Jurnal Prima ISSN: 2301-9891 Vol. V, No. II, Juli 2016 PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN MODEL CORE MELALUI PENDEKATAN KETERAMPILAN METAKOGNITIF TERHADAP KEMAMPUAN PENALARAN MATEMATIS SISWA SMP Ahmad Fadillah Pendidikan Matematika FKIP Universitas Muhammadiyah Tangerang [email protected] Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kemampuan penalaran siswa dan peningkatan kemampuan penelaran siswa SMP khususnya siswa SMP Negeri 10 Tangerang, tujuan lain yang ingin dilihat dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui sikap, aktivitas siswa dan respons guru terhadap pembelajaran yang diterapkan. Pada kenyataannnya proses pembelajaran di kelas kurang meningkatkan kemampuan berpikir matematika dan bahkan cenderung tidak membangkitkan minat siswa untuk belajar matematika, maka untuk mengatasi masalah tersebut, pada penelitian ini dikaji suatu model pembelajaran yang dipadukan dengan satu pendekatan, yaitu model pembelajaran CORE (connecting, Organizing, Reflecting and Extending) dengan pendekatan keterampilan metakognotif. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen dengan instrumen penelitian yang digunakan adalah tes kemampuan penalaran matematis, bahan ajar berupa LKS dan non-tes (yang terdiri dari skala sikap siswa, lembar observasi dan daftar isian untuk guru). Penelitian ini dilakukan pada siswa kelas VII SMP Negeri 10 Tangerang. Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa 1) kemampuan penalaran matematis siswa yang memperoleh pembelajaran model CORE melalui pendekatan keterampilan metakognitif lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran secara konvensional; 2) peningkatan kemampuan penalaran matematis siswa yang memperoleh pembelajaran model CORE melalui pendekatan keterampilan metakognitif lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran secara konvensional; 3) secara umum, siswa yang memperoleh pembelajaran dengan menggunakan model CORE melalui pendekatan keterampilan metakognitif memiliki sikap yang positif terhadap pelajaran matematika dan pembelajaran dengan menggunakan model CORE melalui pendekatan keterampilan metakognitif; 4) aktivitas siswa pada saat pembelajaran dengan menggunakan model CORE melalui pendekatan keterampilan metakognitif sangat baik, hal ini tercermin dari hasil observasi yang dilakukan pada saat pembelajaran berlangsung; 5) respons guru terhadap pembelajaran dengan model CORE melalui pendekatan keterampilan metakognitif sangat baik, pembelajaran dengan model CORE melalui pendekatan keterampilan metakognitif cocok diterapkan dalam pembelajaran matematika, karena dengan adanya model pembelajaran CORE siswa berkembang dan lebih aktif pada saat berdiskusi dengan teman sekelompoknya untuk menyelesaikan soal-soal yang diberikan. Kata kunci: Pembelajaran Model CORE, Pendekatan Keterampilan Metakognitif, Penalaran Matematis I. Pendahuluan Sebagai salah satu disiplin ilmu yang diajarkan pada setiap jenjang pendidikan sekolah, matematika diharapkan dapat memberikan sumbangan dalam rangka mengembangkan kemampuan berpikir logis, karena metematika merupakan sarana berpikir ilmiah yang memegang peranan penting dalam usaha mengembangkan ilmu dan teknologi guna kesejahteraan manusia. Sebagai disiplin ilmu yang diajarkan di pendidikan menengah, tentu saja pembelajaran matematika mempunyai tujuan yang ingin dicapai. Tujuan pembelajaran matematika di sekolah bukan hanya mengupayakan siswa terampil menggunakan matematika, tetapi juga terampil pada aspek kognitif, afektif dan psikomotor. Dalam perkembangan matematika, ternyata banyak konsep matematika yang dibangun oleh manusia dan diperlukan untuk membantu menyelesaikan masalah dalam kehidupan sehari-hari yang dihadapi. Dalam pembelajaran matematika ada beberapa kemampuan dasar yang harus diperhatikan. Sumarmo (2005) mengklasifikasikan kemampuan dasar matematika dalam 5 (lima) standar kemampuan sebagai berikut: 1. Pemahaman matematik 2. Pemecahan masalah matematik (mathematical problem solving) 3. Penalaran matematik (mathematical reasoning) 4. Koneksi matematik (mathematical connection) 5. Komunikasi matematik (mathematical communication) Halaman | 15 Jurnal Prima ISSN: 2301-9891 Vol. V, No. II, Juli 2016 Menurut Sumarmo (Saragih, 2007), kemampuan-kemampuan diatas disebut daya matematis (mathematical power) atau keterampilan matematika (doing math). Keterampilan matematika (doing math) berkaitan dengan karakteristik matematika yang dapat digolongkan dalam berpikir tingkat rendah dan berpikir tingkat tinggi. Aktivitas yang menyangkut berpikir tingkat rendah termasuk kegiatan melaksanakan operasi hitungan sederhana, menerapkan rumusan matematika secara langsung, mengikuti prosedur (algoritma) yang baku, sedangkan aktivitas berpikir yang termasuk pada berpikir tingkat tinggi adalah kemampuan memahami ide matematika secara lebih mendalam, mengamati data dan menggali ide yang tersirat, menyusun konjektur, analogi, dan generalisasi, menalar secara logis, menyelesaikan masalah (problem solving), berkomunikasi secara matematis, dan mengaitkan ide matematis dengan kegiatan intelektual lainnya. Kemampuan penalaran matematis merupakan proses mental yang harus dibangun secara terus menerus melalui berbagai konteks (Baroody, 1993). Jika siswa benar-benar telah mengerti maka pengetahuan siswa terhadap suatu materi akan tinggal lebih lama dalam pikiran mereka, dan dapat diaplikasikannya dalam berbagai situasi, sehingga kemampuan mereka tidak hanya melakukan yang diinstruksikan oleh guru dan mengikuti algoritma. Pentingnya kemampuan penalaran dalam pembelajaran matematika menurut Suryadi (2005), bahwa pembelajaran lebih menekankan pada aktivitas penalaran dan pemecahan masalah sangat erat kaitannya dengan pencapaian prestasi siswa yang tinggi. Sebagai contoh pembelajaran matematika di Jepang dan Korea yang lebih menekankan pada aspek penalaran dan pemecahan masalah mampu menghasilkan siswa berprestasi tinggi dalam tes matematika yang dilakukan oleh The Third International Mathematics Science Study (TIMMS). Untuk memunculkan suatu idea atau konsep dalam matematika, Ruseffendi (1991 : 260) menyatakan bahwa matematika timbul karena pikiran-pikiran yang berhubungan dengan ide, proses dan penalaran. Dengan kata lain, tujuan pembelajaran matematika perlu diarahkan pada upaya menumbuhkembangkan pemahaman dan penalaran siswa. Hal ini sesuai dengan tujuan khusus pembelajaran matematika dalam kurikulum 2004, yakni: 1. Melatih cara berpikir dan bernalar dalam menarik kesimpulan, misalnya melalui kegiatan penyelidikan, eksplorasi, ekperimen, menunjukkan kesamaan, perbedaan, konsistensi dan inkonsistensi. 2. Mengembangkan aktivitas kreatif yang melibatkan imajinasi, intuisi dan penemuan dengan mengembangkan divergen, orisinil, rasa ingin tahu, membuat prediksi dan dugaan serta mencoba-coba. 3. Mengembangkan kemampuan memecahkan masalah. 4. Mengembangkan kemampuan menyampaikan informasi atau mengkomunikasikan gagasan antara lain melalui pembicaraan lisan, catatan, graafik, diagram dalam menjelaskan gagasan. Bertolak dari tujuan di atas, maka sudah selayaknya matematika sekolah memperhatikan tujuan tersebut dengan baik, terlebih lagi pada cara berpikir dan bernalar dalam menarik kesimpulan sebagaimana tercantum pada tujuan yang pertama. Hal ini disebabkan belajar matematika merupakan serangkaian kegiatan yang berkaitan dengan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis dan kreatif. Setiap siswa memiliki potensi berpikir, tetapi yang menjadi permasalahannya adalah bagaimana mengembangkan potensi tersebut melalui pembelajaran di kelas. Kreativitas siswa akan tumbuh apabila dilatih untuk melakukan eksplorasi, inkuiri, penemuan dan memecahkan masalah (Ruseffendi, 1991: 239). Selain kreativitas, unsur lain yang perlu diperhatikan adalah pengetahuan awal dan waktu belajar siswa. Hal ini penting karena pengetahuan awal dan waktu belajar siswa berhubungan dengan prestasi belajar matematika. Oleh karena itu, pembenahan terhadap kemampuan awal atau pun kemampuan prasyarat perlu diupayakan dengan menerapkan berbagai hasil atau temuan penelitian pendidikan matematika. Dalam hal ini pembinaan kemampuan awal atau pun kemampuan prasyarat untuk menunjang topik yang akan dipelajari dan dalam rangka penerapan hasil penelitian untuk menuju pada ketuntasan, hendaknya dipandang bahwa belajar adalah suatu kegiatan yang lebih dari semata-mata tercapainya kemampuan untuk berpikir, tetapi merupakan kegiatan untuk memperoleh banyak kemampuan khusus yang dapat dimanfaatkan untuk berpikir tentang berbagai hal (Sabandar, 2008). Beberapa studi telah dilakukan berkaitan dengan penalaran diantaranya adalah studi oleh yang dilakukan oleh Priatna (2003) mengenai penalaran matematis, diperoleh temuan bahwa kualitas kemampuan penalaran (analogi dan generalisasi) rendah karena skornya hanya 49% dari skor ideal. Sedangkan studi yang dilakukan Kariadinata (2001) pada siswa SMU Negeri di Kota Bandung yang menemukan bahwa kualitas kemampuan siswa dalam penalaran (analogi) belum mencapai hasil yang memuaskan. Hasil yang sama juga dikemukakan oleh Muin (2005) yang menemukan bahwa kualitas kemampuan siswa dalam penalaran (analogi dan generalisasi) belum mencapai hasil yang memuaskan. Dari beberapa studi tentang penalaran di atas, terlihat bahwa kemampuan penalaran siswa khususnya penalaran induktif (analogi dan generalisasi) masih sangat rendah. Hal tersebut membuat penulis ingin mengkaji lebih jauh tentang penalaran induktif berupa analogi dan generalisasi. Halaman | 16 Jurnal Prima ISSN: 2301-9891 Vol. V, No. II, Juli 2016 Dalam proses belajar mengajar matematika kemampuan berpikir dan bernalar sangat berkaitan erat satu sama lain, karena matematika merupakan suatu arena bagi siswa-siswa untuk menyelesaikan suatu masalah dan memperoleh kepercayaan bahwa untuk menghasilkan suatu penyelesaian yang benar bukan hanya dari perkataan gurunya, tetapi karena logika berpikir dan benalar mereka yang jelas, karena itu model CORE (Connecting, Organizing, Reflecting and Extending) diterapkan dalam pembelajaran untuk menghubungkan, mengorganisasikan, menggambarkan dan menyampaikan pengetahuan yang ada dalam pikiran siswa serta memperluas pengetahuan mereka dengan melakukan diskusi pada saat proses belajar mengajar berlangsung. Dalam model CORE siswa berdiskusi untuk menghubungkan pengetahuan yang baru dengan apa yang telah mereka ketahui, mengkonstruksi pengetahuan, meningkatkan kemampuan berpikir dan membantu memperluas pengetahuan mereka. Sejalan dengan hal tersebut, Calfee et al., (dalam Jacob, 2005) mengatakan bahwa ada empat hal yang dibahas dalam pembelajaran dengan model CORE yaitu: Pertama, diskusi menentukan koneksi untuk belajar. Kedua, diskusi membantu mengorganisasikan pengetahuan. Ketiga, diskusi yang baik dapat meningkatkan berpikir reflektif dan Keempat, diskusi membantu memperluas pengetahuan siswa. Hal ini, akan menimbulkan motivasi dan pengetahuan yang akan menghasilkan pemaknaan dan pemahaman dalam pembelajaran. Dengan demikian pembelajaran dengan model CORE ini diduga dapat bermanfaat bagi usahausaha perbaikan proses pembelajaran matematika dalam upaya meningkatkan kemampuan penalaran matematis siswa. Berdasarkan uraian di atas, muara permasalahan sebenarnya terletak pada upaya meningkatkan kemampuan penalaran siswa SMP. Oleh karena itu rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1. Apakah kemampuan penalaran matematis siswa yang memperoleh pembelajaran dengan model CORE melalui pendekatan keterampilan metakognitif lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran secara konvensional? 2. Apakah peningkatan kemampuan penalaran matematis siswa yang memperoleh pembelajaran dengan model CORE melalui pendekatan keterampilan metakognitif lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran secara konvensional? 3. Bagaimana sikap siswa terhadap pembelajaran dengan model CORE melalui pendekatan keterampilan metakognitif? 4. Bagaimana aktivitas siswa selama proses pembelajaran dengan model CORE melalui pendekatan keterampilan metakognitif? 5. Bagaimana respons guru terhadap pembelajaran dengan model CORE melalui pendekatan keterampilan metakognitif? Tujuan dalam penelitian ini adalah: 1) untuk mengetahui kemampuan penalaran matematis siswa yang memperoleh pembelejaran dengan model CORE melalui pendekatan keterampilan metakognitif dan siswa yang memperoleh pembelajaran secara konvensional. 2) untuk menetahuipeningkatan kemampuan penalaran matematis siswa yang memperoleh pembelajaran dengan model CORE melalui pendekatan keterampilan metakognitif dan siswa yang memperoleh pembelajaran secara konvensional. 3) untuk mengetahui sikap siswa terhadap pembelajaran dengan model CORE melalui pendekatan keterampilan metakognitif. 4) untuk mengetahui aktivitas siswa selama proses pembelajaran dengan model CORE melalui pendekatan keterampilan metakognitif. 5) untuk mengetahui respons guru terhadap pembelajaran dengan model CORE melalui pendekatan keterampilan metakognitif. II. Metode Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perlakuan yang dimanipulasi yaitu pembelajaran dengan menggunakan model CORE melalui pendekatan keterampilan metakognitif. Sejalan hal tersebut, Russefendi (1998) mengemukakan bahwa penelitian eksperimen adalah penelitian yang benar-benar untuk melihat hubungan sebab akibat. Penelitian ini dilakukan terhadap dua kelompok yaitu kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Kelompok eksperimen adalah kelompok siswa yang mendapatkan pembelajaran dengan model CORE melalui pendekatan keterampilan metakognitif sedangkan kelompok kontrol adalah kelompok siswa yang yang diajarkan dengan pembelajaran konvensional. Desain penelitian berbentuk Pre-test Post-test Control Group Design sebagai berikut: Treatment Group O1 X1 O2 Control Group O1 X2 O2 Keterangan: Halaman | 17 Jurnal Prima ISSN: 2301-9891 Vol. V, No. II, Juli 2016 X1: Perlakuan pembelajaran dengan model CORE melalui pendekatan keterampilan metakognitif X2: Perlakuan pembelajaran tanpa model CORE dengan pendekatan keterampilan metakognitif/konvensional; O1:Pre-test; O2 : Post-test. Variabel bebas dari penelitian ini adalah pembelajaran dengan model CORE melalui pendekatan keterampilan metakognitif dan pembelajaran konvensional, sedangkan variabel terikat adalah kemampuan penalaran matematis. Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian. Menurut Sugiyono (2008) mengatakan bahwa populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek/subjek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan peneliti dan kemudian ditarik kesimpulannya. Populasi dalam penelitian ini adalah siswa-siswi SMP Negeri 10 Tangerang. Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi (Sugiyono, 2008). Pengambilan sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan teknik purporsive sampling. Teknik purporsive sampling adalah teknik pengambilan sampel secara sengaja dengan pertimbangan tertentu (Sugiyono, 2008). Sampel yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak dua kelas yaitu siswa kelas VII SMP Negeri 10 Tangerang. Prosedur yang akan ditempuh dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Langkah-langkah Persiapan a. Melakukan kajian kepustakaan terhadap teori-teori yang berkaitan dengan model CORE dan pendekatan keterampilan metakognitif serta penerapannya dalam pembelajaran matematika. b. Menyiapkan rencana pembelajaran dan instrumen penelitian. c. Memvalidasi instrumen dan merevisinya. d. Peneliti memberikan penjelasan kepada guru bahwa kegiatan penelitian akan dilaksanakan pada dua kelas, tetapi pada kelas eksperimen siswa diberikan pembelajaran dengan model CORE dengan pendekatan keterampilan metakognitif sedangkan pada kelas kontrol diberikan pembelajaran konvensional, agar guru yang membantu dalam penelitian ini dapat memahami sehingga penelitian ini dapat berjalan sesuai dengan yang diinginkan. 2. Langkah-langkah Pelaksanaan Eksperimen a. Memberikan pre-test penalaran matematis untuk mengetahui kemampuan awal siswa sebelum pembelajaran dengan model CORE melalui pendekatan keterampilan metakognitif dan pembelajaran konvensional dilaksanakan b. Kedua kelas diberikan pembelajaran dengan menggunakan model CORE melalui pendekatan keterampilan metakognitif pada kelas eksperimen dan pembelajaran konvensional pada kelas control. c. Memberikan post-test pada kedua kelas setelah pembelajaran berakhir. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui kemampuan penalaran matematis siswa. d. Memberikan angket pada siswa di kelas eksperimen, untuk mengetahui sikap siswa terhadap pembelajaran matematika dengan model CORE melalui pendekatan keterampilan metakognitif. e. Mengolah dan menganalisis data yang diperoleh setelah penelitian berakhir. Untuk menganalisis data yang dipeoleh dari penelitian ini digunakan uji perbedaan rata-rata (uji-t). III. Hasil dan Pembahasan III.1 Hasil Penelitian 1. Deskripsi Kemampuan Penalaran Matematis Siswa Deskripsi tentang kemampuan penalaran matematis siswa merupakan gambaran baik secara keseluruhan maupun berdasarkan pembelajaran yang digunakan (model CORE dengan pendekatan keterampilan metakognitif dan konvensional). Data tentang kemampuan penalaran matematis siswa sebelum dan sesudah perlakuan diperoleh melalui tes awal (pretest) dan tes akhir (postest). Tes yang digunakan berbentuk uraian sebanyak 5 soal. Halaman | 18 Jurnal Prima ISSN: 2301-9891 Vol. V, No. II, Juli 2016 Tabel 1 Hasil Tes Kemampuan Penalaran Matematis Berdasarkan model Pembelajaran dan Kemampuan Awal Siswa kemampuan awal matematika jenis kemampuan N tes - awal x penalaran matematis model core 35 Konvensional 35 S x S tes akhir gain 9.48 15.37 0.54 1.59 1.19 0.13 7.22 11.8 0.35 1.33 1.72 0.16 Tabel 1 memperlihatkan bahwa skor rata-rata kemampuan awal penalaran matematis siswa untuk kelompok eksperimen dan kelompok kontrol berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan kemampuan penalaran siswa yang memperoleh pembelajaran dengan menggunakan model CORE melalui pendekatan keterampilan metakognitif lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran secara konvensional. 2. Kemampuan penalaran Matematis Siswa a. Kemampuan Penalaran Matematis Siswa Sebelum Perlakuan Sebelum dilakukan uji hipotesis, terlebih dahulu dilakukan uji prasyarat yang meliputi uji normalitas (Shapiro-Wilk) dan uji homogenitas (Uji Levene). Hasil uji normalitas data pada sampel disajikan pada tabel 4.2 berikut: Tabel 2 Uji Normalitas Hasil Pretest, Postest dan Gain Kemampuan Penalaran Matematis Model Pembelajaran Pretest Postest Gain Shapiro-Wilk Keterangan Whitung p_value Df Model CORE 0.944 0,073 35 Normal Konvensional 0.939 0,052 35 Normal Model CORE 0.941 0,059 35 Normal Konvensional 0.940 0,055 35 Normal Model CORE 0.978 0,685 35 Normal Konvensional 0.973 0,523 35 Normal Tabel 3 Uji homogenitas Hasil Pretest, Postest dan Gain Kemampuan Penalaran Matematis Nilai W hitung p_value Df Keterangan Pretest 1,274 0,263 35 Homogen posttest 3,695 0,059 35 Homogen Gain 2,235 0,14 35 Homogen Tabel 4 Hasil Uji-t Postest dan Gain Ternomalisasi Kemampuan Penalaran Matematis Model Pembelajaran Postest Gain Df Model Core 68 Konvensional Model Core 68 68 Konvensional 68 p_value (p_value):(2tailed) Kesimpulan 0,05 0.000 Tolak H0 0,05 0 Tolak H0 Halaman | 19 Jurnal Prima ISSN: 2301-9891 Vol. V, No. II, Juli 2016 3. Skala Sikap Siswa Untuk mengetahui dan menilai respon siswa terhadap pembelajaran model CORE melalui pendekatan keterampilan metakognitif digunakan angket. Angket tersebut dibagikan setelah postes dan hanya diberikan kepada kelompok eksperimen. Indikator yang diukur pada skala sikap ini meliputi: (1) kesukaan terhadap pelajaran matematika;(2) persetujuan terhadap keguanaan matematika; (3) kesukaan terhadap pembelajaran dengan model CORE melalui pendekatan keterampilan metakognitif dan (4) persetujuan terhadap aktivitas siswa dalam pembelajaran dengan model CORE melalui pendekatan keterampilan metakognitif. Tabel 5 Sikap Siswa terhadap Pelajaran Matematika No Pernyataan 1 Saya tertarik untuk mengikuti pelajaran matematika di sekolah. 2 3 Jumlah Jumlah Presentase Pembelajaran matematika yang diajarkan oleh guru selama satu minggu kemarin dapat memberikan kebebasan saya dalam berpikir. Jumlah Saya mencoba untuk menghindari pelajaran matematika di sekolah. Jumlah SS S TS STS 16 17 2 0 46% 48% 5% 0% 95% 12 23 0 0 34% 66% 0% 0% Presentase Presentase 5% 100% 0% 1 0 10 24 3% 0% 29% 68% 3% 97% Tabel 6 Sikap Siswa yang Menunjukkan Persetujuan terhadap Kegunaan Matematika No Pernyataan 1 Cara-cara penarikan kesimpulan yang dipelajari dalam matematika membantu saya dalam menyelesaikan masalah sehari-hari Jumlah Matematika dapat membantu memecahkan persoalan sehari-hari Jumlah 2 3 4 5 Jumlah S TS STS 15 19 1 0 43% 54% 3% 0% Presentase 58% Presentase Penarikan kesimpulan dalam matematika memudahkan saya dalam menyelesaikan persoalan yang ada pada pelajaran lain Jumlah Cara-cara penarikan kesimpulan yang dipelajari dalam matematika tidak dapat diterapkan dalam memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari Jumlah Matematika sulit diterapkan dalam kehidupan sehari-hari Jumlah 3% 23 9 3 0 66% 25% 9% 0% 91% 9% 21 14 0 0 60% 40% 0% 0% Presentase 3% 97% 0 1 15 19 0% 3% 43% 54% Persentase 3% Persentase Halaman | 20 SS 97% 0 0 15 20 0% 0% 43% 57% 100% Jurnal Prima ISSN: 2301-9891 Vol. V, No. II, Juli 2016 6 7 Hanya ada satu cara untuk menyelesaikan soal matematika Jumlah Persentase Kemampuan berpikir saya tentang matematika hanya terbatas pada apa yang dicontohkan oleh guru. Jumlah 0 2 14 19 0% 6% 40% 54% 6% 94% 1 2 18 14 3% 6% 51% 40% Persentase 9% 91% Tabel 7 Sikap Siswa terhadap Pembelajaran Model CORE melalui Pendekatan Keterampilan Metakognitif No 1 2 3 4 5 Pernyataan Jumlah Pembelajaran model CORE yang diajarkan dapat melatih kemampuan saya dalam menyelesaikan soal-soal matematika Jumlah Saya tidak menyukai cara guru dalam mengajarkan matematika model CORE melalui pendekatan keterampilan metakognitif Jumlah Saya senang mengikuti pelajaran matematika dengan model CORE melalui pendekatan keterampilan metakognitif Jumlah Saya senang mengikuti pelajaran matematika yang diajarkan dengan menggunakan model CORE melalui pendekatan keterampilan metakognitif Jumlah Saya kurang berminat dalam mengikuti pelajaran matematika yang diajarkan oleh guru dengan menggunakan model CORE melalui pendekatan keterampilan metakognitif. Jumlah SS S TS STS 22 13 0 0 63% 37% 0% 0% Persentase 100% 0% 0 1 13 21 0% 3%% 37% 60% Persentase 3% 97% 0 0 12 23 0% 0% 34% 66% Persentase 0% Persentase 100% 19 0 0 54% 0% 0% 100% 0% 0 1 16 18 0% 3% 46% 51% Persentase 3% 97% Tabel 8 Sikap Siswa terhadap Model CORE melalui Pendekatan Keterampilan Metakognitif No 1 2 3 Pernyataan Belajar dengan cara diskusi dalam kelompok memudahkan saya dalam mengerjakan soal matematika. Jumlah Jumlah Persentase Cara belajar matematika dengan menggunakan model CORE melalui pendekatan keterampilan metakognitif memudahkan saya dalam menyelesaikan soal-soal matematika. Jumlah Dengan belajar sendiri saya lebih berkonsentrasi pada penyelesaian soalsoal matematika. Jumlah SS S TS STS 21 14 0 0 60% 40% 0% 0% 100% 17 18 0 0 49% 51% 0% 0% Persentase Persentase 0% 100% 0% 0 1 19 15 0% 3% 54% 43% 3% 97% Halaman | 21 Jurnal Prima ISSN: 2301-9891 Vol. V, No. II, Juli 2016 4 5 Cara penarikan kesimpulan dalam matematika dengan menggunakan model pembelajaran CORE tidak bermanfaat dalam pelajaran lain. Jumlah Pembelajaran dengan model CORE melalui pendekatan keterampilan metakognitif yang dilakukan oleh guru sangat menyulitkan saya dalam mengerjakan soal-soal matematika. Jumlah Persentase Persentase 0 22 13 0% 63% 37% 0% 100% 0 1 15 19 0% 3% 43% 54% 3% 97% Secara keseluruhan, terlihat bahwa siswa memiliki sikap positif terhadap setiap indikator yang diberikan. Observasi dilakukan untuk melihat aktivitas siswa dan guru dalam pembelajaran, interaksi antara siswa dan guru dalam pembelajaran dan interaksi antara siswa dalam pembelajaran dengan menggunakan model CORE melalui pendekatan keterampilan metakognitif. Dalam observasi diperoleh data dengan harapan agar hal-hal yang tidak teramati oleh peneliti ketika penelitian berlangsung dapat ditemukan. Observasi yang dilaksanakan dalam penelitian ini sebanyak delapan kali, yaitu pada setiap pertemuan. Adapun yang menjadi observer dalam penelitian ini adalah guru matematika. III.2 Pembahasan Hasil analisis terhadap data rata-rata skor akhir pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol dapat disimpulkan bahwa rata-rata skor kelompok eksperimen lebih baik dibandingkan dengan rata-rata skor kelompok kontrol. Rata-rata skor posttest dari kemampuan penalaran matematis kelompok eksperimen adalah 15,371, sementara perolehan rata-rata skor kelompok control adalah 11,8. Hal ini menunjukkan bahwa pembelajaran dengan menggunakan model CORE melalui pendekatan keterampilan metakognitif dapat meningkatkan kemampuan penalaran matematis siswa dibandingkan dengan pembelajaran konvensional. Untuk hasil perhitungan gain ternormalisasi, secara keseluruhan kelompok eksperimen menunjukkan peningkatan kemampuan penalaran dengan rata-rata sebesar 0,54, sedangkan kelompok kontrol dengan rata-rata sebesar 0,34. Hal ini berarti, peningkatan kemampuan penalaran matematis kelompok eksperimen lebih baik daripada peningkatan kemampuan penalaran kelompok kontrol. Tingginya peningkatan kemampuan penalaran matematis pada siswa kelompok eksperimen, karena pada kelompok eksperimen siswa yang mendominasi proses pembelajaran. Mereka hampir terlibat dalam semua tahapan pembelajaran sehingga guru hanya berperan sebagai fasilitator dalam preoses belajar mengajar. Hal ini berbeda dengan kelompok kontrol, siswa yang berada pada kelompok kontol cenderung diam dan pasif dalam proses pembelajaran. Pada kelompok kontrol terlihat guru yang lebih aktif dalam proses pembelajaran daripada siswa. Sehubungan dengan sikap siswa yang menjadi subjek dalam penelitian ini, secara umum mereka memiliki sikap positif terhadap pembelajaran matematika. Berdasarkan hasil yang diperoleh dari jawaban siswa menunjukkan sikap yang positif terhadap pembelajaran matematika. Disamping itu juga, secara keseluruhan siswa beranggapan bahwa model pembelajaran CORE melalui pendekatan keterampilan metakognitif yang disampaikan lebih membantu mereka dalam memahami konsep matematika yang sedang mereka pelajari, karena itu wajar jika peningkatan kemampuan penalaran matematis siswa yang memperoleh pembelajaran dengan model CORE lebihh baik dibandingkan dengan siswa yang memperoleh pembelajaran secara konvensional. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan pada saat proses pembelajaran berlangsung, pembelajaran dengan model CORE melalui pendekatan keterampilan metakognitif ini secara umum dapat menciptakan kondisi dimana siswa bisa belajar secara aktif. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Ruseffendi (1991) bahwa keberhasilan peserta didik dalam belajar tidak semata-mata berhasil belajar, melainkan juga keberhasilan yang ditempuhnya dengan belajar aktif. IV. Simpulan dan Saran Simpulan yang dapat disampaikan dalam penelitian ini adalah: 1) kemampuan penalaran matematis siswa yang memperoleh pembelajaran model CORE melalui pendekatan keterampilan metakogniti lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran secara konvensional; 2) peningkatan kemampuan penalaran siswa yang memperoleh pembelajaran model CORE melalui pendekatan keterampilan metakognitif lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran secara konvensional; 3) sikap siswa yang menjadi subjek dalam penelitian ini, secara umum mereka memiliki sikap positif terhadap pembelajaran dengan menggunakan model Halaman | 22 Jurnal Prima ISSN: 2301-9891 Vol. V, No. II, Juli 2016 CORE melalui pendekatan keterampilan metakognitif dan pelajaran matematika; 4) pada saat proses pembelajaran dengan model CORE melalui pendekatan keterampilan metakognitif dapat menciptakan kondisi dimana siswa bisa belajar secara aktif dan guru mata pelajaran juga memiliki respons yang baik terhadap model pembelajaran tersebut. Dari hasil dan simpulan penelitian, dengan menggunakan model CORE melalui pendekatan keterampilan metakognitif dapat dijadikan rujukan untuk lebih memberdayakan siswa dan memotivasi mereka karena pembelajaran dengan menggunakan model CORE melalui pendekatan keterampilan metakognitif menyajikan bahan ajar berupa LKS yang dapat membantu siawa bekerja sama dalam kelompok kecil, melatih metakognisi siswa dan interaksi dalam kelas. Daftar Pustaka Arikunto, S. (2008). Dasar – Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta : Bumi Aksara Biryukov. (2004). Metacognitive Aspects of Solving Combinatorics Problem. Mathematic Educational Journal. Baroody, A.J., (1993). Problem Solving Reasoning and Communicating, K-8: Helping Children Think Mathematically. Macmillan Publishing Company, a division of Macmillan, Inc. Cardelle,M (1995). “Effects of Metacogniotive Instruction on Low Achiever in Mathematics Problems”. Journal of Teaching and Teacher Education.11(1) Costa, A.L., (1985). Development Mind: A Resource Book for Teaching Thinking. Alexandria: ASCD Dahlan, J. A. (2004). Meningkatkan Kemampuan Penalaran dan Pemahaman matematis Siswa Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Melalui Pendekatan Open-Ended. Disertasi doctor PPS UPI Bandung: Tidak diterbitkan. Driver, R. dan Leach, J. (1993). “A constructivist view of Learning: Children’s Conceptions and Nature of Science”. In What Research Says to the Sciences Teacher. 7,103-112. Washington: National Science Teacher Association. Hake,R.R. (2007). Should we measure change?yes!tersedia:http://www.physics.indiana.edu/~hake/measchanges.pdf [27 Sep 2009] Jacob, C. (2005). Pengembangan Model CORE Dalam Pembelajaran Logika Dengan Pendekatan RESIPROCAL TEACHING bagi Siswa SMA Negeri 9 Bandung dan SMA Negeri 1 Lembang. Laporan Piloting UPI Bandung: Tidak diterbitkan. Priatna, N. (2003). Kemampuan Penalaran Induktif dan Deduktif serta Kaitannya dengan Pemahaman Matematis Siswa Kelas 3 SLTP Negeri di Kota Bandung. Disertasi UPI Bandung: Tidak Diterbitkan. Russefendi, E.T. (1991). Penilaian Pendidikan dan Hasil Belajar Siswa Khususnya dalam Pengajaran Matematika. Bandung: Tidak diterbitkan. Russefendi, E.T. (1998). Statistika Dasar untuk Penelitian Pendidikan. Semarang: IKIP Semarang Press. Sabandar, J. (2008). Pembelajaran Matematika Sekolah dan Permasalahan Ketuntasan Belajar Matematika. Pidato Pengukuhan sebagai Guru Besar dalam Bidang Matematika pada FMIPA UPI [22 Oktober 2008]. Tidak diterbitkan. Santrock, J.W. (2008). Psikologi Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Schoenfeld, A.H. (1987). Metacognition and Epistemological Issues iin Mathematical Understanding. Dalam Teaching and Learning Mathematical: Problem Solving. Laurence Eralbaum Associates: New Jersey. Sudjana. (2002). Metoda Statistika. Badung. Tarsito Halaman | 23 Jurnal Prima ISSN: 2301-9891 Vol. V, No. II, Juli 2016 Sugiyono. (2008), Metode Statistika Untuk Penelitian. Alfabeta: Bandung. Suherman, Erman. (1990) Petunjuk Praktis untuk Melaksanakan Evaluasi Pendidikan Matematika. Bandung: Tarsito. Sumarmo, U (2005). Pembelajaran Matematika Untuk Mendukung Pelaksanaan Kurikulum Tahun 2002 Sekolah Menengah. Makalah Pada Seminar Pendidikan Matematika 7 Agustus 2005. Universitas Negeri Gorontalo. Wahyudin, (1999). Kemampuan Guru Matematika, Calon Guru Matematika dan Siswa Dalam Mata Pelajaran Matematika. Disertasi UPI Bandung: Tidak Diterbitkan. Weinert, F.E. dan Kluwe, R.H. (1987). Metacognition, Motivation and Understanding. Hillsdale, New Jersey: Laurence Eralbaum Associates Publishers Halaman | 24