VI. PEMBAHASAN UMUM Produksi udang windu tahan penyakit atau memiliki daya tahan tubuh yang kuat (resisten) terhadap patogen merupakan salah satu strategi yang perlu dilakukan dalam upaya mengendalian penyakit. Penerapan teknologi peningkatan imunitas melalui imunostimulan dan vaksin pada udang windu adalah merupakan alternatif yang dapat dilakukan dalam mengatasi masalah penyakit udang windu. Meskipun demikian, kelemahan metode tersebut terletak pada aplikasinya yang harus dilakukan dalam setiap siklus produksi dan sifat imunitas yang tinggi tersebut tidak dapat diturunkan ke generasi berikutnya. Metode lain seperti pemijahan selektif (selective breeding) juga memberikan harapan dalam pemecahan masalah penyakit udang windu. Walaupun metode tersebut dapat dilakukan dari generasi ke generasi, tetapi memerlukan waktu yang relatif lama untuk menghasilkan generasi dengan perbaikan genetik (genetic gain) secara signifikan. Beberapa kajian menunjukkan bahwa untuk menghasilkan perbaikan genetik yang signifikan melalui pemijahan selektif diperlukan waktu 7-8 generasi. Oleh karena itu, dalam penelitian ini dilakukan suatu upaya pengendalian penyakit udang windu melalui peningkatan resistensi terhadap patogen melalui transfer gen antivirus PmAV pada embrio. Gen antivirus tersebut diharapkan dapat ditransmisikan ke generasi berikutnya sehingga pada generasi ke-3 dapat dihasilkan udang windu tahan penyakit dan stabil (stable line). Metode baru ini diharapkan dapat memperbaiki kelemahan metode sebelumnya. Meskipun aplikasi teknologi transgenesis pada akuakultur masih jauh tertinggal dibandingkan dengan mikroba dan tanaman, teknologi ini diharapkan memberikan kontribusi dalam perkembangan bioteknologi akuakultur. Aplikasi teknologi transgenesis mulai diaplikasikan pada spesies akuakultur sejak tahun 1980an. Keberhasilan teknologi transfer gen pada ikan pertama kali dilaporkan di Cina pada tahun 1985 (Dunham 2004). Sejak itu, teknologi transfer gen mulai dikembangkan di beberapa negara dengan fokus penelitian pada transfer gen hormon pertumbuhan. Keuntungan dari teknologi transgenesis antara lain adalah gen yang telah diintroduksi dapat terintegrasi dengan genom resipien dan selanjutnya dapat diitransmisikan ke keturunannya (Khoo 2000). 77 Teknologi manipulasi gen (genetic engineering) telah dikembangkan sebagai pelengkap program perbenihan untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas dari karakter yang diinginkan. Prosedur umum yang diajukan oleh Khoo (2000) dalam transgenesis adalah (a) melakukan identifikasi dan persiapan gen target, (b) menemukan kesesuaian metode transfer dan promoter, dan (c) melakukan deteksi dan pemantauan organisme transgenik untuk dipelihara dan digunakan dalam program perbenihan. Teknologi transfer gen diawali dengan isolasi gen target, yang dihubungkan dengan promoter (sekuen DNA regulator) kemudian dikloning dan diperbanyak dalam plasmid. Gen tersebut selanjutnya ditransfer ke organisme lain agar terintegrasi dalam genomnya melalui metode transfer gen yang sesuai. Organisme yang telah mengandung gen asing atau gen homolog yang dimasukkan secara buatan disebut sebagai ikan transgenik (Dunham 2004). Seperti yang dilaporkan oleh Volckaert et al. (1994) bahwa transfer DNA dari luar merupakan strategi yang baik dalam mempelajari regulasi dari ekspresi gen secara in vivo. Tahap pertama dalam penelitian ini adalah isolasi, karakterisasi, dan kloning promoter ProAV dan gen antivirus PmAV dari udang windu. Pemilihan promoter yang berasal dari udang windu didasarkan pada beberapa penelitian sebelumnya yang mengisyaratkan bahwa penggunaan promoter dari ikan akan lebih baik dibandingkan dengan promoter yang diisolasi dari hewan mamalia atau mikroorganisme (Alam et al. 1996; Hanley et al. 1998; Alimuddin et al. 2003). Penggunaan promoter dari udang masih sangat terbatas pada promoter β-aktin yang diisolasi dari udang vaname dan telah dilakukan uji aktivitasnya dengan menggunakan gen GFP dan gen TSV-CP pada embrio udang vaname (Sun et al. 2005; Lu & Sun 2005). Penggunaan promoter EF-1α dari udang Marsupenaeus japonicus (pJEF) yang digabungkan dengan gen GFP juga telah dilaporkan pada udang windu (Yasawa et al. 2005). Keberhasilan isolasi promoter ProAV dari udang windu memberikan harapan dalam menghasilkan konstruksi gen yang semuanya berasal dari udang (all-shrimp gene construct) dengan alasan seperti yang dijelaskan sebelumnya serta biosafety produk udang yang dihasilkan. Seperti halnya dengan promoter, gen antivirus PmAV juga telah berhasil diisolasi dari hepatopankreas udang windu. Penemuan tersebut memberikan keyakinan akan pembuatan konstruksi gen all-shrimp. Konstruksi gen yang dibuat dengan 78 menggabungkan promoter dan gen antivirus pada penelitian ini merupakan konstruksi gen all-shrimp pertama yang dilaporkan untuk digunakan dalam rangka produksi udang windu tahan penyakit. Keberhasilan produksi udang transgenik dipengaruhi oleh metode transfer gen yang dipilih. Metode transfer gen akan berpengaruh terhadap waktu dan biaya yang digunakan serta laju integrasi gen ke genom inang. Beberapa metode transfer gen yang dikembangkan pada mamalia telah diaplikasikan pada ikan. Metode yang umum digunakan untuk memproduksi ikan transgenik adalah mikroinjeksi. Meskipun demikian, elektroporasi, mediasi lewat sperma, gene-gun bombardment, dan transfeksi juga telah memperlihatkan efektivitasnya dalam transfer DNA ke genom ikan (Khoo 2000). Metode mikroinjeksi telah terbukti efektif dalam teknologi transgenesis pada ikan dengan mempertimbangkan ukuran telur yang relatif besar. Berbeda halnya dengan transgenesis pada krustase khususnya pada udang, beberapa peneliti telah mengkaji aplikasi beberapa metode transfer gen pada udang. Studi penggunaan tiga metode transfer gen yakni mikroinjeksi, elektroporasi, dan transfeksi gen pada udang vaname telah dilakukan oleh Sun et al. (2005). Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa metode transfeksi menunjukkan metode yang paling sesuai pada udang vaname berdasarkan alasan ukuran telur yang relatif kecil, daya tetas yang tinggi, serta dapat diaplikasikan dalam jumlah yang banyak. Dengan metode transfeksi menggunakan larutan jetPEI, daya tetas telur udang dapat mencapai 50-60%, jauh lebih besar dibandingkan dengan metode mikroinjeksi (3-5%) dan elektroporasi (25-35%). Demikian halnya dengan jumlah telur yang bisa diberi perlakuan adalah mencapai 50.000 telur untuk metode transfeksi, sedangkan metode elektroporasi hanya mencapai 15.000 telur dan mikroinjeksi 50 telur. Berdasarkan pertimbangan tersebut, metode transfer gen yang dipilih dalam penelitian ini adalah metode transfeksi menggunakan larutan jetPEI. Dengan metode tersebut, jumlah telur yang dapat diaplikasikan relatif lebih besar, tergantung kemampuan dan keahlian dalam penyediaan telur dalam jumlah yang banyak tetapi dalam waktu yang singkat. Pada penelitian ini, telur udang windu dapat dipadatkan sampai dengan konsentrasi 370 embrio/2 mL air laut. Berdasarkan pengamatan perkembangan sel pada embrio udang windu, formasi terbentuknya dua sel mulai terlihat pada 79 pengamatan 60 menit setelah pemijahan, pada suhu 27-29oC. Perkembangan sel dari embrio udang windu disajikan pada Lampiran 12. Oleh karena itu, pelaksanaan transfeksi sebaiknya dilakukan sebelum terbentuknya dua sel atau sebelum 60 menit setelah pemijahan. Hal yang relatif sama disarankan juga pada udang vaname, dimana pembentukan dua sel pada embrio mulai terjadi 55 menit setelah pemijahan sehingga transfeksi gen sebaiknya dilakukan sebelum waktu tersebut atau lebih baik lagi jika dilakukan sebelum terbentuknya lapisan jeli pada permukaan telur vaname yang terjadi 13 menit setelah pemijahan (Sun et al. 2005). Meskipun demikian, Sun et al. (2005) menambahkan bahwa lapisan jeli pada permukaan telur udang vaname masih dapat ditembus oleh larutan transfeksi jetPEI, namun efisiensi masuknya gen relatif rendah dibandingkan dengan fase sebelum terbentuknya jeli. Arenal et al. (2008) telah berhasil mengatasi masalah terbentuknya lapisan jeli pada udang vaname dengan cara perendaman telur selama 5 menit pada larutan urea 3 g/L air laut sebelum dilakukan transfer gen. Meskipun belum diketahui dengan pasti apakah telur udang windu juga memiliki lapisan jeli seperti vaname, tetapi antisipasi tersebut dapat dilakukan dengan mempercepat pelaksanaan transfeksi atau menggunakan larutan urea seperti yang disarankan pada udang vaname. Selain metode transfeksi, particle gun bombardment juga berpotensi untuk digunakan dalam transfer gen pada udang, karena dapat dilakukan dalam jumlah telur yang banyak yakni 8.300-13.480 telur dibandingkan dengan mikroijeksi sekitar 204-580 telur, dengan daya tetas yang relatif tinggi (29,8-60,3%) dibandingkan dengan mikroinjeksi yang hanya 17,620,1% (Yazawa et al. 2005). Seperti halnya dengan metode transfer gen, pemilihan larutan transfeksi merupakan hal yang perlu dipertimbangkan. Larutan transfeksi yang dipilih sebaiknya tersedia luas secara komersil, mudah diaplikasikan, memiliki kemampuan delivery yang tinggi, dan tidak bersifat toksik terhadap embrio maupun terhadap pengguna. Dengan pertimbangan tersebut, larutan transfeksi jetPEI digunakan dalam penelitian ini. Larutan tersebut tersedia secara komersil dan telah digunakan secara luas. Penggunaan jetPEI telah dilaporkan oleh Sun et al. (2005) dengan laju efisiensi transfer gen yang tinggi seperti yang dijelaskan sebelumnya. Toksisitas larutan tersebut juga dilaporkan sangat rendah (Horbinski 80 et al. 2001) dan mudah mengalami degredasi secara alami (Ahn et al. 2002). Hasil penelitian ini juga membuktikan bahwa larutan jetPEI tersebut tidak memperlihatkan toksisitas pada embrio baik pada uji aktivitas promoter maupun pada transfeksi gen antivirus. Pembuktian tersebut dilakukan dari hasil pengamatan daya tetas embrio udang windu pada perlakuan transfeksi dengan menggunakan kontrol positif (tanpa konstruksi gen) dan kontrol negatif (tanpa larutan tranfeksi dan konstruksi gen), dimana derajat penetaan embrio antara ketiga perlakuan tersebut tidak memperlihatkan perbedaan yang nyata (P>0,05) (lihat Bab IV dan V). Hal ini menunjukkan bahwa dosis jetPEI dan DNA yang digunakan tidak mempengaruhi daya tetas embrio udang windu. Hasil tersebut memberikan peluang besar dalam pengembangan teknologi transgenesis pada udang dengan menggunakan metode larutan transfeksi karena tidak membahayakan embrio udang windu. Meskipun demikian penggunaan larutan transfeksi dan DNA konstruksi pada dosis yang lebih tinggi masih perlu dikaji untuk mengetahui ambang batas yang membahayakan pada embrio udang windu. Selain itu, penggunaan dosis lebih rendah juga perlu diteliti dengan pertimbangan efisiensi biaya. Tahap penelitian selanjutnya setelah pembuatan konstruksi gen adalah pengujian aktivitas promoter. Penemuan GFP atau gen berpendar lainnya merupakan awal berkembangnya pengujian transfer gen ke embrio khususnya pada analisis aktivitas sebuah promoter secara in vivo. Pengujian aktivitas promoter umumnya dilakukan dengan cara introduksi konstruksi gen promoter yang telah disambungkan dengan gen penanda misalnya GFP sehingga ekspresi sementaranya dapat diamati (Takagi et al. 1994, Muller et al. 1997, Hamada et al. 1998, Alimuddin 2003, Kobolak & Muller 2003, Maclean et al. 2002, Kato et al. 2007). Oleh karena itu, untuk mengetahui aktif atau tidaknya promoter antivirus yang telah diisolasi dari udang windu, uji aktivitas promoter pada embrio dan larva udang windu dilakukan dengan memanfaatkan gen berpendar EGFP sebagai gen penanda. Untuk tujuan tersebut, telah dibuat konstruksi gen promoter ProAV yang disambungkan dengan gen EGFP (pProAV-EGFP). Promoter ProAV dalam penelitian ini menunjukkan aktivitasnya dalam meregulasi ekspresi gen EGFP. Masuknya gen EGFP dalam embrio udang windu 81 merupakan suatu keberhasilan awal dalam rangka transfer gen target yang akan dilakukan pada tahap berikutnya. Kemampuan promoter mengatur ekspresi gen EGFP tidak terlepas dengan keberadaan beberapa elemen penting regulator atau dikenal dengan faktor transkripsi. Keberadaan faktor transkripsi seperti kotak TATA, MRE, TCF-1, SP-1, GAL-4, dan GATA-1 merupakan elemen penting yang berperan dalam keberhasilan promoter mengatur ekspresi gen target (lihat Bab II). Promoter umumnya memiliki elemen TF penting yang berfungsi dalam peningkatan ekspresi dengan stimulasi gen target, dan pengaturan ekspresi sementara, serta pengarahan proses transkripsi berlangsung pada posisi yang benar (Takagi et al. 1994). Analisis ekspresi gen EGFP pada embrio dan larva udang windu memberikan bukti utama aktifnya promoter antivirus ProAV. Selain alasan keberadaan beberapa TF, aktifnya promoter disebabkan karena promoter antivirus yang diintroduksikan merupakan promoter yang diisolasi dari udang windu. Selain TF, keberadan sekuen mikrosatelit dalam promoter akan berpengaruh pada aktivitas promoter. Walaupun mekanisme hambatan sekuen mikrosatelit terhadap aktivitas promoter tidak diketahui dengan pasti, uji aktivitas secara in vitro menunjukkan bahwa promoter yang mengandung sekuen mikrosatelit memberikan efek negatif dalam aktivitas promoter untuk mengekspresikan gen target (Luo et al. 2007). Karena itu, promoter yang digunakan dalam penelitian ini adalah promoter antivirus yang tidak mengandung sekuen mikrosatelit dengan menggunakan primer forward yang didesain khusus setelah sekuen mikrosatelit. Di lain pihak, sekuen mikrosatelit dewasa ini sudah mulai digunakan sebagai DNA marker untuk mengidentifikasi udang tahan penyakit. Mukherjee & Mandal (2009) telah melaporkan bahwa marker DNA mikrosatelit dapat digunakan untuk membedakan udang windu yang resisten dengan yang tidak resisten. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa udang yang resisten tidak memiliki fragmen DNA mikrosatelit dengan panjang sekuen sekitar 71 bp, dan sebaliknya fragmen tersebut ada pada udang yang tidak resisten. Hal ini berimplikasi bahwa DNA marker tersebut dapat digunakan sebagai marker pembantu dalam seleksi (marker assisted selection, MAS) pada program pemuliaan udang windu dalam menghasilkan udang resisten penyakit. Walaupun 82 tidak diketahui dengan jelas penyebab kealfaan fragmen DNA tersebut pada udang resisten, DNA mikrosatelit diduga memiliki peran penting dalam gen udang resisten penyakit atau regulasi dari gen yang terkait dengan imunitas udang. Hasil uji aktivitas promotor pada penelitian ini merupakan acuan dalam melaksanakan tahapan penelitian selanjutnya yakni transfer gen antivirus PmAV pada embrio udang windu. Konstruksi gen dibuat dengan menggabungkan promoter dengan gen antivirus (pProAV-PmAV) untuk tujuan analisis ekspresi gen antivirus pada udang windu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekspresi gen antivirus PmAV pada embrio dan larva udang windu memperlihatkan pola yang mirip dengan pola ekspresi gen EGFP. Hal ini disebabkan karena promoter yang digunakan sebagai pengendali ekspresi gen PmAV dan EGFP adalah sama. Tingkat ekspresi gen antivirus PmAV masih rendah sampai dengan 12 jst, mencapai level tertinggi pada jam ke-24 jst atau satu hari setelah transfeksi, dan menurun pada 30 jst. Pola ekspresi yang relatif sama didapakan pada beberapa spesies ikan yang berbeda (Hamada et al. 1998; Ath-thar 2007; Purwanti 2007). Sampai saat ini, analisis gen antivirus PmAV secara in vivo belum pernah dilaporkan. Keberhasilan transfer gen antivirus PmAV ke embrio udang windu pada penelitian ini merupakan yang pertama kali dilakukan. Penelitian sebelumnya masih terbatas pada kajian in vitro. Luo et al. (2003) pertama kali memperkenalkan gen antivirus PmAV yang dilibatkan dalam resistensi udang windu terhadap virus. Penelitian yang dilakukan tersebut memberikan gambaran kunci dalam mempelajari imunitas non-spesifik pada udang yang akan bermanfaat dalam pengendalian penyakit akibat serangan virus. Hal tersebut dibuktikan dengan tingginya aktivitas protein rekombinan PmAV dalam menghambat infeksi virus pada kultur sel ikan. Hasil analisis DNA genom pada penelitian ini menunjukkan bahwa persentase udang windu F0 yang membawa gen PmAV adalah 37,5-75,0%. Masuknya gen antivirus adalah merupakan indikator utama keberhasilan introduksi gen asing ke dalam embrio udang windu. Efisiensi transfer gen sangat tergantung dari metode transfer dan spesies yang digunakan. Laju transfer gen pada udang kuruma Marsupenaeus japonicus relatif rendah yakni 1% untuk metode mikroinjeksi dan 0,42% untuk metode particle-bombardment. 83 Keberhasilan mengintroduksi gen asing ke embrio udang putih L. schmitti sekitar 36% dengan metode elektroporasi (Arenal et al. 2008). Efisiensi introduksi gen TSV-CP yang relatif tinggi (72%) telah dilaporkan oleh Sun et al. (2005) pada udang vaname L. vannamei dengan menggunakan metode transfeksi. Selanjutnya, dengan metode elekroporasi, Tseng et al. (2000) telah membuktikan bahwa transfer gen BAP (bacterial alkaline phosphatase) dapat terintegrasi dalam DNA genom udang windu, dimana laju integrasi gen tersebut dapat mencapai 31%. Oleh karena itu, berdasarkan hasil penelitian ini dan beberapa penelitian sebelumnya, transfer gen asing ke embrio udang tidak lagi merupakan kendala dalam pengembangan produksi udang transgenik di masa mendatang. Introduksi gen PmAV merupakan salah satu upaya yang dilakukan untuk meningkatkan resistensi udang windu dalam melawan patogen termasuk WSSV yang merupakan penyebab utama penyakit virus di Indonesia. Untuk mengetahui ketahanan udang windu transgenik F0, maka dilakukan uji tantang dengan WSSV dengan mengamati kelangsungan hidup dan analisis ekspresi gen antivirus PmAV. Resistensi yang tinggi pada udang windu transgenik telah dibuktikan pada penelitian ini. Ketika ditantang dengan WSSV, udang transgenik dapat bertahan hidup dari serangan virus tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol. Perbedaan tersebut diduga akibat adanya suatu bentuk pertahanan imunitas udang windu yang disebabkan oleh penambahan imun antivirus melalui transfer gen antivirus PmAV. Pembuktian tersebut tidak hanya terbatas pada pengamatan kelangsungan hidup, tetapi juga analisis ekspresi gen antivirus pada udang windu transgenik (lihat Bab V). Peningkatan kelangsungan hidup udang transgenik dapat mencapai 24,5% dibandingkan dengan kontrol. Peningkatan resistensi ikan atau udang yang telah diintroduksi gen pengkode ketahanan tubuh (imunitas) telah dilaporkan oleh beberapa peneliti sebelumnya. Anderson et al. (1996) telah melaporkan potensi peningkatan ketahanan penyakit virus pada ikan rainbow trout Onchorhynchus mykiss. Resistensi yang tinggi terhadap serangan bakteri pada ikan transgenik telah dilaporkan pada ikan channel catfish (Dunhan et al. 2002), ikan medaka (Sarmasik et al. 2002), dan ikan salmon (Austin & AllenAustin 1985; Traxler et al. 1999). Oleh karena itu, pencarian gen-gen pengkode antibakteri semakin intensif dilakukan (Steiner et al. 1981; Bevins & Zasloff 84 1990; Lehrer et al. 1993; Boman 1996; Hoffmann et al. 1996; Hancock 1997) sebagai bahan utama dalam pembuatan konstruksi gen untuk mendukung aplikasi teknologi transgenesis di masa mendatang. Pada udang, peningkatan resistensi melalui teknologi transgenesis masih terbatas. Keberhasilan dalam mengisolasi gen pengkode antimikroba penaeidin dari beberapa spesies krustase merupakan tahap awal dalam upaya peningkatan immunitas udang melawan serangan patogen penyebab infeksi penyakit. Destoumieux et al. (1997) melaporkan bahwa aplikasi penaeidin telah memperlihatkan efek peningkatan resistensi pada udang vaname. Selain itu, pendekatan lain dalam upaya peningkatan imunitas udang telah dilakukan melalui teknologi vaksinasi dan imunostimulasi baik menggunakan rekombinan DNA atau protein virus WSSV pada udang P. chinensis maupun menggunakan RNA untai ganda (dsRNA) pada udang vaname. Selanjutnya penelitian peningkatan ketahanan terhadap penyakit pada udang vaname telah dilakukan oleh Lu & Sun (2005) dengan mengintroduksi gen TSV-CP sehingga dapat meningkatkan resistensinya terhadap penyakit serangan virus TSV sampai dengan 39%. Hasil tersebut berimplikasi akan besarnya potensi pengembangan udang transgenik di masa mendatang, yang akan berguna dalam peningkatan kelangsungan hidup udang windu yang akhirnya dapat menyebabkan peningkatan produksi udang windu. Dunham (2009) menyatakan bahwa keuntungan teknologi transgenesis untuk memproduksi ikan resisten terhadap penyakit (innately diseases-resistant fish) adalah tidak diperlukan biaya dan tenaga yang lebih besar dalam menyediakan imunisasi spesifik untuk setiap patogen sehingga menawarkan potensi ekonomi pada industri akuakultur. Meskipun demikian, mekanisme molekular dari respons imun antivirus pada krustase belum banyak diketahui secara pasti dan menyeluruh (Liu et al. 2009), sehingga penelitian yang lebih mendalam masih perlu dilakukan agar pendekatan ini dapat digunakan dalam mengatasi masalah penyakit pada udang windu. Teknologi transgenesis memberikan peluang besar dalam mengembangkan strain yang memiliki resistensi yang tinggi terhadap patogen penyebab penyakit. Saat ini, perbaikan genetik induk udang pada akuakultur umumnya dilakukan melalui teknik pemijahan selektif secara tradisional seperti seleksi, 85 perkawinan silang, dan hibridisasi (Liu & Corder 2004). Penggunaan marker DNA dan manipulasi gen belum banyak dilakukan dalam industri akuakultur. Salah satu teknik yang memiliki potensi adalah penggunaan DNA marker sebagai alat bantu dalam program seleksi atau lebih dikenal dengan istilah MAS. Implikasi lain dari hasil penelitian ini adalah peluang penggunaan gen antivirus PmAV yang diekspresikan oleh udang tahan penyakit dijadikan sebagai MAS untuk kegiatan seleksi udang windu. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa udang yang memiliki resistensi yang tinggi terhadap serangan penyakit virus (udang yang lolos dari serangan WSSV) memiliki kemampuan untuk mengekspresikan gen antivirus PmAV lebih baik dibandingkan dengan udang windu lainnya. Keberadaan fragmen cDNA pada posisi sekitar 513 bp dapat dijadikan sebagai marker DNA udang resisten dalam program seleksi. Ekspresi gen tersebut sangat tinggi pada hepatopankreas sehingga deteksi gen antivirus PmAV sangat sulit dilakukan jika sampel udang dipertahankan untuk tetap hidup. Pengembangan metode ekstraksi RNA pada beberapa organ udang perlu dilakukan tanpa menyebabkan kematian udang, misalnya melalui otot atau jaringan lain. Luo et al. (2007) melaporkan bahwa ekspresi gen antivirus PmAV pada hepatopankreas 700 kali lebih tinggi dibandingkan di otot, tetapi gen tersebut juga dapat diekspresikan pada haemosit (2,8 kali), usus (7,4 kali), dan insang (12,9 kali). Oleh karena itu, ekstraksi RNA melalui jaringan otot memberikan harapan yang dapat dilakukan untuk menjadikan gen antivirus PmAV sebagai MAS pada program pemuliaan udang windu. Meskipun saat ini ikan dan udang transgenik belum dilaporkan sebagai spesies yang diproduksi secara komersil, kemanjuran dan potensi aplikasi yang besar pada teknologi transfer gen telah memperlihatkan hasil yang menggembirakan (Maclean & Penman 1990; Khoo 2000). Hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa udang windu transgenik memiliki daya tahan yang tinggi terhadap infeksi virus WSSV dan memiliki pertumbuhan yang relatif sama dengan non-transgenik. Hal tersebut berimplikasi bahwa pemeliharaan udang windu transgenik diduga dapat membangkitkan kembali kejayaan budidaya udang windu Indonesia di masa datang. Namun demikian, untuk mencapai tujuan tersebut, berbagai penelitian lebih lanjut diperlukan seperti produksi transgenik homosigot 86 dan uji daya tahan terhadap berbagai jenis virus. Untuk mencapai sasaran utama dalam produksi udang windu tahan penyakit, beberapa tahapan penelitian masih harus dilanjutkan. Identifikasi udang transgenik yang membawa gen antivirus PmAV perlu dilakukan pada gamet untuk meyakinkan akan terintegrasinya gen target yang dimasukkan ke generasi berikutnya. Produksi udang windu transgenik F1 dan generasi selanjutnya perlu dilakukan, termasuk produksi transgenik homosigot yang berguna dalam produksi masal udang transgenik. Selain itu, perlu dilakukan uji tantang udang transgenik dengan berbagai virus atau bakteri yang biasa menyerang udang windu, untuk mengatahui performa udang windu transgenik dalam melawan berbagai jenis patogen penyebab penyakit.