AGRIPLUS, Volume 20 Nomor : 02 Mei 2010, ISSN 0854-0128

advertisement
170
KONSERVASI TANAH BERBASIS EROSI DI KAWASAN TAMAN HUTAN RAYA
(TAHURA) NIPA-NIPA KOTA KENDARI
Oleh: Djafar Mey 1)
ABSTRACT
Area Tahura Nipa-Nipa with a width of 8.146 ha has potency natural resources in the form of floral
species diversity and fauna, ecosystem type and object wisata nature that is enough interesting and is habitat for
various animal types protected by law, if its the exploiting unmatched to its the function will cause soil damage and
erosion. This research aim to calculate potential erosion and erosion enabled as base in determining alternative of
soil conservation technique in area Tahura Nipa-Nipa. This research applies ecological approach, the execution
using survey method, for observation and measurement of character data physical of land and soil is done
intensively by using land unit approach, what compiled to form of region, slope, geology, soil, and land use. Data
applied in the form of primary data and secondary data, laboratory analysis, and climate data. Analysis calculation
erosion applies USLE method, erosion is enabled with Wood and Dent method, and determination of conservation
technique with komparative method between potential erosions with erosion is enabled after given by treatment.
Result of research indicates that in general all the land units in area Tahura Nipa-Nipa has big overpotential erosion
from erosion is enabled, so that alternative of conservation technique to depress erosion speed that is : afforestation,
bench terrace, reboisation and cultivation of contour line concurrent.
Key words: Erosion, Conservation, Land, USLE Method.
PENDAHULUAN
Lahan merupakan bagian dari bentang
alam (landscape) yang mencakup pengertian
lingkungan fisik termasuk iklim, topografi/relief,
hidrologi bahkan keadaan vegetasi alami
(natural vegetation) yang semuanya secara
potensial akan berpengaruh terhadap penggunaan
lahan (FAO, 1976 dalam Mey, 2007). Sedangkan
penggunaan lahan adalah ekspresi dari aktivitas
manusia dalam mengelola ekosistem yang
bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya
(Vink, 1981). Pemanfaatan lahan yang tidak
efisien dan tidak sepadan dengan fungsinya
dapat menimbulkan pemborosan alokasi lahan,
meningkatkan jumlah lahan terlantar, kerusakan
tanah, kemerosotan produktivitas tanah, serta
tidak dapat dihindari akibat yang lebih jauh
seperti terjadinya bahaya tanah longsor, banjir,
dan erosi pada musim hujan (Mey, 2004).
Kejadian erosi sangat terkait dengan
kondisi iklim, dimana variasi temperatur,
perubahan waktu dan ruang, mempengaruhi
secara relatif merubah gejala proses-pola pada
skala tertentu. Pola-pola regional dari kesan erosi
permukaan lahan tersebut dapat dipetakan
dengan menggunakan Model Campuran Spektral
Data, jika dalam analisanya menggunakan
parameter yang berorientasi pada daerah erosi
tanah (Metternicht dan Fermont, 1998).
Penilaian secara akurat tentang erosi
tanah karena air adalah sangat penting di dalam
konteks-konteks lingkungan, seperti penilaian
dari kehilangan tanah potensial suatu wilayah
yang ditanami, dan evaluasi hilangnya kapasitas
simpan air di dalam reservoir-reservoir karena
sedimentasi (Amore dkk., 2004). Tekanan masa
depan untuk memperluas lahan pertanian dan
padang penggembalaan tidak dapat dipungkiri
akan meningkatkan pemuatan sedimen erosi
tanah dan resultan air yang terjadi pada suatu
daerah aliran sungai (Millward dkk., 1999).
Dengan simulasi model MUSLE di China,
Fontes dkk. (2004) menyatakan bahwa curah
hujan dengan aliran yang mantap mampu
meningkatkan dari 1% menjadi 17% dari lahan
padang penggembalaan ke lahan terbuka,
menghasilkan peningkatan sedimen yang kontras
dari <5 kg ha-1 thn-1 di bawah padang
penggembalaan, menjadi hampir 15 ton ha-1 thn-1
) Staf Pengajar PadaAGRIPLUS,
Jurusan Agroekoteknologi
Fakultas
Pertanian
Kendari.
Volume 20
Nomor
: 02Universitas
Mei 2010,Haluoleo,
ISSN 0854-0128
1
170
171
selama periode 8 bulan ketika lahan menjadi
terbuka. Shrestha (1997), menyatakan bahwa
dengan model USLE dapat diprediksi tanah yang
tererosi pada lahan hutan lebat yaitu sebesar 56
ton ha-1 thn-1, lahan penggembalaan 8 ton ha-1
thn-1, dan lahan pertanian tadah hujan 56 ton ha-1
thn-1.
Riset tentang erosi dan sedimentasi juga
dilakukan oleh Legowo (2005) di Danau
Limboto dengan menggunakan model simulasi
Water
Erosion
GeoWEPP
(Geo-spasial
Prediction Project). Hasil penelitian menunjukkan bahwa sedimentasi di dalam Danau Limboto
terus berlangsung secara intensif dan selalu
meningkat dari tahun ke tahun, menyebabkan
pendangkalan sehingga mempengaruhi kapasitas
tampung danau dan menyusutnya luas perairan.
Kondisi tersebut tidak terlepas dari kondisi DAS
Limboto sendiri yang semakin kritis, yaitu telah
terjadi laju erosi 44,69 ton ha-1 thn-1 atau 3,72
mm thn-1, deposisi sedimen pada DAS Limboto
sebesar 2,94 ton ha-1 thn-1 atau 0,245 mm ha-1,
dengan Sediment yield 41,75 ton ha-1 thn-1 atau
3,48 mm thn-1 (Legowo, 2005). Kondisi DAS
Limboto ini juga mempunyai kemiripan dengan
kondisi Tahura Nipa-Nipa yang makin hari
makin mengalami erosi dan sedimennya
terangkut ke perairan teluk dan menyebabkan
pendangkalan pada Teluk Kendari.
Kawasan Hutan Nipa-Nipa seluas 8.146
ha ditetapkan sebagai Taman Hutan Raya
(Tahura) berdasarkan SK Menteri Kehutanan
Nomor 289/Kpts-II/95 tanggal 12 Juni 1995. Hal
ini dikarenakan hutan Gunung Nipa-Nipa
memiliki potensi sumberdaya alam berupa
keanekaragaman jenis flora dan fauna, tipe
ekosistem dan obyek wisata alam yang cukup
menarik serta merupakan habitat bagi berbagai
jenis satwa yang dilindungi undang-undang.
Dengan demikian Tahura Nipa-Nipa berfungsi
sebagai kawasan pelestarian alam untuk tujuan
koleksi tumbuhan dan atau satwa bagi
kepentingan penelitian, pendidikan, ilmu
pengetahuan, menunjang budidaya, budaya,
pariwisata dan rekreasi alam. Disisi lain Tahura
juga memberikan manfaat langsung untuk
masyarakat Kendari di sekitar kawasan, yakni
sebagai penyedia/sumber air bersih.
Seiring dengan kemajuan pembangunan
dan perkembangan ekonomi masyarakat Kota
Kendari yang terus meningkat, kebutuhan
masyarakat juga turut meningkat yang
menyebabkan terancamnya fungsi Tahura dan
kelestarian Teluk Kendari. Secara umum jumlah
penduduk Kota Kendari yang merupakan Daerah
Tangkapan Air (DTA) Teluk Kendari sebesar
251.477 jiwa (BPS, 2007), dengan pertumbuhan
penduduk 4,52% per tahun. Jumlah dan pertumbuhan penduduk tersebut baik langsung
maupun tidak langsung akan menimbulkan
dampak bagi Teluk Kendari, terutama
peningkatan aktivitas pembangunan, perubahan
pola
penggunaan
lahan,
kadang-kadang
memanfaatkan lokasi yang berada pada
ketinggian dan kemiringan dengan mengeruk
bukit, dan pembangunan perumahan real estate
di sekitar Teluk Kendari juga semakin pesat,
dapat diperkirakan bahwa sedimen maupun
limbah dari pemukiman, volume sampah baik
organik maupun anorganik dari rumah tangga,
rumah makan, hotel, industri, aktivitas
perdagangan (pasar) dan aktivitas swasta akan
sangat tinggi apabila tidak dikelola secara baik.
Iswandi (2004), menyatakan bahwa
sedimen yang terangkut ke Teluk Kendari
sebesar 195.352 ton/thn, dengan sedimentasi
total yang terjadi rata-rata 760.040 m3 thn-1
(kejadian tahun 1995-2000) dengan rincian
sebagai berikut: (1) sedimentasi akibat dari erosi
lahan sebesar 148.466 m3 tahun-1, (2)
sedimentasi dari bahan sampah sebesar 40.087
m3, (3) sedimentasi akibat aktivitas pembangunan sebesar 571.487 m3 (tahun 2000).
Berdasarkan kondisi tersebut dapat diketahui
bahwa aktivitas pembangunan mempunyai
kontribusi terbesar dalam pendangkalan Teluk
Kendari yaitu 75,19%, sedangkan sedimentasi
dari erosi lahan 19,53% dan dari sampah 5,27%.
Akibat dari pendangkalan Teluk Kendari tersebut
secara fisik menyebabkan: (1) kualitas dan
volume air di perairan Teluk Kendari menurun,
(2) berkurangnya populasi dan keanekaragaman
hayati biota perairan Teluk Kendari, dan (3)
terjadi kerusakan vegetasi mangrove. Untuk
meminimalisir kerusakan ini, maka perlu
dilakukan konservasi tanah berbasis erosi pada
kawasan Tahura Nipa-Nipa.
AGRIPLUS, Volume 20 Nomor : 02 Mei 2010, ISSN 0854-0128
172
Hasil observasi lapangan menunjukkan
bahwa permasalahan yang menjadi faktor
pemicu terjadinya erosi di dalam kawasan
Tahura Nipa-Nipa adalah: (1) penyerobotan
kawasan untuk pemukiman dan perladangan
pada lahan yang berlereng terjal, tanpa
memperhatikan aspek konservasi tanah dan air,
(2) pengambilan kayu tak terencana, baik untuk
dikonsumsi sendiri maupun untuk diperjualbelikan, (3) pemungutan kayu bakar secara tidak
terkendali dengan rata-rata tebangan pohon
berdiameter 3-8 cm. Kondisi ini akan mempengaruhi kondisi hidrologi kawasan Tahura
Nipa-Nipa, dan jika tidak ditangani dengan
serius akan dapat menyebabkan terjadinya
peningkatan laju erosi yang berakibat pada
percepatan pendangkalan Teluk Kendari.
Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, maka
perlu dilakukan penelitian tentang konservasi
tanah di kawasan Tahura Nipa-Nipa Kota
Kendari.
Penelitian ini bertujuan: (1) menghitung
erosi potensial dan erosi terbolehkan di kawasan
Tahura Nipa-Nipa, (2) menentukan alternatif
teknik konservasi tanah di kawasan Taman
Hutan Raya Nipa-Nipa.
METODOLOGI
Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah
seluruh satuan lahan yang ada di kawasan
Tahura Nipa-Nipa sedangkan sampel adalah
satuan lahan terpilih sebagai obyek pengamatan
dan pengukuran, dilakukan secara purposive
sampling dengan memperhatikan homogenitas
dari populasi, yaitu: bentuk wilayah, lereng,
geologi, tanah, dan penggunaan lahan.
Berdasarkan kondisi tersebut diperoleh 14 satuan
lahan sebagai sampel pewakil.
Bahan dan Alat Penelitian
Bahan yang digunakan dalam penelitian
ini adalah: (1) Peta-peta tematik berupa : Peta
Topografi/RBI, Peta Lereng, Peta Tanah, Peta
Geologi, Peta Penggunaan Lahan, Peta TGHK,
Peta Kerja Lapang (Peta Satuan Lahan); (2) Data
sekunder berupa hasil-hasil penelitian terdahulu
di Kawasan Tahura Nipa-Nipa, (3) Bahan
perlengkapan survei berupa : Larutan peroksida
(H2O2 10%) untuk identifikasi kandungan bahan
organik, larutan asam klorida (HCL 2%) untuk
identifikasi kandungan kapur, kartu deskripsi
lahan dan tanah, kantung plastik dan label
sampel tanah, serta (5) Bahan-bahan untuk
analisis sampel tanah di Laboratorium.
Alat yang digunakan dalam penelitian
ini adalah: (1) Alat-alat untuk pembuatan peta
kerja lapangan yaitu rapidograf, mistar
penggaris, mistar sablon, dan lain-lain; (2) Alatalat untuk pengamatan di lapangan, yaitu: a)
Kompas, untuk petunjuk arah mata angin, b)
Altimeter, untuk mengukur ketinggian tempat
dari muka laut, c) Abney level, untuk mengukur
kemiringan lereng, d) Rol meter, untuk
mengukur panjang lereng erosi, panjang dan
lebar sungai, serta tinggi perimeter sungai, e)
Bor untuk identifikasi sifat fisik tanah dan
mengukur kedalaman efektif tanah, parang dan
pisau lapang; f) GPS untuk menentukan posisi
koordinat, g) Ring sample untuk pengambilan
sampel tanah utuh dalam pengukuran
permeabilitas tanah, dan h) Alat tulis lainnya; (3)
Perlengkapan laboratorium, untuk analisis sifatsifat tanah seperti; tekstur tanah, permeabilitas
tanah, dan C-organik; dan (4) Seperangkat
komputer untuk penyusunan naskah laporan dan
pembuatan peta digital.
Metode
Penelitian ini menggunakan pendekatan
ekologis (ecological approach), tema analisisnya
Physico natural features-Environment Analysis
dengan penekanan utama pada keterkaitan antara
kenampakan fisikal alami dengan elemennatural
elemen
lingkungannya
(physico
features–environment
interactions).
Pelaksanaannya menggunakan metode survei,
untuk pengamatan dan pengukuran data sifat
fisik lahan dan tanah dilakukan secara intensif
dengan menggunakan pendekatan satuan lahan
(land unit), yang disusun atas bentuk wilayah,
lereng, geologi, tanah, dan penggunaan lahan.
Data dalam penelitian ini menggunakan
berbagai data sekunder yang berasal dari
instansi-instansi terkait (survei instansional) dan
data primer yang diukur secara langsung di
lapangan dan analisis laboratorium, data iklim
AGRIPLUS, Volume 20 Nomor : 02 Mei 2010, ISSN 0854-0128
173
dicatat pada
Monginsidi.
stasiun
klimatologi
Wolter
Tahap persiapan penelitian
Pada tahap ini kegiatan yang dilakukan
adalah: a) mengadakan studi kepustakaan,
pengumpulan data dan informasi berupa petapeta tematik dari instansi terkait, dan data iklim.
b) Membuat peta kerja lapangan dalam bentuk
Peta Satuan Lahan skala 1 : 50.000, dengan cara
overlay peta-peta tematik. Teknik pengkodean
satuan lahan dibuat dengan menggunakan angka
arab berdasarkan persamaan sifat satuan tanah,
lereng, geologi dan penggunaan lahan, lalu
menentukan satuan-satuan lahan yang menjadi
sampel area dan data yang dibutuhkan dalam
survei lapangan, dan pengamatan secara intensif
dilakukan pada sampel area tersebut. c)
Pengadaan atau penyiapan bahan dan alat
observasi lapang, d) Pengadaan logistik untuk
keperluan kegiatan survei lapangan dan
persiapan administrasi untuk analisis tanah di
laboratorium.
Tahap pengumpulan data
Pada tahap ini kegiatan yang dilakukan
yaitu: (1) melakukan pengamatan terhadap
karakteristik lahan, meliputi: (a) pemantapan
batas satuan lahan daerah penelitian berdasarkan
hasil observasi lapangan, (b) Pengamatan
vegetasi dan penggunaan lahan dilaksanakan di
lapangan yang meliputi pengamatan jenis
penggunaan lahan dan jenis vegetasi, (c)
pengumpulan data iklim (temperatur udara,
curah hujan, hari hujan, dan kelembaban udara),
dicatat pada Stasiun Meteorologi Lanud Wolter
Monginsidi, (d) pengukuran panjang lereng
erosi,
kemiringan
lereng,
pengamatan
penggunaan lahan dan vegetasi, untuk kajian
erosi; dan (2) Pengamatan karakteristik tanah,
meliputi: (a) pemboran tanah dilakukan sedalam
120 cm dan pembuatan profil pit pewakil
sedalam 150-200 cm atau sampai lapisan bahan
induk. Sifat-sifat yang diamati dan diteliti adalah
tekstur tanah, struktur tanah, konsistensi tanah,
warna tanah, kedalaman tanah, (b) pengambilan
contoh tanah meliputi: (1) Contoh tanah
komposit untuk penilaian tekstur tanah dan Corganik, (2) Contoh tanah utuh diambil dengan
ring
sampel
standar
untuk
penilaian
permeabilitas tanah. Sifat tanah yang dianalisis
di laboratorium yaitu : Tekstur tanah dengan
metode pipet, permeabilitas tanah dengan
metode double ring, bahan organik (C-organik)
dengan metode Kjeldahl.
Tahap pengolahan data
Prediksi erosi potensial dilakukan pada
setiap sampel area dengan menggunakan rumus
Universal soil loss equation (USLE) oleh
Wischmeier dan Smith, (dalam Morgan, 1995)
sebagai berikut: A = R.K.L.S.C.P; dimana A
adalah besarnya erosi yang akan terjadi (ton
hektar-1 tahun-1), R adalah indeks faktor
erosivitas hujan, K adalah indeks faktor
erodibilitas tanah, L adalah indeks faktor panjang
lereng, S adalah indeks faktor kemiringan
lereng, C adalah indeks faktor pengelolaan
tanaman, dan P adalah indeks faktor teknik
konservasi tanah yang dilakukan.
Indeks faktor erosivitas hujan (R).
Indeks faktor erosivitas curah hujan (R)
ditentukan dengan menggunakan persamaan
Bols dalam Seta (1991) yaitu R = Σ EI30 = 6,119
R1,21 x D-0,47 x M0,53, dimana EI30 adalah indeks
erosi hujan bulanan, R adalah curah hujan ratarata bulanan (cm), D adalah jumlah hari hujan
rata-rata per bulan, dan M adalah curah hujan
maksimum selama 24 jam dalam bulan
bersangkutan.
Faktor erodibilitas (K). Indeks faktor
erodibilitas tanah (K), ditentukan dengan
menggunakan persamaan yang dikembangkan
oleh Wischmeier dan Smith (dalam Arsyad,
1989) yaitu : 100K = 1,292 (2,1M1,14(10-4)(12-a)
+ 3,25(b-2) + 2,5(c-3), dimana M = % (pasir
sangat halus + debu) x (100-% liat), a=% bahan
organik, b=kode struktur tanah, c=kelas
permeabilitas tanah.
Faktor panjang dan kemiringan
lereng (LS). Faktor kemiringan lereng dan
panjang lereng (LS) merupakan nisbah antara
erosi tanah dengan suatu panjang lereng tertentu
terhadap erosi dari tanah dengan panjang lereng
22,1 meter dan kemiringan 9 persen di bawah
keadaan identik. Faktor LS dapat ditentukan
berdasarkan data hasil pengukuran panjang dan
kemiringan lereng menggunakan persamaan
Wischmeier dan Smith (dalam Arsyad, 1989)
AGRIPLUS, Volume 20 Nomor : 02 Mei 2010, ISSN 0854-0128
174
dengan persamaan: LS = √X(0,0138+0,00965S+
0,00138S2), dimana LS = faktor kelerengan, X =
panjang lereng (m), S = kemiringan lereng (%).
Indeks faktor pengelolaan tanaman
(C). Pengelolaan tanaman (C) merupakan nisbah
antara tanah yang hilang pada pengelolaan
tanaman tertentu dengan tanah yang hilang tanpa
tanaman. Nilai C ditentukan berdasarkan nilai C
hasil penelitian terdahulu.
Faktor teknik konservasi tanah (P).
Teknik konservasi tanah (P) merupakan nisbah
antara tanah yang hilang dari suatu tindakan
pengelolaan lahan dengan teknik konservasi
tanah tertentu seperti teras, penanaman sejajar
kontur, dan sebagainya dengan tanah yang hilang
tanpa teknik konservasi. Nilai P ditentukan
berdasarkan nilai P hasil penelitian terdahulu.
Erosi yang ditoleransikan (ETOL)
Erosi yang dapat ditoleransikan (ETOL)
ditetapkan dengan menggunakan persamaan
yang dikemukakan oleh Wood dan Dent dalam
Hardjowigeno dan Sukmana (1995) yang
memperhatikan kedalaman tanah minimum dan
kecepatan proses pembentukan tanah dengan
persamaan sebagai berikut : ETOL = DE - DMIN /
MPT – LPT, dimana, DE = kedalaman tanah
efektif (cm) x nilai faktor kedalaman; DMIN =
kedalaman tanah minimum (cm); MPT = masa
pakai tanah (tahun); dan LPT = laju
pembentukan tanah (mm thn-1).
Nilai faktor kedalaman ditentukan
berdasarkan tabel nilai faktor kedalaman
beberapa sub-order tanah yang dikeluarkan oleh
Hammer (dalam Hardjowigeno dan Sukmana,
1995). Kedalaman tanah minimum ditetapkan 25
cm (Arsyad, 1989). Sedangkan masa pakai tanah
dapat diestimasi dengan perkiraan laju pelapukan
tanah. Berdasarkan hasil perhitungan para pakar
geologi telah menetapkan bahwa untuk
membentuk lapisan tanah atas (top soil) setebal
25 milimeter pada lahan-lahan alami dibutuhkan
waktu lebih kurang 300 tahun (Bennet dalam
Seta, 1991). Dengan demikian, nilai masa pakai
tanah (MPT) di lokasi penelitian ditentukan
selama 300 tahun dan laju pembentukan tanah
(LPT) ditentukan setebal 25 milimeter.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keadaan Umum Daerah Studi
Secara administrasi Kawasan Tahura
Nipa-Nipa termasuk dalam wilayah Kecamatan
Soropia Kabupaten Konawe serta Kecamatan
Kendari dan Kendari Barat Kota Kendari dengan
luas wilayah 8.146,0 ha, secara geografis terletak
di bagian Selatan Garis Khatulistiwa antara
koordinat 122029’42”–122038’45” BT dan
3054’00”– 3058’00” LS. Batas kawasan Tahura
Nipa-Nipa yaitu: (1) Sebelah Utara berbatasan
dengan Teluk Lasolo; (2) Sebelah Barat
berbatasan dengan Kecamatan Mandonga; (3)
Sebelah Selatan berbatasan dengan Teluk
Kendari; (4) Sebelah Timur berbatasan dengan
Laut Banda.
Kawasan Tahura Nipa-Nipa mempunyai
bentuk lahan: Perbukitan Rendah dengan lereng
mulai berombak (3-8%) seluas 353,75 ha
(4,35%) sampai bergelombang (8-15%) seluas
1.493,75 ha (18,33%); Perbukitan Sedang
dengan lereng agak curam (15-25%) seluas
921,75 ha (11,32%); Perbukitan Tinggi dengan
lereng curam (25-40%) seluas 5.087,5 ha
(62,45%); dan Pegunungan dengan lereng sangat
curam (>40%) seluas 289,25 ha (3,55%).
Mempunyai formasi geologi tunggal yaitu
formasi Meluhu (TRJs) seluas 8.146,0 ha
terbentuk pada jaman peralihan antara akhir
jaman Jura dan awal jaman Trias, merupakan
endapan permukaan dan batuan sedimen yang
materialnya tersusun dari batu pasir, kuarsit,
serpih hitam, serpih merah, Filit, Batu sabak,
Batu gamping dan batu lanau. Mempunyai dua
jenis tanah yaitu Podsolik seluas 1.694,75 ha
(20,80%) dan Kambisol seluas 6.451,25 ha
(79,20%), dengan penggunaan lahan kebun
campuran seluas 1.192,0 ha (14,63%), semak
belukar seluas 1.193,5 ha (14,65%), dan hutan
seluas 5.760,5 ha (70,72%).
Kawasan Tahura Nipa-Nipa mempunyai
tipe iklim B (Schmidt-Ferguson), dengan curah
hujan rata-rata tahunan sebesar 2.068,80 mm
dengan kisaran curah hujan bulanan tertinggi
266,47 mm terjadi pada bulan Mei, curah hujan
bulanan terendah 71,19 mm terjadi pada bulan
Agustus dan rataan curah hujan bulanan
sebesar 172,40 mm. Temperatur udara rataan
AGRIPLUS, Volume 20 Nomor : 02 Mei 2010, ISSN 0854-0128
175
tahunan sebesar 26,740C dengan kisaran
temperatur udara bulanan terendah 25,080C yang
terjadi pada bulan Agustus, temperatur udara
bulanan tertinggi 28,340C terjadi pada bulan
Desember. Temperatur tanah rataan tahunan
sebesar 29,240C dengan kisaran temperatur tanah
bulanan terendah 27,580C yang terjadi pada
bulan Agustus, temperatur tanah bulanan
tertinggi 30,840C terjadi pada bulan Desember.
Kelembaban udara rata-rata tahunan sebesar
85,57% dengan kisaran kelembaban udara
bulanan terendah 77,22 % terjadi pada bulan
Agustus dan kelembaban udara bulanan tertinggi
92,03 % terjadi pada bulan Mei.
Kawasan Tahura Nipa-Nipa mempunyai
beberapa sungai besar dan kecil yang bermuara
langsung ke Teluk Kendari, dengan kondisi air
sungai pada bagian hilir terutama sungai utama
pada umumnya agak keruh dan meningkat
kekeruhannya pada musim hujan. Hal ini
menunjukkan terjadinya degradasi lahan (erosi)
pada daerah tangkapan sehingga meningkatkan
sedimen yang masuk ke badan sungai. Tingginya
sedimentasi yang dihasilkan dari beberapa sungai
yang ada di daerah studi bersumber dari hasil
erosi dari berbagai penggunaan lahan pada DTA
(Daerah Tangkapan Air) yang cenderung
melakukan pembukaan (mengkonversi) hutan
untuk berbagai kepentingan, seperti penggunaan
lahan untuk pertanian (kebun) dan pemukiman.
Erosi Potensial Dan Erosi Ditoleransikan
Kehilangan tanah adalah salah satu dari
tantangan-tantangan yang terbesar di dalam
pemanfaatan sumberdaya alam dan perencanaan
lingkungan,
sehingga
simulasi
untuk
meramalkan kehilangan tanah penting sebagai
dasar untuk berbagai peruntukan tanah dan
manajemen pengolahan tanah (Bhuyan dkk.,
2002). Ramalan-ramalan kehilangan tanah total
tahunan bervariasi melalui segmen arus yang
bergerak dari 134 mg ha-1 thn-1 untuk kemiringan
lereng dengan rerata faktor LS dari 0-10, sampai
549 mg ha-1 thn-1 untuk kemiringan lereng
dengan rerata faktor LS dari 20-30, yang lebih
toleransi dari kehilangan tanah yang diperkirakan
(T) untuk area 22-10 mg ha-1 thn-1 (Angima dkk.,
2003).
Berdasarkan hasil perhitungan prediksi
erosi potensial dan erosi ditoleransikan, kawasan
Tahura Nipa-Nipa mempunyai erosi potensial
dan erosi terbolehkan sebagaimana disajikan
pada Tabel 1, dan spasialnya sebagaimana
disajikan pada Gambar 1.
Data Tabel 1, menunjukkan bahwa erosi
potensial terbesar berpeluang terjadi pada unit
lahan 14 sebesar 4736,66 ton ha-1 thn-1, dan erosi
potensial terkecil berpeluang terjadi pada unit
lahan 13 sebesar 35,88 ton ha-1 thn-1 dan unit
lahan 9 sebesar 36,15 ton ha-1 thn-1. Hal ini
disebabkan kondisi lahan pada unit lahan 9
walaupun mempunyai faktor kelerengan yang
tinggi yaitu (LS=27,06) dan unit lahan 13,
namun penggunaan lahannya hutan alami dengan
vegetasi pepohonan yang masih mempunyai
penutupan tajuk yang baik dan serasah yang
cukup sehingga faktor vegetasi (CP=0,005)
masih mampu berfungsi dengan baik dalam
menekan pengaruh tumbukan dan pengikisan air
hujan, sedangkan pada unit lahan 14 mempunyai
erosi potensial terbesar disebabkan oleh faktor
kelerengan yang dominan yaitu besar
(LS=26,66) dengan penggunaan lahan semak
belukar kurang mampu berfungsi dengan baik
dalam menekan pengaruh tumbukan dan
pengikisan air hujan.
AGRIPLUS, Volume 20 Nomor : 02 Mei 2010, ISSN 0854-0128
176
Tabel 1. Erosi potensial dan erosi terbolehkan Kawasan Tahura Nipa-Nipa
Unit
lahan
Ul 1
Ul 2
Ul 3
Ul 4
Ul 5
Ul 6
Ul 7
Ul 8
Ul 9
Ul 10
Ul 11
Ul 12
Ul 13
Ul 14
R
K
1364.13
1364.13
1364.13
1364.13
1364.13
1364.13
1364.13
1364.13
1364.13
1364.13
1364.13
1364.13
1364.13
1364.13
0.48
0.51
0.58
0.36
0.46
0.21
0.34
0.44
0.20
0.48
0.24
0.29
0.37
0.43
LS
C
1.20 0.30
1.10 0.32
3.98 0.30
3.24 0.30
3.33 0.30
9.67 0.32
4.81 0.30
11.98 0.30
27.06 0.005
19.34 0.30
16.67 0.30
10.71 0.50
14.27 0.005
26.66 0.30
Total
P
0.3
1.0
0.3
1.0
1.0
1.0
1.0
1.0
1.0
1.0
1.0
1.0
1.0
1.0
A (ton ha-1
thn-1)
70.43
245.30
282.45
510.06
624.65
906.91
662.24
2161.72
36.15
3781.23
1626.68
2137.34
35.88
4736.66
Etol (ton
ha-1 thn-1)
25.32
25.24
25.24
25.10
25.24
25.09
25.32
25.09
24.98
25.32
25.32
25.21
24.14
25.24
Luas
Ha
(%)
26.50
0.33
327.25
4.02
659.75
8.10
669.00
8.21
165.00
2.03
777.75
9.55
34.75
0.43
109.25
1.34
3977.75
48.83
271.50
3.33
645.00
7.92
190.25
2.34
18.00
0.22
271.25
3.33
8146.00 100.00
Sumber: Data primer diolah, Juni 2009
Hal ini sejalan dengan hasil penelitian
(Wicks dan Bathurstb, 1995) yaitu untuk daerah
perbukitan yang berlereng dengan tutupan
vegetasi, erosi oleh air hujan akan menetes
melalui daun dan menyebabkan aliran
permukaan dan pengangkutan material yang
terkikis oleh aliran permukaan akan menjadi
selektif yaitu yang terbawa hanyalah sedimen
halus sedangkan sedimen kasar akan tertinggal,
dengan demikian maka erosi tanah akan lebih
kecil. Sedangkan Poesena dkk. (2002),
menyatakan bahwa bagi satuan lahan yang
mempunyai ciri erosi alur, akan menjadi salah
satu sumber sedimen penting terhadap
lingkungan dan akan menjadi saluran efektif
untuk mentransfer aliran sedimen dari
pegunungan ke dasar lembah serta menjadi
saluran permanen untuk erosi air.
Banyak komponen tanggapan erosional,
seperti memisahkan antara sungai kecil dan
interril atau permukaan dan proses-proses di
bawah permukaan tanah, kondisi-kondisi
ambang batas hidrolik untuk goresan sungai
kecil, membentuk jaringan dan hillslope
sedimen, sangat dipengaruhi oleh variabel lahan
yang dinamis. Variabel lahan untuk menentukan
erodibilitas, seperti agregasi tanah dan kekuatan
menghancurkannya dipengaruhi oleh faktor
iklim seperti tindakan sebaran curah hujan
(Bryan, 2000). Perkiraan-perkiraan dari resiko
berhubungan dengan suatu jumlah badai yang
terintegrasi dengan distribusi frekuensi curah
hujan harian merupakan data yang baik dalam
memperkirakan resiko rerata tahunan (Kirkby,
2000). Faktor-faktor lahan diperkirakan dari
kelas-kelas tekstural merupakan fungsi pedotransfer kualitatif.
Berdasarkan analisis erosivitas hujan,
rata-rata curah hujan tahunan di kawasan Tahura
Nipa-Nipa sebesar 2068,85 mm setiap tahunnya
memiliki potensi besar dalam mempengaruhi
besarnya erosi yang terjadi pada kawasan Tahura
Nipa-Nipa. Hal ini terlihat pada indeks erosivitas
hujan yang menyatakan kemampuan suatu hujan
untuk menimbulkan erosi diperoleh nilai sebesar
1364,13 ton ha-1 thn-1 menunjukkan bahwa
intensitas hujan, jumlah hujan dan distribusinya
sangat mempengaruhi potensi terjadinya erosi
yang tinggi pada kawasan Tahura Nipa-Nipa,
khususnya pada bulan-bulan Nopember,
Desember, Januari, hingga Juni setiap tahunnya.
Berdasarkan analisis sifat-sifat tanah
yang mempengaruhi kepekaan tanah terhadap
erosi menunjukkan bahwa pada kawasan Tahura
Nipa-Nipa, selain tekstur tanahnya, sifat-sifat
tanah yang lain memiliki pengaruh yang relatif
AGRIPLUS, Volume 20 Nomor : 02 Mei 2010, ISSN 0854-0128
177
kecil dalam mempengaruhi besar kecilnya erosi
yang terjadi sebagai akibat dari penggunaan
lahan yang masih hutan alami. Hal ini terlihat
pada indeks erodibilitas tanah yang tertinggi
yaitu 0,16 pada Unit Lahan 9. Tekstur tanah pada
kawasan Tahura Nipa-Nipa terdiri atas tekstur
lempung sampai lempung berdebu termasuk
tekstur tanah yang peka terhadap erosi.
Kandungan bahan organik tanah pada kawasan
Tahura Nipa-Nipa termasuk pada kategori sangat
rendah (UL 4 dan UL 8), kategori rendah (UL 1,
2, 3, 5, dan UL 10), kategori sedang (UL 6, 7,
11, 12, 13, dan UL 14), kategori tinggi (UL 9).
Untuk Unit Lahan 9 masih berpengaruh positif
karena umumnya menyebabkan struktur tanah
menjadi lebih mantap sehingga tanah masih
tahan terhadap erosi. Kondisi struktur tanah pada
kawasan Tahura Nipa-Nipa terdiri atas struktur
bentuk granuler hingga kubus bersudut, ukuran
sedang dan tingkat perkembangan kuat sehingga
tanah masih memiliki porositas sedang
menyebabkan air masih meresap ke dalam tanah
dan aliran permukaan relatif kecil, pengaruhnya
terhadap erosi juga rendah, namun permeabilitas
tanahnya terdiri atas permeabilitas lambat sampai
sedang, yang juga dapat memperkecil daya
infiltrasi dan sulitnya air meresap ke dalam tanah
sehingga akan memperbesar aliran permukaan
dan pengaruhnya terhadap erosi juga tinggi.
Berdasarkan analisis besarnya erosi yang
masih dapat ditoleransikan yang terjadi pada
kawasan Tahura Nipa-Nipa (Tabel 1) diperoleh
bahwa kawasan Tahura Nipa-Nipa mempunyai
besar erosi yang masih ditoleransikan merata
pada keseluruhan unit lahan dengan nilai
berkisar sebesar 24,98 ton ha-1 sampai 25,32 ton
ha-1 untuk setiap tahunnya (lebih kecil dari erosi
potensial), menunjukkan bahwa perlu adanya
upaya-upaya konservasi tanah dan air yang harus
dilakukan pada setiap satuan lahan.
Teknik Konservasi Tanah dan Air
Millward
dan
Mersey
(2001),
menyatakan bahwa ada 2 skenario untuk
mengubah peruntukan tanah dengan model
Erosion Prediction Information System (EPIS)
yaitu: (1) implementasi praktek konservasi lahan
pada lokasi-lokasi erosi, (2) pemilihan lokasilokasi untuk perluasan agrikultur memperkecil
potensi kehilangan tanah. Erosi tanah masih
menjadi perhatian utama untuk pengembangan
dari sistem manajemen agrikultur. Sedangkan De
La Rosa dkk (2000) menyatakan bahwa toleransi
lahan yang didasarkan pada erosi air, dapat
dirumuskan dari kerugian lahan terhadap
penurunan produktivitas panen, dan menemukan
manajemen kombinasi dari praktek-praktek yang
akan meminimasi kehilangan tanah pada suatu
ladang. Pertimbangan erosi tanah akan
memudahkan keputusan rencana tata guna lahan.
Konservasi tanah dan air merupakan dua
hal yang sangat erat hubungannya satu sama lain
karena setiap aktivitas yang dilakukan pada
sebidang tanah akan turut mempengaruhi tata air
pada tempat tersebut bahkan sampai pada
tempat-tempat di hilirnya, sehingga berbagai
tindakan konservasi tanah merupakan juga
tindakan konservasi air. Berdasarkan hubungan
ini, maka hal penting yang harus kita lakukan
adalah memelihara jumlah, waktu aliran dan
kualitas air sejauh mungkin melalui cara
pengelolaan dan penggunaan tanah yang baik
sesuai kaidah konservasi tanah dan air. Teknik
konservasi tanah dan air di kawasan Tahura
Nipa-Nipa
disusun
berdasarkan
hasil
perbandingan antara erosi potensial dan erosi
terbolehkan yang terjadi pada setiap unit lahan
yang ada dalam kawasan Tahura Nipa-Nipa.
Tabel 1, menunjukkan bahwa erosi
potensial
lebih
besar
dibanding
erosi
terbolehkan. Hal ini jika dibiarkan akan dapat
memberikan dampak negatif terhadap kondisi
lahan, sungai-sungai yang mengalir pada
kawasan Tahura Nipa-Nipa dan pendangkalan
pada Teluk Kendari. Untuk dapat menekan laju
erosi yang akan berdampak negatif tersebut,
upaya yang harus dilakukan yaitu dengan
menekan nilai indeks faktor konservasi dan
pengelolaan tanaman (CP) berkisar antara
0,000048 sampai 0,01. Nilai ini menunjukkan
bahwa alternatif pilihan minimal yang harus
dilakukan pada setiap satuan lahan di kawasan
Tahura Nipa-Nipa untuk menekan laju erosi
antara
lain
yaitu
berupa penghutanan
kembali/Hutan alam, teras bangku, reboisasi dan
penanaman garis kontur, sebagaimana disajikan
pada Tabel 2, dan Peta Alternatif Konservasi
Tanahnya sebagaimana Gambar 1.
AGRIPLUS, Volume 20 Nomor : 02 Mei 2010, ISSN 0854-0128
178
Tabel 2. Alternatif pengelolaan konservasi tanah dan air pada Kawasan Tahura Nipa-Nipa Kota Kendari
Unit
lahan
Alternatif Pengelolaan Konservasi Tanah dan Air
Ul 1
Farming forest (tanaman bertingkat), Teras Bangku, Reboisasi
Ul 2
Reboisasi, Hutan Rakyat
Ul 3
Reboisasi, Hutan Rakyat
Ul 4
Farming forest (tanaman bertingkat), Teras Bangku, Dihutankan searah kontur
Ul 5
Teras Bangku, Semak belukar, Dihutankan searah kontur
Ul 6
Hutan alami, Dam pengendali
Ul 7
Perkebunan dengan tanaman penutup tanah rapat, Teras Bangku, Dihutankan searah kontur
Ul 8
Dihutankan, Albizia dengan semak campuran ditanam sesuai kontur
Ul 9
Hutan alami
Ul 10
Kebun nenas dengan penanaman menurut kontur + mulsa dipermukaan, Teras Bangku, Dihutankan
Ul 11
Dihutankan, Albizia dengan semak campuran ditanam sesuai kontur
Ul 12
Kebun nenas dengan penanaman menurut kontur + mulsa dipermukaan, Teras Bangku, Dihutankan
Ul 13
Hutan alami
Ul 14
Dihutankan, Albizia dengan semak campuran ditanam sesuai kontur
Sumber : Data primer diolah, 2009.
Tabel 2, menunjukkan bahwa secara
umum kawasan Tahura Nipa-Nipa sebaiknya
dihutankan kembali dengan pola tanam searah
garis kontur dan pembuatan teras-teras yang
bertujuan untuk mengurangi kekuatan erosi
aliran permukaan. Hal ini sejalan dengan
pernyataan Hessel dkk. (2003), bahwa penerapan
bentuk sederhana dari praktek konservasi tanah
secara biologi seperti pemulsaan, perbaikan
lahan tandus, dan kenservasi tanah secara
mekanis dipraktekkan pada punggung bukit,
merupakan alternatif dalam pengelolaan lahan
yang menurunkan tingkat erosi dan sedimen
yang terangkut berkisar antara 40% dan 60%.
Untuk satuan lahan 9 dan satuan lahan
13, walaupun mempunyai erosi potensial yang
lebih kecil dibandingkan dengan satuan lahan
yang lainnya namun karena mempunyai
kedalaman solum yang dangkal (20 cm) untuk
satuan lahan 9 sehingga tingkat bahaya erosi
termasuk dalam kelas sangat berat, dan berat
untuk Unit Lahan 13, dan karenanya tidak ada
cara lain untuk tindakan konservasinya selain
membiarkannya dalam keadaan hutan alami.
AGRIPLUS, Volume 20 Nomor : 02 Mei 2010, ISSN 0854-0128
179
N
0.5 1
03 o 52'
1
1.5
2
2.5 3
2
3
4
5
Sk al a 1 : 5 0.00 0
6
PE TA E R O S I
KA W A SAN TA MA N H U TAN R AY A
( TAH U RA) N IP A-N IP A
K O T A K E N D AR I
Km
Cm
LEG EN D A
Y
#
IN D EK S P ET A
Ib u ko ta Keca m atan
B atas Un i t L a ha n
B atas Ka w asa n
Lokasi D im aks ud
B atas Ke cam atan
B atas Ka b u pa te n
Su n g ai
TE L U K L A S OL O
Ga ris P an tai
Jala n
03 o 54'
Pem u ki m an
Penam p u n g an ai r
C ek d am
13
3
5
14
11
14
5
No
3
LA UT BA ND A
9
11
Unit La ha n
Y
#
3
5
8
8
6
9
11
2
K EC . SO R O PIA
03 o 56'
6
8
2
2
6
3
3
6
6
3
3
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
2
6
9
7
P.B ok ori
6
4
2
K EC . K EN D A R I B A R AT
7
12
4
4
1
10
12
UL
Y
#
K E C .M AN D O N GA
1
2
3
4
TE LU K K E ND AR I
P.B un gk u to k o
5
6
7
04 o 00'
8
122 o 29 ' BT
9
10
SU M B E R:
1. P e ta R up a B um i Indo nes ia S k ala 1 : 50 .0 00
5. P e ta P e ngg una an L aha n K awa sa n TA HU R A
Tahu n 199 2 Lem b ar K e nda ri (2 212 -3 1)
Nipa -N ipa S k ala 1 : 50 .0 00 Ta hun 200 5
2. P e ta G eolo gi da n P otens i B aha n G a lian S UL T R A 6. P e ta L er eng K a was a n TA HU RA N ipa- Nip a
Sk ala 1 : 5 00.00 0 Tah un 19 93
Sk ala 1 : 5 0.000 T ahu n 200 5
3. P e ta T G HK P ro vinsi S u lawe si T e ngg ar a
7. H as il S ur ve y La pan g T ahu n 20 09
Sk ala 1 : 2 50.00 0 Tah un 19 92
4. P e ta J e nis T a na h Pr ov ins i S UL T RA
Sk ala 1 : 2 50.00 0 Tah un 19 85
122 o 30 '
122 o 32 '
E ros i
T e rb oleh ka n
(T o n/H a/T a hun )
25 ,3 2
25 ,2 4
25 ,2 4
25 ,1 0
25 ,2 4
25 ,0 9
25 ,3 2
25 ,0 9
24 ,9 8
25 ,3 2
25 ,3 2
25 ,2 1
25 ,1 4
24 ,2 4
Lua s
Ha
%
0 ,3 3
26,50
4 ,0 2
327,25
8 ,1 0
659,75
8 ,2 1
669,00
2 ,0 2
165,00
9 ,5 5
777,75
0 ,4 3
34,75
1 ,3 4
109,25
48 ,8 3
3 977,75
3 ,3 3
271,50
7 ,9 5
648,00
2 ,3 4
190,25
0 ,2 2
18,00
3 ,3 3
271,25
8.14 6,00 10 0,00
11
Y
#
03 o 58' LS
70 ,4 3
245 ,3 0
282 ,4 5
510 ,0 6
624 ,6 5
906 ,9 1
662 ,2 4
2161 ,7 2
36,1 5
3 .78 1,2 3
1 .62 6,6 8
2 .13 7,3 4
35,8 8
4 .73 6,6 6
TO T A L
11
5
03 o 58'
5
K EC . K EN D A R I
10
Ero si P ot ens ial
(T o n/H a/T a hun )
122 o 34 '
122o 36 '
122 o 38 '
11
12
13
14
TE KNIK K O N SE RV AS I
Farm i ng fo rest (tan am an be rtin gka t) , Ter as Ba ng ku, R eb oi sasi
Re bo is a si, H u tan Ra k ya t
Re bo is a si, H u tan Ra k ya t
Farm i ng Fo res t (tan am a n b ertingk at) , T er as B an gku ,
Di hutan k an s e ar ah K on tur
Teras ba ngk u, S ema k B eluka r , Dih uta nk a n sea rah ko ntu r
Hu ta n a lam i, D a m pen ge nd ali
P er ke bu na n d eng an ta na m an p en utu p tana h r a pat,
Teras B an gk u , Dih utank an sea rah ko ntu r
Di huta nk an, A lbizi a de ng an se m a k be luk ar c am pu r an,
dita nam s e sua i k ontu r
Hu ta n A lam i
K eb un n en as d en gan pe na na ma n m e nu rut k o ntur +
mul sa d i pe rmuk aa n,T eras B ang k u , d ih utank an sea ra h k ontu r
Di huta nk an,Al bizia de ng an sem ak c am p ur an d ita nam s esu ai ko ntur
K eb un N e nas d eng an pe na nam an m en urut kon tur +m u lsa
dipe rm uka an , te ra s b ang k u , di hutank an
Hu ta n a lam i
Di huta nk an,Al bizia de ng an sem ak c am p ur an d ita nam s esu ai ko ntur
Dibu at O leh : Djafar Me y, S P.,M .S i
122 o40 '
Gambar 1. Peta erosi dan teknik konservasi tanah kawasan Tahura Nipa-Nipa
Berdasarkan kondisi biofisik lahan
kawasan Tahura Nipa-Nipa, yaitu kondisi hutan
alami yang dimiliki pada Unit Lahan 9 dan Unit
Lahan 13 sebaiknya dipertahankan, karena
walaupun mempunyai erosi potensial yang lebih
kecil dibandingkan dengan Unit Lahan yang
lainnya namun karena mempunyai kedalaman
solum yang dangkal (20 cm) untuk Unit Lahan 9
sehingga tingkat bahaya erosi termasuk dalam
kelas sangat berat, dan berat untuk Unit Lahan
13, dan karenanya tidak ada cara lain untuk
tindakan konservasinya selain membiarkannya
dalam keadaan hutan alami, sedangkan Unit
Lahan yang lain yang telah terganggu sebaiknya
dihutankan kembali dengan pola tanam searah
garis kontur dan pembuatan teras-teras yang
bertujuan untuk mengurangi kekuatan erosi
aliran permukaan. Hal ini sejalan dengan
pernyataan Stolte, dkk., (2003), yaitu Hutan
merupakan skenario alternatif peruntukan tanah
untuk dasar alur, dengan mantap mengakibatkan
penurunan air dan sedimen, sehingga
mendukung
implementasi
kebijakan
reboisasi/penghutanan kembali bagi lahan-lahan
terbuka.
Hal ini memungkinkan untuk dilakukan
karena dengan pertimbangan jenis tanah yang
ada di kawasan Tahura Nipa-Nipa yaitu podsolik
dan kambisol, serta kondisi geologi yang di
dominasi oleh bentukan batuan yang terutama
tersusun dari batu pasir, biasanya memungkinkan
untuk terjadinya perkolasi air karena memiliki
pori untuk menyimpan air dalam jumlah besar
dan karenanya dapat pula dibuat Cek Dam pada
bagian hulu sungai yang bertujuan untuk
menampung sedimen tersuspensi, terutama pada
saat musim penghujan sehingga dapat menekan
laju sedimentasi di tubuh sungai dan
pendangkalan pada Teluk Kendari.
PENUTUP
Berdasarkan pembahasan tersebut di atas,
dapat disimpulkan sebagai berikut: (1) Secara
umum semua unit lahan yang ada dalam kawasan
Tahura Nipa-Nipa mempunyai erosi potensial
lebih besar dari erosi terbolehkan. (2) Alternatif
pilihan minimal yang harus dilakukan pada
setiap unit lahan di kawasan Tahura Nipa-Nipa
untuk menekan laju erosi yaitu : penghutanan
AGRIPLUS, Volume 20 Nomor : 02 Mei 2010, ISSN 0854-0128
180
Jurnal
Agriculture,
Ecosystems
and
Environment. Instituto de Recursos Naturales
y Agrobiolog´ýa de Sevilla (IRNAS),
Consejo Superior de Investigaciones
Cient´ýficas
(CSIC),
Spain.
www.elsevier.com/locate/envsoft.
kembali/Hutan alam, teras bangku, reboisasi dan
penanaman searah garis kontur.
DAFTAR PUSTAKA
Amore, E., C. Modica, M.A. Nearing, V.C. Santoro,
2004. Scale effect in USLE and WEPP
application for soil erosion computation from
three Sicilian basins. Journal of Hydrology.
Department of Civil and Environmental
Engineering. University of Catania. Italy dan
USDA-ARS Southwest Watershed Research
Center,
Tucson,
USA.
www.elsevier.com/locate/jhydrol.
Angima, S.D, D.E. Stott, M.K. O’Neill, C.K. Ong,
G.A. Weesies, 2003. Jurnal Agriculture,
Ecosystems and Environment. Agronomy
Department, Purdue University, USA and
USDA Agricultural Research Service,
National Soil Erosion Research Laboratory.
USA and World Agroforestry Centre
(formerly the International Center for
Research in Agroforestry (ICRAF)), United
Nations
Avenue,
Kenya.
www.elsevier.com/locate/envsoft.
Arsyad, S. 1989. Konservasi Tanah dan Air. IPB
Press. Bogor.
Bhuyan, S.J., P.K. Kalita, K.A. Janssen, P.L. Barnes,
2002. Soil loss predictions with three erosion
simulation models. Jurnal Environmental
Modelling & Software. Department of
Biological and Agricultural Engineering,
Kansas State University, Manhattan and
Agricultural
Engineering
Department,
University of Illinois Urbana-Champaign.
USA. www.elsevier.com/locate/envsoft.
BPS, 2007. Kota Kendari dalam Angka. Badan Pusat
Statistik Kota Kendari.
Bryan, R.B., 2000. Soil erodibility and processes of
water erosion on hillslope. Jurnal
Geomorphology. Soil Erosion Laboratory,
Faculty of Forestry, University of Toronto,
33 Wilcocks Street, Scarborough, Ontario,
Canada. www.elsevier.com/locate/envsoft.
De La Rosa, D., J.A. Moreno, F. Mayol, T. Bonsón,
2000.
Assessment of
soil
erosion
vulnerability in western Europe and potential
impact on crop productivity due to loss of
soil depth using the ImpelERO model.
Fontes, J.C., L.S. Pereira, R.E. Smith, 2004. Runoff
and erosion in volcanic soils of Azores :
simulation with OPUS. Jurnal Catena.
University of Azores and Agricultural
Engineering Research Center, Institute of
Agronomy,
Technical
University
of
Lisbon. Portugal, and USDA-ARS and
Colorado
State
University.
USA.
www.elsevier.com/locate/catena.
Hardjowigeno, S, dan S. Sukmana, 1995. Menentukan
Tingkat Bahaya Erosi. Second Land
Resource Evaluation and Planning Project.
ADB Loan. No.1099 INO. Pusat Penelitian
Tanah dan Agroklimat. Bogor.
Hessel, R., I.Messing, C.Liding,C.Ritsema, J.Stolte,
2003. Soil erosion simulations of land use
scenarios for a small Loess Plateau
catchment. Jurnal Catena. Department of
Physical Geography, Utrecht University,
Netherlands and Department of Soil
Sciences, Swedish University of Agricultural
Sciences. Sweden, and Division of Regional
Ecology, Research Center for EcoEnvironmental Sciences, The Chinese
Academy of Sciences. China.
www.elsevier.com/locate/catena.
Iswandi
R.M., 2004. Pengkajian Faktor-Faktor
Penyebab Pendangkalan Teluk Kendari dan
Dampaknya Terhadap Aktivitas Masyarakat
Pengguna Teluk. Majalah Ilmiah Agriplus.
Volume 14 Nomor 03 September 2004. Hal
167-176. Faperta Unhalu. Kendari.
Kirkby, M.J., Y. Le Bissonais, T.J. Coulthard, J.
Daroussin, M.D. McMahon, 2000. The
development of land quality indicators for
soil degradation by water erosion. Jurnal
Agriculture, Ecosystems and Environment.
School of Geography, University of Leeds,
Leeds and Institute Nationale pour
Recherche Agronomique (INRA) Science du
Sol, Avenue de la Pomme de Pin. France.
www.elsevier.com/locate/envsoft.
Legowo, S., 2005. Pendugaan Erosi dan Sedimentasi
dengan Menggunakan Model GeoWEPP,
AGRIPLUS, Volume 20 Nomor : 02 Mei 2010, ISSN 0854-0128
181
Studi Kasus DAS Limboto, Propinsi
Gorontalo).
ITB.
Bandung.
[email protected].
Metternicht, G.I, dan A. Fermont, 1998. Estimating
Erosion Surface Features by Linear Mixture
Modeling.
Jurnal
REMOTE
SENS.
ENVIRON. School of Spatial Sciences,
Curtin University of Technology. Australia.
Elsevier Science Inc.
Mey, Dj., 2004. Perubahan Penggunaan Lahan dan
Dampaknya Terhadap Kondisi Hidrologi.
Jurnal Soil Environment, Ilmu dan
Teknologi. Media Komunikasi KampusMasyarakat.
Universitas
Samratulangi.
Manado. Volume 2, Nomor 2 Edisi Agustus
2004, ISSN 1412-9108.
Mey, Dj., 2007. Kesesuaian Lahan Untuk Tanaman
Coklat (Theobroma cacao. L) di Kecamatan
Mawasangka Kabupaten Buton. Jurnal Soil
Environment, Ilmu dan Teknologi. Media
Komunikasi
Kampus
Masyarakat.
Universitas Samratulangi. Manado. Volume
5, Nomor 2 Edisi Agustus 2007, ISSN 14129108.
Millward, A.A., Janet, E., Mersey, 1999. Adapting
the RUSLE to Model Soil Erosion Potential
in a Mountainous Tropical Watershed.
Jurnal Catena. Department of Geography,
University of Waterloo and Department of
Geography, University of Guelph. Canada.
www.elsevier.comrlocatercatena.
Millward, A.A, and J. E. Mersey, 2001. Conservation
strategies for effective land management of
protected areas using an erosion prediction
information system (EPIS). Journal of
Environmental Management. Mexico.http://
www.idealibrary.com on.
Morgan,
R.P.C., 1995. Soil Erosion And
Conservation. Second Edition. Silsoe
College, Cranfield University. Longman.
London.
Poesena, J., J. Nachtergaelea, G. Verstraetena, C.
Valentin, 2002. Gully Erosion and
Environmental Change : Importance and
Research Needs. Jurnal Catena. Laboratory
for Experimental Geomorphology. Leuven.
Belgium and IRD-Ambassade de France.
Vientiane.
RPD
Laos.
www.elsevier.com/locate/catena.
Seta, A.K., 1991. Konservasi Sumberdaya Tanah dan
Air. Kalam Mulia. Jakarta.
Shrestha, D.P., 1997. Assessment of Soil Erosion in
the Nepalese Himalaya A Case Study in
Likhu Khola Valley, Middle Mountain
Region. Jurnal Land Husbandry, Vol.2,
No.1. Oxford & IBH Publishing Co. Pvt.
Ltd, pp 59-80.
Stolte, J., B. Liu, C.J. Ritsema, H.G.M. van den
Elsen, R. Hessel, 2003. Modelling water
flow and sediment processes in a small gully
system on the Loess Plateau in China. Jurnal
Catena. Alterra Green World Research,
Wageningen, and Department of Physical
Geography, Utrecht University, Utrecht, The
Netherlands, and Department of Geography,
Beijing Normal University, Beijing. China.
www.elsevier.com/locate/catena.
Vink, A.P.A., 1981. Landscape Ecology and Land
Use. Translate By The Author. English
Translation Edited By D.A. Davidson.
University of Strathclyde. Longman. London
and New York.
Wicks, J.M dan J.C, Bathurstb, 1995. SHESED: a
physically based, distributed erosion and
sediment yield component for the SHE
hydrological modelling system. Journal of
Hydrology. ‘Water Resource Systems
Research Unit, Department of Civil
Engineering, University of Newcastle upon
Tyne.
Newcastle
upon
Tyne.
www.elsevier.com/locate/jhydrol.
AGRIPLUS, Volume 20 Nomor : 02 Mei 2010, ISSN 0854-0128
Download