PERAN NEGARA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PERDAGANGAN INTERNASIONAL (Studi Kasus Gugatan Perdagangan Rokok Indonesia Terhadap Australia Melalui World Trade Organization) Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.) Oleh: Rachmatsyah Akbar 1111048000038 KONSENTRASI HUKUM BISNIS PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1436 H/2015 M ABSTRAK Rachmatsyah Akbar. NIM 1111048000038. Peran Negara Dalam Penyelesaian Sengketa Perdagangan Internasional (Studi Kasus Gugatan Perdagangan Rokok Indonesia Terhadap Australia Melalui World Trade Organization). Program Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Bisnis, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1436 H/2015 M. x + 84 halaman + 6 halaman lampiran. Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui apa yang menjadi tugas negara atau peran negara dalam penyelesaian kasus sengketa perdagangan internasional rokok dengan Australia melalui Dispute Settlement Body yang berada dibawah naungan World Trade Organization. Skripsi ini juga bertujuan untuk untuk melihat prospek penyelesaian kedepannya kasus sengketa ini dililhat dari kasus serupa pada kasus sebelumnya. Kasus serupa yang dimaksud adalah kasus sengketa rokok antara Indonesia dengan Amerika perihal clove cigarette. Latar belakang pada skripsi ini adalah gugatan Indonesia terhadap Australia melalui WTO, dikarenakan Australia telah membuat kebijakan mengenai Tobacco Plain Packaging Act yang dirasa merugikan Indonesia. Penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini yaitu melalui penelitian yuridis normatif, dimana penulis mencari fakta-fakta yang akurat dan valid tentang sebuah peristiwa yang konkrit yang menjadi korelasi objek penelitian. Metode yang penulis gunakan adalah melalui pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual, dan juga melakukan wawancara dalam hal memperoleh data. Hasil penelitian dari skripsi penulis adalah peran negara diperlukan untuk mengambil langkah atau sikap dalam menyelesaikan konflik dengan negara lain. Peran yang dimaksud disini adalah peran awal atau yang sering digunakan pertama kali apabila masalah mulai muncul, yaitu melalui diplomasi. Diplomasi merupakan komunikasi diluar litigasi yang bertujuan untuk saling berkomunikasi melalui hubungan bilateral. Dalam hasil penelitian ini penulis juga mencoba untuk melihat prospek kedepan penyelesaian sengketa ini di WTO, penulis berada pada posisi pro pemerintah Indonesia, dikarenakan ada berbagai argumentasi yang penulis buat, salah satunya adalah bertentangan dengan ketentuan hukum internasional. Kata Kunci : WTO, Penyelesaian Sengketa, Rokok, Diplomasi, Australia Pembimbing : 1. Dedy Nursamsi, SH., M.Hum 2. Fitria, SH., MR Daftar Pustaka : Tahun 1983 s.d. Tahun 2014. iv KATA PENGANTAR الر ِح ِيم ْ ِب َّ من َّ ِس ِم هللا ِ الر ْح Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang senantiasa memberikan bimbingan dan petunjuk sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “PERAN NEGARA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PERDAGANGAN INTERNASIONAL (Studi Kasus Gugatan Perdagangan Rokok Indonesia Terhadap Australia Melalui World Trade Organization)”. Shalawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa umat manusia dari zaman kegelapan ke zaman yang terang benderang ini. Dalam penulisan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan bantuan, arahan, dan bimbingan dari berbagai pihak, sehingga dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada: 1. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA. selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Asep Syarifudin Hidayat, SH., MH. selaku ketua Program Studi Ilmu Hukum dan Abu Tamrin, SH., MH. selaku sekretaris Program Studi Ilmu Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Dedy Nursamsi, SH., M.Hum. dan Fitria, SH., MR., selaku dosen pembimbing yang telah bersedia menjadi pembimbing dalam penulisan skripsi ini dengan penuh kesabaran, perhatian, dan ketelitian memberikan masukan serta meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan kepada penulis hingga skripsi ini selesai. v 4. Segenap Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta khususnya Dosen Program Studi Ilmu Hukum yang telah memberikan ilmu pengetahuan dengan tulus ikhlas, semoga ilmu pengetahuan yang diajarkan dapat bermanfaat dan menjadi keberkahan bagi penulis. 5. Kedua orang tua tercinta yaitu Ayahanda H. Zakaria Sarong dan Ibunda tersayang, Hj. Yumanih. Terima kasih atas kasih sayang, motivasi, dukungan, doa, perhatian, ilmu pengetahuan, arti kedisiplinan, serta segala hal yang selalu diberikan dengan tulus sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan pada jenjang strata satu Perguruan Tinggi Negeri. Begitu pula untuk kakak-kakak penulis, terima kasih atas segala dukungan, perhatian, dan kasih sayang yang telah kalian berikan. 6. Teman-teman seperjuangan Ilmu Hukum angkatan 2011 Nevo Amaba, Ilyas Aghnini, Fanny Fatwati Putri, Hilda Israa dan yang lainnya, yang selalu mewarnai kehidupan di bangku perkuliahan selama delapan semester ini. 7. Terimakasih kepada pihak Kementerian Perdagangan R.I dan Kedutaan Besar Australia, atas kebersediaannya melakukan wawancara terkait skripsi penulis. 8. Pihak perpustakaan Kemendag, UI, dan UIN Jakarta, terima kasih karena telah menyediakan buku-buku yang lengkap sehingga penulis tidak kebingungan mencari referensi buku yang dibutuhkan. vi 9. Terimakasih untuk seluruh pihak Kerukunan Purnakaryawan Kementerian Luar Negeri R.I atas dukungan moril dan materilnya. Atas seluruh bantuan dari semua pihak baik material maupun immaterial, penulis berdoa semoga Allah SWT memberi balasan yang berlipat. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca umumnya. Jakarta, 23 September 2015 Rachmatsyah Akbar vii DAFTAR ISI PERSETUJUAN PEMBIMBING.............................................................. i LEMBAR PENGESAHAN……………………………………....……..... ii LEMBAR PERNYATAAN………………………………………………. iii ABSTRAK…………………………………………………........................ iv KATA PENGANTAR…………………………………………....……...... v DAFTAR ISI………………………………………………........................ ix BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah…………………………………….......…. 1 B. Pembatasan dan Rumusan Masalah…………………………........... 5 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian……………………………….......... 6 D. Kerangka Teoritis dan Konseptual.....................................................7 E. Tinjauan (Review) Studi Terdahulu................................………....... 10 F. Metode Penelitian............................................…….....……………. 12 G. Sistematika Penulisan....................………………….....………....... 14 BAB II KEDUDUKAN NEGARA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL A. Penyelesaian Sengketa Internasional.....................……………….... 17 B. Prinsip-Prinsip Penyelesaian Sengketa Secara Damai....................... 20 C. Bentuk-Bentuk Penyelesaian Sengketa Internasional........................ 25 D. Tanggung Jawab Negara Dalam Penyelesaian Sengketa Internasional Secara Umum ………………………………………….................... 38 viii BAB III WORLD TRADE ORGANIZATION DAN PENYELESAIAN SENGKETA A. World Trade Organization…............................................................ 41 1. Sejarah Singkat GATT dan WTO ……………....…................... 41 2. Fungsi WTO ………………………….....………….................. 42 3. Struktur WTO…………........……………………….................. 43 4. Prinsip-Prinsip Dasar WTO.……………………………........... 44 5. Ruang Lingkup Pengaturan WTO ……………………...……50 B. WTO Sebagai Forum Penyelesaian Sengketa ……………..... 51 C. Mekanisme Penyelesaian Sengketa …………………………… 52 1. Mekanisme Penyelesaian Sengketa Sebagai Bagian dari Pengawasan Internasional ………………………………………………….52 2. Mekanisme Penyelesaian Sengketa Dalam WTO ………….54 BAB IV. ANALISIS PERAN NEGARA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA GUGATAN PERDAGANGAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL ROKOK STUDI INDONESIA KASUS TERHADAP AUSTRALIA MELALUI WORLD TRADE ORGANIZATION A. Peran Diplomasi Indonesia Terhadap Australia…...……………… 60 B. Perbandingan Kasus Sengketa Rokok Indonesia – Amerika Dengan Indonesia – Australia ……………………………………………… 65 C. Prospek Kedepan Penyelesaian Sengketa Rokok Indonesia............75 ix BAB V. PENUTUP A. Kesimpulan………………………………………………….............80 B. Saran……………………………………………….………..............80 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN x BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebagaimana manusia, negara adalah entitas yang saling membutuhkan. Kebutuhan negara secara garis besar yaitu kebutuhan ekonomi dan kebutuhan politik, kedua sektor ini memiliki peranan yang penting demi kemakmuran dan kemajuan sebuah negara.Kebutuhan ekonomi ditujukan untuk mensejahterakan rakyat agar dapat memiliki penghasilan yang cukup untuk keberlangsungan kehidupan mereka sehari-hari. Kemudian kebutuhan politik diperlukan untuk menjembatani jalannya kebutuhan ekonomi itu sendiri, sebab tidak mungkin sebuah negara menjalani sistem perekonomiannya dengan sendiri tanpa adanya bantuan dari negara lain. Negara butuh kerjasama atau hubungan dengan negara yang lain agar apa yang menjadi kebutuhan di dalam negaranya dapat tercapai. Salah satu hubungan untuk meningkatkan perekonomian yaitu melalui hubungan perdagangan yang merupakan sektor paling mumpuni untuk meningkatan perekonomian, tentu saja apabila neraca perdagangan ekspor dan impor dijalankan dengan baik dan benar. 1 2 Hubungan antar negara merupakan sebuah landasan dari adanya hubungan perdagangan itu sendiri. Hubungan antar negara disebut juga dengan hubungan internasional, yaitu interaksi manusia antarbangsa baik secara individu maupun kelompok, dilakukan baik secara langsung maupun secara tidak langsung dan dapat berupa persahabatan, persengketaan, permusuhan ataupun peperangan. Seperti kebanyakan sistem sosial lainnya, hubungan internasional dapat memiliki keuntungan dan kerugian tertentu bagi para partisipasinya. 1 Hubungan internasional didasarkan atas politik bebas aktif seperti yang tertuang di dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945. Politik bebas aktif bukan hanya sekedar dalam ruang lingkup politik saja, melainkan hubunganhubungannya yang lain, yaitu ekonomi, sosial, dan budaya. Salah satu praktik hubungan internasional yaitu dengan melakukan perdagangan antar negara, setiap negara memiliki kelebihan dan kekurangan dalam sumber dayanya, oleh sebab itulah mereka saling membutuhkan antara satu sama lain, hal ini dilakukan dengan cara impor dan ekspor. Salah satu tujuan dari adanya perdagangan internasional yaitu untuk meningkatkan pendapatan (income) dalam negeri itu sendiri. Proses perdagangan internasional ini tidak semata-mata sederhana atau mudah, melainkan harus ada suatu perjanjian antara negara yang bersangkutan, baik 1 Robert Jackson & George Sorensen, Pengantar Studi Hubungan Internasional (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h. 2. 3 dalam lingkup bilateral, multilateral, unilateral, dan maupun regional. Dari proses pejanjian ini muncul yang namanya kesepakatan-kesepakatan, misalnya traktat, konvensi, aturan organisasi perserikatan bangsa-bangsa dan lain sebagainya. Untuk mendapatkan kepastian hukum itu sendiri, munculah hukum internasional. Hukum internasional merupakan hukum yang berlaku secara universal sebagai regulasi internasional. Hubungan internasional sudah berkembang pesat sedemikian rupa sehingga subjek-subjek negara tidaklah terbatas pada negara saja sebagaimana di awal perkembangan hukum internasional. Berbagai organisasi internasional, individu, vatikan, belligerency, merupakan contoh-contoh subjek non negara. Hukum internasional dan hubungan internasional dilakukan dan dilaksankan oleh subjek hukum internasional yaitu negara. Negara adalah persekutuan bangsa dalam satu daerah tertentu batas-batasnya yang diperintah dan diurus oleh badan pemerintahan yang teratur.2 Negara sebagai suatu subjek memiliki peranan atau fungsi secara garis besar yaitu membuat Undang-Undang (legislatif), menjalankan Undang-Undang (eksekutif), dan mengawasi pemerintah (yudikatif). Penulis dalam proposal skripsi ini menekankan pada pembahasan peranan negara dalam penyelesaian sengketa perdagangan internasional. Penulis 2 Muhammad Ali, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Moderen (Jakarta: Pustaka Amani, 2006), h. 267. 4 mengambil contoh peranan negara terhadap penyelesaian sengketa perdagangan internasional rokok yang diajukan Indonesia terhadap Australia melalui WTO (World Trade Organization) / Organisasi Perdagangan Internasional). Dalam penyelesaian kasus perdagangan internasional ada sebuah lembaga yang menangani soal sengketa ini, yaitu lembaga yang terdapat di badan World Trade Organization (WTO) / Organisasi Perdagangan Internasional, yang bernama Dispute Settlement Body (DSB). Salah satu peranan WTO yaitu sebagai forum dalam menyelesaikan sengketa dan menyediakan mekanisme konsiliasi guna mengatasi sengketa perdagangan yang timbul.3 Dalam menjalankan perekonomian nasional dan internasional seyogianya semua hal yang berkepentingan menyatu secara bersama-sama demi meningkatkan kesejahteraan rakyat di dalam negeri maupun di luar negeri (universal). Semua subyek hukum yaitu dalam hal ini negara wajib tunduk kepada aturan yang ada, aturan yang telah ada tidak boleh dilanggar. Semua negara yang ikut serta dalam hukum internasional wajib mematuhi regulasi yang ada. Suatu negara tidak dapat melakukan proteksi ekonominya apabila ia dalam aturan hukum nasionalnya bertentangan dengan ketentuan hukum internasional yang sudah ada dan yang sudah disepakati (agreement) secara bersama-sama. 3 h. 246. Syahmin AK, Hukum Dagang Internasiona l (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006), 5 Australia diadukan lima negara ke WTO karena dianggap melanggar pasal XXIII dari General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) 1994. Australia dianggap keliru menerapkan kebijakan mewajibkan kemasan polos semua produk tembakau. Pengaduan ke WTO dilakukan Indonesia bersama Honduras, Republik Dominika, Ukraina dan Kuba. Kelima negara ini menyampaikan dokumen pertama kepada Badan Penyelesaian Sengketa WTO yang membuat argumentasi hukum bahwa kebijakan Australia yang diterapkan sejak 1 Desember 2012 yang mewajibkan kemasan polos untuk semua produk tembakau merupakan pelanggaran terhadap ketentuan di WTO. Dalam pandangan Indonesia, kebijakan Australia diatas bertentangan dengan pasal XXIII dari GATT 1994, serta tiga ketentuan WTO lainnya yakni: understandings on rules and procedures governing the settlement of dispute; agreement on trade related aspects of intellectual property rights; dan agreement on technical barriers to trade. 4 B. Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah Agar masalah yang penulis bahas tidak meluas sehingga dapat mengakibatkan ketidak jelasan dan ketidak pastian pembahasan masalah maka penulis dengan ini membatasi masalah yang akan diteliti, antara lain, 4 m.bisnis.com/industri/read/20141014/12/264889/sengketa-rokok-indonesia-resmilaporkan-australia-ke-wto, 14:00 WIB, 5-11-14. 6 membahas peran negara diluar pengadilan, yaitu melalui diplomasi dan membahas peran negara dalam pengadilan, yaitu melalui panel WTO. Kemudian prospek penyelesaian kasus ini kedepannya melihat dari kasus yang serupa yang ada sebelumnya. 2. Perumusan Masalah Menurut peraturan internasional negara tidak boleh menutup diri dalam perdagangan internasional, pada praktiknya negara Australia menutup perdagangan rokok terhadap Indonesia. Rumusan tersebut penulis rinci dalam pertanyaan sebagai berikut : a. Bagaimanakah prospek penyelesaian kasus sengketa dagang antara Indonesia dengan Australia? b. Bagaimana peranan negara Indonesia dalam kasus sengketa perdagangan internasional rokok dengan Australia melalui World Trade Organization? C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Secara umum tujuan penelitian adalah untuk mendalami tentang permasalahan-permasalahan yang telah dirumuskan dalam perumusan masalah. Secara khusus tujuan penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: 7 a. Untuk mengetahui prospek penyelesaian sengketa perdagangan antara Indonesia dengan Australia. b. Untuk mengetahui tugas negara atau peran negara dalam penyelesaian kasus sengketa perdagangan internasional rokok dengan Australia melalui Badan Penyelesaian Sengketa WTO. 2. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan untuk menambah ilmu pengetahuan khususnya bagi pengembangan teori ilmu hukum bisnis, ilmu hukum internasional, ilmu hukum perdagangan internasional, ilmu hukum tata negara, ilmu hubungan internasional dan ilmu politik bagi yang membacanya. Manfaat penelitian ini juga dapat menjadi rujukan bagi pejabat negara agar dapat berperan aktif dalam meningkatkan mutu kualitas indonesia di mata dunia internasional. Manfaat penelitian ini juga untuk menambah atau melengkapi koleksi perbendaharaan dan koleksi karya ilmiah dengan memberikan kontribusi atau sumbangsih pemikiran bagi penerapan hukum di Indonesia. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi kerangka acuan dan landasan bagi peneliti lanjutan. D. Kerangka Teoritis dan Konseptual 1. Kerangka Teoritis 8 Demi terciptanya cita-cita suatu negara maka negara harus memiliki tujuan yang dikehendaki oleh masyarkat di dalamnya. Terdapat sebuah teori mengenai negara, yaitu teori tujuan negara. Meskipun orang telah lama memikirkan, tetapi oleh karena tujuan negara itu menentukan segala keadaan dalam negara, maka orang biasanya menyelipkan pembicaraan tentang ajaran tujuan negara ini dalam ajaran keseluruhannya untuk menentukan sifat daripada ajarannya. Pentingnya pembicaraan tentang tujuan negara ini terutama berhubungan dengan bentuk negara, susunan negara, organ-organ negara atau badan-badan negara yang harus diadakan, fungsi dan tugas daripada organ-organ tersebut, serta hubungannya antara organ yang satu dengan organ yang lain yang selalu harus disesuaikan dengan tujuan negara. Tujuan negara dalam banyak hal tergantung pada tempat, keadaan, waktu, serta sifat daripada kekuasaan penguasa. Karena mungkin apa yang dalam waktu ratusan tahun lalu tidak menjadi tugas negara, dalam zaman sekarang ini menjadi tugas negara yang amat penting, misalnya soal ekonomi. Jadi, tujuan negara adalah menyelenggarakan kesejahteraan dan kebahagiaan rakyatnya, atau menyelenggarakan masyarkat adil dan makmur.5 Pada sekarang ini tujuan negara lebih menekankan untuk terciptanya welfare state, demi tercapainya kemaslahatan bersama. 5 Soehino, Ilmu Negara (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2004, Cet.Keenam), h. 148. 9 2. Kerangka Konseptual Pada era modern seperti sekarang ini banyak sekali terjadi sebuah perubahan-perubahan di dalam segala sistem yang ada di muka bumi ini, salah satunya merupakan proses globalisasi. Globalisasi merupakan perubahan sebuah tatanan sistem yang ada ke arah tatanan sistem yang baru, artinya bahwa seiring berjalannya waktu maka dibutuhkan adanya sebuah perubahan, karena didasarkan pada berubahnya pola atau custom yang ada pada saat ini. Dengan adanya globalisasi terdapat pula jalinan hubungan antar negara yang satu dengan negara yang lain, sebab sebuah negara tidak dapat hidup atau berdiri dengan sendiri-sendiri, negara saling membutuhkan karena di dalam negara itu sendiri pasti terdapat sebuah kekurangan yang mana ia membutuhkan negara yang lain untuk melengkapi kekurangan yang ada di dalam negaranya. Salah satu yang dijalankan dalam hubungan kenegaraan yaitu adanya sebuah perdagangan internasional. Ada berbagai motif atau alasan mengapa negara atau subjek hukum (pelaku dalam perdagangan) melakukan transaksi dagang internasioal. Fakta yang sekarang ini terjadi adalah perdagangan internasional sudah menjadi tulang punggung bagi negara untuk menjadi makmur, sejahtera, dan kuat.6 Oleh karena itu dibutuhkan kerjasama dalam bidang ekonomi yakni hubungan perdagangan antar negara demi untuk mendapatkan advantage secara bersama-sama. 6 Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005), h. 2. 10 E. Tinjauan (Review) Studi Terdahulu Sebagai bahan pertimbangan dalam penelitian ini, penulis menyertakan beberapa hasil terdahulu sebagai perbandingan tinjauan kajian materi yang akan dibahas, sebagai berikut: Penelitian yang dilakukan oleh Mohammad Kurniawan dari universitas Jember, tahun 2013, yang berjudul “Penyelesaian Sengketa Perdagangan Rokok Antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Pemerintah Amerika Serikat Melalui World Trade Organization (WTO)”. Penelitian tersebut menjelaskan tentang prinsip-prinsip hukum yang mendasari pengaturan perdagangan internasional, mekanisme penyelesaian sengketa dalam World Trade Organization, penyelesaian sengketa perdagangan rokok antara pemerintah Republik Indonesia dengan Amerika Serikat melalui World Trade Organization. Perbedaan disini penulis memfokuskan pada penyelesaian dibawah Badan Penyelesaian Sengketa, tidak secara universalnya. Skripsi yang disusun oleh Putri Paramita Soedali dari Universitas Pelita Harapan, tahun 2013, yang berjudul “Peran WTO Dalam Upaya Penyelesaian Sengketa Tobacco Control Act Antara Indonesia dan Amerika Serikat Tahun 2009-2012”. Penelitian tersebut menjelaskan tentang latar belakang terjadinya kasus rokok kretek Indonesia di Amerika Serikat, dampak yang dialami Indonesia akibat diresmikannya regulasi Tobacco Control Act, peran WTO 11 dalam upaya penyelesaian sengketa, serta mengetahui apakah implementasi keputusan WTO yang dilakukan oleh Indonesia dan Amerika Serikat telah sesuai dengan rekomendasi WTO. Pembeda dengan penulis disini yaitu penulis mengambil kasus rokok antara Indonesia dengan Australia, dan penulis mengarahkan pada peran negara, bukan dasar daripada implementasi keputusan yang diputuskan oleh WTO. Buku karangan Jhon H Willes yang berjudul “International Business Law”, diterbitkan oleh McGraw-Hill/Irwin, New York, tahun 2005. Dalam buku ini hanya membahas dasar daripada penyelesaian sengketa melalui WTO dan rentang waktu yang dibutuhkan dalam penyelesaian sengketanya. Perbedaan dengan penulis yaitu penulis lebih merinci penyelesaian sengketa dengan memfokuskan pada penyelesaian masalah dalam ranah Badan Penyelesaian Sengketa. Sebagai perbandingan sekaligus pembeda, pada skripsi ini penulis menguaraikan tentang peran negara Indonesia dalam penyelesaian kasus sengketa perdagangan rokok dengan Australia terkait peraturan kemasan polos. Kemudian penulis juga membahas prospek kasus yang penulis ambil, melihat dari kasus serupa yang dahulu. Dalam skripsi ini penulis juga menguraikan mengenai cara penyelesaian sengketa melalui Dispute Settlement Body yang berada di ranah WTO. Jadi disini terdapat perbedaan pembahasan dan masalah yang diangkat penulis dengan penelitian-penelitian yang sudah ada sebelumnya. 12 F. Metode Penelitian 1. Jenis dan Sifat Penelitian Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode penelitian yuridis normatif. Pendekatan yuridis normatif adalah pendekatan yang memandang hukum sebagai doktrin atau seperangkat aturan yang yang bersifat normatif (law in book).7 Dimana penulis mencari fakta-fakta yang akurat dan valid tentang sebuah peristiwa yang konkrit yang menjadi korelasi objek penelitian. Penelitian ini juga dilakukan dan ditujukan pada peraturanperaturan tertulis dan bahan-bahan lain, serta menelaah peraturan perundangundangan, perjanjian internasional, konvensi-konvensi internasional yang berhubungan dengan penulisan skripsi ini. Sedangkan mengenai sifat penelitian ini yaitu bersifat deskriptif, yaitu menjelaskan suatu hal atau fenomena dengan rinci agar dapat memperkuat teori yang sudah ada, atau mecoba membuat suatu rumusan teori yang baru. 2. Pendekatan Penelitian a. Pendekatan Perundang-Undangan 1) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (Hasil Amandemen) 2) General Agreement on Tarrifs and Trade 1994 7 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), h. 58. 13 3) Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights 1996 4) Agreement on Technical Barriers to Trade b. Pendekatan Konseptual Negara yang satu dalam hal ini Australia tidak merasa bahwa aturan yang dibuatnya melanggar ketentuan hukum internasional yang telah ada, maka dari itu disinilah diperlukan suatu pendekatan konseptual untuk mencari doktrin atau pendapat yang ada. Dalam hal ini tidak hanya melihat atau fokus terhadap permasalahan hukumnya, juga harus dilihat dari segi ekonomi dan politiknya. 3. Data dan Sumber Data Data yang dipakai dalam penelitian ini adalah data sekunder yaitu data yang tidak diperoleh dari sumber pertama yang bisa diperoleh dari dokumendokumen resmi, buku-buku, hasil penelitian, laporan, buku harian, surat kabar, makalah, dan lain sebagainya. Data sekunder dalam penelitian ini dapat dibagi atas tiga kelompok/bagian, yaitu: a. Bahan hukum primer yang penulis peroleh dari wawancara, peraturan perundang-undangan dan peraturan internasional lainnya. b. Bahan hukum sekunder yang penulis peroleh dari buku-buku terkait perdagangan internasional, badan penyelesaian sengketa organisasi perdagangan dunia, dan artikel-artikel yang terkait. 14 c. Bahan hukum tertier yang penulis pergunakan bagi bahan hukum sekunder seperti Kamus Hukum, Kamus Bahasa Inggris, dan Kamus Besar Bahasa Indonesia. 4. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang penulis lakukan yaitu dengan cara wawancara (interview) dan studi dokumen atau kepustakaan (library research) yaitu dengan melakukan penelitian terhadap berbagai sumber bacaan seperti buku-buku yang berkaitan dengan penyelesaian sengketa dagang dan mekanisme penyelesian litigasi maupun non litigasi. Dalam hal ini informasi yang di update secara terus menerus di situs WTO dalam kaitan dengan gugatan Indonesia terhadap Australia dalam kasus kemasan rokok. 5. Metode Penulisan Dalam penyusunan penelitian ini penulis menggunakan metode penulisan sesuai dengan sistematika penulisan yang ada pada Buku Pedoman Penulis Skripsi, Fakultas Syari‟ah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2012. G. Sistematika Penulisan Untuk memberikan gambaran secara umum atau menyeluruh tentang isi skripsi, maka penulis memberikan sistematikanya secara garis besar, sebagai berikut : 15 Bagian awal skripsi : sampul, lembar berlogo, halaman judul, persetujuan pembimbing, pengesahan kelulusan, pernyataan, motto dan persembahan, prakata, abstrak, daftar isi, serta daftar lampiran. Bagian isi skripsi terdiri atas : Bab I : Pendahuluan. Diuraikan tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika skripsi, dan metode penelitian. Bab II : Kedudukan Negara Dalam Penyelesaian Sengketa Internasional. Membahas dan menguraikan mengenai penyelesaian sengketa dan juga bentuk-bentuk penyelesaiannya, serta membahas tanggung jawab negara dalam sengketa internasional secara umum. Bab III : World Trade Organization dan Penyelesaian Sengketa. Mebahas WTO sebagai organisasi kerjasama penyelesaian sengketa, ruang lingkup WTO, dan juga proses atau mekanisme penyelesaian sengketa. Bab IV : Analisis Peran Negara Dalam Penyelesaian Sengketa Perdagangan Internasional Studi Kasus Gugatan Perdagangan Rokok Indonesia Terhadap Australia Melalui World Trade Organization. Membahas bagaimana sesungguhnya posisi dan peran Indonesia dalam menangani kasus ini, serta membahas aksi pemerintah dalam penyelesaiannya. 16 Kemudian dibahas juga mekanisme penyelesaiannya melalui proses bilateral dan terakhir melihat prospek penyelesaian sengketa di kedepannya. Bab V : Penutup. Berisi kesimpulan dan saran Bagian akhir skripsi, berisi daftar pustaka dan lampiran-lampiran. 17 BAB II KEDUDUKAN NEGARA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL A. Penyelesaian Sengketa Internasional Penyelesaian sengketa sama maksudnya dengan pertikaian. Pertikaian atau sengketa, kedua adalah yang dipergunakan secara bergantian dan merupakan terjemahan dari dispute.8 Sengketa (dispute)9 menurut Merrilis adalah ketidaksepahaman mengenai sesuatu. Adapun John Collier dan Vaughan Lowe membedakan antara sengketa (dispute) dengan konflik (conflict). Sengketa (dispute) adalah:10 a specific disagreement concerning a matter of fact, law or policy in which a claim or assertion of one party is met with refusal, counter claim or denial by another. Sedangkan konflik adalah istilah umum atau genus dari pertikaian (hostility) antara pihak-pihak yang sering kali tidak fokus. Dengan demikian, 8 Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar, Hukum Internasional Kontemporer (Bandung: PT Refika Aditama, 2006), h. 174. 9 Sengketa dalam bahasa Arab disebut almutanazi’atu 10 Sefriani, Hukum Internasional Suatu Pengantar (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011), Cet.Kedua, h. 322. 17 18 setiap sengketa adalah konflik, tetapi tidak semua konflik dapat dikategorikan sebagai sengketa (dispute). Permasalahan yang disengketakan dalam suatu sengketa internasional dapat menyangkut banyak hal. Sengketa di European Union menyangkut kebutuhan integrasi politik yang lebih kuat adalah sengketa menyangkut kebijakan. Sengketa perbatasan wilayah adalah sengketa tentang legal right. Disisi lain sengketa juga dapat menyangkut fakta, misalnya posisi kapal negara A ketika diintersepsi oleh negara B. Menyangkut substansi sengketa itu, beberapa pakar mencoba untuk memisahkan antara sengketa hukum (legal dispute) dengan sengketa politik (political dispute). Friedmann misalnya mengemukakan bahwa karakterisitik sengketa hukum adalah sebagai berikut:11 1. 2. 3. 4. Capable of being settled by the application of certain principles and rules of international law Influence vital interest of State such as territorial integrity Implementation of the existing international law enough to raise a justice decision and support to progressive international relation The dispute related with legal rights and claims to change the existing rule Disisi lain Waldock mengemukakan bahwa: The legal or political character of dispute is ultimately determined by the objective aimed at or the position adopted by each party in the dispute. If both parties are demanding what they conceive to be their existing legal rights as, for 11 Sefriani, Hukum Internasional Suatu Pengantar (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011), Cet.Kedua, h. 323. 19 example, in the Corfu Channel case, the dispute is evidently legal. If both are demanding the application of standards or factors not rooted in the existing rules of international law as, for example in a dispute regarding disarmament, the dispute is evidently political.12 Joshua S. Goldstein dan Jon C. Pevehouse mengemukakan bahwa bersengketa adalah hal yang lazim dalam hubungan internasional. Definisi persengketaan menurut Joshua S. Goldstein dan Jon C. Pevehouse adalah suatu perbedaan atas hasil yang dikehendaki dalam suatu situasi tawar-menawar (....a difference in preferred outcomes in a bargaining situation).13 Selanjutnya menurut Oppenheim-Kelsen All dispute have their political aspects by the very fact that they concern relation between sovereign States. Dispute which according to the distinction, are said to be legal nature might involve highly important political intersets of the State concerned, conversely, dispute reputed according to that distinction to be a political character more often than not concern the application of a principal or a norm of international law.14 Mahkamah Internasional Permanen dalam sengketa Mavrommatis Palestine Concessions (Preliminary Objections, 1924) mendefinisikan pengertian 12 Sefriani, Hukum Internasional Suatu Pengantar (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011), Cet.Kedua, h. 323. 13 Rusli Pandika, Sanksi Dagang Unilateral di Bawah Sistem Hukum WTO (Bandung: PT Alumni, 2010), h.189. 14 Sefriani, Hukum Internasional Suatu Pengantar (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011), Cet.Kedua, h. 324. 20 sengketa sebagai: disagreement on a point of law or fact, a conflict of legal views or interest between two persons. 15 B. Prinsip-Prinsip Penyelesaian Sengketa Secara Damai 1. Prinsip Iktikad Baik (Good Faith)16 Prinsip iktikad baik dapat dikatakan sebagai prinsip fundamental dan paling sentral dalam penyelesaian sengketa antarnegara. Prinsip ini mensyaratkan dan mewajibkan adanya iktikad baik dari para pihak dalam menyelesaikannya sengketanya. Tidak heran apabila prinsip ini dicantumkan sebagai prinsip pertama (awal) yang termuat dalam Manila Declaration (Section 1 paragraph 1).17 Dalam Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia (Bali Concord 1976), persyaratan iktikad baik juga ditempatkan sebagai syarat utama. Pasal 13 Bali Concord menyatakan: The high contracting parties shall have the determination and good faith to prevent disputes from arising. Dalam penyelesaian sengketa, prinsip ini tercemin dalam dua tahap. Pertama, prinsip iktikad baik disyaratkan untuk mencegah timbulnya sengketa 15 Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), Cet.Kedua, h. 2. 16 17 Iktikad baik dalam bahasa Arab disebut hasanu an niyah All States shall act in good faith and in conformity with the purposes and principles enshrined in the Carter of the United Nations with a view to avoiding disputes among themselves likely to affect friendly relations among States, thus contributing to the maintenance of international peace and security. They shall live together in peace with one another as good neighbours and strive for the adoption of meaningful measures for strengthening international peace and security. 21 yang dapat memengaruhi hubungan baik antar negara. Kedua, prinsip ini disyaratkan harus ada ketika para pihak menyelesaikannya sengketanya melalui cara-cara penyelesaian sengketa yang dikenal dalam hukum internasional, yaitu negosiasi, mediasi, konsiliasi, arbitrase, pengadilan atau cara-cara lain yang dipilih para pihak. Dalam kaitan ini, Section 1 paragraph 5 Manila Declaration mensyaratkan adanya prinsip iktikad baik ini dalam upaya mencapai penyelesaian sengketa secara lebih dini (lebih cepat).18 2. Prinsip Larangan Penggunaan Kekerasan dalam Penyelesaian Sengketa (mabdau khothori istikhdami al unfi fii halli an-nizaa’aat) Prinsip inilah yang melarang para pihak untuk menyelesaikan sengketanya dengan menggunakan senjata (kekerasan). Prinsip ini termuat antara lain dalam pasal 13 Bali Concord dan preambule ke-4 Manila Declaration. Pasal 13 Bali Concord antara lain menyatakan : .... In case of disputes on matters directly affecting them, they shall refrain from the threat or use of force and shall at all times settle such disputes among themselves through friendly negotiations. 3. Prinsip Kebebasan Memilih Cara-Cara Penyelesaian Sengketa (mabdau hurriyati ikhtiyaari subuli halli an nizaa’aat) 18 States shall seek in good faith and in a spirit of cooperation an early and equitable settlement of their international disputes by any of the following means; negotiation, inquiry, mediation, conciliation, arbitration, judicial settlement, resort to regional arrangements or agencies or other peaceful means of their own choice, including good offices. In seeking such a settlement, the parties shall agree on such peaceful means as may be appropriate to the circumstances and the nature of their dispute. 22 Prinsip penting lainnya adalah prinsip dimana para pihak memiliki kebebasan penuh untuk menentukan dan memilih cara atau mekanisme bagaimana sengketanya diselesaikan (principle of free choice of means). Prinsip ini termuat dalam Pasal 33 ayat (1) UN Charter dan Section 1 paragraph 3 dan 10 Manila Declaration dan paragraph ke-5 dari Friendly Relations Declaration. Instrumen hukum tersebut menegaskan bahwa penyerahan sengketa dan prosedur penyelesaian sengketa atau cara-cara penyelesaian sengketa harus didasarkan keinginan bebas para pihak. Kebebasan ini berlaku baik untuk sengketa yang telah terjadi atau sengketa yang akan datang. Prinsip ini juga termuat dalam pasal 7 The UNCITRAL Model Law on International Commercial Arbitration.19 Pasal ini memuat definisi mengenai perjanjian arbitrase, yaitu perjanjian penyerahan sengketa kepada arbitrase. Menurut pasal ini, penyerahan sengketa kepada arbitrase merupakan kesepakatan atau perjanjian para pihak.20 Artinya, penyerahan suatu sengketa kebadan arbitrase haruslah berdasarkan pada kebebasan para pihak untuk memilihnya. 19 “Arbitration agreement” is an agreement by the parties to submit to arbitration all or certain disputes which have arisen or which may arise between them in respect of a defined legal relatinship, whether contractual or not. An arbitration agreement may be i the form of an arbitration clause in a contract or in the form of a separate agreement. 20 Meria Utama, Hukum Ekonomi Internasional (Jakarta: PT Fikahati Aneska, 2012), h. 56. 23 4. Prinsip Kebebasan Memilih Hukum yang akan Diterapkan terhadap Pokok Sengketa (mabdau hurriyati ikhtiyaari al qoonuun alladziy sayatimmu tathbiyquhu fii an nizaa’ar roiysiy) Prinsip fundamental selanjutnya adalah prinsip kebebasan para pihak untuk menentukan sendiri hukum apa yang akan diterapkan bila sengketanya diselesaikan oleh badan peradilan. Kebebasan para pihak untuk memilih kepatutan dan kelayakan (ex aequo et bono).21 Yang terakhir ini adalah sumber bagi pengadilan untuk memutus sengketa berdasarkan prinsip keadilan, kepatutan, atau kelayakan. Dalam sengketa antarnegara, merupakan hal yang lazim bagi pengadilan internasional, misalnya Mahkamah Internasional, untuk menerapkan hukum internasional, meskipun penerapan hukum internasional ini tidak dinyatakan secara tegas oleh para pihak. Dalam Special Agreement antara Republik Indonesia – Malaysia mengenai penyerahan sengketa Pulau Sipadan-Ligitan ke Mahkamah Internasional, para pihak menyatakan: The principles and rules of international law applicable to the dispute shall be those recognized in the provisions of Article 38 of the Statute of the Court .... (Article 4 Special Agreement). 5. Prinsip Kesepakatan Para Pihak yang Bersengketa (mabdau ittifaaqin min athroofi an nizaa’) 21 Pasal 38 ayat 2 Statuta Mahkamah Internasional: This provision shall not prejudice the power of the Court to decide a case ex aequo et bono, if the parties agree hereon. 24 Prinsip kesepakatan para pihak merupakan prinsip fundamental dalam penyelesaian sengketa internasional. Prinsip inilah yang menjadi dasar bagi pelaksanaan prinsip ke-3 dan 4 di atas. Prinsip-prinsip kebebasan 3 dan 4 hanya akan bisa dilakukan atau direalisasikan manakala ada kesepaktan dari para pihak.22 Sebaliknya, prinsip kebebasan 3 dan 4 tidak akan mungkin berjalan apabila kesepakatannya hanya ada dari salah satu pihak atau bahkan tidak ada kesepakatan sama sekali dari kedua belah pihak. 6. Prinsip Exhaustion of Local Remedies (almabdau almutaahu) Komisi Hukum Internasional PBB (International Law Commision) memuat aturan khusus mengenai prinsip ini dalam pasal 22 mengenai ILC Draft Articles on States Responsibility.23 Selain itu prinsip ini temuat dalam Section 1 paragraph 10 Manila Declaration.24 Menurut prinsip ini, sebelum para pihak mengajukan sengketanya ke pengadilan internasional maka langkah-langkah penyelesaian 22 Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), Cet.Kedua, h. 17. 23 When the conduct of a State has created situation not in conformity with the result required of it by an international obligation concerning the treatmentto be accorded to aliens, whether natural or juridical persons, but the obligation allows that this or an equivalent result may nevertheless be achieved by subsequent conduct of the State, there is a breach of the obligation only if the aliens concerned have exhausted the effective local remedies available to them without obtaining the treatment called for by the obligation or, where that is not possible, an equivalent treatment. 24 States should, without prejudice to the right of free choice of means, bear in mind that direct negotiations are a flexible and effective means of peaceful setllement of their disputes. When they choose to resort to direct negotiations, States should negotiate meaningfully, in order to arrive at an early settlement acceptable to the parties. States should be equally prepared to seek the settlement of their disputes by the other means mentioned in the present Declaration. 25 sengketa yang tersedia atau diberikan oleh hukum nasional negara harus terlebih dahulu ditempuh (exhausted). Dalam sengketa Interhandel (1959), Mahkamah Internasional menegaskan: Before resort may be had to an international court, the state where the violation occured should have an opportunity to redress it by its own means, within the framework of its own domestic legal system. C. Bentuk-Bentuk Penyelesaian Sengketa Internasional Secara garis besar penyelesaian sengketa dalam hukum internasional dibagi menjadi dua ruang lingkup yaitu : secara damai (politik, organisasi internasional, hukum), dan secara kekerasan atau paksaan. 1. Penyelesaian Sengketa Secara Damai Melalui Jalur Politik (siyasah) a. Negosiasi (al mufawwadhatu) Negosiasi adalah fact of life atau keseharian. Setiap orang melakukan negosiasi dalam kehidupan sehari-hari, seperti mitra dagang dan kuasa hukum salah satu pihak yang bersengketa. Negosisasi adalah basic of means untuk mendapatkan apa yang diinginkan dari orang lain.25 Negosiasi adalah “bilateral and multilateral negotiations to resolve differences between two or more states or between groups of states may 25 Suyud Margono, Alternative Dispute Resolution & Arbitrase Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum (Bogor: Ghalia Indonesia, 2004) Cet. Kedua, h. 49. 26 be carried out by diplomatic correspondence, face to face encounters by permanent diplomatic envoys or by specially designated negotiators.”26 Larry L. Teply mengemukakan antara lain: “the word „negotiate‟, in latin, consists of neg meaning „not‟, and atium, maning „ease‟. These latin words suggest that one will not be at easeduring the process or until the agreement is made. Furthermore, incertain contexts, some individuals are uncomfortable with compromissing: they consider it an unprincipled „selling out‟.”27 Dalam buku yang berjudul Street Law, pengertian negosiasi adalah the process by which people involved in a dispute discuss their problem and try to reach a solution acceptable to all.28 Cara negosiasi merupakan suatu upaya bersama para pihak untuk mencapai suatu cara penyelesaian yang disepakati bersama dengan mengelola kembali konflik-konflik pandangan para pihak. Cara ini ditempuh manakala para pihak berkeyakinan bahwa dengan menempuh cara ini mereka memperoleh hasil yang positif darpada negatif. Pada umumnya negosiasi merupakan cara yang pertama kali dan paling banyak digunakan pihak-pihak bersengketa dalam penyelesaian sengketa internasional mereka. Hal ini mengingat cara ini diakui sebagai cara yang paling mudah dibandingkan cara-cara lain. Tidak ada tata cara 26 Thomas Buergenthal dan Harold G Maier, Public International Law (Minnesota: West Publishing Co, 1990), Edisi Kedua, h. 65. 27 28 Bambang Sutiyoso, Penyelesaian Sengketa Bisnis (Yogyakarta: Citra Media, 2006), h. 43. Lee Arbetman dan Ed O‟Brien, Street Law A Course in Practical Law (Amerika Serikat: The McGraw-Hill Companies, 2005), Edisi. Ketujuh, h. 41. 27 khusus untuk melakukan negosiasi, dapat dilakukan secara bilateral maupun multilateral, formal maupun informal. Namun demikian, akan sulit melakukan negosiasi apabila antarpihak yang bersengketa tidak memiliki hubungan diplomatik atau saling tidak mengakui eksistensi masing-masing sebagai subjek hukum internasional. b. Jasa Baik (Good Offices)29 Jasa-jasa baik (good offices) berati intervensi suatu negara ketiga yang merasa dirinya wajar unuk memantu penyelesaian sengketa yang terjadi antara dua negara.30 Dalam hal ini, negara ketiga menawarkan jasa-jasa baiknya. Prosedur jasa-jasa baik ini dapat diminta oleh salah satu dari kedua negara atau oleh keduan-duanya. Intervensi dalam bentuk jasa-jasa baik ini adalah campur tangan yang sangat sederhana dari negara ketiga karena negara tersebut membatasi diri dan hanya memprgunakan pengaruh moral atau politiknya agar negara-negara yang bersengketa mengadakan hubungan satu sama lain atau mengadakan hubungan kembali bila hubungan tersebut telah putus. Secara prinsip, negara yang menawarkan jasa-jasa baiknya tidak ikut secara langsung dalam perundingan-perundingan, tetapi hanya 29 30 Jasa baik dalam bahasa Arab disebut syahratulmahli Boer Maulana, Hukum Internasional Pengertian Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global (Bandung: PT Alumni, 2011), Edisi Kedua, Cet. 4. H. 198. 28 menyiapkan dan mengambil langkah-langkah yang perlu agar negaranegara yang bersengketa bertemu satu sama lain dan merundingkan sengketanya. Bila pihak-pihak yang bersengketa telah setuju untuk saling bertemu, berakhir pulalah misi negara yang menawarkan jasa-jasa baiknya tersebut. c. Mediasi (wasaathatun) A voluntary process that is sometimes used when negotiation seems to be failing is mediation.31 Mediasi merupakan salah satu alternatif dan cara penyelesaian suatu persengketaan dimana para pihak-pihak yang bersengketa menyerahkan penyelesaiannya kepada seorang mediator dengan maksud untuk memperoleh hasil yang adil dan diterima oleh para pihak yang bersengketa.32 Apabila dibandingkan dengan good offices maka keterlibatan pihak ketiga dalam mediasi sudah lebih besar. Dalam mediasi, mediator berperan aktif mendamaikan pihak-pihak bersengketa, memiliki kewenangan-kewenangan tertentu memimpin jalannya perundingan, juga mendistribusikan proposal masing-masing pihak bersengketa. Mediator 31 John D. Donnell dkk, Law For Business (Illinois – USA: Richard D. Irwin, INC, 1983), Edisi Revisi, h. 21. 32 Sophar Maru Hutagalung, Praktik Peradilan Perdata dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), h. 322. 29 juga diharapkan bisa memberikan proposal untuk menyelesaikan sengketa. Jika usulan oleh mediator tidak diterima, maka mediator masih dapat melanjutkan fungsi mediasinya dengan membuat usulan-usulan baru. Karena itu, salah satu fungsi utama mediator adalah mencari berbagai solusi (penyelesaian), mengidentifikasi hal-hal yang dapat disepakati oleh para pihak serta membuat usulan-usulan yang dapat mengakhiri sengketa. Pasal 3 dan 4 the Hague Convention on the Peaceful Settlement of Disputes (1907) menyatakan bahwa usulan-usulan yang diberikan mediator janganlah dianggap sebagai suatu tindakan yang tidak bersahabat terhadap suatu pihak (yang merasa dirugikan).33 Penyelesaian sengketa melalui mediasi menempatkan kedua belah pihak pada posisi yang sama, tidak ada pihak yang dimenangkan atau pihak yang dikalahkan (win-win solution).34 33 Article 3: Independently of this recourse, the Contracting Powers deem it expedient and desirable that one or more Powers, strangers to the dispute, should, on their own initiative and as far as circumstances may alow, offer their good offices or mediation to the States at variance. Power strangers to the dispute have the right to offer good offices or mediation even during the course of hostilities. The exercise of this right can never be regarded by either of the parties in dispute as an unfriendly act. Article 4: The part of the mediator consists in reconciling the opposing claims and appeasing the feelings of resentment which may have arisen between the States at variance. 34 Syahrizal Abbas, Mediasi dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional (Jakarta: Kencana, 2009), h. 24. 30 Mediasi hanya dapat terlaksana dalam hal para pihak bersepakat dan mediator menerima syarat-syarat yang diberikan oleh para pihak yang bersengketa.35 d. Pencarian Fakta (fact finding/Inquiry)36 Fungsi dari inquiry adalah untuk memfasilitasi penyelesaian sengketa dengan mencari kebenaran fakta, tidak memihak, melalui investigasi secara terus menerus sampai fakta yang disampaikan salah satu pihak dapat diterima oleh pihak yang lain.37 Inquiry dapat dilaksanakan oleh suatu komisi yang permanen. Individu maupun organisasi terpilih untuk memberikan expert opinion-nya. The Hague Convention for the Pacific Settlement of International Disputes tahun 1907 dengan tegas mengatakan bahwa laporan komisi (pencarian fakta) sifatnya terbatas mengungkapkan fakta-faktanya saja dan bukan merupakan suatu keputusan: .... is limited to a statement of facts and has in no way the character of an award .... (Pasal 35).38 35 Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar, Hukum Internasional Kontemporer (Bandung: PT Refika Aditama, 2006), h. 227. 36 Pencarian fakta dalam bahasa Arab disebut tahqiqi Sefriani, Hukum Internasional Suatu Pengantar (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011), Cet.Kedua, h. 331. 37 38 Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), Cet.Kedua, h. 21. 31 e. Konsiliasi (mushaalihat) Konsiliasi menurut the Institute of International Law melalui the Regulations on the Procedure of International Conciliation yang diadopsinya pada tahun 1961 dalam Pasal 1 dinyatakan: a method for the settlement of international disputes of any nature according to which a Commission set up by the Parties, either on a permanent or an ad hoc basis to deal with a dispute proceeds to the impartial examination of the dispute and attempts to define the terms of a settlement susceptible of being accepted by them, or of affording the Parties with a view to its settlement, such aid as they may have requested. John Wade dari Bond Universiry Dispute Resolution Center, Australia memberikan definisi konisliasi sebagai berikut: “Conciliation is a process by which the parties in a conflict with assisting of neutral third party (conciliator) identifying the problem, creating options, consider solution options, and strive to rech agreement.” 39 Hakim Manly O. Hudson mengatakan bahwa kosiliasi adalah: “Suatu proses penyusunan usulan-usulan penyelesaian setelah diadakan penyelidikan mengenai fakta dan suatu upaya untuk mencari titik temu pendirian-pendirian yang saling bertentangan. Para pihak dalam sengketa itu tetap bebas menerima atau menolak proposal-proposal yang dirumuskannya tersebut”.40 39 Arus Akbar Silondae dan Andi Fariana, Aspek Hukum Dalam Ekonomi & Bisnis (Jakarta: Penerbit Mitra Wacana Media, 2010), h. 93. 40 Oentoeng Wahjoe, Hukum Pidana Internasional Perkembangan Tindak Pidana Internasional & Proses Penegakannya (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2011), h. 144. 32 Konsiliasi merupakan metode penyelesaian sengketa secara politik yang menggabungkan cara-cara inquiry dengan mediasi. Dalam konsiliasi pihak ketiga melakukan penyelidikan terhadap sengketa yang dipermasalahkan para pihak dan kemudian memberikan rangkaian usulan formal penyelesaian sengketanya. Usulan penyelesaian ini bagaimanapun tidak mengikat disputing parties. Konsiliasi dapat dilakukan oleh lembaga atau komisi yang permanen maupun ad hoc. Dalam praktik, perbedaan antara mediasi internasional dan konsiliasi internasional terkadang masih samar-samar (blurred), tetapi pusat ide dari konsiliasi itu sendiri yaitu konsiliator (atau badan konsiliasi) yang diharapkan untuk mengeluarkan keputusan yang tidak mengikat (is expected to issue a non-binding decision).41 2. Penyelesaian Sengketa Secara Damai Melalui Jalur Organisasi Internasional a. Penyelesaian Melalui Perserikatan Bangsa-Bangsa (al-umamu almuttahidatu) Seperti termuat dalam pasal 1 Piagam PBB, tujuan utama PBB (United Nation) adalah menciptakan perdamaian dan keamanan internasional.42 PBB juga mendorong agar sengketa-sengketa diselesaikan 41 Sean D Murphy, Principles of International Law (Amerika Serikat: Thomson/West, 2006), h. 116. 42 To maintain international peace and security, and to that end; to take effective collective measures for the prevention and removal of threats to the peace, and for the suppression of acts of 33 melalui cara-cara penyelesaian secara damai. Dalam upayanya menciptakan perdamaian dan keamanan internasional, PBB memiliki lima kelompok tindakan yaitu:43 Preventive Diplomacy: suatu tindakan untuk mencegah timbulnya suatu sengketa diantara para pihak, mencegah luasnya suatu sngketa, atau membatasi perluasan suatu sengketa. Peace Making: tindakan untuk membawa para pihak yang bersengketa untuk saling sepakat, khusunya melalui cara-cara damai seperti yang terdapat dalam BAB VI UN Charter.44 Peace Keeping: tindakan untuk megerahkan kehadiran PBB dalam pemeliharaan perdamaian dengan kesepakatan para pihak yang berkepentingan. Peace Building: tindakan untuk megidentifikasi dan mendukung struktur yang ada guna memperkuat perdamaian untuk mencegah suatu konflik yang telah didamaikan berubah kembali menjadi konflik. aggression or other breaches of the peace, and to bring about by peaceful means, and in conformity with the principles of justice and international law, adjustment or settlement of international disputes or situations which might lead to a breach of the peace; 43 Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), Cet.Kedua, h. 95. 44 The parties to any dispute, the continuance of which is likely to endanger the maintenance of international peace and security, shall first of all, seek a solution by negotiation, enquiry, mediation, conciliation, arbitration, judicial settlement, resort to regional agencies or arrangements, or other peaceful means of their own choice. 34 Peace Enforcement: wewenang Security Council berdasarkan piagam untuk menentukan adanya suatu tindakan yang merupakan ancaman terhadap perdamaian b. Penyelesaian Melalui Organisasi Regional Pada umumnya organisasi regional memiliki fungsi sebagai good offices (jasa baik) dan mediasi. Organisasi Regional tersebut antara lain: Organization of American States (OAS), 30 April 1948. Pasal 1 Piagam menggariskan tujuan pembentukan OAS yaitu: .... to achieve an order of peace and justice, to promote their solidarity, to strenghten their collaboration and to defend their sovereignity, their territorial integrity, and their independence The Organization of African Unity (OAU), 23 Mei 1963. European Union (EU) Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) 3. Penyelesaian Sengketa Secara Damai Melalui Jalur Hukum (syariah) a. Penyelesaian Melalui Arbitrase (tahkim) Kata arbitrase berasal dari bahasa Latin arbitrare yang artinya kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu menurut “kebijaksanaan”.45 45 Gatot Soemartono, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2006), h.24. 35 Arbitration differs from mediation in that the third party to whom the dispute is submitted decides the outcome.46 Arbitrase adalah salah satu cara atau alternatif penyelesaian sengketa yang telah dikenal lama dalam hukum internasional. Namun demikian sampai sekarang belum ada batasan atau definisi resmi mengenai arbitrase. Sarjana Amerika Latin Podesta Costa dan Ruda mendeskripsikan badan ini sebagai berikut: Arbitration is the resolution of international dispute through the submission, by formal agreement of the parties, to the decision of a third party who would be one or several persons by means of contentious proceedings from which the result of definitive judgement is derived.47 Menurut William H. Gill, arbitrase diartikan sebagai “An arbitration is the reference of a dispute or difference between not less than two persons for determination after hearing both sides in judicial manner by another person or persons, other than a court of competent jurisdiction.”48 Lawrence S. Clarck, Robert J. Aalberts, dan Peter D. Kinder mendefinisikan arbitrase sebagai an arrangement in which the parties 46 A. James Barnes dkk, Law for Business (New York: The McGraw-Hill Companies, Inc, 2006), Edisi Kesembilan, h. 30. 47 Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), Cet.Kedua, h. 39. 48 Dijan Widijowati, Hukum Dagang (Yogyakarta: Penerbit ANDI, 2012), h. 240. 36 agree to refer a dispute to an impartial third party (the arbitrator) and to be bound by this determination.49 Penyelesaian sengketa melalui arbitrase menurut Komisi Hukum Internasional adalah a procedure for the settlement of disputes between states by a binding award on the basis of law and as a result of fan undertaking voluntarily accepted.50 Dalam Black‟s Law Dictionary, Arbitration is: “The reference of dispute to an impartial (third) person chosen by the parties to the dispute who agree in advance to abide by the arbitrator’s award issued after hearing at which both parties have an opportunity to be heard. An arrangement for taking and abiding by the judgement of selected persons in some disputed matter. Instead of carrying it to establish tribunals of justice, and is intended to avoid the formalities, the delay, the expense and vexation of ordinary litigation”.51 Objek perdagangan, perjanjian yaitu arbitrase meliputi: hanyalah perniagaan, sengketa perbankan, di bidang keuangan, penanaman modal, industri dan hak milik intelektual.52 49 Lawrence S. Clark, dkk, Law and Business The Regulatory Environment (Amerika Serikat: McGraw-Hill, Inc, 1994), Edisi. Keempat, h. 25. 50 Sefriani, Hukum Internasional Suatu Pengantar (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011), Cet.Kedua, h. 339. 51 Rahayu Hartini, Penyelesaian Sengketa Kepailitan di Indonesia Dualisme Kewenangan Pengadilan Niaga dan Lembaga Arbitrase (Jakarta: Kencana, 2009), h. 35. 52 Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia dan AusAID, Panduan Bantuan Hukum di Indonesia (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2014), h. 37. 37 Michael B. Metzger mengemukakan pendapat keuntungan penyelesaian sengketa melalui arbitrase: 53 1. Quicker resolutuion of disputes; 2. Lower costs in time and money to the parties; and 3. The availability of professional who are often expert in the subject matter of dispute. Salah satu sifat pokok dari arbitrase adalah suatu prosedur yang menghasilkan keputusan-keputusan yang mengikat bagi para pihak yang bersengketa.54 Hakikat arbitrase ialah prosedur penyelesaian sengketa konsensual dalam arti bahwa penyelesaian sengketa melalui arbitrase hanya dapat dilakukan dengan persetujuan negara bersengketa yang bersangkutan.55 Persetujuan itu dapat merupakan persetujuan umum sebelumnya atau persetujuan khusus untuk sengketa tertentu. b. Penyelesaian Melalui Mahkamah Internasional (mahkamatul umamu) Salah satu alternatif penyelesaian sengketa secara hukum atau judicial settlement dalam hukum internasional adalah penyelesaian 53 Kementrian Perdagangan RI, Telaahan Hukum Forum Arbitrase Sebagai Alternatif Penanganan Sengketa (Jakarta: Biro Hukum Sekretariat Jenderal, 2011), h. 22. 54 Sumaryo Suryokusumo, Studi Kasus Hukum Internasional (Jakarta: PT Tatanusa, 2007), h. 55 F Sugeng Istanto, Hukum Internasional (Jakarta: Sinar Grafika, 1998), Cet. Kedua. h. 92. 221. 38 melalui badan peradilan badan internasional (world court/international court). Dalam hukum internasional, penyelesain secara hukum dewasa ini dapat ditempuh melalui berbagai cara atau lembaga, yaitu Permanent Court of International Justice (PCIJ) atau Mahkamah Internasional, The International Tribunal for The Law of The Sea (Konvensi Hukum Laut 1982), atau International Criminal Court (ICC).56 4. Penyelesaian Sengketa Secara Kekerasan atau Paksaan (iqrah) Penyelesaian sengketa secara kekerasan atau paksaan berarti dalam hal ini yaitu perang. Keseluruhan tujuan dari perang adalah untuk menaklukan negara lawan dan untuk membebankan syarat-syarat penyelesaian dimana negara yang ditaklukan tersebut tidak memiliki alternatif lain selain mematuhinya.57 D. Tanggung Jawab Negara dalam Penyelesaian Sengketa Internasional Secara Umum Dalam pembagian kekuasaan (seperation of power)58 dibedakan menjadi tiga sistem yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Setiap sistem 56 Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), Cet.Kedua, h. 58. 57 J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), Cet. Ke Tujuh, 58 Pembagian kekuasaan dalam bahasa Arab disebut aqsamul quwah h. 679 39 memiliki peran dan tugasnya masing-masing. Salah satu fungsi dari lembaga eksekutif perihal diplomasi yaitu melaksanakan hubungan diplomatik dengan negara-negara lain.59 Negara merupakan subjek internasional, oleh sebab itu segala kekuasaan dan juga beban tertinggi (penyelesaian sengketa internasional) di tanggung oleh negara. Negara memiliki tanggung jawab penuh atas penyelesaian sengketanya melalui wakil di dalam pemerintahannya. Hal yang paling utama dilakukan negara ketika terjadi sebuah perselisihan sengketa internasional yaitu negara melalui wakilnya melakukan upaya diplomasi terlebih dahulu. Upaya diplomasi merupakan cara penyelesaian jalur damai melalui bilateral, multilateral dan maupun regional. Dunia internasional selalu memegang prinsipnya untuk melaksanakan world peace, tapi dewasa ini sulit rasanya untuk menjalankan prinsip tersebut, karena banyaknya penyelesaian melalui jalan kekerasan atau jalan perang (middle east). Secara keseluruhan tanggung jawab negara dalam terjadinya sengketa internasional yaitu selalu mengupayakan cara damai terlebih dahulu. Negara mengupayakan peran aktifnya agar tidak terjadi impact yang buruk terhadap negara sendiri misalnya kerugian-kerugian yang tidak diinginkan oleh warga 59 Nomensen Sinamo, Ilmu Negara (Jakarta: Permata Aksara, 2011), h. 157. 40 negara itu sendiri. Pemerintah harus aktif mulai dari berbagai sektor yang dirasa dirugikan ketika sebuah sengketa internasional itu dimulai. Jalan diplomasi memang hal yang paling utama dilakukan karena langsung berhadapan dengan persoalan yang disengketakan. Apabila tidak ditemukannya titik terang dalam jalan diplomasi tersebut, maka tanggung jawab negara dikemudian yaitu melimpahkan atau membawa kasus ini melalui peradilan internasional yaitu peradilan yang berada dibawah kekuasaan PBB. 41 BAB III WORLD TRADE ORGANIZATION DAN PENYELESAIAN SENGKETA A. World Trade Organization Sejarah Singkat GATT dan WTO 1. GATT didirikan setelah Perang Dunia II (tahun 1947) bersamaan dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa, International Monetary Fund (IMF), dan International Bank for Reconstruction and Development (IBRD/Bank Dunia).60 Ada dua puluh tiga anggota yang bergabung dalam GATT. Hingga tahun 1994, ketika Putaran Uruguay telah selesai dan WTO didirikan tanggal 1 Januari 1995. GATT adalah satu-satunya organisasi multilateral yang membuat peraturan tentang kebijakan perdagangan internasional. WTO saat ini beranggotakan 161 bangsa di tahun 2015.61 WTO berjanji untuk mematuhi prinsip-prinsip pengurangan hambatan perdagangan dan distorsi perdagangan lainnya. Anggota antara lain seluruh negara perdagangan utama kecuali Cina dan yang dulunya Uni Soviet. GATT dan sekarang WTO, 60 Ratya Anindita & Michael R. Reed, Bisnis dan Perdagangan Internasional (Yogyakarta: Penerbit ANDI, 2008), h. 67. 61 http://en.m.wikipedia.org/wiki/World_Trade_Organization, diakses pada tanggal 24 Agustus 2015, jam 14:37 WIB 41 42 merupakan klub negosiasi yang memiliki aturan spesifik untuk memimpin dan menyelesaikan perdebatan. 2. Fungsi WTO Final Act dari Putaran Uruguay ditandatangani, bersamaan juga dengan beberapa dokumen lainnya, pada tanggal 1 Januari 1995. WTO dan perjanjian-perjanjian yang berkaitan padaa saat sekarang ini mengatur sekitar 90 persen perdagangan dunia. WTO diadopsi lebih dari 146 pemerintahan. Fungsi WTO terdapat pada WTO Agreement, yaitu sebagai berikut:62 a) Memperlancar pelaksanaan, administrasi dan operasi, dan mencapai sasaran-sasaran dari persetujuan ini serta persetujuan multilateral b) Menyediakan forum perundingan untuk anggota-anggotanya yang berhubungan dengan hubungan perdagangan multilateral c) Mengatur prosedur penyelesaian sengketa d) Mengatur mekanisme pemantauan kebijaksanaan perdagangan e) Bekerjasama dengan Dana Moneter Internasional dan dengan Bank Internasional 62 Perjanjian WTO Pasal III ayat 1-5, Fungsi dari WTO 43 3. Struktur WTO Badan-badan yang merupakan kunci dari WTO adalah sebagai berikut:63 a) Ministerial Conference (Pertemuan Tingkat Menteri) – puncak organisasi WTO organizational membuat keputusan yang sifatnya hirarki. Pertemuan diadakan paling tidak satu kali dalam dua tahun serta memiliki tanggung jawab membuat kebijakan-kebijakan yang akan dilaksanakan oleh WTO. b) General Council / Dispute Settlement Body & Trade Policy Review Body (Dewan Umum / Badan Penyelesaian Sengketa & Badan Peninjauan Kebijakan Perdagangan) – komposisinya merupakan perwakilan dari setiap anggota WTO dan merupakan pelaksana dari WTO. Di dalam General Council, pertemuan diadakan secara bulanan. c) WTO Secretariat (Sekretariat WTO) – pelaksana administratif dan pelaksana harian. d) WTO Councils (Dewan WTO) – terdapat dewan-dewan pada setiap bidang perdagangan, yaitu: 1. Council for Trade in Goods (Dewan Perdagangan dalam Barang) 2. Council for Trade in Services (Dewan Perdagangan dalam Jasa) 3. Council for Trade Related Aspects of Intellectual Property (Dewan Hak Kekayaan Intelektual) 63 Meria Utama, Hukum Ekonomi Internasional (Jakarta: PT Fikahati Aneska, 2012), h. 42. 44 e) 4. Committes and Working Parties (Komite dan Kelompok Kerja) Prinsip-Prinsip Dasar WTO Terdapat 5 prinsip dasar WTO, yaitu:64 a. Non-Discrimination (Non-Diskriminasi) Prinsip non-discrimination memuat dua aspek. Pertama, konsep Most Favored Nation (MFN) dan kedua, National Treatment (NT). Most Favored Nation (Negara Paling Disukai) Pada tahun 1978 ILC mengajukan kepada UNGA suatu Draft Articles Most-Favored Nation Clause (Rancangan Artikel Klausul Negara yang Paling Disukai). Dalam Pasal 5 Draft itu dirumuskan pengertian Most-Favored Nation treatment sebagai berikut:65 Most Favored Nation treatment is treatment accorded by the granting State to the beneficiary State, or to persons or things in a determined relationship with that State, not less favourable than treatment extended by the granting State to a third State or to persons or things in the same relationship with that third State. Konsep MFN merupakan konsep yang fundamental dalam perdagangan internasional. Konsep ini tidak hanya terbatas pada negaranegara anggota semata, oleh karenanya jika anggota WTO memberikan 64 65 Meria Utama, Hukum Ekonomi Internasional (Jakarta: PT Fikahati Aneska, 2012), h. 46. Rusli Pandika, Sanksi Dagang Unilateral di Bawah Sistem Hukum WTO (Bandung: PT Alumni, 2010), h.132. 45 perlakuan yang berbeda ke negara yang bukan anggota maka hal itu juga harus diterapkan bagi negara-negara anggota. National Treatment (Perlakuan Nasional) Konsep NT terdapat pada Article III GATT, Pasal VII GATS dan Article III TRIPS dan telah menjadi artikel yang paling sering diinterpretasikan baik sebelum maupun sesudah pembe ntukan WTO. b. Liberalization of Trade (Liberalisasi Perdagangan) Tujuan dari WTO adalah untuk memberikan stabilitas dan prediktibilitas yang lebih luas dalam sistem perdagangan internasional. Liberalisasi merupakan salah satu jalan untuk menghapuskan segala bentuk pembatasan dalam bidang ekspor dan impor. Juga, dalam hal ini tidak ada subsidi dan tarif sama sekali. Barangkali hal ini terkesan tidak realistis untuk dicapai secara global dan mungkin hal ini akan membuat negara-negara menjadi tidak mendukung keberadaan WTO. Namun penting untuk mencapai proses keberlanjutan dari liberalisasi. Perlu dicatat bahwa akan selalu ada pembatasan dari proses liberalisasi. Dalam WTO agreement, pembatasan ini diwakili dengan apa yang disebut safeguards, yaitu “a further special agreement on safeguards and the special case of texttiles”. Intinya, safeguards membolehkan negara-negara anggota untuk mengambil tindakan „emergency‟ untuk mencegah akibat yang fatal bagi negara tersebut. 46 c. No Unfair Trade (Tidak Ada Perdagangan yang Tidak Adil) Unfair trade merupakan ketidakadilan dalam dunia perdagangan. Pertama tentang dumping dan kedua mengenai subsidi. Dumping produk dipandang sebagai sebuah contoh diskriminasi harga secara internasional. Di pasar yang berbeda terdapat perbedaan harga untuk barang yang sama. Dumping dipandang juga sebagai predatory pricing dimana sebuah produsen menjual dibawah harga untuk mengintimidasi atau menghapuskan saingannya dan dalam jangka waktu yang panjang harga tersebut akan dinaikan setelah kompetitor tetapi dapat dihapuskan. Antidumping diperbolehkan oleh Pasal VI GATT, dengan pengecualian hanya untuk melindungi perekonomian nasional dalam menghadapi kompetisi yang tidak fair dan bukan sebagai alat untuk melindungi perdagangan. Subsidies (Subsidi) Dalam Putaran Uruguay (1986-1994) untuk pertama kalinya subsidi diberikan definisi, yaitu .... a financial contribution by the government or any public body where the govcernment practice involves the following : 1) A direct transfer of funds 47 2) Potential direct transfers of liabilities 3) Government revenue (for instance taxation and payroll duty) that is otherwise due is foregone 4) Government provisions of goods or services other than general infrastructure 5) Government payments to a funding mechanism or a direction to a private body to carry out the above functions Sebagai aturan umum, subsidi dilarang ketika hal ini menyebabkan terganggu perdagangan internasional. Jadi bukanlah harga dan kualitas barang yang sampai ke konsumen, melainkan harga yang ditimbulkan oleh semata-mata akibat adanya subsidi tersebut dan bukanlah merupakan hasil dari tekanan kompetisi. d. Transparency (Transparansi) Inti daripada transparansi yang diminta aturan-aturan GATT (Pasal X), GATS (Pasal III), dan TRIPS (Pasal 63) adalah: 1) Publikasi segala jenis hukum dan aturan sebelum dilaksanakan 2) Keseragaman, tidak terpisah dan administrasi yang masuk akal dari aturan dan hukum tersebut. 3) Judicial Review dari setiap putusan administratif. Prinsip-prinsip transparansi sangat penting guna kepercayaan para pebisnis, yang diinginkan adalah sistem hukum domestik 48 memperlakukan korporasi dan individu asing sama perlakuannya dengan individu dan korporasi lokal. e. Exceptions (Pengecualian) Terdapat pengecualian didalam prinsip WTO, yaitu: General Exceptions (Pengecualian Umum) Pengecualian horizontal (The Horizontal Exceptions) dalam GATT (dan berlaku juga bagi negara-negara anggota WTO) termuat pada Pasal XX. Pengecualian ini termasuk: 1) Kepentingan untuk melindungi moral masyrakat 2) Kepentingan untuk melindungi manusia, binatang atau kehidupan planet bumi dan kesehatan. 3) Berkaitan dengan impor atau ekspor emas dan perak 4) Kepentingan atas dasar hukum dan aturan yang tidak sesuai dengan aturan yang terdapat didalam agreement yang berkaitan dengan: 3.1 Customs enforcement 3.2 Protection of patents, trade marks and copyrights 3.3 Enforcement of monopolies 3.4 Prevention of deceptive practices 5) Produk yang dihasilkan oleh orang yang dipenjara (prison labour) 6) Diterapkan untuk melindungi warisan artistik, sejarah masa lalu dan yang memiliki nilai arkeologi 49 7) Konservasi sumber daya alam yang sedikit 8) Diambil dalam rangka kewajiban yang timbul dari perjanjian komoditi antar pemerintah 9) Melibatkan pembatasan ekspor bahan-bahan domestik yang penting untuk memastikan kualtias utama bahan tersebut pada proses industri domestik selama jangka waktu ketika harga domestim dari bahan tersebut berada diharga bawah dunia, sebagai bagian dari rencana stabilitas pemerintah yang termasuk dalam subject to the principle of non discrimination. 10) Berguna untuk mengakuisisi atau mendistribusikan produk sebagai supply jangka pendek secara umum maupun lokal. Security Exceptions (Pengecualian dalam Keamanan) Adalah hak sebuah negara untuk mempertahankan diri dari serangan pihak luar yang dijamin dalam prinsip dasar hukum inetrenasional. Karena anggota-anggota WTO adalah negara-negara yang berdaulat dan bertanggungjawab atas keamanan dalam negerinya, sulit membayangkan bagaimana WTO dispute settlement body akan dapat bertindak sebagai hakim pada persoalan ini jika pengecualian kemanan ini tidak dibuat sejelas mungkin dan ukuran-ukuran keamanan tersebut ditempatkan dalam artian senyatanya dari diskriminasi perdagangan dalam rangka produsen domestik. Persoalan ini lebih 50 sesuai dibahas oleh hukum internasional, hukum perang, dan Dewan Keamanan PBB. 4. Ruang Lingkup Pengaturan WTO Ruang lingkup pengaturan WTO adalah:66 1. Pembentukan World Trade Organization (the establishment of WTO) 2. Pengurangan Tarif (Tariff Reduction) 3. Pertanian (Agriculture) 4. Tarif dan Hambatan Non-Tarif (Tariff and Non-Tariff Barriers) 5. Sanitary and Phytosanitary Measures 6. Tekstil dan Pakaian (Textile and Apparel) 7. Safeguards 8. Antidumping 9. Subsidies and Countervailing Measures 10. TRIMs (Trade Related Investment Measures) 11. Jasa (Services) 12. Hak Milik Intelektual (Intellectual Property Rights) 13. Penyelesaian Perselisihan (Dispute Settlement) 14. Pengadaan Pemerintah (Government Procurement) 66 Rusli Pandika, Sanksi Dagang Unilateral di Bawah Sistem Hukum WTO (Bandung: PT Alumni, 2010), h.132. 51 15. Ketentuan Perdagangan Lainnya (Other Trade Provisions) 16. Lingkungan (The Environment) 17. Hak-hak Pekerja (Worker Rights) B. WTO Sebagai Forum Penyelesaian Sengketa Sebagai suatu forum internasional yang merupakan instrumen untuk menangani masalah perdagangan dunia, WTO merupakan suatu mekanisme yang memungkinkan dilakukannya konsultasi antara sesama negara anggota, baik dala bentuk bilateral, plurilateral, maupun multilateral. Mekanisme yang paling luwes konsultasi informal yang banyak menyelesaikan masalah sehingga mencegah terjadinya sengketa yang terlalu sering. Namun ada kalanya timbul masalah yang menjadi sengketa dalam bentuk yang lebih formal. WTO juga merupakan suatu forum penyelesaian sengketa antara negara-negara anggota. Sebagai forum untuk kegiatan penyelesaian sengketa WTO secara sistematis menyediakan mekanisme yang lebih formal untuk memberi kesempatan pada negara-negara anggota untuk menyelesaiakan sengketa. Dengan adanya perjanjian WTO yang merupakan suatu kontrak hak dan kewajiban, apabila ada sengketa mengenai hal-hal yang berkaitan dengan hak dan kewajiban dan pelanggaran yang terjadi, maka WTO sebagai suatu sistem menyediakan forum yang formal untuk menyelesaikan sengketa.67 67 H. S. Kartadjoemena, GATT DAN WTO Sistem, Forum dan Lembaga Internasional di Bidang Perdagangan (Jakarta: UI Press, 1996), h. 90. 52 Konsiliasi, konsultasi dan penyelesaian sengketa merupakan salah satu aspek yang penting dalam kegiatan WTO sehari-hari. Baik negara kecil maupun negara besar dapat mengemukakan masalah sengketa perdagangan mereka seperti tercantum dalam General Agreement dinilainya dilanggar oleh negara anggota lainnya. Sistem ini disasarkan pada ketentuan yang secara umum tercantum dalam Pasal XII dan XIII dari General Agreement. C. Mekanisme Penyelesaian Sengketa Mekanisme Penyelesaian Sengketa sebagai bagian dari Pengawasan 1. Internasional Tentang pengawasan (supervision) seorang sarjana memberikan pengertian sebagai berikut: “The supervisory function is an essential legal technique. It performs a function whic is absolutely necessary to the existe nce abd progress of any society, of any social organization. The main object of this function is to ensure respect for law and the realization of rules of law as well as the regular functioning of public service within the limits laid down in these rules of law. Supervision is an organic function which makes it possible for errors either in the assesment of a situation or in taking action which might jeopadize the stability and security of social existence to be rectified. If therefore serves to ensure public order”.68 68 Hata, Perdagangan Internasional Dalam Sistem GATT DAN WTO Aspek-Aspek Hukum dan Non Hukum (Bandung: PT Refika Aditama, 2006), h. 181. 53 Menurut Van Hoof pengawasan internasional mempunyai tiga fungsi: 69 a. Review Function (Fungsi Peninjauan): Pada umumnya, “review” diartikan sebagai mengukur atau menilai sesuatu berdasarkan tolak ukur tertentu. Dalam konteks hukum, ini berarti menilai sesuatu perilaku untuk menentukan kesesuaiannya dengan aturan hukum. Review Function dalam hubungannya dengan negara dilaksanakan apabila perilaku suatu negara dinilai menurut hukum internasional oleh suatu lembaga pengawasan yang mempunyai status internasional. Pengawasan ini dilakukan oleh satu negara atau lebih atau oleh suatu lembaga yang dibentuk menurut perjanjian internasional. Hasil dari pengawasan ini adalah suatu keputusan tentang sesuai tidaknya tindakan negara tersebut dengan hukum internasional. b. Correction Function (Fungsi Koreksi): fungsi ini dilaksanakan manakala telah timbul suatu keadaan yang bertentangan dengan hukum internasional. Namun demikian, fungsi ini dapat bersifat preventif, manakala negara-negara menyesuaikan diri pada aturan-aturan hukum internasional sebagai akibat eksistensi atau ancaman dari mekanisme koreksi ini. Tujuan akhir dari pengawasan internasional adalah untuk memastikan kepatuhan terhadap aturan-aturan hukum internasional. Oleh 69 Hata, Perdagangan Internasional Dalam Sistem GATT DAN WTO Aspek-Aspek Hukum dan Non Hukum (Bandung: PT Refika Aditama, 2006), h. 181. 54 karena itu pelanggarannya harus diperbaiki. Terlepas dari kasus-kasus dimana negara yang melakukakan pelanggaran memperbaiki pelanggaran atas kehendak sendiri, kepatuhan terhadap hukum internasional harus dipastikan melalui persuasi atau paksaan dari luar. Ini merupakan fungsi koreksi dari pengawasan internasional, yang bisa juga disebut sebagai fungsi pemaksa (enforcement function). Satu persoalan yang terkait dengan hal ini adalah pengenaan sanksi dalam hukum internasional. c. Creative Function (Fungsi Kreatif): Sekalipun review dan creative function merupakan bagian pokok dari pengawasan, namun pengawasan juga dapat berfungsi kreatif, terutama dalam hukum internasional. Hal ini disebabkan karena tidak adanya semacam lembaga eksekutif dan yudikatif. Tindakan-tindakan legislatif seringkali abstrak atau tidak jelas. Oleh karena itu usaha untuk memperjelas norma-norma hukum internasional ini merupakan bagian dari fungsi pengawasan yaitu fungsi kreatif. Jadi fungsi kreatuif ini berupa penafsiran atas aturan-aturan hukum internasional yang belum jelas. 2. Mekanisme Penyelesaian Sengketa Dalam WTO Berikut ini adalah tahapan-tahapan dalam penyelesaian sengketa dagang dalam WTO.70 a. Konsultasi (Consultations) 70 253. Syahmin AK, Hukum Dagang Internasional (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006), h. 55 Tujuan dari mekanisme penyelesaian sengketa dagang di WTO adalah untuk menguatkan solusi yang positif terhadap sengketa. Tahap pertama adalah kosnultasi para pihak yang bersengketa. Setiap anggota harus menjawab secara tepat dalam waktu sepuluh hari untuk meminta diadakan konsultasi dan memasuki periode konsultasi selama tiga puluh hari setelah waktu permohonan. Untuk memastikan kejelasannya, setiap permohonan untuk konsultasi harus diberitahukan kepada DSB (Dispute Settlement Body) secara tertulis, kemudian disebutkan alasan-alasan permohonan konsultasi termasuk dasar-dasar hukum untuk pengaduan. Bila konsultasi gagal dan kedua pihak setuju, masalah ini dapat diajukan ke Direktur Jenderal WTO yang akan siap menawarkan diadakan good offices, konsiliasi, atau mediasi dalam menyelesaikan sengketa. b. Pembentukan Panels (Establishment of Panels) Jika suatu anggota tidak membverikan jawaban untuk meminta diadakan konsultasi dalam waktu sepuluh hari atau jika konsultasi gagal untuk diselesaikan dalam waktu enam puluh hari, penggugat dapat meminta ke DSB untuk membentuk suatu panel untuk menyelesaikan masalah pembentukan panel. Prosedur ini menntut DSB untuk segera membentuk panel, selambat-lambatnya pada sidang kedua dari permintaan panel. Jika tidak, maka diputuskan secara konsensus. Hal ini 56 dimaksudkan adalah negara yang digugat tidak boleh menghalangi pembentukan panel. Dalam hal ini penentuan Term of Reference dan komposisi panel juga diajukan. Panel harus segera disusun dalam waktu tiga puluh hari pembentukan. Sekretariat WTO akan menyarankan tiga orang panelis yang potsensial pada pihak-pihak sengketa. Jika pihak-pihak tersaebuy tidak setuju terhadap panelis dalam waktu duapuluh hari dari pembentukan panel, Direktur Jenderal melakukan konsultasi kepada ketua DSB dan Ketua Dewan akan menunjuk panelis. Para panelis akan melayani sesuai dengan kapasitasnya dan tidak beprgang pada instruksi-instruksi dari negara yang bersangkutan. c. Prosedur-Prosedur Panel (Panels Procedures) Pengertian ini menunjukkan bahwa periode dimana panel melaksanakan pengujian masalah, selanjutnya Term of Reference dan komposisi panel disetujui, kemudian panel memberikan laporan kepada para pihak yang bersengketa tidak boleh lebih dari enam bulan. Dalam hal-hal yang penting, termasuk untuk barang-barang yang mudah rusak, waktu dapat dipercepat menjadi tiga bulan. Apabila tidak ada masalah, waktu pembentukan panel ke sirkulasi laporan kepada anggota tidak boleh lebih dari sembilan bulan. d. Penerimaan Laporan Panel ke DSB (Adoption of Panels Reports) 57 Prosedur WTO menunjukkan bahwa laporan panel harus diterima oleh DSB dalam waktu enam puluh hari dari pengeluaran. Jika tidak, satu pihak memberitahukan keputusannya untuk menarik atau konsesnsus terhadap pengesahan laporan. DSB tidak dapat mempertimbangkan laporan panel lebih cepat dari dua puluh hari setelah laporan tersebut disirkulasikan kepada para anggota. Para anggota yang merasa keberatan atas laporan itu diwajibkan untuk menyatakan alasan-alasan secara tertulis untuk disirkulasikan sebelum diadakan pertemuan DSB di mana laporan panel akan dipertimbangkan. e. Peninjauan Kembali (Appellate Review) Suatu gambaran baru dari mekanisme penyelesaian sengketa di WTO memberikan kemungkina penarikan terhadap salah satu pihak dalam suatu berlangsungnya panel. Semua permohonan akan didengar oleh suatu badan peninjau (Appellate Body) yang dibentuk oleh DSB. Badan ini terdiri dari tujuh orang yang merupakan perwakilan dari keanggotaan WTO yang akan melayani dalam termin empat tahun. Mereka harus merupakan orang yang ahli di bidang hukum dan perdagangan internasional, dan tidak berafiliasi dengan negara mana pun. Tiga orang anggota dari Appellate Body mendengarkan permohonan-permohonan mereka dapat membela, mengubah, atau 58 membatalkan hasil kesimpulan panel sesuai aturan, namun pengajuan permohonan tidak lebih dari 60-90 hari. Tiga puluh hari sesudah pengeluaran, lapooran dari Appellate Body harus diterima oleh DSB dan tanpa syarat diterima oleh pihak-pihak yang bersengketa. Jika tidak, konsensus akan diberlakukan terhadap pengesahan ini. f. Implementasi (Implementation) Kebijaksanaan menekankan bahwa peraturan dari DSB sangat penting agar mencapai resolusi yang efektif dari persengketaanpersengketaan yang bermanfaat untuk semua anggota. Pada pertemuan DSB berlangsung dalam waktu tiga puluh hari dari adopsi panel, pihak yang bersangkutan harus menyatakan niat untuk menghargai impelementasi dari rekomendasi-rekomendasi. Bila hal itu tidak berguna untuk segera menyetujui, anggota akan diberikan suatu periode waktu yang beralasan yang ditentukan oleh Dispute Settlement Body (DSB). Bila hal itu gagal dalam waktu yang telah ditentukan itu, diwajibkan untuk mengadakan negosiasi dengan penggugat untuk menentukan kompensasi yang dapat diterima kedua belah pihak yang bersengketa. Jika dalam waktu dua puluh hari tidak ada kompensasi yang memuaskan yang dapat disetuji, penggugat dapat mohon otorisasi dari DSB untuk menangguhkan konsensi-konsensi atau obligasi-obligasi terhadap pihak tergugat. Prosedur menentukan bahwa DSB menjamin otorisasi ini dalam 59 waktu tiga puluh hari dari batas waktu “reasonable period of time”, jika konsensus akan diberlakukan. Jika anggota yang bersangkutan menolak/berkeberatan terhadap tingkat suspensi, hal tersebut diteruskan pada arbitrase. Hal ini akan diselesaikan oleh anggota-anggota panel yang asli. Bila hal ini tidak mungkin dilakukan oleh arbitrator yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal WTO. Arbitrase harus selesai dalam waktu enam puluh hari dari batas waktu “reasonable period of time”, dan hasil keputusan harus diterima oleh pihak-pihak yang bersangkutan sebagai final, dan tidak diteruskan kepada arbitrase lainnya. DSB selanjutnya memberi kuasa suspensi dari konsensi-konsensi secara konsisten dari hasil penyelesaian arbitrator. Jika tidak, maka akan diadakan konsensus. 60 BAB IV ANALISIS PERAN NEGARA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PERDAGANGAN INTERNASIONAL STUDI KASUS GUGATAN PERDAGANGAN ROKOK INDONESIA TERHADAP AUSTRALIA MELALUI WORLD TRADE ORGANIZATION A. Peran Diplomasi Indonesia Terhadap Australia Diplomasi merupakan sarana untuk menyatakan sikap membangun atau mempertahankan hubungan timbal balik, berkomunikasi antara yang satu dengan yang lain, atau melakukan transaksi politik atau hukum, dalam setiap kasus melalui agen resmi mereka.71 Hubungan bilateral memiliki pasang surut, terdapat berbagai konflik, mulai dari kepentingan politik dan bahkan kepentingan negara lain. Oleh karena itu diplomasi diperlukan untuk menemukan jalan atau titik temu bila suatu masalah mulai muncul. Diplomasi merupakan sarana komunikasi untuk suatu hubungan kerjasama. Kerjasama yang baik merupakan suatu keberhasilan untuk jangka panjang dan saling menguntungkan diantara pihak yang bersepakat. Firman Allah SWT dalam Q.S Al-Mumtahanah ayat 8 : 71 Syahmin AK, Hukum Diplomatik Suatu Pengantar (Bandung: CV. ARMICO, 1998) Cet.3, h. 13 60 61 “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil” Adil merupakan contoh sikap yang baik dan bijak, negara yang satu harus berlaku adil terhadap negara yang lain, tidak boleh dibeda-bedakan, apalagi dalam masalah perdagangan. Diskriminasi terhadap penerapan kebijakan perdagangan merupaka pelanggaran dari aturan hukum yang ada, jadi sebuah negara harus menjungjung tinggi sikap adil terhadap aturan hukum yang mereka buat. Diplomasi kadang kalanya ada yang dapat kesepakatan dan adapula yang tidak, dan sebaiknya diplomasi adalah diplomasi yang mengutamakan perdamaian sesuai dengan Q.S Al-Anfal ayat 61 : 62 “Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya dan bertakwakallah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” Dalam suatu hubungan diplomatik terdapat berbagai perjanjian, banyak sekali praktik perjanjian di dunia yang dilanggar oleh berbagai negara. Allah berfirman dalam Q.S At-Tawbah ayat 7 : “Bagaimana bisa ada perjanjian (aman) dari sisi Allah dan Rasul-Nya dengan orang-orang musyrikin, kecuali orang-orang yang kamu telah mengadakan perjanjian (dengan mereka) di dekat Masjidil Haram? Maka selama mereka berlaku lurus terhadapmu, hendaklah kamu berlaku lurus (pula) terhadap mereka. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa” Sebaik-baiknya perjanjian adalah perjanjian yang saling dihormati dan menghormati antar negara yang bersepakat. Klaim-kalim pelanggaran dari Indonesia terhadap Australia, menandakan bahwa ada perjanjian yang dilanggar oleh Australia sehingga Indonesia memliki kewajiban untuk melakukan perannya 63 demi kembalinya suatu hubungan seperti semula, yang sesuai dengan aturan atau traktat yang berlaku. Australia pada tahun 2011 menerapkan kebijakan Tobacco Plain Packaging Act yang dinilai tidak menguntungkan Indonesia karena bertentangan dengan hukum Internasional. Indonesia pada bulan Oktober 2013 melakukan tindakan atau langkah diplomasi melalui Kedutaan Besar Republik Indonesia di Canbera.72 Langkah diplomasi ini merupakan langkah awal untuk membahas secara bilateral diantara kedua negara perihal kebijakan Australia yang telah menerapkan kebijakan Tobacco Plain Packaging Act 2011. Perlu diketahui industri rokok menyumbang 1,66 persen total Gross Dosmetic Product (GDP) Indonesia dan devisa negara melalui ekspor ke dunia yang nilainya pada tahun 2013 mencapai 700 juta dollar AS. Selain itu, industri rokok juga menjadi sumber penghidupan bagi 6,1 juta orang yang bekerja di industri rokok secara langsung dn tidak langsung, termasuk 1,8 juta petani tembakau dan cengkeh.73 Pada diplomasi tersebut Indonesia menanyakan kepada Australia apakah Australia akan mencabut kebijakan langkah-langkah kemasan rokok polos yang dibuatnya. Kemasan rokok polos adalah kotak kemasan dengan warna seragam 72 Wawancara dengan Kementrian Perdagangan (Direksi Pengawasan Perdagangan) tanggal 3 Agustus 2015 73 Diakses dari bisniskeuangan.kompas.com/read/2015/06/05/111854526/Wajibkan.Kemasan.Rokok.Polos.Indonesia. Gugat.Asutralia pada tanggal 7 September 2015, pukul 13:08 WIB 64 disertai dengan peringatan ancaman kesehatan. Dalam kemasan tersebut, produsen tidak bisa menaruh logo atau jenis huruf khas merek dagang karena jenis hurufnya telah ditentukan.74 Tanggapan dari Australia adalah bahwa Australia tidak berada di posisi untuk melakuan hal tersebut (mencabut kebijakan kemasan polos) dikarenakan kebijakan ini merupakan langkah-langkah terhadap kesehatan masyarakat dan tidak ada kaitannya dengan masalah perdagangan. Australia menyatakan bahwa kebijakan yang dibuatnya bukan diarahkan atau ditujukan terhadap Indonesia, melainkan untuk keseluruhan negara. Australia menambahkan bahwa mereka hanya mengimpor sedikit tembakau dari Indonesia.75 Dasar hukum Australia menerapkan kebijakan ini adalah bahwa Australia ingin mengimplementasikan beberapa obligasi dibawah World Health Organization Framework Convention on Tobacco Control (WHO FCTC).76 World Health Organization Framework Convention on Tobacco Control (WHO FCTC) adalah perjanjian internasional yang diadopsi Majelis Kesehatan Dunia pada tanggal 21 Mei 2003, perjanjian ini mulai berlaku pada 27 Februari 2005. Perjanjian ini merupakan perjanjian supranasional yang bertujuan 74 Diakses dari M.cnnindonesia.com/ekonomi.com/ekonomi/20150703112932-8564091/mendag-indonesia-tak-akan-berlakukan-kemasan-rokok-polos/ pada tanggal 7 September 2015, pukul 14:00 WIB 75 Wawancara dengan Kedutaan Besar Australia di jakarta (Sekretaris I Bidang Ekonomi) tanggal 31 Agustus 2015 76 Diakses dari www.aph.gov.au/About_Parliament/Parliamentary_Departments/Parliamentary_Library/FlagPost/2014 /July/WTO_plain_cigarette_packaging_case pada tanggal 7 September 2015, pukul 13:27 WIB 65 melindungi generasi saat ini dan yang akan datang dari efek merusak konsumsi temabakau pada kesehatan, sosial, lingkungan, dan ekonomi dan membatasi penggunannya dalam bentuk apapun di seluruh dunia. Perjanjian ini mengikat pengaturan produksi, penjualan, distribusi, periklanan, dan perpajakan tembakau.77 Konsultasi bilateral melalui diplomasi tidak membuahkan hasil atau kesepakatan dan tidak mendapatkan pemecahan masalah, sehingga Indonesia pada 3 Maret 2014 menggugat Australia ke Panel WTO.78 Apa yang dilakukan Indonesia sudah tepat, Indonesia mengambil perannya sebagai suatu negara yang berdaulat untuk menyatakan sikapnya melalui cara non litigasi yaitu melalui diplomasi terhadap Australia ketika kasus ini mencuat. Bahkan sebelum ketika Plain Packaging masih merupakan bill (rancangan) pada 29 April 2010 Indonesia selalu aktif melakukan diplomasi terhadap Australia. Hingga akhirnya pada puncaknya kesepakatan tidak dapat dicapai, maka Indonesia mengambil langkah secara litigasi, membawa kasus ini ke Panel WTO. B. Perbandingan Kasus Sengketa Rokok Indonesia – Amerika dengan Indonesia – Australia 77 Diakses dari https://id.m.wikipedia.org/wiki/Konvensi_Kerangka_Kerja_Pengendalian_Tembakau_WHO pada tanggal 7 September 2015, pukul 13:47 WIB 78 Panel WTO adalah panel yang dibentuk oleh badan penyelesaian sengketa yang terdiri dari tiga panelis, yang berfungsi untuk melakukan uji terhadap suatu masalah atau sengketa 66 Indonesia - Amerika Indonesia merupakan penghasil produk tembakau terbesar keenam dan penghasil daun ketigabelas di dunia yang menyerap tenaga kerja langsung dan tidak langsung lebih dari enam juta jiwa.79 Salah satu negara tujuan ekspor rokok Indonesia yaitu Amerika. Pada 7 April 2010 Indonesia mengajukan konsultasi dengan Amerika berkaitan dengan ketentuan Family Smoking Prevention Tobacco Control Act tahun 2009 (selanjutnya disebut Tobacco Control Act) yang melarang keberadaan rokok kretek di Amerika. Indonesia menyatakan Tobacco Control Act tahun 2009 Pasal 907 (a)(1)(A), yang ditandatangi menjadi Undang-Undang pada 22 Juni 2009 tersebut, melarang, antara lain produksi atau penjualan rokok yang mengandung aditif tertentu, termasuk cengkeh, tapi akan terus mengizinkan produksi dan penjualan rokok lainnya, termasuk rokok yang mengandung menthol. Indonesia menyatakan bahwa pasal 907 (a)(1)(A) Tobacco Products Standards80 tidak konsisten dengan: 79 Diakses dari Bisniskeuangan.kompas.com/read/2014/10/14/194623126/Wajibkan.Kemasan.Polos.Australia.Digugat .5.Negara.kw.WTO pada tanggal 7 September 2015, pukul 13:20 WIB 80 Special rule for cigarettes.--Beginning 3 months after the date of enactment of the Family Smoking Prevention and Tobacco Control Act, a cigarette or any of its component parts (including the tobacco, filter, or paper) shall not contain, as a constituent (including a smoke constituent) or additive, an artificial or natural flavor (other than tobacco or menthol) or an herb or spice, including 67 1. Technical Barriers to Trade Agreement Pasal: 2.1: Members shall ensure that in respect of technical regulations, products imported from the territory of any Member shall be accorded treatment no less favourable than that accorded to like products of national origin and to like products originating in any other country 2.2: Members shall ensure that technical regulations are not prepared, adopted or applied with a view to or with the effect of creating unnecessary obstacles to international trade. For this purpose, technical regulations shall not be more trade-restrictive than necessary to fulfil a legitimate objective, taking account of the risks non-fulfilment would create. Such legitimate objectives are, inter alia: national security requirements; the prevention of deceptive practices; protection of human health or safety, animal or plant life or health, or the environment. In assessing such risks, relevant elements of consideration are, inter alia: available scientific and technical information, related processing technology or intended end-uses of products 2.5: A Member preparing, adopting or applying a technical regulation which may have a significant effect on trade of other Members shall, upon the request of another Member, explain the justification for that technical regulation in terms of the provisions of paragraphs 2 to 4. Whenever a technical regulation is prepared, adopted or applied for one of the legitimate objectives explicitly mentioned in paragraph 2, and is in accordance with relevant international standards, it shall be rebuttably presumed not to create an unnecessary obstacle to international trade 2.8: Wherever appropriate, Members shall specify technical regulations based on product requirements in terms of performance rather than design or descriptive characteristics 2.9: Whenever a relevant international standard does not exist or the technical content of a proposed technical regulation is not in accordance with the technical content of relevant international standards, and if the technical regulation may have a significant effect on trade of other Members, Members shall: 2.9.1 publish a notice in a publication at an early appropriate stage, in such a manner as to enable interested parties in other Members to become strawberry, grape, orange, clove, cinnamon, pineapple, vanilla, coconut, licorice, cocoa, chocolate, cherry, or coffee, that is a characterizing flavor of the tobacco product or tobacco smoke. Nothing in this subparagraph shall be construed to limit the Secretary's authority to take action under this section or other sections of this Act applicable to menthol or any artificial or natural flavor, herb, or spice not specified in this subparagraph. 68 acquainted with it, that they propose to introduce a particular technical regulation; 2.9.2 notify other Members through the Secretariat of the products to be covered by the proposed technical regulation, together with a brief indication of its objective and rationale. Such notifications shall take place at an early appropriate stage, when amendments can still be introduced and comments taken into account; 2.9.3 upon request, provide to other Members particulars or copies of the proposed technical regulation and, whenever possible, identify the parts which in substance deviate from relevant international standards; 2.9.4 without discrimination, allow reasonable time for other Members to make comments in writing, discuss these comments upon request, and take these written comments and the results of these discussions into account 2.10: Subject to the provisions in the lead-in to paragraph 9, where urgent problems of safety, health, environmental protection or national security arise or threaten to arise for a Member, that Member may omit such of the steps enumerated in paragraph 9 as it finds necessary, provided that the Member, upon adoption of a technical regulation, shall: 2.10.1 notify immediately other Members through the Secretariat of the particular technical regulation and the products covered, with a brief indication of the objective and the rationale of the technical regulation, including the nature of the urgent problems; 2.10.2 upon request, provide other Members with copies of the technical regulation; 2.10.3 without discrimination, allow other Members to present their comments in writing, discuss these comments upon request, and take these written comments and the results of these discussions into account 2.12: Except in those urgent circumstances referred to in paragraph 10, Members shall allow a reasonable interval between the publication of technical regulations and their entry into force in order to allow time for producers in exporting Members, and particularly in developing country Members, to adapt their products or methods of production to the requirements of the importing Member 12.3: Members shall, in the preparation and application of technical regulations, standards and conformity assessment procedures, take account of the special development, financial and trade needs of developing country Members, with a view to ensuring that such technical regulations, standards and conformity assessment 69 procedures do not create unnecessary obstacles to exports from developing country Members (berdasarkan pasal 2.1-12.3 dapat disimpulkan bahwa produk lokal dengan produk impor harus disamakan, tidak boleh dibeda-bedakan. Regulasi yang dibuat suatu negara tidak boleh bertujuan untuk membentuk suatu hambatan-hambatan bagi negara lain. Negara dalam menerapakan suatu regulasi yang baru, maka ia harus memberikan penjelsan terhadap regulasinya tersebut, mempublikasi pemberitahuan dari dini mungkin mengenai aturan agar negara lain mengetahui bahwa mereka membuat regulasi baru, memberitahukan kepada sekretariat, tanpa diskriminasi mengizinkan negara lain untuk menyatakan pendapatnya, memberikan salinan regulasi apabila diminta oleh anggota. Anggota memberi pernyataan bahwa regulasi yang baru, tidak memberikan hambatan atau mempersulit negara yang sedang berkembang. Harus ada selang waktu tidak kurang dari enam bulan antara publikasi dan berlakunya regulasi tersebut.) 2. General Agreement on Tariffs and Trade 1994 Pasal 3 National Treatment on Internal Taxation and Regulation ayat 4 – dan tidak dapat di justifikasi dibawah pasal XX(b)81 : The products of the territory of any contracting party imported into the territory of any other contracting party shall be accorded treatment no less favourable than that accorded to like products of national origin in respect 81 necessary to protect human, animal or plant life or health 70 of all laws, regulations and requirements affecting their internal sale, offering for sale, purchase, transportation, distribution or use. The provisions of this paragraph shall not prevent the application of differential internal transportation charges which are based exclusively on the economic operation of the means of transport and not on the nationality of the product. (berdasarkan pasal 3 ayat 4 tersebut dapat disimpulkan bahwa produk dalam dan luar negeri harus diperlakukan dengan sama tanpa membedabedakan dengan menaati hukum, regulasi, persyaratan penjualan, penawaran barang, harga, transportasi dan penggunaan distribusi. Tidak membedakan tarif angkutan perdagangan) Tobacco Control Act melarang peredaran semua rokok yang mengandung aroma dan rasa (flavored cigarettes), termasuk rokok kretek di Amerika. Meski demikian, peraturan tersebut tidak melarang rokok yang mengandung aroma dan rasa menthol. Argumentasi dari Amerika adalah disahkannya Tobacco Control Act adalah, untuk mengatasi masalah kesehatan terkait dengan rokok yaitu dengan mengurangi konsumsi rokok pada anak muda. Undang-Undang tersebut menyebutkan larangan bagi semua jenis rokok yang mengandung zat aditif berupa bahan alami, tumbuh-tumbuhan dan rempah-rempah yang menimbulkan rasa dan aroma tertentu, seperti cengkeh, vanila dan cherry. Rokok kretek asal Indonesia dianggap mengandung zat aditif, berupa cengkeh, sehingga turut dilarang. Hasil studi yang dilakukan oleh sebuah institut Penyalahgunaan Narkoba di Amerika Serikat pada tahun 2006 menyebutkan 71 bahwa rokok kretek merupakan produk pemula yang menggoda orang sehingga mereka menjadi terbiasa merokok.82 Argumentasi Indonesia adalah bahwa regulasi teknis yang dibuat oleh Amerika Serikat telah menghambat kegiatan perdagangan Indonesia, dimana hal tersebut berpengaruh kepada perekonomian Indonesia. Selain itu prosedur regulasi teknis seharusnya diberitahukan dulu ke anggota WTO, tetapi Amerika Serikat tidak menyampaikan sebelumnya, dan hal ini menjadi suatu keberatan bagi Indonesia.83 Badan Banding WTO, sesuai dengan laporan Panel WTO memutuskan : 1. Mengabulkan gugatan Indonesia atas TBT Agreement Pasal 2.1 : upholds, albeit for different reasons, the Panle’s finding, in paragraph 7.428 of the Panel Report, that clove cigarettes and menthol cigarettes are “like products” within the meaning of Article 2.1 of the TBT Agreement; upholds, albeit for different reasons, the Panels’s finding, in paragraph 7.292 of the Panel Report, that, by banning clove cigarettes while exempting menthol cigarettes from the ban, Section 907(a)(1)(A) of the FFDCA accords imported clove cigarettes less favourable treatment than that accorded to domestic menthol cigarettes, within the meaning of Article 2.1 of the TBT Agreement (dengan alasan, bahwa rokok kretek dan rokok mentol merupakan produk yang serupa (like products). Amerika Serikat juga melanggar atas ketentuan 82 Diakses dari amti.id/ri-amerika-gelar-perundingan-soal-boikot-rokok-kretek-indonesia/ pada tanggal 29 Agustus 2015, 14:40 WIB 83 Diakses dari Ditjenkpi.kemendag.go.id/website_kpi/index.php?module=news_detail&news_content_id=1004&deta il=true pada tanggal 29 Agustus 205, 14:45 WIB 72 pasal 2.1 karena sudah melarang rokok kretek beredar di dalam negeri, sementara rokok mentol dibiarkan, hal ini melanggar ketentuan tentang perlakuan tidak menguntungkan). 2. Mengabulkan gugatan Indonesia atas TBT Agreement Pasal 2.12: upholds, albeit for different reasons, the Panel’s finding, in paragraph 7.595 and 8.1(h) of the Panel Report, that, by failing to allow an interval of not less than six months between the publication and the entry into force of Section 907(a)(1)(A) of FFDCA, the United States acted inconsistently with Article 2.12 of the TBT Agreement (dengan alasan, dengan tidak adanya selang waktu tidak kurang dari enam bulan antara publikasi dan berlakunya Pasal 907 (a)(1)(A) dari Federal Food, Drug and Cosmetic Act (Family Smoking Prevention Tobacco Control Act)). 3. Conversely, the Panel rejected Indonesia‟s claims under Articles .2, 2.5, 2.8, 2.9, 2.10 and 12.3 of the TBT Agreement (Menolak gugatan Indonesia atas TBT Agreement Pasal 2.2, 2.5, 2.8, 2.9, 2.10 dan 12.3) 4. The Panel declined to rule on Indonesia‟s alternative claim under Article III:4 of the GATT 1994 and on the United States related defence under Article XX(b) of the GATT 1994 (Panel menolak GATT 1994 Pasal III ayat 4) Atas putusan WTO maka Indonesia memenangkan sengketanya dengan Amerika Serikat pada tanggal 4 April 2012. 73 Indonesia – Australia Indonesia menggugat Australia ke Dispute Settlement Body yang berada dibawah naungan World Trade Organization pada tanggal 3 Maret 2014. Indonesia menganggap Australia melalui kebijakannya yaitu Tobacco Plain Packaging 2011 telah melakukan pelanggaran terhadap ketentuan Internasional, sehingga Indonesia menggugat ke WTO atas84 : 1. Technical Barriers to Trade Agreement Pasal 2.1 dan 2.2 (sama dengan tuntutan terhadap Amerika Serikat) 2. GATT 1994 Pasal III:4 (sama dengan tuntuntan terhadap Amerika Serikat) 3. Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS) Pasal : 2.1 3.1 : In respect of Parts II, III and IV of this Agreement, Members shall comply with Articles 1 through 12, and Article 19, of the Paris Convention (1967) : Each Member shall accord to the nationals of other Members treatment no less favourable than that it accords to its own nationals with regard to the protection3 of intellectual property, subject to the exceptions already provided in, respectively, the Paris Convention (1967), the Berne Convention (1971), the Rome Convention or the Treaty on Intellectual Property in Respect of Integrated Circuits. In respect of performers, producers of phonograms and broadcasting organizations, this obligation only applies in respect of the rights provided under this Agreement. Any Member availing itself of the possibilities provided in Article 6 of the Berne Convention (1971) or paragraph 1(b) of Article 16 of the Rome Convention shall make a notification as foreseen in those provisions to the Council for TRIPS 15.4: The nature of the goods or services to which a trademark is to be applied shall in no case form an obstacle to registration of the trademark. 84 Diakses http://www.wto.org/english/tratop e/dispu e/cases e/ds467 e.htm pada tanggal 5 November 2014, pukul 10:47 WIB 74 16.1: The owner of a registered trademark shall have the exclusive right to prevent all third parties not having the owner’s consent from using in the course of trade identical or similar signs for goods or services which are identical or similar to those in respect of which the trademark is registered where such use would result in a likelihood of confusion. In case of the use of an identical sign for identical goods or services, a likelihood of confusion shall be presumed. The rights described above shall not prejudice any existing prior rights, nor shall they affect the possibility of Members making rights available on the basis of use. 16.3 : Article 6bis of the Paris Convention (1967) shall apply, mutatis mutandis, to goods or services which are not similar to those in respect of which a trademark is registered, provided that use of that trademark in relation to those goods or services would indicate a connection between those goods or Page 327 services and the owner of the registered trademark and provided that the interests of the owner of the registered trademark are likely to be damaged by such use 20: The use of a trademark in the course of trade shall not be unjustifiably encumbered by special requirements, such as use with another trademark, use in a special form or use in a manner detrimental to its capability to distinguish the goods or services of one undertaking from those of other undertakings. This will not preclude a requirement prescribing the use of the trademark identifying the undertaking producing the goods or services along with, but without linking it to, the trademark distinguishing the specific goods or services in question of that undertaking. 22.2(b) : any use which constitutes an act of unfair competition within the meaning of Article 10bis of the Paris Convention (1967). 24.3: In implementing this Section, a Member shall not diminish the protection of geographical indications that existed in that Member immediately prior to the date of entry into force of the WTO Agreement. (berdasarkan pasal 2.1-24.3 dapat disimpulkan bahwa negara harus menerapkan perlakuan hak kekayaan intelektual yang sama baik dari dalam dan luar negeri. Merek dagang impor tidak boleh dipersulit di dalam 75 domestik. Pemegang merek dagang memiliki hak eksklusif untuk mencegah barang lain memiliki merek yang sama, yang mana nantinya akan membingungkan. Segala bentuk persaingan harus merupakan persaingan yang sehat.) C. Prospek Kedepan Penyelesaian Sengketa Rokok Indonesia Indonesia menyatakan bahwa Tobacco Plain Packaging Act 2011 (TPPA) membuat regulasi teknis yang melanggar bagian GATT, TBT, dan TRIPS karena:85 1. memperlakukan tembakau yang diimpor kurang menguntungkan daripada yang diproduksi di dalam negeri; 2. menciptakan hambatan yang tidak perlu terhadap perdagangan dan membuat perdagangan lebih ketat dari yang diperlukan untuk memenuhi tujuan yang sah (memperhitungkan resiko yang pemenuhannya akan tercipta); 3. tidak menyediakan perlindungan yang efektif terhadap persaingan tidak sehat terhadap nasional negara lain, dan membuat kebingungan antara barang dari pesaing; 4. gagal untuk melindungi merek dagang terdaftar di negara lain di luar Australia; 85 Diakses dari www.aph.gov.au/About_Parliament/Parliamentary_Departments/Parliamentary_Library/FlagPost/2014 /July/WTO_plain_cigarette_packaging_case pada tanggal 31 Agustus 2015, pukul 17:01 WIB 76 5. menempatkan sitaan yang dibenarkan terhadap pengunaan merek dagang tembakau; 6. menolak dan membatalkan pendaftaran merek dagang terhadap tembakau. Sementara itu argumen Australia adalah:86 1. persyaratan kemasan polos tidak diskriminasi, karena mereka berlaku untuk produk tembakau yang diproduksi secara lokal dan impor dengan hal yang serupa; 2. kemasan polos merupakan langkah yang perlu dibuat untuk mengejar tujuan yang sah (perlindungan terhadap kesehatan manusia dan memberikan efek terhadap Framework Convention on Tobacco Control), membuat kontribusi materi terhadap tujuan tersebut dan tidak lebih dalam membatasi perdagangan dari yang diperlukan untuk memenuhi tujuan (memperhitungan resiko nonpemenuhan); 3. TPPA mengizinkan tembakau untuk memiliki merek/variasi nama pada kemasan (tunduk pada pembatasan tertentu), bersama dengan deskripsi barang, diferensiasi merek dan pengakuan masih mungkin dan karenanya tidak perlu ada kebingungan antara barang dari produsen yang berbeda; 86 Diakses dari www.aph.gov.au/About_Parliament/Parliamentary_Departments/Parliamentary_Library/FlagPost/2014 /July/WTO_plain_cigarette_packaging_case pada tanggal 31 Agustus 2015, pukul 17:01 WIB 77 4. menyediakan merek dagang yang dilindungi dengan adanya dan tidak menyangkal atau membatalkan pendaftaran mereka; 5. TPPA tidak membebani merek dagang dari persyaratan khusus dan walaupun itu terjadi, karena langkah yang diperlukan maka itu merupakan beban yang diperlukan. Selain argumen diatas adapun argumen berikut dari pihak Asutralia:87 6. mengurangi daya tarik dan daya tarik produk tembakau kepada konsumen, khususnya kaum muda; 7. meningkatkan kemampuan pemberitahuan dan efektifitas pengamandatkan peringatan kesehatan; 8. mengurangi kemampuan dari kemasan ritel dari produk tembakau untuk mengelirukan konsumen tentang bahaya merokok; 9. dan untuk mengurangi jumlah perokok. Kesamaan kasus sengketa rokok dari Amerika Serikat dan Australia adalah kedua negara sama-sama berusaha untuk mengurangi jumlah perokok pada negara mereka masing-masing. Amerika menerapkan kebijakan larangan rokok kretek masuk kenegaranya, sementara Australia menerapkan kebijakan kemasan polos pada negaranya. Fokus Indonesia terhadap Australia adalah pada pelanggraan kekayaan intelektualnya. Pada tahap sekarang ini yaitu bulan 87 Wawancara dengan Kedutaan Besar Australia (Asisten Koordinator Demokrasi & Keadilan) pada tanggal 14 Agustus 2015, pukul 10:57 WIB 78 Agustus 2015, Indonesia sedang melakukan sidang keduanya dengan Australia di Jenewa. Apabila Australia memenangkan sengketa ini dikhawatirkan negaranegara lain juga akan menerapkan kebijakan hal yang sama. Hal ini akan mempengaruhi kinerja ekspor produk rokok Indonesia ke negara mitra dagang yang tentunya akan berimbas kepada tenaga kerja perusahaan produsen rokok bahkan petani tembakau di Indonesia dan juga akan berimbas pada berkurangnya daya saing produk rokok khususnya di Indonesia. Dikhawatirkan juga nanti dikemudian hari akan ada penjualan rokok secara ilegal yang berada di black market.88 Argumen akhir penulis adalah walaupun Australia telah menandatangani WHO FCTC pada tanggal 5 Desember 2003 dan meratifikasinya pada tanggal 27 Oktober 2004, bukan berarti Australia bisa memberlakukan Tobacco Plain Packaging Act terhadap Indonesia dikarenakan Indonesia tidak ikut dalam perjanjian internasional tersebut.89 Sebagaimana penulis jelaskan diatas bahwa yang menjadi dasar hukum Australia untuk menerapkan kebijakan Tobacco Plain Packaging Act adalah merujuk dari treaty WHO yang dibentuk untuk pertama kalinya pada tahun 2003. 88 Wawancara dengan Kemendag (Subdit Penanganan Hambatan Teknis Perdagangan Wilayah II – Direktorat Pengamanan Perdagangan) pada tanggal 3 Agustus 2015, pukul 11:40 89 Diakses dari https://treaties.un.org/pages/ViewDetails.aspx?src=TREATY&mtdsg_no=IX4&chapter=9&lang=en pada tanggal 14 September 2015, pukul 21:40 WIB 79 Dengan ketentuan demikian, maka Indonesia berhak untuk tidak tunduk terhadap aturan rokok yang dibuat oleh Australia. Dan Indonesia berhak untuk melakukan gugatan di WTO, dikarenakan Australia telah melanggar hukum internasional melalui pelanggaran terhadap TRIPS, TBT serta GATT. Berdasarkan argumen penulis diatas maka prospek kedepan penyelesaian sengketa rokok antara Indonesia dengan Australia, panel WTO akan memenangkan Indonesia. Dengan melihat dari berbagai argumentasi penulis diatas, maka sekiranya WTO memenangkan Indonesia. 80 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 1. Prospek penyelesaian sengketa dagang antara Indonesia dengan Australia adalah Indonesia dapat memenangkan gugatan ini dikarenakan Australia telah melanggar hukum internasional melalui pelanggaran terhadap TRIPS, TBT serta GATT. Dengan ketentuan demikian, maka Indonesia berhak untuk tidak tunduk terhadap aturan rokok yang dibuat oleh Australia. 2. Peran negara dalam kasus sengketa perdagangan internasional rokok dengan Australia melalui World Trade Organization adalah melakukan tugas diplomasi terhadap Australia, yang mana diplomasi tersebut dilakukan sebelum dan sesudah regulasi rokok Australia dibuat. Negara juga berperan aktif untuk mengawasi kasus ini hingga selesai dengan tuntas di WTO. B. Saran Saran Penulis adalah : 1. Pemerintah harus bertindak berani dalam mengambil sikap-sikap yang dirasa telah merugikan kehidupan bangsa Indonesia. 80 81 2. Indonesia diharapkan dapat terus berperan dan mengambil langkah-langkah bijak dalam menjalankan hubungan internasional. 3. Pemerintah Indonesia diharapkan agar lebih menyuarakan Charter of Economic Rights and Duties of State, dimana sebuah negara memiliki hak dan kewajiban terhadap perekonomiannya, yang mana negara lain tidak boleh menghambat perekonomian negara yang lainnya. 4. Penulis juga berharap agar WTO sekiranya memenangkan Indonesia dalam kasus ini, mengingat kasus ini masih berlangsung, dikarenakan Indonesia tidak meratifikasi dan menandatangani World Health Organization Framework Convention on Tobacco Control, yang menjadi dasar Australia untuk menerapkan kebijakan Tobacco Plain Packaging. Sehingga Indonesia menurut penulis sudah benar melakukan gugatan terhadap Australia atas TRIPS, TBT dan GATT. Daftar Pustaka BUKU : Abbas, Syahrizal, Mediasi Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, Jakarta : Kencana, 2009. Adolf, Huala, Aspek-Aspek Negara Dalam Hukum Internasional, Jakarta : CV. Rajawali, 1991. Adolf, Huala, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Jakarta : Sinar Grafika, 2006. Adolf, Huala, Hukum Perdagangan Internasional, Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2005. AK, Syahmin, Hukum Diplomatik Suatu Pengantar, Bandung: CV. ARMICO, 1998. Arbetman, Lee, dan Ed O’Brien, Street Law A Course In Practical Law, Amerika Serikat : The McGraw-Hill Companies, 2005. Barnes, A.James, dkk. Law For Business, NewYork : The McGraw-Hill Companies, Inc, 2006. Buergenthal, Thomas, dan Harold G. Maier, Public International Law, Minnesota-USA : West Publishing Co, 1990. Clark, Lawrence S, Law and Business The Regulatory Eunironment, Amerika Serikat : McGraw-Hill, Inc, 1994. Donnell, John D, dkk. Law For Business, Illinois-USA : Richard D. Irwin, INC, 1983. Hartini, Rahayu, Penyelesaian Sengketa Kepailitan di Indonesia Dualisme Kewenangan Pengadilan Niaga dan Lembaga Arbitrase, Jakarta : Kencana, 2009. Hutagalung, Sophar Maru, Praktik Peradilan Perdata dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Jakarta : Sinar Grafika, 2012. Istanto, F. Sugeng, Hukum Iternasional, Jakarta : Sinar Grafika, 1998. Jackson, Robert, dan George Sorensen, Pengantar Studi Hubungan Internasional, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005. Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Jakarta : Kencana Prenada Group, 2008. Maulana, Boer, Hukum Internasional Pengertian Peranan dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global, Bandung : PT. Alumni, 2011. Murphy,Sean D, Principles International Law, Amerika Serikat :Thomson/West, 2006. Pandika, Rusli, Sanksi Dagang Unilateral Di Bawah Sistem Hukum WTO, Bandung : PT. Alimni, 2010. Sefriani, Hukum Internasional Suatu Pengantar, Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2011. Silondae, Arus Akbar, dan Andi Fariana, Aspek Hukum Dalam Ekonomi dan Bisnis, Jakarta : Mitra Wacana Media, 2010. Sinamo, Nomensen, Ilmu Negara, Jakarta : Permata Aksara, 2011. Soehino, Ilmu Negara, Yogyakarta : Liberty Yogyakarta, 2004. Soesmartono, Gatot, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia, PT. Gramedia Pustaka Utama, 2006. Starke, J.G, Pengantar Hukum Internasional, Jakarta : Sinar Grafika, 2008. Suryokusumo, Sumaryo, Studi Kasus Hukum Internasional, Jakarta : PT. Tatanusa, 2007. Thontowi, Jawahir dan Pranoto Iskandar, Hukum Internasional Kontemporer, Bandung : PT. Refika Aditama, 2006. Utama, Meria, Hukum Ekonomi Internasional, Jakarta : PT. Fikahati Aneska, 2012. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia dan AusAID, Panduan Bantuan Hukum di Indonesia, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2014. Perundang-Undangan : Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (Hasil Amandemen) General Agreement on Tarrifs and Trade 1994 Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights 1996 Agreement on Technical Barriers to Trade Website : amti.id/ri-amerika-gelar-perundingan-soal-boikot-rokok-kretek-indonesia/ diakses pada tanggal 29 Agustus 2015 bisniskeuangan.kompas.com/read/2015/06/05/111854526/Wajibkan.Kemasan.Ro kok.Polos.Indonesia.Gugat.Asutralia diakses pada tanggal 7 September 2015 Diakses dari https://treaties.un.org/pages/ViewDetails.aspx?src=TREATY&mtdsg_no=IX4&chapter=9&lang=en pada tanggal 14 September 2015, pukul 21:40 WIB Ditjenkpi.kemendag.go.id/website_kpi/index.php?module=news_detail&news_co ntent_id=1004&detail=true diakses pada tanggal 29 Agustus 2015 http://en.m.wikipedia.org/wiki/World_Trade_Organization diakses pada tanggal 24 Agustus 2015 http://www.wto.org/english/tratop e/dispu e/cases e/ds467 dikases pada tanggal 5 November 2014 https://id.m.wikipedia.org/wiki/Konvensi_Kerangka_Kerja_Pengendalian_Temba kau_WHO diakses pada tanggal 7 September 2015 m.bisnis.com/industri/read/20141014/12/264889/sengketa-rokok-indonesia-resmilaporkan-australia-ke-wto diakses pada tanggal 5 November 2014 M.cnnindonesia.com/ekonomi.com/ekonomi/20150703112932-8564091/mendag-indonesia-tak-akan-berlakukan-kemasan-rokok-polos/ pada tanggal 7 September 2015 diakses www.aph.gov.au/About_Parliament/Parliamentary_Departments/Parliamentary_L ibrary/FlagPost/2014/July/WTO_plain_cigarette_packaging_case dikases pada tanggal 31 Agustus 2015 Wawancara : Wawancara dengan pihak Kementrian Perdagangan Republik Indonesia pada tanggal 3 Agustus 2015 Wawancara dengan pihak Kedutaan Besar Australia di Jakarta pada tanggal 13 Agustus 2015 DISPUTE SETTLEMENT: DISPUTE DS467 Australia — Certain Measures Concerning Trademarks, Geographical Indications and Other Plain Packaging Requirements Applicable to Tobacco Products and Packaging Current status Panel composed on 5 May 2014 Short title: Australia — Tobacco Plain Packaging (Indonesia) Complainant: Indonesia Respondent: Australia Third Parties: Brazil; Canada; China; Cuba; European Union; Guatemala; Honduras; India; Japan; Korea, Republic of; Malaysia; Mexico; New Zealand; Nicaragua; Norway; Oman; Philippines; Russian Federation; Chinese Taipei; Thailand; Turkey; Ukraine; United States; Uruguay; Zimbabwe; Dominican Republic; Peru; Singapore; Argentina; Chile; Malawi; Nigeria; Ecuador Agreements cited: Technical Barriers to Trade (TBT): Art. 2.1,2.2 Intellectual Property (TRIPS): Art. 2.1, 3.1,15.4, 16.1, 16.3, 20, 22.2(b), 24.3 GATT 1994: Art. III:4 (as cited in request for consultations) Request for 20 September 2013 Consultationsreceived: Summary of the dispute to date The summary below was up-to-date at 30 October 2014 Consultations Complaint by Indonesia. (See also DS434, DS435, DS441 and DS458) On 20 September 2013, Indonesia requested consultations with Australia concerning certain Australian laws and regulations that impose restrictions on trademarks, geographical indications, and other plain packaging requirements on tobacco products and packaging. Indonesia challenges the following measures: The Tobacco Plain Packaging Act 2011, Act No. 148 of 2011, “An Act to discourage the use of tobacco products, and for related purposes”; The Tobacco Plain Packaging Regulations 2011 (Select Legislative Instrument 2011, No. 263), as amended by the Tobacco Plain Packaging Amendment Regulation 2012 (No. 1) (Select Legislative Instrument 2012, No. 29); The Trade Marks Amendment (Tobacco Plain Packaging) Act 2011. Act No. 149 of 2011, “An Act to amend the Trade Marks Act 1995, and for related purposes”; and Any related measures adopted by Australia, including measures that implement, complement or add to these laws and regulations, as well as any measures that amend or replace these laws and regulations. Indonesia claims that Australia's measures appear to be inconsistent with Australia's obligations under: Articles 2.1, 3.1, 15.4, 16.1, 16.3, 20, 22.2(b) and 24.3 of the TRIPS Agreement; Articles Article III:4 of the GATT 1994. 2.1 and 2.2 of the TBT Agreement; and On 26 September 2013, Guatemala requested to join the consultations. On 27 September 2013, Nicaragua requested to join the consultations. On 30 September 2013, New Zealand requested to join the consultations. On 1 October 2013, Uruguay requested to join the consultations. On 2 October 2013, Ukraine requested to join the consultations. On 3 October 2013, the European Union and Honduras requested to join the consultations. On 4 October 2013, Brazil, Canada, the Dominican Republic and Norway requested to join the consultations. On 11 October 2013, Cuba requested to join the consultations. Subsequently, Australia informed the DSB that it had accepted the requests of Brazil, Canada, Cuba, the Dominican Republic, the European Union, Guatemala, Honduras, New Zealand, Nicaragua, Norway, Ukraine, and Uruguay to join the consultations. On 3 March 2014, Indonesia requested the establishment of a panel. Panel and Appellate Body proceedings At its meeting on 26 March 2014, the DSB established a panel. Brazil, Canada, China, Cuba, the European Union, Guatemala, Honduras, India, Indonesia, Japan, Korea, Malaysia, Mexico, New Zealand, Nicaragua, Nigeria, Norway, Oman, the Philippines, Russia, Chinese Taipei, Thailand, Turkey, Ukraine, the United States and Uruguay reserved their third party rights. Subsequently, Argentina, Chile, the Dominican Republic, Malawi, Peru, Singapore and Zimbabwe reserved their third party rights. On 23 April 2014, Australia requested the Director-General to compose the panel. On 5 May 2014, the Director-General composed the panel. On 10 October 2014, the Chair of the panel informed the DSB that the panel expects to issue its final report to the parties not before the first half of 2016, in accordance with the timetable adopted by the panel on 17 June 2014 on the basis of a draft timetable proposed by the parties. Source : http://www.wto.org/english/tratop_e/dispu_e/cases_e/ds467_e.htm Jumat, 7 Agustus 2015. 09:23 WIB