ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga TESIS TINDAK PIDANA TERKAIT SODOMI TERHADAP ANAK DALAM PERSPEKTIF PERLINDUNGAN ANAK OLEH RATNA WIDIYATI, S.H. NIM 031224153022 PROGRAM STUDI MAGISTER HUKUM MINAT STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA 2015 TESIS TINDAK PIDANA TERKAIT... RATNA WIDYATI ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga TINDAK PIDANA TERKAIT SODOMI TERHADAP ANAK DALAM PERSPEKTIF PERLINDUNGAN ANAK TESIS Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum Pada Program Studi Magister Hukum Minat Studi Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Airlangga OLEH : RATNA WIDIYATI, S.H. NIM 031224153022 PROGRAM STUDI MAGISTER HUKUM MINAT STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA 2015 TESIS TINDAK PIDANA TERKAIT... RATNA WIDYATI ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga LEMBAR PERSETUJUAN Tesis ini telah diseujui Tanggal 17 Juni 2015 Oleh : Dosen Pembimbing, Dr. Sarwirini, S.H. M.S. NIM. 196009291985022001 Mengetahui, Ketua Minat Studi Ilmu Hukum Program Studi Magister Hukum Minat Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Airlangga Prof. Dr. Agus Yudha Hernoko, S.H., M.H. NIM. 196504191990021001 TESIS TINDAK PIDANA TERKAIT... RATNA WIDYATI ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga ABSTRAKSI Hasil Penelitian menunjukkan bahwa diprrosesnya Pasal – Pasal 387 dan 292 KUHP serta Pasal – Pasal 81 dan 82 Undang – Undang No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak pada pelaku sodomi terhadap anak, jika pelakunya adalah salah satu dalam lingkup rumah tangga , maka dapat di kenakan pasal Undang – Undang No.23 tahun 2004 tentang perbuatan kekerasan dalam rumah tangga. Menggingat perbuatan pelaku termasuk tindak pidana yang berat , maka seharusnya pelaku dijerat pasal yang berat , namun demikian pelaku maupun korban perlu mendapatkan tindak medis semacam rehabilitasi sehingga korban tidak mengalami trauma dan pelaku tidak mengulangi perbuatannya lagi. Kata Kunci : Kekerasan Seksual, Sodomi, Phedofilia dan Perlindungan Anak TESIS TINDAK PIDANA TERKAIT... RATNA WIDYATI ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga ABSTRACT Research shows that diprrosesnya Article - Article 387 and 292 of the Criminal Code and Article - Article 81 and 82 of the Law - No. 23 of 2002 on the protection of children on the perpetrators of sodomy against children, if the perpetrator is the one in the domestic sphere, it can put the article - Law No.23 of 2004 on acts of domestic violence. Recalling the act of actors including heavy crime, the perpetrator should have a heavy sentence, but the perpetrators and victims should get some kind of medical follow-up rehabilitation of traumatized victims and perpetrators not to repeat his actions again. Keywords: Sexual Violence, Sodomy, Phedofilia and Child Protection TESIS TINDAK PIDANA TERKAIT... RATNA WIDYATI ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga KATA PENGANTAR Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah S.W.T. atas berkat rakhmat dan hidayahnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan tesis ini dengan baik dan tepat pada waktunya, yang berjudul “Tindak Pidana Terkait Sodomi Terhadap Anak Dalam Perspektif Perlindungan Anak.” Tujuan tesis ini adalah dalam rangka memenuhi persyaratan Program Magister Ilmu Hukum Universitas Airlangga Surabaya. Pada Kesempatan ini penulis tidak lupa mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada banyak pihak yang telah memberikan bantuan dan dorongan kepada penulis dalam proses penyusunan tesis ini. Ucapan terima kasih disampaikan kepada : 1. Rektor Universitas Airlangga Surabaya; 2. Bapak Dr. Muchammad Zaidun, S.H. M.Si, Dekan Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya; 3. Bapak Prof. Dr. Agus Yudha Hernoko, S.H., M.H., selaku Ketua Minat Studi Ilmu Hukum; 4. Ibu Astutik, S.H., M.H., selaku Ketua Tim Penguji Tesis; 5. Ibu Dr. Sarwirini, SH. MS. dan selaku Dosen Pembimbing dan Tim Penguji Tesis, yang banyak membantu mengarahkan dalam penyusunan tesis dengan penuh kesabaran dan memberikan petunjuk-petunjuk serta saran-saran sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. 6. Bapak, Sapta Aprilianto, S,H., M.H., LL.M., Bapak Riza Alifiantio, K.S.H., MTCP.,selaku anggota tim penguji tesis. 7. Para Bapak dan Ibu dosen pengajar dan para staf karyawan pada program Magister Fakultas Ilmu Hukum Universitas Airlangga Surabaya. TESIS TINDAK PIDANA TERKAIT... RATNA WIDYATI ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga 8. Suami tercinta yang senantiasi menemani penulis dan putra putri tersayang yang selalu mendukung penulis dalam menyelesaikan penyusunan tesis ini. 9. Rekan-rekan yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah memberikan dukungan dan semangat kepada penulis dalam penyusunan tesis ini. Penulis menyadari bahwa penyusunan tesis ini masih jauh dari sempurna, untuk itu segala kritikan dan saran yang berguna bagi penyusunan tesis ini sangat penulis harapkan, semoga tesis ini bermanfaat bagi pihak-pihak yang tertarik dalam bidang hukum pidana khususnya tindak kekerasan atau pelecehan seksual (sodomi) terhadap anak-anak, baik lingkungan Fakultas Hukum, Hukum pemerintahan maupun masyarakat umum lainnya. Amin. Surabaya, Februari 2015 Ratna Widiyati, SH TESIS TINDAK PIDANA TERKAIT... RATNA WIDYATI ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga DAFTAR PERUNDANG-UNDANGAN Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Jo. Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht, Staatsblad 1915 No 73) (KUHP). Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (HAM). Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. TESIS TINDAK PIDANA TERKAIT... RATNA WIDYATI ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga DAFTAR PUTUSAN PENGADILAN Putusan MARI No. 24 PK/Pid/2003 atas nama SISWANTO alias ROBOT Putusan MARI No. 1109 K/Pid.Sus/2010 atas nama MUHAMMAD YUSUF RANGKUTI Putusan MARI No. 493 K/Pid/2011 atas nama BAEKUNI alias BUNGKIH alias BABE TESIS TINDAK PIDANA TERKAIT... RATNA WIDYATI ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga DAFTAR ISI Hal HALAMAN JUDUL ................................................................................ i LEMBAR PERSETUJUAN .................................................................... ii ABSTRAKSI ............................................................................................. iii KATA PENGANTAR ............................................................................... iv DAFTAR PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN ...................... v DAFTAR PUTUSAN PENGADILAN ................................................... vi DAFTAR ISI ............................................................................................. vii BAB I BAB II PENDAHULUAN 1. Latar Belakang ................................................................. 1 2. Rumusan Masalah ............................................................. 10 3. Tujuan Penelitian ............................................................ 10 4. Manfaat Penelitian ............................................................ 11 5. Tinjauan Pustaka ............................................................... 11 6. Metode Penelitian ............................................................. 18 7. Sistematika Penulisan ....................................................... 19 PENGATURAN TINDAK PIDANA TERKAIT SODOMI TERHADAP ANAK 1. Pengertian Tindak Pidana ................................................ 21 2. Pengertian Sodomi - Pedofilia ......................................... 23 3. Sodomi Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) ............................................................... TESIS TINDAK PIDANA TERKAIT... 28 RATNA WIDYATI ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga 4. Sodomi Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak (UUPA) .................... 5. 31 Sodomi Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) .............................................................. BAB III PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM 35 PELAKU TINDAK PIDANA SODOMI TERHADAP ANAK 1. Unsur Pertanggungjawaban ............................................. 40 2. Pengertian Pertanggungjawaban ...................................... 55 3. Analisis dan Pembahasan Studi Kasus-Kasus ................ 62 3.1 Analisa Putusan Perkara No. 24 PK/Pid/2003 atas nama SISWANTO alias ROBOT ............................. 62 3.2 Analisa Putusan Perkara No. 1109 K/Pid.Sus/2010 atas nama MUHAMMAD YUSUF RANGKUTI ..... 71 3.3 Analisa Putusan Perkara No. 493 K/PID/2011 atas nama BAEKUNI als. BUNGKIH als. BABE .......... BAB IV 81 PENUTUP 1. Kesimpulan ...................................................................... 88 2. Saran 92 ........................................................................ DAFTAR BACAAN TESIS TINDAK PIDANA TERKAIT... RATNA WIDYATI ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang 1.1.Anak merupakan amanah dan anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. 1 Maraknya kekerasan seksual dan atau pelecehan seksual terhadap anak telah mendapatkan perhatian publik dalam beberapa dekade terakhir dan telah menjadi salah satu profil kejahatan yang paling tinggi. Kekerasan seksual terhadap anak-anak dan penganiayaan anak telah semakin diakui sebagai sesuatu yang sangat merusak bagi anak-anak dan dengan demikian tidak dapat diterima bagi masyarakat secara keseluruhan. Sementara penggunaan seksual terhadap anak oleh orang dewasa telah hadir sepanjang sejarah dan telah menjadi objek perhatian publik signifikan pada masa sekarang. 1.2.Permasalahan pelecehan seksual terhadap anak telah menjadi fokus perhatian resmi para professional. Pada pelecehan seksual terhadap anak menjadi terserap ke dalam bidang yang lebih besar dari kajian trauma interpersonal, pelecehan seksual anak dipelajari dan strategi intervensi telah menjadi degender dan sebagian besar tidak menyadari asal usul politik mereka dalam feminisme modern dan gerakan politik lainnya yang dinamis, rang mungkin berharap bahwa tidak seperti pada masa lalu. 1.3.Pelecehan seksual terhadap anak adalah suatu bentuk penyiksaan anak di mana orang dewasa atau remaja yang lebih tua menggunakan anak untuk rangsangan seksual. 2 Bentuk pelecehan seksual anak termasuk meminta atau menekan seorang anak untuk melakukan 1 Rika Saraswati, Hukum Perlindungan Anak Di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2009, h.1. 2 Ensklopidia Wikipedia, http:/id.m.wiki/pelecehan_seksual_terhadap_anak, diakses tanggal 05-08-2014. “Child Sexual Abuse”, Medline Plus. U.S. National Library of Medicine, 2008-04-02 TESIS TINDAK PIDANA TERKAIT... RATNA WIDYATI ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga aktivitas seksual (terlepas dari hasilnya), memberikan paparan yang tidak senonoh dari alat kelamin untuk anak, menampilkan pornografi untuk anak, melakukan hubungan seksual terhadap anak-anak, kontak fisik dengan alat kelamin anak (kecuali dalam konteks non-seksual tertentu seperti pemeriksaan medis), melihat alat kelamin anak tanpa kontak fisik (kecuali dalam konteks non-seksual seperti pemeriksaan medis), atau menggunakan anak untuk memproduksi pornografi anak.3 Lebih dari 4000 anak Indonesia diajukan ke Pengadilan setiap tahunnya atas kejahatan ringan, seperti pencurian.4 1.4.Kasus pelecehan seksual terhadap anak yang kini kembali mencuat dan menjadi kasus yang paling banyak dibahas di Televisi, pelecehan seksual yang kini terjadi korbannya dari kalangan anak-anak dibawah umur dan sebagian besar pelakunya adalah orang yang terdekat, yang seharusnya menjadi pelindung anak-anak. Para korban anak-anak yang masih dibawah umur ini belum mengerti dan mengetahui apa yang pelaku lakukan saat pelecehan seksual pada korban-korbannya. Sebagian besar pelaku pelecehan seksual adalah orang yang dikenal oleh korban mereka, keluarga dari si anak, paling sering adalah saudara laki-laki, ayah, paman, atau sepupu, kenalan lainnya seperti “teman” dari keluarga, pengasuh, atau tetangga, orang asing adalah pelanggar, dalam kasus penyalahgunaan seksual anak. 1.5.Kebanyakan pelecehan seksual anak dilakukan oleh laki-laki; studi menunjukkan bahwa perempuan melakukan pelanggaran yang dilaporkan terhadap anak laki-laki. Sebagian besar pelanggar yang pelecehan seksual terhadap anak-anak sebelum masa puber adalah pedofil, meskipun beberapa pelaku tidak memenuhi standar diagnosa klinis untuk pedofilia. 3 4 TESIS Ibid. Rika Saraswati, Op. Cit., h.13 TINDAK PIDANA TERKAIT... RATNA WIDYATI ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga 1.6.Anak sebagai generasi penerus bangsa dan sumber daya negara perlu mendapat perlindungan dari tindakan kekerasan, pelecehan seksual maupun eksploitasi yang berlebihan. Pelecehan seksual dan atau percabulan anak, baik laki-laki maupun perempuan adalah bentuk penyalahgunaan anak yang perlu mendapat perhatian dan penanganan serius. 1.7.Kekerasan seksual itu merupakan istilah yang menunjukan pada prilaku seksual derivative atau hubungan seksual yang menyimpang, merugikan pihak korban dan merusak kedamaian di tengah masyarakat. Adanya kekerasan seksual yang terjadi, maka penderitaan bagi korbannya telah menjadi akibat serius yang membutuhkan perhatian, 5 Di antara kejahatan kekerasan seksual, terdapat kejahatan seksual terhadap anak-anak, di bawah ini diuraikan beberapa pendapat diantaranya : 2. Menurut M.Irsyad Thamrin dan M.Farid mengatakan, kekerasan seksual adalah kontak seksual yang tidak dikendaki oleh salah satu pihak. Inti dari kekerasan seksual terletak “ancaman” (verbal) dan “pemaksaan” (tindakan).6 3. Menurut J.H. Fitch mengadakan studi terhadap 147 pria yang terbukti melakukan kejahatan terhadap anak-anak pada tahun 1956, diklasifikasikan menjadi lima kategori berdasarkan psikologis : kategori tersebut adalah :7 4. Immature, melakukan kejahatan itu disebabkan ketidakmampuan mengidentifikasi diri mereka dengan peran seksual seorang dewasa. 5 Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual (Advokasi atas Hak Asasi Perempuan), Cet.2, Refika Aditama, Bandung, 2011, h. 32. 6 Dwi Ismantoro Yuwono, Penerapan Hukum Dalam Kasus Kekerasan Seksual Terhadap Anak, Cet.1, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2015,h.1 7 Topo Santoso, Seksualitas dan Hukum Pidana, Ind-Hill-Co, Jakarta, 1997, h.45 TESIS TINDAK PIDANA TERKAIT... RATNA WIDYATI ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga 5. Frustrated, melakukan kejahatannya sebagai reaksi melwan frustasi seksual yang sifatnya emosional terhadap orang dewasa, sering terjadi mereka beralih kepada anak-anak mereka sendiri (inces) ketika merasa tidak seimbang dengan istrinya. 6. Sociopathic, melakukan perbuatannya dengan orang asing sama sekali, suatu tindakan yang keluar dari kecenderungan aggressive yang kadang muncul. 7. Pathological, tidak mampu mengontrol dorongan seksual sebagai hasil dari psikosis, lemah mental, kelemahan organ tubuh atau kemerosotan sebelum waktunya ( premature senile deterioration) 8. Miscellaneous, yang tidak termasuk semua kategori di atas. 8.1.Pelecehan seksual terhadap anak mencakup berbagai pelanggaran seksual, termasuk: 9. Pelecehan Seksual. Istilah ini didefinisikan sebagai suatu tindak pidana di mana seseorang yang telah dewasa menyentuh anak di bawah umur untuk tujuan kepuasan seksual, misalnya perkosaan (termasuk sodomi), dan penetrasi seksual dengan objek. Termasuk sebagian besar negara bagian Amerika Serikat dalam definisi mereka tentang kekerasan seksual, ada kontak penetratif tubuh di bawah umur, bagaimanapun sedikit, jika kontak dilakukan untuk tujuan kepuasan seksual. 10. Ekploitasi seksual. Istilah ini didefinisikan sebagai suatu tindak pidana di mana orang dewasa melakukan kekerasan terhadap anak di bawah umur untuk promosi, kepuasan seksual, atau keuntungan, misalnya melacurkan anak, dan menciptakan atau melakukan perdagangan pornografi anak. TESIS TINDAK PIDANA TERKAIT... RATNA WIDYATI ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga 11. Perawatan Anak. Menentukan perilaku sosial dari pelaku seks anak yang potensial yang berusaha untuk membuat mereka menerima rayuan yang lebih sedikit, misalnya di ruang bincang-bincang. 11.1. Berdasarkan terminologi dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, “pelecehan”, asal kata peleceh8 artinya pembujuk/suka memuji-muji, “seksual”9 yang berkenaan dengan kelamin (laki-laki perempuan) yang berkenaan dengan perkara campuran antara laki-laki dan perempuan, “anak”10 turunan yang kedua; manusia yang masih kecil, pelecehan seksual anak merupakan istilah umum yang menggambarkan tindak kriminal dan sipil di mana orang dewasa terlibat dalam aktivitas seksual dengan anak di bawah umur atau eksploitasi anak di bawah umur untuk tujuan kepuasan seksual. 11.2. Efek kekerasan seksual terhadap anak antara lain depresi, gangguan stres pascatrauma, kegelisahan, kecenderungan untuk menjadi korban lebih lanjut pada masa dewasa, dan dan cedera fisik untuk anak di antara masalah lainnya. Pelecehan seksual oleh anggota keluarga adalah bentuk inses, dan dapat menghasilkan dampak yang lebih serius dan trauma psikologis jangka panjang, terutama dalam kasus inses orangtua. Perkembangan ilmu pengetahuan sangat mempengaruhi pola pikir pakar hukum untuk membedakan pengertian perbuatan pidana/tindak pidana pelecehan seksual. 11.3. Mengenai istilah “tindak pidana” dari para sarjana hukum tidak ada keseragaman pendapat, tetapi semuanya merupakan terjemahan dari istilah Belanda “starbaar feit”11. 8 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Balai Pustaka, Jakarta, 2005,h.859 9 Ibid, h.1055 10 Ibid, h.35 11 N.E. Algra,, et al., Kamus Istilah Hukum Fockema Andreae Belanda Indonesia, Cet.1, Binacipta, Jakarta, 1983. Diterjemahkan Saleh Adiwinata, A. Teloeki, dan H. Boerhanoeddin, St. Batoeah. h.544, Yang artinya delik, peristiwa pidana : “peristiwa yang diancam hukuman, yang dapat mengakibatkan tuntutan hukuman, khusus dalam hukum pidana umum, berdasarkan ancaman UU yang ditetapkan sebelumnya.”(N.W.v.Str. art.1 lid 1; KUHP ps 1 ayat 1) peristiwa pidana dalam kejahatan (misdrijven) dan pelanggaran (overtrendingen). TESIS TINDAK PIDANA TERKAIT... RATNA WIDYATI ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga 12. Menurut Moeljatno bahwa “perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.”12 13. R. Tresna juga mengatakan bahwa “tindak pidana” adalah perbuatan atau serangkaian perbuatan manusia yang bertentangan dengan undang-undang atau peraturan perundangundangan lainnya terhadap perbuatan mana diadakan tindakan penghukuman. Dan dalam tindak pidana tersebut terdapat syarat-syarat yang telah ditentukan seperti : harus adanya suatu perbuatan manusia, perbuatan itu haruslah sesuai dengan apa yang dilukiskan di dalam ketentuan hukum, dan atas perbuatan itu harus terbukti adanya kesalahan pada orang yang berbuat dan dapat dipertanggungjawabkan, perbuatan yang dimaksudkan harus berlawanan dengan hukum serta atas perbuatan itu harus tersedia ancaman hukumannya dalam undang-undang.13 13.1. Adapun bentuk-bentuk pelecehan seksual itu, dapat dikategorikan ke dalam dua kategori yaitu: 14. Bentuk pelecehan seksual yang tergolong ringan, yang bagi pelaku tidak dikenai sanksi (seductive behavior) ataupun perbuatan tersebut dianggap sebagai perbuatan yang tidak menyenangkan. Perbuatan - perbuatan tersebut dapat berupa: 15. Tingkah laku dan komentar yang berkenaan dengan peran jenis kelamin. 16. Tekanan langsung atau halus untuk tindakan seksual seperti : berciuman, berpegangan tangan, menepuk bagian tertentu. 17. Sentuhan atau kedekatan fisik yang tidak diundang seperti: mendorong alat kelamin (penis atau dada) pada korbannya. 18. Perhatian seksual yang tidak diundang dan tidak disukai serta tidak pada tempatnya. 12 13 TESIS Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2008, h.59 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana 1, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, h. 73 TINDAK PIDANA TERKAIT... RATNA WIDYATI ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga 19. Bentuk pelecehan seksual yang tergolong berat dan bagi si pelaku dikenakan sanksi atau ancaman hukuman (sexual coercion). Perbuatan itu berupa pemaksaan untuk melakukan hubungan seksual dan kejahatan seksual atau pelanggaran hukum yang dilakukan secara terang-terangan (sexsual assault). 19.1. Penyimpangan tingkah laku atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh anak, disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain adanya dampak negatif dari perkembangan pembangunan yang cepat, arus globalisasi di bidang komunikasi dan informasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Perlakuan dan pembinaan yang tepat akan dapat menjadi salah satu dasar yang kuat untuk mengembalikan dan mengantar anak menuju masa depan yang baik untuk mengembangkan dirinya sebagai warga yang bertanggung jawab bagi kehidupan keluarga, bangsa dan negara. Untuk lebih memantapkan upaya pembinaan dan pemberian bimbingan bagi anak nakal, maka dalam rangka mewujudkan peradilan yang memperhatikan perlindungan dan kepentingan anak, maka Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, memberikan ketentuan-ketentuan mengenai penyelenggaraan pengadilan yang khusus bagi anak dalam lingkungan peradilan umum. Dalam menghadapi dan menanggulangi berbagai perbuatan dan tingkah laku anak nakal, perlu diperhatikan dan dipertimbangkan kedudukan anak dengan segala ciri dan sifatnya yang khas. Walaupun anak telah dapat menentukan sendiri langkah perbuatannya berdasarkan pikiran, perasaan, dan kehendaknya, tetapi keadaan sekitarnya dapat mempengaruhi perilakunya. Oleh karena itu dalam menghadapi masalah anak nakal, orang tua dan masyarakat sekelilingnya seharusnya lebih bertanggung jawab terhadap pembinaan, pendidikan, dan pengembangan perilaku anak. 19.2. Di samping pertimbangan tersebut di atas, demi pertumbuhan dan perkembangan mental anak, perlu ditentukan perbedaan perlakuan di dalam hukum acara dan ancaman TESIS TINDAK PIDANA TERKAIT... RATNA WIDYATI ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga pidananya, perbedaan perlakuan dan ancaman yang diatur dalam undang-undang tersebut dimaksudkan untuk lebih melindungi dan mengayomi anak agar dapat menyongsong masa depannya yang masih panjang. 20. Mengingat anak-anak adalah generasi muda yang merupakan aset penerus bangsa, dengan memperhatikan fenomena tersebut. Seringkali kasus-kasus tersebut tidak sampai ke pengadilan atau kalau sampai di pengadilanpun si pelaku di hukum sangat ringan atau bisa jadi malah bebas. 20.1. Bahwa Negara Republik Indonesia adalah Negara Hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang - Undang Dasar 1945 yang menjunjung tinggi hak azasi manusia. Dalam perspekif kenegaraan, komitmen Negara untuk melindungi warga negaranya termasuk dalam anak, dapat ditemukan dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.14 20.2. Pembangunan dan pembinaan hukum diarahkan agar dapat menciptakan kondisi yang dinamis, sehingga setiap warga negara dapat menikmati iklim ketertiban dan kepastian hukum yang berintikan keadilan, serta meningkatkan dan menyempurnakan pembinaan hukum nasional dalam rangka pembaharuan hukum. Dengan diadakannya kodifikasi dan unifikasi hukum akan memudahkan para penegak hukum dalam melakukan tugas masingmasing, memantapkan sikap dan perilaku penegak hukum sesuai dengan fungsi penegakan hukum dalam rangka meningkatkan citra dan wibawa aparat penegak hukum serta meningkatkan pelayanan hukum kepada warga negara yang memerlukan. 21. Rumusan Masalah 22. Berdasarkan uraian di atas, maka rumusan masalah dari tesis ini adalah : 14 TESIS Waluyadi, Hukum Perlindungan Anak, Mandar Maju, Bandung, 2009, h.1 TINDAK PIDANA TERKAIT... RATNA WIDYATI ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga 22.1. Bagaimana pengaturan perbuatan sodomi terhadap anak ditinjau dari Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak (UUPA) dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)? 22.2. Bagaimana pertanggungjawaban pidana pelaku sodomi tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak tersebut? 23. Tujuan Penelitian 24. Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka penulisan ini bertujuan antara lain : 24.1. Untuk menganalisa pengaturan perbuatan sodomi terhadap anak ditinjau dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak (UUPA) dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). 24.2. Untuk menganalisa pertanggungjawaban pidana pelaku sodomi tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak tersebut. 25. Manfaat Penelitian 26. Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut : 27. Manfaat akademis penelitian ini adalah memberi kontribusi teoritis dalam bidang (ilmu) hukum pidana, khususnya terkait pengaturan tindak pidana perbuatan sodomi terhadap anak dan pertanggungjawaban hukum tindak pidana pelaku sodomi kekerasan seksual terhadap anak. 27.1. Manfaat praktis penelitian ini adalah untuk menyumbang wawasan aparat penegak hukum dalam menangani kasus-kasus tindak pidana salah satu bentuk kekerasan seksual TESIS TINDAK PIDANA TERKAIT... RATNA WIDYATI ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga sodomi terhadap anak. 28. Tinjauan Pustaka 28.1. Tindak Pidana 28.2. Dalam perundang-undangan negara Indonesia istilah Tindak Pidana tersebut disebutkan sebagai peristiwa pidana, perbuatan pidana atau delik. Melihat apa yang dimaksud diatas, maka pembentuk undang-undang sekarang sudah konsisten dalam pemakaian istilah tindak pidana. 28.3. Kekerasan Seksual 28.4. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak dikenal istilah pelecehan seksual. KUHP menurutnya, hanya mengenal istilah perbuatan cabul, yakni diatur dalam Pasal 285, Pasal 289 sampai dengan Pasal 292 KUHP.15 Bahwa istilah perbuatan cabul dijelaskan sebagai perbuatan yang melanggar rasa kesusilaan, atau perbuatan lain yang keji, dan semuanya dalam lingkungan nafsu berahi kelamin. Misalnya cium-ciuman, meraba-raba anggota kemaluan, meraba-raba buah dada dan sebagainya. 16 28.5. Unsur-unsur yang terdapat dalam kekerasan seksual adalah : 29. Mengancam, 30. Memaksa dan 31. Memperkosa.17 31.1. Bentuk-bentuk kekerasan seksual terhadap anak adalah :18 15 R. Soesilo, KUHP Serta Komentar-komentarnya Ibid. 17 Dwi Ismantoro Yuwono, Op. Cit., h.2 16 TESIS TINDAK PIDANA TERKAIT... RATNA WIDYATI ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga 32. Perkosaan; 33. Sodomi; 34. Oral seks; 35. Sexual Gesture; 36. Sexual Remark; 37. Pelecehan Seksual; 38. Pelacuran anak dan Sunat Klitoris pada anak Perempuan. 38.1. Pengertian itu berarti, segala perbuatan apabila itu telah dianggap melanggar kesopanan/kesusilaan, dapat dimasukkan sebagai perbuatan cabul. Sementara itu, istilah pelecehan seksual mengacu pada sexual harassment (Pelecehan seksual) yang diartikan sebagai unwelcome attention (Perhatian yang tidak diinginkan) atau secara hukum didefinisikan sebagai "imposition of unwelcome sexual demands or creation of sexually offensive environments". (Pengenaan dari tuntutan seksual yang tidak diinginkan atau penciptaan dari lingkungan seksual yang menyakitkan hati). 38.2. Pelecehan Seksual 38.3. Unsur penting dari pelecehan seksual adalah adanya ketidakinginan atau penolakan pada apapun bentuk-bentuk perhatian yang bersifat seksual. Sehingga bisa jadi perbuatan seperti siulan, kata-kata, komentar yang menurut budaya atau sopan santun (rasa susila) setempat adalah wajar. Namun, bila itu tidak dikehendaki oleh si penerima perbuatan tersebut maka perbuatan itu bisa dikategorikan sebagai pelecehan seksual. 38.4. Jadi, pelecehan seksual dapat dijerat dengan Pasal percabulan (Pasal 289 sampai dengan Pasal 296 KUHP). Dalam hal terdapat bukti-bukti yang dirasa cukup, Jaksa Penuntut Umum yang akan mengajukan dakwaannya terhadap pelaku pelecehan seksual di hadapan pengadilan. 18 TESIS Ibid., h.7 TINDAK PIDANA TERKAIT... RATNA WIDYATI ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga 39. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) perkataan pelecehan seksual tidak ada penjelasan khusus mengenai pengertian pelecehan seksual. Akan tetapi secara tidak langsung di dalam pasal-pasal tersebut telah termaktub tentang perbuatan yang digolongkan kepada pelecehan seksual. Khususnya pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur, seperti halnya perbuatan persetubuhan (Pasal 287 KUHP). Walaupun di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak ada penjelasan khusus tentang pelecehan seksual, tetapi di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia terdapat pengertian yang cukup jelas tentang pelecehan seksual. Untuk mengetahui lebih jelas makna dari pelecehan seksual terlebih dahuluperlu melihat masing- masing kata yang ada di dalamnya yaitu: “pelecehan” dan “seksual”. 39.1. Pelecehan (harrasment) merupakan pembendaan dari kata kerja “melecehkan” yang berarti: menghina, memandang rendah, atau tindakan menurunkan martabat. Sedangkan seksual (sexual) memiliki arti: hal-hal yang berkenaan dengan seks atau jenis kelamin, hal yang berkenaan dengan perkara persetubuhan antara pria dan wanita. 39.2. Maka dapat penulis menyimpulkan bahwa pelecehan seksual (sexual harrasment) itu adalah : suatu bentuk perbuatan penghinaan atau memandang rendah seseorang karena hal-hal yang berkenaan dengan seks (jenis kelamin) atau aktivitas seksual antara laki-laki dan perempuan. Atau dengan kata lain pelecehan seksual (sexual harassment) itu merupakan suatu perilaku atau tindakan yang mengganggu, menjengkelkan dan tidak diundang yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang terhadap pihak lain yang berkaitan dengan jenis kelamin pihak yang diganggunya. Perilaku itu dapat berupa fisik dan mental serta mengganggu aspek fisik, mental, emosional dan spritual korban. 40. Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang dimaksudkan “hubungan seksual”, apakah kualifikasinya sama dengan “persetubuhan” atau kualifikasinya adalah “persetubuhan dan juga pencabulan” TESIS TINDAK PIDANA TERKAIT... RATNA WIDYATI ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga atau bahkan pengertiannya lebih luas dari bentuk kekerasan seksual yang dilakukan oleh suami kepada isteri atau sebaliknya. 40.1. Pedophilia 40.2. Yang dimaksud dengan Pedophilia (Pedofilia) adalah ketertarikan seksual orang dewasa terhadap anak-anak. Anak-anak yang menjadi sasaran dari pemuasan birahi seksual orang-orang dewasa pengidap pedofilia ini adalah anak-anak pra-purbertas atau anak-anak yang belum mengalami purbertas (belum mengalami menstruasi dan belum dapat dibuahi bagi anak perempuan dan belum dapat menghasilkan sperma bagi laki-laki. Sebab-sebab munculnya penyakit ketertarikan seksual ini bisa disebabkan sebagai berikut :19 41. Pengalaman masa kecil yang tidak mendukung perkembangan kedewasaannya. 42. Trauma pernah mendapat kekerasan seksual dari orang dewasa. 42.1. Pedofilia adalah salah satu bentuk penyakit jiwa kelainan ketertarikan seksual. Dalam melampiaskan nafsu birahinya seorang pedofil akan mencari anak-anak pra pubertas dengan tujuan agar pedofil bisa menguasai dan memaksakan penisnya diprestasikan ke dalam dubur, liang vagina atau oral seks sehingga korban akan merasakan sakit yang amat sangat. Rasa sakit yang amat sangat ini yang diharapkan oleh pelaku dialami oleh korban. Dengan erangan rasa sakit si pedofil akan terangsang dan akan semakin menggila memenetrasikan penisnya kedalam dubur. 42.2. Sodomi 42.3. Sodomi adalah istilah hukum yang digunakan dalam untuk merujuk kepada tindakan seks “tidak alami”, yang bergantung pada yuridiksinya dapat terdiri atas seks oral atau seks anal atau semua bentuk pertemuan organ non-kelamin dengan alat kelamin, baik dilakukan secara heteroseksual, homoseksual, atau antara manusia dan hewan. 19 TESIS Dwi Ismantoro Yuwono, Op. Cit., h.44 TINDAK PIDANA TERKAIT... RATNA WIDYATI ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga 42.4. Tindak pidana pelecehan seksual (sodomi) pada anak diatur dalam Pasal 292 KUHP. Apabila terjadi pemberatan misalnya luka berat, dituntut sesuai Pasal 291 ayat 1 KUHP. Bila terjadi penganiayaan sehingga korban meninggal dunia dituntut sesuai Pasal 339 KUHP. Psikiatri Forensik dalam hal ini dokter ahli jiwa berperan dalam membantu menentukan apakah pelaku tindakan pidana (sodomi) mengalami gangguan jiwa atau tidak dan seberapa jauh kemampuannya dalam mempertanggungjawabkan perbuatannya. 42.5. Perlindungan anak 42.6. Perlindungan Anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.20 42.7. Perlindungan Anak bertujuan untuk menjamin terpengaruhnya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh,berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai harkat dan martabat kemanusian serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera.21 42.8. Menurut Barda Nawawi Arief, perlindungan hukum bagi anak dapat diartikan sebagai upaya perlindungan hukum terhadap berbagai kebebasan dan hak asasi anak (fundamental rights and freedoms of children) serta berbagai kepentingan yang berhubungan dengan kesejahteraan anak. 22 42.9. Pertanggungjawaban hukum 42.10. Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana positif saat ini menganut asas 20 21 kesalahan sebagai salah satu asas disamping asas legalitas. Pasal 1 Angka 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Rika Saraswati, Op. Cit., h. 30 (Pasal 3 UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak) 22 TESIS Waluyadi, Op. Cit., h..1. TINDAK PIDANA TERKAIT... RATNA WIDYATI ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana nasional yang akan datang menerapkan asas tiada pidana tanpa kesalahan yang merupakan salah satu asas fundamental yang perlu ditegaskan secara eksplisit sebagai pasangan asas legalitas. Kedua asas tersebut tidak dipandang syarat yang kaku dan bersifat absolute, memberi kemungkinan dalam hal-hal tertentu untuk menerapkan asas strict liability, vicarious liability erfolgshaftung, kesesatan atau error, rechterlijk pardon culp in causa dan pertanggungjawaban pidana yang berhubungan dengan masalah subjek tindak pidana. 42.11. Dilihat dari sudut perbandingan KUHP Negara lain, asas kesalahan atau asas culpabilitas pada umumnya diakui sebagai prinsip umum. Perumusan asas ini biasanya terlihat dalam perumusan mengenai pertanggungjawaban pidana, khususnya yang berhubungan dengan masalah kesengajaan dan kealpaan. 43. Metode Penelitian 44. Penelitian tesis ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan konsep (conceptual approach), dan pendekatan kasus (case approach). 45. Adapun penelitian hukum pendekatan tersebut adalah: 23 45.1. Pendekatan undang-undang (statute approach) 45.2. Pendekatan dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasinya yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani. 45.3. Pendekatan konseptual (conceptual approach) 45.4. Pendekatan konseptual beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum. 23 TESIS Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2013, h. 133-166 TINDAK PIDANA TERKAIT... RATNA WIDYATI ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga 45.5. Pendekatan kasus (case approach) 45.6. Pendekatan dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi yang telah menjadi putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. 46. Sistematika Penulisan 46.1. Dalam penulisan tesis perlu adanya suatu uraian mengenai susunan dari penulisan yang dibuat agar pembahasan teratur dan terarah pada masalah yang sedang dibahas untuk itu tesis ini akan dibagi ke dalam 4 (empat) bab yaitu : 46.2. Pada Bab I (Bab Pendahuluan) ini akan diuraikan hal-hal latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, tinjauan pustaka, dan sistematika penulisan, yang merupakan landasan penulisan tesis ini. 46.3. Dalam bab II dibahas terkait rumusan masalah yang berjudul pengaturan tindak pidana terkait sodomi terhadap anak, yang akan dibahas dalam tiga sub bab yaitu Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dan Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. 46.4. Selanjutnya dalam Bab III dibahas topik rumusan masalah kedua yang berjudul pertanggungjawaban hukum pelaku tindak pidana sodomi terhadap anak tersebut. Yang dibahas dalam 2 sub judul yaitu terkait penanggungjawaban dan analisa / pembahasan kasus-kasus terkait kekerasan seksual sodomi. TESIS TINDAK PIDANA TERKAIT... RATNA WIDYATI ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga 46.5. Sebagai bab penutup (Bab IV) akan diuraikan kesimpulan terkait pembahasan dalam bab-bab terdahulu, juga akan disertakan saran yang diharapkan dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang terkait. TESIS TINDAK PIDANA TERKAIT... RATNA WIDYATI ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA TERKAIT SODOMI TERHADAP ANAK 1. Pengertian Tindak Pidana Dalam hukum pidana di Indonesia mengenal beberapa rumusan pengertian tindak pidana atau istilah tindak pidana sebagai pengganti istilah "Strafbaar feit". Sedangkan dalam perundang-undangan negara Indonesia istilah tersebut disebutkan sebagai peristiwa pidana, perbuatan pidana atau delik. Melihat apa yang dimaksud diatas, maka pembentuk undangundang sekarang sudah konsisten dalam pemakaian istilah tindak pidana. Akan tetapi para sarjana hukum pidana mempertahankan istilah yang dipilihnya sendiri. Adapun pendapat itu diketemukan antara lain : Moeljatno, Simons, Van Hamel, Pompe, JE. Jonker, VOS dan R.Tresna, yang dalam uraiannya adalah sebagai berikut: a. Moelyatno, menggunakan istilah Perbuatan Pidana adalah “perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut”.24 Unsur tindak pidana adalah : 1) Perbuatan; 2) Yang dilarang (oleh aturan hukum); dan 3) Ancaman pidana (bagi yang melanggar hukum). b. Simons. Strafbaar feit adalah kelakuan (Hendeling) yang diancam dengan pidana yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggungjawab.25 Unsur-unsur tindak pidana : 24 Adam Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana (Bagian Pertama), Cet. 1, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2008), h. 71. 25 Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2008, h. 61 TESIS TINDAK PIDANA TERKAIT... RATNA WIDYATI ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga 1) Unsur Obyektif : Perbuatan orang, akibat yang kelihatan dari perbuatan itu mungkin ada keadaan tertentu yang menyertai perbuatan itu 2) Unsur Subyektif : Orang yang mampu bertanggungjawab, adanya kesalahan (Dolus atau Culpa). Kesalahan ini dapat berhubungan dengan akibat dari perbuatan atau keadaan mana perbuatan itu dilakukan. c. Van Hamel. Strafbaar feit adalah kelakuan orang (menselijke gedraging) yang dirumuskan dalam wet, yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana (stafwaardig) dan dilakukan dengan kesalahan.26 Unsur-unsur tindak pidana: 1) Perbuatan Manusia; 2) Yang dirumuskan dalam Undang-Undang; 3) Dilakukan dengan kesalahan; dan 4) Patut dipidana. d. Pompe, menurutnya pengertian Strafbaar feit itu sebenarnya adalah tidak lain dari suatu “tindakan yang menurut sesuatu rumusan undang-undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum.”27 e. J.E. Jonkers Peristiwa pidana ialah “perbuatan yang melawan hukum (wederrechttelijk) yang berhubungan dengan kesengajaan atau kesalahan yang dilakukan oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan”.28 Unsur-unsur tindak pidana: 1) Perbuatan (yang); 2) Melawan hukun (yang berhubungan dengan); 3) Kesalahan (yang dilakukan oleh orang yang dapat); dan 4) Dipertanggungjawabkan. 26 Ibid. Adam Chazawi, Op. Cit., h. 72 28 Ibid., h. 74 27 TESIS TINDAK PIDANA TERKAIT... RATNA WIDYATI ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga f. VOS. Strafbaar feit adalah suatu kelakukan manusia yang diancam pidana oleh peraturan Undang-Undang.29 Unsur-unsur tindak pidana: 1) Kelakuan manusia; 2) Diancam dengan pidana; dan 3) Dalam peraturan perundang-undangan. g. R.Tresna menyatakan “peristiwa pidana itu adalah suatu perbuatan yang atau rangkaian perbuatan manusia, yang bertentangan dengan undang-undang atau peraturan perundang-undangan lainnya, terhadap perbuatan mana diadakan tindakan penghukuman”.30 Unsur-unsur tindak pidana: 1) Perbuatan/rangkaian perbuatan (manusia); 2) Yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; 3) Diadakan tindakan penghukuman. 2. Pengertian Sodomi – Pedofilia Menurut terminologi Sodomy dalam Black’s Law adalah 1. Oral or anal copulation between humans, esp. those of the same sex. 2. Oral or anal copulation between a human and an animal; bestiality. also termed buggery; crime against nature; abominable crime against nature, unnatural offense; unspeakable crime; (archaically) sodomity; (in latin) crimen innominatum.31 (1.Oral atau anal kopulasi antara manusia , esp . Orang-orang dari jenis kelamin yang sama; 2. Oral atau anal kopulasi antara manusia dan hewan; birahi hewan disebut juga buggery; kejahatan terhadap alam; keji kejahatan terhadap alam, Pelanggaran tidak wajar; tak terkatakan kejahatan; (archaically) sodomity; (dalam bahasa latin) crimen innominatum). 29 Ibid, h. 72. Adam Chazawi, Op. Cit., h. 73. 31 Bryan A.Garner, Black’s Law Dictionary, Eighth Edition, Thomson, West , 2004. h.1425 30 TESIS TINDAK PIDANA TERKAIT... RATNA WIDYATI ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga Liwath (homoseksual/sodomi) diriwayatkan dari Ibnu Abbas dari nabi beliau bersabda : “apabila kalian mendapati orang yang melakukan perbuatan kaum Luth (homoseksual/sodomi) maka bunuhlah pelaku dan objeknya”.32 Sodomi/anal sex/semburit berasal dari kata Sodom/Shadum, istilah ini berasal dari Bahasa Lain : peccatum Sodomiticum, atau “Dosa kaum Sodom.” salah satu kota yang warganya menjadi umat dakwah nabi Luth as, saat ini letaknya di sekitar Laut Mati, sebuah tempat yang menjadi saksi kemurkaan Tuhan dan ditandai dengan letaknya terendah di muka bumi ini dan tidak dapat didiami oleh mahluk hidup. Sodomi artinya perbuatan penduduk kota Sodom, yaitu salah satu jenis hubungan seksual penetratif, dimana puncak kepuasan seksual dilakukan dengan cara memasukkan penis ke dalam anus. Biasanya dilakukan oleh sesama laki-laki, meski bisa saja laki-laki menyodomi wanita. Sodomi adalah istilah hukum yang digunakan dalam untuk merujuk kepada tindakan seks “tidak alami”, yang bergantung pada yuridiksinya dapat terdiri atas seks oral atau seks anal atau semua bentuk pertemuan organ non-kelamin dengan alat kelamin, baik dilakukan secara heteroseksual, homoseksual, atau antara manusia dan hewan. Yang dimaksud dengan Pedofilia adalah ketertarikan seksual orang dewasa terhadap anak-anak. Anak-anak yang menjadi sasaran dari pemuasan birahi seksual orang-orang dewasa pengidap pedofilia ini adalah anak-anak pra-purbertas atau anak-anak yang belum mengalami purbertas (belum mengalami menstruasi dan belum dapat dibuahi bagi anak perempuan dan belum dapat menghasilkan sperma bagi laki-laki. 32 Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Syarah Arba’in An-Nawawi (Memuat 42 Hadist Nabi Tentang Fondasi Ajaran Islam dan Faedah-Faedahnya), Pustaka Imam Asy-Syafi’I, Jakarta, 2013, h.286-287. TESIS TINDAK PIDANA TERKAIT... RATNA WIDYATI ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga Menurut terminologi Pedophilia dalam Black’s Law . An adult who engages in Pedophilia. Menerangkan Pedophilia “ 1. An adult’s sexual disorder consisting in the desire for sexual gratification by molesting children esp. prepubescent children. (kelainan seksual orang dewasa terdiri dalam keinginan untuk kepuasan seksual terhadap menganiaya anakanak) 2. An adult’s act of children molestation. Phedophilia can but does not necessarily involve intercourse.33 (undang-undang orang dewasa terhadap penganiayaan anak-anak. Phedophilia tidak dapat serta merta melibatkan hubungan). Phedophilia termasuk penyimpangan seksual/parafilia, dimana si penyandang memiliki selera seksual terhadap anak-anak yang diketahuinya atau diduganya secara kuat masih belum masuk usia puber (belum menarche atau mimpi basah) sedangkan dirinya sendiri minimal 5 (lima) tahun lebih tua dari si anak. Bandingkan dengan phedophilia, dimana si penyandang berselera terhadap anak yang menjelang atau baru masuk usia puber. Sebab-sebab munculnya penyakit ketertarikan seksual ini bisa disebabkan sebagai berikut :34 a. Pengalaman masa kecil yang tidak mendukung perkembangan kedewasaannya. b. Trauma pernah mendapat kekerasan seksual dari orang dewasa. Pedofilia adalah salah satu bentuk penyakit jiwa kelainan ketertarikan seksual. Dalam melampiaskan nafsu birahinya seorang pedofil akan mencari anak-anak pra pubertas dengan tujuan agar pedofil bisa menguasai dan memaksakan penisnya diprestasikan ke dalam dubur, liang vagina atau oral seks sehingga korban akan merasakan sakit yang amat sangat. Rasa sakit yang amat sangat ini yang diharapkan oleh pelaku dialami oleh korban. Dengan erangan rasa sakit si pedofil akan terangsang dan akan semakin menggila memenetrasikan penisnya kedalam dubur. 33 34 TESIS Bryan A.Garner, Op. Cit., h.1167. Dwi Ismantoro Yuwono, Op. Cit., h.44 TINDAK PIDANA TERKAIT... RATNA WIDYATI ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga Adapun Erich Fromm, M. Irsyad Thamrin dan M. Farid dan Bagong Suyanto berpendapat sodomi – pedofilia adalah: a. Menurut Erich Fromm mengidentifikasikan pedofilia adalah penyakit menyimpang seksual yang masuk dalam kategori sadism. Fromm mengatakan dengan berperilaku sadis pada saat itulah pelaku merasa berkuasa terhadap korbannya dan semakin korban merasa sakit ketika disodomi atau disetubuhi maka semakin berkuasalah sipelaku. Bahwa pedofilia kemunculannya disebabkan dua hal antara lain adalah : 35 1) Pada masa pertumbuhannya atau pada masa kecilnya seorang pedofil telah terperangkap dalam berbagai kondisi yang membuatnya merasa kesepian dan tidak berdaya. Bersamaan dengan ini anak pada masa kecilnya selalu mendapatkan kekerasan dari orang dewasa dan tindakan-tindakan orang dewasa yang membuat anak ketakutan. 2) Anak pada masa kecilnya merasa mengalami kehampaan jiwa, tidak ada simulasi, tidak ada yang akan dapat membangkitkan kecakapannya dan potensinya, tahuntahun berkepanjangan yang menjemukan. Dari keadaan seperti inilah kemudian anak akan mengembangkan kepribadian yang dingin hingga dia menginjak dewasanya. b. Menurut M. Irsyad Thamrin dan M. Farid menyatakan bahwa dampak negatif dari korban pedofil ditandai munculnya 36 1) Trauma fisik pada diri si anak; 2) Trauma psikis pada diri si anak; 3) Disorentasi moral pada diri si anak. 35 36 TESIS Ibid., h.45 Ibid., h.46 TINDAK PIDANA TERKAIT... RATNA WIDYATI ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga c. Menurut Bagong Suyanto mengatakan bahwa anak yang menjadi korban kekerasan (kejahatan pedofil), ketika dia tumbuh menjadi dewasa akan menjadi pelaku kekerasan – pelaku pedofilia.37 Unsur-unsur yang terdapat dalam kekerasan seksual adalah : a. Mengancam. Ancaman adalah tindakan menakut-nakuti. Tujuannya dari indakan ini adalah agar pihak lain bertindak sesuai dengan keinginan pihak yang menakutnakuti. b. Memaksa adalah perintah dari satu pihak lain mengerjakan sesuatu yang diinginkannya. Walaupun pihak lain tidak mau mengerjakannya, namun pihak yang memberikan perintah mengharuskan pihak lain untuk mengerjakannya. Pemaksaan ini bisa dalam bentuk verbal (memaksakan pendapat dan pikiran) dan bisa juga dalam bentuk tindakan (menyentuh organ tubuh sensitif anak tanpa persetujuan anak). c. Memperkosa adalah memasukan secara paksa penis ke dalam vagina atau dubur. Bentuk-bentuk kekerasan seksual terhadap anak antara lain adalah : a. Perkosaan. b. Sodomi. c. Oral seks. d. Sexual Gesture (serangan seksual secara verbal termasuk eksibisionisme). e. Sexual Remark (serangan seksual secara verbal). f. Pelecehan Seksual. g. Pelacuran anak dan Sunat Klitoris pada anak Perempuan. 37 TESIS Ibid., h.47 TINDAK PIDANA TERKAIT... RATNA WIDYATI ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga 3. Sodomi Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) telah dijelaskan bahwa tindak pidana pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur merupakan sebuah kejahatan kesusilaan yang bagi pelakunya harus diberikan hukuman yang setimpal. Maksudnya dengan dijatuhkan hukuman kepada si pelaku sehingga dapat kiranya tindakan pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur dapat dicegah sehingga perbuatan tersebut tidak terjadi lagi. Pasal 50 ayat 1 KUHP menyatakan bahwa ada empat tujuan penjatuhan hukuman yaitu: 1. Untuk mencegah terjadinya tindak pidana dengan menegakkan norma-norma hukum demi pengayoman masyarakat. 2. Untuk memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang lebih baik dan berguna. 3. Untuk menyelesaikan komplik yang ditimbulkan oleh tindak pidana (memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai). 4. Untuk membebaskan rasa bersalah pada terpidana.38 5. Adapun dalam KUHP, pasal-pasal yang mengatur tentang hukuman bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur terdapat dalam Pasal 285, 289 dan 292 KUHP: 6. Dalam Pasal 285 ditentukan bahwa barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan isterinya berhubungan seksual (berhubungan dengan pen) dengan dia, dihukum karena memperkosa, dengan hukuman penjara selama-lamanya 12 tahun. Sedangkan Pasal 289 disebutkan barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang melakukan atau 38 M.Sholehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, PT.Grafindo Persada, Jakarta, 2004, h.116. TESIS TINDAK PIDANA TERKAIT... RATNA WIDYATI ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga membiarkan melakukan pada dirinya perbuatan cabul, dihukum karena merusakan kesopanan dengan hukuman penjara selama-lamanya Sembilan tahun. 39 2. Pasal 292 KUHP berbunyi: “Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama kelamin, yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.” 40 Dari paparan pasal-pasal tentang hukuman bagi pelaku pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa hukuman bagi si pelaku bervariasi, bergantung kepada perbuatannya yaitu apabila perbuatan tersebut menimbulkan luka berat seperti tidak berfungsinya alat reproduksi atau menimbulkan kematian maka hukuman bagi si pelaku akan lebih berat yaitu 15 tahun penjara. Tetapi apabila tidak menimbulkan luka berat maka hukuman yang dikenakan bagi si pelaku adalah hukuman ringan. Tindak pidana pelecehan seksual yang dilakukan oleh seseorang terhadap orang lain yang bukan isterinya merupakan delik aduan yang maksudnya adalah bahwa hanya korbanlah yang bisa merasakannya dan lebih berhak melakukan pengaduan kepada yang berwenang untuk menangani kasus tersebut. Adapun mengenai delik aduan dapat dibedakan atas dua jenis, yaitu: delik aduan absolut dan delik aduan relatif. a. Delik aduan absolut adalah delik (peristiwa pidana) yang hanya dapat dituntut apabila ada pengaduan. Dan dalam pengaduan tersebut yang perlu dituntut adalah peristiwanya sehingga permintaan dalam pengaduan ini harus berbunyi: “saya meminta agar tindakan atau perbuatan ini dituntut”. Delik aduan absolut ini tidak 39 , Dwi Ismantoro Yuwono, Op. Ci., h.1. R. Soenarto Soerodibroto, KUHP dan KUHAP Dilengkapi Mahkamah Agung dan Hoge Raad, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, h.175. 40 TESIS TINDAK PIDANA TERKAIT... Yurisprudensi RATNA WIDYATI ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga dapat dibelah maksudnya adalah kesemua orang/ pihak yang terlibat atau yang bersangkut paut dengan peristiwa ini harus dituntut. Karena yang dituntut di dalam delik aduan ini adalah peristiwa pidananya. b. Delik aduan relatif adalah delik (peristiwa pidana) yang dituntut apabila ada pengaduan. Dan delik aduan relatif ini dapat dibelah karena pengaduan. ini diperlukan bukan untuk menuntut peristiwanya, tetapi yang dituntut di sini adalah orang-orang yang bersalah dalam peristiwa ini. Berdasarkan penjelasan tentang delik aduan di atas, maka penulis menggolongkan bahwa tindak pidana pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur merupakan delik aduan relatif, karena yang dituntut di sini adalah orang yang telah bersalah dalam perbuatan tersebut. 4. Sodomi Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak (UUPA) Dalam suatu perkara pidana, pemrosesan perkara digantungkan pada jenis deliknya. Ada dua jenis delik sehubungan dengan pemrosesan perkara, yaitu delik aduan dan delik biasa. Delik aduan artinya delik yang hanya bisa diproses apabila ada pengaduan atau laporan dari orang yang menjadi korban tindak pidana. Menurut Utrecht dalam bukunya Hukum Pidana II, dalam delik aduan penuntutan terhadap delik tersebut digantungkan pada persetujuan dari yang dirugikan (korban). Pada delik aduan ini, korban tindak pidana dapat mencabut laporannya kepada pihak yang berwenang apabila di antara mereka telah terjadi suatu perdamaian. Berbeda dengan delik aduan, dalam delik biasa perkara tersebut dapat diproses tanpa adanya persetujuan dari yang dirugikan (korban). Jadi, walaupun korban telah TESIS TINDAK PIDANA TERKAIT... RATNA WIDYATI ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga mencabut laporannya kepada pihak yang berwenang, penyidik tetap berkewajiban untuk memproses perkara tersebut. Dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, ada dua pasal yang mengatur tentang ancaman hukuman bagi pelaku pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur yaitu Pasal 81 dan Pasal 82. Pasal 81 UU Perlindungan Anak berbunyi sebagai berikut: “(1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). (2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.” Pasal 82 UU Perlindungan Anak berbunyi sebagai berikut: “Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).”41 Dari rumusan Pasal 82 di atas, terlihat bahwa tidak ada keharusan bagi delik ini untuk dilaporkan oleh korbannya. Dengan demikian, delik pencabulan terhadap anak merupakan delik biasa, bukan delik aduan. Oleh karena pencabulan tersebut merupakan delik biasa, bukan delik aduan, maka seharusnya perkara pencabulan tersebut tetap diproses, walaupun sudah ada pencabutan laporan dari keluarga korban. Dasar hukum : 41 Undang-Undang Republik Indonesia No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Asa Mandiri, Jakarta, 2002, h. 23 TESIS TINDAK PIDANA TERKAIT... RATNA WIDYATI ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga a. Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pengertian mengenai delik aduan, terdapat dua jenis delik dalam pemrosesan perkara, yaitu delik aduan dan delik biasa. Dalam delik biasa, perkara dapat diproses tanpa adanya persetujuan dari yang dirugikan (korban). Jadi, walaupun korban telah mencabut laporan/pengaduannya kepada polisi, penyidik tetap berkewajiban untuk melanjutkan proses perkara. Sedangkan, mengenai delik aduan berarti delik yang hanya bisa diproses apabila ada pengaduan atau laporan dari orang yang menjadi korban tindak pidana. 1) Menurut E Utrecht dalam bukunya Hukum Pidana II, dalam delik aduan penuntutan terhadap delik tersebut digantungkan pada persetujuan dari yang dirugikan (korban). Pada delik aduan ini, korban tindak pidana dapat mencabut laporannya kepada pihak yang berwenang apabila di antara mereka telah terjadi suatu perdamaian. 2) R. Soesilo dalam bukunya membagi delik aduan menjadi dua jenis yaitu:42 (a) Delik aduan absolut, ialah delik (peristiwa pidana) yang selalu hanya dapat dituntut apabila ada pengaduan seperti tersebut dalam Pasal-pasal: 284, 287, 293, 310 dan berikutnya, 332, 322, dan 369. (b) Delik aduan relatif, ialah delik-delik (peristiwa pidana) yang biasanya bukan merupakan delik aduan, akan tetapi jika dilakukan oleh sanak keluarga yang ditentukan dalam Pasal 367, lalu menjadi delik aduan. Delik-delik aduan relatif ini tersebut dalam Pasal-pasal: 367, 370, 376, 394, 404, dan 411. b. Ketentuan Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UUPA) yang berkaitan dengan tindak pidana kesusilaan yaitu antara lain Pasal 81 (perkosaan anak) dan Pasal 82 (pencabulan anak), terlihat bahwa tidak ada 42 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, h. 88 TESIS TINDAK PIDANA TERKAIT... RATNA WIDYATI ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga keharusan bagi delik ini untuk dilaporkan oleh korbannya. Dengan demikian, delik perkosaan dan pencabulan terhadap anak merupakan delik biasa, bukan delik aduan. Delik biasa dapat diproses tanpa adanya persetujuan dari yang dirugikan (korban). Dasar Hukum: a. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht, Staatsblad 1915 No 73). b. Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak 5. Sodomi Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UUKDRT) Mengenai pengenaan pidana bagi setiap orang yang melanggar larangan melakukan Kekerasan dalam Rumah Tangga yang tersebut dalam BAB III Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang diatur dalam Pasal 5 yang menyatakan : “setiap orang dilarang melakukan Kekerasan Dalam Rumah Tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya. Ketentuan tersebut pada pokoknya ada 4 (empat) jenis tindak pidana yang dikualifikasikan sebagai Tindak Pidana Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah 43 a. Kekerasan Fisik Jenis Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang pertama adalah melakukan kekerasan fisik yang diartikan sebagai perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat (Vide Pasal 6 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga). Pengertian ini serupa tapi tidak sama dengan pengertian “penganiayaan” yang tercantum dalam Pasal 351 43 Guse Prayudi, Berbagai Aspek Tindak Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Merkid Press, Yogyakarta, 2008, h. 37. TESIS TINDAK PIDANA TERKAIT... RATNA WIDYATI ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.44 Perbedaannya yang nyata karena “kekerasan fisik” diberikan penafsiran otentik dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, sedangkan dalam Pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tidak dijelaskan pengertian dari “penganiayaan” tetapi hanya disebut kualifikasi deliknya yaitu “penganiayaan”. b. Kekerasan Psikis Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga, yang kedua adalah kekerasan psikis, dimana menurut Pasal 5 huruf b Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga “dilarang setiap orang melakukan kekerasan psikis yakni melakukan perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya, rasa percaya diri, hilangnya, kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang” (Vide Pasal 7 UndangUndang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga). Jenis tindak pidana, “kekerasan psikis” adalah tindak pidana, yang benar-benar baru karena, tidak ada padanannya, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, berbeda dengan tindak pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga dalam bentuk lainnya yang ada padanannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yaitu kekerasan fisik (penganiayaan), kekerasan seksual (kesusilaan) serta penelantaran rumah tangga, (penelantaran orang yang perlu diberikan nafkah dan kehidupan). b. Kekerasan Seksual 44 Pasal 351 KUHP berbunyi : (1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana paling banyak empat ribu lima ratus rupiah; (2) Jika perbuatan itu mengakibatkan luka berat, maka yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun; (3) Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, maka yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun; (4) Dengan sengaja merusak kesehatan orang disamakan dengan penganiayaan; (5) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana. TESIS TINDAK PIDANA TERKAIT... RATNA WIDYATI ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang ketiga adalah kekerasan seksual, dimana menurut Pasal 5 huruf c Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dilarang setiap orang melakukan kekerasan seksual yakni meliputi:45 1) Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut dan 2) Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu (Vide Pasal 8). Tindak pidana yang sepadan dengan kekerasan seksual dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana adalah perkosaan. Istilah yang digunakan dalam Kitab UndangUndang Hukum Pidana adalah “kejahatan terhadap kesusilaan”, tidak menggunakah istilah kejahatan seksual (sexual violence) yang diartikan sebagai perbuatan pidana berkaitan dengan seksualitas yang dapat dilakukan terhadap laki-laki ataupun perempuan. Istilah kesusilaan menyebabkan masyarakat terutama aparat hukum sering terjebak dalam menempatkan pasal-pasal kesusilaan semata-mata sebagai persoalan pelanggaran terhadap nilai-nilai budaya, norma agama, atau sopan santun yang berkaitan dengan nafsu perkelaminan (birahi), bukan kejahatan terhadap tubuh dan jiwa seseorang. Sedangkan yang dinamakan “pencabulan” adalah segala perbuatan yang melanggar kesusilaan (kesopanan) atau perbuatan yang keji, semuanya itu dalam lingkungan 45 TESIS Ibid, h. 70-71. TINDAK PIDANA TERKAIT... RATNA WIDYATI ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga nafsu berahi kelamin, misalnya : cium-ciuman, meraba-raba anggota kemaluan, merabaraba buah dada dan sebagainya. 46 Yang dimaksudkan “hubungan seksual” dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga ini, apakah kualifikasinya sama dengan “persetubuhan” atau kualifikasinya adalah “persetubuhan dan juga pencabulan” atau bahkan pengertiannya lebih luas dari bentuk kekerasan seksual yang dilakukan oleh suami kepada isteri atau sebaliknya. Maka perkara tersebut sebaiknya menjadi perkara yang ringan dengan syarat tindak pidana tersebut tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dalam halnya jika kekerasan seksual tersebut dilakukan kepada selain isteri atau suami maka disini tidak perlu ada bentuk ringannya. c. Penelantaran Rumah Tangga Tindak Pidana Kekerasan dalam Rumah Tangga yang keempat adalah adalah Penelantaran Orang dalam lingkup rumah tangga, dimana menurut Pasal 5 huruf d Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dilarang setiap orang melakukan penelantaran rumah tangga, yakni sebagaimana yang diatur dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, bahwa:47 1) Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut. 46 47 TESIS Ibid. Ibid. h. 85. TINDAK PIDANA TERKAIT... RATNA WIDYATI ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga 2) Penelantaran sebagaimana dimaksud ayat (1) juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut. Selanjutnya larangan melakukan penelantaran dalam rumah tangga dalam Pasal 5 huruf d diancam dengan pidana dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga sebagai berikut :48 Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp. 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah), setiap orang yang : 1) Menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangganya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1). 2) Menelantarkan orang lain sebagaimana dimaksud Pasal 9 ayat (2). 48 TESIS Ibid. TINDAK PIDANA TERKAIT... RATNA WIDYATI ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga BAB III PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM PELAKU TINDAK PIDANA SODOMI TERHADAP ANAK 1. Unsur Pertanggungjawaban 1.1 Pengertian Kesalahan Kesalahan dalam arti luas: memiliki pengertian yang sama dengan pertanggungjawaban dalam hukun pidana. Kesalahan dalam arti sempit: kesalahan berarti ke-alpaan. Kesalahan dalam arti bentuk kesalahan : Kesalahan disengaja (dolus/opzet): Prinsip dari kesengajaan dalam Memori van Toeliching adalah mengetahui (weten) dan menghendaki (willen) kesalahan karena ke alpaan: Kealpaan terjadi bila pelaku mengetahui tetapi secara tidak sempurna karena dalam kealpaan seseorang mengalami sifat kekurangan (kurang hati-hati, kurang teliti dan sebagainya) 49 Beberapa pendapat dari pakar hukum pidana tentang kesalahan (schuld) yang pada hakikatnya adalah pertanggungjawaban pidana. a. Menurut Metzger, Kesalahan adalah keseluruhan syarat yang memberi dasar untuk adanya pencelaan pribadi terhadap pelaku hukum pidana. b. Menurut Simons, Kesalahan adalah terdapatnya keadaan psikis tertentu pada seseorang yang melakukan tindak pidana dan adanya hubungan antara keadaan tersebut dengan perbuatan yang dilakukan, yang sedemikian rupa hingga orang itu dapat dicela karena melakukan perbuatan tadi. Berdasarkan pendapat ini dapat disimpulkan adanya dua hal di samping melakukan tindak pidana, yaitu: 1) Keadaan psikis tertentu 49 http://mybatik.wordpress.com/2009/01/29/kesalahan-dalam-hukum-pidana/diakses tanggal 25 Januari 2015. TESIS TINDAK PIDANA TERKAIT... RATNA WIDYATI ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga 2) Hubungan tertentu antara keadaan psikis dengan perbuatan yang dilakukan hingga menimbulkan celaan c. Menurut Van Hamel, Kesalahan dalam suatu delik merupakan pengertian psikologis, berhubungan antara keadaan jiwa pelaku dan terwujudnya unsur-unsur delik karena perbuatannya. Kesalahan adalah pertanggungjawaban dalam hukum. d. Menurut Pompe, Pada pelanggaran norma yang dilakukan karena kesalahan, biasanya sifat melawan hukum itu merupakan segi luarnya. Yang bersifat melawan hukum adalah perbuatannya, segi dalamnya, yang berhubungan dengan kehendak pelaku adalah kesalahan. Kesalahan dapat dilihat dari dua sudut, yaitu: (a) Dari akibatnya, kesalahan adalah hal yang dapat dicela. (b) Dari hakikatnya, kesalahan adalah hal tidak dihindarinya perbuatan melawan hukum. e. Menurut Moeljatno, Orang dapat dikatakan mempunyai kesalahan, jika dia pada waktu melakukan perbuatan pidana, dapat dilihat dari segi masyarakat dapat dicela karenanya, yaitu mengapa melakukan perbuatan yang merugikan masyarakat, padahal mampu untuk mengetahui makna (jelek) perbuatan tersebut.50 1. Unsur-Unsur Dalam Hukum Pidana Berkaitan dengan kesalahan yang bersifat psikologis dan kesalahan yang bersifat normatif, unsur-unsur tindak pidana dan pendapat para pakar mengenai kesalahan, dapat disimpulkan bahwa kesalahan memiliki beberapa unsur : a. Adanya kemampuan bertanggung jawab pada si pelaku, dalam arti jiwa si pelaku dalam keadaan sehat dan normal. 50 TESIS Teguh Prasetyo, Op. Cit., h.78-80 TINDAK PIDANA TERKAIT... RATNA WIDYATI ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga b. Adanya hubungan batin antara si pelaku dengan perbuataanya, baik yang disengaja (dolus) maupun karna kealpaan (culpa) c. Tidak adanya alasan pemaaf yang dapat menghapus kesalahan.51 2. Pertanggungjawaban Masalah pertanggujawaban dan khususnya pertanggujawaban pidana mempunyai kaitan yang erat dengan beberapa hal yang cukup luas. Dapat dipermasalahkan antara lain: a. Ada tidaknya kebebasan manusia untuk menentukan kehendak. Antara lain ditentukan oleh indeterminisme dan determinisme. Sebenarnya manusia itu mempunyai kebebasan untuk menentukan kehendaknya atau tidak. Kehendak merupakan aktivitas batin manusia yang pada gilirannya berkaitan dengan pertanggungjawaban manusia atas perbuatannya. Persoalan ini muncul sebagai akibat pertentangan pendapat antara klasik (dan neo-klasik) dengan aliran modern. Aliran klasik mengutamakan kebebasan individu dengan konsekuensi diterimanya kehendak bebas dari individu. Pendirian mengenai kebebasan individu ini diragukan oleh aliran modern yang membuktikan melalui psikologi dan psikiatri bahwa tidak setiap perbuatan manusia itu dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, misalnya saja pada orang gila. b. Aliran klasik menganut paham indeterminisme, yang mengatakan bahwa manusia itu dapat menentukan kehendaknya dengan bebas, meskipun sedikit banyak juga ada faktor lain yang mempengaruhi penentuan kehendaknya, yaitu keadaan pribadi dan lingkungannya, tetapi pada dasarnya manusia mempunyai kehendak yang bebas. Sebaliknya aliran modern menganut paham determinisme, dan mengatakan bahwa manusia sama sekali tidak dapat menentukan kehendaknya 51 TESIS Ibid, h.82. TINDAK PIDANA TERKAIT... RATNA WIDYATI ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga secara bebas kehendak manusia untuk melakukan sesuatu ditentukan oleh beberapa faktor antara lain yang terpenting adalah faktor lingkungan dan pribadi dalam menentukan kehendaknya manusia tunduk kepada faktor keturunan dan selanjutnya didalam hidupnya faktor lingkungan memegang peranan yang sangat penting oleh karena itu, secara ekstrem beberapa ahli penganut determinisme tidak mengakui adanya kesalahan dank arena itu manusia tidak boleh dihukum. Tingkat kemampuan bertanggung jawab : mampu, kurang mampu, atau tidak mampu. Tentang kemampuan bertanggung jawab ini terdapat beberapa batasan yang dikemukakan oleh para ahli, antara lain: a. Simons. Kemampuan bertanggung jawab dapat diartikan suatu keadaan psikis sedemikian rupa, sehingga penerapan suatu upaya pemidanaan, baik ditinjau secara umum maupun dari sudut orangnya dapat dibenarkan , selanjutnya dikatakannya, seorang pelaku tindak pidana mampu bertanggung jawab apabila: 1) Mampu mengetahui atau menyadari bahwa perbuatannya bertentangan dengan hukum. 2) Mampu menentukan kehendaknya sesuai dengan kesadaran tadi. b. Van Hamel. Kemampuan bertanggung jawab adalah keadaan normalitas kejiwaan dan kematangan yang membawa tiga kemampuan yaitu: 1) Mengerti akibat atau nyata dari perbuatan itu sendiri. 2) Menyadari bahwa perbuatannya tidak diperbolehkan oleh masyarakat. 3) Mampu menentukan kehendaknya untuk berbuat. c. Pompe. Batasannya membuat beberapa unsur tentang pengertian toerekeningsvatbaar heid adalah: 1) Kemampuan berpikir pada pelaku yang memungkinkan pelaku menguasai pikirannya dan menentukan kehendaknya. TESIS TINDAK PIDANA TERKAIT... RATNA WIDYATI ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga 2) Pelaku dapat mengerti makna dan akibat tingkah lakunya. 3) Pelaku dapat menentukan kehendaknya sesuai dengan pendapatnya. d. Memori van Toeliching. Dikatakan bahwa tidak mampu bertanggung jawab pada pelaku apabila: 1) Pelaku tidak diberi kebebasan untuk memilih antara berbuat atau tidak berbuat apa yangoleh undang-undang dilarangnatau diharuskan denganperkataan lain dalam hal perbuatan yang terpaksa. 2) Pelaku dalam keadaan tertentu sehingga ia tidak dapat menginsyafi bahwa perbuatannya bertentangan dengan hukum dania tidak mengerti akibat perbuataanya itu,dengan perkataan lain adanya keadaan payologis seperti gila, sesat, dan sebagainya. e. Soedarto. Definisi atau batasan tentang kemampuan bertanggung jawab itu ada manfaatnya. Tetapi setiap kali dalam kejadian konkret dalam praktik peradilan, menilai seorang terdakwa dengan ukuran tersebut diatas tidaklah mudah. Sebagai dasar dapat dikatakan bahwa orang yang normal jiwanya mampu bertanggung jawab, ia mampu menilai dengan pikiran dan perasaanya bahwa perbuatan itu dilarang, artinya tidak dikehendaki oleh undang-undang, dan ia seharusnya berbuat seperti pikiran dan perasaannya itu. 3. Batas umur untuk dianggap mampu atau tidak mampu bertanggung jawab. Pada waktu KUHP dinyatakan berlaku di Indonesia belum memiliki hukum pidana yang khusus untuk anak-anak atau orang yang belum dewasa. Hanya terdapat pada pasal 45, 46, dan 47 KUHP yang mengatur tentang pemidanaan terhadap mereka yang belum berumur 16 tahun. Pasal 45 tidak bersangkut paut dengan hal apakah seorang yang masih muda atau anak-anak dianggap pertumbuhan jiwanya sempurna atau belum, tetapi hanya mengatur tentang apa yang dapat dilakukan oleh hakim dalam TESIS TINDAK PIDANA TERKAIT... RATNA WIDYATI ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga mengambil keputusan terhadap orang yang belum berumur 16 tahun jika ia melakukan tindak pidana, dikatakan didalamnya bahwa dalam hal demikian hakim dapat memerintahkan agar : 1) Yang bersalah dikembalikan kepada orang tua atau walinya tanpa dipidana. 2) Yang bersalah diserahkan kepada pemerintah tanpa dipidana untuk kejahatan atau pelanggaran tertentu, selanjutnya diserahkan kepada orang tua atau lembaga pendidikan sampai berumur 18 tahun (pasal 46 KUHP). Menjatuhkan pidana dengan ancaman maksimumnya dikurangi dengan sepertiga dari ancaman pidana biasa, atau 15 tahun penjara untuk tindak pidana yang diancam dengan pidana mati. Juga ada dalam hal diputuskan pidana tambahan hanya dapat dijatuhkan pidana tambahan perampasan barang-barang tertentu.52 4. Bentuk-Bentuk Kesalahan Ilmu hukum pidana mengenal dua bentuk kesalahan, yaitu kesengajaan atau dolus dankealpaan atau culpa. Sebagian besar pasal-pasal dalam KUHP membuat kesalahan dalam bentuk kesengajaan dengan menggunakan berbagai rumusan, di samping beberapa tindak pidana yang dilakukan dengan kealpaan, misalnya saja pada Pasal 359 dan 360 KUHP yang sering diterapkan di dalam kasus kecelakaan lalu lintas. Beberapa bentuk kesalahan yaitu : a. Kesengajaan (dolus) Dolus dalam bahasa Belanda disebut opzet dan dalam bahasa inggris disebut intention yang dalam bahasa Indonesia dapat diartikan sengaja atau kesengajaan. Pertama-tama perlu diketahui dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHP) sendiri tidak merumuskan apa yang dimaksud dengan opzet. Walaupun demikian, pengertisn opzet ini sangat penting, oleh 52 TESIS Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2012., h. 83-87 TINDAK PIDANA TERKAIT... RATNA WIDYATI ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga karena dijadikan unsur sebagian peristiwa pidana disamping peristiwa yang mempunyai unsur culpa.53 KUHP sendiri tidak menjelaskan pengertian kesengajaan dan kealpaan itu. Oleh Memori van Toeliching dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan kesengajaan adalah willens en watens yang artinya adalah menghendaki dan menginsyafi atau mengetahui atau secara agak lengkap seseorang yang melakukan suatu perbuatan dengan sengaja harus menghendaki perbuatannya itu dan harus menginsyafi atau mengetahui akibat yang mungkin akan terjadi karena perbuatannya. Mengenai kealpaan, hanya sekedar dilaskan bahwa kealpaan atau culpa adalah kebalikan dari dolus disatu pihak dan kebalikan dari kebetulan dipihak lain. Kiranya kata kebalikan adalah kurang tepat, karena kebalikan putih bukan selalu hitam. Unsur kesengajaan dan kealpaan ini hanya berlaku untuk kejahatan dan tidak untuk pelanggaran. Mengenai pengertian menghendaki tersebut, kehendak itu dapat ditujukan kepada : (a) Perbuatannya yang dilarang (b) Akibatnya yang dilarang (c) Keadaan yang merupakan unsur tindak pisana. Kesengajaan yang hanya ditujukan kepada perbuatannya yang dilarang disebut kesengajaan formal, sedangkan yang ditujukan kepada akibatnya adalah kesengajaan material. 54 53 Kansil, C. S. T., dan Christine S. T. Kansil, Pokok-Pokok Hukum Pidana, Cet. I, Pradnya Paramita, Jakarta, 2004, h.51. TESIS TINDAK PIDANA TERKAIT... RATNA WIDYATI ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga Ada pakar-pakar hukum pidana yang mengatakan bahwa tidak mungkin seseorang itu menghendaki akibat, karena paling banter orang hanya biasa membayangkan akibat, sebab mungkin terdapat faktor-faktor X yang berada diluar kekuasaanya yang memengaruhi hubungan sebab akibat itu. Oleh karena itu, terdapat teori-teori dalam hal ini, yaitu: (a) Teori Kehendak (Von Hippel). Teori ini mengatakan bahwa inti kesengajaan adalah kehendak untuk mewujudkan unsur-unsur delik dalam rumusan undang-undang. Artinya bahwa pelaku kejahatan berkehendak melakukan perbuatan yang dipidana hukum dan menginginkan akibatnya. Teori ini adalah yang paling kuat. Dari penjelasan dan teori di atas dapat disimpulkan bahwa kesalahan disengaja adalah menghendaki dan mengetahui perbuatan yang dilakukan, yang mana perbuatan itu dipidana secara hukum, serta menghendaki akibat dari perbuatan tersebut. 55 Menurut teori ini sengaja adalah kehendak untuk melakukan suatu perbuatan atau tindakan dan kehendak untuk menimbulkan suatu akibat karena perbuatannya itu. Dengan perkataan lain dapat dikatakan sebagai sengaja apabila suatu perbuatan itu dikehendaki, dan akibat perbuatan itu benar-benar menjadi maksud dari perbuatan yang dilakukan.56 (b) Teori Membayangkan (Frank). Teori ini mengatakan bahwa sengaja berarti mengetahui dan dapat membayangkan kemungkinan akan akibat yang timbul dari perbuatannya tanpa ada kehendak atau maksud untuk akibat tersebut. 54 Teguh Prasetyo, Op., Cit., h.95-96 http://mybatik.wordpress.com/2009/01/29/kesalahan-dalam-hukum-pidana/diakses tanggal 25 Januari 2015. 56 Teguh Prasetyo, Op., Cit., h.96-97 55 TESIS TINDAK PIDANA TERKAIT... RATNA WIDYATI ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga Menurut teori ini berdasarkan alasan psikologis tidak mungkin suatu akibat itu dapat dikehendaki. Manusia hanya bias menginginkan, mengharapkan atau membayangkan (voorstellen) kemungkinan akibat yang akan terjadi. Dirumuskan bahwa sengaja adalah apabila suatu akibat dibayangkan sebagai maksud, dan oleh karena itu perbuatan tersebut dilakukan oleh yang bersangkutan sesuai dengan bayangan yang telah dibuatnya lebih dahulu.57 Terhadap teori-teori ini Van Hattum mengatakan bahwa pada hakikatnya tidak ada perbedaan antara keduanya. Perbedaanya tidak terletak di bidang yuridis melainkan dibidang psikologis. Keduanya mengakui bahwa didalam kesengajaan harus ada kehendak untuk berbuat. Soedarto mengatakan didalam praktik penggunaan keduanya sama saja, yang berbeda hanya terminologi dan istilahnya saja. 58 b. Corak kesengajaan Ditinjau dari sikap batin pelaku, terdapat tiga corak kesengajaan : (a) Kesengajaan Sebagai Maksud (dolus directus) Corak kesengajaan ini adalah yang paling sederhana, yaitu perbuatan pelaku memang dikehendaki dan ia juga menghendaki (atau membayangkan) akibatnya yang dilarang. Kalau akibat yang dikehendaki atau dibayangkan ini tidak aka nada, ia tidak akan akan melakukan berbuat. (b) Kesengajaan dengan Sadar Kepastian 57 http://mybatik.wordpress.com/2009/01/29/kesalahan-dalam-hukum-pidana/diakses tanggal 25 Januari 2015. 58 Teguh Prasetyo, Op., Cit., h.97 TESIS TINDAK PIDANA TERKAIT... RATNA WIDYATI ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga Corak kesengajaan dengan sadar kepastian bersandar kepada akibatnya. Akibat itu dapat merupakan delik tersendiri ataupun tidak. Tetapi disamping akibat tersebut ada akibat lain yang tidak dikehendaki yang pasti akan terjadi. (c) Kesengajaan dengan Sadar Kemungkinan (dolus eventualis) Corak kesengajaan dengan sadar kemungkinan ini kadang-kadang disebut sebagai kesengajaan dengan syarat. Pelaku berbuat dengan menghendaki atau membayangkan akibat tertentu sampai disini hal itu merupakan kesengajaan sebagai maksud tetapi disamping itu mungkin sekali terjadi akibat lain yang dilarang yang tidak dikehendaki atau dibayangkan. c. Macam-macam dolus atau kesengajaan59 Ilmu hukum mengenal beberapa jenis kesengajaan, yaitu: (a) Dolus premeditatus yaitu dolus yang direncanakan, sehingga di rumuskan dengan istilah dengan rencana lebih dahulu (meet voorbedachte raad) untuk ini perlu ada waktu untuk memikirkan dengan tenang, pembuktiannya disimpulkan dari keadaan yang objektif. (b) Dolus determinatus dan dolus indeterminatus, yang pertama adalah kesengajaan dengan tujuan yang pasti, misalnya menghendaki matinya orang tertentu, sedang yang kedua kesengajaan yang tanpa tujuan tertentu 59 Rumusan Kesengajaan dalam bahasa Belanda istilah untuk kesengajaan atau opzet ini tidak seragam tetapi terdapat berbagai cara merumuskan kesengajaan antara lain : (Optezettelijk) dengan sengaja; (Wetende dat) sedangkan ia mengetahui; (Waarvan hij weet) yang diketahuimya; (Van wie hij weet) yang diketahuimya; (Kennis dragende van) yang diketahuimya; (Met het oogmerk) dengan maksud; (Waarvan hij bekend is) yang diketahuimya; (Waarvan hij kent) yang diketahuimya; (Tegen beter wetenin hiu) bertentangan dengan yang diketahuimya; (Met het kennelijk doel) dengan tujuan yang diketahuinya. TESIS TINDAK PIDANA TERKAIT... RATNA WIDYATI ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga atau tujuan acak (rendom), misalnya menembakkan senjata kearah sekelompok orang, memasukkan racun ke dalam reservoir air minum. (1) Dolus alternativus, yaitu kesengajaan menghendaki sesuatu tertentu atau yang lainnya (alternatifnya) juga akibat yang lain. (2) Dolus indirectus, yaitu kesengajaan melakukan perbuatan yang menimbulkan akibat yang tidak diketahui oleh pelakunya misalnya, didalam perkelahian seseorang memukul lawannya tanpa maksud untuk membunuh. (3) Dolus directus, yaitu kesengajaan yang ditujukan bukan hanya kepada perbuatannya saja, melainkan juga pada akibatnya. (4) Dolus generalis, yaitu kesengajaan di mana pelaku menghendaki akibat tertentu, dan untuk itu ia telah melakukan beberapa tindakan, misalnya untuk melakukan pembunuhan, mula-mula lawannya dicekik, kemudian dilemparkan ke sungai, karena mengira lawannya telah mati.60 d. Culpa atau Kealpaan Arti kata culpa atau kelalaian ini ialah kesalahan pada umumnya, akan tetapi culpa pada ilmu pengetahuan hukum mempunyai arti teknis yaitu suatu macam kesalahan sebagai akibat kurang berhati-hati sehingga secara tidak sengaja sesuatu terjadi. KUHP tidak menegaskan apa arti kealpaan sedang Vos menyatakan bahwa culpa mempunyai dua unsur yaitu: (a) Kemungkinan pendugaan terhadap akibat (b) Tidak berhati-hati mengenai apa yang diperbuat atau tidak diperbuat.61 60 61 TESIS Teguh Prasetyo, Op., Cit., h.97-106 Kansil, C. S. T., dan Christine S. T. Kansil, Op., Cit., h.54-55 TINDAK PIDANA TERKAIT... RATNA WIDYATI ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga Bentuk kesalahan yang kedua adalah kealpaan atau culpa. Keterangan resmi pembentuk KUHP mengenai persoalan mengapa culpa juga diancam dengan pidana, walaupun dengan ringan, adalah bahwa berbeda dengan kesengajaan atau dolus yang sifatnya menentang larangan justru dengan melakukan perbuatan yang dilarang. Beberapa pakar memberikan pengertian atau syarat culpa sebagai berikut: (a) Menurut Simons mempersyaratkan dua hal : (1) tidak adanya kehati-hatian; (2) kurangnya perhatian terhadap kaibat yang mungkin terjadi. (b) Menurut Van Hamel ada dua syarat yaitu : (1) Tidak adanya penduga-duga yang diperlukan; (2) Tidak adanya kehati-hatian yang diperlukan.62 e. Bentuk-bentuk kealpaan : (a) Kealpaan yang disadari (bewuste), seseorang melakukan sesuatu perbuatan yang sudah dapat di bayangkan akibat buruk akan terjadi, tapi tetap melakukannya. (b) Kealpaan yang tidak disadari, bila pelaku tidak dapat membayangkan sama sekali akibat yang ditimbulkan oleh perbuatannya yang seharusnya di bayangkan. Analisis dari kesalahan dalam hukum pidana adalah yaitu pengertian kesalahan adalah keseluruhan syarat yang memberi dasar untuk adanya pencelaan pribadi yang berhubungan antara keadaan jiwa pelaku dan terwujudnya unsur delik karena perbuatan kerena kesalahan adalah pertanggungjawaban dalam hukum. Sedangkan unsur-unsur kesalahan yaitu Adanya kemampuan bertanggung jawab pada si 62 TESIS Teguh Prasetyo, Op., Cit., h.106 TINDAK PIDANA TERKAIT... RATNA WIDYATI ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga pelaku, dalam arti jiwa si pelaku dalam keadaan sehat dan normal. Adanya hubungan batin antara si pelaku dengan perbuataanya, baik yang disengaja (dolus) maupun karna kealpaan (culpa). Tidak adanya alasan pemaaf yang dapat menghapus kesalahan. Bentuk kesalahan yaitu dolus yang tidak dirumuskan dalam KUHP tetapi dijadikan unsur sebagai peristiwa pidana disamping peristiwa yang punya unsur culpa. Culpa atau kelalaian suatu macam kesalahan sebagai akibat kurang berhati-hati sehingga tidak disengaja sesuatu terjadi. Kesimpulan kesalahan menurut Penulis : a. Kesalahan adalah keseluruhan syarat yang memberi dasar untuk adanya pencelaan pribadi terhadap pelaku hukum pidana, berhubungan antara keadaan jiwa pelaku dan terwujudnya unsur-unsur delik karena perbuatannya. b. Unsur-unsur kesalahan yaitu, kesalahan adalah pertanggung jawaban dalam hukum, adanya kemampuan bertanggung jawab pada si pelaku, dalam arti jiwa si pelaku dalam keadaan sehat dan normal. adanya hubungan batin antara si pelaku dengan perbuataanya, baik yang disengaja (dolus) maupun karna kealpaan (culpa), tidak adanya alasan pemaaf yang dapat menghapus kesalahan. c. Bentuk kesalahan yaitu dolus dan culpa. 2. Pengertian Pertanggungjawaban Pertanggungjawaban pidana dalam istilah asing tersebut juga dengan teorekenbaardheid atau criminal responsibility yang menjurus kepada pemidanaan petindak TESIS TINDAK PIDANA TERKAIT... RATNA WIDYATI ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga dengan maksud untuk menentukan apakah seseorang terdakwa atau tersangka dipertanggung jawabkan atas suatu tindakan pidana yang terjadi atau tidak.63 Secara subjektif kepada pembuat yang memenuhi syarat-syarat dalam undang-undang (pidana) untuk dapat dikenai pidana karena perbuatannya itu. Sedangkan, syarat untuk adanya pertanggungjawaban pidana atau dikenakannya suatu pidana, maka harus ada unsur kesalahan berupa kesengajaan atau kealpaan. Dalam Pasal 34 KUHP memberikan definisi pertanggungjawaban pidana sebagai berikut: Pertanggungjawaban pidana ialah diteruskannya celaan yang objektif yang ada pada tindak pidana dan secara subjektif kepada seseorang yang memenuhi syarat untuk dapat dijatuhi pidana karena perbuatanya itu. Di dalam penjelasannya dikemukakan Tindak pidana tidak berdiri sendiri itu baru bermakna manakala terdapat pertanggungjawaban pidana. Ini berarti setiap orang yang melakukan tindak pidana tidak dengan sendirinya harus dipidana. Untuk dapat dipidana harus ada pertanggungjawaban pidana. Pertanggungjawaban pidana lahir dengan diteruskannya celaan (vewijbaarheid) yang objektif terhadap perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana yang berlaku, dan secara subjektif kepada pembuat tindak pidana yang memenuhi persyaratan untuk dapat dikenai pidana karena perbuatannya. Dalam bahasa Belanda, istilah pertanggungjawaban pidana menurut Pompe terdapat padanan katanya, yaitu aansprakelijk, verantwoordelijk, dan toerekenbaar.64 Orangnya yang aansprakelij atau verantwoordelijk, sedangkan toerekenbaar bukanlah orangnya, tetapi perbuatan yang dipertanggungjawaban kepada orang. Biasa pengarang lain memakai 63 http://saifudiendjsh.blogspot.com/2009/08/pertanggungjawaban-pidana.html/ diakses tanggal 25 Januari 2015. 64 Andi Hamzah. Asas Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2008, h.131 TESIS TINDAK PIDANA TERKAIT... RATNA WIDYATI ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga istilah toerekeningsvatbaar. Pompee keberatan atas pemakaian istilah yang terakhir, karena bukan orangnya tetapi perbuatan yang toerekeningsvatbaar.65 Kebijakan menetapkan suatu sistem pertanggungjawaban pidana sebagai salah satu kebijakan kriminal merupakan persoalan pemilihan dari berbagai alternatif. Dengan demikian pemilihan dan penetapan sistem pertanggungjawaban pidana tidak dapat dilepaskan dari berbagai pertimbangan yang rasional dan bijaksana sesuai dengan keadaan dan perkembangan masyarakat. Sehubungan dengan masalah tersebut di atas maka Romli Atmasasmita menyatakan sebagai berikut : “Berbicara tentang konsep liability atau “pertanggungjawaban” dilihat dari segi falsafat hukum, seorang filosof besar dalam bidang hukum pada abad ke 20, RoscouPound, dalam An Introduction to the Philosophy of Law, telah mengemukakan pendapatnya “I …. Use thesimple word“liability” for the situation whereby one exac legally and other is legally subjected to the exaction”66 Bertitik tolak pada rumusan tentang “pertanggungjawaban” atau liability tersebut diatas, Pound membahasnya dari sudut pandang filosofis dan sistem hukum secara timbal balik. Secara sistematis, Pound lebih jauh menguraikan perkembangan konsepsi liability. Teori pertama, menurut Pound, bahwa liability diartikan sebagai suatu kewajiban untuk membayar pembalasan yang akan diterima pelaku dari seseorang yang telah “dirugikan”. Sejalan dengan semakin efektifnya perlindungan undang undang terhadap kepentingan masyarakat akan suatu kedamaian dan ketertiban, dan adanya keyakinan bahwa “pembalasan” sebagai suatu alat penangkal, maka pembayaran “ganti rugi” bergeser kedudukannya, semula sebagai suatu “hak istimewa” kemudian menjadi suatu “kewajiban”. 65 W.P.J. Pompe, Op., Cit., h. 190 66 Romli Atmasasmita, Asas-asas Perbandingan Hukum Pidana, Cetakan Pertama, LBH, Jakarta, 1989, h.79 TESIS TINDAK PIDANA TERKAIT... Yayasan RATNA WIDYATI ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga Ukuran “ganti rugi” tersebut tidak lagi dari nilai suatu pembalasan yang harus “dibeli”, melainkan dari sudut kerugian atau penderitaan yang ditimbulkan oleh perbuatan pelaku yang bersangkutan.67 a. Sistem Pertanggungjawaban Pidana Dalam Hukum Pidana Positif Pembicaraan mengenai pertanggungjawaban pidana tidak dapat dilepaskan dari pembicaraan mengenai perbuatan pidana. Orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan untuk dipidana, apabila ia tidak melakukan tindak pidana. Bila digambarkan bahwa dalam menjatuhkan pidana unsur “tindak pidana” dan “pertanggungjawaban pidana” harus dipenuhi. Unsur tindak pidana dan kesalahan (kesengajaan) adalah unsur yang sentral dalam hukum pidana. Unsur perbuatan pidana terletak dalam lapangan objektif yang diikuti oleh unsur sifat melawan hukum, sedangkan unsur pertanggungjawaban pidana merupakan unsur subjektif yang terdiri dari kemampuan bertanggung jawab dan adanya kesalahan (kesengajaan dan kealpaan). 1) Sistem Pertanggungjawaban Pidana dalam KUHP KUHP tidak menyebutkan secara eksplisit sistem pertanggung jawaban pidana yang dianut. Beberapa pasal KUHP sering menyebutkan kesalahan berupa kesengajaan atau kealpaan. Namun sayang, kedua istilah tersebut tidak dijelaskan lebih lanjut oleh undang-undang tentang maknanya. Jadi baik kesengajaan maupun kealpaan tidak ada keterangan lebih lanjut dalam KUHP. Dari rumusan yang tidak jelas itu, timbul pertanyaan, apakah pasal-pasal tersebut sengaja dibuat begitu, dengan maksud ke arah pertanggungjawaban terbatas 67 TESIS Ibid, h. 80 TINDAK PIDANA TERKAIT... RATNA WIDYATI ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga (strict liability). Kalau benar, tanpa disadari sebenarnya KUHP juga menganut pengecualian terhadap asas kesalahan, terutama terhadap pasal-pasal pelanggaran. 2) Sistem Pertanggungjawaban Pidana di Luar KUHP Untuk mengetahui kebijakan legislatif dalam menetapkan sistem pertanggungjawaban pidana di luar KUHP, Seperti contoh dalam perundangundangan dibawah ini : (a) UU No. 7 Drt. Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi; (b) UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika; (c) UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika. (d) UU No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Undang-undang tersebut sengaja dipilih khusus yang menyimpang dari ketentuan KUHP dan KUHAP yang bersifat umum, terutama mengenai subjek delik dan pertanggungjawaban pidana, serta proses beracara di pengadilan. Dari masing-masing undang-undang tersebut dapat dianalisis kecenderungan legislatif dalam menetapkan sistem pertanggungjawaban pidana sesuai dengan perkembangan sosial ekonomi. Masyarakat yang berdampak pada perkembangan kejahatan. Baik negara-negara civil law maupun common law, umumnya pertanggungjawaban pidana dirumuskan secara negatif. Hal ini berarti dalam hukum pidana Indonesia, sebagaimana civil law sistem lainnya, undang-undang justru merumuskan keadaankeadaan yang dapat menyebabkan pembuat tidak dipertanggungjawabkan. 68 Perumusan pertanggungjawaban pidana secara negatif dapat terlihat dari ketentuan Pasal 44, 48, 49, 50, dan 51 KUHP. Kesemuanya merumuskan hal-hal yang dapat mengecualikan pembuat dari pengenaan pidana. 68 TESIS Andi Zaenal Abidin, Hukum Pidana I, Sinar Grafika, Jakarta, 1983, h. 260 TINDAK PIDANA TERKAIT... RATNA WIDYATI ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga Perumusan negatif tersebut berhubungan dengan fungsi represif hukum pidana. Dalam hal ini, dipertanggungjawabkannya seseorang dalam hukum pidana berarti dipidana. Dengan demikian, konsep pertanggungjawaban pidana merupakan syaratsyarat yang diperlukan untuk mengenakan pidana terhadap seorang pembuat tindak pidana.69 Pertanggungjawaban pidana dapat dihubungkan dengan fungsi preventif hukum pidana.70 Pada konsep tersebut harus terbuka kemungkinan untuk sedini mungkin pembuat menyadari sepenuhnya konsekuensi hukum perbuatannya. Dengan demikian, konsekuensi atas tindak pidana merupakan risiko yang sejak awal dipahami oleh pembuat. Pertanggungjawaban pidana adalah pertanggungjawaban orang terhadap tindak pidana yang dilakukannya. Tegasnya, yang dipertanggungjawabkan orang itu adalah tindak pidana yang dilakukannya. Maka terjadinya pertanggungjawaban pidana karena telah ada tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang. Pertanggungjawaban pidana pada hakikatnya merupakan suatu mekanisme yang dibangun oleh hukum pidana untuk bereaksi terhadap pelanggaran atas “kesepakatan menolak” suatu perbuatan tertentu. Dapat dikatakan bahwa orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan dan dijatuhi pidana jika ia tidak melakukan tindak pidana. Tetapi meskipun ia telah melakukan tindak pidana, tidak pula selalu ia akan dijatuhi pidana. Pembuat suatu tindak pidana akan hanya akan dipidana jika ia mempunyai kesalahan dalam melakukan tindak pidana tersebut. Kapankah orang dikatakan mempunyai kesalahan, adalah hal yang merupakan masalah pertanggungjawaban pidana. 69 Chaerul Huda. Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Pertanggungjawaban Pidana tanpa Kesalahan, Kencana, Jakarta, 2006 h.62 70 Ibid, h. 63 TESIS TINDAK PIDANA TERKAIT... Kepada Tiada RATNA WIDYATI ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga b. Menurut Undang-Undang Perlindungan Anak Kekerasan terhadap anak ternyata masih terus terjadi. Setiap hari ratusan ribu bahkan jutaan anak Indonesia mencari nafkah di terik matahari, di kedinginan malam, atau di tempat-tempat yang berbahaya, ada anak yang disiksa orang tuanya atau orang yang memeliharanya. Akan tetapi yang dimaksud dengan kekerasan terhadap anak, adalah sebagaimana diungkapkan beberapa ahli sebagai berikut : 1) Menurut James Vander Zanden dalam bukunya Human Development (1989) menyebutkan definisi abuse (kekerasan / penyiksaan) sebagai serangan fisik (bisa menyebabkan luka) dan dilakukan dengan sengaja oleh orang yang seharusnya jadi care taker. 2) Menurut David A Wolfe dalam bukunya Child Abuse, mengatakan bahwa maltreatment terhadap anak bisa berbentuk physical abuse, emotional abuse, sexual abuse dan neglect (pengabaian). Pengabaian dapat diartikan sebagai ketiadaan perhatian baik sosial, emosional dan fisik yang memadai, yang sudah selayaknya diterima oleh sang anak. c. Menurut Undang-Undang Kekerasan Dalam Rumah Tangga meliputi : 1) Suami, isteri, dan anak. 2) Orang–orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud pada huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga. 3) Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut.71 71 Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam rumah Tangga 2004, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, h.3. TESIS TINDAK PIDANA TERKAIT... RATNA WIDYATI ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga Menurut pendapat penulis secara umum, dapat diambil kesimpulan bahwa kekerasan terhadap anak dalam rumah tangga adalah kekerasan menyalahi hak individu lain dengan menyalahi hak individu lain dengan tanpa memperdulikan latar belakang ras, etnis, atau kelompok sosial dan ekonomi tertentu baik itu bersifat fisik, seksual, psikologis, ekonomi ataupun lainnya yang masih tercakup dalam makna kekerasan. 3. Analisis dan Pembahasan Studi Kasus-Kasus 3.1 Analisa P U T U S AN No. 24 PK/Pid/2003 Memeriksa perkara pidana dalam peninjauan kembali telah memutuskan sebagai berikut dalam perkara Terpidana : Nama : SISWANTO alias ROBOT ; Tempat lahir : Pekalongan Jawa Tengah ; Umur / tanggal lahir : 33 tahun/4 Juni 1963 Jenis kelamin : Laki-laki ; Kebangsaan : Indonesia ; Tempat tinggal : - Di Jakarta Tuna Wisma. - Desa Ketandan, Kecamatan Batang, Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah ; Agama : Islam ; Pekerjaan : Tunakarya ; Membaca surat dakwaan Jaksa/Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat sebagai berikut : Pertama : TESIS TINDAK PIDANA TERKAIT... RATNA WIDYATI ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga Primair : Bahwa ia terdakwa Siswanto alias Robot pada waktu-waktu yang tidak dapat diingat lagi di antara tahun 1995 sampai dengan bulan Mei 1996 atau setidak-tidaknya pada waktu-waktu lain dalam tahun 1995 sampai dengan tahun 1996, di bekas Bandara Kemayoran Jakarta Pusat atau setidak-tidaknya pada suatu tempat daerah hukum Pengadilan Negeri Jakarta Pusat atau Pengadilan Negeri Jakarta Pusat berwenang memeriksa dan mengadili perkara tersebut, telah melakukan beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri-sendiri, sehingga merupakan beberapa kejahatan yang diancam dengan pidana pokok yang sejenis, dengan sengaja dan direncanakan lebih dahulu menghilangkan jiwa orang lain. Perbuatan mana diatur dan diancam pidana oleh Pasal 65 ayat (1) dari KUH Pidana Jo. Pasal 340 dari KUH Pidana ; Subsidair : Bahwa ia terdakwa Siswanto alias Robot pada dan tempat sebagaimana diuraikan dalam dakwaan primair di atas, telah melakukan beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri-sendiri, sehingga merupakan beberapa kejahatan yang diancam dengan pidana pokok yang sejenis, dengan sengaja menghilangkan jiwa orang lain. Perbuatan mana diatur dan diancam pidana oleh Pasal 65 ayat (1) dari KUH Pidana Jo. Pasal 338 dari KUH Pidana ; Kedua : Bahwa ia terdakwa Siswanto alias Robot pada waktu-waktu yang tak dapat diingat lagi di antara tahun 1995 sampai dengan bulan Mei 1996 atau setidaktidaknya pada waktu-waktu dalam tahun 1995 sampai dengan tahun 1996, di Pasar Senen Jakarta Pusat atau setidak-tidaknya pada suatu tempat di dalam TESIS TINDAK PIDANA TERKAIT... RATNA WIDYATI ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga daerah hukum Pengadilan Negeri Jakarta Pusat atau Pengadilan Negeri Jakarta Pusat berwenang memeriksa dan mengadili perkara tersebut, telah melakukan beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendirisendiri sehingga merupakan beberapa kejahatan yang diancam dengan pidana pokok yang sejenis, orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang belum dewasa dari jenis kelamin yang sama, sedang diketahuinya atau patut harus disangkanya belum dewasa. Perbuatan mana diatur dan diancam pidana oleh Pasal 65 ayat (1) dari KUH Pidana Jo. Pasal 292 dari KUH Pidana ; Membaca tuntutan Jaksa/Penuntut Umum tanggal 6 Mei 1997 yang isinya adalah sebagai berikut : 1. Menyatakan Terdakwa Siswanto alias Robot bersalah melakukan tindak pidana : - Pembunuhan berencana, Sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 65 ayat (1) dari KUHPidana Jo. Pasal 340 dari KUHPidana, dalam surat Dakwaan Pertama Primair ; 2. dan orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain yang sejenis, yang diketahui atau patut diduga belum cukup umur ; sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 65 ayat (1) dari KUHPidana Jo. Pasal 292 dari KUHPidana, dalam surat Dakwaan Kedua ; - Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa Siswanto alias Robot dengan pidana mati ; 3. Menyatakan barang bukti berupa : TESIS TINDAK PIDANA TERKAIT... RATNA WIDYATI ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga - Sehelai baju kaos dikembalikan kepada ahli waris yang berhak ; - Sebilah pisau lipat dan pisau silet dirampas untuk dimusnahkan ; 4. Menetapkan biaya perkara ditanggung negara ; Membaca putusan Mahkamah Agung RI No. 1467 K/Pid/1997 tanggal 23 Januari 1998 yang amar lengkapnya sebagai berikut : Menyatakan tidak dapat diterima permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi/Terdakwa : SISWANTO ALIAS ROBOT tersebut ; Membebani Pemohon Kasasi/Terdakwa tersebut untuk membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi ini sebesar Rp 2.500,- (dua ribu lima ratus rupiah) ; Membaca surat-surat yang bersangkutan ; Menimbang, bahwa putusan Mahkamah Agung tersebut telah diberitahukan kepada Pemohon Peninjauan Kembali pada tanggal 18 Maret 1998 dengan demikian putusan tersebut telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap ; Menimbang, bahwa alasan-alasan yang diajukan oleh Pemohon Peninjauan Kembali pada pokoknya adalah sebagai berikut : 1. Bahwa putusan judex facti, amatlah berat dan tidaklah lazim untuk dijatuhkan terhadap Pemohon Peninjauan Kembali/ Terdakwa. Karena selaku Penasihat Hukum Terpidana merasa berkewajiban untuk mengambil inisiatif mengajukan permohonan peninjauan kembali dengan harapan agar terhadap Pemohon Peninjauan Kembali/Terdakwa sebelum dijatuhi vonis terlebih dahulu diperiksa kondisi mental/kejiwaannya, hal mana permohonan tersebut telah diajukan sejak tingkat penyidikan hingga tingkat peradilan. 2. Namun hingga memori peninjauan kembali ini diajukan Pemohon Peninjauan TESIS TINDAK PIDANA TERKAIT... RATNA WIDYATI ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga Kembali/ Terdakwa tidak pernah sama sekali diperiksa ke Psychiate oleh judex facti sebagaimana dimaksud Pasal 180 ayat (1) KUHAP jo. UU Kesehatan Jiwa No. 3/1996 jo. Peraturan Menteri Kesehatan RI Tahun 1970 ; 3. Bahwa alasan tersebut mengingat tindak pidana yang dilakukan Pemohon Peninjauan Kembali/Terdakwa adalah suatu perbuatan yang sangat mustahil dilakukan oleh orang yang mempunyai akal yang sehat/normal, sehingga sangatlah salah apabila judex facti “secara sepihak”, sebagai pihak yang tidak berkompeten menyatakan bahwa Pemohon Peninjauan Kembali/Terdakwa tidak mempunyai kelainan jiwa/ mental, tanpa melalui proses pemeriksaan dari ahlinya Psychiater; 4. Bahwa alasan untuk mengkualifisir Pemohon Peninjaun Kembali/ Terdakwa adalah orang yang tidak sehat/akal jiwanya bukanlah suatu yang terlalu mengada-ada, karena apabila kita melihat dan memperhatikan serta mengenal Pemohon Peninjauan Kembali lebih jauh mengenai penampilan, pola pikir serta gaya dan isi bicaranya sangatlah aneh dan tidak wajar untuk seorang yang mempunyai akal sehat/normal. Contoh ketika Pemohon Peninjaun Kembali/Terdakwa diberitahu tentang putusan banding dan seketika itu pula menyatakan kasasi atas perkara a quo, tanpa mengerti dan mempergunakan hak dan kewajibannya dengan baik, termasuk dalam hal ini memberitahu dan melakukan konsultasi terlebih dahulu dengan penasehat hukumnya, hingga pada akhirnya Pemohon Peninjauan Kembali/Terdakwa maupun sebagai penasihat hukumnya tidak menyertakan memori kasasi sebagai syarat mutlak pemeriksaan dalam tingkat kasasi ; Oleh karenanya pemeriksaan Pemohon Peninjauan Kembali/Terdakwa melalui Psychiater sangatlah penting. Hal ini selain dapat dijadikan sebagai Novum sebagai syarat dalam mengajukan TESIS TINDAK PIDANA TERKAIT... RATNA WIDYATI ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga permohonan peninjauan kembali, juga dapat dijadikan sebagai landasan yuridis apakah dalam perkara a quo dapat diberlakukan pasal 44 KUHP ataukah tidak ; 5. Bahwa alasan lain diajukan peninjauan kembali adalah pertimbangan judex facti yang menyatakan terdakwa telah melakukan “Pembunuhan Berencana”. Hal tersebut adalah suatu pertimbangan yang tidak terbukti secara sah dan meyakinkan. Hal ini dapat dibaca dalam pertimbangan judex facti yang pada intinya menyatakan bahwa antara timbulnya maksud dengan pelaksanaan perbuatan bagi si pembuat/si pelaku masih ada tempo untuk dapat berpikir dengan tenang dalam arti masih ada kesempatan untuk membatalkan niatnya untuk berbuat, tetapi tidak dipergunakannya; 6. Bahwa yang terbukti secara sah dan meyakinkan dalam persidangan adalah bahwa tidak ada 1 (satu) orang saksipun yang menyatakan bahwa ia mengetahui, melihat dan mendengar secara langsung tentang adanya tindak pidana pembunuhan dan/atau sodomi yang dilakukan oleh Pemohon Peninjauan Kembali/Terdakwa, terbukti mengenai adanya rencana dari tindak pidana tersebut, sehingga pertimbangan dan kesimpulan judex facti yang menyatakan bahwa “antara timbulnya maksud dengan pelaksanaan perbuatan bagi si pembuat/si pelaku masih ada tempo untuk dapat berpikir dengan tenang dalam arti masih ada kesempatan untuk membatalkan niatnya untuk berbuat, tetapi tidak dipergunakannya” sangatlah salah, berlebihan, tidak berdasar dan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, sehingga pertimbangan tersebut tidaklah dapat dibenarkan menurut hukum. Berdasarkan hal tersebut pemeriksaan terhadap perkara a quo hanya berangkat TESIS TINDAK PIDANA TERKAIT... RATNA WIDYATI ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga dan diputus berdasarkan satu-satunya alat bukti yaitu, keterangan Terdakwa ; 7. Bahwa berdasarkan Pasal 189 ayat (4) UU No. 8/1981 tersebut, alat bukti lain yang ada dalam perkara a quo adalah alat bukti saksi dan surat, sebagaimana dijelaskan pada poin 6 tentang adanya tindak pidana pembunuhan dan/sodomi yang dilakukan oleh Pemohon Peninjauan Kembali/Terdakwa. Sehingga apabila judex facti meyakini bahwa Pemohon Peninjauan Kembali/Terdakwa telah melakukan tindak pidana pembunuhan quad non, dengan dasar apakah judex facti merumuskan bahwa Pemohon Peninjauan Kembali/Terdakwa melakukan tindak pidana tersebut dengan direncanakan terlebih dahulu; 8. Bahwa berdasarkan hal tersebut, dakwaan yang menyatakan bahwa Pemohon Peninjauan Kembali/Terdakwa telah melakukan tindak pidana Pembunuhan dengan direncanakan terlebih dahulu, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 340 KUHP, tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, sehingga dakwaan tersebut haruslah ditolak ; 9. Bahwa dalam bukti surat yang diajukan dalam perkara a quo adalah hasil visum et repertum terhadap mayat-mayat yang diduga sebagai hasil/akibat dari tindak pidana yang dilakukan oleh Pemohon Peninjauan Kembali/Terpidana pada intinya menyimpulkan bahwa terhadap mayat-mayat tersebut tidak dapat ditentukan karena kondisi mayat dalam keadaan membusuk lanjut dan telah dirusak oleh binatang. Karenanya putusan judex facti yang menyatakan bahwa Pemohon Peninjauan Kembali/Terdakwa telah melakukan tindak pidana sodomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 292 KUHP tidak terbukti secara sah meyakinkan ; TESIS TINDAK PIDANA TERKAIT... RATNA WIDYATI ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga 10. Bahwa berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas, terbukti bahwa putusan judex facti telah salah menerapkan hukum dalam perkara a quo, khususnya perihal tidak diperiksanya Pemohon Peninjauan Kembali/Terdakwa ke Psychiater, sebagaimana disyaratkan Pasal 180 ayat (1) KUHP jo. UU Kesehatan Jiwa No. 3/1966. jo. Peraturan Menteri Kesehatan RI Tahun 1970 ; Menimbang, bahwa atas alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat : mengenai alasan-alasan ke 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9 dan 10 : Bahwa alasan-alasan tersebut tidak dapat dibenarkan oleh karena bukan merupakan alasan-alasan sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 263 ayat 2 UU No. 8 tahun 1981 ; Menimbang, bahwa dengan demikian berdasarkan Pasal 266 ayat (2) a KUHAP permohonan peninjauan kembali harus ditolak dan putusan yang dimohonkan peninjauan kembali tersebut dinyatakan tetap berlaku ; Menimbang, bahwa oleh karena permohonan peninjauan kembali ditolak, maka biaya perkara dalam pemeriksaan peninjauan kembali dibebankan kepada Pemohon Peninjauan Kembali ; Memperhatikan Undang-Undang No. 4 tahun 2004, Undang-Undang No.8 tahun 1981 dan Undang - Undang No.14 tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 5 tahun 2004 dan peraturan perundang-undangan lain yang bersangkutan ; MENGADILI Menolak permohonan peninjauan kembali dari : SISWANTO alias ROBOT TESIS TINDAK PIDANA TERKAIT... RATNA WIDYATI ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga tersebut ; Menetapkan bahwa putusan yang dimohonkan peninjauan kembali tersebut tetap berlaku ; Membebankan Pemohon Peninjauan Kembali untuk membayar biaya perkara dalam peninjauan kembali ini sebesar Rp 2.500,- (dua ribu lima ratus rupiah) ; Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawaratan pada hari Selasa tanggal 9 Januari 2007 Analisa Penulis : - Bahwa pertimbangan judex factie (JF) sudah tepat, karena menurut penulis vonis yang dijatuhkan kepada terdakwa sudah sesuai berdasarkan Pasal 340 KUHP dengan vonis hukuman mati sebagai pelaku sodomi yang telah merusak generasi muda dan penerus bangsa. - Bahwa akibat pelecehan seksual (sodomi) yang dilakukan pelaku, berdampak kepada korban anak-anak begitupun keluarga yang harus menanggung kerugian yang tidak dapat tergantikan oleh materi yaitu kehilangan nyawa anaknya sebagai korban. 3.2 Analisa P U T U S A N No. 1109 K/Pid.Sus/2010 Memeriksa perkara pidana khusus dalam tingkat kasasi telah memutuskan sebagai berikut dalam perkara Terdakwa : TESIS Nama : MUHAMMAD YUSUF RANGKUTI; Tempat lahir : Jakarta; TINDAK PIDANA TERKAIT... RATNA WIDYATI ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga Umur / tanggal lahir : 16 tahun/30 September 1993; Jenis kelamin : Laki-laki; Kebangsaan : Indonesia; Tempat tinggal : Perum Graha Harapan Blok E 09, No.13, Rt.13/018, Kelurahan Mustikajaya, Mustikajaya, Kota Bekasi; Agama : Islam; Pekerjaan : Pelajar SMP; Kecamatan Terdakwa ditahan : PERTAMA : Bahwa Terdakwa MUHAMMAD YUSUF RANGKUTI pada hari Jum’at, tanggal 11 Desember 2009, sekitar jam 13.30 Wib atau setidak-tidaknya pada suatu waktu dalam tahun 2009, bertempat tinggal di Kios Pasar Pondok Timur Indah II, RT. 003/005, Kelurahan Mustikasari, Kecamatan Mustikajaya, Kota Bekasi atau setidak-tidaknya di suatu tempat lain yang masih termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Bekasi, dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul. Sebagaimana diatur dan diacam pidana dalam Pasal 290 ke-3 KUHP. Membaca tuntutan pidana Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Bekasi tanggal 08 Pebruari 2010 sebagai berikut : 1. Menyatakan Terdakwa MUHAMMAD YUSUF RANGKUTI telah terbukti bersalah melakukan tindak pidana dengan sengaja melakukan kekerasan atau TESIS TINDAK PIDANA TERKAIT... RATNA WIDYATI ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 82 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sesuai Dakwaan Pertama ; 2. Menjatuhkan pidana penjara terhadap Terdakwa selama 5 (lima) tahun dan dikurangi selama Terdakwa berada dalam tahanan sementara, dengan perintah supaya Terdakwa tetap ditahan, denda sebesar Rp 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah) Subsidair 3 (tiga) bulan kurungan ; 3. Menyatakan barang bukti berupa 1 (satu) unit Handphone merk Nokia 5130 dan 1 (satu) buah sarung motif kotak kotak, dirampas untuk dimusnahkan; 4. Menetapkan agar Terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp 1.000 (seribu rupiah); Membaca surat-surat yang bersangkutan ; Menimbang, bahwa putusan Pengadilan Tinggi tersebut telah diberitahukan kepada Pemohon Kasasi/Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Bekasi pada tanggal 01 April 2010 dan Pemohon Kasasi/Jaksa Penuntut Umum mengajukan permohonan kasasi pada tanggal 07 April 2010 serta memori kasasinya telah diterima Kepaniteraan Pengadilan Negeri Bekasi pada tanggal 20 April 2010, dengan demikian permohonan kasasi beserta alasanalasannya telah diajukan dalam tenggang waktu dan dengan cara menurut undang-undang, oleh karena itu permohonan kasasi tersebut formal dapat diterima ; Menimbang, bahwa alasan-alasan yang diajukan oleh Pemohon Kasasi/Jaksa Penuntut Umum pada pokoknya adalah sebagai berikut : TESIS TINDAK PIDANA TERKAIT... RATNA WIDYATI ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga Bahwa meskipun berat ringannya pemidanaan bukan merupakan alas an kasasi, namun oleh karena masalah ukuran pemidanaan merupakan kewenangan judex facti, apabila Pengadilan dalam menjatuhkan pidana kurang cukup mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan atau yang meringankan, atau pengadilan menjatuhkan pidana yang melampaui ancaman maksimal, atau menjatuhkan pidana tidak termasuk jenis-jenis pidana yang ditentukan undang¬undang maka hal tersebut dapat diajukan alasan kasasi. Untuk itu dasar kami mengajukan upaya hukum kasasi berkaitan dengan berat ringannya hukuman adalah SEMA serta beberapa putusan Mahkamah Agung RI yang sudah menjadi Yurisprudensi yaitu sebagai berikut : 1. Dalam SEMA Nomor : 03 tahun 1974, menyatakan bahwa putusan-putusan Pengadilan Negeri/Tinggi kadang-kadang tidak disertai dengan pertimbangan yang dikehendaki oleh Undang-Undang pasal 23 ayat (1) UU Nomor : 14 tahun 1970, tidak atau kurang adanya pertimbangan / alasanalasan, ataupun alasan-alasan yang kurang jelas, sukar dimengerti ataupun bertentangan satu sama lain, dapat menimbulkan sebagai suatu kelalaian dalam acara (vormverzuim), oleh karena itu dapat rnenimbulkan batalnya putusan PN / PT oleh Mahkamah Agung dalam putusan kasasi. 2. Dalam Putusan MARl Register Nomor : 828 K/Pid/1984 tanggal 3 September 1984, menyatakan bahwa putusan PN / PT harus dibatalkan sepanjang mengenai pidananya karena kurang cukup mempertimbangkan berat ringannya pidana yang di jatuhkan. 3. Putusan MARl Register Nomor : 24 K/Pid/1984 tanggal 17 Maret 1984, TESIS TINDAK PIDANA TERKAIT... RATNA WIDYATI ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga Menyatakan bahwa Putusan PT tidak memuat atau memperhatikan hal-hal tentang keadaan yang memberatkan dan meringankan terdakwa, bertentangan dengan pasal 197 ayat (1) sub f KUHAP oleh karenanya batal demi hukum. Bahwa Putusan Majelis Hakim PT Bandung telah kurang mempertimbangkan fakta-fakta yang terungkap dalarn persidangan dari keterangan saksi-saksi yang relevan dengan perkara, karena pertimbanganpertimbangan yang dijadikan dasar oleh Majelis Hakim untuk menjatuhkan pidananya hanya didasarkan pada pertimbangan asas keadilan dan keseimbangan sehingga dirasa oleh Majelis Hakim bahwa putusan yang dijatuhkan cukup dirasa adil bagi terdakwa dan setimpal dengan perbuatan yang dilakukannya, akan tetapi Majelis Hakim kurang mempertimbangkan rasa keadilan bagi saksi korban HARRYADI yang juga “ANAK" yang mungkin nantinya akibat perbuatan terdakwa dapat mengakibatkan trauma bagi saksi korban. Dan seharusnya untuk menjatuhkan pidana Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Bandung memperhatikan hal ini dan juga secara keseluruhan mempertimbangkan keterangan saksi-saksi dan keterangan terdakwa dalam menjatuhkan pidananya. Bahwa dengan demikian pertimbangan Majelis Hakim ternyata kurang memenuhi rasa kemanusiaan dan keadilan khususnya bagi saksi korban yang juga “ANAK" sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 28 UU No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan sebaliknya jika Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Bandung cukup mempertimbangkan hal-hal sebagaimana kami uraikan di atas maka akan menjatuhkan pidana sebagaimana dalam Tuntutan kami. Bahwa oleh karena itu dengan mengingat alasan-alasan sebagaimana yang telah kami kemukakan di atas, kami mohon kiranya Mahkamah Agung Republik TESIS TINDAK PIDANA TERKAIT... RATNA WIDYATI ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga Indonesia menerima permohonan Kasasi kami dan membatalkan seluruh pertimbangan dan putusan Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Bandung dalam Perkara atas nama terdakwa MUHAMMAD YUSUF RANGKUTI. Kemudian sebagai Lembaga Peradilan Tertinggi kiranya Mahkamah Agung RI berkenan mengadili sendiri dan memutus perkara atas nama terdakwa MUHAMMAD YUSUF RANGKUTI dengan alasan bahwa Majelis Hakim telah melakukan hal-hal sebagaimana dimaksud dalam pasal 253 KUHAP yaitu Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Bandung tidak menerapkan peraturan hukum atau menerapkan peraturan hukum tidak sebagaimana mestinya yakni : 1. Bahwa dalam putusannya Majelis Hakim dalam menjatuhkan pemidanaannya kurang cukup mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan atau meringankan dari terdakwa. 2. Bahwa dalam mengambil keputusannya Majelis Hakim telah mengesampingkan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan dari keterangan saksi-saksi yang relevan dengan perkara, karena pertimbanganpertimbangan yang dijadikan dasar oleh Majelis Hakim untuk menjatuhkan keseimbangan pidananya dan hanya dirasa didasarkan cukup adil pada bagi asas terdakwa keadilan dan dan kurang mempertimbangkan rasa keadilan bagi saksi korban yang juga anak-anak. Pada akhirnya berdasarkan pertimbangan-pertimbangan sebagaimana telah kami uraikan di atas, dengan mengingat pasal 244, 245, 248, 253 KUHAP, kami mohon agar Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia memutuskan : 1. Menerima permohonan kasasi ini; 2. Membatalkan TESIS Putusan Pengadilan Tinggi TINDAK PIDANA TERKAIT... Bandung Nomor: RATNA WIDYATI ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga 78/Pid.B/2010/PT.Bdg. tanggal 22 Maret 2010 atas nama terdakwa MUHAMMAD YUSUF RANGKUTI; 3. Memeriksa dan mengadili sendiri perkara tersebut; 4. Memutuskan Perkara ini sesuai dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum yaitu : 4.1 Menyatakan terdakwa MUHAMMAD YUSUF RANGKUTI telah terbukti bersalah melakukan Tindak Pidana dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 82 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sesuai Dakwaan Pertama. 4.2 Menjatuhkan pidana penjara terhadap terdakwa selama 5 (lima) tahun dan dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan sementara, dengan perintah supaya terdakwa tetap ditahan, Denda sebesar Rp 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah), Subsidiair 3 (tiga) bulan kurungan. 4.3 Menyatakan barang bukti berupa 1 (satu) unit Handphone merk Nokia 5130 dan 1 (satu) buah sarung motif kotak kotak, dirampas untuk dimusnahkan. 4.4 Menetapkan agar terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp 1.000,Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat : Judex Facti salah menerapkan hukum karena dalam memperingan sanksi pidana hanya mengulang kembali fakta-fakta meringankan yang disebutkan dalam Putusan Pengadilan Negeri, yaitu Terdakwa masih di bawah umur, dan masih akan melanjutkan pendidikannya di Pesantren, TESIS TINDAK PIDANA TERKAIT... RATNA WIDYATI ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga sehingga masih dapat di terapkan untuk memperbaiki perilakunya. Alasan kasasi Jaksa Penuntut Umum bahwa Judex Facti kurang memperdulikan rasa keadilan bagi korban yang juga masih anak-anak dan Judex Facti kurang mempertimbangkan fakta-fakta persidangan dapat diterima. Perbuatan Terdakwa tergolong kejam karena melakukan tindakan sodomi terhadap anak-anak. Menimbang, bahwa berdasarkan alasan-alasan yang diuraikan diatas Mahkamah Agung berpendapat, bahwa putusan Pengadilan Tinggi Bandung No.78/PID/2010/PT.Bdg tanggal 22 Maret 2010 tidak dapat dipertahankan lagi, oleh karena itu harus dibatalkan dan Mahkamah Agung akan mengadili sendiri perkara tersebut ; Menimbang, bahwa oleh karena permohonan kasasi Jaksa/Penuntut Umum dikabulkan dan Terdakwa dinyatakan bersalah serta dijatuhi pidana, maka biaya perkara pada semua tingkat peradilan dibebankan kepada Terdakwa ; Memperhatikan Undang-undang No. 4 Tahun 2004, Undang-undang No. 8 Tahun 1981 dan Undang-undang No.14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 dan peraturan perundangundangan lain yang bersangkutan ; MENGADILI Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi/Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Bekasi tersebut; TESIS TINDAK PIDANA TERKAIT... RATNA WIDYATI ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga Membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Bandung Nomor : 78/PID/2010/PT.BDG, tanggal 22 Maret 2010, yang memperbaiki putusan Pengadilan Negeri Bekasi Nomor : 15/Pid.B/2010/ PN.BKS, tanggal 08 Februari 2010; MENGADILI SENDIRI - Menyatakan Terdakwa MUHAMMAD YUSUF RANGKUTI, tersebut di atas terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan atau membujuk anak melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul”. - Menghukum Terdakwa tersebut dengan pidana penjara selama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan denda sebesar Rp 60.000.000,- (enam puluh jutarupiah) dan apabila denda tersebut tidak dibayar maka diganti dengan latihan kerja selama 2 (dua) bulan; - Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani oleh Terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang telah dijatuhkan; - Menetapkan barang-barang bukti berupa : - 1 (satu) unit Handphone merk Nokia 5130 dan 1 (satu) buah sarung motif kotak-kotak, dirampas untuk dimusnahkan; - Membebankan Termohon Kasasi/Terdakwa tersebut untuk membayar biaya perkara dalam semua tingkat peradilan dan dalam tingkat kasasi ini ditetapkan sebesar Rp 2.500,- (dua ribu lima ratus rupiah); Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawaratan Mahkamah Agung pada hari Kamis, tanggal 27 Mei 2010. TESIS TINDAK PIDANA TERKAIT... RATNA WIDYATI ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga Analisa Penulis : - Bahwa amar putusan mahkamah agung tidak tepat yang telah menyatakan Terdakwa MUHAMMAD YUSUF RANGKUTI, tersebut di atas terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan atau membujuk anak melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul”, perbuatan terdakwa telah merugikan secara mental korbannya melalui tipu muslihatnya dengan melakukan perbuatan cabul. - Bahwa Menghukum Terdakwa tersebut dengan pidana penjara selama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan denda sebesar Rp 60.000.000,- (enam puluh jutarupiah) dan apabila denda tersebut tidak dibayar maka diganti dengan latihan kerja selama 2 (dua) bulan, adalah tidak tepat harusnya Terdakwa di vonis hukuman seumur hidup atau maksimalatas tindak pidana kejahatan yang dilakukannya telah merusak mental terhadap korban anak-anak yang harusnya dilindungi bukan dirusak mentalnya. 3.3 Analisa P U T U S A N No. 493 K/PID/2011 Memeriksa perkara pidana dalam tingkat kasasi telah memutuskan sebagai berikut dalam perkara Terdakwa : TESIS Nama : BAEKUNI als. BUNGKIH als. BABE ; Tempat lahir : Magelang ; Umur/tanggal lahir : 49 tahun/06 September 1960 ; Jenis kelamin : Laki-laki ; TINDAK PIDANA TERKAIT... RATNA WIDYATI ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga Kebangsaan : Indonesia ; Tempat tinggal : Kontrakan Kong Ahmad Gg. Masjid RT 006/02, Kel.Pulogadung, Kec. Pulogadung, Jakarta Timur ; Agama : Islam ; Pekerjaan : Dagang ; Terdakwa berada di dalam tahanan : PRIMAIR : - Bahwa ia Terdakwa BAEKUNI als. BUNGKIH als. BABE pada hari Kamis tanggal 07 Januari 2010 sekitar jam 14.30 WIB dan pada tahun 1993 sampai dengan bulan April 2008 atau setidak-tidaknya pada waktu-waktu lain antara tahun 1993 sampai dengan tahun 2010 bertempat di Gang Masjid RT 006/02 Kelurahan Pulogadung, Kecamatan Pulogadung, Jakarta Timur atau setidaktidaknya di tempat-tempat lain berdasarkan Pasal 84 ayat (2) KUHAP Pengadilan Negeri Jakarta Timur berwenang mengadili perkaranya, telah melakukan perbarengan beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri, sehingga merupakan kejahatan yang diancam pidana pokok yang sejenis, dengan sengaja dan direncanakan terlebih dahulu merampas nyawa orang lain. Perbuatan Terdakwa diatur dan diancam pidana menurut Pasal 340 KUHP jo. Pasal 65 ayat (1) KUHP ; SUBSIDAIR : - Bahwa ia Terdakwa BAEKUNI als. BUNGKIH als. BABE pada hari Kamis tanggal 07 Januari 2010 sekitar jam 14.30 WIB dan pada tahun 1993 sampai TESIS TINDAK PIDANA TERKAIT... RATNA WIDYATI ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga dengan bulan April 2008 atau setidak-tidaknya pada waktu-waktu lain antara tahun 1993 sampai dengan tahun 2010 bertempat di Gang Masjid RT 006/02 Kelurahan Pulogadung, Kecamatan Pulogadung, Jakarta Timur atau setidaktidaknya di tempat-tempat lain berdasarkan Pasal 84 ayat (2) KUHAP Pengadilan Negeri Jakarta Timur berwenang mengadili perkaranya, telah melakukan perbarengan beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri, sehingga merupakan kejahatan yang diancam pidana pokok yang sejenis. Perbuatan Terdakwa diatur dan diancam pidana menurut Pasal 338 KUHP jo. Pasal 65 ayat (1) KUHP ; Mahkamah Agung tersebut ; Membaca tuntutan pidana Jaksa/Penuntut Umum Membaca surat-surat yang bersangkutan ; Menimbang, bahwa putusan Pengadilan Tinggi tersebut telah diberitahukan kepada Terdakwa pada tanggal 23 Desember 2010 dan Terdakwa mengajukan permohonan kasasi pada tanggal 04 Januari 2011 serta memori kasasinya telah diterima di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Timur pada tanggal 18 Januari 2011, dengan demikian permohonan kasasi beserta dengan alasanalasannya telah diajukan dalam tenggang waktu dan dengan cara menurut undangundang, oleh karena itu permohonan kasasi tersebut formal dapat diterima ; Menimbang, bahwa alasan-alasan yang diajukan oleh Pemohon Kasasi/Terdakwa pada pokoknya sebagai berikut : Bahwa Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Yang Memeriksa, Mengadili Dan Memutus Perkara A Quo Telah Salah Menerapkan Hukum Atau Melanggar TESIS TINDAK PIDANA TERKAIT... RATNA WIDYATI ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga Ketentuan Hukum Yang Berlaku Dalam Menilai Fakta-Fakta Hukum Yang Terungkap Selama Persidangan, Yang Meliputi Keterangan Para Saksi Maupun Alat Bukti Lainnya Serta Keterangan Terdakwa Sebagai Berikut : Bahwa dalam menilai kebenaran keterangan saksi, maka Hakim harus dengan sungguhsungguh memperhatikan : persesuaian antara keterangan saksi satu dengan lainnya sebagaimana tersebut dalam Pasal 185 (1) KUHAP, begitu juga keterangan seorang saksi harus disesuaikan dengan alat-alat bukti lainnya sebagaimana diatur dalam Pasal 185 ayat (6) Sub a dan b KUHAP, sehingga keputusan yang nantinya akan diambil oleh Majelis Hakim adalah Keputusan yang mencerminkan rasa hukum dan keadilan bagi Terdakwa ; Bahwa dalam perkara a quo ini, Penasihat Hukum Terdakwa tidak sependapat dengan. Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Jakarta dalam pertimbangan hukumnya pada halaman 23 alinea ke-4 dan halaman 24 alinea ke-1 karena pertimbangan hukum tersebut sangatlah subyektif serta tidak mencerminkan Kebijakan seorang Hakim Tinggi, dan yang terlihat dalam pertimbangan hukum tersebut adalah dendam yang ditujukan kepada Pemohon Kasasi/Terdakwa ; Bahwa Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Jakarta, tidak melihat serta melihat fakta-fakta hukum yang terungkap dalam sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, yang mana dari keterangan saksi Nurhamidah yang tersebut dalam salinan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Timur pada halaman 30 alinea ke-10 jelasjelas memohon kepada Pengadilan/Majelis Hakim perkara a quo untuk menjatuhkan putusan Seumur Hidup kepada Terdakwa ; Bahwa permohonan saksi tersebut di atas yang merupakan orang tua kandung TESIS TINDAK PIDANA TERKAIT... RATNA WIDYATI ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga korban Ardiansyah dipertegas oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur pada halaman 59 alinea ke-1...Terdakwa Baekuni als. Bungkih als. Babe dijatuhi hukuman dengan hukuman pidana Seumur Hidup, sesuai dengan apa yang diharapkan oleh saksi Nurhamidah dan saksi Hudaefah selaku orang tua kandung korban ; Bahwa dengan adanya fakta hukum tersebut di atas, menurut hemat Penasihat Hukum Terdakwa/Pemohon Kasasi, Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Jakarta salah menerapkan hukum dalam pertimbangan hukumnya karena tidak melihat fakta hukum tersebut serta tidak dimasukkan dalam pertimbangan hukumnya ; Menimbang, bahwa atas alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat : Bahwa alasan-alasan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena Judex Facti (Pengadilan Tinggi) memandang bahwa perbuatan yang didakwakan telah terbukti di persidangan dipandang tidak terdapat fakta yang meringankan, dan oleh karena itu Judex Facti (Pengadilan Tinggi) menjatuhkan pidana maksimum yaitu pidana mati ; Bahwa lagi pula alasan-alasan tersebut mengenai penilaian hasil pembuktian yang bersifat penghargaan tentang suatu kenyataan, hal mana tidak dapat dipertimbangkan dalam pemeriksaan pada tingkat kasasi, karena pemeriksaan dalam tingkat kasasi hanya berkenaan dengan kesalahan penerapan hukum, pelanggaran hukum yang berlaku, kelalaian dalam memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan atau bila Pengadilan tidak berwenang atau melampaui batas wewenangnya sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal TESIS TINDAK PIDANA TERKAIT... RATNA WIDYATI ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga 253 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Undang-Undang No. 8 Tahun 1981) ; Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, lagi pula ternyata, putusan Judex Facti dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undangundang, maka permohonan kasasi tersebut harus ditolak ; Menimbang, bahwa oleh karena permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi/ Terdakwa ditolak, maka Pemohon Kasasi/Terdakwa harus dibebani untuk membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi ini ; Memperhatikan Pasal 340 KUHP, Undang-Undang No. 48 Tahun 2009, UndangUndang No. 8 Tahun 1981, Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 sebagaimana yang telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 2004, dan perubahan kedua dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 serta peraturan perundang-undangan lain yang bersangkutan ; MENGADILI Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi/Terdakwa : BAEKUNI als. BUNGKIH als. BABE tersebut ; Membebankan Pemohon Kasasi/Terdakwa tersebut untuk membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi ini sebesar Rp. 2.500,- (dua ribu lima ratus rupiah) ; Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawaratan Mahkamah Agung pada hari Kamis tanggal 21 April 2011. Analisa Penulis : - TESIS Bahwa pertimbangan JF telah sesuai berdasarkan pasal 340 KUHP dengan TINDAK PIDANA TERKAIT... RATNA WIDYATI ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga vonis yang dijatuhkan terhadap Terdakwa hukuman mati, menurut penulis apabila Terdakwa dijatuhi hukuman seumur hidup akan banyak korbankorban lagi. - Bahwa Terdakwa telah melakukan rentetan kejahatan pada korban anak-anak yang dilakukan secara berencana dengan mutilasi korban-korbannya untuk menghilangkan jejaknya. - Bahwa pertimbangan putusan mahkamah agung sudah benar, karena tidak ada pertentangan dengan hukum atau perudang-undangan yang berlaku terhadap putusan JF dengan vonis hukuman mati. TESIS TINDAK PIDANA TERKAIT... RATNA WIDYATI ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga BAB IV PENUTUP 1. Kesimpulan 1.1 Pengaturan perbuatan sodomi terhadap anak ditinjau dari sebagai berikut : a. Pasal 50 ayat 1 KUHP menyatakan bahwa ada empat tujuan penjatuhan hukuman yaitu: 1) Untuk mencegah terjadinya tindak pidana dengan menegakkan norma- norma hukum demi pengayoman masyarakat. 2) Untuk memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang lebih baik dan berguna. 3) Untuk menyelesaikan komplik yang ditimbulkan oleh tindak pidana (memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai). 4) Untuk membebaskan rasa bersalah pada terpidana. Dalam KUHP, pasal-pasal yang mengatur tentang hukuman bagi pelaku pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur terdapat dalam pasal 287 dan 292 KUHP: Pasal 287 ayat (1) KUHP berbunyi: “Barang siapa bersetubuh dengan seorang perempuan di luar perkawinan, padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa umurnya belum lima belas tahun, atau umurnya tidak jelas, bahwa ia belum waktunya untuk dikawin, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun”. Tapi apabila perbuatan persetubuhan itu menimbulkan luka-luka atau kematian maka bagi sipelaku dijatuhkan hukuman penjara lima belas tahun, sebagai mana yang telah ditetapakan dalam pasal 291 KUHP. TESIS TINDAK PIDANA TERKAIT... RATNA WIDYATI ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga Pasal 292 KUHP berbunyi: “Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama kelamin, yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.” Dari paparan pasal- pasal tentang hukuman bagi pelaku pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa hukuman bagi si pelaku bervariasi, bergantung kepada perbuatannya yaitu apabila perbuatan tersebut menimbulkan luka berat seperti tidak berfungsinya alat reproduksi atau menimbulkan kematian maka hukuman bagi si pelaku akan lebih berat yaitu 15 tahun penjara. Tetapi apabila tidak menimbulkan luka berat maka hukuman yang dikenakan bagi si pelaku adalah hukuman ringan. b. Dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, ada dua pasal yang mengatur tentang ancaman hukuman bagi pelaku pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur yaitu pasal 81 dan 82. 1) Pasal 81 yang bunyinya : ”Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp.300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp.60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).” 2) Pasal 82 yang bunyinya : “Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda TESIS TINDAK PIDANA TERKAIT... RATNA WIDYATI ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga paling banyak Rp.300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp.60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).” Dari rumusan pasal 82 di atas, terlihat bahwa tidak ada keharusan bagi delik ini untuk dilaporkan oleh korbannya. Dengan demikian, delik pencabulan terhadap anak merupakan delik biasa, bukan delik aduan. Oleh karena pencabulan tersebut merupakan delik biasa, bukan delik aduan, maka seharusnya perkara pencabulan tersebut tetap diproses, walaupun sudah ada pencabutan laporan dari keluarga korban. c. Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang diatur dalam Pasal 5 yang menyatakan: “setiap orang dilarang melakukan Kekerasan Dalam Rumah Tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara : 1) Kekerasan fisik; 2) Kekerasan psikis; 3) Kekerasan seksual; dan atau 4) Penelantaran rumah tangga. 1.2 Pertanggungjawaban pidana pelaku sodomi tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak tersebut Tindak pidana tidak berdiri sendiri, dia baru bermakna manakala terdapat pertanggungjawaban pidana. Ini berarti setiap orang yang melakukan tindak pidana tidak dengan sendirinya harus dipidana. Pertanggungjawaban pidana dikarenakan berkait dengan unsur subyektif pelaku maka tentunya sangat berkait erat dengan faktor ada atau tidaknya kesalahan yang mengandung unsur melanggar hukum atas tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh pelakunya. Hasil akhirnya dapat berupa pernyataan bahwa tidak diketemukan unsur melawan hukum dalam tindakannya sehingga tidak ada kesalahan dari pelakunya, namun bisa juga TESIS TINDAK PIDANA TERKAIT... RATNA WIDYATI ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga diketemukan unsur melawan hukum dalam tindakannya namun tidak ada kesalahan dari pelakunya. Tinjauan awal yang dilakukan adalah menentukan apakah suatu perbuatan seseorang itu melanggar hukum atau tidak sehingga dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana atau tidak. Dalam hal ini harus dipastikan terlebih dahulu adanya unsur obyektif dari suatu tindak pidana. Jika tidak diketemukan unsur melawan hukum maka tidak lagi diperlukan pembuktian unsur kesalahannya. Tetapi jika terpenuhi unsur perbuatan melanggar hukumnya, selanjutnya dilihat apakah ada kesalahan atau tidak serta sejauh mana tingkat kesalahan yang dilakukan pelaku sebagai dasar untuk menyatakan dapat tidaknya seseorang memikul pertanggungjawaban pidana atas perbuatannya itu. 2. Saran 2.1 Putusan-putusan pengadilan berkaitan dengan pelecehan seksual (sodomi) atas putusan vonis hukuman mati terhadap terdakwa Babe dan Robot Gedek adalah tegas, Sedangkan terhadap putusan Terdakwa Rangkuty seharusnya dikenakan juga Pasal 292 KUHP dan seharusnya dikenakan hukuman maksimal supaya terdakwa menjadi jera. 2.2 Ketentuan dalam KUHP yang berkaitan dengan pasal-pasal perbuatan cabul atau pelecehan seksual harusnya diamandemen karena sudah tidak sesuai dengan keadaan masa kini mengingat kejahatan yang terjadi semakin diluar batas kemanusiaan, khususnya terhadap korban anak-anak dibawah umur. 2.3 Berdasarkan Pasal 82 UUPA harusnya direvisi terutama hukuman minimal selama 3 tahun harusnya menjadi 10 tahun sedangkan hukuman maksimalnya 20 tahun atau seumur hidup tentang pencabulan atau pelecehan seksual terhadap anak. Mengingat korbannya adalah generasi penerus bangsa yang seharusnya mendapat perlindungan dari kejahatan yang dilakukan phedofilia atau pelaku sodomi. TESIS TINDAK PIDANA TERKAIT... RATNA WIDYATI ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga DAFTAR BACAAN A.Garner, Bryan, Black’s Law Dictionary, Eighth Edition, West : Thomson, 2004. Algra, N.E., H.R.W. Gokkel, Saleh Adiwinata, A. Teloeki, dan H. Boerhanoeddin, St. Batoeah, Kamus Istilah Hukum Fockema Andreae Belanda Indonesia, Cet.1, Binacipta, Jakarta, 1983. Diterjemahkan Saleh Adiwinata, A. Teloeki, dan H. Boerhanoeddin, St. Batoeah. Buku Panduan, Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, 2012. Chazawi, Adami, Pelajaran Hukum Pidana 1, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta,2005. Djamil, M. Nasir, Anak Bukan Untuk Di Hukum (Catatan Pembahasan UU Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA)). Sinar Grafika, Jakarta, 2013. Gosita, Arief, Victimologi, Pradnya Paramita, Jakarta, 1987. Gultom, Maidin, Perlindungan Hukum Terhadap Anak (Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak Di Indonesia), Refika Aditama, Bandung, 2010. Hamzah, Andi, Hukum Acara Pidana Indonesia, Cet. 1 (Revisi), Penerbit : Sinar Grafika, Jakarta, 2001. Kansil, C. S. T., dan Christine S. T. Kansil, Pokok-Pokok Hukum Pidana, Cet. I, Pradnya Paramita, Jakarta, 2004. Krisnawati, Emiliana, Aspek Hukum Perlindungan Anak, Cet. 1, CV. Utomo, Bandung, 2005. TESIS TINDAK PIDANA TERKAIT... RATNA WIDYATI ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga Luhulima, Achie Sudiarti, Pemahaman Bentuk-Bentuk Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan dan Alternatif Pemecahannya, Alumni, Bandung,2000. Makarao, Mohammad Taufik, Weny Bukamo, dan Syaiful Azri, Hukum Perlindungan Anak dan Penghapusan Kekerasan dalam rumah tangga, Rineka Cipta, Jakarta, 2013. Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2013. Poerwadarminta, W.J.S. , Kamus Umum Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Balai Pustaka, Jakarta, 2005. Prakoso, Djoko, Pembaharuan Hukum Pidana Di Indonesia. Liberty, Yogyakarta, 1987. Prasetyo, Teguh, Hukum Pidana, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2012. Prayudi, Guse, Berbagai Aspek Tindak Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Lengkap dengan uraian unsur-unsur tindak pidananya), Edisi Revisi, Cet. 1, Merkid Press, Yogyakarta. 2012. Rukmini, Mien, Aspek Hukum Pidana Dan Kriminologi (Sebuah Bunga Rampai), Cet. 1, Alumni, Bandung, 2006. Saraswati, Rika, Hukum Perlindungan Anak Di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2009. Soeroso, Moerti Hadiati, Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Dalam Perspektif Yuridis Viktimologis), Cet. 2, Sinar Grafika, Jakarta, 2011. Soetodjo, Wagiati, Hukum Pidana Anak, Cet. 1, Refika Aditama, Bandung, 2006. TESIS TINDAK PIDANA TERKAIT... RATNA WIDYATI ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga Wahid, Abdul dan Muhammad Irfan, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual (Advokasi atas Hak Asasi Perempuan), Cet.2, Refika Aditama, Bandung, 2011. Waluyadi, Hukum Perlindungan Anak, Mandar Maju, Bandung, 2009. Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Syarah Arba’in An-Nawawi (Memuat 42 Hadist Nabi Tentang Fondasi Ajaran Islam dan Faedah-Faedahnya), Pustaka Imam Asy-Syafi’I, Jakarta, 2013. Yuwono, Dwi Ismantoro, Penerapan Hukum Dalam Kasus Kekerasan Seksual Terhadap Anak, Cet.1, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2015. Wikipedia, http:/id.m.wiki/pelecehan_seksual_terhadap_anak, diakses tanggal 5 Agustus 2014. “Child Sexual Abuse”, Medline Plus. U.S. National Library of Medicine, 200804-02. http://mybatik.wordpress.com/2009/01/29/kesalahan-dalam-hukum-pidana/diakses tanggal 25 Januari 2015. http://saifudiendjsh.blogspot.com/2009/08/pertanggungjawaban-pidana.html/ diakses tanggal 25 Januari 2015. Jacinta F. Rini. 2014. Penyiksaan dan Pengabaian Terhadap Anak, (Online), (www.epsikologi.com, di akses 18 November 2014). TESIS TINDAK PIDANA TERKAIT... RATNA WIDYATI