pembatalan perkawinan karena kawin paksa

advertisement
PEMBATALAN PERKAWINAN KARENA KAWIN PAKSA
(Analisis Putusan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur Perkara Nomor
530/Pdt.G/2008/PA.JT)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi
Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
Kumala
Nim: 107044102127
KOSENTRASI PERADILAN AGAMA
PROGRAM STUDI AHWAL SYAKHSIYYAH
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1432H/2011M
PEMBATALAN PERKAWINAN KARENA KAWIN PAKSA
(Analisis Putusan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur Perkara Nomor
530/Pdt.G/2008/PA.JT)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi
Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
Kumala
Nim: 107044102127
Dibawah Bimbingan :
Hj. Rosdiana, MA
NIP : 196906102003122001
KOSENTRASI PERADILAN AGAMA
PROGRAM STUDI AHWAL SYAKHSIYYAH
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1432H/2011M
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berada di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Jakarta, 25 April 2011
Kumala
KATA PENGANTAR
‫بسم اهلل الرحمن الرحيم‬
Assalamualaikum Wr.WB
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan nikmat dan karunia yang
tidak terhingga banyaknya. Dan sholawat serta salam kepada imamnya para Nabi dan
Rasul, serta segala makhluk yang ada bertakwa yakni Muhammad SAW beserta
keluarga, sahabat dan pengikutnya.
Alhamdulillah, pada akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan
judul “ Pembatalan Perkawinan Karena Kawin Paksa” (Analisis Putusan Hakim
Pengadilan Agama Jakarta Timur Perkara Nomor 530/Pdt.G/2008/PA.JT). Maka
penulis ingin mengucapkan rasa terima kasih dan penghargaan yang setinggitingginya kepada:
1. Bpk. Prof. Dr. H. M. Amin suma, SH., MA., MM., selaku dekan Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.
2. Bpk. Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA., selaku ketua jurusan Akhwal
Syakhsiyyah yang selalu memberikan bimbingan serta dukungan dan motivasi
kepada penulis untuk segera menyelesaikan skripsi ini.
3. Ibu Hj. Rosdiana MA., selaku sekjur dan pembimbing penulis, yang telah
meluangkan waktu dan memberikan bimbingan sehingga skripsi ini dapat
diselesaikan tepat pada waktunya.
i
4. Bpk. H. A. Basiq Djalil, SH.,MA dan Bpk. Dr. Abdul Halim, MA selaku
penguji penulis, yang telah memberikan kritik dan saran sehingga penulis
dapat merevisi skripsi ini dengan baik dan benar.
5. Seluruh Dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan ilmuilmu yang tak ternilai harganya, seluruh staff dan karyawan Perpustakaan
Fakultas Syariah dan Hukum, Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta dan bagian Tata Usaha Fakultas Syariah dan Hukum yang telah
memberikan pelayanan dengan baik.
6. Teristimewa untuk Ayahanda Asmat dan Ibunda Sundus selaku orang tua
penulis, yang selalu memberikan semangat dan doa sehingga penulis merasa
terpacu untuk segera menyelesaikan skripsi ini. Juga kepada saudara-saudara
Yulyantih, Sholahuddin, Aini Alfiah, dan Abdul Syakir yang selalu
memberikan doa, dukungan dan semangat dengan penuh keikhlasan dan
kesabaran yang tiada tara.
7. Dedy Setyo Hartanto selaku orang yang penulis sayangi yang selama ini
menyemangati dan terus memberi dukungan penuh kepada penulis.
8. Keluarga Kuliah Kerja Nyata (KKN) Cikembulan Garut 2010 yang selalu
memberikan semangat dan hiburan kepada penulis.
9. Teman-teman Program Studi Peradilan Agama Angkatan 2007, khususnya
Imamatul Azimah dan Syahri Fajriyyah yang terkenang dalam suka maupun
duka serta memberikan dukungan yang tidak terhingga kepada penulis.
ii
Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari kesempurnaan dan banyak yang
perlu diperbaiki lebih dalam. Oleh karena itu, saran dan kritik penulis harapkan demi
kesempurnaan skripsi ini. Mudah-mudahan skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis
khususnya dan setiap pembaca pada umumnya serta menjadi amal baik di sisi Allah
SWT. Semoga setiap bantuan, doa, dan motivasi yang telah diberikan kepada penulis
mendapatkan balasan dari Allah SWT.
Wassalamu'alaikum Wr. Wb.
Jakarta, 25 April 2011
Penulis
iii
DAFTAR ISI
KATAPENGANTAR ..............................................................................................
i
DAFTAR ISI ............................................................................................................ iv
BAB I
PENDAHULUAN..................................................................................
1
A. Latar Belakang Masalah ....................................................................
1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah................................................
4
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ..........................................................
4
D. Review Studi Terdahulu ....................................................................
5
E. Metodologi Penelitian ....................................................................... . 6
F. Sistematika Penulisan ....................................................................... . 8
BAB II
PERKAWINAN .................................................................................... 10
A. Pengertian Perkawinan ...................................................................... 10
B. Hukum Perkawinan ........................................................................... 11
C. Prinsip Perkawinan ........................................................................... 16
D. Tujuan dan Hikmah Perkawinan ....................................................... 20
BAB III
PEMBATALAN DAN KAWIN PAKSA ............................................. 24
A. Pengertian Pembatalan Perkawinan .................................................. 24
B. Alasan, Tata Cara dan Akibat Hukum Pembatalan Perkawinan ....... 26
C. Pengertian Kawin Paksa. ................................................................... 37
iv
D. Faktor Terjadinya Kawin Paksa ........................................................ 39
E. Pengaruh Kawin Paksa Terhadap Keharmonisan Rumah Tangga .... 40
BAB IV
PUTUSAN PERKARA PEMBATALAN PERKAWINAN KARENA
KAWIN PAKSA .................................................................................... 46
A. Profil Pengadilan Agama Jakarta Timur ........................................... 46
B. Struktur Organisasi ........................................................................... 47
C. Putusan Pengadilan Agama ............................................................... . 51
D. Analisa Putusan Pengadilan .............................................................. . 59
BAB V
PENUTUP .............................................................................................. 69
A. Kesimpulan ....................................................................................... 69
B. Saran-saran ........................................................................................ 69
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 71
LAMPIRAN-LAMPIRAN ..................................................................................... 76
1. Salinan Putusan Perkara Nomor 530/Pdt. G/2008/PA. JT ..................... 76
2. Surat Permohonan Pembimbing ............................................................. 82
3. Surat Mohon Data dan Wawancara ........................................................ 83
4. Surat Keterangan Pengadilan Agama Jakarta Timur ............................. 84
5. Hasil Wawancara Dengan Hakim .......................................................... 85
6. Hasil Wawancara Dengan Pemohon ....................................................... 97
v
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia merupakan makhluk sosial yang tidak dapat berdiri sendiri tanpa
orang lain, hal ini menjadikan mereka berkeinginan untuk mencari dan
mendapatkan jodoh yang dapat menemani hidupnya kala senang dan duka. Maka
dari itu Allah SWT menciptakan manusia berpasang-pasangan, melalui jalan
perkawinanlah kehidupan manusia dapat dilestarikan.
Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan
perempuan sebagai suami istri yang bertujuan membentuk kehidupan yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.1 Perkawinan
merupakan salah satu sunnatullah yang dengan sengaja diciptakan oleh Allah
SWT yang diantara lain tujuannya untuk melanjutkan keturunan dan tujuan-tujuan
lainnya.2 Menurut Hazairin perkawinan adalah hubungan seksual, menurutnya
tidak ada nikah (perkawinan) bila tidak ada hubungan seksual.3
Dalam falsafah hukum Islam dikatakan bahwa perkawinan adalah ikatan
berencana antara seorang laki-laki dan perempuan yang telah dewasa atas dasar
1
Pasal 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
2
Muhammad Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga dalam Islam, (Jakarta: Siraja,
2003), h. 1
3
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi
Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fiqih UU No.1/1974 sampai KHI, (Jakarta: Kencana, 2006),
h. 40
1
2
suka sama suka tanpa paksaan untuk membina rumah tangga yang sehat.4 Dan
perkawinan juga dapat menjadikan suatu hubungan yang istimewa seperti, hukum
kewarisan, hukum benda atau hukum kekayaan.5
Dan dalam kitab lain disebutkan perkawinan menurut syariat adalah akad
yang menghalalkan laki-laki dan perempuan untuk membina rumah tangga, jika
tidak ada akad, maka akan mengharamkan perbuatan tersebut.6 Perkawinan yang
dilakukan manusia merupakan naluri Illahiyah untuk berkembang biak dan
melakukan regenerasi yang akan mewarisi tugas mulia dalam rangka mengemban
amanat Allah SWT sebagai khalifah di muka bumi.7
Jadi dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa perkawinan itu
adalah ikatan yang dilakukan antara seorang perempuan dengan laki-laki yang
bersifat sakral dan mengikat, serta bertujuan membentuk keluarga yang bahagia
dan kekal.
Sahnya sebuah perkawinan itu telah ditetapkan bahwa apabila telah
terpenuhinya semua syarat dan rukunnya, demikian juga dengan ketentuan hukum
perdata yang berlaku di Indonesia. Dan apabila perkawinan yang semacam itu
(terlanjur terjadi) sudah terlaksana, maka dapat dibatalkan sesuai dengan
ketentuan Undang-Undang yang berlaku.8 Suatu perkawinan batal dimulai setelah
4
Fuad M. Fachruddin, Filsafat dan Hukum Syariat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1981),
Cet.ke-3, jilid 1, h. 160
5
K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indo, 1978), h.3
6
Muhammad Zaid al-Abyani, al- Ahkam as-Syakhsiyat, (Beirut: Baghdad), j I, h. 4
7
Ahmad Sudirman Abbas, Pengantar Pernikahan: Analisa Perbandingan Antara Mazhab,
(Jakarta: PT. Prima Heza Lestari, 2006), h.2
8
Arso Sosroatmodjo, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang 1981), h. 67
3
putusan pengadilan, karena pengadilanlah yang mempunyai wewenang untuk
membatalkan perkawinan.
Dalam
Kompilasi
Hukum
Islam
pembatalan
perkawinan terdapat dalam Pasal 70 sampai dengan 76,9 sementara dalam
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan terdapat dalam pasal 22
sampai dengan 28.
Pembatalan perkawinan juga bisa terjadi karena adanya paksaan dari
orang lain, seperti orang tua kepada anaknya. Dan terdapat kasus yang menarik
yang terjadi pada pasangan suami istri yakni laki-laki (suami) yang menikah
dengan perempuan (istri) lantaran laki-laki (suami) itu telah dipaksa oleh pihak
(orang tua) perempuan (istri), paksaan tersebut berupa ancaman yang
mengharuskan laki-laki (suami) mengawini perempuan (istri) tersebut.
Perkawinan seharusnya dilaksanakan dengan dasar cinta, perkawinan yang
dilaksanakan tidak berdasarkan cinta, suka dan sayang akan menimbulkan
dampak yang kurang positif atau akibat buruk yakni diantaranya saling membenci
dan tidak dapat membentuk keluarga yang harmonis.
Dengan adanya permasalahan yang telah dikemukakan diatas, maka
penulis ingin mengangkat permasalahan tersebut untuk diketahui lebih lanjut
sebagai bahan penelusuran pembahasan pada skripsi ini dengan judul:
PEMBATALAN PERKAWINAN KARENA KAWIN PAKSA (Analisis
Putusan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur Perkara
Nomor
530/Pdt.G/2008/PA.JT).
9
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Akademika Pressindo), h. 129-131
4
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Adapun yang menjadi pembahasan
dalam penulisan karya ini
difokuskan pada:
a. Pembatalan Perkawinan yang disebabkan oleh kawin paksa dari pihak
perempuan terhadap pihak laki-laki.
b. Pengadilan Agama yang dimaksud di skripsi ini adalah Pengadilan Agama
Jakarta Timur, karena terdapat kasus yang termasuk langka.
2. Perumusan Masalah
Pada umumnya kawin paksa terjadi dari orang tua kepada anaknya
karena orang tua mempunyai hak ijbar (paksa), akan tetapi pada faktanya
pada Pengadilan Agama Jakarta Timur terdapat kasus pembatalan perkawinan
karena suami kawin dengan istri lantaran dipaksa oleh pihak istri.
Rumusan tersebut penulis rinci dalam pertanyaan sebagai berikut:
1. Apa yang menjadi pertimbangan Hakim Pengadilan Agama Jakarta
Timur
dalam
memutuskan
perkara
pembatalan
perkawinan
No.
530/Pdt.G/2008/PAJT?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
Adapun yang menjadi tujuan penulisan ini adalah:
1. Untuk mengetahui pertimbangan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur
dalam
memutuskan
530/Pdt.G/2008/PAJT.
perkara
pembatalan
perkawinan
No.
5
Adapun manfaat dari penulisan ini adalah:
1. Untuk penulis, memberikan wawasan dan pengetahuan agar lebih bisa
memahami tentang pembatalan perkawinan dan juga dalam rangka
persyaratan penulis sebagai Sarjana Syariah.
2. Untuk kalangan akademisi (Fakultas), sebagai penambahan literatur
Perpustakaan Utama maupun Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Untuk masyarakat, memberi kontribusi pada masyarakat dalam mendudukan
perkara pembatalan perkawinan menurut perundang-undangan yang berlaku
D. Review Studi Terdahulu
1. Arud Badrudin, Pembatalan Karena Poligami Liar ( Analisa Yurisprudensi
Perkara Nomor 416/Pdt.G/1995/PA.Smd). dalam skripsi ini menjelaskan
tentang pembatalan perkawinan karena suami melakukan poligami tanpa izin
istri.
2. Nur Ulfah Mariana, Pembatalan Perkawinan Poligami Tanpa Izin Istri
Menurut UU No.1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam (Studi Kasus
Pengadilan Agama Jakarta Selatan). Dalam skripsi ini menjelaskan
Pembatalan Perkawinan Poligami Tanpa Izin Istri Menurut UU No.1 Tahun
1974 dan Kompilasi Hukum Islam,
3. Firdaus, Pembatalan Perkawinan Menurut Fiqih dan Undang-Undang 1974,
skripsi ini menjelaskan pengertian pembatalan perkawinan menurut Fiqih dan
Undang-Undang 1974.
6
Dan yang membuat berbeda dari skripsi yang ingin penulis angkat adalah:
1. Wilayah kejadian perkara terdapat di Pengadilan Agama Jakarta Timur.
2. Penulis ingin membahas tentang pembatalan perkawinan kawin paksa, melihat
argumenasi Hakim dalam perkara ini.
E. Metodologi Penelitian
Untuk mendapatkan data yang akurat, maka penulis menggunakan
penelitian melalui:
1. Penelitian ini adalah penelitian hukum yang normatif yang dilakukan dengan
cara meneliti bahan bahan pustaka atau data sekunder yang mungkin
mencakup data primer. Dan menggunakan pendekatan kualitatif yaitu dengan
melakukan analisis isi putusan dengan cara mengurai dan mendiskripsikan
putusan, kemudian dihubungkan dengan masalah yang diajukan sehingga
ditemukan kesimpulan yang objektif, logis, konsisten dan sistematis.
2. Sumber pengumpulan data
Untuk memecahkan isu hukum mengenai apa yang diteliti, diperlukan
sumber-sumber penelitian. Sumber-sumber penelitian hukum dapat dibedakan
berupa bahan hukum primer dan sekunder.10 Data primer diperoleh langsung
dari sumber pertama, yakni perilaku warga masyarakat melalui penelitian,
data sekunder antara lain mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku dan
seterusnya.11 Data primer dalam skripsi ini diperoleh dari putusan perkara No.
12-13
10
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2008), h. 141
11
Soerjono Soekanto, pengantar penelitian hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia 1986), h.
7
530/pdt.G/2008/PA.JT dan hasil wawancara dengan Hakim Pengadilan
Agama Jakarta Timur yang memutus perkara No.530/Pdt.G/2008/PA.JT,
sedangkan sekunder diperoleh dari buku-buku yang berkaitan dengan skripsi
tersebut.
3. Teknik pengumpulan Data
Teknik pengunpulan data yang dilakukan adalah wawancara terhadap
Hakim yang menangani langsung perkara No. 530/pdt.G/2008/PA.JT, dan
para Majlis Hakim tersebut adalah:
a. Hj. Yustimar B. SH (selaku Ketua Majlis)
b. H. Abdillah, SH (selaku Hakim anggota)
c. Drs. H. Fauzi M. Nawawi (selaku Hakim anggota)
4. Teknik Pengolahan Data
Data yang telah diperoleh kemudian dikumpulkan setelah itu diolah,
dianalisis dan diinterpretasikan untuk dapat menjawab permasalahan yang
telah dirumuskan.
5. Analisa Data
Setiap data yang dianalisis dari beberapa sudut pandang, merupakan data
yang bersumber dari sumber data, baik itu dati wawancara atau observasi.
6. Pedoman Penulisan Skripsi
Pedoman penulisan skripsi ini bepedoman pada “Buku Pedoman Penulisan
Skripsi Tahun 2007” yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta dengan beberapa pengecualian sebagai berikut:
8
a. Dalam daftar pustaka al-Qur’an ditempatkan pada urutan pertama.
b. Terjemahan al-Qur’an dan Hadis ditulis 11/2 spasi walaupun kurang dari
enam baris.
F. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini
adalah bab perbab, dimana antara bab satu dengan bab yang lainnya itu memiliki
keterkaitan, sistematika yang penulis maksud adalah:
Bab pertama tentang pendahuluan dalam membuka penulisan skripsi ini,
dengan uraian bahasa meliputi: latar belakang, pembatasan masalah, maksud dan
tujuan penelitian, studi review terdahulu, metode penelitian dan sistematika
penulisan.
Bab kedua tentang perkawinan, menjelaskan tentang
pengertian
perkawinan, hukum perkawinan yang didalamnya juga termasuk rukun dan syarat
perkawinan, prinsip perkawinan, dan tujuan serta hikmah perkawinan.
Bab ketiga tentang pembatalan perkawinan dan kawin paksa meliputi,
pengertian pembatalan perkawinan, alasan, tata cara dan akibat hukum
pembatalan perkawinan, pengertian kawin paksa, akibat hukum kawin paksa,
serta pengaruh kawin paksa terhadap keharmonisan rumah tangga.
Bab keempat tentang putusan perkara pembatalan perkawinan karena
kawin paksa di Pengadilan Agama Jakarta Timur. Meliputi profil, perkara
9
pembatalan perkawinan, putusan, dan analisis putusan Pengadilan Agama Jakarta
Timur tentang pembatalan perkawinan karena kawin paksa.
Bab kelima tentang penutup. Meliputi dua hal yaitu, kesimpulan dan
saran-saran.
BAB II
PERKAWINAN
A. Pengertian Perkawinan
Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. 1 Dan dalam
Kompilasi Hukum Islam menegaskan bahwa perkawinan adalah akad yang sangat
kuat (mitsaqan ghalidhan) untuk mentaati perintah Allah SWT, dan
melaksanakannya merupakan ibadah.
Perkawinan merupakan salah satu sunnatullah yang berlaku pada semua
makhluk-Nya, sebagai sesuatu yang paling baik yang dipilih Allah SWT untuk
berkembang biak dan melestarikan hidupnya.2
Menurut Paul Scholten, Perkawinan adalah suatu hubungan hukum antara
seorag pria dan seorang wanita untuk hidup bersama dengan kekal yang diakui
oleh negara.3
Dalam Hadis dikatakan
4
‫س يُِِي‬
َ ْ‫ي فَهي‬
ْ ِ‫م ِبسَُُت‬
ْ ًَ ‫ي َفًٍَْ نَ ْى َي ْع‬
ْ ِ‫ح يٍِْ سَُُت‬
ُ ‫اَن ُّكَا‬
1
Pasal 1 Undang-undang Nomor 1974 Tentang Perkawinan
2
Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqih Munakahat, (Bandung, CV. Pustaka Setia, 1999), h.
9
3
Kama Rusdiana dan Jaenal Aripin, Perbandingan Hukum Perdata, (Jakarta: UIN Jakarta
Press, 2007), h. 4
10
11
Artinya : “Pernikahan adalah salah satu dari sunnahku, maka barang siapa
yang tidak melakukannya (pernikahan) bukan termasuk dari
golonganku”.
‫عهَي أٌَْ يَ ُْكَخ فَه ْى يَ ُْكَخ‬
َ ‫ٍ قَ َد َر‬
ْ َ‫ ي‬.‫و‬.‫ل اهلل ص‬
ُ ‫قالَ َرسُ ْو‬:َ‫ي َجِيْخ قَال‬
ْ ِ‫عٍَْ ابٍِْ اَب‬
5
‫س يَُِا‬
َ ْ‫َفهَي‬
Artinya : “Dari Abi Najih berkata: Rasulullah SAW bersabda, Barang siapa
yang mampu untuk menikah dan ia belum menikah, maka ia bukan
termasuk dari golongan kami”.
Dari Hadis diatas dapat diambil kesimpulan bahwa, pernikahan itu
merupakan salah satu sunnah Rasul yang harus diikuti oleh umatnya yang mampu
untuk menikah (dengan ketentuan mampu lahir dan batin) dan apabila tidak
dikerjakan (sedangkan ia mampu lahir dan batin) maka bukan termasuk golongan
pengikut Nabi.
B. Hukum Perkawinan
Hukum perkawinan ditinjau dari kondisi perseorangan adalah sebagai
berikut:
1. Wajib, bagi orang-orang yang mempunyai kemauan untuk menikah tidak
dapat menahan hawa nafsunya terhadap wanita dan ia mampu untuk menikah.
4
Muhammad bin Ali bin Muhammad Saukani, Nailul Authar, (Darul Fikri, 1655), juz.V, h.
266
5
Abdullah bin Abdurohman bin Fadli Bahrom bin Abdu Somad at-Tamimi, Sunan Darimi,
(Darul Fikri, tt), Juz. II, h.132
12
2. Sunnah, terhadap orang yang telah mempunyai kemauan dan kemampuan
untuk melangsungkan perkawinan sedang ia tidak khawatir jatuh pada
perzinahan.
3. Mubah, bagi orang yang mempunyai kemampuan untuk menikah, akan tetapi
apabila tidak melakukannya tidak khawatir akan berbuat zina dan apabila
melakukannya juga tudak akan menelantarkan istri (pendorong dan
penghambat untuk kawin itu sama).
4. Makruh, bagi orang yang mempunyai kemampuan untuk melakukan
perkawinan juga cukup untuk menahan diri sehingga tidak kawin, hanya saja
orang ini tidak mempunyai keinginan yang kuat untuk dapat memenuhi
kewajiban suami istri dengan baik.
5. Haram, bagi orang yang tidak mempunyai keinginan dan tidak mempunyai
kemampuan serta tanggung jawab untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban
dalam rumah tangga sehingga apabila melangsungkan perkawinan akan
terlantar dirinya dan istrinya.6
Setelah mengetahui hukum perkawinan, maka ada beberapa rukun dan
syarat yang harus dipenuhi. Adapun rukun dan syaratnya adalah:
1. Perempuan sebagai calon istri
Syarat-syaratnya adalah:
-
Bukan istri dari laki-laki lain, bukan mahram, dan tidak dalam masa iddah
-
Merdeka, atas kemauan sendiri
6
Abd Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat. (Bogor: Kencana 2003), h. 18-21
13
-
Jelas orangnya
-
Tidak sedang berihram/haji
2. Laki-laki sebagai calon suami
Syarat-syaratnya adalah:
-
Bukan mahram
-
Tidak terpaksa
-
Jelas orangnya
-
Tidak dalam ihram/haji
3. Wali yang menikahkan
Syarat-syaratnya adalah:
-
Laki-laki
-
Baligh
-
Tidak terpaksa
-
Sehat akalnya
-
Adil
-
Tidak sedang ihram/haji 7
Dalam Hadis,
8
ٍ‫ي َذ َكرٍ َوشَاهِدَى عَ ْدل‬
ٍ ِ‫ال بِ َون‬
َ ِ‫خ عَقْ ُد ان ُِكَاح إ‬
ُ ِ‫الَيَص‬
7
Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Hukum-Hukum Fiqih Islam, (Jakarta: Bulan Bintang,
1987), h.49
8
Imam Takiyuddin bin Abu Bakar bin M. Husain, Kifayatul Akhyar, (Darul Fikri, tt ),juz IVI , hal. 34
14
Artinya: “Tidak disahkan akad dalam suatu pernikahan kecuali dengan wali
laki-laki dan dua orang saksi yang adil”
Adapun wali nikah ada empat jenis, yaitu:
1) Wali Nasab adalah wali nikah karena ada hubungan nasab dengan
wanita yang akan melangsungkan pernikahan, adapun wali nasab terbagi
menjadi dua yaitu:
a. Wali Nasab biasa yaitu wali nasab yang tidak mempunyai
kewenangan untuk memaksa menikahkan tanpa izin atau persetujuan
dari wanita yang bersangkutan, dengan kata lain wali ini tidak
mempunyai kewenangan menggunakan hak ijbar.
b. Wali Mujbir adalah wali nasab yang berhak memaksa kehendaknya
untuk menikahkan calon mempelai perempuan tanpa meminta izin
kepada wanita yang bersangkutan, hak yang dimiliki oleh wali
mujbir disebut dengan hak ijbar.
-
Menurut Syafi’i wali mujbir adalah ayah, kakek dan terus ke
atas, wali mujbir mempunyai kedudukan istimewa karena boleh
menikahkan anak perempuannya yang masih kecil dan belum
baligh juga boleh menikahkan anak perempuannya yang sudah
dianggap dewasa dan masih perawan tanpa minta izin terlebih
dahulu kepada anak yang bersangkutan.
-
Menurut Hambali wali mujbir adalah ayah dan washi, bila kedua
orang ini tidak ada maka yang berhak menyandang wali mujbir
15
adalah
hakim
dengan
syarat
bahwa
perempuan
yang
bersangkutan sudah layak dinikahkan, kedudukan dan fungsi
wali mujbir sama dengan imam Syafi’i.
-
Menurut Maliki wali mujbir adalah ayah, orang lain dapat
diangkat menjadi wali mujbir apabila telah mendapat wasiat dari
bapak. Wasiat yang diucapkan itu harus ada bukti baik itu tertulis
maupun lisan yang diucapkan dengan adanya dua orang saksi.
Adapun fungsi dari wali mujbir adalah boleh menikahkan
perempuan yang kurang waras baik masih kecil maupun sudah
menginjak dewasa.
-
Menurut Hanafi wali mujbir adalah setiap orang yang tercantum
dalam strukturisasi wali, mereka semua bisa disebut wali mujbir.
Dungsi wali mujbir hanya terbatas pada anak-anak kecil baik
laki-laki mapun perempuan, baik kepada orang gila yang masih
kecil maupun sudah dewasa.
2) Wali Hakim, yang dimaksud dengan wali hakim adalah wali nikah dari
hakim atau aqdhi. Adapun orang-orang yang berhak menjadi wali hakim
adalah pemerintah (sulthan), pemimpin (khalifah), penguasa (roish), atau
wanita yang berwali hakim.
3) Wali Tahkim yaitu wali yang diangkat oleh calon suami atau istri. Wali
tahkim terjadi apabila wali nasab tidak ada, wali nasab ghaib, tidak ada
aqdi atau pegawai pencatat nikah.
16
4) Wali Maula adalah wali yang menikahkan budaknya, yaitu majikannya
sendiri. Adapun maksud budak disini adalah wanita yang dibawah
kekuasaannya/hamba sahaya.9
4. Sighat atau ijab qabul
5. Dua orang saksi
Syarat-syaratnya adalah:
-
Laki-laki
-
Baligh
-
Sehat akal
-
Dapat mendengar atau melihat
-
Bebas, tidak terpaksa
-
Tidak sedang mengerjakan haji
-
Memahami bahasa yang dipergunakan dalam ijab qabul.
Menurut para Imam Mazhab Perkawinan itu tidak sah tanpa adanya saksi,
dan Hanafi menyatakan saksi itu bisa berupa dua orang perempuan dan satu orang
laki-laki tapi tidak diperkenankan hanya dua orang perempuan saja.10
C. Prinsip Perkawinan
Adapun prinsip-prinsip perkawinan dalam Islam antara lain:
9
Tihami dan Sohari, Fiqih Munakahat Kajian Fiqih Nikah Lengkap, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2009), h. 97
10
h.313
Muhammad Jawad Mugniyah, Fiqih Lima Mazhab, (Jakarta: PT. Lentera Basritama 1996),
17
1. Memenuhi dan melaksanakan perintah agama
Agama mengatur perkawinan dan memberi batasan rukun dan syarat
yang perlu dipenuhi. Apabila rukun dan syaratnya tidak terpenuhi maka
perkawinan itu batal (Fasakh). Dalam al-Qur’an dinyatakan bahwa hidup
berpasang-pasangan adalah naluri semua makhluk Allah SWT.11 Dalam surat
az-Zariyat ayat 49:
      
Artinya: “Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya
kamu menginat akan kebesaran Allah SWT”.
Dalam surat Yasin ayat 36:
         
  
Artinya: “Maha suci Tuhan yang menciptakan pasangan-pasangan
semuanya, baik apa ditumbuhkan dari bumi dan dari diri
mereka maupun apa yang tidak mereka ketahui”.
2. Kerelaan dan persetujuan
Pihak yang melangsungkan perkawinan itu dirumuskan dengan katakata kerelaan atau persetujuan calon istri dan suami. Agar suami dan istri
dapat membentuk keluarga bahagia, sejahtera dan kekal, maka diwajibkan
kepada calon mempelai untuk kenal terlebih dahulu.
11
Abd Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat. h.32
18
Kedua calon mempelai harus mempunyai suatu kesadaran dan
keinginan bersama secara ikhlas untuk mengadakan akad. Dan persetujuan
atau partisipasi keluarga juga diharapkan dalam hal perkawinan, dengan
demikian dapat terjalin silaturahmi antar keluarga.12
3. Kebebasan memilih jodoh
Memilih jodoh merupakan hak pilih yang bebas bagi laki-laki dan
perempuan sepanjang tidak melanggar ketentuan yang digariskan oleh syariat.
Syariat Islam memberikan petunjuk bagi orang tua agar tidak memaksakan
kehendaknya dalam masalah penentuan jodoh anak-anak mereka.13
Meskipun Islam memberikan kebebasan hak pilih dalam mencari
pasangan, namun tetap ada rambu-rambu yang diberikan agar tidak salah
dalam memilih suami atau istri. Orang tua dilarang memaksa anak-anaknya
untuk dijodohkan dengan pria atau wanita pilihannya, melainkan diharapkan
membimbing dan menuntut anak-anaknya agar memilih pasangan yang cocok
sesuai dengan anjuran agama yang mereka peluk. Sesuai dengan hak asasi
manusia, maka kawin paksa dilarang untuk dilaksanakan.
4. Saling melengkapi dan melindungi
Dalam surat al-Baqarah: 187,
12
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana
2008), h. 7-8
13
Musdah Mulia, Pandangan Islam Tentang Poligami, (Jakarta: Lembaga Kajian Agama dan
Jender, 1999), hal. 11-17
19
            
           
              
       
       
            
      
Artinya: Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur
dengan isteri-isteri kamu, mereka adalah Pakaian bagimu, dan
kamupun adalah Pakaian bagi mereka. Allah mengetahui
bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, Karena itu Allah
mengampuni kamu dan memberi ma'af kepadamu. Maka sekarang
campurilah mereka dan ikutilah apa yang Telah ditetapkan Allah
untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih
dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu
sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka
itu, sedang kamu beri'tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah,
Maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah
menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka
bertakwa.
5. Memperlakukan istri dengan baik
Dalam surat an-Nisa: 19,
            
             
20
            
 
 
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai
wanita dengan jalan paksadan janganlah kamu menyusahkan
mereka Karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang
Telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan
pekerjaan keji yang nyata, dan bergaullah dengan mereka secara
patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka
bersabarlah) Karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu,
padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.
D. Tujuan dan Hikmah Perkawinan
Keluarga yang dituju dengan adanya perkawinan adalah keluarga yang
sakinah (tenang), Mawadah (keluarga yang didalamnya terdapat rasa cinta, yang
berkaitan dengan hal-hal yang bersifat jasmani) dan Rahmah (keluarga yang
didalamnya terdapat rasa kasih sayang).14 Melakukan pernikahan merupakan
proses alamiah yang senantiasa dilalui oleh umat manusia, karena disaat mereka
mencapai suatu kematangan baik biologis maupun psikologis, maka akan muncul
dorongan untuk menjalin ikatan dengan lawan jenisnya.15
Tujuan pernikahan menurut al-Qur’an, yakni ada dua ayat yang menonjol
tentang hal pernikahan ini. Pertama, disebutkan bahwa tujuan pernikahan itu
14
Abdul Shomad, Hukum Islam (Panorama Prinsip Syari’ah Dalam Hukum Indonesia),
(Jakarta: Kencana 2020), h. 276
15
Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial, (Jakarta: Rajawali Press, 1993), h. 76
21
adalah untuk bersenang-senang.16 Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam
surat al-A’raf: 189
       
       
             
     
Artinya: Dialah yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan dari padanya
dia menciptakan isterinya, agar dia merasa senang kepadanya. Maka
setelah dicampurinya, isterinya itu mengandung kandungan yang
ringan, dan teruslah dia merasa ringan (beberapa waktu). Kemudian
tatkala dia merasa berat, keduanya (suami-isteri) bermohon kepada
Allah, Tuhannya seraya berkata: "Sesungguhnya jika Engkau memberi
kami anak yang saleh, tentulah kami termasuk orang-orang yang
bersyukur”.
Kedua, dalam surat ar-Rum: 21,
 
            
         
Artinya: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan
untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan
merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih
dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.
Menurut Abd Rahman Ghazaly tujuan dari perkawinan adalah:
1. Mendapatkan dan melangsungkan keturunan.
16
Ahmad Basiq Djalil, Tebaran Pemikiran Ke-Islaman di Tanah Gayo, (Jakarta: Qalbun
Salim, 2007), cet-1, h. 86
22
2. Memenuhi hajat manusia untuk menyalurkan syahwatnya dan menumpahkan
kasih sayang.
3. Memenuhi panggilan agama, memelihara diri dari kejahatan dan kerusakan.
4. Menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggung jawab menerima hak serta
kewajiban, juga bersungguh-sungguh untuk memperoleh harta kekayaan yang
halal.
5. Membangun rumah tangga untuk membentuk masyarakat yang tentram atas
dasar cinta dan kasih sayang.17
Hikmah perkawinan ialah supaya manusia itu hidup berpasang-pasangan,
hidup dua sejoli, hidup suami istri, membangun rumah tangga yang damai dan
teratur.18
Untuk itu setiap pasangan dituntut untuk dapat mempertahankan keutuhan
rumah tangganya, jika akad sudah dilakukan maka, mereka akan berjanji seia
sekata dan dapat membangun rumah tangga yang damai dan teratur.
Jadi dapat difahami bahwa tujuan suatu perkawinan itu disamping
terhindar dari kemaksiatan, tapi banyak manfaat yang dapat diperoleh dari sebuah
perkawinan, baik itu berdampak baik bagi diri sendiri maupun orang lain,
termasuk juga hikmah didalamnya yakni, hidup lebih teratur dan suasana menjadi
tentram dan damai lantaran memiliki keluarga.
17
18
Abd Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat. h.24
Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan Menurut Mazhab Syafi’I, Hanafi, Maliki dan
Hanbali, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1996),cet-15, hal.7
23
Secara detail hikmah perkawinan ialah:
1. Sebagai fitrah manusia untuk berkembang biak, dan keinginan untuk
melampiaskan syahwat secara manusiawi dan syar’i.
2. Upaya menghindarkan diri dari perbuatan maksiat akibat penyaluran hawa
nafsu yang tidak benar seperti zina.
3. Terwujudnya kehidupan yang tenang dan tentram.
4. Membuat ritme kehidupan seseorang menjadi lebih tertib, teratur, dan
mengembangkan sikap kemadirian, serta tanggung jawab.
5. Pernikahan dan keturunan akan mendatangkan rizki.
6. Nikah mempunyai kontribusi di dalam membentuk pribadi untuk berprilaku
disiplin seperti disiplin dalam membagi waktu dan pekerjaan.
7. Memperkokoh tali persaudaraan antara masyarakat.
8. Menghasilkan keturunan yang baik, jelas nasabnya dan semakin merekatkan
hubungan antar sesama.
9. Dalam salah satu laporan dari Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang
dimuat dalam Koran al-Sya’b pada hari Sabtu, 1 Juni 1959, melaporkan
bahwa pasangan suami istri akan bertahan hidup lebih lama jika dibandingkan
dengan yang bukan pasangan suami istri. 19
19
Asrorun Ni’am Sholeh, Fatwa-fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, (Jakarta: eLSAS,
2008), h. 42-44
BAB III
PEMBATALAN DAN KAWIN PAKSA
A. Pengertian Pembatalan Perkawinan
Pembatalan berasal dari kata “batal” yang artinya tidak berlaku, tidak sah,
dan pembatalan yaitu sebuah proses untuk menyatakan sesuatu hal yang dianggap
tidak sah (batal).1 Sedangkan pembatalan perkawinan adalah perkawinan yang
dibatalkan apabila salah satu pihak ada yang merasa dirugikan baik itu dari pihak
suami maupun istri atau salah satu rukun atau syarat perkawinan tidak terpenuhi.2
Dan dalam istilah lain yang mempunyai pengertian yang sama dengan
batal adalah fasakh (rusak). Dan menurut Jumhur Ulama, “Tidak ada perbedaan
antara batal dengan fasakh baik itu dalam lapangan ibadah maupun mu’amalah”.3
Adapun istilah pembatalan perkawinan itu identik dengan fasakh
yakni,
pembatalan akad dan melepaskan tali ikatan perkawinan suami istri.4 Sedangkan
menurut Undang-undang N0. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pembatalan
1
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 1996), h. 97
2
Wawancara Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur, Senin 18 Maret 2011
3
Departemen Agama RI, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Yayasan Penerjemah al-Qur’an, 1993),
4
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Beirut: Daar al-Fikr,1983), cet-4, juz II, h. 268
h. 70
25
26
adalah “Perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syaratsyarat untuk melangsungkan perkawinan”.5
Fasakh berasal dari bahasa Arab yang berarti membatalkan dan fasakh
perkawinan menurut Syar’i ialah:
6
‫ن‬
ِ ٍَْ‫حمُ انشَا ِبطَ ِت انَتِى َتشْبُط بٍَْنَ انضًَْج‬
ِ ًَ ‫خ انعَقْ ِذ نَقْضَ ُو‬
ُ ْ‫فس‬
Artinya: Fasakh aqad (perkawinan) adalah membatalkan akad perkawinan dan
memutuskan tali perhubungan yang mengikat antara suami istri.
7
‫طالَقَا‬
َ ‫م عَقْ َذ بِ ِو ًَالٌََع ُذ‬
ُ‫ح‬
َ ْ‫ج ًَىُ ٌَمَاتَن‬
ِ ‫َفسْخُ انضًََا‬
Artinya : Fasakh perkawinan adalah sesuatu yang dapat merusak akad dalam
perkawinan dan fasakh bukan termasuk talaq.
Pembatalan perkawinan pada umumnya karena pelanggaran syarat formal
seperti yang telah disebutkan diatas, sedangkan bila pelanggaran itu pada larangan
materil, seperti perkawinan antara yang berhubungan nasab atau larangan tetap
lainnya, perkawinan itu batal dengan sendirinya, dianggap tidak pernah ada,
5
Undang-undang Perkawinan di Indonesia dengan Peraturan Pelaksanaannya, UndangUndang N0.1 Tahun 1974, (Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 1991), cet-11, h. 12
6
Firdaweri, Hukum Islam Tentang Fasakh Perkawinan, (Jakarta: CV Pedoman Ilmu Jaya
1989), h. 5
7
Ali Hasabillah, al-Furqan Baina Zaujaini, (Kairo: Darul Fikri, 1969), cet.1 h. 169
27
sehingga terhadap akibat yang timbul dari hubungan “suami-istri” itu dianggap
tidak pernah ada, atau tidak mendapat perlindungan hukum.8
Dari beberapa penjelasan diatas mengenai pengertian pembatalan
perkawinan, maka dapat disimpulkan bahwa pembatalan perkawinan adalah suatu
tindakan yang dapat merugikan salah satu pihak yang dilakukan baik dari pihak
istri maupun suami untuk membatalkan perkawinan dan diajukan kepada
Pengadilan Agama.
B. Alasan, Tata Cara dan Akibat Hukum Pembatalan Perkawinan
1. Alasan Pembatalan Perkawinan
Sebab-sebab terjadinya pembatalan perkawinan yakni sebagai berikut:
a. Karena adanya balak (penyakit belang kulit).
b. Karena gila.
c. Karena penyakit kusta.
d. Karena ada penyakit menular, seperti sipilis, dan lain-lain.
e. Karena ada daging tumbuh pada kemaluan perempuan yang menghambat
maksud perkawinan (bersetubuh).
f. Karena unnah, yakni impoten.
Disamping itu pembatalan juga dapat terjadi karena,
8
Anwar Sitompul, Kewenangan dan Tata Cara Berperkara di Pengadilan Agama, (Bandung:
CV. Amrico, 1984), h. 80
28
a. Nikah Syigar, misalnya seorang ayah berkata kepada seorang laki-laki:
“Aku nikahkan anak gadisku dengan engkau, dan sebagaimana maharnya
engkau nikahkan pula putrimu dengan aku”.
b. Nikah Mut’ah (nikah kontrak).
c. Nikah Muhrim (dalam keadaan muhrim).
d. Nikah dua orang laki-laki dengan seorang perempuan yang dinikahkan
oleh dua orang wali yang berjauhan tempat. Jika diketahui mana yang
lebih dahulu, maka akad yang terdahulu yang dianggap sah. Dan
bilamana tidak diketahui mana yang lebih dahulu, maka kedua akad nikah
itu dianggap batal.
e. Nikah wanita yang sedang beriddah.
f. Nikah laki-laki muslim dengan wanita non muslim, yang beragama
Majusi, Yahudi ataupun Nasrani (yang tidak asli sebagai ahlu kitab).
g. Nikah wanita muslimah dengan laki-laki non muslim, karena wanita
muslimah tidak dihalalkan menikah dengan non muslim. 9
Dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
pembatalan perkawinan diatur dalam BAB IV Pasal 22 sampai dengan 28 ,
dalam bab ini dijelaskan alasan-alasan perkawinan, dan para pihak yang
berhak mengajukan
pembatalan perkawinan serta akibat hukum dari
pembatalan perkawinan.
9
Tihami dan Sohari Sahrani, Fiqih Munakahat Kajian Fiqih Nikah Lengkap, h. 198-200
29
Adapun pada Kompilasi Hukum Islam pembatalan perkawinan diatur
dalam BAB XI Pasal 70 sampai dengan 76, materi rumusannya hampir sama
dengan materi yang dirumuskan dalam BAB IV Undang-Undang No. 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan.
Alasan pembatalan perkawinan menurut Undang-undang No.1 Tahun
1974 tentang Perkawinan dalam pasal 22 adalah:
“Perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syaratsyarat untuk melangsungkan perkawinan”.
Demikian pula dalam pasal 24 Undang-undang No.1 Tahun 1974
tentang Perkawinan, pembatalan perkawinan dapat diajukan dengan
ketentuan,
“Barang siapa karena perkawinan masih terikat dirinya dengan salah satu
dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan dapat
mengajukan pembatalan perkawinan yang baru, dengan tidak mengurangi
ketentuan Pasal 3 ayat 2 dan Pasal 4 Undang-undang ini”.
Dalam pasal 26 Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, dijelaskan tentang pembatalan perkawinan karena wali atau saksi
yang tidak sah, yakni:
1. Perkawinan yang dilangsungkan dimuka pegawai pencatat perkawinan
yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah atau yang
dilangsungkan tanpa dihadiri oleh dua orang saksi dapat dimintakan
pembatalannya oleh keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dari
suami atau istri, jaksa dan suami atau istri.
2. Hak untuk membatalkan oleh suami atau istri berdasarkan alasan dalam
ayat 1 pasal ini gugur apabila mereka setelah hidup bersama sebagai
30
suami istri dan dapat memperlihatkan akta perkawinan yang tidak
berwenang dan perkawinan harus diperbaharui supaya sah.
Dalam pasal 27 Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
dijelaskan pembatalan perkawinan karena adanya unsur ancaman didalamnya,
yakni:
1. Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan
perkawinan, apabila perkawinan dilangsungkan dibawah ancaman yang
melanggar hukum.
2. Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan
perkawinan, apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi
salah sangka mengenai diri suami atau istri.
3. Apabila ancaman telah berjenti, atau yang bersalah sangka itu telah
menyadari keadaannya, dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah
itu masih tetap hidup sebagai suami istri, dan tidak mempergunakan
haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya
gugur.
Menurut Kompilasi Hukum Islam pasal 70 perkawinan batal apabila,
a. Suami melakukan perkawinan, sedang ia tidak berhak melakukan akad
nikah karena sudah mempunyai empat orang istri, sekalipun salah satu
dari keempat istrinya itu dalam masa iddah talak raj’i;
b. Seseorang telah menikahi bekas istrinya yang telah dili’annya;
c. Seseorang telah menikahi bekas istrinya yang pernah dijatuhi tiga kali
talak olehnya, kecuali bila bekas istri tersebut pernah menikah dengan
pria lain yang kemudian bercerai lagi ba’da dukhul dari pria tersebut
dan telah habis masa iddahnya;
d. Perkawinan dilakukan dengan orang yang mempunyai hubungan darah
semeda dan sesusuan sampai derajat tertentu yang menghalangi
perkawinan menurut pasal 8 Undang-undang No.1 Tahun 1974:
e. Istri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri
atau istri-istrinya;
Dalam pasal 71 Kompilasi Hukum Islam suatu perkawinan dapat
dibatalkan apabila,
a. Seorang suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama;
31
b. Perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi
istri pria lain yang mafqud;
c. Perempuan yang dikawini ternyata masih dalam iddah dari suami lain;
d. Perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan, sebagaimana
ditetapkan dalam pasal 7 Undang-Undang 1 Tahun 1974;
e. Perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang
tidak berhak;
f. Perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan;
Dalam pasal 72 Kompilasi Hukum Islam dijelaskan pembatalan
perkawinan karena adanya unsur ancaman didalamnya, yakni:
(1) Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan
perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan dibawah ancaman yang
melanggar hukum.
(2) Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan
perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi
penipuan atau salah sangka mengenai diri suami atau istri.
(3) Apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah sangka itu
menyadari keadaannya, dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan
setelah itu masih tetap hidup sebagai suami istri, dan tidak
menggunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan,
maka haknya gugur.
2. Tata Cara Pembatalan Perkawinan
Mengenai tata cara pengajuan pembatalan perkawinan, yakni pada
dasarnya pengajuan perkara pembatalan perkawinan sama halnya dengan
pengajuan perceraian pada umumnya,10 hal ini terdapat dalam PP No. 9 Tahun
1975 tentang Pelaksanaan Pelaksanaan Undang-undang No. 1 TAhun 1974
tentang Perkawinan Adalah sebagai berikut:
Batalnya suatu perkawinan hanya dapat diputuskan oleh Pengadilan (PP
No. 9/1975 Pasal 37). Permohonan pembatalan suatu perkawinan diajukan
oleh pihak-pihak yang berhak mengajukannya kepada Pengadilan yang
daerah hukumnya meliputi tempat berlangsungnya perkawinan, atau di
tempat tinggal kedua suami istri, suami atau istri (PP. No. 9/1975 Pasal 38
10
Wawancara Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur, Senin 18 Maret 2011
32
(1) ). Tata cara pengajuan permohonan pembatalan perkawinan dilakukan
sesuai dengan tata cara pengajuan gugatan perceraian (PP. No. 9/1975
Pasal 38 (2) ).
Dalam pasal 23 Undang-undang Perkawinan No.1 Tahun 1974
tentang Perkawinan, menjelaskan siapa saja yang dapat mengajukan
pembatalan perkawinan, yakni:
a.
b.
c.
d.
Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau istri.
Suami atau istri.
Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belumdiputuskan.
Pejabat yang ditunjuk tersebut ayat (2) pasal 16 Undang-undang ini dan
setiap orang mempunyai kepentingan secara langsung terhadap
perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus.
Dalam pasal 25 Undang-undang Perkawinan No.1 Tahun 1974
tentang Perkawinan, menjelaskan tatacara pembatalan perkawinan, yakni:
“Permohonan pembatalam perkawinan diajukan kepada Pengadilan dalam
daerah hukum dimana perkawinan dilangsungkan di tempat tinggal kedua
suami istri, suami atau istri”.
Dalam pasal 73 Kompilasi Hukum Islam, Yang dapat mengajukan
permohonan pembatalan pembatalan perkawinan adalah:
a. Para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dan kebawah dari
suami atau istri.
b. Suami atau istri.
c. Pejabat yang berwenang mengawasi pelaksanaan perkawinan menurut
undang-undang.
d. Para pihak yang berkepentingan yang mengetahui adanya cacat dalam
rukun dan syarat perkawinan menurut hukum islam dan peraturan
Perundang-undangan sebagaimana tersebut dalam pasal 67.
33
Dalam pasal 74 Kompilasi Hukum Islam, menjelaskan tentang
tatacara pembatalan perkawinan, yakni:
(1) Permohonan pembatalan perkawinan dapat diajukan kepada
Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal suami atau istri
atau tempat perkawinan dilangsungkan.
(2) Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah putusan Pengadilan Agama
mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat
berlangsungnya perkawinan.
Adapun penjelasannya sebagai berikut:
a. Hanya pengadilan yang berwenang membatalkan perkawinan
Gugatan
pembatalan
perkawinan
dapat
diajukan
kepada
pengadilan agama yang mewilayahi tempat perkawinan dilangsungkan,
tempat tinggal suami istri, tempat tinggal suami atau tempat tinggal istri
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Bagian Ke-Enam,
Pasal 85, yakni Kebatalan suatu perkawinan hanya dapat dinyatakan oleh
Hakim.11
b. Pemohon atau kuasa hukum mendatangi Pengadilan Agama (UU No.7
Tahun
1989
Tentang
gugatan/permohonan
Peradilan
harus
dibuat
Agama),
secara
Kemudian
semua
tertulis,
bagi
penggugat/pemohon yang tidak dapat membaca dan menulis, maka
gugatan/permohonan diajukan secara lisan kepada Ketua Pengadilan
11
R. Subekti dan R. Tjirosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: PT.
Pradya Paramita, 2004), h. 21
34
Agama.12 Sebagimana tertulis dalam HIR pasal 118 ayat 1 dan pasal 142
ayat 1 R.B.g.
c. Gugatan pembatalan perkawinan harus memuat, identitas para pihak yang
berperkara, posita (alasan yang berdasarkan fakta dan hukum) dan
petitum(tuntutan yang diminta oleh penggugat/pemohon).
d. Penetapan Majlis Hakim
e. Pemanggilan
f. Pemerikasaan
g. Upaya damai
h. Pembuktian
i. Putusan hakim
j. Biaya perkara
k. Berlakunya putusan hakim, batalnya suatu perkawinan dimulai setelah
putusan pengadilan agama mempunyai kekuatan hukum tetap berlaku
sejak berlangsungnya perkawinan pasal 28 ayat 1 UU No 1 tahun 1974
tentang Perkawinan.
3. Akibat Hukum Pembatalan Perkawinan
Ada beberapa hal yang membuat pernikahan menjadi batal,. pisahnya
suami istri akibat fasakh berbeda dengan pisahnya karena talak. Talak itu ada
12
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2004), h. 40
35
dua, raj’i dan bain. Talak raj’i tidak mengakhiri ikatan suami istri dengan
seketika, sedangkan bain mengakhiri ikatan seketika itu juga. Adapun fasakh,
baik yang terjadi belakangan ataupun karena adanya syarat-syarat atau rukun
yang tidak terpenuhi, maka berakhir perkawinan tersebut seketika itu.
Pisahnya suami dengan istri karena Fasakh, hal ini tidak berarti mengurangi
bilangan talak, dan suami tetap mempunyai kesempatan tiga kali talak.13
Sementara iddah bagi pembatalan perkawinan secara umum tidak ada
perbedaan pendapat dikalangan ulama berkaitan dengan masalah iddah,
golongan Zhahiri tidak mewajibkan iddah bagi perempuan yang dicerai
karena perkawinan fasid (fasakh) meskipun sudah terjadi hubungan (ba’da
dukhul) karena tidak ada dalilnya didalam al-Qur’an ataupun sunnah.14
Sementara ada yang menyatakan istri yang dicerai dengan keputusan fasakh
oleh pengadilan tidak dapat dirujuk oleh bekas suaminya, yang apabila
menghendaki membina rumah tangga kembali sesudah habis masa iddah.15
Menurut Muhammad Satho Dimyati iddah diwajibkan karena dicerai oleh
13
Tihami dan Sohari Sahrani, Fiqih Munakahat Kajian Fiqih Nikah Lengkap, h. 314
14
Muhammad Isna Wahyudi, Fiqih Iddah Klasik dan Kontemporer, (Yogyakarta: Pustaka
Pesantren, 2009), h. 82
15
143
Achmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,1995),c.I, h.
36
suami (yang pernah digauli qubul atau dubur) baik dengan cara talak atau
memfasakhkan nikah.16
Dan demikian pula dalam kitab karangan Imam al-A’zam Abi
Hanifah An-Ni’man menjelaskan bahwa iddah merupakan bagian dari
perkawinan yang mengharuskan kepada setiap perempuan untuk menjalani
masa iddah baik perceraian karena talak ataupun fasakh (ba’da dukhul).
17
Dan dalam pasal 155 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan,
“Waktu iddah bagi janda yang putus perkawinannya karena khuluk,
fasakh dan li’an berlaku iddah talak”.
Adapun masa tunggunya adalah sebagai berikut.18
a. Iddah untuk perempuan yang cerai mati, masanya adalah 4 bulan 10 hari.
b. Iddah untuk perempuan yang cerai hidup, masanya adalah 3 quru (suci),
menurut Abu Zahrah dalam kitab al-Akhwal al-Syaksiyah menjelaskan
bahwa iddah bagi perempuan yang fasakh perkawinannya yakni
selayaknya iddah talak (tiga kali haid) dengan ketentuan ba’da dukhul.19
c. Iddah untuk perempuan yang belum baligh atau menopose, masanya 3
bulan.
16
Abi Bakri al-Mashur bil Barri Bakri Bin Said Muhammad Satho Dimyati, I’antul Tholibin,
(Darul Ibnu Ubud: 1997), cet. I, J. IV, h. 46
17
Imam al-A’zam Abi Hanifah an-Ni’man, al-Ahkam as-Syar’iyyah, (Maktabah wa Mutbi’ah
Muhammad ala Shobihi wa Waladihi, 1965), h .49
18
Huzaimah Tahido Yanggo, Masail Fikhiyah Kajian Hukum Islam Kontemporer, (Bandung:
Angkasa, 2005), h.171-172
19
Abu Zahrah, al-Ahwal al-Syaksiyah, (Darul Fikri al-Arabi, 1957), h. 439
37
d. Iddah untuk perempuan yang dicerai dalam keadaan hamil, masanya
sampai melahirkan.
Dalam pasal 28 Undang-undang Perkawinan No.1 1974 tentang
Perkawinan menerangkan:
a. Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan Pengadilan
mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak
berlangsungnya perkawinan.
b. Keputuan tidak berlaku surut terhadap:
- Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut;
- Suami atau istri yang bertindak dengan I’tikad baik, kecuali
terhadap harta bersama bila pembatalan perkawinan didasarkan atas
adanya perkawinan lain yang terlebih dahulu.
- Orang-orang ketiga lainnya termasuk dalam a dan b sepanjang
mereka memperoleh hak-hak dengan I’tikad baik sebelum
keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum tetap.
Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 75 keputusan pembatalan
perkawinan tidak berlaku surut terhadap:
a. Perkawinan yang batal karena salah satu dari suami atau istri murtad;
b. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut;
c. Pihak ketiga sapanjang mereka memperoleh hak-hak denga beritikad
baik, sebelum keputusan pembatalan perkawinan mempunyai kekuatan
hukum yang tetap;
Demikian
pula
dalam
pasal
76
Kompilasi
Hukum
Islam
menerangkan, Batalnya suatu perkawinan tidak akan memutuskan hubungan
hukum antara anak dengan orang tuanya.
38
C. Pengertian Kawin Paksa
Kawin paksa dalam bahasa arab disebut ijbar, kata ijbar berasal dari kata
ajbara-yujbiru-ijbaaran.20 Wali mujbir yakni wali nasab yang berhak memaksakan
kehendaknya untuk menikahkan calon mempelai perempuan tanpa meminta ijin
kepada wanita yang bersangkutan. Hak yang dimiliki oleh wali mujbir disebut
dengan hak ijbar.21
Mazhab Syafi’i mengatakan bahwa kekuasaan sang wali hendaknya bukan
untuk menjadikan sebuah tindakan memaksakan kehendaknya sendiri dalam
memilih jodoh atas pasangan, tanpa memperhatikan asas kerelaan sang anak.
Dalam surat an-Nisa Ayat 19, Allah SWT berfirman:
          
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai
wanita dengan jalan paksa”.
Dan sesungguhnya perempuan dewasa tidak boleh dipaksa untuk
melangsungkan pernikahan karena
hal ini sudah ditetapkan oleh Nabi
Muhammad SAW, yang diriwayatkan oleh Ahmad adalah sebagai berikut:
20
Ahmad Warson Munawir, Al-Munawir Kamus Arab-Indonesia, (Yogyakarta: Pondok
Pesantren al-Munawwir Krapyak, 1984), h. 164
21
Muhammad Asmawi, Nikah Dalam Perbincangan dan Perbedaan, (Yogyakarta:
Darussalam, 2004), Cet. 1, h. 77
39
22
َ‫ب حَتً َتسْتَا َمش‬
ُ ٍَْ‫ ًَالَتَ ْنكَحْ انَث‬,ُ‫ح ان ِب ْك ُش حَتًَ َتسْتَارَن‬
ْ َ‫ال تَ ْنك‬
َ :َ‫ قَال‬.‫ م‬.‫ن اننَبًِ ص‬
ْ َ‫ع‬
Artinya:” Tidak boleh dinikahkan perawan sampai dimintai izinnya, dan janda
sampai dimintai persetujuannya”
,ُ‫ال ٌُ ُم حَتً َتسْتَا َمش‬
َ َ‫ال ت ْنكَحْ ا‬
َ ( :َ‫ قَال‬.‫ م‬.‫ً ص‬
ُ ِ‫ اننَب‬: ‫ً اهلل عَنْ ُو‬
َ ِ‫عَنْ اَبًِْ ُىشَ ٌْشَة سَض‬
23
)ْ‫سكُت‬
ْ ‫ن َت‬
ْ َ‫ (ا‬:َ‫ل اهلل ًَكَ ٍْفَ اِرْ ُنيَا؟ قَال‬
ُ ٌْ ُ‫ح ان ِب ْك ُش حَتًَ َتسْتَارَنْ) قَانٌُا ٌَا َسس‬
ْ َ‫ًَال َت ْنك‬
Artinya:” Janda tidak boleh dinikahkan kecuali setelah dimintai pendapat dan
perawan tidak boleh dinikahi kecuali setelah dimintai persetujuannya,
para sahabat bertanya: ya Rosulullah, bagaimana persetujuannya?
Rasulullah bersabda: diam”
ٌ‫ً ثٍَْب‬
َ ِ‫جيَا ًَى‬
َ ًَْ‫ اَنْ اَبَا ىَا ص‬: ‫ً اهلل عَ ْنيَا‬
َ ْ‫ت خِزَامُ االَنْصَا سٌَِتْ سَض‬
ُ ْ‫ن خَ ْنسَا َء بِن‬
ْ َ‫ع‬
24
)‫ َفشَدَ ِنكَا حَ ُو (سًاه انبخا سي‬.‫ م‬.‫ل اهلل ص‬
ُ ٌُْ‫َف َكشِ ىَت َرِنكَ فََا تَتْ َسس‬
Artinya: ”Diriwayatkan dari Khansa binti Khidzam al-Anshariyyah r.a. bahwa
ayahnya menikahkannya yang ketika itu dia seorang janda dan dia
tidak menyukai hal itu, maka beliau membatalkan pernikahannya”
Dari ayat al-Qur’an dan ketiga hadis diatas dapat ditarik kesimpulan
bahwa Rasulullah SAW telah menyarankan dalam hal memilih jodoh, hendaknya
22
Muhiyuddin Abdush Shomad, Umat Bertanya Ulama Menjawab Seputar Karir,
Pernikahan, dan Keluarga, (Jakarta: Rahima, 2008), h. 115
23
Musthofa Dzaibul Bago, Mukhtashar Shahih al-Bukhari, (Yamamah, 1999), h. 617
24
Malik Ibnu Anas, al-Muatho, (Magrib: Darul Ifaqil Jadidah, tt), h. 475
40
jika seorang wali (ayah) ingin mengawinkan anaknya dengan seorang laki-laki
pilihannya maka sebaiknya mintalah persetujuan (izin) anaknya terlebih dahulu,
karena pada dasarnya setiap orang baik laki-laki ataupun perempuan berhak untuk
memutuskan (memilih) pasangan hidupnya masing-masing. Seorang laki-laki
sebaiknya mengetahui sebelum mengajukan lamaran terhadap pasangan yang
diinginkan agar tidak keliru dalam pilihannya atau salah dalam putusannya
sehingga akan merusak perkawinan, dan begitu pula sebaliknya.
Perkawinan dalam Islam hanya dijalani dengan persetujuann bebas
(kerelaan) dari kedua belah pihak.25 Dan perlu diingat asas perkawinan adalah
adanya kesepakatan antara kedua calon suami dan istri, hal ini sesuai dengan
Pasal 28 KUHPer, 26
“ Asas Perkawinan menghendaki adanya kebebasan kata sepakat antara
kedua calom suami istri”
Jadi kawin paksa adalah, suatu ikatan perkawinan antara perempuan
dan laki-laki yang dilakukan dengan terpaksa (paksaan) tanpa didasari
keinginan untuk menikah.
D. Faktor Terjadinya Kawin Paksa
Faktor-faktor terjadinya kawin paksa adalah:
1. Kekeliruan dalam menempatkan hak dan kewajiban orang tua terhadap anak
dan anak terhadap orang tuanya.
25
Abdur Rahman, Perkawinan Dalam Syariat Islam, (Jakarta: PT.Rineka Cipta, 1992), h. 16
26
R. Subekti dan R. Tjirosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, h. 8
41
2. Adanya pemikiran bahwa orang tua hanya akan memberikan yang terbaik
bagi anaknya.27
3. Nilai dan norma juga merupakan faktor penyebab adanya kawin paksa, baik
agama sebagai sebuah keyakinan maupun budaya yang masih kokoh. Seperti
kewajiban orang tua untuk mencarikan pasangan hidup sang anak, begitu juga
dengan stigma terhadap perempuan yang tidak laku, telah mendorong orang
tua untuk mencarikan sekuat tenaga teman hidupnya.28
4. Dari ketiga alasan diatas ternyata pada kenyataannya kawin paksa itu bisa
terjadi karena orang tua yang khawatir pada anaknya lantaran takut anaknya
ditinggalkan oleh orang lain (pacarnya) sehingga dapat merugikan orang lain.
E. Pengaruh Kawin Paksa Terhadap Keharmonisan Rumah Tangga
Manusia diciptakan untuk berpasang-pasangan antara laki-laki dan
perempuan untuk menjadi suami isteri. Akan tetapi banyak orang tua atau wali
yang merusaknya dengan memaksakan kehendak kepada anaknya dengan
mengawinkan anaknya secara paksa. Adapun pengaruh kawin paksa terhadap
keharmonisan rumah tangga dapat berdampak negatif bagi kedua atau salah satu
pihak suami atau istri, dampak negatif tersebut adalah:
1. Tidak dapat mewujudkan keluarga yang sakinah mawaddah warahmah
27
28
http://www.Google.com/kawin/paksa, diakses Jum’at, 11 Maret 2011
Miftahul Huda, Kawin Paksa, Ijbar Nikah dan Hak-hak Reproduksi Perempuan,
(Yogyakarta: STAIN Ponorogo Press, 2009), h. 78
42
Salah satu tujuan dari perkawinan adalah mewujudkan keluarga yang
sakinah mawaddah warahmah, hal ini dapat terwujud jika kedua belah pihak
dapat saling cinta dan menyayangi, serta dapat menerima kekurangan dan
kelebihan pasangannya. Semua ini tidak dapat diwujudkan jika kedua atau
salah satu dari pasangan dipaksa menikah oleh walinya.
Memaksa seorang anak untuk menikah dengan orang yang tidak
disukai dan dicintainya merupakan awal rumah tangga yang tidak baik, hal ini
dikarenakan cinta tidak bisa dipaksakan, sementara cinta itu sangat penting
didalam membangun rumah tangga.29 Dan dalam Kompilasi Hukum Islam
Pasal 16 ayat 1 dan 2 dijelaskan sebagai berikut:
(1) Perkawinan didasarkan atas persetujuan calon mempelai
(2) Bentuk persetujuan calon mempelai wanita dapat berupa pernyataan tegas
dan nyata dengan tulisan, lisan, atau isyarat, tapi dapat juga berupa diam
dalam arti selama tidak ada penolakan
Seorang ayah tidak boleh memaksa puteranya menikah dengan wanita
yang tidak disukainya, karena sudah banyak orang yang menyesal dikemudian
hari lantaran telah memaksa anaknya menikah dengan wanita yang tidak
disukainya. Hendaknya sang ayah mengatakan “kawinilah ia, karena ia adalah
puteri saudara saya” atau karena ia adalah dari margamu sendiri” dan ucapan
29
30
Miftah Faridl, Masalah Nikah dan Keluarga,(Jakarta: Gema Insani Press, 1999), Cet.1, h.
43
lainnya, oleh karena itu anak tidak mesti harus menerima tawaran ayah, dan
ayah tidak boleh memaksakan kehendaknya supaya ia menikah dengan wanita
yang tidak disukainya.30
Jika perkawinan sudah bisa tegak diatas dasar perasaan cinta kasih,
maka perkawinan perlu dilepaskan dari segala bentuk campur tangan pihak
luar, sebab cinta kasih adalah perasaan yang fitri, dia tidak bisa dipaksa dan
bahkan menghilangkannya.31
Dalam masalah perkawinan, kawin paksa sangat berpengaruh besar
dalam mewujudkan rumah tangga yang harmonis karena dampak yang akan
timbul akan merugikan kedua belah pihak, dan alangkah baiknya jika orang
tua ingin menjodohkan anaknya dengan orang pilihannya. Baik laki-laki
ataupun perempuan itu terlebih dahulu dipertemukan (ta’aruf).32
Membina/membangun keluarga yang harmonis bagaikan membuat
bangunan yang kokoh, maka dari itu cinta dan kasih sayang sebagai pondasi
dari bangunan tersebut, dan bahkan jika perkawinan yang dipaksa itu tetap
dilaksanakan, maka akan berdampak perceraian.
2. Tidak dapat memenuhi hak dan kewajiban suami istri dengan baik
30
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Fatwa-fatwa terkini, (Jakarta: Daruk Haq, 2003).
h. 426-427
31
Al-Thahir al-Hadad, Wanita-wanita dalam Syariat dan Masyarakat, (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 1993), cet. 4, h. 61
32
Hasil Wawancara Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur Jum’at 18 Maret 2011
44
Dalam mengatur dan melaksanakan kehidupan suami istri untuk
mencapai tujuan perkawinan, maka dari itu agama mengatur hak dan
kewajiban mereka masing-masing.33 Didalam perkawinan hak suami adalah
kewajiban istri dan hak istri adalah kewajiban suami, oleh sebab itu keduanya
harus mengetahui dan memahami posisi masing-masing dalam membina
rumah tangga. Untuk memahami hak dan kewajiban suami istri terlebih
dahulu harus dipahami bahwa, Islam telah memberikan kepada suami, hak
untuk memimpin dalam rumah tangga, dan mengharuskan istrinya untuk
mentaatinya.34 Dan istri secara mutlak harus mematuhi semua perintah suami
selama perintah tersebut tidak menuju kemaksiatan.35 Akan tetapi ada
kewajiban suami yang merupakan hak dari istri yakni, menyayanginya,
memberi nafkah dan menjaganya. Dalam pasal 77 Kompilasi Hukum Islam
No.2 menjelaskan tentang hak dan kewajiban suami istri yakni, “Suami istri
wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan
lahir batin yang satu kepada yang lain”.
33
Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang,
1974), h. 126
34
Mahmud ash-Shabbag, Keluarga Bahagia Dalam Islam, (Yogyakarta: CV.Pustaka Mantiq,
1993), h. 155
35
Imam al-Ghazali, Etika Perkawinan Membentuk Keluarga Bahagia, (Jakarta: Pustaka
Panjimas, 1993), h. 112
45
Jika suami istri dapat menjalankan tanggung jawabnya masingmasing, maka akan terwujudlah ketenangan dan kebahagian, sehingga dapat
sempurnalah kehidupan berumah tangga. Oleh sebab itu, jika pasangan suami
istri menikah secara terpaksa maka keduanya tidak dapat menjalankan hak
dan kewajibannya masing-masing karena katerpaksaan tersebut hanya dapat
memicu pertengkaran yang akhirnya terjadi perceraian.
3. Tidak dapat menjalankan perintah Allah SWT dan Rasul SAW sesuai dengan
syariat Islam
Hukum Islam disyariatkan oleh Allah SWT dengan tujuan utama,
yakni merealisasikan dan melindungi kemaslahatan umat manusia, baik
kemaslahatan individu maupun masyarakat.
36
Perkawinan merupakan salah
satu perintah Allah SWT dan sunnah Rasul, oleh karena itu perkawinan
merupakan ibadah jika dilaksanakan dengan niat baik dan mengharapkan
ridha Allah SWT, dengan adanya kawin paksa dikhawatirkan ibadah dari
perkawinan itu tidak ada.
Dalam Islam ada istilah ibadah ritual yang sifatnya mengikat tapi tidak
memaksa, maksudnya adalah ikatan yang timbul dari rasa ikhlas dan ridha
antara manusia, dan perkawinan termasuk didalamnya.37 Setiap melakukan
36
Said Agil Husin al-Munawar, Hukum Islam dan Pluralitas Sosial, (Jakarta: Penamadani,
2004), h. 9
37
Rafy Safuri, Psikologi Islam (Tuntutan Jiwa Manusia Modern), (Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada, 2009), h. 62
46
sesuatu (nikah) hendaknya disertai dengan niat baik dan ibadah juga disertai
dengan keikhlasan, karena tanpa itu semua pekerjaan yang dilakukan akan siasia, berdampak buruk bagi orang lain dan dibenci oleh Allah SWT. Islam
tidak menganjurkan pernikahan yang diniati untuk menyakiti karena
pernikahan yang dilakukan lantaran paksaan hanya dapat menyakiti perasaan
orang lain, dan hal ini tidak diperkenankan dalam syariat Islam. Mencintai
seseorang karena Allah SWT dan Rasul SAW akan mendatangkan berkah dan
kebahagian yang tiada tara.
Dari penjelasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa, kebahagiaan
itu akan terasa mudah didapati jika diniati dengan baik dan tidak merugikan
orang lain. Disamping itu pula pernikahan ibarat bangunan yang pondasinya
itu berupa cinta dan kasih sayang, bangunan itu tidak akan roboh jika
pondasinya kokoh. Sementara rumah tangga ibarat orang-orang yang sedang
shalat berjamaah karena didalamnya adanya imam dan makmum ibarat suami
dan istri, suami sebagai pemimpin yang selalu mengarahkan sang istri menuju
kebaikan dan istri menuruti perintahnya dengan penuh ketaatan. Dan
keharmonisan akan terwujud jika keduanya menikah diniati dengan
mengharapkan ridha Allah SWT dan Rasul-Nya.
BAB IV
PUTUSAN PERKARA PEMBATALAN
PERKAWINAN KARENA KAWIN PAKSA
DI PENGADILAN AGAMA JAKARTA TIMUR
A. Profil Pengadilan Agama Jakarta Timur
Sejarah Pengadilan Agama Kelas 1A Jakarta Timur adalah hasil prakarsa
Menteri Agama RI sebagaimana tersebut dalam Keputusan Menteri Agama RI
Nomor 67 Tahun 1963 dan Nomor 4 Tahun 1967, berdasarkan Keputusan
Menteri Agama Peradilan Agama Jakarta dan diadakan perubahan kantor-kantor
cabang Pengadilan Agama dari 2 kantor cabang menjadi 4 kantor cabang, antara
lain :
1. Kantor Cabang Pengadilan Agama Jakarta Timur
2. Kantor Cabang Pengadilan Agama Jakarta Selatan
3. Kantor Cabang Pengadilan Agama Jakarta Barat
4. Kantor Cabang Pengadilan Agama Jakarta Pusat
Wilayah kekuasaan hukum (yuridiksi) Pengadilan Agama Jakarta Timur
adalah wilayah daerah Kotamadya Jakarta Timur yang terdiri dari 10 (sepuluh)
kecamatan dan 65 kelurahan.1
Adapun batas-batas wilayahnya adalah :
1. Sebelah utara dengan
1
: Kodya Jakarta Utara dan Kodya Jakarta Pusat.
http://Google.Com//Profil Pengadilan Agama Jakarta Timur, diakses senin, 14 April 2011
47
48
2. Sebelah barat dengan
: Kodya Jakarta Selatan.
3. Sebelah selatan dengan
: Kabupaten Bogor /Kodya Depok.
4. Sebelah timur dengan
: Kabupaten Bekasi/Kota Bekasi. 2
B. Struktur Organisasi
Adapun struktur organisasi Pengadilan Agama Jakarta Timur adalah
sebagai berikut:

KETUA
Drs. H. Wakhidun AR., SH, M, Hum

WAKIL KETUA
Drs. H. Muh. Abduh Sulaeman., SH. MH

MAJELIS HAKIM
1. Hj. Munifah Djam’an, SH
2. Dra. Hj. Saniyah. KH
3. Dra. Nur’aini Saladdin, SH
4. Dra. Haulillah, MH
5. Drs. H. Fauzi M. Nawawi, MH
6. Hj. Yustimar B., SH
7. Dra. Nurroh Sunah, SH
8. H. Abdillah, SH., MH.
9. Drs. H. Abd. Ghoni, SH, MH. (MARI)
2
http: www. Pengadilan Agama Jakarta Timur.ac.id, diakses pada Senin, 14 Maret 2011
49
10. Drs. H. Nemin Aminuddin, SH., MH
11. Drs. H. Achmad Busyro, MH.
12. Elvin Nailana, SH., MH.
13. Drs. N a s r u l , MA
14. Drs. Sultoni, MH.
15. Drs. Amril Mawardi, SH.
16. Drs. H. M. Syamri Adnan, SH, MHI
17. Drs. Yayan Atmaja, SH (MARI)

PANITERA/ SEKERTARIS
Drs. H. Ujang Mukhlis., SH., MH

WAKIL PANITRA
H. Hafani Baihaqi, Lc, SH

PANITERA MUDA HUKUM
Pahrurrozi, SH
1. H. Mubarok, SHI
2. Kemas M. Irfan, SE

PANITERA MUDA GUGATAN
Ali Mustofa, SH
1. Darul Fadli, SHI, MA
2. Zuhairi B. Ashbahi, SHI
50

PANITERA MUDA PERMOHONAN
H. Bangbang SP, SH, SP.I, MH
1. Siti Mahbubah, S.Ag
2. Sri Komalasari
3. R. Desy Puspasari, A.Md
4. Monika Septi Indriyani, A.Md

WAKIL SEKERTARIS
Hj. Siti Waingah, S.Pd.I

KA. SUB. BAGIAN UMUM
Muhammad Zuhri
1. Sutini, S.Ag
2. Muhammad Arsyi
3. Rd. Yadi Sumiadi W.

KA. SUB. BAGIAN KEPEGAWAIAN
Hamim Naf’an, SHI

KA. SUB. BAGIAN KEUANGAN
Dewi Utari, SE
1. Sanjaya Langgeng. S
2. Achmad Mubarok, SHI

PANITERA PENGGANTI
1. Drs. Ade Faqih
11. Mastanah, SH
2. Dra. Siti Nurhayati
12. Sri Mulyati, S.Ag
51

3. Siti Makbullah, SH
13. Yulisma, SH
4. Titiek Indriaty, SH
14. Windarti, SH
5. Aday, S.Ag
15. Rahmah Sufiyah, SH, MH
6. Fathony, SH
16. Muhammad Sayhon, SH
7. Zulhemi, B.A.
17. Syarif Maulana, SH
8. Hj. Spa Ichtiyatun, SH, MH
18. Rohimah, SH, MH
9. Hj. Andar Aryani, SH., MH
19. Hj. Alfiah Yuliastuti, SH
10. Drs. H. Ujang Sodik
20. Dwiarti Yuliani, SH
JURUSITA
1. Moh. Sidik
2. Abd. Rochim
3. Ade Husniati

JURUSITA PENGGANTI
1. Suparno
2. Veny Rahmawati
3. Sirajuddin Haris
4. M. Dirwansyah Ridlah
5. Yuspa
6. Agus Alwi
7. Sumiyati
8. Iman Suwardi
52
9. Marhamah
10. Prio Rinanto3
C. Putusan Pengadilan Agama
Dalam pembahasan ini, penulis mengangkat sebuah kasus tentang
pembatalan perkawinan yang diputus oleh Pengadilan Agama Jakarta Timur
Kelas I A. sidang yang diputus pada tanggal 10 April 2008, adapun pihak-pihak
yang bersengketa adalah sebagai berikut:
PEMOHON
Nama
: Temmy Bin Tomi (nama disamarkan)
Umur
: 35 Tahun
Pekerjaan
: Guru swasta
Tempat Tinggal
: Jl. Bulak Ringgin VII No. 95 Rt 008 Rw 003
Kelurahan Cibubur Kecamatan Ciracas Kota Jakarta
Timur
TERMOHON
Nama
: Nia Binti Anwar (nama disamarkan)
Umur
: 21 tahun
Pekerjaan
: Ibu Rumah Tangga4
3
http://Google.Com//Profil Pengadilan Agama Jakarta Timur, diakses Selasa, 21 Juni 2011
4
Putusan perkara No. 520/Pdt.G/2008/PA.JT , h. 1
53
Tempat Tinggal
: Jl. Jembatan II No.22 Rt.002 Rw.005 Kelurahan
Balakambang Kecamatan Kramat Jati Kota Jakarta
Timur
TENTANG DUDUK PERKARA
Menimbang bahwa Pemohon berdasarkan surat permohonannya
tertanggal 10 April 2008 yang didaftar di kepaniteraan Pengadilan Agama
Jakarta timur dengan Nomor. 530/Pdt.G/2008/PA.JT tanggal 10 April 2008
telah mengemukakan hal-hal sebagai berikut:
1. Bahwa pada hari minggu tanggal 23 Maret 2008, telah berlangsung
pernikahan antara Pemohon dan Termohon dihadapan Pejabat PPN
KUA Kecamatan Kramatjati Kota Jakarta Timur dengan Akta nikah
Nomor 468/17/III/2008 tanggal 23 Maret 2008.
2. Bahwa setelah pernikahan tersebut Pemohon dan Termohon bertempat
tinggal alamat masing-masing selama 17 hari. Selama pernikahan
tersebut Pemohon dengan Termohon dan tidak pernah hidup rukun
sebagaimana layaknya suami istri.5
3. Bahwa alasan Pemohon mengajukan permohonan pembatalan nikah
terhadap Termohon adalah sebagai berikut:
a. Pemohon tidak mencintai Termohon
b. Pemohon menikahi Termohon karena dipaksa oleh pihak Termohon
dan pernikahan terlaksana tidak berdasarkan suka sama suka (ridho
5
Putusan perkara No. 520/Pdt.G/2008/PA.JT , h. 2
54
bin ridho) melainkan dipaksa dan diancam dengan pengancaman
karir dan dilaporkan ke polisi, bahkan mau dibunuh.
4. Bahwa penikahan yang dilaksanakan tidak berdasarkan cinta mencintai,
suka sama suka (ridho bin ridho) akan menimbulkan akibat buruk yaitu
saling membenci, sehingga tidak akan memenuhi tujuan perkawinan
yaitu membentuk rumah tangga yang bahagia, kekal abadi, sakinah
mawadah warahmah.
Berdasarkan alasan atau dalil-dalil diatas, Pemohon mohon agar ketua
Pengadilan Agama Jakarta Timur segera memeriksa dan mengadili perkara
sebagaimana menjatuhkan putusan yang amarnya berbunyi:
1. Mengabulkan permohonan Pemohon
2. Menetapkan/membatalkan perkawinan antara Pemohon Temmy Bin
Tomi dengan Termohon Nia Binti Anwar yang dilangsungkan di
Kantor Urusan Agama Kramat Jati Jakarta Timur pada tanggal 23
Maret 2008.
3. Menyatakan akta nikah dan kutipan akta nikah nomor: 468/17/III/2008
tidak berkekuatan hukum.
4. Menetapkan biaya perkara menurut hukum.
5. Atau apabila berpendapat lain mohon putusan yang seadil-adilnya.
Menimbang bahwa selain buku tertulis Pemohon dan Termohon telah
menghadirkan saksi-saksi keluarga masing-masing sebagai berikut:
55
I. Bukti-Bukti
1. bukti-bukti tertulis. Yakni berupa, Kutipan akta buku nikah atas
nama pemohon dan termohon yang tercata dikantor urusan agama
kecamatan kramathjati Jakarta timur nomor. 468/37/III/2008 tanggal
23 maret 2008 (P1 dan T1)
II. Saksi-Saksi
1. Saksi I
Nama
: Aziz Bin Azmi (nama disamarkan)
Umur
: 42 Tahun
Agama
: Islam
Saksi II
Nama
: Anwar Bin Ishaq (nama disamarkan)
Umur
: 57 Tahun
Agama
: Islam
Menimbang, bahwa kedua belah pihak menyatakan tidak membantah
keterangan atau sesuatu apapun lagi dan mohon putusannya.
Menimbang bahwa untuk mempersingkat putusan ini maka segala
sesuatu yang tercatat dalam berita acara persidangan perkara ini merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari putusan ini. 6
6
Putusan perkara No. 520/Pdt.G/2008/PA.JT , h. 3
56
TENTANG HUKUMNYA
Menimbang bahwa maksud dan tujuan permohonan Pemohon adalah
sebagaimana tersebut diatas.
Menimbang bahwa berdasarkan pengakuan Pemohon dan Termohon
dipersidangan dan buku P2 telah terbukti Pemohon dan Termohon berdomisili
di wilayah Pengadilan Agama Jakarta Timur hal ini sesuai dengan maksud
pasal 25 undang-undang nomor 1 tahun 1974.
Menimbang bahwa berdasarkan bukti P1 dan T1 antara Pemohon dan
Termohon telah menikah di Kantor Urusan Agama Kecamatan Kramatjati
468/37/III/2008 tanggal 23 Maret 2008.
Menimbang bahwa alasan dan dalil Pemohon sepanjang yang dapat
disampaikan Pemohon mohon agar perkawinan Pemohon dan Termohon yang
telah dilangsungkan di Kantor Urusan Agama Kecamatan Kramatjati pada
bulan Maret 2008 untuk dibatalkan disebabkan Pemohon kawin dengan
Termohon tersebut adalah dalam keadaan terpaksa dan dibawah ancaman dan
Pemohon tidak mencintai Termohon memang dulu sekitar tahun 2005
Pemohon pernah pacaran dengan Termohon tapi awal 2006 putus.
Menimbang bahwa Termohon dalam jawaban dengan tegas mengakui
dan membenarkan semua alasan dan dalil-dalil yang dikemukakan oleh
Pemohon tersebut terhadap dalil-dalil pembatalan perkawinan tersebut.
Menimbang bahwa berdasarkan pengakuan Termohon terhadap semua
alasan dan dalil-dalil yang dikemukakan oleh Pemohon tersebut maka alasan
57
dan dalil Pemohon tersebut patut dinyatakan terbukti sejalan dengan maksud
pasal 174 HIR.7
Menimbang bahwa berdasarkan keterangan saksi-saksi baik dari pihak
Pemohon maupun pihak Termohon yang mana keterangan saksi-saksi tersebut
yang masing-masing dibawah sumpahnya yang pada intinya dapat
disimpulkan bahwa perkawinan antara Pemohon dan Termohon adalah
dengan cara dipaksa dan dibawah ancaman karena antara Pemohon dan
Termohon itu dulunya pernah pacaran dan saksi dari pihak Termohon yaitu
orang tua kandungnya sendiri yang menjadi wali sewaktu Pemohon dan
Termohon menikah mengharapkan kepada majelis agar perkawinan Pemohon
dan Termohon dibatalkan.
Menimbang bahwa berdasarkan penimbangan-penimbangan tersebut
diatas maka sesuai dengan maksud Pasal 71 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam
Pasal 72 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam jo pasal 27 ayat (1) UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 maka permohonan Pemohon mengenai
pembatalan nikah dapat dikabulkan.
Menimbang bahwa pada hari persidangan yang telah ditetapkan kedua
belah pihak yang berperkara telah datang menghadap di persidangan lalu
Majelis Hakim berusaha menasehati/mendamaikan kedua belah pihak agar
mengurungkan niatnya untuk membatalkan pernikahan akan tetapi tidak
berhasil.
7
Putusan perkara No. 520/Pdt.G/2008/PA.JT , h.3-4
58
Menimbang bahwa selanjutnya majelis Hakim memulai memeriksa
dengan membacakan surat permohonan Pemohon yang isinya tetap
dipertahankan oleh Pemohon dan disamping itu ada tambahan/penjelasan dari
Pemohon.
Bahwa pada tahun 2005 antara Pemohon dan Termohon pernah
berpacaran namun awal tahun 2006 sudah putus dan bulan maret 2008
pemohon dihubungkan oleh termohon ditempat kerja dan Pemohon merasa
terpaksa dan dipaksa untuk menikahi Termohon.
Menimbang bahwa atas permohonan Pemohon atas Termohon telah
mengajukan jawaban secara lisan sebagai berikut:
1. Bahwa termohon sudah mengerti maksud dan permohonan pemohon .
2. Bahwa apa-apa yang dikemukakan/didalilkan oleh permohonan
tersebut selanjutnya benar dan tidak ada yang termohon bantah.
3. Bahwa termohon sendiri tidak keberatan dengan adanya pembatalan
nikah dari pemohon tersebut dan termohon dapat mengabulkan
permohonan tersebut. 8
Menimbang bahwa untuk memperkuat dalil-dalilnya pemohon dan
termohon telah mengajukan bukti-bukti tertulis. Yakni berupa, Kutipan akta
buku nikah atas nama pemohon dan termohon yang tercata di Kantor Urusan
Agama Kecamatan Kramat Jati Jakarta Timur Nomor. 468/37/III/2008 tanggal
23 maret 2008 (P1 dan T1).
8
Putusan perkara No. 520/Pdt.G/2008/PA.JT , h. 5-6
59
Menimbang bahwa perkawinan antara pemohon dan termohon tercatat
di Kantor Urusan Agama Kecamatan Kramat Jati Jakarta Timur dengan
Nomor. 468/37/II/2008 tanggal 28 maret 2008 maka Majelis Hakim
menyatakan bahwa buku nikah Pemohon dan Termohon tersebut tidak
mempunyai kekuatan hukum.
Menimbang bahwa perkara ini termasuk kedalam bidang perkawinan
maka berdasarkan pasak 89 ayat (1) undang-undang nomor 7 tahun 1989 jo
undang-undang nomor 3 tahun 2006 biaya perkara dibebankan kepada
pemohon.
Mengingat ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan
ketentuan hukum islam yang berkenaan dengan perkara ini.
MENGADILI
1. Mengabulkan permohonan Pemohon.
2. Menetapkan , membatalkan perkawinan antara Pemohon Temmy Bin
Tomi dengan Termohon Nia Binti Anwar yang dilangsungkan di
Kantor Urusan Agama Kecamatan Kramatjati Jakarta Timur pada
tanggal 23 Maret 2008.
3. Menyatakan
Akta
Nikah
dan
Kutipan
466/37/III/2008 tidak berkekuatan hukum.
Akta
Nikah
Nomor
60
4. Membebankan Pemohon untuk membayar biaya perkara ini sebesar
Rp.156.000 (Seratus Lima Puluh Enam Ribu Rupiah). 9
D. Analisa Putusan Pengadilan
Dalam perkawinan ada istilah akad yakni, suatu perbuatan hukum yang
sangat penting dalam perkawinan dengan adanya akad, perkawinan akan menjadi
sah. Oleh sebab itu jika persyaratan dari akad tersebut tidak terpenuhi, maka
perkawinan tersebut tidak sesuai dengan syariat Islam dan dapat dinyatakan batal.
Dalam hukum Islam dan hukum positif terdapat alasan-alasan mengenai
pembatalan perkawinan, dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 70-76, dan dalam
Undang-undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 22-28. Dari kedua
hukum ini terdapat penjelasan mengenai perkara Pembatalan Perkawinan, mulai
dari alasan, siapa saja yang dapat melakukan pembatalan dan tata cara
pembatalan. Dan khususnya pada Pasal 71 huruf f disebutkan bahwa perkawinan
dapat dibatalkan apabila perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan.
Mengenai putusan Nomor 530/Pdt.G/2008/PA.JT yang memutuskan
perkara permohonan pembatalan perkawinan dari Pemohon bernama Temmy Bin
Tomi dengan Termohon Nia Bin Anwar. Didalam surat putusannya Pemohon
menyatakan yang menjadi alasan pembatalan perkawinan adalah Pemohon tidak
mencintai Termohon dan Pemohon menikahi Termohon karena dipaksa oleh
pihak Termohon dan pernikahan terlaksana tidak berdasarkan suka sama suka
9
Putusan perkara No. 520/Pdt.G/2008/PA.JT , h. 6
61
(ridho bin ridho) melainkan dipaksa dan diancam dengan pengancaman
penghancuran karir dan dilaporkan ke polisi, bahkan mau dibunuh.
Menurut penulis masalah yang mendasar dalam perkara ini adalah kawin
paksa yang dilakukan oleh pihak perempuan kepada pihak laki-laki, hal ini
merupakan permohonan yang beralasan dan dibenarkan secara hukum karena
didalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 16, menjelaskan bahwa
perkawinan
dilakukan didasarkan oleh persetujuan calon mempelai.
Menurut ketentuan Pasal 28 KUHPer, bahwa kebebasan memberikan
kesepakatan merupakan hakikat dari perkawinan, bila hal tersebut tidak ada,
misalnya karena salah satu pihak dalam keadaan gila atau adanya paksaan, maka
menurut ketentuan Pasal 87 KUHPer keabsahan dari perkawinan tersebut dapat
dibatalkan, yang berbunyi:
Keabsahan suatu perkawinan yang berlangsung tanpa kebebasan kata sepakat
suami istri atau salah satu dari mereka, hanya dapat ditentang oleh suami-istri itu
sendiri, atau oleh salah satu dari mereka, yang secara tak bebas telah memberikan
kata sepakatnya. 10
Salah satu hak yang dibutuhkan oleh manusia adalah hak untuk menikah
dan berkeluarga, dan hak tersebut harus dihormati dan dilindungi.11 Oleh sebab
itu kawin paksa dapat dikategorikan sebagai tindakan yang melanggar hak
manusia. Pada dasarnya setiap orang memiliki hak untuk memilih pasangan
10
Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata Dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta: Kencana,
2008), h. 125
11
Ikhwan, Hak Asasi Manusia Dalam Islam, (Jakarta: Logos, 2004), h. 36
62
hidupnya masing-masing dan jika orang tua ingin menjodohkan alangkah baiknya
jika ditempuh jalan ta’aruf terlebih dahulu.12
Keluarga bukan saja sebagai suatu wadah hubungan suami istri, akan
tetapi suatu rangkaian tali hubungan antara jaringan sosial dari anggota-anggota
keluarganya bahkan jaringan yang lebih besar yakni mayarakat, dan perkawinan
merupakan suatu ritual perpindahan bagi setiap pasangan, karena seorang pemuda
dan pemudi secara ritual memasuki kedudukan kedewasaan dengan hak-hak dan
kewajiban yang baru,13 yakni berupa seorang pemuda berubah peran menjadi
suami dan seorang pemudi berubah peran menjadi istri, dan apabila telah
memiliki anak maka namanya akan berubah menjadi ayah dan ibu, maka akan
terlihat apakah kedua dapat menerapkan hak dan kewajibannya masing-masing
sesuai dengan syariat. Karena pandangan suatu perkawinan dari segi agama
dianggap suatu lembaga yang suci, dimana kedua belah pihak dihubungkan
menjadi pasangan suami istri dengan mempergunakan nama Allah.14
Disamping itu pula kawin paksa yang terjadi pada perkara ini lantaran
sang bapak dari pihak perempuan merasa takut jika laki-laki (Temmy) akan
meninggalkan anak perempuannya. Dan paksaan tersebut berupa ancaman berupa
penghancuran karir dan dilaporkan ke polisi, bahkan mau dibunuh. Sesuai dengan
hukum yang berlaku di Indonesia sesuatu yang merugikan pihak lain untuk
12
Wawancara Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur, Senin 18 Maret 2011
13
William J Googde, Sosiologi Keluarga, (Jakarta: PT. Bina Aksara, 1985), cet. 1, h. 63-64
14
Mohammad Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2004), h. 19
63
memuaskan/memenuhi kebutuhan pribadi berupa ancaman. Ancaman adalah
suatu perbuatan yang dapat merugikan orang lain sehingga menyebabkan orang
tersebut melakukan perbuatan yang semestinya tidak dilakukan lantaran takut
terjadi sesuatu pada dirinya, hal ini sama dengan tindak pidana, dan dalam Buku
Kedua KUHP Pasal 368 disebutkan:
1. Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang
lain secara melawan hukum, memaksa seseorang dengan kekerasan atau
ancaman kekerasan supaya orang itu memberikan barang sesuatu, yang
seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau orang lain, atau
supaya membuat utang atau menghapuskan piutang, diancam karena
pemerasan, dengan pidana penjara paling lama Sembilan bulan. 15
Akan tetapi pada perkara ini tidak tertulis bahwa pihak yang dirugikan
(Bakhtiar) tidak menuntut tentang perbuatan pidana tersebut, pihak Bakhtiar
hanya menuntut pernikahan itu dibatalkan dan tidak mengancam balik kepada
pihak perempuan.
Menurut penulis dari perkara ini terlihat jelas bahwa kawin paksa
(dijodohkan) itu kurang dianggap baik, dan selama ini biasanya yang selalu
menjadi korban kawin paksa biasanya terjadi pada diri perempuan, akan tetapi
setelah melihat, membaca dan memahami perkara ini dapat diambil kesimpulan
bahwa paksaan itu juga bisa terjadi oleh pihak laki-laki.
Dan dapat dilihat pada perkara ini bahwa setelah melangsungkan
perkawinan kedua belah pihak tidak tinggal dan hidup bersama serta tidak terjadi
hubungan selayaknya suami istri. Hal ini membuktikan bahwa kawin paksa
15
Solahuddin, KUHP dan KUHAP, ( Jakarta: Transmedia Pustaka, 2007), h. 121
64
merupakan suatu hal yang jika dilakukan hanya mendatangkan kemudharatan
bagi kedua belah pihak (suami istri). Mengingat perkawinan merupakan ibadah
dan salah satu sunah Rasul akan tetapi jika perkawinan yang dilakukan tidak
berdasarkan niat yang baik dan mengharapkan ridha Allah SWT maka
perkawinan tersebut tidak dibenarkan dalam syariat Islam. Dan terdapat beberapa
pengaruh kawin paksa terhadap keharmonisan rumah tangga, yakni
1. Tidak dapat mewujudkan keluarga yang sakinah mawaddah warahmah.
2. Tidak dapat memenuhi hak dan kewajiban suami istri dengan baik.
3. Tidak dapat menjalankan perintah Allah SWT dan Rasul SAW sesuai dengan
syariat Islam.
Pengaruh kawin paksa dalam keharmonisan rumah tangga itu sangat besar
karena menyatukan kedua hati yang tidak mencintai kemudian dipaksa kawin itu
berdampak negatif untuk keduanya lantaran perkawinan yang atas dasar suka
sama suka saja sering ada pertengkaran apalagi atas dasar keterpaksaan.16
Meskipun dalam hukum Islam tidak dibenarkan menjalin hubungan antara lakilaki dengan perempuan sebelum nikah tapi hukum Islam membenarkan mengenal
calon pasangan hidup untuk membina rumah tangga dan kawin paksa bukan
termasuk dalam kategori hukum Islam, hal ini dijelaskan dalam al-Qur’an surat
an-Nisa:19
          
16
Wawancara Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur, Senin 18 Maret 2011
65
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai
wanita dengan jalan paksa”. .
Mengenai pembuktian Pemohon mengajukan bukti surat berupa akta
nikah Nomor 466/37/III/2008 dan dua orang saksi dari keluarga Pemohon dan
Termohon, dan keterangan dari saksi Pemohon berupa saksi sama sekali tidak
mengetahui pernikahan antara Pemohon dan Termohon dan selang beberapa hari
Termohon dan Ayahnya datang ke rumah saksi untuk mencari Pemohon dan dari
hal itu saksi mengetahui bahwa Pemohon dan Termohon telah menikah, dan
Pemohon akhirnya mengaku dan pada saat itu pula saksi marah karena menikah
dengan cara diam-diam, akan tetapi pernikahan Pemohon dan Termohon
dilakukan dengan paksaan dan ancaman. Sementara kesaksian dari pihak
Termohon berupa saksi tidak menyangkal adanya paksaan dan ancaman yang
dilontarkan kepada Pemohon, hal ini dikarenakan saksi takut jika suatu hari nanti
Pemohon akan meninggalkan Termohon.
Dari keterangan diatas, penulis mengambil kesimpulan bahwa seorang
ayah dapat memaksa orang lain untuk menikahi anaknya dikarenakan merasa
takut jika laki-laki tersebut meninggalkan anak perempuannya, mungkin niat dari
saksi Termohon baik akan tetapi cara yang ditempuh salah karena memaksakan
kehendak untuk kepentingan anaknya tidak harus mengorbankan perasaan orang
lain. Sebenarnya memilih jodoh atau pasangan hidup itu adalah hak asasi setiap
orang, meskipun ada istilah wali mujbir akan tetapi pada hakikatnya kebahagiaan
66
itu datang dari keikhlasan dan kerelaan orang untuk melakukan setiap keputusan
yang akan diambil.
Mengingat tujuan dari perkawinan adalah membuat rumah tangga yang
sakinah mawadah warahmah (harmonis) maka untuk mewujudkan hal tersebut
harus ada take and give antara kedua belah pihak (suami dan istri) dan hal
tersebut harus didasari oleh rasa cinta dan kasih sayang, oleh sebab itu
perkawinan yang dipaksa atau tanpa rasa cinta maka perkawinan tersebut jauh
dari kata harmonis dan tidak mustahil hanya perselisihan dan pertengkaran saja
yang akan didapat.
Dari berbagai macam bentuk putusan yang diputus oleh Hakim, intinya
adalah sama yakni menjadikan perkawinan itu putus, akan tetapi ada perbedaan
antara putusnya perkawinan dikarenakan perceraian dengan putusnya perkawinan
dikarenakan pembatalan (fasakh). Perbedaannya terletak pada tidak terbatas pada
bilangan jatuhnya talaq, hakikat cerai mengharuskan berhentinya hubungan
suami istri dan menetapkan hak-hak yang telah ada, thalak hanya terjadi pada
pernikahan yang sah dan hak cerai diakui oleh syariat.
Sedangkan pembatalan (fasakh) adalah sesuatu yang diketahui atau
terjadi belakangan bahwa terdapat sebab yang menghalangi langgengnya
perkawinan, atau merupakan konsekuensi dari sesuatu yang telah diketahui atau
menjadikan akad tersebut tidak sah. Dan akibat hukum dari perkara ini bagi pihak
Termohon, dikarenakan Termohon belum melakukan hubungan intim dengan
Pemohon maka tidak ada iddah bagi Termohon (sebelum dukhul). Akan tetapi
67
lain halnya jika ba’da dukhul. Jika Termohon telah berhubungan (ba’da dukhul)
maka ada iddah bagi Termohon. Menurut Abu Zahrah dalam kitab al-Akhwal alSyaksiyah
menjelaskan
bahwa
iddah
bagi
perempuan
yang
fasakh
perkawinannya yakni selayaknya iddah talak (tiga kali haid) dengan ketentuan
ba’da dukhul.17
Mengenai pertimbangan dan dasar hukum tentang perkara pembatalan
perkawinan karena kawin paksa, penulis berpendapat bahwa Hakim Pengadilan
Agama Jakarta Timur sangatlah benar dalam memutuskan perkara ini karena
sesuai dengan prinsip peradilan yakni,
1. Melihat bukti-bukti
Dalam memeriksa suatu perkara, hakim bertugas untuk mengkonstatir
yakni, menilai apakah peristiwa atau fakta-fakta yang dikemukakan oleh para
pihak itu adalah benar-benar terjadi.18 Dan dalam hal ini adanya bukti-bukti
berupa bukti tertulis dan saksi-saksi yang menerangkan bahwa keterpaksaan
pihak Pemohon untuk melakukan perkawinan itu memang benar adanya dan
saksi-saksi disumpah terlebih dahulu sebelum memberikan keterangan.19
2. Mendengar keterangan kedua belah pihak
Selama proses persidangan Hakim harus berlaku seadil-adilnya
terhadap Pemohon dan Termohon, mendengarkan serta memberi kesempatan
17
Abu Zahrah, al-Ahwal al-Syaksiyah, (Darul Fikri al-Arabi, 1957), h. 439
18
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2004), h. 139
19
Wawancara Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur, Senin 18 Maret 2011
68
yang sama kepada kedua belah pihak untuk menyampaikan pendapatnya
masing-masing yang tertera sesuai dengan Pasal 121 HIR/142 R.Bg. dan baik
Pemohon ataupun Termohon tidak menyangkal tentang adanya paksaan
tersebut.
3. Putusan harus disertai dengan alasan-alasan hukum
Tujuan akhir pencari keadilan ialah agar segala hak-hak yang
dirugikan oleh pihak lain dapat dipulihkan melalui putusan Hakim, dan
putusan harus disertai alasan-alasan sesuai dengan Pasal 179 ayat 1 HIR.
Putusan Hakim harus memuat dasar hukum untuk mengadili dan alasanalasannya (pertimbangan hukum) sehingga putusan itu dijatuhkan.20
Pertimbangan Hakim berupa Pasal 71 huruf f Kompilasi Hukum Islam
menyatakan, “Suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila Perkawinan yang
dilaksanakan dengan paksaan”, dan Pasal 27 ayat 1 Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yakni “Seorang suami atau istri dapat
mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila perkawinan
dilangsungkan dibawah ancaman yang melanggar hukum”.
Maka dengan demikian putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur
No.530/PDt.G/2008/PA.JT telah sesuai dengan hukum yang berlaku,
Singkatnya putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur sejalan dengan
Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
20
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, hal. 313
69
perkawinan dengan menjamin keadilan dan kemaslahatan bagi pihak-pihak
yang berperkara.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari penjelasan yang telah penulis berikan tentang pembahasan skripsi ini,
maka dapat diambil kesimpulan bahwa:
1. Mengenai pertimbangan dan dasar hukum Pengadilan Agama Jakarta Timur
tentang perkara pembatalan perkawinan karena kawin paksa, yakni sangat
sesuai dengan hukum berlaku, baik itu Kompilasi Hukum Islam atau UndangUndang 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, dengan
melihat bukti-bukti,
mendengar keterangan kedua belah pihak dan Putusan disertai dengan alasanalasan hukum. Hakim juga menggunakan Kompilasi Hukum Islam Pasal 71
huruf (f) yang menyatakan, “Suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila
Perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan”, dan Undang-Undang 1
Tahun 1974 tentang perkawinan pasal 27 ayat 1 yakni “Seorang suami atau
istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila
perkawinan dilangsungkan dibawah ancaman yang melanggar hukum”.
B. Saran-Saran
1. Perlu disosialisasikan melalui pidato, khutbah jum’at dan ceramah Agama,
mengenai betapa pentingnya menjaga ikatan perkawinan, sehingga tidak
terjadi perceraian dan sebaiknya orang tua tidak selalu memaksakan kehendak
69
70
terhapad anaknya, terutama dalam hal memilih pasangan hidup, alangkah
baiknya orang tua itu mendukung apa yang menjadi pilihan anaknya.
2. Bagi Pemerintah perlunya sosialisasi UU No. 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan, baik itu berupa syarat, rukun atau persetujuan para pihak.
Sehingga adanya peningkatan wawasan terhadap masyarat tentang hukum
Islam, sehingga masyarakat lebih terarah sehingga tidak perlu terjadi lagi
fenomena pembatalan perkawinan.
3. Di dalam materi Pembatalan perlu dikaji lebih luas lagi kepada mahasiswi
dengan cara diskusi perkuliahan di dalam kelas.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari penjelasan yang telah penulis berikan tentang pembahasan skripsi ini,
maka dapat diambil kesimpulan bahwa:
1. Mengenai pertimbangan dan dasar hukum Pengadilan Agama Jakarta Timur
tentang perkara pembatalan perkawinan karena kawin paksa, yakni sangat
sesuai dengan hukum berlaku, baik itu Kompilasi Hukum Islam atau UndangUndang 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, dengan
melihat bukti-bukti,
mendengar keterangan kedua belah pihak dan Putusan disertai dengan alasanalasan hukum. Hakim juga menggunakan Kompilasi Hukum Islam Pasal 71
huruf (f) yang menyatakan, “Suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila
Perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan”, dan Undang-Undang 1
Tahun 1974 tentang perkawinan pasal 27 ayat 1 yakni “Seorang suami atau
istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila
perkawinan dilangsungkan dibawah ancaman yang melanggar hukum”.
B. Saran-Saran
1. Perlu disosialisasikan melalui pidato, khutbah jum’at dan ceramah Agama,
mengenai betapa pentingnya menjaga ikatan perkawinan, sehingga tidak
terjadi perceraian dan sebaiknya orang tua tidak selalu memaksakan kehendak
69
70
terhapad anaknya, terutama dalam hal memilih pasangan hidup, alangkah
baiknya orang tua itu mendukung apa yang menjadi pilihan anaknya.
2. Bagi Pemerintah perlunya sosialisasi UU No. 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan, baik itu berupa syarat, rukun atau persetujuan para pihak.
Sehingga adanya peningkatan wawasan terhadap masyarat tentang hukum
Islam, sehingga masyarakat lebih terarah sehingga tidak perlu terjadi lagi
fenomena pembatalan perkawinan.
3. Di dalam materi Pembatalan perlu dikaji lebih luas lagi kepada mahasiswi
dengan cara diskusi perkuliahan di dalam kelas.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an al-Karim
Abbas, Ahmad Sudirman. Pengantar Pernikahan: Analisa Perbandingan Antara
Mazhab, Jakarta: PT. Prima Heza Lestari, 2006.
al-Bukhari, Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Mugirah bin
Bardizbah. Sahih al-Bukhari, Beirut: Dar al-Fikr,1994.
al-Abyani, Muhammad Zaid. al- Ahkam as-Syakhsiyat, Beirut: Baghdad. J. I.
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: Akademika Pressindo,
Abidin, Slamet dan Aminuddin. Fiqih Munakahat, Bandung, CV. Pustaka Setia,
1999
at-Tamimi, Abdullah bin Abdurohman bin Fadli Bahrom bin Abdu Somad. Sunan
Darimi, Darul Fikri, tt, Juz. II.
ash-Shiddieqy, Muhammad Hasbi. Hukum-Hukum Fiqih Islam, Jakarta: Bulan
Bintang, 1987.
Arto, Mukti. Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, Yokyakarta:
Pustaka Pelajar, 2004.
an-Ni’man, Imam al-A’zam Abi Hanifah. al-Ahkam as-Syar’iyyah, Maktabah wa
Mutbi’ah Muhammad ala Shobihi wa Waladihi, 1965.
Asmawi, Muhammad. Nikah Dalam Perbincangan dan Perbedaan, Yogyakarta:
Darussalam, 2004, Cet. 1.
ash-Shabbag, Mahmud. Keluarga Bahagia Dalam Islam, Yogyakarta: CV. Pustaka
Mantiq, 1993.
al-Ghazali, Imam. Etika Perkawinan Membentuk Keluarga Bahagia, Jakarta: Pustaka
Panjimas, 1993.
al-Munawar, Said Agil Husin. Hukum Islam dan Pluralitas Sosial, Jakarta:
Penamadani, 2004.
71
72
al-Hadad, Al-Thahir. Wanita-wanita dalam Syariat dan Masyarakat, Jakarta: Pustaka
Firdaus, 1993, cet. 4.
Anas, Malik Ibnu. al-Muatho, Magrib: Darul Ifaqil Jadidah, tt.
Bago, Musthofa Dzaibul. Mukhtashar Shahih al-Bukhari, Yamamah, 1999
Baz, Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah. Fatwa-fatwa Terkini, Jakarta: Daruk Haq,
2003.
Djalil, Ahmad Basiq. Tebaran Pemikiran Ke-Islaman
Qalbun Salim, 2007, cet-1.
di Tanah Gayo, Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:
Balai Pustaka, 1996.
Departemen Agama RI, Ensiklopedi Islam, Jakarta: Yayasan Penerjemah al-Qur’an, 1
993.
Dimyati, Abi Bakri al-Mashur bil Barri Bakri Bin Said Muhammad Satho. I’antul
Tholibin, Darul Ibnu Ubud: 1997, cet. I, J. IV.
Fachruddin, Fuad M. Filsafat dan Hukum Syariat Islam, Jakarta: Bulan Bintang,
1981. J. I.
Firdaweri, Hukum Islam Tentang Fasakh Perkawinan, Jakarta: CV Pedoman Ilmu
Jaya 1989
Faridl, Miftah. Masalah Nikah dan Keluarga, Jakarta: Gema Insani Press, 1999,
Cet.1.
Googde, William J. Sosiologi Keluarga, Jakarta: PT. Bina Aksara, 1985.
Ghazaly, Abd Rahman. Fiqih Munakahat. Bogor: Kencana 2003.
Huda, Miftahul. Kawin Paksa, Ijbar Nikah dan Hak-hak Reproduksi Perempuan,
Yogyakarta: STAIN Ponorogo Press, 2009.
Hasabillah, Ali. al-Furqan Baina Zaujaini, Kairo: Darul Fikri, 1969, cet.1
Hasan, Muhammad Ali. Pedoman Hidup Berumah Tangga dalam Islam, Jakarta:
Siraja, 2003.
73
Husain, Imam Takiyuddin bin Abu Bakar bin M. Kifayatul Akhyar, Darul Fikri, tt ,
juz I-VI.
Ikhwan, Hak Asasi Manusia Dalam Islam, Jakarta: Logos, 2004.
Kuzari, Achmad. Nikah Sebagai Perikatan, Jakarta: Raja Grafindo Persada,1995,c.I.
Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana, 2008
Mugniyah, Muhammad Jawad. Fiqih Lima Mazhab, Jakarta: PT. Lentera Basritama
1996
Manan, Abdul. Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta:
Kencana 2008
Mulia, Musdah. Pandangan Islam Tentang Poligami, Jakarta: Lembaga Kajian
Agama dan Jender, 1999
Munawir, Ahmad Warson. Al-Munawir Kamus Arab-Indonesia, Yogyakarta: Pondok
Pesantren al-Munawwir Krapyak, 1984.
Mukhtar, Kamal. Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, Jakarta: Bulan
Bintang, 1974.
Nuruddin, Amiur dan Azhari Akmal Tarigan. Hukum Perdata Islam di Indonesia:
Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fiqih UU No.1/1974 sampai
KHI, Jakarta: Kencana, 2006.
Rusdiana, Kama dan Jaenal Aripin. Perbandingan Hukum Perdata, Jakarta: UIN
Jakarta Press, 2007.
Rosyada, Dede. Hukum Islam dan Pranata Sosial, Jakarta: Rajawali Press, 1993.
Rahman, Abdur. Perkawinan Dalam Syariat Islam, Jakarta: PT.Rineka Cipta, 1992.
Ramulyo, Mohammad Idris. Hukum Perkawinan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2004.
Safuri, Rafy. Psikologi Islam (Tuntutan Jiwa Manusia Modern), Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, 2009
Solahuddin. KUHP dan KUHAP, Jakarta: Transmedia Pustaka, 2007
74
Shomad, Muhiyuddin Abdush. Umat Bertanya Ulama Menjawab Seputar Karir,
Pernikahan, dan Keluarga, Jakarta: Rahima, 2008
Saleh, K. Wantjik . Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta: Ghalia Indo, 1978.
Sosroatmodjo, Arso. Hukum Perkawinan di Indonesia, Jakarta: Bulan Bintang 1981.
Soekanto, Soerjono. pengantar penelitian hukum, Jakarta: Universitas Indonesia
1986.
Sholeh, Asrorun Ni’am. Fatwa-fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, Jakarta:
eLSAS, 2008.
Shomad, Abdul. Hukum Islam (Panorama Prinsip Syari’ah Dalam Hukum
Indonesia), Jakarta: Kencana 2020
Saukani, Muhammad bin Ali bin Muhammad. Nailul Authar, Darul Fikri, 1655, juz.V
Sabiq, Sayyid. Fiqih Sunnah, Beirut: Daar al-Fikr,1983, cet-4, juz II.
Subekti, R. dan R. Tjirosudibio. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta: PT.
Pradya Paramita, 2004.
Sitompul, Anwar. Kewenangan dan Tata Cara Berperkara di Pengadilan Agama,
Bandung: CV. Amrico, 1984.
Tutik, Titik Triwulan. Hukum Perdata Dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta:
Kencana, 2008.
Taimiyah, Syaikh Islam Ahmad. Majmu Fatawa Nikah wa Ahkamihi, Kairo: al-Dar
al-Masriah al-Lubnaniah, 1992.
Tihami, dan Sohari Sahrani. Fiqih Munakahat Kajian Fiqih Nikah Lengkap, Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2009.
Umar, Husein. Metode Penelitian Untuk Skripsi dan Tesis Bisnis, Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2004.
Undang-undang Perkawinan di Indonesia dengan Peraturan Pelaksanaannya,
Undang-Undang N0.1 Tahun 1974, Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 1991, cet11
Wahyudi, Muhammad Isna. Fiqih Iddah Klasik dan Kontemporer, Yogyakarta:
Pustaka Pesantren, 2009.
75
Yunus, Mahmud. Hukum Perkawinan Menurut Mazhab Syafi’I, Hanafi, Maliki dan
Hanbali, Jakarta: Hidakarya Agung, 1996,cet-15.
Yanggo, Huzaimah Tahido. Masail Fikhiyah Kajian Hukum Islam Kontemporer,
Bandung: Angkasa, 2005.
Zein, Satria Effendi M. Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, Jakarta:
Prenada Media, 2004.
Zahrah, Abu. al-Ahwal al-Syaksiyah, Darul Fikri al-Arabi, 1957.
http://www.Google.com/kawin/paksa, diakses Jum’at, 11 Maret 2011
http: www. Pengadilan Agama Jakarta Timur.ac.id, diakses pada Senin, 14 Maret
2011
Wawancara
Dengan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur
Pembatalan Perkawinan Karena Kawin Paksa
Nama Hakim
: Hj. Yustimar B. S.H
Tempat
: Pengadilan Agama Jakarta Timur
Hari/Tanggal
: Jum’at/18 Maret 2011
1. Sudah berapa lama Ibu menjabat sebagai Hakim?
-
Saya Sudah menjabat sebagai Hakim 14 Tahun, sejak Tahun 1997.
2. Apakah Ibu Pernah Menangani Perkara Pembatalan Perkawinan?
-
Pernah, saya pernah menangani perkara pembatalan perkawinan dan
saya sendiri yang menjadi Hakim Ketuanya.
3. Selama Ibu menjadi Hakim di Pengadilan Agama Jakarta Timur, Perkara
Perceraian atau Pembatalan yang paling banyak Ibu tangani?
-
Saya lebih sering menangani perkara perceraian baik itu cerai talak atau
cerai gugat dibandingkan dengan perkara pembatalan perkawinan
4.
Menurut Ibu apa yang dimaksud dengan Pembatalan Perkawinan?
-
Pembatalan perkawinan adalah perkawinan yang dibatalkan apabila
salah satu pihak ada yang merasa dirugikan baik itu dari pihak suami
ataupun istri, seperti suami beristri lebih dari satu dan perkawinan yang
kedua itu tidak memperoleh izin dari istri pertama (pengadilan), atau
salah satu rukun dan syarat perkawinan itu tidak terpenuhi atau
perkawinan tersebut tidak mendapat izin dari orang tua misalnya anak
dibawah umur. Dan semua itu tertera dalam Kompilasi Hukum Islam
Pasal 70- 76 dan Undang-Undang 1 Tahun 1974 Pasal 22-28.
5. Apa yang menjadi kendala Ibu dalam menangangi perkara pembatalan
perkawinan?
-
Adanya ketidak sesuaian status, misalnya pada perkara pembatalan
dikarenakan suami melakukan poligami, yang status suami tersebut
adalah sudah beristri tapi ada fakta lain yang menyebutkan bahwa suami
itu masih jejaka sehingga perkawinan itu disahkan di KUA, dan adanya
kesulitan untuk memutuskan perkara lantaran hati nurani merasa tidak
tega jika harus membatalkan perkawinan tersebut karena melihat nasib
status anaknya, disatu sisi harus membatalkan perkawinan tersebut, tapi
disisi lain ada yang dirugikan, dan kendala yang lain berupa Pihak yang
bersangkutan itu tidak datang sehingga mempersulit jalanya persidangan.
6. Apakah ada mediasi pada perkara pembatalan perkawinan?
-
Ada karena setiap perkara yang masuk ke Pengadilan Agama itu harus
ditempuh mediasi terlebih dahulu sesuai dengan Perma 1 Tahun 2008.
7. Bagaimana cara Ibu membuktikan pembatalan perkawinan karena suami
menikah dengan cara dipaksa?
-
Pembuktiannya itu berupa adanya saksi-saksi yang disumpah terlebih
dahulu sebelum memberikan keterangan sehingga dapat dibuktikan
bahwa Pemohon merasa dipaksa untuk melakukan perkawinan tersebut.
8. Apakah ada masa iddah bagi wanita yang telah dibatalkan perkawinannya
oleh laki-laki?
-
Tidak ada karena iddah itu akan ada jika perkawinan tersebut dianggap
ada, akan tetapi pada perkara pembatalan, perkawinan tersebut
dibatalkan dan dianggap tidak pernah terjadi.
9. Menurut Ibu seberapa besar pengaruh kawin paksa dalam keharmonisan
rumah tangga?
-
Pengaruhnya sangat besar, karena menyatukan kedua hati yang tidak
mencintai kemudian dipaksa kawin itu berdampak negatif untuk
keduanya, karena perkawinan yang dilakukan atas dasar suka sama suka
saja sering ada pertengkaran, apalagi atas dasar keterpaksaan.
10. Menurut Ibu, Apakah kawin paksa itu bisa disebut dengan mengambil hak
asasi manusia untuk memilih jodoh?
-
ya, karena pada dasarnya setiap orang memiliki hak untuk memilih
pasangan hidupnya masing-masing dan jika orang tua ingin menjodohkan
alangkah baiknya jika ditempuh dengan jalan ta’aruf terlebih dahulu.
11. Bagaimana prosedur untuk mengajukan permohonan pembatalan perkawinan
di Pengadilan Agama Jakarta Timur?
-
Prosedur pengajuan perkara pembatalan perkawinan sama dengan
halnya perceraian pada umumnya.
12. Bagaimana menurut Ibu, Dalam Kompilasi Hukum Islam tertera mengenai
pembatalan dapat dilakukan lantaran kawin paksa pasal 71 (f) sedangkan
dalam itu tidak tertera, bagaimana memutuskan perkara tersebut?
-
Meskipun tidak tertera dalam Undang-undang 1 Tahun 1974 tentang
pembatalan dapat dilakukan apabila perkawinan dilakukan dengan paksa
akan tetapi dalam Kompilasi Hukum Islam itu semua tertera dan kami
mengambil keputusan tersebut merujuk pada hukum yang telah tertera
didalamnya.
Hakim Ketua
Hj. Yustimar B. S.H
Wawancara
Dengan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur
Pembatalan Perkawinan Karena Kawin Paksa
Nama Hakim
: H. Abdillah, S.H
Tempat
: Pengadilan Agama Jakarta Timur
Hari/Tanggal
: Senin, 20 Juni 2011
1. Menurut Bapak apa yang dimaksud dengan Pembatalan Perkawinan?
-
Pembatalan perkawinan adalah perkawinan yang dibatalkan apabila
salah satu pihak ada yang merasa dirugikan baik itu dari pihak suami
ataupun istri, seperti suami beristri lebih dari satu dan perkawinan yang
kedua itu tidak memperoleh izin dari istri pertama (pengadilan), atau
salah satu rukun dan syarat perkawinan itu tidak terpenuhi atau
perkawinan tersebut tidak mendapat izin dari orang tua misalnya anak
dibawah umur. Dan semua itu tertera dalam Kompilasi Hukum Islam
Pasal 70- 76 dan Undang-Undang 1 Tahun 1974 Pasal 22-28.
2. Apa yang menjadi kendala Bapak dalam menangangi perkara pembatalan
perkawinan?
-
Adanya ketidak sesuaian status, misalnya pada perkara pembatalan
dikarenakan suami melakukan poligami, yang status suami tersebut
adalah sudah beristri tapi ada fakta lain yang menyebutkan bahwa suami
itu masih jejaka sehingga perkawinan itu disahkan di KUA, dan adanya
kesulitan untuk memutuskan perkara lantaran hati nurani merasa tidak
tega jika harus membatalkan perkawinan tersebut karena melihat nasib
status anaknya, disatu sisi harus membatalkan perkawinan tersebut, tapi
disisi lain ada yang dirugikan, dan kendala yang lain berupa Pihak yang
bersangkutan itu tidak datang sehingga mempersulit jalanya persidangan.
3. Apakah ada mediasi pada perkara pembatalan perkawinan?
-
Ada karena setiap perkara yang masuk ke Pengadilan Agama itu harus
ditempuh mediasi terlebih dahulu sesuai dengan Perma 1 Tahun 2008
4. Bagaimana cara Bapak membuktikan pembatalan perkawinan karena suami
menikah dengan cara dipaksa?
-
Pembuktiannya itu berupa adanya saksi-saksi yang disumpah terlebih
dahulu sebelum memberikan keterangan sehingga dapat dibuktikan
bahwa Pemohon merasa dipaksa untuk melakukan perkawinan tersebut.
5. Apakah ada masa iddah bagi wanita yang telah dibatalkan perkawinannya
oleh laki-laki?
-
Tidak ada karena iddah itu akan ada jika perkawinan tersebut dianggap
ada, akan tetapi pada perkara pembatalan, perkawinan tersebut
dibatalkan dan dianggap tidak pernah terjadi.
6. Menurut Bapak seberapa besar pengaruh kawin paksa dalam keharmonisan
rumah tangga?
-
Pengaruhnya sangat besar, karena menyatukan kedua hati yang tidak
mencintai kemudian dipaksa kawin itu berdampak negatif untuk
keduanya, karena perkawinan yang dilakukan atas dasar suka sama suka
saja sering ada pertengkaran, apalagi atas dasar keterpaksaan.
7. Menurut Bapak, Apakah kawin paksa itu bisa disebut dengan mengambil hak
asasi manusia untuk memilih jodoh?
-
ya, karena pada dasarnya setiap orang memiliki hak untuk memilih
pasangan hidupnya masing-masing dan jika orang tua ingin menjodohkan
alangkah baiknya jika ditempuh dengan jalan ta’aruf terlebih dahulu.
8. Bagaimana prosedur untuk mengajukan permohonan pembatalan perkawinan
di Pengadilan Agama Jakarta Timur?
-
Prosedur pengajuan perkara pembatalan perkawinan sama dengan
halnya perceraian pada umumnya.
9. Bagaimana menurut Bapak, Dalam Kompilasi Hukum Islam tertera mengenai
pembatalan dapat dilakukan lantaran kawin paksa pasal 71 (f) sedangkan
10. dalam itu tidak tertera, bagaimana memutuskan perkara tersebut?
-
Meskipun tidak tertera dalam Undang-undang 1 Tahun 1974 tentang
pembatalan dapat dilakukan apabila perkawinan dilakukan dengan paksa
akan tetapi dalam Kompilasi Hukum Islam itu semua tertera dan kami
mengambil keputusan tersebut merujuk pada hukum yang telah tertera
didalamnya.
Hakim Anggota
H. Abdillah, S.H
Wawancara
Dengan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur
Pembatalan Perkawinan Karena Kawin Paksa
Nama Hakim
: Drs. H. Fauzi M Nawawi
Tempat
: Pengadilan Agama Jakarta Timur
Hari/Tanggal
: Senin, 20 Juni 2011
1. Menurut Bapak apa yang dimaksud dengan Pembatalan Perkawinan?
-
Pembatalan perkawinan adalah perkawinan yang dibatalkan apabila
salah satu pihak ada yang merasa dirugikan baik itu dari pihak suami
ataupun istri, seperti suami beristri lebih dari satu dan perkawinan yang
kedua itu tidak memperoleh izin dari istri pertama (pengadilan), atau
salah satu rukun dan syarat perkawinan itu tidak terpenuhi atau
perkawinan tersebut tidak mendapat izin dari orang tua misalnya anak
dibawah umur. Dan semua itu tertera dalam Kompilasi Hukum Islam
Pasal 70- 76 dan Undang-Undang 1 Tahun 1974 Pasal 22-28.
2. Apa yang menjadi kendala Bapak dalam menangangi perkara pembatalan
perkawinan?
-
Adanya ketidak sesuaian status, misalnya pada perkara pembatalan
dikarenakan suami melakukan poligami, yang status suami tersebut
adalah sudah beristri tapi ada fakta lain yang menyebutkan bahwa suami
itu masih jejaka sehingga perkawinan itu disahkan di KUA, dan adanya
kesulitan untuk memutuskan perkara lantaran hati nurani merasa tidak
tega jika harus membatalkan perkawinan tersebut karena melihat nasib
status anaknya, disatu sisi harus membatalkan perkawinan tersebut, tapi
disisi lain ada yang dirugikan, dan kendala yang lain berupa Pihak yang
bersangkutan itu tidak datang sehingga mempersulit jalanya persidangan.
3. Apakah ada mediasi pada perkara pembatalan perkawinan?
-
Ada karena setiap perkara yang masuk ke Pengadilan Agama itu harus
ditempuh mediasi terlebih dahulu sesuai dengan Perma 1 Tahun 2008
4. Bagaimana cara Bapak membuktikan pembatalan perkawinan karena suami
menikah dengan cara dipaksa?
-
Pembuktiannya itu berupa adanya saksi-saksi yang disumpah terlebih
dahulu sebelum memberikan keterangan sehingga dapat dibuktikan
bahwa Pemohon merasa dipaksa untuk melakukan perkawinan tersebut.
5. Apakah ada masa iddah bagi wanita yang telah dibatalkan perkawinannya
oleh laki-laki?
-
Tidak ada karena iddah itu akan ada jika perkawinan tersebut dianggap
ada, akan tetapi pada perkara pembatalan, perkawinan tersebut
dibatalkan dan dianggap tidak pernah terjadi.
6. Menurut Bapak seberapa besar pengaruh kawin paksa dalam keharmonisan
rumah tangga?
-
Pengaruhnya sangat besar, karena menyatukan kedua hati yang tidak
mencintai kemudian dipaksa kawin itu berdampak negatif untuk
keduanya, karena perkawinan yang dilakukan atas dasar suka sama suka
saja sering ada pertengkaran, apalagi atas dasar keterpaksaan.
7. Menurut Bapak, Apakah kawin paksa itu bisa disebut dengan mengambil hak
asasi manusia untuk memilih jodoh?
-
ya, karena pada dasarnya setiap orang memiliki hak untuk memilih
pasangan hidupnya masing-masing dan jika orang tua ingin menjodohkan
alangkah baiknya jika ditempuh dengan jalan ta’aruf terlebih dahulu.
8. Bagaimana prosedur untuk mengajukan permohonan pembatalan perkawinan
di Pengadilan Agama Jakarta Timur?
-
Prosedur pengajuan perkara pembatalan perkawinan sama dengan
halnya perceraian pada umumnya.
9. Bagaimana menurut Bapak, Dalam Kompilasi Hukum Islam tertera mengenai
pembatalan dapat dilakukan lantaran kawin paksa pasal 71 (f) sedangkan
10. dalam itu tidak tertera, bagaimana memutuskan perkara tersebut?
-
Meskipun tidak tertera dalam Undang-undang 1 Tahun 1974 tentang
pembatalan dapat dilakukan apabila perkawinan dilakukan dengan paksa
akan tetapi dalam Kompilasi Hukum Islam itu semua tertera dan kami
mengambil keputusan tersebut merujuk pada hukum yang telah tertera
didalamnya.
Hakim Anggota
Drs. H. Fauzi M Nawawi
HASIL WAWANCARA PEMOHON
SUMBER
: Temmy Bin Tomi (samaran)
TANGGAL : 20 Juni 2011
LOKASI
: Kediaman Pemohon
1. Mengapa anda ingin membatalkan perkawinan anda?
Jawaban:
Karena saya mengawini T dengan keadaan terpaksa dan saya mengawininya
hanya untuk menutupi aib dia lantaran dia telah berbadan dua dengan orang
lain sehingga saya dipaksa kawin dan saya juga merasa terancam nyawa saya
jikalau saya tidak mau menuruti keinginan pihak T, mungkin pada awalnya
saya memang pernah pacaran dengan T tapi saya sudah putus lama akan tetapi
orang tuanya ataupun keluarganya bahkan masyarat dilingkungan rumahnya
hanya mengetahui bahwa T hanya dekat dengan saya sehingga sayalah yang
diharuskan untuk menikahinya.
2. Kenapa anda tidak mencoba untuk melawan ancaman dan paksaan dari pihak
T dengan cara melaporkan ke polisi?
Jawaban:
Mengenai melapor atau tidaknya saya ke polisi, jujur pada waktu itu saya
melarikan diri dari rumah dan keluarga saya karena saya malu dan takut.
Sebenarnya yang mengurusi semua hal selama saya kabur adalah kakak saya,
dan pada waktu itu saya dapat kabar bahwa rumah yang saya tinggalipun
sudah tidak aman karena banyak pansus yang mengawasi dan menunggu
kedatangan saya maka dari itu kakak saya tidak memilih untuk melorkan ke
polisi karena tidak mau proses yang lama dan membuang waktu sehingga
kakak saya menemui pihak keluarga T dan berbicara secara baik-baik. Dan
akhirnya niat baik itu membuahkan hasil pihak T setuju kalau perkawinan
saya dan T harus dibatalkan dengan syarat keluarga saya mengganti semua
kerugian yang dikeluarkan mulai dari biaya perkawinan sampai dengan
menyewa pansus.
3. Apakah benar bayi yang dikandung itu bukan anak anda?
Jawaban:
Benar 100% karena saya belum pernah melakukan hal itu dengan T dan
sebenarnya saya mempunyai kekurangan yang seharusnya dimiliki oleh lakilaki yakni saya mempunyai kekurangan di organ vital saya karena saya kurang
mengkonsumsi seafood dan itu semua saya ketahui setelah saya menikah dan
susah untuk memiliki anak. Dari hal itu saya dapat dibuktikan bagaimana saya
dapat membuahi T kalau saya mempunyai kekurangan seperti itu.
Download