ANALISIS PARIWISATA MAJALAH ILMIAH PARIWISATA VOLUME 7 NOMOR 2, 2006 ISSN 1410 - 3729 DAFTAR ISI PENGANTAR REDAKSI I Made Winaya : Pelacuran Laki-laki dalam Industri Pariwisata Bali (Studi Kasus Gigolo di Kawasan Pariwisata Kuta) ............ Koentjoro : Pelacuran : Sebuah Problema Sosial Multi Perspektif ...... I Wayan Wijayasa : Seks dalam Pariwisata : Kajian Awal Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Berkembangnya Seks dalam Pariwisata .................................................................... Adria Rosy Satrinne : Pelacuran dan Pariwisata (Studi Kasus Pelacuran di Bawah Umur di Objek Wisata Kuta ................................................. I Wayan Suardana : Pemanfaatan Jasa Lingkungan dan Ekowisata di Kawasan Taman Nasional Bali Barat ................................................... Made Sukana : Postmodernisme dan Pariwisata Kerakyatan ..................... Luh Putu Kerti Pujani : Manajemen Konflik Hotel Inna Grand Bali Beach Sanur-Bali ............................................................................... I Made Sendra : Unda-Usuk Bahasa Jepang dalam Pariwisata (Level of Speech in Japanese for Tourism) .......................................... AA Sagung Kartika Dewi : Beberapa Variabel yang Berpengaruh terhadap Produktivitas Tenaga Kerja .................................................. I Gede Sudarta : Produktivitas Kerja Seorang Pramu Graha dalam Menata Sebuah Kamar pada Hotel Berbintang di Bali ................... Analisis Pariwisata terbit sebagai media komunikasi dan informasi ilmiah kepariwisataan, yang memuat tentang hasil ringkasan penelitian, survei dan tulisan ilmiah populer kepariwisataan. Redaksi menerima sumbangan tulisan para ahli, staf pengajar perguruan tinggi, praktisi, mahasiswa yang peduli terhadap pengembangan pariwisata. Redaksi dapat menyingkat atau memperbaiki tulisan yang akan dimuat tanpa mengubah maksud dan isinya. 2 Analisis Pariwisata Volume 7, Nomor 2, 2006 ANALISIS ANALISIS P A R I W IPARIWISAT SATA Majalah IlmiahPariwisata Pariwisata Majalah Ilmiah PENERBIT Program Studi Pariwisata Universitas Udayana PENERBIT SK No. :Studi 11/J14.11/HM.00.02/1997 Program Pariwisata Universitas Udayana PENYUNTING SK No. 11 /J14.11/HM.00.02/1997 Prof. Adnyana Manuaba, M.Hon. Ferg.S.FIPS,SF. PENANGGUNG JAWAB (Universitas Udayana) I Putu Anom Prof. Dr. Dra. Mardani Rata, MS. (Universitas Udayana) PENYUNTING Prof. Dr. I Wayan Ardika, MA. Prof. AdnyanaUdayana) Manuaba, M.Hon. (Universitas Ferg.S.FIPS,SF. Prof. Dr. Michael Hitchcoch (Universitas Udayana) (University of North London) Prof. RataVickers Prof.Dr. Dr.I.B. Adrian (Universitas Udayana) (University of Wollongong Australia) Prof. Dr. Dra. Rata,MS. MS. Prof. Dr. O.J.Mardani Wehantouw, (Universitas (UniversitasUdayana) Hasanudin) Dr. Geraldine Y.J.Ardika, Manopo W. Prof. Dr. I Wayan MA. (UniversitasUdayana) Sam Ratulangi) (Universitas Dr. Made Sukarsa, MS. Prof. Dr. Michael Hitchcoch (Universitas Udayana) (University of North London) Prof. Dr. Adrian Vickers PEMIMPINofREDAKSI (University Wollongong Australia) Chusmeru Prof. Dr. O.J. Wehantouw, MS. (Universitas Hasanudin) WAKIL PEMIMPIN REDAKSI Dr. Geraldine Y.J. Manopo W. I Wayan Suardana (Universitas Sam Ratulangi) Pengantar Redaksi S eks dan Pariwisata. Dua kata dalam ruang yang berbeda. Sek acapkali dianggap sebagai hal yang berada dalam ruang personal, sedangkan pariwisata dipandang sebagai sesuatu yang berada di ruang publik. Namun ketika muncul rancangan Undang-Undang Pornografi dan Pornoaksi (RUU-APP) reaksi pro kotra berdatangan. Provinsi Bali merupakan daerah di Indonesia yang sebagaian besar masyarakatnya menolak RUU APP itu. Salah satu alasan penolakan itu adalah bahwa kehadiran RUU APP akan membuat pariwisata Bali kian terpuruk. Ada gambaran situasi yang kontradiktif ketika mencoba mehubungkan antara seks, pariwisata dan RUU APP. Disatu sisi semua sepakat bahwa pariwisata Bali adalah pariwisata budaya yang tidak memberi toleransi pada eksploitasi seks. Namun disisi lain, terjadi penolakan besar-besaran terhadap RUU APP yang sejatinya juga hendak memberi batasan tentang eksploitasi seks tersebut. Majalah Ilmiah Analisis Pariwisata Volume 7 Nomor 2 kali ini tidak bermaksud untuk mendukung atau menolak wacana tentang RUU APP. Edisi ini mengkaji tinjauan kritis dan empiris tentang lika-liku bisnis pariwisata dan problema seks yang menyertainya. SEKRETARIS REDAKSI PEMIMPIN I.B. Astina REDAKSI Chusmeru ANGGOTA REDAKSI WAKIL PEMIMPIN REDAKSI I Putu Anom Ketut Suwena Nyoman Sunarta AA. Ngr. Palguna SEKRETARIS REDAKSI I Made Adikampana I.B. Astina I Made Kusuma Negara Yayu Indrawati Nyoman Sukma Arida ANGGOTA REDAKSI I Made Sukarsa SEKRETARIAT Nyoman Sunarta I Wayan Sumerthareadi AA. Ngr. Palguna DesakWinaya Putu Irianti I Made Made Dwijaya Putra Atmaja I Made Adikampana W. Sudarma SEKRETARIAT ALAMAT I Wayan Sumerthareadi Program Studi Pariwisata Desak Putu Irianti Universitas Udayana Made Dwijaya Jl. DR.R. GorisPutra No. 7Atmaja Denpasar W. Sudarma Telp./Fax. 62 361 223798 ALAMAT Gambar Depan : Program Studi Pariwisata Universitas http:/www.bkscan.com Udayana edit by: Kusuma Negara, 2006 Jl. DR>R. Goris No. 7 Denpasar Telp / Fax. 62 361 223798 1 I Wayan Wijayasa mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi berkembangnya seks dalam pariwisata. Kontjoro melihat pelacuran sebagai sebuah prolema sosial multiperspektif yang dapat saja meuncul dalam bisnis pariwisata. Sedangkan I Made Winaya dalam tesis ilmiahnya lebih menegaskan bahwa pelacuran bisa saja merambah pada dunia laki-laki sebagai gigolo dalam industri pariwisata. Mesti diakui, bahwa seks adalah realita dalam kehidupan manusia. Begitu pun pariwisata, bukan lagi sebuah gejala. Pariwisata sudah menjadi realita, aktivitas bahkan industri yang dapat menghidupi jutaan manusia. Persoalannya, apakah seks merupakan faktor afinitas yang dapat menjadi daya tarik pengembangan pariwisata ataukah industri pariwisata yang menjadikan seks tidak lagi berada dalam ruang personal tetapi menjadi milik publik. Inilah barangkali yang perlu terus dikaji dan dicermati. R e d a k s i Analisis Pariwisata Volume 7, Nomor 2, 2006 PELACURAN LAKI-LAKI DALAM INDUSTRI PARIWISATA BALI (STUDI KASUS GIGOLO DI KAWASAN PARIWISATA KUTA) I Made Winaya Dosen Program Studi Pariwisata Unud Abstract The positive impact of tourism is always followed by its negative impact. This can also be seen at Kuta tourist area. The positive impact is that more job opportunities are available at Kuta and this, on the other hand, has invited a grreat number of people to go there to get the jobs. Consequantly, there has been a tight competition among them. In this situation, many of them, particularly those who are not skilled, have tried to get non formal jobs such as becoming vendors, drink sellers beach boys and gigolo. Key words : tourism and male prostitution 1. Pendahuluan Perkembangan pariwisata yang pesat di Bali telah membawa dampak yang cukup besar dalam kehidupan masyarakat Bali. Beberapa dampak positif dari kemajuan pariwisata Bali antara lain meningkatnya lapangan usaha baik yang terkait langsung dengan pariwisata maupun yang tidak terkait langsung dengan pariwisata. Sebagai akibat dari peningkatan lapangan usaha ini, meningkat pula kesempatan kerja pada berbagai kegiatan yang berhubungan dengan pariwisata sehingga menyebabkan terjadinya peningkatan pendapatan masyarakat yang langsung bekerja di sektor pariwisata. Di samping hal-hal positif tersebut, sektor pariwisata juga membawa dampak negatif. Dampak negatif tersebut dapat berupa dampak terhadap sosial-budaya, ekonomi, lingkungan maupun psikologis. Dampak positif maupun negatif umumnya berkembang bersamaan dengan pariwisata dan modernisasi secara global. Salah satu bentuk dampak sosial negatif yang akhir-akhir ini keberdaannya semakin merebak adalah gencarnya praktek prostitusi, baik prostitusi wanita (WTS) maupun pelacuran laki-laki, yang sering diistilahkan dengan gigolo atau beach boys, kejahatan kepada tamu dan narkoba yang banyak terjadi di daerah wisata yang terbuka sepanjang siang dan malam seperti Kuta. Kuta, saat ini telah berkembang ke arah wujud masyarakat majemuk, dan menuju ke arah multietnis. Akibatnya sistem kontrol sosial tradisional makin kabur dan kurang efektif dalam fungsinya. Kontrol sosial yang cenderung melemah ini, memicu juga munculnya berbagai bentuk perilaku anormatif seperti praktek pelacuran baik pelacuran wanita (WTS.) maupun pelacuran laki-laki yang sering disebut beach boys atau gigolo. Fenomena yang belakangan ini berkembang, yang sangat menarik untuk dikaji lebih mendalam adalah munculnya pelacur laki-laki atau yang sering disebut gigolo atau beachboys. Sisi menarik dari pelacur laki-laki ini adalah mereka khusus hanya melayani wisatawan mancanegara saja. Pelacur laki-laki ini, terdiri dari tiga kelompok, yaitu 1. kelompok pelacur laki-laki yang melayani semua wisatawan, baik Jepang, bule atau wisatawan mancanegara sesama jenis, yaitu sesama laki-laki. 2. Pelacur laki-laki yang khusus melayani wisatawan Jepang saja dan 3. Pelacur laki-laki yang khusus melayani wisatawan bule saja. Fenomena ini sangat menarik untuk diteliti lebih mendalam untuk memahami apa motivasi sosial mereka, dan apa pula latar belakang sosial mereka, serta bagaimana jaringan kerja mereka (networking mereka). 2. Tujuan Penelitian Tujuan diadakannya penelitian ini adalah : a. Untuk mengetahui latar belakang sosial pelacur laki-laki di kawasan wisata Kuta. b. Untuk mengetahui apakah motivasi sosial pelacur laki-laki di kawasan wisata Kuta. 3. Tinjauan Pustaka 3.1 Penelitian Terdahulu Hingga saat ini, kepustakaan tentang pelacuran laki-laki atau gigolo masih sangat terbatas jumlahnya, atau dapat dikatakan masih sangat langka. Hasil-hasil penelitian yang dapat dijumpai mengenai pelacuran laki-laki atau gigolo terbatas pada kajian dari sudut pandang kesehatan khususnya terkait dengan resiko penularan, pemahaman dan pencegahan penyakit menular seks / PMS. dan HIV/AIDS di kalangan gigolo. Terence H Hull bersama Endang Sulistyaningsih dan Gavin W.Jones, menggolongkan gigolo ke dalam pelacuran, namun hanya membahas tentang sejarah dan kondisi sosial pelacuran di Indonesia, dengan tujuan untuk melihat perubahan perilaku dan pengorganisasian mereka dari waktu ke waktu, terutama berkaitan dengan masalah kesehatan dan tatanan sosial, ( Vickers,1989). Secara nasional, jumlah pelacur dari waktu ke waktu terus mengalami peningkatan atau selalu mengalami pertambahan dalam hal kuantitas. Hal ini telah dicatat oleh Dinas Sosial dan juga Polisi, di mana pada tahun 1992/1993 pelacuran yang terdaftar mencapai jumlah 47.454 orang selanjutnya pada tahun 1993/1994 jumlah tersebut mengalami peningkatan menjadi 65.059 orang, dan tahun 1994/1995 jumlah tersebut membengkak menjadi 71.281 orang. Jumlah ini, adalah jumlah pelacur yang tercatat saja, sehingga jumlah yang sesungguhnya sangat jauh lebih besar dari jumlah ini, termasuk pelacuran terselubung, seperti panti-panti pijat atau pelacur jalanan yang sulit diketahui secara pasti. Bila palacuran wanita seperti demikian keadaannya,dari tahun ke tahun selalu mengalami kenaikan dalam hal kuantitas, lalu bagaimana jumlah pelacur laki-laki atau gigolo, apakah menunjukkan hal yang sama? Temuan Sukiartha dan kawan-kawan (1999) dari tim yayasan Citra Usadha Indonesia, menunjukkan bahwa dari tahun 1996 sampai 1998 telah terdeteksi sebanyak kurang lebih 958 orang gigolo di Bali telah memperoleh informasi untuk peningkatan sikap agar berperilaku seks yang aman. Dari temuan ini, tampak jumlah gigolo di beberapa objek wisata di Bali cukup banyak. Terlebih di objek wisata Kuta, jumlah gigolo akan jauh lebih banyak karena objek ini jauh lebih ramai dan terbuka serta jauh lebih berkembang dibandingkan objek-objek wisata lainnya di Bali. 3.2 Konsep : Pelacuran dan Pelacur Laki-laki Berbicara masalah pelacuran, sama seperti membicarakan masalah purba, masalah lama, tetapi masalah pelacuran ini, adalah masalah yang masih terasa tetap baru untuk dibicarakan, masalah yang tetap menarik untuk didiskusikan, masalah yang masih tetap up to date untuk dibahas. Bila pelacuran diidentikkan dengan musik atau lagu, maka pelacuran adalah karya Bet Hoven, Mozard ataupun The Beatles, karya-karya lama yang akan tetap menyenangkan untuk didengar, karya-karya lama yang masih sangat merdu untuk didendangkan, bahkan karya-karya lama yang sangat menyenangkan untuk dinikmati. Sulit untuk memberi kepastian kapan munculnya pelacuran di muka bumi persada ini. Namun, pelacuran, konon, usianya setua peradaban manusia itu sendiri. Pelacuran yang sering disebut sebagai prostitusi, ( dari bahasa Latin pro-stituere atau pro - stauree ) berarti membiarkan diri berbuat zina, melakukan persundelan, percabulan dan pergedakan ( Kartono,1981: 203). Sementara itu Bonger mengatakan prostitusi adalah gejala kemasyarakatan dengan wanita menjual diri melakukan perbuatan-perbuatan seksual sebagai mata pencaharian (Bonger, 1950;16, dalam Purnomo, 1983: 10). Sedangkan Amstel menyatakan, prostitusi adalah penyerahan diri dari wanita kepada banyak laki-laki dengan pembayaran (Kartono, 1981:209). Sejajar dengan pendapat atau difinisi tersebut, Iwan Bloch berpendapat, pelacuran adalah suatu bentuk perhubungan kelamin diluar pernikahan dengan pola tertentu, yakni kepada siapapun secara terbuka dan hampir selalu dengan pembayaran baik untuk persebadanan, maupun kegiatan seks lainnya yang memberikan kepuasan yang diinginkan oleh yang bersangkutan. Sementara itu Commenge mengatakan prostitusi atau pelacuran itu adalah suatu perbuatan seorang wanita memperdagangkan atau menjual tubuhnya, yang dilakukan untuk memperoleh bayaran dari laki-laki yang datang; dan wanita tersebut tidak ada pencaharian nafkah lainnya kecuali yang diperolehnya dari perhubungan sebentar-sebentar dengan banyak orang ( Purnomo, 1983: 10-11) Pelacuran, adalah hubungan seksual antara dua jenis kelamin yang berbeda yang dilakukan di luar tembok perkawinan dan berganti-ganti pasangan - baik dengan menerima imbalan uang atau materi lainnya maupun tidak ( Purnomo, 5 : 1983 ). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pelacuran adalah prihal menjual diri sebagai pelacur; penyundalan. Menurut Encyclopedia Britanica dalam Dam Truong (1992:15), pelacuran didefinisikan sebagai praktik hubungan seksual sesaat, yang kurang lebih dilakukan dengan siapa saja (promiskuitas) untuk imbalam berupa upah. Dengan demikian menurut difinisi ini dalam pelacuran akan ada tiga unsur utama yaitu: pembayaran, promiskuitas dan ketidak acuhan emosional. Adanya elemen promiskuitas, mununjukkan asumsi bahwa hubungan seksual diterima secara moral hanya di dalam batas-batas hubungan yang diterima secara sosial. Elemen pembayaran dan ketidak acuhan emosi merefleksikan asumsi bahwa hubungan seksual dalam hubungan-hubungan yang diterima secara sosial adalah bebas dari pembayaran dan melibatkan ikatan emosional. Di samping itu Davis (1973, 55) memberi argumentasi, oleh karena pembayaran dalam benatuk tertentu juga dapat ditemukan dalam pranata sosial lain seperti pernikahan dan pertunangan, maka unsur promiskuitaslah yang harus ditonjolkan dalam difinisi untuk membedakan pelacuran dari corak-corak hubungan seksual lain. Pandangan ini ternyata diperluas oleh Polsky (Dam Truong, 1992:16). Dia mendifinisikan pelacuran sebagai pemberian seks diluar pernikahan sebagai pekerjaan. Meskipun demikian Polsky menolak penyertaan unsur promiskuitas karena unsur ini dalam prakteknya di masyarakat sangat dimungkinkan mengandung bias. Dia menyatakan banyak perempuan yang terlibat hubungan seks, tanpa terlibat unsur pembayaran, namun mereka itu tetap tidak dapat digolongkan sebagai pelacur. Dalam Oxford Advanced Leaner’s Dictionary Of Current English (AS. Hornby:1987:672) menyebutkan Prostitute : person who offers herself/himself for sexual intercourse for payment. Dari definisi-definisi tersebut secara umum dapat dikatakan bahwa terdapat tiga unsur utama seseorang dapat dikatakan pelacur yaitu : pembayaran, promiskuitas dan ketidakacuhan emosional. Sedangkan gigolo, beach-boys atau apa yang diistilahkan sundel muani termasuk atau dapat dikategorikan pelacur karena di samping memenuhi ketiga syarat tersebut juga pernyataan person who offers herself / himself for sexual inttercourse for payment. 4. Metode Penelitian Data yang diperoleh dalam penelitian ini melalui observasi, wawancara mendalam dan teknik dokumen. Data yang telah terkumpul dianalisis dengan kualitatif dalam wujud uraian. 5. Hasil dan Pembahasan 5.1 Latar Belakang Sosial Pelacur Laki-laki di Pantai Kuta Berbicara tentang pelacuran berarti berbicara tentang uang, lalu, apakah seseorang yang melacurkan diri selalu bertujuan untuk mendapatkan uang? Beberapa faktor yang selama ini dipahami paling mempengaruhi dalam menuntut seseorang untuk menjadi pelacur adalah: (1) pendidikan rendah, (2) pendapatan rendah, (3) kemiskinan, (4) tidak memiliki keterampilan, dan (5) pengangguran (Koentjoro, 2004, 84). Bila kelima faktor ini yang terbukti menjadi pemicu seseorang menjadi pelacur, apakah demikian halnya dengan pelacur laki-laki di pantai Kuta? Tabel 1 Komposisi Pelacur Laki-laki di Pantai Kuta Menurut Pendidikan Formal No. 1 2 3 4 Tingkat Pendidikan Sekolah Dasar Sekolah Menengah Pertama Sekolah Menengah Umum Perguruan Tinggi Jumlah Sumber: Diolah dari data primer, 2005. Jumlah (orang) 10 40 50 Persentase 20 80 100 Dari tabel 1 dapat dilihat bahwa sebagian besar pelacur laki-laki, 80%, sudah mengenyam pendidikan Sekolah Menenganh Tingkat Atas atau yang sederajat, sekalipun banyak diantara mereka yang mengatakan, bahwa mereka tidak menamatkan pendidikan mereka. Sedangkan sebagian kecil yaitu 20% tamatan Sekolah Menengah Tingkat Pertama dan tidak ada diantara mereka yang pernah mengenyam pendidikan di Perguruan Tinggi dan tidak ada pula di antara mereka yang tamatan Sekolah Dasar. Tabel 2 Komposisi Pelacur Laki-laki di Pantai Kuta Menurut Daerah Asal No. 1 2 3 4 Daerah asal Desa Kecamatan Bali Jawa Timur 34 2 Jawa Barat Sumatra 4 Jumlah 29 11 Sumber: Diolah dari data primer, 2005. Kabupaten 4 5 9 Kota 1 1 Jumlah 4 37 5 4 50 Dari tabel 2 dapat dilihat bahwa sebagaian besar pelacur laki-laki di pantai Kuta, 68%, berasal dari desa-desa daerah pinggiran Jawa Timur, 4%diantaranya dari kota kecamatan dan 2% dari kota. Kemungkinan penyebabnya adalah, karena jarak Bali dan Jawa timur cukup dekat yang mengakibatkan mobilitas orang akan lebih tinggi bila dibandingkan dengan mereka dari daerah-daerah lainnya, dan sebagian besar pula dari mereka tinggal berkelompok di daerah-daerah kumuh di Tuban dan Legian. Sedangkan sisanya berasal dari Bali 8%, Sumatra 8% dan Jawa Barat 10%. Dari data yang tertera dalam tabel 3 ini dapat disimpulkan bahwa sebagian besar, 74% pelacur laki-laki di pantai Kuta berasal dari Jawa Timur. Dari wawancara yang penulis lakukan, sebagian besar dari mereka, khususnya mereka yang berasal dari Jawa Timur, berasal dari desa-desa yang sama satu dengan yang lainnya. Dari komposisi umur, 54% berusia antara 21-30 tahun, 28% berusia 15-20 tahun dan sisanya 18% berumur diatas 30 tahun. Sementara cara mereka datang ke Kuta, sebagian besar (72%) dibawa oleh teman sedesa mereka, datang untuk mencari kerja 10% dan mendengar informasi dari teman sebanyak 18%. 5.2 Motivasi Menjadi Pelacur Laki-laki di Pantai Kuta Motivasi, adalah dorongan yang menuntut pemenuhan atas kebutuhan dasar, sehingga motif dipengaruhi oleh situasi yang bervariasi, dengan demikian motif memegang peran yang sangat penting dalam memahami perilaku seseorang. Kata-kata motive, motivation, dan need dalam berbagai literatur sering digunakan secara bergantian atau sering saling menggantikan. Para pakar cenderung menghubungkan motive dan need, dan sering pula digunakan istilah motive, namun pada kesempatan lain menggunakan istilah need. Menurut McClelland, dalam diri setiap orang terdapat dua motif utama yaitu, motif biologis dan motif sosial (Koentjoro, 2004). Motif biologis adalah sisitem kebutuhan manusia yang paling mendasar. Motif ini termasuk kebutuhan akan makanan, air, dan seks. Tabel 3 Motivasi Menjadi Pelacur Laki-laki No. 1 2 Motifasi Cepat menghasilkan uang Mencari kenikmatan seks dengan orang asing 3 Ingin seperti teman yang sudah jadi pengantar tamu Jumlah Sumber: Diolah dari data primer, 2005. Jumlah (orang) 26 Persentase 52 5 19 10 38 50 100 Bila tabel 3 dicermati secara seksama, maka motifasi yang mendorong beach boys untuk menjadi pelacur laki-laki sebagian besar 52% adalah untuk mendapatkan uang dengan lebih cepat, dan tentunya dalam jumlah yang lebih banyak. Sedangkan mereka yang ingin mendapatkan kenikmatan seks dengan orang asing jumlahnya hanya 10%. Namun sisanya 38%, menjadi pelacur laki-laki karena ingin seperti teman-teman mereka yang telah terlebih dahulu menjadi pengantar tamu, (istilah ini, pengantar tamu digunakan untuk orang yang bekerja sebagi pelacur laki-laki). Dari hasil wawancara mendalam, dapat diketahui bahwa banyak diantara pelacur laki-laki yang berasal dari daerah pinggiran Jawa timur pulang bersama wanita wistawan asing, dan hal itu sangat diidamkan oleh pemudapemuda dari desa yang bersangkutan. Motifasi para beach boys menjadi pelacur laki-laki juga sangat dipengaruhi oleh aspirasi materi yang tinggi, hal ini dapat dilihat dari jawaban mereka bahwa mereka menjadi pelacur laki-laki untuk mendapatkan uang lebih cepat (50%). Bila jawaban ini dikaitkan dengan jawaban nomor tiga maka sangat jelas ada hubungan yang sangat signifikan, yaitu mereka ingin seperti teman mereka yang sudah menjadi pengantar tamu (40%), dimana mereka sudah dapat hidup lebih baik dengan nya. Bila demikian kenyataannya, lalu berapakah penghasilan seorang pelacur laki-laki di Pantai Kuta sebulan? Tabel 4 Penghasilan Rata-rata Pelacur Laki-laki di Pantai Kuta dalam Sebulan No. 1 2 3 Penghasilan Rata-rata dalam Satu Bulan 3 - 5 Juta rupiah 6 - 10 Juta rupiah 10 Juta rupiah > Jumlah Sumber: Diolah dari data primer, 2005. Jumlah (orang) 15 26 9 50 Persentase 30 52 18 100 Dari tabel 4 dapat dilihat bahwa penghasilan pelacur laki-laki di pantai Kuta sebagian besar 52%, berkisar antara enam juta sampai dengan sepuluh juta. Sedangkan sisanya 30% berpenghasilan antara tiga juta rupiah sampai dengan lima juta rupiah, sedangkan mereka yang berpenghasilan diatas sepuluh juta hanya 18%. Perlu pula dicatat bahwa, mereka yang berpenghasilan di atas sepuluh juta rupiah, sebagian besar pelacur laki-laki yang melayani pelanggan gay atau juga pelacur laki-laki yang melayani wisatawan mancanegara dari semua jenis kelamin pria atau wanita. Bila dilihat dari penghasilan para pelacur lakilaki tersebut, maka sesungguhnya dengan penghasilan seperti itu, seharusnya mereka dapat hidup berkecukupan. Namun demikian, menurut pengamatan, sangat sedikit diantara mereka yang memiliki sepeda motor, serta tempat tinggal/tempat kos mereka sangat sederhana bahkan dapat dikatakan kumuh, karena mereka mengontrak kamar berkelompok di tempat kompleks pendatang yang sangat kumuh di Legian dan Tuban. Sedangkan Dilihat dari jaringan kerja, mereka tidak memiliki organisasi formal ataupun non-formal dan tidak memiliki induk semang ataupun perantara. Perselisihan diantara mereka pun tidak pernah terjadi, dan mereka selalu saling mengalah dalam mencari tamu. 6. Simpulan dan Saran 6.1 Simpulan Secara singkat, hasi penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut : a. Dilihat dari latar belakang sosial yaitu dari tingkat pendidikan pelacur laki-laki di Pantai Kuta, maka sebagian besar dari mereka (80 %), berpendidikan Sekolah Menengah Umum atau sederajat, 20% sisanya berpendidikan Sekolah Menengah Pertama dan tidak ada diantara mereka yang tamatan Sekolah Dsar dan tidak ada juga yang berpendidikan perguruan tinggi. Menurut daerah asal pelacur laki-laki di pantai Kuta, sebagian besar (74 %), berasal dari Jawa Timur, yaitu 68 % berasal dari desa dan 8% nya berasal dari kota kecamatan, dan 2% berasal dari kodya. Sementara sisanya 10 % berasal dari Jawa Barat dan 18% lainnya berasal dari Sumatra. Dari Komposisi umur, sebagian besar (54 %) pelacur laki-laki di pantai Kuta berusia antara 21 – 30 tahun, sedangkan sisanya 28 % berusia antara 15 – 20 tahun dan mereka yang berusia di atas 30 tahun sebesar 18 %. b. Dilihat dari motivasi sosial pelacur laki-laki di pantai Kuta, maka sebagian besar (52 %), dari mereka menjadi pelacur karena ingin mendapatkan uang dengan lebih cepat, sedangkan sisanya 38 %, mereka ingin seperti teman-teman mereka yang telah menjadi pengantar tamu dan sisanya 10 %, ingin mencari kenikmatan seksual dengan orang asing. Dilihat dari penghasilan para pelacur laki-laki di pantai Kuta, maka sebagian besar (52 %) berpenghasilan antara 6 – 10 juta perbulan, sedangkan 30 % berpenghasilan antara 3 – 5 juta perbulan dan sisanya 18 % berpenghasilan di atas 10 juta rupiah perbulan, dengan catatan, mereka ini sebagian besar adalah pelacur laki-laki yang melayani wanita dan pria wistawan asing serta yang khusus melayani kaum gay. 6.2 Saran Dari penelitian ini, dapat diidentifikasi bahwa orang-orang yang diwawancarai yang berprofesi sebagai pelacur laki-laki sebagian besar berasal dari daerah dan juga desa yang sama, serta menganut kepercayaan yang sama pula, maka, untuk memperbaiki kontrol sosial tehadap pelacur laki-laki di pantai Kuta, maka dapat direkomendasikan beberapa hal sebagi berikut : a. Dibuatkan kebijakan sosial bagi komonitas di desa penghasil pelacur laki-laki di pantai Kuta. Kebijakan yang dimaksud adalah pendekatan yang terfokus pada model pendekatan agama. Dengan demikian, kekuatan kepercayaan yang dianut ini dapat digunakan untuk membantu mendasari dukungan kepada yang bersangkutan. b. Dibuatkan aturan-aturan formal di daerah mereka melakukan praktik pelacuran, yaitu di desa Kuta. Aturan-aturan yang dimaksud adalah berupa undang-undang / awig-awig desa adat, karena yang mengelola pantai Kuta saat ini adalah desa yang bersangkutan, dan sejauh ini tidak ada aturan yang tertulis ataupun aturan yang tidak tertulis yang mengatur kegiatan pelacuran laki-laki ini, dan yang diatur dan diberantas hanya pelacur wanita / WTS. c. Kepada pihak pengelola pantai Kuta, agar lebih memperhatikan orang-orang atau pendatang yang berasal dari daerah-daerah penghasil pelacur laki-laki tersebut, dan bila perlu melarang mereka melakukan kegiatan apapun di pantai. d. Penelitian ini belum mampu mengungkap persepsi orang tua, sanak keluarga ataupun tetangga pelacur laki-laki tersebut. Bila hal ini dapat dilakukan maka hasilnya akan mampu menghasilkan penelitian yang lebih menarik. Oleh karena itu untuk peneliti yang akan meneliti pelacuran laki-laki, ada baiknya untuk memahami pelacuran lakilaki dari partisipan tersebut. Daftar Pustaka Ardika, I Wayan. et. al. 2003. Dampak Ekonomi, Sosial Dan BudayaTragedi Peledakan Bom Terhadap Masyarakat Kuta dan Sekitanya. Hasil Penelitian. Bagus, I Gusti Ngurah, 1978. Bali dalam Sentuhan Pariwisata, Denpasar: Jambatan. Banerji, S.C. and Banerji,R. 1989. The Costa-way of Indiaan Society: History of Prostitution in India Since Vedic Times, Calcuta: Punthi. Barry, K.1984. International Feminism: Networking Against Female Sexual Slavery. New York: International Women’s Tribune Centre. Burns, P M and Holden, A. 1995. Tourism : A New Perspective, HemelHempstead (UK) : Hall International Limited. Prestice, Butler, R.W. 1996. The Role Of Tourism In Cultural Transformation In Developing Countries, dalam Tourism And Culture : Global Civilisation In Change, Wiendu Nuryanti (ed), Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Dahles, Heidi. 12998. Of Birds and Fish: Street Guides, Tourists, and Sexual Encounters In Yogyakarta: Indonesia, dalam Sex Tourism and Prostitution, aspects of Leisure, Recreation and Work. NewYork: The United Stated Of America Dam Troung, 1992. Seks Uang dan Kekuasaan : Pariwisata Dan Pelacuran Di Asia Tenggara, diterjemahkan oleh Ade Armando. Jakarta: LP3ES. Davis,K. 1973. The Sociology of Prostitution, New York: MacMillan. Homans,George C. 1964. Bringing Man Back In. American Sociological Review. New York: Macmillan Publishing Co.Inc. Koentjoro, 2004. On The Spot, Tutur Dari Sarang Pelacur. Yogyakarta: CV. Qalam. _________, 1995. Sexsual Networking, paper seminar diadakan oleh Pusat Riset Kependudukan, Yogyakarta: Universitas Gajah Mada. Leivadi Stella and Andrew Yiannakis, 2002. The Sociolgy Of Tourism, New York: Routledge. Mc.Kean, Philip Frick. 1971. Pengaruh-pengaruh Asing Terhadap Kebudayaan Bali, Hubungan Happies dan Pemuda Pemuda Internasional Dengan Masyarakat Bali Masa kini. Denpasar: Jurusan Antropologi Fakultas Sastra Universitas Udayana. Meranti, Tuti Parwati, 1991. Pengembangan Materi Penyuluhan AIDS Untuk Beberapa Kelompok Sasaran di Propinsi Bali, Denpasar: UPLEK FK. Unud. Mathieson, Alister, Geoffrey Wall 1992, Tourism : economic, physical and social Impacts. New York: John Wiley & Son, Inc. Murphy, P.E. 1985. Tourism : A Community Approach, New York: Methuen. Nash,Danison. 1996. Antropology of Tourism. New York: Elsevier Science Ltd. Oppermann, Martin. 1998. Sex Tourism and Prostitution, Aspect of Leisure, Recreation and Work. New York: The United States of America. Pitana, I Gde1999, Pelangi Pariwisata Bali, Kajian Aspek Sosial Budaya Kepariwisataan Bali di Penghujung Abad, Denpasar: Pt. B.P. _________, et.al.2000. Kuta Cermin Retak Pariwisata Bali, Denpasar: P.T. B.P. _________, 2002. Pariwisata, Wahana Pelestarian Kebudayaan dan Dinamika Masyarakat Bali, Orasi Ilmiah, Denpasar: Universitas Udayana. Poloma.Margaret M. 2003. Sosiologi Kontemporer, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada. Salim, Agus. 2001. Teori Dan Paradigma Penelitian Sosial, Yogyakarta: Pt. Tiara Wacana. Soekanto Soerjono, 2003. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada. Spillane, James. 1994. Pariwisata Indonesia: Siasat Ekonomi dan Rekayasa Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius. Sudarsono, 1998. Gigolo dan Seks, Resiko Penularan, Pemahaman, dan Pencegahan PMS. Yoyakarta: Pusat Penelitian dan Kependudukan UGM.dengan Ford Foundation. Sukarsa, I Made, 1998. Peranan Beach Boys Dalam Meningkatkan Length of Wisatawan di Kawasan Wisata Sanur, Kuta Dan Nusa Dua, Hasil Penelitian. Stay Sukiartha, Ketut dkk. 2000. Strategi Intervensi Pencegahan PMS. HIV./AIDS dalam Praktik Gigolo Pada Pemuda Lokal Pekerja Pariwisata di Lovina. Buleleng Bali, Denpasar : Yayasan Citra Husadha Indonesia. Young Kimball and Raymond, W Mack. 1959 : The Sociiology and Social Life, Newe York: American Book Company. PELACURAN : SEBUAH PROBLEMA SOSIAL MULTI PERSPEKTIF Koentjoro Dosen Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada Abstract Lots of expert and decision maker believed that the rising number of prostitution is caused by poverty. This assumption comes from peripheral researches which finally bring out incorrect assumption. According to the writer, prostitution is caused by material aspiration and cultural endorsement, without neglecting poverty aspect. It is important to have profound research related to prostitution in perspective of social problems as it has complexity in the area of problems, stated by Bullough and Bullough (1996). Key word : prostitution and social problematic 1. Pendahuluan Banyak pakar dan pengambil kebijakan yang hingga saat ini masih percaya pada asumsi bahwa pelacuran terjadi sebagai akibat kemiskinan. Menurut penulis munculnya asumsi yang salah itu sebagai akibat dari penelitian periferi dan pergumulan asumsi, yang kemudian muncul sebagai sebuah asumsi yang salah dan dipercaya oleh banyak orang. Bullough and Bullough (1996) menyatakan bahwa banyak pakar mendiskusikan masalah kosong tentang pelacuran; berangkat dari asumsinya kemudian terjadi polemik, muncul hipotesis; namun kesemuanya itu kosong dan tidak sesuai dengan kenyataan. Bullough and Bullough (1996) menyarankan bahwa untuk memahami pelacuran diperlukan penelitian yang sangat mendalam karena kompleksitas masalahnya. Menurut penulis penyebab pelacuran adalah tingginya aspirasi material dan dukungan budaya, meski peranan kemiskinan tidak dapat kita abaikan. Oleh karenanya kalau dicermati penyebab pelacuran itu bersifat universal. Di negara maju yang ada social security nyapun dijumpai masih banyak pelacuran di sana. Berangkat dari sejarah panjang terjadinya daerah-daerah tertentu penghasil pelacur, yang terjadi adalah pelacuran dan pelacuran kemudian berkembang menjadi bagian dari budaya masyarakat tersebut. Menurut Koentjoro (1988 dan 1989) hal ini mengakibatkan: (a) kontrol sosial masyarakat menjadi melemah, (b) toleransi terhadap pelacuran dan perselingkuhan meningkat, (c) aspirasi material masyarakat meningkat. Menurut Koentjoro (1998) di daerah penghasil pelacur : (a) menjadi pelacur itu rewarding, (b) pelacur yang berhasil menjadi model sosialisasi, (c) Motif melacur tidak selalu datang dari anak, namun dapat terjadi datang dari orangtua, suami, anak, orangtua pada umumnya didominasi oleh aspirasi material yang sangat tinggi, dan telah mendapat pengaruh dari instigator, (d) disinyalir ada bantuan khusus dari mucikasi/sponsor/instigator untuk menciptakan keterikatan sekaligus social marketing, dengan cara memberi pinjaman untuk membangun rumah dengan daya modern dan melengkapi perabot rumah tangga, (e) sosialisasi pelacur pada anak terjadi sejak usia dini. Dari kajian rational decision making theory, pilihan menjadi pelacur adalah pilihan rational (Murray, 1991). 1.1 Beberapa Pertanyaan yang Harus Dijawab Berdasarkan uraian di atas ada sebuah pertanyaan utama (dilanjutkan pertanyaan tambahan yang lain) yang perlu diajukan, dan dijawab yaitu : “Dapatkah pelacuran dihapuskan, dibrantas atau dihilangkan di Indonesia?” Belum ada seorangpun dari ratusan orang dari berbagai latar belakang yang pernah saya tanya menjawab : “dapat”. Mereka dengan nada pesimis mengatakan bahwa “tidak bisa dan tidak mungkin”. Terus terang saya menunggu jawaban orang yang menjawab “dapat”, sebab sebuah pertanyaan lain akan saya diajukan adalah : “bagaimana caranya?”. Hampir semua orang mengatakan perlunya wadah pengentasan. Namun ada orang tertentu yang mengatakan : “didiamkan saja, maksiat tidak perlu diselenggarakan saja ada apalagi diselenggarakan”. Ketika pertanyaan berikut : “kalau dibina atau dikendalikan bagaimana caranya? Banyak yang menyatakan “……wah itu berat…perlu dipikir…”. Penulis percaya bahwa untuk menjawab pertanyaan ini bukanlah pekerjaan yang mudah. Namun demikian adalah tugas kita semua untuk membuat agar masalah pelacuran ini diangkat dan sekaligus disosialisasikan sebagai masalah kita bersama dan bukan masalah dinas atau departemen sosial semata. Kegiatan yang meletakkan masalah pelacuran sebagai masalah kita bersama dapat merangsang munculnya bottom up development, apalagi adanya keterbatasan dana pembangunan dari dinas dan departemen sosial. Oleh karena itu nantinya diharapkan sumbang saran berbagai pihak tentang penanganan dan pengentasan pelacur dan pelacuran. 1.2 Evaluasi Penanganan Pelacuran di Indonesia Berbicara masalah upaya rehabilitasi pelacur ini, ada beberapa hal yang menurut penulis perlu mendapat perhatian serius. Seperti telah diuraikan di atas masalah pelacuran adalah masalah yang sangat kompleks. Oleh karena itu pemahaman yang komprehensif sangatlah diperlukan. Bahwa di samping telah terjadinya pruralitas pendapat dalam masyarakat tentang pandangan dan upaya rehabilitasi, telah pula terjadi beberapa kebijakan penanganan yang kurang pas dan tidak mengenai sasaran. Ada beberapa kelemahan kebijakan penanganan pelacuran dimasa yang telah lalu yang menurut hemat penulis perlu dievaluasi: Beberapa kebijakan yang perlu dievaluasi itu adalah: (a) Asumsi penyebab pelacuran yang kurang tepat, (b) Kurang adanya kesepakatan dalam istilah pelacur, WTS, PSK. Demikian pula konsistensi penyebutan istilah resosialisasi dengan lokalisasi dalam berbagai keterangan resmi, (c) Pendekatan penanganan yang sangat partialistik: (c.1) komplek sentris atau panti sentris atau departemen sentris. Sayangnya koordinasi interdepartementalnya sangat minim, (c.2) kurang diperhatikannya keterkaitan penanganan antara daerah asal pelacur dan daerah tujuan kerja pelacur, (c.3) upaya “garukan”: tujuan dan alasannya tidak jelas dan mengada-ada, dan tidak diikuti dengan pembinaan lanjutan yang berkesinambungan, (c.4) perencanaan program perlakuan kepada pelacur kurang memperhatikan peranan ahli psikologi dan pendidikan. 2. Pelacuran dan Perzinahan: Legal dan Illegalitas Pelacuran di Beberapa Negara Pelacuran dan perzinahan hampir sama dalam konteks hubungan seks di luar nikah, walaupun keduanya tidaklah sinonim. Tetapi di banyak negara seperti Indonesia ketika polisi menangkap pelacur, mereka dijatuhi hukuman seperti pezinah. Tidak ada hukum khusus tentang pelacuran. Dalam banyak kasus orang-orang melihat pelacuran dan perzinahan adalah sama. Maka sangatlah penting untuk melihat dua fenomena ini secara bersama-sama. Banerji dan Banerji (1989) menyatakan bahwa perzinahan adalah bentuk pelanggaran hukum di semua negara dunia. Pernyataan ini mengundang ketidaksetujuan dan kritikan. Di banyak negara, perzinahan tidaklah melanggar hukum tapi beberapa negara yang masih dipengaruhi oleh adat istiadat seperti Indonesia, melihat hal ini sebagai pelanggaran hukum. Menurut KUHP (pasal 506), perzinahan adalah illegal. Tetapi, negara barat seperti beberapa negara bagian di USA melihat perzinahan sebagai peristiwa biasa (Bullough & Bullough, 1987). Berkaitan dengan pelacuran, boyle dan Noonan (1987), Muecke (1992), dan Jolin (1994) menyimpulkan bahwa pelacur dan pelacuran diperlakukan secara tidak jelas oleh hukum yang sangat fleksibel. Ini menegaskan temuan bahwa di Australia, pelacuran masih berkutat dengan standard ganda. Carpenter (1994) menyatakan bahwa hanya pelacur yang dihukum karena menjual seks tapi pelanggannya bebas berkeliaran. Pelacuran adalah illegal di Gambia (pickering dkk, 1992), demikian juga turisme seks di Thailand dan Filipina yang termasuk illegal (muecke, 1992). Di Senegal, semua pelacur harus terdaftar dan harus menjalani pemeriksaan kesehatan secara periodik (Pickering dkk, 1992). Walaupun banyak terjadi penolakan sosial terhadap pelacuran di sebagian besar negara Asia, pelacuran masih sangat perlu di masyarakat untuk kontrol sosial. Bonaparte (Bullough dan Bullough, 1987) mengatakan bahwa pelacuran adalah suatu kebutuhan, tanpa itu, laki-laki akan menyerang wanita baik-baik di jalanan. Coeman and Cressey (1987) menekankan aspek positif dari pelacuran dan setuju dengan pernyataan Bonaparte, Hal ini ditantang oleh mereka yang menyatakan bahwa keadaan seperti itu berarti eksplotasi terhadap wanita demi melindungi yang lainnya dan melepaskan tanggung jawab pria dari perilaku mereka sendiri. Tetapi, mereka menyatakan bahwa praktek pelacuran harus dikontrol karena 4 (empat) alasan yaitu pertama, ia ‘memancing’ pria yang tidak tertarik pada pelacuran sebelumnya. Kedua, ia akan merambah ke daerah yang tidak mengenal pelacuran sebelumnya. Ketiga, penyakit menular akan merajalela. Keempat, jika rumah bordil ditutup, jumlah pelacur jalanan akan makin banyak sehingga masalah lebih serius lain akan timbul (Coleman dan Cressey, 1987). Definisi dan status pelacuran masih terbuka untuk diperdebatkan. Mengapa pelacuran harus dihukum karena memberikan jasa seks? Ada tiga alasan di balik itu semua. Pelacur adalah media penyakit menular seksual (Nahmiah dalam peterson, 1990). Jadi, pelacuran harus dihentikan. Tanpa pelacuran, diasumsikan bahwa penularan penyakit AIDS, yang disebut penyakit palacur (de Bruyn, 1992)dapat dikendalikan. Pelacuran juga dianggap sebagai perbudakan seks wanita (Barry, 1979; Bullough dkk, 1988 dan Jolin, 1994). David dan Staz (1990) menetapkan dua alasan utama di balik pandangan ini. Pertama, pria menghendaki pelayanan seks, dan akan membayar untuk itu, dan mereka sangat suka jika wanita yang memberikan pelayanan itu. Kedua, apakah pelacuran terjadi karena pilihan pekerjaan pribadi atau ketidakberdayaan, itu hanyalah serangan kriminal yang melibatkan persetujuan antara dua pihak tapi akhirnya yang ditangkap adalah pihak wanitanya. 3. Pelacuran di Komunitas Asal dan Daerah Tujuan Kerjanya Pelacuran jenis ini yang menurut saya perlu diperhatikan, dalam konteks pemahaman pelacuran dan upaya pengendaliannya. Pelacuran di Komunitas Sumber Utamanya sangat menurut Ingleson (1986) sangat terkait dengan sejarahnya, dan karenanya pelacuran sudah menjadi bagian budaya komunitas tersebut. Pelacuran paling tidak pernah mengalami masa kejayaan di seputar tahun 1820 yaitu ketika dibuat jalan Anyar - Penarukan oleh Daendells. Kemudian pada tahun 1825 - 1830, ketika dibuat jalan kereta api di tanah Jawa. Pada tahun 1840 an ketika stasiun kereta api dibuat, bahkan peninggalan budaya ini bisa kita lihat saat ini yaitu kompleks pelacuran pada umumnya berlokasi berdekatan dengan stasiun Kereta Api. Puncak lain terjadi pada tahun 1870 ketika Belanda melakukan privatisasi di sektor perkebunan, dan pada tahun 1904 ketika dibangun pabrik gula. Berbeda dengan pemahaman pelacuran di Daerah Tujuan Kerja. Untuk menyamakan persepsi perlu dijelaskan bahwa Jakarta adalah tempat bertemunya pelacur dari seluruh daerah sumber utama pelacur. Namun demikian ada juga orang Jakarta yang melacur. Melacurnya orang Jakarta dan melacurnya orang dari Wonogiri, Jepara, Pati atau Indramayu pasti didasari oleh motivasi yang berbeda. Pelacuran di daerah asal banyak terkait dengan proses rekruitment, nilai anak, pola asuh, dan nilai perkawinan. Banyak nuansa psiko sosial antropologis yang terlibat. Sementara kalau di daerah tujuan kerja lebih terkait dengan masalah bisnis dan industri seks, pelayanan seks, atau dugem. Bagi peneliti yang masuk dalam dua kancah ini, seperti saya, dapat melihat betul bahwa pelacuran di tempat tujuan kerja ini amat pas seperti lagu yang dinyanyikan Achmad Albar: Panggung Sandiwara. 4. Klasifikasi Pelacuran Berbicara masalah pelacuran adalah tidak mudah, sebab pelacuran mempunyai sisi pandang yang banyak dan masing-masing menyajikan keunikannya. Untuk itu ketika orang berbicara masalah pelacuran, maka pikiran kritis saya kemudian akan menanyakan pelacur yang mana? Sebagai gambaran berikut klasifikasi pelacuran yang ada diantaranya adalah sebagai berikut : Tabel 1 Klasifikasi Pelacur No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Klasifikasi Daerah Asal dan Tujuan Kerja Usia Profesionalisme Bekerja dengan Mucikari Tarip Lama Pelayanan Spesialisasi Pelayanan Berpendidikan Penyebab Melacur Cara Berpakaian Jenis Pembayaran Unsur Ritual dan tidak Jenis Daerah Asal - Daerah Tujuan Kerja ABG - Non ABG Amatir - Profesional - Semi Profesional Bekerja dengan Mucikari - Tanpa Mucikari Atas - Menengah - Bawah Very Short - Short Time - Semalam Karaoke, Satu - Dua - Tiga Lubang, Lesbian, Atraksi Seks Mahasiswa - Pelajar - Non Edukasi Budaya - Psikologis - Kemiskinan - Hilang Keperawanan - dll Tradisional - Modern - Pakai Jilbab Uang - Jasa - Napza Ada unsur ritual - tidak 5. Simpulan Untuk mengatasi problem pelacuran dan networkingnya. Selama ini ada 3 (tiga) bentuk penanganan masalah pelacur yang menurut hemat penulis belum menampakkan pandangan holistiknya. Ke 3 (tiga) bentuk penanganan itu adalah sistem resosialisasi, panti dan daerah rawan wanita bermasalah. Kelemahannya adalah dengan sistem ini pelacur dari daerah asal dan bordil tidak tertangani. Kelemahan ke dua adalah penanganan oleh instansi berbeda dengan bentuk penanganan yang berbeda namun dasar hukumnya sama. Menurut hemat penulis perlu dibuat Badan Koordinasi Penanganan Pelacur (BKPP) di setiap wilayah. Mengingat Panti eks. Departemen Sosial memiliki sarana dan prasarana yang relatif memadai, sedang resos dan bordil banyak yang dibakar, maka panti ini dapat ditunjuk sebagai koordinator. Belajar dari kasus di lapangan tampaknya instan tasawuf yang mengajarkan pada konsep nrimo, tabah, dan tawakal dapat dijadikan cara yang ampuh untuk memerangi pertumbuhan prostitusi. Disamping itu agar kegiatan terencana dengan baik dalam konteks dakwah diperlukan perhatian serius terhadap daerah sumber utama pelacur. Di samping itu perlu diciptakan silaturahmi, ukhuwah islamiyah dan penciptaan pemahaman agama yang lebih rasional. Fungsi Dasa Wisma perlu ditingkatkan sebagai mekanisme kontrol pertetanggaan. Kompleksitas pelacuran yang ada membuat penulis kesulitan untuk menyimpulkan isi tulisan ini. Karena kesimpulan yang di buat kemudian akan membatasi keunikan pelacuran di setiap perspektifnya. Karena itu hanya sebuah pertanyaan yang ingin diajukan adalah, masihkah kita hanya melihat pelacuran dari sisi sempit dan kemudian mengkuhum, membakar mereka atau representasinya? Pelacur itu sebuah penyakit sosial ataukah korban masyarakat yang sakit? Demikianlah tulisan ini semoga lebih dapat berkembang melalui diskusi. Daftar Pustaka Bullough, B.,and Bullough, V.L.,1996. Female Prostitution: Current Research and Changing Interpretations: dalam Annual Review of Sex Research: An Integrative and Interdiciplinary Review Volume VII, pp. 158 - 180. Departement of social Affairs, Republic of Indonesia. 1996. Minister of Social Affairs Republic of Indonesia Decision No. 23/HUK/1996 Concerning: Basic Design for Social Welfare Development. De Sousa, D., 1994, ACSJC Occasional Paper No. 20: Sex Tourism in Asia. North Blackburn, Victoria: Collins Dove Farid., M. 1998. Situational Analysis on the Sexual Abuse, Sexual Exploitation ands Commercial Sexual Exploitation of Children in Indonesia. Jakarta: Unicef. Ingleson, J., 1986. Prostitution in Colonial Java dalam Chardler., D.P and Ricklefts., M.C. 1986.. 19th and 20th Century Indonesia: Essays in Honour of Professor J.D. Legge., pp. 123 - 140., Southeast Asian Studies, Monash University, Victoria. Jones, G.W., Sulistyaningsih, E and Hull, T.H. 1995. Prostitution in Indonesia: Working Papers in Demography. Canberra: The Australian National University. Koentjoro, 1988. Perbedaan Tingkat Aspirasi Remaja dan Nilai Anak bagi Orangtua dan Hubungan antara Tingkat Aspirasi Remaja dengan Nilai Anak bagi Orangtua Orangtua pada beberapa Daerah Miskin Penghasil Pelacur dan Bukan Penghasil Pelacur di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Laporan Penelitian. Yogyakarta: The Toyota Foundation. Grant Number 87 - Y - 03. Koentjoro, 1989. Perbedaan Harga Diri Remaja di Daerah Miskin Penghasil Pelacur dan Bukan Penghasil Pelacur. Laporan Penelitian. Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM Koentjoro, 1995. Sexual Networking. Seminar paper held by Pusat Penelitian Kependudukan, Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta, 20 April 1995. Koentjoro, 1997. Understanding Prostitution from Rural Communities of Indonesia, Thesis Disertasi. Bundoora, Melbourne: La Trobe University. Murray, A.J. 1991. No Money, No Honey: A Study of Street Traders and Prostitutes in Jakarta. Singapore: Oxford University Press. SEKS DALAM PARIWISATA : KAJIAN AWAL FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP BERKEMBANGNYA SEKS DALAM PARIWISATA I Wayan Wijayasa Dosen Kopertis Wilayah VIII Dpk Akademi Pariwisata Denpasar Abstract Millions tourist visiting Bali annually has lead the arising of many kind of business and activities that generate wide negative and positive impact to the component of tourism such as seks. Seks in the tourism of Bali tends to be identified as the impact of tourism rather then as tourist attraction. The major reason is psychoseksual disorder of some tourist that visiting Bali annually. There are three category of seks in tourism industry; they are seks as impact of tourism in destination, seks as the result of public policy to legalize seks as tourist attraction in destination, and seks as expansion of the existing seks activities of host community. Seks in tourist destination can generate both positive and negative impact to the actor of seks. In order to reduce and minimalize negative impact of seks activities in tourism industry, preventive and repressive action should be planned for more effective anticipation. Key words : Seks in tourism, psychoseksual disorder 1. Pendahuluan Sejak awal perkembangannya, pariwisata Bali mengutamakan kebudayaan sebagai salah satu daya tarik utama di samping alam beserta keanekaragaman hayati tropisnya yang begitu kaya sehingga mampu mempesona setiap wisatawan yang mengunjunginya. Dengan memanfaatkan potensi besar inilah pariwisata Bali ditata, dibangun, dikembangkan, dan dimanfaatkan seoptimal mungkin untuk mewujudkan masyarakat sejahtera. Dengan dasar ini pula konsep pariwisata budaya dicetuskan hingga sampai saat ini mendarah daging dan menjadi wacana dalam berbagai forum pariwisata secara resmi ataupun tidak resmi. Pariwisata budaya yang dikembangkan Bali telah terbukti mampu, sampai saat ini dan pada tataran tertentu, bersaing dengan konsep pengambangan pariwisata yang dikembangkan oleh destinasi lain di Indonesia dan dunia. Hal ini terlihat dari berbagai penghargaan internasional yang diterima oleh para pelaku bisnis pariwisata Bali. Di samping itu, konsep pariwisata budaya juga telah terbukti mampu menjadi daya tarik utama sehingga jumlah kunjungan wisatawan internasional ke Bali yang tetap tinggi walaupun berfluktuasi. Dalam hal ini, fluktuasi tentu disebabkan oleh berbagai hal seperti faktor kemanan, kesehatan, terorisme, dan faktor lainnya yang menurunkan preferensi pangsa pasar wisatawan potensial berkunjung ke Bali. Pada saat yang bersamaan pula, motivasi wisatawan potensial tersebut juga akan menurun. Setiap pengambangan suatu industri, di samping berusaha mensejahterakan masyarakat, juga akan menimbulkan pengaruh dan dampak terhadap masyarakat, lingkungan sosial, maupun lingkungan alam. Begitu pula pariwisata sebagai salah satu industri yang dikembangkan di Bali tentunya tidak terlepas dari efek samping yang namanya pengaruh dan dampak negatif. Pesatnya perkembangan pariwisata tidak serta merta menurunkan beragam dampak negatif yang muncul dari perkembangan pariwisata di destinasi, mulai dari masalah carut-marut perencanaan pengembangan dan penataan kawasan pariwisata, usaha peningkatan PAD melalui sektor pariwisata, penanganan limbah, sampah, pencemaran lingkungan, komersialisasi budaya, lapangan kerja, sumberdaya masyarakat lokal, penularan penyakit masyarakat, dan salah satunya yang dianalisis dalam tulisan ini adalah seks sebagai dampak pariwisata. Bali yang menggunakan budaya sebagai trade mark pariwisata tentu tidak mau terjebak dengan fenomena seks dalam pariwisata ini karena bila seks dalam pariwisata Bali diakui ada maka akan terjebak pada konsekuensi disebut melenceng dari konsep pariwisata budaya. Namun jika seks dalam pariwisata Bali diakui tidak ada tentu terlalu munafik mengingat ada kantong-kantong pekerja seksual yang memanfaatkan liburan wisatawan di Bali sebagai suatu pangsa pasar yang digarap. Seks dalam dunia pariwisata keberadaannya memang mendua sesuai kebijaksanaan negara yang mengembangkannya. Ada negara yang memang sengaja menjadikan seks sebagai salah satu straksi yang diharapkan memikat calon wisatawan untuk datang. Sedangkan negara lain sama sekali tidak melegalkan seks sebagai daya tarik wisata. Perbedaan ini tentu didasarkan pada berbagai pertimbangan seperti budaya, sosial, kebijakan pemerintah terhadap pariwisata, serta yang paling penting masalah ekonomi yang berhubungan usaha penciptaan lapangan kerja, meningkatkan pendapatan masyarakat, serta memperbesar penerimaan devisa melalui semakin besarnya pengeluaran (spending) wisatawan dari aktivitas seks. Di samping itu, dampak negatif yang berkembang dari aktivitas seks dalam pariwisata tentu saja harus dipertimbangkan dengan baik dan matang. Tulisan ini akan mencoba membahas dan menganalisis isu seks dalam industri pariwisata, baik seks yang secara sengaja dijadikan atraksi pariwisata, seks yang keberadaannya hanya sebagai dampak dari berkembangnya industri pariwisata, maupun seks yang merupakan perkembangan lanjutan dari aktivitas masyarakat lokal yang telah ada sebelum mengarah pada pangsa pasar wisatawan. Permasalahan utama yang akan dibahas menyangkut perbedaan perkembangan seks dalam pariwisata yang dikembangkan secara sengaja dan yang berkembang hanya sebagai dampak, di samping itu akan dibahas pula mengenai beberapa faktor yang mendorong berkembangnya kedua isu tersebut beserta dampak yang ditimbulkan oleh aktivitas seks dalam pariwisata. Untuk membatasi agar menghindari salah pengertian maka yang dimaksudkan seks dalam pariwisata dalam tulisan ini adalah aktivitas seks yang tidak normal (penyimpangan seks, seks bebas, dan lain-lain) atau yang bersifat komersial (prostitusi, striptease, gigolo, dan sebagainya) yang konsumen utamanya adalah wisatawan. Dikecualikan dalam hal ini adalah seks yang dilakukan sesuai norma yang ada (seks dengan pasangan suami/istri, partner), honeymooner, dan didasarkan atas suka sama suka / cinta sama cinta dan tidak ada unsur komersial. 2. Pembahasan 2.1 Pengertian Kata seks menunjuk pada organ vital (kelamin) yang dimiliki oleh manusia normal yang membedakan ia sebagai laki-laki atau perempuan. Jika seks dilihat sebagai aktivitas, seks merupakan aktivitas secara luas dari manusia normal secara kodrati dalam rangka menarik lawan jenis dan selanjutnya mengembangkan jenis (berketurunan). Lebih lanjut dapat dikatakan bahwa seks sebagai organ maupun sebagai aktivitas merupakan kebutuhan yang dimiliki manusia secara normal. Dalam perkembangannya, seks tidak hanya menjadi sekedar kebutuhan manusia untuk berketurunan, namun lebih jauh juga sebagai aktivitas rekreasi di dalam rumah (indoor recreation) yang mampu memberikan efek relaksasi kepada pelakunya. Sebaliknya, seks juga menjadi sumber skandal manusia sepanjang jaman di berbagai bidang kehidupan dan dalam berbagai profesi termasuk presiden sekalipun (contohnya adalah salah seorang Presiden AS Bill Clinton). Dalam bidang pariwisata misalnya, seks telah menjadi salah satu daya tarik tersendiri bagi pariwisata di negara Thailand. Dalam hubungannya dengan perkembangan pariwisata, maka mengkategorikan perkembangan seks menjadi tiga, yaitu seks yang merupakan: a. Gejala yang timbul sebagai dampak adanya pariwisata; b. Hasil / dampak kebijakan publik yang berwenang untuk melegalkan seks; penulis c. Perkembangan yang berlanjut dari fenomena seks komersial yang telah ada pada masyarakat setempat sebelum berkembangnya pariwisata. 2.2 Seks sebagai Dampak Pariwisata Setiap masyarakat memiliki standar atau norma tertentu untuk mengikat para anggota kelompok tersebut dalam suatu pola pikir dan perilaku tertentu. Penyimpangan terhadap standar atau norma ini disebut sebagai abnormalitas atau deviasi. Jadi, abnormalitas adalah penyimpangan mendasar dari perilaku rata-rata atau yang biasa dilakukan dari suatu kelompok yang dimiliki oleh individu. Atau dengan kata lain abnormalitas merupakan penyimpangan dari standar atau norma ideal yang dianut oleh masyarakat dimana orang tersebut berada dan terikat dengannya. Dilihat dari sudut pandang psikologi, abnormalitas ini ada bermacam-macam sesuai dengan standar atau norma yang disimpangkan (dideviasikan) dalam masyarakat tersebut. Dengan kata lain, kategori abnormalitas disesuaikan dengan norma mana yang dilanggar. Jika norma umum mengenai seks dilanggar, maka dalam psikologi dinamakan sebagai Psychoseksual Disorder. Psychoseksual disorder merupakan penyimpangan-penyimpangan perilaku atau keadaan seks yang mana perilaku ini tidak sesuai dengan fungsi seks yang diterima umum. Jika penyimpangan ini terjadi pada organ seks, maka pengertian psychoseksual disorder ini mencakup ketidaknormalan fungsi (disfungsi) organ seks yang dimiliki oleh seseorang seperti impotensi, perubahan jenis kelamin, dan sebagainya. Secara umum psychoseksual disorder dapat dikategorikan dalam tiga aspek penyimpangan yang dapat dikategorikan sebagai berikut: a. Semua hal yang menyangkut identitas gender, yang termasuk dalam kategori ini misalnya pria yang ingin berpakaian seperti wanita, ingin memiliki jenis kelamin berlawanan dari yang ia miliki saat ini, serta ingin memiliki mainan seperti yang dimiliki oleh jenis kelamin yang berlawanan. b. Semua hal yang menyangkut paraphilia, beberapa jenis psychological disorder yang termasuk dalam kategori ini antara lain: Exhibitionism, yaitu usaha mendapatkan kepuasan dengan cara mempertontonkan, memamerkan, atau mempertunjukkan alat kelamin atau organ yang merangsang seks lainnya (organ genital) di depan umum atau kepada orang tak dikenal. Pedophilia, yaitu penyimpangan seks dimana seseorang lebih tertarik untuk melakukan aktivitas dan mendapatkan kepuasan seks dengan anak-anak. Zoophilia, yaitu penyimpangan seks dimana seseorang lebih tertarik untuk melakukan aktivitas dan mendapatkan kepuasan seks dengan binatang. Fetishism, yaitu penyimpangan seks dimana seseorang lebih tertarik untuk melakukan aktivitas dan mendapatkan kepuasan seks melalui benda-benda aneh. Dyschomophilia, yaitu usaha mendapatkan kepuasan seks dengan berfantasi (fantasi seks). Voyeurism, yaitu kepuasan seks yang didapatkan dengan cara mengintip lawan jenis. Seksual Masochism, yaitu kepuasan seksual yang ditimbulkan dari sakitnya korban yang diperlakukan seperti mendapatkan hukuman (punishment) Seksual Sadism, yaitu kepuasan sek yang didapatkan dengan cara menyiksa pasangannya. Namun masih banyak penyimpangan yang termasuk dalam kategori ini seperti Incest (hubungan seks yang dilakukan dengan anggpta keluarga bukan pasangan hidup misalnya adik, mertua, menantu, dan anak), Necrophilia (hubungan seks yang dilakukan dengan mayat) dan Fottage. Jika mau diakui pula maka selingkuh, mencari TTM (teman tapi mesra), dan usaha untuk jajan lainnya di destinasi wisata dapat dikategorikan penyimpangan seks. c. Semua hal yang menyangkut disfungsi seks, yang termasuk dalam kategori ini adalah semua gangguan atau disfungsi seksual baik secara fisiologis maupun psikologis yang menghambat hubungan dengan pasangan seks, misalnya ejakulasi dini, impotensi, penyakit kelamin, dan sebagainya. Bali selama dua dekade terakhir telah dikunjungi oleh jutaan wisatawan asing dan domestik. Di antara wisatawan yang datang tidak menutup kemungkinan terdapat wisatawan yang mengidap psychoseksual disorder sebagaimana yang telah dijelaskan. Dari tiga kategori psychoseksual disorder tersebut, maka yang paling memungkinkan terjadi di daerah tujuan wisata adalah poin 1 dan 2 yaitu semua hal yang menyangkut identitas gender dan semua hal yang menyangkut paraphilia atau penyimpangan seks. Dalam perjalanannya, memang tidak semua jenis psichoseksual disorder terjadi dalam masyarakat. Namun demikian tidak menutup kemungkinan dalam jangka waktu lama akan muncul kasus-kasus yang saat ini jarang terjadi.Beberapa kasus yang paling menonjol dan melibatkan wisatawan asing serta sampai ke meja hijau antara lain kasus pedophilia di Singaraja, pedophilia di Karangasem, dan mutilasi yang melibatkan orang asing dengan latar belakang masalah seks. Dari pembahasan ini dapat dikatakan bahwa salah satu penyebab adanya seks dalam pariwisata adalah psychoseksual disorder dari para wisatawan yang datang ke destinasi. Dengan kata lain, berkembangnya aktivitas seks dalam pariwisata di destinasi wisata merupakan dampak kedatangan wisatawan yang memiliki psichoseksual disorder. Jadi dalam hal ini seks dalam pariwisata merupakan dampak dari pengembangan pariwisata. 2.3 Pengaruh Kebijakan Publik terhadap Seks dalam Pariwisata Kebijakan publik yang dibuat oleh pemerintah (yang berwenang) sebagai pemegang otoritas dapat mempengaruhi perkembangan seks dalam pariwisata. Hal ini akan mempertegas batas pro dan kontra adanya seks dalam pariwisata. Lebih jauh, campur tangan pemerintah terhadap seks dalam pariwisata akan memberikan arahan, batasan, dan petunjuk bagi masyarakat, wisatawan, dan para pelaku bisnis pariwisata melalui instrumen hukum yang dimiliki. Dilihat dari peran kebijakan pemerintah terhadap seks dalam pariwisata kita dapat membedakan menjadi dua yaitu: a. Kebijakan pemerintah yang mendukung seks sebagai daya tarik pariwisata. Seks sebagai daya tarik wisata secara sederhana dapat dilihat sebagai aktivitas seks yang dikembangkan secara sengaja untuk menarik kunjungan wisatawan ke destinasi wisata. Contoh negara yang menjadikan seks sebagai salah satu atraksi pariwisata adalah Thailand. Dalam hal ini, pemerintah mengijinkan aktivitas berbau seks menjadi daya tarik wisata dan para pelaku pariwisata juga mengusahakan seks ini masuk dalam paket-paket wisata. b. Kebijakan pemerintah yang melarang / tidak mendorong seks sebagai dampak perkembangan pariwisata. Jika pemerintah melarang atau tidak mendukung seks sebagai daya tarik wisata, maka seks yang terjadi di destinasi pariwisata cenderung merupakan dampak perkembangan pariwisata. Dalam hal ini, aktivitas seks komersial sama sekali tidak diharapkan terjadi sebelumnya dan dari sisi pemerintah tidak ditemukan aturan atau perundang-undangan yang melegalkan seks sebagai bagian dari daya tarik pariwisata. Dengan kata lain, aktivitas seks dalam pariwisata ini lebih banyak sebagai dampak interaksi antara wisatawan dan masyarakat lokal atau dengan para pelaku seks komersial di daerah tujuan wisata. Namun demikian, beberapa faktor pendorong berkembangnya keberadaan seks dalam pariwisata dapat juga dilihat dari kontribusi komponen pariwisata yang kemungkinan terlibat di dalamnya, antara lain: a. Wisatawan (tourist) Kesengajaan penyaluran hasrat di destinasi tidak dengan pasangan tetap (jajan, selingkuh, dan tempat prostitusi.) Kelainan seks (psychoseksual disorder) Pengaruh penggunaan, peredaran, dan jual-beli obat-obat terlarang (drugs) dan minum-minuman beralkohol (alchoholic beverage). b. Pelaku Bisnis Seks (business supplier) Perkembangan seks komersial mendorong kalangan pebisnis menyalurkan para pekerja seks komersial ke pada para wisatawan yang berminat atau sebaliknya membawa wisatawan mengkonsumsi jasa seks ke tempat pekerja seks komersial tersebut berada. Seks sebagai atraksi wisata (seperti di thailand) mendorong pebisnis lebih gencar melakukan aktivitas dengan membuat/membangun beragam aktivitas, paket wisata seks, dan tempat-tempat melakukan atraksi berbau seks, seperti tempat prostitusi, cafe, dan diskotik. Seks sebagai peluang kerja (profesi) bagi pelaku seks yang terpaksa melakukan pekerjaan ini akibat tuntutan biaya hidup di daerah pariwisata. Tentunya mereka berharap penghasilan lebih dari aktivitas ini. Seks sebagai peluang kerja cenderung tidak memerlukan keterampilan dan pendidikan tinggi. c. Pemerintah (government) Kebijakan pemerintah untuk mendorong keberadaan seks sebagai salah satu daya tarik pariwisata akan mendorong para pebisnis seks dalam pariwisata. Sebaliknya, jika kebijakan pemerintah menolak keberadaan seks dalam pariwisata maka aktivitas seks secara sengaja di destinasi wisata kemungkinan akan terminimalisasi atau secara legal tidak ada. Pengawasan pemerintah. Kebijakan menolak keberadaan seks dalam pariwisata tidak serta merta meniadakan sama sekali aktivitas seks komersial. Seks di destinasi wisata dapat berkembang karena luput dari pengawasan. d. Masyarakat Setempat (host) Apatisme masyarakat terhadap perkembangan aktivitas seks dalam pariwisata sehingga kontrol sosial tidak ada dan dianggap secara sosial juga dianggap sah-sah saja. Masyarakat juga dapat mendorong keberadaan seks dalam pariwisata dengan cara ikut terlibat dalam aktivitas seks komersial. Selain itu, penyediaan lahan dan sumber daya manusia dari masyarakat lokal akan sangat menguntungkan perkembangan bisnis seks dalam pariwisata. Perkembangan seks bebas dalam masyarakat dan keinginan berpacaran / kawin dengan bule (orang asing) untuk meningkatkan taraf hidup atau prestise juga mendorong aktivitas seks dalam pariwisata. Tidak adanya instrumen sosial-budaya yang menolak atau membatasi keberadaan seks dalam pariwisata seperti kontrol sosial atau hukum adat (misalnya: awig-awig) dapat mendorong perkembangan seks dalam pariwisata. 2.4 Seks dalam Pariwisata sebagai Keberlanjutan Aktivitas Seks Komersial Masyarakat Setempat Seks yang telah ada dan berkembang di dalam masyarakat (host community) dapat berkembang lebih lanjut setelah kedatangan wisatawan ke destinasi. Hal ini menyangkut pergeseran pangsa pasar dari orang lokal ke wisatawan domestik maupun asing. Di samping itu menyangkut juga sebagai usaha meningkatkan penghasilan yang diharapkan datang dari segmen pasar yang baru tersebut. Perkembangan dan pergeseran pangsa pasar ini dapat dilihat dari aktivitas seks di kompleks-kompleks pelacuran, lokalisasi, dan tempat-tempat lainnya seperti cafe remangremang dan diskotik kecil. Pada awalnya keberadaan mereka adalah untuk melayani konsumen yang berasal dari masyarakat setempat. Namun setelah kedatangan wisatawan (berkembangnya pariwisata) dan juga dengan adanya permintaan dari wisatawan serta keberhasilan saluran pemasaran (germo, mami, sopir, dan pihak lain yang menjadi perantara) menyalurkan mereka ke konsumen maka terjadilah aktivitas seks dalam pariwisata. Jadi dalam hal ini, seks dalam pariwisata merupakan perkembangan berlanjut dari aktivitas seks yang telah ada dalam masyarakat setempat sebelum pariwisata berkembang. 2.5 Dampak Aktivitas Seks Dalam Pariwisata Berkembangnya seks dalam pariwisata memberikan beberapa dampak positif dan negatif. Hal ini tergantung dari sudut pandang kajian yang dilakukan. Beberapa dampak positif seks dalam pariwisata antaralain: a. Peningkatan pendapatan pelaku seks komersial, bisnis seks (germo, mami, diskotek, dan lain-lain), dan pelaku bisnis pariwisata yang secara langsung maupun tidak langsung menawarkan seks dalam paket yang dijualnya. b. Menambah lapangan kerja baru bagi pria / wanita yang tidak memiliki keterampilan dan pengetahuan memadai untuk bersaing dalam bisnis lain atau dengan kata lain profesi yang bagus bagi mereka yang memiliki pendidikan dan keterampilan kurang memadai. c. Seks merupakan pekerjaan yang relatif tidak memerlukan keterampilan dan pendidikan tinggi sehingga lebih mudah dilakukan dan penghasilan lebih besar dengan investasi rendah. d. Berkembangnya hubungan internasional melalui pernikahan antarbangsa. Hal ini diharapkan mampu meningkatkan pengertian budaya antarbangsa. Di samping dampak positif tersebut terdapat pula beberapa dampak negatif yang teridentifikasi antaralain: a. Berkembangnya penyakit menular seksual akibat hubungan seks tanpa pengaman (seperti kondom). Perkembangan dan penularan penyakit menular seksual disebabkan hubungan seksual dengan pasangan tidak tetap serta berasal dari berbagai negara, latar belakang kehidupan, serta tidak diketahui apakah pasangan tersebut mengidap suatu penyakit berbahaya. b. Peningkatan biaya sosial dan kesehatan akibat berkembangnya penyakit menular seksual. Jika penyakit menular seksual menjangkiti pelaku seks, maka biaya kesehatan dan sosial dapat menjadi lebih besar daripada penghasilan yang diterima. Sebagai contoh, biaya pengobatan bagi pengidap HIV maupun penderita AIDS serta biaya hidup sejak diketahui berjangkit sampai ia meninggal dunia akan menjadi sangat tinggi dan melampaui penghasilan yang didapatkannya. c. Penurunan kualitas budaya masyarakat dan bangsa di destinasi wisata yang memang berbeda dengan budaya masyarakat dan bangsa asal wisatawan. Hal ini tercermin dari perubahan pola kerja, cara berpakaian, pergaulan, dandanan, kebiasaan pergi ke café, dan sebagainya yang menyimpang dari budaya masyarakat di destinasi wisata pada umumnya. d. Berdampak negatif terhadap moral pelaku seks, pelaku pariwisata, dan masyarakat di daerah tujuan wisata (host). e. Berdampak negatif terhadap sisi psikologi dan masa depan korban akibat adanya penyimpangan seks (psychoseksual disorder). f. Perkembangan hubungan internasional melalui perkawisanan dapat memperbesar angka perceraian akibat perbedaan budaya. Dari pembahasan tersebut mengenai dampak keberadaan seks dalam pariwisata maka dapat dikatakan bahwa potensi dampak negatif yang dimiliki aktivitas seks dalam pariwisata adalah lebih besar dibandingkan dampak positif. Dengan demikian, pertimbangan matang hasuslah dilakukan untuk menghindari aktivitas ini tidak hanya menghasilkan penyakit bagi destinasi wisata. Dalam rangka menurunkan dampak negatif yang akan terjadi maka langkah preventif (pencegahan) dan represif (penanggulangan) perlu dilaksanakan. 3. Simpulan dan Saran 3.1 Simpulan Berdasarkan pembahasan tersebut maka dapat ditarik kesimpulan antara lain: a. Seks dalam pariwisata tumbuh berkembang didorong oleh berbagai faktor baik yang berkembang seperti dampak aktivitas pariwisata, kebijakan pemerintah terhadap perkembangan seks dalam pariwisata, serta dipengaruhi juga oleh keberadaan seks yang telah ada di destinasi sebelum pariwisata berkembang. Seks dalam pariwisata Bali dapat dikategorikan sebagai dampak perkembangan pariwisata karena keberadaan mereka bukanlah menjadi daya tarik wisata (seperti di Thailand) melainkan hadir karena maraknya aktivitas pariwisata. b. Faktor pendorong seks dalam pariwisata sangat beragam apalagi jika ditinjau dari komponen pariwisata (tourist, host, government, business supplier) yang secara langsung memberikan kontribusi terhadap perkembangan seks dalam pariwisata. c. Aktivitas seks dalam pariwisata selain memiliki dampak positif juga memiliki dampak negatif yang besar. Oleh karena itu, penetapan kebijakan yang memadai untuk meminimalkan dampak negatif yang timbul perlu dilakukan. Hal ini perlu menghindarkan terjadinya tingkat biaya yang dikeluarkan lebih besar dibandingkan pendapatan yang diperoleh. Akhirnya, penanggulangan secara preventif dan represif harus dilakukan untuk meminimalisasikan dampak negatif yang mungkin timbul. 3.2 Saran Adapun saran yang diajukan sebagai berikut: a. Perlu diadakan penelitian lebih lanjut mengingat berkembangnya seks di daerah tujuan wisata tidak hanya disebabkan oleh aktivitas pariwisata namun juga akibat berkembangnya media pornografi. b. Perlu ditingkatkan usaha pengawasan aktivitas orang asing di Indonesia untuk sedini mungkin menghindari terjadinya penyimpangan seksual yang dilakukan orang asing. c. Disatu sisi industri pariwisata adalah industri jasa yang menekankan pelayanan (service) sebagai hal utama. Di sisi lain, seks juga merupakan aktivitas jasa menjadikan pelayanan sebagai hal utama dan terutama pelayanan yang bersifat lebih pribadi (personal service and touch). Kombinasi dua sektor jasa ini memang menjanjikan pendapatan yang lebih besar pada para pelakunya karena lebih banyak berhubungan dengan wisatawan. Namun demikian, jangan sampai karena menginginkan pendapatan besar mengorbankan diri sendiri (penyakit), bangsa, dan budaya. Oleh karena itu, antisipasi dini terhadap dampak negatif seks dalam pariwisata harus dilakukan oleh segenap komponen pariwisata. Daftar Pustaka Hall, Elizabeth. 1983. Psychology Today: an Introduction. USA: Random House, Inc. Lawang, Robert MZ. 1986. Buku Materi Pokok Pengantar Sosiologi Modul 1-5. Jakarta: Universitas Terbuka. Lawang, Robert MZ. 1986. Buku Materi Pokok Pengantar Sosiologi Modul 6-9. Jakarta: Universitas Terbuka. Roediger III, Henry L., J. Philippe Rushton, Elizabeth D. Capaldym dan Scott G. Parris. 1984. Psychology. Canada: Little, Brown & Company. Soekamto, Soejono. 1982. Sosiologi: Suatu Pengantar. Jakarta: CV. Rajawali. Yoety, Oka A. 1983. Pengantar Ilmu Pariwisata. Bandung: Angkasa. Yoety, Oka A. 2000. Tours and Travel management. Jakarta: Pradnya Paramita. PELACURAN DAN PARIWISATA (STUDI KASUS PELACURAN DI BAWAH UMUR DI OBJEK WISATA KUTA) Adria Rosy Starinne Alumni Program Studi Pariwisata Unud Abstract Prostitution is a phenomenon that grows rapidly in tourism centers especially in Kuta. It is happened and surprisingly involves under aged children. This social phenomenon comes as a result of economic factor and the lack of social control. Key word : tourism, prostitution, under age 1. Pendahuluan Setelah mengalami pasang surut perkembangan, akhirnya sekitar tahun 1994 pariwisata Bali berhasil membuktikan keunggulannya. Pariwisata maju dengan pesat dan diikuti dengan timbulnya dampak positif dan negatif dari aktivitas tersebut. Salah satu bentuk efek sosial negatif yang muncul adalah praktik prostitusi liar, narkoba dan pelacuran. Semua ini banyak terjadi di daerah wisata di objek wisata Kuta. Seperti telah diketahui Desa Kuta saat ini memang telah berkembang ke arah wujud masyarakat majemuk dengan tingkat integrasi masyarakat yang tidak mengkhusus ke arah komunitasnya, bahkan semakin menuju ke arah supra etnis. Akibatnya sistem kontrol sosial tradisional makin kabur dan kurang efektif dalam fungsinya. Dampak selanjutnya akan dapat memicu munculnya keresahan-keresahan sosial tertentu seperti yang pernah terjadi pada April 1999 antara para pendatang pencari kerja dengan beberapa warga Kuta. Kontrol sosial yang cenderung lemah inilah yang memungkinkan berbagai bentuk perilaku anormatif seperti praktek pelacuran, Fenomena yang belakangan ini (1997) sempat mengejutkan hampir semua masyarakat di Bali adal.ah munculnya praktek pelacuran anak di Kuta yang keberadaanya sangat tertutup dan hampir tidak mungkin dapat dibuktikan. Sebelumnya model praktek pelacuran liar seperti pelacur jalanan, jasa escort, pelacuran di rumah-rumah kost, pelacur panggilan, dan pelacur yang berkedok sebagai guide sudah biasa terdengar dalam kawasan wisata Kuta. Akan tetapi pada tahun 1997, sedikit berbeda karena praktek ini ternyata sudah merambah pada kelompok anakanak. Fakta ini sebenarnya mulai terlihat jelas pada bulan Juli 1997 oleh kasus James (warga Amerika serikat) yang terbukti telah melakukan tindak pelecehan seksual kepada anak-anak asal Kabupaten Karangasem. Menurut hasil observasi awal penelitian ini diketahui bahwa anak-anak yang melacur tersebut ternyata memiliki keterkaitan. dengan kasus James di atas, (observasi, 1997). Beberapa diantaranya adalah korban pelecehan seksualnya yang karena malu dan takut akhirnya mengambil jalan pintas sebagai pelacur terselubung dengan istilah pengantar tamu. Selanjutnya anak-anak ini mengalami nasib yang lebih buruk karena gerak mereka tercium oleh orang yang memanfaatkannya sampai akhirnya mereka mengalami eksploitasi. Kejadian ini temyata tidak membuat anak-anak jera tetapi justru membuat beberapa diantaranya merasa senang dan menganggap hal. biasa. Hal ini karena selain profesi melacur di kawasan Kuta sudah menjadi hal yang biasa juga secara materi mereka tercukupi dan kesulitan ekonomi keluarga untuk sementara terpenuhi. Bahkan beberapa diantaranya telah berhasil memiliki simbol kemewahan seperti mobil, sepeda motor, dan rumah yang bagus di desannya. Hal inilah salah satu faktor yang memicu daya tarik bagi teman-teman lain sedaerah asal untuk mengikuti temannya menjadi pengantar tamu di Kuta. Iming-iming ini ternyata membuat sebagian temannya tergiur olehnya sampai fenomena pelacuran anak-anak terselubung ini merebak di kawasan wisata Kuta. Berdasarkan latar belakang tersebut permasalahan dalam penelitian ini adalah faktorfaktor apa sajakah yang mempengaruhi timbulnya pelacuran di bawah umur di objek wisata Kuta. 2. Tujuan Penelitian Bedasarkan masalah diatas, tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya pelacuran di bawah umur di objek wisata Kuta. 3. Kajian Pustaka 3.1 Pengertian Pelacuran Polsky (Dam Truong, 1992:16) mendefinisikan pelacuran sebagai pemberian seks di luar pernikahan sebagai pekerjaan. Definisi ini masih terlalu luas sehingga Gagnon (1968) mempertegas bahwa pelacuran sebagai pemberian akses seksual pada basis yang tidak deskriptif untuk memperoleh imbalan berupa barang atau uang tergantung pada kompleksitas ekonomi lokal. Dari definisi ini dibedakan antara pelacur profesional, perempuan piaraan (gundik), perempuan baik-baik (istri) atau perempuan yang memperoleh rangkaian pemberian pada saat melakukan kontak seksual secara rutin. Hal ini ternyata dimulai sebagai hegemoni kultural oleh Rowbothon (1973), karena cara pandangan ini mengekpresikan pemecahbelahan kaum perempuan dan hanya memperkuat idiologi patriarki (dominasi pria atas wanita) saja. Berdasarkan cara pandang Rowbothon (1973) tersebut, pendekatan yang lebih ampuh diajukan oleh Barry (1981) terkutip dalam Truong (1996:17). Secara empiris Barry menunjukkan bahwa perempuan dipaksa masuk ke dalam pelacuran sebenarnya oleh dominasi kaum pria yang menggunakan beragam sarana melalui janji-janji muluk pekerjaan, perkawinan (cinta) atau perbudakan terselubung, loyalitas (terhadap mucikari), penculikan dan penyekapan. Inti dan pandangan Barry ini adalah perempuan merupakan objek perbudakan seksual pria, dimana perempuan tidak dapat melepaskan. diri karena dia telah terjerat pada eksploitasi seksual pria. Berdasarkan beberapa definisi tersebut secara keseluruhan dapat diamati terdapat tiga elemen utama dari pelacuran yang dikenal luas, yaitu: ekonomi, seksual dan psikologi (struktur psikoindividual, emosional). Semua unsur ini terdapat pada kebanyakan hubungan 'seksual, Persoalan utama yang diperdebatkan terletak pada bagaimana seorang pelacur dibedakan dari perempuan baik-baik. Dalam satu sisi, definisi pelacuran menempatkan pelacur di bawah isu pelcerjaan, kelangkaan akan pelayanan dan keterampilan seksual serta hasrat promiskuitas. Dalam sisis lain, menempatkan pelacuran di bawah kebudayaan patriarki, di mana seksualitas perempuan berada dalam wilayah dominasi pria, yakni sebagai pelayan seks kebutuhan pria (aspek politis pelacuran). Hal yang perlu diperhatikan dari persoalan pelacuran ini sebenarnya adalah pemahaman tehadap hubungan sosial yang melibatkan pihak, penyedia pelayanan seksual, pihak penerima dan pihak pengatur dalam praktek pelacuran. Relevansi beberapa definisi pelacuran dalam penelitian ini adalah sebagai kerangka pedoman untuk melihat sejauh mana praktek-praktek pelacuran yang terjadi dikalangan pelacur anak. Penekanan yang diambil adalah unsur-unsur apa saja yang turut mendukung dan membentuk keberadaan pelacuran anak di Kuta. 3.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Timbulnya Pelacuran Ada dua pandangan pokok yang menerangkan timbulnya pelacuran, yaitu: pandangan dari ilmu psikologi sosial dan sosiologi. Pandangan dari sudut psikologi lebih menekankan pada aspek mengapa perempuan melacur sedangkan dari sudut sosiologi menerangkan tentang keberadaan pelacuran (Thio, 1992:187). Menurut ahli psikologi sosial Henry Benjamin dan R.E.L Master, ada tiga faktor yang menyebabkan seorang wanita memasuki prostitusi. Pertama, Presdisposing factor (faktor pengaruh), merupakan faktor-faktor yang mempengamhi wanita melacur. Faktorfaktor yang dimaksud adalah latar belakang pelacur seperti karena kondisi broken home, perilaku promiskuitas orang-tua terutama ibu, lingkungan sosial yang-permissif dan trauma produktif dari sakit saraf. Kedua, attracting factor (faktor ketertarikan), adalah keuntungan relatif yang diperoleh dari profesi melacur seperti besar penghasilan, kehidupan yang lebih layak, dan harapan akan pemuasan kebutuhan seksual. Ketiga, merupakan precipitating factor (faktor pendorong), merupakan faktor yang mempercepat timbulnya pelacuran atau seseorang melacur, seperti tekanan ekonomi, kegagalan perkawinan, bujuk rayu dari germo atau sesama pelacur serta kehidupan cinta yang tidak bahagia. Teori lain juga dikemukakan oleh Kartini Kartono (1989:234), yang memandang ada 8 motif kenapa seorang wanita akhirnya memilih mejadi pelacur atau memilih pelacuran sebagai mata pencaharian. Motif-motif tersebut diantaranya adalah: (1) adanya nafsu seks yang tidak normal, (2) aspirasi materiil yang tinggi dibarengi dengan usaha mencari kekayaan lewat jalan yang mudah, (3) konpensasi terhadap rasa inferior (rendah diri) sebagai pusat adjusment yang negatif, (4) memberontak terhadap, otoritas orang-tua, tabutabu religius dan norma sosial, (5) broken home atau ada disorganisasi kehidupan keluarga, (6) penundaan perkawinan jauh sesudah kematangan biologis, (7) bermotifkan standar hidup atau ekonomis yang linggi, dan (8) karena menjadi gadis pecandu ganja, obat bius dan miniman keras yang akhirnya terpaksa menjual diri dan menjalankan pelacuran secara intensif. Pandangan yang lebih bersifat sosiologis dikemukakani oleh Imam Asyari (1986:72) yang menyatakan bahwa prostitusi merupakan hasil dari interaksi sosial seperti desakan ekonomi dan interaksi sosial yang salah. Pandangan ini diperkuat oleh Davis (1973) terkutip dalam Thio, (1992:189), yang menyatakan bahwa prostitusi ada di dalam masyarakat karena sistem moral pendorongnya. Hal serupa juga diajukan oleh Soedjito (1987:83), yang menyatakan bahwa pelacuran merupakan masalah sosial dengan reaksi berantai dan resultante dari beberapa faktor termasuk moralitas. Menurut analisis Wayan Geriya (1998), terhadap timbulnya pelacuran anak di Kuta, secara umum ada 3 faktor, yaitu faktor pendorong, penarik dan pematang. Faktor pendorong adalah faktor yang mempengaruhi timbulnya pelacuran yang mencakup kondisi sosial ekonomi keluarga anak serta lingkungan asalnya. Faktor penarik adalah faktor yang menarik kedatangan anak-anak tersebut ke Kuta seperti iming-iming pekerjaan, imbalan dan citra gemerlap Kuta, termasuk segala aktifitas yang ada dalam kepariwisataan di Kuta. Faktor pematang yaitu faktor yang mematangkan terjadinya pelacuran anak di Kuta. Termasuk didalamnya adalah adanya lingkungan permissif (serba dibolehkan) serta adanya sentral-sentral yang memberikan kesempatan akan timbulnya pelacuran seperti diskotik, pub, bar dan panti pijat dan kehidupan hiburan lain sepanjang malam. 3.3 Pelacuran di Bawah Umur Definisi tentang pelacuran dibawah umur atau pelacuran anak-anak sampai saat ini di kalangan ilmu-ilmu sosial di Indonesia memang belum ada kesepakatan. Batasan-batasan teknis seperti usia juga belum ada. Bahkan istilah pelacur anak atau pelacuran anak-anak banyak mengundang kritik tajam; karena dinilai meligitimasi otoritas anak untuk menjalaninya sebagai profesi. Padahal tidak semuanya demikian. Munculah perumusanperumusan yang sebenarnya memiliki hakikat- yang sama, seperti Eksploitasi Seks Komersial Anak (ESKA), Pekerja Seks Komersial Anak (PSK), bahkan pengalaman penelitian di Indramayu yang diperkuat dengan konggres di Solo (1996) menggunakan batasan istilah Anak-anak Yang Dilacurkan. Penelitian ini menggunakan istilah pelacuran dibawah umur, sebenarnya memiliki kandungan arti dan definisi yang tidak jauh beda dengan beberapa istilah di atas. Pelacuran dibawah umur juga dapat didefinisikan sebagai praktek melacur (pelacuran) yang dilakukan oleh anak-anak atau penggunaan anak untuk tujuan-tujuan seksual dengan imbalan da/am bentuk uang tunai atau da/am bentuk lain sesuai kesepakatan antara si anak sendiri, kliennya, perantara atau agen dan orang-orang lain yang mendapat keuntungan dari praktek pelacuran tersebut (World Congress Againts Commercial Exploitation of Children, 1996). Persoalan selanjutnya terletak pada batasan umur yang digunakan. Seperti terpapar di atas batasan usia untuk menyatakan anak-anak di Indonesia juga rnasih belum ada kesepakatan yang pasti. Sebagai contoh Yayasan Kesejahteraan Anak, Indonesia (YKAI) menggunakan batasan usia anak antara 13-15 tahun. International Labour Organization (ILO) menetapkan sampai batas usia 14 tahun yang kemudian diratifikasi oleh beberapa negara berkembang berkisar antara. 15-18 tahun, Konvensi Hak Anak Internasional menetapkan di bawah 18 tahun dan Depsos menetapkan antara usia 7-15 tahun. Mengingat belum ada batasan yang jelas dalam penetapan usia anak, maka penelitian ini mendasarkan pada hasil observasi awal di lapangan yang dianalisis sampai terkumpul 10 kasus. Dalam proses analisis ini digunakan batasan universal dalam Konvensi Hak Anak yang menyatakan bahwa anak adalah semua individu yang berusia kurang dari 18 tahun. Hasil dari analisa ini didapatkan bahwa anak-anak yang melacur dibawah umur berada pada rentang usia 11 sampai 16 tahun, Dengan demikian batasan usia dalam perumusan istilah pelacuran dibawah umur di objek wisata Kuta adalah anak-anak yang brusia antara 11 sampai 16 tahun. 4. Karakteristik Pelacur di Bawah Umur Dalam penelitian diambil responden sebanyak 10 orang yang berfrofesi sebagai pelacur dan bermukim di Banjar Anyar di kawasan banjar Legian Kelod. Pengambilan sampel dilakukan secara quota sampling dan pengambilan dilakukan dengan teknik snowball. Pendekatan yang dipakai adalah kualitatif dengan metode partisipatori. Dari hasil penelitian diperoleh karakteristik responden (penelitian dilakukan tahun 1998) sebagai berikut : Nama Umur Pendidikan Asal Penghasilan Sut. 16 Tidak tamat SD Karangasem 100.000-300.000 Wt. 16 Tidak tamat SD Karangasem 100.000-700.000 Yul. 16 Tidak tamat SD Karangasem 100.000-300.000 Asr. 15 Tidak sekolah Karangasem 50.000-75.000 Ay. 14 Tidak tamat SD Karangasem 20.000-40.000 St. 14 Tidak sekolah Karangasem 50.000-80.000 Suas. 14 Tidak sekolah Karangasem 60.000-100.000 Ngh. 13 Tidak sekolah Karangasem 15.000-40.000 As 12 Tidak tamat SD Karangasem 15.000-40.000 Puj 11 Tidak sekolah Karangasem 10.000-25.000 Sumber : Data primer ,1998 (data lengkap ada di peneliti) 5. Faktor-faktor Pembentuk Pelacuran di bawah Umur di Objek Wisata Kuta 5.1 Faktor Pendorong Faktor pendorong (push factor) di sini mempakan faktor-faktor yang secara langsung maupun tidak dapat rnempengaruhi dan memunculkan niat anak-anak untuk melacurkan diri di objek wisata Kuta. Faktor-faktor ini diantaranya meliputi kondisi daerah asal mereka, latar belakang sosial ekonomi keluarganya, proses sosialisasi anak dalam lingkungan keluarga dan kontrol sosial masyarakat daerah asal mereka. Kondisi daerah asal, seperti telah diketahui jika anak-anak yang melacur di bawah umur di Kuta adalah berasal dari daerah yang sama yaitu: dari Dusun Pedahan dan Munti Gunung. Kedua dusun tersebut terletak di kaki Gunung Agung dengan jarak 12 Krn dari Kecamatan Kubu dan 48 Km dari Ibukota Amlapura, Karangasem. Konon kehidupan kedua dusun ini memang sangat indah dan subur. Banyak sungai besar dan hamparan tanah perladangan penduduk menghiasai kesuburan kaki gunung Agung waktu itu. Akibat letusan Gunung Agung daerah tersebut sekarang menjadi gersang, sulit air dan tandus. Dari kondisi tersebut mereka banyak yang merantau bahkan disuruh orang tua untuk bekerja apa saja asalkan mendatangkan uang. Bahkan mereka merelakan anaknya pergi dari desa untuk mencari pekerjaan di tempat lain, karena mereka menganggap bahwa desa mereka tidak dapat menjanjikan apa-apa untuk mendapat kehidupan yang lebih layak. Kondisi inilah yang salah satunya mendorong anak-anak dan beberapa penduduk desa pergi meninggalkan daerahnya. Mereka terpencar di seluruh kota-kota besar di Bali dan salah satunya adalah Kuta. Banyak kegiatan yang mereka lakukan setelah berada di Kuta. Ada yang menjadi pengemis, pencopet, pencuri, pembantu rumah tangga, tukang pel, bahkan ada yang sampai menjadi pelacur dan gigolo. Begitulah hal-hal yang mendorong anak-anak dari kedua dusun ini sampai pergi ke Kuta yang pada akhirnya menjadi pelacur untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Kondisi pcrekonomian keluarga, komponen dari faktor pendorong yang kedua adalah kondisi perekonomian keluarga. Kondisi ini menurut Kartini Kartono, (1988:234) merupakan salah satu determinan yang menyebabkan individu memasuki dunia pelacuran. Menurutnya tekanan ekonomi, termasuk kemiskinan keluarga, kemiskinan pengetahuan dan kemiskinan moral adalah faktor-faktor yang memiliki pengaruh besar dalam membentuk praktek pelacuran. Hal tersebut jika dianalisis memang sedikit memiliki korelasi. Namun bukan berarti sebagai faktor pembenar tunggal dalam hal munculnya pelacuran anak dibawah umur di Kuta. Kemiskinan dan tekanan ekonomi keluarga dari anak-anak memang menjadi pemicu tetapi tidak dapat dikatakan sebagai pembenar. Dari 10 (sepuluh) kasus yang diamati 8 (delapan) .kasus menyatakan bahwa mereka memang mengalami kesulitan ekonomi. Kondisi ekonomi keluarga yang serba susah mendorong mereka untuk berurbanisasi dari desa asalnya. Secara kebetulan daerah wisata Kuta menjadi salah satu pilihan terakhirnya karena sebelumnya beberapa diantara mereka juga pernah merantau di beberapa kota besar di Bali. Sosialisasi anak dalam keluarga, komponen faktor pendorong yang ketiga adalah sosialisasi anak dalam keluarga. Sosialisasi dalam kasus ini adalah proses anak-anak dalam upaya mempelajari dan menginternalisasi norma, nilai, peran dan semua persyaratan lain yang diperlukan untuk memungkinkan partisipasinya dalam kehidupan sosial. Sosialisasi ini penting bagi perkembangan diri anak karena dengan nilai, norma, serta peran yang dimilikinya seorang anak akan mampu hidup normal sesuai panata dan norma yang berlaku dalam masyarakat. Secara teoritis terdapat dua macam sosialisasi, yaitu sosialisasi primer dan sosialisasi sekunder. Sosialisasi primer pada umumnya terjadi pada usia anak 0-4 tahun, sedangkan sosialisasi sekunder terjadi setelah masa sosialisasi primer berhasil dilalui. Dalam tahap sosialisasi primer seorang anak akan diperkenalkan dengan lingkungan sosial terkecil yaitu; keluarga. Dalam lingkungan ini anak diharapkan telah mampu mengenal ayah-ibunya, saudara kandungnya, kerabatnya, teman sebaya dan tetangganya. Selain itu anak juga diharapkan mampu mengenal dirinya sendiri dengan baik seperti rnengetahui nama yang dipakai. Setelah itu anak akan berhadapan dengan tahap sosialisasi sekunder, Tahap ini bukan keluarga atau ayah dan ibu yang berperan dalam proses pendidikannya, melainkan masyarakat secara umum. Bagi anak yang sekolah dia akan lebih banyak bergaul dengan lingkungan teman-teman sekolah dan bagi yang tidak bersekolah pertama kali hanya dapat diperoleh dari lingkungan terkecilnya yaitu: ayah atau ibuhya Jika figur itu dalam perkembangan anak sudah hilang maka anak akan menjadi rawan; kurang kontrol diri dan cenderung tidak memiliki kepercayaan diri. Kontrol sosial masyarakat daerah asal, unsur keempat yang menjadi salah satu faktor pendorong para pelacur di bawah umur di Kuta adalah-adanya kontrol sosial di daerah asalnya yang lemah. Dalam pengertian, kurang ada sanksi yang tegas terhadap warganya jika diketahui bahwa anak-anak dari daerah asalnya melakukan tindakan yang secara umum kurang normatif kontrol sosia1 ini meliputi sikap dan reaksi masyarakat terhadap perilaku tindak pelacuran, Menurut beberapa hasil penelitian tentang pelacuran, menyatakan bahwa salah satu penyebab adanya kelanggengan praktek prostitusi dalam suatu masyarakat adalah sikap serta reaksi dari masyarakatnya sendiri terhadap praktek pelacuran. Sikap dan reaksi ini akan tidak berlaku jika masyarakat tidak mengetahui atau Jika para pelaku pelacuran sengaja tidak memberitahukan terhadap prakteknya. Artinya para pelacur sengaja menyembunyikan aktifitasnya atau selalu menutupi perilakunya. Secara umum sikap dan reaksi ini memang sangat terkait dengan sistem norma serta aturan yang berlaku dalam masyarakat. Terkait dengan persoalan itu sikap di sini diartikan sebagai suatu bentuk respon evaluatif yang sudah melalui berbagai pertimbangan baik oleh warga masyarakat maupun oleh individu yang bersangkutan memilih menjadi pelacur setelah berada di Kuta. Faktor penarik ini pada umumnya hanya ada di daerah yang menjadi tujuan anak-anak untuk mencari uang atau kerja, yaitu: Kuta. Dalam penelitian ini perwujudan dari faktor-faktor penarik tesebut diantaranya adalah adanya objek wisata yang menarik di Kuta (matahari, pasir putih, dan laut biru-sun, sand, sex), banyaknya fasilitas hiburan yang beroperasi sepanjang malam (bar, pub, diskotik, film, restoran), kunjungan turis yang ramai, uang dollar, dan lapangan pekerjaan baik sektor formal dan informal yang terbuka lebar (pedagang acung, pemijat, manekure, pengepang rambut). 5.2 Faktor Penarik Faktor penarik merupakan faktor-faktor yang secara langsung maupun tidak langsung dapat menimbulkan atau mematangkan sikap anak-anak sehingga dalam dirinya muncul adanya keputusan untuk pergi ke Kuta atau mengambil keputusan untuk memilih menjadi pelacur setelah berada di Kuta. Peluang kerja dan daya tarik wisatawan asing, menurut hasil pengamatan dan pengakuan sebagian begian anak-anak sendiri tentang alasan pertamanya memilih Kuta sebagai daerah tujuan untuk memperbaiki taraf ekonomi adalah karena Kuta merupakan objek wisata yang membuatnya menarik, banyak peluang kerja dan banyak turis yang membelanjakan uangnya. Alasan ini kemudian dimatangkan oleh adanya kerabat, dan teman-temanya sedaerah asal yang telah terlebih dahulu berada di Kuta. Pertama anak-anak ini hanya mendengar jika di Kuta mudah mencari uang. Kemudian beberapa anak mencoba membuktikan akan kebenaran informasi tersebut. Fakta ini seperti yang diakui oleh Sut (16 th) dan Yl (16 th). Mereka mengaku jika mendengar informasi itu dari Wt (16 th) dan As ( 12 th) yang telah lama berada di Kuta Seperti itulah gambaran daya tarik Kuta dimata anak-anak dari dua dusun ujung timur pulau Bali ini. Kuta betul-betul; memiliki citra positif dan dipersepsikan sebagai tempat yang dapat mengatasi segala kesulitan dirinya beserta keluarganya Sampai-sampai seorang kerabat Sut yang bernama Nengah (20 tahun), juga tertarik dengan keberhasilan Sut. Padahal dia telah menikah dan punya pekerjaan tetap didesanya sebagai pembuat gula ental dan mencarikan rumput untuk 4 sapinya. Meskipun begitu ia tetap bersikeras ikut pergi ke Kuta bersamanya. Namun niatnya ini tidak berlangsung lama karena suaminya dari desa mencari dan marah-marah untuk selanjutnya diajaknya pulang kembali ke desa. Banyak fasilitas hiburan dan uang dollar, unsur ini juga menjadi faktor penarik bagi anak-anak dari kedua dusun ini. Ha ini selaras dengan pendapat Wayan Geriya (1998). Menurutnya, suburnya pelacuran di suatu daerah sebenarnya telah dimatangkan oleh kondisi dari daerah tersebut. Sepert halnya Kuta, yang di dalamnya telah ada sentralsentral pariwisata lengkap dengan sarana dan prasaran tempat hiburan yang keberadaanya ternyata membolehkarn diadakannya praktek prostitusi. Memang terdapat suatu sistem yang rumit tentang persoalan ini. Disatu sisi pelacuran dilarang dan tidak bisa diterima oleh masyarakat luas sedangkan disisi lain keberadaan sentral-sentral pariwisa.ta tersebut, justru mengkondisikan jika kehadiran pelacur memang diperlukan. Sentral-sentral tersebut memang bukan suatu lokalisasi pelacuran, namur membolehkan kehadiran pelacur-pelacur untuk beroperasi. Hal ini bagi para pemilik sentra-sentra pariwisata memang sangat menguntungkan karena akan dapat mendatangkan jumlah pengunjung yang besar. Di sini para pelacur juga diuntungkan karena ramainya pengunjung berarti semakin banyak pula kemungkinan yang akan mempergunakan dirinya. Disinilah simbiosis mutualisme kehidupan malam benar-benar terjadi meskipun antara kedua belah pihak tidak mengadakan perjanjian sebelumnya. Pada kasus pelacuran di Kuta, sentra-sentra tersebut'termasuk fasilitas-fasilitas hiburan, mainan, penginapan, panti-panti, panggung tertutup, restoran, hotel, dan berbagai jenis bentuk karaoke. Sentra-sentra ini di wilayah Kuta tcrnyata sering menjadi ajang praktek prostitusi, adalah rumah bola (billyard), salon, permainan ketangkasan, panti pijat, bar, pub dan diskotik. Ternpat-tempat tersebut memang tidak semua menjadi lokasi praktek pelacuran, namun semua mempunyai andil untuk dijadikan tempat transa.ksi. Tempat billyard misalnya, beberapa diantarnya memang merupakan salah satu sentral dimana banyak terjadi transaksi pelacuran. Perempuan-perempuan malam di tempat ini banyak Bahkan peneliti sering mendapati langsung seorang responden yang tinggal berharihari dengan seorang wisatawan mancanegara di sebuah hotel di kawasan Kuta Anak ini ketika bertemu lagi dengan saya terlihat tidak ada rasa malu dengan tindakannya tersebut. la menganggap hal tersebut biasa saja di Kuta, tetapi berusaha menutupinya jika salah seorang keluarganya menengoknya di Kuta. Begitulah peluang yang diberikan oleh berbagai macam sarana hiburan yang ada di Kuta dalam rangka mematangkan terjadinya pelacuran bawah'-umur. Kehidupan-kehidupan seperti itulah yang merupakan daya tank tersendiri bagi anak-anak. Kontrol sosial Kuta, salah satu hal lain yang juga ikut mematangkan adanya pelacuran bawah umur adalah peran kontrol sosial dari masyarakat Kuta sendiri. Kontrol sosial atau pengendalian sosial yang dimaksud di sini adalah segala bentuk proses, baik direncanakan atau tidak, memiliki sifat mendidik, mengajak atau bahkan memaksa warga masyarakat agar mematuhi norma-norma dan nilai-nilai sosial yang berlaku. Pengendalian sosial diperlukan oleh masyarakat agar setiap warga masyarakat mau meniatuhi nilai-nilai dan norma sosial yang berlaku baik dengan kesadaran sendiri maupun dipaksa. Melalui pengendalian sosial bahkan orang-orang yang sudah menyimpang diusahakan untuk kembali mematuhi nilai dan norma tersebut (Maftuh dan Yadi Riyadi, 1994:107). Demikian pula dengan masyarakat Kuta., individu-individunya pasti akan selalu menghendaki adanya keteraturan dalam melaksanakan kehidupan sehari-hari, Oleh karena itu perlu ada aturan dan sangsi yang berlaku. 6. Simpulan dan Saran 6.1 Simpulan Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kepariwisataan di Bali secara umum telah banyak memberikan kesejahteraan dan peningkatan taraf hidup masyarakat. Disisi lain penelitian ini juga menemukan adanya ketidakmerataan pembagian hasil dari keuntungan pariwisata. Salah satu kasus yang nyata dari adanya ketidakmerataan ini dialami oleh sebagian warga dari wilayah ujung timur Pulau Bali, khususnya Dusun Pedahan dan Muntigunung, Kecamatan Kubu, Karangasem. Dua dusun ini adalah salah satu potret adanya ketimpangan pembagian dolar yang-dihasilkan dari industri pariwisata. Dari kedua dusun inilah para pelacur anak-anak di Kuta berasal, yang sampai detik ini nasib dan keberadaannya terus terinjak dan tertindas. Sangat disadari apabila penelitian ini hanya bersifat menemukan dan mendiskripsikan adanya fakta. Bahkan hanya menyajikan masalah atau membuat masalah yang mungkin akan menjadi bahan polemik dan perdebatan panjang. Sejauh itu disadari pula jika penelitian ini tidak mampu memberikan solusi yang tepat tentang persoalan ini. Namun begitu, tanpa harus menjadikan hasil penelitian ini penting bagi semua pihak, sekiranya temuan-temuan dalam penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan untuk koreksi dan evaluasi diri, khususnya terhadap pemerataan hasil-hasil yang diraup dari industri pariwisata. 6.2 Saran Bertolak dari kenyataan ini langkah-langkah yang sekiranya penting untuk diperhatikan diantaranya adalah : a. Perlu dilakukan tindakan-tindakan proaktif bagi kelompok anak-anak ini dengan harapan agar mendapatkan perlindungan, baik terhadap hak-haknya, resiko kesehatan maupun keselamatan jiwanya. b. Bagi kelompok anak-anak yang sudah tidak mungkin dapat ditolong dari dunia pelacuran, hendaknya diadakan peningkatan penyuluhan keagamaan dan penyuluhan kesehatan terutama tentang, Penyakit Menular Seksual (PMS) dan HIV/AIDS. c. Bagi daerah asal mereka perlu diupayakan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui program pengentasan kemiskinan, peningkatan kualitas pendidikan dan keagamaan. Daftar Pustaka Ancoh, Djamatudin. 1986. Tekhnik Penyiisunan Skala Penguhir. Yogyalkarta : PPK UGM Becker, Howards. 1988. Sosiologi Penyimpangon : Disarikan oleh Soerjono Soekanto dan Ratih Lesta. Jakarta; Rajawali Pers Benedict, Ruth. 1960. Pola-Pola Kehudayaan. Jakarta.: Pustaka Universitas Rakyat Indonesia Bregt, J Vredcn. 1983. Metode Dan Teknik Penelitian Masyarakat. Jakarta: PT Gramedia Darn Truong, ThnnJIi. 1992. Seks, Uang Dan Kekuasaan: Pariwisata Dan Pelacuran DiAsia Tenggara. Di-Indonesiakan oleh Ade Armando: LP3S Dananjaya, James. 1988. Antropologi Psikologi: Teori, Metode Dan Perkembangannya: Rajawali Pers. ________, 1973. Encyclopedia Britamca. Chichago : William Benton Publishers Gde Arsana, Ketut, et al. 1989/1990. Tata Kelak-nan Di Lingkungan Keluarga Dan Masyarakal. Setempat Daerah Bali. Denpasar : Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan . Gunarsa, Singgih. 1991. Psikologi Remaja. Jakarta : Gunung Mulia. Kartono, Kartini. 1988. Psikologi Sosial. Jakarta : Rajawali Pers. 1984. Psikologi Abnormal Dan Psikologi Seks, Bandung : Rajawali Pers. ________, 1992. Psikologi Sosial 2: Kenakalan Remaja. Jakarta : Rajawali Pers. ________, 1992. Peranan Keluarga Memandu Anak : Seri Psikologi Terapan. Jakarta : CV Rajawali Bekerja Sama dengan dan UKSW Salaliga. Kumbara, Anoni. 1994. Tinjanan Konseptiial Masalah Pelacuran Dan Implikasinya : dya Pustaka. Denpasar : Fak. Sastra Unud. Maftuh, Bcnyamin dan Yadi Riyadi. 1994, Penuntun Belajar Sosiologi. Bandung ; Ganeca Exact Mead, Mar^areth. 1949. Male Dan Female. New York : Mentor Elooks Murray, AHson J. 1994, PedagangJalanan Dan Pelacur Jakarta : Sebuah Kajian Antopologi Sosial disarikan oleh Parsudi Suparlan. Jakarta : LP3ES Musscn, Piuil Henry, et al. 1990.' Perkembangan Dan Kepribudian Anak : Edisi 6, Jakarta : Arcan Pasaribn, I.L dan B. Simanjiitak. 1984. Teori Kepribaaian. Bandung : Tarsito Pcrmadi. 1991. "Seks Dan K.ebalinan'" dalam Prisma No. 7 Phong Paicllit, P. 1961. "The Open Economy And Its Friends. The Development;, of Thailand': Pasific Affair. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1991. Struktur Bahasa Bali. Jakatra; Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Sndarsono. 1994. Delerminan Sosial Bndaya Yang Mempengarnhi Mwicninya ProslitKsi: Studi Kasus Pada Lima Keluarga Pelacur Yang Tinggal Di Daerah Asal Pelacur di Desa Redjo Banyuwangi. Skripsi Antropc'logi. Denpasar : Fak. Sastra. Unud Sudibia, Kctut ct al. 1992. Keterkaitan Hubungan Antara Migi'an Dengan Daerah Asalnya Serfa Penganihnya Terhadap Remilan dan Migrasi Berantai : Sebuah Studi Kasus di Kelurahan Kuta Kabupaten Badung. Denpasar: sub Pusat Studi Kependudukan Unud Soekanto, Socrjono. 1990. Sosiologi Keluarga : Tentang Ikhwal Keluarga, Remaja Dan Anak. Jakarta : Rineka Cipta Susanto. S, Astrid. 1977. Penganiar Sosiologi Dan Pembangiman Sosial Bandung : Bina Cipta. PEMANFAATAN JASA LINGKUNGAN DAN EKOWISATA DI KAWASAN TAMAN NASIONAL BALI BARAT I Wayan Suardana Dosen Program Studi Pariwisata Unud Abstract Tourism is viewed as a development tool and as means of diversifying economic. Development, whether preceded by the word economic or sustainable, implies change and that is what is sought by propenents of tourism development. Fandeli 2000, page 59 Key words : environmental service, and ecotorism 1. Pendahuluan Paradigma pembangunan pariwisata di masa lalu telah mewarnai pola kebijaksanaan pengembangan hutan untuk wisata. Orientasi kepada mendukung peningkatan devisa negara menjadi alasan optimalisasi pemanfaatan hutan untuk tujuan tersebut. Dengan diluncurkannya Peraturan Pemerintah No. 18 tahun 1994 pemerintah c.q Departemen Kehutanan mengharapkan pengembangan hutan untuk pariwisata dapat dipacu. Walaupun dengan dalih tetap dalam kerangka konservasi, ternyata hasil yang dicapai tidak menggembirakan. Sejalan dengan perkembangan dalam dasa warsa terakhir ini, Bali dituntut untuk lebih adaptif terhadap kebutuhan pasar global. Dalam bidang pariwisata, keberadaan Bali akan ditentukan kemampuan dalam memberikan pelayanan atas komponen-komponen pariwisata, yaitu atraksi, transportasi, akomodasi, informasi dan promosi, secara kompetitif. Pada saat dunia sedang galau karena terjadinya kerusakan sumber daya alam dan lingkungan maka kepariwisataan alam mengalami perkembangan yang meningkat. Wisatawan yang pada umumnya dari kota, menginginkan suasana baru di alam yang jauh dari kebisingan. Sementara bagi wisatawan dari negara industri, melakukan perjalanan ke daerah yang memiliki suasana berbeda dengan tempat asalnya. Ramalan bahwa pariwisata akan menjadi industri jasa terbesar bersama-sama dengan transportasi dan telekomunikasi, harus dipahami sebagai peluang hanya bila disertai dengan pengetahuan (knowledge), ketrampilan (skill) yang cukup, dan sikap (attitude) yang baik. Kebijakan, strategi dan program pengembangan pariwisata alam ditetapkan dengan rambu-rambu konservasi. Sementara itu kegagalan dalam pengembangan kepariwisataan alam dapat terjadi bila tidak memperhatikan daya dukung dan adanya pergeseran paradigma. Pengembangan kepariwisataan alam di Taman Nasional Bali Barat dengan memanfaatkan jasa lingkungan alam dan budaya harus memperhatikan berbagai faktor. 2. Konsep Wisata Alam Menuju Wisata Berkelanjutan Kepariwisataan alam sangat ditentukan oleh keberadaan prilaku dan sifat dari objek dan daya tarik wisata. Menurut Fandeli (1999), sifat dan karakter kepariwisataan alam adalah : a. In situ; objek dan daya tarik wisata alam hanya dapat dinikmati secara utuh dan sempurna di ekosistemnya. Pemindahan objek ke ex situ akan menyebabkan terjadinya perubahan objek dan atraksinya. b. Perishable; suatu gejala atau proses ekosistem hanya terjadi pada waktu tertentu. Objek dan daya tarik wisata alam yang demikian membutuhkan pengkajian dan pencermatan secara mendalam untuk dipasarkan. c. Non Recoverable; suatu ekosistem alam mempunyai sifat dan prilaku pemulihan yang tidak sama, tergantung dari faktor dalam (genotype) dan faktor luar (phenotype). d. Non sustitutable; di dalam suatu daerah atau mungkin kawasan terdapat banyak objek alam. Objek dan daya tarik wisata alam terletak di berbagai tipe ekosistem, baik darat maupun lautan. Secara alami ODTW alam ini terdapat di taman nasional, cagar alam, suaka margasatwa, hutan wisata dan taman buru. Dalam perkembangan pariwisata berkelanjutan, ternyata kegiatan wisata alam lebih tegas diarahkan menuju kegiatan ekowisata. Konsep pariwisata berkelanjutan (sustainable tourism) juga masih dalam perdebatan. Beberapa konsep dan definisi pariwisata berkelanjutan muncul, diantaranya : a. Kegiatan wisata yang mempertemukan kepentingan pengunjung dan penerima dengan menjaga kesempatan bagi generasi mendatang untuk dapat ikut menikmati wisata ini. b. Pariwisata harus didasarkan pada kriteria yang berkelanjutan yang intinya adalah pembangunan yang harus didukung secara ekologis dalam jangka panjang dan sekaligus layak secara ekonomi, adil secara etika dan sosial terhadap masyarakat. c. Semua bentuk pembangunan, pengelolaan dan aktivitas pariwisata yang memelihara integritas lingkungan, sosial, ekonomi dan kesejahteraan dari sumber daya alam dan budaya yang ada untuk jangka waktu yang lama. d. Pariwisata yang memperhatikan kemampuan alam untuk regenerasi dan produktivitas masa datang. Beberapa definisi tersebut secara umum memiliki kesamaan yang merupakan terjemahan lebih lanjut dari pembangunan berkelanjutan. Oleh karena itu kegiatan wisata dianggap berkelanjutan apabila memenuhi syarat yaitu : a. Secara ekologis berkelanjutan, yaitu pembangunan pariwisata tidak menimbulkan efek negatif bagi ekosistem setempat. Selain itu, konservasi merupakan kebutuhan yang harus diupayakan untuk melindungi sumberdaya alam dan lingkungan dari efek negatif kegiatan wisata. b. Secara sosial dapat diterima; yaitu mengacu pada kemampuan penduduk lokal untuk menyerap usaha pariwisata (industri & wisatawan) tanpa menimbulkan konflik sosial. c. Secara kebudayaan dapat diterima, yaitu masyarakat lokal mampu beradaptasi dengan budaya tourist yang cukup berbeda (tourist culture) d. Secara ekonomis menguntungkan, yaitu keuntungan yang didapat dari kegiatan pariwisata dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dari beberapa kategori tersebut, kemudian jenis wisata berkembang lebih lanjut yang disebut ekowisata. Perkembangan ekowisata merupakan tuntutan lebih dari pecinta lingkungan bahwa kegiatan wisata seharusnya tidak hanya memperkecil dampak negatif terhadap lingkungan tetapi harus pula melibatkan kegiatan konservasi. Oleh karena itu walaupun pengertian ekowisata cukup bervariasi namun disepakati bahwa ekowisata merupakan bagian kecil dari pariwisata berkelanjutan karena sifatnya yang lebih spesifik. Wisata Pantai Wisata Pedesaan Wisata Alam Wisata Budaya Pariwisata Berkelanjutan Bisnis Usaha Travel Ekowosata Pariwisata tidak berkelanjutan (Massal – Konservasion) Dalam gambar 1 dapat dilihat posisi ekowisata terhadap pariwisata berkelanjutan. Gambar 1. Ekowisata Sebagai Bagian dari Konsep Pembangunan Berkelanjutan Sumber : Wood (2002) Sampai saat ini pengertian ekowisata masih diperdebatkan, paling tidak terdapat 15 definisi dari ekowisata yang dikemukakan oleh Fennel (1999), Selain itu, beberapa definisi muncul setelah tahun 1999 seperti Wood (2002). Fennell (1999: 43) mendefinisikan ekowisata sebagai wisata berbasis alam yang berkelanjutan dengan fokus pengamatan dan pendidikan tentang alam, dikelola dengan sistem pengelolaan tertentu dan memberi dampak negatif paling rendah pada lingkungan, tidak bersifat konsumtif dan berorientasi lokal (dalam hal kontrol, manfaat/keuntungan yang dapat diambil dan skala usaha). Berada di lokasi wisata alam dan berkontribusi pada konservasi atau preservasi lokasi tersebut. Sebelumnya, Fennel dan Eagles (1990) menyebutkan bahwa ekowisata merupakan wisata alam yang berfokus di daerah konservasi (protected areas) yang memberi kontribusi bagi kesejahteraan masyarakat lokal, konservasi dan pendidikan. Definisi ekowisata sendiri cukup rumit dan berbeda-beda. Namun demikian terdapat enam prinsip dasar ekowisata disepakati yang membedakan kegiatan ekowisata dan wisata alam. Enam prinsip dasar pengembangan ekowisata yaitu : a. Memberikan dampak negatif yang paling minimum bagi lingkungan dan masyarakat lokal. b. Meningkatkan kesadaran dan pengetahuan baik pada pengunjung maupun penduduk lokal. c. Berfungsi sebagai lahan untuk pendidikan dan penelitian baik untuk penduduk lokal maupun pengunjung (wisatawan, peneliti, akademisi). d. Semua elemen yang berkaitan dengan ekowisata harus memberi dampak positif berupa kontribusi langsung untuk kegiatan konservasi yang melibatkan semua aktor yang tertibat dalam kegiatan ekowisata, sebagai contoh pengunjung tidak hanya berfungsi sebagai penikmat keindahan alam tetapi juga secara langsung sebagai partisipan dalam kegiatan konservasi. e. Memaksimumkan partisipasi masyarakat lokal dalam proses pengambilan keputusan berkaitan dengan pengelolaan kawasan ekowisata f. Memberi manfaat ekonomi bagi penduduk lokal berupa kegiatan ekonomi yang bersifat komplemen terhadap kegiatan ekonomi tradisional (bertani, mencari ikan dan lainnya). Seperti pariwisata konvensional, ekowisata diharapkan juga melibatkan banyak pihak (stokeholders) dalam kegiatannya seperti pihak pemerintah, masyarakat lokal, pelaku bisnis, LSM maupun lembaga internasional. Namun demikian inisiatif yang berasal dari dalam dianggap lebih memberi kekuatan pada kelangsungan ekowisata tersebut. Hal ini disebabkan bahwa masyarakat lokal dianggap lebih tahu skala pengembangan ekowisata karena memiliki pengetahuan tentang kondisi lokasi, termasuk makanan, budaya dan akomodasi yang dapat dikembangkan. 3. Pemanfaatan Jasa Lingkungan Wilayah Taman Nasional Bali Barat memiliki potensi untuk memberikan berbagai macam jasa lingkungan (environmental services) yang sangat berharga untuk kepentingan pembangunan. Pemanfaatan jasa-jasa lingkungan kawasan pesisir dan lautan meliputi aspek (1) sarana pendidikan dan penelitian, (2) pertahanan keamanan, (3) pengaturan iklim (climate regulator), (4) pariwisata bahari, (5) media transportasi dan komunikasi, (6) sumber energi, (7) kawasan perlindungan (konservasi dan preservasi) dan (8) sistem penunjang kehidupan serta fungsi-fungsi lainnya. Pengatur proses-proses ekologis, sumber daya alam di kawasan TNBB sangat besar perannya dalam mendukung fungsi ekologis bagi kehidupan biota. Berbagai macam habitat utama di wilayah pesisir dan lautan, seperti mangrove, terumbu karang, dan perairan pantai secara sinergis mempengaruhi keberadaan sumber daya hayati. Di ekosistem hutan taman nasional merupakan sumber nutrien utama bagi biota dan ekosistem hutan. Selain itu, hutan juga berfungsi mempertahankan kondisi fisik habitat pesisir dan fungsi ekologis lainnya, seperti mencegah erosi dan kerusakan pantai mencegah intrusi air laut ke daratan dan menjaga kestabilan lapisan tanah. Bentuk akar tanaman seperti mangrove yang khas dapat meredam gempuran ombak dan sekaligus berfungsi untuk menahan lumpur, sehingga dapat memperluas penyebaran mangrove. Tanaman hutan lainnya juga dapat menahan tanah dari bencana longsor. Pengatur iklim, wilayah Kawasan TNBB sangat berpengaruh terhadap sistem atmosfer di kawasan Jembrana dan Buleleng. Dalam skala global, jasa hutan dan laut yang sangat penting adalah menjadi pompa biologis (biological pump). Istilah tersebut dipergunakan karena kehidupan yang terdapat di hutan dan laut dapat mengontrol konsentrasi CO2 di atmosfer. Gas CO2 di atmosfer yang kandungannya mencapai 700 miliar ton dipertahankan melalui pertukaran dengan cadangan yang sangat besar di hutan dan laut, yakni sebesar 35.000 miliar ton. Kandungan CO2 di permukaan lebih kecil ketimbang di lapisan dasar laut. Gradien vertikal ini terjadi karena kehadiran populasi fitoplankton berupa diatom, coccolithophore dan dinoflagellata. Organisme fitoplankton tersebut mengambil CO2, yang terlarut dalam perairan laut untuk proses fotosintesis. Sebaliknya, proses tersebut tidak terjadi di lapisan dasar karena keterbatasan penetrasi cahaya matahari yang masuk ke dalamnya. Hal ini dikarenakan laut dalam akan melakukan resirkulasi CO2 ke permukaan yang kemudian lepas ke atmosfir. Jadi, melalui proses pemompaan karbon secara biologis (biological carbon pump), kejadian tersebut dapat dicegah. Sumber keindahan dan pariwisata, sumber daya hayati pesisir dan lautan di kawasan TNBB seperti populasi ikan hias, terumbu karang, hutan mangrove, dan berbagai bentang alam pesisir (coastal landscape) unik lainnya, membentuk suatu pemandangan alamiah yang begitu menakjubkan. Kondisi tersebut menjadi daya tarik yang sangat besar bagi wisatawan, sehingga pantas bila dijadikan objek wisata bahari. Potensi utama untuk menunjang kegiatan pariwisata di wilayah pesisir dan laut adalah kawasan terumbu karang; pantai berpasir putih atau bersih; dan lokasi-lokasi perairan pantai yang baik untuk canoing, serta kegiatan rekreasi air lainnya. Diperkirakan bahwa ekosistem terumbu karang memiliki keragaman spesies sebanyak 335-362 spesies karang scleractinian dan 263 spesies ikan hias laut. Hal ini menciptakan keindahan panorama alam bawah laut yang luar biasa bagi para penyelam, para wisatawan yang melakukan snorkling, atau melihatnya dari atas kapal yang dasarnya berkaca (glass bottom boat). Oleh sebab itu, tidaklah berlebihan bila terumbu karang dapat dijadikan modal utama dalam pengembangan wisata bahari di kawasan TNBB. Objek wisata bahari lain yang berpotensi besar adalah wilayah pantai. Umumnya Kawasan TNBB memiliki kondisi pantai yang indah dan alami. Di antaranya adalah pantai Kotal,dan teluk terima. Wilayah pantai menawarkan jasa dalam bentuk panorama pantai yang indah; tempat pemandian yang bersih; serta tempat melakukan kegiatan canoing. Sumber inspirasi dan gagasan, wilayah pesisir dan lautan merupakan sumber ilmu pengetahuan yang dapat menumbuhkan inspirasi dan gagasan, baik untuk penelitian, pendidikan, maupun pelatihan, dengan tujuan mencapai pemanfaatan yang optimal. Berkaitan dengan seni, hutan dan laut sering dijadikan sumber inspirasi untuk mewujudkan karya lukisan, syair, puisi, lagu, dan benda-benda seni lainnya. Pengembangan ilmu dan teknologi yang bersumber dari TNBB diarahkan untuk dapat menciptakan alat tangkap yang produktif, efisien, serta memiliki selektivitas yang tinggi dan ramah terhadap lingkungan. Ilmu pengetahuan dan teknologi penangkapan ikan berkembang pesat setelah ditemukannya serat sintesis (synthetic fibre), alat pendeteksi ikan (fish finder), mekanisasi penangkapan (fishing auxiliary equipment), dan teknologi pengolahan hasil perikanan. Dalam bidang budi daya, teknologi yang dikembangkan berkaitan dengan budi daya mutiara dan budidaya tanaman produksi. 4. Pola Pengembangan Wisata Alam di TNBB Model pengembangan pariwisata alam yang mengarah pada pengembangan ekowisata diharapkan mampu memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat, konservasi lingkungan, dan konservasi terhadap budaya lokal. Beberapa kegiatan wisata alam yang telah berkembang disusun dalam beberapa paket wisata alternatif, yaitu : Jungle tracking, merupakan kegiatan menjelajah hutan untuk menikmati panorama di dalam kawasan hutan, baik itu mengenai flora, fauna maupun bentang alam yang ada. Pihak TNBB mempunyai dua paket untuk melakukan jungle tracking, yaitu paket rute panjang dan paket rute pendek. Fauna yang dapat dilihat di Prapat Agung adalah rusa, kijang, monyet hitam, ayam hutan, babi hutan, biawak dan burung. Pengunjung juga dapat melihat keanekaragaman jenis tegakan, mulai dari sawo kecik, panggal buaya, sonokeling, sentigi dan lain-lain. Pantai yang berpasir putih merupakan salah satu daya tarik yang terdapat di sini. Di Prapat Agung terdapat kubangan satwa yang menjadi tempat minum satwa. Bird watching, adalah kegiatan mengamati burung dan perilakunya di alam. Bird watching biasanya dilakukan pada pagi hari saat matahari baru muncul dan sore hari saat matahari terbenam karena pada saat tersebut burung-burung biasanya keluar dari tempat persembunyiannya. Jenis yang dilindungi dan merupakan maskot TNBB adalah jalak bali. Namun sangat susah untuk mengamati jalak bali di alam karena jumlahnya yang sudah sangat sedikit di alam. Jalak bali di alam hanya dapat dilihat atau diamati di Pos Teluk Brumbun. Burung lain yang terdapat di TNBB adalah jalak putih (Sturnis melanopterus), bangau tongtong (Leptoptilus javanicus). cekakak (Halcyon chloris), kuntul (Egretta sp.), rangkong (Buceros rhinoceros) dan lain-lain. Tempat yang istimewa untuk bird watching adalah seluruh wilayah di Pulau Menjangan, Gunung Klatakan, Pos Lampu Merah, Pos Teluk Brumbun, Pos Teluk Kotal, Pos Prapat Agung, Pantai Cekik, Teluk Gilimanuk, Pulau Kalong, Pulau Burung, Pulau Gadung dan tempat-tempat lainnya. Snorkling and diving, adalah aktivitas untuk mengamati keindahan panorama bawah laut dengan berenang-renang di permukaan laut. Sedangkan diving atau dalam bahasa Indonesianya menyelam adalah kegiatan mengamati panorama bawah laut dengan masuk ke dalam laut sampai kedalaman tertentu. Taman Nasional Bali Barat mempunyai panorama bawah laut yang indah untuk dinikmati. Tempat untuk aktivitas ini adalah perairan di Pulau Menjangan dan perairan Teluk Kotal. Camping, Taman Nasional Ba!i Barat juga dapat digunakan untuk camping atau berkemah. Telah disediakan tempat khusus untuk berkemah, yaitu di camping ground. Kegiatan berkemah dapat dilakukan dengan berbagai peraturan, misalnya tentang pembuatan api harus hati-hati karena dapat menimbulkan kebakaran hutan. Canoing, atau berperahu merupakan aktifitas yang dilakukan dengan cara naik perahu untuk menyusuri perairan. Canoing dapat dilakukan di TNBB untuk menyusuri perairan TNBB sambil menikmati keindahan alam perairan TMBB. Biasanya yang dilakukan adalah canoing untuk menyusuri hutan mangrove yang terbentang di beberapa tempat di pantai TNBB. Tabel 1 Pola Kegiatan Wisata Alam di Taman Nasional Bali Barat No. Aktivitas 1 Berkendaraan 2 3 Hiking Jungle tracking 4 5 Bird wactching Snorkling dan Diving 6 Camping 7 Canoing /kayaking 8 9 Sight seeing (berjalan-jalan) Berkuda 10 Studi arkeologi 11 Wisata spiritual 12 Ziarah Sumber : Hasil Analisis, 2006 Uraian Bersenang-senang dan bersantai menuju tempattempat yang ditentukan Berjalan-jalan menelusuri hutan Penjelajahan hutan sambil menikmati keindahan hutan dan binatang alam. Kegiatan mengamati burung dan prilakunya di alam Menikmati keindahan bawah laut di Pulau Menjangan Berkemah dilakukan di tempat yang telah ditentukan Aktivitas yang dilakukan dengan cara naik perahu dan menyusuri hutan mangrove. Ke pedesaan dengan melihat budaya/sosial budaya Dilakukan pada daerah-daerah tertentu yang dapat dimanfaatkan Meneliti atau melihat pninggalan arkeologi yang terdapat di TNBB Dilakukan di beberapa pura sepanjang TNBB Di Makam Syaid Temon 5. Akomodasi dan Sarana Wisata Pembangunan akomodasi untuk kegiatan ekowisata juga harus mengacu pada konsep dasar ekowisata yang ramah lingkungan dan sensitif terhadap budaya lokal. Untuk akomodasi di kawasan Taman Nasional Bali Barat sudah berdiri beberapa akomodasi dari tiga perusahaan swasta yaitu pertama PT. Trimbawan Swastama Sejati yang bergerak dalam bidang akomodasi memanfaatkan zona pemanfaatan di Tanjung Gelap dan Banyu. Fasilitas yang disediakan adalah penginapan (kamar), restoran, ruang seminar, sarana rekreasi alam dan lain-lain. Kedua, PT. Shorea Barito Wisata memanfaatkan lahan di Labuhan Lalang dan Tanjung Kotal, fasilitas yang disediakan adalah hotel, restoran, sarana wisata bahari dan lain-lain. Sedangkan ketiga, PT Disthi Kumala Bahari, memanfaatkan lokasi Perairan Teluk Terima, dengan usaha yang dikembangkan adalah pengembangbiakan kerang Mutiara. Ketiga perusahaan ini harus tetap memperhatikan prinsip-prinsp konservasi dalam pengembangan ekowisata dengan meminimalkan dampak lingkungan yang ditimbulkan. Akomodasi yang dibangun bervariasi,, mulai dari yang sangat sederhana seperti kemah-kemah di hutan (gazebo), pondok yang sederhana sampai dengan penginapan dengan berbagai fasilitas. Akomodasi dirancang sedemikian rupa sesuai kaidah alam dengan tetap memenuhi kebutuhan dasar pengunjung, seperti air bersih, toilet, dan pembuangan limbah serta sanitasi lingkungan. Konsep penginapan yang ramah lingkungan tidak hanya didasarkan pada bahan alami yang digunakan saja, tetapi juga mempertimbangkan letak dan bentuk bangunan serta ketersediaan fasilitas bangunan. Bentuk dan kontruksi bangunan disesuaikan dengan kondisi lokal dan tipe-tipe pengunjung yang menjadi target dalam kegiatan ekowisata. 6. Simpulan dan Saran Pengembangan wisata alam di Taman Nasional Bali Barat mempunyai prospek yang baik dan akan banyak mendatangkan nilai tambah bila pengembangan jasa lingkungan dan pariwisata dilakukan secara optimal dan terpadu dengan tetap memperhatikan kaidahkaidah konservasi. Untuk itu ada beberapa hal yang menjadi kesimpulan, yaitu : a. Pengembangan wisata alam harus dilakukan dengan sangat hati-hati dengan cara yang khusus. Alam yang merupakan pabrik sekaligus produk jasa rekreasi merupakan komoditas yang sangat sensitif. Apabila pabriknya rusak, produk jasa rekreasi yang ditawarkan dengan sendirinya akan ikut rusak atau paling tidak berkurang mutunya. Oleh karena itu, daya dukung dari kawasan terhadap tekanan jumlah pengunjung harus diperhatikan. Dalam hal ini perlu dilakukan penelitian lanjutan yang lebih detail. b. Investasi wisata alam sebenarnya bukanlah merupakan suatu pilihan investasi yang sangat menarik. Di samping risk and uncertainity faktor alam sangat besar, juga sangat banyak aturan yang mesti ditaati dan biaya lingkungan yang ditanggung pengelola sering kali sangat besar. Dalam pengembangan TNBB pembangunan fasilitas rekreasi hanya diperkenankan di zona pemanfaatan, jadi praktis yang dapat dimanfaatkan secara ekonomi hanya zona pemanfaatan. Sedangkan biaya pengelolaan dan pengawasan harus dikeluarkan untuk seluruh zona. Untuk itu TNB tetap memerlukan subsidi, karena sulit mendapatkan keuntungan secara finasial. Kecenderungan investasi di sektor ini tetap menarik walaupun payback periodnya tidak terlalu cepat. Kuncinya adalah kreativitas dan kejelian memanfaatkan setiap potensi alam untuk dikemas menjadi paket wisata yang menarik. Demikian garis besar kebijakan pengembangan Taman Nasional Bali Barat, dengan tetap mengakomodir berbagai kecenderungan perubahan lingkungan strategis di waktu yang akan datang, terutama yang berkaitan dengan pergeseran paradigma pembangunan kehutanan, implementasi desentralisasi, otonomi daerah dan perimbangan keuangan antara pusat dan daerah. Daftar Pustaka ________, 2005. Laporan Tahunan Balai Taman Nasional Bali Barat Tahun 2004. Departemen Kehutanan. Bapedalda Propinsi Bali dan PPLH UNUD. 2001. Rencana Strategis Pengelolaan Kawasan Lindung Bali (Kawasan Lindung Bali Barat, Bedugul dan Kinatamani). Budiharsono, Sugeng. 2001. Teknik Analisis Pembangunan Wilayah Pesisir dan Lautan. Jakarta: PT. Pradnya Paramitha. Dahuri, Rokhmin., Rais., Ginting., Sitepu. 2001. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir Dan Lautan Secara Terpadu. Jakarta: PT. Gramedia Pustala Utama. Dahuri, Rokhim. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut Aset Pembangunan Berkelanjutan Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Direktorat Wisata Alam dan Pemanfaatan Jasa Lingkungan. 2003. Pedoman Analisis Daerah Operasi Objek Dan Daya Tarik Wisata Alam (ODO-ODTWA). Departemen Kehutanan. Fandeli, Chafid. 2001. Dasar-Dasar Manajemen Kepariwisataan Alam. Yogyakarta: Liberty. Fandeli Chafid, Mukhlison. 2000. Pengusahaan Ekowisata. Yogyakarta: Fakultas Kehutanan UGM bekerjasama dengan Unit Konservasi Sumber daya Alam dan Pustaka Pelajar. Fennel, David a. 1999. Ecotourism: An Introduction. Routledge, London and New York. _________, and Eagles, PFJ., 1990. Ecotourism in Costa Rica: a Conceptual Framework, Journal of Park and Recreation Administration. Hakim, Luchman. 2004. Dasar-Dasar Ekowisata. Jatim: Bayumedia Publishing. Hidayati, deni, Mujiyani, Laksmi rachmawati dan andi Zaelani. 2003. Ekowisata: Pembelajaran dari Kalimantan Timur. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan bekerjasama dengan Pusat Penelitian Kependudukan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Lindberg, K. 1991. Policies for Maximising Nature Tourism’s Ecological and Economic Benefit. Washington, DC: World Resources Institute. Nurrochmat, Dodik Ridho. 2005. Strategi Pengelolaan Hutan, Upaya Menyelamatkan Rimba Yang Tersisa. Jakarta: Pustaka Pelajar. Page, Stephen J.and Ross K. Dowling. 2002. Ecotourism. Prentice Hall. Soemarwoto, Otto. 2001. Atur Diri Sendiri: Paradigma Baru Pengelolaan Lingkungan Hidup. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Swarbrooke, J. 1998. Sustainable Tourism Management. London: CABI Publising Wood, M.E., 2002 Ecotourism : Principles, Practices and Policies for Sustainability, UNEP. POSTMODERNISME DAN PARIWISATA KERAKYATAN Made Sukana Dosen Program Studi Pariwisata Unud Abstract Postmodernism is a popular issues of a large number of people from the media, practitioners, academician, politician and others. This theory influence many aspect of life include tourism, and also have a role in changing some paradigm arises. Postmodernism related with the community based tourism which is a new paradigm as a refusal of modernism with concept of differentiation, decentralization, and pluralism. Community based tourism is an impact of postmodernism which recognize the plural truth and put the local community as a primary actor in development. Keywords: Postmodernism, Tourism, Community based tourism. 1. Pendahuluan Belakangan ini postmodernisme menjadi perbincangan berbagai kalangan, mulai dari media massa, praktisi, politikus, masyarakat akademisi hingga merambah masyarakat umum. Istilah ini menjadi isu populer (Ritzer, 2004) dan banyak ditulis dalam koran, majalah, jurnal, buku dan menjadi perbincangan hangat dalam dialog, diskusi, dan seminar. Postmodernisme masih belum jelas relevansinya dengan berbagai persoalan yang kita hadapi saat ini. Berbagai kalangan masih banyak menanggapi dengan skeptis lalu menolak relevansinya, tetapi ada yang menyambutnya dengan penuh antusias sebagai angin segar. Terlepas dari berbagai tanggapan negatif yang diberikan terhadap postmodernisme, secara tidak sadar teori ini mempengaruhi berbagai aspek kehidupan kita saat ini. Isu gender, alternatif multi budaya bagi rasisme, gerakan lingkungan dan kritisisme budaya terkait dengan postmodernisme (Turner, 2000). Isu tersebut akhirnya menyentuh pariwisata yang menjadi salah satu sektor dalam pembangunan di samping sektor lainnya seperti pertanian, dan industri, jasa. Tulisan ini mencoba melihat permasalahan dan pergulatan kepariwisataan dalam kerangka teori postmodernisme. Renungan dan kilas penjelajahan yang disajikan tulisan ini pada akhirnya mengajak kita untuk menakar ulang dan mengaca diri tentang sejauh mana peran teori postmodernisme mengubah wajah pariwisata dengan berbagai paradigma baru yang berkembang. Beberapa aspek yang terkait dengan perkembangan dan kondisi kepariwisataan di Bali saat ini akan dilihat dari kacamata postmodernisme. 2. Postmodernisme Postmodernisme berasal dari kata ‘post’ + ‘modern’ + ‘isme’ yang berarti paham sesudah modern (Ratna, 2004:143). Istilah ini muncul sekitar tahun 1870-an, digunakan oleh seniman Inggris John Watkins Chapman. Menurut beberapa literatur, asal usul postmodernisme pertama kali digunakan oleh Federico de Oniz pada tahun 1930-an (Ritzer, 2004). Istilah ini muncul sebagai salah satu reaksi terhadap modernisme di bidang sastra khususnya puisi Spanyol dan Amerika Latin. Secara luas posmodernisme mulai dibicarakan lagi sekitar tahun 1960-an. Postmodernisme yang merupakan respons keras atas modernisme begitu hebat mewarnai dan mempengaruhi diskursus intelektual di negeri ini dalam dua tiga dekade belakangan ini. Postmodernisme tidak hanya menjadi satu masalah ilmu pengetahuan (scientific) atau filosofis saja, melainkan juga digunakan sebagai alat menghadapi berbagai persoalan keseharian termasuk juga gerakan sosial yang aplikasinya dapat menyentuh berbagai dimensi kehidupan masyarakat. Pandangan dan pendapat yang muncul mengenai postmodernisme sangat beranekaragam. Scott Lash (1988, dalam Prama: 1994), menganggap postmodernisme sebagai periodisasi. Kalau dunia modern ditandai dengan ‘diferensiasi’, maka postmodernisme oleh ‘de-diferensiasi’. ‘Diferensiasi’ ditandai dengan pembedaan yang jelas antar bangsa, agama, ras, suku dan antar golongan. Dikotomi imperialismekapitalisme, timur-barat, negara maju-negara berkembang, kulit putih-kulit berwarna adalah contoh-contoh yang memberikan legitimasi terhadap ide diferensiasi tersebut. Berbeda dengan diferensiasi, de-diferensiasi adalah sebuah periode di mana batasbatas tadi semakin samar. Semuanya serba bercampur, segala bentuk dikotomi menjadi sangat problematik pada era ini. Hal ini dapat dilihat dari dipertanyakannya sosialisme maupun kapitalisme. Dalam karya Jean-Francois Lyotard, postmodernisme berarti pencarian ketidakstabilan (instabilities). Apabila pengetahuan modern mencari kestabilan melalui metodologi, dengan ‘kebenaran’ sebagai titik akhir pencarian, pengetahuan postmodernisme ditandai oleh runtuhnya kebenaran, rasionalitas dan objektivitas. Prinsip dasarnya bukan benar-salah, tetapi apa yang menurut Lyotard disebut dengan paralogy atau membiarkan segala sesuatunya terbuka untuk kemudian sensitif terhadap perbedaanperbedaan. Lebih lanjut oleh Jean-Francois Lyotard, ilmu pengetahuan dikatakan telah kehilangan narasi besarnya (grand narrative), yaitu argumentasi rasionalitasnya, sehingga kepastian kebenaranpun telah kehilangan legitimasi. Dalam masyarakat maju, ilmu pengetahuan tidak lagi mendapat kredibilitas pada kebenarannya, melainkan pada sifat gunanya, sehingga ia tidak lepas dari jaring-jaring perdagangan dan kekuasaan yang ada di dalam masyarakat itu. Postmodernisme seperti halnya teori-teori yang lain, bukanlah sebuah teori yang lahir secara tiba-tiba. Benih-benih filosofinya sudah ada pada filsafat Nietzsche akhir abad XIX; dari aspek fisika sudah dimulai oleh Thomas Kuhn di dalam bukunya The Structure of Scientific Revolution, dan dari teori sosial sudah tampak pada sosiologi Imagination C. Wright Mill, yang dipengaruhi oleh teori komunikasi Marshall Mc. Luhan, serta teori neo konservatisme Daniel Bell tentang masyarakat post industrial (Awuy, 1994). Teori paradigma Kuhn mempunyai andil besar sebagai dasar perkembangan teori postmodernisme. Beberapa hal dari teori paradigma yang berhubungan dengan postmodernisme, yaitu: (1) istilah paradigma itu sendiri dan konsekuensinya; (2) ketidakpastian kebenaran; dan (3) kebenaran menurut konvensi. Menurut teori ini, perkembangan ilmiah ditandai oleh sifat-sifat revolusioner, bukan evolusi akumulatif Kuhn mendobrak paradigma positivisme yang berpendirian bahwa ilmu pengetahuan harus netral, logis, lepas dari urusan metafisika, teologi maupun etika. Kuhn dengan pandangan pragmatis memandang bahwa tidak ada hubungan vertikal atau subordinat antara dunia rasional dan irrasional di dalam realitas. Asumsi ini dipertegas lagi, bahwa ilmu pengetahuan tidak dapat mengungguli dunia lain, apakah ia magi atau voodoo sekalipun. Postmodernisme adalah bentuk cara berpikir yang desentralisasi, pluralisme dan relatif tidak terhingga. Cara berpikir ini kontra dengan modernisme yang telah melahirkan cara berpikir sentralisme, kesatuan dan totalitarian seperti humanisme, liberalisme dan marxisme (Awuy, 1994). Alam postmodernisme adalah alam yang tidak lagi mengijinkan sentralisasi, homogenisasi dan kekuatan tunggal. Dunia postmodernisme ditandai matinya isu bersama dan hilangnya kepedulian bersama. Satu-satunya kesamaan mereka adalah mereka ingin dibiarkan tenggelam ke dalam dunia masing-masing (Denny JA, 1994). Menurut Denny JA, postmodernisme terkait dengan multi-paradigma, kemenangan individu dan kebangkitan moral. Tidak ada lagi kekuatan tunggal, peran pemerintah semakin berkurang. Sebaliknya, kekuatan masyarakat tumbuh untuk saling mengimbangi. Postmodernisme mengarah pada aktivitas-aktivitas ekonomi kerakyatan, melihat sesuatu yang tersembunyi, terlupakan, terabaikan dan terlalaikan (Ratna, 2004). Tujuannya adalah untuk mengembalikan kesadaran bahwa ada yang lain, the other, di luarnya, di luar wacana hegemonis. 3. Postmodernisme dan Pariwisata Kerakyatan Dalam pembangunan kepariwisataan, postmodernisme melahirkan paradigma baru sebagai bentuk penolakan atas modernisme. Pariwisata yang selama ini dianggap memberikan dampak-dampak positif bagi masyarakat mulai dipertanyakan, seperti peningkatan pendapatan, kesempatan kerja, devisa, dan pajak. Karena ternyata pariwisata justru membawa efek negatif yang lebih besar serta harus menanggung biaya sosial yang tidak sebanding dengan dampak positif yang didapatkan. Berbagai dampak negatif muncul seperti kesenjangan pendapatan antar kelompok masyarakat, hilangnya kontrol masyarakat lokal, munculnya neo-kolonialisme atau neo-imperialisme. Pariwisata telah mengakibatkan tanah-tanah di Bali sudah semakin sempit dan kepemilikannya semakin banyak dimiliki oleh orang luar Bali dan orang asing. Pembangunan skala besar oleh para investor tidak hanya menyerbu daerah perkotaan, namun sudah merambah perdesaan bahkan hingga ke jurang-jurang seperti terjadi di Sungai Ayung dan bangunan-bangunan yang ada di sepanjang jalan sebelah timur Kintamani. Pariwisata telah menjadi penjajah baru dan menjadi wahana eksploitasi oleh negaranegara maju terhadap negara-negara berkembang. Pariwisata menimbulkan kebocoran ekonomi begitu besar. Pariwisata yang menjadi andalan negara-negara berkembang akhirnya terjerat dalam ketergantungan/dependency (Nash,1989; dalam Gunawan,1994). Ketergantungan terjadi karena tidak adanya pilihan lain untuk mengembangkan ekonominya dan membangun sarana maupun prasarana. Jenis produk wisata yang diciptakan disesuaikan dengan peluang bisnis yang dilihat oleh investor, yaitu kebutuhan dari masyarakat produktifitas ekonomi tinggi dengan tuntutan-tuntutan standar kualitas sangat tinggi. Hal ini akan menyebabkan ketergantungan modal dari luar (negara maju), karena negara berkembang tidak mampu melakukan investasi dalam skala besar tersebut. Ketergantungan juga terjadi karena posisi tawar (bargaining power) kita masih sangat lemah. Wisatawan yang berkunjung ke negara berkembang masih dikendalikan oleh pengusaha-pengusaha dari negara maju yang mengatur perjalanan mereka, sedangkan pengusaha setempat sifatnya hanya menampung saja. Penyebab dari berbagai permasalahan tersebut adalah diterapkannya teori modernisasi yang melihat “pertumbuhan“ sebagai patokan keberhasilan pembangunan pariwisata. Pemerintah mengundang investor dari luar untuk menanamkan modalnya di daerah kita, sehingga masyarakat lokal dengan berbagai keterbatasannya tidak mampu bersaing, dan aset pariwisata sebagian besar dikuasai oleh orang luar. Pembangunan kepariwisataan yang lebih melihat keberhasilan kuantitatif justru menyebabkan masyarakat lokal terjepit dan terjerat kapitalisme. Model pembangunan ini menghasilkan keberhasilan semu dan sesaat tanpa memperhitungkan dampak jangka panjang yang ditimbulkannya. Terkait dengan hal tersebut, muncullah paradigma baru dalam pariwisata yaitu pariwisata kerakyatan (community based tourism). Kata kunci paradigma baru ini adalah terlibatnya masyarakat lokal dalam setiap pembangunan kepariwisataan. Tanpa ini, akan muncul berbagai sikap, prilaku antipati dan dapat menimbulkan kecemasan bagi keberlangsungan pariwisata. Konflik pun akan muncul seperti yang terjadi di Kuta yang sudah mengarah pada konflik horizontal antara penduduk asli dengan pendatang (jumlahnya semakin lama semakin meningkat) dan sudah sampai pada tahap-tahap “tension” (ketegangan-ketegangan dalam masyarakat ) sebagai akibat adanya persaingan di bidang sosial ekonomi (Suyatna dan Wardana; dalam Parining et.al., 2001). Menurut Pitana, paradigma kerakyatan telah lama menjadi paradigma alternatif sebagai reaksi atas kegagalan model modernisasi yang diterapkan negara-negara berkembang. Oleh I Gde Ardika saat menjabat Deputi Menteri Bidang Pengembangan produk, konsep ini dipopulerkan dengan mencanangkan semboyan Pariwisata Inti Rakyat (PIR), yaitu suatu konsep pengembangan pariwisata berbasis kerakyatan dalam rangka pemberdayaan ekonomi rakyat (Pendit, 2001:83). Konsep ini dapat dilaksanakan melalui pemberdayaan sumber daya lokal dan kemampuan masyarakat. Adapun pendekatan yang digunakan adalah konsep botton up dan grass root sebagai penunjang utama program pemberdayaan masyarakat. Pola dari atas ke bawah (top down approach), birokrasi yang cenderung mengatur segenap masyarakat dan pembangunan besar-besaran yang dimotivasi oleh pentargetan (Taliziduhu, dalam Santoso,1997) sudah semakin disadari mempunyai banyak kelemahan. Dengan ketiga ciri tersebut, birokrasi Indonesia semakin otonom. Kekuatan sah yang dimiliki birokrasi telah menjadikan dirinya sistem yang mandiri dan otonom, dan membentuk komponen-komponen baru yang mendukung kehidupan dan mempertahankan diri sebagai sistem. Partisipasi oleh masyarakat hanya merupakan proses birokrasi belaka. Hal ini mengindikasikan gejala birokrasi yang oleh Max Weber disebut sebagai domination (Santoso, 1997). Dengan kondisi demikian, kualitas hidup masyarakat justru menurun dan masyarakat setempat sebagai pemegang aset justru termarginalisasi. Pembangunan pariwisata saat ini masih mengesampingkan keterlibatan masyarakat lokal dalam arti yang sesunguhnya. Strategi pembanguanan tidak mambantu memberdayakan masyarakat, tetapi malah menimbulkan marginalisasi orang-orang kecil. Kebutuhan menempatkan masyarakat lokal sebagai aktor dalam pembangunan sangat mendesak, sehingga mampu mengarahkan pembangunan sesuai dengan yang dicitacitakan. Pada aras normatif, kebutuhan akan partisipasi masyarakat lokal semakin tidak dapat dihindarkan. Pembangunan dikatakan gagal jika hanya mengakibatkan peningkatan di bidang ekonomi tanpa dibarengi dengan penyebaran yang merata antar masyarakat (Colman dan Nixon (1978), dalam Parining, 1999). Pembangunan pariwisata berbasis kerakyatan (community based tourism development) yang berlawanan dengan pendekatan birokratis sentralistik, akan membawa masyarakat sebagai subjek dalam pembangunan. Masyarakat akan mengatur dirinya sendiri mulai dari identifikasi kebutuhan, analisis kemampuan, dan kontrol terhadap sumber daya lokal yang oleh Korten (1986) dalam makalahnya Pitana (1999) disebut sebagai community management. Ada 3 alasan yang dikemukan Korten seperti yang diulas Pitana (1999) tentang pentingnya community management. Pertama, adanya local variety (varietas antar daerah). Situasi dan kondisi daerah yang berbeda menuntut adanya sistem pengelolaan yang berbeda, dan masyarakat lokal merupakan orang yang paling akrab dan mengerti daerahnya sendiri. Kedua, local resources (sumber daya lokal), yang secara tradisional dimiliki oleh masyarakat setempat. Sumber daya lokal yang sudah dikelola secara turun temurun memberikan pengetahuan dalam pengelolaannya. Masyarakat akan bersifat antipati terhadap proyek-proyek pembangunan apabila dilakukan pengambilalihan oleh pihak luar. Ketiga, local accountability (tanggung jawab lokal). Masyarakat lokal lebih bertanggung jawab dalam melakukan suatu kegiatan, karena ia sendiri akan merasakan dampak yang ditimbulkan oleh aktivitasnya. Lain halnya dengan orang luar, mereka dapat meninggalkan begitu saja tempat yang sudah rusak dan pergi ke tempat lain untuk mencari lahan baru untuk investasi. Community management yang akhirnya melahirkan konsep pariwisata kerakyatan merupakan wujud ketidakpuasan terhadap modernisasi yang justru membawa jalan buntu bagi perkembangan pariwisata. Orang lokal justru semakin terasing, dan krisis lingkungan serta kebudayaan hadir dengan jelas di hadapan kita. Pembangunan pariwisata telah melahirkan ketimpangan sosial yang menjadi masalah bagi pembanguan berikutnya. Pergeseran paradigma pembangunan kepariwisataan dari “production centered” menuju “community centered” merupakan kecenderungan kepada de-biroktratisasi pembangunan. Konsep de-biroktratisasi ini berkaitan dengan postmodernisme dengan mengubah peran pemerintah dari sebelumnya menjadi sumber dari segalanya menjadi fasilitator dan pemacu pembangunan yang dilakukan masyarakat. Dengan skalanya yang kecil, beberapa keuntungan pariwisata kerakyatan adalah (Parining, 2001): 1) keuntungan ekonomi yang diterima langsung oleh penduduk setempat berupa penyediaan barang dan jasa yang dibutuhkan wisatawan; 2) pemeliharaan lingkungan oleh masyarakat setempat; 3) terciptanya lapangan pekerjaan di daerah pedesaan yang berdampak terhadap penyebaran penduduk yang semakin merata (urbanisasi akan dapat ditekan), dan 4) dapat menciptakan kawasan wisata alternatif. 4. Simpulan Penulis dengan menelaah secara kritis paradigma baru pariwisata yaitu pariwisata kerakayatan (community based tourism) mencoba menarik sebuah hipotesa bahwa pariwisata kerakyatan adalah imbas dari situasi postmodernisme yang kini banyak diwacanakan pada kalangan akademis dan masyarakat luas. Pariwisata kerakyatan menganut paham postmodernisme yang mengakui kebenaran plural dan menempatkan masyarakat lokal sebagai subjek pembangunan pariwisata. Daftar Pustaka Awuy, T.F. 1994. Dekonstruksi: Postmodern dan Poststrukturalis, dalam Postmodernisme dan Masa Depan Peradaban, Suyoto et al. (ed), Yogyakarta: Aditya Media. Denny JA. 1994. Indonesia Masa Depan dalam Era Postmodern, dalam Postmodernisme dan Masa Depan Peradaban, Suyoto et al. (ed), Yogyakarta: Aditya Media. Gunawan, M.P. 1994. Pengembangan Pariwisata Internasional di Indonesia dalam Konteks Teori Ketergantungan, dalam Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota, Edisi Khusus, Bandung: Kerjasama Pusat Penelitian Pengembangan Wilayah dan Kota, Teknik Planologi, Ikatan Ahli Perencanaan dan Yayasan LPP. Parining, N. 1999. Pariwisata Kerakyatan, Pariwisata yang Berbudaya dan Berwawasan Lingkungan, dalam Kumpulan Makalah Seminar Pembangunan Bali Berbudaya Berwawasan Lingkungan, Denpasar: Kerjasama Pusat Penelitian Kebudayaan dan Kepariwisatan Universitas Udayana dengan Pemda Tk I Bali. Parining, N., I G. Pitana, I M. P. Diantha, P. Anom dan K.G.D. Putra. 2001. Studi Tentang Implementasi Konsep Pariwisata Kerakyatan: Denpasar: Hasil Penelitian Kerjasama Bappeda Propinsi Bali dengan Universitas Udayana. Pendit, S. 2001. Membangun Bali: Menggugat Pembangunan di Bali untuk Orang Jakarta melalui Jalur Pariwisata, Cet.1, Denpasar: Pustaka Bali Post. Pitana, I.G. 1999. Kepariwisataan Bali dalam Konteks Kompetisi Global dan Otonomi Daerah, dalam Kumpulan Makalah Seminar Pembangunan Bali Berbudaya Berwawasan Lingkungan, Bali: Kerjasama Pusat Penelitian Kebudayaan dan Kepariwisatan Universitas Udayana Dengan Pemda Tk I Bali. Prama, G. 1994. Postmodernisme?, dalam Postmodernisme dan Masa Depan Peradaban, Suyoto et al (ed), Yogyakarta: Aditya Media. Ratna, N.K. 2004. Teori, Metode dan Teknik Penelitian Sastra : dari Strukturalisme hingga Poststrukturalisme Perspektif Wacana Naratif, Cet. 1, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Ritzer, G. 2004. Teori Sosial Posmodern, Muhammad Taufik (Penerjemah), Cet. 2, Yogyakarta: Kerjasama Juxtapose Research and Publication Study Club dengan Kreasi Wacana. Santoso, P.B. 1997. Birokrasi Pemerintah Orde Baru: Perspektif Kultural dan Struktural, Ed. 1, Cet. 3, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,. Turner, B. S. 2000. Teori-Teori Sosiologi Modernitas Postmodernitas, Imam Baehaqi dan Ahmad Baidlowi (Penerjemah), Cet. 1, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. MANAJEMEN KONFLIK HOTEL INNA GRAND BALI BEACH SANUR-BALI Luh Putu Kerti Pujani Dosen Program Studi Pariwisata Unud Abstract Initially, the factor of security stability and comfort in the tourism activities is complementary in nature. However these days it constitutes main factor that should always be maintained, essentially every social situation and a stratum that produces conflict. Community og Inna Grand Bali Beach (Inna GBB) as a social system end to have social conflict, to solve this problem every policy effort and are made to minimize the existing gaps so that harmoniouse situation in the working system of hotel operational can be created. This study aims to know the variations of the background of the emergence of conflict and how this conflict appears at the Inna GBB, then what measures are taken to handle the conflict. The data collection was done by means of observational technique, indepth interview, and library research. The technique of informant taking was determined by having main and key informants with certain procedure. Then the data were analyzed by means of descriptive qualitative analysis. The findings show that the conflict variations move towards vertical and horizontal conflicts. The effort of handling them is started by giving extension in every department which is then followed up by holding inter-department dialoque, executive meeting of the committee that gives the direction of the hotel operational’s policy. There is direct tranparet dialogue among all employees with the general manager (in this case representad by resident manger, manager, marketing manager), and social – religious movement is also intensified. In order for the accommodative situation to be well maintained, the hotel management has to be smart in responding sensitive phenomena such as giving appreciation to the achievements of employees, the balance of apreciation between education and working period of the employees that are also to be related with the system of promotion and salary. And it is time to strengten the hotel with good and clean leadership, transparent and open accepting the vertical mobility of leadership structure. Key words : Conflict variations and efforts of handly it. 1. Pendahuluan Kegiatan kepariwisataan merupakan sebuah industri, yang pada dasarnya merupakan rangkuman daripada berbagai macam bidang usaha yang secara bersama-sama menghasilkan produk atau jasa yang nantinya, baik secara langsung atau tidak akan dibutuhkan oleh wisatawan selama lawatannya (Yoeti,1988; 133-140). Salah satu komponen dari kegiatan kepariwisataan adalah akomodasi (hotel). Hotel bergerak di bidang jasa, yang merupakan rumah tinggal wisatawan selama kunjungannya di daerah wisata. Oleh karena itu harus dapat memberikan rasa aman dan nyaman bagi wisatawan yang menginap, sebagai ekspresi dari profesionalitas dari suatu pelayanan. Pada awalnya faktor stabilitas keamanan dan kenyamanan di lingkungan akomodasi dalam kegiatan pariwisata bersifat komplementer. Namun saat ini merupakan prioritas utama yang selalu harus diupayakan. Inna Grand Bali Beach (Inna GBB) merupakan sebuah akomodasi berbintang lima dengan kapasitas kamar yang dioperasionalkan berjumlah 523 kamar. Operasional hotel tersebut didukung oleh 547 karyawan sebagai motor penggerak operasional hotel yang didistribusikan ke departemen-departemen. Unsur-unsur sistem sosial terdiri dari peranan-peranan sosial yang berhubungan satu dengan yang lain. Peranan-peranan sosial tersebut didasarkan pada, semacam pembagian kerja yang membatasi hak dan kewajiban. Hak dan kewajiban dirumuskan oleh aturanaturan (Pasaribu, 1986;12). Berdasarkan pengertian sistem sosial tersebut, sistem kerja operasional hotel merupakan sistem sosial dari komunitas karyawan hotel di keseluruhan departemen Inna GBB. Lockwood menyatakan bahwa, setiap situasi sosial senantiasa mengandung didalamnya dua hal yakni tertib sosial dan substratum yang melahirkan konflik (Nasikun, 1995;14). Komunitas karyawan Inna GBB sebagai suatu sistem sosial cenderung memiliki kandungan konflik sosial dan juga senantiasa mengupayakan terciptanya tertib sosial. Umumnya konflik tersebut terjadi di lingkungan intern departemen dan sistem kerja operasional hotel secara menyeluruh. Beberapa hotel berbintang di Bali juga memiliki kondisi seperti halnya Inna GBB. Hotel-hotel termaksud di antaranya; hotel Putri Bali, hotel Nusa Indah, hotel Kartika Plaza, hotel Bali Garden, hotel Chedi, dan hotel Four Season. Konflik di lingkungan hotel-hotel tersebut sampai pada tahap lanjut, yang diekpresikan dalam bentuk demonstrasi. Sebagian di antaranya sampai pada tahap pemutusan hubungan kerja dengan karyawan. Kondisi sosial yang memanas di lingkungan hotel, sangat merugikan citra pariwisata Bali, karena pada dasarnya kepariwisataan terkait erat dengan persoalan image. Di lingkungan hotel yang merupakan rumah wisatawan selama kunjungannya di daerah wisata, idealnya dilakukan inovasi-inovasi yang mampu membangun stabilitas sosial. Sehingga wisatawan merasa aman dan nyaman dalam menikmati pengalaman estetis, budaya, dan menikmati indahnya panorama di tempat tujuan wisata. Sudah saatnya keamanan dan kenyamanan wisatawan atau personel pemakai jasa hotel, menjadi fokus perhatian pihak hotel sebagai penjual jasa. Seperti telah dikemukakan bahwa, sistem sosial mengandung konflik dan tertib sosial. Persoalannya terletak pada bagaimana cara menangani sehingga tercapai keseimbangan dari binary oppotition tersebut. Oleh karena itu topik manajemen konflik yang diterapkan di hotel Inna Grand Bali Beach justru diketengahkan untuk ditelaah. Sampai saat ini staf pimpinan Inna Grand Bali Beach mampu mengatasi konflik intern hotel dengan baik. Relatif mampu memberikan rasa aman dan nyaman kepada wisatawan dan pemakai jasa hotel lainnya. 2. Rumusan Masalah Berdasarkan pemikiran tersebut, maka rumusan permasalahan diarahkan pada : a. Bagaimana bentuk-bentuk konflik di lingkungan sistem kerja operasional hotel Inna Grand Bali Beach? b. Bagaimana upaya-upaya penanganan konflik yang diterapkan di lingkungan kerja operasional hotel Inna Grand Bali Beach? 3. Metode Penelitian Fokus penelitian diarahkan pada; bentuk konflik dan upaya-upaya penanganan konflik di lingkungan sistem kerja operasional hotel Inna Grand Bali Beach. Adapun teknik pengumpulan data yang diterapkan dalam penelitian ini adalah: (1) observasi; (2) wawancara mendalam, langkah ini diupayakan dalam rangka mencoba melihat permasalahan dari sudut pandang emik (Spradley, l997; Moleong, 1999); (3) studi pustaka. Penentuan informan dimulai dengan memilih seorang informan pangkal, yang memiliki pemahaman yang luas tentang permasalahan penelitian, sehingga mampu mengintroduksikan peneliti kepada informan kunci. Informan kunci adalah mereka yang memiliki kedalaman informasi tentang permasalahan penelitian dan kritis di dalam menanggapi permasalahan yang di teliti (Guba dalam Moleong, 1999; Koentjaraningrat, 1997). Dalam penelitian ini tidak dipermasalahkan tentang penentuan besar kecilnya jumlah informan, seperti prosedur penelitian kuantitatif. Namun tetap mempertimbangkan konteks informasi yang digali ke arah kejenuhan informasi (Palguna, 2001). Kegiatan analisis data dalam penelitian ini mengarah pada analisis kualitatif. Metode analisis kualitatif lebih menekankan pada upaya memahami makna (verstehen) dari objek penelitian (Hardiman,199; Suriasumantri, 1995). Selanjutnya Muhajir (1998), menegaskan bahwa analisis deskriptif kualitatif dipahami sebagai suatu cara berfikir yang sistematis dengan mengilustrasikan atau menggambarkan suatu fenomena, kemudian mengkaitkannya dengan fenomena lain melalui interpretasi untuk dideskripsikan dalam suatu kualitas yang mendekati kenyataan. Dalam analisis tulisan ini akan dilihat keterkaitan fenomena bentuk konflik dengan fenomena penanganannya, sehinggga suatu kesenjangan dapat diminimalkan. Sehingga pada akhirnya dapat terrealisasi suatu keselarasan (akomodasi) di lingkungan sistem kerja operasional hotel. Adapun langkah analisis diawali dengan mengadakan reduksi data. Dalam artian melakukan penyederhanaan data dengan jalan membuang data yang tidak perlu, menggolongkan data, selanjutnya sampai pada tahap penyajian data, menyusun sistematika informasi sehingga konfigurasi lebih mudah dipahami dan arah simpulannyapun mulai tampak. Tahap akhir dari analisis berupa penarikan kesimpulan (Miles dkk,1992). 4. Hasil dan Pembahasan Inna Grand Bali Beach yang memiliki kamar sejumlah 523 kamar, dengan berbagai fasilitas penunjang yang dimiliki, tentu membutuhkan tenaga kerja yang tidak sedikit. Karyawan hotel Inna GBB dipilah menjadi dua katagori yaitu; pegawai tetap dan pegawai kontrak. Dalam operasional sehari-hari, sewaktu-waktu masih dibutuhkan tenaga kerja tambahan yang dikonsepsikan sebagai tenaga DW. Pegawai Inna GBB secara keseluruhan saat ini, tidak termasuk tenaga DW berjumlah 547 orang. Keseluruhan pegawai tersebut didistribusikan ke dalam 15 departemen (Keputusan Direksi, 2002). Seperti telah diketahui bahwa setiap situasi sosial senantiasa mengandung tertib sosial dan sub stratum yang melahirkan konflik-konflik, selanjutnya Craib (1986) mengetengahkan bahwa, apabila hendak membicarakan konflik, maka harus diupayakan mendeskripsikan kondisi-kondisi nyata dari konflik. Oleh karenanya akan dijabarkan kondisi-kondisi riil dari kesenjangan yang ada seperti kesenjangan; pandangan, ide, tanggapan atau pendapat yang ada di lingkungan sistem kerja operasional hotel Inna GBB sebagai berikut. Pada awalnya jumlah karyawan hotel relatif mampu memenuhi kebutuhan tenaga kerja di semua departemen yang ada di hotel Inna GBB. Kemudian pada tahun 2000 sampai dengan 2003 karyawan hotel angkatan 66 menjalani masa pensiun sejumlah 426 orang. Akibat bom Bali kondisi keuangan hotel sangat tidak memungkinkan untuk merekrut tenaga kerja baru sebagai pengganti pensiun. Dengan demikian terjadi akumulasi beban kerja pada personel-personel karyawan Inna GBB. Sebagian besar karyawan menangani pekerjaan rangkap setiap harinya. Sehingga batasan kerja (job deskription) karyawan sering menjadi kabur. Situasi ini sangat potensial menumbuhkan rasa kesal sesama karyawan, yang diekpresikan dalam bahasa-bahasa simbol, sebagai suatu bentuk koreksi terhadap situasi tersebut. Adanya kesenjangan pendidikan antara karyawan periode angkatan 66-1990 (dikonsepsikan sebagai karyawan lama) dengan karyawan periode 1990-2000 (dikonsepsikan sebagai karyawan baru). Karyawan lama tingkat pendidikannya umumnya setingkat SLTP dan SLTA, sedangkan karyawan baru minimal D1 pariwisata sampai dengan S1. Belakangan muncul ketimpangan perlakuan terhadap karyawan lama terkait dengan masalah kenaikan pangkat dan sistem penggajian. Hal ini memotivasi munculnya kecemburuan sosial karyawan lama terhadap karyawan baru. Protes sosial dilontarkan secara oral berupa komentar-komentar pedas terhadap karyawan baru. Ketidak siapan pimpinan dalam menghadapi mobilitas vertikal struktur kepemimpinan, sehingga beberapa kesepakatan (prosedur, aturan) dilanggar. Dengan demikian disiplin karyawan dapat berorientasi vertikal dan hasrat untuk taat pada aturan melemah (Koentjaraningrat, 1993). Selanjutnya tampak muncul pengkotak-kotakan karyawan berdasarkan kepentingan kelompok-kelompok tertentu, yang berorientasi pada upaya pencapaian grade tertentu yang lebih tinggi atau lebih bergengsi. Hal ini terjadi pada level department head ke atas. Seperti diketahui PT. HIN atau Inna group merupakan penggabungan dari PT. HII dengan PT. Natour. Di lingkungan Inna group, hotel Inna GBB merupakan hotel yang terbesar. Hotel Inna GBB sejak awal (sebelum bergabung di bawah naungan PT. HIN), sangat memperhatikan masalah jaminan kesehatan karyawan beserta keluarganya. Hotel GBB mampu memberikan kepuasan tertentu dalam hal jaminan kesehatan terhadap keluarga karyawan. Saat ini pihak Natour menuntut pada PT. HIN supaya memperoleh hak yang sama dengan Inna GBB (PT. HII) dalam hal jaminan kesehatan. Kemudian dirumuskan dan diterapkan satu kebijakan yang berusaha untuk mewujudkan suatu keseimbangan dalam jaminan kesehatan. Dalam hal ini ada pihak yang terpuaskan dan ada pihak yang dikecewakan. Pihak Natour jaminan kesehatannya menjadi lebih baik, sedangkan pihak Inna GBB (PT.HII) mengalami pengurangan-pengurangan tertentu dalam jaminan kesehatan. Pihak Inna GBB merasa adanya kesenjangan antara ekspektasi nilai dengan kapabilitas nilai, yaitu kesenjangan antara kondisi kehidupan yang diyakini sebagai haknya dengan kondisi riil yang diperoleh (Santosa, 2002). Konflik dapat terjadi karena hadirnya suatu perubahan. Pada komunitas yang mengalami suatu kesenjangan dapat timbul suatu kekecewaan dan keresahan sosial (Warren dalam Abdulsyani, 1994). Inna GBB merupakan hotel yang relatif tua, oleh karenanya banyak peralatan dapur, kamar, dan peralatan di enginering department yang sudah rusak. Saat ini belum bisa mencapai standarisasi peralatan dalam operasional hotel. Hotel Inna GBB diupayakan tetap operasional dan dapat memuaskan pelanggan, walaupun dengan keterbatasan peralatan dapur, kamar, enginering dan seterusnya. Kondisi ini merupakan salah satu faktor yang mampu memunculkan kesenjangan pandangan, pendapat, ide, di lingkungan karyawan di intern departemen, antar departemen, dan juga dikalangan staf pimpinan hotel dalam rangka berupaya memuaskan pelanggan. Terutama di FB kitchen, housekeeping dan enginering department terjadi akumulasi permasalahan dari hari ke hari sebagai akibat keterbatasan alat. Merujuk pada rumusan konflik yang dikemukakan Surbekti (1984), bahwa konflik merupakan perbedaan pendapat, pandangan, ide, persaingan dalam usaha mendapatkan atau mempertahankan sesuatu. Dengan demikian deskripsi kondisi komunitas karyawan Inna GBB tersebut di atas menunjukkan adanya kandungan konflik di lingkungan komunitas karyawan Inna GBB yang mengarah pada konflik yang bersifat vertikal dan horizontal. Dangenaar mengemukakan bahwa manajemen merupakan suatu proses bimbingan terhadap kegiatan kelompok atau komunitas dalam mencapai sesuatu (Sri, 2005). Langkah awal proses bimbingan dalam rangka berupaya meminimalisasi konflik di lingkungan sistem kerja Inna GBB dimulai di lingkungan departemen. Setiap hari kerja diawali dengan morning briefing. Di samping itu secara rutin diadakan tatap muka mengevaluasi hasil kerja perbulannya. Permasalahan di lingkungan departemen yang tidak terselesaikan disampaikan pada rapat department head. Antara departemen yang satu dengan yang lainnya memiliki keterkaitan secara fungsional. Namun sering antara departemen yang satu dengan yang lainnya sebagai sub sistem kerja terdapat ketidak selarasan dalam rangka operasional hotel. Untuk mencapai titik temu antar departemen, maka diadakan rapat department head dimana general manager berperan sebagai mediator. Rapat department head diadakan setiap minggu sekali, dengan materi bahasan meliputi: (1) evaluasi operasional kerja hotel dalam seminggu; (2) membahas sistem kerja dalam operasional hotel (termasuk kesenjangan antar departemen); (3) menindak lanjuti permasalahan intern departemen yang tidak terselesaikan; (4) masalah kedesiplinan dan loyalitas karyawan dan seterusnya. Kendali di tingkat executive dikonsepsikan sebagai rapat escom (executive committee). Keputusan akhir yang menentukan arah kebijakan hotel merupakan keluaran rapat escom. Diantaranya: (1) memutuskan sanksi pelanggaran kerja bagi karyawan; (2) pemutusan hubungan kerja; (3) rotasi karyawan antar departemen; (4) mutasi karyawan Inna GBB di lingkungan PT. HIN; (5) mengirim karyawan berprestasi tugas belajar dan seterusnya. Rapat escom diadakan seminggu sekali. Sebelum kasus karyawan dibahas di rapat escom, Korpri sebagai wakil serikat pekerja di Inna GBB terlebih dahulu mengadakan rapat, dalam rangka membela hak-hak karyawan sesuai dengan prosedur yang berlaku. Hasil rapat dipergunakan sebagai landasan pembelaan karyawan bermasalah yang diajukan ke rapat escom. Pada prinsipnya Korpri berperan sebagai mediator antara karyawan dengan manajemen Inna GBB. Langkah pembinaan dan monitoring selanjutnya adalah, setiap tiga bulan sekali diadakan tatap muka karyawan yang dipimpin langsung oleh general manager. Dalam kesempatan ini seluruh karyawan Inna GBB diberikan kesempatan yang sama untuk menyampaikan ketidakpuasannya, ketidakpahamannya terhadap sesuatu, terkait dengan sistem kerja di Inna GBB. Lingkup dialog berkisar pada masalah: (1) transparansi keuangan; (2) kelebihan target penjualan kamar; (3) menghitung besarnya uang service bersama-sama (karyawan, general manager dan marketing); (4) ketidakpuasan dan ketidakpahaman karyawan terhadap kenaikan pangkat, penilaian hasil kerja persemester, jaminan kesehatan, dan seterusnya. Uraian tersebut menunjukkan bahwa sistem pembinaan yang diterapkan mengarah pada konsiliasi, dan masing-masing pihak melakukan penyesuaian, mencari pemecahan secara damai, dalam hal ini kehadiran mediator sering dibutuhkan (Abdulsyani,1994; Sirtha,1998). Pada akhirnya diharapkan terwujud integrasi, yakni tidak ada prasangka yang mengganggu kerukunan komunitas (Haryono, 1994). Di samping upaya pembinaan tersebut, juga ditempuh langkah-langkah lain dalam mengupayakan tercapainya integrasi sosial dan akomodasi di lingkungan sistem kerja operasional hotel. Langkah-langkah yang diambil di antaranya; diupayakan memperkenalkan, menumbuhkan, dan menguatkan nilai-nilai kebersamaan, nilai-nilai kekeluargaan , dan nilai-nilai keagamaan di lingkungan karyawan hotel. Seperti apa yang dikemukakan oleh Sanderson (1995) dan Koentjaraningrat (1977) bahwa; untuk mencapai interaksi sosial, akomodasi, gerakan sosial keagamaan sangat diperlukan. Parsons menegaskan bahwa, sistem budaya yang terdiri dari nilai-nilai, norma-norma dapat dipakai sebagai pedoman yang memberi arah dan memantapkan tindakan individu-individu (Pasaribu, 1986; Koentjaraningrat,1990). Penerapan pola penanganan konflik seperti terurai tersebut, relatif mampu meredam konflik di lingkungan komunitas karyawan hotel Inna GBB. Sehingga operasional hotel dapat berjalan dengan baik, tanpa diwarnai protes sosial dalam bentuk kekerasan. 5. Simpulan dan Saran Pada dasarnya variasi konflik mengarah pada konflik yang bersifat vertikal dan horizontal di lingkungan sistem kerja operasional hotel Inna Grand Bali Beach. Hal ini dapat dikaji dari deskripsi kesenjangan-kesenjangan yang ada di lingkungan komunitas karyawan hotel Inna Grand Bali Beach. Seperti kesenjangan pandangan atau ide dalam; kenaikan pangkat, menyikapi keterbatasan alat, menyikapi keterbatasan karyawan, menyikapi tingkat pendidikan karyawan, menyikapi mobilitas struktur kepemimpinan dan adanya gejala pengkotak-kotakan karyawan di lingkungan Inna Grand Bali Beach. Sedangkan upaya penanganan konflik atau manajemen konflik di lingkungan sistem kerja operasional hotel Inna Grand Bali Beach mengarah pada proses pembinaan, bimbingan staf pimpinan terhadap keseluruhan sistem kerja operasional hotel, dalam rangka meminimalisasi kesenjangan yang ada, sehingga tercipta integrasi, akomodasi dalam sistem kerja operasional hotel. Langkah awal proses bimbingan dimulai di lingkungan departemen. Kemudian ditindaklanjuti dengan mengadakan dialog antardepartemen, rapat executive committee yang keluarannya memberikan arah kebijakan operasional hotel. Setiap tiga bulan sekali diadakan dialog langsung secara transparan antara seluruh karyawan dengan general manager yang didampingi oleh resident manager, manpower nanager, dan marketing manager. Di samping itu gerakan sosial keagamaan juga diperkuat. Penerapan pola penanganan konflik seperti terurai tersebut mampu meredam konflik, sehingga operasional hotel dapat berjalan dengan baik tanpa diwarnai oleh protes sosial dalam bentuk kekerasan. Beberapa hal yang disarankan dalam hal ini adalah; staf pimpinan harus cerdas dalam menyikapi fenomena-fenomena sensitif seperti: penilaian hasil kerja karyawan per semester; konsisten pada prosedur kenaikan pangkat; penghargaan terhadap prestasi kerja; keseimbangan penghargaan terhadap pendidikan karyawan dengan masa kerja karyawan, terkait dengan sistem kenaikan pangkat dan penggajian karyawan.Tumbuh kembangnya rasa kekeluargaan, kebersamaan, dan loyalitas karyawan, yang realisasinya “perlu” didukung oleh jiwa kepemimpinan yang bersih, transparan, terbuka menyikapi mobilitas struktur kepemimpinan. Di samping itu pihak pimpinan idealnya terbuka menyikapi mobilitas struktur kepemimpinan. Daftar Pustaka Abdulsyani. 1994. Sosiologi Skematika, Teori dan Terapan. Jakarta:PT. Bumi Aksap. Craib, Ian. 1986. Teori – Teori Sosial Modern Dari Parsons Sampai Haberman. Jakarta: CV Rajawali. Hardiman, F. Budi. 1991. Positivisme V. S. Hermeneusik : Suatu Usaha Untuk Menyelamatkan “ Subjek “. Basis : Majalah Kebudayaan Umum (XL) 3: 82 – 100. Hariono, P. 1994. Cultur Cina dan Jawa. Jakarta:Pustaka Sinar. Koentjaraningrat.1977. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Dian Rakyat. ________, 1997. Metode – Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Umum. _________, 1993. Kebudayaan Mentalitet dan Pembangunan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Umum. _________, 1990. Sejarah Teori Antropologi II. Jakarta: UI Press Miles, Haberman. B. Dkk., 1992. Analisis Data Kualitatif. Jakarta: UI Press. Moleong, Lexy J. 1989. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Karya. Muhajir, H. Noeng. 1998. Metodelogi Penelitian Kuantitatif Edisi III cetakan ke 8. Jakarta: Rake Sarosin. Nasikun, 1995. Sistem Sosial Indonesia. Jakarta: PT Grafindo Persada. Palguna, A.A Ngurah. 2001. “Dinamika Masyarakat Desa Menuju Civil Society: Studi Kasus Pengelolaan Objek Wisata Alas Kedaton di Desa Kukuh Tesis. Denpasar: Program Pascasarjana Universitas Udayana. Pasaribu, dkk. 1986. Sosiologi Pembangunan. Bandung: Tarsito. Pelly, Usman. 1994. Teori-Teori Sosial Budaya. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi PT HIN, 2002. Keputusan Direksi Nomer : 166 / KD / DIRUT / HIN / 11 / 2002, PT. Hotel Indonesia Natour. Jakarta Rai, A.A Gede 1987. Job Deskription Hotel Bali Beach. Denpasar: Sanur. Sanderson, Stephen K. 1995.Sosiologi Makro, Sebuah apendekatan Terhadap Realitas Sosial. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Santosa, Thomas. 2002. Teori-Teori Kekerasan. Surabaya: PT Ghalia Indonesia. Sirtha, I Nyoman. 1998. Pengendalian Sosial: Tinjauan dari Perspektif Ilmu Hukum dan Masyarakat. Denpasar: FH Unud Spradley, James P. 1997. Metode Etnografi. Yogyakarta: PT Tiara Wacana. Sri, A.A. Putri. 2005. “Wanita Dalam Industri Pariwisata : Studi Kasus Wanita Pengelola Pondok Wisata di Kelurahan Ubud Gianyar” Tesis. Denpasar: Program Pacasarjana Universita Udayana. Surbakti, A Ramlan. 1984. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Surabaya: Airlangga University Press. PESTA KESENIAN BALI SEBAGAI WAHANA PARTISIPASI MASYARAKAT BALI DALAM PARIWISATA BUDAYA Ni Ketut Arismayanti Dosen Program Studi Pariwisata Unud Abstract Balinese culture seems become most dominant fascination in growth of tourism in Bali. Bali has started to step on tourism world start year 1927 hitherto and have come to tourism center which increasing from year to year. Dynamics life of culture having the character of progressive is later; then anticipated positively by realized local government wisdom by carrying out Pesta Kesenian Bali (PKB) by continue every year since 1979. Culture of Bali is culture which jells to have Hinduism breath which has one with local cultural custom. The culture grow and take root at various religion public spirited traditional institute, like subak, and custom countryside with its. This Traditional institutes represent pillars prop of continuity of culture of Bali. This means going forward the reassignment of culture of Bali very depended to this institutes dynamics. Because of culture of Bali depend on traditional institute, while tourism depends on culture; hence directly mean that tourism depended to traditional institutes’ existential. Thereby policy of Local Government of Province Bali in developing Cultural Tourism as type / tourism in Bali area represent very precise action as according to area potency and tendency of global tourism. Continuity of Balinese culture very depend on and understanding of appreciated Bali society to its culture which expected can prevent cultural influence of tourist (culture tourist) to Balinese culture Keyword: Bali Festival Art, Tourism, Culture, and Cultural Tourism. 1. Pendahuluan Daya tarik Bali adalah kebudayaannya yang unik dan merakyat. Kehidupan kebudayaannya adalah menyatu dengan agama, kebudayaan, adat yang harmonis, cipta, rasa dan karsa sebagai unsur budi daya manusia menonjol mengambil bentuk keagamaan, estetika dan etika (seni budaya, solidaritas, gotong-royong rasa kebersamaan). Keunikan budaya dan keindahan alam Bali merupakan potensi yang sangat penting sebagai daya tarik wisata, sejak awal perkembangan kepariwisataan di daerah ini. Budaya dan keindahan alam telah menjadi image kepariwisataan daerah Bali. Sehubungan dengan hal itu, Pemerintah Daerah Propinsi Bali sejak awal telah mencanangkan, bahwa jenis kepariwisataan yang dikembangkan di daerah ini adalah Pariwisata Budaya yang dijiwai oleh Agama Hindu. Ketentuan tersebut telah tertuang dalam Peraturan Daerah (Perda) Nomor 3, Tahun 1991, yang pada Bab I, Pasal 1, antara lain menyebutkan, bahwa Pariwisata Budaya adalah jenis kepariwisataan yang dalam perkembangan dan pengembangannya menggunakan kebudayaan daerah Bali yang dijiwai oleh Agama Hindu yang merupakan bagian dari kebudayaan nasional sebagai potensi dasar yang dominan, yang didalamnya tersirat satu cita-cita akan adanya hubungan timbal-balik antara Pariwisata dan Kebudayaan, sehingga keduanya meningkat secara serasi, selaras, dan seimbang. Selanjutnya dijelaskan pula bahwa obyek dan daya tarik wisata adalah segala sesuatu yang menjadi sasaran wisata. Pada Perda Nomor 3 Tahun 1991, Pasal 3 antara lain dinyatakan, bahwa tujuan penyelengaraan pariwisata budaya adalah untuk memperkenalkan, mendayagunakan, melestarikan dan meningkatkan mutu objek dan daya tarik wisata, mempertahankan norma-norma dan nilai-nilai kebudayaan agama dan kehidupan alam Bali yang berwawasan lingkungan hidup, mencegah dan meniadakan pengaruh-pengaruh negatif yang dapat ditimbulkan oleh kegiatan kepariwisataan. Sesungguhnya konsep Pariwisata Budaya sudah merupakan konsep yang sangat tepat untuk diterapkan di Bali. Konsep ini telah digodok sejak tahun 1968 (seminar pariwisata Januari 1968), kemudian diputuskan pada tahun 1971 / 1972 (SCETO), serta diformalkan pada tahun 1974, dan direvisi kembali pada tahun 1991 (Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 1991). Perdebatan untuk sampai pada konsep Pariwisata Budaya ini cukup alot, namun akhirnya sampai pada kesepakatan untuk menetapkan Pariwisata Budaya sebagai framework pembangunan pariwisata Bali. 2. Pembahasan Budaya Bali tampaknya menjadi daya tarik yang paling dominan dalam perkembangan kepariwisataan di Bali. Bali telah mulai menginjak dunia kepariwisataan mulai tahun 1927 sampai sekarang dan telah menjadi pusat pariwisata yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa 61 % wisatawan yang berkunjung ke Bali, karena ingin menikmati keunikan budaya, 32 % disebabkan oleh keindahan alam atau panorama yang mempesona, dan sisanya 5,37 % pada hal-hal lain (Mantra, 1996). Pariwisata Budaya yang dikembangkan di Bali tampaknya selaras dengan kecenderungan pariwisata global. Dikatakan demikian, karena sejak dua dekade terakhir ini di Eropa khususnya mulai digalakkan kembali Pariwisata Budaya (Cultural Tourism). Dalam dunia dengan percepatan teknologi semakin maju dan komunikasi semakin luas dan dunia makin mengecil, maka hubungan antar bangsa akan semakin meningkat, semakin intensif. Manusia makin mampu dan semakin banyak yang ingin bepergian, mereka membutuhkan kebudayaan serta memperkaya dirinya dengan pengalaman kebudayaan di tempat-tempat yang dikunjungi. Kekhasan kehidupan kebudayaan Bali inilah yang menarik sebagai hasil terintergrasinya kehidupan keagamaan dengan seni budaya adat, dalam kehidupan masyarakatnya. Dalam peningkatan pariwisata, beberapa elemen kebudayaan dan peristiwa kebudayaan telah berperan, antara lain (Mantra, 1996): 1). Sebagai sarana dan media promosi kepariwisataan, baik yang berlangsung di dalam maupun di luar negeri; 2). Sebagai atraksi yang mencakup pertunjukkan kesenian, pameran kesenian. Khusus dengan hal ini pelaksanaan Pesta Kesenian Bali (PKB) telah memberi arti dan nilai yang sangat mendalam; 3). Sebagai objek wisata dengan aneka ragam corak khas sebagai kepurbakalaan, objek kesejarahan pura, puri, desa-desa kuno, museum (etnografi, subak, yadnya, lukisan dan lain-lainnya); dan makanan khas Bali. Interaksi yang terjadi antar kebudayaan dan pariwisata adalah positif. Landasan budaya dalam kehidupan masyarakat yang sosial religius di Bali tetap mantap, sehingga kontak-kontak kebudayaan dan pariwisata saling menunjang dalam peningkatannya maupun pembinaannya. Demikian juga telah mampu meningkatkan kreativitas serta memperkaya diri sebagai hasil dari adoptasi dan adaptasi yang selektif dan kreatif. Keadaan tersebut terutama ditunjang oleh pengembangan pariwisata yang didukung oleh kebijaksanaan pemerintah dan masyarakat. Di samping berhasil meningkatkan pendapatan masyarakat, juga meningkatkan kreatifitas dan dorongan munculnya industri-industri rakyat. Dengan demikian kebudayaan akan terus berkembang sebagai akibat kemajuankemajuan masyarakat itu sendiri, menuju masyarakat yang modern, tanpa kehilangan identitas dirinya (berkelanjutan dalam perubahan). Pengembangan kebudayaan memang dibutuhkan oleh masyarakat, sedangkan pariwisata memberi dukungan terhadap pengembangan kebudayaan dan mendorong munculnya kreativitas pada masyarakat Bali. Munculnya kreativitas telah mendorong pengembangan kebudayaan. Pengembangan kebudayaan melalui penggalian-penggalian kebudayaan itu sendiri menimbulkan pemahaman dan kesadaran akan kebudayaan menumbuhkan keyakinan akan kemampuan diri sendiri dan sadar berbudaya. Dinamika kehidupan kebudayaan yang bersifat progresif, kemudian diantisipasi secara positif oleh kebijaksanaan pemerintah daerah yang direalisasikan dengan menyelenggarakan Pesta Kesenian Bali (PKB) secara kontinyu setiap tahun sejak tahun 1979. Dalam pesta kesenian yang tiap tahun berlangsung selama satu bulan itu, berbagai produk kebudayaan dipamerkan, berbagai aktivitas kebudayaan diperagakan dan berbagai kreativitas dilombakan. Pesta Kesenian Bali yang diprakarsai oleh Prof. Dr. Ida Bagus Mantra untuk menghadapi tantangan dari kecemasan memudarnya kesenian tradisional karena pengaruh pariwisata. Pada kesempatan itu muncullah beberapa jenis kesenian yang selama ini jarang di pertunjukkan pada umum. Pelaksanaan Pesta Kesenian Bali yang berlangsung ditengah-tengah arus meningkatnya pariwisata yang berlangsung selama ini, telah memberikan makna pada kehidupan kebudayaan sendiri, baik ke luar maupun ke dalam. Tujuan utamanya ialah menggali semua potensi tradisi seni budaya untuk dikembangkan agar dapat memenuhi kebutuhan masyarakat modern dan dapat memelihara stabilitas pada tiap-tiap perkembangannya. Berbagai kesenian dan tetabuhan (gamelan) yang hanya terdapat di daerah-daerah tertentu saja, seperti Tek-Tekan (Kerambitan, Tabanan), Tari Guak (Desa Panji, Buleleng), Bumbung Gebyok (Negara) dan sejumlah lainnya yang ikut meramaikan pesta kesenian yang bersejarah itu. Pesta Kesenian Bali tersebut diselenggarakan dengan sifat keterpaduan yang cukup mengesankan. Berbagai aspek seni budaya ditampilkan seperti bermacam-macam tarian, tetabuhan (kerawitan), seni rupa, arsitektur serta seni klasik lainnya yang disatukan dengan pameran pakaian adat, buah-buahan, makanan tradisional dan bunga-bungaan. Pesta kesenian semacam ini sekaligus dikaitkan dengan kegiatan kepariwisataan, seperti perhotelan, restoran, souvenir dan perindustrian, khususnya industri kecil, sehingga secara keseluruhan dapat menampilkan wajah Bali dengan segala potensi budaya yang dimilikinya. Pesta Kesenian Bali tersebut ternyata dapat menggugah masyarakat untuk dapat berpartisipasi secara langsung dalam budayanya dan lebih menghargai seni budaya tradisional yang sudah menjadi warisan nenek moyangnya secara turun-temurun. Dalam beberapa hal telah mencapai tujuannya, yaitu semua masyarakat telah ikut berpartisipasi secara langsung dan mengenal kekayaannya sendiri yang tiap tahun dipamerkan melalui prosesi, pagelaran dan pameran-pameran. Wisatawan dapat menyaksikan pertunjukan-pertunjukan seni yang bermutu pada waktu pesta seni berlangsung, yang jarang mereka lihat dalam kesempatan biasa dan juga merupakan media komunikasi melalui seni yang sangat berharga. Bagi masyarakat mendapat kesempatan menyaksikan aktifitas seni akan dapat memberikan rasa kebanggaan tersendiri pada budayanya. Kebudayaan Bali adalah kebudayaan yang kental bernafaskan Agama Hindu yang sudah menyatu dengan adat budaya lokal. Kebudayaan tersebut tumbuh dan berakar pada berbagai lembaga tradisional yang bersifat sosial religius, seperti subak, dan desa adat dengan banjarnya. Lembaga-lembaga tradisional ini, di samping lembaga-lembaga lainnya, merupakan pilar-pilar penyangga kelestarian kebudayaan Bali. Ini berarti maju mundurnya kebudayaan Bali sangat tergantung kepada dinamika lembaga-lembaga ini. Karena kebudayaan Bali tergantung pada lembaga tradisional, sedangkan pariwisata tergantung pada kebudayaan, maka hal ini dapat berarti bahwa pariwisata tergantung kepada eksistensi lembaga-lembaga tradisional tersebut. Masyarakat Bali hidup dalam lingkungan binaan lembaga-lembaga tradisional sebagai desa adat, banjar, subak dan sekeha-sekeha lainnya. Hal tersebut telah terbina dalam disiplin sosial budaya kemasyarakatannya, terwujud menonjol dalam bentuk keagamaan, estetika, gotong-royong, rasa kebersamaan, solidaritas, terbuka untuk kemajuan-kemajuan yang menyangkut kepentingan bersama. Menerima unsur-unsur baru selektif dengan pengembangannya. Unsur-unsur budaya ini adalah sebagai penghayatan dan pengamalan Pancasila dari puncak-puncak budaya daerah sebagai unsur kebudayaan nasional. Dengan mengembangkan budaya tradisional dapat meningkatkan kreativitas dan meningkatkan revitalisasi kebudayaan. Kehidupan berkesenian masyarakat Bali sepertinya menjadi satu aspek yang sangat menonjol dalam kehidupan sehari-hari, karena sebagian besar dari wujud hidup keseharian itu dibarengi dengan penyertaan unsur-unsur benda, aktivitas, dasar filosofis yang bernilai seni. Terbentuknya kelompok-kelompok kesenian seperti: Seka Gong, Seka Barong, dan Seka Janger menunjuk pada aspek kesenian yang dapat bernilai dan berorientasi ekonomi. Seka yang sama ditambah dengan beberapa seka lain seperti: Seka Sangiang, Seka Angklung, Seka Gambang, Seka Gender, Semar Pagulingan, Seka Arja, Seka Parwa, Seka Pendet, dan Baris Jago, menunjukkan kelompok kesenian yang bernilai magis dan sering dihubungkan dengan ketakson atau taksu (kreativitas budaya yang murni dan memberi kekuatan spriritual pada kelompok untuk mewujudkan keseniannya). Karena itu, peranannya dalam menunjang kegiatan adat dan agama khususnya upacara menjadi besar. Dalam rangka menguatkan solidaritas dan interaksi sosial, sejumlah kelompok kesenian yang berbentuk seka juga dapat disebutkan antara lain: Seka Baleganjur, Seka Janger, Seka Gong, Seka Layangan, Seka Pencak, Seka Kidung, dan Seka Mekekawin. Wujud dari seka ini selain untuk kegiatan kesenian juga dapat mengefektifkan anggota dalam aktivitas latihan, solidaritas dan kekompakan, menunjukkan kreativitas, dan kerjasama kelompok yang kuat. Karena itu rasa persatuan dan sentimen kelompok pada seka ini menjadi kuat sebagai perwujudan aktualisasi diri para anggotanya. Dalam setiap pelaksanaan PKB menampilkan tema yang berbeda-beda setiap tahunnya. Berbagai pergelaran budaya dipertunjukan dalam berbagai bentuk “kemasan produk” kesenian, diantaranya gong kebyar, topeng, sendratari, tari kontemporer, drama gong, barong, wayang kulit, drama tari arja, dan calonarang. Pergelaran tersebut padat dengan muatan nilai-nilai sastra, dalam bentuk pertunjukan berbagai ragam kerawitan. Dengan adanya kegiatan tersebut tentunya dapat semakin meningkatkan kreativitas masyarakat Bali khususnya dalam berkesenian yang disesuaikan dengan tema yang ditetapkan pada setiap tahunnya. Dalam proses penciptaan karya-karya seni pada hakekatnya terkandung nilai-nilai kehidupan, diantaranya rasa personal, rasa solidaritas sosial dan sosialisasi nilai-nilai luhur kehidupan yang sesungguhnya sudah tercermin dalam aktivitas kehidupan sehari-hari masyarakat. PKB yang telah mengalami transformasi peran, semestinya menjadi wahana yang efektif bagi masyarakat untuk berpartisipasi secara aktif, baik secara langsung maupun tidak langsung dalam mengapresiasikan diri, untuk tetap berperilaku ajeg dan mengajegkan budaya Bali serta tetap menjunjung nilai-nilai luhur kehidupan dan budaya Bali yang teraplikasi dalam berkesenian. 3. Simpulan Pariwisata dapat dikatakan memberikan dampak positif terhadap budaya masyarakat Bali, seperti memperkuat organisasi tradisional, seperti: banjar dan desa pekraman, meningkat dan tumbuh kembangnya kesadaran akan identitas diri orang Bali dan kegiatan pariwisata telah menambah khasanah seni pertunjukkan di Bali, yaitu dengan munculnya jenis kesenian yang dipertunjukkan secara khusus untuk wisatawan yang dikenal dengan istilah art of acculturation atau tourist art. Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa kebijakan Pemerintah Daerah Propinsi Bali dalam mengembangkan Pariwisata Budaya sebagai jenis / tipe kepariwisataan di daerah Bali merupakan tindakan yang sangat tepat sesuai dengan potensi daerah dan kecenderungan pariwisata global. Keajegan budaya Bali sangat tergantung pada pemahaman dan apresiasi masyarakat Bali terhadap budayanya yang diharapkan dapat mencegah pengaruh budaya wisatawan (touristic culture) terhadap budaya Bali. Jangan sampai kepariwisataan yang dikembangkan justru menyebabkan hilangnya identitas budaya masyarakat setempat dan menimbulkan keresahan bagi masyarakat. Berbagai pergelaran budaya dipertunjukan dalam berbagai bentuk “kemasan produk” kesenian yang padat dengan muatan nilai-nilai sastra dengan tujuan meningkatkan kreativitas masyarakat Bali khususnya dalam berkesenian. Dalam proses penciptaan karyakarya seni pada hakekatnya terkandung nilai-nilai kehidupan, diantaranya rasa personal, rasa solidaritas sosial dan sosialisasi nilai-nilai luhur kehidupan yang sesungguhnya sudah tercermin dalam aktivitas kehidupan sehari-hari masyarakat. PKB diharapkan dapat menjadi wahana yang efektif bagi masyarakat untuk berpartisipasi secara aktif, baik secara langsung maupun tidak langsung dalam mengapresiasikan diri, untuk tetap berperilaku ajeg dan mengajegkan budaya Bali serta tetap menjunjung nilai-nilai luhur kehidupan dan budaya Bali yang teraplikasi dengan berkesenian. Daftar Pustaka Anonim. 1990. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1990 tentang Kepariwisataan. _________. 1991. Peraturan Pemerintah Daerah Bali Nomor 3 Tahun 1991 tentang Pariwisata Budaya. Pemerintah Propinsi Bali. Ardika, I Wayan. 2004. “Pariwisata Bali: Membangun Pariwisata Budaya dan Mengendalikan Budaya Pariwisata” Dalam I Nyoman Darma Putra (Ed). Bali Menuju Jagaditha: Aneka Perspektif. Denpasar: Pustaka Bali Post. Mantra, Ida Bagus. 1996. Landasan Kebudayaan Bali. Denpasar: Yayasan Dharma Sastra. Pitana, I Gde. 1994. Dinamika Masyarakat dan Kebudayaan Bali. Denpasar: PT. Bali Post. Pitana, I Gde. 2002. Apresiasi Kritis Terhadap Kepariwisataan Bali. Denpasar: The Works. Yoeti, Oka A. 1994. Komersialisasi Seni Budaya Dalam Pariwisata. Bandung: Angkasa. UNDA-USUK BAHASA JEPANG DALAM PARIWISATA (LEVEL OF SPEECH IN JAPANESE FOR TOURISM) I Made Sendra Dosen Program Studi Pariwisata Unud Abstract According to the aspect of socio-linguistics, the level of speech in Japanese language has uniqness in characteristics in lexicon and syntax which are determined by the social traditional class system. The Japanese society in Tokugawa period (1603-1868) was devided in four classes i.e. bushi or samurai (soldier), noomin (farmer), shokunin (worker) and shonin (merchant). This class system has implemented tightly into various ethics and manner arranging many aspecs of life such as personal and interpersonal relationship, usage of honorofic language, and the privilage of samurai class to own family name (myooji), and gird two swords as power symbol. However, on Meiji period (1868), system of social class was abolished through movement which was called shimin byoodo claiming abolition of social class system and equation of status. On the other hand, as the result of the democratization which was the influence from the West, the social status changed from ascribed status to achieved status. This fenomenon influenced the speech level on Japanese which is determined by the following socio-linguistic factors i.e. (a) familiarity; (b) social status; (c) gender; (d) group membership. Key words: socio-linguistic, lexicon, syntax, samurai (bushi), noomin, shokunin, shonin, shimin byoodo, ascribed status, achieved status, honorific language. 1. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Setiap bangsa memiliki sistem nilai, aturan, norma-norma dalam bertingkah laku dan berkomunikasi yang mengatur hubungan antara manusia yang satu dengan lainnya. Di dalam setiap bahasa di dunia, terdapat norma-norma berbahasa yang dikenal dengan istilah unda usuk bahasa yang di dalamnya terdapat ekpektasi budaya dari pendukung dan pemakai bahasa yang bersangkutan. Kekurangan kemampuan dalam penguasaan terhadap unda usuk bahasa akan dapat menimbulkan ketidakmampuan untuk memahami ekpektasi budaya sehingga akan menumbulkan keluhan (complaint) dipihak wisatawan yang akhirnya dan menimbulkan image yang tidak baik dalam memberikan pelayanan. Dewasa ini kesalahpahaman ini sering terjadi ketika berkomunikasi dengan bangsabangsa yang berbeda budaya. Problem utamanya adalah seseorang cendrung beranggapan budayanya sebagai suatu kemestian tanpa mempersoalkannya lagi (taken for granted) dan mempergunakan sebagai ukuran untuk mengukur budaya bangsa lain. Sikap seperti inilah yang disebut etnosentris. Menurut Summer yang dikutif oleh Mulyana (2003: viii), menjelaskan entnocentrism adalah sebuah sikap yang memandang segala sesuatu dari kelompoknya sendiri sebagai pusat, agar segala sesuatu dan hal lainnya diukur dan dinilai berdasarkan rujukan kelompoknya. Pandangan etnosentris ini akan membentuk stereotype yaitu suatu generalisasi terhadap sekelompok orang, objek, atau peristiwa yang secara luas dianut oleh suatu bangsa. Masyarakat manapun cenderung mempunyai stereotip tentang masyarakat lainnya. Misalnya stereotip terhadap wisatawan Jepang suka bepergian berkelompok, suka pada petualangan sex, bersifat introvert (tertutup), mereka akan sangat respek terhadap orang yang mengetahui budaya, tradisi dan sopan santun berbahasa Jepang (unda-usuk bahasa). Dalam hubungan personal, wisatawan Jepang sangat susah berkomunikasi dengan orang yang baru dikenal, dan cendrung bersikap skeptis terhadap orang yang belum dikenal. Pelayanan terhadap wisatawan Jepang akan berhasil apabila pelaku pariwisata mengetahui adat-istiadat, tradisi, dan sopan santun dalam berbahasa. Semakin mengenal adapt-istiadat, tradisi, dan sopan santun dalam berbahasa, maka akan semakin terampil memahami ekspektasi budaya sehingga pelayanan akan semakin memuaskan. 1.2. Rumusan Masalah Dalam tulisan ini akan menguraikan: (1) Faktor-faktor sosiolinguistik seperti apakah yang menentukan pemakaian unda usuk (sor singgih) bahasa Jepang? (2) Bagaimanakah pemakaian unda usuk bahasa Jepang dalam berkomunikasi dengan wisatawan Jepang? 1.3. Kerangka Konsep Menurut I Gusti Ngurah Bagus (1978:1), menjelaskan unda usuk bahasa (sor singgih basa) sebagai sistem bahasa yang bertingkat-tingkat, dalam pemakaiannya adalah berupa bahasa halus dan bahasa kasar. Sistem unda usuk bahasa Jepang dibedakan menjadi: (1) Bahasa biasa (futsuu-go), (2) Bahasa sopan (teineigo), (3) Bahasa halus (kei-go) yang dapat dibagi lagi menjadi (a) Bahasa halus merendah (kenjoogo) dan (b) Bahasa halus meninggikan status lawan bicara (sonkeigo). Pemakaian unda usuk bahasa Jepang sangat berkaitan dengan struktur sosial masyarakat Jepang. Chie Nakane (1967:105), menjelaskan bahwa hubungan personal dalam masyarakat Jepang dapat dilihat dari dua sisi yaitu: (a) hubungan secara vertikal (tate kankei), seperti hubungan antara orang tua dengan anak, atau atasan dengan bawahan. (b) hubungan secara horizontal (yoko kankei) seperti hubungan antara saudara kandung, atau teman sejawat (sekerja). Pada zaman feodal akhir (1603-1868) struktur hubungan atasan-bawahan ini menjadi institusi yang membagi struktur sosial menjadi empat kelas yaitu: (1) Shi (Bushi) yaitu kelas samurai (satria), (2) Noo (Noomin) kelas petani, (3) Ko (Shokunin) kelas tukang, (4) Shoo (Shoonin) kelas pedagang. (lihat Ketut Surajaya,1984:39). Dalam struktur ini, keluarga kaisar (Tenno) dan keluarga samurai menduduki kelas tertinggi dan mempunyai hak-hak istimewa (privilege) yaitu mereka harus dihormati lewat pemakain kosa kata hormat (keigo) ketika berbicara dengan mereka. Pada tahun 1868 (Zaman Meiji) yaitu zaman dimulainya modernisasi di Jepang, struktur sosial yang berdasarkan keturunan (ascbibed status) dihapuskan lewat gerakan Shimin Byoodo . Gerakan ini bertujuan untuk menghapuskan hak-hak istimewa kaum samurai dan menyamakan semua kelas masyarakat. Penentuan status seseorang tidak lagi ditentukan oleh kelahiran (ascribed status) melainkan karena usaha dan pestasi seseorang (achieved status). Dengan dimulainya industrialiasasi bertujuan untuk mewujudkan negara kuat didukung oleh industri dan militer yang tangguh (fukoku kyoohei), maka didirikan perusahaan-perusahaan dagang, pabrik-pabrik, penerapan sistem pendidikan modern, demokratisasi sistem politik dan perekrutan angkatan perang modern, serta birokrasi pemerintahan meniru model Eropa, maka terjadilah mobilitas kelas sosial, menggantikan fungsi-fungsi ekonomi, politik, dari klan-klan tradisional. (Boye De Mente,1985:25; lihat juga Ketut Surajaya, 1990:30). Realitas sosial seperti ini berpengaruh terhadap penggunaan sistem unda usuk bahasa Jepang tidak lagi ditentukan oleh struktur sosial berdasarkan kelahiran tetapi oleh faktorfaktor sosiolinguistik sebagai berikut: (1) tingkat keakraban (familiarity), (2) usia (age), (3) hubungan sosial (social relation), (4) status sosial (social status), (5) jenis kelamin (gender), (6) keanggotaan dalam suatu kelompok (group membership). (Osamu Mizutani dan Nobuko Mizutani,1987:3-10). Keanggotaan dalam suatu kelompok juga menjadi faktor penentu dalam pemakaian tingkatan bahasa. Orang Jepang memakai tingkatan bahasa yang berbeda-beda tergantung kepada siapa mereka sedang berbicara, dengan memperhatikan hubungan uchi (in-group) dan soto (out-group). Uchi adalah kelompok dalam lingkungan sendiri seperti: keluarga sendiri, kantor atau perusahaan seseorang bekerja. Sedangkan soto (out-group) adalah lingkungan di luar lingkungan uchi (in-group). Pada waktu pembicara berbicara tentang uchi no hito (orang dalam) kepada soto no hito (orang luar), maka ia harus memperlakukan uchi no hito sama seperti dirinya sendiri. Oleh karena itu meskipun kedudukan uchi no hito lebih tinggi, pembicara tidak menggunakan sonkeigo (halus meninggikan), tetapi menggunakan kenjoogo (halus merendah). 2. Aspek-Aspek Unda Usuk Bahasa Jepang 2.1. Pembentukan dari segi Leksikal dan Sintaksis Pengertian leksikal adalah makna kata yang sama tetapi pilihan kosa kata yang dipakai memiliki makna sosial yang berbeda, karena nilai rasa dari kosa kata tersebut sudah mengalami perubahan. Pembentukannya dengan cara menggantikan kata dengan bentuk kata yang lain sesuai dengan keperluan dalam percakapan. Kata pengganti tersebut mempunyai arti leksikal yang sama akan tetapi arti sosialnya berlainan, karena nilai rasa dari kata itu sudah mengalami perubahan. Pengertian sintaksis adalah perubahan bentuk kalimat yang dipergunakan pada waktu terjadinya percakapan, yang berpengaruh terhadap nilai rasa dari kalimat tersebut, sesuai dengan tuntutan kepada siapa ia sedang berbicara. Jika dilihat dari segi leksikal dan sintaksis bahasa Jepang, maka nilai rasa kalimat dalam bahasa Jepang akan mengalami perubahan seperti: (1) Kalimat biasa (futsuugo), (2) kalimat sopan (teineigo) dan (3) kalimat halus (keigo) yang dapat dibedakan lagi menjadi dua yaitu: (a) sonkeigo (halus meninggikan), dan (b) kenjoogo (halus merendah). Kalimat bentuk biasa dipakai pada pembicaraan terhadap teman akrab, teman sekerja, percakapan sehari-hari dalam keluarga, atasan terhadap bawahan, juga dipakai dalam ragam bahasa tulisan seperti dalam surat kabar, buku, dan skripsi. Pemakain bentuk ini perlu memperhatikan hubungan dengan lawan berbicara dilihat dari aspek usia, hubungan atasan-bawahan (jogekankei). Penggunaan bentuk biasa (futsuugo) yang salah, dapat dianggap kasar dan tidak sopan yang berakibat image yang tidak baik. Kalimat sopan (teineigo) dipakai dalam penuturan antara bawahan terhadap atasan, pelayan dengan tamu, terhadap orang yang belum dikenal, dalam surat yang sifatnya formal, terhadap orang yang lebih tinggi kedudukannya atau lebih tua umurnya, dalam siaran radio, televisi dan lain-lain. Teineigo dipakai untuk membuat kalimat-kalimat agar menjadi lebih sopan ketika diucapkan kepada orang lain. (Danasasmita, 1983:81). Minoru (1986:321) mendefinisikan bahwa keigo adalah bahasa atau kata-kata yang khusus dipergunakan untuk menunjukkan kerendahan hati pembicara, untuk menyatakan rasa hormat pembicara terhadap teman bicara atau orang yang dibicarakan. Sonkeigo adalah bahasa hormat yang dipergunakan untuk menyatakan rasa hormat pembicara dengan menaikkan derajat orang yang menjadi pokok pembicaraan. (lihat Bunkachoo, 1985:25). Orang yang dihormati oleh pembicara bukan hanya persona kedua dan ketiga yang secara langsung menjadi pokok pembicaraan, tetapi termasuk juga perkara, keadaan, perbuatan, serta benda dan keluarga orang itu. Orang yang dihormati adalah orang yang dianggap lebih tinggi kedudukannya (derajatnya) atau lebih tua umurnya dari pembicara. Kenjoogo adalah bahasa hormat yang dipergunakan untuk menghormati pesona kedua atau teman orang yang menjadi pokok pembicaraan dengan cara merendahkan derajat orang yang menjadi pokok pembicaraan. (Bunkachoo, 1985:27). Teineigo adalah bahasa hormat yang dipakai untuk menghaluskan kata-kata yang diucapkan kepada orang lain. (Danasasmita, 1983:81). Teineigo tidak sama dengan sonkeigo dan kenjoogo, karena teineigo sama sekali tidak ada hubungannya dengan merendahkan atau menaikkan derajat orang yang menjadi pokok pembicaraan. Jadi yang menjadi pertimbangan dari teineigo hanyalah teman berbicara. Teineigo semata-mata dipergunakan untuk menghormati teman berbicara (pesona kedua). Teineigo dapat dibuat dengan menambahkan awalan o/go di depan kata benda yang menyatakan orang atau sesuatu yang dimiliki seseorang. Awalan ini dapat ditambahkan pada kata sifat ketika menyatakan posisi seseorang yang dibicarakan. Awalan o biasanya ditambahkan pada kata sifat dan kata benda asli Jepang, sedangkan awalan go ditambahkan pada kata sifat dan kata benda yang berasal dari bahasa China (Kango). (Lihat Yoshida Yasuo dan I Ketut Surajaya, 1992:358). Tabel 1 Bentuk Biasa (Futsuu-kei) dan Bentuk Sopan (Teinei-kei) Pembentukan Secara Leksikal (Makna Kata) Bentuk Biasa (Futsuukei) Bentuk Sopan (Teineikei Mizu o-mizu Mochi o-mochi Karada o-karada Uchi o-uchi Kirei o-kirei kanemochi o-kanemochi Shinsetsu go-shinsetsu Buji go-buji Ryooshin go-ryooshin Annai go-annai Iken go-iken Sumber : Osamu Mizutani dan Nobuko Mizutani, 1987:70-73 Makna (Imi) air kue badan/tubuh rumah cantik kaya ramah selamat orang tua mengantar pendapat Tabel 2 Bentuk Biasa (Futsuu-kei) dan Bentuk Sopan (Teinei-kei Pembentukan Secara Sintaksis Jenis Kata Kata Kerja, contoh Kata Sifat (i), contoh Kata Sifat (na) & Benda, contoh Bentuk-Bentuk Kalimat, contoh Bentuk Biasa/Futsuukei ~kamus (+) iku (pergi) ~nai (-) ikanai ~ta (lampau +) itta ~nakatta (lampau-) ikanakatta ~tanpa desu (+) oishii (enak) i menjadi ~kunai (-) oishikunai i jadi ~katta (lampau +) oishikatta i jadi~ kunakatta /lampau oishikunakatta ~ da (+) hima da (senggang) ~dewanai (-) hima dewanai ~datta (lampau + ) hima datta ~dewanakatta/lampau hima dewanakatta ~tai (ingin….) nomitai (ingin minum) ~te iru (sedang………) nonde iru (sedang minum) ~te (tolong……….) kaite (tolong tulis) ~te moo ii (boleh…………) kaite mo ii (boleh tulis) ~nakutemo ii (tdk usah….) ikanakutemo ii (tidak usah pergi) ~nakereba naranai (hrs…) ikanakereba naranai (harus pergi) isshoni~nai ? (tawaran) isshoni ikanai? (bagaimana kalau pergi bersama-sama) Bentuk Sopan/Teineikei ~masu (+) ikimasu (pergi) ~masen (-) ikimasen ~mashita (lampau+) ikimashita ~masen deshita (lampau-) ikimasen deshita ~desu (+) oishii desu (enak) i menjadi~kunai desu (-) oishikunai desu i jadi ~ katta desu /lampau+ oishikatta desu i jadi~ kunakatta desu/lmpoishikunakatta desu ~ desu (+) hima desu (senggang) ~dewa arimasen (-) hima dewa arimasen ~deshita (lampau + ) hima deshita ~dewa arimasen deshita hima dewa arimasen deshita ~tai desu (ingin….) nomitai desu (ingin minum) ~te imasu (sedang………..) nonde imasu sedang minum ~te kudasai (tolong……….) kaite kudasai (tolong tulis) ~te mo ii desu (boleh……..) kaite mo ii desu :boleh tulis ~nakutemo ii desu:tdk usah ikanakutemo ii desu (tidak usah pergi) ~nakereba narimasen (hrs..) ikanakereba narimasen (harus pergi) isshoni~masen ka (tawaran) isshoni ikimasen ka (bagaimana kalau pergi bersama-sama. Tabel 3 Pembentukan Sonkeigo dan Kenjoogo Secara Leksikal (Makna Kata) Futsuugo(Biasa) iru suru kuru/iku iu au ataeru/yaru morau omou shiru (shitte iru) miru taberu nomu tazuneru, hoomon suru kiku kariru neru miseru shiraseru Pembentukan Kenjoogo/merendah Sonkeigo/meninggikan Imi (arti) oru (orimasu) irassharu/irasshaimasu ada oide ni naru melakukan itasu (itashimasu) nasaru (nasaimasu) datang mairu irassharu (irasshaimasu), oide ni naru, mieru, omie ni naru, okoshi ni naru berkata,bermakna moosu, mooshiageru ossharu (osshaimasu) bertemu ome ni kakaru awareru/o-ai ni naru sashiageru/ageru kudasaru/kudasaimasu memberi itadaku, choodai morawareru/o-morai ni menerima, diberi suru, haiji suru, naru azukaru berpikir, zonjiru, zonjuru oboshimesu berpendapat kenal/tahu zonjiru/zonjite oru gozonji desu melihat, menonton haiken suru goran ni naru, goran nasaru, goran kudasaru makan itadaku meshiagaru minum chodai suru meshiagaru ukagau, ukagai suru, tazunerareru/ o-tazune mengunjungi ojama suru ni naru o-kiki suru kikareru/o-kiki ni naru bertanya meminjam haishaku suru karirareru tidur, beristirahat o-yasumi suru o-yasumi ni naru memperlihatkan omeni kakeru, goran o-mise ni naru ni ireru memberitahu o-shirase ni suru o-mimi ni ireru Sonkeigo secara Sintaksis, pembentukan sonkeigo (halus meninggikan) secara sintaksis dapat dilakukan dengan mengikuti kaidah-kaidah tata bahasa sebagai berikut : a. Dengan cara menggunakan verba bantu ~reru atau ~rareru (verba pasif). Verba bantu ~reru dipakai pada godan katsuyoodooshi (verba golongan I), sedangkan verba bantu ~rareru dipakai pada ichidan katsuuyoodoshi (verba golongan II). Misalnya: Kimurasan wa 7 ji koraremasu. (Nona Kimura akan datang pada jam 7). (b) O-sake wo yameraretan desu ka (Apakah tuan sudah berhenti minum sake?) (c) Kono e wa ano kata ga kakaremashita (Lukisan ini dilukis oleh orang itu). (d) Ano kata ga kaerareta no wa itsu goro desu ka (Kapankah kepulangan orang itu?). Bentuk ini tidak bisa dijadikan bentuk permintaan atau permohonan. b. Dengan cara menggunakan pola kalimat o + verba renyookei~masu + ni naru. Diantara o ~ni naru disisipi verba bentuk renyookei (kata kerja modifikasi). Misalnya: (a) Sensei wa moo o-kaeri ni narimashita (Pak guru sudah pulang). (b) Yamada-san wa kinoo o-hikkoshi ni narimashita. (Tuan Yamada pindah kemarin). Pola kalimat ini lebih terkesan hormat dan sopan daripada bentuk ~reru, ~rareru (verba pasif). Namun kata kerja yang hanya memiliki satu suku kata seperti miru (melihat), neru (tidur) dan kata kerja kelompok III yaitu kuru (datang) dan suru (mengerjakan) tidak dapat digunakan dalam pola kalimat ini. Bentuk ini mempunyai bentuk hormat untuk permintaan atau permohonan yaitu ~ ni natte kudasai. Misalnya: (a) Chotto koko de omachi ni natte kudasai (Tolong tunggu di sini sebentar). (b) Motto o-nomi ni natte kudasai (Silahkan minum lebih banyak) (c) Motto meshiagatte kudasai (Silahkan makan lebih banyak) (AOTS, 1994: 80) c. Sonkeigo: irasshaimasu (irassharu), nasaimasu (nasaru), kudasaimasu (kudasaru), osshaimasu (ossharu) adalah kata kerja kelompok I . Oleh karena itu konjugasi kata kerja ini mengikuti aturan kata kerja kelompok I. sehingga menjadi : irassharanai, nasaranai, kudasaranai, ossharanai.Contoh kalimat: (a) Yamada sensei wa kenkyuushitsu ni irasshaimasu (Guru Yamada ada di ruang penelitian). (b) A: Yamada sensei wa tenisu wo nasaimasu ka (Apakah Guru Yamada bermain tenis?) B: Iie, nasaranai to omoimasu (Tidak, saya kira tidak). Bentuk ini dapat dijadikan permintaan atau permohonan dengan menambahkan ~te kudasai. Misalnya: Doozo meshiagatte kudasai (Silahkan makan/minum). (b) Doozo goran ni natte kudasai (Silahkan lihatlihat). (c) Doozo irrashatte kudasai (Silahkan datang). d. + verba renyookei~ masu + kudasai. Pola kalimat ini digunakan untuk menunjukkan rasa hormat pada waktu memohon dan mempersilahkan kepada lawan bicara. Misalnya: Achira kara o-hairi kudasai. (Silahkan masuk dari sebelah sana). (b) Robii de o-machi kudasai (Harap tunggu di (lobby). (c) Shooshoo o-machi kudasai (Harap tunggu sebentar). Kata kerja bentuk hormat pada tabel 4.3 tidak dapat dipergunakan pada pola kalimat ini kecuali: meshiagarimasu menjadi o-meshiagari kudasai, goran ni narimasu menjadi goran kudasai. e. Menyisipkan verba renyookei ~masu dari kata kerja diantara o + ~desu. Misalnya: (a) Doko e o-dekake desu ka. (Mau pergi kemanakah). (b) Itsu Nihon e o-kaeri desu ka (Kapan akan pulang ke Jepang?). Pola ini bersifat tidak langsung dan menunjukkan kehati-hatian. f. Kata benda dan kata sifat bisa juga dijadikan bentuk sonkeigo dengan cara menambahkan awalan (prefik) atau imbuhan (sufik) yang menjadikan kata hormat (sonkei no settoogo ya setsubigo). Awalan o atau go ditambahkan di depan kata benda, kata sifat dan kata keterangan. . Umumnya o digunakan pada kata yang berasal dari Jepang (wago) sedangkan go untuk kata-kata yang berasal dari bahasa China (kango) dapat dilihat pada tabel 4. Tabel 4 Kata-Kata Hormat Berawalan Go dan Berawalan O Jenis kata Kata benda Kata-kata yang berawalan o o-kuni (negara) o-namae (nama) o-shigoto (pekerjaan) Kata-Kata yang berawalan go go-kazoku (keluarga) go-iken(pendapat) go-ryokoo (tamasya) Kata sifat o-genki (sehat) go-nesshin (giat) o-joozu (pintar) go-shinsetsu (ramah) o-hima (senggang) o-isogashii (sibuk) o-wakai (muda Kata Keterangan o-amari (tidak begitu) go-jiyuu (bebas) dan lain-lain. Sumber: Osamu Mizutani dan Nobuko Mizutani, 1987: 92-93 Kata hormat untuk arimasu adalah gozaimasu dan desu adalah de gozaimasu. Misalnya (a) Nanika iken ga gozaimasu ka (Apakah ada pendapat?) (b) Uketsuke wai achira de gozaimasu (Kantor depan ada di sana). Kata hormat untuk keiyooshi (kata sifat i) tertentu seperti: arigatai menjadi arigatoo gozaimasu (terimakasih), takai menjadi takakoo gozaimasu (mahal), yoroshii menjadi yoroshuu gozaimasu (baik, boleh).Juga menambahkan imbuhan (sufik) ~san, ~sama artinya tuan, nyonya, nona, ~sensei(guru) ~sachoo (direktur), ~buchoo (kepala bagian), ~kyooju (profesor) dan lain-lain pada nama seseorang. Misalnya: Tanaka-sensei, Harada-san, Sekiyama-sama, dan Yoshida-sachoo. Biasanya orang Jepang memiliki nama kecil diikuti nama keluarga. Misalnya Haruo Tanaka (Haruo adalah nama kecil dan Tanaka adalah nama keluarga). Dalam pergaulan resmi dipanggil nama keluarga ditambahkan sufik ~san, ~sama atau jabatan seperti ~sachoo, ~kyooju Dengan cara menggunakan nomina (pronomina persona) hormat (sonkei no meishi). Misalnya: okaasan (ibu), otoosan (ayah), oneesan (kakak perempuan), oniisan (kakak lakilaki), kono kata/kochira (orang ini), sono kata /sochira (orang itu), ano kata/achira (orang itu), donata/donatasama/dochirasama (siapa), dan nan-mei/nan-meisama (berapa orang). Pembentukan Kenjogo Secara Sintaksis, pembentukan kenjoogo (halus merendah) secara sintaksis dapat dilakukan dengan cara mengikuti kaidah-kaidah tata bahasa seperti di bawah ini : a. + (verba renyookei ~masu) + shimasu/itashimasu. Misalnya: (a) Omosoo desu ne. Omochi shimashoo ka. (Kelihatannya berat ya. Mari saya bantu bawa). (b) Watashi ga shachoo ni sukejuuru o o-shiraseshimasu. (Saya memberitahukan jadwal kepada kepala bagian). (c) Onii ga kuruma de o-okurishimasu. (Kakak laki-laki saya akan mengantarkan anda dengan mobil). (d) Otooto wa sensei ni tegami o o-kakishimashita. (Adik laki-laki saya sudah menulis surat kepada gurunya). Dalam contoh kalimatkalimat tadi menunjukkan bahwa pembicara merendahkan prilakunya sendiri, ketika berhadapan dengan lawan bicara seperti pada contoh kalimat a dan b. Pola kalimat itu dipakai untuk menunjukkan rasa hormat terhadap orang yang mendapat perlakuan. Apabila orang yang mendapat perlakuan (orang yang dikenai perbuatan) tidak ada,maka pola kalimat itu tidak dapat dipakai. Misalnya Watashi wa rainen kuni e okaeri shimasu. (Saya tahun depan pulang ke negara asal). Sedangkan pada contoh kalimat c dan d menunjukkan bahwa pelakunya bukan pembicara itu sendiri, tetapi keluarganya sendiri sebagai uchi no hito (orang dalam). Bentuk ini dapat dipakai pada kata kerja grup I dan II kecuali pada kata kerja seperti mimasu dan imasu, yang hanya memiliki satu suku kata pada bentuk ~masu dan juga kata kerja grup III. b. Go + (verba renyookei ~masu) + shimasu/itashimasu. Misalnya: (a) Edo Tookyoo Hakubutsukan e go-annai shimasu. (Saya akan memandu ke Musium Edo Tokyo). (b) Kyoo no yotei o go-setsumei shimasu. (Saya akan menjelaskan rencana hari ini). (c) Sensei ga Bali e irasshattara, watashi ga iro-iro na tokoro o go-annai shimasu. (Kalau bapak/ibu guru datang ke Bali, saya akan mengantar ke berbagai tempat). Bentuk ini digunakan pada kata kerja grup III, khususnya kata-kata yang menunjukkan kaitan dengan lawan bicara seperti: shookai shimasu (memperkenalkan diri), shootai shimasu (mengundang), soodan shimasu (berkonsultasi), renraku shimasu (menghubungi), yang menggunakan awalan go, sedangkan yakusoku shimasu (berjanji), denwa shimasu (menelpun) memakai awalan o. c. Itashimasu adalah bentuk yang lebih sopan dari shimasu dan mooshiagemasu lebih sopan dari itashimasu. Misalnya: (a) Watashi ga shachoo no nimotsu o o-mochi itashimasu. (Saya akan membawakan barang Direktur) (b) Kore kara kono kikai no tsukai-kata o go-setsumei itashimasu. (Sekarang saya akan menjelaskan cara pemakaian mesin ini). (c) O-shirase mooshiagemasu (Saya beritahukan). (d) Go-shokai mooshiagemasu (saya perkenalkan). (d) O-miokuri mooshiagemasu (saya akan antar) (The Japan Foundation, Nihongo Shoho, 1983:118). Dengan cara menggunakan verba hormat (kenson no dooshi) khusus seperti dapat dilihat pada tabel 5. Tabel 5 Istilah-Istilah untuk Uchi (Orang Dalam) dan Soto (Orang Luar) Uchi ( orang dalam ) Soto ( orang luar ) Tanaka (Tanaka) Tanaka-san/sama (Tuan Tanaka) Minna (kalian) Minasan/minasama (saudara sekalian) Kaisha no mono (orang kantor saya) Kaisha no hito/kata (orang kantor anda) Akachan (bayi saya) Akanboo (bayi anda/tuan) Musume (anak perempuan saya) Ojoosan/musumesan (putri anda/tuan) Mago (cucu saya) Mago-san (cucu anda/tuan) Danna/shujin (suami saya) Go-shujin (suami anda) Kanai/tsuma (istri saya) Okusan/okusama (istri tuan) Sumber: Tatsuya Nagashima, 1985:143). d. Menggunakan bentuk ~sa(sete) itadakimasu yang berkonotasi melakukan sesuatu atas izin lawan berbicara. Misalnya: (a) Shitsurei sasete itadakimasu (Maaf, saya permisi).(b) Ashita otaku wo ukagawasete itadakimasu (Besok saya akan mengunjungi rumah anda). (AOTS,1989:59) 3. Bahasa Hormat (Keigo) 3.1. Uchi (In-group) dan Soto (Out-group) Bahasa hormat dipakai dengan mempertimbangkan hubungan antara pembicara, teman berbicara, dan orang yang dibicarakan. Dengan kata lain perlu mempertimbangkan siapakah teman berbicara atau orang yang dibicarakan. Apakah teman berbicara termasuk bawahan (orang yang lebih rendah derajat/kedudukannya atau lebih muda umurnya, atasan (orang yang lebih tinggi derajat/kedudukannya atau lebih tua umurnya), atau sederajat dengan pembicara. Juga perlu memperhatikan hubungan uchi (in-group) dan soto (outgroup). Uchi adalah kelompok dalam lingkungan sendiri seperti keluarga sendiri dan dapat diperluas ke lingkungan kantor, perusahaan, lembaga tempat seseorang itu bekerja. Sedangkan soto adalah lingkungan di luar lingkungan uchi. Pada waktu pembicara berbicara tentang uchi no hito (orang dalam) kepada soto no hito, maka ia harus memperlakukan uchi no hito sama seperti dirinya sendiri. Dengan demikian akan dapat menentukan jenis bahasa hormat apa yang akan dipakai terhadap lawan berbicara. Pada satu kalimat sering terjadi kombinasi bahasa hormat berdasarkan pertimbangan tadi. Maksud kombinasi di sini adalah pemakaian beberapa jenis bahasa hormat pada suatu kalimat yang masing- masing ditujukan kepada teman berbicara atau orang yang dibicarakan. Misalnya: Sensei ga ryoko ni irasshaimasu. (Pak guru pergi bertamasya). Pada kalimat di atas terjadi kombinasi bahasa hormat dengan cara menggunakan sonkeigo (irassharu) untuk menghormati persona ketiga dengan menggunakan teineigo/bahasa sopan (~masu) untuk menghormati teman berbicara (persona kedua). Penggunaan dua jenis bahasa hormat dalam suatu kalimat seperti inilah yang dimaksud kombinasi ragam bahasa hormat. Pada kalimat di atas baik persona kedua maupun persona ketiga sebagai atasan persona pertama. Apabila persona ketiga sebagai atasan dan persona kedua sebagai bawahan, maka persona pertama cukup mengucapkan dengan kalimat Sensei wa ryokoo ni irassharu. (Pak guru pergi bertamasya). Pada waktu menggunakan keigo, pilihan kata-kata dalam kalimat juga harus memiliki tingkat kesopanan yang sejajar. Misalnya: Buchoo no okusama mo go-isshoni gorufu ni ikaremasu. (Istri Bapak Kepala Bagian juga ikut pergi main golf). Untuk menjaga kesejajaran level kesopanan maka pilihan kosa kata okusan, isshoni, dan ikimasu diganti dengan okusama, go-isshoni dan ikaremasu yang mempunyai tingkat kesopanan yang sama. Di samping itu untuk mensejajarkan tingkat kesopanan, kata kerja bentuk ~te dapat diganti dengan bentuk renyookei ~masu + mashite. Misalnya: Hansu ga yuube netsu wo dashimashite, kesa mo mada sagaranai`n desu. (Hans tadi malam demam dan sampai tadi pagi pun panasnya belum turun) (Suriieenettowaaku, Bunpoo Kaiketsu, 2001:147). 3.2 Bentuk-Bentuk Kombinasi Keigo Kombinasi bahasa hormat tidak dianggap sebagai pemakaian yang berlebihan, sebab kombinasi di sini sebagai kombinasi jenis bahasa hormat yang berlainan dan ditujukan terhadap objek yang berlainan pula. Berikut ini dapat dilihat beberapa pola kombinasi bahasa hormat tersebut dapat dilihat pada tabel 6. Tabel 6 Kombinasi Bentuk Hormat (Keigo) dalam Bahasa Jepang Persona kedua Atasan Bawahan Atasan Persona ketiga Atasan Atasan Bawahan Kombinasi keigo Sonkei + Teinekei Sonkei + O (a) O + Teineikei (b) Kenjoo+ Teineikei Bawahan Bawahan (a). O + O (b). Kenjoo + O Atasan Bawahan Teinei O Contoh kalimat Sachoo ga irasshaimasu Sachoo ga irassharu (a) Tanaka ga hookoku shimasu (b1) Tanaka ga hookoku itashimasu (b2) Tanaka ga shachoo ni go-hookoku moshiagemasu (a) Tanaka ga Kawamura ni shiraseru (b) Tanaka ga shachoo ni oshirase suru Otooto no kutsu desu Otooto no kutsu da Sumber: Sujianto, 1996:141 Pada pola kalimat 1, oleh karena persona kedua dan persona ketiga sebagai atasan, maka persona pertama memakai sonkeigo (irassharu) untuk menghormati persona ketiga. Hal itu dikombinasikan dengan teineigo (~masu) untuk menghormati persona kedua, sehingga kombinasi kedua jenis bahasa hormat itu menjadi irasshaimasu. Pada pola kalimat 2, orang yang menjadi atasan hanya persona ketiga, sedangkan persona kedua sebagai bawahan. Orang yang dihormati pada kalimat itu hanya persona ketiga dengan cara menggunakan sonkeigo (irassharu) bentuk biasa/bentuk kamus. Oleh karena persona kedua sebagai bawahan, maka pada kalimat ini tidak memakai teineigo untuk menghormati persona kedua. Pola ketiga merupakan kebalikan pola kalimat 2. Pada pola ini persona ketiga adalah bawahan, sedangkan persona kedua sebagai atasan dari persona pertama. Pada situasi seperti ini dapat dipergunakan dua pola seperti pada bagan di atas. Pada contoh kalimat 3a. di atas, persona pertama tidak memakai bahasa hormat untuk persona ketiga, tetapi untuk menghormati persona kedua memakai teineigo (hookoku shimasu). Pada contoh kalimat 3b (1), persona pertama memakai kenjoogo (hookuko itasu) yang dikombinasikan dengan teineigo (itashimasu). Kenjoogo pada kalimat itu dipakai untuk merendahkan persona ketiga (Tanaka) dan teineigo dipergunakan untuk menghormati pesona kedua. Demikian juga pada kalimat 3b. (2), pembicara menggunakan kenjoogo (go-hookoku moshiagemasu) sebagai cara merendahkan persona ketiga untuk menghormati teman persona ketiga (shachoo), dan memakai teineigo (~masu) untuk menghormati persona kedua. Pola kalimat 4 merupakan kebalikan pola kalimat 1. Baik persona pertama maupun persona kedua adalah bawahan dari persona pertama. Seperti terlihat pada kalimat 4 (1) pembicara tidak memakai bahasa hormat untuk persona kedua dan persona ketiga. Pada contoh kalimat 4 (2) pembicara memakai kenjoogo (o-shirase suru) bentuk kamus sebagai cara merendahkan persona ketiga (Tanaka). Kenjoogo itu dipakai untuk menghormati teman persona ketiga (shachoo), bukan untuk menghormati persona kedua atau ketiga. Pada pola kalimat 5, persona pertama tidak memakai bahasa hormat untuk persona ketiga, sebab persona ketiga termasuk anggota keluarganya sendiri. Teineigo (desu) pada kalimat itu dipakai untuk menghaluskan kalimat untuk menghormati persona kedua. Pada contoh kalimat 6, persona ketiga termasuk anggota keluarga persona pertama. Begitu juga persona kedua termasuk bawahan persona pertama. Oleh karena itu bahasa hormat tidak dipakai pada pola ini. Kata kutsu da merupakan ungkapan biasa (tidak halus) dari kata kutsu desu. 3.3 Pemakaian Keigo Sonkeigo dan kenjoogo dipakai dengan memeperhatikan hubungan antara uchi (ingroup) dan soto (out-group). Uchi adalah kelompok dalam lingkungan sendiri seperti keluarga sendiri dan dapat diperluas ke kelompok tempat diri sendiri berkerja seperti: kantor, perusahaan, lembaga dan lain-lain, sedangkan soto adalah lingkungan di luar lingkungan uchi. Pada waktu pembicara berbicara tentang uchi no hito (orang dalam) kepada soto no hito (orang luar), maka ia harus memperlakukan uchi no hito seperti keluarga diri sendiri, meskipun kedudukan uchi no hito lebih tinggi, pembicara tidak menggunakan sonkeigo tetapi kenjoogo. Misalnya: A: Okaasan wa irasshaimasu ka (Apakah ibumu ada di rumah). B: Haha wa chotto dekakete orimasu ga…(Ibu sedang ke luar sebentar). A sebagai orang luar (soto no hito) menggunakan istilah okaasan (ibumu) adalah istilah hormat, sedangkan B menjawab dengan haha kosa kata merendah untuk ibu saya (uchi no hito). Kata kerja irasshaimasu adalah kosa kata hormat untuk imasu (ada), sedangkan orimasu adalah kosa kata merendah dari imasu. Contoh lain misalnya, A: Shachoo wa irasshaimasu ka (Apakah Bapak Direktur ada?) B: Sachoo wa kyoo honsha e itte orimasu ga,…(Direktur hari ini sedang pergi ke kantor pusat). (AOTS, Bunpoo Kaiketsu, 1994:81). A adalah orang luar (soto no hito) menanyakan bapak direktur dengan kata irasshaimasu kata hormat dari iru (ada). B orang dalam perusahaan (uchi no hito) menjawab dengan itte orimasu bentuk merendah dari itte imasu (sedang pergi), untuk mengungkapkan kebearadaan bapak direktur yang juga sebagai orang dalam perusahaan (uchi no hito). Tetapi apabila percakapan tersebut berlangsung di antara orang dalam perusahaan misalnya sekretaris bertanya pada direktur, maka ia harus menggunakan bentuk sonkeigo. Misalnya: Sekretaris: Dochira osakini o-yomi ni narimasu ka (yang manakah Bapak akan baca duluan?), Direktur: Aa, kore o sakini yomoo (Saya akan membaca yang ini duluan). Ungkapan o-yomi ni narimasu adalah bentuk sonkeigo dari yomimasu (membaca). Penggunaan sonkeigo dan kenjoogo juga dapat di lihat dalam percakapan antara pramuniaga dengan customers. Misalnya: A (Pramuniaga): O-taku made o-todoke itashimashoo ka (Apakah sebaiknya saya antarkan ke rumah anda?). B (Customer): Hai, onegaishimasu (Ya, tolong antarkan). O-taku bentuk hormat dari uchi (rumah), dan otodoke itashimasu adalah bentuk merendah dari todokeru (mengantarkan). Percakapan antara orang yang belum dikenal, misalnya: A: Go-shujin wa kyoo nanji-goro o-kaeri desu ka. (Suami anda hari ini pulang jam berapa?) B: Saa, nani mo mooshimasen deshita kara, roku-ji goro kaette mairimasu deshoo. ( Suami saya tidak bilang apa-apa, seharusnya pulang jam 6). Go-shujin bentuk hormat dari shujin (suami saya), dan o-kaeri bentuk hormat dari kaeru (pulang). Mooshimasu bentuk merendah dari iu (mengatakan), kaette mairimasu bentuk meredah dari kaette kimasu (pulang ke rumah). Percakapan antara mahasiswa dengan dosennya, misalnya A: Sensei, omachi shite orimasu kara, zehi Baritoo ni oide kudasai (Pak guru, silahkan datang ke Bali, saya tunggu) B: Arigatoo gozaimasu. Zehi ikitai. (Terima kasih saya ingin sekali pergi). O-machi shite orimasu bentuk merendah dari matte imasu (menunggu), oide kudasai bentuk hormat dari kite kudasai. Percakapan antara bawahan dengan atasan (joge-kankei) seperti antara guide dengan wisatawan, misalnya: O-matase itashimashita. Kuruma ga mairi masu node, wasurenaiyoo, doozo kuruma ni o-nori kudasai. (Maaf saya telah membuat anda menunggu, karena mobilnya sudah datang, supaya tidak ada barang ketinggalan, silahkan naik ke mobil). Guide mnggunakan ungkapan merendah seperti o-matase itashimasu dari kata matasemasu (membuat menunggu), mairimasu dari kata kimasu (datang). O-nori kudasai bentuk hormat dari notte kudasai (silahkan naik). (PT JTB Indonesia, 2003, 1). Ungkapan merendah untuk minta izin berbuat sesuatu kepada lawan berbicara dengan menggunakan ~sa/sete itadaku yang merupakan gabungan dari bentuk kausatif dengan ~te itadaku, berkonotasi melakukan sesuatu atas izin lawan berbicara. Misalnya: (a) ashita yasumasete itadakimasu. (saya besok tidak masuk), (b) Hayame ni kaerasete itadakitai`n desu ga. (saya hari ini akan pulang cepat). (c) Kyoo wa kore de shitsuree sasete itadakimasu. (saya akan permisi). Bentuk ini juga bisa digantikan dengan ~sa/sete kudasai atau ~sa/sete kudasaimasen ka untuk mengungkapkan permintaan yang merendah. Misalnya: Chotto yomasete kudasaimasen ka. (boleh saya baca?). Ungkapan hormat untuk permintaan adalah ~te itadakemasen ka atau ~te kudasaimasen ka, lebih halus dari pada ~te kudasai. Ungkapan permintaan ini diucapkan kepada orang yang status/kedudukannya lebih tinggi. Misalnya: (a) Moo sukoshi kuwashiku setsumei shite itadakemasen-ka (Dapatkah anda menjelaskan lebih rinci lagi?). (b) Kore, chotto goran kedasaimasen ka (Dapatkah anda melihat ini sebentar?). Bentuk permintaan ini dapat dibuat lebih sopan lagi dengan menambahkan ~masen deshoo ka. Misalnya: (a) Moo sukoshi kuwashiku setsumei shite itadakemasen deshoo ka. (b) Kore, chotto goran itadakemasen deshoo ka. Sedangkan ungkapan permintaan ~te moraimasen ka dan ~te kuremasen ka digunakan di antara orang yang status/kedudukannya sederajat atau diucapkan kepada orang yang lebih muda. 3.4 Pemakaian Keigo (Bahasa Hormat) Dalam Pariwisata ; (Ungkapan (Hyoogen) dalam Pariwisata) Pengetahuan tentang unda-usuk bahasa Jepang sangat penting dipelajari oleh orang- orang yang berkecimpung dalam bisnis jasa kepariwisataan seperti: karyawan hotel, waitress, weiters, dan pramuniaga. Dalam bisnis pariwisata, wisatawan sebagai clients dianggap sebagai raja. Oleh karena itu pemilihan terhadap kosa kata yang dipakai dalam berkomunikasi harus benar-benar diperhitungkan ketika berinteraksi dengan wisatawan Jepang, seperti pemakaian bahasa sopan (teinei-go), bahasa hormat (keigo). Tabel 7 Contoh Ungkapan (Hyoogen) Sesuai dengan Tingkat Kesopanannya Sopan (Teinei) Irasshai Doomo arigatoo Hai, wakarimashita Oyasuminasai Shitsurei shimasu Chooto matte kudasai Doozo mite kudasai Matasemasu. Sumimasen Mata kite kudasai Okurete sumimasen Ii desu ka Hai, ii desu Sumimasen ga,……… Tanaka san desu Hormat (Sonkei) Irasshaimase Doomo arigatoo gozaimasu Hai, kashikomarimashita Oyasuminasaimase Shitsurei itashimasu Shooshoo o-machi kudasai Doozo goran kudasai O-matase itashimashita Moshiwake gozaimasen Mata okoshi kudasai Okurete moshiwake gozai-masen Yoroshii desu ka Hai, kekko desu Osore irimasu ga,………… Tanaka-sama degozaimasu Arti (Imi) Selamat Datang Terima kasih banyak Ya, saya sudah mengerti Selamat beristirahat Maaf/permisi Tunggu sebentar Silahkan lihat-lihat Maaf membuat menunggu Mohon maaf Silahkan datang lagi Mohon maaf saya terlambat Bolehkah? Ya, oke! Maaf ……………………... Tuan Tanaka 4. Simpulan Bahasa Jepang, ditinjau dari kaidah-kaidah sosiolinguistik dalam pemakaian unda usuk (sor singgih) bahasa, ditinjau dari aspek leksikal maupun dari aspek sintaksisnya mempunyai karakteristik sosiolinguistik yang istimewa. Hal ini dapat dijadikan sebagai daya tarik bagi peneliti untuk memahami silang budaya (cross-cultural understanding) antara unda-usuk bahasa Bali dan Jepang, dikaitkan dengan Bali sebagai salah satu objek wisata yang banyak dikunjungi wisatawan Jepang. Berdasarkan struktur sosial masyarakat Jepang, membagi masyarakat menjadi empat kelas yaitu: bushi (prajurit), noomin (petani), shokunin (tukang), dan shonin (pedagang). Pada zaman Shogun Tokugawa (1603-1868), struktur sosial ini, diberlakukan dengan sangat ketatnya, dengan berbagai etika sopan santun yang mengatur hubungan personal dan interpersonal seperti pemakain keigo (bahasa hormat), hak-hak istimewa (previlege) kelas samurai untuk memiliki nama keluarga (myooji) dan menyandang dua buah pedang sebagai simbol kekuasaan. Namun memasuki era modernisasi pada zaman Meiji (1868), sistema kelas tersebut dihapuskan, melalui gerakan shimin byoodo yang menuntut persamaan status dan kedudukan kelas masyarakat. Bersamaan ini pula masuk sistem pendidikan modern, paham demokratisasi, perekrutan birokrasi pemerintahan dan ketentaraan yang meniru model Eropa, menimbulkan mobilitas sosial, yaitu status dan kedudukan tidak lagi ditentukan oleh faktor kelahiran (ascribed status) tetapi oleh faktor prestasi dan usaha perorangan (achieved status). Fenomena sosial seperti ini mempengaruhi pemakaian bentuk hormat (keigo), tidak lagi ditentukan karena faktor status/kedudukan karena kelahiran, tetapi oleh kaidah-kaidah sosiolinguistik sebagai berikut: (a) tingkat keakraban (familiarity), (b) usia (age), (c) status sosial (social status), (d) jenis kelamin (gender), (e) keanggoaan dalam kelompok (group membership). Akibatnya pemakaian unda-usuk bahasa Jepang semakin rumit dapat dilihat dari pemakaian kombinasi bentuk hormat. Daftar Pustaka AOTS. 1989. Japanese By PhrasesTokyo: 3A Corporation AOTS. Shin Nihongo No Kiso I: Terjemahan Dalam Bahasa Indonesia Tokyo: 3A Corporation AOTS. Shin Nihongo No Kiso I: Keterangan Tata Bahasa Dalam Bahasa Indonesia (Shin Nihongo No Kiso I Bunpoo Kaiketsusho Indone-sia-gohen). Tokyo: 3A Corporation AOTS. 1994. Shin Nihongo No Kiso II: Keterangan Tata Bahasa Dalam Bahasa Indonesia: Nihongo No Kiso II Bunpoo Kaiketsusho Indonesia gohen. Tokyo: 3A Corporation Bagus, I Gusti Ngurah (et.al.)1978 Unda Usuk Bahasa Bali Jakarta: Proyek Penelitian Bahasa dan sastra Indonesia dan Daerah Bali Pusat Pembinaan Dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Bunkachoo Kotoba Shiriizu-Keigo Tokyo: Ookurashoo Insatsukyoku. Tookyoodo Shuppan Danasasmita, Wawan (et.al) Pengantar Tata Bahasa Jepang Bandung: BSC De Mente, Boye Bisnis Cara Jepang . Judul asli The Japanese Way of Doing Business. Diterjemahkan oleh: Chandra Hasan. Jakarta: PT Pantja Simpati Hata, Hiromi “Keigo Wo Tanoshiku Tsukaikonasu” dalam Nihongo Jaanaru Tokyo: ALC Press JTB Indonesia Baritoo Kankoo Annai Tekisuto Nihongo Gaidoyoo: Teks Informasi Pariwisata Bali Untuk Guide Bahasa JepangJakarta: PT JTB Indonesia Minoru Nishio Kokugen Jiten (Kamus Ungkapan Bahasa Jepang) Tokyo: Iwanami Shoten Mizutani, Osamu and Nobuko Mizutani 1987 Nihongo No Keigo (How To Be Polite In Japanese) Tokyo: The Japan Time LTD Mulyana, Deddy dan Jalaluddin Rakhmat Komunikasi Antar Budaya:Panduan Berkomunikasi Dengan Orang-Orang Berbeda Budaya. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Nishida, MN 1986 Keigo (Bahasa Hormat) Tokyoodoo Shuppan Nakane, Chie 1967 Tateshakai No Ningen Kankei (Hubungan Manusia Dalam Masyarakat Vertikal). Tokyo: Kodanhsa Gendai Shinso Nakane, Chie 1981 Masyarakat Jepang. Judul asli The Japanese Society, diterjemahkan oleh Bambang Kusriyanto Jakarta: Sinar Harapan. Nagashima, Tatsuya 1985Nihongo Bunpoo: A Hanbook of Japanese Grammar Tokyo: Pana-Lingua Institute of Japanese Language Surajaya, I Ketut 1984 Pengantar Demokrasi Jepang Jakarta: PT Karya Unipress Surajaya, I Ketut dan Yoshida Yasuo 1991 Atarashii Nihongo: Bahasa Jepang Modern Jakarta: Penerbit Airlangga Surieenettowaaku 2000 Shokyuu I Honyaku Bunpookaiketsu Indoneshiagohen (Minna No Nihongo): Terjemahan Dan Keterangan Tata Bahasa. Tokyo 3A Corporation Surieenettowaaku 2000 Shokyuu II Honyaku Bunpoo Kaiketsu Indoneshiagohen: Minna No Nihongo II: Terjemahan dan Keterangan Tata Bahasa. Tokyo: 3A Corporation Sudjianto 1996 Gramatika Bahasa Jepang Modern Jakarta: Kesaint Blanc The Japan Foundation 1994 Nihongo Shoho (Bahasa Jepang Permulaan) BEBERAPA VARIABEL YANG BERPENGARUH TERHADAP PRODUKTIVITAS TENAGA KERJA AA Sagung Kartika Dewi Dosen Program Studi Pariwisata Unud Abstract Productivity is one of important aspects which is need to be concerned in company (organization),especially if it is related to finl goal process. The process to increase productivity can be done only by human. It can be measured based on education, skill, dicipline, ethics, motivation, health, environment, Pancasila industrial relationship, technology, management, compensation. Key words: Productuvity, and human resources 1. Pendahuluan Bali sebagai salah satu daerah tujuan wisata utama yang telah terkenal di dunia, telah banyak dikunjungi wisatawan dari mancanegara. Banyaknya wisatawan yang datang ke Bali tersebut, telah memunculkan berbagai peluang bisnis . Salah satu peluang bisnis yang muncul yaitu industri yang bergerak di bidang pakaian jadi (garmen). Produk garmen yang dihasilkan oleh industri-industri pakaian jadi di Bali, di samping telah mampu memenuhi kebutuhan pasar domistik, juga telah mampu menembus pasaran internasional, baik di Benua Asia, Eropa maupun Amerika. Salah satu penyebab utamanya adalah karena kualitas produk pakaian jadi yang diproduksi di Bali telah diakui dan dipercaya baik di pasaran dalam negeri maupun luar negeri. Untuk mempertahankan dan bahkan meningkatkan kepercayaan pasar akan kualitas produk pakaian jadi tersebut, maka setiap perusahaan garmen dipacu untuk meningkatkan kemampuan atau produktivitasnya agar senantiasa dapat menghasilkan produk yang berkualitas tinggi yang tetap. Bahkan semakin digemari oleh konsumen, yang pada akhirnya tujuan perusahaan akan dapat tercapai. Kondisi demikian juga telah menyebabkan kompetisi di bidang pasar garmen di Bali semakin kompetitif. Masalah produktivitas merupakan salah satu masalah yang sangat penting di dalam suatu organisasi (perusahaan), terutama jika dikaitkan dengan proses pencapaian tujuan. Proses peningkatan produktivitas kerja hanya mungkin dilakukan oleh manusia. Sebaliknya sumber daya manusia (SDM) dapat menjadi penyebab terjadinya pemborosan dan inefisiensi dalam berbagai bentuknya. Dengan demikian SDM merupakan elemen yang paling strategik dalam organisasi, sehingga memberikan perhatian kepada unsur manusia merupakan salah satu tuntutan dalam keseluruhan upaya meningkatkan produktivitas kerja (Siagian, 2002). Dalam rangka mengantisipasi semakin ketatnya persaingan diantara perusahaanperusahaan yang memproduksi pakaian jadi, maka setiap perusahaan harus senantiasa menyiapkan sumber daya manusia (SDM) yang trampil dan profesional, sehingga tetap mampu menghasilkan produk pakaian jadi yang sesuai dengan mutu standar pasar, terutama pasar ekspor. 2. Pembahasan Pengertian Produktivitas Tenaga Kerja Pengertian mengenai produktivitas ada bermacam-macam, namun pada prinsipnya adalah sama, yaitu mengacu pada ratio antara output dan input. Hal ini bukan berarti orientasinya hanya pada output atau input saja, tetapi menyangkut hubungan antara keduanya. Produktivitas juga diartikan sebagai tingkatan efisiensi dalam memproduksi barang dan jasa, produktivitas mengutarakan cara pemanfaatan secara baik terhadap sumber-sumber dalam memproduksi barang. Dalam Encyclopedia of Profesional Management, (1990) disebutkan bahwa produktivitas adalah suatu ukuran sejauh mana sumber-sumber daya digabungkan dan dipergunakan dengan baik dapat mewujudkan hasil-hasil tertentu yang diinginkan. Dengan kata lain, produktivitas adalah suatu ukuran mengenai apa yang diperoleh dari apa yang diberikan. Hasil yang dicapai Produktivitas = Sumber daya yang dipergunakan Apa yang diperoleh Produktivitas = Apa yang diberikan Dalam rumus tersebut, hasil-hasil yang dicapai mencakup pengertian kuantitatif maupun kualitatif. Tidak cukup hanya sekedar menghasilkan lebih banyak dari sejumlah sumber daya yang diberikan. Kualitas dari apapun yang dihasilkan harus memenuhi standar baku yang telah ditetapkan dan diharapkan oleh konsumen atau klien. Hasil yang dicapai dihubungkan dengan sumber daya yang berlainan dalam bentuk berbagai perbandingan produktivitas, yaitu keluaran (output) per jam kerja, keluaran persatuan bahan/material, keluaran persatuan modal. Setiap perbandingan secara terpisah diperngaruhi oleh gabungan banyak faktor yang gayut (Atmosoeprapto, 2001). Faktorfaktor tersebut meliputi : 1) kualitas dan tersedianya bahan; 2) skala operasi dan kecepatan pemakaian; 3) tersedianya dan kapasitas dari peralatan modal; 4) sikap dan tingkat keterampilan angkatan kerja; dan 5) motivasi dan efektivitas manajemen. Dua faktor terakhir merupakan aspek sumber daya manusia. Bagaimana caranya faktor-faktor tersebut saling berhubungan merupakan aspek penting pada produktivitasnya yang dihasilkan (Atmosoeprapto, 2001). Bettegnies, (dalam Atmosoeprapto, 2000), menjabarkan produktivitas dalam persamaan lain yaitu Produktivitas = Efektivitas + Efisiensi. Efektivitas adalah “how far we achieve the goal” (sejauh mana kita mencapai sasaran, sedangkan efisien menggambarkan berbagai sumber daya secara benar atau tepat). Efektivitas dapat pula dikemukakan sebagai “to do the right thing”, sedangkan efisiensi sebagai “to do the thing right”. Werther (1996), mengartikan produktivitas adalah ratio antara output (barang-barang dan jasa) terhadap input (tenaga kerja, modal, material dan energi). Levitan (1984), merumuskan produktivitas adalah hubungan antara kuantitas barang-barang atau jasa-jasa yang diproduksi selama periode tertentu dan input tenaga kerja, modal dan sumber alam yang dipergunakan dalam proses produksi. Sudomo (1988), menyatakan produktivitas pada dasarnya adalah sikap mental yang selalu mempunyai pandangan bahwa mutu kehidupan hari ini lebih baik dari pada hari kemarin, dan hari esok lebih baik dari hari ini. John Suprihanto (1988), mengartikan bahwa produktivitas sebagai sumber-sumber ekonomi untuk menghasilkan sesuatu atau diartikan juga perbandingan antara pengorbanan (input) dengan penghasilan (output). Selanjutnya dijelaskan bahwa semakin kecil pengorbanan yang dipakai untuk mencapai target penghasilan atau output tertentu, maka perusahaan tersebut semakin produktif. Sebaliknya semakin tinggi persyaratan yang diperlukan atau input untuk mencapai penghasilan tertentu dikatakan produktif. Menurut Muchdarsyah (1995), produktivitas dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu: (a) Rumusan tradisional bagi keseluruhan produktivitas tidak lain adalah ratio dari pada apa yang dihasilkan (output) terhadap keseluruhan peralatan produksi yang dipergunakan (input); (b) Produktivitas pada dasarnya adalah suatu sikap mental yang selalu mempunyai pandangan bahwa hari ini lebih baik daripada hari kemarin dan hari esok lebih baik dari hari ini; (c) Produktivitas merupakan interaksi terpadu secara serasi dari tiga faktor esensial yakni, investasi termasuk penggunaan pengetahuan dan teknologi serta manajemen dan tenaga kerja. Definisi tersebut antara lain menyatakan bahwa produktivitas adalah interaksi terpadu antara tiga faktor yang mendasar yaitu : investasi, manajemen, dan tenaga kerja. Investasi yang dimaksud adalah modal, karena modal merupakan landasan gerak suatu usaha, dengan modal tidaklah cukup, untuk itu harus ditambah komponen lain yaitu teknologi yang berkaitan dengan masalah riset. Melalui riset akan dapat dikembangkan penyempurnaan produk atau bahkan dapat menemukan formula-formula baru untuk kemajuan suatu usaha. Keterpaduan antara modal, teknologi dan riset akan membawa perusahaan berkembang, dan dengan perkembangan itu, maka output akan meningkat. Pengukuran Produktivitas Setiap manajemen industri semestinya menetapkan secara formal sistem pengukuran produktivitas perusahaan dan karyawannya, sebelum melangkah lebih jauh ketahap perencanaan dan evaluasi terhadap produktivitas dari sistem indutri bersangkuan. Untuk menjamin efektivitas keberhasilan peningkatan produktivitas perusahaan, maka pemilihan atau penentuan indikator-indikator pengukuran produktivitas harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi dari sistem industri yang ada. Dengan demikian pemilihan indikator pengukuran produktivitas harus mengacu pada kebutuhan dari perusahaan bersangkutan. Pengukuran produktivitas dapat dilakukan pada masing-masing departemen atau bagian, dan pengukuran dapat dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa indikator yang secara mendasar mengacu pada konsep kualitas, efektivitas dan efisiensi. Pengukuran produktivitas di bagian produksi dapat mempertimbangkan beberapa indikator produktivitas yang mengacu pada konsep kualitas, efektivitas dan efisiensi (Gaspersz 2000). Misalnya dapat dilakukan dengan cara membandingkan antara kuantitas dan kualitas produksi dengan penggunaan material / energi, antara jam kerja aktual dengan jam kerja standar, dan antara produksi aktual dengan target produksi. Menurut Winaya (1989), tidak ada teknik pengukuran produktivitas yang terbaik, yang terpenting adalah ketaatan (konsistensi) penggunaannya. Namun yang paling sering digunakan adalah ukuran produktivitas tenaga kerja, karena ada anggapan bahwa unsur tenaga kerja itu adalah yang paling dominan di dalam melaksanakan berbagai jenis produksi, di samping unsur tenaga kerja itu memang paling mudah diukur. Menurut Rusli Syarif (1986) pengukuran produktivitas dapat ditunjukkan sebagai sebuah model sebagai berikut. P= O I P = Produktivitas O = Output I = Input Ukuran output dapat dinyatakan dalam bentuk seperti berikut : 1) Jumlah satuan fisik produk / jasa, 2) Nilai rupiah produk / jasa, 3) Nilai tambah, 4) Jumlah pekerjaan / kerja, 5) Jumlah laba kotor. Ukuran input dapat dinyatakan dalam bentuk seperti berikut : 1) Jumlah waktu, 2) Jumlah tenaga kerja, 3) Jumlah jam orang, 4) Jumlah biaya tenaga kerja, 5) Jumlah jam mesin, 6) Jumlah biaya penyusutan dan perawatan mesin, 7) Jumlah material, 8) Jumlah seluruh biaya pengusahaan, 9) Jumlah luas tanah. Cara-cara Meningkatkan Produktivitas Pengertian produktivitas, pandangan hidup dan sikap mental yang selalu berusaha untuk meningkatkan mutu kehidupan kesadaran hari ini harus lebih baik dari hari kemarin. Pandangan hidup dan sikap mental demikian akan mendorong manusia untuk tidak cepat merasa puas akan tetapi harus lebih mengembangkan diri dan meningkatkan kemampuan kerja secara terus-menerus. Untuk definisi kerja, produktivitas merupakan perbandingan antara hasil yang dicapai (keluaran) dengan keseluruhan sumber daya (masukan) yang dipergunakan per satuan waktu. Walaupun secara teori dapat dilakukan akan tetapi dalam prakteknya sukar dilaksanakan terutama karena sumber daya manusia yang dipergunakan pada umumnya terdiri dari banyak macam dan dalam proporsi yang berbeda. Maka untuk meningkatkan produktivitas suatu negara / sektor, mustahil dapat diperoleh jika tidak ada perbaikan dalam produktivitas pada tingkat perusahaan tersebut. Menurut buku seri produktivitas VIII, (dalam Sedarmayanti, 2001) Produktivitas dan Pengukuran yang diterbitkan Lembaga Sarana Informasi Usaha dan Produktivitas (SIUP) Jakarta, 1989,dinyatakan ada 4 cara dalam meningkatkan produktivitas antara lain : a. Meningkatkan keluaran sedangkan masukan dipertahankan atau tetap. b. Keluaran tetap tetapi masukan diturunkan. c. Keluaran naik lebih besar, masukan naik lebih kecil. d. Keluaran turun, masukan turun lebih besar. Ada sejumlah teknik peningkatan produktivitas lainnya seperti manajemen, metode perencanaan (analisis masalah kritis, evaluasi program dan teknik pengulasan, analisis jaringan kerja dan sebagainya), evaluasi laba dan biaya penggunaan komputer, analisa sistem dan lain-lainnya yang telah diterangkan secara menyeluruh dalam literatur manajemen. Jadi semua teknik peningkatan produktivitas bagi para pekerja lapangan maupun tata usaha terutama diarahkan untuk : mempertinggi kemampuan perorangan dan mengembangkan sikap positif para pegawai atau dengan perkataan lain mengembangkan kemauan untuk bekerja lebih baik. Manfaat Pengukuran Produktivitas Suatu organisasi perusahaan perlu mengetahui pada tingkat produktivitas mana perusahaan itu beroperasi, agar dapat membandingkannya dengan produktiviatas standar yang telah ditetapkan manajemen, mengukur tingkat perbaikan produktivitas dari waktu ke waktu, dan membandingkan dengan produktivitas industri sejenis yang menghasilkan produk serupa. Hal ini menjadi penting agar perusahaan itu dapat meningkatkan daya saing dari produk yang dihasilkan di pasar global yang amat kompetitif. Menurut Garpersz (1998), terdapat beberapa manfaat pengukuran produktivitas dalam suatu organisasi perusahaan, sebagai berikut : a. Perusahaan dapat menilai efisiensi konversi sumber dayanya, agar dapat meningkatkan produktivitas melalui efisiensi penggunaan sumber-sumber daya itu. b. Perencanaan sumber-sumber daya akan menjadi lebih efektif dan efisien melalui pengukuran produktivitas, baik dalam perencanaan jangka pendek maupun jangka panjang. c. Tujuan ekonomis dan nonekonomis dari perusahaan dapat diorganisasi kembali dengan cara memberikan prioritas tertentu dipandang dari sudut produktivitas. d. Perencanaan target produktivitas di masa mendatang dapat dimodifikasi kembali berdasarkan informasi pengukuran tingkat produktivitas sekarang. e. Strategi untuk meningkatkan produktivitas perusahaan dapat ditetapkan berdasarkan tingkat kesenjangan produktivitas (productivity gap) yang ada diantara tingkat produktivitas yang direncanakan (produktivitas ekspektasi) dan tingkat produktivitas yang diukur (produktivitas aktual). Dalam hal ini pengukuran produktivitas akan memberikan informasi dalam mengidentifikasi masalah-masalah atau perubahanperubahan yang terjadi, sehingga tindakan korektif dapat diambil. f. Pengukuran produktivitas perusahaan akan menjadi informasi yang bermanfaat dalam membandingkan tingkat produktivitas diantara organisasi perusahaaan dalam industri sejenis serta bermanfaat pula untuk informasi produktivitas industri skala nasional maupun global. g. Nilai-nilai produktivitas yang dihasilkan dari suatu pengukuran dapat menjadi informasi yang berguna untuk merencanakan tingkat keuntungan dari perusahaan itu. h. Pengukuran produktivitas akan menciptakan tindakan-tindakan kompetitif berupa upaya-upaya peningkatan produktivitas terus-menerus (continous productivity improvement). i. Pengukuran produktivitas terus-menerus akan memberikan informasi yang bermanfaat untuk menentukan dan mengevaluasi kecenderungan perkembangan produktivitas perusahaan dari waktu ke waktu. j. Pengukuran produktivitas akan memberikan informasi yang bermanfaat dalam mengevaluasi perkembangan dan efektivitas dari perbaikan terus menerus yang dilakukan dalam perusahaan itu. k. Pengukuran produktivitas akan memberikan motivasi kepada orang-orang untuk secara terus menerus melakukan perbaikan dan juga akan meningkatkan kepuasan kerja. Orang-orang akan lebih memberikan perhatian kepada pengukuran produktivitas apabila dampak dari perbaikan produktivitas itu terlihat jelas dan dirasakan langsung oleh mereka. l. Aktivitas perundingan bisnis (kegiatan tawar-menawar) secara kolektif dapat diselesaikan secara rasional, apabila telah tersedia ukuran-ukuran produktivitas. Faktor-faktor Yang Berpengaruhi terhadap Produktivitas Tenaga Kerja Setiap organisasi atau manajeman perusahaan akan selalu berusaha untuk meningkatkan semangat dan kegairahan kerja karyawan yang mengarah pada peningkatan efektivitas dan efisiensi penggunaan sumber daya produksi dan SDM. Keberhasilan dari perusahaan dalam meningkatkan semangat dan kegairahan karyawannya akan banyak memberikan keuntungan bagi perusahaan, karena pekerjaan akan dapat diselesaikan dengan lebih cepat, pemborosan waktu, tenaga dan kerusakan dapat dikurangi, yang pada gilirannya produktivitas perusahaan dan karyawannya dapat ditingkatkan. Menurut Tohardi (2002), faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas sektor industri adalah mutu sumber daya yang digunakan termasuk sumber daya modal, lahan, mesin dan peralatan, bahan baku dan manusia (SDM). Dalam hal ini faktor manusia dan peralatan sebagai faktor yang menentukan. Faktor-faktor produktivitas di tingkat unit usaha (organisasi perusahaan) adalah : (1) Rasio penempatan mesin atau modal per tenaga kerja, (2) Keterampilan tenaga kerja, (3) Kualitas material yang digunakan dalam proses produksi, dan (4) Hubungan yang ada antar karyawan, dan antar karyawan dengan pihak manajemen. Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas di tingkat individu atau perorangan adalah : (1) faktor pendidikan, (2) pelatihan, keterampilan, (3) disiplin, (4) sikap dan etika kerja, (5) motivasi, (6) gizi dan kesehatan, (7) tingkat penghasilan, (8) jaminan sosial, (9) lingkungan dan iklim kerja, (10) hubungan industrial, (11) peralatan dan teknologi, (12) kesempatan kerja, dan (13) kesempatan berprestasi (Tohardi, 2002). Siagian, (1986) mengemukakan faktor-faktor penentu produktivitas sebagai berikut : a. Cara penggunaan waktu yang telah tersedia baginya untuk menghasilkan barang dan jasa tertentu. Contohnya : adanya jadwal pekerjaan, kapan seseorang mulai bekerja dan berhenti bekerja setiap hari. b. Produktivitas manusia adalah menggalakkan produktivitas tidak hanya melibatkan nilai-nilai teknis dan administrasi, tetapi juga nilai-nilai etis dan moral. c. Faktor sarana dan prasarana yaitu mengusahakan sedemikian rupa sehingga tidak terjadi terobosan dalam bentuk apapun. Memelihara sarana dan prasarana yang tersedia sedemikian rupa sehingga mempunyai nilai dan masa pakai setinggi dan selama mungkin. Sedangkan menurut Winaya (1989), faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas tenaga kerja di antaranya adalah sebagai berikut. a. Pendidikan, tenaga kerja yang berpendidikan lebih mudah mengerti tentang hal-hal yang diperintahkan untuk mengerjakannya. Cepat tanggap, cepat menerima pendapat dan pandangan orang lain atau dari pimpinan. b. Keterampilan, dapat dibedakan kedalam tiga kategori yaitu teknis, antarpribadi dan pemecahan masalah. Kebanyakan kegiatan pelatihan berupaya memodifikasi satu atau lebih dari keterampilan itu. Keterampilan teknis mengarah kepada kemampuan karyawan dalam mengoperasikan alat produksi. Keterampilan antarpribadi yaitu kemampuan karyawan berinteraksi dengan karyawan lainnya. Sedangkan keterampilan dalam memecahkan masalah mencakup kegiatan untuk mempertajam logika, penalaran, keterampilan mendefinisikan dan menilai masalah, mengembangkan alternatif, menganalisis alternatif serta memilih alternatif pemecahannya. Makin trampil tenaga kerja itu, makin cepat ia mengerjakan sesuatu, akibat mereka sudah sangat terlatih; jadi ia bekerja dengan sangat profesional. c. Disiplin, adalah sikap kejiwaan dari seseorang atau kelompok orang yang senantiasa berkehendak untuk mengikuti atau mematuhi segala aturan atau keputusan yang telah ditetapkan. Pengertian disiplin adalah sikap mental yang tercermin dalam perbuatan atau tingkah laku perorangan, kelompok atau masyarakat berupa ketaatan terhadap peraturan-peraturan atau ketentuan yang ditetapkan pemerintah atau organisasi untuk tujuan tertentu. Dengan demikian tenaga kerja yang bersikap mental disiplin, karena ia selalu taat kepada segala aturan tertulis maupun tidak tertulis, sangat mudah ditertibkan dan bekerja dengan sungguh-sungguh atau serius. d. Sikap mental dan etika kerja, merupakan suatu tanggapan, evaluasi atau deskripsi pemikiran yang dimiliki seseorang tentang sesuatu yang didasari atas pengetahuan, pendapat atau keyakinan nyata. Sikap adalah evaluasi perasaan dan kecendrungan seseorang yang relatif konsisten terhadap sesuatu objek atau gagasan. Etika merupakan aturan atau sopan santun. Dengan demikian apabila tenaga kerja itu bersikap mental dan beretika kerja profesional pada umumnya mempunyai rasa tanggung jawab dan bekerja keras dan bersungguh-sungguh pada setiap tugas yang diberikan atau dibebankan kepadanya. e. Motivasi, adalah keadaan jiwa dan sikap mental manusia yang memberikan energi, mendorong kegiatan atau gerakan yang mengarah, atau menyalurkan perilaku ke arah mencapai kebutuhan yang memberi kepuasan atau mengurangi ketidakseimbangan. Kubutuhan-kebutuhan tersebut timbul akibat dari hubungan antara manusia dalam proses produksi atau hubungan industrial. Dengan demikian motivasi dapat diartikan sebagai bagian integral dari hubungan industrial dalam rangka proses pembinaan, pengembangan dan pengarahan sumber daya manusia dalam suatu perusahaan. Motivasi juga dapat diartikan sebagai daya pendorong yang menyebabkan seseorang berbuat lebih giat dari biasanya untuk mencapai sesuatu tujuan seperti ingin lebih berprestasi, menambah keahlian, dan meningkatkan jabatan atau karir. f. Gizi dan kesehatan, sangat dipentingkan untuk kekuatan fisik dan konsentrasi bagi tenaga kerja, sehingga dirasa segar selalu dalam menunaikan tugasnya. Untuk mencapai tingkat gizi dan kesehatan yang baik seseorang karyawan harus memperhatikan kualitas dan kuantitas asupan makanan yang dikonsumsi setiap hari. Dengan asupan makanan yang bergizi, sudah jelas akan meningkatkan kesehatan, dan pada gilirannya mereka dapat bekerja lebih kuat, lebih segar dan lebih berkonsentrasi. g. Tingkat penghasilan, tenaga kerja bekerja untuk tujuan mendapatkan penghasilan guna menghidupi dirinya beserta keluarganya secara layak. Jelas dalam hal ini tingkat penghasilan cukup dominan dapat mempengaruhi tingkat produktivitas. Penghasilan merupakan tenaga pendorong yang utama bagi seseorang untuk bekerja, sehingga secara tidak langsung penghasilan inilah yang juga mendorong orang untuk meningkatkan produktivitas kerjanya. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian dari Subagyo (1999), pada perawat RSUD “Ngudi Waluyo”, bahwa penghasilan berpengaruh positif terhadap produktivitas kerja perawat. h. Jaminan sosial, sama dengan tingkat penghasilan, jaminan sosial merupakan sesuatu yang dapat menambah pendapatan tenaga kerja sebagai pelengkap pemenuhan kebutuhan tenaga kerja beserta keluarganya berpengaruh besar terhadap produktivitas. i. Lingkungan dan iklim kerja, cukup berpengaruh terhadap produktivitas karena dengan lingkungan dan iklim kerja yang baik dapat menimbulkan rasa tenang dan aman bagi karyawan dalam bekerja. j. Hubungan Industrial Pancasila, hubungan kerja yang sangat manusiawi dalam perlakuan bagi tenaga kerja akan dapat lebih menjamin ketenangan kerja karyawan. k. Teknologi, makin profesional dan terampilnya tenaga kerja dapat mempercepat proses kerja tersebut, sehingga memperbaiki rasio produktivitas melalui cara-cara tersebut meningkatkan produktivitas. Penggunaan teknologi modern dalam proses produksi berdampak sangat besar terhadap peningkatan produktivitas perusahaan dan karyawan. l. Manajemen, baik buruknya manajemen dalam suatu organisasi, juga sangat menentukan betah tidaknya atau tenang tidaknya karyawan itu bekerja. Kepemimpinan yang kurang terpuji dari seorang pemimpin organisasi, dapat memerosotkan semangat kerja karyawan, yang pada gilirannya dapat menurunkan produktivitas perusahaan. m. Sarana produksi, tersedianya sarana produksi secara memadai sangat penting artinya bagi tenaga kerja untuk dapat bekerja secara lebih sempurna, karena kualitas kerja tidak akan dapat dicapai hanya dengan kemampuan pengetahuan serta keterampilan, tanpa didukung oleh sarana-prasarana pendukung secara memadai. n. Kesempatan berprestasi, diberikannya suatu kesempatan bagi karyawan untuk berprestasi sangat perlu diusahakan dalam rangka pengembangan karyawan tersebut. Apabila tidak didapat, jelas dirasa kurang adil dan dapat mengurangi kegairahan kerja. Berdasarkan teori yang telah diuraikan secara keseluruhan maka diungkapkan bahwa, produktivitas diukur berdasarkan variabel pendidikan, keterampilan, disiplin, sikap mental dan etika kerja, motivasi, tingkat penghasilan, jaminan sosial, lingkungan dan iklim kerja, hubungan industrial pancasila, teknologi, sarana produksi, manajemen, dan kesempatan berprestasi. Seluruh variabel-variabel tersebut lebih banyak bersifat eksternal atau yang menyangkut diluar diri manusia itu sendiri, sedangkan variabel internal dari manusia itu sendiri kurang diperhatikan seperti usia, jenis kelamin, status perkawinan, pelatihan, jabatan, aktivitas, dan masa kerja. 3. Simpulan Setiap manajemen suatu organisasi atau perusahaan akan secara terus-menerus berupaya untuk meningkatkan produktivitas tenaga kerja di perusahaan tersebut, karena peningkatan produktivitas tenaga kerja merupakan salah satu variabel penting yang dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas perusahaan. Ada faktor yang dapat mempengaruhi tingkat produktivitas tenaga kerja di suatu perusahaan, dan faktor dominan yang dapat mempengaruhi produktivitas tenaga kerja di satu perusahaan, dengan yang lain sering berbeda-beda. Faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas tenaga kerja antara lain : pendidikan, keterampilan, disiplin, sikap mental dan etika kerja, motivasi, gizi dan kesehatan, lingkungan dan iklim kerja, hubungan industrial pancasila, teknologi, sarana produksi, kompensasi, manajemen dan kesempatan berprestasi. Daftar Pustaka Atmosoeprapto Kisdarto, 2001, Produktivitas Aktualisasi Budaya Perusahaan, Jakarta : Kelompok Gramedia. Gaspersz, Vincent, 2000. Manajemen Produktivitas Total, Strategi Peningkatan Produktivitas Bisnis Global, Jakarta : PT. Gramedia Pustaka. Sedarmayanti, 2001. Sumber Daya Manusia dan Produktivitas Kerja, Bandung : Penerbit CV. Mandar Maju. Subagyo, 1999. Produktivitas Kerja Perawat Pada RSUD Ngudi Waluyo, Wlingi, Blitar. Tesis Program Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya. Tidak diterbitkan. Tohardi Ahmad, 2002. Pemahaman Praktis Manajemen Sumber Daya Manusia, Bandung : Penerbit Mandar Maju. Winaya, Kuna, 1989. Manajemen Sumber Daya Manusia, Fakultas Ekonomi Universitas Udayana. PRODUKTIVITAS KERJA SEORANG PRAMU GRAHA DALAM MENATA SEBUAH KAMAR PADA HOTEL BERBINTANG DI BALI I Gede Sudarta Dosen Program Studi Perhotelan, Jurusan Pariwisata, Politeknik Negeri Bali Abstract The duty of maintaining the guest room will be carried out by a particular staff called Room Attendant or Room Boy /Maid. It is a must for any room attendant to be able to make-up room in accordance with the hotel Standard Operating Procedure (SOP). This each SOP is different from one hotel to another, however they have the same purpose is to give the satisfaction to every guest who stay at the hotel. In caring out the duty a room attendant is greatly influenced by some factors both internally or externally. Within Cluster Sampling and Incidental Sampling against of 100 Room Attendant of stars hotel at Bali Tourist Resort, shows that factors which influence productivity in makeup guest room. Those factors are included the size of the room, facilities and guest room supplies, room type, the buildings, the cleaning technique, work equipments, the skill and knowledge, the burden of work, the supervising, and chemical Key words : Productivity, room attendant, make-up room 1. Pendahuluan Industri pariwisata telah berkembang dengan pesatnya dari masa ke masa, terbukti dari semakin banyaknya orang yang melakukan kegiatan wisata dan juga jumlah uang yang dibelanjakan untuk kegiatan tersebut, hal ini dimungkinkan oleh karena : (1) Semakin meningkatnya jumlah penduduk dunia, demikian juga jumlah penduduk dunia yang mampu melakukan perjalanan dan berwisata ke daerah lain ; (2) Semakin bertambahnya uang atau dana yang dapat digunakan untuk membiayai kegiatan wisata ; (3) Semakin tersedianya waktu yang luang serta kesempatan yang bisa digunakan untuk berwisata ; (4) Semakin mudahnya cara melakukan perjalanan, lebih cepat dan lebih menyenangkan ; (5) Kecenderungan semakin tingginya biaya hidup, terutama di negara maju yang mendorong orang melakukan perjalanan wisata ke daerah lain yang biaya hidupnya lebih rendah Hotel merupakan bagian yang integral dari usaha pariwisata yang menurut Keputusan Menparpostel disebutkan sebagai suatu usaha akomodasi yang dikomersilkan dengan menyediakan fasilitas-fasilitas sebagai berikut : (1) Kamar tidur (kamar tamu) ; (2) Makanan dan minuman ; (3) Pelayanan-pelayanan penunjang lain seperti : tempat-tempat rekreasi, fasilitas olah raga, fasilitas dobi (laundry) dsb. (Sulastiyono, 1999 : 11). Di Indonesia, hotel diklasifikasikan dari mulai hotel dengan bintang satu sampai dengan hotel bintang lima. Klasifikasi hotel berbintang tersebut secara garis besar didasarkan pada : (1) Besar / kecil atau banyaknya jumlah kamar ; (2) Lokasi hotel ; (3) Fasilitas-fasilitas yang dimiliki hotel ; (4) Kelengkapan peralatan ; (5) Spesialisasi dan tingkat pendidikan karyawan ; (6) Kualitas bangunan dan (7) Tata letak ruang (Sulastiyono, 1999 : 17). Kegiatan utama dari usaha hotel adalah menyewakan kamar kepada tamu. Untuk bisa memberikan kepuasan kepada tamu, keadaan kamar yang disewakan harus berada dalam keadaan bersih, nyaman, menarik dan aman (bebas dari berbagai kemungkinan terjadinya kecelakaan, pencurian dan penyakit) (Sulastiyono, 1999 : 25). Jenis-jenis kamar menurut fasilitas yang tersedia adalah berbeda dari satu hotel dengan hotel yang lain, hal tersebut karena harga kamar selalu dikaitkan dengan kelengkapan fasilitas kamar. Makin lengkap fasilitas kamarnya, makin mahal pula harganya. Adapun fasilitas standar yang terdapat pada masing-masing jenis kamar tersebut adalah sebagai berikut : Kamar mandi private (bath room) ; tempat tidur (jumlah dan ukurannya sesuai dengan jenisnya) ; ruang tidur ; almari pakaian (cup board) ; telepon ; radio dan televisi ; meja rias / tulis (dressing table) rak untuk menyimpan koper (luggage rack) ; asbak, korek api, handuk, alat tulis (stationeries) (Sulastiyono, 1999 : 26). Bahwa kamar yang bersih, segar dan aman, nyaman, tenang serta menarik adalah merupakan produk utama yang harus tersedia dan harus dapat diberikan kepada costumer yang menginap di hotel sebagai pembeli. Kondisi tersebut harus dapat dipenuhi agar tamu yang menginap merasa puas dan tidak kecewa, serta merasa seperti berada di rumahnya sendiri. Dalam upaya mewujudkan semua keinginan dan harapan serta persyaratan tersebut secara totalitas produk suatu hotel harus memperhatikan tiga unsur pokok yaitu : (1) Fasilitas fisik, berupa bangunan, perlengkapan dan perolehan yang secara teknis merupakan unsur pokok, jumlah dan kualitas yang diperlukan keberadaannnya untuk dapat terwujud sebagaimana kriteria/ketentuan yang diisyaratkan ; (2) Operasional dan manajemen, keadaan berfungsinya semua bangunan, perlengkapan dan peralatan dalam fungsi beroperasinya suatu hotel. Berfungsinya semua perlengkapan dan peralatan adalah sebagai hasil manajemen (pengelolaan) ; (3) Pelayanan, berbagai jenis jasa yang tersedia terutama dihasilkan oleh sumber daya manusia yang berkualitas serta didukung oleh peralatan atau teknologi yang memadai bagi status hotel yang telah disandang (Musanef, 1995 : 232). Hotel adalah jenis usaha penjualan jasa pelayanan atau “service” sehingga peranan karyawan, dalam hal kepribadiannya, pembawaan serta penampilannya akan berpengaruh sekali didalam memberikan pelayanan disamping segi keterampilannya (Mangkuwerdoyo, 1999a : 9). Untuk memberikan kepuasan kepada tamu yang menginap di hotel memerlukan tingkat keterampilan seseorang dalam menata kamar tersebut. Apalagi perlengkapan kamar yang sesuai dengan standar yang ditentukan untuk sebuah kamar hotel sedemikian banyaknya. Seorang pramu graha dituntut untuk dapat menata kamar dengan baik dan benar sesuai dengan Standard Operating Procedure (SOP) yang ditentukan oleh masing-masing hotel. Dimana SOP masing-masing hotel berbeda antara satu hotel dengan hotel yang lainnya, namun dengan harapan yang sama yaitu memberikan kepuasan kepada tamu yang menginap di hotel tersebut. Dalam melaksanakan tugasnya tersebut seorang pramu graha akan dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik faktor dari dalam diri sendiri (faktor internal) maupun dari luar dirinya (faktor eksternal). Dari hal tersebut di atas maka permasalahan yang akan diteliti adalah : a. Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi produktivitas kerja seorang Pramu Graha dalam menata sebuah kamar pada hotel berbintang di Bali ? b. Apakah ada persamaan atau perbedaan persepsi pramu graha antara jenis kelamin dan masa kerja, terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas kerja pramu graha dalam menata sebuah kamar pada hotel berbintang di Bali ? 2. Kajian Pustaka Menurut Payaman Simanjuntak, yang dikutip oleh Taliziduhu Ndraha, dinyatakan bahwa produktivitas kerja dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu : (1) Kualitas dan kemampuan fisik kayawan ; (2) Sarana pendukung ; (3) Supra sarana (Ndraha, 1999 : 45). Produktivitas kerja seorang pramu graha adalah cara pemanfaatan waktu yang telah ditetapkan oleh pihak manajemen kepada pramu graha untuk menyiapkan kamar tamu, yang meliputi menata tempat tidur, membersihkan kamar mandi, dan melengkapi kamar tamu dengan perlengkapan yang telah ditentukan (Agusnawar, 2000 : 136). Pada dasarnya standar produktivitas pramu graha di setiap hotel berbeda. Perbedaan tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor , yaitu : ukuran dan luas kamar, fasilitas dan perlengkapan kamar, tipe kamar, bentuk bangunan hotel, dan teknik pembersihan yang diterapkan dalam kamar (Agusnawar, 2000 : 56). Adapun yang menjadi faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas kerja pramu graha pada suatu hotel antara lain : peralatan kerja, keterampilan dan pendidikan dari pramu graha, beban kerja pramu graha, bentuk bangunan hotel, fasilitas kamar hotel, teknik pembersihan, dan pengawasan (Agusnawar, 2000 : 138). Menurut pendapat S K Chan, yang dikutip oleh Agusnawar, dinyatakan bahwa pendidikan sangat menentukan kualitas pelaksanaan kerja pramu graha. Oleh karena itu, seorang pramu graha harus mempunyai keterampilan, latihan, dan pendidikan supaya dapat bekerja dengan cepat dan memberikan hasil yang memuaskan (Agusnawar, 2000 : 139). Tingkat produktivitas pramu graha akan dipengaruhi oleh kemampuannya (pengetahuan, keterampilan dan prilaku) dalam melaksanakan tugasnya membersihkan kamar-kamar tamu, dengan menggunakan seluruh peraralatan dan bahan pembersih yang tersedia (Sulastiyono, 1999 : 126). Dalam hand out Tata Graha dan Binatu 2 disebutkan bahwa, pada garis besarnya halhal yang dilakukan dalam menata kamar (make up room) adalah sebagai berikut : (1) Clear up linen dan cleaning ; (2) Making bed ; (3) Dusting secara menyeluruh ; (4) Melengkapi guest supplies ; (5) Cleaning the bath room dan melengkapi bath room supplies ; (6) Vacuuming carpet ; (7) Check terakhir kali (Sudarta, 1999 : 25). Sekarang ini telah dikenal suatu sistem dalam menata kamar, yang dikenal dengan istilah 20 langkah mempersiapkan kamar tidur tamu hotel (20 steps procedure). Untuk waktu yang akan datang sejalan dengan perkembangan teknologi, bukan tidak mungkin ada cara yang lebih praktis dan efisien (Perwani, 1992 : 59). Adapun 20 steps procedure dimaksud adalah : (1) Entering the room ; (2) Turn on every light ; (3) Take a good look ; (4) Open the window draperies ; (5) Open the window ; (6) Cleaning up ; (7) Gathering soiled linen ; (8) Saving steps ; (9) Enter the bath room ; (10) Clean the bath tub ; (11) Clean toilet bowl ; (12) Clean wash basin counter ; (13) Clean bath room floor ; (14) & (15) Closet & drawers ; (16) Waste basket ; (17) Making the bed ; (18) Dusting ; (19) The Floor ; (20) Take a last look. 3. Metode Penelitian Pengumpulan data dilakukan dengan menyebarkan kuesioner kepada 100 orang pramu graha pada kawasan pariwisata di Bali. Teknik sampling yang dipergunakan adalah Cluster Sampling dan Incidental Sampling.Sedangkan data dianalisis dengan teknik kualitatif yaitu analisis deskriptif, juga akan dianalisis dengan teknik analisis kuantitatif. Teknik analisis kuantitatif yang dipergunakan adalah analisis statistik Spearman Rank 10 peringkat, dengan formula : ρ=1– 6 Σ bi2 Keterangan : bi2 = Jumlah kuadrat perbedaan antar ranking n = Jumlah masing-masing kelompok data n (n2 – 1) Analisis ini digunakan untuk mengetahui ada tidaknya kesamaan persepsi antara pramu graha laki-laki dengan perempuan dan pramu graha dengan masa kerja kurang dari 5 tahun dengan lebih dari 5 tahun. 4. Hasil dan Pembahasan Karakteristik responden yang didapatkan dari tabulasi data kuesioner sejumlah 100 adalah sebagai berikut : (1).Responden berjenis kelamin laki-laki sebanyak 70 orang ; (2).Responden berjenis kelamin perempuan sebanyak 30 orang ; (3).Responden yang telah bekerja sebagai pramu graha kurang dari 5 tahun sebanyak 75 orang ; (4).Responden yang telah bekerja sebagai pramu graha lebih dari 5 tahun sebanyak 25 orang Tabel 1 Skor Seluruh Responden No Rangking Kode Skor Keterangan 1 1 B 350 Fasilitas dan perlengkapan kamar 2 2 D 382 Keterampilan dan pendidikan 3 3 A 404 Ukuran dan luas kamar 4 4 C 450 Teknik pembersihan 5 5 E 519 Peralatan kerja 6 6 F 609 Tipe atau jenis kamar 7 7 G 647 Bentuk bangunan hotel 8 8 I 666 Bahan pembersih 9 9 J 726 Pengawasan 10 10 H 747 Beban kerja Sumber : Diolah dari Hasil Penelitian, 2005. Dari Tabel 1 terlihat bahwa rangking dari faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas kerja seorang pramu graha dalam menata sebuah kamar pada hotel berbintang di Bali adalah sebagai berikut : (1). Fasilitas dan perlengkapan kamar ; (2). Keterampilan dan pendidikan ; (3). Ukuran dan luas kamar ; (4). Teknik pembersihan ; (5). Peralatan kerja ; (6). Tipe atau jenis kamar; (7). Bentuk bangunan hotel ; (8). Bahan pembersih ; (9). Pengawasan ; (10). Beban kerja. Dengan mengelompokkan responden pramu graha laki-laki dan perempuan untuk melihat apakah jenis kelamin berpengaruh terhadap rangking faktor-faktor atau apakah antara pramu graha laki-laki dan perempuan ada persamaan atau perbedaan faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas kerja seorang pramu graha dalam menata sebuah kamar pada hotel berbintang di Bali. Tabel 2 Skor Responden Menurut Jenis Kelamin Pramu Graha Laki Laki Pramu Graha Perempuan Rangking Kode Skor Rangking Kode Skor 1 1 B 230 1 A 113 2 2 D 265 2 D 117 3 3 A 291 3 B 120 4 4 C 305 4 C 145 5 5 E 364 5 E 155 6 6 F 428 6 F 181 7 7 G 457 7 G 190 8 8 I 470 8 I 196 9 9 H 519 9 J 205 10 10 J 521 10 H 228 Sumber : Diolah Dari Hasil Penelitian, 2005. No Keterangan : A.Ukuran dan luas kamar ; B.Fasilitas dan perlengkapan kamar ; C.Teknik pembersihan ; D. Keterampilan dan pendidikan ; E. Peralatan kerja ; F. Tipe atau jenis kamar ; G. Bentuk bangunan hotel ; H. Beban kerja ; I. Bahan pembersih ; J. Pengawasan Dari Tabel 2 di atas didapatkan bahwa rangking dari faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas kerja seorang pramu graha laki- laki dalam menata sebuah kamar pada hotel berbintang di Bali adalah sebagai berikut : (1). Fasilitas dan perlengkapan kamar ; (2). Keterampilan dan pendidikan ; (3). Ukuran dan luas kamar ; (4). Teknik pembersihan ; (5). Peralatan kerja ; (6). Tipe atau jenis kamar ; (7). Bentuk bangunan hotel ; (8). Bahan pembersih ; (9). Beban kerja ; (10). Pengawasan Dari Tabel 2 di atas dapat dilihat bahwa rangking dari faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas kerja seorang pramu graha perempuan dalam menata sebuah kamar pada hotel berbintang di Bali adalah sebagai berikut : (1). Ukuran dan luas kamar ; (2). Keterampilan dan pendidikan ; (3). Fasilitas dan perlengkapan kamar ; (4). Teknik pembersihan ; (5). Peralatan kerja ; (6). Tipe atau jenis kamar ; (7). Bentuk bangunan hotel ; (8). Bahan pembersih ; (9). Pengawasan ; (10). Beban kerja Jika dilihat data di atas ada sedikit perbedaan rangking antara pramu graha laki-laki dengan perempuan mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas kerja seorang pramu graha dalam menata sebuah kamar pada hotel berbintang di Bali. Namun untuk lebih memastikan hasil data tersebut akan dianalisis dengan analisis statistik, dengan menggunakan analisis Korelasi Rank Spearman, didapatkan B12 adalah 10, sehingga ρ hitung menjadi 0,939 Jika hasil perhitungan tersebut dibandingkan dengan nilai koefisien dalam tabel Rho dengan n = 10 dan taraf signifikansi 5 % sebesar 0,648 ternyata lebih kecil dari nilai perhitungan sebesar 0,939. Hal ini berarti bahwa terdapat kesesuaian persepsi secara signifikan antara kelompok pramu graha laki-laki dengan kelompok pramu graha perempuan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas kerja seorang pramu graha dalam menata sebuah kamar pada hotel berbintang di Bali. Analisis lebih lanjut dilaksanakan yaitu melihat apakah ada perbedaan faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas kerja seorang pramu graha dalam menata sebuah kamar pada hotel berbintang di Bali, dengan melihat masa kerja atau lama kerja sebagai pramu graha, yaitu antara yang sudah bekerja kurang dari 5 tahun dan lebih dari 5 tahun. Tabel 3 Skor Responden Menurut Masa Kerja Kurang dari 5 Tahun Lebih dari 5 Tahun Rangking Kode Skor Rangking Kode Skor 1 1 B 259 1 A 91 2 2 D 280 2 B 91 3 3 A 313 3 D 102 4 4 C 331 4 C 119 5 5 E 387 5 E 132 6 6 F 435 6 J 155 7 7 G 476 7 I 156 8 8 I 510 8 G 171 9 9 H 563 9 F 174 10 10 J 571 10 H 184 Sumber : Diolah Dari Hasil Penelitian, 2005 No Keterangan : A.Ukuran dan luas kamar ; B.Fasilitas dan perlengkapan kamar ; C.Teknik pembersihan ; D. Keterampilan dan pendidikan ; E. Peralatan kerja ; F. Tipe atau jenis kamar ; G. Bentuk bangunan hotel ; H. Beban kerja ; I. Bahan pembersih ; J. Pengawasan Dari Tabel 3 di atas dapat dilihat bahwa rangking faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas kerja seorang pramu graha, dengan masa kerja kurang dari 5 tahun dalam menata sebuah kamar pada hotel berbintang di Bali, adalah sebagai berikut : (1).Fasilitas dan perlengkapan kamar ; (2).Keterampilan dan pendidikan ; (3).Ukuran dan luas kamar ; (4).Teknik pembersihan ; (5).Peralatan kerja ; (6).Tipe atau jenis kamar ; (7).Bentuk bangunan hotel ; (8).Bahan pembersih ; (9).Beban kerja ; (10).Pengawasan Dari Tabel 3 di atas dapat dilihat bahwa rangking faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas kerja seorang pramu graha dengan masa kerja lebih dari 5 tahun, dalam menata sebuah kamar pada hotel berbintang di Bali adalah sebagai berikut : (1).Ukuran dan luas kamar ; (2).Fasilitas dan perlengkapan kamar ; (3).Keterampilan dan pendidikan ; (4).Teknik pembersihan ; (5).Peralatan kerja ; (6).Pengawasan ; (7).Bahan pembersih ; (8).Bentuk bangunan hotel ; (9).Tipe atau jenis kamar ; (10).Beban kerja Untuk analisis statistik faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas kerja seorang pramu graha dalam menata sebuah kamar pada hotel berbintang di Bali, dilihat dari perbedaan masa kerja (kelompok kurang dari 5 tahun dan kelompok lebih dari 5 tahun), dengan analisis Korelasi Spearman Rank didapatkan bahwa B12 adalah 34, sehingga ρ hitung menjadi 0,794 Jika hasil perhitungan tersebut dibandingkan dengan nilai koefisien dalam tabel Rho dengan n = 10 dan taraf signifikansi 5 % sebesar 0,648 ternyata lebih kecil dari nilai perhitungan sebesar 0,794. Hal ini berarti bahwa terdapat kesesuaian persepsi secara signifikan antara kelompok pramu graha yang bekerja kurang dari 5 tahun dengan kelompok pramu graha yang sudah bekerja lebih dari 5 tahun tentang faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas kerja seorang pramu graha dalam menata sebuah kamar pada hotel berbintang di Bali. 5. Simpulan dan Saran Berdasarkan hasil pembahasan di atas, dapat disimpulkan : a. Produktivitas kerja seorang pramu graha dalam menata sebuah kamar pada hotel berbintang di Bali dipengaruhi oleh faktor-faktor : fasilitas dan perlengkapan kamar ; keterampilan dan pendidikan ; ukuran dan luas kamar ; teknik pembersihan ; peralatan kerja ; tipe atau jenis kamar ; bentuk bangunan hotel ; bahan pembersih ; pengawasan ; beban kerja. b. Ada persamaan atau kesesuaian persepsi pramu graha antara jenis kelamin dan masa kerja, terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas kerja pramu graha dalam menata sebuah kamar pada hotel berbintang di Bali. Dengan kesimpulan tersebut di atas, maka peneliti menyarankan kepada manajemen hotel untuk mempertimbangkan atau memperhatikan faktor-faktor tersebut di atas dalam meningkatkan produktivitas kerja seorang pramu graha dalam menata sebuah kamar hotel berbintang. Daftar Pustaka Agusnawar. 2000 Operasional Tata Graha Hotel. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama Anoraga, Panji dan Sri Suyati. 1995. Psikologi Industri dan Sosial. Jakarta : PT Dunia Pustaka Jaya Hasibuan, H Malayu SP. 2003. Organisasi dan Motivasi, Dasar Peningkatan Produktivitas. Jakarta : PT Bumi Aksara Kusumayadi dan Endar Sugiarto. 2000. Metodologi Penelitian Dalam Bidang Kepariwisataan. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama Mangkuwerdoyo, Sudiarto. 1999a. Pengantar Industri Akomodasi & Restoran Jilid I. Jakarta : Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Mangkuwerdoyo, Sudiarto. 1999b. Perkembangan Pengelolaan Industri Akomodasi & Restoran Jilid II. Jakarta : Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Musanef. 1995. Manajemen Usaha Pariwisata di Indonesia. Jakarta : PT Toko Gunung Agung Marzuki. 2000. Metodologi Riset. Yogyakarta : PT Prasetia Widia Pratama Ndraha, Taliziduhu. 1999. Pengantar Teori Pengembangan Sumber Daya Manusia. Jakarta : PT Rineka Cipta Nurgiyantoro, Burhan dkk. 2000. Statistik Terapan Untuk Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press Perwani, Yayuk Sri. 1992. Teori dan Petunjuk Praktek Housekeeping Untuk Akademi Perhotelan, Make up Room. Jakarta Gramedia Pustaka Utama Sudarta, I Gede. 1999. “Tata Graha dan Binatu 2”. Denpasar : Jurusan Pariwisata Politeknik Negeri Bali Sugiarto, Endar. 1999. Psikologi Pelayanan Dalam Industri Jasa. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama Sulastiyono, Agus. 1999. Seri Manajemen Usaha Jasa Sarana Pariwisata dan Akomodasi. Bandung : CV Alfabeta. Sihite, Richard. 2000a Hotel Management (Pengelolaan Hotel). Surabaya : SIC Sihite, Richard. 2000b House Keeping (Tata Graha). Surabaya : SIC. PEDOMAN PENULISAN BAGI PENGIRIM NASKAH 1. Naskah dapat berupa hasil penelitian atau kajian pustaka yang belum pernah dipublikasikan sebelumnya. 2. Naskah ditulis dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris (abstrak bahasa Inggris). Abstrak tidak lebih dari 250 kata dengan disertai 3-5 istilah kunci (key words). Naskah berupa ketikan asli atau rekaman disket program word (windows) dengan jumlah maksimal 15 hal ketikan kwarto spasi 1½, kecuali abstrak, tabel dan kepustakaan. 3. Naskah ditulis dengan batas 4 cm dari kiri dan 3 cm dari tepi kanan, bawah dan atas. 4. Judul singkat, jelas dan informatif serta ditulis dengan huruf besar. Judul yang terlalu panjang harus dipecah menjadi judul utama dan anak judul. 5. Nama penulis tanpa gelar akademik dan alamat instansi penulis ditulis lengkap. 6. Naskah hasil penelitian terdiri atau judul, nama penulis, abstrak, pendahuluan, kajian pustaka dan metode, hasil dan pembahasan, simpulan dan saran serta kepustakaan. 7. Naskah kajian pustaka terdiri atas judul, nama penulis, abstrak, pendahuluan, masalah, pembahasan, simpulan dan saran serta kepustakaan. 8. Tabel, grafik, histogram, sketsa dan gambar (foto) harus diberi judul serta keterangan yang jelas. Gambar dicantumkan pada kertas tersendiri (tidak ditempel pada kertas), di belakangnya ditulis dengan pensil (judul naskah dan penulis). 9. Setiap alenia baru diketik mundur 7 ketukan. 10. Dalam mengutip pendapat orang lain, dipakai sistem nama penulis dan tahun. Contoh: Astina (1999); Suwena et al. (2001). 11. Daftar pustaka memakai “harvard style” disusun menurut abjad nama penulis tanpa nomer urut, dengan krolologis. a. Untuk buku: nama pokok dan inisial pengarang, tahun terbit, judul, jilid, edisi, tempat terbit dan nama penerbit. Kirkwood, B.R. 1988. Essential of Medical Statistics. Second Edition. Oxford: Blackwell Science. b. Karangan dalam buku: nama pokok dari inisial pengarang, tahun terbit, judul karangan, inisial dan nama editor: judul buku, hal permulaan dan akhir karangan, tempat terbitan dan nama penerbit. McKean, Philip Frick. 1978. “Towards as Theoretical analysis of Tourism: Economic Dualism and Cultural Involution in Bali”. Dalam Valena L. Smith (ed). Host and Guests: The Antropology of Tourism. Philadelphia: University of Pensylvania Press. Hal. 22-34. c. Untuk artikel dalam jurnal: nama pokok dan inisial pengarang, tahun, judul karangan, singkatan nama majalah, jilid (nomor), halaman permulaan dan akhir. Pitana, I Gde. 1998. “ Global Proces and Struggle for Identity: A Note on Cultural Tourism in Bali, Indonesia.” Journal of Island Studies, Vol.I (1): 117-126. d. Untuk Artikel dalam Format elektronik: Nama pokok dan inisial, tahun, judul, waktu, alamat situs. Morse, S.S. 1995. “ Factors in the Emergence of Infectious Disease,” Emer. Infect. Dis. Iserial online), Jan-mar., {cited 1996 jun.5}. Available from: URL:http:/www.cdc.gov./ccidodd/EID/eid.htm. 12. Dalam tata nama (nomenklatur) dan tata istilah, penulis harus mengikuti cara penulisan yang baku untuk masing-masing bidang ilmu. 13. Dalam hal diperlukan ucapan terima kasih, supaya ditulis di bagian akhir naskah dengan menyebutkan secara lengkap: nama, gelar dan penerima ucapan.