BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Dalam

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Dalam dunia arsitektur studi mengenai karya arsitektur masa lampau adalah
syarat utama untuk menciptakan karya yang proporsional, baik, dan mantap untuk
masa kini maupun masa mendatang. Bangunan-bangunan kuno dan bangunan
tradisional karya nenek moyang merupakan sumber inspirasi yang tidak dapat
diabaikan bagi para arsitek dalam proses penciptaan karya bangun. Para arsitek
tradisional mencipta bangunannya dengan memperhatikan unsur fungsional,
keindahan, kuat sesuai dengan kondisi alam, dan kebutuhannya (Sumalyo 1993, 1).
Bangunan-bangunan yang telah tercipta terkadang menjadi saksi bisu peristiwa
yang telah terjadi baik itu di dalamnya ataupun peristiwa di lingkungan sekitarnya.
Oleh karena itu, selain memiliki nilai arsitektural (ruang, keindahan, konstruksi,
teknologi, dan lain-lain), bangunan juga memiliki nilai sejarah dan nilai arkeologi.
Pada dasarnya ilmu arkeologi memiliki objek studi yang sama dengan ilmu arsitektur
yaitu budaya materi ciptaan manusia dalam hal ini adalah bangunan.
2
Studi mengenai arsitektur sebuah bangunan dapat memberikan gambaran
mengenai proses penciptaan material budaya sehingga membantu studi arkeologi
dalam hal ini adalah mengungkap dan merekonstruksi kehidupan maupun budaya
manusia melalui tinggalan budaya masa lampau (Sharer dan Ashmore 2003, 15).
Dalam kaitannya dengan proses rekontruksi tersebut, ketika bangunan semakin
lama berdiri dan bertahan, maka semakin tinggi nilai budaya masa lampau yang
terkandung di dalamnya untuk diungkap oleh ilmu arkeologi (Sumalyo 1993, 1).
Gereja menjadi bagian penting dalam penyebaran agama Kristen maupun
Katolik dimanapun gereja tersebut berada. Bangunan gereja tidak sekedar menjadi
pusat penagajaran agama Kristen dan Katolik saja, tetapi juga berperan sebagai
perangkat
yang
membawa
penggunanya
menjalani
pengalaman
religius,
mempengaruhi perilaku pengguna, dan membentuk respon emosional dari
penggunan gereja (Thomas 1994). Oleh karena itu, gereja sebagai salah satu karya
arsitektur sering dijadikan simbol kesakralan, ekspresi dari konsep teologi, dan
simbol dari sebuah komunitas Kristen maupun Katolik (Sutrisno dan Verhaak 1983;
Gavril 2012).
Di samping itu gereja juga menjadi penanda perjalanan sejarah oleh karena
bentuk
arsitketur sebuah gereja dapat menjadi cerminan arsitektur yang
berkembang sesuai dengan zaman dibangunnya gereja (Sardjito 1986, 366).
Bangunan gereja dengan gaya arsitektur yang khas yang mewakili zamannya
memudahkan dalam penelitian mengenai hasil karya seni bangunan (Soekiman
2000, 83) .
3
Bentuk arsitektur gereja berkembang sesuai dengan kondisi lingkungan alam,
sosial, dan budaya setempat. Hal ini sejalan dengan pernyatan dari FDK Ching
(1999; 10) bahwa secara arsitektural, penyajian unsur-unsur bentuk dan ruang
bukan tujuan akhir dari perancangan sebuah bangunan tetapi merupakan cara
mensiasati kebutuhan akan ruang yang berkaitan dengan tanggapan atas kondisi,
fungsi, dan lingkup permasalahannya (Ching 1999, 10).
Kata
Gereja
sendiri
memiliki
beberapa
arti.
Para
misionaris
Portugis
mengenalkan kata igraja sebagai penyebutan gereja yang berasal dari bahasa Latin
ecclesia. Kata ecclesia sendiri berasal dari kata Yunani Kuno yaitu ekklesia yang
diartikan sebagai kumpulan atau perkumpulan (Koeler dan Grimbly 2004, 28).
Dalam Encyclopedia of Faiths and Religion of the World Vol. I,I gereja disebut
sebagai rumah Tuhan, sebagai tempat berdoa, dan sebagai kuil (Fox 1998, 53).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. kata gereja memiliki dua arti, yaitu sebagai
gedung (rumah) tempat berdoa dan melakukan upacara agama Kristen dan sebagai
sebuah badan atau organisasi umat Kristen yang memiliki kesamaan kepercayaan,
ajaran, dan tata cara dalam peribadatan (Badan Pengembangan dan Pembinaan
Bahasa 2015). Dari pernyataan-pernyataan tersebut di atas dapat disimpulkan
bahwa gereja bukan sekedar tempat untuk berkumpul umat atau sebuah badan
organisasi tetapi juga sebagai rumah Tuhan sehingga umat dapat melakukan proses
peribadatan pada bangunan tersebut.
Di Kecamatan Kalibawang, Kulon Progo, DIY terdapat dua gereja Katolik yang
unik. Dilihat dari sisi sejarahnya, kedua gereja ini dapat dikatakan sebagia gereja
4
tertua di Kabupaten Kulon Progo karena dibangun pada sekitar tahun 1930-1940.
Keduanya memiliki peran besar dalam merintis pengajaran Agama Katolik untuk
wilayah Kabupaten Kulon Progo, DIY. Gereja-gereja tersebut adalah Gereja Santa
Theresia Liseux Boro dan Gereja Santa Perawan Maria Lourdes Promasan.
Keunikan tersebut terletak pada fasad bangunan berupa menara lonceng yang
masih berfungsi sampai sekarang. Keunikan lainnya berupa penerapan atap bertipe
limasan dan pelana. Gereja Santa Theresia Lisieux Boro menggunakan atap bertipe
limasan dan Gereja Santa Perawan Maria Lourdes Promasan menggunakan atap
bertipe pelana.
Gereja Santa Theresia Liseux Boro dibangun lebih awal daripada Gereja Santa
Perawan Maria Lourdes Promasan tepatnya selesai dibangun pada tanggal 31
Agustus 1931 (Weitjen 1995, 68). Gereja Santa Theresia Liseux Boro merupakan
bagian dari Kompleks Misi Boro yang terdiri atas gereja, pastoran dan kantor
pengelola gereja, Rumah Sakit Santo Yusup, Susteran St. Fransiskus Boro,
Bruderan F.I.C Boro, Panti Asuhan Sancta Maria Boro, Pertenunan Sancta Maria
dan Sekolah Pangudi Luhur (SD-SMP). Gereja Santa Perawan Maria Lourdes
Promasan sendiri baru selesai dibangun pada tanggal 18 Desember 1940. Pada
awal dibangun Gereja Santa Perawan Maria Lourdes Promasan tidak disertai
dengan bangunan pendukungnya seperti bangunan pastoran atau sekolah.
Pembangunan baru dimulai kemudian setelah Gereja Promasan ditetapkan sebagai
Paroki pada tanggal 1 Januari 1959 (Balai Pelestarian Cagar Budaya Yogyakarta
2013).
5
Seperti yang telah disebutkan di atas, kedua gereja ini memiliki karakter masingmasing pada bentuk arstitekturnya serta tidak menutup kemungkinan terjadinya
persamaan dalam beberapa bentuk arsitektur lainnya misalnya penggunaan ragam
hias. Kondisi lingkungan yang relatif sama dengan dikelilingi oleh perbukitan
Menoreh sangat memungkinkan terjadinya proses adaptasi yang sama sehingga
terjadi kemiripan pada bentuk arsitekturnya. Selain itu, kondisi sosial budaya pada
waktu kedua gereja dibangun juga turut memberikan pengaruh pada bentuk
arsitektur dari kedua gereja.
Dari karakteristik kedua gereja tersebut di atas, didapatkan gambaran mengenai
corak arsitektur dalam hal ini tipe arsitektur yang diterapkan pada kurun tahun 19301940 di Kalibawang secara khusus dan Kulon Progo, DIY pada umumnya. Oleh
karena itu, penelitian mengenai perbandingan arsitektur pada Kompleks Misi Boro
dan Gereja
Santa Perawan Maria Lourdes Promasan cukup penting karena
nantinya akan memberikan penjelasan mengenai bagaimana corak arsitektur
kompleks gereja yang berkembang pada sekitar tahun 1930-1940 di wilayah
Kecamatan Kalibawang, Kulon Progo.
6
B. RUMUSAN MASALAH
Dari pemaparan latar belakang di atas didapatkan rumusan masalah sebagai
berikut:
1. Bagaimana corak arsitektur kompleks gereja pada kurun tahun 1930-1940 di
wilayah Kalibawang, Kulon Progo, DIY?
2. Faktor-faktor apa sajakah yang melatarbelakangi penerapan bentuk
arsitektur pada kompleks gereja di wilayah Kalibawang, Kulon Progo, DIY?
C. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan dari tulisan ini adalah:
1. Mendapatkan gambaran data mengenai corak arsitektur kompleks gereja
yang berkembang pada kurun tahun 1930-1940 di wilayah Kalibawang,
Kulon Progo, DIY.
2. Mengetahui alasan atau faktor yang melatarbelakangi penerapan arsitektur
pada kompleks gereja di Kalibawang, Kulon Progo, DIY.
D. RUANG LINGKUP PENELITIAN
Penelitian dilakukan pada
Kompleks Misi Boro dan
Gereja Santa Perawan
Maria Lourdes Promasan yang terletak di Kecamatan Kalibawang, Kabupaten Kulon
7
Progo, DIY. Meskipun berada dalam kecamatan yang sama, keduanya terletak di
desa yang berbeda. Gereja Santa Theresia Boro berada di Desa Banjarasri dan
Gereja Santa Perawan Maria Lourdes Promasan berada di Desa Banjaroya (Badan
Pusat Statistik Kabupaten Kulon Progo 2008).
Penelitian ini mengkaji objek fisik bangunan yang kemudian dibagi menjadi dua
yaitu bagian luar atau eksterior bangunan dan bagian dalam atau interior bangunan.
Periode yang diambil adalah ketika kedua gereja dan bangunan pendukungnya
dibangun yaitu 1930-1940. Pengambilan jangka waktu tersebut bertujuan untuk
mengetahui perkembangan data berupa corak arsitektur gereja awal di Kalibawang
yang terdapat pada Kompleks Misi Boro dan Gereja Santa Perawan Maria Lourdes
Promasan dalam jangka waktu sepuluh tahun.
Kompleks Misi Boro terdiri atas Gereja Santa Theresia Lisieux Boro, bangunan
pastoran (sekarang digunakan sebagai kantor pengelola dan kantor untuk Romo,
Rumah Sakit Santo Yusup, Susteran St Fransiskus Boro, Bruderan F.I.C Boro, Panti
Asuhan Sancta Maria Boro, Pertenunan Sancta Maria dan Sekolah (SD-SMP)
Pangudi Luhur. Penelitian pada Gereja Santa Perawan Maria Lourdes Promasan
difokuskan pada bangunan gereja oleh karena
bangunan-bangunan seperti
pastoran, Sekolah Menengah Pertama Promasan, Wisma Ibu, dan koperasi baru
dibangun setelah tahun 1940.
8
E. METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan adalah penalaran induktif yaitu penalaran
yang berusaha menjelaskan suatu masalah berdasarkan fakta-fakta yang dirangkai
menjadi pemecahan atau generalisasi yang bersifat umum. Penelitian ini diawali
dengan pengumpulan data kemudian data yang terkumpul dilakukan analisis dan
disintesiskan setelah itu, dilakukan penarikan kesimpulan (Mundarjito 1986, 137).
Sifat penelitian yang digunakan adalah studi komparatif yaitu studi yang dilakukan
untuk menemukan suatu gejala baik itu persamaan atau perbedaan dengan cara
membandingkan data yang ada (Tanudirjo 1988/1989, 34). Studi komparatif
digunakan untuk menyelesaikan rumusan masalah yang pertama yaitu corak
arsitektur yang diterapkan di Kecamatan Kalibawang, Kulon Progo.
Penyelesaian masalah kedua mengenai latar belakang penerapan arsitektur
pada gereja periode awal di Kecamatan Kalibawang, Kabupaten Kulon Progo,
menggunakan metode penelitian bersifat deskriptif analitis yaitu penelitian yang
melakukan penggambaran data atau objek penelitian, berdasarkan fakta-fakta yang
terlihat, kemudian dilakukan langkah-langkah analitis mengenai variabel-variabel
yang ada, sehingga gejala-gejala tertentu dapat terlihat dengan jelas (Tanudirjo
1988/1989, 52).
Secara garis besar penelitian ini dibagi dalam tiga tahap sebagai berikut.
9
1. Tahap pengumpulan data
Pada tahap ini penulis melakukan pengamatan secara visual pada bangunan
Kompleks Misi Boro dan Gereja Santa Perawan Maria Lourdes Promasan.
Pengamatan menitikberatkan pada penerapan gaya dan teknik pembangunan.
Perolehan penerapan gaya dengan melihat bentuk fisik bangunan dengan bagian
pelengkapnya, denah tata ruang, ragam hias pada bangunan, serta dapat juga
melalui konstruksi atau teknik dalam pembangunan. Perolehan data mengenai
teknik pembangunan dilakukan dengan melakukan pengamatan pada konstruksi
bangunan.
Penulis juga melakukan studi pustaka yang berkaitan dengan arsitektur gereja,
arstiektur bangunan Kolonial di Indonesia, dan dokumen sejarah serta arsip foto
lama dari kedua gereja. Pengumpulan data melalui wawancara juga dilakukan untuk
mendukung data dari studi pustaka. Wawancara tidak terpaku pada susunan
pertanyaan yang telah dibuat, tetapi tidak keluar dari konteks pertanyaan seputar
sejarah dan arsitektur gereja sehingga lebih bebas dalam proses bertanya jawab.
Secara kedudukan data, hasil dari observasi langsung dan dokumen berupa arsip
foto lama menjad data primer sedangkan studi pustaka dan hasil wawancara
merupakan data sekunder.
2. Tahap pengolahan dan analisis data
Pada tahapan ini data yang telah dikumpulkan dipaparkan dalam tabel untuk
memudahkan pengelompokan data. Proses selanjutnya data tersebut dibandingkan
10
satu sama lain sehingga didapatkan persamaan atau perbedaan yang kemudian
dianalisis untuk mengklasifikasikan bagian yang sama dan bagian yang berbeda.
Hasil dari analisis tersebut berupa kesimpulan mengenai corak arsitektur yang
berkembang pada masa ketika kedua gereja dibangun dilihat dari bentuk fisik
bangunan, teknik pembangunan, denah tata ruang, dan ragam hias. Tahap
selanjutnya adalah analisis alasan atau faktor yang melatar belakangi kondisi
tersebut berkaitan dengan konsep terutama keagamaan, fungsi dari bagian
bangunan, dan kondisi lingkungan sekitar (alam dan sosial budaya). Analisis faktorfaktor yang melatarbelakangi penerapan bentuk arsitektur menggunakan sumber
pustaka berupa dokumen dari kedua gereja, dokumen sejarah mengenai
perkembangan agama Katolik di Kalibawang, sumber pustaka yang membahas
mengenai arsitektur gereja, konsep-konsep yang berkaitan dengan arsitektur gereja,
dan arsitektur Kolonial Belanda beserta penerapannya di Indonesia.
3. Tahap Interpretasi
Hasil dari interpretasi yaitu berupa alasan atau faktor yang melatarbelakangi
penerapan bentuk arsitektur pada Kompleks Misi Boro dan Gereja Santa Perawan
Maria Lourdes Promasan. Perolehan interpretasi dilakukan dengan menyandingkan
data hasil observasi berupa corak arsitektur gereja dengan sumber pustaka yang
membahas arsitektur gereja, konsep-konsep yang berkaitan dengan arsitektur
gereja, dan arsitektur Kolonial Belanda beserta penerapannya di Indonesia sekitar
tahun 1930-1940 khususnya untuk wilayah Pulau Jawa.
11
F. KEASLIAN PENELITIAN
Penelitan di Kompleks Misi Boro pernah dilakukan oleh Stefanus Saryanto dalam
karya skripsi berjudul Pengelolaan Sumber Daya Arkeologi di Kawasan tersebut
(2011). Penelitian tersebut lebih menekankan pada managemen sumber daya
arkeologi untuk bangunan di kawasan Misi Boro (Saryanto 2011). Penelitian
mengenai Gereja Santa Perawan Maria Lourdes Promasan sudah pernah dilakukan
oleh BPCB DIY pada tahun 2013. Penelitian yang dilakukan oleh BPCB DIY lebih
merupakan pendataan untuk kemudian diusulkan menjadi salah satu bangunan
cagar budaya. Hasil dari penelitian tersebut berupa nilai-nilai yang dapat dijadikan
pedoman dalam penetapan Gereja Santa Perawan Maria Lourdes Promasan
sebagai salah satu cagar budaya. Nilai-nilai penting yang terkandung antara lain:
nilai penting sejarah, nilai penting ilmu pengetahuan (arsitektur), dan penting nilai
budaya yaitu tradisi Sholawatan yang diadaptasikan pada lagu peribadatan Agama
Katolik (Balai Pelestarian Cagar Budaya Yogyakarta 2013).
Berdasarkan skripsi dan laporan penelitian di atas, belum ada penelitian yang
membahas corak arsitektur kompleks gereja di Kecamatan Kalibawang, Kabupaten
Kulon Progo berdasarkan perbandingan antara Kompleks Misi Boro dan Gereja
Promasan. Di samping itu, penelitian ini juga membahas masalah yang belum
disinggung pada penelitian sebelumnya yaitu latar belakang penerapan arsitektur
pada kedua bangunan tersebut.
Download