- Repository - UNAIR

advertisement
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
TESIS
TINDAK PIDANA TERKAIT SODOMI TERHADAP ANAK DALAM
PERSPEKTIF PERLINDUNGAN ANAK
OLEH
RATNA WIDIYATI, S.H.
NIM 031224153022
PROGRAM STUDI MAGISTER HUKUM
MINAT STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2015
TESIS
TINDAK PIDANA TERKAIT...
RATNA WIDYATI
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
TINDAK PIDANA TERKAIT SODOMI TERHADAP ANAK DALAM
PERSPEKTIF PERLINDUNGAN ANAK
TESIS
Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum
Pada Program Studi Magister Hukum
Minat Studi Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum
Universitas Airlangga
OLEH :
RATNA WIDIYATI, S.H.
NIM 031224153022
PROGRAM STUDI MAGISTER HUKUM
MINAT STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2015
TESIS
TINDAK PIDANA TERKAIT...
RATNA WIDYATI
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
LEMBAR PERSETUJUAN
Tesis ini telah diseujui
Tanggal 17 Juni 2015
Oleh :
Dosen Pembimbing,
Dr. Sarwirini, S.H. M.S.
NIM. 196009291985022001
Mengetahui,
Ketua Minat Studi Ilmu Hukum
Program Studi Magister Hukum
Minat Studi Ilmu Hukum
Fakultas Hukum Universitas Airlangga
Prof. Dr. Agus Yudha Hernoko, S.H., M.H.
NIM. 196504191990021001
TESIS
TINDAK PIDANA TERKAIT...
RATNA WIDYATI
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
ABSTRAKSI
Hasil Penelitian menunjukkan bahwa diprrosesnya Pasal – Pasal 387 dan 292 KUHP
serta Pasal – Pasal 81 dan 82 Undang – Undang No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan
anak pada pelaku sodomi terhadap anak, jika pelakunya adalah salah satu dalam lingkup
rumah tangga , maka dapat di kenakan pasal Undang – Undang No.23 tahun 2004 tentang
perbuatan kekerasan dalam rumah tangga.
Menggingat perbuatan pelaku termasuk tindak pidana yang berat , maka seharusnya
pelaku dijerat pasal yang berat , namun demikian pelaku maupun korban perlu mendapatkan
tindak medis semacam rehabilitasi sehingga korban tidak mengalami trauma dan pelaku tidak
mengulangi perbuatannya lagi.
Kata Kunci : Kekerasan Seksual, Sodomi, Phedofilia dan Perlindungan Anak
TESIS
TINDAK PIDANA TERKAIT...
RATNA WIDYATI
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
ABSTRACT
Research shows that diprrosesnya Article - Article 387 and 292 of the Criminal
Code and Article - Article 81 and 82 of the Law - No. 23 of 2002 on the protection of
children on the perpetrators of sodomy against children, if the perpetrator is the one in
the domestic sphere, it can put the article - Law No.23 of 2004 on acts of domestic
violence.
Recalling the act of actors including heavy crime, the perpetrator should have a
heavy sentence, but the perpetrators and victims should get some kind of medical
follow-up rehabilitation of traumatized victims and perpetrators not to repeat his
actions again.
Keywords: Sexual Violence, Sodomy, Phedofilia and Child Protection
TESIS
TINDAK PIDANA TERKAIT...
RATNA WIDYATI
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah S.W.T. atas berkat rakhmat dan
hidayahnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan tesis ini dengan baik dan
tepat pada waktunya, yang berjudul “Tindak Pidana Terkait Sodomi Terhadap Anak Dalam
Perspektif Perlindungan Anak.”
Tujuan tesis ini adalah dalam rangka memenuhi persyaratan Program Magister Ilmu
Hukum Universitas Airlangga Surabaya.
Pada Kesempatan ini penulis tidak lupa mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada banyak pihak yang telah memberikan bantuan dan dorongan kepada penulis
dalam proses penyusunan tesis ini. Ucapan terima kasih disampaikan kepada :
1. Rektor Universitas Airlangga Surabaya;
2. Bapak
Dr. Muchammad Zaidun, S.H. M.Si, Dekan Fakultas Hukum Universitas
Airlangga Surabaya;
3. Bapak Prof. Dr. Agus Yudha Hernoko, S.H., M.H., selaku Ketua Minat Studi Ilmu
Hukum;
4. Ibu Astutik, S.H., M.H., selaku Ketua Tim Penguji Tesis;
5. Ibu Dr. Sarwirini, SH. MS. dan selaku Dosen Pembimbing dan Tim Penguji Tesis, yang
banyak membantu mengarahkan dalam penyusunan tesis dengan penuh kesabaran dan
memberikan petunjuk-petunjuk serta saran-saran sehingga penulis dapat menyelesaikan
tesis ini.
6. Bapak, Sapta Aprilianto, S,H., M.H., LL.M., Bapak Riza Alifiantio, K.S.H.,
MTCP.,selaku anggota tim penguji tesis.
7. Para Bapak dan Ibu dosen pengajar dan para staf karyawan pada program Magister
Fakultas Ilmu Hukum Universitas Airlangga Surabaya.
TESIS
TINDAK PIDANA TERKAIT...
RATNA WIDYATI
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
8. Suami tercinta yang senantiasi menemani penulis dan putra putri tersayang yang selalu
mendukung penulis dalam menyelesaikan penyusunan tesis ini.
9. Rekan-rekan yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah memberikan
dukungan dan semangat kepada penulis dalam penyusunan tesis ini.
Penulis menyadari bahwa penyusunan tesis ini masih jauh dari sempurna, untuk itu segala
kritikan dan saran yang berguna bagi penyusunan tesis ini sangat penulis harapkan, semoga
tesis ini bermanfaat bagi pihak-pihak yang tertarik dalam bidang hukum pidana khususnya
tindak kekerasan atau pelecehan seksual (sodomi) terhadap anak-anak, baik lingkungan
Fakultas Hukum, Hukum pemerintahan maupun masyarakat umum lainnya. Amin.
Surabaya,
Februari 2015
Ratna Widiyati, SH
TESIS
TINDAK PIDANA TERKAIT...
RATNA WIDYATI
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
DAFTAR PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Jo. Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 Tentang
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht, Staatsblad 1915 No
73) (KUHP).
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP).
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (HAM).
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga.
TESIS
TINDAK PIDANA TERKAIT...
RATNA WIDYATI
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
DAFTAR PUTUSAN PENGADILAN
Putusan MARI No. 24 PK/Pid/2003 atas nama SISWANTO alias ROBOT
Putusan MARI No. 1109 K/Pid.Sus/2010 atas nama MUHAMMAD YUSUF RANGKUTI
Putusan MARI No. 493 K/Pid/2011 atas nama BAEKUNI alias BUNGKIH alias BABE
TESIS
TINDAK PIDANA TERKAIT...
RATNA WIDYATI
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
DAFTAR ISI
Hal
HALAMAN JUDUL ................................................................................
i
LEMBAR PERSETUJUAN ....................................................................
ii
ABSTRAKSI .............................................................................................
iii
KATA PENGANTAR ...............................................................................
iv
DAFTAR PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN ......................
v
DAFTAR PUTUSAN PENGADILAN ...................................................
vi
DAFTAR ISI .............................................................................................
vii
BAB I
BAB II
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang .................................................................
1
2.
Rumusan Masalah .............................................................
10
3.
Tujuan Penelitian ............................................................
10
4.
Manfaat Penelitian ............................................................
11
5.
Tinjauan Pustaka ...............................................................
11
6.
Metode Penelitian .............................................................
18
7.
Sistematika Penulisan .......................................................
19
PENGATURAN
TINDAK
PIDANA
TERKAIT
SODOMI TERHADAP ANAK
1.
Pengertian Tindak Pidana ................................................
21
2.
Pengertian Sodomi - Pedofilia .........................................
23
3.
Sodomi Menurut Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) ...............................................................
TESIS
TINDAK PIDANA TERKAIT...
28
RATNA WIDYATI
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
4.
Sodomi Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2002 Tentang Perlindungan Anak (UUPA) ....................
5.
31
Sodomi Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga (KDRT) ..............................................................
BAB III
PERTANGGUNGJAWABAN
HUKUM
35
PELAKU
TINDAK PIDANA SODOMI TERHADAP ANAK
1. Unsur Pertanggungjawaban .............................................
40
2. Pengertian Pertanggungjawaban ......................................
55
3. Analisis dan Pembahasan Studi Kasus-Kasus ................
62
3.1 Analisa Putusan Perkara No. 24 PK/Pid/2003 atas
nama SISWANTO alias ROBOT .............................
62
3.2 Analisa Putusan Perkara No. 1109 K/Pid.Sus/2010
atas nama MUHAMMAD YUSUF RANGKUTI .....
71
3.3 Analisa Putusan Perkara No. 493 K/PID/2011 atas
nama BAEKUNI als. BUNGKIH als. BABE ..........
BAB IV
81
PENUTUP
1. Kesimpulan ......................................................................
88
2. Saran
92
........................................................................
DAFTAR BACAAN
TESIS
TINDAK PIDANA TERKAIT...
RATNA WIDYATI
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
1.1.Anak merupakan amanah dan anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa yang dalam dirinya
melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. 1 Maraknya kekerasan seksual
dan atau pelecehan seksual terhadap anak telah mendapatkan perhatian publik dalam
beberapa dekade terakhir dan telah menjadi salah satu profil kejahatan yang paling tinggi.
Kekerasan seksual terhadap anak-anak dan penganiayaan anak telah semakin diakui
sebagai sesuatu yang sangat merusak bagi anak-anak dan dengan demikian tidak dapat
diterima bagi masyarakat secara keseluruhan. Sementara penggunaan seksual terhadap
anak oleh orang dewasa telah hadir sepanjang sejarah dan telah menjadi objek perhatian
publik signifikan pada masa sekarang.
1.2.Permasalahan pelecehan seksual terhadap anak telah menjadi fokus perhatian resmi para
professional. Pada pelecehan seksual terhadap anak menjadi terserap ke dalam bidang
yang lebih besar dari kajian trauma interpersonal, pelecehan seksual anak dipelajari dan
strategi intervensi telah menjadi degender dan sebagian besar tidak menyadari asal usul
politik mereka dalam feminisme modern dan gerakan politik lainnya yang dinamis, rang
mungkin berharap bahwa tidak seperti pada masa lalu.
1.3.Pelecehan seksual terhadap anak adalah suatu bentuk penyiksaan anak di mana orang
dewasa atau remaja yang lebih tua menggunakan anak untuk rangsangan seksual. 2 Bentuk
pelecehan seksual anak termasuk meminta atau menekan seorang anak untuk melakukan
1
Rika Saraswati, Hukum Perlindungan Anak Di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,
2009, h.1.
2
Ensklopidia Wikipedia, http:/id.m.wiki/pelecehan_seksual_terhadap_anak, diakses tanggal
05-08-2014. “Child Sexual Abuse”, Medline Plus. U.S. National Library of Medicine, 2008-04-02
TESIS
TINDAK PIDANA TERKAIT...
RATNA WIDYATI
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
aktivitas seksual (terlepas dari hasilnya), memberikan paparan yang tidak senonoh dari
alat kelamin untuk anak, menampilkan pornografi untuk anak, melakukan hubungan
seksual terhadap anak-anak, kontak fisik dengan alat kelamin anak (kecuali dalam
konteks non-seksual tertentu seperti pemeriksaan medis), melihat alat kelamin anak tanpa
kontak fisik (kecuali dalam konteks non-seksual seperti pemeriksaan medis), atau
menggunakan anak untuk memproduksi pornografi anak.3 Lebih dari 4000 anak
Indonesia diajukan ke Pengadilan setiap tahunnya atas kejahatan ringan, seperti
pencurian.4
1.4.Kasus pelecehan seksual terhadap anak yang kini kembali mencuat dan menjadi kasus
yang paling banyak dibahas di Televisi, pelecehan seksual yang kini terjadi korbannya
dari kalangan anak-anak dibawah umur dan sebagian besar pelakunya adalah orang yang
terdekat, yang seharusnya menjadi pelindung anak-anak. Para korban anak-anak yang
masih dibawah umur ini belum mengerti dan mengetahui apa yang pelaku lakukan saat
pelecehan seksual pada korban-korbannya. Sebagian besar pelaku pelecehan seksual
adalah orang yang dikenal oleh korban mereka, keluarga dari si anak, paling sering adalah
saudara laki-laki, ayah, paman, atau sepupu, kenalan lainnya seperti “teman” dari
keluarga, pengasuh, atau tetangga, orang asing adalah pelanggar, dalam kasus
penyalahgunaan seksual anak.
1.5.Kebanyakan pelecehan seksual anak dilakukan oleh laki-laki; studi menunjukkan bahwa
perempuan melakukan pelanggaran yang dilaporkan terhadap anak laki-laki. Sebagian
besar pelanggar yang pelecehan seksual terhadap anak-anak sebelum masa puber adalah
pedofil, meskipun beberapa pelaku tidak memenuhi standar diagnosa klinis untuk
pedofilia.
3
4
TESIS
Ibid.
Rika Saraswati, Op. Cit., h.13
TINDAK PIDANA TERKAIT...
RATNA WIDYATI
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
1.6.Anak sebagai generasi penerus bangsa dan sumber daya negara perlu mendapat
perlindungan dari tindakan kekerasan, pelecehan seksual maupun eksploitasi yang
berlebihan. Pelecehan seksual dan atau percabulan anak, baik laki-laki maupun
perempuan adalah bentuk penyalahgunaan anak yang perlu mendapat perhatian dan
penanganan serius.
1.7.Kekerasan seksual itu merupakan istilah yang menunjukan pada prilaku seksual
derivative atau hubungan seksual yang menyimpang, merugikan pihak korban dan
merusak kedamaian di tengah masyarakat. Adanya kekerasan seksual yang terjadi, maka
penderitaan bagi korbannya telah menjadi akibat serius yang membutuhkan perhatian, 5 Di
antara kejahatan kekerasan seksual, terdapat kejahatan seksual terhadap anak-anak, di
bawah ini diuraikan beberapa pendapat diantaranya :
2. Menurut M.Irsyad Thamrin dan M.Farid mengatakan, kekerasan seksual adalah kontak
seksual yang tidak dikendaki oleh salah satu pihak. Inti dari kekerasan seksual terletak
“ancaman” (verbal) dan “pemaksaan” (tindakan).6
3. Menurut J.H. Fitch mengadakan studi terhadap 147 pria yang terbukti melakukan
kejahatan terhadap anak-anak pada tahun 1956, diklasifikasikan menjadi lima kategori
berdasarkan psikologis : kategori tersebut adalah :7
4. Immature, melakukan kejahatan itu disebabkan ketidakmampuan mengidentifikasi diri
mereka dengan peran seksual seorang dewasa.
5
Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual (Advokasi
atas Hak Asasi Perempuan), Cet.2, Refika Aditama, Bandung, 2011, h. 32.
6
Dwi Ismantoro Yuwono, Penerapan Hukum Dalam Kasus Kekerasan Seksual Terhadap
Anak, Cet.1, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2015,h.1
7
Topo Santoso, Seksualitas dan Hukum Pidana, Ind-Hill-Co, Jakarta, 1997, h.45
TESIS
TINDAK PIDANA TERKAIT...
RATNA WIDYATI
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
5. Frustrated, melakukan kejahatannya sebagai reaksi melwan frustasi seksual yang sifatnya
emosional terhadap orang dewasa, sering terjadi mereka beralih kepada anak-anak
mereka sendiri (inces) ketika merasa tidak seimbang dengan istrinya.
6. Sociopathic, melakukan perbuatannya dengan orang asing sama sekali, suatu tindakan
yang keluar dari kecenderungan aggressive yang kadang muncul.
7. Pathological, tidak mampu mengontrol dorongan seksual sebagai hasil dari psikosis,
lemah mental, kelemahan organ tubuh atau kemerosotan sebelum waktunya ( premature
senile deterioration)
8. Miscellaneous, yang tidak termasuk semua kategori di atas.
8.1.Pelecehan seksual terhadap anak mencakup berbagai pelanggaran seksual, termasuk:
9. Pelecehan Seksual. Istilah ini didefinisikan sebagai suatu tindak pidana di mana seseorang
yang telah dewasa menyentuh anak di bawah umur untuk tujuan kepuasan seksual,
misalnya perkosaan (termasuk sodomi), dan penetrasi seksual dengan objek. Termasuk
sebagian besar negara bagian Amerika Serikat dalam definisi mereka tentang kekerasan
seksual, ada kontak penetratif tubuh di bawah umur, bagaimanapun sedikit, jika kontak
dilakukan untuk tujuan kepuasan seksual.
10. Ekploitasi seksual. Istilah ini didefinisikan sebagai suatu tindak pidana di mana orang
dewasa melakukan kekerasan terhadap anak di bawah umur untuk promosi, kepuasan
seksual, atau keuntungan, misalnya melacurkan anak, dan menciptakan atau melakukan
perdagangan pornografi anak.
TESIS
TINDAK PIDANA TERKAIT...
RATNA WIDYATI
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
11. Perawatan Anak. Menentukan perilaku sosial dari pelaku seks anak yang potensial yang
berusaha untuk membuat mereka menerima rayuan yang lebih sedikit, misalnya di ruang
bincang-bincang.
11.1. Berdasarkan terminologi dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, “pelecehan”, asal
kata peleceh8 artinya pembujuk/suka memuji-muji, “seksual”9 yang berkenaan dengan
kelamin (laki-laki perempuan) yang berkenaan dengan perkara campuran antara laki-laki
dan perempuan, “anak”10 turunan yang kedua; manusia yang masih kecil, pelecehan
seksual anak merupakan istilah umum yang menggambarkan tindak kriminal dan sipil di
mana orang dewasa terlibat dalam aktivitas seksual dengan anak di bawah umur atau
eksploitasi anak di bawah umur untuk tujuan kepuasan seksual.
11.2. Efek kekerasan seksual terhadap anak antara lain depresi, gangguan stres
pascatrauma, kegelisahan, kecenderungan untuk menjadi korban lebih lanjut pada masa
dewasa, dan dan cedera fisik untuk anak di antara masalah lainnya. Pelecehan seksual
oleh anggota keluarga adalah bentuk inses, dan dapat menghasilkan dampak yang lebih
serius dan trauma psikologis jangka panjang, terutama dalam kasus inses orangtua.
Perkembangan ilmu pengetahuan sangat mempengaruhi pola pikir pakar hukum untuk
membedakan pengertian perbuatan pidana/tindak pidana pelecehan seksual.
11.3. Mengenai istilah “tindak pidana” dari para sarjana hukum tidak ada keseragaman
pendapat, tetapi semuanya merupakan terjemahan dari istilah Belanda “starbaar feit”11.
8
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Balai Pustaka,
Jakarta, 2005,h.859
9
Ibid, h.1055
10
Ibid, h.35
11
N.E. Algra,, et al., Kamus Istilah Hukum Fockema Andreae Belanda Indonesia, Cet.1,
Binacipta, Jakarta, 1983. Diterjemahkan Saleh Adiwinata, A. Teloeki, dan H. Boerhanoeddin, St.
Batoeah. h.544, Yang artinya delik, peristiwa pidana : “peristiwa yang diancam hukuman, yang dapat
mengakibatkan tuntutan hukuman, khusus dalam hukum pidana umum, berdasarkan ancaman UU
yang ditetapkan sebelumnya.”(N.W.v.Str. art.1 lid 1; KUHP ps 1 ayat 1) peristiwa pidana dalam
kejahatan (misdrijven) dan pelanggaran (overtrendingen).
TESIS
TINDAK PIDANA TERKAIT...
RATNA WIDYATI
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
12. Menurut Moeljatno bahwa “perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu
aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi
barang siapa yang melanggar larangan tersebut.”12
13. R. Tresna juga mengatakan bahwa “tindak pidana” adalah perbuatan atau serangkaian
perbuatan manusia yang bertentangan dengan undang-undang atau peraturan perundangundangan lainnya terhadap perbuatan mana diadakan tindakan penghukuman. Dan dalam
tindak pidana tersebut terdapat syarat-syarat yang telah ditentukan seperti : harus adanya
suatu perbuatan manusia, perbuatan itu haruslah sesuai dengan apa yang dilukiskan di
dalam ketentuan hukum, dan atas perbuatan itu harus terbukti adanya kesalahan pada
orang yang berbuat dan dapat dipertanggungjawabkan, perbuatan yang dimaksudkan
harus berlawanan dengan hukum serta atas perbuatan itu harus tersedia ancaman
hukumannya dalam undang-undang.13
13.1. Adapun bentuk-bentuk pelecehan seksual itu, dapat dikategorikan ke dalam dua
kategori yaitu:
14. Bentuk pelecehan seksual yang tergolong ringan, yang bagi pelaku tidak dikenai sanksi
(seductive behavior) ataupun perbuatan tersebut dianggap sebagai perbuatan yang tidak
menyenangkan. Perbuatan - perbuatan tersebut dapat berupa:
15. Tingkah laku dan komentar yang berkenaan dengan peran jenis kelamin.
16. Tekanan langsung atau halus untuk tindakan seksual seperti : berciuman, berpegangan
tangan, menepuk bagian tertentu.
17. Sentuhan atau kedekatan fisik yang tidak diundang seperti: mendorong alat kelamin
(penis atau dada) pada korbannya.
18. Perhatian seksual yang tidak diundang dan tidak disukai serta tidak pada tempatnya.
12
13
TESIS
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2008, h.59
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana 1, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, h. 73
TINDAK PIDANA TERKAIT...
RATNA WIDYATI
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
19. Bentuk pelecehan seksual yang tergolong berat dan bagi si pelaku dikenakan sanksi
atau ancaman hukuman (sexual coercion). Perbuatan itu berupa pemaksaan untuk
melakukan hubungan seksual dan kejahatan seksual atau pelanggaran hukum yang
dilakukan secara terang-terangan (sexsual assault).
19.1. Penyimpangan tingkah laku atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh
anak, disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain adanya dampak negatif dari
perkembangan pembangunan yang cepat, arus globalisasi di bidang komunikasi dan
informasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Perlakuan dan pembinaan yang
tepat akan dapat menjadi salah satu dasar yang kuat untuk mengembalikan dan mengantar
anak menuju masa depan yang baik untuk mengembangkan dirinya sebagai warga yang
bertanggung jawab bagi kehidupan keluarga, bangsa dan negara. Untuk lebih
memantapkan upaya pembinaan dan pemberian bimbingan bagi anak nakal, maka dalam
rangka mewujudkan peradilan yang memperhatikan perlindungan dan kepentingan anak,
maka Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak,
memberikan ketentuan-ketentuan mengenai penyelenggaraan pengadilan yang khusus
bagi anak dalam lingkungan peradilan umum. Dalam menghadapi dan menanggulangi
berbagai perbuatan dan tingkah laku anak nakal, perlu diperhatikan dan dipertimbangkan
kedudukan anak dengan segala ciri dan sifatnya yang khas. Walaupun anak telah dapat
menentukan sendiri langkah perbuatannya berdasarkan pikiran, perasaan, dan
kehendaknya, tetapi keadaan sekitarnya dapat mempengaruhi perilakunya. Oleh karena
itu dalam menghadapi masalah anak nakal, orang tua dan masyarakat sekelilingnya
seharusnya lebih bertanggung jawab terhadap pembinaan, pendidikan, dan pengembangan
perilaku anak.
19.2. Di samping pertimbangan tersebut di atas, demi pertumbuhan dan perkembangan
mental anak, perlu ditentukan perbedaan perlakuan di dalam hukum acara dan ancaman
TESIS
TINDAK PIDANA TERKAIT...
RATNA WIDYATI
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
pidananya, perbedaan perlakuan dan ancaman yang diatur dalam undang-undang tersebut
dimaksudkan untuk lebih melindungi dan mengayomi anak agar dapat menyongsong
masa depannya yang masih panjang.
20. Mengingat anak-anak adalah generasi muda yang merupakan aset penerus bangsa, dengan
memperhatikan fenomena tersebut. Seringkali kasus-kasus tersebut tidak sampai ke
pengadilan atau kalau sampai di pengadilanpun si pelaku di hukum sangat ringan atau
bisa jadi malah bebas.
20.1. Bahwa Negara Republik Indonesia adalah Negara Hukum yang berdasarkan Pancasila
dan Undang - Undang Dasar 1945 yang menjunjung tinggi hak azasi manusia. Dalam
perspekif kenegaraan, komitmen Negara untuk melindungi warga negaranya termasuk
dalam anak, dapat ditemukan dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.14
20.2. Pembangunan dan pembinaan hukum diarahkan agar dapat menciptakan kondisi yang
dinamis, sehingga setiap warga negara dapat menikmati iklim ketertiban dan kepastian
hukum yang berintikan keadilan, serta meningkatkan dan menyempurnakan pembinaan
hukum nasional dalam rangka pembaharuan hukum. Dengan diadakannya kodifikasi dan
unifikasi hukum akan memudahkan para penegak hukum dalam melakukan tugas masingmasing, memantapkan sikap dan perilaku penegak hukum sesuai dengan fungsi
penegakan hukum dalam rangka meningkatkan citra dan wibawa aparat penegak hukum
serta meningkatkan pelayanan hukum kepada warga negara yang memerlukan.
21. Rumusan Masalah
22. Berdasarkan uraian di atas, maka rumusan masalah dari tesis ini adalah :
14
TESIS
Waluyadi, Hukum Perlindungan Anak, Mandar Maju, Bandung, 2009, h.1
TINDAK PIDANA TERKAIT...
RATNA WIDYATI
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
22.1. Bagaimana pengaturan perbuatan sodomi terhadap anak ditinjau dari Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak
(UUPA) dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)?
22.2. Bagaimana pertanggungjawaban pidana pelaku sodomi tindak pidana kekerasan
seksual terhadap anak tersebut?
23. Tujuan Penelitian
24. Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka penulisan ini bertujuan antara lain :
24.1. Untuk menganalisa pengaturan perbuatan sodomi terhadap anak ditinjau dari Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
Tentang Perlindungan Anak
(UUPA) dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004
Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).
24.2. Untuk menganalisa pertanggungjawaban pidana pelaku sodomi tindak pidana
kekerasan seksual terhadap anak tersebut.
25. Manfaat Penelitian
26. Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut :
27. Manfaat akademis penelitian ini adalah memberi kontribusi teoritis dalam bidang (ilmu)
hukum pidana, khususnya terkait pengaturan tindak pidana perbuatan sodomi terhadap
anak dan pertanggungjawaban hukum tindak pidana pelaku sodomi kekerasan seksual
terhadap anak.
27.1. Manfaat praktis penelitian ini adalah untuk menyumbang wawasan aparat penegak
hukum dalam menangani kasus-kasus tindak pidana salah satu bentuk kekerasan seksual
TESIS
TINDAK PIDANA TERKAIT...
RATNA WIDYATI
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
sodomi terhadap anak.
28. Tinjauan Pustaka
28.1. Tindak Pidana
28.2. Dalam perundang-undangan negara Indonesia istilah Tindak Pidana tersebut
disebutkan sebagai peristiwa pidana, perbuatan pidana atau delik. Melihat apa yang
dimaksud diatas, maka pembentuk undang-undang sekarang sudah konsisten dalam
pemakaian istilah tindak pidana.
28.3. Kekerasan Seksual
28.4. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak dikenal istilah pelecehan
seksual. KUHP menurutnya, hanya mengenal istilah perbuatan cabul, yakni diatur
dalam Pasal 285, Pasal 289 sampai dengan Pasal 292 KUHP.15 Bahwa istilah perbuatan
cabul dijelaskan sebagai perbuatan yang melanggar rasa kesusilaan, atau perbuatan lain
yang keji, dan semuanya dalam lingkungan nafsu berahi kelamin. Misalnya cium-ciuman,
meraba-raba anggota kemaluan, meraba-raba buah dada dan sebagainya. 16
28.5. Unsur-unsur yang terdapat dalam kekerasan seksual adalah :
29. Mengancam,
30. Memaksa dan
31. Memperkosa.17
31.1. Bentuk-bentuk kekerasan seksual terhadap anak adalah :18
15
R. Soesilo, KUHP Serta Komentar-komentarnya
Ibid.
17
Dwi Ismantoro Yuwono, Op. Cit., h.2
16
TESIS
TINDAK PIDANA TERKAIT...
RATNA WIDYATI
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
32. Perkosaan;
33. Sodomi;
34. Oral seks;
35. Sexual Gesture;
36. Sexual Remark;
37. Pelecehan Seksual;
38. Pelacuran anak dan Sunat Klitoris pada anak Perempuan.
38.1. Pengertian itu berarti, segala perbuatan apabila itu telah dianggap melanggar
kesopanan/kesusilaan, dapat dimasukkan sebagai perbuatan cabul. Sementara itu, istilah
pelecehan seksual mengacu pada sexual harassment (Pelecehan seksual) yang diartikan
sebagai unwelcome attention (Perhatian yang tidak diinginkan) atau secara hukum
didefinisikan sebagai "imposition of unwelcome sexual demands or creation of sexually
offensive environments". (Pengenaan dari tuntutan seksual yang tidak diinginkan atau
penciptaan dari lingkungan seksual yang menyakitkan hati).
38.2. Pelecehan Seksual
38.3. Unsur penting dari pelecehan seksual adalah adanya ketidakinginan atau penolakan
pada apapun bentuk-bentuk perhatian yang bersifat seksual. Sehingga bisa jadi perbuatan
seperti siulan, kata-kata, komentar yang menurut budaya atau sopan santun (rasa susila)
setempat adalah wajar. Namun, bila itu tidak dikehendaki oleh si penerima perbuatan
tersebut maka perbuatan itu bisa dikategorikan sebagai pelecehan seksual.
38.4. Jadi, pelecehan seksual dapat dijerat dengan Pasal percabulan (Pasal 289 sampai
dengan Pasal 296 KUHP). Dalam hal terdapat bukti-bukti yang dirasa cukup, Jaksa
Penuntut Umum yang akan mengajukan dakwaannya terhadap pelaku pelecehan seksual
di hadapan pengadilan.
18
TESIS
Ibid., h.7
TINDAK PIDANA TERKAIT...
RATNA WIDYATI
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
39. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) perkataan pelecehan seksual tidak
ada penjelasan khusus mengenai pengertian pelecehan seksual. Akan tetapi secara tidak
langsung di dalam pasal-pasal tersebut telah termaktub tentang perbuatan yang
digolongkan kepada pelecehan seksual. Khususnya pelecehan seksual terhadap anak di
bawah umur, seperti halnya perbuatan persetubuhan (Pasal 287 KUHP). Walaupun di
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak ada penjelasan khusus
tentang pelecehan seksual, tetapi di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia terdapat
pengertian yang cukup jelas tentang pelecehan seksual. Untuk mengetahui lebih jelas
makna dari pelecehan seksual terlebih dahuluperlu melihat masing- masing kata yang ada
di dalamnya yaitu: “pelecehan” dan “seksual”.
39.1. Pelecehan (harrasment) merupakan pembendaan dari kata kerja “melecehkan” yang
berarti: menghina, memandang rendah, atau tindakan menurunkan martabat. Sedangkan
seksual (sexual) memiliki arti: hal-hal yang berkenaan dengan seks atau jenis kelamin, hal
yang berkenaan dengan perkara persetubuhan antara pria dan wanita.
39.2. Maka dapat penulis menyimpulkan bahwa pelecehan seksual (sexual harrasment) itu
adalah : suatu bentuk perbuatan penghinaan atau memandang rendah seseorang karena
hal-hal yang berkenaan dengan seks (jenis kelamin) atau aktivitas seksual antara laki-laki
dan perempuan. Atau dengan kata lain pelecehan seksual (sexual harassment) itu
merupakan suatu perilaku atau tindakan yang mengganggu, menjengkelkan dan tidak
diundang yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang terhadap pihak lain yang
berkaitan dengan jenis kelamin pihak yang diganggunya. Perilaku itu dapat berupa fisik
dan mental serta mengganggu aspek fisik, mental, emosional dan spritual korban.
40. Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga yang dimaksudkan “hubungan seksual”, apakah kualifikasinya sama
dengan “persetubuhan” atau kualifikasinya adalah “persetubuhan dan juga pencabulan”
TESIS
TINDAK PIDANA TERKAIT...
RATNA WIDYATI
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
atau bahkan pengertiannya lebih luas dari bentuk kekerasan seksual yang dilakukan oleh
suami kepada isteri atau sebaliknya.
40.1. Pedophilia
40.2. Yang dimaksud dengan Pedophilia (Pedofilia) adalah ketertarikan seksual orang
dewasa terhadap anak-anak. Anak-anak yang menjadi sasaran dari pemuasan birahi
seksual orang-orang dewasa pengidap pedofilia ini adalah anak-anak pra-purbertas atau
anak-anak yang belum mengalami purbertas (belum mengalami menstruasi dan belum
dapat dibuahi bagi anak perempuan dan belum dapat menghasilkan sperma bagi laki-laki.
Sebab-sebab munculnya penyakit ketertarikan seksual ini bisa disebabkan sebagai berikut
:19
41. Pengalaman masa kecil yang tidak mendukung perkembangan kedewasaannya.
42. Trauma pernah mendapat kekerasan seksual dari orang dewasa.
42.1. Pedofilia adalah salah satu bentuk penyakit jiwa kelainan ketertarikan seksual. Dalam
melampiaskan nafsu birahinya seorang pedofil akan mencari anak-anak pra pubertas
dengan tujuan agar pedofil bisa menguasai dan memaksakan penisnya diprestasikan ke
dalam dubur, liang vagina atau oral seks sehingga korban akan merasakan sakit yang
amat sangat. Rasa sakit yang amat sangat ini yang diharapkan oleh pelaku dialami oleh
korban. Dengan erangan rasa sakit si pedofil akan terangsang dan akan semakin menggila
memenetrasikan penisnya kedalam dubur.
42.2. Sodomi
42.3. Sodomi adalah istilah hukum yang digunakan dalam untuk merujuk kepada tindakan
seks “tidak alami”, yang bergantung pada yuridiksinya dapat terdiri atas seks oral atau
seks anal atau semua bentuk pertemuan organ non-kelamin dengan alat kelamin, baik
dilakukan secara heteroseksual, homoseksual, atau antara manusia dan hewan.
19
TESIS
Dwi Ismantoro Yuwono, Op. Cit., h.44
TINDAK PIDANA TERKAIT...
RATNA WIDYATI
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
42.4. Tindak pidana pelecehan seksual (sodomi) pada anak diatur dalam Pasal 292 KUHP.
Apabila terjadi pemberatan misalnya luka berat, dituntut sesuai Pasal 291 ayat 1 KUHP.
Bila terjadi penganiayaan sehingga korban meninggal dunia dituntut sesuai Pasal 339
KUHP. Psikiatri Forensik dalam hal ini dokter ahli jiwa berperan dalam membantu
menentukan apakah pelaku tindakan pidana (sodomi) mengalami gangguan jiwa atau
tidak dan seberapa jauh kemampuannya dalam mempertanggungjawabkan perbuatannya.
42.5. Perlindungan anak
42.6. Perlindungan Anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan
hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal
sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi.20
42.7. Perlindungan Anak bertujuan untuk menjamin terpengaruhnya hak-hak anak agar
dapat hidup, tumbuh,berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai harkat dan
martabat kemanusian serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi demi
terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera.21
42.8. Menurut Barda Nawawi Arief, perlindungan hukum bagi anak dapat diartikan sebagai
upaya perlindungan hukum terhadap berbagai kebebasan dan hak asasi anak (fundamental
rights and freedoms of children) serta berbagai kepentingan yang berhubungan dengan
kesejahteraan anak. 22
42.9. Pertanggungjawaban hukum
42.10. Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana positif saat ini menganut
asas
20
21
kesalahan
sebagai
salah
satu
asas
disamping asas legalitas.
Pasal 1 Angka 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
Rika Saraswati, Op. Cit., h. 30 (Pasal 3 UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan
Anak)
22
TESIS
Waluyadi, Op. Cit., h..1.
TINDAK PIDANA TERKAIT...
RATNA WIDYATI
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana nasional yang akan datang
menerapkan asas tiada pidana tanpa kesalahan yang merupakan salah satu asas
fundamental yang perlu ditegaskan secara eksplisit sebagai pasangan asas legalitas.
Kedua asas tersebut tidak dipandang syarat yang kaku dan bersifat absolute, memberi
kemungkinan
dalam
hal-hal
tertentu
untuk
menerapkan
asas strict liability,
vicarious liability erfolgshaftung, kesesatan atau error, rechterlijk pardon culp in causa
dan pertanggungjawaban pidana yang berhubungan dengan masalah subjek tindak pidana.
42.11. Dilihat dari sudut perbandingan
KUHP Negara lain, asas kesalahan atau asas
culpabilitas pada umumnya diakui sebagai prinsip umum. Perumusan asas ini biasanya
terlihat dalam perumusan mengenai pertanggungjawaban pidana, khususnya yang
berhubungan dengan masalah kesengajaan dan kealpaan.
43. Metode Penelitian
44. Penelitian tesis ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan
undang-undang (statute approach), pendekatan konsep (conceptual approach), dan
pendekatan kasus (case approach).
45. Adapun penelitian hukum pendekatan tersebut adalah: 23
45.1. Pendekatan undang-undang (statute approach)
45.2. Pendekatan dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasinya yang
bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani.
45.3. Pendekatan konseptual (conceptual approach)
45.4. Pendekatan konseptual beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang
berkembang di dalam ilmu hukum.
23
TESIS
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2013, h. 133-166
TINDAK PIDANA TERKAIT...
RATNA WIDYATI
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
45.5. Pendekatan kasus (case approach)
45.6. Pendekatan dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap kasus-kasus yang
berkaitan dengan isu yang dihadapi yang telah menjadi putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap.
46. Sistematika Penulisan
46.1. Dalam penulisan tesis perlu adanya suatu uraian mengenai susunan dari penulisan
yang dibuat agar pembahasan teratur dan terarah pada masalah yang sedang dibahas
untuk itu tesis ini akan dibagi ke dalam 4 (empat) bab yaitu :
46.2. Pada Bab I (Bab Pendahuluan) ini akan diuraikan hal-hal latar belakang, rumusan
masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, tinjauan pustaka, dan
sistematika penulisan, yang merupakan landasan penulisan tesis ini.
46.3. Dalam bab II dibahas terkait rumusan masalah yang berjudul pengaturan tindak
pidana terkait sodomi terhadap anak, yang akan dibahas dalam tiga sub bab yaitu Menurut
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
Tentang Perlindungan Anak dan Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004
Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
46.4. Selanjutnya dalam Bab III dibahas topik rumusan masalah kedua yang berjudul
pertanggungjawaban hukum pelaku tindak pidana sodomi terhadap anak tersebut. Yang
dibahas dalam 2 sub judul yaitu terkait penanggungjawaban dan analisa / pembahasan
kasus-kasus terkait kekerasan seksual sodomi.
TESIS
TINDAK PIDANA TERKAIT...
RATNA WIDYATI
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
46.5. Sebagai bab penutup (Bab IV) akan diuraikan kesimpulan terkait pembahasan dalam
bab-bab terdahulu, juga akan disertakan saran yang diharapkan dapat bermanfaat bagi
pihak-pihak yang terkait.
TESIS
TINDAK PIDANA TERKAIT...
RATNA WIDYATI
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
BAB II
PENGATURAN TINDAK PIDANA TERKAIT SODOMI
TERHADAP ANAK
1. Pengertian Tindak Pidana
Dalam hukum pidana di Indonesia mengenal beberapa rumusan pengertian tindak
pidana atau istilah tindak pidana sebagai pengganti istilah "Strafbaar feit". Sedangkan dalam
perundang-undangan negara Indonesia istilah tersebut disebutkan sebagai peristiwa pidana,
perbuatan pidana atau delik. Melihat apa yang dimaksud diatas, maka pembentuk undangundang sekarang sudah konsisten dalam pemakaian istilah tindak pidana. Akan tetapi para
sarjana hukum pidana mempertahankan istilah yang dipilihnya sendiri.
Adapun pendapat itu diketemukan antara lain : Moeljatno, Simons, Van Hamel, Pompe,
JE. Jonker, VOS dan R.Tresna, yang dalam uraiannya adalah sebagai berikut:
a. Moelyatno, menggunakan istilah Perbuatan Pidana adalah “perbuatan yang dilarang
oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa
pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut”.24 Unsur
tindak pidana adalah : 1) Perbuatan; 2) Yang dilarang (oleh aturan hukum); dan 3)
Ancaman pidana (bagi yang melanggar hukum).
b. Simons. Strafbaar feit adalah kelakuan (Hendeling) yang diancam dengan pidana
yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan yang
dilakukan oleh orang yang mampu bertanggungjawab.25 Unsur-unsur tindak pidana :
24
Adam Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana (Bagian Pertama), Cet. 1, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2008), h. 71.
25
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2008, h. 61
TESIS
TINDAK PIDANA TERKAIT...
RATNA WIDYATI
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
1) Unsur Obyektif : Perbuatan orang, akibat yang kelihatan dari perbuatan itu
mungkin ada keadaan tertentu yang menyertai perbuatan itu
2) Unsur Subyektif : Orang yang mampu bertanggungjawab, adanya kesalahan
(Dolus atau Culpa).
Kesalahan ini dapat berhubungan dengan akibat dari
perbuatan atau keadaan mana perbuatan itu dilakukan.
c. Van Hamel. Strafbaar feit adalah kelakuan orang (menselijke gedraging) yang
dirumuskan dalam wet, yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana
(stafwaardig) dan dilakukan dengan kesalahan.26
Unsur-unsur tindak pidana: 1) Perbuatan Manusia; 2) Yang dirumuskan dalam
Undang-Undang; 3) Dilakukan dengan kesalahan; dan 4) Patut dipidana.
d. Pompe, menurutnya pengertian Strafbaar feit itu sebenarnya adalah tidak lain dari
suatu “tindakan yang menurut sesuatu rumusan undang-undang telah dinyatakan
sebagai tindakan yang dapat dihukum.”27
e. J.E. Jonkers
Peristiwa pidana ialah “perbuatan yang melawan hukum (wederrechttelijk) yang
berhubungan dengan kesengajaan atau kesalahan yang dilakukan oleh orang yang
dapat dipertanggungjawabkan”.28
Unsur-unsur tindak pidana: 1) Perbuatan (yang); 2) Melawan hukun (yang
berhubungan dengan); 3) Kesalahan (yang dilakukan oleh orang yang dapat); dan 4)
Dipertanggungjawabkan.
26
Ibid.
Adam Chazawi, Op. Cit., h. 72
28
Ibid., h. 74
27
TESIS
TINDAK PIDANA TERKAIT...
RATNA WIDYATI
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
f. VOS. Strafbaar feit adalah suatu kelakukan manusia yang diancam pidana oleh
peraturan Undang-Undang.29 Unsur-unsur tindak pidana: 1) Kelakuan manusia; 2)
Diancam dengan pidana; dan 3) Dalam peraturan perundang-undangan.
g. R.Tresna menyatakan “peristiwa pidana itu adalah suatu perbuatan yang atau
rangkaian perbuatan manusia, yang bertentangan dengan undang-undang atau
peraturan perundang-undangan lainnya, terhadap perbuatan mana diadakan
tindakan penghukuman”.30 Unsur-unsur tindak pidana:
1) Perbuatan/rangkaian perbuatan (manusia);
2) Yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
3) Diadakan tindakan penghukuman.
2. Pengertian Sodomi – Pedofilia
Menurut terminologi Sodomy dalam Black’s Law adalah 1. Oral or anal copulation
between humans, esp. those of the same sex. 2. Oral or anal copulation between a human
and an animal; bestiality. also termed buggery; crime against nature; abominable crime
against nature, unnatural offense; unspeakable crime; (archaically) sodomity; (in latin)
crimen innominatum.31 (1.Oral atau anal kopulasi antara manusia , esp . Orang-orang dari
jenis kelamin yang sama; 2. Oral atau anal kopulasi antara manusia dan hewan; birahi hewan
disebut juga buggery; kejahatan terhadap alam; keji kejahatan terhadap alam, Pelanggaran
tidak wajar; tak terkatakan kejahatan; (archaically) sodomity; (dalam bahasa latin) crimen
innominatum).
29
Ibid, h. 72.
Adam Chazawi, Op. Cit., h. 73.
31
Bryan A.Garner, Black’s Law Dictionary, Eighth Edition, Thomson, West , 2004. h.1425
30
TESIS
TINDAK PIDANA TERKAIT...
RATNA WIDYATI
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
Liwath (homoseksual/sodomi) diriwayatkan dari Ibnu Abbas dari nabi beliau bersabda
:
“apabila
kalian
mendapati
orang
yang
melakukan
perbuatan
kaum
Luth
(homoseksual/sodomi) maka bunuhlah pelaku dan objeknya”.32
Sodomi/anal sex/semburit berasal dari kata Sodom/Shadum,
istilah ini berasal
dari Bahasa Lain : peccatum Sodomiticum, atau “Dosa kaum Sodom.” salah satu kota yang
warganya menjadi umat dakwah nabi Luth as, saat ini letaknya di sekitar Laut Mati, sebuah
tempat yang menjadi saksi kemurkaan Tuhan dan ditandai dengan letaknya terendah di muka
bumi ini dan tidak dapat didiami oleh mahluk hidup.
Sodomi artinya perbuatan penduduk kota Sodom, yaitu salah satu jenis hubungan
seksual penetratif, dimana puncak kepuasan seksual dilakukan dengan cara memasukkan
penis ke dalam anus. Biasanya dilakukan oleh sesama laki-laki, meski bisa saja laki-laki
menyodomi wanita.
Sodomi adalah istilah hukum yang digunakan dalam untuk merujuk kepada tindakan
seks “tidak alami”, yang bergantung pada yuridiksinya dapat terdiri atas seks oral atau seks
anal atau semua bentuk pertemuan organ non-kelamin dengan alat kelamin, baik dilakukan
secara heteroseksual, homoseksual, atau antara manusia dan hewan.
Yang dimaksud dengan Pedofilia adalah ketertarikan seksual orang dewasa terhadap
anak-anak. Anak-anak yang menjadi sasaran dari pemuasan birahi seksual orang-orang
dewasa pengidap pedofilia ini adalah anak-anak pra-purbertas atau anak-anak yang belum
mengalami purbertas (belum mengalami menstruasi dan belum dapat dibuahi bagi anak
perempuan dan belum dapat menghasilkan sperma bagi laki-laki.
32
Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Syarah Arba’in An-Nawawi (Memuat 42 Hadist Nabi Tentang
Fondasi Ajaran Islam dan Faedah-Faedahnya), Pustaka Imam Asy-Syafi’I, Jakarta, 2013, h.286-287.
TESIS
TINDAK PIDANA TERKAIT...
RATNA WIDYATI
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
Menurut terminologi Pedophilia dalam Black’s Law . An adult who engages in
Pedophilia. Menerangkan Pedophilia “ 1. An adult’s sexual disorder consisting in the desire
for sexual gratification by molesting children esp. prepubescent children. (kelainan seksual
orang dewasa terdiri dalam keinginan untuk kepuasan seksual terhadap menganiaya anakanak) 2. An adult’s act of children molestation. Phedophilia can but does not necessarily
involve intercourse.33 (undang-undang orang dewasa terhadap penganiayaan anak-anak.
Phedophilia tidak dapat serta merta melibatkan hubungan). Phedophilia termasuk
penyimpangan seksual/parafilia, dimana si penyandang memiliki selera seksual terhadap
anak-anak yang diketahuinya atau diduganya secara kuat masih belum masuk usia puber
(belum menarche atau mimpi basah) sedangkan dirinya sendiri minimal 5 (lima) tahun lebih
tua dari si anak. Bandingkan dengan phedophilia, dimana si penyandang berselera terhadap
anak yang menjelang atau baru masuk usia puber.
Sebab-sebab munculnya penyakit ketertarikan seksual ini bisa disebabkan sebagai
berikut :34
a. Pengalaman masa kecil yang tidak mendukung perkembangan kedewasaannya.
b. Trauma pernah mendapat kekerasan seksual dari orang dewasa.
Pedofilia adalah salah satu bentuk penyakit jiwa kelainan ketertarikan seksual. Dalam
melampiaskan nafsu birahinya seorang pedofil akan mencari anak-anak pra pubertas dengan
tujuan agar pedofil bisa menguasai dan memaksakan penisnya diprestasikan ke dalam dubur,
liang vagina atau oral seks sehingga korban akan merasakan sakit yang amat sangat. Rasa
sakit yang amat sangat ini yang diharapkan oleh pelaku dialami oleh korban. Dengan erangan
rasa sakit si pedofil akan terangsang dan akan semakin menggila memenetrasikan penisnya
kedalam dubur.
33
34
TESIS
Bryan A.Garner, Op. Cit., h.1167.
Dwi Ismantoro Yuwono, Op. Cit., h.44
TINDAK PIDANA TERKAIT...
RATNA WIDYATI
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
Adapun Erich Fromm, M. Irsyad Thamrin dan M. Farid dan Bagong Suyanto
berpendapat sodomi – pedofilia adalah:
a. Menurut Erich Fromm mengidentifikasikan pedofilia adalah penyakit menyimpang
seksual yang masuk dalam kategori sadism. Fromm mengatakan dengan berperilaku
sadis pada saat itulah pelaku merasa berkuasa terhadap korbannya dan semakin
korban merasa sakit ketika disodomi atau disetubuhi maka semakin berkuasalah
sipelaku.
Bahwa pedofilia kemunculannya disebabkan dua hal antara lain adalah : 35
1) Pada masa pertumbuhannya atau pada masa kecilnya seorang pedofil telah
terperangkap dalam berbagai kondisi yang membuatnya merasa kesepian dan
tidak berdaya. Bersamaan dengan ini anak pada masa kecilnya selalu
mendapatkan kekerasan dari orang dewasa dan tindakan-tindakan orang dewasa
yang membuat anak ketakutan.
2) Anak pada masa kecilnya merasa mengalami kehampaan jiwa, tidak ada simulasi,
tidak ada yang akan dapat membangkitkan kecakapannya dan potensinya, tahuntahun berkepanjangan yang menjemukan. Dari keadaan seperti inilah kemudian
anak akan mengembangkan kepribadian yang dingin hingga dia menginjak
dewasanya.
b. Menurut M. Irsyad Thamrin dan M. Farid menyatakan bahwa dampak negatif dari
korban pedofil ditandai munculnya 36
1) Trauma fisik pada diri si anak;
2) Trauma psikis pada diri si anak;
3) Disorentasi moral pada diri si anak.
35
36
TESIS
Ibid., h.45
Ibid., h.46
TINDAK PIDANA TERKAIT...
RATNA WIDYATI
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
c. Menurut Bagong Suyanto mengatakan bahwa anak yang menjadi korban kekerasan
(kejahatan pedofil), ketika dia tumbuh menjadi dewasa akan menjadi pelaku
kekerasan – pelaku pedofilia.37
Unsur-unsur yang terdapat dalam kekerasan seksual adalah :
a. Mengancam. Ancaman adalah tindakan menakut-nakuti. Tujuannya dari indakan
ini adalah agar pihak lain bertindak sesuai dengan keinginan pihak yang menakutnakuti.
b. Memaksa adalah perintah dari satu pihak lain mengerjakan sesuatu yang
diinginkannya. Walaupun pihak lain tidak mau mengerjakannya, namun pihak
yang memberikan perintah mengharuskan pihak lain untuk mengerjakannya.
Pemaksaan ini bisa dalam bentuk verbal (memaksakan pendapat dan pikiran) dan
bisa juga dalam bentuk tindakan (menyentuh organ tubuh sensitif anak tanpa
persetujuan anak).
c. Memperkosa adalah memasukan secara paksa penis ke dalam vagina atau dubur.
Bentuk-bentuk kekerasan seksual terhadap anak antara lain adalah :
a. Perkosaan.
b. Sodomi.
c. Oral seks.
d. Sexual Gesture (serangan seksual secara verbal termasuk eksibisionisme).
e. Sexual Remark (serangan seksual secara verbal).
f. Pelecehan Seksual.
g. Pelacuran anak dan Sunat Klitoris pada anak Perempuan.
37
TESIS
Ibid., h.47
TINDAK PIDANA TERKAIT...
RATNA WIDYATI
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
3. Sodomi Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) telah dijelaskan bahwa
tindak pidana pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur merupakan sebuah kejahatan
kesusilaan yang bagi pelakunya harus diberikan hukuman yang setimpal. Maksudnya dengan
dijatuhkan hukuman kepada si pelaku sehingga dapat kiranya tindakan pelecehan seksual
terhadap anak di bawah umur dapat dicegah sehingga perbuatan tersebut tidak terjadi lagi.
Pasal 50 ayat 1 KUHP menyatakan bahwa ada empat tujuan penjatuhan hukuman yaitu:
1. Untuk mencegah terjadinya tindak pidana dengan menegakkan norma-norma hukum
demi pengayoman masyarakat.
2. Untuk memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi
orang yang lebih baik dan berguna.
3. Untuk menyelesaikan komplik yang ditimbulkan oleh tindak pidana (memulihkan
keseimbangan dan mendatangkan rasa damai).
4. Untuk membebaskan rasa bersalah pada terpidana.38
5. Adapun dalam KUHP, pasal-pasal yang mengatur tentang hukuman bagi pelaku
kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur terdapat dalam Pasal 285, 289 dan
292 KUHP:
6. Dalam Pasal 285 ditentukan bahwa barang siapa dengan kekerasan atau ancaman
kekerasan memaksa perempuan yang bukan isterinya berhubungan seksual
(berhubungan dengan pen) dengan dia, dihukum karena memperkosa, dengan
hukuman penjara selama-lamanya 12 tahun. Sedangkan Pasal 289 disebutkan barang
siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang melakukan atau
38
M.Sholehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, PT.Grafindo Persada, Jakarta, 2004,
h.116.
TESIS
TINDAK PIDANA TERKAIT...
RATNA WIDYATI
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
membiarkan melakukan pada dirinya perbuatan cabul, dihukum karena merusakan
kesopanan dengan hukuman penjara selama-lamanya Sembilan tahun. 39
2. Pasal 292 KUHP berbunyi: “Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan
orang lain sesama kelamin, yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum
dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.” 40
Dari paparan pasal-pasal tentang hukuman bagi pelaku pelecehan seksual terhadap
anak di bawah umur tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa hukuman bagi si
pelaku bervariasi, bergantung kepada perbuatannya yaitu apabila perbuatan tersebut
menimbulkan luka berat seperti tidak berfungsinya alat reproduksi atau menimbulkan
kematian maka hukuman bagi si pelaku akan lebih berat yaitu 15 tahun penjara.
Tetapi apabila tidak menimbulkan luka berat maka hukuman yang dikenakan bagi si
pelaku adalah hukuman ringan.
Tindak pidana pelecehan seksual yang dilakukan oleh seseorang terhadap orang lain
yang bukan isterinya merupakan delik aduan yang maksudnya adalah bahwa hanya
korbanlah yang bisa merasakannya dan lebih berhak melakukan pengaduan kepada
yang berwenang untuk menangani kasus tersebut.
Adapun mengenai delik aduan dapat dibedakan atas dua jenis, yaitu: delik aduan absolut
dan delik aduan relatif.
a. Delik aduan absolut adalah delik (peristiwa pidana) yang hanya dapat dituntut apabila
ada pengaduan. Dan dalam pengaduan tersebut yang perlu dituntut adalah
peristiwanya sehingga permintaan dalam pengaduan ini harus berbunyi: “saya
meminta agar tindakan atau perbuatan ini dituntut”. Delik aduan absolut ini tidak
39
, Dwi Ismantoro Yuwono, Op. Ci., h.1.
R. Soenarto Soerodibroto, KUHP dan KUHAP Dilengkapi
Mahkamah Agung dan Hoge Raad, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, h.175.
40
TESIS
TINDAK PIDANA TERKAIT...
Yurisprudensi
RATNA WIDYATI
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
dapat dibelah maksudnya adalah kesemua orang/ pihak yang terlibat atau yang
bersangkut paut dengan peristiwa ini harus dituntut. Karena yang dituntut di dalam
delik aduan ini adalah peristiwa pidananya.
b. Delik aduan relatif adalah delik (peristiwa pidana) yang dituntut apabila ada
pengaduan. Dan delik aduan relatif ini dapat dibelah karena pengaduan.
ini diperlukan bukan untuk menuntut peristiwanya, tetapi yang dituntut di sini adalah
orang-orang yang bersalah dalam peristiwa ini.
Berdasarkan penjelasan tentang delik aduan di atas, maka penulis menggolongkan bahwa
tindak pidana pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur merupakan delik aduan
relatif, karena yang dituntut di sini adalah orang yang telah bersalah dalam perbuatan
tersebut.
4. Sodomi Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan
Anak (UUPA)
Dalam suatu perkara pidana, pemrosesan perkara digantungkan pada jenis deliknya.
Ada dua jenis delik sehubungan dengan pemrosesan perkara, yaitu delik aduan dan delik
biasa. Delik aduan artinya delik yang hanya bisa diproses apabila ada pengaduan atau
laporan dari orang yang menjadi korban tindak pidana. Menurut Utrecht dalam bukunya
Hukum Pidana II, dalam delik aduan penuntutan terhadap delik tersebut digantungkan pada
persetujuan dari yang dirugikan (korban). Pada delik aduan ini, korban tindak pidana dapat
mencabut laporannya kepada pihak yang berwenang apabila di antara mereka telah terjadi
suatu perdamaian. Berbeda dengan delik aduan, dalam delik biasa perkara tersebut dapat
diproses tanpa adanya persetujuan dari yang dirugikan (korban). Jadi, walaupun korban telah
TESIS
TINDAK PIDANA TERKAIT...
RATNA WIDYATI
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
mencabut laporannya kepada pihak yang berwenang, penyidik tetap berkewajiban untuk
memproses perkara tersebut.
Dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, ada dua
pasal yang mengatur tentang ancaman hukuman bagi pelaku pelecehan seksual terhadap anak
di bawah umur yaitu Pasal 81 dan Pasal 82.
Pasal 81 UU Perlindungan Anak berbunyi sebagai berikut:
“(1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman
kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang
lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling
singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta
rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap
orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau
membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.”
Pasal 82 UU Perlindungan Anak berbunyi sebagai berikut:
“Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan,
memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak
untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun
dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling
sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).”41
Dari rumusan Pasal 82 di atas, terlihat bahwa tidak ada keharusan bagi delik ini untuk
dilaporkan oleh korbannya. Dengan demikian, delik pencabulan terhadap anak merupakan
delik biasa, bukan delik aduan. Oleh karena pencabulan tersebut merupakan delik biasa,
bukan delik aduan, maka seharusnya perkara pencabulan tersebut tetap diproses, walaupun
sudah ada pencabutan laporan dari keluarga korban.
Dasar hukum :
41
Undang-Undang Republik Indonesia No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Asa
Mandiri, Jakarta, 2002, h. 23
TESIS
TINDAK PIDANA TERKAIT...
RATNA WIDYATI
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
a. Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Pengertian mengenai delik aduan, terdapat dua jenis delik dalam pemrosesan perkara,
yaitu delik aduan dan delik biasa. Dalam delik biasa, perkara dapat diproses tanpa
adanya persetujuan dari yang dirugikan (korban). Jadi, walaupun korban telah
mencabut laporan/pengaduannya kepada polisi, penyidik tetap berkewajiban untuk
melanjutkan proses perkara. Sedangkan, mengenai delik aduan berarti delik
yang hanya bisa diproses apabila ada pengaduan atau laporan dari orang yang menjadi
korban tindak pidana.
1) Menurut E Utrecht dalam bukunya Hukum Pidana II, dalam delik aduan
penuntutan terhadap delik tersebut digantungkan pada persetujuan dari yang
dirugikan (korban). Pada delik aduan ini, korban tindak pidana dapat mencabut
laporannya kepada pihak yang berwenang apabila di antara mereka telah terjadi
suatu perdamaian.
2) R. Soesilo dalam bukunya membagi delik aduan menjadi dua jenis yaitu:42
(a) Delik aduan absolut, ialah delik (peristiwa pidana) yang selalu hanya dapat
dituntut apabila ada pengaduan seperti tersebut dalam Pasal-pasal: 284, 287,
293, 310 dan berikutnya, 332, 322, dan 369.
(b) Delik aduan relatif, ialah delik-delik (peristiwa pidana) yang biasanya bukan
merupakan delik aduan, akan tetapi jika dilakukan oleh sanak keluarga yang
ditentukan dalam Pasal 367, lalu menjadi delik aduan. Delik-delik aduan
relatif ini tersebut dalam Pasal-pasal: 367, 370, 376, 394, 404, dan 411.
b. Ketentuan
Undang-Undang
No
23
Tahun
2002
tentang
Perlindungan
Anak (UUPA) yang berkaitan dengan tindak pidana kesusilaan yaitu antara lain Pasal
81 (perkosaan anak) dan Pasal 82 (pencabulan anak), terlihat bahwa tidak ada
42
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi
Pasal, h. 88
TESIS
TINDAK PIDANA TERKAIT...
RATNA WIDYATI
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
keharusan bagi delik ini untuk dilaporkan oleh korbannya. Dengan demikian, delik
perkosaan dan pencabulan terhadap anak merupakan delik biasa, bukan delik aduan.
Delik biasa dapat diproses tanpa adanya persetujuan dari yang dirugikan (korban).
Dasar Hukum:
a. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht, Staatsblad 1915 No
73).
b. Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
5. Sodomi Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UUKDRT)
Mengenai pengenaan pidana bagi setiap orang yang melanggar larangan melakukan
Kekerasan dalam Rumah Tangga yang tersebut dalam BAB III Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang diatur dalam Pasal
5 yang menyatakan : “setiap orang dilarang melakukan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya. Ketentuan tersebut pada pokoknya ada 4
(empat) jenis tindak pidana yang dikualifikasikan sebagai Tindak Pidana Kekerasan dalam
Rumah Tangga adalah
43
a. Kekerasan Fisik
Jenis Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang
pertama
adalah
melakukan kekerasan fisik yang diartikan sebagai perbuatan yang mengakibatkan rasa
sakit, jatuh sakit, atau luka berat (Vide Pasal 6 Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga). Pengertian ini serupa
tapi tidak sama dengan pengertian “penganiayaan” yang tercantum dalam Pasal 351
43
Guse Prayudi, Berbagai Aspek Tindak Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Merkid Press,
Yogyakarta, 2008, h. 37.
TESIS
TINDAK PIDANA TERKAIT...
RATNA WIDYATI
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.44 Perbedaannya yang nyata karena “kekerasan
fisik” diberikan penafsiran otentik dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, sedangkan dalam Pasal
351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tidak dijelaskan pengertian dari
“penganiayaan” tetapi hanya disebut kualifikasi deliknya yaitu “penganiayaan”.
b. Kekerasan Psikis
Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga, yang kedua adalah kekerasan psikis,
dimana menurut Pasal 5 huruf b Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga “dilarang setiap orang melakukan
kekerasan psikis yakni melakukan perbuatan yang mengakibatkan ketakutan,
hilangnya, rasa percaya diri, hilangnya, kemampuan untuk bertindak, rasa tidak
berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang” (Vide Pasal 7 UndangUndang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga). Jenis tindak pidana, “kekerasan psikis” adalah tindak pidana, yang
benar-benar baru karena, tidak ada padanannya, dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana, berbeda dengan tindak pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga dalam
bentuk lainnya yang ada padanannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,
yaitu kekerasan fisik (penganiayaan), kekerasan seksual (kesusilaan) serta
penelantaran rumah tangga, (penelantaran orang yang perlu diberikan nafkah dan
kehidupan).
b. Kekerasan Seksual
44
Pasal 351 KUHP berbunyi : (1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama
dua tahun delapan bulan atau pidana paling banyak empat ribu lima ratus rupiah; (2) Jika perbuatan
itu mengakibatkan luka berat, maka yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama lima
tahun; (3) Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, maka yang bersalah diancam dengan pidana
penjara paling lama lima tahun; (4) Dengan sengaja merusak kesehatan orang disamakan dengan
penganiayaan; (5) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.
TESIS
TINDAK PIDANA TERKAIT...
RATNA WIDYATI
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang ketiga adalah kekerasan
seksual, dimana menurut Pasal 5 huruf c Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004
Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dilarang setiap orang
melakukan kekerasan seksual yakni meliputi:45
1) Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam
lingkup rumah tangga tersebut dan
2) Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah
tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu (Vide
Pasal 8).
Tindak pidana yang sepadan dengan kekerasan seksual dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana adalah perkosaan. Istilah yang digunakan dalam Kitab UndangUndang Hukum Pidana adalah “kejahatan terhadap kesusilaan”, tidak menggunakah
istilah kejahatan seksual (sexual violence) yang diartikan sebagai perbuatan pidana
berkaitan dengan seksualitas yang dapat dilakukan terhadap laki-laki ataupun
perempuan.
Istilah kesusilaan menyebabkan masyarakat terutama aparat hukum sering terjebak
dalam
menempatkan
pasal-pasal
kesusilaan
semata-mata
sebagai
persoalan
pelanggaran terhadap nilai-nilai budaya, norma agama, atau sopan santun yang
berkaitan dengan nafsu perkelaminan (birahi), bukan kejahatan terhadap tubuh dan
jiwa seseorang.
Sedangkan yang dinamakan “pencabulan” adalah segala perbuatan yang melanggar
kesusilaan (kesopanan) atau perbuatan yang keji, semuanya itu dalam lingkungan
45
TESIS
Ibid, h. 70-71.
TINDAK PIDANA TERKAIT...
RATNA WIDYATI
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
nafsu berahi kelamin, misalnya : cium-ciuman, meraba-raba anggota kemaluan,
merabaraba buah dada dan sebagainya. 46
Yang dimaksudkan “hubungan seksual” dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga ini, apakah
kualifikasinya sama dengan “persetubuhan” atau kualifikasinya adalah “persetubuhan
dan juga pencabulan” atau bahkan pengertiannya lebih luas dari bentuk kekerasan
seksual yang dilakukan oleh suami kepada isteri atau sebaliknya. Maka perkara
tersebut sebaiknya menjadi perkara yang ringan dengan syarat
tindak
pidana
tersebut tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan
jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dalam halnya jika kekerasan
seksual tersebut dilakukan kepada selain isteri atau suami maka disini tidak perlu ada
bentuk ringannya.
c. Penelantaran Rumah Tangga
Tindak Pidana Kekerasan dalam Rumah Tangga yang keempat adalah adalah
Penelantaran Orang dalam lingkup rumah tangga, dimana menurut Pasal 5 huruf d
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga dilarang setiap orang melakukan penelantaran rumah tangga, yakni
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004
Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, bahwa:47
1) Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya,
padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau
perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada
orang tersebut.
46
47
TESIS
Ibid.
Ibid. h. 85.
TINDAK PIDANA TERKAIT...
RATNA WIDYATI
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
2) Penelantaran sebagaimana dimaksud ayat (1) juga berlaku bagi setiap orang yang
mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau
melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban
berada di bawah kendali orang tersebut.
Selanjutnya larangan melakukan penelantaran dalam rumah tangga dalam Pasal 5
huruf d diancam dengan pidana dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga sebagai berikut :48
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak
Rp. 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah), setiap orang yang :
1) Menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangganya sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 ayat (1).
2) Menelantarkan orang lain sebagaimana dimaksud Pasal 9 ayat (2).
48
TESIS
Ibid.
TINDAK PIDANA TERKAIT...
RATNA WIDYATI
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
BAB III
PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM PELAKU TINDAK PIDANA SODOMI
TERHADAP ANAK
1. Unsur Pertanggungjawaban
1.1 Pengertian Kesalahan
Kesalahan
dalam
arti
luas:
memiliki
pengertian
yang
sama
dengan
pertanggungjawaban dalam hukun pidana. Kesalahan dalam arti sempit: kesalahan berarti
ke-alpaan. Kesalahan dalam arti bentuk kesalahan : Kesalahan disengaja (dolus/opzet):
Prinsip dari kesengajaan dalam Memori van Toeliching adalah mengetahui (weten) dan
menghendaki (willen) kesalahan karena ke alpaan: Kealpaan terjadi bila pelaku
mengetahui tetapi secara tidak sempurna karena dalam kealpaan seseorang mengalami
sifat kekurangan (kurang hati-hati, kurang teliti dan sebagainya) 49
Beberapa pendapat dari pakar hukum pidana tentang kesalahan (schuld) yang
pada hakikatnya adalah pertanggungjawaban pidana.
a. Menurut Metzger, Kesalahan adalah keseluruhan syarat yang memberi dasar
untuk adanya pencelaan pribadi terhadap pelaku hukum pidana.
b. Menurut Simons, Kesalahan adalah terdapatnya keadaan psikis tertentu pada
seseorang yang melakukan tindak pidana dan adanya hubungan antara keadaan
tersebut dengan perbuatan yang dilakukan, yang sedemikian rupa hingga orang itu
dapat dicela karena melakukan perbuatan tadi. Berdasarkan pendapat ini dapat
disimpulkan adanya dua hal di samping melakukan tindak pidana, yaitu:
1) Keadaan psikis tertentu
49
http://mybatik.wordpress.com/2009/01/29/kesalahan-dalam-hukum-pidana/diakses
tanggal 25 Januari 2015.
TESIS
TINDAK PIDANA TERKAIT...
RATNA WIDYATI
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
2) Hubungan tertentu antara keadaan psikis dengan perbuatan yang dilakukan
hingga menimbulkan celaan
c. Menurut Van Hamel, Kesalahan dalam suatu delik merupakan pengertian
psikologis, berhubungan antara keadaan jiwa pelaku dan terwujudnya unsur-unsur
delik karena perbuatannya. Kesalahan adalah pertanggungjawaban dalam hukum.
d. Menurut Pompe, Pada pelanggaran norma yang dilakukan karena kesalahan,
biasanya sifat melawan hukum itu merupakan segi luarnya. Yang bersifat
melawan hukum adalah perbuatannya, segi dalamnya, yang berhubungan dengan
kehendak pelaku adalah kesalahan. Kesalahan dapat dilihat dari dua sudut, yaitu:
(a) Dari akibatnya, kesalahan adalah hal yang dapat dicela.
(b) Dari hakikatnya, kesalahan adalah hal tidak dihindarinya perbuatan melawan
hukum.
e. Menurut Moeljatno, Orang dapat dikatakan mempunyai kesalahan, jika dia pada
waktu melakukan perbuatan pidana, dapat dilihat dari segi masyarakat dapat
dicela karenanya, yaitu mengapa melakukan perbuatan yang merugikan
masyarakat, padahal mampu untuk mengetahui makna (jelek) perbuatan
tersebut.50
1. Unsur-Unsur Dalam Hukum Pidana
Berkaitan dengan kesalahan yang bersifat psikologis dan kesalahan yang bersifat
normatif, unsur-unsur tindak pidana dan pendapat para pakar mengenai kesalahan,
dapat disimpulkan bahwa kesalahan memiliki beberapa unsur :
a. Adanya kemampuan bertanggung jawab pada si pelaku, dalam arti jiwa si pelaku
dalam keadaan sehat dan normal.
50
TESIS
Teguh Prasetyo, Op. Cit., h.78-80
TINDAK PIDANA TERKAIT...
RATNA WIDYATI
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
b. Adanya hubungan batin antara si pelaku dengan perbuataanya, baik yang
disengaja (dolus) maupun karna kealpaan (culpa)
c. Tidak adanya alasan pemaaf yang dapat menghapus kesalahan.51
2. Pertanggungjawaban
Masalah pertanggujawaban dan khususnya pertanggujawaban pidana mempunyai
kaitan yang erat dengan beberapa hal yang cukup luas. Dapat dipermasalahkan antara
lain:
a. Ada tidaknya kebebasan manusia untuk menentukan kehendak. Antara lain
ditentukan oleh indeterminisme dan determinisme. Sebenarnya manusia itu
mempunyai kebebasan untuk menentukan kehendaknya atau tidak. Kehendak
merupakan aktivitas batin manusia yang pada gilirannya berkaitan dengan
pertanggungjawaban manusia atas perbuatannya. Persoalan ini muncul sebagai
akibat pertentangan pendapat antara klasik (dan neo-klasik) dengan aliran modern.
Aliran klasik mengutamakan kebebasan individu dengan konsekuensi diterimanya
kehendak bebas dari individu. Pendirian mengenai kebebasan individu ini
diragukan oleh aliran modern yang membuktikan melalui psikologi dan psikiatri
bahwa tidak setiap perbuatan manusia itu dapat dipertanggungjawabkan
kepadanya, misalnya saja pada orang gila.
b. Aliran klasik menganut paham indeterminisme, yang mengatakan bahwa manusia
itu dapat menentukan kehendaknya dengan bebas, meskipun sedikit banyak juga
ada faktor lain yang mempengaruhi penentuan kehendaknya, yaitu keadaan
pribadi dan lingkungannya, tetapi pada dasarnya manusia mempunyai kehendak
yang bebas. Sebaliknya aliran modern menganut paham determinisme, dan
mengatakan bahwa manusia sama sekali tidak dapat menentukan kehendaknya
51
TESIS
Ibid, h.82.
TINDAK PIDANA TERKAIT...
RATNA WIDYATI
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
secara bebas kehendak manusia untuk melakukan sesuatu ditentukan oleh
beberapa faktor antara lain yang terpenting adalah faktor lingkungan dan pribadi
dalam menentukan kehendaknya manusia tunduk kepada faktor keturunan dan
selanjutnya didalam hidupnya faktor lingkungan memegang peranan yang sangat
penting oleh karena itu, secara ekstrem beberapa ahli penganut determinisme tidak
mengakui adanya kesalahan dank arena itu manusia tidak boleh dihukum. Tingkat
kemampuan bertanggung jawab : mampu, kurang mampu, atau tidak mampu.
Tentang kemampuan bertanggung jawab ini terdapat beberapa batasan yang
dikemukakan oleh para ahli, antara lain:
a. Simons. Kemampuan bertanggung jawab dapat diartikan suatu keadaan psikis
sedemikian rupa, sehingga penerapan suatu upaya pemidanaan, baik ditinjau
secara umum maupun dari sudut orangnya dapat dibenarkan , selanjutnya
dikatakannya, seorang pelaku tindak pidana mampu bertanggung jawab apabila:
1) Mampu mengetahui atau menyadari bahwa perbuatannya bertentangan dengan
hukum.
2) Mampu menentukan kehendaknya sesuai dengan kesadaran tadi.
b. Van Hamel. Kemampuan bertanggung jawab adalah keadaan normalitas kejiwaan
dan kematangan yang membawa tiga kemampuan yaitu:
1) Mengerti akibat atau nyata dari perbuatan itu sendiri.
2) Menyadari bahwa perbuatannya tidak diperbolehkan oleh masyarakat.
3) Mampu menentukan kehendaknya untuk berbuat.
c. Pompe.
Batasannya
membuat
beberapa
unsur
tentang
pengertian toerekeningsvatbaar heid adalah:
1) Kemampuan berpikir pada pelaku yang memungkinkan pelaku menguasai
pikirannya dan menentukan kehendaknya.
TESIS
TINDAK PIDANA TERKAIT...
RATNA WIDYATI
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
2) Pelaku dapat mengerti makna dan akibat tingkah lakunya.
3) Pelaku dapat menentukan kehendaknya sesuai dengan pendapatnya.
d. Memori van Toeliching. Dikatakan bahwa tidak mampu bertanggung jawab pada
pelaku apabila:
1) Pelaku tidak diberi kebebasan untuk memilih antara berbuat atau tidak berbuat
apa yangoleh undang-undang dilarangnatau diharuskan denganperkataan lain
dalam hal perbuatan yang terpaksa.
2) Pelaku dalam keadaan tertentu sehingga ia tidak dapat menginsyafi bahwa
perbuatannya bertentangan dengan hukum dania tidak mengerti akibat
perbuataanya itu,dengan perkataan lain adanya keadaan payologis seperti gila,
sesat, dan sebagainya.
e. Soedarto. Definisi atau batasan tentang kemampuan bertanggung jawab itu ada
manfaatnya. Tetapi setiap kali dalam kejadian konkret dalam praktik peradilan,
menilai seorang terdakwa dengan ukuran tersebut diatas tidaklah mudah. Sebagai
dasar dapat dikatakan bahwa orang yang normal jiwanya mampu bertanggung
jawab, ia mampu menilai dengan pikiran dan perasaanya bahwa perbuatan itu
dilarang, artinya tidak dikehendaki oleh undang-undang, dan ia seharusnya
berbuat seperti pikiran dan perasaannya itu.
3. Batas umur untuk dianggap mampu atau tidak mampu bertanggung jawab.
Pada waktu KUHP dinyatakan berlaku di Indonesia belum memiliki hukum pidana
yang khusus untuk anak-anak atau orang yang belum dewasa. Hanya terdapat pada
pasal 45, 46, dan 47 KUHP yang mengatur tentang pemidanaan terhadap mereka yang
belum berumur 16 tahun. Pasal 45 tidak bersangkut paut dengan hal apakah seorang
yang masih muda atau anak-anak dianggap pertumbuhan jiwanya sempurna atau
belum, tetapi hanya mengatur tentang apa yang dapat dilakukan oleh hakim dalam
TESIS
TINDAK PIDANA TERKAIT...
RATNA WIDYATI
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
mengambil keputusan terhadap orang yang belum berumur 16 tahun jika ia
melakukan tindak pidana, dikatakan didalamnya bahwa dalam hal demikian hakim
dapat memerintahkan agar :
1) Yang bersalah dikembalikan kepada orang tua atau walinya tanpa dipidana.
2) Yang bersalah diserahkan kepada pemerintah tanpa dipidana untuk kejahatan
atau pelanggaran tertentu, selanjutnya diserahkan kepada orang tua atau
lembaga pendidikan sampai berumur 18 tahun (pasal 46 KUHP).
Menjatuhkan pidana dengan ancaman maksimumnya dikurangi dengan sepertiga dari
ancaman pidana biasa, atau 15 tahun penjara untuk tindak pidana yang diancam
dengan pidana mati. Juga ada dalam hal diputuskan pidana tambahan hanya dapat
dijatuhkan pidana tambahan perampasan barang-barang tertentu.52
4. Bentuk-Bentuk Kesalahan
Ilmu hukum pidana mengenal dua bentuk kesalahan, yaitu kesengajaan atau
dolus dankealpaan atau culpa. Sebagian besar pasal-pasal dalam KUHP membuat
kesalahan dalam bentuk kesengajaan dengan menggunakan berbagai rumusan, di
samping beberapa tindak pidana yang dilakukan dengan kealpaan, misalnya saja
pada Pasal 359 dan 360 KUHP yang sering diterapkan di dalam kasus kecelakaan
lalu lintas. Beberapa bentuk kesalahan yaitu :
a. Kesengajaan (dolus)
Dolus dalam bahasa Belanda disebut opzet dan dalam bahasa inggris disebut
intention yang dalam bahasa Indonesia dapat diartikan sengaja atau
kesengajaan. Pertama-tama perlu diketahui dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (KUHP) sendiri tidak merumuskan apa yang dimaksud
dengan opzet. Walaupun demikian, pengertisn opzet ini sangat penting, oleh
52
TESIS
Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2012., h. 83-87
TINDAK PIDANA TERKAIT...
RATNA WIDYATI
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
karena dijadikan unsur sebagian peristiwa pidana disamping peristiwa yang
mempunyai unsur culpa.53
KUHP sendiri tidak menjelaskan pengertian kesengajaan dan kealpaan itu.
Oleh Memori van Toeliching dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan
kesengajaan adalah willens en watens yang artinya adalah menghendaki
dan menginsyafi atau mengetahui atau secara agak lengkap seseorang yang
melakukan suatu perbuatan dengan sengaja harus menghendaki perbuatannya
itu dan harus menginsyafi atau mengetahui akibat yang mungkin akan terjadi
karena perbuatannya.
Mengenai kealpaan, hanya sekedar dilaskan bahwa kealpaan atau culpa adalah
kebalikan dari dolus disatu pihak dan kebalikan dari kebetulan dipihak
lain. Kiranya kata kebalikan adalah kurang tepat, karena kebalikan putih
bukan selalu hitam.
Unsur kesengajaan dan kealpaan ini hanya berlaku untuk kejahatan dan tidak
untuk pelanggaran. Mengenai pengertian menghendaki tersebut, kehendak itu
dapat ditujukan kepada :
(a) Perbuatannya yang dilarang
(b) Akibatnya yang dilarang
(c) Keadaan yang merupakan unsur tindak pisana.
Kesengajaan yang hanya ditujukan kepada perbuatannya yang dilarang disebut
kesengajaan formal, sedangkan yang ditujukan kepada akibatnya adalah
kesengajaan material. 54
53
Kansil, C. S. T., dan Christine S. T. Kansil, Pokok-Pokok Hukum Pidana, Cet. I, Pradnya
Paramita, Jakarta, 2004, h.51.
TESIS
TINDAK PIDANA TERKAIT...
RATNA WIDYATI
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
Ada pakar-pakar hukum pidana yang mengatakan bahwa tidak mungkin
seseorang itu menghendaki akibat, karena paling banter orang hanya biasa
membayangkan akibat, sebab mungkin terdapat faktor-faktor X yang berada
diluar kekuasaanya yang memengaruhi hubungan sebab akibat itu. Oleh
karena itu, terdapat teori-teori dalam hal ini, yaitu:
(a) Teori Kehendak (Von Hippel). Teori ini mengatakan bahwa inti
kesengajaan adalah kehendak untuk mewujudkan unsur-unsur delik dalam
rumusan undang-undang. Artinya bahwa pelaku kejahatan berkehendak
melakukan perbuatan yang dipidana hukum dan menginginkan akibatnya.
Teori ini adalah yang paling kuat. Dari penjelasan dan teori di atas dapat
disimpulkan
bahwa
kesalahan
disengaja
adalah menghendaki
dan
mengetahui perbuatan yang dilakukan, yang mana perbuatan itu dipidana
secara hukum, serta menghendaki akibat dari perbuatan tersebut. 55
Menurut teori ini sengaja adalah kehendak untuk melakukan suatu
perbuatan atau tindakan dan kehendak untuk menimbulkan suatu akibat
karena perbuatannya itu. Dengan perkataan lain dapat dikatakan sebagai
sengaja apabila suatu perbuatan itu dikehendaki, dan akibat perbuatan itu
benar-benar menjadi maksud dari perbuatan yang dilakukan.56
(b) Teori Membayangkan (Frank). Teori ini mengatakan bahwa sengaja
berarti mengetahui dan dapat membayangkan kemungkinan akan akibat
yang timbul dari perbuatannya tanpa ada kehendak atau maksud untuk
akibat tersebut.
54
Teguh Prasetyo, Op., Cit., h.95-96
http://mybatik.wordpress.com/2009/01/29/kesalahan-dalam-hukum-pidana/diakses
tanggal 25 Januari 2015.
56
Teguh Prasetyo, Op., Cit., h.96-97
55
TESIS
TINDAK PIDANA TERKAIT...
RATNA WIDYATI
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
Menurut teori ini berdasarkan alasan psikologis tidak mungkin suatu
akibat itu dapat dikehendaki. Manusia hanya bias menginginkan,
mengharapkan atau membayangkan (voorstellen) kemungkinan akibat
yang akan terjadi. Dirumuskan bahwa sengaja adalah apabila suatu akibat
dibayangkan sebagai maksud, dan oleh karena itu perbuatan tersebut
dilakukan oleh yang bersangkutan sesuai dengan bayangan yang telah
dibuatnya lebih dahulu.57
Terhadap teori-teori ini Van Hattum mengatakan bahwa pada hakikatnya
tidak ada perbedaan antara keduanya. Perbedaanya tidak terletak di bidang
yuridis melainkan dibidang psikologis. Keduanya mengakui bahwa
didalam kesengajaan harus ada kehendak untuk berbuat. Soedarto
mengatakan didalam praktik penggunaan keduanya sama saja, yang
berbeda hanya terminologi dan istilahnya saja. 58
b. Corak kesengajaan
Ditinjau dari sikap batin pelaku, terdapat tiga corak kesengajaan :
(a) Kesengajaan Sebagai Maksud (dolus directus)
Corak kesengajaan ini adalah yang paling sederhana, yaitu perbuatan
pelaku
memang
dikehendaki
dan
ia
juga
menghendaki
(atau
membayangkan) akibatnya yang dilarang. Kalau akibat yang dikehendaki
atau dibayangkan ini tidak aka nada, ia tidak akan akan melakukan
berbuat.
(b) Kesengajaan dengan Sadar Kepastian
57
http://mybatik.wordpress.com/2009/01/29/kesalahan-dalam-hukum-pidana/diakses
tanggal 25 Januari 2015.
58
Teguh Prasetyo, Op., Cit., h.97
TESIS
TINDAK PIDANA TERKAIT...
RATNA WIDYATI
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
Corak kesengajaan dengan sadar kepastian bersandar kepada akibatnya.
Akibat itu dapat merupakan delik tersendiri ataupun tidak. Tetapi
disamping akibat tersebut ada akibat lain yang tidak dikehendaki yang
pasti akan terjadi.
(c) Kesengajaan dengan Sadar Kemungkinan (dolus eventualis)
Corak kesengajaan dengan sadar kemungkinan ini kadang-kadang disebut
sebagai kesengajaan dengan syarat. Pelaku berbuat dengan menghendaki
atau membayangkan akibat tertentu sampai disini hal itu merupakan
kesengajaan sebagai maksud tetapi disamping itu mungkin sekali terjadi
akibat lain yang dilarang yang tidak dikehendaki atau dibayangkan.
c. Macam-macam dolus atau kesengajaan59
Ilmu hukum mengenal beberapa jenis kesengajaan, yaitu:
(a) Dolus premeditatus yaitu dolus yang direncanakan, sehingga di rumuskan
dengan istilah dengan rencana lebih dahulu (meet voorbedachte raad)
untuk ini
perlu ada
waktu untuk memikirkan dengan tenang,
pembuktiannya disimpulkan dari keadaan yang objektif.
(b) Dolus
determinatus dan dolus
indeterminatus, yang
pertama
adalah
kesengajaan dengan tujuan yang pasti, misalnya menghendaki matinya
orang tertentu, sedang yang kedua kesengajaan yang tanpa tujuan tertentu
59
Rumusan Kesengajaan dalam bahasa Belanda istilah untuk kesengajaan atau opzet ini
tidak seragam tetapi terdapat berbagai cara merumuskan kesengajaan antara lain : (Optezettelijk)
dengan sengaja; (Wetende dat) sedangkan ia mengetahui; (Waarvan hij weet) yang diketahuimya;
(Van wie hij weet) yang diketahuimya; (Kennis dragende van) yang diketahuimya; (Met het
oogmerk) dengan maksud; (Waarvan hij bekend is) yang diketahuimya; (Waarvan hij kent) yang
diketahuimya; (Tegen beter wetenin hiu) bertentangan dengan yang diketahuimya; (Met het
kennelijk doel) dengan tujuan yang diketahuinya.
TESIS
TINDAK PIDANA TERKAIT...
RATNA WIDYATI
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
atau tujuan acak (rendom), misalnya menembakkan senjata kearah
sekelompok orang, memasukkan racun ke dalam reservoir air minum.
(1) Dolus alternativus, yaitu kesengajaan menghendaki sesuatu tertentu
atau yang lainnya (alternatifnya) juga akibat yang lain.
(2) Dolus indirectus, yaitu kesengajaan melakukan perbuatan yang
menimbulkan akibat yang tidak diketahui oleh pelakunya misalnya,
didalam perkelahian seseorang memukul lawannya tanpa maksud
untuk membunuh.
(3) Dolus directus, yaitu kesengajaan yang ditujukan bukan hanya kepada
perbuatannya saja, melainkan juga pada akibatnya.
(4) Dolus generalis, yaitu kesengajaan di mana pelaku menghendaki akibat
tertentu, dan untuk itu ia telah melakukan beberapa tindakan, misalnya
untuk
melakukan
pembunuhan,
mula-mula
lawannya
dicekik,
kemudian dilemparkan ke sungai, karena mengira lawannya telah
mati.60
d. Culpa atau Kealpaan
Arti kata culpa atau kelalaian ini ialah kesalahan pada umumnya, akan
tetapi culpa pada ilmu pengetahuan hukum mempunyai arti teknis yaitu suatu
macam kesalahan sebagai akibat kurang berhati-hati sehingga secara tidak sengaja
sesuatu terjadi. KUHP tidak menegaskan apa arti kealpaan sedang Vos
menyatakan bahwa culpa mempunyai dua unsur yaitu:
(a) Kemungkinan pendugaan terhadap akibat
(b) Tidak berhati-hati mengenai apa yang diperbuat atau tidak diperbuat.61
60
61
TESIS
Teguh Prasetyo, Op., Cit., h.97-106
Kansil, C. S. T., dan Christine S. T. Kansil, Op., Cit., h.54-55
TINDAK PIDANA TERKAIT...
RATNA WIDYATI
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
Bentuk kesalahan yang kedua adalah kealpaan atau culpa. Keterangan resmi
pembentuk KUHP mengenai persoalan mengapa culpa juga diancam dengan
pidana, walaupun dengan ringan, adalah bahwa berbeda dengan kesengajaan atau
dolus yang sifatnya menentang larangan justru dengan melakukan perbuatan yang
dilarang. Beberapa pakar memberikan pengertian atau syarat culpa sebagai
berikut:
(a) Menurut Simons mempersyaratkan dua hal :
(1) tidak adanya kehati-hatian;
(2) kurangnya perhatian terhadap kaibat yang mungkin terjadi.
(b) Menurut Van Hamel ada dua syarat yaitu :
(1) Tidak adanya penduga-duga yang diperlukan;
(2) Tidak adanya kehati-hatian yang diperlukan.62
e. Bentuk-bentuk kealpaan :
(a) Kealpaan yang disadari (bewuste), seseorang melakukan sesuatu
perbuatan yang sudah dapat di bayangkan akibat buruk akan terjadi, tapi
tetap melakukannya.
(b) Kealpaan yang tidak disadari, bila pelaku tidak dapat membayangkan
sama sekali akibat yang ditimbulkan oleh perbuatannya yang seharusnya
di bayangkan.
Analisis dari kesalahan dalam hukum pidana adalah yaitu pengertian kesalahan
adalah keseluruhan syarat yang memberi dasar untuk adanya pencelaan pribadi
yang berhubungan antara keadaan jiwa pelaku dan terwujudnya unsur delik karena
perbuatan kerena kesalahan adalah pertanggungjawaban dalam hukum. Sedangkan
unsur-unsur kesalahan yaitu Adanya kemampuan bertanggung jawab pada si
62
TESIS
Teguh Prasetyo, Op., Cit., h.106
TINDAK PIDANA TERKAIT...
RATNA WIDYATI
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
pelaku, dalam arti jiwa si pelaku dalam keadaan sehat dan normal. Adanya
hubungan batin antara si pelaku dengan perbuataanya, baik yang disengaja (dolus)
maupun karna kealpaan (culpa). Tidak adanya alasan pemaaf yang dapat
menghapus kesalahan. Bentuk kesalahan yaitu dolus yang tidak dirumuskan dalam
KUHP tetapi dijadikan unsur sebagai peristiwa pidana disamping peristiwa yang
punya unsur culpa. Culpa atau kelalaian suatu macam kesalahan sebagai akibat
kurang berhati-hati sehingga tidak disengaja sesuatu terjadi.
Kesimpulan kesalahan menurut Penulis :
a. Kesalahan adalah keseluruhan syarat
yang memberi dasar untuk adanya
pencelaan pribadi terhadap pelaku hukum pidana, berhubungan antara keadaan
jiwa pelaku dan terwujudnya unsur-unsur delik karena perbuatannya.
b. Unsur-unsur kesalahan yaitu, kesalahan adalah pertanggung jawaban dalam
hukum, adanya kemampuan bertanggung jawab pada si pelaku, dalam arti jiwa si
pelaku dalam keadaan sehat dan normal. adanya hubungan batin antara si pelaku
dengan perbuataanya, baik yang disengaja (dolus) maupun karna kealpaan (culpa),
tidak adanya alasan pemaaf yang dapat menghapus kesalahan.
c. Bentuk kesalahan yaitu dolus dan culpa.
2. Pengertian Pertanggungjawaban
Pertanggungjawaban
pidana
dalam
istilah
asing
tersebut
juga
dengan
teorekenbaardheid atau criminal responsibility yang menjurus kepada pemidanaan petindak
TESIS
TINDAK PIDANA TERKAIT...
RATNA WIDYATI
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
dengan maksud untuk menentukan apakah seseorang terdakwa atau tersangka dipertanggung
jawabkan atas suatu tindakan pidana yang terjadi atau tidak.63
Secara subjektif kepada pembuat yang memenuhi syarat-syarat dalam undang-undang
(pidana) untuk dapat dikenai pidana karena perbuatannya itu. Sedangkan, syarat untuk
adanya pertanggungjawaban pidana atau dikenakannya suatu pidana, maka harus ada unsur
kesalahan berupa kesengajaan atau kealpaan.
Dalam Pasal 34 KUHP memberikan definisi pertanggungjawaban pidana sebagai
berikut: Pertanggungjawaban pidana ialah diteruskannya celaan yang objektif yang ada pada
tindak pidana dan secara subjektif kepada seseorang yang memenuhi syarat untuk dapat
dijatuhi pidana karena perbuatanya itu.
Di dalam penjelasannya dikemukakan Tindak pidana tidak berdiri sendiri itu baru
bermakna manakala terdapat pertanggungjawaban pidana. Ini berarti setiap orang yang
melakukan tindak pidana tidak dengan sendirinya harus dipidana. Untuk dapat dipidana harus
ada pertanggungjawaban pidana. Pertanggungjawaban pidana lahir dengan diteruskannya
celaan (vewijbaarheid) yang objektif terhadap perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak
pidana
yang berlaku, dan
secara
subjektif
kepada
pembuat
tindak
pidana
yang memenuhi persyaratan untuk dapat dikenai pidana karena perbuatannya.
Dalam bahasa Belanda, istilah pertanggungjawaban pidana menurut Pompe terdapat
padanan katanya, yaitu aansprakelijk, verantwoordelijk, dan toerekenbaar.64 Orangnya yang
aansprakelij atau verantwoordelijk, sedangkan toerekenbaar bukanlah orangnya, tetapi
perbuatan yang dipertanggungjawaban kepada orang. Biasa pengarang lain memakai
63
http://saifudiendjsh.blogspot.com/2009/08/pertanggungjawaban-pidana.html/ diakses
tanggal 25 Januari 2015.
64
Andi Hamzah. Asas Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2008, h.131
TESIS
TINDAK PIDANA TERKAIT...
RATNA WIDYATI
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
istilah toerekeningsvatbaar. Pompee keberatan atas pemakaian istilah yang terakhir, karena
bukan orangnya tetapi perbuatan yang toerekeningsvatbaar.65
Kebijakan menetapkan suatu sistem pertanggungjawaban pidana sebagai salah satu
kebijakan kriminal merupakan
persoalan pemilihan dari berbagai alternatif. Dengan
demikian pemilihan dan penetapan sistem pertanggungjawaban pidana
tidak
dapat
dilepaskan dari berbagai pertimbangan yang rasional dan bijaksana sesuai dengan keadaan
dan perkembangan masyarakat. Sehubungan dengan masalah tersebut di atas maka Romli
Atmasasmita menyatakan sebagai berikut : “Berbicara tentang konsep liability atau
“pertanggungjawaban” dilihat dari segi falsafat hukum, seorang filosof besar dalam
bidang hukum pada abad ke 20, RoscouPound, dalam An Introduction to the Philosophy of
Law,
telah mengemukakan pendapatnya “I …. Use thesimple word“liability” for
the
situation whereby one exac legally and other is legally subjected to the exaction”66
Bertitik tolak pada rumusan tentang “pertanggungjawaban” atau liability tersebut
diatas, Pound membahasnya dari sudut pandang filosofis dan sistem hukum secara timbal
balik. Secara sistematis, Pound lebih jauh menguraikan perkembangan konsepsi liability.
Teori pertama, menurut Pound, bahwa liability diartikan sebagai suatu kewajiban
untuk membayar pembalasan yang akan diterima pelaku dari seseorang yang telah
“dirugikan”. Sejalan dengan semakin efektifnya perlindungan undang undang terhadap
kepentingan masyarakat akan suatu kedamaian dan ketertiban, dan adanya keyakinan bahwa
“pembalasan” sebagai suatu alat penangkal, maka pembayaran “ganti rugi” bergeser
kedudukannya, semula sebagai suatu “hak istimewa” kemudian menjadi suatu “kewajiban”.
65
W.P.J. Pompe, Op., Cit., h. 190
66
Romli Atmasasmita, Asas-asas Perbandingan Hukum Pidana, Cetakan Pertama,
LBH, Jakarta, 1989, h.79
TESIS
TINDAK PIDANA TERKAIT...
Yayasan
RATNA WIDYATI
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
Ukuran “ganti rugi” tersebut tidak lagi dari nilai suatu pembalasan yang harus “dibeli”,
melainkan dari sudut kerugian atau penderitaan yang ditimbulkan oleh perbuatan pelaku
yang bersangkutan.67
a. Sistem Pertanggungjawaban Pidana Dalam Hukum Pidana Positif
Pembicaraan mengenai pertanggungjawaban pidana tidak dapat dilepaskan dari
pembicaraan
mengenai
perbuatan
pidana.
Orang
tidak
mungkin
dipertanggungjawabkan untuk dipidana, apabila ia tidak melakukan tindak pidana.
Bila digambarkan bahwa dalam menjatuhkan pidana unsur “tindak
pidana” dan
“pertanggungjawaban pidana” harus dipenuhi.
Unsur
tindak
pidana
dan
kesalahan
(kesengajaan)
adalah unsur
yang
sentral dalam hukum pidana. Unsur perbuatan pidana terletak dalam lapangan
objektif
yang
diikuti
oleh
unsur sifat
melawan hukum,
sedangkan
unsur
pertanggungjawaban pidana merupakan unsur subjektif yang terdiri dari kemampuan
bertanggung jawab dan adanya kesalahan (kesengajaan dan kealpaan).
1) Sistem Pertanggungjawaban Pidana dalam KUHP
KUHP tidak menyebutkan secara eksplisit sistem pertanggung jawaban pidana
yang dianut. Beberapa pasal KUHP sering menyebutkan kesalahan berupa
kesengajaan atau kealpaan. Namun sayang, kedua istilah tersebut tidak dijelaskan
lebih lanjut oleh undang-undang tentang maknanya. Jadi baik kesengajaan
maupun kealpaan tidak ada keterangan lebih lanjut dalam KUHP. Dari
rumusan yang tidak jelas itu, timbul pertanyaan, apakah pasal-pasal tersebut
sengaja dibuat begitu, dengan maksud ke arah pertanggungjawaban terbatas
67
TESIS
Ibid, h. 80
TINDAK PIDANA TERKAIT...
RATNA WIDYATI
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
(strict liability). Kalau benar, tanpa disadari sebenarnya KUHP juga menganut
pengecualian terhadap asas kesalahan, terutama terhadap pasal-pasal pelanggaran.
2) Sistem Pertanggungjawaban Pidana di Luar KUHP
Untuk
mengetahui
kebijakan
legislatif
dalam
menetapkan
sistem
pertanggungjawaban pidana di luar KUHP, Seperti contoh dalam perundangundangan dibawah ini :
(a) UU No. 7 Drt. Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi;
(b) UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika;
(c) UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika.
(d) UU No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Undang-undang
tersebut
sengaja
dipilih
khusus
yang
menyimpang
dari ketentuan KUHP dan KUHAP yang bersifat umum, terutama mengenai subjek
delik dan pertanggungjawaban pidana, serta proses beracara di pengadilan. Dari
masing-masing undang-undang tersebut dapat dianalisis kecenderungan legislatif
dalam menetapkan sistem pertanggungjawaban pidana sesuai dengan perkembangan
sosial ekonomi. Masyarakat yang berdampak pada perkembangan kejahatan. Baik
negara-negara civil law maupun common law, umumnya pertanggungjawaban pidana
dirumuskan secara negatif. Hal ini berarti dalam hukum pidana Indonesia,
sebagaimana civil law sistem lainnya, undang-undang justru merumuskan keadaankeadaan yang dapat menyebabkan pembuat tidak dipertanggungjawabkan. 68
Perumusan pertanggungjawaban pidana secara negatif dapat terlihat dari ketentuan
Pasal 44, 48, 49, 50, dan 51 KUHP. Kesemuanya merumuskan hal-hal yang dapat
mengecualikan pembuat dari pengenaan pidana.
68
TESIS
Andi Zaenal Abidin, Hukum Pidana I, Sinar Grafika, Jakarta, 1983, h. 260
TINDAK PIDANA TERKAIT...
RATNA WIDYATI
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
Perumusan negatif tersebut berhubungan dengan fungsi represif hukum pidana.
Dalam hal ini, dipertanggungjawabkannya seseorang dalam hukum pidana berarti
dipidana. Dengan demikian, konsep pertanggungjawaban pidana merupakan syaratsyarat yang diperlukan untuk mengenakan pidana terhadap seorang pembuat tindak
pidana.69
Pertanggungjawaban pidana dapat dihubungkan dengan fungsi preventif hukum
pidana.70 Pada konsep tersebut harus terbuka kemungkinan untuk sedini mungkin
pembuat menyadari sepenuhnya konsekuensi hukum perbuatannya. Dengan demikian,
konsekuensi atas tindak pidana merupakan risiko yang sejak awal dipahami oleh
pembuat.
Pertanggungjawaban pidana adalah pertanggungjawaban orang terhadap tindak
pidana yang dilakukannya. Tegasnya, yang dipertanggungjawabkan orang itu adalah
tindak pidana yang dilakukannya. Maka terjadinya pertanggungjawaban pidana
karena telah ada tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang. Pertanggungjawaban
pidana pada hakikatnya merupakan suatu mekanisme yang dibangun oleh hukum
pidana untuk bereaksi terhadap pelanggaran atas “kesepakatan menolak” suatu
perbuatan
tertentu.
Dapat
dikatakan
bahwa
orang
tidak
mungkin
dipertanggungjawabkan dan dijatuhi pidana jika ia tidak melakukan tindak pidana.
Tetapi meskipun ia telah melakukan tindak pidana, tidak pula selalu ia akan dijatuhi
pidana. Pembuat suatu tindak pidana akan hanya akan dipidana jika ia mempunyai
kesalahan dalam melakukan tindak pidana tersebut. Kapankah orang dikatakan
mempunyai kesalahan, adalah hal yang merupakan masalah pertanggungjawaban
pidana.
69
Chaerul Huda. Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju
Pertanggungjawaban Pidana tanpa Kesalahan, Kencana, Jakarta, 2006 h.62
70
Ibid, h. 63
TESIS
TINDAK PIDANA TERKAIT...
Kepada
Tiada
RATNA WIDYATI
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
b. Menurut Undang-Undang Perlindungan Anak
Kekerasan terhadap anak ternyata masih terus terjadi. Setiap hari ratusan ribu bahkan
jutaan anak Indonesia mencari nafkah di terik matahari, di kedinginan malam, atau di
tempat-tempat yang berbahaya, ada anak yang disiksa orang tuanya atau orang yang
memeliharanya. Akan tetapi yang dimaksud dengan kekerasan terhadap anak, adalah
sebagaimana diungkapkan beberapa ahli sebagai berikut :
1) Menurut James Vander Zanden dalam bukunya Human Development (1989)
menyebutkan definisi abuse (kekerasan / penyiksaan) sebagai serangan fisik (bisa
menyebabkan luka) dan dilakukan dengan sengaja oleh orang yang seharusnya
jadi care taker.
2) Menurut David A Wolfe dalam bukunya Child Abuse, mengatakan bahwa
maltreatment terhadap anak bisa berbentuk physical abuse, emotional abuse,
sexual abuse dan neglect (pengabaian). Pengabaian dapat diartikan sebagai
ketiadaan perhatian baik sosial, emosional dan fisik yang memadai, yang sudah
selayaknya diterima oleh sang anak.
c. Menurut Undang-Undang Kekerasan Dalam Rumah Tangga meliputi :
1) Suami, isteri, dan anak.
2) Orang–orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana
dimaksud pada huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan,
pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga.
3) Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga
tersebut.71
71
Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam rumah Tangga 2004, Sinar Grafika,
Jakarta, 2005, h.3.
TESIS
TINDAK PIDANA TERKAIT...
RATNA WIDYATI
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
Menurut pendapat penulis secara umum, dapat diambil kesimpulan bahwa kekerasan
terhadap anak dalam rumah tangga adalah kekerasan menyalahi hak individu lain
dengan menyalahi hak individu lain dengan tanpa memperdulikan latar belakang ras,
etnis, atau kelompok sosial dan ekonomi tertentu baik itu bersifat fisik, seksual,
psikologis, ekonomi ataupun lainnya yang masih tercakup dalam makna kekerasan.
3. Analisis dan Pembahasan Studi Kasus-Kasus
3.1 Analisa P U T U S AN No. 24 PK/Pid/2003
Memeriksa perkara pidana dalam peninjauan kembali telah memutuskan sebagai
berikut dalam perkara Terpidana :
Nama
: SISWANTO alias ROBOT ;
Tempat lahir
: Pekalongan Jawa Tengah ;
Umur / tanggal lahir
: 33 tahun/4 Juni 1963
Jenis kelamin
: Laki-laki ;
Kebangsaan
: Indonesia ;
Tempat tinggal
: - Di Jakarta Tuna Wisma.
- Desa Ketandan, Kecamatan Batang, Kabupaten
Pekalongan, Jawa Tengah ;
Agama
: Islam ;
Pekerjaan
: Tunakarya ;
Membaca surat dakwaan Jaksa/Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Jakarta
Pusat sebagai berikut :
Pertama :
TESIS
TINDAK PIDANA TERKAIT...
RATNA WIDYATI
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
Primair : Bahwa ia terdakwa Siswanto alias Robot pada waktu-waktu yang tidak
dapat diingat lagi di antara tahun 1995 sampai dengan bulan Mei 1996 atau
setidak-tidaknya pada waktu-waktu lain dalam tahun 1995 sampai dengan tahun
1996, di bekas Bandara Kemayoran Jakarta Pusat atau setidak-tidaknya pada
suatu tempat daerah hukum Pengadilan Negeri Jakarta Pusat atau Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat berwenang memeriksa dan mengadili perkara tersebut, telah
melakukan beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai perbuatan yang
berdiri sendiri-sendiri, sehingga merupakan beberapa kejahatan yang diancam
dengan pidana pokok yang sejenis, dengan sengaja dan direncanakan lebih dahulu
menghilangkan jiwa orang lain. Perbuatan mana diatur dan diancam pidana oleh
Pasal 65 ayat (1) dari KUH Pidana Jo. Pasal 340 dari KUH Pidana ;
Subsidair : Bahwa ia terdakwa Siswanto alias Robot pada dan tempat
sebagaimana diuraikan dalam dakwaan primair di atas, telah melakukan beberapa
perbuatan yang harus dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri-sendiri,
sehingga merupakan beberapa kejahatan yang diancam dengan pidana pokok
yang sejenis, dengan sengaja menghilangkan jiwa orang lain.
Perbuatan mana diatur dan diancam pidana oleh Pasal 65 ayat (1) dari KUH
Pidana Jo. Pasal 338 dari KUH Pidana ;
Kedua :
Bahwa ia terdakwa Siswanto alias Robot pada waktu-waktu yang tak dapat
diingat lagi di antara tahun 1995 sampai dengan bulan Mei 1996 atau setidaktidaknya pada waktu-waktu dalam tahun 1995 sampai dengan tahun 1996, di
Pasar Senen Jakarta Pusat atau setidak-tidaknya pada suatu tempat di dalam
TESIS
TINDAK PIDANA TERKAIT...
RATNA WIDYATI
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
daerah hukum Pengadilan Negeri Jakarta Pusat atau Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat berwenang memeriksa dan mengadili perkara tersebut, telah melakukan
beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendirisendiri sehingga merupakan beberapa kejahatan yang diancam dengan pidana
pokok yang sejenis, orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang
yang belum dewasa dari jenis kelamin yang sama, sedang diketahuinya atau patut
harus disangkanya belum dewasa. Perbuatan mana diatur dan diancam pidana
oleh Pasal 65 ayat (1) dari KUH Pidana Jo. Pasal 292 dari KUH Pidana ;
Membaca tuntutan Jaksa/Penuntut Umum tanggal 6 Mei 1997 yang isinya adalah
sebagai berikut :
1. Menyatakan Terdakwa Siswanto alias Robot bersalah melakukan tindak
pidana :
-
Pembunuhan berencana, Sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal
65 ayat (1) dari KUHPidana Jo. Pasal 340 dari KUHPidana, dalam surat
Dakwaan Pertama
Primair ;
2. dan orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain yang
sejenis, yang diketahui atau patut diduga belum cukup umur ;
sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 65 ayat (1) dari
KUHPidana Jo. Pasal 292 dari KUHPidana, dalam surat Dakwaan Kedua ;
-
Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa Siswanto alias Robot dengan pidana
mati ;
3. Menyatakan barang bukti berupa :
TESIS
TINDAK PIDANA TERKAIT...
RATNA WIDYATI
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
-
Sehelai baju kaos dikembalikan kepada ahli waris yang berhak ;
-
Sebilah pisau lipat dan pisau silet dirampas untuk dimusnahkan ;
4. Menetapkan biaya perkara ditanggung negara ;
Membaca putusan Mahkamah Agung RI No. 1467 K/Pid/1997 tanggal 23 Januari
1998 yang amar lengkapnya sebagai berikut :
Menyatakan
tidak
dapat
diterima
permohonan
kasasi
dari
Pemohon
Kasasi/Terdakwa : SISWANTO ALIAS ROBOT tersebut ;
Membebani Pemohon Kasasi/Terdakwa tersebut untuk membayar biaya perkara
dalam tingkat kasasi ini sebesar Rp 2.500,- (dua ribu lima ratus rupiah) ;
Membaca surat-surat yang bersangkutan ;
Menimbang, bahwa putusan Mahkamah Agung tersebut telah diberitahukan
kepada Pemohon Peninjauan Kembali pada tanggal 18 Maret 1998 dengan
demikian putusan tersebut telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap ;
Menimbang, bahwa alasan-alasan yang diajukan oleh Pemohon Peninjauan
Kembali pada pokoknya adalah sebagai berikut :
1. Bahwa putusan judex facti, amatlah berat dan tidaklah lazim untuk dijatuhkan
terhadap Pemohon Peninjauan Kembali/ Terdakwa. Karena selaku Penasihat
Hukum
Terpidana
merasa
berkewajiban
untuk
mengambil
inisiatif
mengajukan permohonan peninjauan kembali dengan harapan agar terhadap
Pemohon Peninjauan Kembali/Terdakwa sebelum dijatuhi vonis terlebih
dahulu diperiksa kondisi mental/kejiwaannya, hal mana permohonan tersebut
telah diajukan sejak tingkat penyidikan hingga tingkat peradilan.
2. Namun hingga memori peninjauan kembali ini diajukan Pemohon Peninjauan
TESIS
TINDAK PIDANA TERKAIT...
RATNA WIDYATI
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
Kembali/ Terdakwa tidak pernah sama sekali diperiksa ke Psychiate oleh
judex facti sebagaimana dimaksud Pasal 180 ayat (1) KUHAP jo. UU
Kesehatan Jiwa No. 3/1996 jo. Peraturan Menteri Kesehatan RI Tahun 1970 ;
3. Bahwa alasan tersebut mengingat tindak pidana yang dilakukan Pemohon
Peninjauan Kembali/Terdakwa adalah suatu perbuatan yang sangat mustahil
dilakukan oleh orang yang mempunyai akal yang sehat/normal, sehingga
sangatlah salah apabila judex facti “secara sepihak”, sebagai pihak yang tidak
berkompeten menyatakan bahwa Pemohon Peninjauan Kembali/Terdakwa
tidak mempunyai kelainan jiwa/ mental, tanpa melalui proses pemeriksaan
dari ahlinya Psychiater;
4. Bahwa alasan untuk mengkualifisir Pemohon Peninjaun Kembali/ Terdakwa
adalah orang yang tidak sehat/akal jiwanya bukanlah suatu yang terlalu
mengada-ada, karena apabila kita melihat dan memperhatikan serta mengenal
Pemohon Peninjauan Kembali lebih jauh mengenai penampilan, pola pikir
serta gaya dan isi bicaranya sangatlah aneh dan tidak wajar untuk seorang
yang mempunyai akal sehat/normal. Contoh ketika Pemohon Peninjaun
Kembali/Terdakwa diberitahu tentang putusan banding dan seketika itu pula
menyatakan kasasi atas perkara a quo, tanpa mengerti dan mempergunakan
hak dan kewajibannya dengan baik, termasuk dalam hal ini memberitahu dan
melakukan konsultasi terlebih dahulu dengan penasehat hukumnya, hingga
pada akhirnya Pemohon Peninjauan Kembali/Terdakwa maupun sebagai
penasihat hukumnya tidak menyertakan memori kasasi sebagai syarat mutlak
pemeriksaan dalam tingkat kasasi ; Oleh karenanya pemeriksaan Pemohon
Peninjauan Kembali/Terdakwa melalui Psychiater sangatlah penting. Hal ini
selain dapat dijadikan sebagai Novum sebagai syarat dalam mengajukan
TESIS
TINDAK PIDANA TERKAIT...
RATNA WIDYATI
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
permohonan peninjauan kembali, juga dapat dijadikan sebagai landasan
yuridis apakah dalam perkara a quo dapat diberlakukan pasal 44 KUHP
ataukah tidak ;
5. Bahwa alasan lain diajukan peninjauan kembali adalah pertimbangan judex
facti yang menyatakan terdakwa telah melakukan “Pembunuhan Berencana”.
Hal tersebut adalah suatu pertimbangan yang tidak terbukti secara sah dan
meyakinkan. Hal ini dapat dibaca dalam pertimbangan judex facti yang pada
intinya menyatakan bahwa antara timbulnya maksud dengan pelaksanaan
perbuatan bagi si pembuat/si pelaku masih ada tempo untuk dapat berpikir
dengan tenang dalam arti masih ada kesempatan untuk membatalkan niatnya
untuk berbuat, tetapi tidak dipergunakannya;
6. Bahwa yang terbukti secara sah dan meyakinkan dalam persidangan adalah
bahwa tidak ada 1 (satu) orang saksipun yang menyatakan bahwa ia
mengetahui, melihat dan mendengar secara langsung tentang adanya tindak
pidana pembunuhan dan/atau sodomi yang dilakukan oleh Pemohon
Peninjauan Kembali/Terdakwa, terbukti mengenai adanya rencana dari tindak
pidana tersebut, sehingga pertimbangan dan kesimpulan judex facti yang
menyatakan bahwa “antara timbulnya maksud dengan pelaksanaan perbuatan
bagi si pembuat/si pelaku masih ada tempo untuk dapat berpikir dengan
tenang dalam arti masih ada kesempatan untuk membatalkan niatnya untuk
berbuat, tetapi tidak dipergunakannya” sangatlah salah, berlebihan, tidak
berdasar dan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, sehingga
pertimbangan tersebut tidaklah dapat dibenarkan menurut hukum.
Berdasarkan hal tersebut pemeriksaan terhadap perkara a quo hanya berangkat
TESIS
TINDAK PIDANA TERKAIT...
RATNA WIDYATI
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
dan diputus berdasarkan satu-satunya alat bukti yaitu, keterangan Terdakwa ;
7. Bahwa berdasarkan Pasal 189 ayat (4) UU No. 8/1981 tersebut, alat bukti lain
yang ada dalam perkara a quo adalah alat bukti saksi dan surat, sebagaimana
dijelaskan pada poin 6 tentang adanya tindak pidana pembunuhan dan/sodomi
yang dilakukan oleh Pemohon Peninjauan Kembali/Terdakwa. Sehingga
apabila judex facti meyakini bahwa Pemohon Peninjauan Kembali/Terdakwa
telah melakukan tindak pidana pembunuhan quad non, dengan dasar apakah
judex facti merumuskan bahwa Pemohon Peninjauan Kembali/Terdakwa
melakukan tindak pidana tersebut dengan direncanakan terlebih dahulu;
8. Bahwa berdasarkan hal tersebut, dakwaan yang menyatakan bahwa Pemohon
Peninjauan Kembali/Terdakwa telah melakukan tindak pidana Pembunuhan
dengan direncanakan terlebih dahulu, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 340
KUHP, tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, sehingga dakwaan tersebut
haruslah ditolak ;
9. Bahwa dalam bukti surat yang diajukan dalam perkara a quo adalah hasil
visum et repertum terhadap mayat-mayat yang diduga sebagai hasil/akibat
dari
tindak
pidana
yang
dilakukan
oleh
Pemohon
Peninjauan
Kembali/Terpidana pada intinya menyimpulkan bahwa terhadap mayat-mayat
tersebut tidak dapat ditentukan karena kondisi mayat dalam keadaan
membusuk lanjut dan telah dirusak oleh binatang. Karenanya putusan judex
facti yang menyatakan bahwa Pemohon Peninjauan Kembali/Terdakwa telah
melakukan tindak pidana sodomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 292
KUHP tidak terbukti secara sah meyakinkan ;
TESIS
TINDAK PIDANA TERKAIT...
RATNA WIDYATI
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
10. Bahwa berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas, terbukti bahwa putusan
judex facti telah salah menerapkan hukum dalam perkara a quo, khususnya
perihal tidak diperiksanya Pemohon Peninjauan Kembali/Terdakwa ke
Psychiater, sebagaimana disyaratkan Pasal 180 ayat (1) KUHP jo. UU
Kesehatan Jiwa No. 3/1966. jo. Peraturan Menteri Kesehatan RI Tahun 1970 ;
Menimbang, bahwa atas alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat :
mengenai alasan-alasan ke 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9 dan 10 :
Bahwa alasan-alasan tersebut tidak dapat dibenarkan oleh karena bukan
merupakan alasan-alasan sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 263 ayat 2
UU No. 8 tahun 1981 ;
Menimbang, bahwa dengan demikian berdasarkan Pasal 266 ayat (2) a KUHAP
permohonan peninjauan kembali harus ditolak dan putusan yang dimohonkan
peninjauan kembali tersebut dinyatakan tetap berlaku ;
Menimbang, bahwa oleh karena permohonan peninjauan kembali ditolak, maka
biaya perkara dalam pemeriksaan peninjauan kembali dibebankan kepada
Pemohon Peninjauan Kembali ;
Memperhatikan Undang-Undang No. 4 tahun 2004, Undang-Undang No.8 tahun
1981 dan Undang - Undang No.14 tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang No. 5 tahun 2004 dan peraturan perundang-undangan lain yang
bersangkutan ;
MENGADILI
Menolak permohonan peninjauan kembali dari : SISWANTO alias ROBOT
TESIS
TINDAK PIDANA TERKAIT...
RATNA WIDYATI
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
tersebut ;
Menetapkan bahwa putusan yang dimohonkan peninjauan kembali tersebut tetap
berlaku ;
Membebankan Pemohon Peninjauan Kembali untuk membayar biaya perkara
dalam peninjauan kembali ini sebesar Rp 2.500,- (dua ribu lima ratus rupiah) ;
Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawaratan pada hari Selasa tanggal 9
Januari 2007
Analisa Penulis :
-
Bahwa pertimbangan judex factie (JF) sudah tepat, karena menurut penulis
vonis yang dijatuhkan kepada terdakwa sudah sesuai berdasarkan Pasal 340
KUHP dengan vonis hukuman mati sebagai pelaku sodomi yang telah
merusak generasi muda dan penerus bangsa.
-
Bahwa akibat pelecehan seksual (sodomi) yang dilakukan pelaku, berdampak
kepada korban anak-anak begitupun keluarga yang harus menanggung
kerugian yang tidak dapat tergantikan oleh materi yaitu kehilangan nyawa
anaknya sebagai korban.
3.2 Analisa P U T U S A N No. 1109 K/Pid.Sus/2010
Memeriksa perkara pidana khusus dalam tingkat kasasi telah memutuskan
sebagai berikut dalam perkara Terdakwa :
TESIS
Nama
: MUHAMMAD YUSUF RANGKUTI;
Tempat lahir
: Jakarta;
TINDAK PIDANA TERKAIT...
RATNA WIDYATI
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
Umur / tanggal lahir
: 16 tahun/30 September 1993;
Jenis kelamin
: Laki-laki;
Kebangsaan
: Indonesia;
Tempat tinggal
: Perum Graha Harapan Blok E 09, No.13,
Rt.13/018, Kelurahan Mustikajaya,
Mustikajaya, Kota Bekasi;
Agama
: Islam;
Pekerjaan
: Pelajar SMP;
Kecamatan
Terdakwa ditahan :
PERTAMA :
Bahwa Terdakwa MUHAMMAD YUSUF RANGKUTI pada hari Jum’at, tanggal
11 Desember 2009, sekitar jam 13.30 Wib atau setidak-tidaknya pada suatu waktu
dalam tahun 2009, bertempat tinggal di Kios Pasar Pondok Timur Indah II, RT.
003/005, Kelurahan Mustikasari, Kecamatan Mustikajaya, Kota Bekasi atau
setidak-tidaknya di suatu tempat lain yang masih termasuk dalam daerah hukum
Pengadilan Negeri Bekasi, dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman
kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan atau
membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul.
Sebagaimana diatur dan diacam pidana dalam Pasal 290 ke-3 KUHP.
Membaca tuntutan pidana Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Bekasi
tanggal 08 Pebruari 2010 sebagai berikut :
1. Menyatakan Terdakwa MUHAMMAD YUSUF RANGKUTI telah terbukti
bersalah melakukan tindak pidana dengan sengaja melakukan kekerasan atau
TESIS
TINDAK PIDANA TERKAIT...
RATNA WIDYATI
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian
kebohongan atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan
dilakukan perbuatan cabul sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam
Pasal 82 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
sesuai Dakwaan Pertama ;
2. Menjatuhkan pidana penjara terhadap Terdakwa selama 5 (lima) tahun dan
dikurangi selama Terdakwa berada dalam tahanan sementara, dengan perintah
supaya Terdakwa tetap ditahan, denda sebesar Rp 60.000.000,- (enam puluh
juta rupiah) Subsidair 3 (tiga) bulan kurungan ;
3. Menyatakan barang bukti berupa 1 (satu) unit Handphone merk Nokia 5130
dan 1 (satu) buah sarung motif kotak kotak, dirampas untuk dimusnahkan;
4. Menetapkan agar Terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp 1.000 (seribu
rupiah);
Membaca surat-surat yang bersangkutan ;
Menimbang, bahwa putusan Pengadilan Tinggi tersebut telah diberitahukan
kepada Pemohon Kasasi/Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Bekasi
pada tanggal 01 April 2010 dan Pemohon Kasasi/Jaksa Penuntut Umum
mengajukan permohonan kasasi pada tanggal 07 April 2010 serta memori
kasasinya telah diterima Kepaniteraan Pengadilan Negeri Bekasi pada tanggal 20
April 2010, dengan demikian permohonan kasasi beserta alasanalasannya telah
diajukan dalam tenggang waktu dan dengan cara menurut undang-undang, oleh
karena itu permohonan kasasi tersebut formal dapat diterima ;
Menimbang, bahwa alasan-alasan yang diajukan oleh Pemohon Kasasi/Jaksa
Penuntut Umum pada pokoknya adalah sebagai berikut :
TESIS
TINDAK PIDANA TERKAIT...
RATNA WIDYATI
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
Bahwa meskipun berat ringannya pemidanaan bukan merupakan alas an kasasi,
namun oleh karena masalah ukuran pemidanaan merupakan kewenangan judex
facti,
apabila
Pengadilan
dalam
menjatuhkan
pidana
kurang
cukup
mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan atau yang meringankan, atau
pengadilan menjatuhkan pidana yang melampaui ancaman maksimal, atau
menjatuhkan pidana tidak termasuk jenis-jenis pidana yang ditentukan undang¬undang maka hal tersebut dapat diajukan alasan kasasi.
Untuk itu dasar kami mengajukan upaya hukum kasasi berkaitan dengan berat
ringannya hukuman adalah SEMA serta beberapa putusan Mahkamah Agung RI
yang sudah menjadi Yurisprudensi yaitu sebagai berikut :
1. Dalam SEMA Nomor : 03 tahun 1974, menyatakan bahwa putusan-putusan
Pengadilan Negeri/Tinggi kadang-kadang tidak disertai dengan pertimbangan
yang dikehendaki oleh Undang-Undang pasal 23 ayat (1) UU Nomor : 14
tahun 1970, tidak atau kurang adanya pertimbangan / alasanalasan, ataupun
alasan-alasan yang kurang jelas, sukar dimengerti ataupun bertentangan satu
sama lain, dapat menimbulkan sebagai suatu kelalaian dalam acara
(vormverzuim), oleh karena itu dapat rnenimbulkan batalnya putusan PN / PT
oleh Mahkamah Agung dalam putusan kasasi.
2. Dalam Putusan MARl Register Nomor : 828 K/Pid/1984 tanggal 3 September
1984, menyatakan bahwa putusan PN / PT harus dibatalkan sepanjang
mengenai pidananya karena kurang cukup mempertimbangkan berat
ringannya pidana yang di jatuhkan.
3. Putusan MARl Register Nomor : 24 K/Pid/1984 tanggal 17 Maret 1984,
TESIS
TINDAK PIDANA TERKAIT...
RATNA WIDYATI
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
Menyatakan bahwa Putusan PT tidak memuat atau memperhatikan hal-hal
tentang keadaan yang memberatkan dan meringankan terdakwa, bertentangan
dengan pasal 197 ayat (1) sub f KUHAP oleh karenanya batal demi hukum.
Bahwa Putusan Majelis Hakim PT Bandung telah kurang mempertimbangkan
fakta-fakta yang terungkap dalarn persidangan dari keterangan saksi-saksi yang
relevan dengan perkara, karena pertimbanganpertimbangan yang dijadikan dasar
oleh Majelis Hakim untuk menjatuhkan pidananya hanya didasarkan pada
pertimbangan asas keadilan dan keseimbangan sehingga dirasa oleh Majelis
Hakim bahwa putusan yang dijatuhkan cukup dirasa adil bagi terdakwa dan
setimpal dengan perbuatan yang dilakukannya, akan tetapi Majelis Hakim kurang
mempertimbangkan rasa keadilan bagi saksi korban HARRYADI yang juga
“ANAK" yang mungkin nantinya akibat perbuatan terdakwa dapat mengakibatkan
trauma bagi saksi korban. Dan seharusnya untuk menjatuhkan pidana Majelis
Hakim Pengadilan Tinggi Bandung memperhatikan hal ini dan juga secara
keseluruhan mempertimbangkan keterangan saksi-saksi dan keterangan terdakwa
dalam menjatuhkan pidananya. Bahwa dengan demikian pertimbangan Majelis
Hakim ternyata kurang memenuhi rasa kemanusiaan dan keadilan khususnya bagi
saksi korban yang juga “ANAK" sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 28 UU
No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan sebaliknya jika Majelis
Hakim
Pengadilan
Tinggi
Bandung
cukup
mempertimbangkan
hal-hal
sebagaimana kami uraikan di atas maka akan menjatuhkan pidana sebagaimana
dalam Tuntutan kami.
Bahwa oleh karena itu dengan mengingat alasan-alasan sebagaimana yang telah
kami kemukakan di atas, kami mohon kiranya Mahkamah Agung Republik
TESIS
TINDAK PIDANA TERKAIT...
RATNA WIDYATI
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
Indonesia menerima permohonan Kasasi kami dan membatalkan seluruh
pertimbangan dan putusan Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Bandung dalam
Perkara atas nama terdakwa MUHAMMAD YUSUF RANGKUTI.
Kemudian sebagai Lembaga Peradilan Tertinggi kiranya Mahkamah Agung RI
berkenan mengadili sendiri dan memutus perkara atas nama terdakwa
MUHAMMAD YUSUF RANGKUTI dengan alasan bahwa Majelis Hakim telah
melakukan hal-hal sebagaimana dimaksud dalam pasal 253 KUHAP yaitu Majelis
Hakim Pengadilan Tinggi Bandung tidak menerapkan peraturan hukum atau
menerapkan peraturan hukum tidak sebagaimana mestinya yakni :
1. Bahwa dalam putusannya Majelis Hakim dalam menjatuhkan pemidanaannya
kurang cukup mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan atau
meringankan dari terdakwa.
2. Bahwa
dalam
mengambil
keputusannya
Majelis
Hakim
telah
mengesampingkan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan dari
keterangan
saksi-saksi
yang
relevan
dengan
perkara,
karena
pertimbanganpertimbangan yang dijadikan dasar oleh Majelis Hakim untuk
menjatuhkan
keseimbangan
pidananya
dan
hanya
dirasa
didasarkan
cukup
adil
pada
bagi
asas
terdakwa
keadilan
dan
dan
kurang
mempertimbangkan rasa keadilan bagi saksi korban yang juga anak-anak.
Pada akhirnya berdasarkan pertimbangan-pertimbangan sebagaimana telah kami
uraikan di atas, dengan mengingat pasal 244, 245, 248, 253 KUHAP, kami mohon
agar Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia memutuskan :
1. Menerima permohonan kasasi ini;
2. Membatalkan
TESIS
Putusan
Pengadilan
Tinggi
TINDAK PIDANA TERKAIT...
Bandung
Nomor:
RATNA WIDYATI
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
78/Pid.B/2010/PT.Bdg. tanggal 22 Maret 2010 atas nama terdakwa
MUHAMMAD YUSUF RANGKUTI;
3. Memeriksa dan mengadili sendiri perkara tersebut;
4. Memutuskan Perkara ini sesuai dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum yaitu :
4.1 Menyatakan terdakwa MUHAMMAD YUSUF RANGKUTI telah terbukti
bersalah melakukan Tindak Pidana dengan sengaja melakukan kekerasan
atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian
kebohongan atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan
dilakukan perbuatan cabul sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam
pasal 82 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak sesuai Dakwaan Pertama.
4.2 Menjatuhkan pidana penjara terhadap terdakwa selama 5 (lima) tahun dan
dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan sementara, dengan
perintah supaya terdakwa tetap ditahan, Denda sebesar Rp 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah), Subsidiair 3 (tiga) bulan kurungan.
4.3 Menyatakan barang bukti berupa 1 (satu) unit Handphone merk Nokia
5130 dan 1 (satu) buah sarung motif kotak kotak, dirampas untuk
dimusnahkan.
4.4 Menetapkan agar terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp 1.000,Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung
berpendapat :
Judex Facti salah menerapkan hukum karena dalam memperingan sanksi
pidana hanya mengulang kembali fakta-fakta meringankan yang
disebutkan dalam Putusan Pengadilan Negeri, yaitu Terdakwa masih di
bawah umur, dan masih akan melanjutkan pendidikannya di Pesantren,
TESIS
TINDAK PIDANA TERKAIT...
RATNA WIDYATI
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
sehingga masih dapat di terapkan untuk memperbaiki perilakunya.
Alasan kasasi Jaksa Penuntut Umum bahwa Judex Facti kurang
memperdulikan rasa keadilan bagi korban yang juga masih anak-anak dan
Judex Facti kurang mempertimbangkan fakta-fakta persidangan dapat
diterima. Perbuatan Terdakwa tergolong kejam karena melakukan
tindakan sodomi terhadap anak-anak. Menimbang, bahwa berdasarkan
alasan-alasan yang diuraikan diatas Mahkamah Agung berpendapat,
bahwa putusan Pengadilan Tinggi Bandung No.78/PID/2010/PT.Bdg
tanggal 22 Maret 2010 tidak dapat dipertahankan lagi, oleh karena itu
harus dibatalkan dan Mahkamah Agung akan mengadili sendiri perkara
tersebut ;
Menimbang, bahwa oleh karena permohonan kasasi Jaksa/Penuntut
Umum dikabulkan dan Terdakwa dinyatakan bersalah serta dijatuhi
pidana, maka biaya perkara pada semua tingkat peradilan dibebankan
kepada Terdakwa ;
Memperhatikan Undang-undang No. 4 Tahun 2004, Undang-undang No. 8
Tahun 1981 dan Undang-undang No.14 Tahun 1985 sebagaimana telah
diubah dengan Undang-undang No. 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua
dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 dan peraturan perundangundangan lain yang bersangkutan ;
MENGADILI
Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi/Jaksa Penuntut
Umum pada Kejaksaan Negeri Bekasi tersebut;
TESIS
TINDAK PIDANA TERKAIT...
RATNA WIDYATI
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
Membatalkan
putusan
Pengadilan
Tinggi
Bandung
Nomor
:
78/PID/2010/PT.BDG, tanggal 22 Maret 2010, yang memperbaiki putusan
Pengadilan Negeri Bekasi Nomor : 15/Pid.B/2010/ PN.BKS, tanggal 08
Februari 2010;
MENGADILI SENDIRI
-
Menyatakan Terdakwa MUHAMMAD YUSUF RANGKUTI, tersebut di
atas terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
“Melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan
tipu muslihat, serangkaian kebohongan atau membujuk anak melakukan
atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul”.
-
Menghukum Terdakwa tersebut dengan pidana penjara selama 3 (tiga)
tahun 6 (enam) bulan dan denda sebesar Rp 60.000.000,- (enam puluh
jutarupiah) dan apabila denda tersebut tidak dibayar maka diganti dengan
latihan kerja selama 2 (dua) bulan;
-
Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani oleh Terdakwa
dikurangkan seluruhnya dari pidana yang telah dijatuhkan;
-
Menetapkan barang-barang bukti berupa :
-
1 (satu) unit Handphone merk Nokia 5130 dan 1 (satu) buah sarung motif
kotak-kotak, dirampas untuk dimusnahkan;
-
Membebankan Termohon Kasasi/Terdakwa tersebut untuk membayar
biaya perkara dalam semua tingkat peradilan dan dalam tingkat kasasi ini
ditetapkan sebesar Rp 2.500,- (dua ribu lima ratus rupiah);
Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawaratan Mahkamah Agung pada
hari Kamis, tanggal 27 Mei 2010.
TESIS
TINDAK PIDANA TERKAIT...
RATNA WIDYATI
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
Analisa Penulis :
-
Bahwa amar putusan mahkamah agung tidak tepat yang telah menyatakan
Terdakwa MUHAMMAD YUSUF RANGKUTI, tersebut di atas terbukti
secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Melakukan
kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat,
serangkaian kebohongan atau membujuk anak melakukan atau membiarkan
dilakukan perbuatan cabul”, perbuatan terdakwa telah merugikan secara
mental korbannya melalui tipu muslihatnya dengan melakukan perbuatan
cabul.
-
Bahwa Menghukum Terdakwa tersebut dengan pidana penjara selama 3 (tiga)
tahun 6 (enam) bulan dan denda sebesar Rp 60.000.000,- (enam puluh
jutarupiah) dan apabila denda tersebut tidak dibayar maka diganti dengan
latihan kerja selama 2 (dua) bulan, adalah tidak tepat harusnya Terdakwa di
vonis hukuman seumur hidup atau maksimalatas tindak pidana kejahatan yang
dilakukannya telah merusak mental terhadap korban anak-anak yang harusnya
dilindungi bukan dirusak mentalnya.
3.3 Analisa P U T U S A N No. 493 K/PID/2011
Memeriksa perkara pidana dalam tingkat kasasi telah memutuskan sebagai berikut
dalam perkara Terdakwa :
TESIS
Nama
: BAEKUNI als. BUNGKIH als. BABE ;
Tempat lahir
: Magelang ;
Umur/tanggal lahir
: 49 tahun/06 September 1960 ;
Jenis kelamin
: Laki-laki ;
TINDAK PIDANA TERKAIT...
RATNA WIDYATI
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
Kebangsaan
: Indonesia ;
Tempat tinggal
: Kontrakan Kong Ahmad Gg. Masjid RT
006/02, Kel.Pulogadung, Kec. Pulogadung, Jakarta
Timur ;
Agama
: Islam ;
Pekerjaan
: Dagang ;
Terdakwa berada di dalam tahanan :
PRIMAIR :
-
Bahwa ia Terdakwa BAEKUNI als. BUNGKIH als. BABE pada hari Kamis
tanggal 07 Januari 2010 sekitar jam 14.30 WIB dan pada tahun 1993 sampai
dengan bulan April 2008 atau setidak-tidaknya pada waktu-waktu lain antara
tahun 1993 sampai dengan tahun 2010 bertempat di Gang Masjid RT 006/02
Kelurahan Pulogadung, Kecamatan Pulogadung, Jakarta Timur atau setidaktidaknya di tempat-tempat lain berdasarkan Pasal 84 ayat (2) KUHAP
Pengadilan Negeri Jakarta Timur berwenang mengadili perkaranya, telah
melakukan perbarengan beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai
perbuatan yang berdiri sendiri, sehingga merupakan kejahatan yang diancam
pidana pokok yang sejenis, dengan sengaja dan direncanakan terlebih dahulu
merampas nyawa orang lain. Perbuatan Terdakwa diatur dan diancam pidana
menurut Pasal 340 KUHP jo. Pasal 65 ayat (1) KUHP ;
SUBSIDAIR :
-
Bahwa ia Terdakwa BAEKUNI als. BUNGKIH als. BABE pada hari Kamis
tanggal 07 Januari 2010 sekitar jam 14.30 WIB dan pada tahun 1993 sampai
TESIS
TINDAK PIDANA TERKAIT...
RATNA WIDYATI
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
dengan bulan April 2008 atau setidak-tidaknya pada waktu-waktu lain antara
tahun 1993 sampai dengan tahun 2010 bertempat di Gang Masjid RT 006/02
Kelurahan Pulogadung, Kecamatan Pulogadung, Jakarta Timur atau setidaktidaknya di tempat-tempat lain berdasarkan Pasal 84 ayat (2) KUHAP
Pengadilan Negeri Jakarta Timur berwenang mengadili perkaranya, telah
melakukan perbarengan beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai
perbuatan yang berdiri sendiri, sehingga merupakan kejahatan yang diancam
pidana pokok yang sejenis. Perbuatan Terdakwa diatur dan diancam pidana
menurut Pasal 338 KUHP jo. Pasal 65 ayat (1) KUHP ;
Mahkamah Agung tersebut ;
Membaca tuntutan pidana Jaksa/Penuntut Umum
Membaca surat-surat yang bersangkutan ;
Menimbang, bahwa putusan Pengadilan Tinggi tersebut telah diberitahukan
kepada Terdakwa pada tanggal 23 Desember 2010 dan Terdakwa mengajukan
permohonan kasasi pada tanggal 04 Januari 2011 serta memori kasasinya telah
diterima di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Timur pada tanggal 18
Januari 2011, dengan demikian permohonan kasasi beserta dengan alasanalasannya telah diajukan dalam tenggang waktu dan dengan cara menurut undangundang, oleh karena itu permohonan kasasi tersebut formal dapat diterima ;
Menimbang, bahwa alasan-alasan yang diajukan oleh Pemohon Kasasi/Terdakwa
pada pokoknya sebagai berikut :
Bahwa Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Yang Memeriksa, Mengadili Dan
Memutus Perkara A Quo Telah Salah Menerapkan Hukum Atau Melanggar
TESIS
TINDAK PIDANA TERKAIT...
RATNA WIDYATI
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
Ketentuan Hukum Yang Berlaku Dalam Menilai Fakta-Fakta Hukum Yang
Terungkap Selama Persidangan, Yang Meliputi Keterangan Para Saksi Maupun
Alat Bukti Lainnya Serta Keterangan Terdakwa Sebagai Berikut :
Bahwa dalam menilai kebenaran keterangan saksi, maka Hakim harus dengan
sungguhsungguh memperhatikan : persesuaian antara keterangan saksi satu
dengan lainnya sebagaimana tersebut dalam Pasal 185 (1) KUHAP, begitu juga
keterangan seorang saksi harus disesuaikan dengan alat-alat bukti lainnya
sebagaimana diatur dalam Pasal 185 ayat (6) Sub a dan b KUHAP, sehingga
keputusan yang nantinya akan diambil oleh Majelis Hakim adalah Keputusan
yang mencerminkan rasa hukum dan keadilan bagi Terdakwa ;
Bahwa dalam perkara a quo ini, Penasihat Hukum Terdakwa tidak sependapat
dengan. Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Jakarta dalam pertimbangan hukumnya
pada halaman 23 alinea ke-4 dan halaman 24 alinea ke-1 karena pertimbangan
hukum tersebut sangatlah subyektif serta tidak mencerminkan Kebijakan seorang
Hakim Tinggi, dan yang terlihat dalam pertimbangan hukum tersebut adalah
dendam yang ditujukan kepada Pemohon Kasasi/Terdakwa ;
Bahwa Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Jakarta, tidak melihat serta melihat
fakta-fakta hukum yang terungkap dalam sidang di Pengadilan Negeri Jakarta
Timur, yang mana dari keterangan saksi Nurhamidah yang tersebut dalam salinan
putusan Pengadilan Negeri Jakarta Timur pada halaman 30 alinea ke-10 jelasjelas memohon kepada Pengadilan/Majelis Hakim perkara a quo untuk
menjatuhkan putusan Seumur Hidup kepada Terdakwa ;
Bahwa permohonan saksi tersebut di atas yang merupakan orang tua kandung
TESIS
TINDAK PIDANA TERKAIT...
RATNA WIDYATI
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
korban Ardiansyah dipertegas oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta
Timur pada halaman 59 alinea ke-1...Terdakwa Baekuni als. Bungkih als. Babe
dijatuhi hukuman dengan hukuman pidana Seumur Hidup, sesuai dengan apa
yang diharapkan oleh saksi Nurhamidah dan saksi Hudaefah selaku orang tua
kandung korban ;
Bahwa dengan adanya fakta hukum tersebut di atas, menurut hemat Penasihat
Hukum Terdakwa/Pemohon Kasasi, Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Jakarta
salah menerapkan hukum dalam pertimbangan hukumnya karena tidak melihat
fakta hukum tersebut serta tidak dimasukkan dalam pertimbangan hukumnya ;
Menimbang, bahwa atas alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat :
Bahwa alasan-alasan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena Judex Facti
(Pengadilan Tinggi) memandang bahwa perbuatan yang didakwakan telah
terbukti di persidangan dipandang tidak terdapat fakta yang meringankan, dan
oleh karena itu Judex Facti (Pengadilan Tinggi) menjatuhkan pidana maksimum
yaitu pidana mati ;
Bahwa lagi pula alasan-alasan tersebut mengenai penilaian hasil pembuktian yang
bersifat
penghargaan tentang suatu kenyataan, hal
mana
tidak dapat
dipertimbangkan dalam pemeriksaan pada tingkat kasasi, karena pemeriksaan
dalam tingkat kasasi hanya berkenaan dengan kesalahan penerapan hukum,
pelanggaran hukum yang berlaku, kelalaian dalam memenuhi syarat-syarat yang
diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu
dengan batalnya putusan yang bersangkutan atau bila Pengadilan tidak berwenang
atau melampaui batas wewenangnya sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal
TESIS
TINDAK PIDANA TERKAIT...
RATNA WIDYATI
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
253 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Undang-Undang No. 8 Tahun
1981) ;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, lagi pula ternyata, putusan
Judex Facti dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undangundang, maka permohonan kasasi tersebut harus ditolak ;
Menimbang, bahwa oleh karena permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi/
Terdakwa ditolak, maka Pemohon Kasasi/Terdakwa harus dibebani untuk
membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi ini ;
Memperhatikan Pasal 340 KUHP, Undang-Undang No. 48 Tahun 2009, UndangUndang No. 8 Tahun 1981, Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 sebagaimana
yang telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 2004, dan
perubahan kedua dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 serta peraturan
perundang-undangan lain yang bersangkutan ;
MENGADILI
Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi/Terdakwa : BAEKUNI als.
BUNGKIH als. BABE tersebut ;
Membebankan Pemohon Kasasi/Terdakwa tersebut untuk membayar biaya
perkara dalam tingkat kasasi ini sebesar Rp. 2.500,- (dua ribu lima ratus rupiah) ;
Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawaratan Mahkamah Agung pada
hari Kamis tanggal 21 April 2011.
Analisa Penulis :
-
TESIS
Bahwa pertimbangan JF telah sesuai berdasarkan pasal 340 KUHP dengan
TINDAK PIDANA TERKAIT...
RATNA WIDYATI
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
vonis yang dijatuhkan terhadap Terdakwa hukuman mati, menurut penulis
apabila Terdakwa dijatuhi hukuman seumur hidup akan banyak korbankorban lagi.
-
Bahwa Terdakwa telah melakukan rentetan kejahatan pada korban anak-anak
yang dilakukan secara berencana dengan mutilasi korban-korbannya untuk
menghilangkan jejaknya.
-
Bahwa pertimbangan putusan mahkamah agung sudah benar, karena tidak ada
pertentangan dengan hukum atau perudang-undangan yang berlaku terhadap
putusan JF dengan vonis hukuman mati.
TESIS
TINDAK PIDANA TERKAIT...
RATNA WIDYATI
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
BAB IV
PENUTUP
1. Kesimpulan
1.1 Pengaturan perbuatan sodomi terhadap anak ditinjau dari sebagai berikut :
a. Pasal 50 ayat 1 KUHP menyatakan bahwa ada empat tujuan penjatuhan hukuman
yaitu:
1) Untuk mencegah terjadinya tindak pidana dengan menegakkan norma- norma
hukum demi pengayoman masyarakat.
2) Untuk memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga
menjadi orang yang lebih baik dan berguna.
3) Untuk menyelesaikan komplik yang ditimbulkan oleh tindak pidana
(memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai).
4) Untuk membebaskan rasa bersalah pada terpidana.
Dalam KUHP, pasal-pasal yang mengatur tentang hukuman bagi pelaku pelecehan
seksual terhadap anak di bawah umur terdapat dalam pasal 287 dan 292 KUHP:
Pasal 287 ayat (1) KUHP berbunyi: “Barang siapa bersetubuh dengan seorang
perempuan di luar perkawinan, padahal diketahuinya atau sepatutnya harus
diduganya bahwa umurnya belum lima belas tahun, atau umurnya tidak jelas,
bahwa ia belum waktunya untuk dikawin, diancam dengan pidana penjara paling
lama sembilan tahun”. Tapi apabila perbuatan persetubuhan itu menimbulkan
luka-luka atau kematian maka bagi sipelaku dijatuhkan hukuman penjara lima
belas tahun, sebagai mana yang telah ditetapakan dalam pasal 291 KUHP.
TESIS
TINDAK PIDANA TERKAIT...
RATNA WIDYATI
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
Pasal 292 KUHP berbunyi: “Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul
dengan orang lain sesama kelamin, yang diketahuinya atau sepatutnya harus
diduganya belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama lima
tahun.”
Dari paparan pasal- pasal tentang hukuman bagi pelaku pelecehan seksual
terhadap anak di bawah umur tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
hukuman bagi si pelaku bervariasi, bergantung kepada perbuatannya yaitu
apabila perbuatan tersebut menimbulkan luka berat seperti tidak berfungsinya
alat reproduksi atau menimbulkan kematian maka hukuman bagi si pelaku akan
lebih berat yaitu 15 tahun penjara. Tetapi apabila tidak menimbulkan luka berat
maka hukuman yang dikenakan bagi si pelaku adalah hukuman ringan.
b. Dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, ada dua
pasal yang mengatur tentang ancaman hukuman bagi pelaku pelecehan seksual
terhadap anak di bawah umur yaitu pasal 81 dan 82.
1) Pasal 81 yang bunyinya : ”Setiap orang yang dengan sengaja melakukan
kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan
dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling
lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling
banyak Rp.300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit
Rp.60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).”
2) Pasal 82 yang bunyinya : “Setiap orang yang dengan sengaja melakukan
kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat,
serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau
membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda
TESIS
TINDAK PIDANA TERKAIT...
RATNA WIDYATI
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
paling banyak Rp.300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit
Rp.60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).”
Dari rumusan pasal 82 di atas, terlihat bahwa tidak ada keharusan bagi delik ini
untuk dilaporkan oleh korbannya. Dengan demikian, delik pencabulan terhadap
anak merupakan delik biasa, bukan delik aduan. Oleh karena pencabulan tersebut
merupakan delik biasa, bukan delik aduan, maka seharusnya perkara pencabulan
tersebut tetap diproses, walaupun sudah ada pencabutan laporan dari keluarga
korban.
c. Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga yang diatur dalam Pasal 5 yang menyatakan: “setiap orang
dilarang melakukan Kekerasan Dalam Rumah Tangga terhadap orang dalam
lingkup rumah tangganya, dengan cara :
1) Kekerasan fisik;
2) Kekerasan psikis;
3) Kekerasan seksual; dan atau
4) Penelantaran rumah tangga.
1.2 Pertanggungjawaban pidana pelaku sodomi tindak pidana kekerasan seksual terhadap
anak tersebut Tindak pidana tidak berdiri sendiri, dia baru bermakna manakala
terdapat pertanggungjawaban pidana. Ini berarti setiap orang yang melakukan tindak
pidana tidak dengan sendirinya harus dipidana. Pertanggungjawaban pidana
dikarenakan berkait dengan unsur subyektif pelaku maka tentunya sangat berkait erat
dengan faktor ada atau tidaknya kesalahan yang mengandung unsur melanggar hukum
atas tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh pelakunya. Hasil akhirnya dapat
berupa pernyataan bahwa tidak diketemukan unsur melawan hukum dalam
tindakannya sehingga tidak ada kesalahan dari pelakunya, namun bisa juga
TESIS
TINDAK PIDANA TERKAIT...
RATNA WIDYATI
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
diketemukan unsur melawan hukum dalam tindakannya namun tidak ada kesalahan
dari pelakunya.
Tinjauan awal yang dilakukan adalah menentukan apakah suatu perbuatan seseorang
itu melanggar hukum atau tidak sehingga dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana
atau tidak. Dalam hal ini harus dipastikan terlebih dahulu adanya unsur obyektif dari
suatu tindak pidana. Jika tidak diketemukan unsur melawan hukum maka tidak lagi
diperlukan pembuktian unsur kesalahannya. Tetapi jika terpenuhi unsur perbuatan
melanggar hukumnya, selanjutnya dilihat apakah ada kesalahan atau tidak serta sejauh
mana tingkat kesalahan yang dilakukan pelaku sebagai dasar untuk menyatakan dapat
tidaknya seseorang memikul pertanggungjawaban pidana atas perbuatannya itu.
2. Saran
2.1 Putusan-putusan pengadilan berkaitan dengan pelecehan seksual (sodomi) atas
putusan vonis hukuman mati terhadap terdakwa Babe dan Robot Gedek adalah tegas,
Sedangkan terhadap putusan Terdakwa Rangkuty seharusnya dikenakan juga Pasal
292 KUHP dan seharusnya dikenakan hukuman maksimal supaya terdakwa menjadi
jera.
2.2 Ketentuan dalam KUHP yang berkaitan dengan pasal-pasal perbuatan cabul atau
pelecehan seksual harusnya diamandemen karena sudah tidak sesuai dengan keadaan
masa kini mengingat kejahatan yang terjadi semakin diluar batas kemanusiaan,
khususnya terhadap korban anak-anak dibawah umur.
2.3 Berdasarkan Pasal 82 UUPA harusnya direvisi terutama hukuman minimal selama 3
tahun harusnya menjadi 10 tahun sedangkan hukuman maksimalnya 20 tahun atau
seumur hidup tentang pencabulan atau pelecehan seksual terhadap anak. Mengingat
korbannya adalah generasi penerus bangsa yang seharusnya mendapat perlindungan
dari kejahatan yang dilakukan phedofilia atau pelaku sodomi.
TESIS
TINDAK PIDANA TERKAIT...
RATNA WIDYATI
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
DAFTAR BACAAN
A.Garner, Bryan, Black’s Law Dictionary, Eighth Edition, West : Thomson, 2004.
Algra, N.E., H.R.W. Gokkel, Saleh Adiwinata, A. Teloeki, dan H. Boerhanoeddin, St.
Batoeah, Kamus Istilah Hukum Fockema Andreae Belanda Indonesia, Cet.1,
Binacipta, Jakarta, 1983. Diterjemahkan Saleh Adiwinata, A. Teloeki, dan H.
Boerhanoeddin, St. Batoeah.
Buku Panduan, Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, 2012.
Chazawi, Adami, Pelajaran Hukum Pidana 1, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta,2005.
Djamil, M. Nasir, Anak Bukan Untuk Di Hukum (Catatan Pembahasan UU Sistem Peradilan
Pidana Anak (UU SPPA)). Sinar Grafika, Jakarta, 2013.
Gosita, Arief, Victimologi, Pradnya Paramita, Jakarta, 1987.
Gultom, Maidin, Perlindungan Hukum Terhadap Anak (Dalam Sistem Peradilan Pidana
Anak Di Indonesia), Refika Aditama, Bandung, 2010.
Hamzah, Andi, Hukum Acara Pidana Indonesia, Cet. 1 (Revisi), Penerbit : Sinar Grafika,
Jakarta, 2001.
Kansil, C. S. T., dan Christine S. T. Kansil, Pokok-Pokok Hukum Pidana, Cet. I, Pradnya
Paramita, Jakarta, 2004.
Krisnawati, Emiliana, Aspek Hukum Perlindungan Anak, Cet. 1, CV. Utomo, Bandung, 2005.
TESIS
TINDAK PIDANA TERKAIT...
RATNA WIDYATI
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
Luhulima, Achie Sudiarti, Pemahaman Bentuk-Bentuk Tindak Kekerasan Terhadap
Perempuan dan Alternatif Pemecahannya, Alumni, Bandung,2000.
Makarao, Mohammad Taufik, Weny Bukamo, dan Syaiful Azri, Hukum Perlindungan Anak
dan Penghapusan Kekerasan dalam rumah tangga, Rineka Cipta, Jakarta, 2013.
Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2013.
Poerwadarminta, W.J.S. , Kamus Umum Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Balai Pustaka,
Jakarta, 2005.
Prakoso, Djoko, Pembaharuan Hukum Pidana Di Indonesia. Liberty, Yogyakarta, 1987.
Prasetyo, Teguh, Hukum Pidana, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2012.
Prayudi, Guse, Berbagai Aspek Tindak Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Lengkap dengan
uraian unsur-unsur tindak pidananya), Edisi Revisi, Cet. 1, Merkid Press,
Yogyakarta. 2012.
Rukmini, Mien, Aspek Hukum Pidana Dan Kriminologi (Sebuah Bunga Rampai), Cet. 1,
Alumni, Bandung, 2006.
Saraswati, Rika, Hukum Perlindungan Anak Di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,
2009.
Soeroso, Moerti Hadiati, Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Dalam Perspektif Yuridis
Viktimologis), Cet. 2, Sinar Grafika, Jakarta, 2011.
Soetodjo, Wagiati, Hukum Pidana Anak, Cet. 1, Refika Aditama, Bandung, 2006.
TESIS
TINDAK PIDANA TERKAIT...
RATNA WIDYATI
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
Wahid, Abdul dan Muhammad Irfan, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual
(Advokasi atas Hak Asasi Perempuan), Cet.2, Refika Aditama, Bandung, 2011.
Waluyadi, Hukum Perlindungan Anak, Mandar Maju, Bandung, 2009.
Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Syarah Arba’in An-Nawawi (Memuat 42 Hadist Nabi Tentang
Fondasi Ajaran Islam dan Faedah-Faedahnya), Pustaka Imam Asy-Syafi’I, Jakarta,
2013.
Yuwono, Dwi Ismantoro, Penerapan Hukum Dalam Kasus Kekerasan Seksual Terhadap
Anak, Cet.1, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2015.
Wikipedia, http:/id.m.wiki/pelecehan_seksual_terhadap_anak, diakses tanggal 5 Agustus
2014. “Child Sexual Abuse”, Medline Plus. U.S. National Library of Medicine, 200804-02.
http://mybatik.wordpress.com/2009/01/29/kesalahan-dalam-hukum-pidana/diakses tanggal 25
Januari 2015.
http://saifudiendjsh.blogspot.com/2009/08/pertanggungjawaban-pidana.html/ diakses tanggal
25 Januari 2015.
Jacinta F. Rini. 2014. Penyiksaan dan Pengabaian Terhadap Anak, (Online), (www.epsikologi.com, di akses 18 November 2014).
TESIS
TINDAK PIDANA TERKAIT...
RATNA WIDYATI
Download