BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
LATAR BELAKANG MASALAH
Istilah pembangunan bisa saja diartikan berbeda oleh masing-masing orang, daerah
satu dengan lainnya maupun negara satu dengan negara lainnya. Penting bagi kita untuk
dapat memiliki definisi yang sama dalam mengartikan pembangunan. Secara tradisional
pembangunan memiliki arti peningkatan yang terus-menerus pada Gross Domestic Product
(GDP) atau Produk Domestik Bruto (PDB) suatu negara. Untuk daerah, makna pembangunan
yang tradisional difokuskan pada PDRB atau PDRB per kapita suatu provinsi, kota/
kabupaten atau bahkan kecamatan.
Tujuan pembangunan tidak hanya meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan
peningkatan pendapatan per kapita. Tujuan pembangunan harus memperhatikan proses
pemerataan atau distribusi nilai tambah tertentu dalam kegiatan ekonomi di suatu wilayah
(Kuncoro, 2011). Kesenjangan atau ketimpangan daerah merupakan konsekuensi logis
pembangunan dan merupakan suatu tahap perubahan dalam pembangunan itu sendiri.
Sutarno dan Kuncoro (2003) melihat tentang Pertumbuhan Ekonomi dan
Ketimpangan antar kecamatan di Kabupaten Banyumas, yang mana menunjukkan
pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan antar kecamatan diklasifikasikan berdasarkan
pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita yang dikelompokkan menjadi empat, yaitu
(i) daerah cepat maju & tumbuh, (ii) daerah maju tetapi tertekan, (iii) daerah berkembang
cepat, dan (iv) daerah tertinggal.
Berdasarkan peringkat PDRB per kapita provinsi di Indonesia pada tahun 2010,
Kalimantan Timur, DKI Jakarta, Riau, dan Kepulauan Riau merupakan provinsi yang
mempunyai PDRB per kapita dengan jumlah yang sangat tinggi yaitu di atas Rp 40 juta.
Sedangkan Maluku Utara, Maluku, Nusa Tenggara Timur, dan Gorontalo merupakan
provinsi yang memiliki PDRB per kapita rendah yaitu di bawah Rp 10 juta (lihat Gambar 1.1
1
di bawah). Gambar tersebut menunjukkan peringkat PDRB per kapita provinsi pada tahun
2010.
Gambar 1.1 Peringkat PDRB per kapita Provinsi di Indonesia, tahun 2010
Kalimantan Timur
DKI Jakarta
Riau
Kep. Riau
Papua Barat
Papua
Bangka Belitung
Sumatera Selatan
Jawa Timur
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Aceh
Bali
Jambi
Jawa Barat
Kalimantan Tengah
Kalimantan Selatan
Sulawesi Utara
Banten
Sulawesi Tengah
Lampung
Jawa Tengah
D.I. Yogyakarta
Sulawesi Selatan
Kalimantan Barat
Sulawesi Tenggara
Sulawesi Barat
NTB
Bengkulu
Gorontalo
NTT
Maluku
Maluku Utara
0.00
20,000,000.00 40,000,000.00 60,000,000.00 80,000,000.00 100,000,000.00 120,000,000.00
Sumber: diolah dari BPS (2012)
2
Sebagai ibukota Indonesia, pendapatan per kapita DKI Jakarta didampingi
Kalimantan Timur, Riau, dan Kepulauan Riau jauh di atas rata-rata pendapatan per kapita
Indonesia pada tahun 2010 yaitu Rp 22.837.644,82. Hal ini terlihat dari pendapatan per kapita
Kalimantan Timur sebesar Rp 100.878.997,05, DKI Jakarta sebesar Rp 95.997.385,54, Riau
sebesar Rp 46.276.985,27, dan Kepulauan Riau sebesar Rp 42.648.935,40 pada tahun 2010,
sedangkan rata-rata pada tahun 2010 menunjukkan nominal sebesar Rp 22.837.644,82.
Maluku Utara, Maluku, Nusa Tenggara Timur, dan Gorontalo merupakan provinsi-provinsi
dengan tingkat pendapatan per kapita terendah yang masing-masingnya hanya mencapai Rp
5.559.391,44, Rp 5.903.904,95, Rp 5.923.859,32, dan Rp 8.883.573,62 pada tahun 2010.
Kestabilan pertumbuhan domestik justru tercermin dari perekonomian provinsiprovinsi di Sulawesi. Perlambatan yang lebih tinggi dibandingkan perlambatan nasional
menimpa Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat. Sulawesi Utara bahkan tumbuh sedikit lebih
tinggi dibanding tahun 2008. Provinsi ini menjadi satu dari lima provinsi yang
pertumbuhannya lebih baik dibanding tahun 2008. Di ujung timur Indonesia, Papua
mencatatkan akselerasi pertumbuhan yang amat signifikan didorong oleh peningkatan ekspor
barang tambang yang me-drive perekonomian provinsi ini.
Kondisi makro ekonomi tiga puluh tiga provinsi di Indonesia dapat dijelaskan oleh
kondisi PDRB per kapita provinsi seperti pada Tabel 1.1 di bawah ini. Rata-rata pertumbuhan
ekonomi selama lima tahun terakhir yang paling tinggi adalah Papua Barat yaitu 0,45 persen,
kemudian diikuti Jambi dan Lampung yang sama-sama sebesar 0,20 persen, Sulawesi Selatan
sebesar 0,17 persen, serta Sumatera Utara dan Bangka Belitung yang sama-sama sebesar 0,15
persen. Sedangkan rata-rata pertumbuhan yang paling rendah adalah Kepulauan Riau yaitu
0,01 persen, diikuti Sulawesi Barat sebesar 0,06 persen, Sulawesi Tenggara dan Nangroe
Aceh Darussalam yang sama-sama sebesar 0,08 persen, dan Daerah Istimewa Yogyakarta
sebesar 0,09 persen.
3
Tabel 1.1 Laju Pertumbuhan PDRB per kapita menurut Provinsi, 2008-2012 (dalam
persen)
Provinsi
2008
0.03
Aceh
0.16
Sumatera Utara
0.18
Sumatera Barat
0.26
Riau
0.26
Jambi
0.20
Sumatera Selatan
0.14
Bengkulu
0.19
Lampung
0.18
Bangka Belitung
0.08
Kep. Riau
Sumatera (rata-rata)
0.17
0.19
DKI Jakarta
0.18
Jawa Barat
0.17
Jawa Tengah
0.15
DI Yogyakarta
0.15
Jawa Timur
0.11
Banten
0.17
Bali
Jawa & Bali (rata-rata) 0.16
0.11
Kalimantan Barat
0.14
Kalimantan Tengah
0.14
Kalimantan Selatan
0.38
Kalimantan Timur
Kalimantan (rata-rata) 0.19
0.18
Sulawesi Utara
0.21
Sulawesi Tengah
0.22
Sulawesi Selatan
0.21
Sulawesi Tenggara
0.23
Gorontalo
0.12
Sulawesi Barat
Sulawesi (rata-rata)
0.19
0.04
NTB
0.11
NTT
0.08
Maluku
-0.12
Maluku Utara
0.32
Papua Barat
0.09
Papua
NTMP (rata-rata)
0.09
Rata-rata INDONESIA 0.16
2009 2010 2011 2012 Rata-rata 2008-2012
-0.02 0.08 0.09 0.13
0.06
0.09 0.15 0.13 0.10
0.13
0.08 0.13 0.13 0.10
0.12
0.03 0.12 0.15 0.05
0.12
0.06 0.20 0.16 0.11
0.16
0.01 0.13 0.14 0.12
0.12
0.08 0.11 0.12 0.12
0.11
0.19 0.20 0.16 0.12
0.17
0.06 0.15 0.12 0.11
0.12
0.05 0.01 0.01 0.05
0.04
0.06 0.13 0.12 0.10
0.12
0.11 0.13 0.13 0.12
0.14
0.07 0.10 0.10 0.08
0.11
0.08 0.11 0.12 0.11
0.12
0.08 0.09 0.13 0.13
0.11
0.10 0.13 0.13 0.13
0.13
0.06 0.10 0.09 0.08
0.09
0.15 0.10 0.09 0.12
0.12
0.09 0.11 0.11 0.11
0.12
0.09 0.10 0.09 0.10
0.10
0.11 0.12 0.12 0.11
0.12
0.11 0.14 0.12 0.10
0.12
-0.12 0.10 0.18 0.10
0.13
0.05 0.11 0.13 0.10
0.12
0.14 0.10 0.12 0.12
0.13
0.11 0.13 0.17 0.13
0.15
0.16 0.17 0.15 0.15
0.17
0.13 0.08 0.10 0.09
0.12
0.19 0.13 0.13 0.20
0.18
0.15 0.06 0.08 0.09
0.10
0.15 0.11 0.13 0.13
0.14
0.23 0.11 -0.04 0.15
0.10
0.10 0.13 0.09 0.11
0.11
0.11 0.13 0.17 0.27
0.15
-0.15 0.14 0.10 0.13
0.02
0.27 0.45 0.22 0.15
0.28
0.22 0.12 -0.15 0.00
0.06
0.13 0.18 0.06 0.13
0.12
0.09 0.13 0.11 0.11
0.12
Keterangan: NTMP = Nusa Tenggara – Maluku – Papua
Sumber: BPS (2012) diolah
4
Secara umum pertumbuhan ekonomi tiga puluh tiga provinsi di Indonesia
menunjukkan dampak yang positif dan cukup signifikan. Perbedaan pengelolaan dan
pengembangan antar sektoral di masing-masing provinsi menjadi salah satu alasan yang
menimbulkan perbedaan tingkat PDRB per kapita yang terjadi di antara provinsi-provinsi di
Indonesia, sehingga menyebabkan tren yang berbeda-beda yang dilihat dari rata-rata
pertumbuhan dalam beberapa tahun.
Secara terperinci dari Tabel 1.1 di atas terlihat bahwa dalam kurun waktu lima tahun
terakhir (2008-2012) rata-rata PDRB per kapita tumbuh sebesar 0,12 persen dengan
pertumbuhan tertinggi pada tahun 2008 sebesar 0,16 persen dan pertumbuhan terrendah pada
tahun 2009 sebesar 0,09 persen.
Pada tahun 2012 kinerja perekonomian di sebagian besar provinsi yang digambarkan
dengan laju pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita mengalami
sedikit perlambatan dibandingkan dengan pertumbuhan tahun 2008 (lihat Tabel 1.1 di atas).
Perlambatan pertumbuhan terjadi di sebagian besar provinsi-provinsi yang memiliki
kontribusi besar terhadap pertumbuhan ekonomi nasional seperti DKI Jakarta, Jawa Barat,
Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sumatera Utara. Bahkan terdapat empat provinsi yang
mengalami pertumbuhan ekonomi negatif, yaitu Nangroe Aceh Darussalam (NAD),
Kalimantan Timur, Maluku Utara, dan Papua. Perlambatan perekonomian yang terjadi di
sebagian besar provinsi menyebabkan pertumbuhan ekonomi secara nasional ikut melambat.
Perbedaan struktur ekonomi yang mendorong disparitas pertumbuhan ekonomi antar
daerah menemui bentuknya pada kondisi perekonomian regional pada tahun 2009.
Perlambatan pertumbuhan yang terjadi di sebagian besar provinsi-provinsi yang memiliki
kontribusi besar terhadap pertumbuhan ekonomi nasional, seperti DKI Jakarta, Jawa Barat,
Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sumatera Utara menyebabkan pertumbuhan ekonomi secara
nasional ikut melambat.
5
Pada tahun 2009 kondisi perlambatan serupa juga masih terjadi. Peran ekspor barang
tambang yang mendorong perekonomian nasional terdistribusi pada daerah-daerah
penyumbang barang tambang. Daerah-daerah ini cenderung berada pada posisi yang lebih
baik dalam perekonomian nasional, sementara daerah lainnya cenderung melemah sebagai
bagian dari dampak perekonomian nasional yang terimbas faktor eksternal.
Pertumbuhan PDRB per kapita Sumatera pada tahun 2012 cenderung berada sedikit di
bawah pertumbuhan ekonomi nasional (0,11%) dibanding tahun 2008. Provinsi-provinsi di
Pulau Jawa, meskipun perekonomiannya melambat, tetapi masih sedikit di atas bahkan
hampir menyamai pertumbuhan nasional (0,11%). Pertumbuhan ekonomi wilayah
Kalimantan pada tahun 2012 turun hampir dua kali lebih rendah dibanding pertumbuhan pada
tahun 2008 (0,10% pada tahun 2012, 0,19% pada tahun 2008), kondisi ini dipicu oleh
penurunan pertumbuhan ekonomi Kalimantan Timur.
Namun muncul kemudian alternatif definisi pembangunan ekonomi yang lebih
menekankan pada peningkatan per capita income (pendapatan per kapita). Definisi ini lebih
menekankan pada kemampuan suatu negara untuk meningkatkan output yang dapat melebihi
tingkat pertumbuhan penduduk. Definisi pembangunan tradisional sering dikaitkan dengan
sebuah strategi mengubah struktur suatu negara atau sering kita kenal dengan industrialisasi.
Kontribusi pertanian mulai digantikan dengan kontribusi industri.
Gambar 1.2 Pertumbuhan PDRB per kapita menurut Provinsi, 2002-2012
Rupiah
60,000,000.00
Aceh
50,000,000.00
Sumatera Utara
40,000,000.00
Sumatera Barat
30,000,000.00
Riau
Jambi
20,000,000.00
Sumatera Selatan
10,000,000.00
Bengkulu
0.00
2000 2002 2004 2006 2008 2010 2012 2014
Tahun
Lampung
Bangka Belitung
Kep. Riau
6
140,000,000.00
120,000,000.00
Rupiah
100,000,000.00
80,000,000.00
DKI Jakarta
Jawa Barat
Jawa Tengah
60,000,000.00
40,000,000.00
20,000,000.00
D.I. Yogyakarta
Jawa Timur
Banten
Bali
0.00
2000 2002 2004 2006 2008 2010 2012 2014
Tahun
140,000,000.00
120,000,000.00
Rupiah
100,000,000.00
80,000,000.00
Kalimantan Barat
60,000,000.00
Kalimantan Tengah
Kalimantan Selatan
40,000,000.00
Kalimantan Timur
20,000,000.00
0.00
2000 2002 2004 2006 2008 2010 2012 2014
Tahun
25,000,000.00
20,000,000.00
Rupiah
Sulawesi Utara
15,000,000.00
10,000,000.00
5,000,000.00
Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tenggara
Gorontalo
Sulawesi Barat
0.00
2000 2002 2004 2006 2008 2010 2012 2014
Tahun
7
60,000,000.00
50,000,000.00
Rupiah
40,000,000.00
30,000,000.00
20,000,000.00
NTB
NTT
Maluku
Maluku Utara
Papua Barat
10,000,000.00
Papua
0.00
2000 2002 2004 2006 2008 2010 2012 2014
Tahun
Sumber: BPS (2012)
Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses di mana pemerintah daerah dan
seluruh komponen masyarakat mengelola berbagai sumber daya yang ada dan membentuk
suatu pola kemitraan untuk menciptakan suatu lapangan pekerjaan baru dan merangsang
perkembangan kegiatan ekonomi di dalam daerah tersebut (L. Arsyad, 1999; Blakely, E.J.,
1989). Tolak ukur keberhasilan pembangunan dapat dilihat dari pertumbuhan ekonomi,
struktur ekonomi, dan semakin kecilnya ketimpangan pendapatan antar penduduk, antar
daerah, dan antar sektor.
Masalah utama dalam distribusi pendapatan adalah terjadinya ketimpangan distribusi
pendapatan. Hal ini bisa terjadi akibat perbedaan produktivitas yang dimiliki oleh setiap
individu di mana satu individu/ kelompok mempunyai produktivitas yang lebih tinggi
dibandingkan individu/ kelompok lainnya, sehingga ketimpangan distribusi pendapatan tidak
hanya terjadi di Indonesia saja tetapi juga terjadi di beberapa negara di dunia. Tidak
meratanya distribusi pendapatan memicu terjadinya ketimpangan pendapatan yang
merupakan awal dari munculnya masalah kemiskinan. Membiarkan kedua masalah tersebut
berlarut-larut akan semakin memperparah keadaan, dan tidak jarang menimbulkan
konsekuensi negatif terhadap kondisi sosisal dan politik.
8
Ketimpangan distribusi pendapatan dan kemiskinan merupakan sebuah realita yang
ada di tengah-tengah masyarakat dunia ini baik di negara maju maupun negara sedang
berkembang. Perbedaannya terletak pada proporsi tingkat ketimpangan dan angka
kemiskinan yang terjadi, serta tingkat kesulitan mengatasinya yang dipengaruhi oleh luas
wilayah dan jumlah penduduk suatu negara.
Tabel 1.2 Jumlah Penduduk Miskin (dalam jiwa) menurut Kawasan,
2002-2012
Keterangan: NTMP = Nusa Tenggara – Maluku – Papua
Sumber: BPS berbagai publikasi
Tabel 1.2 di atas ini menunjukkan bagaimana terjadinya peningkatan jumlah
penduduk miskin sejak tahun 2002, namun kondisi membaik di kala terjadi penurunan jumlah
penduduk miskin di Indonesia sejak tahun 2007. Ketika pertumbuhan ekonomi meningkat
ternyata ketimpangan pendapatan juga meningkat, namun kemiskinan cenderung menurun.
Dengan kata lain, semakin tinggi pertumbuhan memang jumlah dan tingkat kemiskinan
cenderung menurun, namun ketimpangan antara “si kaya” dan “si miskin” cenderung
semakin lebar saat pertumbuhan ekonomi semakin meningkat. Dari Tabel 1.2 di atas dan
Gambar 1.3 di bawah ini tersebut juga tersirat bahwa masyarakat miskin perlahan-lahan
mulai berkurang jumlahnya, hal ini dikarenakan telah ada dukungan dari berbagai pihak
misalnya pemerintah dengan berbagai kebijakan-kebijakannya yang bertujuan untuk
meningkatkan taraf hidup masyarakat miskin salah satunya dengan upaya penyaluran BLT
atau BLSM yang dapat digunakan masyarakat dengan sebaik-baiknya. Hal ini juga
9
mengindikasikan bahwa mulai dirasakannya kue-kue pembangunan nasional serta terjadinya
peningkatan pendapatan per kapita.
Gambar 1.3 Penurunan Jumlah Penduduk Miskin menurut Kawasan, 2002-2012
25,000,000
20,000,000
Sumatera
Jiwa
15,000,000
Jawa & Bali
10,000,000
Kalimantan
Sulawesi
5,000,000
0
2000
NTMP
2002
2004
2006
2008
Tahun
2010
2012
2014
Keterangan: NTMP = Nusa Tenggara – Maluku – Papua
Sumber: BPS (2012)
Distribusi pendapatan nasional yang tidak merata, tidak akan menciptakan
kemakmuran bagi masyarakat secara umum. Sistem distribusi yang tidak pro-poor hanya
akan menciptakan kemakmuran bagi golongan tertentu saja, sehingga ini menjadi isu sangat
penting dalam menyikapi angka kemiskinan hingga saat ini.
Kesenjangan pendapatan adalah sebuah realita yang ada di tengah masyarakat dunia
ini. Di negara berkembang masalah ketimpangan selalu menjadi isu penting, karena adanya
kecenderungan bahwa kebijakan pembangunan yang mengutamakan pertumbuhan ekonomi
telah menimbulkan semakin tingginya tingkat kesenjangan yang terjadi. Hal ini telah
dikemukakan oleh Kuznets (1996) dengan hasil penelitiannya di beberapa negara, demikian
pula dengan Adelman dan Morris (1973), serta Chennery dan Syrquin (1995).
Meningkatnya ketimpangan pendapatan dalam skala dunia secara langsung dan tidak
langsung berkorelasi dengan ketimpangan pendapatan dalam skala regional maupun nasional
10
(antar masyarakat di suatu negara). Semua ini berhulu pada struktur perekonomian dunia
yang secara proporsional bersikap tidak adil terhadap kelompok masyarakat yang tertinggal.
Juga terjadi kolaborasi melalui langkah-langkah transaksional yang sangat tidak berpihak
pada masyarakat tertinggal.
Suatu perekonomian dikatakan mengalami pertumbuhan yang berkembang apabila
tingkat kegiatan ekonominya lebih tinggi daripada apa yang dicapai pada masa sebelumnya.
Pertumbuhan ekonomi adalah proses kenaikan output per kapita dalam jangka panjang. Di
sini, proses mendapat penekanan karena mengandung unsur dinamis. Para teoritikus ilmu
ekonomi pembangunan masa kini masih terus menyempurnakan makna, hakikat, dan konsep
pertumbuhan ekonomi. Para teoritikus tersebut menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi
tidak hanya diukur dengan pertambahan Produk Domestik Bruto (PDB) dan Produk
Domestik Regional Bruto (PDRB) saja, akan tetapi juga diberi bobot yang bersifat
immaterial seperti kenikmatan, kepuasan, dan kebahagiaan dengan rasa aman dan tenteram
yang dirasakan oleh masyakat luas (Arsyad, 1999).
Selain itu masalah ketimpangan ekonomi antar daerah tidak hanya tampak pada
wilayah kecamatan, kota/ kabupaten, atau provinsi, melainkan juga pada antar pulau jawa dan
luar pulau jawa, serta Kawasan Barat Indonesia (KABARIN) dan Kawasan Timur Indonesia
(KATIMIN).
Berbagai
program
yang
dikembangkan
untuk
mengurangi
maupun
menghilangkan ketimpangan antar daerah selama ini ternyata belum mencapai hasil yang
memadai.
Proses akumulasi dan mobilisasi sumber-sumber berupa akumulasi modal,
keterampilan tenaga kerja, dan sumber daya alam yang dimiliki oleh suatu daerah merupakan
pemicu dalam laju pertumbuhan ekonomi wilayah yang bersangkutan. Adanya heterogenitas
dan keberagaman karateristik suatu wilayah menyebabkan kecenderungan terjadinya
ketimpangan antar daerah dan antar sektor ekonomi suatu daerah.
11
Paradigma pembangunan moderen memandang suatu pola yang berbeda dengan
pembangunan tradisional. Beberapa ekonomi moderen mulai mengedepankan dethronement
of GNP (penurunan tahta pertumbuhan ekonomi), pengentasan garis kemiskinan,
pengurangan distribusi pendapatan yang semakin timpang, dan penurunan tingkat
pengangguran yang ada. Teriakan para ekonom ini membawa perubahan dalam paradigma
pembangunan yang mulai menyoroti bahwa pembangunan harus dilihat sebagai suatu proses
yang multidimensional (Kuncoro, 2003).
Pembangunan dalam lingkup negara secara spasial tidak selalu merata. Kesenjangan
antar daerah seringkali menjadi permasalahan yang serius. Beberapa daerah dapat mencapai
pertumbuhan yang signifikan, sementara beberapa daerah lainnya mengalami pertumbuhan
yang lambat. Daerah-daerah yang tidak mengalami kemajuan yang sama disebabkan karena
kurangnya sumber-sumber yang dimiliki; adanya kecenderungan pemilik modal (investor)
memilih daerah perkotaan atau daerah yang memiliki fasilitas seperti prasarana perhubungan,
jaringan listrik, jaringan telekomunikasi, perbankan, asuransi, dan juga tenaga terampil. Di
samping itu juga adanya ketimpangan redistribusi pembagian pendapatan dari pemerintah
pusat atau provinsi kepada daerah seperti provinsi atau kecamatan (Kuncoro, 2004).
Kurva U-Terbalik oleh Simon Kuznets (Todaro, 2000) menjelaskan bahwa di mana
pada tahap-tahap awal pertumbuhan ekonomi ketimpangan memburuk atau membesar dan
pada tahap-tahap berikutnya ketimpangan menurun, namun pada suatu waktu ketimpangan
akan meningkat dan demikian seterusnya sehingga terjadi peristiwa yang berulang kali dan
jika digambarkan akan membentuk kurva U yang terbalik.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui posisi pertumbuhan perekonomian masingmasing daerah atau provinsi di Indonesia berdasarkan pertumbuhan ekonomi dan PDRB
(Produk Domestik Regional Bruto) per kapita serta untuk mengetahui ketimpangan
12
pertumbuhan ekonomi antar provinsi di Indonesia serta untuk membuktikan apakah Hipotesis
Kuznets berlaku di Indonesia.
1.2
PERUMUSAN MASALAH DAN PERTANYAAN PENELITIAN
Kuznets (1955) adalah ekonom pertama yang menunjukkan adanya hubungan antara
ketimpangan pendapatan dan pendapatan per kapita sekaligus memperkenalkan gagasan
tentang hubungan antara ketimpangan dan pembangunan. Hipotesis tersebut menyatakan
bahwa ketimpangan pendapatan awalnya muncul bersamaan dengan pembangunan ekonomi,
tetapi setelah mencapai titik maksimumnya kemudian jatuh pada tahap pembangunan
ekonomi selanjutnya. Oleh karena itu, hubungan antara ketimpangan pendapatan dan
pendapatan rata-rata dinyatakan sebagai PDB per kapita yang memiliki bentuk kurva U yang
terbalik.
Kuznets berpendapat bahwa dalam tahap awal perkembangan, orang kaya
mengumpulkan kekayaan (wealth) lebih banyak daripada orang miskin. Akibatnya, distribusi
pendapatan menjadi kurang merata. Kuznets menunjukkan bahwa pembangunan melibatkan
pergeseran penduduk dari yang tradisional menuju moderen. Proses pergeseran penduduk
dari yang berpartisipasi pada produksi pertanian menuju produksi industri membuat Kuznets
memprediksi perilaku ketimpangan selama pembangunan:
An invariable accompaniment of growth in the developed countries is the shift away
from agriculture, a process usually referred to as an industrialization and
urbanization. The income distribution of the total population, in the simplest model,
may therefore be viewed as a combination of income distributions or the rural and of
the urban populations. What little we know of the structures of two component income
distribution reveals that: (a) the average per capita income of the rural population is
usually lower than that of the urban; (b) inequality in the percentage shares within
the distribution for the rural population is somewhat narrower than in that for the
urban population…… Operating with this simple model, what conclusion do we meet?
First, all other conditions being equal, the increasing weight of urban populations
does not necessarily drift downward in the process of economic growth: indeed, there
is some evidence to suggest that it is stable at best, and tends to widen because per
capita productivity in urban pursuits increases more rapidly than in agriculture. If
this is so, inequality of the total income distribution should increase.” (Kuznets,
1995: 7-8).
13
Namun, Kuznets menyatakan bahwa ketika level pendapatan agregat telah mencapai
tingkat tertentu, tingkat ketimpangan pendapatan mengalami off dan akhirnya berkurang
selama tahap terakhir pembangunan. Hubungan antara distribusi pendapatan dan derajat
pembangunan membentuk sebuah kurva berbentuk U yang terbalik.
Dari latar belakang tersebut dapat diketahui bahwa pertumbuhan ekonomi dapat
dilihat dari jumlah Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) PDRB per kapita, jumlah
penduduk, indeks gini, tenaga kerja & pengangguran, pendapatan nasional, dan tingkat
kemiskinan. Besarnya nilai PDRB merupakan gambaran perkembangan atau kemajuan
kegiatan ekonomi penduduk yang bekerja, yang sekaligus merupakan jumlah seluruh nilai
tambah (produk) yang ditimbulkan dari berbagai sektor/ lapangan kerja penduduk.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian
ini, yaitu:
1.
Bagaimanakah tren ketimpangan PDRB per kapita masing-masing provinsi di
Indonesia selama 2002-2012?
2.
Apakah ada perbedaan ketimpangan PDRB per kapita selama 2002-2012 berdasarkan
Indeks Williamson, Indeks Entropi Theil, dan Konvergensi Sigma/ Koefisien Variasi?
3.
Apakah Hipotesis Kuznets (Kurva U-terbalik) berlaku di Indonesia selama 20022012?
1.3
TUJUAN PENELITIAN
Sesuai dengan permasalahan penelitian yang telah disebutkan di atas, dan dengan
melakukan pembatasan-pembatasan tertentu, maka tujuan penelitian ini dirumuskan sebagai
berikut:
1.
Untuk mengetahui besarnya tingkat pertumbuhan perekonomian masing-masing
provinsi di Indonesia.
14
2.
Untuk mengetahui besarnya tingkat ketimpangan pendapatan masing-masing provinsi
di Indonesia.
3.
Untuk mengetahui apakah Hipotesis Kuznets berlaku di Indonesia.
1.4
MANFAAT PENELITIAN
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat untuk:
1.
Sebagai bahan informasi dan pertimbangan untuk perencanaan pembangunan
ekonomi sekaligus untuk memperkecil ketimpangan pendapatan di berbagai provinsi
di Indonesia.
2.
Sebagai bahan referensi bagi peneliti yang terkait dengan pembangunan dan
perencanaan ekonomi daerah.
1.5
SISTEMATIKA PENULISAN
Penelitian ini terdiri dari enam bagian, dengan susunan atau sistematika penulisan
sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Pendahuluan menjelaskan latar belakang permasalahan, pertanyaan penelitian, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II LANDASAN TEORI
Survei literatur menjelaskan teori yang mendasari penelitian ini, dilengkapi dengan studi
empiris yang menjelaskan hasil temuan penelitian sebelumnya.
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
Pada bab ini akan dijelaskan metodologi penelitian yang akan digunakan dalam penelitian.
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
Bab IV menjelaskan hasil temuan penelitian. Hasil temuan penelitian adalah jawaban atas
seluruh pertanyaan penelitian yang telah disebutkan di Bab I.
15
BAB V KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
Bab ini berisi kesimpulan dan implikasi kebijakan yang disarikan dari hasil penelitian.
16
Download