Peluang dan Tantangan Distance Education Kategori: Artikel Perpustakaan Diterbitkan pada 18 Mei 2017 Ditulis oleh Santi Virgianti Setiap warga Negara berhak mendapatkan pendidikan. Pendidikan merupakan hak dasar setiap warga negara tanpa membedakan gender, golongan, usia dan tempat tinggal. Kesempatan mendapatkan pendidikan harus merata. Namun, tidak semua kebutuhan pendidikan di Indonesia bisa terpenuhi melalui pendidikan formal yang konvensional. Kondisi geografis Indonesia yang memiliki lautan lebih luas dari daratan menyebabkan banyak wilayah yang terpisah oleh lautan. Sehingga, pelayanan pendidikan terkadang tidak bisa sampai menjangkau pulau-pulau atau wilayah-wilayah yang terpencil. Salah satu jalan keluar untuk mengatasi kesenjangan memperoleh pendidikan adalah dengan system pendidikan jarak jauh. Sebenarnya, pendidikan jarak jauh (PJJ) adalah sebuah konsep yang lama, namun menjadi baru dengan adanya pengembangan internet dan web. Pendidikan jarak jauh atau distance education adalah proses belajar dimana antara pengajar dan peserta didik tidak terjadi tatap muka secara langsung, melainkan terpisah jarak. Materi disampaikan melalui saluran komunikasi. (Dewi Salma Prawiradilaga : 2012). Pendidikan jarak jauh ini sering disamakan artinya dengan pendidikan terbuka (open education). Padahal, dua istilah tersebut berbeda. Siahaan mengatakan bahwa open learning adalah sistem pendidikan yang tidak mensyaratkan adanya pembatasan usia, pengalaman pendidikan sebelumnya, dan masa belajar. Sedangkan menurut Preeton dan Creed dalam Braedly, Daniel, Jung, Prawiladilaga serta Franklin, mereka memiliki perspektif yang sama tentang distance education, yakni suatu bentuk penyelenggaraan pendidikan dimana antara guru dan murid tidak bertatap muka seperti pendidikan konvensional, melainkan dipisahkan oleh jarak dan waktu. Dari pemaparan pengertian di atas, kedua istilah tersebut berbeda. Namun, pendidikan terbuka (open education) dan pendidikan jarak jauh (distance education) sering disamakan artinya. Misalnya dalam berbagai jurnal dan buku istilah pendidikan terbuka dan jarak jauh sering disingkat dengan PTJJ atau ODL (Open and Distance Learning). Sebagai suatu konsep, PTJJ memiliki beberapa karakteristik, diantaranya pesera didik dan pendidik terpisah jarak dan waktu. Materi atau bahan pembelajarannya dirancang secara professional dan disajikan melalui berbagai media. Terakhir, ada lembaga yang merancang, mengembangkan, mengimplementasikan dan mengevaluasi hasi-hasil yang dicapai. Dalam perkembangannya distance education memiliki evolusi karakteristik sampai delapan generasi. Perkembangan tersebut sangat dipengaruhi oleh perkembangan tekhnologi informasi dan komunikasi sebagai media dalam penerapan distance education tersebut. Generasi pertama, adalah correspondence model, yaitu model pembelajaran yang dicirikan oleh kombinasi penggunaan media cetak dan layanan pos, yaitu mengirimkan bahan-bahan belajar tercetak kepada siswanya secara berkala dengan bantuan jasa layanan pos. Model korespondensi atau surat menyurat ini diperkenalkan oleh Isaac Pitman pertama kali di Inggris pada tahun abad ke-19, sejalan dengan terjadinya revolusi teknologi percetakan dan jasa layanan pos Generasi kedua, adalah “multi-media model”, yang mengintegrasikan penggunaan berbagai media pembelajaran yaitu surat-menyurat atau korespondensi; buku teks standar yang secara khusus didesain untuk kepentingan PJJ; koleksi bahan-bahan bacaan seperti jurnal; dan didukung oleh penggunaan televisi; radio; media-rekam seperti kaset video; dan pembelajaran berbasis komputer. Generasi ketiga, adalah “tele-learning model”, dicirikan oleh pembelajaran secara “synchronous”, yaitu pembelajaran yang dilakukan melalui penggunaan teknologi interaktif seperti komputer, internet (instant messaging atau live chat, webinar) dan video conference, yang memungkinkan pembelajar dan pebelajar dapat berkolaborasi dan belajar secara real time (seakan-akan antara keduanya belajar hal yang sama, pada saat yang sama, dan di tempat yang sama pula). Generasi keempat, adalah “flexible learning model”, dicirikan oleh penggunaan komunikasi secara “asynchronous”, yaitu pembelajaran secara jarak jauh menggunakan sumber belajar online (internet atau website), atau menggunakan komputer via sistem jawab otomatis (automated-response system), korespondensi via e-mail, konferensi via komputer, layanan online dengan sistem bulletin board (BBS), atau multimedia interaktif lainnya. Di dalam model ini, pembelajar dan pebelajar dapat berkomunikasi secara fleksibel dalam hal tempat dan waktu, dengan kontrol belajar berpusat pada diri pelajar (learner). Generasi Kelima, “intelligent flexible learning model”, dicirikan oleh penggunaan secara “asynchronous”, melalui pemanfaatan internet/website, media jejaring perangkat multimedia seperti YouTube. Seperti pada generasi ke-4, di dalam pembelajar dan pebelajar dapat berkomunikasi secara fleksibel dalam hal tempat dengan kontrol belajar berpusat pada diri pebelajar (learner). komunikasi sosial, dan model ini, dan waktu, Generasi Keenam, adalah “electronic learning atau e-learning” yaitu pembelajaran secara online (online learning) melalui pemanfaatan penuh teknologi Internet (website) untuk memperoleh sumber-sumber belajar, komunikasi, maupun berbagai model pembelajaran.( Keegan, (2002). Generasi Ketujuh, adalah “mobile learning atau m-learning” yaitu penggunaan teknologi digital berperangkat wireless (handphone, personal digital assistants (PDAs), Pocket PC, atau laptop computers, smartphones, WAP, GPRS, dan (UMTS telephones) untuk memperoleh sumbersumber belajar, komunikasi,maupun berbagai model pembelajaran. (O. Zawacki-Richter, T. Brown, & R. Delport, 2008). Generasi kedelapan, adalah “multi-generational model” yaitu penggunaan secara terintegrasi teknologi pembelajaran dari generasi pertama hingga ketujuh. Model ini dalam beberapa hal menerapkan metodologi “blended learning”, “hybrid learning” atau “mixed-mode”, yaitu pembelajaran yang mengintegrasikan antara model pembelajaran “synchronous” dan “asynchronous”(online). (J. Willems, 2005). Open and distance learning atau pendidikan terbuka dan jarak jauh, telah lama didengungkan bahkan telah diterapkan dibeberapa Negara didunia. Di Afrika, open education dimulai dari sekolah-sekolah lanjutan dengan menggunakan sistem koresponden. Di Asia Tenggara, hampir semua Negara ASEAN memiliki institusi dan menjalankan program PTJJ, kecuali Brunei Darussalam. Thailand telah membuka institusi PTJJ sejak tahun 1978, begitu juga dengan Singapore, didirikan SIM University (UniSIM) yang memberikan kesempatan pendidikan bagi orang dewasa yang telah bekerja. Tak mau kalah, Malaysia juga memanfaatkan PTJJ dalam pendidikan warganya sendiri maupun bagi warga asing yang ingin melanjutkan kuliah di negaranya. Bagaimana dengan Indonesia ? Ada beberapa pertimbangan yang melatarbelakangi pendidikan terbuka dan jarak jauh di Indonesia, yaitu pertama, adalah perkembangan teknologi komunikasi dan teknologi. Kemudian, kedua, tantangan globalisasi. Ketiga faktor geografis. Keempat, pertumbuhan dan persebaran penduduk dan kelima kebutuhan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Di Indonesia, system pendidikan terbuka untuk sekolah dasar dengan memberdayakan lembaga masyarakat seperti yang dilakukan oleh model PAMONG (Pendidikan Anak oleh Masyarakat, Orang tua dan Guru). Kemudian, system pendidikan terbuka model SLTP Terbuka diatur oleh Dirjen Pendidikan, dimana kurikulum dan pembelajarannya disamakan dengan kelas konvensional. SLTP terbuka sistemnya dengan cara memberdayakan sekolah induk dan masyarakat sekitar. Walaupun konsep pendidikan terbuka telah didengungkan dan dimasyarakatkan, belum ada penyelenggaraan PTJJ yang seratus persen terbuka. Pada prakteknya, kebanyakan institusi yang menawarkan program PTJJ masih tetap memberlakukan aturan yang mengurangi keterbukaan, terutama apabila institusi tersebut memberikan akreditasi bagi lulusannya. Terlepas dari kelebihannya, PTJJ memiliki berbagai kendala. Menurut Siahaan, ada tiga kendala yang dihadapi oleh PTJJ, yaitu peserta didik, guru/tutor PTJJ, serta pemanfaatan teknologi dalam penyelenggaraan PTJJ. Pertama, dari segi peserta didik. Lokasi geografis peserta didik yang terpisah jauh dari guru, bisa menimbulkan perbedaan penafsiran materi pembelajaran yang disampaikan. Kedua, dari Tidak dapat dipungkiri bahwa pemanfaatan teknologi dalam pengajaran sedikit banyak ‘merepotkan’ para guru yang belum terbiasa dengan penggunaan teknologi, sebab mereka harus menjalani pelatihan khusus serta biaya yang dikeluarkan juga tidak sedikit. Para guru atau instruktur sering kali merasa enggan jika dituntut harus menggunakan teknologi disetiap pengajarannya, hal ini disebabkan karena mereka tidak mau dibuat repot oleh tuntutan yang mengharuskan para guru untuk memutakhirkan pengetahuan teknologi secara terus menerus kemudian secara simultan mereka juga harus memutakhirkan materi pelajaran yang menjadi tanggung jawabnya. Ketiga, ketersediaan infrastruktur dan bahan-bahan pelajaran yang dapat diakses. Selain itu, ada juga masalah-masalah teknis yang terjadi yang menyangkut sistem kerja infrastruktur dan fasilitas penunjang. Salah satu fasilitas penunjang PTJJ ini adalah sarana perpustakaan yang juga bisa diakses dari jarak jauh atau bisa disebut dengan perpustakaan virtual. Kalau ada pertanyaan mengenai apakah perpustakaan itu ? Biasanya orang akan langsung menjawab perpustakaan adalah sebuah gedung di dalam kampus, dimana mahasiswa dapat membaca buku dan jurnal yang tercetak. Namun, sejak adanya sistem pendidikan jarak jauh, maka makna perpustakaan menjadi lebih luas. Perpustakaan ikut menangani pendidikan jarak jauh, baik melalui kursus tertulis, telekonferensi, dan kelas-kelas yang diadakan di luar kampus, perpustakaan universitas telah memperluas layanannya dengan mengirimkan bahan-bahan atau fotokopi bahan-bahan melalui pos kepada mahasiswa jarak jauh. OCLS ini bisa menyediakan koleksi perpustakaan (buku, jurnal dan media lainnya) dengan sistem online. Salah satu contoh layanan perpustakaan luar kampus atau Off Campus Library Service (OCLS) adalah dari Central Michigan University (CMU). Dimulai tahun 1976, OCLS dikenal sebagai sebuah program yang berpusat pada pembelajaran di antara akademisi di Amerika Serikat. (Lisa Robinson, 2004). (*)