologi
oleh penulis Rusia Leo Tolstoy melalui karyanya The Kingdom of
God is Within You.9
Setidaknya kelahiran konsep Ahimsa sangat didorong oleh
pengalaman pribadi Gandhi sejak awal perjuangannya di Afrika
Selatan saat ia menggagas gerakan revolusioner bernama
Satyagraha, gerakan yang sepenuhnya mendasarkan diri pada
kebenaran Tuhan, atau komitmen dan kecintaan kepada kebenaran.
Melalui Satyagraha-Ahimsa ini, Gandhi memberikan gambaran yang
komprehensif terhadap fakta-fakta kekerasan yang dihadapi dengan
cara-cara anti-kekerasan untuk mencapai tujuan.
Kecintaan kepada kebenaran merupakan alat bagi
pemahaman atas konflik yang terjadi dan dimensi-dimensi yang
terdapat di dalamnya. Dimensi-dimensi itu adalah manusia
sebagai pelaku kekerasan harus juga dilihat sebagai sebuah
keadaan yang riil, ada. Pergerakan Ahimsa ini kemudian tumbuh
menjadi sebuah usaha untuk melakukan perubahan sosial
evolusioner yang dapat dijadikan sebagai alternatif perubahan
radikal yang ada dalam sebuah gerakan revolusioner. Gerakan
alternatif Ahimsa telah membedakan Gandhi dengan gerakan
revolusioner proletar, salah satu yang termasyur Karl Marx,
maupun gerakan revolusi ala Lenin, Stalin dll.
Dengan demikian, konsepsi Ahimsa secara kritis dapat ditinjau
melalui refleksi filsafat, terutama Metafisika, dan tentu Filsafat
Antropologi. Ahimsa telah memberikan ruang yang sangat luas
terhadap upaya-upaya metafisis dalam melihat fenomena-fenomena
manusia dalam kesejatiannya sebagai manusia yang senantiasa
berada dalam jaring kosmologi, psikologi dan teologi. Begitupun
Ahimsa dapat ditinjau dan menjadi lapangan luas bagi Filsafat
Antropologi atau Filsafat Manusia, terutama pandangan Ahimsa
terhadap badan, jiwa dan keterkaitan keduanya, serta
kesalingterjalinan antarmanusia dengan alam dan dunianya [*]
9
Terhadap karya Tolstoy ini, Gandhi mengaguminya dengan mengatakan: “ Buku ini
meninggalkan kesan yang tidak bisa hilang…“ Pada bagian lain, Gandhi juga mengagumi
pemikiran independen, moralitas yang hebat, dan kejujuran Tolstoy. Kekaguman yang besar ini
bahkan diabadikannya ketika ia membangun Ashramnya yang kedua, dengan nama “Taman
Tolstoy.” Lihat Stanley Wolpert, op.cit ., hlm 77.
19/ Ahimsa, dalam teropong Filsafat Antropologi
BAGIAN TUJUH:
Simpulan
......................................................................................................................................................................
Mahatma Gandhi, sebagaimana telah dipaparkan pada bagianbagian terdahulu, adalah orang yang paling gigih memperjuangkan
hak, harkat dan martabat sesama manusia, maupun negara. Ia
memperoleh keberhasilan dari perjuangannya justru dengan
tindakan yang tidak populer, yaitu melawan dengan tanpa
kekerasan. Tindakan ini kemudian lebih dikenal dengan Ahimsa.
Sesungguhnya, Ahimsa bukanlah satu-satunya gagasan yang pernah
dikembangkannya, namun gagasan lainnya, seperti
Satyagraha, Svaraj, Sarvodaya dan Svadesi seolah
disintesakannya menjadikan satu gerakan moral yang didasari
atas prinsip-prinsip kekuatan jiwa dalam memegang kebenaran
dan kekuatan cinta kasih untuk semua orang. Dalam Ahimsa kita
menemukan akumulasi dari nilai Satyagraha, Svaraj, Sarvodaya
dan Svadesi.
Awalnya, gerakan moral Ahimsa memang bermula dari gerakan
Satyagraha yang sukses di Afrika Selatan, terutama saat Inggris
menjajah dan menindas dengan keji warga kulit hitam Asia (India).
Pengaruh besar dari situasi sosial-politik, dan juga pengalaman
empiriknya atas diskriminasi rasial, berlanjut hingga ke India saat ia
membebaskan bangsanya sendiri dari imperialisme Inggris, dan juga
sedikit keberhasilannya dalam mendamaikan konflik-konflik agama
yang terjadi. Inilah daftar panjang kemenangan tindakan nonkekerasan terhadap kekerasan.
Sebagai sebuah konsep, lalu akhirnya menjadi gerakan moral
yang aktif, Ahimsa banyak dilatarbelakangi oleh berbagai varian
pemikiran yang terutama bersumber dari akar tradisi Gandhi
sendiri sebagai seorang penganut taat agama dan kearifan timur
lainnya (terutama Filsafat India). Gandhi berhasil meramu
keanekaan pengetahuan dan pengalamanya untuk menghasilkan
kepribadian moderat dan universal. Ia menjadi semakin humanis
melalui perjumpaan batinnya dengan penganut banyak agama.
Tak heran, visi besarnya tentang gerakan non-kekerasan
beralaskan religiusitas. Gandhi memandang adanya kenyataan
155/ Ahimsa, dalam teropong Filsafat Antropologi
yang sama antara satu manusia dengan manusia lain karena
adanya jiwa yang sama, dengan sumber utama dari Tuhan. Ia
sekaligus menjawab keraguan bahwa transformasi pikirannya
berawal dari bagamana caranya memahami jiwa-badan, lalu
memandangnya utuh. Jikapun masing-masing manusia tampak
berbeda, itu semata karena badannya, materialnya.
Ahimsa sebagai suatu refleksi kefilsafatan menjadi medan
luas untuk dikaji dari pandangan Metafisika, dan terutama
Filsafat Antropologi. Tinjauan Metafisika menyimpulkan bahwa
Ahimsa dengan prinsip-prinsip dasar non-kekerasan terhadap
kosmis, makhluk hidup (khususnya manusia) dan pengakuan
terhadap Tuhan sebagai kebenaran dan kenyataan terakhir.
Pandangan ini seturut dengan kajian Metafisika itu sendiri,
terutama apa yang telah dilakukan Christian Wolff mengenai
kajian kosmologi, psikologi dan teologi. Hanya saja, pandangan
Gandhi tentang jiwa melebihi hakekat dari badan. Artinya, badan
hanya dipandang sebagai penopang keberlangsungan jiwa yang
tetap hidup dan abadi.
Sementara tinjauan Filsafat Antropologi lebih melihat Ahimsa
sebagai sebuah unifikasi jiwa-badan yang darinya memunculkan
sikap untuk membangun keterjalinan antarmanusia, dan
bagaimana manusia membudaya dengan dirinya sebagai “Aku,”
orang lain dan dunia sekitarnya. Dalam hal ini, Gandhi melihat
bahwa manusia harus mendapat penghargaan utuh sebagai
manusia yang mempunyai kesalingtergantungan dengan
sesamanya. Manusia sebagai makhluk yang rasional, tentu juga
adalah makhluk yang dapat menerima sesamanya sebagai bagian
dari dirinya sendiri. Pandangan Gandhi seperti ini sepaham
dengan para pemikir, seperti Martin Buber, Gabriel Marcel,
Emmnuel Levinas dan Romano Guardini, namun sedikit berbeda
dengan Soren Kierkegaard, Martin Heidegger atau Jean-Paul
Sartre yang memandang negatif hubungan antarmanusia.
Unifikasi badan-jiwa dari Gandhi seturut pula dengan persfektif
antropologi, terutama Levi-Strauss, sesungguhnya tidak ada lagi
kategori tentang pikiran dan zat. Struktur itu ada pada mind
sekaligus pada matter.
156/ Ahimsa, dalam teropong Filsafat Antropologi
Lalu, sebagai gerakan moral, Ahimsa secara lebih dalam dapat
dipandang sebagai faktor yang mampu membangkitkan sifat
dasar paling ideal manusia, yaitu cinta kasih. Ini berarti, Ahimsa
dapat juga menjadi satu metode pembangkitan kembali
(emansipasi) nilai fundamental dalam diri manusia. Ahimsa juga
menjadi pendorong bagaimana kita mesti mampu memberikan
penghargaan terhadap harkat dan martabat manusia, karena
sikap ini juga adalah bentuk kesadaran moral paling dasar.
Ahimsa sebagai gerakan moral jelas adalah cara paling baik
dalam mempraktekkan sikap dan kesadaran etis kita dalam
kehidupan. Lebih jauh lagi, Ahimsa dapat menjadi alat untuk
memecahkan konflik, menjadi anti-tesa terhadap segala bentuk
kekerasan yang menyerang kaidah-kaidah dasar manusia, meski
alasan lahirnya kekerasan dan konflik sangat beragam. Richard
Dawkins misalnya, menyebut kekerasan ada karena gen egois
yang secara hakiki ada dalam diri manusia yang pada saat-saat
tertentu memunculkan agresivitas manusia dengan mengambil
bentuk kekerasan.
Lain halnya dengan Johan Galtung, seorang Gandhian, yang
menyebutkan bahwa kekerasan tidak hanya bersumber pada
genetis-biologis, tetapi juga berasal dari interaksi antarmanusia
yang tidak seimbang satu dengan yang lainnya. Studi tentang ini
sudah semakin banyak dilakukan. Namun, kekerasan dan konflik
sesuatu yang nyata ada dan terus berlangsung. Anti-tesa Ahimsa
yang ditawarkan Gandhi tentu bermuara kepada upaya
pencapaian kedamaian, meskipun upaya ini tidak mudah karena
masih ada pola-pola lain yang lebih dominan dipakai orang untuk
menyelesaikan kekerasan. Berbeda dengan metode yang sudah
lumrah ada, Ahimsa telah menunjukkan bahwa pola-pola lain,
seperti penghimpunan kekuatan dan penggunaan hukum rimba
sungguh-sungguh dalam waktu tertentu sering kehilangan makna
dan nilainya.
Dengan gerakan moral Ahimsa, Gandhi telah memberikan
contoh terbaik yang diwariskannya kepada dunia. Warisan ini telah
banyak diadopsi para pejuang hak-hak kemanusiaan bagi
keselarasan dunia tanpa kekerasan. Begitu pula wacana global yang
berkembang akhir-akhir ini banyak diinspirasi oleh substansi
157/ Ahimsa, dalam teropong Filsafat Antropologi
Ahimsa terhadap segala bentuk kekerasan disegala aspek
kehidupan. Nilai dan hakikat Ahimsa secara implisit saat ini telah
mulai merasuk dalam ke wilayah politik, agama dan kehidupan
bermasyarakat.
Namun, gerakan moral Ahimsa juga menyisakan beberapa
pertanyaan yang secara kritis, terutama keberpihakan Gandhi
pada fungsi jiwa dari pada tubuh, padahal beberapa pemikir,
salah satunya yang terkemuka, Maurice Merleau-Ponty telah
banyak membuktikan bahwa tubuh juga mempunyai peran yang
sama terhadap jiwa, karena melalui tubuh, jiwa bersentuhan.
Lalu, pandangan Gandhi tentang kesalingterjalinan juga masih
dianggap terlalu positif karena boleh jadi manusia akan
menemukan kebermaknaan dirinya sebagai manusia dengan
justru melakukan isolasi diri. Di sini, pandangan Gandhi sangat
dekat dengan pengaruh religius dan aspek moral yang
memengaruhinya. Begitu juga, Ahimsa dianggap masuk ke
wilayah bayang-bayang utopia, mengingat lintasan sejarah yang
dihadapi Gandhi berbeda dengan konteks jaman hari ini.
Sebagai akhir dari tulisan ini, penulis dalam hal tertentu,
mungkin sependapat dengan Gandhi bahwa memanusiakan
manusia melalui gerakan moral Ahimsa yang terlibat dalam
sebuah konflik dan atau tindakan kekerasan masih relevan untuk
dipakai sebagai senjata paling damai, paling humanis, karena
telah begitu banyak bukti: konflik, perang dan kekerasan yang
dihadapi atau dilawan dengan kekerasan justru melahirkan
kekerasan baru yang menelan banyak korban yang tidak perlu.
Menyelesaikan kekerasan dengan kekerasan adalah saham bagi
munculnya kekerasan baru yang mungkin lebih kejam dari
kekerasan sebelumnya. Ahimsa juga mengajak kita untuk kembali
menjernihkan pikiran, perkataan dan perbuatan sebelum
melakukan tindakan, karena hakekatnya, perbuatan melukai,
membunuh datang dari sifat-sifat alamiah kita yang tidak
terkendali, termasuk dari kehendak dan niat.
Sebagai sebuah ikhtisar, penulis ingin menyampaikan bahwa
kekerasan dalam hidup ini tidak mungkin dihapuskan, mungkin
hanya bisa dikurangi atau dikendalikan. Tentang kekerasan yang
dihasilkan manusia sepanjang hayatnya, telah lama dipikirkan
158/ Ahimsa, dalam teropong Filsafat Antropologi
Thomas Hobbes melalui Leviathan yang menyatakan bahwa
manusia sudah secara alamiah, dari dalam dirinya sendiri,
dipenuhi nafsu bahkan serakah untuk berkuasa. Kekuasaan itu
bukan hanya dari manusia atas manusia lainnya, tapi juga
hubungan manusia dengan sistem negara. Dus, dalam proses
merengkuh kekuasaannya, sering manusia mengiris jalan centang
perentang kekerasan. Sebagian besar konsep manusia dari sudut
pandang empiris-materialistik Hobbes ini masih diamini.
Dimensi kekerasan yang bersifat abadi itu, tidak bisa
diselesaikan dengan cara yang justru bersifat temporal. Sebabnya,
seperti pandangan kaum Aristotelian ataupun Skolastik yang
menganggap aksiden tidak selalu adalah substansi, meski aksiden
punya fungsi mendeterminasi substansi, sehingga merahnya
mawar adalah mawar itu sendiri, padahal tidak sesederhana itu.
Aksiden dan substansi boleh jadi memiliki ruang dan waktu yang
berbeda. Keduanya juga adalah sebuah eksistensi. Sehingga
determinasi aksidental terhadap substansi, misalnya, juga akan
mengandung keterbatasan.
Jadi, instanisme resolusi yang ditawarkan selama ini mungkin
menyembuhkan kulit luar (aksiden), tetapi belum tentu isi atau
apa yang terjadi di dalamnya (substansi). Berbagai pilihan
resolusi yang ada sering dianggap sementara. Ahimsa hadir untuk
menyambungkan dengan tepat antara “obat” dan “penyakit”,
sehingga ada kesembuhan total antara jasamani dan rohani.
Ahimsa adalah jalan pertobatan sepanjang hayat. Tidak mudah
tentu saja, bahkan teramat sulit, tetapi Gandhi telah
memperlihatkan keberhasilannya, bahkan dalam lingkup yang
sangat besar: negara! Ia memulai dari dirinya sendiri, selanjutnya
konsistensi menjadi medan ujian yang sesungguhnya. Ahimsa
adalah “proyeksi keabadian” untuk menyelesaikan kekerasan,
salah satu “masalah keabadian” [*]
159/ Ahimsa, dalam teropong Filsafat Antropologi
EPILOG:
Ahimsa, dari Gerakan Massa ke Individual
.....................................................................................................................................................................
Gagasan dan pemikiran Gandhi, utamanya tentang gerakan
moral Ahimsa sesungguhnya tidak sebesar apa yang telah nyata
diperjuangkan Gandhi. Sesungguhnya pula gagasan itu belum
pernah selesai dan berhenti, sebab substansi gagasan itu selalu
lebih panjang dari usia pencetusnya sendiri. Gagasan Gandhi
akan terus hidup setelah kematiannya. Dan sebenarnya, apa yang
telah digagasnya hanyalah penggalan dari cita-cita besarnya bagi
kemanusiaan.
Gerakan moral Ahimsa mungkin dapat disebut pemikiran
revolusioner, hanya saja Gandhi memodifikasinya menjadi
gerakan yang lebih humanis, dan dengan cara-cara baru yang
didasarkan atas nilai-nilai kemanusiaan dan tanpa kekerasan.
Itulah mengapa, Gandhi tidak terlalu menyukai revolusi ala Marx,
Lenin dan tokoh-tokoh revolusi lainnya yang harus
mengorbankan satu atau dua generasi demi kesejahteraan massa,
atau mengorbankan kelas-kelas sosial demi kebahagiaan kelas
tertentu. Gandhi banyak mengambil pelajaran dari keberhasilan
eksperimen pertamanya di Afrika Selatan dan sukses di India
yang memperoleh kemerdekaan tanpa harus meneteskan banyak
darah.
Sebagaimana juga tokoh-tokoh masa lalu, macam Marx cs,
yang belakangan banyak menuai kritik terlalu utopia untuk
ukuran jaman hari ini, Gandhi pun tak bisa menghindar dari
bayangan utopia, apalagi Ahimsa akan selalu berhasil ditiap
kontesk jaman. Namun, pengandaian ini sangat mungkin terlalu
distorsif karena adanya ruang-waktu-tempat yang berbeda
dengan kondisi sekarang. Kesalahan lainnya adalah saat ini
kekerasan tidak melulu tampil dengan wajah yang kasat di mata,
seperti perang, teror dan kekerasan fisik lainnya. Sudah sejak
jaman Sang Buddha hingga Sokrates telah terjadi kekerasan
dengan cara yang halus. Menurut hemat penulis, Gandhi
mengandaikan bahwa Ahimsa akan berhasil dalam segala bidang,
namun dengan rujukan total seperti yang telah dilakukannya.
161/ Ahimsa, dalam teropong Filsafat Antropologi
Pada jaman atau konteks perjuangan Gandhi di masa lampau,
Ahimsa mungkin dapat dilakukan dengan mudah. Keberhasilan
ini boleh jadi disebabkan konteks waktu perjuangan Gandhi yang
tepat maupun kesederhanaan pola berpikir banyak orang. Kaum
realis politik sering mengatakan bahwa cita-cita dan pemikiranpemikiran Gandhi terbukti naïf dalam riil politik India dewasa
ini. Penggambaran Gandhi yang begitu agung yang memenuhi
kekaguman rakyat India yang disimbolisasikan melalui lukisan
dan patung perunggu disetiap perempatan jalan umum, rakyat
India sendiri boleh dikatakan melupakan pesan-pesan substansial
Sang Mahatma.
Contoh paling nyata tentang hal ini adalah bagaimana
egoisme politik antara India modern dengan Pakistan, juga
sebagian besar bangsa-bangsa Asia lainnya, hingga hari ini tetap
berlangsung sengit. Perang diperbatasan Kashmir masih terus
tersulut. Begitu juga “pertarungan” dan unjuk kekuatan melalui
pamer bom dan nuklir, sering menjadi isu internasional yang
sensitif; sesuatu yang dulu oleh Gandhi sangat ditentang dan
diprotes dengan keras. Kritik sinis ini menjadi penting untuk
sekadar mengingat bahwa riil politik pada jaman Gandhi tidaklah
kurang lebih kerasnya dibandingkan dengan jaman kita dewasa
ini. Bagi penulis, Gandhi juga kedengaran sama idealistiknya
pada jamannya.
Kesulitan yang akan teramat sulit untuk dirasakan ketika
kekerasan tersebut menyudutkan kita pada posisi tanpa berani
mengambil keputusan. Mungkin tidak disebut ambigu, paradoks,
ambivalen atau entah apa namanya, tetapi ada kalanya kita dapat
saja diberdaya karena tiadanya pilihan yang tepat dengan hasil
yang dianggap benar menurut situasinya. Sebagai contoh,
bagaimana kita mampu menegakkan kesadaran kita dengan
“hanya” setia pada aturan Ahimsa yang ketat, ketika kita,
misalnya sebagai seorang ayah dari anak perawan kita diperkosa
tepat di depan mata. Apa yang harus dilakukan? Jika jawaban
atas pertanyaan ini dibawa ke wilayah teologi, di mana Hindu
membenarkan pembunuhan menurut dharma yang berlaku pada
saat itu, maka diskusi ini (mungkin) akan segera berakhir.
162/ Ahimsa, dalam teropong Filsafat Antropologi
Sementara untuk ukuran jaman hari ini, di mana bentukbentuk kekerasan yang begitu kompleks, baik yang mengambil
bentuk fisik maupun non-fisik, Ahimsa mungkin akan terlihat
sedikit utopia. Ini disebabkan kesulitan yang juga teramat besar
untuk menghadapi kekerasan-kekerasan itu, meski banyak pola
yang diperkenalkan, serta tidak sesederhana yang diandaikan
para Ahimsais. Gandhi sendiri harus membutuhkan lebih 40
tahun untuk membuktikan keberhasilan gerakan moralnya ini.
Dalam kesulitan seperti ini, Ahimsa dapat menjadi sikap dasar
yang fundamental dalam menghadapi kekerasan. Jika hal ini
secara konsisten dilakukan, terlebih untuk diri sendiri saja, tentu
Ahimsa bukan utopia, bukan mimpi lagi.
Namun, untuk dapat dijadikan sikap dasar bagi semua orang,
terlebih dengan jumlah yang besar, mungkin akan sangat sulit.
Sejarah keberhasilan dan kegagalan gerakan moral Ahimsa sudah
membuktikan bahwa dibutuhkan totalitas dan konsistensi dalam
menjalaninya. Dalam banyak kritik terhadap Ahimsa, ajaran ini
masih menyisakan peluang besar, terutama, sekali lagi untuk diri
sendiri. Syarat utamanya, menemukenali diri sendiri,
sebagaimana Sokrates mendengar satu perintah di bawah langit
Delphi: “Kenalilah dirimu sendiri!” Svaha [*]
163/ Ahimsa, dalam teropong Filsafat Antropologi
DAFTAR PUSTAKA
Adian, Donny Gahral. Matinya Metafisika Barat. Jakarta:
Komunitas Bambu, 2001.
Amaladoss, Michael. Teologi Pembebasan Asia. terjm. Jakarta:
Pustaka Pelajar, 2001.
Ambler, Rex. Gandhian Peacemaking, dalam Paul Smoker, Ruth
Davies dan Barbara Munske, A Reader in Peace
Studies. Oxford: Pergamon Press, 1990.
Ananthanarayanan, N. From Man to God-Man. New Delhi: N.
Ananthanarayan, 1970.
Arendt, Hannah. Teori Kekerasan. terjm. Yogyakarta: LPIP,
2003.
Aristoteles. De Anima terjm. Hugh Lawson-Tancred. London:
Penguin Books, 1986.
Aziz, M., Imam, M., Jadul Maula dan Ellyasa KH. Dharwis.
penyunting, Agama, Demokrasi dan Keadilan.
Jakarta: Gramedia, 1993.
Bagus, Lorens. Metafisika. Jakarta: Gramedia, 1991.
__________. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia, 1996.
Bakker, Anton. Ontologi Metafisika Umum. Yogyakarta:
Kanisius, 1992.
__________. Antropologi Metafisik. Yogyakarta: Kanisius,
2000.
Bakker, J.W.M. Filsafat Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius,
1994. Bertens, K. Etika. Jakarta: Gramedia, 2001.
_________. Filsafat Barat Abad XX, Jilid II. Jakarta:
Gramedia, 1996.
Bose, Anima. Dimensions of Peace and Nonviolence, The
Gandhian Perspective. Delhi: Gian Publishing House,
1987.
167/ Ahimsa, dalam teropong Filsafat Antropologi
Boulding, Kenneth E. Peace Theory dalam Paul Smoker, Ruth
Davies dan Barbara Munske (Eds), A Reader In Peace
Studies. Oxford: Pergamon Press, 1990.
Bruner, Edward. Experience and Its Expressions dalam Bruner
(ed) The Anthropology of Experience. Chicago:
University of Illinois, 1986.
Cassirer, Ernst. Manusia dan Kebudayaan: sebuah esei tentang
manusia. terjm. Jakarta: Gramedia, 1990.
Devaraja, N.K. Philosophy, Religion and Culture. New Delhi:
Motilal Banarsidas, 1974.
Dikshit, Sudhakar S. I am All: a Cosmic Vision of Man. Bombay:
Chhaya Arya for Chetana Pvt. Ltd., 1988.
Drijarkara. Filsafat Manusia. Yogyakarta: Kanisius, 1969.
Fischer, Louis. Mahatma Gandhi, Penghidupannja dan Pesannja
untuk Dunia. terjm. Djakarta: PT Pembangunan, 1967.
Galtung, Johan. Peace by Peaceful Means: Peace and Conflict,
Development and Civilization. Oslo: PRIO, 1996.
Geertz, Clifford. The Interpretation of Cultures: Selected Essays.
London, Hutchinson & CO Publisher LTD, 1973. (The
Thick Description: Toward an Interpretive Theory of
Culture [1973a]
Hadiwijono, Harun. Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Yogyakarta:
Kanisius, 2001.
Hegel, GWF. “Phenomenology of Spirit” pada Walter Kaufmann
and Forrest E. Baird, From Plato to Nietszche. NJ:
Prentice Hall, 1994.
Heraty, Toety. Aku dalam Budaya. Jakarta: Pustaka Jaya, 1984.
Hidayat, Komarudin dan Muhammad Wahyuni Nafis. Agama
Masa Depan: Perspektif Filsafat Perennial. Jakarta:
Paramadina, 1995.
Iyer, Raghavan. The Moral and Political Thought of Mahatma
Gandhi. New Delhi: Oxford University Press, 1973.
168/ Ahimsa, dalam teropong Filsafat Antropologi
Kaufmann, Walter and Forrest E. Baird. From Plato to Nietzsche.
NJ: Prentice Hall, 1994.
Knitter, Paul F. One Earth Many Religions: Multifaith Dialogue
& Global Responsibility. terjm. Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2003.
Kripalani, Krishna. All Men are Brothers: Life and Thought of
Mahatma Gandhi as Told in His Own Words. India:
Jitendra T. Desai, 1960.
Kripalani, J.B. Gandhi: His Life and Thought. New delhi:
Publications Division, 1970.
Kumarappa, Bharatan. (ed.) Satyagraha. (Non-violence
Resistance) India: Jivanji Dahyabhai Desai, 1951.
Lanur, Alex. Diktat dan Bahan Kuliah Filsafat Manusia.
Universitas Indonesia.
Leahy, Louis. Siapakah Manusia? sintesa filosofis tentang
manusia. Yogyakarta: Kanisius, 2001.
Leenhouwers, P. Manusia dalam Lingkungannya. terjm.
Jakarta: Gramedia, 1988.
Madrasuta, Ngakan dan Sang Ayu Putu Renny. 10 Tokoh
Pembaru dan Pemikir Hindu. terjm. Denpasar:
Manikgeni, 2002.
_________________. Gandhi dalam Dialog Hindu-Kristen.
terjm. Surabaya: Paramita, 2002.
Magnis-Suseno, Franz. 13 Tokoh Etika. Yogyakarta: Kanisius,
1997.
__________________. Model Pendekatan Etika. Yogyakarta:
Kanisius, 1997.
__________________. Etika Dasar, Masalah-masalah
Pokok Filsafat Moral. Yogyakarta: Kanisius, 1993.
Maharaj, Sri Nisargadatta. I am That. New Delhi: Chetana, 1992.
Malinowski, B. Argonauts of the Western Pacific. Waveland Press
Inc., 1984 (1922).
169/ Ahimsa, dalam teropong Filsafat Antropologi
M. Borchet, Donald. (ed.) The Encyclopedia of Philosophy
(Supplement) Simon & Schuster. New York, 1996.
Mehta, Rohit. The Calls of The Upanisads. New Delhi: Motilal
Banarsidas, 1990.
Mehta, Mohan Lal. Jaina Philosophy. New Delhi: P.V. Research
Institute, 1971.
Mehta, Ved. Ajaran-ajaran Mahatma Gandhi. terjm. Jakarta:
Pustaka Pelajar, 2002.
Ming, Chau. Mengenal Beberapa Aspek Filsafat Konfusiusisme,
Taoisme dan Buddhisme. Jakarta: Akademisi Buddhis
Nalanda, 1985.
Nakamura, Hajime. A Comparative History of Ideas. New Delhi:
Motilal Banarsidas, 1992.
Nanda, B.R. Gandhi and His Critics. Delhi: Oxford University
Press, 1985.
Nasr, Seyyed Hossein. Religion and the Order of Nature. New
York: Oxford University Press, 1996.
Nicholson, Michael. Mereka yang berjasa bagi dunia: Mahatma
Gandhi. terjm. Jakarta: Gramedia, 1994.
Nugroho, Alois A. Pemikiran Etika yang “Jatuh Bangun,” dalam
Indonesia Abad XXI, Jakarta: Kompas, 2000.
Oka, Gedong Bagus. Gandhi sebuah Otobiografi. terjm.
Denpasar: Yayasan Bali Canti Sena, 1978.
_________________. Gandhi sebuah Otobiografi. terjm.
Jakarta: Sinar Harapan, 1982.
Parekh. Bhikhu. Gandhi’s Political Philosophy: A Critical
Examination. London: The MacMillan Press, 1989.
Permata, Ahmad Norma. (ed.) Perennialisme: Melacak Jejak
Filsafat Abadi. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1996.
Plato. terjm. Francis McDonald Comford, The Republic of Plato.
Oxford: Oxford University Press, 1970.
Poespowardojo, Soerjanto dan K. Bertens. Sekitar Manusia.
Jakarta: Gramedia, 1985.
170/ Ahimsa, dalam teropong Filsafat Antropologi
Polanyi, Michael. Kajian tentang Manusia. terjm. Yogyakarta:
Kanisius, 2001.
Putra, Ngakan Putu (ed). Upanisad Himalaya Jiwa, Intisari
Upanisad, terjemahan dari The Upanisads oleh Juan
Mascaro dan A Concise Encyclopedia of Hinduism
oleh Swami Harshananda. Penerjemah Sang Ayu Putu
Reny. Jakarta: Media Hindu, 2010.
Radhakrishnan, S. and P.T. Raju. The Concept of Man: a Study in
Comparative Philosophy. Delhi: Motilal Banarsidass
1992.
Rama, Swami. Perennial Psychology of the Bhagavad-Gita. USA:
The Himalayan International Institute of Yoga
Science and Philosophy of the USA, 1998.
Raphael. Tat Tvam Asi, that thou art. New Delhi: Motilal
Banarsidass, 1992.
Santoso, Thomas. Teori-Teori Kekerasan. Jakarta: Ghalia
Indonesia, 2002.
Schuon, Frithjof. Mencari Titik Temu Agama-Agama. terjm.
Jakarta: Obor, 1987.
Smith, Dan. “Legitimacy, Justice and Preventive Intervention”
dalam Peter Wallenstein (ed.), Preventing Violent
Conflict: Past Record and Future Challenge.
Stockhlm: Elanders Gotab, 1998.
Sing, Maharaj Sardar Bahadur Jagat. The Science of The Soul.
Punjab: Radha Soami Satsang BEAS, 1959.
Snijders, Albert. Antropologi Filsafat. Manusia Paradoks dan
Seruan. Yogyakarta: Kanisius, 2004.
Siswanto, Joko. Sistem-Sistem Metafisika Barat: dari Aristoteles
sampai Derrida. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998.
Soemargono, Soejono. (alih bahasa), Berpikir Secara
Kefilsafatan. Yogyakarta: Nur Cahaya.
Spradley, James P. Metode Etnografi. Terjm. Misbah Zulfa
Elizabeth dari The Ethnographic Interview, 1979.
Yogyakarta: Tiara Wacana, 2007.
171/ Ahimsa, dalam teropong Filsafat Antropologi
Starke, J.G. Q.C. An Introduction to the Science of Peace
(Irenology).
Leiden:
A.W.
Sitjhoff’s
Uitgeversmaatscappij N.V., 1968.
To, Tin Anh. Nilai Budaya Timur dan Barat: Konflik atau
Harmoni? Jakarta: Gramedia, 1985.
Van Schie, G. Manusia Segala Abad Pencari serta Pencipta
Hidupnya. Jakarta: Obor, 1996.
Wardhana, Made. Vegetarian dari A-Z. Denpasar: VIP, 2016.
Wasito, Hermawan. Pengantar Metodologi Penelitian. Jakarta:
Gramedia, 1995.
Wolpert, Stanley. Mahatma Gandhi, sang penakluk kekerasan,
hidupnya dan ajarannya. terjm. Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2001.
Zaehner, Robert C. Kebijaksanaan dari Timur, beberapa aspek
pemikiran Hinduisme. terjm. Jakarta: Gramedia,
1993.
Zimmer, Heinrich. Sejarah Filsafat India. terjm. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2003.
Artikel Cetak dan Virtual:
Hinduism Today April/May/June, 2003 Influence Champions of
Nonviolence.
Majalah Filsafat Driyarkara Thn. XV, No. 1 1988 dan Thn XXI,
No. 4 1994/1995.
www.mkgandhi.org diakses tanggal 10 Oktober 2003
www.transcend.org diakses tanggal 10 Oktober 2003
www.gandhiinstitute.org diakses tanggal 11 Oktober 2003
http://indonesian.irib.ir/editorial/fokus/item/
60291mencermati_Aksi_Bakar_Diri_Terbaru_di_Tunisia
diakses tanggal 28 Desember 2016.
http://www.berdikarionline.com/10-presiden-korbanpembunuhan-politik/diakses tanggal 5 Januari 2017
https://id.wikipedia.org/wiki/Kematian_John_Lennon diakses
tanggal 5 Januari 2017
172/ Ahimsa, dalam teropong Filsafat Antropologi
Download