170 KONSERVASI TANAH BERBASIS EROSI DI KAWASAN TAMAN HUTAN RAYA (TAHURA) NIPA-NIPA KOTA KENDARI Oleh: Djafar Mey 1) ABSTRACT Area Tahura Nipa-Nipa with a width of 8.146 ha has potency natural resources in the form of floral species diversity and fauna, ecosystem type and object wisata nature that is enough interesting and is habitat for various animal types protected by law, if its the exploiting unmatched to its the function will cause soil damage and erosion. This research aim to calculate potential erosion and erosion enabled as base in determining alternative of soil conservation technique in area Tahura Nipa-Nipa. This research applies ecological approach, the execution using survey method, for observation and measurement of character data physical of land and soil is done intensively by using land unit approach, what compiled to form of region, slope, geology, soil, and land use. Data applied in the form of primary data and secondary data, laboratory analysis, and climate data. Analysis calculation erosion applies USLE method, erosion is enabled with Wood and Dent method, and determination of conservation technique with komparative method between potential erosions with erosion is enabled after given by treatment. Result of research indicates that in general all the land units in area Tahura Nipa-Nipa has big overpotential erosion from erosion is enabled, so that alternative of conservation technique to depress erosion speed that is : afforestation, bench terrace, reboisation and cultivation of contour line concurrent. Key words: Erosion, Conservation, Land, USLE Method. PENDAHULUAN Lahan merupakan bagian dari bentang alam (landscape) yang mencakup pengertian lingkungan fisik termasuk iklim, topografi/relief, hidrologi bahkan keadaan vegetasi alami (natural vegetation) yang semuanya secara potensial akan berpengaruh terhadap penggunaan lahan (FAO, 1976 dalam Mey, 2007). Sedangkan penggunaan lahan adalah ekspresi dari aktivitas manusia dalam mengelola ekosistem yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (Vink, 1981). Pemanfaatan lahan yang tidak efisien dan tidak sepadan dengan fungsinya dapat menimbulkan pemborosan alokasi lahan, meningkatkan jumlah lahan terlantar, kerusakan tanah, kemerosotan produktivitas tanah, serta tidak dapat dihindari akibat yang lebih jauh seperti terjadinya bahaya tanah longsor, banjir, dan erosi pada musim hujan (Mey, 2004). Kejadian erosi sangat terkait dengan kondisi iklim, dimana variasi temperatur, perubahan waktu dan ruang, mempengaruhi secara relatif merubah gejala proses-pola pada skala tertentu. Pola-pola regional dari kesan erosi permukaan lahan tersebut dapat dipetakan dengan menggunakan Model Campuran Spektral Data, jika dalam analisanya menggunakan parameter yang berorientasi pada daerah erosi tanah (Metternicht dan Fermont, 1998). Penilaian secara akurat tentang erosi tanah karena air adalah sangat penting di dalam konteks-konteks lingkungan, seperti penilaian dari kehilangan tanah potensial suatu wilayah yang ditanami, dan evaluasi hilangnya kapasitas simpan air di dalam reservoir-reservoir karena sedimentasi (Amore dkk., 2004). Tekanan masa depan untuk memperluas lahan pertanian dan padang penggembalaan tidak dapat dipungkiri akan meningkatkan pemuatan sedimen erosi tanah dan resultan air yang terjadi pada suatu daerah aliran sungai (Millward dkk., 1999). Dengan simulasi model MUSLE di China, Fontes dkk. (2004) menyatakan bahwa curah hujan dengan aliran yang mantap mampu meningkatkan dari 1% menjadi 17% dari lahan padang penggembalaan ke lahan terbuka, menghasilkan peningkatan sedimen yang kontras dari <5 kg ha-1 thn-1 di bawah padang penggembalaan, menjadi hampir 15 ton ha-1 thn-1 ) Staf Pengajar PadaAGRIPLUS, Jurusan Agroekoteknologi Fakultas Pertanian Kendari. Volume 20 Nomor : 02Universitas Mei 2010,Haluoleo, ISSN 0854-0128 1 170 171 selama periode 8 bulan ketika lahan menjadi terbuka. Shrestha (1997), menyatakan bahwa dengan model USLE dapat diprediksi tanah yang tererosi pada lahan hutan lebat yaitu sebesar 56 ton ha-1 thn-1, lahan penggembalaan 8 ton ha-1 thn-1, dan lahan pertanian tadah hujan 56 ton ha-1 thn-1. Riset tentang erosi dan sedimentasi juga dilakukan oleh Legowo (2005) di Danau Limboto dengan menggunakan model simulasi Water Erosion GeoWEPP (Geo-spasial Prediction Project). Hasil penelitian menunjukkan bahwa sedimentasi di dalam Danau Limboto terus berlangsung secara intensif dan selalu meningkat dari tahun ke tahun, menyebabkan pendangkalan sehingga mempengaruhi kapasitas tampung danau dan menyusutnya luas perairan. Kondisi tersebut tidak terlepas dari kondisi DAS Limboto sendiri yang semakin kritis, yaitu telah terjadi laju erosi 44,69 ton ha-1 thn-1 atau 3,72 mm thn-1, deposisi sedimen pada DAS Limboto sebesar 2,94 ton ha-1 thn-1 atau 0,245 mm ha-1, dengan Sediment yield 41,75 ton ha-1 thn-1 atau 3,48 mm thn-1 (Legowo, 2005). Kondisi DAS Limboto ini juga mempunyai kemiripan dengan kondisi Tahura Nipa-Nipa yang makin hari makin mengalami erosi dan sedimennya terangkut ke perairan teluk dan menyebabkan pendangkalan pada Teluk Kendari. Kawasan Hutan Nipa-Nipa seluas 8.146 ha ditetapkan sebagai Taman Hutan Raya (Tahura) berdasarkan SK Menteri Kehutanan Nomor 289/Kpts-II/95 tanggal 12 Juni 1995. Hal ini dikarenakan hutan Gunung Nipa-Nipa memiliki potensi sumberdaya alam berupa keanekaragaman jenis flora dan fauna, tipe ekosistem dan obyek wisata alam yang cukup menarik serta merupakan habitat bagi berbagai jenis satwa yang dilindungi undang-undang. Dengan demikian Tahura Nipa-Nipa berfungsi sebagai kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan atau satwa bagi kepentingan penelitian, pendidikan, ilmu pengetahuan, menunjang budidaya, budaya, pariwisata dan rekreasi alam. Disisi lain Tahura juga memberikan manfaat langsung untuk masyarakat Kendari di sekitar kawasan, yakni sebagai penyedia/sumber air bersih. Seiring dengan kemajuan pembangunan dan perkembangan ekonomi masyarakat Kota Kendari yang terus meningkat, kebutuhan masyarakat juga turut meningkat yang menyebabkan terancamnya fungsi Tahura dan kelestarian Teluk Kendari. Secara umum jumlah penduduk Kota Kendari yang merupakan Daerah Tangkapan Air (DTA) Teluk Kendari sebesar 251.477 jiwa (BPS, 2007), dengan pertumbuhan penduduk 4,52% per tahun. Jumlah dan pertumbuhan penduduk tersebut baik langsung maupun tidak langsung akan menimbulkan dampak bagi Teluk Kendari, terutama peningkatan aktivitas pembangunan, perubahan pola penggunaan lahan, kadang-kadang memanfaatkan lokasi yang berada pada ketinggian dan kemiringan dengan mengeruk bukit, dan pembangunan perumahan real estate di sekitar Teluk Kendari juga semakin pesat, dapat diperkirakan bahwa sedimen maupun limbah dari pemukiman, volume sampah baik organik maupun anorganik dari rumah tangga, rumah makan, hotel, industri, aktivitas perdagangan (pasar) dan aktivitas swasta akan sangat tinggi apabila tidak dikelola secara baik. Iswandi (2004), menyatakan bahwa sedimen yang terangkut ke Teluk Kendari sebesar 195.352 ton/thn, dengan sedimentasi total yang terjadi rata-rata 760.040 m3 thn-1 (kejadian tahun 1995-2000) dengan rincian sebagai berikut: (1) sedimentasi akibat dari erosi lahan sebesar 148.466 m3 tahun-1, (2) sedimentasi dari bahan sampah sebesar 40.087 m3, (3) sedimentasi akibat aktivitas pembangunan sebesar 571.487 m3 (tahun 2000). Berdasarkan kondisi tersebut dapat diketahui bahwa aktivitas pembangunan mempunyai kontribusi terbesar dalam pendangkalan Teluk Kendari yaitu 75,19%, sedangkan sedimentasi dari erosi lahan 19,53% dan dari sampah 5,27%. Akibat dari pendangkalan Teluk Kendari tersebut secara fisik menyebabkan: (1) kualitas dan volume air di perairan Teluk Kendari menurun, (2) berkurangnya populasi dan keanekaragaman hayati biota perairan Teluk Kendari, dan (3) terjadi kerusakan vegetasi mangrove. Untuk meminimalisir kerusakan ini, maka perlu dilakukan konservasi tanah berbasis erosi pada kawasan Tahura Nipa-Nipa. AGRIPLUS, Volume 20 Nomor : 02 Mei 2010, ISSN 0854-0128 172 Hasil observasi lapangan menunjukkan bahwa permasalahan yang menjadi faktor pemicu terjadinya erosi di dalam kawasan Tahura Nipa-Nipa adalah: (1) penyerobotan kawasan untuk pemukiman dan perladangan pada lahan yang berlereng terjal, tanpa memperhatikan aspek konservasi tanah dan air, (2) pengambilan kayu tak terencana, baik untuk dikonsumsi sendiri maupun untuk diperjualbelikan, (3) pemungutan kayu bakar secara tidak terkendali dengan rata-rata tebangan pohon berdiameter 3-8 cm. Kondisi ini akan mempengaruhi kondisi hidrologi kawasan Tahura Nipa-Nipa, dan jika tidak ditangani dengan serius akan dapat menyebabkan terjadinya peningkatan laju erosi yang berakibat pada percepatan pendangkalan Teluk Kendari. Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, maka perlu dilakukan penelitian tentang konservasi tanah di kawasan Tahura Nipa-Nipa Kota Kendari. Penelitian ini bertujuan: (1) menghitung erosi potensial dan erosi terbolehkan di kawasan Tahura Nipa-Nipa, (2) menentukan alternatif teknik konservasi tanah di kawasan Taman Hutan Raya Nipa-Nipa. METODOLOGI Populasi dan Sampel Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh satuan lahan yang ada di kawasan Tahura Nipa-Nipa sedangkan sampel adalah satuan lahan terpilih sebagai obyek pengamatan dan pengukuran, dilakukan secara purposive sampling dengan memperhatikan homogenitas dari populasi, yaitu: bentuk wilayah, lereng, geologi, tanah, dan penggunaan lahan. Berdasarkan kondisi tersebut diperoleh 14 satuan lahan sebagai sampel pewakil. Bahan dan Alat Penelitian Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: (1) Peta-peta tematik berupa : Peta Topografi/RBI, Peta Lereng, Peta Tanah, Peta Geologi, Peta Penggunaan Lahan, Peta TGHK, Peta Kerja Lapang (Peta Satuan Lahan); (2) Data sekunder berupa hasil-hasil penelitian terdahulu di Kawasan Tahura Nipa-Nipa, (3) Bahan perlengkapan survei berupa : Larutan peroksida (H2O2 10%) untuk identifikasi kandungan bahan organik, larutan asam klorida (HCL 2%) untuk identifikasi kandungan kapur, kartu deskripsi lahan dan tanah, kantung plastik dan label sampel tanah, serta (5) Bahan-bahan untuk analisis sampel tanah di Laboratorium. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah: (1) Alat-alat untuk pembuatan peta kerja lapangan yaitu rapidograf, mistar penggaris, mistar sablon, dan lain-lain; (2) Alatalat untuk pengamatan di lapangan, yaitu: a) Kompas, untuk petunjuk arah mata angin, b) Altimeter, untuk mengukur ketinggian tempat dari muka laut, c) Abney level, untuk mengukur kemiringan lereng, d) Rol meter, untuk mengukur panjang lereng erosi, panjang dan lebar sungai, serta tinggi perimeter sungai, e) Bor untuk identifikasi sifat fisik tanah dan mengukur kedalaman efektif tanah, parang dan pisau lapang; f) GPS untuk menentukan posisi koordinat, g) Ring sample untuk pengambilan sampel tanah utuh dalam pengukuran permeabilitas tanah, dan h) Alat tulis lainnya; (3) Perlengkapan laboratorium, untuk analisis sifatsifat tanah seperti; tekstur tanah, permeabilitas tanah, dan C-organik; dan (4) Seperangkat komputer untuk penyusunan naskah laporan dan pembuatan peta digital. Metode Penelitian ini menggunakan pendekatan ekologis (ecological approach), tema analisisnya Physico natural features-Environment Analysis dengan penekanan utama pada keterkaitan antara kenampakan fisikal alami dengan elemennatural elemen lingkungannya (physico features–environment interactions). Pelaksanaannya menggunakan metode survei, untuk pengamatan dan pengukuran data sifat fisik lahan dan tanah dilakukan secara intensif dengan menggunakan pendekatan satuan lahan (land unit), yang disusun atas bentuk wilayah, lereng, geologi, tanah, dan penggunaan lahan. Data dalam penelitian ini menggunakan berbagai data sekunder yang berasal dari instansi-instansi terkait (survei instansional) dan data primer yang diukur secara langsung di lapangan dan analisis laboratorium, data iklim AGRIPLUS, Volume 20 Nomor : 02 Mei 2010, ISSN 0854-0128 173 dicatat pada Monginsidi. stasiun klimatologi Wolter Tahap persiapan penelitian Pada tahap ini kegiatan yang dilakukan adalah: a) mengadakan studi kepustakaan, pengumpulan data dan informasi berupa petapeta tematik dari instansi terkait, dan data iklim. b) Membuat peta kerja lapangan dalam bentuk Peta Satuan Lahan skala 1 : 50.000, dengan cara overlay peta-peta tematik. Teknik pengkodean satuan lahan dibuat dengan menggunakan angka arab berdasarkan persamaan sifat satuan tanah, lereng, geologi dan penggunaan lahan, lalu menentukan satuan-satuan lahan yang menjadi sampel area dan data yang dibutuhkan dalam survei lapangan, dan pengamatan secara intensif dilakukan pada sampel area tersebut. c) Pengadaan atau penyiapan bahan dan alat observasi lapang, d) Pengadaan logistik untuk keperluan kegiatan survei lapangan dan persiapan administrasi untuk analisis tanah di laboratorium. Tahap pengumpulan data Pada tahap ini kegiatan yang dilakukan yaitu: (1) melakukan pengamatan terhadap karakteristik lahan, meliputi: (a) pemantapan batas satuan lahan daerah penelitian berdasarkan hasil observasi lapangan, (b) Pengamatan vegetasi dan penggunaan lahan dilaksanakan di lapangan yang meliputi pengamatan jenis penggunaan lahan dan jenis vegetasi, (c) pengumpulan data iklim (temperatur udara, curah hujan, hari hujan, dan kelembaban udara), dicatat pada Stasiun Meteorologi Lanud Wolter Monginsidi, (d) pengukuran panjang lereng erosi, kemiringan lereng, pengamatan penggunaan lahan dan vegetasi, untuk kajian erosi; dan (2) Pengamatan karakteristik tanah, meliputi: (a) pemboran tanah dilakukan sedalam 120 cm dan pembuatan profil pit pewakil sedalam 150-200 cm atau sampai lapisan bahan induk. Sifat-sifat yang diamati dan diteliti adalah tekstur tanah, struktur tanah, konsistensi tanah, warna tanah, kedalaman tanah, (b) pengambilan contoh tanah meliputi: (1) Contoh tanah komposit untuk penilaian tekstur tanah dan Corganik, (2) Contoh tanah utuh diambil dengan ring sampel standar untuk penilaian permeabilitas tanah. Sifat tanah yang dianalisis di laboratorium yaitu : Tekstur tanah dengan metode pipet, permeabilitas tanah dengan metode double ring, bahan organik (C-organik) dengan metode Kjeldahl. Tahap pengolahan data Prediksi erosi potensial dilakukan pada setiap sampel area dengan menggunakan rumus Universal soil loss equation (USLE) oleh Wischmeier dan Smith, (dalam Morgan, 1995) sebagai berikut: A = R.K.L.S.C.P; dimana A adalah besarnya erosi yang akan terjadi (ton hektar-1 tahun-1), R adalah indeks faktor erosivitas hujan, K adalah indeks faktor erodibilitas tanah, L adalah indeks faktor panjang lereng, S adalah indeks faktor kemiringan lereng, C adalah indeks faktor pengelolaan tanaman, dan P adalah indeks faktor teknik konservasi tanah yang dilakukan. Indeks faktor erosivitas hujan (R). Indeks faktor erosivitas curah hujan (R) ditentukan dengan menggunakan persamaan Bols dalam Seta (1991) yaitu R = Σ EI30 = 6,119 R1,21 x D-0,47 x M0,53, dimana EI30 adalah indeks erosi hujan bulanan, R adalah curah hujan ratarata bulanan (cm), D adalah jumlah hari hujan rata-rata per bulan, dan M adalah curah hujan maksimum selama 24 jam dalam bulan bersangkutan. Faktor erodibilitas (K). Indeks faktor erodibilitas tanah (K), ditentukan dengan menggunakan persamaan yang dikembangkan oleh Wischmeier dan Smith (dalam Arsyad, 1989) yaitu : 100K = 1,292 (2,1M1,14(10-4)(12-a) + 3,25(b-2) + 2,5(c-3), dimana M = % (pasir sangat halus + debu) x (100-% liat), a=% bahan organik, b=kode struktur tanah, c=kelas permeabilitas tanah. Faktor panjang dan kemiringan lereng (LS). Faktor kemiringan lereng dan panjang lereng (LS) merupakan nisbah antara erosi tanah dengan suatu panjang lereng tertentu terhadap erosi dari tanah dengan panjang lereng 22,1 meter dan kemiringan 9 persen di bawah keadaan identik. Faktor LS dapat ditentukan berdasarkan data hasil pengukuran panjang dan kemiringan lereng menggunakan persamaan Wischmeier dan Smith (dalam Arsyad, 1989) AGRIPLUS, Volume 20 Nomor : 02 Mei 2010, ISSN 0854-0128 174 dengan persamaan: LS = √X(0,0138+0,00965S+ 0,00138S2), dimana LS = faktor kelerengan, X = panjang lereng (m), S = kemiringan lereng (%). Indeks faktor pengelolaan tanaman (C). Pengelolaan tanaman (C) merupakan nisbah antara tanah yang hilang pada pengelolaan tanaman tertentu dengan tanah yang hilang tanpa tanaman. Nilai C ditentukan berdasarkan nilai C hasil penelitian terdahulu. Faktor teknik konservasi tanah (P). Teknik konservasi tanah (P) merupakan nisbah antara tanah yang hilang dari suatu tindakan pengelolaan lahan dengan teknik konservasi tanah tertentu seperti teras, penanaman sejajar kontur, dan sebagainya dengan tanah yang hilang tanpa teknik konservasi. Nilai P ditentukan berdasarkan nilai P hasil penelitian terdahulu. Erosi yang ditoleransikan (ETOL) Erosi yang dapat ditoleransikan (ETOL) ditetapkan dengan menggunakan persamaan yang dikemukakan oleh Wood dan Dent dalam Hardjowigeno dan Sukmana (1995) yang memperhatikan kedalaman tanah minimum dan kecepatan proses pembentukan tanah dengan persamaan sebagai berikut : ETOL = DE - DMIN / MPT – LPT, dimana, DE = kedalaman tanah efektif (cm) x nilai faktor kedalaman; DMIN = kedalaman tanah minimum (cm); MPT = masa pakai tanah (tahun); dan LPT = laju pembentukan tanah (mm thn-1). Nilai faktor kedalaman ditentukan berdasarkan tabel nilai faktor kedalaman beberapa sub-order tanah yang dikeluarkan oleh Hammer (dalam Hardjowigeno dan Sukmana, 1995). Kedalaman tanah minimum ditetapkan 25 cm (Arsyad, 1989). Sedangkan masa pakai tanah dapat diestimasi dengan perkiraan laju pelapukan tanah. Berdasarkan hasil perhitungan para pakar geologi telah menetapkan bahwa untuk membentuk lapisan tanah atas (top soil) setebal 25 milimeter pada lahan-lahan alami dibutuhkan waktu lebih kurang 300 tahun (Bennet dalam Seta, 1991). Dengan demikian, nilai masa pakai tanah (MPT) di lokasi penelitian ditentukan selama 300 tahun dan laju pembentukan tanah (LPT) ditentukan setebal 25 milimeter. HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Daerah Studi Secara administrasi Kawasan Tahura Nipa-Nipa termasuk dalam wilayah Kecamatan Soropia Kabupaten Konawe serta Kecamatan Kendari dan Kendari Barat Kota Kendari dengan luas wilayah 8.146,0 ha, secara geografis terletak di bagian Selatan Garis Khatulistiwa antara koordinat 122029’42”–122038’45” BT dan 3054’00”– 3058’00” LS. Batas kawasan Tahura Nipa-Nipa yaitu: (1) Sebelah Utara berbatasan dengan Teluk Lasolo; (2) Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Mandonga; (3) Sebelah Selatan berbatasan dengan Teluk Kendari; (4) Sebelah Timur berbatasan dengan Laut Banda. Kawasan Tahura Nipa-Nipa mempunyai bentuk lahan: Perbukitan Rendah dengan lereng mulai berombak (3-8%) seluas 353,75 ha (4,35%) sampai bergelombang (8-15%) seluas 1.493,75 ha (18,33%); Perbukitan Sedang dengan lereng agak curam (15-25%) seluas 921,75 ha (11,32%); Perbukitan Tinggi dengan lereng curam (25-40%) seluas 5.087,5 ha (62,45%); dan Pegunungan dengan lereng sangat curam (>40%) seluas 289,25 ha (3,55%). Mempunyai formasi geologi tunggal yaitu formasi Meluhu (TRJs) seluas 8.146,0 ha terbentuk pada jaman peralihan antara akhir jaman Jura dan awal jaman Trias, merupakan endapan permukaan dan batuan sedimen yang materialnya tersusun dari batu pasir, kuarsit, serpih hitam, serpih merah, Filit, Batu sabak, Batu gamping dan batu lanau. Mempunyai dua jenis tanah yaitu Podsolik seluas 1.694,75 ha (20,80%) dan Kambisol seluas 6.451,25 ha (79,20%), dengan penggunaan lahan kebun campuran seluas 1.192,0 ha (14,63%), semak belukar seluas 1.193,5 ha (14,65%), dan hutan seluas 5.760,5 ha (70,72%). Kawasan Tahura Nipa-Nipa mempunyai tipe iklim B (Schmidt-Ferguson), dengan curah hujan rata-rata tahunan sebesar 2.068,80 mm dengan kisaran curah hujan bulanan tertinggi 266,47 mm terjadi pada bulan Mei, curah hujan bulanan terendah 71,19 mm terjadi pada bulan Agustus dan rataan curah hujan bulanan sebesar 172,40 mm. Temperatur udara rataan AGRIPLUS, Volume 20 Nomor : 02 Mei 2010, ISSN 0854-0128 175 tahunan sebesar 26,740C dengan kisaran temperatur udara bulanan terendah 25,080C yang terjadi pada bulan Agustus, temperatur udara bulanan tertinggi 28,340C terjadi pada bulan Desember. Temperatur tanah rataan tahunan sebesar 29,240C dengan kisaran temperatur tanah bulanan terendah 27,580C yang terjadi pada bulan Agustus, temperatur tanah bulanan tertinggi 30,840C terjadi pada bulan Desember. Kelembaban udara rata-rata tahunan sebesar 85,57% dengan kisaran kelembaban udara bulanan terendah 77,22 % terjadi pada bulan Agustus dan kelembaban udara bulanan tertinggi 92,03 % terjadi pada bulan Mei. Kawasan Tahura Nipa-Nipa mempunyai beberapa sungai besar dan kecil yang bermuara langsung ke Teluk Kendari, dengan kondisi air sungai pada bagian hilir terutama sungai utama pada umumnya agak keruh dan meningkat kekeruhannya pada musim hujan. Hal ini menunjukkan terjadinya degradasi lahan (erosi) pada daerah tangkapan sehingga meningkatkan sedimen yang masuk ke badan sungai. Tingginya sedimentasi yang dihasilkan dari beberapa sungai yang ada di daerah studi bersumber dari hasil erosi dari berbagai penggunaan lahan pada DTA (Daerah Tangkapan Air) yang cenderung melakukan pembukaan (mengkonversi) hutan untuk berbagai kepentingan, seperti penggunaan lahan untuk pertanian (kebun) dan pemukiman. Erosi Potensial Dan Erosi Ditoleransikan Kehilangan tanah adalah salah satu dari tantangan-tantangan yang terbesar di dalam pemanfaatan sumberdaya alam dan perencanaan lingkungan, sehingga simulasi untuk meramalkan kehilangan tanah penting sebagai dasar untuk berbagai peruntukan tanah dan manajemen pengolahan tanah (Bhuyan dkk., 2002). Ramalan-ramalan kehilangan tanah total tahunan bervariasi melalui segmen arus yang bergerak dari 134 mg ha-1 thn-1 untuk kemiringan lereng dengan rerata faktor LS dari 0-10, sampai 549 mg ha-1 thn-1 untuk kemiringan lereng dengan rerata faktor LS dari 20-30, yang lebih toleransi dari kehilangan tanah yang diperkirakan (T) untuk area 22-10 mg ha-1 thn-1 (Angima dkk., 2003). Berdasarkan hasil perhitungan prediksi erosi potensial dan erosi ditoleransikan, kawasan Tahura Nipa-Nipa mempunyai erosi potensial dan erosi terbolehkan sebagaimana disajikan pada Tabel 1, dan spasialnya sebagaimana disajikan pada Gambar 1. Data Tabel 1, menunjukkan bahwa erosi potensial terbesar berpeluang terjadi pada unit lahan 14 sebesar 4736,66 ton ha-1 thn-1, dan erosi potensial terkecil berpeluang terjadi pada unit lahan 13 sebesar 35,88 ton ha-1 thn-1 dan unit lahan 9 sebesar 36,15 ton ha-1 thn-1. Hal ini disebabkan kondisi lahan pada unit lahan 9 walaupun mempunyai faktor kelerengan yang tinggi yaitu (LS=27,06) dan unit lahan 13, namun penggunaan lahannya hutan alami dengan vegetasi pepohonan yang masih mempunyai penutupan tajuk yang baik dan serasah yang cukup sehingga faktor vegetasi (CP=0,005) masih mampu berfungsi dengan baik dalam menekan pengaruh tumbukan dan pengikisan air hujan, sedangkan pada unit lahan 14 mempunyai erosi potensial terbesar disebabkan oleh faktor kelerengan yang dominan yaitu besar (LS=26,66) dengan penggunaan lahan semak belukar kurang mampu berfungsi dengan baik dalam menekan pengaruh tumbukan dan pengikisan air hujan. AGRIPLUS, Volume 20 Nomor : 02 Mei 2010, ISSN 0854-0128 176 Tabel 1. Erosi potensial dan erosi terbolehkan Kawasan Tahura Nipa-Nipa Unit lahan Ul 1 Ul 2 Ul 3 Ul 4 Ul 5 Ul 6 Ul 7 Ul 8 Ul 9 Ul 10 Ul 11 Ul 12 Ul 13 Ul 14 R K 1364.13 1364.13 1364.13 1364.13 1364.13 1364.13 1364.13 1364.13 1364.13 1364.13 1364.13 1364.13 1364.13 1364.13 0.48 0.51 0.58 0.36 0.46 0.21 0.34 0.44 0.20 0.48 0.24 0.29 0.37 0.43 LS C 1.20 0.30 1.10 0.32 3.98 0.30 3.24 0.30 3.33 0.30 9.67 0.32 4.81 0.30 11.98 0.30 27.06 0.005 19.34 0.30 16.67 0.30 10.71 0.50 14.27 0.005 26.66 0.30 Total P 0.3 1.0 0.3 1.0 1.0 1.0 1.0 1.0 1.0 1.0 1.0 1.0 1.0 1.0 A (ton ha-1 thn-1) 70.43 245.30 282.45 510.06 624.65 906.91 662.24 2161.72 36.15 3781.23 1626.68 2137.34 35.88 4736.66 Etol (ton ha-1 thn-1) 25.32 25.24 25.24 25.10 25.24 25.09 25.32 25.09 24.98 25.32 25.32 25.21 24.14 25.24 Luas Ha (%) 26.50 0.33 327.25 4.02 659.75 8.10 669.00 8.21 165.00 2.03 777.75 9.55 34.75 0.43 109.25 1.34 3977.75 48.83 271.50 3.33 645.00 7.92 190.25 2.34 18.00 0.22 271.25 3.33 8146.00 100.00 Sumber: Data primer diolah, Juni 2009 Hal ini sejalan dengan hasil penelitian (Wicks dan Bathurstb, 1995) yaitu untuk daerah perbukitan yang berlereng dengan tutupan vegetasi, erosi oleh air hujan akan menetes melalui daun dan menyebabkan aliran permukaan dan pengangkutan material yang terkikis oleh aliran permukaan akan menjadi selektif yaitu yang terbawa hanyalah sedimen halus sedangkan sedimen kasar akan tertinggal, dengan demikian maka erosi tanah akan lebih kecil. Sedangkan Poesena dkk. (2002), menyatakan bahwa bagi satuan lahan yang mempunyai ciri erosi alur, akan menjadi salah satu sumber sedimen penting terhadap lingkungan dan akan menjadi saluran efektif untuk mentransfer aliran sedimen dari pegunungan ke dasar lembah serta menjadi saluran permanen untuk erosi air. Banyak komponen tanggapan erosional, seperti memisahkan antara sungai kecil dan interril atau permukaan dan proses-proses di bawah permukaan tanah, kondisi-kondisi ambang batas hidrolik untuk goresan sungai kecil, membentuk jaringan dan hillslope sedimen, sangat dipengaruhi oleh variabel lahan yang dinamis. Variabel lahan untuk menentukan erodibilitas, seperti agregasi tanah dan kekuatan menghancurkannya dipengaruhi oleh faktor iklim seperti tindakan sebaran curah hujan (Bryan, 2000). Perkiraan-perkiraan dari resiko berhubungan dengan suatu jumlah badai yang terintegrasi dengan distribusi frekuensi curah hujan harian merupakan data yang baik dalam memperkirakan resiko rerata tahunan (Kirkby, 2000). Faktor-faktor lahan diperkirakan dari kelas-kelas tekstural merupakan fungsi pedotransfer kualitatif. Berdasarkan analisis erosivitas hujan, rata-rata curah hujan tahunan di kawasan Tahura Nipa-Nipa sebesar 2068,85 mm setiap tahunnya memiliki potensi besar dalam mempengaruhi besarnya erosi yang terjadi pada kawasan Tahura Nipa-Nipa. Hal ini terlihat pada indeks erosivitas hujan yang menyatakan kemampuan suatu hujan untuk menimbulkan erosi diperoleh nilai sebesar 1364,13 ton ha-1 thn-1 menunjukkan bahwa intensitas hujan, jumlah hujan dan distribusinya sangat mempengaruhi potensi terjadinya erosi yang tinggi pada kawasan Tahura Nipa-Nipa, khususnya pada bulan-bulan Nopember, Desember, Januari, hingga Juni setiap tahunnya. Berdasarkan analisis sifat-sifat tanah yang mempengaruhi kepekaan tanah terhadap erosi menunjukkan bahwa pada kawasan Tahura Nipa-Nipa, selain tekstur tanahnya, sifat-sifat tanah yang lain memiliki pengaruh yang relatif AGRIPLUS, Volume 20 Nomor : 02 Mei 2010, ISSN 0854-0128 177 kecil dalam mempengaruhi besar kecilnya erosi yang terjadi sebagai akibat dari penggunaan lahan yang masih hutan alami. Hal ini terlihat pada indeks erodibilitas tanah yang tertinggi yaitu 0,16 pada Unit Lahan 9. Tekstur tanah pada kawasan Tahura Nipa-Nipa terdiri atas tekstur lempung sampai lempung berdebu termasuk tekstur tanah yang peka terhadap erosi. Kandungan bahan organik tanah pada kawasan Tahura Nipa-Nipa termasuk pada kategori sangat rendah (UL 4 dan UL 8), kategori rendah (UL 1, 2, 3, 5, dan UL 10), kategori sedang (UL 6, 7, 11, 12, 13, dan UL 14), kategori tinggi (UL 9). Untuk Unit Lahan 9 masih berpengaruh positif karena umumnya menyebabkan struktur tanah menjadi lebih mantap sehingga tanah masih tahan terhadap erosi. Kondisi struktur tanah pada kawasan Tahura Nipa-Nipa terdiri atas struktur bentuk granuler hingga kubus bersudut, ukuran sedang dan tingkat perkembangan kuat sehingga tanah masih memiliki porositas sedang menyebabkan air masih meresap ke dalam tanah dan aliran permukaan relatif kecil, pengaruhnya terhadap erosi juga rendah, namun permeabilitas tanahnya terdiri atas permeabilitas lambat sampai sedang, yang juga dapat memperkecil daya infiltrasi dan sulitnya air meresap ke dalam tanah sehingga akan memperbesar aliran permukaan dan pengaruhnya terhadap erosi juga tinggi. Berdasarkan analisis besarnya erosi yang masih dapat ditoleransikan yang terjadi pada kawasan Tahura Nipa-Nipa (Tabel 1) diperoleh bahwa kawasan Tahura Nipa-Nipa mempunyai besar erosi yang masih ditoleransikan merata pada keseluruhan unit lahan dengan nilai berkisar sebesar 24,98 ton ha-1 sampai 25,32 ton ha-1 untuk setiap tahunnya (lebih kecil dari erosi potensial), menunjukkan bahwa perlu adanya upaya-upaya konservasi tanah dan air yang harus dilakukan pada setiap satuan lahan. Teknik Konservasi Tanah dan Air Millward dan Mersey (2001), menyatakan bahwa ada 2 skenario untuk mengubah peruntukan tanah dengan model Erosion Prediction Information System (EPIS) yaitu: (1) implementasi praktek konservasi lahan pada lokasi-lokasi erosi, (2) pemilihan lokasilokasi untuk perluasan agrikultur memperkecil potensi kehilangan tanah. Erosi tanah masih menjadi perhatian utama untuk pengembangan dari sistem manajemen agrikultur. Sedangkan De La Rosa dkk (2000) menyatakan bahwa toleransi lahan yang didasarkan pada erosi air, dapat dirumuskan dari kerugian lahan terhadap penurunan produktivitas panen, dan menemukan manajemen kombinasi dari praktek-praktek yang akan meminimasi kehilangan tanah pada suatu ladang. Pertimbangan erosi tanah akan memudahkan keputusan rencana tata guna lahan. Konservasi tanah dan air merupakan dua hal yang sangat erat hubungannya satu sama lain karena setiap aktivitas yang dilakukan pada sebidang tanah akan turut mempengaruhi tata air pada tempat tersebut bahkan sampai pada tempat-tempat di hilirnya, sehingga berbagai tindakan konservasi tanah merupakan juga tindakan konservasi air. Berdasarkan hubungan ini, maka hal penting yang harus kita lakukan adalah memelihara jumlah, waktu aliran dan kualitas air sejauh mungkin melalui cara pengelolaan dan penggunaan tanah yang baik sesuai kaidah konservasi tanah dan air. Teknik konservasi tanah dan air di kawasan Tahura Nipa-Nipa disusun berdasarkan hasil perbandingan antara erosi potensial dan erosi terbolehkan yang terjadi pada setiap unit lahan yang ada dalam kawasan Tahura Nipa-Nipa. Tabel 1, menunjukkan bahwa erosi potensial lebih besar dibanding erosi terbolehkan. Hal ini jika dibiarkan akan dapat memberikan dampak negatif terhadap kondisi lahan, sungai-sungai yang mengalir pada kawasan Tahura Nipa-Nipa dan pendangkalan pada Teluk Kendari. Untuk dapat menekan laju erosi yang akan berdampak negatif tersebut, upaya yang harus dilakukan yaitu dengan menekan nilai indeks faktor konservasi dan pengelolaan tanaman (CP) berkisar antara 0,000048 sampai 0,01. Nilai ini menunjukkan bahwa alternatif pilihan minimal yang harus dilakukan pada setiap satuan lahan di kawasan Tahura Nipa-Nipa untuk menekan laju erosi antara lain yaitu berupa penghutanan kembali/Hutan alam, teras bangku, reboisasi dan penanaman garis kontur, sebagaimana disajikan pada Tabel 2, dan Peta Alternatif Konservasi Tanahnya sebagaimana Gambar 1. AGRIPLUS, Volume 20 Nomor : 02 Mei 2010, ISSN 0854-0128 178 Tabel 2. Alternatif pengelolaan konservasi tanah dan air pada Kawasan Tahura Nipa-Nipa Kota Kendari Unit lahan Alternatif Pengelolaan Konservasi Tanah dan Air Ul 1 Farming forest (tanaman bertingkat), Teras Bangku, Reboisasi Ul 2 Reboisasi, Hutan Rakyat Ul 3 Reboisasi, Hutan Rakyat Ul 4 Farming forest (tanaman bertingkat), Teras Bangku, Dihutankan searah kontur Ul 5 Teras Bangku, Semak belukar, Dihutankan searah kontur Ul 6 Hutan alami, Dam pengendali Ul 7 Perkebunan dengan tanaman penutup tanah rapat, Teras Bangku, Dihutankan searah kontur Ul 8 Dihutankan, Albizia dengan semak campuran ditanam sesuai kontur Ul 9 Hutan alami Ul 10 Kebun nenas dengan penanaman menurut kontur + mulsa dipermukaan, Teras Bangku, Dihutankan Ul 11 Dihutankan, Albizia dengan semak campuran ditanam sesuai kontur Ul 12 Kebun nenas dengan penanaman menurut kontur + mulsa dipermukaan, Teras Bangku, Dihutankan Ul 13 Hutan alami Ul 14 Dihutankan, Albizia dengan semak campuran ditanam sesuai kontur Sumber : Data primer diolah, 2009. Tabel 2, menunjukkan bahwa secara umum kawasan Tahura Nipa-Nipa sebaiknya dihutankan kembali dengan pola tanam searah garis kontur dan pembuatan teras-teras yang bertujuan untuk mengurangi kekuatan erosi aliran permukaan. Hal ini sejalan dengan pernyataan Hessel dkk. (2003), bahwa penerapan bentuk sederhana dari praktek konservasi tanah secara biologi seperti pemulsaan, perbaikan lahan tandus, dan kenservasi tanah secara mekanis dipraktekkan pada punggung bukit, merupakan alternatif dalam pengelolaan lahan yang menurunkan tingkat erosi dan sedimen yang terangkut berkisar antara 40% dan 60%. Untuk satuan lahan 9 dan satuan lahan 13, walaupun mempunyai erosi potensial yang lebih kecil dibandingkan dengan satuan lahan yang lainnya namun karena mempunyai kedalaman solum yang dangkal (20 cm) untuk satuan lahan 9 sehingga tingkat bahaya erosi termasuk dalam kelas sangat berat, dan berat untuk Unit Lahan 13, dan karenanya tidak ada cara lain untuk tindakan konservasinya selain membiarkannya dalam keadaan hutan alami. AGRIPLUS, Volume 20 Nomor : 02 Mei 2010, ISSN 0854-0128 179 N 0.5 1 03 o 52' 1 1.5 2 2.5 3 2 3 4 5 Sk al a 1 : 5 0.00 0 6 PE TA E R O S I KA W A SAN TA MA N H U TAN R AY A ( TAH U RA) N IP A-N IP A K O T A K E N D AR I Km Cm LEG EN D A Y # IN D EK S P ET A Ib u ko ta Keca m atan B atas Un i t L a ha n B atas Ka w asa n Lokasi D im aks ud B atas Ke cam atan B atas Ka b u pa te n Su n g ai TE L U K L A S OL O Ga ris P an tai Jala n 03 o 54' Pem u ki m an Penam p u n g an ai r C ek d am 13 3 5 14 11 14 5 No 3 LA UT BA ND A 9 11 Unit La ha n Y # 3 5 8 8 6 9 11 2 K EC . SO R O PIA 03 o 56' 6 8 2 2 6 3 3 6 6 3 3 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 2 6 9 7 P.B ok ori 6 4 2 K EC . K EN D A R I B A R AT 7 12 4 4 1 10 12 UL Y # K E C .M AN D O N GA 1 2 3 4 TE LU K K E ND AR I P.B un gk u to k o 5 6 7 04 o 00' 8 122 o 29 ' BT 9 10 SU M B E R: 1. P e ta R up a B um i Indo nes ia S k ala 1 : 50 .0 00 5. P e ta P e ngg una an L aha n K awa sa n TA HU R A Tahu n 199 2 Lem b ar K e nda ri (2 212 -3 1) Nipa -N ipa S k ala 1 : 50 .0 00 Ta hun 200 5 2. P e ta G eolo gi da n P otens i B aha n G a lian S UL T R A 6. P e ta L er eng K a was a n TA HU RA N ipa- Nip a Sk ala 1 : 5 00.00 0 Tah un 19 93 Sk ala 1 : 5 0.000 T ahu n 200 5 3. P e ta T G HK P ro vinsi S u lawe si T e ngg ar a 7. H as il S ur ve y La pan g T ahu n 20 09 Sk ala 1 : 2 50.00 0 Tah un 19 92 4. P e ta J e nis T a na h Pr ov ins i S UL T RA Sk ala 1 : 2 50.00 0 Tah un 19 85 122 o 30 ' 122 o 32 ' E ros i T e rb oleh ka n (T o n/H a/T a hun ) 25 ,3 2 25 ,2 4 25 ,2 4 25 ,1 0 25 ,2 4 25 ,0 9 25 ,3 2 25 ,0 9 24 ,9 8 25 ,3 2 25 ,3 2 25 ,2 1 25 ,1 4 24 ,2 4 Lua s Ha % 0 ,3 3 26,50 4 ,0 2 327,25 8 ,1 0 659,75 8 ,2 1 669,00 2 ,0 2 165,00 9 ,5 5 777,75 0 ,4 3 34,75 1 ,3 4 109,25 48 ,8 3 3 977,75 3 ,3 3 271,50 7 ,9 5 648,00 2 ,3 4 190,25 0 ,2 2 18,00 3 ,3 3 271,25 8.14 6,00 10 0,00 11 Y # 03 o 58' LS 70 ,4 3 245 ,3 0 282 ,4 5 510 ,0 6 624 ,6 5 906 ,9 1 662 ,2 4 2161 ,7 2 36,1 5 3 .78 1,2 3 1 .62 6,6 8 2 .13 7,3 4 35,8 8 4 .73 6,6 6 TO T A L 11 5 03 o 58' 5 K EC . K EN D A R I 10 Ero si P ot ens ial (T o n/H a/T a hun ) 122 o 34 ' 122o 36 ' 122 o 38 ' 11 12 13 14 TE KNIK K O N SE RV AS I Farm i ng fo rest (tan am an be rtin gka t) , Ter as Ba ng ku, R eb oi sasi Re bo is a si, H u tan Ra k ya t Re bo is a si, H u tan Ra k ya t Farm i ng Fo res t (tan am a n b ertingk at) , T er as B an gku , Di hutan k an s e ar ah K on tur Teras ba ngk u, S ema k B eluka r , Dih uta nk a n sea rah ko ntu r Hu ta n a lam i, D a m pen ge nd ali P er ke bu na n d eng an ta na m an p en utu p tana h r a pat, Teras B an gk u , Dih utank an sea rah ko ntu r Di huta nk an, A lbizi a de ng an se m a k be luk ar c am pu r an, dita nam s e sua i k ontu r Hu ta n A lam i K eb un n en as d en gan pe na na ma n m e nu rut k o ntur + mul sa d i pe rmuk aa n,T eras B ang k u , d ih utank an sea ra h k ontu r Di huta nk an,Al bizia de ng an sem ak c am p ur an d ita nam s esu ai ko ntur K eb un N e nas d eng an pe na nam an m en urut kon tur +m u lsa dipe rm uka an , te ra s b ang k u , di hutank an Hu ta n a lam i Di huta nk an,Al bizia de ng an sem ak c am p ur an d ita nam s esu ai ko ntur Dibu at O leh : Djafar Me y, S P.,M .S i 122 o40 ' Gambar 1. Peta erosi dan teknik konservasi tanah kawasan Tahura Nipa-Nipa Berdasarkan kondisi biofisik lahan kawasan Tahura Nipa-Nipa, yaitu kondisi hutan alami yang dimiliki pada Unit Lahan 9 dan Unit Lahan 13 sebaiknya dipertahankan, karena walaupun mempunyai erosi potensial yang lebih kecil dibandingkan dengan Unit Lahan yang lainnya namun karena mempunyai kedalaman solum yang dangkal (20 cm) untuk Unit Lahan 9 sehingga tingkat bahaya erosi termasuk dalam kelas sangat berat, dan berat untuk Unit Lahan 13, dan karenanya tidak ada cara lain untuk tindakan konservasinya selain membiarkannya dalam keadaan hutan alami, sedangkan Unit Lahan yang lain yang telah terganggu sebaiknya dihutankan kembali dengan pola tanam searah garis kontur dan pembuatan teras-teras yang bertujuan untuk mengurangi kekuatan erosi aliran permukaan. Hal ini sejalan dengan pernyataan Stolte, dkk., (2003), yaitu Hutan merupakan skenario alternatif peruntukan tanah untuk dasar alur, dengan mantap mengakibatkan penurunan air dan sedimen, sehingga mendukung implementasi kebijakan reboisasi/penghutanan kembali bagi lahan-lahan terbuka. Hal ini memungkinkan untuk dilakukan karena dengan pertimbangan jenis tanah yang ada di kawasan Tahura Nipa-Nipa yaitu podsolik dan kambisol, serta kondisi geologi yang di dominasi oleh bentukan batuan yang terutama tersusun dari batu pasir, biasanya memungkinkan untuk terjadinya perkolasi air karena memiliki pori untuk menyimpan air dalam jumlah besar dan karenanya dapat pula dibuat Cek Dam pada bagian hulu sungai yang bertujuan untuk menampung sedimen tersuspensi, terutama pada saat musim penghujan sehingga dapat menekan laju sedimentasi di tubuh sungai dan pendangkalan pada Teluk Kendari. PENUTUP Berdasarkan pembahasan tersebut di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut: (1) Secara umum semua unit lahan yang ada dalam kawasan Tahura Nipa-Nipa mempunyai erosi potensial lebih besar dari erosi terbolehkan. (2) Alternatif pilihan minimal yang harus dilakukan pada setiap unit lahan di kawasan Tahura Nipa-Nipa untuk menekan laju erosi yaitu : penghutanan AGRIPLUS, Volume 20 Nomor : 02 Mei 2010, ISSN 0854-0128 180 Jurnal Agriculture, Ecosystems and Environment. Instituto de Recursos Naturales y Agrobiolog´ýa de Sevilla (IRNAS), Consejo Superior de Investigaciones Cient´ýficas (CSIC), Spain. www.elsevier.com/locate/envsoft. kembali/Hutan alam, teras bangku, reboisasi dan penanaman searah garis kontur. DAFTAR PUSTAKA Amore, E., C. Modica, M.A. Nearing, V.C. Santoro, 2004. Scale effect in USLE and WEPP application for soil erosion computation from three Sicilian basins. Journal of Hydrology. Department of Civil and Environmental Engineering. University of Catania. Italy dan USDA-ARS Southwest Watershed Research Center, Tucson, USA. www.elsevier.com/locate/jhydrol. Angima, S.D, D.E. Stott, M.K. O’Neill, C.K. Ong, G.A. Weesies, 2003. Jurnal Agriculture, Ecosystems and Environment. Agronomy Department, Purdue University, USA and USDA Agricultural Research Service, National Soil Erosion Research Laboratory. USA and World Agroforestry Centre (formerly the International Center for Research in Agroforestry (ICRAF)), United Nations Avenue, Kenya. www.elsevier.com/locate/envsoft. Arsyad, S. 1989. Konservasi Tanah dan Air. IPB Press. Bogor. Bhuyan, S.J., P.K. Kalita, K.A. Janssen, P.L. Barnes, 2002. Soil loss predictions with three erosion simulation models. Jurnal Environmental Modelling & Software. Department of Biological and Agricultural Engineering, Kansas State University, Manhattan and Agricultural Engineering Department, University of Illinois Urbana-Champaign. USA. www.elsevier.com/locate/envsoft. BPS, 2007. Kota Kendari dalam Angka. Badan Pusat Statistik Kota Kendari. Bryan, R.B., 2000. Soil erodibility and processes of water erosion on hillslope. Jurnal Geomorphology. Soil Erosion Laboratory, Faculty of Forestry, University of Toronto, 33 Wilcocks Street, Scarborough, Ontario, Canada. www.elsevier.com/locate/envsoft. De La Rosa, D., J.A. Moreno, F. Mayol, T. Bonsón, 2000. Assessment of soil erosion vulnerability in western Europe and potential impact on crop productivity due to loss of soil depth using the ImpelERO model. Fontes, J.C., L.S. Pereira, R.E. Smith, 2004. Runoff and erosion in volcanic soils of Azores : simulation with OPUS. Jurnal Catena. University of Azores and Agricultural Engineering Research Center, Institute of Agronomy, Technical University of Lisbon. Portugal, and USDA-ARS and Colorado State University. USA. www.elsevier.com/locate/catena. Hardjowigeno, S, dan S. Sukmana, 1995. Menentukan Tingkat Bahaya Erosi. Second Land Resource Evaluation and Planning Project. ADB Loan. No.1099 INO. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Bogor. Hessel, R., I.Messing, C.Liding,C.Ritsema, J.Stolte, 2003. Soil erosion simulations of land use scenarios for a small Loess Plateau catchment. Jurnal Catena. Department of Physical Geography, Utrecht University, Netherlands and Department of Soil Sciences, Swedish University of Agricultural Sciences. Sweden, and Division of Regional Ecology, Research Center for EcoEnvironmental Sciences, The Chinese Academy of Sciences. China. www.elsevier.com/locate/catena. Iswandi R.M., 2004. Pengkajian Faktor-Faktor Penyebab Pendangkalan Teluk Kendari dan Dampaknya Terhadap Aktivitas Masyarakat Pengguna Teluk. Majalah Ilmiah Agriplus. Volume 14 Nomor 03 September 2004. Hal 167-176. Faperta Unhalu. Kendari. Kirkby, M.J., Y. Le Bissonais, T.J. Coulthard, J. Daroussin, M.D. McMahon, 2000. The development of land quality indicators for soil degradation by water erosion. Jurnal Agriculture, Ecosystems and Environment. School of Geography, University of Leeds, Leeds and Institute Nationale pour Recherche Agronomique (INRA) Science du Sol, Avenue de la Pomme de Pin. France. www.elsevier.com/locate/envsoft. Legowo, S., 2005. Pendugaan Erosi dan Sedimentasi dengan Menggunakan Model GeoWEPP, AGRIPLUS, Volume 20 Nomor : 02 Mei 2010, ISSN 0854-0128 181 Studi Kasus DAS Limboto, Propinsi Gorontalo). ITB. Bandung. [email protected]. Metternicht, G.I, dan A. Fermont, 1998. Estimating Erosion Surface Features by Linear Mixture Modeling. Jurnal REMOTE SENS. ENVIRON. School of Spatial Sciences, Curtin University of Technology. Australia. Elsevier Science Inc. Mey, Dj., 2004. Perubahan Penggunaan Lahan dan Dampaknya Terhadap Kondisi Hidrologi. Jurnal Soil Environment, Ilmu dan Teknologi. Media Komunikasi KampusMasyarakat. Universitas Samratulangi. Manado. Volume 2, Nomor 2 Edisi Agustus 2004, ISSN 1412-9108. Mey, Dj., 2007. Kesesuaian Lahan Untuk Tanaman Coklat (Theobroma cacao. L) di Kecamatan Mawasangka Kabupaten Buton. Jurnal Soil Environment, Ilmu dan Teknologi. Media Komunikasi Kampus Masyarakat. Universitas Samratulangi. Manado. Volume 5, Nomor 2 Edisi Agustus 2007, ISSN 14129108. Millward, A.A., Janet, E., Mersey, 1999. Adapting the RUSLE to Model Soil Erosion Potential in a Mountainous Tropical Watershed. Jurnal Catena. Department of Geography, University of Waterloo and Department of Geography, University of Guelph. Canada. www.elsevier.comrlocatercatena. Millward, A.A, and J. E. Mersey, 2001. Conservation strategies for effective land management of protected areas using an erosion prediction information system (EPIS). Journal of Environmental Management. Mexico.http:// www.idealibrary.com on. Morgan, R.P.C., 1995. Soil Erosion And Conservation. Second Edition. Silsoe College, Cranfield University. Longman. London. Poesena, J., J. Nachtergaelea, G. Verstraetena, C. Valentin, 2002. Gully Erosion and Environmental Change : Importance and Research Needs. Jurnal Catena. Laboratory for Experimental Geomorphology. Leuven. Belgium and IRD-Ambassade de France. Vientiane. RPD Laos. www.elsevier.com/locate/catena. Seta, A.K., 1991. Konservasi Sumberdaya Tanah dan Air. Kalam Mulia. Jakarta. Shrestha, D.P., 1997. Assessment of Soil Erosion in the Nepalese Himalaya A Case Study in Likhu Khola Valley, Middle Mountain Region. Jurnal Land Husbandry, Vol.2, No.1. Oxford & IBH Publishing Co. Pvt. Ltd, pp 59-80. Stolte, J., B. Liu, C.J. Ritsema, H.G.M. van den Elsen, R. Hessel, 2003. Modelling water flow and sediment processes in a small gully system on the Loess Plateau in China. Jurnal Catena. Alterra Green World Research, Wageningen, and Department of Physical Geography, Utrecht University, Utrecht, The Netherlands, and Department of Geography, Beijing Normal University, Beijing. China. www.elsevier.com/locate/catena. Vink, A.P.A., 1981. Landscape Ecology and Land Use. Translate By The Author. English Translation Edited By D.A. Davidson. University of Strathclyde. Longman. London and New York. Wicks, J.M dan J.C, Bathurstb, 1995. SHESED: a physically based, distributed erosion and sediment yield component for the SHE hydrological modelling system. Journal of Hydrology. ‘Water Resource Systems Research Unit, Department of Civil Engineering, University of Newcastle upon Tyne. Newcastle upon Tyne. www.elsevier.com/locate/jhydrol. AGRIPLUS, Volume 20 Nomor : 02 Mei 2010, ISSN 0854-0128