rekonstruksi solidaritas sosial berbasis

advertisement
V
KONSTRUKSI11 SOSIAL KUASA PENGETAHUAN ZAKAT
5.1.
Pendahuluan
Fenomena berzakat merupakan realitas kehidupan sehari-hari yang
menyimpan dan menyediakan kenyataan, bekerjanya pengetahuan yang
membimbing perilaku. Berzakat menampilkan realitas obyektif yang ditafsirkan
oleh individu, atau memiliki makna-makna subyektif. Tindakan berzakat
merupakan suatu dunia yang berasal dari pikiran-pikiran dan menjelma dalam
realitas tindakan-tindakan individu yang dipelihara sebagai ‘yang nyata‘ oleh
pikiran dan tindakan. Dasar-dasar pengetahuan tersebut diperoleh melalui
sosialisasi (internalisasi) secara subyektif yang membentuk dunia akal-sehat
intersubyektif (Berger dan Luchmann, 1990) sebagai pengetahuan yang dimiliki
bersama oleh individu dengan individu-individu lainnya.
Berzakat sebagai realitas obyektif melalui proses pelembagaan di
dalamnya.
Proses
pelembagaan
(institusionalisasi)
berawal
dari
proses
eksternalisasi yang berulang-ulang dan difahami bersama yang menghasilkan
pembiasaan (habitualisasi). Habitualisasi yang telah berlangsung memunculkan
pengendapan dan tradisi. Pengendapan dan tradisi ini diwariskan ke generasi
sesudahnya melalui bahasa dalam sosialisasi dalam momen internalisasi.
Disinilah terdapat peranan dalam tatanan kelembagaan, termasuk dalam
kaitannya dengan pentradisian pengalaman dan pewarisan pengalaman.
Tradisi berzakat sebagai realitas obyektif, menyiratkan keterlibatan
legitimasi. Legitimasi merupakan pelembagaan dalam momen obyektivasi
makna, dan merupakan pengetahuan yang berdimensi kognitif dan normatif.
Legitimasi berfungsi membuat lembaga atau pelembagaan menjadi masuk akal
secara subyektif dan dipatuhi. Sebuah universum simbolik sangat diperlukan
disini dalam menyediakan legitimasi utama bagi keteraturan pelembagaan.
Universum simbolik menduduki hierarki yang tinggi, dan mentasbihkkan bahwa
semua realitas adalah bermakna bagi individu dan harus melakukan sesuai
11
Konstruksi yang dimaksud adalah aktivitas masyarakat sehari-hari ketika
menceritakan, menggambarkan, mendeskripsikan peristiwa, keadaan, atau pun benda,
konsep ini diperkenalkan oleh sosiolog interperatif, Peter L. Berger dan Thomas Luckman
(Berger dan Thomas Luckmann,1990).
115
dengan makna itu. Agar individu mematuhi makna itu, maka organisasi sosial
diperlukan, sebagai pemelihara universum simbolik. Organisasi sosial dibuat
sedemikian rupa agar sesuai dengan universum simbolik (teori/legitimasi).
Manusia tidak menerima begitu saja legitimasi, bahkan pada situasi tertentu
ketika universum simbolik yang lama tak lagi dipercaya dan kemudian
ditinggalkan, lalu manusia melalui organisasi sosial, membangun universum
simbolik yang baru secara dialektik. Proses ini berlangsung terus menerus, dan
berdampak pada perubahan sosial.
Tradisi berzakat sebagai kenyataan subyektif menyiratkan bahwa zakat
ditafsir secara subyektif oleh individu. Sosialisasi sebagai bagian dari momen
internalisasi merupakan proses menerima gagasan dan menafsir (Samuel,
1993). Internalisasi berlangsung seumur hidup dengan melibatkan sosialisasi,
merupakan proses penerimaan definisi-definisi situasi yang disampaikan orang
lain tentang dunia institusional. Dengan diterimanya definisi-definisi tersebut,
individupun bukan hanya mampu memahami definisi orang lain, tetapi lebih dari
itu, turut mengkonstruksi definisi bersama. Dalam proses mengkonstruksi inilah,
individu berperan aktif sebagai pembentuk, pemelihara, sekaligus perubah
realitas. Kekuatan rezim pengetahuan dan kekuasaan memegang kuasa
mengarahkan momen internalisasi dalam proses sosialisasi. Rezim pengetahuan
memiliki peluang yang besar untuk mewarnai definisi-definisi yang akan
terbangun dan lebih jauh akan membentuk tindakan sebagai wujud objektif dari
realitas subjektif dan pada saat sama kekuasaan berperan mengokohkan rezim
pengetahuan dengan menggunakan instrument pendisiplinan untuk menormalisir
tubuh dan tindakan melalui institusi dan aparat sebagai central wacana dan
kebenaran yang menormalisir dunia .
Konsep zakat sebagai ajaran agama, bersumber dari wahyu secara terus
menerus mengalami dilaektika pemahaman melalui proses pelembagaan
(momen objektivasi) dan sosialisasi (momen internalisasi) gagasan dan nilai
yang dimunculkan. Proses ini berlanjut ke momen penafsiran (momen
eksternalisasi) sebagai proses peyesuaian dengan gagasan-gagasan individu
dalam dunia sosial sebagai produk manusia kala itu, dan selanjutnya mengalami
proses institusionalisasi (obyektivasi) sebagai bentuk interaksi sosial
dalam
dunia intersubjektif yang dilembagakan (Berger, 1990). Konstruksi sosial zakat
dan kuasa pengetahuan zakat terbangun dalam proses tiga momen ala
116
Bergerian tersebut. Melembaga, tersosialisasi dan ditafsirkan ulang, merupakan
fenomena dinamika konstruksi sosial atas zakat dan konstruksi sosial atas kuasa
pengetahaun zakat yang bekerja.
Pengetahuan zakat bekerja melintasi dimensi ojektif dan subjektif. Ummat
adalah pencipta kenyataan sosial zakat dari pengakuan dan penundukan
terhadap rezim pengetahuan zakat. Pengetahuan zakat bekerja pada dimensi
subjektif melalui momen internalisasi dan menggiring ke dimensi objektif melalui
momen eksternalisasi dalam bentuk pelembagaan atau institusionalisasi.
Kenyataan objektif zakat kemudian kembali mempengaruhi
ummat
melalui
sosialisasi dalam momen internalisasi secara subjektif dan interpersonal dan
kemudian tereksternalisasi dalam dunia nyata dalam tindakan sosial zakat
sebagai fenomena objektif.
Pengetahuan zakat adalah produk ummat yang terbangun melalui momen
internalisasi dan eksternalisasi, yang mencerna, memproduksi dan mereproduksi
pemahaman berzakat sebagai hasil kerja pengetahuan dalam mengarahkan dan
membentuk tindakan berzakat. Pengetahuan zakat, semula dikonstruksi sebagai
ajaran yang bersumber dari wahyu yang kuasa pengetahuan, penafsiran, dan
kontrolnya berada dalam kuasa Nabi Muhammad SAW sebagai pemangku tugas
kenabian, kemudian kuasa berpindah kepangkuan sahabat sebagai khalifah
hingga pada ulama atau agamawan. Konstruksi sosial zakat dan kuasa
pengetahuan zakat mengalami pergeseran dari waktu ke waktu dan fenomena
tersebut terjadi secara simultan dan dialektis dalam momen eksternalisasi,
ojektivasi dan internalisasi. Fenomena tersebut sangat dipengaruhi oleh waktu
dan ruang sosial budaya dimana rezim pengetahuan bekerja dalam membentuk
konstruksi dan rekonstruksi pengetahuan zakat masyarakat.
Agamawan sebagai pemangku kuasa pengetahuan zakat, berperan
sebagai pemangku tunggal dalam momen internalisasi ajaran zakat melalui
proses sosialisasi pada ranah kognitif (ruang subjektif). Proses ini berjalan
secara intersubjektif, dan ummat secara individu tidak mencerna dan merekam
sepenuhnya sebagai mana yang disosialisasikan, namun disini terjadi proses
pendefinisian ulang pada ranah kognitif ummat ketika pengetahuan yang
diinternalisasikan bersentuhan dengan stock of knowledge yang lebih dahulu
terekam dalam ruang gagasan individu. Pedefinisian ulang atau redefinisi dalam
momen internalisasi untuk selanjutnya memasuki momen eksternaliasi sebagai
117
hasil pendefinisian atau redefinisi atas pemahaman zakat yang sosialisasikan
oleh agamawan. Artinya bahwa apa yang disampaikan oleh agamawan tidak
selalu sama dengan yang difahami, dimaknai dan direkam serta di lakukan oleh
ummat. Apa yang disampaikan oleh agamawan selalu dimaknai ulang dan
dikonstruksi ulang oleh individu sesuai dengan perbendaharaan pengetahaun
mereka secara individu. Zakat yang telah terkonstruksi dalam dunia sosial secara
objektif, selalu mengalami rekonstruksi dalam momen internalisasi dan kembali
menjelma dalam dunia sosial objketif setelah melalui momen eksternalisasi.
Dengan demikian maka konstruksi sosial atas tindakan berzakat dan konstruksi
pengetahuan zakat selalu dinamis dan berubah secara secara simultan dan
dialektis.
Wacana tatakelola zakat di Indonesia misalnya yang telah melintasi waktu
yang cukup panjang dan menghasilkan konstruksi pengetahuan zakat yang
berbeda-beda dalam masyarakat. Jika dipetakan, ditemukan dua kelompok
besar, yaitu : pertama adalah kelompok yang memahami kuasa
tatakelola
zakat, yang berada ditangan pemerintah. Pemahaman ini lahir sebagai warisan
sejarah perjalanan Islam yang mengkonstruksikan Nabi Muhammad SAW
sebagai pembawa agama, pemimpin agama dan sekaligus pemimpin ummat.
Konstruksi sosial ummat terhadap beliau tersebut, berimbas dalam pemahaman
tentang tatakelola zakat masa itu. Zakat dipercaya sebagai kewajiban beragama,
terkait dengan pembiayaan perjuangan di jalan Allah dan sekaligus sebagai
sumber pendapatan negara12. Disini zakat sebagai ajaran agama pada ruang
gagasan negara terobjektivasi sebagai femomena bernegara sehingga dalam
proses internalisasi pemakanaannya sangat dipengaruhi oleh wacana negara.
Akibatnya tereksternalisasikan sebagai fenomena agama dalam konteks
bernegara.
Mengikuti keyakinan Weber, bahwa bentuk dasariah perilaku manusia
dimotivasi oleh faktor-faktor religius yang sangat penting bagi fungsi sosial
agama, di sana kontrol sosial terhadap distribusi harta dan organisiasi mengatur
12
Khums berupa potongan seperlima atas harta temuan (rikaz) atau harta karun. Amwal fadillah yaitu harta
yang berasal dari harta benda kaum muslimin yang meninggal tanpa ahli waris, atau berasal dari barangbarang seorang muslim yang meninggalkan negrinya. Wakaf yaitu harta benda yang didedikasikan oleh
seorang muslim untuk kepentingan agama Allah dan pendapatnya akan disimpan di Baitul mal. Nawaib yaitu
pajak khusus yang dibebankan kepada kaum muslimin yang kaya raya dalam rangka menutupi pengeluaaraan
negera selama masa darurat. Kifarat adalah denda atas kesalahan yang dilakukan oleh seorang muslim pada
saat melakukan kegiatan ibadah. Jizyah yaitu pajak yang dibebankan kepada orang-orang non muslim. Kharaj
yaitu pajak tanah yang dipungut dari kaum non muslim ketika wilayah khaibar ditakhlukkan.
118
manusia (Turner, 1983), yang oleh Foucault memaknai nilai yang terkonstruksi
terlihat sebagai yang mengatur tubuh dari ruang kognitif yang melebar keruang
materi atau jasmaniyah (Foucault, 1979). Sementara oleh Berger (1990)
dipandang bahwa konstruksi sosial atas realitas melalui tiga momen dialektis,
yaitu : objektivasi, internalisasi dan eksternalisasi. Tiga proses ini bekerja secara
dialektis melintasi dunia objektif dan subjektif, dengan menggunakan kekuatan
pengetahuan mengarahkan aras kognisi individu yang kemudian melembaga dan
kembali mengarahkan tindakan sosial zakat individu, sehingga beragama
merupakan dialektika dunia objektif dan subjektif tanpa henti.
Kelompok kedua yang memahami bahwa Nabi Muhammad SAW adalah
pemimpin agama dan pewarisnya adalah ulama‘13 bukan umara (pemerintah)
seperti yang paham oleh kelompok pertama. Kelompok ini lebih melihat bahwa
otoritas kuasa dalam tataran ajaran zakat sebagai rukun agama dan praktek
berzakat bukan haknya pemerintah (umara), namun merupakan otoritas kuasa
pemimpin dan pengawal ajaran agama. Ulama dilihat sebagai kelompok yang
berdiri sendiri dan terlepas dari pengaruh pemerintah, makanya ulama dan
umara difahami sebagai dua pemangku kuasa yang setara. Kepemimpinan
ulama terkonstruksi sebagai penguasa ruang agama dan terlepas dari ruang
politik.
Dua pemahaman di atas melahirkan tiga model tatakelola zakat yaitu:
Pertama, model berbasis negara yang melihat zakat sebagai sebuah ritual ajaran
agama yang seharusnya diatur dan dikontrol dalam ruang negara dengan
menggunakan perangkat negara14 dan pengetahuan zakat disini tunduk dalam
struktur pengetahuan administrasi dan pemerintahan. Kedua, model berbasis
komunitas yang melihat zakat sebagai sebuah ritual ajaran agama seharusnya
diatur dan dikontrol dalam ruang kelembagaan kiyai melalui hak kuasa ulama,
dan pengetahuan disini
tunduk dalam struktur pengetahuan ulama.
Ketiga,
model swasta berbasis industri atau LSM yang melihat zakat sebagai ajaran
agama yang seharusnya dimanfaatkan untuk kesejahteraan dan pensejahteraan
13
Konsep ulama adalah bentuk jamak dari kata ‗alim yang berarti orang yang berilmu (dalam bahasa Arab).
Maksudnya, orang yang berilmu dan mumpuni dalam khazanah kelimuan Islam. Namun kemudian secara
sosial ternyata, interpretasi tentang ulama ini berkembang lebih luas seiring banyaknya fenomena yang terj adi.
Arti ulama bukan hanya sekedar orang-orang yang berilmu pada bidang keagamaan saja, namun juga berilmu
pada bidang politik (Amin, 2009).
14
Pengelolaan zakat seperti ini dilakukan di negara-negara Islam seperti Saudi Arabia, Pakistan, Kuwait,
Bahrain dsb. Dikutip oleh Asep Saefuddin Jahar dalam Sigrid Faath (ed.) (2003).
119
ummat sehingga harus dikelola orang profesional dengan manajemen ekonomi
dalam ruang usaha produktif dengan logika ekonomi.
Tiga model tersebut merupakan kelompok besar yang terus berusaha
merekonstruksi pengetahuan masyarakat dengan perspektif masing-masing.
negara diwakili oleh sistem tatakelola zakat berwujud Badan Amil Zakat Nasional
(Baznas) untuk level nasional atau Badan Amil Zakat Daerah (BAZDA) untuk
level daerah, di bawah kuasa aparat pemerintah, sementara komunitas diwakili
oleh sistem tatakelola zakat berwujud LAZ berbasis masjid dan surau/langgar,
serta pondok pesantren/madrasah di bawah kuasa kelembagaan kiyai melalui
perangkat ulamanya. Sementara swasta
diwakili oleh kelembagaan ekonomi
swasta dengan tatakelola zakat berwujud LAZ swasta berbasis perusahaan/
industri di bawah kuasa pengetahuan manajemen industri dengan pemangku
kuasanya adalah elit perusahaan.
5.2. Struktur Kuasa Pengetahuan Zakat
Mengamati struktur kuasa pengetahuan zakat pada tiga sistem tatakelola
zakat (berbasis komunitas, negara dan industri swasta) ditemukan bahwa pada
tiga sistem tatakelola tersebut ditemukan struktur kuasa pengetahuan yang
berbeda. Pada sistem tatakelola berbasis komunitas struktur kuasa pengetahuan
berada pada tiga level, yaitu : Level pertama adalah kuasa pengetahuan zakat
sebagai ajaran agama berada dalam pangkuan agamawan dan berpusat pada
masjid, dan madrasah. Level kedua, kuasa pengetahuan ketatakelolaan yang
diletakkan pada amil yang juga terkadang berada ditangan agamawan atau
sekelompok orang yang ditunjuk oleh agamawan. Pada level ketiga adalah kuasa
pengetahuan tentang distribusi berada dalam kuasa agamawan, amil atau
muzakki secara individu yang diakui berhak atas memilih menyalurkan sendiri
atau menyalurkan lewat amil zakat komunitas. Meski teridentifikasi struktur kuasa
memiliki tiga level, namun sesungguhnya sentralnya ada pada satu titik yaitu
kuasa agamawan lokal sebagai pemangku kuasa pengetahuan tertinggi.
Sementara pada sistem tatakelola berbasis negara, struktur kuasa
pengetahuan berada pada dua level, yaitu: level pertama adalah kuasa
pengetahuan zakat sebagai ajaran yang diletakkan pada kuasa agamawan
negara. Pada level kedua adalah kuasa pengetahuan tatakelola yang diletakkan
pada kuasa aparatur negara yang ditugaskan dalam Badan Amil Zakat Daerah
120
untuk Provinsi Jambi. Muzakki dan mustahik berada pada level yang tidak
memiliki kuasa kecuali hanya mematuhi agamawan negara dan aparat BAZDA.
Kuasa tertinggi disini
berada pada kuasa aparatur negara sebagai aparat
BAZDA yang diakui oleh pemerintah. Agamawan diluar pemerintah hampir tidak
diberikan hak kuasa dalam berbicara tentang zakat.
Hal yang sama juga ditemukan pada sistem tatakelola zakat berbasis
swasta pada LAZ-SP. Kuasa pengetahuan berada pada dua level kuasa, yaitu:
pada level pertama sabagai pemangku kuasa pengetahuan zakat sebagai ajaran
agama berada agamawan perusahaan atau agamawan negara (MUI) sebagai
penguasa fatwa zakat. Sedangkan pada level kedua adalah pemangku kuasa
tatakelola yang dipangku oleh pihak manajemen perusahaan yang ditempatkan
sebagai pengurus LAZ-SP. Karyawan sebagai muzakki dan masyarakat miskin
sekitar perusahaan sebagai mustahik hampir tidak memiliki kekuasan dalam
wacana dan tatakelola zakat di sana.
Kuasa agamawan lokal pada sistem tatakelola zakat komunitas, kuasa
agamawan negara pada BAZDA dan agamawan perusahaan pada LAZ-SP
memang merupakan pemangku kuasa pengetahuan zakat sebagai ajaran
agama, namun kuasa agamawan lokal pada LAZ komunitas jauh lebih luas
dibanding kuasa agamawan negara pada BAZDA dan agamawan perusahaan
pada LAZ-SP. Agamawan lokal pada LAZ komunitas menjangkau hingga pada
pengetahuan tentang tatakelola, sementara pada BAZDA dan LAZ-SP, kuasa
agamawan hanya terbatas pada kuasa pengetahuan zakat sebagai ajaran
agama dan berperan menfatwakan zakat dalam koridor ajaran agama saja.
Sementara kuasa pengetahuan manajemen tatakelola berada dalam kuasa
aparat negara pada BAZDA dan manajeman perusahaan pada LAZ-SP.
5.2.1. Kuasa Pengetahuan Zakat dalam LAZ Komunitas
Kuasa pengetahuan zakat komunitas di Kabupaten Tanjung Jabung Timur
khususnya di Desa Simburnaik, ditemukan dalam kelembagaan kiyai dan masjid.
Pada wawancara mendalam dengan beberapa informan di lokasi ditemukan
informasi yang menunjukkan bahwa di sana kuasa pengetahuan agama dan
pengetahuan lokal saling bersentuhan dan bekerja membentuk konstruksi sosial
kuasa pengetahuan zakat. Informasi persentuhan kuasa pengetahuan diperoleh
dalam beberapa wawancara dipetik pada box 5.2.1.
121
Box 5.2.1 Kuasa Sosialisasi Pengetahuan Zakat Dalam Komunitas
Desa SBN salah satu desa di Kabupaten Tanjung Jabung Timur Provinsi Jambi yang telah melakukan
pengelolaan zakat berbasis komunitas sejak lama. Zakat di desa ini dikelola di masjid oleh imam masjid,
bersama dengan kepala desa dan pemuka masyarakat. Imam yang dikenal dengan panrita atau puang
imang (bugis), tuan guru, Imam atau Buya (Melayu) dan Kiyai (Jawa) sebagai pemangku kuasa
pengetahuan agama dan berhak menerima, mengelola dan menyalurkan zakat kepada muzakki dengan
berpedoman pada kitab-kitab fiqh. Imam dibantu oleh guru agama atau guru ngaji dan anak mengaji atau
Remaja Masjid. Bagaimana mengelola mengikuti tatacara masa lalu yang telah menjadi tradisi. Terlihat
dengan munculnya sanro (tabib/ dukun bayi) sebagai penerima zakat yang tidak ada dalam ajaran agama.
Kepala desa yang juga dikenal dengan istilah Datuk, atau Pangulu, membantu imam dengan cara
memberikan dukungan dan kepercayaan penuh untuk mengelola zakat. Kepala desa juga membantu
menghimbau masyarakat untuk berzakat di masjid dan memberikan data-data orang miskin di desa untuk
dijadikan mustahik yang biasanya terlebih dahulu disesuaikan dengan informasi dari Ketua RT atau
adakalanya imam meminta bantuan para ketua RT untuk mendata orang-orang miskin di lingkungannya
untuk dimasukkan dalam data mustahik.
Pemuka masyarakat atau pemuka adat yang biasanya disebut dengan tau matoa, orang tuo, orang
adat, atau tuo-tuo tengganai (biasanya terdiri dari tokoh kharismatik dan orang kaya desa) juga terlibat
dalam pengelolaan zakat di desa. Tokoh kharismatik terlibat selalu sebagai pendamping imam masjid yang
biasanya selalu berkomunikasi dengan imam dalam hal mencari cara yang baik, yang cocok dan sesuai
dengan budaya kampung. imam dan tuo-tuo tengganai selalu berkomunikasi dengan imam masjid tentang
cara mengumpulkan, menyalurkan dan kemana saja zakat digunakan. Orang kaya desa, selalu membantu
imam dengan menjadi muzakki dan mempengaruhi yang lainnya untuk berzakat di masjid.
Masjid dikonstruksi sebagai lembaga yang disucikan dengan struktur kuasa
ruang di bawah pangkuan agamawan. Di masjid agamawan dikenal sebagai
panrita (ulama), puang imang (imam), tuan guru (guru agama), buya, atau kiyai,
didaulat sebagai yang suci, yang mulia, dipercaya memiliki kedekatan hubungan
dengan Allah SWT dan dipercaya memiliki kemampuan luar biasa untuk
menyelamatkan ummat dengan ritual doa, sehingga tak jarang dilekatkan peran
tabib padanya sebagai perwujudan seorang wali (Beatty and Middleton, 1969).
Seorang imam15 atau agamawan di masjid memiliki legitimasi publik
sebagai sosok yang diberikan hak kuasa sepenuhnya oleh ummat dalam ruang
agama hingga ruang sosial. Masjid dikonstruksi sebagai lembaga yang mengatur
ruang sosial beragama, dan menempatkan sang imam pada struktur yang
berkuasa dalam pengetahuan agama dan ritual ibadah. Melalui masjid sang
imam diberi kuasa sebagai memimpin ritual, membentuk dan mengarahkan
prilaku sosial dan beragama masyarakat. Kuasa pengetahuan diletakkan pada
hak kuasa menggunakan mimbar masjid untuk menyuarakan wacana agama dan
keberagamaan. Mimbar sebagai simbol kuasa pengetahuan agama dan menjadi
15
Imâm berarti orang yang diikuti, baik sebagai kepala, jalan, atau sesuatu yang membuat lurus
dan memperbaiki perkara. Selain itu, ia juga bisa berarti Al-Qur‘an, Nabi Muhammad, khalifah,
panglima tentara, pemipin agama, ulama dan sebagainya. Imam juga bisa bermakna: maju ke
depan, petunjuk dan bimbingan, kepantasan seseorang menjadi uswah hasanah, dan
kepemimpinan (Mubarok, 2009) http://mubarok-institute.blogspot.com.
.
122
tempat di mana pengetahuan agama disosialisasikan, dan yang mempunyai hak
kuasa mimbar hanyalah orang yakini memiliki pengetahuan agama.
Wacana zakat disini
dan
majelis
taklim,
oleh agamawan disalurkan melalui mimbar masjid
sebagai
ajaran
agama
yang
diwajibkan
dengan
mengatasnamakan wahyu suci dari Allah SWT. Agamawan disini menyatakan
dirinya hanya sebagai penyampai pesan-pesan suci dari wahyu Allah karena
memikul tanggungjawab suci sebagai pewaris kenabian. Statemen-statemen
yang terlontar menggunakan konsep wahyu, tanggungjawab suci, dan sebagai
pewaris kenabian, memiliki kekuatan dan memberikan justifikasi pada agamawan
sebagai orang yang benar dan layak dipatuhi. Pada mimbar ini juga wacana
zakat disuarakan dan digambarkan sebagai perintah wajib yang dikaitkan dengan
konsekwensi-konsekwensi logis kepatuhan dan penolakan dengan statemen:
dosa dan pahala, kekufuran dan kepatuhan, wujud syukur dan kesombongan.
Semua statemen-statemen tersebut memiliki kekuatan mengarahkan dan
menundukkan ummat, sehingga agamawan dihormati dan dipatuhi karena
kepiawaiannya menuturkan wahyu sehingga dikonstruksi sebagai sosok yang
memiliki pengetahuan zakat (agama)
yang luas (agamawan) serta sebagai
sosok yang suci dan memiliki kedekatan relasi dengan Allah karena sebagai
pewaris kenabian.
Proses terbangunnya kuasa agamawan dalam ruang wacana zakat,
berawal dari bangunan logika bahwa zakat adalah ajaran agama, maka sebagai
ajaran agama, selayaknya kuasa atas wacana zakat dan kelembagaanya berada
dalam ruang kuasa agamawan. Kekuasaan agamawan tersebut terbangun
melalui proses seleksi sosial yang ketat dan melalui adaptasi terhadap normanorma sosial yang menjadi batasan moral masyarakat. Disini
seorang
agamawan mengikuti tuntutan-tuntutan nilai, norma dan membangun simbolsimbol moralitas sebagai sosok yang suci, berpengetahuan luas dan memiliki
integritas moral yang baik dan mulia. Membangun kuasa, agamawan selalu
bercirikan jubah gamis atau sarung, kopiah putih, sorban dan tasbih sebagai
simbol keshalehan membangun kesucian. Dekat dengan masjid, mengajar
mengaji dan membaca kitab kuning,16 selalu memberikan ceramah-ceramah
16
Kitab kuning : kitab kelasih dalam bahasa arab yang dikarang oleh ulama terdahulu dengan ciri
tanpa baca yang sangat terbatas.
123
agama melalui mimbar masjid atau pengajian-pengajian di luar masjid sebagai
simbol ketaatan dan luasnya pengetahuan agama.
Struktur kuasa zakat, terkonstruksi dalam tiga level kuasa, yaitu: amil
sebagai penguasa tatakelola, muzakki sebagai pemegang sumberdaya zakat
dan mustahik sebagai penguasa hasil zakat. Amil oleh komunitas dikonstruksi
sebagai sosok yang mendapatkan hak kuasa atas tatakelola zakat melalui
pesan-pesan wahyu. Karena zakat dipercaya sebagai ajaran murni agama yang
bersumber dari wahyu, yang awalnya berada dalam hak kuasa Nabi Muhammad.
SAW, maka hak tatakelola zakat di serahkan pada agamawan yang sebelumnya
telah dikonstruksi sebagai pewaris kenabian. Zakat oleh agamawan dibawa ke
masjid sebagai ruang pembatas terhadap sentuhan kuasa dari luar struktur
masjid. Menjadikan masjid sebagai ruang, di mana lembaga zakat dipusatkan
dalam komunitas, adalah bentuk penguatan kuasa agamawan dan menjadi
justifikasi atas suci dan murninya misi kelembagaan zakat ditangan amil
komunitas. Fenomena zakat berbasis masjid di bawah kuasa agamawan sebagai
amil, bagi anggota komunitas dibaca sebagai satu sistem sosial keberagamaan
yang tak terpisahkan. Agamawan, zakat, dan masjid dikonstruksi sebagai satu
kesatuan yang tak terpisahkan karena ketiganya saling melengkapi. Agamawan
sebagai pemimpin agama, zakat sebagai sumber dana penguatan ajaran agama
dan masjid sebagai arena netral di mana agama dibangun, dikokohkan dan
kembangkan.
Masjid menjadi tempat pengelolaan zakat, berproses dengan melalui tiga
momen penting konstruksi sosial kuasa zakat. Momen objektivasi, internalisasi
dan eksternalisasi secara simultan (Berger, 1990). Berawal dari masjid zakat
terlembaga dan menjadi fenomena interaksi sosial secara intersubjektif amil,
muzakki dan mustahik serta masyarakat luas dan terinstitusionalisasikan dalam
dunia sosial zakat. Dalam struktur masjid pulalah momen internalisasi
berlangsung ketika anggota komunitas mengidentifikasi diri dengan lembaga
zakat komunitas dan memahami atau menafsirkan, hingga kemudian momen
eksternalisasi sebagai proses penyesuaian diri dengan lembaga zakat sesuai
yang ia tafsirkan sebagai dunia sosial kultural yang diproduksinya bersama
komunitas tersebut. Agamawan di masjid dikonstruksi sebagai pemangku kuasa
tunggal dalam agama termasuk kuasa pengetahuan zakat. Agamawan memiliki
124
hak kuasa penuh dalam membangun dan membentuk pengetahuan zakat,
hingga mengarahkan dan menilai tindakan zakat masyarakat komunitas.
Muzakki merupakan bagian dari struktur kelembagaan zakat, yang
mengkonstruksi diri dan
dikonstruksi sebagai kelompok orang dikenali
berkewajiban untuk berzakat, karena kesejahteraannya yang lebih baik.
Konstruksi tentang muzakki dibangun oleh agamawan dalam masyarakat
komunitas melalui proses internalisasi ketika dakwah disuarakan. Seruan
agamawan di cerna dan kemudian di tafsirkan dalam proses reflektif dalam
momen eksternalisasi hingga kemudian melalui momen objektivasi dalam wujud
tindakan berzakat yang melembaga dalam komunitas. Fenomena zakat
terbangun dalam sedemikian rupa dalam konstruksi sosial sebagai satu
fenomena objektif yang terus akan mengalami perkembangan penafsiran dalam
proses internanalisasi dan eksternalisasi. Fenomena zakat akan mengalami
perubahan ketika terjadi proses eksternalisasi (penafsiran) ummat yang
mempertanyakan tradisi berzakat dan penafsiran zakat yang sudah mapan, ingin
digantikan dengan tradisi dan penafsiran zakat yang baru sebagai rekonstruksi.
Proses eksternalisasi sebagai momen yang selalu melahirkan perubahan,
sangat dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan yang melekat dalam gagasan atau
membatasi ruang gerak anggota masyarakat. Negara sebagai kekuatan yang
mengatur anggota masyarakat secara inividual memiliki pengaruh yang paling
dominan dalam proses eksternalisasi pemahaman dan pandangan terhadap
zakat. Menggunakan pandangan Berger (1990) dalam memandang zakat dan
konstruksi sosial pengetahuan zakat, maka zakat dalam tindakan tidak pernah
menjadi produk akhir karena melembaganya zakat sebagai satu fenomena
objektif menuju satu bentuk baru melalui momem internalisasi yang akan
melahirkan satu yang baru melalui proses eksternalisasi, dan ini tak akan pernah
terhenti dari aras individu yang selanjutnya akan melebar ke aras struktur secara
terus-menerus. Artinya melembaganya zakat sebagai praktek sosial akan terus
mengalami perubahan sejalan dengan perubahan aras gagasan dan penafsiran
yang dipengaruhi oleh dinamika pengetahuan dan ini berlanjut tanpa henti.
Relasi antara aktor dan pengetahuan dalam proses membangun konstruksi
berfikir
tentang
zakat
dalam
komunitas
terlihat
dalam
tabel
6
yang
menggambarkan bagaimana relasi antara pengetahuan agama, sains modern
125
dan pengetahuan lokal dengan agamawan, birokrat desa dan pemuka adat
komunitas.
Tabel 6 : Relasi Aktor dengan Pengetahuan Zakat dalam LAZ
Komunitas
Pengetahuan
Aktor
Agama
Sain Modern
Pengetahuan lokal
Agamawan
Birokrat Desa
Pemuka Adat
Basis Utama
Basis Moral
Basis Moral
Tantangan
Basis Utama
Tantangan
Sinergis
Sinergis
Basis Utama
Sumber : Data Lapang, 2008 (diolah)
Pengetahuan agama, merupakan pengetahuan yang diakui dan difahami
oleh komunitas sebagai pengetahuan yang bersumber dari wahyu yang di
turunkan oleh Allah kepada Nabi-Nya dan kemudian menjadi basis utama
pengetahuan bagi ulama. Nabi disini
dikonstruksi sebagai pemangku kuasa
ruang pengetahuan tertinggi, yang kemudian didelegasikan kepada ulama
sebagai pewaris tunggal yang sekaligus dikonstruksi mewarisi beberapa
kemuliaan kenabian. Dari sini ulama dipercaya ummat memiliki hak penuh untuk
menjelaskan, mengembangkan dan mengarahkan serta mengontrol ruang
pengetahuan dan prilaku ummat dalam beragama. Ulama kemudian menjadi
sosok yang dipatuhi dan dikonstruksi ummat sebagai sosok yang selalu suci,
mulia dan benar, dan sabdanya mewakili suara Tuhan. Pengetahuan modern
oleh ulama dianggap sebagai tantangan dan harus dijinakkan dalam kerangka
nilai agama, sementara pengetahuan lokal selalu disinergiskan dengan
pengetahuan agama.
Birokrat desa yang dipimpin oleh kepala desa dan dikenal sebagai Datuk,
atau Penghulu, merupakan sosok elit desa yang menjadi pemangku kuasa
administrasi dan birokrasi desa. Mereka ini menjadi pengetahuan agama sebagai
basis moral, pengetahuan modern sebagai basis utama dan mensinergiskan
pengetahuan lokal dengan kedua pengetahuan sebelumnya. Sang datuk atau
penghulu di masjid merupakan struktur yang memberikan legalitas formal atas
kekuasa sang imam dari luar masjid. Di sana seorang datuk tunduk pada kuasa
sang imam dalam ruang kuasa pengetahuan zakat. Legalitas kuasa sang datuk
terhadap kuasa sang imam memperkokoh kedudukan sang imam di masjid dan
terhadap zakat, dan sebaliknya sang datuk sebagai pemimpin desa karena
kedekatannya dengan sang imam secara bersamaan juga mendapatkan
126
legitimasi moral. Akibatnya sang datuk dikonstruksi sebagai pemimpin desa yang
agamis dan mendapatkan legitimasi sang imam sebagai pemimpin yang baik dan
taat. Legitimasi sang imam terhadap kuasa adminsitrasi dari sang datuk tidak
memberikan ruang kuasa bagi sang datuk pada struktur kuasa masjid dalam
kaitannya dengan zakat, karena terbatasi oleh kuasa pengetahuan agama yang
hanya berada dalam kuasa agamawan.
Pengetahuan modern (science), dianggap sebagai pengetahuan duniawi
sebagai hasil kreasi manusia dan menjadi panduan duniawi. Pengetahuan ini
dalam tatakekola zakat menjadi basis utama bagi birokrat desa. Pengetahuan ini
oleh birokrat desa dijadikan basis pengetahuan utama pada ruang birokrasi
pemerintahan desa hadir sebagai pengetahuan yang dititipkan/disalurkan lewat
sistem pemerintahan dari pusat sampai ke desa. Sang datuk sebagai pemimpin
desa memangku ruang kuasa administrasi dan birokrasi desa dengan dukungan
legalitas formal di bawah legitimasi negara. Disini
sains menundukkan dan
mengarahkan masyarakat melalui sistem administrasi dan birokrasi desa. Oleh
karena itu persentuhan kuasa sang datuk dan kuasa sang imam dalam tatakelola
zakat selalu pada wilayah administrasi muzakki dan mustahik.
Persentuhan sang imam dan sang datuk disini tak jarang ada tarik menarik
dalam menentukan muzakki dan mustahik. Sang datuk dengan logika
administrasi pemerintahan dan sang imam dengan logika ajaran agama. Namun
karena konstruksi pengetahuan zakat komunitas cenderung lebih menilai ruang
kuasa tatakelola zakat merupakan bagian dari ruang kuasa pengetahuan agama
dan imam lebih berkuasa di sana sehingga imam selalu menjadi pemenang.
Akhir dari tarik menarik antara kedua elit desa tersebut, sang datuk memilih
mendukung sang imam dan memberikan ruang kuasa yang luas. Sang datuk
memilih menghindari berbenturan dengan sang imam karena tidak ingin
berhadapan dengan ummat atau jama‘ah masjid yang memiliki kepatuhan dan
kesetiaan yang kental terhadap sang imam. Relasi simbiosis mutualis antara
imam dan datuk bisa muncul dan saling meligitimasi. Imam sebagai pemangku
kuasa pengetahuan zakat memberikan legitimasi moral atas kuasa datuk dalam
ruang pengetahuan administrasi dan birokrasi pemerintahan, begitu pula
sebaliknya.
Pengetahuan lokal (Local Knowledge) oleh komunitas lebih dikenal sebagai
adat istiadat atau Adê. Pengetahuan ini difahami pemandu kehidupan sosial
127
secara umum dalam konteks hidup bermasyarakat dalam satu komunitas.
Pemangku kuasa pengetahuan ini adalah elit adat desa (tuo-tuo tengganai). Elit
adat dengan pengetahuan lokal menguasai ruang kehidupan sosial sebagai
pengontrol moral masyarakat bersama dan di bawah kuasa ulama (agamawan).
Penundukan ini merupakan hasil dari penundukan agama terhadap adat. Antara
agama dan adat selalu harus bersinergi namun adat tunduk di bawah kuasa
agama. Pepatah adat Jambi yang menyatakan bahwa Adat bersendi Syara‟,
Syara‟ bersendi kitabullah (adat berpedoman dengan agama dan agama
berpedoman dengan Kitab Suci).
Pemuka masyarakat atau pemuka adat disebut dengan tau matoa, orang
tuo, orang adat, atau tuo-tuo tengganai, dalam ruang tatakelola zakat menjadi
pendamping sang imam sebagai tokoh kharismatik desa. Tuo-tuo tengganai yang
menguasai ruang pengetahuan lokal sebagai pengawal adat desa, terlibat dalam
ruang tatakelola zakat komunitas dan mengarahkan prilaku berzakat dalam
kaitannya dengan adat dan budaya lokal. Disini tradisi selalu muncul dengan ciri
khas yang berbeda, dan tak jarang tidak dikenal dalam wacana pengetahuan
agama, misalnya memunculkan dukun bayi dan tabib desa sebagai orang berhak
menerima zakat. Pengetahuan agama dan pengetahuan lokal bersinergis disini
melalui proses sintesis.
Pemuka adat (tuo-tuo tengganai) memandang pengetahuan agama
sebagai landasan moral tertinggi dalam bertindak dan berperilaku, sehingga
budaya selayaknya menyesuaikan diri dan tunduk dengan agama. Sementara itu
pengetahuan modern dilihat sebagai pengetahuan baru untuk menunjang
pengetahuan agama dan adat khususnya yang terkait dengan materi, namun
harus tunduk di bawah kontrol adat dan agama, dan dianggap bisa mengancam
nilai dan norma sosial. Oleh sebab itu, haruslah disaring agar dijinakkan dan
ditundukkan dalam ruang adat dan agama.
Bagi ulama, sains merupakan pengetahuan baru yang dilihat sebagai
tantangan dan sering sebut sebagai ilmu duniawi sebagai lawan ilmu ukhrawi
yang dipakai untuk menamai ilmu agama. Sain dianggap sebagai tantangan bagi
eksistensi pengetahuan agama. Sains dilihat sebagai pengetahuan yang
berorientasi duniawi dan mengabaikan ukrawi, membiarkan sains menjadi
landasan utama hidup manusia, membuat manusia akan tersesat dan
mengabaikan dimensi ukhrawi. Oleh sebab itu maka ilmu agama menjadi filter
128
atas sains atau perlu internalisasi nilai agama agar bersinergis dengan agama.
Sementara adat dan budaya (pengetahuan lokal), merupakan pengetahuan yang
mengakar dalam kehidupan masyarakat sebagai adat istiadat yang diperoleh
secara turun temurun dan dijadikan pedoman hidup. Oleh ulama, pengetahuan
ini disinergiskan dengan agama, dan diakui sebagai uruf, diterima sepenuhnya
manakala tidak bertentangan dengan agama.
Pengetahuan agama bagi birokrat desa merupakan pengetahuan yang
menjadi pedoman hidup beragama dan menjadi batasan nilai dalam ruang yang
luas, sehingga nilai agama menjadi pedoman nilai dalam bertindak. Sementara
pengetahuan lokal (local knowledge) dianggap sebagai warisan leluhur yang
menjadi pedoman dalam kehidupan bermasyarakat. Adat dan budaya bagi
birokrat desa merupakan basis normatif dan bersama agama dalam kehidupan
sosial. Bertemunya tiga pengetahuan dan pemangku kuasanya dalam tatakelola
zakat komunitas melahirkan tiga konstruksi sosial atas kuasa pengetahuan zakat
yang berbeda, yaitu: pertama, konstruksi pengetahuan zakat bangunan ulama,
yang memandang bahwa zakat dan tatakelolanya harus tunduk dalam
pengetahuan atau ajaran agama, berada dalam kekuasaan agamawan, hasilnya
untuk penguatan ajaran dan pembiayaan syiar agama dan pengelolaannya
berpusat pada masjid/surau/langgar dan madrasah atau secara perorangan oleh
amil dari ulama. kedua, konstruksi pengetahuan zakat bangunan birokrat desa,
yang memandang bahwa zakat merupakan praktek beragama yang erat
kaitannya dengan kemiskinan dan pemberdayaan komunitas, makanya tatakelola
zakat sebaiknya bersinegis dengan pemerintahan desa. Ketiga, konstruksi
pengetahuan yang dibangun oleh elit adat bahwa pengelolaan zakat harusnya
sesuai dengan adat dan budaya setempat, yang menempatkan zakat sejalan
dengan kedermawanan dan kepedulian sosial orang kuat kepada yang lemah.
Karena itu secara individu boleh menyalurkan sendiri zakatnya kepada yang
diinginkan, seperti yang dilakukan oleh para ponggawa atau toke.
Pertemuan ketiga pengetahuan tersebut membentuk relasi saling merajut
dalam bentuk sintesis dan melalui proses negosiasi, meski tak jarang terjadi
benturan dalam relasi saling menundukkan dan meniadakan. Sintesis selalu
menjadi ciri relasi antara ruang pengetahuan agama dan pengetahuan lokal
dengan memunculkan konsep uruf yang mempertautkan agama dan budaya.
Pertemuan sains dan pengetahuan lokal berwujud negosisasi. Sementara ruang
129
sains dan ruang pengetahuan agama selalu berbenturan dalam konsep ukhrawi
dan duniawi, sehingga harus ada penundukkan terhadap yang lainnya dan
pemenangnya selalu sains.
Tabel 7 : Relasi antar Pengetahuan dalam LAZ Komunitas
Pengetahuan
Agama
Sain Modern
Lokal Knowledge
Agama
Sain Modern
Local Knowledge
--Benturan
Sintesis
Benturan
-Negosiasi
Sintesis
Negosiasi
---
Sumber : Data primer, 2008 (Diolah)
Pada tabel 7 terlihat bahwa relasi antara pengetahuan agama dan sains
modern selalu berbenturan sementara antara pengetahuan agama dan
pengetahuan lokal selalu mengalami sintesis. Pengetahuan agama dan sains
selalu dibenturkan karena selalu dianggap memiliki perbedaan logika dimana
agama mendahulukan rasionalitas nilai sementara sains lebih pada logika yang
menekankan rasionalitas tujuan. Relasi yang bersintesis antara pengetahuan
agama dan pengetahuan lokal sebagai akibat dari adanya konsep uruf (adat
kebiasaan yang diterima dalam agama dan diakui sebagai sumber hukum dalam
fiqh). Berbeda dengan relasi antara sains modern dan pengetahuan lokal,
keduanya selalu melalui proses negosiasi, artinya bahwa manakala pengetahuan
lokal memberikan efek positif dan bisa sinergis dengan sains modern maka
keduanya bisa disandingkan secara bersamaan dalam satu waktu, namun dalam
banyak hal selalu pengetahuan lokal ditundukkan dan terpinggirkan dan
dianggap tidak rasional dalam kerangka logika sains modern.
Pada praktek tatakelola zakat komunitas, ketiga pengetahuan dengan
ruang kuasa masing-masing, bekerja dengan sangat dinamis. Agamawan
dengan pengetahuan agamanya mendominasi dan praktek tatakelola zakat
dalam banyak hal. Pengetahuan agama menjadi sentral dan patokan nilai, dan
mewarnai sistem tatakelola dengan sangat dominan, sementara sains modern
selalu diposisikan pada posisi pinggiran karena dianggap menjadi tantangan bagi
logika pengetahuan agama. Pengetahuan lokal disini malah mendapatkan posisi
yang cukup baik dengan bersintetis dengan pengetahaun agama sebagai adat
istiadat dalam kerangka fiqh yang dikenal dengan konsep uruf.
130
5.2.2. Kuasa Pengetahuan dalam BAZDA Jambi.
Badan Amil Zakat Daerah sebagai salah satu lembaga yang hadir dalam
wacana tatakelola zakat, di dalamnya bekerja aktor berbasis pengetahuan dalam
proses pembentukan wacana zakat sekaligus membangun kuasa pengetahuan,
yaitu kuasa pengetahuan agama yang diwakili oleh kehadiran agamawan, dan
kuasa pengetahuan modern yang diwakili oleh kehadiran birokrat dan akademisi.
Fenomena tersebut tergambar dalam data-data lapangan yang diperoleh dari
keterangan dan pengakuan informan yang dikutip secara ringkas dalam box
5.2.2.
Box 5.2.2 : Kuasa Pengetahuan Dalam BAZDA Provinsi Jambi
Badan Amil Zakat Daerah (BAZDA) Provinsi Jambi dengan SK Gubernur No 266 tahun 2001,
sebagai pengelola zakat yang dibentuk oleh pemerintah daerah, aktornya diisi oleh tiga unsur, yaitu : unsur
pemerintah (pemerintah daerah dan Depag), unsur ulama (MUI), unsur tokoh masyarakat (perguruan tinggi).
Aktor yang terlibat dalam tatakelola zakat pada Badan Amil Zakat Provinsi Jambi terdiri dari unsur
pemerintah daerah (Gubernur, Wakil Gubernur, Sekretaris Daerah, Biro Kesos, Kanwil Depag dan Staf
lainya, serta Para akademisi dari Perguruan Tinggi Agama dan Umum). Pada tahap awal terbentuknya
BAZDA ketua pelaksana harian dipercayakan kepada KH. Said Magwie, BA., yang merupakan pensiunan
dari Peradilan Agama Provinsi Jambi dengan sekretaris ex-offisio kepala bidang zakat dan wakaf Kanwil
Depag Provinsi Jambi, dengan staf yang dari Pemerintah Daerah, Kanwil Depag dan Perguruan Tinggi.
Perkembangan berikutnya terjadi perubahan yang cukup besar. Di mana ketua pelaksana harian
secara ex-officio dipegang oleh pejabat Sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi Jambi untuk BAZDA Provinsi
dan Sekda Kota/kabaten untuk BAZDA Kota/Kabupaten. Formasi ini berlaku hingga ke kecamatan sehingga
BAZDA Kacamatan diketuai oleh Sekretaris Kecamatan (Sekcam).
Unsur Perguruan Tinggi agama dan Departemen Agama atau pensiunan salah satunya, selalu
merupakan perwakilan dari unsur ulama yang dijadikan pengawal dan rujukan dalam wacana zakat dalam
kaitannya dengan ajaran agama. Mereka menjadi pengurus BAZDA dengan tugas yang cenderung berbicara
tentang tatakelola zakat dalam kaitannya dengan agama. Namun yang agaknya menjadi menarik adalah:
bahwa wacana zakat dalam konteks agama selalu muncul sejalan dengan wacana pembangunan yang
selalu dimunculkan oleh pemerintah daerah. Disini terlihat adanya gejala bahwa agamawan/ulama di
BAZDA menjadi pendukung program pembangunan pemerintah dalam kaitannya dengan wacana zakat.
Unsur Pemerintah Daerah dalam BAZDA Provinsi Jambi menempati tempat dominan dimana
disemua bagian aktornya selalu tekait (karyawan pemda atau pensiunan pemda). Disini mereka selalu
ditempatkan pada posisi yang superior dengan memegang jabatan penting (seperti Ketua Dewan
Pertimbangan oleh Pejabat Gubernur, Komisi Pengawas oleh Wakil Gubernur hingga Ketua pelaksana
Harian oleh Sekretaris Daerah (Sekda).
BAZDA sebagai lembaga tatakelola zakat milik pemerintah, di dalamnya
bekerja aktor-aktor yang mewakili pemerintah dan bekerja sebagai aparat.
Mereka bekerja dengan basis pengetahuan modern yang telah terinternalisasi
dalam
ruang
gagasan
dan
tereksternalisasi ke
ruang
sosial.
Mereka
mengkonstruksi zakat sebagai fenomena beragama dan bernegara berbasis
pengetahuan dalam ruang kognitifnya yang telah terekam dengan sistem
pengetahuan politik dan ekonomi pemerintahan. Tatakelola zakat dipandang
dalam kerangka sistem pemerintahan dengan logika birokrasi sehingga zakat
dalam kerangka logika pemerintahan yang disamakan dengan fenomena
birokrasi pemerintahan. Akibatnya zakat melekat dalam kuasa birokrasi, dengan
131
amil yang dilekatkan pada kuasa pemerintah, sementara muzakki dan mustahik
dipandang sebagai orang yang harus tunduk dan patuh norma birokrasi
pemerintah sebagai warga negara.
Zakat oleh aparat dipandang sebagai fenomena beragama yang kuasa
pengaturannya berada dalam ruang kuasa negara berbasis manajemen
pemerintahan. Agamawan sebagai pemangku kuasa sebelumnya, disini hanya
diposisikan sebagai pengawal moral dan justifikasi atas nilai spiritual zakat.
Relasi kuasa terbangun sangat hierarkis antara amil dan muzakki, sedangkan
antara amil dan mustahik lebih diwarnai oleh relasi patronase dalam kerangka
relasi aparat dan rakyat lemah. Amil sebagai yang superior, sementara muzakki
dan mustahik menjadi sangat inferior, termarjinalkan dan bahkan tereksploitasi
secara sistemik dalam ruang kuasa birokrasi.
Wacana zakat dalam tatakelola negara dibangun melalui lembaga
pendidikan negara oleh para aparat negara yang bekerja pada semua lembaga
pendidikan dengan mengajarkan bagaimana zakat seharusnya di kelola dengan
menggunakan kekuatan negara agar mencapai tujuan yang maksimal dalam
mengatasi persoalan kemiskinan. Agamawan yang muncul mengajarkan ajaran
zakat dan tatakelolanya disini , menjalankan tugasnya lebih sebagai aparat
pemerintah yang menjalankan fungsinya sebagai pengajar dan penyiar agama
yang dilegitimasi oleh negara. Mereka ini sebagai pegawai negara atau sebagai
agamawan yang mewakili negara sebagai agamawan pro negara.
Konstruksi sosial atas kuasa zakat dalam ruang negara memandang zakat
sebagai sumberdaya bagi negara dan dijadikan instrumen dalam sistem
pemerintahan untuk mewujudkan negara yang aman, damai dan sejahtera.
Konstruksi ini muncul melalui proses objektivasi zakat dalam ruang yang
kemudian dipandang oleh aparat negara sebagai sumberdaya yang dalam
proses internalisasi dan eksternalisasi melalui pergulatan kuasa pengetahuan
dalam ruang gagasan secara individu dan melahirkan gagasan sebagai produksi
dari kuasa pengetahuan dominan pada aras kognitif sang aparat. Gagasan hasil
eksternalisasi terlepas keluar melembaga dan bermain dalam ruang publik
membentuk wacana dan bekerja dalam ruang diskursus zakat dalam kontrol
pengetahuan dominan.
Statemen-statemen muncul dalam diskursus zakat berbentuk aturan-aturan
dalam satu rentang historis yang melibatkan disiplin, institusi dan aparat yang
132
mengisolasim mendefinisi dan memproduksi zakat dan pengetahuan zakat yang
sekaligus merupakan aturan sosial yang menetapkan tatacara yang dapat
diterima dalam memperbincangkan, menulis dan bertindak terkait dengan zakat.
Kekuasaan disini diproduksi melalui tiga momen terbangunnya konstruksi sosial
ala Bergerian (1966), yaitu momen objektivasi, sebagai momen ketika proses
interaksi
sosial
struktur
kuasa
zakat
dalam
dunia
intersubjektif
yang
dilembagakan atau terinstitusionalisasi dalam bentuk lembaga zakat, berlanjut
kemudian
pada
momen
internalisasi
yang
terjadi
pada
saat
individu
mengidentifikasi dirinya secara subjektif dengan lembaga zakat di mana mereka
menjadi anggota masyarakat. Proses internalisasi ini merupakan proses paling
penting dalam membangun kekuasaan, karena disini lah gagasan ditanamkan
pada ruang kognitif yang selanjutnya masuk dalam momen eksternalisasi. Pada
momen eksternalisasi terbentuk gagasan yang menguasai melalui proses
penyesuaian diri oleh individu-individu dengan dunia sosial zakat yang dibangun
sebagai produk manusia dalam bentuk penafsiran dan pelembagaan baru.
Strategi kuasa dan bekerjanya pengetahuan ala Foucault (1980) berada
pada saat menjelma sebagai aparat, manipulasi relasi kekuatan tertentu terjadi
dan menggiring ke arah tertentu, memblokir, menstabilkan, memanfaatkan, dan
sebagainya, melalui proses objektivasi, internalisasi dan eksternalisasi tanpa henti
ala Bergerian (1966). Aparat selalu berada dalam permainan kekuasaan sekaligus
berkaitan dengan koordinat pengetahuan tertentu yang terus berdialektik dalam
tiga momen sebagai proses terbangunnya konstruksi sosial atas realitas. Jadi,
inilah isi aparat: strategi-strategi dan relasi-relasi kekuasaan yang mendukung dan
didukung oleh jenis-jenis pengetahuan tertentu (Foucault, 2002).
Tujuan kekuasaan adalah memberi struktur-struktur pada pelembagaan
zakat dalam masyarakat. Pada titik ini, yang selalu rentan terhadap perubahan.
Struktur-struktur
kegiatan
itu
berwujud
institusionalisasi
kekuasaan,
yaitu
keseluruhan struktur hukum dan politik serta aturan-aturan sosial yang
melanggengkan suatu dominasi dan menjamin reproduksi kepatuhan dan
pengetahuan disini menyatakan diri sebagai yang obyektif untuk pelanggengan
kelembagaan zakat. Kekuasaan tidak bisa dilepaskan dari pengetahuan, karena
kekuasaan dilaksanakan bukan berawal dari perjuangan, pembatasan, atau
larangan, tetapi melalui manajemen, dan bangunan wacana yang diojektivasikan,
langsung teriternalisasikan dan kemudian tereksternalisasi. Keilmiahan baru
133
terbentuk menjadi kriteria ukuran kebenaran ketika telah melalui objektivasi,
internalisasi dan eksternalisasi, momen ini sangat penting sebagai proses produksi
dan reproduksi kebenaran yang diakui dan menguasai individu-individu sekaligus
menjadi alat kekuasaan individu di mana-mana.
Amil dalam ruang BAZDA, dikonstruksi sebagai yang berkuasa dan
memiliki
kekuatan
memaksakan
kehendak
dengan
kekuatan
perangkat
institusinya. Disini mereka bisa menekan dan bahkan memaksakan kehendak.
Muzakki yang berada dalam ruang kuasa birokrasi pemerintahan sebagai
pegawai dan karyawan juga memiliki kehendak dan keinginan untuk bisa
berzakat sesuai dengan pemahaman dan pemaknaannya terhadap zakat, dan
mereka mengkostruksi bahwa mereka memiliki hak atas zakat mereka, kemana
mereka ingin salurkan, yang penting tersalur kepada yang berhak. Namun
karena ada tekanan dalam birokrasi, maka mereka memilih mematuhi, meski
kepatuhan mereka hanya sekedar kepatuhan semu yang hanya agar mereka
diketahui berzakat atau paling tidak mereka berinfak. Oleh karenanya banyak
ditemukan muzakki yang hanya mengisi kolom infak dalam tagihan zakat di
instansi pemerintah daerah di Provinsi Jambi.
Ada ketimpangan pengetahuan disini . Amil tunduk sepenuhnya dengan
rezim pengetahuan bangunan negara, sementara muzakki hanya tunduk sebatas
membangun pemaknaan dari atasan bahwa mereka berzakat di BAZDA. Karena
mereka menganggap zakat sebagai hak kuasa mereka untuk menyalurkan,
sehingga mereka melakukan tindakan kamuflase sehingga seakan tunduk
dengan negara dan pada saat yang sama mereka juga tunduk dan
melaksanakan tradisi berzakat
cara komunitas. Bagaimanapun mereka
memahami dan menafsirkan zakat sesungguhnya merupakan hasil dari tiga
momen proses konstruksi sosial ala Berger. Pengetahuan siapa yang paling kuat
dan mendominasi ruang gagasan mereka dalam proses internalisasi dan
eksternalisasi, maka dia yang akan mewarnai konstruksi sosial zakat dan
kuasanya dalam konstruksi muzakki. Sehingga disini terlihat bahwa muzakki
masih tertaklukkan oleh rezim pengetahuan lokal yang bekerja pada tatakelola
zakat komunitas, sementara pada rezim pengetahuan modern yang bekrja pada
BAZDA hanya dipatuhi sebatas kamuflase. Mereka ini terjebak dalam dua rezim
pengetahuan yang mengurungnya, menaklukkannya dan memaksanya secara
sistemik dalam ruang logika tradisi dan birokrasi administrasi pemerintahan yang
134
diakui sebagai yang benar. Mereka mengikuti logika tradisi berzakat komunitas
dengan berzakat pada LAZ Komunitas, sekaligus mencoba tunduk secara
simbolik pada logika manajemen birokrasi BAZDA dengan berinfak.
Mustahik sebagai kelompok yang berhak atas dana zakat, pada Bazda
mereka
ini tidak sepenuhnya berkuasa
sebagaimana pada komunitas.
Kekuasaan mereka diambil alih oleh para petugas amil yang membidangi
pendistribusian dana zakat. Mustahik harus diseleksi oleh para amil yang
bertugas dan sebelumnya diharuskan menunjukkan kelayakan mereka dalam
bentuk dokumen resmi yang berasal dari aparat pemeritah, yang menerangkan
kalau sanga mustahik adalah mustahik yang layak mendapatkan santunan dana
zakat, barulah kemudian mereka dinyatakan berhak atas dana zakat.
Disini
terkadang muncul gejolak dari mustahik, karena mustahik disini masih tunduk
pada konstruksi sosial bangunan komunitas atas hak kuasa manfaat dari dana
zakat.
Badan Amil Zakat Daerah (BAZDA) Provinsi sebagai pengelola zakat yang
dibentuk oleh pemerintah daerah, aktornya terdiri dari tiga unsur masyarakat,
yaitu: unsur pemerintah (Pemerintah Daerah dan Departemen agama), unsur
masyarakat yang terdiri dari ulama (MUI), cendikiawan (Perguruan Tinggi).
Namun jika disederhanakan hanya ada dua unsur pokok, yaitu : unsur
pemerintahan dengan basis ruang kuasa pengetahuan administrasi dan
pemerintahan, dan unsur masyarakat dari ulama daerah (MUI) bersama unsur
cendikiawan, dengan basis ruang kuasa pengetahuan agama. Tokoh atau unsur
masyarakat yang selalu dari kalangan perguruan tinggi atau pensiunan pegawai
Negeri (PNS), birokrat atau terkadang ulama, karena mereka terkadang
pensiunan birokrat pemerintah daerah (pemda) atau kalangan perguruan tinggi
agama.
Tabel 8 : Relasi Aktor dan Pengetahuan dalam Badan Amil Zakat Daerah
Aktor
Agama
Pengetahuan
Sain Modern
Local Knowledge
Agamawan
Birokrat
Akademisi (Tokoh Masyarakat)
Basis Utama
Justifikasi
Justifikasi
Legitimasi
Basis Utama
Basis Utama
Innovasi
Innovasi
Innovasi
Sumber : Data Lapang, 2008 (diolah)
Relasi antara antor dan pengetahuan dalam proses membangun
konstruksi berfikir tentang zakat di BAZDA terlihat dalam tabel 8 yang
menggambarkan bagaimana relasi antara pengetahuan agama, sains modern
135
dan pengetahuan lokal dengan agamawan, birokrat dan akademisi sebagai aktor
dominan dalam tatakelola zakat berbasis pemerintah.
Agamawan (ulama) disini menjadi pemangku kuasa pengetahuan agama
dan menjadikan agama sebagai basis pengetahuan utama (landasan moraletika), dan sains modern oleh ulama dijadikan sebagai basis legitimasi rasional,
sementara pengetahuan lokal dijadikan sebagai fenomena sejarah yang
sebaiknya disesuaikan dengan kondisi kekinian.
Birokrat sebagai penguasa ruang administrasi pemerintahan menjadikan
pengetahuan modern sebagai basis utama, pengetahuan agama bagi mereka
dijadikan sebagai basis normatif dan sebagai basis justifikasi nilai untuk
menjamin terpenuhi norma dan diterimanya sebagai tatakelola zakat yang sesuai
dengan ajaran agama yang difahami. Pengetahuan lokal disini dilihat sebagai hal
yang tradisional dan selayaknya diadakan penyesuaian dengan kondisi yang
ada.
Akibatnya
pengetahuan
lokal
terpinggirkan,
dan
selalu
dianggap
terbelakang, harus diinovasi dan bahkan ditinggalkan manakala tidak bisa
bersinergis dengan logika modern. Birokrat berbasis pengetahuan modern
menggunakan kekuatan birokrasi dan institusi mengintervensi ruang kognisi
ummat
melalui
diskursus
dalam
proses
objektivasi,
internalisasi
dan
eksternalisasi, yang menyebar ke segala ruang sosial yang mendesak ruang
kuasa ulama dan elit lokal ke wilayah pinggiran yang semakin sempit.
Agamawan dalam praktek tatakelola di BAZDA, ruang kuasanya dalam
wacana zakat terbatasi hanya pada wacana zakat dalam konteks ajaran. Ruang
kuasa pengetahuan agama begitu dipersempit dan terdominasi oleh ruang
pengetahuan modern dengan menempatkan wacana tatakelola zakat yang
dikaitkan dengan administrasi pemerintahan yang dipangku oleh elit pemerintah
daerah. Disini ditemukan interaksi antar pengetahuan bersama pemangku
kuasanya. Relasi dinamis terjadi dan saling tarik menarik dalam kepentingan
aktor dengan konsekuensi meluas atau menyempitnya ruang kuasa masingmasing.
Pengetahuan agama dan pengetahuan lokal dalam ruang birokrasi
negara menjadi lemah dan terkalahkan
karena pemangku kuasanya dalam
posisi yang tersubordinasi dibawah kuasa birokrat sebagai aparat pemerintah.
Akademisi sebagai sebagai perwakilan kelompok ahli, yang selalu
menempati ruang Dewan Pertimbangan dalam struktur organisasi BAZDA,
menjadi pemangku kuasa kontrol atas pelaksanaan tatakelola zakat. Kuasa
136
mereka disini meliputi wewenang memberikan pertimbangan-pertimbangan dan
nasehat-nasehat tentang bagaiaman tatakelola sebaiknyan dilaksanakan sesuai
dengan aturan perundang-undangan dan bagaimana agar tercapai tujuan
maksimal
bagi
upaya
pemanfaatan
zakat
dalam
mewujudkan
upaya
pengentasan kemiskinan.
Tabe 9 : Relasi Antar Pengetahuan dalam Badan Amil Zakat Daerah
Pengetahuan
Agama
Sain Modern
Local
Knowledge
Agama
-----
Negosiasi
Tantangan
Sain Modern
Negosiasi
-----
Tantangan
Local Knowledge
Tantangan
Tantangan
------
Sumber : Data lapang, 2008 (diolah)
Relasi antar pengetahuan dalam tatakelola zakat berbasis negara terlihat
pada tabel 9. Pada tabel menggambarkan bahwa antara pengetahuan agama
dan sains modern berlangsung melalui negosiasi dimana ruang kerja masingmasing saling tarik ulur dan mengalami pembatasan yang jelas. Pengetahuan
agama bekerja pada ruang normatif sementara sains modern lebih pada ruang
manajemen sistem tatakelola. Pengetahuan lokal bagi pengetahuan agama dan
sains dianggap sebagai tantangan yang harus di modernkan dan dirasionalkan.
Ruang kerja dan kuasa pengetahuan agama pada praktek tatakelola zakat
di BAZDA terbatasi oleh ruang kuasa pengetahuan administrasi pemerintahan.
Ruang pengetahuan agama disini dipangku oleh sosok agamawan yang tidak
sekuat kuasa agamawan pada komunitas. Kalau agamawan pada komunitas
memiliki kekuasaan yang penuh atas ruang pengetahuan agama hingga pada
bagaimana agama di praktekkan secara bebas dan hanya tunduk dalam satu
ruang kuasa yaitu ruang kuasa pengetahuan agama. Sementara agamawan di
BAZDA, mereka adalah agamawan bias pemerintah yang menjadi penguasa
ruang pengetahuan agama dengan legitimasi formal pemerintahan. Ruang kuasa
pengetahuan agama di BAZDA Provinsi Jambi secara simbolik terlihat menonjol
mewarnai praktek tatakelola zakat, dan ini terlihat ketika agamawan muncul
mewakili beberapa unsur, dari unsur tokoh masyarakat, dari unsur perguruan
tinggi, hingga unsur pemerintah. Namun ironisnya semua unsur tersebut
merupakan elemen yang tertundukkan dalam ruang kuasa pengetahuan
administrasi pemerintahan dan pembangunan daerah. Agamawan tidak lebih
137
sebagai
aparat
yang
menjadi
jaringan
kekuasaan
pemerintah
(aparat
pemerintah). Agamawan yang disimbolkan sebagai perwujudan ulama dan
pemangku kuasa ruang pengetahuan agama di BAZDA tidak lebih dari jejaring
aparatur pemerintah, yang tertundukkan dalam logika birokrasi pemerintahan.
Fenomena ini dibaca dalam konteks penudukkan dan penciutan ruang
kuasa pengetahuan agama. Agamawan yang dalam praktek tatakelola zakat di
BAZDA, logikanya tertundukkan dalam ruang kuasa pengetahuan administrasi
pemerintahan dan pembangunan daerah. Pengetahuan agama terkontaminasi,
terkebiri, terbatasi dan terarahkan oleh ruang kuasa pengetahuan administrasi
pemerintahan berorientasi pembangunan. Ummat berzakat bukan semata-mata
dimaknai sebagai praktek beragama, yang termotivasi oleh relasi ke-Tuhan-an,
keyakinan pada nilai dan ajaran serta dosa dan pahala dari Allah , namun lebih
merupakan praktek sosial yang terdorong oleh relasi administrasi dan birokrasi,
kepatuhan pada aturan formal, sistem institusi, karena tekanan aturan formal dan
penghargaan administasi-birokrasi.
Tabel 10 : Pertemuan Pengetahuan dalam Badan Amil Zakat Daerah
Pengetahuan
Agama
Sain Modern
Local Knowledge
Agama
Decoupling  Ilmu
yang satu dengan
kian sulit
dipertemukan
Sinergis terjadi
trasformasi syari’ah (fiqh
kelasik dan
kontemporer),
spiritualisasi simbolik
dan teknologisasi zakat
Asimetris
Sain Modern
Sinergis terjadi
trasformasi syari’ah
(fiqh kelasik dan
kontemporer),
spiritualisasi
simbolik dan
teknologisasi zakat
Bersinergis  ekonomi
dan politik serta
pengetahuan lainnya
saling dukung
Dominasi
pengetahuan lokal
terintervensi
Lokal
Knowledge
Asimetris
Dominasi 
pengetahuan lokal
terintervensi
Decoupling  masingmasing bagian jalan
sendiri-sendiri, tanpa
komunikasi yang berarti
Sumber : Data lapang, 2008 (diolah)
Pertemuan antar pengetahuan dalam praktek tatakelola zakat di BAZDA
Jambi (lihat tabel 10) menujukkan bahwa antar pengetahuan agama selalu tidak
ada sinergis dan tidak saling merajut. Pengetahuan fiqh dan tauhid menjadi
saling
berjalan
sendiri-sendiri
sehingga
pengetahuan
agama
seakan
terfragmentasi. Berbeda dengan pertemuan antara pengetahuan agama dan
138
sains modern, disana terjadi sinergis dan saling mengisi, namun pengetahuan
agama lebih pada posisi yang menyesuaikan dengan logika sains modern
sehingga yang terjadi adalah transformasi syari‘ah, rasionalisasi zakat dan
teknokratisasi zakat. Sedangkan pertemuan antara pengetahuan agama dan
pengetahuan lokal lebih menunjukkan hubungan yang asimetris, dimana
pengetahuan lokal pada BAZDA di posisikan sebagai pengetahuan yang harus di
rasionalkan dan ditundukkan dalam logika sains modern.
Pertemuan
menempatkan
antara
pengetahuan
pengetahuan
lokal
pada
modern
posisi
dan
pengetahuan
terdominasi
dan
lokal
selalu
terinventensi oleh pengetahuan modern sebagai bentuk perombakan rasionalitas
dari logika budaya lokal ke arah logika modern yang rasionalitasnya tunduk pada
logika sains modern. Pertemuan pengetahuan lokal dalam konteks budaya bukan
sinergis antara budaya yang terjadi tetapi malah decopling, dimana masingmasing berjalan sendiri-sendiri ada sinergis antar tradisi. Tradisi berzakat hampir
tidak berhubungan dengan tradisi kedermawanan lainnya saperti: tradisi berinfak,
tradisi bersedekah apalagi tradisi sedekahan/selamatan yang didalamnya
terdapat budaya berderma.
5.2.3. Kuasa Pengetahuan Zakat dalam LAZ-SP
Struktur kuasa pengetahuan dalam lembaga tatakelola zakat berbasis
swasta/industri ditemukan bahwa di sana bekerja dua pengetahuan dalam
wacana tatakelola zakat, yaitu pengetahuan agama yang pemangku kuasanya
adalah agamawan perusahaan dan pengetahuan ekonomi yang pemangku
kuasanya adalah pelaku ekonomi industri. Dua rezim pengetahuan tersebut
bertemu, bergesekkan dan saling merajut ketika pengusaha berinteraksi dengan
agamawan
perusahaan
dalam
membangunan
konstruksi
sosial
kuasa
pengetahuan zakat swasta. Kekuatan dan dominasi ruang masing-masing
pemangku kuasa pengetahuan memberikan pengaruh terhadap ruang kuasa dan
kerja pengetahuan tersebut. Relasi keduanya melahirkan dominasi terhadap
yang lainnya.
Petikan dari wawancana pada box 5.2.3 menunjukkan bagaimana
pengetahuan bekerja dan membangun kekuasaan serta dimanfaatkan oleh para
pemangkunya dalam Lembaga Amil Zakat (LAZ) Semen Padang. Fenomena
139
saling mendominasi satu dengan yang lainnya dan menempatkan muzakki dan
ustahik dalam ruang yang terkuasai dan tertundukkan.
Box 5.2.3 : Kuasa Pengetahuan Zakat LAZ-SP
Lembaga Amil Zakat (LAZ) PT. SP awalnya terbentuk dari kesadaran para karyawan melaksanakan
kewajiban agama (1995) yang masih menempatkan ruang kuasa pengetahuan agama yang luas. Ruang
kuasa pengetahuan agama tersaingi ketika lembaga ini masuk dalam system kerja perusahaan (1997), dan
terbentuknya lembaga zakat khusus (1998) berupa Badan Amil Zakat Infak dan Shadaqah (BAZIS) dan
respon dari terbitnya UU No. 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, berubah menjadi Yayasan sejak
tahun 2001 dengan akta notaris tertanggal 31 Desember 2001 dengan Notariat Dasrizal, SH. dan perubahan
akta notaris dengan No. 05/5/Y/2002 tanggal 21 Januari 2002. Secara organisatoris personilnya terdiri dari
para Direksi PT.. SP yang menempati posisi sebagai Badan Pendiri, Dewan Pertimbangan, Badan
Pengurus dan Badan Pengawas. Untuk Dewan Syari‘ah ditempati oleh unsur agamawan perusahaan
bersama agamawan luar yang berasal dari unsur perguruan tinggi dan Majelis Ulama Padang. Sementara
untuk pelaksana harian di tempati oleh pensiunan karyawan PT. Semen Padang.
Kekuasaan tertinggi berada pada dewan pendiri dengan hak dan wewenang yang luas dalam hal:
mengangkat dan memberhentikan Dewan Pertimbangan, Badan Pengurus dan Badan Pengawas serta
Pelakasana Harian. Keberadaan Dewan Syari‘ah, mereka memiliki ruang kuasa dalam hal memberikan
pertimbangan-pertimbangan dalam pelaksanaan zakat terkait dengan agama dalam konteks zakat sebagai
ajaran agama. Dewan Syari‘ah disini hanya tempat berkonsultasi dan bertanya tentang zakat sebagai
ajaran agama. Dalam pengelolaannya, zakat disini kelola dengan manajemen modern dibawah payung
manajemen industri. Organisasi LAZ-SP, terdiri dari dua bagian pokok, yaitu : Badan Pengurus yang
merupakan pengurus inti yang personilnya dari Direksi dan Manajer perusahaan PT. Semen Padang, yang
memegang kekuasaan penuh terkait dengan kebijakan organisasi, Pengurus Kesekretariatan, yang
personilnya merupakan karyawan yayasan LAZ-SP dan tidak terikat langsung dengan perusahaan. Mereka
di gaji oleh LAZ-SP. Ketuanya adalah bekas karyawan senior perusahaan yang telah pensiun.
Muzakki mayoritas dari karyawan PT. SP yang zakatnya dipungut sebanyak 2,5% melalui
mekanisme administrasi keuangan perusahaan terhadap semua pendapatan yang sah dari perusahaan (dari
gaji, honor hingga bonus). Tidak ada satupun karyawan yang tidak terpotong zakatnya, mulai dari karyawan
tetap hingga karyawan musiman. Mustahik memperoleh haknya dengan terlebih dahulu mengajukan
permohonan dalam bentuk proposal yang nantinya akan disurvei oleh pengurus LAZ-SP untuk kemudian
diputuskan oleh dewan pengurus yang diketuai oleh salah satu dari direksi perusahaan. Ada prioritas utama
terhadap calon muzakki yang tempat tinggalnya lebih dekat dengan wilayah operasi perusahaan.
LAZ - SP dalam praktek pengelolaan zakat melibatkan dua unsur aktor,
yaitu : Unsur Pengusaha (manajemen perusahan) dan Unsur Agamawan
Perusahaan. Dua unsur tersebut memiliki basis pengetahuan yang berbeda,
unsur perusahaan berbasis sains modern khususnya manajemen dan ekonomi
industri, dengan landasan etika-moral ekonomi (profit dan utility maximization),
dan agamawan berbasis pengetahuan agama dengan landasan etika-moral
asceticism. Akibatnya pada LAZ bertemu dua rezim pengetahuan yang masingmasing memiliki kuasa dalam praktek tatakelola zakat LAZ-SP. Rezim
pengetahuan agama sebagai wilayah kuasa agamawan perusahaan dan rezim
pengetahuan manajemen industri sebagai wilayah kuasa para Direksi dan
Manajemen PT. SP.
Agamawan perusahaan disini
bersinergis dengan ‖agamawan negara‖,
dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan akademisi. Mereka menguasai ruang
pengetahuan pada wilayah fatwa zakat sebagai Dewan Syariah pada LAZ.
Sementara
direksi atau manajer perusahaan menguasai ruang pengetahuan
manajemen industri/swasta dengan kekuasaan pada wilayah tatakelola LAZ.
140
Pembagian wilayah kerja terjadi dalam proses tarik-menarik kekuasaan antara
keduanya. Kuasa agamawan terbatasi dan terkalahkan oleh direksi atau manajer
yang menguasai ruang manajemen tatakelola, sehingga agamawan terdominasi
dan terpinggirkan, mereka bekerja dalam ruang terbatas dan hanya menjadi alat
legitimasi dan justifikasi moral untuk bisa dipandang sebagai lembaga tatakelola
zakat berbasis ajaran agama.
Bekerja dan berkuasanya pengetahuan ekonomi modern dilandasi oleh
terbangunnya konstruksi sosial kuasa pengetahuan ekonomi dalam ruang
gagasan atau kognisi masyarakat perusahaan. Konstruksi sosial kuasa
pengetahuan tersebut dibangun dalam proses penafsiran atas konsep zakat
sebagai ajaran wahyu dalam ranah ekonomi dengan statemen-statemen
lekonomi seperti konsep : efisiensi, kesejahteraan, dan pemberdayaan. Konsepkonsep ini mucul dari proses penafsiran terhadap zakat dalam kerangka
pengetahuan ekonomi yang memandang zakat sebagai intrumen kesejahteraan
dan pemberdayaan sehingga harus di kelola dengan manajemen ekonomi.
Memandang zakat dalam kerangka pengetahuan ekonomi dengan
menggunakan statemen-statemen ekonomi membawa zakat masuk dalam ruang
kuasa rezim pengetahuan ekonomi. Logika ekonomi menguasai wacana zakat,
sehingga siapapun yang berbicara tentang zakat disana harus dalam ruang dan
kerangka logika ekonomi, selain itu dianggap tidak tepat dan hanya akan
berakhir dengan zakat yang tidak memberikan manfaat bagi perbaikan
kesejahteraan kaum lemah atau tidak memberdayaan, bahkan dianggap
melanggengkan budaya menerima sedekah.
Proses terbangunnya konstruksi kuasa pengetahuan ekonomi atas wacana
zakat di LAZ-SP, melalui tiga momen proses terbangunnya konstruksi sosial atas
realitas ala Bergerian (1990). Melalui momen objektivasi ketika zakat melembaga
dalam ruang kerja swasta yang diinternalisasikan
melalui wacana zakat dan
pemberdayaan serta wacana Coorporate Social Responsibility (CSR). Wacana
tersebut sosialisasikan dalam ruang gagasan komunitas perusahaan dalam
kerangka kerja pengetahuan dan logika ekonomi sebagai basis pengetahuan
dominan. Momen internalisasi berproses dalam ruang gagasan dan diolah dalam
kerangka logika ekonomi industri sebagai basis budaya komunitas perusahaan.
Hasil dari interaksi gagasan zakat dan logika ekonomi industri dalam diskursus
zakat melahirkan penafsiran zakat yang dipengaruhi oleh logika ekonomi melalui
141
momen eksternalisasi yang melahirkan gagasan zakat berbasis pengetahuan
ekonomi industri. Dari sinilah awal lahirnya gagasan dan praktek tatakelola zakat
berbasis industri dengan basis kuasa pengetahuan ekonomi.
Pengetahuan agama sebagai basis kuasa awal pengetahuan zakat, disini
melebur dalam kuasa dan dominasi pengetahuan ekonomi. Pemangku kuasa
wacana zakat yang semula adalah agamawan, berpindah ke pangkuan pelaku
ekonomi (pengusaha). Agamawan terkalahkan, tersubordinasi dan bahkan
terpinggirkan dalam ruang kuasa wacana zakat dalam tatakelola zakat berbasis
swasta. Mereka hanya diberikan kuasa pada ruang yang sempit, yaitu pada
ruang fatwa syariah yang mewacanakan zakat sebagai ajaran wajib dalam
agama yang harus dipatuhi oleh ummat muslim. Tentang potensi sumberdaya
dalam kewajiban zakat, bagaimana zakat dikelola, dan pada hal apa zakat
dimanfaatkan, merupakan hak kuasa pelaku ekonomi (pengusaha).
Praktek tatakelola zakat LAZ–SP, dikuasai oleh dewan pengurus dari
direksi perusahaan, memiliki ruang kuasa dalam kebijakan lembaga. Mereka
setelah mendapatkan fatwa dari agamawan sebagai justifikasi nilai dan ajaran
agama, mereka bekerja dengan logika ekonomi dan manajemen industri,
mengorganisir muzakki dan mustahik sebagai upaya akumulasi dana zakat dan
mendistribusikannya dalam koridor manajemen ekonomi industri. Artinya zakat
disini
dikelola
dalam
kerangkan
logika
ekonomi
dan
manajemen
perusahan/industri.
Tabel 11 : Relasi Aktor dan Pengetahuan Dalam Tatakelola Zakat Swasta
Aktor
Agamawan
Manajer
Agama
Basis Utama
Justifikasi
Pengetahuan
Sain Modern
Local Knowledge
Legitimasi
Innovasi
Basis Utama
Innovasi
Sumber : Data Lapang, 2008 (diolah)
Pada tabel 11 memperlihatkan bahwa di LAZ-SP, agamawan (ulama)
menjadikan agama sebagai basis pengetahuan utama, namun pada saat yang
sama sains modern dijadikan sebagai alat legitimasi atas rasionlitas ekonomi dan
manajemen modern. Pengetahuan lokal bagi ulama perusahaan ini dianggap
harus diinovasi untuk memenuhi logika ekonomi yang memayungi LAZ
perusahaan. Sementara manajer perusahaan sebagai pemangku kuasa pada
LAZ-SP, menjadikan sains modern sebagai basis pengetahuan utama dan
142
pengetahuan agama sebagai alat justifikasi bahwa peraktik tatakelola zakat pada
LAZ - SP sesuai dengan ajaran agama.
Ruang kerja pengetahuan agama dalam tatakelola zakat oleh LAZ-SP,
melingkupi wilayah zakat dalam konteks nilai dan ajaran agama yang wajib.
Disini
pengetahuan agama hanya bekerja menilai dan menentukan apakah
pengelolaan tersebut telah mengikuti tuntunan syariah. Agamawan hanya bisa
bicara dalam ruang normatif di mana zakat sebagai kewajiban beragama dan
ajaran agama. Pengetahuan agama dan agamawan terbatasi oleh ruang
ekonomi dan manajemen ketika masuk dalam wilayah tatakelola zakat. Yang
berkuasa disana adalah pengetahuan modern khususnya ekonomi dan
manajemen
industri modern.
Ruang
kuasa pengetahuan
ekonomi dan
manajemen industri disini sangat luas dan melingkupi semua ruang tatakelola,
dan akibatnya konstruksi pengetahuan zakat yang terbentukpun didominasi oleh
logika ekonomi dan manajemen industri. Lalu zakat tidak lagi dipandang hanya
sebagai fenomena beragama tapi telah menjadi fenomena berekonomi.
Pada tabel 12 menunjukkan bahwa : Ruang kuasa Pengetahuan agama
dalam sistem tatakelola zakat LAZ-SP begitu sempit dan hanya melingkupi ruang
wacana zakat dalam kaitannya dengan nilai ajaran agama. Pengetahuan agama
terdominasi oleh logika sains dan agamawan hanya bisa bersuara dalam konteks
zakat sebagai realitas normatif sementara sebagai realitas sosial ekonomi masuk
dalam ruang pengetahuan ekonomi. Ruang kuasa pengetahuan ekonomi dan
manajemen Industri lebih luas dan melingkupi wilayah mekanisme dan sistem
tatakelola zakat, kemana zakat dimanfaatkan, untuk tujuan apa, bagaimana
mekanisme
pendistribusiannya
serta
atas pertimbangan
apa
seseorang
dinyatakan berhak menjadi mustahik.
Tabel 12 : Relasi antar Pengetahuan dalam Tatakelola Zakat Swasta
Pengetahuan
Agama
Sain Modern
Agama
----
Sain Modern
Dominasi sains  agama
Rasional
Dominasi sains  agama
rasional
------
Sumber : Data primer, 2008 (diolah)
Penciutan ruang kuasa agamawan didukung oleh hadirnya kelompok
akademisi dan tokoh masyarakat yang terdidik, diikutkan oleh perusahaan
sebagai bagian dari sistem tatakelola zakat LAZ-SP. Mereka lebih memunculkan
wacana zakat dalam konteks ekonomi dibanding dalam konteks nilai dan ajaran
143
agama. Tatakelola zakat dianggap penting demi pemanfaatan potensi ekonomi
dan tujuan ekonomi, sementara zakat sebagai nilai dan ajaran dalam potensi
ibadah
(mendekatkan
diri
dengan
Allah)
dan
tujuan
penyelamatan
(membersihkan diri dan harta) perlahan tergusur dan terpinggirkan.
Pertemuan kuasa pengetahuan agama dan Pengetahuan ekonomi dalam
tatakelola zakat LAZ-SP, terlihat kalau di sana ruang kuasa pengetahuan agama
menyempit dan terbatasi. Benturan logika agama dan logika ekonomi terjadi
dengan
akhir
yang
dimenangkan
oleh
logika
ekonomi,
logika
agama
tertundukkan dan untuk bisa terus memiliki ruang, maka logika agama harus
beradaptasi dan makin rasional agar bisa bersinergis dengan rasionalitas
ekonomi hingga mewacanakan tatakelola zakat dalam konteks ekonomi.
Zakat
dianggap
sebagai
sumberdaya
ekonomi
serta
instrumen
pensejahteraan, perlu dikelola dengan mekanisme industri. Zakat bisa sebagai
strategi peningkatan produktifitas usaha dalam upaya menciptakan kondisi usaha
yang aman dan nyaman bagi investasi dan produksi. Ketika LAZ perusahaan
mampu memberdayakan masyarakat sekitar perusahaan, maka dukungan sosial
atau paling tidak pengakuan sebagai yang perusahaan mengayomi, dermawan
dan budiman diperoleh seketika, dan ini adalah modal yang besar bagi
perwujudan suasana usaha yang nyaman dan aman dari ancaman masalah
sosial sekitar perusahaan yang kondusif bagi peningkatan produktifitas ekonomi
dan keamanan investasi perusahaan.
5.3. Konstruksi Sosial Kuasa Pengetahuan Zakat
Konstruksi sosial pengetahuan zakat, ditemukan bahwa dari tiga entitas
sosial yang menerapkan tatakelola zakat, ditemukan tipologi dari konstruksi
sosial kuasa pengetahuan zakat dan model tatakelolanya dalam tiga tipe
sebagaimana terlihat pada tabel 13, yaitu : Pertama, tipe kelembagaan
komunitas berbasis pengetahuan lokal dengan rasionalitas budaya, terfokus
pada kepentingan penguatan lokal dan kemandirian komunitas, memobilisasi
tindakan berzakat dengan menggunakan kekuatan norma-norma tradisi lokal.
Model ini merupakan warisan tradisi masa lalu sebagai bentuk ketatakelolaan
zakat dibawah kuasa agamawan lokal.
144
Tabel 13 : Tipologi Tiga Lembaga Tatakelola Zakat
Indikator
Basis Kelembagaan
Basis Pengetahuan
Sistem rasionlitas
Orientasi
/Kepentingan
Civil Society
Negara
Budaya
Komunitas
Local Knowledge
Nilai /Budaya Lokal
Penguatan lokal dan
kemandirian
komunitas
Lokal
Justifikasi
Norma (moral) lokal
Swasta
Negara
Sain Modern
Politik
Penguatan Negara
(integratif)
Birokasi Pemerintah
(Modern)
Hukum positif
Industri
Sain Modern
Ekonomi
Maksimalisasi Profit
(pengamanan usaha /
infestasi)
Budaya Produksi
(Modern)
Hukum Positif dan Hak
perorangan (Logika
ekonomi)
Sumber : Data primer, 2008 (diolah)
Kedua, tipe kelembagaan zakat
negara berbasis pengetahuan politik
modern dengan rasionalitas politik, mengelola
zakat dengan kepentingan
penguatan negara menuju suasana integratif, memobilisasi zakat
dengan
menggunakan kekuatan hukum formal negara. Model ini merupakan model
kelembagaan zakat modern hasil dari pertemuan pengetahuan agama dan
pengetahuan politik modern. Dan ketiga, model swasta berbasis pengetahuan
ekonomi modern (industri) dengan rasionalitas ekonomi, mengelola zakat dengan
kepentingan maksimalisasi keuntungan, pengamanan ekonomi dan investasi,
memobilisasi zakat dengan menggunakan kekuatan hukum positif dan logika
ekonomi produksi yang mengetengahkan logika ekonomi dan hak perorangan.
5.3.1. Konstruksi Sosial Kuasa Pengetahuan Zakat LAZ Komunitas.
Zakat bagi komunitas di Provinsi Jambi, difahami sebagai ritual agama
yang wajib dilaksanakan karena posisinya sebagai rukun Islam. Oleh karena itu,
maka pengaturan zakat seharusnya tunduk pada pengetahuan agama dibawah
kuasa
agamawan.
Berzakat
dianggap
sebagai
kewajiban
memberikan
sebahagian harta untuk dibagikan kepada sekelompok orang yang tergolong
sebagai mustahik, yang konstruksi sebagai orang yang berekonomi lemah.
Berzakat bukan menyantuni kaum lemah, tapi lebih sebagai praktek memberikan
hak kaum lemah. Zakat oleh komunitas, dilaksanakan dalam dua cara; Pertama,
dengan cara individual. Cara ini dilakukan dengan muzakki memberikan sendiri
zakatnya secara langsung kepada mustahik. Kedua, melalui amil. Amil oleh
komunitas dianggap petugas untuk menerima zakat yang diperintahkan dalam
agama, sebagai perantara untuk kemudian disalurkan kepada mustahik. Cara
145
pertama berlangsung dipengaruhi oleh pertimbangan-pertimbangan: adanya
kedekatan relasi sosial antara muzakki dengan mustahik, pertimbangan
pengamanan
sosial
dan
kurangnya
kepercayaan
dengan
amil
serta
pertimbangan kultural yang memposisikan kelompok sosial tertentu sebagai
mustahik yang mendatangkan keberkahan jika zakat di serahkan padanya
(agamawan kharismatik dan tabib kampung). Sementara cara kedua, merupakan
ciri umum dari pengelolaan zakat komunitas.
Tentang bagaimana tatakelola zakat seharusnya dilakukan oleh komunitas
meyakini bahwa: 1) Zakat adalah ajaran agama yang bersumber dari wahyu
maka tatakelolanya harus diatur dengan norma agama,. 2) Zakat sebagai ajaran
agama harus tunduk pada norma agama, maka yang berhak dan berkuasa
penuh dalam tatakelolanya adalah ulama‟. 3) Zakat adalah ritual agama yang
bertujuan penguatan dan penyiaran agama, maka pengelolaannya sebaiknya
dekat dan dilekatkan dengan masjid.
5.3.1.1. Tatakelola Zakat Harus Diatur dengan Norma Agama
Zakat sebagai salah satu dari rukun Islam, bagi komunitas dipandang
bahwa tatakelolanya haruslah selalu dalam koridor ajaran agama dan segala
sesuatunya harus diatur berdasarkan hukum fiqh sebagai sumber hukum zakat
yang baku. Fiqh dikonstruksi sebagai tata aturan beragama hasil penafsiran dari
kitab suci al-Qur‘an dan al-Hadits oleh para ulama-ulama mujtahid yang
terpercaya.
Gambaran pemahaman yang menunjukkan bahwa zakat oleh komunitas di
Provinsi Jambi dikonstruksi sebagai ajaran yang harus dikelola dalam ruang
kuasa ajaran agama, terlihat dalam petikan wawancara dengan beberapa
informan yang menjabat imam masjid sekaligus amil
dalam tatakelola zakat
komunitas, terlihat pada box 5.3.1.1.
Box 5.3.1.1 : Aturan Yang Mengatur Tatakelola Zakat
Zakat oleh AAZ (61 tahun) Imam Masjid desa PMS , menyatakan bahwa, sekke (zakat) adalah rukun
Islam yang wajib, jadi semua aturannya harus menggunakan aturan agama yang berasal al-Qur‘an dan alHadits. Masalah yang belum diatur dalam al-Quran dan al-Hadits bisa menggunakan fatwa ulama‘. .... tapi
bukan ulama amplop dan berdasi.
Keterangan Ustad SDD (41 tahun) Amil zakat dan imam masjid Nurul Yaqin Desa SBN Kecamatan
Sabak Timur Tanjung Jabung Timur, bahwa :...dibolehkan adanya penafsiran baru tentang zakat, namun tetap
harus mempertimbangkan maksud syara‘ (tujuan agama) diwajibkannya zakat ; yaitu membangun hubungan
kepada Allah (hablu- min -Allah) dan kepada manusia (hablu min al-Nas).
Hubungan dengan Allah sebagai tanda syukur atas nikmat dan hubungan kepada manusia sebagai
kepedulian kepada sesama muslim yang lemah dan membutukan bantuan. ...perlu juga adanya aturan zakat
146
selain dari aturan agama, tapi hanya mengatur tatacara dan pengelolaan zakat untuk meningkatkan manfaat
zakat sesuai dengan ajaran agama. ... aturan aturan pemerintah dibutuhkan untuk mendorong orang Islam
agar berzakat....bukan mengambil alih pengelolaan zakat, seperti BAZDA‖
Zakat oleh komunitas, secara umum dikonstruksikan sebagai ajaran agama
dan sebagai rukun Islam yang diwajibkan kepada penganut Islam. Ajaran zakat
bersumber dari Wahyu (al-Qur‘an) yang penafsirannya oleh Rasulullah SAW
dalam bentuk al-Hadits. Pemahaman ini meyakini zakat sebagai ritual agama
dalam kerangka pemahaman normatif, karena ajaran agama secara hukum
dianggap telah lengkap diatur dalam kitab-kitab fiqh. Makanya kemudian oleh
mereka, zakat dianggap telah diatur dengan jelas dan lengkap dalam kitab-kitab
fiqh. Disini zakat dilihat sebagai fenomena beragama yang harus tunduk dalam
kerangka norma agama dan pengetahuan agama produk dari Nabi dan ulama.
Pemahaman lain, memandang bahwa boleh ada aturan lain sebagai
pendukung yang dibuat oleh manusia untuk mengatur zakat dalam praktek
berzakat dan pemanfaatan dana zakat. Namun aturan tersebut harus mengacu
pada aturan agama sebagai aturan pokok. Disini zakat difahami tidak hanya
sebagai fenomena ritual agama secara kaku, namun zakat juga dimaknai
sebagai fenomena sosial. Zakat dipandang sebagai ritual ibadah kepada Allah
yang bertujuan pengabdian dan untuk menjalin kedekatan hubungan dengan
Allah menuju kesalehan individu, sekaligus dimaknai sebagai praktek sosial
dalam upaya membangun relasi kemanusiaan menuju keshalehan sosial.
Pandangan pertama, menggambarkan konstruksi pengetahuan zakat
komunitas yang memandang zakat sebagai ajaran agama berbasis kuasa rezim
pengetahuan agama (fiqh) dengan pemangku kuasa agamawan. Konstruksi
pemahaman ini dibangun dalam proses kerja agamawan membangun ajaran dan
pengetahuan agama melalui mimbar dakwah masjid, pengajian dan pesantren.
Sang agamawan mengajarkan zakat sebagai satu ajaran ibadah dalam
beragama yang bersumber dari wahyu, ditafsirkan oleh Nabi dan ulama yang
kemudian berwujud dalam pengetahuan hukum fiqh. Zakat dikategorikan masuk
dalam ranah figh yang dikonstruksi sebagai fenomena beragama yang sudah
baku, tidak boleh diubah. Aturannya telah permanen dalam bangunan
pengetahuan fiqh.
Pengetahuan fiqh bekerja membangun kekuasaan melingkari ruang
wacana zakat, zakat kategorisasikan masuk dalam ruang kuasa pengetahuan
147
fiqh, membatasi orang untuk bicara zakat jika bukan sebagai ulama fiqh
(agamawan). Wacana zakat hanya boleh bergerak dalam ruang pengetahuan
fiqh, pengetahuan lain tidak diberikan ruang. Norma yang mengatur hanya norma
agama, norma lainnya tidak berlaku. Orang yang berhak dan memiliki kuasa
untuk bicara hanya ulama, selain itu dianggap tidak pantas, tidak layak dan
kebenarannya dipertnayakan, bahkan dianggap tidak benar.
Fenomena diterimanya aturan pemerintah, dalam batasan tertentu
merupakan hasil dari proses pelembagaan zakat melalui diskursus zakat
berbasis pengetahuan modern dibawah kuasa negara. Wacana zakat disini
menyebar dan merasuk masuk dalam ruang gagasan anggota komunitas melalui
sosialisasi pemikiran zakat oleh negara melalui berbagai sarana informasi dan
lembaga pendidikan serta media sebagai momen internalisasi. Disini gagasan
zakat warga komunitas berinteraksi dengan gagasan-gagasan dan logika lain
yang ditawarkan negara pada aras kognitif. Persentuhan gagasan zakat
komunitas dan gagasan zakat negara melebur melalui momen eksternalisasi
sebagai hasil pertemuan gagasan yang tak jarang terjadi reinterpretasi sebagai
hasil akhir. Rajutan berbagai pengetahuan yang ada dalam ruang kognitif disini
terjadi, bisa dalam bentuk sintesis, negosiasi hingga penudukan. Tafsiran ulang
tak terhindarkan dan disinilah awal terjadinya perubahan konstruksi sosial dan
kuasa pengetahuan zakat sebagai hasil interaksi antara pengetahuan agama
dan pengetahuan sekuler.
Konstruksi pengetahuan yang demikian merupakan fenomena-fenomena
sintesis atau bisa jadi penundukan dan pengakuan pengetahuan agama
terhadap pengetahuan modern. Fenomena adaptasi gagasan yang terjadi dan
terbaca sebagai bentuk tergiringnya pengetahuan agama oleh kekuatan
pengetahuan modern. Fenomena ini membawa pemahaman zakat komunitas
lebur dalam wacana zakat berbasis negara. Zakat yang tadinya diatur dengan
norma agama menjadi zakat diatur oleh norma negara, menggiring dari zakat
dikuasai oleh agamawan menjadi zakat dikuasai oleh pemerintah.
Respon LAZ masjid muncul dalam bentuk melakukan inovasi organisasi
yang awalnya hanya sebagai upaya mempertahankan diri agar tetap diakui
sebagai pengelola zakat yang sah. Namun kedepannya, pertarungan semakin
keras dan belangsung dalam pertarungan kuasa rezim pengetahuan, rasionalitas
dan kepentingan. Pertarungan akan terlihat nyata dalam tiga momen proses
148
membangun konstruksi sosial masyarakat atau produksi dan reproduksi
pengetahuan ala Berger (1990). Sosialisasi gagasan, pertemuan gagasan yang
menghasilkan reinterpretasi, hingga munculnya pengakuan dan pembenaran
terus menerus secara dialektis dan melahirkan konstruksi pengetahuan zakat
yang berbeda dengan sebelumnya, dan itu sangat ditentukan oleh rezim
pengetahuan apa dan pengetahuan siapa yang mendominasi wacana dan ruang
gagasan anggota komunitas.
5.3.1.2. Kuasa Tatakelola Zakat Melekat Pada Kuasa Agamawan
Ulama secara historis dalam diskursus agama dari waktu ke waktu
ditempatkan sebagai sosok yang bijak, suci dan mulia. Ulama juga dikontruksi
sebagai orang yang memiliki pengetahuan yang luas, sholeh dan memiliki
kedekatan dengan Allah, SWT. Konstruksi kesucian dan kemuliaan selalu
disertai dengan keyakinan bahwa mereka memiliki kemampuan supranatural
sebagai wujud dari kedekatannya Allah. Makanya tak jarang seorang ulama
selain sebagai pemimpin agama, ia juga dipercaya orang memiliki kemampuan
mengobati dengan doa dan jampi-jampinya, karena diyakini telah dianugrahkan
Allah kemampuan (karamah).
Kontruksi sosial masyarakat desa terhadap ulama yang sedemikian rupa
membuat ulama begitu dipercaya, dihormati dan dipatuhi. Kenyataan tersebut
terlihat dalam fenomena tatakelola zakat komunitas pada petikan-petikan
wawancara dengan informan dalam box 5.3.1.2.
Box 5.3.1.2 : Agamawan Sebagai Pemangku Kuasa Zakat
H. AN (40 tahun) Muzakki di Desa Simburnaik, menyatakan bahwa Panrita (ulama) adalah orang yang
bersih dan mulia, mereka itu orang yang alim, takut dengan Allah, dan selalu dekat dengan Allah . Mereka itu
orang yang terpercaya karena jujur dan ihlas dengan orang. Contohnya puang Imang (imam masjid) setiap
saat bersedia menjadi imam, datang medo‘akan orang, dan mengajari anak-anak mengaji tanpa dibayar,
dan tak pernah minta bayar.
Desa PMS dan SBN merupakan desa yang mempraktekkan pengelolaan zakat dibawah
pengelolaan puang imang (imam masjid) dengan berbasis masjid. Disana para amil menerima zakat dari
para muzakki yang datang sendiri mengantarkan zakat fitrahnya ke masjid atau kerumah sang ustad atau
imam. Sementara untuk zakat Maal, namun jika dalam bentuk hasil pertanian selalu di ditipkan di gudang
zakat (sekarang sudah tidak ada lagi) atau di simpan di gudang penggilingan dan yang dalam bentuk uang
selalu diserahkan langsung ke imam masjid atau Guru Ngaji.
Keterangan H. TMRN (45 tahun) sebagai seorang muzakki yang aktif membayar zakat di PMS
dengan bahasa yang kental dengan ciri bugisnya ia menyatakan bahwa : ‖...saya tak perlu tau uang zaka‘
(zakat) yang saya bayarkang kepada pak Imang (imam atau Guru agama kampung) digunakang untuk apa
atau diberikan kepada siapa, itu terserah pak Imang, pak orang tahu agama, dia taulah mana yang baik.
Yang penting saya sudah mengeluarkang zaka‘, jadi saya sudah melaksanakang kewajiban saya‖.
Namun menurut Ustad BHD (50 tahun) pengelola Zakat Desa Lambur I Kecamatan Muara Sabak,
bahwa : ....perlu di ingat bahwa Amil harus memenuhi beraberapa syarat moral dan ilmu tentang zakat. Amil
harus orang yang memiliki sifat Shidiq (jujur), Istiqamah (berkomiitmen), Amanah (menjaga kepercayaan),
dan Tablig (Komunikatif). Amil juga harus orang yang taat beragama, .... kalau kami disini yah amilnya imam
masjid.
149
Desa SBN merupakan desa yang sudah mengelola zakat sejak lama, dan
menempatkan imam masjid (puang imang) sebagai pemangku kuasa kelola
secara personal. Seorang imam masjid memiliki ruang kuasa yang luas dalam
menentukan harta apa saja yang dikenai zakat, berapa yang harus dikeluarkan,
bagaimana zakat di pungut dari muzakki, siapa yang berhak menerima, dan apa
saja
kriteria
mustahik.
Konstruksi
pengetahuan
zakat
komunitas
yang
menempatkan puang imang sebagai penguasa penuh wacana tatakelola zakat,
tidaklah terbangun dengan sendirinya sebagai akumulasi pengetahuan yang
terbentuk secara bebas dari pemahaman dan pemaknaan ummat.
Konstruksi tersebut merupakan hasil dari pergumulan wacana yang
dibentuk dan diarahkan oleh kaum agamawan sendiri dan membentuk kerangka
pemaknaan ummat terhadap tradisi berzakat. Disana sang puang imang
membangun dan membentuk wacana melalui mimbar khatib, pengajian,
madrasah, hingga kelembagaan masjid. Wacana dibangun, dikomunikasikan dan
disosialisasikan secara satu arah kepada publik. Publik menyerap dan
mengkonsumsi dalam ruang gagasan dan bergumul dalam logika terdalam.
Konstruksi sosial ulama sebagai yang selalu benar, suci dan tanpa kepentingan
memberikan pengaruh pada penerimaan masyarakat terhadap kemurnian
gagasan sang imam. Konstruksi sosial terhadap sang agamawan atau imam
sebagai sosok yang shaleh, suci, jujur, dan ikhlas17, membuat agamawan
medapatkan kekuasaan yang didelegasikan oleh ummat melalui kepercayaan
untuk memimpin ritual beragama khususnya berzakat.
Konstruksi pengetahuan zakat yang terbangun, didalamnya terbentuk
keyakinan bahwa, berzakat harus ikhlas hanya karena Allah dan membuang
semua rasa ragu, prasangka dan motif duniawi. Karena itu ummat kemudian
tidak banyak bertanya, dan kurang mau tahu tentang bagaimana zakat mereka
dikelola dan kemana saja dimanfaatkan oleh agamawan. Mereka takut amalnya
rusak atau berkurang pahalanya karena dianggap tidak ikhlas. Mereka tidak mau
17
Menurut bahasa, di dalam kata Ikhlas terkandung beberapa makna yang menggambarkan inti dari Ihklash,
yaitu; jernih, bersih, suci dari campuran dan pencemaran, baik berupa materi maupun non materi. Rasulullah
saw pernah bersabda tentang sifat yang mulia ini, “Barangsiapa yang tujuan utamanya meraih pahala akhirat,
niscaya Allah akan menjadikan kekayaannya dalam kalbunya, menghimpunkan baginya semua potensi yang
dimilikinya, dan dunia akan datang sendiri kepadanya seraya mengejarnya. Sebaliknya, barangsiapa yang
tujuan utamanya meraih dunia, niscaya Allah akan menjadikan kemiskinannya berada di depan matanya,
membuyarkan semua potensi yang dimilikinya, dan dunia tidak akan datang sendiri kepadanya kecuali menurut
apa yang telah ditakdirkan untuknya“. (HR: Tirmidzi).
150
terpublikasikan karena takut masuk kategori riya‟18. Banyak bertanya diangggap
tabu dan tidak ikhlas ketika ingin mengetahui dan menelusuri lebih jauh kemana
dan bagaimana zakatnya dimanfaatkan oleh sang puang imang. Pemahaman ini
membuat sang agamawan memiliki ruang kuasa yang luas dan leluasa, namun
bukan berarti tanpa kontrol sosial dari masyarakat. Sekali saja sang agamawan
diketahui melenceng dari tata aturan norma tradisi, maka mereka akan hancur
dan terbuang, bahkan akan terasing secara sosial dalam komunitas.
Konstruksi sosial terhadap agamawan Puang Imang (sang imam) yang
terbangun dalam keyakinan ummat bahwa mereka sebagai ulama/agamawan
merupakan pewaris kenabian (prophetic) atau sebagai wakil Allah untuk
mengatur ummat, memberikan kekuatan untuk memiliki kuasa yang kokoh dan
luas dalam ruang agama termasuk zakat dan akibantnya merekapun harus
menyesuaikan diri dan tunduk pada konstruksi sosial ummat. Bagi komunitas
mematuhi agamawan/ulama adalah sebuah kewajiban yang menyertai kewajiban
kepada Allah dan Rasul-Nya. Konstruksi pengetahuan zakat dan peran prophetic
sang puang imang, menggiring ummat berzakat hanya sebatas mematuhi, dan
melaksanakan kewajibannya dengan membayarkan zakat ke amil (puang
imang/Guru Agama).
Sikap
apatis muzakki atas pemanfaatan
dana
zakat
yang
telah
dikeluarkannya, atau kepercayaan muzakki terhadap amil (puang imang),
merupakan hasil dari bangunan pengetahuan yang terbangun melalui proses
transfer pengetahuan agama yang dilakukan oleh guru agama dalam komunitas.
Konstruksi pengetahuan yang memandang berzakat dan bershadaqah yang baik
adalah tanpa perlu diketahui oleh orang lain (memberikan dengan tangan kanan
tanpa harus diketahui oleh tangan kiri). Akibatnya motivasi berzakat sebatas
memenuhi kewajiban, tidak ada motivasi untuk tahu dan mencampuri lebih jauh
atas pemanfaatan dana zakat yang telah di keluarkannya.
Kepemilikan harta dikonstruksi sebagai rezeki yang anugerah Allah yang
harus dipertanggungjawabkan, tidak bisa dijamin kesuciannya dan selalu disana
ada hak orang lain karena bisa jadi dalam proses memperolehnya menzolimi
18
Lawan dari Ikhlas adalah Riya. Makna riya dapat diartikan di mana seorang muslim memperlihatkan amalnya
pada manusia dengan harapan mendapat posisi, kedudukan, pujian, dan segala bentuk keduniaan lainnya.
Riya merupakan sifat atau ciri khas orang-orang munafik. Disebutkan dalam surat An-Nisaa ayat 142,
―Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila
mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat itu) di
hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali.‖
151
orang lain, sehingga harus dizakati sebagai sebuah prosesi ritual pembersihan
harta. Prosesi ritual zakat melibatkan orang yang terpercaya sebagai pemimpin
ritual pembersihan harta dari kotoran dan memimpin doa untuk memperoleh
berkah dan kedepan memperoleh harta berlipat ganda.
Ritual penyerahan zakat diyakini sebagai proses yang sakral. Pada proses
ritual tersebut dilakukan dengan rentetan doa-doa suci, oleh karena itu maka
orang suci yang dekat dengan Allah dibutuhkan disini. Konstruksi sosial yang
suci dan dekat dengan Allah membuat puang imang menjadi sosok yang paling
tepat sebagai pemimpin ritual zakat. Disini bangunan pengetahuan zakat yang
memandang zakat sebagai kewajiban pembersih diri dan melipat gandakan
harta, dan sebagai proses pelepasan hak atas kewajiban terhadap harta dari
muzakki ke mustahik melalui tangan amil (puang Imang).
Ritual
transaksi kemudian menjadi awal dari terbangunnya pemaknaan
bahwa zakat setelah diserahkan ke imam, maka sejak itu sudah berpindah hak
kepada amil untuk disalurkan kepada yang berhak, dan salah satu yang berhak
adalah Amil sekaligus sebagai puang imang sebagai kelompok orang yang
berjuang di jalan Allah untuk menyiarkan dan menegakkan agama. Lepasnya
hak kuasa atas harta dari mustahik ke Amil memposisikan imam yang bertindak
sebagai amil menjadi penguasa tunggal atas hak mendistribusikan dan
memanfaatkan harta zakat yang terkumpul.
Semua pemahaman di atas memberikan ruang kuasa yang luas kepada
sang agamawan/sang imam dalam ruang kuasa zakat dan tatakelolanya. Mereka
diposisikan sebagai orang yang diberikan hak oleh Allah, pantas karena memiliki
penguasaan pengetahuan dan mendapatkan legitimasi dari ajaran dan
masyarakat sebagai hasil dari proses dilalektika konstruksi sosial kuasa
agamawan dalam arena berzakat ummat.
5.3.1.3. Lembaga Tatakelola Zakat Melekat Pada Kelembagaan Masjid
Puang Imang dan Masjid19 merupakan dua hal yang terpisahkan, adanya
imam karena adanya masjid, dan struktur masjid baru bisa berjalan dengan
adanya puang imang. Masjid bagi komunitas desa selalu sebagai pusat utama
19
Masjid adalah salah satu derivasi kata "sajada" yang berarti tempat sujud, tempat shalat. Secara
semantik masjid berarti tempat sujud atau tempat shalat. Disamping pengertian semantik ini, masjid
juga mempunyai pengertian 'syarak', dalam pengertian ini masjid adalah sebuah bangunan, tempat
ibadah umat Islam, yang digunakan umat terutama sebagai tempat dilangsungkannya shalat jama'ah.
152
ritual agama dan budaya, bahkan tak jarang menjadi arena negosiasi sosial
politik. Masjid menjadi salah satu wilayah kekuasaan yang kerjanya melintasi
struktur kuasa dalam masyarakat, ruang kuasanya bekerja dari ruang agama
hingga politik desa. Kekuasaan sosial politik dalam masyarakat desa selalu
membutuhkan legitimasi sturuktur kelembagaan masjid untuk bisa kuat dan
diterima. Terlihat pada petikan wawancana pada box 5.3.1.3 berikut
Box 5.3.1.3 : Zakat Melekat Dengan Kelembagaan Masjid
Cerita H. AAZ (61 tahun), .......pengurusang zakat (sekke) bagusnya di masjid (masigi). Di masjid nanti
zakat diurus imam (puang imang...apalagi zakat kan urusan ibadah kepada Allah... Masjid itu tempat orang
melakukan ibadah, dan pada zamang Rasulullah, Masjid tempat untuk mengatur semua urusan agama.
bukang cuma tempat sempajang (sholat). ...Masjid adalah tempat suci yang harus dimuliakan, karena masjid
tempat orang mendekatkan diri dengan Allah. .... Masjid (Masigi) itu rumah Allah, kalau mau deka dengan
Allah harusnya selalu dekat dengan masjid dan memuliakang masjid.... Cara memuliakang masjid yah seringsering beribadah ke masjid. Sembahyang di masjid,.... menyerahkan Zakat ke masjid..............sekke adalah
kewajiban untuk mengeluarkan sebahagian harta untuk kepentingan agama ; Fakir miskin diberikan zakat
supaya tidak kufur karena kemiskinannya. Muallaf supaya keimanannya bertambah, Ibnu sabil untuk
memudahkan mereka yang berjuang di jalan Allah untuk membesarkan agama, sedangkan Fisabillah untuk
kepentingan mendukung syiar dan kekuatan agama. Untuk menguatkan agama adalah dengan meramaikan
masjid... Masjid dan Zakat paham oleh sebagai dua fenomena agama yang saling berhubungan erat. Masjid
sebagai tempat ritual agama milik Allah yang dibangun oleh ummat untuk kepentingan syiar agama. Masjid
dibangun dengan mengorbankan harta, termasuk zakat yang dilandasi keimanan dan kecintaan kepada Allah
Keterangan H. TMR (58 tahun) ...kalau kami lebih percaya menyerahkan zakat ke masjid kepada imam
masjid, ....saya percaya imam masjid sebab dia yang taat beragama dan ikhlas mengurus masjid tanpa
diupah. Imam mengurus masjid dan agama hanya kerena Allah, jadi juga berhak menerima zakat.
Keterangan Suminto (1990) ketika membahas Politik Islam Hindia Belanda,
menyatakan bahwa sejak dahulu telah terjadi pergolakan zakat di Mushollah atau
Langgar-Langgar di tanah air ini, yang dijalankan secara sederhana dan
tradisional. Masa ini zakat menjadi sumber kekuatan politik dan ekonomi bagi
penghulu, pengurus masjid dan kepala desa (Hafiduddin dkk, 2003)
Sekke‘ (zakat), puang imang (imam masjid) dan masĩgi‟ (masjid) dalam
fenomena tatakelola zakat komunitas, merupakan tiga hal yang tidak bisa
dipisahkan, ketiganya selalu hadir bersamaan dalam praktek berzakat di
pedesaan meski terkadang masjid tergantikan oleh madrasah atau malah rumah
kediaman sang imam. Namun masjid tetap saja selalu menjadi pusat utama dan
sekaligus menjadi sasaran pemanfaatan dana zakat.
Masjid merupakan tempat ummat menunjukkan penundukkannya yang
paling tinggi kepada Allah di bawah kepemimpinan sang imam. Masjid adalah
tempat yang dianggap suci dan orang yang masuk selalu harus dalam kondisi
suci20. Masjid merupakan tempat dimana seorang imam menempati struktur
20
Kondisi dimana orang bersih berhadas besar, (junub, haid, dan nifas) lakilaki /wani ta yang junub, dan
wanita yang haid atau nifas, menurut jumhur ulama, diharamkan menetap (tinggal dalam masjid), hadits
Rasulullah SAW: "Saya tidak membolehkan masjid bagi perempuan haid dan orang-orang yang junub."
(H.R. Abu Dawud) Akan tetapi, mereka berbeda pendapat tentang melintasinya.
153
tertinggi dengan kekuasaan yang besar untuk mengarahkan, mengkondisikan
dan membentuk masyarakat. Di masjid struktur sosial luar masjid melemah dan
melebur dalam struktur masjid dibawah kuasa sang imam.
Sosok imam masjid sebagai agamawan pedesaan adalah pemimpin
tertinggi dalam ruang kuasa agama, dan masjid adalah tempat yang paling
dominan digunakan sebagai pusat kerja kuasanya. Mesjid selain menjadi tempat
di mana kekuasaan imam dipusatkan, mesjid juga sebagai simbol ketaatan
beragama pedesaan dan kebesaran sang imam. Melekatkan zakat dengan
masjid dalam kerangka ritual agama dan secara lansung menyerahkan hak
kuasa zakat kepada sang imam masjid, karena di masjid penguasa tertinggi yang
mendapatkan legitimasi sosial, nilai dan politik dari ummat hanya imam atau
agamawan lain yang diakui oleh sang imam. Imam dan masjid adalah penguasa
dan arena kekuasaan yang menundukkan setiap orang yang ada di wilayah
komunitas. Kekuasaan kelompok elit lain melemah dan bahkan takluk ketika
memasuki ruang kuasa masjid dan berhadapan dengan struktur kuasa masjid.
Dalam koridor zakat, seorang muzakki dari struktur manapun ketika berada di
wilayah masjid dan berzakat, maka ketika itu tertundukkan dalam ruang kuasa
sang imam, begitu pula sang mustahik ia menerima sepenuhnya keputusan sang
imam
dengan
menanti
utusan
sang
imam
atau
utusan
sang
imam
menghantarkan bagian zakat mereka kerumah.
Kekuatan masjid dan imam disini, merupakan hasil dari konstruksi
pengetahuan zakat masyarakat yang dibangun oleh imam melalui mimbar dan
guru agama melalui pengajian agama, yang membangu
pemaknaan bahwa
zakat adalah ibadah wajib sekaligus instrumen pengembangan dan penguatan
beragama yang harus diawali dengan keikhlasan dan menghindari riya‟. Zakat
dipandang sebagai sumber dana pengembangan agama dan masjid sebagai
salah satu arena pengembangan agama yang strategis. Imam adalah
pengemban tugas pengembangan dan penguatan agama yang paling berhak
untuk mengelola zakat, mendistribusikan dan bahkan memanfaakannya. Zakat,
masjid dan imam ketiganya oleh komunitas dikaitkan begitu erat dan dimaknai
semacam prasarana, sarana dan aktornya yang selalu harus menyatu.
Masjid adalah arena di mana ummat dipertemukan, diarahkan dan dibentuk
oleh struktur kuasa masjid dibawah kepemimpinan imam. Di masjid imam
memonopoli kekuasaan ajaran dan budaya (ritual ibadah) serta meleburkan
154
struktur sosial luar masjid. Di masjid, struktur yang diakui dan bekerja hanyalah
struktur sosial masjid, di mana kuasa pengetahuan agama yang diletakkan pada
posisi tertinggi dan imam (ulama) sebagai pemangkunya mendapatkan legalitas
penuh dari ummat sebagai hasil dari konstruksi pengetahuan agama ummat,
yang menempatkan imam sebagai penguasai prophetic. Orang lain yang bukan
imam/ustad tidak memiliki hak kuasa untuk bicara banyak, apalagi untuk
dipercaya dalam konteks ajaran agama di wilayah kerja masjid. Masjid
merupakan arena di mana sang imam (agamawan) memainkan kuasanya dan
melakukan penundukan kepada struktur kuasa lainnya.
Membawa tatakelola zakat masuk dalam ruang kuasa kelembagaan
masjid, maka seketika kekuasaan tatakelola diletakkan kuasa imam (agamawan)
yang sentralnya berada di tangan agamawan. Pengelola zakat berbasis
komunitas dibawa ke masjid oleh sang imam sebagai bentuk upaya penundukan
kuasa tatakelola secara total dalam ruang kuasanya. Karena memang
kelembagaan masjid merupakan arena yang merepresentasikan ruang kuasa
imam sebagai penguasa tunggal wacana agama. Di masjid imam mendominasi
kuasa praktek ritual ibadah dalam agama dan hanya imam yang memiliki
legitimasi penuh disana.
Masjid sebagai tempat bekerja imam dikonstruksi ummat sebagai arena
netral dan terbebas dari berbagai kepentingan duniawi, di sana struktur bergerak
dan bekerja atas motivasi asketik tanpa bias kepentingan yang bersifat duniawi.
Masjid
dipercaya sebagai tempat di mana di dalamnya bekerja orang-orang
yang jujur, amanah, dan ikhlas, seperti imam, guru agama dan murid-murid
pengajiannya, mengorbankan tenaga dan waktunya mengurus ummat tanpa
pamrih, kecuali mengharap imbalan dari Allah SWT. Maka menyerahkan zakat
ke masjid diyakini tidak akan digunakan kecuali yang dimaksudkan oleh agama
dan kalaupun mereka mengambil dan menikmatinya itu hal yang wajar karena
imam/guru agama dan masjid dianggap sebagai kelompok yang berhak atas
manfaat zakat.
Secara politik ketika zakat dilaksanakan di masjid maka kekuasaan
tatakelola tertumpu pada kuasa imam. Melalui kekuasaan dan kekuatan imam, di
masjid masyarakat zakat tertundukkan dan zakat tergiring masuk ruang struktur
masjid di mana orang secara seksama melepaskan kebesaran dari struktur
sosial di luar masjid dan menundukkan diri dan patuh dengan sistem masjid.
155
Secara ekonomi membuat akumulasi modal zakat terkonsentrasi di masjid di
bawah kuasa sang imam. Membawa zakat masuk dalam ruang masjid, maka
seketika masyarakat zakat dikuasai dan ditundukkan oleh imam, lalu imam
menjadi begitu berkuasa dalam wilayah zakat untuk mengarahkan, membentuk
dan memainkan segala potensi zakat dalam koridor yang dipandang tepat oleh
sang imam atau untuk ‖kepentingan sang imam‖. Secara kultural, menjadikan
tatakelola zakat menjadi bagian dari budaya masjid, yang sentralnya adalah sang
imam sebagai pemimpin ritual agama. Di sana relasi sosial ummat khususnya
muzakki, mustahik dan amil menempatkan sang imam yang selalu sebagai amil
menjadi sangat mendominasi dari ruang wacana, ruang praktek dan ruang
legalisasi.
5.3.1.4. Zakat Sumber Pembiayaan Penguatan Agama
Merunut perjalanan Islam, sejak zaman Rasulullah hingga sekarang
terbukti bahwa
zakat
merupakan
salah
satu
sumber pembiyaan bagi
21
pengembangan dan penyiaran agama Islam . Pada masa Rasulullah SAW,
zakat menjadi salah satu sumber dana dalam memperjuangkan agama dan
bahkan zaman khalifah, khususnya Umar bin Abdul Asiz dan al-Mansur (Anshori,
2006),
zakat
telah
mampu
memberikan
sumbangan
yang besar bagi
pembangunan dan mengatasi kemiskinan ummat hingga pada hasil yang sangat
membanggakan khususnya pada masa Bagdad dibawah kepemimpinan Yazid
bin Abdurrahman sebagai Gubernur (Anshori, 2006 : 59-60).
Pembacaan atas fenomena historis tersebut
agaknya memberikan
pengaruh yang besar bagi ummat islam dalam memandang tujuan pemanfaatan
potensi ekonomi zakat terkait dengan mustahik. Beberapa petunjuk informan
yang peroleh dari lapang, menggambarkan konstruksi ummat terhadap tujuan
dan manfaat dana zakat sebagaimana petikan dalam box 5.3.1.4.
Box 5.3.1.4 : Zakat Sumber Pembiayaan Syiar Agama
Oleh H. A.HAS (59 tahun) Tokoh Agama Simburnaik, dinyatakan bahwa : Berzakat pada pada bulan
Ramadhan mengandung maksud khusus. Zakat diperlukan untuk membantu ummat yang tidak mampu,
supaya juga bisa ikut bergembira menyambut hari raya idul fitri, hari di mana orang menyambut kemenangan
dalam melawan nafsu dengan berpusa satu bulan penuh.
H. AMR (47 tahun) seorang Muzakki di Simburnaik, menyatakan bahwa : Ustad atau imam masjid
21
Sejarah mencatat keberhasilan zakat dalam mengentaskan kemiskinan pada pemerintahan khalifah Umar Bin
Abdul Aziz. Zakat dikelola secara transparan dan rapi sejak masa Rasulullah SAW sampai pada masa
Ummayyah, khususnya pada masa Umar bin Abdul Aziz, bahkan pada masa khalifah Al−Manshur, negara
memiliki surplus dana Baitul Maal sebanyak 810 juta dirham, yang disimpan sebagai devisa (al-Suyuti, 2000).
156
berhak menerima zakat, karena mereka itu Amil zakat. Mengurus agama dan masyarakat dan pernah
meminta dibayar. Mengajarkan agama dan mengajar anak-anak kampung mengaji, mengurus masjid,
bahkan mengurus Madrasah. Karena mengurus agama, mereka kurang waktu untuk bekerja di ladang,
untuk meringankan beban mereka dalam membantu agama dan masyarakat makanya diberikan zakat.
Pandangan Ustad AR (51 tahun) Tokoh Agama Kecamatan Nipah Panjang Tanjung Jabung Timur,
menjelaskan bahwa : ‖...hasil dari zakat baik zakat harta maupun zakat fitrah adalah untuk menyantuni
kaum mustahik yang ada di daerah para pembayar zakat. Boleh di berikan kepada orang lain dari luar
daerah adalah orang yang dalam perjalanan (musafir) yang kehabisan ongkos, atau di daerah itu sudah
tidak ada lagi orang yang layak diberikan zakat karena mereka sudah makmur seperti kejadian di zaman
khalifah Umar bin Abdul Azis dulu. Karena rakyatnya sudah tidak ada lagi yang miskin, dan masjid sudah
Megah, maka zakat dikirim ke daerah lain... kalau pemerintah mengelola zakat dan disalurkan bukan ke
daerah asal zakat dipungut, padahal di sana banyak orang yang berhak, rasanya itu salah, saya tidak setuju
itu‖.
Ustad SDD (41 tahun) Amil zakat Masjid Nurul Yaqin, Desa SBN
Tanjung Jabung Timur, juga
menyatakan bahwa : ....semua hasil dari zakat yang terkumpul disini hak kaum mustahik di tempat ini, jadi
tidak boleh dibawa ke tampat lain kalau disini masih ada orang layak menerima zakat. Berbeda dengan
pajak yang dimanfaatkan entah di daerah mana, ... beda dengan zakat yang dipungut dikantor-kantor
pemerintah... mungkin disalurkan lain tempat atau bisa juga di makan sendiri‖
Keterangan MAJ (2008), Petugas Amil Zakat Masjid Nurul Iman Simpang Rimbo Kecamatan Kota Baru
Kota Jambi, bahwa : ...zakat adalah untuk menyantuni fakir miskin supaya tidak murtad dan menjadi sumber
dana pembangunan masjid dan Madrasah..., kalau zakat dan infaq dikelola BAZDA dari mana lagi masjid
dan Madrasah bisa di bangun. ...amplop (honor) untuk Khatib dan penceramah agama di ambil dari dana
zakat dan infaq....‖.
Menurut K.H. DM (60 tahun), bahwa kemiskinan dalam pesan-pesan Nabi dinyatakan : kemiskinan bisa
membawa orang dalam kekufuran. Jadi zakat bertujuan menguatkan iman agar tidak kufur dan menjaga
saudara seiman agar tidak murtad (berpindah agama).
Selain tujuan ibadah, zakat oleh komunitas (amil dan muzakki) juga
dimaknai sebagai sumber pembiayaan bagi penyiaran dan penguatan agama.
Hal itu difahami dari realitas kelompok yang berhak menerima zakat. Terkaitnya
dengan bulan Ramadhan dan hari raya Idul Fitri yang selalu identik dengan
musim membayar zakat khususnya zakat Fitrah22, dimaknai sebagai penekanan
untuk lahirnya kepedulian sosial atas penderitaan sesama manusia. Ada nilai
yang tertanam bahwa tidak layak seorang bergembira dan merayakan
kegembiraan di tengah-tengah sesamanya yang menderita. Zakat fitrah diyakini
sebagai kewajiban beragama yang bertujuan membersihkan diri dari segala
kesombongan dan keangkuhan. Namun ketika berzakat fitrah dikonstruksi
sebagai praktek membantu para fakir miskin agar juga bisa merayakan
kegembiraan dalam menyambut hari raya idul fitri, maka zakat telah dijadikan
instrumen perekat relasi sosial antara kaum lemah dan kaya. Motif ibadah
memang terlihat lebih menonjol, namun makna kemanusiaan juga terlihat kental.
Membayar zakat fitrah karena Allah dan diberikan untuk membantu kaum lemah
merupakan wujud relasi segi tiga antara muzakki, Allah dan mustahik. Kalau
boleh dikatakan ini sebagai bentuk social reciprocity, maka ini adalah ciri khas
dari bentuk social reciprocity gaya islam yang oleh Kochuyt (2009) dimaknai
22
Berbeda dengan zakat harta yang dipaham untuk ―membersihkan harta‖, zakat fitrah adalah satu-satunya
zakat yang diwajibkan bagi setiap muslim untuk ―menyucikan jiwa‖. Oleh karena itu, zakat fitrah bukan ganya
wajib bagi yang kaya, tetapi juga bagi mereka yang kurang berkecukupan. Meskipun orang itu ‗miskin‘ menurut
kategori umum, dia tetap wajib membayar zakat fitrah namun dia pun berhak menerima zakat fitrah.
157
sebagai ―triadic kind of reciprocity‖ yang mengkaitkan keimanan, kesejahteraan
dan kemiskinan.
Orang kaya yang beriman (the faithful) memberikan sebagian harta
miliknya kepada orang miskin (the poor) karena motivasi nilai atas pahala dan
syurga dari Allah kelak, ia tidak berharap akan mendapatkan balasan dari orang
yang memanfaatkan pemberiannya kecuali kepada Allah sang muzakki berdoa
agar mendapatkan ganjaran yang lebih baik. Mustahik sebagai penerima,
berterima kasih atas pemberian muzakki dengan berdoa kepada Allah agar sang
muzakki diberkahi dengan rezeki yang lebih baik. Relasi tiga arah antara
muzakki, Allah dan mustahik menempatkan Allah sebagai sentral dan melalui
praktek zakat termaknai sebagai wujud kemurahan Allah kepada orang yang
beriman. Fenomena zakat dengan relasi triadik tersebut menunjukkan betapa
keberimanan menjadi begitu penting dalam relasi manusia dengan Allah dan
manusia dengan manusia. Beriman harus taat kepada perintah Allah dan
pemurah dengan sesama manusia (khususnya kepada yang lemah)
Ulama sebagai penanggungjawab dan pewaris para Nabi dikonstruksi oleh
muzakki sebagai orang selalu ikhlas tanpa pamrih dalam mensyiarkan agama
dan mengurusi ummat. Karena keikhlasan itu ia diberikan hak untuk menerima
manfaat zakat dalam mengurus agama dan ummat. Bukan sebagai upah tapi
lebih sebagai penunjang tugasnya. Zakat sebagai sumber pembiayaan bagi
hidup dan kegiatan agamawan memang merupakan tradisi zakat komunitas.
Sang imam yang dikonstruksi sebagai orang berpengetahuan agama yang lebih,
suci, dan memiliki keikhlasan dalam mengurusi agama dan ummat, kemudian
dianggap berhak mendapatkan manfaat dana zakat untuk memudahkan
melaksanakan tugas kenabian sebagai pemimpin agama dan ummat.
Kemiskinan oleh komunitas dipandang sebagai masalah yang dapat
mengancam kualitas keimanan ummat. Kemiskinan dilihat sebagai ancaman
yang besar bagi kekuatan agama. Zakat dan kemiskinan oleh amil zakat
komunitas di pandang sebagai dua hal yang terkait erat, dimana berzakat
sebagai ibadah sekaligus bertujuan mempererat hubungan persaudaraan
ummat. Mereka memandang bahwa kemiskinan merupakan keadaan yang berat
dan berpotensi melemahkan iman, bahkan bisa membuat ummat berpindah
agama. Zakat disini dimaknai sebagai salah satu cara menjaga ummat miskin
agar tidak melemah imannya, karena merasa diperhatikan oleh muzakki dan
158
imam dengan memberikan kepada mereka bantuan mengatasi masalah dalam
bentuk zakat, dan sebagai simbol rasa solidaritas seagama dalam konteks
komunitas.
Amil zakat komunitas, memaknai zakat sebagai satu praktek beragama
yang memiliki tujuan sosial untuk mempererat relasi sosial antara ummat
seagama sebagai bentuk perlindungan kepada yang lemah dalam konteks
ajaran. Ummat yang lemah dilihat sebagai kelompok orang yang mengalami
kesulitan yang bisa membawanya pada kondisi lemahnya iman, frustasi dan
bahkan kufur atau murtad (pindah agama), dan ini bisa berakibat pada lemahnya
agama. Oleh karena itu, maka kaum kaya sebagai orang yang bernasib lebih
baik, diberikan tanggungjawab yang tinggi oleh komunitas untuk meringankan
beban dan menyelamatkan kaum miskin dari kesengsaraan kemiskinan demi
kemanusiaan dan penguatan agama. Zakat disini
terlihat sebagai instrumen
membangun hubungan kemanusiaan dalam bentuk solidaritas sosial terhadap
kaum lemah yang seagama.
Amil zakat komunitas juga memahami bahwa, dengan berzakat berarti
kaum kaya mengakui dan menyadari bahwa keberadaannya sebagai kelompok
orang yang memiliki kelebihan ekonomi memiliki tanggungjawab terhadap orang
yang lemah. Dia diberikan harta lebih oleh Allah bukan untuk dirinya sendiri,
namun di sana ada titipan Allah untuk mereka yang mengalami kekurangan.
Pemaknaan ini menunjukkan bahwa zakat merupakan instrumen yang dapat
membangun relasi sosial dalam konteks kepedulian sosial atas penderitaan
kaum lemah.
Potensi sumberdaya zakat bagi komunitas dilihat sebagai modal bagi
pengembangan dan penyiaran agama pada tataran lokal. Dana yang terkumpul
dari zakat selalu dimanfaatkan dalam usaha mengembangkan dan menguatkan
ajaran agama dilingkungan di mana zakat itu diperoleh. Mereka juga melihat
bahwa semua golongan yang termasuk dalam kelompok yang berhak
memanfaatkan dan menikmati dana zakat, adalah orang yang menetap dan
dekat dengan lingkungan muzakki. Menyalurkan zakat ke daerah lain di luar dari
daerah di mana zakat dipungut, dianggap keliru kecuali di daerah itu sudah tidak
ada orang layak menerima zakat.
Bangunan pemahaman zakat menyangkut hak-hak atas sumberdaya zakat
dan hasilnya bagi lembaga pengelola zakat berbasis komunitas, menempatkan
159
tatakelola zakat dan pendistribusian sebagai hak kuasa masyarakat lokal
dibawah pangkuan agamawan lokal. Tidak ada alasan untuk menyerahkan hak
kelola dan memanfaatkan dana zakat ke komunitas luar, termasuk oleh
pemerintah. Pemerintah dianggap tidak tepat untuk menjadi pengelola zakat,
karena disana ada kecurigaan terhadap pemerintah jika menjadi pengelola zakat,
akan menyalahgunakan pemanfaatan dana zakat untuk kepentingan lain selain
untuk membangun dan mengembangkan agama. Zakat oleh pemerintah
dianggap bisa memanfaatakan dana zakat untuk kepentingan kelompok tertentu,
atau malah untuk kepentingan kekuasaan. Negara dipandang tidak netral dan
selalu memiliki kepentingan di luar kepentingan ummat dan agama.
5.3.2. Konstruksi Sosial Kuasa Pengetahuan Zakat BAZDA Jambi
Memandang zakat sebagai potensi besar untuk pembiayaan pembangunan
khususnya untuk pengentasan kemiskinan, telah membawa zakat dalam wacana
pembangunan dan menggiring zakat masuk dalam ruang negara. Hasil dari
gagasan zakat dan pembangunan melahirkan gerakan zakat berbasis negara
dengan lembaga tatakelola berbasis negara (Doa, 2005) yaitu: BAZDA (Badan
Amil Zakat Daerah) pada level provinsi/kabupaten dan Baznas (Badan Amil
Zakat Nasional) pada level nasional (Anonim, 2007).
Mewacanakan
zakat
dalam
konteks
pembangunan,
mengakibatkan
tatakelola zakat berbasis masjid dinilai sebagai model tradisi masa lalu yang
tidak relevan dan tidak efektif bagi upaya pengentasan kemiskinan. Akibatnya
muncul ide untuk mereformulasi gagasan zakat dan tatakelolanya dari model
yang dinilai tradisonal menuju model modern. Fenomena tersebut ditemukan di
lapang dari wawancara dengan informan seperti yang tercantum dalam box 5.3.2
berikut ini :
Box 5.3.2 : Konstruksi Pengetahuan Zakat BAZDA Jambi
IH (61 tahun) Ketua BAZDA Provinsi Jambi, 2006-2010, melihat bahwa: ―Zakat sebagai salah satu
rukun Islam yang diwajibkan kepada semua penganut Islam yang mampu, dalam merupakan satu perintah
Agama yang mengandung maksud sebagai perintah kepada kaum ekonomi kuat (kaya) untuk
memperhatikan nasib kaum lemah (miskin), dan zakat mengandung pesan-pesan pemberdayaan terhadap
kaum lemah‖. .... Para pengelola zakat tradisional hanya berangkat dari pandangan-pandangan ulama
terdahulu (klasik) yang mereka dapatkan dari kitab-kitab kuning.... alamnya dulu dan sekarang sudah
berbeda dengan sekarang. Kesadaran berzakat masyarakat semakin hari semakin lemah, karena tidak ada
pengelola zakat yang memiki kekuatan yang bisa menggerakkan masyarakat untuk sadar zakat. Untuk
meningkatkan kesadaran zakat harus dengan kekuatan, kalau perlu dengan paksanaan karena memang
zakat kewajiban jadi seharusnya dipaksakan seperti mengurus pajak.
KHUZ (43 tahun) juga melihat perlu dilakukan pencerahan pemikiran dan transfer pengetahuan tentang
zakat dan pengelolaannya dalam kaitannya dengan pembangunan dan pengentasan kemiskinan atau
pemberdayaan.
160
RAH (45 tahun) bukan nama asli, seorang UPZ di salah satu Instansi pemerintah daerah kota Jambi
menyatakan bahwa : ... pengumpulan zakat oleh BAZDA kota dari muzakki (pegawai negeri sipil) dilakukan
dengan cara pemotongan gaji dikantor atau instansi oleh bedaharawan gaji selaku atau bersama dengan
UPZ secara lansung... pemotongan ini dilakukan dengan instruksi pimpinan ... oleh wali kota atau Sekretaris
Daerah yang juga menjadi ketua BAZDA.
BAZDA merupakan bentuk lembaga tatakelola zakat gagasan kelompok
penganut developmentalism yang berorientasi pada pembangunan kekuatan
negara pada level daerah. Para aktor tatakelola zakat BAZDA memandang zakat
sebagai ibadah wajib yang bertujuan pembangunan dan pemberdayaan ummat
dari kemiskinan. Gagasan ini merujuk pada sejarah tatakelola zakat masa lalu
khususnya masa kekhalifahan Umar bib Abdul Azis yang telah pernah berhasil
menjadikan zakat sebagai instrumen pengentasan kemiskinan yang hebat. Zakat
disini dikonstruksi sebagai kewajiban kaum kaya untuk ikut berpartisipasi dalam
pembangunan
dan
pengentasan
kemiskinan.
Zakat
dipandang
sebagai
fenomena pemberdayaan ummat yang berorientasi pada penguatan politik dan
ekonomi. Wacana zakat selalu mengkaitkan potensi ekonomi zakat dengan
fenomena tingginya kemiskinan, bukan pada persoalan mengapa orang miskin.
Akibatnya gagasan tatakelola lebih menukik pada optimalisasi akumulasi dana
ketimbang gagasan tatakelola zakat yang membangun relasi sosial yang
membebaskan kaum miskin dari jeratan kemiskinan dan pemiskinan.
Mengukur akumulasi dana dan hasil yang dicapai dalam tatakelola
merupakan ciri yang menonjol dalam wacana zakat negara, dan ini menjadi
ukuran perbandingan dengan tatakelola zakat komunitas berbasis masjid dan
madrasah. Disinyalir rendahnya angka hasil akumulasi dana zakat yang dicapai
oleh lembaga zakat komunitas, dijadikan bukti untuk mengatakan bahwa
kesadaran berzakat sangat lemah, dan bahkan dianggap ada banyak orang yang
enggan membayar zakat karena kurangnya kepercayaan pada lembaga
pengelola zakat komunitas yang tradisional dan tidak adanya tekanan yang
memaksa. Oleh karena itu perlu ada lembaga terpercaya didukung dengan
aturan yang memiliki kekuatan memaksa dengan menganalogikan zakat dengan
pajak. Ada statemen dalam diskursus zakat bahwa berzakat secara langsung ke
musthahik tanpa melalui lembaga pengelola resmi yang diakui oleh pemerintah
sebagai ‖cara yang salah”. Konstruksi sosial terhadap lembaga zakat dan
tatakelolanya baru dikatakan sebagai lembaga zakat yang benar manakala
hasilnya terukur dengan angka dan mendapat legalitas dari negara dalam bentuk
161
pengukuhan sebagaimana diatur dalam UU Nomor 38 tahun 1999 tentang
Pengelolaan Zakat.
Membangun konstruksi sosial kuasa zakat oleh negara, berlangsung dalam
diskursus zakat. Melalui proses pelembagaan (objektivasi) zakat dalam ruang
negara sebagai fenomena bernegara, pemerintah melalui aparat membangun
pemahaman zakat bias negara dan menginternalisasikan dalam ruang gagasan
warga lewat wacana zakat di berbagai media dan instrumen kekuasaan, mulai
dari masjid, lembaga pendidikan, media informasi (cetak dan audio visual) hingga
kebijakan aturan dan perundang-undangan. Proses internalisasi tersebut
mengalami dinamika penolakan dan penerimaan dari warga masyarakat, namun
karena kekuatan rezim pengetahuan dan kekuasaan begitu akut menjamah
ruang sosial objektif dan subjektif (objektivasi dan internalisasi) secara dialektik
dan
terus menerus, akhirnya
secara perlahan
terjadi penafsiran atau
pemahaman ulang dalam momen internalisasi menuju eksternalisasi, yang
melahirkan
rekonstruksi
pengetahuan
sebagai
hasil
dari
pergolakan
gagasan/pengetahuan dalam ruang kognitif. Pengetahuan yang lahir sebagai
rekonstruksi merupakan pemenang dari pertarungan gagasan pada momen
internalisasi
dan
ekternasasi
yang
akhirna
terlembaga
dalam
bentuk
institusionalisasi dalam masyarakat. Pengetahuan negara disini tampil sebagai
pemenang dan melahirkan konstruksi zakat dan tatakelolanya bias negara yang
memandang zakat sebagai hak negara, lalu melembagakan dalam struktur
negara sebagai tatakelola zakat negara (BAZDA dan Baznas) yang sah dan
dipatuhi oleh masyarakat zakat.
BAZDA sebagai wujud tatakelola zakat negara, mengelola zakat dengan
melibatkan unsur pemerintah dan unsur masyarakat sebagaimana tercantum
pasal 6 ayat 4 UU No. 38 tahun 1999. Pemerintah merupakan perpanjangan
tangan negara melalui institusi tatakelola zakat yang dilaksanakan oleh aparat.
BAZDA memiliki legalitas dan legitimasi untuk bicara tentang zakat secara sah
dengan dukungan undang-undang. BAZDA merupakan representasi dari negara
dalam tatakelola zakat yang bisa dimaknai sebagai arena sekaligus aktor yang
dapat menentukan sikap dan memiliki power untuk mengkondisikan situasi.
Artinya dinamika tatakelola zakat ummat dapat dipengaruhi, dibentuk dan
dikondisikan bahkan dimanipulasi dengan kekuatan rezim pengetahuan dan
162
kekuasaan
yang
berdialektika
dapam
proses
saling
menciptakan
dan
melegitimasi.
BAZDA adalah aktor tunggal yang menguasai ruang wacana zakat dan
mendapatkan legitimasi hukum formal dalam mengatur tatakelola zakat ummat,
membentuk, mengarahkan dan mengeksploitasi zakat sebagai sumberdaya
negara atau instrumen negara. Konsekwensinya segala elemen sosial yang
terkait akan bersentuhan dengan sistem tatakelola zakat melalui BAZDA dan
konstruksi mereka dibentuk dengan menggunakan kekuatan pengetahuan dan
kekuasaan bias negara. Membangun keyakinan bahwa zakat baru optimal ketika
ditangan negara, oleh karena itu konstruksi dan rekonstruksi pemahaman dan
pengetahuan zakat harus dibangun secara terus-menerus dan ini menggiring
logika zakat masuk dalam ruang negara.
Menggiring zakat masuk dalam ruang negara untuk dikuasai negara,
pemerintah atau aparat, membangun konstruksi sosial zakat dan kuasa
pengetahuan zakat yang tunduk dalam logika negara. Kekuatan kekuasaan
negara memproduksi pengetahuan zakat bias negara dan mendominasi
diskursus zakat dalam berbagai level. Melalui berbagai instrumen negara, zakat
diwacanakan dalam kerangka gagasan pembangunan dan pemberdayaan
sebagai proses sosialisasi gagasan sebagai momen internalisasi. Menggunakan
logika sains modern (ilmu politik dan ekonomi) wacana zakat diinternalisasikan
dalam ruang kognisi individu-individu dalam masyarakat melalui berbagai media
infomrasi dan pendidikan yang datang dari berbagai arah. Momen internalisasi
sebagai proses membangun pengetahuan, membentuk konstruksi sosial dan
pengetahuan zakat ummat yang pada akhirnya melahirkan keterpaduan gagasan
zakat dan tindakan berzakat dalam dunia sosial sebagai hasil proses internalisasi
dalam wujud eksternalisasi hingga objektivasi. Momen objektivasi sebagai bentuk
nyata dalam dunia objektif diamana gagasan dilembagakan. Pelembagan tak
terhendi namun terus berlanjut mengarah pada momen internalisasi dan
eksternalisasi secara simultan yang dipengaruhi oleh kerja rezim pengetahuan
dan struktur kekuasaan yang bekerja dalam wacana dan ruang zakat.
Bekerjanya sebuah rezim pengetahuan membangun kekuasaan atas zakat
terlihat dalam bangunan wacana zakat dana tatakelolanya. Kerja rezim
pengetahuan dan kekuasaan berlangsung tiga momen membangun konstruksi
sosial zakat dan kuasa pengetahuan zakat, yaitu : objektivasi, internalisasi dan
163
eksternalisasi
oleh
aparat
negara.
Tiga
momen
tersebut
melahirkan
pengetahuan yang mengkonstruksi zakat sebagai : 1) zakat adalah hak kuasa
negara karena terkait dengan hasrat orang banyak, 2) agar bisa mencapai tujuan
pembangunan dan pemberdayaan maka dibutuhkan perangkat negara, 3) untuk
mencapai hasil optimal harus dikelola dengan manajemen modern, 4) Perintah
wajib zakat merupakan perintah pemberdayaan dan pembangunan.
5.3.2.1. Negara Pemangku Kuasa Tatakelola Zakat
Pengelola zakat (amilin) berfungsi, pertama, sebagai pengemban amanah
Allah SWT, mewakili Rasulullah SAW dan para umara setelah Rasulullah, yaitu
menegakkan agama dan mengatur kehidupan di dunia. Kedua, amilin
mengemban amanat untuk mengorganisasikan (mengelola) zakat, mereka
bertindak sebagai niyab al-Rasul (wakil Rasulullah SAW) dalam menegakkan
agama dan ketiga, amilin adalah wakil dari tatanan masyarakat zakat yang
mengarahkan,
mengkondisikan
dan
menguasai
tatakelola
zakat
serta
bertanggungjawab atas tercapainya tujuan zakat (Idris,1997).
Pentingnya peran Amil dan fungsi zakat bagi pemberdayaan masyarakat
lemah, serta besarnya potensi ekonomi yang terkandung dalam zakat, membuat
banyak orang tertarik mewacanakan zakat sebagai instrumen pemberdayaan
hingga pembangunan. Informasi tentang hal tersebut ditemukan di lapangan dari
wawancara, sebagaimana cuplikan wawancara pada box berikut :
Box 5.3.2.1 : Negara Berkuasa Atas Hak Tatakelola Zakat
ISH (46 tahun) pengurus BAZDA Kota Jambi. Menyatakan bahwa : ...Dari zaman Rasulullah hingga
zaman kekhalifahan, zakat itu dikelola oleh pemerintah. Dan hasil menunjukkan kepada kita jika zakat bisa
menjadi sumber biaya untuk mengatasi kemiskinan dan untuk pembangunan ummat.
AA. M (37 tahun) pengurus BAZDA Provinsi Jambi, menyatakan bahwa : ... sejarah pengelolaan zakat
yang paling berprestasi adalah masa kehalifahan Umar bin Abdul Azis, zakat waktu itu dikelola oleh
pemerintah. Zakat menjadi sumber pendapatan negara dan menjadi sumber dana untuk pembangunan....
HM (60 tahun), pengurus BAZDA Provinsi Jambi menggambarkan bahwa .... kalau mau mengatasi
kemiskinan dengan zakat, harus melalui kekuatan negara.... kalau hanya dengan cara tradasional seperti
yang dilakukan di masjid-masjid dengan cara musiman tidak akan mampu mewujudkan tujuan zakat
mengatasi kemiskinan.... kalau zakat dikelola negara, akan lebih mampu karena bisa dijalankan dengan
dukungan kekuasaan negara...
Satu-satunya pijakan kuat atas wacana ketatakelola zakat oleh negara 23
(Doa, 2005) adalah praktek yang dicontohkan Rasulullah SAW dan para khalifah
yang mengumpulkan dan mengelola zakat dalam kapasitas sebagai kepala
23
Menurut Matinussen (1996) dalam Luiz (2000 negara dan pemerintah adalah : produk dari berbagai konflik,
arena interaksi dan konflik, manifestasi dari struktur yang dirancang dan dimanifestasikan sebagai bentuk
mekanisme fungsional (mode of functioning) yang nyata, aktor yang memilikim legitimasi untuk melakukan
segala tindakan yang sah secara hukum
164
negara. Meski hal ini tak dapat dijadikan pijakan utama, karena khalifah Utsman
bin Affan misalnya mengelola zakat secara partisipatif, dan pernah memberikan
peluang pendistribusian zakat oleh para muzakki langsung kepada para
mustahiknya (Idris, 1997).
Mengacu pada sejarah pengelolaan zakat masa Khalifah Ummar bin
Khattab, sebagai pemimpin pemerintahan beliau memegang kuasa pengelolaan
zakat melalui lembaga Baitul Mal (lembaga Amil zakat pada masa Khalifah) dan
terbukti mampu mengatasi kemiskinan dan hampir menghapus kemiskinan
karena sulit menemukan mustahik pada saat itu. Hal yang sama juga terjadi
pada masa Khalifah Umar bin Andul Azis yang mampu mengatasi masalah
kemiskinan hingga tidak ditemukan lagi orang miskin. Akibatnya pada masa itu
zakat dimanfaatkan untuk bantuan sosial hingga bantuan modal usaha bagi
ummat (Anshori, 2006).
Mengkaitkan tatakelola zakat dengan negara menunjukkan adanya dialog
tetra-anggulasi antara (a) ulama sebagai pemegang kuasa otoritas ajaran agama
(fiqh-Syari‘ah, (b) birokrat sebagai pemegang otoritas administrasi dan
pembangunan, dan (c) pembayar/wajib
zakat (muzakki) yang memegang
otoritas atas sumberdaya, serta (d) penerima zakat (muzakki) sebagai pemegang
otoritas atas manfaat sumberdaya zakat.
Ulama sebagai pemegang kuasa otoritas ajaran agama yang menempati
ruang kuasa pengetahuan agama bebasis legalitas ajaran dan ummat, dan
secara kultural diyakini sebagai wakil kuasa ke-Nabian. Birokrat pemerintah
sebagai pemegang kuasa administrasi dan pembangunan berbasis legalitas
hukum, diyakini sebagai wakil negara, menyediakan fasilitas dan pelayanan bagi
rakyat dalam praktek bermasyarakat dalam kerangka negara. Muzakki sebagai
pembayar zakat dikonstruksi sebagai modal utama untuk akumulasi dana zakat
secara optimal, sehingga relasinya dengan ulama negara dan birokrat sang
muzakki dikonstruksi sebagai sumberdaya, dan mustahik sebagai komoditas
ketika mereka dijadikan alasan utama dalam pengelolaan zakat dan motivasi
berzakat terhadap muzakki. Zakat diwacanakan, dan muzakki dimotivasi dengan
alasan penting dan mendesaknya mustahik sebagai kelompok kaum lemah untuk
diperhatikan. Mereka dikonstruksikan sebagai persoalan bersama yang harus
segera diatasi karena mengancam kehidupan bersama dalam konteks
bernegara. Keyakinan dibangun bahwa untuk bisa mengatasi persoalan
165
kemiskinan dengan efektif melalui zakat, hanya dengan kekuatan negara. LAZ
komunitas disini seakan hanya dianggap mampu mensejahterakan satu
keluarga, tapi kalau mau mensejahterakan satu desa harus dengan BAZ negara.
Agamawan komunitas menggunakan kekuatan kelembagaan berbasis
agama seperti: Masjid/Langgar/Surau dengan basis pengetahuan agama yang
disosialisasikan dan memobilisir ummat untuk berzakat melalui ceramahceramah, khutbah dan pengajian-pengajian serta pendidikan berbasis ―Pondok
Pesantren‖ dengan menggunakan logika lokal, norma-norma tradisi dan
kebersamaan untuk penguatan ajaran dan komunitas. Sementara negara melalui
aparat pemerintah menggunakan kekuatan kelembagaan berbasis negara:
Departemen Agama, Pemerintah Daerah dan melaui lembaga pendidikan formal,
dan sarana informasi resmi lainnya, membangun pengetahuan zakat dan
memobilisir rakyat berzakat dalam kerangka logika bernegara dengan tujuan
utama untuk pembangunan. Agamawan membangun pengetahuan zakat dalam
paradigma pengabdian dan kebersamaan, sementara pemerintah dalam
paradigma kepatuhan pada negara dan pembangunan.
Kuasa kelembagaan kiyai (agamawan) disini perlahan terbatasi dan
mengalami penurunan. Agamawan lebih merupakan alat negara ketimbang
menjadi pemangku agama dalam konteks agama publik. Pemahaman agamapun
lebih merupakan konstruksi negara, yang digiring oleh kuasa rezim pengetahuan
dan kekuasaan negara. Pengetahuan zakat komunitas terus dikonstruksi ulang
melalui diskursus yang menempatkan negara (aparat) sebagai penguasa
dominan dengan dukungan kekuatan legitimasi negara dan legalitas politik.
Proses konstruksi ulang atas pemahaman beragama khususnya berzakat, terus
berlanjut secara terus menerus dan dialektis yang melintasi tiga momen, yaitu :
objektivasi, internalisasi dan eksternalisasi (Berger, 1990) yang berlansung
secara simultan menyerang agamawan lokal melalui jaringan birokrasi dan
administrasi serta lembaga pendidikan formal.
Konstruksi pengetahuan zakat perlahan bergeser dari kontruksi thelogisme
mengarah pada konstruksi sekularisme. Zakat yang dulu dipaham lebih sebagai
ibadah asceticism dan altruism menuju keshalehan, perlahan difahami sebagai
kewajiban warga negara muslim dalam konteks bernegara untuk pembangunan.
Penilaian benar, sah, dan efektifitasnya selalu datang dari negara dan hak
negara, yang datang dari luar negara selalu dianggap salah, tidak sah dan tidak
166
efektif. Negara mendominasi ruang penilaian, pengaturan dan pengesahan
tatakelola zakat. Berbasis logika ekonomi dan politik menilai tatakelola zakat
komunitas tidak efektif, tidak efisien dan tidak berkompeten, dan bahkan bisa
munculnya ketidak stabilan sosial karena hak-hak masyarakat lemah tidak
terlindungi dengan aman (karena tidak dilindungi negara). Menggunakan
instrumen politik, negara mengintervensi ruang sosial tatakelola zakat komunitas
dan menggiring aktornya masuk ke ruang kuasa sistem tatakelola zakat negara.
Muzakki sebagai sumber utama potensi zakat, dalam tatakelola BAZDA
ditempatkan sebagai objek yang harus ditundukkan dan diberikan penyadaran
bahwa
berzakat
adalah
kewajiban,
dan
kewajiban
itu
hanya
sebatas
menyerahkan zakatnya, selanjutnya bagaimana dana itu dikelola dikonstruksi
sebagai hak negara dan negara yang paling tua, paling tepat dan paling mampu
melakukannya untuk mencapai tujuan pemberdayaan dan pembangunan yang
merupakan roh perintah berzakat. Muazkki tidak diberi ruang yang luas untuk
melakukan preferensi-preferensi dalam berzakat di mana dan dengan cara yang
bagaimana. Ruang kebebasan dikaburkan melalui pembentukan konstruksi
pengetahuan
zakat
berparadigma
developmentalism
yang
setiap
saat
menyerang ruang kognitif masyarakat luas khususnya muzakki dan mustahik dari
berbagai ruang. Mereka tidak bisa menghidar karena kuasa pengetahuan negara
ada di mana-mana, sementara untuk melawan juga begitu berat karena begitu
kuatnya dan dilengkapi dengan berbagai instrumen kuasa berupa aparat dan
institusi yang mendapatkan legitimasi dan legalisasi yang kuat.
Melekatkan zakat dengan institusi pemerintah dengan kuasa tatakelola oleh
aparat pemerintah, membuat tatakelola zakat bergerak dalam paradigma negara
dan memandang zakat sebagai sumberdaya milik negara, tunduk dalam ruang
kuasa negara, dikelola oleh aparat negara, dengan lembaga milik negara, dan
dikelola dengan mekanisme administrasi dan birokrasi negara dibawah payung
pengetahuan sekuler (non agama). Maka membawa zakat dari ruang kuasa
ajaran agama ke ruang kuasa sistem administrasi dan birokrasi negara, sama
halnya sedang melakukan perombakan besar terhadap konstruksi pengetahuan
zakat dan ketatakelolanya.
167
5.3.2.2. Optimalisasi Zakat Membutuhkan Aturan Negara
Wacana optimalisasi zakat digagas dalam kerangka berfikir politik dan
ekonomi. Patameter optimal diletakkan pada ukuran sejauh mana kelembagaan
zakat
menjadi fenomena sosial dalam masyarakat dengan tingkat mobilitas
berzakat yang tinggi dan akumulasi pengumpulan dana zakat yang signifikan.
Memberlakukan zakat secara positif-legal, sebagai salah satu tata hukum yang
berlaku di Indonesia, yang secara khusus ditujukan bagi ummat Islam,
merupakan gagasan menuju optimalisasi zakat. Zakat diharapkan tidak hanya
sekedar sebagai suatu hukum yang dicita-citakan (Ius constituendum), namun
menjadi hukum positif yang berlaku di Indonesia (Ius constitum). Zakat
diharapkan tidak hanya berdayaguna bagi ummat Islam dalam konteks lokal dan
komunitas, namun lebih jauh bisa menyentuh seluruh rakyat lemah Indonesia.
Keterangan informan terkait dengan optimalisasi zakat ditemukan dalam
beberapa wawancana di lapangan yang menggambarkan bahwa zakat dalam
konteks negara dipandang perlu adanya kebijakan-kebijakan negara yang
mempu mendukung upaya optimalisasi zakat, dan hal tersebut dapat dilihat pada
petikan wawancara dalam box 5.3.2.2 berikut ini.
Box 5.3.2.2 : Negara Perlu Mengatur Zakat
AA. M (37 tahun) ... untuk bisa mengoptimalkan manfaat zakat dan menjadikan menjadikan zakat
sebagai sistem ekonomi pemberdayaan, maka diperlukan pengaturan secara tegas berupa hukum negara
yang memuat aturan tegas terhadap mereka yang enggan berzakat. .. zakat tidak bisa optimal mencapai
tujuan pemberdayaan jika tanpa campur tangan kekuasaan pemerintah
Rendahnya kesadaran berzakat pada harta di kalangan ummat Islam menurut ISHK (2008) ,
‖...dikarenakan tidak adanya sanksi yang nyata terhadap mereka yang enggan membayar zakat hartanya.
Makanya dibutuhkan hukum atau Undang-undang Negara yang memiliki kekuatan memaksa dengan
ancaman sanksi yang jelas bagi meraka yang ingkar menunaikan zakat.‖
Pemikiran tentang harusnya ada hukum negara disamping hukum agama, yang mengatur pelaksanaan
zakat sebagaimana yang difikirkan oleh AA. M (37 tahun) juga diungkapkan oleh para pengurus BAZDA
Kota Jambi. Keterangan ISHK (2008) selaku ketua I BAZDA Kota Jambi menyatakan bahwa, Ummat Islam
memang telah menyakini sepenuhnya wajibnya zakat, namun kepatuhan berzakat secara konsisten
mengikuti perintah agama hanyalah pada zakat Fitrah, sementara pada zakat maal (harta) masih sangat
rendah.
MHD (40 tahun) Kepala Biro Kesos Pemda selaku sekretaris BAZDA Provinsi menyatakan bahwa :‖
kalau pemahaman tentang pengaturan zakat tetap hanya merujuk sepenuhnya dengan aturan fiqh yang ada,
maka upaya mengoptimalkan kesadaran berzakat dan peningkatan manfaat dana zakat, akan mengalami
kesulitan karena aturan agama tidak mengikat dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang nyata, makanya
dibutuhkan adanya pemahaman baru bahwa kebijakan pemerintah dibutuhkan dalam upaya meningkatkan
kesadaran berzakat dengan kekuatan hukum yang jelas dan mengikat‖.
Gagasan Masdar (1991), untuk menyetarakan zakat dengan ”pajak”,
merupakan satu pemahaman bahwa ‖pajak” sebagai manifestasi modern dari
‖zakat”. Gagasan ini searah dengan lahirnya ide bahwa zakat membutuhkan
negara dan bahkan zakat adalah hak negara. Ide Masdar (1991) tersebut
168
mendapat respon dari Departemen Agama dan kelompok pencetus lembaga
Badan Amil Zakat, Infaq dan Shodaqah (BAZIS). Terbangun pemahaman bahwa
ketatakelolaan dengan campur-tangan negara dengan menggunakan aparat
pemerintah dan masyarakat, melalui kekuatan birokrasi dan politik, maka
pengelolaan zakat bisa meningkatkan angka perolehan dana zakat, dan
distribusinya akan lebih efektif dan tepat sasaran, sehingga tujuan zakat sebagai
istrumen kemakmuran ummat lebih memungkinkan tercapai. Pemikiran ini
berasumsi bahwa negara bisa dipercaya untuk mewujudkan good life bagi immat
Islam, sehingga kebaikan bagi ummat Islam ‖disubkontrakkan” pada negara. Tapi
bagaimana ketika negara tidak mempu membangun kepercayaan, apalagi jika
tidak mampu mewujudkan tuntutan dan harapan masyarakat atas kepercayaan
yang ada?
Menuju optimalisasi zakat dalam pandangan negara dan perangkatnya,
membangun pemahaman bahwa zakat merupakan hak kuasa negara.
Pemahaman ini dibangun dengan landasan etik itegratif, dengan alasan bahwa:
perilaku berzakat merupakan praktek ibadah dalam beragama oleh masyarakat
Indonesia, yang melibatkan banyak orang/elemen masyarakat sehingga
membutuhkan pengaturan negara. Dalam praktek zakat terlibat elite ekonomi
dan ekonomi lemah yang dinilai sebagai dua sisi yang berjarak secara sosial dan
saling berlawanan, sehingga keliru jika dalam mempertemukan dua elemen
masyarakah tersebut dapat memicu munculnya konflik vertikal (kaya-miskin) dan
akan merugikan elemen masyarakat ekonomi pinggiran. Zakat yang tadinya
berada dalam ruang agama terlihat digiring masuk dalam ruang negara,
pemangku kuasa pengetahuan zakat yang berada dalam ruang kelembagaan
kiyai yang mendapatkan legalitas dan kepercayaan masyarakat, perlahan
dirubah dan diletakkannya BAZDA sebagai penguasa pengetahuan tunggal
dengan kekuatan legalitas dari negara. Disini kekuatan rakyat yang memberikan
legalitas pada hak kuasa kontrol dan pengelolaan zakat dicabut dan ambil alih
oleh negara.
Konstruksi pengetahuan zakat BAZDA, memandang zakat dalam perspektif
politik sehingga zakat dikonstruksi sebagai satu fenomena yang memiliki potensi
politik yang jika dibiarkan dalam pengelolaan Ummat berbasis masjid dengan
pemahaman dan sistem yang bervariasi sangat berpotensi melahirkan konflik.
Zakat disini dipandang sebagai praktek beragama yang mampu memobilisir
169
masyarakat, tidak hanya dalam lingkup praktek individu, namun sebagai praktek
sosial yang bisa berimplikasi politik. Pemahaman ini memiliki implikasi politik di
mana posisi negara sebagai kekuatan sosial politik, semakin menguat dan yang
memarjinalkan kelembagaan masjid sehingga merampas dan mengkebiri
kekuatan kelembagaan kiyai sebagai pemangku kuasa ajaran agama tertinggi.
Kekuatan masyarakat civil (civil society) semakin melemah dan negara semakin
menguat.
Zakat sebagai ajaran agama yang dilihat sebagai ibadah atau
kepatuhan pada ajaran untuk membangun kebersaman dan solidaritas sosial,
perlahan berubah menjadi zakat yang difahami sebagai kepatuhan
warga
negara dan terhadap sistem bernegara untuk tujuan pembanguan.
Rendahnya kesadaran masyarakat Muslim mengeluarkan zakat harta,
dipandang oleh BAZDA Provinsi Jambi sebagai bukti nyata bahwa dengan
mengandalkan hukum agama (fiqh) sudah tidak cukup dalam memotivasi ummat
untuk melaksanakan perintah zakat, sebagaimana efektifnya hukum agama
memotivasi ummat untuk menjalankan sholat, puasa dan haji (Miftah, 2008).
Secara historis tingginya kesadaran berzakat ummat pada masa pemerintah
Khalifah Umar bin Khattab dan Khalifah-Khalifah lain setelahnya, memang
dimotivasi oleh ajaran agama, namun pada masa itu keterlibatan kekuatan politik
pemerintah untuk memaksa dan memberikan teguran hingga sanksi cukup
memberikan pengaruh yang kuat (Miftah, 2008).
Belajar dari sejarah, menurut Miftah (2008) selaku Anggota Dewan
Pertimbangan BAZDA Provinsi Jambi, untuk memicu kesadaran berzakat
tidaklah cukup hanya dengan himbauan, dan kampanye zakat dengan
bermodalkan pengetahuan zakat yang bersumber dari ajaran agama saja.
Dibutuhkan perangkat hukum negara (diyani24) sebagai kekuatan politik yang
bisa memaksa secara nyata kepada ummat untuk melaksanakan ibadah zakat.
Oleh karena itu dibutuhkan UU yang mengatur tentang zakat yang disertai
dengan sanksi-sanksi yang tegas bagi ummat yang enggan melaksanakan zakat.
Muncul anggapan bahwa agama seakan tidak lagi mampu memberikan
motivasi yang kuat bagi lahirnya kesadaran zakat, dan merupakan fenomena
melemahkan kepercayaan pada ajaran agama untuk mengatasi persoalan sosial
24
Diyani adalah hukum diyani yang dapat ditangani secara profesional oleh mufti melalui
fatwa, sedangkan yang bersifat Qadhai dilakukan oleh hakin melaui peradilan. Namun
kategori suatu perbuatan termasuk qadhai atau diyani sesungguhnya akan senantiasa
berkembangan sesuai dengan tingkat dinamika masyarakat.
170
ummat di era modern. Sebagai solusi yang ditawarkan adalah hukum negara
dianggap lebih mampu memobilisir ummat dalam beragama ketimbang hukum
agama. Kekuatan ajaran Allah dalam bentuk agama yang di dalamnya mengatur
manusia dengan janji pahala dan ancaman dosa pada akhir zaman kelak,
ternyata dianggap tidak cukup kuat untuk membuat manusia patuh, sehingga
dibutuhkan aturan duniawi dengan kekuatan negara. Allah seakan dianggap
tidak berdaya mengatur hamba-Nya. Negara terlihat dianggap lebih mampu
dengan kekuatannya untuk memaksakan orang patuh kepada Allah melalu
kepatuhan terhadap negaranya.
Proses membangun keyakinan bahwa optimalisasi zakat hanya bisa
dengan kekuatan negara, dilakukan melalui kekuatan pengetahuan dan
kekuasaan yang membangun pemahaman bahwa zakat merupakan fenomena
ekonomi, politik dan sosial budaya. Pemahaman zakat dibangun dalam kerangka
berfikir ekonomi dan politik, ketika wacana zakat bicara tentang zakat sebagai
potensi ekonomi. Menyuarakan tata-aturan berbasis negara, dan menajemen
modern, merupakan upaya membangun konstruksi pengetahuan zakat bahwa
zakat merupakan fenomena politik yang terkait dengan logika kekinian. Berbasis
pengetahuan politik modern memandang zakat sebagai satu sumberdaya politik
dan instrumen kepatuhan dan penundukan pada negara dengan menggunakan
kekuatan hukum berbasis negara, dan berbasis pengetahuan ekonomi
memandang
zakat
sebagai
sumberdaya
ekonomi
yang
besar
untuk
pembangunan dan pemberdayaan masyarakat. Zakat disini terobjektivasi
sebagai fenomena pengentasan dalam bentuk lembaga zakat dan Undangundang zakat. Wacana zakat negara dan penerapan UU zakat merupakan
proses internalisasi gagasan zakat sebagai instrumen pembangunan dan untuk
optimalnya didukung oleh UU negara.
Desakan kekuatan kekuasaan politik dengan menggunakan instrumen
kekuasaan objektif negara (instansi dan hukum), dan instrumen kekuasaan
subjektif pada aras gagasan (pengetahaun) yang menjamah ruang kognisi
ummat melalui wacana zakat yang membaur dengan logika ekonomi dan politik
membuat warga tertaklukkan, menerima dan mematuhi gagasan zakat berbasis
negara sebagai wujud hasil dari proses internalisasi ke eksternalisasi berupa
pengakuan, penundukan dan kepatuhan berzakat pada tatakelola zakat negara.
171
5.3.2.3. Zakat sebagai Perintah Pemberdayaan dan Pembangunan
Zakat sebagai perintah pemberdayaan dan pembangunan merupakan
pemahaman yang menjadi ciri penting bagi pengelolaan zakat berbasis negara.
Mereka beraggapan bahwa perintah berzakat dalam agama merupakan perintah
pemberdayaan dan pembangunan. Oleh karena itu, maka segala potensi yang
ada dalam perintah zakat selayaknya diarahkan pada upaya pemberdayaan dan
pembangunan masyarakat. Pemahaman tersebut tergambar dalam beberapa
informasi lapang yang tercantum dalam box 5.3.2.3 berikut :
Box 5.3.2.3 : Zakat Mengandung Misi Pembangunan
Oleh AA. M (37 tahun) Pengurus BAZDA Provinsi Jambi dinyatakan bahwa dua elemen sosial penting
dari praktek zakat yaitu Muzakki dan Amil dalam masyarakat secara umum belum melihat zakat sebagai
instrumen pemberdayaan dan pembangunan ummat dan pentingnya kelembagaan Amil profesional.
Makanya untuk mengoptimalkan praktek zakat dan tata kelolanya harus lebih dahulu dilakukan penyadaran
dan penafsiran kembali untuk merombak pemahaman zakat yang dalam masyarakat, agar zakat dipaham
sebagai ibadah yang bermakna pembangunan dan pemberdayaan masyarakat.
HM dan IH (61 tahun) pengurus BAZDA Propisni Jambi, dipandang sebagai simbol kesejahteraan.
Dengan zakat maka di sana harta menjadi tersebar ke banyak orang dan dapat dinikmati oleh banyak orang.
Dengan zakat harta juga berputar dari satu tangan ke tangan yang lain (Muzakki ke para Mustahiq). Dengan
berzakat harta yang dimiliki oleh satu orang dapat memberikan manfaat ke orang lain baik secara individu
terhadap fakir, miskin dan Amil, maupun secara berkelompok dengan menerima manfaat dari zakat yang
25
26
tersalur melalui fasilitas umum yang disalurkan terhadap Ibnu sabil dan fisabillah . Dari sinilah makna
pesan pembangunan dapat di petik
Memaknai zakat sebagai istrumen pemberdayaan dan pembangunan
berangkat dari konsep negara kesejahteraan, mengacu pada peran negara yang
aktif dalam mengelola dan mengorganisasikan perekonomian yang di dalamnya
mencakup tanggung jawab negara untuk menjamin ketersediaan pelayanan
kesejahteraan dasar dalam tingkat tertentu bagi warganya. Secara umum, suatu
negara bisa digolongkan sebagai negara kesejahteraan jika mempunyai empat
pilar utama, yaitu : (1) social citizenship; (2) full democracy; (3) modern industrial
relation system; (4) rights to education and the expansion of modern mass
education systems (Andersen (1990, 1999) dalam Triwibowo dan Sugeng (2007).
Negara
kesejahteraan
berusaha
membebaskan
warganya
dari
ketergantungan pada mekanisme pasar, untuk mendapatkan kesejahteraan
(dekomodifikasi) dengan menjadikannya sebagai hak setiap warga yang dapat
diperoleh melalui perangkat kebijakan sosial yang disediakan oleh negara
(Andersen (1990, 1999) dikutip oleh Triwibowo dan Sugeng (2007). Pengamatan
Titmuss (1958) yang diperkuat oleh Andersen (1990), bahwa negara tidak
25
Ibnu Sabil adalah Musafir yang kehabisan bekal, yang jauh dari negerinya dan telah tertutup semua sumber
rezekinya
26
Fisabilillah adalah orang yang berjihad di jalan Allah swt. dan kegiatan sejenisnya dalam r angka dakwah
Islam.
172
selamanya menjadi aktor utama dalam penyediaan kesejahteraan 27. Andersen
(1990)
mentipologikan
varian-varian
rezim
kesejahteraan
atas
rezim
kesejahteraan liberal, sosial demokrat, dan konservatif. Terlihat bahwa peran
negara dalam negara kesejahteraan paling kuat dijumpai pada rezim
kesejahteraan sosial demokrat yang memiliki tingkat demodifikasi tinggi serta
ikatan hak sosial yang universal (Triwibowo dan Sugeng, 2007).
Berdasarkan tipologi rezim kesejahteraan tersebut, Epsing-Andersen
(1999) sebagaimana dikutip oleh Triwibowo dan Sugeng. (2007) membagi
negara kesejahteraan ke dalam tiga bentuk yaitu : 1) Residual welfare state;28
dengan basis rezim kesejahteraan liberal dan dicirikan dengan jaminan sosial
yang terbatas pada kelompok target yang selektif serta dorongan yang kuat bagi
pasar untuk mengurus pelayanan publik. 2) Universalist welfare state; dengan
basis rezim kesejahteraan sosial demokrat dan dicirikan dengan cakupan
jaminan sosial yang universal dan kelompok target yang luas serta tingkat
dekomodifikasi yang ekstensif. 3) Social insurance welfare state, dengan basis
rezim kesejahteraan konservatif dan dicirikan dengan sistem jaminan sosial yang
tersegmentasi
serta
peran
penting
keluarga
sebagai
penyedia
pasok
kesejahteraan (Triwibowo dan Sugeng, 2007).
Mengkaitkan kesejahteraan sosial dengan makna social security zakat
sama halnya menjadikan zakat sebagai bagian dari instrumen keterjaminan
sosial yang berasal dari institusi agama. Keterjaminan sosial (social security)
adalah tindakan publik, termasuk yang dilakukan oleh masyarakat, untuk
melindungi kaum miskin dan lemah dari perubahan yang merugikan dalam
standar hidup, sehingga mereka memiliki standar hidup yang dapat diterima.
Pieters (2006) menyebutkan bahwa keterjaminan sosial adalah:
27
Ada tiga paradigma kesejahteraan sosial, antara lain : (1) paradigma residual; (2) paradigma
institusional; dan (3) paradigma developmental. Paradigma residual, aliran ini menganggap
kesenjangan yang terjadi di masyarakat sebagai konsekuensi logis dari danya kebebasan individu
mendapatkan hasil terbaik dalam kehidupannya. Paradigma residual memberlakukan sistem seleksi
(means test) untuk menentukan apakah orang te tersebut berhak mendapatkan bantuan. Paradigma
institusional ; dikembangkan berdasarkan teori tentang masyarakat dan negara yang didasarkan pada
nilai-nilai konsensus (consensual value), konformitas dicapai melalui proses integrasi sosial.
Paradigma ini melihat pemerintah harus bekerjasama dengan pihak swasta dan organisasi nirlaba
dalam meningkatkan kualitas layanan. Paradigma developmental ; merupakan konsepsi tentang sistem
kesejahteraan sosial yang mendasarkan pada nilai-ni lai keadilan sosial. Pardigma ini berdasarkan pada
perspektif sosial demokrat (democratic socialist perspective). Disini peran pemerintah menjadi lebih
proaktif, dan merupakan antitesis dari perspektif residual yang lebih bersifat reaktif.
28
Model Residual welfare state digunakan Australia, Kanada, Selandia Baru, dan Amerika Serikat, Model
Universalist welfare state yang digunakan yang meliputi negara seperti Denmark, Finlandia, Norwegia, Swedia,
dan Belanda, dan Social insurance welfare state yang meliputi negara seperti Austria, Belgia, Perancis, Jerman,
Italia, dan Spanyol (Triwibowo dan Sugeng, 2007).
173
the compilation of benefits in cash and in kind, including services,
granted to some persons. The arrangement as granting protection
against the insecurity resulting from the risks related to the ascent of
the industrial society and its development or, in short, against social
risk.‖ (Pieters, 2006).
Bagaimana zakat pergeseran konstruksi, dari mekanisme social scurity
system, menjadi mekanisme pemberdayaan dan pembangunan, mengharuskan
adanya rekonstruksi pemahaman. Merombak pemahaman zakat sebagai
pengamanan subsisten ke model pemberdayaan dan pembangunan. BAZDA
Provinsi Jambi dalam hal ini melakukan upaya mendobrak pemahaman zakat
tradisional menuju modern dengan cara, yaitu: 1) Melakukan sosialisasi ke
berbagai masjid yang ada di lingkungan Provinsi Jambi dengan melibatkan tokoh
agama lokal dan anggota Majelis Ulama Indonesia (MUI) provinsi dan
kabupaten/kota. 2) Melakukan dialog zakat terkait dan manajemen tatakelola
zakat berorietasi pemberdayaan. 3) Menghimbau anggota BAZDA agar terlibat
dalam
pengelolaan
zakat
dalam
masyarakat
dengan
harapan
mampu
membangun penyadaran menuju tatakelola zakat berbasis pengetahuan modern.
4) Menyebarkan buku-buku panduan berzakat dan pengelolaan zakat hingga
pada ceramah dan khutbah Juma‘at untuk membangun pemahaman zakat dan
sistem tatakelola yang efektif, efisien dan profesional dengan manajemen
modern.
Proses rekonstruksi pengetahuan zakat oleh BAZDA tersebut merupakan
praktek intervensi ruang kognisi masyarakat melalui perombakan pemahaman
zakat
tradisional. Disini
pengetahuan zakat masyarakat termarjinalkan dan
terkalahkan hingga pada akhirnya akan termusnahkan karena tergilas oleh
pengetahuan zakat BAZDA yang memiliki kekuatan sosial dan politik yang
didukung oleh perangkat sosial politik negara. Melalui kekuatan lembaga
pendidikan, media massa dan ruang sosial lainnya BAZDA memberikan takanan
pada aras kognisi masyarakat dan menggiringnya masuk dalam ruang
paradigma developmentalism.
Logika berzakat masyarakat yang tadinya tunduk dan digerakkan oleh
logika lokal (logika budaya) berubah dan bergeser ke logika developmentalism
dan akibatnya, agamawan komunitas yang selalu menjadi pemimpin ritual agama
masyarakat lokal terkebiri, melemah dan tak berdaya kecuali jika mereka rela
melebur dalam logika developmentalism dan meninggalkan atau paling tidak
174
membuka ruang logika ascetism, dan logika localism, untuk diwarnai oleh logika
developmentalism.
5.3.3. Konstruksi Sosial Kuasa Pengetahuan Zakat LAZ-SP
Terbentuknya lembaga tatakelola zakat di PT. SP berawal kesadaran para
karyawan untuk melaksanakan kewajiban agama tahun 1995, namun kemudian
akhirnya masuk dalam kerangka kerja perusahaan tahun 1997, dan kemudian
terbentuk pengelolaan zakat khusus tahun 1998 berupa Badan Amil Zakat Infak
dan Shadaqah (BAZIS). Kemudian berubah pada tahun 2002 berubah menjadi
Yayasan Lembaga Amil zakat (LAZ SP) sebagai respon terhadap UU No. 38
tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat.
Zakat oleh LAZ-SP difaham sebagai ajaran agama yang memiliki potensi
ekonomi yang besar, yang bisa memberikan sumbangan pada upaya
pemberdayaan kaum lemah khususnya sekitar perusahan. Jika dikelola dengan
baik, terorganisir dan terencana, maka akan menghasilkan sumberdaya ekonomi
yang besar yang bisa dijadikan modal bagi upaya memberdayakan masyarakat
miskin, mendukung terciptanya suasana usaha yang aman dan nyaman serta
bisa menciptakan keamanan usaha dan investasi.
Memandang zakat dalam perspektif pengetahuan ekonomi membuat zakat
dipandang sebagai sumberdaya ekonomi. Perhatian terfokus pada sisi-sisi
potensi ekonomi yang dapat diperoleh dari zakat dan peluang ekonomi yang
diakibatkan oleh tradisi berzakat dan tatakelolanya. Dalam tradisi berzakat dinilai
memiliki potensi ekonomi yang dapat diperoleh ketika para muzakki berzakat
dengan baik. Di LAZ-SP angka itu cukup besar yang terlihat pada hasil perolehan
dana zakat dari tahun ketahun yang terus meningkat. Pada Matrik berikut ini
menunjukkan betapa potensi tersebut begitu menggiurkan.
Penerimaan dan Penyaluran Dana Zakat LAZ. SP Tahun 1995-2007
1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
Penerimaan
(Rp. Juta)
421
523 1368 1418 2055 2782 2918 3387 3036 3550 4087 5106 6204
Penyaluran
(Rp. Juta)
391
469 1157 1500 2061 2723 2523 3183 3070 3923 3902 4452 5321
Sumber : Data Sekunder , 2008 (Diolah)
175
Memaknai zakat sebagai potensi ekonomi, membangun pemahaman
bahwa yang pantas mengelola zakat adalah mereka yang memiliki pengetahuan
ekonomi dan memiliki kemampuan manajemen ekonomi. Pemahaman ini
menggeser pemahaman zakat berbasis kelembangaan masjid yang dikelola oleh
agamawan pada level komunitas, yang memandang zakat lebih fokus sebagai
instrumen keshalehan untuk membangun kedekatan dengan Allah SWT dan
kehangatan relasi sesama manusia khususnya antara kaum kaya (muzakki) dan
kaum miskin (mustahik). Memandang zakat sebagai instrumen kesalehan,
konsekwensinya membangun kepercayaan bahwa yang berhak menguasai
wacana zakat adalah orang yang dianggap sholeh (agamawan). Sebaliknya
memandang
zakat
sebagai
instrument
pemberdayaan
konsekwensinya
membangunan kepercayaan bahwa yang berhak menguasai wacana zakat
adalah mereka yang dianggap memiliki pengetahuan ekonomi pemberdayaan.
Berbeda dengan pandangan aktor LAZ-SP dengan basis pengetahuan
ekonomi
mengkonstruksi
memandang
zakat
zakat
sebagai
dalam
instrumen
kerangka
berfikir
pencapaian
dan
ekonomi
dan
peningkatan
kesejahteraan. Makanya yang menjadi perhatian selalu seberapa besar potensi
ekonomi yang dapat diperoleh dari pengelolaan zakat, seberapa jauh bisa
menciptakan suasana berekonomi yang kondusif, aman dan nyaman serta
seberapa besar memberikan peluang bagi pengembangan usaha dan perolehan
surplus ekonomi. Ketika dianggap mampu memberikan dan menjanjikan
keuntungan secara ekonomi secara langsung maupun tidak, maka sejak itulah
zakat jadi menarik dan penting.
Konstruksi pengetahuan zakat pada LAZ-SP,
terlihat didominasi oleh
pengetahuan ekonomi dengan logika profit dan utility maximization. Konstruksi
pengetahuan zakat LAZ-SP tersebut terbangun berawal dari adanya wacana
pengelolaan zakat yang disuarakan oleh karyawan untuk memenuhi kewajiban
berzakat sebagai rukun Islam. Dari sini pengelolaan zakat diwacanakan dalam
komunitas perusahaan yang didalamnya terdiri dari kelompok pekerja/karyawan
perusahaan dan para manajer perusahaan. Berbasis pengetahuan ekonomi,
zakat dicerna dalam kerangka berfikir ekonomi. Disini tahap konstruksi sosial
zakat dibangun berawal dari munculnya diskursus tatakelola zakat di perusahaan
yang menonjolkan wacana zakat sebagai instrumen pemberdayaan dan social
rensposibility .
176
Wacana zakatpun digulirkan dan memunculkan statemen-statemen yang
mengarahkan pada bangunan pemahaman zakat dalam kerangka ekonomi.
Konsep pemberdayaan, kemiskinan sekitar perusahaan, dan tanggujawab sosial
perusahaan,
kesenjangan
ekonomi
antara
perusahaan
dan
masyarakat
sekitarnya serta kecemburuan sosial, menggiring penafsiran zakat para
karyawan dan pihak manajemen industri masuk dalam kerangka gagasan zakat
dalam perspektif ekonomi industri. Sosialisasi gagasan berlangsung secara terus
menerus sebagai proses internalisasi yang menjamah ruang kognitif para
muzakki perusahaan dengan tujuan terbangunnya kesadaran berzakat yang lahir
dari pemahaman zakat berbasis industri dalam kerangkan logika ekonomi.
Wacana zakat di lingkungan perusahaan terus melebar, melembaga dan
melahirkan LAZ Swasta . Objektivasi terjadi melalui wacana zakat yang mejamah
ruang
kognitif
komunitas
perusahaan
dalam
proses
internalisasi
dan
ekternalisasi. Pada proses ini wacana dari luar sebagai fenomena objektif
mempengaruhi ruang subjektif, dan pada proses ini berlangsung pergumulan
pengetahuan terhadap konstruksi zakat yang ada dalam ruang subjektif anggota
komunitas perusahaan, hingga pada tahap selanjutnya masuk pada momen
eksternalisasi dalam wujud rekonstruksi pengetahuan zakat dan lahir dalam
dunia objektif berupa tindakan berzakat pada lembaga tatakelola zakat swasta.
Bagaimana zakat dikonstruksi oleh warga komunitas perusahaan dan oleh
pihak manajemen perusahaan, sangat tergantung pada kekuatan rezim
pengetahuan dan kekuasaan yang bekerja membentuk konstruksi sosial zakat
dan pengetahuan zakat yang tersosialisasikan sehingga terinternalisasi dan
terekternalisasi hinggan melembaga dalam peraktik sosial berzakat pada LAZ
perusahaan sebagai wujud momen objektivasi. Sebelum terbangun konstruksi
sosial dan pengetahuan zakat yang diinginkan oleh pemegang kuasa, maka
proses tiga momen proses terbangunnya konstruksi sosial ala Bergerian (1990)
yaitu objektivasi, internalisasi dan eksternalisasi yang tanpa henti ini terus
diintervensi dengan menggunakan kekuatan kekuasaan dan pengetahuan yang
tersebar di mana-mana, menjamah dari segala arah dalam lingkungan
perusahaan.
LAZ-SP dengan basis pengetahuan ekonomi industri, menjalankan
tatakelola zakat dalam kerangka kerja ekonomi, memarjinalkan pengetahuan
agama dan lokal. Akibatnya agamawan di sana hanya dikonstruksi sebagai
177
pemangku kuasa pengetahuan zakat sebagai ritual dan ajaran normatif saja,
sementara zakat sebagai praktek sosial dipandang masuk dalam ruang kuasa
pengetahuan ekonomi oleh pengusaha atau aktor manajemen industri. Akibatnya
LAZ-SP menjadikan agamawan hanya sebagai alat legitimasi dan justifikasi
bahwa LAZ bekerja dalam kerangka ajaran agama.
Mengkonstruksi zakat dalam kerangka berfikir ekonomi industri, membuat
zakat dipandang sebagai instrumen ekonomi industri. Pemahaman terhadap
zakat terfokus pada sisi-sisi ekonomi yang ada dalam fenomena zakat. LAZ-SP
sebagai LAZ berbasis Industri, memandang zakat sebagai : 1) Sumberdaya
ekonomi yang memiliki potensi yang besar, 2) Zakat sebagai instrumen
pemberdayaan dan 3) Zakat sebagai instrumen pengamanan usaha dan
investasi.
5.3.3.1. Zakat sebagai Sumberdaya Ekonomi
Memandang zakat sebagai sumberdaya yang memiliki potensi ekonomi
yang besar, yang menurut hitungan berbagai sumber mendekati angkat Rp. 19
triliun pertahunnya (Hafhidhuddin, 2001), dan menjadi sangat menarik bagi
kalangan swasta/industri untuk melakukan pengorganisasian zakat dalam
kerangka manajemen industri. Melihat angka tersebut banyak kemudian
kalangan industri mencoba melakukan pengelolaan zakat secara internal yang
dipungut dari para karyawan melalui mekanisme yang sejalur dengan sistem
penggajian karyawan. Oleh PT.SP dibuktikan dengan pencapaian angka Rp 7
Miliyar pada tahun 2007.
Perusahaan PT.SP yang berlokasi di Indarung Sumatera Barat, merupakan
salah satu tempat di mana penelitian dilakukan, ditemukan bahwa zakat bagi
pengelola zakat (LAZ-SP) merupakan praktek ibadah dalam agama Islam yang
memiliki potensi ekonomi yang besar, yang jika dikelola dengan baik akan
mampu memberikan efek yang besar bagi pemberdayaan masyarakat lemah
umumnya dan khususnya yang ada di sekitar perusahaan, yang pada akhirnya
memberikan suasana usaha yang mendukung bagi peningkatan produksi dan
peningkatan hasil secara ekonomi.
178
5.3.3.2. Zakat sebagai Instrumen Pemberdayaan
Memandang zakat sebagai sumberdaya ekonomi, oleh LAZ-SP zakat
selalu di hubungkan dengan fenomena ketidakberdayaan ekonomi masyarakat
sekitar perusahaan. Mereka beranggapan bahwa kemiskinan sekitar perusahaan
adalah tanggungjawab bersama seluruh elemen perusahaan sebagai orang yang
memiliki kehidupan lebih baik dan memiliki kelebihan pendapatan atau harta.
Disini zakat kemudian dilihat bisa dan memiliki potensi untuk memberdayakan
masyarakat miskin sekitar perusahaan. Zakat dibaca sebagai instrumen yang
mampu mengembangkan sense of awareness terhadap derita kaum miskin.
Kalau diilustrasikan, zakat itu ibarat the have, sementara rakyat miskin laksana
the needy. Filsafat sosialnya menjadi affirmatif: the have harus memiliki ethical
obligation kepada the needy. Berzakat, dianggap dapat memberikan sumbangan
bagi mengatasi masalah kekurangan yang dihadap oleh the needy yang pada
penghujungnya diharapkan mampu dan berdaya secara ekonomi.
Pesan moral-kemanusiaan dari rangkaian ibadah zakat sebenarnya hendak
melatih diri kita untuk sensitif terhadap realitas, yakni, menjadi lebih peka dan
sensitif terhadap realitas sosial di sekitar kita. Kemiskinan, kelaparan, dan
ketidakadilan, yang selama ini dialami kaum tertindas baik secara ekonomis
maupun politis, dengan demikian mendapatkan referensi, justifikasi, dan
legitimasi
dari
ritual
dikonfrontasikan
memperoleh
zakat.
dengan
maknanya
Karena
konteks,
sebagai
itu,
prilaku
nuansa,
pembacaan
dan
ritual
ilusi
zakat
haruslah
kesadaran
hermeneutik
sosial
untuk
dalam
konstruksi pergumulan aktual kehidupan manusia yang nyata.
Setiap bentuk ritual berzakat mempunyai kapasitas sebagai refleksi
kemanusiaan untuk menghidupkan kembali api dan semangat fitrah, bukan
hanya dalam kesadaran subyektif, tetapi juga dalam kesadaran sejarah. Dari
sinilah
kemudian
diharapkan
zakat
mampu
menemukan
makna-makna
emansipatorisnya sebagai praktek pembebasan dan pengentasan masyarakat
dari kemiskinan, bukan malah dibaca dalam konteks pemanfaatan potensi
ekonomi zakat sebagai instrumen pensejahteraan semata secara lahiriah, lalu
mengabaikan aspek bathiniyah dan menghilangkan relasi personal sebagai salah
satu kunci lahirnya kehangatan sosial dalam proses pembebasan.
179
5.3.3.3. Zakat Sebagai Instrumen Pengamanan Investasi
Berangkat dari wacana Community Development (CD) atau Coorporate
Social Responsibility (CSR), PT. SP muncul dalam wacana tatakelola zakat
dengan
LAZ
yang
mengelola
kemanusiaan dan pemberdayaan.
zakat
karyawannya
untuk
Zakat bagi aktor disini
kegiatan
dipandang
sebagai ajaran agama yang memiliki potensi besar, yang bisa mendukung
berjalannya dunia usaha khususnya menciptakan kondisi sosial yang aman
dan nyaman bagi kehidupan usaha dan investasi. Zakat diakui sebagai
ajaran agama yang mengandung makna kepatuhan beribadah, namun pada
saat yang bersamaan, zakat bagi mereka juga dianggap sebagai tindakan
kemanusiaan yang terlihat pada semangat solidaritas sosialnya. Memaknai
solidaritas sosial inilah kemudian aktor LAZ-SP menilai kalau pengelolaan
zakat mampu menciptakan suasana sosial yang damai dan aman.
Ada pemahaman bahwa LAZ yang mengelola zakat dalam lingkup
perusahaan, secara internal dianggap mampu menciptakan suasana
nyaman dalam perusahaan karena telah menciptakan nuansa nyaman
secara bathin atau spiritual bagi karyawan melalui pelaksanaan ibadah
berzakat yang didukung oleh perusahaan. Pengelolaan zakat mampu
menciptakan kepercayaan yang tinggi dari karyawan terhadap perusahaan
sebagai perusahaan yang religius, atau palling tidak telah menghargai
agama mayoritas yang dianut oleh karyawan.
Secara eksternal, aktor LAZ memilih menerapkan tatakelola zakat
berbasis perusahaan, karena pertimbangan bahwa dengan pengelolaan
zakat, akan membangun hubungan sosial yang baik dengan masyarakat
luar perusahaan, khususnya kaum lemah di sekitar perusahaan melalui
penyaluran dana zakat. Kemiskinan yang dialami oleh masyarakat sekitar
perusahaan dianggap sebagai salah satu penyebab dominan munculnya
berbagai persoalan sosial masyarakat sekitar perusahaan, yang selalu
memberikan efek kurang nyaman bagi pihak perusahaan. Dengan
pengelolaan zakat yang baik diharapkan mampu mengatasi atau paling
tidak membantu meringankan persoalan kemiskinan tersebut. Dengan
demikian keberadaan LAZ-SP memiliki orientasi pada penciptaan suasana
sosial yang aman dan nyaman dalam masyarakat, khususnya masyarakat
180
sekitar perusahaan yang diharapkan memberikan sumbangan yang besar
bagi terciptanya suasana yang aman dan nyaman terhadap kondisi usaha
dan investasi perusahaan.
Menerapkan tatakelola zakat, oleh aktor juga dianggap sebagai satu
wujud semangat spiritualitas dan memberikan indentitas keberagamaan
sebagai
perusahaan
yang
agamis
dan
pengusaha
yang
shaleh.
Membangun identitas keberagamaan dan kesalehan, mungkin merupakan
motivasi keimanan, namun pada saat yang sama juga sebagai upaya
pencitraan perusahaan, pengusaha dan komunitas ekonomi taat beragama,
shaleh dan memiliki solidaritas sosial yang tinggi. Dengan terbangunnya
citra tersebut dianggap akan menempatkan perusahaan, karyawan dan
pengusaha dalam konstruksi masyarakat sebagai yang shaleh dan
budiman. Oleh pihak perusahaan merupakan pencitraan agama yang
secara bersamaan dimaknai sebagai potensi ekonomi. Awalnya memang
hanya memandang zakat sebagai sebuah praktek beragama yang terkait
dengan
kemiskinan,
namun
dalam
perjalanannya
kemudian
selalu
menunjukkan perhatian pada potensi ekonomi dalam kaitannya dengan
kemiskinan yang selalu menjadi persoalan bagi perusahaan dan memiliki
hubungan yang erat dengan keamanan investasi.
Program Corporate Social Respsncibility (CSR) PT. SP, diakui sebagai
satu bentuk program mengatasi masalah-masalah sosial masyarakat
sekitar perusahaan, namun sebagai BUMN dana yang ada sangat terbatas,
maka keberadaan LAZ-SP, sangat membantu program CSR PT.SP. Secara
kelembagaan antara CSR dan LAZ-SP, memang terpisah, namun dalam
perlaksanaan program ada keterkaitan yang sangat erat, bahkan ada
pembagian wilayah kerja. CSR lebih ditekankan pada pemberian bantuan
terhadap masyarakat secara kelembagaan, sementara LAZ lebih pada
bantuan perorangan.
Download