efektifitas implementasi konvensi cedaw pbb

advertisement
BAB II
TENTANG KONVENSI CEDAW DAN PELAKSANAAN
KONVENSI CEDAW DI INDONESIA
II.1.
Tentang Konvensi CEDAW
Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan
(CEDAW) adalah suatu instrumen standar internasional yang diadopsi oleh Perserikatan
Bangsa-Bangsa pada tahun 1979 dan mulai belaku pada tanggal 3 Desember 1981. Pada
tanggal 18 Maret 2005, 180 negara, lebih dari sembilan puluh persen negara-negara
anggota PBB, merupakan negara peserta konvensi.
CEDAW menetapkan secara universal prinsip-prinsip persamaan hak antara lakilaki dan perempuan. Konvensi menetapkan persamaan hak untuk perempuan, terlepas dari
status perkawinan mereka, di semua bidang-politik, ekonomi, sosial, budaya dan sipil.
Konvensi mendorong diberlakukannya perundang-undangan nasional yang melarang
diskriminasi dan mengadopsi tindakan-tindakana khusus-sementara untuk mempercepat
kesetaraan de facto antara laki-laki dan perempuan, termasuk merubah praktek-praktek
kebiasaan dan budaya yang didasarkan pada inferioritas atau superioritas salah satu jenis
kelamin atau peran stereotipe untuk perempuan dan laki-laki.
II.1.1. Sejarah Lahirnya CEDAW
Tepatnya pada 18 Desember 1979, Majelis Umum PBB menyetujui sebuah
rancangan Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap
Perempuan. Majelis Umum PBB mengundang negara-negara anggota PBB untuk
Universitas Sumatera Utara
meratifikasinya. Konvensi ini kemudian dinyatakan berlaku pada tahun 1981 setelah 20
negara menyetujui. Disetujuinya Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
Terhadap Perempuan (selanjutnya disingkat sebagai Konvensi CEDAW) merupakan
puncak dari upaya internasional dalam dekade perempuan yang ditujukan untuk melindungi
dan mempromosikan hak-hak perempuan di seluruh dunia. 14 Ini merupakan hasil dari
inisiatif yang diambil oleh Komisi Kedudukan Perempuan (UN Commission on the Status
of Women), sebuah badan yang dibentuk pada tahun 1947 oleh PBB untuk
mempertimbangkan dan menyusun kebijakan-kebijakan yang akan dapat meningkatkan
posisi perempuan. Pada tahun 1949 sampai dengan tahun 1959, Komisi Kedudukan
Perempuan mempersiapkan berbagai kesepakatan internasional termasuk di dalamnya
Konvensi tentang Hak-hak Politik Perempuan dan Konvensi tentang Kewarganegaraan
Perempuan yang Menikah. Pada tahun 1963, Majelis Umum PBB mencatat bahwa
diskriminasi terhadap perempuan masih terus berlanjut, dan meminta agar dapat dibuat
suatu rancangan Deklarasi Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan.
Pada tahun 1965, Komisi tersebut memulai menyiapkan upaya yang kemudian pada
tahun 1966 keluar sebuah rancangan Deklarasi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
Terhadap Perempuan. Hasilnya pada tahun 1967, rancangan ini disetujui menjadi sebuah
Deklarasi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan berdasarkan
Resolusi 2263 (XXII). Deklarasi ini merupakan instrumen internasional yang berisi
pengakuan secara universal dan hukum dan standar-standar tentang persamaan hak laki-laki
14
Assesing the Status of Women, AGuide to Reporting Under the Convention on the Elimination of
All Forms of Discrimination Against Women, Update by the Division for the Advancement of
Women Department of Economic and Social Affairs, United Nations 2000. Kursus HAM untuk
Pengacara X, 2005 Bahan Bacaan Materi : Konvensi CEDAW Lembaga Studi dan Advokasi
Masyarakat, ELSAM.
Universitas Sumatera Utara
dan perempuan. Pada tahun 1968, Dewan Ekonomi dan Sosial mengambil inisiatif untuk
menyusun sistem pelaporan terhadap pelaksanaan Deklarasi tersebut oleh anggota-anggota
PBB. Mengingat deklarasi ini bukan kesepakatan (treaty), meskipun ada penekanan secara
moral dan politik terhadap para anggota PBB untuk menggunakannya, anggota PBB tidak
mempunyai kewajiban yang mengikat untuk bersandar padanya. Pada tahun 1970, Majelis
Umum PBB kemudian mendesak adanya ratifikasi atau aksesi pada instrumen internasional
yang relevan yang berkaitan dengan kedudukan perempuan. Melanjutkan upaya tersebut
pada tahun 1972, Komisi Kedudukan Perempuan mempersiapkan sebuah ‘treaty’ yang
akan mengikat pelaksanaan apa yang termuat dalam deklarasi. Seiring dengan hal tersebut,
Dewan Ekonomi dan Sosial kemudian menunjuk suatu kelompok kerja yang terdiri dari 15
orang untuk mulai menyusun suatu kelompok kerja yang terdiri dari 15 orang untuk mulai
menyusun suatu Konvensi pada tahun 1973. Persiapan ini mendapat sambutan dan
dorongan yang besar oleh Konferensi Dunia yang diselenggarakan di Mexico City pada
tahun 1975. Konferensi ini sedianya untuk menyusun Kerangka Kerja Dunia tentang
Perempuan. Konferensi ini mendesak adanya sebuah Konvensi Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi terhadap Perempuan. Dorongan Konferensi mendapat sambutan dari Majelis
Umum PBB yang kemudian menetapkan periode 1976 sampai dengan tahun 1985 sebagai
Dekade Perempuan dan mendesak agar Komisi Kedudukan Perempuan menyelesaikan
Konvensi di pertengahan Dekade tersebut (pada tahun 1980) tepat pada saat Dekade
Perempuan direview. Konvensi ini kemudian diadopsi oleh Majelis Umum pada tahun
1979.
Dalam resolusinya Majelis Umum menyampaikan harapan bahwa Konvensi dapat
diberlakukan dalam waktu dekat dan meminta agar Sekertaris Jenderal PBB
Universitas Sumatera Utara
mempersentasikan teks Konvensi pada Konferensi Dunia pertengahan Dekade Perempuan
di Copenhagen tahun 1980. Ada 64 negara yang menandatangani (signed) Konvensi dan 2
negara meratifikasi pada saat acara khusus tersebut dilakukan. Pada tanggal 03 Septermber
1981, 30 hari setelah 20 negara anggota PBB meratifikasi Konvensi, Konvensi dinyatakan
berlaku. Situasi ini menjadi puncak yang berdampak pada adanya sebuah standar hukum
internasional yang komprehensif untuk perempuan. Pada tanggal 1 Maret 2000, telah ada
165 negara (melebihi dari 2/3 anggota PBB) telah meratifikasi atau mengaksesi Konvensi
Perempuan dan 6 negara menandatanganinya.
II.1.2. Protokol Opsional
Protokol Opsional pada CEDAW diadopsi oleh Majelis Umum Perserikatan
Bangsa-bangsa pada Desember 1999. Protokol opsional pada CEDAW di satu pihak
memberi hak kepada perempuan untuk mengajukan pengaduan perorangan kepada komite
mengenai segala pelanggaran hak yang dimuat dalam Konvensi oleh Pemerintah dan di lain
pihak, memberi wewenang kepada komite untuk melakukan investigasi atas pelanggaran
berat dan sistematik yang korbannya adalah perempuan di negara-negara yang telah
meratifikasi atau aksesi pada Protokol ini. Pada tanggal 20 Januari 2006, sudah ada 76
Negara Peserta Protokol Opsional ini.
Universitas Sumatera Utara
II.1.3. Pertimbangan CEDAW
Pertimbangan dalam Konvensi ini berisi dasar pikir mengapa penting adanya
Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan. Dalam
pertimbangannya, Konvensi ini mengajak mengingat kembali tentang pengakuan hak-hak
dasar yang telah dimuat dalam :
1. Piagam PBB yang menegaskan keyakinan pada hak-hak asasi manusia yang
fundamental, yang berpatok pada martabat dan nilai kemanusiaan dan hak-hak yang
sama antara laki-laki dan perempuan.
2. Deklarasi Umum mengenai Hak Asasi Manusia yang menegaskan prinsip-prinsip
tentang anti diskriminasi, dan penekanan bahwa semua manusia dilahirkan bebas
dan memiliki martabat dan hak yang sama, dan bahwa semua orang berhak atas
semua hak dan kebebasan yang ditetapkan dalam Deklarasi tersebut tanpa
pembedaan termasuk pembedaan jenis kelamin.
3. Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik dan Kovenan Internasional
tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya yang memberikan kewajiban bagi negara
anggota PBB untuk menjamin persamaan hak laki-laki dan perempuan untuk
menikmati semua hak yang berkaitan dengan hak ekonomi, sosial, budaya, sipil dan
politik.
4. Kovensi lainnya yang dibuat oleh berbagai badan di bawah PBB (seperti Konvensi
ILO) yang mengatur dan mempromosikan persamaan hak laki-laki dan perempuan.
Pengingatan kembali terhadap berbagai instrumen semakin dirasa penting terlebih
ternyata meskipun sudah ada berbagai instrumen hukum, diskriminasi terhadap perempuan
masih berlangsung. Padahal diskriminasi terhadap perempuan jelas melanggar prinsip
Universitas Sumatera Utara
persamaan hak dan penghormatan terhadap martabat manusia sebagaimana telah tercantum
sebelumnya terhadap berbagai instrumen. Diskriminasi tersebut juga menjadi hambatan
bagi partisipasi perempuan dalam persamaan kedudukan dengan laki-laki di dalam
kehidupan politik, sosial, ekonomi dan kebudayaan di lingkungan masyarakat bahkan di
wilayah dimana perempuan berada.
Hal tersebut akan berdampak pada penghalangan pertumbuhan kemakmuran
masyarakat dan keluarga, disamping akan lebih mempersulit pengembangan potensi
perempuan secara penuh agar dapat berkontribusi kepada negara dan kemanusiaan.
Konvensi ini juga menyatakan bahwa diskriminasi terhadap perempuan tidak saja terjadi
pada situasi normal, tapi terjadi juga pada saat situasi khusus seperti adanya kemiskinan.
Pada situasi kemiskinan, diskriminasi terhadap perempuan menyebabkan perempuan
menduduki posisi paling kurang memiliki akses terhadap pangan, kesehatan, pendidikan,
pelatihan dan kesempatan dalam lapangan kerja dan kebutuhan lainnya. Oleh karena itu
masyarakat internasional (melalui persetujuan dengan adanya Konvensi ini) meyakini
bahwa terbentuknya tatanan ekonomi internasional baru berdasarkan persamaan dan
keadilan akan memberikan sumbangan yang berarti pada peningkatan persamaan antara
laki-laki dan perempuan. Disamping itu penghapusan apartheid, segala bentuk rasisme,
diskriminasi rasial, kolonialisme, neokolonialisme, agresi, pendudukan dan dominasi serta
campur tangan asing dalam masalah dalam negeri negara sangat penting bagi penikmatan
sepenuhnya hak perempuan dan laki-laki. Pencampaian persamaan sepenuhnya antara lakilaki dan perempuan juga hanya akan tercapai jika perdamaian dan keamanan internasional
diperkuat, ada upaya peredaan ketegangan internasional, kerjasama antara negara,
perlucutan senjata nuklir di bawah pengawasan internasional yang ketat dan efektif,
Universitas Sumatera Utara
penegasan atas prinsip-prinsip keadilan, persamaan dan saling menguntungkan dalam
hubungan antar negara dan pelaksanaan hak-hak rakyat yang berada di bawah dominasi
asing dan kolonial serta pendudukan asing untuk menentukan nasib sendiri dan
kemerdekaan, juga penghormatan atas kedaulatan dan integritas teritorial.
Upaya untuk mencapai persamaan derajat untuk kaum perempuan menjadi sangat
penting mengingat sumbangan besar perempuan dalam kesejahteraan keluarga,
pembangunan masyarakat, yang seringkali tidak diakui, khususnya dalam hal peran
reproduksi biologis maupun sosialnya. Persamaan ini akan sulit terwujud jika tidak ada
perubahan peran tradisional perempuan dan laki-laki.
Oleh karena itu perlu melakukan perubahan peran tradisional tersebut. Berdasarkan
paparan di atas maka, negara-negara anggota khususnya menyetujui isi pasal-pasal
sebagaimana pada pasal 1 – 30 Konvensi ini.
II.1.4. Perhatian CEDAW
Memperhatikan bahwa Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa menegaskan kembali
keyakinan tentang hak asasi manusia yang mendasar, tentang martabat serta harga diri
seorang manusia dan tentang persamaan hak antara laki-laki dan perempuan.
Memperhatikan bahwa Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia menegaskan prinsip
untuk tidak menerima diskriminasi dan menyatakan bahwa seluruh umat manusia adalah
dilahirkan bebas dan sama dalam martabat serta hak dan bahwa setiap orang memiliki
seluruh hak dan kebebasan yang tercantum di dalamnya, tanpa segala bentuk perbedaan,
termasuk perbedaan berdasarkan jenis kelamin.
Universitas Sumatera Utara
Memperhatikan bahwa Negara-negara Pihak dari Kovenan Internasional tentang
hak asasi Manusia mempunyai kewajiban untuk menjamin persamaan hak antara laki-laki
dan perempuan untuk menikmati semua hak ekonomi, sosial, budaya, sipil dan politik.
Mempertimbangkan konvensi-konvensi internasional yang ditandatangani di bawah
perlindungan Perserikatan Bangsa-Bangsa dan badan-badan khusus yang mengajurkan
persamaan hak antara laki-laki dan perempuan.
Memperhatikan pula resolusi, deklarasi dan rekomendasi yang ditetapkan oleh
Perserikatan Bangsa-Bangsa dan badan-badan khusus yang mengajurkan persamaan hak
antara laki-laki dan perempuan.
Memperhatikan, meskipun dengan keberadaan bermacam-macam instrumen ini,
diskriminasi terhadap perempuan terus berlanjut.
Mengingat bahwa diskriminasi terhadap perempuan melanggar prinsip persamaan
hak dan penghormatan terhadap martabat manusia, merupakan rintangan terhadap
partisipasi perempuan, berdasarkan persamaan dengan laki-laki, dalam kehidupan politik,
sosial, ekonomi dan budaya di negaranya, menghambat pertumbuhan kesejahteraan
masyarakat dan keluarga serta mempersulit perkembangan sepenuhnya potensi perempuan
dalam pengabdiannya kepada negara dan kemanusiaan.
Memperhatikan bahwa dalam situasi kemiskinan perempuan memiliki akses yang
terkecil untuk mendapat makanan, kesehatan, pendidikan pelatihan dan kesempatan bekerja
serta kebutuhan-kebutuhan lain.
Meyakini bahwa terbentuknya tata ekonomi internasional baru yang berdasarkan
persamaan dan keadilan akan memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pemajuan
persamaan antara laki-laki dan perempuan.
Universitas Sumatera Utara
Menegaskan bahwa pembasmian apartheid, segala bentuk rasisme, diskriminasi
rasial, kolonialisme, neokolonialisme, agresi, pendudukan dan dominasi asing, campur
tangan dalam persoalan dalam negeri adalah penting untuk penikmatan sepenuhnya atas
hak laki-laki dan perempuan.
Menekankan bahwa memperkuat perdamaian dan keamanan dunia, mengendurkan
ketegangan internasional, kerja sama timbal balik semua negara tanpa memperhatikan
sistem sosial dan ekonomi mereka, pelucutan senjata secara umum dan menyeluruh,
terutama pelucutan senjata nuklir di bawah kontrol internasional yang tegas dan efektif,
penegasan prinsip-prinsip keadilan, persamaan dan keuntungan bersama dalam hubungan
antarnegara dan pelaksanaan hak dari bangsa yang berada dalam dominasi asing dan
kolonial serta pendudukan oleh bangsa lain untuk menentukan nasib sendiri dan
kemerdekaan demikian pula dengan penghormatan terhadap kedaulatan dan persatuan
nasional akan meningkatkan kemajuan sosial dan pembangunan dan yang akan
memberikan kontribusi atas tercapainya persamaan sepenuhnya antara laki-laki dan
perempuan.
Meyakini bahwa pembangunan negara yang sepenuhnya dan seutuhnya,
kesejahteraan dunia serta usaha perdamaian menuntut partisipasi yang maksimum dari
kaum perempuan atas dasar persamaan antara laki-laki dan perempuan.
Mengingatkan kembali kontribusi besar dari perempuan terhadap kesejahteraan
keluarga dan perkembangan masyarakat, sejauh ini tidak diakui sepenuhnya, arti sosial
tentang kehamilan serta peran kedua orangtua dalam keluarga dan dalam membesarkan
anak-anak, dan menyadari bahwa peranan perempuan dalam memperoleh keturunan tidak
boleh dijadikan dasar diskriminasi dan bahwa membesarkan anak-anak menuntut
Universitas Sumatera Utara
pembagian tanggungjawab antara laki-laki dan perempuan serta masyarakat sebagai
keseluruhan.
Menyadari bahwa perubahan tradisi tentang peranan laki-laki dan peranan
perempuan dalam masyarakat dan dalam keluarga merupakan suatu kebutuhan untuk
mencapai persamaan sepenuhnya antara laki-laki dan perempuan.
Memutuskan untuk melaksanakan prinsip-prinsip yang tercantum dalam Deklarasi
Penghapusan Diskriminasi Terhadap Perempuan dan untuk tujuan itu, untuk menetapkan
upaya-upaya yang dibutuhkan demi penghapusan diskriminasi tersebut secara keseluruhan
dalam bentuk dan manifestasinya.
Menyetujui hal-hal yang ditulis dalam isi konvensi.
II.1.5. Rekomendasi-Rekomendasi Komite CEDAW
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa komite CEDAW memiliki
wewenang untuk menyusun rekomendasi, telah ada sekitar 24 rekomendasi yang dihasilkan
pula oleh Komite. Rekomendasi tersebut sangat efektif untuk mendinamisir ide dan
pelaksanaan perlindungan perempuan. Salah satu rekomendasi yang sangat penting adalah
rekomendasi Komite No. 19 tentang Kekerasan terhadap Perempuan. Rekomendasi 19
meredefinisi apa yang disebut dengan Diskriminasi terhadap perempuan. Sebelumnya,
Konvensi tidak secara eksplisit menyebutkan tentang kekerasan yang berbasis Gender
kecuali pada pasal 6 yang berkaitan dengan Eksploitasi Pelacuran dan Perdagangan
Perempuan. Dengan adanya Rekomendasi 19 defenisi diskriminasi terhadap perempuan
mencakup juga kekerasan sebagaimana dirumuskan dalam Deklarasi Anti Kekerasan
terhadap Perempuan pada pasal 1, yaitu : “ …setiap perbuatan berdasarkan perbedaan
Universitas Sumatera Utara
jenis kelamin yang berakibat atau mungkin berakibat pada kesengsaraan atau penderitaan
secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk ancaman perbuatan tertentu, pemaksaan
atau perampasan kemerdekaan secara sewenang wenang, baik yang terjadi di depan umum
maupun dalam kehidupan pribadi.” Rekomendasi ini juga mengharuskan agar setiap
negara dalam setiap laporannya mencantumkan langkah-langkah sebagaimana diamanatkan
oleh Deklarasi Anti Kekerasan Terhadap Perempuan. Selain rekomendasi 19, hampir
seluruh rekomendasi dimaksudkan untuk menyempurnakan strategi pelaksanaan konvensi,
terutama terhadap isu-isu terkini yang penting harus disikapi atau semakin ditekankan,
misalnya, isu perempuan disable, perempuan dalam perkawinan, dan politik.
II.1.6. Laporan Bayangan Komite CEDAW
CEDAW, secara eksplisit mengikat negara dan semata-mata menyusun sebuah
mekanisme pelaporan dan pemantauan untuk negara dan badan-badan internasional di
bawah PBB. Namun, Komite CEDAW dalam melaksanakan wewenangnya menyadari
bahwa perlu adanya sebuah mekanisme alternatif dalam pantauan sehingga informasi yang
didapat komite menjadi sangat relevan dalam penyusunan tanggapan yang konstruktif
terhadap laporan negara. Oleh karena itu Komite CEDAW membuka kesempatan untuk
berbagai pihak memberikan informasi terhadap situasi perempuan di negara pihak.
Mekanisme ini memberikan peluang bagi kelompok non-pemerintah memberikan informasi
berdasarkan pantauannya terhadap negara. Mekanisme ini biasanya dilakukan dengan
memberikan laporan bayangan (shadow report). Laporan bayangan disusun oleh ornop
merujuk pada dan menganalisa laporan yang disusun oleh pemerintah nasional. Laporan ini
merupakan informasi alternatif mengenai kepatuhan negara kepada badan pemantau
Universitas Sumatera Utara
persetujuan PBB. Di bawah ini akan dipaparkan berbagai hal yang dapat dijadikan
pegangan bagi ornop untuk menyusun laporan bayangan. 15
1. Pertimbangan dalam merancang Laporan Bayangan perlu dipertimbangkan :

Kegunaan/manfaat;

Fokus perhatian;

Koalisi/persekutuan;

Metode penyampaian dan data;

Statistik dan studi kasus.
2. Langkah demi langkah penyusunan Laporan Bayangan :

Memilih isu/tema;

Memaparkan situasi;

Identifikasi pasal-pasal yang penting berkaitan dengan situasi (Konvensi,
Rekomendasi Komite, Instrumen HAM lainnya);

Identifikasi hukum yang berlaku dan pelaksanaannya oleh pemerintah;

Identifikasi hambatan untuk mencapai HAM berdasarkan hukum yang berlaku;

Identifikasi langkah-langkah yang harus diambil untuk mencapai persamaan kaum
perempuan;
15

Melakukan cek ulang;

Indikator (data atau studi kasus);

Identifikasi pelaku (apakah aparat negara ataupun non aparat negara);

Informasi tentang organisasi anda.
Diringkas dari buku “ Membayangi Negara”, terbitan LBH APIK Jakarta.Kursus HAM.
Universitas Sumatera Utara
3. Kerangka Laporan Bayangan :

Pandangan Umum;

Pendahuluan;

Masalah Pokok analisa berdasarkan pasal-pasal konvensi; Rekomendasi.
4. Hal lain :

Format sederhana dengan jumlah halaman 10-15.

Disampaikan akhir November atau akhir Mei kepada Komite CEDAW melalui UN
Division for the Advancement of Woman.
Penyusunan laporan bayangan oleh ornop akan sangat membantu Komite dalam
mengevaluasi situasi negara pihak, disamping sebagai ajang untuk memperkuat
pengorganisasian dan pengkoordinasian para ornop dalam upaya untuk mengkampanyekan
hak perempuan.
II.1.7.
Isi
Konvensi
Penghapusan
Segala
Bentuk
Diskriminasi
Terhadap
Perempuan
Bagian I : Pasal 1
Untuk tujuan Konvensi ini, istilah “diskriminasi terhadap perempuan” berarti
perbedaan pengucilan atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin, yang berakibat
atau bertujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan atau
penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi,
sosial budaya, sipil atau apapun lainnya oleh kaum perempuan, terlepas dari status
perkawinan mereka, atas dasar persamaan antara laki-laki dan perempuan.
Universitas Sumatera Utara
Pasal 2
Negara-negara Pihak mengutuk diskriminasi terhadap perempuan dalam segala
bentuknya, dan bersepakat dengan segala cara yang tepat dan tanpa ditunda-tunda, untuk
menjalankan suatu kebijakan yang menghapus diskriminasi terhadap perempuan, dan untuk
tujuan ini berusaha untuk:
(a).
Memasukkan asas persamaan antara laki-laki dan perempuan dalam undang
undang dasar mereka atau perundang-undangan lainnya yang layak apabila
belum dimasukkan ke dalamnya, dan untuk menjamin realisasi praktis
pelaksanaan dari asas ini, melalui hukum dan cara-cara lain yang tepat;
(b).
Membuat peraturan perundang-undangan yang tepat dan upaya lainnya, dan
di mana perlu termasuk sanksi-sanksi, yang melarang semua diskriminasi
terhadap perempuan;
(c).
Menetapkan perlindungan hukum terhadap hak perempuan atas dasar
persamaan dengan kaum laki-laki, dan untuk menjamin perlindungan bagi
kaum perempuan yang aktif terhadap setiap perilaku diskriminatif, melalui
pengadilan nasional yang kompeten dan badan-badan pemerintah lainnya;
(d).
Menahan diri untuk tidak melakukan suatu tindakan atau praktek
diskriminasi terhadap perempuan, dan menjamin agar pejabat-pejabat dan
lembaga-lembaga publik akan bertindak sesuai dengan kewajiban ini;
(e).
Mengambil semua langkah-langkah yang tepat untuk menghapuskan
perlakuan diskriminatif terhadap perempuan oleh orang, organisasi atau
lembaga apapun;
Universitas Sumatera Utara
(f).
Mengambil langkah-langkah yang tepat, termasuk upaya legislatif, untuk
mengubah
dan
menghapuskan
undang-undang,
peraturan-peraturan,
kebijakan-kebijakan, dan praktek-praktek yang ada yang merupakan
diskriminasi terhadap perempuan;
(g).
Mencabut semua ketentuan pidana nasional yang merupakan diskriminasi
terhadap perempuan.
Pasal 3
Negara-negara pihak harus melakukan upaya-upaya yang layak di semua
bidang,khususnya dalam bidang politik, sosial, ekonomi dan budaya, untuk menjamin
pengembangan dan pemajuan perempuan sepenuhnya.
Pasal 4
1.
Pengambilan tindakan-tindakan khusus yang bersifat sementara oleh Negara-negara
Pihak yang ditujukan untuk mempercepat persamaan antara laki-laki dan
perempuan secara “de facto” tidak dianggap sebagai diskriminasi, sebagaimana
ditegaskan dalam Konvensi ini, dan dalam hal apapun tidak boleh menyebabkan
dipertahankannya standar yang bersifat tidak setara atau terpisah; upaya-upaya
semacam ini harus dihentikan apabila tujuan untuk persamaan kesempatan dan
perlakuan telah dicapai.
2.
Pengambilan tindakan-tindakan khusus oleh Negara-negara Pihak, termasuk
tindakan-tindakan yang termuat dalam Konvensi ini, yang ditujukan untuk
melindungi kehamilan, tidak boleh dianggap sebagai diskriminasi.
Universitas Sumatera Utara
Pasal 5
Negara-negara Pihak harus mengambil tindakan-tindakan yang tepat :
a.
Untuk mengubah pola-pola tingkah laku sosial dan budaya para laki-laki dan
perempuan dengan maksud untuk mencapai penghapusan prasangkaprasangka dan kebiasaan-kebiasaan serta semua praktek lain yang
berdasarkan atas pemikiran adanya inferioritas atau superioritas salah satu
gender, atau berdasarkan pada peranan stereotip bagi laki-laki dan
perempuan.
b.
Untuk memastikan bahwa pendidikan keluarga meliputi pemahaman yang
tepat mengenai kehamilan sebagai fungsi sosial, serta pengakuan akan
adanya tanggungjawab bersama antara laki-laki dan perempuan dalam
membesarkan dan mengembangkan anak-anak mereka, dengan pengertian
bahwa kepentingan anak-anak menjadi pertimbangan utama dalam segala
hal.
Pasal 6
Negara-negara Pihak harus melakukan upaya-upaya yang tepat, termasuk
pembuatan undang-undang, untuk memberantas segala bentuk perdagangan perempuan dan
eksploitasi pelacuran perempuan.
Bagian II : Pasal 7
Negara-negara Pihak harus mengambil semua langkah yang diperlukan untuk
menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan dalam kehidupan politik, kehidupan
Universitas Sumatera Utara
kemasyarakatan negaranya, dan khususnya menjamin bagi perempuan, atas dasar
persamaan dengan laki-laki, hak sebagai berikut:
a.
Untuk memilih dalam semua pemilihan dan referendum publik, dan untuk
dipilih pada semua badan-badan yang secara umum dipilih;
b.
Untuk
berpartisipasi
dalam
perumusan
kebijakan
pemerintah
dan
pelaksanaannya, serta memegang jabatan publik dan melaksanakan segala
fungsi publik di semua tingkat pemerintahan;
c.
Untuk berpartisipasi dalam organisasi-organisasi
dan
perkumpulan
dengan
non-pemerintah
yang berhubungan
perkumpulankehidupan
masyarakat dan politik negara.
Pasal 8
Negara-negara Pihak harus mengambil semua upaya-upaya yang tepat untuk
memastikan agar perempuan memiliki kesempatan untuk mewakili Pemerintah mereka
pada tingkat internasional dan untuk berpartisipasi dalam pekerjaan organisasi-organisasi
internasional, atas dasar persamaan dengan laki-laki dan tanpa diskriminasi apapun.
Pasal 9
1.
Negara-negara Pihak wajib memberikan kepada perempuan hak yang sama dengan
laki-laki untuk memperoleh, mengubah atau mempertahankan kewarganegaraannya.
Negara-negara Pihak khususnya wajib menjamin bahwa baik perkawinan dengan
orang asing maupun perubahan kewarganegaraan oleh suami selama perkawinan,
Universitas Sumatera Utara
tidak secara otomatis mengubah kewarganegaraan si istri, menjadikannya tidak
berkewarganegaraan atau memaksakan kewarganegaraan suami kepadanya.
2.
Negara-negara Pihak wajib memberikan kepada perempuan hak yang sama dengan
laki-laki berkenaan dengan kewarganegaraan anak-anak mereka.
Bagian III : Pasal 10
Negara-negara Pihak wajib untuk mengambil semua upaya yang tepat untuk
menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan dalam rangka untuk memastikan hak yang
sama dengan laki-laki dalam bidang pendidikan, dan terutama untuk menjamin atas dasar
persamaan antara laki-laki dan perempuan:
a.
Kondisi yang sama untuk pengarahan karir dan kejuruan, untuk akses pada
pembelajaran dan untuk memperoleh diploma dari lembaga-lembaga
pendidikan pada semua kategori baik di wilayah pedesaan maupun di
wilayah perkotaan; persamaan ini harus dijamin dalam pendidikan prasekolah, umum, teknik, profesi dan pendidikan teknik yang lebih tinggi,
demikian pula dalam semua jenis pelatihan kejuruan;
b.
Akses untuk mata pelajaran yang sama, ujian yang sama, staf pengajar
dengan kualifikasi standar yang sama, serta kualitas tempat dan
perlengkapan sekolah yang sama;
c.
Penghapusan setiap konsep yang stereotip tentang peranan laki-laki dan
perempuan di semua tingkat dan semua bentuk pendidikan, dengan
menganjurkan pendidikan campuran (perempuan dan laki-laki) dan bentuk
pendidikan lain yang dapat membantu pencapaian tujuan ini, dan terutama
Universitas Sumatera Utara
dengan merevisi buku-buku pelajaran dan program-program sekolah serta
menyesuaikan metode-metode pengajaran.
d.
Kesempatan yang sama untuk mendapatkan manfaat dari beasiswa dan
bantuan belajar lainnya.
e.
Kesempatan yang sama untuk memiliki akses atas program pendidikan
lanjutan, termasuk program orang dewasa dan pemberantasan buta huruf
yang fungsional, khususnya yang bertujuan untuk mengurangi, pada saat
sedini mungkin, setiap perbedaan yang ada dalam pendidikan antara lakilaki dan perempuan.
f.
Untuk
mengurangi
tingkat
putus
sekolah
bagi
perempuan
dan
menyelenggarakan program-program bagi remaja putri dan perempuan yang
meninggalkan sekolah sebelum tamat.
g.
Kesempatan yang sama untuk berpartisipasi secara aktif dalam pendidikan
olahraga dan jasmani
h.
Akses terhadap informasi pendidikan tertentu untuk membantu memastikan
kesehatan dan kehidupan keluarga yang baik, termasuk informasi serta
nasehat bagi keluarga berencana.
Pasal 11
1.
Negara-negara Pihak wajib untuk melakukan semua upaya yang tepat untuk
menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan dalam bidang pekerjaan dalam
rangka untuk memastikan persamaan hak antara perempuan dan laki-laki terutama :
Universitas Sumatera Utara
a.
Hak untuk bekerja sebagai suatu hak yang melekat pada semua umat
manusia;
b.
Hak atas kesempatan kerja yang sama, termasuk penerapan kriteria seleksi
yang sama terhadap suatu pekerjaan;
c.
Hak atas kebebasan memilih profesi dan pekerjaan, hak atas pengangkatan,
keamanan bekerja dan seluruh tunjangan dan kondisi pelayanan, dan hak
untuk mendapat pelatihan kejuruan dan pelatihan ulang, termasuk magang,
pelatihan kejuruan lanjutan serta pelatihan kembali.
d.
Hak atas persamaan pendapatan termasuk tunjangan. dan persamaan
perlakuan sehubungan dengan pekerjaan yang sama nilainya, seperti juga
persamaan perlakuan dalam melakukan evaluasi terhadap kualitas kerja;
e.
Hak atas jaminan sosial, terutama dalam hal pensiun, pengangguran, sakit,
cacat dan lanjut usia, serta semua bentuk ketidakmampuan untuk bekerja,
seperti juga hak atas masa cuti yang dibayar;
f.
Hak atas perlindungan kesehatan dan keselamatan dalam kondisi kerja,
termasuk atas perlindungan untuk reproduksi.
2.
Dalam rangka mencegah diskriminasi terhadap perempuan berdasarkan perkawinan
atau kehamilan, dan untuk memastikan agar hak ini bekerja dengan baik, Negaranegara Pihak harus melakukan upaya-upaya yang tepat :
a.
Untuk melarang pemecatan atas dasar kehamilan atau cuti hamil, dan
diskriminasi dalam pemecatan berdasarkan status perkawinan, dan larangan
ini ditunjang dengan sanksi-sanksi;
Universitas Sumatera Utara
b.
Untuk memberlakukan cuti hamil yang dibayar atau dengan tunjangan sosial
yang seimbang tanpa kehilangan pekerjaan yang ada, senioritas atau
tunjangan sosial;
c.
Untuk mendorong ketentuan tentang dukungan pelayanan sosial yang
dibutuhkan guna memungkinkan orangtua mengkombinasikan kewajiban
keluarga dengan tanggungjawab pekerjaan dan partisipasi dalam kehidupan
masyarakat, terutama melalui pendirian dan pengembangan jaringan kerja
untuk fasilitas penitipan anak;
d.
Untuk memberikan perlindungan khusus bagi perempuan selama hamil
terhadap bentuk pekerjaan yang terbukti membahayakan mereka.
3.
Peraturan tentang perlindungan yang berhubungan dengan masalah-masalah yang
tercakup dalam Pasal ini harus ditinjau ulang secara berkala berdasarkan ilmu
pengetahuan dan teknologi, dan dapat direvisi, dicabut atau diperluas bila
dibutuhkan.
Pasal 12
1.
Negara-negara
Pihak
harus
melakukan
upaya-upaya
yang
tepat
untuk
menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan dalam bidang kesehatan dalam
rangka memberi kepastian, berdasarkan persamaan antara perempuan dan laki-laki,
kesempatan atas pelayanan kesehatan, termasuk yang berhubungan dengan keluarga
berencana.
2.
Tanpa mengabaikan ketentuan ayat 1 Pasal ini, Negara-negara Pihak wajib
memastikan bahwa perempuan mendapatkan pelayanan yang layak sehubungan
Universitas Sumatera Utara
dengan kehamilan, kelahiran dan masa setelah lahir, demikian juga dengan gizi
selama hamil dan menyusui.
Pasal 13
Negara-negara
Pihak
wajib
melakukan
upaya-upaya
yang
tepat
untuk
menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan pada bidang-bidang kehidupan ekoonomi
dan sosial lainnya dalam rangka memastikan hak yang sama, berdasarkan persamaan antara
laki-laki dan perempuan, khususnya:
a.
Hak atas tunjangan keluarga
b.
Hak atas pinjaman dari bank, hipotek dan jenis-jenis kredit lainnya;
c
Hak untuk ikut serta dalam kegiatan rekreasi, olahraga dan aspek lain dalam
kehidupan budaya.
Pasal 14
1.
Negara-negara Pihak wajib memperhatikan masalah-masalah khusus yang dihadapi
perempuan pedesaan, dan peran penting yang dimainkan perempuan pedesaan untuk
mempertahankan kehidupan keluarganya, termasuk pekerjaan mereka di luar sektor
moneter dalam ekonomi, dan wajib untuk melakukan upaya-upaya yang tepat untuk
memastikan penerapan ketentuan Konvensi ini pada perempuan pedesaan.
2.
Negara-negara Pihak wajib untuk melakukan upaya-upaya yang tepat untuk
menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan di pedesaan dalam rangka
memberi kepastian, berdasarkan persamaan antara laki-laki dan perempuan, bahwa
Universitas Sumatera Utara
mereka turut berpartisipasi dan mendapat keuntungan dari pembangunan desa dan
terutama harus memberi kepastian bagi perempuan tersebut hak:
a.
Untuk
ikut
serta
dalam
memperluas
dan
melaksanakan
rencana
pembangunan pada semua tingkatan;
b.
Untuk memperoleh akses atas fasilitas kesehatan yang sesuai, termasuk
informasi, petunjuk dan pelayanan dalam keluarga berencana.
c.
Untuk mendapat tunjangan langsung dari program-program jaminan sosial.
d.
Untuk memperoleh segala macam pelatihan dan pendidikan, formal maupun
non-formal, termasuk yang berhubungan dengan buta huruf, seperti juga
antara lain, tunjangan bagi semua pelayanan masyarakat dan pelayanan
tambahan dalam rangka meningkatkan profesionalitas.
e.
Untuk
membentuk
kelompok-kelompok
koperasi
dalam
rangka
mendapatkan akses yang sama dalam kesempatan ekonomi melalui
pekerjaan atau wiraswasta.
f.
Untuk turut serta dalam seluruh kegiatan masyarakat;
g.
Untuk memperoleh akses atas pinjaman atau kredit pertanian, fasilitas
pemasaran, teknologi yang tepat dan perlakuan yang sama dalam masalah
pertanahan dan pertanian, demikian pula perumahan.
h.
Untuk menikmati keadaan kehidupan yang layak, terutama yang
berhubungan dengan perumahan, sanitasi, pengadaan listrik dan air,
angkutan dan komunikasi.
Universitas Sumatera Utara
Bagian IV : Pasal 15
1.
Negara-negara Pihak wajib memberikan perempuan persamaan dengan laki-laki di
hadapan hukum.
2.
Negara-negara Pihak wajib memberikan pada perempuan, dalam masalah perdata,
kapasitas hukum yang sama dengan laki-laki dan kesempatan yang sama untuk
melaksanakan kapasitas tersebut. Secara khusus, Negara-negara harus memberikan
pada perempuan hak yang sama untuk melakukan perjanjian dan mengelola
kekayaan, dan harus memperlakukan mereka secara sama dalam setiap tahapan
prosedur dalam sidang dan pengadilan.
3.
Negara-negara Pihak menyetujui bahwa semua perjanjian dan seluruh instrumen
perdata apapun yang mempunyai akibat hukum yang secara langsung membatasi
kapasitas hukum perempuan, harus dianggap tidak ada dan dihapuskan.
4.
Negara-negara Pihak wajib memberikan kepada laki-laki dan perempuan hak yang
sama berdasarkan hukum, sehubungan dengan pindahnya seseorang, dan kebebasan
untuk memilih tempat tinggal dan domisilinya.
Pasal 16
1.
Negara-negara Pihak wajib melakukan upaya-upaya khusus untuk menghapuskan
diskriminasi terhadap perempuan dalam setiap masalah yang berhubungan dengan
perkawinan dan hubungan keluarga, dan berdasarkan persamaan antara laki-laki dan
perempuan terutama harus memastikan:
a.
Hak yang sama untuk melakukan perkawinan;
b.
Hak yang sama untuk bebas memilih pasangan dan untuk melangsungkan
perkawinan atas dasar persetujuan yang bebas dan sepenuhnya dari mereka;
Universitas Sumatera Utara
c.
Hak dan tanggung jawab yang sama selama perkawinan dan dalam hal
putusnya perkawinan;
d.
Hak dan tanggung jawab yang sama sebagai orangtua, terlepas dari status
perkawinan mereka, dalam hal yang berhubungan dengan anak mereka;
dalam setiap kasus maka kepentingan anak-anak mereka harus didahulukan;
e.
Hak yang sama untuk memutuskan secara bebas dan bertanggung jawab
tentang jumlah dan jarak kelahiran di antara anak-anak mereka, dan untuk
memperoleh akses atas informasi, pendidikan dan tindakan yang
memungkinkan mereka melaksanakan hak ini;
f.
Hak dan tanggung jawab yang sama dalam hal pemeliharaan, pengawasan,
perwalian dan pengangkatan anak, atau pranata-pranata yang sama di mana
terdapat konsep ini dalam perundang-undangan nasional; dalam setiap kasus
kepentingan anak-anak mereka harus didahulukan;
g.
Hak pribadi yang sama sebagai suami istri, termasuk hak untuk memilih
nama keluarga, profesi dan pekerjaan;
h.
Hak yang sama bagi kedua pasangan dalam menghormati kepemilikan,
perolehan, pengelolaan, manajemen, pengelolaan, penikmatan, serta
pemindah-tanganan kekayaan baik secara cuma-cuma maupun berdasarkan
pertimbangan nilainya.
2.
Pertunangan dan perkawinan seorang anak tidak boleh memiliki akibat hukum,
dan harus diambil semua tindakan yang diperlukan, termasuk perundangundangan, untuk menetapkan batas usia perkawinan dan untuk mendaftarkan
perkawinan pada kantor catatan sipil yang resmi.
Universitas Sumatera Utara
Bagian V : Pasal 17
1.
Untuk melakukan penilaian terhadap kemajuan yang dicapai dalam pelaksanaan
Konvensi saat ini, perlu dibentuk Komite Penghapusan Diskriminasi terhadap
Perempuan (untuk selanjutnya disebut sebagai Komite) yang terdiri dari, pada saat
mulai berlakunya Konvensi, delapan belas anggota dan , setelah retifikasi atau
persetujuan terhadap Konvensi oleh ketigapuluhlima Negara-negara Pihak,
duapuluh tiga orang ahli yang memiliki standar moral tinggi dan berkompeten
dalam bidang yang tercakup dalam Konvensi. Para ahli dipilih oleh Negara-negara
Pihak di antara warganegaranya dan akan mengabdi berdasarkan kapasitasnya
sebagai pribadi, pertimbangan diberikan berdasarkan distribusi wilayah yang
tercakup dan terhadap perwakilan dari segala macam bangsa demikian pula
prinsip-prinsip sistem hukum.
2.
Anggota Komite dipilih melalui pemilihan rahasia berdasarkan daftar sejumlah
orang yang diusulkan oleh Negara-negara Pihak. Setiap Negara-negara Pihak
dapat mengusulkan satu calon dari negaranya.
3.
Pemilihan pertama diselenggarakan enam bulan setelah tanggal mulai berlakunya
Konvensi saat ini. Paling tidak tiga bulan sebelum tanggal pemilihan Sekretaris
Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa mengirimkan surat kepada Negara-negara
Pihak yang mengundang mereka untuk menyampaikan data orang yang akan
diusulkan dalam waktu dua bulan. Sekretaris Jenderal mempersiapkan daftar
sesuai abjad, seluruh nama yang diusulkan dan Negara-negara Pihak yang
mengusulkan yang lalu dikirimkan kepada setiap Negara-negara Pihak.
Universitas Sumatera Utara
4.
Pemilihan anggota Komite dilakukan pada pertemuan antara Negara-negara Pihak
yang diselenggarakan oleh Sekretaris Jenderal di kantor pusat Perserikatan
Bangsa-Bangsa. Pada pertemuan tersebut, yang membutuhkan kehadiran
duapertiga Negara-negara Pihak supaya mencapai kuorum, orang yang terpilih
menjadi anggota Komite harus yang mendapat suara terbanyak dari pemilih dan
merupakan mayoritas mutlak dari pemilih yang mewakili Negara-negara Pihak
yang hadir dan memilih.
5.
Anggota-Anggota dipilih untuk jangka waktu empat tahun. Begitupun, masa kerja
sembilan anggota yang dipilih pada pemilihan pertama berakhir pada akhir tahun
kedua; secepatnya setelah pemilihan pertama nama-nama dari kesembilan anggota
ini dipilih melalui undian oleh Pimpinan Komite.
6.
Pemilihan lima anggota tambahan dari Komite dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan ayat 2, 3 dan 4 Pasal ini, setelah ke-tigapuluhlima ratifikasi atau
persetujuan. Masa kerja dua anggota tambahan yang dipilih dalam acara ini
berakhir pada akhir tahun kedua, nama-nama dari kedua anggota ini dipilih
melalui undian oleh Pimpinan Komite.
7.
Untuk mengisi lowongan yang terjadi, Negara-negara Pihak yang ahlinya berhenti
dari keanggotaan komite, menunjuk ahli lain dari Negaranya, dengan persetujuan
Komite.
8.
Anggota Komite dengan persetujuan Majelis Umum, menerima tunjangan dari
sumber-sumber Perserikatan Bangsa-Bangsa berdasarkan syarat yang ditentukan
Majelis, sehubungan dengan pentingnya tanggungjawab Komite.
Universitas Sumatera Utara
9.
Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa menyediakan staf yang diperlukan
serta fasilitas untuk efektivitas fungsi Komite berdasarkan Konvensi saat ini.
Pasal 18
1.
Negara-negara Pihak berjanji untuk menyampaikan kepada Sekretaris Jenderal
PerserikatanBangsa-Bangsa untuk dipertimbangkan oleh Komite, suatu laporan
mengenai langkah-langkah legislatif, yudikatif, administratif atau langkah-langkah
yang telah diambil untuk memberlakukan ketentuan-ketentuan Konvensi ini, dan
mengenai kemajuan yang telah dicapai:
a.
Dalam satu tahun setelah mulai berlakunya, untuk Negara yang
bersangkutan; dan;
b.
Sesudah itu sekurang-kurangnya setiap empat tahun, dan selanjutnya
sewaktu waktu sesuai permintaan Komite.
2.
Laporan ini dapat memuat faktor-faktor dan kesulitan-kesulitan yang mempengaruhi
tingkat pelaksanaan kewajiban-kewajiban yang dicantumkan dalam Konvensi ini.
Pasal 19
1.
Komite harus membuat aturan-aturan proseduralnya sendiri.
2.
Komite harus memilih pejabat-pejabatnya untuk masa jabatan dua tahun.
Universitas Sumatera Utara
Pasal 20
1.
Komite umumnya harus melakukan pertemuan tahunan untuk jangka waktu tidak
lebih dari dua minggu, untuk membahas laporan-laporan yang diajukan sesuai
dengan Pasal 18 Konvensi ini.
2.
Pertemuan Komite tersebut pada ayat (1) umumnya harus diadakan di Markas Besar
Perserikatan Bangsa-Bangsa atau di tempat lain yang sesuai dengan keputusan
Komite.
Pasal 21
1.
Melalui Dewan Ekonomi dan Sosial, Komite setiap tahunnya wajib menyampaikan
laporan kepada Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai kegiatannya,
serta dapat memberikan saran-saran dan rekomendasi umum berdasarkan
penelaahan atas laporan-laporan dan keterangan yang diterimanya dari Negaranegara Pihak. Saran-saran dan rekomendasi umum tersebut harus dimasukkan ke
dalam laporan Komite bersama-sama dengan tanggapan dari Negara-negara Pihak,
jika ada.
2.
Sekretaris Jenderal harus mengirim laporan-laporan Komite kepada Komisi
Kedudukan Perempuan untuk diketahui.
Pasal 22
Badan-badan khusus berhak untuk diwakili pada waktu mempertimbangkan
pelaksanaan ketentuan-ketentuan Konvensi ini, sesuai dengan ruang lingkup kegiatan
mereka. Komite dapat meminta badan-badan khusus tersebut untuk menyampaikan
Universitas Sumatera Utara
laporan-laporannya mengenai pelaksanaan Konvensi yang termasuk dalam lingkup
kegiatan mereka.
Bagian VI : Pasal 23
Tidak satupun ketentuan dalam Konvensi ini akan mempengaruhi ketentuanketentuan yang lebih baik bagi tercapainya persamaan antara laki-laki dan perempuan yang
mungkin terdapat:
a.
Dalam perundang-undangan suatu Negara Pihak; atau
b.
Dalam Konvensi, Perjanjian, atau Persetujuan Internasional manapun yang
berlaku bagi Negara yang bersangkutan.
Pasal 24
Negara-negara Pihak berjanji untuk mengambil semua langkah yang diperlukan
pada tingkat nasional, yang ditujukan untuk mencapai perwujudan sepenuhnya hak yang
diakui dalam Konvensi ini.
Pasal 25
1.
Konvensi ini terbuka untuk ditandatangani oleh semua Negara.
2.
Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa ditunjuk sebagai penyimpan
Konvensi ini.
3.
Konvensi ini perlu diratifikasi, instrumen-instrumen ratifikasi diserahkan kepada
Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk disimpan.
Universitas Sumatera Utara
4.
Konvensi ini terbuka untuk diaksesi oleh semua Negara. Aksesi mulai berlaku
dengan diserahkannya instrumen aksesi pada Sekretaris Jenderal Perserikatan
Bangsa-Bangsa untuk disimpan.
Pasal 26
1.
Permintaan untuk merevisi Konvensi ini dapat diajukan sewaktu-waktu oleh setiap
Negara Pihak, dengan pemberitahuan tertulis yang dialamatkan kepada Sekretaris
Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa .
2.
Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa apabila perlu dapat menentukan
langkah-langkah yang akan diambil berkenaan dengan permintaan tersebut.
Pasal 27
1.
Konvensi ini mulai berlaku pada hari ketiga puluh setelah tanggal diserahkannya
instrumen ratifikasi atau aksesi yang kedua puluh pada Sekretaris Jenderal
Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk disimpan.
2.
Bagi setiap Negara yang meratifikasi atau melakukan aksesi pada Konvensi ini,
setelah penyimpanan instrumen ratifikasi atau aksesi yang kedua puluh, Konvensi
ini mulai berlaku pada hari ketiga puluh setelah tanggal diserahkannya instrumen
ratifikasi atau aksesi tersebut untuk disimpan.
Universitas Sumatera Utara
Pasal 28
1.
Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa menerima dan mengedarkan
kepada semua Negara, naskah reservasi yang dibuat oleh Negara-negara pada waktu
dilakukannya ratifikasi atau aksesi.
2.
Suatu Reservasi yang bertentangan dengan tujuan dan maksud Konvensi ini tidak
boleh diperkenankan.
3.
Reservasi-reservasi
dapat
ditarik
kembali
sewaktu-waktu
dengan
memberitahukannya kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang
kemudian memberitahukan hal tersebut kepada semua Negara. Pemberitahuan
semacam ini akan berlaku pada tanggal diterimanya.
Pasal 29
1.
Setiap perselisihan antara dua atau lebih Negara-negara Pihak mengenai penafsiran
atau penerapan Konvensi ini yang tidak diselesaikan melalui perundingan, diajukan
untuk arbitrase atas permohonan salah satu Negara tersebut. Jika dalam waktu enam
bulan sejak tanggal permohonan untuk arbitrase para Pihak tidak dapat bersepakat
mengenai penyelenggaraan arbitrase itu, salah satu dari pihak-pihak tersebut dapat
menyerahkan perselisihan mereka kepada Mahkamah Internasional melalui
permohonan yang sesuai dengan peraturan Mahkamah tersebut.
2.
Setiap Negara Pihak pada waktu penandatanganan atau ratifikasi atau aksesi
Konvensi ini, dapat menyatakan bahwa ia tidak menganggap dirinya terikat oleh
ayat (1) Pasal ini. Negara-negara Pihak lainnya tidak akan terikat oleh ayat itu
terhadap Negara Pihak yang telah membuat reservasi demikian.
Universitas Sumatera Utara
3.
Negara Pihak yang telah mengajukan reservasi sesuai dengan ayat (2) Pasal ini
dapat
menarik
kembali
reservasinya
sewaktu-waktu
dengan
jalan
memberitahukannya kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Pasal 30
Konvensi ini, yang naskahnya dibuat dalam bahasa Arab, Cina, Inggris, Perancis,
Rusia dan Spanyol, mempunyai kekuatan yang sama, dan wajib disimpan pada Sekretaris
Jenderal PBB.
II.2.
Konvensi Penghapusan dan Gerakan Perempuan Di Tingkat Internasional
CEDAW bukan merupakan sebuah peraturan yang berdiri sendiri, ia menjadi
peraturan yang melanjutkan upaya penegakan hak perempuan yang sebelumnya telah
diperjuangkan, dan ia meletakkan berbagai prinsip dasar guna pengembangan penegakan
hak perempuan selanjutnya. CEDAW sebagai sebuah kelanjutan usaha yang panjang dalam
hukum internasional dapat dilihat dalam peristiwa-peristiwa hukum sebagaimana di bawah
ini :
1. Pada tahun 1919, Sidang Umum Organisasi Buruh Internasional menyetujui
Konvensi Kerja Malam. Konvensi ini mulai berlaku pada tanggal 13 Juni 1921.
2. Pada tahun 1919, Konvensi tentang Perlindungan Kehamilan disetujui oleh
Organisasi Buruh Internasional.
3. Pada tahun 1921, Liga Bangsa-bangsa mengeluarkan Konvensi Internasional
tentang Perdagangan Perempuan dan Anak.
Universitas Sumatera Utara
4. Pada tahun 1933, Liga Bangsa-bangsa mengeluarkan Konvensi Internasional
tentang Perdagangan Perempuan Dewasa.
5. Pada bulan Juni 1934, suatu Komite pada Sidang Umum Organisasi Buruh
Internasional merekomendasikan perumusan rancangan konvensi yang melarang
dipekerjakannya kaum perempuan di pertambangan bawah tanah. Pada tanggal 21
Juni 1935, Konvensi tentang Penggunaan Tenaga Kerja Perempuan dalam
Pekerjaan di Bawah Tanah dalam segala Jenis Pertambangan disahkan. Konvensi
ini mulai diberlakukan pada 30 Mei 1937. Konvensi ini melarang semua
perempuan, kecuali mereka yang termasuk dalam kategori kerja khusus, untuk
bekerja di semua jenis pertambangan bawah tanah. Konvensi ini juga menuntut agar
segenap ketentuannya juga diterapkan di wilayah-wilayah jajahan.
6. Pada tahun 1937, Liga Bangsa-bangsa kembali menyiapkan sebuah rancangan
Konvensi yang memperluas upaya untuk menghadapi kasus Perdagangan
Perempuan dan Anak.
7. Pada tanggal 11 Desember 1946, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa
melalui Resolusi Nomor 56 (I) merekomendasikan kepada semua Negara Anggota
supaya mereka membuat undang-undang yang memberikan kepada kaum
perempuan hak-hak politik yang sama seperti yang dimiliki oleh kaum laki-laki.
Tindakan ini diambil untuk mendorong mereka agar memenuhi kewajiban sesuai
Piagam PBB.
8. Pada tahun 1947 PBB membentuk Komisi Kedudukan Perempuan di PBB (UN
Commission on the Status of Women). Komisi ini bertugas untuk mengambil
langkah-langkah dan memantau tindakan PBB untuk kepentingan perempuan.
Universitas Sumatera Utara
9. Pada tahun 1948, PBB memproklamasikan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
(DUHAM).
10. Pada tahun 1949, Komisi Status Perempuan mulai mengusulkan rancangan
Konvensi Hak Politik Perempuan. Pada tahun 1952 Majelis Umum menyetujui
Konvensi tersebut dengan Resolusi 640 (VII). Konvensi ini diberlakukan pada
tanggal 7 Juli 1954. Konvensi ini mengatur bahwa perempuan mempunyai hak
untuk memilih, berhak mencalonkan diri serta dipilih dalam pemilihan umum, dan
berhak memegang jabatan publik, semuanya dengan syarakat-syarat yang sama
dengan kaum laki-laki. Pada tahun Juni 1952, Konferensi Umum Organisasi Buruh
Internasional menyetujui adanya Konvensi Perlindungan Kehamilan yang baru.
Konvensi tersebut berlaku efektif pada tanggal 7 September 1955. Jangkauan
Konvensi ini lebih luas dibanding Konvensi tahun 1919. Ia mencakupi kegiatankegiatan pertanian dan non industri dan juga pekerjaan perempuan yang bekerja di
rumah. Konvensi tersebut juga memperpanjang periodeperiode cuti kehamilan dari
enam minggu menjadi dua belas minggu dan meningkatkan kelenturan
pengambilannya. Konvensi yang baru juga menambahkan keharusan bahwa para
majikan mengijinkan para ibu meluangkan waktu untuk menyusui di tempat kerja
yang waktunya diperlakukan sebagai bagian dari jam kerja. Rekomendasi
mempunyai ketentuan-ketentuan yang sama tapi dengan standar-standar yang lebih
tinggi dan tepat.
11. Pada tahun 1955, Dewan Ekonomi dan Sosial mengangkat usatu Komite untuk
mempersiapkan rancangan tambahan untuk Konvensi Penghapusan Perbudakan
Perdagangan
Budan
dan
Lembaga-lembaga
serta
praktek-praktekserupa
Universitas Sumatera Utara
perbudakan. Konvensi ini disetjuiu pada tanggal 7 September 1956 dan
diberlakukan pada tanggal 30 April 1957. Konvensi mewajibkan Negara Peserta
untuk mengambl langkahlangkah guna penghapusan sesegera mungkin perangkaperangkat kelembagaan serta praktek-praktek yang meliputi; perbudakan berdasar
hutang; penghambaan; pertunangan anak; dan praktek-praketk perkawinana di mana
seorang perempuan di perlakukan sebagai harta milik olehb baik kelaurga sendiri
maupun keluarga suaminya, atau bisa diwariskan setelah kematian suaminya.
12. Pada tahun 1957 Organisasi Buruh Internasional (ILO) membentuk suatu Komite
Sidang guna membuat rancangan peraturan internasional menyangkut kondisi buruh
perkebunan. Konvensi ini kemudian disetujui pada tanggal 24 Juni 1958 dan
diberlakukan pada 22 Januari 1960.
13. Pada 15 Juni 1960, Sidang Umum Organisasi Buruh Internasional menyetujui
Konvensi Mengenai Diskriminasi dalam Lapangan Kerja dan Pekerjaan
(Convention Concerning Discrimination in Respect of Employment and
Occupation).
14. Pada 14 Desember 1960, Sidang Umum Organisasi Perserikatan Bangsa-bangsa
untuk Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan (United Nation Educational,
Scientific and Cultural Organization) memutuskan untuk merancang sebuah
konvensi Internasional mengenai sejumlah masalah yang menyangkut diskriminasi
dalam bidang pendidikan. Konvensi ini mulai berlaku pada tanggal 22 Mei 1962.
Konvensi ini melarang diskriminasi pendidikan berdasarkan sejumlah alasan.
Konvensi menyerukan kepada negara-negara peserta untk menghapuskan
diskriminasi dalam berbagai fase pendidikan; administrasi sekolah; penerimaan
Universitas Sumatera Utara
murid; bantuan keuangan; bantuan publik; fasilitas dan kualifikasi guru. Tujuannya
adalah kesetaraan kesempatan serta perlakuan dan Negara diminta untuk mengambil
semua langkah yang sesuai untuk mencapai tujuan.
15. Pada tahun 1975, Deklarasi Meksiko disetujui oleh Konferensi Dunia Tahun
Perempuan Internasional (World Conference of the Internasional Women’s Year),
suatu konferensi penting pertama di tingkat internasional yang membahas masalahmasalah perempuan. Konferensi tersebut diselenggarakan di Meksiko City pada
tanggal 19 Juni – 2 Juli 1975. Deklarasi Meksiko menggariskan hubungan antara
status perempuan dan sistem politik dan ekonomi internasional. Ia menekankan
kebutuhan untuk menerapkan Tata Ekonomi Internasional Baru dan juga merujuk
pada kebutuhan akan kerja sama internasional guna menghapuskan kolonialisme,
pendudukan oleh bangsa asing, apartheid dan zionisme. Sejak tahun 1975 upaya
untuk merumuskan hak perempuan dalam Konvensi terus berlanjut sampai dengan
tahun 1981 mulai berlakunya CEDAW.
Upaya untuk mengefektifkan konvensi tak luput dari upaya panjang pula. Upaya
perkembangan hukum internasional tersebut merupakan bagian dari upaya gerakan
perempuan di seluruh belahan dunia. Advokasi di hukum internasional salah satu bidang,
yang masih akan dikembangkan sesuai dengan situasi yang terjadi seluruh negara. Oleh
karena itu, gerakan perempuan di seluruh dunia sebenarnya sangat berhubungan dengan
gerakan hukum internasional. Upaya yang terus menerus mewarnai hukum internasional
oleh gerakan perempuan misalnya dengan terbentuknya International Criminal Court
(ICC) Pada tanggal 17 Juli, 1998 Statuta Roma, dan berdirinya pada Juni 2002. Dalam
konteks perempuan, ICC merupakan puncak kedua pelegitimasian di tingkat hukum
Universitas Sumatera Utara
internasional yang kemudian sangat strategis dalam konteks hak perempuan karena :
Pencantuman pertama kalinya secara eksplisit bahwa kejahatan dalam bentuk serangan
seksual merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang. Bentuknya;
a. Perkosaan;
b. Perbudakan seksual;
c. Prostitusi yang dipaksakan;
d. Kehamilan yang dipaksakan;
e. Sterilisasi;
f. Bentuk-bentuk lainnya yang punya bobot setara.
Sebelumnya, dalam Konvensi Jenewa , kekerasan seksual memang dinyatakan satu
perbuatan yang tidak seharusnya. Disebutkan dalam Konvensi tersebut bahwa perempuan
harus dilindungi dari serangan terhadap kehormatannya dalam bentuk perkosaan, prostitusi
paksa dan bentuk lainnya. Namun tidak ada kewajiban investigasi jika bentuk itu terjadi.
Artinya tidak ada perlindungan lebih lanjut terhadap korban jika perempuan mengalami
kekerasan seksual pada saat perang. Hal ini sangat berhubungan dengan Deklarasi Anti
Kekerasan terhadap Perempuan. Pengintegrasian perspektif gender dalam seluruh institusi
peradilan internasional :
a. Komposisi hakim;
b. Komposisi jaksa;
c. Proses penanganan : unit perlindungan saksi dan korban.
Pelibatan NGO dimungkinkan dalam menyampaikan laporan adanya kejahatan, dan
sebagai badan dalam ICC. Di masa mendatang dapat dipastikan bahwa gerakan perempuan
Universitas Sumatera Utara
di tingkat internasional tidak akan berhenti, seiring dengan penguatan gerakan perempuan
di tingkat lokal.
II.3.
Pelaksanaan Konvensi CEDAW di Indonesia
Indonesia telah meratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
terhadap Perempuan sejak tahun 1984 melalui UU No. 7 tahun 1984. Peratifikasian tersebut
diikuti dengan reservasi terhadap pasal 29 Konvensi. Ratifikasi tersebut tentu berakibat
pada terikatnya Indonesia terhadap kewajiban sebagaimana diamanatkan oleh Konvensi
yaitu mengadosi seluruh strategi Konvensi, melaksanakan Rekomendasi Komite, dan
terlibat secara terus menerus terhadap berbagai perkembangan dan keputusan internasional
yang berhubungan dengan perempuan (seperti Beijing Plat form for Action, hasil-hasil
konferensi internasional tentang kependudukan, kesehatan reproduksi, kekerasan terhadap
perempuan dan sebagainya). Apakah pemerintah telah melaksanakan kewajibannya ? Ada
dua periode yang menarik untuk dicermati dalam rangka pelaksanaan Konvensi. Periode
pertama adalah sejak diratifikasi Konvensi Perempuan dalam UU No. 7 tahun 1984 sampai
dengan tahun 1997 (sebelum kejatuhan rezim Suharto).
a. Periode 1984 - Kejatuhan Soeharto
Pada periode ini, di tingkat kebijakan, ada tiga peraturan yang dibentuk sebagai
turunan dari pasal 11 Konvensi Perempuan, yang berkenaan dengan hak perempuan
pekerja. Bentuk peraturan tersebut adalah Kepmen dan Permen. Dalam GBHN tahun 1983,
GBHN 1988 dan GBHN 1993 juga dicantumkan bahwa perempuan memiliki peran di
wilayah publik (peran ganda). Dalam bidang kelembagaan, dibangun Pusat Studi Wanita di
Universitas Sumatera Utara
berbagai perguruan tinggi negeri. Pemerintah juga membangun Kementrian yang mengurus
persoalan perempuan (Kementrian Urusan Peranan Wanita). Namun, upaya-upaya ini
sifatnya lebih pada artifisial yang isinya tetap melanggengkan steriotip peran domestik
perempuan dan laki-laki. Dalam praktek budaya di pemerintahan dan di dalam masyarakat,
wacana perempuan sebagai makhluk domestik masih sangat kuat, meskipun di sisi lain ada
pergeseran. Hanya pergeseran tersebut karena adanya kepentingan ekonomi yang kuat
(misalnya untuk masalah Tenaga Kerja Wanita, dimana perempuan sudah melewati peran
domestiknya untuk bekerja di negeri asing). Hal ini juga dapat dilihat dengan adanya
penguatan peran PKK dan Dharmawanita (ideology ibuisme). Artinya perempuan masih
dipakai sebagai alat untuk kepentingan ekonomi maupun kepentingan politik negara yang
tujuannya bukan untuk perbaikan situasi perempuan. Persoalan kekerasan terhadap
perempuan belum mendapat porsi yang penting dalam program kementrian urusan peranan
wanita. Kekerasan masih dianggap sebagai masalah individu yang sifatnya kasuistik.
b. Orde Reformasi
Pada kejatuhan rezim Suharto ada beberapa perkembangan menarik di level
pemerintahan dan hukum. Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan dibentuk
berdasarkan Keppres tahun 1998 oleh Presiden Habibie. Pemerintah untuk pertama kalinya
terbuka mengundang Pelapor Khusus (Special Raporter) PBB Kekerasan terhadap
Perempuan untuk melakukan investigasi atas terjadinya kekerasan terhadap perempuan
yang diindikasikan masih terjadi pada saat kerusuhan Mei, di Aceh dan Ambon. Meskipun
pemerintah kemudian pada sidang PBB ECOSOC tahun 1999 menolak hasil investigasi
Pelapor Khusus tersebut, pada kenyataannya ada rekomendasi yang dilakukan oleh
Universitas Sumatera Utara
pemerintah Indonesia misalnya, mendukung terbentuknya fasilitas bagi para korban
kekerasan (seperti Ruang Pelayanan Khusus di kepolisian yang secara spesifik menangani
kasus kekerasan terhadap perempuan, Pusat Krisis Terpadu dll).
Di samping itu, adanya inisiasi pemerintah untuk menyusun Rencana Aksi Nasional
untuk Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan (RANPKTP) yang kemudian disahkan
pada Nopember 2000. Di dalam GBHN mulai ada perubahan paradigma tentang peran
perempuan yang lebih pada pemberdayaan perempuan. Ada perubahan nama di kementrian
UPW menjadi Menteri Pemberdayaan Perempuan merupakan turunan perubahan dari
GBHN. Dharma wanita dibubarkan. Selain itu turunannya tercermin pada disahkan pula
PROPERNAS dalam bentuk UU yang salah satu poinnya adalah program yang lebih
komperhensif
untuk
meningkatkan
hak
perempuan.
Dilansirnya
pula
program
Pengarusutamaan Jender yang dikukuhkan dalam Keppres. Sampai saat ini mulai pula
disusun program Rencana Aksi Nasional untuk penghapusan Perdagangan Perempuan dan
Eksploitasi Pelacuran. Di samping itu di tingkat MA ada Surat Edaran MA agar hakim
memberikan
perhatian
terhadap
kasus-kasus
perkosaan,
diikuti
dengan
mulai
dilaksanakannya rekruitmen hakim yang memberikan perhatian pada keseimbangan jender.
Diterima RUU Anti Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang diusulkan oleh jaringan
Perempuan sebagai usulan yang akan diajukan oleh DPR merupakan perkembangan yang
positif. Pembahasan RUU Perlindungan Buruh Migran juga merupakan indikasi yang baik
untuk jaminan perlindungan TKW/Buruh Migran. Melihat beberapa kegiatan di atas, maka
secara sekilas, tampaknya negara telah mulai telah melakukan berbagai langkah-langkah
sebagaimana diamanatkan oleh Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
Terhadap Perempuan. Hanya saja, jika disoroti lebih dalam, maka langkah-langkah tersebut
Universitas Sumatera Utara
belum berpengaruh secara langsung terhadap situasi dan kehidupan perempuan yang sarat
dengan diskriminasi dan budaya patriarki. Dalam perkembangan terakhir misalnya, hak
ekonomi, hak perempuan untuk bekerja—sangat terasa tidak dapat diakses oleh kaum
perempuan. Tidak adanya perlindungan hukum yang memadai untuk para buruh migran di
luar negeri, khususnya di Arab Saudi dan dalam situasi terakhir di Malaysia dapat dilihat
sebagai contoh yang menarik bagaimana pelaksanaan tanggung jawab negara terhadap
perempuan.
Di samping itu, buruh perempuan di sektor produksi padat karya semakin rentan
PHK, sehubungan dengan sektor proses produksi yang padat karya yang dianggap tidak
trend dan tidak efektif lagi (Kompas, Agustus 2002). Kemunculan UU No. 23 tahun 2002
tentang Ketenagakerjaan, misalnya, patut menjadi perhatian yang mendalam pula dalam
konteks hak pekerja perempuan. UU ini mereduksi pelaksanaan Konvensi Perempuan
mengingat prinsip yang digunakan adalah prinsip kesamaan (bertentangan dengan pasal 4
Konvensi Perempuan) yang akan melegitimasi tidak diberikannya hak-hak khusus untuk
perempuan karena reproduksi sosial dan biologisnya. Disamping itu secara jelas UU
tersebut mengubah pola hubungan buruh/pekerja dengan pengusaha yang tidak permanen
sifatnya. Hal ini akan berdampak pada rasa tidak amannya pekerja/buruh dari kehilangan
kerja. Bersamaan dengan diberlakukannya UU tersebut akan diberlakukan pula RUU
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (RUU PPHI). RUU PPHI akan mengubah
pola penyelesaian perselisihan perburuhan, dengan pengadaan secara spesifik peradilan
perburuhan. Di samping itu akan mengubah pola hubungan yang selama ini dianggap
hubungan publik-privat, menjadi hubungan privat semata (privatisasi hubungan kerja).
RUU ini dalam konteks buruh perempuan yang secara sosial dan politik belum berdaya,
Universitas Sumatera Utara
lemahnya standar perburuhan, sistem peradilan yang korup dan bias kelas, dan kuatnya
budaya patriarki maka hubungan privat ini akan membuat posisi buruh perempuan semakin
tidak berdaya berhadapan dengan pengusaha.
Dalam kaitannya penegakan HAM dan keadilan hukum terhadap perempuan, maka
tampaknya perempuan korban kekerasan, khususnya pelanggaran HAM berat masih sulit
menikmati haknya. Pada 14 Februari 2002 Peradilan HAM di Indonesia untuk Pelanggaran
Berat yang terjadi di Timor Timur mulai digelar sampai sekarang. Ada 12 perkara yang
akan disidangkan, namun tidak satupun kasus perkosaan para perempuan Timor-Timur di
sidangkan.
16
Hal ini berbeda dangan hasil penyelidikan dari TGPF dan Special Raportour
PBB untuk Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, dimana laporannya disebutkan telah
dicantumkan terjadinya kekerasan seksual dalam bentuk perkosaan disana. Banyak kasus
pelanggaran HAM masa lampau yang sepertinya tidak akan diselesaikan seperti Kasus
Perkosaan dalam Kerusuhan Mei, Pembunuhan dan Kekerasan Seksual yang dialami oleh
Marsinah, perempuan korban kekerasan seksual (Iugun Ianfu) yang sampai saat ini belum
mendapat keadilan. Sampai sekarang tidak adanya permohonan maaf dari negara Jepang
terhadap para Iugun Ianfu sementara dana-dana kompensasi yang diperuntukkan kepada
mereka lewat pemerintah tidak pernah sampai dan dinikmati mereka. Meskipun saat ini di
tingkat KOMNAS HAM telah dibentuk berbagai KPP sebagai pelaksaan UU Peradilan
HAM dan akan digelar peradilan HAM berat untuk kasus Tanjung Priok, kelihatannya
dalam konteks politik, kasus tersebut akan tetap tidak memberi rasa keadilan terhadap
masyarakat mauapun perempuan. Negara juga tidak mendukung terbentuknya Peradilan
Pidana Internasional yang merupakan terobosan hukum bagi pelanggaran berat HAM, dan
16
http//:google.co.id/CWGI-kasus/, diakses 10 Maret 2010.
Universitas Sumatera Utara
menjadi satu alternatif untuk mencapai keadilan bagi korban, khususnya korban
perempuan—sebagaimana perkosaan diakui sebagai bagian dari pelanggaran HAM berat.
Sampai saat ini negara juga belum meratifikasi Optional Protocol CEDAW. Di samping
masalah-masalah yang berkembang, peraturan yang sudah diidentifikasi diskriminatif sejak
lama, pun belum berubah. Misalnya, UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, KUHP
yang berkaitan dengan kekerasan terhadap perempuan, KUHAP yang berkaitan dengan
sistem pembuktian, dan UU Kewarganegaraan. UU ini semakin telah dianalisis sangat
berpotensi untuk sebagai pelanggaran hak-hak perempuan, di samping sebagai legitimasi
bagi banyak pihak melakukan kekerasan terhadap perempuan, baik secara fisik, ekonomi,
psikis, sosial dan seksual.
Hal yang sangat krusial dalam pelaksanaan Konvensi Perempuan adalah upaya
pengubahan budaya patriarki—hal mana merupakan konsern utama dari Konvensi
Perempuan. Budaya ini akan semakin kukuh dengan tidak diubahnya peraturan yang
diskriminatif dan sikap pejabat pemerintah yang secara terang-terangan melegalkan posisi
perempuan yang subordinat di depan publik (poligami secara terbuka oleh pejabat negara).
Pengetahuan pemerintah pada umumnya di berbagai level yang tidak memadai terhadap
situasi perempuan di Indonesia masih menjadi kendala besar dalam menyusun program
yang lebih jitu untuk perempuan. Hal ini tercermin dalam ungkapan dari pejabat tinggi
tidak mendukung adanya quota partisipasi perempuan dalam bidang politik dan
pemerintahan. Hal yang sama tercermin pula dalam penyusunan anggaran pemerintah (baik
di tingkat pusat dan daerah). Menguatnya fundamentalisme di beberapa wilayah yang
didukung oleh penguasa setempat juga semakin menyulitkan proses perubahan budaya
yang lebih demokratis dan non diskriminatif. Melihat hal tersebut, patut disadari,
Universitas Sumatera Utara
pelaksanaan Konvensi Perempuan di Indonesia masih belum memadai setelah hampir
seperempat abad Konvensi tersebut diratifikasi. Meskipun ada langkah-langkah yang mulai
dilakukan oleh pemerintah, namun langkah-langkah tersebut belum bersinergi dengan
prakteknya. Langkah-langkah yang dilakukan oleh pemerintah patut dihargai, namun tetap
harus dikritisi. Kecendrungan pelaksanaan hak-hak perempuan yang ‘menspesifikkan
persoalan perempuan’ sangat penting. Hal tersebut perlu didukung dengan pembenahan
arus politik dan ekonomi makro, jika arus ini tidak disentuh tidak akan mengubah posisi
perempuan. Keengganan menyoroti budaya patriarki secara mendalam dan mentolerir
subordinasi yang dilakukan oleh para penegak dan aparatur pemerintahan akan membuat
posisi perempuan semakin rentan. Artinya hak-hak yang telah diakui di dalam Konvensi
Perempuan tidak dapat diakses oleh perempuan.
Universitas Sumatera Utara
Download