dana bantuan langsung

advertisement
DANA BANTUAN LANGSUNG - DBL
Sebagai alternatif pengelolaan subsidi bantuan
untuk peningkatan mutu pendidikan
Oleh : Danny Meirawan
Bahan News Letter Kantor Dinas Pendidikan Jawa Barat
A. LATAR BELAKANG
Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 tahun merupakan salah satu
prioritas program pembangunan di bidang pendidikan. Dengan
digulirkannya desentralisasi pendidikan, maka pendidikan menjadi
tanggung jawab bersama antara pemerintah (pusat, propinsi dan
kota/kabupaten) dan masyarakat.
Penuntasan wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun masih
dihadapkan pada persoalan akses dan mutu pendidikan. Kedua
persoalan tersebut masih memerlukan biaya yang besar.
Pembiayaan untuk peningkatan mutu pembelajaran tergantung kepada sumber daya
pendidikan (kualitas tenaga pendidikan, sarana-prasarana, media pembelajaran,
pembiayaan pendidikan) pada tingkat satuan pendidikan. Pada satuan pendidikan,
sumberdaya pendidikan berkorelasi positif dengan mutu pelayanan pendidikan yang
diberikannya, artinya semakin lengkap dan bermutu sumber pendidikan pada tingkat satuan
pendidikan akan memberikan mutu layanan pendidikan yang baik, demikian sebaliknya.
Di Indonesia termasuk propinsi Jawa Barat dan propinsi Banten masih banyak satuan
pendidikan (SD-MI dan SLTP-MTs) yang memiliki sumberdaya pendidikan yang sangat
terbatas, sehingga untuk menuntaskan wajib belajar pendidikan 9 tahun yang bermutu
masih memerlukan perhatian (subsidi) yang serius dari semua pihak untuk penyelenggaraan
pendidikan pada tingkat satuan pendidikan (khususnya jenjang SD dan SLTP) di
kota/kabupaten. Sementara pada sisi yang lain dihadapkan dengan variasi perhatian
keterbatasan anggaran pemerintah daerah dan kemampuan ekonomi masyarakat sekitar
satuan pendidikan.
Pada satuan pendidikan yang kondisinya seperti di atas masih memerlukan
bantuan/subsidi dari berbagai sumber baik yang berasal dari pemerintah maupun
(menyusul) dari masyarakat. Memang pembiayaan pada pada jenjang pendidikan dasar
dalam konteks otonomi daerah, yang paling harus memperhatikan pembiayaan adalah
pemerintah daerah, propinsi dan pusat, yang dibantu dari peran serta masyarakat. Bahkan
desentralisasi dalam bidang pendidikan lebih jauh tidak hanya di kota/kabupaten melainkan
sampai pada tingkat satuan pendidikan yang dikenal dengan Manajemen Berbasis Sekolah
(MBS).
Sejalan dengan hal tersebut di atas telah banyak bantuan/subsidi yang bersumber dari
pemerintah (baik dari pendapatan negara maupun pinjaman) dan masyarakat yang
diberikan kepada satuan pendidikan yang kondisinya seperti di atas, namun hasilnya masih
memerlukan pencarian bentuk pengelolaan subsidi ke arah yang lebih efektif.
Persoalannya sekarang adalah “bagaimana bentuk pengelolaan bantuan/subsidi untuk
peningkatan mutu pendidikan menjadi lebih efektif, sehingga akhirnya dapat menyukseskan
program wajar dikdas 9 tahun yang bermutu?”
Pengelolaan Bantuan Peningkatan Mutu.doc
1
B. DBL sebagai Altenatif Pengelolaan Subsidi/bantuan
Peningkatan mutu pendidikan harus dimulai dari peningkatan mutu pembelajaran di
kelas. Peningkatan mutu pembelajaran di kelas akan meningkatkan mutu pendidikan di
sekolah, yang akhirnya berakumulasi pada peningkatan mutu pendidikan pada tingkat
kota/kabupaten-propinsi-nasional. Yang pada gilirannya peningkatan mutu pendidikan
tersebut akan berkontribusi dalam peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
Peningkatan mutu pendidikan melalui MBS ini berlandaskan pada asumsi bahwa
sekolah/madrasah akan meningkat mutunya jika kepala sekolah bersama guru, orangtua
siswa dan masyarakat setempat diberi kewenangan yang cukup besar dalam mengelola
kegiatannya sendiri. Pengelolaan ini meliputi perencanaan, pengorganisasian, pengawasan
dan pembinaan, baik dalam hal keuangan maupun pembelajaran secara umum.
Dana Bantuan Langsung (DBL) ini adalah bentuk alternatif pengelolaan subsidi
/bantuan untuk peningkatan mutu pembelajaran pada satuan pendidikan yang memiliki
sumber daya pendidikan yang terbatas (under served school). DBL sekaligus sebagai
stimulan (dana pancingan) bagi terlaksananya Pengelolaan Pendidikan (Sekolah) yang
Berbasis pada Sekolah dan Masyarakat atau yang dikenal sebagai Manajemen Berbasis
Sekolah.
Dana Bantuan Langsung (DBL), istilah langsung yang dimaksud mengandung dua
pengertian, 1) bantuan diberikan secara langsung ke sekolah dari pemberi bantuan, 2)
langsung dikelola sekolah/madrasah.
Langsung di kelola sekolah-madrasah, akan
membiasakan sekolah untuk melakukan kegiatan analisis kebutuhan, pengadaan
(pembelajaaan atau pembuatan) dan pemanfaatan. Selain itu, bantuan yang dikelola
sekolah akan menjadi milik sekolah, salah satu strateginya adalah dengan memasukan
bantuan dalam RAPBS atau tertintegrasi dengan RAPBS.
Sesuai dengan maksud DBL sebagai upaya peningkatan mutu pendidikan di sekolah,
maka pengelolaan DBL sepenuhnya berada di sekolah-madrasah, mulai dari perencanaan,
penggunaan/ pembelajaan, pengawasan dan pembinaan sampai pada pelaporannya. Hal ini
sejalan dengan otonomi pendidikan yang sedang digulirkan, dan pada tingkat satuan
pendidikan, dikenal dengan manajemen berbasis sekolah.
Dengan kata lain, upaya peningkatan mutu pembelajaran di sekolah/madrasah melalui
Dana Bantuan langsung yang dikelola oleh sekolah-madrasah. Sebagai langkah awal
penerapan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS).
Salah satu ciri penerapan MBS adalah adanya mitra di sekolah-madrasah dalam
mengelola kegiatan, yaitu Komite sekolah atau Dewan Sekolah atau Majelis madrasah. Maka
pengelolaan DBL di sekolah harus melibatkan mitranya sesuai dengan peran dan fungsinya.
Pengelola DBL di sekolah-madrasah terdiri dari 3 unsur yaitu kepala sekolah sebagai
penanggung jawab, Tim DBL sebagai pelaksana kegiatan peningkatan mutu melalui DBL,
dan Komite sekolah-Majelis madrasah sebagai pemberi dukungan, bantuan dan pengawas
internal. Tim DBL dibentuk oleh Komite sekolah/Majelis madrasah, dan ketuanya berasal
dari unsur guru, dengan asumsi yang paling mengetahui permasalahan dan kebutuhan
dalam pembelajaran.
Pelaksanaan DBL memerlukan adaptasi dari sekolah-madrasah yang terbiasa dengan pola
lama dalam menerima bantuan. Oleh karena itu, DBL dilaksanakan selama 3 tahun, dengan
harapan terjadi proses pembelajaran secara bertahap dalam upaya pemberdayaan sekolah
untuk mampu melakukan pengelolaan secara mandiri.
Pengelolaan Bantuan Peningkatan Mutu.doc
2
C. Pengalaman Implementasi DBL sebagai Altenatif Pengelolaan Subsidi/bantuan
Departemen Pendidikan Nasional melalui Proyek Peningkatan Pendidikan Dasar (BEP)
berupaya untuk mensukseskan program tersebut, melalui peningkatan akses dan
peningkatan mutu pada jenjang pendidikan dasar pada beberapa propinsi. Untuk wilayah
propinsi Jawa barat dan propinsi Banten Proyek ini disebut dengan “Basic Education ProjectI” (BEP-I) yang pendanaannya bersumber pada dana pinjaman Bank Dunia (IBRD Loan
4308-IND).
Pola kegiatan yang dilaksanakan dalam BEP, mengacu pada pemberdayaan dan
partisipasi masyarakat. Oleh karena itu dalam pengorganisasiannya terbagi atas
peran dan fungsi secara proporsional antara pusat, propvinsi, kota/kabupaten dan
sekolah-madrasah yang mencerminkan upaya pemberdayaan dan partsipasi
masyarakat, yang pada akhirnya mengarahkan kepada terbangunnya Manajemen
Berbasis Sekolah. Pola seperti ini secara langsung akan mendukung pada efektivitas
program wajar dikdas 9 tahun yang bermutu.
Dana Bantuan Langsung (DBL) ini adalah salah satu komponen kegiatan dalam Proyek
peningkatan Pendidikan Dasar (Basic Education Project/BEP) yang dimulai pada tahun 2002.
Pada saat diperkenalkannya pola ini keadaan sekolah dalam menerima bantuan bersifat
pasif atau hanya menerima bantuan dalam bentuk jadi. Sementara kegiatan-kegiatan dalam
BEP seperti dalam mengelola pemberian bantuan ke sekolah-madrasah dalam peningkatan
mutu menggunakan pola baru, yaitu dengan pola pemberdayaan sekolah dan masyarakat
dengan pendekatan pengelolaan berbasis sekolah, mulai dari kegiatan perencanaan,
pelaksanaan, pemanfaatan dan pengawasan bantuan dilakukan oleh sekolah-madrasah.
Pengelolaan BEP secara organisatoris terdiri dari pengelola proyek pada tingkat Pusat
(CPCU), Propinsi (PPCU) dan kota/kabupaten (DPIU) serta pelaksana kegiatan pada tingkat
sekolah-madrasah. Peran pengelola proyek pada tingkat Pusat (CPCU) dan Propinsi (PPCU)
lebih pada penyusunan panduan dan koordinator kegiatan, baik yang bersifat kebijakan
internal maupun dalam bentuk lintas sektoral untuk mendukung dan memberikan
kelancaran pelaksanaan proyek pada tingkat kota/kabupaten (DPIU) yang pada akhirnya
akan memberikan kelancaran dan kemudahan bagi pelaksana proyek pada tingkat sekolahmadarasah.
Besaran bantuan (DBL) pertahun sebesar Rp. 7.000.000,- untuk SD/MI, dan sebesar Rp.
15.000.000,- untuk SLTP/MTs. Dengan demikian selama tiga tahun itu untuk jenjang SD-MI
DBL adalah maksimal sebesar Rp. 21.000.000,-, sedangkan jenjang SMP-MTs sebesar
maksimal Rp 45.000.000. DBL pada sebuah sekolah/madrasah akan dihentikan bila terbukti
terjadi penyalahgunaan yang dilakukan oleh Tim DBL sekolah atau madrasah.
Pengelolaan DBL sepenuhnya dilakukan oleh sekolah-madrasah penerima. Kemampuan
sekolah-madrasah dalam mengelola kegiatan peningkatan mutu pembelajaran yang
membutuhkan pembiayaan dari berbagai sumber (termasuk bantuan seperti DBL) dan untuk
mengarah pada Manajemen Berbasis Sekolah, masih diperlukan suatu upaya pemberdayaan
(capacity building).
Pola pemberdayaan pengelolaan kegiatan ( capacity building) dalam BEP dilakukan secara
berjenjang dalam bentuk TOT pada tingkat pusat dan propinsi dan Workshop pada tingkat
kota/kabupaten. Oleh karena itu keberhasilan pelaksanaan (efektivitas) kegiatan pada
tingkat sekolah-madrasah maupun kota/ kabupaten, sangat tergantung pada proses
„capacity building‟ tersebut. Dalam perjalanannya, sekolah-madrasah maupun pengelola
proyek pada tingkat kota/kabupaten dalam melaksanakan kegiatan sebagai implementasi
proyek masih ada yang kurang memahami dan kurang percaya diri. Oleh karena itu, untuk
Pengelolaan Bantuan Peningkatan Mutu.doc
3
efektivitas program diperlukan bimbingan
manajerial maupun teknis kegiatan.
secara berkesinambungan, baik yang bersifat
Program DBL diluncurkan dengan dua sasaran, yaitu: (1) memperluas dan meningkatkan
mutu pembelajaran pada sekolah-sekolah yang memiliki sumberdaya sangat terbatas, dan
(2) merangsang tumbuhnya partisipasi masyarakat terhadap pendidikan.
Sekolah/Madrasah penerima DBL adalah yang telah menerima dana rehab atau pendirian
Unit Sekolah Baru (USB) dari Proyek Peningkatan Pendidikan Dasar/BEP. Di samping itu
kriteria sekolah-madrasah penerima DBL adalah sekolah/madrasah yang memerlukan
bantuan karena keterbatasan sumberdaya (manusia dan sarana/prasarana) yang karenanya
belum dapat memberikan pelayanan minimal dalam proses belajar mengajar ( underserved
school).
Strategi pengelolaan DBL yang dilakukan adalah sebagai berikut :
o
o
o
o
o
o
Memberdayakan Komite/Dewan Sekolah atau Majelis Madrasah dalam peningkatan
mutu pembelajaran di sekolah/madrasah.
Komite Koordinasi Proyek Kabupaten/Kota atau Komite/Dewan Pendidikan
Kabupaten/Kota, terutama membantu dalam mengkoordinasikan dan membuat
jaringan kerja (akses) ke dalam siklus kegiatan pemerintahan dan pembangunan pada
umumnya dalam bidang pendidikan.
Memberdayakan tenaga kependidikan, baik tenaga pengajar (guru), kepala sekolah,
petugas bimbingan dan penyuluhan/konseling (BP) maupun staf kantor seperti
pejabat-pejabat di tingkat kecamatan, unsur komite/dewan sekolah atau majelis
madrasah tentang MBS, pembelajaran yang bermutu dan peran serta masyarakat.
Mengadakan pelatihan dan pendampingan sistematis bagi para kepala sekolah, guru,
unsur komite/dewan sekolah atau majelis madrasah pada pelaksanaan peningkatan
mutu pembelajaran.
Melakukan supervisi dan monitoring yang sistematis dan konsisten terhadap
pelaksanaan kegiatan pembelajaran di sekolah/madrasah agar diketahui berbagai
kendala dan masalah yang dihadapi, serta segera dapat diberikan jalan
keluar/pemecahan masalah yang diperlukan.
Mengelola kegiatan yang bersifat bantuan seperti dana bantuan langsung (DBL) bagi
setiap sekolah/madrasah untuk peningkatan mutu pembelajaran, dengan membentuk
Tim yang sifatnya khusus untuk menangani dan sekaligus melakukan dukungan dan
pengawasan terhadap tim bentukan sebagai pelaksana kegiatan tersebut.
D. Dampak Awal Implementasi DBL sebagai Altenatif Pengelolaan Subsidi/bantuan
Dampak awal dari peningkatan suasana pembelajaran pada 1.016 SD-MI dan 546 SMPMTs selama 3 tahun telah mengahasilkan embrio dalam peningkatan mutu pembelajaran
melalui kegiatan yang dipilih/ditentukan sendiri oleh guru sesuai dengan kebutuhannya
seperti penambahan kelengkapan buku, media pembelajaran dan peningkatan kemampuan
guru atau pelatihan guru, dan dikelola langsung oleh sekolah-madrasah. Pengadaan
kelengkapan pembelajaran dan pemilihan pelatihan dengan pola seperti tadi langsung
dimanfaatkan dalam pembelajaran. Oleh karena itu, perubahan-perubahan yang terjadi
adalah membentuk suasana pembelajaran yang kondusif, dimana suasana pembelajaran ini
dianggap sebagai embrio dalam peningkatan mutu hasil belajar. Perubahan-perubahan
yang terjadi setelah mengelola bantuan dengan pola seperti ini adalah :
1) proses pembelajaran ; terjadi perubahan pada dalam hal:
- Peningkatan penggunaan media/alat peraga oleh guru
- Peningkatan penggunaan buku ajar
Pengelolaan Bantuan Peningkatan Mutu.doc
4
- Peningkatan murid yang bertanya
- Peningkatan tugas yang dikerjakan murid
- Siswa yang bolos berkurang
2) Hasil pembelajaran : terjadi perubahan pada dalam hal:
- Peningkatan nilai mata pelajaran
- Peningkatan disiplin siswa
- Peningkatan aktivitas siswa
- Peningkatan saling menghargai
- Siswa yang tinggal kelas berkurang
3) Manajemen sekolah : terjadi perubahan pada dalam hal:
- Pelibatan guru dalam penyusunan RAPBS
- Pelibatan guru dalam pelaksanaan manajemen sekolah
- Pendelegasian tugas ke guru sesuai keahliannya
- Ketersediaan data sekolah untuk pengambilan keputusan
4) Transparansi : terjadi perubahan pada dalam hal:
- Guru mengetahui RAPBS
- Komite sekolah mengetahui program sekolah
- Rencana Penggunaan DBL (RP-DBL) diintegrasikan dalam RAPBS.
- Kemudahan mendapatkan informasi di sekolah
- Pelibatan guru dalam pengelolaan keuangan sekolah
5) Akuntabilitas : terjadi perubahan pada dalam hal:
- Program sekolah didukung komite sekolah
- Kehadiran orang tua siswa meningkat dalam rapat yang diadakan sekolah
- Peningkatan pendaftar/animo siswa ke sekolah
- Peningkatan lulusan yang melanjutkan sekolah
Persentase perubahan pada setiap aspek sangat bervariasi mulai dari 0,34 % merentang
sampai pada 96,34%.
E. Kendala dalam Implementasi DBL
Beberapa kendala dalam implementasi DBL selama 3 tahun di 28 kota/kabupaten yang
ada di Jawa Barat dan Banten adalah sebagai berikut :
1. Seleksi penerima DBL di ibukota propinsi kesulitan mencari sekolah
sekolah/madrasah miskin. Untuk jenjang SD-MI selain sekolah yang telah direhab
adalah sekolah imbas dari gugus bina. Sementara untuk jenjang SLTP kesulitan
mencari sekolah miskin, sehingga penentuannya dilakukan berdasarkan urutan
pemilikan sumber daya sekolah. Sekolah yang memiliki sumber daya yang paling
sedikit, menjadi calon penerima DBL.
2. RP-DBL yang disusun oleh sekolah/madrasah belum diintegrasikan kepada RAPBS
tahun 2002/2003. Hal ini disebabkan kegiatan penyusunan RP-DBL yang di awali
dengan kegiatan Workshop DBL baru dimuali pada bulan Juni, sementara pada bulan
itu sekolah/madrasah sudah menyelesaikan pembuatan RAPBS-nya.
3. Beberapa sekolah/madrasah pada kota/kabupaten tertentu yang mengalokasikan
DBL untuk pembelian alat peraga IPA (khususnya Torso Manusia) kesulitan dalam
pencarian tempat pembeliannya. Sehingga pembeliannya ada kemungkinan di tunda
sambil menunggu informasi baik dari DPIU, PPCU maupun CPCU, atau dialihkan ke
jenis barang yang lain.
4. Beberapa sekolah/madrasah pada kota/kabupaten tertentu kesulitan dalam
membuka no. rekening giro pada bank-bank yang ada dan terdekat. Kesulitan dapat
diatasi setelah pihak DPIU memberikan penjelasan dan surat keterangan kepada
Bank yang ada.
Pengelolaan Bantuan Peningkatan Mutu.doc
5
5. Partisipasi masyarakat dalam mengelola DBL masih bervariasi, umumnya baru dalam
bentuk pemikiran. Selain itu unsur masyarakat yang aktif masih berasal dari unsur
orangtua siswa.
F. Kesimpulan
Pelaksanaan DBL selama 3 tahun, mulai tahun 2002 sampai 2004 di sekolah/madrasah
pada 28 kota/kabupaten di propinsi Jawa Barat dan Banten telah menggeser pola
pengolaan bantuan untuk sekolah dari luar sekolah ke dalam sekolah. Bentuk awal dari
pengelolaan bantuan oleh sekolah adalah sebagai berikut :
Sekolah/madrasah pada tahap awal mengalami kebingungan untuk merencanakan
penggunaan bantuan, karena terbiasa terima jadi. Kebingungan itu mulai teratasi setelah
sekolah/madrasah mengetahui permasalahan dan kebutuhannya sehingga pihak sekolah
dalam menggunakan/merencanakan bantuan didasarkan kepada kebutuhannya. Proses
pemberdayaan sekolah/madrasah dalam mengelola bantuan pada tahap awal terlihat dari
kemampuannya dalam menyusun RP-DBL. RP-DBL yang disusun oleh Sekolah/madrasah
sangat bervariasi. Variasi ini menunjukan variatifnya kebutuhan dan permasalahan
Sekolah/madrasah.
Memang pada tahap awal menganalisis kebutuhan dan permasalahan Sekolah/madrasah
dalam mempersepsi peningkatan mutu pembelajaran di sekolah dan kelas masih
berorientasi kepada hal-hal yang bersifat fisik, terutama pada sekolah/madrasah yang
sangat miskin. Berbeda halnya dengan sekolah yang relative tidak terlalu miskin persepsi
tentang peningkatan mutu lebih berorientasi pada hal-hal yang sifatnya non-fisik, seperti
pengembangan kemampuan guru dalam pembelajaran, pengembangan sarana (buku dan
alat peraga) dalam pembelajaran.
DBL telah meningkatkan otonomi sekolah/madrasah hal ini diperlihatkan pada tiap-tiap
sekolah sudah dapat merumuskan program sesuai dengan kebutuhan sekolah dan sebagian
besar telah meningkatkan kualitas dan kuantitas sarana yang menunjang proses belajar
mengajar di sekolah/madrasah.
Program DBL ditanggapi oleh Pemerintah daerah khususnya Kantor Dinas Pendidikan
Kota/kabupaten sangat baik, namun sebagian kecil pemerintah daerah-kabupaten/kota
(10,3%) belum siap untuk melanjutkan program ini karena keterbatasan anggaran (APBD).
Namun demikian, pola pemberian subsidi ke sekolah-madrasah untuk peningkatan mutu
yang bersumber dari APBN (Depdiknas) dan kantor Dinas Pendidikan Propinsi sudah
menggunakan pola DBL.
Program DBL sangat terasa sekali manfaatnya oleh sekolah, sekolah dapat
memprogramkan dan melaksanakan kegiatan peningkatan mutu pembelajaran sesuai
dengan kebutuhan dan potensinya. Pola DBL yang dianggap ada manfaatnya tersebut
adalah dengan ciri-ciri yang utuh, yaitu :





Bantuan diberikan secara langsung ke sekolah-madrasah
Pengelola DBL (bantuan-subsidi) terdiri dari penanggung jawab (kepsek), pelaksana (tim
DBL) dan pendukung/pengawas (komite sekolah)
Bantuan-subsidi bersifat stimulan
Bantuan-subsidi terintegrasi pada RAPBS
Waktu pelaksanaan bertahap, tidak sekaligus -3 tahun.
Semoga DBL dapat memperkaya pola pengelolaan subsidi/bantuan untuk peningkatan
mutu pendidikan, terlebih-lebih untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi pengelolaan
bantuan yang bersumber dari PINJAMAN.
Pengelolaan Bantuan Peningkatan Mutu.doc
6
Download