V KONSTRUKSI11 SOSIAL KUASA PENGETAHUAN ZAKAT 5.1. Pendahuluan Fenomena berzakat merupakan realitas kehidupan sehari-hari yang menyimpan dan menyediakan kenyataan, bekerjanya pengetahuan yang membimbing perilaku. Berzakat menampilkan realitas obyektif yang ditafsirkan oleh individu, atau memiliki makna-makna subyektif. Tindakan berzakat merupakan suatu dunia yang berasal dari pikiran-pikiran dan menjelma dalam realitas tindakan-tindakan individu yang dipelihara sebagai ‘yang nyata‘ oleh pikiran dan tindakan. Dasar-dasar pengetahuan tersebut diperoleh melalui sosialisasi (internalisasi) secara subyektif yang membentuk dunia akal-sehat intersubyektif (Berger dan Luchmann, 1990) sebagai pengetahuan yang dimiliki bersama oleh individu dengan individu-individu lainnya. Berzakat sebagai realitas obyektif melalui proses pelembagaan di dalamnya. Proses pelembagaan (institusionalisasi) berawal dari proses eksternalisasi yang berulang-ulang dan difahami bersama yang menghasilkan pembiasaan (habitualisasi). Habitualisasi yang telah berlangsung memunculkan pengendapan dan tradisi. Pengendapan dan tradisi ini diwariskan ke generasi sesudahnya melalui bahasa dalam sosialisasi dalam momen internalisasi. Disinilah terdapat peranan dalam tatanan kelembagaan, termasuk dalam kaitannya dengan pentradisian pengalaman dan pewarisan pengalaman. Tradisi berzakat sebagai realitas obyektif, menyiratkan keterlibatan legitimasi. Legitimasi merupakan pelembagaan dalam momen obyektivasi makna, dan merupakan pengetahuan yang berdimensi kognitif dan normatif. Legitimasi berfungsi membuat lembaga atau pelembagaan menjadi masuk akal secara subyektif dan dipatuhi. Sebuah universum simbolik sangat diperlukan disini dalam menyediakan legitimasi utama bagi keteraturan pelembagaan. Universum simbolik menduduki hierarki yang tinggi, dan mentasbihkkan bahwa semua realitas adalah bermakna bagi individu dan harus melakukan sesuai 11 Konstruksi yang dimaksud adalah aktivitas masyarakat sehari-hari ketika menceritakan, menggambarkan, mendeskripsikan peristiwa, keadaan, atau pun benda, konsep ini diperkenalkan oleh sosiolog interperatif, Peter L. Berger dan Thomas Luckman (Berger dan Thomas Luckmann,1990). 115 dengan makna itu. Agar individu mematuhi makna itu, maka organisasi sosial diperlukan, sebagai pemelihara universum simbolik. Organisasi sosial dibuat sedemikian rupa agar sesuai dengan universum simbolik (teori/legitimasi). Manusia tidak menerima begitu saja legitimasi, bahkan pada situasi tertentu ketika universum simbolik yang lama tak lagi dipercaya dan kemudian ditinggalkan, lalu manusia melalui organisasi sosial, membangun universum simbolik yang baru secara dialektik. Proses ini berlangsung terus menerus, dan berdampak pada perubahan sosial. Tradisi berzakat sebagai kenyataan subyektif menyiratkan bahwa zakat ditafsir secara subyektif oleh individu. Sosialisasi sebagai bagian dari momen internalisasi merupakan proses menerima gagasan dan menafsir (Samuel, 1993). Internalisasi berlangsung seumur hidup dengan melibatkan sosialisasi, merupakan proses penerimaan definisi-definisi situasi yang disampaikan orang lain tentang dunia institusional. Dengan diterimanya definisi-definisi tersebut, individupun bukan hanya mampu memahami definisi orang lain, tetapi lebih dari itu, turut mengkonstruksi definisi bersama. Dalam proses mengkonstruksi inilah, individu berperan aktif sebagai pembentuk, pemelihara, sekaligus perubah realitas. Kekuatan rezim pengetahuan dan kekuasaan memegang kuasa mengarahkan momen internalisasi dalam proses sosialisasi. Rezim pengetahuan memiliki peluang yang besar untuk mewarnai definisi-definisi yang akan terbangun dan lebih jauh akan membentuk tindakan sebagai wujud objektif dari realitas subjektif dan pada saat sama kekuasaan berperan mengokohkan rezim pengetahuan dengan menggunakan instrument pendisiplinan untuk menormalisir tubuh dan tindakan melalui institusi dan aparat sebagai central wacana dan kebenaran yang menormalisir dunia . Konsep zakat sebagai ajaran agama, bersumber dari wahyu secara terus menerus mengalami dilaektika pemahaman melalui proses pelembagaan (momen objektivasi) dan sosialisasi (momen internalisasi) gagasan dan nilai yang dimunculkan. Proses ini berlanjut ke momen penafsiran (momen eksternalisasi) sebagai proses peyesuaian dengan gagasan-gagasan individu dalam dunia sosial sebagai produk manusia kala itu, dan selanjutnya mengalami proses institusionalisasi (obyektivasi) sebagai bentuk interaksi sosial dalam dunia intersubjektif yang dilembagakan (Berger, 1990). Konstruksi sosial zakat dan kuasa pengetahuan zakat terbangun dalam proses tiga momen ala 116 Bergerian tersebut. Melembaga, tersosialisasi dan ditafsirkan ulang, merupakan fenomena dinamika konstruksi sosial atas zakat dan konstruksi sosial atas kuasa pengetahaun zakat yang bekerja. Pengetahuan zakat bekerja melintasi dimensi ojektif dan subjektif. Ummat adalah pencipta kenyataan sosial zakat dari pengakuan dan penundukan terhadap rezim pengetahuan zakat. Pengetahuan zakat bekerja pada dimensi subjektif melalui momen internalisasi dan menggiring ke dimensi objektif melalui momen eksternalisasi dalam bentuk pelembagaan atau institusionalisasi. Kenyataan objektif zakat kemudian kembali mempengaruhi ummat melalui sosialisasi dalam momen internalisasi secara subjektif dan interpersonal dan kemudian tereksternalisasi dalam dunia nyata dalam tindakan sosial zakat sebagai fenomena objektif. Pengetahuan zakat adalah produk ummat yang terbangun melalui momen internalisasi dan eksternalisasi, yang mencerna, memproduksi dan mereproduksi pemahaman berzakat sebagai hasil kerja pengetahuan dalam mengarahkan dan membentuk tindakan berzakat. Pengetahuan zakat, semula dikonstruksi sebagai ajaran yang bersumber dari wahyu yang kuasa pengetahuan, penafsiran, dan kontrolnya berada dalam kuasa Nabi Muhammad SAW sebagai pemangku tugas kenabian, kemudian kuasa berpindah kepangkuan sahabat sebagai khalifah hingga pada ulama atau agamawan. Konstruksi sosial zakat dan kuasa pengetahuan zakat mengalami pergeseran dari waktu ke waktu dan fenomena tersebut terjadi secara simultan dan dialektis dalam momen eksternalisasi, ojektivasi dan internalisasi. Fenomena tersebut sangat dipengaruhi oleh waktu dan ruang sosial budaya dimana rezim pengetahuan bekerja dalam membentuk konstruksi dan rekonstruksi pengetahuan zakat masyarakat. Agamawan sebagai pemangku kuasa pengetahuan zakat, berperan sebagai pemangku tunggal dalam momen internalisasi ajaran zakat melalui proses sosialisasi pada ranah kognitif (ruang subjektif). Proses ini berjalan secara intersubjektif, dan ummat secara individu tidak mencerna dan merekam sepenuhnya sebagai mana yang disosialisasikan, namun disini terjadi proses pendefinisian ulang pada ranah kognitif ummat ketika pengetahuan yang diinternalisasikan bersentuhan dengan stock of knowledge yang lebih dahulu terekam dalam ruang gagasan individu. Pedefinisian ulang atau redefinisi dalam momen internalisasi untuk selanjutnya memasuki momen eksternaliasi sebagai 117 hasil pendefinisian atau redefinisi atas pemahaman zakat yang sosialisasikan oleh agamawan. Artinya bahwa apa yang disampaikan oleh agamawan tidak selalu sama dengan yang difahami, dimaknai dan direkam serta di lakukan oleh ummat. Apa yang disampaikan oleh agamawan selalu dimaknai ulang dan dikonstruksi ulang oleh individu sesuai dengan perbendaharaan pengetahaun mereka secara individu. Zakat yang telah terkonstruksi dalam dunia sosial secara objektif, selalu mengalami rekonstruksi dalam momen internalisasi dan kembali menjelma dalam dunia sosial objketif setelah melalui momen eksternalisasi. Dengan demikian maka konstruksi sosial atas tindakan berzakat dan konstruksi pengetahuan zakat selalu dinamis dan berubah secara secara simultan dan dialektis. Wacana tatakelola zakat di Indonesia misalnya yang telah melintasi waktu yang cukup panjang dan menghasilkan konstruksi pengetahuan zakat yang berbeda-beda dalam masyarakat. Jika dipetakan, ditemukan dua kelompok besar, yaitu : pertama adalah kelompok yang memahami kuasa tatakelola zakat, yang berada ditangan pemerintah. Pemahaman ini lahir sebagai warisan sejarah perjalanan Islam yang mengkonstruksikan Nabi Muhammad SAW sebagai pembawa agama, pemimpin agama dan sekaligus pemimpin ummat. Konstruksi sosial ummat terhadap beliau tersebut, berimbas dalam pemahaman tentang tatakelola zakat masa itu. Zakat dipercaya sebagai kewajiban beragama, terkait dengan pembiayaan perjuangan di jalan Allah dan sekaligus sebagai sumber pendapatan negara12. Disini zakat sebagai ajaran agama pada ruang gagasan negara terobjektivasi sebagai femomena bernegara sehingga dalam proses internalisasi pemakanaannya sangat dipengaruhi oleh wacana negara. Akibatnya tereksternalisasikan sebagai fenomena agama dalam konteks bernegara. Mengikuti keyakinan Weber, bahwa bentuk dasariah perilaku manusia dimotivasi oleh faktor-faktor religius yang sangat penting bagi fungsi sosial agama, di sana kontrol sosial terhadap distribusi harta dan organisiasi mengatur 12 Khums berupa potongan seperlima atas harta temuan (rikaz) atau harta karun. Amwal fadillah yaitu harta yang berasal dari harta benda kaum muslimin yang meninggal tanpa ahli waris, atau berasal dari barangbarang seorang muslim yang meninggalkan negrinya. Wakaf yaitu harta benda yang didedikasikan oleh seorang muslim untuk kepentingan agama Allah dan pendapatnya akan disimpan di Baitul mal. Nawaib yaitu pajak khusus yang dibebankan kepada kaum muslimin yang kaya raya dalam rangka menutupi pengeluaaraan negera selama masa darurat. Kifarat adalah denda atas kesalahan yang dilakukan oleh seorang muslim pada saat melakukan kegiatan ibadah. Jizyah yaitu pajak yang dibebankan kepada orang-orang non muslim. Kharaj yaitu pajak tanah yang dipungut dari kaum non muslim ketika wilayah khaibar ditakhlukkan. 118 manusia (Turner, 1983), yang oleh Foucault memaknai nilai yang terkonstruksi terlihat sebagai yang mengatur tubuh dari ruang kognitif yang melebar keruang materi atau jasmaniyah (Foucault, 1979). Sementara oleh Berger (1990) dipandang bahwa konstruksi sosial atas realitas melalui tiga momen dialektis, yaitu : objektivasi, internalisasi dan eksternalisasi. Tiga proses ini bekerja secara dialektis melintasi dunia objektif dan subjektif, dengan menggunakan kekuatan pengetahuan mengarahkan aras kognisi individu yang kemudian melembaga dan kembali mengarahkan tindakan sosial zakat individu, sehingga beragama merupakan dialektika dunia objektif dan subjektif tanpa henti. Kelompok kedua yang memahami bahwa Nabi Muhammad SAW adalah pemimpin agama dan pewarisnya adalah ulama‘13 bukan umara (pemerintah) seperti yang paham oleh kelompok pertama. Kelompok ini lebih melihat bahwa otoritas kuasa dalam tataran ajaran zakat sebagai rukun agama dan praktek berzakat bukan haknya pemerintah (umara), namun merupakan otoritas kuasa pemimpin dan pengawal ajaran agama. Ulama dilihat sebagai kelompok yang berdiri sendiri dan terlepas dari pengaruh pemerintah, makanya ulama dan umara difahami sebagai dua pemangku kuasa yang setara. Kepemimpinan ulama terkonstruksi sebagai penguasa ruang agama dan terlepas dari ruang politik. Dua pemahaman di atas melahirkan tiga model tatakelola zakat yaitu: Pertama, model berbasis negara yang melihat zakat sebagai sebuah ritual ajaran agama yang seharusnya diatur dan dikontrol dalam ruang negara dengan menggunakan perangkat negara14 dan pengetahuan zakat disini tunduk dalam struktur pengetahuan administrasi dan pemerintahan. Kedua, model berbasis komunitas yang melihat zakat sebagai sebuah ritual ajaran agama seharusnya diatur dan dikontrol dalam ruang kelembagaan kiyai melalui hak kuasa ulama, dan pengetahuan disini tunduk dalam struktur pengetahuan ulama. Ketiga, model swasta berbasis industri atau LSM yang melihat zakat sebagai ajaran agama yang seharusnya dimanfaatkan untuk kesejahteraan dan pensejahteraan 13 Konsep ulama adalah bentuk jamak dari kata ‗alim yang berarti orang yang berilmu (dalam bahasa Arab). Maksudnya, orang yang berilmu dan mumpuni dalam khazanah kelimuan Islam. Namun kemudian secara sosial ternyata, interpretasi tentang ulama ini berkembang lebih luas seiring banyaknya fenomena yang terj adi. Arti ulama bukan hanya sekedar orang-orang yang berilmu pada bidang keagamaan saja, namun juga berilmu pada bidang politik (Amin, 2009). 14 Pengelolaan zakat seperti ini dilakukan di negara-negara Islam seperti Saudi Arabia, Pakistan, Kuwait, Bahrain dsb. Dikutip oleh Asep Saefuddin Jahar dalam Sigrid Faath (ed.) (2003). 119 ummat sehingga harus dikelola orang profesional dengan manajemen ekonomi dalam ruang usaha produktif dengan logika ekonomi. Tiga model tersebut merupakan kelompok besar yang terus berusaha merekonstruksi pengetahuan masyarakat dengan perspektif masing-masing. negara diwakili oleh sistem tatakelola zakat berwujud Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) untuk level nasional atau Badan Amil Zakat Daerah (BAZDA) untuk level daerah, di bawah kuasa aparat pemerintah, sementara komunitas diwakili oleh sistem tatakelola zakat berwujud LAZ berbasis masjid dan surau/langgar, serta pondok pesantren/madrasah di bawah kuasa kelembagaan kiyai melalui perangkat ulamanya. Sementara swasta diwakili oleh kelembagaan ekonomi swasta dengan tatakelola zakat berwujud LAZ swasta berbasis perusahaan/ industri di bawah kuasa pengetahuan manajemen industri dengan pemangku kuasanya adalah elit perusahaan. 5.2. Struktur Kuasa Pengetahuan Zakat Mengamati struktur kuasa pengetahuan zakat pada tiga sistem tatakelola zakat (berbasis komunitas, negara dan industri swasta) ditemukan bahwa pada tiga sistem tatakelola tersebut ditemukan struktur kuasa pengetahuan yang berbeda. Pada sistem tatakelola berbasis komunitas struktur kuasa pengetahuan berada pada tiga level, yaitu : Level pertama adalah kuasa pengetahuan zakat sebagai ajaran agama berada dalam pangkuan agamawan dan berpusat pada masjid, dan madrasah. Level kedua, kuasa pengetahuan ketatakelolaan yang diletakkan pada amil yang juga terkadang berada ditangan agamawan atau sekelompok orang yang ditunjuk oleh agamawan. Pada level ketiga adalah kuasa pengetahuan tentang distribusi berada dalam kuasa agamawan, amil atau muzakki secara individu yang diakui berhak atas memilih menyalurkan sendiri atau menyalurkan lewat amil zakat komunitas. Meski teridentifikasi struktur kuasa memiliki tiga level, namun sesungguhnya sentralnya ada pada satu titik yaitu kuasa agamawan lokal sebagai pemangku kuasa pengetahuan tertinggi. Sementara pada sistem tatakelola berbasis negara, struktur kuasa pengetahuan berada pada dua level, yaitu: level pertama adalah kuasa pengetahuan zakat sebagai ajaran yang diletakkan pada kuasa agamawan negara. Pada level kedua adalah kuasa pengetahuan tatakelola yang diletakkan pada kuasa aparatur negara yang ditugaskan dalam Badan Amil Zakat Daerah 120 untuk Provinsi Jambi. Muzakki dan mustahik berada pada level yang tidak memiliki kuasa kecuali hanya mematuhi agamawan negara dan aparat BAZDA. Kuasa tertinggi disini berada pada kuasa aparatur negara sebagai aparat BAZDA yang diakui oleh pemerintah. Agamawan diluar pemerintah hampir tidak diberikan hak kuasa dalam berbicara tentang zakat. Hal yang sama juga ditemukan pada sistem tatakelola zakat berbasis swasta pada LAZ-SP. Kuasa pengetahuan berada pada dua level kuasa, yaitu: pada level pertama sabagai pemangku kuasa pengetahuan zakat sebagai ajaran agama berada agamawan perusahaan atau agamawan negara (MUI) sebagai penguasa fatwa zakat. Sedangkan pada level kedua adalah pemangku kuasa tatakelola yang dipangku oleh pihak manajemen perusahaan yang ditempatkan sebagai pengurus LAZ-SP. Karyawan sebagai muzakki dan masyarakat miskin sekitar perusahaan sebagai mustahik hampir tidak memiliki kekuasan dalam wacana dan tatakelola zakat di sana. Kuasa agamawan lokal pada sistem tatakelola zakat komunitas, kuasa agamawan negara pada BAZDA dan agamawan perusahaan pada LAZ-SP memang merupakan pemangku kuasa pengetahuan zakat sebagai ajaran agama, namun kuasa agamawan lokal pada LAZ komunitas jauh lebih luas dibanding kuasa agamawan negara pada BAZDA dan agamawan perusahaan pada LAZ-SP. Agamawan lokal pada LAZ komunitas menjangkau hingga pada pengetahuan tentang tatakelola, sementara pada BAZDA dan LAZ-SP, kuasa agamawan hanya terbatas pada kuasa pengetahuan zakat sebagai ajaran agama dan berperan menfatwakan zakat dalam koridor ajaran agama saja. Sementara kuasa pengetahuan manajemen tatakelola berada dalam kuasa aparat negara pada BAZDA dan manajeman perusahaan pada LAZ-SP. 5.2.1. Kuasa Pengetahuan Zakat dalam LAZ Komunitas Kuasa pengetahuan zakat komunitas di Kabupaten Tanjung Jabung Timur khususnya di Desa Simburnaik, ditemukan dalam kelembagaan kiyai dan masjid. Pada wawancara mendalam dengan beberapa informan di lokasi ditemukan informasi yang menunjukkan bahwa di sana kuasa pengetahuan agama dan pengetahuan lokal saling bersentuhan dan bekerja membentuk konstruksi sosial kuasa pengetahuan zakat. Informasi persentuhan kuasa pengetahuan diperoleh dalam beberapa wawancara dipetik pada box 5.2.1. 121 Box 5.2.1 Kuasa Sosialisasi Pengetahuan Zakat Dalam Komunitas Desa SBN salah satu desa di Kabupaten Tanjung Jabung Timur Provinsi Jambi yang telah melakukan pengelolaan zakat berbasis komunitas sejak lama. Zakat di desa ini dikelola di masjid oleh imam masjid, bersama dengan kepala desa dan pemuka masyarakat. Imam yang dikenal dengan panrita atau puang imang (bugis), tuan guru, Imam atau Buya (Melayu) dan Kiyai (Jawa) sebagai pemangku kuasa pengetahuan agama dan berhak menerima, mengelola dan menyalurkan zakat kepada muzakki dengan berpedoman pada kitab-kitab fiqh. Imam dibantu oleh guru agama atau guru ngaji dan anak mengaji atau Remaja Masjid. Bagaimana mengelola mengikuti tatacara masa lalu yang telah menjadi tradisi. Terlihat dengan munculnya sanro (tabib/ dukun bayi) sebagai penerima zakat yang tidak ada dalam ajaran agama. Kepala desa yang juga dikenal dengan istilah Datuk, atau Pangulu, membantu imam dengan cara memberikan dukungan dan kepercayaan penuh untuk mengelola zakat. Kepala desa juga membantu menghimbau masyarakat untuk berzakat di masjid dan memberikan data-data orang miskin di desa untuk dijadikan mustahik yang biasanya terlebih dahulu disesuaikan dengan informasi dari Ketua RT atau adakalanya imam meminta bantuan para ketua RT untuk mendata orang-orang miskin di lingkungannya untuk dimasukkan dalam data mustahik. Pemuka masyarakat atau pemuka adat yang biasanya disebut dengan tau matoa, orang tuo, orang adat, atau tuo-tuo tengganai (biasanya terdiri dari tokoh kharismatik dan orang kaya desa) juga terlibat dalam pengelolaan zakat di desa. Tokoh kharismatik terlibat selalu sebagai pendamping imam masjid yang biasanya selalu berkomunikasi dengan imam dalam hal mencari cara yang baik, yang cocok dan sesuai dengan budaya kampung. imam dan tuo-tuo tengganai selalu berkomunikasi dengan imam masjid tentang cara mengumpulkan, menyalurkan dan kemana saja zakat digunakan. Orang kaya desa, selalu membantu imam dengan menjadi muzakki dan mempengaruhi yang lainnya untuk berzakat di masjid. Masjid dikonstruksi sebagai lembaga yang disucikan dengan struktur kuasa ruang di bawah pangkuan agamawan. Di masjid agamawan dikenal sebagai panrita (ulama), puang imang (imam), tuan guru (guru agama), buya, atau kiyai, didaulat sebagai yang suci, yang mulia, dipercaya memiliki kedekatan hubungan dengan Allah SWT dan dipercaya memiliki kemampuan luar biasa untuk menyelamatkan ummat dengan ritual doa, sehingga tak jarang dilekatkan peran tabib padanya sebagai perwujudan seorang wali (Beatty and Middleton, 1969). Seorang imam15 atau agamawan di masjid memiliki legitimasi publik sebagai sosok yang diberikan hak kuasa sepenuhnya oleh ummat dalam ruang agama hingga ruang sosial. Masjid dikonstruksi sebagai lembaga yang mengatur ruang sosial beragama, dan menempatkan sang imam pada struktur yang berkuasa dalam pengetahuan agama dan ritual ibadah. Melalui masjid sang imam diberi kuasa sebagai memimpin ritual, membentuk dan mengarahkan prilaku sosial dan beragama masyarakat. Kuasa pengetahuan diletakkan pada hak kuasa menggunakan mimbar masjid untuk menyuarakan wacana agama dan keberagamaan. Mimbar sebagai simbol kuasa pengetahuan agama dan menjadi 15 Imâm berarti orang yang diikuti, baik sebagai kepala, jalan, atau sesuatu yang membuat lurus dan memperbaiki perkara. Selain itu, ia juga bisa berarti Al-Qur‘an, Nabi Muhammad, khalifah, panglima tentara, pemipin agama, ulama dan sebagainya. Imam juga bisa bermakna: maju ke depan, petunjuk dan bimbingan, kepantasan seseorang menjadi uswah hasanah, dan kepemimpinan (Mubarok, 2009) http://mubarok-institute.blogspot.com. . 122 tempat di mana pengetahuan agama disosialisasikan, dan yang mempunyai hak kuasa mimbar hanyalah orang yakini memiliki pengetahuan agama. Wacana zakat disini dan majelis taklim, oleh agamawan disalurkan melalui mimbar masjid sebagai ajaran agama yang diwajibkan dengan mengatasnamakan wahyu suci dari Allah SWT. Agamawan disini menyatakan dirinya hanya sebagai penyampai pesan-pesan suci dari wahyu Allah karena memikul tanggungjawab suci sebagai pewaris kenabian. Statemen-statemen yang terlontar menggunakan konsep wahyu, tanggungjawab suci, dan sebagai pewaris kenabian, memiliki kekuatan dan memberikan justifikasi pada agamawan sebagai orang yang benar dan layak dipatuhi. Pada mimbar ini juga wacana zakat disuarakan dan digambarkan sebagai perintah wajib yang dikaitkan dengan konsekwensi-konsekwensi logis kepatuhan dan penolakan dengan statemen: dosa dan pahala, kekufuran dan kepatuhan, wujud syukur dan kesombongan. Semua statemen-statemen tersebut memiliki kekuatan mengarahkan dan menundukkan ummat, sehingga agamawan dihormati dan dipatuhi karena kepiawaiannya menuturkan wahyu sehingga dikonstruksi sebagai sosok yang memiliki pengetahuan zakat (agama) yang luas (agamawan) serta sebagai sosok yang suci dan memiliki kedekatan relasi dengan Allah karena sebagai pewaris kenabian. Proses terbangunnya kuasa agamawan dalam ruang wacana zakat, berawal dari bangunan logika bahwa zakat adalah ajaran agama, maka sebagai ajaran agama, selayaknya kuasa atas wacana zakat dan kelembagaanya berada dalam ruang kuasa agamawan. Kekuasaan agamawan tersebut terbangun melalui proses seleksi sosial yang ketat dan melalui adaptasi terhadap normanorma sosial yang menjadi batasan moral masyarakat. Disini seorang agamawan mengikuti tuntutan-tuntutan nilai, norma dan membangun simbolsimbol moralitas sebagai sosok yang suci, berpengetahuan luas dan memiliki integritas moral yang baik dan mulia. Membangun kuasa, agamawan selalu bercirikan jubah gamis atau sarung, kopiah putih, sorban dan tasbih sebagai simbol keshalehan membangun kesucian. Dekat dengan masjid, mengajar mengaji dan membaca kitab kuning,16 selalu memberikan ceramah-ceramah 16 Kitab kuning : kitab kelasih dalam bahasa arab yang dikarang oleh ulama terdahulu dengan ciri tanpa baca yang sangat terbatas. 123 agama melalui mimbar masjid atau pengajian-pengajian di luar masjid sebagai simbol ketaatan dan luasnya pengetahuan agama. Struktur kuasa zakat, terkonstruksi dalam tiga level kuasa, yaitu: amil sebagai penguasa tatakelola, muzakki sebagai pemegang sumberdaya zakat dan mustahik sebagai penguasa hasil zakat. Amil oleh komunitas dikonstruksi sebagai sosok yang mendapatkan hak kuasa atas tatakelola zakat melalui pesan-pesan wahyu. Karena zakat dipercaya sebagai ajaran murni agama yang bersumber dari wahyu, yang awalnya berada dalam hak kuasa Nabi Muhammad. SAW, maka hak tatakelola zakat di serahkan pada agamawan yang sebelumnya telah dikonstruksi sebagai pewaris kenabian. Zakat oleh agamawan dibawa ke masjid sebagai ruang pembatas terhadap sentuhan kuasa dari luar struktur masjid. Menjadikan masjid sebagai ruang, di mana lembaga zakat dipusatkan dalam komunitas, adalah bentuk penguatan kuasa agamawan dan menjadi justifikasi atas suci dan murninya misi kelembagaan zakat ditangan amil komunitas. Fenomena zakat berbasis masjid di bawah kuasa agamawan sebagai amil, bagi anggota komunitas dibaca sebagai satu sistem sosial keberagamaan yang tak terpisahkan. Agamawan, zakat, dan masjid dikonstruksi sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan karena ketiganya saling melengkapi. Agamawan sebagai pemimpin agama, zakat sebagai sumber dana penguatan ajaran agama dan masjid sebagai arena netral di mana agama dibangun, dikokohkan dan kembangkan. Masjid menjadi tempat pengelolaan zakat, berproses dengan melalui tiga momen penting konstruksi sosial kuasa zakat. Momen objektivasi, internalisasi dan eksternalisasi secara simultan (Berger, 1990). Berawal dari masjid zakat terlembaga dan menjadi fenomena interaksi sosial secara intersubjektif amil, muzakki dan mustahik serta masyarakat luas dan terinstitusionalisasikan dalam dunia sosial zakat. Dalam struktur masjid pulalah momen internalisasi berlangsung ketika anggota komunitas mengidentifikasi diri dengan lembaga zakat komunitas dan memahami atau menafsirkan, hingga kemudian momen eksternalisasi sebagai proses penyesuaian diri dengan lembaga zakat sesuai yang ia tafsirkan sebagai dunia sosial kultural yang diproduksinya bersama komunitas tersebut. Agamawan di masjid dikonstruksi sebagai pemangku kuasa tunggal dalam agama termasuk kuasa pengetahuan zakat. Agamawan memiliki 124 hak kuasa penuh dalam membangun dan membentuk pengetahuan zakat, hingga mengarahkan dan menilai tindakan zakat masyarakat komunitas. Muzakki merupakan bagian dari struktur kelembagaan zakat, yang mengkonstruksi diri dan dikonstruksi sebagai kelompok orang dikenali berkewajiban untuk berzakat, karena kesejahteraannya yang lebih baik. Konstruksi tentang muzakki dibangun oleh agamawan dalam masyarakat komunitas melalui proses internalisasi ketika dakwah disuarakan. Seruan agamawan di cerna dan kemudian di tafsirkan dalam proses reflektif dalam momen eksternalisasi hingga kemudian melalui momen objektivasi dalam wujud tindakan berzakat yang melembaga dalam komunitas. Fenomena zakat terbangun dalam sedemikian rupa dalam konstruksi sosial sebagai satu fenomena objektif yang terus akan mengalami perkembangan penafsiran dalam proses internanalisasi dan eksternalisasi. Fenomena zakat akan mengalami perubahan ketika terjadi proses eksternalisasi (penafsiran) ummat yang mempertanyakan tradisi berzakat dan penafsiran zakat yang sudah mapan, ingin digantikan dengan tradisi dan penafsiran zakat yang baru sebagai rekonstruksi. Proses eksternalisasi sebagai momen yang selalu melahirkan perubahan, sangat dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan yang melekat dalam gagasan atau membatasi ruang gerak anggota masyarakat. Negara sebagai kekuatan yang mengatur anggota masyarakat secara inividual memiliki pengaruh yang paling dominan dalam proses eksternalisasi pemahaman dan pandangan terhadap zakat. Menggunakan pandangan Berger (1990) dalam memandang zakat dan konstruksi sosial pengetahuan zakat, maka zakat dalam tindakan tidak pernah menjadi produk akhir karena melembaganya zakat sebagai satu fenomena objektif menuju satu bentuk baru melalui momem internalisasi yang akan melahirkan satu yang baru melalui proses eksternalisasi, dan ini tak akan pernah terhenti dari aras individu yang selanjutnya akan melebar ke aras struktur secara terus-menerus. Artinya melembaganya zakat sebagai praktek sosial akan terus mengalami perubahan sejalan dengan perubahan aras gagasan dan penafsiran yang dipengaruhi oleh dinamika pengetahuan dan ini berlanjut tanpa henti. Relasi antara aktor dan pengetahuan dalam proses membangun konstruksi berfikir tentang zakat dalam komunitas terlihat dalam tabel 6 yang menggambarkan bagaimana relasi antara pengetahuan agama, sains modern 125 dan pengetahuan lokal dengan agamawan, birokrat desa dan pemuka adat komunitas. Tabel 6 : Relasi Aktor dengan Pengetahuan Zakat dalam LAZ Komunitas Pengetahuan Aktor Agama Sain Modern Pengetahuan lokal Agamawan Birokrat Desa Pemuka Adat Basis Utama Basis Moral Basis Moral Tantangan Basis Utama Tantangan Sinergis Sinergis Basis Utama Sumber : Data Lapang, 2008 (diolah) Pengetahuan agama, merupakan pengetahuan yang diakui dan difahami oleh komunitas sebagai pengetahuan yang bersumber dari wahyu yang di turunkan oleh Allah kepada Nabi-Nya dan kemudian menjadi basis utama pengetahuan bagi ulama. Nabi disini dikonstruksi sebagai pemangku kuasa ruang pengetahuan tertinggi, yang kemudian didelegasikan kepada ulama sebagai pewaris tunggal yang sekaligus dikonstruksi mewarisi beberapa kemuliaan kenabian. Dari sini ulama dipercaya ummat memiliki hak penuh untuk menjelaskan, mengembangkan dan mengarahkan serta mengontrol ruang pengetahuan dan prilaku ummat dalam beragama. Ulama kemudian menjadi sosok yang dipatuhi dan dikonstruksi ummat sebagai sosok yang selalu suci, mulia dan benar, dan sabdanya mewakili suara Tuhan. Pengetahuan modern oleh ulama dianggap sebagai tantangan dan harus dijinakkan dalam kerangka nilai agama, sementara pengetahuan lokal selalu disinergiskan dengan pengetahuan agama. Birokrat desa yang dipimpin oleh kepala desa dan dikenal sebagai Datuk, atau Penghulu, merupakan sosok elit desa yang menjadi pemangku kuasa administrasi dan birokrasi desa. Mereka ini menjadi pengetahuan agama sebagai basis moral, pengetahuan modern sebagai basis utama dan mensinergiskan pengetahuan lokal dengan kedua pengetahuan sebelumnya. Sang datuk atau penghulu di masjid merupakan struktur yang memberikan legalitas formal atas kekuasa sang imam dari luar masjid. Di sana seorang datuk tunduk pada kuasa sang imam dalam ruang kuasa pengetahuan zakat. Legalitas kuasa sang datuk terhadap kuasa sang imam memperkokoh kedudukan sang imam di masjid dan terhadap zakat, dan sebaliknya sang datuk sebagai pemimpin desa karena kedekatannya dengan sang imam secara bersamaan juga mendapatkan 126 legitimasi moral. Akibatnya sang datuk dikonstruksi sebagai pemimpin desa yang agamis dan mendapatkan legitimasi sang imam sebagai pemimpin yang baik dan taat. Legitimasi sang imam terhadap kuasa adminsitrasi dari sang datuk tidak memberikan ruang kuasa bagi sang datuk pada struktur kuasa masjid dalam kaitannya dengan zakat, karena terbatasi oleh kuasa pengetahuan agama yang hanya berada dalam kuasa agamawan. Pengetahuan modern (science), dianggap sebagai pengetahuan duniawi sebagai hasil kreasi manusia dan menjadi panduan duniawi. Pengetahuan ini dalam tatakekola zakat menjadi basis utama bagi birokrat desa. Pengetahuan ini oleh birokrat desa dijadikan basis pengetahuan utama pada ruang birokrasi pemerintahan desa hadir sebagai pengetahuan yang dititipkan/disalurkan lewat sistem pemerintahan dari pusat sampai ke desa. Sang datuk sebagai pemimpin desa memangku ruang kuasa administrasi dan birokrasi desa dengan dukungan legalitas formal di bawah legitimasi negara. Disini sains menundukkan dan mengarahkan masyarakat melalui sistem administrasi dan birokrasi desa. Oleh karena itu persentuhan kuasa sang datuk dan kuasa sang imam dalam tatakelola zakat selalu pada wilayah administrasi muzakki dan mustahik. Persentuhan sang imam dan sang datuk disini tak jarang ada tarik menarik dalam menentukan muzakki dan mustahik. Sang datuk dengan logika administrasi pemerintahan dan sang imam dengan logika ajaran agama. Namun karena konstruksi pengetahuan zakat komunitas cenderung lebih menilai ruang kuasa tatakelola zakat merupakan bagian dari ruang kuasa pengetahuan agama dan imam lebih berkuasa di sana sehingga imam selalu menjadi pemenang. Akhir dari tarik menarik antara kedua elit desa tersebut, sang datuk memilih mendukung sang imam dan memberikan ruang kuasa yang luas. Sang datuk memilih menghindari berbenturan dengan sang imam karena tidak ingin berhadapan dengan ummat atau jama‘ah masjid yang memiliki kepatuhan dan kesetiaan yang kental terhadap sang imam. Relasi simbiosis mutualis antara imam dan datuk bisa muncul dan saling meligitimasi. Imam sebagai pemangku kuasa pengetahuan zakat memberikan legitimasi moral atas kuasa datuk dalam ruang pengetahuan administrasi dan birokrasi pemerintahan, begitu pula sebaliknya. Pengetahuan lokal (Local Knowledge) oleh komunitas lebih dikenal sebagai adat istiadat atau Adê. Pengetahuan ini difahami pemandu kehidupan sosial 127 secara umum dalam konteks hidup bermasyarakat dalam satu komunitas. Pemangku kuasa pengetahuan ini adalah elit adat desa (tuo-tuo tengganai). Elit adat dengan pengetahuan lokal menguasai ruang kehidupan sosial sebagai pengontrol moral masyarakat bersama dan di bawah kuasa ulama (agamawan). Penundukan ini merupakan hasil dari penundukan agama terhadap adat. Antara agama dan adat selalu harus bersinergi namun adat tunduk di bawah kuasa agama. Pepatah adat Jambi yang menyatakan bahwa Adat bersendi Syara‟, Syara‟ bersendi kitabullah (adat berpedoman dengan agama dan agama berpedoman dengan Kitab Suci). Pemuka masyarakat atau pemuka adat disebut dengan tau matoa, orang tuo, orang adat, atau tuo-tuo tengganai, dalam ruang tatakelola zakat menjadi pendamping sang imam sebagai tokoh kharismatik desa. Tuo-tuo tengganai yang menguasai ruang pengetahuan lokal sebagai pengawal adat desa, terlibat dalam ruang tatakelola zakat komunitas dan mengarahkan prilaku berzakat dalam kaitannya dengan adat dan budaya lokal. Disini tradisi selalu muncul dengan ciri khas yang berbeda, dan tak jarang tidak dikenal dalam wacana pengetahuan agama, misalnya memunculkan dukun bayi dan tabib desa sebagai orang berhak menerima zakat. Pengetahuan agama dan pengetahuan lokal bersinergis disini melalui proses sintesis. Pemuka adat (tuo-tuo tengganai) memandang pengetahuan agama sebagai landasan moral tertinggi dalam bertindak dan berperilaku, sehingga budaya selayaknya menyesuaikan diri dan tunduk dengan agama. Sementara itu pengetahuan modern dilihat sebagai pengetahuan baru untuk menunjang pengetahuan agama dan adat khususnya yang terkait dengan materi, namun harus tunduk di bawah kontrol adat dan agama, dan dianggap bisa mengancam nilai dan norma sosial. Oleh sebab itu, haruslah disaring agar dijinakkan dan ditundukkan dalam ruang adat dan agama. Bagi ulama, sains merupakan pengetahuan baru yang dilihat sebagai tantangan dan sering sebut sebagai ilmu duniawi sebagai lawan ilmu ukhrawi yang dipakai untuk menamai ilmu agama. Sain dianggap sebagai tantangan bagi eksistensi pengetahuan agama. Sains dilihat sebagai pengetahuan yang berorientasi duniawi dan mengabaikan ukrawi, membiarkan sains menjadi landasan utama hidup manusia, membuat manusia akan tersesat dan mengabaikan dimensi ukhrawi. Oleh sebab itu maka ilmu agama menjadi filter 128 atas sains atau perlu internalisasi nilai agama agar bersinergis dengan agama. Sementara adat dan budaya (pengetahuan lokal), merupakan pengetahuan yang mengakar dalam kehidupan masyarakat sebagai adat istiadat yang diperoleh secara turun temurun dan dijadikan pedoman hidup. Oleh ulama, pengetahuan ini disinergiskan dengan agama, dan diakui sebagai uruf, diterima sepenuhnya manakala tidak bertentangan dengan agama. Pengetahuan agama bagi birokrat desa merupakan pengetahuan yang menjadi pedoman hidup beragama dan menjadi batasan nilai dalam ruang yang luas, sehingga nilai agama menjadi pedoman nilai dalam bertindak. Sementara pengetahuan lokal (local knowledge) dianggap sebagai warisan leluhur yang menjadi pedoman dalam kehidupan bermasyarakat. Adat dan budaya bagi birokrat desa merupakan basis normatif dan bersama agama dalam kehidupan sosial. Bertemunya tiga pengetahuan dan pemangku kuasanya dalam tatakelola zakat komunitas melahirkan tiga konstruksi sosial atas kuasa pengetahuan zakat yang berbeda, yaitu: pertama, konstruksi pengetahuan zakat bangunan ulama, yang memandang bahwa zakat dan tatakelolanya harus tunduk dalam pengetahuan atau ajaran agama, berada dalam kekuasaan agamawan, hasilnya untuk penguatan ajaran dan pembiayaan syiar agama dan pengelolaannya berpusat pada masjid/surau/langgar dan madrasah atau secara perorangan oleh amil dari ulama. kedua, konstruksi pengetahuan zakat bangunan birokrat desa, yang memandang bahwa zakat merupakan praktek beragama yang erat kaitannya dengan kemiskinan dan pemberdayaan komunitas, makanya tatakelola zakat sebaiknya bersinegis dengan pemerintahan desa. Ketiga, konstruksi pengetahuan yang dibangun oleh elit adat bahwa pengelolaan zakat harusnya sesuai dengan adat dan budaya setempat, yang menempatkan zakat sejalan dengan kedermawanan dan kepedulian sosial orang kuat kepada yang lemah. Karena itu secara individu boleh menyalurkan sendiri zakatnya kepada yang diinginkan, seperti yang dilakukan oleh para ponggawa atau toke. Pertemuan ketiga pengetahuan tersebut membentuk relasi saling merajut dalam bentuk sintesis dan melalui proses negosiasi, meski tak jarang terjadi benturan dalam relasi saling menundukkan dan meniadakan. Sintesis selalu menjadi ciri relasi antara ruang pengetahuan agama dan pengetahuan lokal dengan memunculkan konsep uruf yang mempertautkan agama dan budaya. Pertemuan sains dan pengetahuan lokal berwujud negosisasi. Sementara ruang 129 sains dan ruang pengetahuan agama selalu berbenturan dalam konsep ukhrawi dan duniawi, sehingga harus ada penundukkan terhadap yang lainnya dan pemenangnya selalu sains. Tabel 7 : Relasi antar Pengetahuan dalam LAZ Komunitas Pengetahuan Agama Sain Modern Lokal Knowledge Agama Sain Modern Local Knowledge --Benturan Sintesis Benturan -Negosiasi Sintesis Negosiasi --- Sumber : Data primer, 2008 (Diolah) Pada tabel 7 terlihat bahwa relasi antara pengetahuan agama dan sains modern selalu berbenturan sementara antara pengetahuan agama dan pengetahuan lokal selalu mengalami sintesis. Pengetahuan agama dan sains selalu dibenturkan karena selalu dianggap memiliki perbedaan logika dimana agama mendahulukan rasionalitas nilai sementara sains lebih pada logika yang menekankan rasionalitas tujuan. Relasi yang bersintesis antara pengetahuan agama dan pengetahuan lokal sebagai akibat dari adanya konsep uruf (adat kebiasaan yang diterima dalam agama dan diakui sebagai sumber hukum dalam fiqh). Berbeda dengan relasi antara sains modern dan pengetahuan lokal, keduanya selalu melalui proses negosiasi, artinya bahwa manakala pengetahuan lokal memberikan efek positif dan bisa sinergis dengan sains modern maka keduanya bisa disandingkan secara bersamaan dalam satu waktu, namun dalam banyak hal selalu pengetahuan lokal ditundukkan dan terpinggirkan dan dianggap tidak rasional dalam kerangka logika sains modern. Pada praktek tatakelola zakat komunitas, ketiga pengetahuan dengan ruang kuasa masing-masing, bekerja dengan sangat dinamis. Agamawan dengan pengetahuan agamanya mendominasi dan praktek tatakelola zakat dalam banyak hal. Pengetahuan agama menjadi sentral dan patokan nilai, dan mewarnai sistem tatakelola dengan sangat dominan, sementara sains modern selalu diposisikan pada posisi pinggiran karena dianggap menjadi tantangan bagi logika pengetahuan agama. Pengetahuan lokal disini malah mendapatkan posisi yang cukup baik dengan bersintetis dengan pengetahaun agama sebagai adat istiadat dalam kerangka fiqh yang dikenal dengan konsep uruf. 130 5.2.2. Kuasa Pengetahuan dalam BAZDA Jambi. Badan Amil Zakat Daerah sebagai salah satu lembaga yang hadir dalam wacana tatakelola zakat, di dalamnya bekerja aktor berbasis pengetahuan dalam proses pembentukan wacana zakat sekaligus membangun kuasa pengetahuan, yaitu kuasa pengetahuan agama yang diwakili oleh kehadiran agamawan, dan kuasa pengetahuan modern yang diwakili oleh kehadiran birokrat dan akademisi. Fenomena tersebut tergambar dalam data-data lapangan yang diperoleh dari keterangan dan pengakuan informan yang dikutip secara ringkas dalam box 5.2.2. Box 5.2.2 : Kuasa Pengetahuan Dalam BAZDA Provinsi Jambi Badan Amil Zakat Daerah (BAZDA) Provinsi Jambi dengan SK Gubernur No 266 tahun 2001, sebagai pengelola zakat yang dibentuk oleh pemerintah daerah, aktornya diisi oleh tiga unsur, yaitu : unsur pemerintah (pemerintah daerah dan Depag), unsur ulama (MUI), unsur tokoh masyarakat (perguruan tinggi). Aktor yang terlibat dalam tatakelola zakat pada Badan Amil Zakat Provinsi Jambi terdiri dari unsur pemerintah daerah (Gubernur, Wakil Gubernur, Sekretaris Daerah, Biro Kesos, Kanwil Depag dan Staf lainya, serta Para akademisi dari Perguruan Tinggi Agama dan Umum). Pada tahap awal terbentuknya BAZDA ketua pelaksana harian dipercayakan kepada KH. Said Magwie, BA., yang merupakan pensiunan dari Peradilan Agama Provinsi Jambi dengan sekretaris ex-offisio kepala bidang zakat dan wakaf Kanwil Depag Provinsi Jambi, dengan staf yang dari Pemerintah Daerah, Kanwil Depag dan Perguruan Tinggi. Perkembangan berikutnya terjadi perubahan yang cukup besar. Di mana ketua pelaksana harian secara ex-officio dipegang oleh pejabat Sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi Jambi untuk BAZDA Provinsi dan Sekda Kota/kabaten untuk BAZDA Kota/Kabupaten. Formasi ini berlaku hingga ke kecamatan sehingga BAZDA Kacamatan diketuai oleh Sekretaris Kecamatan (Sekcam). Unsur Perguruan Tinggi agama dan Departemen Agama atau pensiunan salah satunya, selalu merupakan perwakilan dari unsur ulama yang dijadikan pengawal dan rujukan dalam wacana zakat dalam kaitannya dengan ajaran agama. Mereka menjadi pengurus BAZDA dengan tugas yang cenderung berbicara tentang tatakelola zakat dalam kaitannya dengan agama. Namun yang agaknya menjadi menarik adalah: bahwa wacana zakat dalam konteks agama selalu muncul sejalan dengan wacana pembangunan yang selalu dimunculkan oleh pemerintah daerah. Disini terlihat adanya gejala bahwa agamawan/ulama di BAZDA menjadi pendukung program pembangunan pemerintah dalam kaitannya dengan wacana zakat. Unsur Pemerintah Daerah dalam BAZDA Provinsi Jambi menempati tempat dominan dimana disemua bagian aktornya selalu tekait (karyawan pemda atau pensiunan pemda). Disini mereka selalu ditempatkan pada posisi yang superior dengan memegang jabatan penting (seperti Ketua Dewan Pertimbangan oleh Pejabat Gubernur, Komisi Pengawas oleh Wakil Gubernur hingga Ketua pelaksana Harian oleh Sekretaris Daerah (Sekda). BAZDA sebagai lembaga tatakelola zakat milik pemerintah, di dalamnya bekerja aktor-aktor yang mewakili pemerintah dan bekerja sebagai aparat. Mereka bekerja dengan basis pengetahuan modern yang telah terinternalisasi dalam ruang gagasan dan tereksternalisasi ke ruang sosial. Mereka mengkonstruksi zakat sebagai fenomena beragama dan bernegara berbasis pengetahuan dalam ruang kognitifnya yang telah terekam dengan sistem pengetahuan politik dan ekonomi pemerintahan. Tatakelola zakat dipandang dalam kerangka sistem pemerintahan dengan logika birokrasi sehingga zakat dalam kerangka logika pemerintahan yang disamakan dengan fenomena birokrasi pemerintahan. Akibatnya zakat melekat dalam kuasa birokrasi, dengan 131 amil yang dilekatkan pada kuasa pemerintah, sementara muzakki dan mustahik dipandang sebagai orang yang harus tunduk dan patuh norma birokrasi pemerintah sebagai warga negara. Zakat oleh aparat dipandang sebagai fenomena beragama yang kuasa pengaturannya berada dalam ruang kuasa negara berbasis manajemen pemerintahan. Agamawan sebagai pemangku kuasa sebelumnya, disini hanya diposisikan sebagai pengawal moral dan justifikasi atas nilai spiritual zakat. Relasi kuasa terbangun sangat hierarkis antara amil dan muzakki, sedangkan antara amil dan mustahik lebih diwarnai oleh relasi patronase dalam kerangka relasi aparat dan rakyat lemah. Amil sebagai yang superior, sementara muzakki dan mustahik menjadi sangat inferior, termarjinalkan dan bahkan tereksploitasi secara sistemik dalam ruang kuasa birokrasi. Wacana zakat dalam tatakelola negara dibangun melalui lembaga pendidikan negara oleh para aparat negara yang bekerja pada semua lembaga pendidikan dengan mengajarkan bagaimana zakat seharusnya di kelola dengan menggunakan kekuatan negara agar mencapai tujuan yang maksimal dalam mengatasi persoalan kemiskinan. Agamawan yang muncul mengajarkan ajaran zakat dan tatakelolanya disini , menjalankan tugasnya lebih sebagai aparat pemerintah yang menjalankan fungsinya sebagai pengajar dan penyiar agama yang dilegitimasi oleh negara. Mereka ini sebagai pegawai negara atau sebagai agamawan yang mewakili negara sebagai agamawan pro negara. Konstruksi sosial atas kuasa zakat dalam ruang negara memandang zakat sebagai sumberdaya bagi negara dan dijadikan instrumen dalam sistem pemerintahan untuk mewujudkan negara yang aman, damai dan sejahtera. Konstruksi ini muncul melalui proses objektivasi zakat dalam ruang yang kemudian dipandang oleh aparat negara sebagai sumberdaya yang dalam proses internalisasi dan eksternalisasi melalui pergulatan kuasa pengetahuan dalam ruang gagasan secara individu dan melahirkan gagasan sebagai produksi dari kuasa pengetahuan dominan pada aras kognitif sang aparat. Gagasan hasil eksternalisasi terlepas keluar melembaga dan bermain dalam ruang publik membentuk wacana dan bekerja dalam ruang diskursus zakat dalam kontrol pengetahuan dominan. Statemen-statemen muncul dalam diskursus zakat berbentuk aturan-aturan dalam satu rentang historis yang melibatkan disiplin, institusi dan aparat yang 132 mengisolasim mendefinisi dan memproduksi zakat dan pengetahuan zakat yang sekaligus merupakan aturan sosial yang menetapkan tatacara yang dapat diterima dalam memperbincangkan, menulis dan bertindak terkait dengan zakat. Kekuasaan disini diproduksi melalui tiga momen terbangunnya konstruksi sosial ala Bergerian (1966), yaitu momen objektivasi, sebagai momen ketika proses interaksi sosial struktur kuasa zakat dalam dunia intersubjektif yang dilembagakan atau terinstitusionalisasi dalam bentuk lembaga zakat, berlanjut kemudian pada momen internalisasi yang terjadi pada saat individu mengidentifikasi dirinya secara subjektif dengan lembaga zakat di mana mereka menjadi anggota masyarakat. Proses internalisasi ini merupakan proses paling penting dalam membangun kekuasaan, karena disini lah gagasan ditanamkan pada ruang kognitif yang selanjutnya masuk dalam momen eksternalisasi. Pada momen eksternalisasi terbentuk gagasan yang menguasai melalui proses penyesuaian diri oleh individu-individu dengan dunia sosial zakat yang dibangun sebagai produk manusia dalam bentuk penafsiran dan pelembagaan baru. Strategi kuasa dan bekerjanya pengetahuan ala Foucault (1980) berada pada saat menjelma sebagai aparat, manipulasi relasi kekuatan tertentu terjadi dan menggiring ke arah tertentu, memblokir, menstabilkan, memanfaatkan, dan sebagainya, melalui proses objektivasi, internalisasi dan eksternalisasi tanpa henti ala Bergerian (1966). Aparat selalu berada dalam permainan kekuasaan sekaligus berkaitan dengan koordinat pengetahuan tertentu yang terus berdialektik dalam tiga momen sebagai proses terbangunnya konstruksi sosial atas realitas. Jadi, inilah isi aparat: strategi-strategi dan relasi-relasi kekuasaan yang mendukung dan didukung oleh jenis-jenis pengetahuan tertentu (Foucault, 2002). Tujuan kekuasaan adalah memberi struktur-struktur pada pelembagaan zakat dalam masyarakat. Pada titik ini, yang selalu rentan terhadap perubahan. Struktur-struktur kegiatan itu berwujud institusionalisasi kekuasaan, yaitu keseluruhan struktur hukum dan politik serta aturan-aturan sosial yang melanggengkan suatu dominasi dan menjamin reproduksi kepatuhan dan pengetahuan disini menyatakan diri sebagai yang obyektif untuk pelanggengan kelembagaan zakat. Kekuasaan tidak bisa dilepaskan dari pengetahuan, karena kekuasaan dilaksanakan bukan berawal dari perjuangan, pembatasan, atau larangan, tetapi melalui manajemen, dan bangunan wacana yang diojektivasikan, langsung teriternalisasikan dan kemudian tereksternalisasi. Keilmiahan baru 133 terbentuk menjadi kriteria ukuran kebenaran ketika telah melalui objektivasi, internalisasi dan eksternalisasi, momen ini sangat penting sebagai proses produksi dan reproduksi kebenaran yang diakui dan menguasai individu-individu sekaligus menjadi alat kekuasaan individu di mana-mana. Amil dalam ruang BAZDA, dikonstruksi sebagai yang berkuasa dan memiliki kekuatan memaksakan kehendak dengan kekuatan perangkat institusinya. Disini mereka bisa menekan dan bahkan memaksakan kehendak. Muzakki yang berada dalam ruang kuasa birokrasi pemerintahan sebagai pegawai dan karyawan juga memiliki kehendak dan keinginan untuk bisa berzakat sesuai dengan pemahaman dan pemaknaannya terhadap zakat, dan mereka mengkostruksi bahwa mereka memiliki hak atas zakat mereka, kemana mereka ingin salurkan, yang penting tersalur kepada yang berhak. Namun karena ada tekanan dalam birokrasi, maka mereka memilih mematuhi, meski kepatuhan mereka hanya sekedar kepatuhan semu yang hanya agar mereka diketahui berzakat atau paling tidak mereka berinfak. Oleh karenanya banyak ditemukan muzakki yang hanya mengisi kolom infak dalam tagihan zakat di instansi pemerintah daerah di Provinsi Jambi. Ada ketimpangan pengetahuan disini . Amil tunduk sepenuhnya dengan rezim pengetahuan bangunan negara, sementara muzakki hanya tunduk sebatas membangun pemaknaan dari atasan bahwa mereka berzakat di BAZDA. Karena mereka menganggap zakat sebagai hak kuasa mereka untuk menyalurkan, sehingga mereka melakukan tindakan kamuflase sehingga seakan tunduk dengan negara dan pada saat yang sama mereka juga tunduk dan melaksanakan tradisi berzakat cara komunitas. Bagaimanapun mereka memahami dan menafsirkan zakat sesungguhnya merupakan hasil dari tiga momen proses konstruksi sosial ala Berger. Pengetahuan siapa yang paling kuat dan mendominasi ruang gagasan mereka dalam proses internalisasi dan eksternalisasi, maka dia yang akan mewarnai konstruksi sosial zakat dan kuasanya dalam konstruksi muzakki. Sehingga disini terlihat bahwa muzakki masih tertaklukkan oleh rezim pengetahuan lokal yang bekerja pada tatakelola zakat komunitas, sementara pada rezim pengetahuan modern yang bekrja pada BAZDA hanya dipatuhi sebatas kamuflase. Mereka ini terjebak dalam dua rezim pengetahuan yang mengurungnya, menaklukkannya dan memaksanya secara sistemik dalam ruang logika tradisi dan birokrasi administrasi pemerintahan yang 134 diakui sebagai yang benar. Mereka mengikuti logika tradisi berzakat komunitas dengan berzakat pada LAZ Komunitas, sekaligus mencoba tunduk secara simbolik pada logika manajemen birokrasi BAZDA dengan berinfak. Mustahik sebagai kelompok yang berhak atas dana zakat, pada Bazda mereka ini tidak sepenuhnya berkuasa sebagaimana pada komunitas. Kekuasaan mereka diambil alih oleh para petugas amil yang membidangi pendistribusian dana zakat. Mustahik harus diseleksi oleh para amil yang bertugas dan sebelumnya diharuskan menunjukkan kelayakan mereka dalam bentuk dokumen resmi yang berasal dari aparat pemeritah, yang menerangkan kalau sanga mustahik adalah mustahik yang layak mendapatkan santunan dana zakat, barulah kemudian mereka dinyatakan berhak atas dana zakat. Disini terkadang muncul gejolak dari mustahik, karena mustahik disini masih tunduk pada konstruksi sosial bangunan komunitas atas hak kuasa manfaat dari dana zakat. Badan Amil Zakat Daerah (BAZDA) Provinsi sebagai pengelola zakat yang dibentuk oleh pemerintah daerah, aktornya terdiri dari tiga unsur masyarakat, yaitu: unsur pemerintah (Pemerintah Daerah dan Departemen agama), unsur masyarakat yang terdiri dari ulama (MUI), cendikiawan (Perguruan Tinggi). Namun jika disederhanakan hanya ada dua unsur pokok, yaitu : unsur pemerintahan dengan basis ruang kuasa pengetahuan administrasi dan pemerintahan, dan unsur masyarakat dari ulama daerah (MUI) bersama unsur cendikiawan, dengan basis ruang kuasa pengetahuan agama. Tokoh atau unsur masyarakat yang selalu dari kalangan perguruan tinggi atau pensiunan pegawai Negeri (PNS), birokrat atau terkadang ulama, karena mereka terkadang pensiunan birokrat pemerintah daerah (pemda) atau kalangan perguruan tinggi agama. Tabel 8 : Relasi Aktor dan Pengetahuan dalam Badan Amil Zakat Daerah Aktor Agama Pengetahuan Sain Modern Local Knowledge Agamawan Birokrat Akademisi (Tokoh Masyarakat) Basis Utama Justifikasi Justifikasi Legitimasi Basis Utama Basis Utama Innovasi Innovasi Innovasi Sumber : Data Lapang, 2008 (diolah) Relasi antara antor dan pengetahuan dalam proses membangun konstruksi berfikir tentang zakat di BAZDA terlihat dalam tabel 8 yang menggambarkan bagaimana relasi antara pengetahuan agama, sains modern 135 dan pengetahuan lokal dengan agamawan, birokrat dan akademisi sebagai aktor dominan dalam tatakelola zakat berbasis pemerintah. Agamawan (ulama) disini menjadi pemangku kuasa pengetahuan agama dan menjadikan agama sebagai basis pengetahuan utama (landasan moraletika), dan sains modern oleh ulama dijadikan sebagai basis legitimasi rasional, sementara pengetahuan lokal dijadikan sebagai fenomena sejarah yang sebaiknya disesuaikan dengan kondisi kekinian. Birokrat sebagai penguasa ruang administrasi pemerintahan menjadikan pengetahuan modern sebagai basis utama, pengetahuan agama bagi mereka dijadikan sebagai basis normatif dan sebagai basis justifikasi nilai untuk menjamin terpenuhi norma dan diterimanya sebagai tatakelola zakat yang sesuai dengan ajaran agama yang difahami. Pengetahuan lokal disini dilihat sebagai hal yang tradisional dan selayaknya diadakan penyesuaian dengan kondisi yang ada. Akibatnya pengetahuan lokal terpinggirkan, dan selalu dianggap terbelakang, harus diinovasi dan bahkan ditinggalkan manakala tidak bisa bersinergis dengan logika modern. Birokrat berbasis pengetahuan modern menggunakan kekuatan birokrasi dan institusi mengintervensi ruang kognisi ummat melalui diskursus dalam proses objektivasi, internalisasi dan eksternalisasi, yang menyebar ke segala ruang sosial yang mendesak ruang kuasa ulama dan elit lokal ke wilayah pinggiran yang semakin sempit. Agamawan dalam praktek tatakelola di BAZDA, ruang kuasanya dalam wacana zakat terbatasi hanya pada wacana zakat dalam konteks ajaran. Ruang kuasa pengetahuan agama begitu dipersempit dan terdominasi oleh ruang pengetahuan modern dengan menempatkan wacana tatakelola zakat yang dikaitkan dengan administrasi pemerintahan yang dipangku oleh elit pemerintah daerah. Disini ditemukan interaksi antar pengetahuan bersama pemangku kuasanya. Relasi dinamis terjadi dan saling tarik menarik dalam kepentingan aktor dengan konsekuensi meluas atau menyempitnya ruang kuasa masingmasing. Pengetahuan agama dan pengetahuan lokal dalam ruang birokrasi negara menjadi lemah dan terkalahkan karena pemangku kuasanya dalam posisi yang tersubordinasi dibawah kuasa birokrat sebagai aparat pemerintah. Akademisi sebagai sebagai perwakilan kelompok ahli, yang selalu menempati ruang Dewan Pertimbangan dalam struktur organisasi BAZDA, menjadi pemangku kuasa kontrol atas pelaksanaan tatakelola zakat. Kuasa 136 mereka disini meliputi wewenang memberikan pertimbangan-pertimbangan dan nasehat-nasehat tentang bagaiaman tatakelola sebaiknyan dilaksanakan sesuai dengan aturan perundang-undangan dan bagaimana agar tercapai tujuan maksimal bagi upaya pemanfaatan zakat dalam mewujudkan upaya pengentasan kemiskinan. Tabe 9 : Relasi Antar Pengetahuan dalam Badan Amil Zakat Daerah Pengetahuan Agama Sain Modern Local Knowledge Agama ----- Negosiasi Tantangan Sain Modern Negosiasi ----- Tantangan Local Knowledge Tantangan Tantangan ------ Sumber : Data lapang, 2008 (diolah) Relasi antar pengetahuan dalam tatakelola zakat berbasis negara terlihat pada tabel 9. Pada tabel menggambarkan bahwa antara pengetahuan agama dan sains modern berlangsung melalui negosiasi dimana ruang kerja masingmasing saling tarik ulur dan mengalami pembatasan yang jelas. Pengetahuan agama bekerja pada ruang normatif sementara sains modern lebih pada ruang manajemen sistem tatakelola. Pengetahuan lokal bagi pengetahuan agama dan sains dianggap sebagai tantangan yang harus di modernkan dan dirasionalkan. Ruang kerja dan kuasa pengetahuan agama pada praktek tatakelola zakat di BAZDA terbatasi oleh ruang kuasa pengetahuan administrasi pemerintahan. Ruang pengetahuan agama disini dipangku oleh sosok agamawan yang tidak sekuat kuasa agamawan pada komunitas. Kalau agamawan pada komunitas memiliki kekuasaan yang penuh atas ruang pengetahuan agama hingga pada bagaimana agama di praktekkan secara bebas dan hanya tunduk dalam satu ruang kuasa yaitu ruang kuasa pengetahuan agama. Sementara agamawan di BAZDA, mereka adalah agamawan bias pemerintah yang menjadi penguasa ruang pengetahuan agama dengan legitimasi formal pemerintahan. Ruang kuasa pengetahuan agama di BAZDA Provinsi Jambi secara simbolik terlihat menonjol mewarnai praktek tatakelola zakat, dan ini terlihat ketika agamawan muncul mewakili beberapa unsur, dari unsur tokoh masyarakat, dari unsur perguruan tinggi, hingga unsur pemerintah. Namun ironisnya semua unsur tersebut merupakan elemen yang tertundukkan dalam ruang kuasa pengetahuan administrasi pemerintahan dan pembangunan daerah. Agamawan tidak lebih 137 sebagai aparat yang menjadi jaringan kekuasaan pemerintah (aparat pemerintah). Agamawan yang disimbolkan sebagai perwujudan ulama dan pemangku kuasa ruang pengetahuan agama di BAZDA tidak lebih dari jejaring aparatur pemerintah, yang tertundukkan dalam logika birokrasi pemerintahan. Fenomena ini dibaca dalam konteks penudukkan dan penciutan ruang kuasa pengetahuan agama. Agamawan yang dalam praktek tatakelola zakat di BAZDA, logikanya tertundukkan dalam ruang kuasa pengetahuan administrasi pemerintahan dan pembangunan daerah. Pengetahuan agama terkontaminasi, terkebiri, terbatasi dan terarahkan oleh ruang kuasa pengetahuan administrasi pemerintahan berorientasi pembangunan. Ummat berzakat bukan semata-mata dimaknai sebagai praktek beragama, yang termotivasi oleh relasi ke-Tuhan-an, keyakinan pada nilai dan ajaran serta dosa dan pahala dari Allah , namun lebih merupakan praktek sosial yang terdorong oleh relasi administrasi dan birokrasi, kepatuhan pada aturan formal, sistem institusi, karena tekanan aturan formal dan penghargaan administasi-birokrasi. Tabel 10 : Pertemuan Pengetahuan dalam Badan Amil Zakat Daerah Pengetahuan Agama Sain Modern Local Knowledge Agama Decoupling Ilmu yang satu dengan kian sulit dipertemukan Sinergis terjadi trasformasi syari’ah (fiqh kelasik dan kontemporer), spiritualisasi simbolik dan teknologisasi zakat Asimetris Sain Modern Sinergis terjadi trasformasi syari’ah (fiqh kelasik dan kontemporer), spiritualisasi simbolik dan teknologisasi zakat Bersinergis ekonomi dan politik serta pengetahuan lainnya saling dukung Dominasi pengetahuan lokal terintervensi Lokal Knowledge Asimetris Dominasi pengetahuan lokal terintervensi Decoupling masingmasing bagian jalan sendiri-sendiri, tanpa komunikasi yang berarti Sumber : Data lapang, 2008 (diolah) Pertemuan antar pengetahuan dalam praktek tatakelola zakat di BAZDA Jambi (lihat tabel 10) menujukkan bahwa antar pengetahuan agama selalu tidak ada sinergis dan tidak saling merajut. Pengetahuan fiqh dan tauhid menjadi saling berjalan sendiri-sendiri sehingga pengetahuan agama seakan terfragmentasi. Berbeda dengan pertemuan antara pengetahuan agama dan 138 sains modern, disana terjadi sinergis dan saling mengisi, namun pengetahuan agama lebih pada posisi yang menyesuaikan dengan logika sains modern sehingga yang terjadi adalah transformasi syari‘ah, rasionalisasi zakat dan teknokratisasi zakat. Sedangkan pertemuan antara pengetahuan agama dan pengetahuan lokal lebih menunjukkan hubungan yang asimetris, dimana pengetahuan lokal pada BAZDA di posisikan sebagai pengetahuan yang harus di rasionalkan dan ditundukkan dalam logika sains modern. Pertemuan menempatkan antara pengetahuan pengetahuan lokal pada modern posisi dan pengetahuan terdominasi dan lokal selalu terinventensi oleh pengetahuan modern sebagai bentuk perombakan rasionalitas dari logika budaya lokal ke arah logika modern yang rasionalitasnya tunduk pada logika sains modern. Pertemuan pengetahuan lokal dalam konteks budaya bukan sinergis antara budaya yang terjadi tetapi malah decopling, dimana masingmasing berjalan sendiri-sendiri ada sinergis antar tradisi. Tradisi berzakat hampir tidak berhubungan dengan tradisi kedermawanan lainnya saperti: tradisi berinfak, tradisi bersedekah apalagi tradisi sedekahan/selamatan yang didalamnya terdapat budaya berderma. 5.2.3. Kuasa Pengetahuan Zakat dalam LAZ-SP Struktur kuasa pengetahuan dalam lembaga tatakelola zakat berbasis swasta/industri ditemukan bahwa di sana bekerja dua pengetahuan dalam wacana tatakelola zakat, yaitu pengetahuan agama yang pemangku kuasanya adalah agamawan perusahaan dan pengetahuan ekonomi yang pemangku kuasanya adalah pelaku ekonomi industri. Dua rezim pengetahuan tersebut bertemu, bergesekkan dan saling merajut ketika pengusaha berinteraksi dengan agamawan perusahaan dalam membangunan konstruksi sosial kuasa pengetahuan zakat swasta. Kekuatan dan dominasi ruang masing-masing pemangku kuasa pengetahuan memberikan pengaruh terhadap ruang kuasa dan kerja pengetahuan tersebut. Relasi keduanya melahirkan dominasi terhadap yang lainnya. Petikan dari wawancana pada box 5.2.3 menunjukkan bagaimana pengetahuan bekerja dan membangun kekuasaan serta dimanfaatkan oleh para pemangkunya dalam Lembaga Amil Zakat (LAZ) Semen Padang. Fenomena 139 saling mendominasi satu dengan yang lainnya dan menempatkan muzakki dan ustahik dalam ruang yang terkuasai dan tertundukkan. Box 5.2.3 : Kuasa Pengetahuan Zakat LAZ-SP Lembaga Amil Zakat (LAZ) PT. SP awalnya terbentuk dari kesadaran para karyawan melaksanakan kewajiban agama (1995) yang masih menempatkan ruang kuasa pengetahuan agama yang luas. Ruang kuasa pengetahuan agama tersaingi ketika lembaga ini masuk dalam system kerja perusahaan (1997), dan terbentuknya lembaga zakat khusus (1998) berupa Badan Amil Zakat Infak dan Shadaqah (BAZIS) dan respon dari terbitnya UU No. 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, berubah menjadi Yayasan sejak tahun 2001 dengan akta notaris tertanggal 31 Desember 2001 dengan Notariat Dasrizal, SH. dan perubahan akta notaris dengan No. 05/5/Y/2002 tanggal 21 Januari 2002. Secara organisatoris personilnya terdiri dari para Direksi PT.. SP yang menempati posisi sebagai Badan Pendiri, Dewan Pertimbangan, Badan Pengurus dan Badan Pengawas. Untuk Dewan Syari‘ah ditempati oleh unsur agamawan perusahaan bersama agamawan luar yang berasal dari unsur perguruan tinggi dan Majelis Ulama Padang. Sementara untuk pelaksana harian di tempati oleh pensiunan karyawan PT. Semen Padang. Kekuasaan tertinggi berada pada dewan pendiri dengan hak dan wewenang yang luas dalam hal: mengangkat dan memberhentikan Dewan Pertimbangan, Badan Pengurus dan Badan Pengawas serta Pelakasana Harian. Keberadaan Dewan Syari‘ah, mereka memiliki ruang kuasa dalam hal memberikan pertimbangan-pertimbangan dalam pelaksanaan zakat terkait dengan agama dalam konteks zakat sebagai ajaran agama. Dewan Syari‘ah disini hanya tempat berkonsultasi dan bertanya tentang zakat sebagai ajaran agama. Dalam pengelolaannya, zakat disini kelola dengan manajemen modern dibawah payung manajemen industri. Organisasi LAZ-SP, terdiri dari dua bagian pokok, yaitu : Badan Pengurus yang merupakan pengurus inti yang personilnya dari Direksi dan Manajer perusahaan PT. Semen Padang, yang memegang kekuasaan penuh terkait dengan kebijakan organisasi, Pengurus Kesekretariatan, yang personilnya merupakan karyawan yayasan LAZ-SP dan tidak terikat langsung dengan perusahaan. Mereka di gaji oleh LAZ-SP. Ketuanya adalah bekas karyawan senior perusahaan yang telah pensiun. Muzakki mayoritas dari karyawan PT. SP yang zakatnya dipungut sebanyak 2,5% melalui mekanisme administrasi keuangan perusahaan terhadap semua pendapatan yang sah dari perusahaan (dari gaji, honor hingga bonus). Tidak ada satupun karyawan yang tidak terpotong zakatnya, mulai dari karyawan tetap hingga karyawan musiman. Mustahik memperoleh haknya dengan terlebih dahulu mengajukan permohonan dalam bentuk proposal yang nantinya akan disurvei oleh pengurus LAZ-SP untuk kemudian diputuskan oleh dewan pengurus yang diketuai oleh salah satu dari direksi perusahaan. Ada prioritas utama terhadap calon muzakki yang tempat tinggalnya lebih dekat dengan wilayah operasi perusahaan. LAZ - SP dalam praktek pengelolaan zakat melibatkan dua unsur aktor, yaitu : Unsur Pengusaha (manajemen perusahan) dan Unsur Agamawan Perusahaan. Dua unsur tersebut memiliki basis pengetahuan yang berbeda, unsur perusahaan berbasis sains modern khususnya manajemen dan ekonomi industri, dengan landasan etika-moral ekonomi (profit dan utility maximization), dan agamawan berbasis pengetahuan agama dengan landasan etika-moral asceticism. Akibatnya pada LAZ bertemu dua rezim pengetahuan yang masingmasing memiliki kuasa dalam praktek tatakelola zakat LAZ-SP. Rezim pengetahuan agama sebagai wilayah kuasa agamawan perusahaan dan rezim pengetahuan manajemen industri sebagai wilayah kuasa para Direksi dan Manajemen PT. SP. Agamawan perusahaan disini bersinergis dengan ‖agamawan negara‖, dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan akademisi. Mereka menguasai ruang pengetahuan pada wilayah fatwa zakat sebagai Dewan Syariah pada LAZ. Sementara direksi atau manajer perusahaan menguasai ruang pengetahuan manajemen industri/swasta dengan kekuasaan pada wilayah tatakelola LAZ. 140 Pembagian wilayah kerja terjadi dalam proses tarik-menarik kekuasaan antara keduanya. Kuasa agamawan terbatasi dan terkalahkan oleh direksi atau manajer yang menguasai ruang manajemen tatakelola, sehingga agamawan terdominasi dan terpinggirkan, mereka bekerja dalam ruang terbatas dan hanya menjadi alat legitimasi dan justifikasi moral untuk bisa dipandang sebagai lembaga tatakelola zakat berbasis ajaran agama. Bekerja dan berkuasanya pengetahuan ekonomi modern dilandasi oleh terbangunnya konstruksi sosial kuasa pengetahuan ekonomi dalam ruang gagasan atau kognisi masyarakat perusahaan. Konstruksi sosial kuasa pengetahuan tersebut dibangun dalam proses penafsiran atas konsep zakat sebagai ajaran wahyu dalam ranah ekonomi dengan statemen-statemen lekonomi seperti konsep : efisiensi, kesejahteraan, dan pemberdayaan. Konsepkonsep ini mucul dari proses penafsiran terhadap zakat dalam kerangka pengetahuan ekonomi yang memandang zakat sebagai intrumen kesejahteraan dan pemberdayaan sehingga harus di kelola dengan manajemen ekonomi. Memandang zakat dalam kerangka pengetahuan ekonomi dengan menggunakan statemen-statemen ekonomi membawa zakat masuk dalam ruang kuasa rezim pengetahuan ekonomi. Logika ekonomi menguasai wacana zakat, sehingga siapapun yang berbicara tentang zakat disana harus dalam ruang dan kerangka logika ekonomi, selain itu dianggap tidak tepat dan hanya akan berakhir dengan zakat yang tidak memberikan manfaat bagi perbaikan kesejahteraan kaum lemah atau tidak memberdayaan, bahkan dianggap melanggengkan budaya menerima sedekah. Proses terbangunnya konstruksi kuasa pengetahuan ekonomi atas wacana zakat di LAZ-SP, melalui tiga momen proses terbangunnya konstruksi sosial atas realitas ala Bergerian (1990). Melalui momen objektivasi ketika zakat melembaga dalam ruang kerja swasta yang diinternalisasikan melalui wacana zakat dan pemberdayaan serta wacana Coorporate Social Responsibility (CSR). Wacana tersebut sosialisasikan dalam ruang gagasan komunitas perusahaan dalam kerangka kerja pengetahuan dan logika ekonomi sebagai basis pengetahuan dominan. Momen internalisasi berproses dalam ruang gagasan dan diolah dalam kerangka logika ekonomi industri sebagai basis budaya komunitas perusahaan. Hasil dari interaksi gagasan zakat dan logika ekonomi industri dalam diskursus zakat melahirkan penafsiran zakat yang dipengaruhi oleh logika ekonomi melalui 141 momen eksternalisasi yang melahirkan gagasan zakat berbasis pengetahuan ekonomi industri. Dari sinilah awal lahirnya gagasan dan praktek tatakelola zakat berbasis industri dengan basis kuasa pengetahuan ekonomi. Pengetahuan agama sebagai basis kuasa awal pengetahuan zakat, disini melebur dalam kuasa dan dominasi pengetahuan ekonomi. Pemangku kuasa wacana zakat yang semula adalah agamawan, berpindah ke pangkuan pelaku ekonomi (pengusaha). Agamawan terkalahkan, tersubordinasi dan bahkan terpinggirkan dalam ruang kuasa wacana zakat dalam tatakelola zakat berbasis swasta. Mereka hanya diberikan kuasa pada ruang yang sempit, yaitu pada ruang fatwa syariah yang mewacanakan zakat sebagai ajaran wajib dalam agama yang harus dipatuhi oleh ummat muslim. Tentang potensi sumberdaya dalam kewajiban zakat, bagaimana zakat dikelola, dan pada hal apa zakat dimanfaatkan, merupakan hak kuasa pelaku ekonomi (pengusaha). Praktek tatakelola zakat LAZ–SP, dikuasai oleh dewan pengurus dari direksi perusahaan, memiliki ruang kuasa dalam kebijakan lembaga. Mereka setelah mendapatkan fatwa dari agamawan sebagai justifikasi nilai dan ajaran agama, mereka bekerja dengan logika ekonomi dan manajemen industri, mengorganisir muzakki dan mustahik sebagai upaya akumulasi dana zakat dan mendistribusikannya dalam koridor manajemen ekonomi industri. Artinya zakat disini dikelola dalam kerangkan logika ekonomi dan manajemen perusahan/industri. Tabel 11 : Relasi Aktor dan Pengetahuan Dalam Tatakelola Zakat Swasta Aktor Agamawan Manajer Agama Basis Utama Justifikasi Pengetahuan Sain Modern Local Knowledge Legitimasi Innovasi Basis Utama Innovasi Sumber : Data Lapang, 2008 (diolah) Pada tabel 11 memperlihatkan bahwa di LAZ-SP, agamawan (ulama) menjadikan agama sebagai basis pengetahuan utama, namun pada saat yang sama sains modern dijadikan sebagai alat legitimasi atas rasionlitas ekonomi dan manajemen modern. Pengetahuan lokal bagi ulama perusahaan ini dianggap harus diinovasi untuk memenuhi logika ekonomi yang memayungi LAZ perusahaan. Sementara manajer perusahaan sebagai pemangku kuasa pada LAZ-SP, menjadikan sains modern sebagai basis pengetahuan utama dan 142 pengetahuan agama sebagai alat justifikasi bahwa peraktik tatakelola zakat pada LAZ - SP sesuai dengan ajaran agama. Ruang kerja pengetahuan agama dalam tatakelola zakat oleh LAZ-SP, melingkupi wilayah zakat dalam konteks nilai dan ajaran agama yang wajib. Disini pengetahuan agama hanya bekerja menilai dan menentukan apakah pengelolaan tersebut telah mengikuti tuntunan syariah. Agamawan hanya bisa bicara dalam ruang normatif di mana zakat sebagai kewajiban beragama dan ajaran agama. Pengetahuan agama dan agamawan terbatasi oleh ruang ekonomi dan manajemen ketika masuk dalam wilayah tatakelola zakat. Yang berkuasa disana adalah pengetahuan modern khususnya ekonomi dan manajemen industri modern. Ruang kuasa pengetahuan ekonomi dan manajemen industri disini sangat luas dan melingkupi semua ruang tatakelola, dan akibatnya konstruksi pengetahuan zakat yang terbentukpun didominasi oleh logika ekonomi dan manajemen industri. Lalu zakat tidak lagi dipandang hanya sebagai fenomena beragama tapi telah menjadi fenomena berekonomi. Pada tabel 12 menunjukkan bahwa : Ruang kuasa Pengetahuan agama dalam sistem tatakelola zakat LAZ-SP begitu sempit dan hanya melingkupi ruang wacana zakat dalam kaitannya dengan nilai ajaran agama. Pengetahuan agama terdominasi oleh logika sains dan agamawan hanya bisa bersuara dalam konteks zakat sebagai realitas normatif sementara sebagai realitas sosial ekonomi masuk dalam ruang pengetahuan ekonomi. Ruang kuasa pengetahuan ekonomi dan manajemen Industri lebih luas dan melingkupi wilayah mekanisme dan sistem tatakelola zakat, kemana zakat dimanfaatkan, untuk tujuan apa, bagaimana mekanisme pendistribusiannya serta atas pertimbangan apa seseorang dinyatakan berhak menjadi mustahik. Tabel 12 : Relasi antar Pengetahuan dalam Tatakelola Zakat Swasta Pengetahuan Agama Sain Modern Agama ---- Sain Modern Dominasi sains agama Rasional Dominasi sains agama rasional ------ Sumber : Data primer, 2008 (diolah) Penciutan ruang kuasa agamawan didukung oleh hadirnya kelompok akademisi dan tokoh masyarakat yang terdidik, diikutkan oleh perusahaan sebagai bagian dari sistem tatakelola zakat LAZ-SP. Mereka lebih memunculkan wacana zakat dalam konteks ekonomi dibanding dalam konteks nilai dan ajaran 143 agama. Tatakelola zakat dianggap penting demi pemanfaatan potensi ekonomi dan tujuan ekonomi, sementara zakat sebagai nilai dan ajaran dalam potensi ibadah (mendekatkan diri dengan Allah) dan tujuan penyelamatan (membersihkan diri dan harta) perlahan tergusur dan terpinggirkan. Pertemuan kuasa pengetahuan agama dan Pengetahuan ekonomi dalam tatakelola zakat LAZ-SP, terlihat kalau di sana ruang kuasa pengetahuan agama menyempit dan terbatasi. Benturan logika agama dan logika ekonomi terjadi dengan akhir yang dimenangkan oleh logika ekonomi, logika agama tertundukkan dan untuk bisa terus memiliki ruang, maka logika agama harus beradaptasi dan makin rasional agar bisa bersinergis dengan rasionalitas ekonomi hingga mewacanakan tatakelola zakat dalam konteks ekonomi. Zakat dianggap sebagai sumberdaya ekonomi serta instrumen pensejahteraan, perlu dikelola dengan mekanisme industri. Zakat bisa sebagai strategi peningkatan produktifitas usaha dalam upaya menciptakan kondisi usaha yang aman dan nyaman bagi investasi dan produksi. Ketika LAZ perusahaan mampu memberdayakan masyarakat sekitar perusahaan, maka dukungan sosial atau paling tidak pengakuan sebagai yang perusahaan mengayomi, dermawan dan budiman diperoleh seketika, dan ini adalah modal yang besar bagi perwujudan suasana usaha yang nyaman dan aman dari ancaman masalah sosial sekitar perusahaan yang kondusif bagi peningkatan produktifitas ekonomi dan keamanan investasi perusahaan. 5.3. Konstruksi Sosial Kuasa Pengetahuan Zakat Konstruksi sosial pengetahuan zakat, ditemukan bahwa dari tiga entitas sosial yang menerapkan tatakelola zakat, ditemukan tipologi dari konstruksi sosial kuasa pengetahuan zakat dan model tatakelolanya dalam tiga tipe sebagaimana terlihat pada tabel 13, yaitu : Pertama, tipe kelembagaan komunitas berbasis pengetahuan lokal dengan rasionalitas budaya, terfokus pada kepentingan penguatan lokal dan kemandirian komunitas, memobilisasi tindakan berzakat dengan menggunakan kekuatan norma-norma tradisi lokal. Model ini merupakan warisan tradisi masa lalu sebagai bentuk ketatakelolaan zakat dibawah kuasa agamawan lokal. 144 Tabel 13 : Tipologi Tiga Lembaga Tatakelola Zakat Indikator Basis Kelembagaan Basis Pengetahuan Sistem rasionlitas Orientasi /Kepentingan Civil Society Negara Budaya Komunitas Local Knowledge Nilai /Budaya Lokal Penguatan lokal dan kemandirian komunitas Lokal Justifikasi Norma (moral) lokal Swasta Negara Sain Modern Politik Penguatan Negara (integratif) Birokasi Pemerintah (Modern) Hukum positif Industri Sain Modern Ekonomi Maksimalisasi Profit (pengamanan usaha / infestasi) Budaya Produksi (Modern) Hukum Positif dan Hak perorangan (Logika ekonomi) Sumber : Data primer, 2008 (diolah) Kedua, tipe kelembagaan zakat negara berbasis pengetahuan politik modern dengan rasionalitas politik, mengelola zakat dengan kepentingan penguatan negara menuju suasana integratif, memobilisasi zakat dengan menggunakan kekuatan hukum formal negara. Model ini merupakan model kelembagaan zakat modern hasil dari pertemuan pengetahuan agama dan pengetahuan politik modern. Dan ketiga, model swasta berbasis pengetahuan ekonomi modern (industri) dengan rasionalitas ekonomi, mengelola zakat dengan kepentingan maksimalisasi keuntungan, pengamanan ekonomi dan investasi, memobilisasi zakat dengan menggunakan kekuatan hukum positif dan logika ekonomi produksi yang mengetengahkan logika ekonomi dan hak perorangan. 5.3.1. Konstruksi Sosial Kuasa Pengetahuan Zakat LAZ Komunitas. Zakat bagi komunitas di Provinsi Jambi, difahami sebagai ritual agama yang wajib dilaksanakan karena posisinya sebagai rukun Islam. Oleh karena itu, maka pengaturan zakat seharusnya tunduk pada pengetahuan agama dibawah kuasa agamawan. Berzakat dianggap sebagai kewajiban memberikan sebahagian harta untuk dibagikan kepada sekelompok orang yang tergolong sebagai mustahik, yang konstruksi sebagai orang yang berekonomi lemah. Berzakat bukan menyantuni kaum lemah, tapi lebih sebagai praktek memberikan hak kaum lemah. Zakat oleh komunitas, dilaksanakan dalam dua cara; Pertama, dengan cara individual. Cara ini dilakukan dengan muzakki memberikan sendiri zakatnya secara langsung kepada mustahik. Kedua, melalui amil. Amil oleh komunitas dianggap petugas untuk menerima zakat yang diperintahkan dalam agama, sebagai perantara untuk kemudian disalurkan kepada mustahik. Cara 145 pertama berlangsung dipengaruhi oleh pertimbangan-pertimbangan: adanya kedekatan relasi sosial antara muzakki dengan mustahik, pertimbangan pengamanan sosial dan kurangnya kepercayaan dengan amil serta pertimbangan kultural yang memposisikan kelompok sosial tertentu sebagai mustahik yang mendatangkan keberkahan jika zakat di serahkan padanya (agamawan kharismatik dan tabib kampung). Sementara cara kedua, merupakan ciri umum dari pengelolaan zakat komunitas. Tentang bagaimana tatakelola zakat seharusnya dilakukan oleh komunitas meyakini bahwa: 1) Zakat adalah ajaran agama yang bersumber dari wahyu maka tatakelolanya harus diatur dengan norma agama,. 2) Zakat sebagai ajaran agama harus tunduk pada norma agama, maka yang berhak dan berkuasa penuh dalam tatakelolanya adalah ulama‟. 3) Zakat adalah ritual agama yang bertujuan penguatan dan penyiaran agama, maka pengelolaannya sebaiknya dekat dan dilekatkan dengan masjid. 5.3.1.1. Tatakelola Zakat Harus Diatur dengan Norma Agama Zakat sebagai salah satu dari rukun Islam, bagi komunitas dipandang bahwa tatakelolanya haruslah selalu dalam koridor ajaran agama dan segala sesuatunya harus diatur berdasarkan hukum fiqh sebagai sumber hukum zakat yang baku. Fiqh dikonstruksi sebagai tata aturan beragama hasil penafsiran dari kitab suci al-Qur‘an dan al-Hadits oleh para ulama-ulama mujtahid yang terpercaya. Gambaran pemahaman yang menunjukkan bahwa zakat oleh komunitas di Provinsi Jambi dikonstruksi sebagai ajaran yang harus dikelola dalam ruang kuasa ajaran agama, terlihat dalam petikan wawancara dengan beberapa informan yang menjabat imam masjid sekaligus amil dalam tatakelola zakat komunitas, terlihat pada box 5.3.1.1. Box 5.3.1.1 : Aturan Yang Mengatur Tatakelola Zakat Zakat oleh AAZ (61 tahun) Imam Masjid desa PMS , menyatakan bahwa, sekke (zakat) adalah rukun Islam yang wajib, jadi semua aturannya harus menggunakan aturan agama yang berasal al-Qur‘an dan alHadits. Masalah yang belum diatur dalam al-Quran dan al-Hadits bisa menggunakan fatwa ulama‘. .... tapi bukan ulama amplop dan berdasi. Keterangan Ustad SDD (41 tahun) Amil zakat dan imam masjid Nurul Yaqin Desa SBN Kecamatan Sabak Timur Tanjung Jabung Timur, bahwa :...dibolehkan adanya penafsiran baru tentang zakat, namun tetap harus mempertimbangkan maksud syara‘ (tujuan agama) diwajibkannya zakat ; yaitu membangun hubungan kepada Allah (hablu- min -Allah) dan kepada manusia (hablu min al-Nas). Hubungan dengan Allah sebagai tanda syukur atas nikmat dan hubungan kepada manusia sebagai kepedulian kepada sesama muslim yang lemah dan membutukan bantuan. ...perlu juga adanya aturan zakat 146 selain dari aturan agama, tapi hanya mengatur tatacara dan pengelolaan zakat untuk meningkatkan manfaat zakat sesuai dengan ajaran agama. ... aturan aturan pemerintah dibutuhkan untuk mendorong orang Islam agar berzakat....bukan mengambil alih pengelolaan zakat, seperti BAZDA‖ Zakat oleh komunitas, secara umum dikonstruksikan sebagai ajaran agama dan sebagai rukun Islam yang diwajibkan kepada penganut Islam. Ajaran zakat bersumber dari Wahyu (al-Qur‘an) yang penafsirannya oleh Rasulullah SAW dalam bentuk al-Hadits. Pemahaman ini meyakini zakat sebagai ritual agama dalam kerangka pemahaman normatif, karena ajaran agama secara hukum dianggap telah lengkap diatur dalam kitab-kitab fiqh. Makanya kemudian oleh mereka, zakat dianggap telah diatur dengan jelas dan lengkap dalam kitab-kitab fiqh. Disini zakat dilihat sebagai fenomena beragama yang harus tunduk dalam kerangka norma agama dan pengetahuan agama produk dari Nabi dan ulama. Pemahaman lain, memandang bahwa boleh ada aturan lain sebagai pendukung yang dibuat oleh manusia untuk mengatur zakat dalam praktek berzakat dan pemanfaatan dana zakat. Namun aturan tersebut harus mengacu pada aturan agama sebagai aturan pokok. Disini zakat difahami tidak hanya sebagai fenomena ritual agama secara kaku, namun zakat juga dimaknai sebagai fenomena sosial. Zakat dipandang sebagai ritual ibadah kepada Allah yang bertujuan pengabdian dan untuk menjalin kedekatan hubungan dengan Allah menuju kesalehan individu, sekaligus dimaknai sebagai praktek sosial dalam upaya membangun relasi kemanusiaan menuju keshalehan sosial. Pandangan pertama, menggambarkan konstruksi pengetahuan zakat komunitas yang memandang zakat sebagai ajaran agama berbasis kuasa rezim pengetahuan agama (fiqh) dengan pemangku kuasa agamawan. Konstruksi pemahaman ini dibangun dalam proses kerja agamawan membangun ajaran dan pengetahuan agama melalui mimbar dakwah masjid, pengajian dan pesantren. Sang agamawan mengajarkan zakat sebagai satu ajaran ibadah dalam beragama yang bersumber dari wahyu, ditafsirkan oleh Nabi dan ulama yang kemudian berwujud dalam pengetahuan hukum fiqh. Zakat dikategorikan masuk dalam ranah figh yang dikonstruksi sebagai fenomena beragama yang sudah baku, tidak boleh diubah. Aturannya telah permanen dalam bangunan pengetahuan fiqh. Pengetahuan fiqh bekerja membangun kekuasaan melingkari ruang wacana zakat, zakat kategorisasikan masuk dalam ruang kuasa pengetahuan 147 fiqh, membatasi orang untuk bicara zakat jika bukan sebagai ulama fiqh (agamawan). Wacana zakat hanya boleh bergerak dalam ruang pengetahuan fiqh, pengetahuan lain tidak diberikan ruang. Norma yang mengatur hanya norma agama, norma lainnya tidak berlaku. Orang yang berhak dan memiliki kuasa untuk bicara hanya ulama, selain itu dianggap tidak pantas, tidak layak dan kebenarannya dipertnayakan, bahkan dianggap tidak benar. Fenomena diterimanya aturan pemerintah, dalam batasan tertentu merupakan hasil dari proses pelembagaan zakat melalui diskursus zakat berbasis pengetahuan modern dibawah kuasa negara. Wacana zakat disini menyebar dan merasuk masuk dalam ruang gagasan anggota komunitas melalui sosialisasi pemikiran zakat oleh negara melalui berbagai sarana informasi dan lembaga pendidikan serta media sebagai momen internalisasi. Disini gagasan zakat warga komunitas berinteraksi dengan gagasan-gagasan dan logika lain yang ditawarkan negara pada aras kognitif. Persentuhan gagasan zakat komunitas dan gagasan zakat negara melebur melalui momen eksternalisasi sebagai hasil pertemuan gagasan yang tak jarang terjadi reinterpretasi sebagai hasil akhir. Rajutan berbagai pengetahuan yang ada dalam ruang kognitif disini terjadi, bisa dalam bentuk sintesis, negosiasi hingga penudukan. Tafsiran ulang tak terhindarkan dan disinilah awal terjadinya perubahan konstruksi sosial dan kuasa pengetahuan zakat sebagai hasil interaksi antara pengetahuan agama dan pengetahuan sekuler. Konstruksi pengetahuan yang demikian merupakan fenomena-fenomena sintesis atau bisa jadi penundukan dan pengakuan pengetahuan agama terhadap pengetahuan modern. Fenomena adaptasi gagasan yang terjadi dan terbaca sebagai bentuk tergiringnya pengetahuan agama oleh kekuatan pengetahuan modern. Fenomena ini membawa pemahaman zakat komunitas lebur dalam wacana zakat berbasis negara. Zakat yang tadinya diatur dengan norma agama menjadi zakat diatur oleh norma negara, menggiring dari zakat dikuasai oleh agamawan menjadi zakat dikuasai oleh pemerintah. Respon LAZ masjid muncul dalam bentuk melakukan inovasi organisasi yang awalnya hanya sebagai upaya mempertahankan diri agar tetap diakui sebagai pengelola zakat yang sah. Namun kedepannya, pertarungan semakin keras dan belangsung dalam pertarungan kuasa rezim pengetahuan, rasionalitas dan kepentingan. Pertarungan akan terlihat nyata dalam tiga momen proses 148 membangun konstruksi sosial masyarakat atau produksi dan reproduksi pengetahuan ala Berger (1990). Sosialisasi gagasan, pertemuan gagasan yang menghasilkan reinterpretasi, hingga munculnya pengakuan dan pembenaran terus menerus secara dialektis dan melahirkan konstruksi pengetahuan zakat yang berbeda dengan sebelumnya, dan itu sangat ditentukan oleh rezim pengetahuan apa dan pengetahuan siapa yang mendominasi wacana dan ruang gagasan anggota komunitas. 5.3.1.2. Kuasa Tatakelola Zakat Melekat Pada Kuasa Agamawan Ulama secara historis dalam diskursus agama dari waktu ke waktu ditempatkan sebagai sosok yang bijak, suci dan mulia. Ulama juga dikontruksi sebagai orang yang memiliki pengetahuan yang luas, sholeh dan memiliki kedekatan dengan Allah, SWT. Konstruksi kesucian dan kemuliaan selalu disertai dengan keyakinan bahwa mereka memiliki kemampuan supranatural sebagai wujud dari kedekatannya Allah. Makanya tak jarang seorang ulama selain sebagai pemimpin agama, ia juga dipercaya orang memiliki kemampuan mengobati dengan doa dan jampi-jampinya, karena diyakini telah dianugrahkan Allah kemampuan (karamah). Kontruksi sosial masyarakat desa terhadap ulama yang sedemikian rupa membuat ulama begitu dipercaya, dihormati dan dipatuhi. Kenyataan tersebut terlihat dalam fenomena tatakelola zakat komunitas pada petikan-petikan wawancara dengan informan dalam box 5.3.1.2. Box 5.3.1.2 : Agamawan Sebagai Pemangku Kuasa Zakat H. AN (40 tahun) Muzakki di Desa Simburnaik, menyatakan bahwa Panrita (ulama) adalah orang yang bersih dan mulia, mereka itu orang yang alim, takut dengan Allah, dan selalu dekat dengan Allah . Mereka itu orang yang terpercaya karena jujur dan ihlas dengan orang. Contohnya puang Imang (imam masjid) setiap saat bersedia menjadi imam, datang medo‘akan orang, dan mengajari anak-anak mengaji tanpa dibayar, dan tak pernah minta bayar. Desa PMS dan SBN merupakan desa yang mempraktekkan pengelolaan zakat dibawah pengelolaan puang imang (imam masjid) dengan berbasis masjid. Disana para amil menerima zakat dari para muzakki yang datang sendiri mengantarkan zakat fitrahnya ke masjid atau kerumah sang ustad atau imam. Sementara untuk zakat Maal, namun jika dalam bentuk hasil pertanian selalu di ditipkan di gudang zakat (sekarang sudah tidak ada lagi) atau di simpan di gudang penggilingan dan yang dalam bentuk uang selalu diserahkan langsung ke imam masjid atau Guru Ngaji. Keterangan H. TMRN (45 tahun) sebagai seorang muzakki yang aktif membayar zakat di PMS dengan bahasa yang kental dengan ciri bugisnya ia menyatakan bahwa : ‖...saya tak perlu tau uang zaka‘ (zakat) yang saya bayarkang kepada pak Imang (imam atau Guru agama kampung) digunakang untuk apa atau diberikan kepada siapa, itu terserah pak Imang, pak orang tahu agama, dia taulah mana yang baik. Yang penting saya sudah mengeluarkang zaka‘, jadi saya sudah melaksanakang kewajiban saya‖. Namun menurut Ustad BHD (50 tahun) pengelola Zakat Desa Lambur I Kecamatan Muara Sabak, bahwa : ....perlu di ingat bahwa Amil harus memenuhi beraberapa syarat moral dan ilmu tentang zakat. Amil harus orang yang memiliki sifat Shidiq (jujur), Istiqamah (berkomiitmen), Amanah (menjaga kepercayaan), dan Tablig (Komunikatif). Amil juga harus orang yang taat beragama, .... kalau kami disini yah amilnya imam masjid. 149 Desa SBN merupakan desa yang sudah mengelola zakat sejak lama, dan menempatkan imam masjid (puang imang) sebagai pemangku kuasa kelola secara personal. Seorang imam masjid memiliki ruang kuasa yang luas dalam menentukan harta apa saja yang dikenai zakat, berapa yang harus dikeluarkan, bagaimana zakat di pungut dari muzakki, siapa yang berhak menerima, dan apa saja kriteria mustahik. Konstruksi pengetahuan zakat komunitas yang menempatkan puang imang sebagai penguasa penuh wacana tatakelola zakat, tidaklah terbangun dengan sendirinya sebagai akumulasi pengetahuan yang terbentuk secara bebas dari pemahaman dan pemaknaan ummat. Konstruksi tersebut merupakan hasil dari pergumulan wacana yang dibentuk dan diarahkan oleh kaum agamawan sendiri dan membentuk kerangka pemaknaan ummat terhadap tradisi berzakat. Disana sang puang imang membangun dan membentuk wacana melalui mimbar khatib, pengajian, madrasah, hingga kelembagaan masjid. Wacana dibangun, dikomunikasikan dan disosialisasikan secara satu arah kepada publik. Publik menyerap dan mengkonsumsi dalam ruang gagasan dan bergumul dalam logika terdalam. Konstruksi sosial ulama sebagai yang selalu benar, suci dan tanpa kepentingan memberikan pengaruh pada penerimaan masyarakat terhadap kemurnian gagasan sang imam. Konstruksi sosial terhadap sang agamawan atau imam sebagai sosok yang shaleh, suci, jujur, dan ikhlas17, membuat agamawan medapatkan kekuasaan yang didelegasikan oleh ummat melalui kepercayaan untuk memimpin ritual beragama khususnya berzakat. Konstruksi pengetahuan zakat yang terbangun, didalamnya terbentuk keyakinan bahwa, berzakat harus ikhlas hanya karena Allah dan membuang semua rasa ragu, prasangka dan motif duniawi. Karena itu ummat kemudian tidak banyak bertanya, dan kurang mau tahu tentang bagaimana zakat mereka dikelola dan kemana saja dimanfaatkan oleh agamawan. Mereka takut amalnya rusak atau berkurang pahalanya karena dianggap tidak ikhlas. Mereka tidak mau 17 Menurut bahasa, di dalam kata Ikhlas terkandung beberapa makna yang menggambarkan inti dari Ihklash, yaitu; jernih, bersih, suci dari campuran dan pencemaran, baik berupa materi maupun non materi. Rasulullah saw pernah bersabda tentang sifat yang mulia ini, “Barangsiapa yang tujuan utamanya meraih pahala akhirat, niscaya Allah akan menjadikan kekayaannya dalam kalbunya, menghimpunkan baginya semua potensi yang dimilikinya, dan dunia akan datang sendiri kepadanya seraya mengejarnya. Sebaliknya, barangsiapa yang tujuan utamanya meraih dunia, niscaya Allah akan menjadikan kemiskinannya berada di depan matanya, membuyarkan semua potensi yang dimilikinya, dan dunia tidak akan datang sendiri kepadanya kecuali menurut apa yang telah ditakdirkan untuknya“. (HR: Tirmidzi). 150 terpublikasikan karena takut masuk kategori riya‟18. Banyak bertanya diangggap tabu dan tidak ikhlas ketika ingin mengetahui dan menelusuri lebih jauh kemana dan bagaimana zakatnya dimanfaatkan oleh sang puang imang. Pemahaman ini membuat sang agamawan memiliki ruang kuasa yang luas dan leluasa, namun bukan berarti tanpa kontrol sosial dari masyarakat. Sekali saja sang agamawan diketahui melenceng dari tata aturan norma tradisi, maka mereka akan hancur dan terbuang, bahkan akan terasing secara sosial dalam komunitas. Konstruksi sosial terhadap agamawan Puang Imang (sang imam) yang terbangun dalam keyakinan ummat bahwa mereka sebagai ulama/agamawan merupakan pewaris kenabian (prophetic) atau sebagai wakil Allah untuk mengatur ummat, memberikan kekuatan untuk memiliki kuasa yang kokoh dan luas dalam ruang agama termasuk zakat dan akibantnya merekapun harus menyesuaikan diri dan tunduk pada konstruksi sosial ummat. Bagi komunitas mematuhi agamawan/ulama adalah sebuah kewajiban yang menyertai kewajiban kepada Allah dan Rasul-Nya. Konstruksi pengetahuan zakat dan peran prophetic sang puang imang, menggiring ummat berzakat hanya sebatas mematuhi, dan melaksanakan kewajibannya dengan membayarkan zakat ke amil (puang imang/Guru Agama). Sikap apatis muzakki atas pemanfaatan dana zakat yang telah dikeluarkannya, atau kepercayaan muzakki terhadap amil (puang imang), merupakan hasil dari bangunan pengetahuan yang terbangun melalui proses transfer pengetahuan agama yang dilakukan oleh guru agama dalam komunitas. Konstruksi pengetahuan yang memandang berzakat dan bershadaqah yang baik adalah tanpa perlu diketahui oleh orang lain (memberikan dengan tangan kanan tanpa harus diketahui oleh tangan kiri). Akibatnya motivasi berzakat sebatas memenuhi kewajiban, tidak ada motivasi untuk tahu dan mencampuri lebih jauh atas pemanfaatan dana zakat yang telah di keluarkannya. Kepemilikan harta dikonstruksi sebagai rezeki yang anugerah Allah yang harus dipertanggungjawabkan, tidak bisa dijamin kesuciannya dan selalu disana ada hak orang lain karena bisa jadi dalam proses memperolehnya menzolimi 18 Lawan dari Ikhlas adalah Riya. Makna riya dapat diartikan di mana seorang muslim memperlihatkan amalnya pada manusia dengan harapan mendapat posisi, kedudukan, pujian, dan segala bentuk keduniaan lainnya. Riya merupakan sifat atau ciri khas orang-orang munafik. Disebutkan dalam surat An-Nisaa ayat 142, ―Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat itu) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali.‖ 151 orang lain, sehingga harus dizakati sebagai sebuah prosesi ritual pembersihan harta. Prosesi ritual zakat melibatkan orang yang terpercaya sebagai pemimpin ritual pembersihan harta dari kotoran dan memimpin doa untuk memperoleh berkah dan kedepan memperoleh harta berlipat ganda. Ritual penyerahan zakat diyakini sebagai proses yang sakral. Pada proses ritual tersebut dilakukan dengan rentetan doa-doa suci, oleh karena itu maka orang suci yang dekat dengan Allah dibutuhkan disini. Konstruksi sosial yang suci dan dekat dengan Allah membuat puang imang menjadi sosok yang paling tepat sebagai pemimpin ritual zakat. Disini bangunan pengetahuan zakat yang memandang zakat sebagai kewajiban pembersih diri dan melipat gandakan harta, dan sebagai proses pelepasan hak atas kewajiban terhadap harta dari muzakki ke mustahik melalui tangan amil (puang Imang). Ritual transaksi kemudian menjadi awal dari terbangunnya pemaknaan bahwa zakat setelah diserahkan ke imam, maka sejak itu sudah berpindah hak kepada amil untuk disalurkan kepada yang berhak, dan salah satu yang berhak adalah Amil sekaligus sebagai puang imang sebagai kelompok orang yang berjuang di jalan Allah untuk menyiarkan dan menegakkan agama. Lepasnya hak kuasa atas harta dari mustahik ke Amil memposisikan imam yang bertindak sebagai amil menjadi penguasa tunggal atas hak mendistribusikan dan memanfaatkan harta zakat yang terkumpul. Semua pemahaman di atas memberikan ruang kuasa yang luas kepada sang agamawan/sang imam dalam ruang kuasa zakat dan tatakelolanya. Mereka diposisikan sebagai orang yang diberikan hak oleh Allah, pantas karena memiliki penguasaan pengetahuan dan mendapatkan legitimasi dari ajaran dan masyarakat sebagai hasil dari proses dilalektika konstruksi sosial kuasa agamawan dalam arena berzakat ummat. 5.3.1.3. Lembaga Tatakelola Zakat Melekat Pada Kelembagaan Masjid Puang Imang dan Masjid19 merupakan dua hal yang terpisahkan, adanya imam karena adanya masjid, dan struktur masjid baru bisa berjalan dengan adanya puang imang. Masjid bagi komunitas desa selalu sebagai pusat utama 19 Masjid adalah salah satu derivasi kata "sajada" yang berarti tempat sujud, tempat shalat. Secara semantik masjid berarti tempat sujud atau tempat shalat. Disamping pengertian semantik ini, masjid juga mempunyai pengertian 'syarak', dalam pengertian ini masjid adalah sebuah bangunan, tempat ibadah umat Islam, yang digunakan umat terutama sebagai tempat dilangsungkannya shalat jama'ah. 152 ritual agama dan budaya, bahkan tak jarang menjadi arena negosiasi sosial politik. Masjid menjadi salah satu wilayah kekuasaan yang kerjanya melintasi struktur kuasa dalam masyarakat, ruang kuasanya bekerja dari ruang agama hingga politik desa. Kekuasaan sosial politik dalam masyarakat desa selalu membutuhkan legitimasi sturuktur kelembagaan masjid untuk bisa kuat dan diterima. Terlihat pada petikan wawancana pada box 5.3.1.3 berikut Box 5.3.1.3 : Zakat Melekat Dengan Kelembagaan Masjid Cerita H. AAZ (61 tahun), .......pengurusang zakat (sekke) bagusnya di masjid (masigi). Di masjid nanti zakat diurus imam (puang imang...apalagi zakat kan urusan ibadah kepada Allah... Masjid itu tempat orang melakukan ibadah, dan pada zamang Rasulullah, Masjid tempat untuk mengatur semua urusan agama. bukang cuma tempat sempajang (sholat). ...Masjid adalah tempat suci yang harus dimuliakan, karena masjid tempat orang mendekatkan diri dengan Allah. .... Masjid (Masigi) itu rumah Allah, kalau mau deka dengan Allah harusnya selalu dekat dengan masjid dan memuliakang masjid.... Cara memuliakang masjid yah seringsering beribadah ke masjid. Sembahyang di masjid,.... menyerahkan Zakat ke masjid..............sekke adalah kewajiban untuk mengeluarkan sebahagian harta untuk kepentingan agama ; Fakir miskin diberikan zakat supaya tidak kufur karena kemiskinannya. Muallaf supaya keimanannya bertambah, Ibnu sabil untuk memudahkan mereka yang berjuang di jalan Allah untuk membesarkan agama, sedangkan Fisabillah untuk kepentingan mendukung syiar dan kekuatan agama. Untuk menguatkan agama adalah dengan meramaikan masjid... Masjid dan Zakat paham oleh sebagai dua fenomena agama yang saling berhubungan erat. Masjid sebagai tempat ritual agama milik Allah yang dibangun oleh ummat untuk kepentingan syiar agama. Masjid dibangun dengan mengorbankan harta, termasuk zakat yang dilandasi keimanan dan kecintaan kepada Allah Keterangan H. TMR (58 tahun) ...kalau kami lebih percaya menyerahkan zakat ke masjid kepada imam masjid, ....saya percaya imam masjid sebab dia yang taat beragama dan ikhlas mengurus masjid tanpa diupah. Imam mengurus masjid dan agama hanya kerena Allah, jadi juga berhak menerima zakat. Keterangan Suminto (1990) ketika membahas Politik Islam Hindia Belanda, menyatakan bahwa sejak dahulu telah terjadi pergolakan zakat di Mushollah atau Langgar-Langgar di tanah air ini, yang dijalankan secara sederhana dan tradisional. Masa ini zakat menjadi sumber kekuatan politik dan ekonomi bagi penghulu, pengurus masjid dan kepala desa (Hafiduddin dkk, 2003) Sekke‘ (zakat), puang imang (imam masjid) dan masĩgi‟ (masjid) dalam fenomena tatakelola zakat komunitas, merupakan tiga hal yang tidak bisa dipisahkan, ketiganya selalu hadir bersamaan dalam praktek berzakat di pedesaan meski terkadang masjid tergantikan oleh madrasah atau malah rumah kediaman sang imam. Namun masjid tetap saja selalu menjadi pusat utama dan sekaligus menjadi sasaran pemanfaatan dana zakat. Masjid merupakan tempat ummat menunjukkan penundukkannya yang paling tinggi kepada Allah di bawah kepemimpinan sang imam. Masjid adalah tempat yang dianggap suci dan orang yang masuk selalu harus dalam kondisi suci20. Masjid merupakan tempat dimana seorang imam menempati struktur 20 Kondisi dimana orang bersih berhadas besar, (junub, haid, dan nifas) lakilaki /wani ta yang junub, dan wanita yang haid atau nifas, menurut jumhur ulama, diharamkan menetap (tinggal dalam masjid), hadits Rasulullah SAW: "Saya tidak membolehkan masjid bagi perempuan haid dan orang-orang yang junub." (H.R. Abu Dawud) Akan tetapi, mereka berbeda pendapat tentang melintasinya. 153 tertinggi dengan kekuasaan yang besar untuk mengarahkan, mengkondisikan dan membentuk masyarakat. Di masjid struktur sosial luar masjid melemah dan melebur dalam struktur masjid dibawah kuasa sang imam. Sosok imam masjid sebagai agamawan pedesaan adalah pemimpin tertinggi dalam ruang kuasa agama, dan masjid adalah tempat yang paling dominan digunakan sebagai pusat kerja kuasanya. Mesjid selain menjadi tempat di mana kekuasaan imam dipusatkan, mesjid juga sebagai simbol ketaatan beragama pedesaan dan kebesaran sang imam. Melekatkan zakat dengan masjid dalam kerangka ritual agama dan secara lansung menyerahkan hak kuasa zakat kepada sang imam masjid, karena di masjid penguasa tertinggi yang mendapatkan legitimasi sosial, nilai dan politik dari ummat hanya imam atau agamawan lain yang diakui oleh sang imam. Imam dan masjid adalah penguasa dan arena kekuasaan yang menundukkan setiap orang yang ada di wilayah komunitas. Kekuasaan kelompok elit lain melemah dan bahkan takluk ketika memasuki ruang kuasa masjid dan berhadapan dengan struktur kuasa masjid. Dalam koridor zakat, seorang muzakki dari struktur manapun ketika berada di wilayah masjid dan berzakat, maka ketika itu tertundukkan dalam ruang kuasa sang imam, begitu pula sang mustahik ia menerima sepenuhnya keputusan sang imam dengan menanti utusan sang imam atau utusan sang imam menghantarkan bagian zakat mereka kerumah. Kekuatan masjid dan imam disini, merupakan hasil dari konstruksi pengetahuan zakat masyarakat yang dibangun oleh imam melalui mimbar dan guru agama melalui pengajian agama, yang membangu pemaknaan bahwa zakat adalah ibadah wajib sekaligus instrumen pengembangan dan penguatan beragama yang harus diawali dengan keikhlasan dan menghindari riya‟. Zakat dipandang sebagai sumber dana pengembangan agama dan masjid sebagai salah satu arena pengembangan agama yang strategis. Imam adalah pengemban tugas pengembangan dan penguatan agama yang paling berhak untuk mengelola zakat, mendistribusikan dan bahkan memanfaakannya. Zakat, masjid dan imam ketiganya oleh komunitas dikaitkan begitu erat dan dimaknai semacam prasarana, sarana dan aktornya yang selalu harus menyatu. Masjid adalah arena di mana ummat dipertemukan, diarahkan dan dibentuk oleh struktur kuasa masjid dibawah kepemimpinan imam. Di masjid imam memonopoli kekuasaan ajaran dan budaya (ritual ibadah) serta meleburkan 154 struktur sosial luar masjid. Di masjid, struktur yang diakui dan bekerja hanyalah struktur sosial masjid, di mana kuasa pengetahuan agama yang diletakkan pada posisi tertinggi dan imam (ulama) sebagai pemangkunya mendapatkan legalitas penuh dari ummat sebagai hasil dari konstruksi pengetahuan agama ummat, yang menempatkan imam sebagai penguasai prophetic. Orang lain yang bukan imam/ustad tidak memiliki hak kuasa untuk bicara banyak, apalagi untuk dipercaya dalam konteks ajaran agama di wilayah kerja masjid. Masjid merupakan arena di mana sang imam (agamawan) memainkan kuasanya dan melakukan penundukan kepada struktur kuasa lainnya. Membawa tatakelola zakat masuk dalam ruang kuasa kelembagaan masjid, maka seketika kekuasaan tatakelola diletakkan kuasa imam (agamawan) yang sentralnya berada di tangan agamawan. Pengelola zakat berbasis komunitas dibawa ke masjid oleh sang imam sebagai bentuk upaya penundukan kuasa tatakelola secara total dalam ruang kuasanya. Karena memang kelembagaan masjid merupakan arena yang merepresentasikan ruang kuasa imam sebagai penguasa tunggal wacana agama. Di masjid imam mendominasi kuasa praktek ritual ibadah dalam agama dan hanya imam yang memiliki legitimasi penuh disana. Masjid sebagai tempat bekerja imam dikonstruksi ummat sebagai arena netral dan terbebas dari berbagai kepentingan duniawi, di sana struktur bergerak dan bekerja atas motivasi asketik tanpa bias kepentingan yang bersifat duniawi. Masjid dipercaya sebagai tempat di mana di dalamnya bekerja orang-orang yang jujur, amanah, dan ikhlas, seperti imam, guru agama dan murid-murid pengajiannya, mengorbankan tenaga dan waktunya mengurus ummat tanpa pamrih, kecuali mengharap imbalan dari Allah SWT. Maka menyerahkan zakat ke masjid diyakini tidak akan digunakan kecuali yang dimaksudkan oleh agama dan kalaupun mereka mengambil dan menikmatinya itu hal yang wajar karena imam/guru agama dan masjid dianggap sebagai kelompok yang berhak atas manfaat zakat. Secara politik ketika zakat dilaksanakan di masjid maka kekuasaan tatakelola tertumpu pada kuasa imam. Melalui kekuasaan dan kekuatan imam, di masjid masyarakat zakat tertundukkan dan zakat tergiring masuk ruang struktur masjid di mana orang secara seksama melepaskan kebesaran dari struktur sosial di luar masjid dan menundukkan diri dan patuh dengan sistem masjid. 155 Secara ekonomi membuat akumulasi modal zakat terkonsentrasi di masjid di bawah kuasa sang imam. Membawa zakat masuk dalam ruang masjid, maka seketika masyarakat zakat dikuasai dan ditundukkan oleh imam, lalu imam menjadi begitu berkuasa dalam wilayah zakat untuk mengarahkan, membentuk dan memainkan segala potensi zakat dalam koridor yang dipandang tepat oleh sang imam atau untuk ‖kepentingan sang imam‖. Secara kultural, menjadikan tatakelola zakat menjadi bagian dari budaya masjid, yang sentralnya adalah sang imam sebagai pemimpin ritual agama. Di sana relasi sosial ummat khususnya muzakki, mustahik dan amil menempatkan sang imam yang selalu sebagai amil menjadi sangat mendominasi dari ruang wacana, ruang praktek dan ruang legalisasi. 5.3.1.4. Zakat Sumber Pembiayaan Penguatan Agama Merunut perjalanan Islam, sejak zaman Rasulullah hingga sekarang terbukti bahwa zakat merupakan salah satu sumber pembiyaan bagi 21 pengembangan dan penyiaran agama Islam . Pada masa Rasulullah SAW, zakat menjadi salah satu sumber dana dalam memperjuangkan agama dan bahkan zaman khalifah, khususnya Umar bin Abdul Asiz dan al-Mansur (Anshori, 2006), zakat telah mampu memberikan sumbangan yang besar bagi pembangunan dan mengatasi kemiskinan ummat hingga pada hasil yang sangat membanggakan khususnya pada masa Bagdad dibawah kepemimpinan Yazid bin Abdurrahman sebagai Gubernur (Anshori, 2006 : 59-60). Pembacaan atas fenomena historis tersebut agaknya memberikan pengaruh yang besar bagi ummat islam dalam memandang tujuan pemanfaatan potensi ekonomi zakat terkait dengan mustahik. Beberapa petunjuk informan yang peroleh dari lapang, menggambarkan konstruksi ummat terhadap tujuan dan manfaat dana zakat sebagaimana petikan dalam box 5.3.1.4. Box 5.3.1.4 : Zakat Sumber Pembiayaan Syiar Agama Oleh H. A.HAS (59 tahun) Tokoh Agama Simburnaik, dinyatakan bahwa : Berzakat pada pada bulan Ramadhan mengandung maksud khusus. Zakat diperlukan untuk membantu ummat yang tidak mampu, supaya juga bisa ikut bergembira menyambut hari raya idul fitri, hari di mana orang menyambut kemenangan dalam melawan nafsu dengan berpusa satu bulan penuh. H. AMR (47 tahun) seorang Muzakki di Simburnaik, menyatakan bahwa : Ustad atau imam masjid 21 Sejarah mencatat keberhasilan zakat dalam mengentaskan kemiskinan pada pemerintahan khalifah Umar Bin Abdul Aziz. Zakat dikelola secara transparan dan rapi sejak masa Rasulullah SAW sampai pada masa Ummayyah, khususnya pada masa Umar bin Abdul Aziz, bahkan pada masa khalifah Al−Manshur, negara memiliki surplus dana Baitul Maal sebanyak 810 juta dirham, yang disimpan sebagai devisa (al-Suyuti, 2000). 156 berhak menerima zakat, karena mereka itu Amil zakat. Mengurus agama dan masyarakat dan pernah meminta dibayar. Mengajarkan agama dan mengajar anak-anak kampung mengaji, mengurus masjid, bahkan mengurus Madrasah. Karena mengurus agama, mereka kurang waktu untuk bekerja di ladang, untuk meringankan beban mereka dalam membantu agama dan masyarakat makanya diberikan zakat. Pandangan Ustad AR (51 tahun) Tokoh Agama Kecamatan Nipah Panjang Tanjung Jabung Timur, menjelaskan bahwa : ‖...hasil dari zakat baik zakat harta maupun zakat fitrah adalah untuk menyantuni kaum mustahik yang ada di daerah para pembayar zakat. Boleh di berikan kepada orang lain dari luar daerah adalah orang yang dalam perjalanan (musafir) yang kehabisan ongkos, atau di daerah itu sudah tidak ada lagi orang yang layak diberikan zakat karena mereka sudah makmur seperti kejadian di zaman khalifah Umar bin Abdul Azis dulu. Karena rakyatnya sudah tidak ada lagi yang miskin, dan masjid sudah Megah, maka zakat dikirim ke daerah lain... kalau pemerintah mengelola zakat dan disalurkan bukan ke daerah asal zakat dipungut, padahal di sana banyak orang yang berhak, rasanya itu salah, saya tidak setuju itu‖. Ustad SDD (41 tahun) Amil zakat Masjid Nurul Yaqin, Desa SBN Tanjung Jabung Timur, juga menyatakan bahwa : ....semua hasil dari zakat yang terkumpul disini hak kaum mustahik di tempat ini, jadi tidak boleh dibawa ke tampat lain kalau disini masih ada orang layak menerima zakat. Berbeda dengan pajak yang dimanfaatkan entah di daerah mana, ... beda dengan zakat yang dipungut dikantor-kantor pemerintah... mungkin disalurkan lain tempat atau bisa juga di makan sendiri‖ Keterangan MAJ (2008), Petugas Amil Zakat Masjid Nurul Iman Simpang Rimbo Kecamatan Kota Baru Kota Jambi, bahwa : ...zakat adalah untuk menyantuni fakir miskin supaya tidak murtad dan menjadi sumber dana pembangunan masjid dan Madrasah..., kalau zakat dan infaq dikelola BAZDA dari mana lagi masjid dan Madrasah bisa di bangun. ...amplop (honor) untuk Khatib dan penceramah agama di ambil dari dana zakat dan infaq....‖. Menurut K.H. DM (60 tahun), bahwa kemiskinan dalam pesan-pesan Nabi dinyatakan : kemiskinan bisa membawa orang dalam kekufuran. Jadi zakat bertujuan menguatkan iman agar tidak kufur dan menjaga saudara seiman agar tidak murtad (berpindah agama). Selain tujuan ibadah, zakat oleh komunitas (amil dan muzakki) juga dimaknai sebagai sumber pembiayaan bagi penyiaran dan penguatan agama. Hal itu difahami dari realitas kelompok yang berhak menerima zakat. Terkaitnya dengan bulan Ramadhan dan hari raya Idul Fitri yang selalu identik dengan musim membayar zakat khususnya zakat Fitrah22, dimaknai sebagai penekanan untuk lahirnya kepedulian sosial atas penderitaan sesama manusia. Ada nilai yang tertanam bahwa tidak layak seorang bergembira dan merayakan kegembiraan di tengah-tengah sesamanya yang menderita. Zakat fitrah diyakini sebagai kewajiban beragama yang bertujuan membersihkan diri dari segala kesombongan dan keangkuhan. Namun ketika berzakat fitrah dikonstruksi sebagai praktek membantu para fakir miskin agar juga bisa merayakan kegembiraan dalam menyambut hari raya idul fitri, maka zakat telah dijadikan instrumen perekat relasi sosial antara kaum lemah dan kaya. Motif ibadah memang terlihat lebih menonjol, namun makna kemanusiaan juga terlihat kental. Membayar zakat fitrah karena Allah dan diberikan untuk membantu kaum lemah merupakan wujud relasi segi tiga antara muzakki, Allah dan mustahik. Kalau boleh dikatakan ini sebagai bentuk social reciprocity, maka ini adalah ciri khas dari bentuk social reciprocity gaya islam yang oleh Kochuyt (2009) dimaknai 22 Berbeda dengan zakat harta yang dipaham untuk ―membersihkan harta‖, zakat fitrah adalah satu-satunya zakat yang diwajibkan bagi setiap muslim untuk ―menyucikan jiwa‖. Oleh karena itu, zakat fitrah bukan ganya wajib bagi yang kaya, tetapi juga bagi mereka yang kurang berkecukupan. Meskipun orang itu ‗miskin‘ menurut kategori umum, dia tetap wajib membayar zakat fitrah namun dia pun berhak menerima zakat fitrah. 157 sebagai ―triadic kind of reciprocity‖ yang mengkaitkan keimanan, kesejahteraan dan kemiskinan. Orang kaya yang beriman (the faithful) memberikan sebagian harta miliknya kepada orang miskin (the poor) karena motivasi nilai atas pahala dan syurga dari Allah kelak, ia tidak berharap akan mendapatkan balasan dari orang yang memanfaatkan pemberiannya kecuali kepada Allah sang muzakki berdoa agar mendapatkan ganjaran yang lebih baik. Mustahik sebagai penerima, berterima kasih atas pemberian muzakki dengan berdoa kepada Allah agar sang muzakki diberkahi dengan rezeki yang lebih baik. Relasi tiga arah antara muzakki, Allah dan mustahik menempatkan Allah sebagai sentral dan melalui praktek zakat termaknai sebagai wujud kemurahan Allah kepada orang yang beriman. Fenomena zakat dengan relasi triadik tersebut menunjukkan betapa keberimanan menjadi begitu penting dalam relasi manusia dengan Allah dan manusia dengan manusia. Beriman harus taat kepada perintah Allah dan pemurah dengan sesama manusia (khususnya kepada yang lemah) Ulama sebagai penanggungjawab dan pewaris para Nabi dikonstruksi oleh muzakki sebagai orang selalu ikhlas tanpa pamrih dalam mensyiarkan agama dan mengurusi ummat. Karena keikhlasan itu ia diberikan hak untuk menerima manfaat zakat dalam mengurus agama dan ummat. Bukan sebagai upah tapi lebih sebagai penunjang tugasnya. Zakat sebagai sumber pembiayaan bagi hidup dan kegiatan agamawan memang merupakan tradisi zakat komunitas. Sang imam yang dikonstruksi sebagai orang berpengetahuan agama yang lebih, suci, dan memiliki keikhlasan dalam mengurusi agama dan ummat, kemudian dianggap berhak mendapatkan manfaat dana zakat untuk memudahkan melaksanakan tugas kenabian sebagai pemimpin agama dan ummat. Kemiskinan oleh komunitas dipandang sebagai masalah yang dapat mengancam kualitas keimanan ummat. Kemiskinan dilihat sebagai ancaman yang besar bagi kekuatan agama. Zakat dan kemiskinan oleh amil zakat komunitas di pandang sebagai dua hal yang terkait erat, dimana berzakat sebagai ibadah sekaligus bertujuan mempererat hubungan persaudaraan ummat. Mereka memandang bahwa kemiskinan merupakan keadaan yang berat dan berpotensi melemahkan iman, bahkan bisa membuat ummat berpindah agama. Zakat disini dimaknai sebagai salah satu cara menjaga ummat miskin agar tidak melemah imannya, karena merasa diperhatikan oleh muzakki dan 158 imam dengan memberikan kepada mereka bantuan mengatasi masalah dalam bentuk zakat, dan sebagai simbol rasa solidaritas seagama dalam konteks komunitas. Amil zakat komunitas, memaknai zakat sebagai satu praktek beragama yang memiliki tujuan sosial untuk mempererat relasi sosial antara ummat seagama sebagai bentuk perlindungan kepada yang lemah dalam konteks ajaran. Ummat yang lemah dilihat sebagai kelompok orang yang mengalami kesulitan yang bisa membawanya pada kondisi lemahnya iman, frustasi dan bahkan kufur atau murtad (pindah agama), dan ini bisa berakibat pada lemahnya agama. Oleh karena itu, maka kaum kaya sebagai orang yang bernasib lebih baik, diberikan tanggungjawab yang tinggi oleh komunitas untuk meringankan beban dan menyelamatkan kaum miskin dari kesengsaraan kemiskinan demi kemanusiaan dan penguatan agama. Zakat disini terlihat sebagai instrumen membangun hubungan kemanusiaan dalam bentuk solidaritas sosial terhadap kaum lemah yang seagama. Amil zakat komunitas juga memahami bahwa, dengan berzakat berarti kaum kaya mengakui dan menyadari bahwa keberadaannya sebagai kelompok orang yang memiliki kelebihan ekonomi memiliki tanggungjawab terhadap orang yang lemah. Dia diberikan harta lebih oleh Allah bukan untuk dirinya sendiri, namun di sana ada titipan Allah untuk mereka yang mengalami kekurangan. Pemaknaan ini menunjukkan bahwa zakat merupakan instrumen yang dapat membangun relasi sosial dalam konteks kepedulian sosial atas penderitaan kaum lemah. Potensi sumberdaya zakat bagi komunitas dilihat sebagai modal bagi pengembangan dan penyiaran agama pada tataran lokal. Dana yang terkumpul dari zakat selalu dimanfaatkan dalam usaha mengembangkan dan menguatkan ajaran agama dilingkungan di mana zakat itu diperoleh. Mereka juga melihat bahwa semua golongan yang termasuk dalam kelompok yang berhak memanfaatkan dan menikmati dana zakat, adalah orang yang menetap dan dekat dengan lingkungan muzakki. Menyalurkan zakat ke daerah lain di luar dari daerah di mana zakat dipungut, dianggap keliru kecuali di daerah itu sudah tidak ada orang layak menerima zakat. Bangunan pemahaman zakat menyangkut hak-hak atas sumberdaya zakat dan hasilnya bagi lembaga pengelola zakat berbasis komunitas, menempatkan 159 tatakelola zakat dan pendistribusian sebagai hak kuasa masyarakat lokal dibawah pangkuan agamawan lokal. Tidak ada alasan untuk menyerahkan hak kelola dan memanfaatkan dana zakat ke komunitas luar, termasuk oleh pemerintah. Pemerintah dianggap tidak tepat untuk menjadi pengelola zakat, karena disana ada kecurigaan terhadap pemerintah jika menjadi pengelola zakat, akan menyalahgunakan pemanfaatan dana zakat untuk kepentingan lain selain untuk membangun dan mengembangkan agama. Zakat oleh pemerintah dianggap bisa memanfaatakan dana zakat untuk kepentingan kelompok tertentu, atau malah untuk kepentingan kekuasaan. Negara dipandang tidak netral dan selalu memiliki kepentingan di luar kepentingan ummat dan agama. 5.3.2. Konstruksi Sosial Kuasa Pengetahuan Zakat BAZDA Jambi Memandang zakat sebagai potensi besar untuk pembiayaan pembangunan khususnya untuk pengentasan kemiskinan, telah membawa zakat dalam wacana pembangunan dan menggiring zakat masuk dalam ruang negara. Hasil dari gagasan zakat dan pembangunan melahirkan gerakan zakat berbasis negara dengan lembaga tatakelola berbasis negara (Doa, 2005) yaitu: BAZDA (Badan Amil Zakat Daerah) pada level provinsi/kabupaten dan Baznas (Badan Amil Zakat Nasional) pada level nasional (Anonim, 2007). Mewacanakan zakat dalam konteks pembangunan, mengakibatkan tatakelola zakat berbasis masjid dinilai sebagai model tradisi masa lalu yang tidak relevan dan tidak efektif bagi upaya pengentasan kemiskinan. Akibatnya muncul ide untuk mereformulasi gagasan zakat dan tatakelolanya dari model yang dinilai tradisonal menuju model modern. Fenomena tersebut ditemukan di lapang dari wawancara dengan informan seperti yang tercantum dalam box 5.3.2 berikut ini : Box 5.3.2 : Konstruksi Pengetahuan Zakat BAZDA Jambi IH (61 tahun) Ketua BAZDA Provinsi Jambi, 2006-2010, melihat bahwa: ―Zakat sebagai salah satu rukun Islam yang diwajibkan kepada semua penganut Islam yang mampu, dalam merupakan satu perintah Agama yang mengandung maksud sebagai perintah kepada kaum ekonomi kuat (kaya) untuk memperhatikan nasib kaum lemah (miskin), dan zakat mengandung pesan-pesan pemberdayaan terhadap kaum lemah‖. .... Para pengelola zakat tradisional hanya berangkat dari pandangan-pandangan ulama terdahulu (klasik) yang mereka dapatkan dari kitab-kitab kuning.... alamnya dulu dan sekarang sudah berbeda dengan sekarang. Kesadaran berzakat masyarakat semakin hari semakin lemah, karena tidak ada pengelola zakat yang memiki kekuatan yang bisa menggerakkan masyarakat untuk sadar zakat. Untuk meningkatkan kesadaran zakat harus dengan kekuatan, kalau perlu dengan paksanaan karena memang zakat kewajiban jadi seharusnya dipaksakan seperti mengurus pajak. KHUZ (43 tahun) juga melihat perlu dilakukan pencerahan pemikiran dan transfer pengetahuan tentang zakat dan pengelolaannya dalam kaitannya dengan pembangunan dan pengentasan kemiskinan atau pemberdayaan. 160 RAH (45 tahun) bukan nama asli, seorang UPZ di salah satu Instansi pemerintah daerah kota Jambi menyatakan bahwa : ... pengumpulan zakat oleh BAZDA kota dari muzakki (pegawai negeri sipil) dilakukan dengan cara pemotongan gaji dikantor atau instansi oleh bedaharawan gaji selaku atau bersama dengan UPZ secara lansung... pemotongan ini dilakukan dengan instruksi pimpinan ... oleh wali kota atau Sekretaris Daerah yang juga menjadi ketua BAZDA. BAZDA merupakan bentuk lembaga tatakelola zakat gagasan kelompok penganut developmentalism yang berorientasi pada pembangunan kekuatan negara pada level daerah. Para aktor tatakelola zakat BAZDA memandang zakat sebagai ibadah wajib yang bertujuan pembangunan dan pemberdayaan ummat dari kemiskinan. Gagasan ini merujuk pada sejarah tatakelola zakat masa lalu khususnya masa kekhalifahan Umar bib Abdul Azis yang telah pernah berhasil menjadikan zakat sebagai instrumen pengentasan kemiskinan yang hebat. Zakat disini dikonstruksi sebagai kewajiban kaum kaya untuk ikut berpartisipasi dalam pembangunan dan pengentasan kemiskinan. Zakat dipandang sebagai fenomena pemberdayaan ummat yang berorientasi pada penguatan politik dan ekonomi. Wacana zakat selalu mengkaitkan potensi ekonomi zakat dengan fenomena tingginya kemiskinan, bukan pada persoalan mengapa orang miskin. Akibatnya gagasan tatakelola lebih menukik pada optimalisasi akumulasi dana ketimbang gagasan tatakelola zakat yang membangun relasi sosial yang membebaskan kaum miskin dari jeratan kemiskinan dan pemiskinan. Mengukur akumulasi dana dan hasil yang dicapai dalam tatakelola merupakan ciri yang menonjol dalam wacana zakat negara, dan ini menjadi ukuran perbandingan dengan tatakelola zakat komunitas berbasis masjid dan madrasah. Disinyalir rendahnya angka hasil akumulasi dana zakat yang dicapai oleh lembaga zakat komunitas, dijadikan bukti untuk mengatakan bahwa kesadaran berzakat sangat lemah, dan bahkan dianggap ada banyak orang yang enggan membayar zakat karena kurangnya kepercayaan pada lembaga pengelola zakat komunitas yang tradisional dan tidak adanya tekanan yang memaksa. Oleh karena itu perlu ada lembaga terpercaya didukung dengan aturan yang memiliki kekuatan memaksa dengan menganalogikan zakat dengan pajak. Ada statemen dalam diskursus zakat bahwa berzakat secara langsung ke musthahik tanpa melalui lembaga pengelola resmi yang diakui oleh pemerintah sebagai ‖cara yang salah”. Konstruksi sosial terhadap lembaga zakat dan tatakelolanya baru dikatakan sebagai lembaga zakat yang benar manakala hasilnya terukur dengan angka dan mendapat legalitas dari negara dalam bentuk 161 pengukuhan sebagaimana diatur dalam UU Nomor 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. Membangun konstruksi sosial kuasa zakat oleh negara, berlangsung dalam diskursus zakat. Melalui proses pelembagaan (objektivasi) zakat dalam ruang negara sebagai fenomena bernegara, pemerintah melalui aparat membangun pemahaman zakat bias negara dan menginternalisasikan dalam ruang gagasan warga lewat wacana zakat di berbagai media dan instrumen kekuasaan, mulai dari masjid, lembaga pendidikan, media informasi (cetak dan audio visual) hingga kebijakan aturan dan perundang-undangan. Proses internalisasi tersebut mengalami dinamika penolakan dan penerimaan dari warga masyarakat, namun karena kekuatan rezim pengetahuan dan kekuasaan begitu akut menjamah ruang sosial objektif dan subjektif (objektivasi dan internalisasi) secara dialektik dan terus menerus, akhirnya secara perlahan terjadi penafsiran atau pemahaman ulang dalam momen internalisasi menuju eksternalisasi, yang melahirkan rekonstruksi pengetahuan sebagai hasil dari pergolakan gagasan/pengetahuan dalam ruang kognitif. Pengetahuan yang lahir sebagai rekonstruksi merupakan pemenang dari pertarungan gagasan pada momen internalisasi dan ekternasasi yang akhirna terlembaga dalam bentuk institusionalisasi dalam masyarakat. Pengetahuan negara disini tampil sebagai pemenang dan melahirkan konstruksi zakat dan tatakelolanya bias negara yang memandang zakat sebagai hak negara, lalu melembagakan dalam struktur negara sebagai tatakelola zakat negara (BAZDA dan Baznas) yang sah dan dipatuhi oleh masyarakat zakat. BAZDA sebagai wujud tatakelola zakat negara, mengelola zakat dengan melibatkan unsur pemerintah dan unsur masyarakat sebagaimana tercantum pasal 6 ayat 4 UU No. 38 tahun 1999. Pemerintah merupakan perpanjangan tangan negara melalui institusi tatakelola zakat yang dilaksanakan oleh aparat. BAZDA memiliki legalitas dan legitimasi untuk bicara tentang zakat secara sah dengan dukungan undang-undang. BAZDA merupakan representasi dari negara dalam tatakelola zakat yang bisa dimaknai sebagai arena sekaligus aktor yang dapat menentukan sikap dan memiliki power untuk mengkondisikan situasi. Artinya dinamika tatakelola zakat ummat dapat dipengaruhi, dibentuk dan dikondisikan bahkan dimanipulasi dengan kekuatan rezim pengetahuan dan 162 kekuasaan yang berdialektika dapam proses saling menciptakan dan melegitimasi. BAZDA adalah aktor tunggal yang menguasai ruang wacana zakat dan mendapatkan legitimasi hukum formal dalam mengatur tatakelola zakat ummat, membentuk, mengarahkan dan mengeksploitasi zakat sebagai sumberdaya negara atau instrumen negara. Konsekwensinya segala elemen sosial yang terkait akan bersentuhan dengan sistem tatakelola zakat melalui BAZDA dan konstruksi mereka dibentuk dengan menggunakan kekuatan pengetahuan dan kekuasaan bias negara. Membangun keyakinan bahwa zakat baru optimal ketika ditangan negara, oleh karena itu konstruksi dan rekonstruksi pemahaman dan pengetahuan zakat harus dibangun secara terus-menerus dan ini menggiring logika zakat masuk dalam ruang negara. Menggiring zakat masuk dalam ruang negara untuk dikuasai negara, pemerintah atau aparat, membangun konstruksi sosial zakat dan kuasa pengetahuan zakat yang tunduk dalam logika negara. Kekuatan kekuasaan negara memproduksi pengetahuan zakat bias negara dan mendominasi diskursus zakat dalam berbagai level. Melalui berbagai instrumen negara, zakat diwacanakan dalam kerangka gagasan pembangunan dan pemberdayaan sebagai proses sosialisasi gagasan sebagai momen internalisasi. Menggunakan logika sains modern (ilmu politik dan ekonomi) wacana zakat diinternalisasikan dalam ruang kognisi individu-individu dalam masyarakat melalui berbagai media infomrasi dan pendidikan yang datang dari berbagai arah. Momen internalisasi sebagai proses membangun pengetahuan, membentuk konstruksi sosial dan pengetahuan zakat ummat yang pada akhirnya melahirkan keterpaduan gagasan zakat dan tindakan berzakat dalam dunia sosial sebagai hasil proses internalisasi dalam wujud eksternalisasi hingga objektivasi. Momen objektivasi sebagai bentuk nyata dalam dunia objektif diamana gagasan dilembagakan. Pelembagan tak terhendi namun terus berlanjut mengarah pada momen internalisasi dan eksternalisasi secara simultan yang dipengaruhi oleh kerja rezim pengetahuan dan struktur kekuasaan yang bekerja dalam wacana dan ruang zakat. Bekerjanya sebuah rezim pengetahuan membangun kekuasaan atas zakat terlihat dalam bangunan wacana zakat dana tatakelolanya. Kerja rezim pengetahuan dan kekuasaan berlangsung tiga momen membangun konstruksi sosial zakat dan kuasa pengetahuan zakat, yaitu : objektivasi, internalisasi dan 163 eksternalisasi oleh aparat negara. Tiga momen tersebut melahirkan pengetahuan yang mengkonstruksi zakat sebagai : 1) zakat adalah hak kuasa negara karena terkait dengan hasrat orang banyak, 2) agar bisa mencapai tujuan pembangunan dan pemberdayaan maka dibutuhkan perangkat negara, 3) untuk mencapai hasil optimal harus dikelola dengan manajemen modern, 4) Perintah wajib zakat merupakan perintah pemberdayaan dan pembangunan. 5.3.2.1. Negara Pemangku Kuasa Tatakelola Zakat Pengelola zakat (amilin) berfungsi, pertama, sebagai pengemban amanah Allah SWT, mewakili Rasulullah SAW dan para umara setelah Rasulullah, yaitu menegakkan agama dan mengatur kehidupan di dunia. Kedua, amilin mengemban amanat untuk mengorganisasikan (mengelola) zakat, mereka bertindak sebagai niyab al-Rasul (wakil Rasulullah SAW) dalam menegakkan agama dan ketiga, amilin adalah wakil dari tatanan masyarakat zakat yang mengarahkan, mengkondisikan dan menguasai tatakelola zakat serta bertanggungjawab atas tercapainya tujuan zakat (Idris,1997). Pentingnya peran Amil dan fungsi zakat bagi pemberdayaan masyarakat lemah, serta besarnya potensi ekonomi yang terkandung dalam zakat, membuat banyak orang tertarik mewacanakan zakat sebagai instrumen pemberdayaan hingga pembangunan. Informasi tentang hal tersebut ditemukan di lapangan dari wawancara, sebagaimana cuplikan wawancara pada box berikut : Box 5.3.2.1 : Negara Berkuasa Atas Hak Tatakelola Zakat ISH (46 tahun) pengurus BAZDA Kota Jambi. Menyatakan bahwa : ...Dari zaman Rasulullah hingga zaman kekhalifahan, zakat itu dikelola oleh pemerintah. Dan hasil menunjukkan kepada kita jika zakat bisa menjadi sumber biaya untuk mengatasi kemiskinan dan untuk pembangunan ummat. AA. M (37 tahun) pengurus BAZDA Provinsi Jambi, menyatakan bahwa : ... sejarah pengelolaan zakat yang paling berprestasi adalah masa kehalifahan Umar bin Abdul Azis, zakat waktu itu dikelola oleh pemerintah. Zakat menjadi sumber pendapatan negara dan menjadi sumber dana untuk pembangunan.... HM (60 tahun), pengurus BAZDA Provinsi Jambi menggambarkan bahwa .... kalau mau mengatasi kemiskinan dengan zakat, harus melalui kekuatan negara.... kalau hanya dengan cara tradasional seperti yang dilakukan di masjid-masjid dengan cara musiman tidak akan mampu mewujudkan tujuan zakat mengatasi kemiskinan.... kalau zakat dikelola negara, akan lebih mampu karena bisa dijalankan dengan dukungan kekuasaan negara... Satu-satunya pijakan kuat atas wacana ketatakelola zakat oleh negara 23 (Doa, 2005) adalah praktek yang dicontohkan Rasulullah SAW dan para khalifah yang mengumpulkan dan mengelola zakat dalam kapasitas sebagai kepala 23 Menurut Matinussen (1996) dalam Luiz (2000 negara dan pemerintah adalah : produk dari berbagai konflik, arena interaksi dan konflik, manifestasi dari struktur yang dirancang dan dimanifestasikan sebagai bentuk mekanisme fungsional (mode of functioning) yang nyata, aktor yang memilikim legitimasi untuk melakukan segala tindakan yang sah secara hukum 164 negara. Meski hal ini tak dapat dijadikan pijakan utama, karena khalifah Utsman bin Affan misalnya mengelola zakat secara partisipatif, dan pernah memberikan peluang pendistribusian zakat oleh para muzakki langsung kepada para mustahiknya (Idris, 1997). Mengacu pada sejarah pengelolaan zakat masa Khalifah Ummar bin Khattab, sebagai pemimpin pemerintahan beliau memegang kuasa pengelolaan zakat melalui lembaga Baitul Mal (lembaga Amil zakat pada masa Khalifah) dan terbukti mampu mengatasi kemiskinan dan hampir menghapus kemiskinan karena sulit menemukan mustahik pada saat itu. Hal yang sama juga terjadi pada masa Khalifah Umar bin Andul Azis yang mampu mengatasi masalah kemiskinan hingga tidak ditemukan lagi orang miskin. Akibatnya pada masa itu zakat dimanfaatkan untuk bantuan sosial hingga bantuan modal usaha bagi ummat (Anshori, 2006). Mengkaitkan tatakelola zakat dengan negara menunjukkan adanya dialog tetra-anggulasi antara (a) ulama sebagai pemegang kuasa otoritas ajaran agama (fiqh-Syari‘ah, (b) birokrat sebagai pemegang otoritas administrasi dan pembangunan, dan (c) pembayar/wajib zakat (muzakki) yang memegang otoritas atas sumberdaya, serta (d) penerima zakat (muzakki) sebagai pemegang otoritas atas manfaat sumberdaya zakat. Ulama sebagai pemegang kuasa otoritas ajaran agama yang menempati ruang kuasa pengetahuan agama bebasis legalitas ajaran dan ummat, dan secara kultural diyakini sebagai wakil kuasa ke-Nabian. Birokrat pemerintah sebagai pemegang kuasa administrasi dan pembangunan berbasis legalitas hukum, diyakini sebagai wakil negara, menyediakan fasilitas dan pelayanan bagi rakyat dalam praktek bermasyarakat dalam kerangka negara. Muzakki sebagai pembayar zakat dikonstruksi sebagai modal utama untuk akumulasi dana zakat secara optimal, sehingga relasinya dengan ulama negara dan birokrat sang muzakki dikonstruksi sebagai sumberdaya, dan mustahik sebagai komoditas ketika mereka dijadikan alasan utama dalam pengelolaan zakat dan motivasi berzakat terhadap muzakki. Zakat diwacanakan, dan muzakki dimotivasi dengan alasan penting dan mendesaknya mustahik sebagai kelompok kaum lemah untuk diperhatikan. Mereka dikonstruksikan sebagai persoalan bersama yang harus segera diatasi karena mengancam kehidupan bersama dalam konteks bernegara. Keyakinan dibangun bahwa untuk bisa mengatasi persoalan 165 kemiskinan dengan efektif melalui zakat, hanya dengan kekuatan negara. LAZ komunitas disini seakan hanya dianggap mampu mensejahterakan satu keluarga, tapi kalau mau mensejahterakan satu desa harus dengan BAZ negara. Agamawan komunitas menggunakan kekuatan kelembagaan berbasis agama seperti: Masjid/Langgar/Surau dengan basis pengetahuan agama yang disosialisasikan dan memobilisir ummat untuk berzakat melalui ceramahceramah, khutbah dan pengajian-pengajian serta pendidikan berbasis ―Pondok Pesantren‖ dengan menggunakan logika lokal, norma-norma tradisi dan kebersamaan untuk penguatan ajaran dan komunitas. Sementara negara melalui aparat pemerintah menggunakan kekuatan kelembagaan berbasis negara: Departemen Agama, Pemerintah Daerah dan melaui lembaga pendidikan formal, dan sarana informasi resmi lainnya, membangun pengetahuan zakat dan memobilisir rakyat berzakat dalam kerangka logika bernegara dengan tujuan utama untuk pembangunan. Agamawan membangun pengetahuan zakat dalam paradigma pengabdian dan kebersamaan, sementara pemerintah dalam paradigma kepatuhan pada negara dan pembangunan. Kuasa kelembagaan kiyai (agamawan) disini perlahan terbatasi dan mengalami penurunan. Agamawan lebih merupakan alat negara ketimbang menjadi pemangku agama dalam konteks agama publik. Pemahaman agamapun lebih merupakan konstruksi negara, yang digiring oleh kuasa rezim pengetahuan dan kekuasaan negara. Pengetahuan zakat komunitas terus dikonstruksi ulang melalui diskursus yang menempatkan negara (aparat) sebagai penguasa dominan dengan dukungan kekuatan legitimasi negara dan legalitas politik. Proses konstruksi ulang atas pemahaman beragama khususnya berzakat, terus berlanjut secara terus menerus dan dialektis yang melintasi tiga momen, yaitu : objektivasi, internalisasi dan eksternalisasi (Berger, 1990) yang berlansung secara simultan menyerang agamawan lokal melalui jaringan birokrasi dan administrasi serta lembaga pendidikan formal. Konstruksi pengetahuan zakat perlahan bergeser dari kontruksi thelogisme mengarah pada konstruksi sekularisme. Zakat yang dulu dipaham lebih sebagai ibadah asceticism dan altruism menuju keshalehan, perlahan difahami sebagai kewajiban warga negara muslim dalam konteks bernegara untuk pembangunan. Penilaian benar, sah, dan efektifitasnya selalu datang dari negara dan hak negara, yang datang dari luar negara selalu dianggap salah, tidak sah dan tidak 166 efektif. Negara mendominasi ruang penilaian, pengaturan dan pengesahan tatakelola zakat. Berbasis logika ekonomi dan politik menilai tatakelola zakat komunitas tidak efektif, tidak efisien dan tidak berkompeten, dan bahkan bisa munculnya ketidak stabilan sosial karena hak-hak masyarakat lemah tidak terlindungi dengan aman (karena tidak dilindungi negara). Menggunakan instrumen politik, negara mengintervensi ruang sosial tatakelola zakat komunitas dan menggiring aktornya masuk ke ruang kuasa sistem tatakelola zakat negara. Muzakki sebagai sumber utama potensi zakat, dalam tatakelola BAZDA ditempatkan sebagai objek yang harus ditundukkan dan diberikan penyadaran bahwa berzakat adalah kewajiban, dan kewajiban itu hanya sebatas menyerahkan zakatnya, selanjutnya bagaimana dana itu dikelola dikonstruksi sebagai hak negara dan negara yang paling tua, paling tepat dan paling mampu melakukannya untuk mencapai tujuan pemberdayaan dan pembangunan yang merupakan roh perintah berzakat. Muazkki tidak diberi ruang yang luas untuk melakukan preferensi-preferensi dalam berzakat di mana dan dengan cara yang bagaimana. Ruang kebebasan dikaburkan melalui pembentukan konstruksi pengetahuan zakat berparadigma developmentalism yang setiap saat menyerang ruang kognitif masyarakat luas khususnya muzakki dan mustahik dari berbagai ruang. Mereka tidak bisa menghidar karena kuasa pengetahuan negara ada di mana-mana, sementara untuk melawan juga begitu berat karena begitu kuatnya dan dilengkapi dengan berbagai instrumen kuasa berupa aparat dan institusi yang mendapatkan legitimasi dan legalisasi yang kuat. Melekatkan zakat dengan institusi pemerintah dengan kuasa tatakelola oleh aparat pemerintah, membuat tatakelola zakat bergerak dalam paradigma negara dan memandang zakat sebagai sumberdaya milik negara, tunduk dalam ruang kuasa negara, dikelola oleh aparat negara, dengan lembaga milik negara, dan dikelola dengan mekanisme administrasi dan birokrasi negara dibawah payung pengetahuan sekuler (non agama). Maka membawa zakat dari ruang kuasa ajaran agama ke ruang kuasa sistem administrasi dan birokrasi negara, sama halnya sedang melakukan perombakan besar terhadap konstruksi pengetahuan zakat dan ketatakelolanya. 167 5.3.2.2. Optimalisasi Zakat Membutuhkan Aturan Negara Wacana optimalisasi zakat digagas dalam kerangka berfikir politik dan ekonomi. Patameter optimal diletakkan pada ukuran sejauh mana kelembagaan zakat menjadi fenomena sosial dalam masyarakat dengan tingkat mobilitas berzakat yang tinggi dan akumulasi pengumpulan dana zakat yang signifikan. Memberlakukan zakat secara positif-legal, sebagai salah satu tata hukum yang berlaku di Indonesia, yang secara khusus ditujukan bagi ummat Islam, merupakan gagasan menuju optimalisasi zakat. Zakat diharapkan tidak hanya sekedar sebagai suatu hukum yang dicita-citakan (Ius constituendum), namun menjadi hukum positif yang berlaku di Indonesia (Ius constitum). Zakat diharapkan tidak hanya berdayaguna bagi ummat Islam dalam konteks lokal dan komunitas, namun lebih jauh bisa menyentuh seluruh rakyat lemah Indonesia. Keterangan informan terkait dengan optimalisasi zakat ditemukan dalam beberapa wawancana di lapangan yang menggambarkan bahwa zakat dalam konteks negara dipandang perlu adanya kebijakan-kebijakan negara yang mempu mendukung upaya optimalisasi zakat, dan hal tersebut dapat dilihat pada petikan wawancara dalam box 5.3.2.2 berikut ini. Box 5.3.2.2 : Negara Perlu Mengatur Zakat AA. M (37 tahun) ... untuk bisa mengoptimalkan manfaat zakat dan menjadikan menjadikan zakat sebagai sistem ekonomi pemberdayaan, maka diperlukan pengaturan secara tegas berupa hukum negara yang memuat aturan tegas terhadap mereka yang enggan berzakat. .. zakat tidak bisa optimal mencapai tujuan pemberdayaan jika tanpa campur tangan kekuasaan pemerintah Rendahnya kesadaran berzakat pada harta di kalangan ummat Islam menurut ISHK (2008) , ‖...dikarenakan tidak adanya sanksi yang nyata terhadap mereka yang enggan membayar zakat hartanya. Makanya dibutuhkan hukum atau Undang-undang Negara yang memiliki kekuatan memaksa dengan ancaman sanksi yang jelas bagi meraka yang ingkar menunaikan zakat.‖ Pemikiran tentang harusnya ada hukum negara disamping hukum agama, yang mengatur pelaksanaan zakat sebagaimana yang difikirkan oleh AA. M (37 tahun) juga diungkapkan oleh para pengurus BAZDA Kota Jambi. Keterangan ISHK (2008) selaku ketua I BAZDA Kota Jambi menyatakan bahwa, Ummat Islam memang telah menyakini sepenuhnya wajibnya zakat, namun kepatuhan berzakat secara konsisten mengikuti perintah agama hanyalah pada zakat Fitrah, sementara pada zakat maal (harta) masih sangat rendah. MHD (40 tahun) Kepala Biro Kesos Pemda selaku sekretaris BAZDA Provinsi menyatakan bahwa :‖ kalau pemahaman tentang pengaturan zakat tetap hanya merujuk sepenuhnya dengan aturan fiqh yang ada, maka upaya mengoptimalkan kesadaran berzakat dan peningkatan manfaat dana zakat, akan mengalami kesulitan karena aturan agama tidak mengikat dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang nyata, makanya dibutuhkan adanya pemahaman baru bahwa kebijakan pemerintah dibutuhkan dalam upaya meningkatkan kesadaran berzakat dengan kekuatan hukum yang jelas dan mengikat‖. Gagasan Masdar (1991), untuk menyetarakan zakat dengan ”pajak”, merupakan satu pemahaman bahwa ‖pajak” sebagai manifestasi modern dari ‖zakat”. Gagasan ini searah dengan lahirnya ide bahwa zakat membutuhkan negara dan bahkan zakat adalah hak negara. Ide Masdar (1991) tersebut 168 mendapat respon dari Departemen Agama dan kelompok pencetus lembaga Badan Amil Zakat, Infaq dan Shodaqah (BAZIS). Terbangun pemahaman bahwa ketatakelolaan dengan campur-tangan negara dengan menggunakan aparat pemerintah dan masyarakat, melalui kekuatan birokrasi dan politik, maka pengelolaan zakat bisa meningkatkan angka perolehan dana zakat, dan distribusinya akan lebih efektif dan tepat sasaran, sehingga tujuan zakat sebagai istrumen kemakmuran ummat lebih memungkinkan tercapai. Pemikiran ini berasumsi bahwa negara bisa dipercaya untuk mewujudkan good life bagi immat Islam, sehingga kebaikan bagi ummat Islam ‖disubkontrakkan” pada negara. Tapi bagaimana ketika negara tidak mempu membangun kepercayaan, apalagi jika tidak mampu mewujudkan tuntutan dan harapan masyarakat atas kepercayaan yang ada? Menuju optimalisasi zakat dalam pandangan negara dan perangkatnya, membangun pemahaman bahwa zakat merupakan hak kuasa negara. Pemahaman ini dibangun dengan landasan etik itegratif, dengan alasan bahwa: perilaku berzakat merupakan praktek ibadah dalam beragama oleh masyarakat Indonesia, yang melibatkan banyak orang/elemen masyarakat sehingga membutuhkan pengaturan negara. Dalam praktek zakat terlibat elite ekonomi dan ekonomi lemah yang dinilai sebagai dua sisi yang berjarak secara sosial dan saling berlawanan, sehingga keliru jika dalam mempertemukan dua elemen masyarakah tersebut dapat memicu munculnya konflik vertikal (kaya-miskin) dan akan merugikan elemen masyarakat ekonomi pinggiran. Zakat yang tadinya berada dalam ruang agama terlihat digiring masuk dalam ruang negara, pemangku kuasa pengetahuan zakat yang berada dalam ruang kelembagaan kiyai yang mendapatkan legalitas dan kepercayaan masyarakat, perlahan dirubah dan diletakkannya BAZDA sebagai penguasa pengetahuan tunggal dengan kekuatan legalitas dari negara. Disini kekuatan rakyat yang memberikan legalitas pada hak kuasa kontrol dan pengelolaan zakat dicabut dan ambil alih oleh negara. Konstruksi pengetahuan zakat BAZDA, memandang zakat dalam perspektif politik sehingga zakat dikonstruksi sebagai satu fenomena yang memiliki potensi politik yang jika dibiarkan dalam pengelolaan Ummat berbasis masjid dengan pemahaman dan sistem yang bervariasi sangat berpotensi melahirkan konflik. Zakat disini dipandang sebagai praktek beragama yang mampu memobilisir 169 masyarakat, tidak hanya dalam lingkup praktek individu, namun sebagai praktek sosial yang bisa berimplikasi politik. Pemahaman ini memiliki implikasi politik di mana posisi negara sebagai kekuatan sosial politik, semakin menguat dan yang memarjinalkan kelembagaan masjid sehingga merampas dan mengkebiri kekuatan kelembagaan kiyai sebagai pemangku kuasa ajaran agama tertinggi. Kekuatan masyarakat civil (civil society) semakin melemah dan negara semakin menguat. Zakat sebagai ajaran agama yang dilihat sebagai ibadah atau kepatuhan pada ajaran untuk membangun kebersaman dan solidaritas sosial, perlahan berubah menjadi zakat yang difahami sebagai kepatuhan warga negara dan terhadap sistem bernegara untuk tujuan pembanguan. Rendahnya kesadaran masyarakat Muslim mengeluarkan zakat harta, dipandang oleh BAZDA Provinsi Jambi sebagai bukti nyata bahwa dengan mengandalkan hukum agama (fiqh) sudah tidak cukup dalam memotivasi ummat untuk melaksanakan perintah zakat, sebagaimana efektifnya hukum agama memotivasi ummat untuk menjalankan sholat, puasa dan haji (Miftah, 2008). Secara historis tingginya kesadaran berzakat ummat pada masa pemerintah Khalifah Umar bin Khattab dan Khalifah-Khalifah lain setelahnya, memang dimotivasi oleh ajaran agama, namun pada masa itu keterlibatan kekuatan politik pemerintah untuk memaksa dan memberikan teguran hingga sanksi cukup memberikan pengaruh yang kuat (Miftah, 2008). Belajar dari sejarah, menurut Miftah (2008) selaku Anggota Dewan Pertimbangan BAZDA Provinsi Jambi, untuk memicu kesadaran berzakat tidaklah cukup hanya dengan himbauan, dan kampanye zakat dengan bermodalkan pengetahuan zakat yang bersumber dari ajaran agama saja. Dibutuhkan perangkat hukum negara (diyani24) sebagai kekuatan politik yang bisa memaksa secara nyata kepada ummat untuk melaksanakan ibadah zakat. Oleh karena itu dibutuhkan UU yang mengatur tentang zakat yang disertai dengan sanksi-sanksi yang tegas bagi ummat yang enggan melaksanakan zakat. Muncul anggapan bahwa agama seakan tidak lagi mampu memberikan motivasi yang kuat bagi lahirnya kesadaran zakat, dan merupakan fenomena melemahkan kepercayaan pada ajaran agama untuk mengatasi persoalan sosial 24 Diyani adalah hukum diyani yang dapat ditangani secara profesional oleh mufti melalui fatwa, sedangkan yang bersifat Qadhai dilakukan oleh hakin melaui peradilan. Namun kategori suatu perbuatan termasuk qadhai atau diyani sesungguhnya akan senantiasa berkembangan sesuai dengan tingkat dinamika masyarakat. 170 ummat di era modern. Sebagai solusi yang ditawarkan adalah hukum negara dianggap lebih mampu memobilisir ummat dalam beragama ketimbang hukum agama. Kekuatan ajaran Allah dalam bentuk agama yang di dalamnya mengatur manusia dengan janji pahala dan ancaman dosa pada akhir zaman kelak, ternyata dianggap tidak cukup kuat untuk membuat manusia patuh, sehingga dibutuhkan aturan duniawi dengan kekuatan negara. Allah seakan dianggap tidak berdaya mengatur hamba-Nya. Negara terlihat dianggap lebih mampu dengan kekuatannya untuk memaksakan orang patuh kepada Allah melalu kepatuhan terhadap negaranya. Proses membangun keyakinan bahwa optimalisasi zakat hanya bisa dengan kekuatan negara, dilakukan melalui kekuatan pengetahuan dan kekuasaan yang membangun pemahaman bahwa zakat merupakan fenomena ekonomi, politik dan sosial budaya. Pemahaman zakat dibangun dalam kerangka berfikir ekonomi dan politik, ketika wacana zakat bicara tentang zakat sebagai potensi ekonomi. Menyuarakan tata-aturan berbasis negara, dan menajemen modern, merupakan upaya membangun konstruksi pengetahuan zakat bahwa zakat merupakan fenomena politik yang terkait dengan logika kekinian. Berbasis pengetahuan politik modern memandang zakat sebagai satu sumberdaya politik dan instrumen kepatuhan dan penundukan pada negara dengan menggunakan kekuatan hukum berbasis negara, dan berbasis pengetahuan ekonomi memandang zakat sebagai sumberdaya ekonomi yang besar untuk pembangunan dan pemberdayaan masyarakat. Zakat disini terobjektivasi sebagai fenomena pengentasan dalam bentuk lembaga zakat dan Undangundang zakat. Wacana zakat negara dan penerapan UU zakat merupakan proses internalisasi gagasan zakat sebagai instrumen pembangunan dan untuk optimalnya didukung oleh UU negara. Desakan kekuatan kekuasaan politik dengan menggunakan instrumen kekuasaan objektif negara (instansi dan hukum), dan instrumen kekuasaan subjektif pada aras gagasan (pengetahaun) yang menjamah ruang kognisi ummat melalui wacana zakat yang membaur dengan logika ekonomi dan politik membuat warga tertaklukkan, menerima dan mematuhi gagasan zakat berbasis negara sebagai wujud hasil dari proses internalisasi ke eksternalisasi berupa pengakuan, penundukan dan kepatuhan berzakat pada tatakelola zakat negara. 171 5.3.2.3. Zakat sebagai Perintah Pemberdayaan dan Pembangunan Zakat sebagai perintah pemberdayaan dan pembangunan merupakan pemahaman yang menjadi ciri penting bagi pengelolaan zakat berbasis negara. Mereka beraggapan bahwa perintah berzakat dalam agama merupakan perintah pemberdayaan dan pembangunan. Oleh karena itu, maka segala potensi yang ada dalam perintah zakat selayaknya diarahkan pada upaya pemberdayaan dan pembangunan masyarakat. Pemahaman tersebut tergambar dalam beberapa informasi lapang yang tercantum dalam box 5.3.2.3 berikut : Box 5.3.2.3 : Zakat Mengandung Misi Pembangunan Oleh AA. M (37 tahun) Pengurus BAZDA Provinsi Jambi dinyatakan bahwa dua elemen sosial penting dari praktek zakat yaitu Muzakki dan Amil dalam masyarakat secara umum belum melihat zakat sebagai instrumen pemberdayaan dan pembangunan ummat dan pentingnya kelembagaan Amil profesional. Makanya untuk mengoptimalkan praktek zakat dan tata kelolanya harus lebih dahulu dilakukan penyadaran dan penafsiran kembali untuk merombak pemahaman zakat yang dalam masyarakat, agar zakat dipaham sebagai ibadah yang bermakna pembangunan dan pemberdayaan masyarakat. HM dan IH (61 tahun) pengurus BAZDA Propisni Jambi, dipandang sebagai simbol kesejahteraan. Dengan zakat maka di sana harta menjadi tersebar ke banyak orang dan dapat dinikmati oleh banyak orang. Dengan zakat harta juga berputar dari satu tangan ke tangan yang lain (Muzakki ke para Mustahiq). Dengan berzakat harta yang dimiliki oleh satu orang dapat memberikan manfaat ke orang lain baik secara individu terhadap fakir, miskin dan Amil, maupun secara berkelompok dengan menerima manfaat dari zakat yang 25 26 tersalur melalui fasilitas umum yang disalurkan terhadap Ibnu sabil dan fisabillah . Dari sinilah makna pesan pembangunan dapat di petik Memaknai zakat sebagai istrumen pemberdayaan dan pembangunan berangkat dari konsep negara kesejahteraan, mengacu pada peran negara yang aktif dalam mengelola dan mengorganisasikan perekonomian yang di dalamnya mencakup tanggung jawab negara untuk menjamin ketersediaan pelayanan kesejahteraan dasar dalam tingkat tertentu bagi warganya. Secara umum, suatu negara bisa digolongkan sebagai negara kesejahteraan jika mempunyai empat pilar utama, yaitu : (1) social citizenship; (2) full democracy; (3) modern industrial relation system; (4) rights to education and the expansion of modern mass education systems (Andersen (1990, 1999) dalam Triwibowo dan Sugeng (2007). Negara kesejahteraan berusaha membebaskan warganya dari ketergantungan pada mekanisme pasar, untuk mendapatkan kesejahteraan (dekomodifikasi) dengan menjadikannya sebagai hak setiap warga yang dapat diperoleh melalui perangkat kebijakan sosial yang disediakan oleh negara (Andersen (1990, 1999) dikutip oleh Triwibowo dan Sugeng (2007). Pengamatan Titmuss (1958) yang diperkuat oleh Andersen (1990), bahwa negara tidak 25 Ibnu Sabil adalah Musafir yang kehabisan bekal, yang jauh dari negerinya dan telah tertutup semua sumber rezekinya 26 Fisabilillah adalah orang yang berjihad di jalan Allah swt. dan kegiatan sejenisnya dalam r angka dakwah Islam. 172 selamanya menjadi aktor utama dalam penyediaan kesejahteraan 27. Andersen (1990) mentipologikan varian-varian rezim kesejahteraan atas rezim kesejahteraan liberal, sosial demokrat, dan konservatif. Terlihat bahwa peran negara dalam negara kesejahteraan paling kuat dijumpai pada rezim kesejahteraan sosial demokrat yang memiliki tingkat demodifikasi tinggi serta ikatan hak sosial yang universal (Triwibowo dan Sugeng, 2007). Berdasarkan tipologi rezim kesejahteraan tersebut, Epsing-Andersen (1999) sebagaimana dikutip oleh Triwibowo dan Sugeng. (2007) membagi negara kesejahteraan ke dalam tiga bentuk yaitu : 1) Residual welfare state;28 dengan basis rezim kesejahteraan liberal dan dicirikan dengan jaminan sosial yang terbatas pada kelompok target yang selektif serta dorongan yang kuat bagi pasar untuk mengurus pelayanan publik. 2) Universalist welfare state; dengan basis rezim kesejahteraan sosial demokrat dan dicirikan dengan cakupan jaminan sosial yang universal dan kelompok target yang luas serta tingkat dekomodifikasi yang ekstensif. 3) Social insurance welfare state, dengan basis rezim kesejahteraan konservatif dan dicirikan dengan sistem jaminan sosial yang tersegmentasi serta peran penting keluarga sebagai penyedia pasok kesejahteraan (Triwibowo dan Sugeng, 2007). Mengkaitkan kesejahteraan sosial dengan makna social security zakat sama halnya menjadikan zakat sebagai bagian dari instrumen keterjaminan sosial yang berasal dari institusi agama. Keterjaminan sosial (social security) adalah tindakan publik, termasuk yang dilakukan oleh masyarakat, untuk melindungi kaum miskin dan lemah dari perubahan yang merugikan dalam standar hidup, sehingga mereka memiliki standar hidup yang dapat diterima. Pieters (2006) menyebutkan bahwa keterjaminan sosial adalah: 27 Ada tiga paradigma kesejahteraan sosial, antara lain : (1) paradigma residual; (2) paradigma institusional; dan (3) paradigma developmental. Paradigma residual, aliran ini menganggap kesenjangan yang terjadi di masyarakat sebagai konsekuensi logis dari danya kebebasan individu mendapatkan hasil terbaik dalam kehidupannya. Paradigma residual memberlakukan sistem seleksi (means test) untuk menentukan apakah orang te tersebut berhak mendapatkan bantuan. Paradigma institusional ; dikembangkan berdasarkan teori tentang masyarakat dan negara yang didasarkan pada nilai-nilai konsensus (consensual value), konformitas dicapai melalui proses integrasi sosial. Paradigma ini melihat pemerintah harus bekerjasama dengan pihak swasta dan organisasi nirlaba dalam meningkatkan kualitas layanan. Paradigma developmental ; merupakan konsepsi tentang sistem kesejahteraan sosial yang mendasarkan pada nilai-ni lai keadilan sosial. Pardigma ini berdasarkan pada perspektif sosial demokrat (democratic socialist perspective). Disini peran pemerintah menjadi lebih proaktif, dan merupakan antitesis dari perspektif residual yang lebih bersifat reaktif. 28 Model Residual welfare state digunakan Australia, Kanada, Selandia Baru, dan Amerika Serikat, Model Universalist welfare state yang digunakan yang meliputi negara seperti Denmark, Finlandia, Norwegia, Swedia, dan Belanda, dan Social insurance welfare state yang meliputi negara seperti Austria, Belgia, Perancis, Jerman, Italia, dan Spanyol (Triwibowo dan Sugeng, 2007). 173 the compilation of benefits in cash and in kind, including services, granted to some persons. The arrangement as granting protection against the insecurity resulting from the risks related to the ascent of the industrial society and its development or, in short, against social risk.‖ (Pieters, 2006). Bagaimana zakat pergeseran konstruksi, dari mekanisme social scurity system, menjadi mekanisme pemberdayaan dan pembangunan, mengharuskan adanya rekonstruksi pemahaman. Merombak pemahaman zakat sebagai pengamanan subsisten ke model pemberdayaan dan pembangunan. BAZDA Provinsi Jambi dalam hal ini melakukan upaya mendobrak pemahaman zakat tradisional menuju modern dengan cara, yaitu: 1) Melakukan sosialisasi ke berbagai masjid yang ada di lingkungan Provinsi Jambi dengan melibatkan tokoh agama lokal dan anggota Majelis Ulama Indonesia (MUI) provinsi dan kabupaten/kota. 2) Melakukan dialog zakat terkait dan manajemen tatakelola zakat berorietasi pemberdayaan. 3) Menghimbau anggota BAZDA agar terlibat dalam pengelolaan zakat dalam masyarakat dengan harapan mampu membangun penyadaran menuju tatakelola zakat berbasis pengetahuan modern. 4) Menyebarkan buku-buku panduan berzakat dan pengelolaan zakat hingga pada ceramah dan khutbah Juma‘at untuk membangun pemahaman zakat dan sistem tatakelola yang efektif, efisien dan profesional dengan manajemen modern. Proses rekonstruksi pengetahuan zakat oleh BAZDA tersebut merupakan praktek intervensi ruang kognisi masyarakat melalui perombakan pemahaman zakat tradisional. Disini pengetahuan zakat masyarakat termarjinalkan dan terkalahkan hingga pada akhirnya akan termusnahkan karena tergilas oleh pengetahuan zakat BAZDA yang memiliki kekuatan sosial dan politik yang didukung oleh perangkat sosial politik negara. Melalui kekuatan lembaga pendidikan, media massa dan ruang sosial lainnya BAZDA memberikan takanan pada aras kognisi masyarakat dan menggiringnya masuk dalam ruang paradigma developmentalism. Logika berzakat masyarakat yang tadinya tunduk dan digerakkan oleh logika lokal (logika budaya) berubah dan bergeser ke logika developmentalism dan akibatnya, agamawan komunitas yang selalu menjadi pemimpin ritual agama masyarakat lokal terkebiri, melemah dan tak berdaya kecuali jika mereka rela melebur dalam logika developmentalism dan meninggalkan atau paling tidak 174 membuka ruang logika ascetism, dan logika localism, untuk diwarnai oleh logika developmentalism. 5.3.3. Konstruksi Sosial Kuasa Pengetahuan Zakat LAZ-SP Terbentuknya lembaga tatakelola zakat di PT. SP berawal kesadaran para karyawan untuk melaksanakan kewajiban agama tahun 1995, namun kemudian akhirnya masuk dalam kerangka kerja perusahaan tahun 1997, dan kemudian terbentuk pengelolaan zakat khusus tahun 1998 berupa Badan Amil Zakat Infak dan Shadaqah (BAZIS). Kemudian berubah pada tahun 2002 berubah menjadi Yayasan Lembaga Amil zakat (LAZ SP) sebagai respon terhadap UU No. 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. Zakat oleh LAZ-SP difaham sebagai ajaran agama yang memiliki potensi ekonomi yang besar, yang bisa memberikan sumbangan pada upaya pemberdayaan kaum lemah khususnya sekitar perusahan. Jika dikelola dengan baik, terorganisir dan terencana, maka akan menghasilkan sumberdaya ekonomi yang besar yang bisa dijadikan modal bagi upaya memberdayakan masyarakat miskin, mendukung terciptanya suasana usaha yang aman dan nyaman serta bisa menciptakan keamanan usaha dan investasi. Memandang zakat dalam perspektif pengetahuan ekonomi membuat zakat dipandang sebagai sumberdaya ekonomi. Perhatian terfokus pada sisi-sisi potensi ekonomi yang dapat diperoleh dari zakat dan peluang ekonomi yang diakibatkan oleh tradisi berzakat dan tatakelolanya. Dalam tradisi berzakat dinilai memiliki potensi ekonomi yang dapat diperoleh ketika para muzakki berzakat dengan baik. Di LAZ-SP angka itu cukup besar yang terlihat pada hasil perolehan dana zakat dari tahun ketahun yang terus meningkat. Pada Matrik berikut ini menunjukkan betapa potensi tersebut begitu menggiurkan. Penerimaan dan Penyaluran Dana Zakat LAZ. SP Tahun 1995-2007 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 Penerimaan (Rp. Juta) 421 523 1368 1418 2055 2782 2918 3387 3036 3550 4087 5106 6204 Penyaluran (Rp. Juta) 391 469 1157 1500 2061 2723 2523 3183 3070 3923 3902 4452 5321 Sumber : Data Sekunder , 2008 (Diolah) 175 Memaknai zakat sebagai potensi ekonomi, membangun pemahaman bahwa yang pantas mengelola zakat adalah mereka yang memiliki pengetahuan ekonomi dan memiliki kemampuan manajemen ekonomi. Pemahaman ini menggeser pemahaman zakat berbasis kelembangaan masjid yang dikelola oleh agamawan pada level komunitas, yang memandang zakat lebih fokus sebagai instrumen keshalehan untuk membangun kedekatan dengan Allah SWT dan kehangatan relasi sesama manusia khususnya antara kaum kaya (muzakki) dan kaum miskin (mustahik). Memandang zakat sebagai instrumen kesalehan, konsekwensinya membangun kepercayaan bahwa yang berhak menguasai wacana zakat adalah orang yang dianggap sholeh (agamawan). Sebaliknya memandang zakat sebagai instrument pemberdayaan konsekwensinya membangunan kepercayaan bahwa yang berhak menguasai wacana zakat adalah mereka yang dianggap memiliki pengetahuan ekonomi pemberdayaan. Berbeda dengan pandangan aktor LAZ-SP dengan basis pengetahuan ekonomi mengkonstruksi memandang zakat zakat sebagai dalam instrumen kerangka berfikir pencapaian dan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan. Makanya yang menjadi perhatian selalu seberapa besar potensi ekonomi yang dapat diperoleh dari pengelolaan zakat, seberapa jauh bisa menciptakan suasana berekonomi yang kondusif, aman dan nyaman serta seberapa besar memberikan peluang bagi pengembangan usaha dan perolehan surplus ekonomi. Ketika dianggap mampu memberikan dan menjanjikan keuntungan secara ekonomi secara langsung maupun tidak, maka sejak itulah zakat jadi menarik dan penting. Konstruksi pengetahuan zakat pada LAZ-SP, terlihat didominasi oleh pengetahuan ekonomi dengan logika profit dan utility maximization. Konstruksi pengetahuan zakat LAZ-SP tersebut terbangun berawal dari adanya wacana pengelolaan zakat yang disuarakan oleh karyawan untuk memenuhi kewajiban berzakat sebagai rukun Islam. Dari sini pengelolaan zakat diwacanakan dalam komunitas perusahaan yang didalamnya terdiri dari kelompok pekerja/karyawan perusahaan dan para manajer perusahaan. Berbasis pengetahuan ekonomi, zakat dicerna dalam kerangka berfikir ekonomi. Disini tahap konstruksi sosial zakat dibangun berawal dari munculnya diskursus tatakelola zakat di perusahaan yang menonjolkan wacana zakat sebagai instrumen pemberdayaan dan social rensposibility . 176 Wacana zakatpun digulirkan dan memunculkan statemen-statemen yang mengarahkan pada bangunan pemahaman zakat dalam kerangka ekonomi. Konsep pemberdayaan, kemiskinan sekitar perusahaan, dan tanggujawab sosial perusahaan, kesenjangan ekonomi antara perusahaan dan masyarakat sekitarnya serta kecemburuan sosial, menggiring penafsiran zakat para karyawan dan pihak manajemen industri masuk dalam kerangka gagasan zakat dalam perspektif ekonomi industri. Sosialisasi gagasan berlangsung secara terus menerus sebagai proses internalisasi yang menjamah ruang kognitif para muzakki perusahaan dengan tujuan terbangunnya kesadaran berzakat yang lahir dari pemahaman zakat berbasis industri dalam kerangkan logika ekonomi. Wacana zakat di lingkungan perusahaan terus melebar, melembaga dan melahirkan LAZ Swasta . Objektivasi terjadi melalui wacana zakat yang mejamah ruang kognitif komunitas perusahaan dalam proses internalisasi dan ekternalisasi. Pada proses ini wacana dari luar sebagai fenomena objektif mempengaruhi ruang subjektif, dan pada proses ini berlangsung pergumulan pengetahuan terhadap konstruksi zakat yang ada dalam ruang subjektif anggota komunitas perusahaan, hingga pada tahap selanjutnya masuk pada momen eksternalisasi dalam wujud rekonstruksi pengetahuan zakat dan lahir dalam dunia objektif berupa tindakan berzakat pada lembaga tatakelola zakat swasta. Bagaimana zakat dikonstruksi oleh warga komunitas perusahaan dan oleh pihak manajemen perusahaan, sangat tergantung pada kekuatan rezim pengetahuan dan kekuasaan yang bekerja membentuk konstruksi sosial zakat dan pengetahuan zakat yang tersosialisasikan sehingga terinternalisasi dan terekternalisasi hinggan melembaga dalam peraktik sosial berzakat pada LAZ perusahaan sebagai wujud momen objektivasi. Sebelum terbangun konstruksi sosial dan pengetahuan zakat yang diinginkan oleh pemegang kuasa, maka proses tiga momen proses terbangunnya konstruksi sosial ala Bergerian (1990) yaitu objektivasi, internalisasi dan eksternalisasi yang tanpa henti ini terus diintervensi dengan menggunakan kekuatan kekuasaan dan pengetahuan yang tersebar di mana-mana, menjamah dari segala arah dalam lingkungan perusahaan. LAZ-SP dengan basis pengetahuan ekonomi industri, menjalankan tatakelola zakat dalam kerangka kerja ekonomi, memarjinalkan pengetahuan agama dan lokal. Akibatnya agamawan di sana hanya dikonstruksi sebagai 177 pemangku kuasa pengetahuan zakat sebagai ritual dan ajaran normatif saja, sementara zakat sebagai praktek sosial dipandang masuk dalam ruang kuasa pengetahuan ekonomi oleh pengusaha atau aktor manajemen industri. Akibatnya LAZ-SP menjadikan agamawan hanya sebagai alat legitimasi dan justifikasi bahwa LAZ bekerja dalam kerangka ajaran agama. Mengkonstruksi zakat dalam kerangka berfikir ekonomi industri, membuat zakat dipandang sebagai instrumen ekonomi industri. Pemahaman terhadap zakat terfokus pada sisi-sisi ekonomi yang ada dalam fenomena zakat. LAZ-SP sebagai LAZ berbasis Industri, memandang zakat sebagai : 1) Sumberdaya ekonomi yang memiliki potensi yang besar, 2) Zakat sebagai instrumen pemberdayaan dan 3) Zakat sebagai instrumen pengamanan usaha dan investasi. 5.3.3.1. Zakat sebagai Sumberdaya Ekonomi Memandang zakat sebagai sumberdaya yang memiliki potensi ekonomi yang besar, yang menurut hitungan berbagai sumber mendekati angkat Rp. 19 triliun pertahunnya (Hafhidhuddin, 2001), dan menjadi sangat menarik bagi kalangan swasta/industri untuk melakukan pengorganisasian zakat dalam kerangka manajemen industri. Melihat angka tersebut banyak kemudian kalangan industri mencoba melakukan pengelolaan zakat secara internal yang dipungut dari para karyawan melalui mekanisme yang sejalur dengan sistem penggajian karyawan. Oleh PT.SP dibuktikan dengan pencapaian angka Rp 7 Miliyar pada tahun 2007. Perusahaan PT.SP yang berlokasi di Indarung Sumatera Barat, merupakan salah satu tempat di mana penelitian dilakukan, ditemukan bahwa zakat bagi pengelola zakat (LAZ-SP) merupakan praktek ibadah dalam agama Islam yang memiliki potensi ekonomi yang besar, yang jika dikelola dengan baik akan mampu memberikan efek yang besar bagi pemberdayaan masyarakat lemah umumnya dan khususnya yang ada di sekitar perusahaan, yang pada akhirnya memberikan suasana usaha yang mendukung bagi peningkatan produksi dan peningkatan hasil secara ekonomi. 178 5.3.3.2. Zakat sebagai Instrumen Pemberdayaan Memandang zakat sebagai sumberdaya ekonomi, oleh LAZ-SP zakat selalu di hubungkan dengan fenomena ketidakberdayaan ekonomi masyarakat sekitar perusahaan. Mereka beranggapan bahwa kemiskinan sekitar perusahaan adalah tanggungjawab bersama seluruh elemen perusahaan sebagai orang yang memiliki kehidupan lebih baik dan memiliki kelebihan pendapatan atau harta. Disini zakat kemudian dilihat bisa dan memiliki potensi untuk memberdayakan masyarakat miskin sekitar perusahaan. Zakat dibaca sebagai instrumen yang mampu mengembangkan sense of awareness terhadap derita kaum miskin. Kalau diilustrasikan, zakat itu ibarat the have, sementara rakyat miskin laksana the needy. Filsafat sosialnya menjadi affirmatif: the have harus memiliki ethical obligation kepada the needy. Berzakat, dianggap dapat memberikan sumbangan bagi mengatasi masalah kekurangan yang dihadap oleh the needy yang pada penghujungnya diharapkan mampu dan berdaya secara ekonomi. Pesan moral-kemanusiaan dari rangkaian ibadah zakat sebenarnya hendak melatih diri kita untuk sensitif terhadap realitas, yakni, menjadi lebih peka dan sensitif terhadap realitas sosial di sekitar kita. Kemiskinan, kelaparan, dan ketidakadilan, yang selama ini dialami kaum tertindas baik secara ekonomis maupun politis, dengan demikian mendapatkan referensi, justifikasi, dan legitimasi dari ritual dikonfrontasikan memperoleh zakat. dengan maknanya Karena konteks, sebagai itu, prilaku nuansa, pembacaan dan ritual ilusi zakat haruslah kesadaran hermeneutik sosial untuk dalam konstruksi pergumulan aktual kehidupan manusia yang nyata. Setiap bentuk ritual berzakat mempunyai kapasitas sebagai refleksi kemanusiaan untuk menghidupkan kembali api dan semangat fitrah, bukan hanya dalam kesadaran subyektif, tetapi juga dalam kesadaran sejarah. Dari sinilah kemudian diharapkan zakat mampu menemukan makna-makna emansipatorisnya sebagai praktek pembebasan dan pengentasan masyarakat dari kemiskinan, bukan malah dibaca dalam konteks pemanfaatan potensi ekonomi zakat sebagai instrumen pensejahteraan semata secara lahiriah, lalu mengabaikan aspek bathiniyah dan menghilangkan relasi personal sebagai salah satu kunci lahirnya kehangatan sosial dalam proses pembebasan. 179 5.3.3.3. Zakat Sebagai Instrumen Pengamanan Investasi Berangkat dari wacana Community Development (CD) atau Coorporate Social Responsibility (CSR), PT. SP muncul dalam wacana tatakelola zakat dengan LAZ yang mengelola kemanusiaan dan pemberdayaan. zakat karyawannya untuk Zakat bagi aktor disini kegiatan dipandang sebagai ajaran agama yang memiliki potensi besar, yang bisa mendukung berjalannya dunia usaha khususnya menciptakan kondisi sosial yang aman dan nyaman bagi kehidupan usaha dan investasi. Zakat diakui sebagai ajaran agama yang mengandung makna kepatuhan beribadah, namun pada saat yang bersamaan, zakat bagi mereka juga dianggap sebagai tindakan kemanusiaan yang terlihat pada semangat solidaritas sosialnya. Memaknai solidaritas sosial inilah kemudian aktor LAZ-SP menilai kalau pengelolaan zakat mampu menciptakan suasana sosial yang damai dan aman. Ada pemahaman bahwa LAZ yang mengelola zakat dalam lingkup perusahaan, secara internal dianggap mampu menciptakan suasana nyaman dalam perusahaan karena telah menciptakan nuansa nyaman secara bathin atau spiritual bagi karyawan melalui pelaksanaan ibadah berzakat yang didukung oleh perusahaan. Pengelolaan zakat mampu menciptakan kepercayaan yang tinggi dari karyawan terhadap perusahaan sebagai perusahaan yang religius, atau palling tidak telah menghargai agama mayoritas yang dianut oleh karyawan. Secara eksternal, aktor LAZ memilih menerapkan tatakelola zakat berbasis perusahaan, karena pertimbangan bahwa dengan pengelolaan zakat, akan membangun hubungan sosial yang baik dengan masyarakat luar perusahaan, khususnya kaum lemah di sekitar perusahaan melalui penyaluran dana zakat. Kemiskinan yang dialami oleh masyarakat sekitar perusahaan dianggap sebagai salah satu penyebab dominan munculnya berbagai persoalan sosial masyarakat sekitar perusahaan, yang selalu memberikan efek kurang nyaman bagi pihak perusahaan. Dengan pengelolaan zakat yang baik diharapkan mampu mengatasi atau paling tidak membantu meringankan persoalan kemiskinan tersebut. Dengan demikian keberadaan LAZ-SP memiliki orientasi pada penciptaan suasana sosial yang aman dan nyaman dalam masyarakat, khususnya masyarakat 180 sekitar perusahaan yang diharapkan memberikan sumbangan yang besar bagi terciptanya suasana yang aman dan nyaman terhadap kondisi usaha dan investasi perusahaan. Menerapkan tatakelola zakat, oleh aktor juga dianggap sebagai satu wujud semangat spiritualitas dan memberikan indentitas keberagamaan sebagai perusahaan yang agamis dan pengusaha yang shaleh. Membangun identitas keberagamaan dan kesalehan, mungkin merupakan motivasi keimanan, namun pada saat yang sama juga sebagai upaya pencitraan perusahaan, pengusaha dan komunitas ekonomi taat beragama, shaleh dan memiliki solidaritas sosial yang tinggi. Dengan terbangunnya citra tersebut dianggap akan menempatkan perusahaan, karyawan dan pengusaha dalam konstruksi masyarakat sebagai yang shaleh dan budiman. Oleh pihak perusahaan merupakan pencitraan agama yang secara bersamaan dimaknai sebagai potensi ekonomi. Awalnya memang hanya memandang zakat sebagai sebuah praktek beragama yang terkait dengan kemiskinan, namun dalam perjalanannya kemudian selalu menunjukkan perhatian pada potensi ekonomi dalam kaitannya dengan kemiskinan yang selalu menjadi persoalan bagi perusahaan dan memiliki hubungan yang erat dengan keamanan investasi. Program Corporate Social Respsncibility (CSR) PT. SP, diakui sebagai satu bentuk program mengatasi masalah-masalah sosial masyarakat sekitar perusahaan, namun sebagai BUMN dana yang ada sangat terbatas, maka keberadaan LAZ-SP, sangat membantu program CSR PT.SP. Secara kelembagaan antara CSR dan LAZ-SP, memang terpisah, namun dalam perlaksanaan program ada keterkaitan yang sangat erat, bahkan ada pembagian wilayah kerja. CSR lebih ditekankan pada pemberian bantuan terhadap masyarakat secara kelembagaan, sementara LAZ lebih pada bantuan perorangan.