tanggapan terhadap kami no shiten dan mushi

advertisement
TANGGAPAN TERHADAP KAMI NO SHITEN
DAN MUSHI NO SHITEN NO GENGO BUNKA
DARI PROF. SOMEYA YOSHIMICHI Sheddy N.Tjandra
Japanese Department, Faculty of Humanities, BINUS University,
Jln. Kemanggisan Ilir III No.45, Kemanggisan-Palmerah, Jakarta Barat 11480
[email protected]
ABSTRACT
This is a preliminary study about Japanese conception of the world’s language and culture. Prof.
Someya Yoshimichi, emeritus professor from Shizuoka Unversity Japan, in an international conferene on
Japanese studies held at Universitas Nasional Jakarta on February 2012, has pointed out that the present
world’s language and culture can be divided into two categories. One is God’s Language and Culture, and the
other is Insect’s Language a Culture. According to him, the God’s Language and Culture is mainly from
European and American (Europe), and the Insect’s Laguage and Culture is mainly from Asian especially from
Japan and South-east Asia. The writer does not understand why the Japanese takes God and Insect as a pair of
contrastive culture. Therefore, the writer collected data from Indonesian indigenous culture, mainly from public
beliefs and religions to argue about the Japanese pair of contrastive culture. This writing uses qualitative
interpretation method (hermeneutics) and a method of descriptive analysis to understand Indonesian data, and
to present the results of interpretation. For previous studies, the writer took the Japanese and Chinese In-yooron
to check the realities of Japanese conception, and also took hipernym and hyponym theory from semantics to
check the contrastive meaning of the word God and Insect. In short, the writer sees that God and Insect are not
an antonym, and also have no contrastive meaning in any sense of semantics and logics.
Keywords: kami no shiten no gengo bunka, mushi no shiten no gengo bunka, language and culture, linguistics,
semantics meaning
概要 日本の静岡大学名誉教授染谷先生が、ジャカルタのナショナル大学で行われた日本・東南アジア
文化学会に出席され講演をなさった。先生は神の視点の言語文化と虫の視点の言語文化についての題
で講演された。これは現在の世界の文化についての先生の見方であった。神の視点の神は絶対権力を
持つ支配者だと見て、虫の視点の虫は自然の中を自由に移動、周囲との関係を重視するものだと説い
た。神の視点の言語文化はヨーロッパで、虫の視点の言語文化はアジアのものだと言って、両者が協
力する必要があると論じた。英語は主語を重視する言語、日本語・インドネシア語は述語を重視する
言語である。英語は話者の上の支配者(神)が見たことを聞き手に伝える。だから、英語は人造の主
語“it” を使って神が見た事件を人に語るのだ。しかし、日本語とインドネシア語は直接話者が見た事
件を聞き手に伝える。これが両文化の大きな違いのひとつだと説いた。私にはよく分からないのはな
ぜ神と虫についての考え方である。インドネシアの地味な価値観では、神を絶対的支配者として唱え
ることはない。イスラム教でもキリスト教の信者でも同じことが言える。彼らは神の良い点だけ、神
を莫大なる慈愛の持ち主だと唱えている。それから、陰陽論の中で神と虫の対立が見られない。意味
論の上でも、神と虫の意味は包摂関係にあるものではない。つまり、両者無関係のものになる。この
ために、神と虫についての日本人の考え方には理解できない。 318
HUMANIORA Vol.4 No.1 April 2013: 318-325 PENDAHULUAN
Pada 25 Pebruari 2012 lalu di Universitas Nasional Jakarta telah diselenggarakan seminar
internasonal kedua dari Asosiasi Kebudayaan Asia Tenggara dan Jepang. Hadir pada pertemuan itu
para sarjana dari Indonesia, Jepang, dan Kamboja. Sejumlah orang menjadi pembicaranya, di
antaranya yang menarik perhatian penulis adalah makalah yang dibawakan oleh pembicara utama,
Prof. Someya Yoshimichi, guru besar emiritus dari Shizuoka Daigaku, Jepang. Makalah itu
membahas dunia baru yang harus dibangun oleh manusia dengan cara kerja sama antara budaya Barat
di satu pihak dan budaya Asia Tenggara-Jepang di pihak lain. Yang menarik adalah buah pikiran
beliau tetang bahasa-budaya Tuhan dan bahasa-budaya Serangga. Beliau berusaha menjelaskan bahwa
kebudayaan di dunia ini terbagi dua menjadi Kebudayaan Tuhan dan Kebudayaan Serangga. Titik
tolaknya adalah ciri bahasa Eropa, terutama bahasa Inggris, dan bahasa Asia, terutama bahasa Jepang,
bahasa Indonesia, bahasa Jawa, bahasa Kamboja, dan lain-lain. Perbedaan dari dua kelompok bahasa
itu dipertentangkan. Dari pertentangan ini lahir konsep beliau tentang Bahasa Tuhan dan Bahasa
Serangga, yang kemudian disebut juga menjadi Budaya Tuhan dan Budaya Serangga.
Permasalahan yang diangkat dalam tulisan ini adalah: (1) Mengapa Prof. Someya
mengemukakan konsepsi yang memuat dua konsep yang bersifat kontrastif, yaitu Tuhan dan
Serangga? (2) Ada latar belakang apa di dalam konsepsi beliau itu? Dan (3) Apakah konsepsi beliau
itu dapat diterima di dalam bumi Indonesia dengan pengetahuan yang ada?
METODE PENELITIAN
Pengumpulan data dilakukan secara kepustakaan karena sekarang ini hanya merupakan
penelitian pendahuluan dalam arti membuka jalan bagi suatu penelitian yang sesungguhnya. Analisis
data dilakukan dengan metode interpretasi kualitatif untuk pemahaman, dan metode deskripsi
digunakan untuk menyajikan hasil pengkajian. Metode perbandingan kontrastif juga digunakan untuk
mengetahui perbedaan antara bahasa Jepang, Inggris, dan Indonesia.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian terdahulu adalah penelitian yang dilakukan oleh Prof. Someya dan hasilnya yang
dipresentasikan pada konfrensi internasional studi Jepang di Jakarta beberapa saat lalu. Hasil
penelitian beliau adalah sebagai berikut.
Pemikiran Prof. Someya Yoshimichi
Prof. Someya mengatakan bahwa dunia sekarang ini tercipta dari penerapan budaya Barat
yang bersifat penakluk. Mereka, orang-orang Barat, mula-mula menaklukkan alam, setelah itu
menggarap sumber kekayaan alam untuk memperkuat kekuasaan mereka. Akhirya, mereka berusaha
menaklukkan orang-orang lain yang berakibat masyarakat di seluruh dunia menjadi ditaklukkan
dengan peradaban yang bersumber dari Barat dan sampai sekarang masih berlangsung. Prof. Someya
melihat status quo dunia akibat penaklukan oleh budaya Barat sampai sekarang ini dari sudut pandang
bahasa Barat adalah Kamino shiten no Gengo yang melahirkan budaya menaklukkan bangsa lain.
Menurut beliau, jika manusia ingin terhindar dari malapetaka di kemudian hari, manusia harus
membangun dunia baru dengan cara melakukan kerja sama antara budaya Kami no shiten no Gengo
dan budaya Mushi no shiten no Gengo yang ditemukan dalam kebudayaan Jepang, Indonesia, Jawa,
Kamboja, dan tempat lainnya di Asia Tenggara. Penelitian sekarang perlu dimulai dari pengkajian
pemikiran Prof. Someya.
Tanggapan terhadap Kami ….. (Sheddy N.Tjandra)
319 Analisis Bahasa-budaya Tuhan dan Bahasa-budaya Serangga Prof.Someya mengemukakan istilah Kami no shiten no gengo-bunka 神の視点の言語文化
dan Mushi no shiten no gengo-bunka.虫の視点の言語文化. Kami no shiten no Gengo secara harfiah
bermakna “Bahasa dari sudut pandang Tuhan”, mengacu kepada bahasa-bahasa Eropa, terutama
bahasa Inggris, dengan ciri pokok: subjek adalah unsur mutlak pada tata bahasa. Tanpa subjek, kalimat
tidak bisa dibentuk. Seandainya tidak ada subjek, maka subjek itu harus diciptakan termasuk subjek
palsu. Maka dari itu, dapat dikatakan bahwa bahasa seperti ini adalah bahasa yang berpusat pada
subjek. Istilah panjang tersebut secara teknis penulis singkat menjadi Bahasa Tuhan sebagai
terjemahannya. Contoh pertama adalah terjemahan bahasa Inggris dari novel terkenal peraih hadiah
Nobel karangan Kawabata Yasunari. Misalnya, pada pembuka cerita Kawabata ditulis:
国境の長いトンネルを抜けると、雪国であった。 Bahasa Jepang ini tidak ada subjeknya, tetapi diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi:
“The train came out of the long tunnel into the snow country.” (oleh Seidensticker). Terjemahan
Inggris itu ada subjeknya, yakni “the train” yang sebenarnya tidak ada di dalam teks sumber bahasa
Jepang. Penerjemah Amerika, Seidensticker, menciptakan subjek ”the train” untuk terjemahan Inggris
sesuai dengan tuntutan tata bahasa Inggris. Prof. Someya mengatakan bahwa terjemahan Inggris itu
tidak sesuai dengan jiwa bahasa Jepangnya. Beliau mengatakan terjemahan Inggris tersebut bersumber
dari pandangan jiwa “Tuhan yang mahakuasa dari atas langit melihat ke bawah ada kereta yang keluar
dari terowongan, lalu manusia memberitakan itu”. Di pihak lain, jiwa bahasa Jepang adalah “manusia
naik di dalam kereta ikut merasakan kereta bergerak dari dalam terowongan ke luar tanah lapang yang
penuh dengan salju”. Dalam teks asli Jepang itu, kata beliau, tidak ada kekuasaan Tuhan. Yang ada
adalah manusia merasa seperti serangga di dalam lubang menyesuaikan diri dengan lingkungan dan
ikut bergerak. Jiwa seperti serangga itu yang melahirkan teks Jepang tersebut tanpa memakai subjek
karena tidak penting, sebab yang penting adalah predikatnya yang mencerminkan kesesuaiaan manusia
dengan lingkungan. Kata beliau, bahasa yang meremehkan subjek dan mementingkan kehadiran
predikat secara mutlak adalah Mushi no shiten no Gengo yang secara harfiah bermakna “Bahasa
dari sudut pandang Serangga” dan bahasa Jepang termasuk jenis bahasa ini, seperti yang dicontohkan
oleh kalimat dari Kawabata Yasunari. Istilah panjang ini, secara teknis penulis singkat menjadi Bahasa
Serangga sebagai terjemahannya. Beliau menjelaskan lebih lanjut bahwa bahasa Indonesia dan bahasa
Jawa sama dengan bahasa Jepang, merupakan Bahasa Serangga. Ini dapat dibuktikan dari terjemahan
Indonesia untuk kalimat Jepang di atas sebagai berikut:
“Begitu keluar dari terowongan panjang di perbatasan, maka tibalah di negeri salju.”
(oleh Prof. Someya)
“Setelah melewati terowongan panjang di perbatasan, tibalah di negeri salju.”
(oleh Dr. Bambang Wibawarta, Dekan FIB-UI)
Kedua terjemahan bahasa Indonesia itu memang tidak memiliki subjek, yang ada adalah predikat
verba “keluar/melewati” dan “tiba”. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Prof.Someya.
Beliau lebih lanjut mengemukakan contoh tentang maksud acuan ‘Pada saat seseorang merasa
udara panas’. Ini pun menimbulkan perbedaan yang serupa antara bahasa Inggris di satu pihak dan
bahasa Jepang/bahasa Indonesia di pihak lain, sebagai berikut:
Bahasa Jepang: 暑いです。(tidak ada subjek, hanya predikat adjektif)
Bahasa Indonesia: “Panas." (tidak ada subjek, hanya predikat adjektif)
Bahasa Inggris: “It is hot." (harus ada subjek tempelan “it”)
320
HUMANIORA Vol.4 No.1 April 2013: 318-325 Pada contoh tersebut, bahasa Jepang dan bahasa Indonesia menunjukkan fenomena yang sama,
yaitu tidak memakai subjek. Akan tetapi, bahasa Inggris harus memakai subjek, sehingga diciptakan
subjek buatan. Kata beliau, hal ini disebabkan orang Inggris pada jiwa pemikirannya memberitakan
apa yang dilihat oleh Tuhan dari atas, bahwa di bawah ada udara panas. Di pihak lain, orang Jepang
dan orang Indonesia tidak merasa seperti itu. Orang Jepang dan orang Indonesia merasa seperti
serangga yang menyesuaikan diri dengan lingkungan, dia ikut perubahan lingkungan yang terjadi.
Pada saat lingkungan menjadi panas (udara panas), dia langsung berteriak dengan predikat atsui/panas
tanpa memasang subjek karena tidak perlu. Budaya Bahasa Tuhan
Bahasa Tuhan adalah bahasa yang menempatkan subjek sebagai unsur mutlak dalam
pembuatan kalimat. Jika subjek adalah diri sendiri, pemusatan diri sendiri menjadi ego-sentris. Jiwa
ego-sentris akan menempatkan diri berada di atas melihat objek yang berada di bawah, seperti
pemikiran Tuhan melihat dari atas ke bawah. Maka, akan terbentuk jarak antara pelaku dan objek.
Hubungan antara keduanya bersifat vertikal. Hubungan ini adalah hubungan antara penguasa dan yang
dikuasai. Hubungan itu bersifat abstrak sekaligus objektif, eksklusif, dan absolut serta berjiwa
penakluk. Maka dari itu, masyarakat Barat yang berbahasa Tuhan menjadi berjiwa penakluk. Pada
mulanya mereka menaklukkan alam, kemudian menaklukkan dan mengatur lingkungan selama
berabad-abad. Setelah itu, mereka menaklukkan bangsa lain di seluruh dunia. Akibatnya, terjadi
penjajahan di mana-mana. Penjajahan bukan hanya melalui senjata, melainkan juga melalui budaya.
Dan pada kenyataannya, masih berlangsung sampai sekarang.
Budaya Bahasa Serangga
Berbeda dengan Bahasa Tuhan, Bahasa Serangga tidak mementingkan subjek. Subjek bisa
bersifat implisit, maka tidak ditemukan ego-sentris di sini. Penutur menempatkan diri seperti serangga
yang menyesuaikan diri dengan lingkungan, dengan alam sekitar, begerak bebas di tengah alam sambil
menyesuaikan diri. Dia tidak pernah menempatkan diri berada di atas, melihat lawan di bawah yang
bisa ditaklukkan. Hubungan dengan lawan dipentingkan. Hubungan itu bersifat subjektif dan sensitif,
merasa saling bergantung secara konkret maupun secara khusus, akibatnya suka mengajak berdialog
secara lugu, kalau bisa sampai mendetail.
Pemikiran Prof. Someya Ditinjau dari Kearifan Lokal Indonesia
Indonesia adalah masyarakat yang berkebudayaan pluralis. Ini tercermin dari kepercayaan
agama yang dianut oleh masyarakatnya. Oleh karena itu, berbicara tentang kearifan lokal Indonesia,
bisa dipetik dari segi agama yang berlaku sebagai salah satu contohnya. Dalam hal ini, penulis
mencoba membahas pemikiran dari Prof. Someya dari Jepang dengan kearifan lokal Indonesia yang
diambil dari agama Indonesia sebagai pengetahuan umum karena penulis bukan ahli budaya dan juga
bukan ahli agama, melainkan seorang ahli bahasa. Pembahasan ini diharapkan ada yang melanjutkan
di kemudian hari dengan sumber data dan pengetahuan yang lebih memadai. Pembahasan dimulai dari
peninjauan dari ilmu bahasa.
Bahasa Tuhan dan Bahasa Serangga Ditinjau dari Ilmu Linguistik
Pemikiran Prof. Someya pertama-tama akan ditinjau dari ilmu linguistik. Bahasa Inggris,
bahasa Jepang, dan bahasa Indonesia memang memiliki ciri seperti yang dikemukakan oleh beliau.
Bahasa Inggris adalah bahasa yang memakai subjek secara mutlak, sedangkan bahasa Jepang dan
bahasa Indonesia adalah bahasa yang tidak mengharuskan subjek. Subjek boleh ada, boleh juga tidak.
Contoh lain adalah: ketika turun hujan orang akan berteriak tentang acuan hujan itu, sebagai berikut:
Tanggapan terhadap Kami ….. (Sheddy N.Tjandra)
321 Bahasa Jepang: 雨です。(tanpa subjek, cukup dengan predikat nomina)
Bahasa Indonesia: “Hujan.” (tanpa subjek, cukup dengan predikat nomina)
Bahasa Inggris: “It is raining.” (harus memakai subjek buatan “it”)
Seperti yang dikatakan Prof. Someya, bahasa Jepang dan bahasa Indonesia juga bisa memakai
subjek seperti contoh berikut:
Bahasa Jepang: 雨が激しく降り出した。(subjeknya “hujan” karena tentang hujan)
Bahasa Indonesia: “Hujan mulai turun deras.” (subjeknya “hujan” karena tentang hujan)
Bahasa Inggris: “It began raining hard." (tetap memakai subjek buatan “it”)
Walaupun sama-sama memakai subjek, subjek bahasa Inggris berbeda dari bahasa Jepang dan
bahasa Indonesia. Orang Jepang dan orang Indonesia menuturkan kejadian alam seperti yang
disaksikannya secara langsung karena mengajukan hujan sebagai subjek, tetapi orang Inggris tidak
demikian. Prof. Someya melihat orang Inggris memberitakan kejadian alam yang disaksikan oleh
Tuhan sebagai penguasa, maka subjek menjadi bukan hujan. Interpretasi Prof. Someya ini dapat
dibenarkan karena penulis juga melihat, dalam hal ini, cara berpikir bahasa Jepang dan bahasa
Indonesia adalah sama namun berbeda dari bahasa Inggris.
Bahasa Inggris adalah bahasa yang memberitakan apa yang disaksikan oleh pihak kepercayaan
penutur yang lebih berkuasa daripada dia, yakni Tuhan. Bahasa Jepang dan bahasa Indonesia
menuturkan apa yang dialami langsung oleh penutur di lingkungannya. Menurut penulis, yang menjadi
masalah pada pemikiran Prof. Someya adalah simpulan yang mengatakan bahasa Inggris dan bahasa
Eropa lain sebagai bahasa yang datang dari sudut pandang Tuhan, dan imajinasi tentang Tuhan yang
ada pada beliau adalah sebagai Penguasa tertinggi alam dunia manusia yang bersikap penakluk. Di
pihak lain, beliau mengatakan bahasa Jepang dan bahasa Indonesia sebagai bahasa yang datang dari
sudut pandang Serangga karena penuturnya seperti serangga yang ada di dalam lubang lingkungan,
selalu bergerak mengikuti perubahan lingkungan dan menyesuaikan diri. Dalam hal ini tidak nampak
relasi yang jelas antara Tuhan dan Serangga.
Bahasa Tuhan dan Bahasa Serangga ditinjau dari Kearifan Lokal Indonesia
Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, di dalam konsep pemikiran Prof. Someya tentang
budaya bahasa Tuhan dan budaya bahasa Serangga ditemukan konsepsi beliau tentang Tuhan sebagai
Penguasa yang bersikap penakluk. Penulis pikir ini tidak tepat bila ditinjau dari kearifan lokal
Indonesia. Masalah kedua adalah relasi yang kosong (tidak ada relasi) antara Tuhan dan Serangga
sebagai dua kutub yang dikonsepkan beliau.
Penulis melihat kearifan lokal Indonesia yang diambil dari agama sebagai pengetahuan umum
sudah cukup untuk memperbaiki pemikiran Prof. Someya, bahwa Tuhan adalah Penguasa absolute,
bersikap penakluk.
Agama Islam di Indonesia yang datang dari Arab telah menerima doa pertama umat Islam
yaitu:
Assyadu Allah Ilah Haillelah, Waassyadu Anna Muhammad da Rasulallah
Artinya: “Aku besaksi tiada Tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah Utusan Allah.”
Pada doa pertama umat Islam ini nampak bahwa umat Islam Indonesia mengagungkan Allah
sebagai Tuhan dan menghargai nabi Muhammad sebagai utusan Allah. Pada doa ini tidak nampak
konsepsi Tuhan sebagai Penguasa yang bersikap penakluk. Dengan perkataan lain, umat Islam
Indonesia tidak menganut pemikiran bahwa Allah adalah Tuhan yang berkuasa dan bersikap penakluk.
Tidak disebutkan Allah adalah penguasa dan penakluk.
322
HUMANIORA Vol.4 No.1 April 2013: 318-325 Selain itu, doa lain yang amat populer diteriakkan oleh umat Islam adalah:
Allahu Akbar
Artinya: “Allah mahabesar”
Pada doa ini pun tidak nampak penonjolan imajinasi Allah sebagai Tuhan yang berkuasa dan
penakluk. Umat Islam Indonesia menghargai dan mengagungkan Allah dengan seruan itu. Umat Islam
tidak meneriakkan Allah maha penguasa dan penakluk.
Selanjutnya salah satu doa Kristiani Indonesia menyebutkan:
“Tuhan Yesus maha pengasih……”
Jadi, umat Kristiani Indonesia memuja Tuhan Yesus sebagai figur yang amat pengasih, bukan
sebagai figur yang berkuasa dan penakluk. Umat Kristiani tidak menyebutkan Tuhan Yesus
mahapenguasa dan penaluk.
Yang paling penting adalah sila pertama dari Pancasila sebagai falsafah negara dan dimuat di
pembukaan UUD 1945 menyebutkan:
Ketuhanan Yang Maha Esa
Artinya: “Tuhan yang cuma Satu, tiada duanya.”
Esa, menurut Poerwadarminta berarti “satu”. Lagi-lagi dapat ditemukan bahwa bangsa
Indonesia mengagungkan Tuhan yang hanya diakui ada satu, dan di sini pun tidak ditemukan
pengagungan kepada Tuhan sebagai Penguasa dan Penakluk. Pancasila tidak menyebutkan Tuhan
yang berkuasa dan penakluk.
Studi tentang kepercayaan rakyat yang dikemukakan oleh Dr. Siti Dahsiar Anwar (2012)
sebagai salah satu kearifan lokal Indonesia juga tidak menyebutkan Tuhan yang berkuasa dan
penakluk. Sebenarnya, agama-agama di Indonesia bukannya tidak mengakui Tuhan adalah amat
bekuasa, cuma itu tidak ditonjolkan seperti yang dikonsepkan oleh Prof. Kameya. Kearifan lokal
Indonesia dari agama dan kepercayaan saja sudah dapat diajukan sebagai argumentasi untuk
memperbaiki pemikiran dari Prof. Kameya. Selain itu, mungkin masih ada kearifan lokal lain yang
belum sempat tergarap. Studi penulis tentang agama amat dangkal. Penulis berharap ada orang lain
yang bisa melanjutkannya. Penulis hanya membuka jalan untuk penelitian itu.
Berikutnya adalah pembahasan dengan teori dan konsep teoretis yang ada sekarang. Ini pun
dilakukan dengan maksud sebagai percobaan pendahuluan.
Tuhan dan Serangga: Dua Kutub yang bukan Kutub
Dalam konsep pemikiran Prof. Kameya, ditemukan pula dua ranah yang dipertentangkan oleh
beliau, bukan dalam arti bertentangan tetapi dipertentangkan, yaitu Tuhan dan Serangga. Berarti di
dalam konsepsi beliau, Tuhan dan Serangga merupakan dua kutub yang dipertentangkan menjadi
sepasang konsep teoretis Budaya Bahasa Tuhan dan Budaya Bahasa Serangga. Sebagai konsepsi
teoretis, dari segi metodologi penelitian, mestinya merupakan dua kutub yang bertentangan secara
teoretis. Akan tetapi, nyatanya tidak demikian. Tuhan dan Serangga secara subjektif dipertentangkan
oleh beliau, bukan bertentangan karena tidak ditemukan relasi yang nyata di antara keduanya di dalam
uraian beliau. Nampak bahwa Tuhan dan Serangga bukan merupakan dua kutub yang bertentangan,
sesuai dengan teori Yin-Yang (Inyooron 陰陽論) dari dunia filsafat. Dari sudut semantik bahasa,
Tuhan adalah kata dari bidang agama kepercaaan, dan Serangga adalah kata dari bidang ilmu biologi.
Tanggapan terhadap Kami ….. (Sheddy N.Tjandra)
323 Di sini tidak nampak ada hubungan antonim (lawan kata) ataupun hubungan hiponimi (kata bermakna
mirip dari satu bidang yang sama). Maka, pertentangannya menjadi berargumentasi lemah.
Makna dari Penelitian Sekarang
Sesungguhnya Prof. Kameya telah menciptakan satu teori baru di bidang linguistik
antropologi. Dengan teori itu beliau berusaha menjelaskan kekacauan yang melanda dunia sebagai
akibat dari penerapan budaya penguasa dan penakluk yang dilakukan oleh orang-orang Barat selama
berabad-abad. Dengan budaya itu, mereka mula-mula menaklukkan alam, kemudian menaklukkan
lingkungan, akhirnya bermuara menjadi menaklukkan manusia yang lain. Menurut beliau, di
kemudian hari, budaya itu harus bekerja sama dengan budaya lain yang ada di dunia yaitu Budaya
Bahasa Serangga untuk menciptakan dunia yang lebih tertib, adil, dan damai. Prof. Kameya
sebenarnya mengembangkan konsepnya dari ilmuwan Kanaya Takehiro (2002/2004) dan Morita
Yoshiyuki (1998). Prof. Morita juga mengatakan bahasa Jepang mementingkan predikat (2002). Di
pihak lain, ada ilmuwan Jepang, misalnya Aida Yuuji, yang mengatakan bahwa orang Jepang tidak
menyukai masa lalunya (1972). Namun, Prof. Kameya banyak memanfaatkan studi sejarah.
Penulis bisa memahami dan menerima inti dari teori beliau, mengakui bahwa memang ada
budaya penguasa dan penakluk yang pernah melanda dunia sehingga tercipta keadaan dunia yang
sekarang ini. Penulis juga membenarkan ciri-ciri bahasa Inggris, bahasa Jepang, dan bahasa Indonesia
yang dikemukakan beliau. Penulis juga bisa membenarkan konsepsi tentang Bahasa Tuhan dan Bahasa
Serangga, tetapi tidak membenarkan pemakaian istilah Tuhan untuk Bahasa Tuhan dan pemakaian
istilah serangga untuk Bahasa Serangga. Yang lebih benar menurut hemat penulis adalah Bahasa
Sutradara/Penguasa dan Bahasa Aktor/Pelaku. Istilah Sutradara berpengertian sebagai Penguasa dan
istilah Aktor berpengertian sebagai Pelaku. Dari sudut semantik, kata Penguasa-Pelaku dan SutradaraAktor masing-masing punya hubungan hiponimi. Kata Penguasa dan Sutradara adalah hipernim, dan
kata Pelaku dan Aktor adalah hiponim.
Dalam bahasa Jepang, istilah tersebut dapat diperbaiki menjadi Shihaisha shiten no Gengo
Bunka 支配者視点の言語文化 dan Shujisha shiten no Gengo Bunka 主事者視点の言語文化.
Shihaisha berarti Penguasa dan Shujisha berarti Pelaku. Bahasa Inggris, penuturya memberitakan apa
yang dilihat oleh pihak lain yang berkuasa (Penguasa), tetapi bahasa Jepang/bahasa Indonesia
penuturnya memberitakan pelaku kejadian yang disaksikannya sendiri (Pelaku). Dalam hal ini, konsep
tentang dua kutub dari teori Yin-Yang tidak bisa diterapkan karena tidak saling bertentangan.
SIMPULAN
Prof. Someya berlatar belakang melihat dunia yang terbentuk sekarang pernah mengalami
masa penjajahan yang dlakukan oleh orang Eropa. Beliau berusaha memberi penjelasannya dengan
pengetahuan linguistik antropologi yang melahirkan pemikiran Bahasa-budaya Tuhan dan Bahasabudaya Serangga. Bahasa-budaya Tuhan adalah Eropa (suku bangsa pemburu) dan Bahasa-budaya
Serangga adalah Asia (suku bangsa bercocok tanam). Kearifan lokal Indonesia dalam bidang agama
dan kepercayaan tidak punya pemikiran yang sejalan dengan konsepsi dari Prof. Someya. Studi
pendahuluan ini diharapkan bisa melahirkan studi sungguhan kemudian hari karena tema yang masih
baru serta penuh teka-teki yang belum terpecahkan.
324
HUMANIORA Vol.4 No.1 April 2013: 318-325 DAFTAR PUSTAKA
Aida, Y. (1972). Nihonjin No Ishiki Koozoo (Struktur Konsepsi Orang Jepang). Koodansha.
Anwar, S. D. (2012). Kepercayaan Rakyat Sebagai Titik Temu Antara Jepang dan Indonesia. Seminar
Internasional Kebudayaan Asia Tenggara dan Jepang. Jakarta.
Kameya, Y. (2012). Azia No Mushi No Shiten No Gengo Bunka (Budaya Bahasa Bersudut Pandang
Serangga Dari Asia). Seminar Internasional Kebudayaan Asia Tenggara dan Jepang. Jakarta.
Morita, Y. (2002) Nihongo Bumpoo No Hassoo (Cara Berpikir Bahasa Jepang). Hitsuji Shoboo.
Poerwadarminta. (1999). Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Tanggapan terhadap Kami ….. (Sheddy N.Tjandra)
325 
Download