peran negara dalam penyelesaian sengketa

advertisement
PERAN NEGARA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA
PERDAGANGAN INTERNASIONAL
(Studi Kasus Gugatan Perdagangan Rokok Indonesia Terhadap Australia Melalui World Trade Organization)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan untuk
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
Rachmatsyah Akbar
1111048000038
KONSENTRASI HUKUM BISNIS
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1436 H/2015 M
ABSTRAK
Rachmatsyah Akbar. NIM 1111048000038. Peran Negara Dalam Penyelesaian
Sengketa Perdagangan Internasional (Studi Kasus Gugatan Perdagangan
Rokok Indonesia Terhadap Australia Melalui World Trade Organization).
Program Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Bisnis, Fakultas Syariah dan
Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1436 H/2015 M. x
+ 84 halaman + 6 halaman lampiran. Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui apa
yang menjadi tugas negara atau peran negara dalam penyelesaian kasus sengketa
perdagangan internasional rokok dengan Australia melalui Dispute Settlement
Body yang berada dibawah naungan World Trade Organization. Skripsi ini juga
bertujuan untuk untuk melihat prospek penyelesaian kedepannya kasus sengketa
ini dililhat dari kasus serupa pada kasus sebelumnya. Kasus serupa yang dimaksud
adalah kasus sengketa rokok antara Indonesia dengan Amerika perihal clove
cigarette. Latar belakang pada skripsi ini adalah gugatan Indonesia terhadap
Australia melalui WTO, dikarenakan Australia telah membuat kebijakan
mengenai Tobacco Plain Packaging Act yang dirasa merugikan Indonesia.
Penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini yaitu melalui penelitian
yuridis normatif, dimana penulis mencari fakta-fakta yang akurat dan valid
tentang sebuah peristiwa yang konkrit yang menjadi korelasi objek penelitian.
Metode yang penulis gunakan adalah melalui pendekatan perundang-undangan
dan pendekatan konseptual, dan juga melakukan wawancara dalam hal
memperoleh data. Hasil penelitian dari skripsi penulis adalah peran negara
diperlukan untuk mengambil langkah atau sikap dalam menyelesaikan konflik
dengan negara lain. Peran yang dimaksud disini adalah peran awal atau yang
sering digunakan pertama kali apabila masalah mulai muncul, yaitu melalui
diplomasi. Diplomasi merupakan komunikasi diluar litigasi yang bertujuan untuk
saling berkomunikasi melalui hubungan bilateral. Dalam hasil penelitian ini
penulis juga mencoba untuk melihat prospek kedepan penyelesaian sengketa ini di
WTO, penulis berada pada posisi pro pemerintah Indonesia, dikarenakan ada
berbagai argumentasi yang penulis buat, salah satunya adalah bertentangan
dengan ketentuan hukum internasional.
Kata Kunci
: WTO, Penyelesaian Sengketa, Rokok, Diplomasi,
Australia
Pembimbing
: 1. Dedy Nursamsi, SH., M.Hum
2. Fitria, SH., MR
Daftar Pustaka
: Tahun 1983 s.d. Tahun 2014.
iv
KATA PENGANTAR
‫الر ِح ِيم‬
ْ ‫ِب‬
َّ ‫من‬
َّ ِ‫س ِم هللا‬
ِ ‫الر ْح‬
Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang
senantiasa memberikan bimbingan dan petunjuk sehingga penulis dapat
menyelesaikan
skripsi
dengan
judul
“PERAN
NEGARA
DALAM
PENYELESAIAN SENGKETA PERDAGANGAN INTERNASIONAL (Studi
Kasus Gugatan Perdagangan Rokok Indonesia Terhadap Australia Melalui World
Trade Organization)”. Shalawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada
junjungan kita Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa umat manusia dari
zaman kegelapan ke zaman yang terang benderang ini. Dalam penulisan skripsi
ini, penulis banyak mendapatkan bantuan, arahan, dan bimbingan dari berbagai
pihak, sehingga dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima
kasih kepada:
1. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA. selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Asep Syarifudin Hidayat, SH., MH. selaku ketua Program Studi Ilmu
Hukum dan Abu Tamrin, SH., MH. selaku sekretaris Program Studi Ilmu
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Dedy Nursamsi, SH., M.Hum. dan Fitria, SH., MR., selaku dosen
pembimbing yang telah bersedia menjadi pembimbing dalam penulisan
skripsi ini dengan penuh kesabaran, perhatian, dan ketelitian memberikan
masukan serta meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan
kepada penulis hingga skripsi ini selesai.
v
4. Segenap Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta khususnya Dosen Program Studi Ilmu Hukum yang telah
memberikan ilmu pengetahuan dengan tulus ikhlas, semoga ilmu
pengetahuan yang diajarkan dapat bermanfaat dan menjadi keberkahan
bagi penulis.
5. Kedua orang tua tercinta yaitu Ayahanda H. Zakaria Sarong dan Ibunda
tersayang, Hj. Yumanih. Terima kasih atas kasih sayang, motivasi,
dukungan, doa, perhatian, ilmu pengetahuan, arti kedisiplinan, serta segala
hal yang selalu diberikan dengan tulus sehingga penulis dapat
menyelesaikan pendidikan pada jenjang strata satu Perguruan Tinggi
Negeri. Begitu pula untuk kakak-kakak penulis, terima kasih atas segala
dukungan, perhatian, dan kasih sayang yang telah kalian berikan.
6. Teman-teman seperjuangan Ilmu Hukum angkatan 2011 Nevo Amaba,
Ilyas Aghnini, Fanny Fatwati Putri, Hilda Israa dan yang lainnya, yang
selalu mewarnai kehidupan di bangku perkuliahan selama delapan
semester ini.
7. Terimakasih kepada pihak Kementerian Perdagangan R.I dan Kedutaan
Besar Australia, atas kebersediaannya melakukan wawancara terkait
skripsi penulis.
8. Pihak perpustakaan Kemendag, UI, dan UIN Jakarta, terima kasih karena
telah menyediakan buku-buku yang lengkap sehingga penulis tidak
kebingungan mencari referensi buku yang dibutuhkan.
vi
9. Terimakasih untuk seluruh pihak Kerukunan Purnakaryawan Kementerian
Luar Negeri R.I atas dukungan moril dan materilnya.
Atas seluruh bantuan dari semua pihak baik material maupun
immaterial, penulis berdoa semoga Allah SWT memberi balasan yang
berlipat. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis
khususnya dan bagi pembaca umumnya.
Jakarta, 23 September 2015
Rachmatsyah Akbar
vii
DAFTAR ISI
PERSETUJUAN PEMBIMBING.............................................................. i
LEMBAR PENGESAHAN……………………………………....……..... ii
LEMBAR PERNYATAAN………………………………………………. iii
ABSTRAK…………………………………………………........................ iv
KATA PENGANTAR…………………………………………....……...... v
DAFTAR ISI………………………………………………........................ ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah…………………………………….......…. 1
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah…………………………........... 5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian……………………………….......... 6
D. Kerangka Teoritis dan Konseptual.....................................................7
E. Tinjauan (Review) Studi Terdahulu................................………....... 10
F. Metode Penelitian............................................…….....……………. 12
G. Sistematika Penulisan....................………………….....………....... 14
BAB II KEDUDUKAN NEGARA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA
INTERNASIONAL
A. Penyelesaian Sengketa Internasional.....................……………….... 17
B. Prinsip-Prinsip Penyelesaian Sengketa Secara Damai....................... 20
C. Bentuk-Bentuk Penyelesaian Sengketa Internasional........................ 25
D. Tanggung Jawab Negara Dalam Penyelesaian Sengketa Internasional
Secara Umum ………………………………………….................... 38
viii
BAB III WORLD TRADE ORGANIZATION DAN PENYELESAIAN
SENGKETA
A. World Trade Organization…............................................................ 41
1. Sejarah Singkat GATT dan WTO ……………....…................... 41
2. Fungsi WTO ………………………….....………….................. 42
3. Struktur WTO…………........……………………….................. 43
4. Prinsip-Prinsip Dasar WTO.……………………………........... 44
5. Ruang Lingkup Pengaturan WTO ……………………...……50
B. WTO Sebagai Forum Penyelesaian Sengketa ……………..... 51
C. Mekanisme Penyelesaian Sengketa …………………………… 52
1. Mekanisme Penyelesaian Sengketa Sebagai Bagian dari Pengawasan
Internasional ………………………………………………….52
2. Mekanisme Penyelesaian Sengketa Dalam WTO ………….54
BAB IV. ANALISIS PERAN NEGARA DALAM PENYELESAIAN
SENGKETA
GUGATAN
PERDAGANGAN
PERDAGANGAN
INTERNASIONAL
ROKOK
STUDI
INDONESIA
KASUS
TERHADAP
AUSTRALIA MELALUI WORLD TRADE ORGANIZATION
A. Peran Diplomasi Indonesia Terhadap Australia…...……………… 60
B. Perbandingan Kasus Sengketa Rokok Indonesia – Amerika Dengan
Indonesia – Australia ……………………………………………… 65
C. Prospek Kedepan Penyelesaian Sengketa Rokok Indonesia............75
ix
BAB V. PENUTUP
A. Kesimpulan………………………………………………….............80
B. Saran……………………………………………….………..............80
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
x
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sebagaimana manusia, negara adalah entitas yang saling membutuhkan.
Kebutuhan negara secara garis besar yaitu kebutuhan ekonomi dan kebutuhan
politik, kedua sektor ini memiliki peranan yang penting demi kemakmuran dan
kemajuan sebuah negara.Kebutuhan ekonomi ditujukan untuk mensejahterakan
rakyat agar dapat memiliki penghasilan yang cukup untuk keberlangsungan
kehidupan mereka sehari-hari. Kemudian kebutuhan politik diperlukan untuk
menjembatani jalannya kebutuhan ekonomi itu sendiri, sebab tidak mungkin
sebuah negara menjalani sistem perekonomiannya dengan sendiri tanpa adanya
bantuan dari negara lain. Negara butuh kerjasama atau hubungan dengan negara
yang lain agar apa yang menjadi kebutuhan di dalam negaranya dapat tercapai.
Salah satu hubungan untuk meningkatkan perekonomian yaitu melalui hubungan
perdagangan yang merupakan sektor
paling mumpuni untuk meningkatan
perekonomian, tentu saja apabila neraca perdagangan ekspor dan impor
dijalankan dengan baik dan benar.
1
2
Hubungan antar negara merupakan sebuah landasan dari adanya hubungan
perdagangan itu sendiri. Hubungan antar negara disebut juga dengan hubungan
internasional, yaitu interaksi manusia antarbangsa baik secara individu maupun
kelompok, dilakukan baik secara langsung maupun secara tidak langsung dan
dapat berupa persahabatan, persengketaan, permusuhan ataupun peperangan.
Seperti kebanyakan sistem sosial lainnya, hubungan internasional dapat
memiliki keuntungan dan kerugian tertentu bagi para partisipasinya. 1 Hubungan
internasional didasarkan atas politik bebas aktif seperti yang tertuang di dalam
pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945. Politik bebas aktif
bukan hanya sekedar dalam ruang lingkup politik saja, melainkan hubunganhubungannya yang lain, yaitu ekonomi, sosial, dan budaya. Salah satu praktik
hubungan internasional yaitu dengan melakukan perdagangan antar negara,
setiap negara memiliki kelebihan dan kekurangan dalam sumber dayanya, oleh
sebab itulah mereka saling membutuhkan antara satu sama lain, hal ini dilakukan
dengan cara impor dan ekspor.
Salah satu tujuan dari adanya perdagangan internasional yaitu untuk
meningkatkan
pendapatan
(income)
dalam
negeri
itu
sendiri.
Proses
perdagangan internasional ini tidak semata-mata sederhana atau mudah,
melainkan harus ada suatu perjanjian antara negara yang bersangkutan, baik
1
Robert Jackson & George Sorensen, Pengantar Studi Hubungan Internasional
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h. 2.
3
dalam lingkup bilateral, multilateral, unilateral, dan maupun regional. Dari proses
pejanjian ini muncul yang namanya kesepakatan-kesepakatan, misalnya traktat,
konvensi, aturan organisasi perserikatan bangsa-bangsa dan lain sebagainya.
Untuk mendapatkan kepastian hukum itu sendiri, munculah hukum
internasional. Hukum internasional merupakan hukum yang berlaku secara
universal sebagai regulasi internasional. Hubungan internasional sudah
berkembang pesat sedemikian rupa sehingga subjek-subjek negara tidaklah
terbatas pada negara saja sebagaimana di awal perkembangan hukum
internasional. Berbagai organisasi internasional, individu, vatikan, belligerency,
merupakan contoh-contoh subjek non negara.
Hukum
internasional
dan
hubungan
internasional
dilakukan
dan
dilaksankan oleh subjek hukum internasional yaitu negara. Negara adalah
persekutuan bangsa dalam satu daerah tertentu batas-batasnya yang diperintah
dan diurus oleh badan pemerintahan yang teratur.2 Negara sebagai suatu subjek
memiliki peranan atau fungsi secara garis besar yaitu membuat Undang-Undang
(legislatif),
menjalankan
Undang-Undang
(eksekutif),
dan
mengawasi
pemerintah (yudikatif).
Penulis dalam proposal skripsi ini menekankan pada pembahasan peranan
negara dalam penyelesaian sengketa perdagangan internasional. Penulis
2
Muhammad Ali, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Moderen (Jakarta: Pustaka Amani,
2006), h. 267.
4
mengambil contoh peranan negara terhadap penyelesaian sengketa perdagangan
internasional rokok yang diajukan Indonesia terhadap Australia melalui WTO
(World Trade Organization) / Organisasi Perdagangan Internasional).
Dalam penyelesaian kasus perdagangan internasional ada sebuah lembaga
yang menangani soal sengketa ini, yaitu lembaga yang terdapat di badan World
Trade Organization (WTO) / Organisasi Perdagangan Internasional, yang
bernama Dispute Settlement Body (DSB). Salah satu peranan WTO yaitu sebagai
forum dalam menyelesaikan sengketa dan menyediakan mekanisme konsiliasi
guna mengatasi sengketa perdagangan yang timbul.3
Dalam menjalankan perekonomian nasional dan internasional seyogianya
semua
hal
yang
berkepentingan
menyatu
secara
bersama-sama
demi
meningkatkan kesejahteraan rakyat di dalam negeri maupun di luar negeri
(universal). Semua subyek hukum yaitu dalam hal ini negara wajib tunduk
kepada aturan yang ada, aturan yang telah ada tidak boleh dilanggar. Semua
negara yang ikut serta dalam hukum internasional wajib mematuhi regulasi yang
ada. Suatu negara tidak dapat melakukan proteksi ekonominya apabila ia dalam
aturan hukum nasionalnya bertentangan dengan ketentuan hukum internasional
yang sudah ada dan yang sudah disepakati (agreement) secara bersama-sama.
3
h. 246.
Syahmin AK, Hukum Dagang Internasiona l (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006),
5
Australia diadukan lima negara ke WTO karena dianggap melanggar pasal
XXIII dari General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) 1994. Australia
dianggap keliru menerapkan kebijakan mewajibkan kemasan polos semua
produk tembakau. Pengaduan ke WTO dilakukan Indonesia bersama Honduras,
Republik Dominika, Ukraina dan Kuba. Kelima negara ini menyampaikan
dokumen pertama kepada Badan Penyelesaian Sengketa WTO yang membuat
argumentasi hukum bahwa kebijakan Australia yang diterapkan sejak 1
Desember 2012 yang mewajibkan kemasan polos untuk semua produk tembakau
merupakan pelanggaran terhadap ketentuan di WTO. Dalam pandangan
Indonesia, kebijakan Australia diatas bertentangan dengan pasal XXIII dari
GATT 1994, serta tiga ketentuan WTO lainnya yakni: understandings on rules
and procedures governing the settlement of dispute; agreement on trade related
aspects of intellectual property rights; dan agreement on technical barriers to
trade. 4
B. Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Agar masalah yang penulis bahas tidak meluas sehingga dapat
mengakibatkan ketidak jelasan dan ketidak pastian pembahasan masalah
maka penulis dengan ini membatasi masalah yang akan diteliti, antara lain,
4
m.bisnis.com/industri/read/20141014/12/264889/sengketa-rokok-indonesia-resmilaporkan-australia-ke-wto, 14:00 WIB, 5-11-14.
6
membahas peran negara diluar pengadilan, yaitu melalui diplomasi dan
membahas peran negara dalam pengadilan, yaitu melalui panel WTO.
Kemudian prospek penyelesaian kasus ini kedepannya melihat dari kasus
yang serupa yang ada sebelumnya.
2.
Perumusan Masalah
Menurut peraturan internasional negara tidak boleh menutup diri
dalam perdagangan internasional, pada praktiknya negara Australia menutup
perdagangan rokok terhadap Indonesia. Rumusan tersebut penulis rinci
dalam pertanyaan sebagai berikut :
a. Bagaimanakah prospek penyelesaian kasus sengketa dagang antara
Indonesia dengan Australia?
b. Bagaimana peranan negara Indonesia dalam kasus sengketa perdagangan
internasional rokok dengan Australia melalui World Trade Organization?
C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Secara umum tujuan penelitian adalah untuk mendalami tentang
permasalahan-permasalahan yang telah dirumuskan dalam perumusan
masalah. Secara khusus tujuan penelitian ini dapat dirumuskan sebagai
berikut:
7
a. Untuk mengetahui prospek penyelesaian sengketa perdagangan antara
Indonesia dengan Australia.
b. Untuk mengetahui tugas negara atau peran negara dalam penyelesaian
kasus sengketa perdagangan internasional rokok dengan Australia melalui
Badan Penyelesaian Sengketa WTO.
2. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan untuk menambah ilmu pengetahuan
khususnya bagi pengembangan teori ilmu hukum bisnis, ilmu hukum
internasional, ilmu hukum perdagangan internasional, ilmu hukum tata
negara, ilmu hubungan internasional dan ilmu politik bagi yang membacanya.
Manfaat penelitian ini juga dapat menjadi rujukan bagi pejabat negara agar
dapat berperan aktif dalam meningkatkan mutu kualitas indonesia di mata
dunia internasional. Manfaat penelitian ini juga untuk menambah atau
melengkapi koleksi perbendaharaan dan koleksi karya ilmiah dengan
memberikan kontribusi atau sumbangsih pemikiran bagi penerapan hukum di
Indonesia. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi kerangka acuan dan
landasan bagi peneliti lanjutan.
D. Kerangka Teoritis dan Konseptual
1. Kerangka Teoritis
8
Demi terciptanya cita-cita suatu negara maka negara harus memiliki
tujuan yang dikehendaki oleh masyarkat di dalamnya. Terdapat sebuah teori
mengenai negara, yaitu teori tujuan negara. Meskipun orang telah lama
memikirkan, tetapi oleh karena tujuan negara itu menentukan segala keadaan
dalam negara, maka orang biasanya menyelipkan pembicaraan tentang
ajaran tujuan negara ini dalam ajaran keseluruhannya untuk menentukan
sifat daripada ajarannya. Pentingnya pembicaraan tentang tujuan negara ini
terutama berhubungan dengan bentuk negara, susunan negara, organ-organ
negara atau badan-badan negara yang harus diadakan, fungsi dan tugas
daripada organ-organ tersebut, serta hubungannya antara organ yang satu
dengan organ yang lain yang selalu harus disesuaikan dengan tujuan negara.
Tujuan negara dalam banyak hal tergantung pada tempat, keadaan,
waktu, serta sifat daripada kekuasaan penguasa. Karena mungkin apa yang
dalam waktu ratusan tahun lalu tidak menjadi tugas negara, dalam zaman
sekarang ini menjadi tugas negara yang amat penting, misalnya soal
ekonomi. Jadi, tujuan negara adalah menyelenggarakan kesejahteraan dan
kebahagiaan rakyatnya, atau menyelenggarakan masyarkat adil dan
makmur.5 Pada sekarang ini tujuan negara lebih menekankan untuk
terciptanya welfare state, demi tercapainya kemaslahatan bersama.
5
Soehino, Ilmu Negara (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2004, Cet.Keenam), h. 148.
9
2. Kerangka Konseptual
Pada era modern seperti sekarang ini banyak sekali terjadi sebuah
perubahan-perubahan di dalam segala sistem yang ada di muka bumi ini, salah
satunya merupakan proses globalisasi. Globalisasi merupakan perubahan
sebuah tatanan sistem yang ada ke arah tatanan sistem yang baru, artinya
bahwa seiring berjalannya waktu maka dibutuhkan adanya sebuah perubahan,
karena didasarkan pada berubahnya pola atau custom yang ada pada saat ini.
Dengan adanya globalisasi terdapat pula jalinan hubungan antar negara yang
satu dengan negara yang lain, sebab sebuah negara tidak dapat hidup atau
berdiri dengan sendiri-sendiri, negara saling membutuhkan karena di dalam
negara itu sendiri pasti terdapat sebuah kekurangan yang mana ia
membutuhkan negara yang lain untuk melengkapi kekurangan yang ada di
dalam negaranya. Salah satu yang dijalankan dalam hubungan kenegaraan
yaitu adanya sebuah perdagangan internasional. Ada berbagai motif atau
alasan mengapa negara atau subjek hukum (pelaku dalam perdagangan)
melakukan transaksi dagang internasioal. Fakta yang sekarang ini terjadi
adalah perdagangan internasional sudah menjadi tulang punggung bagi negara
untuk menjadi makmur, sejahtera, dan kuat.6 Oleh karena itu dibutuhkan
kerjasama dalam bidang ekonomi yakni hubungan perdagangan antar negara
demi untuk mendapatkan advantage secara bersama-sama.
6
Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2005), h. 2.
10
E. Tinjauan (Review) Studi Terdahulu
Sebagai bahan pertimbangan dalam penelitian ini, penulis menyertakan
beberapa hasil terdahulu sebagai perbandingan tinjauan kajian materi yang akan
dibahas, sebagai berikut:
Penelitian yang dilakukan oleh Mohammad Kurniawan dari universitas
Jember, tahun 2013, yang berjudul “Penyelesaian Sengketa Perdagangan Rokok
Antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Pemerintah Amerika Serikat
Melalui World Trade Organization (WTO)”. Penelitian tersebut menjelaskan
tentang prinsip-prinsip hukum yang mendasari pengaturan perdagangan
internasional,
mekanisme
penyelesaian
sengketa
dalam
World
Trade
Organization, penyelesaian sengketa perdagangan rokok antara pemerintah
Republik Indonesia dengan Amerika Serikat melalui World Trade Organization.
Perbedaan disini penulis memfokuskan pada penyelesaian dibawah Badan
Penyelesaian Sengketa, tidak secara universalnya.
Skripsi yang disusun oleh Putri Paramita Soedali dari Universitas Pelita
Harapan, tahun 2013, yang berjudul “Peran WTO Dalam Upaya Penyelesaian
Sengketa Tobacco Control Act Antara Indonesia dan Amerika Serikat Tahun
2009-2012”. Penelitian tersebut menjelaskan tentang latar belakang terjadinya
kasus rokok kretek Indonesia di Amerika Serikat, dampak yang dialami
Indonesia akibat diresmikannya regulasi Tobacco Control Act, peran WTO
11
dalam upaya penyelesaian sengketa, serta mengetahui apakah implementasi
keputusan WTO yang dilakukan oleh Indonesia dan Amerika Serikat telah sesuai
dengan rekomendasi WTO. Pembeda dengan penulis disini yaitu penulis
mengambil kasus rokok antara Indonesia dengan Australia, dan penulis
mengarahkan pada peran negara, bukan dasar daripada implementasi keputusan
yang diputuskan oleh WTO.
Buku karangan Jhon H Willes yang berjudul “International Business
Law”, diterbitkan oleh McGraw-Hill/Irwin, New York, tahun 2005. Dalam buku
ini hanya membahas dasar daripada penyelesaian sengketa melalui WTO dan
rentang waktu yang dibutuhkan dalam penyelesaian sengketanya. Perbedaan
dengan penulis yaitu penulis lebih merinci penyelesaian sengketa dengan
memfokuskan pada penyelesaian masalah dalam ranah Badan Penyelesaian
Sengketa.
Sebagai perbandingan sekaligus pembeda, pada skripsi ini penulis
menguaraikan tentang peran negara Indonesia dalam penyelesaian kasus
sengketa perdagangan rokok dengan Australia terkait peraturan kemasan polos.
Kemudian penulis juga membahas prospek kasus yang penulis ambil, melihat
dari kasus serupa yang dahulu. Dalam skripsi ini penulis juga menguraikan
mengenai cara penyelesaian sengketa melalui Dispute Settlement Body yang
berada di ranah WTO. Jadi disini terdapat perbedaan pembahasan dan masalah
yang diangkat penulis dengan penelitian-penelitian yang sudah ada sebelumnya.
12
F. Metode Penelitian
1. Jenis dan Sifat Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode penelitian
yuridis normatif. Pendekatan yuridis normatif adalah pendekatan yang
memandang hukum sebagai doktrin atau seperangkat aturan yang yang
bersifat normatif (law in book).7 Dimana penulis mencari fakta-fakta yang
akurat dan valid tentang sebuah peristiwa yang konkrit yang menjadi korelasi
objek penelitian. Penelitian ini juga dilakukan dan ditujukan pada peraturanperaturan tertulis dan bahan-bahan lain, serta menelaah peraturan perundangundangan, perjanjian internasional, konvensi-konvensi internasional yang
berhubungan dengan penulisan skripsi ini. Sedangkan mengenai sifat
penelitian ini yaitu bersifat deskriptif, yaitu menjelaskan suatu hal atau
fenomena dengan rinci agar dapat memperkuat teori yang sudah ada, atau
mecoba membuat suatu rumusan teori yang baru.
2.
Pendekatan Penelitian
a. Pendekatan Perundang-Undangan
1) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (Hasil
Amandemen)
2) General Agreement on Tarrifs and Trade 1994
7
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2008), h. 58.
13
3) Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights 1996
4) Agreement on Technical Barriers to Trade
b. Pendekatan Konseptual
Negara yang satu dalam hal ini Australia tidak merasa bahwa
aturan yang dibuatnya melanggar ketentuan hukum internasional yang
telah ada, maka dari itu disinilah diperlukan suatu pendekatan konseptual
untuk mencari doktrin atau pendapat yang ada. Dalam hal ini tidak hanya
melihat atau fokus terhadap permasalahan hukumnya, juga harus dilihat
dari segi ekonomi dan politiknya.
3. Data dan Sumber Data
Data yang dipakai dalam penelitian ini adalah data sekunder yaitu data
yang tidak diperoleh dari sumber pertama yang bisa diperoleh dari dokumendokumen resmi, buku-buku, hasil penelitian, laporan, buku harian, surat
kabar, makalah, dan lain sebagainya. Data sekunder dalam penelitian ini dapat
dibagi atas tiga kelompok/bagian, yaitu:
a.
Bahan hukum primer yang penulis peroleh dari wawancara, peraturan
perundang-undangan dan peraturan internasional lainnya.
b.
Bahan hukum sekunder yang penulis peroleh dari buku-buku terkait
perdagangan internasional, badan penyelesaian sengketa organisasi
perdagangan dunia, dan artikel-artikel yang terkait.
14
c.
Bahan hukum tertier yang penulis pergunakan bagi bahan hukum
sekunder seperti Kamus Hukum, Kamus Bahasa Inggris, dan Kamus
Besar Bahasa Indonesia.
4. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang penulis lakukan yaitu dengan cara
wawancara (interview) dan
studi dokumen atau kepustakaan (library
research) yaitu dengan melakukan penelitian terhadap berbagai sumber
bacaan seperti buku-buku yang berkaitan dengan penyelesaian sengketa
dagang dan mekanisme penyelesian litigasi maupun non litigasi. Dalam hal
ini informasi yang di update secara terus menerus di situs WTO dalam kaitan
dengan gugatan Indonesia terhadap Australia dalam kasus kemasan rokok.
5. Metode Penulisan
Dalam penyusunan penelitian ini penulis menggunakan metode
penulisan sesuai dengan sistematika penulisan yang ada pada Buku Pedoman
Penulis Skripsi, Fakultas Syari‟ah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, tahun 2012.
G. Sistematika Penulisan
Untuk memberikan gambaran secara umum atau menyeluruh tentang
isi skripsi, maka penulis memberikan sistematikanya secara garis besar, sebagai
berikut :
15
Bagian awal skripsi : sampul, lembar berlogo, halaman judul, persetujuan
pembimbing, pengesahan kelulusan, pernyataan, motto dan persembahan,
prakata, abstrak, daftar isi, serta daftar lampiran.
Bagian isi skripsi terdiri atas :
Bab I : Pendahuluan. Diuraikan tentang latar belakang masalah, rumusan
masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika skripsi,
dan metode penelitian.
Bab II : Kedudukan Negara Dalam Penyelesaian Sengketa Internasional.
Membahas dan
menguraikan mengenai penyelesaian sengketa dan
juga bentuk-bentuk penyelesaiannya, serta membahas tanggung jawab
negara dalam sengketa internasional secara umum.
Bab III : World Trade Organization dan Penyelesaian Sengketa. Mebahas
WTO sebagai organisasi kerjasama penyelesaian sengketa, ruang
lingkup WTO, dan juga proses atau mekanisme penyelesaian sengketa.
Bab IV : Analisis Peran Negara Dalam Penyelesaian Sengketa Perdagangan
Internasional Studi Kasus Gugatan Perdagangan Rokok Indonesia
Terhadap Australia Melalui World Trade Organization. Membahas
bagaimana sesungguhnya posisi dan peran Indonesia dalam menangani
kasus ini, serta membahas aksi pemerintah dalam penyelesaiannya.
16
Kemudian dibahas juga mekanisme penyelesaiannya melalui proses
bilateral dan terakhir melihat prospek penyelesaian sengketa di
kedepannya.
Bab V
: Penutup. Berisi kesimpulan dan saran
Bagian akhir skripsi, berisi daftar pustaka dan lampiran-lampiran.
17
BAB II
KEDUDUKAN NEGARA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA
INTERNASIONAL
A. Penyelesaian Sengketa Internasional
Penyelesaian sengketa sama maksudnya dengan pertikaian. Pertikaian atau
sengketa, kedua adalah yang dipergunakan secara bergantian dan merupakan
terjemahan dari dispute.8
Sengketa (dispute)9 menurut Merrilis adalah ketidaksepahaman mengenai
sesuatu. Adapun John Collier dan Vaughan Lowe membedakan antara sengketa
(dispute) dengan konflik (conflict). Sengketa (dispute) adalah:10
a specific disagreement concerning a matter of fact, law or policy in which
a claim or assertion of one party is met with refusal, counter claim or
denial by another.
Sedangkan konflik adalah istilah umum atau genus dari pertikaian
(hostility) antara pihak-pihak yang sering kali tidak fokus. Dengan demikian,
8
Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar, Hukum Internasional Kontemporer (Bandung: PT
Refika Aditama, 2006), h. 174.
9
Sengketa dalam bahasa Arab disebut almutanazi’atu
10
Sefriani, Hukum Internasional Suatu Pengantar (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011),
Cet.Kedua, h. 322.
17
18
setiap sengketa adalah konflik, tetapi tidak semua konflik dapat dikategorikan
sebagai sengketa (dispute).
Permasalahan yang disengketakan dalam suatu sengketa internasional
dapat menyangkut banyak hal. Sengketa di European Union menyangkut
kebutuhan integrasi politik yang lebih kuat adalah sengketa menyangkut
kebijakan. Sengketa perbatasan wilayah adalah sengketa tentang legal right.
Disisi lain sengketa juga dapat menyangkut fakta, misalnya posisi kapal negara A
ketika diintersepsi oleh negara B.
Menyangkut substansi sengketa itu, beberapa pakar mencoba untuk
memisahkan antara sengketa hukum (legal dispute) dengan sengketa politik
(political dispute). Friedmann misalnya mengemukakan bahwa karakterisitik
sengketa hukum adalah sebagai berikut:11
1.
2.
3.
4.
Capable of being settled by the application of certain principles and
rules of international law
Influence vital interest of State such as territorial integrity
Implementation of the existing international law enough to raise a
justice decision and support to progressive international relation
The dispute related with legal rights and claims to change the existing
rule
Disisi lain Waldock mengemukakan bahwa:
The legal or political character of dispute is ultimately determined by the
objective aimed at or the position adopted by each party in the dispute. If both
parties are demanding what they conceive to be their existing legal rights as, for
11
Sefriani, Hukum Internasional Suatu Pengantar (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011),
Cet.Kedua, h. 323.
19
example, in the Corfu Channel case, the dispute is evidently legal. If both are
demanding the application of standards or factors not rooted in the existing rules
of international law as, for example in a dispute regarding disarmament, the
dispute is evidently political.12
Joshua S. Goldstein dan Jon C. Pevehouse mengemukakan bahwa
bersengketa adalah hal yang lazim dalam hubungan internasional. Definisi
persengketaan menurut Joshua S. Goldstein dan Jon C. Pevehouse adalah suatu
perbedaan atas hasil yang dikehendaki dalam suatu situasi tawar-menawar (....a
difference in preferred outcomes in a bargaining situation).13
Selanjutnya menurut Oppenheim-Kelsen
All dispute have their political aspects by the very fact that they concern relation
between sovereign States. Dispute which according to the distinction, are said to
be legal nature might involve highly important political intersets of the State
concerned, conversely, dispute reputed according to that distinction to be a
political character more often than not concern the application of a principal or
a norm of international law.14
Mahkamah
Internasional
Permanen
dalam
sengketa
Mavrommatis
Palestine Concessions (Preliminary Objections, 1924) mendefinisikan pengertian
12
Sefriani, Hukum Internasional Suatu Pengantar (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011),
Cet.Kedua, h. 323.
13
Rusli Pandika, Sanksi Dagang Unilateral di Bawah Sistem Hukum WTO (Bandung: PT
Alumni, 2010), h.189.
14
Sefriani, Hukum Internasional Suatu Pengantar (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011),
Cet.Kedua, h. 324.
20
sengketa sebagai: disagreement on a point of law or fact, a conflict of legal views
or interest between two persons. 15
B. Prinsip-Prinsip Penyelesaian Sengketa Secara Damai
1. Prinsip Iktikad Baik (Good Faith)16
Prinsip iktikad baik dapat dikatakan sebagai prinsip fundamental dan
paling sentral dalam penyelesaian sengketa antarnegara. Prinsip ini
mensyaratkan dan mewajibkan adanya iktikad baik dari para pihak dalam
menyelesaikannya sengketanya. Tidak heran apabila prinsip ini dicantumkan
sebagai prinsip pertama (awal) yang termuat dalam Manila Declaration
(Section 1 paragraph 1).17
Dalam Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia (Bali
Concord 1976), persyaratan iktikad baik juga ditempatkan sebagai syarat
utama. Pasal 13 Bali Concord menyatakan: The high contracting parties shall
have the determination and good faith to prevent disputes from arising.
Dalam penyelesaian sengketa, prinsip ini tercemin dalam dua tahap.
Pertama, prinsip iktikad baik disyaratkan untuk mencegah timbulnya sengketa
15
Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional (Jakarta: Sinar Grafika, 2006),
Cet.Kedua, h. 2.
16
17
Iktikad baik dalam bahasa Arab disebut hasanu an niyah
All States shall act in good faith and in conformity with the purposes and principles
enshrined in the Carter of the United Nations with a view to avoiding disputes among themselves likely
to affect friendly relations among States, thus contributing to the maintenance of international peace
and security. They shall live together in peace with one another as good neighbours and strive for the
adoption of meaningful measures for strengthening international peace and security.
21
yang dapat memengaruhi hubungan baik antar negara. Kedua, prinsip ini
disyaratkan harus ada ketika para pihak menyelesaikannya sengketanya
melalui cara-cara penyelesaian sengketa yang dikenal dalam hukum
internasional, yaitu negosiasi, mediasi, konsiliasi, arbitrase, pengadilan atau
cara-cara lain yang dipilih para pihak. Dalam kaitan ini, Section 1 paragraph
5 Manila Declaration mensyaratkan adanya prinsip iktikad baik ini dalam
upaya mencapai penyelesaian sengketa secara lebih dini (lebih cepat).18
2. Prinsip Larangan Penggunaan Kekerasan dalam Penyelesaian Sengketa
(mabdau khothori istikhdami al unfi fii halli an-nizaa’aat)
Prinsip inilah yang melarang para pihak untuk menyelesaikan
sengketanya dengan menggunakan senjata (kekerasan). Prinsip ini termuat
antara lain dalam pasal 13 Bali Concord dan preambule ke-4 Manila
Declaration. Pasal 13 Bali Concord antara lain menyatakan :
.... In case of disputes on matters directly affecting them, they shall
refrain from the threat or use of force and shall at all times settle such
disputes among themselves through friendly negotiations.
3. Prinsip Kebebasan Memilih Cara-Cara Penyelesaian Sengketa (mabdau
hurriyati ikhtiyaari subuli halli an nizaa’aat)
18
States shall seek in good faith and in a spirit of cooperation an early and equitable
settlement of their international disputes by any of the following means; negotiation, inquiry,
mediation, conciliation, arbitration, judicial settlement, resort to regional arrangements or agencies
or other peaceful means of their own choice, including good offices. In seeking such a settlement, the
parties shall agree on such peaceful means as may be appropriate to the circumstances and the nature
of their dispute.
22
Prinsip penting lainnya adalah prinsip dimana para pihak memiliki
kebebasan penuh untuk menentukan dan memilih cara atau mekanisme
bagaimana sengketanya diselesaikan (principle of free choice of means).
Prinsip ini termuat dalam Pasal 33 ayat (1) UN Charter dan Section 1
paragraph 3 dan 10 Manila Declaration dan paragraph ke-5 dari Friendly
Relations Declaration. Instrumen hukum tersebut menegaskan bahwa
penyerahan sengketa dan prosedur penyelesaian sengketa atau cara-cara
penyelesaian sengketa harus didasarkan keinginan bebas para pihak.
Kebebasan ini berlaku baik untuk sengketa yang telah terjadi atau sengketa
yang akan datang.
Prinsip ini juga termuat dalam pasal 7 The UNCITRAL Model Law on
International Commercial Arbitration.19 Pasal ini memuat definisi mengenai
perjanjian arbitrase, yaitu perjanjian penyerahan sengketa kepada arbitrase.
Menurut pasal ini, penyerahan sengketa kepada arbitrase merupakan
kesepakatan atau perjanjian para pihak.20 Artinya, penyerahan suatu sengketa
kebadan arbitrase haruslah berdasarkan pada kebebasan para pihak untuk
memilihnya.
19
“Arbitration agreement” is an agreement by the parties to submit to arbitration all or
certain disputes which have arisen or which may arise between them in respect of a defined legal
relatinship, whether contractual or not. An arbitration agreement may be i the form of an arbitration
clause in a contract or in the form of a separate agreement.
20
Meria Utama, Hukum Ekonomi Internasional (Jakarta: PT Fikahati Aneska, 2012), h. 56.
23
4. Prinsip Kebebasan Memilih Hukum yang akan Diterapkan terhadap Pokok
Sengketa (mabdau hurriyati ikhtiyaari al qoonuun alladziy sayatimmu
tathbiyquhu fii an nizaa’ar roiysiy)
Prinsip fundamental selanjutnya adalah prinsip kebebasan para
pihak untuk menentukan sendiri hukum apa yang akan diterapkan bila
sengketanya diselesaikan oleh badan peradilan. Kebebasan para pihak untuk
memilih kepatutan dan kelayakan (ex aequo et bono).21 Yang terakhir ini
adalah sumber bagi pengadilan untuk memutus sengketa berdasarkan prinsip
keadilan, kepatutan, atau kelayakan.
Dalam sengketa antarnegara, merupakan hal yang lazim bagi
pengadilan
internasional,
misalnya
Mahkamah
Internasional,
untuk
menerapkan hukum internasional, meskipun penerapan hukum internasional
ini tidak dinyatakan secara tegas oleh para pihak. Dalam Special Agreement
antara Republik Indonesia – Malaysia mengenai penyerahan sengketa Pulau
Sipadan-Ligitan ke Mahkamah Internasional, para pihak menyatakan:
The principles and rules of international law applicable to the dispute
shall be those recognized in the provisions of Article 38 of the Statute
of the Court .... (Article 4 Special Agreement).
5. Prinsip Kesepakatan Para Pihak yang Bersengketa (mabdau ittifaaqin min
athroofi an nizaa’)
21
Pasal 38 ayat 2 Statuta Mahkamah Internasional: This provision shall not prejudice the
power of the Court to decide a case ex aequo et bono, if the parties agree hereon.
24
Prinsip kesepakatan para pihak merupakan prinsip fundamental dalam
penyelesaian sengketa internasional. Prinsip inilah yang menjadi dasar bagi
pelaksanaan prinsip ke-3 dan 4 di atas. Prinsip-prinsip kebebasan 3 dan 4
hanya akan bisa dilakukan atau direalisasikan manakala
ada kesepaktan dari para pihak.22 Sebaliknya, prinsip kebebasan 3 dan 4 tidak
akan mungkin berjalan apabila kesepakatannya hanya ada dari salah satu
pihak atau bahkan tidak ada kesepakatan sama sekali dari kedua belah pihak.
6. Prinsip Exhaustion of Local Remedies (almabdau almutaahu)
Komisi Hukum Internasional PBB (International Law Commision)
memuat aturan khusus mengenai prinsip ini dalam pasal 22 mengenai ILC
Draft Articles on States Responsibility.23
Selain itu prinsip ini temuat dalam Section 1 paragraph 10 Manila
Declaration.24 Menurut prinsip ini, sebelum para pihak mengajukan
sengketanya ke pengadilan internasional maka langkah-langkah penyelesaian
22
Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional (Jakarta: Sinar Grafika, 2006),
Cet.Kedua, h. 17.
23
When the conduct of a State has created situation not in conformity with the result required
of it by an international obligation concerning the treatmentto be accorded to aliens, whether natural
or juridical persons, but the obligation allows that this or an equivalent result may nevertheless be
achieved by subsequent conduct of the State, there is a breach of the obligation only if the aliens
concerned have exhausted the effective local remedies available to them without obtaining the
treatment called for by the obligation or, where that is not possible, an equivalent treatment.
24
States should, without prejudice to the right of free choice of means, bear in mind that
direct negotiations are a flexible and effective means of peaceful setllement of their disputes. When
they choose to resort to direct negotiations, States should negotiate meaningfully, in order to arrive at
an early settlement acceptable to the parties. States should be equally prepared to seek the settlement
of their disputes by the other means mentioned in the present Declaration.
25
sengketa yang tersedia atau diberikan oleh hukum nasional negara harus
terlebih dahulu ditempuh (exhausted). Dalam sengketa Interhandel (1959),
Mahkamah Internasional menegaskan:
Before resort may be had to an international court, the state where the
violation occured should have an opportunity to redress it by its own
means, within the framework of its own domestic legal system.
C. Bentuk-Bentuk Penyelesaian Sengketa Internasional
Secara garis besar penyelesaian sengketa dalam hukum internasional
dibagi menjadi dua ruang lingkup yaitu : secara damai (politik, organisasi
internasional, hukum), dan secara kekerasan atau paksaan.
1. Penyelesaian Sengketa Secara Damai Melalui Jalur Politik (siyasah)
a.
Negosiasi (al mufawwadhatu)
Negosiasi adalah fact of life atau keseharian. Setiap orang
melakukan negosiasi dalam kehidupan sehari-hari, seperti mitra dagang
dan kuasa hukum salah satu pihak yang bersengketa. Negosisasi adalah
basic of means untuk mendapatkan apa yang diinginkan dari orang lain.25
Negosiasi adalah “bilateral and multilateral negotiations to resolve
differences between two or more states or between groups of states may
25
Suyud Margono, Alternative Dispute Resolution & Arbitrase Proses Pelembagaan dan
Aspek Hukum (Bogor: Ghalia Indonesia, 2004) Cet. Kedua, h. 49.
26
be carried out by diplomatic correspondence, face to face encounters by
permanent diplomatic envoys or by specially designated negotiators.”26
Larry L. Teply mengemukakan antara lain:
“the word „negotiate‟, in latin, consists of neg meaning „not‟, and atium,
maning „ease‟. These latin words suggest that one will not be at
easeduring the process or until the agreement is made. Furthermore,
incertain contexts, some individuals are uncomfortable with
compromissing: they consider it an unprincipled „selling out‟.”27
Dalam buku yang berjudul Street Law, pengertian negosiasi adalah
the process by which people involved in a dispute discuss their problem
and try to reach a solution acceptable to all.28
Cara negosiasi merupakan suatu upaya bersama para pihak untuk
mencapai suatu cara penyelesaian yang disepakati bersama dengan
mengelola kembali konflik-konflik pandangan para pihak. Cara ini
ditempuh manakala para pihak berkeyakinan bahwa dengan menempuh
cara ini mereka memperoleh hasil yang positif darpada negatif.
Pada umumnya negosiasi merupakan cara yang pertama kali dan
paling banyak digunakan pihak-pihak bersengketa dalam penyelesaian
sengketa internasional mereka. Hal ini mengingat cara ini diakui sebagai
cara yang paling mudah dibandingkan cara-cara lain. Tidak ada tata cara
26
Thomas Buergenthal dan Harold G Maier, Public International Law (Minnesota: West
Publishing Co, 1990), Edisi Kedua, h. 65.
27
28
Bambang Sutiyoso, Penyelesaian Sengketa Bisnis (Yogyakarta: Citra Media, 2006), h. 43.
Lee Arbetman dan Ed O‟Brien, Street Law A Course in Practical Law (Amerika Serikat:
The McGraw-Hill Companies, 2005), Edisi. Ketujuh, h. 41.
27
khusus untuk melakukan negosiasi, dapat dilakukan secara bilateral
maupun multilateral, formal maupun informal. Namun demikian, akan
sulit melakukan negosiasi apabila antarpihak yang bersengketa tidak
memiliki hubungan diplomatik atau saling tidak mengakui eksistensi
masing-masing sebagai subjek hukum internasional.
b. Jasa Baik (Good Offices)29
Jasa-jasa baik (good offices) berati intervensi suatu negara ketiga
yang merasa dirinya wajar unuk memantu penyelesaian sengketa yang
terjadi antara dua negara.30 Dalam hal ini, negara ketiga menawarkan
jasa-jasa baiknya. Prosedur jasa-jasa baik ini dapat diminta oleh salah
satu dari kedua negara atau oleh keduan-duanya. Intervensi dalam bentuk
jasa-jasa baik ini adalah campur tangan yang sangat sederhana dari negara
ketiga karena negara tersebut membatasi diri dan hanya memprgunakan
pengaruh moral atau politiknya agar negara-negara yang bersengketa
mengadakan hubungan satu sama lain atau mengadakan hubungan
kembali bila hubungan tersebut telah putus.
Secara prinsip, negara yang menawarkan jasa-jasa baiknya tidak
ikut secara langsung dalam perundingan-perundingan, tetapi hanya
29
30
Jasa baik dalam bahasa Arab disebut syahratulmahli
Boer Maulana, Hukum Internasional Pengertian Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika
Global (Bandung: PT Alumni, 2011), Edisi Kedua, Cet. 4. H. 198.
28
menyiapkan dan mengambil langkah-langkah yang perlu agar negaranegara yang bersengketa bertemu satu sama lain dan merundingkan
sengketanya. Bila pihak-pihak yang bersengketa telah setuju untuk saling
bertemu, berakhir pulalah misi negara yang menawarkan jasa-jasa
baiknya tersebut.
c.
Mediasi (wasaathatun)
A voluntary process that is sometimes used when negotiation seems
to be failing is mediation.31
Mediasi merupakan salah satu alternatif dan cara penyelesaian
suatu persengketaan dimana para pihak-pihak yang bersengketa
menyerahkan penyelesaiannya kepada seorang mediator dengan maksud
untuk memperoleh hasil yang adil dan diterima oleh para pihak yang
bersengketa.32
Apabila dibandingkan dengan good offices maka keterlibatan pihak
ketiga dalam mediasi sudah lebih besar. Dalam mediasi, mediator
berperan
aktif
mendamaikan
pihak-pihak
bersengketa,
memiliki
kewenangan-kewenangan tertentu memimpin jalannya perundingan, juga
mendistribusikan proposal masing-masing pihak bersengketa. Mediator
31
John D. Donnell dkk, Law For Business (Illinois – USA: Richard D. Irwin, INC, 1983),
Edisi Revisi, h. 21.
32
Sophar Maru Hutagalung, Praktik Peradilan Perdata dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
(Jakarta: Sinar Grafika, 2012), h. 322.
29
juga diharapkan bisa memberikan proposal untuk menyelesaikan
sengketa.
Jika usulan oleh mediator tidak diterima, maka mediator masih
dapat melanjutkan fungsi mediasinya dengan membuat usulan-usulan
baru. Karena itu, salah satu fungsi utama mediator adalah mencari
berbagai solusi (penyelesaian), mengidentifikasi hal-hal yang dapat
disepakati oleh para pihak serta membuat usulan-usulan yang dapat
mengakhiri sengketa. Pasal 3 dan 4 the Hague Convention on the
Peaceful Settlement of Disputes (1907) menyatakan bahwa usulan-usulan
yang diberikan mediator janganlah dianggap sebagai suatu tindakan yang
tidak bersahabat terhadap suatu pihak (yang merasa dirugikan).33
Penyelesaian sengketa melalui mediasi menempatkan kedua belah
pihak pada posisi yang sama, tidak ada pihak yang dimenangkan atau
pihak yang dikalahkan (win-win solution).34
33
Article 3: Independently of this recourse, the Contracting Powers deem it expedient and
desirable that one or more Powers, strangers to the dispute, should, on their own initiative and as far
as circumstances may alow, offer their good offices or mediation to the States at variance. Power
strangers to the dispute have the right to offer good offices or mediation even during the course of
hostilities. The exercise of this right can never be regarded by either of the parties in dispute as an
unfriendly act.
Article 4: The part of the mediator consists in reconciling the opposing claims and
appeasing the feelings of resentment which may have arisen between the States at variance.
34
Syahrizal Abbas, Mediasi dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum
Nasional (Jakarta: Kencana, 2009), h. 24.
30
Mediasi hanya dapat terlaksana dalam hal para pihak bersepakat
dan mediator menerima syarat-syarat yang diberikan oleh para pihak yang
bersengketa.35
d.
Pencarian Fakta (fact finding/Inquiry)36
Fungsi dari inquiry adalah untuk memfasilitasi penyelesaian
sengketa dengan mencari kebenaran fakta, tidak memihak, melalui
investigasi secara terus menerus sampai fakta yang disampaikan salah
satu pihak dapat diterima oleh pihak yang lain.37 Inquiry dapat
dilaksanakan oleh suatu komisi yang permanen. Individu maupun
organisasi terpilih untuk memberikan expert opinion-nya.
The Hague Convention for the Pacific Settlement of International
Disputes tahun 1907 dengan tegas mengatakan bahwa laporan komisi
(pencarian fakta) sifatnya terbatas mengungkapkan fakta-faktanya saja
dan bukan merupakan suatu keputusan: .... is limited to a statement of
facts and has in no way the character of an award .... (Pasal 35).38
35
Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar, Hukum Internasional Kontemporer (Bandung: PT
Refika Aditama, 2006), h. 227.
36
Pencarian fakta dalam bahasa Arab disebut tahqiqi
Sefriani, Hukum Internasional Suatu Pengantar (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011),
Cet.Kedua, h. 331.
37
38
Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional (Jakarta: Sinar Grafika, 2006),
Cet.Kedua, h. 21.
31
e.
Konsiliasi (mushaalihat)
Konsiliasi menurut the Institute of International Law melalui the
Regulations on the Procedure of International Conciliation yang
diadopsinya pada tahun 1961 dalam Pasal 1 dinyatakan:
a method for the settlement of international disputes of any nature
according to which a Commission set up by the Parties, either on a
permanent or an ad hoc basis to deal with a dispute proceeds to the
impartial examination of the dispute and attempts to define the
terms of a settlement susceptible of being accepted by them, or of
affording the Parties with a view to its settlement, such aid as they
may have requested.
John Wade dari Bond Universiry Dispute Resolution Center,
Australia memberikan definisi konisliasi sebagai berikut:
“Conciliation is a process by which the parties in a conflict with
assisting of neutral third party (conciliator) identifying the problem,
creating options, consider solution options, and strive to rech
agreement.” 39
Hakim Manly O. Hudson mengatakan bahwa kosiliasi adalah:
“Suatu proses penyusunan usulan-usulan penyelesaian setelah diadakan
penyelidikan mengenai fakta dan suatu upaya untuk mencari titik temu
pendirian-pendirian yang saling bertentangan. Para pihak dalam sengketa
itu tetap bebas menerima atau menolak proposal-proposal yang
dirumuskannya tersebut”.40
39
Arus Akbar Silondae dan Andi Fariana, Aspek Hukum Dalam Ekonomi & Bisnis (Jakarta:
Penerbit Mitra Wacana Media, 2010), h. 93.
40
Oentoeng Wahjoe, Hukum Pidana Internasional Perkembangan Tindak Pidana
Internasional & Proses Penegakannya (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2011), h. 144.
32
Konsiliasi merupakan metode penyelesaian sengketa secara politik
yang menggabungkan cara-cara inquiry dengan mediasi. Dalam konsiliasi
pihak
ketiga
melakukan
penyelidikan
terhadap
sengketa
yang
dipermasalahkan para pihak dan kemudian memberikan rangkaian usulan
formal penyelesaian sengketanya. Usulan penyelesaian ini bagaimanapun
tidak mengikat disputing parties. Konsiliasi dapat dilakukan oleh
lembaga atau komisi yang permanen maupun ad hoc.
Dalam praktik, perbedaan antara mediasi internasional dan
konsiliasi internasional terkadang masih samar-samar (blurred), tetapi
pusat ide dari konsiliasi itu sendiri yaitu konsiliator (atau badan
konsiliasi) yang diharapkan untuk mengeluarkan keputusan yang tidak
mengikat (is expected to issue a non-binding decision).41
2. Penyelesaian Sengketa Secara Damai Melalui Jalur Organisasi Internasional
a.
Penyelesaian Melalui Perserikatan Bangsa-Bangsa (al-umamu almuttahidatu)
Seperti termuat dalam pasal 1 Piagam PBB, tujuan utama PBB
(United Nation) adalah menciptakan perdamaian dan keamanan
internasional.42 PBB juga mendorong agar sengketa-sengketa diselesaikan
41
Sean D Murphy, Principles of International Law (Amerika Serikat: Thomson/West, 2006),
h. 116.
42
To maintain international peace and security, and to that end; to take effective collective
measures for the prevention and removal of threats to the peace, and for the suppression of acts of
33
melalui
cara-cara
penyelesaian
secara
damai.
Dalam
upayanya
menciptakan perdamaian dan keamanan internasional, PBB memiliki lima
kelompok tindakan yaitu:43
 Preventive Diplomacy: suatu tindakan untuk mencegah timbulnya
suatu sengketa diantara para pihak, mencegah luasnya suatu sngketa, atau
membatasi perluasan suatu sengketa.
 Peace Making: tindakan untuk membawa para pihak yang bersengketa
untuk saling sepakat, khusunya melalui cara-cara damai seperti yang
terdapat dalam BAB VI UN Charter.44
 Peace Keeping: tindakan untuk megerahkan kehadiran PBB dalam
pemeliharaan perdamaian dengan kesepakatan para pihak
yang
berkepentingan.
 Peace Building: tindakan untuk megidentifikasi dan mendukung
struktur yang ada guna memperkuat perdamaian untuk mencegah suatu
konflik yang telah didamaikan berubah kembali menjadi konflik.
aggression or other breaches of the peace, and to bring about by peaceful means, and in conformity
with the principles of justice and international law, adjustment or settlement of international disputes
or situations which might lead to a breach of the peace;
43
Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional (Jakarta: Sinar Grafika, 2006),
Cet.Kedua, h. 95.
44
The parties to any dispute, the continuance of which is likely to endanger the maintenance
of international peace and security, shall first of all, seek a solution by negotiation, enquiry,
mediation, conciliation, arbitration, judicial settlement, resort to regional agencies or arrangements,
or other peaceful means of their own choice.
34
 Peace Enforcement: wewenang Security Council berdasarkan piagam
untuk menentukan adanya suatu tindakan yang merupakan ancaman
terhadap perdamaian
b.
Penyelesaian Melalui Organisasi Regional
Pada umumnya organisasi regional memiliki fungsi sebagai good
offices (jasa baik) dan mediasi. Organisasi Regional tersebut antara lain:
 Organization of American States (OAS), 30 April 1948. Pasal 1
Piagam menggariskan tujuan pembentukan OAS yaitu: .... to achieve an
order of peace and justice, to promote their solidarity, to strenghten their
collaboration and to defend their sovereignity, their territorial integrity,
and their independence
 The Organization of African Unity (OAU), 23 Mei 1963.
 European Union (EU)
 Association of Southeast Asian Nations (ASEAN)
3. Penyelesaian Sengketa Secara Damai Melalui Jalur Hukum (syariah)
a.
Penyelesaian Melalui Arbitrase (tahkim)
Kata arbitrase berasal dari bahasa Latin arbitrare yang artinya
kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu menurut “kebijaksanaan”.45
45
Gatot Soemartono, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia (Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, 2006), h.24.
35
Arbitration differs from mediation in that the third party to whom
the dispute is submitted decides the outcome.46
Arbitrase adalah salah satu cara atau alternatif penyelesaian
sengketa yang telah dikenal lama dalam hukum internasional. Namun
demikian sampai sekarang belum ada batasan atau definisi resmi
mengenai arbitrase. Sarjana Amerika Latin Podesta Costa dan Ruda
mendeskripsikan badan ini sebagai berikut:
Arbitration is the resolution of international dispute through the
submission, by formal agreement of the parties, to the decision of a
third party who would be one or several persons by means of
contentious proceedings from which the result of definitive judgement
is derived.47
Menurut William H. Gill, arbitrase diartikan sebagai “An arbitration
is the reference of a dispute or difference between not less than two
persons for determination after hearing both sides in judicial manner by
another person or persons, other than a court of competent
jurisdiction.”48
Lawrence S. Clarck, Robert J. Aalberts, dan Peter D. Kinder
mendefinisikan arbitrase sebagai an arrangement in which the parties
46
A. James Barnes dkk, Law for Business (New York: The McGraw-Hill Companies, Inc,
2006), Edisi Kesembilan, h. 30.
47
Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional (Jakarta: Sinar Grafika, 2006),
Cet.Kedua, h. 39.
48
Dijan Widijowati, Hukum Dagang (Yogyakarta: Penerbit ANDI, 2012), h. 240.
36
agree to refer a dispute to an impartial third party (the arbitrator) and to
be bound by this determination.49
Penyelesaian sengketa melalui arbitrase menurut Komisi
Hukum Internasional adalah a procedure for the settlement of disputes
between states by a binding award on the basis of law and as a result of
fan undertaking voluntarily accepted.50
Dalam Black‟s Law Dictionary, Arbitration is: “The reference of
dispute to an impartial (third) person chosen by the parties to the dispute
who agree in advance to abide by the arbitrator’s award issued after
hearing at which both parties have an opportunity to be heard. An
arrangement for taking and abiding by the judgement of selected persons
in some disputed matter. Instead of carrying it to establish tribunals of
justice, and is intended to avoid the formalities, the delay, the expense
and vexation of ordinary litigation”.51
Objek
perdagangan,
perjanjian
yaitu
arbitrase
meliputi:
hanyalah
perniagaan,
sengketa
perbankan,
di
bidang
keuangan,
penanaman modal, industri dan hak milik intelektual.52
49
Lawrence S. Clark, dkk, Law and Business The Regulatory Environment (Amerika Serikat:
McGraw-Hill, Inc, 1994), Edisi. Keempat, h. 25.
50
Sefriani, Hukum Internasional Suatu Pengantar (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011),
Cet.Kedua, h. 339.
51
Rahayu Hartini, Penyelesaian Sengketa Kepailitan di Indonesia Dualisme Kewenangan
Pengadilan Niaga dan Lembaga Arbitrase (Jakarta: Kencana, 2009), h. 35.
52
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia dan AusAID, Panduan Bantuan Hukum di
Indonesia (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2014), h. 37.
37
Michael
B.
Metzger
mengemukakan
pendapat
keuntungan
penyelesaian sengketa melalui arbitrase: 53
1. Quicker resolutuion of disputes;
2. Lower costs in time and money to the parties; and
3. The availability of professional who are often expert in the
subject matter of dispute.
Salah satu sifat pokok dari arbitrase adalah suatu prosedur yang
menghasilkan keputusan-keputusan yang mengikat bagi para pihak yang
bersengketa.54
Hakikat arbitrase ialah prosedur penyelesaian sengketa konsensual
dalam arti bahwa penyelesaian sengketa melalui arbitrase hanya dapat
dilakukan dengan persetujuan negara bersengketa yang
bersangkutan.55 Persetujuan itu dapat merupakan persetujuan umum
sebelumnya atau persetujuan khusus untuk sengketa tertentu.
b. Penyelesaian Melalui Mahkamah Internasional (mahkamatul umamu)
Salah satu alternatif penyelesaian sengketa secara hukum atau
judicial settlement dalam hukum internasional adalah penyelesaian
53
Kementrian Perdagangan RI, Telaahan Hukum Forum Arbitrase Sebagai Alternatif
Penanganan Sengketa (Jakarta: Biro Hukum Sekretariat Jenderal, 2011), h. 22.
54
Sumaryo Suryokusumo, Studi Kasus Hukum Internasional (Jakarta: PT Tatanusa, 2007), h.
55
F Sugeng Istanto, Hukum Internasional (Jakarta: Sinar Grafika, 1998), Cet. Kedua. h. 92.
221.
38
melalui badan peradilan badan internasional (world court/international
court). Dalam hukum internasional, penyelesain secara hukum dewasa ini
dapat ditempuh melalui berbagai cara atau lembaga, yaitu Permanent
Court of International Justice (PCIJ) atau Mahkamah Internasional, The
International Tribunal for The Law of The Sea (Konvensi Hukum Laut
1982), atau International Criminal Court (ICC).56
4. Penyelesaian Sengketa Secara Kekerasan atau Paksaan (iqrah)
Penyelesaian sengketa secara kekerasan atau paksaan berarti dalam hal
ini yaitu perang. Keseluruhan tujuan dari perang adalah untuk menaklukan
negara lawan dan untuk membebankan syarat-syarat penyelesaian dimana
negara yang ditaklukan tersebut tidak memiliki alternatif lain selain
mematuhinya.57
D. Tanggung Jawab Negara dalam Penyelesaian Sengketa Internasional Secara
Umum
Dalam pembagian kekuasaan (seperation of power)58 dibedakan
menjadi tiga sistem yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Setiap sistem
56
Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional (Jakarta: Sinar Grafika, 2006),
Cet.Kedua, h. 58.
57
J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), Cet. Ke Tujuh,
58
Pembagian kekuasaan dalam bahasa Arab disebut aqsamul quwah
h. 679
39
memiliki peran dan tugasnya masing-masing. Salah satu fungsi dari lembaga
eksekutif perihal diplomasi yaitu melaksanakan hubungan diplomatik dengan
negara-negara lain.59
Negara merupakan subjek internasional, oleh sebab itu segala kekuasaan
dan juga beban tertinggi (penyelesaian sengketa internasional) di tanggung oleh
negara. Negara memiliki tanggung jawab penuh atas penyelesaian sengketanya
melalui wakil di dalam pemerintahannya.
Hal yang paling utama dilakukan negara ketika terjadi sebuah
perselisihan sengketa internasional yaitu negara melalui wakilnya melakukan
upaya diplomasi terlebih dahulu. Upaya diplomasi merupakan cara penyelesaian
jalur damai melalui bilateral, multilateral dan maupun regional. Dunia
internasional selalu memegang prinsipnya untuk melaksanakan world peace, tapi
dewasa ini sulit rasanya untuk menjalankan prinsip tersebut, karena banyaknya
penyelesaian melalui jalan kekerasan atau jalan perang (middle east).
Secara keseluruhan tanggung jawab negara dalam terjadinya sengketa
internasional yaitu selalu mengupayakan cara damai terlebih dahulu. Negara
mengupayakan peran aktifnya agar tidak terjadi impact yang buruk terhadap
negara sendiri misalnya kerugian-kerugian yang tidak diinginkan oleh warga
59
Nomensen Sinamo, Ilmu Negara (Jakarta: Permata Aksara, 2011), h. 157.
40
negara itu sendiri. Pemerintah harus aktif mulai dari berbagai sektor yang dirasa
dirugikan ketika sebuah sengketa internasional itu dimulai.
Jalan diplomasi memang hal yang paling utama dilakukan karena
langsung berhadapan dengan persoalan yang disengketakan. Apabila tidak
ditemukannya titik terang dalam jalan diplomasi tersebut, maka tanggung jawab
negara dikemudian yaitu melimpahkan atau membawa kasus ini melalui
peradilan internasional yaitu peradilan yang berada dibawah kekuasaan PBB.
41
BAB III
WORLD TRADE ORGANIZATION DAN PENYELESAIAN SENGKETA
A. World Trade Organization
Sejarah Singkat GATT dan WTO
1.
GATT didirikan setelah Perang Dunia II (tahun 1947) bersamaan
dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa, International Monetary Fund (IMF),
dan International Bank for Reconstruction and Development (IBRD/Bank
Dunia).60 Ada dua puluh tiga anggota yang bergabung dalam GATT. Hingga
tahun 1994, ketika Putaran Uruguay telah selesai dan WTO didirikan tanggal
1 Januari 1995. GATT adalah satu-satunya organisasi multilateral yang
membuat peraturan tentang kebijakan perdagangan internasional. WTO saat
ini
beranggotakan 161 bangsa di tahun 2015.61 WTO berjanji untuk
mematuhi prinsip-prinsip pengurangan hambatan perdagangan dan distorsi
perdagangan lainnya. Anggota antara lain seluruh negara perdagangan utama
kecuali Cina dan yang dulunya Uni Soviet. GATT dan sekarang WTO,
60
Ratya Anindita & Michael R. Reed, Bisnis dan Perdagangan Internasional (Yogyakarta:
Penerbit ANDI, 2008), h. 67.
61
http://en.m.wikipedia.org/wiki/World_Trade_Organization, diakses pada tanggal 24
Agustus 2015, jam 14:37 WIB
41
42
merupakan klub negosiasi yang memiliki aturan spesifik untuk memimpin
dan menyelesaikan perdebatan.
2.
Fungsi WTO
Final Act dari Putaran Uruguay ditandatangani, bersamaan juga
dengan beberapa dokumen lainnya, pada tanggal 1 Januari 1995. WTO dan
perjanjian-perjanjian yang berkaitan padaa saat sekarang ini mengatur
sekitar 90 persen perdagangan dunia. WTO diadopsi lebih dari 146
pemerintahan.
Fungsi WTO terdapat pada WTO Agreement, yaitu sebagai berikut:62
a) Memperlancar
pelaksanaan,
administrasi
dan
operasi,
dan
mencapai sasaran-sasaran dari persetujuan ini serta persetujuan
multilateral
b) Menyediakan forum perundingan untuk anggota-anggotanya yang
berhubungan dengan hubungan perdagangan multilateral
c) Mengatur prosedur penyelesaian sengketa
d) Mengatur mekanisme pemantauan kebijaksanaan perdagangan
e) Bekerjasama dengan Dana Moneter Internasional dan dengan Bank
Internasional
62
Perjanjian WTO Pasal III ayat 1-5, Fungsi dari WTO
43
3.
Struktur WTO
Badan-badan yang merupakan kunci dari WTO adalah sebagai berikut:63
a) Ministerial Conference (Pertemuan Tingkat Menteri) – puncak
organisasi WTO organizational membuat keputusan yang sifatnya
hirarki. Pertemuan diadakan paling tidak satu kali dalam dua tahun serta
memiliki tanggung jawab membuat kebijakan-kebijakan yang akan
dilaksanakan oleh WTO.
b) General Council / Dispute Settlement Body & Trade Policy Review
Body (Dewan Umum / Badan Penyelesaian Sengketa & Badan
Peninjauan Kebijakan Perdagangan) – komposisinya merupakan
perwakilan dari setiap anggota WTO dan merupakan pelaksana dari
WTO. Di dalam General Council, pertemuan diadakan secara bulanan.
c)
WTO Secretariat (Sekretariat WTO) – pelaksana administratif dan
pelaksana harian.
d) WTO Councils (Dewan WTO) – terdapat dewan-dewan pada setiap
bidang perdagangan, yaitu:
1. Council for Trade in Goods (Dewan Perdagangan dalam Barang)
2. Council for Trade in Services (Dewan Perdagangan dalam Jasa)
3. Council for Trade Related Aspects of Intellectual Property (Dewan
Hak Kekayaan Intelektual)
63
Meria Utama, Hukum Ekonomi Internasional (Jakarta: PT Fikahati Aneska, 2012), h. 42.
44
e)
4.
Committes and Working Parties (Komite dan Kelompok Kerja)
Prinsip-Prinsip Dasar WTO
Terdapat 5 prinsip dasar WTO, yaitu:64
a. Non-Discrimination (Non-Diskriminasi)
Prinsip non-discrimination memuat dua aspek. Pertama, konsep Most
Favored Nation (MFN) dan kedua, National Treatment (NT).
Most Favored Nation (Negara Paling Disukai)
Pada tahun 1978 ILC mengajukan kepada UNGA suatu Draft
Articles Most-Favored Nation Clause (Rancangan Artikel Klausul
Negara yang Paling Disukai). Dalam Pasal 5 Draft itu dirumuskan
pengertian Most-Favored Nation treatment sebagai berikut:65
Most Favored Nation treatment is treatment accorded by the granting
State to the beneficiary State, or to persons or things in a determined
relationship with that State, not less favourable than treatment
extended by the granting State to a third State or to persons or things
in the same relationship with that third State.
Konsep MFN merupakan konsep yang fundamental dalam
perdagangan internasional. Konsep ini tidak hanya terbatas pada negaranegara anggota semata, oleh karenanya jika anggota WTO memberikan
64
65
Meria Utama, Hukum Ekonomi Internasional (Jakarta: PT Fikahati Aneska, 2012), h. 46.
Rusli Pandika, Sanksi Dagang Unilateral di Bawah Sistem Hukum WTO (Bandung: PT
Alumni, 2010), h.132.
45
perlakuan yang berbeda ke negara yang bukan anggota maka hal itu juga
harus diterapkan bagi negara-negara anggota.
National Treatment (Perlakuan Nasional)
Konsep NT terdapat pada Article III GATT, Pasal VII GATS
dan Article III TRIPS dan telah menjadi artikel yang paling sering
diinterpretasikan baik sebelum maupun sesudah pembe ntukan WTO.
b. Liberalization of Trade (Liberalisasi Perdagangan)
Tujuan dari WTO adalah untuk memberikan stabilitas dan
prediktibilitas yang lebih luas dalam sistem perdagangan internasional.
Liberalisasi merupakan salah satu jalan untuk menghapuskan segala
bentuk pembatasan dalam bidang ekspor dan impor. Juga, dalam hal ini
tidak ada subsidi dan tarif sama sekali. Barangkali hal ini terkesan tidak
realistis untuk dicapai secara global dan mungkin hal ini akan membuat
negara-negara menjadi tidak mendukung keberadaan WTO. Namun
penting untuk mencapai proses keberlanjutan dari liberalisasi.
Perlu dicatat bahwa akan selalu ada pembatasan dari proses
liberalisasi. Dalam WTO agreement, pembatasan ini diwakili dengan
apa yang disebut safeguards, yaitu “a further special agreement on
safeguards and the special case of texttiles”. Intinya, safeguards
membolehkan negara-negara anggota untuk mengambil tindakan
„emergency‟ untuk mencegah akibat yang fatal bagi negara tersebut.
46
c. No Unfair Trade (Tidak Ada Perdagangan yang Tidak Adil)
Unfair
trade
merupakan
ketidakadilan
dalam
dunia
perdagangan. Pertama tentang dumping dan kedua mengenai subsidi.
Dumping produk dipandang sebagai sebuah contoh diskriminasi harga
secara internasional. Di pasar yang berbeda terdapat perbedaan harga
untuk barang yang sama. Dumping dipandang juga sebagai predatory
pricing dimana sebuah produsen menjual dibawah harga untuk
mengintimidasi atau menghapuskan saingannya dan dalam jangka waktu
yang panjang harga tersebut akan dinaikan setelah kompetitor tetapi
dapat dihapuskan.
Antidumping diperbolehkan oleh Pasal VI GATT, dengan
pengecualian hanya untuk melindungi perekonomian nasional dalam
menghadapi kompetisi yang tidak fair dan bukan sebagai alat untuk
melindungi perdagangan.
Subsidies (Subsidi)
Dalam Putaran Uruguay (1986-1994) untuk pertama kalinya
subsidi diberikan definisi, yaitu .... a financial contribution by the
government or any public body where the govcernment practice involves
the following :
1) A direct transfer of funds
47
2) Potential direct transfers of liabilities
3) Government revenue (for instance taxation and payroll duty) that is
otherwise due is foregone
4) Government provisions of goods or services other than general
infrastructure
5) Government payments to a funding mechanism or a direction to a
private body to carry out the above functions
Sebagai aturan umum, subsidi dilarang ketika hal ini menyebabkan
terganggu perdagangan internasional. Jadi bukanlah harga dan kualitas
barang yang sampai ke konsumen, melainkan harga yang ditimbulkan
oleh semata-mata akibat adanya subsidi tersebut dan bukanlah
merupakan hasil dari tekanan kompetisi.
d. Transparency (Transparansi)
Inti daripada transparansi yang diminta aturan-aturan GATT (Pasal X),
GATS (Pasal III), dan TRIPS (Pasal 63) adalah:
1) Publikasi segala jenis hukum dan aturan sebelum dilaksanakan
2) Keseragaman, tidak terpisah dan administrasi yang masuk akal dari
aturan dan hukum tersebut.
3) Judicial Review dari setiap putusan administratif.
Prinsip-prinsip transparansi sangat penting guna kepercayaan para
pebisnis,
yang
diinginkan
adalah
sistem
hukum
domestik
48
memperlakukan korporasi dan individu asing sama perlakuannya
dengan individu dan korporasi lokal.
e. Exceptions (Pengecualian)
Terdapat pengecualian didalam prinsip WTO, yaitu:
General Exceptions (Pengecualian Umum)
Pengecualian horizontal (The Horizontal Exceptions) dalam
GATT (dan berlaku juga bagi negara-negara anggota WTO) termuat
pada Pasal XX. Pengecualian ini termasuk:
1) Kepentingan untuk melindungi moral masyrakat
2) Kepentingan untuk melindungi manusia, binatang atau kehidupan
planet bumi dan kesehatan.
3) Berkaitan dengan impor atau ekspor emas dan perak
4) Kepentingan atas dasar hukum dan aturan yang tidak sesuai dengan
aturan yang terdapat didalam agreement yang berkaitan dengan:
3.1 Customs enforcement
3.2 Protection of patents, trade marks and copyrights
3.3 Enforcement of monopolies
3.4 Prevention of deceptive practices
5) Produk yang dihasilkan oleh orang yang dipenjara (prison labour)
6) Diterapkan untuk melindungi warisan artistik, sejarah masa lalu dan
yang memiliki nilai arkeologi
49
7) Konservasi sumber daya alam yang sedikit
8) Diambil dalam rangka kewajiban yang timbul dari perjanjian
komoditi antar pemerintah
9) Melibatkan pembatasan ekspor bahan-bahan domestik yang penting
untuk memastikan kualtias utama bahan tersebut pada proses
industri domestik selama jangka waktu ketika harga domestim dari
bahan tersebut berada diharga bawah dunia, sebagai bagian dari
rencana stabilitas pemerintah yang termasuk dalam subject to the
principle of non discrimination.
10) Berguna untuk mengakuisisi atau mendistribusikan produk sebagai
supply jangka pendek secara umum maupun lokal.
Security Exceptions (Pengecualian dalam Keamanan)
Adalah hak sebuah negara untuk mempertahankan diri dari
serangan pihak luar yang dijamin dalam prinsip dasar hukum
inetrenasional. Karena anggota-anggota WTO adalah negara-negara
yang berdaulat dan bertanggungjawab atas keamanan dalam negerinya,
sulit membayangkan bagaimana WTO dispute settlement body akan
dapat bertindak sebagai hakim pada persoalan ini jika pengecualian
kemanan ini tidak dibuat sejelas mungkin dan ukuran-ukuran keamanan
tersebut ditempatkan dalam artian senyatanya dari diskriminasi
perdagangan dalam rangka produsen domestik. Persoalan ini lebih
50
sesuai dibahas oleh hukum internasional, hukum perang, dan Dewan
Keamanan PBB.
4.
Ruang Lingkup Pengaturan WTO
Ruang lingkup pengaturan WTO adalah:66
1.
Pembentukan World Trade Organization (the establishment of WTO)
2.
Pengurangan Tarif (Tariff Reduction)
3.
Pertanian (Agriculture)
4.
Tarif dan Hambatan Non-Tarif (Tariff and Non-Tariff Barriers)
5.
Sanitary and Phytosanitary Measures
6.
Tekstil dan Pakaian (Textile and Apparel)
7.
Safeguards
8.
Antidumping
9.
Subsidies and Countervailing Measures
10. TRIMs (Trade Related Investment Measures)
11. Jasa (Services)
12. Hak Milik Intelektual (Intellectual Property Rights)
13. Penyelesaian Perselisihan (Dispute Settlement)
14. Pengadaan Pemerintah (Government Procurement)
66
Rusli Pandika, Sanksi Dagang Unilateral di Bawah Sistem Hukum WTO (Bandung: PT
Alumni, 2010), h.132.
51
15. Ketentuan Perdagangan Lainnya (Other Trade Provisions)
16. Lingkungan (The Environment)
17. Hak-hak Pekerja (Worker Rights)
B. WTO Sebagai Forum Penyelesaian Sengketa
Sebagai suatu forum internasional yang merupakan instrumen untuk
menangani masalah perdagangan dunia, WTO merupakan suatu mekanisme yang
memungkinkan dilakukannya konsultasi antara sesama negara anggota, baik dala
bentuk bilateral, plurilateral, maupun multilateral. Mekanisme yang paling luwes
konsultasi informal yang banyak menyelesaikan masalah sehingga mencegah
terjadinya sengketa yang terlalu sering. Namun ada kalanya timbul masalah yang
menjadi sengketa dalam bentuk yang lebih formal. WTO juga merupakan suatu
forum penyelesaian sengketa antara negara-negara anggota.
Sebagai forum untuk kegiatan penyelesaian sengketa WTO secara
sistematis menyediakan mekanisme yang lebih formal untuk memberi
kesempatan pada negara-negara anggota untuk menyelesaiakan sengketa.
Dengan adanya perjanjian WTO yang merupakan suatu kontrak hak dan
kewajiban, apabila ada sengketa mengenai hal-hal yang berkaitan dengan hak
dan kewajiban dan pelanggaran yang terjadi, maka WTO sebagai suatu sistem
menyediakan forum yang formal untuk menyelesaikan sengketa.67
67
H. S. Kartadjoemena, GATT DAN WTO Sistem, Forum dan Lembaga Internasional di
Bidang Perdagangan (Jakarta: UI Press, 1996), h. 90.
52
Konsiliasi, konsultasi dan penyelesaian sengketa merupakan salah satu
aspek yang penting dalam kegiatan WTO sehari-hari. Baik negara kecil maupun
negara besar dapat mengemukakan masalah sengketa perdagangan mereka
seperti tercantum dalam General Agreement dinilainya dilanggar oleh negara
anggota lainnya. Sistem ini disasarkan pada ketentuan yang secara umum
tercantum dalam Pasal XII dan XIII dari General Agreement.
C. Mekanisme Penyelesaian Sengketa
Mekanisme Penyelesaian Sengketa sebagai bagian dari Pengawasan
1.
Internasional
Tentang pengawasan (supervision) seorang sarjana memberikan
pengertian sebagai berikut:
“The supervisory function is an essential legal technique. It performs a
function whic is absolutely necessary to the existe nce abd progress of any
society, of any social organization. The main object of this function is to
ensure respect for law and the realization of rules of law as well as the
regular functioning of public service within the limits laid down in these
rules of law. Supervision is an organic function which makes it possible for
errors either in the assesment of a situation or in taking action which might
jeopadize the stability and security of social existence to be rectified. If
therefore serves to ensure public order”.68
68
Hata, Perdagangan Internasional Dalam Sistem GATT DAN WTO Aspek-Aspek Hukum
dan Non Hukum (Bandung: PT Refika Aditama, 2006), h. 181.
53
Menurut Van Hoof pengawasan internasional mempunyai tiga fungsi: 69
a. Review Function (Fungsi Peninjauan): Pada umumnya, “review” diartikan
sebagai mengukur atau menilai sesuatu berdasarkan tolak ukur tertentu.
Dalam konteks hukum, ini berarti menilai sesuatu perilaku untuk
menentukan kesesuaiannya dengan aturan hukum. Review Function
dalam hubungannya dengan negara dilaksanakan apabila perilaku suatu
negara dinilai menurut hukum internasional oleh suatu lembaga
pengawasan yang mempunyai status internasional. Pengawasan ini
dilakukan oleh satu negara atau lebih atau oleh suatu lembaga yang
dibentuk menurut perjanjian internasional. Hasil dari pengawasan ini
adalah suatu keputusan tentang sesuai tidaknya tindakan negara tersebut
dengan hukum internasional.
b. Correction Function (Fungsi Koreksi): fungsi ini dilaksanakan manakala
telah timbul
suatu keadaan
yang bertentangan
dengan hukum
internasional. Namun demikian, fungsi ini dapat bersifat preventif,
manakala negara-negara menyesuaikan diri pada aturan-aturan hukum
internasional sebagai akibat eksistensi atau ancaman dari mekanisme
koreksi ini. Tujuan akhir dari pengawasan internasional adalah untuk
memastikan kepatuhan terhadap aturan-aturan hukum internasional. Oleh
69
Hata, Perdagangan Internasional Dalam Sistem GATT DAN WTO Aspek-Aspek Hukum
dan Non Hukum (Bandung: PT Refika Aditama, 2006), h. 181.
54
karena itu pelanggarannya harus diperbaiki. Terlepas dari kasus-kasus
dimana negara yang melakukakan pelanggaran memperbaiki pelanggaran
atas kehendak sendiri, kepatuhan terhadap hukum internasional harus
dipastikan melalui persuasi atau paksaan dari luar. Ini merupakan fungsi
koreksi dari pengawasan internasional, yang bisa juga disebut sebagai
fungsi pemaksa (enforcement function). Satu persoalan yang terkait
dengan hal ini adalah pengenaan sanksi dalam hukum internasional.
c. Creative Function (Fungsi Kreatif): Sekalipun review dan creative
function merupakan bagian pokok dari pengawasan, namun pengawasan
juga dapat berfungsi kreatif, terutama dalam hukum internasional. Hal ini
disebabkan karena tidak adanya semacam lembaga eksekutif dan
yudikatif. Tindakan-tindakan legislatif seringkali abstrak atau tidak jelas.
Oleh karena itu usaha untuk memperjelas norma-norma hukum
internasional ini merupakan bagian dari fungsi pengawasan yaitu fungsi
kreatif. Jadi fungsi kreatuif ini berupa penafsiran atas aturan-aturan
hukum internasional yang belum jelas.
2.
Mekanisme Penyelesaian Sengketa Dalam WTO
Berikut ini adalah tahapan-tahapan dalam penyelesaian sengketa dagang
dalam WTO.70
a. Konsultasi (Consultations)
70
253.
Syahmin AK, Hukum Dagang Internasional (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006), h.
55
Tujuan dari mekanisme penyelesaian sengketa dagang di WTO
adalah untuk menguatkan solusi yang positif terhadap sengketa. Tahap
pertama adalah kosnultasi para pihak yang bersengketa. Setiap anggota
harus menjawab secara tepat dalam waktu sepuluh hari untuk meminta
diadakan konsultasi dan memasuki periode konsultasi selama tiga puluh
hari setelah waktu permohonan.
Untuk memastikan kejelasannya,
setiap
permohonan untuk
konsultasi harus diberitahukan kepada DSB (Dispute Settlement Body)
secara tertulis, kemudian disebutkan alasan-alasan permohonan konsultasi
termasuk dasar-dasar hukum untuk pengaduan. Bila konsultasi gagal dan
kedua pihak setuju, masalah ini dapat diajukan ke Direktur Jenderal WTO
yang akan siap menawarkan diadakan good offices, konsiliasi, atau
mediasi dalam menyelesaikan sengketa.
b. Pembentukan Panels (Establishment of Panels)
Jika suatu anggota tidak membverikan jawaban untuk meminta
diadakan konsultasi dalam waktu sepuluh hari atau jika konsultasi gagal
untuk diselesaikan dalam waktu enam puluh hari, penggugat dapat
meminta ke DSB untuk membentuk suatu panel untuk menyelesaikan
masalah pembentukan panel. Prosedur ini menntut DSB untuk segera
membentuk
panel,
selambat-lambatnya
pada
sidang
kedua
dari
permintaan panel. Jika tidak, maka diputuskan secara konsensus. Hal ini
56
dimaksudkan adalah negara yang digugat tidak boleh menghalangi
pembentukan panel. Dalam hal ini penentuan Term of Reference dan
komposisi panel juga diajukan. Panel harus segera disusun dalam waktu
tiga puluh hari pembentukan.
Sekretariat WTO akan menyarankan tiga orang panelis yang
potsensial pada pihak-pihak sengketa. Jika pihak-pihak tersaebuy tidak
setuju terhadap panelis dalam waktu duapuluh hari dari pembentukan
panel, Direktur Jenderal melakukan konsultasi kepada ketua DSB dan
Ketua Dewan akan menunjuk panelis. Para panelis akan melayani sesuai
dengan kapasitasnya dan tidak beprgang pada instruksi-instruksi dari
negara yang bersangkutan.
c. Prosedur-Prosedur Panel (Panels Procedures)
Pengertian ini menunjukkan bahwa periode dimana panel
melaksanakan pengujian masalah, selanjutnya Term of Reference dan
komposisi panel disetujui, kemudian panel memberikan laporan kepada
para pihak yang bersengketa tidak boleh lebih dari enam bulan. Dalam
hal-hal yang penting, termasuk untuk barang-barang yang mudah rusak,
waktu dapat dipercepat menjadi tiga bulan. Apabila tidak ada masalah,
waktu pembentukan panel ke sirkulasi laporan kepada anggota tidak
boleh lebih dari sembilan bulan.
d. Penerimaan Laporan Panel ke DSB (Adoption of Panels Reports)
57
Prosedur WTO menunjukkan bahwa laporan panel harus diterima
oleh DSB dalam waktu enam puluh hari dari pengeluaran. Jika tidak, satu
pihak memberitahukan keputusannya untuk menarik atau konsesnsus
terhadap pengesahan laporan. DSB tidak dapat mempertimbangkan
laporan panel lebih cepat dari dua puluh hari setelah laporan tersebut
disirkulasikan kepada para anggota.
Para anggota yang merasa keberatan atas laporan itu diwajibkan
untuk menyatakan alasan-alasan secara tertulis untuk disirkulasikan
sebelum diadakan pertemuan DSB di mana laporan panel akan
dipertimbangkan.
e. Peninjauan Kembali (Appellate Review)
Suatu gambaran baru dari mekanisme penyelesaian sengketa di
WTO memberikan kemungkina penarikan terhadap salah satu pihak
dalam suatu berlangsungnya panel. Semua permohonan akan didengar
oleh suatu badan peninjau (Appellate Body) yang dibentuk oleh DSB.
Badan ini terdiri dari tujuh orang yang merupakan perwakilan dari
keanggotaan WTO yang akan melayani dalam termin empat tahun.
Mereka harus merupakan orang yang ahli di bidang hukum dan
perdagangan internasional, dan tidak berafiliasi dengan negara mana pun.
Tiga
orang
anggota
dari
Appellate
Body
mendengarkan
permohonan-permohonan mereka dapat membela, mengubah,
atau
58
membatalkan hasil kesimpulan panel sesuai aturan, namun pengajuan
permohonan tidak lebih dari 60-90 hari. Tiga puluh hari sesudah
pengeluaran, lapooran dari Appellate Body harus diterima oleh DSB dan
tanpa syarat diterima oleh pihak-pihak yang bersengketa. Jika tidak,
konsensus akan diberlakukan terhadap pengesahan ini.
f. Implementasi (Implementation)
Kebijaksanaan menekankan bahwa peraturan dari DSB sangat
penting agar mencapai resolusi yang efektif dari persengketaanpersengketaan yang bermanfaat untuk semua anggota. Pada pertemuan
DSB berlangsung dalam waktu tiga puluh hari dari adopsi panel, pihak
yang
bersangkutan
harus
menyatakan
niat
untuk
menghargai
impelementasi dari rekomendasi-rekomendasi. Bila hal itu tidak berguna
untuk segera menyetujui, anggota akan diberikan suatu periode waktu
yang beralasan yang ditentukan oleh Dispute Settlement Body (DSB).
Bila hal itu gagal dalam waktu yang telah ditentukan itu, diwajibkan
untuk mengadakan negosiasi dengan penggugat untuk menentukan
kompensasi yang dapat diterima kedua belah pihak yang bersengketa.
Jika dalam waktu dua puluh hari tidak ada kompensasi yang memuaskan
yang dapat disetuji, penggugat dapat mohon otorisasi dari DSB untuk
menangguhkan konsensi-konsensi atau obligasi-obligasi terhadap pihak
tergugat. Prosedur menentukan bahwa DSB menjamin otorisasi ini dalam
59
waktu tiga puluh hari dari batas waktu “reasonable period of time”, jika
konsensus
akan
diberlakukan.
Jika
anggota
yang
bersangkutan
menolak/berkeberatan terhadap tingkat suspensi, hal tersebut diteruskan
pada arbitrase. Hal ini akan diselesaikan oleh anggota-anggota panel yang
asli. Bila hal ini tidak mungkin dilakukan oleh arbitrator yang ditunjuk
oleh Direktur Jenderal WTO. Arbitrase harus selesai dalam waktu enam
puluh hari dari batas waktu “reasonable period of time”, dan hasil
keputusan harus diterima oleh pihak-pihak yang bersangkutan sebagai
final, dan tidak diteruskan kepada arbitrase lainnya. DSB selanjutnya
memberi kuasa suspensi dari konsensi-konsensi secara konsisten dari
hasil penyelesaian arbitrator. Jika tidak, maka akan diadakan konsensus.
60
BAB IV
ANALISIS PERAN NEGARA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA
PERDAGANGAN INTERNASIONAL STUDI KASUS GUGATAN
PERDAGANGAN ROKOK INDONESIA TERHADAP AUSTRALIA
MELALUI WORLD TRADE ORGANIZATION
A. Peran Diplomasi Indonesia Terhadap Australia
Diplomasi merupakan sarana untuk menyatakan sikap membangun atau
mempertahankan hubungan timbal balik, berkomunikasi antara yang satu dengan
yang lain, atau melakukan transaksi politik atau hukum, dalam setiap kasus
melalui agen resmi mereka.71 Hubungan bilateral memiliki pasang surut, terdapat
berbagai konflik, mulai dari kepentingan politik dan bahkan kepentingan negara
lain. Oleh karena itu diplomasi diperlukan untuk menemukan jalan atau titik
temu bila suatu masalah mulai muncul.
Diplomasi merupakan sarana komunikasi untuk suatu hubungan kerjasama.
Kerjasama yang baik merupakan suatu keberhasilan untuk jangka panjang dan
saling menguntungkan diantara pihak yang bersepakat. Firman Allah SWT dalam
Q.S Al-Mumtahanah ayat 8 :
71
Syahmin AK, Hukum Diplomatik Suatu Pengantar (Bandung: CV. ARMICO, 1998) Cet.3,
h. 13
60
61
          
           
 
  
 
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap
orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula)
mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang
yang berlaku adil”
Adil merupakan contoh sikap yang baik dan bijak, negara yang satu harus
berlaku adil terhadap negara yang lain, tidak boleh dibeda-bedakan, apalagi
dalam masalah perdagangan. Diskriminasi terhadap penerapan kebijakan
perdagangan merupaka pelanggaran dari aturan hukum yang ada, jadi sebuah
negara harus menjungjung tinggi sikap adil terhadap aturan hukum yang mereka
buat.
Diplomasi kadang kalanya ada yang dapat kesepakatan dan adapula yang
tidak, dan sebaiknya diplomasi adalah diplomasi yang mengutamakan
perdamaian sesuai dengan Q.S Al-Anfal ayat 61 :
           
     
62
“Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah
kepadanya dan bertakwakallah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah Yang
Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”
Dalam suatu hubungan diplomatik terdapat berbagai perjanjian, banyak
sekali praktik perjanjian di dunia yang dilanggar oleh berbagai negara. Allah
berfirman dalam Q.S At-Tawbah ayat 7 :
             
       
       
 
“Bagaimana bisa ada perjanjian (aman) dari sisi Allah dan Rasul-Nya
dengan orang-orang musyrikin, kecuali orang-orang yang kamu telah
mengadakan perjanjian (dengan mereka) di dekat Masjidil Haram? Maka
selama mereka berlaku lurus terhadapmu, hendaklah kamu berlaku lurus
(pula) terhadap mereka. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
bertakwa”
Sebaik-baiknya perjanjian adalah perjanjian yang saling dihormati dan
menghormati antar negara yang bersepakat. Klaim-kalim pelanggaran dari
Indonesia terhadap Australia, menandakan bahwa ada perjanjian yang dilanggar
oleh Australia sehingga Indonesia memliki kewajiban untuk melakukan perannya
63
demi kembalinya suatu hubungan seperti semula, yang sesuai dengan aturan atau
traktat yang berlaku.
Australia pada tahun 2011 menerapkan kebijakan Tobacco Plain
Packaging Act yang dinilai tidak menguntungkan Indonesia karena bertentangan
dengan hukum Internasional. Indonesia pada bulan Oktober 2013 melakukan
tindakan atau langkah diplomasi melalui Kedutaan Besar Republik Indonesia di
Canbera.72 Langkah diplomasi ini merupakan langkah awal untuk membahas
secara bilateral diantara kedua negara perihal kebijakan Australia yang telah
menerapkan kebijakan Tobacco Plain Packaging Act 2011.
Perlu diketahui industri rokok menyumbang 1,66 persen total Gross
Dosmetic Product (GDP) Indonesia dan devisa negara melalui ekspor ke dunia
yang nilainya pada tahun 2013 mencapai 700 juta dollar AS. Selain itu, industri
rokok juga menjadi sumber penghidupan bagi 6,1 juta orang yang bekerja di
industri rokok secara langsung dn tidak langsung, termasuk 1,8 juta petani
tembakau dan cengkeh.73
Pada diplomasi tersebut Indonesia menanyakan kepada Australia apakah
Australia akan mencabut kebijakan langkah-langkah kemasan rokok polos yang
dibuatnya. Kemasan rokok polos adalah kotak kemasan dengan warna seragam
72
Wawancara dengan Kementrian Perdagangan (Direksi Pengawasan Perdagangan) tanggal 3
Agustus 2015
73
Diakses dari
bisniskeuangan.kompas.com/read/2015/06/05/111854526/Wajibkan.Kemasan.Rokok.Polos.Indonesia.
Gugat.Asutralia pada tanggal 7 September 2015, pukul 13:08 WIB
64
disertai dengan peringatan ancaman kesehatan. Dalam kemasan tersebut,
produsen tidak bisa menaruh logo atau jenis huruf khas merek dagang karena
jenis hurufnya telah ditentukan.74
Tanggapan dari Australia adalah bahwa Australia tidak berada di posisi
untuk melakuan hal tersebut (mencabut kebijakan kemasan polos) dikarenakan
kebijakan ini merupakan langkah-langkah terhadap kesehatan masyarakat dan
tidak ada kaitannya dengan masalah perdagangan. Australia menyatakan bahwa
kebijakan yang dibuatnya bukan diarahkan atau ditujukan terhadap Indonesia,
melainkan untuk keseluruhan negara. Australia menambahkan bahwa mereka
hanya mengimpor sedikit tembakau dari Indonesia.75 Dasar hukum Australia
menerapkan kebijakan ini adalah bahwa Australia ingin mengimplementasikan
beberapa obligasi dibawah World Health Organization Framework Convention
on Tobacco Control (WHO FCTC).76
World Health Organization Framework Convention on Tobacco Control
(WHO FCTC) adalah perjanjian internasional yang diadopsi Majelis Kesehatan
Dunia pada tanggal 21 Mei 2003, perjanjian ini mulai berlaku pada 27 Februari
2005. Perjanjian ini merupakan perjanjian supranasional yang bertujuan
74
Diakses dari M.cnnindonesia.com/ekonomi.com/ekonomi/20150703112932-8564091/mendag-indonesia-tak-akan-berlakukan-kemasan-rokok-polos/ pada tanggal 7 September 2015,
pukul 14:00 WIB
75
Wawancara dengan Kedutaan Besar Australia di jakarta (Sekretaris I Bidang Ekonomi)
tanggal 31 Agustus 2015
76
Diakses dari
www.aph.gov.au/About_Parliament/Parliamentary_Departments/Parliamentary_Library/FlagPost/2014
/July/WTO_plain_cigarette_packaging_case pada tanggal 7 September 2015, pukul 13:27 WIB
65
melindungi generasi saat ini dan yang akan datang dari efek merusak konsumsi
temabakau pada kesehatan, sosial, lingkungan, dan ekonomi dan membatasi
penggunannya dalam bentuk apapun di seluruh dunia. Perjanjian ini mengikat
pengaturan
produksi,
penjualan,
distribusi,
periklanan,
dan
perpajakan
tembakau.77
Konsultasi bilateral melalui diplomasi tidak membuahkan hasil atau
kesepakatan dan tidak mendapatkan pemecahan masalah, sehingga Indonesia
pada 3 Maret 2014 menggugat Australia ke Panel WTO.78
Apa yang dilakukan Indonesia sudah tepat, Indonesia mengambil perannya
sebagai suatu negara yang berdaulat untuk menyatakan sikapnya melalui cara
non litigasi yaitu melalui diplomasi terhadap Australia ketika kasus ini mencuat.
Bahkan sebelum ketika Plain Packaging masih merupakan bill (rancangan) pada
29 April 2010 Indonesia selalu aktif melakukan diplomasi terhadap Australia.
Hingga akhirnya pada puncaknya kesepakatan tidak dapat dicapai, maka
Indonesia mengambil langkah secara litigasi, membawa kasus ini ke Panel WTO.
B. Perbandingan Kasus Sengketa Rokok Indonesia – Amerika dengan
Indonesia – Australia
77
Diakses dari
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Konvensi_Kerangka_Kerja_Pengendalian_Tembakau_WHO pada
tanggal 7 September 2015, pukul 13:47 WIB
78
Panel WTO adalah panel yang dibentuk oleh badan penyelesaian sengketa yang terdiri dari
tiga panelis, yang berfungsi untuk melakukan uji terhadap suatu masalah atau sengketa
66
Indonesia - Amerika
Indonesia merupakan penghasil produk tembakau terbesar keenam dan
penghasil daun ketigabelas di dunia yang menyerap tenaga kerja langsung dan
tidak langsung lebih dari enam juta jiwa.79 Salah satu negara tujuan ekspor rokok
Indonesia yaitu Amerika.
Pada 7 April 2010 Indonesia mengajukan konsultasi dengan Amerika
berkaitan dengan ketentuan Family Smoking Prevention Tobacco Control Act
tahun 2009
(selanjutnya disebut Tobacco Control Act) yang melarang
keberadaan rokok kretek di Amerika.
Indonesia menyatakan Tobacco Control Act tahun 2009 Pasal 907
(a)(1)(A), yang ditandatangi menjadi Undang-Undang pada 22 Juni 2009
tersebut, melarang, antara lain produksi atau penjualan rokok yang mengandung
aditif tertentu, termasuk cengkeh, tapi akan terus mengizinkan produksi dan
penjualan rokok lainnya, termasuk rokok yang mengandung menthol.
Indonesia menyatakan bahwa pasal 907 (a)(1)(A) Tobacco Products
Standards80 tidak konsisten dengan:
79
Diakses dari
Bisniskeuangan.kompas.com/read/2014/10/14/194623126/Wajibkan.Kemasan.Polos.Australia.Digugat
.5.Negara.kw.WTO pada tanggal 7 September 2015, pukul 13:20 WIB
80
Special rule for cigarettes.--Beginning 3 months after the date of enactment of the Family
Smoking Prevention and Tobacco Control Act, a cigarette or any of its component parts (including the
tobacco, filter, or paper) shall not contain, as a constituent (including a smoke constituent) or
additive, an artificial or natural flavor (other than tobacco or menthol) or an herb or spice, including
67
1.
Technical Barriers to Trade Agreement Pasal:
2.1: Members shall ensure that in respect of technical regulations, products
imported from the territory of any Member shall be accorded
treatment no less favourable than that accorded to like products of
national origin and to like products originating in any other country
2.2: Members shall ensure that technical regulations are not prepared,
adopted or applied with a view to or with the effect of creating
unnecessary obstacles to international trade. For this purpose,
technical regulations shall not be more trade-restrictive than
necessary to fulfil a legitimate objective, taking account of the risks
non-fulfilment would create. Such legitimate objectives are, inter
alia: national security requirements; the prevention of deceptive
practices; protection of human health or safety, animal or plant life
or health, or the environment. In assessing such risks, relevant
elements of consideration are, inter alia: available scientific and
technical information, related processing technology or intended
end-uses of products
2.5: A Member preparing, adopting or applying a technical regulation
which may have a significant effect on trade of other Members shall,
upon the request of another Member, explain the justification for that
technical regulation in terms of the provisions of paragraphs 2 to 4.
Whenever a technical regulation is prepared, adopted or applied for
one of the legitimate objectives explicitly mentioned in paragraph 2,
and is in accordance with relevant international standards, it shall
be rebuttably presumed not to create an unnecessary obstacle to
international trade
2.8: Wherever appropriate, Members shall specify technical regulations
based on product requirements in terms of performance rather than
design or descriptive characteristics
2.9: Whenever a relevant international standard does not exist or the
technical content of a proposed technical regulation is not in
accordance with the technical content of relevant international
standards, and if the technical regulation may have a significant
effect on trade of other Members, Members shall:
2.9.1 publish a notice in a publication at an early appropriate stage, in such
a manner as to enable interested parties in other Members to become
strawberry, grape, orange, clove, cinnamon, pineapple, vanilla, coconut, licorice, cocoa, chocolate,
cherry, or coffee, that is a characterizing flavor of the tobacco product or tobacco smoke. Nothing in
this subparagraph shall be construed to limit the Secretary's authority to take action under this section
or other sections of this Act applicable to menthol or any artificial or natural flavor, herb, or spice not
specified in this subparagraph.
68
acquainted with it, that they propose to introduce a particular
technical regulation;
2.9.2 notify other Members through the Secretariat of the products to be
covered by the proposed technical regulation, together with a brief
indication of its objective and rationale. Such notifications shall take
place at an early appropriate stage, when amendments can still be
introduced and comments taken into account;
2.9.3 upon request, provide to other Members particulars or copies of the
proposed technical regulation and, whenever possible, identify the
parts which in substance deviate from relevant international
standards;
2.9.4 without discrimination, allow reasonable time for other Members to
make comments in writing, discuss these comments upon request, and
take these written comments and the results of these discussions into
account
2.10: Subject to the provisions in the lead-in to paragraph 9, where urgent
problems of safety, health, environmental protection or national
security arise or threaten to arise for a Member, that Member may
omit such of the steps enumerated in paragraph 9 as it finds
necessary, provided that the Member, upon adoption of a technical
regulation, shall:
2.10.1 notify immediately other Members through the Secretariat of the
particular technical regulation and the products covered, with a brief
indication of the objective and the rationale of the technical
regulation, including the nature of the urgent problems;
2.10.2 upon request, provide other Members with copies of the technical
regulation;
2.10.3 without discrimination, allow other Members to present their
comments in writing, discuss these comments upon request, and take
these written comments and the results of these discussions into
account
2.12: Except in those urgent circumstances referred to in paragraph 10,
Members shall allow a reasonable interval between the publication
of technical regulations and their entry into force in order to allow
time for producers in exporting Members, and particularly in
developing country Members, to adapt their products or methods of
production to the requirements of the importing Member
12.3: Members shall, in the preparation and application of technical
regulations, standards and conformity assessment procedures, take
account of the special development, financial and trade needs of
developing country Members, with a view to ensuring that such
technical regulations, standards and conformity assessment
69
procedures do not create unnecessary obstacles to exports from
developing country Members
(berdasarkan pasal 2.1-12.3 dapat disimpulkan bahwa produk lokal dengan
produk impor harus disamakan, tidak boleh dibeda-bedakan. Regulasi yang
dibuat suatu negara tidak boleh bertujuan untuk membentuk suatu
hambatan-hambatan bagi negara lain. Negara dalam menerapakan suatu
regulasi yang baru, maka ia harus memberikan penjelsan terhadap
regulasinya tersebut, mempublikasi pemberitahuan dari dini mungkin
mengenai aturan agar negara lain mengetahui bahwa mereka membuat
regulasi baru, memberitahukan kepada sekretariat, tanpa diskriminasi
mengizinkan negara lain untuk menyatakan pendapatnya, memberikan
salinan regulasi apabila diminta oleh anggota. Anggota memberi
pernyataan bahwa regulasi yang baru, tidak memberikan hambatan atau
mempersulit negara yang sedang berkembang. Harus ada selang waktu
tidak kurang dari enam bulan antara publikasi dan berlakunya regulasi
tersebut.)
2. General Agreement on Tariffs and Trade 1994 Pasal 3 National Treatment
on Internal Taxation and Regulation ayat 4 – dan tidak dapat di justifikasi
dibawah pasal XX(b)81 :
The products of the territory of any contracting party imported into the
territory of any other contracting party shall be accorded treatment no less
favourable than that accorded to like products of national origin in respect
81
necessary to protect human, animal or plant life or health
70
of all laws, regulations and requirements affecting their internal sale,
offering for sale, purchase, transportation, distribution or use. The
provisions of this paragraph shall not prevent the application of
differential internal transportation charges which are based exclusively on
the economic operation of the means of transport and not on the
nationality of the product.
(berdasarkan pasal 3 ayat 4 tersebut dapat disimpulkan bahwa produk
dalam dan luar negeri harus diperlakukan dengan sama tanpa membedabedakan dengan menaati hukum, regulasi, persyaratan penjualan,
penawaran barang, harga, transportasi dan penggunaan distribusi. Tidak
membedakan tarif angkutan perdagangan)
Tobacco Control Act melarang peredaran semua rokok yang mengandung
aroma dan rasa (flavored cigarettes), termasuk rokok kretek di Amerika. Meski
demikian, peraturan tersebut tidak melarang rokok yang mengandung aroma dan
rasa menthol. Argumentasi dari Amerika adalah disahkannya Tobacco Control
Act adalah, untuk mengatasi masalah kesehatan terkait dengan rokok yaitu
dengan mengurangi konsumsi rokok pada anak muda. Undang-Undang tersebut
menyebutkan larangan bagi semua jenis rokok yang mengandung zat aditif
berupa bahan alami, tumbuh-tumbuhan dan rempah-rempah yang menimbulkan
rasa dan aroma tertentu, seperti cengkeh, vanila dan cherry.
Rokok kretek asal Indonesia dianggap mengandung zat aditif, berupa
cengkeh, sehingga turut dilarang. Hasil studi yang dilakukan oleh sebuah institut
Penyalahgunaan Narkoba di Amerika Serikat pada tahun 2006 menyebutkan
71
bahwa rokok kretek merupakan produk pemula yang menggoda orang sehingga
mereka menjadi terbiasa merokok.82
Argumentasi Indonesia adalah bahwa regulasi teknis yang dibuat oleh
Amerika Serikat telah menghambat kegiatan perdagangan Indonesia, dimana hal
tersebut berpengaruh kepada perekonomian Indonesia. Selain itu prosedur
regulasi teknis seharusnya diberitahukan dulu ke anggota WTO, tetapi Amerika
Serikat tidak menyampaikan sebelumnya, dan hal ini menjadi suatu keberatan
bagi Indonesia.83
Badan Banding WTO, sesuai dengan laporan Panel WTO memutuskan :
1. Mengabulkan gugatan Indonesia atas TBT Agreement Pasal 2.1 :
upholds, albeit for different reasons, the Panle’s finding, in paragraph 7.428
of the Panel Report, that clove cigarettes and menthol cigarettes are “like
products” within the meaning of Article 2.1 of the TBT Agreement;
upholds, albeit for different reasons, the Panels’s finding, in paragraph 7.292
of the Panel Report, that, by banning clove cigarettes while exempting
menthol cigarettes from the ban, Section 907(a)(1)(A) of the FFDCA accords
imported clove cigarettes less favourable treatment than that accorded to
domestic menthol cigarettes, within the meaning of Article 2.1 of the TBT
Agreement
(dengan alasan, bahwa rokok kretek dan rokok mentol merupakan produk
yang serupa (like products). Amerika Serikat juga melanggar atas ketentuan
82
Diakses dari amti.id/ri-amerika-gelar-perundingan-soal-boikot-rokok-kretek-indonesia/
pada tanggal 29 Agustus 2015, 14:40 WIB
83
Diakses dari
Ditjenkpi.kemendag.go.id/website_kpi/index.php?module=news_detail&news_content_id=1004&deta
il=true pada tanggal 29 Agustus 205, 14:45 WIB
72
pasal 2.1 karena sudah melarang rokok kretek beredar di dalam negeri,
sementara rokok mentol dibiarkan, hal ini melanggar ketentuan tentang
perlakuan tidak menguntungkan).
2. Mengabulkan gugatan Indonesia atas TBT Agreement Pasal 2.12:
upholds, albeit for different reasons, the Panel’s finding, in paragraph 7.595
and 8.1(h) of the Panel Report, that, by failing to allow an interval of not less
than six months between the publication and the entry into force of Section
907(a)(1)(A) of FFDCA, the United States acted inconsistently with Article
2.12 of the TBT Agreement
(dengan alasan, dengan tidak adanya selang waktu tidak kurang dari enam
bulan antara publikasi dan berlakunya Pasal 907 (a)(1)(A) dari Federal Food,
Drug and Cosmetic Act (Family Smoking Prevention Tobacco Control Act)).
3. Conversely, the Panel rejected Indonesia‟s claims under Articles .2, 2.5, 2.8,
2.9, 2.10 and 12.3 of the TBT Agreement
(Menolak gugatan Indonesia atas TBT Agreement Pasal 2.2, 2.5, 2.8, 2.9, 2.10
dan 12.3)
4. The Panel declined to rule on Indonesia‟s alternative claim under Article III:4
of the GATT 1994 and on the United States related defence under Article
XX(b) of the GATT 1994
(Panel menolak GATT 1994 Pasal III ayat 4)
Atas putusan WTO maka Indonesia memenangkan sengketanya dengan
Amerika Serikat pada tanggal 4 April 2012.
73
Indonesia – Australia
Indonesia menggugat Australia ke Dispute Settlement Body yang berada
dibawah naungan World Trade Organization pada tanggal 3 Maret 2014.
Indonesia menganggap Australia melalui kebijakannya yaitu Tobacco Plain
Packaging 2011 telah melakukan pelanggaran terhadap ketentuan Internasional,
sehingga Indonesia menggugat ke WTO atas84 :
1.
Technical Barriers to Trade Agreement Pasal 2.1 dan 2.2 (sama dengan
tuntutan terhadap Amerika Serikat)
2.
GATT 1994 Pasal III:4 (sama dengan tuntuntan terhadap Amerika Serikat)
3.
Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS) Pasal :
2.1
3.1
: In respect of Parts II, III and IV of this Agreement, Members shall
comply with Articles 1 through 12, and Article 19, of the Paris
Convention (1967)
: Each Member shall accord to the nationals of other Members
treatment no less favourable than that it accords to its own nationals
with regard to the protection3 of intellectual property, subject to the
exceptions already provided in, respectively, the Paris Convention
(1967), the Berne Convention (1971), the Rome Convention or the
Treaty on Intellectual Property in Respect of Integrated Circuits. In
respect of performers, producers of phonograms and broadcasting
organizations, this obligation only applies in respect of the rights
provided under this Agreement. Any Member availing itself of the
possibilities provided in Article 6 of the Berne Convention (1971) or
paragraph 1(b) of Article 16 of the Rome Convention shall make a
notification as foreseen in those provisions to the Council for TRIPS
15.4: The nature of the goods or services to which a trademark is to be
applied shall in no case form an obstacle to registration of the
trademark.
84
Diakses http://www.wto.org/english/tratop e/dispu e/cases e/ds467 e.htm pada tanggal 5
November 2014, pukul 10:47 WIB
74
16.1: The owner of a registered trademark shall have the exclusive right to
prevent all third parties not having the owner’s consent from using in
the course of trade identical or similar signs for goods or services
which are identical or similar to those in respect of which the
trademark is registered where such use would result in a likelihood
of confusion. In case of the use of an identical sign for identical
goods or services, a likelihood of confusion shall be presumed. The
rights described above shall not prejudice any existing prior rights,
nor shall they affect the possibility of Members making rights
available on the basis of use.
16.3 : Article 6bis of the Paris Convention (1967) shall apply, mutatis
mutandis, to goods or services which are not similar to those in
respect of which a trademark is registered, provided that use of that
trademark in relation to those goods or services would indicate a
connection between those goods or Page 327 services and the owner
of the registered trademark and provided that the interests of the
owner of the registered trademark are likely to be damaged by such
use
20: The use of a trademark in the course of trade shall not be unjustifiably
encumbered by special requirements, such as use with another
trademark, use in a special form or use in a manner detrimental to its
capability to distinguish the goods or services of one undertaking
from those of other undertakings. This will not preclude a
requirement prescribing the use of the trademark identifying the
undertaking producing the goods or services along with, but without
linking it to, the trademark distinguishing the specific goods or
services in question of that undertaking.
22.2(b) : any use which constitutes an act of unfair competition within the
meaning of Article 10bis of the Paris Convention (1967).
24.3: In implementing this Section, a Member shall not diminish the
protection of geographical indications that existed in that Member
immediately prior to the date of entry into force of the WTO
Agreement.
(berdasarkan pasal 2.1-24.3 dapat disimpulkan bahwa negara harus
menerapkan perlakuan hak kekayaan intelektual yang sama baik dari dalam
dan luar negeri. Merek dagang impor tidak boleh dipersulit di dalam
75
domestik. Pemegang merek dagang memiliki hak eksklusif untuk
mencegah barang lain memiliki merek yang sama, yang mana nantinya
akan membingungkan. Segala bentuk persaingan harus merupakan
persaingan yang sehat.)
C. Prospek Kedepan Penyelesaian Sengketa Rokok Indonesia
Indonesia menyatakan bahwa Tobacco Plain Packaging Act 2011
(TPPA) membuat regulasi teknis yang melanggar bagian GATT, TBT, dan
TRIPS karena:85
1. memperlakukan tembakau yang diimpor kurang menguntungkan daripada
yang diproduksi di dalam negeri;
2. menciptakan hambatan yang tidak perlu terhadap perdagangan dan membuat
perdagangan lebih ketat dari yang diperlukan untuk memenuhi tujuan yang
sah (memperhitungkan resiko yang pemenuhannya akan tercipta);
3. tidak menyediakan perlindungan yang efektif terhadap persaingan tidak sehat
terhadap nasional negara lain, dan membuat kebingungan antara barang dari
pesaing;
4. gagal untuk melindungi merek dagang terdaftar di negara lain di luar
Australia;
85
Diakses dari
www.aph.gov.au/About_Parliament/Parliamentary_Departments/Parliamentary_Library/FlagPost/2014
/July/WTO_plain_cigarette_packaging_case pada tanggal 31 Agustus 2015, pukul 17:01 WIB
76
5. menempatkan sitaan yang dibenarkan terhadap pengunaan merek dagang
tembakau;
6. menolak dan membatalkan pendaftaran merek dagang terhadap tembakau.
Sementara itu argumen Australia adalah:86
1. persyaratan kemasan polos tidak diskriminasi, karena mereka berlaku untuk
produk tembakau yang diproduksi secara lokal dan impor dengan hal yang
serupa;
2. kemasan polos merupakan langkah yang perlu dibuat untuk mengejar tujuan
yang sah (perlindungan terhadap kesehatan manusia dan memberikan efek
terhadap Framework Convention on Tobacco Control), membuat kontribusi
materi terhadap tujuan tersebut dan tidak lebih dalam membatasi perdagangan
dari yang diperlukan untuk memenuhi tujuan (memperhitungan resiko nonpemenuhan);
3. TPPA mengizinkan tembakau untuk memiliki merek/variasi nama pada
kemasan (tunduk pada pembatasan tertentu), bersama dengan deskripsi
barang, diferensiasi merek dan pengakuan masih mungkin dan karenanya
tidak perlu ada kebingungan antara barang dari produsen yang berbeda;
86
Diakses dari
www.aph.gov.au/About_Parliament/Parliamentary_Departments/Parliamentary_Library/FlagPost/2014
/July/WTO_plain_cigarette_packaging_case pada tanggal 31 Agustus 2015, pukul 17:01 WIB
77
4. menyediakan merek dagang yang dilindungi dengan adanya dan tidak
menyangkal atau membatalkan pendaftaran mereka;
5. TPPA tidak membebani merek dagang dari persyaratan khusus dan walaupun
itu terjadi, karena langkah yang diperlukan maka itu merupakan beban yang
diperlukan.
Selain argumen diatas adapun argumen berikut dari pihak Asutralia:87
6. mengurangi daya tarik dan daya tarik produk tembakau kepada konsumen,
khususnya kaum muda;
7. meningkatkan kemampuan pemberitahuan dan efektifitas pengamandatkan
peringatan kesehatan;
8. mengurangi kemampuan dari kemasan ritel dari produk tembakau untuk
mengelirukan konsumen tentang bahaya merokok;
9. dan untuk mengurangi jumlah perokok.
Kesamaan kasus sengketa rokok dari Amerika Serikat dan Australia
adalah kedua negara sama-sama berusaha untuk mengurangi jumlah perokok
pada negara mereka masing-masing. Amerika menerapkan kebijakan larangan
rokok kretek masuk kenegaranya, sementara Australia menerapkan kebijakan
kemasan polos pada negaranya. Fokus Indonesia terhadap Australia adalah pada
pelanggraan kekayaan intelektualnya. Pada tahap sekarang ini yaitu bulan
87
Wawancara dengan Kedutaan Besar Australia (Asisten Koordinator Demokrasi &
Keadilan) pada tanggal 14 Agustus 2015, pukul 10:57 WIB
78
Agustus 2015, Indonesia sedang melakukan sidang keduanya dengan Australia di
Jenewa.
Apabila Australia memenangkan sengketa ini dikhawatirkan negaranegara lain juga akan menerapkan kebijakan hal yang sama. Hal ini akan
mempengaruhi kinerja ekspor produk rokok Indonesia ke negara mitra dagang
yang tentunya akan berimbas kepada tenaga kerja perusahaan produsen rokok
bahkan petani tembakau di Indonesia dan juga akan berimbas pada berkurangnya
daya saing produk rokok khususnya di Indonesia. Dikhawatirkan juga nanti
dikemudian hari akan ada penjualan rokok secara ilegal yang berada di black
market.88
Argumen akhir penulis adalah walaupun Australia telah menandatangani
WHO FCTC pada tanggal 5 Desember 2003 dan meratifikasinya pada tanggal 27
Oktober 2004, bukan berarti Australia bisa memberlakukan Tobacco Plain
Packaging Act terhadap Indonesia dikarenakan Indonesia tidak ikut dalam
perjanjian internasional tersebut.89 Sebagaimana penulis jelaskan diatas bahwa
yang menjadi dasar hukum Australia untuk menerapkan kebijakan Tobacco Plain
Packaging Act adalah merujuk dari treaty WHO yang dibentuk untuk pertama
kalinya pada tahun 2003.
88
Wawancara dengan Kemendag (Subdit Penanganan Hambatan Teknis Perdagangan
Wilayah II – Direktorat Pengamanan Perdagangan) pada tanggal 3 Agustus 2015, pukul 11:40
89
Diakses dari https://treaties.un.org/pages/ViewDetails.aspx?src=TREATY&mtdsg_no=IX4&chapter=9&lang=en pada tanggal 14 September 2015, pukul 21:40 WIB
79
Dengan ketentuan demikian, maka Indonesia berhak untuk tidak tunduk
terhadap aturan rokok yang dibuat oleh Australia. Dan Indonesia berhak untuk
melakukan gugatan di WTO, dikarenakan Australia telah melanggar hukum
internasional melalui pelanggaran terhadap TRIPS, TBT serta GATT.
Berdasarkan argumen penulis diatas maka prospek kedepan penyelesaian
sengketa rokok antara Indonesia dengan Australia, panel WTO akan
memenangkan Indonesia.
Dengan melihat dari berbagai argumentasi penulis diatas, maka
sekiranya WTO memenangkan Indonesia.
80
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Prospek penyelesaian sengketa dagang antara Indonesia dengan Australia
adalah Indonesia dapat memenangkan gugatan ini dikarenakan Australia
telah melanggar hukum internasional melalui pelanggaran terhadap TRIPS,
TBT serta GATT. Dengan ketentuan demikian, maka Indonesia berhak untuk
tidak tunduk terhadap aturan rokok yang dibuat oleh Australia.
2. Peran negara dalam kasus sengketa perdagangan internasional rokok dengan
Australia melalui World Trade Organization
adalah melakukan tugas
diplomasi terhadap Australia, yang mana diplomasi tersebut dilakukan
sebelum dan sesudah regulasi rokok Australia dibuat. Negara juga berperan
aktif untuk mengawasi kasus ini hingga selesai dengan tuntas di WTO.
B. Saran
Saran Penulis adalah :
1. Pemerintah harus bertindak berani dalam mengambil sikap-sikap yang dirasa
telah merugikan kehidupan bangsa Indonesia.
80
81
2. Indonesia diharapkan dapat terus berperan dan mengambil langkah-langkah
bijak dalam menjalankan hubungan internasional.
3. Pemerintah Indonesia diharapkan agar lebih menyuarakan Charter of
Economic Rights and Duties of State, dimana sebuah negara memiliki hak dan
kewajiban terhadap perekonomiannya, yang mana negara lain tidak boleh
menghambat perekonomian negara yang lainnya.
4. Penulis juga berharap agar WTO sekiranya memenangkan Indonesia dalam
kasus ini, mengingat kasus ini masih berlangsung, dikarenakan Indonesia
tidak
meratifikasi
dan
menandatangani
World
Health
Organization
Framework Convention on Tobacco Control, yang menjadi dasar Australia
untuk menerapkan kebijakan Tobacco Plain Packaging. Sehingga Indonesia
menurut penulis sudah benar melakukan gugatan terhadap Australia atas
TRIPS, TBT dan GATT.
Daftar Pustaka
BUKU :
Abbas, Syahrizal, Mediasi Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan
Hukum Nasional, Jakarta : Kencana, 2009.
Adolf, Huala, Aspek-Aspek Negara Dalam Hukum Internasional, Jakarta : CV.
Rajawali, 1991.
Adolf, Huala, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Jakarta : Sinar
Grafika, 2006.
Adolf, Huala, Hukum Perdagangan Internasional, Jakarta : PT. RajaGrafindo
Persada, 2005.
AK, Syahmin, Hukum Diplomatik Suatu Pengantar, Bandung: CV. ARMICO,
1998.
Arbetman, Lee, dan Ed O’Brien, Street Law A Course In Practical Law, Amerika
Serikat : The McGraw-Hill Companies, 2005.
Barnes, A.James, dkk. Law For Business, NewYork : The McGraw-Hill
Companies, Inc, 2006.
Buergenthal, Thomas, dan Harold G. Maier, Public International Law,
Minnesota-USA : West Publishing Co, 1990.
Clark, Lawrence S, Law and Business The Regulatory Eunironment, Amerika
Serikat : McGraw-Hill, Inc, 1994.
Donnell, John D, dkk. Law For Business, Illinois-USA : Richard D. Irwin, INC,
1983.
Hartini, Rahayu, Penyelesaian Sengketa Kepailitan di Indonesia Dualisme
Kewenangan Pengadilan Niaga dan Lembaga Arbitrase, Jakarta :
Kencana, 2009.
Hutagalung, Sophar Maru, Praktik Peradilan Perdata dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa, Jakarta : Sinar Grafika, 2012.
Istanto, F. Sugeng, Hukum Iternasional, Jakarta : Sinar Grafika, 1998.
Jackson, Robert, dan George Sorensen, Pengantar Studi Hubungan Internasional,
Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005.
Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Jakarta : Kencana Prenada Group,
2008.
Maulana, Boer, Hukum Internasional Pengertian Peranan dan Fungsi Dalam Era
Dinamika Global, Bandung : PT. Alumni, 2011.
Murphy,Sean D, Principles International Law, Amerika Serikat :Thomson/West,
2006.
Pandika, Rusli, Sanksi Dagang Unilateral Di Bawah Sistem Hukum WTO,
Bandung : PT. Alimni, 2010.
Sefriani, Hukum Internasional Suatu Pengantar, Jakarta : PT. RajaGrafindo
Persada, 2011.
Silondae, Arus Akbar, dan Andi Fariana, Aspek Hukum Dalam Ekonomi dan
Bisnis, Jakarta : Mitra Wacana Media, 2010.
Sinamo, Nomensen, Ilmu Negara, Jakarta : Permata Aksara, 2011.
Soehino, Ilmu Negara, Yogyakarta : Liberty Yogyakarta, 2004.
Soesmartono, Gatot, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia, PT. Gramedia Pustaka
Utama, 2006.
Starke, J.G, Pengantar Hukum Internasional, Jakarta : Sinar Grafika, 2008.
Suryokusumo, Sumaryo, Studi Kasus Hukum Internasional, Jakarta : PT.
Tatanusa, 2007.
Thontowi, Jawahir dan Pranoto Iskandar, Hukum Internasional Kontemporer,
Bandung : PT. Refika Aditama, 2006.
Utama, Meria, Hukum Ekonomi Internasional, Jakarta : PT. Fikahati Aneska,
2012.
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia dan AusAID, Panduan Bantuan
Hukum di Indonesia, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2014.
Perundang-Undangan :
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (Hasil Amandemen)
General Agreement on Tarrifs and Trade 1994
Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights 1996
Agreement on Technical Barriers to Trade
Website :
amti.id/ri-amerika-gelar-perundingan-soal-boikot-rokok-kretek-indonesia/ diakses
pada tanggal 29 Agustus 2015
bisniskeuangan.kompas.com/read/2015/06/05/111854526/Wajibkan.Kemasan.Ro
kok.Polos.Indonesia.Gugat.Asutralia diakses pada tanggal 7 September 2015
Diakses
dari
https://treaties.un.org/pages/ViewDetails.aspx?src=TREATY&mtdsg_no=IX4&chapter=9&lang=en pada tanggal 14 September 2015, pukul 21:40 WIB
Ditjenkpi.kemendag.go.id/website_kpi/index.php?module=news_detail&news_co
ntent_id=1004&detail=true diakses pada tanggal 29 Agustus 2015
http://en.m.wikipedia.org/wiki/World_Trade_Organization diakses pada tanggal
24 Agustus 2015
http://www.wto.org/english/tratop e/dispu e/cases e/ds467 dikases pada tanggal 5
November 2014
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Konvensi_Kerangka_Kerja_Pengendalian_Temba
kau_WHO diakses pada tanggal 7 September 2015
m.bisnis.com/industri/read/20141014/12/264889/sengketa-rokok-indonesia-resmilaporkan-australia-ke-wto diakses pada tanggal 5 November 2014
M.cnnindonesia.com/ekonomi.com/ekonomi/20150703112932-8564091/mendag-indonesia-tak-akan-berlakukan-kemasan-rokok-polos/
pada tanggal 7 September 2015
diakses
www.aph.gov.au/About_Parliament/Parliamentary_Departments/Parliamentary_L
ibrary/FlagPost/2014/July/WTO_plain_cigarette_packaging_case dikases pada
tanggal 31 Agustus 2015
Wawancara :
Wawancara dengan pihak Kementrian Perdagangan Republik Indonesia pada
tanggal 3 Agustus 2015
Wawancara dengan pihak Kedutaan Besar Australia di Jakarta pada tanggal 13
Agustus 2015
DISPUTE SETTLEMENT: DISPUTE DS467
Australia — Certain Measures Concerning Trademarks, Geographical Indications and Other Plain
Packaging Requirements Applicable to Tobacco Products and Packaging
Current status
Panel composed on 5 May 2014
Short title:
Australia — Tobacco Plain Packaging (Indonesia)
Complainant:
Indonesia
Respondent:
Australia
Third Parties:
Brazil; Canada; China; Cuba; European Union;
Guatemala; Honduras; India; Japan; Korea, Republic
of; Malaysia; Mexico; New Zealand; Nicaragua; Norway;
Oman; Philippines; Russian Federation; Chinese Taipei;
Thailand; Turkey; Ukraine; United States; Uruguay;
Zimbabwe; Dominican Republic; Peru; Singapore;
Argentina; Chile; Malawi; Nigeria; Ecuador
Agreements cited:
Technical Barriers to Trade (TBT): Art. 2.1,2.2
Intellectual Property (TRIPS):
Art. 2.1, 3.1,15.4, 16.1, 16.3, 20, 22.2(b), 24.3
GATT 1994: Art. III:4
(as cited in request for
consultations)
Request for
20 September 2013
Consultationsreceived:
Summary of the dispute to date
The summary below was up-to-date at 30 October 2014
Consultations
Complaint by Indonesia. (See also DS434, DS435, DS441 and DS458)
On 20 September 2013, Indonesia requested consultations with Australia concerning certain
Australian laws and regulations that impose restrictions on trademarks, geographical indications,
and other plain packaging requirements on tobacco products and packaging.
Indonesia challenges the following measures:

The Tobacco Plain Packaging Act 2011, Act No. 148 of 2011, “An Act to discourage the use of
tobacco
products,
and
for
related
purposes”;

The Tobacco Plain Packaging Regulations 2011 (Select Legislative Instrument 2011, No. 263),
as amended by the Tobacco Plain Packaging Amendment Regulation 2012 (No. 1) (Select
Legislative
Instrument
2012,
No.
29);

The Trade Marks Amendment (Tobacco Plain Packaging) Act 2011. Act No. 149 of 2011, “An
Act to amend the Trade Marks Act 1995, and for related purposes”; and

Any related measures adopted by Australia, including measures that implement,
complement or add to these laws and regulations, as well as any measures that amend or
replace these laws and regulations.
Indonesia claims that Australia's measures appear to be inconsistent with Australia's obligations
under:

Articles 2.1, 3.1, 15.4, 16.1, 16.3, 20, 22.2(b) and 24.3 of the TRIPS Agreement;

Articles

Article III:4 of the GATT 1994.
2.1
and
2.2
of
the
TBT
Agreement;
and
On 26 September 2013, Guatemala requested to join the consultations. On 27 September 2013,
Nicaragua requested to join the consultations. On 30 September 2013, New Zealand requested to
join the consultations. On 1 October 2013, Uruguay requested to join the consultations. On 2
October 2013, Ukraine requested to join the consultations. On 3 October 2013, the European Union
and Honduras requested to join the consultations. On 4 October 2013, Brazil, Canada, the
Dominican Republic and Norway requested to join the consultations. On 11 October 2013, Cuba
requested to join the consultations. Subsequently, Australia informed the DSB that it had accepted
the requests of Brazil, Canada, Cuba, the Dominican Republic, the European Union, Guatemala,
Honduras, New Zealand, Nicaragua, Norway, Ukraine, and Uruguay to join the consultations.
On 3 March 2014, Indonesia requested the establishment of a panel.
Panel and Appellate Body proceedings
At its meeting on 26 March 2014, the DSB established a panel. Brazil, Canada, China, Cuba, the
European Union, Guatemala, Honduras, India, Indonesia, Japan, Korea, Malaysia, Mexico,
New Zealand, Nicaragua, Nigeria, Norway, Oman, the Philippines, Russia, Chinese Taipei, Thailand,
Turkey, Ukraine, the United States and Uruguay reserved their third party rights. Subsequently,
Argentina, Chile, the Dominican Republic, Malawi, Peru, Singapore and Zimbabwe reserved their
third party rights. On 23 April 2014, Australia requested the Director-General to compose the panel.
On 5 May 2014, the Director-General composed the panel. On 10 October 2014, the Chair of the
panel informed the DSB that the panel expects to issue its final report to the parties not before the
first half of 2016, in accordance with the timetable adopted by the panel on 17 June 2014 on the
basis of a draft timetable proposed by the parties.
Source : http://www.wto.org/english/tratop_e/dispu_e/cases_e/ds467_e.htm
Jumat, 7 Agustus 2015. 09:23 WIB
Download