Kondisi Tenurial dan Kesejahteraan Desa-desa di sekitar

advertisement
Temuan Awal Kajian
Kondisi Tenurial dan Kesejahteraan Desa-desa di sekitar
Pabrik Semen Indonesia Rembang- Jateng1
Eko Cahyono dan Kusnadi
a. Sekilas Sejarah Tenurial
Assesement tentang kondisi tenurial desa-desa di sekitar Semen Indonesia, baru melihat di dua
desa: Timbrangan dan Tegal Dowo Kec. Gunem, Kab. Rembang. Kedua desa ini dipilih, sebab
berkonflik langsung dengan pihak Semen Indonesia. Namun demikian secara topografis, demografis
dan tipologi sosial-ekonomi-budaya memiliki kemiripan dengan desa-desa lain di sekitarnya, di
pegunungan Kendeng sekitar area Semen Indonesia. Secara umum, sumber mata pencaharian
utama masyarakat di desa-desa tersebut adalah berbasis pertanian dan tegalan2. Selain padi
(Sawah dan Tegalan) sebagai andalan utama, tanaman palawija dan sayur mayur menjadi
pendukung utamanya. Penghasilan utama lainnya adalah dari peternakan, terutama sapi, kambing
dan ayam. Yang rata-rata semua warga memilikinya sebagai “Rojo Koyo” (Raja Kaya)3.
Karakter utama pertaninya masih mewakili corak petani jawa yang memiliki tiga dimensi:
Sawah/ladang, Ternak dan tanaman kayu sebagai tiga hal utama yang dapat saling mendukung.
Dengan corak pertanian semacam ini, Nampak jelas ketergantungan masyarakat di kedua desa dan
desa-desa sekitarnya atas tanah pertanian dan pendukung utamanya, yaitu air. Pegunungan
Kendeng yang memiliki cadangan dan simpanan air melimpah di wilayah CAT Watuputih menjadi
sumber kehidupan bagi kehidupan pertanian dan keseharian masyarakat desa.
1
Penulis Eko Cahyono (Sajogyo Institute) dan Kusnadi (Serikat Hijau Indonesia), dalam ajian ini merupakan anggota Tim
Peneliti KLH untuk mediasi konflik masyarakat dengan Semen Indonesia di Rembang. dilakukan pada 4-7 Des 2014. Suasana
pasca konflik 26-27 Nov 2014, antara ibu-ibu dengan pihak keamanan (TNI dan Polri) menyebabkan Tim Peneliti tidak bisa
leluasa menggali data. Masih ada ancaman dan teror dari pihak pro Semen Indonesia bagi orang luar yang masuk. Atas beragam
pertimbangan Tim menggali hanya di dua desa yang yang menolak Semen Indonesia, yaitu Desa Timbrangan dan Desa Tegal
Dowo keduanya di Kec. Gunem, Kab. Rembang. Ada dua alsan utama memilih dua desa ini: 1) secara geografis wilayah tapak
dan rencana penambangan paling dekat ada di kedua desa ini. Kedua desa inilah yang akan banyak dirugilkan secara prioritas jika
pabrik semen Indonesia berdiri. 2) kelompok ibu-ibu yang melakukan aksi menolak pabrik semen, dan masiht berada di tendatenda higga kini, dan mengalami kekerasan, kesemuanya berasal dari kedua desa ini. Namun, di hari terakhir, tim lapang
melakukan survey lokasi secara umum dari wilayah kabupaten Rembang, Blora hingga Pati. Dan melakukan wawancara dan
diskusi dengan kelompok masyarakat Pati yang pernah “berhasil” menolak Pabrik Semen di Sukolilo. Hal ini dilakukan untuk
memperluas konteks dan melihat kesejarahan dan hubungan antara penolakan pabrik semen di Rembang dan wilayah sekitarnya
yang secara ekologis terhubung sebagai wilayah pegunungan kendeng. Pendirian pabrik Semen Indonesia di Rembang,
setidaknya mengancam 28 desa di 4 kecamatan yang berada di 2 Kabupaten, yaitu: Rembang dan Blora. Dengan keterbatasanketerbatasan di atas, maka catatan lapang ini adalah satu cuplikan kecil saja dan bersifat temuan awal yang harus dilakukan
kajian lagi yang lebih mendalam dan meluas.
2
Lihat Terlampir (Foto: 1)
3
Sebutan dalam bahasa Jawa yang artinya (secara bebas) Rojo Koyo adalah “sumber/simpanan kekayaan” yang berasal dari
binatang ternak. Terutama : Sapi dan Kambing. Fungsinya sebagai tabungan jangka menengah dan panjang yang sewaktu-waktu
bisa untuk memenuhi kebutuhan dalam jumlah besar. Di pedesaan biasanya untuk biaya: beragam hajatan (pernikahan, sunatan,
kelahiran, dll), sekolah anak, bangun/perbaiki rumah, sakit keras, bayar hutang dll. (Foto 2: Terlampir)
1
Di sisi lain, kajian singkat ini menunjukkan bahwa masyarakat di kedua desa: Timbrangan dan
Tegal Dowo, telah berada di wilayah lereng pegunungan Kendeng, jauh sebelum Indonesia
merdeka. Kehidupan bertani, berladang di sekitar hutan dan pegunungan Kendeng adalah warisan
leluhur mereka dari zaman ke zaman.
Salah satu penggalan kisah sejarah lisan yang populer berkembang kuat di desa Tegal Dowo dan
Timbrangan adalah kisah Mbah Diposumo (di desa Tegal Dowo) dan dikenal sebagai Mbak
Ronggodito di desa Timbrangan. Mbah Diposumo/Ronggodito adalah orang pertama yang memulai
babat alas (pembukaan hutan) di wilayah Tegal Dowo dan Timbrangan dan sekitar pegunungan
Kendeng. Menurut cerita lisan tersebut, Mbah Diposumo/Ronggodito hidup sezaman dengan para
wali dan sunan-sunan penyebar agama Islam di Tanah Jawa, khususnya Sunan Bonang dan Sunan
Ngampel. Kisahnya masih terekam kuat dari generasi ke generasi, termasuk masih adanya
petilasannya hingga sekarang ini. Bisa dikatakan, kedua desa ini termasuk desa tua di kecamatan
Gunem. Menurut cerita lisan para sesepuh di kedua desa, sejarah pemukiman masyarakat dan
kehidupan masyarakat di kedua desa ini bisa dilacak hingga kerajaan Majapahit, kisah para wali
dan sunan penyebar Islam di tanah Jawa.
Foto 3: Makam Mbah Diposumo/Ronggodito adalah orang pertama yang memulai babat alas
di wilayah Tegal Dowo dan Desa Timbrangan. Lokasi makam di Desa Tegal Dowo.
Selain cerita lisan sejarah tersebut, terlalu banyak bukti historis yang bisa ditunjukkan bagaimana
kehidupan bertani masyarakat sudah jauh sebelum era Kolonial. Salah satunya adalah masih
banyaknya sisa bangunan Belanda untuk menandai dan menjaga sumber mata air di sekitar
wilayah kedua desa dan sekitarnya, yang masih ada hingga sekarang berikut area irigasi pertanian
dan ladang di sekitarnya.
2
Foto 4: Beberapa contoh Sendang (sumber mata air) yang sudah ada sejak lama ada di Desa Timbarangan dan Tegal Dowo. Oleh
warga desa, Sendang di foto paling kiri yang hingga kini tidak pernah surut, dipercaya dibangun oleh para Wali di zaman SunanSunan penyebar Islam di Pulau Jawa. Kini, Sendang-sendang tersebut menjadi tumpuan kebutuhan air bersih bagi warga desa
sekitarnya.
Sekilas catatan tersebut menunjukkan sebagian bukti bahwa keberadaan masyarakat di kedua
desa: Timbrangan dan Tegal Dowo memiliki hak historis sebagai masyarakat lokal/tempatan yang
terikat kuat secara turun menurun dengan tanah dan sumberdaya alamnya di wilayah pegunungan
kendeng di Rembang. Sehingga, mereka layak mengatakan bahwa tanah yang mereka tempati
sekarang ini adalah bagian dari warisan leluhur yang mereka jaga dan lestarikan hingga sekarang,
jauh melampaui bukti-bukti legal “normatif” penguasaan dan kepemilikan secara normatif yang
diatur negara pasca Indonesia merdeka.
Diantara bukti-bukti penguasaan dan kepemilikan atas tanah di wilayah kedua desa ini adalah
masih adanya dikenal sebutan Tanah Petok (tanah dengan bukti pembayaran semacam pajak
sebelum dikenal SPPT), Tanah Persil (wilayah tegalan dan sawah di sela-sela tanaman kayu
Perhutani, yang dulu milik Belanda), kemudian dikenal juga Tanah Pemajekan (tanah yang memiliki
bukti SPPT).4
Salah satu tonggak penting perluasan kelola masyarakat di kawasan hutan baik di kedua desa ini
(juga beberapa wilayah desa lain di Rembang, Blora, Pati dan sekitarnya) adalah pada saat era
Reformasi berlangsung tahun 1998. Saat terjadi reformasi, uforia berlangsung dimana-mana. Di
wilayah Rembang, Blora, Pati dan sekitarnya terjadi penebangan hutan Perhutani secara cepat dan
luas. Selain akibat “uforia” Reformasi, masyarakat melakukan penebangan itu adalah bagian dari
pelampiasan-pelampiasan atas perlakuan Negara dan pengabaian hak-hak mereka selama Orde
Baru berkuasa.
Kini kelola masyarakat petani di kedua desa: Timbrangan dan Tegal Dowo dan sekitarnya baik
berupa lahan sawah, maupun persil menjadi tumpuan hidup satu-satunya bagi kebutuhan seharihari masyarakat desa. Baik untuk pertanian (padi, ketela, beragam alawija, sayur mayur, tembakau
dan buah-buahan) yang tumbuh subur hingga sekarang, maupun untuk kebutuhan ternak mereka
sebagai penambah penghasilan petani (rata-rata msyarakat memiliki ternak Sapi dan Kambing)
selain itik dan ayam.
4
Foto bukti kepemilikan lahan berupa SPPT lihat Lampiran: (Foto: 5)
3
b. Jenis-jenis Penguasaan Lahan
Dari temuan sementara di lapangan, penguasaan lahan di kedua desa: Timbrangan dan Tegal Dowo
dan mirip dengan desa-desa sekitar area pembangunan Semen Indonesia dapat diklasifikasikan
dalam beberapa kategori berikut:
1) Tanah Persil. Tanah yang dikelola oleh masyarakat dengan cara “membeli” kepada Mandor
Perhutani. Harga “pembelian” bervariasi, antara 300 hingga 700 ribu/ha. Masyarakat desa
kadang menyebutnya Tegalan. Lokasi tanah ini berada di bawah/sela tegakan kayu
Perhutani. Ada ragam bagi hasil dalam pengelolaan tanah persil ini. Baik yang berupa beli
putus, maupun ada share hasil panen. Tergantung kesepakatan antara petani dan Mandor.
Penduduk di kedua desa; Timbrangan dan Tegal Dowo memiliki tanah Persil dengan luasan
yang beragam. Rata-rata petani di kedua desa memiliki luasan ¼ atau ½ ha per keluarga.
Sebagian adalah hasil “pembagian” dari Perhutani. Namun, dengan meningkatnya
kesejahteraan, para petani kadang mampu menambah luasan garapan persil mereka hingga
ada yang memiliki luasan 40 ha. Lahan-lahan inilah yang sebagian dalam mekanisme PHBM
yang dilaksanakan oleh LMDH.5
2) Tanah Pemajekan. Tanah yang dikelola masyarakat secara turun temurun dengan bukti
SPPT. Masih belum pasti sejak kapan masyarakat memiliki SPPT. Namun, sejak berakhirnya
istilah Petok, masyarakat desa sudah mengenal SPPT. Rata-rata generasi sekarang yang
berumum (40-50 tahun) sudah mengetahui adanya SPPT sejak kecil. Rata-rata masyarakat
petani di kedua desa ini memiliki tanah pemajekan, minimum ¼ ha da maksimum ada yang
memiliki hingga 15 ha.6
3) Tanah Gege. Tanah yang belum ada kepemilikianya (“tanah tak bertuan” yang statusnya
tanah negara). Ada beragam tanah Gege, baik yang kini berupa tegalan maupun sawah.
Kemudian di garap oleh petani, yang menurut aturan jika sudah 10 tahun digarap maka
nanti akan jadi hak milik penggrap. Luasan tanah Gege di setiap desa beragam. Di kedua
desa: Timbrangan dan Tegal Dowo terdapat tanah Gege namun tidak cukup luas. Sebagain
juga sudah berubah menjadi hak milik melalui bukti SPPT dan berubah menjadi tanah
Pemajekan.7
Secara umum, mayoritas masyarakat petani di kedua desa: Timbrangan dan Tegal Dowo memiliki
tanah. Rata-rata memiliki Tanah Pemajekan dan Tanah Persil sekaligus. Jika ada yang tidak
memiliki tanah Pemajekan, bisa dipastikan memiliki tanah Persil atau tanah Gege. Ada keterangan
yang menyebutkan bahwa semakin luas tanah Pemajekan yang dimiliki petani memungkinkan
untuk memperluas tanah Persil yang mereka miliki. Sebab, mereka memilik kemampuan lebih
untuk membeli dan memperbanyak garapan di tanah Persil.
5
Foto tanah Persil, lihat Lampiran. (Foto: 6)
Foto tanah Pemajekan, lihat Lampiran. (Foto 7)
7
Foto Tanah Gege, lihat Lampiran. (Foto: 8)
6
4
c.
Masuknya Rencana Pabrik Semen
Isu pembangunan pabrik Semen masuk di Rembang dan di kedua desa: Timbrangan dan Tegal
Dowo sekitar tahun 2010-2011. Aktor dan juru kampanye utama dari pembangunan Semen ini
adalah aparat desa setempat.
Namun, catatan penting sebelum masuknya pabrik semen adalah, isu program “Penghijauan”
dengan menanam Jarak Jitun. Entah darimana sumber utamanya. Sekitar tahun 2008-2009, para
aparat desa “berkampanye” secara masif terkait program penghijauan ini. Janji yang
dimumandangkan adalah :
“Jika mau menjual tanah untuk menanam Jarak Jitun ini, selain dapat hasil yang bisa dijual ke
Pengusaha China sebagai pengepul/pasarnya, nanti setelah itu masyarakat masih boleh menggarap
tanah mereka seumur hidup mereka, secara turun temurun..”
Artinya, meskipun nanti tanah mereka telah dijual dan ditanamin Jarak Jitun, mereka tidak
kehilangan hak milik atas tanah. Istilah yang diapaki oleh para promotor penghijauan Jarak Jitun
yang rata-rata melibatkan Kepala Desa, Sekdes, Bayan dan aparat desa lainnya, mereka hanya
“titip” tanaman dan tidak membeli tanahnya.
Masyarakat antusias, banyak yang termakan isu. Sebagain masyarakat, khususnya di Desa Tegal
Dowo dan sekitarnya banyak yang sudah “menjual tanahnya” dan menanam Jarak Jitun. Namun,
masih sedikit yang terpengaruh di Desa Timbrangan.
Manipulasi yang didukung penuh aparat desa ini berlangsung massif dan belum tercium maksud
yang sebenarnya hingga akhir 2010 awal 2011. Harga pembelian tanah yang ditawarkan beragam,
tergantung negosiasi petani dengan aparat desa. Ada warga yang menjual dan dihargai tanahnya:
30 hingga 50 jt/ha. Tanda bukti yang diserahkan adalah fotocopy SPPT.
Akhir tahun 2010 awal tahun 2011 isu rencana pabrik Semen Indonesia masuk, Akhirnya,
masyarakat tahu dan mengerti apa maksud di balik “penghijauan” Jarak Jitun. Masyarakat mulai
sadar, sebagain terkejut. Semen Indonesia benar-benar mau dibangun wilayah di desa mereka.
Mereka merasa dibohongi dan dimanipulasi. Maka masyarakat menolak dan meminta kembali hak
tanah mereka. Pada saat masyarakat desa tahu, rencana pabrik Semen Indonesia, pasar tanah
berubah. Harga tanah melonjak naik tajam. Dari mulai 500 Juta/ha hingga ada yang ditawar 2 M/
ha. Namun, sejak terang benderang, ada pabrik semen yang dibangun, tidak ada warga yang mau
menjual tanahnya lagi. Hingga kini, masyarakat desa menolak penanaman Jarak Jitun dan tetap
menggarap tanah mereka, sebagaimana disepakati bahwa mereka boleh menggarap di atas tanah
mereka seumur hidup.
Kini, sejak hadirnya pembangunan pabrik yang disengketakan, tanah masyarakat di kedua desa
terancam masuk di area Tapak dan Penambangan Semen Indonesia.
Di wilayah Tapak Pabrik, mayoritas memang adalah wilayah Tanah Persil, baik tanah masyarakat
dari Desa Timbrangan maupun Tegal Dowo. Namun di wilayah rencana penambangan yang masuk
5
area IUP, mayoritas adalah tanah Pemajekan warga. Namun, sejauh ini, menurut keterangan tidak
ada tanah Gege yang masuk di wilayah Tapak Pabrik dan Rencana Penamanbangan.
Dalam kajian awal, data sementara luas lahan dengan status SPPT di desa Tegal Dowo yang masuk
di wilayah IUP Pertambangan Semen Indonesia sekurang-kurangnya total 33 ha. Sedangkan lahan
warga desa Timbrangan dengan status SPPT yang masuk ke IUP Semen Indonesia sekurangkurangnya total 35 ha8. Ada kemungkinan lebih luas, setelah semua SPPT bisa di data di kekdua
desa ini.
Dengan kata lain, masuknya pabrik Semen Indonesia, baik tapak maupun wilayah penambangannya
bukan hanya mengancam beragam ekosistem Karst pegunungan Kendeng khususnya di wilayah
CAT Watuputih, namun juga bisa dipastikan akan merampas tanah pertanian warga dan
mengancam sumber penghidupan utama dan kesejahteraan masyarakat yang berbasis pertanian
dan perladangan. Selain hubungan tanah pertanain mereka sangat membutuhkan air dan irigasi,
wilayah pertanian tersebut juga menjadi area pengembalaan dan sumber pakan bagi ternak
penduduk desa (Sapi dan Kambing). Singkatnya, hadirnya pembangunan pabrik Semen Indonesia,
akan berpengaruh langsung dan tidak langsung pada berkurang dan hillangnya sumber
penghidupan dan ruang hidup masyarakat desa yang berbasis tanah dan pertanian.
d. Sumber dan Tingkat Kesejahteraan
Hasil dari pemetaan singkat, Tingkat Kesejahteraan Masyarakat secara Partisipatif (Partisipary
Poverty Assesement/ PPA) di Desa Timbrangan dan Tegal Dowo dapat dijalskan bahwa masyarakat
di kedua desa kategorinya “Sedengan (Cukup)”. Dari empat kategori tingkat kesejahteraan yang
warga sepakati yaitu “Sugih Tenan, Sugih, Sedengan dan Mlarat”.
Kelompok yang Sugih Tenan (Kaya Sekali) , sekitar : 1 %, kelompok Sugih (Kaya): 20 %, Sedengan:
75 %, dan Mlarat: 4 %. Untuk desa Timbrangan jumlah penduduk sekitar 497 KK, dan jumlah 1500
Jiwa. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan jika dilihat melalui PPA adalah sangat sedikit.
Sumber kesejahteraan masyarakat di kedua desa, masih berbasis tanah, pertanian dan ternak.
Indikator utama yang dipakai dalam tingkatan kesejahteraan adalah ; Kepemilikan Luasan Sawah,
Tegalan, Jumlah Ternak (Sapi dan Kambing), dan kepemilikan Mobil, Rumah, dan Sepeda Motor.
Kelompok Sugih Tenan (Kaya Sekali): Memiliki sawah; 1-2 ha. Persil/Tegalan 1,5-2 ha, Sapi: 5-10
ekor, Mobil : 1-2 buah. Sepeda Motor: 3-4. Traktor: 1. Rumah berjejer 4-5, punya Selepan Padi dan
ada yang punya Pawon Gamping sendiri.
Kelompok Sugih (Kaya): Mirip dengan Sugih Tenan, yang membedakan, Sapi : 3-5, Mobil 1, Sepeda
Motor: 2-3 dan tidak punya Traktor dan pawon Gamping.
Kelompok Sedengan (Cukup): Sawah: ½ -1 ha. Persil/ Tegalan: ¼ - ½ ha. Sapi: 2-3 ekor, Sepeda
Motor: 1-2. Rumah Berjejer: 3-4. Dan Punya Selepan Jagung: 1.
8
Data sementara ini bersumber pada pendataan jumlah SPPT warga di dua desa. Dengan hitungan minimum, karena masih ada
yang belum terambil datanya. Dengan dasar itu ditemukan data bahwa untuk Desa Tegal Dowo sekitar ada 26 lahan berstatus
SPPT milik warga masuk dalam IUP Watu Gamping. Sedangkan di Desa Timbrangan, tidak kurang 15 lahan berstatus SPPT
milik warga masuk dalam IUP PT SI. (Hasil pemetaan lapang Tim, tanggal 4-7 des 2014)
6
Kelompok Melarat (Miskin): Selain rumah (biasa) mereka hanya memiliki tanah garapan
Persil/Tegalan dan punya ternak ayam/itik.
Hasil Pemetaan Tingkat Kesejahteraan Sacara Partisipatif (Partisipatory Poverty
Assesement/PPA) Desa Timbrangan dan Tegal Dowo, Kec. Gunem, Kab. Rembang 9
Kategori
Luas Sawah
(ha)
Luas
Tegalan/percil
(ha)
Jumlah
Ternak
Sugih Tenan
1- 2
1,5-2
Sapi 5-10
Sugih
1-2
1,5-2
Sapi 3-5
0,25
Ayam & itik
Sedengan
Melarat
0,5-1
0,25-0,5
Sapi 2-3
Kendaraan
Mobil 1- 2
Motor 3-4
Traktor 1
Mobil 1
Motor 2-3
Motor 1
Luas Rumah
4-5 jejer
3-4 Jejer
2-3 Jejer
1 jejer
Lain-lain
Punya
penggilingan
padi 1
Punya pawon gamping
1
Punya
penggilingan
jagung 2-3
Punya
penggilingan
jagung 2-3
Punya
penggilingan
jagung 1
Buruh Tani
Dengan demikian, hasil dari pemetaan tingkat kesejahteraan dengan metode PPA tersebut
menunjukkan bahwa kesejahteraan masyarakat bergantung pada tanah dan pertanian dan
peternakan. Dan tingkatkan kesejahteraan rata-rata adalah kategori “Sedengan (cukup)”. Maka,
keterangan ini jelas berseberangan dengan kampanye dan isu yang dihembuskan pihak Pabrik
Semen Indonesia yang mengatakan bahwa desa-desa disekitar Pabrik adalah tandus dan miskin.
Dalam pemetaan singkat Valuasi Ekonomi yang dilakukan di Desa Timbrangan menambah kuat
argumen tingkat kesejahteraan di atas. Disebutkan bahwa kekayaan Desa Timbrangan total 23
M/Tahun. Kekayaan desa ini digali dari 12 indikator tanaman pangan, palawija dan ternak yang
menjadi sumber mata pencaharian utama warga desa.10
NO
PERHITUNGAN EKONOMI KEKAYAAN DESA TIMBERANGAN, KECAMATAN GUNEM,
KAB, REMBANG – JATENG11
1
KOMODITAS
YANG DI HITUNG
Padi Tegalan
2
Padi Sawah
3
Jagung
4
Ketela
PRODUKSI DAN TRANSAKSI EKONOMI
TOTAL (Rp)
1 hektar produksi 4 ton x 300 hektar = 1.200 ton – (harga 1 ton
Rp 2 juta ) 2,4 Miliar x biaya produksi #0% =
1 hektar produksi 7 ton x 200 hektar = 1.400 ton x harga 1 tonRp
2 juta – 4,8 Miliar x biaya Produksi 30% =
2.400.000.000.-
Lahan tegalan 1 hektar produksi 5 ton jagung/musim tanam x
300 hektar = 1.500 x harga 1 ton 2 juta = 3 Miliar x 30% biaya
produksi = 900juta = 3 M – 900 juta = 2.1 Miliar
Lahan sawah 1 hektar produksi 5 ton jagung/musin tanam x 200
hektar = 1.000 ton/MT x harga 1 ton Rp 2 juta = 2 Miliar x 30%
biaya produksi = 400 juta = 2 Miliar – 400 juta
1 hektar produksi tela 20 ton x100 hektar = 2.000 ton x harga
ketela Rp 2 juta = 4 Miliar x 30% biaya produksi = 1,2 M (4 M –
4.800.000.0
00.-
2.100.000.000.1.600.000.000.-
3.600.000.000.-
9
Pemetaan PPA ini dilakukan pada tanggal 5 Desember 2014. Foto pelaksanaan PPA ini, Lihat Lampiran (Foto: 9)
Hitung cepat Valuasi Ekonomi dilakukan di Desa Timbrangan, tanggal 5-6 Des 2014.
11
Foto Pelaksanaan Valuasi Ekonomi, Lihat Lampiran. (Foto: 10).
10
7
5
Kacang Tanah
6
Cabe (Lombok)
7
Pisang
8
Sapi
10
Kambing
11
Ayam
12
Air Bersih
1,2 M = 3,6 M)
1 hektar produksi 1,6 ton (1.600 kg) x harga 1 kg Rp 5.000/kg = 8
juta x luas 50 hektar = 400.000.000.1 hektar produksi 6 ton cabe+Lombok x harga 1 kg Rp 45.000/kg
= 27.000.000.- x luas lahan 100 hektar = Rp 2,7 Miliar x biaya
produksi 20% = 810juta ( 2,7 juta – 810 juta = 1,890 M
1 hektar 500 pohon = 3.000 tandan pisang x 1 tandan Rp 50.000
= Rp 15.000.000.- x 20 hektar = 300.000.000.300 Kepala Keluarga x 1 ekor sapi jual/tahun x @ 8 juta = Rp 2,4
Miliar x 30% = 820 juta
300 Kepala Kaluarga x 2 ekor kambing jual per tahun x @ 1
juta/ekor = 600.000.000.- x 30% = 180juta
300 Kepala keluarga x 5 ekor ayam jual/tahun = 1.500 ekor x@
40.000.- = 600.000.000.- x 30% = 180juta
1 jiwa membutuhkan air 100 liter/hari x 1.500 jiwa = 150.000
liter per hari x 360 hari = 5.400.000 liter : 20 liter = 2.700.000
/liter x@ 1.000 = 2,7M
TOTAL KEKAYAAN HASIL BUMI + TERNAK + AIR BERSIH
400.000.000.1.890.000.000.300.000.000.1,680.000.000.520.000.000.520.000.000.2.700.000.000.23.110.000.000
.2.300,000,000.-
SUMBANGAN PAD pertahun total pendapatan bersih x11% ppnpph
Sumber: Perhitungan Ekonomi Kekayaan Desa oleh Warga Timberangan tanggal 5 – 6 Desember 2014
Dari hasil perhitungan ekonomi terhadap kekayaan alam desa yang dilakukan pada di Desa
Timbrangan, Kecamatan Gunem Kabupaten Rembang Jawa Tengah. Jumlah Penduduk 497 Kepala
Keluarga - Jumlah Jiwa 1.500 jiwa. Hasil penghitungan singkat ini menunjukkan bahwa masyarakat
di Desa Timbrangan memiliki tingkat kekayaan desa yang cukup baik.
Dasar yang digunakan untuk menghitung adalah kekayaan alam desa yang di budidayakan oleh
penduduk sendiri. Jenis komoditas yang di hitung cepat adalah jenis tanaman dan ternak yang di
budidayakan keseharian warga. Seperti: padi ladang, padi sawah, jagung, cabe, ketela, kacang
tanah, pisang, ternak sapi, ternak kambing dan ternak ayam. Perhitungan ini dilakukan secara
bersama-sama warga masyarakat di desa Timbrangan dan melibatkan pengurus/aparat desa (BPD
dan kepala desa).
Cara perhitungan dilakukan menurut jenis tanaman, luas tanam per hektar dan ekor (bagi ternak),
jumlah produksi per tahun, harga satuan komoditas per kg dengan pembayaran harga local di desa.
Hasil produktifitas setahun di kurangi biaya produksi rata-rata dari 20% - 30% per komodutas.
Hasil perhitungan yang di peroleh untuk 12 komoditas setiap tahun mencapai Rp 23,1 Miliar per
tahun . Hasil ini secara tidak langsung di sumbangkan kepada Pendapatan Asli daerah dengan
perhitungan total 23,1 Miliar x 11% (PPN/PPH) = 2,4 Miliar per tahun – warga telah
menyumbangankan hasil pertanian dan peternakannya melalui transaksi perdagangan langsung
maupun tidak langsung masuk pajak pendapatan negara dan pajak pendapatan hasil.
Dengan hasil perhitungan di atas maka, dapat dijelaskan bahwa setiap jiwa mendapatkan Indeks
pendapatan rata-rata kurang lebih Rp.50.000/hari. Dengan dasar ini, maka jika standar kemiskinan
dihitung dengan ukuran 2 dollar/hari/jiwa (menurut ukuran World Bank), dengan kurs dollar
Amerika Rp. 12.000 (x 2: Rp. 24.000), maka warga di desa Timbrangan sudah bebas dari garis
kemiskinan.
8
e. Tuntutan dan Harapan Warga
Dengan dasar dan penjelasan di atas, terancam hilangnya wilayah pertanian, sumber penhidupan
keseharian dan ruang hidup yang lebih luas, masyarakat menolak hadirnya Semen Indonesia di
wilayah mereka. Argumen tersebut selaras dengan argumen lain terkait ketidakjelasan perijinan,
belum lengkapnya syarat-syarat kelayakan penambangan, ancaman ekologis kars kendeng, yang
menjadi dasar lain masyarakat desa menolak masukanya penambangan Semen Indonesia di
Rembang dan sekitarnya. Jika diringkas beberapa point-point utama penolakan masyarakat
tersebut adalah:
1. Pegunungan CAT Watuputih adalah wilayah Lindung yang tidak boleh dirusak
2. Pegunungan CAT Watuputih adalah sumber air wadah penyimpanan mata air dan
perlindungan mata air dengan beragam fungsinya (Rembang, Blora, dan Tuban). Akan
terancam rusak dan hillang akibat tambang Semen.
3. Masih belum jelaskan ijin dan belum terpenuhinya syarat-syarat regulasi dan kelayakan
penambangan.
4. Masyarakat desa sekitar Kendeng sudah sejahtera, tidak miskin dan tidak tandus. Sehingga
tidak butuh Tambang Semen.
5. Pertanian adalah sumber utama kehidupan masyarakat. Akan terancam hilang jika tambang
semen masuk.
6. Pabrik Semen berpotensi pencemaran udara dan kebisingan akibat ekplorasi. Apalagi jarak
pertambangan dengan pemukiman warga sangat dekat.
7. Keberadaan pabrik Semen akan mengakibatkan potensi perubahan demografi akibat
pendatang dari luar yang masuk dan kekuatiran potensi masalah sosial dan kesehatan.
Demikian, sekilas temuan awal assesement tenurial desa-desa di sekitar Pabrik Semen Indonesia
Rembang. Tentu temuan awal ini masih perlu untuk dilengkapi dengan kajian yang lebih
mendalam.
9
LAMPIRAN FOTO-FOTO:
Foto (1) Pertanian sebagai Sumber Penghasilan warga desa Timbrangan dan Tegal Dowo
Foto (2) Ternak Sapi (Rojo Koyo) warga di Desa Timbrangan dan Tegal Dowo
Foto 5: Bukti pembayaran pajak (SPPT) di desa Tegal Dowo
Foto 6: Tanah Persil di Tegal Dowo dan Desa Kadiwono
Foto 7: Tanah Pemajekan di Desa Timbrangan dan Tegal Dowo
10
Foto 8: Tanah Gege di Desa Timbrangan
Foto 9 dan 10: Pelaksanaan PPA dan Valuasi Ekonomi di Desa Timbrangan (5-6 Des 2014)
11
Download