BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Reformasi 1998 membawa perubahan yang sangat mendasar pada kehidupan politik di Indonesia. Mundurnya Soeharto dari tampuk kekuasaan politik sebagai presiden Republik Indonesia memberikan implikasi luar biasa terhadap pergantian sistim politik yang ada, diiringi dengan jatuhnya rejim Orde Baru yang menopangnya dan runtuhnya perangkat politik serta tatanan politik yang dibangunnya. Reformasi politik pada akhirnya membawa Indonesia memasuki era kehidupan politik baru, era politik demokrasi dengan demokrasi politiknya yang memberikan hak dan kesempatan yang sama bagi setiap warga negara untuk berekspresi dan berpartisipasi dalam kehidupan politik. Salah satu bentuk perwujudan dari demokrasi politik adalah diberlakukannya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 Tentang Partai Politik yang memberikan peluang kepada masyarakat mendirikan partai politik sebagai wadah aspirasi politik dan sebagai sarana politik dalam melakukan artikulasi dan agregasi kepentingan politik yang diperjuangkannya. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 merupakan pintu masuk bagi partai politik untuk dapat mengikuti pemilu pertama di era reformasi yang diselenggarakan tanggal 7 Juni 1999. Sejak diundangkan pada 1 Februari 1999 tercatat 141 partai politik yang mendaftarkan diri di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, namun hanya 48 partai politik yang berhasil lolos verifikasi untuk dapat mengikuti pemilu yang diselenggarakan. Liberalisasi politik dengan terbukanya kran politik bagi berdirinya partai-partai politik untuk dapat mengikuti pemilu tak pelak lagi menciptakan persaingan yang sangat kompetitif di antara partai-partai politik untuk mendapatkan dukungan masyarakat. Partaipartai politik pada akhirnya menggunakan metoda yang sama dengan perusahaan-perusahaan dalam upayanya untuk merebut konsumen/pemilih dan memenangkan pasar/pemilih, yakni dengan menggunakan iklan. Tidak mengherankan kalau pada pemilu 1999 banyak iklan-iklan politik dari partai-partai politik menghiasi berbagai media baik di media cetak maupun media elektronik. 1 Semakin diselenggarakan, menggejalanya iklan politik dalam setiap event politik yang semakin mengukuhkan eksistensi, peran dan arti penting iklan politik dalam proses politik di Indonesia. Oleh karenanya menjadi sangat penting untuk mengetahui aspek-aspek terkait iklan politik dan implikasinya dalam kehidupan politik di Indonesia. Hal ini didasarkan pada alasan bahwa pertama, iklan politik telah menjadi semacam keniscayaan dalam kegiatan politik di Indonesia khususnya terkait dengan event-event politik seperti pemilihan umum legislatif, pemilihan umum presiden dan wakil presiden, pemilihan kepala daerah dan juga kebijakan-kebijakan politik yang memerlukan dukungan masyarakat. Keniscayaan semacam ini tentu membawa implikasi bukan hanya pada strategi politik dalam meraih dukungan khalayak namun juga kapitalisasi pada dan oleh partai-partai politik dan aktor-aktor politik. Hanya partai-partai politik dan aktor-aktor politik yang memiliki dana besarlah yang dapat eksis dalam kontestasi politik nasional dan dalam meraih dukungan khalayak. Implikasi lebih jauh dari kapitalisasi pada dan oleh partai politik dan aktor-aktor politik adalah politisasi kekuasaan dalam bentuk komodifikasi politik yang menjadikan partai politik layaknya sebuah kartel politik1. Argumentasi kedua adalah iklan politik telah menjadi suatu yang bersifat epidemik2 di masyarakat. Iklan politik hadir dimana-mana3 1 merebak dan memenuhi setiap sudut Terkait dengan kartelisasi sistim kepartaian di Indonesia dapat dilihat pada buku Ambardi, K. (2009). Mengungkap Politik Kartel : Studi tentang Sistem Kepartaian di Indonesia Era Reformasi. Jakarta: Penerbit KPG. Buku ini secara garis besarnya menjelaskan tentang kecenderungan kartelisasi sistim kepartaian di Indonesia pasca runtuhnya Orde Baru. Partai-partai politik berkembang layaknya sebuah kartel dalam memperebutkan sumberdaya politik dan ekonomi di semua sudut ruang kekuasaan untuk menjaga kelangsungan hidup partai sekaligus menjaga keseimbangan kekuasaan. 2 Daniel Chandler menyebutkannya sebagai endemic. Advertising is therefore endemic to our consumer culture. It is: - Ubiquitous: it is now found in not only media texts, but also in all contexts of life: in sports arenas, bowl games, web sites, schools, restaurant bathrooms, clothing, highways, etc. Consumption of goods has now become a global activity, influencing cultures around the world, even in poor countries. Adolescents throughout the world have become increasingly conscious of brand names and consumer pastimes. - Anonymous: in contrast to books or songs, you never know who created the ad or wrote the jingles, so there‟s no sense of accountability to what someone it promoting, or no way to challenge the producer of ads. - Symbiotic: in that it‟s meanings are symbolic of or tied to larger agendas, social organizations, or campaigns. For example, Ronald Reagan political campaign ads employed the Bruce Sprinsteen song, “Born in the USA,” while Ford ads employed “Born to be Wild.” - Intertextual: in that ads are continually making references to other texts in the consumer/media world or in the culture. For example, the Coke SuperBowl 2002 ad with Britney Spears made references to previous Coke images from the soda fountain era of 1950s. - Repetitive: ads repeat their messages endlessly; the same ads may also appear many times during an ad campaign often in the same genre form, for 2 ruang baik ruang privat maupun ruang publik dengan berbagai narasi teks (verbal maupun visual) yang ditampilkannya. Selain itu iklan politik juga bersifat anonim4, simbiotik5, dan repetitive yakni kehadirannya yang diulang secara terus menerus dalam periode waktu example, the Energizer Bunny ads employ the same parody/spoof genre form. http:// www. tc. umn. edu/-rbeach/teachingmedia/module6/activity.htm. dinukil tanggal 6 Mei 2011. Tapi dengan melihat pada uraian yang ada, penulis berpendapat bahwa iklan bukan hanya bersifat endemik sebagaimana dikemukakan oleh Daniel Chandler, akan tetapi sudah bersifat epidemik, karena iklan sudah mewabah secara luas pada seluruh entitas kehidupan masyarakat, bukan hanya di sebagian tertentu wilayah masyarakat. 3 Sifat keberadaan iklan politik yang hadir dimana-mana ini menjadikan iklan politik menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan masyarakat dan berada dalam setiap konteks kehidupan masyarakat. Iklan merembes ke setiap ruang kehidupan masyarakat, baik yang menyangkut seni, budaya, dunia olah raga, dunia fashion, politik, bahkan religi, dan merefleksikannya kembali melalui simbol-simbol yang membantu individu untuk dapat mengekspresikan dirinya dalam masyarakat. (Ilze Bezuidenhout . A Discursive-Semiotic Approach to Translating Cultural Aspects in Persuasive Advertisements dalam http://ilzeorg/semio/001, dinukil tanggal 15 Mei 2011). 4 Berdasarkan definisinya, iklan bukanlah sesuatu yang anonim. American Marketing Association (AMA) mendifinisikan iklan sebagai : ”… any controlled form of nonpersonal presentation and promotion of ideas, goods, or services by an identified sponsor that used to inform and persuade the selected market” (Bolen 1984: 4). Frase by an identified sponsor menunjukkan bahwa dari sisi pengiklannya, iklan tidaklah anonim. Hanya saja pihak yang menyeponsori iklan biasanya disebutkan di frase akhir penyampaian iklan sebagai penutup yang seringkali luput atau kurang mendapatkan perhatian dari khalayak. Dari sudut pandang ini anonimitas sebagaimana disebutkan di atas lebih pada kecenderungan khalayak yang tidak (kurang) memberikan perhatian pada pemasang iklan. Dari perspektif iklannya sendiri, iklan dikatakan anonim karena khalayak tidak mengetahui siapa kreator yang mengkreasi iklan. Anonim di sini dapat merujuk pada khalayak yang menjadi sasaran iklan dan tidak dikenalnya oleh khalayak siapa yang menjadi kreator dari sebuah iklan. Iklan merupakan salah satu bentuk komunikasi massa, maka khalayak dari iklan dengan sendirinya bersifat luas, anonim dan heterogen (Wright 1986: 5). Secara umum iklan ditujukan kepada siapapun, dari kalangan manapun, yang tidak dikenal identitasnya secara personal orang perorang. Khalayak pada umumnya juga memiliki kecenderungan yang tidak terlalu mempedulikan pada siapa di belakang pembuatan sebuah iklan, selain juga karena memang khalayak tidak mengetahui siapa kreator yang menciptakan iklan. Oleh karenanya khalayak pada umumnya lebih memberikan perhatian terhadap apa yang ditampilkan oleh iklan daripada siapa yang mengkreasi iklan. Kemungkinan ini bisa disebabkan karena sifat bentuk komunikasi periklanan sebagai media komunikasi massa yang cenderung bersifat umum, cepat, dan selintas sehingga memunculkan superfisialitas dan penekanan terhadap ketepatan kecepatan waktu bagi khalayak untuk lebih memberikan perhatian pada informasi-informasi yang dipandang lebih memiliki kepentingan atau relevansi bagi dirinya. 5 Iklan dapat bersimbiosis dengan berbagai teks lain dalam kehidupan nyata dan menyimpan agendaagenda besar yang tersembunyi dalam narasi teks yang direpresentasikan melalui tanda-tanda verbal maupun melalui ikon, indeks ataupun simbol visual yang ditampilkannya. Agenda-agenda besar dalam iklan diperkuat dengan kecenderungan intertekstualitas iklan untuk mengukuhkan konstruksi wacana yang diagendakan melalui kemampuannya dalam membuat referensi secara terus menerus ke teks-teks lain dalam konsumen, dunia media ataupun dalam budaya (intertextual). 3 tertentu6. Sifat epidemik iklan politik memberikan implikasi pada kekuatan iklan politik dalam memenetrasi pikiran khalayak, menghinggapkan dan melekatkan pesan-pesan politik yang disampaikannya di benak khalayak tanpa sikap proaktif khalayak sekalipun. Sifat epidemik iklan politik ini juga menyiratkan kemampuan iklan politik dalam melakukan dominasi secara struktural atas pikiran khalayak dan menghegemoni pikiran khalayak pada wacana yang disampaikan. Argumentasi ketiga, dalam melakukan aksinya mempengaruhi kesadaran khalayak, iklan bekerja secara terselubung (subliminal) melalui konstruksi pesan yang dimanipulasi sedemikian rupa sehingga publik terpengaruh tanpa mereka sendiri menyadarinya. William Leiss mengatakan, ”advertising influence us without our being aware of it, that it affects us behind our back“ (1990: 22)7. Cara kerja iklan secara subliminal dengan menggunakan alam 6 Konstruksi wacana dalam iklan politik yang terus menerus diulang-ulang (repetitive) melalui pengulangan penyampaian pesan secara berkesinambungan dalam kerangka menancapkan dominasi wacana di benak publik, hingga publik menerimanya sebagai sebuah kewajaran. Menjadi mudah dipahami kalau kemudian iklan dapat dengan mudah menyebarkan wabah dalam kaitannya dengan budaya konsumen. Budaya konsumen (Consumer culture) secara sederhana dapat dikatakan sebagai budaya palsu hasil ciptaan kapitalisme. Dengan bahasa yang lebih halus, Cochran mengatakannya sebagai budaya dari hasil interaksi terus menerus sepanjang waktu antara institusi (yang memproduksi dan menyebarkan barang-barang hasil industri) dengan individu (yang memproduksi representasi dari barang-barang tersebut) (Cochran 2006: 3). Pada level yang lebih kompleks, consumer culture merupakan sebuah keadaan dimana nilai-nilai kemanusiaan telah terdistorsi sedemikian rupa oleh keberadaan komoditas sehingga komoditas menjadi lebih penting dari manusia itu sendiri seperti yang dikatakan oleh Schudson dalam definisinya mengenai consumer culture yakni ;”as a society in which human values have been grotesquely distorted so that commodities become more important than people or, in an alternative formulation, commodities becomes not ends in themselves but over valued means for acquiring acceptable ends like love and friendship” (Schudson 1984: 7; Sheehan 2004: 18). Iklan dalam hal ini adalah merupakan salah satu institusi dari consumer culture (Hovland 2010: 3). 7 Iklan mempengaruhi kita tanpa kita sendiri menyadarinya. Hal ini dimungkinkan karena iklan merepresentasikan kondisi-kondisi atau idiologi yang sedang dirasakan atau diperjuangkan ketika itu. Kondisi-kondisi atau idiologi ini merupakan representasi dari “kompleks-kompleks” yang tersimpan dalam alam bawah sadar kesadaran khalayak, iklan mengangkatnya ke alam pra sadar dan alam sadar sehingga khalayak dapat menerima pesan-pesan yang disampaikan iklan karena sejalan dengan pikiran alam bawah sadar kesadarannya. Ilze Bezuidenhout menyatakan bahwa iklan merupakan cermin yang merefleksikan kondisi atau keadaan suatu masyarakat. Iklan menjadi cermin kebutuhan dan aspirasi masyarakat, dan menjadi pembangkit keinginan dan idealisme yang lebih tinggi. (Ilze Bezuidenhout . A Discursive-Semiotic Approach to Translating Cultural Aspects in Persuasive Advertisements dalam http://ilzeorg/semio/ 001, dinukil tanggal 15 Mei 2011). Namun perlu disadari bahwa iklan tidak mencerminkan keadaan sesungguhnya dari kondisi masyarakat, karena iklan tidak merefleksikan realitas yang sesungguhnya. Iklan merefleksikan realitas palsu (pseudo reality) yang merupakan realitas hasil bentukan (konstruksi) dari realitas yang sesungguhnya, namun telah ditata ulang sedemikian rupa sehingga melahirkan suatu 4 bawah sadar semacam ini tentu menghilangkan daya kritis khalayak terhadap iklan dan motif yang mendasari dibuatnya sebuah iklan. Juga daya kritis untuk menentang praktekpraktek manipulatif yang dilakukan oleh produser iklan. Argumentasi yang keempat, iklan politik telah menjadi semacam “aparatus” atau perangkat partai politik sebagai media pengendali massa yang hegemonistik dan diterministik. Dalam operasinya iklan masuk ke sendi-sendi ruang publik, menyebarkan gagasan-gagasan dengan menciptakan dominasi wacana ke ruang publik secara epidemik, sehingga atmosfir yang terbentuk pada ruang publik adalah seperti apa yang diagendakan oleh pengiklan. Iklan politik menjelajah dan menjajah wacana ruang publik dengan berbagai agenda yang disembunyikannya, yang mempengaruhi kesadaran publik akan makna yang disebarkan demi pencapaian tujuan politik, opini publik dan propaganda tertentu. Ini merupakan kesadaran palsu yang tercipta melalui manipulasi kesadaran publik lewat simbolsimbol yang disampaikan dalam iklan. Meski telah berlangsung empat kali masa pemilu di Era Reformasi dengan situasi kemasyarakatan yang berbeda, dan potensi iklan politik yang semakin besar perannya sebagai media manipulasi kesadaran publik yang digunakan sebagai alat politik untuk mencapai tujuan atau kepentingan-kepentingan politik tertentu, belum banyak pihak yang memberikan perhatian untuk melakukan kajian terhadap cara kerja iklan politik dan potensi manipulatif iklan politik terhadap kesadaran publik melalui wacana yang disampaikan8. Kajian iklan realitas baru yang ideal sebagaimana dimaksudkan oleh pengiklan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Noviani dalam catatan penutup bukunya mengatakan bahwa ;”Iklan merupakan sebuah teks sosial yang bisa digunakan untuk memahami dinamika masyarakat selama periode ketika iklan tersebut dimunculkan, dan iklan merupakan sebuah teks yang mampu merespon perkembanganperkembangan kunci yang terjadi dalam sebuah sistem sosial dimana iklan tersebut menjadi salah satu bagian dari sistem tersebut (Noviani 2002: 141). 8 Sebagai ilustrasi mengenai terbatasnya publikasi hasil penelitian mengenai analisis wacana iklan politik ini dapat dilihat dari daftar penelitian yang dirilis oleh Jaringan Perguruan Tinggi untuk Penelitian Pendidikan (JAPATI) Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kementerian Pendidikan Nasional. Sampai dengan tahun 2010 hanya didapatkan satu tema penelitian mengenai analisis wacana iklan politik, yakni penelitian yang dilakukan oleh Aceng Ruhendi Saifullah dan Kholid A. Harras dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung pada tahun 2009 dengan judul “Efektivitas Iklan Politik Kampanye Pemilu 2009” (http://litbang kemendiknas.net/japati/index.php?). Selain itu dari 2094 judul skripsi di FISIP UNS hanya ditemukan 1 skripsi terkait dengan analisis wacana iklan politik yang ditulis oleh Resti Faurina dengan judul Citra Politisi Lokal dalam Iklan Politik Televisi yang ditayangkan di Banyumas Televisi (BMTV) pada Pilkada Banyumas 2008. Sedangkan 2388 judul skripsi di Fakultas Sastra - Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo tidak didapatkan satupun yang yang mengangkat tema tentang analisis wacana iklan politik. Begitu juga 5 politik pada umumnya lebih menunjukkan kecenderungan pada tiga isu utama, yakni a) Efek iklan politik (Kaid, Fernandes & Painter 2011 ; Rafter 2009; Kaid - Postelnicu 2007 ; Valentino 2004; Abbe - Goodliffe 2003; b) Etik dalam iklan politik (Nadler & Schulman 2006 ; Ferguson 2006 ; Haverhals 2001; Davie 1996); dan c) Iklan politik negatif (Sides, Lipsitz - Grossmann 2010 ; Glanz 2010 ; Ansolabehere - Iyengar 1996 ; Procter - Schenck 1996). Sementara kajian bersifat kritis terhadap iklan politik dapat dikatakan masih sangat terbatas, kecuali untuk kajian kritis terhadap iklan-iklan komersial. Beberapa kajian iklan politik dengan menggunakan analisis wacana kritis di antaranya dilakukan oleh Aceng Ruhendi Saifulah dan Kholid A. Harras (2009), Resti Faurina (2008), Ritasari (2009), Mochammad Miftahul Alam (2009). Kajian-kajian ini menggunakan teori dan perangkat analisis wacana kritis Norman Fairclough dan Teun A. Van Dijk. Fokus teori dan analisisnya adalah pada teks verbal. Iklan memiliki tidak hanya teks verbal, akan tetapi juga teks visual. Oleh karenanya diperlukan perangkat analisis yang bersifat multimodal mencakup analisis teks verbal dan visual. Teks visual merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan teks verbal dalam membangun kesatuan wacana dan makna wacana yang disampaikan dalam iklan. Dalam mengawali kajian tentang iklan politik dan cara kerjanya dalam memanipulasi kesadaran publik melalui wacana yang disampaikan, iklan politik di pemilu 1999 menjadi titik penting sebagai titik awal dalam upaya memahami iklan politik dan kiprahnya sebagai media komunikasi politik dan media pemersuasi khalayak. Arti pentingnya iklan politik di pemilu 1999 sebagai titik awal kajian bukan hanya karena konteks politik Indonesia yang telah berubah dan membolehkan iklan politik digunakan sebagai salah satu bagian dari proses politik yang ada khususnya pada pelaksanaan pemilu, namun lebih daripada itu pemilu tahun 1999 merupakan pemilu pertama di awal reformasi yang menjadi fase awal demokratisasi dengan 1941 judul tesis di Pasca Sarjana dari disiplin ilmu yang relevan tidak dijumpai adanya judul tesis yang terkait dengan analisis wacana iklan politik. (Sumber : Digital Library UNS Solo dalam http://digilib.uns.ac.id/pengguna.php?) diakses tanggal 11 Januari 2011. Di Fisip UI dari 3595 judul skripsi, 435 judul tesis , 19 judul disertasi dengan kata kunci iklan politik tidak didapatkan satupun yang mengangkat tema analisis wacana iklan politik. (Sumber : Digital Library Perpustakaan Universitas Indonesia dalam http://lontar.ui.ac.id/opac/themes/green/template.jsp?) diakses tanggal 11 Januari 2011. 6 politik di Indonesia dan merupakan etape pertama dalam siklus demokrasi politik yang tengah berlangsung.9 Di bandingkan dengan partai-partai politik lainnya yang merupakan partai politik (pendatang) baru pada pemilu 1999, dua partai politik lama yang cukup fenomenal terkait dengan eksistensinya adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dan Partai Golongan Karya (Partai Golkar). Tantangan yang dihadapi Partai politik (pendatang) baru adalah memperkenalkan partai politiknya serta platform politik yang diusungnya tanpa terdistorsi dengan beban politik masa lalu. Sementara tantangan yang dihadapi PDI-P dan Partai Golkar lebih dari sekedar memperkenalkan entitas partai politik serta platform politiknya. PDI-P dan Partai Golkar memikul beban politik masa lalu dalam dua posisi yang berbeda. Golkar pada masa Orde Baru dalam posisi sebagai mayoritas tunggal penopang kekuasaan politik Orde Baru, sementara PDI merupakan partai politik yang dilemahkan dan dikerdilkan peran politiknya sehingga tidak dapat melaksanakan fungsi politiknya dalam melakukan artikulasi dan agregasi kepentingannya dan juga sebagai kekuatan penyeimbang dalam mengontrol kebijakan pemerintah. PDI-P dan Partai Golkar merupakan dua partai politik baru yang lahir dari rahim reformasi bersama-sama dengan partai politik lainnya. Yang membedakan dengan partai politik lainnya adalah, PDI-P dan Partai Golkar merupakan metamorfosis dari partai lama di masa Orde Baru yang karena tuntutan sejarah melakukan rejuvenasi dalam bentuknya yang baru. Yang dimaksudkan dalam bentuknya yang baru di sini adalah mental image atau gambaran mental yang ingin dibangun oleh PDI-P dan Partai Golkar di benak khalayak tentang partai politiknya. Masalah yang dihadapi antara PDI-P dan Partai Golkar adalah sama, bagaimana membangun image sebagaimana yang diinginkan dan sebagaimana image yang diharapkan terbentuk di benak khalayak. Dengan adanya kesesuaian antara image yang dibangun dengan image yang terbentuk di benak khalayak, akan memudahkan bagi PDI-P dan Partai Golkar 9 Fase awal selalu akan dicatat sebagai tonggak sejarah dan menjadi barometer bagi perkembangan demokrasi selanjutnya. Fase awal juga sering menjadi titik krusial dan batu ujian dalam menegakkan sebuah tata kehidupan politik yang baru. Menjadi menarik untuk melihat kiprah iklan politik pada fase awal demokratisasi politik di Indonesia baik menyangkut perannya sebagai media penyampai informasi maupun sebagai elemen taktis dalam mempengaruhi pemikiran kalayak melalui wacana yang disampaikannya. 7 dalam mendapatkan dukungan masyarakat terhadap partai politiknya. Pada kenyataannya PDI-P dan Partai Golkar berhasil meraih kepercayaan masyarakat dengan meraih dua posisi terbesar dalam perolehan suara di pemilu 1999. PDI-P dan Partai Golkar juga merupakan partai politik dengan belanja iklan terbesar dan pemasang iklan terbesar di bandingkan dengan partai-partai politik lainnya. Penelitian ini tidak bermaksud untuk mengkaji hubungan antara iklan politik dengan perolehan suara PDI-P dan partai Golkar di pemilu 1999. Namun lebih pada bagaimana PDIP dan Partai Golkar membangun eksistensinya dengan membangun citra positif partai politiknya yang baru melalui wacana dan konstruksi wacana dalam iklan-iklan politiknya. Wacana sebagaimana dikemukakan oleh Foucoult merupakan elemen taktis yang beroperasi dalam kancah relasi kekuasaan (1990 ; 102). Dalam hal ini PDI-P dan Partai Golkar merupakan pihak yang memiliki kuasa (sumberdaya) dalam mempengaruhi pemikiran masyarakat melalui wacana. Oleh karenanya wacana menjadi alat bagi kepentingan kekuasaan dalam membangun hegemoni dan dalam mempengaruhi pola pikir masyarakat dalam memberikan dukungan atau persetujuannya. Melihat pada konteks politik yang dihadapi oleh PDI-P dan Partai Golkar, besar kemungkinannya bahwa dalam membangun wacana dan konstruksi wacana dalam iklan politiknya baik PDI-P maupun Partai Golkar tidak akan terlepas dari konteks politik yang melingkupinya serta aspek-aspek kehidupan sosial yang menjadi kognisi sosialnya. Aspekaspek kehidupan sosial yang menjadi kognisi sosial inilah yang diformulasikan sebagai wacana. Di dalam wacana terdapat substansi ideologi yang bekerja secara tersembunyi dalam tanda-tanda bahasa baik verbal maupun visual. Oleh karenanya tesis dalam penelitian ini tidak terlepas dari konteks sosial dan politik yang melingkupi saat iklan-iklan politik PDIPerjuangan dan Partai Golkar dibuat. Dengan demikian dapat dirumuskan bahwa iklan-iklan politik PDI Perjuangan dan Partai Golkar pada dasarnya merupakan refleksi atau merefleksikan situasi sosial dan politik yang berkembang di masyarakat ketika itu. Dalam kerangka mengetahui substansi ideologi yang tersembunyi di balik wacana pada iklan-iklan politik PDI-P dan Partai Golkar, yang secara normatif dicurigai sebagai sarana yang berfungsi sebagai pengatur sikap kelompok-kelompok sosial dan pengendalian pendapat umum terkait dengan isu-isu sosial yang relevan; dan yang secara operasional digunakan untuk menggerakkan kelompok masyarakat dalam mengubah kondisi nyata 8 sebagaimana dinyatakan dalam muatan ideologi, perlu dilakukan pembacaan dengan melakukan dekonstruksi terhadap iklan-iklan politik PDI-P dan Partai Golkar. Dengan melakukan dekonstruksi terhadap iklan-iklan politik PDI-P dan Partai Golkar akan diketahui bagaimana PDI-P dan Partai Golkar menghadirkan eksistensinya melalui iklan politik, khususnya dalam mempresentasikan partai politiknya melalui wacana-wacana sebagai bentuk representasi idiologi yang diperjuangkan yang diharapkan dapat mempengaruhi kesadaran publik terhadap partai politik atau aktor politik yang menyampaikan. Melalui dekonstruksi wacana pada iklan politik ini juga akan diketahui apa yang diwacanakan dan bagaimana mewacanakannya serta substansi ideologi yang terdapat di dalamnya. Wacana adalah kata kunci yang menjadi inti atau substansi dari jalannya suatu pemikiran terkait dengan situasi kemasyarakatan tertentu, atau sebagai sebuah respons terhadap suatu situasi tertentu yang ingin diciptakan. Pembacaan iklan politik melalui dekonstruksi wacana setidaknya akan membantu menumbuhkan kesadaran kritis dalam menetapkan posisi ideologis terhadap wacana-wacana yang disampaikan dalam iklan politik. B. Rumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian Iklan politik telah menjadi semacam “aparatus” kekuasaan politik dan ekonomi sebagai media “pengendali” kesadaran publik yang hegemonik dan diterministik. Hal tersebut dilakukan dengan memanipulasi kesadaran publik melalui wacana dan simbol-simbol yang disampaikan dalam iklan sehingga menumbuhkan kesadaran publik terhadap agenda-agenda yang diwacanakan. Melalui gagasan-gasasan yang disebarkan ke ruang publik secara epidemik, terciptalah dominasi wacana di seputar atmosfir ruang publik sebagaimana yang diagendakan oleh pengiklan yang dimaksudkan untuk mencapai tujuan politik, opini publik dan propaganda tertentu. Dengan demikian iklan politik telah menciptakan kesadaran palsu melalui wacana yang disampaikannya sehingga publik memberikan dukungan tanpa bersikap kritis. Oleh karenanya diperlukan sebuah upaya untuk mendekonstruksi praktek wacana yang terdapat pada iklan politik agar dapat diketahui substansi idiologis yang tersembunyi di balik wacana yang disampaikan. Berdasarkan rumusan terhadap permasalahan wacana iklan politik sebagaimana telah dikemukakan, maka pertanyaan penelitian yang diajukan adalah : 9 1. Apakah wacana yang diwacanakan dalam iklan politik PDI-P dan Partai Golkar yang diiklankan di surat kabar harian Kompas pada pemilu legislatif tahun 1999? 2. Bagaimanakah PDI-P dan Partai Golkar mewacanakan wacananya dalam iklan politik yang ditampilkannya di surat kabar harian Kompas pada pemilu legislatif tahun 1999 ? 3. Apa idiologi yang direpresentasikan PDI-P dan Partai Golkar dalam iklan politik yang ditampilkannya di surat kabar harian Kompas pada pemilu legislatif tahun 1999? C. Tujuan Penelitian 1 Untuk mengetahui wacana dalam iklan politik PDI-P dan Partai Golkar yang ditampilkan di surat kabar harian Kompas Pos pada pemilu legislatif tahun 1999. 2 Untuk mengetahui cara PDI-P dan Partai Golkar mewacanakan wacananya dalam iklan politik yang ditampilkannya di surat kabar harian Kompas Pos pada pemilu legislatif tahun 1999. 3 Untuk mengetahui ideologi yang direpresentasikan dalam iklan politik PDI-P dan Partai Golkar yang ditampilkan di surat kabar harian Kompas Pos pada pemilu legislatif tahun 1999. D. Manfaat Penelitian 1 Manfaat akademis penelitian ini pada level teoritis diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi perkembangan pengetahuan di bidang ilmu komunikasi dan ilmu politik khususnya dalam memahami cara kerja iklan politik sebagai aparatus/agen kekuasaan politik dan ekonomi dalam menciptakan dominasi wacana untuk kepentingan ideologi politik tertentu. Pada level metodologis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan perspektif terhadap praktek wacana dalam iklan politik dengan melihat fenomena yang ada di belakang teks iklan politik melalui kombinasi metode analisis wacana kritis dan analisis multi modal. 2 Manfaat praktis penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai pedoman dalam menemukan pertarungan wacana dalam iklan-iklan politik sehingga dapat bersikap 10 kritis terhadap berbagai wacana yang tersembunyi di balik teks iklan politik pada khususnya dan iklan lainnya pada umumnya. E. Objek Penelitian Objek penelitian dalam penelitian ini adalah iklan politik PDI-P dan Partai Golkar yang ditampilkan di Surat Kabar Harian Kompas pada pemilu legislatif 1999. Meski terdapat sepuluh partai politik yang memasang iklan politiknya di Surat Kabar Harian Kompas, iklan politik PDI-P dan Partai Golkar menempati prioritas tersendiri yang dipilih sebagai kajian dalam penelitian ini. Hal ini didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut ; 1. PDI-P dan Partai Golkar merupakan dua partai politik yang paling intens dan dominan dalam menghadirkan partai politiknya melalui iklan politik di SKH Kompas dibandingkan dengan partai-partai politik lainnya. 2. PDI-P dan Partai Golkar memiliki posisi yang unik terkait dengan keberadaannya. PDI-P dan partai Golkar bukan benar-benar partai politik baru sebagaimana halnya partai politik lainnya yang muncul di era awal reformasi, namun merupakan partai politik hasil metamorphosis yang merejuvenasi dirinya untuk lepas dari ikatan sejarah politik masa lalu. PDI-P merupakan metamorphosis dari PDI di era Orde Baru, sedangkan Partai Golkar merupakan metamorphosis dari Golkar di masa Orde Baru. Tantangan yang dihadapi dua partai politik ini dalam mewacanakan dan memposisikan dirinya di masyarakat sebagai partai politik yang berbeda dengan masa sebelumnya di era Orde Baru akan lebih berat dibandingkan dengan partai politik yang benar-benar baru dan tidak memiliki beban citra politik masa lalu. 3. PDI-P dan Partai Golkar merupakan dua partai politik yang pada pemilu 1999 mendapatkan perolehan suara terbesar dengan posisi PDI-P di urutan pertama dan Partai Golkar di urutan kedua. Tanpa bermaksud menghubungkan besarnya perolehan suara dari PDI-P dan Partai Golkar dengan iklan politik yang ditampilkan, namun menjadi menarik dan cukup alasan untuk mengupas tentang wacana yang diusung dalam iklaniklan politik PDI-P dan Partai Golkar dan kemungkinan hubungannya dengan situasi sosial politik yang dirasakan bersama oleh masyarakat. 11 Dipilihnya Surat Kabar Harian Kompas di antara beragam surat kabar lainnya karena surat kabar ini merupakan surat kabar nasional yang memiliki kredibilitas tinggi serta sirkulasi dan jaringan distribusi yang luas. Kompas merupakan koran nasional yang berbasis di Jakarta dengan segmen pembaca terutama adalah kalangan menengah atas. Dengan koran yang kredibel dan memiliki sirkulasi serta jaringan yang luas, iklan politik dapat menjangkau semua segmen pembaca, baik pembaca di segmen atas, pembaca di segmen menengah maupun pembaca di segmen bawah sehingga diasumsikan media ini menjadi media pilihan partai politik dan pihak yang berkepentingan dalam pemilihan umum untuk mengiklankan iklan politiknya di koran berskala nasional ini. Sekaligus juga sebagai manifestasi kredibilitas dari partai politik yang beriklan di dalamnya. F. Tinjauan Pustaka Meski dari penyajian hasil penelitian terdahulu didapatkan analisis wacana iklan di surat kabar dan majalah, namun untuk analisis wacana iklan politik di surat kabar ataupun majalah sejauh ini belum berhasil ditemukan. Hal ini menunjukkan bahwa meski kajian analisis wacana sudah banyak dilakukan untuk corpus10 lainnya, tapi menyangkut corpus iklan politik tampaknya masih sedikit yang memberikan perhatian apalagi untuk media cetak (surat kabar dan majalah). Kecenderungan yang demikian ini tidak hanya terjadi di Indonesia, bahkan di negara-negara barat kajian tentang analisis wacana iklan politik juga belum mendapatkan cukup perhatian11. Penelitian terdahulu tentang analisis wacana kritis iklan politik sebagaimana dilakukan Aceng Ruhendi Saifulah dan Kholid A. Harras (2009), Resti Faurina (2008), 10 Corpus adalah teks atau bagian dari teks. Dapat juga diartikan sebagai teks khusus yang dapat dibaca untuk tujuan umum maupun khusus dengan kriteria yang ditetapkan sebelumnya (Svartvik 1991: 167).. 11 Dari 2655 tesis dan disertasi di Monash University (diakses dengan kata kunci political advertising discourse di digital library Monash University dengan alamat http://arrow.monash.edu.au/vital/ accsess/manager/Repository?) tidak didapatkan satupun judul yang membahas tentang analisis wacana iklan politik. Di Cornel University dengan kata kunci yang sama (political advertising discourse) didapatkan 261 judul tesis dan disertasi berkenaan dengan analisis wacana, iklan dan politik namun juga tidak didapatkan yang membahas analisis wacana iklan politik (http://ecommons.library. cornel.edu/handle/1813/39/simple-search?query=political+advertising+discourse). Penelusuran terhadap disertasi di Florida State University di Departement of Communication juga tidak didapatkan disertasi yang mengambil tema analisis wacana iklan politik (http://etd.lib.fsu.edu/ETD-db/ETDbrowse/browse?). 12 Ritasari (2009), dan Mochammad Miftahul Alam (2009) memiliki dinamika yang berbeda baik dari media yang diteliti maupun fokus terhadap masalah yang diteliti. Aceng Ruhendi Saifulah dan Kholid A. Harras dan Resti Faurina meneliti iklan politik yang ditampilkan di media televisi. Ritasari meneliti iklan politik pada kain rentang dan baliho, sedangkan Mochammad Miftahul Alam meneliti iklan politik yang tedapat pada poster. Masing-masing media memiliki karakteristik yang berbeda sebagai media pembawa wacana. Terkait dengan masalah yang menjadi fokus penelitiannya, Aceng Ruhendi Saifulah dan Kholid A. Harras memfokuskan pada efektivitas iklan politik kampanye pemilu 2009 melalui teks iklannya terhadap upaya persuasif iklan kampanye dan perubahan yang ditimbulkannya. Pisau analisis yang digunakan adalah analisis wacana kritis yang dikembangkan oleh Norman Fairclough. 12 Sementara Resti Faurina memfokuskan masalahnya pada citra politisi lokal dalam iklan politik televisi yang ditayangkan di Banyumas Televisi (BMTV) pada pilkada Banyumas 2008. Penelitian ini menganalisis iklan kampanye Pilkada pasangan terpilih Mardjoko - Husein. Kerangka analisis yang digunakan adalah kerangka analisis Teun A. Van Dijk13. Ritasari meneliti persuasi melalui wacana bahasa yang digunakan dalam iklan politik. Tujuan penelitiannya adalah untuk mendeskripsikan bentuk kalimat, gaya bahasa, dan teknik 12 Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara tekstual teks iklan mendeskripsikan ideologi partai yang bersangkutan, berkontribusi dalam membentuk dan membentuk kembali pencitraan atas dirinya dengan membangun identitas dirinya apakah sebagai agen pengubah atau pembangun. Penggunaan relasi dikonstruksi untuk mengantarkan komunikasi dua arah antara partai pengiklan dengan pemirsanya, yaitu ditandai dengan pronomina yang dipilih dalam teks, seperti saya, kita, dan Anda. Posisi pemirsa adalah sebagai rakyat yang membutuhkan perubahan. Secara intertekstual, iklan kampanye menggunakan unsur-unsur teks atau peristiwa lain untuk membentuk perspektif baru bagi pemirsa. Iklan kampanye televisi menjadi media yang cukup efektif dalam membangun citra partai. 13 Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa pada level teks 1) iklan kampanye milik pasangan Mardjoko-Husein berhasil mengangkat isu krisis yang melanda masyarakat Banyumas mengenai lapangan pekerjaan dengan investasi, 2) iklan kampanye milik pasangan Mardjoko-Husein berhasil mengoalisikan pendukung PKB (partai yang secara resmi mengusung mereka) dengan simpatisan PDIP yang notabene terbesar di Banyumas melalui pencitraan Achmad Husein sebagai anak tokoh PDIP, 3) iklan kampanye milik pasangan Mardjoko-Husein berhasil berhasil mencitrakan Mardjoko sebagai orang yang baik dan bersih. Sedangkan pada level kognisi sosial diketahui latar belakang pembuat iklan secara implisit mempengaruhi wacana yang berkembang dalam setiap ide pembuatan iklannya. Konteks sosial yang berada dalam masyarakat Indonesia menganggap bahwa iklan kampanye politik menjadi sebuah paradigma budaya populer. 13 persuasi iklan partai peserta pemilu 2009. 14 Mochammad Miftahul Alam (2009) melakukan analisis wacana pada iklan poster para caleg partai politik kota Surabaya pada pemilu legislatif 2009. Penelitian ini hendak melihat kategorisasi wacana yang ada dalam pesanpesan iklan politik di iklan poster para kandidat caleg partai politik di Surabaya yang ikut pemilu. Kerangka analisis wacana yang digunakan adalah analisis wacana kritis dari Teun A. Van Dijk15. Melihat peta kajian tentang iklan politik baik yang ada di Indonesia maupun yang ada di Amerika dan Eropa, tampaklah bahwa kajian iklan politik lebih didominasi pada pendekatan yang bersifat behavioralistik (positivistik) dan etik. Sementara kajian yang bersifat kritis terhadap iklan politik kurang mendapatkan perhatian. Oleh karenanya penelitian mengenai wacana iklan politik dengan perspektif kritis yang dilakukan untuk disertasi ini menjadi sangat penting, selain untuk mengisi kekosongan dalam kajian keilmuan tentang iklan politik melalui perspektif kritis, penelitian ini juga akan dapat menjelaskan wacana dan produksi wacana dalam iklan politik sehingga melalui penelitian ini juga dapat dijelaskan logika iklan politik dalam mempengaruhi audiensnya. Hal lain yang membedakan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya, pada penelitian ini bukan hanya melakukan analisis wacana pada bahasa yang digunakan dalam iklan, akan tetapi kesatuan dan keutuhan wacana yang terbentuk yang direpresentasikan pada teks verbal maupun teks visualnya sebagai corpus dalam wacana ilmu komunikasi dengan menggunakan analisis wacana kritis bersifat multimodal. Melalui kombinasi atas teori dan metode yang dilakukan (mencakup aspek kreatif iklan, aspek visual iklan dan aspek bahasa dalam iklan), maka analisis wacana 14 Hasil penelitiannya menunjukkan bentuk kalimat yang ditemukan dalam iklan politik dibagi menjadi tiga jenis, yaitu (1) kalimat pernyataan yang dibungkus dalam bentuk slogan, visi dan misi dan keunggulan kandidat; (2) kalimat pertanyaan yang menggunakan kalimat bersifat retoris atau kalimat tanya yang tidak membutuhkan jawaban, (3) kalimat perintah yang digunakan tanpa menggunakan "kata perintah" secara langsung dan tanda seru (!). Gaya bahasa yang ditemukan dalam iklan politik dibagi menjadi tiga jenis, yaitu (1) assertiveness appeal, yaitu gaya bahasa yang digunakan untuk menegaskan atau memperjelas suatu produk, (2) emotional appeal adalah pesan yang dibungkus untuk mencoba menimbulkan emosi yang negatif atau positif yang akan memotivasi khalayak pemilih, (3) repeating appeal yaitu pesan yang dikemas dalam bentuk perulangan bunyi. Teknik-teknik yang ditemukan dalam penelitian ini adalah (1) isu dan kebijaksanan politik, (2) citra sosial, (3) perasaan emosional, (4) citra kandidat, (5) peristiwa mutakhir, (6) peristiwa personal. 15 Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa wacana yang terdapat pada iklan poster para caleg partai politik berbasis Islam berisi wacana dakwah dengan isi pesan yang beragam dari masalah akhlak hingga pesan seputar keimanan. 14 yang dilakukan pada penelitian ini akan mencakup pada analisis struktur kreatif, analisis struktur visual dan analisis struktur bahasa iklan. Tiga tingkatan analisis yang dilakukan ini akan menjadi pembeda dari penelitian-penelitian sejenis lainnya yang menggunakan perspektif analisis wacana kritis baik pada corpus iklan politik, produk maupun jasa. G. Kerangka Pemikiran Kerangka pemikiran penelitian ini secara garis besarnya akan memuat dua bahasan utama yakni ; 1) yang menyangkut iklan politik sebagai bagian dari entitas politik serta proses kreatif sebagai bagian dari entitas komunikasi, dan 2) analisis wacana kritis. Yang menyangkut iklan politik akan memuat bahasan mengenai iklan dan politik termasuk pengertian iklan politik itu sendiri dan proses kreatif iklan politik. Sedangkan yang menyangkut tentang analisis wacana kritis yang menjadi substansi dari penelitian ini akan memuat bahasan mengenai wacana dalam iklan, idiologi dalam iklan politik, analisis wacana iklan, analisis wacana kritis Teun A Van Dijk, dan multimodalitas dalam analisis wacana. 1. Politik dan Iklan Politik. Politik adalah cara-cara untuk mendapatkan kekuasaan dalam mewujudkan kebaikan umum. Hal ini dapat dilihat dari apa yang dikemukakan oleh Hawkesworth dan Maurice Kogan. Dari hasil telaahnya terhadap berbagai pengertian dan definisi politik, Hawkesworth dan Maurice Kogan menyimpulkan bahwa ”...politics is better understood as a struggle for power” (2004 ; 23). Kekuasaan yang diperjuangkan dalam politik dilakukan untuk melakukan pengaturan umum sebagaimana dikemukakan oleh Windlesham “ politics as the activity of attending to the general arrangements of a set of people.”(Tracey, 1977 ; 3). Dengan demikian sebagaimana dikemukakan Jeffrey Isaac, konsep utama atau yang menjadi inti dalam kegiatan dan kajian politik adalah konsep tentang kekuasaan (HawkesworthKogan 2004 ; 56) . Dari pengertian di atas, politik dapat disimpulkan sebagai kegiatan dan atau kajian mencakup perjuangan dalam memperoleh dan mempertahankan kekuasaan, serta pengaturan melalui kekuasaan. Bentuk dan manifestasi politik mencakup pemilihan umum, konflikkonflik kelompok dan kebijakan negara yang merupakan peristiwa dan proses dalam dunia politik melalui tanggung jawab bersama antara institusi dan agen; Dan dapat juga pada 15 masalah konstitusi atau aturan yang dapat memberikan jaminan kehidupan bersama (masyarakat) dengan lebih baik (Hawkesworth- Kogan 2004 ; 56). Pemilihan umum sebagai salah satu bentuk dan manifestasi politik merupakan mekanisme demokrasi dalam memilih wakil-wakil rakyat dan juga pimpinan-pimpinan pemerintahan sebagai penyelenggara negara. Pemilu juga merupakan hak konstitusional rakyat untuk menentukan masa depannya melalui wakil rakyat dan pimpinan pemerintahan yang dipilihnya. Oleh karenanya pemilu menjadi sangat strategis baik bagi rakyat yang memberikan suaranya untuk perbaikan bangsa dengan memilih penyelenggara negara yang sesuai dengan kehendak rakyat dan menjamin terselenggaranya pemerintahan sesuai kehendak rakyat, maupun bagi partai politik dan para kandidat yang berjuang untuk mendapatkan kekuasaan sebagai wakil rakyat atau penyelenggara negara melalui perolehan suara dari rakyat yang memberikan suaranya. Dalam kaitannya dengan pemilihan umum, di era liberalisasi politik seperti sekarang ini, peranan iklan politik menjadi sangat penting16. Iklan politik menjadi mesin politik baru dari partai politik maupun para kandidatnya dalam upaya menghadirkan eksistensi partai politiknya, dan dalam upaya menciptakan pengaruh untuk meraih dukungan terhadap partai politik dan kandidat politik yang diusungnya. Melalui iklan politik, partai politik atau para kandidatnya berkomunikasi mengekspose pesan-pesan politik secara masif kepada masyarakat. Tujuannya selain untuk mempengaruhi sikap politik, kepercayaan dan perilaku masyarakat, juga mempromosikan kepentingan politik individu-individu, partai, kelompok, pemerintah atau organisasi lainnya; dan juga mempengaruhi orang agar memberikan dukungan atau suaranya pada mereka. Oleh karenanya iklan politik menjadi jembatan komunikasi politik yang paling efektif dalam menyebarkan berbagai gagasan politik untuk mendapatkan dukungan masyarakat. Di Amerika dan juga di negara-negara demokrasi lain 16 Perubahan politik melalui pintu pemilihan langsung para pejabat publik memberikan konsekuensi pada terjadinya Restyling of Politics. Dengan pemilihan langsung, politik berubah mengikuti gelombang Consumerism, Celebrity & Cynicism. Tokoh-tokoh politik serta kebijakan (politik/publik) harus dipasarkan menurut gaya yang tak berbeda dengan produk-produk dalam dunia konsumerisme dan selebritas. Tokoh politik dan partai politik menjual ide-ide atau program-programnya sebagaimana halnya produsen menjual shampo, obat batuk, dan sebagainya dengan menggunakan teknik periklanan. Dan menjadikan tokohtokoh yang akan maju menjadi presiden atau anggota DPR, atau pimpinan daerah sebagai selebritas (Masli-Setiyono 2008 ; xii). 16 yang membolehkan iklan politik, iklan politik telah menjadi sesuatu yang lazim dan menjadi bagian yang penting dari proses politik dalam tradisi demokrasi yang berlangsung17. Linda Lee Kaid dalam bukunya Handbook of Political Communication Research (2004: 156), mendifinisikan iklan politik sebagai: “The communication process by which a source (usually a political candidate or party) purchases the opportunity to expose receivers through mass channels to political messages with the intended effect of influencing their political attitudes, beliefs, and/or behavior”. Sedang dalam bukunya yang lain yang berjudul The Sage Handbook of Political Advertising (2006: 4) Linda Lee Kaid mendefinisikan iklan politik sebagai “Any controlled message communicated through any channel designed to promote the political interests of individuals, parties, groups, governments, or other organizations”. Dari dua definisi yang dikemukakan oleh Linda Lee Kaid tentang iklan politik, dapat disimpulkan bahwa iklan politik merupakan proses komunikasi yang dilakukan dan dikontrol oleh partai politik atau aktor-aktor politik dengan menggunakan media yang dibayar sebagai salurannya, yang ditujukan kepada sasaran dengan maksud 1) mempromosikan kepentingan politik individu, partai, kelompok, pemerintah dan/atau organisasi lainnya, 2) mempengaruhi sikap, kepercayaan, dan atau perilaku individu, partai, kelompok, pemerintah dan/atau organisasi lainnya. Brian Mc Nair melihat kemampuan iklan politik dalam mempengaruhi audiens berlangsung dalam dua tingkatan. Pertama, Iklan politik menyebarkan informasi mengenai visi, misi dan platform kandidat ke dalam detail dimana wartawan jarang melakukannya. Kedua, karena iklan politik berada dalam dunia perdagangan, periklanan tidak hanya ditujukan untuk memberikan informasi kepada audiens, tetapi juga dirancang untuk membujuk (to persuade) (McNair 2003). Apa yang dikemukakan oleh Brian Mc Nair sebenarnya merupakan substansi dari pemasaran politik yang oleh Newman (1994 ; 8) dikatakan sebagai “ as understanding the voter‟s need and the development by the party 17 Kajian tentang iklan politik sebagai salah satu bentuk komunikasi politik sudah cukup lama dikaji dalam tradisi keilmuan di negara-negara barat khususnya di Amerika Serikat yang menjadi tempat lahirnya iklan politik (Kaid, 2004 : 155). Sejak dimunculkannya pada tahun 1952 dalam kampanye pemilihan presiden Amerika (Perlmutter, 1999 : 27), iklan politik memicu lahirnya kontroversi baik yang menyangkut masalah etik, hukum maupun pengaruhnya pada perilaku pemilih. 17 product to meet those need”. Produk politik yang dimaksud memiliki dua elemen antara lain :“ 1) the platform of the party, which includes (a) its policies on controversial issues and (b) its competence in achieving concensual objectives, together with 2) the “image” of the party” (O’shaughnessy- Hennenberg 2002 ; 41). Terkait dengan perilaku pemilih, Jens Rydgren menjelaskan tiga faktor utama yang menentukan pemilih memberikan keputusannya dalam memilih partai politik (menyangkut disposisi emosi dan preferensi politik), di antaranya adalah : 1). Party identification, 2) Political issues, dan 3) Party images (Rydgren 2004 : 54). Hal senada juga dikemukakan oleh Anthony Down yang juga mengemukakan tiga konsep utama dalam memahami perilaku memilih, yaitu “Issue, Identification and Image”18 (Sartori 2005 : 292-294). Ini merupakan konsep-konsep utama dalam memahami perilaku pemilih. 18 Citra partai (party images) merupakan bentuk penyederhanaan gambaran tentang partai atau representasi dari kekhususan yang menggambarkan partai, meskipun ia sebenarnya merupakan sesuatu yang memiliki kompleksitas. Bentuk penyederhanaan gambaran itu bisa dengan menggunakan satu kata atau slogan yang menggambarkan secara keseluruhan tentang partai. Misalnya phrase kata seperti “good for workers” atau “workers Party” ini merupakan citra partai. Sama dengan label “liberal atau konservatif, “kiri atau kanan”, atau “progresif dan reaktioner”. Pembentukan citra ini melalui sosialisasi dari berbagai hal dalam kehidupan sehari-hari baik dari interaksi sosiologis, melalui media massa, aksi strategis dan propaganda yang dilakukan partai politik. Menurut Sartori pembentukan citra ini merupakan bagian dari strategi partai politik dalam mendapatkan dukungan pemilih (Rydgren ). Sebab sebagaimana dikatakan Sartori, citra partai merupakan alat partai politik dalam berkomunikasi dengan para pemilihnya. Banyak strategi partai politik mendasarkan pada strategi pembentukan citra yang tepat kepada publik sebagaimana yang mereka harapkan suaranya (Sartori : 293). Melalui citra, isu-isu yang diusung partai politik dan identifikasi terhadap partai politik dapat dibentuk dalam bentuk citra partai. Dan melalui citra partai yang terbentuklah maka pemilih akan memberikan preferensi atau pilihannya pada partai politik (Sartori : 294). Selain citra partai, faktor lain yang penting adalah identifikasi partai. Ini merupakan faktor yang paling mapan pada pola perilaku pemilih menyangkut orientasi pemilih pada partai politik. Identifikasi partai diperoleh melalui sosialisasi dalam keluarga, interaksi dengan teman dan tetangga, kolega dan sebagainya. Namun dalam beberapa dekade terakhir khususnya di negara-negara Eropa, pemilihan berdasarkan identifikasi partai mengalami penurunan dan tidak lagi menjadi faktor yang menentukan dalam proses pemilihan. Yang terakhir adalah isu-isu politik yang menjadi faktor penentu yang paling penting dalam proses keputusan pemberian suara. Jika seorang pemberi suara mendapatkan isu-isu politik yang sesuai dengan apa yang diharapkan, maka itu akan menjadi faktor utama dalam menentukan pilihannya terhadap partai politik. Akan tetapi pemberi suara akan meninggalkan partai yang didukungnya apabila partai politik dimaksud tidak menepati isuisu yang disampaikannya. Pada setiap kampanye pemilihan, banyak isu politik yang 18 Iklan politik merupakan media yang memiliki kemampuan dalam merefleksikan dan merepresentasikan keseluruhan reputasi partai politik baik yang mencangkup isu politik, identifikasi partai maupun citra partai melalui wacana, ikon, image maupun simbolisme yang ditampilkannya (Leiss 1990 : 286-288). Iklan menampilkan keseluruhan reputasi tersebut dalam bentuk narasi teks (wacana) maupun gambar, ilustrasi ataupun komponen visual lainnya yang dikombinasikan sedemikian rupa hingga mampu membentuk citraan-citraan yang diinginkan dan diharapkan,dan dapat menumbuhkan opini tertentu seperti yang diharapkan oleh pembuat iklan. Oleh karenanya untuk mendapatkan pengaruh yang optimal dalam memperngaruhi perilaku pemilih, iklan politik sebagaimana halnya dengan iklan komersial lainnya, pertamatama harus mampu menarik perhatian audiensnya. Perhatian ini bisa didapatkan melalui daya tarik pesannya maupun daya tarik ilustrasi atau visualnya. Selain itu iklan juga harus memiliki kejelasan tentang apa yang ingin disampaikannya (clarity), dalam hal ini iklan harus fokus pada ide atau isu tertentu, dan memiliki kesesuaian dengan apa yang menjadi disposisi kebutuhan atau keiginan target konsumernya. Di sini iklan harus memiliki daya “stoping power” yang kuat yang mampu mengikat konsumen/pemilih melalui “single idea, single message, dan single mind”. Iklan yang baik bukanlah iklan yang menyesatkan, oleh karenanya semua bentuk pesan iklan yang disampaikan haruslah dapat dipercaya (credibility/believability) (Wymer-Marshment 2006 : 215). Iklan harus mampu memenuhi rasa keterpercayaan dari target audiensnya terhadap isi pesan yang disampaikan, sehingga target sasaran mau mengikuti apa yang disampaikan dalam iklan. Lance Bennet secara ringkas merumuskannya dalam tiga komponen, yakni message composition, message salience, message credibility (Bennett 1983 : 36-40). dikemukakan baik melalui media massa ataupun oleh partai politik bersangkutan. Isu-isu politik yang ditonjolkan bisa sangat bervariasi dan berbeda di antara para peserta pemilihan. Menurut Campbell ada tiga kondisi khusus yang harus dipenuhi bagi sebuah isu politik apabila ingin mendapatkan suara pemilih : 1. The issue must be cognized in some form 2. It must arouse some minimal intensity of feeling 3. It must be accompanied by some perception that one party represent‟s to person‟s position better than the other parties do. If an issue is to motivate voter, he or she must be aware of its existence and must have an opinion on it. (Campbell-Converse-Miller 1980 : 170). 19 2. Proses Kreatif Iklan Politik Untuk memiliki daya persuasi yang optimal dalam menarik perhatian dan meyakinkan sasaran, ada kaidah-kaidah yang harus dipenuhi dalam sebuah iklan. Kaidahkaidah ini menyangkut pada strategi perumusan pesan dan strategi visualisasi iklannya, atau dengan kata lain merumuskan isi pesan dan tampilan atau visualisasinya. Selain itu juga menentukan daya tarik iklan. Iklan yang berhasil adalah iklan yang menarik dan memiliki daya penghenti (stoping power) yang kuat, yang dapat “memaksa” sasaran untuk memberikan perhatiannya19. Tanpa daya tarik, maka sebuah iklan akan kehilangan relevansinya sebagai media komunikasi persuasi. Merumuskan isi pesan, menentukan daya tarik, dan menetapkan pilihan atas visualisasi iklan merupakan bagian dari aspek proses kreatif periklanan. Proses kreatif periklanan inilah yang menentukan berhasil atau tidaknya sebuah iklan dalam menarik perhatian dan mempersuasi sasaran, karena kreatifitas dalam iklan merupakan ruh dari iklan itu sendiri. Proses kreatif pada dasarnya merupakan upaya kreator iklan menciptakan pesan iklan yang persuasif dan berbeda dengan pesan-pesan iklan yang disampaikan oleh kompetitornya. Oleh karenanya diperlukan daya kreatifitas yang tinggi dari kreator iklan untuk menggali ide-ide kreatif dengan pemikiran-pemikiran yang orisinil. Yang pasti dalam proses kreatif, daya kreatif harus berorientasi pada pemecahan masalah dengan mengembangkan dan mengimplementasikan solusi-solusi baru yang lebih baik dan efisien20. 19 Charles Warner menuliskan :” When you write advertising…,craft it to make sure it has stopping power, holding power dan going away power. Make sure it has at least one strong emotional appeal. Emotional appeal have two dimensions, positive and negative – people want it or fear losing it. And finally, all good advertising has a strong promise – explicit or implied. Always include a powerful promise when you write advertising” (2009: 576). 20 Advertising creativity is the communication of a message in a different and persuasive way. Creative message stand out from competition. Advertising creativity requires original thinking to approach consumers… (Matei & Dinu 2010; 139). A creative process is to focus on a problem with more than one possible solution, and …Creativity is to develop and to implement new and better solutions. Productivity, on the other hand is related to the efficient application of current solution (duMortier 2012). 20 Iklan merupakan karya kolektif yang melibatkan banyak bidang keahlian di dalam proses pembuatannya. Terkait dengan proses kreatif periklanan setidaknya melibatkan interaksi di antara tim kreatif dalam proses kreatif periklanan yang terdiri dari creative director, art director dan copywriter, selain juga dengan bidang lain yang berkaitan seperti bidang account management misalnya. Sedangkan aspek-aspek kreatif periklanan yang menjadi fokus dalam penanganan proses kreatif di antaranya adalah : 2.1 Penentuan Daya Tarik Iklan Daya tarik iklan ditentukan saat ide naskah telah ditetapkan. Esther Thorson dan Duffy memandang bahwa iklan yang kreatif adalah iklan yang dapat memadukan beberapa daya tarik dalam satu pesan penawaran yang utuh (2011: 85). Namun di antara unsur-unsur daya tarik iklan yang beragam dan berserakan yang dikemukakan oleh banyak ahli, pengelompokan daya tarik iklan berdasarkan kebutuhan audiens yang dikemukakan oleh William F. Arens tampaknya yang paling komprehensif dalam menjelaskan tentang daya tarik iklan (Arens 2002; 375). Menurut Arens, ada dua kategori daya tarik yang dapat digunakan oleh pengiklan, yakni daya tarik rasional dan daya tarik emosional. Daya tarik rasional dimaksudkan untuk mengarahkan konsumen pada hal-hal yang bersifat praktis dan fungsional dari produk atau jasa yang dibutuhkan. Sedangkan daya tarik emosional merupakan daya tarik yang melibatkan aspek-aspek psikologis, sosial, dan simbolis dari kebutuhan konsumen. 2.2. Perumusan Pesan Iklan Sedangkan dalam kaitannya dengan perumusan pesan iklan, Bolen (1984: 170) menuliskan setidaknya ada empat hal yang seharusnya mendapatkan perhatian para kreator iklan. Keempat hal tersebut menyangkut pada masalah ide naskah (copy thinking), format naskah (copy format), struktur naskah (Copy structure), dan gaya naskah (Copy style). 2.2.1 Ide Naskah (Copy Thinking) Problema dalam penciptaan sebuah pesan iklan pada dasarnya bertumpu pada dua persoalan yang paling mendasar yakni apa yang akan dikatakan (what to say) dan bagaimana mengatakannya (how to say) (Rothchild 1987: 170). Apa yang akan dikatakan merupakan 21 pertanyaan paling mendasar yang harus dijawab oleh para kreator iklan. Ini akan melibatkan segenap kemampuan para kreator iklan untuk dapat menggali dan memiliki pengetahuan sebanyak-banyaknya mengenai produk yang akan diiklankan, mengenai pasar, mengenai para pesaing, dan mengenai target consumers-nya. Berdasarkan data dan fakta yang telah dikumpulkan itu kemudian dirumuskan sebuah strategi kreatif periklanan. Strategi kreatif adalah merupakan bagian dari suatu proses kreatif pembuatan sebuah iklan. Strategi kreatif menyatakan apa-apa yang akan dikatakan oleh iklan tetapi tidak mengkhususkan bagaimana cara mengatakannya. Proses kreatif berjalan dengan berpegang pada strategi kreatif, sehingga naskah iklan tidak melenceng dari konsep awal yang telah ada. Dengan strategi kreatif para kreator iklan menyusun suatu pemikiran untuk menerjemahkan ide/konsep yang ada menjadi sebuah karya. Tahap awal dari proses kreatif adalah mengolah data yang diberikan oleh account executive kepada tim kreatif untuk dibuat menjadi sebuah strategi kreatif. Yang terpenting dari strategi kreatif adalah menemukan ide sentral (central idea) atau ide-ide kreatif yang menjadi tema sebuah iklan (Nylen 1975/1993: 386). Ide sentral atau ide-ide kreatif ini sangat penting karena merupakan nyawa dari sebuah iklan. Pada tahap ini para kreator iklan tidak hanya dituntut kemampuannya dalam memahami data-data yang disajikan, akan tetapi bagaimana data-data yang disajikan tersebut dapat diformulasikan sedemikian rupa menjadi sebuah ide sentral yang unik bagi sebuah iklan (the big idea). Disini diperlukan kreatifitas dari para kreator iklan, karena kreatifitas merupakan kunci dari pencarian ide. Tanpa kreatifitas, sebuah iklan tentu tidak akan mampu menarik perhatian konsumennya, dan ini berarti sebuah kegagalan yang besar dalam upaya mempengaruhi konsumen atau dalam menciptakan pengaruh pasar. Sebaliknya dengan kreatifitas, ide yang muncul mempunyai ciri khas dan keunikan tersendiri. Oleh karena itu, ide naskah harus menekankan pada Unique Selling Porposition atau penawaran penjualan yang unik, biasa disingkat dengan USP. Menetapkan apa yang harus dikatakan pada iklan inilah yang oleh Bolen dikatakan sebagai copy thinking. Jadi Copy thinking pada dasarnya merupakan proses penggalian ide naskah (central idea) yang pada pemaparan di atas dikatakan sebagai proses menemukan mengenai apa yang harus dikatakan (what to say). Mengenai apa saja yang harus dikatakan dalam naskah iklan secara terinci diuraikan dalam sebuah platform naskah (copy platform) yang merupakan 22 pedoman dasar dalam pembuatan iklan. Sementara copy format, copy structure dan copy style lebih pada bagaimana menyampaikan atau mengatakannya pada konsumen (how to say). 2.2.2 Format Naskah (Copy Format) Copy format atau format naskah berkaitan dengan bagaimana suatu naskah iklan disajikan. Terdapat beberapa macam format naskah yang masing-masing memiliki keunggulan dan digunakan sesuai dengan tujuan periklanan dan ide naskah yang dikembangkan. Ada beberapa format naskah yang dikenal, kreator iklan harus dapat memilih format-format naskah yang tepat untuk iklan yang akan dibuatnya, atau mengombinasikannya. Bolen mengidentifikasikan setidaknya terdapat sebelas format naskah (Bolen 1984: 176 – 183), sedangkan Russel dan Lane mengklasifikasikan menjadi dua puluh format naskah (Russel & Lane 1999: 523- 526). 2.2.3 Struktur Naskah (Copy Structure) Copy structure atau struktur naskah secara garis besar dibagi menjadi tiga bagian, diantaranya adalah : headline, body copy, close (Bolen 1984 : 184). Ini merupakan struktur naskah yang terdapat pada media cetak. Pada media penyiaran, media televisi khususnya struktur naskahnya dibagi menjadi opening, middle, dan close (Nylen 1975 : 496) atau beginning, midlle, dan end (Rubenstein 1980 : 71). Meskipun memiliki karakter media yang berbeda antara media cetak dengan media televisi, struktur naskahnya secara substantif sebenarnya tidaklah berbeda, hanya masalah penamaannya saja mungkin agak berbeda. Headline merupakan penangkap pandang yang diposisikan untuk menarik atau meraih perhatian konsumen. Sama halnya dengan opening atau beginning pada media televisi, opening atau beginning juga diposisikan untuk menarik perhatian melalui pandangan dan pendengaran calon konsumen sekaligus memperkenalkan ide sentral pesan penawaran yang disampaikan. Bagaimanapun untuk mendapatkan perhatian audiens terhadap suatu pesan, khususnya pesan yang bersifat komersial bukanlah suatu pekerjaan yang mudah. Audiens dibombardir oleh ribuan pesan setiap harinya, akibatnya audiens akan bersifat selektif terhadap setiap pesan yang datang. Pada saat yang sama audiens bisa menerima sebuah pesan tetapi sekaligus juga meniadakan yang lainnya. Selain itu meskipun suatu pesan sampai kepada audiens dan diterima oleh alat indranya, belum tentu audiens menyadari akan pesan 23 yang datang dan diterimanya itu. Hal ini dikarenakan fokus perhatian audiens sedang tidak pada pesan yang datang. Dengan demikian menjadi sangat penting untuk mendapatkan fokus perhatian audiens, dan ini akan sangat terkait dengan pemahaman dan pengertian dari perhatian itu sendiri. DeLozier (1976: 35) mendifinisikan perhatian sebagai ”… as the mental process of consciously focusing on a given stimulus.” Proses pemusatan kesadaran mental inilah yang harus dipikirkan oleh para kreator iklan. Jadi sebelum seorang komunikator dapat mempengaruhi audiens untuk menerima pandangan-pandangannya, terlebih dahulu haruslah dapat menarik perhatian audiensnya melalui hal-hal yang audiens dapat memberikan sepenuhnya pemusatan kesadaran mentalnya terhadap hal-hal yang disampaikan itu. Headline atau Opening biasanya digunakan untuk mengatasi hal ini, dengan menggunakan pengantar yang provokatif atau yang dapat menimbulkan self interest calon konsumen melalui penguraian masalah yang disampaikan dalam pesan-pesan penawaran. Body copy atau badan naskah, dalam media televisi lebih dikenal dengan sebutan midlle, biasanya berisi uraian atau alasan mengapa seseorang harus membeli produk yang ditawarkan. Konsumen membeli suatu produk bisa didasarkan atas motif rasional maupun motif emosional. Badan naskah iklan haruslah dapat memberikan alasan-alasannya baik yang rasional (objektif) maupun yang emosional (subjektif). Badan naskah iklan sebuah produk dapat saja mengatakan bahwa produk yang ditawarkan itu bermutu tinggi dengan harga yang murah, ini merupakan alasan rasional yang dikemukakan sehingga seseorang harus membeli produk itu. Sementara alasan emosionalnya, dapat saja dikembangkan perasaan senang dan perasaan bangga pada diri konsumen apabila menggunakan produk yang ditawarkan. Setiap produk harus mempunyai bauran alasan rasional dan emosional tersendiri yang unik dan tepat. Badan iklan merupakan tempat dimana alasan-alasan ini dikemukakan. Fungsi utama dari badan naskah sebenarnya adalah untuk membangkitkan minat dan keinginan konsumen tehadap suatu produk. Untuk itulah dalam badan naskah harus dapat menunjukkan dan meyakinkan konsumen akan manfaat-manfaat serta keuntungankeuntungan yang dapat diperoleh dengan menggunakan produk yang ditawarkan. Kreator iklan haruslah benar-benar mempelajari platform naskah secara hati-hati, dan memasukkan semua unsur penting dalam platform naskah ke dalam badan naskah. 24 Selain juga harus mempertimbangkan apakah badan naskah dimaksudkan untuk menyampaikan image mengenai nilai-nilai yang positif. Yang jelas tujuannya adalah menjual, sehingga setiap kata dalam badan naskah harus dipilih dengan mengutamakan halhal itu. Clossing merupakan bagian akhir dari suatu iklan yang berfungsi sebagai penutup, karenanya biasanya diletakkan di bagian bawah atau bagian akhir dari sebuah iklan. Closing berisi pesan akhir, berupa pengulangan elemen-elemen kunci pada pesan dan dengan identifikasi terhadap nama produk atau kemasannya. Hal ini dimaksudkan untuk mengingatkan konsumen dan untuk menghindari dari mis-identifikasi terhadap produk. Closing sering berisi informasi tentang tempat dimana produk diperoleh, nama dan alamat dealer produk, informasi tentang harga atau cara pembayarannya, gaya, ukuran dan jenis produk yang tersedia, dan sering juga berupa saran/anjuran agar konsumen segera mempunyai keinginan membeli atau mengambil tindakan membeli. Pada dasarnya closing menegaskan kembali secara singkat pesan-pesan penjualan yang telah disampaikan, mungkin hanya berisi satu atau dua kalimat saja, akan tetapi closing merupakan key word dari keseluruhan pesan yang disampaikan. Dalam menentukan closing, ada dua hal yang harus dipertimbangkan ; akan menggunakan pendekatan penjualan (selling approach) ataukah menggunakan hal-hal yang pasif (passive points) (Bolen 1984: 187). Pendekatan penjualan berada pada pilihan antara hardsell atau softsell. Hardsell merupakan pendekatan penjualan dengan gaya menekan, yang mengatakan kepada konsumen untuk melakukan tindakan pembelian sekarang juga karena jumlah barang yang terbatas misalnya. Tujuan dari pendekatan ini untuk mengatasi penundaan pembelian oleh konsumen. Sedangkan pendekatan softsell memang disampaikan dengan gaya yang halus, tujuannya sama untuk melahirkan tindakan tetapi tidak segera atau tidak secara langsung. Yang akan dicapai adalah kesinambungan dalam penggunaan produk oleh konsumen melalui penetrasi merek dalam ingatan konsumen sehingga membentuk brand image, yang memungkinkan merek produk tersebut tetap berada pada puncak ingatan (top of mind) konsumen. Closing juga bisa menggunakan informasi tertentu dari hal-hal yang bersifat pasif (passive points) seperti nama, logo atau symbol, alamat dan nomor telepon dari sebuah tempat penjualan. Atau yang berkaitan dengan hal-hal yang bersifat legal dari sebuah produk seperti merek dagang, merek jasa, hak cipta dan sebagainya. Hal-hal ini memang 25 pasif, akan tetapi sangat penting jika ia ditinggalkan, karena yang demikian itu bisa menimbulkan masalah. Head line, body copy dan closing merupakan sebagian saja dari unsur yang terdapat pada struktur naskah di media cetak (surat kabar dan majalah), masih banyak unsur-unsur lain dalam struktur naskah, seperti sub headline, tagline, caption, banner/splash, logotype/brand, dan slogan. Namun tidak semua iklan memasukan unsur-unsur struktur naskah ini dalam naskah iklannya. 2.2.4 Gaya Naskah (Copy Style) Hal lain yang terkait dengan naskah iklan adalah masalah yang menyangkut gaya naskah (copy style). Meskipun berangkat dari ide sentral yang sama dan berpegang pada platform naskah yang sama, naskah iklan dari setiap kreator iklan bisa sangat berbeda. Ini dikarenakan adanya perbedaan gaya dalam mengekspresikan kreatifitas dari masing-masing kreator iklan pada naskah iklannya. Sebagian besar iklan berakhir dengan cara meminta atau menyarankan konsumen agar membeli produk. Kreator iklan harus dapat menjelaskan keunggulan produk dengan cara yang menyebabkan konsumen memandangnya dengan pengertian dan penghargaan baru. Cara bagaimana kreator iklan mengatakan apa yang harus dikatakan agar tampak menonjol di antara kerumunan naskah iklan lainnya sehingga mendapat perhatian konsumen, itulah yang disebut dengan gaya. Tidak ada klasifikasi atau pembagian khusus mengenai gaya naskah ini, semuanya tergantung pada masing-masing kreator iklan itu sendiri. Tetapi setidaknya ada beberapa hal yang dapat dijadikan pedoman, di antaranya adalah Beleivability, Simplicity, Readability, Cliches and superlatives, Connotation, Word count, dan Message adaptation (Bolen 1984: 188). Selain itu gaya naskah akan sangat terkait dengan pendekatan utama yang digunakan dalam menjelaskan sesuatu. Rusell dalam hal ini membedakannya dalam tiga pendekatan utama yaitu Factual Approach, Imajinative Approach, dan Emotional Approach (Rusel 1999: 459-461). Sedangkan Baldwin dengan istilahnya yang lain yakni Basic Style atau Tone, membedakannya menjadi Rational, Emotional, Serious, Humorous, Realistic dan Exaggerated (Baldwin 1989: 93). 26 3. Ilustrasi/Visualisasi Iklan Sementara terkait dengan strategi ilustrasi atau visualisasi iklan, juga ada beberapa kaidah yang harus menjadi perhatian para kreator iklan. Ilustrasi atau visualisasi menjadi faktor penting yang sangat membantu keberhasilan sebuah iklan dalam menarik perhatian konsumen dan mempengaruhi image konsumen terhadap produk atau merek produk yang diiklankan. Hal ini dapat dimengerti mengingat aspek-aspek visual seringkali lebih impresif dan lebih mudah diterima. Ungkapan lama yang menyatakan “ A picture is worth one thousand words” (Laszlo 2006: 129) (Russ 2011: 163) tidaklah terlalu berlebihan. Ungkapan ini mengandung makna bahwa sebuah gambar dapat mengungkapkan seribu kata-kata. Ilustrasi atau visualisasi merupakan elemen yang menyatu dengan naskah; berfungsi sebagai penegas atau penjelas isi pesan yang dikandung dalam iklan, sebagai penghias atau penangkap pandang, sekaligus juga sebagai stimulus yang mendorong serta mengajak audiens untuk lebih memahami mengenai isi pesan yang disampaikan. Wallace S. Baldinger menyatakan “……illustration it self is a picture made for spesific text and design to help the reader visualize the character and the action of story” (Baldinger 1960/1966: 207). Ilustrasi atau visualisasi dapat berupa gambar, foto, grafik, diagram, peta, tanda-tanda ataupun wujudwujud visual lainnya yang terdapat pada sebuah iklan. Karena berfungsi sebagai penegas isi pesan maka Ilustrasi harus memiliki keselarasan dengan teks atau naskah iklan agar dapat lebih cepat mencapai tujuan periklanannya, selain itu ilustrasi harus dapat menunjukkan susunan dan tanda-tanda hubungan yang lebih cepat daripada yang diperbuat oleh kata-kata. Bagaimana seharusnya ilustrasi atau visualisasi iklan ditampilkan, Bolen (1984: 213) mengatakan bahwa media cetak maupun media penyiaran berada pada satu dilema yang sama. Pengiklan ingin menonjolkan atau menyatakan secara tidak langsung keuntungan dari produk yang mereka tawarkan. Pemvisualisasiannya akan sangat bergantung pada USP (Uniq Selling Proposition) yang disusun pada saat strategi kreatif dikembangkan. Setelah itu baru dapat dilakukan pilihan terhadap teknik atau cara penyajian ilustrasinya. Ada beberapa cara penyajian ilustrasi atau visualisasi yang selama ini telah dikembangkan, Dirksen dan Kroeger membaginya menjadi 14 teknik penyajian (Dirksen 1968: 316), sementara Otto Klepner membaginya menjadi 17 (Kleppner 1959: 156 -157). 27 Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa strategi perumusan pesan pada dasarnya adalah merumuskan ide-ide utama yang akan digunakan dalam iklan, kemudian menetapkan daya tarik, format naskah serta gaya naskahnya, dan kemudian diformulasikan dalam bentuk kata-kata dan kalimat (copy writing) yang disusun pada struktur naskah yang terdiri dari headline, bodycopy dan closing. Kesemuanya ini dirumuskan dan disusun dengan menggunakan tanda-tanda bahasa verbal. Sedangkan untuk strategi visualisasinya, pilihan terhadap teknik visualisasi disesuaikan dengan apa yang menjadi alur pada strategi perumusan naskah (creative strategy). Karena fungsi visualisasi adalah untuk menguatkan pesan yang disampaikan pada naskah iklan, maka visualisasi iklan harus memiliki koherensi dan kohesi dengan naskah verbalnya. 4. Wacana dalam Iklan Fokus kajian pada penelitian ini adalah iklan politik sebagai sebuah wacana. Iklan adalah wacana yang di dalamnya juga terdapat wacana. Menurut Rotzoll, iklan sebagai sebuah wacana pertama-tama harus dipahami sebagai “ as paid, non personal communication forms used by identified sources through various media with persuasive intent”. As paid communication forms untuk menunjukkan bahwa iklan berbeda dengan publisitas yang dilakukan melalui rilis berita (press release) misalnya, atau public relations melalui konferensi pers (pers conference) yang sering diliput oleh media tanpa dipungut biaya. “Non personal” maksudnya untuk membedakan iklan dengan bentuk penjualan personal yang terdapat pada perusahaan-perusahaan dagang atau yang melalui door to door. “By identified source” maksudnya pengiklannya dapat dikenali lewat pesan-pesan yang disampaikan. “Through various media” maksudnya pesan-pesan iklan disampaikan melalui berbagai saluran media seperti surat kabar, majalah, televisi, sinema, radio, atau billboard, poster dan sebagainya. “With persuasive intent” maksudnya iklan digunakan untuk tujuan mempersuasi. Ini artinya, pengiklan berusaha untuk mempengaruhi atau mengubah perilaku, kesadaran, pengetahuan, sikap dan sebagainya dari sasaran dengan cara yang menguntungkan bagi mereka. Atau untuk mempengaruhi cara orang berpikir tentang posisi sosial atau ekonomi tertentu (Rotzoll dalam Van Dijk 1985: 94). 28 Sedangkan wacana dalam iklan adalah substansi idiologis yang tersembunyi dalam struktur teks, baik verbal maupun visual. Ketika kita melihat iklan sebagai sesuatu yang bermakna ideologis, maka kita akan melihatnya dalam pengertiannya sebagai berikut. “1) as discourses that socially and culturally construct a world, 2) as discourses that disguise and suppress inequalities, injustices, irrationalities, and contradiction, 3) as discourse that promote a normative vision of our world and our relationships, and 4) as discourse that reflect the logic of capital. In this sense, ideologi refers to the meaning made necessary by the conditions of our society while helping to perpetuate those conditions. Ads are ideological insofar as they construct socially neccesary illusions and normalized distorted communication (Goldman & Papson 1996: 18)”. Dari kutipan di atas, secara idiologi iklan memang sebuah wacana yang mewacanakan berbagai aspek kehidupan dalam masyarakat dan memang diperlukan masyarakat. Oleh karenanya iklan menjadi instrumen dalam sistim kemasyarakatan. Sebagai instrumen dalam sistim kemasyarakatan (ekonomi, sosial, politik, dan budaya), maka keberadaan iklan tidak terlepas dari konteks sistim yang meliputinya. Oleh karenanya iklan sebagai sebuah teks sosial bisa digunakan untuk memahami dinamika masyarakat selama periode ketika iklan tersebut dimunculkan. Dan juga sebagai sebuah teks yang mampu merespon perkembangan-perkembangan kunci yang terjadi dalam sebuah sistem sosial dimana iklan tersebut menjadi salah satu bagian dari sistem tersebut (Noviani 2002: 141). Wacana menurut arti katanya secara bahasa adalah bacaan, kemudian berkembang menjadi bicara, kata, atau ucapan, dan terakhir menjadi komunikasi verbal atau percakapan. Di bidang linguistik, wacana berarti unsur bahasa terlengkap dan merupakan satuan tertinggi dalam hierarki gramatikal, yang direalisasikan dalam bentuk karangan utuh dengan amanat yang lengkap karena adanya hubungan isi (koherensi) dan hubungan bahasa (kohesi) yang erat dan serasi di antara bagian-bagiannya. Jadi wacana dapat diartikan sebagai rentetan kalimat yang saling berkait yang menghubungkan proposisi yang satu dengan proposisi yang lainnya sehingga menjadi satu kesatuan dan terbentuklah makna yang utuh dan serasi di antara kalimat-kalimat pembentuknya (Arifin 2010: 2). Wacana merupakan satuan tertinggi di atas unsur-unsur pembentuk bahasa, atau unit bahasa yang lebih besar dari unit-unit bahasa lainnya. Wacana mencakup wacana lisan yang berupa percakapan atau tuturan, dan wacana tulis yang disebut dengan teks (Wedhawati 2006: 595-596). 29 Meski kajian utama dalam wacana adalah bahasa, namun tidak dapat diartikan sebagai bahasa dalam pengertiannya sendiri (linguistik). Dalam komunikasi, bahasa merupakan elemen paling utama yang berisi tanda atau simbol yang digunakan untuk saling bertukar makna antara pihak yang terlibat dalam komunikasi. Dalam konteks komunikasi, maka bahasa merupakan entitas yang terkait dengan elemen-elemen komunikasi lainnya. Setidaknya sebagaimana dikemukakan oleh Cook, konteknya akan melibatkan “siapa berkomunikasi dengan siapa dan mengapa, dalam masyarakat dan situasi seperti apa, melalui media apa, bagaimana jenis dan tindakan komunikasi dikembangkan, dan bagaimana hubungan antar masing-masing pihak yang berkomunikasi. Kalau dalam berkomunikasi melibatkan tidak hanya bahasa, namun juga musik dan gambar yang dimaksudkan untuk mengubah atau menambah makna dari bahasa itu, maka analisis wacana yang dikembangkan harus mempertimbangkan hal-hal ini secara keseluruhannya (Cook 2001: 3). Dalam hal ini, bahasa bukanlah sebuah objek yang murni terisolasi dalam dirinya, akan tetapi dilihat dalam konteksnya yang menyeluruh. Dengan demikian dalam memahami bahasa dalam komunikasi haruslah melihat dalam satu rangkaian yang menyeluruh antara teks bahasa, konteks, dan wacana. Guy Cook (2001: 4-5) menggambarkan kaitan antara teks, konteks dan wacana sebagai berikut. Teks digunakan untuk menunjukkan bentuk-bentuk yang berkaitan dengan ilmu bahasa (linguistik), yang secara temporer dan artifisial dipisahkan dari konteks untuk tujuantujuan analisis. Konteks merupakan keseluruhan aspek yang melingkupi sebuah teks yang komponenkomponennya terdiri dari : Substansi (Substance), Musik dan gambar (Music and pictures), Parabahasa (Paralanguage), Situasi (Situation), Ko-teks (Co-text), Interteks (Intertext), Partisipan (Participants), Fungsi (Function). Wacana adalah teks dan konteks bersama-sama, berinteraksi dengan cara yang dianggap bermakna dan disatukan oleh para peserta (yang keduanya adalah bagian dari konteks dan pengamat itu). Tugas analisis wacana adalah untuk menjelaskan kedua fenomena ini dalam kasus umum dan khusus, dan untuk mengatakan bagaimana peserta membedakan satu jenis wacana dari yang lain. Untuk melakukan hal ini, perlu memperhatikan bukan 30 hanya untuk proses kognitif manusia secara umum, tetapi juga fitur khusus untuk suatu budaya tertentu. 5. Wacana dan Representasi Idiologi dalam Iklan Wacana membuat publik tidak pernah memiliki akses yang murni kepada realita, karena persepsi publik dipengaruhi oleh sistim idiologi yang dominan. Idiologi dan wacana adalah ekspresi struktur kekuasaan masyarakat, karena disana ada distribusi kekuasaan yang tidak seimbang yang dengan jelas menjadikan masyarakat menjadi kelompok-kelompok yang tersubordinasi. Antonio Gramsci menyatakan bahwa kelas-kelas dominan tidak sepenuhnya memegang kekuasaan melalui paksaan, bahkan metode mereka yang paling kuat adalah mendapatkan persetujuan dari massa. Kelas pekerja merasa tidak mendapatkan tekanan, mereka menyetujui bahwa kelas yang memegang aturan seharusnya mengatur mereka (Lacey 1998: 113). Idiologi merupakan fondasi dari seluruh masyarakat, yang akan mempengaruhi artefak-artefak media yang diciptakan dalam masyarakat. Karena fondasi-fondasi biasanya tersembunyi, kita selaku bagian dari publik hanya dapat menjadi sadar tentang sebuah artefak idiologi yang mendasarkan pada keterampilan kita sebagai seorang pembaca. Keterampilan kita mencakup untuk mendiskripsikan fondasi tersebut melalui dekonstruksi apa yang dapat dilihat, yaitu lewat teks itu sendiri. Pemahaman kita tentang dunia sebagai akibat dari proses idiologi, oleh karenanya dalam wacana sebagaimana halnya dalam mitos, kita dapat mengamati idiologi dalam prakteknya melalui pembacaan teks di media. Wacana dalam hal ini beroperasi pada level individu, dalam konteks sosial, dan tunduk pada perubahan sejarah (Lacey 1998: 106). Dalam perspektif sosio kognitif, idiologi adalah sistim yang berada di dasar kognisi sosial politik masyarakat (Lau dan Sears, 1986; Rosenberg 1988). Van Dijk (1998) menyebutkan idiologi sebagai 1) bentuk khusus dari kognisi sosial yang dibagi bersama oleh kelompok-kelompok sosial, 2) suatu sistim pengorganisasian dan pengawasan kepercayaan, sikap dan opini yang kompleks yang dibagi bersama secara sosial (Van Dijk 1998). Di sini idiologi tidak dilihat hanya sebagai bentuk gagasan, sistim kepercayaan atau sikap yang berlaku, tetapi sebagai reperesentasi mental umum dan abstrak yang mengendalikan pengetahuan dan sikap kelompok-kelompok sosial, yang memiliki satu dimensi dimana 31 kelompok sosial atau institusi sosial terlibat dalam informasi, afirmasi, reproduksi atau perubahan idiologi itu sendiri yang ditetapkan oleh anggota kelompok melalui praktekpraktek sosial dalam kelembagaan wacana baik perkataan maupun teks (Van Dijk 2000). Dengan pengertian ini idiologi menjadi suatu bentuk kognisi sosial yang direproduksi melalui praktek-praktek sosial dan wacana (Lopez 2000: 34). Ideologi secara normatif adalah sarana yang berfungsi sebagai pengatur sikap kelompok-kelompok sosial khususnya pengendalian pendapat umum yang dilakukan secara skematis yang menyangkut isu-isu sosial yang relevan seperti masalah aborsi, pengangguran, energi nuklir ataupun tindakan afirmatif lainnya (Eagly dan Chaiken 1993), atau pada cara dimana dan bagaimana bentuk-bentuk sosial dan proses-proses sosial bekerja dalam menciptakan ruang bagi beroperasinya bentuk-bentuk simbolik sehingga dapat beredar di dunia sosial (Thompson 1990). Idiologi pada tataran normatif membutuhkan suatu pandangan pada tingkat operasional agar idiologi dapat menjalankan fungsi atau operasinya dalam dunia sosial. Dalam tataran operasional idiologi dapat dikatakan sebagai pemetaan realitas sosial oleh individu yang digunakan untuk menggerakkan kelompok atau masyarakat guna mengubah kondisi nyata seperti apa yang dinyatakan di dalam muatan ideologi. Secara skematis tataran operasional idiologi dapat digambarkan sebagai berikut: Tabel I.1. Skema Tataran Operasional Idiologi Dimensi Ideosinkretik Individu : Ras/etnik, status sosial, status ekonomi, agama, budaya, aliran politik, pendidikan, pergaulan. Kondisi Agama Kondisi Sosial Kondisi Ekonomi Individu Kondisi Politik Pemetaan Kondisi Budaya Masyarakat 32 Idiologi Dikutip dari http://www.setabasri01.blogspot.com/2009/02/ideologi.html. tanggal 10 April 2012. Pada skema di atas idiologi merupakan representasi dari berbagai kondisi kemasyarakatan yang dirasakan oleh individu dan diformulasikan sesuai latar belakang yang membentuk kognisi sosialnya dan disebarkannya sebagai kepercayaan sosial bersama dalam masyarakat21. Basis idiologi adalah berbagai kondisi riil dalam kehidupan masyarakat dan dirasakan oleh masyarakat. Kondisi-kondisi tersebut sebagian atau seluruhnya diserap individu dan individu memetakannya sesuai dengan persepsinya yang didasarkan atas dimensi-dimensi ideosinkretiknya yang berupa latar belakang ras/etnik, status sosial, status ekonomi, agama, budaya, aliran politik, pendidikan, dan pergaulan tertentu. Hasil pemetaan pemikiran ini melahirkan idiologi yang kemudian disebarkan oleh individu kepada kelompok-kelompok masyarakat yang berpotensi mendukung atau digerakkan untuk mengubah kondisi nyata melalui bentuk-bentuk simbolik yang ada sesuai dengan tujuan idiologi bersangkutan. Iklan sebagai suatu institusi sosial tidak bisa tidak terlibat dalam pusaran-pusaran kepentingan kelas-kelas yang mempertahankan hubungan dominatif dalam kehidupan sosial. Iklan sebagai suatu bentuk simbolik pada dasarnya merupakan medium yang netral sebagai media penyampai informasi. Yang menjadikan iklan sebagai medium yang tidak lagi netral adalah kekuatan-kekuatan yang menjadikan iklan sebagai elemen taktis bagi kepentingankepentingan yang bersifat hegemonik, yang mendominasi aras kehidupan masyarakat demi tujuan-tujuan yang bersifat politis maupun ekonomi. Dalam terminologi Althuser iklan merupakan salah satu wujud dari ideological state apparatus. Tidak mengherankan kalau iklan pada akhirnya menjadi sarat dengan kepentingan-kepentingan dan menyiratkan berbagai idiologi yang ada di dalamnya. Idiologi dalam iklan sama dengan idiologi yang terdapat pada teks-teks lainnya, bersemayam dan tersembunyi pada wacana yang tersimpan dibalik teks. Oleh karenanya idiologi menjadi substansi tersembunyi dibalik teks dan wacana. Kesadaran kita tentang sebuah idiologi adalah dengan keterampilan kita membaca teks dan mengidentifikasi wacana 21 Kesimpulan mengenai definisi idiologi ini sejalan dengan yang dituliskan oleh Althusser yang menyatakan idiologi sebagai "a representation of the imaginary relationship of individuals to the real condition of existence (Montag, 2003; 80). 33 yang ada di dalam teks. Dari wacana itulah kita akan dapatkan idiologi yang bersemayam di dalam sebuah teks. Idiologi dalam iklan yang dimaksudkan di sini merupakan substansi dari keseluruhan pemaknaan yang ada pada wacana sebagai bentuk representasi dari kepercayaan sosial hasil dari kognisi sosial yang dibagi bersama oleh pengiklan dalam kehidupan sosial melalui bentuk-bentuk simbolik dalam praktek kebahasaan yang ditampilkan dalam iklan. 6. Analisis Wacana Iklan Iklan bekerja tidak hanya ketika orang-orang melihat iklan, akan tetapi juga ketika orang-orang mengubah perilaku mereka ataupun kebiasaan mereka seperti apa yang dikehendaki dalam iklan. Dengan demikian telah terjadi kolonisasi iklan terhadap kehidupan publik melalui kampanye periklanan dalam mempengaruhi aktifitas-aktifitas harian publik, serta pemahaman tentang diri mereka dan dunia di sekitar mereka (Mathenson 2005: 50). Hegemoni terstruktur atas pikiran dan kehidupan publik lewat teks-teks yang disampaikan inilah yang kemudian melahirkan analisis terhadap wacana yang terdapat dalam teks-teks iklan. Wacana dalam hal ini merupakan elemen taktis yang digunakan untuk mempengaruhi pola pikir masyarakat dalam kerangka membangun dominasi atau hegemoni tertentu dalam kaitannya dengan pelestarian suatu kekuasaan atau dominasi. Dalam memahami wacana di dalam iklan, analisis wacananya dapat menggunakan pendekatan sebagaimana yang terdapat pada studi linguistik, yakni empirik, pendekatan positivis pendekatan kontruktivis, dan pendekatan kritis (Hikam dalam Latif dan Subandi 1996: 78 - 86). Dalam terbitannya yang lain, Hikam menyebutkannya sebagai analisis wacana positivis (positivist discourse analysis), analisis wacana interpretivis (interpretivist discourse analysis), dan analisis wacana kritisis (critical discourse analysis).22 Pendekatan positivis empiris atau analisis wacana positivis merupakan pendekatan yang menekankan penggunaan bahasa sebagai media ekspresi pengalaman yang disampaikan melalui kaidahkaidah kebahasaan yang benar dalam hal sintaksis dan semantiknya. Fokus analisisnya adalah pada tata aturan kalimat, atau benar tidaknya bahasa yang digunakan secara gramatikal. 22 Mohammad AS.Hikam.1999. Bahasa, Politik dan Penghampiran Discursive Practice : Sebuah Catatan Awal , dalam Demokrasi dan Civil Society. Jakarta: LP3ES, Sebagaimana dikutip Sakban Rosidi dalam makalahnya “Analisis Wacana Kritis sebagai Ragam Paradigma Kajian Wacana” di Universitas Islam Negeri (UIN) Malang, 15 Desember 2007, hal 7-8. 34 Pendekatan konstruktifis atau analisis wacana interpretifis memandang bahasa tidak hanya sebagai alat untuk memahami realitas objektif saja yang dipisahkan dari subjek sebagai penyampai pernyataan. Subjek adalah aktor sentral yang memproduksi wacana, dan memiliki kemampuan melakukan kontrol terhadap maksud-maksud tertentu dalam setiap wacana. Analisis wacana pada pendekatan kontruktivis ini dimaksudkan untuk membongkar maksudmaksud dan makna-makna tertentu yang tersembunyi dari subjek yang mengemukakan pernyataan. Pendekatan kritis atau analisis wacana kritis melihat bahasa dalam kaitannya dengan kekuasaan. Bahasa bukanlah medium netral, akan tetapi representasi yang berperan dalam membentuk subjek tertentu, tema-tema wacana tertentu dan strategi-strategi tertentu. Individu juga bukan subjek yang netral yang bebas menafsirkan pemikirannya sendiri, karena pada dasarnya pemikiran individu sangat berhubungan dan dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan sosial yang ada dalam masyarakat (Mey 2009: 167). Oleh karenanya pendekatan kritis ini mencoba melihat konstelasi kekuatan yang terjadi pada proses produksi dan reproduksi makna. Analisis wacana pada pendekatan kritis dipakai untuk membongkar kuasa yang ada pada setiap proses bahasa, melihat bahasa yang selalu terlibat dalam hubungan kekuasaan, terutama dalam pembentukan subjek, dan berbagai tindakan representasi yang terdapat dalam masyarakat. Karena menggunakan pendekatan kritis, maka analisis wacana ini disebut dengan analisis wacana kritis (Critical Discourse Analysis/CDA) (Eriyanto 2001: 6). Secara konseptual analisis wacana kritis dapat dikatakan sebagai sebuah pendekatan interdisipliner untuk mempelajari wacana yang melihat bahasa sebagai bentuk praktek sosial dan memusatkan pada cara-cara dominasi sosial dan politik diproduksi melalui teks dan ujaran (Fairclough 1989: 20). Hal ini dikarenakan analisis wacana kritis tidak hanya digunakan sebagai metode analisis kajian bahasa, akan tetapi analisis terhadap seluruh ilmu humaniora dan sosial yang tidak membatasi pada satu metode, yang tidak homogen, tetapi bersatu dalam pendekatan didasarkan pada asumsi tunggal bahwa bahasa dan kekuasaan merupakan fenomena yang saling terkait. Dalam memahami analisis wacana kritis, Ruth Wodak melihatnya dalam enam pendekatan, yakni 1) Discourse Historical Approach yang dikembangkan oleh Ruth Wodak dan Martin Reisigl dengan basis teoritik pada teori kritis dan teori interaksionis simbolik, 2) 35 Corpus Linguistic Approach yang dikembangkan oleh Gerlinde Mautner dengan basis teoritik pada teori Michael Foucoult, 3) Social Actor Approach yang dikembangkan oleh Theo Van Leeuwen dengan basis teoritik pada teori kritis, 4) Dispositive Analysis yang dikembangkan oleh Siegfried Jager dan Florentine Maier dengan basis teoritik pada teori kritis, 5) Socio Cognitive Approach yang dikembangkan oleh Teun A. Van Dijk dengan basis teoritis pada teori Sarge Moscovici, dan 6) Dialectical Relational Approach yang dikembangkan oleh Norman Fairclough dengan basis teoritik pada teori Michael Foucoult, Karl marx dan M.K. Halliday (Wodak dan Meyer 2009: 20). 7. Analisis Wacana Kritis Teun A. Van Dijk Basis teoritik yang digunakan oleh Van Dijk dalam mengembangkan analisis wacana kritisnya adalah teori representasi sosial yang dikembangkan oleh Sarge Moscovici, atau lebih tepatnya lagi adalah teori socio-cognitive representation yang didefinisikan sebagai “as organized, coherent, socially share set(s) of knowledge about an object or domain of objects which combine with affective structures with inherent normative and evaluative dimensions” (Hart 2011: 120). Representasi bukanlah model mental individu, melainkan struktur pengetahuan/kognisi yang dibagi bersama kepada anggota suatu kelompok tertentu. Representasi dibangun secara sosial dari sesuatu yang sebenarnya tidak saling berhubungan tapi kemudian dihubungkan melalui komunikasi, menempatkan identitas sosial dan hubungan-hubungannya dengan yang dikomunikasikan, dan cenderung pada perubahan yang terus menerus melalui pasang surut dan arus hubungan antar kelompok. Pada studi linguistik, hal ini dikenal dengan istilah intertekstualitas (intertextuality) dan interdiskursivitas (interdiscursivity) dalam teks. Pada pendekatan socio-cognitive, kerangka kerja dalam pendekatan terhadap analisis wacana kritis tidak hanya analisis terhadap kondisi-kondisi sosial dan akibat-akibatnya pada wacana, akan tetapi juga pada kognisi sosial (socio-cognitive). Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa 1) kognisi adalah suatu hubungan yang diperlukan antara masyarakat dan wacana, dan 2) struktur kognisi berhubungan dengan aspek-aspek sosial pada saat yang sama, seperti halnya pada pengetahuan, sikap, idiologi, norma dan nilai. Kognisi sosial menegaskan bahwa kepercayaan/pengetahuan dibagi bersama oleh anggota kelompok dan 36 komunitas. Dengan demikian pada perspektif ini pengetahuan bukanlah sebagai kepercayaan pribadi (personal beliefs), akan tetapi sebagai kepercayaan sosial bersama yang diisyaratkan dengan anggota komunitas yang berpengetahuan (Wodak 2005: 87). Pengertian kepercayaan sosial yang dimaksudkan di sini adalah sebagai pengetahuan yang dibagi bersama secara sosial, dan/atau sebagai pengetahuan yang dikelola melalui model-model konteks yang merepresentasikan situasi-situasi yang komunikatif. Modelmodel mental mengenai kepercayaan sosial ini pada saat yang bersamaan berada pada pribadi individu, karena mereka harus menyatukan pengalaman-pengalaman personal individualnya, tujuan-tujuan dan kepentingan pengguna bahasa. Dengan demikian bahasa dalam hal ini inheren atau tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan sosial. Bahasa digunakan secara beragam dalam situasi sosial yang nyata. Melalui cara inilah dapat dijelaskan dimensi-dimensi sosial, kultural dan politik dari wacana dalam bahasa. Pendekatan socio-cognitive terhadap wacana menawarkan sesuatu yang unik, yang menghadapkan antara aspek makro dari masyarakat dengan aspek mikro dari wacana dan interaksi (Wodak 2005: 87). Iklan merupakan sebuah praktek (dalam kehidupan) sosial bersama yang di dalamnya terdapat struktur kognisi yang terkait dengan pengetahuan, sikap, idiologi, norma dan nilainilai. Sama dengan praktek (kehidupan) sosial lainnya, struktur kognisi dalam iklan juga dibagi bersama oleh anggota kelompok dan komunitas sehingga apa yang disampaikan dalam iklan menjadi kepercayaan sosial atau pengetahuan bersama23. Praktek-praktek kebahasaan dalam iklan baik melalui bahasa verbal maupun bahasa visual, menghadirkan sebuah representasi sosial dalam bentuk wacana yang dipahami sebagai kepercayaan atau pengetahuan bersama dalam kehidupan sosial (masyarakat). Dengan demikian representasi sosial24 merupakan interaksi di antara tiga unsur yang menjadi 23 Kepercayaan sosial atau pengetahuan bersama dalam terminologi Van Dijk dikatakan sebagai idiologi. Menurut Van Dijk, idiologi adalah kumpulan ide yang membentuk sistim kepercayaan kolektif. Sistim kepercayaan ini disebarkan oleh sekelompok aktor sosial. Idiologi merupakan representasi sosial yang mendifinisikan identitas sosial dari suatu kelompok yang menyebarkan sistim kepercayaan yang dianutnya dengan berbagai cara yang menunjukkan keberadaan dirinya dan melalui berbagai reproduksi menyebarkan sistim kepercayaan tersebut. Teun A. Van Dijk. Journal of Political Ideologies, Volume 11, Number 2, June 2006 , p. 116. 24 Moscovici menyebutkan representasi sosial dalam teorinya sebagai “One individual‟s cognition is informed by dynamic constructs known as social representations, that is, the concepts, values, norms 37 representasinya, yakni kognisi, wacana dan masyarakat. Interaksi ketiga unsur inilah yang dijadikan oleh Van Dijk sebagai dasar dalam mengembangkan kajian analisis wacana kritisnya dengan mengembangkan pendekatan socio-cognitive. Vand Dijk memulainya dengan teks formal bahasa dan kemudian elemen-elemen yang tergabung dari model memori psikologis standard, bersama dengan gagasan dari frame yang diambil dari ilmu kognisi. Dari sinilah Van Dijk melakukan penelitian yang terkait dengan masalah strereotipe, prasangka reproduksi etnik, dan penyalahgunaan kekuasaan oleh elit dan juga perlawanan oleh kelompok-kelompok yang didominasi. Van Dijk juga menekankan kontrol dimensi wacana sebagai sarana untuk mendapatkan akses ke kekuasaan. Kontrol tersebut dapat berkaitan dengan tindakan dan kognisi (Van Dijk 1993: 245). Kognisi atau kepercayaan sosial diwujudkan dalam model mental kolektif sebagai hasil konsensus yang menghadapkan antara struktur sosial dan wacana (Van Dijk dalam Wodak & Meyer 2009: 62-86). Dengan menggunakan kekuatan kognisi inilah anggota dari suatu kelompok masyarakat mempengaruhi pikiran anggota kelompok lainnya, lebih spesifik lagi mengubah pikiran orang lain untuk mengikuti agenda atau kepentingannya. Disinilah yang dikatakan sebagai peranan wacana dalam reproduksi kekuasaan dan dominasi dalam masyarakat, yakni dengan mengontrol kepercayaan masyarakat melalui wacana. Untuk melakukan analisis terhadap suatu wacana, Van Dijk membuat kerangka analisis wacana yang terdiri atas tiga struktur utama, yakni struktur makro (tematik), super struktur (skematik), dan struktur mikro (Van Dijk 1985: 69-70 ; Eriyanto 2001: 227-229; Sobur 2001: 73-84) 25. Wacana pada teks merupakan manifestasi dari kognisi sosial dan konteks sosial dimana wacana tersebut diproduksi. Oleh karenanya Van Dijk memasukkan kognisi sosial dan konteks sosial dalam struktur analisis wacananya sebagai satu kesatuan yang integratif dalam memahami wacana sebuah teks dan latar belakang diproduksinya sebuah teks. and images shared in a social group, and activated and maintained in discourse” (Moscovici 2000: 117). 25 Untuk memudahkan dalam operasionalisasi kerangka analisis wacana dari Van Dijk, maka elemenelemen struktur wacananya dapat disederhanakan menjadi : tematik (apa yang dikatakan), skematik (bagaimana mengatakannya), semantik (makna apa yang ditekankan), sintaksis (bagaimana susunan kata yang digunakan), stalistik ( kata-kata apa yang digunakan), dan retoris (bagaimana dan dengan cara apa penekanan kata dilakukan sehingga menimbulkan makna tertentu). 38 8. Multimodalitas dalam Analisis Wacana Kritis Iklan Politik Van Dijk melakukan kajian wacananya pada teks-teks berita yang terdapat pada surat kabar. Dengan demikian kerangka analisis wacananya memusatkan pada struktur bahasa yang digunakan dalam pemberitaan. Van Dijk menggunakan tingkatan struktur yang jelas dan sederhana dalam menganalisis unit-unit wacana dalam suatu struktur bahasa, oleh karenanya kerangka analisis wacana dari Van Dijk banyak digunakan untuk menganalisis berbagai teks yang tidak masuk dalam kategori berita, seperti teks iklan misalnya. Padahal penggunaan gramatika bahasa dalam teks iklan berbeda dengan penggunaan gramatika bahasa dalam teks berita, demikian pula dengan unsur yang membentuk teksnya. Pada teks iklan di media cetak, selain teks verbal juga terdapat teks visual. Sebagaimana dikemukakan Cook, apabila dalam berkomunikasi melibatkan tidak hanya bahasa, namun juga musik dan gambar yang dimaksudkan untuk mengubah atau menambah makna dari bahasa itu, maka analisis wacana yang dikembangkan harus mempertimbangkan hal-hal ini secara keseluruhannya (Cook 2001: 3). Kerangka analisis wacana Van Dijk, sebagaimana juga pada kerangka analisis wacana kritis pada umumnya, kurang dalam mempertimbangkan aspek lain selain bahasa verbal. Dalam iklan media cetak, teks verbal dan teks visual merupakan satu kesatuan dalam membentuk makna dan wacana, sehingga ketika hendak melihat sebuah wacana dalam iklan, maka harus melakukan analisa secara menyeluruh terhadap kedua komponen teks tersebut. Oleh karenanya diperlukan pendekatan lain dalam bentuk analisis multimodal dalam melakukan analisis terhadap teks iklan. Analisis multimodal menjadi suatu pendekatan alternatif untuk mengetahui makna atau wacana dalam sebuah teks iklan (Kress dan Van Leeuwen 2006: 15; Young dan Fitzgerald 2006: 169-173). Analisis multimodal merupakan analisis menyeluruh terhadap teks yang tidak berfokus hanya pada teks verbal, tetapi juga menggabungkannya dengan bentuk-bentuk teks lainnya seperti teks visual, suara, percakapan, gerak, tindakan dan sebagainya26. Melalui 26 Menurut Simpson dan Myer, orang jarang berkomunikasi secara monomodal, yakni hanya melalui bahasa saja, tetapi secara multimodal. Multimodal artinya berkomunikasi melalui kombinasi dari berbagai unsur yang menyertai bahasa seperti : citra visual, bahasa, suara dan bahkan bahasa tubuh. Kalau bahasa mencitrakan ideologi, maka demikian pula halnya dengan komunikasi visual. Komunikasi visual dapat membentuk pandangan kita tentang dunia dan menegosiasikan antara 39 analisis multimodal, analisis wacana terhadap sebuah teks akan menjadi lebih integratif dan komprehensif karena semua sumberdaya semiotik yang menimbulkan makna dapat dianalisis dan diinterpretasikan secara bersama untuk mendapatkan satu pengertian bersama dari sesuatu yang dianalisis. Terkait dengan multimodal discourse analysis Nugroho (2009; 71) menyatakan : “Multimodality or multimodal discourse analysis provides the tools and techniques to analyse texts which employ more than one mode of discourse. It is interesting to see how different semiotic resources are deployed simultaneously in the process of making the intended meaning well-projected by the advertisement designers to the viewers, the potential buyers of the advertised product”. Kutipan di atas menunjukkan bahwa multimodal discourse analysis bukan hanya sebuah konsep tentang sumberdaya semiotik yang terdapat dalam sebuah teks, akan tetapi juga sebagai perangkat dan teknik yang dapat digunakan untuk menganalisis teks yang menggunakan lebih dari satu sumber daya semiotik. Melalui analisis multimodal akan diketahui bagaimana bentuk-bentuk teks membangun makna atau wacana suatu teks secara keseluruhan, apakah bentuk-bentuk teks tersebut saling mendukung, saling bertentangan, saling tumpang tindih, atau bahkan memberikan makna yang berbeda satu sama lain meskipun dalam teks yang sama. Keseluruhan informasi dalam teks akan menentukan makna atau wacana seperti apa yang ingin ditampilkan oleh teks kepada khalayak (Young dan Fitzgerald 2006: 170). Fondasi teori analisis multimodal pada awalnya dikembangkan oleh Halliday melalui teorinya “the Systemic Functional Linguistic” (SFL) yang melihat bahasa sebagai fenomena sosial dan semiotika sosial (Jewit 2006: 3). Teori linguistik fungsional sistemik melihat bahasa sebagai fenomena sosial yang berhubungan dengan konteks sosial pemakaian bahasa hubungan sosial dan kekuasaan. Struktur visual juga mengekspresikan makna dan berkontribusi pada keseluruhan pesan teks. Analisis komunikasi visual oleh karenanya menjadi suatu bagian yang sangat penting dalam analisis kritis, baik dalam media, iklan, atau teks-teks lain yang disertai dengan desain visual. Menurut Kress dan Leuween, image visual sepenuhnya berada pada bidang ideologi sebagai sarana – selalu- untuk munculnya posisi idiologis. (1996/2006: 13). Karena berbagai mode komunikasi telah digunakan dalam mode yang lebih terintegrasi, saat ini di kalangan peneliti berkembang suatu pendekatan penelitian yang sering disebut dengan Multimodal Discourse Analysis (MDA) (untuk melengkapi) kajian Critical Discourse Analysis (CDA) yang lebih berfokus pada analisis struktur linguistik yang bersifat monomodal, yang memberikan perhatian pada produksi sosial berkaitan dengan ketimpangan, kekuasaan, ideologi, dan manipulasi. (Simpson & Mayr 2010: 87). Kress menyatakan ; ”Now imposible to make sense of text….without having a clear idea of what these others feature might be contributing to the meaning of the text “ (Kress 2000: 337). 40 yang mencakup fungsi, sistem, makna, semiotika sosial, dan konteks. Bahasa bersama-sama dengan sistem sosial lainnya bekerja dalam menciptakan makna. Sebagai semiotika sosial, bahasa merupakan sistem makna yang melihat tanda dalam arti yang lebih luas, yakni sebagai suatu sistem tanda yang merupakan bagian tatanan-tatanan yang saling berhubungan sebagai pembawa makna dalam budaya. Sehingga bahasa dalam semiotika sosial mendapatkan maknanya melalui interaksi sosial, dengan perantara sosial, dan untuk tujuan sosial (Halliday dan Hasan 1992: 4-6). Halliday membuat empat klaim utama tentang bahasa, yakni 1) fungsional, menyangkut klaim apa yang bahasa dapat lakukan atau apa yang dapat dilakukan dengan bahasa, 2) semantik, menyangkut klaim bahasa yang digunakan untuk menciptakan makna, 3) kontekstual, menyangkut pertukaran makna yang dipengaruhi oleh situasi sosial dan kultural, 4) semiotik, menyangkut proses pembuatan makna melalui proses seleksi, dari seluruh pilihan yang membenarkan apa yang dimaksudkan (Halliday 1975/1985: 53). Halliday juga mengidentifikasikan tiga jenis makna yang diwujudkan dalam bahasa sebagai suatu keseluruhan, membentuk basis organisasi semantik dari semua bahasa alamiah. Ini dikatakannya sebagai meta fungsi (metafunction) bahasa yakni, komponen-komponen yang beroperasi secara simultan dalam semantik setiap bahasa, yang didefinisikannya sebagai berikut. o o o the Ideational metafunction, which is the resource for the “representation of experience : our experience of the world that lies about us, and also inside us, the world of our imagination. It is meaning in the sense of „content‟. the Interpersonal metafunction, which is the resource for “meaning as form of action. The speaker or writer doing something to the listener or reader by means of language. the Textstual metafunction, which is the resource for maintaining “ relevance to the context : both the preceding (and following) text, and context of situation (Halliday 1985: 53). Teori Systemic Functional Language (SFL) Halliday dengan meta fungsi bahasanya kemudian dikembangkan oleh O’Tole (1994), Kress dan van Leuwen (1996/2006), Martin (2002), Martin dan Rose (2003), yang menggunakan teori ini untuk kajian semiotik yang melibatkan bahasa dan visual. Fokus kajiannya adalah mengembangkan teori tentang interaksi dan integrasi antara bahasa dan gambar. Kajian-kajian inilah yang pada akhirnya melahirkan istilah multimodal, yakni penyebaran sumber daya semiotik dalam suatu teks 41 yang bersifat multimodal, sebagaimana analisis yang dilakukan oleh Thibault (2000) tentang analisis integrasi bahasa, visual image, suara dan musik pada iklan televisi (O’Halloran 2006: 221). Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa teks multimodal merupakan teks yang dibentuk oleh lebih dari satu sistem tanda atau penandaan dalam semiotika, misalnya teks yang terdiri dari tulisan dan gambar. Menurut Kress dan Van Leeuwen (2006: 18,40,41) tulisan dan gambar dapat merepresentasikan berbagai pengalaman-pengalaman sosial. Misalnya dalam iklan produk kecantikan, komponen verbalnya mungkin tidak mengarah kepada prasangka-prasangka gender yang seksis, tetapi komponen visualnya mungkin sebaliknya, mengarah pada prasangka-prasangka gender yang seksis. Ini karena sistem semiotik memiliki kemampuan untuk merepresentasikan aspek-aspek pengalaman dunia di luar sistem tanda baik secara langsung maupun tidak langsung. Dalam melakukan analisisnya, Kress dan van Leeuwen mengembangkan ketiga komponen metafungsi sebagaimana dikemukakan Halliday di atas (komponen ideasional, komponen interpersonal dan komponen tekstual) untuk sistem semiotik dalam suatu teks multimodal yang ditelitinya. Dalam melakukan analisis terhadap teks yang bersifat multimodal khususnya untuk iklan di media cetak, ada beberapa model analisis yang dikembangkan, di antaranya adalah yang dikembangkan oleh Lim dengan “the Integrative Multi Semiotic Model (IMM) (Fei 2004: 220-225)27. Model analisis lainnya adalah apa yang dikemukakan oleh Halliday dan Hasan (1985: 64) tentang apa yang disebutnya sebagai “the Generic Structure of Advertisement”. Awalnya struktur umum dari iklan ini merupakan gagasan Hasan yang membagi struktur umum iklan terdiri atas Capture, Focus, Justification (Hasan 1996: 41-42 dalam Yuen 2004: 164). Capture merupakan komponen yang digunakan sebagai penangkap pandang atau penarik perhatian, yang diwujudkan dalam tata-letak visual (visual lay-out), pola huruf, dan/atau keberadaan gambar. Sedangkan Focus dan Justification tidak terdapat keterangan 27 Pada model ini menurut Martin (1992), terdapat dua sumber daya semiotik yang dianalisis yaitu bahasa dan gambar (visual image). Dua sumber daya semiotik ini kemudian dikonsepsualisasikan pada tiga tahap perencanaan yaitu 1) expression plane, mencakup tipografi (untuk bahasa), dan grafis (untuk gambar), 2) content plane, mencakup leksikal-grammer dan wacana semantik (untuk bahasa) dan visual grammer dan wacana semantik (untuk visual) 3) contex plane, mencakup register, genre dan idiologi. 42 apakah berkaitan dengan aspek visual atau aspek linguistiknya, tetapi yang jelas digunakan sebagai komponen pendukung Capture. Karena ada ketidak jelasan antara komponen verbal dan visual, maka struktur umum iklan ini kemudian disempurnakan kembali oleh Halliday dan Hasan (1985: 64) yang memformulasikan Capture sebagai keseluruhan elemen yang terdapat pada suatu iklan baik yang wajib maupun yang opsional yang di antaranya terdiri atas : Lead, Display, Emblem, Announcemen, Enhancer, Tag, Call and Visit Information. Secara skematik struktur umum dari iklan cetak digambarkan sebagai berikut. Tabel I.2. The Generic Structure of Print Advertisement Visual component Lead : Locus of Attention (LoA) Complement to the Locus of Attention (Comp. LoA) Display : Explicit, Implicit, Congruent, Incongruent (Metaphorical). Emblem : Linguistic component Announcement : Primary, Secondary Enhancer Emblem Tag Call and Visit Information Interaction to create Interpersonal, Ideational and compositional/Textual Meaning (O”Halloran 2004: 165) Pada skema ini, komponen visual dan linguistik dalam iklan dibedakan secara eksplisit, dan menjadi sumber-sumber semiotik yang saling berinteraksi menciptakan makna baik pada tataran ideasional, interpersonal maupun dan komposisional (textual meaning). H. Kerangka Konsep Iklan sebagai sebuah wacana merupakan konsepsi terstruktur atas karakteristiknya sebagai medium penyampai pesan tentang “ide” (dalam arti luas) yang bersifat impersonal, dan dibiayai untuk tujuan mempersuasi kelompok-kelompok masyarakat tertentu demi motif atau kepentingan-kepentingan pihak yang membiayai atau yang mempersuasi. Oleh karenanya sebagai sebuah artefak komunikasi, iklan dipenuhi dengan simbol-simbol yang di 43 dalamnya menyiratkan substansi idiologis yang tersembunyi dalam struktur teks, baik melalui tanda-tanda verbal maupun tanda-tanda visual yang ditampilkan. Substansi idiologis inilah yang menjadi inti wacana dalam iklan, yang hanya dapat dipahami melalui pembacaan teks iklan atau melalui dekonstruksi terhadap teks iklan itu sendiri. Jadi secara idiologis, iklan memang sebuah wacana yang mewacanakan berbagai aspek kehidupan dalam masyarakat. Oleh karena karakteristiknya yang secara idiologis sebagai media yang mewacanakan aspek-aspek kehidupan tertentu yang menjadi kepentingan pengiklan, maka iklan sering dicurigai sebagai alat kepentingan dari pihak-pihak yang berdaya/berkuasa untuk menciptakan dominasi atau kekuasaan melalui idiologi yang ditanamkannya secara manipulatif melalui simbol-simbol yang terdapat pada iklan. Untuk mengurai substansi idiologi yang terdapat dalam iklan politik yang menjadi fokus kajian dalam penelitian ini, maka hal-hal yang akan diurai adalah tentang apa yang diwacanakan, bagaimana mewacanakannya dan apa alasan-alasan yang mendasari dari dipilihnya wacana-wacana tertentu beserta konteks yang menyertainya. Ini menyangkut produksi wacana yang memerlukan penyelidikan terhadap unsur-unsur yang membentuk iklan. Secara konsepsional, produksi wacana dalam iklan merupakan pergulatan dalam dialektika kreatif untuk menentukan ide utama yang menjadi inti atau substansi yang akan dikatakan (diwacanakan) dalam iklan. Pergulatan dialektika kreatif dalam menentukan ide utama ini melibatkan, tidak hanya penggalian informasi tentang aspek-aspek intrinsik/internal dari produk, ide atau jasa yang akan diiklankan, akan tetapi juga aspek-aspek eksternal yang terkait langsung atau tidak langsung dengan produk, ide atau jasa yang akan diiklankan. Faktor eksternal ini bisa para pesaing, khalayak yang menjadi target konsumernya, situasi pasar, atau pada konteks kemasyarakatan yang lebih besar yang mencakup aspek sosial dan budaya, dan sebagainya. Setelah mendapatkan ide utama yang menjadi substansi yang akan diwacanakan, rangkaian berikutnya adalah pergulatan kreatif untuk menentukan bagaimana mewacanakannya. Meski tidak serumit seperti dalam menentukan ide utama, namun dalam mewacanakan ide utama juga perlu mempertimbangkan konteks yang melatar belakangi terbentuknya ide utama tersebut. Dari sini kemudian ditetapkan daya tarik apa yang akan digunakan untuk menarik perhatian dan memikat publik yang menjadi target sasarannya, dan kemudian akan dikemas dengan format naskah, struktur naskah dan gaya naskah yang 44 bagaimana. Berdasarkan ide utama, daya tarik, format naskah, struktur naskah, dan gaya naskah kemudian ditetapkan ilustrasi atau visualisasinya. Pada saat inilah iklan telah terbentuk sebagai sebuah teks yang dipresentasikan melalui teks verbal dan teks visual sebagai sebuah satu kesatuan wacana. Dalam upaya melakukan pembacaan terhadap wacana dalam iklan, pada penelitian ini digunakan kerangka analisis wacana kritis Teun A. Van Dijk yang terdiri dari struktur makro, supra struktur dan struktur mikro, selain juga kognisi sosial dan konteks sosialnya. Dengan menggunakan kerangka analisis wacana Van Dijk, akan diketahui substansi dan struktur wacana melalui struktur bahasa yang digunakan dalam teks verbal, juga kognisi sosial dan konteks sosial yang melatarbelakanginya. Namun karena keutuhan wacana dalam iklan cetak tidak hanya meliputi teks verbal akan tetapi juga teks visual, maka diperlukan perangkat analisis lain dalam bentuk analisis multimodal. Analisis multimodal merupakan analisis terhadap keseluruhan elemen dalam iklan, yang berupaya untuk mencari koherensi dan kohesifitas antara teks verbal dan teks visual. Model analisis multimodal yang digunakan adalah model yang dikembangkan oleh Halliday dan Hasan dengan menggunakan struktur umum iklan cetak yang unsur-unsur visualnya terdiri dari Lead, Display, Emblem, sedangkan unsur verbalnya terdiri dari Announcement, Enhancer, Emblem, Tag, Call and Visit Information, dimana kedua unsur ini (verbal dan visual) berinteraksi membentuk metafungsi bahasa yang bersifat ideasional, interpersonal, dan komposisional dalam membentuk makna teks dalam teori Linguistik Fungsional Sistemik (LFS) sebagaimana dimaksudkan oleh Halliday. Dalam mengintegrasikan model analisis wacana kritis Van Dijk dan analisis multimodal melalui The Generic Structure of Print Advertisement dari Halliday dan Hassan, sumber-sumber semiotik berupa komponen linguistiknya dapat diintegrasikan dalam superstruktur yang terdapat pada model analisis wacana kritis Van Dijk. Sumber-sumber semiotik dalam komponen linguistik analisis multimodal Halliday dan Hassan yang berupa Announcement, Enhancer, Emblem, Tag, Call and Visit Information adalah bagian-bagian yang tersusun pada struktur iklan. Pada model analisis wacana kritis Van Dijk superstruktur adalah kerangka dasar sebuah teks yang meliputi susunan atau rangkaian struktur atau elemen sebuah teks dalam membentuk satu kesatuan bentuk yang koheren. Dengan kata lain, superstruktur dalam analisis wacana Van Dijk merupakan skema atau alur sebuah teks. 45 Apabila diterapkan dalam iklan, superstruktur yang dimaksud adalah bagian-bagian yang tersusun pada struktur naskah iklan sebagaimana disebutkan di atas. Jadi superstruktur analisis wacana kritis Van Dijk dalam konteks penelitian ini merupakan rangkaian struktur dalam teks iklan yang terdiri dari Announcement, Enhancer, Emblem, Tag, dan Call and Visit Information. Sedangkan visual component-nya tetap berdiri sendiri sebagai sebuah struktur visual dengan unsur-unsur Lead, Display dan Emblem. Adapun skema atau bagan konsep tentang produksi wacana dan analisis wacana iklan sebagaimana dimaksudkan pada penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut. Tabel I.3 Bagan Konsep Produksi Wacana dan Analisis Wacana Kritis Iklan Konteks Sosial Politik Kognisi Sosial Analisis Produk R E P R E S E N T A S I Analisis Pasar dan Pesaing Strategi Periklanan Tujuan Periklanan PROSES KREATIF Ide Utama Format Naskah Daya Tarik Teknik Ilustrasi Struktur Naskah Gaya Naskah W A C A N A MULTIMODALITAS Struktur Verbal Teks Iklan Verbal Struktur Makro Super Struktur Struktur Mikro Visual Struktur Visual Publik 46 I. Metodologi Penelitian Metodologi penelitian berkenaan dengan prosedur atau tata cara penelitian dilakukan dalam upaya mendapatkan jawaban terhadap permasalahan penelitian28. Di dalamnya mencakup bukan hanya pada metode (cara/teknik) bagaimana penelitian dilakukan, akan tetapi juga epistemologi yang mendasari dipilihnya suatu metode (cara/teknik) tertentu untuk mencari, mengembangkan, dan menguji kebenaran suatu pengetahuan. Oleh karena itu dalam mengurai metodologi penelitian pada penelitian ini pertama yang perlu dikemukakan adalah paradigma penelitiannya, yang dengan paradigma ini dapat ditentukan metode (cara/teknik) penelitiannya, cara pengumpulan datanya serta teknik analisis data penelitiannya. 1. Paradigma Penelitian Paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah paradigma kritis. Dasarnya adalah karena iklan politik merupakan fenomena komunikasi yang di dalamnya mengindikasikan adanya relasi kuasa melalui bahasa (verbal dan visual), dimana pengiklan berusaha untuk mempengaruhi atau mengubah kesadaran, pengetahuan, sikap, dan perilaku dari khalayak sasaran dengan cara yang menguntungkan mereka untuk tujuan dan kepentingan politik, ekonomi atau idiologi tertentu. Atau untuk mempengaruhi cara orang berpikir tentang posisi sosial atau ekonomi tertentu. Iklan dalam hal ini menjadi alat yang digunakan untuk melanggengkan hubungan yang tidak sederajat antara yang “berkuasa” dengan yang “dikuasai”. 2 Pendekatan dan Jenis Penelitian Pendekatan yang digunakan pada penelitian ini adalah pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian yang bersifat deskriptif. Gabungan di antara keduanya sering disebut sebagai penelitian deskriptif kualitatif. Pendekatan kualitatif memfokuskan pada aspek kualitas atau makna dari suatu objek atau fakta yang dijelaskan melalui penggunaan bahasa atau kata-kata, 28 Metodologi berasal dari kata Yunani “metodhologia” yang berarti teknik atau prosedur. Metodologi merujuk kepada alur pemikiran umum atau menyeluruh (general logic) dan gagasan teoritis (theoretic perspectives) suatu penelitian (Raco 2010: 1). Atau ilmu tentang jenjang-jenjang yang harus dilalui dalam suatu proses penelitian (Adi 2004: 1). Bailey menggambarkan metode dan metodologi sebagai berikut :”By method we simply mean the research technique or tool used to gather data…By methodology we mean the philosophy of the research process (Bailey 1978: 32). Dengan demikian metodologi lebih merujuk pada filosofi proses penelitian, sedangkan metode menunjuk pada teknik yang digunakan dalam penelitian seperti survey, eksperimen dan sebagainya. 47 bukan dalam bentuk bilangan, angka, nilai, peringkat atau frekuensi. Creswell menggambarkan pendekatan kualitatif sebagai ”…is one in which the inquirer often makes knowledge claims based primarily on constructivist perspectives (i.e. the multiple meanings of individual experiences, meanings socially and historically constructed, with an intent of developing a theory or pattern) or advocacy/participatory perspectives (i.e. political, issue-oriented, collaborative or change oriented) or both” (Creswell 2003: 18). Sedangkan penelitian deskriptif yang dimaksudkan di sini adalah “research focused on providing an accurate description or picture of the status or characteristics of a situation or phenomenom” (Johnson & Larry 2012: 366). Titik tekan pada penelitian diskriptif adalah memberikan gambaran yang akurat tentang suatu objek, fenomena, situasi atau fakta tertentu. Jadi tidak dimaksudkan untuk menerangkan hubungan sebab akibat ataupun pengaruh dari objek, fenomena, situasi atau fakta tertentu. Dengan demikian penelitian deskriptif kualitatif dimaksudkan untuk memberikan gambaran/penjelasan dengan mendiskripsikan ataupun menguraikan objek/fakta yang diteliti melalui uraian-uraian yang bersifat kualitatif sebagai jawaban terhadap permasalahan yang diteliti. Oleh karenanya diperlukan kedalaman pemahaman terhadap sifat/ciri/karakteristik dari objek yang diteliti agar diketahui apa, mengapa dan bagaimana sifat/ciri atau karakter dari objek yang diteliti. 3 Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah metode Analisis Wacana Kritis (Critical Discourse Analysis/CDA). Digunakannya Critical Disscourse Analysis (CDA) sebagai metode pada penelitian ini karena praktek kebahasaan dalam iklan politik merupakan praktek kebahasaan yang terstruktur, dominan, hegemonik, dan diterministik yang diupayakan sedemikian rupa oleh pengiklan untuk tujuan terciptanya sebuah struktur kesadaran, pengalaman dan pengetahuan yang dirasakan sama oleh khalayak sasarannya. Model analisis CDA yang digunakan merupakan kombinasi antara model analisis wacana kritis dari Teun A. Van Dijk dan analisis wacana multimodal (Multimodal Discourse Analysis) dari Halliday dan Hassan, yakni dengan menggabungkan kedua model analisis yang ada sehingga didapatkan komponen analisis yang terdiri atas komponen visual, komponen verbal, komponen kognisi sosial, dan komponen konteks sosial. Level analisis dari 48 masing-masing komponen analisis ini mencakup pada struktur visual, struktur verbal, struktur kognisi sosial, dan struktur konteks sosial. Pada masing-masing level analisis dijabarkan unit analisisnya sebagai berikut : Pada struktur visual komponen unit analisisnya terdiri atas Lead, Display dan Emblem. Lead merupakan gambar yang paling menonjol yang menjadi fokus utama yang menarik perhatian penonton. Lead dalam hal ini dibedakan menjadi dua yakni lead utama (Locus of Attention/LoA) lead pelengkap (Complementary Locus of Attention/Comp. LoA). Display merupakan komponen visual yang menunjukkan karakteristik dari lead dalam dua kategori ; Explisit – Implicit; dan Congruent – Incongruent. Display eksplisit berfungsi menggambarkan produk secara nyata; display implisit berfungsi merealisasikan bentuk produk ataupun jasa yang tidak nyata menjadi nyata melalui medium lain; display kongruen berfungsi untuk merealisasikan produk tanpa melalui simbolisasi; dan display inkongruen berfungsi merealisasikan produk melalui simbolisasi. Emblem merupakan komponen visual yang ketiga dalam iklan yang merujuk pada logo atau merek sebuah produk atau perusahaan yang berfungsi sebagai identitas atau penanda dari produk atau perusahaan itu sendiri. Pada struktur verbal yang merupakan struktur wacana, dibedakan atas tiga sub struktur yang terdiri dari struktur makro, superstruktur dan struktur mikro. Masing-masing unit analisisnya adalah sebagai berikut : 1) Struktur makro dengan tema sebagai unit analisisnya. Struktur makro merupakan makna umum dari teks yang dilihat dari tema atau topik yang dikemukakan. Tema atau topik ini berisi gagasan inti yang menjadi konsep dominan, sentral dan paling penting dalam teks. Gagasan inti yang menjadi wacana dalam iklan tidak hanya melibatkan teks, karena wacana dalam iklan terdiri dari teks dan konteks yang ditanggapi secara menyatu oleh orang yang melihat iklan tersebut. Konteks merupakan keseluruhan aspek yang melingkupi sebuah teks yang komponen-komponennya terdiri dari : Substansi (Substance), Musik dan gambar (Music and pictures), Parabahasa (Paralanguage), Situasi (Situation), Ko-teks (Cotext), Interteks (Intertext), Partisipan (Participants), dan Fungsi (Function). 49 2) Superstruktur dengan Announcemen, Enhancer, Tag, Emblem, Call and Visit Information sebagai unit analisisnya. Announcement merupakan komponen terpenting dalam sebuah teks iklan. Berfungsi sebagai penarik atau penangkap pandang dan membawa esensi makna yang dimiliki pesan iklan. Primary announcement merupakan malumat (pesan) utama yang biasanya ditampilkan dengan huruf kapital dengan ukuran (font) huruf yang besar dan skala yang berbeda dengan bagian linguistik lainnya dalam teks. Secondary Announcement merupakan pesan pendukung yang sifatnya melengkapi pesan utama dalam Primary announcemen, yang biasanya ditampilkan dengan huruf biasa yang ukurannya lebih kecil dari ukuran huruf yang digunakan pada Primary announcement. Dalam struktur kreatif iklan, Primary announcement ini merupakan headline dan Secondary Announcement merupakan sub headline. Enhancer yang merupakan keterangan detil dari pesan utama yang terdapat pada Primary announcement berkedudukan sebagai bodycopy. Hal ini dicirikan dari typology hurufnya yang menggunakan font huruf yang lebih kecil dibandingkan dengan font huruf yang digunakan pada Enhancer terdiri dari komponenkomponen linguistik yang biasanya berbentuk paragraph, menjelaskan hubungan-hubungan antar klausa dan membangun atau memoodifikasi makna yang berasal dari interaksi antara lead dengan announcement. Tag merupakan phrase tambahan atau klausa yang memberikan keterangan/penjelasan atau omentar singkat dari sebuah objek visual pada iklan, yang pada elemen kreatif disebut dengan banner. Biasanya dicetak dalam bentuk tulisan kecil yang tidak menonjol. Emblem lingusitik merupakan komponen linguistik yang menyertai emblem visual yang merupakan logo type. Call-and-Visit Information adalah komponen linguistik yang berupa kontak informasi dimana pembaca iklan dapat melakukan kontak kepada perusahaan untuk mendapatkan produk yang diiklankan. 3) Struktur mikro dengan semantik, sintaksis, stalistik, retoris sebagai unit analisisnya. 50 Unsur semantik merupakan makna lokal (local meaning), yakni makna yang muncul dari kata, klausa, kalimat, dan paragraf, serta hubungan di antara mereka, seperti hubungan antarkata, hubungan antarklausa, antarkalimat, dan antar paragraf yang membangun satu kesatuan makna dalam satu kesatuan teks. Unsur semantik terdiri dari beberapa elemen yang menyusun bangunan makna secara utuh yakni latar, detail, ilustrasi, maksud, pengandaian, dan penalaran. Unsur sintaksis Merupakan salah satu elemen yang membantu pembuat teks untuk memanipulasi keadaan dengan jalan penekanan secara tematik pada tatanan kalimat. Analisis sintaksis dilakukan dengan melakukan analisis terhadap koherensi, nominalisasi, abstraksi, bentuk kalimat, dan kata ganti yang digunakan dalam kalimat. Unsur stilistik Merupakan unsur style atau ragam tampilan sebuah teks dengan menggunakan bahasa sebagai sarananya. Unsur stalistik yang dianalisis pada iklan ini adalah kata kunci dan pilihan kata (leksikon). Unsur retoris Merupakan unsur gaya penekanan dan interaksi dalam bahasa dalam sebuah teks. Pada struktur kognisi sosial maka unit analisisnya adalah pengetahuan/ kepercayaan sosial yang dibagi bersama oleh pembuat iklan melalui wacana. Pada struktur konteks sosial unit analisisnya adalah berbagai peristiwa yang terjadi di masyarakat dan yang menjadi wacana di masyarakat. 51 Tabel I.4 Integrasi Model Analisis Wacana Kritis Van Dijk dan Analisis Wacana Multimodal Halliday dan Hassan Komponen Analisis Visual Linguistik/ verbal Level Analisis Unit Analisis Visual Struktur visual Struktur verbal Struktur Makro Teks Superstruktur Teks Struktur Mikro Kognisi Sosial Struktur kognisi sosial Konteks Sosial Struktur konteks sosial Teks Elemen Lead Display Emblem Tema (teks dan konteks) Announcement Enhancer Emblem Tag Call and Visit Information Semantik Latar Detail Ilustrasi Maksud Pengandaian Penalaran Sintaksis Koherensi Nominalisasi Abstraksi Bentuk kalimat Kata ganti Stilistik Kata kunci Pilihan kata Retoris Gaya Interaksi Pengetahuan/kepercayaan sosial yang dibagi bersama melalui wacana. Berbagai peristiwa yang terjadi di masyarakat dan yang menjadi wacana di masyarakat. 4 Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian ini teknik atau metode pengumpulan data dilakukan dengan beberapa cara, di antaranya adalah: 52 a. Dokumentasi Karena obyek penelitian dalam penelitian ini adalah iklan politik yang terdapat pada Surat Kabar Harian Kompas masa diselenggarakannya pemilu tahun 1999, maka dengan demikian diperlukan dokumen-dokumen dari iklan-iklan politik yang dimaksud. b. Wawancara mendalam Wawancara mendalam pada penelitian ini dilakukan untuk menggali berbagai informasi mengenai bagaimana proses kreatif pembuatan iklan sehingga melahirkan wacana tertentu yang diusung dalam iklan. Penulisan teks akan sangat dipengaruhi oleh kesadaran mental penulis dan pemahamaannya atas peristiwa tertentu. Dalam kaitannya dengan penelitian ini wawancara mendalam akan dilakukan khususnya pada creative director, art director dan copywriter. c. Studi Pustaka Studi pustaka dilakukan untuk memperkuat analisis wacana pada level konteks sosial sebagai bentuk praksis dinamika kehidupan sosial yang menjadi seting kepercayaan sosial yang diwacanakan. 5 Analisis Data Iklan politik yang telah dipilih dianalisis melalui enam tahapan analisis dengan urutan tahapan sebagai berikut: a. Tahap pertama adalah analisis terhadap struktur kreatif iklan, mencakup elemen teks dan visual dengan unit-unit yang dianalisis terdiri atas ide naskah, daya tarik naskah, format naskah, struktur naskah, gaya naskah, dan ilustrasi iklan. b. Tahap kedua adalah analisis pada struktur visual iklan yang terdiri lead, display dan emblem. c. Tahap ketiga adalah analisis struktur verbal, mencakup struktur makro, superstruktur, dan struktur mikro dengan unit-unit yang dianalisis terdiri atas tema, skema, semantik, sintaksis, stilistik, retoris. d. Tahap keempat adalah analisis kognisi sosial, mencakup analisis terhadap pemahaman kreator iklan terhadap berbagai situasi yang menginspirasinya yang diyakininya sebagai kepercayaan sosial yang harus dibagi bersama dalam kehidupan sosial melalui iklan yang dibuatnya. 53 e. Tahap kelima adalah analisis konteks sosial, mencakup analisis terhadap berbagai situasi dan kondisi dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat yang menjadi pengetahuan bersama yang menjadi konteks dalam sebuah wacana. f. Tahap keenam adalah analisis idiologi yang terdapat dalam iklan politik, mencakup substansi dari keseluruhan pemaknaan yang ada dalam wacana iklan politik yang diteliti. Data-data hasil tahapan analisis kemudian diproses dengan melalui tiga alur analisis yang dilakukan secara bersamaan yakni reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan (Miles & Huberman 1992: 16). Reduksi data merupakan kegiatan pemilihan, penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data “kasar” terhadap catatan-catatan tertulis di lapangan. Hal ini dilakukan melalui penseleksian yang dilakukan secara ketat terhadap data-data lapangan dan menggolongkannya dalam satu pola yang lebih luas, dan disusun dalam sebuah susunan yang sistimatis sesuai dengan kebutuhan penelitian. Setelah dilakukan kategorisasi, data-data penelitian kemudian disajikan dalam bentuk penyajian data yang tersusun secara rapi dan sistimatis dengan berbagai bentuk penyajian (bagan ataupun ringkasan) yang memudahkan bagi peneliti untuk melakukan analisis dan penarikan kesimpulannya. Yang terpenting disini adalah menyusun data yang relevan dan memiliki alur pikir yang jelas sehingga menjadi informasi yang dapat disimpulkan dan memiliki makna tertentu yang dapat ditindaklanjuti untuk mencapai tujuan penelitian. Prosesi akhir dari analisis data adalah penarikan kesimpulan setelah sebelumnya dilakukan interpretasi terhadap data-data yang telah disusun yang disesuaikan dengan tujuan penelitiannya. Penarikan kesimpulan ini merupakan konfigurasi yang utuh yang diverifikasi selama berlangsungnya penelitian dengan merujuk kembali pada catatan-catatan lapangan yang telah disusun selama penelitian berlangsung. 6. Definisi Operasional Fokus penelitian ini secara substantif berkisar di tiga area analisis wacana yakni apa yang diwacanakan, bagaimana mewacanakannya, serta idiologi apa yang terdapat di balik wacana. Untuk mengurai tiga area analisis wacana pada penelitian ini dilakukan enam tahapan analisis sebagaimana telah dikemukakan pada poin analisis data di atas. Masingmasing tahapan analisis dioperasionalkan sebagai berikut: 54 a. Analisis struktur kreatif iklan adalah analisis terhadap komponen-komponen kreatif iklan sebagai sebuah kesatuan yang membentuk pengertian dalam teks yang diwacanakan. Dilihat dari komponen-komponen kreatif dalam struktur iklan yang terdiri dari : Ide naskah, Daya tarik naskah, Format naskah, Struktur naskah, Gaya naskah, Ilustrasi/visualisasi. b. Analisis struktur visual adalah analisis terhadap elemen-elemen visual sebagai unsur pembentuk wacana dalam iklan yang dilihat dari lead, display dan emblem. c. Analisis struktur wacana adalah analisis terhadap praktek kebahasaan yang digunakan dalam ujaran tertulis teks iklan. Analisis struktur wacana pada teks iklan dlihat dari : Struktur makro (tematik), yakni struktur utama dari teks yang merupakan arus utama dari keseluruhan pemikiran yang ada dalam teks yang menjadi inti wacana, dilihat dari koherensi pada keseluruhan pemikiran yang ada pada teks dikombinasikan dengan konteks yang menyertainya yang terdiri atas : Substansi (Substance), Musik dan gambar (Music and pictures), Parabahasa (Paralanguage), Situasi (Situation), Ko-teks (Co-text), Interteks (Intertext), Partisipan (Participants), dan Fungsi (Function). Super struktur (skematik), yakni komponen-komponen yang membangun struktur teks yang dalam iklan secara garis besarnya dilihat dari : Announcement, Enhancer, Emblem, Tag, dan Call and Visit Information. Struktur mikro, yakni unsur-unsur bahasa (linguistik) yang digunakan dalam membangun pemaknaan dalam konstruksi wacana yang dalam hal ini dilihat dari unsur semantik, unsur sintaksis, unsur stilistik, dan unsur retoris. a. Unsur semantik terdiri atas : Latar, Detail, Ilustrasi, Maksud,Pengandaian, Penalaran b. Unsur sintaksis terdiri atas : Koherensi, Nominalisasi, Abstraksi, Bentuk kalimat, Kata ganti. c. Unsur stilistik terdiri atas : Kata kunci, Pilihan kata. d. Unsur retoris terdiri atas : Gaya, Interaksi. d. Analisis kognisi sosial adalah analisis terhadap struktur pengetahuan dari berbagai kondisi kemasyarakatan yang diterima 55 dan dipahami pembuat teks dengan ideosinkretiknya sehingga melatarbelakangi lahirnya sebuah teks dengan wacana tertentu yang terdapat di dalamnya, dilihat dari pengetahuan dan pemahaman pembuat teks tentang berbagai kondisi dan situasi kemasyarakatan yang terjadi pada saat dibuatnya teks. e. Analisis konteks sosial adalah analisis terhadap berbagai situasi dan kondisi kemasyarakatan yang terjadi pada suatu kurun waktu tertentu yang dirasakan sebagai kepercayaan bersama oleh masyarakat, dilihat dari kondisi sosial, ekonomi, politik, budaya, agama dan sebagainya yang menyangkut langsung kehidupan masyarakat. f. Analisis idiologi adalah analisis terhadap substansi yang tersembunyi dalam teks dan wacana dan yang menjadi inti dalam wacana. Analisis idiologi dilakukan dengan melakukan interpretasi terhadap wacana yang ada (ekstraksi wacana) dan dikaitkan secara intertekstualitas dengan tanda-tanda verbal dan tanda-tanda visual dalam iklan sehingga diperoleh inti wacana (ekstrak) yang disebut sebagai idiologi. 56